II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah

advertisement
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Titik Panas
Titik
panas
(hotspot)
adalah
indikator
kebakaran
hutan
yang
mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu
disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut No.P
12//P Menhut-II/2009. Titik panas dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National
Oceanic and Atmospheric Administration) yang dilengkapi sensor AVHRR
(Advanced Very Hight Resulation Radiometer). Sensor AVHRR bekerja
berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang
bersuhu 42°C. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut
karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat
atau di laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi
tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah
harga yang murah (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004).
Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin
terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti
seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari
suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu
(aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca
(sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa
yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur
atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia,2002
dalam Wardani, 2004).
Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung
oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas dan atau titik panas
yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang
baik untuk kebakaran. Data titik panas bermanfaat apabila dikombinasikan dengan
informasi-informasi lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas
dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani,
2004).
5
2.2 Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan
Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk
mendeteksi atau memantau terjadinya kebakaran hutan karena selain memiliki
sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat
meliput daerah yang sangat luas 92.600 x 1500 km2 serta dapat mengirimkan data
minimal satu kali dalam sehari (Departemen Kehutanan, 1989).
NOAA AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration
Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah satelit cuaca milik Amerika
Serikat yang di desain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan
dan studi studi iklim untuk kepentingan meteologi, yang mampu merekam tempat
yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam
sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat maksimum
spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800°K (suhu tipikal dari
kebakaran alang-alang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5 – 12,5)
terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai
akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800°K, CH 3 akan menerima
energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai
permukaan suhu yang uniform 300°K, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah
0,442 x 9,68 W m-2 µm-1 sr-1 dengan asumsi emisifitas = 1. Untuk pixel yang
mempunyai suhu berbeda, misal 800°K dan 300°K, energi pada CH 3 dan 4
adalah 670,0 dan 49,92 W m-2 µm-1 sr-1. (Purbawaseso, 2004).
Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics
And Space Administration-USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan
cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi
(NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam
sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup
aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk
mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat
dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).
6
Gambar 1. Satelit NOAA-AVHRR
2.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas
Titik panas di permukaan bumi ditentukan dengan menghitung
temperature pada kanal 3 (l= 3.8m) dan kanal 4 (l= 10.8m). Konversi suhu yang
disebut temperature brightness dari fluxs radiance yang diterima sensor satelit
didasarkan oleh formulasi Planck dengan mempertimbangkan nilai Lj yaitu
radiance pada kanal ke j dengan satuan Wm-3 sr –1 . Karena data yang dipancarkan
satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi Lj dari
radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut :
Lj = Gj DNj + Ij
Keterangan : Gj
= koefisien Gain
DNj
= radiometer count
Ij
= Intercept untuk kanal j=3 dan kanal j= 4
Oleh Singh (1984) konversi temperatur kecerahan dari radiasi yang dikembangkan
dengan persamaan sebagai berikut :
Tbj =
Dengan a dan b adalah suatu konstanta (Musawijaya et al., 2001). Data inilah
yang kemudian mengalami proses ekstraksi infomasi, untuk menghasilkan
kordinat titik panas. Untuk penentuan kordinat titik panas dapat dilakukan dengan
2 metode yaitu metode sederhana dan metode algoritme kontekstual
2.3.1
Metode Sederhana
Deteksi titik panas dengan metode sederhana, dilakukan dengan
menetapkan batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu, pada
7
matriks citra tersebut. Jika nilai suhu kecerahan suatu pixel yang ada pada citra
tersebut lebih besar atau sama dengan nilai ambang, maka pixel tersebut
merupakan titik panas, dan sebaliknya jika nilai suhu kecerahan pada pixel
tersebut kurang dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik
panas. Dalam bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan :
IF nilai citra > α
THEN nilai citra = titik panas
ELSE nilai citra= bukan titik panas
dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan
α
= nilai ambang (310°K, 315°K, 321°K dll)
Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah
sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan cara ini adalah
pada kesederhanaan proses perhitungannya, sehingga waktu pemrosesannya bisa
lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya.
Karena saluran 3 pada sensor AVHRR pada kondisi-kondisi tertentu dapat
menimbulkan efek kilau surya, misalnya jika sudut perekamannya terlalu rendah
dan mengenai objek air.
2.3.2
Metode Algoritme Kontekstual
Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada
deteksi dengan menggunakan metode sederhana. Jika pada metode sederhana
yang digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode algoritme kontekstual
ini digunakan semua saluran NOAA-AVHRR. Secara garis besar metode titik
panas adalah seperti yang tersaji pada Gambar 2.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa prinsip metode ini juga
menerapkan nilai-nilai ambang, namun nilai ambang ini diterapkan untuk
beberapa saluran sekaligus. Pertama, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua
obyek yaitu daratan atau air, dengan menggunakan NDVI, selanjutnya yang
diproses adalah obyek daratan saja. Dari obyek daratan tersebut, kemudian
dipilahkan obyek awan. Obyek daratan yang sudah terpilahkan dari obyek awan,
kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas.
Hasil dari proses deteksi ini adalah titik panas yang sudah tereliminasi dari obyek
8
air, awan dan tanah kering panas. Disamping penggunaan nilai ambang pada
proses bagian akhir diterapkan algoritme kontekstual (spasial). Hal ini
dikarenakan walaupun titik panas yang terdeteksi sudah di eleminasi dari
pengaruh air, awan, dan tanah kering panas. Namun terkadang titik panas yang
terdeteksi meliputi areal yang sangat luas. Dalam kenyataan hal ini sulit sekali
terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar
sekaligus, karena kecenderungan dari kebakaran hutan adalah jika sudah
mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah
padam. Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi titik panas
dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan (Hiroki
dan Dwi, 1999).
Gambar 2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Purbawaseso (2004) memaparkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan
kebakaran hutan sebagai berikut :
2.4.1
Bahan Bakar
1.
Ukuran Bahan Bakar
Semakin halus bahan bakar itu menunjukkan bahan bakar tersebut akan lebih
mudah mengering jika terkena cahaya matahari tetapi bahan bakar halus akan
9
lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar.
Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai
bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula
padam.
2.
Susunan Bahan Bakar
Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun
vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran
kebakaran. Sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan
kemampuan nyala api.
3.
Volume Bahan Bakar
Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran sehingga
dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi.
4.
Jenis Bahan Bakar
Beberapa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan adalah serasah lantai hutan,
serasah tebangan tumbuhan bawah, kanopi, rumputan, semak, alang-alang,
gelagah, gambut, resam, batang melapuk tergeletak, batang melapuk berdiri
5.
Kandungan Air Bahan Bakar
Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta
kecepatan menyebarnya api.
2.4.2
Cuaca
1.
Angin
Angin akan menurunkan kelembapan udara sehingga mempercepat pengeringan
bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api dapat berkobar
dan merambat cepat.
2.
Suhu
Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih rentan
terhadap kebakaran.
3.
Curah Hujan
Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar akan mengandung kadar air
tinggi serta mempengaruhi kelembapan udara lingkungan sekitar yang menjadi
lebih tinggi sehingga akan sulit terjadi kebakaran.
10
4.
Keadaan Air Tanah
Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada
musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan
permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut
menjadi kering.
5.
Kelembapan Nisbi
Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar,
dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut
sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar.
2.4.3
Waktu
Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya.
Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan
udara yang rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang, sedangkan pada
waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan
udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang.
Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang
terlalu panjang. Sebagian besar hujan yang dihasilkan oleh penurunan suhu pada
arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan
pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Keadaan
tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai
keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.
2.5 Citra Satelit Landsat TM
Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik yang lebih
baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang
lebih bagus (30 m x 30 m), Citra Landsat TM juga memiliki resolusi spektral yang
lebih baik yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra
merah (NIR, MIR, dan TIR). Lebar sapuan (scanning) dari sistem landsat TM
sebesar 185 km, yang direkam pada tujuh saluran panjang gelombang dengan
rincian; 3 saluran panjang gelombang tampak, 3 saluran panjang gelombang
inframerah dekat, dan 1 saluran panjang gelombang termal (panas). Karakteristik
11
masing-masing saluran panjang gelombang pada Citra Landsat dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Karakteristik Masing-masing Band pada Citra Landsat TM
Band Panjang Gelombang (µm)
Karakteristik
1
0.45-0.52
Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai,
pembeda vegetasi-tanah dan analisis
penggunaan lahan
2
0.52-0.60
Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi
untuk membedakan vegetasi dan penilaian
kesuburan
3
0.63-0.69
Untuk penyerapan klorofil, memperkuat
kontras antara kenampakan vegetasi dan
bukan vegetasi dan membantu dalam
penentuan spesies tumbuhan
4
0.76-0.90
Berguna untuk menentukan tipe vegetasi,
dan biomassa vegetasi, dan memperkuat
kontras antara tanaman tanah dan tubuh air
dan pembeda kelembapan tanah
5
1.55-1.75
Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan
air vegetasi dan kondisi kelembapan tanah
6
10.4-12.5
Sensitif terhadap gangguan vegetasi,
pemisahan kelembapan tanah dan untuk
klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain
yang berhubungan dengan panas
7
2.08-2.35
Sangat berguna sebagai pembeda tipe
mineral dan batuan
(Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997)
2.6 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975
dalam Sutanto, 1986). Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu
rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi. Fungsi
dari masing-masing unsur interpretasi citra dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :
12
Tabel 2. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra
Unsur
Interpretasi
Keterangan
Rona
Menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada
foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai
densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan
berpedoman pada skala keabuan.
Warna
Warna dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value,
chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas.
Perbedaan warna pada kertas cetakan atau transparansi lebih
mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara
hitam putih
Ukuran
Memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah
streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek
bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon
tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak
Bentuk
Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk
menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana
terekam pada citra penginderaan jauh
Tekstur
Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara
dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin satelit.
Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto
udara
Bayangan
Berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek
Pola
Merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk
mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya
pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering
berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan
komunitas tanaman
13
Tabel 2 lanjutan.
Situs
Menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati
dalam kaitannya dengan kenampakkan disekitarnya atau
berkonotasi terhadap gabungan faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi karakteristik makro objek
Asosiasi
Menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman
tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat
dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya
Tinggi
Unsur pengenalan objek yang paling penting pada foto udara
2.7 Penggunaan Lahan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan
adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan
atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Sedangkan menurut Perda
Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, lahan adalah suatu areal diluar
kawasan hutan, baik yang bervegetasi (alang-alang, semak belukar, tanaman
budidaya dan lain-lain) maupun yang tidak bervegetasi yang diperuntukan bagi
pembangunan dibidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Transmigrasi,
Pertambangan dan lain-lain.
Lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat bagi
berbagai ekosistem tetapi lahan juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem
tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya
selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga
akan sangat berbeda tergantung lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau
daya dukung lahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. (Vink, 1975;
Gandasasmita, 2001)
Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap
lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spritual
(Vink, 1975; Supriyati, 2006). Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan
14
sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen
yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen
yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986;
Gandasasmita, 2001).
2.8 Perubahan Penggunaan Lahan
Rustiadi et al (2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali
memiliki permasalahan-permasalahan yang terkait satu sama lain, sehingga tidak
bersifat independent dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan
yang integrative. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa: (1) efisiensi
alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan
masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan
proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Tipe penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain faktor manusia, dan lingkungan fisik lahan tersebut.
a) Faktor Manusia
Dalam hal ini terkait pada kualitas dan kuantitas manusianya. Kualitas
manusia dapat dinilai dari umur, kepribadian, dan pendidikan serta segala
sesuatu yang menentukan kualitas diri manusia tersebut dalam
menentukan keputusan (Mather, 1986). Sedangkan kuantitas manusia
terkait dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang
semakin tinggi, berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar, dan
hal ini merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di
negara berkembang.
b) Faktor Fisik Lingkungan
Faktor fisik lingkungan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan
adalah elevasi, lereng, keadaan tanah, ketersediaan air, dan faktor iklim.
Faktor lereng dan ketinggian tempat mempunyai hubungan yang erat
dengan kelembapan tanah dan suhu, oleh karena itu sangat berperan dalam
proses pelapukan dan perkembangan tanah. Peranan elevasi berpengaruh
terhadap peluang untuk pengairan, sedangkan lereng terkait dengan
kemudahan
pengelolaannya
dan
kelestarian
lingkungan.
Tanah
15
berhubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, yang paling sering
dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil
yang maksimal (Gandasasmita, 2001).
2.9. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi. Dengan kata lain, SIG adalah suatu sistem basis data dengan
kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan
seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Komponen utama SIG dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu : 1)
komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan
dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, 2) komponen perangkat lunak,
meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan, dan
pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan
3) komponen organisasi. Keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam
memelihara data dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam
bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya
sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil
dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari
cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan
mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan
berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Dalam hal pengintegrasian data penginderaan jauh ke dalam SIG, hal yang
perlu dipahami adalah SIG dapat bekerja dengan dua model data yaitu data raster
berupa grid atau pixel (picture element) contohnya citra satelit atau gambar/ citra
hasil scanning, dan vektor berupa titik, garis, polygon yang biasanya merupakan
hasil digitasi.
Sistem Informasi Geografis (SIG) menyajikan informasi keruangan beserta
atributnya terdiri dari beberapa komponen utama yaitu (Susanto, 1995) :
1) Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer (dari
peta tematik seperti peta jenis tanah), data statistik, data hasil analisis
16
penginderaan jauh (data hasil pengolahan citra digital penginderaan
jauh), dan lain-lain.
2) Penyiapan data dan pemanggilan kembali ialah penyimpanan data pada
komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada
layar monitor dan dapat ditampilkan/ cetak pada kertas).
3) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat melakukan
berbagai macam perintah (misalnya overlay antara dua tema peta, dan
sebagainya).
4) Pelaporan data adalah dapat menyajikan data dasar (database), data
hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular.
Download