4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut No.P 12//P Menhut-II/2009. Titik panas dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang dilengkapi sensor AVHRR (Advanced Very Hight Resulation Radiometer). Sensor AVHRR bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu 42°C. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat atau di laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia,2002 dalam Wardani, 2004). Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas dan atau titik panas yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran. Data titik panas bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). 5 2.2 Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk mendeteksi atau memantau terjadinya kebakaran hutan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat meliput daerah yang sangat luas 92.600 x 1500 km2 serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari (Departemen Kehutanan, 1989). NOAA AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah satelit cuaca milik Amerika Serikat yang di desain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan dan studi studi iklim untuk kepentingan meteologi, yang mampu merekam tempat yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat maksimum spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800°K (suhu tipikal dari kebakaran alang-alang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5 – 12,5) terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800°K, CH 3 akan menerima energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai permukaan suhu yang uniform 300°K, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah 0,442 x 9,68 W m-2 µm-1 sr-1 dengan asumsi emisifitas = 1. Untuk pixel yang mempunyai suhu berbeda, misal 800°K dan 300°K, energi pada CH 3 dan 4 adalah 670,0 dan 49,92 W m-2 µm-1 sr-1. (Purbawaseso, 2004). Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration-USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004). 6 Gambar 1. Satelit NOAA-AVHRR 2.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas Titik panas di permukaan bumi ditentukan dengan menghitung temperature pada kanal 3 (l= 3.8m) dan kanal 4 (l= 10.8m). Konversi suhu yang disebut temperature brightness dari fluxs radiance yang diterima sensor satelit didasarkan oleh formulasi Planck dengan mempertimbangkan nilai Lj yaitu radiance pada kanal ke j dengan satuan Wm-3 sr –1 . Karena data yang dipancarkan satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi Lj dari radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut : Lj = Gj DNj + Ij Keterangan : Gj = koefisien Gain DNj = radiometer count Ij = Intercept untuk kanal j=3 dan kanal j= 4 Oleh Singh (1984) konversi temperatur kecerahan dari radiasi yang dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut : Tbj = Dengan a dan b adalah suatu konstanta (Musawijaya et al., 2001). Data inilah yang kemudian mengalami proses ekstraksi infomasi, untuk menghasilkan kordinat titik panas. Untuk penentuan kordinat titik panas dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode sederhana dan metode algoritme kontekstual 2.3.1 Metode Sederhana Deteksi titik panas dengan metode sederhana, dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu, pada 7 matriks citra tersebut. Jika nilai suhu kecerahan suatu pixel yang ada pada citra tersebut lebih besar atau sama dengan nilai ambang, maka pixel tersebut merupakan titik panas, dan sebaliknya jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut kurang dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Dalam bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan : IF nilai citra > α THEN nilai citra = titik panas ELSE nilai citra= bukan titik panas dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310°K, 315°K, 321°K dll) Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan cara ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, sehingga waktu pemrosesannya bisa lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Karena saluran 3 pada sensor AVHRR pada kondisi-kondisi tertentu dapat menimbulkan efek kilau surya, misalnya jika sudut perekamannya terlalu rendah dan mengenai objek air. 2.3.2 Metode Algoritme Kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada deteksi dengan menggunakan metode sederhana. Jika pada metode sederhana yang digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode algoritme kontekstual ini digunakan semua saluran NOAA-AVHRR. Secara garis besar metode titik panas adalah seperti yang tersaji pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa prinsip metode ini juga menerapkan nilai-nilai ambang, namun nilai ambang ini diterapkan untuk beberapa saluran sekaligus. Pertama, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu daratan atau air, dengan menggunakan NDVI, selanjutnya yang diproses adalah obyek daratan saja. Dari obyek daratan tersebut, kemudian dipilahkan obyek awan. Obyek daratan yang sudah terpilahkan dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari proses deteksi ini adalah titik panas yang sudah tereliminasi dari obyek 8 air, awan dan tanah kering panas. Disamping penggunaan nilai ambang pada proses bagian akhir diterapkan algoritme kontekstual (spasial). Hal ini dikarenakan walaupun titik panas yang terdeteksi sudah di eleminasi dari pengaruh air, awan, dan tanah kering panas. Namun terkadang titik panas yang terdeteksi meliputi areal yang sangat luas. Dalam kenyataan hal ini sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena kecenderungan dari kebakaran hutan adalah jika sudah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam. Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi titik panas dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan (Hiroki dan Dwi, 1999). Gambar 2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Purbawaseso (2004) memaparkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebakaran hutan sebagai berikut : 2.4.1 Bahan Bakar 1. Ukuran Bahan Bakar Semakin halus bahan bakar itu menunjukkan bahan bakar tersebut akan lebih mudah mengering jika terkena cahaya matahari tetapi bahan bakar halus akan 9 lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar. Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula padam. 2. Susunan Bahan Bakar Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran. Sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan nyala api. 3. Volume Bahan Bakar Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran sehingga dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi. 4. Jenis Bahan Bakar Beberapa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan adalah serasah lantai hutan, serasah tebangan tumbuhan bawah, kanopi, rumputan, semak, alang-alang, gelagah, gambut, resam, batang melapuk tergeletak, batang melapuk berdiri 5. Kandungan Air Bahan Bakar Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api. 2.4.2 Cuaca 1. Angin Angin akan menurunkan kelembapan udara sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat. 2. Suhu Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih rentan terhadap kebakaran. 3. Curah Hujan Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar akan mengandung kadar air tinggi serta mempengaruhi kelembapan udara lingkungan sekitar yang menjadi lebih tinggi sehingga akan sulit terjadi kebakaran. 10 4. Keadaan Air Tanah Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut menjadi kering. 5. Kelembapan Nisbi Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar. 2.4.3 Waktu Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan udara yang rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang, sedangkan pada waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang. Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan yang dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal. 2.5 Citra Satelit Landsat TM Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang lebih bagus (30 m x 30 m), Citra Landsat TM juga memiliki resolusi spektral yang lebih baik yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR, MIR, dan TIR). Lebar sapuan (scanning) dari sistem landsat TM sebesar 185 km, yang direkam pada tujuh saluran panjang gelombang dengan rincian; 3 saluran panjang gelombang tampak, 3 saluran panjang gelombang inframerah dekat, dan 1 saluran panjang gelombang termal (panas). Karakteristik 11 masing-masing saluran panjang gelombang pada Citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Karakteristik Masing-masing Band pada Citra Landsat TM Band Panjang Gelombang (µm) Karakteristik 1 0.45-0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan 2 0.52-0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan 3 0.63-0.69 Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan 4 0.76-0.90 Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda kelembapan tanah 5 1.55-1.75 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembapan tanah 6 10.4-12.5 Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembapan tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas 7 2.08-2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan (Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997) 2.6 Interpretasi Citra Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi. Fungsi dari masing-masing unsur interpretasi citra dapat dilihat pada Tabel 2 berikut : 12 Tabel 2. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra Unsur Interpretasi Keterangan Rona Menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala keabuan. Warna Warna dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value, chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih Ukuran Memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak Bentuk Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh Tekstur Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin satelit. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara Bayangan Berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek Pola Merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman 13 Tabel 2 lanjutan. Situs Menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati dalam kaitannya dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek Asosiasi Menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya Tinggi Unsur pengenalan objek yang paling penting pada foto udara 2.7 Penggunaan Lahan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Sedangkan menurut Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, lahan adalah suatu areal diluar kawasan hutan, baik yang bervegetasi (alang-alang, semak belukar, tanaman budidaya dan lain-lain) maupun yang tidak bervegetasi yang diperuntukan bagi pembangunan dibidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Transmigrasi, Pertambangan dan lain-lain. Lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat bagi berbagai ekosistem tetapi lahan juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. (Vink, 1975; Gandasasmita, 2001) Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spritual (Vink, 1975; Supriyati, 2006). Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan 14 sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001). 2.8 Perubahan Penggunaan Lahan Rustiadi et al (2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali memiliki permasalahan-permasalahan yang terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independent dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang integrative. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Tipe penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor manusia, dan lingkungan fisik lahan tersebut. a) Faktor Manusia Dalam hal ini terkait pada kualitas dan kuantitas manusianya. Kualitas manusia dapat dinilai dari umur, kepribadian, dan pendidikan serta segala sesuatu yang menentukan kualitas diri manusia tersebut dalam menentukan keputusan (Mather, 1986). Sedangkan kuantitas manusia terkait dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi, berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar, dan hal ini merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di negara berkembang. b) Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah elevasi, lereng, keadaan tanah, ketersediaan air, dan faktor iklim. Faktor lereng dan ketinggian tempat mempunyai hubungan yang erat dengan kelembapan tanah dan suhu, oleh karena itu sangat berperan dalam proses pelapukan dan perkembangan tanah. Peranan elevasi berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan, sedangkan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaannya dan kelestarian lingkungan. Tanah 15 berhubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, yang paling sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal (Gandasasmita, 2001). 2.9. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Komponen utama SIG dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu : 1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, 2) komponen perangkat lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan, dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan 3) komponen organisasi. Keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam memelihara data dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam hal pengintegrasian data penginderaan jauh ke dalam SIG, hal yang perlu dipahami adalah SIG dapat bekerja dengan dua model data yaitu data raster berupa grid atau pixel (picture element) contohnya citra satelit atau gambar/ citra hasil scanning, dan vektor berupa titik, garis, polygon yang biasanya merupakan hasil digitasi. Sistem Informasi Geografis (SIG) menyajikan informasi keruangan beserta atributnya terdiri dari beberapa komponen utama yaitu (Susanto, 1995) : 1) Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer (dari peta tematik seperti peta jenis tanah), data statistik, data hasil analisis 16 penginderaan jauh (data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh), dan lain-lain. 2) Penyiapan data dan pemanggilan kembali ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/ cetak pada kertas). 3) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat melakukan berbagai macam perintah (misalnya overlay antara dua tema peta, dan sebagainya). 4) Pelaporan data adalah dapat menyajikan data dasar (database), data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular.