GLOBAL GOVERNANCE DALAM PENANGANAN ISU

advertisement
GLOBAL GOVERNANCE DALAM PENANGANAN ISU-ISU LOKAL/GLOBAL;
MENDEFINISIKAN PERAN AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA1
Yogi Suwarno2
“...negara...adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan namun juga tak memadai....untuk
mengatasi bertambahnya problem kehidupan dan kematian warga negaranya”
(Karl W.Deutsch, 1981)
Pendahuluan
Global governance merupakan bagian dari fenomena globalisasi yang terjadi baik
di bidang ekonomi, politik, termasuk tatanan hubungan internasional, termasuk di
dalamnya model-model interaksi masyarakat internasional dalam menanganai sebuah
urusan atau kepentingan tertentu, tidak hanya oleh kelembagaan negara saja, tetapi
juga komponen aktor-aktor non negara. Dalam konteks hubungan internasional,
polarisasi kekuatan politik global telah menghilang, terutama pasca perang dingin. Hal
ini menjadikan konstelasi kekuatan global hanya terpusat pada satu kutub kekuatan
tanpa penyeimbang yang sepadan, karena di kutub lainnya warisan kekuatan ideologi
sosialis hanya diusung oleh sedikit negara seperti China, Korea Utara, dan Kuba dan
sebagian negara-negara di Eropa Timur. Namun demikian muncul kemudian pola
keseimbangan baru yang lebih bersandar pada kepentingan geo-ekonomi dan geopolitik masing-masing negara maupun kawasan-kawasan yang menyatukan kepentingan
beberapa negara. Hal ini menciptakan pola hubungan baru dalam tatanan hubungan
internasional. Selain itu siklus resesi ekonomi global juga melanda hampir seluruh
kawasan, tidak terkecuali di kawasan Eropa.
1
Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Kapasitas Anggota DPRD NTB, Hotel Millenium,
Jakarta, 9 Mei 2011
2
Peneliti PKAI LAN sejak 2007, menyelesaikan MA in Public Administration di GSPA-ICU Tokyo 2003-2005
atas dukungan JICA - JDS Fellowship
1
Tiadanya kekuatan penyeimbang terhadap hegemoni satu kekuatan adi daya
menyebabkan ancaman dan gangguan terhadap stabilitas keamanan regional maupun
global. Di samping adanya variabel lain yaitu seperti Infiltrasi nilai sosial dan budaya
masyarakat internasional melalui teknologi informasi yang mengancam sistem nilai lokal
dan memudarkan identitas kebangsaan.
Dari keseluruhan fenomena globalisasi dan turunannya itu, terdapat beberapa
persoalan berskala regional maupun global lainnya yang tidak mampu lagi diatasi oleh
kelembagaan negara dalam konsep tradisional, seperti persoalan pemanasan global,
bencana alam, terorisme, bencana kelaparan, pandemi penyakit HIV, flu burung, flu babi,
rasisme, pelanggaran HAM, migrasi dan sebagainya.
Mengapa Perlu Mencermati Global Governance?
Pemahaman yang baik serta kritis mengenai global governance menjadi penting
bagi aktor-aktor negara maupun stakeholder lainnya, khususnya di Indonesia. Alasan
pertama bahwa institusi negara berkepentingan langsung maupun tidak langsung
terhadap global governance. Negara tidak bisa mengabaikan peran-peran kontributif
yang dimainkan oleh aktor non negara dalam menangani berbagai isu. Negara tidak bisa
menghilang begitu saja eksistensinya dalam menghadapi isu-isu tersebut, tetapi melalui
institusi dan kewenangannya harus mengambil posisi dan menegaskan perannya dlam
penanganan isu-isu tersebut.
Kedua, adalah terkait dengan adanya beragam isu-isu lokal di Indonesia yang
menjadi perhatian global. Indonesia sebagai negara yang terbuka secara politik maupun
ekonomi, selain mempunyai isu domestik atau nasional yang melebar menjadi isu
kawasan atau global, juga secara langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan
isu-isu regional dan global. Negara dengan kapasitasnya saat ini dipandang belum cukup
memadai untuk menangani isu-isu ini, tanpa adanya sinergi dengan institusi atau
kelembagaan non negara, yang juga berkepentingan pada isu-isu yang sama.
2
Alasan ketiga tentunya terkait dengan alasan sejarah panjang peranan Indonesia
di kancah regional maupun inernasional. Di tahun 2011, di mana Indonesia menjadi
Ketua ASEAN, adalah menjadi momentum penting adanya posisi strategis yang bisa
diperankan Indonesia secara optimal di tingkat kawasan untuk menangani isu-isu
bersama. Bahkan apabila dirunut ke belakang, maka perjalanan panjang peran serta
Indonesia di kancah regional dan internasional telah dimulai sejak masa awal
kemerdekaan. Beberapa isu yang menyertakan keterlibatan Indonesia, sebut saja :
1. The 13th UNFCC, 2007, The Bali Roadmap (isu lingkungan)
2. Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB 2007 – 2008 (isu keamanan)
3. Penggagas ASEAN Community 2003 (isu keamanan, ekonomi, sosial budaya)
4. KTT APEC, menghasilkan Deklarasi Bogor 1994 (isu ekonomi)
5. Penggagas OKI tahun 1969 (isu peran dunia islam)
6. Penggagas ASEAN tahun 1967 (isu sosial ekonomi, kewilayahan)
7. Anggota Pasukan Penjaga Perdamaian PBB (1957 – 2006)
8. Perintis Gerakan Non-Blok 1961 (Sekjen 1992 – 1995)
9. Konferensi Asia Afrika 1955 (isu solidaritas negara-negara baru merdeka)
Atas dasar itu pula maka pada tahun 2010 diselenggarakan kajian oleh PKAI
dengan tema membangun pendekatan global governance dan efektivitasnya dalam
penanganan isu-isu global. Kajian ini bertujuan untuk menyusun rumusan konsep
tentang Global Governance, memahami mekanisme kerja kelembagaan dan komponen
masyarakat internasional yang terlibat dalam isu regional dan/atau global, mengetahui
tingkat efektivitas pendekatan Global Governance dalam penanganan isu-isu regional
dan/atau global, serta membangun kapasitas serta mendorong responsivitas
kelembagaan negara dalam penanganan isu-isu regional dan/atau global.
Dari kajian ini dirumuskan adanya manfaat akademis, seperti dalam hal
memperkaya khazanah dan literatur terkait pengembangan konsep global governance.
mengidentifikasi mekanisme kerja global governance dalam penangaan isu-isu global
3
dan mengetahui tingkat efektivitas pendekatan global governance dalam penangaan
isu-isu regional dan/atau global berdasarkan persepsi stakeholder terkait.
Sedangkan
manfaat
profesional
yang
diharapkan
adalah
mendorong
responsivitas kelembagaan negara (administrasi negara) terhadap isu-isu regional dan
global dalam konteks dinamika lingkungan internasional, serta membangun kapasitas
kerjasama serta kolaborasi lintas kelembagaan antar kelembagaan negara dengan
lembaga-lembaga internasional dalam penanganan isu-isu regional dan global.
Metode kajian yang digunakan adalah merupakan kombinasi antara metode
deskriptif dan metode studi pengembangan (development studies), di mana
pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan dokumen dan literatur, penyebaran
kuesioner, pelaksanaan wawancara & FGD, serta diakhiri dengan penyelenggaraan
kegiatan Workshop/Lokakarya.
Rumusan Global Governance
Secara konsep, global governance relatif berbeda dan tidak membentuk
hierarkhi utuh dengan konsep good governance, good public governance ataupun good
corporate governance. Hal ini karena global governance berangkat dari isu bersama
yang dihadapi serta beroperasi pada tataran di luar batas negara, sedangkan good
governance beserta turunannya lebih memusatkan perhatian pada aktornya serta
menjadi indikator kepemerintahan dalam level nasional/daerah.
Dalam penggalian konsep ditemukan pertukaran istilah global governance, world
governance, dan trans-national governance. Sebagai sebuah konsep, global governance
masih miskin literatur dan baru menjadi wacana akademis sejak tahun 1990-an. Oleh
karenanya sangat wajar apabila muncul banyak pemahaman serta sudut pandang yang
berbeda dalam memahaminya (Mugiono, 2004; Risse, 2007; Mulley, 2008).
Salah satu pengertian yang banyak dirujuk dalam memahami global governance
antara lain dari Rosenau dan Czempiel (1992) yang menerjemahkan global governance
sebagai pemerintahan tanpa pemerintah (governance without government). Hal ini juga
sejalan dengan pengertian dari Finkelstein (1995) yang menjelaskan bahwa “Global
4
governance is governing, without sovereign authority, relationship that transcend
national frontiers. Global governance is doing internationally what governments do at
home”. Kedua pengertian ini sebenarnya menjelaskan kondisi minimnya peran
pemerintah (negara) dalam global governance. Sedangkan pengertian lain dari Thomas
Weiis lebih menjelaskan bahwa global governance tidak lain adalah “...efforts to bring
more orderly and reliably responses to social and political issues that go beyond
capacities of states to address individually”. Ini berarti bahwa isu dalam global
governance merupakan isu yang tidak mampu lagi diatasi oleh negara dengan
kapasitasnya saat ini. Konsekuensinya ialah bahwa global governance memerlukan
interaksi lebih dari satu pihak, sebagaimana dalam pengertian dari Gold Mercury
International, yaitu “Global Governance is about the interaction that is required to solve
problems that affect more than one state or region when there is no power enforcing
compliance”. Pengertian yang paling menarik justru ditampilkan oleh Commission on
Global Governance (CGG), yang menjelaskan “... the sum of the many ways individuals
and institutions, public and private, manage their common affairs. ... governance has
been viewed primarily as intergovernmental relationships, but it must now be
understood as also involving non-governemntal organizations, citizens' movements,
multinational corporations, and the global capital market”. Dalam pengertian itu ada
kata kunci yaitu “common affairs”, yang menjadi alasan bagi institusi negara maupun
non negara untuk bersama-sama menggarap sebuah isu bersama. Hal ini karena kedua
belah pihak mempunyai kepentingan terhadap isu tersebut.
Konsep dan pemahaman di atas juga menjelaskan perbedaan mendasar antara
government dengan governance, seperti yang dijelaskan oleh Rosenau dan Czempiel
(2000) bahwa Government mampu bekerja dalam situasi lemah legitimasi, governance
hanya bekerja apabila mayoritas menerima kehadirannya .
Adapun kategori aktor atau pelaku yang pada umumnya terlibat dalam global
governance menurut Renaud François (2009) adalah antara lain organisasi antar
pemerintah, inter-governmental organizations (IGOs), perwakilan masyarakat madani
(Civil Society Representatives), pelaku ekonomi dan keuangan internasional (Economic
5
and International-Finance Actors), negara serta kelompok-kelompok informal. Adapun
untuk kepentingan penelitian ini aktor yang terlibat dalam global governance dibagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok aktor negara yaitu aktor-aktor yang berperan dan
mewakili kepentingan negara atau nasional seperti lembaga-lembaga pemerintah di
tingkat pusat pusat atau daerah, serta kelompok aktor non negara, yaitu aktor-aktor
yang berperan dan mewakili kepentingan di luar kepentingan nasional, yang berskala
lebih besar, seperti LSM, lembaga penelitian, kalangan pengusaha, media dan
sebagainya.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka dapat dirumuskan bahwa pengertian
global governance merupakan sebuah sistem yang merespon suatu urusan bersama
(common affairs) dengan melibatkan komponen masyarakat internasional baik lintas
pemerintahan (negara) maupun non pemerintahan dalam skala yang luas. Hal ini juga
menjelaskan bahwa governance dalam konteks global governance, relatif berbeda
dengan governance dalam konsep good governance (yang diadvokasikan oleh UNDP,
World Bank, Bappenas), good corporate governance, dan/atau good societal
governance (PKAI LAN). Dalam ilustrasi sederhana di atas dapat terlihat bahwa isu lah
yang mendorong bergeraknya mekanisme global governance.
Gambar 1.
Global Governance
6
Dengan demikian global governance merupakan bentuk sinergi penanganan
urusan bersama (common affairs), kepentingan bersama (common interests), atau
tujuan bersama (common goals), yang bersifat lintas negara, dengan variabel
kepentingan nasional dan kepentingan regional atau global, dengan aktor yang terlibat
adalah negara dengan institusi non negara, sehingga dampak yang ditimbulkan juga
berskala regional ataupun global.
Global Governance: Perspektif Daerah
Kajian lapangan yang dilakukan PKAI tahun 2010 menggali praktek global
governance di beberapa daerah, dengan isu yang sesuai dengan karakteristik daerahnya.
Daerah propinsi Riau dan Kalimantan Barat dikunjungi untuk isu mengenai lingkungan,
sementara propinsi Aceh diteliti mengenai isu kebencanaan, serta propinsi Sulawesi
Utara untuk isu sosial-ekonomi. Dari keempat daerah tersebut, ditemukan bahwa yang
menjadi isu dominan ternyata berbeda antara aktor negara dengan aktor non negara.
Aktor negara cenderung berpijak pada kepentingan nasional (isu keamanan, ekonomi),
sedangkan aktor non negara lebih memperhatikan isu yang mempunyai dampak yang
lebih luas atau lintas negara (isu lingkungan, HAM). Sementara Isu lainnya yang juga
menjadi perhatian adalah keadilan, perdamaian, ketenagakerjaan serta energi.
Gambar 2.
Pola Kepentingan Aktor
7
Secara keseluruhan dari daftar isu yang diidentifikasi melalui penggalian data
primer, jenis isu yang menjadi perhatian atau persoalan di tingkat nasional serta di
tingkat regional atau global dapat terbagi dalam isu-isu lingkungan, antara lain
kerusakan hutan, perdagangan karbon, isu sosial ekonomi khususnya terkait
ketenagakerjaan dan isu kebencanaan, serta isu energi. Sedangkan isu yang dipandang
hanya menjadi persoalan nasional yaitu isu illegal loging, serta isu keadilan. Di sisi lain
isu yang dipandang menjadi persoalan bersama adalah pemanasan global.
Dari data lapangan juga diketahui bahwa aktor negara saat ini lebih menyukai
mekanisme kerja lintas kelembagaan lokal baik di tingkat lokal/nasional maupun
regional/intenasional. Sedangkan aktor non negara. Adapun aktor non negara lebih
menyukai mekanisme kerja mandiri, atau mekanisme kerja kolaboratif dengan lembaga
yang sejenis, baik di tingkat lokal/nasional maupun regional/global. Harapan dari kedua
kelompok aktor ke depan adalah sama dalam hal mekanisme kerja kolaborasi dengan
berbagai kelembagaan lokal sampai dengan global, namun kelompok aktor non negara
tetap menyertakan mekanisme kerja mandiri, serta mekanisme kerja kolaboratif dengan
kelembagan sejenis di tingkat lokal sampai dengan global.
Kelompok aktor negara juga berbeda dengan aktor non negara dalam
memandang siapa saja yang seharusnya menjadi aktor yang menangani isu-isu global.
Hanya kelompok aktor negara yang memilih perusahaan asing, LSM asing dan
pemerintah asing sebagai institusi yang termasuk prioritas aktor untuk menangani isuisu global. Namun Kedua kelompok sepakat bahwa Perguruan Tinggi, LSM lokal, media
massa, sektor bisnis dan pemerintah daerah termasuk institusi-institusi
yang juga
masuk prioritas dalam menangani isu-isu global.
Terkait alokasi sumber daya waktu, kelompok aktor negara memilih rentang
waktu jangka pendek (di bawah 1 tahun), menengah (1 – 5 tahun) dan jangka panjang
(di atas 5 tahun), hal ini terkait kepentingan nasional yang menjadi fokus perhatian dari
kelompok aktor ini. Sedangkan kelompok aktor non negara lebih memilih rentang waktu
jangka menengah dan jangka pendek. Sedangkan alokasi sumber pendanaan, kelompok
aktor negara lebih bergantung pada sumber-sumber APBN/APBD, dii samping sumber
8
lainnya seperti dari swasta nasional/asing serta bantuan pemerintah asing. Adapun
kelompok aktor non negara lebih mengandalkan bantuan dari luar seperti dari
pemerintah asing serta LSM asing.
Secara ringkas perbandingan antara persepsi kelompok negara dengan kelompok
non negara adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan Persepsi Aktor Negara dengan Non Negara
No
1
2
Kelompok
Negara
1. Pemerintah Pusat
2. Legislatif dan
Lembaga negara
lainnya
3. Pemerintah
Daerah
4. Pemerintah Asing
Non Negara
1. LSM/ornop/ormas
2. Akademisi/
perguruan tinggi
3. Media
4. Lembaga donor
DN/LN
Cakupan
isu
Kata Kunci
Isu yang menjadi
perhatian
Sumber
Dana
APBN/
APBD,
bantuan
Swadaya,
bantuan
Kepentingan
nasional
Lokal,
Nasional
ekonomi, pertahanan
dan keamanan,
terorisme, kedaulatan,
lingkungan,
kebencanaan
Kepentingan
umum
Lintas
negara
lingkungan, nilai-nilai
demokrasi, HAM,
kebencanaan
Sumber: PKAI, 2010
Sedangkan hambatan yang dirasakan oleh kedua aktor dalam menangani isu-isu
tersebut antara lain hambatan Birokrasi (pelayanan perijinan, dsb), sumber-sumber
pendanaan, serta pilihan mekanisme on-budget/off-budget, di samping hambatan
dukungan kualifikasi SDM yang belum memadai serta ketidak sesuaian metode kerja
dengan isu yang sedang ditangani.
Penutup
Beberapa saran kebijakan yang bisa disampaikan adalah, antara lain, pertama,
perlunya memberi perhatian pada isu global dengan tetap berpijak pada kepentingan
nasional. Kedua, dalam pelaksanaan global governance, perlu dibangun mekanisme
9
kerja kolaboratif, dengan melibatkan unsur aktor non negara. Ketiga, fleksibiltas metode
kerja (pendanaan) juga dibutuhkan khususnya untuk isu-isu kebencanaan (sifat
mendesak). Lembaga atau aktor negara juga peru meningkatkan ketegasan dalam
kebijakan di bidang lingkungan, untuk melindungi kepentingan nasional (carbon trade).
Keempat, khusus dalam merespon isu ketenagakerjaan, perlu fokus pada kebijakan
perlindungan dan jaminan sosial para tenaga kerja. Dan kelima, dalam merespon isu
perdagangan karbon, perlu dilakukan kajian serius mengenai peran penting Indonesia
dalam pelestarian lingkungan global, selain juga tetap memperhatikan kepentingan
ekonomis dan non ekonomis, seperti perhatian serius pada keberdayaan ekonomi
masyarakat yang mata pencahariannya selama ini tergantung dari hasil hutan.
Referensi
Burkhardt, Helmut. 2002. On The Necessity of Global Governance. Council on Global
Issues, and Ryerson Polytechnic University, Toronto ON Canada M5B 2K3.
Cardoso, Fernando Henrique. 2008. Civil Society and Global Governance. Contextual
paper prepared by the Panel´s Chairman. High Level Panel On Un-Civil Society.
Chinmi, BS. 2002. International Organizations Today: An Old Fashioned View From The
Third World. Online paper.
Culla, Adi Suryadi. 2010. Urgensi Pendekatan Global Governance dan Pentingnya
Peranan Global Civil Society. Bahan Presentasi pada Ekspose Awal Kajian
Membangun Pendekatan Global Governance dan Efektivitasnya dalam
Penanganan Isu-isu Global. Makassar.
Daquila, Teofilo C. 2002. Global Governance and Developing Countries: Regional
Approaches to Economic Integration in ASEAN. Paper presented at the EU-LDC
International Conference on “Improving Global Governance for Development:
Issues and Instruments”, organised by the Centre for European Studies at
Chulalongkorn University in collaboration with the EU-LDC Network,supported by
the Government of Netherlands, Chiangmai, Thailand, 8-10 Dec 2002
Dinas Kehutanan Pemerintah Propinsi Riau, 2009. Rencana Strategis (Renstra) Dinas
Kehutanan Pemerintah Propinsi Riau Tahun 2009 – 2013. Pekanbaru.
Dubash, Navroz K. Reflections on the WCD as a Mechanism of Global Governance.
Fonte, John. 2008. Global Governance vs. the Liberal Democratic Nation-State: What Is
the
Best
Regime?.
Commissioned
Essay.
Bradley
Symposium.
http://pcr.hudson.org.
10
François, Renaud. 2009. World Governance Index: Why Should World Governance Be
Evaluated, and for What Purpose? Online paper from http://www.worldgovernance.org/
Hadi, Syamsul. 2010. Negara Berkembang dan Reformasi Global Governance Melalui G20. Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas BPPK Kemenlu. Jakarta, 6 April
2010
Kahler, Miles and David A. Lake. 2003. Globalization and Governance. In Miles Kahler
and David A. Lake, editors. Governance in a Global Economy: Political Authority in
Transition. Princeton: Princeton University Press, forthcoming.
Kauzya, Dr. John-Mary (PhD). 2007. The Human Factor in Building Trust in Government:
Leadership Capacity Development Perspectives in Africa. Presentation at the 2007
International Public Management Association for Human Resources Conference
Cape Town International Convention Centre Cape Town, South Africa 19 – 20 April
2007
Kelly, James B. 2008. The Matrix of Human Rights Governance Networks. Engage Vol 9,
Issue 1.
Mattli, Walter. 2001. Private Justice in a Global Economy: From Litigation to Arbitration.
Cambridge University Press. Massachusetts
Prasetya, Nicholaus. 2009. Mencermati Potensi Carbon Trading. Kompas. Jakarta
Rizaldi Boer, Bramasto Nugroho & Muhammad Ardiansyah. 2010. Analisis Potensi
Perdagangan Karbon Kehutanan Alam Rangka Mengatasi Krisis Keuangan. Pusat
Studi Pengelolaan Peluang dan Resiko Iklim, LPPM IPB, Dep. Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Rosenau, James N. - Ernst-Otto Czempiel (eds.) 1992. Governance without government:
Order and change in world politics. Cambridge University Press, Cambridge and
New York.
Singh, Jitendra Kumar. 2001. Clean Development Mechanism (CDM) and Carbon Trading
in India. TCE Consulting Engineers. India.
Stokke, Olav Schram. 1997. Regimes as Governance Systems. O. R. Young (ed.) Global
Governance: Drawing Insights from the Environmental Experience, 27-63.
Cambridge, MA: MIT Press
Sundstrőm, Mikael. 2000. A Brief introduction: What is an Epsitemic Community?.
Online paper, published at http://www.svet.lu.se/joluschema/epistcomm.pdf
Valaskakis, Kimon Ph.D. 1999. The Issue Is Global Governance - Not Global Free Trade; A
Perspective on FTAA. Online paper. http://www.arts.mcgill.ca/programs/ids/
IDS497_03/index/Organization/Lectures/Valaskakis/Valaskakis_FTAAoped.doc
Weiss, Thomas G. and Leon Gordenker. 1996. Ngos, the Un, and Global Governance,
edited by, 17-47. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers.
Wigell, Mikael. 2008. Multi-Stakeholder Cooperation in Global Governance. Helsinki
Process Publication series 7 / 2008. FIIA Working Paper no. 58 / 2008.
11
Download