PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki beragam surnberdaya pangan dalam bentuk mak03nan maupun bahan makanan. Salah satu sumberdaya pangan tersebut adalah makanan tradisional yang merupakan asset potensial bagi upaya penganekaragaman pangan (Suhardjo, 1994). Makanan tradisional dapat diartikan sebagai makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat menurut golongan etnik dan wilayah tertentu serta mempunyai rasa relatif sesuai dengan masyarakat setempat (Wirakusurnah, 1994). Empek-empek merupakan salah satu produk makanan tradisional yang khas bagi masyarakat di daerah Sumatera Selatan. Produk ini menggunakan bahan dasar ikan, yang telah lama dikenal dan telah memasyarakat baik di kota Palembang maupun di daerah-daerah lain di Indonesia. Berkaitan dengan makanan tradisional atau makanan daerah, pemerintah pernah giat melancarkan karnpanye "Aku Cinta Makanan Indonesia" (ACMI). Gerakan ini bertujuan untuk yang bertujuan meningkatkan kecintaan terhiidap makanan Indonesia serta mempopulerkan makanan Indonesia seperti pangiman (makanan kecil) yang tidak terbatas pada upacara, tetapi lebih ditekankan pada pelaksanaan nyata oleh masyarakat dalam susunan hidangan sehari-hari (Partini dan Sidik, 1994). Khasanah makanan Indonesia yang terdiri dari beragam makiman tradisional perlu dilestarikan dan aktualisasikan sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dinamis. Untuk itu diperlukan penyesuaian berkaitan dengan cara penyajian, penyimpanan, masa simpan ataupun teknik pengemasannya. Kualitas gizi makanan jajanan dan potensinya sebagai salah satu wahana program diversifikasi pangan dan perbaikan gizi nasional hams diberi perhatian :fang lebih baik (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1993). Dari sekian banyak makanan jajanan yang dikenal salah satunya adalah empek-empek yang merupakan jajanan tradisional dari Palembang. Empek-empek dibuat dengan menggunakan bahan dasar daging ikan, tepung tapioka, air dan garam. Kesemua bahan tersebut diaduk sehingga menjadi adonan kemudian dibentuk, direbus dan digoreng. Jajanan ini dikonsumsi dengan menggunakan cuka sebagai bahan penyedap tambahan. Makanan ini banyak digemari masyarakat terutama mereka yang suka mengkonsurnsi makanan dengan cita rasa ikan, karena disamping rasanya yang gurih, enak juga banyak mengantfung protein. Di Palembang empek-empek merupakan makanan yang khas, yang banyak dijadikan sebagai kegiatan usaha di bidang industri rumah-tangga. Menurut Roestam (1 994), dalam rangka memasyarakatkan makiman tradisional perlu diberikan informasi mengenai kandungan zat gizi makanan tersebut. Bentuk yang paling baik adalah mencantumkan komposisi zat gizinya pada setiap resep masakan Indonesia. Adanya label zat gizi akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memilih sesuai dengan kebutuhan. Sumber protein hewani yang digunakan dalam pembuatan empek-empelc ini adalah ikan. Jenis ikan yang biasa dan banyak digunakan antara lain adalah ikan belida, ikan gabus, dan ikan tenggiri. Ikan belida jarang digunakan karena hargimya mahal dan saat ini sudah langka walaupun rasanya lebih enak dibandingkan dengan bahan ikan lainnya. Rasa empek-empek dari ikan tenggiri lebih lezat bila dibandingkan dari ikan gabus. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup potensial, karena mengandung protein sekitar 15-24 % dari total berat daging ikan segar dan mempunyai daya cerna yang sangat tinggi, yaitu sekitar 95 % (ITC, 1991 dtrlarn Hubeis, 1994). Mengingat tingginya kandungan gizi dalarn daging ikan, maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan konsurnsi daging ikan tersebut. Usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah penganekaragaman produk olahan ikan dan salah satunya adalah pembuatan empek-empek. Usaha untuk menjadikan empek-empek sebagai komoditas perdaga~igan tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Salah satu kendalanya yaitu mengenai claya tahan atau keawetan empek-empek yang rendah. Empek-empek bila tidak diberi perlakuan pengawetan yang memadai, dalam waktu tiga hari saja dapat rusak dan tidak dapat dikonsumsi lagi. Selain itu proses pemasakan pada saat akan disajikan juga dapat mempengaruhi kualitas empek-empek tersebut, karena pada saat disajikan empek-empek akan mengalami proses pemasakan yakni dalam bentuk perebusan atau pengukusan ulang dan dilanjutkan dengan menggoreng. Selama ini persepsi konsumen terhadap kualitas empek-empek terutama ditentukan oleh faktor organoleptik (bentuk, ukuran, tekstur, warna, aroma, rasa) dan faktor ekonomis (harga), sedangkan faktor gizi masih kurang mendapat perhatian (Winarno, 1983). Protein dalam empek-empek diperlukan untuk membentuk teE:stur yang kenyal. Namun protein mempunyai sifat alami yaitu sensitif terhadap perlalaan panas, selama pengolahan khususnya pemanasan. Empek-empek dengan perlalcuan tertentu (didinginkan, dilapis tapioka dan di simpan pada suhu ruang) dapat disinlpan hingga 3 hari. Setelah mengalami penyimpanan, empek-empek perlu dilaki~kan pemanasan secara berulang baik yang dikukus maupun yang digoreng sebelum dikonsumsi. Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi kualitas gizi empekempek, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik, lama penyimpanan serta teknik penyajian terhadap kualitas gizi dan organoleptik empekempek. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara penyimpanan dan pemasakan terhadap mutu gizi empek-empek. Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mempelajari: 1) Pengaruh proses penyimpanan terhadap mutu gizi dan organoleptik empekempek. 2) Pengaruh proses pemasakan terhadap mutu gizi dan organoleptik empek-empek. 3) Daya cerna dan bioavailabilitas lisin pada empek-empek setelah mengalami proses penyimpanan dan pemasakan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat kepada masyarakat mengenai kualitas empek-empek selama penyimp;anan dan pada saat diproses untuk disajikan kembali. Kerangka Pemikiran Kualitas empek-empek sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan, proses penyimpanan dan penyajiannya. Proses pembuatan mencakup komponen bahan d~asar yang digunakan misalnya jenis ikan (ikan belida, ikan tenggiri, ikan gabus), jenis tepung tapioka serta teknik pemasakannya (meliputi komposisi resep, lama perebusan dan suhu air), sedangkan proses penyimpanan mencakup teknik penyimpanan !rang berpengaruh terhadap daya simpan empek-empek. Proses penyajian merupiikan proses penyiapan pemasakan empek-empek sehingga siap disajikan. Pada saat ;ikan disajikan empek-empek tersebut dimasak ulang sesuai dengan selera. Pemasakan ini umumnya empek-empek tersebut digoreng (Komariah, 1995). Umumnya terdapat berbagai macam teknik penyimpanan empek-empek, antara lain adalah penyimpanan pada suhu kamar di ruangan yang berangin, penyimpanan di lemari pendingin dengan suhu 5°C atau dalamfieezer bersuhu -4°C. Menurut penelitian Septriana (1995), empek-empek yang disimpan pada suhu dingin beku (-4°C) dapat bertahan hingga 40 hari namun mengalami penurunan kualitas organoleptiknya. Teknik pelumuran tepung merupakan teknik yang digunakan pads saat empek-empek akan dikirimkan dari satu wilayah ke wilayah lain !rang memerlukan waktu menginap. Umumnya empek-empek tersebut mampu bert(3han hingga 2 hari. Setelah mengalami proses penyimpanan, empek-empek hams dimasak ulang dengan cara perebusan atau pengukusan, kemudian digoreng. Dari situasi di atas tampak bahwa titik rawan dalam pengelolaan empekempek adalah pada bagian proses penyimpanan dan pada proses pemasakan pada saat akan disajikan. Salah satu komponen yang dikhawatirkan akan mudah mengalami kerusakan adalah protein dan asam amino yang banyak terkandung dalam ikan. Padahal ikan telah diketahui mempunyai kualitas protein yang amat baik dari segi jumlah, kelengkapan maupun bioavailabilitasnya bagi manusia. Kerusakan tersebut dapat timbul dalam bentuk terjadinya perubahan struktur ataupun menurunnya daya cerna protein ataupun bioavailabilitas asam aminonya. Pada beberapa penelitian yang telah ada disebutkan bahwa penggunaan panas yang tinggi, tekanan yang tinggi atau waktu pemasakan yang lama akan mengurangi bioavailabilitas asam amino (termasuk lisin) pada bahan pangan (Batterham, 1992; Barnerveld, 1994) Gambar 1. Kerangka Pemikiran