BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seni pertunjukan memiliki kajian dan ruang lingkup yang cukup luas. Sebagai objek kajiannya adalah masyarakat sebagai pelaku dan tokohnya. Dalam penulisan sejarah tidak hanya terpaku pada peperangan, pahlawan dan kejadian besar pada peristiwa tersebut. Penulisan sejarah mempunyai hubungan erat dengan ekonomi, politik dan sosial sehingga banyak menghasilkan tulisan sejarah yang bermacam-macam dilatarbelakangi sosial.1 Tak hanya berlatar politik saja yang banyak ditulis, misalnya Sejarah Politik yang konvensional dianggap kurang memuaskan, maka lahir perhatian kajian sejarah yang baru, yaitu Sejarah Sosial yang memiliki orientasi dan pendekatan yang berbeda yaitu pada golongan masyarakat pada umumnya, dalam tingkat yang terbatas dan memperhatikan persoalan kehidupan sehari-hari.2 Sebagai salah satu yang penting untuk dicatat pada masa ini adalah diperkenalkannya pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam penggarapan sejarah. Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam penggarapan sejarah telah membawa perubahan besar terhadap berkembangnya penggarapan kajian kritis terhadap 1 Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 8 2 Mengenai kecenderungan baru dalam kajian Sejarah Politik dan Sejarah Sosial baca dalam Theodore K. Rabb & Robert I Rotberg (ed.), The New History, The 1980s and Beyond, Studies in Interdisciplinary History (Princenton, New Jersey: Princeta University Press, 1982). Lihat pula Allan J. Lichtman & Valeria French. 1 sejarah Indonesia.3 Untuk menuju pada pengkajian sosial, seni pertunjukan4 pun mulai menapak pada tulisan sejarah dari waktu ke waktu dan memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda-beda.5 Seni pertunjukan Indonesia semakin menarik untuk dijadikan sasaran kajian penulisan, karena memiliki banyak sekali macam keanekaragaman.6 Pertunjukan sendiri adalah suatu fakta/kenyataan yang memperlihatkan multi wajah. Sehingga dari pertunjukan yang ada bagi para pengamat/audience memiliki sudut pandang masing-masing. Dimana hal tersebut dipengaruhi oleh sistem pola pikir dan analisis yang dimiliki oleh masing-masing orang. 7 Banyak pendapat bahwa seni pertunjukan sebagai alat komunikasi yaitu penyampaian pesan dalam bentuk yang bermacam-macam bentuknya. Misal wayang dengan dhalang, penari, kethoprak dll. Diharapkan audience mampu menerima pesan yang disampaikan. Dimana pesan tersebut disampaikan dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini sesungguhnya terdiri atas tiga sub-bahasa yang berbeda bukan dialek dan masing-masing mempunyai perbendaharaan kata sendiri,8 Dari sini kita akan lebih melihat pada seni pertunjukan dalam bentuk “wayang”. Wayang pun banyak macamnya mulai dari wayang wong, wayang golek, wayang wong purwo dll. Melihat wayang wong yang langsung dimainkan 3 Mengenai pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam kajian sejarah, lihat Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Gramedia, 1992). 4 Seni Pertunjukan Indonesia dalam tulisan ini lebih dimaknai jenis-jenis seni tradisi yang hidup di locus-locus budaya di wilayah Nusantara. 5 Waridi, dkk. Seni Pertunjukan Indonesia : Menimbang Pendekatan Etnik Nusantara. Cetakan I, (Surakarta: STSI Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 2005, hlm. 1. 6 Ibid, hlm.1 7 Ibid, hlm 41. 8 Lihat Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1986. hlm 112. 2 oleh orang ini membutuhkan ketekunan berlatih dan tidak mudah dalam memerankannya. Sebagai bentuk dukungan terhadap seni pertunjukkan ini Pangeran Tedjakusuma sebagai kerabat keraton yaitu Sultan Hamengku Buwana VIII mendirikan Krida Beksa Wirama pada tahun 1918 9. Untuk latihannya dilakukan di pendopo milik Tedjakusuma. Lalu berbicara soal wayang kita diajak untuk mengetahui lebih dalam lagi siapa, bagaimana, apa yang terkandung dalam setiap pertunjukan berlangsung. Dalam pementasan wayang dibutuhkan banyak pendukung bukan hanya naskah tetapi dhalang atau pemain, gamelan dan pemainnya, serta waranggana yang cukup berperan penting dalam pertunjukan tersebut. Kemudian pertunjukkan ketoprak yang lahir di wilayah jawa (Yogyakarta). Sebagai awal ketoprak ada ditandai munculnya ketoprak Lesung 1908 – 1925.10 Ketoprak ini menggunakan lesung sebagai pengiringnya. Kata waranggana tidaklah asing bagi kita. Terlebih waranggana mengalami modernisasi. Dimana waranggana sebagai pendukung dalam setiap pementasan. Untuk lebih fokus pada sosok waranggana sendiri akan dipaparkan definisi tentang waranggana tersebut. Waranggana adalah penyanyi wanita pada seni gamelan atau dipertunjukan wayang, adapun definisi lain tentang waranggana yaitu orang yang menyanyikan lagu-lagu dengan pola sesindian yang menjadi sumber sehingga istilah waranggana melekat pada sosok yang memiliki fungsi sebagai penyanyi dalam penyajian gamelan (Soepandi, 1994: 39).11 Lebih 9 Dimaz Maulana, “Dari Teater Ke Film : Perubahan Seni Pertunjukkan di Indonesia 1920 – 1942” Skripsi S1, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2012, hlm. 33 10 Ibid, hlm. 33 11 Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia 3 jauh dikemukakan bahwa waranggana adalah sebutan kepada seorang juru kawih yang biasa menyanyikan lagu-lagu klenengan, wayang golek, tari rakyat dll. Dengan segala perjalanannya waranggana mengalami perubahan sehingga banyak kalangan yang memberikan istilah-istilah baru terhadap juru kawih ini baik kalangan seniman maupun di kalangan pemerintah. Menilik pada peristiwa sejarah waranggana dianggap sesepuh dalam upacara ritual penghormatan kepada Dewi Padi (Dewi Sri) yang dulu lebih terkenal dengan sebutan Ronggeng. Yang mana Ronggeng berperan sebagai penyanyi dan penari dalam ritual tersebut yang dipertunjukkan melalui pertunjukan tanjidor, tayuban, wayang wong, dll. B. PERMASALAHAN Dalam latar belakang diatas telah dipaparkan tentang istilah waranggana dan peran waranggana dalam sebuah pertunjukan baik wayang golek, wayang wong, kethoprak, klenengan dan seni pertunjukan yang lain. Serta disebutkan bahwa waranggana sebagai sesepuh pada ritual penghormatan kepada Dewi Padi (Dewi Sri).12 Dimana peran waranggana dalam sebuah pertunjukan sangat besar. Sehingga muncul pertanyaan sebagai berikut: Aspek apa saja yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi waranggana? Di mana dalam pertunjukan seni si pelaku seni harus mampu menginformasikan cerita /lakon dalam pertunjukan tersebut. Lalu bagaimana seorang waranggana mengkomunikasikan cerita/lakon kepada penonton? Yang mana waranggana menjadi perhatian penuh dari penonton sebab vokalis putri ini ikut pula 12 Perlu diteliti secara lebih lanjut mengenai informasi tersebut. 4 menentukan nilai artistik dari sebuah pertunjukan.13 Banyak dari pertunjukan seni ini dilakukan malam hari hingga tengah malam, tengah malam, maupun semalam suntuk hingga subuh. Dari hal tersebut waranggana dituntut untuk bisa ikut tata aturan yang ada. Kemudian seperti apa aktivitas seorang waranggana dalam kehidupan sehari-hari? Dari permasalahan yang ada perlu diteliti lebih lanjut serta analisis terhadap kehidupan sosial waranggana di keraton Yogyakarta. C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Mengulas mengenai waranggana menjadi sangat menarik, karena banyak faktor yang bisa dihubungkan seperti sosial, ekonomi dan budaya. Dalam penelitian ini diambil aspek sosial yang fokus terhadap aktivitas kehidupan waranggana keraton. Melihat peran seorang waranggana dalam sebuah pagelaran seni pertunjukan di keraton yogyakarta. Di mana sosok waranggana dipandang sebagai pelengkap dalam sebuah pertunjukan, yang sifatnya mampu menghibur para penontonnya. Untuk batasan spasial penelitian ini berada pada aktivitas sosial tersebut berlangsung yaitu wilayah keraton Yogyakarta. Dimana Yogyakarta memiliki macam seni pertunjukan yang cukup banyak. Sehingga mampu fokus pada tulisan peran seorang waranggana dalam sebuah pagelaran seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta. 13 Drs. Soedarsono, Beberapa Catatan Tentang Seni Pertunjukan Indonesia, Konservatori Tari Indonesia, Yogyakarta, 1974. hlm. 21. 5 Tak hanya itu masyarakat Yogyakarta yang beragam dari berbagai daerah,sehingga menghasilkan keanekaragaman seni pertunjukan. Baik di sebuah panggung kesenian atau di dalam sebuah pagelaran keraton. Dalam penelitian ini terdapat batasan temporal yang akan menjadi acuan penulis agar fokus dan tidak meluas pada kurun waktu yang telah ditentukan. Sebagai awal untuk aspek temporal penulis mengambil tahun 1950 karena pada tahun tersebutlah sosok waranggana mulai melebarkan sayapnya hingga dapat dikenal. Salah satu hal yang dilakukan dengan membuat kelompok atau komunitas. Komunitas yang di bentuk berdasarkan kesamaan ketertarikan terhadap seni pertunjukkan. Kemudian merambah melalui surat kabar sebagai media informasi bagi masyarakat, walaupun hal ini masih harus diteliti kembali. 14 Sehingga nantinya mampu dijadikan kajian yang baik hasilnya. Untuk periode akhirnya 1970 sebab nuansa politik pasti sangat berpengaruh pada perkembangan seni pertunjukan mulai dikenal secara meluas oleh masyarakat. Sehingga mampu melihat eksistensi waranggana dalam pertunjukan seni di keraton Yogyakarta. Dengan keadaan politik yang masih dalam pengaruh politik PKI. D. TUJUAN PENELITIAN Seni pertunjukan memiliki keunikan dalam setiap macamnya. Baik lakon/cerita, baik yang memerankan seperti dalang, waranggana, pemain gamelan memiliki tanggung jawab masing-masing dalam pementasannya. Dengan begitu dapat melihat seberapa besar peran waranggana dalam setiap pertunjukan seni. 14 Sebuah informasi yang harus diteliti kembali. 6 Terlebih lagi banyak sekali pertunjukan seni yang sifatnya sebagai leluhur nenek moyang melalui budaya-budaya yang ada. Menyikapi rumusan di atas, terdapat tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini nantinya: mengetahui sosok waranggana sendiri dalam setiap pertunjukan seni, kemudian mengetahui bagaimana peran dari waranggana dalam sebuah pagelaran seni pertunjukan di Keraton Yogyakarata. Lalu perannya dalam Keraton Yogyakarta sebagai abdi dalem Keraton,dan dalam kehidupan bermasyarakat. Tak hanya hal tersebut,akan tetapi dapat mengetahui proses waranggana melakukan eksistensinya dalam perkembangan seni pertunjukan di keraton yogyakarta. E. TINJAUAN PUSTAKA Penulis sangat tertarik mengenai sosok waranggana melihat kehidupan dalam masyarakat lalu perannya dalam pertunjukan seni yang khususnya di pagelaran seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta. Dalam penelitian ini memilih aspek sosial, budaya dan seni. Kondisi masyarakat yang bersifat terbuka diharap mampu untuk dijadikan kemudahan dalam pencarian narasumber dan kelengkapan sumber yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam penelitian ini,terdapat salah satu skripsi Itha Kusuma Wijayanti dengan judul ‘SUTANTI S PRINGGOBROTO(1929-1980an): Kehidupan Penari Putri Klasik Gaya Yogyakarta. Dalam skripsinya berisi tentang pembentukan kepribadian dan langkah awal sebagai seorang seniman lalu dilanjutkan dengan lika-liku kehidupan Sutanti dan ditutup dengan eksistensi seorang penari klasik. 7 Dalam skripsi ini khusus mengulas seorang penari serta keluarga dan semua lingkungan sekitarnya. Sehingga tulisan ini dinamakan biografi. Lalu pada buku The Sinden: Cinta dan Air Mata Dingklik Waranggana karya Halimah Munawir dalam bukunya berisikan mengenai kedudukan sinden di sebuah pertunjukan dan dalam lingkungan keluarga. Mulai dari seorang sinden yang memiliki putri yang cantik perangainya. Di beri nama Dingklik Waranggana. Banyak pria yang ingin menjadikannya seorang selir. Isi dalam bukunya lebih mengulas kehidupan pribadi seorang sinden dengan ibunya yang juga sebaai pesindhen. Terdapat cerita kekerasan pula dalam kehidupan sinden ini. Kemudian pada buku novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa tahun 2005. Sebagai kajian sastra feminis,digambarkan bahwa sinden memiliki citra yang cukup rendah dan murahan. Sehingga sering dengan mudah dijadikan simpanan orang yang memiliki jabatan dan kuasa tinggi. Lalu skripsi karya Anita Rima Dewi dengan judul Kedudukan Perempuan Jawa dalam novel Hati Sinden karya Dwi Rahyuningsih. Melihat seorang sinden dari perspektif sebuah gender. Peran perempuan yang berstatus sinden digambarkan memiliki tanggung jawab lebih besar daripada laki-laki. Bahkan tanggungjawab sebagai kepala keluarga sepenuhnya. Selanjutnya pada buku karya Suprapto dengan judul Beberapa Seniman Yogyakarta. Mengulas tentang seniman yang ada di Yogyakarta,baik karawitan,kethoprak,tari,macapatan,dll. Dalam bukunya hanya ditekankan pada seniman-seniman yang ada di Yogyakarta. Hal ini bukan hanya sebagai warisan budaya akan tetapi diharapkan mampu wisatawan ataupun orang asing memahami warisan budaya Yogyakarta. Terlebih lagi Yogyakarta memiliki tempat-tempat yang cukup menjadi daya tarik wisatawan. Khususnya Keraton Yogyakarta. Di 8 wilayah keraton sendiri terdapat tempat bernama “Sasana Hinggil” disinilah biasanya pertunjukan seperti wayang, kethoprak ditampilkan. Kemudian dalam Jantra Vol.II, No.4, Desember 2007,dengan judul Sinden oleh Samrotul Ilmi Albiladiyah,menggambarkan dalam karyanya bahwa sinden sering kali diberi julukan tledhek yang mana seorang sinden juga bisa menari. Dalam tulisannya penulis memaparkan engertian sinden,waranggana,tledek,yang memiliki arti sama dan memilik kemiripan dalam sebuah seni pertunjukkan. Dan memaparkan beberapa sinden favorit dari para Sultan baik Sri Sultan Hamengku Buwana VIII atau masa HB VII,sampai masa Bung Karno. Hal ini hendaknya menjadikan penulis lebih kritis terhadap sumber dan belajar teliti. Kemudian diharapkan penulis mampu mencari pembanding dalam penelitian ini. Sehingga apa yang penulis tulis nantinya dapat menginformasikan secara detail peran seorang waranggana dalam sebuah pagelaran seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta. F. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang akan menggunakan analisis dan metode15 sejarah sebagai berikut Lalu untuk pengumpulan dan penulisan data diperoleh melalui metode : 1. Kepustakaan (Library Research) Cara penelitian ini memusatkan pencarian data pada sumber-sumber pustaka dengan mengambil dan menelaah buku dan literature yang berkaitan dengan penelitian. Setelah sumber-sumber data terkumpul kemudian dianalisis untuk menjadi bahan penyajian data penelitian. 15 Gilbert J, Garraghan. A Guide To Historical Method, (New York, Fordham University Press, 1957). hlm. 33. 9 Sumber buku dan literature tersebut diperoleh melalui perpustakaan seperti perpustakaan universtas UPT, Perpustakaan Fakultas, perpustakaan surat kabar Yogyakarta (Libce) serta Perpustakaan Daerah Yogyakarta . 2. Interview Metode ini dilakukan melalui wawancara dan tanya jawab dengan warga/masyarakat Yogyakarta tentang pandangan mereka terhadap sosok waranggana. Lalu pelaku sendiri yaitu waranggana sebagai tokoh utama dalam penelitian ini. Selain itu penelitian ini sangat dibutuhkan ketelitian dalam menganalisa responden, ketika menjawab seputar studi kasus yang diambil penulis. Dari dua metode diatas masih harus dilakukan kritik sejarah (verifikasi) untuk memenuhi autentik tidaknya sert kredibitas sebuah sumber. Untuk langkah selanjutnya ialan interpretasi yakni terdiri dari analisis dan sistematis,16 baru kemudian hasilnya siap dikaji menjadi bahan penelitian. Kemudian tahap akhir adalah penulisan. Sebagai hasil dari sebuah penelitian dengan pendekatan ilmu sosial. G. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah memahami proposal skripsi ini, akan disusun teknik penulisan secara sistematis sebagai berikut : 16 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Benteng Pustaka; Yogyakarta 2005), hlm. 98-104 10 BAB I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan, Ruang Lingkup, Tujuan dan Sistematika Penulisan. BAB II berisikan seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta, BAB III berisi Waranggana keraton : sosok penting dalam sebuah seni pagelaran. Melihat peran waranggana dalam sebuah seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta. Di akhir BAB IV berisi kesimpulan. 11