Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang

advertisement
BAB II
KONSEP E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF
KUHPERDATA DAN UU ITE
Di dalam bab ini, Penulis akan menguraikan tiga pokok pikiran yang
berkaitan dengan E-Commerce. Pokok-pokok pikiran tersebut yakni pertama,
uraian tentang E-commerce pada umumnya. Di dalam pembahasan ini akan
diuraikan mengenai definisi dan ruang lingkup serta karakteristik dari ECommerce dalam kaitannya dengan hukum perjanjian. Kedua, akan membahasan
tentang e-commerce dalam perspektif hukum perdata Indonesia, khususnya
kaidah-kaidah tentang perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia.
Ketiga, akan membahasan e-commerce dalam perspektif UU ITE.
A. E-Commerce Pada Umumnya
1. Definisi E-Commerce
Bagi banyak kalangan e-commerce merupakan suatu terminologi baru
yang belum cukup dikenal. Masih banyak yang beranggapan bahwa ecommerce ini sama dengan aktivitas jual beli alat-alat elektronik. Oleh karena
itu dalam bab ini penulis akan mencoba menjelaskan pengertian dari ecommerce tersebut.
18
19
Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi mencoba menggambarkan ecommerce sebagai suatu cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan
praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas
sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini biasa dilakukan dengan berbagai
cara seperti melalui e-mail atau bisa melalui World Wide Web.25
Secara umum David Baum, yang dikutip oleh W. Purbo dan Aang Arif
Wahyudi, mendefinisikan “E-commerce is a dynamic set of technologies,
applications, and business process that link enterprises, consumer and
communities through electronic transactions and the electronic exchange of
goods, services, and information”. E-commerce merupakan satu set dinamis
teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan,
konsumen
dan
komunitas
tertentu
melalui
transaksi
elektronik
dan
perdagangan barang, jasa, dan informasi yang dilakukan secara elektronik.26
Assosiation for Electronic Commerce secara sederhana mendefinisikan
e-commerce sebagai mekanisme bisnis secara elektrinis. CommerceNet, sebuah
konsorsium industri memberikan definisi lengkap yaitu penggunaan jaringan
komputer sebagai sarana penciptaan relasi bisnis.
Selain itu CommerceNet menambahkan bahwa di dalam e-commerce
terjadi proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak
25
Abdulkadir Muhammad. “Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan”. PT Citra
Aditya Bakti. Bandung. 1992. hlm: 20.
26
Ibid, hlm: 1-2
20
melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak dalam
satu perusahaan dengan menggunakan internet.
Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa, secara mendasar
Assosiation for Electronic Commerce sudah melihat E-Commerce sebagai salah
tindakan hukum. Tindakan hukum itu yang dinyatakan dalam contoh jual beli,
namun melalui media jaringan komputer, bukan bertatap-tatapan seperti dalam
jual beli konvensional.
Sementara itu Amir Hatman dalam bukunya NetReady: Strategies For
Success In The E-Conomy secara lebih terperinci lagi mendefinisikan e-commerce
sebagai suatu mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada
transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai media
pertukaran barang atau jasa baik antara dua institusi (Business to Business)
maupun antar institusi dan konsumen langsung (Business to Consumer).27
Menurut ECEG – Australia (Electronic Commerce Expert Group) ecommerce adalah: “Electronic Commerce is a broad concept that covers any
commercial transaction that is effected via electronic means and would include
such means as facsimile, telex, EDI, internet and the telephone”28.
Berdasarkan pengertian dari ECEG – Australia, maka pengertian ecommerce meliputi transaksi perdagangan melalui media elektronik. Dalam arti
27
Sebagaimana dikutip oleh Richardus Eko Indrajit. E-Commerce: “Kiat Dan Strategi Bisnis Di
Dunia Maya”. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. 2001. hlm: 3
28
www.law.gov.au/aghome/advisory/eceg/single.htm
21
kata tidak hanya media internet yang dimaksudkan, tetapi juga meliputi semua
transaksi perdagangan melalui media elektronik lainnya seperti facsmile, telex,
EDI dan telepon.
Oleh karena itu, Julian Ding mendefinisikan e-commerce sebagai
berikut: “Electronic Commerce or e-commerce as it is also known, is a
commercial transaction between avendor and purchaser or parties in similar
contractual relationship for the supply of goods, services or acquisition of
“rights”. This commercial transaction is executed or entered into electronic
medium (or digital medium), where the physical presence of parties is not
required, and medium exist in a public network or system as opposed to private
network (closed system). The public network system must considered on open
system (e.g the internet or world wide web). The transaction concluded regardless
of nation boundaries or local requirement”29.
Dalam pengertian ini e-commerce merupakan suatu transaksi komersial
yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam
hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan
atau peralihan hak.
Transaksi komersial ini terdapat di dalam media elektronik (media
digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak yang
bertransaksi dan keberadaan media ini dalam public network atas sistem yang
berlawanan dengan private network (sistem tertutup).
Lain halnya dengan Kosiur yang menyatakan bahwa e-commerce bukan
hanya sebuah mekanisme penjualan barang atau jasa melalui media internet tetapi
29
Julian Ding. “E-Commerce: Law And Practice”. Sweet and Maxwell Asia. Malaysia. 1999. hlm:
25
22
lebih pada transformasi bisnis yang mengubah cara-cara perusahaan dalam
melakukan aktivitas usahanya sehari-hari.30
Oleh karena itu Penulis mencoba melihat E-Commerce sebagai suatu
rangkaian atau proses yang terjadi dalam dunia Commerce (yang mana para pihak
sudah terjadi perikatan, yaitu perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu) yang dilakukan melalui media elektronik (dunia maya), namun secara
prinsip tetap tunduk pada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum perjanjian
dalam hukum perdata.
Berkaitan dengan hal itu pula, maka dapat dilihat ruang lingkup dari ECommerce yang pada dasarnya merupakan aktivitas komersial yang terjadi di
dunia maya, baik itu jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pelayanan
jasa (services) dan lain sebagainya.
Sehingga hal tersebut lah yang mengakibatkan berbagai definisi yang
diuraikan di atas tidak dapat terlepas dari unsur hukum, yaitu unsur yang
menunjukan adanya suatu perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban dari para pihak.
2. Karakteristik E-Commerce
Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan terdapat
kesamaan
dari
masing-masing
definisi
tersebut.
Kesamaan
tersebut
memperlihatkan bahwa e-commerce mempunyai karakterisik sebagai berikut:
30
David Kosiur. Understanding Electronic Commerce, Microsoft press. Washington. 1997, hlm. 24.
23
1. Terjadinya transaksi (perjanjian) antar dua belah pihak
2. Adanya pertukaran barang, jasa atau informasi
3. Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.
Dari karakteristik tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya ecommerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan
telekomunikasi, dan secara signifikan mengubah cara manusia melakukan
interaksi dengan lingkungannya, yang dalam hal ini terkait dengan mekanisme
dagang. Meskipun demikian, cara tersebut tidak dapat menghilangkan ciri-ciri dari
suatu perjanjian yang sudah diatur dalam hukum perjanjian.
Karakteristik e-commerce berbeda dengan transaksi perdagangan biasa,
transaksi e-commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus,
yaitu31:
1. Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang
suatu perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga,
hanya perusahaan atau individu dengan modal besar yang dapat
memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan internet
pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara
internasional cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang
24
iklan di situs-situs internet tanpa batas waktu (24 jam), dan tentu saja
dengan pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut
dan melakukan transaksi secara on line.
Selain itu, disebut transaksi tanpa batas oleh karena para pihak yang
melakukan aktivitas di dalam E-Commerce tersebut tidak terbatas pada
ruang dan waktu. Artinya, siapa saja dan dari negara mana saja orang
tersebut dapat melakukan transaksi bisnis dengan orang lain, dan
waktu untuk melakukan transaksi tersebut dapat terjadi kapan saja,
sehingga disebut transaksi tanpa batas.
2. Transaksi anonim
Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak
harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan
nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayaran telah diotorisasi
oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan, yang biasanya
dengan kartu kredit.
Artinya, antara para yang berjanji dalam E-Commerce cukup
memberikan kata sepakat satu sama lain, meskipun antara kedua belah
pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Dalam hal ini
memerlukan kepercayaan antar para pihak.
3. Produk digital dan non digital
31
http://www.binushacker.net/definisi-ecommerce-e-commerce-www.kotadingin-cc-cc.html
25
Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan
produk lain yang bersifat digital dapat dipasarkan melalui internet
dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam perkembangannya
obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang
kebutuhan hidup lainnya.
4. Produk barang tidak berwujud
Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan
menawarkan barang tak berwujud seperti data, software dan ide-ide
yang di jual melalui internet.
Segmentasi atau ruang lingkup e-commerce itu meliputi 3 sisi,
yakni e-commerce yang terdiri dari segmentasi bisnis ke bisnis (business
to business), bisnis ke konsumen (business to consumer) serta konsumen
ke konsumen (consumer to consumer).32
1. Bisnis ke bisnis (business to business)
Bisnis ke nisnis merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku
bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan
(dalam hal ini pelaku bisnis) yang dilakukan secara rutin dan dalam
kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam
ruang lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis
32
Ibid, hlm: 18-23.
26
itu sendiri. Karakteristik yang umum akan segmentasi bisnis ke bisnis
adalah antara lain:
1)
Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara
mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.
Pertukaran informasi berlangsung di antara mereka dan karena
sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan
atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;
2)
Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala
format data yang telah disepakati. Jadi service yang digunakan
antara kedua sistem tersebut sama dan menggunakan standar
yang sama pula;
3)
Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka
lainnya untuk mengirimkan data;
4)
Model yang umum digunakan adalah peer to peer dimana
processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku
bisnis.
2. Bisnis ke konsumen (business to consumer)
Bisnis ke konsumen dalam e-commerce merupakan suatu transaksi
bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen
untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
Umumnya jenis perjanjian dalam bisnis ke konsumen merupakan
27
perjanjian on-line yang telah berbentuk perjanjian dan ditawarkan kepada
pihak umum dalam bentuk take it or leave it contract. Serta ada pula
perjanjian dalam bentuk shirnkwrap contract dan click wrap contract yang
merupakan
perjanjian
yang
menawarkan
kepada
konsumennya
penggunakan produk dengan syarat-syarat yang menyertai produk
tersebut, umumnya terjadi dalam perjanjian penggunaan suatu software
komputer.
Seorang pembeli seolah-olah telah telah menyetujui syarat-syarat yang
diajukan dalam tindakannya untuk menahan atau menggunakan produk
tersebut
setelah
diberikan
kesempatan
untuk
membacanya
atau
menolaknya. Karakteristik yang umum untuk segmentasi bisnis ke
konsumen diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara
umum pula;
2)
Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme
dapat digunakan oleh banyak orang sebagai contoh karena
sistem web telah umum di kalangan masyarakat maka sistem
yang digunakan sistem web pula;
3)
Service
yang
diberikan
adalah
berdasarkan
permintaan.
Konsumen berinisiatif sedangkan produsen harus siap merespon
terhadap inisiatif konsumen tersebut;
28
4)
Sering dilakukan pendekatan client-server dimana konsumen di
pihak client menggunakan sistem yang minimal (berbasis web)
dan penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada
pihak server.
3. Konsumen ke konsumen (consumer to consumer)
Konsumen ke konsumen merupakan transaksi bisnis secara elektronik
yang dilakukan antarkonsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu
dan pada saat tertentu pula, segmentasi konsumen ini sifatnya lebih khusus
karena transaksi dolakukan oleh konsumen ke konsumen yang
memerlukan transaksi.
Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang
produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya. Selain itu antar
customer juga dapat membentuk komunitas pengguna/ penggemar produk
tersebut.
Ketidakpuasan customer dalam mengonsumsi suatu produk dapat
segera tersebar luas melalui komunitas-komunitas tersebut. Internet telah
menjadikan customer memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap
perusahaan dengan demikian menuntut pelayanan perusahaan menjadi
lebih baik.
29
B. E-Commerce Dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia
E-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli
modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai
media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka
ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktivitas ecommerce di Indonesia 33, atau ketentuan lain tentang perikatan tergantung
pada jenis perjanjian yang diperjanjikan oleh para pihak dalam ECommerce.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perdagangan elektronik
atau e-commerce merupakan suatu perbuatan hokum, maka secara hukum,
e-commerce masuk ke dalam lingkup Hukum Perdata. Untuk itu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai salah satu
ketentuan hukum dalam melakukan perdagangan elektronik.
Hukum Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang
terkandung dalam Buku III BW. Tetapi seperti juga telah dikemukakan,
kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat kontrak/
perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu
untuk sahnya suatu kontrak/ perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak
adalah bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macamnya
33
http://emmnisa.blogspot.com/2012/06/artikel-e-commerce.html. Diakses 25 Januari 2013
30
kontrak/ perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1335 dan pasal 1337 BW)34.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal
1320 BW yaitu35:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau
persesuaian kehendak antar pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan
memberi persetujuannya dan kesepakatannya jika memang menghendaki
apa yang disepakati.36
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa
kedua belah pihak menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian
kehendak antara keduanya belum dapat melahirkan perjanjian, karena
kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain. Apabila pihak
lain telah menerima atau menyetujui, maka timbul kata sepakat.
ad.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
34
Riduan Syahrani. Seluk - Beluk Dan Asas - Asas Hukum Perdata. Alumni, Bandung. 1992.
hlm: 213
35
Ibid hlm: 214.
31
Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurtu undang-undanng dinyatakan
tidak cakap. Ketidak cakapan ini dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH
Perdata yaitu orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan
perempuan. Berkaitan dengan perempuan, melalui SEMA (Surat Edaran
Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963 menetapkan bahwa perempuan
dewasa cakap melakukan perjanjian
37
. Dalam perkembangannya
Mahkamah Agung melalui putusan No. 447/SIP/1976 tanggal 13 Oktober
1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka
batas seseorang di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21
tahun.38
ad.3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan
jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja
kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.39
36
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 1995. hlm: 164
37
Ridwan Khairandy. hlm: 48
38
Ibid.
32
ad.4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir
untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW
menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.40
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui
oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi
pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang disepakati, walaupun
tidak mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.
Apabila suatu saat ada pihak yang tidak mengakui adanya perjanjian
tersebut sehingga menimbulkan sengketa, maka hakim akan menyatakan
perjanjian itu batal. Syarat pertama dan kedua yakni kesepakatan dan
kecakapan merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek pelaku
sedangkan syarat kedua merupakan syarat obyektif karena menyangkut
obyek dari perjanjian.
Selain persyaratan-persyaratan tersebut, UU ITE juga menambahkan
beberapa persyaratan lain, misalnya41:
a. Beritikad baik (Pasal 17 ayat 2 UU ITE, syarat ini juga telah ada dalam
KUHPerdata);
39
Riduan Syahrani. Op Cit. hlm: 218
33
b. Ketentuan mengenai waktu pengiriman dan penerimaan Informasi
dan/atau Transaksi Elektronik (Pasal 8);
c. Menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta
bertanggung jawab (Pasal 15).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Internet dan Transaksi Elektronik di atas, ada beberapa peraturan
atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung
hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah42:
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
 Kitab Undang-Undang Hukim Acara Perdata
 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
40
Ibid. Riduan Syahrani. hlm: 219
www.batan.go.id/sjk/uu-ite.html. Diakses 30 Januari 2013
42
airuzelsaid.wordpress.com/2010/10/25/undang-undang-internet-dan-transaksi-elektronik-uu-itetentang-e-commerce/ Diakses 30 Januari 2013
41
34
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
 Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 tentang Pendirian
Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan
 Serta Undang-Undang dan Peraturan lainnya yang terkait dengan
kejahatan e-commerce.
Artinya, beberapa perundangan yang disebutkan di atas dapat
menjadi Umbrella Act bagi suatu perbuatan E-Commerce yang terjadi di
dunia maya. Hal itu juga tergantung pada jenis E-Commerce yang
dilakukan. Jika memang lebih spesifik pada suatu hal tertentu yang tidak
diatur dalam KUHPerdata dan UU ITE, maka E-Commerce tersebut dapat
merujuk kepada perundangan lain yang terdapat kaidah hukumnya.
C.
E-Commerce Dalam Perspektif Undang – Undang Nomor
11 Tahun 2008
Oleh karena untuk tetap mewadahi perkembangan zaman
menyangkut cara bertransaksi dari para pihak 43 , maka dibuatlah aturan
mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimuat dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
43
Dalam konteks ini, Penulis ingin menyatakan bahwa, bukan berarti Hukum tertinggal oleh
perkembangan zaman sehingga baru dibentuk UU ITE. Namun, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa E-Commerce tetap memiliki ciri dari perjanjian yang sudah diatur sebelumnya
dalam hukum perdata, sehingga secara prinsip bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun,
mengingat cara melakukan transaksi E-Commerce bukan seperti pada transaksi konvensonal, maka
dirasakan untuk diatur dalam suatu undang-undang yang khusus untuk itu sebagai Lex Specialis
dari hukum perdata.
35
Elektronik. Aturan-aturan yang berbicara tentang E Commerce adalah
sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa, transaksi elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
b. Pasal 5
1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
3)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
4)
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
36
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.44
Hukum pembuktian pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan undang-undang
tersebut mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum
pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik bertujuan mengatur hukum diranah internet, baik
yang berkaitan dengan aspek pidana, aspek perdata, aspek administrasi
Negara dan beberapa aspek lainnya yang berkenaan dengan perbuatan
hukum diranah cyber.
Dengan demikian Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengatur alat bukti baru sebagai perluasan dari alat bukti
konvensional karena undang-undang mengatur keberlakuan hukum
diranah cyberspace atau dunia maya.
Berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 11/ 2008, bahwa informasi
elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetakannya;
Ketentuan ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia (UU Nomor 8/ 1982 tentang
44
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronika.
37
KUHAP). Bagaimana dengan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan dianggap sah akan
diatur sesuai ketentuan dalam undang-undang ini.45
Suatu dokumen/ data/ informasi elektronik yang dihasilkan oleh
suatu sistem informasi elektronik biasanya telah dilegalisir atau dijamin
oleh para profesional yang berwenang untuk itu. Jika proses tersebut dapat
berjalan sebagaimana semestinya dan selama tidak dibuktikan lain oleh
para pihak, maka semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya bukti
akte otentik dan bukan akta otentik.
Dengan demikian keberadaan dokumen elektronik tersebut
seharusnya tidak dapat disangkal keberadaannya (non repudiation) dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang ada di
dalamnya.46
c. Pasal 18
1)
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak.
2)
Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
45
Siswanto Sunarso. “Hukum Informasi Dan Transaksi Elektronik. Studi Kasus: Prita Mulyasari”.
PT Rineka Cipta. Jakarta. 2009. hlm: 50
46
Edmon Makarim. “Kompilasi Hukum Telematika”. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
hlm: 418
38
3)
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi
Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
4)
Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan,
arbitrase,
atau
lembaga
penyelesaian
sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
5)
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi
tersebut,
didasarkan
pada
asas
Hukum
Perdata
Internasional.47
Keberadaan kontrak elektronik jelas merupakan perkembangan
baru dalam jenis kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan
yang tepat dan berdasar hukum jelas. Oleh karena itu, sangatlah perlu
dikaji lebih lanjut tentang keabsahan kontrak elektronik ini sebagai dasar
dari perikatan antara dua pihak yang mengadakan perikatan.48
47
UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Gagasanhukum.wordpress.com/2008/09/15/kontrak-elektronik-menurut-uu-ite-dan-bw/ Diakses
30 Januari 2013
48
Download