KEDUDUKAN HUKUM PERKAWINAN ADAT DI DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN NASIONAL MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 Elsaninta Sembiring dan Vanny Christina Abstract Marriage is a natural human behavior. Humans were born, growing, mature , working , making a families and produce offspring. So marriage is a phase that will be experienced by people in general . Marriage occurs when two people of different sexes , that men and women are mutually bind themselves to live a life together in one household as husband and wife. Indonesia, which has a rich nation with diverse ethnic , cultural customs and led to the diversity of the Marriage Law is also based on the customs of each tribe are spread throughout Indonesia. Before having a national marriage law, Indonesia has had various legal rules pluralistic marriage . Birth of Law No. 1 of 1974 as a national marriage law unification bembawa certainly impact the Customary Marriage Law in Indonesia . Thus the authors will try to assess how the position of customary marriage law in the system according to the National Marriage Law Act Number 1 of 1974 . Keywords: Marriage, National Marriage Law, Customary Marriage Law PENDAHULUAN Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan yang maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Oleh karena manusia sebagai salah satu mahluk hidup yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggotamasyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Perkembangan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan tekonologi dan modernitas tidak begitu saja menghapus adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Proses-proses demikian mempengaruhi adat kebiasaan, sehingga adat kebiasaan harus dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman agar adat kebiasaan itu tetap eksis di tengah kemajuan zaman. Upacara adat perkawinan pada dasanya merupakan satu bentuk upacara yang ada di dalam rangkaian kehidupan manusia dan akan tetap ada pada setiap masyarakat, walaupun di dalam batasan ruang dan waktu akan terjadi transformasi. Namun ia akan terus menjadi unsur budaya yang senantiasa dihayati. Sebagai unsur yang dihayati, maka upacara adat perkawinan mengandung nilai-nilai yang sangat luas dan kuat-terutama di kalangan masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat dilihat pada setiap pelaksanaan upacara-upacara perkawinan adat di setiap daerah-daerah di Indonesia. Sebagai bangsa yang pluralistis, Indonesia memiliki beraneka ragam budaya lokal yang menjadi karakteristik suatu bangsa yang hidup di persada Nusantara. Budaya dan aturan perkawinan suku bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh adat budaya, akan tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama, seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam dan bahkan dipengaruhi oleh perkawinan Barat. Oleh sebab itu banyaknya budaya dan aturan yang mempengaruhi perkawinan sehingga banyak pula aturan-aturan perkawinan dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian ada satu hal yang menjadi jati diri dari perkawinan adat, yaitu sifatnya yang masih mengusung nilai-nilai magis dan bersifat sakral. Artinya, bahwa dalam ritual perkawinan adat tersebut diyakini terdapat jalinan benang merah antara mereka yang masih hidup dengan nenek moyang mereka yang masih hidup dengan nenek moyang di zaman keabadian. Sehingga ritual yang terjadi tidak hanya diperuntukkan bagi yang masih hidup tetapi juga bagi leluhur mereka. 1 Hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.2 Pengalaman penjajahan yang dialami Indonesia oleh bangsa Belanda menyebabkan Indonesia memiliki hukum perkawinan yang berlaku bersifat 1 Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Perkawinan Adat Wologoro Suku Tengger, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hlm.23. 2 Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.154. pluralistis. Di mana pemberlakuan hukum yang berbeda diterapkan berdasarkan golongan Eropa atau orang-rang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga sama dengan Belanda (KUH Perdata/Burgerlijk Wetboek (BW)), Indonesia asli (hukum adat) berdasarkan agamanya: islam (hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat; Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia), Timur Asing (KUH Perdata dengan sedikit perubahan).3 Aturan perkawinan yang demikian pluralistis berlanjut sampai kepada zaman penjajahan Jepang dan seteleah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada Tahun 1945 berdasarkan aturan Peralihan Pasal II Undang-undang Dasar Tahun 1945. Dengan demikian tetap berlaku hukum perkawinan yang pluralistis tersebut. Hingga pada Tahun 1974 lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai Undang-undang Perkawinan Nasional pertama yang dimiliki Negara Indonesia (kemudian disebut UUP). Dengan demikian Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan bagi hukum perkawinan Indonesia yang amat beragam sebelum adanya Undang-undang ini. Jadi Indonesia telah emiliki hukum perkawinan yang berdasarkan Jiwa Bangsa Indonesia yaitu dasar Negara yakni Ideologi Pancasila dengan tetap berpijak kepada falsafah Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu penulis hendak membahas sejauh manakah hukum perkawinan nasional mengatur tentang perkawinan bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan kebhinekaan hukum yang bersifat lokal dari berbagai macam hukum dan adat istiadat yang berlaku di kalangan masyarakat bangsa Indonesia. PEMBAHASAN 1. Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Indonesia Perkawinan merupakan keniscayaan dalam kehidupan seorang manusia. Di mana seorang pria dan seorang wanita menjalankan kehidupan bersama yang 3 Soepomo, Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,1986), hlm.67. mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sebagai suami istri. Kehidupan bersama, yang disebut perkawinan itu mempunyai akibat-akibat hukum tertentu jikalau hubungan itu sah menurut hukum. Setelah melalui prosedurprosedur yang ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak dan hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacaraupacara adat dan keagamaan senada dengan pendapat Ter Haar. Di dalam masyarakat adat, perkawinan bukan saja merupakan perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.4 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat. Perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Perkawinan dalam masyarakat Indonesia yang kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Perkawinan yang ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau normanorma yang berlaku dalam masyarakat setempat (perikatan ketetanggaan). Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan sebagai penerus silsilah. Hal ini berhubungan dengan segi kebudayaan suatu masyarakat, di mana suatu perkawinan merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan kehidupan seksualnya. A. Van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacaraupacara perkawinan itu sebagai “rites de passage” (upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan peralihan atau perubahan status dari 4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), hlm.8. mempelai berdua; yang asalnya hidup terpisah, setelah melaksanakan upacara perkawinan menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami isteri. Semula mereka merupakan warga keluarga orang tua mereka masing-masing, setelah perkawinan mereka berdua merupakan keluarga sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri sendiri dan mereka pimpin sendiri . Hubungan mereka setelah menjadi suami isteri bukanlah merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban atau organisasi.5 Menerut van Geneep rites de passage memilki tiga tingkatan: a. rites de separation (upacara perpisahan dari status semula) b. rites de merge (upacara perjalanan ke status yang baru) c. rites d’aggregation (suatu penerimaan dalam status yang baru) Di samping sebagai sarana untuk mendapatkan keturunan perkawinan adat juga berfungsi memungkinkan pertumbuhan tertib-teratur dari paguyuban hidup kelompok kewangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang lahir dari dan di dalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kewangsaan. Selanjutnya, perkawinan itu juga mempertahankan persekutuan setempat atau masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku tata-susunan rakyat. 2. Berbagai Bentuk Perkawinan Adat Perkawinan mempunyai tujuan utama untuk melahirkan keturunan. Karena itu, sistem hukum perkawinan atau sistem perkawinan ditentukan oleh cara menarik garis keturunan: cara menarik garis keturunan ada dua macam yaitu: secara unilateral dan bilateral. Bertolak dari hal tersebut, maka sistem perkawinan pun ada dua macam, yaitu: Pertama, perkawinan pada masyarakat unilateral yang sistemnya eksogami; Kedua, perkawinan pada masyarakat bilateral sistem perkawinannya tidak terikat pada keharusan untuk eksogami. Yang dimaksudkan dengan kawin eksogami adalah perkawinan di amna pihak-pihak yang kawin harus mempunyai keanggotan clan yang 5 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Gunung Agung,1984), hlm.123. tidak sama. Jadi, dalam pengertian eksogami terkandung prinsip larangan untuk kawin dengan sesama anggota clan. Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat di Indoensia berbeda-beda, maka bentuk dan tata cara perkawinan pun beraneka pula. Pada masyarakat unilateral pada dasarnya ada dua macam, yaitu: patrilineal dan matrilineal. Karena itu kawin eksogami pun dapat dibedakan dalam dua macam: Pertama, pada masyarakat adat yang susunannya patrilineal pada umumnya dianut bentuk perkawinan jujur (Mangoli, Batak; Trmak, Pasemah; Beleket, Rejang; Nuku, Palembang; Ngakuk, hibal, Lampung). Kedua, di kalangan masyarakat adat yang Patrileneal Alternerend (kebapakan beralih-alih) dan Matrilineal, pada umumnya dianut bentuk perkawinan Semenda. Sedangkan di lingkungan masyarakat adat Parental dianut bentuk perkawinan Mentas. Dari ketuga macam bentuk perkawinan itu masih terdapat berbagai variasi yang bermacam-macam menurut kepentingan kekerabatan yang bersangkutan. 1. Perkawinan Jujur (bruidscat) pada Masyarakat Patrilineal (bridge-gift marriage). Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pada perkawinan ini pihak laki-laki harus menyerahkan sesuatu yang disebut jujur, kepada pihak keluarga pengantin perempuan dengan tujuan untuk melepaskan calon pengantin perempuan tersebut dari keanggotaan clan orang tuanya, untuk dimasukkan ke dalam clan pengantin laki-laki. Benda yang dapat dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki kekuatan magis. Pemberian jujur diwajibkan, adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang semula menjadi goyah, oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi karena menikah tersebut. Perkawinan jujur dapat dijumpai pada masyarakat patrilineal, baik yang murni maupun yang beralih- alih. Ciri-ciri umum perkawinan jujur adalah patrilokal, artinya, isteri wajib bertempat tinggal di kediaman suami atau keluarga suami. Bentuk perkawinan jujur ini dianut oleh masyarakat patrilinela artinya bentuk perkawinan ini bertujuan untuk secara keonsekuen melanjutkan keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Jujur yang diserahkan oleh pihak laki-laki itu dapat berupa uang atau barang. Dalam kerangka bentuk perkawinan jujur terdapat beberapa variasi bentuk perkawinan, sebagai berikut: (1) perkawinan ganti suami; (2) perkawinan ganti istri; (3) perkawinan mengabdi; dan (4) perkawinan ambil beri; dan (5) perkawinan ambil anak. 2. Perkawinan Semendo pada masyarakat Matrilineal (suitor service marriage). Perkawinan semendo sebagai penyimpangan terhadap perkawinan jujur ini terjadi di daerah Sumatera Selatan. Perkawinan semendo adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dalam perkawinan ini laki-laki tinggal dalam keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya, akan tetapi dapat bergaulan dengan keluarga istrinya sebagai urang semendo (Minangkabau) atau aangetrouwde. Perkawinan semendo dalam arti sebenarnya adalah perakwian di mana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak istri dan melepaskan hak dan kedudukannya dari pihak kerabatnya sendiri. Bentuk perkawinan semendo ini dianut oleh masyarakat matrilineal yang bertujuan secara konsekuen melanjutkan keturunan pihak ibu, seperti di Minangkabau. Dan berlaku juga di daerah rejang Lebong Bengkulu yang susunan kekerabatannya alternerend atau beralih-alih menurut perkawiann orang tua. Perkawinan semendo dalam bentuknya dibagi menjadi dua, yaitu kawin semenda sebagai suatu keharusan, dan kawin semenda sebagai penyimpangan. Perkawinan semenda sebagai keharusan dijalankan pada masyarakat matrilineal misalnya di Minangkabau. Sedangkan sebagai penyimpangan, perkawinan semendo terdapat dalam masyarakat patrilineal yang seharusnya perkawinan itu dijalankan secara kawin jujur, yaitu sebagai bentuk perkawinan untuk melanjutkan keturunan pihak laki-laki (bapak). Hal ini terjadi apabila di dalam suatu rumah tangga tidak mempunyai keturunan laki-laki. Sehingga dilakukan usaha-usaha antara lain: (1) Laki-laki yang bersangkutan kawin lagi (polygami); (2) Melakukan adopsi (menangkat anak); (3) Salah seorang dari anak perempuan dikawinkan menurut cara kawin semendo. 3. Perkawinan pada masyarakat bilateral (exchange marriage). Pada masyarakat bilateral, amak perkawinan melanjutkan keturunan baik dari pihak bapak, maupun dari pohak ibu. Pada masyarakat bilateral ini tidak dikenal persoalan tentang eksogami ataupun endogamy. Karena itu pada masyarakat bilateral, pada dasarnya orang bebas untuk kawin dengan siapa saja, yang menjadi halangan hanyalah ketentuan-ketentuan yang timbul oleh kaidahkaidah kesusilaan dan agama. Bentuk perkawinan masyarakat internasional atau kawin bebas tidak menentukan secara tegas di mana suami atau isteri harus tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak, yang pada akhirnya ditentukan oleh konsensus antara pihak-pihak tersebut. Pada dasarnya perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Jadi pada masyarakat ke ibu-bapakan tidak ada keharusan untuk eksogami atau endogami. (a) Perkawinan mentas Yang dimaksud dengan perkawinan mentas (mencar, Jawa) adalah bentuk perkawinan di aman kedudukan suami istri dilepaskan dari tanggung jawab orang tua atau keluarga kedua belah pihak, untuk dapat berdiri sendiri membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dalam pelaksanaan perkawinan mentas ini yang penting adalah adanya persetujuan kedua orang tua atau wali dari pihak laki-laki dan perempuan yang bersangkutan, begitu pula adanya persetujuan dari pihak laki-laki dan perempuan yang akan melakukan perkawinan tersebut. (b) Perkawinan anak-anak Di beberapa lingkungan masyarakat adat tidak saja pertunangan yang dapat berlaku sejak masih bayi tetapi juga dapat berlaku perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih belum baligh atau antara laki-laki yang sudah dewasa dengan perempuan yang masih anak-anak atau sebaliknya perempuannya sudah dewasa sedangkan suaminya masih anak-anak. Jadi di beberapa daerah perkawinan anak-anak merupakan perbuatan yang tidak dilarang seperti di kalangan masyarakat adat di daerah Kerinci (Jambi), Toraja (Sulawesi Tengah), di pulau Rote (Nusa Tenggara Timur), kecuali di Bali adalah merupakan perbuatan yang dilarang dan bagi yang melakukannya dapat dihukum. (c) Perkawinan bermadu (polygami) Hamper di semua masyarakat adat terdapat perkawinan bermadu, di maa seorang suami dalam suatu waktu yang sama mempunyai beberapa orang istri. Misalnya dikenal adanya istilah istri-ratu (padmi, Solo-Jawa) dan ada istri selir (doomanga, Pulau Sawu). (d) Perkawinan campuran Perkawinan campuran adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya. 4. Perkawinan lari Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundangan kedua pihak. 3. Kedudukan Perkawinan Adat Dalam Hukum Perkawinan Nasional Hukum adat perkawinan sendiri mempunyai arti Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. 6 Perkawinan menurut hukum adat sendiri bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, pribadi, bergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Sementara pengertian perkawinan di dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan disebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang 6 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: CV. Bandar Maju, 2003), hlm.182. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang perkawinan bahwa adalah untuk suami isteri membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bersifat suci dan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agam/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai perananyang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan ketrunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak an kewajiban orang tua. Hal ini tentu berbeda dengan tujuan perkawinan menurut hukum adat. Pengunifikasian aturan-aturan di bidang hukum perkawinan terjadi ketika lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan). Adanya pengunifikasian Undang-Undang Perkawinan itu secara otomatis seluruh warga negara Indonesia harus menggunakan dasar Undang-Undang No 1 tahun 1974 dalam mengadakan atau menyelenggarakan perkawinan padahal sebenarnya mereka telah mempunyai hukum adat perkawinan sendiri. Di dalam Pasal 64 Undang-Undang Perkawinan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. “Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Namun dengan penafsiran a contrario hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini tetapi ada di hukum adat perkawinan maka tetap berlaku,seperti bentuk perkawinan upacara perkawinan dan lain-lain. Jadi pasal 66 Undang-Undang Perkawinan punya fungsi sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan adat. Kemudian di dalam Pasal 64 Undang-undang Perkawinan berbunyi, “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”. Maka Tolok ukur sah atau tidaknya perkawinan pra (sebelum) UU Perkawinan adlh hukum perkawinan adat, namun pasca Undang-Undang Perkawinan tolok ukur SAH merujuk Pasal 2 UU Perkawinan. Hal ini berarti perkawinan adat orang Indonesia asli adalah sah jika dilakukan berdasarkan hukum adat sesuai dengan pluralisme hukum Perkawinan yang berlaku sebelum Undang-undang Perkawinan. Kemudian untuk lebih lanjutnya hubungan antara hukum perkawinan adat dan Undang-Undang Perkawinan yakni : 1. Ketentuan dalam hukum adat yang sesuai, dimasukkan dalam Undang-Undang Perkawinan; a. Larangan perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (Pasal 8); Pada pasal 8 UU Perkawinan mengambil atau menyerap asas larangan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan dalam sistem eleutherogami (sistem campuran) yaitu larangan menikah apabila kedua calon mempelai mempunyai hubungan turunan dekat dan hubungan periparan yang di jelaskan gamblang dalam pasal 8. b. Ketentuan seorang wanita yang putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11); c. Hak dan kewajiban suami isteri pasal 31 dan 32; Dalam hukum adat masyarakat parental hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga ataupun dalam keluarga adalah sama, dan setelah menikah harus memiliki tempat tinggal yang tetap dan terpisah dari orang tua. Contohnya adalah perkawinan mentas di jawa Setelah perkawinan suami isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing, dan membangun keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua piihak hanya member bekal bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka. Orang tua sebelum perkawinan hanya member nasihat, petunjuk dalam memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga. d. Kedudukan harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 ,36 dan 37 UndangUndang Perkawinan); Di dalam undang undang perkawinan Pasal 35 dan 36 menyebutkan harta yang ada dalm perkawinan adalah harta bersama dan harta bawaan beserta hakhak masing masing dalam kedua harta tersebut. Itu sama dengan harta yang diatur dalam hukum adat yaitu harta bawaan dan harta bersama. Kemudian di dalam Pasal 37 dinyatakan apabila putusnya perkawinan akibat perceraiaan pembagian menurut hukum masing-masing berarti dalam perkawinanperkawinan sebelum adanya Undang-Undang ini diakui pembagian harta menurut hukum adat masing-masing bahkan untuk pernikahan pada saat inipun kebanyakan pembagian masih menggunakan hukum adat hingga salah satu pihak mempersalahkannya baru menggunakan putusan pengadilan. e. Ketentuan hak dan kewajiban orang tua dan anak (Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Perkawinan); Pasal 45 menyatakan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sedangkan pasal 46 mengatakan bahwa anak harus menghormati dan mentaati yang dikehendaki oleh orang tua., jelas terlihat dari kedua hal ini merupakan serapan dari kebiasaan yang ada masyarakat hukum adat. f. Ketentuan memelihara dan mendidik anak akibat putusnya perkawinan (Pasal 41); Pasal ini menyebutkan bahwa : 1) Baik suami atau istri wajib memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri 2) Suami bertanggung jawab atas pemenihan biaya hidup dan pendidikan anak. Isi pasal tersebut sesuai dengan hukum adat masyarakat parental tetapi tidak sesuai dengan masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menyatakan : 1) Patrilineal: setelah perceraian kehidupan anak sepenuhnya di tangan ayah dan kerabat. 2) Matrilineal: kehidupan anak ( dipelihara dan dididik ) oleh ibu dan anggota kerabatnya. g. Ketentuan di dalam Pasal 57 Undang-undang Perkawinan mengenai Perkawinan campuran; Dalam pasal ini yang dimaksudkan adalah perkawinan beda perkewarganegaraan tetapi sebenarnya adalah implementasi dari perkawina campuran antara dua kelompok masyarakat hukum adat. Perbedaan antara perkawinan campuran menurut hukum adat dan hukum perkawinan : a. dalam hukum adat adalah perbedaan adat dari kedua calon mempelai b. sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah perbedaaan status kewarganegaraan. Kemudian persamaan di antara keduanya adalah : a. Salah satu calon mempelai harus masuk dalam kelompok masyarakat adat (hukum adat) atau dalam satu status kewarganegaraan (Undang-Undang Perkawinan ). b. Hukum yang digunakan adalah hukum adat perkawinan kelompok masyarakat adat yang sudah menjadi status adatnya ( hukum adat ) sedangkan Undang-Undang Perkawinan adalah dengan hukum Indonesia bila di Indonesia. 2. Ketentuan dalam hukum adat yg tidak diatur tetapi tidak bertentangan dan masih berlaku; Mengenai hal pertunangan, pemberian hadiah perkawinan, bentuk-bentuk dan upacara perkawinan. Ketentuan pertunangan merujuk pada Pasal 66 Undang- Undang Perkawinan. Selain itu masih adanya lembaga adat seserahan di Jawa Barat yaitu upacara penyerahan calon mempelai laki-laki kepada orang tua calon mempelai wanita sebagai wali yang akan menikahkan kedua calon mempelai. 3. Asas-asas dan/atau ketentuan-ketentuan dalam hukum adat yang tidak sesuai dan tidak berlaku a. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yg menentukan usia kawin sehingga otomatis melarang perkawinan anak-anak (perkawinan gadis muda belia). Tetapi perkawinan anak anak dibolehkan oleh hukum adat karena keluarga kedua belah pihak ingin adanya penyatuan keluarga sehingga menikahkan anak-anaknya walaupun masih berusia belia. b. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yg menyebutkan alasanalasan cerai yg secara otomatis melarang perceraian diluar alasan tersebut, misalnya karena faktor magis (hukum perkawinan adat); c. Dalam hukum adat Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat tidak sesuai dengan Pasal 3 ,4 5 dan 9. UndangUndang Perkawinan tentang perkawinan hanya memperbolehkan seorang suami beristri satu ataupun boleh beristri lebih dari satu (dalam Pasal 3 UndangUndang Perkawinan), dengan syarat syarat pada Pasal 4 dan pasal 5 UndangUndang Perkawinan. Sedangkan dalam pasal 9 dikatakan seorang dalam tali perkawinan tidak dapat kawin lagi jelas bertolak belakang dengan hukum adat yang memperbolehkan seorang suami menikah lebih dari satu istri. d. Kemudian untuk syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan jelas terlihat tidak mengambil asas dari hukum adat. Seperti dalam, “Perkawinan lari” menurut hukum adat bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan sebab adanya perbedaan kedudukan suami dan isteri. Kedudukan suami dan isteri di dalam Undang- undang Perkawinan adalah seimbang. Sementara menurut Perkawinan adat kedudukan suami isteri berbeda atau tidak seimbang.7 Di dalam Pasal 6 yang menyebutkan pernikahan berdasakan persetujuan kedua belah calon mempelai, tidak seperti dalam hukum yang mengatakan Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui masyarakat. Kemudian, Pasal 7 yang mengatakan pernikahan diijinkan apabila calon mempelai pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun, bertolak belakang dengan hukum adat yang tidak mempermasalahkan pernikahan belia atau perkawinan anak-anak. Karena pada dasarnya perkawinan dalam hukum adat adalah sarana untuk menyatukan dan mempererat kekerabatan dua keluarga. Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja pertunangan yang dapat berlaku sejak masa bayi, tetapi dapat juga perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum dewasa, atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak, atau sebaliknya. Di Bali, perkawinan anak-anak merupakan perbuatan terlarang, namun di banyak daerah merupakan perbuatan yang tidak dilarang. Misalnya di Pasundan, berlaku perkawinan anak-anak dimana gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga isteri sambil menunggu waktu isteri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami isteri. Perkawinan yang ditangguhkan masa campur suami isteri disebut “kawin gantung”.8 4. Kondisi Perkawinan Adat Saat Ini Bagi masyarakat adat yang telah memeluk suatu agama tertentu misalnya, Islam. Perkawinan dilangsungkan dengan penerimaan ketentuan-ketentuan hukum 7 Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat setelah Kemerdekaan. (Jakarta: PT. Gunung Agung,1983), hlm.132-134. 8 Yulwhinar Saputra, “Eksistensi Hukum Adat Dalam Undang-Undang Perkawinan”, http://www. academia. edu/ 5038232/ Eksistensi_Hukum_Adat_dalam_UU, diakses tanggal 17 Maret 2014, pukul 14.41 WIB. Islam dalam pelaksanaan perkawinan adatnya telah menjadi gabungan ritus (sifat khas adat tradisional) dan kontrak (sifat khas Islam). Ritus adalah upacara sebelum dan sesudah nikah, sedangkan nikahnya sendiri merupakan kontrak. Di dalam kenyataannya sekarang ini jumlah upacara-upacara adat yang dilakukan pada penyelenggaraan perkawinan adat pada umumnya sudah terbatas pada yang diperlukan secara mutlak saja. Hanya pada perkawinan tertentu saja, misalnya yang terjadi di lingkungan bangsawan atau hartawan, upacara-upacara itu meliputi segala jenis tradisional yang memang seyogyanya dilakukan. PENUTUP Kesimpulan Sebelum adanya unifikasi terhadap Undang-Undang Perkawinan, ketentuan yang berlaku adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lainnya seperti Perkawinan Adat. Hal ini menggambarkan pluralitas hukum perkawinan di negara Indonesia. Namun dengan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai Perkawinan Nasional dalam UndangUndang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Terkhusus mengenai ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum adat, terlihat ada beberapa persamaan dengan Undang-Undang Perkawinan. Namun ada juga ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan sehingga ketentuan tersebut tidak diakui oleh hukum nasional. Dengan demikian asas-asas Perkawinan Adat tidaklah berlaku secara keseluruhan dalam sistem hukum perkawinan Nasional. Adapun eksistensi hukum perkawinan adat pada masa ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dapat didasari dengan berlakunya Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Saran Eksistensi hukum perkawinan adat yang seyogyanya diakui namun dibatasi dengan berlakunya Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1945 Tentang Perkawinan, haruslah diperjelas keberadaannya. Sebaiknya Negara Indonesia mengambil suatu langkah yang tegas mengenai pengakuan terhadap hukum adat terkhusus hukum perkawinan adat. Apakah pengakuan tersebut hanya sebagai bentuk formalitas saja dalam sebuah Peraturan Perundang-Undangan ataukah sebagai bentuk ketegasan dalam penerapannya guna melindungi keberadaan hukum adat dan masyarakat hukum adat. DAFTAR PUSTAKA Hilman, Hadikusuma, 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju. ……….., 2007. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju. Purwadi, 2005. Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soepom, 1986. Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Soerjono, Soekanto, 1992. Intisari Hukum Keluarga. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soerojo, Wignjodipoero, 1983. Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat setelah Kemerdekaan. Jakarta: PT. Gunung Agung. ………., 1984. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Gunung Agung. Trianto dan Titik Triwulan Tutik, 2008. Perkawinan Adat Wologoro Suku Tengger. Jakarta: Prestasi Pustaka. Yulwhinar Saputra, “Eksistensi Hukum Adat Dalam Undang-Undang Perkawinan”, http://www. academia. edu/ 5038232/ Eksistensi_Hukum_Adat_dalam_UU, diakses tanggal 17 Maret 2014, pukul 14.41 WIB.