ANALISIS WACANA KRITIS TEKS BERITA POLITIK DALAM KORAN RADAR MADURA MENJELANG PEMILU LEGISLATIF 2014 Moh. Faridi Mahasiswa Magiter Pendidikan Bahasa Indonesia Abstrak: Analisis wacana kritis adalah analisis wacana yang menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang dapat menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Analisis wacana kritis menempatkan masalah representasi menjadi isu utama dalam penelitian kritisnya, karena media menciptakan realitas dengan tatabahasa dan pilihan kosakata sehingga melahirkan representasi yang beraneka ragam bagi pembacanya. Kata kunci : analisis wacana kritis, teks berita politik Dari berbagai berita yang disajikan oleh media saat ini, berita yang paling banyak mendapat perhatian oleh wartawan adalah berita politik, apalagi mejelang pemilu, media akan menjadi outlet etalase partai politik dalam memperkenalkan dirinya kepada publik. Keadaan ini didukung karena adanya hubungan simbiosis mutualism antara partai dengan media, yaitu disatu sisi partai membutuhkan publikasi, sedangkan media akan mendapat pemasukan dari ruang iklan yang dijual. Dari hal tersebut di atas ada ketimpangan yang terjadi antara fungsi dan tugas jurnalis, dengan berita yang disampaikan dilapangan. Karena seharusnya seorang dengan profesi jurnalis memiliki berbagai macam hak dan kewajiban yang telah diatur dalam kode etik jurnalis, yaitu berita yang ditulis harus menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampur fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. namun pada kenyataannya, berita politik yang disajikan oleh media massa khususnya jika mendekati pemilu bertentangan dengan apa yang tercantum pada kode etik jurnalis. Karena berita yang diangkat adalah berita yang dibuat atas permintaan partai, yang bersedia membayar biaya sesuai kesepakatan yang telah disepakati berdasarkan pada keuntungan belaka. Media di Indonesia sedang memasuki posisi yang absurd. Media tidak lagi sebagai pihak independent dalam tataran demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan seringnya media Indonesia memberitakan suatu hal yang tidak berimbang, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Seharusnya media dapat menyam-paikan kebenaran sejati kepada khalayak, bukan menyampaikan misi tersembunyi dari pemangku kekuasaan yang dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan media berada pada pihak yang benar. Media mempunyai kemampuan untuk menciptakan pencitraanpencitraan kehadapan publik. Tentu dalam hal ini menggunakan berita dengan bahasa se-demikian rupa, sehingga yang disajikan kepada publik dapat menciptakan pencitraan-pencitran, baik positif maupun negatif. NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 710 Analisis wacana kritis menempatkan masalah representasi menjadi isu utama dalam penelitian kritisnya, karena media menciptakan realitas dengan tata-bahasa dan pilihan kosa kata sehingga melahirkan representasi yang beraneka ragam bagi pembacanya. Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan tentang representasi ideolgi dalam teks berita politik Koran Radar Madura menjelang pemilu legeslatif 2014. Adapun secara khusus, terdapat dua tujuan penelitian, yaitu. (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi kosakata dalam teks berita politik yang tersedia dalam koran Radar Madura. (2) Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi tatabahasa dalam teks berita politik yang tersedia menjelang pemilu legislatif 2014 di koran Radar Madura Analisis wacana kritis sebagai tipe analisis wacana, awalnya mengkaji dan mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan diproduksi melalui teks atau wacana dalam konteks sosial politik. Analisis wacana kritis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan studi-studi budaya (Cultural studies), khususnya yang berkembang di inggris, kedalam akar-akar tradisinya sebagai studi kritis (Critical studies). Selanjutnya, analisis wacana kritis mengkaji wacana yang didalamnya mengandung penggunaan bahasa sebagi penyalur informasi sehingga memungkinkan suatu masyarakat mengembangkan budaya, hukum, pandangan atau ideologi, agama, dan adat istiadat. Analisis wacana kritis menempatkan masalah representasi menjadi isu utama dalam penelitian kritisnya, karena media menciptakan realitas dengan tatabahasa dan pilihan kosa kata sehingga melahirkan representasi yang beraneka ragam bagi pembacanya. Menurut stuart Hall (dalam Rianto, 2011:29) Dalam pembentukan realitas tersebut diatas ada dua hal yang menjadi titik kajian analisis wacana kritis, pertama bahasa, sebagaimana dipahami oleh kalangan strukturalis, merupakan sistem penandaan. Realita dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Titik perhatiannya adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan dan ideologi disini berperan. Persoalan utama dalam representasi, pada dasarnya adalah penggambaran mengenai seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan yang ditampilkan dan digambarakan dalam teks berita surat kabar. Menurut John Fiske (dalam Eriyanto, 2011: 114), saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Dalam hal ini wartawan bebas memilih realitas yang mau ditandakan, misalnya, pengeboman kita anggap sebagai realitas ditandakan dengan adanya gambar kondisi yang berasap atau suara bom dalam media visual, transkip wawancara dengan orang yang mengetahui atau saksi mata, pernyataan pers atau dari pihak kepolisian mengenai terjadinya peristiwa tersebut. Kedua, ketika wartawan sudah menentukan realitas, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas tersebut digambarkan. Di sinilah perangkat wartawan secara tekis di gunakan. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau preposisi, grafik, dan sebagainya. Ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensikonvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 711 dihubungkan dan diorganisir ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan dalam masyarakat. Dengan demikian, Jika wartawan melakukan representasi, tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tertentu. Raymon William (dalam Eriyanto, 2011:87) mendifinisikan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sebuah system kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Kedua, sebuah kepercayaan yang dibuat (ide palsu atau kesadaran palsu) yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu, dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lainnya yang tidak dominan. Ketiga, proses umum makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. METODE Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Norman Fairlough, analisis teks ini bertujuan untuk mengungkap makna, dan itu bisa dilakukan diantaranya dengan menganalisis bahasa secara kritis, discourse practice mengantarai teks dengan konteks sosial budaya (socioculture practice). Artinya hubungan antara sosiobudaya dengan teks bersifat tidak langsung dan disambungkan discourse practice. Ada tiga tahap analisis yang digunakan dalam analisis Fairlough (1992:12) antara lain. (a) Deskripsi, yakni menguraikan isi dan analisis secara deskriptif atas teks. (b) Interpretasi, yakni menafsirkan teks dihubungkan dengan praktik wacana yang dilakukan. (c) Eksplanasi, bertujuan untuk mencari penjelasan atas hasil penafsiran peneliti pada tahap kedua. HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan penelitian : Pertama, wartawan menggunakan kosakata asosiasi dalam menggambarkan realitas sebagai klasifikasi, marjinalisasi, pembatasan pandangan dan pertarungan wacana. Adapun kosakata asosiasi yang ada dalam teks berita politik menjelang pemilu legislatif 2014 adalah sebagai berikut: mentah lagi, masih menunggu, memasukkan ratusan pemilih, diberhentikan sepihak, tidak sesuai prosedur, kesiapan pengamanan, KPU Sumenep pusing tujuh keliling, Berdasarkan, temukan, tidak dipilih lagi, calon legislatif yang bersih, bakal mendatangkan masalah tersendiri, lebih tegas, mengaku dipermainkan, sudah mokong namanya, sempat cekcok, menindak tegas, rawan politik uang, menjalankan tahapan, sangat mungkin dilakukan, akan menindak tegas, arogansi, jangan sembarangan, direspon, tidak yakin, yakin. Kedua, terdapat kosakata metafora untuk menunjukkan lebeling negatif dan positif. diantaranya adalah: hujan kritik dan cekcok pun terjadi, memutar otak, Menyusut, makan uang rakyat, akan menguras tenaga, main kucingkucingan, seret politik uang, main sikat, mencium banyak terjadi pelanggaran, rawan disalahgunakan, secara jantan. Ketiga, representasi tatabahasa proses dan partisipan digunakan wartawan Radar Madura dalam menggambarakan realitas sebagai tindakan, peristiwa, keadaan dan proses mental. adapun tatabahasa bentuk partisipan untuk menggambarkan pelaku, korban dan nominalisasi. Keempat, dari penggunaan representasi kosakata dan tatabahasa melahirkan representasi ideologi secara tersirat, NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 712 yaitu ideologi ekonomi, ideologi politis dan ideologi kekuasaan. Pembahasan Penelitian Hasil temuan pertama sesuai dengan teori representasi kosakata yang menimbulkan asosiasi (Eriyanto,2001:290) yang intinya pilihan kosakata yang dipakai berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dikategorisasikan dalam suatu teks tertentu. Kosakata ini sangat menentukan karena berhubungan dengan pernyataan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa itu memunculkan realitas bentukan tertentu. Pemanfaatan kosakata yang mengandung asosiasi dalam penggambaran realitas dapat berpengaruh terhadap makna yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan realitas yang disajikan wartawan tidak seperti apa adanya. Sedangkan penggunaan metafora yang digunakan wartawan tersebut merupakan salah satu strategi wartawan untuk menggambarkan suatu realitas dimaknai positif atau negatif dalam suatu pemberitaan. Pilihan metafora tersebut menunjukkan bahwa wartawan lebih banyak menggunakan kata kias dan peribahasa. Tujuannya adalah makna yang dihasilkan merupakan gambaran realitas yang menggandung nilai positif atau nilai negatif. Penggunaan metafora di atas adalah upaya wartawan dalam menggambarkan seseorang, kelompok, keadaan, peristiwa yang didasarkan pada kepentingan, seperti memburukkan atau memapankan kelompok tertentu. Hasil temuan kedua sesuai dengan teori representasi tatabahasa dalam bentuk tindakan (Eriyanto, 2001:292) yang intinya bentuk tindakan menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk tindakan umumnya, anak kalimat mempunyai struktur transitif (S+V+O). Misalnya dalam kalimat “KPU memasukkan pemilih tersebut kedalam pemilih khusus”. Pada umumnya bentuk peristiwa berbentuk kalimat intransitif (subyek+Verba). Dengan demikian representasi tatabahasa yang digunakan wartawan dalam bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kalimat, baik subyeknya saja atau obyeknya saja Hasil temua tersebut sesuai dengan teori representasi tatabahasa dalam bentuk peristiwa (Eriyanto, 2001:292) yang intinya bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kaliamt, baik subyeknya saja atau obyeknya saja. Representasi bentuk peristiwa dapat dimanfaatkan untuk menyembunyikan subyek atau obyek tertentu dalam pemberitaan. Dengan demikian khalayak tidak akan mengetahui partisipan yang terlibat secara spesifik, yang dipahami khalayak pembaca hanya sebatas peristiwa tanpa mendapatkan gambaran secara utuh. Teori representasi tatabahasa dalam bentuk keadaan (Eriyanto,2001:292) yang intinya bentuk keadaan menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Misalnya dalam kalimat,”serang wanita diperkosa” atau “mahasiswa terbunuh”, hanya menggambarkan keadaan, tanpa harus menyebut dan menyembunyikan subjek pelaku tindakan. Disini hanya menggambarkan bahwa ada wanita yang diperkosa atau mahasiswa yang mati terbunuh. Representasi proses mental tersebut merupakan pilihan kalimat yang digunakan wartawan untuk menggambarkan gejala umum yang membentuk kesadaran umum tanpa menunjuk subjek, pelaku, atau aktor dan korban atau objek secara khusus. Representasi ini adalah hasil konstruksi wartawan untuk memberi gambaran kepada khalayak pembaca tentang fenomena yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Hasil temua sesuai dengan teori representasi tatabahasa dalam bentuk proses mental (Eriyanto, 2001: NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 713 293) yang intinya proses mental menampilkan sesuatu sebagai fenomena, gejala umum yang membentuk kesadaran khalayak tanpa menunjukkan subjek/pelaku, dan korban secara spesifik. Seperti dalam kalimat “pemerkosaan terjadi dimana-mana” hanya menggambarkan fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat. Bentuk-bentuk yang berbeda itu bukan hanya persoalan tatabahasa semata, sebab makna yang diterima khalayak berbeda-beda. Bagaimana suatu peristiwa, tindakan, atau aktor ditampilkan dalam teks secara berbeda dengan menggunakan tata susunan tatabahasa yang berbeda pula. Hasil temuan ketiga sesuai dengan teori representasi tatabahasa dalam bentuk partisipan sebagai subjek (Eriyanto, 2001: 293) yang intinya representasi wartawan sebagai subjek/pelaku umumnya ditampilkan wartawan dalam bentuk kalimat aktif, dimana seorang aktor ditampilkan melakukan suatu tindakan yang menyebabkan sesuatu pada objek/seseorang. Adapaun teori representasi tatabahasa dalam bentuk partisipan sebagai objek (Eriyanto, 2001: 293) yang intinya representasi partisipan sebagai korban/objek digunakan wartawan dalam teks berita surat kabar Radar Madura untuk memberikan gambaran tentang objek (korban) yang disusun dengan kalimat pasif. Sedangkan untuk nominalisasi, wartawan Radar Madura tidak menggunakan bentuk nominalisasi. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada analisis wacaan kritis teks berita politik dalam koran Radar Madura menjelang pemilu legislatif 2014, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Representasi kosakata asosiasi yang digunakan wartawan dalam teks berita politik menjelang pemilu legislatif 2014 dalam Koran Radar Madura merupakan representasi kosakata yang menimbulkan asosiasi tertentu untuk menggambarkan suatu peristiwa atau realitas di kategorikan (klasifikasi, pembatasan pandangan, marjinalisasi, dan pertarungan wacana) kedalam teks berita. Adapun representasi kosakata metafora digunakan wartawan Radar Madura untuk menentukan apakah realitas itu dimaknai positif atau negatif. Representasi penggunaan tatabahasa yang dihadirkan wartawan dalam teks berita politik menjelang pemilu legislatif 2014 dalam Koran Radar Madura meliputi representasi bentuk proses dan representasi bentuk partisipan. Representasi tatabahasa dalam bentuk proses digunakan wartawan untuk menggambarkan realitas dalam bentuk tindakan, peristiwa, keadaan, dan proses mental. Sedangkan representasi tatabahasa dalam bentuk partisipan merupakan representasi tatabahasa yang digunakan untuk menggambarkan apakah seseorang, kelompok, kegiatan, ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa, keadaan, ataukah proses mental. Representasi ideologi dalam teks berita politik koran Radar Madura menjelang pemilu legislatif tersirat dalam penggunaan kosakata dan tatabahasa. Representasi ideologi tersbut adalah ideologi ekonomi, ideologi politis, dan ideologi keukuasaan. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian ( Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta : PT.Rineka Cipta Busri, Hasan. 2008. Karakteristik Teks Berita Surat Kabar (Analisis Wacana Kritis). Malang: Darma, Y.A. 2009. Analisi Wacana Kritis. Bandung : YRAMA WIDYA Dutton, E.P.& Co.inc.1955. Demokrasi Sebuah Pengantar. Terjemahan NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 714 Muhtasar. 2004. yogyakarta: futuh printika. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yokyakarta:PT Lkis pelangi Aksara. Fowler, Roger. dkk. 1979. Language of Ideology. London :Routledge Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London : Edward Arnold. _______________ 1992. “Introduction” dalam Norman Fairolugh (ed), Critical Language Awaarenes. New York : Longman. Hidayat, Imam. 2001. Teori-Teori Politik, Malang : Setara Press. Micheavelli, N. tanpa tahun, Politik Kerakyatan. Terjemahan oleh Parakitri T.simbolon. 2003. Jakarta: KPG (Kepustakaan Popular Gramedia) Ricoeur, Paul. tanpa tahun. Teori Interpretasi. Terjemahan oleh Musnur Hery. 2012. Yogjakarta: IRCiSoD Rani, Abdul. dkk. 2013. Analisis Wacana Tujuan Deskriptif, Malang : Surya Pena Gemilang. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: alfabeta Undang-Undang Republik Indonesia no 40 tahun 1999 tentang Pers. 1999. Jakarta : Departemen Penerangan RI NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 715