KOMODIFIKASI FITUR TUBUH PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK MAKANAN (Studi Kasus TVC TIM TAM SLAM dan TIM TAM CRUSH) Aniendya Christianna Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Universitas Krsiten Petra Surabaya ABSTRAK Daya tarik seksual (utamanya fitur tubuh perempuan) telah menjadi salah satu strategi yang ampuh dalam mengkomunikasikan suatu produk! Dari sekian banyak media, televisi dipandang cukup representatif, karena mampu menciptakan imajinasi sekaligus ketertarikan dalam waktu yang hampir bersamaan. Hal ini tak lepas dari karakteristik televisi yang mampu menyajikan pesan secara audio visual. Kepentingan komersial tersebut memungkinkan perempuan ‘dimanfaatkan’ sebagai sarana untuk mengejar keuntungan dalam meraih pangsa pasar besar. Pada akhirnya memunculkan permasalahan gender, dimana sering dibicarakan dengan menempatkan perempuan sebagai subyek pusat perhatian. Permasalahan gender biasa dilihat sebagai kisah malang perempuan yang termarjinalkan. Karena proses komodifikasi yang digerakkan oleh kapitalisme pada hakekatnya bersifat patriarkhi. Komodifikasi perempuan berlangsung di ruang publik, diangkat sebagai informasi media. Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas terjadi secara tidak langsung dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media. Bahkan pada produk yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan fitur tubuh perempuan sekalipun. Dalam penelitian ini, Tim Tam Slam dan Tim Tam Crush menjadi sampel penelitian. Dimana TVC produk tersebut secara eksplisit menonjolkan sensual approach dalam pemasarannya. Kata Kunci: Komodifikasi, Sensualitas, Iklan televisi ABSTRACT Sex appeal (mainly featuring female body) has become one of a powerful strategy in the process of communicating a product! From several kind of media, television is considered quite representative, because it can allure attention and imagination as well at the same time. Which is related from the characteristics of television that able to present the message in audio visual. That commercial interest obliged women to be 'used' as a means to pursue an advantage in reaching a large market share. It is ultimately led to misogyny issues, by placing women as subjects of interest. This issue is typically seen as a story of poor, marginalized women. Because the commodification process is driven by capitalism that, at its core, is patriarchal. Commodification of women in public space, applied as an information media. Treating women's bodies as a direct commodities commonly occurs indirectly by making women's as a text in the media marketing process. It even happens in a product that’s not directly related to the features of the female body. In this study, Tim Tam Slam and Tim Tam Crush become the study samples. Which is TVC of those products explicitly uses sensual approach as their marketing highlight. Keywords: Commodification, Sensuality, Television Commercial 1 BERMULA DARI GLOBALISASI KE KAPITALISME Diketahui bahwa globalisasi merupakan dampak perkembangan ekonomi dunia. Globalisasi adalah istilah untuk menunjuk suatu proses yang terdiri dari serangkaian unsurunsur eksternal, yang bersifat objektif dan mengubah dunia. Bila globalisasi merupakan proses perubahan pada tataran material atau eksternal, maka globalisme adalah perubahan pada tataran kesadaran refleksi dan subjektif pada individu (Cohen, 2000: 24). Perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi menyebabkan pergaulan antarnegara menjadi lebih erat dan dengan frekuensi lebih tinggi. Teknologi komunikasi dan informasi sedemikian menentukan dalam globalisasi, terutama dalam konteks globalisasi kultural yang melahirkan budaya global sebagai produknya. Munculnya budaya global merupakan hasil langsung dari kapitalisme lanjut yang sedang berlangsung membentuk hasrat, menciptakan kebutuhan dan dengan begitu membuka kesempatan baru bagi akumulasi modal. Budaya global sangat dipengaruhi oleh komodifikasi, komersialisasi dan konsumerisme yang disetir oleh industri komunikasi: periklanan dan media dalam rangka memaksimalkan keuntungan. Kapitalisme menanamkan keyakinan bahwa masyarakat sangat berpartisipasi aktif dalam menciptakan apa yang menjadi kebutuhannya (: bukan apa yang dibutuhkan, tetapi apa yang dapat dikonsumsi). Masyarakat konsumsi tersebut telah menjadi objek tanda sebagai komoditi. Peran media menjadi sentral; melalui media tanda-tanda direproduksi terusmenerus. Kontrol dijalankan atas masyarakat konsumen terutama dengan membentuk hasrat untuk mengkonsumsi citra dan makna yang dilekatkan pada komoditi tertentu. Dan media telah menjadi aktor sekaligus menjadi perpanjangan tangan dari kapitalisme. Melalui media, nilai-nilai budaya global dibentuk dan distribusikan (sosialisasi). Revolusi teknologi komunikasi dan informasi semakin memperluas peran media bahkan hingga merambah wilayah yang semula tabu untuk didiskusikan. PERKAWINAN KAPITALISME DAN PATRIARKHI Sistem industri merupakan bagian penting dari ideologi kapitalisme lanjut dalam menciptakan budaya konsumtivisme, sebuah budaya yang menampung minat, hasrat dan kebutuhan masyarakat. Konsumtivisme bermakna sebagai sebuah budaya yang didalamnya terdapat berbagai bentuk citra, ilusi, mimpi, hal-hal artifisial, dan kedangkalan yang dikemas dalam wujud komoditas yang kemudian dikonstruksi secara sosial dengan membentuk kesadaran palsu. 2 Salah satu aktivitas kaum kapitalis dalam mencari pembeli atau pasar bagi produknya adalah propaganda iklan. Tujuan dihadirkannya iklan adalah membangun suatu image tentang produk yang bersangkutan. Oleh karena itu, iklan selalu memberikan gambaran tentang image yang akan ditimbulkan jika dikonsumsi. Di dalam kegiatan konsumsi terjadi transfer makna ‘kebebasan yang ilusif’ kepada setiap konsumen (Sarup, 2003: 286). Jadi, produk tidaklah sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna yang berhubungan dengan sistem kebutuhan manusia lagi, tetapi lebih pada nilai tanda. Fungsi komoditas tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan individu, tetapi juga menghubungkan individu dengan tatanan sosial. Konsumsi lebih dari sekadar titik akhir dari rangkaian kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalisme yang dimulai dengan produksi, namun juga merupakan bagian penting dari ideologi kapitalisme lanjut. Kehidupan dalam dunia yang didominasi oleh konsumtivisme menjadikan hampir seluruh energi manusia tertuju pada pemuasan hasrat mengkonsumsi. Pemenuhan hasrat mengkonsumsi tersebut sejalan dengan etika hedonisme, yaitu bahwa segala sesuatu yang membawa kenikmatan adalah ‘baik’. Norma dan moralitas dalam masyarakat konsumtivisme dilanda krisis. Krisis moralitas dalam masyarakat konsumtivisme membuat pusat gravitasi digantikan oleh ekonomi libido. Inilah yang disebut sebagai fetisme masyarakat modern, dengan fenomena komodifikasi fitur tubuh perempuan dalam media massa (elektronik). Iklan seringkali memanfaatkan perempuan sebagai catch-attention pada berbagai produk. Kapitalisme dan iklan memiliki perkawanan yang akrab. Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai ‘sesuatu’ yang emosional, mudah dipengaruhi dan glamour. Perempuan yang dipasang sebagai objek sekaligus target iklan, merupakan gambaran peran perempuan yang mengalami bias. Perempuan masih berada dibawah bayang-bayang dominasi laki-laki. Pada akhirnya, penulis menyoroti dilema penggunaan fitur tubuh perempuan yang kerapkali menimbulkan konflik. Bisnis periklanan tampaknya akan terus-menerus berhadapan dengan segala macam bentuk kritik apabila eksplorasi dan eksploitasi perempuan hanya sebatas peran seksualnya, tanpa peduli peran-peran produktif perempuan sebagai subyek. Produk apa pun diluar seks, kini secara ‘ajaib’ dapat diseksualitaskan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa ekonomi kini telah dikuasai oleh semacam libidonomics (nemein= mendistribusikan + libido= energy nafsu), yakni pendistribusian hawa nafsu. Berkembang dan mengakarnya budaya patriarki membuat perempuan telah lama dihegemoni. Perkawinan antara kapitalisme dan patriarki membuahkan suatu simbol baru yang semakin mengorbankan perempuan. Komoditas sendiri dalam dunia kapitalisme merupakan penciptaan ilusi dan 3 manipulasi sebagai cara mendominasi selera masyarakat yakni dengan penggunaan sensualitas melalui fitur tubuh perempuan. IKLAN TELEVISI MENGKONSTRUKSI NILAI SOSIAL BUDAYA Televisi layaknya kotak ajaib yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia saat ini, menawarkan kenikmatan dengan instan, yakni hiburan sekaligus infromasi. Sejumlah iklan televisi menyajikan kualitas citra yang jauh dari sempurna dan ditayangkan dalam frekuensi yang tinggi. Keunggulannya menimbulkan dampak yang signifikan pada pemirsa, yakni dampak kognitif, dimana pemirsa menjadi mampu menyerap dan paham pada apa yang ditayangkan televisi sehingga melahirkan pengetahuan baru; dampak peniruan (berkaitan dengan trend teraktual) dan dampak perilaku, dimana terjadi proses penanaman nilai sosial budaya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hiruk pikuk representasi iklan, citra sendiri menjadi rumus dasar untuk menjadikan objek komoditi semakin bermakna. Dalam hal ini kreativitas memegang peranan penting dalam menciptakan sebuah iklan. Proses estetis akan menyinggung berbagai pengorganisasian seni untuk menciptakan karya yang persuasif. Tak jarang pula untuk lebih mengeksplisitkan nilai instrinsik, iklan divisualisasikan dengan penjabaran terhadap pendekatan motif-motif tertentu yang secara psikologis ikut membentuk suatu citra. Permasalahan yang timbul, manakala estetisasi untuk merefleksikan sebuah citra, mengkomodifikasikan fitur tubuh salah satu gender, sehingga menyinggung ekualiti gender. Penjabaran citra dalam iklan televisi, divisualisasikan dengan demikian indah, tulus dan bahkan penuh keharuan, lewat sudut pandang kamera serta efek tertentu untuk mendramatisasi pesan, sehingga secara tidak sadar semakin melegitimasi citra perempuan dalam konstruksi sosial. Terlebih rekonstruksi gender ini dikemas dalam representasi iklan ditayangkan lewat media televisi yang kapasitas audience-nya sangat luas dan berdampak signifikan. Singkat kata, iklan televisi disamping sebagai media informasi juga bermanfaat sebagai media hiburan dan media edukasi bagi masyarakat. Demikian tingginya kepercayaan masyarakat terhadap media ini, sehingga apa pun yang ditayangkan dianggap sebagai kebenaran. Hal ini disebabkan karena pada umumnya media massa mempunyai kemampuan mengagendakan berbagai persoalan yang ada di benak masyarakat. Dan pada akhirnya media massa berfungsi sebagai penanam nilai dan mengkonstruksi sosial budaya dalam masyarakat. 4 DILEMA SEKSUALITAS DAN SENSUALITAS Seksualitas menurut Weeks (1985: 3), kebanyakan mengenai kata, imaji, ritual dan fantasi menyangkut tubuh. Lebih lanjut oleh Giddens mendefinisikan seksualitas sebagai konstruksi sosial yang beroperasi dalam wilayah-wilayah kekuasaan. Bukan sekedar sekumpulan dorongan biologis yang menemukan atau tidak menemukan pelepasannya (2004: 30). Tubuh dengan bagian-bagiannya telah dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual dan moral, yang seringkali kontroversial (Synnott, 2003: 11-12). Kini telah berkembang pengertian bahwa seksualitas bukanlah dorongan dari dalam atau bersifat biologis, melainkan bentuk perilaku dan pikiran yang ditempa oleh relasi kekuasaan dan dijalankan untuk tujuan yang lain diluar kepentingan seksualitas itu sendiri. Gagasan mengenai tubuh dan seksualitas sangat dipengaruhi oleh pandangan agama, khususnya monoteisme dan filsafat Barat. Pada umumnya, agama dan filsafat telah mempolarisasikan tubuh dan jiwa. Tubuh kerap kali dilihat sebagai kecenderungan-kecenderungan liar yang bisa mengancam keberadaban kehidupan publik. Oleh sebab itu, tubuh seharusnya ‘dijinakkan’ melalui berbagai pola pelatihan dan pendidikan. Seksualitas dan sensualitas sebenarnya merupakan unsur yang inheren dalam kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat Indonesia menganggap seksualitas merupakan inti dari keberadaan manusia, sehingga dianggap demikian agung. Namun, seksualitas akan menjadi sebuah istilah yang dangkal makna, ketika diasosiasikan dengan aspek biologis, lebih-lebih diperlakukan sebagai sebuah komoditi. Seksualitas memberikan pemahaman yang cukup kompleks, karena didalamnya bertalian dengan aspek biologis-anatomis (perkelaminan), psikis (kewanitaan-kepriaan), mental (sifat penampilan), moral-etis (kendali diri), sosio-religius (pernikahan), filosofi, dan antropologis. Jadi pemaknaan seksualitas seharusnya tidak direduksi hanya sebatas aspek biologis semata. The power of impression dari iklan adalah seberapa mampu memukau perhatian pemirsanya. Untuk menarik pemirsanya, iklan dapat juga menggunakan tema-tema erotis. Iklan yang berisi daya tarik seksual akan efektif bila relevan dengan pesan penjualan dalam iklan. Bila digunakan dengan benar, dapat menimbulkan perhatian, meningkatkan ingatan dan menciptakan asosiasi yang menyenangkan dengan produk yang diiklankan. Namun, sayangnya, kini segala produk dapat ‘diseksualitaskan’. Di era kapitalisme lanjut, posisi perempuan dalam masyarakat konsumsi, memiliki fungsi dominan sebagai pembentuk ‘citra’ 5 (image) dan ‘tanda’ (sign) berbagai komoditi. Ekonomi libido dalam kapitalisme lanjut telah menjadikan tubuh dan hasrat sebagai titik sentral komoditi. KOMODIFIKASI FITUR TUBUH PEREMPUAN Bila disimak lebih jauh, daya tarik seksual dalam periklanan sendiri terdapat tiga bentuk, nuditas, bahasa tubuh dan kata-kata yang menjurus kearah seksualitas. Daya tarik seksual mempunyai beberapa peran yang potensial. Pertama, materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik untuk mengambil perhatian sekaligus mempertahankan perhatian untuk jangka waktu yang lama. Hal ini disebut dengan stopping power – kekuatan untuk menghentikan, oleh karena itu seringkali mempertontonkan model yang menarik dalam pose sensual (Shimp, 1986: 346). Peran kedua adalah untuk meningkatkan ingatan terhadap pesan. Peran yang ketiga adalah untuk membangkitkan tanggapan emosional, seperti senang, atau bahkan nafsu. Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan perasaan negatif, yang pada akhirnya mempengaruhi penerimaan khalayak terhadap produk. TIM TAM dari ARNOTTS, sebuah produk makanan ringan berbahan dasar biskuit cokelat, memvisualisasikan kenikmatan tiada tara dalam TVC-nya. Secara jelas, bagianbagian tubuh perempuan diekspose sedemikian rupa, didukung pula dengan pengambilan gambar yang perlahan dan repetitif. Bibir, kaki, leher dan lidah dipoles sedemikian rupa sebagai magnet. Terlebih ditampilkan secara extreme close up. Fenomena ini merupakan penyamaran yang dilakukan dalam bentuk komodifikasi. Yaitu memoles nilai guna dengan nilai lain agar lebih menarik. Pada visualisasi TVC Tim Tam Crush, mata, bibir, leher dan bahasa tubuh dipoles sedemikian erotis untuk mencapai efektifitas pesan. Menganalogikan kenikmatan biskuit cokelat setara dengan kenikmatan orgasme. Peran perempuan dengan unsur dekoratifnya dibidik secara berlebihan sehingga tanpa disadari rangsangan yang sudah tertancap pada memori membentuk dan memperkuat persepsi individu tentang peran perempuan. Simbol-simbol itu semata-mata dilekatkan pada aktivitas erotisme sensual. Dalam masyarakat komoditas, kecantikan dan ketampanan adalah komoditas yang berharga. Dikonsumsinya manusia sebagai pemuas libido, dalam hal ini melalui mata. Sensualitas tubuh perempuan seringkali tampil dengan bentuk fragmenfragmen tubuh sebagai ‘penanda’ (signifier) dengan berbagai posisi dan pose, serta dengan berbagai asumsi ‘makna’. Fitur tubuh perempuan ditempatkan ke dalam ‘sistem tanda’ dalam komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah 6 dada, semuanya menjadi fragmen-fragmen tanda di dalam media patriarkhi, yang digunakan untuk menyampaikan ‘makna’. Gambar 1. Capture TVC Tim Tam Crush (sumber: http://www.youtube.com/watch?v=323zOSGkadM) 7 Eksistensi perempuan dalam wacana ekonomi politik dunia komoditas telah mengangkat paling tidak tiga persoalan, yakni tubuh, tanda dan hasrat. Artinya penggunaan tubuh dan representasi tubuh yang ada dalam iklan tidak saja menyangkut relasi ekonomi tetapi juga relasi ideologi. Bahwa tubuh perempuan ‘dimanfaatkan’ dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan konstruksi sosial atau ‘ideologi’ tertentu. Perempuan diproduksi sebagai tanda-tanda dalam sebuah sistem pertandaan yang membentuk citra, makna dan identitas diri, khususnya dalam masyarakat kapitalis. Persoalan tubuh, tanda dan hasrat merupakan bagian dari sistem sosial, budaya dan psikis perempuan. Justru persoalan inilah yang tidak pernah disentuh; bahwa iklan telah digunakan sebagai pencipta common sense membentuk kebutuhan, nilai-nilai bahkan ideologi. Seksualitas dipahami pada dimensi biologis-fisiknya, sementara dimensi behavorial, psiko-sosial, klinis, atau dimensi kulturalnya belum begitu banyak diangkat sebagai isu penting. Pada gilirannya ini akan menjadikan masyarakat untuk memandang tubuh perempuan sebagai komoditi semata. Maka perempuan pada tataran hakikinya telah menjadi korban yakni perempuan seolah-olah dipaksa melakukan ‘perekayasaan’ tubuh dan aksen libido yang melekat padanya, agar sesuai tuntutan produksi industri. Mencermati iklan komersial ini dari perspektif gender, maka akan segera memberikan bukti empiris dari satu sisi suram ‘politik ekonomi kapital’ yang sangat revolutif dan mengglobal keberadaannya. Ketika wacana iklan sebagai salah satu alat profit komoditas, ternyata telah terlampau jauh menyinggung sensitivitas ketidakadilan gender. Maka ketika itu pula perempuan sebagai manusia sudah sedemikian jauh tereduksi harkatnya. Kerap kali menjadi termarginalkan keberadaannya. 8 Gambar 2. Capture TVC Tim Tam Slam (sumber: http://www.youtube.com/watch?v=I-SafJr48h8) 9 Lanjutan Gambar 2. Capture TVC Tim Tam Slam (sumber: http://www.youtube.com/watch?v=I-SafJr48h8) 10 PENUTUP Representasi iklan televisi dapat dikatakan sebagai perpanjangan dari sistem kapitalisme. Problemnya terletak pada apakah kekuatan ekonomi dari pemilik modal dapat dengan semena-mena mengeksploitasi ekspetasi manifestasi gender. Hal ini berpulang pada para pelaku kreatif dalam menangkap kode-kode sosial untuk ditransformasikan kedalam proses berpikir kreatif. Tetapi tanggung jawab terhadap citra-citra tersebut tidak dapat hanya dibebankan langsung pada pelaku kreatif. Hal ini adalah tanggung jawab masyarakat bersama sebagai komunitas berbudaya. Untuk menjadikan konsep berkesenian kearah yang lebih manusiawi. Untuk membahasakan suatu citra, seyogyanya pelaku kreatif tidak mengorbankan martabat gender dengan dalih sebagai komoditas citra. Justru dengan mengedepankan martabat dan norma sosial yang lebih ‘manusiawi’ maka konsep kreatif akan lebih mempunyai makna estetis. Dimana keberadaan estetika merupakan pandangan tentang penyempurnaan diri yang mencerminkan endapan-endapan nilai tentang apa yang baik dan benar, adil dan mendidik kearah kebaikan. DAFTAR PUSTAKA Sarup, Madan. 2003. Baudrillard dan Beberapa Praktik Kultural dalam Post-Structuralism and Postmodern: sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela. Cohen, Robin. 2000. Global Sociology. London: Macmillan Press Ltd. Weeks, Jeffrey. 1985. Sexuality and Its Discontents. London & New York: Routledge & Kegan Paul. Giddens, Anthony. 2004. Transformation of Intimacy: Seksualitas, cinta dan Erotisme dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Fresh Book. Synnott, Anthony. 2003. Tubuh social: Simbolisme Diri dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra. Shimp, Terence A. 1986. Promotion Management and Marketing Communications. Orlando, Florida: The Dryden Press, Holt, Rinehart and Winston Saunders College Publishing. http://www.youtube.com/watch?v=323zOSGkadM http://www.youtube.com/watch?v=I-SafJr48h8 11