BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Serviks Serviks

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Serviks
Serviks merupakan bagian dari organ reproduksi wanita yang
paling sempit dan paling bawah dari uterus. Serviks dapat berbentuk
menyerupai silinder maupun kerucut (Katz et al., 2007).
Berdasarkan epitel yang melapisi, serviks dibagi 2 yaitu
endoserviks dan ektoserviks. Endoserviks merupakan kelanjutan dari
uterus yang dilapisi oleh epitel kolumner. Ektoserviks merupakan
bagian dari serviks yang menonjol ke vagina dan dilapisi oleh epitel
skuamous bertingkat (Safaeian et al., 2007).
Pada masa embrio endoserviks dan ektoserviks dilapisi oleh
epitel yang sama yaitu epitel kolumner, tetapi selama perkembangan
fetus epitel kolumner di ektoserviks akan mengalami perubahan
menjadi epitel skuamous atau metaplasia. Setelah lahir terbentuk zona
yang membedakan sel skuamous dan sel kolumner di antara
endoserviks dan ektoserviks yang dinamakan Squamocolumnar
Junction (SCJ). Posisi Squamocolumnar Junction dipengaruhi oleh
hormon saat pubertas, kehamilan, dan menopause (Heffner dan Schust,
2014).
Dengan dimulainya masa pubertas Squamocolumnar Junction
akan semakin ke bawah (Kumar et al., 2013). Estrogen mempengaruhi
perubahan bentuk dan volume serviks sehingga Squamocolumnar
Junction ke luar ke ektoserviks. Terpaparnya epitel kolumner oleh
sekret vagina yang asam mengakibatkan perubahan epitel kolumner
menjadi epitel skuamous (Heffner dan Schust, 2014). Epitel kolumner
yang mengalami metaplasia akan membentuk zona transformasi
(Kumar et al., 2013). Zona transformasi sangat penting karena
terbentuknya displasia pada serviks terjadi pada daerah ini (Katz et al.,
2007). Setelah menopause Squamocolumnar Junction mundur ke dalam
endoserviks (Heffner dan Schust, 2014).
Epitel kolumner
Squamocolumnar Junction
Epitel skuamous
Zona transformasi
Vagina
Gambar 2.1 Serviks
Diadaptasi dari Kumar et al. (2013)
2. Kanker Serviks
a.
Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang terjadi pada selsel serviks (Depkes RI, 2009). Kanker serviks terjadi ketika sel-sel
serviks mulai membelah secara tidak terkontrol. Sel-sel ini akan
membentuk massa atau tumor. Sel-sel kanker ini dapat menginvasi
jaringan yang normal dan menyebar ke luar ke organ lain
(metastasis) (Spencer, 2007).
b.
Epidemiologi
Kanker serviks merupakan kanker terbanyak ke-4 pada
wanita di dunia. Dalam bidang ginekologi kanker ini menempati
urutan ke-2 terbanyak setelah kanker payudara. Pada tahun 2012
sebanyak 527.600 kasus baru ditemukan dan 265.700 wanita
meninggal di dunia. Insidensi kanker serviks tertinggi berada di
Afrika, Amerika latin dan Karibian (Torre et al., 2015).
Sekitar 87% kasus kematian kanker serviks terjadi di
negara berkembang. Di Sub-sahara Afrika sebanyak 34,8 kasus
baru kanker serviks terdiagnosis setiap 100.000 wanita pada
setiap tahunnya dan 22,5 per 100.000 meninggal dunia. Jumlah
tersebut sangat berbeda drastis jika dibandingkan Amerika Utara
dengan 6,6 per 100.000 kasus baru dan 2,5 per 100.000
meninggal dunia (Torre et al., 2015).
c.
Etiologi
Human Papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama
kanker serviks (Schorge et al., 2008). Dalam sebuah studi pada
hampir 1000 kasus kanker serviks, prevalensi infeksi HPV sebesar
99,7% (Hacker dan Friedlander, 2010). Tipe HPV dibagi dalam
HPV risiko tinggi dan risiko rendah. HPV tipe 6 dan 11 merupakan
HPV tipe risiko rendah. Tipe ini lebih berhubungan dengan kutil
kelamin daripada kanker serviks, karena sangat jarang ditemukan
pada spesimen kanker serviks (Castellsagué et al., 2012). Adapun
HPV tipe 16 dan 18 sangat dikaitkan dengan tingginya derajat
displasia dan kanker. Risiko terjadinya displasia meningkat
sebanyak 9-16 kali pada infeksi HPV tipe 16 dan 18 (Escobar et al.,
2007).
d.
Faktor Risiko
1) Aktivitas Seksual
Infeksi HPV sering dihubungkan dengan penyakit
menular seksual. Infeksi HPV dipercaya mudah ditularkan
lewat
mikrotrauma
pada
mukosa
atau
kulit
selama
berhubungan seksual. Semakin banyak seorang wanita
memiliki pasangan seksual dinilai meningkatkan risiko kanker
serviks. Memiliki pasangan seksual > 1 dapat meningkatkan
risiko kanker serviks sebesar 3,85 kali (Aziz, 2009).
Berhubungan seksual pertama kali terlalu dini yaitu
kurang dari 20 tahun diperkirakan meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks (Schorge et al., 2008). Studi yang
dilakukan Louie et al., (2009) didapatkan bahwa berhubungan
seksual pertama kali pada umur 17-20 tahun meningkatkan
risiko sebesar 1,8-2,1 kali. Risiko akan semakin meningkat jika
hubungan seksual pertama kali dilakukan pada usia ≤ 16 tahun
yaitu sebesar 2,3-2,5 kali. Hal ini dihubungkan dengan lebih
rentannya serviks terhadap infeksi HPV (Flores et al., 2008).
2) Usia
Risiko kanker serviks meningkat seiring bertambahnya
usia (Hasan, 2009). Mekanisme penyebabnya masih belum
jelas. Diduga melibatkan beberapa faktor seperti sistem imun
tubuh, status hormonal dan perubahan fisiologi dari serviks
(Manton et al., 2009).
Kanker serviks dapat dideteksi sejak umur belasan
tahun tetapi perkembangan kanker akan dimulai setelah umur
25 tahun (Hasan, 2009). Risiko terjadinya kanker serviks
meningkat pada usia lebih dari 25 tahun (Flores et al., 2008).
3) Paritas
Wanita dengan paritas tinggi cenderung berisiko
terkena kanker serviks. Jika dibandingkan dengan wanita
nulipara, risiko kanker serviks meningkat 3,8 kali pada wanita
dengan 7 kali memiliki kehamilan penuh (Muñoz et al., 2002).
Penyebabnya dihubungkan dengan penurunan pada sistem
imun tubuh ibu dan terjadi perubahan hormon yang signifikan
selama kehamilan. Hal tersebut membuat tubuh lebih rentan
terhadap infeksi HPV atau dapat terjadi perkembangan yang
cepat pada lesi prakanker menjadi kanker ganas (Spencer,
2007). Selain itu juga diduga karena trauma yang terjadi ketika
melahirkan dan perubahan letak zona transformasi (Hoskins et
al., 2005).
4) Riwayat Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal dihubungkan dengan risiko
kanker
serviks.
Kontrasepsi
hormonal
berperan
dalam
perkembangan displasia dan karsinogenesis pada serviks
(Anderson et al., 2008). Estrogen diperkirakan memengaruhi
transkripsi dan ekspresi dari onkogen HPV (Schmeink et al.,
2010).
Semakin lama penggunaan kontrasepsi hormonal maka
akan semakin meningkatkan risiko kanker serviks. Penggunaan
kontrasepsi hormonal selama 1-4 tahun meningkatkan risiko 2
kali terkena kanker serviks daripada wanita yang tidak pernah
menggunakan
kontrasepsi
hormonal.
Risiko
semakin
meningkat menjadi 4,5 kali setelah penggunaan 5 tahun dan
seterusnya (Paramita et al., 2010).
5) Merokok
Merokok
merupakan
salah
satu
faktor
yang
dihubungkan dengan risiko kanker serviks. Merokok diketahui
dapat merusak sistem imun. Hal tersebut dimungkinkan
menjadi penyebab tubuh gagal melawan infeksi HPV. Selain
itu nikotin yang terkandung dalam rokok dapat diserap tubuh
melalui paru-paru dan dengan sirkulasi darah sampai ke
serviks (Spencer, 2007). Nikotin dapat dipecah tubuh dan
menginduksi terjadinya kanker akibat bahan kimia (Hasan,
2009). Penelitian membuktikan bahwa nikotin ditemukan pada
mukosa serviks wanita yang merokok (Escobar et al., 2007).
Faktor risiko terjadinya kanker serviks meningkat
dengan seringnya wanita merokok dalam sehari maupun
setahun. Pada wanita yang merokok risiko terjadinya displasia
meningkat 3-4 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak
merokok. Sedangkan risiko terjadinya kanker serviks pada
wanita merokok adalah 2 kali lebih tinggi daripada bukan
perokok (Spencer, 2007).
6) Riwayat Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks. Infeksi Chlamydia trachomatis dan
Herpes Simplex Virus tipe 2 (HSV 2) pada wanita dengan HPV
positif dapat meningkatkan risiko kanker serviks. Adanya
radikal bebas dan DNA yang tidak stabil akibat inflamasi
diduga menjadi penyebabnya (Castellsagué et al., 2012).
7) Immunocompromised
Faktor risiko lain dari kanker serviks adalah lemahnya
sistem imun seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh HIV atau
mengkonsumsi obat penekan sistem imun. Ketika sistem imun
tubuh seseorang lemah, seseorang akan lebih rentan terinfeksi
HPV. Pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun,
displasia yang sudah terbentuk pada serviks dapat berkembang
menjadi kanker dengan lebih cepat dibandingkan wanita tanpa
sistem imun yang lemah (Spencer, 2007).
8) Sosial Ekonomi
Risiko kanker serviks dihubungkan dengan rendahnya
sosial ekonomi. Status sosial ekonomi dapat dilihat dari
pendidikan maupun pendapatan (Parikh et al., 2003).
Rendahnya pendidikan dan pendapatan dapat meyebabkan
kurangnya melakukan skrining terhadap kanker serviks
(Schorge et al., 2008; Spencer, 2007). Akibatnya, pada
kebanyakan kasus gejala kanker serviks muncul ketika kanker
telah memasuki stadium lanjut (Spencer, 2007). Selain itu
menikah dini, melahirkan dini dan memiliki banyak pasangan
seksual yang pada negara dengan keadaan sosial ekonomi yang
rendah seperti pada negara berkembang meningkatkan risiko
terjadinya kanker serviks (Onhosi, 2013).
e.
Patofisiologi
Kanker serviks sebagian besar berkembang pada zona
transformasi (Sichero dan Villa, 2013). Hal ini dikarenakan
cepatnya pergantian sel sehingga menjadi tempat yang mudah
mengalami karsinogenesis jika terpapar karsinogen (Safaeian et al.,
2007). HPV dapat menginfeksi lewat mikrotrauma (Spencer,
2007). Trauma ini dapat diakibatkan oleh hubungan seksual
(Sichero dan Villa, 2013).
Setelah masuk HPV akan dilawan oleh sistem imun
(Rajaram et al., 2012). HPV ini dapat mengalami dorman atau
bereplikasi (Pandey et al., 2002). Beberapa tipe HPV memiliki
genom yang dapat berintegrasi dengan genom manusia (Schorge et
al., 2008). Tipe tersebut adalah HPV 16 dan 18 (Escobar et al.,
2008). Integrasi genom tersebut menyebabkan replikasi protein E1
dan E2 HPV. Protein ini membuat virus bereplikasi pada sel
serviks (Schorge et al., 2008).
Integrasi
genom
juga
menyebabkan
ekspresi
yang
berlebihan dari 2 gen virus yaitu E6 dan E7. Gen HPV tersebut
akan
memproduksi
onkoprotein
E6
dan
onkoprotein
E7.
Onkoprotein E6 akan mendegradasi p53 dan onkoprotein E7 akan
menginaktifasi gen Retinoblastoma (Rb). P53 dan gen Rb memiliki
peran dalam supresi tumor. Jika terjadi pengurangan pada ekspresi
supresor tumor tersebut maka dapat terjadi proliferasi dan
imortalisasi pada sel serviks yang akan mengarah pada terjadinya
kanker (Schorge et al., 2008; Barbieri, 2010).
Terjadinya kanker serviks dimulai dari lesi prekanker yang
dapat berkembang dalam beberapa puluh tahun sebelum akhirnya
menjadi kanker. Lesi prekanker lebih sering disebut Cervical
Intraepithelial Neoplasia (CIN) (Kumar et al., 2013).
Displasia atau CIN merupakan kelainan atau perubahan
yang terjadi epitel serviks. CIN dibagi dalam 3 derajad tergantung
pada tebalan epitel yang mengalami perubahan. CIN 1 merupakan
displasia ringan (Katz et al, 2007). Tebal epitel yang mengalami
perubahan mengenai sepertiganya (Kumar et al., 2013). Jika terjadi
perubahan ketebalan epitel mencakup setengah sampai dua pertiga
disebut CIN II atau displasia sedang. Ketika proses neoplastik
mencakup seluruh atau hampir seluruh tebalnya epitel maka
disebut sebagai CIN III atau displasia berat atau karsinoma insitu.
CIN ini dapat berkembang menjadi kanker invasif (Katz et al.,
2007). CIN I dapat dikategorikan sebagai Low-grade Squamous
Intraepithelial Lesion (LSIL). Sedangkan CIN II dan CIN III
dikategorikan dalam HSIL High-grade Squamous Intraepithelial
Lesion (HSIL) (Kumar et al., 2013).
f.
Diagnosis
1) Anamnesis
Pasien
dengan
kanker
serviks
sebagian
besar
mengeluhkan adanya perdarahan atau keluarnya cairan
abnormal dari vagina. Perdarahan ini dapat berupa perdarahan
pasca menopause, perdarahan di luar menstruasi dan
perdarahan setelah pasca senggama (Saxena, 2015).
Pada stadium lanjut dapat gejala dapat berupa cairan
vagina yang kuning dan berbau busuk. Nekrosis tumor dapat
menyebabkan nyeri pada pelvis. Jika tumor mengenai dinding
pelvis dapat menimbulkan gejala nyeri pinggang, obstruksi
saluran kencing dan hidronefrosis. Metastasis pada kandung
kemih dan rektum dapat menimbulkan hematuria dan
hematochezia (Giuntoli et al., 2008).
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien stadium awal biasanya
tidak menunjukkan kelainan. Metastasis awal kanker serviks
pada awalnya akan menyebabkan pembesaran kelenjar getah
bening di sekitar serviks yaitu di daerah pelvis dan aorta.
Terkadang pembesaran kelenjar bening tersebut dapat teraba
pada pemeriksaan fisik. Pada stadium lanjut dapat ditemukan
asites, pembesaran kelenjar inguinal dan efusi pleura (Roman,
2010).
Pada kanker yang mikroinvasif pemeriksaan spekulum
serviks dapat tampak normal. Pada pemeriksaan spekulum
pada lesi yang terlihat, lesi tersebut dapat bervariasi. Lesi dapat
berupa lesi ulseratif, endofitik, eksofitik, papilari, nekrotik dan
lesi yang rapuh. Pemeriksaan bimanual penting dilakukan
untuk
menentukan
dimensi
dari
tumor.
Sedangkan
pemeriksaan rektovaginal dilakukan untuk mengetahui adanya
penyebaran tumor ke parametrium (Roman, 2010).
3) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
IVA merupakan tes sederhana dan murah untuk
skrining kanker serviks. Tes ini dilakukan dengan inspeksi
pada serviks yang telah diberi asam asetat encer dengan
konsentrasi 3-5%
terlebih dahulu. Bagian serviks yang
abnormal akan berubah menjadi keputihan (Escobar et al.,
2007).
4) Pap Smear
Pap smear merupakan tes yang digunakan untuk
skrining kanker serviks, tetapi tes ini tidak selalu dapat
mendeteksi kanker serviks karena sensitivitasnya hanya 5580%. Biopsi tetap menjadi alat diagnosis primer dalam
menegakkan diagnosis kanker serviks (Schorge et al., 2008).
5) Kolposkopi dan Biopsi
Kolposkopi dilakukan jika ditemukan hasil abnormal
pada pap smear. Pemeriksaan kolposkopi menggunakan
mikroskop untuk melihat lebih jelas dari jaringan yang
abnormal. Kolposkopi ini akan memberikan arahan pada
pengambilan biopsi (Escobar et al., 2007).
g.
Stadium
Penentuan stadium kanker serviks selain didasarkan pada
temuan dari histolopatologis, juga dipastikan dengan pemeriksaan
pelvis dan pemeriksaan rektovaginal (Roman, 2010).
Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Serviks Menurut FIGO
Stadium
Stadium 0
Stadium I
Stadium Ia
Stadium
Ia1
Stadium
Ia2
Stadium Ib
Stadium
Ib1
Stadium
Ib2
Stadium II
Stadium IIa
Stadium
IIa1
Stadium
IIa2
Stadium IIb
Stadium III
Stadium
IIIa
Stadium
IIIb
Stadium IV
Stadium
IVa
Stadium
IVb
Keterangan
Karsinoma in situ
Karsinoma terbatas pada serviks
Invasi stroma yang diidentifikasi secara mikroskopik
kedalamannya ≤ 5 mm dan lebarnya tidak lebih dari 7 mm
Invasi stroma dengan kedalaman ≤ 3 mm dan lebar ≤ 7 mm
dengan
Invasi stroma dengan kedalaman > 3 mm tetapi < 5 mm dan lebar ≤ 7
mm
Secara klinis invasi terbatas pada serviks atau secara preklinik lesi lebih
luas dari stadium Ia
Secara klinis lesi ≤ 4 cm
Secara klinis lesi > 4 cm
Karsinoma menyebar ke luar serviks tetapi tidak sampai pada dinding
pelvis. Karsinoma juga menyebar ke vagina tetapi tidak sampai 1/3
bawah
Lesi melibatkan vagina 2/3 tetapi tidak melibatkan parametrium
Secara klinis lesi ≤ 4 cm
Secara klinis lesi > 4 cm
Lesi melibatkan parametrium tetapi tidak pada dinding pelvis
Karsinoma meluas ke dinding pelvis. Telah melibatkan 1/3 bawah
vagina. Pada pemeriksaan rektum tidak ditemukan celah antara tumor
dengan dinding pelvis. Semua kasus kanker serviks dengan disertai
hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium III
Tidak melibatkan dinding pelvis tetapi melibatkan 1/3 bagian bawah
vagina
Melibatkan dinding pelvis atau hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal
Karsinoma telah meluas ke luar pelvis atau secara klinis telah melibatkan
mukosa dari kandung kemih dan atau rektum
Karsinoma meluas ke organ yang berdekatan dengan pelvis
Karsinoma meluas ke organ yang jauh
(Wiebe et al., 2012)
h.
Pencegahan
1) Vaksinasi HPV
Vaksinasi HPV direkomendasikan untuk wanita usia 926 tahun. Idealnya vaksinasi ini diberikan sebelum seorang
wanita mulai seksual aktif. Vaksin ini tidak dapat untuk
menyembuhkan infeksi HPV yang telah ada (Rajaram et al.,
2012).
Terdapat dua macam vaksin HPV yaitu vaksin
quadrivalen dan vaksin bivalen. Vaksin quadrivalen berisi
Viral Like Particels (VLP) HPV 6, 11, 16, 18 dan vaksin
bivalen berisi VLP HPV 16 dan 18. Keduanya diberikan secara
intramuskular dengan jadwal vaksin quadrivalen pada hari ke
1, 60 dan 180 sedangkan vaksin bivalen hari ke 1, 30, 180
(Rajaram et al., 2012). Vaksin tersebut dapat mencegah kanker
serviks hampir pada 65% kasus (Heffner dan Schust, 2014).
Sedangkan imunitas yang diberikan dapat bertahan sampai 4
tahun. Tetapi durasi pasti dari imunitas tersebut belum
diketahui (Escobar et al., 2007).
2) Skrining Pap Smear
Infeksi HPV tidak selalu berkembang menjadi kanker
serviks. Mendeteksi lebih dini perubahan sel abnormal serviks
dapat diakukan dengan pap smear. Dengan pengobatan yang
tepat perkembangan sel abnormal tersebut dapat dihentikan.
Melakukan pap smear dengan rutin dapat mencegah terjadinya
kanker serviks. Pap smear dilakukan dengan mengambil
usapan dari permukaan serviks yang selanjutnya akan
dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Adanya sel-sel
abnormal mengarah pada kanker dapat diketahui dengan
pemeriksaan tersebut (Fraser et al., 2011).
Pap smear direkomendasikan untuk wanita setelah 3
tahun hubungan seksual yang pertama kali atau berumur 21
tahun (Escobar et al., 2007). Sekali dalam setahun wanita
disarankan untuk melakukan pap smear. Belum ada batasan
pada umur berapa tes ini tidak diakukan lagi (Fraser et al.,
2011).
C. Hubungan Usia Pertama Kali Melakukan Hubungan Seksual dengan
Kanker Serviks
Serviks pada usia remaja dan dewasa memiliki perbedaan.
Serviks remaja masih belum matang dikarenakan masih banyaknya
metaplasia yang terjadi (Ribeiro et al., 2015).
Pada usia 10 tahun mulai terjadi perkembangan organ
reproduksi wanita, tidak terkecuali serviks. Hal ini dipengaruhi oleh
meningkatnya sekresi hormon estrogen dan progesteron. Perkembangan
serviks menyebabkan epitel kolumner serviks terbuka ke bawah dan
terpapar lingkungan vagina. Terpaparnya epitel kolumner menyebabkan
terjadinya metaplasia dan terbentuk zona transformasi (Kuie, 2009).
Selain terpapar oleh sekret vagina yang asam, trauma saat koitus dapat
menyebabkan metaplasia. Metaplasia tersebut tergolong wajar jika tidak
disertai dengan agen yang dapat mencetuskan kanker (Olyai dan Dutta,
2011).
Peristiwa pembentukan zona tranformasi tersebut merupakan
masa yang rawan terjadinya perubahan abnormal serviks. Akibatnya,
jika ada suatu karsinogen mengenai serviks maka akan menjadi
kesempatan yang baik untuk berkembang menjadi kanker. Paparan
karsinogen tersebut dapat melalui hubungan seksual, seperti infeksi
HPV (Kuie, 2009). Risiko infeksi HPV dapat meningkat karena
berhubungan seksual pertama kali pada usia dini. Hal ini dihubungkan
dengan lebih rentannya serviks terhadap infeksi HPV akibat perubahan
sel-sel pada zona transformasi pada masa remaja. Selain itu,
berhubungan seksual pertama kali pada usia dini menyebabkan infeksi
HPV dapat berlangsung lebih lama (Flores et al., 2008).
Epitel kolumner pada endoserviks
Epitel skuamous pada ektoserviks
Epitel kolumner turun ke ektoserviks
Epitel
kolumner
mengalami
metaplasia
menjadi
epitel
skuamous.
Terbentuk
zona
transformasi.
Gambar 2.2 Zona Transformasi pada Serviks Masa Pubertas
Diadaptasi dari Kuie (2009)
B. Kerangka Pemikiran
Pubertas
Hormon
Letak Squamocolumnar
Junction di ektoserviks
Trauma saat
berhubungan
seksual
Sekret asam vagina
Metaplasia (Zona
Transformasi)
Normal
Infeksi HPV
Dorman
Onkoprotein E6
Onkoprotein E7
Degradasi p53
Inaktivasi gen
retinoblastoma (Rb)
E1 dan E2
Proliferasi
HPV
Displasia ringan (CIN 1)
Displasia sedang (CIN 2)
Displasia berat (CIN 3)
1. Usia
2. Jumlah paritas
3. Riwayat kontrasepsi
hormonal
4. Merokok
1. a. Jumlah pasangan seksual
2. b. Merokok
Kanker serviks
1. Riwayat infeksi
menular seksual
2. Immunocompromised
3. Sosial ekonomi
: Variabel
luar yang diteliti
: Variabel luar yang tidak diteliti
: Variabel
terikat
: Variabel luar yang dikendalikan
C. Hipotesis
Semakin muda usia pertama kali melakukan hubungan seksual,
risiko kanker serviks di RSUD Dr. Moewardi semakin tinggi.
Download