BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Serviks Serviks merupakan bagian dari organ reproduksi wanita yang paling sempit dan paling bawah dari uterus. Serviks dapat berbentuk menyerupai silinder maupun kerucut (Katz et al., 2007). Berdasarkan epitel yang melapisi, serviks dibagi 2 yaitu endoserviks dan ektoserviks. Endoserviks merupakan kelanjutan dari uterus yang dilapisi oleh epitel kolumner. Ektoserviks merupakan bagian dari serviks yang menonjol ke vagina dan dilapisi oleh epitel skuamous bertingkat (Safaeian et al., 2007). Pada masa embrio endoserviks dan ektoserviks dilapisi oleh epitel yang sama yaitu epitel kolumner, tetapi selama perkembangan fetus epitel kolumner di ektoserviks akan mengalami perubahan menjadi epitel skuamous atau metaplasia. Setelah lahir terbentuk zona yang membedakan sel skuamous dan sel kolumner di antara endoserviks dan ektoserviks yang dinamakan Squamocolumnar Junction (SCJ). Posisi Squamocolumnar Junction dipengaruhi oleh hormon saat pubertas, kehamilan, dan menopause (Heffner dan Schust, 2014). Dengan dimulainya masa pubertas Squamocolumnar Junction akan semakin ke bawah (Kumar et al., 2013). Estrogen mempengaruhi perubahan bentuk dan volume serviks sehingga Squamocolumnar Junction ke luar ke ektoserviks. Terpaparnya epitel kolumner oleh sekret vagina yang asam mengakibatkan perubahan epitel kolumner menjadi epitel skuamous (Heffner dan Schust, 2014). Epitel kolumner yang mengalami metaplasia akan membentuk zona transformasi (Kumar et al., 2013). Zona transformasi sangat penting karena terbentuknya displasia pada serviks terjadi pada daerah ini (Katz et al., 2007). Setelah menopause Squamocolumnar Junction mundur ke dalam endoserviks (Heffner dan Schust, 2014). Epitel kolumner Squamocolumnar Junction Epitel skuamous Zona transformasi Vagina Gambar 2.1 Serviks Diadaptasi dari Kumar et al. (2013) 2. Kanker Serviks a. Definisi Kanker serviks merupakan keganasan yang terjadi pada selsel serviks (Depkes RI, 2009). Kanker serviks terjadi ketika sel-sel serviks mulai membelah secara tidak terkontrol. Sel-sel ini akan membentuk massa atau tumor. Sel-sel kanker ini dapat menginvasi jaringan yang normal dan menyebar ke luar ke organ lain (metastasis) (Spencer, 2007). b. Epidemiologi Kanker serviks merupakan kanker terbanyak ke-4 pada wanita di dunia. Dalam bidang ginekologi kanker ini menempati urutan ke-2 terbanyak setelah kanker payudara. Pada tahun 2012 sebanyak 527.600 kasus baru ditemukan dan 265.700 wanita meninggal di dunia. Insidensi kanker serviks tertinggi berada di Afrika, Amerika latin dan Karibian (Torre et al., 2015). Sekitar 87% kasus kematian kanker serviks terjadi di negara berkembang. Di Sub-sahara Afrika sebanyak 34,8 kasus baru kanker serviks terdiagnosis setiap 100.000 wanita pada setiap tahunnya dan 22,5 per 100.000 meninggal dunia. Jumlah tersebut sangat berbeda drastis jika dibandingkan Amerika Utara dengan 6,6 per 100.000 kasus baru dan 2,5 per 100.000 meninggal dunia (Torre et al., 2015). c. Etiologi Human Papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama kanker serviks (Schorge et al., 2008). Dalam sebuah studi pada hampir 1000 kasus kanker serviks, prevalensi infeksi HPV sebesar 99,7% (Hacker dan Friedlander, 2010). Tipe HPV dibagi dalam HPV risiko tinggi dan risiko rendah. HPV tipe 6 dan 11 merupakan HPV tipe risiko rendah. Tipe ini lebih berhubungan dengan kutil kelamin daripada kanker serviks, karena sangat jarang ditemukan pada spesimen kanker serviks (Castellsagué et al., 2012). Adapun HPV tipe 16 dan 18 sangat dikaitkan dengan tingginya derajat displasia dan kanker. Risiko terjadinya displasia meningkat sebanyak 9-16 kali pada infeksi HPV tipe 16 dan 18 (Escobar et al., 2007). d. Faktor Risiko 1) Aktivitas Seksual Infeksi HPV sering dihubungkan dengan penyakit menular seksual. Infeksi HPV dipercaya mudah ditularkan lewat mikrotrauma pada mukosa atau kulit selama berhubungan seksual. Semakin banyak seorang wanita memiliki pasangan seksual dinilai meningkatkan risiko kanker serviks. Memiliki pasangan seksual > 1 dapat meningkatkan risiko kanker serviks sebesar 3,85 kali (Aziz, 2009). Berhubungan seksual pertama kali terlalu dini yaitu kurang dari 20 tahun diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks (Schorge et al., 2008). Studi yang dilakukan Louie et al., (2009) didapatkan bahwa berhubungan seksual pertama kali pada umur 17-20 tahun meningkatkan risiko sebesar 1,8-2,1 kali. Risiko akan semakin meningkat jika hubungan seksual pertama kali dilakukan pada usia ≤ 16 tahun yaitu sebesar 2,3-2,5 kali. Hal ini dihubungkan dengan lebih rentannya serviks terhadap infeksi HPV (Flores et al., 2008). 2) Usia Risiko kanker serviks meningkat seiring bertambahnya usia (Hasan, 2009). Mekanisme penyebabnya masih belum jelas. Diduga melibatkan beberapa faktor seperti sistem imun tubuh, status hormonal dan perubahan fisiologi dari serviks (Manton et al., 2009). Kanker serviks dapat dideteksi sejak umur belasan tahun tetapi perkembangan kanker akan dimulai setelah umur 25 tahun (Hasan, 2009). Risiko terjadinya kanker serviks meningkat pada usia lebih dari 25 tahun (Flores et al., 2008). 3) Paritas Wanita dengan paritas tinggi cenderung berisiko terkena kanker serviks. Jika dibandingkan dengan wanita nulipara, risiko kanker serviks meningkat 3,8 kali pada wanita dengan 7 kali memiliki kehamilan penuh (Muñoz et al., 2002). Penyebabnya dihubungkan dengan penurunan pada sistem imun tubuh ibu dan terjadi perubahan hormon yang signifikan selama kehamilan. Hal tersebut membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi HPV atau dapat terjadi perkembangan yang cepat pada lesi prakanker menjadi kanker ganas (Spencer, 2007). Selain itu juga diduga karena trauma yang terjadi ketika melahirkan dan perubahan letak zona transformasi (Hoskins et al., 2005). 4) Riwayat Kontrasepsi Hormonal Kontrasepsi hormonal dihubungkan dengan risiko kanker serviks. Kontrasepsi hormonal berperan dalam perkembangan displasia dan karsinogenesis pada serviks (Anderson et al., 2008). Estrogen diperkirakan memengaruhi transkripsi dan ekspresi dari onkogen HPV (Schmeink et al., 2010). Semakin lama penggunaan kontrasepsi hormonal maka akan semakin meningkatkan risiko kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi hormonal selama 1-4 tahun meningkatkan risiko 2 kali terkena kanker serviks daripada wanita yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi hormonal. Risiko semakin meningkat menjadi 4,5 kali setelah penggunaan 5 tahun dan seterusnya (Paramita et al., 2010). 5) Merokok Merokok merupakan salah satu faktor yang dihubungkan dengan risiko kanker serviks. Merokok diketahui dapat merusak sistem imun. Hal tersebut dimungkinkan menjadi penyebab tubuh gagal melawan infeksi HPV. Selain itu nikotin yang terkandung dalam rokok dapat diserap tubuh melalui paru-paru dan dengan sirkulasi darah sampai ke serviks (Spencer, 2007). Nikotin dapat dipecah tubuh dan menginduksi terjadinya kanker akibat bahan kimia (Hasan, 2009). Penelitian membuktikan bahwa nikotin ditemukan pada mukosa serviks wanita yang merokok (Escobar et al., 2007). Faktor risiko terjadinya kanker serviks meningkat dengan seringnya wanita merokok dalam sehari maupun setahun. Pada wanita yang merokok risiko terjadinya displasia meningkat 3-4 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak merokok. Sedangkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita merokok adalah 2 kali lebih tinggi daripada bukan perokok (Spencer, 2007). 6) Riwayat Infeksi Menular Seksual Infeksi menular seksual dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Infeksi Chlamydia trachomatis dan Herpes Simplex Virus tipe 2 (HSV 2) pada wanita dengan HPV positif dapat meningkatkan risiko kanker serviks. Adanya radikal bebas dan DNA yang tidak stabil akibat inflamasi diduga menjadi penyebabnya (Castellsagué et al., 2012). 7) Immunocompromised Faktor risiko lain dari kanker serviks adalah lemahnya sistem imun seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh HIV atau mengkonsumsi obat penekan sistem imun. Ketika sistem imun tubuh seseorang lemah, seseorang akan lebih rentan terinfeksi HPV. Pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun, displasia yang sudah terbentuk pada serviks dapat berkembang menjadi kanker dengan lebih cepat dibandingkan wanita tanpa sistem imun yang lemah (Spencer, 2007). 8) Sosial Ekonomi Risiko kanker serviks dihubungkan dengan rendahnya sosial ekonomi. Status sosial ekonomi dapat dilihat dari pendidikan maupun pendapatan (Parikh et al., 2003). Rendahnya pendidikan dan pendapatan dapat meyebabkan kurangnya melakukan skrining terhadap kanker serviks (Schorge et al., 2008; Spencer, 2007). Akibatnya, pada kebanyakan kasus gejala kanker serviks muncul ketika kanker telah memasuki stadium lanjut (Spencer, 2007). Selain itu menikah dini, melahirkan dini dan memiliki banyak pasangan seksual yang pada negara dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah seperti pada negara berkembang meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks (Onhosi, 2013). e. Patofisiologi Kanker serviks sebagian besar berkembang pada zona transformasi (Sichero dan Villa, 2013). Hal ini dikarenakan cepatnya pergantian sel sehingga menjadi tempat yang mudah mengalami karsinogenesis jika terpapar karsinogen (Safaeian et al., 2007). HPV dapat menginfeksi lewat mikrotrauma (Spencer, 2007). Trauma ini dapat diakibatkan oleh hubungan seksual (Sichero dan Villa, 2013). Setelah masuk HPV akan dilawan oleh sistem imun (Rajaram et al., 2012). HPV ini dapat mengalami dorman atau bereplikasi (Pandey et al., 2002). Beberapa tipe HPV memiliki genom yang dapat berintegrasi dengan genom manusia (Schorge et al., 2008). Tipe tersebut adalah HPV 16 dan 18 (Escobar et al., 2008). Integrasi genom tersebut menyebabkan replikasi protein E1 dan E2 HPV. Protein ini membuat virus bereplikasi pada sel serviks (Schorge et al., 2008). Integrasi genom juga menyebabkan ekspresi yang berlebihan dari 2 gen virus yaitu E6 dan E7. Gen HPV tersebut akan memproduksi onkoprotein E6 dan onkoprotein E7. Onkoprotein E6 akan mendegradasi p53 dan onkoprotein E7 akan menginaktifasi gen Retinoblastoma (Rb). P53 dan gen Rb memiliki peran dalam supresi tumor. Jika terjadi pengurangan pada ekspresi supresor tumor tersebut maka dapat terjadi proliferasi dan imortalisasi pada sel serviks yang akan mengarah pada terjadinya kanker (Schorge et al., 2008; Barbieri, 2010). Terjadinya kanker serviks dimulai dari lesi prekanker yang dapat berkembang dalam beberapa puluh tahun sebelum akhirnya menjadi kanker. Lesi prekanker lebih sering disebut Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) (Kumar et al., 2013). Displasia atau CIN merupakan kelainan atau perubahan yang terjadi epitel serviks. CIN dibagi dalam 3 derajad tergantung pada tebalan epitel yang mengalami perubahan. CIN 1 merupakan displasia ringan (Katz et al, 2007). Tebal epitel yang mengalami perubahan mengenai sepertiganya (Kumar et al., 2013). Jika terjadi perubahan ketebalan epitel mencakup setengah sampai dua pertiga disebut CIN II atau displasia sedang. Ketika proses neoplastik mencakup seluruh atau hampir seluruh tebalnya epitel maka disebut sebagai CIN III atau displasia berat atau karsinoma insitu. CIN ini dapat berkembang menjadi kanker invasif (Katz et al., 2007). CIN I dapat dikategorikan sebagai Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL). Sedangkan CIN II dan CIN III dikategorikan dalam HSIL High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL) (Kumar et al., 2013). f. Diagnosis 1) Anamnesis Pasien dengan kanker serviks sebagian besar mengeluhkan adanya perdarahan atau keluarnya cairan abnormal dari vagina. Perdarahan ini dapat berupa perdarahan pasca menopause, perdarahan di luar menstruasi dan perdarahan setelah pasca senggama (Saxena, 2015). Pada stadium lanjut dapat gejala dapat berupa cairan vagina yang kuning dan berbau busuk. Nekrosis tumor dapat menyebabkan nyeri pada pelvis. Jika tumor mengenai dinding pelvis dapat menimbulkan gejala nyeri pinggang, obstruksi saluran kencing dan hidronefrosis. Metastasis pada kandung kemih dan rektum dapat menimbulkan hematuria dan hematochezia (Giuntoli et al., 2008). 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada pasien stadium awal biasanya tidak menunjukkan kelainan. Metastasis awal kanker serviks pada awalnya akan menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening di sekitar serviks yaitu di daerah pelvis dan aorta. Terkadang pembesaran kelenjar bening tersebut dapat teraba pada pemeriksaan fisik. Pada stadium lanjut dapat ditemukan asites, pembesaran kelenjar inguinal dan efusi pleura (Roman, 2010). Pada kanker yang mikroinvasif pemeriksaan spekulum serviks dapat tampak normal. Pada pemeriksaan spekulum pada lesi yang terlihat, lesi tersebut dapat bervariasi. Lesi dapat berupa lesi ulseratif, endofitik, eksofitik, papilari, nekrotik dan lesi yang rapuh. Pemeriksaan bimanual penting dilakukan untuk menentukan dimensi dari tumor. Sedangkan pemeriksaan rektovaginal dilakukan untuk mengetahui adanya penyebaran tumor ke parametrium (Roman, 2010). 3) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) IVA merupakan tes sederhana dan murah untuk skrining kanker serviks. Tes ini dilakukan dengan inspeksi pada serviks yang telah diberi asam asetat encer dengan konsentrasi 3-5% terlebih dahulu. Bagian serviks yang abnormal akan berubah menjadi keputihan (Escobar et al., 2007). 4) Pap Smear Pap smear merupakan tes yang digunakan untuk skrining kanker serviks, tetapi tes ini tidak selalu dapat mendeteksi kanker serviks karena sensitivitasnya hanya 5580%. Biopsi tetap menjadi alat diagnosis primer dalam menegakkan diagnosis kanker serviks (Schorge et al., 2008). 5) Kolposkopi dan Biopsi Kolposkopi dilakukan jika ditemukan hasil abnormal pada pap smear. Pemeriksaan kolposkopi menggunakan mikroskop untuk melihat lebih jelas dari jaringan yang abnormal. Kolposkopi ini akan memberikan arahan pada pengambilan biopsi (Escobar et al., 2007). g. Stadium Penentuan stadium kanker serviks selain didasarkan pada temuan dari histolopatologis, juga dipastikan dengan pemeriksaan pelvis dan pemeriksaan rektovaginal (Roman, 2010). Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Serviks Menurut FIGO Stadium Stadium 0 Stadium I Stadium Ia Stadium Ia1 Stadium Ia2 Stadium Ib Stadium Ib1 Stadium Ib2 Stadium II Stadium IIa Stadium IIa1 Stadium IIa2 Stadium IIb Stadium III Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IV Stadium IVa Stadium IVb Keterangan Karsinoma in situ Karsinoma terbatas pada serviks Invasi stroma yang diidentifikasi secara mikroskopik kedalamannya ≤ 5 mm dan lebarnya tidak lebih dari 7 mm Invasi stroma dengan kedalaman ≤ 3 mm dan lebar ≤ 7 mm dengan Invasi stroma dengan kedalaman > 3 mm tetapi < 5 mm dan lebar ≤ 7 mm Secara klinis invasi terbatas pada serviks atau secara preklinik lesi lebih luas dari stadium Ia Secara klinis lesi ≤ 4 cm Secara klinis lesi > 4 cm Karsinoma menyebar ke luar serviks tetapi tidak sampai pada dinding pelvis. Karsinoma juga menyebar ke vagina tetapi tidak sampai 1/3 bawah Lesi melibatkan vagina 2/3 tetapi tidak melibatkan parametrium Secara klinis lesi ≤ 4 cm Secara klinis lesi > 4 cm Lesi melibatkan parametrium tetapi tidak pada dinding pelvis Karsinoma meluas ke dinding pelvis. Telah melibatkan 1/3 bawah vagina. Pada pemeriksaan rektum tidak ditemukan celah antara tumor dengan dinding pelvis. Semua kasus kanker serviks dengan disertai hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium III Tidak melibatkan dinding pelvis tetapi melibatkan 1/3 bagian bawah vagina Melibatkan dinding pelvis atau hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal Karsinoma telah meluas ke luar pelvis atau secara klinis telah melibatkan mukosa dari kandung kemih dan atau rektum Karsinoma meluas ke organ yang berdekatan dengan pelvis Karsinoma meluas ke organ yang jauh (Wiebe et al., 2012) h. Pencegahan 1) Vaksinasi HPV Vaksinasi HPV direkomendasikan untuk wanita usia 926 tahun. Idealnya vaksinasi ini diberikan sebelum seorang wanita mulai seksual aktif. Vaksin ini tidak dapat untuk menyembuhkan infeksi HPV yang telah ada (Rajaram et al., 2012). Terdapat dua macam vaksin HPV yaitu vaksin quadrivalen dan vaksin bivalen. Vaksin quadrivalen berisi Viral Like Particels (VLP) HPV 6, 11, 16, 18 dan vaksin bivalen berisi VLP HPV 16 dan 18. Keduanya diberikan secara intramuskular dengan jadwal vaksin quadrivalen pada hari ke 1, 60 dan 180 sedangkan vaksin bivalen hari ke 1, 30, 180 (Rajaram et al., 2012). Vaksin tersebut dapat mencegah kanker serviks hampir pada 65% kasus (Heffner dan Schust, 2014). Sedangkan imunitas yang diberikan dapat bertahan sampai 4 tahun. Tetapi durasi pasti dari imunitas tersebut belum diketahui (Escobar et al., 2007). 2) Skrining Pap Smear Infeksi HPV tidak selalu berkembang menjadi kanker serviks. Mendeteksi lebih dini perubahan sel abnormal serviks dapat diakukan dengan pap smear. Dengan pengobatan yang tepat perkembangan sel abnormal tersebut dapat dihentikan. Melakukan pap smear dengan rutin dapat mencegah terjadinya kanker serviks. Pap smear dilakukan dengan mengambil usapan dari permukaan serviks yang selanjutnya akan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Adanya sel-sel abnormal mengarah pada kanker dapat diketahui dengan pemeriksaan tersebut (Fraser et al., 2011). Pap smear direkomendasikan untuk wanita setelah 3 tahun hubungan seksual yang pertama kali atau berumur 21 tahun (Escobar et al., 2007). Sekali dalam setahun wanita disarankan untuk melakukan pap smear. Belum ada batasan pada umur berapa tes ini tidak diakukan lagi (Fraser et al., 2011). C. Hubungan Usia Pertama Kali Melakukan Hubungan Seksual dengan Kanker Serviks Serviks pada usia remaja dan dewasa memiliki perbedaan. Serviks remaja masih belum matang dikarenakan masih banyaknya metaplasia yang terjadi (Ribeiro et al., 2015). Pada usia 10 tahun mulai terjadi perkembangan organ reproduksi wanita, tidak terkecuali serviks. Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya sekresi hormon estrogen dan progesteron. Perkembangan serviks menyebabkan epitel kolumner serviks terbuka ke bawah dan terpapar lingkungan vagina. Terpaparnya epitel kolumner menyebabkan terjadinya metaplasia dan terbentuk zona transformasi (Kuie, 2009). Selain terpapar oleh sekret vagina yang asam, trauma saat koitus dapat menyebabkan metaplasia. Metaplasia tersebut tergolong wajar jika tidak disertai dengan agen yang dapat mencetuskan kanker (Olyai dan Dutta, 2011). Peristiwa pembentukan zona tranformasi tersebut merupakan masa yang rawan terjadinya perubahan abnormal serviks. Akibatnya, jika ada suatu karsinogen mengenai serviks maka akan menjadi kesempatan yang baik untuk berkembang menjadi kanker. Paparan karsinogen tersebut dapat melalui hubungan seksual, seperti infeksi HPV (Kuie, 2009). Risiko infeksi HPV dapat meningkat karena berhubungan seksual pertama kali pada usia dini. Hal ini dihubungkan dengan lebih rentannya serviks terhadap infeksi HPV akibat perubahan sel-sel pada zona transformasi pada masa remaja. Selain itu, berhubungan seksual pertama kali pada usia dini menyebabkan infeksi HPV dapat berlangsung lebih lama (Flores et al., 2008). Epitel kolumner pada endoserviks Epitel skuamous pada ektoserviks Epitel kolumner turun ke ektoserviks Epitel kolumner mengalami metaplasia menjadi epitel skuamous. Terbentuk zona transformasi. Gambar 2.2 Zona Transformasi pada Serviks Masa Pubertas Diadaptasi dari Kuie (2009) B. Kerangka Pemikiran Pubertas Hormon Letak Squamocolumnar Junction di ektoserviks Trauma saat berhubungan seksual Sekret asam vagina Metaplasia (Zona Transformasi) Normal Infeksi HPV Dorman Onkoprotein E6 Onkoprotein E7 Degradasi p53 Inaktivasi gen retinoblastoma (Rb) E1 dan E2 Proliferasi HPV Displasia ringan (CIN 1) Displasia sedang (CIN 2) Displasia berat (CIN 3) 1. Usia 2. Jumlah paritas 3. Riwayat kontrasepsi hormonal 4. Merokok 1. a. Jumlah pasangan seksual 2. b. Merokok Kanker serviks 1. Riwayat infeksi menular seksual 2. Immunocompromised 3. Sosial ekonomi : Variabel luar yang diteliti : Variabel luar yang tidak diteliti : Variabel terikat : Variabel luar yang dikendalikan C. Hipotesis Semakin muda usia pertama kali melakukan hubungan seksual, risiko kanker serviks di RSUD Dr. Moewardi semakin tinggi.