WANITA DAN ANAK

advertisement
PAKET INFORMASI TERSELEKSI
WANITA DAN ANAK
Seri: Kesehatan Ibu
S
alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah
dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena
kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai
sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur
terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang
tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana
cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan.
Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut
adalah diadakan layanan informasi berupa Paket
Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT).
Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah
salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan
bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi
untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam
bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber
informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia.
Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini
bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat
akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi
para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan
pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan,
bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya.
Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam
Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah
sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel
(full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan
cantuman bibliografi beserta abstrak.
DAFTAR ISI
ANALISIS FAKTOR DETERMINAN
PERMASALAHAN PELAYANAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK
Zahtamal; TutiRestuastuti ; Fifia Chandra
Kesmas :jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 6, no. 1, 2011 : 9 - 16
Abstrak: -
ANALISIS PEMANFAATAN BANTUAN
OPERASIOJNAL KESEHATAN DALAM
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK DI PUSKESMAS WILAYAH
KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN
KUDUS
Andini Aridewi ;Martha Irene Katsurya; Ayun
Sriatmi
Jurnal manajemen kesehatan Indonesia, vol. 1,
no. 1, 2013 : 32-40
Abstrak: -
ANALISIS PEMBIAYAAN PROGRAM
KESEHATAN IBU DAN BAYI DI
KABUPATEN/KOTA
Ni KetutAryastami; RatihAriningrum
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 10, no. 3,
2007 : 231-238
Abstrak: ANALISIS POLA MUSIM KELAHIRAN
UNTUK KEBIJAKAN PENINGKATAN
SARANA PELAYANAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK
Weny Lestari
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan, vol. 11,
no. 1, 2008 : 200 - 205
i
Pilih/klik judul
untuk melihat full text
Abstrak:
Pola musim kelahiran di Kota Surabaya dan di
Rumah Sakit Angkatan Laut (Rumkital) dr. Ramelan
Surabaya selama 5 tahun (1994-1998) dianalisis
dengan menggunakan analisis statistik chi square,
dengan derajat kebebasan (db) = 1 dan taraf
signifikansi (P) = 0.05. Kedua pola baik di Surabaya
maupun di Rumkital dr. Ramelan Surabaya,
menunjukkan bahwa kelahiran terendah terjadi
di bulan November dan Desember, dengan
menghitung 9 bulan sebelumnya, pola musim
konsepsi ada di bulan Februari dan Maret. Pada
tahun Masehi (kalender berdasarkan matahari),
pola tersebut tidak menunjukkan arti tertentu.
Namun, apabila dikonversikan ketahun Hijriyah
(kalender berdasarkan bulan) maka bulan Februari
dan Maret di tahun 1994 - 1998 merupakan
bulan Ramadhan dan Syawal. Bulan Ramadhan
dan Syawal, bagi umat Islam adalah bulan puasa
dan hari raya Idul Fitri. Pola ini tetap selama 5
tahun. Puncak kelahiran tertinggi baik di Surabaya
maupun di Rum kita dr. Ramelan Surabaya
menunjukkan pola yang berbeda. Praktis, ada
perbedaan juga dalam pola musim konsepsinya.
Analisis pola musim kelahiran ini bias digunakan
untuk kebijakan peningkatan sarana pelayanan
kesehatan ibu dan anak.
DESKRIPSI PENCATATAN DAN PELAPORAN
PEMANTAUAN KESEHATAN IBU PADA
PWS-KIA BERDASARKAN ATRIBUT
SURVEILANS
Ika Arma Rani; Arief Hargono
Jurnal berkala epidemiologi, vol. 1, no. 2, 2013 :
302-315
Abstrak: -
DAFTAR ISI
DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Ruben Wadu Willa; Majematang Mading
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 3,
2014 : 249 - 256
Abstrak: -
GAMBARAN FISIOLOGIS KESEHATAN
IBU HAMIL SEBELUM DAN SETELAH
MELAKUKAN SENAM HAMIL DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH AJAPPANGE
KABUPATEN SOPPENG
Rahmiati; ErnaKadrianti; Sjafaraenan
Diagnosis : jurnal ilmiah kesehatan, vol. 3, no. 2,
2013 : 40-45
Abstrak: -
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUGAN
DENGAN PARTISIPASI SUAMI DALAM
MENINGKATKAN KESEHATAN IBU DI
POLIKLINIK KEBIDANAN RSCM TAHUN
2007
Fauziah
Jurnal madya : media publikasi dan komunikasi
karya ilmiah bidang kesehatan, vol. 5, no. 2, 2008:
83-90
HAK ATAS PELAYANAN DAN
PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU DAN
ANAK: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI
KABUPATEN BANYUMAS
Tedi Sudrajat ; Agus Mardianto
Jurnal dinamika hukum, vol. 12, no. 2, 2012 :
261-269
Abstrak: -
Abstrak: -
FUNGSI PEMANFAATAN BUKU KIA
TERHADAP PENGETAHUAN KESEHATAN
IBU DAN ANAK PADA IBU
HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN
PERILAKU BIDAN PTT DALAM
MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN
IBU DENGAN KEJADIAN TRIASKLASIK
DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN
GUNUNGSITOLI KABUPATEN NIAS
ColtiSistiarani; Elviera Gamelia; Dyah Umiyarni
Purnama Sari
Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 8, no. 8, 2014 : 353 - 358
Abstrak: -
Lisbet Herawaty Sihombing
JURIDIKTI : jurnal ilmiah pendidikan tinggi, vol. 4,
no. 1, 2011 : 153 - 159
Abstrak: -
DAFTAR ISI
KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA
BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN
DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK (MDGS 4,5)
DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI
JAWA TIMUR INDONESIA
Niniek Lely Pratiwi; MugeniS; AgusSuprapto;
Agung D Laksono; BettyR; Rukmini; Gurendro;
Ristrini; Wahyu D Astuti ; Oktarina
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 4,
2014 : 395 - 405
Abstrak: -
KEMATIAN PERINATAL HUBUNGANNYA
DENGAN FAKTOR PRAKTEK KESEHATAN
IBU SELAMA KEHAMILAN DI KOTA BEKASI
TAHUN 2001
Ning Sulistiyowati; Sudarto Ronoatmodjo; Lukman
Hakim Tarigan
Jurnal ekologi kesehatan, vol. 2, no. 1, 2003 :
192 - 199
ABSTRACT:
Infants mortality rate is one of the sensitive
indicators to evaluate health level of a country.
However Perinatal Mortality Rate (PMR) as part of
infant mortality rate did not show any decline in
the last ten period. The National Household Survey
1995 reported that PMR was within 48 per 1000
life births. Mother and Child Health program had
promoted intensive antenatal health care to cover
all pregnancies. The purpose of this program is to
improve early detection of high risk pregnancies
as well as to increase coverage of postnatal care
of new borns. Perinatal mortality is influenced by
several maternal health service, (antenatal care
and delivery assistance), maternal health status,
social-economic and environmental background,
and traditional behavior. The objective of this
analysis is to find the relation between maternal
health practice during pregnancy and perinatal
mortality in city of Bekasi 2001. Mothers age at
delivery, educational level, parity, birth interval,
smoking habit, pregnancy complication, and sex
of the new born were calculated as covariates.
Using case-control method, cases are mothers
with perinatal deaths, and control are mothers
with 7 days surviving new borns (83 case and
83 control). Based on a statistical analysis with
logistic regression test the maternal health
practice during pregnancy showed no significant
relationship with perinatal mortality. Controlling
birth interval, pregnancy complications and
mothers age at delivery, the odds ratio was OR =
2.3 (confidence interval 0.89-3.99) with p = 0.029
at 95% probability; which is not significant. This
result may be caused by small sample size or poor
quality health service.
KUALITAS LINGKUNGAN KERJA DAN
KINERJA BIDAN PUSKESMAS DALAM
PELAYANAN KESEHATAN IBU
Sri Purnama Rezeki; Dumilah Ayuningtyas
Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 8, no. 6, 2014 : 265 - 271
Abstrak: -
DAFTAR ISI
MANAJEMEN PEMANTAUAN WILAYAH
SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK
(PWS-KIA) KABUPATEN SUKABUMI JAWA
BARAT TAHUN 2007
Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 13, no. 1,
2010 : 1-11
Abstrak:
Sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan
Ibu dan Anak (PWS-KIA) sebagai alat managemen
program KIA untuk memantau cakupan pelayanan
KIA di suatu wilayah kerja secara terus-menerus,
agar dapat difakukan tindak lanjut yang cepat
dan tepat terhadap wilayah kerja yang cakupan
pelayanan KIA nya masih rendah telah diterapkan
program sejak tahun 1990an. Secara umum tujuan
penelitian untuk mengetahui Sistem PWS-KIA
menuju sistem survey lenske langsungan hidup
anak di Kabupaten Sukabumi. Metode carain depth
interview petugas kesehatan (bidan coordinator
dan kepala puskesmas) dan focus group discussion
(FGD) pada bidan di desa. Hasilnya pelaksanaan
kegiatan program kesehatan ibu dan anak di
Kabupaten Sukabumi sudah berjalan dengan
baik . Pelaksanaan PWS-KIA sudah dilaksanakan
tetapi masih terdapat beberapa kendalaya itu di
beberapa Puskesmas dan di desa masih kekurangan
tenaga bidan di desa.Kendala yang lain yaitu factor
geografis yang cukup sulit, tenaga yang terbatas
baik di Puskesmas maupun di desa. Masih banyak
tenaga kesehatan yang bertugas rangkap . Beberapa
tenaga bidan yang kurang peralatan dan belum
mengikuti pelatihan KIA.Potensi yang dimiliki yaitu
sumber daya masyarakat, peran masyarakat dan
keterlibatan sektor lain cukup tinggi. Peran dukun
bayi / paraji masih sangat besar. Disarankan perlu
penambahan tenaga bidan di desa dengan program
bidan kontrak atau program prioritas sekolah bidan
untuk anak atau cucu paraji/dukun bayi, pelatihan
program KIA atau PWS-KIA bagi tenaga bidan di
desa yang baru, melengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai untuk bidan di desa,
refreshing untuk program KIA dan PWS-KIA untuk
Bidan Koordinator Puskesmas.
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN
KEMATIAN NEONATAL
DesyFitriYani; Artha Budi Susila Duarsa
Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 7, no. 8, 2013 : 373 - 377
Abstrak: -
PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN
UNTUK PELAYANAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA:
MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL
BUDAYA DALAM PERSALINAN AMAN
Lestari Handayani; Suharmiati; Aan Kurniawan;
Syarifah Nuraini, ; Soegeng Rahanto; Bambang
Wasito; Choirum Latifah
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 4,
2013 : 419-428
Abstrak: -
PEMANFAATAN UPACARA MOLONTALO
DALAM MENYAMPAIKAN PESAN
KESEHATAN IBU HAMIL DI KECAMATAN
ANGGREK KABUPATEN GORONTALO
UTARA
Roy G.A. Massie ;IndraDomili; JoyRattu
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 4,
2014 : 379 – 384
Abstrak: -
DAFTAR ISI
PENCATATAN DAN PELAPORAN SISTEM
PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT
KESEHATAN IBU DAN ANAK OLEH BIDAN
DI DESA DI PUSKESMAS SEPARAN
KABUPATEN TANGERANG 2008
Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan
Jurnal ekologi kesehatan, vol. 10, no. 3, 2011 :
156 – 167
PERBEDAAN PELAYANAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK DI PERKOTAAN DAN DAERAH
TERPENCIL
Sori M. Sarumpaet; Bisara L. Tobing; Albiner
Siagian
Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 6, no. 4, 2012 : 147 – 152
Abstrak: -
Abstrak: -
PENGARUH KEBIASAAN MELAKUKAN
PANTANGAN MAKANAN,MINUMAN
DAN AKTIFITAS TERHADAP PEMULIHAN
KESEHATAN IBU NIFAS DI RSUD KASIH
IBU KAB.BLORA
Epi Saptiningrum; Adiati Hendromastuti;
AgusPrasetyo
Jendela nursing journal : JNJ, vol. 1, no. 1, 2012 :
53 – 59
Abstrak: -
PENGUKURAN KINERJA RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH XYZ DENGAN
MENGGUNAKAN METODE BALANCED
SCORECARD (JASA PELAYANAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK)
PERBEDAAN PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG KESEHATAN IBU DAN ANAK
YANG DILAKSANAKAN OLEH DUKUN BAYI
DAN BIDAN
Siti maryam; widya lusiarisona
sain med : jurnal kesehatan, vol. 6, no. 1, 2014 :
15 – 19
Abstrak: -
PERILAKU MASYARAKAT DAN MASALAH
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI PROVINSI RIAU
Zahtamal; Tuti Restuastuti; Fifia Chandra
Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional,
vol. 5, no. 6, 2011 : 254 – 261
Abstrak: -
Rekayasa : jurnal ilmu-ilmu eksakta dan teknologi,
vol. 2, no. 1, 2009 : 1 – 7
Abstrak: -
PERILAKU PEMERIKSAAN KESEHATAN
IBU HAMIL DAN PEMILIHAN PENOLONG
PERSALINAN DI KABUPATEN SUKABUMI
Tin Afifah; Lamria Pangaribuan; Rachmalina;
Yulfira Media
Jurnal ekologi kesehatan, vol. 9, no. 3, 2010 :
1254 – 1265
Abstrak: -
DAFTAR ISI
STATUS KESEHATAN IBU HAMIL DAN
MORBIDITAS ANAK DI KABUPATEN
SUKABUMI TAHUN 2006
Felly Philipus Senewe; Joko Irianto
Jurna lekologi kesehatan, vol. 9, no. 2, 2010 :
1225- 1237
Abstrak: -
STUDI KUALITATIF PENYELENGGARAAN
PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI
SETELAH PENERAPAN KW-SPM DI
KABUPATEN BADUNG, TANAH DATAR,
DAN KOTA KUPANG
Ratih Ariningrum; NK Aryastami
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 11, no. 1,
2008 : 33 -34
ABSTRACT:
The Ministry of Health had set targets and
obligatoried for minimum health standards
that have to be implemented in each district/
municipality. The maternal and neonatal
health (MNH) services is one of services in the
district health system that has to be delivered
by puskesmas to enhance the maternal and
neonatal health towards reducing the maternal
and neonatal mortality. lt was a cross sectional
study health policy. The study was conducted
in three districts/municipality namely district
of Badung, Bali; District of Tanah Data; West
Sumatera and Kupang Municipality in East Nusa
Tenggara, February to November 2006. Every area
had to make special strategy and specified activity
priority to execute the policy on mother and baby
healthy program. The roles of other and private
sectors need continuality. Attainment of mother
and baby healthy program activity year 2005 in
general were still under the goals. Constraints to
execute the policy on mother and baby healthy
program had limitation on the quality and quantity
of human resources, availability of equipments,
knowledge of community concerning health was
still lower; attention of local government was
very limited on budget allocation; and also the
expectation of community to soothsayer was
high, especially in Municipality of Kupang and
District of Tanah Datar. The other limitation was
of training on mother and baby healthy program.
The access of community to public health services
is good enough. Network with the other sectors in
general worked well. There were some areas faced
coverage goals so high, that difficult to achieve
pregnant mother visit coverage (4) and high
referral. Target of coverage that were achieved
better were the coverage diving birth by midwifes
or healthy staffed midwifery competency. There
were some coverage needs re-socializing as
definition, because of the difference perception
between the right definition and the perception
of health staffs on the coverage of neonatus visit
and baby with BBLR.
DAFTAR ISI
STUDI PELAKSANAAN KERJA SAMA
LINTAS SEKTOR DALAM PENINGKATAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK
SuciWulansari; SugengRahanto;
UmiMuzakiroh , vol. 18, no. 2, 2008 : 91 - 96
ABSTRACT:
Maternal and Infant Mortality Rate (MMR/
IMR) were affected by very complex factors.
So it is important that in order to decrease the
problem, the other sector out of The Health
Department should be involved Government has
established a various inter sector cooperation
to increase maternal and children health. The
study aimed to get description of the realization
of inter sector cooperation to increase maternal
and children health, contribution each sector,
support from executive and legislative, effort
of Health District, and inhibiting factors of the
cooperation. The research used Cross Sectional
design and conducted in 3 provinces, there were
Central Java, East Java, and Central Kalimantan.
Data was collected by indepth interview using
interview list. Collected delta was analyzed in
descriptive, qualitative, and quantitative. The
result showed that there were various inter sector
cooperation for maternal and children health at
all of the region, but popularity and activity of the
program was not enough. It needed to optimize
each sector contribution. Generally, executive and
legislative support has been good, but it would be
better if followed with formal policy. Inhibiting
factors involved financial and lack of coordination
inter sector (except in Lumajang), and social
geographic condition in some region. Monitoring
and evaluating must be done more effective in
order to increase sustainability and quality o/the
cooperation.
UPAYA MENINGKATKAN DERAJAT
KESEHATAN IBU DAN ANAK
Suwarni; Wirdahayati
Majalah ilmiah cemerlang, no.4, 2009 : 30 – 34
Abstrak: -
DAFTAR ISI
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN
IBU DAN ANAK MELALUI
PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA
BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN
TIMOR TENGAH UTARA : STUDI DI DESA
NOELTOKO DAN NOEPESU, KECAMATAN
MIOMAFFO BARAT
tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan
menjadi komitmen bersama melibatkan semua
jejaring. Indikatorlainnya adalah terjadinya diskusi
dan dialog yang cukup intensif dalam temu
jejaring cukup menggambarkan adanya semangat
yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya.
Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang
bernilai positif untuk persiapan menjelang
persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil.
ABSTRAK:
Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor
Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan
Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk
Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian inifokus
pada jejaring pada pengorganisasian sistemsi
agak hususnya di level desa serta tradisi spesifi
knaketi khususnya di desa Noel took dan Noe
lpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus
- November 2012 di Desa Noel took dan Noe pesu,
di wilayah Puskesmas Eban. Jenis penelitian non
intervensi dengan desain eksploratif. Informasi
diperoleh melalui wawancara mendalamdan
pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah
tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota
jejaring. Hasil: Terdapat enam jejaring yang
utama di desa studi yaitu Notifikasi, Transportasi,
KB, Dana, ASI Eksklusifdan Donor Darah. Khusus
di Desa Noel took ada satu jejaring lagi yaitu Siaga
Bencana. Tiap bulan secara berkala dilakukan
temu jejaring denga ninisiator pertemuan dan
merupakan kesepakatan bersama sejak di
bentuknya desa siaga.Terdapat tradisi Naketi
yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan
antara 7 - 9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan
istrike pada suami dengan cara bertatap muka
dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri
kepada keluarga besar (orang tua/mertua).
Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat
lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif
untuk meningkatkan kepedulian masyarakatakan
kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan,
terdatanya semua ibu hamil dan ibu bersalin oleh
masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh
tenaga kesehatan. Semua upaya persalinan yang
UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN IBU
HAMIL MELALUI INTEGRASI PROGRAM
PERENCANAAN PERSALINAN DAN
PENCEGAHAN KOMPLIKASI DAN
ANTENATAL CARE DI POSYANDU KOTA
MOJOKERTO, PROVINSIJ AWA TIMUR
M. Setyo Pramono; Suharmiati
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 1,
2013 : 38 - 47
Muhammad Agus Mikrajab; Syahrianti
Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 2,
2013 : 203 - 216
Abstrak: -
Artikel Penelitian
Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak
Determinant Factor Analysis on Mother and Child Health Service Problem
Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Abstrak
Masalah kesehatan yang dihadapi Indonesia kini adalah status kesehatan
masyarakat yang rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu
dan bayi yang tinggi serta masih banyak indikator pelayanan kesehatan ibu
dan anak (KIA) yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan pelayanan KIA.
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional, data faktor predisposisi dikumpulkan dari 550 orang responden yang
tersebar di 4 kabupaten/kota dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya,
data faktor determinan yang lain dikumpulkan dengan wawancara pada informan antara lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala subdinas kesehatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan faktor predisposisi
yang berhubungan dengan pelayanan KIA yaitu sikap responden, pengaruh
orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga,
serta pengetahuan responden terkait pelayanan KIA. Diketahui juga bahwa
masih banyak kepercayaan masyarakat terkait aspek KIA yang belum
sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Faktor pemungkin yang berhubungan
dengan pelayanan KIA antara lain distribusi tenaga kesehatan masih belum
merata, kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA belum ideal, dan
sarana pendukung pelayanan belum memadai. Faktor pendorong yang
berhubungan dengan pelayanan KIA antara lain belum ada kebijakan daerah sebagai acuan, dana pendukung pelayanan belum memadai serta
kuantitas kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral masih
banyak yang belum terealisasi dan belum optimal.
Kata kunci: Kesehatan ibu dan anak, permasalahan pelayanan, pelayanan
kesehatan
Abstract
The current issue of health in Indonesia is the low status of public health,
among others, characterized by high rates of maternal and infant mortality
and many indicators of maternal and child health (MCH) services that have
not been ideal yet. This study aims to determine the factors associated with
problems of MCH services. This design used in this research is cross sectional. Predisposing factor data were collected from 550 respondents who
were scattered in four districts using a questionnaire. Furthermore, another
determinant factor data were collected by interviewing the informants,
among others, chief of district health department, Head of Sub Office of
Family Health. The results showed that the predisposing factors associated
with MCH services is the attitude of the respondent, the influence of people
who make decisions in family health care, respondents’ knowledge related
to MCH services. Please also note that there are still many aspects of MCHrelated public trust that has not been in accordance with the values of
health. Enabling factors associated with MCH services including the distribution of health workers is still not equitable, quality of MCH service workforce has not been ideal and service support facilities have been inadequate. Reinforcing factors associated with MCH services, among others, the
lack of regional policy as a benchmark, the fund has not been adequate
support services, the quantity of activities that should be done across sectors is still much that has not been realized and is still not optimal.
Key words: Mother and child health, service problem, health care
Pendahuluan
Masalah kesehatan di Indonesia saat ini adalah status
kesehatan masyarakat yang masih rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan Survei
Kesehatan Dasar tahun 2007, AKI di Indonesia masih
berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9
per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2004, target
Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Jl. Diponegoro
No. 1 Pekanbaru, Hp. 081371530203, e-mail: [email protected]
9
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang
diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah AKI
menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup.1 Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Provinsi Riau, diketahui AKB yaitu 26
per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian anak
balita yaitu 60 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2006,
jumlah kematian bayi mencapai 1.272 kasus, sedangkan
jumlah kematian ibu maternal mencapai 179 kasus.2
Program kesehatan ibu dan anak (KIA) untuk mengurangi AKI dan AKB telah banyak dilakukan. Program
tersebut antara lain Safe Motherhood. Program ini di
Indonesia dituangkan dalam bentuk program Keluarga
Berencana (KB), pelayanan pemeriksaan dan perawatan
kehamilan, persalinan sehat dan aman, serta pelayanan
obstetri esensial di pusat layanan kesehatan masyarakat.
Masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia termasuk
Provinsi Riau disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain dari faktor predisposing, faktor pemungkin
(enabling) serta faktor pendorong atau penguat
(reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai
hambatan, antara lain dari aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam
mendeteksi, memutuskan tindakan, merujuk dan keterlambatan dalam menangani keluarga sakit/bermasalah
setelah sampai di tempat pelayanan kesehatan komperehensif. Kenyataanya, belum banyak informasi yang
menggambarkan bagaimana situasi faktor-faktor tersebut, terutama aspek perilaku masyarakat. Padahal,
strategi dan kebijakan yang tepat dengan berdasarkan informasi/bukti sangat diperlukan dalam rangka mengatasi
persoalan KIA yang belum optimal. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya faktorfaktor yang berhubungan dengan pelayanan KIA.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah cross
sectional yakni meneliti faktor determinan dan faktor
dominan masalah KIA di masyarakat. Waktu penelitian
dilakukan pada tahun 2010. Jumlah wilayah studi
responden ditentukan secara quota sampling. Besar
sampel dalam kajian ini sebanyak 550 orang masyarakat
(setiap kabupaten/kota sekitar 120-150 orang).
Selanjutnya, data faktor penentu lainnya secara kualitatif
dikumpulkan dengan wawancara pada informan, antara
lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala
sub dinas kesehatan keluarga. Instrumen yang digunakan
adalah format identifikasi indikator pelayanan kesehatan
dari data sekunder dan kuesioner/panduan wawancara.
Pengelolaan data yang didapat dilakukan untuk data
kualitatif dan kuantitatif. Pengelolaan secara statistik/
kuantitatif berupa uji chi square dan perhitungan
prevalensi rasio (PR) dengan tingkat kemaknaan
hubungan p < 0,05. Pengolahan dan analisis data hasil
10
penelitian dengan menggunakan bantuan peranti lunak
komputer.
Hasil
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kehamilan,
Persalinan, dan Nifas Ibu (Maternal)
Beberapa variabel secara statistik berhubungan
bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan
maternal. Variabel tersebut adalah cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan,
pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya
pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan responden
tentang kesehatan ibu, serta sikap ibu terhadap
pelayanan kesehatan maternal. Berdasarkan analisis bivariat, variabel sikap merupakan variabel dengan nilai
PR terbesar, praktik responden yang buruk terkait
pelayanan kesehatan maternal 6 kali lebih banyak pada
ibu dengan sikap yang negatif daripada yang positif.
Sedangkan variabel usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga serta tenaga yang memberikan
pelayanan tidak berhubungan dengan praktik responden terkait pelayanan kesehatan maternal (Lihat Tabel
1).
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui
pengaruh secara bersama variabel bebas terhadap
variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik
ganda. Variabel bebas yang mempunyai p < 0,25 pada
analisis bivariat dijadikan sebagai variabel kandidat
dalam uji regresi logistik ganda. Variabel kandidat yang
dimasukkan dalam analisis multivariat adalah jumlah
anak, tenaga penolong pelayanan kesehatan keluarga,
cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap
fasilitas kesehatan, orang yang memutuskan dalam
pelayanan kesehatan, serta pengetahuan dan sikap responden.
Hasil analisis multivariat menunjukkan 4 variabel
bebas berpengaruh kuat terhadap praktik responden
terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut meliputi
sikap responden (adjusted PR = 8,39; p = 0,000; 95% CI
= 4,913-14,332), aksesabilitas terhadap pelayanan
kesehatan (adjusted PR = 3,171; p = 0,023; 95% CI =
1,175-8,558), orang yang memutuskan pemilihan
pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted PR =
2,614; p = 0,018; 95% CI = 1,183-5,778), dan
pengetahuan responden (adjusted PR = 1,670; p =
0,042; 95% CI = 1,019-2,738). Secara bersamaan,
diketahui bahwa sikap merupakan variabel yang
berpengaruh kuat terhadap praktik responden, dimana
praktik yang buruk terkait pelayanan kesehatan maternal
8 kali lebih banyak pada responden yang memiliki sikap
negatif daripada yang memiliki sikap positif.
Berdasarkan analisis multivariat diperoleh hasil
bahwa probabilitas seseorang akan berpraktik buruk
terhadap pelayanan kesehatan maternal jika memiliki
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Kesehatan Maternal
Praktik terkait Kesehatan Maternal
Variabel
Kategori
n
Buruk
Usia pernikahan
Jumlah anak
Pendapatan
Tenaga pelayanan kesehatan
Cara bayar
Akses pelayanan kesehatan
Otoritas pelayanan kesehatan
Pengetahuan
Sikap
≤ 20 tahun
> 20 tahun
> 3 orang
1-3 orang
≤ 2.000.000
2.000.000
Nonkesehatan
Kesehatan
Sendiri
Asuransi kesehatan
Sulit
Mudah
Keluarga
Suami-istri
Kurang
Baik
Negatif
Netral positif
23 (17,4%)
88 (21,1%)
21 (26,6%)
90 (19,1%)
92 (19,8%)
19 (22,1%)
3 (37,5%)
108 (19,9%)
70 (17,6%)
41 (26,8%)
12 (48,0%)
99 (18,9%)
17 (45,9%)
94 (18,3%)
58 (31,5%)
53 (14,5%)
90 (40,2%)
21 (6,4%)
sikap negatif, aksesabilitas pelayanan kesehatan sulit,
pengambil keputusan dalam menentukan pelayanan
kesehatan adalah suami-istri dan melibatkan orang
lain/keluarga serta berpengetahuan buruk yaitu 90%.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kesehatan
Bayi dan Anak
Beberapa variabel secara statistik berhubungan
bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan
bayi dan anak. Variabel tersebut adalah usia pernikahan,
jumlah anak, pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan,
pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya
pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap
responden terhadap pelayanan kesehatan untuk bayi dan
anak. Berdasarkan analisis bivariat, variabel pengaruh
orang yang memutuskan dalam upaya pencarian
pelayanan kesehatan dan pengetahuan responden
tentang kesehatan bayi dan anak merupakan variabel
dengan nilai PR terbesar. Berdasarkan hasil ini diketahui
bahwa praktik responden yang buruk terkait pelayanan
kesehatan bayi dan anak sama yaitu 5 kali lebih banyak
pada responden dengan pola pengambilan keputusan
dalam memilih/memutuskan pelayanan kesehatan adalah
suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga serta
berpengetahuan buruk (Lihat Tabel 2).
Hasil analisis multivariat menunjukkan hanya 4
variabel bebas yang mempunyai pengaruh kuat terhadap
praktik responden terkait kesehatan bayi dan anak.
Variabel tersebut yaitu orang yang memutuskan
pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted
X2
Nilai p
PR (CI 95%)
0,828
(0,54-1,25)
1,391
(0,92-2,09)
0,897
(0,58-1,39)
1,882
(0,76-4,68)
0,658
(0,47-0,92)
2,545
(1,63-3,97)
2,51
(1,69-3,72)
2,18
(1,57-3,02)
6,28
(4,00-9,72)
Baik
109
330
58
381
372
67
5
434
327
112
13
426
20
419
126
313
134
305
132
418
79
471
464
86
8
542
397
153
25
525
37
513
184
366
224
326
0,82
0,365
2,34
0,126
0,231
0,631
1,511
0,206
5,76
0,016
12,58
0,000
16,35
0,000
22,07
0,000
93,81
0,000
PR = 5,992; p = 0,000; 95% CI = 2,525-14,218),
pengetahuan responden (adjusted PR = 5,449; p = 0,000;
95% CI = 2,318-12,805), sikap responden (adjusted PR
= 4,884; p = 0,000; 95% CI = 2,318-12,805), dan cara
pembayaran (adjusted PR = 4,494; p = 0,001; 95% CI =
1,838-10,993). Secara bersamaan, pengaruh orang yang
memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam
keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat
terhadap praktik responden, dimana praktik yang buruk
terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak 6 kali lebih
banyak pada responden yang pengambilan keputusannya
suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga.
Berdasarkan analisis multivariat ini diperoleh hasil
bahwa probabilitas seseorang akan memiliki praktik yang
buruk terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak jika
memiliki sikap yang negatif, pengambil keputusan dalam
menentukan pelayanan kesehatan adalah oleh suami-istri
dan melibatkan orang lain/keluarga, berpengetahuan buruk serta pola pembayaran pelayanan kesehatan keluarga secara langsung/out of pocket adalah 87%.
Hubungan Faktor Sosiokultural dengan Praktik Masyarakat
terkait Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum
sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap
aspek KIA. Sebanyak 274 orang yang menjawab
pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai
dalam keseharian responden yang berhubungan dengan
kesehatan maternal didapatkan data bahwa ada 124
(45,26%) yang memiliki kepercayaan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan yang tidak
11
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
Tabel 2. Hubungan Faktor Penentu yang Mempengaruhi Praktik terkait Kesehatan Bayi dan Anak
Praktik terkait Kesehatan Maternal
Variabel
Usia pernikahan
Jumlah anak
Pendapatan
Tenaga pelayanan kesehatan
Cara bayar
Akses pelayanan kesehatan
Otoritas pelayanan kesehatan
Pengetahuan
Sikap
Kategori
≤ 20 tahun
> 20 tahun
> 3 orang
1-3 orang
≤ 2.000.000
2.000.000
Nonkesehatan
Kesehatan
Sendiri
Asuransi kesehatan
Sulit
Mudah
Keluarga
Suami-istri
Kurang
Baik
Negatif
Netral positif
n
Buruk
Baik
23 (17,4%)
41 (9,8%)
16 (20,3%)
48 (10,2%)
43 (9,3%)
21 (24,4%)
2 (25,0%)
62 (11,4%)
57 (14,4%)
7 (4,6%)
9 (36,0%)
55 (10,5%)
18 (48,6%)
46 (9,0%)
56 (18,1%)
8 (3,3%)
46 (24,5%)
18 (5,0%)
109
337
63
423
421
65
6
480
340
146
16
470
19
467
254
232
142
344
sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama
hamil/bersalin/nifas dan menyusui (31,32%) dan aspek
kepercayaan ketika hamil (29,52%). Selanjutnya,
pernyataan kebiasaan yang dipercayai dalam keseharian
responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan
anak balita didapatkan bahwa yang memiliki
kepercayaan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan
sebesar 23,62%. Kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau
tidak mendukung air susu ibu (ASI) eksklusif (42,62%)
dan aspek kepercayaan terhadap penanganan kesehatan
pada bayi dan anak balita (27,87%).
Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Secara umum, jumlah bidan yang merupakan tenaga
kesehatan utama dalam pelayanan KIA di Provinsi Riau
sudah memadai. Jumlah lulusan pendidikan minimal
diploma 3 (D3) kebidanan sudah memenuhi demand
bidan di Provinsi Riau. Namun, berdasarkan rasio
tenaga bidan dan jumlah penduduk di Provinsi Riau
masih belum mencukupi (37 per 100.000 penduduk).
Distribusi tenaga bidan di Provinsi Riau masih belum
merata, seperti terlihat dari beberapa desa/kelurahan
belum ada tenaga bidan, terutama pada kategori desa
sangat terpencil. Beberapa desa justru berlebih tenaga
bidan, tetapi di beberapa desa jumlah tersebut tidak
sesuai dengan cakupan wilayah kerja.
Berdasarkan kualitas ketenagaan pemberi pelayanan
KIA, sebagian besar informan mengatakan berdasarkan
jenjang pendidikan cukup ideal, sebagian besar bidan
12
132
418
79
471
464
86
8
542
397
153
25
525
37
513
310
240
188
362
X2
Nilai p
5,66
0,017
6,66
0,010
16,19
0,000
1,41
0,235
10,28
0,001
15,20
0,000
52,85
0,000
28,55
0,000
45,74
0,000
PR (CI 95%)
1,78
(1,11-2,85)
1,987
(1,19-3,32)
0,38
(0,24-0,61)
2,19
(0,64-7,42)
3,14
(1,4-6,72)
3,44
(1,93-6,13)
5,42
(3,53-8,35)
5,42
(2,63-11,15)
4,92
(2,94-8,24)
minimal berijazah D3 kebidanan. Namun, dari pendidikan-pelatihan untuk peningkatan kompetensi
(asuhan persalinan normal, APN; manajemen terpadu
bayi muda, MTBM serta penatalaksanaan asfiksia
neonatorum) masih kurang. Beberapa puskesmas sudah ada yang mengikuti, tetapi tidak terdistribusi merata ke semua bidan (rata-rata yang sudah mengikuti
pelatihan kurang dari 50%). Begitu juga terhadap jenis pelatihan yang seharusnya diikuti. Selain tenaga
bidan, tenaga pendukung pelayanan KIA lainnya seperti ahli gizi juga masih belum memadai. Tidak semua
puskesmas memiliki ahli gizi (minimal pendidikan D3
gizi).
Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana Pendukung
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Sebagian besar informan menyatakan aspek sarana
pendukung pelayanan KIA pada kategori belum
memadai. Beberapa hal yang belum memadai adalah
peralatan pendukung pelayanan KIA (sarana laboratorium, sterilisasi alat, dan lain-lain). Kekurangan sarana ini
terutama untuk daerah yang jauh, di puskesmas
pembantu (pustu) maupun pondok bersalin desa
(polindes). Banyak hal yang menyebabkan sarana ini
masih kurang, antara lain keterbatasan dana karena ada
pengembangan atau penambahan puskesmas baru.
Kendala lain adalah fasilitas yang belum termanfaatkan.
Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tidak ada
pelatihan pengoperasian alat, tidak ada tenaga
teknisi/analis yang kompeten atau tidak tersedia sarana
pendukung pengoperasian alat tersebut, seperti daya
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
listrik.
Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kebijakan yang menjadi acuan dalam pelayanan KIA
secara umum adalah mengimplementasikan kebijakan
nasional terkait pelayanan KIA. Sasaran yang dicapai
adalah berdasarkan standar pelayanan minimal bidang
kesehatan (SPM BK) Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Acuan operasional pelaksanaan di daerah
adalah surat keputusan bupati/walikota terkait SPM
yang sudah ada. Namun untuk hal-hal teknis lain, seperti
pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur
melalui kebijakan daerah seperti peraturan daerah
(peraturan gubernur dan bupati/walikota).
Aspek prasarana pendukung pelayanan KIA sebagian besar berada pada kategori memadai. Beberapa
hal yang dianggap sudah baik adalah kebijakan yang
jelas terhadap pelayanan KIA, khusus untuk
masyarakat miskin tersedia panduan kegiatan (dalam
bentuk buku atau modul). Pada beberapa puskesmas,
walaupun pedoman sudah ada terkadang jumlahnya
belum mencukupi.
Kecukupan dana untuk mendukung pelayanan KIA
ada yang merasa sudah memadai, namun ada juga yang
mengatakan belum memadai. Dana untuk kegiatan
rutin/kegiatan tugas pokok dan fungsi dari tenaga
kesehatan seperti antenatal care (ANC) di pelayanan
primer dianggap cukup memadai. Beberapa daerah
terjadi penurunan anggaran untuk pelayanan KIA. Untuk
kegiatan tertentu, anggaran tersebut tidak tersedia,
terutama untuk pengembangan program dan
peningkatan kualitas tenaga kesehatan. Pelayanan KIA
untuk masyarakat sudah tersedia dana yang memadai,
mengingat kebijakan pelayanan gratis terutama untuk
masyarakat miskin.
Beberapa kegiatan dalam pelayanan KIA juga
melibatkan lintas sektoral seperti pembinaan upaya
kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dengan
pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) (pos
pelayanan terpadu, posyandu; bina keluarga balita, BKB;
tanaman obat keluarga, toga; dan lain-lain), dengan
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (unit kesehatan
sekolah, UKS; pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat, PHBS; serta bulan imunisasi anak sekolah) serta
dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
(peningkatan gizi masyarakat). Kegiatan yang dilakukan
secara lintas sektoral secara umum tidak bermasalah.
Namun, jumlah kegiatan lintas sektoral masih banyak
yang belum terealisasi sehingga kegiatan ini hanya
dilakukan oleh dinas kesehatan sehingga tidak mencapai
target. Berbagai kendala yang masih dihadapi antara lain
pola koordinasi kegiatan belum dirumuskan dan tidak
diikat dengan memorandum of understanding (MOU)
yang jelas.
Leading sector KB di kabupaten/kota adalah Satuan
Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP-KB).
Sedangkan untuk urusan kesehatan dilakukan oleh Seksi
KIA. Bentuk kerja sama kegiatan KB antara leading
sector tersebut saling berkoordinasi untuk meningkatkan
pelayanan KB. SKPD kesehatan lebih ke arah
meningkatkan cakupan peserta KB aktif dan peserta KB.
Tugas utama SKPD BPP-KB menyediakan alat kontrasepsi, meningkatkan akseptor baru serta meningkakan
kualitas tenaga penyuluh dan teknis dalam pelayanan KB.
Implementasi dan koordinasi antarsektor dianggap
masih belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan juga tidak berlangsung secara
optimal. Kegiatan yang dilakukan oleh SKPD tertentu
tidak dikoordinaksikan secara institusi. Dampaknya,
banyak kegiatan yang sudah direncanakan tidak terlaksana secara optimal sehingga terjadi kesenjangan
antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi. Sering terjadi ketidaktersediaan/ketidaksesuaian
alat kontrasepsi dengan kebutuhan di lapangan.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB
kesehatan manunggal juga sering tidak terjadi secara
optimal dan tidak didukung oleh MOU/ikatan kerja sama
yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah.
Pembahasan
Faktor Predisposisi Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak
Faktor-faktor yang diketahui berhubungan bermakna
secara statistik dengan praktik responden terkait
kesehatan maternal adalah cara pembayaran kesehatan,
aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh
orang yang memutuskan dalam upaya pencarian
pelayanan kesehatan, pengetahuan responden tentang
kesehatan ibu serta sikap ibu terhadap pelayanan
kesehatan selama hamil, bersalin, dan nifas. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
Marpaung,3 dan Rahman,4 salah satu faktor jumlah anak
tidak berhubungan dengan praktik yang buruk. Hasil ini
mengindikasikan program pemerintah menjamin
pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin
dan kebijakan pelayanan gratis akan berdampak pada
perbaikan praktik masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Hal itu berarti bahwa berapa pun jumlah anggota
keluarga dan pendapatan keluarga, jika mereka dijamin
mendapatkan layanan kesehatan, praktik mereka akan
baik.
Variabel yang berhubungan dengan kesehatan bayi
dan anak adalah usia pernikahan, jumlah anak,
pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan,
aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh
13
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
orang yang memutuskan dalam upaya pencarian
pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap responden
terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak. Variabel
pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya
pencarian pelayanan kesehatan dan pengetahuan
responden merupakan variabel dengan nilai PR terbesar
yang menentukan praktik kesehatan bayi dan anak.
Faktor sosial ekonomi berhubungan dengan praktik
masyarakat. Hasil analisis multivariat menunjukkan 3
variabel bebas secara bersama berpengaruh bermakna
terhadap praktik buruk kesehatan ibu maternal serta kesehatan bayi dan anak.
Sikap merupakan variabel yang berpengaruh kuat
terhadap praktik responden yang buruk dalam
pelayanan KIA. Penelitian Setyaningsih,5 membuktikan
bahwa sikap ibu balita secara bermakna berhubungan
terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia
balita (p = 0,028). Juliwanto,6 juga membuktikan bahwa
sikap seseorang yang negatif terhadap pelayanan
kesehatan membuat seseorang 5 kali lebih besar memilih tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinannya. Sikap merupakan variabel dominan pembentuk perilaku. Sikap tidak mudah untuk dibentuk, apalagi sikap
yang positif terhadap suatu objek. Azwar,7 menyatakan
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan
sikap seseorang terutama hubungannya dengan objek
tertentu dalam berinteraksi sosial, dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi perilaku individu tersebut
sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Kurangnya stimulasi positif menimbulkan
hanya sebagian kecil orang memiliki pengetahuan tentang objek tertentu. Selanjutnya, kurangnya rangsangan
positif juga akan berpengaruh terhadap bertahannya
kondisi sikap yang netral, bahkan dapat menjadi sikap
negatif yang berujung tidak diterapkannya dalam praktik
yang diinginkan.
Orang yang memutuskan pemilihan pelayanan
kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang
berpengaruh kuat terhadap praktik pelayanan kesehatan
maternal, bayi, dan anak. Pola pengambilan keputusan
dalam keluarga akan menentukan praktik pelayanan kesehatan termasuk pelayanan KIA. Pengaruh orang lain,
apakah itu orang tua/mertua dan kerabat keluarga lain,
membuat keputusan yang akan diambil sering menjadi
terlambat, terkadang membingungkan karena banyaknya pilihan. Hal tersebut akan menyebabkan praktik
keluarga yang buruk. Suami dan istri harus mempunyai
otonomi penuh dalam keputusan praktik KIA tanpa
mengabaikan masukan dari orang lain karena jika posisi tersebut kuat keputusan dapat terealisasi dengan cepat. Oleh karena itu, suami/istri harus berpengetahuan
benar tentang praktik pelayanan KIA, misalnya dalam
perawatan kehamilan dan persalinan yang aman dan
14
sehat.8 Penelitian Danfort, Kruk, Rockers, Mbaruku,
dan Galea,9 membuktikan bagaimana pentingnya peran
suami dan istri dalam pengambilan keputusan terkait
proses persalinan dan menentukan tempat persalinan.
Penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan
seseorang berhubungan dengan praktik pelayanan KIA.
Hasil ini mendukung penelitian-penelitian lain yang telah
membuktikan bahwa pengetahuan sebagai salah satu
faktor dominan pembentuk perilaku seseorang.
Penelitian Setyaningsih, 5 membuktikan bahwa
pengetahuan secara bermakna berhubungan terhadap
praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi
balita (p = 0,003). Menurut Notoatmodjo, 10 pengetahuan yang belum ideal merupakan salah satu penyebab
permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat.
Seseorang yang belum berpengetahuan baik akan sulit
melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik
atau menerima perilaku baru yang lebih baik.
Pengetahuan baik merupakan salah satu modal awal
untuk praktik yang baik, hingga akhirnya terjadi
penurunan kasus/masalah kesehatan atau akan
meningkatkan indikator pelayanan kesehatan di
masyarakat.10
Penelitian ini membuktikan bahwa variabel
aksesabilitas pelayanan kesehatan menentukan praktik
kesehatan maternal. Secara umum, diketahui bahwa
aspek kemudahan akses fasilitas kesehatan tetapi praktik
yang buruk banyak ditemukan pada kelompok yang
mengatakan aksesabilitas pelayanan sulit dijangkau.
Apabila aksesabilitas pelayanan kesehatan buruk maka
masyarakat tidak mendapatkan informasi dan pelayanan
yang cukup dari petugas kesehatan yang bermuara pada
praktik kesehatan yang buruk. Khusus untuk pelayanan
kesehatan bayi dan anak, variabel cara pembayaran
sangat menentukan praktik seseorang terkait kesehatan
bayi dan anak. Menurut Fuadi,11 pembayaran kesehatan
secara mandiri menyebabkan beban ekonomi yang berat
bagi keluarga karena biaya kesehatan memang mahal
sehingga mereka sering tidak terakses pelayanan
kesehatan.
Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum
sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Juliwanto, 6
membuktikan bahwa ada budaya yang tidak mendukung
nilai kesehatan menjadi faktor penentu praktik
pelayanan kesehatan masyarakat yang buruk, misalnya
dalam memilih tenaga penolong persalinan. Pemilihan
tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinan 24
kali lebih besar pada orang dengan budaya yang tidak
mendukung.
Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Secara umum, ketersediaan tenaga bidan di Provinsi
Riau relatif sudah memadai, tetapi terdistribusi tidak
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA
merata. Akibatnya, pelayanan komprehensif yang
diterima kurang dan pilihan masyarakat terhadap tenaga
nonkesehatan meningkat. Penelitian Setyaningsih,5
membuktikan bahwa interaksi petugas kesehatan dengan
responden secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi balita (p
= 0,014). Berdasarkan aspek kualitas tenaga pelayanan
KIA, aspek jenjang pendidikan sudah cukup ideal, tetapi
dari aspek pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan kompetensi masih belum
maksimal. Kesadaran tenaga kesehatan terhadap kualitas
harus terus ditingkatkan karena permasalahan kesehatan
sering terjadi pada petugas yang kurang kompeten dan
kepuasan pengguna jasa juga tidak akan terwujud.
Penelitian Sari, 12 membuktikan bahwa kualitas
pelayanan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan
posyandu (p=0,001), artinya orang tidak akan
mewujudkan praktik ideal dalam pelayanan kesehatan
jika tidak didukung oleh pelayanan tenaga kesehatan
yang kompeten.
Sarana pendukung pelayanan KIA berada pada
kategori belum memadai. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa keberadaan sarana menentukan
kualitas praktik seseorang dalam pelayanan kesehatan
serta memicu masalah kesehatan. Penelitian Sari,12
membuktikan bahwa ketersediaan sarana berhubungan
dengan tingkat pemanfaatan posyandu (p = 0,001).
Tidak tersedianya sarana kesehatan membuat orang tidak
puas dengan pelayanan yang diterima. Selain itu, petugas
kesehatan tidak maksimal dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Kecukupan prasarana pendukung pelayanan KIA
sangat menetukan permasalahan KIA. Untuk hal-hal
teknis terkait pelayanan KIA seperti pengaturan
kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui
peraturan daerah. Hal ini berdampak pada acuan yang
jelas atau jaminan pemberian pelayanan KIA secara
efektif dan efisien. Menurut Asfian,13 pedoman kerja
merupakan panduan, terutama apabila terdapat pergantian/perubahan karyawan sehingga dapat digunakan
untuk menilai. Selanjutnya, Azwar, 14 mengatakan
pedoman kerja mempunyai peranan yang cukup penting
karena standar dipakai sebagai bahan bandingan. Untuk
memandu para pelaksana program menjaga mutu agar
tetap berpedoman pada standar yang telah ditetapkan
maka disusun pedoman atau petunjuk pelaksana. 14
Aspek kecukupan dana pendukung pelayanan KIA
belum memadai. Hasil penelitian membuktikan bahwa
dana merupakan faktor utama yang berperan dalam
mewujudkan pelayanan KIA. Tidak cukupnya dana
membuat banyak program KIA yang seharusnya
dilaksanakan tidak dapat terwujud atau tidak maksimal
dilakukan. Dana merupakan salah satu unsur yang tidak
dapat diabaikan. Oleh karena itu, dana merupakan alat
yang penting untuk mencapai tujuan.15
Secara umum, untuk kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan secara lintas sektoral tidak bermasalah, tetapi
kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral
banyak yang belum terealisasi. Oleh karena itu, kegiatan
ini hanya dilakukan oleh dinas kesehatan yang
berdampak pencapaian target pelayanan KIA yang rendah. Implementasi dan koordinasi antarsektor program
KB belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan tidak berlangsung optimal.
Bukti lain adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh
SKPD tertentu tidak dikoordinaksikan secara institusi.
Hal ini berdampak pada kegiatan yang direncanakan
tidak terlaksana secara optimal. Misalnya, kesenjangan
antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi di lapangan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB kesehatan manunggal di lapangan sering tidak didasari oleh MOU/ikatan kerja
sama yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada
menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah (tidak
mencapai target).
Kesimpulan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan
KIA termasuk faktor predisposisi, yaitu sikap responden,
praktik responden yang buruk 8 kali lebih banyak pada
responden yang memiliki sikap negatif daripada yang
memiliki sikap positif. Pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga
merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap
praktik responden terkait pelayanan kesehatan bayi dan
anak. praktik yang buruk 6 kali lebih banyak pada
responden yang pengambilan keputusannya dilakukan
suami-istri dan melibatkan orang lain daripada hanya
suami-istri. Pengetahuan responden terkait pelayanan
KIA dan aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan juga
menentukan praktik seseorang terkait kesehatan
maternal dan pelayanan kesehatan bayi dan anak. Cara
pembayaran juga sangat menentukan praktik seseorang
terkait kesehatan bayi dan anak serta kepercayaan
masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Faktor pemungkin
yang berhubungan dengan pelayanan KIA, antara lain
distribusi tenaga kesehatan masih belum merata,
kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA masih belum
optimal dan sarana pendukung pelayanan belum
memadai. Faktor pendorong yang berhubungan, antara
lain belum adanya kebijakan daerah sebagai acuan dalam
pelayanan KIA, dana untuk mendukung pelayanan KIA
belum memadai, kuantitas kegiatan yang seharusnya
15
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011
dilakukan secara lintas sektoral masih banyak yang
belum terealisasi serta koordinasi antarsektor untuk program KB masih belum optimal.
Puskesmas Butar Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara tahun
2010 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara; 2010.
4. Rahman KMM. Determinants of maternal health care ytilization in
Saran
Meningkatkan proporsi anggaran dan jumlah
kegiatan promosi kesehatan kepada masyarakat, difokuskan untuk mengubah perilaku, mengupayakan pola
kemandirian keluarga dalam menentukan pilihan dalam
pelayanan kesehatan (meminimalisasi hambatan sosiokultural terhadap pelayanan KIA). Meningkatkan upaya
menambah kompetensi tenaga kesehatan, khususnya
dalam pelayanan KIA (peningkatan anggaran untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia), terus
dilakukan upaya optimalisasi pendistribusian tenaga
kesehatan serta pemantauan/supervisi rutin untuk
menjamin keberadaan tenaga kesehatan di lapangan.
Mempertahankan dan meningkatkan upaya advokasi
dalam mengupayakan dikeluarkannya kebijakan lokal
yang akan mempermudah pelayanan KIA kepada masyarakat, meningkatkan anggaran untuk pelayanan KIA,
peningkatan realisasi kegiatan yang dilakukan secara
lintas sektoral serta merumuskan pola koordinasi
kegiatan yang lebih baik dan diikat melalui MOU yang jelas. Khusus koordinasi antarsektor terutama untuk
pelayanan KB, perlu dioptimalkan (dikaji ulang dan
dicari solusi yang tepat).
Bangladesh. Research Journal of Applied Science. 2009; 4 (3): 113-9.
5. Setyaningsih S. Pengaruh interaksi, pengetahuan, dan sikap terhadap
praktik ibu dalam pencegahan anemia gizi besi balita di Kota
Pekalongan tahun 2008 [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro;
2008.
6. Juliwanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan memilih
penolong persalinan pada ibu hamil di Kecamatan Babul Rahmah
Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008 [tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2009.
7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset; 2000.
8. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam
pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses
tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf.
9. Danfort EJ, Kruk ME, Rockers PC, Mbaruku G, Galea S. Household decision-making about delivery in health facilities: evidence from Tanzania.
International Centre For Diarrhoeal Disease Research Bangladesh. J
Health Popul Nutr. 2009; 27 (5): 696-703.
10. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta; 2005.
11. Fuadi A. Tinjauan yuridis pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Raden Soedjati Kabupaten Grobogan
[skripsi]. Surakarta: Universitas Muhamadiyah; 2009.
Daftar Pustaka
12. Sari RW. Hubungan karakteristik ibu hamil, ketersediaan sarana, dan
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ibu selamat, bayi sehat,
suami siaga. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009
[diakses
tanggal
3
Februari
2010].
Diunduh
kualitas pelayanan dengan tingkat pemanfaatan posyandu [skripsi].
2007.
dari:
13. Asfian. Analisis pemanfaatan pedoman kerja bidan dalam pengelolaan
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/790-ibu-sela-
program KIA KB di Puskesmas Kota Pontianak [tesis]. Semarang:
mat-bayi-sehat-suami-siaga.html.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun
2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007.
Universitas Diponegoro; 2008.
14. Azwar A. Menjaga mutu pelayanan kesehatan. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan; 1999.
3. Marpaung FV. Pengaruh faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong
15. Siahaan. Analisis pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. 2010
terhadap pemanfaatan penolong persalinan oleh ibu di wilayah kerja
(diakses tanggal 14 Desember 2010). Diunduh dari: http://reposi-
16
DESKRIPSI PENCATATAN DAN PELAPORAN PEMANTAUAN
KESEHATAN IBU PADA PWS-KIA BERDASARKAN ATRIBUT SURVEILAN
Description The Activities of Recording and Reporting Maternal Health Monitoring
in PWS-KIA Based on Surveillance Attributes
Ika Arma Rani1, Arief Hargono2
UA, [email protected]
2Departemen Epidemiologi FKM UA, [email protected]
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
1FKM
ABSTRAK
Angka Kematian Ibu (AKI) di provinsi jawa timur cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kabupaten Jember
memiliki jumlah kematian ibu tertinggi selama periode 2009–2011, dan tahun 2012 tertinggi nomor dua se-Jawa Timur.
Puskesmas Kaliwates selama 3 tahun berturut-turut memiliki jumlah kematian ibu tertinggi di Kab. Jember. Penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan pencatatan dan pelaporan kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS
KIA di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten Jember, tahun 2012 dengan menggunakan atribut surveilans. Desain penelitian
yang digunakan adalah diskripstif. Berdasarkan dari hasil gambaran berdasarkan atribut surveilans pada kegiatan
pemantauan kesehatan ibu di Puskesmas Kaliwates tahun 2012, menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini tergolong
rumit, eksibilitas kurang, kualitas data rendah, akseptabilitas tinggi, sensitivitas rendah, NPP rendah, kerepresentatifan
rendah, ketepatan waktu yang tidak dapat dipastikan, stabilitas data rendah. Alternatif solusi yang ditawarkan adalah
membudayakan menganalisis dan membuat rencana tindak lanjut dari hasil pemantauan, meningkatkan kualitas
pemeriksaan rutin kelengkapan dan ketepatan pengisian data, menstandarisasi seluruh formulir yang ada di sistem PWS
KIA untuk menghindari banyak duplikasi dan meningkatkan kesederhanaan formulir, melengkapi buku pedoman PWS
KIA di Puskesmas, membuat juknis pengisian formulir, melakukan pencatatan pada Register Kohort Ibu dengan membagi
lembarannya menjadi 12 bagian berdasarkan bulan untuk mengelompokkan bumil berdasarkan usia kehamilan untuk
mempermudah melakukan pemantauan bumil dan persalinannya, mengembangkan sistem surveilans lain untuk kasus secara
lebih spesik, membentuk tim surveilans KIA, menyempurnakan format absensi, dan menggunakan komputerisasi.
Kata kunci: Pemantauan kesehatan ibu, PWS KIA, atribut surveilans
ABSTRACT
Maternal Mortality Rate (MMR) in East Java Province tends to increase every year. In fact, Jember has the highest number
of maternal deaths during the period 2009–2011, and placed in 2nd position during 2012. Puskesmas Kaliwates for 3
consecutive years has the highest number of maternal deaths in the Jember. This research aimed to describe the activities
of recording and reporting the maternal health monitoring in PWS KIA system at Puskesmas Kaliwates, Jember regency,
in 2012 by using attributes surveillance. The Research design is descriptive. Assessment in attributes of maternal health
monitoring on PWS KIA system at Puskesmas Kaliwates in 2012 showed that the system is quite complicated, lack of
exibility, low quality of data, high acceptability, low sensitivity, low NPP, low representativeness, uncertain timelines,
and low stability of data. The alternative solutions given are familiarizing midwife to analyze and compose a follow-up
planning, improving the quality of the completeness and data’s accuracy, standardizing the entire form on KIA PWS systems
to avoid duplication and increase forms simplicity, completing PWS KIA guidelines in Puskesmas, making guidelines
on how to ll the form, taking records on register cohort of mother by dividing the sheet into 12 sections by month for
pregnant women by gestational age group to facilitate the monitoring of pregnant women and childbirth, developing other
surveillance system, forming KIA surveillance team, improving attendance format, and using a computerized system.
Keywords: Monitoring maternal health, PWS KIA, Attributes surveillance.
PENDAHULUAN
tujuan ke-5 dari Millenium Development Goals
(MDGs). Hasil SDKI 2007, AKI secara nasional
menunjukkan angka yang tergolong tinggi yaitu
228/100.000 KH dan masih jauh dari target MDGs
adalah 102/100.000 KH. Selain itu, berdasarkan
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah
satu indikator yang dapat menggambarkan situasi
derajat kesehatan masyarakat pada suatu negara,
sehingga meningkatkan kesehatan ibu dijadikan
302
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
hasil SDKI 2007 menunjukkan bahwa AKI di
Indonesia adalah tertinggi di antara Negara seASEAN (Kemenkes RI, 2010).
Upaya penurunan AKI di Indonesia terus
diupayakan dan terus mengalami penurunan. Pada
tahun 1991 AKI sebesar 390/100.000 KH, tahun
1997 sebesar 334/100.000 KH, tahun 2002 sebesar
307/100.000 KH, tahun 2007 sebesar 228/100.000
KH, dan tahun 2009 sebesar 226/100.000 KH.
Namun, berdasarkan kecenderungan Nasional dan
proyeksi AKI 1991–2025 dengan penurunan yang
telah terjadi selama ini maka akan sulit untuk bisa
mencapai target MDGs di tahun 2015. Sehingga,
diperlukan perhatian khusus pada masalah kematian
ibu (BAPPENAS, 2010).
Perhatian khusus juga harus diberikan
kepada Provinsi jawa Timur, karena mengalami
peningkatan tren AKI dalam 4 tahun terakhir ini.
Pada tahun 2007 AKI sebesar 72/100.00 KH, tahun
2008 sebesar 83/100.000 KH, tahun 2009 sebesar
90,7/100.000 KH, tahun 2010 sebesar 101,4/100.000
KH, dan tahun 2011 sebesar 104,3/100.000 KH. Hal
ini mengkhawatirkan karena berkecenderungan
untuk terus meningkat (Dinkes Prov. Jatim, 2011b).
Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
memiliki jumlah kasus kematian ibu tertinggi
selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009–
2011, sedangkan di tahun 2012 jumlah kasusnya
menduduki peringkat kedua adalah Kabupaten
Jember. Pada tahun 2009 memiliki 51 kasus
kematian ibu, tahun 2010 memiliki 55 kasus
kematian ibu, tahun 2011 memiliki 54 kasus
kematian ibu, dan tahun 2012 memiliki 43 kasus
kematian ibu (Dinkes Kab. Jember, 2012).
Pada wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember memiliki 49 Puskesmas, sedangkan 10
Puskesmas di antaranya selalu memiliki kasus
kematian ibu selama 3 tahun berturut-turut pada
tahun 2010–2012. Puskesmas Kaliwates merupakan
Puskesmas yang termasuk dalam 10 Puskesmas
tersebut dan mempunyai nilai akumulasi kasus
kematian ibu tertinggi di antara 10 Puskesmas
tersebut (Dinkes Kab. Jember, 2012).
Epidemiologi merupakan studi (ilmiah,
sistematis, berbasis data) dari distribusi (frekuensi,
pola) dan determinan (penyebab, faktor risiko) yang
berhubungan dengan kesehatan di suatu negara
dan kejadian/masalah kesehatan (bukan hanya
penyakit) pada populasi tertentu dan penerapannya
dalam mengendalikan masalah kesehatan. (CDC,
2012). Peranan epidemiologi dalam masalah ini
adalah untuk mengidentifikasi berbagai faktor
303
dan distribusi masalah kesehatan dalam upaya
mencari penyebab, serta menyediakan informasi
maupun gambaran untuk melakukan perencanaan,
pengevaluasian program kesehatan, dan mengambil
keputusan intervensi sebagai upaya pengendalian
masalah kesehatan pada masyarakat.
Program KIA merupakan suatu program
yang pengelolaannya bertujuan memantapkan dan
meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien.
Sehingga, dengan adanya program ini diharapkan
dapat menjadi solusi terkait masalah kematian ibu.
Salah satu aspek penting pada Program KIA adalah
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan
Anak (PWS KIA). PWS KIA adalah alat untuk
melakukan pemantauan Program KIA di suatu
wilayah secara terus-menerus, agar dapat dilakukan
tindak lanjut yang cepat dan tepat (Dinkes Prov.
Jatim, 2011a).
Su r veila n s a d ala h su at u keg iat a n
sistematis dan berkesinambungan, mulai dari
kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan
menginter pretasikan data yang selanjutnya
digunakan untuk landasan esensial dalam membuat
perencanaan, implementasi dan evaluasi suatu
kebijakan masyarakat (CDC, 2003). PWS KIA
mempunyai esensi yang sama dengan surveilans,
sehingga dapat dinyatakan bahwa PWS KIA
merupakan surveilansnya Program KIA (Dinkes
Prov. Jatim, 2011a).
Pelembagaan PWS KIA telah dilakukan
sampai tingkat desa, akan tetapi wilayah Puskesmas
Kaliwates selalu memiliki kasus kematian ibu
selama 3 tahun terakhir ini dengan jumlah kasus
tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa PWS KIA
masih belum berjalan dengan efektif dan efisien
sebagai alat pemantauan. Selain itu, berdasarkan
hasil supervisi dari Seksi Kesga, Dinas Kesehatan
Provinsi pada 20 kab/kota yang dipilih secara acak
didapatkan bahwa 43% memiliki skor validasi dan
konsistensi data pencatatan dan pelaporan PWS KIA
yang termasuk dalam kategori buruk. Kabupaten
Jember tidak termasuk dalam supervisi, akan tetapi
kabupaten di sekitarnya masuk dalam kategori
buruk, seperti Kabupaten Banyuwangi, Situbondo,
Bondowoso, dan Lumajang (Dinkes Prov. Jatim
2012).
Atas dasar tingginya jumlah kematian ibu di
Puskesmas Kaliwates dan belum pernah dilakukan
evaluasi sistem PWS KIA di Kabupaten Jember,
peneliti tertarik mengevaluasi sistem PWS KIA
di Puskesmas Kaliwates sebagai Puskesmas yang
304
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
selalu ada kasus kematian ibu dengan akumulasi
kasus tertinggi.
Batasan masalah pada penelitian ini adalah
evaluasi hanya difok uskan pada kegiatan
pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA
dan evaluasinya menggunakan atribut surveilans.
Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan
pencatatan dan pelaporan kegiatan pemantauan
kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas
Kaliwates, Kabupaten Jember, Tahun 2012
berdasarkan atribut surveilans, mengidentifikasi
permasalahan dari hasil gambaran yang didapat,
dan mencari alternatif solusinya.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
yang bersifat deskriptif, sedangkan jika dilihat dari
tujuannya maka penelitian ini merupakan penelitian
evaluasi (Wijono, 2008). Subjek penelitian adalah
kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem
PWS KIA di Puskesmas Kaliwates Kabupaten
Jember, tahun 2012. Informan penelitian berasal dari
Bidan Koordinator (Bikor) dan Bidan Desa yang
memegang register kohort ibu dalam melakukan
pelayanan kesehatan ibu di Puskesmas Kaliwates.
Jumlah informan penelitian sebanyak 7 orang, yaitu
1 Bikor dan 6 Bidan Desa.
Lokasi penelitian di Puskesmas Kaliwates,
Kabupaten Jember, dengan waktu penelitian
selama 3 bulan, yaitu mulai Bulan April–Juni, 2013.
Variabel penelitian dalam penelitian ini merupakan
atribut surveilans yaitu kesederhanaan, fleksibilitas,
kualitas data, akseptabilitas, sensitivitas, nilai
prediktif positif (NPP), kerepresentatifan, ketepatan
waktu, dan stabilitas.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan
adalah lembar kuesioner dan lembar observasi. Studi
dokumen dilakukan pada atribut kualitas data untuk
menilai kelengkapan data. Studi dokumen dilakukan
pada data yang ada di formulir Register Kohort Ibu
dan Kartu Ibu yang dilakukan dengan pengambilan
sampel data secara acak dari total data. Perhitungan
pengambilan sampel menggunakan rumus cross
sectional, dan didapatkan Register Kohort Ibu ada
249 data, sedangkan Kartu Ibu ada 103 data, yang
nantinya akan digunakan dalam studi dokumen.
Teknik analisis data pada penelitian ini adalah
data yang terkumpul dikelompokkan pada aspek
yang terkait, setelah itu kelompok data tersebut
diolah untuk dapat disajikan dalam bentuk narasi,
tabel, maupun bentuk lainnya. Kemudian melakukan
interpretasi data dengan membandingkan teori,
standar, pedoman, dan ketentuan yang ada,
mengidentifikasi permasalahannya, dan mencari
alternatif solusinya.
HASIL
Kesederhanaan
Kesederhanaan dai suatu sistem dinilai
berdasarkan kemudahan dalam hal struktur, alur
pelaporan, dan pengoperasiannya.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam
kegiatan pencatatan dan pelaporan pemantauan ibu
di Puskesmas Kaliwates, dapat ditampilkan sebagai
berikut: tabel di atas menunjukkan bahwa pada
seluruh data yang dipergunakan alam pemantauan
ibu, 9 di antaranya bersumber dari Register Kohort
Tabel 1. Daftar Jenis Data dan Sumber Data Pemantauan Kesehatan Ibu di Puskesmas Kaliwates
Jenis Data
Jumlah sasaran Ibu Hamil
Jumlah ibu bersalin
Jumlah ibu nifas
Jumlah bumil risti
Jumlah K1
Jumlah K4
Jumlah persalinan di tolong Nakes
Jumlah ibu nifas yang dilayani 3× oleh Nakes.
Jumlah bumil, bulin, bufas, dengan faktor risiko/
komplikasi dideteksi oleh masyarakat
Jumlah kasus komplikasi obstetri
Sumber: Data Primer, 2013
Sumber Data
Data proyeksi penduduk
Register Kohort Ibu
Register Kohort Ibu
Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu
Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu
Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu
Register Kohort Ibu
Register Kohort Ibu
Register Kohort Ibu
Register Kohort Ibu
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
Ibu. Tingkat kesulitan pengisian formulir yang
ada pada pemantauan kesehatan ibu di PWS KIA,
ditampilkan sebagai berikut:
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa
semua Bidan Desa beranggapan bahwa semua
formulir pemantauan kesehatan ibu pada PWS KIA
mudah untuk dilakukan pengisian. Akan tetapi
berdasarkan hasil wawancara, mereka menyatakan
bahwa jenis formulir yang harus diisikan terlalu
banyak, sedangkan beban kerja pelayanan yang
tinggi, sehingga tidak dapat melakukan baik
pelayanan maupun pencatatan dengan maksimal
pada semua formulir.
Beban kerja Bidan Desa selama ini berdasarkan
hasil observasi memang cukup tinggi, yaitu
pelayanan di Puskesmas/Pustu, Posyandu, piket
di Ruang Bersalin, kegiatan imunisasi, kegiatan
kesehatan lingkungan, kegiatan pelaksana program
P2, kunjungan rumah, dan pelayanan KB.
Selain banyaknya jenis formulir (5 jenis
formulir) pada salah satu jenis kegiatan Bidan Desa
yaitu pada pemantauan kesehatan ibu, Bidan Desa
juga menyatakan bahwa masih banyak variabel
di dalam formulir khusus pegangan bidan yaitu
Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu yang memiliki
banyak variabel sama yang harus diisikan. Studi
dokumentasi yang dilakukan pada 2 jenis formulir
tersebut dalam melihat jumlah kesamaan variabel,
didapatkan hasil variabel yang sama sebagai berikut:
(a) Nomor Register Ibu, meliputi No. Indeks dan
tanggal pemeriksaan pertama; (b) Identitas ibu,
meliputi nama, umur ibu, umur kehamilan, dan
alamat; (c) Riwayat kehamilan terdahulu, seperti
jumlah kehamilan (hamil ke-) dan jarak kehamilan.
Pada Kartu Ibu isiannya lebih detail. (d) Hasil
pemeriksaan pertama, seperti BB&TB, LILA,
HB/Gol. Darah, dan tensi; (e) Status imunisasi TT;
(f) Hasil pemeriksaan ANC
Tabel 2. Tingkat Kesulitan Pengisian Fomulir
Pemantauan Kesehatan Ibu Pada PWS
KIA
Jenis Formulir
Sulit
Mudah
Jumlah
Kartu Ibu
Kartu Skor ‘PR’
Partograf
Register Kohort Ibu
Lap. Bulanan PWS KIA
(Indikator Ibu) wilayah
0
0
0
0
7
7
7
7
7
7
7
7
Sumber: Data Primer, 2013
0
7
7
305
Hasil observasi juga menunjukkan bahwa dalam
melaksanakan kegiatan pemantauan kesehatan
ibu, Bidan Desa menggunakan buku bantu, yang
jenisnya juga bermacam-macam, dispesifikkan
sesuai dengan kebutuhan pemantauan, contohnya
seperti buku bumil risti, buku persalinan, buku
kunjungan rumah, buku KB, buku pemeriksaan,
dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara,
Bidan Desa menyatakan penggunaan buku bantu
ini diperlukan dalam mempermudah pemantauan
ibu di lapangan. Hal ini sehubungan dengan
bentuk Register Kohort yang besar dengan kolom
isian yang kecil, dan Kartu Ibu yang menumpuk,
sehingga tidak praktis dan mudah untuk melakukan
pemantauan, sehingga membutuhkan buku
bantu. Hasil studi dokumentasi mengenai format
penulisan buku bantu menunjukkan bahwa format
penulisannya sama dengan yang ada di Register
Kohort Ibu, namun pada buku bantu telah dilakukan
pengelompokan berdasarkan masing-masing jenis
pemantauan.
Kesederhanaan juga dilihat dari pengolahan
datanya. Kegiatan pengolahan data pada PWS
KIA meliputi pembersihan data, validasi data, dan
pengelompokan data. Hasil wawancara menyatakan
bahwa kegiatan pembersihan data dilakukan untuk
menghilangkan data bumil yang rangkap dan bumil
yang migrasi. Pada pelaksanaannya kegiatan ini
memerlukan waktu yang cukup lama. Validasi
data dilakukan oleh Bikor, dan validasi data telah
dilakukan secara rutin setiap minggunya sehingga
Bikor merasa mudah. Sedangkan pengelompokan
data dilakukan oleh Bidan Desa dan Bikor.
Pengelompokan data ini juga dilakukan rutin setiap
minggunya, untuk mempermudah dalam melakukan
pelaporan setiap bulannya.
Selain itu, kesederhanaan juga dinilai dari alur
pencatatan dan pelaporannya. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara, alur pelaporan yang
selama ini ada cukup mudah dan jelas, sehingga
tidak menyulitkan Bidan Desa dan Bikor. Alurnya
dapat ditampilkan sebagai berikut:
Fleksibilitas
Fleksibilitas dilihat berdasarkan kemampuan
sistem dalam menyesuaikan dengan perubahan
informasi tanpa disertai peningkatan yang berarti
akan biaya, tenaga, dan waktu. Berdasarkan
hasil wawancara dan studi dokumen, perubahan
definisi operasional pernah terjadi pada kegiatan
pemantauan kesehatan ibu di tahun 2012, yaitu
306
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
Dinkes
Kabupaten
Pelayanan Kesehatan swasta
Diseminasi
informasi: lintas
program dan
lintas sektoral
Penelusuran
data kohort
Puskesmas
Bumil
Bulin
Bufas
Kartu Ibu
Buku KIA
Pustu
Posyandu
Buku
Bantu
Register
Kohort
Ibu
Laporan
bulanan PWS
KIA wilayah
Laporan
PWS KIA
Bikor
Bidan Desa
Gambar 1. Alur Pencatatan dan Pelaporan Pemantauan Kesehatan Ibu
perubahan pada indikator kunjungan ibu nifas.
Perubahan indikator kunjungan nifas dapat
ditampilkan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil wawancara, perubahan
definisi operasional ini sudah disampaikan langsung
oleh Bikor dan diketahui oleh semua Bidan Desa.
Perubahan definisi operasional ini juga tidak
memiliki dampak apa pun pada pelaksanaan
pemantauan. Hal ini hanya mengubah sedikit format
pencatatan pada Register Kohort Ibu saja, namun
jumlah kolom tetap, yang diubah hanya rentang
waktu pada kolom pelayanan nifas, sehingga tidak
terlalu memberi perubahan pada pencatatan dan
tidak berdampak pada tenaga, waktu, dan biaya.
Akan tetapi, sistem masih belum mampu dalam
memenuhi kebutuhan akan pemantauan bumil
risti. Sistem tidak secara praktis menyediakan
informasi mengenai bumil risti, sehingga pihak
dinas kesehatan masih memberlakukan pelaporan
lain dalam membantu pemantauan bumil risti,
yaitu laporan bumil risti, dan pelaporan ini tidak
termasuk dalam PWS KIA. Selain itu, Bidan Desa
juga menunjangnya dengan buku bantu bumil risti,
dalam mempermudah melakukan pemantauan
bumil risti di lapangan dan mempermudah
dalam membuat pelaporan bumil risti tersebut.
Buku bantu bumil risti ini dipergunakan oleh
Tabel 3. Perubahan Denisi Operasional Indikator
waktu Kunjungan Ibu Nifas
Kunjungan
Nifas
Denisi Operasional Waktu
Kunjungan Nifas
DO Lama
KF 1
6 jam–3 hari
KF 2
8–14 hari
KF 3
36–42 hari
Sumber: Data Primer, 2013
DO Baru
6 jam–3 hari
4–28 hari
29–42 hari
3 Bidan Desa Puskesmas Kaliwates. Pemberlakuan
pelaporan bumil risti dan buku bantu bumil risti
ini berdasarkan hasil studi dokumen menunjukkan
bahwa sangat memberikan dampak pada tenaga
dan waktu Bidan karena beban pencatatan dan
pelaporannya bertambah, serta dampak biaya pada
instansi, karena harus mengalokasikan anggaran
khusus untuk menunjangnya.
Kualitas Data
Kualitas data dilihat berdasarkan kelengkapan
jumlah dan kelengkapan data pada formulir
pencatatan dan pelaporan pemantauan kesehatan
ibu pada PWS KIA.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi didapatkan
bahwa kelengkapan jumlah formulir Kartu Ibu
hanya memiliki persentase sebesar 20,057%,
Register Kohort Ibu sebesar 100%, Laporan bulanan
PWS KIA (Indikator Ibu) wilayah sebesar 100%,
dan laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu)
Puskesmas sebesar 100%.
Sedangkan, kelengkapan dat a dilihat
berdasarkan jawaban kosong dan jawab tidak jelas/
Tabel 4. Kelengkapan Data Formulir Pencatatan
dan Pelaporan
Persentase
Pengisian
Formulir
Jenis Formulir Pencatatan dan Pelaporan
Laporan
Laporan
Register PWS KIA PWS KIA
Kartu
Kohort (Indikator (Indikator
Ibu
Ibu
Ibu)
Ibu)
Wilayah Puskesmas
18,74
59,83
61,087
100
Lengkap
Tidak
Jelas/ Tidak 15,54
Lengkap
Kosong
65,72
19,99
0
0
20,18
38,913
0
Sumber: Data Primer, 2013
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
tidak lengkap, dan hasil studi dokumentasinya dapat
ditampilkan pada tabel 4.
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa formulir
dengan kelengkapan data terendah adalah Kartu
Ibu, sedangkan formulir dengan kelengkapan
data tertinggi adalah laporan bulanan PWS KIA
(Indikator Ibu) Puskesmas.
Akseptabilitas
Akseptabilitas menggambarkan kemauan
seseorang atau unit lain untuk berpartisipasi
dalam melaksanakan dan memanfaatkan hasil
pemantauan.
Dalam pelaksanaan sistem, Bidan Desa
dibantu oleh masyarakat setempat, seperti Kader
Posyandu dan Pemerintah Daerah. Selain itu, data
hasil sistem juga dimanfaatkan oleh lintas program,
yaitu program gizi (data bumil KEK dan Fe) dan
imunisasi (imunisasi TT), dan lintas sektoral, yaitu
pihak kecamatan dan pihak kelurahan.
Nilai Prediktif Positif (NPP)
Pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu tidak
terdapat pencatatan dan pengumpulan data khusus
untuk hasil pemeriksaan dengan kasus dengan
gold standard dan hasil pengkonfirmasiannya.
Namun, Puskesmas Kaliwates masih menggunakan
Kartu Ibu versi lama yang terdapat kolom indikasi
kebidanan dan laboratorium yang diperuntukkan
bagi semua bumil, akan tetapi kedua kolom tersebut
tidak ada yang terisi.
Sensitivitas
Sensitif itas pada kegiatan pemantauan
kesehatan ibu dilihat dari kemampuan sistem dalam
mendeteksi kasus risti, termasuk kemampuan sistem
dalam memantau perubahan dalam jumlah dan
penyebab kasus risti dari tahun ke tahun.
Menurut hasil wawancara dan observasi, selama
ini Bidan Desa melakukan pendeteksian kasus
risti dengan bantuan formulir Kartu skor Poedji
Rochjati atau biasa disebut dengan formulir KSPR.
Melakukan pengisian KSPR dilakukan langsung
setiap bumil memeriksakan ke pelayanan kesehatan
untuk yang pertama kalinya saat masa kehamilan.
Pada KSPR nantinya akan didapatkan skor yang
dapat menunjukkan kondisi kehamilan ibu, termasuk
risiko tinggi atau risiko rendah. Kegiatan skrinning
atau pendeteksian dini dengan KSPR sudah rutin
dilakukan oleh semua Bidan Desa.
307
Sistem yang ada saat ini belum mampu dalam
melihat perubahan jumlah kasus, pada Register
Kohort Ibu dan laporan PWS KIA (Indikator Ibu)
yang terlaporkan adalah jumlah individu dengan
kasus saja, bukan jumlah kasusnya. Sistem juga
kurang sensitif dalam melihat perubahan tren
penyebab terjadinya kasus, karena tidak ada
variabel yang menguraikan penyebab kasus risti
pada laporan sistem PWS KIA (Indikator Ibu).
Sehingga, sensitivitasnya termasuk rendah.
Kerepresentatifan
Kerepresentatifan dilihat berdasarkan laporan
kejadian dari kegiatan pemantauan kesehatan ibu
pada periode waktu tertentu dan didistribusikan
menurut orang, tempat, dan waktu.
Menurut hasil wawancara dan observasi,
tidak ada pendistribusian kasus berdasarkan
variabel orang, tempat, dan waktu pada pelaporan
pemantauan kesehatan ibu. Pada laporan PWS KIA
(Indikator Ibu) hanya memuat jumlah pencapaian
per indikator saja. Selain itu, Bidan Desa tidak
melakukan analisis data, hanya merekap saja dan
bikor yang menganalisiskan. Bidan Desa juga
tidak membuat rencana tindak lanjut secara rutin
disebabkan mereka tidak melakukan analisis,
dan mereka mengaku membuat rencana tindak
lanjut dan analisis ketika ada kegiatan supervisi
dari dinas saja. Selain itu, rencana tindak lanjut
hasil kunjungan rumah hanya dibuat oleh 2 bidan.
Sehingga kerepresentatifannya termasuk dalam
kategori rendah.
Ketepatan Waktu
Ketepatan waktu dilihat dari ketepatan waktu
pengumpulan laporan, penanggulangan kasus yang
teridentifikasi, dan penyebaran informasi. Ketepatan
waktu pengumpulan laporan dilihat dari laporan
bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah ke
Bikor dan laporan bulanan PWS KIA (Indikator
Ibu) yang dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember.
Pelaporan laporan bulanan PWS KIA (Indikator
Ibu) yang dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember menunjukkan ketepatan waktu 100%. Hasil
ini dilihat berdasarkan buku ekspedisi Puskesmas
yang memuat tanggal serta kevalidannya sudah
dipastikan karena telah ditandatangani oleh
pemegang program KIA di Dinkes Kab. Jember.
Pada buku ekspedisi tersebut semua pengiriman
laporan ke Dinkes sudah dilakukan secara tepat
308
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
waktu, yang seluruhnya selalu dikirimkan sebelum
batas waktu yang ditentukan, yaitu batas waktunya
tanggal 5 setiap bulannya. Namun, ketepatan
waktu pengumpulan laporan untuk laporan bulan
PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah tidak dapat
diketahui secara pasti dikarenakan absensi yang
terdapat pada Bidan Koordinator tidak memuat
keterangan tanggal pengumpulan, hanya dilakukan
pencentangan untuk Bidan Desa yang telah
mengumpulkan.
Berdasarkan hasil wawancara, upaya
penanggulangan kasus risti dan penyebaran
informasi sudah dilakukan tepat waktu. Namun,
hal ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada
batas waktunya dan dokumentasi khusus atau
absensi yang mencatat waktu penanggulangan dan
penyebaran informasi.
Stabilitas data
Stabilitas data pada kegiatan pemantauan
kesehatan ibu pada PWS KIA digambarkan dari
tingkat realibilitas dan juga availibilitas data. Sistem
memiliki realibilitas dan availibilitas yang rendah
sehingga stabilitas datanya termasuk kategori
rendah.
Menurut hasil wawancara, dan observasi,
pengumpulan data sampai saat ini masih
mengg u na k a n for mu li r, seh i ngga d ala m
penyimpanannya membutuhkan ruangan yang
cukup luas, data-data tersimpan dengan tidak cukup
rapi dan sistematis. Bidan Desa mengaku kesulitan
dalam menyimpan formulir-formulir data tersebut
dan menaruh data yang tidak terpakai, sehingga
kumpulan formulir tersebut sangat tidak beraturan,
dan untuk formulir yang tidak terpakai dibawa ke
rumah bidan masing-masing untuk disimpan agar
ada ruang yang cukup untuk menyimpan formulir
yang baru. Sehingga, hal tersebut menunjukkan
bahwa realibilitasnya rendah.
Sedangkan untuk availabilitas data yang
rendah disebabkan oleh pengumpulan data dan
penyimpanan data dalam bentuk formulir memiliki
tingkat kesulitan yang tinggi dalam memperoleh
data ketika dibutuhkan. Bidan Koordinator dan
Bidan Desa memerlukan waktu lama dalam mencari
data-data yang telah lalu ketika dibutuhkan karena
tumpukan formulir yang terlalu banyak serta tidak
disimpan pada kelompok-kelompok data dengan
baik.
Identikasi permasalahan
Permasalahan yang ditemukan dari hasil
penilaian atribut sistem surveilans kegiatan
pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA
di Puskesmas Kaliwates yaitu banyaknya form
pencatatan dan pelaporan, kurang praktisnya
Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu karena
bentuknya terlalu besar dan banyak tumpukan data,
penggunaan buku bantu, pembersihan data dengan
waktu yang cukup lama, NPP kasus rendah, sistem
tidak dapat memenuhi kebutuhan pemantauan
individu, kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar
20,057%, kelengkapan data laporan PWS KIA
wilayah 61,087%, register kohort ibu 59,83%, dan
kartu ibu 18,74%, sistem tidak mampu memantau
perubahan tren jumlah dan penyebab kasus risti,
tidak dapat mendistribusikan kasus berdasarkan
orang, tempat, dan waktu, serta memiliki realibilitas
dan availibilitas yang rendah.
PEMBAHASAN
Kesederhanaan
Kesederhanaan sistem surveilans mengacu pada
kemudahan struktur dan kemudahan pengoperasian.
Sistem surveilans harus dirancang sesederhana
mungkin dengan tetap memenuhi tujuan yang ingin
dicapai (CDC, 2003). Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa Bidan Desa mengalami kesulitan dalam
mengisi formulir yang banyak dan di dalamnya juga
terdapat banyak variabel. Hal ini seharusnya perlu
diperhatikan dalam menjaga formulir agar tetap
relatif singkat dan tidak terlalu banyak variabel,
sehingga meminimalisir beban kerja bagi individu
yang melakukan pencatatan (Camoni, et al., 2010).
Selain itu Bidan Desa juga mengeluhkan dari
banyak formulir yang digunakan di pelayanan
KIA juga terdapat banyak variabel yang sama
dan harus diisikan berulang kali saat pelayanan.
Studi dokumen dilakukan pada beberapa formulir
pegangan Bidan Desa untuk melihat adanya
duplikasi, yaitu pada Register Kohort Ibu dan Kartu
Ibu. Hasil studi dokumentasi pada kedua formulir
tersebut menunjukkan banyak variabel yang sama
meliputi a) nomer register ibu, meliputi No. Indeks
dan tanggal pemeriksaan pertama, (b) identitas ibu,
meliputi nama, umur ibu, umur kehamilan, dan
alamat ibu, (c) riwayat kehamilan terdahulu, seperti
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
jumlah kehamilan (hamil ke-) dan jarak kehamilan,
akan tetapi dalam Kartu Ibu isian riwayat kehamilan
lebih detail, (d) hasil pemeriksaan saat kunjungan
pertama, (e) status imunisasi, dan (f) pemeriksaan
ANC/kunjungan ulang. Sehingga terbukti memang
banyak terjadi duplikasi.
Dalam pelayanannya Bidan Desa juga
menggunakan buku bantu berupa catatan pribadi
bidan. Penggunaan buku bantu ini sudah dapat
menunjukkan bahwa sistem tidak cukup efektif dan
efisien dalam melakukan pemantauan. Penggunaan
buku bantu ini sebenarnya akan menambah beban
kerja Bidan Desa di lapangan, karena akan semakin
banyak pencatatan yang dilakukan (Szeles, et al.,
2005). Hasil studi dokumentasi juga menunjukkan
bahwa format penulisan yang digunakan dalam
buku bantu ini hampir mirip variabelnya dengan
yang ada pada Register Kohort Ibu. Hal ini semakin
menambah banyaknya duplikasi dalam kegiatan
pencatatan dan pengumpulan data yang dilakukan
oleh Bidan Desa.
Penggunaan kombinasi banyak sumber data
dapat berkontribusi untuk mendapatkan informasi
yang lebih berkualitas dengan tetap menjaga
efisiensi, namun akan lebih efisien jika menghindari
banyaknya duplikasi dalam sumber data, karena
hal ini akan menjadi tambahan beban bagi petugas,
sehingga tidak dapat menjalankan sistem dengan
efisien (WHO, 2010).
Dalam upaya menghindari duplikasi dan
penggunaan buku bantu, dilakukan pengkajian
ulang mengenai tujuan masing-masing formulir
pegangan bidan untuk melihat apakah bisa
dilakukan penyederhanaan. Berdasarkan informasi
dari wawancara terbuka dengan salah seorang staf
di Seksi Kesga Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur menunjukkan bahwa kedua form pegangan
bidan tersebut memang memiliki fungsi yang
berbeda. Kartu Ibu merupakan rekam medik
pada unit pelayanan di KIA, sedangkan Register
Kohort Ibu sebagai jembatan antara Kartu Ibu
dan pelaporan yang merekap informasi dari Kartu
Ibu lalu diterjemahkan ke data komuna agar lebih
mudah dalam melakukan pemantauan. Keduanya
mempunyai fungsi yang berbeda, dan duplikasi yang
dilakukan memang sebagai ringkasan dari sumber
data sebelumnya sehingga tidak dapat dilakukan
penyederhanaan pada form tersebut dan duplikasi
di dalamnya memang diperlukan.
Salah satu upaya dalam meminimalkan
beban kerja Bidan Desa karena banyaknya
pencatatan dan pelaporan serta duplikasi adalah
309
dengan melakukan pencatatan dan pengumpulan
data secara komputerisasi (Szeles, et al., 2005).
Sistem komputerisasi memungkinkan melakukan
pengisian Kartu Ibu di lapangan secara langsung
dan variabel yang diperlukan bisa langsung terlink secara otomatis sehingga dapat meringankan
beban pencatatan, selain itu dengan komputerisasi
dapat juga mempermudah penyebaran informasi ke
berbagai pihak (Dinkes Prov. Jatim, 2011a).
Fleksibilitas
Fleksibilitas dari sistem ini tergolong rendah
karena sistem kurang mampu memenuhi kebutuhan
akan pemantauan baru pada kelompok individu
yang berisiko tinggi, seperti bumil risti. Pada
kenyataannya sistem PWS KIA kurang konsisten
dalam mencapai tujuan pemantauannya. Tujuan
umum dari sistem PWS KIA adalah terpantaunya
cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus
menerus di setiap wilayah kerja. Jika dilihat dari
tujuan umumnya, sistem yang berjalan selama ini
sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam mencapai
tujuan umum tersebut. Namun masih terdapat salah
satu tujuan khusus yang justru belum terpenuhi
yaitu memantau individu melalui kohort (Dinkes
Prov. Jatim, 2011a). Sistem ini tidak bisa memantau
kebutuhan baru pada pemantauan bumil risti.
Pelaporan yang ada hanya berisi cakupan dengan
angka-angka saja, dengan tidak ada pelaporan yang
untuk individu, khususnya bumil risti. Sehingga,
dapat terlihat bahwa sistem lebih didesain dalam
mencapai tujuan umum dan beberapa tujuan
khususnya selain salah satu tujuan khususnya yaitu
memantau secara individu.
Pemantauan pada bumil risti penting untuk
diperhatikan, termasuk pelaporannya, karena dapat
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan
(CDC, 2003). Pemantauan bumil risti ini merupakan
kebutuhan baru yang penting untuk dilakukan
karena risti memungkinkan dampak yang besar
pada kondisi ibu. Kehamilan risiko tinggi dapat
memperbesar risiko terjadinya komplikasi dalam
persalinan dengan dampak kematian, kesakitan,
kecacatan, ketidakpuasan, dan ketidaknyamanan
(5K) (Ambarwati, dkk., 2011).
Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan
pemantauan bumil risti, terdapat 3 Bidan Desa
yang menggunakan buku bantu bumil risti yang
berisi catatan khusus untuk bumil risti dan pihak
dinas memberlakukan laporan bumil risti di luar
sistem PWS KIA. Pemberlakukan laporan bumil
risti tersebut akan memerlukan akan memerlukan
310
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
investasi yang cukup besar pada sumber daya
manusia dan keuangan (Rehle, et al., 2004).
Pemberlakuan laporan bumil risti ini menambah
beban laporan yang dibuat Bidan Desa dan sehingga
berdampak pada tenaga dan waktu, serta dampak
dari sisi keuangannya berasal dari penambahan biaya
penggandaan formulir. Sedangkan, penggunaan
buku bantu sudah disinggung sebelumnya bahwa
akan menambah deretan beban kerja Bidan Desa
(Szeles, et al., 2005).
Kualitas data
Kualitas data dinilai dari kelengkapan jumlah
dan kelengkapan data pada seluruh formulir yang
digunakan pada sistem PWS KIA pemantauan
kesehatan ibu. Penilaian disesuaikan dengan standar
dari Kepmenkes R.I Nomor 1116/Menkes/SK/2003
tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan masyarakat, yaitu standar
kelengkapan formulir/data yang dikumpulkan >80%.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kelengkapan
jumlah yang tergolong rendah adalah Kartu Ibu,
sedangkan kelengkapan data yang tergolong rendah
adalah Kartu Ibu, Register Kohort Ibu, dan Laporan
PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah.
Kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar 20,057%
dan kelengkapan data Kartu Ibu 18,78%. Persentase
ini sangat rendah untuk formulir Kartu Ibu yang
sebagai rekam medik dalam unit pelayanan di KIA.
Menurut Permenkes R.I Nomor: 749a/Menkes/
Per/XII/1989 tentang rekam medik menyatakan
bahwa rekam medik seharusnya dimiliki oleh semua
pasien, harus dilengkapi setelah pasien mendapat
pelayanan, dan lama penyimpanan sekurangkurangnya 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir
pasien berobat. Sedangkan, kondisi Kartu Ibu di
Puskesmas Kaliwates tidak sesuai dengan ketentuan.
Rekam medik memiliki tingkat kelengkapan jumlah
yang rendah, ini berarti bahwa tidak semua pasien
yang berobat di unit KIA mempunyai Kartu Ibu.
Pada wawancara, beberapa Bidan Desa menyatakan
bahwa tidak membuat Kartu Ibu pada ibu yang
terdata 3 bulan terakhir di Register Kohort Ibu.
Selain itu, kelengkapan datanya juga rendah, yang
seharusnya tinggi karena wajib dicatat setelah
selesai pelayanan.
Hampir semua formulir di sistem PWS KIA
pemantauan kesehatan ibu memiliki kelengkapan
data yang rendah. Hal ini dapat dimungkinkan
karena tidak terdapat petunjuk pengisian pada
setiap form sehingga masih banyak jawaban yang
kosong atau tidak jelas sehingga kelengkapan
datanya rendah. Ketersediaan petunjuk pengisian
pada suat u sistem sangat penting dalam
mendukung pengetahuan Bidan Desa dalam
melakukan pengisian data dengan tepat, sehingga
mempengaruhi tingkat kelengkapan data (Dewi &
Suharto, 2011).
Masalah kualitas data cenderung banyak dan
bervariasi di seluruh negara dan mempengaruhi
kualitas sumber data. Hasil pengamatan menyatakan
bahwa masalah kualitas sumber data ini membuat
laporan rutin sering terjadi bias, ketidaklengkapan,
keterlambatan, dan kualitas data rendah, serta
manipulasi data (WHO, 2010). Seluruh sumber
data pada sistem ini tergolong rendah, sehingga
sangat penting untuk dibenahi agar pelaporan lebih
akurat dan pengambilan keputusan yang dilakukan
lebih efektif. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa
dengan meningkatkan kualitas data maka akan
memerlukan investasi yang cukup besar dalam
sumber daya manusia dan keuangan (Rehle, et al.,
2004).
Kualitas data juga dinilai dari pengolahan
data pada suatu sistem (CDC, 2003). Pada
pelaksanaannya sistem ini, Bidan Desa sudah
melakukan pengolahan data secara rutin. Namun,
pengolahan data tidak dilanjutkan dengan analisis
hasil pengolahan tersebut. Hal ini tidak sesuai
dengan yang tertera di buku Pedoman PWS
KIA, yang menyatakan bahwa Bidan Desa juga
melakukan analisis dari hasil pemantauan sistem
(Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Analisis data penting
untuk dilakukan, karena dengan melakukan analisis
sederhana saja, yaitu melakukan perbandingan
dengan tolak ukur adalah alat yang ampuh dalam
mempengaruhi pengambilan keputusan (WHO,
2010). Oleh karena itu, analisis penting untuk
dilakukan.
Akseptabilitas
Akseptabilitas dapat dinilai dari kemauan
seseorang atau unit lain untuk berpartisipasi dalam
melaksanakan dan memanfaatkan hasil sistem
(CDC, 2003). Akseptabilitas pada sistem ini sudah
termasuk tinggi, karena sudah terdapat beberapa
pihak yang berpartisipasi di dalamnya, yaitu Kader
Posyandu sebagai perwakilan dari masyarakat
setempat, dan Pemerintah Daerah, seperti pihak
kecamatan dan kelurahan. Sedangkan hasil dari
sistem sudah diterima oleh lintas sektoral maupun
lintas program. Lintas sektoral meliputi pihak
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
kecamatan dan kelurahan, sedangkan lintas program
meliputi pihak gizi dan imunisasi.
Menurut hasil dari penelitian Community
Participation in Chagas Disease Vector
Surveillance: Systematic Review, menyatakan bahwa
sistem surveilans akan secara signifikan lebih
efektif bila masyarakat secara substansial dapat
berkontribusi di dalamnya dan bentuk yang sangat
sederhana pun dari partisipasi dapat meningkatkan
efektivitas pemantauan (Fernando, et al., 2011).
Nilai Prediktif Positif (NPP)
Nilai prediktif positif kegiatan pemantauan
kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas
Kaliwates tergolong rendah. Hal ini dikarenakan
tidak terdapat pencatatan dan pengumpulan data
khusus dari pemeriksaan dengan gold standard dan
hasil pengkonfirmasiannya. Sedangkan, Puskesmas
Kaliwates masih menggunakan Kartu Ibu versi
lama, yang di dalamnya terdapat kolom isian
indikasi dan hasil laboratorium, akan tetapi formulir
ini diperuntukkan untuk semua bumil, bukan hanya
untuk bumil yang berkasus saja.
Hasil penilaian NPP memiliki hubungan dengan
kualitas data (CDC, 2003). Hal ini dapat dibuktikan
bahwa pada kolom indikasi dan hasil laboratorium
di Kartu Ibu tidak ada yang terisi, dan kualitas
data Kartu Ibu menurut hasil evaluasi memang
sangat rendah. Hal ini memengaruhi NPP sehingga
menjadi rendah.
Nilai prediktif positif yang rendah akan
menimbulkan berbagai konsekuensi. Konsekuensinya
dari NPP rendah adalah sering terdapat positif
palsu pada laporan, salah identifikasi, dan pada
akhirnya serta sering kali melakukan tindak lanjut
pada perihal yang sebenarnya bukan kasus. Hal
ini menyebabkan pemborosan sumber daya dan
berkurangnya kepercayaan publik (Stefanoff,
2012).
Sensitivitas
Sistem PWS KIA dalam pemantauan kesehatan
ibu belum mempunyai kemampuan dalam memantau
perubahan jumlah kasus dari waktu ke waktu, dan
juga perubahan jumlah penyebab risti.
Sistem hanya dapat memantau jumlah individu
yang mempunyai kasus, padahal satu individu bisa
memiliki lebih dari satu kasus, oleh karena itu lah
sistem dikatakan tidak dapat melihat perubahan
jumlah kasus. Tren penyebab risti tidak dapat
dipantau pada sistem ini, namun dapat dipantau dari
311
luar sistem PWS KIA yaitu pada laporan bumil risti.
Pada laporan tersebut sudah termuat penyebab risti
tiap bumil risti yang terdata dengan detail.
Mengetahui perubahan tren jumlah kasus dan
penyebab dapat digunakan untuk mengidentifikasi
per ubahan dalam terjadinya dan distribusi
penyakit untuk memandu tindakan segera pada
kasus yang penting dalam kesehatan masyarakat,
mengidentifikasi perubahan berbagai faktor
penyebab untuk menilai potensi terjadinya masalah
kesehatan di masa depan, dan mengikuti serta
mengidentifikasi tren jangka panjang pada populasi
untuk informasi dalam mengambil keputusan bagi
para pengambil keputusan (CDC, 2003).
Kerepresentatifan
Evaluasi sistem surveilans berdasarkan atribut
kerepresentatifan yaitu dengan menggambarkan
kasus yang dilaporkan mewakili kejadian yang
sebenarnya menurut distribusi orang, tempat,
dan waktu (CDC, 2003). Kegiatan pemantauan
kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas
Kaliwates tidak ada pendistribusian kasus menurut
variabel orang, tempat, dan waktu. Pada laporan
bulanan, semua hanya dilaporkan dalam bentuk
angka/cakupan saja.
Tujuan u mu m dar i PWS K I A, yait u
terpantauannya cakupan dan mutu pelayanan KIA
secara terus menerus di setiap wilayah kerja (Dinkes
Prov. Jatim, 2011a). Berdasarkan tujuan tersebut
memang tidak diperlukan pendistribusian menurut
variabel orang, tempat, dan waktu, dan laporan
yang ada dengan isi cakupan berupa angka sudah
cukup memenuhi tujuan tersebut. Namun, laporan
yang berisi cakupan/angka saja tersebut tidak dapat
memenuhi salah satu tujuan khusus pada PWS KIA
yaitu memantau individu melalui kohort (Dinkes
Prov. Jatim, 2011a). Hal ini dikarenakan dalam
memenuhi kebutuhan tujuan khusus ini diperlukan
suatu laporan untuk melihat hasil pemantauan
kohort yang didistribusikan menurut variabel orang,
tempat, dan waktu.
Pendistribusian kasus penting dilakukan
dalam memantau suatu masalah kesehatan pada
individu. Pendistribusian menurut variabel orang,
tempat, dan waktu berguna untuk mengidentifikasi
kelompok berisiko tinggi dan identifikasi daerah
berisiko tinggi (Guerra, et al., 2012). Selain itu,
pendistribusian menurut orang, tempat, dan waktu
dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah
dan persentase orang dengan penyakit tertentu,
memantau tren, prevalensi, dan faktor risiko
312
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
(Loustalot, 2012). Sehingga, hal ini dapat membantu
dalam penargetan intervensi untuk orang atau
tempat dengan perilaku berisiko tinggi (CDC, 2003;
Rehle, et al., 2004).
Ketepatan waktu
Ketepatan waktu pelaporan pada sistem ini
tidak seluruhnya dapat dinilai. Hanya ketepatan
waktu pelaporan laporan bulanan PWS KIA
(Indikator Ibu) ke Dinas Kesehatan Kabupaten saja
yang dapat dinilai, karena masih ada bukti catatan
penerimaan laporan yang dibuat pihak Puskesmas
dan ditandatangani oleh pemegang program KIA di
Dinkes sebagai bukti jika telah mengumpulkannya.
Bukti pengiriman laporan tersebut diberi nama
buku ekspedisi. Sedangkan, pada pelaporan laporan
diseminasi informasi dan penanggulangan kasus
tidak terdapat pada absensi atau ekspedisinya,
sehingga tidak bisa dihitung ketepatan waktunya.
Pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu, data
yang dihasilkan digunakan untuk pengendalian
dan pencegahan masalah kesehatan secara
langsung, sehingga ketepatan waktu menjadi
sangat penting (Jajosky & Groseclose, 2004).
Oleh karena itu, ketepatan waktu baik dalam
pelaporan, penanggulangan kasus, dan diseminasi
pada sistem ini harus diperhatikan. Pelaporan data
yang dilakukan secara tepat waktu memungkinkan
untuk dapat memanfaatkan data secara tepat untuk
pengendalian keputusan internal (Barr, et al.,
2011). Selain itu, dengan menggunakan data secara
tepat waktu , informasi yang berkualitas tinggi,
maka akan menunjang dalam mengidentifikasi
dan mengatasi prioritas masalah kesehatan dalam
populasi secara lebih efektif dan efisien (Wilkin,
et al., 2008).
Stabilitas data
Data kesehatan dengan stabilitas yang baik
sangat diperlukan untuk meningkatkan ketepatan
waktu dari pemantauan outcome kesehatan (Egger,
et al., 2012). Akan tetapi hasil evaluasi stabilitas
kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem
PWS KIA menunjukkan hasil yang tergolong
rendah. Hal ini disebabkan karena realibilitas dan
availabilitas yang termasuk rendah.
Kegiatan pemantauan kesehatan ibu di
Puskesmas Kaliwates realibilitasnya rendah
dikarenakan masih menggunakan for mulir
dalam bentuk hardcopy, sehingga data yang telah
terkumpul tidak tersimpan dan terkelola dengan
cukup baik, seperti tidak rapi, dan tidak sistematis
dengan tidak dikelompokkan pada setiap jenis
datanya dan menumpuknya menjadi satu tanpa ada
pemilihan letak penyimpanan menurut kelompok.
Hal ini juga memengaruhi availabilitas datanya,
dengan kondisi realibilitas tersebut maka akan
kesulitan dalam memperoleh data ketika dibutuhkan
dengan cepat.
Upaya dalam meningkatkan availabilitas
dapat dilakukan dengan peningkatan sistem
surveilans dimulai dengan evaluasi menyeluruh
sistem yang ada dengan menggunakan pendekatan
yang ditentukan oleh CDC dan WHO, evaluasi
harus dirancang untuk mengidentifikasi penyebab
spesifik dari kekurangan tersebut, intervensi untuk
perbaikan sistem secara langsung terkait dengan
hasil evaluasi, dan upaya meningkatkan efektivitas
sistem surveilans termasuk perhatian berkelanjutan
(Wilkin, et al., 2008).
Selain itu, peningkatan stabilitas sistem dapat
diupayakan dengan melakukan proses manajemen
data secara komputerisasi, yaitu dari proses
pencatatan, pengolahan , dan pelaporan data, serta
dilakukan mulai dari tingkat Bidan Desa. Sistem
pelaporan elektronik memungkinkan pelaporan
dapat dilakukan lebih mudah dan lebih efektif dan
memiliki potensi besar untuk meningkatkan sistem
pemantauan, tidak hanya ketepatan waktu, tetapi
juga kualitas data, namun juga harus ditunjang
dengan input data yang akurat dan berkualitas
(WHO, 2010).
Alternatif pemecahan masalah
Alternatif pemecahan masalah berdasarkan
hasil gambaran at r ibut su r veilans dalam
kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem
PWS KIA di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten
Jember, Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
(a) Membudayakan Bidan Desa dalam menganalisis
hasil pemantauannya dan membuat rencana tindak
lanjut rutin setiap bulannya. Bidan Koordinator
dapat melakukan pengecekan rutin setiap bulannya
terhadap hasil analisis dan RTL yang dibuat oleh
Bidan Desa. Analisis dan RTL yang dilakukan secara
pribadi oleh Bidan Desa akan menambah kepekaan
bidan terhadap masalah yang ada di wilayahnya
dan untuk segera pengupayaan tindak lanjutnya.
Sehingga, kegiatan pemantauan secara berkelanjutan
akan berjalan lebih optimal. (b) Meningkatkan
kualitas data dalam sistem pemantauan kesehatan
ibu, salah satu upaya adalah dengan meningkatkan
kualitas pemeriksaan data secara rutin oleh Bidan
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
Koordinator terhadap kelengkapan data dan jumlah
data. Pemeriksaan data rutin sebenarnya sudah
dilakukan oleh Bikor di Puskesmas Kaliwates,
akan tetapi hasil evaluasi kualitas datanya masih
tergolong rendah. Sehingga, Bidan Koordinator
harus meningkatkan kualitas pemeriksaannya,
untuk tersedianya data yang lebih berkualitas.
(c) Melengkapi buku pedoman PWS KIA di
Puskesmas dan menggandakannya untuk masingmasing Bidan Desa. Buku pedoman ini sangat
penting untuk diketahui dan dipahami isinya bagi
seluruh pelaku sistem PWS KIA, sehingga dalam
pelaksanaan sistem dapat semaksimal mungkin
dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada. Hal
ini akan menunjang pelaksanaan pemantauan yang
efektif dan esien. (d) Melakukan advokasi secara
terus menerus kepada pihak Dinas Kesehatan
untuk segera membuat petunjuk teknis pengisian
yang rinci pada setiap formulir di PWS KIA dan
disebarluaskan pada pihak Puskesmas, dengan
terlebih dahulu dilakukan pelatihan dan seminar
terhadap isi juknis tersebut untuk menyamakan
persepsi. Tentu saja, langkah ini dapat dipadukan
dengan membuat komitmen bersama pada seluruh
pelaku sistem, sehingga pemantauan dapat dilakukan
secara tepat, cepat, dan menurunkan risiko kematian
ibu. (e) Melakukan advokasi secara terus menerus
kepada pihak Dinas Kesehatan untuk melakukan
pengembangan sistem surveilans lain yang dapat
digunakan untuk pemantauan yang lebih spesik.
Hal ini dikarenakan sistem PWS KIA yang ada tidak
cukup baik dalam melakukan pemantauan secara
individu dan untuk kasus tertentu. (f) Membentuk
tim surveilans KIA. Tim surveilans KIA ini tidak
harus berasal dari tenaga Bidan Desa, tapi bisa
dari tenaga kesehatan lainnya. Tim surveilans ini
akan membantu pemantauan di wilayah, sehingga
kinerja bidan menjadi lebih ringan dan pemantauan
akan lebih optimal. (g) Menyempurnakan format
absensi pelaporan PWS KIA (Indikator Ibu)
wilayah ke Bikor yaitu mengganti format absensi
yang sebelumnya tidak tertera tanggal penyerahan
laporan menjadi absensi yang disertai tanggal
penyerahan laporan. Selain itu, juga membuat
absensi yang tertera tanggal penanganan atau
penyerahan untuk perihal penanganan kasus
dan diseminasi informasi.(h) Melakukan proses
pencatatan, pengolahan, dan pelaporannya secara
komputerisasi yang dimulai dari tingkat bidan di
desa. Proses komputerisasi ini seperti aplikasi yang
dapat melakukan pengisian kartu ibu secara langsung
dan hasilnya dapat otomatis diolah menjadi data
313
pemantauan atau Register Kohort Ibu serta juga
secara otomatis dapat menyediakan informasi untuk
mempermudah pemantauan, seperti HTP, kelompok
risti, status persalinan, dan lain sebagainya sesuai
dengan kebutuhan. Selain itu, komputerisasi ini dapat
dirancang untuk bisa terhubung secara otomatis ke
banyak pihak, seperti Kepala Puskesmas dan Bikor.
Sehingga mereka dapat dengan mudah melihat data
secara cepat setiap bulan dan menggunakan data
untuk meningkatkan kualitas program KIA. Namun
sebelumnya juga harus mengadakan pelatihan proses
operasional komputerisasi PWS KIA. Melakukan
semua proses pencatatan, pengolahan, dan pelaporan
secara komputerisasi juga akan menunjang ketepatan
waktu pelaporan, meningkatkan kesederhanaan
dalam sistem, dan meningkatkan stabilitas sistem.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem
PWS KIA di Puskesmas Kaliwates menunjukkan
banyaknya form pencatatan dan pelaporan, kurang
praktisnya Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu karena
bentuknya terlalu besar dan banyak tumpukan data,
penggunaan buku bantu, pembersihan data dengan
waktu yang cukup lama, NPP kasus rendah, sistem
tidak dapat memenuhi kebutuhan pemantauan
individu, kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar
20,057%, kelengkapan data laporan PWS KIA
wilayah 61,087%, register kohort ibu 59,83%, dan
kartu ibu 18,74%, sistem tidak mampu memantau
perubahan tren jumlah dan penyebab kasus risti,
tidak dapat mendistribusikan kasus berdasarkan
orang, tempat, dan waktu, serta memiliki realibilitas
dan availabilitas yang rendah.
Alternatif penyelesaian masalah yang dapat
dilakukan adalah membudayakan Bidan Desa dalam
menganalisis rutin hasil pemantauan dan membuat
rencana tindak lanjut, meningkatkan kualitas
pemeriksaan data rutin terhadap kelengkapan
jumlah dan ketepatan pemeriksaan form pemantauan
kesehatan ibu, melengkapi buku pedoman PWS KIA
di Puskesmas, mengadvokasi pihak Dinkes dalam
membuat juknis pengisian form di sistem PWS
KIA secara detail, mengadvokasi pihak Dinkes
dalam mengembangkan sistem surveilans lain untuk
pemantauan kasus secara spesifik, membentuk tim
surveilans KIA, menyempurnakan format absensi,
dan melakukan pengumpulan, pengolahan, dan
pelaporan data secara komputerisasi serta pelatihan
sistem operasional komputerisasi.
314
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315
Saran
Saran yang dapat diajukan antara lain
menstandarrisasi seluruh formulir yang ada
di sistem PWS KIA untuk menghindari banyak
duplikasi dan meningkatkan kesederhanaan
formulir. Sehingga, penggunaan formulir dapat
lebih efektif dan efisien. Kemudian menyediakan
SOP dalam pengisian seluruh formulir yang ada
dalam kegiatan pemantauan ibu pada sistem PWS
KIA. Keberadaan SOP pengisian ini sangat penting
dalam menunjang kualitas data yang lebih baik.
Pembuatan kebijakan yang mengikat dalam
pelaksanaan kegiatan pemantauan kesehatan ibu
pada sistem PWS KIA. Kebijakan yang mengikat
tersebut dapat dibuat yang berisikan prosedur
minimal pelaksanaan pemantauan, kewajiban Bidan
Desa dan Bidan Koordinator, serta sanksi yang
tegas pada pelaksanaan yang menyimpang dari
prosedur. Sehingga, hal ini diharapkan bisa dipatuhi
oleh semua petugas pelaksana sistem, sehingga
pemantauan akan lebih optimal.
Pencatatan pada Register Kohort Ibu dengan
membagi lembaran Register Kohort menjadi 12
bagian berdasarkan bulan. Hal ini dilakukan
karena pencatatan bumil pada Register Kohort Ibu
selama dikelompokkan sesuai dengan kunjungan
pertama bumil pada Bidan Desa atau Puskesmas,
bukan berdasarkan usia kehamilannya, sehingga
pembagian lembaran ini dimaksudkan untuk
mengelompokkan bumil berdasarkan usia kehamilan
untuk mempermudah dalam melakukan pemantauan
bumil dan persalinannya.
Evaluasi terhadap kinerja Bidan dan beban
kerja yang dilakukan Bidan selama ini, sehingga
hasilnya bisa dimanfaatkan untuk dasar melakukan
pengkajian ulang pada pengalokasian SDM.
Kemudian melengkapi kelengkapan jumlah form
dan kelengkapan data pada sistem pemantauan
kesehatan ibu, disebabkan sangat pentingnya
peran data yang berkualitas tinggi pada kegiatan
pemantauan.
Pemenuhan buku pedoman PWS KIA pada
setiap Bidan, khususnya Bidan Desa dan Bikor.
Serta meningkatkan pengetahuan seluruh Bidan,
Khususnya Bidan Desa dan Bidan Koordinaor
mengenai surveilans dan sistem PWS KIA.
REFERENSI
Ambarwati, M.R., Yuliana, R. & Wisnu, N.T., 2011.
Gambaran Faktor Penyebab Ibu Hamil Risiko
Tinggi Tahun 2005–2010 (di Polindes Sambikerep
Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk). Forikes,
II(Khusus HKN), pp. 1–8. http://suaraforikes.
webs.com/volume2%20nomorkhusus-HKN.pdf
(sitasi 17 Juni 2013).
BAPPENAS, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium di Indonesia 2010,
Jakarta: BAPPENAS.
Barr, et. al., 2011. A Process Evaluation of an Active
Surveillance Systems for Hospitalized 2009–2010
H1N1 Inuenza Cases. 17(1), pp. 4–11. http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21135655 (sitasi
22 Juni 2013).
Camoni, L. et al., 2010. An improved data-collection
form for the surveillance of HIV infection in Italy.
JPH, Volume 7, pp. 28–33. http://ijphjournal.
it/article/view/5743/5485 (sitasi 19 Juni 2013).
CDC, 2003. Public Health Surveillance Applied to
Reproductive Health. Atlanta: CDC.
CDC, 2012. Principles of Epidemiology Public
Health Practice Series Module 1. 3rd ed. Atlanta:
CDC. http://www.cdc.gov/osels/scientic_edu/
ss1978/SS1978.pdf (sitasi 15 Desember 2012).
Dewi, W.K. & Suharto, G., 2011. Hubungan Antara
Pengetahuan Dokter Tentang Rekam Medis
Dengan Kelengkapan Pengisian Data Rekam
Medis Dokter yang Bertugas di Bangsal Anak
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode 1–31
Agustus 2010. http://eprints.undip.ac.id/37424/1/
Wahyu_Kumala_Dewi.pdf (sitasi 13 Juli 2013).
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2012.
Rekapitulasi Kematian Maternal 2012, Jember:
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011a.
Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA), Surabaya:
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011b. Prol
Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2011, Surabaya:
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012.
Pemetaan Laporan dan Pencatatan KIA 2012,
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur.
Egger, J.R. et al., 2012. Evaluation of Clinical and
Administrative Data to Augment Public Health
Surveillance. ISDS. http://ojphi.org/ojs/index.
php/ojphi/article/view/4474/3515 (sitasi 20 Juni
2013).
Fernando, A.F. et al., 2011. Community Participation
in Chagas Disease Vector Surveillance: Systematic
Review. PLoS Negl Trop Dis, V(6), pp. 1–15.
http://www.plosntds.org/article/info%3Adoi%
Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan…
2F10.1371%2Fjournal.pntd.0001207 (sitasi 22
Juni 2013).
Guerra, J. et al. 2012. Evaluation and Use of
Surveillance System Data Toward The
Identication of High-Risk Areas for Potential
Cholera Vaccination: A Case Study From Niger.
BMC Research Notes, 5(231), pp. 1–7. http://
www.biomedcentral.com/content/pdf/1756-05005-231.pdf (sitasi 19 Juni 2013).
Jajosky, R.A. & Groseclose, S.L. 2004. Evaluation
of Reporting Timeliness of Public Health
Surveillance Systems for Infectious Diseases. BMC
Public Health, 4(29). http://www.biomedcentral.
com/1471-2458/4/29 (sitasi 18 Juni 2013).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Rencana Operasional Promosi Kesehatan Ibu dan
Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kepmenkes R.I Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/ 2003
tentang Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan
Loustalot, F. 2012. CDC Coffee Break: Streamlining
the Evaluation ofPublic Health Surveillance
Systems. s.l., CDC. http://www.cdc.gov/dhdsp/
pubs/docs/CB_May_8_2012.pdf (sitasi 19 Juni
2013).
Permenkes R.I Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medis/ Medical Record.
Rehle, T., Lazzari, S., Dallabetta, G. & Asamoah,
E. 2004. Second-Generation HIV Surveillance:
315
Better Data for Decision-Making. Bulletin of
the World Health Organization, February, pp.
121–127. http://www.scielosp.org/pdf/bwho/
v82n2/v82n2a09.pdf
Stefanoff, P. 2012. Evaluation of a surveillance
system. s.l., EPIET. http://ecdc.europa.eu/en/
epiet/courses/documents/16-evaluation_of_
surveillance_systems_2012.ppt. (sitasi 20 Juni
2013).
Szeles, G. et al. 2005. A Preliminary Evaluation of A
Health Monitoring Program in Hungaty. European
Journal Of Public Health, 15(1), pp. 26–32.
http://eurpub.oxfordjournals.org/content/15/1/26.
full.pdf+html?sid=f9ba155b-ea7a-414a-a30b1fcfc2e736d2 (sitasi 19 Juni 2013).
WHO. 2010. Monitoring and Evaluation of
Health Systems Strengthening:An Operational
Framework. Geneva, WHO. http://www.who.int/
healthinfo/HSS_MandE_framework_Oct_2010.
pdf (sitasi 19 Juni 2013).
Wijono, D. 2008. Paradigma dan Metodologi
Penelitian Kesehatan. Surabaya: CV. Duta Prima
Airlangga.
Wilkin, et. al. 2008. The Data for Decision Making
Project: Assessment of Surveillance Systems
in Developing Countries to Improve Access to
Public Health Information. 2(9), pp. 914–922.
http://www.publichealthjrnl.com/article/S00333506(07)00356-3/fulltext (sitasi 19 Juni 2013).
DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN
MANGGARAI BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR.
(Maternal and Child Health Determinants in West Manggarai District
East Nusa Tenggara Province)
Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading
Naskah Masuk: 28 Maret 2014, Review 1: 3 April 2014, Review 2: 3 April 2014, Naskah layak terbit: 12 Juni 2014
ABSTRAK.
Latar Belakang: Kabupaten Manggarai Barat dalam periode Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian bayi
34 kasus, Bayi lahir mati 33 kasus dan kematian ibu 9 kasus. Tujuan tulisan ini yaitu ingin menggambarkan penyebab
kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk. Metode: Penelitian merupakan studi kualitatif di kabupaten Manggarai Barat
Pada tahun 2012. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Wainakeng dan Labuan Bajo. Pengumpulan data secara Focus
Group Discussion dengan Kepala Puskesmas, bidan desa, pengelola program gizi dan seksi KIA pada dinas kesehatan.
Hasil: Penyebab kematian ibu dan bayi di wilayah kerja Puskesmas Labuan Bajo disebabkan oleh karena ibu mengalami
kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan tipus. Perhatian ibu terhadap bayi kurang dan akses terhadap
pelayanan kesehatan sulit. Permasalahan tersebut harus diatasi dengan cara ibu hamil memeriksakan kesehatan secara
rutin, pemakaian kelambu, perlu penyediaan perahu motor dengan operasional lebih murah. Penyebab gizi buruk dan gizi
kurang adalah pengetahuan, pola asuh dan kemiskinan serta penyakit infeksi seperti diare dan malaria, diatasi oleh bidan
dengan cara proaktif memberikan konseling kepada keluarga yang mempunyai balita gizi buruk. Kematian ibu di wilayah
kerja Puskesmas Winakeng disebabkan oleh beberapa factor tidak tersedianya rumah sakit di Kabupaten, masih terdapat
ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun, pelaksanaan Perda yang mengatur tentang ibu hamil kurang tegas
dan keluarga sering terlambat dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk. Cara mengatasinya adalah petugas harus
lebih aktif memberikan konseling kepada ibu hamil dan melakukan pendekatan dengan lintas sektor dalam memonitoring
ibu hamil. Masalah gizi disebabkan terutama karena pola asuh, penyakit infeksi seperti malaria tipes dan diare dan asupan
makan yang bergizi kurang. Kesimpulan: kematian ibu dan bayi disebabkan oleh ibu mengalami gizi buruk, akses terhadap
pelayanan kesehatan yang sulit, ibu hamil yang memeriksa ke dukun dan tidak tersedianya rumah sakit di kabupaten serta
penyakit infeksi malaria dan diare. Solusinya adalah bidang harus aktif dengan melibatkan kepala desa dalam memantau
ibu hamil, perlu disediakan perahu motor dan pembangunan rumah sakit daerah.
Kata kunci: kematian ibu dan anak, Manggarai Barat
ABSTRACT
Background: West Manggarai district in period January until July 2012. Infant mortality rate were 34 cases, stillbirths
were 33 cases and maternal mortality rate was 9 cases. Methods: This research is qualitative study using Focus Group
Discussion (FGD) desain, cooperation with head of public health center, midwife, nutrition program manager, and public
health at health department. Results: Maternal and infant mortality in Labuan Bajo public health center caused by maternal
nutritional deficiency, infectious diseases such as malaria and typhoid fever, mother less attention to the baby when the
baby’s ill and difficult access to health services. The problem solution is pregnant women should be regularly having
antenathal care, using of mosquito nets. Need to be provided cheaper sea transport. Causes of malnutrition and undernourishment is knowledge, parenting skill and infectious diseases such as diarrhea and malaria. To overcome this problem
midwife should be proactive giving counseling to families with malnutrition children under five. Maternal and infant mortality
Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang
Loka Litbang P2B2 Waikabubak
Email: [email protected]
249
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
in Winekang public health center caused by not availability of hospital at district, pregnant women still seeking treatment to
traditional healers, the implementation of government regulations are less strict and families often late in taking decision to
be referred. The solution is health officers must always giving counseling to pregnant women and cross-sector approach
to monitoring. Whereas the main cause nutritional problems is parenting behavior, infectious diseases, and not enough
healthy food. Conclusion: Maternal and infant mortality caused by difficult access to health services, there are pregnant
womens who go to traditional healers, not availability of hospitals in the district, also infectious diseases likes malaria and
diarrhea. The solution is the midwife must active involving the village and subdistrict heads in monitoring pregnant women,
need to provide a boat and build district hospital
Key words: determinants, of maternal and child health, west Manggarai
PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan
negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia
(SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI adalah
359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB adalah 32
per 1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat
dari semua kematian balita terjadi dalam tahun
pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian
bayi terjadi pada periode neonatus (Sindonews.com,
2013; BPS dan tim, 2013). Berdasar kesepakatan
global (Millenium Development Goal/MDGs 2000),
diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi
102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23
per 1000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) telah dilakukan untuk mengatasi
perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKA
antara negara maju dan di negara berkembang,
seperti di Indonesia. Upaya-upaya tersebut dilakukan
untuk menyelamatkan ibu sejak awal kehamilan
sampai masa nifas dengan tujuan agar kehamilan dan
persalinannya dapat dilalui dengan selamat dan bayi
lahir dalam keadaan sehat (Pusat Humaniora 2014).
Kabupaten Manggarai Barat dalam periode
Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian
bayi sebanyak 34 kasus, Bayi lahir mati sebanyak
33 kasus dan kematian ibu sebanyak 9 kasus. Angka
ini cukup tinggi dalam jangka waktu satu semester
saja. Persoalan seperti ini menyebabkan menepisnya
harapan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak pada tahun 2015 mendatang.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah
baik pemerintah pusat maupun daerah telah
dilaksanakan. Salah satu program pemerintah pusat
adalah utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil
melalui integrasi Penerapan Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan
250
Antenatal Care (ANC) di Posyandu menjadi bahasan
utama. Pelayanan kesehatan ibu hamil sampai saat
ini masih menjadi sorotan utama dalam meningkatkan
cakupan pelayanan kesehatan dasar dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga
tahapan fase kehamilan dalam pelayanan kesehatan
harus ditingkatkan dan menjadi penapisan utama
sesuai dengan tujuan MDGs yaitu menurunkan angka
kematian ibu dan anak (Mikrajab N.D. 2013).
Pro gram pemer int ah daerah s alah s atu
diantaranya program revolusi kesehatan ibu dan anak
dengan slogan semua ibu hamil melahirkan di fasilitas
kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan.
Selain itu membangun kemitraan antara bidan dan
dukun, dukun mempunyai peran mengantarkan dan
memotivasi ibu hamil agar mau melahirkan di fasilitas
kesehatan. Upaya tersebut telah dilakukan oleh
semua kabupaten kota di provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada
ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari
berbagai faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat di mana mereka berada. Disadari atau
tidak, bermacam faktor kepercayaan dan pengetahuan
budaya seperti banyak konsepsi mengenai berbagai
pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan
dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,
seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan,
merupakan salah satu selera manusia di mana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap
daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk
pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan
kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran
terhadap beberapa makanan tertentu (Maas, 2004).
Salah satu faktor yang secara langsung dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat
ada berbagai aturan yang menentukan kuantitas,
kualitas dan bermacam makanan yang seharusnya
dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh semua anggota
suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia,
jenis kelamin dan situasi tertentu.
Masalah kesehatan ibu dan anak terkait dengan
tindakan ibu memelihara kesehatan selama masa
kehamilan, persalinan dan memelihara anak saat
usia bayi, pemeliharaan kesehatan tidak hanya
terkait dengan menjaga agar tidak sakit tetapi juga
termasuk mengonsumsi makan dengan gizi seimbang.
Kurangnya asupan zat gizi baik pada saat kehamilan
akan menyebabkan kekurangan energi protein dan
dampaknya berat badan bayi yang dilahirkan akan
rendah. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil
dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang
dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa
sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan
melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan
berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi
yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi
ibu sebelum dan selama hamil.
Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan
meningkatnya metabolisme energi, karena itu
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat
selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat
gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin, pertambahan besarnya organ
kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme
tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan
saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak
sempurna. Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia
mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama
pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu
hamil dengan status gizi normal. Akibatnya mereka
mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan
bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan,
pendarahan, pascapersalinan yang sulit karena lemah
dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes
RI, 1996). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya
kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang
baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat
mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga
akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi
karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan
bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku
dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).
Berbagai faktor seperti sosial budaya, kepercayaan
tradisional, pengetahuan dan praktek tradisional,
akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta
geografis wilayah dan keadaan ekonomi penduduk
berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak.
Informasi tentang berbagai faktor tersebut sangat
dibutuhkan dalam rangka upaya perbaikan kesehatan
ibu dan anak.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk menggali
penyebab kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk di
dua puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan
Bajo Kabupaten Manggarai Barat.
METODE
Penelitian merupakan studi kualitatif pada saat
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
(PDBK) di kabupaten Manggarai Barat Pada tahun
2012. Penelitian dilaksanakan di dua puskesmas
yaitu Puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan
Bajo. Pemilihan dua Puskesmas ini sebagai tempat
penelitian adalah didasarkan pada kedua Puskesmas
ini terjadi kematian ibu dan balita dalam kurun waktu
trisemester pertama. Pemilihan hanya dibatasi pada
dua puskesmas disebabkan oleh keterbatasan waktu
dan anggaran dalam pelaksanaannya. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara Focus Group Discussion
(FGD) dengan Kepala Puskesmas, bidan koordinator,
bidan desa, pengelola program gizi dan kepala seksi
pada dinas kesehatan Manggarai Barat sebanyak
20 orang dan ibu hamil sebanyak 10 orang. Mengingat
keterbatasan waktu dan anggaran pengumpulan
data hanya dilakukan dengan metode FGD. FGD
dilaksanakan untuk menggali akar permasalahan yang
terdiri dari masalah gizi buruk dan gizi kurang, angka
kematian ibu, angka kematian bayi dan bayi lahir mati.
Selain melakukan kajian literatur, narasi hasil Focus
Group Discussion, analisis data dilaksanakan secara
deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Kematian Ibu maternal, bayi, dan bayi
lahir mati
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion pada
Puskesmas Labuan Bajo dan Wainakeng diperoleh faktor
penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu
yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
251
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
Tabel 1. Penyebab Kematian Bayi, Bayi Lahir Mati dan Kematian Ibu di Puskesmas Labuan Bajo dan
Puskesmas Wainakeng, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012
Penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu
Puskesmas Labuan Bajo
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Hasil Focus Group Discussion (FGD) di
Puskesmas Labuan Bajo
Bayi Lahir Mati, Kematian Bayi dan Kematian
Ibu
Penyebab utama bayi lahir mati, kematian bayi
dan kematian ibu hamil di wilayah kerja puskesmas
Labuan Bajo disebabkan ibu mengalami kekurangan
gizi dan kekurangan energi kalori (KEK). Hal ini senada
dengan (Depkes RI, 1996) Ibu hamil yang menderita
KEK dan Anemia mempunyai risiko kesakitan yang
lebih besar terutama pada trimester III kehamilan
dibandingkan dengan ibu hamil dengan status gizi
normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih
besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian
saat persalinan, pendarahan, pascapersalinan
yang sulit karena lemah dan mudah mengalami
gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan
BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan
lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan,
bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya.
Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu
hamil berdampak pada anemia pada ibu hamil.
Perhatian ibu terhadap bayi yang kurang apalagi pada
saat sakit bayi kurang mendapat perhatian sehingga
menyebabkan bayi meninggal dunia dan masalah
transportasi yang tidak memadai dan akses terhadap
pelayanan kesehatan yang sulit karena wilayah
Manggarai Barat merupakan daerah kepulauan yang
terdiri dari banyak pulau kecil.
252
Puseksemas Wainakeng
Ibu mengalami kekurangan gizi
kekurangan energi kalori (KEK).
Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu hamil
Perhatian ibu terhadap bayi kurang
Kesulitan transportasi
Peran lintas sektor masih kurang
Belum adanya evaluasi secara berkala
Kurangnya sosialisasi tentang gizi dan KIA ke tingkat
desa.
Pola asuh orang tua
Kemiskinan
a.
b.
c.
d.
e.
Tidak tersedianya rumah sakit umum di Kabupaten
Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan
Ibu hamil memeriksakan kehamilan ke dukun
Penegakan perda tentang ibu hamil tidak berjalan
Sosial budaya berupa pantangan terhadap ibu hamil
pasca persalinan
f. Pola asuh orang tua terhadap anak kurang
g. Penyakit infeksi seperti malaria, diare dan tifes
Berbagai Cara Mengatasi Bayi Lahir Mati,
Kematian Bayi dan Kematian Ibu
Cara mengatasi permasalahan kematian bayi,
kematian ibu dan bayi lahir mati adalah sebagai
berikut. Selama masa kehamilan ibu harus selalu
memelihara kesehatan dan status gizi ibu harus
selalu dipantau dan makan makanan yang bergizi
supaya pada saat persalinan anak yang dilahirkan
tidak kurang gizi atau berat badan bayi lahir rendah
(BBLR). Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan
meningkatnya metabolisme, karena itu kebutuhan
energi dan zat gizi lainnya meningkat selama
kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin, pertambahan besarnya organ kandungan,
perubahan komposisi dan metabolisme tubuh
ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan
saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak
sempurna.
Diper lukan pemer iksaan kesehat an dan
pemakaian kelambu selama kehamilan agar terhindar
dari penyakit infeksi seperti malaria, karena dampak
dari penyakit malaria terhadap ibu hamil dapat
menyebakan anemia. Kemudian orang tua yang
memiliki bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
harus selalu dipantau dan dimotivasi oleh bidan dan
petugas gizi.
Untuk mengatasi permasalahan transportasi
maka perlu disediakan perahu motor yang biaya
operasionalnya lebih murah. Perahu motor ini dapat
dipergunakan sewaktu-waktu apabila ada pasien yang
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
perlu dibawa dan dirujuk segera. Pada level dinas
kesehatan dan puskesmas perlu ditingkatkan program
revolusi KIA dengan melibatkan lintas sektor yaitu
Camat dan Desa. Pada setiap papan pengumuman
kecamatan dan desa harus ditempelkan informasi
ibu hamil dan bayi gizi buruk yang akan dipantau
dan harus dilakukan evaluasi secara berkala pada
semua lini termasuk lintas sektor. Kemudian setiap
puskesmas harus melakukan sosialisasi ke setiap
desa dan harus memberikan laporan tertulis ke Dinas
Kesehatan.
Gizi Buruk dan Kurang Gizi
Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus
tentang permasalahan gizi buruk dan gizi kurang
maka dapat dir umuskan yang menjadi akar
permasalahannya adalah Pola asuh orang tua
terhadap anak, anak hanya di berikan makanan
asal kenyang tapi tidak memperhatikan nilai gizinya.
pengetahuan orang tua yang rendah tentang cara
mengasuh anak yang baik dan kemiskinan, merupakan
penyebab utama. Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) telah dilaksanakan namun dalam pelaksanaan,
makanan tambahan tersebut bukan semata-mata
hanya dikonsumsi oleh bayi saja tapi keluarga yang
lain juga ikut mengonsumsinya. Perilaku orang tua
dalam memberikan makanan yang bergizi kurang,
sebenarnya pangan tersedia di masyarakat seperti
sayur-sayuran, telur dan beras tapi dijual anak hanya
diberikan nasi putih. Perhatian yang kurang dari orang
tua, orang tua sibuk dengan pekerjaan, penyakit
infeksi seperti diare, malaria.
Salah satu penyebab masalah gizi adalah tradisi
masyarakat dalam memberikan makan bagi bayi, seperti
bayi dari awal telah diberikan makanan yang seharusnya
belum bisa diberikan, sehingga menyebabkan anak
tersebut mencret. Selain itu persepsi masyarakat
tentang bentuk tubuh anak contohnya kalau orang
tuanya berbadan kecil dan kurus maka anaknya juga
wajar kalau badannya kecil dan kurus.
Cara Mengatasi Masalah Gizi Kurang dan Gizi
Buruk
Langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah dengan
memberikan konseling atau pendampingan di
posyandu kepada keluarga yang mempunyai balita,
agar orang tua lebih memperhatikan cara mengasuh
anak yang baik. Selain itu perlu ditingkatkan
penyuluhan face to face kepada ibu hamil dan ibu
yang memiliki balita karena penyuluhan tersebut
lebih efektif jika dibandingkan dengan penyuluhan
berkelompok. Petugas harus lebih proaktif dalam
memotivasi dan mendorong orang tua agar lebih
kreatif dalam memberikan makanan bagi bayi,
dan ketegasan dari petugas sangat penting dalam
menangani permasalahan gizi buruk orang tua
yang tidak memanfaatkan PMT secara baik harus
ditegur dan diberikan peringatan. Dalam mengatasi
masalah gizi buruk harus ada peran kepala desa,
agar kepala desa berkewajiban untuk memotivasi
kader dan menggerakkan masyarakat jadi setiap
permasalahan gizi buruk harus dilaporkan kepada
kepala desa. Selain itu perlu peningkatan keterampilan
dan pengetahuan, pelatihan kepada bidan tentang
teknik konseling kepada ibu hamil serta dilakukan
perlombaan kreativitas ibu hamil dalam pemberian
menu untuk balita.
Hasil Focus Group Discussion di Puskesmas
Wainakeng
Penyebab Utama Kematian Ibu, Bayi Lahir Mati
dan Kematian bayi
Kematian ibu, bayi lahir mati dan kematian bayi
di wilayah kerja Puskesmas Wainakeng adalah
disebabkan oleh tidak tersedianya rumah sakit di
Kabupaten, permasalahan seperti ini seharusnya
bisa diantisipasi oleh keluarga dengan menyediakan
anggaran untuk melahirkan ke fasilitas atau rumah
sakit yang memadai. D’Ambruoso et al. (2009)
menyatakan bahwa keluarga dan masyarakat tidak
menyediakan sarana emergensi dengan dukungan
finansial atau transportasi secara terpisah disebabkan
kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem
asuransi kesehatan di tambah kurangnya jaminan
asuransi dalam pelayanan ibu hamil. Pemahaman
ini perlu dibangun oleh tenaga kesehatan terhadap
keluarga ibu hamil. Diperlukan suatu mekanisme
sistem yang dapat menangani permasalahan ibu
melahirkan apabila terjadi komplikasi sebagai
contoh salah satu kasus kematian ibu. Perencanaan
persalinan sudah dilakukan oleh bidan di polindes,
3–4 hari dilakukan observasi oleh bidan desa dan
pada saat proses persalinan 15 menit tidak ada gejala
pelepasan plasenta akhirnya dirujuk ke puskesmas dan
puskesmas merujuk ke Rumah Sakit Cancar, petugas
yang menangani tidak berada di tempat dan yang ada
hanyalah bidan yunior. Tiga jam tidak mendapatkan
pertolongan maka ibu tersebut meninggal.
253
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
Penyebab masalah seperti ini tidak semata-mata
bersumber dari masyarakat tetapi juga dipengaruhi
oleh sumber daya kesehatan itu sendiri menurut WHO
(2007) cit. Ergo et al. (2011) menyebutkan bahwa
untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan
KIA dan khususnya pelayanan ibu hamil diperlukan
penguatan sistem kesehatan untuk mencapai tujuan/
outcome kesehatan. Adapun penguatan sistem
kesehatan yang dimaksud, meliputi: pelayanan KIA
(service delivery), ketersediaan dan kecukupan
tenaga kesehatan dan pendukungnya termasuk
kader, sistem informasi kesehatan, ketersediaan
produk medis, vaksin, dan teknologi kesehatan,
pembiayaan, kepemimpinan/kepemerintahan yang
baik (good governance). Keluarga terlambat dalam
pengambilan keputusan, pada saat akan melahirkan
dan apabila terjadi kegawatan terhadap bayi atau ibu
keputusan di dalam keluarga diambil dengan cara
rembuk bersama dengan keluarga yang lain proses
rembuk keluarga memakan waktu yang cukup lama
yang dapat menyebabkan lambat dalam proses
pengambilan keputusan. Selain itu menurut UNFPA
untuk menurunkan kematian ibu hamil diperlukan
dukungan swadaya masyarakat sehingga mampu
mandiri menjadi salah satu aspek penting untuk
mencegah terjadinya kematian ibu melahirkan karena
tiga terlambat (three delays) yaitu terlambat dalam
mencari bantuan medis yang tersedia, mencapai
pelayanan kesehatan, dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai (UNFPA, 2010).
Penyebab kematian berikutnya adalah masih
terdapat perilaku ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya ke dukun. Perda yang mengatur tentang
ibu hamil telah ada, namun dalam pelaksanaannya
perlu ditegakkan. Perlu diberikan pemahaman kepada
ibu hamil tentang risiko kehamilan dan dan persalinan.
Menurut Poerwanto (1991), ibu yang kurang memahami
risiko kehamilan-persalinan menyebabkan rendahnya
penggunaan sarana pelayanan kesehatan dalam
perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan.
Menurut Iskandar et al., 1996 masih adanya pantangan
yang diberlakukan pada masyarakat pascapersalinan,
pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan
dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada
makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan
tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Selain itu, larangan
untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nanas,
254
ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih
dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama
masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Secara tradisional, ada praktik yang dilakukan oleh
dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik
dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut
yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke
posisi semula; memasukkan ramuan seperti daundaunan ke dalam vagina dengan maksud untuk
membersihkan darah dan cairan yang keluar karena
proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh (Iskandar 1996).
Cara Mengatasi Kematian Ibu, Kematian Bayi
dan Bayi Lahir Mati
Cara mengatasi kematian ibu kematian bayi dan
bayi lahir mati adalah dengan lebih aktif memberikan
penyuluhan dan konseling kepada ibu hamil dan ibu
yang mempunyai balita agar anak diasuh sendiri dan
memberikan pengetahuan tentang cara pemberian
makan yang bergizi kepada bayi. Kader dan bidan
harus aktif dalam melakukan pendekatan dengan
lintas sektor kepala desa, dalam memonitoring dan
menggerakkan ibu yang bayinya menderita gizi
buruk. Perlu di buat perdes yang mengatur tentang
gizi buruk dan akan diusulkan pada musrembangdes.
Pada minilokakarya puskesmas yang dilaksanakan
setiap tanggal 27 dan 28 setiap bulannya mulai bulan
Agustus selain membahas permasalahan Kesehatan
Ibu dan Anak harus lebih difokuskan pada masalah
gizi. Harus mengatifkan kader kesehatan, dan setiap
kader yang berada di desa harus mempunyai kepala
keluarga binaan. Melalui keluarga binaan kader
dengan mudah dapat memantau dan mengarahkan
keluarga untuk selalu memberikan makanan bergizi
dan menjaga kesehatan anaknya, apabila setiap kader
kesehatan dapat men jalankan tugasnya dengan baik
maka jumlah balita yang kurang gizi akan dapat
diturunkan. Kader juga perlu diberikan insentif yang
dapat menjadi motivasi dalam bekerja.
Gizi Buruk dan Kurang Gizi
Penyebab utama masalah gizi di wilayah kerja
puskesmas Wainakeng adalah perilaku orang tua
dalam mengasuh anak. Orang tua terlalu sibuk dengan
pekerjaan di kebun atau ladang dari pagi sampai sore,
anak dititipkan kepada kerabat atau saudara, dan
kerabat tidak memperhatikan apakah anak tersebut
sudah makan atau tidak. Selain itu penyebab lainnya
Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading)
adalah penyakit infeksi seperti malaria, tipes dan diare.
Asupan makan yang bergizi kepada anak, masih
kurang orang tua hanya memberikan makan asal
kenyang saja, seperti diberikan nasi putih saja, tanpa
memperhatikan kebutuhan gizi anak. Ketersediaan
pangan sebenarnya cukup, tetapi sayur-sayuran ikan
dan telur umumnya dijual dan tidak diberikan kepada
bayi untuk di konsumsi. Kekurangan gizi pada bayi
akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi
karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan
bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku
dan lain sebagainya (Depkes RI, 1997).
Bayi yang lahir dari ibu yang gizinya baik selain
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik juga akan
memberi air susu ibu (ASI) yang cukup untuk bayinya.
ASI merupakan makanan bergizi yang paling lengkap,
aman, hygienis dan murah. ASI juga meningkatkan
keakraban ibu dan anak yang bersifat menambah
kepribadian anak di kemudian hari. Itulah sebabnya
ASI terbaik untuk bayi.
Dari berbagai studi dan pengamatan
menunjukkan bahwa dewasa ini di masyarakat
terdapat kecenderungan penurunan penggunaan
ASI dan mempergunakan susu formula. Dengan
kenaikan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan
kerja dan peningkatan sarana komunikasi dan
transportasi yang memudahkan periklanan susu
buatan serta luasnya distribusi susu buatan terdapat
kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui
maupun lamanya menyusui baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan.
Menurunnya jumlah ibu yang menyusui sendiri
bayinya pada mulanya terdapat pada kelompok
ibu di kota terutama pada keluarga berpenghasilan
cukup yang kemudian menjalar sampai ke desa.
Meskipun menyadari pentingnya pemberian ASI
tetapi budaya modern dan kekuatan ekonomi yang
semakin meningkat telah mendesak para ibu untuk
segera menyapih anaknya dan memilih air susu
buatan sebagai jalan keluarnya. Meningkatnya lama
pemberian ASI dan semakin meningkatnya pemberian
susu botol menyebabkan kerawanan gizi pada bayi
dan balita (SIR & EGAR 1991). Kebiasaan orang tua
yang memiliki anak mencari pekerjaan ke luar daerah,
anak masih berumur 4 bulan orang tua sudah menjadi
Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan menitipkan anak
kepada kerabat untuk di asuh dampaknya adalah
anak mengalami kekurangan gizi. Selain alasan
pekerjaan, ibu tidak mau menyusui anaknya dengan
alasan penampilan, ibu merasa payudara akan kendor
dan kelihatan kurang menarik apabila menyusui
bayinya. Pemahaman seperti ini perlu dihilangkan
dari ibu menyusui, ibu menyusui perlu diberikan
pemahaman yang benar tentang menyusui melalui
penyuluhan pada memeriksakan kehamilan ke bidan
atau unit pelayanan kesehatan. Kandungan nutrisi
yang terkandung dalam ASI tidak bisa tergantikan
oleh susu formula.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari permasalahan
penyebab kematian ibu serta kematian bayi dan bayi
lahir mati di wilayah kerja Labuan Bajo adalah ibu
kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan
tifes, akses terhadap pelayanan kesehatan yang
sulit. Penyebab masalah gizi buruk di wilayah kerja
puskesmas Labuan Bajo adalah pola asuh yaitu anak
tidak diperhatikan akan kebutuhan gizi dan petugas
masih kurang proaktif dalam memberikan motivasi
kepada orang tua. Penyebab kematian ibu, kematian
bayi dan bayi lahir mati di wilayah kerja puskesmas
Wainakeng adalah tidak tersedianya rumah sakit di
kabupaten, yang dapat menangani permasalahan ibu
melahirkan apabila terjadi komplikasi. Masih terdapat
perilaku ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya
ke dukun. Keluarga terlambat dalam pengambilan
keputusan untuk penolong persalinan. Penyebab gizi
buruk dan gizi kurang di wilayah kerja puskesmas
Wainakeng adalah pola asuh atau perilaku orang tua
dalam mengasuh, kurangnya asupan gizi terhadap
anak, penyakit infeksi seperti malaria, kecacingan
diare.
Saran
Untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
bidan harus selalu memotivasi dan memantau ibu
selama masa kehamilan, agar ibu selalu menjaga
kesehatan, memeriksakan kesehatan secara rutin,
serta mengonsumsi makanan bergizi selama masa
kehamilan. Untuk permasalahan transportasi di
pulau setiap bidan desa diperlukan perahu motor
yang lebih murah operasionalnya. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut petugas harus lebih proaktif
dalam memotivasi agar orang tua lebih kreatif dalam
memberikan makan bagi bayi. Petugas harus lebih
aktif memberikan penyuluhan dan konseling kepada
255
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256
ibu hamil dan ibu yang mempunyai balita. Setiap kader
yang berada di desa harus mempunyai beberapa
keluarga binaan. Kader kesehatan dan petugas gizi
harus lebih aktif dalam memberikan konseling dan
penyuluhan terhadap orang tua tentang pemberian
makanan yang bergizi bagi bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Ambruoso L, Adisasmita AE, Izati Y, Makowiecka K,
Hussein J. 2009. Assessing quality of care provided
by Indonesian village midwives with a confi dential
enquiry. Midwifery, 25 (5), p. 528–39.
Brinch Jennifer MPH. 1986. Menyusui Bayi dengan Baik
dan Berhasil, Jakarta: Gaya Favorit Press.
Departemen Kesehatan RI., 1992. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Prenatal di Wilayah Kerja Puskesmas.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesehatan
Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Penanggulangan
Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. 1997. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT), 1995. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Ergo A, Eichler R, Koblinsky M. and Shah N. 2011.
Strengthening Health Systems to Improve Maternal,
Neonatal and Child Health Outcomes: A Framework,
Washington DC: USAID.
Iskandar, Meiwita B, et al. 1996. Mengungkap Misteri
Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok: Pusat Penelitian
256
Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas
Indonesia.
UNFPA. 2010. Reducing Maternal Mortality 2012, New
York. USA.
Pusat Humanoira Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat. 2014. Panduan Riset Intervensi Ibu dan
Anak
Sulhaida Lubis. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta
Pengaruhnya terhadap Bayi yang Dilahirkan.
Maas, L.T.F.K.M.U.S.U., 2004. Kesehatan Ibu dan Anak
Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya, hal.
1–6.
Mikrajab MA. (t.th). Integrasi Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi dan Antenatal
Care di Posyandu Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur
( Utilization of Pregnant Women Services through
Integrating Childbirth Planning and Complications
Prevention Program and Antenatal Care., (17), pp.
203–216.
SIR MA. dan EGAR, 1991. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pemberian Asi oleh Ibu Melahirkan. Manado: Bagian
Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatra Utara, hal. 1–18.
Swasono, F. Meutia, 1998. Kehamilan, kelahiran, perawatan
ibu dan bayi dalam konteks budaya. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI Press),
Wibowo, Adik. 1993. Kesehatan Ibu di Indonesia: Status
“Praesens” dan Masalah yang dihadapi di lapangan.
Makalah yang dibawakan pada Seminar “ Wanita dan
Kesehatan”, Jakarta: Pusat Kajian Wanita FISIP UI.
Artikel Penelitian
Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan
Kesehatan Ibu dan Anak pada Ibu
Function of Utilization Maternal Child Health Book to Maternal Knowledge
Colti Sistiarani, Elviera Gamelia, Dyah Umiyarni Purnama Sari
Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak
Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) masih belum maksimal
terbukti dari data cakupan buku KIA Puskesmas Ajibarang I sekitar 72,34%,
yang masih dibawah target Standar Pelayanan Minimal. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis hubungan antara fungsi buku KIA yang meliputi
pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan ibu terhadap
KIA. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang, yang dilakukan pada peiode bulan Juni _ Oktober 2012, pada ibu di wilayah kerja
Puskesmas Ajibarang I. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak berusia
kurang dari 5 tahun. Sampel diambil sebanyak 91 orang dilakukan dengan
teknik proportional random sampling. Analisis data meliputi univariat
dengan melakukan uji distribusi frekuensi, dan analisis bivariat dengan uji
kai kuadrat (x2). Hasil fungsi pencatatan buku KIA kurang baik ditemukan
sekitar 44 %, fungsi edukasi buku KIA baik sekitar 57,1%, fungsi komunikasi
buku KIA baik sekitar 61,5%, dan pengetahuan ibu tentang KIA baik adalah
sekitar 56%. Ada hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan
pengetahuan KIA, tidak ada hubungan antara fungsi edukasi dan komunikasi buku KIA dengan pengetahuan KIA.
Kata kunci: Buku kesehatan ibu dan anak, fungsi pencatatan, pengetahuan
ibu
Abstract
Utilization maternal child health (MCH) book is not maximized, it is evident
from the data MCH book coverage in Ajibarang I Primary Health Care
(PHC) was 72.34%, the coverage is still below the target of Minimum
Service Standards ( MSS ). The purpose of the study was to analyze relationship between the function of MCH books (recording, educational, communication) with knowledge of MCH. This study used a cross sectional approach and conducted from June to October 2012, performed to mothers at
Ajibarang I PHC. The population were mothers of children aged less than 5
years. Samples were taken of 91 people conducted by proportional random
sampling technique. Univariate analysis of the data for the frequency distri-
bution test, bivariate chi squared test (x2). Results MCH book recording
function less well in the amount of 44%, a good educational functions MCH
book of 57.1%, good communication function MCH book by 61.5%, and maternal knowledge about the MCH that is equal to 56 % better. There are relationship between the function of recording MCH books with knowledge,
there is no relationship between education and communication functions
with knowledge MCH.
Keywords: Maternal child health books, recording function, maternal
knowledge
Pendahuluan
Indikator derajat kesehatan masyarakat berhubungan
erat dengan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka
Kematian Bayi (AKB). Menurut SDKI 2012, AKI di
Indonesia adalah 259 per 100.000 kelahiran hidup.
Target AKI secara nasional pada tahun 2015 adalah 102
per 100.000 kelahiran hidup sebagai bentuk komitmen
yang dibangun bagian dari Millenium Development
Goals/MDGs.1
Di Jawa Tengah, pada tahun 2012, Angka Kematian
Ibu (AKI) adalah sekitar 116,34 per 100.000 kelahiran
hidup. Sekitar 57,93% kematian maternal terjadi pada
waktu nifas, sekitar 24,74% pada waktu hamil dan sekitar 17,33% pada waktu persalinan. Berdasarkan kelompok umur, kematian maternal terbanyak terjadi pada
kelompok usia produktif (20 – 34 tahun) sekitar
66,96%, kemudian pada kelompok umur > 35 tahun
sekitar 26,67% dan pada kelompok umur < 20 tahun
Alamat Korespondensi: Colti Sistiarani, Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK
Unsoed, Kampus Karangwangkal, Jl. Dr. Suparno Purwokerto 53122, Hp.
08122890582, e-mail: [email protected]
353
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
sekitar 6,37%. 2 Kasus kematian ibu di Kabupaten
Banyumas terdistribusi merata di setiap puskesmas. Pada
tahun 2012, jumlah kematian maternal di Kabupaten
Banyumas menempati peringkat ke-6 dari 35 Kabupaten
di Jawa Tengah dengan jumlah kematian sebanyak 34 jiwa. Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas 2012, AKI sebesar 129 per
100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 8,11 per 1000
kelahiran penduduk. Data rujukan maternal risiko tinggi
mencapai 20,05%, sedangkan jumlah rujukan neonatal
risiko tinggi mencapai 5,77%. Cakupan K1 sebesar
99,25%, cakupan kepemilikan buku KIA mencapai
98,77%, angka ini masih dibawah target standar
pelayanan minimal yang seharusnya mencapai 100%.3
Wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I terdiri atas 8
desa dan dalam rentang waktu tahun 2011 _ 2012, di
daerah tersebut masih ditemukan kasus kematian ibu.
Data rujukan tahun 2012, jumlah rujukan maternal
risiko tinggi mencapai 37,52%, sedangkan rujukan
neonatal mencapai 7,37%. Hasil penghitungan cakupan
buku KIA di Kabupaten Banyumas, didapatkan cakupan
buku KIA hanya sekitar 72,34% sedangkan cakupan
kunjungan pertama ibu hamil (K1) sekitar 72,34%.
Cakupan buku KIA dan cakupan K1 masih dibawah target standar pelayanan minimal yang 100%.3,4 Fungsi
buku KIA sebagai sarana pencatatan status kesehatan ibu
dan anak, sarana edukasi dan sarana informasi.5-6 Tujuan
penelitian ini mengetahui hubungan fungsi pemanfaatan
buku KIA meliputi fungsi pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan KIA pada ibu yang berada
di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I.
Metode
Penelitian ini mengunakan desain studi potong lintang untuk menganalisis variabel sebab dan akibat yang
terjadi pada objek penelitian yang dikumpulkan dalam
waktu bersamaan. Populasi adalah ibu yang mempunyai
anak berusia kurang dari 5 tahun yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Ajibarang I Kabupaten Banyumas, pada
tahun 2012, berjumlah 966 orang. Besar sampel dihitung
menggunakan rumus sampel minimal, jumlah sampel
yang diambil sebanyak 91 responden yang diambil dari 8
desa di wilayah Puskesmas Ajibarang I, Kabupaten
Banyumas meliputi Desa Ajibarang Kulon 15 responden,
Ajibarang Wetan 8 responden, Pandansari 6 responden,
Karangbawang 7 responden, Tipar Kidul 14 responden,
Darmakradenan 12 responden, Kracak 15 responden,
Ciberung 14 responden. Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik proportional random sampling. Kriteria
inklusi adalah ibu yang berdomisili di wilayah kerja
Puskesmas Ajibarang I dan mempunyai buku KIA. Ibu
dengan jumlah balita lebih dari satu. Observasi fungsi
pencatatan buku KIA dilakukan pada buku yang dimiliki balita usia tertua. Kriteria eksklusi adalah ibu yang
354
tidak bersedia menjadi responden.
Data diperoleh melalui wawancara menggunakan
kuesioner tentang persepsi ibu terhadap peran tenaga kesehatan dalam pemanfaatan buku KIA. Penilaian fungsi
pencatatan buku KIA dilakukan melalui observasi buku
KIA yang dimiliki oleh ibu. Observasi kelengkapan buku
KIA meliputi identitas ibu dan anak, catatan kesehatan
ibu hamil, bersalin dan nifas, pelayanan KB, kunjungan
neonatal, catatan imunisasi dan pemberian vitamin,
catatan Kartu Menuju Sehat (KMS), catatan perkembangan pada anak. Data pengetahuan KIA ibu diperoleh
melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Data dianalisis menggunakan analisis univariat meliputi
persepsi ibu. Fungsi buku KIA meliputi pencatatan KIA,
edukasi, dan komunikasi serta pengetahuan ibu tentang
KIA. Kategori fungsi pencatatan lengkap jika hasil penilaian kelengkapan isian buku KIA mempunyai skor ≥ 8,
tidak lengkap jika skor < 8. Kategori fungsi edukasi baik
jika mempunyai skor ≥ 25, kurang baik jika mempunyai
skor < 25. Kategori pengetahuan baik jika mempunyai
skor ≥ 7, kurang baik, jika skor < 7. Kategori fungsi komunikasi baik jika hasil jawaban kuesioner tentang
persepsi ibu dengan skor ≥ 32, fungsi edukasi kurang
baik jika skor < 32. Analisis bivariat menggunakan uji
statistik dengan uji kai kuadrat.
Hasil
Sebagian besar responden (67,1%) berpendidikan
dasar SD/SMP, sekitar 55% berusia 25 _ 29 tahun.
Sekitar 52,74% dengan tingkat pendapatan dibawah
UMK Kabupaten Banyumas, tahun 2012 yang besarnya
Rp750.000,00. Sebagian besar responden (56%) mempunyai fungsi pencatatan buku KIA yang tidak lengkap,
sekitar 57,1% mempunyai fungsi edukasi buku KIA yang
baik, sekitar 61,5% mempunyai fungsi komunikasi buku
KIA yang baik (Tabel 1).
Ada hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan
Tabel 1. Karakteristik Responden
Variabel
Kategori
n
%
Pendidikan
SMA/SMK
SD/SMP
20 _ 24
25 _ 29
30 _ 34
35 _ 39
40 _ 44
Rendah
Tinggi
Lengkap
Tidak lengkap
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
30
61
10
50
12
8
11
48
43
40
51
39
52
35
56
40
51
32,9
67,1
11,0
55,0
13,2
8,8
12,0
52,7
47,2
44,0
56,0
42,9
57,1
38,5
61,5
44,0
56,0
Usia (tahun)
Pendapatan
Persepsi fungsi pencatatan
Persepsi fungsi edukasi
Persepsi fungsi komunikasi
Pengetahuan
Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu
Tabel 2. Hubungan Variabel Fungsi dengan Pengetahuan KIA
Pengetahuan KIA
Variabel Fungsi
Pencatatan buku KIA
Edukasi buku KIA
Komunikasi buku KIA
Kategori
Tidak lengkap
Lengkap
Kurang
Baik
Kurang
Baik
pengetahuan ibu tentang KIA, tetapi fungsi edukasi dan
fungsi komunikasi buku KIA tidak berhubungan dengan
pengetahuan KIA. Ibu yang mempunyai pengetahuan
KIA baik, mempunyai fungsi pencatatan buku KIA tidak
lengkap sekitar 70%, dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai fungsi pencatatan buku KIA lengkap sekitar
45,1% perbedaan tersebut secara statistik bermakna
dengan nilai p = 0,031 (nilai p ≤ 0,05), berarti ada
hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan
pengetahuan KIA (Tabel 2).
Pembahasan
Pada penelitian ini, didapatkan hubungan antara
fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA. Temuan ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengemukakan hubungan antara kelengkapan pengisian kolom
buku KIA dengan pengetahuan ibu di Salatiga. Ibu-ibu
yang mempunyai pengetahuan rendah cenderung tidak
mengisi kolom pemantauan pertumbuhan anak, sedangkan ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan baik akan
mengisi buku KIA dengan lengkap.7 Pengisian buku KIA
seyogyanya memberikan pemahaman pada ibu tentang
status kesehatan diri dan anaknya. Penggunaan buku pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu intervensi dalam upaya peningkatan informasi. Catatan
yang lengkap akan mendukung peningkatan pengetahuan
ibu tentang kesehatan diri dan kesehatan anak-anak.8
Penelitian ini menemukan hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA, tetapi dengan hasil terbalik, ibu yang mempunyai catatan buku
KIA tidak lengkap justru mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, dibandingkan dengan ibu yang mempunyai catatan lengkap. Catatan buku KIA lengkap lebih
banyak didapatkan pada ibu dengan tingkat ekonomi
rendah, serta cenderung secara rutin memanfaatkan layanan posyandu dibandingkan dengan ibu dengan tingkat ekonomi tinggi yang cenderung jarang memanfaatkan
layanan posyandu. Ibu yang mempunyai tingkat ekonomi
tinggi cenderung merupakan ibu bekerja yang juga tergolong mempunyai tingkat pendidikan menengah.
Tingkat pengetahuan dilandasi oleh tingkat pendi-
Kurang
Baik
Nilai p
n
%
n
%
12
28
13
27
15
25
30,0
54,9
33,3
51,9
42,9
44,6
28
23
26
25
20
31
70,0
45,1
66,7
48,1
57,1
55,4
0,031
0,120
1,000
dikan formal, sebagian besar (67,04%) responden sudah
mempunyai kategori tingkat pendidikan dasar. Pada level
pendidikan ini, ibu sudah banyak mengerti pengetahuan
tentang KIA secara umum yang tidak hanya didapat
melalui buku KIA, tetapi juga melalui interaksi ibu
dengan tenaga kesehatan. Media KIA kesehatan yang beraneka ragam juga semakin banyak menjangkau masyarakat sehingga tingkat pengetahuan yang didapatkan
melalui interaksi tersebut semakin meningkatkan pemahaman ibu tentang informasi kesehatan ibu dan anak.
Semakin bertambah umur seseorang, semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Responden
dalam penelitian ini sebagian besar (55%) berada dalam
rentang usia 25 _ 29 tahun. Hal tersebut menjadi dasar
banyak responden yang tergolong usia produktif yang
berdampak pada ingatan informasi yang diperoleh sehingga pengetahuan juga sudah baik.
Buku KIA adalah buku catatan terpadu yang digunakan dalam keluarga dengan tujuan meningkatkan praktik keluarga dan masyarakat dalam pemeliharaan atau
perawatan kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan
kualitas pelayanan KIA. Pencatatan buku KIA dilakukan
oleh bidan desa serta dan dapat dibantu oleh kader dalam
penyelenggaraan posyandu.9 Pencatatan buku KIA yang
lengkap tetap harus diperhatikan oleh ibu, meskipun
hasil penelitian pencatatan buku KIA yang lengkap lebih
banyak dilakukan oleh ibu yang mempunyai pengetahuan
kurang baik dibandingkan pencatatan yang tidak lengkap. Pencatatan berhubungan dengan riwayat kehamilan
dan persalinan ibu. Selain itu, untuk anak berhubungan
dengan status pertumbuhan dan perkembangan, status
imunisasi yang berguna sebagai informasi bagi tenaga kesehatan lain serta sebagai informasi status kesehatan ibu
dan anak bagi keluarga.
Penelitian ini menemukan ibu yang mempunyai fungsi
pencatatan buku KIA yang tidak lengkap lebih banyak
yang mempunyai pengetahuan yang baik. Hal tersebut
dapat disebabkan pengisian buku KIA oleh tenaga kesehatan hanya kolom isian Kartu Menuju Sehat (KMS). Ibu
juga hanya mempergunakan buku KIA untuk dibawa saat
355
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
penimbangan balita di posyandu dan pada saat pemanfataan layanan kesehatan ke bidan desa dan puskesmas.
Pencatatan status kesehatan ibu dan anak di buku KIA
mempunyai keuntungan bagi ibu dan keluarga, kader kesehatan, serta tenaga kesehatan. Catatan status kesehatan
di buku KIA berlanjut dari pencatatan ibu hamil, persalinan dan catatan tumbuh kembang anak. Catatan kesehatan tersebut dapat digunakan sebagai catatan
penghubung riwayat penggunaan pelayanan kesehatan
terendah sampai dengan sarana rujukan yang mungkin
diakses pada saat mengakses layanan kesehatan tingkat
lanjut. Pencatatan di buku KIA juga mempunyai kelemahan antara lain catatan kesehatan tersebut dapat hilang
jika buku KIA yang digunakan tidak disimpan dengan
baik.
Di Norwegia, tidak ada efek terhadap pengetahuan
para orang tua terutama ibu melalui catatan tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan. Catatan status kesehatan ibu dan anak merupakan sarana yang tepat untuk
meningkatkan interaksi antara ibu dan tenaga kesehatan,
sehingga ibu dapat menyimpan catatan kesehatan untuk
tahun berikutnya atau sebelumnya. Ibu yang mempunyai
catatan status kesehatan yang lengkap merasa lebih percaya diri, ibu juga dapat membagi informasi catatan tentang status kesehatan kepada keluarga sehingga dapat
menjadi sumber informasi bagi mereka. Ibu minimal
merasakan kekhawatiran jika kehilangan catatan status
kesehatan. Orang tua yang menyimpan catatan kesehatan
anak mempunyai persepsi positif akan penyelenggaraan
layanan kesehatan.10-12
Dilihat dari karakteristik sosial ekonomi, wilayah
Puskesmas 1 Ajibarang tergolong jauh dari pusat kota.
Sebagian besar aktivitas kegiatan sosial ekonomi di
masyarakat masih terpusat pada perdagangan dan pertanian. Dilihat dari karakteristik pedesaan yang masih
melekat, di wilayah Puskesmas 1 Ajibarang, karakteristik
pendapatan sebagian besar responden mempunyai
tingkat pendapatan dibawah UMK Kabupaten Banyumas
(52,74%).
Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional lebih banyak dilakukan oleh wanita yang berada di
daerah perdesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah dibandingkan dengan wanita dengan tingkat
sosial ekonomi yang tinggi.13 Di Bangladesh, ibu yang
mempunyai buku KIA mempunyai pengetahuan KIA dan
perilaku yang lebih baik tentang KIA karena mempergunakan buku KIA dengan baik pula, dibandingkan kelompok kontrol pada ibu yang tidak mempunyai buku KIA.12
Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara
fungsi edukasi dengan pengetahuan KIA. Sesuai dengan
penelitian sebelumnya, yang tidak menemukan hubungan antara pengalaman ibu dalam memahami buku KIA
(fungsi edukasi) dengan pengetahuan tentang KIA pada
ibu-ibu hamil di Kecamatan Limbangan, Kabupaten
356
Kendal. 14 Penggunaan buku KIA tidak serta merta
meningkatkan pengetahuan ibu, bahwa sekitar 40% ibu
di Tanah Datar dan 57% di Padang Pariaman belum pernah membaca atau telah membaca setiap bagian buku
KIA atau hanya membaca sebagian kecil. Selain itu, di
antara ibu yang telah membaca buku KIA setidaknya
bagian dari buku KIA, meliputi di Tanah Datar sekitar
22,4% dan di Padang Pariaman sekitar 27% menyatakan
menemukan kesulitan memahami buku KIA tersebut. Ibu
yang mempunyai buku KIA tidak berhubungan dengan
pengetahuan yang lebih besar, tetapi mempunyai kecenderungan besar untuk mengetahui kepentingan antenatal
care serta maksud pemberian imunisasi.16 Peningkatan
cakupan pemberian imunisasi pada anak berhubungan
dengan pelaksanaan program buku KIA. Buku KIA
merupakan sarana yang dapat digunakan sebagai upaya
peningkatan kesadaran ibu dan tenaga kesehatan akan
pentingnya pemberian imunisasi bagi bayi dan anak.
Pada penelitian ini, berdasarkan persepsi ibu sekitar
69,2 % menyatakan kader menginformasikan pada para
ibu untuk membaca buku KIA. Namun, informasi pada
buku KIA tidak mengendap menjadi ingatan dan pengetahuan. Kemungkinan responden mempunyai kesan yang
kurang mendalam terhadap informasi buku KIA sehingga tidak merasa termotivasi untuk menjadikan bagian kebutuhan. Selain itu, kegiatan belajar kelompok untuk
memahami informasi buku KIA masih jarang dilakukan
oleh kader atau petugas kesehatan. Di Cakranegara,
tingkat pendidikan yang baik berhubungan dengan status
kesehatan yang baik pula. Ada hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan dan efektivitas buku KIA
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang KIA.17
Tingkat pendidikan ibu seluruhnya termasuk dalam
kategori pendidikan menengah dan pendidikan formal
yang telah ditempuh adalah pendidikan dasar sehingga
tingkat pengetahuan ibu tentang KIA dirasa sudah baik
sehingga sebagian besar (56%) responden mempunyai
tingkat pengetahuan yang baik pula. Penggunaan buku
pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu
intervensi dalam upaya peningkatan informasi, pengetahuan dan komunikasi pada ibu, antara lain menumbuhkan kewaspadaan tentang masalah kesehatan reproduksi. Pengembangan buku pegangan antenatal care
bertujuan memberikan informasi kepada ibu hamil serta
sebagai pedoman dalam merawat dan mengasuh anak.8
Di Palestina, ibu yang mempunyai buku KIA lebih
sering berkunjung ke pelayanan kesehatan dibandingkan
ibu yang tidak mempunyai buku KIA. Ibu yang memilki
buku KIA walaupun berpengetahuan kurang karena
jarang/tidak membaca informasi di buku KIA, terbiasa
dengan informasi kesehatan karena tenaga kesehatan
mempergunakan buku KIA sebagai panduan dalam pemberian informasi/layanan KIA.18 Buku KIA merupakan
buku wajib untuk dibaca oleh ibu hamil dan keluarga
Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu
karena berisikan informasi penting dan berguna bagi kesehatan ibu dan anak. Penggunaan buku KIA secara baik
tidak terlepas dari penyuluhan oleh bidan dan tenaga kesehatan lain pada setiap kunjungan ibu hamil.19
Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak dapat diamati dari kepemilikan buku KIA. Ibu membawa buku
KIA ketika berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan/menghadiri kegiatan berhubungan program KIA
telah menerima informasi dari penyedia layanan kesehatan yang menggunkan buku KIA tersebut. Selanjutnya,
ibu telah membaca pesan/informasi yang ada dalam
buku KIA tersebut. Selain itu, kemudahan ibu dalam
memahami informasi kesehatan/pendidikan kesehatan
menjadi determinan penting pengetahuan ibu.20
Penelitian ini tidak menemukan hubungan fungsi komunikasi dengan pengetahuan KIA, berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan yang
secara statistik bermakna antara pemanfaatan buku KIA
sebagai media penyuluhan dengan pelayanan antenatal
care. Semakin ibu memanfaatkan media penyuluhan
(fungsi komunikasi) dalam buku KIA semakin meningkat pengetahuan sehingga banyak memanfaatkan pelayanan antenatal care yang dilakukan oleh petugas kesehatan, demikian pula sebaliknya.20 Temuan penelitian ini
juga sesuai dengan penelitian lain yang tidak menemukan
hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan praktik perawatan kehamilan. Tidak ada hubungan antara kepemilikan buku KIA, sikap dan praktik perawatan kehamilan dengan pengetahuan ibu.21
Buku KIA yang dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien, diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengontrol kesehatan ibu. Penggunaan buku KIA merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat
terutama keluarga untuk memelihara kesehatan dan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.20
Buku KIA disebut sebagai alat komunikasi karena tenaga kesehatan dapat mengingatkan catatan-catatan penting yang dapat dibaca oleh tenaga kesehatan lain dan ibu
serta keluarga. Hal tersebut antara lain keluhan, hasil pemeriksaan, catatan persalinan, pelayanan yang diberikan
kepada ibu/bayi/anak balita, hasil pemeriksaan tambahan dan rujukan. Manfaat buku KIA bagi tenaga kesehatan adalah alat pencatatan, pemantauan dan rujukan
kesehatan ibu dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan
KIA, alat untuk mendeteksi secara dini gangguan/masalah KIA.
Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan masih
tidak banyak dilakukan. Hasil penelitian pada bidan desa
di Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan peran pengisian buku
KIA. Dari hasil penelitian tersebut, tenaga kesehatan
masih belum maksimal mempergunakan buku KIA sebagai media komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan
ibu dan anak sehingga perlu upaya kader dalam penggunaan buku KIA.22,23 Komunikasi, informasi, dan edukasi
kesehatan melalui pemanfaatan buku KIA dapat dilakukan sebagai komunikasi tenaga kesehatan kepada
ibu, walaupun ibu mampu membaca sendiri pesan/informasi KIA yang dalam buku KIA, tidak setiap ibu
mempunyai waktu/kesempatan untuk membaca pesan/
informasi tersebut. Catatan tentang masalah penyakit,
tumbuh kembang anak belum sepenuhnya dipahami dan
dapat diintepretasikan dengan baik oleh ibu sehingga
perlu upaya komunikasi dari tenaga kesehatan untuk dapat menjelaskannya dengan baik.
Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan perlu
dimodifikasi, khususnya dalam menggabungkan informasi/pesan supaya lebih menarik, mudah dipahami sebagai cara untuk menyampaikan pesan tersebut. Tenaga
kesehatan juga perlu mempertimbangkan tingkat pendidikan kelompok sasaran. Hal tersebut merupakan upaya peningkatan efektivitas kegiatan berbasis masyarakat
dalam mempromosikan pengetahuan dan perilaku ibu
dalam kesehatan ibu dan anak. Pemanfaatan buku KIA
dalam sesi pendidikan kesehatan akan mendorong komunikasi yang efektif antara ibu dengan tenaga kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan dapat diberikan ketika ibu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan,
tenaga kesehatan dapat menjelaskan poin penting karena ibu belum memahami informasi kesehatan ibu dan
anak.15
Kesimpulan
Ada hubungan yang bermakna antara fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA, tetapi tidak ada
hubungan antara fungsi edukasi dan fungsi komunikasi
dengan pengetahuan KIA.
Saran
Pencatatan buku KIA berhubungan dengan status kesehatan ibu dan anak sehingga memerlukan peran serta
ibu untuk menilai kelengkapan isian catatan buku KIA.
Perlu peningkatan pencatatan kelengkapan isian buku
KIA oleh tenaga kesehatan karena hasil pencatatan dapat berkaitan dengan pengetahuan KIA.
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2012.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil kesehatan Provinsi Jawa
Tengah tahun 2012. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah; 2012.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Profil kesehatan Kabupaten
Banyumas tahun 2012. Banyumas: Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas; 2012.
4. Siti N, Colti S, Eri W. Pemantauan pencapaian cakupan K1, cakupan
K4, cakupan buku KIA dan kualitas pelayanan antenatal di wilayah ker-
357
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014
ja puskesmas di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional
15. Kusumayati A, Nakamura Y. Increased utilization of maternal health
World fit for children [6 Oktober 2012]. 2012. Semarang: Fakultas
services by mothers using maternal and child health book in Indonesia.
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro; 2012.
J It Health [serial on internet]. 2007 [cited 2014 Jan 5]; 22 (3): 143-51.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman umum manajemen penerapan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2003.
6
Available from: https:// www. jstage. jst. go.jp /article /jaih /22/ 3/ 22_
3_ 143/ _pdf.
16. Osaki K, Hattori T, Kosen S, Singgih B. Investment in home-based ma-
Syafiq A, Fikawati S. Kepemilikan buku kesehatan ibu dan anak (KIA)
ternal, newborn and child health records improves immunization cov-
dan pelayanan KIA. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
erage in Indonesia. Transaction of The Royal Society of Tropical
Indonesia; 2007.
Medicine and Hygiene [serial on Internet]. 2009 [cited 2014 Jan 4]; 103
7. Djaswadi D. Persepsi perilaku ibu hamil dan masyarakat terhadap risiko
kehamilan-persalinan di Kabupaten Purworejo. Yogyakarta: Laboratorium Penelitian Kesehatan dan Gizi Masyarakat; 2008.
8. Akhund S, Avan BI. Development and pretesting of an information, education and communication (IEC) focused antenatal care handbook in
Pakistan. Journal of Biomedical Central. 2011; 4: 91.
(8): 846-8. Available from: http://PubMed PMID.
17. Rante A, Susilo W, Faikah. Studi deskriptif dan analisis faktor yang
berpengaruh dalam tingkat pengetahuan KIA pada ibu di Puskesmas
Cakaranegara Mataram. Jurnal Kesehatan Prima. 2007; 1: 9384.
18. Hagiwara A, Veyama M, Ramiawi A, Sawada I. Is the maternal and
child health (MCH) handbook effective in improving health-related be-
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penggu-
havior? evidence from Palestine. Journal of Public Health Policy [serial
naan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
on the internet]. 2013 [cited 2013 Jul 5]; 34 (1): 31-45. Available from:
2003.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23151920.
10. Chakraborty N, Islam MA, Chowdhury RI, Bari W, Akhter HH.
19. Widaningrum D, Wirawan W, Hasanbasri M. Implementasi buku kese-
Determinants of the use maternal health services in rural Bangladesh.
hatan ibu dan anak di Kabupaten Mimika [tesis]. Yogyakarta:
Health Promotion International Journal, 2003 ; 18 (4): 327-37.
Universitas Gadjah Mada; 2009.
11. Turner KE, Fuller S. Patient-held maternal and/or child health records:
20. Nur E, Werdiati K. Pemanfatan buku KIA sebagai materi penyuluhan
meeting the information needs of patients and healthcare providers in
dalam pelayanan antenatal oleh bidan puskesmas di Kota Bengkulu.
developing countries? Journal of Public Health Informatics [serial on internet]. 2011 [cited 2014 Jan 5]; 3 (2); 48. Available from: http://ojphi.org.
12. Bhulyan SU, Nakamura Y, Qureshi NA. Study on the development and
assesment of maternal and child health (MCH) handbook in Bangladesh.
Journal of Public Health and Development. 2006; 4 (2): 45-60.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2003; 6 (3).
21. Kusindijah. Hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan, sikap, dan praktik perawatan kehamilan di wilayah kerja
Puskesmas Rangkah Surabaya. Embrio Jurnal Kebidanan. 2012; 1 (1):
42-6.
22. Colti S, Siti N, Suratman. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pe-
13. Amin R, Shah NM, Becker S. Sosioeconomic factors differentiating ma-
ran kader dalam pemanfataatan buku KIA di wilayah kerja Puskesmas
ternal and child health-seeking behavior in rural rural Bangladesh; a
Kalibagor Kabupaten Banyumas. Kemas Jurnal Kesehatan Masyarakat.
cross sectional analysis. International Journal of Equity in Health [serial on internet]. 2010 [cited 2013 Dec 5]. A vailable from:
http://www.equityhealthj.com/content/9/1/9.
2013; 8 (2): 77-84.
23. Siti N, Colti S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peran bidan desa dalam pengisian buku KIA. Prosiding Seminar nasional: Pengem-
14. Dora D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pemahaman
bangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan
ibu hamil terhadap pesan antenatal care yang terdapat di dalam buku
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas. Purwokerto:
KIA [tesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran; 2010.
Universitas Jenderal Soedirman; 2011.
358
GAMBARAN FISIOLOGIS KESEHATAN IBU HAMIL SEBELUM DAN SETELAH
MELAKUKAN SENAM HAMIL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
AJAPPANGE KABUPATEN SOPPENG
Rahmiati1, Erna Kadrianti2, Sjafaraenan,3
1
2
STIKES Nani Hasanuddin Makassar
STIKES Nani Hasanuddin Makassar
3
Universitas Hasanuddin Makassar
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran Fisiologis Kesehatan Ibu hamil
sebelum dan setelah melakukan senam hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain Pre Eksperimen, tanpa
menggunakan uji pasangan One group pre-latihan post-latihan design. Populasi yang diteliti adalah
ibu hamil di Kabupaten soppeng Dengan jumlah sampel 47 responden. Teknik penarikan sampel
secara purposive sampling. Sebelum pelaksanaan intervensi dilaksanakan Pre test terhadap populasi
ibu hamil, setelah itu penarikan sampel diikuti dengan pemberian latihan senam hamil lalu dievaluasi
dengan post test. Instrumen pengumpulan data menggunakan hasil pemeriksaan fisik tekanan
darah, denyut jantung dan denyut nadi, Kesimpulan ada gambaran Fisiologis Kesehatan Ibu hamil
sebelum dan setelah melakukan senam hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng.Saran kepada Rumah Sakit, diharapkan pihak rumah sakit memahami dan menyadari akan
pentingnya senam hamil untuk kesehatan fisiologis ibu hamil agar ibu hamil bias mengetahui dan
menyadari akan manfaat yang diperoleh apabila melakukan senam hamil dengan cara tetap
melaksanakan senam hamil di RSUD Ajjappange Kabupaten Soppeng.
Kata kunci :Latihan senam hamil, fisiologis ibu hamil.
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan merupakan salah
satu masalah besar yang dihadapi pemerintah
karena angka kematian ibu melahirkan masih
sangat tinggi, yaitu sekitar 291/100.000
kelahiran hidup. Itu berarti setiap tahun 13.778
kematian ibu atau setiap 2 jam ada ibu hamil,
bersalin, nifas yang meninggal karena
berbagai penyakit. Hasil studi yang dilakukan
Senewe menunjukkan bahwa dari 23,5%
responden yang mengalami komplikasi pada
waktu persalinan, menunjukkan komplikasi
terbesar adalah partus lama (15,4%).
(Hartati,2008).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
saat ini masih merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan AKI dinegara-negara
ASEAN lainnya. Pada tahun 2008/2009 AKI
sebesar 307 dari 100.000 kelahiran hidup.
Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk
menurunkan AKI termasuk diantaranya Safe
Matherhood yang telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1988. Berbagai sektor
pemerintah, organisasi non-pemerintah dan
masyarakat serta dukungan dari berbagai
badan internasional telah dilibatkan namun
target nasional untuk menurunkan AKI menjadi
40
125 dari 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2011 jauh untuk dicapai. (Arifah, 2011)
Menjaga kesehatan tubuh ibu dan bayi
yang dalam kandungan agar tetap sehat dan
dapat melahirkan dengan selamat dapat
dilakukan untuk hidup sehat saat hamil.
Seperti makan-makanan sehat seperti sayur
dan
buah-buahan
yang
segar
yang
mengandung vitamin dan mineral penting buat
ibu dan janin, olah raga, dan istirahat yang
cukup. (Nurlaila, 2010)
Manfaat senam hamil sangat perlu bagi
kesehatan terutama untuk persiapan proses
persalinan nantinya. Tidak hanya itu, jika
dilakukan secara teratur, gerakan senam juga
bermanfaat mengurangi keluhan-keluhan yang
mungkin muncul saat kehamilan. Terutama
pada bulan terakhir masa kehamilan, seperti
pegal-pegal
pada bagian-bagian tubuh
tertentu, dan memberikan latihan pernafasan
untuk persalinan nanti. (Chandra, 2005)
Untuk mengetahui dengan pasti gerakan
senam hamil cocok atau tidak dengan ibu
hamil, disarankan konsultasi untuk melakukan
pemeriksaan
secara
lengkap
sebelum
memastikan, bisa atau tidak melakukan senam
hamil tergantung kondisi ibu dan janin. Untuk
melakukan
senam
hamil
dianjurkan
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
melakukan pemeriksaan denyut jantung ibu,
denyut nadi ibu, tekanan darah dan
pemeriksaan fisik ibu.Pada usia kehamilan 6
bulan posisi bayi normalposisi kepala masih
diatas, terkadang terjadi gangguan posisi bayi
pada kehamilan sehingga dibutuhkan olah
raga pada ibu hamil agar posisi kepala bayi
pada saat persalinan nanti berada dibawah
dan olah raga yang tepat yang bermanfaat
pada kehamilan adalah senam hamil karena
gerakan yang digunakan justru akan
mempermudah kelahiran(Cholil, 2002).
Agar tubuh ibu hamil sehat dan segar
diupayakan dengan makan teratur, cukup
istirahat dan olah raga.Olah raga yang cocok
untuk ibu hamil adalah senam hamil.
Pengaruh yang diakibatkan bila melakukan
senam hamil yaitu tingkat kesejahteraan
psikologis tinggi, perbaikan citra tubuh dan
penurunan ketidaknyamanan fisik pada ibu
hamil menjadikan ibu hamil melakukan senam
hamil, sehingga ibu hamil yang tidak
melakukan
senam
memutuskan
untuk
mengikuti program senam untuk memperbaiki
kesehatan dan kebugaran. Setelah melakukan
senam hamil, ibu hamil merasakan perubahan
yaitu menurunkan stres akibat rasa cemas
yang dihadapi menjelang proses persalinan
sehingga ibu hamil yangmengikuti senam
hamil dapat menjalani persalinan dengan
lancar, dapat memanfaatkan tenaga dan
kemampuan sebaik-baiknya sehingga proses
persalinan normal berlangsung relatif cepat.
(Sherly, 2011)
Senam hamil amat dianjurkan pada
wanita hamil agar saat melahirkan tiba dapat
dijalani lebih mulus. Salah satu senam hamil
yang banyak diperbicangkan adalah metode
Pilates. Menurut Joseph Pilates, pencipta 34
gerakan dasar senam hamil sejak tahun 1920,
terdapat 8 prinsip utama didalamnya, meliputi
konsentrasi, pernapasan, pemusatan gerakan,
kontrol gerakan, posisi dalam melakukan
gerakan dan isolasi terhadap otot yang dilatih.
Melalui senam hamil serta latihan untuk
mengkoordinasikan semua kekuatan saat
persalinan diharapkan secara normal, tidak
terlalu takut,akan mengurangi rasa sakit dan
mempunyai kepercayaan diri yang tetap
mantap. ( Wiyono, 2007)
Berdasarkan
survey
pendahuluan
ternyata banyak ditemukan ibu hamil yang
memeriksakan kehamilan di rumah sakit
merasakan keluhan pada daerah punggung,
tidak mau bergerak karena faktor ketakutan
khawatir pada kehamilannya, karena tidak
mengetahui teknik pernafasan saat persalinan
nantinya. Sehingga banyak hal-hal yang
sebenarnya fisiologis menjadi beban bagi ibu
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
hamil karena tidak adanya persiapan kondisi
fisik dan psikis ibu pada masa kehamilan dan
juga di wilayah Kabupaten Soppeng masih
banyak
ibu hamil yang tidak pernah
melakukan
senam
hamil
karena
tdk
mengetahui manfaat dari senam hamil.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik
untuk meneliti pengaruh senam hamil
terhadap fisiologis kesehatan ibu hamil di
rumah sakit umum daerah Ajappange
Kabupaten Soppeng”.
BAHAN DAN METODE
Lokasi, populasi, dan sampel penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan menggunakan desain Deskriptif tanpa
menggunakan
Uji
Hubungan.
Dimana
kelompok ibu hamil sebelum dilakukan
intervensi atau perlakuan terlebih dahulu
dilakukan pre-tes, kemudian setelah perlakuan
dilakukan post test untuk mengetahui akibat
dari perlakuan. Penelitian ini dilaksanakan di
Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange
Kabupaten Soppeng, yang dilaksanakan mulai
tanggal 20 Januari 2013 sampai dengan 20
Februari 2013.Jumlah sampel sebanyak 47
orang.
Setelah data dikumpulkan selanjutnya
dilakukan pengeditan, pengkodean dan
kemudian ditabulasi.Data dianalisa dengan
menggunakan Uji-t berpasangan.
Analisis dilakukan terhadap tiap variabel
dari hasil penelitian.Analisis ini menghasilkan
distribusi dan presentase dari tiap variabel
yang diteliti.
Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan menggunakan desain Deskriptif tanpa
menggunakan
Uji
Hubungan.
Dimana
kelompok ibu hamil sebelum dilakukan
intervensi atau perlakuan terlebih dahulu
dilakukan pre-tes, kemudian setelah perlakuan
dilakukan post test untuk mengetahui akibat
dari perlakuan.Sebagaimana dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1. Desain penelitian
Post-test
Subjek
Pre-test
Perlakuan
I
K
0
I
01
Time 1
Time 2
Time 3
Keterangan :
K : Subjek (ibu hamil diwilayah Rumah sakit
ajappange)
O : Observasi sebelum intervensi (Pre-Test)
I : Intervensi ( senam hamil)
01 : Observasi setelah intervensi (Post-Test)
41
Alat pegumpulan data dirancang oleh
peneliti sesuai dengan kerangka konsep yang
telah dibuat. Dimana pengumpulan data
dilakukan
dengan
menggunakan
tabel
pemeriksaan langsung pada ibu hamil di
Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange
Kabupaten Soppeng.adapun langkah-langkah
pengumoulan data antara lain;
1. Editing
Setelah data terkumpul maka akan
dilakukan editing atau penyuntingan untuk
memeriksa setiap lembar master tabel dan
lembar observasi yang telah diisi, lalu data
dikelompokkan sesuai kriteria yang telah
ditetapkan.
2. Koding
Dilakukan untuk memudahkan
pengolahan data yaitu dengan melakukan
pengkodean pada daftar pertanyaan yang
telah diisi yaitu setiap keluhan/jawaban
dari pasien.
3. Tabulasi
Setelah dilakukan pengkodean
kemudian data dimasukkan kedalam tabel
menurut sifat-sifat yang dimiliki yang
sesuai dengan tujuan penelitian untuk
memudahkan penganalisaan data.
Analisa Data
Setelah data dikumpulkan selanjutnya
dilakukan pengeditan, pengkodean dan
kemudian ditabulasi.Data dianalisa dengan
menggunakan Uji-t berpasangan.
Analisis dilakukan terhadap tiap variabel
dari hasil penelitian.Analisis ini menghasilkan
distribusi dan presentase dari tiap variabel
yang diteliti.
HASIL PENELITIAN
Analisis dilakukan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian. Analisis ini
menghasilkan distribusi dan presentase dari
tiap variabel yang diteliti.
1. Fisiologis Kesehatan Ibu Hamil Pre Latihan
Senam Hamil
Table 5.1. Distribusi Frekuensi Hasil
Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil Pre
Latihan Senam Hamil DiRumahSakit Umum
Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng
Tidak
Pemeriksaan
Normal
normal
Tekanan
darah
n
%
n
%
Minggu I
15
31,9 32 68,0
Minggu II
25
53,1 22 48,8
Minggu III
9
19,1 38 80,9
Minggu IV
12
25,2 35 74,5
Sumber : Data primer
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa
populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan
42
tekanan darah normal pada pemeriksaan I
yaitu 15 (31,9%) orang, II sebanyak 25
(53,1%) orang, III Sebanyak 9 (19,1%)
orang, IV sebanyak 12 (25,5%) orang, tidak
normal pada pemeriksaan I sebanyak 32
(68,0%)
orang,
II
sebanyak
22
(48,8%)orang, III sebanyak 38 (80,9%)
orang, IV sebanyak 35 (74,5%) orang.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Hasil
Pemeriksaan denyut jantung ibu hamil pre
Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit
Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng
Tidak
Pemeriksaan
Normal
normal
Denyut
Jantung
n
%
n
%
Minggu I
12
25,5 35 74,5
Minggu II
21
44,7 26 55,3
Minggu III
10
21,3 37 78,7
Minggu IV
11
23,4 36 76,6
Sumber : Data primer
Dari tabel 5.2 denyut jantung normal
pada pemeriksaan minggu I sebanyak 12
(25,5%) orang, minggu ke II sebanyak 21
(44,7%) orang, mingggu ke III sebanyak 10
(21,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 11
(23,4%)orang, denyut jantung tidak normal
minggu I sebanyak
35(74,5%)orang,
minggu ke II sebanyak 26 (55,3%)orang,
minggu ke III sebanyak 37 (78,7%)orang,
minggu ke IV sebanyak 36 (76,6%).
2. Fisiologis Kesehatan Ibu Hamil Post Latihan
Senam Hamil
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Hasil
Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil post
Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit
Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng
Tidak
Pemeriksaan
Normal
normal
Tekanan
Darah
n
%
n
%
Minggu I
26
55,3
21 44,6
Minggu II
35
74,4
12 25,5
Minggu III
27
57,4
22 46,8
Minggu IV
30
63,8
17 36,1
Sumber : Data primer
Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa
populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan
tekanan darah normal pada pemeriksaan I
yaitu 26 (55,3%) orang, minggu ke II
sebanyak 35 (74,4%) orang, minggu ke III
Sebanyak 27 (57,4%) orang, minggu ke IV
sebanyak 30 (63,8%) orang, tidak normal
pada pemeriksaan minggu I sebanyak 21
(44,6%) orang,minggu ke II sebanyak
12(25,5%)orang, minggu ke III sebanyak 22
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
(46,8%) orang,
17(36,1%) orang.
minggu
IV
sebanyak
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Hasil
Pemeriksaan denyut jantung ibu hamil post
Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit
Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng
Tidak
Pemeriksaan
Normal
normal
Denyut
Jantung
n
%
n
%
Minggu I
24
51,0
23 48,9
Minggu II
31
65,9
16 34,0
Minggu III
26
55,3 21 44,7
Minggu IV
32
68,0
15 31,9
Sumber : Data primer
Dari tabel 5.5 denyut jantung normal
pada pemeriksaan I sebanyak 24 (51,0%)
orang, minggu ke II sebanyak 31 (65,9%)
orang, minggu ke III sebanyak 26 (55,3%)
orang, minggu ke IV sebanyak 32
(68,0%)orang, denyut jantung tidak normal I
sebanyak 23( 48,9%)orang, minggu ke II
sebanyak 16 (34,0%)orang, minggu ke III
sebanyak 21 (44,7%)orang, minggu ke IV
sebanyak 15 (31,9%).
PEMBAHASAN
1. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan
Tekanan darah ibu hamil Pre Latihan. Ibu
Hamil Di Rumah
Sakit Umum Daerah
Ajappange Kabupaten Soppeng,dapat dilihat
bahwa populasi ibu hamil yang tingkat
kesehatan tekanan darah normal pada
pemeriksaan minggu I yaitu 15 (31,9%)
orang, minggu ke II sebanyak 25 (53,1%)
orang, minggu ke III Sebanyak 9 (19,1%)
orang, dan minngu ke IV sebanyak 12
(25,5%)
orang,
tidak
normal
pada
pemeriksaan minggu I sebanyak 32 (68,0%)
orang, minggu ke II sebanyak 22
(48,8%)orang, minggu ke III sebanyak 38
(80,9%) orang, dan minggu ke IV sebanyak
35 (74,5%) orang. Data ini bersumber dari
Ibu hamil yang memiliki tekanan darah
normal pada pre latihan senam hamil yaitu
120/80 mmHg – 140/90 mmHg. Dan yang
tidak normal <120/80 mmHg dan > 140/90
mmHg
2. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan
denyut jantung
ibu hamil Pre Latihan
Senam Hamil Di Rumah
Sakit Umum
Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng ,
denyut jantung normal pada pemeriksaan I
sebanyak 12(25,5%) orang, minggu ke II
sebanyak 21 (44,7%) orang, minggu ke III
sebanyak 10 (21,3%) orang, minggu IV
sebanyak 11 (23,4%)orang, denyut jantung
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
tidak normal I sebanyak 35(74,5%)orang,
minggu ke II sebanyak 26 (55,3%)orang,
minggu ke III sebanyak 37 (78,7%)orang,
minggu ke IV sebanyak 36 (76,6%). Data ini
bersumber dari Ibu hamil yang memiliki
denyut jantung normal pada pre latihan
senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang
tidak normal < 84 dan >88 x/i .
3. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan
denyut nadi ibu hamil Pre Latihan Senam
Hamil Di Rumah
Sakit Umum Daerah
Ajappange Kabupaten Soppeng Dari tabel
5.3 dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil
yang tingkat kesehatan denyut nadi yang
normal pada pemeriksaan I,12(25,5%)
orang, II sebanyak 22(44,7%) orang,III
sebanyak 10(21,3%)orang, IV sebanyak 11
(23,4%)orang.denyut nadi tidak normal pada
pemeriksaan I sebanyak 35 (74,5%) orang,
II Sebanyak 26( 55,3%) orang, III sebanyak
37 (78,7%) orang, IV sebanyak 36 (76,6%)
orang. Data ini bersumber dari Ibu hamil
yang memiliki denyut nadi normal pada pre
latihan senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan
yang tidak normal < 84 dan >88 x/i .
Berdasarkan data diatas dapat dilihat
bahwa dari keseluruhan populasi ibu hamil
yaitu sebanyak 47 reponden, pada saat pre
latihan
senam hamil diperoleh hasil
gambaranfisiologisnya baik di Rumah Sakit
Umum Daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng.
Inikemungkinan
disebabkan
karena ada responden tersebut telah pernah
mendapatkan informasi dan latihan tentang
senam hamilsebelumnya, sehingga apa
yang pernah dilakukan sebelumnya akan
membuat mereka mengetahui tentang
senam hamil. Sementara yang tingkat
fisiologisnya tergolong kurang disebabkan
oleh karena memang ini pertama kali
mereka mendapatkan latihan tentang senam
hamil dan tidak mengetahui manfaat dari
senam hamil.
4. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan
Tekanan darah
ibu hamil post Latihan
Senam Hamil Di Rumah
Sakit Umum
Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng,
dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang
tingkat kesehatan tekanan darah normal
pada pemeriksaan I yaitu 26 (55,3%) orang,
minggu ke II sebanyak 35 (74,4%) orang,
minggu ke III Sebanyak 27 (57,4%) orang,
minggu ke IV sebanyak 30 (63,8%) orang,
tidak normal pada pemeriksaan I sebanyak
21 (44,6%) orang, minggu ke II sebanyak
12(25,5%)orang, minggu ke III sebanyak 22
(46,8%) orang, minggu IV sebanyak
17(36,1%) orang.Data ini bersumber dari Ibu
hamil yang memiliki tekanan darah normal
43
pada post latihan senam hamil yaitu 120/80
mmHg – 140/90 mmHg. Dan yang tidak
normal <120/80 mmHg dan > 140/90 mmHg
5. Distribusi
Frekuensi
Hasil
Pemeriksaandenyut jantung ibu hamil post
Latihan Senam Hamil Di RumahSakit Umum
Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng,
denyut jantung normal pada pemeriksaan
minggu I sebanyak 24
(51,0%) orang,
minggu ke II sebanyak 31 (65,9%) orang,
minggu ke III sebanyak 26 (55,3%) orang,
minggu ke IV sebanyak 32 (68,0%)orang,
denyut jantung tidak normal minggu I
sebanyak 23( 48,9%)orang, minggu ke II
sebanyak 16 (34,0%)orang, minggu ke III
sebanyak 21 (44,7%)orang minggu ke IV
sebanyak 15 (31,9%). Data ini bersumber
dari Ibu hamil yang memiliki denyut jantung
normal pada post latihan senam hamil yaitu
84 – 88 x/i. Dan yang tidak normal < 84 dan
>88 x/i .
6. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan
denyut nadi postLatihan Senam Hamil Di
Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange
Kabupaten Soppeng, denyut nadi normal
pada pemeriksaan minggu I sebanyak 24
(51,0%) orang, minggu ke II sebanyak 31
(65,9%) orang, minggu ke III sebanyak 26
(55,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 32
(68,0%)orang, denyut jantung tidak normal
minggu I sebanyak 23( 48,9%)orang,
minggu ke II sebanyak 16 (34,0%) orang,
minggu ke III sebanyak 21 (44,7%) orang,
minggu keIV sebanyak 15 (31,9%). Data ini
bersumber dari Ibu hamil yang memiliki
denyut nadi normal
pada post latihan
senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang
tidak normal < 84 dan >88 x/i .
Setelah dilakukan latihan senam hamil
dari 47 jumlah sampel yang telah
mendapatkan latihan senam hamil diperoleh
ibu hamil dari jumlah sampel yang
mengalami fisiologis kesehatan yang baik
tentang senam hamil,ini menunjukkan
bahwa latihan senam hamil telah efektif
karena
terjadi
peningkatan
fisiologis
kesehatan yang baikp pada responden, hal
ini disebabkan karena ibu hamil di RSUD
ajjapange Soppeng telah mendapatkan
latihan senam hamil dan merasakan sendiri
manfaat dari latihan senam hamil tersebut
sehingga terjadi suatu proses fisiologis
kesehatan yang kurang baik menjadi baik.
Sementara dari hasil post-tes masih
ditemukan ibu hamil yang fisiologis
kesehatannya kurang atau tetap, ini
disebabkan
karena ibu hamil tdk
melaksanakan latihan dengan baik sesuai
instruksi dan tidak melakukan senam hamil
secara teratur. Setelah melakukan senam
44
hamil, ibu hamil merasakan perubahan yaitu
menurunkan stres akibat rasa cemas yang
dihadapi menjelang proses persalinan
sehingga ibu hamil yangmengikuti senam
hamil dapat menjalani persalinan dengan
lancar, dapat memanfaatkan tenaga dan
kemampuan
sebaik-baiknya
sehingga
proses persalinan normal berlangsung relatif
cepat. (Sherly, 2011).
Latihan senam hamil Dari tabel
distribusi, ditemukan responden yang
mengetahui manfaat dari latihan senam
hamil Ini menunjukkan pemberian senam
hamil telah maksimal, keberhasilan latihan
senam hamil ini tidak lepas dari 3 faktor
yang mempengaruhi latihan senam hamil itu
sendiri yang pertama kapabilitas seorang
pelatih senam hamil
yang mampu
memberikan latihan senam hamil sehingga
ibu hamil menjadi tahu manfaat dari senam
hamil baik itu selama proses kehamilan
maupun pada proses persalinan nanti.
Sementara itu ditemukannya ibu hamil yang
fisiologis kesehatan masih kurang atau
tergolong tetap, disebabkan karena faktor
tidak mengikuti instruksi latihan dengan baik
dan tidak melakukan secara teratur
sehingga manfaat dari senam hamil tidak
didapatkannya.
Penelitian tentang
”Gambaran
fisiologis kesehatan ibu hamil sebelum dan
setelah melakukan senam hamil di rumah
sakit umum daerah Ajappange Kabupaten
Soppeng” belum pernah dilakukan.
Berdasarkan dari hasil penelitian
peneliti menyimpulkan bahwa senam hamil
sangat bermanfaat bagi ibu hamil baik
selama masa kehamilan maupun untuk
persiapan proses melahirkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dikemukakan maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Setelah melakukan senam hamil
terbukti ada pengaruh latihan senam hamil
dengan fisiologis kesehatan ibu hamil di
Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange
Kabupaten Soppeng.
Dari jumlah ibu hamil yang mengikuti
senam hamil ada yang tingkat fisiologis
kesehatannya baik dan ada yang tingkat
fisiologis kesehatannya masih tergolong
kurang baik.
Setelah dilakukan latihan senam hamil
sebagian besar ibu hamil dari jumlah sampel
mengalami peningkatan fisiologis kesehatan,
dan sebagian kecil ibu hamil dari jumlah
sampel yang tingkat fisiologis kesehatannya
tetap atau kurang baik.
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
SARAN
Profesi
keperawatan
hendaknya
memberikan perhatian kepada ibu hamil
khususnya kepada peningkatan fisiologis
kesehatan dengan memberikan latihan senam
hamil. Sebaiknya untuk program senam hamil
akan terus dijalankan di Rumah sakit
ajjapange mengingat banyaknya manfaat yang
dihasilkan dari gerakan-gerakan pada latihan
senam hamil baik itu manfaat selama
kehamilan maupun persiapan persalinan
DAFTAR PUSTAKA
Alimul Aziz, H. (2003). Riset keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi 1 Salemba Medika, Jakarta
Arifah.(2011). Fisiologis ksehatan ibu hamil.http://republika.com. (one line). Diakses 17 Desember 2011
Booth.(2004). Tanya Jawab Seputar Kehamilan, (terjemahan). PT. BhuanaIlmu Populer. Jakarta.
Chandra. (2005). Baby Guide.Maxmadia. Bali.
Cholil, A. (2002). Lokakarya Pengembangan Konsep Gerakan Sayang Ibu –Pita Pitih. Bogor: MNH
Hartanti,B. (2008). Gerakan senam hamil.http://merahitam.com .(on line). Diakses 4Desember 2011
Irma. (2007). fisiologi kesehatan.www.stikku.ac.id/wp/uploads. (on line). Diakses 17 Desember 2011
Kushartanti. (2005). Senam hamil Menyamankan kehamilan, mempermudah persalinan. Salemba medika.
Jakarta.
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Ed 3. Jil 1. Media Aescupius Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Nurlaila, A. (2010). Manfaat senam hamil.http://www.tempo.com. (One line). Diakses 17 Desember 2011
Nursalam, (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan; pedoman skripsi, tesis, dan
instrumen penelitian keperawatan. Edisi 1. Salemba Medika. Jakarta
Primadi.( 2005). Pengetahuan ibu primigravida tentang kehamilan.http://blogstot.com. (one line) . Diakses 4
Desember 2011
Saifudin. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Sugiyono.(2003). Metode penelitian administrasi.Edisi 10. CV. ALFABETA. Jakarta.
Sugiyono.(2006). Statistika untuk penelitian.Cetakan 9. CV. ALFABETA. Bandung.
Sherly.(2011). Kehamilan.http://workpress.com. Diakses 15 Januari 2012
Wiknjosastro, H. (2002). Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Wiyono, A. (2007). Senam Hamil Baik untuk Proses Kehamilan. http://creasoft.co.id. Diakses 24 Desember 2011
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721
45
Hubungan Karakteristik Dan Perilaku Bidan Ptt Dalam Memberikan Pelayanan
Kesehatan Ibu Dengan Kejadian Triasklasik Diwilayah Kerja Dinas Kesehatan
Gunungsitoli Kabupaten Nias
Relationship Characteristics and Behavior of Midwife PTT in Serving Maternal Health with Triad
Clasic Events at Work Area of Gunungsitoli Health Department of Nias Regency
Lisbet Herawaty Sihombing
Akademi Kebidanan Sehati
ABSTRAK
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) masih cukup tinggi.Salahsatu
penyebabnya adalah karena masih tingginya persalinan yang ditolong oleh dukun bayi/ bahkan
tanpa bantuan,jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan dipedesaan hanya 45,83%, dimana bidan
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat termasuk ibu hamil dan melahirkan
semakin berkurang tiap tahunnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dan perilaku bidan PTT
dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dengan kejadiantriasklasik.
Karakteristik bidan PTT meliputi: umur,lama bertugas, status pernikahan, perilaku bidan PTT
meliputi:pengetahuan, sikap dan tindakan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey deskriptif analitik.Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh bidan PTT yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Nias tahun 2003 sebanyak
206 orang, tetapi populasi yang diambil sampel 50 orang.karena keterbatasan waktu dan biaya
penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur responden yang paling banyak 20-30 tahun
(70orang), >30 tahun (30%), lama bertugas responden 4-6 tahun (64%),1-3tahun(36 %)
Status pernikahan responden sudah menikah (56%), belum menikah (44%). Faktor perilaku
(pengetahuan) responden tentang pemberian pelayanan kesehatan dengan kejadian triasklasik yang
berkategori baik (70%),kurang baik(74%),kurang(26%),tindakan yang berkategori baik (50%),kurang
baik (50%),kurang baik (50%)
Dari hasil penelitian ini diharapkan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk
bekerjasama dalam meningkatkan pengetahuan bidan PTT tentang triasklasik dan diharapkan bidan
PTT lebih aktif memotivasi ibu hamil,agar memeriksakan kehamilannya dan meminta pertolongan
persalinan kepada bidan,serta mendampingi dukun bayi dalam menolong persalinan.
Kata Kunci: karakteristik, perilaku, pelayanan kesehatan, triasklasik
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
Page
Maternal mortality rate (MMR) and infant mortality rate (IMR) was still quite high. One of
the main cause was due to the high of births assisted by traditional birth attendants even without
assistance. The number of births assisted by midwives in rural areas was only 45.83% which the
nuber of midwives decreased each year. The study aimed to determine the relationship
characteristics and behavior of PTT midwives in providing health services to mothers with triad
classic events. PTT Midwives characterstics include age, length of study and marital status, while
behavior include knowledge, attitudes and actions.
The type of this research was descriptive survey research. Population of the study was all
of the midwives (206 persons) registered in Health Department of Nas Regency in year 2003, and
50 midwives were selected as samples due to limitation of time and cost of research. The results
revealed that most of the respondents had age of 20-30 years (70 persons), more than 30 years
(30%), 4-6 years on duty (64%) and 1-3 years on duty (36%). Maritas status : married (56%),
unmarried (44%). Behavioral factors (knowledge) regarding the provision of health services to the
triad classic events : good (74%) and poor (26%); action : good 50%, poor (50%).
From the research result, Health Department and Health Center are expected to collaborate to
increase knowledge of midwives about Triad Classic Events. The midwives are expected to be more
active to motivate pregnant women in order to check their pregnancy and delivery assistance
request to the midwives, as well as to accompany the traditional birth attendants in helping birth.
Key words: characteristics, behavior, health service, triad classic events.
153
Abstract
PENDAHULUAN
.
Tiap ibu hamil menghadapi resiko
dengan beban fisik dan mental. Kehamilan
yang
didambakan
memang
suatu
anugerah,namun setiap ibu hamil mengahdapi
bahaya,
terjadinya
komplikasi
dalam
persalinan dengan resiko kemungkinan
terjadinya
kematian,
kesakitan,
kecacatan,keridakpuasaan
dan
ketidaknyamanan.
Komplikasi
persalinan
tidak dapat diduga sebelumnya/ pun tidak
dapat dihindari (Winknjosastro Hanifa 1997).
Penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan,infeksi dan eklamsia,
partus
lama
dan
komplikasi
abortus.Perdarahan sebagai penyebab utama
kematian, yang sebagian besar disebabkan
oleh retensi plasenta,hal ini menunjukkan
adanya manajemen persalinan kala III yang
kurang adekuat.Kematian ibu akibat infeksi
merupakan indikatorkurang baiknya upaya
pencegahan dan manajemen infeksi.Kematian
ibu yang disebabkan karena komplikasi aborsi
adalah
akibat
dari
kehamilan
tidak
dikehendaki(KTD).Hanya sebesar 5% kematian
ibu
disebabkan oleh
penyebab yang
memburuk akibat kehamilan, misalnya
penyakit jantung dan infeksi yang kronis(
Saifuddin Bari.A,2002)
Dari data Dinas Kesehatan Sumatera
Utara tahun 2003 dnegan jumlah persalinan
sebanyak44195
orang,dijumpai
kasus
triasklasik untuk perdarahan sebayak 40
kasus,pre eklamsia/eklamsia sebnayak 19
kasus,infeksi sebanyak 19 kasus, infeksi
sebanyak 4 kasus.(Profil DinKes Sumut,2002)
Dari data Dinas Kesehatan kabupaten
Nias pada tahun 2002 dengan jumlah ibu
hamil ebanyak 18240 orang, dijumpai kasus
trias klasik untuk perdarahan sebanyak 50
kasus
dan
meninggal
1orang,preeklamsia/eklamsia sebanyak 26 kasus dan
meninggal 1 orang, infeksi sebanyak 8 kasus
dan tidak ada meninggal,sedangkan pada
tahun 2003 dengan jumlah ibu hamil
sebanyak 19250 orang dijumpai kasus
triasklasik untukperdarahan 59 kasus dan
meninggal
3orang,preeklamsia/eklamsia
sebanyak 35 orang kasus dan meninggal 2
orang dan infeksi sebanyak 12 kasus dan tidak
ada yang meninggal ( profil Din Kes Kab Nias,
2002)
Beranjak dari pemikiran diatas, maka
penulis tertarik melaksanakan penelitian
tentang” Hubungan karakteristik dan perilaku
bidan PTT dalam memberikan pelayanan
kesehatan ibu dengan kejadian triasklasik di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Nias tahun 2003”).
Page
154
Penyebab tidak langsung kematian
ibu, adalah penyakit yang sudah diderita ibu
sejak sebelum hamil atau penyakit lain yang
diderita pada masa kehamilan misalnya
anemia,kurang energy kronis (KEK), dan
keadaan
“4
terlalu”
(terlalu
muda/tua/sering/ banyak). Kejadian anemia
ibu hamil sekitar 51 % dan kejadian resiko
(KEK) pada ibu hamil,(lingkar lengan atas
kurang dari 23,5 cm) sekitar 30 %.Kematian
ibu juga diwarnai oleh “ penyebab mendasar”
yaitu rendahnya status wanita, terutama di
pedesaan,dan
rendahnya
tingkat
pendidikan.(Depkes RI,2000)
Menurut Prof.dr. Soejoenoes (1991)
dari UNDIP Semarang, 86,6% persalinan
ditolong oleh dukun belum terlatih maupun
terlatih dan 60% ibu meningggal dirumah
sehingga hal ini mempengaruhi AKI di
Indonesia yang tergolong tinggi dibandingkan
negara- Negara tetangga seperti Filipina
240/100.000 KH. Myanmar170/100.000 KH,
Vietnam95/100.000KH
dan
Thailand
44/100.000. Hal lain yang mendukung
tingginya AKI di Indonesia Karena jumlah
bidan desa sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan masyarakat termasuk ibu hamil
dan melahirkan (www.Situs Kespro,2003)
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
Bahan Metode
Kerangka konsep
T
Faktor Karakteristik Bidan PTT
R
 Umur
 Lama bertugas
 Status pernikahan
I
A
S
Faktor Perilaku Bidan PTT
 Pengetahuan
 Sikap
 Tindakan
K
L
A
S
I
K
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah
seluruh bidan PTT yang terdaftar pada Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Nias
tahun2003
sebanyak 206 orang, sampel yang diambil 50
orang, karena ketidak mampuan biaya dan
waktu penelitian dalam menjangkau seluruh
Kecamatan di Kabupaten Nias, maka peneliti
mengambil 6 Kecamatan di Kabupaten Nias
antara
lain
(
Kec.Idanogawo,Gido,Gunungsitoli,
Hiliduho,Alasa dan tuhemberua).Pengambilan
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data diperoleh dari 2
sumber data yaitu:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh
melalui wawancara langsung dengan
bidan PTT yang berpedoman pada
kuesioner yang telah disiapkan
2. Data Skunder yaitu data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan
babupaten Nias tahun 2003
Analisa Data
Analisa
data
dilakukan
dengan
program
computer
mengunakan
uji
chisquare untuk mengetahui pengaruh
karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam
memberikan
pelayanan
kesehatan
ib
terhadap kejadian triasklasik
Aspek pengukuran
Pengukuran pengetahuan
Pengetahuan
responden
diukur
dengan metode scoring terhadap kuesioner
yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan
ada 7 buah, nilai tertingi dari keseluruhan
pertanyaan adalah 21. Berdasarkan jumlah
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
155
Penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif analitik disebut deskriftif, karena
penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan
memberikan situasi dengan keadaan yang
sebenarnya ( apa adanya),dalam hal ini tidak
ada perlakuan yang sebenarnya apa atau
yang dikendalikan seperti yang dijumpai
dalam penelitian eksperimen. Hal ini
disebabkan penelitian ingin melihat hubungan
karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam
memberikan pelayanan kesehatan ibu dengan
kejadian triasklasik diwilayah kerjaDinas
Kesehatan gunungsitoli kabupaten Nias tahun
2003
sampel ini dilakukan dengan cara Porposive
sampling
Page
Jenis Penelitian
Sikap responden diukur dengan
metode scoring terhadap kuesioner yang
telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan ada 5
buah, nilai tertingi dari keseluruhan
pertanyaan adalah 15. Berdasarkan jumlah
yang diperoleh maka dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Kategori kurang apabila bidan PTT
memperoleh skor < 50% dari total skor
tertinggi (<8)
2.
Kategori baik apabila bidan PTT
memperoleh jumlah nilai skor >50 % dari
total skor tertinggi (>8)
Pengukuran Tindakan
Tindakan responden diukur dengan
metode scoring terhadap kuesioner yang
telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan ada 7
buah, nilai tertingi dari keseluruhan
pertanyaan adalah 21. Berdasarkan jumlah
yang diperoleh maka dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Kategori kurang apabila bidan PTT
memperoleh skor < 50% dari total
skor tertinggi (<11)
2. Kategori baik apabila bidan PTT
memperoleh jumlah nilai skor >50 %
dari total skor tertinggi (>11)
Umur Responden
Pengelompokan umur responden yang
paling
banyak
berada
dalam
kelompok
umur
20-30
yahun
sebanyak(70%) dan diikuti umur > 30
tahun sebanyak (30 %)
Komposisi responden menurut umur
No
Umur reponden
F
%
1
20-30 tahun
35
70
2
> 30 tahun
15
30
Jumlah
50
100
No
1
2
Umur
bertugas
1-3 tahun
4-6 tahun
Jumlah
F
%
18
32
50
36
64
100
Status pernikahan
Dapat dilihat bahwa pernikahan
responden mayoritas sudah menikah
sebanyak 56 %,dan minoritas dengan
dengan status belum menikah yaitu
44 %.
Komposisi responden Menurut Status
Pernikahan
No
Umur bertugas
F
%
1
Sudah menikah
15 30
2
Belum menikah
35 70
Jumlah
50 100
Pengetahuan responden
tentang
triasklasik
Dapat dilihat bahwa pengetahuan
responden yang berkategori baik 64
%, dan yang berkategori kurang 36%
Komposisi
responden Menurut
Pengetahuan Tentang Triasklasik
No
Kategori
F
%
jawaban
1
Kurang
18 36
2
Baik
32 64
Jumlah
50 100
Sikap responden tentang triasklasik
Diperoleh data sebagai berikut sikap
responden
terhadap
kejadian
triasklasik yang berkategori baik 74 %,
dan yang berkategori kurang 26%
Komposisi responden
Tentang Triasklasik
No
Kategori
jawaban
1
Kurang
2
Baik
Jumlah
Menurut Sikap
F
%
13
37
50
26
74
100
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
156
Pengukuran sikap
Lama bertugas Responden
Dapat dilihat bahwa responden yang
terbanyak adalah dengan lama
bertugas 4-6 tahun sebanyak 64% dan
yangb bertugas 1-3 tahun 36 %
Komposisi responden Menurut lama
bertugas
Page
yang diperoleh maka dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Kategori kurang apabila bidan PTT
memperoleh skor < 50% dari total skor
tertinggi (<11)
2.
Kategori baik apabila bidan PTT
memperoleh jumlah nilai skor 50 % dari
total skor tertinggi (>11)
Menurut Sikap
F
%
13
37
50
26
74
100
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa dari 50 orang, rseponden yang
mempunyai tindakan yang kurang dengan
kejadian trias klasik yaitu sebesar 26
%,sedangkan yang mempunyai tindakan baik
sebesar 74 %
Komposisi responden Menurut Kasus
triasklasik yang dijumpai 1 tahun
terakhir
No
Kasus
F
%
triasklasik
1
Ada
17
34
2
Tidak ada 33
66
Jumlah
50
100
PEMBAHASAN
1. Hubungan Umur dengan kejadian
triasklasik
Umur bidan PTT paling besar berada
pada kelompok umur 20-30 tahun ( 70%).
Berdasarkan uji square,dimana p,0,05 dapat
diambil kesimpulan bahwa tidak ada
hubungan antara umur dengan kejadian
triasklasik, menurut Robbins, bahwa tidak
ada hubungan
umur dengan penampilan
kerja dan temuan ini sesuai untuk semua
jenis pekerjaan baik propesional maupun non
propesional.Sosilo Martoyo (1982) juga
menyatakan bahwa mereka yang usia lanjut
lebih bertanggung jawab,lebih tertib,lebih
bermoral dan lebih berbakti dari pada yang
berusia muda.
2. Hubungan Lama bertugas dengan
kejadian triasklasik
Lama bertugas bidan PTT paling
banyak berada pada kelompok 4-6 tahun yaitu
64 % berdasarkan hasil uji square,dimana
p<,0,05
maka dapat diambil kesimpulan
bahwa ada hubungan lama bertugas dengan
kejadian triasklasik
3.
Hubungan Status pernikahan
dengan kejadian triasklasik
Status pernikahan bidan PTT ratarata sudah menikah 56 %. Berdasarkan uji
square,dimana
p,>0,05
dapat
diambil
kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara
status pernikahan dengan kejadian triasklasik
4. Hubungan
pengetahuan
Responden tentang pemberian
pelayanan kesehatan
dengan
kejadian triasklasik
Pengetahuan adalah merupakan hasil
dari tahu atau pengalaman sendiri dari
pengetahuan orang lain.Artinya mengakui
sesuatu terhadap sesuatau yang disebut
putusan sehingga pada dasarnya putusan atau
pengetahuan itu sama.
Dapat dilihat bahwa responden 18 %
mempunyai pengetahuan yang kurang. Hasil
uji statistik chi – square untuk melihat ada
tidaknya hubungan pengetahuan tentang
pemberian pelayanan kesehatan dengan
kejadian triasklasik, dimana P<0,05 maka
dapat diambil kesimpulan bahwa ada
hubungan
antara pengetahuan dengan
kejadian triasklasik.
Peningkatan pengetahuan tidak selalu
menyebabkan perubahan perilaku di bidang
kesehatan. Pengetahuan tertentu tentang
kesehatan mungkin penting.sebelumsuatu
tindakan terhadap kesehatan secara pribadi
terjadi, tetapi tindakan yang diharapkan
mungkin tidak akan terjadi kecuali seseorang
mendapat isyarat yang cukup untuk
memotivasi bertindak atas pengetahuan yang
dimilikinya. Dengan melakukan pelatihan
diharapakan sasaran akan memperoleh
pengalaman
belajar
yang
akhirnya
menimbulkan perubahan perilaku kearah yang
lebih positif.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
157
Komposisi responden
Tentang Triasklasik
No
Kategori
jawaban
1
Kurang
2
Baik
Jumlah
Hal ini tidak berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Tinuk Istiarti (1996)
yang menyatakan bahwa bidan desa yang
mempunyai masa kerja sudah 3 (tiga) tahun
mereka telah dikenal masyarakat sertaada
kesan yang kuat bahwa kepribadian seorang
bidan di desa
merupakan faktor yang
dominan dalam mempengaruhi penerimaan
masyarakat
terhadap
kehadiran
dan
peneptana bidan didesa tersebut.
M.A Tulus (1981) menyatakan bahwa
mereka yang lebih berpegalaman dipandang
lebih mampu dalam melaksanakan tugas.
Makin lama masa kerja seseorang, kecakapan
mereka akan lebih baik karena mereka telah
menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
Page
Tindakan
responden
tentang
triasklasik
Dari data yang diperoleh berdasarkan
penelitian,diperoleh data
sebagai
berikut :
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
1.
2.
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata tidak ada hubungan umur
dengan kejadian triasklasik dimana
probabilitas 0,059>α (0,05)
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata ada hubungan lama bertugas
dengan kejadian triasklasik dimana
probabilitas 0,022< α (0,05)
4.
5.
6.
B.
1.
2.
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata tidak ada hubungan status
pernikahan
dengan
kejadian
triasklasik dimana probabilitas 0,907>
α (0,05)
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata ada hubungan pengetahuan
dengan kejadian triasklasik dimana
probabilitas 0,004< α (0,05)
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata ada hubungan sikap dengan
kejadian
triasklasik
dimana
probabilitas 0,002< α (0,05)
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 50 orang bidan PTT didesa
dengan menggunakan uji- square
ternyata
ada hubungan tindakan
dengan kejadian triasklasik dimana
probabilitas 0,021< α (0,05)
Saran
Perlu kerjasama anatara Dinas
Kesehatan dengan Puskesmas untuk
mengadakan
pelatihan
dan
pengembangan dalam meningkatkan
pengetahuan bidan PTT di desa,agar
efektifitas pelayanan yang diberikan
pada masyarakat dapat ditingkatkan
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai factor-faktor lainya
yang mempengaruhi tingginya angka
kematian
ibu
sehingga
angka
kematian ibu menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Winknjosastro hanifa,1997,Ilmu Kebidanan
edisi ke-3 Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo,Jakarta
WHO,Dep
Kes
RI,1998,Modul
safe
Motherhood,FKM
Universitas
Indonesia
Jakarta
DepKes RI,1995,Strategi Nasional dalam
akselerasi penurunan AKI Jakarta
DepKes RI,2000,Kematian ibu tragedy yang
tidak perlu terjadi,Jakarta
Yayasan
Bina
Pustaka
sarwono
Prawiroharjo,2000,Acuan Nasional Pelayanan
kesehatan Maternal Neonatal,Jakarta
Saifuddin bari.A. 2002,Rencana Strategi
making Pregnancy Safer(MPS) di Indonesia
2002-2010, Majalah Kedokteran,Vol 26 No:1
Jakarta
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
158
6. Hubungan
Tindakan
dengan
kejadian triasklasik
Sebagaian responden atau 50%
tindakan yang dilakukan oleh bidan PTT
didesa masih tergolong kurang. Hal ini
disebabkan
karena peralatan yang
disediakan pemerintah masih kurang.Namun
ada 50% yang menyatakan tindakan bidan
PTT didesa sudah tergolong baik.
Hasil uji-square menunjukkan P<0,05
maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada
hubungan antara tindakan yang dilakukan
bidan
PTT
didesa
dengan
kejadian
triasklasik.
3.
Page
5. Hubungan Sikap dengan kejadian
triasklasik
Menurut Fesbein dan Alzen, sikap
yang terbentuk adalah yang positif atau
negative tergantung dari segi manfaat atau
tidaknya
komponen
pengetahuan.makin
banyak manfaat yang diketahui semakin
positip sikap yang terbentuk, selanjutnya
sikap yang positif akan mempengaruhi niat
untuk ikut serta dalam suatu kegiatan akan
menjadi tindakan apabila dukungan social
dan tersdianya fasilitas.
Sebagian besar responden atau 74 %
menyatakan sikap bidan PTT sudah baik,
namun masih ada 26% yang menyatakan sikap
bidan PTT di desa yang bekerja di wilayah
kerja Dinas Kesehatan kabupaten Nias masih
kurang.hasil uji statistic chi-square dimana
P<0,05 maka diambil kesimpulan bahwa ada
hubungan sikap dengan kejadian trias klasik.
Menurut penelitian yang dilakukan
Soemantodkk (1993) menunjukkan bahwa
sikap dari bidan PTT dalam memberikan
penyuluhan perawatan kehamilan seperti
imunisasi ibu hamil,minum piltambah darah
dan sebagainya cenderung masih rendah,
sehingga pengetahuan tentang pelayanan
kesehatan ibu dan anak dalam prakteknya
tidak bias seperti yang diharapkan.
Tinuk
Istiarti,1996,Pemanfaatan
tenaga
bidan Desa,seri laporan no.60,Yogyakarta
Kespro./
Http//
www.situs
September/2003/09
Http//www.Situs IBI/Juli/2003/01
Tulus M.A.1991.Manajemen Sumber daya
Manusia,Ghalia Indonesia Jakarta
Soemanto
RB,1993,factor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku pelayanan KIA
Buletin Penelitian Kesehatan ,No.385
Page
159
Notoadmodjo
Soekidjo,2002,Metodologi
Penelitian Kesehatan,Rineka Cipta,Jakarta
DepKes
,2002,Profil
Dinas
Kesehatan
Sumatera Utara,Medan
Dep Kes RI,1998,Panduan Bidan di Tingkat
Desa,Jakarta
DepKes
,2002,Profil
Dinas
Kesehatan
Gunungsitoli, Nias
Dep Kes RI,2002,Buku saku BIdan
di
Desa,Jakarta
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640
KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA BANTUAN OPERASIONAL
KESEHATAN DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK (MDGS 4,5) DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI JAWA
TIMUR INDONESIA
(A Policy Review on The Distribution of Health Operational Aid Funds
in Achieving Maternal and Child Health Program (MDGs 4, 5) in Three
Districts/Cities of East Java Province)
Niniek Lely Pratiwi1, Agus Suprapto1, Agung D Laksono1, Betty R1, Rukmini1, Gurendro1, Ristrini1, Wahyu D
Astuti1, Oktarina1, Mugeni S1
Naskah masuk: 7 Agustus 2014, Review 1: 12 Agustus 2014, Review 2: 12 Agustus 2014, Naskah layak terbit: 9 Oktober 2014
ABSTRAK
Latar belakang: Kebijakan Peraturan Menteri kesehatan Nomer 494/menkes/SK/IV/2010 tentang Penyaluran dana
BOK kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah untuk pembangunan kesehatan
masyarakat dalam meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif guna percepatan tercapainya MDGs Bidang
Kesehatan. Tujuan kajian untuk memberikan rekomendasi kebijakan BOK dalam pencapaian program kesehatan ibu dan
anak. Metode: Kajian data sekunder profil kesehatan kabupaten tahun 2009-2011 dan data primer focus group discussion
(FGD) dengan mengundang pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten dan beberapa puskesmas serta staf pengelola
BOK dari pemda. Hasil: Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat
dari hasil review data profil 3 kabupaten Sampang, Gresik dan kabupaten Sidoarjo. Pemerintah daerah kurang komitmen
dalam menyusun strategi prioritas program kesehatan ibu dan anak dalam bentuk rencana inovasi aksi daerah. Kegiatan
preventif promotif BOK kurang pengawasan dan kontrol pertanggungjawaban terutama pada puskesmas yang lokasinya
jauh dari pusat pemerintahan kabupaten. Pertanggungjawaban keuangan kurang tepat program dan sasaran, mengingat
data pencapaian kesehatan ibu dan anak cakupan KN1-KN4 naik pada tahun 2010, namun kemudian turun kembali pada
tahun 2011. Kesimpulan: Perlu upaya evaluasi dan monitoring pemanfaatan dana BOK sesuai peruntukan, supervisi
kegiatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maupun oleh tokoh masyarakat setempat. Prioritas monitoring pada
puskesmas di daerah sulit dengan AKI dan AKB tinggi. Saran: Perlu pendampingan dan pembinaan rutin dan berkala
berupa bimbingan teknis terkait pemanfataan BOK.
Kata kunci: Bantuan operasional kesehatan/BOK, MDGs, Upaya preventif, promotif kesehatan
ABSTRACT
Background: Health Policy Regulation Number 494/Menkes/SK/IV/2010 on the distribution of BOK funds to local
government is one of the government’s responsibility for the development of public health in improving health promotion
and prevention efforts in order to accelerate the achievement of MDGs in Health. The purpose of the study is to provide
policy recommendations regarding to BOK in achieving the goals of maternal and child health programs. Methods:
Secondary data review of the district health profile in 2009-2011 and analysis on the primary data collected from focus
group discussion (FGD) with invited technical implementor from district health office and health centers as well as some of
the staffs of the local government that handle BOK. Results: The decline in maternal and infant mortality rates are still slow
and cases of malnutrition increased from the three profile data review Sampang, Gresik and Sidoarjo. Local governments
pay little commitment in developing priority strategies of maternal and child health programs in the form of a local action
1
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Indrapura 17
Surabaya
Alamat Korespondensi: [email protected]
395
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
and innovation plan. BOK preventive promotive activities are lacking of monitoring and accountability controls, especially
in health centers located far from the district center. Financial accountability is less precise to the programs and targetes,
having seen the data of maternal and child health outcomes KN1-KN4 coverage which rose in 2010, but then fell back in
2011. Conclusion: Evaluation and monitoring are needed on the utilization of BOK funds, supervising the activities by the
district/city health office, as well as by local community leaders. Prioritise monitoring the health centers in the area with
high MMR and IMR. Suggestion: Needed routine and periodic mentoring and coaching in the form of technical assistance
related to the utilization of BOK.
Key words: Health Operational Funds channelling, Maternal child of Health, Preventif and promotif
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat selain diarahkan untuk mencapai target
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium
Development Goals (MDGs), juga harus diarahkan
pada pembudayaan pola hidup sehat bagi masyarakat
melalui upaya promotif, preventif, dan pemberdayaan
masyarakat. Dukungan jajaran Tim Penggerak
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Tim
Penggerak PKK) di Kabupaten/Kota merupakan
faktor penting dalam mewujudkan budaya hidup
sehat bagi masyarakat. Urusan pemerintahan di
bidang kesehatan merupakan urusan bersama
(concurrent function) antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, sehingga setiap Pemerintah
Daerah diwajibkan untuk meningkatkan pemerataan
dan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Pengembangan kegiatan dan
penyediaan dukungan anggaran yang memadai,
harus berpedoman pada ketentuan mengenai Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di bidang pelayanan
kesehatan (Djaswadi Dasuki, 2001).
Berbagai upaya telah dan akan terus ditingkatkan
baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah
agar peran dan fungsi Puskesmas sebagai fasilitas
pelayanan kesehatan dasar semakin meningkat.
Dukungan pemerintah bertambah lagi dengan
diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) bagi Puskesmas sebagai kegiatan inovatif di
samping program kesehatan lainnya seperti Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Persalinan atau Jampersal (Kementerian Kesehatan
RI, 2011).
Kebijakan penyaluran dana BOK oleh Kementerian
Kesehatan pada tahun 2010 merupakan salah
satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam
pembangunan kesehatan bagi masyarakat di
396
pedesaan/kelurahan khususnya dalam meningkatkan
upaya kesehatan promotif dan preventif guna
tercapainya target Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Kesehatan. SPM sebagai tolok
ukur urusan kewenangan wajib bidang kesehatan,
telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Puskesmas sebagai salah satu
unit pelaksana pelayanan bidang kesehatan juga
mengemban amanat untuk mencapai target tersebut
sehingga masyarakat akan mendapat pelayanan
kesehatan yang semakin merata, dan berkeadilan.
Dana BOK bukan merupakan dana utama dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/
kota. Beberapa issu public ditengarai bahwa ada
kebijakan tingkat regional, yaitu Pemerintah Daerah
mengurangi alokasi pembiayaan program promotif
kesehatan ke luar sektor kesehatan, dengan asumsi
mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah
Pusat memberikan tambahan dana operasional
puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda
mengalokasikan dana tersebut sangat kurang,
dan mengharapkan pemda tidak mengurangi lagi
anggaran yang sudah dialokasikan untuk operasional
Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang
dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam
upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat
di wilayah kerjanya. Beberapa pemerintah daerah
mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional
kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang
sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang
masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional
termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara
itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan
sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi
dan kondisi wilayah, pendidikan masyarakat, sosial
ekonomi dan determinan sosial lainnya.
kesehatan, dengan asumsi mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah pusat memberikan
tambahan dana operasional puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda mengalokasikan
dana tersebut sangat kurang, dan mengharapkan pemda
tidak mengurangi lagi anggaran yang
sudah dialokasikan untuk operasional Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang
dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan
masyarakat
di
wilayah kerjanya.
Beberapa
pemerintah
daerah
mampu
mencukupi
kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak
sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional
termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar
berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi dan kondisi
wilayah,
pendidikan
masyarakat,Dana
sosialBantuan
ekonomi
dan determinan
sosial lainnya.
Kajian
Kebijakan
Penyaluran
Operasional
Kesehatan
(Niniek L. Pratiwi, dkk.)
METODE
METODE
Kerangka Konsep
Goal 7 (Target 7C) Menjamin Kelestarian Lingkungan
Hidup. Kajian policy paper ini membatasi hanya pada
Kerangka Konsep
kesehatan ibu dan anak (target 4 dan 5).
Kajian ini melakukan analisis hasil penelitian BOK
•TurunanPoicy:Perda,Perbup,Perwali
•Sosialisasi
terdahulu,
studi literatur capaian kesehatan ibu dan
•FasilitasiPenyelenggaraanProgram/Kegiatan
anak pada data profil kesehatan kabupaten, kota
p
n
•F •K •K •K
tahun 2009, 2010 dan 2011 serta data penyerapan
e
u e e e
Akseptabilitas
i aia
n te te p
s
d p
gs r r e
an
u
Kebijakan
a
r
n
St C
iM se se m
dana BOK. Kajian hasil wawancara mendalam,
saa
SPM,MDG’S
i
i
d d m
o
s an
a ia ia p
a
S
g
k n
n a a i
K
Ketepatan
o
aj n n n
i n
�
ja d taa
L n
pengembangan konsep dilakukan dengan analisis
e S F an
i
Kapasitas
Programdan
a
m D as
Implementasi
IA a
d se K
e K
Manajerial
k
Sasaran
IA e d
n – ya
n
BOK
– 5 n
K
e
K
dalam dialog selama diskusi yang menyangkut
g
MDG’S
, m
s d
P M ke
ra lP
u
O
n o
g si
s
n
att e
A
r r a
ar
C
Faktor
S T P H
juga beberapa konten BOK. Komponen dalam
. .
.
Kontekstual
1
2
3
e
K
prosedur metodologi analisis kebijakan tersebut
adalah perumusan masalah, prediksi, rekomendasi,
• Kemiskinan
pemantauan dan evaluasi. Melakukan analisis
• KondisiGeograf i
• PeranKeluarga
kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur
metodologi tersebut dalam proses kajiannya dengan
metode
sencePendekatan
making (Dunn, 2000).
Gambar 1.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan BOK
Berdasarkan
Penelitian ini merupakan kajian kebijakan BOK,
Sistem
dengan metode potong lintang. Data sekunder
HASIL
yang dikumpulkan meliputi data profil kesehatan,
Faktor
Determinan
Penyaluran Dana BOK
Penelitian inipenyerapan
merupakan kajian
kebijakan
BOK,
dengan
metode potong
lintang.
Data sekunder
dokumen
anggaran
BOK
tahun
2009,
2010,
2011 dan meliputi
review data
beberapa
hasil penelitian
Kebijakan
penyaluran
yang dikumpulkan
profil kesehatan,
dokumen penyerapan
anggaran BOK
tahun dana BOK ke puskesmas
BOK
terdahulu.
dilihat
dari
berbagai
faktor determinan yang
2009, 2010, 2011 dan review beberapa hasil penelitian BOK terdahulu.
Kajian dilakukan dengan mengumpulkan informasi
memengaruhi tercapainya tujuan MDGs ke 4,5.
3�
melalui wawancara mendalam pada pengelola
Hasil diskusi diperoleh pandangan bahwa kebijakan
�program kesehatan ibu dan anak, bendahara BOK
penyaluran dana BOK dipengaruhi oleh sistem proses
tingkat kabupaten, kota antara lain: kepala sub bid
pengajuan penganggaran, Rencana Pengajuan
program dinkes, kepala puskesmas di kabupaten
Kegiatan (RPK) yang disusun setahun sekali,
Gresik, Sidoarjo, kabupaten Sampang dan kota
terkadang di tengah kegiatan ada program prioritas
Surabaya. Pertemuan berupa diskusi kelompok
yang sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa
terarah, lokakarya dihadiri oleh kepala bidang program
atau emergency, yang harus dilaksanakan dan belum
dan kepala sub bidang dinas kesehatan kabupaten
diajukan di RPK. Sumber daya manusia juga menjadi
dan peneliti.
faktor determinan adanya tugas rangkap petugas di
Variabel penelitian adalah akseptabilitas kebijakan,
puskesmas yang berakibat petugas kurang fokus
kontekstual (isi substansi BOK), dan kapasitas
dalam bekerja. Hal ini terlihat dari komentar selama
manajerial ditanyakan secara mendalam kepada
diskusi menanggapi adanya kebijakan BOK sebagai
para decisions makers tingkat kabupaten. Sedangkan
berikut,
variabel ketepatan program sasaran MDGs dan
“RPK disusun setahun sekali, boleh mengubah,
faktor konstekstual: geografis dan kemiskinan dari
tapi akan memperlama proses. Karena akan
laporan profil kesehatan kabupaten, kota. Variabel
mengubah pengajuan ke KPPN. Jadi kegiatan
penyerapan anggaran BOK diperoleh dari rekapitulasi
harus sesuai dengan RPK. Kembali lagi ke
penyerapan anggaran BOK triwulan, dan tahunan.
SDM yang ada di PKM, karena banyak yang
Kementerian Kesehatan mentargetkan pada tahun
mempunyai tugas rangkap”. (Informan Dinkes
2015 pencapaian MDGs untuk tujuan Goal 1 (Target
Kota Surabaya)
1C) Memberantas kemiskinan dan kelaparan; Goal
4 (Target 4A) Menurunkan Angka Kematian anak;
Prioritas Program
Goal 5 (Target 5A) Meningkatkan kesehatan ibu; Goal
Penyaluran dana BOK ditujukan untuk prioritas
6 (Target 6A & 6B) Mengendalikan HIV dan AIDS;
program pencapaian tujuan MDGs, khususnya
GoaL 6 (Target 6C) Mengendalikan Penyakit TB;
397
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
peningkatan kesehatan anak dan kesehatan
ibu. Pemanfaatan dana BOK di kabupaten/kota,
diprioritaskan pada upaya preventif dan promotif
kesehatan ibu dan anak untuk mengatasi tingginya
angka kematian ibu dan bayi suatu daerah, termasuk
pula penyakit menular yang dapat mempengaruhi
kesehatan maternal. Dana BOK dapat dipakai untuk
pemberian makanan tambahan atau PMT anak balita
dan ibu hamil dalam setiap kunjungan posyandu.
Besaran nilai rupiah untuk PMT tergantung kebutuhan
dan harga satuan makanan setempat. Pemberian
PMT yang bervariasi dengan kandungan Gizi perlu
menjadi pertimbangan utama. Alokasi besaran PMT
untuk setiap puskesmas dengan mempertimbangkan
besarnya permasalahan status gizi balita di setiap
daerah, seperti diungkapkan oleh informan dari
Dinkes Kabupaten Gresik sebagai berikut.
“Besarnya jumlah dana BOK per puskesmas
tergantung jumlah kunjungan, jumlah
penduduk dan tipe puskesmas. Gresik
pembagian dana BOK berdasarkan jumlah
penduduk, jumlah kunjungan, tipe puskesmas.
Uuntuk pengadaan PMT, kalau bisa diadakan
di dinas, agar seluruh PKM dapat PMT, karena
bila diadakan di level PKM, masing-masing
PKM ada yang menganggarkan dan ada
yang tidak”.
“PMT di sidoarjo sebesar 1,4 M (APBD), PMT
di gresik 585 jt (APBD). Kabupaten Sidoarjo
BOK 2,2 M dengan rincian 1,950 M untuk
PKM, 300 jt untuk dinas. Besaran dana BOK
kabupaten Gresik 2,7 Miliar dengan rincian
untuk PKM 2,4 M, 300 juta untuk manajemen
dinas. APBD untuk preventif, promotif di
sampang: PMT penyuluhan, honor, kegiatan
promkes - 299 juta. Pencegahan penyakit
dan penyehatan lingkungan 200 jt. Imunisasi
92 juta. APBD untuk prev prom Gresik: 54 jt
untuk promkes”.
Affordability atau Keterjangkauan Biaya
Keterjangkauan biaya atau affordability telah
mendorong dikeluarkannya kebijakan BOK yaitu
berkaitan dengan wewenang dalam konteks
otonomi daerah. Daerah otonom, yaitu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas398
batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka
6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan
yang tertulis pada Pasal 12 UU No. 32 Tahun
2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai
dengan urusan yang didesentralisasikan. (2)
Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai
dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Penyaluran dana BOK setiap puskesmas di
kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk, jumlah
kunjungan dan tipe puskesmas, dipertimbangkan untuk
menambah variabel penting lainnya seperti besarnya
permasalahan kesehatan ibu dan anak dan geografis
yang sulit. Biaya transportasi petugas kesehatan
dalam upaya preventif dan promotif kesehatan ibu
dan anak dari kecamatan ke desa dengan besaran Rp
25.000 per orang, ditentukan sesuai dengan peraturan
daerah dan kelayakan geografis. Kegiatan kunjungan
neonatal I-IV petugas kesehatan dalam pemeriksaan
ibu hamil ke rumah dalam upaya jemput bola bagi ibu
hamil yang tidak mau ke puskesmas karena medan
yang sulit dapat memanfaatkan dana BOK sebagai
pengganti transport, termasuk pula kunjungan Nifas
bagi ibu bersalin dapat memakai dana BOK ini. Berikut
tanggapan tentang peruntukan alokasi anggaran
BOK, oleh informan dari Kabupaten Gresik,
“Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan)
sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap
tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi
Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK
untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk
tahun depan akan ditempelkan di DAU”.
“Di Gresik terdapat 6994 kader, honor berasal
dari APBD, transport bisa dari BOK, 25 ribu. Di
Sampang, transport dari puskesmas ke desa
15 ribu. Dari APBD honor kader posyandu
30 ribu per bulan. Banyak kader yang
merangkap hingga menangani 3 posyandu.
Jumlah posyandu 904 dengan kader 200-
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
300an kader. Dasar dari pembagian dana
BOK bermacam-macam dasar”.
Sedangkan tanggapan informan kabupaten Sidoarjo
mengatakan bahwa,
“Di Sidoarjo, sudah menyusun POA dan RPK
bulanan untuk satu tahun. Bila ada perubahan
RPK, akan memperlama proses pengajuan
keuangan (butuh waktu yang lebih lama),
yang akan berpengaruh atau berdampak ke
seluruh rangkaian kegiatan dan berimbas
pada penyerapan anggaran. Di Sidoarjo
ada peraturan Bupati yang mengatur bahwa
transport dari PKM ke desa wilayah kerja
sebesar 25 ribu”.
Health System Building Blocks
Beberapa pernyataan tentang hambatan yang
dihadapi dalam membangun sistem penyaluran dana
BOK ditanggapi oleh beberapa informan, seperti dari
Dinkes kabupaten Sidoarjo,
“Anggaran BOK tahun ini disamakan. BOK
bisa untuk transpor kader posyandu, kader
posyandu usila. Sidoarjo per posyandu dapat
25 ribu, di Gresik kader per orang 10 ribu.
APBD: ada dana 50 ribu per posyandu (1670
posyandu) untuk kegiatan posyandu, tidak
melihat berapa pun jumlah balita yang ada.
Refresing kader bisa diambil dari BOK, untuk
transport dan konsumsi.
Sedangkan komentar dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sampang bahwa:
“Besaran alokasi dana BOK per puskesmas
berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk,
realisasi penyerapan tahun lalu, jumlah nakes
medis dan paramedik”.
Program imunisasi, terutama daerah endemis
Diphteri seperti propinsi Jawa Timur, maka upaya
jemput bola petugas imunisasi ke masyarakat dapat
memanfaatkan dana BOK. Imunisasi TT untuk ibu hamil,
dan pra hamil. Buku Petunjuk Teknis Penyaluran Dana
BOK perlu memberikan contoh konkrit peruntukannya
sehingga petugas kesehatan di lapangan tidak ada
keraguan dalam pertanggungjawaban keuangannya
dan dapat lebih mudah merencanakan kegiatan
preventif dan promotif ini. Berikut tanggapan seorang
informan dari puskesmas di Kota Surabaya, bahwa:
“Pos KLB dari BOK ada anggarannya,
meskipun itu belum tentu terserap. Kalau di
Kabupaten lain, pos KLB tidak ada, pos KLB
dianggarkan dari APBD, yang lebih longgar
dalam melakukan perubahan. Seperti contoh
adanya wabah Diptheri di Surabaya pada
tahun 2012 dapat menggunakan alokasi KLB
dari dana BOK dan mengingatkan petugas
kesehatan untuk melakukan upaya preventuf
dan promotif.”
Kendala kebijakan BOK dalam mencapai tujuan
program diantaranya adalah administrasi pertanggungjawaban keuangan yang dirasakan membingungkan,
sehingga pada awal kebijakan menjadi kendala. Perlu
proses pembelajaran semua pihak terkait sehingga
dengan berjalannya waktu akan terbiasa mengerjakan
sesuai standar peraturan keuangan Negara. Faktor
yang menghambat antara lain dana BOK di masukkan
sebagai DAU dan ini memberikan konsekuensi
anggaran untuk kesehatan berkurang karena ada
substitusi anggaran dari pusat. Faktor penghambat
lainya adalah pertanggungjawaban administrasi dana
BOK terlalu ketat, sehingga beberapa kabupaten
takut untuk membuat pertanggungjawaban keuangan
negara. Penyaluran dana BOK yang diperuntukkan
kegiatan prioritas di beberapa kabupaten menyebutkan
untuk pemberian makanan tambahan bagi balita
kurang gizi di posyandu, kegiatan promosi petugas
kesehatan, juga untuk transpor kader kesehatan ke
posyandu. Besaran transpor kader berbeda setiap
kabupaten tergantung Perda atau kebijakan di tingkat
kabupaten, kota.
Berikut tanggapan informan dari Dinkes Kota
Surabaya,
“Pertanggungjawaban BOK terlalu njlimet
yang merepotkan. Yang bertanggung jawab
terhadap dana bukan bendahara, tapi Petugas
Pelaksana Teknis Kegiatan/PPT. Transport
Perjalanan dinas lebih dari 5 kilo, transport 80
ribu, kalo kurang dari 5 KM, dapat 25 ribu”.
“Untuk tahun depan, BOK tidak lagi masuk
kedalam dana Tugas Perbantuan/TP. Tapi
masuk di dalam dana alokasi khusus/DAU.
Dikhawatirkan setelah masuk DAU, jatah
anggaran untuk Dinkes Kabupaten akan
berkurang, karena ada substitusi anggaran
dari pusat”.
399
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
Informan di Kabupaten Gresik memberikan tanggapan
bahwa “
“Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan)
sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap
tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi
Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK
untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk
tahun depan akan ditempelkan di DAU”.
Beberapa data profil kesehatan kabupaten/kota
yang dapat disajikan sebagai informasi dalam capaian
kesehatan ibu dana anak baik sebelum dan sesudah
adanya kebijakan dana penyaluran BOK gambar di
bawah ini.
Formulasi cost sharing pembiayaan upaya
preventif promotif dari pemerintah kabupaten/kota
melalui APBD. Masyarakat dapat berperan dan
dikembangkan melalui mobilisasi dari beberapa
sumber dari masyarakat, ataupun perusahaan
misalkan Corporate Social Responsibility atau CSR.
Berikut tanggapan dari kabupaten Gresik sebagai
kota industri.
“Memobilisasi sumber daya yang ada di setiap
daerah perlu dikembangkan sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat setempat, baik
masyarakat secara individu, maupun kelompok.
Potensi daerah dalam Dana Bagi hasil Cukai
Rokok dapat pula menjadi salah satu CSR, namun
tentunya harus mempertimbangkan banyak hal
terutama dalam era bebas rokok, mungkinkah
hal ini dilakukan?”.
Potensi daerah dalam menggerakkan
pembangunan kesehatan di wilayahnya dapat
pula dikembangkan, terutama bila terdapat industri
kecil maupun besar. Berikut tanggapan dari Dinas
kabupaten Gresik:
Gambar 2. Trend Jumlah Kunjungan Ibu Hamil (KI) di
Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten
Sidoarjo Propinsi Jawa Timur.
Berdasarkan gambar grafik di atas tampaknya
jumlah kunjungan K1 kabupaten Sampang ada
peningkatan setelah kebijakan dana BOK, namun
untuk kabupaten Sidoarjo tidak ada peningkatan
bahkan sedikit menurun, demikian pula kabupaten
Gresik kunjungan K1 malah terjadi penurunan yang
cukup tajam pada tahun 2011.
“Untuk menjadi wacana bila CSR bisa
membiayai BOK, untuk daerah terdampak. Hal
ini berlaku untuk daerah dengan industri yang
banyak. CSR diberikan oleh perusahaan pada
dinas, selain juga diberikan pada masyarakat
langsung.contoh pada DBHCT (Dana Bagi
Hasil Cukai Tembakau)”.
Tren Hasil Program Kesehatan Ibu dan Anak
sebelum dan Setelah Kebijakan BOK
Perkembangan pencapaian cakupan MDGs
kesehatan ibu dan anak dapat dikaji dengan
menampilkan pencapaian sebelum dan setelah
adanya kebijakan BOK. Hasil dilihat pada penjelasan
continum of care data profil kesehatan kabupaten,
kota sejak tajun 2009 sampai dengan tahun 2011.
400
Gambar 3. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Ibu di
Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten
Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
Gambar 3 memperlihatkan terjadi penurunan
angka kematian ibu di kabupaten Sidoarjo, namun
pada kabupaten Gresik terjadi peningkatan pada
tahun 2010 dan kembali turun sedikit pada tahun 2011.
Tampaknya angka kematian ibu ini tidak berpengaruh
dengan meningkatnya kunjungan K1 ibu hamil ke
petugas kesehatan.
Gambar 4. Trend Jumlah Persalinan oleh Nakes di
Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten
Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Terlihat bahwa di 3 kabupaten Sampang, Gresik dan
Sisoarjo terjadi tren peningkatan persalinan oleh
tenaga kesehatan setelah adanya kebijakan dana
BOK yang diturunkan pada setiap puskesmas.
Kesehatan Anak
sangat tajam pada tahun 2011. Kabupaten Sidoarjo
angka kematian bayi pada tahun 2010 menurun sedikit
dan kemudian pada tahun 2011 angka kematian bayi
menurun sangat tajam yaitu pada angka 2,49 per
1000 kelahiran. Di kabupaten Gresik angka kematian
Bayi pada tahun 2010 menurun cukup tajam namun
pada tahun 2011 naik kembali menjadi 7,5 per 1000
kelahiran.
Gambar 6. Kecenderungan Jumlah Balita Gizi Buruk di
Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten
Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Dari gambar grafik di atas tampak bahwa
kecenderungan Balita Gizi Buruk di kabupaten
Sampang dan Sidoarjo meningkat pada tahun 2010
dan tahun 2011. Tren Balita gizi buruk menurun pada
tahun 2010, dan tahun 2011 di Kabupaten Gresik.
PEMBAHASAN
Faktor Affordability Pencapaian MDGs
Kesehatan Ibu dan Anak
Gambar 5. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Bayi
(AKB) di Kabupaten Sampang, Gresik dan
Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur
Pada gambar grafik di atas tampak bahwa
di kabupaten Sampang pada tahun 2010 terjadi
peningkatan angka kematian, namun menurun dengan
Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih
lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat
dari hasil review data profil dari ke 3 kabupaten di
Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan
kabupaten Sampang. Jumlah petugas kesehatan
masih sangat terbatas dengan wilayah kecamatan
yang luas dan geografis yang tidak memungkinkan,
terlihat dari hasil diskusi bahwa banyak tugas rangkap,
maka pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
keniscayaan yang diharapkan secara langsung
dapat mempercepat pencapaian MDGs. Perlu suatu
gerakan inovatif dengan memberdayakan masyarakat
setempat dalam pemantauan dan penimbangan gizi
bagi Balita, pemantauan pemeriksaan kunjungan
neonatal ke fasilitas kesehatan. Pemberdayaan
401
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
masyarakat “gerakan sehat untuk semua” akan
menjadi suatu nilai tersendiri di mata masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat akan menimbulkan
suatu nilai rasa memiliki program kesehatan.
Masyarakat akan merasa membutuhkan pengetahuan,
keterampilan tentang upaya preventif kesehatan
ibu dan anak yang seharusnya mereka lakukan.
Permasalahan kesehatan bukan semata mata
permasalahan petugas kesehatan. Jika masyarakat
peduli terhadap kesehatan maka permasalahan
kesehatan adalah masalah masyarakat dan menjadi
tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Hasil analisis
lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek Lely Pratiwi dkk
pada tahun 2012 dikatakan bahwa umur kehamilan
saat ANC pertama kali didominasi oleh kelompok umur
3 bulan pertama di perkotaan 82,5%, di pedesaan
67,4%. Terlihat bahwa pemeriksaan ANC pertama
kali prevalensi terbesar pemeriksaan kehamilan
pada umur kehamilan 3 bulan pertama kehamilan. Di
pedesaan pemeriksaan ANC pertama kali pada umur
kehamilan 4-6 bulan 14,7% dibandingkan ibu hamil
di perkotaan yang peduli terhadap kehamilannya,
bahkan yang menjawab tidak tahu umur kehamilan
saat ANC pertama kali pun di pedesaan 10,7%.
Ditemukan bahwa di negara miskin, sekitar 25–
50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh
masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan
persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan di seluruh
dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal
saat hamil atau bersalin. Berdasarkan hasil SDKI 2007
derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih
perlu ditingkatkan ditandai oleh Angka Kematian
Ibu (AKI) yaitu 228/100.000 Kelahiran Hidup (KH),
dan tahun 2008, 4.692 jiwa ibu meninggal di masa
kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka Kematian
Bayi (AKB) 34/1000KH, menunjukkan terjadi stagnasi
bila dibandingkan dengan SDKI 2003 yaitu 35 per
1000 KH.
Berdasarkan data SKRT 2003 bahwa penyebab
langsung kematian ibu adalah pendarahan 28%,
eklamsi 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, abortus
5%, dan lain-lain. Sedangkan menurut hasil Riskesdas
2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari
di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%,
prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%,
kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab
kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan
kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas
402
dan BBLR 12,8%, dan RDS 12,8%. Oleh karena
itu, upaya penurunan angka kematian bayi dan
Balita perlu memberikan perhatian yang besar pada
upaya penyelamatan bayi baru lahir dan penanganan
penyakit infeksi (diare dan pneumonia). Salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya
kematian ibu maupun bayi adalah kemampuan dan
keterampilan penolong persalinan. Pesan pertama
kunci Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu setiap
persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih. Faktor lain adalah kurang pengetahuan dan
perilaku masyarakat yang tidak mengenali tanda
bahaya dan terlambat membawa ibu, bayi dan balita
sakit ke fasilitas kesehatan.
Pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang
tanda bahaya kehamilan diperlukan suatu fasilitasi
upaya promotif pada masyarakat baik melalui
pendidikan formal maupun non formal (Nova
Corcoran, 2008). Bekal pengetahuan reproduksi
remaja dan KIA seharusnya masuk dalam kurikulum
anak sekolah menengah ke atas. Adanya kebijakan
penyaluran dana BOK dapat memfasilitasi upaya
preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak.
Pada tahun 2008 cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan di Indonesia sudah mencapai 80,68%,
sehingga masih ada pertolongan persalinan yang
dilakukan oleh dukun bayi dengan cara tradisional.
Hasil analisis data Riskesdas tahun 2010 menyatakan
bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
rerata angka nasional menunjukkan persalinan oleh
tenaga kesehatan 78,7%, dan persalinan oleh dukun
bayi 17,7%. Pemerintah berupaya untuk memecahkan
masalah tersebut. Kementerian Kesehatan RI telah
meluncurkan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan stiker yang
telah terbukti mampu meningkatkan secara signifikan
cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
dan Buku KIA sebagai informasi dan pencatatan
keluarga yang mampu meningkatkan pengetahuan
tentang kesehatan ibu/bayi, dan balita.
Hasil analisis lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek L
Pratiwi dkk mengatakan bahwa ibu hamil yang memiliki
buku KIA di pedesaan 30,3% yang diperlihatkan dan
yang mengaku punya namun tidak memperlihatkan
48,3% sedangkan yang tidak memiliki 21,4%. Menurut
Sri Hermiyanti menjelaskan dengan tercatatnya ibu
hamil secara tepat dan akurat serta dipantau secara
intensif oleh tenaga kesehatan dan kader di wilayah
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
tersebut, maka setiap kehamilan sampai persalinan
dan nifas diharapkan dapat berjalan dengan aman dan
selamat (http://www.depkes.go.id/index.php/berita/
press-release/790-ibu-selamat-bayi-sehat-suamisiag.html,2012).
Penemuan kasus ibu hamil Risti yang sudah
ditangani oleh petugas kesehatan yang meningkat
dengan adanya kebijakan dana BOK, diharapkan
akan menjadi suatu budaya bagi petugas kesehatan
dalam melaksanakan tugas pokoknya, mereka
menjemput bola ke masyarakat, mengingat dana
transpor ke masyarakat sudah tersedia. Dana BOK
dapat pula dipakai buat transpor kader. Kejadian
kematian ibu dan bayi yang terbanyak terjadi pada
saat persalinan, pasca-persalinan, dan hari pertama
kehidupan bayi masih menjadi tragedi yang terus
terjadi di negeri ini. Penurunan Angka Kematian Ibu
dan Bayi Baru Lahir memerlukan upaya dan inovasi
baru. Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu
dan bayi baru lahir harus melalui pemberdayaan
masyarakat setempat. Terlebih bila dikaitkan dengan
target Millenium Development Goals (MDGs) 2015,
yakni menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi
102 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian
bayi (AKB) menjadi 23 per 100.000 kelahiran hidup
yang harus dicapai. Waktu yang pendek, tidak akan
cukup untuk mencapai sasaran itu tanpa berbagai
upaya yang luar biasa (Direktorat Bina Kesehatan
Anak, 2012).
Faktor Determinan Pencapaian MDGs
Kesehatan Ibu dan Anak
Kebijakan penyaluran dana BOK dipengaruhi
oleh faktor determinan antara lain yaitu sistem
proses pengajuan penganggaran, Rencana
Pengajuan Kegiatan atau RPK disusun setahun
sekali. RPK selayaknya dibuat lebih fleksibel agar
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkadang
sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa,
yang harus dilaksanakan dan belum diajukan di RPK.
Sumber daya manusia juga menjadi faktor determinan
yaitu adanya tugas rangkap petugas di puskesmas.
Kebijakan dana BOK diharapkan dapat didukung oleh
pemerintah kabupaten/kota untuk upaya preventif
dan promotif bidang KIA agar keterlambatan rujukan
dapat dikurangi. Hasil Riset etnografi budaya Badan
Litbangkes di kabupaten Gayolues 2012, bahwa
risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya
faktor keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak
langsung kematian ibu. Ada tiga risiko keterlambatan,
yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk
karena persoalan adat (termasuk terlambat mengenali
tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan
pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh
pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan. Dua
pertiga kematian pada bayi terjadi pada masa neonatal
(28 hari pertama kehidupan). Penyebabnya terbanyak
adalah bayi berat lahir rendah dan prematuritas,
asfiksia (kegagalan bernapas spontan) dan infeksi
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Pemerintah Daerah Provinsi perlu komitmen untuk
mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals
termasuk percepatan penurunan kematian ibu dan
kematian bayi baru lahir dengan menyusun Rencana
Aksi Daerah di samping terobosan lainnya. Beberapa
contoh komitmen, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah
mencanangkan Program AKINO (Angka Kematian
Ibu dan Bayi Nol) dengan meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan KIA hingga ke tingkat desa; Provinsi
Nusa Tenggara Timur dengan Program Revolusi
KIA dengan tekad mendorong semua persalinan
berlangsung di fasilitas kesehatan yang memadai
(puskesmas); Pemda DI Yogyakarta berkomitmen
meningkatkan kualitas pelayanan dan penguatan
sistem rujukan, serta penggerakan semua lintas
sektor dalam percepatan pencapaian target MDGs
oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat.
Sebenarnya sudah ada upaya terobosan
pemerintah dengan adanya program Jampersal
(Jaminan Persalinan) yang digulirkan sejak 2011.
Program Jampersal ini diperuntukkan bagi seluruh ibu
hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum
memiliki jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan.
Melalui program ini, pada tahun 2012 Pemerintah
menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu
hamil agar mereka mendapatkan layanan persalinan
oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai
dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan. Program
yang punya slogan Ibu Selamat, Bayi Lahir Sehat
ini diharapkan memberikan kontribusi besar dalam
upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan
bayi baru lahir. Keberhasilan Jampersal tidak hanya
ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan
namun juga kemudahan masyarakat menjangkau
pelayanan kesehatan di samping pola pencarian
pertolongan kesehatan dari masyarakat, sehingga
403
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405
dukungan dari lintas sektor dalam hal kemudahan
transportasi serta pemberdayaan masyarakat menjadi
sangat penting. Program Jampersal ternyata tidak
signifikan memberikan konstribusi dalam penurunan
angka kematian ibu bersalin. Pada awal Januari 2014
telah di launching-nya oleh Kementerian Kesehatan
tentang jaminan kesehatan nasional atau JKN.
Program tersebut mencakup pelayanan persalinan,
perlu dipikirkan kebijakan yang lebih inovatif agar tidak
terjadi lonjakan kematian ibu bersalin.
Hasil SDKI 2012 menunjukkan AKI sebesar
359 per 100.000 kelahiran. Tren peningkatan AKI,
dikhawatirkan menyebabkan sasaran MDG 5a tidak
akan tercapai, demikian juga dengan sasaran MDG
4. Upaya perlu lebih ditingkatkan agar penurunan AKI
dan AKB melebihi tren yang ada sekarang. Penyaluran
dana BOK ke puskesmas yang sejak mulai tahun
2010 telah didistribusikan ke seluruh puskesmas
di Indonesia tidak menunjukkan pemanfaatan
yang semestinya sesuai tujuan untuk percepatan
pencapaian MDGs. Kebijakan ini sangat bagus dan
merupakan upaya inovasi yang memiliki daya ungkit
yang tinggi. Ada kemungkinan ketidaktepatan sasaran
pengguna anggaran BOK, meskipun tanggung
jawab administrasi sudah tidak ada masalah. Perlu
penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan dana
BOK sesuai pengguna sasaran preventif, promotif
program KIA. Diperlukan perubahan target capaian
BOK, bukan hanya untuk penyerapan dana BOK.
Beberapa pengalaman empiris peneliti berupa
kegiatan penelitian observasi partisipatori dengan
tinggal di desa, terutama daerah yang sulit secara
geografis, menemukan bahwa pemantauan kegiatan
pemanfaatan dana BOK jarang bahkan hampir tidak
pernah di evaluasi dan di monitoring peruntukannya,
peneliti menengarai ada penyerapan pembiayaan
tanpa ada kegiatan yang dilakukan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Komitmen Pemerintah Daerah kurang untuk
upaya preventif, promotif bidang KIA guna mendukung
pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk
percepatan penurunan kematian ibu dan kematian
bayi baru lahir dengan mengurangi anggaran dana
preventif dan promotif kabupaten kota dengan
pertimbangan sudah ada dana BOK. Terlihat bahwa
404
ada beberapa kasus dari data profil kesehatan
kabupaten pada tahun 2010 angka kematian bayi
menurun, namun pada tahun 2011 naik kembali ke
posisi tahun 2009. Penyusunan Rencana Aksi Daerah
kurang mengacu pada program prioritas program
kesehatan ibu dan anak, kurangnya monitoring dari
propinsi ke kabupaten, kurangnya pemantauan
dan monitoring dari dinas kesehatan kabupaten ke
kecamatan yang perlu dilakukan.
Masih lambannya penurunan angka kematian
ibu dan bayi dan kasus gizi kurang dari hasil review
data profil dari ke 3 kabupaten (Gresik, Sidoarjo dan
Sampang) di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik,
Sidoarjo dan kabupaten Sampang. Kepala Puskesmas
kurang dapat mengelola dana BOK secara lebih
efisien dan akuntabel, mengingat dari beberapa data
sekunder data pencapaian kesehatan ibu dan anak
cakupan ‘KN1’-‘KN4’ naik pada tahun 2010.
Program JKN, kebijakan BOK dalam upaya
pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat
mengungkit turunnya angka kematian ibu bersalin,
bayi lahir sehat ini diharapkan memberikan kontribusi
besar dalam upaya percepatan penurunan angka
kematian ibu dan bayi baru lahir. Sasaran MDGs
diharapkan pada tahun 2015 sudah harus tercapai,
kini tenggang waktu itu tinggal 1 tahun lagi.
Saran
Perlu dilakukan pendampingan dan pembinaan
terutama puskesmas yang jauh dari Pusat Kabupaten/
Kota yang dilakukan secara rutin dan berkala setiap
bulan ke puskesmas yang tidak hanya pencatatan
tanpa memberikan nilai makna di balik angka. Supervisi
seharusnya lebih ditekankan pada bimbingan teknis.
Dana BOK dimaksudkan juga untuk upaya preventif,
promotif petugas kesehatan yang ada di puskesmas,
namun dana BOK juga dapat dipakai untuk petugas
kesehatan yang di dinas kesehatan untuk supervisi
dalam rangka pendampingan pencapaian upaya
preventif dan promotif.
Perlu suatu gerakan inovatif dengan
memberdayakan masyarakat setempat dalam
pemantauan dan penimbangan gizi bagi Balita,
pemantauan pemeriksaan kunjungan neonatal
ke fasilitas kesehatan. Dengan pemberdayaan
masyarakat gerakan sehat untuk semua menjadi
suatu nilai tersendiri di mata masyarakat bahwa
kesehatan merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010.
Studi Operasional Bantuan Operasional Kesehatan
Terhadap Kinerja Puskesmas Dalam Mencapai Target
MDGs, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2007. Laporan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2013. Laporan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta.
Corcoran, N., 2008. Theories and Models in Communiting
Health messages. In: Communiting Health strategies
for Health promotion. Singapore: Sage Publ.
p. 5-31.
Dunn, W., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik
(second edition) (terjemahan). Jogjakarta: Gadjah
Mada University Press.
Djaswadi, Dasuki, 2001. Kematian maternal dan perinatal:
masalah, tantangan dan upaya pemecahan. Dalam:
Reorientasi kebijakan kependudukan. Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Kependudukan Universitas
Gadjah mada, hal. 91-104.
Gulliford, M. (et al), 2002. What does `access to health
care’ mean? Journal of Health Services Research
and Policy, 7(3) July.
Kementerian Kesehatan RI, 2011. Bagaimana Pendanaan
Jampersal? Mediakom (29) April.
Niniek Lely Pratiwi., 2013. Pemberdayaan masyarakat
dalam pencapaian MDGs. Dalam: Pemberdayaan
Masyarakat dan Perilaku Kesehatan (Teori dan
Praktek) Strategi Percepatan pencapaian MDGsPost MDGs, Surabaya: Airlangga University Press,
hal 1-8.
Niniek Lely Pratiwi. 2014. Health seeking behavior Antenatal
care di Indonesia. Dalam: Health seeking behavior
Kesehatan Ibu dan Anak, Surabaya: Airlangga
University Press, hal 33-66.
Niniek Lely Pratiwi., Yunita, F., Fachmi, Yudi, Syaiful, 2012.
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak, Etnik
Gayo Desa Tetinggi Kecamatan Blang Pegayon,
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Surabaya: Pusat Humaniora Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
405
Artikel Penelitian
Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan
Puskesmas dalam Pelayanan Kesehatan Ibu
The Quality of Work Life and the Performance of Midwives in Maternal
Health Service
Sri Purnama Rezeki* Dumilah Ayuningtyas**
**Puskesmas Tanjung Uban Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, **Departemen Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Abstrak
Peningkatan angka kematian ibu dan kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan ibu antar puskesmas, diasumsikan berhubungan dengan kinerja
bidan yang dipengaruhi lingkungan tempat bekerja (puskesmas). Penelitian
dengan desain potong lintang dengan metode kuantitatif dan kualitatif ini
bertujuan mengetahui hubungan antara komponen quality of work life
(QWL) dengan kinerja bidan puskesmas pada pelayanan kesehatan ibu.
Studi ini dilaksanakan di 11 puskesmas wilayah kerja Kabupaten Bintan pada bulan Februari _ Maret 2013. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner pada 67 responden dan wawancara pada 10 informan.
Berdasarkan hasil penelitian, hanya 35,8% bidan puskesmas mempunyai
skor kinerja di atas rata-rata, beberapa puskesmas mempunyai skor komponen QWL di bawah rata-rata. Hubungan yang signifikan ditemukan antara komponen keterlibatan karyawan (nilai p = 0,005) dan rasa bangga terhadap institusi (nilai p = 0,039) dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu.
Kata kunci: Angka kematian ibu, bidan, kinerja, quality of work life
Abstract
Increasing maternal mortality ratio and also gaps of the maternal health
services scope among community health centers, assumed related to the
performance of midwife clinics who is affected by the environment in which
working (community health centers). This cross sectional study with quantitative and qualitative approaches aims to determine the relationship between Quality of Work Life (QWL) components with the midwives clinics performance in maternal health services. The study is implemented in 11 community health centers in working area Bintan Regency in February _ March
2013. Data are collected by using questionnaires with 67 respondents and
interview with 10 informants. Based on the study results, only 35.8% midwives clinics having performance scores above average, some community
health center having component QWL scores below average. There is a relationship between employee engagement (p value = 0.005) and sense of
pride to the institution (p value = 0.039) with midwives clinics performance
in maternal health services.
Keywords: Maternal mortality ratio, midwives, performance, quality of work
life
Pendahuluan
Upaya kesehatan ibu adalah upaya di bidang kesehatan yang bertujuan menjaga kesehatan ibu pada masa
kehamilan, bersalin, dan menyusui dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu.1 Berdasarkan
SDKI 2007, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, lebih rendah
dari sebelumnya, pada tahun 1991, sebesar 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2002 sebesar
307 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara, target
komitmen global MDGs, angka tersebut dapat turun
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015. Berdasarkan profil kesehatan, AKI Kabupaten
Bintan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2007, AKI di Kabupaten Bintan adalah 33 per
100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2008 melonjak
hingga 69,3 per 100.000 kelahiran hidup. Terakhir, pada
tahun 2011, AKI di Kabupaten Bintan diketahui mencapai 199,2 per 100.000 kelahiran hidup.2
Salah satu upaya pemerintah adalah mendekatkan
pelayanan kebidanan kepada masyarakat dengan memperluas jangkauan terutama di fasilitas kesehatan dasar,
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinAlamat Korespondensi: Dumilah Ayuningtyas, Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok
16424, Hp. 08161840446, e-mail: [email protected]
265
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014
nya.3 Tanpa sumber daya manusia yang baik, upaya
penurunan angka kematian ibu dan anak sulit tercapai.4
Bidan merupakan tenaga profesional dengan kinerja yang
sangat diharapkan memperkuat jajaran kesehatan di
garis depan dalam upaya penurunan angka kematian
ibu.5 Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas dan
fungsi, terutama dalam pemberian pelayanan kesehatan
pada ibu hamil, bersalin, dan nifas, bidan harus memenuhi standar yang dapat menjamin kualitas pelayanan
yang diberikan.6
Kinerja bidan, dalam upaya menurunkan AKI, secara
makro dapat dilihat melalui pencapaian indikator program yang meliputi cakupan K4, pertolongan persalinan
tenaga kesehatan (Linakes) dan kunjungan nifas ketiga
(KF3).7 Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bintan,
tahun 2010 dan 2011, dibandingkan dengan target
cakupan pelayanan kesehatan ibu di Kabupaten Bintan,
maka cakupan K4, persalinan oleh tenaga kesehatan dan
KF3 sudah mencapai target. Namun, pencapaian cakupan tersebut ternyata tidak merata di 12 puskesmas
dalam wilayah kerja Dinas Kabupaten Bintan. Ada kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan ibu antarpuskesmas di Kabupaten Bintan.
Hal tersebut diasumsikan berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas secara makro belum optimal dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu yang dipengaruhi
oleh organisasi puskesmas yang merupakan tempat bekerja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap
kinerja bidan puskesmas secara berkesinambungan agar
produktivitas kerja bidan puskesmas dapat meningkat
sesuai dengan yang diharapkan, serta menilai kualitas
lingkungan kerja organisasi puskesmas yang merupakan
tempat bekerja yang mungkin berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas.
Salah satu penilaian terhadap kinerja adalah membandingkan hasil kerja dan standar yang ada. Kegiatan
penilaian kinerja ditujukan untuk mengevaluasi hasil kerja individu sehingga dapat menjadi umpan balik bagi
bidan dalam memperbaiki dan meningkatkan penampilan kerja mereka. Menurut Pruijt, sumber daya manusia
merupakan faktor yang sangat berharga sehingga organisasi puskesmas yang menaungi bidan bertanggung
jawab memelihara kualitas lingkungan kerja dan membina bidan agar bersedia berkontribusi secara maksimal
untuk mencapai tujuan organisasi puskesmas.8 Selain
itu, sumber daya manusia yang handal dan profesional
dipengaruhi oleh suasana kerja yang baik. Kualitas
lingkungan kerja/quality of work life (QWL) yang baik
akan menciptakan sumber daya manusia produktif,
berkualitas, komitmen, dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan.9 Komponen kualitas lingkungan kerja meliputi
partisipasi pegawai, pengembangan karier, rasa bangga
terhadap institusi, kompensasi yang seimbang, rasa aman
terhadap pekerjaan, fasilitas yang didapat, keselamatan
266
kerja, penyelesaian masalah, dan komunikasi.10
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kinerja bidan
puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu, di Kabupaten
Bintan, tahun 2013. Secara khusus, untuk mengetahui
gambaran komponen quality of work life yang meliputi
keterlibatan pegawai, rasa bangga terhadap institusi, rasa
aman terhadap pekerjaan, keselamatan lingkungan kerja,
penyelesaian masalah dan komunikasi bidan puskesmas
di Kabupaten Bintan, tahun 2013. Selain itu, mengetahui
hubungan antara keterlibatan pegawai, rasa bangga terhadap institusi, rasa aman terhadap pekerjaan, keselamatan lingkungan kerja, penyelesaian masalah, dan komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu, di Kabupaten Bintan, tahun 2013.
Metode
Penelitian deskriptif analitik ini menggunakan metode
kuantitatif dengan desain studi potong lintang dan
metode kualitatif. Studi ini dilakukan di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan yang mencakup 11
puskesmas kecuali Puskesmas Tambelan. Sampel adalah
seluruh bidan puskesmas yang bertugas di unit pelayanan
kebidanan di puskesmas yang berstatus pegawai negeri
sipil maupun pegawai tidak tetap yang berjumlah 67
orang. Sementara itu, yang disertakan dalam penelitian
ini adalah kepala puskesmas yang berjumlah 10 orang.
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat
untuk melihat distribusi frekuensi kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu dan enam komponen
QWL. Analisis bivariat menggunakan uji korelasi dan regresi linier sederhana. Analisis data kualitatif untuk melengkapi hasil penelitian dan memudahkan pembahasan
terhadap analisis univariat dan bivariat.
Hasil
Skor kinerja pelayanan kesehatan ibu dan komponen
QWL yang didapat dari responden secara umum mempunyai range yang cukup besar (Tabel 1). Meski demikian, jika dilihat dari frekuensi, jumlah responden yang
mempunyai nilai di bawah rata-rata tidak jauh berbeda
dengan jumlah responden yang mempunyai nilai pada
rata-rata skor secara keseluruhan (Tabel 2).
Namun, skor yang didapat tersebut tidak dapat dijadikan indikator bahwa kinerja bidan puskesmas pada
setiap variabel tersebut baik. Dari studi kuantitatif
dengan instrumen kuesioner, diketahui bahwa masih ada
bidan puskesmas yang belum melaksanakan pelayanan
kesehatan ibu sesuai dengan standar. Hal tersebut terlihat
dari jawaban 60 responden (89,6%) yang menyatakan
bahwa tidak selalu menganjurkan pemeriksaan kehamilan secara berkala pada pasien atau ibu hamil yang berkunjung ke puskesmas dan sebanyak 21 orang (31,3%)
tidak bisa menilai secara tepat saat kala I dimulai.
Selain itu, responden mempunyai persepsi yang me-
Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan
Tabel 1. Distribusi Rata-Rata Skor Kinerja dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Komponen Quality of Work Life
Variabel
Mean
Median
Kinerja pelayanan kesehatan ibu bidan puskesmas
Keterlibatan karyawan
Rasa bangga terhadap institusi
Rasa aman terhadap pekerjaan
Keselamatan lingkungan kerja
Penyelesaian masalah
Komunikasi
13,65
24,88
15,85
11,89
11,40
14,88
15,98
14,00
25,00
16,00
12,00
11,00
15,00
16,00
SD
Minimum
1,692
3,462
2,313
1,478
1,661
2,525
1,973
7
15
10
8
8
6
11
Maksimum
95% CI
15
31
20
16
15
20
20
13,24 – 14,06
24,04 – 25,73
15,27 – 16,40
11,53 – 12,25
10,99 – 11,80
14,26 – 15,49
15,50 – 16,46
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Skor Kinerja dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Komponen Quality of
Work Life
Variabel Penelitian
Kategori
n
%
Kinerja pelayanan kesehatan ibu bidan puskesmas
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
24
43
36
31
38
29
44
23
33
34
23
44
35
32
35,8
64,2
53,7
46,3
56,7
43,3
65,7
34,3
49,3
50,7
34,3
65,7
52,2
47,8
Keterlibatan karyawan
Rasa bangga terhadap institusi
Rasa aman terhadap pekerjaan
Keselamatan lingkungan kerja
Penyelesaian masalah
Komunikasi
nunjukkan keterlibatan karyawan rendah. Hal tersebut
didapat dari jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju yang pada beberapa pernyataan berikut: “Saya selalu
dilibatkan dalam perencanaan dan penyusunan program
kegiatan puskesmas” (sejumlah 17 responden (25,4%)
“Saya dilibatkan dalam kegiatan di puskesmas baik
dalam kegiatan formal maupun informal” (sejumlah 14
responden (20,9%)).
Persepsi bidan puskesmas tentang keterlibatan
karyawan yang masih kurang juga didukung melalui hasil
wawancara dengan bidan puskesmas sehubungan keikutsertaan di puskesmas dalam penyusunan program.
“…tidak semua staf ya, biasanya hanya pemegang
program atau koordinator yang dipanggil dan dikumpulkan sama ibu kepala puskesmas…”
Demikian juga dalam hal pemberian bimbingan dan
arahan.
“…kalau program lama atau rutin tidak lagi, karena
sudah selalu dilakukan…”
“…kepala puskesmas mengumpulkan koordinator
atau pemegang program, jadi bukan dibimbing orang
perorang…”
Persepsi responden yang menunjukkan kurang rasa
bangga terhadap institusi melalui jawaban setuju dan
sangat setuju pada pernyataan “menjaga nama baik
puskesmas bukan merupakan kewajiban dan tanggung
jawab Saya” dari 11 responden (16,4%) serta menjawab
tidak setuju dan sangat setuju pada “Saya bangga dengan
prestasi puskesmas selama ini” dari 12 responden
(17,9%). Persepsi bidan puskesmas tentang rasa bangga
terhadap institusi yang masih kurang juga didukung
melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas
berhubungan pendapat terhadap prestasi puskesmas selama ini.
“…menurut saya, ya biasa saja, setahu saya prestasi
puskesmas selama ini tidak ada yang terlalu istimewa…”
Selain itu juga berhubungan dengan perasaan terhadap pekerjaan yang dijalani selama ini di puskesmas.
“…rasa jenuh ada, apalagi saya sudah 10 tahun di
puskesmas ini. tapi tetap dijalani saja…”
Selain itu, diketahui pula persepsi responden yang
menunjukkan kurang rasa aman terhadap pekerjaan. Hal
tersebut dapat dilihat dari jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju dari responden pada penyataan “pimpinan puskesmas sangat memperhatikan kesejahteraan
stafnya termasuk Saya” sebanyak 11 orang (16,4%), serta jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan
“Saya tidak mendapatkan kepastian jenjang karir di
tempat saya bekerja sekarang ini” dari sejumlah 30
orang (44,8%). Persepsi bidan puskesmas tentang rasa
aman terhadap pekerjaan yang masih kurang juga
didukung melalui hasil wawancara dengan bidan
puskesmas berhubungan jenjang karier.
267
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014
“…menurut Saya begini-begini saja, dalam hal naik
golongan pun Saya terhambat, sudah hampir 2 tahun
tidak jelas kenaikannya…”
“…perkembangan karir Saya sepertinya jalan ditempat…”
Sementara, sehubungan dengan keselamatan lingkungan kerja, sejumlah responden juga mempunyai persepsi yang kurang terhadap penyataan yang diajukan.
Responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak
setuju “sarana keselamatan dan kesehatan kerja yang
ada di tempat kerja Saya sudah sesuai dengan standar”
sebanyak 32 orang (47,8%) dan pada pernyataan
“puskesmas rutin melakukan pemantauan kondisi
sarana dan prasarana di tempat kerja Saya” sebanyak 19
orang (28,4%). Persepsi bidan puskesmas tentang keselamatan lingkungan kerja di puskesmas yang kurang
didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas.
“…sepertinya belum standar 100%, masih ada beberapa alat atau sarana yang kurang ataupun rusak…”
Masih ada jawaban responden yang menunjukkan
komponen penyelesaian masalah yang kurang meliputi
menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju pada
pernyataan “pimpinan puskesmas sering bertanya dan
membantu kesulitan atau masalah diluar pekerjaan” sebanyak 29 orang (43,3%). Persepsi bidan puskesmas
tentang penyelesaian masalah yang kurang juga didukung
melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas.
“…tentu tidak semua masalah staf dikeluhkan ke
ibu, apalagi kita disini banyak stafnya…”
“…kalau masalah program rutin dibicarakan melalui
koordinator, bukan perorangan…”
Ada sejumlah responden yang mempunyai persepsi
kurang baik terhadap komunikasi yang dapat dilihat dari
jawaban pada pernyataan tentang pertemuan rutin, sebanyak 12 responden (17,9%) menyatakan tidak setuju
bahkan sangat tidak setuju.
Uji korelasi dan regresi linier sederhana menemukan
komponen keterlibatan karyawan dengan kinerja bidan
puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan
hubungan sedang (r = 0,342) dan berpola positif. Itu berarti semakin bertambah nilai keterlibatan karyawan,
semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determi-
nasi 0,117 menunjukkan persamaan garis regresi hanya
dapat menerangkan 11,7% variasi keterlibatan karyawan. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang
signifikan antara keterlibatan karyawan dengan kinerja
bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai
p= 0,005). Rasa bangga terhadap institusi dan kinerja
bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan lemah (r = 0,252) dan berpola positif. Semakin bertambah nilai rasa bangga terhadap institusi, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,064 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh
hanya dapat menerangkan 6,4% variasi rasa bangga terhadap institusi. Hasil uji statistik menemukan hubungan
yang signifikan antara rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,039).
Tidak ada hubungan antara rasa aman terhadap
pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu (r = 0,008). Nilai koefisien dengan determinasi 0,000 artinya persamaan garis regresi
yang diperoleh tidak cukup baik menerangkan variasi
rasa aman terhadap pekerjaan. Dapat disimpulkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,946). Keselamatan
lingkungan kerja dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan lemah
(r = 0,206) dan berpola positif. Artinya, semakin bertambah nilai keselamatan lingkungan kerja, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan
ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,043 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 4,3% variasi keselamatan lingkungan kerja.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara keselamatan
lingkungan kerja dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,094).
Ada hubungan lemah (r = 0,203) penyelesaian masalah dengan kinerja bidan puskesmas dan berpola positif,
semakin bertambah nilai penyelesaian masalah maka semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi
0,041 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh
hanya dapat menerangkan 4,1% variasi penyelesaian
Tabel 3. Analisis Bivariat Komponen Quality of Work Life dan Kinerja Bidan Puskesmas dalam Pelayanan Kesehatan Ibu
Variabel
Keterlibatan karyawan (A)
Rasa bangga pada institusi (B)
Rasa aman pada pekerjaan (C)
Keselamatan lingkungan kerja (D)
Penyelesaian masalah (E)
Komunikasi (F)
268
r
R
Persamaan Garis
Nilai p
0,342
0,252
0,008
0,206
0,203
0,162
0,117
0,064
0,000
0,043
0,041
0,026
Kinerja bidan = 9,49 + 0,16*A
Kinerja bidan = 10,7 + 0,18*B
Kinerja bidan = 13,7 - 0,01*C
Kinerja bidan = 11,26 + 0,21*D
Kinerja bidan = 11,63 + 0,13*E
Kinerja bidan = 11,43 + 0,13*F
0,005
0,039
0,946
0,094
0,100
0,191
Hasil Uji Statistik
Berhubungan
Berhubungan
Tidak berhubungan
Tidak berhubungan
Tidak behubungan
Tidak berhubungan
Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan
masalah. Hasil uji statistik tidak memperlihatkan hubungan
yang signifikan antara penyelesaian masalah dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu
(nilai p = 0,100). Komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan
hubungan lemah (r = 0,162) dan berpola positif, berarti
semakin bertambah nilai komunikasi, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,026 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat
menerangkan 2,6% variasi komunikasi. Uji statistik
memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam
pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,191) (Tabel 3).
Pembahasan
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu, masih
banyak bidan puskesmas yang melakukan pelayanan
tidak sesuai standar pelayanan kebidanan. Hal ini menunjukkan pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu oleh
bidan puskesmas belum maksimal. Masih sedikit bidan
puskesmas yang pernah mengikuti pelatihan kebidanan
seperti asuhan persalinan normal (APN). Kinerja bidan
puskesmas yang masih kurang tersebut terjadi karena
bidan kurang terampil menerapkan standar pelayanan
dalam asuhan antenatal care dan pertolongan persalinan.
Hal tersebut seharusnya ditangani dengan baik oleh institusi puskesmas dan dinas kesehatan yang menaungi.
Penelitian Mulyono, 11 dkk yang menggunakan data
Survei Kesehatan Rumah Tangga tentang aktivitas bidan
di Indramayu, menemukan bidan tidak benar-benar
sibuk karena membantu persalinan, sekitar 70% bidan
yang membantu persalinan paling sering hanya satu kali
dalam sebulan. Meski ditambah dengan tugas administratif di puskesmas, pemimpin puskesmas atau penanggung jawab SDM di puskesmas dan dinas kesehatan dapat mengalokasikan waktu yang cukup bagi bidan untuk
mengikuti pelatihan.
Persepsi bidan puskesmas yang merasa keterlibatan
karyawan di puskesmas kurang disebabkan oleh merasa
tidak dilibatkan secara langsung. Sementara, harapan
kepala puskesmas, bidan koordinator seharusnya berkoordinasi dahulu dengan seluruh bidan puskesmas. Selain
itu, beberapa bidan puskesmas mempunyai persepsi
sebelum melakukan kegiatan rutin dan baru, kepala puskesmas wajib memberikan arahan terlebih dahulu. Sementara menurut kepala puskesmas, apabila kegiatan
rutin, maka staf sudah mengetahui sehingga tidak perlu
diberikan arahan dan bimbingan secara khusus.
Keterlibatan karyawan berhubungan signifikan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Sesuai dengan teori Cascio, ada hubungan
yang kuat antara usaha perusahaan untuk memperbaiki
kualitas lingkungan kerja melalui peningkatan keterli-
batan karyawan.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Hendrawati,12 bahwa komponen keterlibatan
karyawan berhubungan bermakna dengan kinerja pegawai. Penelitian lain menyatakan tidak terdapat hubungan antara keterlibatan karyawan dengan kinerja perawat.13,14 Pada umumnya, persepsi rasa bangga terhadap institusi bidan puskesmas kurang. Ada hubungan
yang bermakna antara rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian lain yang membuktikan hubungan yang signifikan antara komponen rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas.15 Hasil
yang berbeda juga ditemukan Hendrawati, 12 dan
Mochtar,16 yang tidak menemukan hubungan rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja pegawai. Dalam suatu organisasi, perlu dibina dan dikembangkan perasaan
bangga karyawan terhadap organisasi tempat bekerja untuk mendorong kepuasan kerja dan motivasi karyawan.17
Dengan motivasi, seseorang berusaha menyempurnakan
dan meningkatkan proses dan hasil kerja yang telah dilakukan untuk menjadi lebih baik.18
Faktor penyebab kinerja bidan yang rendah antara
lain kurang pembinaan, ada empat variabel yang secara
statistik berhubungan bermakna (nilai p < 0,05) meliputi
variabel motivasi, pengetahuan,pembinaan, dan pemberi
layanan kebidanan lain.19 Selain itu, bidan yang melaksanakan program ASI eksklusif juga menghasilkan kesimpulan yang sama, ada hubungan antara motivasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelaksanaan program ASI Eksklusif.20 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kinerja
karyawan atau tenaga kesehatan.
Sebagian besar bidan puskesmas mempunyai persepsi baik terhadap rasa aman terhadap pekerjaan, banyak
responden yang merasakan ketenangan dan kenyamanan
menyelesaikan setiap pekerjaan. Sementara, uji statistik
tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan antara
rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan
puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Hal tersebut
bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang justru
memperlihatkan hubungan antara rasa aman terhadap
pekerjaan dengan kualitas lingkungan kerja.14 Penelitian
lain juga tidak menemukan hubungan yang signifikan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan
puskesmas dalam penatalaksanaan antenatal care
(ANC).15
Beberapa responden menyatakan pimpinan puskesmas tidak pernah memikirkan kondisi kesehatan staf
serta menyatakan sarana keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di tempat kerja belum sesuai dengan standar.
Beberapa bidan menyatakan, kondisi sarana dan prasarana kebidanan di puskesmas masih kurang dari standar. Misalnya ukuran ruang tempat pertolongan persalinan yang masih sempit sehingga tidak nyaman bagi pasien
269
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014
dan bidan yang menolong. Jumlah dan kondisi peralatan
kebidanan seperti partus set, tensimeter yang di beberapa puskesmas kurang memadai. Selain itu, pelaksanaan
pemantauan sarana dan prasarana yang tidak rutin oleh
puskesmas dan dinas kesehatan.
Komponen keselamatan lingkungan kerja tidak berhubungan bermakna dengan kinerja bidan puskesmas
dalam pelayanan kesehatan ibu juga ditemukan oleh penelitian yang lain.13 Tujuan utama kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja adalah agar karyawan merasa
tenang bekerja dan dapat bekerja semaksimal mungkin
sehingga mencapai produktivitas kerja yang setinggitingginya.21 Oleh sebab itu, di lingkungan perusahaan/
organisasi perlu selalu dijaga keberlangsungan kesehatan
dan keselamatan lingkungan kerja sehingga tidak mengganggu karyawan melaksanakan pekerjaan.9
Rata-rata ruangan tempat bekerja bidan puskesmas
belum memenuhi standar kesehatan dan keselamatan
kerja. Namun, semua staf selalu berupaya untuk bekerja
efektif dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana.
Hal serupa juga diungkapkan kepala puskesmas, bahwa
sangat sulit untuk memenuhi kondisi puskesmas yang
benar-benar sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan kerja, karena keterbatasan pengadaan sarana
dan prasarana. Namun, pihak puskesmas selalu berupaya
memanfaatkan secara efisien sehingga tidak mengganggu
kegiatan pelayanan di puskesmas.
Tentang penyelesaian masalah adalah banyak responden yang berpersepsi kurang. Beberapa bidan puskesmas menyatakan pimpinan puskesmas jarang bertanya dan membantu kesulitan atau masalah di luar
pekerjaan. Selain itu, bidan puskesmas juga menyatakan
apabila ada permasalahan yang menyangkut pelaksanaan
program, tidak dibicarakan dalam pertemuan di puskesmas. Ini menunjukkan komponen penyelesaian masalah masih belum berlangsung dengan baik di puskesmas.
Padahal, supervisi berperan pada kepatuhan karyawan
dalam menjalankan fungsi sesuai prosedur yang berlaku.
Penelitian yang dilakukan oleh Guspianto,22 menyimpulkan faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan
bidan di desa terhadap standar ANC adalah supervisi,
pengetahuan, dan komitmen organisasi. Supervisi merupakan faktor yang paling dominan dan faktor pengetahuan merupakan perancu hubungan faktor supervisi
dan komitmen organisasi dengan tingkat kepatuhan terhadap standar ANC.
Komponen penyelesaian masalah tidak berhubungan
bermakna dengan kinerja bidan puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang lain.16 Namun
berbeda dengan penelitian yang Mochtar,16 yang menemukan hubungan antara penyelesaian masalah dengan
kinerja perawat. Komponen penyelesaian masalah berpengaruh mendukung kualitas lingkungan kerja. 10
Seharusnya setiap karyawan perlu mendapat kesempatan
270
penyelesaian masalah berhubungan pekerjaan secara terbuka, jujur, dan adil yang sangat berpengaruh terhadap
loyalitas/dedikasi serta motivasi kerja.11
Tidak semua keluhan staf dapat didengarkan oleh
kepala puskesmas, mengingat jumlah staf yang sangat
banyak. Sementara, kepala puskesmas menyatakan senantiasa mau menerima keluhan dan membantu staf yang
mengalami masalah, serta berupaya mencarikan jalan
keluar secara bersama. Manajemen organisasi perlu mengelola konflik agar tidak sampai menimbulkan dampak
negatif bagi semua pihak di dalam dan di luar organisasi.
Konflik justru tetap diperlukan asal tetap terkendali sehingga dapat menjadi sumber motivasi bagi semua
karyawan.23
Sebagian besar bidan menyatakan informasi kesehatan kepada masyarakat sudah berjalan baik sehingga
menimbulkan rasa puas dan motivasi yang positif bagi
bidan puskesmas dalam melaksanakan pekerjaan. Selain
itu, hubungan komunikasi antara bidan dengan rekan
kerja di puskesmas selalu berjalan baik. Ini menunjukkan
keberlangsungan proses komunikasi di puskesmas sudah
cukup baik. Uji statistik memperlihatkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara komponen komunikasi
dengan kinerja bidan puskesmas yang membuktikan
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas.14,15 Penelitian
lain menemukan hasil berbeda, ada hubungan yang bermakna antara komunikasi dengan kinerja. Dalam suatu
organisasi peran komunikasi sangat penting, dengan komunikasi yang baik maka kegiatan di organisasi akan
berlangsung baik.12,13
Kesimpulan
Sebagian besar bidan puskesmas mempunyai skor
kinerja pelayanan kesehatan ibu di bawah rata-rata.
Kinerja bidan puskesmas yang kurang terlihat dari komponen teknis/prosedural seperti tidak selalu menggunakan kohort ibu untuk pencatatan ibu hamil, bersalin,
dan nifas, tidak selalu melakukan pemeriksaan abdominal pada setiap ibu hamil, tidak selalu melakukan
tindakan pencegahan infeksi sebelum melaksanakan pertolongan persalinan, tidak mampu menilai secara tepat
mulainya waktu persalinan kala 1, tidak selalu menggunakan standar asuhan persalinan normal dalam
melakukan pertolongan persalinan dan tidak rutin menggunakan partograf dalam memantau kemajuan persalinan. Selain itu, ada kekurangan yang lain meliputi kinerja manajerial, kebanggaan institusi dan motivasi,keselamatan lingkungan kerja, perhatian pimpinan terhadap
kesulitan yang dihadapi staf dalam pekerjaan, dan kemampuan berkomunikasi. Namun, dari komponen quality of work life yang diteliti, komponen keterlibatan
karyawan dan rasa bangga terhadap institusi berhubungan yang signifikan dengan kinerja bidan puskesmas
Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan
dalam pelayanan kesehatan ibu.
Desember 2008; 11 (4): 179-84.
10. Cascio WF. Managing human resources, productivity, quality of work
Saran
Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan menegaskan kebijakan dalam evaluasi kinerja bidan puskesmas secara
rutin, merencanakan dan menganggarkan pelatihan bagi
bidan puskesmas. Mengupayakan kelengkapan sarana
dan prasarana di puskesmas yang memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja, serta membuat kebijakan
perihal pengembangan karier bagi bidan puskesmas. Bagi
puskesmas, selain melakukan evaluasi terhadap kinerja
bidan puskesmas di wilayah kerja, juga perlu meningkatkan peran bidan puskesmas dalam proses pengambilan keputusan, menjalankan memberikan bimbingan dan
pengarahan secara berkelanjutan, serta memperbaiki pola komunikasi antara pihak puskesmas dengan bidan, sehingga dapat meningkatkan rasa memiliki dan meningkatkan kinerja bidan puskesmas tersebut.
life, profits. New York: Mc Graw-Hill; 2013.
11. Mulyono N, Sudibyo S, Qomariah, Riyasa IK, Riyanto M. Sikap dan aktivitas bidan di desa membina dukun bayi dalam menolong persalinan
dan merawat bayi. Jurnal Kedokteran YARSI. 2005; 13 (1): 40-9.
12. Hendrawati, H. Kualitas kehidupan kerja/quality of work life dan
hubungannya dengan kinerja pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Tahun 2011 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2011.
13. Kuanto A. Hubungan komponen quality of work life dengan kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok tahun
2010 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2010.
14. Rosidah D. Hubungan kualitas kehidupan kerja (quality of work life)
dengan kinerja bidan puskesmas dalam penatalaksanaan pertolongan
persalinan di Kabupaten Bogor Tahun 2012 [Skripsi]. Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;
2012.
Daftar Pustaka
15. Suherman. Hubungan komponen quality of work life terhadap penata-
1. Syafrudin dan Hamidah. Kebidanan komunitas. Jakarta: EGC; 2009.
laksanaan antenatal care bidan puskesmas di Kota Tasikmalaya tahun
2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Peta jalan percepatan pen-
2007 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
capaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia. Jakarta: Bappenas;
2010.
3. Ambarwati, Rismintari. Asuhan kebidanan komunitas plus contoh
Askeb. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009.
4. Trisnantoro L. Tenaga kerja kesehatan dalam usaha penurunan MDG4
dan MDG5: sebuah potret dan harapan aksi segera. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan. 2011; 14 (02): 61-2.
Masyarakat Universitas Indonesia; 2007.
16. Mochtar H. Hubungan komponen quality of work life dengan kinerja
bidan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSPAD Gatot Subroto
Jakarta tahun 2011 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2011.
17. Handoko TH. Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Edisi
ke-2. Yogyakarta: BPFE; 2008.
5. Ma’ruf, Siswanto. Pengaruh motivasi terhadap peningkatan kompeten-
18. Triguna. Budaya kerja (falsafah, tantangan, lingkungan yang kondusif
si bidan desa di Kabupaten Malang. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
kualitas dan pemecahan masalah). Jakarta: PT. Golden Trayon Press;
[serial on internet]. Januari 2010 [cited 2013 Jun 5]: 13 (1): 77–82.
Diunduh dari: ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/.../1517.
6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
7. Ilyas, Y. Teori, penilaian dan penelitian. Depok: Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKM UI; 2002.
8. Husnawati A. Analisis pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai intervening Variabel [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro; 2006.
2005.
19. Husna A, Besral. Kinerja bidan desa dalam program JPKMM. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009; 4 (1): 18-23.
20. Fithananti N. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan
puskesmas dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 2 (1).
21. Notoatmodjo S. Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: Rineka
Cipta; 2009.
22. Guspianto. Determinan kepatihan bidan di desa terhadap standar antenatal care. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012; 7 (2).
9. Ayuningtyas D, Suherman, Riastuti KW. Hubungan kinerja bidan dalam
23. Umar H. Desain penelitian MSDM dan perilaku karyawan paradigma
penatalaksanaan antenatal care dengan quality work life di Kota
positivistik dan berbasis pemecahan masalah. Jakarta: Rajawali Pers;
Tasikmalaya tahun 2007. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
2008.
271
Artikel Penelitian
dan
letin
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Kematian Neonatal
ey of
uca-
542-
Unit-
rs in
macy.
Maternal Health Care and Neonatal Mortality
pital
0(2):
(me-
Desy Fitri Yani* Artha Budi Susila Duarsa**
stem
pital
6(5):
onal
ents,
onal
self-
Hong
per-
*Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur, **Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Abstrak
Indonesia bersama seluruh negara berkembang berupaya mencapai kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) dengan salah satu
sasaran menurunkan angka kematian neonatal dari 20 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pelayanan kesehatan ibu dengan kematian neonatal di
Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. Penelitian dengan desain studi
kasus kontrol ini mengamati kasus ibu yang mengalami kematian neonatal
dan kontrol ibu yang tidak mengalami kematian neonatal. Analisis multivariat menemukan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan
berhubungan secara signifikan dengan kematian neonatal, setelah mengendalikan variabel umur ibu dan riwayat kehamilan (OR = 16,32; nilai p
= 0,000); dan (OR = 18,36; nilai p = 0,31). Bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko mengalami kematian
neonatal 16,32 dan 18,36 kali lebih besar daripada bayi yang dilahirkan. Ibu
dengan pelayanan antenatal lengkap dan penolong persalinan profesional.
Tidak ada hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal, setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan,
riwayat penyakit, dan riwayat persalinan. Disarankan meningkatkan kualitas pelayanan antenatal dengan memerhatikan faktor umur ibu dan riwayat
persalinan, mengembangkan kegiatan audit maternal perinatal serta
meningkatkan keterampilan petugas penolong persalinan.
Kata kunci: Ibu hamil, kematian neonatal, pelayanan kesehatan
Abstract
All developing countries including Indonesia seek to reach agreement the
Millennium Development Goals (MDG’s). It is objectives include reducing
neonatal mortality by 25 percent from 20 per 1,000 live birth to 15 per 1,000
live births. This study aimed to determine the relationship of maternal health
services with neonatal mortality in East Lampung District in 2011. This study
used case control design to compare between the groups of mother whom
have neonatal deaths (cases) and neonatal life (control) in East Lampung
District in 2011. The result on antenatal care variables found that antenatal
care and birth attendant had significant correlation with neonatal death,
after controlling age and pregnancy history variable (p value = 0.000, OR =
16.32; p value = 0.31, OR = 18.36). The babies from mothers who did not
get completed prenatal care risk of 16.32 times have neonatal death than
babies born from mothers who received completed maternal care. There
was no association between neonatal mortality and birth attendant, after
controling variables of antenatal care, maternal age, pregnancy history,
medical history and chilbirth history. Based on this study, it is suggested to
increase activity of maternal perinatal audit, improve the quality of antenatal
care, maternal delivery, and develop other support activities to prevent
neonatal mortality in East Lampung District.
Keywords: Pregnant mothers, neonatal mortality, health care
Pendahuluan
Indonesia bersama semua negara berkembang berupaya mencapai kesepakatan Millenium Development
Goals (MDGs) dengan salah satu sasaran adalah menurunkan angka kematian neonatal sekitar 25% dari 20
per 1.000 kelahiran hidup menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Target keempat MDGs adalah menurunkan
angka kematian balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam
kurun waktu 1990 _ 2015. Indikator yang digunakan antara lain angka kematian balita, angka kematian bayi
(AKB), angka kematian neonatal masing-masing per
1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia, pada tahun 2007,
angka kematian balita 44 per 1.000 kelahiran hidup,
angka kematian bayi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka
Alamat Korespondensi: Desy Fitri Yani, Dinas Kesehatan Lampung Timur, Jl.
Buay Subing, Komplek Perkantoran Pemda, Sukadana Lampung Timur 34194,
Hp. 081279061616, e-mail: [email protected]
373
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013
kematian neonatal 19 per 1.000 kelahiran hidup, ditargetkan pada tahun 2015 turun menjadi 15 per 1.000
kelahiran hidup, 32 per 1.000 kelahiran hidup, 23 per
1.000 kelahiran hidup.1
Dinas Kesehatan Lampung Timur melaporkan pada
tahun 2011, dari 21.454 bayi lahir hidup terdapat 120
kasus kematian bayi dan 114 kasus di antaranya adalah
kematian neonatal (95%). Penyebab kematian neonatal
adalah berat badan lahir rendah (55%), asfiksia (22%),
tetanus neonatorum (0,8%), dan penyebab lain-lain
(16%). Pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil terlihat pada cakupan kunjungan kesehatan ibu dan anak di
Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 meliputi
kunjungan ibu hamil K1 sekitar 91,3% dari target program 100%, cakupan K4 ibu hamil 88% dengan target
90%, dan cakupan persalinan tenaga kesehatan sekitar
90,9% dari target program 85%.2
Pelayanan kesehatan ibu hamil bertujuan mengawasi
dan menangani ibu hamil dan ibu bersalin, asuhan dan
pemeriksaan ibu sesudah persalinan, asuhan neonatus,
pemeliharaan dan pemberian laktasi. 3 Penelitian sebelumnya menyatakan hubungan yang bermakna antara
pelayanan antenatal dengan kematian neonatal, tetapi
ada juga penelitian yang menemukan penolong persalinan tidak berhubungan dengan kematian neonatal.
Dengan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil yang
baik, tetapi kasus kematian neonatal masih menjadi
masalah. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan
pelayanan kesehatan ibu hamil dengan kematian neonatal
di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Kelompok kasus adalah ibu dengan kematian neonatal dan kontrol adalah kelompok ibu yang tidak mengalami kematian neonatal. Variabel counfounding meliputi
umur ibu, paritas, jarak antarkelahiran, riwayat penyakit,
riwayat kehamilan, dan riwayat persalinan. Populasi
penelitian adalah seluruh ibu yang melahirkan bayi lahir
hidup di Kabupaten Lampung Timur periode Januari
sampai Desember 2011 yang berjumlah 21.454 orang.
Sampel kasus adalah ibu yang bayinya lahir hidup dan
mengalami kematian neonatal pada periode Januari
sampai Desember 2011. Kontrol adalah ibu dengan bayi
lahir hidup dan tidak mengalami kematian pada periode
neonatal dari bulan Januari sampai dengan Desember
2011. Pemilihan kontrol disesuaikan dengan bulan kejadian kasus dengan waktu kelahiran yang paling berdekatan. Kontrol berada dalam satu wilayah puskesmas
yang sama dengan kejadian kasus. Perbandingan kasus
dan kontrol adalah 1 : 1. Sampel pada penelitian ini
adalah seluruh kasus kematian neonatal di Kabupaten
Lampung Timur tahun 2011 yang berjumlah 114 ibu dan
kontrol 114 ibu dengan jumlah keseluruhan 228 ibu.
374
Variabel dependen adalah kematian neonatal dan
variabel independen adalah pelayanan antenatal dan
penolong persalinan. Variabel yang dipilih sebagai variabel confounding adalah umur ibu, paritas, jarak antarkelahiran, riwayat penyakit ibu, riwayat persalinan dan riwayat kehamilan ibu. Pada variabel pelayanan antenatal
yang menjadi faktor pengganggu adalah, umur ibu, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit, riwayat persalinan,
dan riwayat kehamilan. Pada variabel penolong persalinan yang menjadi faktor pengganggu adalah umur ibu,
paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit, riwayat persalinan, dan riwayat kehamilan. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan acuan kuesioner, yang dilaksanakan oleh bidan koordinator Unit
kesehatan ibu dan anak puskesmas pada bulan Mei tahun
2012. Data sekunder diambil dari laporan audit kematian
maternal perinatal Dinas Kabupaten Lampung Timur
tahun 2011 dan buku kesehatan ibu dan anak responden.
Analisis bivariat dilakukan dengan kai kuadrat dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik, model estimasi, dan hubungan variabel pelayanan antenatal dengan
kematian neonatal dapat terlihat setelah mengendalikan
variabel pengganggu.
Hasil
Penelitian ini menemukan sekitar 34% responden
mendapat pelayanan antenatal yang tidak lengkap, dan
11% dengan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan. Responden mempunyai satu anak dan lebih dari empat anak sekitar 60%. Responden yang mempunyai riwayat penyakit dan masuk dalam kelompok risiko sekitar
7%. Responden yang mempunyai riwayat persalinan dengan komplikasi sekitar 4% dan yang mempunyai riwayat kehamilan berisiko sekitar 19%.
Distribusi hasil bivariat kelompok kasus dan kontrol
memperlihatkan beberapa variabel terdistribusi secara
berbeda sehingga berpotensi berhubungan dengan kematian neonatal. Variabel tersebut antara lain meliputi
pelayan-an antenatal, pertolongan persalinan, umur ibu,
riwayat penyakit dan riwayat persalinan, sedangkan paritas dan jarak kelahiran tidak ditemukan hubungan dengan kematian neonatal (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Variabel Independen pada Kelompok Kasus dan Kontrol
Variabel
Pelayanan antenatal
Pertolongan persalinan
Umur ibu
Paritas
Jarak kelahiran
Riwayat penyakit
Riwayat persalinan
Riwayat kehamilan
Kasus (%)
55,3
16,7
39,5
63,2
78,9
11,4
6,1
29,8
Kontrol (%)
Nilai p
OR
12,3
5,3
9,6
57,0
80,7
2,6
0,9
8,8
0,00
0,00
0,00
0,34
0,74
0,01
0,03
0,00
8,82
3,60
6,10
1,29
0,89
4,76
7,39
4,42
dan
dan
riatarn riatal
arinan,
linbu,
perpulueUnit
hun
tian
mur
den.
alistigan
kan
den
dan
hatemwaitar
dewa-
trol
ara
keputi
bu,
pade-
rol
Yani & Duarsa, Hubungan Pelayanan Kesehatan Ibu dengan Kematian Neonatal
Tabel 2. Hubungan Pelayanan Antenatal dengan Kematian Neonatal
Variabel Independen
Nilai p
Pelayanan antenatal
Umur ibu
Riwayat kehamilan
0,00
0,00
0,00
OR
IK 95%
16,32
11,28
8,02
7,30 - 36,45
4,69 - 27,11
3,16 - 20,36
Tabel 3. Hubungan Pertolongan Persalinan dengan Kematian Neonatal
Variabel Independen
Nilai p
Pertolongan persalinan
Pelayanan antenatal
Umur ibu
Riwayat kehamilan
Riwayat penyakit
Riwayat persalinan
0,31
0,00
0,00
0,00
0,08
0,05
OR
18,36
14,75
11,42
6,02
3,83
11,14
IK 95%
0,56 - 5,92
6,57 - 33,10
4,69 - 27,80
2,26 - 16,03
0,85 - 17,28
0,97 - 127,74
Berdasarkan hasil bivariat, variabel yang memenuhi
kriteria kandidat model multivariat (nilai p ≤ 0,25)
adalah pelayanan antenatal, pertolongan persalinan,
umur ibu, riwayat penyakit, riwayat persalinan dan riwayat kehamilan. Setelah melakukan tahapan pemodelan
identifikasi variabel adalah kovariat multivariat, pemodelan lengkap, eliminasi interaksi, penetapan model
baku (gold standard), dan penetuan model akhir.
Model hubungan pelayanan antenatal dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011
memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal setelah
mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan.
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko 16,32 kali lebih
besar untuk mengalami kematian neonatal daripada bayi
dari ibu dengan pelayanan antenatal lengkap, dengan
interval 7,30 sampai 36,45 kali (Tabel 2).
Berdasarkan model akhir hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal diketahui tidak ada
hubungan pertolongan persalinan dengan kematian
neonatal di Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011
setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal, umur
ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat
persalinan (Tabel 3).
Pembahasan
Kelemahan pada rancangan kasus kontrol adalah
recall bias karena kemampuan responden mengingat kejadian yang telah berlalu sangat terbatas. Upaya yang dilakukan adalah mencari responden yang telah melahirkan dalam waktu satu tahun terakhir dan membuat pertanyaan yang mudah dimengerti responden.
Mayoritas responden kelompok kasus mendapatkan
pelayanan antenatal yang tidak lengkap, sebaliknya mayoritas kelompok kontrol mendapat pelayanan antenatal
lengkap. Penelitian sebelumnya, bayi dari ibu yang pe-
meriksaan antenatal yang tidak lengkap mempunyai odds
ratio (OR) untuk mati pada periode natal sekitar 2,70
kali 95% confidence intervals (CI) = 1,53 – 4,78 dan
nilai p < 0,001, dibandingkan dengan bayi dari ibu yang
melakukan pemeriksaan antenatal dengan baik. 4 Ada
pengaruh pelayanan pelayanan antenatal pada ibu
dengan kematian neonatal.5
Analisis multivariat model akhir hubungan pelayanan
antenatal dengan kematian neonatal di Kabupaten
Lampung Timur tahun 2011 menemukan hubungan antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal, setelah mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan.
Variabel umur ibu dan riwayat kehamilan merupakan
confounding pada variabel utama pelayanan antenatal.
Selain pelayanan antenatal yang merupakan variabel utama, umur ibu, dan riwayat kehamilan juga mempengaruhi kejadian kematian neonatal. Nilai OR = 16,32
menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan dari Ibu yang
mendapatkan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko
16,32 kali mengalami kematian neonatal dibandingkan
dengan bayi dari Ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal lengkap dengan 95% CI OR = 7,30 _ 36,45 kali.
Tidak ada perubahan signifikan nilai p pada hasil
analisis bivariat dibandingkan dengan hasil uji multivariat, tetapi terjadi perubahan pada nilai OR dari 8,82
menjadi 16,32. Semakin banyak ibu yang mendapatkan
pelayanan antenatal yang tidak lengkap, semakin besar
risiko terjadinya kematian neonatal. Pelayanan antenatal
berhubungan lebih erat dengan kematian neonatal
setelah mengontrol variabel lain umur ibu dan riwayat
kehamilan dan lebih meningkat risiko kematian neonatal. Pelayanan antenatal yang tidak lengkap pada ibu
berhubungan sangat erat dengan kematian neonatal,
tidak membedakan ibu dari kelompok umur berisiko atau
tidak dan mempunyai riwayat kehamilan berisiko atau
tidak, mempunyai riwayat kehamilan yang bermasalah
atau tidak.
Penelitian sebelumnya, menemukan hubungan bermakna antara kunjungan pelayanan antenatal dengan kematian perinatal (nilai p = 0,0000), nilai OR = 9,9. Ibu
dengan kunjungan pelayanan antenatal yang tidak
lengkap (K1 dan K4 < 4) berisiko 9,9 kali lebih besar
mengalami kematian perinatal dibandingkan dengan ibu
yang melakukan kunjungan pelayanan antenatal
lengkap.5 Bayi yang dilahirkan dari ibu yang pelayanan
antenatal tidak adekuat berisiko mengalami kematian
perinatal 2,6 kali dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan pelayanan antenatal yang adekuat. Semakin baik pelayanan antenatal semakin tinggi
perlindungan yang diberikan terhadap ancaman kematian janin.6
Tujuan pemeriksaan ibu hamil adalah menyiapkan
fisik dan mental ibu dan anak dalam kehamilan seoptimal mungkin, persalinan dan nifas sehingga didapat375
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013
kan anak dan ibu yang sehat. Pemeriksaan kehamilan
juga mempunyai tujuan khusus mengenali dan menangani penyulit yang dijumpai pada kehamilan,
persalinan, dan nifas, mengenali dan mengobati
penyakit, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.7 Perbaikan angka kematian neonatal dapat dicapai dengan pemberian pengawasan antenatal untuk semua wanita hamil dan dengan menemukan serta memperbaiki berbagai faktor yang
memengaruhi keselamatan janin dan neonatus.8
Ada hubungan yang signifikan antara pertolongan
persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan ibu yang mendapat pertolongan persalinan
bukan dengan tenaga kesehatan berisiko 3,6 kali untuk
mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan bayi
yang mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga
kesehatan. Penelitian sebelumnya menemukan hubungan
yang bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Ada hubungan bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang
dilahirkan dari ibu yang ditolong oleh dukun berisiko kematian neonatal 6,07 kali lebih besar dibanding bayi
yang lahir ditolong oleh tenaga kesehatan.9 Ibu yang persalinannya ditolong oleh nontenaga kesehatan, berisiko
mengalami eklampsi 3,7 kali, dan berisiko mengalami
partus lama 2,77 kali sehingga meningkatkan risiko kematian pada periode neonatal.10
Hasil analisis multivariat model akhir hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal, setelah
mengendalikan variabel pelayanan antenatal, umur ibu,
riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat
persalinan, tidak menemukan hubungan yang bermakna
antara pertolongan persalinan dengan kematian neonatal
di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. Hasil ini
berbeda dengan hasil bivariat yang menyatakan hubungan yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan
kematian neonatal. Setelah dilakukan uji multivariat, dengan mengontrol variabel yang berpengaruh lainnya,
hasilnya menjadi tidak berhubungan. Sesuai dengan
penelitian sebelumnya, tidak ada hubungan antara pertolongan persalinan dengan kematian perinatal. 11
Variabel penolong persalinan pada uji bivariat berhubungan dengan kematian neonatal, tetapi setelah dipengaruhi faktor lain pada uji multivariat terjadi perubahan nilai p, faktor pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan juga berpengaruh terhadap kematian neonatal. Untuk
mengurangi risiko kematian neonatal dini diperlukan
penanganan sejak masa hamil berupa pelayanan antenatal.12
Kematian neonatal tidak hanya disebabkan oleh
pertolongan persalinan sesuai dengan teori tetapi lebih
disebabkan oleh kunjungan pelayanan antenatal yang
dilakukan ibu selama kehamilan. Selain itu, faktor lain
376
yang berpengaruh adalah umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan. Berdasarkan tren kematian neonatal tahun 1995 – 2007,
penyebab kematian neonatal adalah gangguan pernapasan ketika lahir, prematur dan berat badan lahir
rendah yang dipengaruhi oleh faktor riwayat kehamilan ibu, riwayat penyakit dan riwayat komplikasi persalinan.13 Kematian neonatal di fasilitas pelayanan kesehatan, menjadi bahan pertimbangan untuk mencari
pemecahan masalah agar dapat dikurangi.
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan hubungan antara
pelayanan antenatal dengan kematian neonatal di
Kabupaten Lampung Timur tahun 2011, setelah mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan. Bayi
yang dilahirkan dari ibu yang mendapatkan pelayanan
antenatal tidak lengkap berisiko 16,32 kali mengalami
kematian neonatal dibanding dengan bayi yang dilahirkan dari Ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal lengkap, dengan interval antara 7,30 sampai 36,45
kali. Tidak ada hubungan pertolongan persalinan dengan
kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun
2011 setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal,
umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan.
Saran
Pelayanan antenatal perlu mendapat prioritas
utama dalam peningkatan kualitas bersama faktor
umur ibu dan riwayat persalinan. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain penjaringan ibu hamil
dengan faktor risiko umur dan riwayat persalinan, memantau ibu hamil menggunakan buku kohort ibu,
memberdayakan ibu, memanfaatkan buku KIA sebagai alat dokumentasi pencatat riwayat kesehatan
dan sebagai bahan pelajaran karena berisi pengetahuan kehamilan yang penting sehingga dapat mengurangi risiko kematian neonatal dan memberikan
penyuluhan tentang usia reproduksi sehat. Dinas kesehatan Kabupaten Lampung Timur perlu mengembangkan kegiatan audit maternal perinatal di sebagai sarana pembelajaran para bidan pelaksana
pelayanan untuk mengetahui faktor risiko kematian
neonatal. Meningkatkan keterampilan penolong persalinan (APN) dan penanganan kegawat daruratan
obstetri neonatal (PDGON) mengingat kematian
neonatal masih terjadi di fasilitas kesehatan.
Meningkatkan pelayanan kualitas dan kuantitas antenatal dengan lebih banyak memberikan informasi
kepada ibu hamil tentang pelayanan antenatal melalui
penyuluhan di posyandu atau kelas ibu hamil dan
melakukan kunjungan rumah ibu hamil yang hilang
dari kunjungan.
miler07,
erhir
milerkeari
ara
di
meayi
nan
ami
dina,45
gan
hun
tal,
ri-
Yani & Duarsa, Hubungan Pelayanan Kesehatan Ibu dengan Kematian Neonatal
Daftar Pustaka
1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Laporan perkembang-
7. Mochtar R. Sinopsis obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran; 1998.
an pencapaian Millenium Development Goals Indonesia. Jakarta: Badan
8. Wiknjosatro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
2. Dinas Kesehatan Lampung Timur. Evaluasi program kesehatan keluar-
9. Prabamurti NP. Analisis faktor risiko status kematian neonatal (studi
Perencanaan dan Pembangunan Nasional; 2010.
ga. Lampung: Dinas Kesehatan Lampung; 2007.
3. Manuaba IG. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana
untuk pendidikan bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2010.
4. Ronoatmojo S. Faktor risiko kematian neonatal di Kecamatan keruak, NTB
1992 – 1993 [disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 1996.
5. Sriwahyuni. Hubungan faktor ibu dan pelayanan kesehatan dengan ke-
Prawirohardjo; 2002.
kasus kontrol di Kecamatan Losari kabupaten Brebes tahun 2006).
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2008; 3 (1): 1-9.
10. Astuti DW. Hubungan penyebab kematian neonatal menurut umur ibu
saat melahirkan, penolong persalinan dan GPOA di Indonesia.
Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sistem dan
Kebijakan; 2009.
matian neonatal di Kabupaten Pidie tahun 2008 [tesis]. Medan:
11. Mahmudah U, Hary CW, Wahyuningsih A. Analisis faktor ibu dan bayi
6. Ning S. Kematian perinatal hubungannya dengan praktek kesehatan ibu
Kesehatan Masyarakat. 2011; 7 (1); 46-56 [diakses tanggal 5 November
Universitas sumatra Utara; 2009.
selama kehamilan di Kota Bekasi. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi
Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2001.
yang berhubungan dengan kejadian kematian perinatal. Kesmas Jurnal
2012]. Diunduh dalam: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/1792/1983.
tas
tor
ang
mil
mebu,
setan
geenkan
kemeseana
ian
ertan
ian
an.
nteasi
alui
dan
ang
377
PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN UNTUK PELAYANAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA:
MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL BUDAYA DALAM PERSALINAN
AMAN
(Utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal) for Maternal and
Child Health Services in 12 Districts/Cities: Eliminate the Socio-cultural
Obstacle on Safe Delivery)
Lestari Handayani, Suharmiati, Aan Kurniawan, Syarifah Nuraini, Soegeng Rahanto, Bambang Wasito, Choirum
Latifah1
Naskah masuk: 24 September 2013, Review 1: 27 September 2013, Review 2: 2 Oktober 2013, Naskah layak terbit: 31 Oktober 2013
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemerintah telah meluncurkan Jampersal sebagai salah satu upaya menekan Angka Kematian Ibu dan
Angka Kematian Bayi yang masih tinggi sebagai percepatan mencapai target MDGs 2015. Perilaku pencarian pertolongan
persalinan dipengaruhi berbagai faktor termasuk sosial budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan kajian
peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Metode: Data penelitian tentang
upaya Jampersal dikumpulkan dengan wawancara mendalam, FGD kepada tokoh masyarakat, dukun bersalin, bidan,
kepala puskesmas, didukung data kuantitatif dengan responden ibu yang melahirkan satu tahun terakhir. Lokasi penelitian
di 6 propinsi masing-masing ditetapkan satu wilayah puskesmas di desa dan satu di kota. Hasil Penelitian: Menunjukkan
masih kuat nilai kepercayaan dan pelaksanaan ritual/adat istiadat masih banyak dilakukan sehingga peran dukun masih
dibutuhkan. Sarana transportasi menjadi hambatan utama persalinan di fasilitas kesehatan. Interaksi sosial masyarakat
desa menjadi kekuatan sedang di kota fasilitas bagus sehingga akses menjadi mudah. Bidan sudah diterima baik di desa
maupun di kota oleh masyarakat yang ternyata memiliki pengetahuan kesehatan baik meskipun memiliki pendidikan formal
kurang. Sumber pembiayaan persalinan dengan jampersal sudah banyak dimanfaatkan, namun belum maksimal bahkan
cenderung rendah di perkotaan tertentu. Kesimpulan: Ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan Jampersal untuk
persalinan dengan bidan, namun sebagian persalinan masih dilakukan di rumah. Dukun tetap dibutuhkan untuk perawatan
ibu dan bayi serta membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan bidan-dukun sudah berjalan tapi pembiayaan Jampersal
baru menyokong tenaga kesehatan. Saran: Jampersal juga mendukung pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu
pembiayaan transportasi; Honor dukun yang bermitra; penyuluhan kesehatan KIA dan sosialisasi kepada masyarakat
melibatkan dukun dan aparat desa.
Kata Kunci: Jampersal, faktor sosial budaya, persalinan aman, bidan-dukun bersalin
ABSTRACT
Background: The Government launched Jampersal as one of efforts to suppress the number of Maternal and Infant
Mortality Ratio (MMR & IMR) as well as a booster to achieve the MDGs by 2015. Delivery assistance seek are influenced
by many factors including a socio-cultural factor. This research aimed to provide a study on the socio-cultural role in
improving the utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal). Methods: Data about Jampersal was collected through
in-depth interviews, focus group discussion to community leaders, traditional birth attendants, midwives and head of the
health center. In addition, as a supporting data, a quantitative survey to mothers who gave birth in the last year was also
conducted. The research was located in 6 province in Indonesia. Each covered one health center in a rural area and one
1
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes, Kemenkes RI.
Jl. Indrapura no. 17 Surabaya. Alamat Korespondensi: [email protected]
419
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
in a urban area. Results: The result of this research showed a strong evidence that rituals or traditions were still mostly
conducted. So the role of traditional birth attendants were still needed. Lack of transportation was to be the main obstacle
to acces health facilities. Meanwhile, social interaction in rural area and a well-developed infrastructure in urban area
were important to enable the accessibility to access health facilities. Midwives were well-accepted by the people who had
a good knowledge on health despite having less formal education both in rural or urban area. Labor financing by utilizing
Jampersal are good but not maximized or tend to be low in certain urban areas. Conclusions: People prefered to chose
midwives as birth attendants financed by Jampersal although some delivered at home. TBAs are still needed for maternal
and baby care as well as to assist the implementation of rituals. Midwife-TBAs partnerships already on the right track but
the labor financing by Jampersal only support health care practitioner. Recommendation: Jampersal also support social
and cultural-related financing, such as honorarium for TBAs who are in partner to midwives; transportation cost and also
MCH health education and community outreach to involve TBAs and community leaders.
Key words: Jampersal, socio cultural determinant, safe delivery, Midwives-TBAs
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Data Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran
hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar
kesepakatan global (Millenium Development Goals/
MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi
penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup
(Kementerian Kesehatan, 2011). Telah diketahui dari
contoh di beberapa Negara bahwa AKI dan AKB
dapat ditekan bila persalinan dilakukan oleh tenaga
kesehatan (nakes) di fasilitas kesehatan (faskes).
Berbagai upaya menuju persalinan aman dari sisi
medis (provider) seperti penempatan bidan di desa,
masih belum menunjukkan hasil memuaskan.
Masyarakat Indonesia dengan berbagai tingkat
sosial ekonomi, beragam budaya dan bertempat
tinggal di wilayah yang berbeda kondisi alamnya,
dirasakan masih membutuhkan dukungan pemerintah
untuk menjangkau pelayanan medis. Program Jaminan
Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011
berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/
III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan
dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/
II/2011 tentang Jaminan Persalinan (Kementerian
Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki dengan
keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
2562/Menkes/PER/XII/2011 tentang hal yang sama.
Jampersal bertujuan menyediakan jaminan biaya
untuk ibu bersalin di nakes dan faskes dengan
ketentuan dan persyaratan.
Dalam pelaksanaan peraturan tersebut telah terjadi
beberapa kendala di lapangan karena bervariasinya
situasi dan kondisi. Penerapan Peraturan Jampersal
420
disesuaikan dengan dukungan oleh Pemerintah
Daerah (Pemda) cq Dinas Kesehatan di era otonomi
daerah berbeda-beda kemampuannya. Hal ini antara
lain terkait dengan penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penempatan bidan
di desa; Pemanfaatan Jampersal terkait perilaku
pemeliharaan kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor
sosial ekonomi dan budaya. Faktor dari sisi masyarakat
menjadi kendala tersendiri mengingat masyarakat
tersebar di wilayah kepulauan Indonesia yang
bervariasi kondisi alamnya dan sosial ekonominya.
Pemerintah telah menyediakan Jampersal, namun
masih banyaknya kendala sosial budaya dalam
pemilihan penolong persalinan. Kendala datang
baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun
dari fasilitas atau tenaga kesehatan. Sisi kendala
masyarakat menjadi pokok bahasan utama berdasar
hasil temuan penelitian lapangan yang telah dilakukan
peneliti Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat-Badanlitbang Kesehatan.
Masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan perlu
mendapat perhatian utama agar mampu menjangkau
pelayanan yang disediakan dengan dukungan
Jampersal.
Mengingat adanya kendala tersebut maka
dilakukan penelitian untuk mengkaji kendala sosial
budaya dalam persalinan aman. Kebijakan Jampersal
tampaknya perlu dilakukan penyempurnaan agar
mampu mendukung tujuan pencapaian angka AKI
dan AKB sesuai target MDGs tahun 2015. Mengingat
kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan
dilaksanakan/dikawal oleh jajarannya, maka tulisan
ini merupakan masukan yang ditujukan kepada
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan anak (GIKIA) dan Pusat Pembiayaan Jaminan
Kesehatan (P2JK) selaku pelaksana dan pengelola
program KIA dengan pembiayaan Jampersal.
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
METODE
Penelitian ini merupakan kajian kebijakan dengan
menggunakan data utama hasil penelitian berjudul
“Peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan
pemanfaatan program Jaminan Persalinan” yang
dilakukan pada tahun 2012 di 6 propinsi (Aceh,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara,
Nusa Tenggara Barat dan Banten). Masing-masing
lokasi ditetapkan 2 puskesmas dengan setiap
puskesmas terdiri dari puskesmas yang berada
di kota (puskesmas perkotaan) dan 1 puskesmas
berada di kabupaten (puskesmas pedesaan) sehingga
terdapat 12 puskesmas sebagai sampel penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan melalui Focus
Group Discussion (FGD), indepth interview dan
pengumpulan data sekunder. Data penelitian dianalisis
dengan merujuk berbagai sumber rujukan.
HASIL
Pertolongan persalinan menurut Sarwono P.
(1999: 273) bertujuan untuk membantu persalinan
secara sistematis, benar dan aman, sehingga ibu dan
bayi selamat dengan trauma sekecil mungkin. Melalui
tangan bidan, diharapkan mampu melaksanakan
tujuan tersebut dengan cara ditempatkan di fasilitas
kesehatan yang terdekat kepada masyarakat
(Indonesia, 1989) Pemilihan bidan sebagai penolong
persalinan terlihat sudah cukup merata di desa dan
kota lokasi penelitian seperti terlihat pada tabel 1.
(Lestari H, dkk, 2012).
Seringkali pihak medis meng ‘klaim’ bahwa
persalinan “aman” adalah bila dilakukan oleh tenaga
medis (bidan atau dokter) di fasilitas kesehatan
baik puskesmas/klinik bersalin atau rumah sakit.
Namun sebenarnya perlu diketahui definisi melahirkan
“aman” menurut pandangan masyarakat (ibu) agar
sinkron antara ‘provider side’ dan ‘consumer side’.
Di beberapa lokasi penelitian, jumlah persalinan
yang dilakukan di rumah masih cukup tinggi seperti
di Halmahera Selatan (90,0%), Gayo Lues (89,1%),
Landak (78,3%), Lebak (67,2%), Jeneponto (48,6%),
Bima (42,9%), meskipun sebagian sudah ditangani
oleh bidan.
Hasil penelitian Lestari dkk. (2012) ini menunjukkan
bahwa di daerah perdesaan masih cukup banyak ibu
yang lebih memilih dukun daripada bidan sebagai
penolong persalinan. Pemilihan dukun bersalin tidak
banyak berbeda dibanding penelitian lain yang sudah
pernah dilakukan. Beberapa alasan memilih dukun
antara lain lokasi yang dekat dengan tempat tinggal,
mengerti dan memahami adat, mau merawat ibu dan
bayi saat kehamilan sampai dengan persalinan, biaya
yang terjangkau (Lestari H, 1997; Wahit Iqbal Mubarak,
2012). Pemilihan penolong persalinan sangat erat
kaitannya dengan rasa percaya terhadap penolong,
Tabel 1. Persentase Responden yang Memiliki Pengetahuan “Benar” tentang Tidak Aman Melahirkan di
Rumah dan Tempat Persalinan, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012
Tempat Persalinan (%)
n
Nakes sebagai Penolong
Persalinan Akhir (%)
di Faskes
di Rumah
Kab. Lebak
67
64,2
32,8
67,2
Kota Cilegon
68
100,0
69,1
30,9
Kab. Bima
70
97,1
57,1
42,9
Kota Mataram
70
92,9
92,9
5,7
Kab. HalSel
50
62,0
10,0
90,0
Kota Ternate
70
92,9
70,0
28,6
Kab. Gayo Lues
55
65,5
10,9
89,1
Kota Banda Aceh
70
100,0
94,3
5,7
Kab. Landak
69
56,5
20,3
78,3
Kota Pontianak
70
97,1
97,1
0,0
Kab. Jeneponto
70
82,8
51,4
48,6
Kota Makasar
70
100,0
92,9
0,0
Kabupaten/ Kota
Sumber: Data primer tahun 2012
421
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
dan kepercayaan terbangun karena adanya interaksi
dan berhubungan serta bergaul seperti dukun dan
warga di lingkungannya. Di beberapa kabupaten lokasi
penelitian, masyarakat beranggapan dukun adalah
orang yang dipercaya dan dianggap tepat membantu
ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun adalah
orang yang sudah sangat mereka kenal, di samping
dukun menolong dengan biaya yang terjangkau dan
memahami adat istiadat, menjadi pendorong mereka
memilih dukun. Masih banyaknya Ritual dan upacara
yang dilakukan di masyarakat menjadi salah satu
penyebab mereka masih membutuhkan dukun seperti
terlihat pada tabel 2. (Lestari H., dkk, 2012)
Dukun bersedia membantu merawat ibu dan
bayi, bahkan selama 44 hari dengan cara datang ke
rumah ibu bersalin, sesuatu pelayanan yang tidak
mungkin diharapkan dari bidan. Jadi dalam hal ini,
dukun telah turut membantu ibu hamil mempersiapkan
fisik selama kehamilan dan khususnya mental pada
saat menegangkan yaitu proses persalinan. Dukun
memberikan wejangan masalah adat-istiadat, perilaku
yang harus dilakukan dan yang dihindari sehingga
memberikan ketenangan jiwa kepada ibu. Sebagaimana
dikemukakan oleh Grantley Dick-Read dalam Hunt,
Sheila (2006) tentang pendekatan psikologis untuk
relaksasi yang sangat membantu meredakan nyeri
secara alami dalam proses persalinan. Anggapan
kemampuan dukun mendeteksi gangguan letak
Tabel 2. Distribusi Responden yang Melakukan
Ritual/Upacara Saat Kehamilan, Persalinan,
Pascapersalinan, di 12 Kabupaten/Kota,
Tahun 2012
Kab/Kota
“Ya” Melakukan Ritual/Upacara (%)
Kehamilan
Persalinan
Kab. Lebak
65,7
47,8
Pascasalin
85,1
Kota Cilegon
57,4
22,1
45,6
Kab. Bima
32,9
27,1
21,4
Kota Mataram
68,6
32,9
71,4
Kab. HalSel
70,0
38,0
4,0
Kota Ternate
47,1
38,6
48,6
Kab. Gayo Lues
58,2
49,1
54,5
Kota Banda Aceh
21,4
7,1
12,9
Kab. Landak
13,0
18,8
37,7
Kota Pontianak
24,3
12,9
20,0
Kab. Jeneponto
48,6
5,7
4,3
Kota Makasar
28,6
10,0
4,3
422
janin dan mengaturnya kembali, merupakan upaya
yang diharapkan masyarakat. Fakta yang ditemukan
dalam penelitian ini mirip dengan penelitian Lestari
Handayani (1997) yang melihat keterkaitan penolong
persalinan dengan kepercayaan.
Perilaku ibu dalam pencarian perawat atau
penolong pada masa kehamilan, persalinan dan
pascapersalinan merupakan salah satu wujud budaya
kesehatan. Terbukti bahwa responden pelaksana
tradisi terkait kehamilan dan persalinan cenderung
memilih dukun sebagai penolong persalinan. Di Jawa
Barat, dalam suatu penelitian ditemukan alasan yang
sama. Pemilihan dukun beranak (paraji) sebagai
penolong persalinan disebabkan alasan yang hampir
sama yaitu karena dukun sudah dikenal secara dekat
oleh masyarakat, biaya pelayanan yang murah,
mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat
yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat
ibu dan bayi sampai 40 hari (Meiwita B. Iskandar.
et al., 1996).
Hasil FGD penelitian ini mengungkapkan bahwa
masih ada pandangan bahwa dukun memiliki
kompetensi yang sama dengan bidan dalam menolong
persalinan sehingga mendorong memilih dukun
sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah
proses alamiah, merupakan anggapan yang umum
dan diakui. Dengan demikian, ada yang beranggapan
bahwa bayi dan plasenta dapat lahir dengan sendirinya
sehingga keberadaan bidan hanya dibutuhkan untuk
memotong tali pusat. Sedangkan dalam proses
persalinan, dukun lebih diharapkan memberikan
kekuatan batin dan memberikan arahan kepada ibu
dalam menjalani proses alamiah tersebut. Penelitian
tahun 2012 tidak berbeda jauh dengan penelitian
oleh Lestari pada tahun 1994 di Tulung Agung. Bidan
seringkali tidak diikutkan dalam kegiatan upacara,
sebagai gantinya mereka mengundang dukun
untuk membacakan do’a dan mantera, memimpin
pelaksanaan upacara dan memberikan pemahaman
tentang makna upacara adat. (Lestari Handayani,
1997)
Di samping itu, geografi tempat tinggal yang
sulit dan jauh dari fasilitas kesehatan menyebabkan
keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan di
daerah-daerah tertentu. Kondisi ini menjadi mendorong
masyarakat desa dengan fasilitas kehidupan dan
sarana transportasi terbatas cenderung memilih
dukun sebagai penolong persalinan. Kondisi alam
sebagai penyebab sulitnya akses pelayanan bidan
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
dijumpai di Tulung Agung, sehingga masyarakat
memilih dukun untuk menolong persalinan (Lestari
Handayani, 1997).
Kemitraan dukun-bidan sudah berlangsung
lama dan diakui masyarakat maupun bidan, sangat
dibutuhkan. Bahkan dengan adanya Jampersal,
beberapa Dinas kesehat an (kot a M at aram,
kabupaten Bima) sudah mengalokasikan sebagian
dana Jampersal yang di klaim bidan untuk dukun
yang bermitra dan membantu saat persalinan
(Lestari H, dkk, 2012). Cara ini tampaknya berdampak
baik terhadap kemitraan dan kemauan dukun untuk
mengarahkan persalinan kepada bidan.
Persalinan yang diakui sebagai proses ‘alamiah’
terkadang mengalami hambatan dalam perjalanannya.
Pada proses yang ‘abnormal’ hasil persalinan sangat
ditentukan oleh penolong persalinan. Pada keadaan
ini, seringkali persalinan harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang cukup lengkap peralatan dan tenaga
ahlinya (dokter/dokter spesialis kebidanan). Adanya
budaya berunding masih banyak dilakukan, dan
budaya ini dapat mengakibatkan terjadi keterlambatan
pertolongan persalinan yang dapat berakibat fatal
pada ibu bila keputusan tidak segera diambil.
Kematian ibu bersalin mendapat tanggapan yang
berbeda-beda. Di perkotaan, kematian ibu dianggap
merupakan tanggung jawab pihak bidan/dokter
sebagai penolong persalinan karena pada umumnya
mereka mempercayakan adanya tindakan medis.
Masih banyak daerah yang menganggap kematian
ibu dalam persalinan adalah suatu yang wajar
bahkan masyarakat desa cenderung pasrah bahkan
beranggapan merupakan jalan menuju surga bagi si
ibu (Mataram). Tetapi penelitian lain mengemukakan
bahwa ada juga yang menganggap kematian
ibu sebagai suatu peristiwa yang mengerikan
karena arwahnya dapat menjadi leak atau kuntilanak
(Meiwita B., 1996).
Masyarakat sebenarnya sangat mendukung
pelayanan persalinan oleh nakes (bidan), bahkan
di Pontianak terjadi kecenderungan masyarakat
langsung ke RS. (Lestari H, dkk, 2012) Peralihan dari
persalinan ”alami” di rumah yang diarahkan ke fasilitas
kesehatan sebenarnya merupakan suatu pergeseran
seperti terungkap dalam penolakan perempuan
Inggris terhadap ”kealamiahan” persalinan karena
keinginan melahirkan di Rumah Sakit. Beberapa
hal yang akan diperoleh perempuan bila melahirkan
di RS, antara lain mendapatkan obat pereda nyeri
akibat proses persalinan dan tersedianya berbagai
teknik paliatif (Hunt, Sheila, 2006). Hal ini karena telah
dikembangkan obat-obatan pereda nyeri yang dapat
dimanfaatkan dalam persalinan. Keuntungan bersalin
di RS adalah, ibu pascapersalinan dapat beristirahat
beberapa hari untuk pemulihan kesehatan dalam arti
untuk ’membebaskan diri dari tanggung jawab dan
tekanan dalam rumah tangga’ (Hunt, Sheila, 2006).
Sebagaimana diketahui, di beberapa keluarga, ibu
Tabel 3. Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan, Periksa Ibu Nifas,
Periksa Neonatus, Periksa KB, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012
Kabupaten/Kota
Pembiayaan Jampersal (%)
Hamil
Bersalin
Nifas
Neonatus
Kab. Lebak
67,7
56,7
53,7
55,2
KB
3,0
Kota Cilegon
22,1
19,1
20,6
16,2
7,4
Kab. Bima
63,2
60,0
50,0
50,0
17,1
Kota Mataram
49,3
61,4
52,9
58,6
21,4
Kab. HalSel
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Kota Ternate
45,6
15,7
14,3
14,3
7,1
Kab. Gayo Lues
21,2
12,7
7,3
14,5
1,8
Kota Banda Aceh
10,1
20,0
5,7
2,9
1,4
Kab. Landak
11,8
18,8
8,7
8,7
10,1
Kota Pontianak
24,6
68,6
7,1
2,9
0,0
Kab. Jeneponto
85,5
62,9
68,6
60,0
10,0
Kota Makasar
39,1
47,1
14,3
18,6
15,7
423
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
adalah penanggung jawab urusan rumah tangga
tanpa memedulikan kondisinya setelah melahirkan. Di
beberapa budaya ibu melahirkan di tempat persalinan
yang terpisah dari pemukiman penduduk.
Jampersal tidak hanya menjamin pelayanan
persalinan namun menjamin pula pelayanan
pemeriksaan kehamilan, nifas, neonatus dan KB.
Pemanfaatan Jampersal belum maksimal terbukti
hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012) menunjukkan
fakta seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.
Pemanfaatan Jampersal antara lain terhambat
oleh persyaratan berupa KTP (Kartu Tanda Penduduk)
yang seharusnya dimiliki oleh setiap penduduk yang
berusia 17 tahun ke atas. Menilik Undang-undang
yang berlaku, penduduk memiliki hak untuk mendapat
identitas diri sebagai warga negara sesuai dengan
ketentuan undang-undang (UU Kependudukan no. 52,
2009). Dari pengamatan dan hasil FGD, masih banyak
penduduk belum memiliki kesadaran pentingnya KTP
sebagai identitas diri. Penduduk tidak memiliki KTP
terjadi khususnya penduduk yang tinggal di desa
terpencil sedangkan di kota terjadi pada penduduk
musiman (di perkotaan) yang tidak memiliki Kartu
Penduduk Sementara. Alasan yang dikemukakan
antara lain proses pengurusan yang panjang,
dirasakan berbelit dan biaya yang harus ditanggung,
sehingga untuk memenuhi persyaratan sebagai
peserta Jampersal mereka harus menggantinya
dengan surat domisili yang dapat diperoleh di tingkat
Kelurahan/kantor desa. Diakui para suami (dalam
FGD) sebenarnya persyaratan Jampersal ringan
karena mereka bisa memperoleh pelayanan meskipun
bukan penduduk setempat (Lestari H, dkk, 2012).
Persyaratan tersebut meskipun tampaknya ringan
namun menyebabkan keengganan karena mereka
tidak mengerti dan bahkan sebagian tidak mengetahui
adanya Jampersal. Proses yang lama, dianggap
berbelit dan membutuhkan biaya menyebabkan
sebagian keluarga memutuskan tidak memanfaatkan
Jampersal dan beralih ke dukun terdekat.
Berdasar pengakuan responden, dana yang
dibiayai Jampersal cukup besar (sekitar 60%) di
kabupaten Lebak, Bima, kota Mataram, Jeneponto
dan Pontianak (Lihat Tabel 3). Kurangnya informasi
tentang Jampersal merupakan salah satu alasan
rendahnya pemanfaatan Jampersal sesuai dengan
hasil wawancara maupun FGD. Masyarakat kurang
memahami persyaratan Jampersal, siapa yang
berhak, pelayanan yang bisa diperoleh, bahkan
424
sebagian mereka sama sekali belum pernah
mendengar tentang Jampersal. Adanya pengakuan
”tidak paham tentang Jampersal” oleh suami dan
tokoh masyarakat (FGD) mengindikasikan sosialisasi
Jampersal kurang maksimal. Masyarakat tahu bahwa
ada pelayanan kesehatan gratis dan beranggapan
sebagai dana Jamkesmas. Dalam hal ini terjadi
kerancuan pemahaman antara Jamkesmas, Jamkesda
dan Jampersal.
Tidak mudah mengubah pilihan penolong
persalinan meskipun biaya gratis melalui Jampersal
telah disiapkan. Kendala budaya dapat menghambat
peralihan penolong persalinan seperti tercermin
dari penelitian di Papua. Suatu penelitian pada suku
Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua
menunjukkan bahwa perilaku memilih penolong
persalinan didasari atas budaya kedua suku. Kendala
untuk minta pertolongan Nakes antara lain karena
budaya yang menganggap tabu membuka aurat
(paha) di depan orang yang belum dikenal, dan
meyakini bahwa darah dan kotoran persalinan dapat
mengakibatkan penyakit yang mengerikan pada
kaum laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu mereka
melakukan persalinan di hutan/rimba atau di bagian
belakang rumah (kamar mandi, dapur). (Qomariah
Alwi, 2005)
Hasil penelitian Lestari H dkk (2012) menunjukkan
masih banyak ibu maupun suami dan tokoh masyarakat
menganggap bahwa kehamilan sebagai hal biasa, dan
kodrati. Ibu hamil merasa tidak perlu memeriksakan
diri ke bidan atau dokter bahkan mereka masih harus
bekerja di ladang dan di hutan untuk membantu
perekonomian keluarga. Di kabupaten Mimika –
Papua, ibu mempunyai tanggung jawab dan aktivitas
ibu sehari-hari dalam mencari bahan makanan untuk
seluruh keluarga meskipun dalam keadaan hamil tua
sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari
atau menunggu bidan. Pelayanan yang diberikan
bidan memerlukan biaya yang sulit dijangkau ditambah
lagi dengan bidan jarang di tempat dan sikap bidan
yang kurang akrab. PT Freeport Indonesia yang
berada di Papua kemudian menanggung segala biaya
pelayanan kesehatan bagi kedua suku Papua ini mulai
dari pemeriksaan kehamilan sampai dengan pascapersalinan, namun budaya melahirkan di dukun tidak
berubah (Qomariah Alwi, 2005). Mahalnya biaya
persalinan bidan juga menjadi keluhan masyarakat
(Lestari H dkk, 2012). Biaya pelayanan persalinan
ke bidan yaitu berkisar antara 700 ribu sampai
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
satu juta rupiah dianggap mahal oleh masyarakat
golongan ekonomi rendah. Di sisi lain, dengan adanya
persalinan gratis, sebagian masyarakat Lebak-Banten
mengalihkan dana persalinan untuk pembiayaan
upacara adat.
Dalam rangka mengubah perilaku masyarakat
dengan harapan agar seorang ibu hamil mau bersalin
ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan
melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi
yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan
tingkat komunitas atau masyarakat (Croyle, Robert
T. 2005). Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu
pada masa maternity (hamil, bersalin dan pascapersalinan), ibu dipengaruhi orang sekitarnya karena
hubungan antara individu/interpersonal dengan
orang di sekitarnya (suami, orang tua, tetangga).
Dalam pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal
Care/ANC), persalinan, pascapersalinan ada faktor
yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal
yaitu faktor sosial budaya, termasuk demografi,
geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan. Pada
tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan
atau pertolongan kehamilan (ANC), persalinan
dan pascapersalinan ditentukan oleh ketanggapan
fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait
harapan, dukungan/kemudahan serta hambatan
dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga
dipengaruhi kebijakan pemerintah yang diberlakukan
antara lain pembiayaan kesehatan berupa jaminan
persalinan (Jampersal).
Isu Kebijakan
Persalinan aman saat ini merupakan salah satu
program pemerintah dan program yang digerakkan
di seluruh dunia untuk tujuan menurunkan AKI
dan AKB. Hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012)
menunjukkan bahwa dukun masih menjadi pilihan
dan dibutuhkan pelayanan dalam perawatan ibu
dan bayi dan pelaksanaan tradisi. Masalah sosial
budaya dapat menjadi penghambat dalam upaya
penurunan AKI dan AKB. Pemanfaatan Jampersal
sudah cukup dirasakan tetapi masih ada kendala
dalam pemanfaatannya. Sosialisasi Jampersal masih
kurang dan Jampersal hanya menanggung biaya
untuk tenaga kesehatan (Kemkes, 2011) sedangkan
permasalahan pembiayaan tidak hanya untuk
membayar tenaga kesehatan tetapi termasuk biaya
bagi dukun dan transport menuju bidan di faskes dan
sosialisasi.
Banyak masyarakat belum paham tentang
Jampersal dan persyaratannya. Pengakuan dari
responden, mereka mendapat informasi tentang
Jampersal dari bidan dan tenaga kesehatan lain.
Bidan yang di wawancara menyatakan bahwa
sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu
dilakukan langsung ke masyarakat. Aparat desa/
kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi
dapat diperluas dengan kerja sama lintas sektor
seperti kantor desa, LSM dan lainnya sehingga
tidak menjadi beban seluruhnya bagi bidan di desa.
Mengingat selama ini biaya penyuluhan dan sosialisasi
tidak tercukupi dan kurang diperhatikan.
PEMBAHASAN
Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah
dalam upaya memfasilitasi masyarakat agar mendapat
pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga
kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
Dengan adanya Jampersal diharapkan dapat
mengakselerasi tujuan MDG’s 4 (status kesehatan
anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu). Sosial
budaya sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap perilaku masyarakat dalam memilih penolong
persalinan. Untuk lebih meningkatkan perilaku yang
sudah cenderung memihak kepada persalinan oleh
bidan maka Jampersal harus mencegah faktor-faktor
yang mendorong masyarakat kembali ke perilaku
lama yaitu bersalin ke dukun dan dilaksanakan di
rumah.
Kepercayaan terhadap tradisi masih dipegang
erat oleh masyarakat di perdesaan, dan kurang
dilaksanakan di perkotaan. Kepercayaan terhadap
mistik atau gaib atau roh, seringkali mendorong
perilaku yang merugikan. Masyarakat desa di lokasi
penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu
upacara/ritual. Kepercayaan sebagai unsur budaya
tidaklah mudah untuk mengubahnya apalagi bila
menyangkut ideologi dan falsafah hidup. Berbeda
dengan kelompok masyarakat perkotaan yang lebih
bersifat individualistik sehingga kedekatan satu sama
lain sudah berkurang. Status sosialnya yang heterogen
dengan mata pencaharian penduduk yang berbagai
macam serta kompetitif, tidak bergantung kepada
alam membuat masyarakat kota lebih dinamis. Pada
umumnya keterikatan terhadap tradisi sangat kecil.
Masyarakat kota Banda Aceh, Pontianak dan Makasar
sudah jarang yang melakukan ritual dan upacara
425
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427
(Lestari dkk, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan
penyuluhan yang membutuhkan pembiayaan dengan
melibatkan dukun, kader dan perangkat desa.
Perilaku cukup bagus tentang “persalinan aman
dengan ditolong bidan” perlu dijaga agar tidak
tercemari oleh kepercayaan yang salah yang dapat
merubah perilaku yang sudah baik. Dukun yang
bermitra dengan bidan dapat diartikan mendukung
upaya persalinan oleh bidan oleh karena itu dukun
harus diperdayakan dengan memberikan honor yang
layak atas jasanya mendukung kinerja bidan.
Masyarakat di desa banyak memilih tempat
persalinan di rumah ke fasilitas kesehatan terutama
dengan alasan lokasi dengan transportasi sulit.
Responden di kota lebih cenderung memilih
melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal
di desa. Masih besarnya persalinan di rumah ini
bila merujuk kondisi di Inggris menunjukkan posisi
mirip bahkan lebih rendah (Landak, Gayo Lues,
Halmahera Selatan) dengan kondisi persalinan di
Inggris tahun 1930 dengan 33,2% persalinan di
rumah. Perkembangan di Inggris menunjukkan
peningkatan persalinan di RS dari tahun ke tahun
(Hunt, Sheila, 2006). Pergeseran tempat persalinan
di rumah ke fasilitas kesehatan tersebut kurang
terlihat di daerah perdesaan penelitian terutama yang
sulit transportasi sehingga dibutuhkan biaya cukup
besar untuk memanggil atau menuju faskes. Alam
dan lingkungan yang sulit telah membatasi kontak
langsung bidan dan masyarakat, sehingga sulit untuk
mengakses bidan pada saat dibutuhkan.
Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan
diterimanya suatu informasi tentang KIA dan Jampersal.
Informasi yang diterima ibu bila dapat diterima dengan
baik oleh suami akan mendorong kemungkinan
persalinan kepada nakes mengingat di masyarakat
perdesaan, suami adalah pengambil keputusan.
Meskipun interaksi dan kegotongroyongan masyarakat
desa cukup baik, namun bantuan pembiayaan menuju
bidan atau faskes akan mempercepat perubahan
perilaku persalinan di dukun.
Pemahaman tentang Jampersal yang masih
rendah perlu ditingkatkan. Sosialisasi lebih luas dan
detil termasuk prosedur dan persyaratan menjadi
peserta Jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh:
Lurah, ketua RW/RT, dll) dan pemuka agama (kiai,
426
pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai
pesan Jampersal dengan membangun peran kemitraan
yang harmonis dengan bidan akan mempercepat arus
informasi bisa tersampaikan.
Mengubah perilaku membutuhkan waktu karena
perilaku KIA masyarakat merupakan salah satu wujud
budaya (Elly M. Setiadi dkk, 2007). Sejak adanya
pelayanan gratis melalui Jampersal, diakui membantu
meringankan beban biaya untuk bidan. Melihat
peluang tersebut, maka Jampersal seharusnya dapat
menanggung biaya yang akan mempercepat upaya
persalinan aman melalui dukungan terhadap sosial
budaya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa sudah ada kecenderungan masyarakat
memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan
memanfaatkan pembiayaan Jampersal, namun
sebagian persalinan masih dilakukan di rumah
karena sulitnya menuju faskes dan masih belum
menyadari perlunya persalinan aman di faskes. Disatu
sisi, masyarakat tetap membutuhkan pelayanan
dukun khususnya utuk perawatan ibu hamil dan
pascapersalinan termasuk merawat neonatus serta
membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan
bidan-dukun sudah berjalan dengan baik tetapi
pembiayaan Jampersal baru menyokong tenaga
kesehatan padahal peran dukun cukup besar dalam
mendukung kinerja bidan.
Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan
jampersal dengan membangun peran kemitraan
yang harmonis dengan bidan akan mempercepat
penyampaian informasi.
Saran
D isarankan Jamper sal juga mendukung
pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu 1)
Menyediakan pembiayaan transportasi dari rumah
menuju fasilitas persalinan/rumah bidan bagi ibu
bersalin yang membutuhkan; 2) Honor dukun yang
bermitra; 3) Pembiayaan penyuluhan kesehatan KIA
dan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan dukun
dan aparat desa di samping tenaga kesehatan.
Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007.
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010.
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta
Croyle, Robert T. 2005. Theory at a Glance. A Guide for
Health Promotion Practice (second Edition). USA:
The National Cancer Institute.
Departemen Kesehatan RI, 1989. Panduan bidan di tingkat
desa. Bagian I. Jakarta
Elly M Setiadi dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Kencana. Jakarta.
Endang P Gularso. 1998. Kelahiran Anak dalam Tradisi
Orang Betawi di Desa Ragunan, Jakarta Selatan.
Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan
Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F.
Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986.
Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan
Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta.
Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A
Diagnostic Approuch. The John Hopkins University:
Mayfield Publishing Co.
Kementerian Dalan Negeri. 2009. Undang-undang Republik
Indonesia No 52 tahun 2009 tentang Kependudukan.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. P e t u n j u k Te k n i s
Jaminan Persalinan Tahun 2011. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010–
2014. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Permenkes No. 631/
Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis
Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI
Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan
Persalinan. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/
Per/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan
Persalinan. Jakarta
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Lawrence S. Cunningham, John J. Reich. Culture and
Values, Volume II: A Survey of the Humanities with
Readings amazon.com
Lestari Handayani, dkk. 1997. Menuju Pelayanan Persalinan
Terpadu. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Lestari Handayani, dkk. 2012. Peran Sosial Budaya
dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program
Jaminan Persalinan (Jampersal). Laporan Penelitian
2012. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Surabaya.
Meiwita B. Iskandar. dkk. 1996. Mengungkap Misteri
Kematian Ibu di Jawa Barat. Pusat Penelitian
Kesehatan Lembaga Pendidikan UI. Jakarta.
Qomariah Alwi. 2005. Budaya Suku Amungme dan Suku
Kamoro Papua dalam Pemeliharaan Kehamilan dan
Persalinan, Disertasi. Jakarta
Sheila Hunt; Anthea Symonds. 2006. Konsep Sosial
Kebidanan. ECG. Jakarta.
Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chahayatin, Iga Mainur, 2012.
Ilmu sosial budaya dasar kebidanan: pengantar dan
teori. ECG. Jakarta.
Widayatun. Program penempatan bidan di I desa di
Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak. Buletin Pengkajian Masalah
Kependudukan dan Pembangunan X (1-3) 1999.
427
PEMANFAATAN UPACARA MOLONTALO DALAM MENYAMPAIKAN
PESAN KESEHATAN IBU HAMIL DI KECAMATAN ANGGREK
KABUPATEN GORONTALO UTARA
(The Molontalo Ceremony in Delivering Health Messages for Pregnant
Women in Sub - District Anggrek North Gorontalo District)
Roy G.A. Massie1, Indra Domili2, Joy Rattu3
Naskah masuk: 29 Agustus 2014, Review 1: 3 September 2014, Review 2: 3 September 2014, Naskah layak terbit: 17 Oktober 2014
ABSTRAK
Latar Belakang: Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi di mana 90% terjadi saat dan setelah persalinan.
Tahun 2007–2009 AKI Kabupaten Gorontalo Utara lebih tinggi dari nasional. Upaya untuk penurunan AKI khususnya pada
fase antenatal telah dilakukan oleh tenaga kesehatan. Upaya lain dapat dilakukan secara tradisional melalui pendekatan
budaya setempat. Upacara adat Molontalo dikenal di Provinsi Gorontalo. Tujuan penelitian meningkatnya pengetahuan KIA
dukun kampung (hulango) dan imam kampung (hatibi) dalam upaya meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas dan
fasilitas kesehatan. Metode: Penelitian operasional diawali intervensi, pengumpulan data, menganalisis obyek dan situasi
kemudian digambarkan secara deskriptif. Hasil: Saat pretes pengetahuan hulango dan hatibi kurang, namun sesudah
pretes ada peningkatan. Peran hulango dan hatibi dalam usaha penyampaian pesan KIA pada masyarakat khususnya pada
ibu hamil dan keluarganya dapat dilanjutkan, sehingga dapat dilibatkan dalam bidang kesehatan. Hulango menyampaikan
sebelum atau sesudah pelaksanaan tondalo pada ibu hamil. Untuk hatibi intervensi yang dilakukan sudah baik hanya
perlu dilakukan lagi pada setiap kegiatan molontalo. Kesimpulan: Upacara ini dapat membantu penyampaian promosi
program KIA. Diharapkan terjadi penurunan angka kematian ibu dan bayi terutama ibu, keluarga, kerabat karena mereka
mendapat kesempatan mendengarkan program KIA. Saran: Evaluasi perlu dilakukan terhadap pemahaman masyarakat
akan upacara Molontalo agar dipahami program KIA. Setiap upacara Molontalo diharapkan dilakukan penyampaian pesan
kesehatan KIA terus menerus dan konsisten.
Kata kunci: Molontalo, Pesan KIA
ABSTRACT
Background: The maternal mortality rate (MMR) in Indonesia is still high with 90% occured during labor and after delivery.
In 2007–2009 MMR in the District of North Gorontalo is higher than the national. Efforts in order to decrease maternal
mortality, especially in the antenatal phase had been formally conducted by health professionals in the form of promotion.
There is effort that can be done traditionally by local cultural approach particularly in Gorontalo Province known as the
ceremomial Molontalo. Molontalo is a statement from the husband’s family that first pregnancy is fulfilled expectations will
be a continuation derived from legal marriage. The purpose of the research was to increase the hulango (village shaman)
and hatibi’s (village priest) knowledge of MCH as community and religious leaders through traditional ceremonies Molontalo
so the pregnant women can visit the health care workers and facilities. Methods: Operational research, which begins
with the intervention, data collection, analyzed the objects, the situation that described descriptively. Results: Pre-test of
the hatibi and hulango knowledge on MCH programs were low, but there was improvement in post-test. Furthermore, the
hulango and hatibi, in terms of delivery MCH messages to the pregnant women could be maintained by the health workers,
so they could involved in the health sector, especially for MCH program. The performanced of the hulango for delivering
1
2
3
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Percetakan
Negara 23A Jakarta
Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Gorontalo, Jl. Taman Pendidikan No. 36 Gorontalo
Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado, Jl. Kampus Unsrat, Bahu Manado
Alamat Korespondensi: [email protected]
379
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384
MCH message was good and the hatibi as well. However, there were need to be regularly improved the MCH program
related to any Molontalo ceremonial activities. Conclusion: This ceremony may facilitate the delivery of MCH program
especially in promotion stage. This activity was expected to decrease the maternal mortality rate. Recommendation:
Evaluation needs to be done for the communities’ understanding of Molontalo ceremony in order to recognize the level of
understanding of the MCH program. Each ceremony is expected to be conducted continuously and consistently in order
to deliver the MCH program messages.
Key words: Molontalo, MCH program messages
PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian
bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Penyebab
langsung kematian ibu sebesar 90% terjadi pada saat
persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab
langsung kematian ibu adalah perdarahan 39%,
eklamsia 20%, infeksi 7%, lain-lain 33% (Depkes,
2009).
Secara umum dari tahun 2007–2009 angka
kematian ibu di Kabupaten Gorontalo Utara lebih
tinggi dari Angka Kematian Ibu (AKI) Nasional
sebesar 226/100.000 kelahiran hidup. Pembangunan
kesehatan di Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi
Gorontalo itu sendiri selama periode 2009 secara
umum dapat dilihat dari berbagai indikator antara lain,
angka kematian bayi pada tahun 2009 sebesar 24,4
per 1.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu
yang mencapai 391,01 per 100.000 kelahiran hidup
atau 8 kasus kematian dari 2.050 kelahiran hidup
(Dinkes Kab. Gorut, 2010).
Penduduk Kabupaten Gorontalo Utara
berdasarkan data BPS Kabupaten Gorontalo Utara
tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Gorontalo
Utara adalah 104.133 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan
selama kurun waktu 2000–2010 sebesar 1,83 persen.
Persebaran penduduk di 11 kecamatan masih belum
merata, terbesar di Kecamatan Kwandang 34,56
persen, sedangkan terendah di Kecamatan Gentuma
Raya sebesar 7,66 persen. Kabupaten ini termasuk
kategori wilayah Kabupaten Bermasalah Miskin dan
peringkat urutan yang ke 387 Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat dari 440 kabupaten/kota di
Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
Cakupan pelayanan kunjungan baru ibu hamil
(K1) di Kabupaten Gorontalo Utara berdasarkan
rekapan PWS-KIA Dinas Kesehatan Kabupaten
Gorontalo Utara sebesar 78,0%. Angka kunjungan ini
belum sesuai target, untuk meningkatkan cakupan K1,
perlu adanya sosialisasi terutama bagi ibu hamil untuk
memeriksakan diri ke puskesmas. Angka cakupan
380
K4 berdasarkan rekapan PWS-KIA Dinas Kesehatan
Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2009 adalah
57,58%. Persentase ini menurun bila dibandingkan
dengan capaian tahun 2008 yang sebesar 71%.
Hanya terdapat 1 Puskesmas dari 10 Puskesmas yang
berada di atas target K4 yaitu Puskesmas Gentuma
83,00% (Dinkes Kab. Gorut, 2010).
Permasalahan yang mengakibatkan tidak
tercapainya K4 di beberapa Puskesmas antara lain
tidak tercapainya K1, maka mempengaruhi kunjungan
K4 yaitu dikatakan kunjungan K4 bila ibu hamil telah
memeriksakan kehamilannya mulai dari Trimester I (1
kali), Trimester II (1 kali) dan Trimester III (2 kali). Tidak
berjalannya sweeping Ibu hamil, kurangnya dana yang
mendukung terlaksananya kunjungan ke rumah, serta
adanya bidan yang rangkap tugas juga merupakan
faktor yang memengaruhi rendahnya cakupan
K4. Perlunya mengefektifkan sweeping ibu hamil
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
cakupan kunjungan K4 (Depkes, 2009).
Puskesmas Anggrek berdasarkan data cakupan
kunjungan pertama (K1) dan kunjungan K4 ke petugas
kesehatan tahun 2010 angka kunjungan K1 75,25%
dan K4 60,31%, sedangkan untuk puskesmas Gentuma
K1 98,8% K4 60,31%, Puskesmas Kwandang K1
86,64%, K4 72,46%, Puskesmas Sumalaya K1 100%
K4 93,45% dan Puskesmas Tolinggula K1 91,6 dan K4
68,2%. Jika dilihat angka kunjungan K1 dan K4 maka
Puskesmas Anggrek memiliki angka cakupan K1 dan
K4 yang rendah dibandingkan dengan puskesmas
lainnya yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara.
Upaya dalam rangka penurunan angka kematian
ibu dan anak khususnya pada fase antenatal secara
formal dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan
dokter) dalam bentuk kegiatan promosi. Contohnya
penyebaran leaflet, brosur, poster tentang Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) yang dibuat oleh Kementerian
Kesehatan RI. Di samping itu ada banyak upaya yang
dapat dilakukan secara tradisional melalui pendekatan
budaya setempat, dan di wilayah Provinsi Gorontalo
keluarga� sakinah;� dan� (5)� warga� masyarakat� lainnya� yang� membantu� menyiapkan�
perlengkapan� upacara� maupun� menyaksikan� jalannya� upacara� adat� molontalo� (Farha
Daulima, 2006).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengetahuan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) hulango dan hatibi sehingga dapat
menyampaikan
berbagai pesan KIA pada Upacara Adat Molontalo dalam upaya meningkatkan jumlah
kunjungan ibu hamil ke petugas kesehatan di Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo
Utara?” . Tujuan penelitian adalah meningkatnya pengetahuan Kesehatan Ibu dan Anak
Pemanfaatan Upacara Molontalo dalam Menyampaikan
Pesan
Kesehatan
(Massie,
dkk.) (hatibi) di Kecamatan Anggrek
(KIA)
pada dukun
kampung (hulango)
dan imam kampung
Kabupaten Gorontalo Utara dalam upaya untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke
petugas dan fasilitas
kesehatan.
Upacara
Molontalo pada kegiatan penelitian
ini diharapkan
untuk
dapat
meningkatkan
cakupan
kunjungan ibu
dikenal sebagai upacara adat Molontalo (Farha
dapat membantu
dalam ke
menyampaikan
promosi
kesehatan
dalam bentuk
banyak pesan
hamil
petugas
dan
fasilitas
kesehatan.
Daulima, 2006).
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk dapat meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil
Molontalo atau raba puru merupakan dialeg
ke petugas dan fasilitas kesehatan.
Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Raba artinya
METODE
METODE
pegang dan puru artinya perut, dalam bahasa adat
Kerangka Konsep
Penelitian Konsep Penelitian
Kerangka
Gorontalo disebut Molontalo atau tondalo. Adat ini
Output
Proses
hampir sama dengan adat Jawa yang disebut Mitoni
Input�
yang merupakan upacara adat selamatan yang
���Peningkatan pengetahuan tentang
Penyampaian pesan mengenai
�
��Pelaksana Upacara adat
menandai tujuh bulan usia kehamilan. Acara Molontalo
KIA pada dukun (hulango) dan
KIA dari dukun dan imam
molonthalo (hulango dan
�
imam kampung (hatibi).
kampung
kepada
ibu
hamil
dan
hatibi)
ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami
masyarakat melalui upacara adat
--------------------------------------- Pengetahuan KIA
Molontalo.
- Peningkatan Pengetahuan dan
Melalui leaflet berisi
bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang
Sikap dari Ibu Hamil tentang KIA
berbagai pesan KIA
�
------------------------------------------terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan
Keterangan :
Diteliti
yang sah, serta merupakan maklumat kepada pihak
------- Tidak Diteliti
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar1. Kerangka
Konsep
penelitian merupakan
penelitian operasional
risetPenelitian.
yang diawali dengan
benar suci dan merupakan dorongan bagi semua Jenis Gambar
pemberian intervensi, mengumpulkan data, menganalisis obyek dan situasi kemudian
gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatan
menggambarkan secara deskriptif hasil dari penelitian. Sasaran dalam penelitian ini adalah
mereka (Gorontalo Family Portal, 2011).
Jenis
penelitian
merupakan
penelitian
hulango dan hatibi yang
ikut terlibat
didalam proses
upacara adat molontalo
pada bulan operasional
Pemimpin dalam upacara molontalo adalah
Maret sampairiset
November
2012 di diawali
wilayah Kecamatan
Anggrek pemberian
Kabupaten Gorontalo intervensi,
yang
dengan
Utara.
seorang dukun bayi atau yang biasa disebut hulango
mengumpulkan data, menganalisis obyek dan situasi
dan beragama Islam, mengetahui seluk beluk umur
kemudian menggambarkan
secara deskriptif hasil
5�
�
kandungan, mengetahui tahapan upacara molontalo,
dari penelitian. Sasaran dalam penelitian ini adalah
hafal semua bacaan dalam upacara, dan telah diakui
hulango dan hatibi yang ikut terlibat didalam proses
oleh masyarakat setempat. Para pihak lain yang
upacara adat molontalo pada bulan Maret sampai
terlibat dalam penyelenggaraan upacara molontalo
November 2012 di wilayah Kecamatan Anggrek
yaitu: (1) para kerabat dari pihak suami; (2) imam
Kabupaten Gorontalo Utara.
kampung atau Hatibi; (3) dua orang anak (laki dan
Pelaksanaan Intervensi pada dukun kampung
perempuan) berusia 7-9 tahun yang masih memiliki
(hulango) dimulai saat pengisian informed consent,
orang tua (payu lo hulonthalo); (4) tiga orang ibu
pretes pemberian angket dan postes serta pada saat
yang dianggap dari keluarga sakinah; dan (5) warga
menyampaikan pesan KIA pada proses pelaksanaan
masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan
molontalo. Intervensi pada Imam kampung (hatibi)
perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya
dimulai pada saat pengisian informed consent, pretes
upacara adat molontalo (Farha Daulima, 2006).
pemberian angket dan postes serta penyampaian
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
pesan KIA sebelum hatibi membacakan doa shalawat
“Bagaimanakah pengetahuan Kesehatan Ibu dan
pada upacara adat molontalo.
Anak (KIA) hulango dan hatibi sehingga dapat
menyampaikan berbagai pesan KIA pada Upacara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adat Molontalo dalam upaya meningkatkan jumlah
Kegiatan awal penelitian Riset Operasional
kunjungan ibu hamil ke petugas kesehatan di
Intervensi
– Kesehatan Ibu dan Anak (ROI-KIA)
Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara?”.
berupa kegiatan sosialisasi penelitian yang bertujuan
Tujuan penelitian adalah meningkatkan pengetahuan
untuk memberikan penjelasan kepada hulango dan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) pada dukun kampung
hatibi serta masyarakat yang hadir tentang maksud
(hulango) dan imam kampung (hatibi) di Kecamatan
dan tujuan pelaksanaan penelitian ROI-KIA serta
Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara dalam upaya
untuk mendapatkan kesepakatan bersama mengenai
untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas
pelaksanaan penelitian ROI-KIA yang dilakukan di
dan fasilitas kesehatan. Upacara Molontalo pada
Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
kegiatan penelitian ini diharapkan dapat membantu
Peserta kegiatan sosialisasi adalah hulango
dalam menyampaikan promosi kesehatan dalam
dan hatibi yang berada di wilayah kerja Puskesmas
bentuk banyak pesan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
381
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384
Anggrek dan Ilangata, Kepala Puskesmas Ilangata,
Kepala Desa dan Sekretaris Desa Ilangata, para
tokoh masyarakat, serta bidan yang bertugas di
Puskesmas Ilangata Kabupaten Gorontalo Utara.
Kegiatan sosialisasi diawali dengan wawancara
kepada hulango dan hatibi yang bertujuan untuk
mendapatkan data awal hulango dan hatibi berupa
data usia dan alamat hulango dan hatibi. Dalam
penelitian ini usia hulango dan hatibi yang mengikuti
kegiatan sosialisasi penelitian ROI-KIA di Kecamatan
Anggrek dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1. Distribusi Usia Hulango Peserta Kegiatan
Sosialisasi Penelitian ROI-KIA di Kecamatan
Anggrek tahun 2012
Usia Hulango
Jumlah Hulango
Persen (%)
40–49 tahun
50–60 tahun
60 tahun
4
14
7
16
64
20
Total
25
100
Bila dilihat berdasarkan usia, hulango yang ikut
dalam kegiatan sosialisasi penelitian ini lebih banyak
terdistribusi pada usia 50–60 tahun yaitu sebanyak
14 orang dukun, 60 tahun keatas sebanyak 7 orang
dan yang usia antara 40–49 tahun sebanyak 4 orang
hulango. Distribusi usia hatibi yang mengikuti kegiatan
sosialisasi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Usia Hatibi Peserta Kegiatan
Sosialisasi Penelitian ROI-KIA di Kecamatan
Anggrek tahun 2012
Usia Hatibi
Jumlah Hatibi
Persen (%)
40–49 tahun
50–60 tahun
60 tahun
7
12
6
28
60
12
Total
25
100
Berdasarkan data di atas dapat digambarkan
bahwa usia hatibi lebih banyak terdistribusi pada usia
50–60 tahun, usia 40–49 tahun sebanyak 7 orang
hatibi dan lebih dari 60 tahun sebanyak 6 orang.
Pengetahuan hulango dan hatibi tentang KIA
dilihat dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner ini
diberikan pada saat sebelum dan sesudah kegiatan
sosialisasi penelitian, bertujuan untuk mengetahui
berapa besar pengetahuan tentang KIA pada hulango
382
dan hatibi. Hasil pretes menunjukkan bahwa dari
50 orang hulango dan hatibi yang ikut kegiatan
sosialisasi terdapat 4 orang tidak menjawab kuesioner,
2 orang menjawab dengan benar 5 pertanyaan (33,3%),
8 orang menjawab benar 7 pertanyaan (46,7%), dan
14 orang menjawab benar 10 pertanyaan (66,7%).
Hasil ini menunjukkan bahwa pengetahuan
hulango dan hatibi tentang KIA masih kurang. Hasil
Postes menunjukkan bahwa pengetahuan hulango
dan hatibi tentang KIA bertambah yang dilihat dari
adanya peningkatan hasil pretes ke postes. Hasil
postes menunjukkan 45 orang menjawab dengan
benar 13 pertanyaan pada kuesioner (86,7%) dan
hanya 5 orang yang menjawab dengan benar
12 pertanyaan (80%).
Intervensi penelitian ini berupa pemberian leaflet
pada hulango dan hatibi untuk dapat disampaikan
kepada ibu hamil, keluarga dan masyarakat yang
hadir pada upacara adat molontalo, diharapkan agar
hulango dan hatibi memahami isi leaflet tersebut
sehingga dapat diaplikasikan pada saat upacara adat
molontalo.
Menurut Notoadmodjo (2007) pengetahuan
dimulai dari tahap tahu, memahami, aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi. Pengetahuan akan membentuk
sikap yang merupakan dorongan terhadap terjadinya
perubahan perilaku. Pada penelitian ini pengetahuan
dari hulango dan hatibi sudah sampai pada tahap
aplikasi, hanya saja dari evaluasi peneliti untuk
hulango kurang baik karena hulango tidak dapat
menyampaikan pesan KIA kepada ibu hamil dan
keluarga secara benar. Intervensi yang dilakukan
melalui berbagai pesan KIA yang disampaikan oleh
hulango pada saat upacara adat molontalo khususnya
pada kegiatan tondalo dinilai tidak tepat, disebabkan
pada saat aplikasi hulango tidak dapat menyampaikan
semua pesan KIA pada ibu hamil dan keluarga yang
berada di kamar secara benar.
Hulango hanya melakukan kegiatan semua
syarat pelaksanaan upacara adat molontalo yang
menggunakan atribut sehingga hulango hanya
terfokus pada syarat dan berbagai atribut yang akan
dilakukan pada ibu hamil dan suaminya sehingga
tidak dapat menyampaikan pesan KIA secara baik
dan benar.
Pengetahuan hatibi tentang KIA juga sudah pada
tahap aplikasi di mana hatibi dapat menyampaikan
pesan KIA secara benar. Hatibi juga merupakan
seorang panutan dalam kalangan masyarakat
Pemanfaatan Upacara Molontalo dalam Menyampaikan Pesan Kesehatan (Massie, dkk.)
jadi diharapkan apa yang disampaikan hatibi bisa
dilakukan oleh keluarga maupun undangan yang turut
mendengarkan penyampaian semua pesan KIA ini.
Pengetahuan akan membentuk sikap yang merupakan
dorongan terhadap terjadinya perilaku. Pengetahuan
seseorang diharapkan dapat menyebabkan perubahan
sikap dan akan bertindak sesuai dengan pengetahuan
yang diketahuinya (Notoatmojo S, 2007).
Hulango dan hatibi telah menyampaikan pesan
KIA pada ibu hamil, keluarga maupun undangan
yang hadir diharapkan akan terjadi perubahan sikap
sehingga ibu hamil dapat memeriksakan kehamilannya
pada petugas kesehatan. Masyarakat memiliki suatu
potensi yang selalu dapat terus dikembangkan
artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali
tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah
punah. Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang
harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau
daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Dalam
hal ini masyarakat yaitu hulango dan hatibi dapat
diberdayakan dalam membantu menyampaikan
berbagai pesan KIA kepada ibu hamil dan keluarganya
untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas
kesehatan sehingga dapat menurunkan angka
kematian ibu maupun angka kematian bayi.
Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan
masyarakat saat ini adalah pola pemberdayaan yang
sifatnya bottom-up yaitu menghargai dan mengakui
bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi
untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan
permasalahannya, serta mampu melakukan berbagai
usaha produktif dengan prinsip swadaya dan
kebersamaan.
Intervensi yang dilakukan berupa penyampaian
promosi kesehatan KIA melalui banyak pesan KIA
yang disampaikan oleh hulango dan hatibi pada saat
upacara adat Molontalo dilaksanakan. Kegiatan ini
diharapkan sangat efektif dalam upaya penurunan
angka kematian ibu dan bayi terutama untuk ibu,
untuk keluarga, kerabat karena mereka mendapat
kesempatan untuk mendengarkan informasi
kesehatan ibu dan anak sebagai upaya pencegahan
terhadap kematian ibu hamil dan bayi, apalagi melalui
pemanfaatan budaya lokal dalam hal ini upacara
Molontalo yang masih dilakukan hingga saat ini oleh
semua lapisan masyarakat Gorontalo.
Oleh karena itu promosi kesehatan berupa
berbagai pesan kesehatan khususnya KIA tidak
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja
akan tetapi dapat saling membantu antara petugas
kesehatan dengan masyarakat (Depkes, 2002).
Peran pemberdayaan masyarakat yaitu hulango dan
hatibi dalam usaha penyampaian semua pesan KIA
pada masyarakat khususnya pada ibu hamil dan
keluarganya dapat terus dilaksanakan sehingga
membuat masyarakat menjadi semakin berdaya atau
merasa dilibatkan dalam bidang kesehatan khususnya
KIA.
Pemberian leaflet untuk hulango dianggap tidak
tepat karena isi leaflet lebih banyak kata, leaflet atau
modul yang berisi berbagai gambar KIA lebih tepat
diberikan kepada hulango. Proses penyampaian
pesan KIA dapat diganti dengan dilakukan tidak pada
saat acara tondalo di dalam kamar melainkan di waktuwaktu sebelum tondalo atau sesudah pelaksanaan
tondalo pada ibu hamil. Intervensi bagi habiti yang
dilakukan sudah baik hanya perlu dilakukan lagi pada
setiap kegiatan upacara adat molontalo.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam penelitian ROI-KIA ini ditemukan peran
dari dukun dalam hal mempersiapkan ibu hamil
dari awal kehamilan hingga persalinan, sehingga
dukun diharapkan mampu memberikan banyak pesan
kepada ibu hamil dan keluarganya agar memeriksakan
kehamilannya pada petugas kesehatan dan di fasilitas
kesehatan. Peran dari hatibi dalam hal ini sangat
diperlukan di mana hatibi dianggap merupakan
panutan oleh masyarakat. Peran dari bidan sendiri
tidak hanya pada saat melahirkan saja diharapkan
bidan memantau keadaan ibu hamil, namun juga
pada proses upacara adat molontalo yang dilakukan
pada usia kandungan 7 bulan. Pada kegiatan ini bidan
dilihatkan bukan hanya sebagai petugas kesehatan
yang dapat melakukan promosi kesehatan tetapi
bidan dapat bekerja sama dengan hulango dan hatibi
dalam melakukan promosi kesehatan KIA.
Keterbatasan dari riset operasional intervensi
ini antara lain hulango dan hatibi hanya diberikan
sosialisasi dan tidak lakukan simulasi atau praktek
dalam menyampaikan pesan KIA, sehingga pada
pelaksanaan upacara Molontalo hulango dan hatibi
tidak lancar pada saat menyampaikan pesan KIA.
Demikian pula, adanya keterbatasan waktu dari tim
peneliti sehingga tidak dilakukan evaluasi tentang
pelaksanaan upacara Molontalo lainnya sehingga
383
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384
semua pesan KIA ini hanya disampaikan oleh hulango
dan hatibi pada saat kegiatan penelitian saja.
Saran
Saran dari penelitian ini dan perlu dilakukan
evaluasi tentang pemahaman masyarakat kepada
upacara Molontalo ini perlu dilakukan untuk mengetahui
tingkat pemahaman masyarakat setelah mengikuti
upacara Molontalo terutama pemahaman pada
KIA. Setiap upacara Molontalo yang dilakukan oleh
masyarakat diharapkan melaksanakan penyampaian
berbagai pesan kesehatan KIA secara kontinyu dan
konsisten agar promosi kesehatan melalui upacara
adat Molontalo ini dapat terus berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, 2009. Pedoman pelayanan
antenatal di tingkat pelayanan dasar. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2004. Sistem Kesehatan
Nasional, Jakarta.
384
Departemen Kesehatan RI, 2002. Panduan ringkas
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan,
Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010. Profil
Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010.
Farha, D., 2006. Ragam upacara tradisional daerah
Gorontalo., Gorontalo: FSP, LSM Bele Li Mbui.
Gorontalo Family Portal’ 2011. Upacara Adat Gorontalo.
Tersedia pada
http://www.gorontalofamily.org/seni-budaya/upacaraadat/48-upacara-adat-molontalo-.html [diakses pada
bulan Oktober 2011].
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Leaflet Pusat Promosi
Kesehatan KIA. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Teori pemberdayaan.
Tersedia pada: http:blogspot.com/2012/03/konsepdefinisi dan teori pemberdayaan, [diakses pada
Nopember 2012].
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi kesehatan dan Ilmu
perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Artikel Penelitian
Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Perkotaan
dan Daerah Terpencil
Mother and Child Health Services Differences in the Urban and Remote Areas
Sori M. Sarumpaet* Bisara L. Tobing** Albiner Siagian***
*Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sumatera Utara, **Epi-Treat Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian/Pelayanan kepada
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, ***Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia berjalan lamban
dan tidak merata. Mutu layanan kesehatan sangat bervariasi karena distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui mutu layanan kesehatan ibu dan anak di daerah pedesaan
dan perkotaan. Survei ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mogang
yang mewakili daerah terpencil dan Puskesmas Buhit yang mewakili
wilayah perkotaan di Kabupaten Samosir. Mutu layanan kesehatan dinilai
dengan metode Services Quality. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata skor harapan untuk semua dimensi mutu layanan kesehatan di
Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang tinggi. Persepsi pelayanan kesehatan oleh pasien di Puskemas Buhit dan Puskesmas Mogang dimensi
tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability yang berbeda
(p < 0,05). Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap dimensi
tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty (p > 0,05).
Ada perbedaan nyata antara harapan dan kondisi mutu layanan kesehatan
yang dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang (p < 0,05). Harapan
masyarakat pada pelayanan kesehatan puskesmas yang lebih baik antara
masyarakat perkotaan dan pedesaan hampir sama. Hal ini mengindikasikan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak yang diberikan oleh
puskemas belum memenuhi harapan masyarakat.
Kata kunci: Pelayanan kesehatan, puskesmas, kesehatan ibu dan anak
Abstract
The purpose of the study is to understand the quality of service of mother
and child health service in both urban and rural areas in District of Samosir.
This cross sectional study was conducted in two health center areas representing rural (Puskesmas Mogang) and urban (Puskesmas Buhit) in District
of Samosir. In measuring the quality of service, Servqual concept of Albert
Parasuraman was used. Result shows that the score for all expectations are
high for all of health service dimension both in Puskesmas Mogang and
Puskesmas Buhit. There are differences in perception of patients with regard to tangibility, reliability, empathy, accessibility, and affordability (p <
0,05) between those of Puskesmas Buhit and Mogang. There is no differences in perception of community at large both in Mogang and Buhit regarding tangibility, reliability, responsiveness, assurance, and empathy (p >
0,05). There are significant differences on expectation and the reality of
health service quality (p < 0,05) as it perceived by the community in both
Puskesmas Buhit and Puskesmas Mogang. Community’s expectations of
better health services quality are profound in both urban and rural areas. It
is concluded that the existing quality of service not meeting the community
expectation.
Key words: Health services, primary health center, maternal and child
health
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir, pelayanan kesehatan
masyarakat di Indonesia mengalami banyak kemajuan,
tetapi perbaikan yang terjadi tidak merata. Di banyak
provinsi dan kabupaten, perbaikan pelayanan kesehatan
dasar masih terlihat lamban dan sangat bervariasi antardaerah satu dengan yang lain.1 Hal ini antara lain terjadi
akibat distribusi tenaga dan sarana kesehatan lain yang
tidak merata terutama antara daerah perkotaan dan
pedesaan. Hal tersebut pada gilirannya akan berdampak
pada perbedaan mutu pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada masyarakat. Di sisi lain, kondisi
kemiskinan yang meluas, status gizi yang buruk, kondisi
geografi yang terisolasi, air bersih yang sulit, dan keberAlamat Korespondensi: Sori M. Sarumpaet, Departemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Jl. Universitas
No.21 Medan, Hp. 0811640351, e-mail: [email protected]
147
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012
sihan lingkungan yang tidak terpelihara juga turut
berperan. Semua keadaan tersebut bersenyawa dengan
kondisi sosioekonomi di Indonesia dan pada akhirnya
berkontribusi meningkatkan angka kesakitan dan kematian terutama bayi dan ibu di berbagai provinsi.
Untuk menjembatani kesenjangan mutu pelayanan
kesehatan tersebut diperlukan informasi/data yang
memadai dan terkini, yang diperlukan sebagai dasar
penyusunan program dan perencanaan pembangunan kesehatan di daerah perkotaan dan pedesaan terutama
daerah terpencil. Dengan data dan informasi tersebut,
upaya perbaikan dapat dilakukan melalui pengembangan
sistem kesehatan masyarakat pada tingkat kabupaten dan
kecamatan.2 Untuk itu, diperlukan suatu survei yang
mampu mengungkapkan kesenjangan pelayanan kesehatan di daerah perkotaan dan pedesaan terutama di
daerah terpencil. Salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara yang tergolong daerah terpencil menurut
kriteria Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas) adalah Kabupaten Samosir. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui kesenjangan mutu pelayanan kesehatan di daerah pedesaan
terpencil dan perkotaan di Kabupaten Samosir.
Metode
Penelitian ini merupakan survei yang menggunakan
rancangan studi potong lintang (cross sectional). Lokasi
penelitian adalah Kabupaten Samosir yang diambil secara acak dari daftar kabupaten terpencil di Provinsi
Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan
September 2009 sampai dengan Desember 2009.
Wilayah kerja Puksesmas Buhit Kecamatan Panguruan
mewakili daerah perkotaan dan wilayah kerja Puskesmas
Mogang Kecamatan Palipi mewakili daerah pedesaan terpencil. Populasi adalah rumah tangga yang mempunyai
balita dan pernah hamil/melahirkan di wilayah kerja
puskesmas di perkotaan dan daerah terpencil Kabupaten
Samosir. Untuk daerah perkotaan, sampel diambil secara
purposive dari 2 desa terpencil di wilayah kerja
Puskesmas Buhit. Sementara itu, untuk wilayah terpencil dipilih secara purposive dari 2 desa terdekat ke
Puskesmas Mogang.
Perkiraan diharapkan akan berada 10% dari proporsi sesungguhnya dengan tingkat kepercayaan 95%. Cara
penghitungan yang digunakan adalah dengan perkiraan
proporsi populasi menggunakan ketepatan absolut spesifik.3 Diperkirakan proporsi populasi sebesar 50% (proporsi pasien yang puas tidak diketahui). Besar sampel
minimum yang dibutuhkan adalah 96 (dibulatkan menjadi 100) untuk setiap kelompok sehingga jumlah sampel
untuk setiap puskesmas adalah 100. Responden adalah
ibu yang mempunyai balita dan sudah tinggal di desa
tersebut minimal 6 bulan. Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur
148
yang telah diuji coba.
Metode deskriptif statistik dipakai untuk menghitung
rata-rata dan simpangan baku dari kepuasan dan harapan
pada keenam dimensi. Dimensi dari pelayanan yang diharapkan dengan nilai rata-rata tertinggi merupakan
pelayanan yang diinginkan pasien. Untuk mengetahui
apakah ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata
kepuasan dan rata-rata harapan dari tiap dimensi dilakukan uji Z (untuk sampel di atas 30) dengan uji 2 sesi
pada 5% tingkat kemaknaan. Kriteria keputusan adalah
ada kesenjangan yang bermakna jika nilai p < 0,05.
Analisis mutu layanan kesehatan dilakukan dengan
menggunakan Service Quality (Servqual).4,5
Hasil
Secara umum, distribusi penduduk berdasarkan
kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan
Puskemas Mogang menunjukkan pola yang sama. Jumlah
balita pada keluarga responden untuk Puskesmas Buhit
dan Puskesmas Mogang masing-masing adalah 130 dan
115. Kelompok umur terbanyak di wilayah kerja
Puskesmas Buhit maupun Puskesmas Mogang adalah 5 _
14 tahun. Hal ini berarti bahwa kelompok anak-anak
mendominasi struktur penduduk pada keluarga responden. Hal tersebut beralasan karena populasi dalam
penelitian adalah keluarga yang mempunyai anak balita
sehingga umumnya keluarga mempunyai anak yang berumur 5 _ 14 tahun. Rata-rata jumlah anggota rumah
tangga responden di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan
Puskesmas Mogang hampir sama yaitu 4,93 untuk
Puskesmas Buhit dan 5,07 untuk Puskesmas Mogang.
Status Sosial Ekonomi
Secara umum, tingkat pendidikan keluarga responden, ayah dan ibu rumah tangga, lebih tinggi di wilayah
kerja Puskesmas Buhit dibandingkan Puskesmas
Mogang. Di wilayah kerja Puskesmas Buhit, keluarga responden, suami atau istri, umumnya berpendidikan lulusan SLTA yaitu masing-masing 67,0% dan 66,0%. Di
wilayah kerja Puskesmas Mogang, tingkat pendidikan
suami atau istri lebih banyak lulusan SD yaitu masingmasing 42,0% dan 37,0%. Hanya sebagian kecil keluarga suami atau istri pada keluarga responden yang berpendidikan perguruan tinggi untuk Puskesmas Buhit
(12,0%) dan Puskesmas Mogang (3,0%). Hal yang
menggembirakan adalah semua keluarga responden sudah berpendidikan minimal lulus SD, kecuali seorang ibu
rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Mogang.
Umumnya pekerjaan keluarga responden di wilayah kerja Puskesmas Mogang adalah petani/nelayan (96,0%).
Di wilayah kerja Pusekesmas Buhit, jenis pekerjaannya
sedikit bervariasi. Sebanyak 50,0% suami dan 69,0%
istri bekerja sebagai petani/nelayan. Sisanya bekerja sebagai wiraswasta, pegawai negeri sipil (PNS)/pensiunan
Sarumpaet, Tobing & Siagian, Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Tabel 1. Keluarga yang Pernah Dikunjungi Petugas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buhit dan
Puskesmas Mogang Tahun 2009
Puskesmas Buhit
Variabel
Kunjungan petugas kesehatan
Menghadiri penyuluhan
Anjurkan berobat ke puskesmas
Berobat ke puskesmas lain
Puskesmas Mogang
Kategori
Pernah
Tidak pernah
Pernah
Tidak pernah
Tidak tahu
Ya
Tidak
Ya
Tidak
dan buruh. Hal tersebut dapat dimaklumi karena wilayah
kerja Puskesmas Buhit termasuk Kota Pangururan, ibu
kota Kabupaten Samosir, yang mempunyai lebih banyak
pilihan pekerjaan dibandingkan di wilayah kerja
Puskesmas Mogang yang merupakan daerah pedesaan
dan pertanian.
Kualitas Layanan Kesehatan
Di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Mogang, pada
tahun 2009, keluarga yang mempunyai balita yang pernah dikunjungi oleh petugas kesehatan sekitar 32,0%
dan 20,0%. Secara umum mereka menilai kunjungan
tersebut baik. Partisipasi masyarakat untuk mengikuti
penyuluhan kesehatan masih tergolong rendah. Keluarga
balita yang pernah menghadiri penyuluhan kesehatan relatif sangat kecil, di wilayah kerja Puskesmas Buhit hanya
30,0% jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah kerja
Puskesmas Mogang (1,00%). Kesibukan bekerja di
bidang pertanian menjadi alasan klasik persentase
keikutsertaan yang rendah tersebut. Sebagian besar
masyarakat tidak menganjurkan orang lain untuk berobat ke puskesmas. Proporsi yang menganjurkan orang
lain berobat ke Puskesmas Buhit dua kali lebih besar
dibandingkan Puskesmas Mogang. Walaupun dalam
penelitian ini tidak ditanyakan alasannya, diduga hal
tersebut berkaitan dengan tidak tersedianya peralatan
memadai di puskesmas. Sebagai contoh, jika seseorang
mengalami kecelakaan lalu lintas, responden akan
menganjurkan dibawa ke rumah sakit dibandingkan
puskesmas karena peralatan di puskesmas diperkirakan
tidak memadai untuk menangani pasien kecelakaan.
Hampir semua keluarga tidak pernah berobat ke
puskesmas lain, kecuali ketika berada di luar wilayah
puskesmas tempat tinggal (Lihat Tabel 1).
Persepsi tentang Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Secara umum, skor rata-rata persepsi untuk 5 dimensi mutu pelayanan kesehatan yang meliputi tangibility, re-
n
%
n
%
32
68
30
69
1
39
61
3
97
32,0
68, 0
30,00
69,00
1,00
39,00
61,00
3,00
97,00
20
80
1
98
1
17
83
1
99
20,00
80,00
1,00
98,00
1,00
17,00
83,00
1,00
99,00
liability, responsiveness, assurance, emphaty, accessibility, dan affordability berbeda antara harapan dan kondisi
kini. Di Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang, skor rata-rata harapan untuk semua dimensi mutu layanan kesehatan lebih tinggi. Hal ini sangat masuk akal karena
manusia selalu mengharapkan pelayanan yang lebih baik
untuk mendapat kepuasan yang lebih baik.6 Fakta ini menunjukkan bahwa mutu layanan kesehatan masyarakat
yang diberikan oleh kedua puskemas belum dapat
memenuhi harapan yang mereka idamkan.
Terlihat hasil uji beda rata-rata persepsi keluarga terhadap dimensi mutu layanan kesehatan saat ini antara
layanan di Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang. Ada
perbedaan persepsi keluarga terhadap tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability antara
pelayanan kesehatan di Puskemas Buhit dan Puskesmas
Mogang. Berdasarkan rata-rata skor, persepsi pasien
Puskesmas Mogang lebih baik dibandingkan Puskesmas
Buhit. Salah satu alasan adalah kenyataan bahwa
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang mempunyai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan yang terbatas
dibandingkan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Buhit. Dengan demikian, mereka tidak mempunyai perbandingan tentang penyedia pelayanan kesehatan lain.
Sementara, masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit
mempunyai pilihan rumah sakit pemerintah, klinik
swasta, dan praktik dokter (Lihat Tabel 2).
Ada perbedaan yang nyata antara harapan dan kondisi
mutu pelayanan kesehatan yang dipersepsikan oleh
masyarakat pengguna puskesmas di Puskesmas Buhit dan
Puskesmas Mogang. Masyarakat biasanya menetapkan
harapan mutu pelayanan tinggi yang harus diberikan oleh
puskesmas. Fakta ini juga mengindikasikan pelayanan kesehatan yang dirasakan kini masih belum memenuhi
harapan masyarakat pengguna puskesmas (Lihat Tabel
3).
Secara umum, masyarakat di kedua wilayah kerja
puskesmas mempunyai harapan terhadap kemutakhiran
149
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012
Tabel 2. Rata-Rata Skor Persepsi Harapan dan Kondisi Keluarga Balita terhadap Dimensi
Pelayanan Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang
Dimensi Layanan Kesehatan
Tangibility
Reliability
Responsiveness
Assurance
Emphaty
Accessibility and affordability
Puskesmas Buhit
Puskesmas Mogang
Rata-rata Skor Persepsi
Rata-rata Skor Persepsi
Harapan
Saat ini
Harapan
Saat ini
8,48
8,18
8,11
8,48
8,05
7,98
6,94
7,21
7,38
7,18
6,80
7,44
8,44
8,21
8,17
8,46
8,04
8,17
7,24
7,50
7,38
7,59
6,76
5,52
Tabel 3. Persepsi Keluarga terhadap Dimensi Layanan Kesehatan di Wilayah Kerja
Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang
Dimensi Layanan Kesehatan
Rata-rata Skor
Tangibility
Reliability
Responsiveness
Assurance
Emphaty
Accessibility and affordability
6,94
7,24
7,21
7,50
7,38
7,38
7,18
7,59
6,80
6,76
7,44
5,52
F
Nilai p
6,518
0,012*
6,555
0,011*
0,155
0,694
0,003
0,955
4,314
0,040*
6,660
0,011*
Keterangan: *Signifikan pada α = 0,05
peralatan kedokteran/kesehatan, kebersihan puskesmas,
kerapian dokter, petunjuk yang jelas di puskesmas, dan
kerahasiaan pemeriksaan pasien (tangibility). Pasien juga menaruh harapan yang besar pada petugas kesehatan
agar dapat merasakan apa yang mereka rasakan seperti
pengobatan sesuai dengan keluhan pasien, perhatian, dan
kemampuan dokter/petugas kesehatan menciptakan rasa
nyaman pada pasien (emphaty). Khusus untuk pasien di
wilayah kerja Puskesmas Mogang, mereka mangharapkan agar akses mereka ke puskesmas lebih baik. Mereka
juga mengharapkan agar dokter tidak melakukan pemeriksaan dan memberikan obat yang tidak perlu ke
pasien (accessibility and affordability) (Lihat Tabel 4).
Pembahasan
Pembangunan kesehatan atau pelayanan kesehatan
yang harus diberikan kepada masyarakat di Indonesia
belum maksimal.6 Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa terdapat kesenjangan status sosioekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Buhit (mewakili daerah perko150
taan) dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Mogang (mewakili daerah terpencil/pedesaan).
Perbedaan status sosioekonomi akan berdampak pada
akses masyarakat ke layanan kesehatan bermutu.
Kemampuan suatu rumah tangga untuk mengakses
pelayanan kesehatan berkaitan dengan ketersediaan
sarana pelayanan kesehatan serta kemampuan ekonomi
untuk membayar biaya pelayanan.7 Hasil ini berbeda
dengan temuan lainnya yaitu status ekonomi tidak
berhubungan bermakna dengan pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah. 8 Masyarakat di
pedesaan memiliki akses ke pelayanan kesehatan lebih
rendah karena terbatasnya fasilitas kesehatan, rendahnya
pengetahuan kesehatan, dan pendapatan yang rendah.
Hal senada juga dinyatakan oleh Schur dan Franco,9 bahwa masalah kesehatan pada masyarakat di pedesaan
berkaitan dengan pendapatan yang rendah, pemanfaatan
fasilitas kesehatan yang rendah, dan kepemilikan asuransi kesehatan yang tidak memadai. Hasil temuan di
Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa aksesibilitas
terutama jarak tidak menjadi penghambat memanfaatkan
Sarumpaet, Tobing & Siagian, Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Tabel 4. Beda Rata-rata (Zα) Persepsi Harapan Keluarga terhadap Dimensi Layanan
Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang
Dimensi Layanan Kesehatan
Rata-rata Skor
F
Nilai p
8,48
8,44
8,18
8,21
8,11
8,17
8,48
8,46
8,05
8,04
7,98
8,17
0,001
0,972
0,230
0,633
0,879
0,350
0,923
0,338
0,887
0,348
4,662
0,032*
Tangibility
Realibility
Responsiveness
Assurance
Emphaty
Accessibility and affordability
Keterangan: *Signifikan pada α = 0,05
fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah dan
swasta.8
Penelitian perbedaan layanan kesehatan antara
pedesaan dan perkotaan di Amerika Serikat, Ormond, et
al,10 juga menemukan bahwa terjadi kesenjangan akses
dan pemanfaatan fasilitas kesehatan antara masyarakat
pedesaan dan perkotaan. Dalam hal mempersempit kesenjangan mutu layanan kesehatan antara pedesaan dan
perkotaan yang dinilai dari indikator kesehatan membutuhkan sistem layanan kesehatan yang inovatif, komprehensif, berbasis masyarakat, dan relatif murah agar terjangkau oleh masyarakat.11
Akses ke pelayanan kesehatan dilihat dari jarak dan
waktu tempuh serta biaya yang dikeluarkan untuk mencapai pelayanan kesehatan.7 Tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan yang rendah di pedesaan selain karena
jaraknya yang jauh juga berkaitan dengan kunjungan
petugas kesehatan ke rumah masyarakat. Sebanyak 80%
(di perkotaan 60%) masyarakat di pedesaan mengaku
tidak pernah dikunjungi petugas kesehatan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa petugas kesehatan kurang memperhatikan mereka. Temuan senada juga diperoleh Trimurthy,12 yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pemanfaatan ulang layanan kesehatan
rawat inap puskesmas dengan empati pelayanan petugas
kesehatan.
Seluruh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit
dan Puskesmas Mogang adalah penduduk asli dan dilahirkan di Provinsi Sumatera Utara.13 Umumnya, keluarga responden sudah tinggal di daerah tersebut lebih
dari 15 tahun. Harapan masyarakat pada layanan kesehatan puskesmas di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan
Mogang hampir sama, seperti ditunjukkan oleh hasil uji
beda rata-rata persepsi masyarakat di kedua wilayah kerja puskesmas. Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat
terhadap dimensi tangibility, reliability, responsiveness,
assurance, dan emphaty, kecuali dimensi accessibility
and affordability. Skor rata-rata persepsi harapan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang terlihat
lebih tinggi dibandingkan di wilayah kerja Puskesmas
Buhit. Dokter harus ada sesuai jam kerja di puskesmas
dan pasien dilayani sesuai dengan nomor urut pendaftaran. Pasien di kedua wilayah kerja puskesmas mengharapkan dokter menguasai bidangnya dan puskesmas
dibuka tepat waktu (reliability). Sementara pasien
puskesmas juga berharap agar dokter dan petugas kesehatan bersifat menolong, melayani dengan cepat, dan dapat meyakinkan pasien (responsiveness).14 Kenyataan ini
didukung oleh temuan Trimurthy,12 yang mengungkapkan bahwa bukti langsung layanan kesehatan antara lain
sifat menolong, cepat melayani, dan tepat waktu
berhubungan positif dengan keinginan masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan di puskesmas.
Sementara itu, Jian et al,15 mengungkapkan bahwa pendekatan bentuk layanan kesehatan yang berbeda antara
pedesaan dan perkotaan berperan mengurangi kesenjangan akses masyarakat ke layanan kesehatan.
Fakta ini mengindikasikan bahwa masyarakat di
wilayah Puskesmas Buhit tidak terlalu banyak keinginan/harapan berkaitan dengan akses/keterjangkauan ke
puskesmas karena puskesmas mudah dijangkau dari
seluruh wilayah kerja puskemas. Berbeda dengan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang, mereka masih mempunyai harapan puskesmas yang lebih terjangkau atau lebih dekat karena akses ke puskesmas
yang sulit, baik dari segi jarak maupun sarana transportasi.
Kesimpulan
Skor rata-rata harapan untuk semua dimensi mutu
layanan kesehatan dibandingkan mutu layanan saat ini di
Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang lebih tinggi.
151
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012
Ada perbedaan persepsi keluarga/pasien terhadap tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability antara layanan kesehatan yang dipersepsikan oleh
pasien di Puskemas Buhit dan Puskesmas Mogang.
Sementara itu, tidak ada perbedaan persepsi masyarakat
terhadap dimensi tangibility, reliability, responsiveness,
assurance, dan emphaty. Terlihat perbedaan nyata antara harapan dan kondisi mutu layanan kesehatan yang
dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas,
baik di wilayah kerja puskesmas Buhit dan Puskesmas
Mogang. Harapan masyarakat pada pelayanan kesehatan
puskesmas yang lebih baik hampir sama antara
masyarakat di perkotaan dan daerah terpencil. Hal ini
mengindikasikan bahwa mutu pelayanan kesehatan ibu
dan anak yang diberikan oleh puskemas belum dapat
memenuhi harapan masyarakat.
4. Parasuraman A, Berry, Zeithaml. SERVQUAL: A multiple-item scale
for measuring customer perceptions of service quality. Journal of
Retailing. 1988; 64 (1): 12-40.
5. Landrum H, Prybutok V, Zhang X, Peak D. Measuring IS system, service quality with SERVQUAL: users’ perceptions of relative importance
of the five SERVPERF dimensions. The International Journal of
Emergencing Transdiscipline. 2009; 12.
6. Zahtamal, Restuastuti T, Chandra F. Perilaku masyarakat dan masalah
pelayanan kesehatan ibu dan anak di Provinsi Riau. Kesmas, Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 (6): 254-61.
7. Sartika RAD. Analisis pemanfaatan program pelayanan kesehatan status gizi balita. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 5
(2): 76-83.
8. Sulistyorini A, Purwanta. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta di Kabupaten Sleman. Kesmas, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2011; 5 (4): 178-84.
9. Schur C, Franco S. Access to health care. In: Thomas C, editor. Rural
Saran
Perlu peningkatan mutu layanan kesehatan kedua
puskesmas secara menyeluruh untuk meningkatkan
persepsi dan pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, dibutuhkan pendekatan yang berbeda
dalam pemberian layanan kesehatan untuk memperkecil
kesenjangan akses masyarakat dan mutu layanan kesehatan antara pedesaan dan perkotaan.
health in the United States. Ricketts III. New York: Oxford University
Press; 1999.
10. Ormond BA, Zuckerman S, Lhila A. Rural/urban differencies in health
care are not uniform across states. National Survey of America’s
Families. 2000; B (B-11).
11. Mehryar AM, Aghajanian A, Ahmad-Nia S, Mirzae M, Naghavi M.
Primary health care system, narrowing of rural–urban gap in health indicators and rural poverty reduction: the experience of Iran. Procedings
of the XXV General Population Conference of the International Union
for the Scientific Study of Population; 2005 july 18-23; Tours, France;
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang mendanai
penelitian ini.
2005.
12. Trimurthy IGA. Analisis hubungan persepsi pasien tentang mutu
pelayanan dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan kesehatan rawat
jalan Puskesmas Pandaranan Kota Semarang [tesis]. Semarang:
Universitas Dipanegoro; 2008.
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik dan Macro International. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2002. Calverton, Maryland, United States of
America: Badan Pusat Statistik dan Macro International; 2002.
2. Badan Pusat Statistik dan Macro International. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, United States of
America: Badan Pusat Statistik dan Macro International; 2007.
3. Lwanga and Lameshaw. Metode penelitian kesehatan. 2007.
152
13. Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. Profil kesehatan Kabupaten
Samosir tahun 2008. Samosir: Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir;
2009.
14. Mangkunegara AAAP. Evaluasi kinerja sumber daya manusia. Bandung:
Refika Aditama; 2005.
15. Jian W, Chan K, Reidpath DD, Xu L. 2010. China’s rural-urban care gap
shrank for chronic disease patients, but inequities persist. Health
Affairs. 2010; 29: 122189-96.
Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
yang Dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan
(The Difference Perceive of Society About Health of The Mother and Child was
did by Medicine Women and Midwaife)
Siti Maryam dan Widya Lusi Arisona
ProgramStudiDIIIKebidanan
UniversitasTulungagung
abstrak
Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu wujud hak asasi perempuan dan anak, akan tetapi pada saat ini kesehatan ibu dan
anak di Indonesia masih belum menggembirakan dikarenakan banyak faktor salah satunya adalah sosial budaya dan kepercayaan
tradisional masih tinggi kepada dukun bayi. Tujuan penelitian Membuktikan Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu
dan Anak yang dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan observasional dan rancangan
komparasi, Pendekatan waktu cross sectional, Teknik sampling purposive random sampling, dan didapatkan jumlah sampel 144
responden. Analisis menggunakan uji statistik uji T test, didapatkan (p>0,605) maka tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan
ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan. Persepsi dipengaruhi oleh banyak
faktor salah satunya adalah pengalaman, tetapi persepsi sendiri mempunyai faktor lain yang memengaruhi yaitu perhatian terhadap
sesuatu, jika seseorang tidak ada perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya tidak berpengaruh, di samping itu untuk
mempersepsikan segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan, kemampuan dan didukung oleh kemauan. Responden yang
pernah ke dukun bayi ataupun responden yang pernah ke bidan untuk memperoleh informasi memiliki peluang yang sama untuk
mendapatkan informasi sehingga dengan keadaan tersebut memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang kesehatan ibu dan
anak.
Kata Kunci: Persepsi masyarakat, dan kesehatan ibu dan anak.
abstract
The health of mother and child is one of the rights women and children, but in this time the health of mother and child in Indonesia
are still not enjoying, because many factors of society. One of the factors is social cultural and traditional beliefs are still high of
medicine women. Perception research goal proved the difference perceive of society about health of the mother and child was did by
medicine women and midwaife. Type of observational analytic study approach and design comparison. Time approach used cross
sectional, Technique Sampling used was purposive random sampling, and obtained 144 total sample of respondents. Analysis using
statistical test T test, it was found (p > 0.605) then there is no difference in perceptions of maternal and child health between groups
of service users and user groups midwives. Perception basically influenced by many factors, one of which was an experience, but
the perception it self have other factors that influence the attention to something, if someone not attention to anything the same
perception was not affected. Besides that everything needed to perceive the carrying capacity of knowledge, skills and backed by the
will. Respondents who have been to traditional birth attendants or midwives person ever to have the opportunity to obtain the same
information to obtain information, so that with the situation it, the society easier thoo perceive about the health of mother and child.
Key Word: the perception people about maternal and child health.
pendahuluan
Kesehatanibudananakmerupakansalahsatuwujud
hak asasi perempuan dan anak. Akan tetapi pada saat
inikesehatanibudananak,khususnyabayibarulahirdi
Indonesia masih belum menggembirakan. Hal tersebut
terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI)
yaitu 334 per seratus ribu kelahiran hidup dan angka
kematianbayibarulahir21,8perseribukelahiranhidup
(SDKI 1977). Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah
satu indikator kesehatan ibu yang sampai sekarang
ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI di negara
ASEANlainnya.(MaryamSiti.2012;1-4)
Menurut Poedji 2003 menjelaskan bahwa faktorfaktor yang mempunyai pengaruh terhadap kelambanan
penurunan AKI di Indonesia adalah 1) letak geografis
Negara Indonesia merupakan kepulauan, pegunungan,
daratan rendah dengan sungai serta bahaya banjir besar,
mempunyai banyak desa-desa terpencil yang jauh dari
pelayanan kesehatan; 2) persalinan rumah masih tinggi
70%karenamasihbanyakmemilihmelahirkandirumah
di antara keluarga dalam lingkungan dalam suasana
yangakrabdanfamiliardankelahiranmasihmerupakan
fenomena sosial; 3) sosial budaya dan kepercayaan
tradisional masih tinggi antara lain kepada dukun;
4) sosial ekonomi rendah dengan kemampuan biaya
6
terbatas. Berdasarkan hasil Assessment safe motherhood
di Indonesia pada tahun 1990/1991 menjelaskan bahwa
kualitas pelayanan antenatal yang diperoleh, dukun
belumsepenuhnyamampumelaksanakandeteksidiniibu
risikotinggi.(Poedji.2003;1-3)
Dukunbayiadalahorangyangdianggaptrampildan
dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan
danperawatanibudananaksesuaikebutuhanmasyarakat.
Keterampilandukunbayipadaumumnyadidapatmelalui
system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat
terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan
system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi
pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat
setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam
hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu
dananak.Namundemikianketerampilantersebutbukan
didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari
pendidikanakantetapidarikebiasaan.(DepkesRI.1993:
3-5)
Berdasarkan hasil analisis RISKESDAS, 2010
menunjukkan proporsi kelahiran atau persalinan yang
terjadipada5tahunsebelumsurvey,didapatkanproporsi
persalinanyangditolongtenagakesehatanadalah80,2%
dan 19,7 % persalinan ditolong oleh bukan tenaga
kesehatan, dan tercatat 0,1 % tidak bertanggung jawab.
Dan juga didapatkan bahwa masih adanya ibu hamil
memeriksakan kehamilannya ke dukun yaitu 3,2%,
dan tidak melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan
olehmasyarakatmasihbelumoptimal.(Riskesdas.2010:
40-47)
Persamaan persepsi dan kesatuan strategi sangat
diperlukantenagakesehatansejakdarimasyarakat,dukun
bayi, pemerintah dan instansi yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan, agar tercapai derajat kesehatan
ibu dan anak secara optimal dengan menurunnya angka
kematian ibu dan anak di Indonesia. (Poedji Rochjati.
2003:86)
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik
untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul,”
Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu
dan Anak yang dilakasanakan oleh Dukun Bayi dan
Bidan”.
tujuan penelitian
MembuktikanPerbedaanPersepsiMasyarakattentang
KesehatanIbudanAnakyangdilaksanakanolehDukun
BayidanBidan.
tinjauan pustaka
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan
seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon
bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19
Persepsiadalahsuatuprosespengenalanatauidentifikasi
sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever,
dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu
sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah
diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang
dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan
yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar
akansegalasesuatudalamlingkungannyamelaluiinderainderayangdimilikinya.(Susanti,2003:40-45)
Dukunbayiadalahorangyangdianggaptrampildan
dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan
danperawatanibudananaksesuaikebutuhanmasyarakat.
Keterampilandukunbayipadaumumnyadidapatmelalui
system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat
terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan
system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi
pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat
setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam
hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu
dananak.(DepkesRI.1993;4–5)
Sedangkan tugas bidan desa secara khusus adalah
bertanggung jawab terhadap program Kesehatan Ibu
Dan Anak (KIA) termasuk keluarga berencana. Tujuan
pemanfaatan bidan adalah untuk meningkatkan mutu
dan pemerataan pelayanan kesehatan KIA (Kesehatan
Ibu Dan Anak) yang meliputi: peningkatan khususnya 5
program prioritas di desa yang meliputi Kesehatan Ibu
DanAnak,keluargaberencana,imunisasi,perbaikangizi
dan penanggulangan diare. (Depkes, R.I. 2001: 20-23),
Bidan juga mempunyai tugas melaksanakan supervisi
ataubimbingandanpembinaankepadadukunbayiyang
berada di wilayah kerjanya serta menjalin kerjasama
dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Depkes RI.
1998:5-8)
Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang
mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui,
ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah.
(DinkesJatim.2002:2-9)
metode penelitian
Model penelitian yang digunakan adalah metode
survey analitik yang dilakukan pada tanggal 1 Agustus
samapidengan20Oktober2013dengantempatpenelitian
didesaSambijajarKecamatanSumbergempolKabupaten
Tulungagung, Jenisnya analitik dengan pendekatan
observasional yang bertujuan menggambarkan keadaan
serta menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi
terjadimya sesuatu, dan juga digunakan untuk
menggambarkan dan menggali secara luas persepsi
masyarakatpenggunajasadukunbayidanbidantentang
kesehatanibudananak.Sedangkanrancanganpenelitian
iniadalahrancangankomparasiyaitumembedakanantara
variabel1danvariabel2tentangkesehatanibudananak.
Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Pendekatan waktu yang digunakan dalam penelitian
ini adalah belah lintang atau cross sectional, Populasi
penelitianiniadalahseluruhmasyarakatsambijajaryang
berjumlah 1437. Dan teknik sampling yang di gunakan
adalah porposive random sampling yang sesuai dengan
kriteriainklusidenganjumlahresponden144responden.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner
tertutupyangberjumlah15denganpilihanjawabansetuju
dantidaksetuju.
purposive random sampling, yang dilaksanakan pada
tanggal1Agustuss/d20Oktober2013
Berdasarkan tabel 1 diketahui rata-rata umur
responden pada kelompok pengguna jasa dukun bayi
berbeda dengan kelompok pengguna jasa bidan yaitu
49,4 tahun dan 28,9 tahun. Sedangkan berdasarkan latar
belakang pendidikan responden pada tabel 1 diketahui
hampir seluruhnya responden (61) berpendidikan SD
padaPenggunaJasaDukundansebagiankecil(15)pada
PenggunajasaBidan.
Hasilanalisispengetahuantentangkesehatanibudan
anak antara kelompok pengguna jasa dukun bayi dan
kelompok pengguna jasa bidan dapat disajikan dalam
grafikboxplotdibawahini:
Berdasarkan gambar 1 diketahui pada kelompok
pengguna jasa dukun bayi memiliki skor persepsi hampir
samadengankelompokpenggunajasabidan.
hasil penelitian
Pada penelitian ini responden yang terpilih sebagai
sampel penelitian ibu yang sudah memiliki anak di
desa Sambijajar Kecamatan Sumbergempol Kabupaten
Tulungagung. Sebanyak 144 ibu yang diambil secara
30
28
Persepsi
26
24
22
20
18
16
Kelompok ke Bidan
Kelompok ke Dukun Bayi
Kelompok
Gambar 1.Perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantarakelompokpenggunajasadukunbayidankelompokpengguna
jasabidan
Tabel 1.DistribusiFrekuensiUmurdanpendidikanResponden
No.
1
2
Umur(Tahun)
Termuda Tertua
39
58
22
35
KelompokUmur
PenggunaJasaDukun
PenggunajasaBidan
Rata-Rata
(Mean)
49,4
28,9
SD
61
15
Pendidikan
SMP
SMA
11
0
47
12
PT
0
2
Jumlah
72
72
Sumber:datahasilpenelitian2013
Tabel 2.HasilAnalisisUjiT TetsPerbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantaraKelompokpenggunajasa
dukunbayidankelompokpenggunajasabidan
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
Persepsi
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
F
1,471
Sig.
,227
t-test for Equality of Means
t
,518
,512
142
Sig. (2-tailed)
,605
Mean
Difference
,269
Std. Error
Difference
,520
122,831
,610
,269
,527
df
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-,758
1,297
-,773
1,312
Berdasarkan tabel 2 diketahui tidak ada perbedaan
persepsitentangkesehatanibudananakantaraKelompok
pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa
bidan(p>0,605).
pembahasan
Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang
mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui,
ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah.
Kesehatan pada masa tersebut sangat perlu mendapat
pemantauan karena jika terdapat penyimpangan dan
ketidaknormalan agar segera dapat ditanggulangi
atau dicari penatalaksanaan yang tepat. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat termasuk didalamnya
penurunan kematian ibu dan anak, akan berhasil bila
mengikutsertakan masyarakat. Dukun bayi adalah salah
satu warga masyarakat yang sangat berpotensi dalam
upaya peningkatan kesehatan tersebut, karena dukun
adalah orang yang terdekat dengan masyarakat. Selaras
dengan keterampilannya dukun bayi memiliki fungsi
dalam perawatan kesehatan ibu dan anak diantaranya
yaitu memberi perawatan ibu hamil normal, pengenalan
dan rujukan ibu hamil risiko tinggi dan penyulit dalam
kehamilan, perawatan ibu nifas, perawatan bayi baru
lahir, dan pengenalan dan rujukan masa nifas dan bayi
untuk imunisasi. Agar dukun dapat melaksanakan
fungsinyadenganbaikmakaperluadanyapembinaandan
pemantauansecaraterusmenerusdanberkesinambungan
dari petugas kesehatan khususnya bidan. Sedangkan
Tugas pokok bidan adalah memelihara dan melindungi
masyarakat di wilayah kerjanya berdasarkan prioritas
masalah yang dihadapi dan yang sesuai dengan
kewenangan yang diberikan. Sedangkan tugas bidan
secara khusus adalah bertanggung jawab terhadap
program Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) termasuk
keluarga berencana. Tujuan pemanfaatan bidan adalah
untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan
kesehatanKIA(KesehatanIbuDanAnak)yangmeliputi:
peningkatankhususnya5programprioritasdidesayang
meliputi Kesehatan Ibu Dan Anak, keluarga berencana,
imunisasi,perbaikangizidanpenanggulangandiare.
Persepsi adalah pandangan seseorang terhadap
sesuatu yang akan membuat respons bagaimana dan
dengan apa seseorang akan bertindak. Persepsi juga
merupakan suatu proses pengenalan atau identifikasi
sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever,
dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu
sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah
diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang
dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan
yang terjadi dalam diri individu sehingga individu
sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui
indera-indera yang dimilikinya. Dipertegas dengan teori
Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19
yang menjelaskan bahwa Thoha berpendapat bahwa
faktor yang mempengaruhi persepsi pada umumnya
terjadikarenaduafaktor,yaitufaktorinternaldanfaktor
eksternal.Faktorinternalberasaldaridalamdiriindividu,
misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan
faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari
luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik
sosial maupun fisik. Dijelaskan oleh Robbins (2003)
bahwa meskipun individu-individu memandang pada
satubendayangsama,merekadapatmempersepsikannya
berbeda-beda(JamesLGibson.2004)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tidak ada
perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantara
Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok
penggunajasabidan(p>0,605),halinidisebabkankarena
pada dasarnya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah pengalaman berdasarkan data yang
didapatkan sebagian besar responden berpendidikan SD
pada pengguna jasa dukun bayi namun tidak menutup
kemungkinan responden mendapatkan pengalaman dari
lingkunganyangadadisekitarnyadidukungdenganumur
responden yang tergolong sudah tidak muda lagi dalam
arti semakin bertambah umur maka proses berfikir pun
akansemakinmatangdanjugaakanlebihbisamenerima
informasiyangditerimanya,diperkuatlagibahwapersepsi
sendiri mempunyai faktor lain yang mempengaruhi yaitu
perhatian terhadap sesuatu, jika seseorang tidak ada
perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya
tidak berpengaruh. Disamping itu untuk mempersepsikan
segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan,
kemampuandandidukungolehkemauan.Respondenyang
pernahkedukunbayiataupunrespondenyangpernahke
bidanuntukmemperolehinformasimemilikipeluangyang
samauntukmendapatkaninformasitentangkesehatanibu
dan anak, misalkan responden yang dulunya pada saat
persalinan datang ke dukun untuk proses persalinannya
namun pada saat ada penimbangan bayi responden juga
datangkePosyanduatauketikarespondensakitresponden
akan datang ke tenaga kesehatan yaitu bidan, dan juga
sebaliknya responden yang persalinannya di tolong
oleh bidan tidak menutup kemungkinan akan datang ke
dukun bayi untuk memandikan bayi sampai usia bayi
36 hari, memijat bayinya ataupun memijat perutnya
pada saat hamil, artinya selama proses tersebut samasama memperoleh informasi tentang kesehatan ibu dan
anak sebagai modal untuk meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan sehingga dengan keadaan tersebut
memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang
kesehatanibudananak.
kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak ada
perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantara
Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok
penggunajasabidan(p>0,605).
Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
saran
1.Dukun bayi hendaknya menjalin kemitraan dengan
bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
pada masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak
sehingga dukun bayi mengetahui dan paham batas
kewenangannya.
2.Bidan Hendaknya lebih dekat dengan masyarakat
dalam pemberian pelayanan kesehatan terutama
dalamKesehatanIbudanAnaksehinggamasyarakat
akan lebih percaya dan mau memanfaatkan fasilitas
kesehatan, dan menjalin kemitraan dengan dukun
setempat dalam pemberian pelayanan kesehatan ibu
dananak.
3.Masyarakat diharapkan Lebih meningkatkan
pengetahuan dan kepercayaan kepada tenaga
kesehatan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan
terutama kesehatan ibu dan anak sehingga akan
meningkatkan persepsi masyarakat pada tenaga
kesehatan dan berdampak pada perilaku yang positif
untukselalumemanfaatkanpelayanankesehatanyang
diberikantenagakesehatan.
daftar pustaka
1.DepkesRI.Pedoman Supervisi Dukun Bayi.Jakarta.Derektorat
binakesehatankeluarga.1993.50:3–5
2.Depkes,R.I,Penyelenggaraan Puskesmas Di Era Desentralisasi.,
Jakarta.2001:40;20–23
3.DinkesJatim.Buku Kesehatan Ibu dan Anak.Jakarta.JICA.2002.
52:2–9
4.Istiarti, T., Pemanfaatan Tenaga Bidan Desa di Kabupaten
Semarang.Yogyakarta.1998.45:5–8
5.MaryamSiti.Peran Bidan dalam Menyukseskan MDGS.Jakarta.
2012.48:1–4
6.Poedji Rochjati. Rujukan Terencana Dalam Sistem Rujukan
Paripurna Kabupaten/ Kota.Surabaya.UNAIR.2003.136:1–3
dan86
7.Riskesdas.Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.Jakarta,2010.
109:40–47
8.Sugiono,Statistik Untuk Penelitian,Bandung.2009.390:61–68
9.Susanti. Skala Psikologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003:
40–45
Artikel Penelitian
Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak di Provinsi Riau
Community Behavior and Health Care of Maternal and Child Health
Problems in Province of Riau
Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Abstrak
Status kesehatan masyarakat yang rendah di Indonesia ditandai oleh angka
kematian ibu dan angka kematian bayi yang tinggi sebagaimana terlihat pada indikator pelayanan KIA yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui situasi pelayanan KIA dan mengkaji faktor perilaku sebagai
penyebab masalah KIA di Provinsi Riau. Riset ini menggunakan rancangan
studi deskriptif dengan data kuantitatif dan kualitatif mengenai indikator keberhasilan pelayanan KIA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator-indikator kinerja pelayanan KIA ada yang tercapai, ada pula yang tidak.
Sementara itu, perilaku masyarakat terhadap pengetahuan tentang kehamilan ibu tergolong baik, sikap netral, dan praktek baik. Seseorang yang
berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar menyatakan suami/istri. Jika dilihat dari
aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang
mempunyai masalah KIA, sebagian besar tidak ada keterlambatan. Masih
banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA.
Kata kunci: Pelayanan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, perilaku
masyarakat
Abstract
Low health community status in Indonesia is indicated by high maternal and
infant mortality rates as shown in the indicators of health care of maternal
and child health not ideal. The aim of this study was to understand the situation of maternal and child health and to analyze behavioral factor determining maternal and child health problems in Riau Province. This research
employed descriptive design with quantitative and qualitative data on
achievement of performance indicators of maternal and child health. The results showed that some performance indicators of maternal and child health
were achievable and some were not. Meanwhile, the community health behavior about maternal health knowledge was good, attitude was neutral,
and practice was good. Similarly, the community health behavior about new254
born and child health level of knowledge was medium, attitude was positive,
and practice was good. In solving maternal and child health problems, key
person who mostly categorized as a decision maker for health action was
husband or wife. With respect to the family emergency response to maternal and child health problems of a family member, most decisions to care
the problems were not late. However, there were many communities’ beliefs
which do not match the health values, especially for maternal and child
health aspects.
Key words: Health care, maternal and child health, community behaviour
Pendahuluan
Saat ini, masalah kesehatan di Indonesia yang rendah
antara lain ditandai oleh angka kematian ibu (AKI) dan
angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan
survei kesehatan dasar 2007, AKI di Indonesia masih tergolong tinggi (228 per 100.000 kelahiran hidup).
Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9
per 1.000 kelahiran hidup. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia menyatakan target AKI dan AKB
yang diharapkan dicapai pada tahun 2010 adalah 125
per 100.000 kelahiran hidup dan 15 per 1.000 kelahiran
hidup.1 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi
Riau, diketahui bahwa angka kematian bayi 26 per 1000
kelahiran hidup dan angka kematian anak balita 60 per
1000 kelahiran hidup. Jumlah kematian bayi mencapai
1.272 kasus, sedangkan jumlah kematian ibu mencapai
179 kasus pada tahun 2006.2
AKI dan AKB yang masih tergolong tinggi tersebut
Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kedokteran Komunitas FK Universitas Riau Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru,
Hp. 081371530203, e-mail: [email protected]
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi faktor
penyedia (predisposing), faktor pemungkin (enabling)
serta faktor pendorong atau penguat (reinforcing).
Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan aspek
geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh
kelemahan dalam mendeteksi, memutuskan tindakan
serta merujuk. Selain itu, akibat keterlambatan menangani keluarga yang mempunyai masalah kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan komperehensif. Belum banyak
informasi yang menggambarkan berbagai faktor tersebut, khususnya dari aspek perilaku masyarakat. Padahal,
strategi dan kebijakan tepat yang dikembangkan
berdasarkan informasi bukti sangat diperlukan dalam
upaya mengatasi masalah KIA tersebut. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran berbagai indikator
dan faktor perilaku yang terkait pelayanan KIA di
masyarakat.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan
data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di 4 kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan karakteristik
masyarakat nelayan/pesisir, pertanian dan perkebunan
serta perkotaan industri. Untuk merepresentasikan
karakteristik tersebut dipilih masyarakat yang bermukim
di Kota Pekanbaru mewakili wilayah perkotaan,
Kabupaten Kampar mewakili daerah perkebunan/pertanian, Kota Dumai mewakili daerah industri, dan
Kabupaten Rokan Hilir mewakili daerah nelayan/pesisir.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mengamati
masyarakat di lokasi penelitian terpilih. Jumlah wilayah
studi dan responden ditentukan secara quota sampling.
Besar sampel ditentukan 550 orang masyarakat, masingmasing setiap kabupaten/kota berada pada kisaran 120150 orang. Instrumen yang digunakan adalah format
identifikasi indikator pelayanan kesehatan dari data
sekunder dan kuesioner.
Hasil
Secara umum, indikator keberhasilan pembangunan
kesehatan untuk pelayanan KIA antara lain adalah AKI,
jumlah anak balita bawah garis merah (BGM) (kurang
15%). Beberapa indikator lain yaitu cakupan balita yang
naik berat badan (ada 2 kabupaten yang belum mencapai
target yakni Kampar dan Rokan Hilir) dan cakupan
Posyandu Purnama (ada 1 kabupaten yang belum mencapai target yakni Rokan Hilir). Selanjutnya, cakupan
kunjungan bayi (ada 2 kabupaten yang belum mencapai
target yakni Kampar dan Rokan Hilir). Indikator yang
belum mencapai target antara lain cakupan kunjungan
ibu hamil (K4), pertolongan persalinan ditolong petugas
kesehatan, kunjungan neonatus (KN-2), cakupan peserta keluarga berencana (KB) aktif, cakupan desa/kelurahan kategori universal child immunization (UCI), caku-
pan anak balita yang mendapat kapsul vitamin A 2 kali
setahun, cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet fe,
cakupan pemberian makanan pendamping air susu ibu
(MP-ASI) pada anak balita bawah garis merah dari keluarga miskin, cakupan rumah tangga sehat serta cakupan
bayi yang mendapat ASI ekslusif.
Faktor Perilaku terkait Pelayanan KIA
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 550
orang dengan rata-rata umur 29,63 tahun (standar deviasi (SD) = 5,82). Status ekonomi responden sebagian
besar berpenghasilan Rp. 800.000-2.000.000 (menengah rendah) yakni 61,3%. Selanjutnya, jika dilihat dari
cara pembayaran untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sering digunakan keluarga adalah bayar langsung yakni 397 orang (72,2%). Hanya 20,1% yang ditanggung oleh asuransi (Asuransi Kesehatan
(Askes)/Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Askes
swasta, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas)). Tenaga penolong dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan keluarga sebagian besar
adalah tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan/mantri
kesehatan) yakni 542 orang (98,5%). Sarana/fasilitas
kesehatan yang paling sering digunakan oleh keluarga
sebagian besar responden menjawab adalah puskesmas
yakni 266 orang (48,4%).
Pengetahuan tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Gambaran rata-rata skor pengetahuan responden tentang kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 74,05 (SD
= 14,51). Secara keseluruhan, diketahui kategori pengetahuan responden berada pada kategori baik yakni 366
orang (66,6%) (Lihat Tabel 1). Jumlah yang paling
banyak kategori baiknya adalah Kota Dumai (86,2%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir
(50,7%). Berdasarkan uji komparatif kategorik diketahui
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan
responden dengan nilai signifikan (p value = 0,000).
Pengetahuan tentang Kesehatan Bayi
Berdasarkan pengolahan data didapatkan rata-rata
skor pengetahuan responden tentang kesehatan bayi
adalah 63,87 (SD = 19,01). Secara keseluruhan diketahui bahwa kategori pengetahuan responden berada pada kategori cukup yakni 283 orang (51,5%) (Lihat
Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa kategori
pengetahuan responden sedikit bervariasi, 3 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori cukup (Rokan
Hilir, Dumai, dan Kampar), sedangkan Pekanbaru sebagian besar (60,3%) berada pada kategori baik.
Selanjutnya, kabupaten yang kurang ideal kategori
pengetahuannya adalah Rokan Hilir, dimana kategori
cukup dan kurangnya masih banyak yakni masing255
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
Tabel 1. Pengetahuan Responden tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Kabupaten
Kategori Pengetahuan
Total
Rokan Hilir
Kurang
Cukup
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
3
1,3
2,1%
67
46,2
47,2%
72
94,5
50,7%
0
1,3
0%
19
44,9
13,8%
119
91,8
86,2%
0
1,1
0%
28
37,8
24,1%
88
77,2
75,9%
2
1,4
1,3%
65
50,1
42,2%
87
102,5
56,5%
5
5,0
0,9%
179
179,0
32,5%
366
366,0
66,5%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
Tabel 2. Pengetahuan Kesehatan Bayi
Kabupaten
Kategori Pengetahuan
Total
Rokan Hilir
Kurang
Cukup
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
15
7,0
10,6%
69
73,1
48,6%
58
62,0
40,8%
5
6,8
3,6%
86
71,0
62,3%
47
60,2
34,1%
3
5,7
2,6%
43
59,7
37,1%
70
50,6
60,3%
4
7,6
2,6%
85
79,2
55,2%
65
67,2
42,2%
27
27,0
4,9%
283
283,0
51,5%
240
240,0
43,6%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
masing 48,6% dan 10,6%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p
value = 0,000).
are diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
kategori sikap antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,001).
Gambaran Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi
Gambaran Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan,
dan Nifas
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor
sikap responden terhadap kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 69,92 (SD = 11,59). Adapun kategori sikap
responden sebagian besar berada pada kategori netral
yakni 137 responden (93,8%) (Lihat Tabel 3).
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kategori sikap
responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori positif (Dumai, Pekanbaru,
dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar
adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui uji chi squ256
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor
sikap responden terhadap kesehatan bayi adalah 75,47
(SD = 15,06). Adapun kategori sikap responden sebagian
besar sudah berada pada kategori positif yakni 362 responden (65,8%) (Lihat Tabel 4).
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa kategori sikap
responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten/kota
sebagian besar dengan kategori positif (Dumai,
Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui
analisis statistik dengan uji komparatif kategorik tidak
berpasangan diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Tabel 3. Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Kabupaten
Kategori Sikap
Total
Rokan Hilir
Netral
Positif
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
74
57,8
52,1%
68
84,2
47,9%
59
56,2
42,8%
79
81,8
57,2%
31
47,2
26,7%
85
68,8
73,3%
60
62,7
39,0%
94
91,3
61,0%
224
224,0
40,7%
326
326,0
59,3%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
Tabel 4. Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi
Kabupaten
Kategori Sikap
Total
Rokan Hilir
Negatif
Netral
Positif
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
5
1,3
3,5%
65
47,2
45,8%
72
93,5
50,7%
0
1,3
0%
47
45,9
34,1%
91
90,8
65,9%
0
1,1
0%
19
38,6
16,4%
97
76,3
83,6%
0
1,4
0%
52
51,2
33,8%
102
101,4
66,2%
5
5,0
0,9%
183
183,0
33,3%
362
362,0
65,8%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
bermakna kategori sikap antar kabupaten/kota dengan
nilai signifikan (p value = 0,000).
Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin,
dan Ibu Nifas
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor
praktek responden untuk peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas adalah
80,70 (SD = 8,03). Adapun kategori praktek responden
sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak
329 responden (59,8%) (Lihat Tabel 5).
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kategori praktek responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori baik (Dumai, Pekanbaru,
dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar berada pada kategori kurang yakni sebanyak 60,6%.
Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori praktek antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000).
Praktek Upaya Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak
Balita
Rata-rata skor praktek upaya peningkatan kesehatan
pada bayi dan anak balita adalah 84,89 (SD = 17,19).
Adapun kategori praktek responden sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak 446 responden
(81,1%) (Lihat Tabel 6).
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kategori praktek responden antarkabupaten/kota adalah sama, dimana 4 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori
baik. Akan tetapi, Kabupaten Rokan Hilir memiliki kategori kurang masih cukup banyak yakni sebanyak
36,6%. Kabupaten/kota yang sangat baik praktek untuk peningkatan kesehatan pada bayi dan anak balita
adalah Kota Pekanbaru dengan kategori baik sebanyak
95,7%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna kategori praktek
antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value =
0,000).
257
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
Tabel 5. Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, dan Ibu Nifas
Kabupaten
Kategori Praktek
Total
Rokan Hilir
Kurang
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Kampar
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
86
57,1
60,6%
56
84,9
39,4%
61
55,5
44,2%
77
82,5
55,8%
28
46,6
24,1%
88
69,4
75,9%
46
61,9
29,9%
108
92,1
70,1%
221
221,0
40,2%
329
329,0
59,8%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
Tabel 6. Praktek Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak Balita
Kabupaten
Kategori Praktek
Total
Rokan Hilir
Kurang
Baik
Total
Dumai
Pekanbaru
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
52
26,9
36,6%
90
115,1
63,4%
20
26,1
14,5%
118
111,9
85,5%
5
21,9
4,3%
111
94,1
95,7%
27
29,1
17,5%
127
124,9
82,5%
104
104,0
18,9%
446
446,0
81,1%
Jumlah
Nilai expected
% kabupaten
142
142,0
100%
138
138,0
100%
116
116,0
100%
154
154,0
100%
550
550,0
100%
Faktor Sosiokultural
Kategori orang kunci yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri yakni sebanyak
513 responden (93,3%). Selanjutnya, dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang sakit (bermasalah) terutama terhadap KIA sebagian besar (458 orang; 83,3%) menjawab tidak ada
keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui
bahwa responden masih banyak juga yang mengatakan
”ya/terlambat” yakni Kota Pekanbaru (20,7%) dan
Rokan Hilir (20,4%). Khususnya untuk kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga, aspek
keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan untuk ibu yang mau bersalin sebagian besar (495 orang;
90,0%) menjawab tidak. Berdasarkan kabupaten/kota
diketahui bahwa responden masih banyak yang
mengatakan ”ya/terlambat” yakni Rokan Hilir (15,5%)
dan Kota Pekanbaru (12,1%).
Berdasarkan pengolahan data diketahui bahwa masih
258
Kampar
banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA.
Sebanyak 274 responden yang menjawab pernyataan
kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam kesehariannya yang berhubungan dengan kesehatan ibu
hamil/bersalin/nifas/menyusui didapatkan bahwa 124
(45,26%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan
yang keliru/tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait
aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui
yakni 31,32%. Kepercayaan yang keliru tersebut misalnya selama bersalin tidak boleh memakan udang dan selama menyusui tidak boleh makan kerang. Ada juga yang
mempercayai bahwa selama nifas tidak boleh minum air
putih, makan ikan, dan buah-buahan. Selain itu, ada juga aspek kepercayaan yang keliru ketika hamil (29,52%).
Contoh kepercayaan yang keliru tersebut antara lain urut
(kusuk) ibu ketika hamil ke dukun. Jika dilihat per kabupaten/kota, responden yang memiliki kepercayaan yang
belum sesuai tersebut yaitu Kabupaten Rokan Hilir
(64,47%), Kabupaten Kampar (46,55%), Kota
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Pekanbaru (38,70%), dan Kota Dumai (30,77%). Aspek
kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar juga
terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan
menyusui.
Selanjutnya, dari 254 orang yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam
keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita didapatkan bahwa ada 60
(23,62%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan yang
tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung ASI eksklusif
yakni 42,62%. Kepercayaan tersebut misalnya adalah
bayi baru lahir diberi kelapa muda, setiap bayi baru lahir
diberi makan pisang. Selain itu, aspek kepercayaan yang
keliru terhadap penanganan kesehatan pada bayi dan
anak balita (27,87%). Contoh kepercayaan yang keliru
tersebut antara lain kepercayaan ke dukun, mereka diberi
“tetomeh” yaitu sejenis ramuan yang dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit/mengusir roh jahat penyebab
penyakit.
Pembahasan
Dilihat dari 14 indikator yang dinilai, terlihat hanya 4
indikator (28,7%) yang sudah mencapai target.
Pembangunan kesehatan atau pelayanan kesehatan yang
harus diberikan kepada masyarakat belum maksimal.
Sulit mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Pembangunan kesehatan di Provinsi Riau selama 2 tahun
terakhir belum menunjukkan perubahan terhadap indikator standar pelayanan minimal (SPM) yang signifikan.3 Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Indikator SPM bidang
kesehatan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi yang
cakupan antenatal care (ANC) K4 (72,3%) masih kurang dari target nasional.4 Kabupaten Ngawi pada tahun
2008 mencapai target Posyandu Purnama hanya 286
(24,57%). Selain itu, cakupan pelayanan K4 hanya
13.218 (94,49%). Beberapa indikator untuk kesehatan
bayi dan anak balita seperti cakupan pemberian kapsul
vitamin A 2 kali pada balita pada tahun 2008 hanya sebanyak 35.268 (78,00%).5 Pengetahuan tentang kesehatan maternal tergolong baik yakni 366 orang (66,6%).
Pengetahuan baik merupakan modal awal praktek yang
baik dan pada akhirnya terjadi penurunan masalah maternal atau peningkatan indikator pelayanan kesehatan di
masyarakat.6
Pengetahuan responden tentang kesehatan bayi dan
anak balita tergolong cukup. Hal tersebut merupakan
sesuatu yang belum ideal yang akan berdampak terhadap
upaya modifikasi perilaku oleh pihak terkait yang
meliputi pembentukan perilaku baru, peningkatan perilaku maupun pertahanan perilaku. Pengetahuan yang
belum ideal merupakan salah satu penyebab peningkatan
kasus/permasalahan kesehatan di masyarakat. Seseorang
yang belum memiliki pengetahuan yang baik akan mengalami kesulitan mengubah perilaku ke arah positif atau
menerima perilaku yang lebih baik. Sebaliknya, orang
yang telah berpengetahuan cukup akan menerima atau
mengadopsi perilaku baru dengan baik.6
Kategori sikap responden terhadap kesehatan ibu maternal sebagian besar adalah netral yang dinyatakan
belum ideal karena setiap waktu dapat berubah ke arah
positif atau negatif. Faktor yang membentuk sikap dan
hubungannya dengan objek-objek tertentu dalam interaksi sosial saling mempengaruhi perilaku individu sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk
sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Stimulasi positif yang kurang menyebabkan
hanya sebagian kecil orang yang berpengetahuan tentang
objek tertentu. Rangsangan positif yang kurang juga
berpengaruh terhadap pertahanan kondisi sikap netral
yang dapat menjadi sikap negatif.7
Praktek responden terhadap kesehatan maternal sebagian besar tergolong baik. Walaupun lebih dari 50%
baik, tetapi angka ini belum ideal karena ada sebanyak
40,2% responden belum melakukan upaya yang mendukung kesehatan maternal. Banyak faktor yang terkait
mengapa masyarakat belum melakukan praktek kesehatan dengan baik. Faktor tersebut antara adalah predisposing factors, enabling factors, dan reinforcing factors.5
Orang dengan tingkat penghasilan yang belum ideal cenderung memperlihatkan praktek yang kurang. Semua
responden yang berpengetahuan kurang, sebagian besar
berasal dari kelompok yang berpenghasilan Rp. 800.0002.000.000.
Masyarakat yang belum tercakup asuransi
(askes/asuransi swasta/Jamsostek/Jamkesmas), umumnya memperlihatkan praktek yang kurang. Masyarakat
miskin (penghasilan < Rp. 800.000 per bulan) umumnya
sudah tercakup asuransi (terutama Jamkesmas) dan sebagian besar berpraktek dengan kategori baik (65,4%).
Masyarakat ekonomi menengah atas dan ekonomi baik
cenderung berpraktek secara baik. Bertentangan dengan
masyarakat berpenghasilan menengah bawah, mereka
umumnya belum tercakup asuransi (81,1%), sebagian
besar (66,5%) dengan kategori praktek kurang.
Diharapkan pemerintah tidak hanya berkonsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin. Mereka
yang berpenghasilan menengah keatas tidak mendapat
jaminan pembiayaan kesehatan subsidi pemerintah, hendaknya ditanamkan supaya ikut dalam asuransi kesehatan secara mandiri termasuk menghidupkan kembali
dana sehat, terutama kelompok yang berpenghasilan
menengah hingga rendah.
Praktek peningkatan kesehatan bayi dan anak balita
sebagian besar berada pada kategori baik. Sebagian besar
responden yang tidak memberikan ASI jolong untuk bayi
259
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011
mengindikasikan pengetahuan tentang ASI yang tergolong kurang. Penelitian lain menemukan mereka tidak
tahu melakukan dan mereka tahu tetapi tidak melakukan
termasuk peran petugas kesehatan. Terkait dengan ASI
eksklusif, ditemukan bahwa bidan menyatakan setuju
memberikan susu formula kepada bayi baru lahir.
Sebagian ibu dianjurkan petugas kesehatan untuk memberi susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran.8
Orang kunci yang berpengaruh besar pada pengambilan keputusan tindakan kesehatan sebagian besar
adalah suami/istri. Hasil yang sama terlihat pada penelitian di Nusa Tenggara Timur, pengambil keputusan untuk mencari pertolongan persalinan adalah istri (36,7%),
suami (30,7%), orang tua/mertua (16,9%), diputuskan
secara bersama (suami istri atau anak dan orang tua)
(16,9%), dan lainnya (0,9%).9
Berdasarkan aspek cepat tanggap keluarga merespons anggota keluarga yang sakit, sebagian besar
merasa tidak ada keterlambatan memutuskan upaya tindakan kesehatan. Cepat tanggap keluarga merespons
tindakan untuk ibu bersalin, umumnya responden menjawab tidak. Dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden Kota Pekanbaru masih banyak
yang mengatakan ”terlambat”. Hal ini mungkin disebabkan oleh masyarakat yang berusaha mengobati
sendiri berdasarkan pengetahuan mereka. Selain itu
karena banyak tersedia toko obat/apotek di Kota
Pekanbaru.
Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum
sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap
aspek KIA. Jenis kepercayaan yang tidak sesuai tersebut
sebagian besar terkait aspek gizi selama
hamil/bersalin/nifas dan menyusui. Menurut mereka, hal
tersebut membuat tubuh mereka gatal karena makan
udang atau kerang, akan terjadi perdarahan nifas jika
mereka makan ikan. Hal tersebut menyebabkan ibu menjadi banyak pantangan makanan. Padahal, kandungan
gizi makanan tersebut sangat bermanfaat bagi ibu dan
bayi. Makanan laut seperti kerang dan udang mengandung beberapa zat gizi penting yang merupakan sumber
protein hewani dan digolongkan kepada complete protein karena kadar asam amino esensial yang tinggi dan
sekitar 85%-95% mudah diserap tubuh. Ikan juga merupakan sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan
tubuh dan apabila dipantang akan berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan janin karena ibu kekurangan asupan
protein serta berpengaruh terhadap perkembangan janin
atau bayinya.10
Masih banyak kebiasaan/tradisi yang berhubungan
dengan kesehatan bayi dan anak balita yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan anak balita
atau tidak mendukung ASI eksklusif dan penanganan ke260
sehatan pada bayi dan anak balita. Menurut mereka, bayi
yang hanya diberi ASI tidak akan kenyang dan akan
kekurangan gizi. Mengganti ASI dengan cairan yang
tidak bergizi akan berdampak buruk bagi kondisi bayi,
daya tahan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan.
Konsumsi air putih atau cairan lain akan membuat bayi
merasa kenyang sehingga tidak mau menyusu. Padahal,
ASI kaya dengan gizi yang sempurna untuk bayi.
Memberikan air putih sebagai tambahan cairan sebelum
bayi berusia 6 bulan dapat mengurangi asupan ASI hingga 11%. Pemberian air manis dalam minggu pertama
usia bayi berhubungan dengan penurunan berat badan
bayi.11
Kesimpulan
Perilaku responden tentang kehamilan, persalinan,
dan nifas yakni dengan kategori pengetahuan baik, kategori sikap netral dan kategori praktek sebagian besar
adalah baik. Perilaku responden terhadap kesehatan bayi
dan anak balita sebagian besar kategori pengetahuan
adalah cukup, sikap sudah berada pada kategori positif,
dan praktek pada kategori baik. Orang kunci yang
berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan
upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri. Dilihat dari aspek kecepattanggapan keluarga
dalam merespons anggota keluarga yang sakit
(bermasalah) terutama terhadap KIA, sebagian besar responden tidak merasa ada keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan, terutama terhadap aspek KIA.
Saran
Bagi pemerintah Provinsi Riau khususnya dinas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan gerak
pembangunan kesehatan khususnya untuk pelayanan
KIA karena masih banyak indikator pelayanan KIA yang
belum mencapai target. Peningkatan anggaran promosi
kesehatan dalam merubah perilaku khususnya untuk
daerah pertanian dan pesisir. Bagi tenaga kesehatan diharapkan adanya upaya peningkatan perilaku
masyarakat tentang kesehatan melalui program promosi
kesehatan/pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan meningkatkan perilaku kesehatan dan kesadaran pentingnya pelayanan kesehatan secara
mandiri, seperti di pos kesehatan desa, pondok bersalin
desa, dan pos pelayanan terpadu. Pemerintah tidak
hanya konsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan pada masyarakat miskin. Walaupun secara implementasi
mereka dengan kategori penghasilan menengah keatas
mampu memenuhi pembiayaan kesehatan tanpa subsidi
dari pemerintah, hendaknya mereka ditanamkan supaya
ikut dalam kepesertaan asuransi kesehatan secara
mandiri (termasuk menghidupkan kembali dana sehat),
Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah
kebawah.
6. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta; 2005.
7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta:
Daftar Pustaka
Pustaka Pelajar Offset; 2000.
1. Departemen Kesehatan RI. Setiap jam, 2 orang ibu bersalin meninggal
8. Meyske E. Faktor yang berkaitan dengan praktek pemberian asi eksklu-
dunia. 2004 [diakses tanggal 2 Januari 2008]. Diunduh dari:
sif. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
http://202.155.5.44/index.php?option=
news&task=viewarticle&sid=448& Itemid=2.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun
2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007.
3. Zahtamal. Studi/survei MMR-IMR dan indikator-indikator derajat kesehatan tahun 2007. Riau: PT Wastu Asrindoriau; 2007.
http://www.fkm.unair.ac.id.
9. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam
pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses
tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf.
10. Anonim. Udang: kaya protein dan rendah kalori. 2007 [diakses tanggal
4. Arali. Capaian MDG’s peningkatan kesehatan ibu di Polewali Mandar.
2 November 2008]. Diunduh dari: http://www.sportindo.com/pa-
2008 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://ara-
ge/181/Food_Nutrition/Articles_Tips/Udang_Kaya_Protein_dan_Rend
li2008.wordpress.com/2009/08/09/capaian-mdgs-peningkatan-kesehatan-ibu-di-polewali-mandar.
ah_Kalori.html.
11. Linkages. Satu-satunya sumber cairan yang dibutuhkan bayi usia dini.
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Profil kesehatan Kabupaten Ngawi
2002 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
tahun 2008. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari:
http://www.linkagesproject.org/media/publications/ENA-References
http://www.profilkesngawi2008.html.
/Indonesia/Ref4.7%20.pdf.
261
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI
PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA BERBASIS MASYARAKAT
DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA (STUDI DI DESA NOELTOKO
DAN NOEPESU, KECAMATAN MIOMAFFO BARAT)
(Improving Maternal and Child Health Through Community-Based
Organizing Alert System in North Central Timor Regency
(Studies in Noeltoko and Noepesu Village, West Miomaffo District))
M. Setyo Pramono dan Suharmiati
ABSTRACT
Background: One of the efforts of North Central Timor regency in Improving Maternal and Child Health is a MCH
revolution in the save community. This research focus on organizing network on alert system particularly at the level of
villages and naketi traditions in Noeltoko and Noelpesu village. Methods: The study was conducted in August-November
2012 in Noeltoko and Noepesu village, Eban health centers in the region. Types of non-interventional studies with exploratory
design. Information was obtained through in-depth interviews and direct observations. As informants are community
leaders, midwives and members of the networks. Results: There are six major networks in the study villages notication,
transportation, family planning, funding, exclusive breastfeeding and blood donor. In the Village Noeltoko again that there is
a network of disaster preparedness. Regular monthly meeting conducted the meeting initiator and network with a collective
agreement since the creation of idle village. There is the usual tradition Naketi at between 7–9 months of gestation, the wife
to the husband recantation face to face followed by recantation couple to a large family (parents). Conclusion: Communitybased alert system through idle villagers networking proved effective enough to increase public awareness of health villagers.
Indicators of success, logging all pregnant women and birth mothers through their networks by themselves, not by health
personnel. All the efforts of labor is no longer in the house but in a health facility with a commitment involving all networks.
Another indicator is the discussion and the dialogue is quite intensive in the sufciently describes the networking meeting
in high spirits for the improvement of health in their village. Naketi tradition as a form of local wisdom that is positive for
minimal preparation for the delivery of maternal psychological side.
Key words: networking, save community, naketi
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan
Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian ini fokus pada jejaring pada
pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa serta tradisi spesik naketi khususnya di desa Noeltoko dan
Noelpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus–November 2012 di Desa Noeltoko dan Noepesu, di wilayah
Puskesmas Eban. Jenis penelitian nonintervensi dengan desain eksploratif. Informasi diperoleh melalui wawancara
mendalam dan pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota jejaring.
Hasil: Terdapat enam jejaring yang utama di desa studi yaitu Notikasi, Transportasi, KB, Dana, ASI Eksklusif dan Donor
Darah. Khusus di Desa Noeltoko ada satu jejaring lagi yaitu Siaga Bencana. Tiap bulan secara berkala dilakukan temu
jejaring dengan inisiator pertemuan dan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga. Terdapat tradisi
Naketi yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7–9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan istri kepada suami
dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua).
Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan, terdatanya semua ibu hamil dan ibu
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI
Alamat korespondensi: E-mail: [email protected]
38
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
bersalin oleh masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh tenaga kesehatan. Semua upaya persalinan yang tidak lagi
di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring. Indikator lainnya adalah
terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi
untuk perbaikan kesehatan di desanya. Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang bernilai positif untuk persiapan
menjelang persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil.
Kata Kunci: Jejaring, desa siaga, naketi
Naskah masuk: 13 Desember 2012, Review 1: 15 Desember 2012, Review 2: 17 Desember 2012, Naskah Layak Terbit 28 Februari 2013
PENDAHULUAN
Kematian ibu, kematian neonatal dan kematian
bayi masih merupakan masalah besar yang dialami
oleh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU) khususnya. Hasil Survei Kesehatan Nasional
(Surkesnas) 2004 menyebutkan Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran
hidup, sedangkan di NTT 554 per 100.000 kelahiran
hidup. Pada tahun 2007, AKI nasional turun menjadi
228 per 100.000 kelahiran hidup dan di NTT menjadi
306 per 100.000 kelahiran hidup (hasil survei SDKI).
Walaupun di NTT terjadi penurunan, angka ini masih
lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi lainnya di
Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
menunjukkan bahwa masih tingginya persalinan
yang ditolong oleh dukun di NTT yaitu sebesar
46,2% sementara ibu bersalin di rumah mencapai
77,7% (Depkes, 2007).
Angka Kematian Bayi (AKB) nasional 52 per
1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2004 turun
menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup. Di NTT dari
62 per 1.000 kelahiran hidup, turun menjadi 57 per
1000 kelahiran hidup. Di Kabupaten TTU beberapa
penyebab kematian bayi baru lahir, yakni 34%
disebabkan asfixia, 13% disebabkan BBLR, dua
persen disebabkan infeksi. Penyebab kematian balita,
antara lain 19% disebabkan pneumonia/ISPA, 16%
diare, dan 6% gizi kurang (Dinas Kesehatan TTU,
2011). Sedangkan faktor penyebab langsung kematian
ibu saat nifas Kabupaten TTU pada tahun 2009, yakni
52% akibat perdarahan, 37% akibat eklampsia, lima
persen akibat infeksi, dan 5% oleh faktor lainnya.
Kendala yang dihadapi adalah minimnya sarana dan
prasarana kesehatan, baik polindes, puskesmas
maupun rumah sakit.
Jika mengacu pada tabel 1 secara umum
status kesehatan di TTU masih rendah walau ada
kecenderungan terjadi penurunan dari indikator
derajat kesehatan. Berdasarkan latar belakang di
atas menjadi dipahami jika kesehatan terutama KIA
menjadi salah satu prioritas pembangunan di NTT.
Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Gubernur NTT
yang menggulirkan Revolusi KIA melalui Peraturan
Gubernur NTT No. 42 tahun 2009. Dengan adanya
Revolusi KIA, diharapkan semua ibu melahirkan di
fasilitas kesehatan, dengan target selamat baik ibu dan
bayinya. Terdapat tiga fokus dalam revolusi KIA, yaitu
(1) pengorganisasian sistem siaga, (2) profesionalisme
SDM kesehatan dan (3) sarana dan prasarana yang
memadai. Penelitian ini fokus pada pengorganisasian
sistem siaga khususnya di level desa. Pada tahun
2011 Dinas Kesehatan TTU melakukan kemitraan
dengan Australia Indonesia Partnership for Maternal
and Neonatal Health (AIPMNH) dalam rangka
mengembangkan desa siaga. Program kemitraan
lainnya adalah dengan GTZ (Jerman) dan DHS 2
(Asian Development Bank). Hingga sekarang jumlah
desa siaga mencapai 31 buah dari total 174 desa/
kelurahan baik yang masih aktif maupun yang sudah
Tabel 1. Derajat Kesehatan TTU tahun 2007–2011
Indikator Derajat kesehatan
Jumlah Kematian Bayi
Jumlah kematian Balita
Jumlah Kematian Ibu
AKB
AKI
2007
90
19
8
15.8/1000
140/100.000
2008
96
18
13
17.34/1000
239/100.000
2009
46
12
18
8.66/1000
364/100.000
2010
43
35
18
8.52/1000
357/100.000
2011
37
10
12
6.8/1000
220.43/100.000
Diolah dari Laporan Tahunan 2011 Dinkes TTU
39
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
tidak aktif. Pengembangan desa siaga bertujuan
terwujudnya masyarakat desa yang sehat dan peduli
terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya.
Pelaksanaan kegiatan desa siaga di Kabupaten TTU
juga melibatkan berbagai lintas sektor di antaranya
Dinas Kesehatan, BPMD (Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa), BP2KB (Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana), Kecamatan
dan Puskesmas setempat. Dengan terbentuknya desa
siaga ini diharapkan tidak ada lagi kematian ibu dan
bayi di desa setempat sehingga dapat menekan AKI
dan AKB di Kabupaten TTU. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji keberlangsungan dan wujud partisipasi
masyarakat dalam pengorganisasian sistem siaga.
METODE
Penelitian dilakukan di Desa Noeltoko dan
Noepesu, Kecamatan Miomaffo Barat Kabupaten
TTU pada tahun 2012. Kedua desa ini ditetapkan
sebagai desa yang menjadi program kemitraan
dengan AIPMNH dan masuk wilayah pelayanan
Puskesmas Eban. Jenis penelitian ini adalah
nonintervensi dengan desain eksploratif berupa
studi kualitatif di mana informasi diperoleh melalui
wawancara mendalam dan observasi di lapangan.
Informannya adalah kepala puskesmas, pemegang
program KIA, bidan desa. Untuk keperluan FGD di
level desa pesertanya perwakilan PKK, LKMD, tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Kedudukan PKK,
LKMD, Tokoh masyarakat dan tokoh agama di era
sekarang adalah berfungsi saling melengkapi dalam
sebuah sistem pemerintahan di desa sehingga bisa
dikatakan sudah setara (homogen di dalam kapasitas).
Observasi bertujuan untuk analisa situasi di lapangan
dan dilakukan pada pertemuan jejaring desa siaga
untuk mengetahui sejauh mana mekanisme dan
materi pertemuan.
HASIL
A. Gambaran Umum Deskripsi Lokasi
Desa Noeltoko
Desa Noeltoko sebagai lokasi penelitian memiliki
luas wilayah 150,26 ha terdiri dari 4 RW dan 8 RT,
164 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 594
orang. Bila dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk
yang sedang sekolah usia 7–18 tahun sebanyak
154 orang, sedangkan penduduk yang tidak pernah
40
sekolah (buta huruf) sebanyak 49 orang. Terdapat 3
orang yang tamat S1. Sebagian besar mata pencarian
penduduk adalah pengrajin rumah tangga (58,7%),
petani (35,1%), sedangkan sisanya bekerja sebagai
guru swasta, pedagang kecil, PNS dan sebagian kecil
pensiunan TNI/Polri/PNS (0,6%). Seluruh penduduk
beragama Kristen terdiri dari Katolik (74,2%) dan
sisanya (25,8%) Kristen Protestan (Potret Desa Siaga
Noeltoko, 2011).
Perjalanan dari ibukota TTU Kefamenanu
menuju Desa Noeltoko berjarak kurang lebih 15 km,
tetapi karena lokasi desa berada di lereng bukit,
sebagian jalan masih berbatu, serta melalui jalan
berliku-liku maka perjalanan ditempuh dalam waktu
sekitar 90 menit. Kendaraan roda 4 masih bisa
masuk walau dengan syarat harus pengemudi yang
sudah menguasai medan, namun jika masuk musim
penghujan kendaraan roda 4 tidak dapat ke desa ini.
Sejarah lisan mengatakan bahwa dahulu desa ini
merupakan pusat kerajaan sebelum akhirnya oleh
Belanda dipindah ke lokasi Kefamenanu ibukota
sekarang. Terdapat sungai yang membelah desa,
cukup lebar tetapi dikarenakan kemarau panjang,
airnya kering. Menurut informasi, saat ini banyak
orang dari luar desa bahkan kota berada di lokasi
sungai untuk mencari emas.
Walaupun listrik dari PLN belum masuk, warga
Desa Noletoko tetap mendapatkan listrik melalui
sinar matahari dengan teknologi solar cell yang
berada di atas rumah-rumah mereka. Jika pada
siang hari sinar matahari cukup terik, maka energinya
melalui solar cell cukup untuk menyalakan lampu pada
malam hari hingga pagi harinya. Namun jika cuaca
mendung, maka lampu hanya bisa menyala sampai
pukul 21.00. Desa Noeltoko termasuk salah satu desa
yang berhasil di wilayah kecamatan Miomaffo Barat.
Hal ini dibuktikan banyaknya piagam dan piala yang
tersimpan di Balai Desa Noletoko antara lain sebagai
juara pembangunan desa dari Menteri dalam Negeri
(tahun 1990 dan 1992) maupun piala penghargaan
desa siaga dari provinsi NTT.
Desa Noepesu
Desa Noepesu dengan luas wilayah ± 800 ha
(800.000 m 2) terdiri dari 3 dusun dan terdiri dari
6 RW dan 18 RT, 426 KK dengan jumlah penduduk
sebanyak 1.418 orang masing-masing 690 lakilaki dan 728 perempuan. Bila dilihat dari tingkat
pendidikan, penduduk yang tamat SD sebanyak
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
323 orang, tidak tamat SD 73 orang, tamat SLTP
435 orang, tamat SLTA 313 orang, tamat Diploma
4 orang dan S1 sebanyak 5 orang.
Sebagian besar mata pencarian penduduk adalah
petani yaitu 341 orang, guru 18 orang, tukang batu 16
orang, pedagang kecil dan buruh bangunan masingmasing 14 orang, tukang kayu 12 orang, penjaga hotel
8 orang serta 2 orang bekerja sebagai sopir (Profil
Desa, 2011). Lokasi desa di dataran tinggi dengan
udara yang cukup sejuk. Berdasarkan observasi
terlihat tanaman tumbuh cukup subur antara lain,
wortel, bawang merah, alpukat, labu siam dan tentu
saja kemiri. Khusus kemiri dapat ditemui hampir di
setiap pekarangan warga di TTU. Seluruh penduduk
beragama Kristen Katolik. Tradisi/kebiasaan ritual
adat yang berkaitan dengan kelahiran dari bayi, anak
sampai dewasa, pengambil keputusan dan yang
berperan aktif dalam perkembangannya adalah orang
tua dan keluarga.
B. Jejaring Pengorganisasian Sistem Siaga
Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan
melalui pengorganisasian sistem siaga sebagai
wujud nyata partisipasi masyarakat. Keberadaan
desa siaga yang menitikberatkan pada partisipasi
masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengembangan
jejaring siaga. Terdapat tujuh jejaring di Desa
Noeltoko yaitu jejaring notifikasi, jejaring dana, jejaring
transportasi, jejaring donor darah, jejaring KB, jejaring
ASI eksklusif serta jejaring siaga bencana. Di Desa
Noepesu hanya ada enam jejaring karena tidak ada
jejaring siaga bencana. Setiap jejaring mempunyai
tugas dan fungsi yang berbeda dan dipimpin oleh
seorang ketua, beserta sekretaris, bendahara serta
beberapa anggota yang dipilih dari masyarakat
sendiri. Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi
anggota jejaring kecuali mau bekerja dan mempunyai
kepedulian yang besar terkait dengan kesehatan.
Semua jejaring dikoordinir oleh Ketua Fasilitator Desa
Siaga. Pada tanggal tertentu setiap bulan, semua
jejaring termasuk aparat pemerintah desa berkumpul
untuk melaporkan kegiatannya, berbagi informasi
data terbaru serta memecahkan masalah yang ada,
sekaligus evaluasi. Tempat pertemuan adalah di
balai desa. Biasanya yang hadir pada acara tersebut
adalah semua jejaring termasuk aparat pemerintah
desa. Tugas dan fungsi yang sudah dilaksanakan oleh
masing-masing jejaring sebagai berikut:
1. Jejaring Notikasi
Tugas dari jejaring notikasi adalah mendata ibu
hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, pendataan
KB, pendataan ibu yang ikut jamkesmas dan
pendataan golongan darah satu keluarga. Format
dari pendataan membuat sendiri. Secara umum
tidak ada perbedaan konsep pendataan baik di
Noeltoko maupun Noepesu. Hal menarik dari
observasi adalah ketua jejaring notikasi Noeltoko
melaporkan kegiatan sambil menggendong
balitanya yang berumur 1 tahun, bahkan ketika tidak
maju (kembali sebagai audience) tampak sesekali
dia memberi ASI balitanya. Hal ini menunjukkan
komitmen yang luar biasa. Dilaporkan pula bahwa
2 anggotanya sudah tidak aktif lagi karena mencari
kerja di luar kota.
2. Jejaring Dana
Mengumpulkan dana dari masyarakat untuk
keperluan biaya persalinan, transportasi dan
lainnya. Di desa Noeltoko setiap KK menyumbang
Rp. 1.000,-/bulan. Kegiatan tersebut sudah berjalan
sejak Juli 2011. Untuk ibu hamil yang datang ke
posyandu juga ada tabungan ibu bersalin (tabulin).
Jika tabulinnya kecil sementara ibu hamil harus
dirujuk ke rumah sakit, maka ada bantuan dari
Desa Siaga. Hal ini didukung oleh pernyataan
bidan desa sebagai berikut:
Ada, karena ke sana khan biasanya cuma
Rp. 100.000,-, tetapi kemarin dirujuk ke Atambua,
sehingga perlu biaya Rp. 300.000,- jadi kita bantu
Rp. 150.000,- dan dari keluarga juga Rp.150.000,-.
Karena tabulinnya agak kecil.
Sedangkan jejaring dana di Desa Noepesu mencari
dan mengkoordinir dana dari masyarakat untuk
membantu ibu hamil sebesar Rp.2.000,-/KK/
tahun sebagai dasolin (Dana Sosial Ibu Bersalin).
Pada tahun 2012 ada anggaran untuk ibu dan
anak dari ADD (Alokasi Dana Desa) sebesar
Rp. 2.000.000,- per tahun. Terdapat kotak amal
Desa Siaga yang diletakkan di atas meja untuk tamu
yang datang meskipun tidak ada unsur paksaan,
termasuk masyarakat yang ada di Noepesu. Uang
yang tersimpan di bendahara sampai sekarang
(Oktober 2012) sekitar 4 juta rupiah.
3. Jejaring Transportasi
Jejaring transportasi desa Noeltoko mendata
semua lokasi ibu hamil, menyiapkan tandu
41
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
serta mendata kendaraan yang siap digunakan
sewaktu-waktu mengantar bumil yang akan
bersalin. Tandu disiapkan sebagai antisipasi
jalan tidak memungkinkan atau kendaraan tidak
tersedia menuju lokasi ambulan (ambulan tidak
dapat masuk ke desa). Jarak Desa Noeltoko
dibandingkan desa-desa lainnya menuju ke
Puskesmas Eban sebagai tempat faskes yang
memadai untuk persalinan memang yang terjauh
di samping medan yang sulit. Jarak antara desa
Noeltoko dengan lokasi ambulan kurang lebih
7 km dengan struktur tanah mendaki (daerah
pegunungan) dan hanya bisa dilalui oleh roda
dua atau berjalan kaki. Jarak antara tempat
ambulan ke puskesmas sendiri kurang lebih
3 km. Sedangkan di Desa Noepesu ada satu dusun
yang terletak di bawah dan sulit untuk dijangkau
oleh kendaraan. Jejaring transportasi dibantu
masyarakat membawa ibu yang akan bersalin
dengan cara didudukkan di kursi kemudian dibawa
ke atas, selanjutnya menggunakan oto/mobil
untuk dibawa ke puskesmas Eban. Sampai saat
ini kejadian yang sama sudah berlangsung 5 kali.
Baik di Desa Noeltoko maupun Noepesu biaya
transport didanai oleh jejaring desa siaga.
4. Jejaring Donor Darah
Tugas dan fungsinya adalah mendata golongan
darah setiap KK. Yang memeriksa golongan darah
adalah petugas puskesmas Eban pada bulan
Agustus 2012. Penentuan orang yang dipilih
menjadi pendonor berdasarkan batasan umur
(dewasa) dan fisiknya bagus total di Noeltoko
sebanyak 96 orang, sedangkan di Noepesu
sebanyak 150 orang. Sejauh ini belum ada
kebutuhan darah dari mendonor namun mereka
tetap diminta siap-siap jika ada yang membutuhkan.
Ketua FD jejaring bertugas membagi nama-nama
pendonor berdasarkan golongan darah yang ada
dengan golongan darah ibu hamil.
5. Jejaring KB
Kegiatan yang sudah dilakukan jejaring KB di
samping mendata pasangan usia subur (PUS),
kegiatan utamanya adalah pendekatan pada PUS
yang belum KB. Menurut laporan mereka baru
58% yang mengikuti KB dari total PUS. Selama
ini kesulitan yang dirasakan oleh jejaring KB
adalah mengajak menjadi akseptor KB karena
dilarang oleh suaminya. Di Peraturan Desa belum
42
menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan KB.
di Desa Noeltoko terdapat 48 orang yang ikut KB,
tetapi drop out 8 orang. Jenis alat kontrasepsi
yang digunakan adalah KB suntik. Mereka tidak
menyukai KB jangka panjang seperti implant
maupun IUD. Alasan masyarakat tidak menyukai
KB IUD disampaikan oleh ketua jejaring KB
sebagai berikut:
Masyarakat sepertinya trauma dengan IUD,
karena ada beberapa peserta KB IUD yang sudah
memasang selama 10 tahun, tetapi setelah akan
dilepas tidak mendapati IUD nya. Di samping itu
juga ada yang tidak mau memasang IUD karena
tabu untuk dilihat orang.
Di Desa Noepesu jumlah peserta KB sebanyak
153 orang, terdiri dari peserta IUD (4 orang),
implant (25 orang), suntik (87 orang) dan pil
(9 orang). KB suntik banyak karena relatif simple
sehingga mudah disepakati suami istri.
6. Jejaring ASI Eksklusif
Jejaring ASI Eksklusif telah mendata ibu yang
mempunyai bayi yang berusia 1–6 bulan untuk
melakukan ASI eksklusif. Di samping pertemuan
rutin tiap bulan sesama jejaring, juga melaporkan
data ke bu bidan. Pada usia kehamilan ibu berusia
6 bulan, jejaring menjelaskan tentang bagaimana
untuk menyusui bayi sehingga diharapkan ibu
yang bersalin akan menyusui anaknya minimal
sampai 6 bulan.
7. Jejaring Siaga Bencana
Jejaring Siaga Bencana merupakan jejaring baru
di desa Noeltoko. Jejaring ini tidak ditemukan
di Desa Noepesu. Jejaring tersebut dibentuk
berdasarkan kesepakatan mengingat kondisi
geogras desa Noeltoko yang berbukit dan rawan
bencana serta letaknya jauh dari puskesmas.
Pada awal mulanya tujuan pembentukan jejaring
ini untuk menghadapi bencana alam dan kematian.
Namun dengan berjalannya waktu, yang berjalan
selama ini adalah menghimpun dana jika ada
kematian. Seperti pernyataan ketua jejaring Siaga
Bencana berikut:
Selama ini, kita menyumbang kalau ada
kematian maka masing-masing KK menyumbang
Rp.5.000,- dan yang menerima adalah keluarga
yang mengalami musibah, dan ini sangat
membantu. Di sini ada 8 RT jadi yang memungut
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
sumbangan ini adalah per RT, diperoleh antara
Rp.700.000–Rp.900.000.
Anggota jejaring Siaga Bencana melibatkan
Ketua RT, RW, dusun dan tokoh masyarakat. Jika
misalnya ada bencana, koordinator siaga bencana
yang akan melapor ke BPD dan kabupaten. Hal
yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya
Desa Siaga seperti yang disampaikan oleh
Sekretaris desa Noeltoko sebagai berikut:
"Mungkin untuk semua pelaksanaan semua
jejaring, memang selama ini berjalan dengan
baik karena sejak Desa Siaga bulan Juli 2011
masyarakat di desa Noeltoko sudah merasakan
manfaatnya. Yang baru Januari 2012 ada tambahan
Jejaring Siaga Bencana dan masyarakat yang ada
ini merasa terbantu dengan adanya jejaring ini.
Karena dari tahun-tahun yang lalu tidak ada itu.
C. Peraturan Desa
Desa Noeltoko dijadikan sebagai desa siaga pada
tahun 2011. Pada perkembangannya dibuat peraturan
desa (perdes) dalam rangka desa siaga. Peraturan
ini dibuat berdasarkan musyawarah/kesepakatan
bersama mulai dari aparat pemerintah desa, BPD
(Badan Perwakilan Desa) serta masyarakat desa. Hasil
kesepakatan tersebut selanjutnya disosialisasikan
kepada masyarakat sebelum kemudian ditetapkan
sebagai peraturan desa. Apabila dicermati peraturan
desa ini berkaitan dengan KIA, ibu hamil sampai
dengan persalinan dan balita untuk mendapatkan
pemeriksaan atau pelayanan yang standar. Di dalam
peraturan tersebut juga memuat sanksi bagi yang
tidak mentaati peraturan. Ibu-ibu yang tidak aktif di
posyandu, ibu hamil yang tidak memeriksakan dengan
teratur, serta ibu bersalin yang tidak melahirkan di
fasilitas kesehatan diberikan sanksi berupa denda
yang harus dibayar bila melanggar. Sejauh ini
peraturan tersebut berjalan sesuai dengan ketetapan
dan sudah ada yang mendapatkan sanksi.
Peraturan desa di Desa Noepesu tidak murni
berisi tentang kesehatan, tetapi juga berkaitan
dengan lingkungan, kemasyarakatan, keamanan dan
sebagainya. Terkait tentang kesehatan membahas
tentang Kesehatan Ibu dan Anak. Konsep Peraturan
Desa dibuat oleh aparat pemerintah desa dan BPD,
kemudian disosialisasikan ke masyarakat. Jika
masyarakat merasa keberatan maka perdes direvisi.
Selanjutnya draft perdes dikirim ke tingkat atas
(hukum) untuk disahkan. Perdes dibuat sekitar tahun
2008 dan setiap tahun direvisi untuk perbaikan serta
untuk mengevaluasi apakah peraturan ini berjalan
atau tidak. Jadi sebelum revolusi KIA, peraturan desa
di Noepesu sebetulnya sudah ada.
Peraturan desa terkait kesehatan ibu dan anak
berisi tentang kewajiban yang harus dilaksanakan
serta sanksi yang harus dibayar jika tidak mematuhi
meliputi:
1) Bagi ibu yang mempunyai balita dan alpa
ke posyandu dikenakan denda sebesar
Rp.5.000,-/bulan.
2) Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu tidak
mendapatkan bantuan, maksudnya bukan bantuan
untuk kesehatan tetapi bantuan untuk program
lain mis raskin, tetapi untuk kesehatan tetap
diberikan. Jadi jika ibu yang melahirkan di rumah
kita skors selama kurang lebih 1 tahun untuk
mendapatkan kembali pelayanan. Jadi di sini tidak
boleh melahirkan di rumah tetapi harus melahirkan
di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) Jejaring transportasi melaporkan bahwa sudah siap
7 sepeda motor dan 1 tenda yang siap mengantar
ke faskes (puskesmas Eban). Untuk jejaring donor
darah terdata 92 orang ditambah dengan gol darah
bumil. Persiapan calon pendonor pada ibu yang
berisiko.
D. Observasi Pertemuan Jejaring
Inisiator pertemuan jejaring di Desa Noeltoko
merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya
desa siaga, bahwa setiap bulan tanggal 12 dilakukan
pertemuan dengan agenda evaluasi, pelaporan dan
penyampaian data terbaru. Tempat pertemuan adalah
di balai desa Noeltoko. Peserta pertemuan lengkap
mulai dari pengurus inti jejaring yang berjumlah 7 orang
terdiri dari aparat pemerintah desa, BPD dan unsur
kesehatan (ketiga unsur tersebut sebagai pembina
desa siaga), kemudian ketua, sekretaris, bendahara
dan anggota jejaring. Total peserta pertemuan kurang
lebih terdapat 25 orang termasuk anggota jejaring..
Menurut catatan pengamat, ada beberapa anggota
jejaring yang kurang percaya diri untuk menyampaikan
pendapat, hal ini diduga dikarenakan tingkat pendidikan
yang rendah (80% berpendidikan SD). Pendapat
hanya disampaikan oleh beberapa orang antara lain
ketua fasilitator desa (FD), sekretaris desa, bidan
desa, ketua jejaring KB dan ketua jejaring notifikasi.
Namun secara keseluruhan pengorganisasian desa
siaga yang ada di desa Noeltoko sudah menjalankan
43
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
tugasnya dengan baik. Acara dipandu oleh ketua FD.
Hal yang menarik adalah setiap pertemuan selalu
diawali dan ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh
agama setempat sekaligus ketua jejaring dana.
Kemampuan ketua FD dalam memimpin pertemuan
sangat baik. Berdasarkan pengamatan, pengurus
inti jejaring seperti FD, bidan, sekdes cukup kompak
saling melengkapi dan mengisi dalam menjalankan
acara pertemuan jejaring.
Diskusi pertemuan jejaring berlangsung lancar
mengalir. Kemampuan ketua FD dan kekompakan
pengurus inti di dalam memahami dan menguasai
permasalahan, perkembangan dan data terbaru
sangat berpengaruh dan membantu berlangsungnya
temu jejaring. Masing-masing jejaring melaporkan
hasil kegiatan. Terjadi diskusi yang cukup seru antar
jejaring karena ada temuan balita gizi buruk satu
orang, di mana anak tersebut merupakan anak ke-6
bahkan sekarang ibunya hamil lagi anak ke-7. Jejaring
KB menyebutkan bahwa suami ibu tersebut tidak
setuju KB.
Sebagaimana di Noeltoko, di Desa Noepesu pun
inisiator pertemuan merupakan kesepakatan bersama
sejak dibentuknya desa siaga, bahwa setiap bulan
tanggal 13 dilakukan pertemuan dengan agenda
evaluasi, pelaporan dan penyampaian data terbaru.
Tempat pertemuan di Balai Desa Noepesu. Peserta
pertemuan lengkap mulai dari pengurus inti jejaring
yang berjumlah 7 orang terdiri dari Pengurus desa
(PD), BPD, dan unsur kesehatan (ketiga unsur ini
sebagai pembina desa siaga), kemudian ketua,
sekretaris, bendahara dan anggota. Dengan anggota
jejaring maka total peserta pertemuan kurang lebih
terdapat 24 orang.
Di akhir dialog disepakati tentang rencana tindak
lanjut yang paling mendesak yaitu akan mengumpulkan
ibu hamil dan suami di balai pertemuan desa untuk
diberikan pencerahan tentang desa siaga serta
revolusi KIA terkait dengan pertolongan persalinan
yang harus dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang
memadai yaitu puskesmas. Hal tersebut dilaksanakan
karena beberapa hari sebelum acara dialog
berlangsung terdapat seorang ibu yang melahirkan
sendiri di rumah, setelah melahirkan baru dibawa ke
puskesmas.
E. Kearifan Lokal Tradisi Menjelang Persalinan
Terdapat tradisi spesifik yang berkaitan dengan
ibu hamil di NTT termasuk di kabupaten TTU berupa
44
acara yang disebut dengan Naketi atau Nakohe (Dodo,
2012) Naketi ini biasa dilakukan pada waktu usia
kehamilan antara 7–9 bulan. Menurut kepercayaan
masyarakat, persoalan ibu hamil (sebelum bersalin)
terutama yang berhubungan dengan keluarga harus
diselesaikan sebelum melahirkan yang medianya
disebut dengan Naketi. Jika tidak dilakukan maka
akan menghambat proses persalinan. Naketi yaitu
pengakuan kesalahan/dosa istri kepada suami
dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan
kesalahan/dosa suami istri kepada keluarga besar
(orang tua/mertua). Dengan telah dilakukannya Naketi
maka ini menjadi dukungan moril bagi ibu yang akan
bersalin. Hal ini sebagai wujud kearifan lokal yang
positif bagi persiapan menjelang persalinan minimal
dari sisi psikologis ibu hamil. Dengan dukungan
keluarga besarnya, sang ibu hamil merasa tidak ada
beban sehingga siap untuk bersalin.
PEMBAHASAN
Hasil analisis situasi pada Desa Noeltoko dan
Noepesu menunjukkan bahwa komitmen bersama
menjadi kata kunci berjalannya jejaring. Berdasarkan
pengalaman hal ini tidak mudah. Di kedua desa
tersebut kekompakan pengurus inti jejaring mulai
dari ketua fasilitator desa, sekretaris desa, bidan
desa dan kepala desanya menjadi kekuatan untuk
menanamkan komitmen bersama tersebut. Untuk
itu pendampingan dari pemerintah daerah menjadi
hal penting karena memberikan energi baru. Upaya
pemberdayaan desa oleh Dinas Kesehatan dan peran
yang signifikan juga ada pada Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa (BPMD) karena mendampingi desa
siaga langsung di lapangan. Disusul dengan Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
(BP2KB).
Jejaring desa siaga di Noeltoko dan Noepesu
secara konsep dan penerapannya relatif sama
walaupun jika dibandingkan ada sedikit perbedaan
tapi hal itu lebih banyak ke arah teknis (tabel 2). Di
Desa Noeltoko sudah ada tambahan jejarimg Siaga
Bencana yang bertujuan masih terbatas mengurangi
beban keluarga yang mendapat bencana yang dalam
hal ini adalah kematian. Walau fokus utamanya adalah
kesehatan ibu dan anak namun secara konsep,
jejaring dimungkinkan untuk berkembang sesuai
kebutuhan spesifik masing-masing desa.
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
Keberadaan jejaring baik di Desa Noeltoko maupun
di Nepesu sangat membantu mengatasi masalah
kesehatan terutama ibu dan anak. Hal ini diakui oleh
kepala puskesmas dan kepala desa. Seiring dengan
digaungkannya Revolusi KIA dan upaya pemerintah
daerah TTU agar setiap persalinan dilakukan di
fasilitas kesehatan yang memadai maka dapat dilihat
tren lokasi persalinan di kedua desa tersebut sejak
tahun 2010 (tabel 3). Jika menilik keberadaan jejaring
yang mulai ada pada pertengahan 2011 maka setelah
ada jejaring ada tren kenaikan persalinan di fasilitas
kesehatan.
Di Desa Noeltoko, pada tahun 2010 belum ada
persalinan di fasilitas kesehatan, namun pada tahun
2011 sudah ada 36,4% bahkan di tahun 2012 mencapai
93,3%. Hal yang sama terjadi pada Desa Noepesu,
Tabel 2. Perbadingan Jejaring di Desa Noeltoko dan Noepesu
No
1
Sistem Siaga
Jejaring Notikasi
2
Jejaring Dana
3
Jejaring Transportasi
4
Jejaring Donor darah
5
Jejaring KB
6
Jejaring ASI Ekslusif
7
Jejaring Siaga
Bencana
Waktu temu jejaring
Peraturan Desa
8
9
Desa Noeltoko
Desa Noepesu
Ada, aktif, pendataan bumil, buteki, bayi,
Ada, aktif, pendataan bayi, balita, bumil,
balita, gol darah, masy yg tdk punya
bunifas, KB, gol darah, PUS, WUS, ASI
jamkesmas, tdk punya KTP.
eks
Problem: anggota tdk aktif krn mencari
kerja di kota
Ada, aktif, ada tabulin, tiap bulan Rp.1000/ Ada, aktif,
KK.
alokasi dana desa 2 juta tahun 2012 untuk
Kotak sumbangan
bulin
Rp. 2.000/KK/th (dasolin)
Rp.15.000/KK/th (dana desa) separuhnya
masuk ke operasional jejaring
transportasi)
Ada, aktif,
Ada, aktif,
1 tandu, 9 buah roda 2
5 buah roda 2, 2 buah roda 4
Ada, aktif
Ada, aktif
Tiap bumil di backup min 3 pendonor
Ada, aktif,
Ada, aktif,
mendata PUS, WUS, mengajak ibu KB,
sosialisasi alat kontrasepsi pd kegiatan
banyak KB suntik, kendala: suami tidak
posyandu
mendukung
Ada, aktif
Ada, aktif,
pendampingan bumil yang akan bersalin,
mendata jumlah buteki, penyuluhan ASI
pendampingan buteki
eks
Ada, aktif, tiap kematian ada sumbangan
Tidak ada
Rp.5000/KK
Setiap bulan tanggal 12
Setiap bulan tanggal 13
Ada, tahun 2011
Ada,
• usia kehamilan 3 bulan wajib lapor ke
• ibu yang mempunyai balita kemudian
nakes, jika tidak ada denda
alpa ke posyandu dikenakan denda
Rp. 100.000.
sebesar Rp.5.000/bulan.
• bumil dilarang urut ke dukun, jika hal
• Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu
tersebut dilakukan maka ibu hamil
tidak mendapatkan bantuan program
dikenai denda Rp. 200.000,- dan ibu
(non kesehatan) mis raskin selama
dukunnya juga kena denda
1 tahun, tetapi yankes kesehatan tetap
Rp.200.000.
diberikan. Ibu bersalin harus di fasilitas
• Yang melahirkan sendiri, dendanya
kesehatan.
Rp. 200.000,-, untuk balita yang tidak
• Ada jejaring dana yang khusus mencari
dibawa ke posyandu kena denda
dana untuk membantu ibu hamil yaitu
Rp.100.000 masing-masing balita.
sebesar Rp.2.000/KK/tahun
45
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47
Tabel 3. Tren Lokasi Persalinan di Desa Noeltoko dan Noepesu
Desa
Noeltoko
Noepesu
Lokasi Bersalin
Faskes
Rumah
Total
Faskes
Rumah
Total
2010
N
0
6
6
9
5
14
2011
%
0,00
100,00
100,00
64,29
35,71
100,00
walaupun pada tahun 2012 sedikit ada penurunan
namun jika kita perhatikan angka absolutnya antara
tahun 2011 dan 2012 tidak menunjukkan perbedaan
yang berarti. Dengan kata lain dibandingkan tahun
2010 maka tahun 2011 dan 2012 persalinan di Desa
Noepesu menunjukkan pola yang positif (mayoritas
persalinan sudah ke fasilitas kesehatan).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring
desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat akan kesehatan warga
desanya. Indikator paling mudah adalah terdatanya
semua ibu hamil dan ibu bersalin tidak oleh tenaga
kesehatan tetapi oleh masyarakat itu sendiri lewat
jejaringnya. Semua upaya persalinan yang tidak lagi
di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi
komitmen bersama melibatkan semua jejaring mulai
dana sampai transportasi. Indikator lainnya adalah
terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif
dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya
semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan
di desanya. Hal ini jika tetap “dirawat” akan dapat
menjadi modal sosial yang cukup berharga.
Fak tor yang ter penting dalam per baikan
kesehatan adalah komitmen bersama baik di level
kabupaten, kecamatan/puskesmas dan yang paling
utama adalah desa. Keberadaan Perda dan Perdes
yang mendukung upaya perbaikan kesehatan ibu
dan anak di masyarakat menjadi salah satu bukti
kepedulian dalam bentuk kebijakan tertulis. Kebijakan
dan komitmen yang diambil oleh para pengambil
keputusan dalam penanggulangan masalah kesehatan
ibu dan anak disesuaikan dengan peran, tugas dan
tanggung jawab masing-masing sektor terkait dan
46
N
4
7
11
17
3
20
2012
%
36,36
63,64
100,00
85,00
15,00
100,00
N
14
1
15
18
5
23
%
93,33
6,67
100,00
78,26
21,74
100,00
harus dilakukan secara konprehensif dan terintegrasi.
Dengan adanya desa siaga lewat jejaringnya sangat
membantu meningkatkan kepedulian masyarakat
akan kesehatan terutama ibu hamil, bersalin dan
bayinya.
Jejaring desa siaga ini mempunyai peluang yang
cukup besar untuk direplikasikan pada banyak daerah
lain, apalagi semua desa di TTU relatif memiliki
karakteristik relatif sama. Keberhasilan di Noeltoko
dan Noepesu justru dapat menjadi pemicu banyak
desa lainnya di TTU. Apalagi sebelumnya sudah
cukup banyak desa yang menjadi program desa siaga
namun mati suri di tengah jalan. Berkaca dari Desa
Noeltoko dan Noepesu diperlukan kepemimpinan
yang kuat, peduli pada masalah kesehatan dan
keterbukaan untuk menggerakkan masyarakat. Oleh
karena itu diperlukan kemauan keras dari penanggung
jawab kesehatan atau pemerintah kecamatan/desa
untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Saran
Usulan langsung dari jejaring adalah agar
pelatihan untuk pengurus jejaring ditingkatkan
mengingat selama ini jarang ada pelatihan yang
sudah diterima. Salah satunya adalah jejaring ASI
eksklusif menyampaikan kendala bahwa kurang
pelatihan dan belum ada fasilitasi, dan selama ini
hanya belajar dari pengalaman saja. Administrasi/
pencatatan hendaknya dibuat sesederhana mungkin
tapi cukup memadai. Perlu dukungan dari penentu
kebijakan baik tingkat pusat sampai ke daerah akan
membuat upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak
yang dilakukan akan sia-sia saja.
Kendala lain adalah kasus gizi kurang baik pada
ibu maupun bayi yang sering kali perhatian belum
sampai ke sana, walaupun sang ibu walau bersedia
memberikan ASI eksklusif tetapi jika dia sendiri bergizi
Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati)
kurang maka ASI nya juga tidak berkualitas. Dengan
kata lain faktor ekonomi turut menjadi determinan
sektor kesehatan. Hal ini sekaligus sebagai bukti
bahwa pembangunan haruslah terintegrasi di segala
bidang.
Penggunaan pendekatan budaya turut menjadi
poin penting yang perlu dicermati. Aspek budaya
tidak selamanya menjadi aspek yang menghambat
implementasi suatu kebijakan namun justru dapat
menjadi media implementasi. Sebagai contoh
tradisi Naketi, walaupun asalnya adalah acara intern
keluarga besar ibu bersalin sebetulnya dapat menjadi
momentum jejaring untuk masuk aktif membantu
mengawal persalinannya nanti. Tentu saja apapun
yang menjadi tradisi tetap harus hati-hati agar tidak
menjadi kontra produktif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada peneliti
daerah yang telah bekerja sama melaksanakan
penelitian, Dinas Kesehatan TTU atas bantuan
operasionalnya, Puskesmas Eban, Kepala Desa
Noeltoko dan Noepesu yang menyediakan waktu
dan lokasi desanya sebagai objek penelitian, serta
berbagai pihak yang turut membantu jalannya
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI Jakarta.
Dinkes TTU. 2011. Laporan Tahunan 2011 Dinkes Timor
Tengah Utara.
Dodo, O. Dominirsep. 2012, Implementasi desa Siaga
berbasis Kearifan Budaya di Desa Tuabatan, IGI,
FISIP UGM.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat.
Potret Desa Siaga Noeltoko 2011. Timor Tengah Utara
NTT.
Prol Desa Noepesu 2011. Timor Tengah Utara NTT.
47
UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL MELALUI
INTEGRASI PROGRAM PERENCANAAN PERSALINAN DAN
PENCEGAHAN KOMPLIKASI DAN ANTENATAL CARE DI POSYANDU
KOTA MOJOKERTO, PROVINSI JAWA TIMUR
(Utilization of Pregnant Women Services through Integrating Childbirth
Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care
at Integrated Health Services Post in Mojokerto City, East Java Province)
Muhammad Agus Mikrajab1 dan Syahrianti2
ABSTRACT
Background: Implementing the Childbirth Planning and Complications Prevention Program that has released by Ministry
of Health in 2007 for Pregnant women Services at Posyandu still tackles concern maternal health services particularly
pregnant women that will be affected in achieving Fourth and Five MDGs Goals targets. Objectives: This study aimed
to describe characteristics of pregnant women and to assess utiliziation of pregnant women services through integrating
Childbirth Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care at Integrated Health Sevices Post. Methods:
A cross sectional design with explorative approach through interview using structured questionn arias of pregnant women.
Sample Size in this study was 69 pregnants women. Data were analyzed descriptively with STATA 11SE licensed©. This study
was conducted in two health centers in Mojokerto City, Provincial East Java. Results: According to the observation shows
that Posyandu services was conducted routinely by midwives, physician, nurses and health cadres involves counseling on
imunization (92.8%) and family planning (85.5%), basic imunization services for maternal and neonatal (84.1%), allocating
supplementary foods (82.6%), and maternal and neonatal services (81.2%) whereas Posyandu services was not conducted
involves development and training for cadres (56.5%), receive referrals from traditional birth attendants (TBAs) and cadres
(44.9%), referral for pregnant women to health center/hospital (34.8%), examining fundus utery (33.3%), examining fetal
heart rate (31.9%), examining fetus position (27.5%), examining breastfeeding and postpartum mothers (26.1%), Screening
(early detection of pregnant women at high risk (23.2%), examining tension and family planning (20.3%). Conclusions:
P4K and ANC Services focused on high risk groups for pregnancies and delivery problems were 18–25 years and 34–41
years. Most of households head were work in private sector. Most of pregnant women were not referred to health facilities
by family when they suffer complications. According to the medical views that pregnant women parity for Grande Para
category has a serious health problems particularly maternal and neonatal death. Furthermore, availability of maternal and
neonatal cohorts was still low as it cannot be obtained adequate information concerns progress/mother health problems.
Integrating P4K and ANC services have founded that services routine coverage of pregnant women at Integrated Health
Services Post that conducted by midwives was still low. Recommendations: Increasing role of pregnant women through
pregnant women class and more broadly socialization concern important of referral system and health services facilities
availability for pregnant women and health examination only to health professions. Building partnership with traditional birth
attendants in referring as pregnant women examination coverage to traditional birth attendants can be decreased. Conducting
pregnant women counseling is concerned with pregnant women risk and number children that fulll health requirements.
It also, policy of local government to implement recording system for maternal and neonatal cohorts, information system
based local area monitoring and its application particularly midwives and other health professions.
Key words: Utilization, Pregnant Women, P4K, Antenatal Care, Integrated Health Services Post
1
2
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat - Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, Jl. Indrapura No. 17 Surabaya 60176 Jawa Timur
Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected]
Politeknik Kesehatan Kendari Kementerian Kesehatan RI, Jl. A.H. Nasution No. G. 14 Anduonohu, Sulawesi Utara
203
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
ABSTRAK
Latar belakang: Pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang dicanangkan
oleh Kementerian Kesehatan tahun 2007 dalam pelayanan kesehatan maternal di Posyandu masih menyimpan permasalahan
terkait pelayanan kesehatan maternal khususnya antenatal care yang akan berdampak pencapaian tujuan ke-4 dan 5
MDGs. Tujuan: Mendeskripsikan karakteristik Ibu Hamil dalam P4K dan Antenatal Care di Posyandu; dan menilai utilisasi
pelayanan kesehatan Ibu Hamil melalui integrasi P4K dan Antenatal Care di Posyandu. Metode: Desain penelitian potong
lintang dengan pendekatan eksploratif melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur ibu hamil. Besar
sampel adalah 69 wanita hamil. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Piranti lunak yang digunakan adalah STATA
11SE berlisensi. Penelitian ini dilakukan di Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Hasil: Berdasarkan pemantauan diperoleh
informasi bahwa pelayanan kesehatan di Posyandu yang rutin dilaksanakan dengan baik rata-rata 80% oleh bidan, dokter,
perawat, dan kader kesehatan meliputi Penyuluhan tentang Imunisasi (92,8%) disusul penyuluhan tentang KB (85,5%)
pelayanan imunisasi dasar dan Ibu (84,1%), Pemberian PMT (82,6%), pelayanan KIA (81,2%) sedangkan kegiatan yang
masih tidak dilaksanakan meliputi membina dan melatih kader (56,5%), menerima Rujukan dari Dukun dan Kader (44,9%),
merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS (34,8%), pemeriksaan Tinggi Fundus (TFU) (33,3%), pemeriksaan Denyut Jantung
Janin (31,9%), pemeriksaan Letak Janin (27,5%), pemeriksaan Ibu menyusui dan Nifas (26,1%), skreening (deteksi dini
risiko tinggi ibu hamil) (23,2%), pemeriksaan Tekanan Darah dan pelayanan KB (20,3%). Kesimpulan: Pelayanan P4K
dan ANC difokuskan pada kelompok resti ibu hamil dan persalinan yaitu usia 18-25 tahun dan 34-41 tahun. Kebanyakan
besar kepala rumah tangga bekerja di sektor swasta. Kebanyakan wanita hamil tidak di rujuk oleh keluarganya saat mereka
mengalami komplikasi. Menurut pandangan medis bahwa paritas ibu hamil kategori grande para berisiko mengalami masalah
serius terutama terjadinya kematian ibu dan bayi. Selanjutnya, ketersediaan kohor ibu dan bayi masih rendah sehingga
kita tidak dapat memperoleh informasi memadai berkaitan perkembangan/masalah kesehatan ibu. Integrasi pelayanan
P4K dan ANC, ditemukan bahwa cakupan pelayanan rutin ibu hamil di Posyandu yang dilaksanakan bidan masih rendah.
Saran: Meningkatkan peran ibu hamil melalui kelas ibu hamil serta sosialisasi secara lebih luas mengenai esensi sistem
rujukan berjenjang dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia kepada ibu hamil serta memeriksakan kesehatan hanya
kepada tenaga kesehatan, membangun kemitraan dengan dukun dalam rujukan sehingga angka kunjungan pemeriksaan
ibu hamil ke dukun menurun. Perlunya melaksanakan konseling kepada ibu hamil mengenai risiko kehamilan dan jumlah
anak yang memenuhi syarat kesehatan serta perlunya kebijakan pemerintah daerah dalam penerapan sistem pencatatan
kohor ibu dan bayi, pemantauan wilayah setempat berbasis sistem informasi serta peningkatan penerapannya terutama
tenaga bidan.
Kata kunci: Utilisasi, Ibu Hamil, P4K, ANC, Posyandu
Naskah Masuk: 15 Februari 2013, Review 1: 18 Februari 2013, Review 2: 18 Februari 2013, Naskah layak terbit: 20 April 2013
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan maternal khususnya fase
kehamilan sangat esensial bagi ibu. Fase kehamilan
menjadi perhatian khusus tenaga kesehatan terutama
bidan karena pada fase ini kemungkinan buruk bisa
terjadi yang dapat berakibat membahayakan ibu
dan bayinya. Pada fase ini seorang ibu hamil dapat
mengalami komplikasi kehamilan bila dari awal
kehamilan tidak dilaksanakan pelayanan kesehatan
ibu hamil dan bayinya sesuai dengan pedoman
standar yang telah ditetapkan.
Partisipasi tenaga kesehatan terutama bidan
dalam menjembatani pelayanan kesehatan maternal
khususnya fase antenatal care (ANC/prenatal care)
pada ibu hamil menjadi tujuan kunci strategi dalam
upaya menurunkan AKI dan AKB di Indonesia seperti
yang tertuang dalam tujuan 4 dan 5 pembangunan
204
Milenium (MDGs) serta indikator outcomes pelayanan
kesehatan maternal (KIA dan KB) di Indonesia pada
tahun 2015 yang juga termaktub dalam Standar
Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/
Kota.
Partisipasi bidan sebagai ujung tombak dalam
pelayanan kesehatan maternal (First point of contact)
menjadi dasar utama dari kebijakan pembangunan
kesehatan untuk dapat menapis permasalahan KIA
di Posyandu yang berfokus dalam mendeteksi dini
komplikasi/kelainan pada masa hamil, nifas, dan
pascanifas dengan menerapkan prinsip pelayanan
antenatal terpadu (integrated antenatal care).
Pembangunan kesehatan masyarakat tersebut
akan menjadi lebih baik bila indikator outcomes
utilisasi pelayanan kesehatan maternal di Posyandu
mengalami peningkatan secara kualitas dan kuantitas
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
yang dapat berimplikasi pada kualitas kesehatan
ibu dan anak. Berbagai upaya Pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan dan Institusi lintas sektoral
di daerah yang dilakukan untuk menurunkan AKI
dan AKB di Indonesia seperti peningkatan anggaran
pelayanan kesehatan termasuk promosi kesehatan
dan program kesehatan lainnya termasuk program
masif seperti P4K, dan bentuk bantuan sosial yaitu
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Jaminan Persalinan (Jampersal), serta Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) dan sehingga
diharapkan akseptabilitas masyarakat terhadap
program tersebut dapat lebih baik (Depkes, 2008a).
Sejak Kementerian Kesehatan mengeluarkan
kebijakan P4K tahun 2007 dan melaksanakan
kebijakan internasional Safe Motherhood tahun 1988
yang dikenal 4 pilar yaitu KB, pelayanan antenatal
care, persalinan bersih, dan penanganan masa
nifas kemudian dilanjutkan dengan program Making
Pregnancy Safer (MPS) tahun 2000 yaitu persalinan
oleh tenaga kesehatan, penanggulangan komplikasi,
pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran diharapkan juga
mampu menurunkan angka kematian ibu dan anak
khususnya di Kota Mojokerto.
Selanjutnya, fungsi Posyandu sebagai wadah
dalam mendekatkan pelayanan kesehatan masyarakat
terutama ibu, bayi dan anak yang merupakan salah
satu strategi upaya menurunkan angka kematian
ibu dan anak tersebut dapat dijelaskan secara detail
dalam studi ini peran bidan dan ibu hamil dalam
pelayanan kesehatan melalui program P4K meliputi
kegiatan dan sasaran P4K dalam utilisasi Posyandu
pada ibu hamil, melahirkan, nifas, pasca nifas, dan
bayi. Upaya yang telah dilakukan Puskesmas melalui
Posyandu dalam meningkatkan pelayanan P4K terkait
utilisasi fasilitas kesehatan harus dapat dipertahankan
terutama pada pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan
anak serta diintegrasikan dengan pelayanan antenatal
care dalam menyukseskan kegiatan P4K di Posyandu
sehingga tujuan peningkatan pelayanan kesehatan
ibu, bayi, dan anak dapat tercapai sesuai dengan
harapan semua komponen masyarakat khususnya
di Kota Mojokerto (Depkes, 2008a). Hasil Riskesdas
tahun 2007 mendeskripsikan bahwa persentase
ibu melahirkan di fasilitas kesehatan adalah 55,4%
sedangkan 43,2% lainnya melahirkan di rumah
atau tempat lain. Di antara ibu yang melahirkan di
rumah terdapat 40,2% ditolong oleh tenaga non
kesehatan terutama dukun. Hal tersebut menunjukkan
masih tingginya penolong persalinan non terampil
yang melakukan asuhan persalinan yang bukan di
fasilitas kesehatan. Peran bidan dalam memberikan
konseling kepada dukun dan tenaga nonnakes mutlak
dibutuhkan, strategi penapisan mulai dari kunjungan
awal sampai kunjungan ke 4 pada fase kehamilan
mutlak dilakukan oleh bidan dan mendorong ibu
untuk akses pemeriksaan antenatal care lengkap
(K4) di fasilitas kesehatan Posyandu dan lainnya
yang ada sehingga tidak ditemukan lagi ibu yang tidak
menerima pelayanan pada saat kontak dengan tenaga
kesehatan (missed opportunity) (Badan Litbangkes,
2010).
Menurut laporan Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2010 menyebutkan bahwa angka nasional K1
(95,26%) dan K4 (85,56%) meningkat pada tahun
2011 menjadi K1 (95,71%) dan K4 (88,27%). Untuk
Provinsi Jawa Timur kunjungan antenatal care K1
(96,63%) dan K4 (92,85%) melampaui target angka
nasional menunjukkan bahwa peran partisipatif tenaga
kesehatan dan masyarakat serta meningkatnya
pengetahuan kesadaran ibu hamil dalam pelayanan
maternal yang meneruskan sampai kunjungan 2 kali
pada triwulan ketiga (K4) terutama antenatal sangat
baik (Kemenkes, 2011a; 2012a; 2012b).
Berdasarkan nilai standar pelayanan yang harus
dicapai dalam pelayanan ANC untuk kunjungan
lengkap ibu hamil target pada 2015 yaitu 95% dan
paling sedikit 4 kali yaitu minimal satu kali pada
triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua
dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan.
Adapun pelayanan ANC ibu hamil sesuai standar
adalah kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah
pelayanan yang mencakup minimal: (1) timbang
badan dan ukur tinggi badan, (2) ukur tekanan darah,
(3) skrining; status imunisasi tetanus (dan pemberian
Tetanus Toksoid), (4) ukur tinggi fundus; uteri,
(5) pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan),
(6) temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal
dan konseling), (7) test laboratorium sederhana (Hb,
Protein urine) dan atau berdasarkan indikasi (HbsAg,
Sifilis, HIV, Malaria, TBC) (Depkes, 2008b).
Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Mojokerto
menunjukkan kenaikan dari 7,7 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 2009 menjadi 11,6 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2010. Meskipun demikian,
AKB Kota Mojokerto tahun 2010 masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan angka nasional yaitu 25,7
205
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
per 1.000 kelahiran hidup dan sudah memenuhi target
MDG’s untuk penurunan AKB sebesar 19 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Target MDG’s untuk
penurunan AKI sebesar 110 per 100.000 kelahiran
hidup di tahun 2015. Untuk Kota Mojokerto, pada tahun
2010 terdapat 2.005 sasaran ibu hamil. Pelayanan
antenatal khususnya oleh bidan di Puskesmas, sekitar
20% di antara ibu hamil yang ditemui, tergolong
dalam kasus risiko tinggi yang memerlukan pelayanan
kesehatan rujukan sedangkan Persentase tenaga
penolong persalinan di Kota Mojokerto adalah Bidan
(10,95%) dan Medis (9, 89%). Menunjukkan bahwa
masih terbatasnya distribusi dan ketersediaan tenaga
bidan dan dokter dalam melayani Ibu hamil (Dinkes
Kota Mojokerto, 2011).
Di sisi lain, masih ditemui disparitas pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan cakupan imunisasi
antar wilayah di Indonesia masih tinggi, yaitu: cakupan
pemeriksaan kehamilan tertinggi 97,1% dan terendah
67%; cakupan imunisasi lengkap tertinggi sebesar
73,9% dan cakupan terendah sebesar 17,3% pada
Riskesdas 2007; rata-rata cakupan pemeriksaan
kehamilan sebesar 61,4% dan rata-rata cakupan
imunisasi lengkap sebesar 53,8% pada Riskesdas
2010. Menunjukkan bahwa penerapan sistem
kesehatan dalam pelayanan kesehatan yang bervariasi
dan berbeda-beda (Badan Litbangkes 2008, 2010).
Menurut laporan terdapat 83,14/100.000 kelahiran
hidup di mana penyebab kematian: perdarahan 33%,
eklamsia/pre eklamsia 25%, penyakit jantung 12%,
infeksi 8%, lain-lain 22%. AKBA (Angka Kematian
Balita) 35,09/1000 KH, angka ini lebih tinggi dari angka
nasional yaitu 34 per 1000 KH, dengan penyebab
kematian bayi BBLR 41,39%, Asfiksia 19%, Tetanus
Neonatorum 0,70%, infeksi 4,92%, trauma lahir 4,59%,
kelainan bawaan 12, 79% dan penyebab lainnya
16,61%. Persentase Balita tidak pernah ditimbang
20,6 %, sedang yang rutin ditimbang sebesar 57,7
%. Sebagian besar (84,1%) penimbangan dilakukan
di posyandu. Berdasar catatan KMS, prevalensi bayi
berat lahir rendah < 2500 gram sebanyak 11,5%.
(BPS, 2008; Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2011).
Cakupan deteksi dini risiko tinggi oleh masyarakat
dapat digunakan untuk memantau kemampuan dan
peran serta masyarakat termasuk peran ibu hamil
itu sendiri, sedangkan cakupan deteksi dini risiko
tinggi oleh tenaga kesehatan dapat digunakan untuk
206
memperkirakan besarnya masalah yang dihadapi
oleh program KIA. Adapun keadaan sampai dengan
akhir tahun 2010, dari 2.005 sasaran ibu hamil,
terdapat perkiraan sasaran 401 ibu hamil risiko
tinggi. Dari sasaran tersebut, jumlah ibu hamil risiko
tinggi yang ditemukan tahun 2010 sebanyak 399 ibu
hamil resti atau 99,50% dari target sasaran (Dinkes
Kota Mojokerto, 2011). Menunjukkan bahwa angka
risiko tinggi pada Ibu hamil masih tinggi sehingga
diperlukan suatu peran partisipatif dan integratif
antara bidan, dokter, perawat, dan kader kesehatan
dalam meningkatkan integrasi pelayanan (P4K dan
antenatal care) pada ibu hamil di Kota Mojokerto.
Berdasarkan informasi di atas, maka perlu di
kaji utilisasi pelayanan ibu hamil melalui integrasi
program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi (P4K) dan antenatal care di Posyandu di
Kota Mojokerto, Jawa Timur. Adapun tujuan penelitian
ini adalah mendeskripsikan karakteristik ibu hamil
dalam integrasi program P4K dan antenatal care
di Posyandu; dan mengakses utilisasi pelayanan
kesehatan ibu hamil dengan integrasi P4K dan
antenatal care di Posyandu.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian non intervensi
dengan melakukan penilaian terhadap posyandu dalam
program perencanaan persalinan dan pencegahan
komplikasi (P4K) integrasi dan antenatal care
dalam rangka percepatan target MDGs tahun 2015.
Sedangkan desain penelitian ini adalah potong lintang
(cross sectional) dengan pendekatan eksploratif yang
wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner
terstruktur ibu hamil. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan pada indeks IPKM Kota Mojokerto yang
mempunyai indeks IPKM 0,653035 (peringkat ke20 dari 440 kabupaten) dan AKB di Kota Mojokerto
termasuk tinggi di Provinsi Jawa Timur yaitu 11,6‰
kelahiran hidup (2010). Besar sampel adalah 69 dan
unit analisis adalah Ibu Hamil. Analisis data dilakukan
dengan deskriptif data (univariat) untuk menjawab
tujuan penelitian. Piranti lunak yang digunakan adalah
STATA 11SE licensed© Serial Number 40110525372.
Penelitian ini dilakukan di dua Puskesmas di Kota
Mojokerto, Provinsi Jawa Timur dengan waktu penelitian
5 (lima) bulan tahun 2011.
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
HASIL
Tabel 1 menunjukkan Persentase ibu hamil yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan di berbagai
provider (Puskesmas, Posyandu). Menurut tingkat
pendidikan ibu hamil memanfaatkan pelayanan
kesehatan di dominasi berpendidikan SLTA/MA
(65,2%), hanya sedikit ibu hamil yang berpendidikan
tinggi memanfaatkan pelayanan kesehatan di berbagai
provider, kemungkinan ibu hamil yang berpendidikan
tinggi banyak memanfaatkan RS Pemerintah, RS
Swasta, dan atau klinik dengan fasilitas jaminan
kesehatan (Health Insurance). Menurut usia ibu,
masih terdapat risiko tinggi pada ibu hamil yang dapat
menyebabkan masalah obstetri selama fase kehamilan
dan persalinan dan dapat menyebabkan kematian ibu
dan bayi yaitu antara usia 18–25 tahun (30,4%) dan
usia 34–41 tahun (14,5%). Menurut pekerjaan, masih
Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil di Kota Mojokerto,
tahun 2011
No
1.
2.
3.
Variabel
Kota Mojokerto
(n = 69)
(%)
Pendidikan Ibu
Tidak Tamat SD
Tamat SD/MI
Tamat SLTP/MTs
Tamat SLTA/MA
Tamat Akademi/D3
Tamat Sarjana/S1
Usia Ibu
18–25 tahun
26–33 tahun
34–41 tahun
≥ 42 tahun
Pekerjaan Ibu
Ibu Rumah Tangga
4 (5,8)
5 (7,2)
8 (11,6)
45 (65,2)
2 (2,9)
5 (7,2)
21 (30,4)
35 (50,7)
10 (14,5)
3 (4,3)
47 (68,1)
Buruh/Buruh Tani/Buruh
Nelayan/Buruh Pabrik
Petani
4.
8 (11,6)
4 (5,8)
Nelayan
1 (1,4)
Pedagang/Wiraswasta
5 (7,2)
PNS/TNI/POLRI
4 (5,8)
Penghasilan Kepala Rumah Tangga
Tetap
16 (23,2)
Tidak Tetap
53 (76,8)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Tabel 2. Utilisasi Pemeriksaan Kehamilan Pertama
Kali menurut Tempat di Kota Mojokerto,
tahun 2011
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Variabel
Rumah Ibu Hamil
Rumah Petugas/Nakes
Posyandu
Polindes
Poliklinik Swasta
Puskesmas/Pustu
RS Pemerintah
RS Swasta
Kota Mojokerto
(n = 69)
(%)
1 (1,4)
9 (13,0)
8 (11,6)
11 (15,9)
8 (11,6)
25 (36,2)
3 (4,3)
4 (5,8)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Tabel 3. Utilisasi Pemeriksa Kehamilan Pertama Kali
menurut jenis tenaga kesehatan di Kota
Mojokerto, tahun 2011
No
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel
Bidan di Desa
Bidan Puskesmas
Bidan Swasta
Dokter Umum
Dokter Spesialis
Kota Mojokerto
(n = 69)
(%)
20 (29,9)
28 (40,6)
9 (13,0)
2 (2,9)
10 (14,5)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
terdapat ibu yang berisiko terjadinya kelelahan, kurang
gizi sehingga dapat terjadi keguguran pada jenis
pekerjaan Buruh/Buruh Tani/Buruh Nelayan/Buruh
Pabrik (11,6%). Sedangkan menurut penghasilan
kepala rumah tangga kebanyakan bekerja tidak tetap
(76,8%) seperti berdagang dan wiraswasta, kebetulan
di kota Mojokerto merupakan daerah industri sehingga
banyak kepala rumah tangga yang berdagang dan
sisanya berprofesi sebagai PNS/BUMN di beberapa
Instansi Pemerintah.
Tabel 2 menunjukkan bahwa utilisasi pemeriksaan
kehamilan pertama kali menurut Tempat, terbanyak
ke provider Puskesmas/Pustu (36,2%) dengan alasan
kedekatan dengan fasilitas pelayanan dan makin
meningkatnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya
ke fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagian ke Tenaga
Kesehatan yang tersedia di wilayah kota Mojokerto
seperti Polindes (15,9%), Rumah Petugas (13,0%),
Posyandu (11,6%) dan Poliklinik Swasta (11,6%).
207
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
Tabel 4. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil menurut pemberian rujukan di Kota Mojokerto, tahun 2011
No
1.
2.
Kode Pelayanan* (n = 69)
Variabel
Pemberian Rujukan
Pemberi Saran
K%
1(5,0)
B%
11(55,0)
P%
0(0,0)
D%
0(0,0)
TR %
8(40,0)
D%
S%
O%
P%
L%
23(33,3)
19(27,5)
7(10,1)
17(24,6)
3(4,3)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Keterangan : Kode Pelayanan: K = Kader, B = Bidan di Desa, P = Puskesmas, D = Dokter, TR = Tidak di rujuk, D = Sendiri, S = Suami,
O = Orang tua/mertua, P = Petugas kesehatan, L = Lainnya
Tabel 5. Tujuan berkunjung ke Posyandu pada Ibu di Kota Mojokerto, tahun 2011
Kode Tujuan* (n = 69)
Variabel
Tujuan Kunjungan
1%
2%
3%
4%
5%
6%
24 (34,8)
1 (1,4)
18 (26,1)
9 (13,0)
16 (23,2)
1 (1,4)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Keterangan : *Kode Tujuan: 1 = Pemeriksaan Kehamilan, 2 = Post Natal Care/Nifas, 3 = Pemeriksaan Bayi dan Anak, 4 = Imunisasi,
5 = Penimbangan Badan/PMT, 6 = Lainnya
Tabel 6. Karakteristik Responden menurut Paritas, Metode Persalinan, dan Transportasi di Kota Mojokerto,
tahun 2011
Variabel
Paritas Ibu
Metode
Persalinan
Transportasi
Primi
%
0 (0,0)
-
Multi
%
49 (71,0)
-
Grande
%
20 (29,0)
-
-
-
-
Kode* (n = 69)
S
PV
%
%
59 (85,5)
1 (1,4)
-
-
SC
%
9 (13,0)
J
%
-
S
%
-
SM
%
-
-
58 (84,1)
3 (4,3)
8 (11,6)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang dianalisis
Keterangan: *Kode: Primivara (1), Multi (2–4), Grand (≥ 5), S = Spontan, PV = Tindakan per vagina, SC = Operasi Sectio Caesaria,
J = Jalan Kaki, SM = Sepeda, SM = Sepeda Motor
Tabel 3 menunjukkan bahwa utilisasi pemeriksa
kehamilan per tama kali menurut jenis tenaga
kesehatan paling banyak memanfaatkan Bidan
Puskesmas (40,6%). Peran bidan dalam memberikan
sosialisasi dan pengetahuan ibu seputar pelayanan
KIA serta sejalan dengan kebijakan Kementerian
Kesehatan dan tujuan ke 4 dan ke 5 MDGs pelayanan
kesehatan ibu dan anak di Puskesmas dan Posyandu
serta fasilitas pendukung di desa diwajibkan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dari tenaga
kesehatan terutama bidan.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa alasan
ibu hamil memperoleh rujukan paling banyak Bidan di
desa (55,0%) disebabkan pertimbangan masalah KIA
(resti, dan obstetri) dan masalah lain terkait kehamilan.
Sedangkan alasan tidak di rujuk juga masih tinggi
208
(40%) berupa keterbatasan finansial dan transportasi
masih menjadi alasan utama tidak di rujuk, sedangkan
Pemberi saran mengenai tempat penolong persalinan
paling banyak inisiatif dari ibu hamil (33,3%) dan peran
Suami (27,5%) serta peran Petugas Kesehatan dalam
menjelaskan pentingnya kesehatan ibu dan anak
kepada ibu hamil (24,6%).
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa tujuan
kunjungan ibu ke Posyandu paling banyak untuk
pemeriksaan kehamilan (34,8%) dan pemeriksaan
bayi dan anak (26,1%). Kesadaran dan pengetahuan
pentingnya KIA menjadi dasar utama ibu berkunjung,
baik kunjungan antenatal care maupun postnatal
care.
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa
paritas ibu hamil yang mempunyai riwayat kehamilan
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
Tabel 7. Ketersediaan Kohor Ibu Hamil di Posyandu
di Kota Mojokerto, tahun 2011
No
1.
2.
Variabel
Register Kohor Ibu
Register Kohor Bayi
Kode Pelayanan*
(n = 20)
T%
TT %
9 (45,0)
11 (55,0)
7 (35,0)
13 (65,0)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Keterangan : *Kode Pelayanan: T = Tersedia, TT = Tidak
Tersedia
(paritas) Grande (29,0%) mempunyai risiko terjadinya
kematian neonatal lebih tinggi dibandingkan Primi
dan Multipara serta dapat memengaruhi kesehatan
ibu. Metode persalinan (mode of delivery in childbirth)
menunjukkan banyak dilakukan secara normal atau
jalan lahir (85,5%), sedangkan untuk mengakses
Posyandu dengan berjalan kaki dari rumah (84,1%).
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa
obser vasi perkembangan kesehatan/masalah
termasuk keadaan atau risiko yang dialami ibu mulai
masa kehamilan dan nifas melalui kohor Ibu baru
dapat di deteksi (45,0%) sedangkan untuk observasi
perkembangan kesehatan/masalah termasuk keadaan
atau risiko yang dialami bayi mulai masa neonatus,
bayi dan balita melalui kohor bayi baru dapat di deteksi
(35,0%).
Pada Tabel 8 menunjukkan hasil observasi
pelayanan terintegrasi P4K dan antenatal care yang
dengan kemitraan antara bidan, dokter, perawat,
dan kader kesehatan dalam pelayanan P4K dan
ANC di Posyandu. Dari 21 jenis pelayanan P4K yang
dilaksanakan di Posyandu telah terintegrasi dengan
jenis pelayanan antenatal care (ANC) terpadu dan
setiap jenis pelayanan ANC berjalan satu paket
dengan pelayanan P4K sesuai dengan pedoman P4K
dan pedoman ANC terpadu yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan yang belum dilaksanakan
dalam pemeriksaan Tekanan Darah (20,3%),
Pemeriksaan Letak Janin (27,5%), Pemeriksaan
Denyut Jantung Janin (31,9%), Pemeriksaan Tinggi
Fundus (33,3%), Skrining (deteksi Risiko Tinggi)
(23,2%), Merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS
Tabel 8. Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dengan integrasi P4K dan ANC di Posyandu di Kota
Mojokerto, tahun 2011
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Variabel
Penimbangan Ibu Hamil
Pemeriksaan Tekanan Darah
Pemeriksaan Letak Janin
Pemeriksaan Denyut Jantung Janin
Pemeriksaan Tinggi Fundus (TFU)
Pencatatan Umur Kehamilan
Penyuluhan tentang Risiko Kehamilan
Penyuluhan tentang Imunisasi
Penyuluhan tentang KB
Skrining (deteksi risiko tinggi)
Merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS
Distribusi Oralit
Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Memeriksa Ibu Menyusui dan Nifas
Menerima Rujukan dari Dukun dan Kader
Kunjungan Rumah
Pelayanan KB
Pelayanan Imunisasi desa
Membina dan Melatih Dukun
Membina dan Melatih Kader Posyandu
Pelayanan KIA
TP %
9 (13,0)
14 (20,3)
19 (27,5)
22 (31,9)
23 (33,3)
6 (8,7)
10 (14,5)
2 (2,9)
6 (8,7)
16 (23,2)
24 (34,8)
8 (11,6)
4 (5,8)
18 (26,1)
31 (44,9)
7 (10,1)
14 (20,3)
4 (5,8)
39 (56,5)
5 (7,2)
1 (1,5)
Kode Pelayanan* (n = 69)
J%
15 (21,7)
17 (20,3)
20 (29,0)
20 (29,0)
21 (30,4)
10 (14,5)
10 (14,5)
3 (4,4)
4 (5,8)
19 (27,5)
16 (23,2)
17 (24,6)
8 (11,6)
17 (24,6)
22 (31,9)
8 (11,6)
19 (27,5)
7 (10,1)
24 (34,8)
12 (17,4)
12 (17,4)
RD %
45 (65,2)
38 (55,1)
30 (43,5)
27 (39,1)
25 (36,2)
53 (76,8)
49 (71,0)
64 (92,8)
59 (85,5)
34 (49,3)
29 (42,0)
44 (63,8)
57 (82,6)
34 (49,3)
16 (23,2)
54 (78,3)
36 (52,2)
58 (84,1)
6 (8,7)
52 (75,4)
56 (81,2)
Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis
Keterangan *Kode Pelayanan: TP = Tidak Pernah, J = Jarang, R = Rutin Dilakukan
209
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
(34,8%), Memeriksa Ibu Menyusui dan Nifas (26,1%),
Menerima Rujukan dari Dukun dan Kader (44,9%),
Pelayanan KB (20,3%), Membina dan Melatih Dukun
(56,5%).
PEMBAHASAN
Utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil melalui
integrasi P4K dan ANC di Posyandu menjadi bahasan
utama. Pelayanan kesehatan ibu hamil sampai saat
ini masih menjadi sorotan utama dalam meningkatkan
cakupan pelayanan kesehatan dasar dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga
tahapan fase kehamilan dalam pelayanan kesehatan
harus ditingkatkan dan menjadi penapisan utama
sesuai dengan tujuan MDGs yaitu menurunkan angka
kematian ibu dan anak.
Deteksi kasus komplikasi kehamilan khusus di Kota
Mojokerto masih rendah sehingga banyak ditemukan
tidak terdeteksinya kasus komplikasi kehamilan di Kota
Mojokerto. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan
serta belum teradopsinya piranti PWS KIA, tidak
terdatanya sasaran ibu hamil serta kurangnya
informasi dan laporan dari warga/masyarakat juga
berkontribusi terjadinya kejadian tersebut. Penemuan
kasus komplikasi yang sering terjadi adalah abortus,
hiperemesis gravidarum, perdarahan per vaginam,
ketuban pecah dini, hipertensi kehamilan (eklampsi,
pre-eklampsi), letak bayi sungsang dan kehamilan
lewat waktu. Meskipun, Villar et al. (2001) dalam
penelitiannya di empat negara yaitu Argentina, Kuba,
Saudi Arabia, dan Thailand menyebutkan bahwa
penerapan model baru WHO dalam pelayanan
antenatal rutin yang mencakup BBLR, pre-eklampsia/
eklampsia, anemia pasca melahirkan, infeksi saluran
kemih tidak berdampak signifikan terhadap outcomes
pelayanan maternal dan perinatal.
Selain itu dengan kelas ibu hamil diharapkan
adanya pemahaman, perubahan sikap dan perilaku
ibu hamil tentang kehamilan, perubahan tubuh dan
keluhan (apakah kehamilan itu, perubahan tubuh
selama kehamilan, keluhan umum saat hamil dan
cara mengatasinya, apa saja yang perlu dilakukan
ibu hamil dan pengaturan gizi termasuk pemberian
tablet tambah darah untuk penanggulangan anemia);
perawatan kehamilan (kesiapan psikologis menghadapi
kehamilan, hubungan suami istri selama kehamilan,
obat yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh ibu
hamil, tanda bahaya kehamilan, dan P4K); persalinan
210
(tanda-tanda persalinan, tanda bahaya persalinan,
dan proses persalinan). Duncombe et al. (2009)
menyatakan informasi dan diskusi mengenai cara
senam hamil dengan aman, nikmat, dan nyaman
harus ditawarkan kepada ibu hamil oleh petugas
kesehatan di awal kehamilan, sedangkan keyakinan
akan keselamatan akan berdampak pada pola latihan
dan selama kehamilan serta bentuk yang paling tepat
dari senam hamil mungkin perlu di ubah dari waktu
ke waktu untuk mencegah kebosanan.
Selanjutnya, pelaksanaan pemantauan wilayah
setempat (PWS) KIA bidan setempat. Adapun
kegiatan PWS KIA yang dilaksanakan baik kader
maupun bersama bidan adalah terutama PWS KIA
yang meliputi identifikasi wanita usia subur (WUS),
register ibu hamil, pemeriksaan antenatal care (ANC),
persalinan ibu, bayi baru lahir (BBL), pemeriksaan
postnatal care (PNC), pemeriksaan neonatus, bayibalita, kematian ibu dan bayi dan kunjungan desa/
kelurahan yang status KIA jelek termasuk catatan
khusus dalam deteksi dini ibu hamil yang mengalami
risiko tinggi kehamilan (high risks pregnancy) dengan
kriteria usia ibu (kurang 23 tahun dan lebih 35 tahun),
riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya kurang
baik, pre-eklampsi/eklampsi, telah memiliki anak lebih
dari 4 orang, DM, HIV/AIDS, kelainan letak janin dan
bentuk panggul tidak normal, penyakit jantung serta
anemia dan kondisi medis lainnya seperti hipertensi,
gangguan pernapasan, dan gangguan ginjal (NICHD,
2012).
Berdasarkan laporan fasilitas kesehatan
Puskesmas di Jawa Timur Pelatihan PWS KIA baru
mencapai 30,0%, Pelatihan PONED 14,8%, Pelatihan
APN 57,4% sedangkan pelatihan lengkap kesehatan
Ibu baru 7,3%. Menunjukkan perlunya peningkatan
cakupan pelatihan terutama pada pelatihan PONED,
APN dan pelatihan lengkap kesehatan ibu untuk
meningkatkan keterampilan pada bidan (Kemenkes,
2011c). Laporan Fasilitas Kesehatan Puskesmas
menyebutkan bahwa penggunaan pedoman APN
dalam pelayanan persalinan di Puskesmas telah
mencapai 84,3%. Menunjukkan bahwa hampir
keseluruhan Puskesmas di wilayah Jawa Timur telah
menggunakan standar pedoman dalam pelayanan
persalinan. Kemudian, di Kota Mojokerto, Persentase
pemeriksaan tekanan darah baru 50%. Masih terdapat
40% yang belum memanfaatkan pemeriksaan tekanan
darah di Posyandu melainkan memilih sendiri fasilitas
pelayanan kesehatan yang ada seperti klinik, RS
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
Swasta yang bekerja sama dengan Jamsostek dan
jaminan kesehatan lainnya. Untuk pemeriksaan berat
badan ibu hamil, baru tercakup 50%. Masih terdapat
35% yang belum memanfaatkan pemeriksaan berat
badan ibu hamil di Posyandu. Kemungkinan mereka
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Selanjutnya, persentase pemeriksaan TFU ibu hamil
baru mencapai 55%. Masih terdapat 45% yang
tidak memanfaatkan pemeriksaan TFU di Posyandu.
Mungkin ibu hamil memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya (Klinik, RS Swasta) yang ada di
wilayah Kota Mojokerto. Khusus pelayanan imunisasi
pada ibu (TT) dan imunisasi dasar lengkap (LIL) di
Posyandu pada Bayi (BCG, DPT, Polio, Campak,
dan Hepatitis B) telah mencapai 90% (Hidayat, 2008;
Depkes, 2009; Proverawati et al., 2010, Kemenkes,
2011c).
Berdasarkan informasi bahwa ibu hamil cenderung
memanfaatkan bidan Puskesmas. Tampak bahwa
terdapat pola yang sama dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan saat hamil dan melahirkan
dari sisi jenis tenaga kesehatan, sedangkan cakupan
utilisasi persalinan menurut tempat, terjadi perbedaan
pola yaitu cenderung memanfaatkan Rumah Petugas/
Nakes. Menunjukkan bahwa keterbatasan faktor
kemampuan membayar (ability to pay) misalnya
keterbatasan akses finansial serta ketersediaan
fasilitas kesehatan misalnya klinik, dan RS Swasta
menjadi kendala khususnya dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan maternal (ibu dan bayi serta
anak) sedangkan untuk pemberian rujukan di dominasi
atas rekomendasi bidan di desa dan peran keluarga
(tidak di rujuk). Secara demografi di wilayah datar dan
padat penduduk, akses pelayanan KIA ke bidan cukup
dekat diharapkan ibu hamil dapat mengakses fasilitas
kesehatan. Tujuan kunjungan ibu ke Posyandu cukup
baik dan ada empat hal yang memotivasi ibu ke
Posyandu yaitu Pemeriksaan Kehamilan, Pemeriksaan
bayi dan anak, Penimbangan BB/PMT serta Imunisasi.
Keempat hal tersebut merupakan upaya promosi dan
preventif (meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta
dalam rangka pencegahan penyakit dan komplikasi
kehamilan dan pascamelahirkan). Hassan et al. (2012)
menyatakan bahwa alasan ibu hamil tidak di rujuk
adalah faktor ketidaktahuan ibu akan sistem rujukan,
hujan lebat, telah dikunjungi oleh dokter, melahirkan
pada malam hari, tidak adanya inisiatif yang berarti
dari keluarga, peran dan suami yang kurang serta
masih adanya ibu hamil yang di rujuk ke dukun.
Sejalan dengan penelitian Eijk et al. (2006),
(Prawirohardjo, 2009 cit. Pranoto, 2007; Manuaba,
2008; Verney, 2006) menyebutkan bahwa paritas
2– 4 yang mendapat pelayanan ANC di fasilitas
kesehatan 50,5%. Hal tersebut disebabkan faktor
tingkat pendidikan, pekerjaan, keadaan ekonomi,
latar belakang budaya dan kepercayaan serta
pengetahuan (Friedman, 2004). Disisi lain, Handler
et al. (1996) melihat dari sisi pelayanan menyatakan
bahwa rendahnya kepuasan pelayanan maternal
pada ibu hamil disebabkan karena kurangnya seni
dalam merawat, rendahnya kompetensi teknis bidan,
keberlangsungan perawatan, atmosfir dan lokasi fisik
tempat perawatan. Provider penolong persalinan
menurut Pemberi Saran di dominasi atas inisiatif
sendiri di susul peran suami, dan peran petugas
kesehatan. Menunjukkan bahwa di motivasi diri dalam
pencarian pertolongan persalinan (seeking skilled
attendance at birth) mengalami peningkatan.
Ketersediaan register kohor ibu dan bayi di
Kota Mojokerto baru mencapai masing-masing
45,0% dan 35,0%. Menunjukkan bahwa masih
rendahnya pemanfaatan register kohor ibu dan bayi.
Perlu peningkatan peran bidan koordinator dalam
menggerakkan bidan di desa untuk mengisi asuhan
kebidanan ke dalam register kohor ibu dan bayi.
Kegiatan pengisian register kohor bagi ibu adalah
pemeriksaan ANC, PNC, Kunjungan Nifas, dan
KB Pasca-Persalinan. Kegiatan pengisian kohor
Bayi adalah Pemeriksaan Neonatus, Bayi, dan
Balita. Palluturi et al. (2007) menyatakan bahwa ada
hubungan antara keterampilan, dan motivasi dengan
kinerja bidan di puskesmas wilayah Kecamatan
Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara.
Menunjukkan makin tinggi keterampilan dan motivasi
bidan berbanding lurus dengan kinerjanya. Masa
kerja tidak berhubungan dengan kinerja bidan di
puskesmas wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan
Kabupaten Maluku Tenggara dan masa kerja bidan
lama dan baru tidak selalu berbanding lurus dengan
peningkatan kinerjanya.
Selanjutnya, penelitian Agus & Horiuchi (2012)
menyebutkan bahwa 77,9% ibu hamil menerima
pelayanan ANC lebih dari 4 kali, 22,1% menerima
pelayanan ANC kurang dari 4 kali dan 59,4% menerima
pelayanan ANC saat berkunjung. Allegri et al. (2011)
menyatakan 76% ibu hamil memanfaatkan paling
sedikit 3 kali kunjungan ANC dan 72% mendapatkan
pelayanan di fasilitas kesehatan. Senada dengan
211
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
Allegri et al. (2011), Agus & Horiuchi (2012) menyatakan
ada tiga dimensi yang mendorong ibu hamil di tolong
bidan pada saat persalinan yaitu kepercayaan
tradisional, jarak ke faskes dan pendapatan keluarga.
Transportasi yang digunakan untuk mengakses
Posyandu di dominasi jalan kaki. Menunjukkan bahwa
jarak ke Posyandu dari rumah Ibu relatif dekat dan
ketersediaan Posyandu yang tersebar di berbagai
tempat sehingga mendekatkan pelayanan Posyandu
kepada ibu lebih dapat tercapai.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menyebutkan di
Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa jenis pelayanan
dasar di Posyandu/Poskesdes yang masih rendah
cakupannya yaitu: Pelayanan KB baru mencapai
27,2%; KIA 37,7%; Pengobatan 37,7%; Penyuluhan
39,3%; Imunisasi 56,8%; PMT 64,7%; Suplemen Gizi
68,2%; tetapi Penimbangan telah mencapai 96,1%.
(Badan Litbangkes, 2008). Sedangkan Laporan
Fasilitas Kesehatan di Puskesmas di Jawa Timur
menyebutkan pelayanan P4K merupakan persentase
tertinggi dilakukan Puskesmas (97,5%), di susul
pelayanan ANC terintegrasi (86,1%), kemitraan bidan
dan dukun (81,5%) serta kegiatan lengkap kesehatan
ibu (44,9%). (Kemenkes, 2011c).
Ditambahkan, hasil Riskesdas tahun 2007
menyebutkan bahwa pemeriksaan kesehatan Ibu
Hamil yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Jawa
Timur, cakupan tertinggi pada pemeriksaan tensi
(97,8%), pemeriksaan berat badan (96,7%), pemberian
Fe (94,5%), pemeriksaan fundus (92,2%), imunisasi
TT (83,3%), pemeriksaan tinggi badan (73,3%),
dan terendah pemeriksaan Hb (30,7%) (Badan
Litbangkes, 2008). Utilisasi Provider pemeriksaan
kehamilan pertama kali bervariasi cenderung ke
Puskesmas/Pustu sedangkan Provider persalinan
pada kehamilan sebelumnya berbeda pada kedua
tempat dan paling banyak melalui Bidan Puskesmas
dan melalui dukun paling sedikit. Untuk Pelayanan
Kesehatan di Posyandu sebagian besar menjawab
Baik. Hasil Riskesdas tahun 2007 menyebutkan
bahwa kebanyakan ibu hamil memanfaatkan Polindes/
Posyandu (25,6%) dan tempat melahirkan di rumah
di perkotaan (43,9%) sedangkan tempat melahirkan
di pedesaan (84,9%). Untuk pemeriksaan kehamilan
di Perkotaan, ibu hamil lebih banyak memanfaatkan
provider pelayanan kesehatan (94,1%) dibandingkan
di pedesaan (78,1%) (Badan Litbangkes, 2008).
Hazarika (2011), & Greena et al. (2011) menyatakan
bahwa keterampilan petugas merupakan faktor
212
determinan yang berhubungan dengan pertolongan
persalinan, dan terdapat pengaruh bermakna antara
keterampilan petugas yang baik dan tidak dalam
menolong persalinan di antara penduduk kota dan desa
di India. Wanita di Kota lebih memilih tenaga kesehatan
terampil daripada wanita di Desa. Dalam menolong
persalinan di suatu Negara selain keterampilan
tenaga kesehatan terutama bidan diperlukan juga
kebijakan terkait pertolongan persalinan terampil
sehingga akseptabilitas ibu hamil terhadap provider
pelayanan kesehatan meningkat. Butler et al. (2008)
menyatakan kompetensi bidan adalah menjadi
seorang praktisi yang mengutamakan keselamatan
pasien meliputi update pengetahuan dalam praktik,
memiliki ketanggapan profesional; memiliki sikap
yang benar meliputi motivasi, komitmen terhadap
pelayanan kebidanan; dan menjadi komunikator yang
efektif meliputi keterampilan berkomunikasi, menjadi
pendengar yang baik, ketersediaan informasi dan
fleksibilitas. Bacote (2002) menyatakan ketanggapan,
pengetahuan dan keterampilan budaya sangat
diperlukan dalam pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan kebidanan sehingga dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan. Namun, Cignacco (2002)
menyatakan dalam melaksanakan tugas profesional
terkadang bidan dihadapkan dengan konflik terkait
hak perempuan. Konflik tersebut menyebabkan
tingginya tekanan emosional, dan masalah identitas
profesional.
Barclay (2008) menyatakan bahwa bidan perlu
merefleksikan praktik mereka dan mempertimbangkan
kebijakan kesehatan yang lebih luas dan bagaimana
pengaruhnya pada sistem kesehatan. Bidan juga
perlu memahami praktik berdasarkan konteks
sosial, ekonomi, sejarah dan budaya, termasuk
pengaruh ketidaksetaraan gender dan sikap bidan
terhadap perempuan dan diri mereka sebagai bidan.
Sejalan dengan Barclay (2008), Homer et al. (2009)
dalam penelitiannya di Australia menyatakan bahwa
beberapa hambatan dalam mencapai peran penuh
bidan teridentifikasi termasuk kurangnya kesempatan
untuk praktik di seluruh dimensi pelayanan maternal,
invisibilitas kebidanan dalam peraturan dan praktik,
dominasi kedokteran, kekurangan tenaga kerja, sistem
kelembagaan pelayanan maternal, dan kurangnya
gambaran yang jelas tentang kebidanan dalam
komunitas yang lebih luas. Hambatan tersebut harus
diatasi agar bidan dapat berfungsi sesuai dengan
potensi dari peran mereka. Ditambahkan bahwa, perlu
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
peningkatan peran tenaga kesehatan terutama bidan
dalam membina dan melatih dukun dalam merujuk
dan memberikan pengetahuan yang tepat untuk
mengenali tanda dini komplikasi agar segera di rujuk
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Pendataan ibu hamil melalui deteksi kantongkantong desa/kelurahan dan koordinasi dengan pihak
desa/kelurahan serta aparatur kecamatan secara
terintegrasi (lintas sektoral) dan dinas kesehatan
untuk mencari seluruh ibu hamil (sasaran) yang ada
di wilayah kerja Posyandu serta informasi dari warga
sekitar. Pendataan tersebut dilakukan melalui sumber
data dari desa, PWS Bidan, dan data sasaran pada
kehamilan lalu dilakukan cross check (verifikasi dan
validasi) data dengan melibatkan bidan, perawat dan
tenaga kader kesehatan serta aparat desa yang peduli
dengan kesehatan ibu hamil. Sedangkan pemasangan
stiker P4K di rumah ibu hamil yang dilakukan oleh kader
telah dilakukan dengan baik. Adapun isi dari stiker P4K
meliputi: Nama Ibu, Taksiran/perkiraan persalinan,
Penolong persalinan, Tempat persalinan, pendamping
persalinan, transportasi dan calon pendonor darah.
Metode pemasangan stiker P4K pada ibu hamil dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu pada saat kunjungan
ke rumah ibu hamil terkait kunjungan umum kader dan
atau bidan (pelayanan umum dan P4K) serta pada
saat kunjungan ibu hamil di Posyandu. Manfaat dari
pemasangan stiker P4K yang ditempelkan di rumah
ibu hamil adalah setiap ibu hamil akan tercatat, terdata
dan terpantau secara cepat. Dengan data dalam
stiker, suami, keluarga, kader, dukun, bersama bidan
di desa dapat memantau secara intensif keadaan dan
perkembangan kesehatan ibu hamil agar memperoleh
pelayanan yang sesuai standar pada saat antenatal,
persalinan dan nifas sehingga proses persalinan
sampai nifas termasuk rujukan dapat berjalan dengan
aman dan selamat untuk mencegah kematian ibu dan
bayi lahir selamat.
D’Ambruoso et al. (2009) menyatakan bahwa
keluarga dan masyarakat tidak menyediakan emergensi
dengan dukungan finansial atau transportasi secara
terpisah disebabkan kurangnya pemahaman mereka
terhadap sistem asuransi kesehatan di tambah
kurangnya jaminan asuransi dalam pelayanan ibu
hamil. Disini diperlukan suatu mekanisme sistem
dalam pelayanan asuransi kesehatan terutama bagi
ibu hamil termasuk kepesertaannya dalam pelayanan
P4K. Saat ini sangat dibutuhkan suatu sistem asuransi
kesehatan yang lebih komprehensif (universal health
insurance coverage) dalam membantu meningkatkan
pelayanan P4K di Posyandu meskipun saat ini telah
hadir bantuan sosial berupa jaminan persalinan,
jaminan kesehatan masyarakat maupun jaminan
kesehatan daerah. Namun tetap saja diperlukan
dukungan swadaya masyarakat sehingga mampu
mandiri menjadi salah satu aspek penting untuk
mencegah terjadinya kematian ibu melahirkan karena
tiga terlambat (three delays) yaitu terlambat dalam
mencari bantuan medis yang tersedia, mencapai
pelayanan kesehatan, dan memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai (UNFPA, 2010).
Dalam Kegiatan P4K dan ANC, peran bidan di
Posyandu yang perlu ditingkatkan adalah membuat
perencanaan persalinan yang meliputi kegiatan
membuat taksiran persalinan, penolong persalinan,
tempat persalinan, transportasi/ambulans desa,
calon pendonor darah, penggunaan metode KB
pascapersalinan. Kegiatan Posyandu meliputi KIA,
imunisasi, gizi, KB, kelas ibu hamil, pencegahan
dan penanggulangan diare. Juga membuat laporan
bulanan (formulir LB3 dan LB4) pelayanan Posyandu
dan P4K di Puskesmas (Depkes, 2008a, 2011b).
Peran kemitraan bidan dan tenaga kesehatan
lainnya perlu lebih baik dalam meningkatkan cakupan
pemeriksaan pada Ibu hamil dalam mengukur
tekanan darah, letak janin, TFU, skrining, merujuk
ibu hamil sesegera mungkin, memeriksa kesehatan
ibu menyusui dan nifas, meningkatkan sistem rujukan
pelayanan kesehatan dari dukun dan kader, pelayanan
KB serta membina dan melatih dukun secara lebih
proaktif dan partisipatif. Menurut Ariningrum &
Aryastami (2008) menyatakan bahwa hambatan
dalam pencapaian kunjungan ibu hamil (K4) yaitu:
pendataan ibu hamil tidak selalu dijumpai di lapangan,
bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur pengertian
pendataan ibu hamil adalah ibu yang datang ke
fasilitas kesehatan, bukan ibu yang hamil berdasarkan
pendataan petugas atau kader di lapangan. Dengan
demikian banyak ibu yang tidak termonitor karena
tingkat pengetahuan dan kesadaran ibu hamil akan
risiko kehamilan masih rendah; jumlah dan distribusi
bidan belum memadai; beban kerja petugas tidak
disertai dengan ketersediaan sarana/prasarana
atau pun insentif, sehingga upaya jemput bola sulit
diharapkan. Senada dengan Ariningrum & Aryastami
(2008), bahwa standar pelayanan kunjungan Ibu
hamil ke Posyandu perlu lebih masif dilaksanakan
dalam pemeriksaan TB, BB, tensi, skrining status
213
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
imunisasi tetanus (TT), pengukuran TFU, pemberian
tablet besi (Fe) dan tes lab sederhana (Hb, protein
urine). Pelayanan tersebut belum dilaksanakan
dengan baik. Sedangkan, temu wicara secara dalam
bentuk komunikasi interpersonal dan konseling belum
dilaksanakan dengan baik Depkes (2008b).
Selanjutnya, yang menjadi perhatian utama dalam
studi ini adalah dari dimensi sistem perlunya penapisan
dan adopsi sistem terintegrasi terhadap cakupan
pelayanan ANC pada ibu hamil yang merupakan
dasar dalam menilai kinerja pelayanan kesehatan
ibu, bayi, dan anak, sangat dilematis minimnya sistem
pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi berupa
catatan restropektif seluruh ibu hamil selama ini
meskipun persentase pendataan dan pemasangan
stiker ibu hamil baik tetapi yang terjadi catatan tersebut
tidak dapat ditemukan dari kohor Ibu/Bayi, partograf
mulai dari pelayanan selama hamil (ANC) sampai
pascapersalinan (PNC) oleh bidan sampai rumah
sakit secara lengkap, sehingga tidak dapat diketahui
variabilitas ibu hamil yang memanfaatkan fasilitas
kesehatan dan keberlanjutan ibu hamil ke Posyandu
serta ketidakakuratan data dan ketidakseragaman
laporan ANC.
Dari dimensi kebijakan kesehatan diperlukan
harmonisasi antar regulasi terkait pelayanan
kesehatan ibu, bayi, dan anak serta regulasi adopsi
interoperabilitas sistem terintegrasi mulai dari level
bidan di Puskesmas melalui kegiatan Posyandu
(Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK tingkat 1)
sampai pada rumah sakit rujukan (Pemberi Pelayanan
Kesehatan/PPK tingkat III).
Menurut WHO (2007) cit. Ergo et al. (2011)
menyebutkan bahwa untuk meningkatkan mutu dan
jangkauan pelayanan KIA dan khususnya pelayanan
ibu hamil diperlukan penguatan sistem kesehatan
untuk mencapai tujuan/outcome Kesehatan. Adapun
penguatan sistem kesehatan yang dimaksud,
meliputi: pelayanan KI A (ser vice deliver y),
ketersediaan dan kecukupan tenaga kesehatan dan
pendukungnya termasuk kader, sistem informasi
kesehatan, ketersediaan produk medis, vaksin, dan
teknologi kesehatan, pembiayaan, kepemimpinan/
kepemerintahan yang baik (good governance). Tujuan/
outcome yang diharapkan adalah: meningkatnya
derajat kesehat an, ket anggapan pelayanan
kesehatan, proteksi risiko finansial dan sosial, serta
terwujudnya efisiensi. Hal ini menunjukkan bahwa
peran sistem kesehatan tidak dapat dipisahkan dari
214
mutu dan jangkauan pelayanan KIA, dengan demikian
bahwa pengintegrasian antara komponen dalam
sistem tersebut akan mampu meningkatkan mutu
dan jangkauan pelayanan KIA yang berimplikasi
pada rendahnya AKI dan AKB khususnya di Kota
Mojokerto. Penelitian Aniebue (2011) menyatakan
bahwa rendahnya kunjungan antenatal care di
sarana pelayanan kesehatan disebabkan kurangnya
pembelajaran yang memadai pada ibu hamil, keraguan
Ibu hamil untuk mengenal lebih dekat provider terkait
K4, rendahnya deteksi dini penyakit dan kepuasan
sosial terkait K4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan karakteristik ibu hamil dalam program
P4K dan ANC ditemukan bahwa kelompok usia yang
berisiko tinggi mengalami masalah kehamilan dan
persalinan adalah usia 18–25 tahun dan 34– 41
tahun. Dari segi penghasilan kepala rumah tangga
sebagian besar adalah bekerja di sektor swasta
padahal di daerah tersebut merupakan wilayah
padat dan industri. Dari segi pemberian rujukan
pelayanan kesehatan ibu hamil sebagian besar tidak
di rujuk oleh keluarganya disebabkan beberapa
hal yaitu ketidaktahuan ibu akan sistem rujukan,
melahirkan di malam hari sehingga enggan untuk
di rujuk, tidak adanya upaya dari keluarga untuk
merujuk, kurangnya peran suami, serta masih adanya
kemungkinan memilih ke dukun. Dari segi paritas ibu
grande para (lebih dari 5 anak) yang secara medis
berisiko terjadinya masalah kesehatan yang serius
pada ibu hamil dan kematian neonatal. Dari segi
register kohor ibu dan bayi juga masih kurang tersedia
sistem pencatatan, observasi perkembangan/masalah
termasuk keadaan atau risiko ibu mulai fase kehamilan
sampai nifas. Keadaan ini menyebabkan tidak dapat
di deteksi secara dini seluruh kemungkinan kejadian
permasalahan kematian ibu dan bayi. Dari segi
pelayanan kesehatan ibu hamil, terintegrasi antara
P4K dan ANC, ditemukan bahwa masih rendahnya
cakupan pelayanan rutin di Posyandu yang dilakukan
oleh kemitraan tenaga kesehatan terutama bidan,
dokter, perawat dan kader kesehatan. Pelayanan
terintegrasi tersebut meliputi membina dan melatih
dukun, menerima rujukan dari kader dan dukun,
merujuk ibu hamil ke Puskesmas/RS, Pemeriksaan
Tinggi Fundus Uteri dan Denyut Jantung Janin,
Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti)
Tekanan Darah, Letak janin, skrining untuk risiko
tinggi, menyusui dan nifas serta pelayanan KB.
Saran
Rekomendasi yang dapat diajukan terkait temuan
penting (main findings) hasil studi ini adalah perlunya
meningkatkan peran ibu hamil melalui kelas ibu hamil,
mensosialisasikan secara lebih luas mengenai esensi
sistem rujukan berjenjang dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang tersedia kepada ibu hamil serta
memeriksakan kesehatan hanya kepada tenaga
kesehatan serta membangun kemitraan dengan
dukun dalam rujukan sehingga angka kunjungan
pemeriksaan ibu hamil ke dukun menurun. Perlunya
melaksanakan konseling kepada ibu hamil mengenai
risiko kehamilan dan jumlah anak yang memenuhi
syarat kesehatan serta usia produktif dan ideal untuk
hamil dan tidak berisiko tinggi.
Perlunya sebuah kebijakan pemerintah daerah
dalam penerapan sistem pencatatan kohor ibu dan
bayi serta pemantauan wilayah setempat berbasis
sistem informasi, peningkatan penerapannya pada
tenaga bidan bersama kader dan tenaga kesehatan
lainnya serta bidan diharapkan lebih menjangkau
kantong-kantong risiko tinggi, observasi stiker P4K,
dan kunjungan rumah untuk meningkatkan integrasi
pelayanan P4K dan ANC rutin mulai dari level
Puskesmas sampai pada pelayanan di Posyandu
serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
indeks pemanfaatan pelayanan ANC dalam integrasi
program P4K dan ANC di Posyandu serta perlu studi
kohor mengenai determinan pelayanan integrasi P4K
dan ANC di level Puskesmas.
Keterbatasan Penelitian
Tidak dapat diukur indeks kecukupan pemanfaatan
pelayanan antenatal care (prenatal care utilization
index) terkait utilisasi pelayanan kesehatan Ibu
hamil pada bayi dengan berat badan rendah (low
birthweight) karena keterbatasan data dalam item
pertanyaan kuesioner.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Y, & Horiuchi S. 2012. Factors inuencing the use of
antenatal care in rural West Sumatra, Indonesia. BMC
Pregnancy and Childbirth, Vol. 12, No. 9.
Allegri MD, Ridde V, Louis VR, Sarker M, Tiendrebeogo
J, Ye M, Muller O, & Jahn A. 2011. Determinants of
Utilisation of maternal care services after the reduction
of user fees: A case study from rural Burkina Faso,
Health Policy Vol. 99, No. 3, pp. 210–218.
Aniebue UU, Aniebue PN. 2011. Women’s perception as a
barrier to focused antenatal care in Nigeria: the issue
of fewer antenatal visits, Health Policy Plan. Vol. 26,
No. 5. pp. 423–8.
Ariningrum R, Aryastami NK. 2008. Studi Kualitatif
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi
setelah penerapan KW-SPM di Kabupaten Badung,
Tanah Datar, dan Kota Kupang, Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. Vol. 11. No. 1, pp. 33–43.
Bacote JC. 2002. The Process of Cultural Competence in
the Delivery of Health care Services: A Model of Care,
J. Transcult. Nurs. Vol. 13. No. 3, pp.181–184.
Badan Litbangkes. 2008. Laporan Hasil Riskesdas-Indonesia
tahun 2007, Jakarta.
, 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010, Jakarta.
Barclay L. 2008. Woman and midwives: position, problems
and potential. Midwifery, Vol. 24. No. 1, pp. 13–21.
Biro Pusat Statistik. 2008. Laporan Hasil Survei Demogra
dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, Jakarta.
Butler MM, Fraser DM, Murphy RJL. 2008. What are the
essential competencies required of a midwife at
the point of registration, Midwifery. Vol. 24 No. 3,
pp. 260–269.
Cignacco E. 2002. Between Professional Duty and Ethical
Confusion: midwives and selective termination of
pregnancy, Nurs. Ethics, Vol. 9 No. 2, pp. 179–191.
D’Ambruoso L, Adisasmita AE, Izati Y, Makowiecka K,
Hussein J. 2009. Assessing quality of care provided
by Indonesian village midwives with a condential
enquiry. Midwifery, Vo. 25 No. 5, pp. 528–39.
Depkes RI. 2008. Buku Pedoman P4K, Jakarta.
. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan No. 828/
Menkes/SK/IX/2008 tentang Juknis SPM bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta.
. 2009. Imunisasi Dasar Lengkap, Pusat Promkes,
Jakarta.
Dinkes Kota Mojokerto. 2011. Profil Kesehatan Kota
Mojokerto 2010, Kota Mojokerto.
Duncombe D, Wertheim, Skouteris H, Paxton SJ, Kelly L.
2009. Factors related to exercise over the course
of pregnancy including women’s beliefs about the
safety of exercise during pregnancy. Midwifery, Vol. 5
No. 4, pp. 430–438.
Eijk AM, Bles HM, Odhiambo F, Ayisi JG, Blokland IE, Rosen
DH, Adazu K, Slutsker L & Lindblade KA. 2006. Use
of antenatal services and delivery care among women
in rural western Kenya: a community based survey,
Reproductive Health 3: 2.
215
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216
Ergo A, Eichler R, Koblinsky M, & Shah N. 2011.
Strengthening Health Systems to Improve Maternal,
Neonatal and Child Health Outcomes: A Framework,
USAID. Washington DC, USA.
Friedman. 2004. Keperawatan Keluarga. EGC: Jakarta.
Greena A, Gereina N, Mirzoeva T, Birda P, Pearsona S,
Anh LV, Martineauc T, Mukhopadhyayd M, Qiane X.
2011. Health policy processes in maternal health:
A comparison of Vietnam, India and China, Health
Policy 100(2–3):167–173.
Handler A, Raube K, Kelley MA, Giachello A. 1996. Women’s
satisfaction with prenatal care settings: a focus group
study, Birth. Vol. 23 No. 1, pp. 31–7.
Hassan H, Jokhio AH, Winter H, & MacArthur Christine.
2012. Safe Delivery and Newborn care practices in
Sindh, Pakistan: a community-based investigation
of mothers and health workers, Midwifery. Vol. 28
No. 4, pp. 466–471.
Hazarika I. 2011. Factors that Determine the Use of
skilled care during delivery in India: Implications for
Achievement of MDG-5 Targets, Matern. Child Health
J. 15: 1381–1388.
Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika. Jakarta.
Homer CSE, Passant L, Brodie PM, Kildea S, Leap N,
Pincombe J, Thorogood C. 2009. The role of the
midwife in Australia: views of women and midwives.
Midwifery. Vol. 25 No. 6, pp. 673–681.
Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010,
Jakarta.
. 2011. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu,
Jakarta.
. 2011. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan
2011. (Laporan Puskesmas), Badan Litbangkes,
Jakarta.
. 2012. Prol Data Kesehatan Indonesia 2011,
Jakarta.
. 2012. Perpres No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional, Biro Hukor Setjen, Jakarta.
Manuaba. 2008. Ilmu Kebidanan, Kandungan dan KB.
Jakarta: EGC.
NICHD. 2012. High-Risk, Pregnancy, URL: www.nichd.nih.
gov di akses 27 Oktober 2012.
Palutturi S, Nurhayani, Mandak N. 2007 Determinan
Kinerja Bidan di Puskesmas Tahun 2006, JMPK
Vol. 10 No. 4, pp. 195–200.
Pranoto. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Yogyakarta.
Proverawati, Atikah & Setyo CDA. 2010. Imunisasi dan
Vaksinasi. Nuha Offset, Yogyakarta.
UNFPA. 2010. Reducing Maternal Mortality 2012, New
York. USA.
Villar J, Ba’aqeel H, Piaggio G, Lumbiganon P, Belizán JM,
Farnot U, Al-Mazrou Y, Carroli G, Pinol A, Donner A,
Langer A, Nigenda G, Mugford M, Rushby JF, Hutton
G, Bergsjø P, Bakketeig L, Berendes H. 2001. WHO
antenatal care randomised trial for the evaluation of
a new model of routine antenatal care, The Lancet,
357(9268): 1551–64.
Verney. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC:
Jakarta.
Catatan: Analisis Data dalam artikel ini menggunakan
STATA 11SE Licensed dengan Serial Number
40110525372.
216
Download