PAKET INFORMASI TERSELEKSI WANITA DAN ANAK Seri: Kesehatan Ibu S alah satu alasan kenapa masih rendahnya jumlah dan mutu karya ilmiah Indonesia adalah karena kesulitan mendapatkan literatur ilmiah sebagai sumber informasi.Kesulitan mendapatkan literatur terjadi karena masih banyak pengguna informasi yang tidak tahu kemana harus mencari dan bagaimana cara mendapatkan literatur yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah diadakan layanan informasi berupa Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT). Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah salah satu layanan informasi ilmiah yang disediakan bagi peminat sesuai dengan kebutuhan informasi untuk semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam berbagai topik yang dikemas dalam bentuk kumpulan artikel dan menggunakan sumber informasi dari berbagai jurnal ilmiah Indonesia. Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat akses informasi sesuai dengan kebutuhan informasi para pengguna yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, penelitian, pelaksanaan pemerintahan, bisnis, dan kepentingan masyarakat umum lainnya. Sumber-sumber informasi yang tercakup dalam Paket Diseminasi Informasi Terseleksi (PDIT) adalah sumber-sumber informasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari artikel (full text) jurnal ilmiah Indonesia dilengkapi dengan cantuman bibliografi beserta abstrak. DAFTAR ISI ANALISIS FAKTOR DETERMINAN PERMASALAHAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Zahtamal; TutiRestuastuti ; Fifia Chandra Kesmas :jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 6, no. 1, 2011 : 9 - 16 Abstrak: - ANALISIS PEMANFAATAN BANTUAN OPERASIOJNAL KESEHATAN DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PUSKESMAS WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KUDUS Andini Aridewi ;Martha Irene Katsurya; Ayun Sriatmi Jurnal manajemen kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 1, 2013 : 32-40 Abstrak: - ANALISIS PEMBIAYAAN PROGRAM KESEHATAN IBU DAN BAYI DI KABUPATEN/KOTA Ni KetutAryastami; RatihAriningrum Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 10, no. 3, 2007 : 231-238 Abstrak: ANALISIS POLA MUSIM KELAHIRAN UNTUK KEBIJAKAN PENINGKATAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Weny Lestari Jurnal manajemen pelayanan kesehatan, vol. 11, no. 1, 2008 : 200 - 205 i Pilih/klik judul untuk melihat full text Abstrak: Pola musim kelahiran di Kota Surabaya dan di Rumah Sakit Angkatan Laut (Rumkital) dr. Ramelan Surabaya selama 5 tahun (1994-1998) dianalisis dengan menggunakan analisis statistik chi square, dengan derajat kebebasan (db) = 1 dan taraf signifikansi (P) = 0.05. Kedua pola baik di Surabaya maupun di Rumkital dr. Ramelan Surabaya, menunjukkan bahwa kelahiran terendah terjadi di bulan November dan Desember, dengan menghitung 9 bulan sebelumnya, pola musim konsepsi ada di bulan Februari dan Maret. Pada tahun Masehi (kalender berdasarkan matahari), pola tersebut tidak menunjukkan arti tertentu. Namun, apabila dikonversikan ketahun Hijriyah (kalender berdasarkan bulan) maka bulan Februari dan Maret di tahun 1994 - 1998 merupakan bulan Ramadhan dan Syawal. Bulan Ramadhan dan Syawal, bagi umat Islam adalah bulan puasa dan hari raya Idul Fitri. Pola ini tetap selama 5 tahun. Puncak kelahiran tertinggi baik di Surabaya maupun di Rum kita dr. Ramelan Surabaya menunjukkan pola yang berbeda. Praktis, ada perbedaan juga dalam pola musim konsepsinya. Analisis pola musim kelahiran ini bias digunakan untuk kebijakan peningkatan sarana pelayanan kesehatan ibu dan anak. DESKRIPSI PENCATATAN DAN PELAPORAN PEMANTAUAN KESEHATAN IBU PADA PWS-KIA BERDASARKAN ATRIBUT SURVEILANS Ika Arma Rani; Arief Hargono Jurnal berkala epidemiologi, vol. 1, no. 2, 2013 : 302-315 Abstrak: - DAFTAR ISI DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Ruben Wadu Willa; Majematang Mading Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 3, 2014 : 249 - 256 Abstrak: - GAMBARAN FISIOLOGIS KESEHATAN IBU HAMIL SEBELUM DAN SETELAH MELAKUKAN SENAM HAMIL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AJAPPANGE KABUPATEN SOPPENG Rahmiati; ErnaKadrianti; Sjafaraenan Diagnosis : jurnal ilmiah kesehatan, vol. 3, no. 2, 2013 : 40-45 Abstrak: - FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUGAN DENGAN PARTISIPASI SUAMI DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN IBU DI POLIKLINIK KEBIDANAN RSCM TAHUN 2007 Fauziah Jurnal madya : media publikasi dan komunikasi karya ilmiah bidang kesehatan, vol. 5, no. 2, 2008: 83-90 HAK ATAS PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI KABUPATEN BANYUMAS Tedi Sudrajat ; Agus Mardianto Jurnal dinamika hukum, vol. 12, no. 2, 2012 : 261-269 Abstrak: - Abstrak: - FUNGSI PEMANFAATAN BUKU KIA TERHADAP PENGETAHUAN KESEHATAN IBU DAN ANAK PADA IBU HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU BIDAN PTT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DENGAN KEJADIAN TRIASKLASIK DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN GUNUNGSITOLI KABUPATEN NIAS ColtiSistiarani; Elviera Gamelia; Dyah Umiyarni Purnama Sari Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 8, no. 8, 2014 : 353 - 358 Abstrak: - Lisbet Herawaty Sihombing JURIDIKTI : jurnal ilmiah pendidikan tinggi, vol. 4, no. 1, 2011 : 153 - 159 Abstrak: - DAFTAR ISI KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (MDGS 4,5) DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR INDONESIA Niniek Lely Pratiwi; MugeniS; AgusSuprapto; Agung D Laksono; BettyR; Rukmini; Gurendro; Ristrini; Wahyu D Astuti ; Oktarina Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 4, 2014 : 395 - 405 Abstrak: - KEMATIAN PERINATAL HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR PRAKTEK KESEHATAN IBU SELAMA KEHAMILAN DI KOTA BEKASI TAHUN 2001 Ning Sulistiyowati; Sudarto Ronoatmodjo; Lukman Hakim Tarigan Jurnal ekologi kesehatan, vol. 2, no. 1, 2003 : 192 - 199 ABSTRACT: Infants mortality rate is one of the sensitive indicators to evaluate health level of a country. However Perinatal Mortality Rate (PMR) as part of infant mortality rate did not show any decline in the last ten period. The National Household Survey 1995 reported that PMR was within 48 per 1000 life births. Mother and Child Health program had promoted intensive antenatal health care to cover all pregnancies. The purpose of this program is to improve early detection of high risk pregnancies as well as to increase coverage of postnatal care of new borns. Perinatal mortality is influenced by several maternal health service, (antenatal care and delivery assistance), maternal health status, social-economic and environmental background, and traditional behavior. The objective of this analysis is to find the relation between maternal health practice during pregnancy and perinatal mortality in city of Bekasi 2001. Mothers age at delivery, educational level, parity, birth interval, smoking habit, pregnancy complication, and sex of the new born were calculated as covariates. Using case-control method, cases are mothers with perinatal deaths, and control are mothers with 7 days surviving new borns (83 case and 83 control). Based on a statistical analysis with logistic regression test the maternal health practice during pregnancy showed no significant relationship with perinatal mortality. Controlling birth interval, pregnancy complications and mothers age at delivery, the odds ratio was OR = 2.3 (confidence interval 0.89-3.99) with p = 0.029 at 95% probability; which is not significant. This result may be caused by small sample size or poor quality health service. KUALITAS LINGKUNGAN KERJA DAN KINERJA BIDAN PUSKESMAS DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU Sri Purnama Rezeki; Dumilah Ayuningtyas Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 8, no. 6, 2014 : 265 - 271 Abstrak: - DAFTAR ISI MANAJEMEN PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK (PWS-KIA) KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT TAHUN 2007 Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 13, no. 1, 2010 : 1-11 Abstrak: Sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) sebagai alat managemen program KIA untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja secara terus-menerus, agar dapat difakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat terhadap wilayah kerja yang cakupan pelayanan KIA nya masih rendah telah diterapkan program sejak tahun 1990an. Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui Sistem PWS-KIA menuju sistem survey lenske langsungan hidup anak di Kabupaten Sukabumi. Metode carain depth interview petugas kesehatan (bidan coordinator dan kepala puskesmas) dan focus group discussion (FGD) pada bidan di desa. Hasilnya pelaksanaan kegiatan program kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Sukabumi sudah berjalan dengan baik . Pelaksanaan PWS-KIA sudah dilaksanakan tetapi masih terdapat beberapa kendalaya itu di beberapa Puskesmas dan di desa masih kekurangan tenaga bidan di desa.Kendala yang lain yaitu factor geografis yang cukup sulit, tenaga yang terbatas baik di Puskesmas maupun di desa. Masih banyak tenaga kesehatan yang bertugas rangkap . Beberapa tenaga bidan yang kurang peralatan dan belum mengikuti pelatihan KIA.Potensi yang dimiliki yaitu sumber daya masyarakat, peran masyarakat dan keterlibatan sektor lain cukup tinggi. Peran dukun bayi / paraji masih sangat besar. Disarankan perlu penambahan tenaga bidan di desa dengan program bidan kontrak atau program prioritas sekolah bidan untuk anak atau cucu paraji/dukun bayi, pelatihan program KIA atau PWS-KIA bagi tenaga bidan di desa yang baru, melengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk bidan di desa, refreshing untuk program KIA dan PWS-KIA untuk Bidan Koordinator Puskesmas. PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN KEMATIAN NEONATAL DesyFitriYani; Artha Budi Susila Duarsa Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 7, no. 8, 2013 : 373 - 377 Abstrak: - PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA: MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL BUDAYA DALAM PERSALINAN AMAN Lestari Handayani; Suharmiati; Aan Kurniawan; Syarifah Nuraini, ; Soegeng Rahanto; Bambang Wasito; Choirum Latifah Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 4, 2013 : 419-428 Abstrak: - PEMANFAATAN UPACARA MOLONTALO DALAM MENYAMPAIKAN PESAN KESEHATAN IBU HAMIL DI KECAMATAN ANGGREK KABUPATEN GORONTALO UTARA Roy G.A. Massie ;IndraDomili; JoyRattu Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 17, no. 4, 2014 : 379 – 384 Abstrak: - DAFTAR ISI PENCATATAN DAN PELAPORAN SISTEM PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK OLEH BIDAN DI DESA DI PUSKESMAS SEPARAN KABUPATEN TANGERANG 2008 Felly Philipus Senewe; Yuana Wiryawan Jurnal ekologi kesehatan, vol. 10, no. 3, 2011 : 156 – 167 PERBEDAAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PERKOTAAN DAN DAERAH TERPENCIL Sori M. Sarumpaet; Bisara L. Tobing; Albiner Siagian Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 6, no. 4, 2012 : 147 – 152 Abstrak: - Abstrak: - PENGARUH KEBIASAAN MELAKUKAN PANTANGAN MAKANAN,MINUMAN DAN AKTIFITAS TERHADAP PEMULIHAN KESEHATAN IBU NIFAS DI RSUD KASIH IBU KAB.BLORA Epi Saptiningrum; Adiati Hendromastuti; AgusPrasetyo Jendela nursing journal : JNJ, vol. 1, no. 1, 2012 : 53 – 59 Abstrak: - PENGUKURAN KINERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH XYZ DENGAN MENGGUNAKAN METODE BALANCED SCORECARD (JASA PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK) PERBEDAAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KESEHATAN IBU DAN ANAK YANG DILAKSANAKAN OLEH DUKUN BAYI DAN BIDAN Siti maryam; widya lusiarisona sain med : jurnal kesehatan, vol. 6, no. 1, 2014 : 15 – 19 Abstrak: - PERILAKU MASYARAKAT DAN MASALAH PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI PROVINSI RIAU Zahtamal; Tuti Restuastuti; Fifia Chandra Kesmas : jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 5, no. 6, 2011 : 254 – 261 Abstrak: - Rekayasa : jurnal ilmu-ilmu eksakta dan teknologi, vol. 2, no. 1, 2009 : 1 – 7 Abstrak: - PERILAKU PEMERIKSAAN KESEHATAN IBU HAMIL DAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN DI KABUPATEN SUKABUMI Tin Afifah; Lamria Pangaribuan; Rachmalina; Yulfira Media Jurnal ekologi kesehatan, vol. 9, no. 3, 2010 : 1254 – 1265 Abstrak: - DAFTAR ISI STATUS KESEHATAN IBU HAMIL DAN MORBIDITAS ANAK DI KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2006 Felly Philipus Senewe; Joko Irianto Jurna lekologi kesehatan, vol. 9, no. 2, 2010 : 1225- 1237 Abstrak: - STUDI KUALITATIF PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI SETELAH PENERAPAN KW-SPM DI KABUPATEN BADUNG, TANAH DATAR, DAN KOTA KUPANG Ratih Ariningrum; NK Aryastami Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 11, no. 1, 2008 : 33 -34 ABSTRACT: The Ministry of Health had set targets and obligatoried for minimum health standards that have to be implemented in each district/ municipality. The maternal and neonatal health (MNH) services is one of services in the district health system that has to be delivered by puskesmas to enhance the maternal and neonatal health towards reducing the maternal and neonatal mortality. lt was a cross sectional study health policy. The study was conducted in three districts/municipality namely district of Badung, Bali; District of Tanah Data; West Sumatera and Kupang Municipality in East Nusa Tenggara, February to November 2006. Every area had to make special strategy and specified activity priority to execute the policy on mother and baby healthy program. The roles of other and private sectors need continuality. Attainment of mother and baby healthy program activity year 2005 in general were still under the goals. Constraints to execute the policy on mother and baby healthy program had limitation on the quality and quantity of human resources, availability of equipments, knowledge of community concerning health was still lower; attention of local government was very limited on budget allocation; and also the expectation of community to soothsayer was high, especially in Municipality of Kupang and District of Tanah Datar. The other limitation was of training on mother and baby healthy program. The access of community to public health services is good enough. Network with the other sectors in general worked well. There were some areas faced coverage goals so high, that difficult to achieve pregnant mother visit coverage (4) and high referral. Target of coverage that were achieved better were the coverage diving birth by midwifes or healthy staffed midwifery competency. There were some coverage needs re-socializing as definition, because of the difference perception between the right definition and the perception of health staffs on the coverage of neonatus visit and baby with BBLR. DAFTAR ISI STUDI PELAKSANAAN KERJA SAMA LINTAS SEKTOR DALAM PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK SuciWulansari; SugengRahanto; UmiMuzakiroh , vol. 18, no. 2, 2008 : 91 - 96 ABSTRACT: Maternal and Infant Mortality Rate (MMR/ IMR) were affected by very complex factors. So it is important that in order to decrease the problem, the other sector out of The Health Department should be involved Government has established a various inter sector cooperation to increase maternal and children health. The study aimed to get description of the realization of inter sector cooperation to increase maternal and children health, contribution each sector, support from executive and legislative, effort of Health District, and inhibiting factors of the cooperation. The research used Cross Sectional design and conducted in 3 provinces, there were Central Java, East Java, and Central Kalimantan. Data was collected by indepth interview using interview list. Collected delta was analyzed in descriptive, qualitative, and quantitative. The result showed that there were various inter sector cooperation for maternal and children health at all of the region, but popularity and activity of the program was not enough. It needed to optimize each sector contribution. Generally, executive and legislative support has been good, but it would be better if followed with formal policy. Inhibiting factors involved financial and lack of coordination inter sector (except in Lumajang), and social geographic condition in some region. Monitoring and evaluating must be done more effective in order to increase sustainability and quality o/the cooperation. UPAYA MENINGKATKAN DERAJAT KESEHATAN IBU DAN ANAK Suwarni; Wirdahayati Majalah ilmiah cemerlang, no.4, 2009 : 30 – 34 Abstrak: - DAFTAR ISI UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA : STUDI DI DESA NOELTOKO DAN NOEPESU, KECAMATAN MIOMAFFO BARAT tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring. Indikatorlainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang bernilai positif untuk persiapan menjelang persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil. ABSTRAK: Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian inifokus pada jejaring pada pengorganisasian sistemsi agak hususnya di level desa serta tradisi spesifi knaketi khususnya di desa Noel took dan Noe lpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus - November 2012 di Desa Noel took dan Noe pesu, di wilayah Puskesmas Eban. Jenis penelitian non intervensi dengan desain eksploratif. Informasi diperoleh melalui wawancara mendalamdan pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota jejaring. Hasil: Terdapat enam jejaring yang utama di desa studi yaitu Notifikasi, Transportasi, KB, Dana, ASI Eksklusifdan Donor Darah. Khusus di Desa Noel took ada satu jejaring lagi yaitu Siaga Bencana. Tiap bulan secara berkala dilakukan temu jejaring denga ninisiator pertemuan dan merupakan kesepakatan bersama sejak di bentuknya desa siaga.Terdapat tradisi Naketi yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7 - 9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan istrike pada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakatakan kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan, terdatanya semua ibu hamil dan ibu bersalin oleh masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh tenaga kesehatan. Semua upaya persalinan yang UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL MELALUI INTEGRASI PROGRAM PERENCANAAN PERSALINAN DAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI DAN ANTENATAL CARE DI POSYANDU KOTA MOJOKERTO, PROVINSIJ AWA TIMUR M. Setyo Pramono; Suharmiati Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 1, 2013 : 38 - 47 Muhammad Agus Mikrajab; Syahrianti Buletin penelitian sistem kesehatan, vol. 16, no. 2, 2013 : 203 - 216 Abstrak: - Artikel Penelitian Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Determinant Factor Analysis on Mother and Child Health Service Problem Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau Abstrak Masalah kesehatan yang dihadapi Indonesia kini adalah status kesehatan masyarakat yang rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi serta masih banyak indikator pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan pelayanan KIA. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional, data faktor predisposisi dikumpulkan dari 550 orang responden yang tersebar di 4 kabupaten/kota dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, data faktor determinan yang lain dikumpulkan dengan wawancara pada informan antara lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala subdinas kesehatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan faktor predisposisi yang berhubungan dengan pelayanan KIA yaitu sikap responden, pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga, serta pengetahuan responden terkait pelayanan KIA. Diketahui juga bahwa masih banyak kepercayaan masyarakat terkait aspek KIA yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pelayanan KIA antara lain distribusi tenaga kesehatan masih belum merata, kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA belum ideal, dan sarana pendukung pelayanan belum memadai. Faktor pendorong yang berhubungan dengan pelayanan KIA antara lain belum ada kebijakan daerah sebagai acuan, dana pendukung pelayanan belum memadai serta kuantitas kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi dan belum optimal. Kata kunci: Kesehatan ibu dan anak, permasalahan pelayanan, pelayanan kesehatan Abstract The current issue of health in Indonesia is the low status of public health, among others, characterized by high rates of maternal and infant mortality and many indicators of maternal and child health (MCH) services that have not been ideal yet. This study aims to determine the factors associated with problems of MCH services. This design used in this research is cross sectional. Predisposing factor data were collected from 550 respondents who were scattered in four districts using a questionnaire. Furthermore, another determinant factor data were collected by interviewing the informants, among others, chief of district health department, Head of Sub Office of Family Health. The results showed that the predisposing factors associated with MCH services is the attitude of the respondent, the influence of people who make decisions in family health care, respondents’ knowledge related to MCH services. Please also note that there are still many aspects of MCHrelated public trust that has not been in accordance with the values of health. Enabling factors associated with MCH services including the distribution of health workers is still not equitable, quality of MCH service workforce has not been ideal and service support facilities have been inadequate. Reinforcing factors associated with MCH services, among others, the lack of regional policy as a benchmark, the fund has not been adequate support services, the quantity of activities that should be done across sectors is still much that has not been realized and is still not optimal. Key words: Mother and child health, service problem, health care Pendahuluan Masalah kesehatan di Indonesia saat ini adalah status kesehatan masyarakat yang masih rendah, antara lain ditandai dengan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Dasar tahun 2007, AKI di Indonesia masih berada pada angka 228 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2004, target Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru, Hp. 081371530203, e-mail: [email protected] 9 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011 Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup.1 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, diketahui AKB yaitu 26 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian anak balita yaitu 60 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2006, jumlah kematian bayi mencapai 1.272 kasus, sedangkan jumlah kematian ibu maternal mencapai 179 kasus.2 Program kesehatan ibu dan anak (KIA) untuk mengurangi AKI dan AKB telah banyak dilakukan. Program tersebut antara lain Safe Motherhood. Program ini di Indonesia dituangkan dalam bentuk program Keluarga Berencana (KB), pelayanan pemeriksaan dan perawatan kehamilan, persalinan sehat dan aman, serta pelayanan obstetri esensial di pusat layanan kesehatan masyarakat. Masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia termasuk Provinsi Riau disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain dari faktor predisposing, faktor pemungkin (enabling) serta faktor pendorong atau penguat (reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan, antara lain dari aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam mendeteksi, memutuskan tindakan, merujuk dan keterlambatan dalam menangani keluarga sakit/bermasalah setelah sampai di tempat pelayanan kesehatan komperehensif. Kenyataanya, belum banyak informasi yang menggambarkan bagaimana situasi faktor-faktor tersebut, terutama aspek perilaku masyarakat. Padahal, strategi dan kebijakan yang tepat dengan berdasarkan informasi/bukti sangat diperlukan dalam rangka mengatasi persoalan KIA yang belum optimal. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya faktorfaktor yang berhubungan dengan pelayanan KIA. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional yakni meneliti faktor determinan dan faktor dominan masalah KIA di masyarakat. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2010. Jumlah wilayah studi responden ditentukan secara quota sampling. Besar sampel dalam kajian ini sebanyak 550 orang masyarakat (setiap kabupaten/kota sekitar 120-150 orang). Selanjutnya, data faktor penentu lainnya secara kualitatif dikumpulkan dengan wawancara pada informan, antara lain kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan kepala sub dinas kesehatan keluarga. Instrumen yang digunakan adalah format identifikasi indikator pelayanan kesehatan dari data sekunder dan kuesioner/panduan wawancara. Pengelolaan data yang didapat dilakukan untuk data kualitatif dan kuantitatif. Pengelolaan secara statistik/ kuantitatif berupa uji chi square dan perhitungan prevalensi rasio (PR) dengan tingkat kemaknaan hubungan p < 0,05. Pengolahan dan analisis data hasil 10 penelitian dengan menggunakan bantuan peranti lunak komputer. Hasil Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Ibu (Maternal) Beberapa variabel secara statistik berhubungan bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut adalah cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan responden tentang kesehatan ibu, serta sikap ibu terhadap pelayanan kesehatan maternal. Berdasarkan analisis bivariat, variabel sikap merupakan variabel dengan nilai PR terbesar, praktik responden yang buruk terkait pelayanan kesehatan maternal 6 kali lebih banyak pada ibu dengan sikap yang negatif daripada yang positif. Sedangkan variabel usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga serta tenaga yang memberikan pelayanan tidak berhubungan dengan praktik responden terkait pelayanan kesehatan maternal (Lihat Tabel 1). Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Variabel bebas yang mempunyai p < 0,25 pada analisis bivariat dijadikan sebagai variabel kandidat dalam uji regresi logistik ganda. Variabel kandidat yang dimasukkan dalam analisis multivariat adalah jumlah anak, tenaga penolong pelayanan kesehatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, orang yang memutuskan dalam pelayanan kesehatan, serta pengetahuan dan sikap responden. Hasil analisis multivariat menunjukkan 4 variabel bebas berpengaruh kuat terhadap praktik responden terkait kesehatan maternal. Variabel tersebut meliputi sikap responden (adjusted PR = 8,39; p = 0,000; 95% CI = 4,913-14,332), aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan (adjusted PR = 3,171; p = 0,023; 95% CI = 1,175-8,558), orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted PR = 2,614; p = 0,018; 95% CI = 1,183-5,778), dan pengetahuan responden (adjusted PR = 1,670; p = 0,042; 95% CI = 1,019-2,738). Secara bersamaan, diketahui bahwa sikap merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden, dimana praktik yang buruk terkait pelayanan kesehatan maternal 8 kali lebih banyak pada responden yang memiliki sikap negatif daripada yang memiliki sikap positif. Berdasarkan analisis multivariat diperoleh hasil bahwa probabilitas seseorang akan berpraktik buruk terhadap pelayanan kesehatan maternal jika memiliki Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Kesehatan Maternal Praktik terkait Kesehatan Maternal Variabel Kategori n Buruk Usia pernikahan Jumlah anak Pendapatan Tenaga pelayanan kesehatan Cara bayar Akses pelayanan kesehatan Otoritas pelayanan kesehatan Pengetahuan Sikap ≤ 20 tahun > 20 tahun > 3 orang 1-3 orang ≤ 2.000.000 2.000.000 Nonkesehatan Kesehatan Sendiri Asuransi kesehatan Sulit Mudah Keluarga Suami-istri Kurang Baik Negatif Netral positif 23 (17,4%) 88 (21,1%) 21 (26,6%) 90 (19,1%) 92 (19,8%) 19 (22,1%) 3 (37,5%) 108 (19,9%) 70 (17,6%) 41 (26,8%) 12 (48,0%) 99 (18,9%) 17 (45,9%) 94 (18,3%) 58 (31,5%) 53 (14,5%) 90 (40,2%) 21 (6,4%) sikap negatif, aksesabilitas pelayanan kesehatan sulit, pengambil keputusan dalam menentukan pelayanan kesehatan adalah suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga serta berpengetahuan buruk yaitu 90%. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kesehatan Bayi dan Anak Beberapa variabel secara statistik berhubungan bermakna dengan praktik responden terkait kesehatan bayi dan anak. Variabel tersebut adalah usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap responden terhadap pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak. Berdasarkan analisis bivariat, variabel pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan dan pengetahuan responden tentang kesehatan bayi dan anak merupakan variabel dengan nilai PR terbesar. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa praktik responden yang buruk terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak sama yaitu 5 kali lebih banyak pada responden dengan pola pengambilan keputusan dalam memilih/memutuskan pelayanan kesehatan adalah suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga serta berpengetahuan buruk (Lihat Tabel 2). Hasil analisis multivariat menunjukkan hanya 4 variabel bebas yang mempunyai pengaruh kuat terhadap praktik responden terkait kesehatan bayi dan anak. Variabel tersebut yaitu orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga (adjusted X2 Nilai p PR (CI 95%) 0,828 (0,54-1,25) 1,391 (0,92-2,09) 0,897 (0,58-1,39) 1,882 (0,76-4,68) 0,658 (0,47-0,92) 2,545 (1,63-3,97) 2,51 (1,69-3,72) 2,18 (1,57-3,02) 6,28 (4,00-9,72) Baik 109 330 58 381 372 67 5 434 327 112 13 426 20 419 126 313 134 305 132 418 79 471 464 86 8 542 397 153 25 525 37 513 184 366 224 326 0,82 0,365 2,34 0,126 0,231 0,631 1,511 0,206 5,76 0,016 12,58 0,000 16,35 0,000 22,07 0,000 93,81 0,000 PR = 5,992; p = 0,000; 95% CI = 2,525-14,218), pengetahuan responden (adjusted PR = 5,449; p = 0,000; 95% CI = 2,318-12,805), sikap responden (adjusted PR = 4,884; p = 0,000; 95% CI = 2,318-12,805), dan cara pembayaran (adjusted PR = 4,494; p = 0,001; 95% CI = 1,838-10,993). Secara bersamaan, pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden, dimana praktik yang buruk terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak 6 kali lebih banyak pada responden yang pengambilan keputusannya suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga. Berdasarkan analisis multivariat ini diperoleh hasil bahwa probabilitas seseorang akan memiliki praktik yang buruk terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak jika memiliki sikap yang negatif, pengambil keputusan dalam menentukan pelayanan kesehatan adalah oleh suami-istri dan melibatkan orang lain/keluarga, berpengetahuan buruk serta pola pembayaran pelayanan kesehatan keluarga secara langsung/out of pocket adalah 87%. Hubungan Faktor Sosiokultural dengan Praktik Masyarakat terkait Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Sebanyak 274 orang yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan maternal didapatkan data bahwa ada 124 (45,26%) yang memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan yang tidak 11 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011 Tabel 2. Hubungan Faktor Penentu yang Mempengaruhi Praktik terkait Kesehatan Bayi dan Anak Praktik terkait Kesehatan Maternal Variabel Usia pernikahan Jumlah anak Pendapatan Tenaga pelayanan kesehatan Cara bayar Akses pelayanan kesehatan Otoritas pelayanan kesehatan Pengetahuan Sikap Kategori ≤ 20 tahun > 20 tahun > 3 orang 1-3 orang ≤ 2.000.000 2.000.000 Nonkesehatan Kesehatan Sendiri Asuransi kesehatan Sulit Mudah Keluarga Suami-istri Kurang Baik Negatif Netral positif n Buruk Baik 23 (17,4%) 41 (9,8%) 16 (20,3%) 48 (10,2%) 43 (9,3%) 21 (24,4%) 2 (25,0%) 62 (11,4%) 57 (14,4%) 7 (4,6%) 9 (36,0%) 55 (10,5%) 18 (48,6%) 46 (9,0%) 56 (18,1%) 8 (3,3%) 46 (24,5%) 18 (5,0%) 109 337 63 423 421 65 6 480 340 146 16 470 19 467 254 232 142 344 sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui (31,32%) dan aspek kepercayaan ketika hamil (29,52%). Selanjutnya, pernyataan kebiasaan yang dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita didapatkan bahwa yang memiliki kepercayaan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan sebesar 23,62%. Kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung air susu ibu (ASI) eksklusif (42,62%) dan aspek kepercayaan terhadap penanganan kesehatan pada bayi dan anak balita (27,87%). Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Secara umum, jumlah bidan yang merupakan tenaga kesehatan utama dalam pelayanan KIA di Provinsi Riau sudah memadai. Jumlah lulusan pendidikan minimal diploma 3 (D3) kebidanan sudah memenuhi demand bidan di Provinsi Riau. Namun, berdasarkan rasio tenaga bidan dan jumlah penduduk di Provinsi Riau masih belum mencukupi (37 per 100.000 penduduk). Distribusi tenaga bidan di Provinsi Riau masih belum merata, seperti terlihat dari beberapa desa/kelurahan belum ada tenaga bidan, terutama pada kategori desa sangat terpencil. Beberapa desa justru berlebih tenaga bidan, tetapi di beberapa desa jumlah tersebut tidak sesuai dengan cakupan wilayah kerja. Berdasarkan kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA, sebagian besar informan mengatakan berdasarkan jenjang pendidikan cukup ideal, sebagian besar bidan 12 132 418 79 471 464 86 8 542 397 153 25 525 37 513 310 240 188 362 X2 Nilai p 5,66 0,017 6,66 0,010 16,19 0,000 1,41 0,235 10,28 0,001 15,20 0,000 52,85 0,000 28,55 0,000 45,74 0,000 PR (CI 95%) 1,78 (1,11-2,85) 1,987 (1,19-3,32) 0,38 (0,24-0,61) 2,19 (0,64-7,42) 3,14 (1,4-6,72) 3,44 (1,93-6,13) 5,42 (3,53-8,35) 5,42 (2,63-11,15) 4,92 (2,94-8,24) minimal berijazah D3 kebidanan. Namun, dari pendidikan-pelatihan untuk peningkatan kompetensi (asuhan persalinan normal, APN; manajemen terpadu bayi muda, MTBM serta penatalaksanaan asfiksia neonatorum) masih kurang. Beberapa puskesmas sudah ada yang mengikuti, tetapi tidak terdistribusi merata ke semua bidan (rata-rata yang sudah mengikuti pelatihan kurang dari 50%). Begitu juga terhadap jenis pelatihan yang seharusnya diikuti. Selain tenaga bidan, tenaga pendukung pelayanan KIA lainnya seperti ahli gizi juga masih belum memadai. Tidak semua puskesmas memiliki ahli gizi (minimal pendidikan D3 gizi). Ketersediaan dan Ketercukupan Sarana Pendukung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Sebagian besar informan menyatakan aspek sarana pendukung pelayanan KIA pada kategori belum memadai. Beberapa hal yang belum memadai adalah peralatan pendukung pelayanan KIA (sarana laboratorium, sterilisasi alat, dan lain-lain). Kekurangan sarana ini terutama untuk daerah yang jauh, di puskesmas pembantu (pustu) maupun pondok bersalin desa (polindes). Banyak hal yang menyebabkan sarana ini masih kurang, antara lain keterbatasan dana karena ada pengembangan atau penambahan puskesmas baru. Kendala lain adalah fasilitas yang belum termanfaatkan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tidak ada pelatihan pengoperasian alat, tidak ada tenaga teknisi/analis yang kompeten atau tidak tersedia sarana pendukung pengoperasian alat tersebut, seperti daya Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA listrik. Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan yang menjadi acuan dalam pelayanan KIA secara umum adalah mengimplementasikan kebijakan nasional terkait pelayanan KIA. Sasaran yang dicapai adalah berdasarkan standar pelayanan minimal bidang kesehatan (SPM BK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Acuan operasional pelaksanaan di daerah adalah surat keputusan bupati/walikota terkait SPM yang sudah ada. Namun untuk hal-hal teknis lain, seperti pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui kebijakan daerah seperti peraturan daerah (peraturan gubernur dan bupati/walikota). Aspek prasarana pendukung pelayanan KIA sebagian besar berada pada kategori memadai. Beberapa hal yang dianggap sudah baik adalah kebijakan yang jelas terhadap pelayanan KIA, khusus untuk masyarakat miskin tersedia panduan kegiatan (dalam bentuk buku atau modul). Pada beberapa puskesmas, walaupun pedoman sudah ada terkadang jumlahnya belum mencukupi. Kecukupan dana untuk mendukung pelayanan KIA ada yang merasa sudah memadai, namun ada juga yang mengatakan belum memadai. Dana untuk kegiatan rutin/kegiatan tugas pokok dan fungsi dari tenaga kesehatan seperti antenatal care (ANC) di pelayanan primer dianggap cukup memadai. Beberapa daerah terjadi penurunan anggaran untuk pelayanan KIA. Untuk kegiatan tertentu, anggaran tersebut tidak tersedia, terutama untuk pengembangan program dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan. Pelayanan KIA untuk masyarakat sudah tersedia dana yang memadai, mengingat kebijakan pelayanan gratis terutama untuk masyarakat miskin. Beberapa kegiatan dalam pelayanan KIA juga melibatkan lintas sektoral seperti pembinaan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dengan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) (pos pelayanan terpadu, posyandu; bina keluarga balita, BKB; tanaman obat keluarga, toga; dan lain-lain), dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (unit kesehatan sekolah, UKS; pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat, PHBS; serta bulan imunisasi anak sekolah) serta dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (peningkatan gizi masyarakat). Kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral secara umum tidak bermasalah. Namun, jumlah kegiatan lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh dinas kesehatan sehingga tidak mencapai target. Berbagai kendala yang masih dihadapi antara lain pola koordinasi kegiatan belum dirumuskan dan tidak diikat dengan memorandum of understanding (MOU) yang jelas. Leading sector KB di kabupaten/kota adalah Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP-KB). Sedangkan untuk urusan kesehatan dilakukan oleh Seksi KIA. Bentuk kerja sama kegiatan KB antara leading sector tersebut saling berkoordinasi untuk meningkatkan pelayanan KB. SKPD kesehatan lebih ke arah meningkatkan cakupan peserta KB aktif dan peserta KB. Tugas utama SKPD BPP-KB menyediakan alat kontrasepsi, meningkatkan akseptor baru serta meningkakan kualitas tenaga penyuluh dan teknis dalam pelayanan KB. Implementasi dan koordinasi antarsektor dianggap masih belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan juga tidak berlangsung secara optimal. Kegiatan yang dilakukan oleh SKPD tertentu tidak dikoordinaksikan secara institusi. Dampaknya, banyak kegiatan yang sudah direncanakan tidak terlaksana secara optimal sehingga terjadi kesenjangan antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi. Sering terjadi ketidaktersediaan/ketidaksesuaian alat kontrasepsi dengan kebutuhan di lapangan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB kesehatan manunggal juga sering tidak terjadi secara optimal dan tidak didukung oleh MOU/ikatan kerja sama yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah. Pembahasan Faktor Predisposisi Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak Faktor-faktor yang diketahui berhubungan bermakna secara statistik dengan praktik responden terkait kesehatan maternal adalah cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan responden tentang kesehatan ibu serta sikap ibu terhadap pelayanan kesehatan selama hamil, bersalin, dan nifas. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Marpaung,3 dan Rahman,4 salah satu faktor jumlah anak tidak berhubungan dengan praktik yang buruk. Hasil ini mengindikasikan program pemerintah menjamin pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin dan kebijakan pelayanan gratis akan berdampak pada perbaikan praktik masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Hal itu berarti bahwa berapa pun jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga, jika mereka dijamin mendapatkan layanan kesehatan, praktik mereka akan baik. Variabel yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak adalah usia pernikahan, jumlah anak, pendapatan keluarga, cara pembayaran kesehatan, aksesabilitas terhadap fasilitas kesehatan, pengaruh 13 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011 orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan, pengetahuan serta sikap responden terhadap pelayanan kesehatan bayi dan anak. Variabel pengaruh orang yang memutuskan dalam upaya pencarian pelayanan kesehatan dan pengetahuan responden merupakan variabel dengan nilai PR terbesar yang menentukan praktik kesehatan bayi dan anak. Faktor sosial ekonomi berhubungan dengan praktik masyarakat. Hasil analisis multivariat menunjukkan 3 variabel bebas secara bersama berpengaruh bermakna terhadap praktik buruk kesehatan ibu maternal serta kesehatan bayi dan anak. Sikap merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden yang buruk dalam pelayanan KIA. Penelitian Setyaningsih,5 membuktikan bahwa sikap ibu balita secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia balita (p = 0,028). Juliwanto,6 juga membuktikan bahwa sikap seseorang yang negatif terhadap pelayanan kesehatan membuat seseorang 5 kali lebih besar memilih tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinannya. Sikap merupakan variabel dominan pembentuk perilaku. Sikap tidak mudah untuk dibentuk, apalagi sikap yang positif terhadap suatu objek. Azwar,7 menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang terutama hubungannya dengan objek tertentu dalam berinteraksi sosial, dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi perilaku individu tersebut sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Kurangnya stimulasi positif menimbulkan hanya sebagian kecil orang memiliki pengetahuan tentang objek tertentu. Selanjutnya, kurangnya rangsangan positif juga akan berpengaruh terhadap bertahannya kondisi sikap yang netral, bahkan dapat menjadi sikap negatif yang berujung tidak diterapkannya dalam praktik yang diinginkan. Orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik pelayanan kesehatan maternal, bayi, dan anak. Pola pengambilan keputusan dalam keluarga akan menentukan praktik pelayanan kesehatan termasuk pelayanan KIA. Pengaruh orang lain, apakah itu orang tua/mertua dan kerabat keluarga lain, membuat keputusan yang akan diambil sering menjadi terlambat, terkadang membingungkan karena banyaknya pilihan. Hal tersebut akan menyebabkan praktik keluarga yang buruk. Suami dan istri harus mempunyai otonomi penuh dalam keputusan praktik KIA tanpa mengabaikan masukan dari orang lain karena jika posisi tersebut kuat keputusan dapat terealisasi dengan cepat. Oleh karena itu, suami/istri harus berpengetahuan benar tentang praktik pelayanan KIA, misalnya dalam perawatan kehamilan dan persalinan yang aman dan 14 sehat.8 Penelitian Danfort, Kruk, Rockers, Mbaruku, dan Galea,9 membuktikan bagaimana pentingnya peran suami dan istri dalam pengambilan keputusan terkait proses persalinan dan menentukan tempat persalinan. Penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan seseorang berhubungan dengan praktik pelayanan KIA. Hasil ini mendukung penelitian-penelitian lain yang telah membuktikan bahwa pengetahuan sebagai salah satu faktor dominan pembentuk perilaku seseorang. Penelitian Setyaningsih, 5 membuktikan bahwa pengetahuan secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi balita (p = 0,003). Menurut Notoatmodjo, 10 pengetahuan yang belum ideal merupakan salah satu penyebab permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Seseorang yang belum berpengetahuan baik akan sulit melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik atau menerima perilaku baru yang lebih baik. Pengetahuan baik merupakan salah satu modal awal untuk praktik yang baik, hingga akhirnya terjadi penurunan kasus/masalah kesehatan atau akan meningkatkan indikator pelayanan kesehatan di masyarakat.10 Penelitian ini membuktikan bahwa variabel aksesabilitas pelayanan kesehatan menentukan praktik kesehatan maternal. Secara umum, diketahui bahwa aspek kemudahan akses fasilitas kesehatan tetapi praktik yang buruk banyak ditemukan pada kelompok yang mengatakan aksesabilitas pelayanan sulit dijangkau. Apabila aksesabilitas pelayanan kesehatan buruk maka masyarakat tidak mendapatkan informasi dan pelayanan yang cukup dari petugas kesehatan yang bermuara pada praktik kesehatan yang buruk. Khusus untuk pelayanan kesehatan bayi dan anak, variabel cara pembayaran sangat menentukan praktik seseorang terkait kesehatan bayi dan anak. Menurut Fuadi,11 pembayaran kesehatan secara mandiri menyebabkan beban ekonomi yang berat bagi keluarga karena biaya kesehatan memang mahal sehingga mereka sering tidak terakses pelayanan kesehatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Juliwanto, 6 membuktikan bahwa ada budaya yang tidak mendukung nilai kesehatan menjadi faktor penentu praktik pelayanan kesehatan masyarakat yang buruk, misalnya dalam memilih tenaga penolong persalinan. Pemilihan tenaga nonkesehatan dalam pertolongan persalinan 24 kali lebih besar pada orang dengan budaya yang tidak mendukung. Faktor Pemungkin (Enabling) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Secara umum, ketersediaan tenaga bidan di Provinsi Riau relatif sudah memadai, tetapi terdistribusi tidak Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Analisis Faktor Determinan Permasalahan Pelayanan KIA merata. Akibatnya, pelayanan komprehensif yang diterima kurang dan pilihan masyarakat terhadap tenaga nonkesehatan meningkat. Penelitian Setyaningsih,5 membuktikan bahwa interaksi petugas kesehatan dengan responden secara bermakna berhubungan terhadap praktik ibu balita dalam pencegahan anemia gizi besi balita (p = 0,014). Berdasarkan aspek kualitas tenaga pelayanan KIA, aspek jenjang pendidikan sudah cukup ideal, tetapi dari aspek pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kompetensi masih belum maksimal. Kesadaran tenaga kesehatan terhadap kualitas harus terus ditingkatkan karena permasalahan kesehatan sering terjadi pada petugas yang kurang kompeten dan kepuasan pengguna jasa juga tidak akan terwujud. Penelitian Sari, 12 membuktikan bahwa kualitas pelayanan berhubungan dengan tingkat pemanfaatan posyandu (p=0,001), artinya orang tidak akan mewujudkan praktik ideal dalam pelayanan kesehatan jika tidak didukung oleh pelayanan tenaga kesehatan yang kompeten. Sarana pendukung pelayanan KIA berada pada kategori belum memadai. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa keberadaan sarana menentukan kualitas praktik seseorang dalam pelayanan kesehatan serta memicu masalah kesehatan. Penelitian Sari,12 membuktikan bahwa ketersediaan sarana berhubungan dengan tingkat pemanfaatan posyandu (p = 0,001). Tidak tersedianya sarana kesehatan membuat orang tidak puas dengan pelayanan yang diterima. Selain itu, petugas kesehatan tidak maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Faktor Pendorong (Reinforcing) yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Kecukupan prasarana pendukung pelayanan KIA sangat menetukan permasalahan KIA. Untuk hal-hal teknis terkait pelayanan KIA seperti pengaturan kompetensi tenaga kesehatan belum diatur melalui peraturan daerah. Hal ini berdampak pada acuan yang jelas atau jaminan pemberian pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Menurut Asfian,13 pedoman kerja merupakan panduan, terutama apabila terdapat pergantian/perubahan karyawan sehingga dapat digunakan untuk menilai. Selanjutnya, Azwar, 14 mengatakan pedoman kerja mempunyai peranan yang cukup penting karena standar dipakai sebagai bahan bandingan. Untuk memandu para pelaksana program menjaga mutu agar tetap berpedoman pada standar yang telah ditetapkan maka disusun pedoman atau petunjuk pelaksana. 14 Aspek kecukupan dana pendukung pelayanan KIA belum memadai. Hasil penelitian membuktikan bahwa dana merupakan faktor utama yang berperan dalam mewujudkan pelayanan KIA. Tidak cukupnya dana membuat banyak program KIA yang seharusnya dilaksanakan tidak dapat terwujud atau tidak maksimal dilakukan. Dana merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dana merupakan alat yang penting untuk mencapai tujuan.15 Secara umum, untuk kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan secara lintas sektoral tidak bermasalah, tetapi kegiatan yang seharusnya dilakukan secara lintas sektoral banyak yang belum terealisasi. Oleh karena itu, kegiatan ini hanya dilakukan oleh dinas kesehatan yang berdampak pencapaian target pelayanan KIA yang rendah. Implementasi dan koordinasi antarsektor program KB belum optimal, terbukti sering terjadi ketidaksinkronan data dari masing-masing SKPD. Selain itu, koordinasi laporan kegiatan tidak berlangsung optimal. Bukti lain adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh SKPD tertentu tidak dikoordinaksikan secara institusi. Hal ini berdampak pada kegiatan yang direncanakan tidak terlaksana secara optimal. Misalnya, kesenjangan antara jumlah akseptor dengan ketersediaan alat kontrasepsi di lapangan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan terpadu seperti KB kesehatan manunggal di lapangan sering tidak didasari oleh MOU/ikatan kerja sama yang jelas. Kondisi seperti ini berdampak pada menurunnya peserta KB aktif di beberapa daerah (tidak mencapai target). Kesimpulan Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan KIA termasuk faktor predisposisi, yaitu sikap responden, praktik responden yang buruk 8 kali lebih banyak pada responden yang memiliki sikap negatif daripada yang memiliki sikap positif. Pengaruh orang yang memutuskan pemilihan pelayanan kesehatan dalam keluarga merupakan variabel yang berpengaruh kuat terhadap praktik responden terkait pelayanan kesehatan bayi dan anak. praktik yang buruk 6 kali lebih banyak pada responden yang pengambilan keputusannya dilakukan suami-istri dan melibatkan orang lain daripada hanya suami-istri. Pengetahuan responden terkait pelayanan KIA dan aksesabilitas terhadap pelayanan kesehatan juga menentukan praktik seseorang terkait kesehatan maternal dan pelayanan kesehatan bayi dan anak. Cara pembayaran juga sangat menentukan praktik seseorang terkait kesehatan bayi dan anak serta kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pelayanan KIA, antara lain distribusi tenaga kesehatan masih belum merata, kualitas ketenagaan pemberi pelayanan KIA masih belum optimal dan sarana pendukung pelayanan belum memadai. Faktor pendorong yang berhubungan, antara lain belum adanya kebijakan daerah sebagai acuan dalam pelayanan KIA, dana untuk mendukung pelayanan KIA belum memadai, kuantitas kegiatan yang seharusnya 15 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 1, Agustus 2011 dilakukan secara lintas sektoral masih banyak yang belum terealisasi serta koordinasi antarsektor untuk program KB masih belum optimal. Puskesmas Butar Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2010 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2010. 4. Rahman KMM. Determinants of maternal health care ytilization in Saran Meningkatkan proporsi anggaran dan jumlah kegiatan promosi kesehatan kepada masyarakat, difokuskan untuk mengubah perilaku, mengupayakan pola kemandirian keluarga dalam menentukan pilihan dalam pelayanan kesehatan (meminimalisasi hambatan sosiokultural terhadap pelayanan KIA). Meningkatkan upaya menambah kompetensi tenaga kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA (peningkatan anggaran untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia), terus dilakukan upaya optimalisasi pendistribusian tenaga kesehatan serta pemantauan/supervisi rutin untuk menjamin keberadaan tenaga kesehatan di lapangan. Mempertahankan dan meningkatkan upaya advokasi dalam mengupayakan dikeluarkannya kebijakan lokal yang akan mempermudah pelayanan KIA kepada masyarakat, meningkatkan anggaran untuk pelayanan KIA, peningkatan realisasi kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral serta merumuskan pola koordinasi kegiatan yang lebih baik dan diikat melalui MOU yang jelas. Khusus koordinasi antarsektor terutama untuk pelayanan KB, perlu dioptimalkan (dikaji ulang dan dicari solusi yang tepat). Bangladesh. Research Journal of Applied Science. 2009; 4 (3): 113-9. 5. Setyaningsih S. Pengaruh interaksi, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik ibu dalam pencegahan anemia gizi besi balita di Kota Pekalongan tahun 2008 [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008. 6. Juliwanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan memilih penolong persalinan pada ibu hamil di Kecamatan Babul Rahmah Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008 [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009. 7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset; 2000. 8. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf. 9. Danfort EJ, Kruk ME, Rockers PC, Mbaruku G, Galea S. Household decision-making about delivery in health facilities: evidence from Tanzania. International Centre For Diarrhoeal Disease Research Bangladesh. J Health Popul Nutr. 2009; 27 (5): 696-703. 10. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. 11. Fuadi A. Tinjauan yuridis pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Raden Soedjati Kabupaten Grobogan [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhamadiyah; 2009. Daftar Pustaka 12. Sari RW. Hubungan karakteristik ibu hamil, ketersediaan sarana, dan 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ibu selamat, bayi sehat, suami siaga. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009 [diakses tanggal 3 Februari 2010]. Diunduh kualitas pelayanan dengan tingkat pemanfaatan posyandu [skripsi]. 2007. dari: 13. Asfian. Analisis pemanfaatan pedoman kerja bidan dalam pengelolaan http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/790-ibu-sela- program KIA KB di Puskesmas Kota Pontianak [tesis]. Semarang: mat-bayi-sehat-suami-siaga.html. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun 2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007. Universitas Diponegoro; 2008. 14. Azwar A. Menjaga mutu pelayanan kesehatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1999. 3. Marpaung FV. Pengaruh faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong 15. Siahaan. Analisis pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. 2010 terhadap pemanfaatan penolong persalinan oleh ibu di wilayah kerja (diakses tanggal 14 Desember 2010). Diunduh dari: http://reposi- 16 DESKRIPSI PENCATATAN DAN PELAPORAN PEMANTAUAN KESEHATAN IBU PADA PWS-KIA BERDASARKAN ATRIBUT SURVEILAN Description The Activities of Recording and Reporting Maternal Health Monitoring in PWS-KIA Based on Surveillance Attributes Ika Arma Rani1, Arief Hargono2 UA, [email protected] 2Departemen Epidemiologi FKM UA, [email protected] Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia 1FKM ABSTRAK Angka Kematian Ibu (AKI) di provinsi jawa timur cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kabupaten Jember memiliki jumlah kematian ibu tertinggi selama periode 2009–2011, dan tahun 2012 tertinggi nomor dua se-Jawa Timur. Puskesmas Kaliwates selama 3 tahun berturut-turut memiliki jumlah kematian ibu tertinggi di Kab. Jember. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pencatatan dan pelaporan kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten Jember, tahun 2012 dengan menggunakan atribut surveilans. Desain penelitian yang digunakan adalah diskripstif. Berdasarkan dari hasil gambaran berdasarkan atribut surveilans pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu di Puskesmas Kaliwates tahun 2012, menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini tergolong rumit, eksibilitas kurang, kualitas data rendah, akseptabilitas tinggi, sensitivitas rendah, NPP rendah, kerepresentatifan rendah, ketepatan waktu yang tidak dapat dipastikan, stabilitas data rendah. Alternatif solusi yang ditawarkan adalah membudayakan menganalisis dan membuat rencana tindak lanjut dari hasil pemantauan, meningkatkan kualitas pemeriksaan rutin kelengkapan dan ketepatan pengisian data, menstandarisasi seluruh formulir yang ada di sistem PWS KIA untuk menghindari banyak duplikasi dan meningkatkan kesederhanaan formulir, melengkapi buku pedoman PWS KIA di Puskesmas, membuat juknis pengisian formulir, melakukan pencatatan pada Register Kohort Ibu dengan membagi lembarannya menjadi 12 bagian berdasarkan bulan untuk mengelompokkan bumil berdasarkan usia kehamilan untuk mempermudah melakukan pemantauan bumil dan persalinannya, mengembangkan sistem surveilans lain untuk kasus secara lebih spesik, membentuk tim surveilans KIA, menyempurnakan format absensi, dan menggunakan komputerisasi. Kata kunci: Pemantauan kesehatan ibu, PWS KIA, atribut surveilans ABSTRACT Maternal Mortality Rate (MMR) in East Java Province tends to increase every year. In fact, Jember has the highest number of maternal deaths during the period 2009–2011, and placed in 2nd position during 2012. Puskesmas Kaliwates for 3 consecutive years has the highest number of maternal deaths in the Jember. This research aimed to describe the activities of recording and reporting the maternal health monitoring in PWS KIA system at Puskesmas Kaliwates, Jember regency, in 2012 by using attributes surveillance. The Research design is descriptive. Assessment in attributes of maternal health monitoring on PWS KIA system at Puskesmas Kaliwates in 2012 showed that the system is quite complicated, lack of exibility, low quality of data, high acceptability, low sensitivity, low NPP, low representativeness, uncertain timelines, and low stability of data. The alternative solutions given are familiarizing midwife to analyze and compose a follow-up planning, improving the quality of the completeness and data’s accuracy, standardizing the entire form on KIA PWS systems to avoid duplication and increase forms simplicity, completing PWS KIA guidelines in Puskesmas, making guidelines on how to ll the form, taking records on register cohort of mother by dividing the sheet into 12 sections by month for pregnant women by gestational age group to facilitate the monitoring of pregnant women and childbirth, developing other surveillance system, forming KIA surveillance team, improving attendance format, and using a computerized system. Keywords: Monitoring maternal health, PWS KIA, Attributes surveillance. PENDAHULUAN tujuan ke-5 dari Millenium Development Goals (MDGs). Hasil SDKI 2007, AKI secara nasional menunjukkan angka yang tergolong tinggi yaitu 228/100.000 KH dan masih jauh dari target MDGs adalah 102/100.000 KH. Selain itu, berdasarkan Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan situasi derajat kesehatan masyarakat pada suatu negara, sehingga meningkatkan kesehatan ibu dijadikan 302 Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… hasil SDKI 2007 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia adalah tertinggi di antara Negara seASEAN (Kemenkes RI, 2010). Upaya penurunan AKI di Indonesia terus diupayakan dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 1991 AKI sebesar 390/100.000 KH, tahun 1997 sebesar 334/100.000 KH, tahun 2002 sebesar 307/100.000 KH, tahun 2007 sebesar 228/100.000 KH, dan tahun 2009 sebesar 226/100.000 KH. Namun, berdasarkan kecenderungan Nasional dan proyeksi AKI 1991–2025 dengan penurunan yang telah terjadi selama ini maka akan sulit untuk bisa mencapai target MDGs di tahun 2015. Sehingga, diperlukan perhatian khusus pada masalah kematian ibu (BAPPENAS, 2010). Perhatian khusus juga harus diberikan kepada Provinsi jawa Timur, karena mengalami peningkatan tren AKI dalam 4 tahun terakhir ini. Pada tahun 2007 AKI sebesar 72/100.00 KH, tahun 2008 sebesar 83/100.000 KH, tahun 2009 sebesar 90,7/100.000 KH, tahun 2010 sebesar 101,4/100.000 KH, dan tahun 2011 sebesar 104,3/100.000 KH. Hal ini mengkhawatirkan karena berkecenderungan untuk terus meningkat (Dinkes Prov. Jatim, 2011b). Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki jumlah kasus kematian ibu tertinggi selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009– 2011, sedangkan di tahun 2012 jumlah kasusnya menduduki peringkat kedua adalah Kabupaten Jember. Pada tahun 2009 memiliki 51 kasus kematian ibu, tahun 2010 memiliki 55 kasus kematian ibu, tahun 2011 memiliki 54 kasus kematian ibu, dan tahun 2012 memiliki 43 kasus kematian ibu (Dinkes Kab. Jember, 2012). Pada wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Jember memiliki 49 Puskesmas, sedangkan 10 Puskesmas di antaranya selalu memiliki kasus kematian ibu selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 2010–2012. Puskesmas Kaliwates merupakan Puskesmas yang termasuk dalam 10 Puskesmas tersebut dan mempunyai nilai akumulasi kasus kematian ibu tertinggi di antara 10 Puskesmas tersebut (Dinkes Kab. Jember, 2012). Epidemiologi merupakan studi (ilmiah, sistematis, berbasis data) dari distribusi (frekuensi, pola) dan determinan (penyebab, faktor risiko) yang berhubungan dengan kesehatan di suatu negara dan kejadian/masalah kesehatan (bukan hanya penyakit) pada populasi tertentu dan penerapannya dalam mengendalikan masalah kesehatan. (CDC, 2012). Peranan epidemiologi dalam masalah ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai faktor 303 dan distribusi masalah kesehatan dalam upaya mencari penyebab, serta menyediakan informasi maupun gambaran untuk melakukan perencanaan, pengevaluasian program kesehatan, dan mengambil keputusan intervensi sebagai upaya pengendalian masalah kesehatan pada masyarakat. Program KIA merupakan suatu program yang pengelolaannya bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien. Sehingga, dengan adanya program ini diharapkan dapat menjadi solusi terkait masalah kematian ibu. Salah satu aspek penting pada Program KIA adalah Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). PWS KIA adalah alat untuk melakukan pemantauan Program KIA di suatu wilayah secara terus-menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Su r veila n s a d ala h su at u keg iat a n sistematis dan berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan menginter pretasikan data yang selanjutnya digunakan untuk landasan esensial dalam membuat perencanaan, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan masyarakat (CDC, 2003). PWS KIA mempunyai esensi yang sama dengan surveilans, sehingga dapat dinyatakan bahwa PWS KIA merupakan surveilansnya Program KIA (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Pelembagaan PWS KIA telah dilakukan sampai tingkat desa, akan tetapi wilayah Puskesmas Kaliwates selalu memiliki kasus kematian ibu selama 3 tahun terakhir ini dengan jumlah kasus tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa PWS KIA masih belum berjalan dengan efektif dan efisien sebagai alat pemantauan. Selain itu, berdasarkan hasil supervisi dari Seksi Kesga, Dinas Kesehatan Provinsi pada 20 kab/kota yang dipilih secara acak didapatkan bahwa 43% memiliki skor validasi dan konsistensi data pencatatan dan pelaporan PWS KIA yang termasuk dalam kategori buruk. Kabupaten Jember tidak termasuk dalam supervisi, akan tetapi kabupaten di sekitarnya masuk dalam kategori buruk, seperti Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, dan Lumajang (Dinkes Prov. Jatim 2012). Atas dasar tingginya jumlah kematian ibu di Puskesmas Kaliwates dan belum pernah dilakukan evaluasi sistem PWS KIA di Kabupaten Jember, peneliti tertarik mengevaluasi sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates sebagai Puskesmas yang 304 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 selalu ada kasus kematian ibu dengan akumulasi kasus tertinggi. Batasan masalah pada penelitian ini adalah evaluasi hanya difok uskan pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA dan evaluasinya menggunakan atribut surveilans. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan pencatatan dan pelaporan kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten Jember, Tahun 2012 berdasarkan atribut surveilans, mengidentifikasi permasalahan dari hasil gambaran yang didapat, dan mencari alternatif solusinya. METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian yang bersifat deskriptif, sedangkan jika dilihat dari tujuannya maka penelitian ini merupakan penelitian evaluasi (Wijono, 2008). Subjek penelitian adalah kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates Kabupaten Jember, tahun 2012. Informan penelitian berasal dari Bidan Koordinator (Bikor) dan Bidan Desa yang memegang register kohort ibu dalam melakukan pelayanan kesehatan ibu di Puskesmas Kaliwates. Jumlah informan penelitian sebanyak 7 orang, yaitu 1 Bikor dan 6 Bidan Desa. Lokasi penelitian di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten Jember, dengan waktu penelitian selama 3 bulan, yaitu mulai Bulan April–Juni, 2013. Variabel penelitian dalam penelitian ini merupakan atribut surveilans yaitu kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas data, akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif (NPP), kerepresentatifan, ketepatan waktu, dan stabilitas. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar kuesioner dan lembar observasi. Studi dokumen dilakukan pada atribut kualitas data untuk menilai kelengkapan data. Studi dokumen dilakukan pada data yang ada di formulir Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu yang dilakukan dengan pengambilan sampel data secara acak dari total data. Perhitungan pengambilan sampel menggunakan rumus cross sectional, dan didapatkan Register Kohort Ibu ada 249 data, sedangkan Kartu Ibu ada 103 data, yang nantinya akan digunakan dalam studi dokumen. Teknik analisis data pada penelitian ini adalah data yang terkumpul dikelompokkan pada aspek yang terkait, setelah itu kelompok data tersebut diolah untuk dapat disajikan dalam bentuk narasi, tabel, maupun bentuk lainnya. Kemudian melakukan interpretasi data dengan membandingkan teori, standar, pedoman, dan ketentuan yang ada, mengidentifikasi permasalahannya, dan mencari alternatif solusinya. HASIL Kesederhanaan Kesederhanaan dai suatu sistem dinilai berdasarkan kemudahan dalam hal struktur, alur pelaporan, dan pengoperasiannya. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam kegiatan pencatatan dan pelaporan pemantauan ibu di Puskesmas Kaliwates, dapat ditampilkan sebagai berikut: tabel di atas menunjukkan bahwa pada seluruh data yang dipergunakan alam pemantauan ibu, 9 di antaranya bersumber dari Register Kohort Tabel 1. Daftar Jenis Data dan Sumber Data Pemantauan Kesehatan Ibu di Puskesmas Kaliwates Jenis Data Jumlah sasaran Ibu Hamil Jumlah ibu bersalin Jumlah ibu nifas Jumlah bumil risti Jumlah K1 Jumlah K4 Jumlah persalinan di tolong Nakes Jumlah ibu nifas yang dilayani 3× oleh Nakes. Jumlah bumil, bulin, bufas, dengan faktor risiko/ komplikasi dideteksi oleh masyarakat Jumlah kasus komplikasi obstetri Sumber: Data Primer, 2013 Sumber Data Data proyeksi penduduk Register Kohort Ibu Register Kohort Ibu Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu Register Kohort Ibu Register Kohort Ibu Register Kohort Ibu Register Kohort Ibu Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… Ibu. Tingkat kesulitan pengisian formulir yang ada pada pemantauan kesehatan ibu di PWS KIA, ditampilkan sebagai berikut: Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa semua Bidan Desa beranggapan bahwa semua formulir pemantauan kesehatan ibu pada PWS KIA mudah untuk dilakukan pengisian. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara, mereka menyatakan bahwa jenis formulir yang harus diisikan terlalu banyak, sedangkan beban kerja pelayanan yang tinggi, sehingga tidak dapat melakukan baik pelayanan maupun pencatatan dengan maksimal pada semua formulir. Beban kerja Bidan Desa selama ini berdasarkan hasil observasi memang cukup tinggi, yaitu pelayanan di Puskesmas/Pustu, Posyandu, piket di Ruang Bersalin, kegiatan imunisasi, kegiatan kesehatan lingkungan, kegiatan pelaksana program P2, kunjungan rumah, dan pelayanan KB. Selain banyaknya jenis formulir (5 jenis formulir) pada salah satu jenis kegiatan Bidan Desa yaitu pada pemantauan kesehatan ibu, Bidan Desa juga menyatakan bahwa masih banyak variabel di dalam formulir khusus pegangan bidan yaitu Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu yang memiliki banyak variabel sama yang harus diisikan. Studi dokumentasi yang dilakukan pada 2 jenis formulir tersebut dalam melihat jumlah kesamaan variabel, didapatkan hasil variabel yang sama sebagai berikut: (a) Nomor Register Ibu, meliputi No. Indeks dan tanggal pemeriksaan pertama; (b) Identitas ibu, meliputi nama, umur ibu, umur kehamilan, dan alamat; (c) Riwayat kehamilan terdahulu, seperti jumlah kehamilan (hamil ke-) dan jarak kehamilan. Pada Kartu Ibu isiannya lebih detail. (d) Hasil pemeriksaan pertama, seperti BB&TB, LILA, HB/Gol. Darah, dan tensi; (e) Status imunisasi TT; (f) Hasil pemeriksaan ANC Tabel 2. Tingkat Kesulitan Pengisian Fomulir Pemantauan Kesehatan Ibu Pada PWS KIA Jenis Formulir Sulit Mudah Jumlah Kartu Ibu Kartu Skor ‘PR’ Partograf Register Kohort Ibu Lap. Bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) wilayah 0 0 0 0 7 7 7 7 7 7 7 7 Sumber: Data Primer, 2013 0 7 7 305 Hasil observasi juga menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan pemantauan kesehatan ibu, Bidan Desa menggunakan buku bantu, yang jenisnya juga bermacam-macam, dispesifikkan sesuai dengan kebutuhan pemantauan, contohnya seperti buku bumil risti, buku persalinan, buku kunjungan rumah, buku KB, buku pemeriksaan, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara, Bidan Desa menyatakan penggunaan buku bantu ini diperlukan dalam mempermudah pemantauan ibu di lapangan. Hal ini sehubungan dengan bentuk Register Kohort yang besar dengan kolom isian yang kecil, dan Kartu Ibu yang menumpuk, sehingga tidak praktis dan mudah untuk melakukan pemantauan, sehingga membutuhkan buku bantu. Hasil studi dokumentasi mengenai format penulisan buku bantu menunjukkan bahwa format penulisannya sama dengan yang ada di Register Kohort Ibu, namun pada buku bantu telah dilakukan pengelompokan berdasarkan masing-masing jenis pemantauan. Kesederhanaan juga dilihat dari pengolahan datanya. Kegiatan pengolahan data pada PWS KIA meliputi pembersihan data, validasi data, dan pengelompokan data. Hasil wawancara menyatakan bahwa kegiatan pembersihan data dilakukan untuk menghilangkan data bumil yang rangkap dan bumil yang migrasi. Pada pelaksanaannya kegiatan ini memerlukan waktu yang cukup lama. Validasi data dilakukan oleh Bikor, dan validasi data telah dilakukan secara rutin setiap minggunya sehingga Bikor merasa mudah. Sedangkan pengelompokan data dilakukan oleh Bidan Desa dan Bikor. Pengelompokan data ini juga dilakukan rutin setiap minggunya, untuk mempermudah dalam melakukan pelaporan setiap bulannya. Selain itu, kesederhanaan juga dinilai dari alur pencatatan dan pelaporannya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, alur pelaporan yang selama ini ada cukup mudah dan jelas, sehingga tidak menyulitkan Bidan Desa dan Bikor. Alurnya dapat ditampilkan sebagai berikut: Fleksibilitas Fleksibilitas dilihat berdasarkan kemampuan sistem dalam menyesuaikan dengan perubahan informasi tanpa disertai peningkatan yang berarti akan biaya, tenaga, dan waktu. Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumen, perubahan definisi operasional pernah terjadi pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu di tahun 2012, yaitu 306 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 Dinkes Kabupaten Pelayanan Kesehatan swasta Diseminasi informasi: lintas program dan lintas sektoral Penelusuran data kohort Puskesmas Bumil Bulin Bufas Kartu Ibu Buku KIA Pustu Posyandu Buku Bantu Register Kohort Ibu Laporan bulanan PWS KIA wilayah Laporan PWS KIA Bikor Bidan Desa Gambar 1. Alur Pencatatan dan Pelaporan Pemantauan Kesehatan Ibu perubahan pada indikator kunjungan ibu nifas. Perubahan indikator kunjungan nifas dapat ditampilkan sebagai berikut: Berdasarkan hasil wawancara, perubahan definisi operasional ini sudah disampaikan langsung oleh Bikor dan diketahui oleh semua Bidan Desa. Perubahan definisi operasional ini juga tidak memiliki dampak apa pun pada pelaksanaan pemantauan. Hal ini hanya mengubah sedikit format pencatatan pada Register Kohort Ibu saja, namun jumlah kolom tetap, yang diubah hanya rentang waktu pada kolom pelayanan nifas, sehingga tidak terlalu memberi perubahan pada pencatatan dan tidak berdampak pada tenaga, waktu, dan biaya. Akan tetapi, sistem masih belum mampu dalam memenuhi kebutuhan akan pemantauan bumil risti. Sistem tidak secara praktis menyediakan informasi mengenai bumil risti, sehingga pihak dinas kesehatan masih memberlakukan pelaporan lain dalam membantu pemantauan bumil risti, yaitu laporan bumil risti, dan pelaporan ini tidak termasuk dalam PWS KIA. Selain itu, Bidan Desa juga menunjangnya dengan buku bantu bumil risti, dalam mempermudah melakukan pemantauan bumil risti di lapangan dan mempermudah dalam membuat pelaporan bumil risti tersebut. Buku bantu bumil risti ini dipergunakan oleh Tabel 3. Perubahan Denisi Operasional Indikator waktu Kunjungan Ibu Nifas Kunjungan Nifas Denisi Operasional Waktu Kunjungan Nifas DO Lama KF 1 6 jam–3 hari KF 2 8–14 hari KF 3 36–42 hari Sumber: Data Primer, 2013 DO Baru 6 jam–3 hari 4–28 hari 29–42 hari 3 Bidan Desa Puskesmas Kaliwates. Pemberlakuan pelaporan bumil risti dan buku bantu bumil risti ini berdasarkan hasil studi dokumen menunjukkan bahwa sangat memberikan dampak pada tenaga dan waktu Bidan karena beban pencatatan dan pelaporannya bertambah, serta dampak biaya pada instansi, karena harus mengalokasikan anggaran khusus untuk menunjangnya. Kualitas Data Kualitas data dilihat berdasarkan kelengkapan jumlah dan kelengkapan data pada formulir pencatatan dan pelaporan pemantauan kesehatan ibu pada PWS KIA. Berdasarkan hasil studi dokumentasi didapatkan bahwa kelengkapan jumlah formulir Kartu Ibu hanya memiliki persentase sebesar 20,057%, Register Kohort Ibu sebesar 100%, Laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) wilayah sebesar 100%, dan laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) Puskesmas sebesar 100%. Sedangkan, kelengkapan dat a dilihat berdasarkan jawaban kosong dan jawab tidak jelas/ Tabel 4. Kelengkapan Data Formulir Pencatatan dan Pelaporan Persentase Pengisian Formulir Jenis Formulir Pencatatan dan Pelaporan Laporan Laporan Register PWS KIA PWS KIA Kartu Kohort (Indikator (Indikator Ibu Ibu Ibu) Ibu) Wilayah Puskesmas 18,74 59,83 61,087 100 Lengkap Tidak Jelas/ Tidak 15,54 Lengkap Kosong 65,72 19,99 0 0 20,18 38,913 0 Sumber: Data Primer, 2013 Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… tidak lengkap, dan hasil studi dokumentasinya dapat ditampilkan pada tabel 4. Pada tabel 4 menunjukkan bahwa formulir dengan kelengkapan data terendah adalah Kartu Ibu, sedangkan formulir dengan kelengkapan data tertinggi adalah laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) Puskesmas. Akseptabilitas Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau unit lain untuk berpartisipasi dalam melaksanakan dan memanfaatkan hasil pemantauan. Dalam pelaksanaan sistem, Bidan Desa dibantu oleh masyarakat setempat, seperti Kader Posyandu dan Pemerintah Daerah. Selain itu, data hasil sistem juga dimanfaatkan oleh lintas program, yaitu program gizi (data bumil KEK dan Fe) dan imunisasi (imunisasi TT), dan lintas sektoral, yaitu pihak kecamatan dan pihak kelurahan. Nilai Prediktif Positif (NPP) Pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu tidak terdapat pencatatan dan pengumpulan data khusus untuk hasil pemeriksaan dengan kasus dengan gold standard dan hasil pengkonfirmasiannya. Namun, Puskesmas Kaliwates masih menggunakan Kartu Ibu versi lama yang terdapat kolom indikasi kebidanan dan laboratorium yang diperuntukkan bagi semua bumil, akan tetapi kedua kolom tersebut tidak ada yang terisi. Sensitivitas Sensitif itas pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu dilihat dari kemampuan sistem dalam mendeteksi kasus risti, termasuk kemampuan sistem dalam memantau perubahan dalam jumlah dan penyebab kasus risti dari tahun ke tahun. Menurut hasil wawancara dan observasi, selama ini Bidan Desa melakukan pendeteksian kasus risti dengan bantuan formulir Kartu skor Poedji Rochjati atau biasa disebut dengan formulir KSPR. Melakukan pengisian KSPR dilakukan langsung setiap bumil memeriksakan ke pelayanan kesehatan untuk yang pertama kalinya saat masa kehamilan. Pada KSPR nantinya akan didapatkan skor yang dapat menunjukkan kondisi kehamilan ibu, termasuk risiko tinggi atau risiko rendah. Kegiatan skrinning atau pendeteksian dini dengan KSPR sudah rutin dilakukan oleh semua Bidan Desa. 307 Sistem yang ada saat ini belum mampu dalam melihat perubahan jumlah kasus, pada Register Kohort Ibu dan laporan PWS KIA (Indikator Ibu) yang terlaporkan adalah jumlah individu dengan kasus saja, bukan jumlah kasusnya. Sistem juga kurang sensitif dalam melihat perubahan tren penyebab terjadinya kasus, karena tidak ada variabel yang menguraikan penyebab kasus risti pada laporan sistem PWS KIA (Indikator Ibu). Sehingga, sensitivitasnya termasuk rendah. Kerepresentatifan Kerepresentatifan dilihat berdasarkan laporan kejadian dari kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada periode waktu tertentu dan didistribusikan menurut orang, tempat, dan waktu. Menurut hasil wawancara dan observasi, tidak ada pendistribusian kasus berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu pada pelaporan pemantauan kesehatan ibu. Pada laporan PWS KIA (Indikator Ibu) hanya memuat jumlah pencapaian per indikator saja. Selain itu, Bidan Desa tidak melakukan analisis data, hanya merekap saja dan bikor yang menganalisiskan. Bidan Desa juga tidak membuat rencana tindak lanjut secara rutin disebabkan mereka tidak melakukan analisis, dan mereka mengaku membuat rencana tindak lanjut dan analisis ketika ada kegiatan supervisi dari dinas saja. Selain itu, rencana tindak lanjut hasil kunjungan rumah hanya dibuat oleh 2 bidan. Sehingga kerepresentatifannya termasuk dalam kategori rendah. Ketepatan Waktu Ketepatan waktu dilihat dari ketepatan waktu pengumpulan laporan, penanggulangan kasus yang teridentifikasi, dan penyebaran informasi. Ketepatan waktu pengumpulan laporan dilihat dari laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah ke Bikor dan laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) yang dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Pelaporan laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) yang dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jember menunjukkan ketepatan waktu 100%. Hasil ini dilihat berdasarkan buku ekspedisi Puskesmas yang memuat tanggal serta kevalidannya sudah dipastikan karena telah ditandatangani oleh pemegang program KIA di Dinkes Kab. Jember. Pada buku ekspedisi tersebut semua pengiriman laporan ke Dinkes sudah dilakukan secara tepat 308 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 waktu, yang seluruhnya selalu dikirimkan sebelum batas waktu yang ditentukan, yaitu batas waktunya tanggal 5 setiap bulannya. Namun, ketepatan waktu pengumpulan laporan untuk laporan bulan PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah tidak dapat diketahui secara pasti dikarenakan absensi yang terdapat pada Bidan Koordinator tidak memuat keterangan tanggal pengumpulan, hanya dilakukan pencentangan untuk Bidan Desa yang telah mengumpulkan. Berdasarkan hasil wawancara, upaya penanggulangan kasus risti dan penyebaran informasi sudah dilakukan tepat waktu. Namun, hal ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada batas waktunya dan dokumentasi khusus atau absensi yang mencatat waktu penanggulangan dan penyebaran informasi. Stabilitas data Stabilitas data pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada PWS KIA digambarkan dari tingkat realibilitas dan juga availibilitas data. Sistem memiliki realibilitas dan availibilitas yang rendah sehingga stabilitas datanya termasuk kategori rendah. Menurut hasil wawancara, dan observasi, pengumpulan data sampai saat ini masih mengg u na k a n for mu li r, seh i ngga d ala m penyimpanannya membutuhkan ruangan yang cukup luas, data-data tersimpan dengan tidak cukup rapi dan sistematis. Bidan Desa mengaku kesulitan dalam menyimpan formulir-formulir data tersebut dan menaruh data yang tidak terpakai, sehingga kumpulan formulir tersebut sangat tidak beraturan, dan untuk formulir yang tidak terpakai dibawa ke rumah bidan masing-masing untuk disimpan agar ada ruang yang cukup untuk menyimpan formulir yang baru. Sehingga, hal tersebut menunjukkan bahwa realibilitasnya rendah. Sedangkan untuk availabilitas data yang rendah disebabkan oleh pengumpulan data dan penyimpanan data dalam bentuk formulir memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam memperoleh data ketika dibutuhkan. Bidan Koordinator dan Bidan Desa memerlukan waktu lama dalam mencari data-data yang telah lalu ketika dibutuhkan karena tumpukan formulir yang terlalu banyak serta tidak disimpan pada kelompok-kelompok data dengan baik. Identikasi permasalahan Permasalahan yang ditemukan dari hasil penilaian atribut sistem surveilans kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates yaitu banyaknya form pencatatan dan pelaporan, kurang praktisnya Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu karena bentuknya terlalu besar dan banyak tumpukan data, penggunaan buku bantu, pembersihan data dengan waktu yang cukup lama, NPP kasus rendah, sistem tidak dapat memenuhi kebutuhan pemantauan individu, kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar 20,057%, kelengkapan data laporan PWS KIA wilayah 61,087%, register kohort ibu 59,83%, dan kartu ibu 18,74%, sistem tidak mampu memantau perubahan tren jumlah dan penyebab kasus risti, tidak dapat mendistribusikan kasus berdasarkan orang, tempat, dan waktu, serta memiliki realibilitas dan availibilitas yang rendah. PEMBAHASAN Kesederhanaan Kesederhanaan sistem surveilans mengacu pada kemudahan struktur dan kemudahan pengoperasian. Sistem surveilans harus dirancang sesederhana mungkin dengan tetap memenuhi tujuan yang ingin dicapai (CDC, 2003). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Bidan Desa mengalami kesulitan dalam mengisi formulir yang banyak dan di dalamnya juga terdapat banyak variabel. Hal ini seharusnya perlu diperhatikan dalam menjaga formulir agar tetap relatif singkat dan tidak terlalu banyak variabel, sehingga meminimalisir beban kerja bagi individu yang melakukan pencatatan (Camoni, et al., 2010). Selain itu Bidan Desa juga mengeluhkan dari banyak formulir yang digunakan di pelayanan KIA juga terdapat banyak variabel yang sama dan harus diisikan berulang kali saat pelayanan. Studi dokumen dilakukan pada beberapa formulir pegangan Bidan Desa untuk melihat adanya duplikasi, yaitu pada Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu. Hasil studi dokumentasi pada kedua formulir tersebut menunjukkan banyak variabel yang sama meliputi a) nomer register ibu, meliputi No. Indeks dan tanggal pemeriksaan pertama, (b) identitas ibu, meliputi nama, umur ibu, umur kehamilan, dan alamat ibu, (c) riwayat kehamilan terdahulu, seperti Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… jumlah kehamilan (hamil ke-) dan jarak kehamilan, akan tetapi dalam Kartu Ibu isian riwayat kehamilan lebih detail, (d) hasil pemeriksaan saat kunjungan pertama, (e) status imunisasi, dan (f) pemeriksaan ANC/kunjungan ulang. Sehingga terbukti memang banyak terjadi duplikasi. Dalam pelayanannya Bidan Desa juga menggunakan buku bantu berupa catatan pribadi bidan. Penggunaan buku bantu ini sudah dapat menunjukkan bahwa sistem tidak cukup efektif dan efisien dalam melakukan pemantauan. Penggunaan buku bantu ini sebenarnya akan menambah beban kerja Bidan Desa di lapangan, karena akan semakin banyak pencatatan yang dilakukan (Szeles, et al., 2005). Hasil studi dokumentasi juga menunjukkan bahwa format penulisan yang digunakan dalam buku bantu ini hampir mirip variabelnya dengan yang ada pada Register Kohort Ibu. Hal ini semakin menambah banyaknya duplikasi dalam kegiatan pencatatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Bidan Desa. Penggunaan kombinasi banyak sumber data dapat berkontribusi untuk mendapatkan informasi yang lebih berkualitas dengan tetap menjaga efisiensi, namun akan lebih efisien jika menghindari banyaknya duplikasi dalam sumber data, karena hal ini akan menjadi tambahan beban bagi petugas, sehingga tidak dapat menjalankan sistem dengan efisien (WHO, 2010). Dalam upaya menghindari duplikasi dan penggunaan buku bantu, dilakukan pengkajian ulang mengenai tujuan masing-masing formulir pegangan bidan untuk melihat apakah bisa dilakukan penyederhanaan. Berdasarkan informasi dari wawancara terbuka dengan salah seorang staf di Seksi Kesga Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa kedua form pegangan bidan tersebut memang memiliki fungsi yang berbeda. Kartu Ibu merupakan rekam medik pada unit pelayanan di KIA, sedangkan Register Kohort Ibu sebagai jembatan antara Kartu Ibu dan pelaporan yang merekap informasi dari Kartu Ibu lalu diterjemahkan ke data komuna agar lebih mudah dalam melakukan pemantauan. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, dan duplikasi yang dilakukan memang sebagai ringkasan dari sumber data sebelumnya sehingga tidak dapat dilakukan penyederhanaan pada form tersebut dan duplikasi di dalamnya memang diperlukan. Salah satu upaya dalam meminimalkan beban kerja Bidan Desa karena banyaknya pencatatan dan pelaporan serta duplikasi adalah 309 dengan melakukan pencatatan dan pengumpulan data secara komputerisasi (Szeles, et al., 2005). Sistem komputerisasi memungkinkan melakukan pengisian Kartu Ibu di lapangan secara langsung dan variabel yang diperlukan bisa langsung terlink secara otomatis sehingga dapat meringankan beban pencatatan, selain itu dengan komputerisasi dapat juga mempermudah penyebaran informasi ke berbagai pihak (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Fleksibilitas Fleksibilitas dari sistem ini tergolong rendah karena sistem kurang mampu memenuhi kebutuhan akan pemantauan baru pada kelompok individu yang berisiko tinggi, seperti bumil risti. Pada kenyataannya sistem PWS KIA kurang konsisten dalam mencapai tujuan pemantauannya. Tujuan umum dari sistem PWS KIA adalah terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus menerus di setiap wilayah kerja. Jika dilihat dari tujuan umumnya, sistem yang berjalan selama ini sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam mencapai tujuan umum tersebut. Namun masih terdapat salah satu tujuan khusus yang justru belum terpenuhi yaitu memantau individu melalui kohort (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Sistem ini tidak bisa memantau kebutuhan baru pada pemantauan bumil risti. Pelaporan yang ada hanya berisi cakupan dengan angka-angka saja, dengan tidak ada pelaporan yang untuk individu, khususnya bumil risti. Sehingga, dapat terlihat bahwa sistem lebih didesain dalam mencapai tujuan umum dan beberapa tujuan khususnya selain salah satu tujuan khususnya yaitu memantau secara individu. Pemantauan pada bumil risti penting untuk diperhatikan, termasuk pelaporannya, karena dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (CDC, 2003). Pemantauan bumil risti ini merupakan kebutuhan baru yang penting untuk dilakukan karena risti memungkinkan dampak yang besar pada kondisi ibu. Kehamilan risiko tinggi dapat memperbesar risiko terjadinya komplikasi dalam persalinan dengan dampak kematian, kesakitan, kecacatan, ketidakpuasan, dan ketidaknyamanan (5K) (Ambarwati, dkk., 2011). Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan pemantauan bumil risti, terdapat 3 Bidan Desa yang menggunakan buku bantu bumil risti yang berisi catatan khusus untuk bumil risti dan pihak dinas memberlakukan laporan bumil risti di luar sistem PWS KIA. Pemberlakukan laporan bumil risti tersebut akan memerlukan akan memerlukan 310 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 investasi yang cukup besar pada sumber daya manusia dan keuangan (Rehle, et al., 2004). Pemberlakuan laporan bumil risti ini menambah beban laporan yang dibuat Bidan Desa dan sehingga berdampak pada tenaga dan waktu, serta dampak dari sisi keuangannya berasal dari penambahan biaya penggandaan formulir. Sedangkan, penggunaan buku bantu sudah disinggung sebelumnya bahwa akan menambah deretan beban kerja Bidan Desa (Szeles, et al., 2005). Kualitas data Kualitas data dinilai dari kelengkapan jumlah dan kelengkapan data pada seluruh formulir yang digunakan pada sistem PWS KIA pemantauan kesehatan ibu. Penilaian disesuaikan dengan standar dari Kepmenkes R.I Nomor 1116/Menkes/SK/2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan masyarakat, yaitu standar kelengkapan formulir/data yang dikumpulkan >80%. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kelengkapan jumlah yang tergolong rendah adalah Kartu Ibu, sedangkan kelengkapan data yang tergolong rendah adalah Kartu Ibu, Register Kohort Ibu, dan Laporan PWS KIA (Indikator Ibu) per wilayah. Kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar 20,057% dan kelengkapan data Kartu Ibu 18,78%. Persentase ini sangat rendah untuk formulir Kartu Ibu yang sebagai rekam medik dalam unit pelayanan di KIA. Menurut Permenkes R.I Nomor: 749a/Menkes/ Per/XII/1989 tentang rekam medik menyatakan bahwa rekam medik seharusnya dimiliki oleh semua pasien, harus dilengkapi setelah pasien mendapat pelayanan, dan lama penyimpanan sekurangkurangnya 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat. Sedangkan, kondisi Kartu Ibu di Puskesmas Kaliwates tidak sesuai dengan ketentuan. Rekam medik memiliki tingkat kelengkapan jumlah yang rendah, ini berarti bahwa tidak semua pasien yang berobat di unit KIA mempunyai Kartu Ibu. Pada wawancara, beberapa Bidan Desa menyatakan bahwa tidak membuat Kartu Ibu pada ibu yang terdata 3 bulan terakhir di Register Kohort Ibu. Selain itu, kelengkapan datanya juga rendah, yang seharusnya tinggi karena wajib dicatat setelah selesai pelayanan. Hampir semua formulir di sistem PWS KIA pemantauan kesehatan ibu memiliki kelengkapan data yang rendah. Hal ini dapat dimungkinkan karena tidak terdapat petunjuk pengisian pada setiap form sehingga masih banyak jawaban yang kosong atau tidak jelas sehingga kelengkapan datanya rendah. Ketersediaan petunjuk pengisian pada suat u sistem sangat penting dalam mendukung pengetahuan Bidan Desa dalam melakukan pengisian data dengan tepat, sehingga mempengaruhi tingkat kelengkapan data (Dewi & Suharto, 2011). Masalah kualitas data cenderung banyak dan bervariasi di seluruh negara dan mempengaruhi kualitas sumber data. Hasil pengamatan menyatakan bahwa masalah kualitas sumber data ini membuat laporan rutin sering terjadi bias, ketidaklengkapan, keterlambatan, dan kualitas data rendah, serta manipulasi data (WHO, 2010). Seluruh sumber data pada sistem ini tergolong rendah, sehingga sangat penting untuk dibenahi agar pelaporan lebih akurat dan pengambilan keputusan yang dilakukan lebih efektif. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa dengan meningkatkan kualitas data maka akan memerlukan investasi yang cukup besar dalam sumber daya manusia dan keuangan (Rehle, et al., 2004). Kualitas data juga dinilai dari pengolahan data pada suatu sistem (CDC, 2003). Pada pelaksanaannya sistem ini, Bidan Desa sudah melakukan pengolahan data secara rutin. Namun, pengolahan data tidak dilanjutkan dengan analisis hasil pengolahan tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan yang tertera di buku Pedoman PWS KIA, yang menyatakan bahwa Bidan Desa juga melakukan analisis dari hasil pemantauan sistem (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Analisis data penting untuk dilakukan, karena dengan melakukan analisis sederhana saja, yaitu melakukan perbandingan dengan tolak ukur adalah alat yang ampuh dalam mempengaruhi pengambilan keputusan (WHO, 2010). Oleh karena itu, analisis penting untuk dilakukan. Akseptabilitas Akseptabilitas dapat dinilai dari kemauan seseorang atau unit lain untuk berpartisipasi dalam melaksanakan dan memanfaatkan hasil sistem (CDC, 2003). Akseptabilitas pada sistem ini sudah termasuk tinggi, karena sudah terdapat beberapa pihak yang berpartisipasi di dalamnya, yaitu Kader Posyandu sebagai perwakilan dari masyarakat setempat, dan Pemerintah Daerah, seperti pihak kecamatan dan kelurahan. Sedangkan hasil dari sistem sudah diterima oleh lintas sektoral maupun lintas program. Lintas sektoral meliputi pihak Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… kecamatan dan kelurahan, sedangkan lintas program meliputi pihak gizi dan imunisasi. Menurut hasil dari penelitian Community Participation in Chagas Disease Vector Surveillance: Systematic Review, menyatakan bahwa sistem surveilans akan secara signifikan lebih efektif bila masyarakat secara substansial dapat berkontribusi di dalamnya dan bentuk yang sangat sederhana pun dari partisipasi dapat meningkatkan efektivitas pemantauan (Fernando, et al., 2011). Nilai Prediktif Positif (NPP) Nilai prediktif positif kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates tergolong rendah. Hal ini dikarenakan tidak terdapat pencatatan dan pengumpulan data khusus dari pemeriksaan dengan gold standard dan hasil pengkonfirmasiannya. Sedangkan, Puskesmas Kaliwates masih menggunakan Kartu Ibu versi lama, yang di dalamnya terdapat kolom isian indikasi dan hasil laboratorium, akan tetapi formulir ini diperuntukkan untuk semua bumil, bukan hanya untuk bumil yang berkasus saja. Hasil penilaian NPP memiliki hubungan dengan kualitas data (CDC, 2003). Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada kolom indikasi dan hasil laboratorium di Kartu Ibu tidak ada yang terisi, dan kualitas data Kartu Ibu menurut hasil evaluasi memang sangat rendah. Hal ini memengaruhi NPP sehingga menjadi rendah. Nilai prediktif positif yang rendah akan menimbulkan berbagai konsekuensi. Konsekuensinya dari NPP rendah adalah sering terdapat positif palsu pada laporan, salah identifikasi, dan pada akhirnya serta sering kali melakukan tindak lanjut pada perihal yang sebenarnya bukan kasus. Hal ini menyebabkan pemborosan sumber daya dan berkurangnya kepercayaan publik (Stefanoff, 2012). Sensitivitas Sistem PWS KIA dalam pemantauan kesehatan ibu belum mempunyai kemampuan dalam memantau perubahan jumlah kasus dari waktu ke waktu, dan juga perubahan jumlah penyebab risti. Sistem hanya dapat memantau jumlah individu yang mempunyai kasus, padahal satu individu bisa memiliki lebih dari satu kasus, oleh karena itu lah sistem dikatakan tidak dapat melihat perubahan jumlah kasus. Tren penyebab risti tidak dapat dipantau pada sistem ini, namun dapat dipantau dari 311 luar sistem PWS KIA yaitu pada laporan bumil risti. Pada laporan tersebut sudah termuat penyebab risti tiap bumil risti yang terdata dengan detail. Mengetahui perubahan tren jumlah kasus dan penyebab dapat digunakan untuk mengidentifikasi per ubahan dalam terjadinya dan distribusi penyakit untuk memandu tindakan segera pada kasus yang penting dalam kesehatan masyarakat, mengidentifikasi perubahan berbagai faktor penyebab untuk menilai potensi terjadinya masalah kesehatan di masa depan, dan mengikuti serta mengidentifikasi tren jangka panjang pada populasi untuk informasi dalam mengambil keputusan bagi para pengambil keputusan (CDC, 2003). Kerepresentatifan Evaluasi sistem surveilans berdasarkan atribut kerepresentatifan yaitu dengan menggambarkan kasus yang dilaporkan mewakili kejadian yang sebenarnya menurut distribusi orang, tempat, dan waktu (CDC, 2003). Kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates tidak ada pendistribusian kasus menurut variabel orang, tempat, dan waktu. Pada laporan bulanan, semua hanya dilaporkan dalam bentuk angka/cakupan saja. Tujuan u mu m dar i PWS K I A, yait u terpantauannya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus menerus di setiap wilayah kerja (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Berdasarkan tujuan tersebut memang tidak diperlukan pendistribusian menurut variabel orang, tempat, dan waktu, dan laporan yang ada dengan isi cakupan berupa angka sudah cukup memenuhi tujuan tersebut. Namun, laporan yang berisi cakupan/angka saja tersebut tidak dapat memenuhi salah satu tujuan khusus pada PWS KIA yaitu memantau individu melalui kohort (Dinkes Prov. Jatim, 2011a). Hal ini dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan tujuan khusus ini diperlukan suatu laporan untuk melihat hasil pemantauan kohort yang didistribusikan menurut variabel orang, tempat, dan waktu. Pendistribusian kasus penting dilakukan dalam memantau suatu masalah kesehatan pada individu. Pendistribusian menurut variabel orang, tempat, dan waktu berguna untuk mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi dan identifikasi daerah berisiko tinggi (Guerra, et al., 2012). Selain itu, pendistribusian menurut orang, tempat, dan waktu dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah dan persentase orang dengan penyakit tertentu, memantau tren, prevalensi, dan faktor risiko 312 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 (Loustalot, 2012). Sehingga, hal ini dapat membantu dalam penargetan intervensi untuk orang atau tempat dengan perilaku berisiko tinggi (CDC, 2003; Rehle, et al., 2004). Ketepatan waktu Ketepatan waktu pelaporan pada sistem ini tidak seluruhnya dapat dinilai. Hanya ketepatan waktu pelaporan laporan bulanan PWS KIA (Indikator Ibu) ke Dinas Kesehatan Kabupaten saja yang dapat dinilai, karena masih ada bukti catatan penerimaan laporan yang dibuat pihak Puskesmas dan ditandatangani oleh pemegang program KIA di Dinkes sebagai bukti jika telah mengumpulkannya. Bukti pengiriman laporan tersebut diberi nama buku ekspedisi. Sedangkan, pada pelaporan laporan diseminasi informasi dan penanggulangan kasus tidak terdapat pada absensi atau ekspedisinya, sehingga tidak bisa dihitung ketepatan waktunya. Pada kegiatan pemantauan kesehatan ibu, data yang dihasilkan digunakan untuk pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan secara langsung, sehingga ketepatan waktu menjadi sangat penting (Jajosky & Groseclose, 2004). Oleh karena itu, ketepatan waktu baik dalam pelaporan, penanggulangan kasus, dan diseminasi pada sistem ini harus diperhatikan. Pelaporan data yang dilakukan secara tepat waktu memungkinkan untuk dapat memanfaatkan data secara tepat untuk pengendalian keputusan internal (Barr, et al., 2011). Selain itu, dengan menggunakan data secara tepat waktu , informasi yang berkualitas tinggi, maka akan menunjang dalam mengidentifikasi dan mengatasi prioritas masalah kesehatan dalam populasi secara lebih efektif dan efisien (Wilkin, et al., 2008). Stabilitas data Data kesehatan dengan stabilitas yang baik sangat diperlukan untuk meningkatkan ketepatan waktu dari pemantauan outcome kesehatan (Egger, et al., 2012). Akan tetapi hasil evaluasi stabilitas kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA menunjukkan hasil yang tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena realibilitas dan availabilitas yang termasuk rendah. Kegiatan pemantauan kesehatan ibu di Puskesmas Kaliwates realibilitasnya rendah dikarenakan masih menggunakan for mulir dalam bentuk hardcopy, sehingga data yang telah terkumpul tidak tersimpan dan terkelola dengan cukup baik, seperti tidak rapi, dan tidak sistematis dengan tidak dikelompokkan pada setiap jenis datanya dan menumpuknya menjadi satu tanpa ada pemilihan letak penyimpanan menurut kelompok. Hal ini juga memengaruhi availabilitas datanya, dengan kondisi realibilitas tersebut maka akan kesulitan dalam memperoleh data ketika dibutuhkan dengan cepat. Upaya dalam meningkatkan availabilitas dapat dilakukan dengan peningkatan sistem surveilans dimulai dengan evaluasi menyeluruh sistem yang ada dengan menggunakan pendekatan yang ditentukan oleh CDC dan WHO, evaluasi harus dirancang untuk mengidentifikasi penyebab spesifik dari kekurangan tersebut, intervensi untuk perbaikan sistem secara langsung terkait dengan hasil evaluasi, dan upaya meningkatkan efektivitas sistem surveilans termasuk perhatian berkelanjutan (Wilkin, et al., 2008). Selain itu, peningkatan stabilitas sistem dapat diupayakan dengan melakukan proses manajemen data secara komputerisasi, yaitu dari proses pencatatan, pengolahan , dan pelaporan data, serta dilakukan mulai dari tingkat Bidan Desa. Sistem pelaporan elektronik memungkinkan pelaporan dapat dilakukan lebih mudah dan lebih efektif dan memiliki potensi besar untuk meningkatkan sistem pemantauan, tidak hanya ketepatan waktu, tetapi juga kualitas data, namun juga harus ditunjang dengan input data yang akurat dan berkualitas (WHO, 2010). Alternatif pemecahan masalah Alternatif pemecahan masalah berdasarkan hasil gambaran at r ibut su r veilans dalam kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates, Kabupaten Jember, Tahun 2012 adalah sebagai berikut: (a) Membudayakan Bidan Desa dalam menganalisis hasil pemantauannya dan membuat rencana tindak lanjut rutin setiap bulannya. Bidan Koordinator dapat melakukan pengecekan rutin setiap bulannya terhadap hasil analisis dan RTL yang dibuat oleh Bidan Desa. Analisis dan RTL yang dilakukan secara pribadi oleh Bidan Desa akan menambah kepekaan bidan terhadap masalah yang ada di wilayahnya dan untuk segera pengupayaan tindak lanjutnya. Sehingga, kegiatan pemantauan secara berkelanjutan akan berjalan lebih optimal. (b) Meningkatkan kualitas data dalam sistem pemantauan kesehatan ibu, salah satu upaya adalah dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan data secara rutin oleh Bidan Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… Koordinator terhadap kelengkapan data dan jumlah data. Pemeriksaan data rutin sebenarnya sudah dilakukan oleh Bikor di Puskesmas Kaliwates, akan tetapi hasil evaluasi kualitas datanya masih tergolong rendah. Sehingga, Bidan Koordinator harus meningkatkan kualitas pemeriksaannya, untuk tersedianya data yang lebih berkualitas. (c) Melengkapi buku pedoman PWS KIA di Puskesmas dan menggandakannya untuk masingmasing Bidan Desa. Buku pedoman ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami isinya bagi seluruh pelaku sistem PWS KIA, sehingga dalam pelaksanaan sistem dapat semaksimal mungkin dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada. Hal ini akan menunjang pelaksanaan pemantauan yang efektif dan esien. (d) Melakukan advokasi secara terus menerus kepada pihak Dinas Kesehatan untuk segera membuat petunjuk teknis pengisian yang rinci pada setiap formulir di PWS KIA dan disebarluaskan pada pihak Puskesmas, dengan terlebih dahulu dilakukan pelatihan dan seminar terhadap isi juknis tersebut untuk menyamakan persepsi. Tentu saja, langkah ini dapat dipadukan dengan membuat komitmen bersama pada seluruh pelaku sistem, sehingga pemantauan dapat dilakukan secara tepat, cepat, dan menurunkan risiko kematian ibu. (e) Melakukan advokasi secara terus menerus kepada pihak Dinas Kesehatan untuk melakukan pengembangan sistem surveilans lain yang dapat digunakan untuk pemantauan yang lebih spesik. Hal ini dikarenakan sistem PWS KIA yang ada tidak cukup baik dalam melakukan pemantauan secara individu dan untuk kasus tertentu. (f) Membentuk tim surveilans KIA. Tim surveilans KIA ini tidak harus berasal dari tenaga Bidan Desa, tapi bisa dari tenaga kesehatan lainnya. Tim surveilans ini akan membantu pemantauan di wilayah, sehingga kinerja bidan menjadi lebih ringan dan pemantauan akan lebih optimal. (g) Menyempurnakan format absensi pelaporan PWS KIA (Indikator Ibu) wilayah ke Bikor yaitu mengganti format absensi yang sebelumnya tidak tertera tanggal penyerahan laporan menjadi absensi yang disertai tanggal penyerahan laporan. Selain itu, juga membuat absensi yang tertera tanggal penanganan atau penyerahan untuk perihal penanganan kasus dan diseminasi informasi.(h) Melakukan proses pencatatan, pengolahan, dan pelaporannya secara komputerisasi yang dimulai dari tingkat bidan di desa. Proses komputerisasi ini seperti aplikasi yang dapat melakukan pengisian kartu ibu secara langsung dan hasilnya dapat otomatis diolah menjadi data 313 pemantauan atau Register Kohort Ibu serta juga secara otomatis dapat menyediakan informasi untuk mempermudah pemantauan, seperti HTP, kelompok risti, status persalinan, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, komputerisasi ini dapat dirancang untuk bisa terhubung secara otomatis ke banyak pihak, seperti Kepala Puskesmas dan Bikor. Sehingga mereka dapat dengan mudah melihat data secara cepat setiap bulan dan menggunakan data untuk meningkatkan kualitas program KIA. Namun sebelumnya juga harus mengadakan pelatihan proses operasional komputerisasi PWS KIA. Melakukan semua proses pencatatan, pengolahan, dan pelaporan secara komputerisasi juga akan menunjang ketepatan waktu pelaporan, meningkatkan kesederhanaan dalam sistem, dan meningkatkan stabilitas sistem. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA di Puskesmas Kaliwates menunjukkan banyaknya form pencatatan dan pelaporan, kurang praktisnya Register Kohort Ibu dan Kartu Ibu karena bentuknya terlalu besar dan banyak tumpukan data, penggunaan buku bantu, pembersihan data dengan waktu yang cukup lama, NPP kasus rendah, sistem tidak dapat memenuhi kebutuhan pemantauan individu, kelengkapan jumlah Kartu Ibu sebesar 20,057%, kelengkapan data laporan PWS KIA wilayah 61,087%, register kohort ibu 59,83%, dan kartu ibu 18,74%, sistem tidak mampu memantau perubahan tren jumlah dan penyebab kasus risti, tidak dapat mendistribusikan kasus berdasarkan orang, tempat, dan waktu, serta memiliki realibilitas dan availabilitas yang rendah. Alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan adalah membudayakan Bidan Desa dalam menganalisis rutin hasil pemantauan dan membuat rencana tindak lanjut, meningkatkan kualitas pemeriksaan data rutin terhadap kelengkapan jumlah dan ketepatan pemeriksaan form pemantauan kesehatan ibu, melengkapi buku pedoman PWS KIA di Puskesmas, mengadvokasi pihak Dinkes dalam membuat juknis pengisian form di sistem PWS KIA secara detail, mengadvokasi pihak Dinkes dalam mengembangkan sistem surveilans lain untuk pemantauan kasus secara spesifik, membentuk tim surveilans KIA, menyempurnakan format absensi, dan melakukan pengumpulan, pengolahan, dan pelaporan data secara komputerisasi serta pelatihan sistem operasional komputerisasi. 314 Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 302–315 Saran Saran yang dapat diajukan antara lain menstandarrisasi seluruh formulir yang ada di sistem PWS KIA untuk menghindari banyak duplikasi dan meningkatkan kesederhanaan formulir. Sehingga, penggunaan formulir dapat lebih efektif dan efisien. Kemudian menyediakan SOP dalam pengisian seluruh formulir yang ada dalam kegiatan pemantauan ibu pada sistem PWS KIA. Keberadaan SOP pengisian ini sangat penting dalam menunjang kualitas data yang lebih baik. Pembuatan kebijakan yang mengikat dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan kesehatan ibu pada sistem PWS KIA. Kebijakan yang mengikat tersebut dapat dibuat yang berisikan prosedur minimal pelaksanaan pemantauan, kewajiban Bidan Desa dan Bidan Koordinator, serta sanksi yang tegas pada pelaksanaan yang menyimpang dari prosedur. Sehingga, hal ini diharapkan bisa dipatuhi oleh semua petugas pelaksana sistem, sehingga pemantauan akan lebih optimal. Pencatatan pada Register Kohort Ibu dengan membagi lembaran Register Kohort menjadi 12 bagian berdasarkan bulan. Hal ini dilakukan karena pencatatan bumil pada Register Kohort Ibu selama dikelompokkan sesuai dengan kunjungan pertama bumil pada Bidan Desa atau Puskesmas, bukan berdasarkan usia kehamilannya, sehingga pembagian lembaran ini dimaksudkan untuk mengelompokkan bumil berdasarkan usia kehamilan untuk mempermudah dalam melakukan pemantauan bumil dan persalinannya. Evaluasi terhadap kinerja Bidan dan beban kerja yang dilakukan Bidan selama ini, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk dasar melakukan pengkajian ulang pada pengalokasian SDM. Kemudian melengkapi kelengkapan jumlah form dan kelengkapan data pada sistem pemantauan kesehatan ibu, disebabkan sangat pentingnya peran data yang berkualitas tinggi pada kegiatan pemantauan. Pemenuhan buku pedoman PWS KIA pada setiap Bidan, khususnya Bidan Desa dan Bikor. Serta meningkatkan pengetahuan seluruh Bidan, Khususnya Bidan Desa dan Bidan Koordinaor mengenai surveilans dan sistem PWS KIA. REFERENSI Ambarwati, M.R., Yuliana, R. & Wisnu, N.T., 2011. Gambaran Faktor Penyebab Ibu Hamil Risiko Tinggi Tahun 2005–2010 (di Polindes Sambikerep Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk). Forikes, II(Khusus HKN), pp. 1–8. http://suaraforikes. webs.com/volume2%20nomorkhusus-HKN.pdf (sitasi 17 Juni 2013). BAPPENAS, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010, Jakarta: BAPPENAS. Barr, et. al., 2011. A Process Evaluation of an Active Surveillance Systems for Hospitalized 2009–2010 H1N1 Inuenza Cases. 17(1), pp. 4–11. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21135655 (sitasi 22 Juni 2013). Camoni, L. et al., 2010. An improved data-collection form for the surveillance of HIV infection in Italy. JPH, Volume 7, pp. 28–33. http://ijphjournal. it/article/view/5743/5485 (sitasi 19 Juni 2013). CDC, 2003. Public Health Surveillance Applied to Reproductive Health. Atlanta: CDC. CDC, 2012. Principles of Epidemiology Public Health Practice Series Module 1. 3rd ed. Atlanta: CDC. http://www.cdc.gov/osels/scientic_edu/ ss1978/SS1978.pdf (sitasi 15 Desember 2012). Dewi, W.K. & Suharto, G., 2011. Hubungan Antara Pengetahuan Dokter Tentang Rekam Medis Dengan Kelengkapan Pengisian Data Rekam Medis Dokter yang Bertugas di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode 1–31 Agustus 2010. http://eprints.undip.ac.id/37424/1/ Wahyu_Kumala_Dewi.pdf (sitasi 13 Juli 2013). Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2012. Rekapitulasi Kematian Maternal 2012, Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011a. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA), Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011b. Prol Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2011, Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012. Pemetaan Laporan dan Pencatatan KIA 2012, Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Egger, J.R. et al., 2012. Evaluation of Clinical and Administrative Data to Augment Public Health Surveillance. ISDS. http://ojphi.org/ojs/index. php/ojphi/article/view/4474/3515 (sitasi 20 Juni 2013). Fernando, A.F. et al., 2011. Community Participation in Chagas Disease Vector Surveillance: Systematic Review. PLoS Negl Trop Dis, V(6), pp. 1–15. http://www.plosntds.org/article/info%3Adoi% Ika dkk., Deskripsi Pencatatan dan Pelaporan… 2F10.1371%2Fjournal.pntd.0001207 (sitasi 22 Juni 2013). Guerra, J. et al. 2012. Evaluation and Use of Surveillance System Data Toward The Identication of High-Risk Areas for Potential Cholera Vaccination: A Case Study From Niger. BMC Research Notes, 5(231), pp. 1–7. http:// www.biomedcentral.com/content/pdf/1756-05005-231.pdf (sitasi 19 Juni 2013). Jajosky, R.A. & Groseclose, S.L. 2004. Evaluation of Reporting Timeliness of Public Health Surveillance Systems for Infectious Diseases. BMC Public Health, 4(29). http://www.biomedcentral. com/1471-2458/4/29 (sitasi 18 Juni 2013). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Rencana Operasional Promosi Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kepmenkes R.I Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/ 2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Loustalot, F. 2012. CDC Coffee Break: Streamlining the Evaluation ofPublic Health Surveillance Systems. s.l., CDC. http://www.cdc.gov/dhdsp/ pubs/docs/CB_May_8_2012.pdf (sitasi 19 Juni 2013). Permenkes R.I Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical Record. Rehle, T., Lazzari, S., Dallabetta, G. & Asamoah, E. 2004. Second-Generation HIV Surveillance: 315 Better Data for Decision-Making. Bulletin of the World Health Organization, February, pp. 121–127. http://www.scielosp.org/pdf/bwho/ v82n2/v82n2a09.pdf Stefanoff, P. 2012. Evaluation of a surveillance system. s.l., EPIET. http://ecdc.europa.eu/en/ epiet/courses/documents/16-evaluation_of_ surveillance_systems_2012.ppt. (sitasi 20 Juni 2013). Szeles, G. et al. 2005. A Preliminary Evaluation of A Health Monitoring Program in Hungaty. European Journal Of Public Health, 15(1), pp. 26–32. http://eurpub.oxfordjournals.org/content/15/1/26. full.pdf+html?sid=f9ba155b-ea7a-414a-a30b1fcfc2e736d2 (sitasi 19 Juni 2013). WHO. 2010. Monitoring and Evaluation of Health Systems Strengthening:An Operational Framework. Geneva, WHO. http://www.who.int/ healthinfo/HSS_MandE_framework_Oct_2010. pdf (sitasi 19 Juni 2013). Wijono, D. 2008. Paradigma dan Metodologi Penelitian Kesehatan. Surabaya: CV. Duta Prima Airlangga. Wilkin, et. al. 2008. The Data for Decision Making Project: Assessment of Surveillance Systems in Developing Countries to Improve Access to Public Health Information. 2(9), pp. 914–922. http://www.publichealthjrnl.com/article/S00333506(07)00356-3/fulltext (sitasi 19 Juni 2013). DETERMINAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. (Maternal and Child Health Determinants in West Manggarai District East Nusa Tenggara Province) Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading Naskah Masuk: 28 Maret 2014, Review 1: 3 April 2014, Review 2: 3 April 2014, Naskah layak terbit: 12 Juni 2014 ABSTRAK. Latar Belakang: Kabupaten Manggarai Barat dalam periode Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian bayi 34 kasus, Bayi lahir mati 33 kasus dan kematian ibu 9 kasus. Tujuan tulisan ini yaitu ingin menggambarkan penyebab kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk. Metode: Penelitian merupakan studi kualitatif di kabupaten Manggarai Barat Pada tahun 2012. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Wainakeng dan Labuan Bajo. Pengumpulan data secara Focus Group Discussion dengan Kepala Puskesmas, bidan desa, pengelola program gizi dan seksi KIA pada dinas kesehatan. Hasil: Penyebab kematian ibu dan bayi di wilayah kerja Puskesmas Labuan Bajo disebabkan oleh karena ibu mengalami kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan tipus. Perhatian ibu terhadap bayi kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan sulit. Permasalahan tersebut harus diatasi dengan cara ibu hamil memeriksakan kesehatan secara rutin, pemakaian kelambu, perlu penyediaan perahu motor dengan operasional lebih murah. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang adalah pengetahuan, pola asuh dan kemiskinan serta penyakit infeksi seperti diare dan malaria, diatasi oleh bidan dengan cara proaktif memberikan konseling kepada keluarga yang mempunyai balita gizi buruk. Kematian ibu di wilayah kerja Puskesmas Winakeng disebabkan oleh beberapa factor tidak tersedianya rumah sakit di Kabupaten, masih terdapat ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun, pelaksanaan Perda yang mengatur tentang ibu hamil kurang tegas dan keluarga sering terlambat dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk. Cara mengatasinya adalah petugas harus lebih aktif memberikan konseling kepada ibu hamil dan melakukan pendekatan dengan lintas sektor dalam memonitoring ibu hamil. Masalah gizi disebabkan terutama karena pola asuh, penyakit infeksi seperti malaria tipes dan diare dan asupan makan yang bergizi kurang. Kesimpulan: kematian ibu dan bayi disebabkan oleh ibu mengalami gizi buruk, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, ibu hamil yang memeriksa ke dukun dan tidak tersedianya rumah sakit di kabupaten serta penyakit infeksi malaria dan diare. Solusinya adalah bidang harus aktif dengan melibatkan kepala desa dalam memantau ibu hamil, perlu disediakan perahu motor dan pembangunan rumah sakit daerah. Kata kunci: kematian ibu dan anak, Manggarai Barat ABSTRACT Background: West Manggarai district in period January until July 2012. Infant mortality rate were 34 cases, stillbirths were 33 cases and maternal mortality rate was 9 cases. Methods: This research is qualitative study using Focus Group Discussion (FGD) desain, cooperation with head of public health center, midwife, nutrition program manager, and public health at health department. Results: Maternal and infant mortality in Labuan Bajo public health center caused by maternal nutritional deficiency, infectious diseases such as malaria and typhoid fever, mother less attention to the baby when the baby’s ill and difficult access to health services. The problem solution is pregnant women should be regularly having antenathal care, using of mosquito nets. Need to be provided cheaper sea transport. Causes of malnutrition and undernourishment is knowledge, parenting skill and infectious diseases such as diarrhea and malaria. To overcome this problem midwife should be proactive giving counseling to families with malnutrition children under five. Maternal and infant mortality Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang Loka Litbang P2B2 Waikabubak Email: [email protected] 249 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256 in Winekang public health center caused by not availability of hospital at district, pregnant women still seeking treatment to traditional healers, the implementation of government regulations are less strict and families often late in taking decision to be referred. The solution is health officers must always giving counseling to pregnant women and cross-sector approach to monitoring. Whereas the main cause nutritional problems is parenting behavior, infectious diseases, and not enough healthy food. Conclusion: Maternal and infant mortality caused by difficult access to health services, there are pregnant womens who go to traditional healers, not availability of hospitals in the district, also infectious diseases likes malaria and diarrhea. The solution is the midwife must active involving the village and subdistrict heads in monitoring pregnant women, need to provide a boat and build district hospital Key words: determinants, of maternal and child health, west Manggarai PENDAHULUAN Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus (Sindonews.com, 2013; BPS dan tim, 2013). Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goal/MDGs 2000), diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) telah dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKA antara negara maju dan di negara berkembang, seperti di Indonesia. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk menyelamatkan ibu sejak awal kehamilan sampai masa nifas dengan tujuan agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan selamat dan bayi lahir dalam keadaan sehat (Pusat Humaniora 2014). Kabupaten Manggarai Barat dalam periode Januari sampai dengan Juli 2012 jumlah kematian bayi sebanyak 34 kasus, Bayi lahir mati sebanyak 33 kasus dan kematian ibu sebanyak 9 kasus. Angka ini cukup tinggi dalam jangka waktu satu semester saja. Persoalan seperti ini menyebabkan menepisnya harapan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak pada tahun 2015 mendatang. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah telah dilaksanakan. Salah satu program pemerintah pusat adalah utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil melalui integrasi Penerapan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan 250 Antenatal Care (ANC) di Posyandu menjadi bahasan utama. Pelayanan kesehatan ibu hamil sampai saat ini masih menjadi sorotan utama dalam meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga tahapan fase kehamilan dalam pelayanan kesehatan harus ditingkatkan dan menjadi penapisan utama sesuai dengan tujuan MDGs yaitu menurunkan angka kematian ibu dan anak (Mikrajab N.D. 2013). Pro gram pemer int ah daerah s alah s atu diantaranya program revolusi kesehatan ibu dan anak dengan slogan semua ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan. Selain itu membangun kemitraan antara bidan dan dukun, dukun mempunyai peran mengantarkan dan memotivasi ibu hamil agar mau melahirkan di fasilitas kesehatan. Upaya tersebut telah dilakukan oleh semua kabupaten kota di provinsi Nusa Tenggara Timur. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari berbagai faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat di mana mereka berada. Disadari atau tidak, bermacam faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti banyak konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, merupakan salah satu selera manusia di mana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu (Maas, 2004). Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading) makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada berbagai aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan bermacam makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh semua anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi tertentu. Masalah kesehatan ibu dan anak terkait dengan tindakan ibu memelihara kesehatan selama masa kehamilan, persalinan dan memelihara anak saat usia bayi, pemeliharaan kesehatan tidak hanya terkait dengan menjaga agar tidak sakit tetapi juga termasuk mengonsumsi makan dengan gizi seimbang. Kurangnya asupan zat gizi baik pada saat kehamilan akan menyebabkan kekurangan energi protein dan dampaknya berat badan bayi yang dilahirkan akan rendah. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil dengan status gizi normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pascapersalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes RI, 1996). Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998). Berbagai faktor seperti sosial budaya, kepercayaan tradisional, pengetahuan dan praktek tradisional, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta geografis wilayah dan keadaan ekonomi penduduk berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. Informasi tentang berbagai faktor tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menggali penyebab kematian ibu, bayi, balita dan gizi buruk di dua puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat. METODE Penelitian merupakan studi kualitatif pada saat Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) di kabupaten Manggarai Barat Pada tahun 2012. Penelitian dilaksanakan di dua puskesmas yaitu Puskesmas Wainakeng dan Puskesmas Labuan Bajo. Pemilihan dua Puskesmas ini sebagai tempat penelitian adalah didasarkan pada kedua Puskesmas ini terjadi kematian ibu dan balita dalam kurun waktu trisemester pertama. Pemilihan hanya dibatasi pada dua puskesmas disebabkan oleh keterbatasan waktu dan anggaran dalam pelaksanaannya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dengan Kepala Puskesmas, bidan koordinator, bidan desa, pengelola program gizi dan kepala seksi pada dinas kesehatan Manggarai Barat sebanyak 20 orang dan ibu hamil sebanyak 10 orang. Mengingat keterbatasan waktu dan anggaran pengumpulan data hanya dilakukan dengan metode FGD. FGD dilaksanakan untuk menggali akar permasalahan yang terdiri dari masalah gizi buruk dan gizi kurang, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan bayi lahir mati. Selain melakukan kajian literatur, narasi hasil Focus Group Discussion, analisis data dilaksanakan secara deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebab Kematian Ibu maternal, bayi, dan bayi lahir mati Berdasarkan hasil Focus Group Discussion pada Puskesmas Labuan Bajo dan Wainakeng diperoleh faktor penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. 251 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256 Tabel 1. Penyebab Kematian Bayi, Bayi Lahir Mati dan Kematian Ibu di Puskesmas Labuan Bajo dan Puskesmas Wainakeng, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012 Penyebab kematian bayi, bayi lahir mati dan kematian ibu Puskesmas Labuan Bajo a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Hasil Focus Group Discussion (FGD) di Puskesmas Labuan Bajo Bayi Lahir Mati, Kematian Bayi dan Kematian Ibu Penyebab utama bayi lahir mati, kematian bayi dan kematian ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Labuan Bajo disebabkan ibu mengalami kekurangan gizi dan kekurangan energi kalori (KEK). Hal ini senada dengan (Depkes RI, 1996) Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil dengan status gizi normal. Akibatnya mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pascapersalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu hamil berdampak pada anemia pada ibu hamil. Perhatian ibu terhadap bayi yang kurang apalagi pada saat sakit bayi kurang mendapat perhatian sehingga menyebabkan bayi meninggal dunia dan masalah transportasi yang tidak memadai dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit karena wilayah Manggarai Barat merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari banyak pulau kecil. 252 Puseksemas Wainakeng Ibu mengalami kekurangan gizi kekurangan energi kalori (KEK). Penyakit infeksi seperti malaria dan tifes pada ibu hamil Perhatian ibu terhadap bayi kurang Kesulitan transportasi Peran lintas sektor masih kurang Belum adanya evaluasi secara berkala Kurangnya sosialisasi tentang gizi dan KIA ke tingkat desa. Pola asuh orang tua Kemiskinan a. b. c. d. e. Tidak tersedianya rumah sakit umum di Kabupaten Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan Ibu hamil memeriksakan kehamilan ke dukun Penegakan perda tentang ibu hamil tidak berjalan Sosial budaya berupa pantangan terhadap ibu hamil pasca persalinan f. Pola asuh orang tua terhadap anak kurang g. Penyakit infeksi seperti malaria, diare dan tifes Berbagai Cara Mengatasi Bayi Lahir Mati, Kematian Bayi dan Kematian Ibu Cara mengatasi permasalahan kematian bayi, kematian ibu dan bayi lahir mati adalah sebagai berikut. Selama masa kehamilan ibu harus selalu memelihara kesehatan dan status gizi ibu harus selalu dipantau dan makan makanan yang bergizi supaya pada saat persalinan anak yang dilahirkan tidak kurang gizi atau berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Kebutuhan Gizi pada Ibu Hamil menyebabkan meningkatnya metabolisme, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Diper lukan pemer iksaan kesehat an dan pemakaian kelambu selama kehamilan agar terhindar dari penyakit infeksi seperti malaria, karena dampak dari penyakit malaria terhadap ibu hamil dapat menyebakan anemia. Kemudian orang tua yang memiliki bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah harus selalu dipantau dan dimotivasi oleh bidan dan petugas gizi. Untuk mengatasi permasalahan transportasi maka perlu disediakan perahu motor yang biaya operasionalnya lebih murah. Perahu motor ini dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila ada pasien yang Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading) perlu dibawa dan dirujuk segera. Pada level dinas kesehatan dan puskesmas perlu ditingkatkan program revolusi KIA dengan melibatkan lintas sektor yaitu Camat dan Desa. Pada setiap papan pengumuman kecamatan dan desa harus ditempelkan informasi ibu hamil dan bayi gizi buruk yang akan dipantau dan harus dilakukan evaluasi secara berkala pada semua lini termasuk lintas sektor. Kemudian setiap puskesmas harus melakukan sosialisasi ke setiap desa dan harus memberikan laporan tertulis ke Dinas Kesehatan. Gizi Buruk dan Kurang Gizi Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus tentang permasalahan gizi buruk dan gizi kurang maka dapat dir umuskan yang menjadi akar permasalahannya adalah Pola asuh orang tua terhadap anak, anak hanya di berikan makanan asal kenyang tapi tidak memperhatikan nilai gizinya. pengetahuan orang tua yang rendah tentang cara mengasuh anak yang baik dan kemiskinan, merupakan penyebab utama. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) telah dilaksanakan namun dalam pelaksanaan, makanan tambahan tersebut bukan semata-mata hanya dikonsumsi oleh bayi saja tapi keluarga yang lain juga ikut mengonsumsinya. Perilaku orang tua dalam memberikan makanan yang bergizi kurang, sebenarnya pangan tersedia di masyarakat seperti sayur-sayuran, telur dan beras tapi dijual anak hanya diberikan nasi putih. Perhatian yang kurang dari orang tua, orang tua sibuk dengan pekerjaan, penyakit infeksi seperti diare, malaria. Salah satu penyebab masalah gizi adalah tradisi masyarakat dalam memberikan makan bagi bayi, seperti bayi dari awal telah diberikan makanan yang seharusnya belum bisa diberikan, sehingga menyebabkan anak tersebut mencret. Selain itu persepsi masyarakat tentang bentuk tubuh anak contohnya kalau orang tuanya berbadan kecil dan kurus maka anaknya juga wajar kalau badannya kecil dan kurus. Cara Mengatasi Masalah Gizi Kurang dan Gizi Buruk Langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah dengan memberikan konseling atau pendampingan di posyandu kepada keluarga yang mempunyai balita, agar orang tua lebih memperhatikan cara mengasuh anak yang baik. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan face to face kepada ibu hamil dan ibu yang memiliki balita karena penyuluhan tersebut lebih efektif jika dibandingkan dengan penyuluhan berkelompok. Petugas harus lebih proaktif dalam memotivasi dan mendorong orang tua agar lebih kreatif dalam memberikan makanan bagi bayi, dan ketegasan dari petugas sangat penting dalam menangani permasalahan gizi buruk orang tua yang tidak memanfaatkan PMT secara baik harus ditegur dan diberikan peringatan. Dalam mengatasi masalah gizi buruk harus ada peran kepala desa, agar kepala desa berkewajiban untuk memotivasi kader dan menggerakkan masyarakat jadi setiap permasalahan gizi buruk harus dilaporkan kepada kepala desa. Selain itu perlu peningkatan keterampilan dan pengetahuan, pelatihan kepada bidan tentang teknik konseling kepada ibu hamil serta dilakukan perlombaan kreativitas ibu hamil dalam pemberian menu untuk balita. Hasil Focus Group Discussion di Puskesmas Wainakeng Penyebab Utama Kematian Ibu, Bayi Lahir Mati dan Kematian bayi Kematian ibu, bayi lahir mati dan kematian bayi di wilayah kerja Puskesmas Wainakeng adalah disebabkan oleh tidak tersedianya rumah sakit di Kabupaten, permasalahan seperti ini seharusnya bisa diantisipasi oleh keluarga dengan menyediakan anggaran untuk melahirkan ke fasilitas atau rumah sakit yang memadai. D’Ambruoso et al. (2009) menyatakan bahwa keluarga dan masyarakat tidak menyediakan sarana emergensi dengan dukungan finansial atau transportasi secara terpisah disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem asuransi kesehatan di tambah kurangnya jaminan asuransi dalam pelayanan ibu hamil. Pemahaman ini perlu dibangun oleh tenaga kesehatan terhadap keluarga ibu hamil. Diperlukan suatu mekanisme sistem yang dapat menangani permasalahan ibu melahirkan apabila terjadi komplikasi sebagai contoh salah satu kasus kematian ibu. Perencanaan persalinan sudah dilakukan oleh bidan di polindes, 3–4 hari dilakukan observasi oleh bidan desa dan pada saat proses persalinan 15 menit tidak ada gejala pelepasan plasenta akhirnya dirujuk ke puskesmas dan puskesmas merujuk ke Rumah Sakit Cancar, petugas yang menangani tidak berada di tempat dan yang ada hanyalah bidan yunior. Tiga jam tidak mendapatkan pertolongan maka ibu tersebut meninggal. 253 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256 Penyebab masalah seperti ini tidak semata-mata bersumber dari masyarakat tetapi juga dipengaruhi oleh sumber daya kesehatan itu sendiri menurut WHO (2007) cit. Ergo et al. (2011) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan KIA dan khususnya pelayanan ibu hamil diperlukan penguatan sistem kesehatan untuk mencapai tujuan/ outcome kesehatan. Adapun penguatan sistem kesehatan yang dimaksud, meliputi: pelayanan KIA (service delivery), ketersediaan dan kecukupan tenaga kesehatan dan pendukungnya termasuk kader, sistem informasi kesehatan, ketersediaan produk medis, vaksin, dan teknologi kesehatan, pembiayaan, kepemimpinan/kepemerintahan yang baik (good governance). Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan, pada saat akan melahirkan dan apabila terjadi kegawatan terhadap bayi atau ibu keputusan di dalam keluarga diambil dengan cara rembuk bersama dengan keluarga yang lain proses rembuk keluarga memakan waktu yang cukup lama yang dapat menyebabkan lambat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu menurut UNFPA untuk menurunkan kematian ibu hamil diperlukan dukungan swadaya masyarakat sehingga mampu mandiri menjadi salah satu aspek penting untuk mencegah terjadinya kematian ibu melahirkan karena tiga terlambat (three delays) yaitu terlambat dalam mencari bantuan medis yang tersedia, mencapai pelayanan kesehatan, dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai (UNFPA, 2010). Penyebab kematian berikutnya adalah masih terdapat perilaku ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun. Perda yang mengatur tentang ibu hamil telah ada, namun dalam pelaksanaannya perlu ditegakkan. Perlu diberikan pemahaman kepada ibu hamil tentang risiko kehamilan dan dan persalinan. Menurut Poerwanto (1991), ibu yang kurang memahami risiko kehamilan-persalinan menyebabkan rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan dalam perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan. Menurut Iskandar et al., 1996 masih adanya pantangan yang diberlakukan pada masyarakat pascapersalinan, pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nanas, 254 ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993). Secara tradisional, ada praktik yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan seperti daundaunan ke dalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar 1996). Cara Mengatasi Kematian Ibu, Kematian Bayi dan Bayi Lahir Mati Cara mengatasi kematian ibu kematian bayi dan bayi lahir mati adalah dengan lebih aktif memberikan penyuluhan dan konseling kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai balita agar anak diasuh sendiri dan memberikan pengetahuan tentang cara pemberian makan yang bergizi kepada bayi. Kader dan bidan harus aktif dalam melakukan pendekatan dengan lintas sektor kepala desa, dalam memonitoring dan menggerakkan ibu yang bayinya menderita gizi buruk. Perlu di buat perdes yang mengatur tentang gizi buruk dan akan diusulkan pada musrembangdes. Pada minilokakarya puskesmas yang dilaksanakan setiap tanggal 27 dan 28 setiap bulannya mulai bulan Agustus selain membahas permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak harus lebih difokuskan pada masalah gizi. Harus mengatifkan kader kesehatan, dan setiap kader yang berada di desa harus mempunyai kepala keluarga binaan. Melalui keluarga binaan kader dengan mudah dapat memantau dan mengarahkan keluarga untuk selalu memberikan makanan bergizi dan menjaga kesehatan anaknya, apabila setiap kader kesehatan dapat men jalankan tugasnya dengan baik maka jumlah balita yang kurang gizi akan dapat diturunkan. Kader juga perlu diberikan insentif yang dapat menjadi motivasi dalam bekerja. Gizi Buruk dan Kurang Gizi Penyebab utama masalah gizi di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah perilaku orang tua dalam mengasuh anak. Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan di kebun atau ladang dari pagi sampai sore, anak dititipkan kepada kerabat atau saudara, dan kerabat tidak memperhatikan apakah anak tersebut sudah makan atau tidak. Selain itu penyebab lainnya Determinan Kesehatan Ibu dan Anak (Ruben Wadu Willa dan Majematang Mading) adalah penyakit infeksi seperti malaria, tipes dan diare. Asupan makan yang bergizi kepada anak, masih kurang orang tua hanya memberikan makan asal kenyang saja, seperti diberikan nasi putih saja, tanpa memperhatikan kebutuhan gizi anak. Ketersediaan pangan sebenarnya cukup, tetapi sayur-sayuran ikan dan telur umumnya dijual dan tidak diberikan kepada bayi untuk di konsumsi. Kekurangan gizi pada bayi akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernapasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1997). Bayi yang lahir dari ibu yang gizinya baik selain dapat tumbuh dan berkembang dengan baik juga akan memberi air susu ibu (ASI) yang cukup untuk bayinya. ASI merupakan makanan bergizi yang paling lengkap, aman, hygienis dan murah. ASI juga meningkatkan keakraban ibu dan anak yang bersifat menambah kepribadian anak di kemudian hari. Itulah sebabnya ASI terbaik untuk bayi. Dari berbagai studi dan pengamatan menunjukkan bahwa dewasa ini di masyarakat terdapat kecenderungan penurunan penggunaan ASI dan mempergunakan susu formula. Dengan kenaikan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan susu buatan serta luasnya distribusi susu buatan terdapat kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui maupun lamanya menyusui baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Menurunnya jumlah ibu yang menyusui sendiri bayinya pada mulanya terdapat pada kelompok ibu di kota terutama pada keluarga berpenghasilan cukup yang kemudian menjalar sampai ke desa. Meskipun menyadari pentingnya pemberian ASI tetapi budaya modern dan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat telah mendesak para ibu untuk segera menyapih anaknya dan memilih air susu buatan sebagai jalan keluarnya. Meningkatnya lama pemberian ASI dan semakin meningkatnya pemberian susu botol menyebabkan kerawanan gizi pada bayi dan balita (SIR & EGAR 1991). Kebiasaan orang tua yang memiliki anak mencari pekerjaan ke luar daerah, anak masih berumur 4 bulan orang tua sudah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan menitipkan anak kepada kerabat untuk di asuh dampaknya adalah anak mengalami kekurangan gizi. Selain alasan pekerjaan, ibu tidak mau menyusui anaknya dengan alasan penampilan, ibu merasa payudara akan kendor dan kelihatan kurang menarik apabila menyusui bayinya. Pemahaman seperti ini perlu dihilangkan dari ibu menyusui, ibu menyusui perlu diberikan pemahaman yang benar tentang menyusui melalui penyuluhan pada memeriksakan kehamilan ke bidan atau unit pelayanan kesehatan. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam ASI tidak bisa tergantikan oleh susu formula. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat di ambil dari permasalahan penyebab kematian ibu serta kematian bayi dan bayi lahir mati di wilayah kerja Labuan Bajo adalah ibu kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti malaria dan tifes, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit. Penyebab masalah gizi buruk di wilayah kerja puskesmas Labuan Bajo adalah pola asuh yaitu anak tidak diperhatikan akan kebutuhan gizi dan petugas masih kurang proaktif dalam memberikan motivasi kepada orang tua. Penyebab kematian ibu, kematian bayi dan bayi lahir mati di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah tidak tersedianya rumah sakit di kabupaten, yang dapat menangani permasalahan ibu melahirkan apabila terjadi komplikasi. Masih terdapat perilaku ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dukun. Keluarga terlambat dalam pengambilan keputusan untuk penolong persalinan. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di wilayah kerja puskesmas Wainakeng adalah pola asuh atau perilaku orang tua dalam mengasuh, kurangnya asupan gizi terhadap anak, penyakit infeksi seperti malaria, kecacingan diare. Saran Untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah bidan harus selalu memotivasi dan memantau ibu selama masa kehamilan, agar ibu selalu menjaga kesehatan, memeriksakan kesehatan secara rutin, serta mengonsumsi makanan bergizi selama masa kehamilan. Untuk permasalahan transportasi di pulau setiap bidan desa diperlukan perahu motor yang lebih murah operasionalnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut petugas harus lebih proaktif dalam memotivasi agar orang tua lebih kreatif dalam memberikan makan bagi bayi. Petugas harus lebih aktif memberikan penyuluhan dan konseling kepada 255 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 249–256 ibu hamil dan ibu yang mempunyai balita. Setiap kader yang berada di desa harus mempunyai beberapa keluarga binaan. Kader kesehatan dan petugas gizi harus lebih aktif dalam memberikan konseling dan penyuluhan terhadap orang tua tentang pemberian makanan yang bergizi bagi bayi. DAFTAR PUSTAKA Ambruoso L, Adisasmita AE, Izati Y, Makowiecka K, Hussein J. 2009. Assessing quality of care provided by Indonesian village midwives with a confi dential enquiry. Midwifery, 25 (5), p. 528–39. Brinch Jennifer MPH. 1986. Menyusui Bayi dengan Baik dan Berhasil, Jakarta: Gaya Favorit Press. Departemen Kesehatan RI., 1992. Pedoman Pelayanan Kesehatan Prenatal di Wilayah Kerja Puskesmas. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. 1997. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), 1995. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Ergo A, Eichler R, Koblinsky M. and Shah N. 2011. Strengthening Health Systems to Improve Maternal, Neonatal and Child Health Outcomes: A Framework, Washington DC: USAID. Iskandar, Meiwita B, et al. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok: Pusat Penelitian 256 Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia. UNFPA. 2010. Reducing Maternal Mortality 2012, New York. USA. Pusat Humanoira Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 2014. Panduan Riset Intervensi Ibu dan Anak Sulhaida Lubis. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya terhadap Bayi yang Dilahirkan. Maas, L.T.F.K.M.U.S.U., 2004. Kesehatan Ibu dan Anak Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya, hal. 1–6. Mikrajab MA. (t.th). Integrasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi dan Antenatal Care di Posyandu Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur ( Utilization of Pregnant Women Services through Integrating Childbirth Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care., (17), pp. 203–216. SIR MA. dan EGAR, 1991. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Asi oleh Ibu Melahirkan. Manado: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara, hal. 1–18. Swasono, F. Meutia, 1998. Kehamilan, kelahiran, perawatan ibu dan bayi dalam konteks budaya. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), Wibowo, Adik. 1993. Kesehatan Ibu di Indonesia: Status “Praesens” dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar “ Wanita dan Kesehatan”, Jakarta: Pusat Kajian Wanita FISIP UI. Artikel Penelitian Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan Kesehatan Ibu dan Anak pada Ibu Function of Utilization Maternal Child Health Book to Maternal Knowledge Colti Sistiarani, Elviera Gamelia, Dyah Umiyarni Purnama Sari Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Abstrak Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) masih belum maksimal terbukti dari data cakupan buku KIA Puskesmas Ajibarang I sekitar 72,34%, yang masih dibawah target Standar Pelayanan Minimal. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara fungsi buku KIA yang meliputi pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan ibu terhadap KIA. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang, yang dilakukan pada peiode bulan Juni _ Oktober 2012, pada ibu di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari 5 tahun. Sampel diambil sebanyak 91 orang dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Analisis data meliputi univariat dengan melakukan uji distribusi frekuensi, dan analisis bivariat dengan uji kai kuadrat (x2). Hasil fungsi pencatatan buku KIA kurang baik ditemukan sekitar 44 %, fungsi edukasi buku KIA baik sekitar 57,1%, fungsi komunikasi buku KIA baik sekitar 61,5%, dan pengetahuan ibu tentang KIA baik adalah sekitar 56%. Ada hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA, tidak ada hubungan antara fungsi edukasi dan komunikasi buku KIA dengan pengetahuan KIA. Kata kunci: Buku kesehatan ibu dan anak, fungsi pencatatan, pengetahuan ibu Abstract Utilization maternal child health (MCH) book is not maximized, it is evident from the data MCH book coverage in Ajibarang I Primary Health Care (PHC) was 72.34%, the coverage is still below the target of Minimum Service Standards ( MSS ). The purpose of the study was to analyze relationship between the function of MCH books (recording, educational, communication) with knowledge of MCH. This study used a cross sectional approach and conducted from June to October 2012, performed to mothers at Ajibarang I PHC. The population were mothers of children aged less than 5 years. Samples were taken of 91 people conducted by proportional random sampling technique. Univariate analysis of the data for the frequency distri- bution test, bivariate chi squared test (x2). Results MCH book recording function less well in the amount of 44%, a good educational functions MCH book of 57.1%, good communication function MCH book by 61.5%, and maternal knowledge about the MCH that is equal to 56 % better. There are relationship between the function of recording MCH books with knowledge, there is no relationship between education and communication functions with knowledge MCH. Keywords: Maternal child health books, recording function, maternal knowledge Pendahuluan Indikator derajat kesehatan masyarakat berhubungan erat dengan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut SDKI 2012, AKI di Indonesia adalah 259 per 100.000 kelahiran hidup. Target AKI secara nasional pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup sebagai bentuk komitmen yang dibangun bagian dari Millenium Development Goals/MDGs.1 Di Jawa Tengah, pada tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) adalah sekitar 116,34 per 100.000 kelahiran hidup. Sekitar 57,93% kematian maternal terjadi pada waktu nifas, sekitar 24,74% pada waktu hamil dan sekitar 17,33% pada waktu persalinan. Berdasarkan kelompok umur, kematian maternal terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif (20 – 34 tahun) sekitar 66,96%, kemudian pada kelompok umur > 35 tahun sekitar 26,67% dan pada kelompok umur < 20 tahun Alamat Korespondensi: Colti Sistiarani, Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed, Kampus Karangwangkal, Jl. Dr. Suparno Purwokerto 53122, Hp. 08122890582, e-mail: [email protected] 353 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014 sekitar 6,37%. 2 Kasus kematian ibu di Kabupaten Banyumas terdistribusi merata di setiap puskesmas. Pada tahun 2012, jumlah kematian maternal di Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-6 dari 35 Kabupaten di Jawa Tengah dengan jumlah kematian sebanyak 34 jiwa. Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2012, AKI sebesar 129 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 8,11 per 1000 kelahiran penduduk. Data rujukan maternal risiko tinggi mencapai 20,05%, sedangkan jumlah rujukan neonatal risiko tinggi mencapai 5,77%. Cakupan K1 sebesar 99,25%, cakupan kepemilikan buku KIA mencapai 98,77%, angka ini masih dibawah target standar pelayanan minimal yang seharusnya mencapai 100%.3 Wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I terdiri atas 8 desa dan dalam rentang waktu tahun 2011 _ 2012, di daerah tersebut masih ditemukan kasus kematian ibu. Data rujukan tahun 2012, jumlah rujukan maternal risiko tinggi mencapai 37,52%, sedangkan rujukan neonatal mencapai 7,37%. Hasil penghitungan cakupan buku KIA di Kabupaten Banyumas, didapatkan cakupan buku KIA hanya sekitar 72,34% sedangkan cakupan kunjungan pertama ibu hamil (K1) sekitar 72,34%. Cakupan buku KIA dan cakupan K1 masih dibawah target standar pelayanan minimal yang 100%.3,4 Fungsi buku KIA sebagai sarana pencatatan status kesehatan ibu dan anak, sarana edukasi dan sarana informasi.5-6 Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan fungsi pemanfaatan buku KIA meliputi fungsi pencatatan, edukasi, dan komunikasi dengan pengetahuan KIA pada ibu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I. Metode Penelitian ini mengunakan desain studi potong lintang untuk menganalisis variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian yang dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Populasi adalah ibu yang mempunyai anak berusia kurang dari 5 tahun yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I Kabupaten Banyumas, pada tahun 2012, berjumlah 966 orang. Besar sampel dihitung menggunakan rumus sampel minimal, jumlah sampel yang diambil sebanyak 91 responden yang diambil dari 8 desa di wilayah Puskesmas Ajibarang I, Kabupaten Banyumas meliputi Desa Ajibarang Kulon 15 responden, Ajibarang Wetan 8 responden, Pandansari 6 responden, Karangbawang 7 responden, Tipar Kidul 14 responden, Darmakradenan 12 responden, Kracak 15 responden, Ciberung 14 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Kriteria inklusi adalah ibu yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ajibarang I dan mempunyai buku KIA. Ibu dengan jumlah balita lebih dari satu. Observasi fungsi pencatatan buku KIA dilakukan pada buku yang dimiliki balita usia tertua. Kriteria eksklusi adalah ibu yang 354 tidak bersedia menjadi responden. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner tentang persepsi ibu terhadap peran tenaga kesehatan dalam pemanfaatan buku KIA. Penilaian fungsi pencatatan buku KIA dilakukan melalui observasi buku KIA yang dimiliki oleh ibu. Observasi kelengkapan buku KIA meliputi identitas ibu dan anak, catatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas, pelayanan KB, kunjungan neonatal, catatan imunisasi dan pemberian vitamin, catatan Kartu Menuju Sehat (KMS), catatan perkembangan pada anak. Data pengetahuan KIA ibu diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis menggunakan analisis univariat meliputi persepsi ibu. Fungsi buku KIA meliputi pencatatan KIA, edukasi, dan komunikasi serta pengetahuan ibu tentang KIA. Kategori fungsi pencatatan lengkap jika hasil penilaian kelengkapan isian buku KIA mempunyai skor ≥ 8, tidak lengkap jika skor < 8. Kategori fungsi edukasi baik jika mempunyai skor ≥ 25, kurang baik jika mempunyai skor < 25. Kategori pengetahuan baik jika mempunyai skor ≥ 7, kurang baik, jika skor < 7. Kategori fungsi komunikasi baik jika hasil jawaban kuesioner tentang persepsi ibu dengan skor ≥ 32, fungsi edukasi kurang baik jika skor < 32. Analisis bivariat menggunakan uji statistik dengan uji kai kuadrat. Hasil Sebagian besar responden (67,1%) berpendidikan dasar SD/SMP, sekitar 55% berusia 25 _ 29 tahun. Sekitar 52,74% dengan tingkat pendapatan dibawah UMK Kabupaten Banyumas, tahun 2012 yang besarnya Rp750.000,00. Sebagian besar responden (56%) mempunyai fungsi pencatatan buku KIA yang tidak lengkap, sekitar 57,1% mempunyai fungsi edukasi buku KIA yang baik, sekitar 61,5% mempunyai fungsi komunikasi buku KIA yang baik (Tabel 1). Ada hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan Tabel 1. Karakteristik Responden Variabel Kategori n % Pendidikan SMA/SMK SD/SMP 20 _ 24 25 _ 29 30 _ 34 35 _ 39 40 _ 44 Rendah Tinggi Lengkap Tidak lengkap Kurang baik Baik Kurang baik Baik Kurang baik Baik 30 61 10 50 12 8 11 48 43 40 51 39 52 35 56 40 51 32,9 67,1 11,0 55,0 13,2 8,8 12,0 52,7 47,2 44,0 56,0 42,9 57,1 38,5 61,5 44,0 56,0 Usia (tahun) Pendapatan Persepsi fungsi pencatatan Persepsi fungsi edukasi Persepsi fungsi komunikasi Pengetahuan Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu Tabel 2. Hubungan Variabel Fungsi dengan Pengetahuan KIA Pengetahuan KIA Variabel Fungsi Pencatatan buku KIA Edukasi buku KIA Komunikasi buku KIA Kategori Tidak lengkap Lengkap Kurang Baik Kurang Baik pengetahuan ibu tentang KIA, tetapi fungsi edukasi dan fungsi komunikasi buku KIA tidak berhubungan dengan pengetahuan KIA. Ibu yang mempunyai pengetahuan KIA baik, mempunyai fungsi pencatatan buku KIA tidak lengkap sekitar 70%, dibandingkan dengan ibu yang mempunyai fungsi pencatatan buku KIA lengkap sekitar 45,1% perbedaan tersebut secara statistik bermakna dengan nilai p = 0,031 (nilai p ≤ 0,05), berarti ada hubungan antara fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA (Tabel 2). Pembahasan Pada penelitian ini, didapatkan hubungan antara fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA. Temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengemukakan hubungan antara kelengkapan pengisian kolom buku KIA dengan pengetahuan ibu di Salatiga. Ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan rendah cenderung tidak mengisi kolom pemantauan pertumbuhan anak, sedangkan ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan baik akan mengisi buku KIA dengan lengkap.7 Pengisian buku KIA seyogyanya memberikan pemahaman pada ibu tentang status kesehatan diri dan anaknya. Penggunaan buku pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu intervensi dalam upaya peningkatan informasi. Catatan yang lengkap akan mendukung peningkatan pengetahuan ibu tentang kesehatan diri dan kesehatan anak-anak.8 Penelitian ini menemukan hubungan fungsi pencatatan buku KIA dengan pengetahuan KIA, tetapi dengan hasil terbalik, ibu yang mempunyai catatan buku KIA tidak lengkap justru mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, dibandingkan dengan ibu yang mempunyai catatan lengkap. Catatan buku KIA lengkap lebih banyak didapatkan pada ibu dengan tingkat ekonomi rendah, serta cenderung secara rutin memanfaatkan layanan posyandu dibandingkan dengan ibu dengan tingkat ekonomi tinggi yang cenderung jarang memanfaatkan layanan posyandu. Ibu yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi cenderung merupakan ibu bekerja yang juga tergolong mempunyai tingkat pendidikan menengah. Tingkat pengetahuan dilandasi oleh tingkat pendi- Kurang Baik Nilai p n % n % 12 28 13 27 15 25 30,0 54,9 33,3 51,9 42,9 44,6 28 23 26 25 20 31 70,0 45,1 66,7 48,1 57,1 55,4 0,031 0,120 1,000 dikan formal, sebagian besar (67,04%) responden sudah mempunyai kategori tingkat pendidikan dasar. Pada level pendidikan ini, ibu sudah banyak mengerti pengetahuan tentang KIA secara umum yang tidak hanya didapat melalui buku KIA, tetapi juga melalui interaksi ibu dengan tenaga kesehatan. Media KIA kesehatan yang beraneka ragam juga semakin banyak menjangkau masyarakat sehingga tingkat pengetahuan yang didapatkan melalui interaksi tersebut semakin meningkatkan pemahaman ibu tentang informasi kesehatan ibu dan anak. Semakin bertambah umur seseorang, semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Responden dalam penelitian ini sebagian besar (55%) berada dalam rentang usia 25 _ 29 tahun. Hal tersebut menjadi dasar banyak responden yang tergolong usia produktif yang berdampak pada ingatan informasi yang diperoleh sehingga pengetahuan juga sudah baik. Buku KIA adalah buku catatan terpadu yang digunakan dalam keluarga dengan tujuan meningkatkan praktik keluarga dan masyarakat dalam pemeliharaan atau perawatan kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan kualitas pelayanan KIA. Pencatatan buku KIA dilakukan oleh bidan desa serta dan dapat dibantu oleh kader dalam penyelenggaraan posyandu.9 Pencatatan buku KIA yang lengkap tetap harus diperhatikan oleh ibu, meskipun hasil penelitian pencatatan buku KIA yang lengkap lebih banyak dilakukan oleh ibu yang mempunyai pengetahuan kurang baik dibandingkan pencatatan yang tidak lengkap. Pencatatan berhubungan dengan riwayat kehamilan dan persalinan ibu. Selain itu, untuk anak berhubungan dengan status pertumbuhan dan perkembangan, status imunisasi yang berguna sebagai informasi bagi tenaga kesehatan lain serta sebagai informasi status kesehatan ibu dan anak bagi keluarga. Penelitian ini menemukan ibu yang mempunyai fungsi pencatatan buku KIA yang tidak lengkap lebih banyak yang mempunyai pengetahuan yang baik. Hal tersebut dapat disebabkan pengisian buku KIA oleh tenaga kesehatan hanya kolom isian Kartu Menuju Sehat (KMS). Ibu juga hanya mempergunakan buku KIA untuk dibawa saat 355 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014 penimbangan balita di posyandu dan pada saat pemanfataan layanan kesehatan ke bidan desa dan puskesmas. Pencatatan status kesehatan ibu dan anak di buku KIA mempunyai keuntungan bagi ibu dan keluarga, kader kesehatan, serta tenaga kesehatan. Catatan status kesehatan di buku KIA berlanjut dari pencatatan ibu hamil, persalinan dan catatan tumbuh kembang anak. Catatan kesehatan tersebut dapat digunakan sebagai catatan penghubung riwayat penggunaan pelayanan kesehatan terendah sampai dengan sarana rujukan yang mungkin diakses pada saat mengakses layanan kesehatan tingkat lanjut. Pencatatan di buku KIA juga mempunyai kelemahan antara lain catatan kesehatan tersebut dapat hilang jika buku KIA yang digunakan tidak disimpan dengan baik. Di Norwegia, tidak ada efek terhadap pengetahuan para orang tua terutama ibu melalui catatan tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan. Catatan status kesehatan ibu dan anak merupakan sarana yang tepat untuk meningkatkan interaksi antara ibu dan tenaga kesehatan, sehingga ibu dapat menyimpan catatan kesehatan untuk tahun berikutnya atau sebelumnya. Ibu yang mempunyai catatan status kesehatan yang lengkap merasa lebih percaya diri, ibu juga dapat membagi informasi catatan tentang status kesehatan kepada keluarga sehingga dapat menjadi sumber informasi bagi mereka. Ibu minimal merasakan kekhawatiran jika kehilangan catatan status kesehatan. Orang tua yang menyimpan catatan kesehatan anak mempunyai persepsi positif akan penyelenggaraan layanan kesehatan.10-12 Dilihat dari karakteristik sosial ekonomi, wilayah Puskesmas 1 Ajibarang tergolong jauh dari pusat kota. Sebagian besar aktivitas kegiatan sosial ekonomi di masyarakat masih terpusat pada perdagangan dan pertanian. Dilihat dari karakteristik pedesaan yang masih melekat, di wilayah Puskesmas 1 Ajibarang, karakteristik pendapatan sebagian besar responden mempunyai tingkat pendapatan dibawah UMK Kabupaten Banyumas (52,74%). Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional lebih banyak dilakukan oleh wanita yang berada di daerah perdesaan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dibandingkan dengan wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi.13 Di Bangladesh, ibu yang mempunyai buku KIA mempunyai pengetahuan KIA dan perilaku yang lebih baik tentang KIA karena mempergunakan buku KIA dengan baik pula, dibandingkan kelompok kontrol pada ibu yang tidak mempunyai buku KIA.12 Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara fungsi edukasi dengan pengetahuan KIA. Sesuai dengan penelitian sebelumnya, yang tidak menemukan hubungan antara pengalaman ibu dalam memahami buku KIA (fungsi edukasi) dengan pengetahuan tentang KIA pada ibu-ibu hamil di Kecamatan Limbangan, Kabupaten 356 Kendal. 14 Penggunaan buku KIA tidak serta merta meningkatkan pengetahuan ibu, bahwa sekitar 40% ibu di Tanah Datar dan 57% di Padang Pariaman belum pernah membaca atau telah membaca setiap bagian buku KIA atau hanya membaca sebagian kecil. Selain itu, di antara ibu yang telah membaca buku KIA setidaknya bagian dari buku KIA, meliputi di Tanah Datar sekitar 22,4% dan di Padang Pariaman sekitar 27% menyatakan menemukan kesulitan memahami buku KIA tersebut. Ibu yang mempunyai buku KIA tidak berhubungan dengan pengetahuan yang lebih besar, tetapi mempunyai kecenderungan besar untuk mengetahui kepentingan antenatal care serta maksud pemberian imunisasi.16 Peningkatan cakupan pemberian imunisasi pada anak berhubungan dengan pelaksanaan program buku KIA. Buku KIA merupakan sarana yang dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kesadaran ibu dan tenaga kesehatan akan pentingnya pemberian imunisasi bagi bayi dan anak. Pada penelitian ini, berdasarkan persepsi ibu sekitar 69,2 % menyatakan kader menginformasikan pada para ibu untuk membaca buku KIA. Namun, informasi pada buku KIA tidak mengendap menjadi ingatan dan pengetahuan. Kemungkinan responden mempunyai kesan yang kurang mendalam terhadap informasi buku KIA sehingga tidak merasa termotivasi untuk menjadikan bagian kebutuhan. Selain itu, kegiatan belajar kelompok untuk memahami informasi buku KIA masih jarang dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan. Di Cakranegara, tingkat pendidikan yang baik berhubungan dengan status kesehatan yang baik pula. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan efektivitas buku KIA dengan tingkat pengetahuan ibu tentang KIA.17 Tingkat pendidikan ibu seluruhnya termasuk dalam kategori pendidikan menengah dan pendidikan formal yang telah ditempuh adalah pendidikan dasar sehingga tingkat pengetahuan ibu tentang KIA dirasa sudah baik sehingga sebagian besar (56%) responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik pula. Penggunaan buku pegangan antenatal care oleh ibu merupakan salah satu intervensi dalam upaya peningkatan informasi, pengetahuan dan komunikasi pada ibu, antara lain menumbuhkan kewaspadaan tentang masalah kesehatan reproduksi. Pengembangan buku pegangan antenatal care bertujuan memberikan informasi kepada ibu hamil serta sebagai pedoman dalam merawat dan mengasuh anak.8 Di Palestina, ibu yang mempunyai buku KIA lebih sering berkunjung ke pelayanan kesehatan dibandingkan ibu yang tidak mempunyai buku KIA. Ibu yang memilki buku KIA walaupun berpengetahuan kurang karena jarang/tidak membaca informasi di buku KIA, terbiasa dengan informasi kesehatan karena tenaga kesehatan mempergunakan buku KIA sebagai panduan dalam pemberian informasi/layanan KIA.18 Buku KIA merupakan buku wajib untuk dibaca oleh ibu hamil dan keluarga Sistiarani, Gamelia & Sari, Fungsi Pemanfaatan Buku KIA terhadap Pengetahuan KIA Ibu karena berisikan informasi penting dan berguna bagi kesehatan ibu dan anak. Penggunaan buku KIA secara baik tidak terlepas dari penyuluhan oleh bidan dan tenaga kesehatan lain pada setiap kunjungan ibu hamil.19 Pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak dapat diamati dari kepemilikan buku KIA. Ibu membawa buku KIA ketika berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan/menghadiri kegiatan berhubungan program KIA telah menerima informasi dari penyedia layanan kesehatan yang menggunkan buku KIA tersebut. Selanjutnya, ibu telah membaca pesan/informasi yang ada dalam buku KIA tersebut. Selain itu, kemudahan ibu dalam memahami informasi kesehatan/pendidikan kesehatan menjadi determinan penting pengetahuan ibu.20 Penelitian ini tidak menemukan hubungan fungsi komunikasi dengan pengetahuan KIA, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan yang secara statistik bermakna antara pemanfaatan buku KIA sebagai media penyuluhan dengan pelayanan antenatal care. Semakin ibu memanfaatkan media penyuluhan (fungsi komunikasi) dalam buku KIA semakin meningkat pengetahuan sehingga banyak memanfaatkan pelayanan antenatal care yang dilakukan oleh petugas kesehatan, demikian pula sebaliknya.20 Temuan penelitian ini juga sesuai dengan penelitian lain yang tidak menemukan hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan praktik perawatan kehamilan. Tidak ada hubungan antara kepemilikan buku KIA, sikap dan praktik perawatan kehamilan dengan pengetahuan ibu.21 Buku KIA yang dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien, diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengontrol kesehatan ibu. Penggunaan buku KIA merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat terutama keluarga untuk memelihara kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.20 Buku KIA disebut sebagai alat komunikasi karena tenaga kesehatan dapat mengingatkan catatan-catatan penting yang dapat dibaca oleh tenaga kesehatan lain dan ibu serta keluarga. Hal tersebut antara lain keluhan, hasil pemeriksaan, catatan persalinan, pelayanan yang diberikan kepada ibu/bayi/anak balita, hasil pemeriksaan tambahan dan rujukan. Manfaat buku KIA bagi tenaga kesehatan adalah alat pencatatan, pemantauan dan rujukan kesehatan ibu dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan KIA, alat untuk mendeteksi secara dini gangguan/masalah KIA. Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan masih tidak banyak dilakukan. Hasil penelitian pada bidan desa di Kabupaten Banyumas menyebutkan bahwa ada hubungan antara supervisi dengan peran pengisian buku KIA. Dari hasil penelitian tersebut, tenaga kesehatan masih belum maksimal mempergunakan buku KIA sebagai media komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan ibu dan anak sehingga perlu upaya kader dalam penggunaan buku KIA.22,23 Komunikasi, informasi, dan edukasi kesehatan melalui pemanfaatan buku KIA dapat dilakukan sebagai komunikasi tenaga kesehatan kepada ibu, walaupun ibu mampu membaca sendiri pesan/informasi KIA yang dalam buku KIA, tidak setiap ibu mempunyai waktu/kesempatan untuk membaca pesan/ informasi tersebut. Catatan tentang masalah penyakit, tumbuh kembang anak belum sepenuhnya dipahami dan dapat diintepretasikan dengan baik oleh ibu sehingga perlu upaya komunikasi dari tenaga kesehatan untuk dapat menjelaskannya dengan baik. Pemanfaatan buku KIA oleh tenaga kesehatan perlu dimodifikasi, khususnya dalam menggabungkan informasi/pesan supaya lebih menarik, mudah dipahami sebagai cara untuk menyampaikan pesan tersebut. Tenaga kesehatan juga perlu mempertimbangkan tingkat pendidikan kelompok sasaran. Hal tersebut merupakan upaya peningkatan efektivitas kegiatan berbasis masyarakat dalam mempromosikan pengetahuan dan perilaku ibu dalam kesehatan ibu dan anak. Pemanfaatan buku KIA dalam sesi pendidikan kesehatan akan mendorong komunikasi yang efektif antara ibu dengan tenaga kesehatan. Dukungan tenaga kesehatan dapat diberikan ketika ibu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat menjelaskan poin penting karena ibu belum memahami informasi kesehatan ibu dan anak.15 Kesimpulan Ada hubungan yang bermakna antara fungsi pencatatan dengan pengetahuan KIA, tetapi tidak ada hubungan antara fungsi edukasi dan fungsi komunikasi dengan pengetahuan KIA. Saran Pencatatan buku KIA berhubungan dengan status kesehatan ibu dan anak sehingga memerlukan peran serta ibu untuk menilai kelengkapan isian catatan buku KIA. Perlu peningkatan pencatatan kelengkapan isian buku KIA oleh tenaga kesehatan karena hasil pencatatan dapat berkaitan dengan pengetahuan KIA. Daftar Pustaka 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah; 2012. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Profil kesehatan Kabupaten Banyumas tahun 2012. Banyumas: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas; 2012. 4. Siti N, Colti S, Eri W. Pemantauan pencapaian cakupan K1, cakupan K4, cakupan buku KIA dan kualitas pelayanan antenatal di wilayah ker- 357 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014 ja puskesmas di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional 15. Kusumayati A, Nakamura Y. Increased utilization of maternal health World fit for children [6 Oktober 2012]. 2012. Semarang: Fakultas services by mothers using maternal and child health book in Indonesia. Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro; 2012. J It Health [serial on internet]. 2007 [cited 2014 Jan 5]; 22 (3): 143-51. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman umum manajemen penerapan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2003. 6 Available from: https:// www. jstage. jst. go.jp /article /jaih /22/ 3/ 22_ 3_ 143/ _pdf. 16. Osaki K, Hattori T, Kosen S, Singgih B. Investment in home-based ma- Syafiq A, Fikawati S. Kepemilikan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) ternal, newborn and child health records improves immunization cov- dan pelayanan KIA. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas erage in Indonesia. Transaction of The Royal Society of Tropical Indonesia; 2007. Medicine and Hygiene [serial on Internet]. 2009 [cited 2014 Jan 4]; 103 7. Djaswadi D. Persepsi perilaku ibu hamil dan masyarakat terhadap risiko kehamilan-persalinan di Kabupaten Purworejo. Yogyakarta: Laboratorium Penelitian Kesehatan dan Gizi Masyarakat; 2008. 8. Akhund S, Avan BI. Development and pretesting of an information, education and communication (IEC) focused antenatal care handbook in Pakistan. Journal of Biomedical Central. 2011; 4: 91. (8): 846-8. Available from: http://PubMed PMID. 17. Rante A, Susilo W, Faikah. Studi deskriptif dan analisis faktor yang berpengaruh dalam tingkat pengetahuan KIA pada ibu di Puskesmas Cakaranegara Mataram. Jurnal Kesehatan Prima. 2007; 1: 9384. 18. Hagiwara A, Veyama M, Ramiawi A, Sawada I. Is the maternal and child health (MCH) handbook effective in improving health-related be- 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penggu- havior? evidence from Palestine. Journal of Public Health Policy [serial naan buku KIA. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; on the internet]. 2013 [cited 2013 Jul 5]; 34 (1): 31-45. Available from: 2003. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23151920. 10. Chakraborty N, Islam MA, Chowdhury RI, Bari W, Akhter HH. 19. Widaningrum D, Wirawan W, Hasanbasri M. Implementasi buku kese- Determinants of the use maternal health services in rural Bangladesh. hatan ibu dan anak di Kabupaten Mimika [tesis]. Yogyakarta: Health Promotion International Journal, 2003 ; 18 (4): 327-37. Universitas Gadjah Mada; 2009. 11. Turner KE, Fuller S. Patient-held maternal and/or child health records: 20. Nur E, Werdiati K. Pemanfatan buku KIA sebagai materi penyuluhan meeting the information needs of patients and healthcare providers in dalam pelayanan antenatal oleh bidan puskesmas di Kota Bengkulu. developing countries? Journal of Public Health Informatics [serial on internet]. 2011 [cited 2014 Jan 5]; 3 (2); 48. Available from: http://ojphi.org. 12. Bhulyan SU, Nakamura Y, Qureshi NA. Study on the development and assesment of maternal and child health (MCH) handbook in Bangladesh. Journal of Public Health and Development. 2006; 4 (2): 45-60. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2003; 6 (3). 21. Kusindijah. Hubungan antara kepemilikan buku KIA dengan pengetahuan, sikap, dan praktik perawatan kehamilan di wilayah kerja Puskesmas Rangkah Surabaya. Embrio Jurnal Kebidanan. 2012; 1 (1): 42-6. 22. Colti S, Siti N, Suratman. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pe- 13. Amin R, Shah NM, Becker S. Sosioeconomic factors differentiating ma- ran kader dalam pemanfataatan buku KIA di wilayah kerja Puskesmas ternal and child health-seeking behavior in rural rural Bangladesh; a Kalibagor Kabupaten Banyumas. Kemas Jurnal Kesehatan Masyarakat. cross sectional analysis. International Journal of Equity in Health [serial on internet]. 2010 [cited 2013 Dec 5]. A vailable from: http://www.equityhealthj.com/content/9/1/9. 2013; 8 (2): 77-84. 23. Siti N, Colti S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peran bidan desa dalam pengisian buku KIA. Prosiding Seminar nasional: Pengem- 14. Dora D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pemahaman bangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan ibu hamil terhadap pesan antenatal care yang terdapat di dalam buku Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas. Purwokerto: KIA [tesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran; 2010. Universitas Jenderal Soedirman; 2011. 358 GAMBARAN FISIOLOGIS KESEHATAN IBU HAMIL SEBELUM DAN SETELAH MELAKUKAN SENAM HAMIL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AJAPPANGE KABUPATEN SOPPENG Rahmiati1, Erna Kadrianti2, Sjafaraenan,3 1 2 STIKES Nani Hasanuddin Makassar STIKES Nani Hasanuddin Makassar 3 Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran Fisiologis Kesehatan Ibu hamil sebelum dan setelah melakukan senam hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain Pre Eksperimen, tanpa menggunakan uji pasangan One group pre-latihan post-latihan design. Populasi yang diteliti adalah ibu hamil di Kabupaten soppeng Dengan jumlah sampel 47 responden. Teknik penarikan sampel secara purposive sampling. Sebelum pelaksanaan intervensi dilaksanakan Pre test terhadap populasi ibu hamil, setelah itu penarikan sampel diikuti dengan pemberian latihan senam hamil lalu dievaluasi dengan post test. Instrumen pengumpulan data menggunakan hasil pemeriksaan fisik tekanan darah, denyut jantung dan denyut nadi, Kesimpulan ada gambaran Fisiologis Kesehatan Ibu hamil sebelum dan setelah melakukan senam hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng.Saran kepada Rumah Sakit, diharapkan pihak rumah sakit memahami dan menyadari akan pentingnya senam hamil untuk kesehatan fisiologis ibu hamil agar ibu hamil bias mengetahui dan menyadari akan manfaat yang diperoleh apabila melakukan senam hamil dengan cara tetap melaksanakan senam hamil di RSUD Ajjappange Kabupaten Soppeng. Kata kunci :Latihan senam hamil, fisiologis ibu hamil. PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi pemerintah karena angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi, yaitu sekitar 291/100.000 kelahiran hidup. Itu berarti setiap tahun 13.778 kematian ibu atau setiap 2 jam ada ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal karena berbagai penyakit. Hasil studi yang dilakukan Senewe menunjukkan bahwa dari 23,5% responden yang mengalami komplikasi pada waktu persalinan, menunjukkan komplikasi terbesar adalah partus lama (15,4%). (Hartati,2008). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan AKI dinegara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2008/2009 AKI sebesar 307 dari 100.000 kelahiran hidup. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menurunkan AKI termasuk diantaranya Safe Matherhood yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1988. Berbagai sektor pemerintah, organisasi non-pemerintah dan masyarakat serta dukungan dari berbagai badan internasional telah dilibatkan namun target nasional untuk menurunkan AKI menjadi 40 125 dari 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2011 jauh untuk dicapai. (Arifah, 2011) Menjaga kesehatan tubuh ibu dan bayi yang dalam kandungan agar tetap sehat dan dapat melahirkan dengan selamat dapat dilakukan untuk hidup sehat saat hamil. Seperti makan-makanan sehat seperti sayur dan buah-buahan yang segar yang mengandung vitamin dan mineral penting buat ibu dan janin, olah raga, dan istirahat yang cukup. (Nurlaila, 2010) Manfaat senam hamil sangat perlu bagi kesehatan terutama untuk persiapan proses persalinan nantinya. Tidak hanya itu, jika dilakukan secara teratur, gerakan senam juga bermanfaat mengurangi keluhan-keluhan yang mungkin muncul saat kehamilan. Terutama pada bulan terakhir masa kehamilan, seperti pegal-pegal pada bagian-bagian tubuh tertentu, dan memberikan latihan pernafasan untuk persalinan nanti. (Chandra, 2005) Untuk mengetahui dengan pasti gerakan senam hamil cocok atau tidak dengan ibu hamil, disarankan konsultasi untuk melakukan pemeriksaan secara lengkap sebelum memastikan, bisa atau tidak melakukan senam hamil tergantung kondisi ibu dan janin. Untuk melakukan senam hamil dianjurkan Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 melakukan pemeriksaan denyut jantung ibu, denyut nadi ibu, tekanan darah dan pemeriksaan fisik ibu.Pada usia kehamilan 6 bulan posisi bayi normalposisi kepala masih diatas, terkadang terjadi gangguan posisi bayi pada kehamilan sehingga dibutuhkan olah raga pada ibu hamil agar posisi kepala bayi pada saat persalinan nanti berada dibawah dan olah raga yang tepat yang bermanfaat pada kehamilan adalah senam hamil karena gerakan yang digunakan justru akan mempermudah kelahiran(Cholil, 2002). Agar tubuh ibu hamil sehat dan segar diupayakan dengan makan teratur, cukup istirahat dan olah raga.Olah raga yang cocok untuk ibu hamil adalah senam hamil. Pengaruh yang diakibatkan bila melakukan senam hamil yaitu tingkat kesejahteraan psikologis tinggi, perbaikan citra tubuh dan penurunan ketidaknyamanan fisik pada ibu hamil menjadikan ibu hamil melakukan senam hamil, sehingga ibu hamil yang tidak melakukan senam memutuskan untuk mengikuti program senam untuk memperbaiki kesehatan dan kebugaran. Setelah melakukan senam hamil, ibu hamil merasakan perubahan yaitu menurunkan stres akibat rasa cemas yang dihadapi menjelang proses persalinan sehingga ibu hamil yangmengikuti senam hamil dapat menjalani persalinan dengan lancar, dapat memanfaatkan tenaga dan kemampuan sebaik-baiknya sehingga proses persalinan normal berlangsung relatif cepat. (Sherly, 2011) Senam hamil amat dianjurkan pada wanita hamil agar saat melahirkan tiba dapat dijalani lebih mulus. Salah satu senam hamil yang banyak diperbicangkan adalah metode Pilates. Menurut Joseph Pilates, pencipta 34 gerakan dasar senam hamil sejak tahun 1920, terdapat 8 prinsip utama didalamnya, meliputi konsentrasi, pernapasan, pemusatan gerakan, kontrol gerakan, posisi dalam melakukan gerakan dan isolasi terhadap otot yang dilatih. Melalui senam hamil serta latihan untuk mengkoordinasikan semua kekuatan saat persalinan diharapkan secara normal, tidak terlalu takut,akan mengurangi rasa sakit dan mempunyai kepercayaan diri yang tetap mantap. ( Wiyono, 2007) Berdasarkan survey pendahuluan ternyata banyak ditemukan ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di rumah sakit merasakan keluhan pada daerah punggung, tidak mau bergerak karena faktor ketakutan khawatir pada kehamilannya, karena tidak mengetahui teknik pernafasan saat persalinan nantinya. Sehingga banyak hal-hal yang sebenarnya fisiologis menjadi beban bagi ibu Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 hamil karena tidak adanya persiapan kondisi fisik dan psikis ibu pada masa kehamilan dan juga di wilayah Kabupaten Soppeng masih banyak ibu hamil yang tidak pernah melakukan senam hamil karena tdk mengetahui manfaat dari senam hamil. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti pengaruh senam hamil terhadap fisiologis kesehatan ibu hamil di rumah sakit umum daerah Ajappange Kabupaten Soppeng”. BAHAN DAN METODE Lokasi, populasi, dan sampel penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain Deskriptif tanpa menggunakan Uji Hubungan. Dimana kelompok ibu hamil sebelum dilakukan intervensi atau perlakuan terlebih dahulu dilakukan pre-tes, kemudian setelah perlakuan dilakukan post test untuk mengetahui akibat dari perlakuan. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng, yang dilaksanakan mulai tanggal 20 Januari 2013 sampai dengan 20 Februari 2013.Jumlah sampel sebanyak 47 orang. Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengeditan, pengkodean dan kemudian ditabulasi.Data dianalisa dengan menggunakan Uji-t berpasangan. Analisis dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.Analisis ini menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel yang diteliti. Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain Deskriptif tanpa menggunakan Uji Hubungan. Dimana kelompok ibu hamil sebelum dilakukan intervensi atau perlakuan terlebih dahulu dilakukan pre-tes, kemudian setelah perlakuan dilakukan post test untuk mengetahui akibat dari perlakuan.Sebagaimana dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4.1. Desain penelitian Post-test Subjek Pre-test Perlakuan I K 0 I 01 Time 1 Time 2 Time 3 Keterangan : K : Subjek (ibu hamil diwilayah Rumah sakit ajappange) O : Observasi sebelum intervensi (Pre-Test) I : Intervensi ( senam hamil) 01 : Observasi setelah intervensi (Post-Test) 41 Alat pegumpulan data dirancang oleh peneliti sesuai dengan kerangka konsep yang telah dibuat. Dimana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tabel pemeriksaan langsung pada ibu hamil di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng.adapun langkah-langkah pengumoulan data antara lain; 1. Editing Setelah data terkumpul maka akan dilakukan editing atau penyuntingan untuk memeriksa setiap lembar master tabel dan lembar observasi yang telah diisi, lalu data dikelompokkan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. 2. Koding Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data yaitu dengan melakukan pengkodean pada daftar pertanyaan yang telah diisi yaitu setiap keluhan/jawaban dari pasien. 3. Tabulasi Setelah dilakukan pengkodean kemudian data dimasukkan kedalam tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki yang sesuai dengan tujuan penelitian untuk memudahkan penganalisaan data. Analisa Data Setelah data dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengeditan, pengkodean dan kemudian ditabulasi.Data dianalisa dengan menggunakan Uji-t berpasangan. Analisis dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.Analisis ini menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel yang diteliti. HASIL PENELITIAN Analisis dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel yang diteliti. 1. Fisiologis Kesehatan Ibu Hamil Pre Latihan Senam Hamil Table 5.1. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil Pre Latihan Senam Hamil DiRumahSakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng Tidak Pemeriksaan Normal normal Tekanan darah n % n % Minggu I 15 31,9 32 68,0 Minggu II 25 53,1 22 48,8 Minggu III 9 19,1 38 80,9 Minggu IV 12 25,2 35 74,5 Sumber : Data primer Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan 42 tekanan darah normal pada pemeriksaan I yaitu 15 (31,9%) orang, II sebanyak 25 (53,1%) orang, III Sebanyak 9 (19,1%) orang, IV sebanyak 12 (25,5%) orang, tidak normal pada pemeriksaan I sebanyak 32 (68,0%) orang, II sebanyak 22 (48,8%)orang, III sebanyak 38 (80,9%) orang, IV sebanyak 35 (74,5%) orang. Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan denyut jantung ibu hamil pre Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng Tidak Pemeriksaan Normal normal Denyut Jantung n % n % Minggu I 12 25,5 35 74,5 Minggu II 21 44,7 26 55,3 Minggu III 10 21,3 37 78,7 Minggu IV 11 23,4 36 76,6 Sumber : Data primer Dari tabel 5.2 denyut jantung normal pada pemeriksaan minggu I sebanyak 12 (25,5%) orang, minggu ke II sebanyak 21 (44,7%) orang, mingggu ke III sebanyak 10 (21,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 11 (23,4%)orang, denyut jantung tidak normal minggu I sebanyak 35(74,5%)orang, minggu ke II sebanyak 26 (55,3%)orang, minggu ke III sebanyak 37 (78,7%)orang, minggu ke IV sebanyak 36 (76,6%). 2. Fisiologis Kesehatan Ibu Hamil Post Latihan Senam Hamil Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil post Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng Tidak Pemeriksaan Normal normal Tekanan Darah n % n % Minggu I 26 55,3 21 44,6 Minggu II 35 74,4 12 25,5 Minggu III 27 57,4 22 46,8 Minggu IV 30 63,8 17 36,1 Sumber : Data primer Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan tekanan darah normal pada pemeriksaan I yaitu 26 (55,3%) orang, minggu ke II sebanyak 35 (74,4%) orang, minggu ke III Sebanyak 27 (57,4%) orang, minggu ke IV sebanyak 30 (63,8%) orang, tidak normal pada pemeriksaan minggu I sebanyak 21 (44,6%) orang,minggu ke II sebanyak 12(25,5%)orang, minggu ke III sebanyak 22 Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 (46,8%) orang, 17(36,1%) orang. minggu IV sebanyak Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan denyut jantung ibu hamil post Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng Tidak Pemeriksaan Normal normal Denyut Jantung n % n % Minggu I 24 51,0 23 48,9 Minggu II 31 65,9 16 34,0 Minggu III 26 55,3 21 44,7 Minggu IV 32 68,0 15 31,9 Sumber : Data primer Dari tabel 5.5 denyut jantung normal pada pemeriksaan I sebanyak 24 (51,0%) orang, minggu ke II sebanyak 31 (65,9%) orang, minggu ke III sebanyak 26 (55,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 32 (68,0%)orang, denyut jantung tidak normal I sebanyak 23( 48,9%)orang, minggu ke II sebanyak 16 (34,0%)orang, minggu ke III sebanyak 21 (44,7%)orang, minggu ke IV sebanyak 15 (31,9%). PEMBAHASAN 1. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil Pre Latihan. Ibu Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng,dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan tekanan darah normal pada pemeriksaan minggu I yaitu 15 (31,9%) orang, minggu ke II sebanyak 25 (53,1%) orang, minggu ke III Sebanyak 9 (19,1%) orang, dan minngu ke IV sebanyak 12 (25,5%) orang, tidak normal pada pemeriksaan minggu I sebanyak 32 (68,0%) orang, minggu ke II sebanyak 22 (48,8%)orang, minggu ke III sebanyak 38 (80,9%) orang, dan minggu ke IV sebanyak 35 (74,5%) orang. Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal pada pre latihan senam hamil yaitu 120/80 mmHg – 140/90 mmHg. Dan yang tidak normal <120/80 mmHg dan > 140/90 mmHg 2. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan denyut jantung ibu hamil Pre Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng , denyut jantung normal pada pemeriksaan I sebanyak 12(25,5%) orang, minggu ke II sebanyak 21 (44,7%) orang, minggu ke III sebanyak 10 (21,3%) orang, minggu IV sebanyak 11 (23,4%)orang, denyut jantung Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 tidak normal I sebanyak 35(74,5%)orang, minggu ke II sebanyak 26 (55,3%)orang, minggu ke III sebanyak 37 (78,7%)orang, minggu ke IV sebanyak 36 (76,6%). Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki denyut jantung normal pada pre latihan senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang tidak normal < 84 dan >88 x/i . 3. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan denyut nadi ibu hamil Pre Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan denyut nadi yang normal pada pemeriksaan I,12(25,5%) orang, II sebanyak 22(44,7%) orang,III sebanyak 10(21,3%)orang, IV sebanyak 11 (23,4%)orang.denyut nadi tidak normal pada pemeriksaan I sebanyak 35 (74,5%) orang, II Sebanyak 26( 55,3%) orang, III sebanyak 37 (78,7%) orang, IV sebanyak 36 (76,6%) orang. Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki denyut nadi normal pada pre latihan senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang tidak normal < 84 dan >88 x/i . Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa dari keseluruhan populasi ibu hamil yaitu sebanyak 47 reponden, pada saat pre latihan senam hamil diperoleh hasil gambaranfisiologisnya baik di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng. Inikemungkinan disebabkan karena ada responden tersebut telah pernah mendapatkan informasi dan latihan tentang senam hamilsebelumnya, sehingga apa yang pernah dilakukan sebelumnya akan membuat mereka mengetahui tentang senam hamil. Sementara yang tingkat fisiologisnya tergolong kurang disebabkan oleh karena memang ini pertama kali mereka mendapatkan latihan tentang senam hamil dan tidak mengetahui manfaat dari senam hamil. 4. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Tekanan darah ibu hamil post Latihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng, dapat dilihat bahwa populasi ibu hamil yang tingkat kesehatan tekanan darah normal pada pemeriksaan I yaitu 26 (55,3%) orang, minggu ke II sebanyak 35 (74,4%) orang, minggu ke III Sebanyak 27 (57,4%) orang, minggu ke IV sebanyak 30 (63,8%) orang, tidak normal pada pemeriksaan I sebanyak 21 (44,6%) orang, minggu ke II sebanyak 12(25,5%)orang, minggu ke III sebanyak 22 (46,8%) orang, minggu IV sebanyak 17(36,1%) orang.Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal 43 pada post latihan senam hamil yaitu 120/80 mmHg – 140/90 mmHg. Dan yang tidak normal <120/80 mmHg dan > 140/90 mmHg 5. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaandenyut jantung ibu hamil post Latihan Senam Hamil Di RumahSakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng, denyut jantung normal pada pemeriksaan minggu I sebanyak 24 (51,0%) orang, minggu ke II sebanyak 31 (65,9%) orang, minggu ke III sebanyak 26 (55,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 32 (68,0%)orang, denyut jantung tidak normal minggu I sebanyak 23( 48,9%)orang, minggu ke II sebanyak 16 (34,0%)orang, minggu ke III sebanyak 21 (44,7%)orang minggu ke IV sebanyak 15 (31,9%). Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki denyut jantung normal pada post latihan senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang tidak normal < 84 dan >88 x/i . 6. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan denyut nadi postLatihan Senam Hamil Di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng, denyut nadi normal pada pemeriksaan minggu I sebanyak 24 (51,0%) orang, minggu ke II sebanyak 31 (65,9%) orang, minggu ke III sebanyak 26 (55,3%) orang, minggu ke IV sebanyak 32 (68,0%)orang, denyut jantung tidak normal minggu I sebanyak 23( 48,9%)orang, minggu ke II sebanyak 16 (34,0%) orang, minggu ke III sebanyak 21 (44,7%) orang, minggu keIV sebanyak 15 (31,9%). Data ini bersumber dari Ibu hamil yang memiliki denyut nadi normal pada post latihan senam hamil yaitu 84 – 88 x/i. Dan yang tidak normal < 84 dan >88 x/i . Setelah dilakukan latihan senam hamil dari 47 jumlah sampel yang telah mendapatkan latihan senam hamil diperoleh ibu hamil dari jumlah sampel yang mengalami fisiologis kesehatan yang baik tentang senam hamil,ini menunjukkan bahwa latihan senam hamil telah efektif karena terjadi peningkatan fisiologis kesehatan yang baikp pada responden, hal ini disebabkan karena ibu hamil di RSUD ajjapange Soppeng telah mendapatkan latihan senam hamil dan merasakan sendiri manfaat dari latihan senam hamil tersebut sehingga terjadi suatu proses fisiologis kesehatan yang kurang baik menjadi baik. Sementara dari hasil post-tes masih ditemukan ibu hamil yang fisiologis kesehatannya kurang atau tetap, ini disebabkan karena ibu hamil tdk melaksanakan latihan dengan baik sesuai instruksi dan tidak melakukan senam hamil secara teratur. Setelah melakukan senam 44 hamil, ibu hamil merasakan perubahan yaitu menurunkan stres akibat rasa cemas yang dihadapi menjelang proses persalinan sehingga ibu hamil yangmengikuti senam hamil dapat menjalani persalinan dengan lancar, dapat memanfaatkan tenaga dan kemampuan sebaik-baiknya sehingga proses persalinan normal berlangsung relatif cepat. (Sherly, 2011). Latihan senam hamil Dari tabel distribusi, ditemukan responden yang mengetahui manfaat dari latihan senam hamil Ini menunjukkan pemberian senam hamil telah maksimal, keberhasilan latihan senam hamil ini tidak lepas dari 3 faktor yang mempengaruhi latihan senam hamil itu sendiri yang pertama kapabilitas seorang pelatih senam hamil yang mampu memberikan latihan senam hamil sehingga ibu hamil menjadi tahu manfaat dari senam hamil baik itu selama proses kehamilan maupun pada proses persalinan nanti. Sementara itu ditemukannya ibu hamil yang fisiologis kesehatan masih kurang atau tergolong tetap, disebabkan karena faktor tidak mengikuti instruksi latihan dengan baik dan tidak melakukan secara teratur sehingga manfaat dari senam hamil tidak didapatkannya. Penelitian tentang ”Gambaran fisiologis kesehatan ibu hamil sebelum dan setelah melakukan senam hamil di rumah sakit umum daerah Ajappange Kabupaten Soppeng” belum pernah dilakukan. Berdasarkan dari hasil penelitian peneliti menyimpulkan bahwa senam hamil sangat bermanfaat bagi ibu hamil baik selama masa kehamilan maupun untuk persiapan proses melahirkan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Setelah melakukan senam hamil terbukti ada pengaruh latihan senam hamil dengan fisiologis kesehatan ibu hamil di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappange Kabupaten Soppeng. Dari jumlah ibu hamil yang mengikuti senam hamil ada yang tingkat fisiologis kesehatannya baik dan ada yang tingkat fisiologis kesehatannya masih tergolong kurang baik. Setelah dilakukan latihan senam hamil sebagian besar ibu hamil dari jumlah sampel mengalami peningkatan fisiologis kesehatan, dan sebagian kecil ibu hamil dari jumlah sampel yang tingkat fisiologis kesehatannya tetap atau kurang baik. Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 SARAN Profesi keperawatan hendaknya memberikan perhatian kepada ibu hamil khususnya kepada peningkatan fisiologis kesehatan dengan memberikan latihan senam hamil. Sebaiknya untuk program senam hamil akan terus dijalankan di Rumah sakit ajjapange mengingat banyaknya manfaat yang dihasilkan dari gerakan-gerakan pada latihan senam hamil baik itu manfaat selama kehamilan maupun persiapan persalinan DAFTAR PUSTAKA Alimul Aziz, H. (2003). Riset keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi 1 Salemba Medika, Jakarta Arifah.(2011). Fisiologis ksehatan ibu hamil.http://republika.com. (one line). Diakses 17 Desember 2011 Booth.(2004). Tanya Jawab Seputar Kehamilan, (terjemahan). PT. BhuanaIlmu Populer. Jakarta. Chandra. (2005). Baby Guide.Maxmadia. Bali. Cholil, A. (2002). Lokakarya Pengembangan Konsep Gerakan Sayang Ibu –Pita Pitih. Bogor: MNH Hartanti,B. (2008). Gerakan senam hamil.http://merahitam.com .(on line). Diakses 4Desember 2011 Irma. (2007). fisiologi kesehatan.www.stikku.ac.id/wp/uploads. (on line). Diakses 17 Desember 2011 Kushartanti. (2005). Senam hamil Menyamankan kehamilan, mempermudah persalinan. Salemba medika. Jakarta. Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Ed 3. Jil 1. Media Aescupius Fakultas Kedokteran UI. Jakarta Nurlaila, A. (2010). Manfaat senam hamil.http://www.tempo.com. (One line). Diakses 17 Desember 2011 Nursalam, (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan; pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. Edisi 1. Salemba Medika. Jakarta Primadi.( 2005). Pengetahuan ibu primigravida tentang kehamilan.http://blogstot.com. (one line) . Diakses 4 Desember 2011 Saifudin. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Sugiyono.(2003). Metode penelitian administrasi.Edisi 10. CV. ALFABETA. Jakarta. Sugiyono.(2006). Statistika untuk penelitian.Cetakan 9. CV. ALFABETA. Bandung. Sherly.(2011). Kehamilan.http://workpress.com. Diakses 15 Januari 2012 Wiknjosastro, H. (2002). Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Wiyono, A. (2007). Senam Hamil Baik untuk Proses Kehamilan. http://creasoft.co.id. Diakses 24 Desember 2011 Volume 3 Nomor 2 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 45 Hubungan Karakteristik Dan Perilaku Bidan Ptt Dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan Ibu Dengan Kejadian Triasklasik Diwilayah Kerja Dinas Kesehatan Gunungsitoli Kabupaten Nias Relationship Characteristics and Behavior of Midwife PTT in Serving Maternal Health with Triad Clasic Events at Work Area of Gunungsitoli Health Department of Nias Regency Lisbet Herawaty Sihombing Akademi Kebidanan Sehati ABSTRAK Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) masih cukup tinggi.Salahsatu penyebabnya adalah karena masih tingginya persalinan yang ditolong oleh dukun bayi/ bahkan tanpa bantuan,jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan dipedesaan hanya 45,83%, dimana bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat termasuk ibu hamil dan melahirkan semakin berkurang tiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dengan kejadiantriasklasik. Karakteristik bidan PTT meliputi: umur,lama bertugas, status pernikahan, perilaku bidan PTT meliputi:pengetahuan, sikap dan tindakan. Jenis penelitian ini adalah penelitian survey deskriptif analitik.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan PTT yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Nias tahun 2003 sebanyak 206 orang, tetapi populasi yang diambil sampel 50 orang.karena keterbatasan waktu dan biaya penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur responden yang paling banyak 20-30 tahun (70orang), >30 tahun (30%), lama bertugas responden 4-6 tahun (64%),1-3tahun(36 %) Status pernikahan responden sudah menikah (56%), belum menikah (44%). Faktor perilaku (pengetahuan) responden tentang pemberian pelayanan kesehatan dengan kejadian triasklasik yang berkategori baik (70%),kurang baik(74%),kurang(26%),tindakan yang berkategori baik (50%),kurang baik (50%),kurang baik (50%) Dari hasil penelitian ini diharapkan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk bekerjasama dalam meningkatkan pengetahuan bidan PTT tentang triasklasik dan diharapkan bidan PTT lebih aktif memotivasi ibu hamil,agar memeriksakan kehamilannya dan meminta pertolongan persalinan kepada bidan,serta mendampingi dukun bayi dalam menolong persalinan. Kata Kunci: karakteristik, perilaku, pelayanan kesehatan, triasklasik Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 Page Maternal mortality rate (MMR) and infant mortality rate (IMR) was still quite high. One of the main cause was due to the high of births assisted by traditional birth attendants even without assistance. The number of births assisted by midwives in rural areas was only 45.83% which the nuber of midwives decreased each year. The study aimed to determine the relationship characteristics and behavior of PTT midwives in providing health services to mothers with triad classic events. PTT Midwives characterstics include age, length of study and marital status, while behavior include knowledge, attitudes and actions. The type of this research was descriptive survey research. Population of the study was all of the midwives (206 persons) registered in Health Department of Nas Regency in year 2003, and 50 midwives were selected as samples due to limitation of time and cost of research. The results revealed that most of the respondents had age of 20-30 years (70 persons), more than 30 years (30%), 4-6 years on duty (64%) and 1-3 years on duty (36%). Maritas status : married (56%), unmarried (44%). Behavioral factors (knowledge) regarding the provision of health services to the triad classic events : good (74%) and poor (26%); action : good 50%, poor (50%). From the research result, Health Department and Health Center are expected to collaborate to increase knowledge of midwives about Triad Classic Events. The midwives are expected to be more active to motivate pregnant women in order to check their pregnancy and delivery assistance request to the midwives, as well as to accompany the traditional birth attendants in helping birth. Key words: characteristics, behavior, health service, triad classic events. 153 Abstract PENDAHULUAN . Tiap ibu hamil menghadapi resiko dengan beban fisik dan mental. Kehamilan yang didambakan memang suatu anugerah,namun setiap ibu hamil mengahdapi bahaya, terjadinya komplikasi dalam persalinan dengan resiko kemungkinan terjadinya kematian, kesakitan, kecacatan,keridakpuasaan dan ketidaknyamanan. Komplikasi persalinan tidak dapat diduga sebelumnya/ pun tidak dapat dihindari (Winknjosastro Hanifa 1997). Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan,infeksi dan eklamsia, partus lama dan komplikasi abortus.Perdarahan sebagai penyebab utama kematian, yang sebagian besar disebabkan oleh retensi plasenta,hal ini menunjukkan adanya manajemen persalinan kala III yang kurang adekuat.Kematian ibu akibat infeksi merupakan indikatorkurang baiknya upaya pencegahan dan manajemen infeksi.Kematian ibu yang disebabkan karena komplikasi aborsi adalah akibat dari kehamilan tidak dikehendaki(KTD).Hanya sebesar 5% kematian ibu disebabkan oleh penyebab yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis( Saifuddin Bari.A,2002) Dari data Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2003 dnegan jumlah persalinan sebanyak44195 orang,dijumpai kasus triasklasik untuk perdarahan sebayak 40 kasus,pre eklamsia/eklamsia sebnayak 19 kasus,infeksi sebanyak 19 kasus, infeksi sebanyak 4 kasus.(Profil DinKes Sumut,2002) Dari data Dinas Kesehatan kabupaten Nias pada tahun 2002 dengan jumlah ibu hamil ebanyak 18240 orang, dijumpai kasus trias klasik untuk perdarahan sebanyak 50 kasus dan meninggal 1orang,preeklamsia/eklamsia sebanyak 26 kasus dan meninggal 1 orang, infeksi sebanyak 8 kasus dan tidak ada meninggal,sedangkan pada tahun 2003 dengan jumlah ibu hamil sebanyak 19250 orang dijumpai kasus triasklasik untukperdarahan 59 kasus dan meninggal 3orang,preeklamsia/eklamsia sebanyak 35 orang kasus dan meninggal 2 orang dan infeksi sebanyak 12 kasus dan tidak ada yang meninggal ( profil Din Kes Kab Nias, 2002) Beranjak dari pemikiran diatas, maka penulis tertarik melaksanakan penelitian tentang” Hubungan karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dengan kejadian triasklasik di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Nias tahun 2003”). Page 154 Penyebab tidak langsung kematian ibu, adalah penyakit yang sudah diderita ibu sejak sebelum hamil atau penyakit lain yang diderita pada masa kehamilan misalnya anemia,kurang energy kronis (KEK), dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda/tua/sering/ banyak). Kejadian anemia ibu hamil sekitar 51 % dan kejadian resiko (KEK) pada ibu hamil,(lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm) sekitar 30 %.Kematian ibu juga diwarnai oleh “ penyebab mendasar” yaitu rendahnya status wanita, terutama di pedesaan,dan rendahnya tingkat pendidikan.(Depkes RI,2000) Menurut Prof.dr. Soejoenoes (1991) dari UNDIP Semarang, 86,6% persalinan ditolong oleh dukun belum terlatih maupun terlatih dan 60% ibu meningggal dirumah sehingga hal ini mempengaruhi AKI di Indonesia yang tergolong tinggi dibandingkan negara- Negara tetangga seperti Filipina 240/100.000 KH. Myanmar170/100.000 KH, Vietnam95/100.000KH dan Thailand 44/100.000. Hal lain yang mendukung tingginya AKI di Indonesia Karena jumlah bidan desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat termasuk ibu hamil dan melahirkan (www.Situs Kespro,2003) Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 Bahan Metode Kerangka konsep T Faktor Karakteristik Bidan PTT R Umur Lama bertugas Status pernikahan I A S Faktor Perilaku Bidan PTT Pengetahuan Sikap Tindakan K L A S I K Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah seluruh bidan PTT yang terdaftar pada Dinas Kesehatan Kabupaten Nias tahun2003 sebanyak 206 orang, sampel yang diambil 50 orang, karena ketidak mampuan biaya dan waktu penelitian dalam menjangkau seluruh Kecamatan di Kabupaten Nias, maka peneliti mengambil 6 Kecamatan di Kabupaten Nias antara lain ( Kec.Idanogawo,Gido,Gunungsitoli, Hiliduho,Alasa dan tuhemberua).Pengambilan Metode pengumpulan data Pengumpulan data diperoleh dari 2 sumber data yaitu: 1. Data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan bidan PTT yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan 2. Data Skunder yaitu data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan babupaten Nias tahun 2003 Analisa Data Analisa data dilakukan dengan program computer mengunakan uji chisquare untuk mengetahui pengaruh karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam memberikan pelayanan kesehatan ib terhadap kejadian triasklasik Aspek pengukuran Pengukuran pengetahuan Pengetahuan responden diukur dengan metode scoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan ada 7 buah, nilai tertingi dari keseluruhan pertanyaan adalah 21. Berdasarkan jumlah Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 155 Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitik disebut deskriftif, karena penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan memberikan situasi dengan keadaan yang sebenarnya ( apa adanya),dalam hal ini tidak ada perlakuan yang sebenarnya apa atau yang dikendalikan seperti yang dijumpai dalam penelitian eksperimen. Hal ini disebabkan penelitian ingin melihat hubungan karakteristik dan perilaku bidan PTT dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dengan kejadian triasklasik diwilayah kerjaDinas Kesehatan gunungsitoli kabupaten Nias tahun 2003 sampel ini dilakukan dengan cara Porposive sampling Page Jenis Penelitian Sikap responden diukur dengan metode scoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan ada 5 buah, nilai tertingi dari keseluruhan pertanyaan adalah 15. Berdasarkan jumlah yang diperoleh maka dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kategori kurang apabila bidan PTT memperoleh skor < 50% dari total skor tertinggi (<8) 2. Kategori baik apabila bidan PTT memperoleh jumlah nilai skor >50 % dari total skor tertinggi (>8) Pengukuran Tindakan Tindakan responden diukur dengan metode scoring terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan ada 7 buah, nilai tertingi dari keseluruhan pertanyaan adalah 21. Berdasarkan jumlah yang diperoleh maka dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kategori kurang apabila bidan PTT memperoleh skor < 50% dari total skor tertinggi (<11) 2. Kategori baik apabila bidan PTT memperoleh jumlah nilai skor >50 % dari total skor tertinggi (>11) Umur Responden Pengelompokan umur responden yang paling banyak berada dalam kelompok umur 20-30 yahun sebanyak(70%) dan diikuti umur > 30 tahun sebanyak (30 %) Komposisi responden menurut umur No Umur reponden F % 1 20-30 tahun 35 70 2 > 30 tahun 15 30 Jumlah 50 100 No 1 2 Umur bertugas 1-3 tahun 4-6 tahun Jumlah F % 18 32 50 36 64 100 Status pernikahan Dapat dilihat bahwa pernikahan responden mayoritas sudah menikah sebanyak 56 %,dan minoritas dengan dengan status belum menikah yaitu 44 %. Komposisi responden Menurut Status Pernikahan No Umur bertugas F % 1 Sudah menikah 15 30 2 Belum menikah 35 70 Jumlah 50 100 Pengetahuan responden tentang triasklasik Dapat dilihat bahwa pengetahuan responden yang berkategori baik 64 %, dan yang berkategori kurang 36% Komposisi responden Menurut Pengetahuan Tentang Triasklasik No Kategori F % jawaban 1 Kurang 18 36 2 Baik 32 64 Jumlah 50 100 Sikap responden tentang triasklasik Diperoleh data sebagai berikut sikap responden terhadap kejadian triasklasik yang berkategori baik 74 %, dan yang berkategori kurang 26% Komposisi responden Tentang Triasklasik No Kategori jawaban 1 Kurang 2 Baik Jumlah Menurut Sikap F % 13 37 50 26 74 100 Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 156 Pengukuran sikap Lama bertugas Responden Dapat dilihat bahwa responden yang terbanyak adalah dengan lama bertugas 4-6 tahun sebanyak 64% dan yangb bertugas 1-3 tahun 36 % Komposisi responden Menurut lama bertugas Page yang diperoleh maka dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kategori kurang apabila bidan PTT memperoleh skor < 50% dari total skor tertinggi (<11) 2. Kategori baik apabila bidan PTT memperoleh jumlah nilai skor 50 % dari total skor tertinggi (>11) Menurut Sikap F % 13 37 50 26 74 100 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 50 orang, rseponden yang mempunyai tindakan yang kurang dengan kejadian trias klasik yaitu sebesar 26 %,sedangkan yang mempunyai tindakan baik sebesar 74 % Komposisi responden Menurut Kasus triasklasik yang dijumpai 1 tahun terakhir No Kasus F % triasklasik 1 Ada 17 34 2 Tidak ada 33 66 Jumlah 50 100 PEMBAHASAN 1. Hubungan Umur dengan kejadian triasklasik Umur bidan PTT paling besar berada pada kelompok umur 20-30 tahun ( 70%). Berdasarkan uji square,dimana p,0,05 dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian triasklasik, menurut Robbins, bahwa tidak ada hubungan umur dengan penampilan kerja dan temuan ini sesuai untuk semua jenis pekerjaan baik propesional maupun non propesional.Sosilo Martoyo (1982) juga menyatakan bahwa mereka yang usia lanjut lebih bertanggung jawab,lebih tertib,lebih bermoral dan lebih berbakti dari pada yang berusia muda. 2. Hubungan Lama bertugas dengan kejadian triasklasik Lama bertugas bidan PTT paling banyak berada pada kelompok 4-6 tahun yaitu 64 % berdasarkan hasil uji square,dimana p<,0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan lama bertugas dengan kejadian triasklasik 3. Hubungan Status pernikahan dengan kejadian triasklasik Status pernikahan bidan PTT ratarata sudah menikah 56 %. Berdasarkan uji square,dimana p,>0,05 dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara status pernikahan dengan kejadian triasklasik 4. Hubungan pengetahuan Responden tentang pemberian pelayanan kesehatan dengan kejadian triasklasik Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu atau pengalaman sendiri dari pengetahuan orang lain.Artinya mengakui sesuatu terhadap sesuatau yang disebut putusan sehingga pada dasarnya putusan atau pengetahuan itu sama. Dapat dilihat bahwa responden 18 % mempunyai pengetahuan yang kurang. Hasil uji statistik chi – square untuk melihat ada tidaknya hubungan pengetahuan tentang pemberian pelayanan kesehatan dengan kejadian triasklasik, dimana P<0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian triasklasik. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku di bidang kesehatan. Pengetahuan tertentu tentang kesehatan mungkin penting.sebelumsuatu tindakan terhadap kesehatan secara pribadi terjadi, tetapi tindakan yang diharapkan mungkin tidak akan terjadi kecuali seseorang mendapat isyarat yang cukup untuk memotivasi bertindak atas pengetahuan yang dimilikinya. Dengan melakukan pelatihan diharapakan sasaran akan memperoleh pengalaman belajar yang akhirnya menimbulkan perubahan perilaku kearah yang lebih positif. Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 157 Komposisi responden Tentang Triasklasik No Kategori jawaban 1 Kurang 2 Baik Jumlah Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan Tinuk Istiarti (1996) yang menyatakan bahwa bidan desa yang mempunyai masa kerja sudah 3 (tiga) tahun mereka telah dikenal masyarakat sertaada kesan yang kuat bahwa kepribadian seorang bidan di desa merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap kehadiran dan peneptana bidan didesa tersebut. M.A Tulus (1981) menyatakan bahwa mereka yang lebih berpegalaman dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas. Makin lama masa kerja seseorang, kecakapan mereka akan lebih baik karena mereka telah menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Page Tindakan responden tentang triasklasik Dari data yang diperoleh berdasarkan penelitian,diperoleh data sebagai berikut : KESIMPULAN DAN SARAN A. 1. 2. Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata tidak ada hubungan umur dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,059>α (0,05) Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata ada hubungan lama bertugas dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,022< α (0,05) 4. 5. 6. B. 1. 2. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata tidak ada hubungan status pernikahan dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,907> α (0,05) Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata ada hubungan pengetahuan dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,004< α (0,05) Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata ada hubungan sikap dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,002< α (0,05) Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 orang bidan PTT didesa dengan menggunakan uji- square ternyata ada hubungan tindakan dengan kejadian triasklasik dimana probabilitas 0,021< α (0,05) Saran Perlu kerjasama anatara Dinas Kesehatan dengan Puskesmas untuk mengadakan pelatihan dan pengembangan dalam meningkatkan pengetahuan bidan PTT di desa,agar efektifitas pelayanan yang diberikan pada masyarakat dapat ditingkatkan Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai factor-faktor lainya yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu sehingga angka kematian ibu menurun. DAFTAR PUSTAKA Winknjosastro hanifa,1997,Ilmu Kebidanan edisi ke-3 Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,Jakarta WHO,Dep Kes RI,1998,Modul safe Motherhood,FKM Universitas Indonesia Jakarta DepKes RI,1995,Strategi Nasional dalam akselerasi penurunan AKI Jakarta DepKes RI,2000,Kematian ibu tragedy yang tidak perlu terjadi,Jakarta Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawiroharjo,2000,Acuan Nasional Pelayanan kesehatan Maternal Neonatal,Jakarta Saifuddin bari.A. 2002,Rencana Strategi making Pregnancy Safer(MPS) di Indonesia 2002-2010, Majalah Kedokteran,Vol 26 No:1 Jakarta Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 158 6. Hubungan Tindakan dengan kejadian triasklasik Sebagaian responden atau 50% tindakan yang dilakukan oleh bidan PTT didesa masih tergolong kurang. Hal ini disebabkan karena peralatan yang disediakan pemerintah masih kurang.Namun ada 50% yang menyatakan tindakan bidan PTT didesa sudah tergolong baik. Hasil uji-square menunjukkan P<0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara tindakan yang dilakukan bidan PTT didesa dengan kejadian triasklasik. 3. Page 5. Hubungan Sikap dengan kejadian triasklasik Menurut Fesbein dan Alzen, sikap yang terbentuk adalah yang positif atau negative tergantung dari segi manfaat atau tidaknya komponen pengetahuan.makin banyak manfaat yang diketahui semakin positip sikap yang terbentuk, selanjutnya sikap yang positif akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan akan menjadi tindakan apabila dukungan social dan tersdianya fasilitas. Sebagian besar responden atau 74 % menyatakan sikap bidan PTT sudah baik, namun masih ada 26% yang menyatakan sikap bidan PTT di desa yang bekerja di wilayah kerja Dinas Kesehatan kabupaten Nias masih kurang.hasil uji statistic chi-square dimana P<0,05 maka diambil kesimpulan bahwa ada hubungan sikap dengan kejadian trias klasik. Menurut penelitian yang dilakukan Soemantodkk (1993) menunjukkan bahwa sikap dari bidan PTT dalam memberikan penyuluhan perawatan kehamilan seperti imunisasi ibu hamil,minum piltambah darah dan sebagainya cenderung masih rendah, sehingga pengetahuan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak dalam prakteknya tidak bias seperti yang diharapkan. Tinuk Istiarti,1996,Pemanfaatan tenaga bidan Desa,seri laporan no.60,Yogyakarta Kespro./ Http// www.situs September/2003/09 Http//www.Situs IBI/Juli/2003/01 Tulus M.A.1991.Manajemen Sumber daya Manusia,Ghalia Indonesia Jakarta Soemanto RB,1993,factor-faktor yang mempengaruhi perilaku pelayanan KIA Buletin Penelitian Kesehatan ,No.385 Page 159 Notoadmodjo Soekidjo,2002,Metodologi Penelitian Kesehatan,Rineka Cipta,Jakarta DepKes ,2002,Profil Dinas Kesehatan Sumatera Utara,Medan Dep Kes RI,1998,Panduan Bidan di Tingkat Desa,Jakarta DepKes ,2002,Profil Dinas Kesehatan Gunungsitoli, Nias Dep Kes RI,2002,Buku saku BIdan di Desa,Jakarta Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi, Vol.4 No.1 April 2011. ISSN LIPI: 1979-9640 KAJIAN KEBIJAKAN PENYALURAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DALAM MENDUKUNG PENCAPAIAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (MDGS 4,5) DI TIGA KABUPATEN, KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR INDONESIA (A Policy Review on The Distribution of Health Operational Aid Funds in Achieving Maternal and Child Health Program (MDGs 4, 5) in Three Districts/Cities of East Java Province) Niniek Lely Pratiwi1, Agus Suprapto1, Agung D Laksono1, Betty R1, Rukmini1, Gurendro1, Ristrini1, Wahyu D Astuti1, Oktarina1, Mugeni S1 Naskah masuk: 7 Agustus 2014, Review 1: 12 Agustus 2014, Review 2: 12 Agustus 2014, Naskah layak terbit: 9 Oktober 2014 ABSTRAK Latar belakang: Kebijakan Peraturan Menteri kesehatan Nomer 494/menkes/SK/IV/2010 tentang Penyaluran dana BOK kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah untuk pembangunan kesehatan masyarakat dalam meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif guna percepatan tercapainya MDGs Bidang Kesehatan. Tujuan kajian untuk memberikan rekomendasi kebijakan BOK dalam pencapaian program kesehatan ibu dan anak. Metode: Kajian data sekunder profil kesehatan kabupaten tahun 2009-2011 dan data primer focus group discussion (FGD) dengan mengundang pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten dan beberapa puskesmas serta staf pengelola BOK dari pemda. Hasil: Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat dari hasil review data profil 3 kabupaten Sampang, Gresik dan kabupaten Sidoarjo. Pemerintah daerah kurang komitmen dalam menyusun strategi prioritas program kesehatan ibu dan anak dalam bentuk rencana inovasi aksi daerah. Kegiatan preventif promotif BOK kurang pengawasan dan kontrol pertanggungjawaban terutama pada puskesmas yang lokasinya jauh dari pusat pemerintahan kabupaten. Pertanggungjawaban keuangan kurang tepat program dan sasaran, mengingat data pencapaian kesehatan ibu dan anak cakupan KN1-KN4 naik pada tahun 2010, namun kemudian turun kembali pada tahun 2011. Kesimpulan: Perlu upaya evaluasi dan monitoring pemanfaatan dana BOK sesuai peruntukan, supervisi kegiatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maupun oleh tokoh masyarakat setempat. Prioritas monitoring pada puskesmas di daerah sulit dengan AKI dan AKB tinggi. Saran: Perlu pendampingan dan pembinaan rutin dan berkala berupa bimbingan teknis terkait pemanfataan BOK. Kata kunci: Bantuan operasional kesehatan/BOK, MDGs, Upaya preventif, promotif kesehatan ABSTRACT Background: Health Policy Regulation Number 494/Menkes/SK/IV/2010 on the distribution of BOK funds to local government is one of the government’s responsibility for the development of public health in improving health promotion and prevention efforts in order to accelerate the achievement of MDGs in Health. The purpose of the study is to provide policy recommendations regarding to BOK in achieving the goals of maternal and child health programs. Methods: Secondary data review of the district health profile in 2009-2011 and analysis on the primary data collected from focus group discussion (FGD) with invited technical implementor from district health office and health centers as well as some of the staffs of the local government that handle BOK. Results: The decline in maternal and infant mortality rates are still slow and cases of malnutrition increased from the three profile data review Sampang, Gresik and Sidoarjo. Local governments pay little commitment in developing priority strategies of maternal and child health programs in the form of a local action 1 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya Alamat Korespondensi: [email protected] 395 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 and innovation plan. BOK preventive promotive activities are lacking of monitoring and accountability controls, especially in health centers located far from the district center. Financial accountability is less precise to the programs and targetes, having seen the data of maternal and child health outcomes KN1-KN4 coverage which rose in 2010, but then fell back in 2011. Conclusion: Evaluation and monitoring are needed on the utilization of BOK funds, supervising the activities by the district/city health office, as well as by local community leaders. Prioritise monitoring the health centers in the area with high MMR and IMR. Suggestion: Needed routine and periodic mentoring and coaching in the form of technical assistance related to the utilization of BOK. Key words: Health Operational Funds channelling, Maternal child of Health, Preventif and promotif PENDAHULUAN Upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat selain diarahkan untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs), juga harus diarahkan pada pembudayaan pola hidup sehat bagi masyarakat melalui upaya promotif, preventif, dan pemberdayaan masyarakat. Dukungan jajaran Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (Tim Penggerak PKK) di Kabupaten/Kota merupakan faktor penting dalam mewujudkan budaya hidup sehat bagi masyarakat. Urusan pemerintahan di bidang kesehatan merupakan urusan bersama (concurrent function) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga setiap Pemerintah Daerah diwajibkan untuk meningkatkan pemerataan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan kegiatan dan penyediaan dukungan anggaran yang memadai, harus berpedoman pada ketentuan mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang pelayanan kesehatan (Djaswadi Dasuki, 2001). Berbagai upaya telah dan akan terus ditingkatkan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah agar peran dan fungsi Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar semakin meningkat. Dukungan pemerintah bertambah lagi dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi Puskesmas sebagai kegiatan inovatif di samping program kesehatan lainnya seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan atau Jampersal (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kebijakan penyaluran dana BOK oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2010 merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesehatan bagi masyarakat di 396 pedesaan/kelurahan khususnya dalam meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif guna tercapainya target Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan. SPM sebagai tolok ukur urusan kewenangan wajib bidang kesehatan, telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Puskesmas sebagai salah satu unit pelaksana pelayanan bidang kesehatan juga mengemban amanat untuk mencapai target tersebut sehingga masyarakat akan mendapat pelayanan kesehatan yang semakin merata, dan berkeadilan. Dana BOK bukan merupakan dana utama dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/ kota. Beberapa issu public ditengarai bahwa ada kebijakan tingkat regional, yaitu Pemerintah Daerah mengurangi alokasi pembiayaan program promotif kesehatan ke luar sektor kesehatan, dengan asumsi mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah Pusat memberikan tambahan dana operasional puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda mengalokasikan dana tersebut sangat kurang, dan mengharapkan pemda tidak mengurangi lagi anggaran yang sudah dialokasikan untuk operasional Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi dan kondisi wilayah, pendidikan masyarakat, sosial ekonomi dan determinan sosial lainnya. kesehatan, dengan asumsi mereka telah terbiayai oleh dana BOK. Pemerintah pusat memberikan tambahan dana operasional puskesmas tersebut karena sebagian besar pemda mengalokasikan dana tersebut sangat kurang, dan mengharapkan pemda tidak mengurangi lagi anggaran yang sudah dialokasikan untuk operasional Puskesmas. Masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas alokasi untuk biaya operasional termasuk preventif, promotif Puskesmas. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan situasi dan kondisi wilayah, pendidikan masyarakat,Dana sosialBantuan ekonomi dan determinan sosial lainnya. Kajian Kebijakan Penyaluran Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) METODE METODE Kerangka Konsep Goal 7 (Target 7C) Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup. Kajian policy paper ini membatasi hanya pada Kerangka Konsep kesehatan ibu dan anak (target 4 dan 5). Kajian ini melakukan analisis hasil penelitian BOK •TurunanPoicy:Perda,Perbup,Perwali •Sosialisasi terdahulu, studi literatur capaian kesehatan ibu dan •FasilitasiPenyelenggaraanProgram/Kegiatan anak pada data profil kesehatan kabupaten, kota p n •F •K •K •K tahun 2009, 2010 dan 2011 serta data penyerapan e u e e e Akseptabilitas i aia n te te p s d p gs r r e an u Kebijakan a r n St C iM se se m dana BOK. Kajian hasil wawancara mendalam, saa SPM,MDG’S i i d d m o s an a ia ia p a S g k n n a a i K Ketepatan o aj n n n i n � ja d taa L n pengembangan konsep dilakukan dengan analisis e S F an i Kapasitas Programdan a m D as Implementasi IA a d se K e K Manajerial k Sasaran IA e d n – ya n BOK – 5 n K e K dalam dialog selama diskusi yang menyangkut g MDG’S , m s d P M ke ra lP u O n o g si s n att e A r r a ar C Faktor S T P H juga beberapa konten BOK. Komponen dalam . . . Kontekstual 1 2 3 e K prosedur metodologi analisis kebijakan tersebut adalah perumusan masalah, prediksi, rekomendasi, • Kemiskinan pemantauan dan evaluasi. Melakukan analisis • KondisiGeograf i • PeranKeluarga kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut dalam proses kajiannya dengan metode sencePendekatan making (Dunn, 2000). Gambar 1.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan BOK Berdasarkan Penelitian ini merupakan kajian kebijakan BOK, Sistem dengan metode potong lintang. Data sekunder HASIL yang dikumpulkan meliputi data profil kesehatan, Faktor Determinan Penyaluran Dana BOK Penelitian inipenyerapan merupakan kajian kebijakan BOK, dengan metode potong lintang. Data sekunder dokumen anggaran BOK tahun 2009, 2010, 2011 dan meliputi review data beberapa hasil penelitian Kebijakan penyaluran yang dikumpulkan profil kesehatan, dokumen penyerapan anggaran BOK tahun dana BOK ke puskesmas BOK terdahulu. dilihat dari berbagai faktor determinan yang 2009, 2010, 2011 dan review beberapa hasil penelitian BOK terdahulu. Kajian dilakukan dengan mengumpulkan informasi memengaruhi tercapainya tujuan MDGs ke 4,5. 3� melalui wawancara mendalam pada pengelola Hasil diskusi diperoleh pandangan bahwa kebijakan �program kesehatan ibu dan anak, bendahara BOK penyaluran dana BOK dipengaruhi oleh sistem proses tingkat kabupaten, kota antara lain: kepala sub bid pengajuan penganggaran, Rencana Pengajuan program dinkes, kepala puskesmas di kabupaten Kegiatan (RPK) yang disusun setahun sekali, Gresik, Sidoarjo, kabupaten Sampang dan kota terkadang di tengah kegiatan ada program prioritas Surabaya. Pertemuan berupa diskusi kelompok yang sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa terarah, lokakarya dihadiri oleh kepala bidang program atau emergency, yang harus dilaksanakan dan belum dan kepala sub bidang dinas kesehatan kabupaten diajukan di RPK. Sumber daya manusia juga menjadi dan peneliti. faktor determinan adanya tugas rangkap petugas di Variabel penelitian adalah akseptabilitas kebijakan, puskesmas yang berakibat petugas kurang fokus kontekstual (isi substansi BOK), dan kapasitas dalam bekerja. Hal ini terlihat dari komentar selama manajerial ditanyakan secara mendalam kepada diskusi menanggapi adanya kebijakan BOK sebagai para decisions makers tingkat kabupaten. Sedangkan berikut, variabel ketepatan program sasaran MDGs dan “RPK disusun setahun sekali, boleh mengubah, faktor konstekstual: geografis dan kemiskinan dari tapi akan memperlama proses. Karena akan laporan profil kesehatan kabupaten, kota. Variabel mengubah pengajuan ke KPPN. Jadi kegiatan penyerapan anggaran BOK diperoleh dari rekapitulasi harus sesuai dengan RPK. Kembali lagi ke penyerapan anggaran BOK triwulan, dan tahunan. SDM yang ada di PKM, karena banyak yang Kementerian Kesehatan mentargetkan pada tahun mempunyai tugas rangkap”. (Informan Dinkes 2015 pencapaian MDGs untuk tujuan Goal 1 (Target Kota Surabaya) 1C) Memberantas kemiskinan dan kelaparan; Goal 4 (Target 4A) Menurunkan Angka Kematian anak; Prioritas Program Goal 5 (Target 5A) Meningkatkan kesehatan ibu; Goal Penyaluran dana BOK ditujukan untuk prioritas 6 (Target 6A & 6B) Mengendalikan HIV dan AIDS; program pencapaian tujuan MDGs, khususnya GoaL 6 (Target 6C) Mengendalikan Penyakit TB; 397 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 peningkatan kesehatan anak dan kesehatan ibu. Pemanfaatan dana BOK di kabupaten/kota, diprioritaskan pada upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi suatu daerah, termasuk pula penyakit menular yang dapat mempengaruhi kesehatan maternal. Dana BOK dapat dipakai untuk pemberian makanan tambahan atau PMT anak balita dan ibu hamil dalam setiap kunjungan posyandu. Besaran nilai rupiah untuk PMT tergantung kebutuhan dan harga satuan makanan setempat. Pemberian PMT yang bervariasi dengan kandungan Gizi perlu menjadi pertimbangan utama. Alokasi besaran PMT untuk setiap puskesmas dengan mempertimbangkan besarnya permasalahan status gizi balita di setiap daerah, seperti diungkapkan oleh informan dari Dinkes Kabupaten Gresik sebagai berikut. “Besarnya jumlah dana BOK per puskesmas tergantung jumlah kunjungan, jumlah penduduk dan tipe puskesmas. Gresik pembagian dana BOK berdasarkan jumlah penduduk, jumlah kunjungan, tipe puskesmas. Uuntuk pengadaan PMT, kalau bisa diadakan di dinas, agar seluruh PKM dapat PMT, karena bila diadakan di level PKM, masing-masing PKM ada yang menganggarkan dan ada yang tidak”. “PMT di sidoarjo sebesar 1,4 M (APBD), PMT di gresik 585 jt (APBD). Kabupaten Sidoarjo BOK 2,2 M dengan rincian 1,950 M untuk PKM, 300 jt untuk dinas. Besaran dana BOK kabupaten Gresik 2,7 Miliar dengan rincian untuk PKM 2,4 M, 300 juta untuk manajemen dinas. APBD untuk preventif, promotif di sampang: PMT penyuluhan, honor, kegiatan promkes - 299 juta. Pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan 200 jt. Imunisasi 92 juta. APBD untuk prev prom Gresik: 54 jt untuk promkes”. Affordability atau Keterjangkauan Biaya Keterjangkauan biaya atau affordability telah mendorong dikeluarkannya kebijakan BOK yaitu berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah. Daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas398 batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Penyaluran dana BOK setiap puskesmas di kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk, jumlah kunjungan dan tipe puskesmas, dipertimbangkan untuk menambah variabel penting lainnya seperti besarnya permasalahan kesehatan ibu dan anak dan geografis yang sulit. Biaya transportasi petugas kesehatan dalam upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak dari kecamatan ke desa dengan besaran Rp 25.000 per orang, ditentukan sesuai dengan peraturan daerah dan kelayakan geografis. Kegiatan kunjungan neonatal I-IV petugas kesehatan dalam pemeriksaan ibu hamil ke rumah dalam upaya jemput bola bagi ibu hamil yang tidak mau ke puskesmas karena medan yang sulit dapat memanfaatkan dana BOK sebagai pengganti transport, termasuk pula kunjungan Nifas bagi ibu bersalin dapat memakai dana BOK ini. Berikut tanggapan tentang peruntukan alokasi anggaran BOK, oleh informan dari Kabupaten Gresik, “Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan) sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk tahun depan akan ditempelkan di DAU”. “Di Gresik terdapat 6994 kader, honor berasal dari APBD, transport bisa dari BOK, 25 ribu. Di Sampang, transport dari puskesmas ke desa 15 ribu. Dari APBD honor kader posyandu 30 ribu per bulan. Banyak kader yang merangkap hingga menangani 3 posyandu. Jumlah posyandu 904 dengan kader 200- Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) 300an kader. Dasar dari pembagian dana BOK bermacam-macam dasar”. Sedangkan tanggapan informan kabupaten Sidoarjo mengatakan bahwa, “Di Sidoarjo, sudah menyusun POA dan RPK bulanan untuk satu tahun. Bila ada perubahan RPK, akan memperlama proses pengajuan keuangan (butuh waktu yang lebih lama), yang akan berpengaruh atau berdampak ke seluruh rangkaian kegiatan dan berimbas pada penyerapan anggaran. Di Sidoarjo ada peraturan Bupati yang mengatur bahwa transport dari PKM ke desa wilayah kerja sebesar 25 ribu”. Health System Building Blocks Beberapa pernyataan tentang hambatan yang dihadapi dalam membangun sistem penyaluran dana BOK ditanggapi oleh beberapa informan, seperti dari Dinkes kabupaten Sidoarjo, “Anggaran BOK tahun ini disamakan. BOK bisa untuk transpor kader posyandu, kader posyandu usila. Sidoarjo per posyandu dapat 25 ribu, di Gresik kader per orang 10 ribu. APBD: ada dana 50 ribu per posyandu (1670 posyandu) untuk kegiatan posyandu, tidak melihat berapa pun jumlah balita yang ada. Refresing kader bisa diambil dari BOK, untuk transport dan konsumsi. Sedangkan komentar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang bahwa: “Besaran alokasi dana BOK per puskesmas berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, realisasi penyerapan tahun lalu, jumlah nakes medis dan paramedik”. Program imunisasi, terutama daerah endemis Diphteri seperti propinsi Jawa Timur, maka upaya jemput bola petugas imunisasi ke masyarakat dapat memanfaatkan dana BOK. Imunisasi TT untuk ibu hamil, dan pra hamil. Buku Petunjuk Teknis Penyaluran Dana BOK perlu memberikan contoh konkrit peruntukannya sehingga petugas kesehatan di lapangan tidak ada keraguan dalam pertanggungjawaban keuangannya dan dapat lebih mudah merencanakan kegiatan preventif dan promotif ini. Berikut tanggapan seorang informan dari puskesmas di Kota Surabaya, bahwa: “Pos KLB dari BOK ada anggarannya, meskipun itu belum tentu terserap. Kalau di Kabupaten lain, pos KLB tidak ada, pos KLB dianggarkan dari APBD, yang lebih longgar dalam melakukan perubahan. Seperti contoh adanya wabah Diptheri di Surabaya pada tahun 2012 dapat menggunakan alokasi KLB dari dana BOK dan mengingatkan petugas kesehatan untuk melakukan upaya preventuf dan promotif.” Kendala kebijakan BOK dalam mencapai tujuan program diantaranya adalah administrasi pertanggungjawaban keuangan yang dirasakan membingungkan, sehingga pada awal kebijakan menjadi kendala. Perlu proses pembelajaran semua pihak terkait sehingga dengan berjalannya waktu akan terbiasa mengerjakan sesuai standar peraturan keuangan Negara. Faktor yang menghambat antara lain dana BOK di masukkan sebagai DAU dan ini memberikan konsekuensi anggaran untuk kesehatan berkurang karena ada substitusi anggaran dari pusat. Faktor penghambat lainya adalah pertanggungjawaban administrasi dana BOK terlalu ketat, sehingga beberapa kabupaten takut untuk membuat pertanggungjawaban keuangan negara. Penyaluran dana BOK yang diperuntukkan kegiatan prioritas di beberapa kabupaten menyebutkan untuk pemberian makanan tambahan bagi balita kurang gizi di posyandu, kegiatan promosi petugas kesehatan, juga untuk transpor kader kesehatan ke posyandu. Besaran transpor kader berbeda setiap kabupaten tergantung Perda atau kebijakan di tingkat kabupaten, kota. Berikut tanggapan informan dari Dinkes Kota Surabaya, “Pertanggungjawaban BOK terlalu njlimet yang merepotkan. Yang bertanggung jawab terhadap dana bukan bendahara, tapi Petugas Pelaksana Teknis Kegiatan/PPT. Transport Perjalanan dinas lebih dari 5 kilo, transport 80 ribu, kalo kurang dari 5 KM, dapat 25 ribu”. “Untuk tahun depan, BOK tidak lagi masuk kedalam dana Tugas Perbantuan/TP. Tapi masuk di dalam dana alokasi khusus/DAU. Dikhawatirkan setelah masuk DAU, jatah anggaran untuk Dinkes Kabupaten akan berkurang, karena ada substitusi anggaran dari pusat”. 399 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 Informan di Kabupaten Gresik memberikan tanggapan bahwa “ “Dana BOK melalui TP (tugas Pembantuan) sebenarnya tidak tepat, karena BOK turun tiap tahun. Bila dimasukkan dalam Dana alokasi Khusus/DAK, juga kurang tepat karena DAK untuk kegiatan yang “emergency”. Jadi untuk tahun depan akan ditempelkan di DAU”. Beberapa data profil kesehatan kabupaten/kota yang dapat disajikan sebagai informasi dalam capaian kesehatan ibu dana anak baik sebelum dan sesudah adanya kebijakan dana penyaluran BOK gambar di bawah ini. Formulasi cost sharing pembiayaan upaya preventif promotif dari pemerintah kabupaten/kota melalui APBD. Masyarakat dapat berperan dan dikembangkan melalui mobilisasi dari beberapa sumber dari masyarakat, ataupun perusahaan misalkan Corporate Social Responsibility atau CSR. Berikut tanggapan dari kabupaten Gresik sebagai kota industri. “Memobilisasi sumber daya yang ada di setiap daerah perlu dikembangkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat setempat, baik masyarakat secara individu, maupun kelompok. Potensi daerah dalam Dana Bagi hasil Cukai Rokok dapat pula menjadi salah satu CSR, namun tentunya harus mempertimbangkan banyak hal terutama dalam era bebas rokok, mungkinkah hal ini dilakukan?”. Potensi daerah dalam menggerakkan pembangunan kesehatan di wilayahnya dapat pula dikembangkan, terutama bila terdapat industri kecil maupun besar. Berikut tanggapan dari Dinas kabupaten Gresik: Gambar 2. Trend Jumlah Kunjungan Ibu Hamil (KI) di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan gambar grafik di atas tampaknya jumlah kunjungan K1 kabupaten Sampang ada peningkatan setelah kebijakan dana BOK, namun untuk kabupaten Sidoarjo tidak ada peningkatan bahkan sedikit menurun, demikian pula kabupaten Gresik kunjungan K1 malah terjadi penurunan yang cukup tajam pada tahun 2011. “Untuk menjadi wacana bila CSR bisa membiayai BOK, untuk daerah terdampak. Hal ini berlaku untuk daerah dengan industri yang banyak. CSR diberikan oleh perusahaan pada dinas, selain juga diberikan pada masyarakat langsung.contoh pada DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau)”. Tren Hasil Program Kesehatan Ibu dan Anak sebelum dan Setelah Kebijakan BOK Perkembangan pencapaian cakupan MDGs kesehatan ibu dan anak dapat dikaji dengan menampilkan pencapaian sebelum dan setelah adanya kebijakan BOK. Hasil dilihat pada penjelasan continum of care data profil kesehatan kabupaten, kota sejak tajun 2009 sampai dengan tahun 2011. 400 Gambar 3. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Ibu di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) Gambar 3 memperlihatkan terjadi penurunan angka kematian ibu di kabupaten Sidoarjo, namun pada kabupaten Gresik terjadi peningkatan pada tahun 2010 dan kembali turun sedikit pada tahun 2011. Tampaknya angka kematian ibu ini tidak berpengaruh dengan meningkatnya kunjungan K1 ibu hamil ke petugas kesehatan. Gambar 4. Trend Jumlah Persalinan oleh Nakes di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur Terlihat bahwa di 3 kabupaten Sampang, Gresik dan Sisoarjo terjadi tren peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan setelah adanya kebijakan dana BOK yang diturunkan pada setiap puskesmas. Kesehatan Anak sangat tajam pada tahun 2011. Kabupaten Sidoarjo angka kematian bayi pada tahun 2010 menurun sedikit dan kemudian pada tahun 2011 angka kematian bayi menurun sangat tajam yaitu pada angka 2,49 per 1000 kelahiran. Di kabupaten Gresik angka kematian Bayi pada tahun 2010 menurun cukup tajam namun pada tahun 2011 naik kembali menjadi 7,5 per 1000 kelahiran. Gambar 6. Kecenderungan Jumlah Balita Gizi Buruk di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur Dari gambar grafik di atas tampak bahwa kecenderungan Balita Gizi Buruk di kabupaten Sampang dan Sidoarjo meningkat pada tahun 2010 dan tahun 2011. Tren Balita gizi buruk menurun pada tahun 2010, dan tahun 2011 di Kabupaten Gresik. PEMBAHASAN Faktor Affordability Pencapaian MDGs Kesehatan Ibu dan Anak Gambar 5. Kecenderungan Jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Sampang, Gresik dan Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur Pada gambar grafik di atas tampak bahwa di kabupaten Sampang pada tahun 2010 terjadi peningkatan angka kematian, namun menurun dengan Penurunan angka kematian ibu dan bayi masih lamban dan kasus gizi kurang makin meningkat dari hasil review data profil dari ke 3 kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan kabupaten Sampang. Jumlah petugas kesehatan masih sangat terbatas dengan wilayah kecamatan yang luas dan geografis yang tidak memungkinkan, terlihat dari hasil diskusi bahwa banyak tugas rangkap, maka pemberdayaan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang diharapkan secara langsung dapat mempercepat pencapaian MDGs. Perlu suatu gerakan inovatif dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam pemantauan dan penimbangan gizi bagi Balita, pemantauan pemeriksaan kunjungan neonatal ke fasilitas kesehatan. Pemberdayaan 401 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 masyarakat “gerakan sehat untuk semua” akan menjadi suatu nilai tersendiri di mata masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan menimbulkan suatu nilai rasa memiliki program kesehatan. Masyarakat akan merasa membutuhkan pengetahuan, keterampilan tentang upaya preventif kesehatan ibu dan anak yang seharusnya mereka lakukan. Permasalahan kesehatan bukan semata mata permasalahan petugas kesehatan. Jika masyarakat peduli terhadap kesehatan maka permasalahan kesehatan adalah masalah masyarakat dan menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Hasil analisis lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek Lely Pratiwi dkk pada tahun 2012 dikatakan bahwa umur kehamilan saat ANC pertama kali didominasi oleh kelompok umur 3 bulan pertama di perkotaan 82,5%, di pedesaan 67,4%. Terlihat bahwa pemeriksaan ANC pertama kali prevalensi terbesar pemeriksaan kehamilan pada umur kehamilan 3 bulan pertama kehamilan. Di pedesaan pemeriksaan ANC pertama kali pada umur kehamilan 4-6 bulan 14,7% dibandingkan ibu hamil di perkotaan yang peduli terhadap kehamilannya, bahkan yang menjawab tidak tahu umur kehamilan saat ANC pertama kali pun di pedesaan 10,7%. Ditemukan bahwa di negara miskin, sekitar 25– 50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau bersalin. Berdasarkan hasil SDKI 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 228/100.000 Kelahiran Hidup (KH), dan tahun 2008, 4.692 jiwa ibu meninggal di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka Kematian Bayi (AKB) 34/1000KH, menunjukkan terjadi stagnasi bila dibandingkan dengan SDKI 2003 yaitu 35 per 1000 KH. Berdasarkan data SKRT 2003 bahwa penyebab langsung kematian ibu adalah pendarahan 28%, eklamsi 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, abortus 5%, dan lain-lain. Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas 402 dan BBLR 12,8%, dan RDS 12,8%. Oleh karena itu, upaya penurunan angka kematian bayi dan Balita perlu memberikan perhatian yang besar pada upaya penyelamatan bayi baru lahir dan penanganan penyakit infeksi (diare dan pneumonia). Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu maupun bayi adalah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Pesan pertama kunci Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Faktor lain adalah kurang pengetahuan dan perilaku masyarakat yang tidak mengenali tanda bahaya dan terlambat membawa ibu, bayi dan balita sakit ke fasilitas kesehatan. Pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang tanda bahaya kehamilan diperlukan suatu fasilitasi upaya promotif pada masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun non formal (Nova Corcoran, 2008). Bekal pengetahuan reproduksi remaja dan KIA seharusnya masuk dalam kurikulum anak sekolah menengah ke atas. Adanya kebijakan penyaluran dana BOK dapat memfasilitasi upaya preventif dan promotif kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2008 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sudah mencapai 80,68%, sehingga masih ada pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara tradisional. Hasil analisis data Riskesdas tahun 2010 menyatakan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan rerata angka nasional menunjukkan persalinan oleh tenaga kesehatan 78,7%, dan persalinan oleh dukun bayi 17,7%. Pemerintah berupaya untuk memecahkan masalah tersebut. Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan stiker yang telah terbukti mampu meningkatkan secara signifikan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan Buku KIA sebagai informasi dan pencatatan keluarga yang mampu meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan ibu/bayi, dan balita. Hasil analisis lanjut Riskesdas 2010 oleh Niniek L Pratiwi dkk mengatakan bahwa ibu hamil yang memiliki buku KIA di pedesaan 30,3% yang diperlihatkan dan yang mengaku punya namun tidak memperlihatkan 48,3% sedangkan yang tidak memiliki 21,4%. Menurut Sri Hermiyanti menjelaskan dengan tercatatnya ibu hamil secara tepat dan akurat serta dipantau secara intensif oleh tenaga kesehatan dan kader di wilayah Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) tersebut, maka setiap kehamilan sampai persalinan dan nifas diharapkan dapat berjalan dengan aman dan selamat (http://www.depkes.go.id/index.php/berita/ press-release/790-ibu-selamat-bayi-sehat-suamisiag.html,2012). Penemuan kasus ibu hamil Risti yang sudah ditangani oleh petugas kesehatan yang meningkat dengan adanya kebijakan dana BOK, diharapkan akan menjadi suatu budaya bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan tugas pokoknya, mereka menjemput bola ke masyarakat, mengingat dana transpor ke masyarakat sudah tersedia. Dana BOK dapat pula dipakai buat transpor kader. Kejadian kematian ibu dan bayi yang terbanyak terjadi pada saat persalinan, pasca-persalinan, dan hari pertama kehidupan bayi masih menjadi tragedi yang terus terjadi di negeri ini. Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir memerlukan upaya dan inovasi baru. Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir harus melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Terlebih bila dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yakni menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) menjadi 23 per 100.000 kelahiran hidup yang harus dicapai. Waktu yang pendek, tidak akan cukup untuk mencapai sasaran itu tanpa berbagai upaya yang luar biasa (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012). Faktor Determinan Pencapaian MDGs Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan penyaluran dana BOK dipengaruhi oleh faktor determinan antara lain yaitu sistem proses pengajuan penganggaran, Rencana Pengajuan Kegiatan atau RPK disusun setahun sekali. RPK selayaknya dibuat lebih fleksibel agar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkadang sifatnya Bottom up atau ada kejadian luar biasa, yang harus dilaksanakan dan belum diajukan di RPK. Sumber daya manusia juga menjadi faktor determinan yaitu adanya tugas rangkap petugas di puskesmas. Kebijakan dana BOK diharapkan dapat didukung oleh pemerintah kabupaten/kota untuk upaya preventif dan promotif bidang KIA agar keterlambatan rujukan dapat dikurangi. Hasil Riset etnografi budaya Badan Litbangkes di kabupaten Gayolues 2012, bahwa risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya faktor keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. Ada tiga risiko keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk karena persoalan adat (termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan. Dua pertiga kematian pada bayi terjadi pada masa neonatal (28 hari pertama kehidupan). Penyebabnya terbanyak adalah bayi berat lahir rendah dan prematuritas, asfiksia (kegagalan bernapas spontan) dan infeksi (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pemerintah Daerah Provinsi perlu komitmen untuk mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk percepatan penurunan kematian ibu dan kematian bayi baru lahir dengan menyusun Rencana Aksi Daerah di samping terobosan lainnya. Beberapa contoh komitmen, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah mencanangkan Program AKINO (Angka Kematian Ibu dan Bayi Nol) dengan meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KIA hingga ke tingkat desa; Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Program Revolusi KIA dengan tekad mendorong semua persalinan berlangsung di fasilitas kesehatan yang memadai (puskesmas); Pemda DI Yogyakarta berkomitmen meningkatkan kualitas pelayanan dan penguatan sistem rujukan, serta penggerakan semua lintas sektor dalam percepatan pencapaian target MDGs oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat. Sebenarnya sudah ada upaya terobosan pemerintah dengan adanya program Jampersal (Jaminan Persalinan) yang digulirkan sejak 2011. Program Jampersal ini diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan. Melalui program ini, pada tahun 2012 Pemerintah menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapatkan layanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan. Program yang punya slogan Ibu Selamat, Bayi Lahir Sehat ini diharapkan memberikan kontribusi besar dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan di samping pola pencarian pertolongan kesehatan dari masyarakat, sehingga 403 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 395–405 dukungan dari lintas sektor dalam hal kemudahan transportasi serta pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Program Jampersal ternyata tidak signifikan memberikan konstribusi dalam penurunan angka kematian ibu bersalin. Pada awal Januari 2014 telah di launching-nya oleh Kementerian Kesehatan tentang jaminan kesehatan nasional atau JKN. Program tersebut mencakup pelayanan persalinan, perlu dipikirkan kebijakan yang lebih inovatif agar tidak terjadi lonjakan kematian ibu bersalin. Hasil SDKI 2012 menunjukkan AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran. Tren peningkatan AKI, dikhawatirkan menyebabkan sasaran MDG 5a tidak akan tercapai, demikian juga dengan sasaran MDG 4. Upaya perlu lebih ditingkatkan agar penurunan AKI dan AKB melebihi tren yang ada sekarang. Penyaluran dana BOK ke puskesmas yang sejak mulai tahun 2010 telah didistribusikan ke seluruh puskesmas di Indonesia tidak menunjukkan pemanfaatan yang semestinya sesuai tujuan untuk percepatan pencapaian MDGs. Kebijakan ini sangat bagus dan merupakan upaya inovasi yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Ada kemungkinan ketidaktepatan sasaran pengguna anggaran BOK, meskipun tanggung jawab administrasi sudah tidak ada masalah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan dana BOK sesuai pengguna sasaran preventif, promotif program KIA. Diperlukan perubahan target capaian BOK, bukan hanya untuk penyerapan dana BOK. Beberapa pengalaman empiris peneliti berupa kegiatan penelitian observasi partisipatori dengan tinggal di desa, terutama daerah yang sulit secara geografis, menemukan bahwa pemantauan kegiatan pemanfaatan dana BOK jarang bahkan hampir tidak pernah di evaluasi dan di monitoring peruntukannya, peneliti menengarai ada penyerapan pembiayaan tanpa ada kegiatan yang dilakukan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komitmen Pemerintah Daerah kurang untuk upaya preventif, promotif bidang KIA guna mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk percepatan penurunan kematian ibu dan kematian bayi baru lahir dengan mengurangi anggaran dana preventif dan promotif kabupaten kota dengan pertimbangan sudah ada dana BOK. Terlihat bahwa 404 ada beberapa kasus dari data profil kesehatan kabupaten pada tahun 2010 angka kematian bayi menurun, namun pada tahun 2011 naik kembali ke posisi tahun 2009. Penyusunan Rencana Aksi Daerah kurang mengacu pada program prioritas program kesehatan ibu dan anak, kurangnya monitoring dari propinsi ke kabupaten, kurangnya pemantauan dan monitoring dari dinas kesehatan kabupaten ke kecamatan yang perlu dilakukan. Masih lambannya penurunan angka kematian ibu dan bayi dan kasus gizi kurang dari hasil review data profil dari ke 3 kabupaten (Gresik, Sidoarjo dan Sampang) di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan kabupaten Sampang. Kepala Puskesmas kurang dapat mengelola dana BOK secara lebih efisien dan akuntabel, mengingat dari beberapa data sekunder data pencapaian kesehatan ibu dan anak cakupan ‘KN1’-‘KN4’ naik pada tahun 2010. Program JKN, kebijakan BOK dalam upaya pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat mengungkit turunnya angka kematian ibu bersalin, bayi lahir sehat ini diharapkan memberikan kontribusi besar dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Sasaran MDGs diharapkan pada tahun 2015 sudah harus tercapai, kini tenggang waktu itu tinggal 1 tahun lagi. Saran Perlu dilakukan pendampingan dan pembinaan terutama puskesmas yang jauh dari Pusat Kabupaten/ Kota yang dilakukan secara rutin dan berkala setiap bulan ke puskesmas yang tidak hanya pencatatan tanpa memberikan nilai makna di balik angka. Supervisi seharusnya lebih ditekankan pada bimbingan teknis. Dana BOK dimaksudkan juga untuk upaya preventif, promotif petugas kesehatan yang ada di puskesmas, namun dana BOK juga dapat dipakai untuk petugas kesehatan yang di dinas kesehatan untuk supervisi dalam rangka pendampingan pencapaian upaya preventif dan promotif. Perlu suatu gerakan inovatif dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam pemantauan dan penimbangan gizi bagi Balita, pemantauan pemeriksaan kunjungan neonatal ke fasilitas kesehatan. Dengan pemberdayaan masyarakat gerakan sehat untuk semua menjadi suatu nilai tersendiri di mata masyarakat bahwa kesehatan merupakan kebutuhan bagi masyarakat. Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan (Niniek L. Pratiwi, dkk.) DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010. Studi Operasional Bantuan Operasional Kesehatan Terhadap Kinerja Puskesmas Dalam Mencapai Target MDGs, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2007. Laporan Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2013. Laporan Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta. Corcoran, N., 2008. Theories and Models in Communiting Health messages. In: Communiting Health strategies for Health promotion. Singapore: Sage Publ. p. 5-31. Dunn, W., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (second edition) (terjemahan). Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Djaswadi, Dasuki, 2001. Kematian maternal dan perinatal: masalah, tantangan dan upaya pemecahan. Dalam: Reorientasi kebijakan kependudukan. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Kependudukan Universitas Gadjah mada, hal. 91-104. Gulliford, M. (et al), 2002. What does `access to health care’ mean? Journal of Health Services Research and Policy, 7(3) July. Kementerian Kesehatan RI, 2011. Bagaimana Pendanaan Jampersal? Mediakom (29) April. Niniek Lely Pratiwi., 2013. Pemberdayaan masyarakat dalam pencapaian MDGs. Dalam: Pemberdayaan Masyarakat dan Perilaku Kesehatan (Teori dan Praktek) Strategi Percepatan pencapaian MDGsPost MDGs, Surabaya: Airlangga University Press, hal 1-8. Niniek Lely Pratiwi. 2014. Health seeking behavior Antenatal care di Indonesia. Dalam: Health seeking behavior Kesehatan Ibu dan Anak, Surabaya: Airlangga University Press, hal 33-66. Niniek Lely Pratiwi., Yunita, F., Fachmi, Yudi, Syaiful, 2012. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak, Etnik Gayo Desa Tetinggi Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Surabaya: Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 405 Artikel Penelitian Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan Puskesmas dalam Pelayanan Kesehatan Ibu The Quality of Work Life and the Performance of Midwives in Maternal Health Service Sri Purnama Rezeki* Dumilah Ayuningtyas** **Puskesmas Tanjung Uban Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, **Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Abstrak Peningkatan angka kematian ibu dan kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan ibu antar puskesmas, diasumsikan berhubungan dengan kinerja bidan yang dipengaruhi lingkungan tempat bekerja (puskesmas). Penelitian dengan desain potong lintang dengan metode kuantitatif dan kualitatif ini bertujuan mengetahui hubungan antara komponen quality of work life (QWL) dengan kinerja bidan puskesmas pada pelayanan kesehatan ibu. Studi ini dilaksanakan di 11 puskesmas wilayah kerja Kabupaten Bintan pada bulan Februari _ Maret 2013. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner pada 67 responden dan wawancara pada 10 informan. Berdasarkan hasil penelitian, hanya 35,8% bidan puskesmas mempunyai skor kinerja di atas rata-rata, beberapa puskesmas mempunyai skor komponen QWL di bawah rata-rata. Hubungan yang signifikan ditemukan antara komponen keterlibatan karyawan (nilai p = 0,005) dan rasa bangga terhadap institusi (nilai p = 0,039) dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Kata kunci: Angka kematian ibu, bidan, kinerja, quality of work life Abstract Increasing maternal mortality ratio and also gaps of the maternal health services scope among community health centers, assumed related to the performance of midwife clinics who is affected by the environment in which working (community health centers). This cross sectional study with quantitative and qualitative approaches aims to determine the relationship between Quality of Work Life (QWL) components with the midwives clinics performance in maternal health services. The study is implemented in 11 community health centers in working area Bintan Regency in February _ March 2013. Data are collected by using questionnaires with 67 respondents and interview with 10 informants. Based on the study results, only 35.8% midwives clinics having performance scores above average, some community health center having component QWL scores below average. There is a relationship between employee engagement (p value = 0.005) and sense of pride to the institution (p value = 0.039) with midwives clinics performance in maternal health services. Keywords: Maternal mortality ratio, midwives, performance, quality of work life Pendahuluan Upaya kesehatan ibu adalah upaya di bidang kesehatan yang bertujuan menjaga kesehatan ibu pada masa kehamilan, bersalin, dan menyusui dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu.1 Berdasarkan SDKI 2007, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, lebih rendah dari sebelumnya, pada tahun 1991, sebesar 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara, target komitmen global MDGs, angka tersebut dapat turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Berdasarkan profil kesehatan, AKI Kabupaten Bintan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, AKI di Kabupaten Bintan adalah 33 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2008 melonjak hingga 69,3 per 100.000 kelahiran hidup. Terakhir, pada tahun 2011, AKI di Kabupaten Bintan diketahui mencapai 199,2 per 100.000 kelahiran hidup.2 Salah satu upaya pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada masyarakat dengan memperluas jangkauan terutama di fasilitas kesehatan dasar, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinAlamat Korespondensi: Dumilah Ayuningtyas, Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424, Hp. 08161840446, e-mail: [email protected] 265 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014 nya.3 Tanpa sumber daya manusia yang baik, upaya penurunan angka kematian ibu dan anak sulit tercapai.4 Bidan merupakan tenaga profesional dengan kinerja yang sangat diharapkan memperkuat jajaran kesehatan di garis depan dalam upaya penurunan angka kematian ibu.5 Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas dan fungsi, terutama dalam pemberian pelayanan kesehatan pada ibu hamil, bersalin, dan nifas, bidan harus memenuhi standar yang dapat menjamin kualitas pelayanan yang diberikan.6 Kinerja bidan, dalam upaya menurunkan AKI, secara makro dapat dilihat melalui pencapaian indikator program yang meliputi cakupan K4, pertolongan persalinan tenaga kesehatan (Linakes) dan kunjungan nifas ketiga (KF3).7 Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bintan, tahun 2010 dan 2011, dibandingkan dengan target cakupan pelayanan kesehatan ibu di Kabupaten Bintan, maka cakupan K4, persalinan oleh tenaga kesehatan dan KF3 sudah mencapai target. Namun, pencapaian cakupan tersebut ternyata tidak merata di 12 puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kabupaten Bintan. Ada kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan ibu antarpuskesmas di Kabupaten Bintan. Hal tersebut diasumsikan berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas secara makro belum optimal dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu yang dipengaruhi oleh organisasi puskesmas yang merupakan tempat bekerja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja bidan puskesmas secara berkesinambungan agar produktivitas kerja bidan puskesmas dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan, serta menilai kualitas lingkungan kerja organisasi puskesmas yang merupakan tempat bekerja yang mungkin berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas. Salah satu penilaian terhadap kinerja adalah membandingkan hasil kerja dan standar yang ada. Kegiatan penilaian kinerja ditujukan untuk mengevaluasi hasil kerja individu sehingga dapat menjadi umpan balik bagi bidan dalam memperbaiki dan meningkatkan penampilan kerja mereka. Menurut Pruijt, sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat berharga sehingga organisasi puskesmas yang menaungi bidan bertanggung jawab memelihara kualitas lingkungan kerja dan membina bidan agar bersedia berkontribusi secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi puskesmas.8 Selain itu, sumber daya manusia yang handal dan profesional dipengaruhi oleh suasana kerja yang baik. Kualitas lingkungan kerja/quality of work life (QWL) yang baik akan menciptakan sumber daya manusia produktif, berkualitas, komitmen, dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan.9 Komponen kualitas lingkungan kerja meliputi partisipasi pegawai, pengembangan karier, rasa bangga terhadap institusi, kompensasi yang seimbang, rasa aman terhadap pekerjaan, fasilitas yang didapat, keselamatan 266 kerja, penyelesaian masalah, dan komunikasi.10 Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu, di Kabupaten Bintan, tahun 2013. Secara khusus, untuk mengetahui gambaran komponen quality of work life yang meliputi keterlibatan pegawai, rasa bangga terhadap institusi, rasa aman terhadap pekerjaan, keselamatan lingkungan kerja, penyelesaian masalah dan komunikasi bidan puskesmas di Kabupaten Bintan, tahun 2013. Selain itu, mengetahui hubungan antara keterlibatan pegawai, rasa bangga terhadap institusi, rasa aman terhadap pekerjaan, keselamatan lingkungan kerja, penyelesaian masalah, dan komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu, di Kabupaten Bintan, tahun 2013. Metode Penelitian deskriptif analitik ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi potong lintang dan metode kualitatif. Studi ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan yang mencakup 11 puskesmas kecuali Puskesmas Tambelan. Sampel adalah seluruh bidan puskesmas yang bertugas di unit pelayanan kebidanan di puskesmas yang berstatus pegawai negeri sipil maupun pegawai tidak tetap yang berjumlah 67 orang. Sementara itu, yang disertakan dalam penelitian ini adalah kepala puskesmas yang berjumlah 10 orang. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu dan enam komponen QWL. Analisis bivariat menggunakan uji korelasi dan regresi linier sederhana. Analisis data kualitatif untuk melengkapi hasil penelitian dan memudahkan pembahasan terhadap analisis univariat dan bivariat. Hasil Skor kinerja pelayanan kesehatan ibu dan komponen QWL yang didapat dari responden secara umum mempunyai range yang cukup besar (Tabel 1). Meski demikian, jika dilihat dari frekuensi, jumlah responden yang mempunyai nilai di bawah rata-rata tidak jauh berbeda dengan jumlah responden yang mempunyai nilai pada rata-rata skor secara keseluruhan (Tabel 2). Namun, skor yang didapat tersebut tidak dapat dijadikan indikator bahwa kinerja bidan puskesmas pada setiap variabel tersebut baik. Dari studi kuantitatif dengan instrumen kuesioner, diketahui bahwa masih ada bidan puskesmas yang belum melaksanakan pelayanan kesehatan ibu sesuai dengan standar. Hal tersebut terlihat dari jawaban 60 responden (89,6%) yang menyatakan bahwa tidak selalu menganjurkan pemeriksaan kehamilan secara berkala pada pasien atau ibu hamil yang berkunjung ke puskesmas dan sebanyak 21 orang (31,3%) tidak bisa menilai secara tepat saat kala I dimulai. Selain itu, responden mempunyai persepsi yang me- Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan Tabel 1. Distribusi Rata-Rata Skor Kinerja dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Komponen Quality of Work Life Variabel Mean Median Kinerja pelayanan kesehatan ibu bidan puskesmas Keterlibatan karyawan Rasa bangga terhadap institusi Rasa aman terhadap pekerjaan Keselamatan lingkungan kerja Penyelesaian masalah Komunikasi 13,65 24,88 15,85 11,89 11,40 14,88 15,98 14,00 25,00 16,00 12,00 11,00 15,00 16,00 SD Minimum 1,692 3,462 2,313 1,478 1,661 2,525 1,973 7 15 10 8 8 6 11 Maksimum 95% CI 15 31 20 16 15 20 20 13,24 – 14,06 24,04 – 25,73 15,27 – 16,40 11,53 – 12,25 10,99 – 11,80 14,26 – 15,49 15,50 – 16,46 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Skor Kinerja dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Komponen Quality of Work Life Variabel Penelitian Kategori n % Kinerja pelayanan kesehatan ibu bidan puskesmas Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Di bawah rata-rata 24 43 36 31 38 29 44 23 33 34 23 44 35 32 35,8 64,2 53,7 46,3 56,7 43,3 65,7 34,3 49,3 50,7 34,3 65,7 52,2 47,8 Keterlibatan karyawan Rasa bangga terhadap institusi Rasa aman terhadap pekerjaan Keselamatan lingkungan kerja Penyelesaian masalah Komunikasi nunjukkan keterlibatan karyawan rendah. Hal tersebut didapat dari jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju yang pada beberapa pernyataan berikut: “Saya selalu dilibatkan dalam perencanaan dan penyusunan program kegiatan puskesmas” (sejumlah 17 responden (25,4%) “Saya dilibatkan dalam kegiatan di puskesmas baik dalam kegiatan formal maupun informal” (sejumlah 14 responden (20,9%)). Persepsi bidan puskesmas tentang keterlibatan karyawan yang masih kurang juga didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas sehubungan keikutsertaan di puskesmas dalam penyusunan program. “…tidak semua staf ya, biasanya hanya pemegang program atau koordinator yang dipanggil dan dikumpulkan sama ibu kepala puskesmas…” Demikian juga dalam hal pemberian bimbingan dan arahan. “…kalau program lama atau rutin tidak lagi, karena sudah selalu dilakukan…” “…kepala puskesmas mengumpulkan koordinator atau pemegang program, jadi bukan dibimbing orang perorang…” Persepsi responden yang menunjukkan kurang rasa bangga terhadap institusi melalui jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan “menjaga nama baik puskesmas bukan merupakan kewajiban dan tanggung jawab Saya” dari 11 responden (16,4%) serta menjawab tidak setuju dan sangat setuju pada “Saya bangga dengan prestasi puskesmas selama ini” dari 12 responden (17,9%). Persepsi bidan puskesmas tentang rasa bangga terhadap institusi yang masih kurang juga didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas berhubungan pendapat terhadap prestasi puskesmas selama ini. “…menurut saya, ya biasa saja, setahu saya prestasi puskesmas selama ini tidak ada yang terlalu istimewa…” Selain itu juga berhubungan dengan perasaan terhadap pekerjaan yang dijalani selama ini di puskesmas. “…rasa jenuh ada, apalagi saya sudah 10 tahun di puskesmas ini. tapi tetap dijalani saja…” Selain itu, diketahui pula persepsi responden yang menunjukkan kurang rasa aman terhadap pekerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju dari responden pada penyataan “pimpinan puskesmas sangat memperhatikan kesejahteraan stafnya termasuk Saya” sebanyak 11 orang (16,4%), serta jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan “Saya tidak mendapatkan kepastian jenjang karir di tempat saya bekerja sekarang ini” dari sejumlah 30 orang (44,8%). Persepsi bidan puskesmas tentang rasa aman terhadap pekerjaan yang masih kurang juga didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas berhubungan jenjang karier. 267 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014 “…menurut Saya begini-begini saja, dalam hal naik golongan pun Saya terhambat, sudah hampir 2 tahun tidak jelas kenaikannya…” “…perkembangan karir Saya sepertinya jalan ditempat…” Sementara, sehubungan dengan keselamatan lingkungan kerja, sejumlah responden juga mempunyai persepsi yang kurang terhadap penyataan yang diajukan. Responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju “sarana keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di tempat kerja Saya sudah sesuai dengan standar” sebanyak 32 orang (47,8%) dan pada pernyataan “puskesmas rutin melakukan pemantauan kondisi sarana dan prasarana di tempat kerja Saya” sebanyak 19 orang (28,4%). Persepsi bidan puskesmas tentang keselamatan lingkungan kerja di puskesmas yang kurang didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas. “…sepertinya belum standar 100%, masih ada beberapa alat atau sarana yang kurang ataupun rusak…” Masih ada jawaban responden yang menunjukkan komponen penyelesaian masalah yang kurang meliputi menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju pada pernyataan “pimpinan puskesmas sering bertanya dan membantu kesulitan atau masalah diluar pekerjaan” sebanyak 29 orang (43,3%). Persepsi bidan puskesmas tentang penyelesaian masalah yang kurang juga didukung melalui hasil wawancara dengan bidan puskesmas. “…tentu tidak semua masalah staf dikeluhkan ke ibu, apalagi kita disini banyak stafnya…” “…kalau masalah program rutin dibicarakan melalui koordinator, bukan perorangan…” Ada sejumlah responden yang mempunyai persepsi kurang baik terhadap komunikasi yang dapat dilihat dari jawaban pada pernyataan tentang pertemuan rutin, sebanyak 12 responden (17,9%) menyatakan tidak setuju bahkan sangat tidak setuju. Uji korelasi dan regresi linier sederhana menemukan komponen keterlibatan karyawan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan sedang (r = 0,342) dan berpola positif. Itu berarti semakin bertambah nilai keterlibatan karyawan, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determi- nasi 0,117 menunjukkan persamaan garis regresi hanya dapat menerangkan 11,7% variasi keterlibatan karyawan. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan karyawan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p= 0,005). Rasa bangga terhadap institusi dan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan lemah (r = 0,252) dan berpola positif. Semakin bertambah nilai rasa bangga terhadap institusi, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,064 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 6,4% variasi rasa bangga terhadap institusi. Hasil uji statistik menemukan hubungan yang signifikan antara rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,039). Tidak ada hubungan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (r = 0,008). Nilai koefisien dengan determinasi 0,000 artinya persamaan garis regresi yang diperoleh tidak cukup baik menerangkan variasi rasa aman terhadap pekerjaan. Dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,946). Keselamatan lingkungan kerja dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan lemah (r = 0,206) dan berpola positif. Artinya, semakin bertambah nilai keselamatan lingkungan kerja, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,043 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 4,3% variasi keselamatan lingkungan kerja. Tidak ada hubungan yang signifikan antara keselamatan lingkungan kerja dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,094). Ada hubungan lemah (r = 0,203) penyelesaian masalah dengan kinerja bidan puskesmas dan berpola positif, semakin bertambah nilai penyelesaian masalah maka semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,041 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 4,1% variasi penyelesaian Tabel 3. Analisis Bivariat Komponen Quality of Work Life dan Kinerja Bidan Puskesmas dalam Pelayanan Kesehatan Ibu Variabel Keterlibatan karyawan (A) Rasa bangga pada institusi (B) Rasa aman pada pekerjaan (C) Keselamatan lingkungan kerja (D) Penyelesaian masalah (E) Komunikasi (F) 268 r R Persamaan Garis Nilai p 0,342 0,252 0,008 0,206 0,203 0,162 0,117 0,064 0,000 0,043 0,041 0,026 Kinerja bidan = 9,49 + 0,16*A Kinerja bidan = 10,7 + 0,18*B Kinerja bidan = 13,7 - 0,01*C Kinerja bidan = 11,26 + 0,21*D Kinerja bidan = 11,63 + 0,13*E Kinerja bidan = 11,43 + 0,13*F 0,005 0,039 0,946 0,094 0,100 0,191 Hasil Uji Statistik Berhubungan Berhubungan Tidak berhubungan Tidak berhubungan Tidak behubungan Tidak berhubungan Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan masalah. Hasil uji statistik tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan antara penyelesaian masalah dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,100). Komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu menunjukkan hubungan lemah (r = 0,162) dan berpola positif, berarti semakin bertambah nilai komunikasi, semakin meningkat kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Nilai koefisien dengan determinasi 0,026 berarti persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 2,6% variasi komunikasi. Uji statistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu (nilai p = 0,191) (Tabel 3). Pembahasan Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu, masih banyak bidan puskesmas yang melakukan pelayanan tidak sesuai standar pelayanan kebidanan. Hal ini menunjukkan pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu oleh bidan puskesmas belum maksimal. Masih sedikit bidan puskesmas yang pernah mengikuti pelatihan kebidanan seperti asuhan persalinan normal (APN). Kinerja bidan puskesmas yang masih kurang tersebut terjadi karena bidan kurang terampil menerapkan standar pelayanan dalam asuhan antenatal care dan pertolongan persalinan. Hal tersebut seharusnya ditangani dengan baik oleh institusi puskesmas dan dinas kesehatan yang menaungi. Penelitian Mulyono, 11 dkk yang menggunakan data Survei Kesehatan Rumah Tangga tentang aktivitas bidan di Indramayu, menemukan bidan tidak benar-benar sibuk karena membantu persalinan, sekitar 70% bidan yang membantu persalinan paling sering hanya satu kali dalam sebulan. Meski ditambah dengan tugas administratif di puskesmas, pemimpin puskesmas atau penanggung jawab SDM di puskesmas dan dinas kesehatan dapat mengalokasikan waktu yang cukup bagi bidan untuk mengikuti pelatihan. Persepsi bidan puskesmas yang merasa keterlibatan karyawan di puskesmas kurang disebabkan oleh merasa tidak dilibatkan secara langsung. Sementara, harapan kepala puskesmas, bidan koordinator seharusnya berkoordinasi dahulu dengan seluruh bidan puskesmas. Selain itu, beberapa bidan puskesmas mempunyai persepsi sebelum melakukan kegiatan rutin dan baru, kepala puskesmas wajib memberikan arahan terlebih dahulu. Sementara menurut kepala puskesmas, apabila kegiatan rutin, maka staf sudah mengetahui sehingga tidak perlu diberikan arahan dan bimbingan secara khusus. Keterlibatan karyawan berhubungan signifikan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Sesuai dengan teori Cascio, ada hubungan yang kuat antara usaha perusahaan untuk memperbaiki kualitas lingkungan kerja melalui peningkatan keterli- batan karyawan.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hendrawati,12 bahwa komponen keterlibatan karyawan berhubungan bermakna dengan kinerja pegawai. Penelitian lain menyatakan tidak terdapat hubungan antara keterlibatan karyawan dengan kinerja perawat.13,14 Pada umumnya, persepsi rasa bangga terhadap institusi bidan puskesmas kurang. Ada hubungan yang bermakna antara rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang membuktikan hubungan yang signifikan antara komponen rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja bidan puskesmas.15 Hasil yang berbeda juga ditemukan Hendrawati, 12 dan Mochtar,16 yang tidak menemukan hubungan rasa bangga terhadap institusi dengan kinerja pegawai. Dalam suatu organisasi, perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangga karyawan terhadap organisasi tempat bekerja untuk mendorong kepuasan kerja dan motivasi karyawan.17 Dengan motivasi, seseorang berusaha menyempurnakan dan meningkatkan proses dan hasil kerja yang telah dilakukan untuk menjadi lebih baik.18 Faktor penyebab kinerja bidan yang rendah antara lain kurang pembinaan, ada empat variabel yang secara statistik berhubungan bermakna (nilai p < 0,05) meliputi variabel motivasi, pengetahuan,pembinaan, dan pemberi layanan kebidanan lain.19 Selain itu, bidan yang melaksanakan program ASI eksklusif juga menghasilkan kesimpulan yang sama, ada hubungan antara motivasi dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelaksanaan program ASI Eksklusif.20 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan atau tenaga kesehatan. Sebagian besar bidan puskesmas mempunyai persepsi baik terhadap rasa aman terhadap pekerjaan, banyak responden yang merasakan ketenangan dan kenyamanan menyelesaikan setiap pekerjaan. Sementara, uji statistik tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang justru memperlihatkan hubungan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kualitas lingkungan kerja.14 Penelitian lain juga tidak menemukan hubungan yang signifikan antara rasa aman terhadap pekerjaan dengan kinerja bidan puskesmas dalam penatalaksanaan antenatal care (ANC).15 Beberapa responden menyatakan pimpinan puskesmas tidak pernah memikirkan kondisi kesehatan staf serta menyatakan sarana keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di tempat kerja belum sesuai dengan standar. Beberapa bidan menyatakan, kondisi sarana dan prasarana kebidanan di puskesmas masih kurang dari standar. Misalnya ukuran ruang tempat pertolongan persalinan yang masih sempit sehingga tidak nyaman bagi pasien 269 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, Januari 2014 dan bidan yang menolong. Jumlah dan kondisi peralatan kebidanan seperti partus set, tensimeter yang di beberapa puskesmas kurang memadai. Selain itu, pelaksanaan pemantauan sarana dan prasarana yang tidak rutin oleh puskesmas dan dinas kesehatan. Komponen keselamatan lingkungan kerja tidak berhubungan bermakna dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan kesehatan ibu juga ditemukan oleh penelitian yang lain.13 Tujuan utama kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja adalah agar karyawan merasa tenang bekerja dan dapat bekerja semaksimal mungkin sehingga mencapai produktivitas kerja yang setinggitingginya.21 Oleh sebab itu, di lingkungan perusahaan/ organisasi perlu selalu dijaga keberlangsungan kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja sehingga tidak mengganggu karyawan melaksanakan pekerjaan.9 Rata-rata ruangan tempat bekerja bidan puskesmas belum memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja. Namun, semua staf selalu berupaya untuk bekerja efektif dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana. Hal serupa juga diungkapkan kepala puskesmas, bahwa sangat sulit untuk memenuhi kondisi puskesmas yang benar-benar sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan kerja, karena keterbatasan pengadaan sarana dan prasarana. Namun, pihak puskesmas selalu berupaya memanfaatkan secara efisien sehingga tidak mengganggu kegiatan pelayanan di puskesmas. Tentang penyelesaian masalah adalah banyak responden yang berpersepsi kurang. Beberapa bidan puskesmas menyatakan pimpinan puskesmas jarang bertanya dan membantu kesulitan atau masalah di luar pekerjaan. Selain itu, bidan puskesmas juga menyatakan apabila ada permasalahan yang menyangkut pelaksanaan program, tidak dibicarakan dalam pertemuan di puskesmas. Ini menunjukkan komponen penyelesaian masalah masih belum berlangsung dengan baik di puskesmas. Padahal, supervisi berperan pada kepatuhan karyawan dalam menjalankan fungsi sesuai prosedur yang berlaku. Penelitian yang dilakukan oleh Guspianto,22 menyimpulkan faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan bidan di desa terhadap standar ANC adalah supervisi, pengetahuan, dan komitmen organisasi. Supervisi merupakan faktor yang paling dominan dan faktor pengetahuan merupakan perancu hubungan faktor supervisi dan komitmen organisasi dengan tingkat kepatuhan terhadap standar ANC. Komponen penyelesaian masalah tidak berhubungan bermakna dengan kinerja bidan puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang lain.16 Namun berbeda dengan penelitian yang Mochtar,16 yang menemukan hubungan antara penyelesaian masalah dengan kinerja perawat. Komponen penyelesaian masalah berpengaruh mendukung kualitas lingkungan kerja. 10 Seharusnya setiap karyawan perlu mendapat kesempatan 270 penyelesaian masalah berhubungan pekerjaan secara terbuka, jujur, dan adil yang sangat berpengaruh terhadap loyalitas/dedikasi serta motivasi kerja.11 Tidak semua keluhan staf dapat didengarkan oleh kepala puskesmas, mengingat jumlah staf yang sangat banyak. Sementara, kepala puskesmas menyatakan senantiasa mau menerima keluhan dan membantu staf yang mengalami masalah, serta berupaya mencarikan jalan keluar secara bersama. Manajemen organisasi perlu mengelola konflik agar tidak sampai menimbulkan dampak negatif bagi semua pihak di dalam dan di luar organisasi. Konflik justru tetap diperlukan asal tetap terkendali sehingga dapat menjadi sumber motivasi bagi semua karyawan.23 Sebagian besar bidan menyatakan informasi kesehatan kepada masyarakat sudah berjalan baik sehingga menimbulkan rasa puas dan motivasi yang positif bagi bidan puskesmas dalam melaksanakan pekerjaan. Selain itu, hubungan komunikasi antara bidan dengan rekan kerja di puskesmas selalu berjalan baik. Ini menunjukkan keberlangsungan proses komunikasi di puskesmas sudah cukup baik. Uji statistik memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas yang membuktikan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan kinerja bidan puskesmas.14,15 Penelitian lain menemukan hasil berbeda, ada hubungan yang bermakna antara komunikasi dengan kinerja. Dalam suatu organisasi peran komunikasi sangat penting, dengan komunikasi yang baik maka kegiatan di organisasi akan berlangsung baik.12,13 Kesimpulan Sebagian besar bidan puskesmas mempunyai skor kinerja pelayanan kesehatan ibu di bawah rata-rata. Kinerja bidan puskesmas yang kurang terlihat dari komponen teknis/prosedural seperti tidak selalu menggunakan kohort ibu untuk pencatatan ibu hamil, bersalin, dan nifas, tidak selalu melakukan pemeriksaan abdominal pada setiap ibu hamil, tidak selalu melakukan tindakan pencegahan infeksi sebelum melaksanakan pertolongan persalinan, tidak mampu menilai secara tepat mulainya waktu persalinan kala 1, tidak selalu menggunakan standar asuhan persalinan normal dalam melakukan pertolongan persalinan dan tidak rutin menggunakan partograf dalam memantau kemajuan persalinan. Selain itu, ada kekurangan yang lain meliputi kinerja manajerial, kebanggaan institusi dan motivasi,keselamatan lingkungan kerja, perhatian pimpinan terhadap kesulitan yang dihadapi staf dalam pekerjaan, dan kemampuan berkomunikasi. Namun, dari komponen quality of work life yang diteliti, komponen keterlibatan karyawan dan rasa bangga terhadap institusi berhubungan yang signifikan dengan kinerja bidan puskesmas Rezeki & Ayuningtyas, Kualitas Lingkungan Kerja dan Kinerja Bidan dalam pelayanan kesehatan ibu. Desember 2008; 11 (4): 179-84. 10. Cascio WF. Managing human resources, productivity, quality of work Saran Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan menegaskan kebijakan dalam evaluasi kinerja bidan puskesmas secara rutin, merencanakan dan menganggarkan pelatihan bagi bidan puskesmas. Mengupayakan kelengkapan sarana dan prasarana di puskesmas yang memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja, serta membuat kebijakan perihal pengembangan karier bagi bidan puskesmas. Bagi puskesmas, selain melakukan evaluasi terhadap kinerja bidan puskesmas di wilayah kerja, juga perlu meningkatkan peran bidan puskesmas dalam proses pengambilan keputusan, menjalankan memberikan bimbingan dan pengarahan secara berkelanjutan, serta memperbaiki pola komunikasi antara pihak puskesmas dengan bidan, sehingga dapat meningkatkan rasa memiliki dan meningkatkan kinerja bidan puskesmas tersebut. life, profits. New York: Mc Graw-Hill; 2013. 11. Mulyono N, Sudibyo S, Qomariah, Riyasa IK, Riyanto M. Sikap dan aktivitas bidan di desa membina dukun bayi dalam menolong persalinan dan merawat bayi. Jurnal Kedokteran YARSI. 2005; 13 (1): 40-9. 12. Hendrawati, H. Kualitas kehidupan kerja/quality of work life dan hubungannya dengan kinerja pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2011. 13. Kuanto A. Hubungan komponen quality of work life dengan kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok tahun 2010 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2010. 14. Rosidah D. Hubungan kualitas kehidupan kerja (quality of work life) dengan kinerja bidan puskesmas dalam penatalaksanaan pertolongan persalinan di Kabupaten Bogor Tahun 2012 [Skripsi]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2012. Daftar Pustaka 15. Suherman. Hubungan komponen quality of work life terhadap penata- 1. Syafrudin dan Hamidah. Kebidanan komunitas. Jakarta: EGC; 2009. laksanaan antenatal care bidan puskesmas di Kota Tasikmalaya tahun 2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Peta jalan percepatan pen- 2007 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan capaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia. Jakarta: Bappenas; 2010. 3. Ambarwati, Rismintari. Asuhan kebidanan komunitas plus contoh Askeb. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009. 4. Trisnantoro L. Tenaga kerja kesehatan dalam usaha penurunan MDG4 dan MDG5: sebuah potret dan harapan aksi segera. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2011; 14 (02): 61-2. Masyarakat Universitas Indonesia; 2007. 16. Mochtar H. Hubungan komponen quality of work life dengan kinerja bidan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSPAD Gatot Subroto Jakarta tahun 2011 [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2011. 17. Handoko TH. Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Edisi ke-2. Yogyakarta: BPFE; 2008. 5. Ma’ruf, Siswanto. Pengaruh motivasi terhadap peningkatan kompeten- 18. Triguna. Budaya kerja (falsafah, tantangan, lingkungan yang kondusif si bidan desa di Kabupaten Malang. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan kualitas dan pemecahan masalah). Jakarta: PT. Golden Trayon Press; [serial on internet]. Januari 2010 [cited 2013 Jun 5]: 13 (1): 77–82. Diunduh dari: ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/.../1517. 6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008. 7. Ilyas, Y. Teori, penilaian dan penelitian. Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI; 2002. 8. Husnawati A. Analisis pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai intervening Variabel [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro; 2006. 2005. 19. Husna A, Besral. Kinerja bidan desa dalam program JPKMM. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009; 4 (1): 18-23. 20. Fithananti N. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 2 (1). 21. Notoatmodjo S. Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: Rineka Cipta; 2009. 22. Guspianto. Determinan kepatihan bidan di desa terhadap standar antenatal care. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012; 7 (2). 9. Ayuningtyas D, Suherman, Riastuti KW. Hubungan kinerja bidan dalam 23. Umar H. Desain penelitian MSDM dan perilaku karyawan paradigma penatalaksanaan antenatal care dengan quality work life di Kota positivistik dan berbasis pemecahan masalah. Jakarta: Rajawali Pers; Tasikmalaya tahun 2007. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2008. 271 Artikel Penelitian dan letin Pelayanan Kesehatan Ibu dan Kematian Neonatal ey of uca- 542- Unit- rs in macy. Maternal Health Care and Neonatal Mortality pital 0(2): (me- Desy Fitri Yani* Artha Budi Susila Duarsa** stem pital 6(5): onal ents, onal self- Hong per- *Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur, **Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Abstrak Indonesia bersama seluruh negara berkembang berupaya mencapai kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) dengan salah satu sasaran menurunkan angka kematian neonatal dari 20 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pelayanan kesehatan ibu dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. Penelitian dengan desain studi kasus kontrol ini mengamati kasus ibu yang mengalami kematian neonatal dan kontrol ibu yang tidak mengalami kematian neonatal. Analisis multivariat menemukan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan berhubungan secara signifikan dengan kematian neonatal, setelah mengendalikan variabel umur ibu dan riwayat kehamilan (OR = 16,32; nilai p = 0,000); dan (OR = 18,36; nilai p = 0,31). Bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko mengalami kematian neonatal 16,32 dan 18,36 kali lebih besar daripada bayi yang dilahirkan. Ibu dengan pelayanan antenatal lengkap dan penolong persalinan profesional. Tidak ada hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal, setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit, dan riwayat persalinan. Disarankan meningkatkan kualitas pelayanan antenatal dengan memerhatikan faktor umur ibu dan riwayat persalinan, mengembangkan kegiatan audit maternal perinatal serta meningkatkan keterampilan petugas penolong persalinan. Kata kunci: Ibu hamil, kematian neonatal, pelayanan kesehatan Abstract All developing countries including Indonesia seek to reach agreement the Millennium Development Goals (MDG’s). It is objectives include reducing neonatal mortality by 25 percent from 20 per 1,000 live birth to 15 per 1,000 live births. This study aimed to determine the relationship of maternal health services with neonatal mortality in East Lampung District in 2011. This study used case control design to compare between the groups of mother whom have neonatal deaths (cases) and neonatal life (control) in East Lampung District in 2011. The result on antenatal care variables found that antenatal care and birth attendant had significant correlation with neonatal death, after controlling age and pregnancy history variable (p value = 0.000, OR = 16.32; p value = 0.31, OR = 18.36). The babies from mothers who did not get completed prenatal care risk of 16.32 times have neonatal death than babies born from mothers who received completed maternal care. There was no association between neonatal mortality and birth attendant, after controling variables of antenatal care, maternal age, pregnancy history, medical history and chilbirth history. Based on this study, it is suggested to increase activity of maternal perinatal audit, improve the quality of antenatal care, maternal delivery, and develop other support activities to prevent neonatal mortality in East Lampung District. Keywords: Pregnant mothers, neonatal mortality, health care Pendahuluan Indonesia bersama semua negara berkembang berupaya mencapai kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) dengan salah satu sasaran adalah menurunkan angka kematian neonatal sekitar 25% dari 20 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Target keempat MDGs adalah menurunkan angka kematian balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990 _ 2015. Indikator yang digunakan antara lain angka kematian balita, angka kematian bayi (AKB), angka kematian neonatal masing-masing per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia, pada tahun 2007, angka kematian balita 44 per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka Alamat Korespondensi: Desy Fitri Yani, Dinas Kesehatan Lampung Timur, Jl. Buay Subing, Komplek Perkantoran Pemda, Sukadana Lampung Timur 34194, Hp. 081279061616, e-mail: [email protected] 373 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013 kematian neonatal 19 per 1.000 kelahiran hidup, ditargetkan pada tahun 2015 turun menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup, 32 per 1.000 kelahiran hidup, 23 per 1.000 kelahiran hidup.1 Dinas Kesehatan Lampung Timur melaporkan pada tahun 2011, dari 21.454 bayi lahir hidup terdapat 120 kasus kematian bayi dan 114 kasus di antaranya adalah kematian neonatal (95%). Penyebab kematian neonatal adalah berat badan lahir rendah (55%), asfiksia (22%), tetanus neonatorum (0,8%), dan penyebab lain-lain (16%). Pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu hamil terlihat pada cakupan kunjungan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 meliputi kunjungan ibu hamil K1 sekitar 91,3% dari target program 100%, cakupan K4 ibu hamil 88% dengan target 90%, dan cakupan persalinan tenaga kesehatan sekitar 90,9% dari target program 85%.2 Pelayanan kesehatan ibu hamil bertujuan mengawasi dan menangani ibu hamil dan ibu bersalin, asuhan dan pemeriksaan ibu sesudah persalinan, asuhan neonatus, pemeliharaan dan pemberian laktasi. 3 Penelitian sebelumnya menyatakan hubungan yang bermakna antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal, tetapi ada juga penelitian yang menemukan penolong persalinan tidak berhubungan dengan kematian neonatal. Dengan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil yang baik, tetapi kasus kematian neonatal masih menjadi masalah. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pelayanan kesehatan ibu hamil dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. Metode Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Kelompok kasus adalah ibu dengan kematian neonatal dan kontrol adalah kelompok ibu yang tidak mengalami kematian neonatal. Variabel counfounding meliputi umur ibu, paritas, jarak antarkelahiran, riwayat penyakit, riwayat kehamilan, dan riwayat persalinan. Populasi penelitian adalah seluruh ibu yang melahirkan bayi lahir hidup di Kabupaten Lampung Timur periode Januari sampai Desember 2011 yang berjumlah 21.454 orang. Sampel kasus adalah ibu yang bayinya lahir hidup dan mengalami kematian neonatal pada periode Januari sampai Desember 2011. Kontrol adalah ibu dengan bayi lahir hidup dan tidak mengalami kematian pada periode neonatal dari bulan Januari sampai dengan Desember 2011. Pemilihan kontrol disesuaikan dengan bulan kejadian kasus dengan waktu kelahiran yang paling berdekatan. Kontrol berada dalam satu wilayah puskesmas yang sama dengan kejadian kasus. Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : 1. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh kasus kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 yang berjumlah 114 ibu dan kontrol 114 ibu dengan jumlah keseluruhan 228 ibu. 374 Variabel dependen adalah kematian neonatal dan variabel independen adalah pelayanan antenatal dan penolong persalinan. Variabel yang dipilih sebagai variabel confounding adalah umur ibu, paritas, jarak antarkelahiran, riwayat penyakit ibu, riwayat persalinan dan riwayat kehamilan ibu. Pada variabel pelayanan antenatal yang menjadi faktor pengganggu adalah, umur ibu, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit, riwayat persalinan, dan riwayat kehamilan. Pada variabel penolong persalinan yang menjadi faktor pengganggu adalah umur ibu, paritas, jarak kelahiran, riwayat penyakit, riwayat persalinan, dan riwayat kehamilan. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan acuan kuesioner, yang dilaksanakan oleh bidan koordinator Unit kesehatan ibu dan anak puskesmas pada bulan Mei tahun 2012. Data sekunder diambil dari laporan audit kematian maternal perinatal Dinas Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 dan buku kesehatan ibu dan anak responden. Analisis bivariat dilakukan dengan kai kuadrat dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik, model estimasi, dan hubungan variabel pelayanan antenatal dengan kematian neonatal dapat terlihat setelah mengendalikan variabel pengganggu. Hasil Penelitian ini menemukan sekitar 34% responden mendapat pelayanan antenatal yang tidak lengkap, dan 11% dengan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan. Responden mempunyai satu anak dan lebih dari empat anak sekitar 60%. Responden yang mempunyai riwayat penyakit dan masuk dalam kelompok risiko sekitar 7%. Responden yang mempunyai riwayat persalinan dengan komplikasi sekitar 4% dan yang mempunyai riwayat kehamilan berisiko sekitar 19%. Distribusi hasil bivariat kelompok kasus dan kontrol memperlihatkan beberapa variabel terdistribusi secara berbeda sehingga berpotensi berhubungan dengan kematian neonatal. Variabel tersebut antara lain meliputi pelayan-an antenatal, pertolongan persalinan, umur ibu, riwayat penyakit dan riwayat persalinan, sedangkan paritas dan jarak kelahiran tidak ditemukan hubungan dengan kematian neonatal (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Variabel Independen pada Kelompok Kasus dan Kontrol Variabel Pelayanan antenatal Pertolongan persalinan Umur ibu Paritas Jarak kelahiran Riwayat penyakit Riwayat persalinan Riwayat kehamilan Kasus (%) 55,3 16,7 39,5 63,2 78,9 11,4 6,1 29,8 Kontrol (%) Nilai p OR 12,3 5,3 9,6 57,0 80,7 2,6 0,9 8,8 0,00 0,00 0,00 0,34 0,74 0,01 0,03 0,00 8,82 3,60 6,10 1,29 0,89 4,76 7,39 4,42 dan dan riatarn riatal arinan, linbu, perpulueUnit hun tian mur den. alistigan kan den dan hatemwaitar dewa- trol ara keputi bu, pade- rol Yani & Duarsa, Hubungan Pelayanan Kesehatan Ibu dengan Kematian Neonatal Tabel 2. Hubungan Pelayanan Antenatal dengan Kematian Neonatal Variabel Independen Nilai p Pelayanan antenatal Umur ibu Riwayat kehamilan 0,00 0,00 0,00 OR IK 95% 16,32 11,28 8,02 7,30 - 36,45 4,69 - 27,11 3,16 - 20,36 Tabel 3. Hubungan Pertolongan Persalinan dengan Kematian Neonatal Variabel Independen Nilai p Pertolongan persalinan Pelayanan antenatal Umur ibu Riwayat kehamilan Riwayat penyakit Riwayat persalinan 0,31 0,00 0,00 0,00 0,08 0,05 OR 18,36 14,75 11,42 6,02 3,83 11,14 IK 95% 0,56 - 5,92 6,57 - 33,10 4,69 - 27,80 2,26 - 16,03 0,85 - 17,28 0,97 - 127,74 Berdasarkan hasil bivariat, variabel yang memenuhi kriteria kandidat model multivariat (nilai p ≤ 0,25) adalah pelayanan antenatal, pertolongan persalinan, umur ibu, riwayat penyakit, riwayat persalinan dan riwayat kehamilan. Setelah melakukan tahapan pemodelan identifikasi variabel adalah kovariat multivariat, pemodelan lengkap, eliminasi interaksi, penetapan model baku (gold standard), dan penetuan model akhir. Model hubungan pelayanan antenatal dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal setelah mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko 16,32 kali lebih besar untuk mengalami kematian neonatal daripada bayi dari ibu dengan pelayanan antenatal lengkap, dengan interval 7,30 sampai 36,45 kali (Tabel 2). Berdasarkan model akhir hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal diketahui tidak ada hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur Tahun 2011 setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan (Tabel 3). Pembahasan Kelemahan pada rancangan kasus kontrol adalah recall bias karena kemampuan responden mengingat kejadian yang telah berlalu sangat terbatas. Upaya yang dilakukan adalah mencari responden yang telah melahirkan dalam waktu satu tahun terakhir dan membuat pertanyaan yang mudah dimengerti responden. Mayoritas responden kelompok kasus mendapatkan pelayanan antenatal yang tidak lengkap, sebaliknya mayoritas kelompok kontrol mendapat pelayanan antenatal lengkap. Penelitian sebelumnya, bayi dari ibu yang pe- meriksaan antenatal yang tidak lengkap mempunyai odds ratio (OR) untuk mati pada periode natal sekitar 2,70 kali 95% confidence intervals (CI) = 1,53 – 4,78 dan nilai p < 0,001, dibandingkan dengan bayi dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal dengan baik. 4 Ada pengaruh pelayanan pelayanan antenatal pada ibu dengan kematian neonatal.5 Analisis multivariat model akhir hubungan pelayanan antenatal dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 menemukan hubungan antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal, setelah mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan. Variabel umur ibu dan riwayat kehamilan merupakan confounding pada variabel utama pelayanan antenatal. Selain pelayanan antenatal yang merupakan variabel utama, umur ibu, dan riwayat kehamilan juga mempengaruhi kejadian kematian neonatal. Nilai OR = 16,32 menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan dari Ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko 16,32 kali mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan bayi dari Ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal lengkap dengan 95% CI OR = 7,30 _ 36,45 kali. Tidak ada perubahan signifikan nilai p pada hasil analisis bivariat dibandingkan dengan hasil uji multivariat, tetapi terjadi perubahan pada nilai OR dari 8,82 menjadi 16,32. Semakin banyak ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal yang tidak lengkap, semakin besar risiko terjadinya kematian neonatal. Pelayanan antenatal berhubungan lebih erat dengan kematian neonatal setelah mengontrol variabel lain umur ibu dan riwayat kehamilan dan lebih meningkat risiko kematian neonatal. Pelayanan antenatal yang tidak lengkap pada ibu berhubungan sangat erat dengan kematian neonatal, tidak membedakan ibu dari kelompok umur berisiko atau tidak dan mempunyai riwayat kehamilan berisiko atau tidak, mempunyai riwayat kehamilan yang bermasalah atau tidak. Penelitian sebelumnya, menemukan hubungan bermakna antara kunjungan pelayanan antenatal dengan kematian perinatal (nilai p = 0,0000), nilai OR = 9,9. Ibu dengan kunjungan pelayanan antenatal yang tidak lengkap (K1 dan K4 < 4) berisiko 9,9 kali lebih besar mengalami kematian perinatal dibandingkan dengan ibu yang melakukan kunjungan pelayanan antenatal lengkap.5 Bayi yang dilahirkan dari ibu yang pelayanan antenatal tidak adekuat berisiko mengalami kematian perinatal 2,6 kali dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan pelayanan antenatal yang adekuat. Semakin baik pelayanan antenatal semakin tinggi perlindungan yang diberikan terhadap ancaman kematian janin.6 Tujuan pemeriksaan ibu hamil adalah menyiapkan fisik dan mental ibu dan anak dalam kehamilan seoptimal mungkin, persalinan dan nifas sehingga didapat375 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013 kan anak dan ibu yang sehat. Pemeriksaan kehamilan juga mempunyai tujuan khusus mengenali dan menangani penyulit yang dijumpai pada kehamilan, persalinan, dan nifas, mengenali dan mengobati penyakit, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.7 Perbaikan angka kematian neonatal dapat dicapai dengan pemberian pengawasan antenatal untuk semua wanita hamil dan dengan menemukan serta memperbaiki berbagai faktor yang memengaruhi keselamatan janin dan neonatus.8 Ada hubungan yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan ibu yang mendapat pertolongan persalinan bukan dengan tenaga kesehatan berisiko 3,6 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga kesehatan. Penelitian sebelumnya menemukan hubungan yang bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Ada hubungan bermakna antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang ditolong oleh dukun berisiko kematian neonatal 6,07 kali lebih besar dibanding bayi yang lahir ditolong oleh tenaga kesehatan.9 Ibu yang persalinannya ditolong oleh nontenaga kesehatan, berisiko mengalami eklampsi 3,7 kali, dan berisiko mengalami partus lama 2,77 kali sehingga meningkatkan risiko kematian pada periode neonatal.10 Hasil analisis multivariat model akhir hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal, setelah mengendalikan variabel pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan, tidak menemukan hubungan yang bermakna antara pertolongan persalinan dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011. Hasil ini berbeda dengan hasil bivariat yang menyatakan hubungan yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian neonatal. Setelah dilakukan uji multivariat, dengan mengontrol variabel yang berpengaruh lainnya, hasilnya menjadi tidak berhubungan. Sesuai dengan penelitian sebelumnya, tidak ada hubungan antara pertolongan persalinan dengan kematian perinatal. 11 Variabel penolong persalinan pada uji bivariat berhubungan dengan kematian neonatal, tetapi setelah dipengaruhi faktor lain pada uji multivariat terjadi perubahan nilai p, faktor pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan juga berpengaruh terhadap kematian neonatal. Untuk mengurangi risiko kematian neonatal dini diperlukan penanganan sejak masa hamil berupa pelayanan antenatal.12 Kematian neonatal tidak hanya disebabkan oleh pertolongan persalinan sesuai dengan teori tetapi lebih disebabkan oleh kunjungan pelayanan antenatal yang dilakukan ibu selama kehamilan. Selain itu, faktor lain 376 yang berpengaruh adalah umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan. Berdasarkan tren kematian neonatal tahun 1995 – 2007, penyebab kematian neonatal adalah gangguan pernapasan ketika lahir, prematur dan berat badan lahir rendah yang dipengaruhi oleh faktor riwayat kehamilan ibu, riwayat penyakit dan riwayat komplikasi persalinan.13 Kematian neonatal di fasilitas pelayanan kesehatan, menjadi bahan pertimbangan untuk mencari pemecahan masalah agar dapat dikurangi. Kesimpulan Penelitian ini menemukan hubungan antara pelayanan antenatal dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011, setelah mengontrol variabel umur ibu dan riwayat kehamilan. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal tidak lengkap berisiko 16,32 kali mengalami kematian neonatal dibanding dengan bayi yang dilahirkan dari Ibu yang mendapatkan pelayanan antenatal lengkap, dengan interval antara 7,30 sampai 36,45 kali. Tidak ada hubungan pertolongan persalinan dengan kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011 setelah mengontrol variabel pelayanan antenatal, umur ibu, riwayat kehamilan, riwayat penyakit dan riwayat persalinan. Saran Pelayanan antenatal perlu mendapat prioritas utama dalam peningkatan kualitas bersama faktor umur ibu dan riwayat persalinan. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain penjaringan ibu hamil dengan faktor risiko umur dan riwayat persalinan, memantau ibu hamil menggunakan buku kohort ibu, memberdayakan ibu, memanfaatkan buku KIA sebagai alat dokumentasi pencatat riwayat kesehatan dan sebagai bahan pelajaran karena berisi pengetahuan kehamilan yang penting sehingga dapat mengurangi risiko kematian neonatal dan memberikan penyuluhan tentang usia reproduksi sehat. Dinas kesehatan Kabupaten Lampung Timur perlu mengembangkan kegiatan audit maternal perinatal di sebagai sarana pembelajaran para bidan pelaksana pelayanan untuk mengetahui faktor risiko kematian neonatal. Meningkatkan keterampilan penolong persalinan (APN) dan penanganan kegawat daruratan obstetri neonatal (PDGON) mengingat kematian neonatal masih terjadi di fasilitas kesehatan. Meningkatkan pelayanan kualitas dan kuantitas antenatal dengan lebih banyak memberikan informasi kepada ibu hamil tentang pelayanan antenatal melalui penyuluhan di posyandu atau kelas ibu hamil dan melakukan kunjungan rumah ibu hamil yang hilang dari kunjungan. miler07, erhir milerkeari ara di meayi nan ami dina,45 gan hun tal, ri- Yani & Duarsa, Hubungan Pelayanan Kesehatan Ibu dengan Kematian Neonatal Daftar Pustaka 1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Laporan perkembang- 7. Mochtar R. Sinopsis obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 1998. an pencapaian Millenium Development Goals Indonesia. Jakarta: Badan 8. Wiknjosatro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono 2. Dinas Kesehatan Lampung Timur. Evaluasi program kesehatan keluar- 9. Prabamurti NP. Analisis faktor risiko status kematian neonatal (studi Perencanaan dan Pembangunan Nasional; 2010. ga. Lampung: Dinas Kesehatan Lampung; 2007. 3. Manuaba IG. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2010. 4. Ronoatmojo S. Faktor risiko kematian neonatal di Kecamatan keruak, NTB 1992 – 1993 [disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 1996. 5. Sriwahyuni. Hubungan faktor ibu dan pelayanan kesehatan dengan ke- Prawirohardjo; 2002. kasus kontrol di Kecamatan Losari kabupaten Brebes tahun 2006). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2008; 3 (1): 1-9. 10. Astuti DW. Hubungan penyebab kematian neonatal menurut umur ibu saat melahirkan, penolong persalinan dan GPOA di Indonesia. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sistem dan Kebijakan; 2009. matian neonatal di Kabupaten Pidie tahun 2008 [tesis]. Medan: 11. Mahmudah U, Hary CW, Wahyuningsih A. Analisis faktor ibu dan bayi 6. Ning S. Kematian perinatal hubungannya dengan praktek kesehatan ibu Kesehatan Masyarakat. 2011; 7 (1); 46-56 [diakses tanggal 5 November Universitas sumatra Utara; 2009. selama kehamilan di Kota Bekasi. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2001. yang berhubungan dengan kejadian kematian perinatal. Kesmas Jurnal 2012]. Diunduh dalam: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/1792/1983. tas tor ang mil mebu, setan geenkan kemeseana ian ertan ian an. nteasi alui dan ang 377 PEMANFAATAN JAMINAN PERSALINAN UNTUK PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI 12 KABUPATEN/KOTA: MENGELIMINASI KENDALA SOSIAL BUDAYA DALAM PERSALINAN AMAN (Utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal) for Maternal and Child Health Services in 12 Districts/Cities: Eliminate the Socio-cultural Obstacle on Safe Delivery) Lestari Handayani, Suharmiati, Aan Kurniawan, Syarifah Nuraini, Soegeng Rahanto, Bambang Wasito, Choirum Latifah1 Naskah masuk: 24 September 2013, Review 1: 27 September 2013, Review 2: 2 Oktober 2013, Naskah layak terbit: 31 Oktober 2013 ABSTRAK Latar Belakang: Pemerintah telah meluncurkan Jampersal sebagai salah satu upaya menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang masih tinggi sebagai percepatan mencapai target MDGs 2015. Perilaku pencarian pertolongan persalinan dipengaruhi berbagai faktor termasuk sosial budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Metode: Data penelitian tentang upaya Jampersal dikumpulkan dengan wawancara mendalam, FGD kepada tokoh masyarakat, dukun bersalin, bidan, kepala puskesmas, didukung data kuantitatif dengan responden ibu yang melahirkan satu tahun terakhir. Lokasi penelitian di 6 propinsi masing-masing ditetapkan satu wilayah puskesmas di desa dan satu di kota. Hasil Penelitian: Menunjukkan masih kuat nilai kepercayaan dan pelaksanaan ritual/adat istiadat masih banyak dilakukan sehingga peran dukun masih dibutuhkan. Sarana transportasi menjadi hambatan utama persalinan di fasilitas kesehatan. Interaksi sosial masyarakat desa menjadi kekuatan sedang di kota fasilitas bagus sehingga akses menjadi mudah. Bidan sudah diterima baik di desa maupun di kota oleh masyarakat yang ternyata memiliki pengetahuan kesehatan baik meskipun memiliki pendidikan formal kurang. Sumber pembiayaan persalinan dengan jampersal sudah banyak dimanfaatkan, namun belum maksimal bahkan cenderung rendah di perkotaan tertentu. Kesimpulan: Ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan Jampersal untuk persalinan dengan bidan, namun sebagian persalinan masih dilakukan di rumah. Dukun tetap dibutuhkan untuk perawatan ibu dan bayi serta membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan bidan-dukun sudah berjalan tapi pembiayaan Jampersal baru menyokong tenaga kesehatan. Saran: Jampersal juga mendukung pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu pembiayaan transportasi; Honor dukun yang bermitra; penyuluhan kesehatan KIA dan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan dukun dan aparat desa. Kata Kunci: Jampersal, faktor sosial budaya, persalinan aman, bidan-dukun bersalin ABSTRACT Background: The Government launched Jampersal as one of efforts to suppress the number of Maternal and Infant Mortality Ratio (MMR & IMR) as well as a booster to achieve the MDGs by 2015. Delivery assistance seek are influenced by many factors including a socio-cultural factor. This research aimed to provide a study on the socio-cultural role in improving the utilization of Service Delivery Insurance (Jampersal). Methods: Data about Jampersal was collected through in-depth interviews, focus group discussion to community leaders, traditional birth attendants, midwives and head of the health center. In addition, as a supporting data, a quantitative survey to mothers who gave birth in the last year was also conducted. The research was located in 6 province in Indonesia. Each covered one health center in a rural area and one 1 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes, Kemenkes RI. Jl. Indrapura no. 17 Surabaya. Alamat Korespondensi: [email protected] 419 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427 in a urban area. Results: The result of this research showed a strong evidence that rituals or traditions were still mostly conducted. So the role of traditional birth attendants were still needed. Lack of transportation was to be the main obstacle to acces health facilities. Meanwhile, social interaction in rural area and a well-developed infrastructure in urban area were important to enable the accessibility to access health facilities. Midwives were well-accepted by the people who had a good knowledge on health despite having less formal education both in rural or urban area. Labor financing by utilizing Jampersal are good but not maximized or tend to be low in certain urban areas. Conclusions: People prefered to chose midwives as birth attendants financed by Jampersal although some delivered at home. TBAs are still needed for maternal and baby care as well as to assist the implementation of rituals. Midwife-TBAs partnerships already on the right track but the labor financing by Jampersal only support health care practitioner. Recommendation: Jampersal also support social and cultural-related financing, such as honorarium for TBAs who are in partner to midwives; transportation cost and also MCH health education and community outreach to involve TBAs and community leaders. Key words: Jampersal, socio cultural determinant, safe delivery, Midwives-TBAs PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals/ MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Telah diketahui dari contoh di beberapa Negara bahwa AKI dan AKB dapat ditekan bila persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes) di fasilitas kesehatan (faskes). Berbagai upaya menuju persalinan aman dari sisi medis (provider) seperti penempatan bidan di desa, masih belum menunjukkan hasil memuaskan. Masyarakat Indonesia dengan berbagai tingkat sosial ekonomi, beragam budaya dan bertempat tinggal di wilayah yang berbeda kondisi alamnya, dirasakan masih membutuhkan dukungan pemerintah untuk menjangkau pelayanan medis. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011 berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/ III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/ II/2011 tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011 tentang hal yang sama. Jampersal bertujuan menyediakan jaminan biaya untuk ibu bersalin di nakes dan faskes dengan ketentuan dan persyaratan. Dalam pelaksanaan peraturan tersebut telah terjadi beberapa kendala di lapangan karena bervariasinya situasi dan kondisi. Penerapan Peraturan Jampersal 420 disesuaikan dengan dukungan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) cq Dinas Kesehatan di era otonomi daerah berbeda-beda kemampuannya. Hal ini antara lain terkait dengan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penempatan bidan di desa; Pemanfaatan Jampersal terkait perilaku pemeliharaan kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Faktor dari sisi masyarakat menjadi kendala tersendiri mengingat masyarakat tersebar di wilayah kepulauan Indonesia yang bervariasi kondisi alamnya dan sosial ekonominya. Pemerintah telah menyediakan Jampersal, namun masih banyaknya kendala sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan. Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau tenaga kesehatan. Sisi kendala masyarakat menjadi pokok bahasan utama berdasar hasil temuan penelitian lapangan yang telah dilakukan peneliti Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-Badanlitbang Kesehatan. Masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan perlu mendapat perhatian utama agar mampu menjangkau pelayanan yang disediakan dengan dukungan Jampersal. Mengingat adanya kendala tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengkaji kendala sosial budaya dalam persalinan aman. Kebijakan Jampersal tampaknya perlu dilakukan penyempurnaan agar mampu mendukung tujuan pencapaian angka AKI dan AKB sesuai target MDGs tahun 2015. Mengingat kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dilaksanakan/dikawal oleh jajarannya, maka tulisan ini merupakan masukan yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan anak (GIKIA) dan Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) selaku pelaksana dan pengelola program KIA dengan pembiayaan Jampersal. Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.) METODE Penelitian ini merupakan kajian kebijakan dengan menggunakan data utama hasil penelitian berjudul “Peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan pemanfaatan program Jaminan Persalinan” yang dilakukan pada tahun 2012 di 6 propinsi (Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat dan Banten). Masing-masing lokasi ditetapkan 2 puskesmas dengan setiap puskesmas terdiri dari puskesmas yang berada di kota (puskesmas perkotaan) dan 1 puskesmas berada di kabupaten (puskesmas pedesaan) sehingga terdapat 12 puskesmas sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui Focus Group Discussion (FGD), indepth interview dan pengumpulan data sekunder. Data penelitian dianalisis dengan merujuk berbagai sumber rujukan. HASIL Pertolongan persalinan menurut Sarwono P. (1999: 273) bertujuan untuk membantu persalinan secara sistematis, benar dan aman, sehingga ibu dan bayi selamat dengan trauma sekecil mungkin. Melalui tangan bidan, diharapkan mampu melaksanakan tujuan tersebut dengan cara ditempatkan di fasilitas kesehatan yang terdekat kepada masyarakat (Indonesia, 1989) Pemilihan bidan sebagai penolong persalinan terlihat sudah cukup merata di desa dan kota lokasi penelitian seperti terlihat pada tabel 1. (Lestari H, dkk, 2012). Seringkali pihak medis meng ‘klaim’ bahwa persalinan “aman” adalah bila dilakukan oleh tenaga medis (bidan atau dokter) di fasilitas kesehatan baik puskesmas/klinik bersalin atau rumah sakit. Namun sebenarnya perlu diketahui definisi melahirkan “aman” menurut pandangan masyarakat (ibu) agar sinkron antara ‘provider side’ dan ‘consumer side’. Di beberapa lokasi penelitian, jumlah persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup tinggi seperti di Halmahera Selatan (90,0%), Gayo Lues (89,1%), Landak (78,3%), Lebak (67,2%), Jeneponto (48,6%), Bima (42,9%), meskipun sebagian sudah ditangani oleh bidan. Hasil penelitian Lestari dkk. (2012) ini menunjukkan bahwa di daerah perdesaan masih cukup banyak ibu yang lebih memilih dukun daripada bidan sebagai penolong persalinan. Pemilihan dukun bersalin tidak banyak berbeda dibanding penelitian lain yang sudah pernah dilakukan. Beberapa alasan memilih dukun antara lain lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, mengerti dan memahami adat, mau merawat ibu dan bayi saat kehamilan sampai dengan persalinan, biaya yang terjangkau (Lestari H, 1997; Wahit Iqbal Mubarak, 2012). Pemilihan penolong persalinan sangat erat kaitannya dengan rasa percaya terhadap penolong, Tabel 1. Persentase Responden yang Memiliki Pengetahuan “Benar” tentang Tidak Aman Melahirkan di Rumah dan Tempat Persalinan, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Tempat Persalinan (%) n Nakes sebagai Penolong Persalinan Akhir (%) di Faskes di Rumah Kab. Lebak 67 64,2 32,8 67,2 Kota Cilegon 68 100,0 69,1 30,9 Kab. Bima 70 97,1 57,1 42,9 Kota Mataram 70 92,9 92,9 5,7 Kab. HalSel 50 62,0 10,0 90,0 Kota Ternate 70 92,9 70,0 28,6 Kab. Gayo Lues 55 65,5 10,9 89,1 Kota Banda Aceh 70 100,0 94,3 5,7 Kab. Landak 69 56,5 20,3 78,3 Kota Pontianak 70 97,1 97,1 0,0 Kab. Jeneponto 70 82,8 51,4 48,6 Kota Makasar 70 100,0 92,9 0,0 Kabupaten/ Kota Sumber: Data primer tahun 2012 421 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427 dan kepercayaan terbangun karena adanya interaksi dan berhubungan serta bergaul seperti dukun dan warga di lingkungannya. Di beberapa kabupaten lokasi penelitian, masyarakat beranggapan dukun adalah orang yang dipercaya dan dianggap tepat membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun adalah orang yang sudah sangat mereka kenal, di samping dukun menolong dengan biaya yang terjangkau dan memahami adat istiadat, menjadi pendorong mereka memilih dukun. Masih banyaknya Ritual dan upacara yang dilakukan di masyarakat menjadi salah satu penyebab mereka masih membutuhkan dukun seperti terlihat pada tabel 2. (Lestari H., dkk, 2012) Dukun bersedia membantu merawat ibu dan bayi, bahkan selama 44 hari dengan cara datang ke rumah ibu bersalin, sesuatu pelayanan yang tidak mungkin diharapkan dari bidan. Jadi dalam hal ini, dukun telah turut membantu ibu hamil mempersiapkan fisik selama kehamilan dan khususnya mental pada saat menegangkan yaitu proses persalinan. Dukun memberikan wejangan masalah adat-istiadat, perilaku yang harus dilakukan dan yang dihindari sehingga memberikan ketenangan jiwa kepada ibu. Sebagaimana dikemukakan oleh Grantley Dick-Read dalam Hunt, Sheila (2006) tentang pendekatan psikologis untuk relaksasi yang sangat membantu meredakan nyeri secara alami dalam proses persalinan. Anggapan kemampuan dukun mendeteksi gangguan letak Tabel 2. Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, Persalinan, Pascapersalinan, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Kab/Kota “Ya” Melakukan Ritual/Upacara (%) Kehamilan Persalinan Kab. Lebak 65,7 47,8 Pascasalin 85,1 Kota Cilegon 57,4 22,1 45,6 Kab. Bima 32,9 27,1 21,4 Kota Mataram 68,6 32,9 71,4 Kab. HalSel 70,0 38,0 4,0 Kota Ternate 47,1 38,6 48,6 Kab. Gayo Lues 58,2 49,1 54,5 Kota Banda Aceh 21,4 7,1 12,9 Kab. Landak 13,0 18,8 37,7 Kota Pontianak 24,3 12,9 20,0 Kab. Jeneponto 48,6 5,7 4,3 Kota Makasar 28,6 10,0 4,3 422 janin dan mengaturnya kembali, merupakan upaya yang diharapkan masyarakat. Fakta yang ditemukan dalam penelitian ini mirip dengan penelitian Lestari Handayani (1997) yang melihat keterkaitan penolong persalinan dengan kepercayaan. Perilaku ibu dalam pencarian perawat atau penolong pada masa kehamilan, persalinan dan pascapersalinan merupakan salah satu wujud budaya kesehatan. Terbukti bahwa responden pelaksana tradisi terkait kehamilan dan persalinan cenderung memilih dukun sebagai penolong persalinan. Di Jawa Barat, dalam suatu penelitian ditemukan alasan yang sama. Pemilihan dukun beranak (paraji) sebagai penolong persalinan disebabkan alasan yang hampir sama yaitu karena dukun sudah dikenal secara dekat oleh masyarakat, biaya pelayanan yang murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari (Meiwita B. Iskandar. et al., 1996). Hasil FGD penelitian ini mengungkapkan bahwa masih ada pandangan bahwa dukun memiliki kompetensi yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan sehingga mendorong memilih dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah proses alamiah, merupakan anggapan yang umum dan diakui. Dengan demikian, ada yang beranggapan bahwa bayi dan plasenta dapat lahir dengan sendirinya sehingga keberadaan bidan hanya dibutuhkan untuk memotong tali pusat. Sedangkan dalam proses persalinan, dukun lebih diharapkan memberikan kekuatan batin dan memberikan arahan kepada ibu dalam menjalani proses alamiah tersebut. Penelitian tahun 2012 tidak berbeda jauh dengan penelitian oleh Lestari pada tahun 1994 di Tulung Agung. Bidan seringkali tidak diikutkan dalam kegiatan upacara, sebagai gantinya mereka mengundang dukun untuk membacakan do’a dan mantera, memimpin pelaksanaan upacara dan memberikan pemahaman tentang makna upacara adat. (Lestari Handayani, 1997) Di samping itu, geografi tempat tinggal yang sulit dan jauh dari fasilitas kesehatan menyebabkan keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-daerah tertentu. Kondisi ini menjadi mendorong masyarakat desa dengan fasilitas kehidupan dan sarana transportasi terbatas cenderung memilih dukun sebagai penolong persalinan. Kondisi alam sebagai penyebab sulitnya akses pelayanan bidan Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.) dijumpai di Tulung Agung, sehingga masyarakat memilih dukun untuk menolong persalinan (Lestari Handayani, 1997). Kemitraan dukun-bidan sudah berlangsung lama dan diakui masyarakat maupun bidan, sangat dibutuhkan. Bahkan dengan adanya Jampersal, beberapa Dinas kesehat an (kot a M at aram, kabupaten Bima) sudah mengalokasikan sebagian dana Jampersal yang di klaim bidan untuk dukun yang bermitra dan membantu saat persalinan (Lestari H, dkk, 2012). Cara ini tampaknya berdampak baik terhadap kemitraan dan kemauan dukun untuk mengarahkan persalinan kepada bidan. Persalinan yang diakui sebagai proses ‘alamiah’ terkadang mengalami hambatan dalam perjalanannya. Pada proses yang ‘abnormal’ hasil persalinan sangat ditentukan oleh penolong persalinan. Pada keadaan ini, seringkali persalinan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang cukup lengkap peralatan dan tenaga ahlinya (dokter/dokter spesialis kebidanan). Adanya budaya berunding masih banyak dilakukan, dan budaya ini dapat mengakibatkan terjadi keterlambatan pertolongan persalinan yang dapat berakibat fatal pada ibu bila keputusan tidak segera diambil. Kematian ibu bersalin mendapat tanggapan yang berbeda-beda. Di perkotaan, kematian ibu dianggap merupakan tanggung jawab pihak bidan/dokter sebagai penolong persalinan karena pada umumnya mereka mempercayakan adanya tindakan medis. Masih banyak daerah yang menganggap kematian ibu dalam persalinan adalah suatu yang wajar bahkan masyarakat desa cenderung pasrah bahkan beranggapan merupakan jalan menuju surga bagi si ibu (Mataram). Tetapi penelitian lain mengemukakan bahwa ada juga yang menganggap kematian ibu sebagai suatu peristiwa yang mengerikan karena arwahnya dapat menjadi leak atau kuntilanak (Meiwita B., 1996). Masyarakat sebenarnya sangat mendukung pelayanan persalinan oleh nakes (bidan), bahkan di Pontianak terjadi kecenderungan masyarakat langsung ke RS. (Lestari H, dkk, 2012) Peralihan dari persalinan ”alami” di rumah yang diarahkan ke fasilitas kesehatan sebenarnya merupakan suatu pergeseran seperti terungkap dalam penolakan perempuan Inggris terhadap ”kealamiahan” persalinan karena keinginan melahirkan di Rumah Sakit. Beberapa hal yang akan diperoleh perempuan bila melahirkan di RS, antara lain mendapatkan obat pereda nyeri akibat proses persalinan dan tersedianya berbagai teknik paliatif (Hunt, Sheila, 2006). Hal ini karena telah dikembangkan obat-obatan pereda nyeri yang dapat dimanfaatkan dalam persalinan. Keuntungan bersalin di RS adalah, ibu pascapersalinan dapat beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kesehatan dalam arti untuk ’membebaskan diri dari tanggung jawab dan tekanan dalam rumah tangga’ (Hunt, Sheila, 2006). Sebagaimana diketahui, di beberapa keluarga, ibu Tabel 3. Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan, Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB, di 12 Kabupaten/Kota, Tahun 2012 Kabupaten/Kota Pembiayaan Jampersal (%) Hamil Bersalin Nifas Neonatus Kab. Lebak 67,7 56,7 53,7 55,2 KB 3,0 Kota Cilegon 22,1 19,1 20,6 16,2 7,4 Kab. Bima 63,2 60,0 50,0 50,0 17,1 Kota Mataram 49,3 61,4 52,9 58,6 21,4 Kab. HalSel 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Kota Ternate 45,6 15,7 14,3 14,3 7,1 Kab. Gayo Lues 21,2 12,7 7,3 14,5 1,8 Kota Banda Aceh 10,1 20,0 5,7 2,9 1,4 Kab. Landak 11,8 18,8 8,7 8,7 10,1 Kota Pontianak 24,6 68,6 7,1 2,9 0,0 Kab. Jeneponto 85,5 62,9 68,6 60,0 10,0 Kota Makasar 39,1 47,1 14,3 18,6 15,7 423 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427 adalah penanggung jawab urusan rumah tangga tanpa memedulikan kondisinya setelah melahirkan. Di beberapa budaya ibu melahirkan di tempat persalinan yang terpisah dari pemukiman penduduk. Jampersal tidak hanya menjamin pelayanan persalinan namun menjamin pula pelayanan pemeriksaan kehamilan, nifas, neonatus dan KB. Pemanfaatan Jampersal belum maksimal terbukti hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012) menunjukkan fakta seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Pemanfaatan Jampersal antara lain terhambat oleh persyaratan berupa KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang seharusnya dimiliki oleh setiap penduduk yang berusia 17 tahun ke atas. Menilik Undang-undang yang berlaku, penduduk memiliki hak untuk mendapat identitas diri sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan undang-undang (UU Kependudukan no. 52, 2009). Dari pengamatan dan hasil FGD, masih banyak penduduk belum memiliki kesadaran pentingnya KTP sebagai identitas diri. Penduduk tidak memiliki KTP terjadi khususnya penduduk yang tinggal di desa terpencil sedangkan di kota terjadi pada penduduk musiman (di perkotaan) yang tidak memiliki Kartu Penduduk Sementara. Alasan yang dikemukakan antara lain proses pengurusan yang panjang, dirasakan berbelit dan biaya yang harus ditanggung, sehingga untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta Jampersal mereka harus menggantinya dengan surat domisili yang dapat diperoleh di tingkat Kelurahan/kantor desa. Diakui para suami (dalam FGD) sebenarnya persyaratan Jampersal ringan karena mereka bisa memperoleh pelayanan meskipun bukan penduduk setempat (Lestari H, dkk, 2012). Persyaratan tersebut meskipun tampaknya ringan namun menyebabkan keengganan karena mereka tidak mengerti dan bahkan sebagian tidak mengetahui adanya Jampersal. Proses yang lama, dianggap berbelit dan membutuhkan biaya menyebabkan sebagian keluarga memutuskan tidak memanfaatkan Jampersal dan beralih ke dukun terdekat. Berdasar pengakuan responden, dana yang dibiayai Jampersal cukup besar (sekitar 60%) di kabupaten Lebak, Bima, kota Mataram, Jeneponto dan Pontianak (Lihat Tabel 3). Kurangnya informasi tentang Jampersal merupakan salah satu alasan rendahnya pemanfaatan Jampersal sesuai dengan hasil wawancara maupun FGD. Masyarakat kurang memahami persyaratan Jampersal, siapa yang berhak, pelayanan yang bisa diperoleh, bahkan 424 sebagian mereka sama sekali belum pernah mendengar tentang Jampersal. Adanya pengakuan ”tidak paham tentang Jampersal” oleh suami dan tokoh masyarakat (FGD) mengindikasikan sosialisasi Jampersal kurang maksimal. Masyarakat tahu bahwa ada pelayanan kesehatan gratis dan beranggapan sebagai dana Jamkesmas. Dalam hal ini terjadi kerancuan pemahaman antara Jamkesmas, Jamkesda dan Jampersal. Tidak mudah mengubah pilihan penolong persalinan meskipun biaya gratis melalui Jampersal telah disiapkan. Kendala budaya dapat menghambat peralihan penolong persalinan seperti tercermin dari penelitian di Papua. Suatu penelitian pada suku Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua menunjukkan bahwa perilaku memilih penolong persalinan didasari atas budaya kedua suku. Kendala untuk minta pertolongan Nakes antara lain karena budaya yang menganggap tabu membuka aurat (paha) di depan orang yang belum dikenal, dan meyakini bahwa darah dan kotoran persalinan dapat mengakibatkan penyakit yang mengerikan pada kaum laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu mereka melakukan persalinan di hutan/rimba atau di bagian belakang rumah (kamar mandi, dapur). (Qomariah Alwi, 2005) Hasil penelitian Lestari H dkk (2012) menunjukkan masih banyak ibu maupun suami dan tokoh masyarakat menganggap bahwa kehamilan sebagai hal biasa, dan kodrati. Ibu hamil merasa tidak perlu memeriksakan diri ke bidan atau dokter bahkan mereka masih harus bekerja di ladang dan di hutan untuk membantu perekonomian keluarga. Di kabupaten Mimika – Papua, ibu mempunyai tanggung jawab dan aktivitas ibu sehari-hari dalam mencari bahan makanan untuk seluruh keluarga meskipun dalam keadaan hamil tua sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari atau menunggu bidan. Pelayanan yang diberikan bidan memerlukan biaya yang sulit dijangkau ditambah lagi dengan bidan jarang di tempat dan sikap bidan yang kurang akrab. PT Freeport Indonesia yang berada di Papua kemudian menanggung segala biaya pelayanan kesehatan bagi kedua suku Papua ini mulai dari pemeriksaan kehamilan sampai dengan pascapersalinan, namun budaya melahirkan di dukun tidak berubah (Qomariah Alwi, 2005). Mahalnya biaya persalinan bidan juga menjadi keluhan masyarakat (Lestari H dkk, 2012). Biaya pelayanan persalinan ke bidan yaitu berkisar antara 700 ribu sampai Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.) satu juta rupiah dianggap mahal oleh masyarakat golongan ekonomi rendah. Di sisi lain, dengan adanya persalinan gratis, sebagian masyarakat Lebak-Banten mengalihkan dana persalinan untuk pembiayaan upacara adat. Dalam rangka mengubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat (Croyle, Robert T. 2005). Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin dan pascapersalinan), ibu dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara individu/interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orang tua, tetangga). Dalam pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan, pascapersalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan kehamilan (ANC), persalinan dan pascapersalinan ditentukan oleh ketanggapan fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa jaminan persalinan (Jampersal). Isu Kebijakan Persalinan aman saat ini merupakan salah satu program pemerintah dan program yang digerakkan di seluruh dunia untuk tujuan menurunkan AKI dan AKB. Hasil penelitian Lestari H, dkk. (2012) menunjukkan bahwa dukun masih menjadi pilihan dan dibutuhkan pelayanan dalam perawatan ibu dan bayi dan pelaksanaan tradisi. Masalah sosial budaya dapat menjadi penghambat dalam upaya penurunan AKI dan AKB. Pemanfaatan Jampersal sudah cukup dirasakan tetapi masih ada kendala dalam pemanfaatannya. Sosialisasi Jampersal masih kurang dan Jampersal hanya menanggung biaya untuk tenaga kesehatan (Kemkes, 2011) sedangkan permasalahan pembiayaan tidak hanya untuk membayar tenaga kesehatan tetapi termasuk biaya bagi dukun dan transport menuju bidan di faskes dan sosialisasi. Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan persyaratannya. Pengakuan dari responden, mereka mendapat informasi tentang Jampersal dari bidan dan tenaga kesehatan lain. Bidan yang di wawancara menyatakan bahwa sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung ke masyarakat. Aparat desa/ kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat diperluas dengan kerja sama lintas sektor seperti kantor desa, LSM dan lainnya sehingga tidak menjadi beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya penyuluhan dan sosialisasi tidak tercukupi dan kurang diperhatikan. PEMBAHASAN Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Dengan adanya Jampersal diharapkan dapat mengakselerasi tujuan MDG’s 4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu). Sosial budaya sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam memilih penolong persalinan. Untuk lebih meningkatkan perilaku yang sudah cenderung memihak kepada persalinan oleh bidan maka Jampersal harus mencegah faktor-faktor yang mendorong masyarakat kembali ke perilaku lama yaitu bersalin ke dukun dan dilaksanakan di rumah. Kepercayaan terhadap tradisi masih dipegang erat oleh masyarakat di perdesaan, dan kurang dilaksanakan di perkotaan. Kepercayaan terhadap mistik atau gaib atau roh, seringkali mendorong perilaku yang merugikan. Masyarakat desa di lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu upacara/ritual. Kepercayaan sebagai unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya apalagi bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup. Berbeda dengan kelompok masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistik sehingga kedekatan satu sama lain sudah berkurang. Status sosialnya yang heterogen dengan mata pencaharian penduduk yang berbagai macam serta kompetitif, tidak bergantung kepada alam membuat masyarakat kota lebih dinamis. Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi sangat kecil. Masyarakat kota Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang melakukan ritual dan upacara 425 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 4 Oktober 2013: 419–427 (Lestari dkk, 2012). Oleh karena itu dibutuhkan penyuluhan yang membutuhkan pembiayaan dengan melibatkan dukun, kader dan perangkat desa. Perilaku cukup bagus tentang “persalinan aman dengan ditolong bidan” perlu dijaga agar tidak tercemari oleh kepercayaan yang salah yang dapat merubah perilaku yang sudah baik. Dukun yang bermitra dengan bidan dapat diartikan mendukung upaya persalinan oleh bidan oleh karena itu dukun harus diperdayakan dengan memberikan honor yang layak atas jasanya mendukung kinerja bidan. Masyarakat di desa banyak memilih tempat persalinan di rumah ke fasilitas kesehatan terutama dengan alasan lokasi dengan transportasi sulit. Responden di kota lebih cenderung memilih melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di desa. Masih besarnya persalinan di rumah ini bila merujuk kondisi di Inggris menunjukkan posisi mirip bahkan lebih rendah (Landak, Gayo Lues, Halmahera Selatan) dengan kondisi persalinan di Inggris tahun 1930 dengan 33,2% persalinan di rumah. Perkembangan di Inggris menunjukkan peningkatan persalinan di RS dari tahun ke tahun (Hunt, Sheila, 2006). Pergeseran tempat persalinan di rumah ke fasilitas kesehatan tersebut kurang terlihat di daerah perdesaan penelitian terutama yang sulit transportasi sehingga dibutuhkan biaya cukup besar untuk memanggil atau menuju faskes. Alam dan lingkungan yang sulit telah membatasi kontak langsung bidan dan masyarakat, sehingga sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan. Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya suatu informasi tentang KIA dan Jampersal. Informasi yang diterima ibu bila dapat diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan persalinan kepada nakes mengingat di masyarakat perdesaan, suami adalah pengambil keputusan. Meskipun interaksi dan kegotongroyongan masyarakat desa cukup baik, namun bantuan pembiayaan menuju bidan atau faskes akan mempercepat perubahan perilaku persalinan di dukun. Pemahaman tentang Jampersal yang masih rendah perlu ditingkatkan. Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persyaratan menjadi peserta Jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll) dan pemuka agama (kiai, 426 pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan Jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan akan mempercepat arus informasi bisa tersampaikan. Mengubah perilaku membutuhkan waktu karena perilaku KIA masyarakat merupakan salah satu wujud budaya (Elly M. Setiadi dkk, 2007). Sejak adanya pelayanan gratis melalui Jampersal, diakui membantu meringankan beban biaya untuk bidan. Melihat peluang tersebut, maka Jampersal seharusnya dapat menanggung biaya yang akan mempercepat upaya persalinan aman melalui dukungan terhadap sosial budaya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sudah ada kecenderungan masyarakat memilih bidan sebagai penolong persalinan dengan memanfaatkan pembiayaan Jampersal, namun sebagian persalinan masih dilakukan di rumah karena sulitnya menuju faskes dan masih belum menyadari perlunya persalinan aman di faskes. Disatu sisi, masyarakat tetap membutuhkan pelayanan dukun khususnya utuk perawatan ibu hamil dan pascapersalinan termasuk merawat neonatus serta membantu pelaksanaan adat istiadat. Kemitraan bidan-dukun sudah berjalan dengan baik tetapi pembiayaan Jampersal baru menyokong tenaga kesehatan padahal peran dukun cukup besar dalam mendukung kinerja bidan. Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan akan mempercepat penyampaian informasi. Saran D isarankan Jamper sal juga mendukung pembiayaan sosial budaya terkait persalinan yaitu 1) Menyediakan pembiayaan transportasi dari rumah menuju fasilitas persalinan/rumah bidan bagi ibu bersalin yang membutuhkan; 2) Honor dukun yang bermitra; 3) Pembiayaan penyuluhan kesehatan KIA dan sosialisasi kepada masyarakat melibatkan dukun dan aparat desa di samping tenaga kesehatan. Pemanfaatan Jaminan Persalinan (Lestari Handayani, dkk.) DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta Croyle, Robert T. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health Promotion Practice (second Edition). USA: The National Cancer Institute. Departemen Kesehatan RI, 1989. Panduan bidan di tingkat desa. Bagian I. Jakarta Elly M Setiadi dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. Jakarta. Endang P Gularso. 1998. Kelahiran Anak dalam Tradisi Orang Betawi di Desa Ragunan, Jakarta Selatan. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta. Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approuch. The John Hopkins University: Mayfield Publishing Co. Kementerian Dalan Negeri. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No 52 tahun 2009 tentang Kependudukan. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. P e t u n j u k Te k n i s Jaminan Persalinan Tahun 2011. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010– 2014. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Permenkes No. 631/ Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/ Per/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Jakarta Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lawrence S. Cunningham, John J. Reich. Culture and Values, Volume II: A Survey of the Humanities with Readings amazon.com Lestari Handayani, dkk. 1997. Menuju Pelayanan Persalinan Terpadu. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Lestari Handayani, dkk. 2012. Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Laporan Penelitian 2012. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Surabaya. Meiwita B. Iskandar. dkk. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat. Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Pendidikan UI. Jakarta. Qomariah Alwi. 2005. Budaya Suku Amungme dan Suku Kamoro Papua dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan, Disertasi. Jakarta Sheila Hunt; Anthea Symonds. 2006. Konsep Sosial Kebidanan. ECG. Jakarta. Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chahayatin, Iga Mainur, 2012. Ilmu sosial budaya dasar kebidanan: pengantar dan teori. ECG. Jakarta. Widayatun. Program penempatan bidan di I desa di Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Buletin Pengkajian Masalah Kependudukan dan Pembangunan X (1-3) 1999. 427 PEMANFAATAN UPACARA MOLONTALO DALAM MENYAMPAIKAN PESAN KESEHATAN IBU HAMIL DI KECAMATAN ANGGREK KABUPATEN GORONTALO UTARA (The Molontalo Ceremony in Delivering Health Messages for Pregnant Women in Sub - District Anggrek North Gorontalo District) Roy G.A. Massie1, Indra Domili2, Joy Rattu3 Naskah masuk: 29 Agustus 2014, Review 1: 3 September 2014, Review 2: 3 September 2014, Naskah layak terbit: 17 Oktober 2014 ABSTRAK Latar Belakang: Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi di mana 90% terjadi saat dan setelah persalinan. Tahun 2007–2009 AKI Kabupaten Gorontalo Utara lebih tinggi dari nasional. Upaya untuk penurunan AKI khususnya pada fase antenatal telah dilakukan oleh tenaga kesehatan. Upaya lain dapat dilakukan secara tradisional melalui pendekatan budaya setempat. Upacara adat Molontalo dikenal di Provinsi Gorontalo. Tujuan penelitian meningkatnya pengetahuan KIA dukun kampung (hulango) dan imam kampung (hatibi) dalam upaya meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas dan fasilitas kesehatan. Metode: Penelitian operasional diawali intervensi, pengumpulan data, menganalisis obyek dan situasi kemudian digambarkan secara deskriptif. Hasil: Saat pretes pengetahuan hulango dan hatibi kurang, namun sesudah pretes ada peningkatan. Peran hulango dan hatibi dalam usaha penyampaian pesan KIA pada masyarakat khususnya pada ibu hamil dan keluarganya dapat dilanjutkan, sehingga dapat dilibatkan dalam bidang kesehatan. Hulango menyampaikan sebelum atau sesudah pelaksanaan tondalo pada ibu hamil. Untuk hatibi intervensi yang dilakukan sudah baik hanya perlu dilakukan lagi pada setiap kegiatan molontalo. Kesimpulan: Upacara ini dapat membantu penyampaian promosi program KIA. Diharapkan terjadi penurunan angka kematian ibu dan bayi terutama ibu, keluarga, kerabat karena mereka mendapat kesempatan mendengarkan program KIA. Saran: Evaluasi perlu dilakukan terhadap pemahaman masyarakat akan upacara Molontalo agar dipahami program KIA. Setiap upacara Molontalo diharapkan dilakukan penyampaian pesan kesehatan KIA terus menerus dan konsisten. Kata kunci: Molontalo, Pesan KIA ABSTRACT Background: The maternal mortality rate (MMR) in Indonesia is still high with 90% occured during labor and after delivery. In 2007–2009 MMR in the District of North Gorontalo is higher than the national. Efforts in order to decrease maternal mortality, especially in the antenatal phase had been formally conducted by health professionals in the form of promotion. There is effort that can be done traditionally by local cultural approach particularly in Gorontalo Province known as the ceremomial Molontalo. Molontalo is a statement from the husband’s family that first pregnancy is fulfilled expectations will be a continuation derived from legal marriage. The purpose of the research was to increase the hulango (village shaman) and hatibi’s (village priest) knowledge of MCH as community and religious leaders through traditional ceremonies Molontalo so the pregnant women can visit the health care workers and facilities. Methods: Operational research, which begins with the intervention, data collection, analyzed the objects, the situation that described descriptively. Results: Pre-test of the hatibi and hulango knowledge on MCH programs were low, but there was improvement in post-test. Furthermore, the hulango and hatibi, in terms of delivery MCH messages to the pregnant women could be maintained by the health workers, so they could involved in the health sector, especially for MCH program. The performanced of the hulango for delivering 1 2 3 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara 23A Jakarta Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Gorontalo, Jl. Taman Pendidikan No. 36 Gorontalo Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado, Jl. Kampus Unsrat, Bahu Manado Alamat Korespondensi: [email protected] 379 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384 MCH message was good and the hatibi as well. However, there were need to be regularly improved the MCH program related to any Molontalo ceremonial activities. Conclusion: This ceremony may facilitate the delivery of MCH program especially in promotion stage. This activity was expected to decrease the maternal mortality rate. Recommendation: Evaluation needs to be done for the communities’ understanding of Molontalo ceremony in order to recognize the level of understanding of the MCH program. Each ceremony is expected to be conducted continuously and consistently in order to deliver the MCH program messages. Key words: Molontalo, MCH program messages PENDAHULUAN Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi. Penyebab langsung kematian ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan 39%, eklamsia 20%, infeksi 7%, lain-lain 33% (Depkes, 2009). Secara umum dari tahun 2007–2009 angka kematian ibu di Kabupaten Gorontalo Utara lebih tinggi dari Angka Kematian Ibu (AKI) Nasional sebesar 226/100.000 kelahiran hidup. Pembangunan kesehatan di Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo itu sendiri selama periode 2009 secara umum dapat dilihat dari berbagai indikator antara lain, angka kematian bayi pada tahun 2009 sebesar 24,4 per 1.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu yang mencapai 391,01 per 100.000 kelahiran hidup atau 8 kasus kematian dari 2.050 kelahiran hidup (Dinkes Kab. Gorut, 2010). Penduduk Kabupaten Gorontalo Utara berdasarkan data BPS Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Gorontalo Utara adalah 104.133 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan selama kurun waktu 2000–2010 sebesar 1,83 persen. Persebaran penduduk di 11 kecamatan masih belum merata, terbesar di Kecamatan Kwandang 34,56 persen, sedangkan terendah di Kecamatan Gentuma Raya sebesar 7,66 persen. Kabupaten ini termasuk kategori wilayah Kabupaten Bermasalah Miskin dan peringkat urutan yang ke 387 Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat dari 440 kabupaten/kota di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). Cakupan pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) di Kabupaten Gorontalo Utara berdasarkan rekapan PWS-KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 78,0%. Angka kunjungan ini belum sesuai target, untuk meningkatkan cakupan K1, perlu adanya sosialisasi terutama bagi ibu hamil untuk memeriksakan diri ke puskesmas. Angka cakupan 380 K4 berdasarkan rekapan PWS-KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2009 adalah 57,58%. Persentase ini menurun bila dibandingkan dengan capaian tahun 2008 yang sebesar 71%. Hanya terdapat 1 Puskesmas dari 10 Puskesmas yang berada di atas target K4 yaitu Puskesmas Gentuma 83,00% (Dinkes Kab. Gorut, 2010). Permasalahan yang mengakibatkan tidak tercapainya K4 di beberapa Puskesmas antara lain tidak tercapainya K1, maka mempengaruhi kunjungan K4 yaitu dikatakan kunjungan K4 bila ibu hamil telah memeriksakan kehamilannya mulai dari Trimester I (1 kali), Trimester II (1 kali) dan Trimester III (2 kali). Tidak berjalannya sweeping Ibu hamil, kurangnya dana yang mendukung terlaksananya kunjungan ke rumah, serta adanya bidan yang rangkap tugas juga merupakan faktor yang memengaruhi rendahnya cakupan K4. Perlunya mengefektifkan sweeping ibu hamil merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan cakupan kunjungan K4 (Depkes, 2009). Puskesmas Anggrek berdasarkan data cakupan kunjungan pertama (K1) dan kunjungan K4 ke petugas kesehatan tahun 2010 angka kunjungan K1 75,25% dan K4 60,31%, sedangkan untuk puskesmas Gentuma K1 98,8% K4 60,31%, Puskesmas Kwandang K1 86,64%, K4 72,46%, Puskesmas Sumalaya K1 100% K4 93,45% dan Puskesmas Tolinggula K1 91,6 dan K4 68,2%. Jika dilihat angka kunjungan K1 dan K4 maka Puskesmas Anggrek memiliki angka cakupan K1 dan K4 yang rendah dibandingkan dengan puskesmas lainnya yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara. Upaya dalam rangka penurunan angka kematian ibu dan anak khususnya pada fase antenatal secara formal dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter) dalam bentuk kegiatan promosi. Contohnya penyebaran leaflet, brosur, poster tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan RI. Di samping itu ada banyak upaya yang dapat dilakukan secara tradisional melalui pendekatan budaya setempat, dan di wilayah Provinsi Gorontalo keluarga� sakinah;� dan� (5)� warga� masyarakat� lainnya� yang� membantu� menyiapkan� perlengkapan� upacara� maupun� menyaksikan� jalannya� upacara� adat� molontalo� (Farha Daulima, 2006). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengetahuan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) hulango dan hatibi sehingga dapat menyampaikan berbagai pesan KIA pada Upacara Adat Molontalo dalam upaya meningkatkan jumlah kunjungan ibu hamil ke petugas kesehatan di Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara?” . Tujuan penelitian adalah meningkatnya pengetahuan Kesehatan Ibu dan Anak Pemanfaatan Upacara Molontalo dalam Menyampaikan Pesan Kesehatan (Massie, dkk.) (hatibi) di Kecamatan Anggrek (KIA) pada dukun kampung (hulango) dan imam kampung Kabupaten Gorontalo Utara dalam upaya untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas dan fasilitas kesehatan. Upacara Molontalo pada kegiatan penelitian ini diharapkan untuk dapat meningkatkan cakupan kunjungan ibu dikenal sebagai upacara adat Molontalo (Farha dapat membantu dalam ke menyampaikan promosi kesehatan dalam bentuk banyak pesan hamil petugas dan fasilitas kesehatan. Daulima, 2006). Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk dapat meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil Molontalo atau raba puru merupakan dialeg ke petugas dan fasilitas kesehatan. Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Raba artinya METODE METODE pegang dan puru artinya perut, dalam bahasa adat Kerangka Konsep Penelitian Konsep Penelitian Kerangka Gorontalo disebut Molontalo atau tondalo. Adat ini Output Proses hampir sama dengan adat Jawa yang disebut Mitoni Input� yang merupakan upacara adat selamatan yang ���Peningkatan pengetahuan tentang Penyampaian pesan mengenai � ��Pelaksana Upacara adat menandai tujuh bulan usia kehamilan. Acara Molontalo KIA pada dukun (hulango) dan KIA dari dukun dan imam molonthalo (hulango dan � imam kampung (hatibi). kampung kepada ibu hamil dan hatibi) ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami masyarakat melalui upacara adat --------------------------------------- Pengetahuan KIA Molontalo. - Peningkatan Pengetahuan dan Melalui leaflet berisi bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang Sikap dari Ibu Hamil tentang KIA berbagai pesan KIA � ------------------------------------------terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan Keterangan : Diteliti yang sah, serta merupakan maklumat kepada pihak ------- Tidak Diteliti Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar1. Kerangka Konsep penelitian merupakan penelitian operasional risetPenelitian. yang diawali dengan benar suci dan merupakan dorongan bagi semua Jenis Gambar pemberian intervensi, mengumpulkan data, menganalisis obyek dan situasi kemudian gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatan menggambarkan secara deskriptif hasil dari penelitian. Sasaran dalam penelitian ini adalah mereka (Gorontalo Family Portal, 2011). Jenis penelitian merupakan penelitian hulango dan hatibi yang ikut terlibat didalam proses upacara adat molontalo pada bulan operasional Pemimpin dalam upacara molontalo adalah Maret sampairiset November 2012 di diawali wilayah Kecamatan Anggrek pemberian Kabupaten Gorontalo intervensi, yang dengan Utara. seorang dukun bayi atau yang biasa disebut hulango mengumpulkan data, menganalisis obyek dan situasi dan beragama Islam, mengetahui seluk beluk umur kemudian menggambarkan secara deskriptif hasil 5� � kandungan, mengetahui tahapan upacara molontalo, dari penelitian. Sasaran dalam penelitian ini adalah hafal semua bacaan dalam upacara, dan telah diakui hulango dan hatibi yang ikut terlibat didalam proses oleh masyarakat setempat. Para pihak lain yang upacara adat molontalo pada bulan Maret sampai terlibat dalam penyelenggaraan upacara molontalo November 2012 di wilayah Kecamatan Anggrek yaitu: (1) para kerabat dari pihak suami; (2) imam Kabupaten Gorontalo Utara. kampung atau Hatibi; (3) dua orang anak (laki dan Pelaksanaan Intervensi pada dukun kampung perempuan) berusia 7-9 tahun yang masih memiliki (hulango) dimulai saat pengisian informed consent, orang tua (payu lo hulonthalo); (4) tiga orang ibu pretes pemberian angket dan postes serta pada saat yang dianggap dari keluarga sakinah; dan (5) warga menyampaikan pesan KIA pada proses pelaksanaan masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan molontalo. Intervensi pada Imam kampung (hatibi) perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya dimulai pada saat pengisian informed consent, pretes upacara adat molontalo (Farha Daulima, 2006). pemberian angket dan postes serta penyampaian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pesan KIA sebelum hatibi membacakan doa shalawat “Bagaimanakah pengetahuan Kesehatan Ibu dan pada upacara adat molontalo. Anak (KIA) hulango dan hatibi sehingga dapat menyampaikan berbagai pesan KIA pada Upacara HASIL DAN PEMBAHASAN Adat Molontalo dalam upaya meningkatkan jumlah Kegiatan awal penelitian Riset Operasional kunjungan ibu hamil ke petugas kesehatan di Intervensi – Kesehatan Ibu dan Anak (ROI-KIA) Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara?”. berupa kegiatan sosialisasi penelitian yang bertujuan Tujuan penelitian adalah meningkatkan pengetahuan untuk memberikan penjelasan kepada hulango dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) pada dukun kampung hatibi serta masyarakat yang hadir tentang maksud (hulango) dan imam kampung (hatibi) di Kecamatan dan tujuan pelaksanaan penelitian ROI-KIA serta Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara dalam upaya untuk mendapatkan kesepakatan bersama mengenai untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas pelaksanaan penelitian ROI-KIA yang dilakukan di dan fasilitas kesehatan. Upacara Molontalo pada Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara. kegiatan penelitian ini diharapkan dapat membantu Peserta kegiatan sosialisasi adalah hulango dalam menyampaikan promosi kesehatan dalam dan hatibi yang berada di wilayah kerja Puskesmas bentuk banyak pesan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 381 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384 Anggrek dan Ilangata, Kepala Puskesmas Ilangata, Kepala Desa dan Sekretaris Desa Ilangata, para tokoh masyarakat, serta bidan yang bertugas di Puskesmas Ilangata Kabupaten Gorontalo Utara. Kegiatan sosialisasi diawali dengan wawancara kepada hulango dan hatibi yang bertujuan untuk mendapatkan data awal hulango dan hatibi berupa data usia dan alamat hulango dan hatibi. Dalam penelitian ini usia hulango dan hatibi yang mengikuti kegiatan sosialisasi penelitian ROI-KIA di Kecamatan Anggrek dapat dilihat pada tabel 1: Tabel 1. Distribusi Usia Hulango Peserta Kegiatan Sosialisasi Penelitian ROI-KIA di Kecamatan Anggrek tahun 2012 Usia Hulango Jumlah Hulango Persen (%) 40–49 tahun 50–60 tahun 60 tahun 4 14 7 16 64 20 Total 25 100 Bila dilihat berdasarkan usia, hulango yang ikut dalam kegiatan sosialisasi penelitian ini lebih banyak terdistribusi pada usia 50–60 tahun yaitu sebanyak 14 orang dukun, 60 tahun keatas sebanyak 7 orang dan yang usia antara 40–49 tahun sebanyak 4 orang hulango. Distribusi usia hatibi yang mengikuti kegiatan sosialisasi dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Usia Hatibi Peserta Kegiatan Sosialisasi Penelitian ROI-KIA di Kecamatan Anggrek tahun 2012 Usia Hatibi Jumlah Hatibi Persen (%) 40–49 tahun 50–60 tahun 60 tahun 7 12 6 28 60 12 Total 25 100 Berdasarkan data di atas dapat digambarkan bahwa usia hatibi lebih banyak terdistribusi pada usia 50–60 tahun, usia 40–49 tahun sebanyak 7 orang hatibi dan lebih dari 60 tahun sebanyak 6 orang. Pengetahuan hulango dan hatibi tentang KIA dilihat dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner ini diberikan pada saat sebelum dan sesudah kegiatan sosialisasi penelitian, bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengetahuan tentang KIA pada hulango 382 dan hatibi. Hasil pretes menunjukkan bahwa dari 50 orang hulango dan hatibi yang ikut kegiatan sosialisasi terdapat 4 orang tidak menjawab kuesioner, 2 orang menjawab dengan benar 5 pertanyaan (33,3%), 8 orang menjawab benar 7 pertanyaan (46,7%), dan 14 orang menjawab benar 10 pertanyaan (66,7%). Hasil ini menunjukkan bahwa pengetahuan hulango dan hatibi tentang KIA masih kurang. Hasil Postes menunjukkan bahwa pengetahuan hulango dan hatibi tentang KIA bertambah yang dilihat dari adanya peningkatan hasil pretes ke postes. Hasil postes menunjukkan 45 orang menjawab dengan benar 13 pertanyaan pada kuesioner (86,7%) dan hanya 5 orang yang menjawab dengan benar 12 pertanyaan (80%). Intervensi penelitian ini berupa pemberian leaflet pada hulango dan hatibi untuk dapat disampaikan kepada ibu hamil, keluarga dan masyarakat yang hadir pada upacara adat molontalo, diharapkan agar hulango dan hatibi memahami isi leaflet tersebut sehingga dapat diaplikasikan pada saat upacara adat molontalo. Menurut Notoadmodjo (2007) pengetahuan dimulai dari tahap tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Pengetahuan akan membentuk sikap yang merupakan dorongan terhadap terjadinya perubahan perilaku. Pada penelitian ini pengetahuan dari hulango dan hatibi sudah sampai pada tahap aplikasi, hanya saja dari evaluasi peneliti untuk hulango kurang baik karena hulango tidak dapat menyampaikan pesan KIA kepada ibu hamil dan keluarga secara benar. Intervensi yang dilakukan melalui berbagai pesan KIA yang disampaikan oleh hulango pada saat upacara adat molontalo khususnya pada kegiatan tondalo dinilai tidak tepat, disebabkan pada saat aplikasi hulango tidak dapat menyampaikan semua pesan KIA pada ibu hamil dan keluarga yang berada di kamar secara benar. Hulango hanya melakukan kegiatan semua syarat pelaksanaan upacara adat molontalo yang menggunakan atribut sehingga hulango hanya terfokus pada syarat dan berbagai atribut yang akan dilakukan pada ibu hamil dan suaminya sehingga tidak dapat menyampaikan pesan KIA secara baik dan benar. Pengetahuan hatibi tentang KIA juga sudah pada tahap aplikasi di mana hatibi dapat menyampaikan pesan KIA secara benar. Hatibi juga merupakan seorang panutan dalam kalangan masyarakat Pemanfaatan Upacara Molontalo dalam Menyampaikan Pesan Kesehatan (Massie, dkk.) jadi diharapkan apa yang disampaikan hatibi bisa dilakukan oleh keluarga maupun undangan yang turut mendengarkan penyampaian semua pesan KIA ini. Pengetahuan akan membentuk sikap yang merupakan dorongan terhadap terjadinya perilaku. Pengetahuan seseorang diharapkan dapat menyebabkan perubahan sikap dan akan bertindak sesuai dengan pengetahuan yang diketahuinya (Notoatmojo S, 2007). Hulango dan hatibi telah menyampaikan pesan KIA pada ibu hamil, keluarga maupun undangan yang hadir diharapkan akan terjadi perubahan sikap sehingga ibu hamil dapat memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan. Masyarakat memiliki suatu potensi yang selalu dapat terus dikembangkan artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah. Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yaitu hulango dan hatibi dapat diberdayakan dalam membantu menyampaikan berbagai pesan KIA kepada ibu hamil dan keluarganya untuk meningkatkan kunjungan ibu hamil ke petugas kesehatan sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu maupun angka kematian bayi. Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up yaitu menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan berbagai usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan. Intervensi yang dilakukan berupa penyampaian promosi kesehatan KIA melalui banyak pesan KIA yang disampaikan oleh hulango dan hatibi pada saat upacara adat Molontalo dilaksanakan. Kegiatan ini diharapkan sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi terutama untuk ibu, untuk keluarga, kerabat karena mereka mendapat kesempatan untuk mendengarkan informasi kesehatan ibu dan anak sebagai upaya pencegahan terhadap kematian ibu hamil dan bayi, apalagi melalui pemanfaatan budaya lokal dalam hal ini upacara Molontalo yang masih dilakukan hingga saat ini oleh semua lapisan masyarakat Gorontalo. Oleh karena itu promosi kesehatan berupa berbagai pesan kesehatan khususnya KIA tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja akan tetapi dapat saling membantu antara petugas kesehatan dengan masyarakat (Depkes, 2002). Peran pemberdayaan masyarakat yaitu hulango dan hatibi dalam usaha penyampaian semua pesan KIA pada masyarakat khususnya pada ibu hamil dan keluarganya dapat terus dilaksanakan sehingga membuat masyarakat menjadi semakin berdaya atau merasa dilibatkan dalam bidang kesehatan khususnya KIA. Pemberian leaflet untuk hulango dianggap tidak tepat karena isi leaflet lebih banyak kata, leaflet atau modul yang berisi berbagai gambar KIA lebih tepat diberikan kepada hulango. Proses penyampaian pesan KIA dapat diganti dengan dilakukan tidak pada saat acara tondalo di dalam kamar melainkan di waktuwaktu sebelum tondalo atau sesudah pelaksanaan tondalo pada ibu hamil. Intervensi bagi habiti yang dilakukan sudah baik hanya perlu dilakukan lagi pada setiap kegiatan upacara adat molontalo. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam penelitian ROI-KIA ini ditemukan peran dari dukun dalam hal mempersiapkan ibu hamil dari awal kehamilan hingga persalinan, sehingga dukun diharapkan mampu memberikan banyak pesan kepada ibu hamil dan keluarganya agar memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan dan di fasilitas kesehatan. Peran dari hatibi dalam hal ini sangat diperlukan di mana hatibi dianggap merupakan panutan oleh masyarakat. Peran dari bidan sendiri tidak hanya pada saat melahirkan saja diharapkan bidan memantau keadaan ibu hamil, namun juga pada proses upacara adat molontalo yang dilakukan pada usia kandungan 7 bulan. Pada kegiatan ini bidan dilihatkan bukan hanya sebagai petugas kesehatan yang dapat melakukan promosi kesehatan tetapi bidan dapat bekerja sama dengan hulango dan hatibi dalam melakukan promosi kesehatan KIA. Keterbatasan dari riset operasional intervensi ini antara lain hulango dan hatibi hanya diberikan sosialisasi dan tidak lakukan simulasi atau praktek dalam menyampaikan pesan KIA, sehingga pada pelaksanaan upacara Molontalo hulango dan hatibi tidak lancar pada saat menyampaikan pesan KIA. Demikian pula, adanya keterbatasan waktu dari tim peneliti sehingga tidak dilakukan evaluasi tentang pelaksanaan upacara Molontalo lainnya sehingga 383 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 4 Oktober 2014: 379–384 semua pesan KIA ini hanya disampaikan oleh hulango dan hatibi pada saat kegiatan penelitian saja. Saran Saran dari penelitian ini dan perlu dilakukan evaluasi tentang pemahaman masyarakat kepada upacara Molontalo ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat setelah mengikuti upacara Molontalo terutama pemahaman pada KIA. Setiap upacara Molontalo yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan melaksanakan penyampaian berbagai pesan kesehatan KIA secara kontinyu dan konsisten agar promosi kesehatan melalui upacara adat Molontalo ini dapat terus berjalan. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, 2009. Pedoman pelayanan antenatal di tingkat pelayanan dasar. Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. 384 Departemen Kesehatan RI, 2002. Panduan ringkas pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010. Farha, D., 2006. Ragam upacara tradisional daerah Gorontalo., Gorontalo: FSP, LSM Bele Li Mbui. Gorontalo Family Portal’ 2011. Upacara Adat Gorontalo. Tersedia pada http://www.gorontalofamily.org/seni-budaya/upacaraadat/48-upacara-adat-molontalo-.html [diakses pada bulan Oktober 2011]. Kementerian Kesehatan RI, 2010. Leaflet Pusat Promosi Kesehatan KIA. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2010. Teori pemberdayaan. Tersedia pada: http:blogspot.com/2012/03/konsepdefinisi dan teori pemberdayaan, [diakses pada Nopember 2012]. Notoatmodjo, S., 2007. Promosi kesehatan dan Ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Artikel Penelitian Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Perkotaan dan Daerah Terpencil Mother and Child Health Services Differences in the Urban and Remote Areas Sori M. Sarumpaet* Bisara L. Tobing** Albiner Siagian*** *Departemen Epidemiologi FKM Universitas Sumatera Utara, **Epi-Treat Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian/Pelayanan kepada Masyarakat Universitas Sumatera Utara, ***Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara Abstrak Perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia berjalan lamban dan tidak merata. Mutu layanan kesehatan sangat bervariasi karena distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu layanan kesehatan ibu dan anak di daerah pedesaan dan perkotaan. Survei ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mogang yang mewakili daerah terpencil dan Puskesmas Buhit yang mewakili wilayah perkotaan di Kabupaten Samosir. Mutu layanan kesehatan dinilai dengan metode Services Quality. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata skor harapan untuk semua dimensi mutu layanan kesehatan di Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang tinggi. Persepsi pelayanan kesehatan oleh pasien di Puskemas Buhit dan Puskesmas Mogang dimensi tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability yang berbeda (p < 0,05). Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty (p > 0,05). Ada perbedaan nyata antara harapan dan kondisi mutu layanan kesehatan yang dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang (p < 0,05). Harapan masyarakat pada pelayanan kesehatan puskesmas yang lebih baik antara masyarakat perkotaan dan pedesaan hampir sama. Hal ini mengindikasikan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak yang diberikan oleh puskemas belum memenuhi harapan masyarakat. Kata kunci: Pelayanan kesehatan, puskesmas, kesehatan ibu dan anak Abstract The purpose of the study is to understand the quality of service of mother and child health service in both urban and rural areas in District of Samosir. This cross sectional study was conducted in two health center areas representing rural (Puskesmas Mogang) and urban (Puskesmas Buhit) in District of Samosir. In measuring the quality of service, Servqual concept of Albert Parasuraman was used. Result shows that the score for all expectations are high for all of health service dimension both in Puskesmas Mogang and Puskesmas Buhit. There are differences in perception of patients with regard to tangibility, reliability, empathy, accessibility, and affordability (p < 0,05) between those of Puskesmas Buhit and Mogang. There is no differences in perception of community at large both in Mogang and Buhit regarding tangibility, reliability, responsiveness, assurance, and empathy (p > 0,05). There are significant differences on expectation and the reality of health service quality (p < 0,05) as it perceived by the community in both Puskesmas Buhit and Puskesmas Mogang. Community’s expectations of better health services quality are profound in both urban and rural areas. It is concluded that the existing quality of service not meeting the community expectation. Key words: Health services, primary health center, maternal and child health Pendahuluan Beberapa tahun terakhir, pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia mengalami banyak kemajuan, tetapi perbaikan yang terjadi tidak merata. Di banyak provinsi dan kabupaten, perbaikan pelayanan kesehatan dasar masih terlihat lamban dan sangat bervariasi antardaerah satu dengan yang lain.1 Hal ini antara lain terjadi akibat distribusi tenaga dan sarana kesehatan lain yang tidak merata terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal tersebut pada gilirannya akan berdampak pada perbedaan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Di sisi lain, kondisi kemiskinan yang meluas, status gizi yang buruk, kondisi geografi yang terisolasi, air bersih yang sulit, dan keberAlamat Korespondensi: Sori M. Sarumpaet, Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Jl. Universitas No.21 Medan, Hp. 0811640351, e-mail: [email protected] 147 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012 sihan lingkungan yang tidak terpelihara juga turut berperan. Semua keadaan tersebut bersenyawa dengan kondisi sosioekonomi di Indonesia dan pada akhirnya berkontribusi meningkatkan angka kesakitan dan kematian terutama bayi dan ibu di berbagai provinsi. Untuk menjembatani kesenjangan mutu pelayanan kesehatan tersebut diperlukan informasi/data yang memadai dan terkini, yang diperlukan sebagai dasar penyusunan program dan perencanaan pembangunan kesehatan di daerah perkotaan dan pedesaan terutama daerah terpencil. Dengan data dan informasi tersebut, upaya perbaikan dapat dilakukan melalui pengembangan sistem kesehatan masyarakat pada tingkat kabupaten dan kecamatan.2 Untuk itu, diperlukan suatu survei yang mampu mengungkapkan kesenjangan pelayanan kesehatan di daerah perkotaan dan pedesaan terutama di daerah terpencil. Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang tergolong daerah terpencil menurut kriteria Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) adalah Kabupaten Samosir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui kesenjangan mutu pelayanan kesehatan di daerah pedesaan terpencil dan perkotaan di Kabupaten Samosir. Metode Penelitian ini merupakan survei yang menggunakan rancangan studi potong lintang (cross sectional). Lokasi penelitian adalah Kabupaten Samosir yang diambil secara acak dari daftar kabupaten terpencil di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Desember 2009. Wilayah kerja Puksesmas Buhit Kecamatan Panguruan mewakili daerah perkotaan dan wilayah kerja Puskesmas Mogang Kecamatan Palipi mewakili daerah pedesaan terpencil. Populasi adalah rumah tangga yang mempunyai balita dan pernah hamil/melahirkan di wilayah kerja puskesmas di perkotaan dan daerah terpencil Kabupaten Samosir. Untuk daerah perkotaan, sampel diambil secara purposive dari 2 desa terpencil di wilayah kerja Puskesmas Buhit. Sementara itu, untuk wilayah terpencil dipilih secara purposive dari 2 desa terdekat ke Puskesmas Mogang. Perkiraan diharapkan akan berada 10% dari proporsi sesungguhnya dengan tingkat kepercayaan 95%. Cara penghitungan yang digunakan adalah dengan perkiraan proporsi populasi menggunakan ketepatan absolut spesifik.3 Diperkirakan proporsi populasi sebesar 50% (proporsi pasien yang puas tidak diketahui). Besar sampel minimum yang dibutuhkan adalah 96 (dibulatkan menjadi 100) untuk setiap kelompok sehingga jumlah sampel untuk setiap puskesmas adalah 100. Responden adalah ibu yang mempunyai balita dan sudah tinggal di desa tersebut minimal 6 bulan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur 148 yang telah diuji coba. Metode deskriptif statistik dipakai untuk menghitung rata-rata dan simpangan baku dari kepuasan dan harapan pada keenam dimensi. Dimensi dari pelayanan yang diharapkan dengan nilai rata-rata tertinggi merupakan pelayanan yang diinginkan pasien. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata kepuasan dan rata-rata harapan dari tiap dimensi dilakukan uji Z (untuk sampel di atas 30) dengan uji 2 sesi pada 5% tingkat kemaknaan. Kriteria keputusan adalah ada kesenjangan yang bermakna jika nilai p < 0,05. Analisis mutu layanan kesehatan dilakukan dengan menggunakan Service Quality (Servqual).4,5 Hasil Secara umum, distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang menunjukkan pola yang sama. Jumlah balita pada keluarga responden untuk Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang masing-masing adalah 130 dan 115. Kelompok umur terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Buhit maupun Puskesmas Mogang adalah 5 _ 14 tahun. Hal ini berarti bahwa kelompok anak-anak mendominasi struktur penduduk pada keluarga responden. Hal tersebut beralasan karena populasi dalam penelitian adalah keluarga yang mempunyai anak balita sehingga umumnya keluarga mempunyai anak yang berumur 5 _ 14 tahun. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga responden di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang hampir sama yaitu 4,93 untuk Puskesmas Buhit dan 5,07 untuk Puskesmas Mogang. Status Sosial Ekonomi Secara umum, tingkat pendidikan keluarga responden, ayah dan ibu rumah tangga, lebih tinggi di wilayah kerja Puskesmas Buhit dibandingkan Puskesmas Mogang. Di wilayah kerja Puskesmas Buhit, keluarga responden, suami atau istri, umumnya berpendidikan lulusan SLTA yaitu masing-masing 67,0% dan 66,0%. Di wilayah kerja Puskesmas Mogang, tingkat pendidikan suami atau istri lebih banyak lulusan SD yaitu masingmasing 42,0% dan 37,0%. Hanya sebagian kecil keluarga suami atau istri pada keluarga responden yang berpendidikan perguruan tinggi untuk Puskesmas Buhit (12,0%) dan Puskesmas Mogang (3,0%). Hal yang menggembirakan adalah semua keluarga responden sudah berpendidikan minimal lulus SD, kecuali seorang ibu rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Mogang. Umumnya pekerjaan keluarga responden di wilayah kerja Puskesmas Mogang adalah petani/nelayan (96,0%). Di wilayah kerja Pusekesmas Buhit, jenis pekerjaannya sedikit bervariasi. Sebanyak 50,0% suami dan 69,0% istri bekerja sebagai petani/nelayan. Sisanya bekerja sebagai wiraswasta, pegawai negeri sipil (PNS)/pensiunan Sarumpaet, Tobing & Siagian, Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Tabel 1. Keluarga yang Pernah Dikunjungi Petugas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang Tahun 2009 Puskesmas Buhit Variabel Kunjungan petugas kesehatan Menghadiri penyuluhan Anjurkan berobat ke puskesmas Berobat ke puskesmas lain Puskesmas Mogang Kategori Pernah Tidak pernah Pernah Tidak pernah Tidak tahu Ya Tidak Ya Tidak dan buruh. Hal tersebut dapat dimaklumi karena wilayah kerja Puskesmas Buhit termasuk Kota Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir, yang mempunyai lebih banyak pilihan pekerjaan dibandingkan di wilayah kerja Puskesmas Mogang yang merupakan daerah pedesaan dan pertanian. Kualitas Layanan Kesehatan Di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Mogang, pada tahun 2009, keluarga yang mempunyai balita yang pernah dikunjungi oleh petugas kesehatan sekitar 32,0% dan 20,0%. Secara umum mereka menilai kunjungan tersebut baik. Partisipasi masyarakat untuk mengikuti penyuluhan kesehatan masih tergolong rendah. Keluarga balita yang pernah menghadiri penyuluhan kesehatan relatif sangat kecil, di wilayah kerja Puskesmas Buhit hanya 30,0% jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah kerja Puskesmas Mogang (1,00%). Kesibukan bekerja di bidang pertanian menjadi alasan klasik persentase keikutsertaan yang rendah tersebut. Sebagian besar masyarakat tidak menganjurkan orang lain untuk berobat ke puskesmas. Proporsi yang menganjurkan orang lain berobat ke Puskesmas Buhit dua kali lebih besar dibandingkan Puskesmas Mogang. Walaupun dalam penelitian ini tidak ditanyakan alasannya, diduga hal tersebut berkaitan dengan tidak tersedianya peralatan memadai di puskesmas. Sebagai contoh, jika seseorang mengalami kecelakaan lalu lintas, responden akan menganjurkan dibawa ke rumah sakit dibandingkan puskesmas karena peralatan di puskesmas diperkirakan tidak memadai untuk menangani pasien kecelakaan. Hampir semua keluarga tidak pernah berobat ke puskesmas lain, kecuali ketika berada di luar wilayah puskesmas tempat tinggal (Lihat Tabel 1). Persepsi tentang Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan Secara umum, skor rata-rata persepsi untuk 5 dimensi mutu pelayanan kesehatan yang meliputi tangibility, re- n % n % 32 68 30 69 1 39 61 3 97 32,0 68, 0 30,00 69,00 1,00 39,00 61,00 3,00 97,00 20 80 1 98 1 17 83 1 99 20,00 80,00 1,00 98,00 1,00 17,00 83,00 1,00 99,00 liability, responsiveness, assurance, emphaty, accessibility, dan affordability berbeda antara harapan dan kondisi kini. Di Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang, skor rata-rata harapan untuk semua dimensi mutu layanan kesehatan lebih tinggi. Hal ini sangat masuk akal karena manusia selalu mengharapkan pelayanan yang lebih baik untuk mendapat kepuasan yang lebih baik.6 Fakta ini menunjukkan bahwa mutu layanan kesehatan masyarakat yang diberikan oleh kedua puskemas belum dapat memenuhi harapan yang mereka idamkan. Terlihat hasil uji beda rata-rata persepsi keluarga terhadap dimensi mutu layanan kesehatan saat ini antara layanan di Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang. Ada perbedaan persepsi keluarga terhadap tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability antara pelayanan kesehatan di Puskemas Buhit dan Puskesmas Mogang. Berdasarkan rata-rata skor, persepsi pasien Puskesmas Mogang lebih baik dibandingkan Puskesmas Buhit. Salah satu alasan adalah kenyataan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang mempunyai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan yang terbatas dibandingkan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit. Dengan demikian, mereka tidak mempunyai perbandingan tentang penyedia pelayanan kesehatan lain. Sementara, masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit mempunyai pilihan rumah sakit pemerintah, klinik swasta, dan praktik dokter (Lihat Tabel 2). Ada perbedaan yang nyata antara harapan dan kondisi mutu pelayanan kesehatan yang dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas di Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang. Masyarakat biasanya menetapkan harapan mutu pelayanan tinggi yang harus diberikan oleh puskesmas. Fakta ini juga mengindikasikan pelayanan kesehatan yang dirasakan kini masih belum memenuhi harapan masyarakat pengguna puskesmas (Lihat Tabel 3). Secara umum, masyarakat di kedua wilayah kerja puskesmas mempunyai harapan terhadap kemutakhiran 149 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012 Tabel 2. Rata-Rata Skor Persepsi Harapan dan Kondisi Keluarga Balita terhadap Dimensi Pelayanan Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang Dimensi Layanan Kesehatan Tangibility Reliability Responsiveness Assurance Emphaty Accessibility and affordability Puskesmas Buhit Puskesmas Mogang Rata-rata Skor Persepsi Rata-rata Skor Persepsi Harapan Saat ini Harapan Saat ini 8,48 8,18 8,11 8,48 8,05 7,98 6,94 7,21 7,38 7,18 6,80 7,44 8,44 8,21 8,17 8,46 8,04 8,17 7,24 7,50 7,38 7,59 6,76 5,52 Tabel 3. Persepsi Keluarga terhadap Dimensi Layanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang Dimensi Layanan Kesehatan Rata-rata Skor Tangibility Reliability Responsiveness Assurance Emphaty Accessibility and affordability 6,94 7,24 7,21 7,50 7,38 7,38 7,18 7,59 6,80 6,76 7,44 5,52 F Nilai p 6,518 0,012* 6,555 0,011* 0,155 0,694 0,003 0,955 4,314 0,040* 6,660 0,011* Keterangan: *Signifikan pada α = 0,05 peralatan kedokteran/kesehatan, kebersihan puskesmas, kerapian dokter, petunjuk yang jelas di puskesmas, dan kerahasiaan pemeriksaan pasien (tangibility). Pasien juga menaruh harapan yang besar pada petugas kesehatan agar dapat merasakan apa yang mereka rasakan seperti pengobatan sesuai dengan keluhan pasien, perhatian, dan kemampuan dokter/petugas kesehatan menciptakan rasa nyaman pada pasien (emphaty). Khusus untuk pasien di wilayah kerja Puskesmas Mogang, mereka mangharapkan agar akses mereka ke puskesmas lebih baik. Mereka juga mengharapkan agar dokter tidak melakukan pemeriksaan dan memberikan obat yang tidak perlu ke pasien (accessibility and affordability) (Lihat Tabel 4). Pembahasan Pembangunan kesehatan atau pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada masyarakat di Indonesia belum maksimal.6 Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat kesenjangan status sosioekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit (mewakili daerah perko150 taan) dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang (mewakili daerah terpencil/pedesaan). Perbedaan status sosioekonomi akan berdampak pada akses masyarakat ke layanan kesehatan bermutu. Kemampuan suatu rumah tangga untuk mengakses pelayanan kesehatan berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan serta kemampuan ekonomi untuk membayar biaya pelayanan.7 Hasil ini berbeda dengan temuan lainnya yaitu status ekonomi tidak berhubungan bermakna dengan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. 8 Masyarakat di pedesaan memiliki akses ke pelayanan kesehatan lebih rendah karena terbatasnya fasilitas kesehatan, rendahnya pengetahuan kesehatan, dan pendapatan yang rendah. Hal senada juga dinyatakan oleh Schur dan Franco,9 bahwa masalah kesehatan pada masyarakat di pedesaan berkaitan dengan pendapatan yang rendah, pemanfaatan fasilitas kesehatan yang rendah, dan kepemilikan asuransi kesehatan yang tidak memadai. Hasil temuan di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa aksesibilitas terutama jarak tidak menjadi penghambat memanfaatkan Sarumpaet, Tobing & Siagian, Perbedaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Tabel 4. Beda Rata-rata (Zα) Persepsi Harapan Keluarga terhadap Dimensi Layanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang Dimensi Layanan Kesehatan Rata-rata Skor F Nilai p 8,48 8,44 8,18 8,21 8,11 8,17 8,48 8,46 8,05 8,04 7,98 8,17 0,001 0,972 0,230 0,633 0,879 0,350 0,923 0,338 0,887 0,348 4,662 0,032* Tangibility Realibility Responsiveness Assurance Emphaty Accessibility and affordability Keterangan: *Signifikan pada α = 0,05 fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah dan swasta.8 Penelitian perbedaan layanan kesehatan antara pedesaan dan perkotaan di Amerika Serikat, Ormond, et al,10 juga menemukan bahwa terjadi kesenjangan akses dan pemanfaatan fasilitas kesehatan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Dalam hal mempersempit kesenjangan mutu layanan kesehatan antara pedesaan dan perkotaan yang dinilai dari indikator kesehatan membutuhkan sistem layanan kesehatan yang inovatif, komprehensif, berbasis masyarakat, dan relatif murah agar terjangkau oleh masyarakat.11 Akses ke pelayanan kesehatan dilihat dari jarak dan waktu tempuh serta biaya yang dikeluarkan untuk mencapai pelayanan kesehatan.7 Tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan yang rendah di pedesaan selain karena jaraknya yang jauh juga berkaitan dengan kunjungan petugas kesehatan ke rumah masyarakat. Sebanyak 80% (di perkotaan 60%) masyarakat di pedesaan mengaku tidak pernah dikunjungi petugas kesehatan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa petugas kesehatan kurang memperhatikan mereka. Temuan senada juga diperoleh Trimurthy,12 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemanfaatan ulang layanan kesehatan rawat inap puskesmas dengan empati pelayanan petugas kesehatan. Seluruh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang adalah penduduk asli dan dilahirkan di Provinsi Sumatera Utara.13 Umumnya, keluarga responden sudah tinggal di daerah tersebut lebih dari 15 tahun. Harapan masyarakat pada layanan kesehatan puskesmas di wilayah kerja Puskesmas Buhit dan Mogang hampir sama, seperti ditunjukkan oleh hasil uji beda rata-rata persepsi masyarakat di kedua wilayah kerja puskesmas. Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty, kecuali dimensi accessibility and affordability. Skor rata-rata persepsi harapan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang terlihat lebih tinggi dibandingkan di wilayah kerja Puskesmas Buhit. Dokter harus ada sesuai jam kerja di puskesmas dan pasien dilayani sesuai dengan nomor urut pendaftaran. Pasien di kedua wilayah kerja puskesmas mengharapkan dokter menguasai bidangnya dan puskesmas dibuka tepat waktu (reliability). Sementara pasien puskesmas juga berharap agar dokter dan petugas kesehatan bersifat menolong, melayani dengan cepat, dan dapat meyakinkan pasien (responsiveness).14 Kenyataan ini didukung oleh temuan Trimurthy,12 yang mengungkapkan bahwa bukti langsung layanan kesehatan antara lain sifat menolong, cepat melayani, dan tepat waktu berhubungan positif dengan keinginan masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan di puskesmas. Sementara itu, Jian et al,15 mengungkapkan bahwa pendekatan bentuk layanan kesehatan yang berbeda antara pedesaan dan perkotaan berperan mengurangi kesenjangan akses masyarakat ke layanan kesehatan. Fakta ini mengindikasikan bahwa masyarakat di wilayah Puskesmas Buhit tidak terlalu banyak keinginan/harapan berkaitan dengan akses/keterjangkauan ke puskesmas karena puskesmas mudah dijangkau dari seluruh wilayah kerja puskemas. Berbeda dengan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mogang, mereka masih mempunyai harapan puskesmas yang lebih terjangkau atau lebih dekat karena akses ke puskesmas yang sulit, baik dari segi jarak maupun sarana transportasi. Kesimpulan Skor rata-rata harapan untuk semua dimensi mutu layanan kesehatan dibandingkan mutu layanan saat ini di Puskesmas Buhit dan Puskemas Mogang lebih tinggi. 151 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4, Februari 2012 Ada perbedaan persepsi keluarga/pasien terhadap tangibility, reliability, emphaty, accessibility, dan affordability antara layanan kesehatan yang dipersepsikan oleh pasien di Puskemas Buhit dan Puskesmas Mogang. Sementara itu, tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Terlihat perbedaan nyata antara harapan dan kondisi mutu layanan kesehatan yang dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas, baik di wilayah kerja puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang. Harapan masyarakat pada pelayanan kesehatan puskesmas yang lebih baik hampir sama antara masyarakat di perkotaan dan daerah terpencil. Hal ini mengindikasikan bahwa mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak yang diberikan oleh puskemas belum dapat memenuhi harapan masyarakat. 4. Parasuraman A, Berry, Zeithaml. SERVQUAL: A multiple-item scale for measuring customer perceptions of service quality. Journal of Retailing. 1988; 64 (1): 12-40. 5. Landrum H, Prybutok V, Zhang X, Peak D. Measuring IS system, service quality with SERVQUAL: users’ perceptions of relative importance of the five SERVPERF dimensions. The International Journal of Emergencing Transdiscipline. 2009; 12. 6. Zahtamal, Restuastuti T, Chandra F. Perilaku masyarakat dan masalah pelayanan kesehatan ibu dan anak di Provinsi Riau. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 (6): 254-61. 7. Sartika RAD. Analisis pemanfaatan program pelayanan kesehatan status gizi balita. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 5 (2): 76-83. 8. Sulistyorini A, Purwanta. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta di Kabupaten Sleman. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011; 5 (4): 178-84. 9. Schur C, Franco S. Access to health care. In: Thomas C, editor. Rural Saran Perlu peningkatan mutu layanan kesehatan kedua puskesmas secara menyeluruh untuk meningkatkan persepsi dan pemanfaatan puskesmas oleh masyarakat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. Sementara itu, dibutuhkan pendekatan yang berbeda dalam pemberian layanan kesehatan untuk memperkecil kesenjangan akses masyarakat dan mutu layanan kesehatan antara pedesaan dan perkotaan. health in the United States. Ricketts III. New York: Oxford University Press; 1999. 10. Ormond BA, Zuckerman S, Lhila A. Rural/urban differencies in health care are not uniform across states. National Survey of America’s Families. 2000; B (B-11). 11. Mehryar AM, Aghajanian A, Ahmad-Nia S, Mirzae M, Naghavi M. Primary health care system, narrowing of rural–urban gap in health indicators and rural poverty reduction: the experience of Iran. Procedings of the XXV General Population Conference of the International Union for the Scientific Study of Population; 2005 july 18-23; Tours, France; Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang mendanai penelitian ini. 2005. 12. Trimurthy IGA. Analisis hubungan persepsi pasien tentang mutu pelayanan dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan kesehatan rawat jalan Puskesmas Pandaranan Kota Semarang [tesis]. Semarang: Universitas Dipanegoro; 2008. Daftar Pustaka 1. Badan Pusat Statistik dan Macro International. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2002. Calverton, Maryland, United States of America: Badan Pusat Statistik dan Macro International; 2002. 2. Badan Pusat Statistik dan Macro International. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, United States of America: Badan Pusat Statistik dan Macro International; 2007. 3. Lwanga and Lameshaw. Metode penelitian kesehatan. 2007. 152 13. Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. Profil kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2008. Samosir: Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir; 2009. 14. Mangkunegara AAAP. Evaluasi kinerja sumber daya manusia. Bandung: Refika Aditama; 2005. 15. Jian W, Chan K, Reidpath DD, Xu L. 2010. China’s rural-urban care gap shrank for chronic disease patients, but inequities persist. Health Affairs. 2010; 29: 122189-96. Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang Dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan (The Difference Perceive of Society About Health of The Mother and Child was did by Medicine Women and Midwaife) Siti Maryam dan Widya Lusi Arisona ProgramStudiDIIIKebidanan UniversitasTulungagung abstrak Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu wujud hak asasi perempuan dan anak, akan tetapi pada saat ini kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih belum menggembirakan dikarenakan banyak faktor salah satunya adalah sosial budaya dan kepercayaan tradisional masih tinggi kepada dukun bayi. Tujuan penelitian Membuktikan Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang dilaksanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan observasional dan rancangan komparasi, Pendekatan waktu cross sectional, Teknik sampling purposive random sampling, dan didapatkan jumlah sampel 144 responden. Analisis menggunakan uji statistik uji T test, didapatkan (p>0,605) maka tidak ada perbedaan persepsi tentang kesehatan ibu dan anak antara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan. Persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pengalaman, tetapi persepsi sendiri mempunyai faktor lain yang memengaruhi yaitu perhatian terhadap sesuatu, jika seseorang tidak ada perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya tidak berpengaruh, di samping itu untuk mempersepsikan segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan, kemampuan dan didukung oleh kemauan. Responden yang pernah ke dukun bayi ataupun responden yang pernah ke bidan untuk memperoleh informasi memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan informasi sehingga dengan keadaan tersebut memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang kesehatan ibu dan anak. Kata Kunci: Persepsi masyarakat, dan kesehatan ibu dan anak. abstract The health of mother and child is one of the rights women and children, but in this time the health of mother and child in Indonesia are still not enjoying, because many factors of society. One of the factors is social cultural and traditional beliefs are still high of medicine women. Perception research goal proved the difference perceive of society about health of the mother and child was did by medicine women and midwaife. Type of observational analytic study approach and design comparison. Time approach used cross sectional, Technique Sampling used was purposive random sampling, and obtained 144 total sample of respondents. Analysis using statistical test T test, it was found (p > 0.605) then there is no difference in perceptions of maternal and child health between groups of service users and user groups midwives. Perception basically influenced by many factors, one of which was an experience, but the perception it self have other factors that influence the attention to something, if someone not attention to anything the same perception was not affected. Besides that everything needed to perceive the carrying capacity of knowledge, skills and backed by the will. Respondents who have been to traditional birth attendants or midwives person ever to have the opportunity to obtain the same information to obtain information, so that with the situation it, the society easier thoo perceive about the health of mother and child. Key Word: the perception people about maternal and child health. pendahuluan Kesehatanibudananakmerupakansalahsatuwujud hak asasi perempuan dan anak. Akan tetapi pada saat inikesehatanibudananak,khususnyabayibarulahirdi Indonesia masih belum menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) yaitu 334 per seratus ribu kelahiran hidup dan angka kematianbayibarulahir21,8perseribukelahiranhidup (SDKI 1977). Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu yang sampai sekarang ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI di negara ASEANlainnya.(MaryamSiti.2012;1-4) Menurut Poedji 2003 menjelaskan bahwa faktorfaktor yang mempunyai pengaruh terhadap kelambanan penurunan AKI di Indonesia adalah 1) letak geografis Negara Indonesia merupakan kepulauan, pegunungan, daratan rendah dengan sungai serta bahaya banjir besar, mempunyai banyak desa-desa terpencil yang jauh dari pelayanan kesehatan; 2) persalinan rumah masih tinggi 70%karenamasihbanyakmemilihmelahirkandirumah di antara keluarga dalam lingkungan dalam suasana yangakrabdanfamiliardankelahiranmasihmerupakan fenomena sosial; 3) sosial budaya dan kepercayaan tradisional masih tinggi antara lain kepada dukun; 4) sosial ekonomi rendah dengan kemampuan biaya 6 terbatas. Berdasarkan hasil Assessment safe motherhood di Indonesia pada tahun 1990/1991 menjelaskan bahwa kualitas pelayanan antenatal yang diperoleh, dukun belumsepenuhnyamampumelaksanakandeteksidiniibu risikotinggi.(Poedji.2003;1-3) Dukunbayiadalahorangyangdianggaptrampildan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan danperawatanibudananaksesuaikebutuhanmasyarakat. Keterampilandukunbayipadaumumnyadidapatmelalui system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu dananak.Namundemikianketerampilantersebutbukan didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikanakantetapidarikebiasaan.(DepkesRI.1993: 3-5) Berdasarkan hasil analisis RISKESDAS, 2010 menunjukkan proporsi kelahiran atau persalinan yang terjadipada5tahunsebelumsurvey,didapatkanproporsi persalinanyangditolongtenagakesehatanadalah80,2% dan 19,7 % persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan, dan tercatat 0,1 % tidak bertanggung jawab. Dan juga didapatkan bahwa masih adanya ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke dukun yaitu 3,2%, dan tidak melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan olehmasyarakatmasihbelumoptimal.(Riskesdas.2010: 40-47) Persamaan persepsi dan kesatuan strategi sangat diperlukantenagakesehatansejakdarimasyarakat,dukun bayi, pemerintah dan instansi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, agar tercapai derajat kesehatan ibu dan anak secara optimal dengan menurunnya angka kematian ibu dan anak di Indonesia. (Poedji Rochjati. 2003:86) Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul,” Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang dilakasanakan oleh Dukun Bayi dan Bidan”. tujuan penelitian MembuktikanPerbedaanPersepsiMasyarakattentang KesehatanIbudanAnakyangdilaksanakanolehDukun BayidanBidan. tinjauan pustaka Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19 Persepsiadalahsuatuprosespengenalanatauidentifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever, dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akansegalasesuatudalamlingkungannyamelaluiinderainderayangdimilikinya.(Susanti,2003:40-45) Dukunbayiadalahorangyangdianggaptrampildan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan danperawatanibudananaksesuaikebutuhanmasyarakat. Keterampilandukunbayipadaumumnyadidapatmelalui system magang. Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan dukun bayi berkait pula dengan system nilai budaya masyarakat, sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat setempat. Secara tradisional dukun bayi trampil dalam hal pertolongan persalinan dan perawatan kesehatan ibu dananak.(DepkesRI.1993;4–5) Sedangkan tugas bidan desa secara khusus adalah bertanggung jawab terhadap program Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) termasuk keluarga berencana. Tujuan pemanfaatan bidan adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan KIA (Kesehatan Ibu Dan Anak) yang meliputi: peningkatan khususnya 5 program prioritas di desa yang meliputi Kesehatan Ibu DanAnak,keluargaberencana,imunisasi,perbaikangizi dan penanggulangan diare. (Depkes, R.I. 2001: 20-23), Bidan juga mempunyai tugas melaksanakan supervisi ataubimbingandanpembinaankepadadukunbayiyang berada di wilayah kerjanya serta menjalin kerjasama dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Depkes RI. 1998:5-8) Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui, ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. (DinkesJatim.2002:2-9) metode penelitian Model penelitian yang digunakan adalah metode survey analitik yang dilakukan pada tanggal 1 Agustus samapidengan20Oktober2013dengantempatpenelitian didesaSambijajarKecamatanSumbergempolKabupaten Tulungagung, Jenisnya analitik dengan pendekatan observasional yang bertujuan menggambarkan keadaan serta menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadimya sesuatu, dan juga digunakan untuk menggambarkan dan menggali secara luas persepsi masyarakatpenggunajasadukunbayidanbidantentang kesehatanibudananak.Sedangkanrancanganpenelitian iniadalahrancangankomparasiyaitumembedakanantara variabel1danvariabel2tentangkesehatanibudananak. Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak Pendekatan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah belah lintang atau cross sectional, Populasi penelitianiniadalahseluruhmasyarakatsambijajaryang berjumlah 1437. Dan teknik sampling yang di gunakan adalah porposive random sampling yang sesuai dengan kriteriainklusidenganjumlahresponden144responden. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner tertutupyangberjumlah15denganpilihanjawabansetuju dantidaksetuju. purposive random sampling, yang dilaksanakan pada tanggal1Agustuss/d20Oktober2013 Berdasarkan tabel 1 diketahui rata-rata umur responden pada kelompok pengguna jasa dukun bayi berbeda dengan kelompok pengguna jasa bidan yaitu 49,4 tahun dan 28,9 tahun. Sedangkan berdasarkan latar belakang pendidikan responden pada tabel 1 diketahui hampir seluruhnya responden (61) berpendidikan SD padaPenggunaJasaDukundansebagiankecil(15)pada PenggunajasaBidan. Hasilanalisispengetahuantentangkesehatanibudan anak antara kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan dapat disajikan dalam grafikboxplotdibawahini: Berdasarkan gambar 1 diketahui pada kelompok pengguna jasa dukun bayi memiliki skor persepsi hampir samadengankelompokpenggunajasabidan. hasil penelitian Pada penelitian ini responden yang terpilih sebagai sampel penelitian ibu yang sudah memiliki anak di desa Sambijajar Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Sebanyak 144 ibu yang diambil secara 30 28 Persepsi 26 24 22 20 18 16 Kelompok ke Bidan Kelompok ke Dukun Bayi Kelompok Gambar 1.Perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantarakelompokpenggunajasadukunbayidankelompokpengguna jasabidan Tabel 1.DistribusiFrekuensiUmurdanpendidikanResponden No. 1 2 Umur(Tahun) Termuda Tertua 39 58 22 35 KelompokUmur PenggunaJasaDukun PenggunajasaBidan Rata-Rata (Mean) 49,4 28,9 SD 61 15 Pendidikan SMP SMA 11 0 47 12 PT 0 2 Jumlah 72 72 Sumber:datahasilpenelitian2013 Tabel 2.HasilAnalisisUjiT TetsPerbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantaraKelompokpenggunajasa dukunbayidankelompokpenggunajasabidan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances Persepsi Equal variances assumed Equal variances not assumed F 1,471 Sig. ,227 t-test for Equality of Means t ,518 ,512 142 Sig. (2-tailed) ,605 Mean Difference ,269 Std. Error Difference ,520 122,831 ,610 ,269 ,527 df 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,758 1,297 -,773 1,312 Berdasarkan tabel 2 diketahui tidak ada perbedaan persepsitentangkesehatanibudananakantaraKelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok pengguna jasa bidan(p>0,605). pembahasan Kesehatan ibu dan anak merupakan kesehatan yang mencakup kesehatan ibu hamil, ibu bersalin , menyusui, ibu nifas, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Kesehatan pada masa tersebut sangat perlu mendapat pemantauan karena jika terdapat penyimpangan dan ketidaknormalan agar segera dapat ditanggulangi atau dicari penatalaksanaan yang tepat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk didalamnya penurunan kematian ibu dan anak, akan berhasil bila mengikutsertakan masyarakat. Dukun bayi adalah salah satu warga masyarakat yang sangat berpotensi dalam upaya peningkatan kesehatan tersebut, karena dukun adalah orang yang terdekat dengan masyarakat. Selaras dengan keterampilannya dukun bayi memiliki fungsi dalam perawatan kesehatan ibu dan anak diantaranya yaitu memberi perawatan ibu hamil normal, pengenalan dan rujukan ibu hamil risiko tinggi dan penyulit dalam kehamilan, perawatan ibu nifas, perawatan bayi baru lahir, dan pengenalan dan rujukan masa nifas dan bayi untuk imunisasi. Agar dukun dapat melaksanakan fungsinyadenganbaikmakaperluadanyapembinaandan pemantauansecaraterusmenerusdanberkesinambungan dari petugas kesehatan khususnya bidan. Sedangkan Tugas pokok bidan adalah memelihara dan melindungi masyarakat di wilayah kerjanya berdasarkan prioritas masalah yang dihadapi dan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Sedangkan tugas bidan secara khusus adalah bertanggung jawab terhadap program Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) termasuk keluarga berencana. Tujuan pemanfaatan bidan adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatanKIA(KesehatanIbuDanAnak)yangmeliputi: peningkatankhususnya5programprioritasdidesayang meliputi Kesehatan Ibu Dan Anak, keluarga berencana, imunisasi,perbaikangizidanpenanggulangandiare. Persepsi adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respons bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Persepsi juga merupakan suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera (Drever, dalam Susanti, 2003). Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Persepsi juga merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Dipertegas dengan teori Jurnal Sain Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 15–19 yang menjelaskan bahwa Thoha berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi pada umumnya terjadikarenaduafaktor,yaitufaktorinternaldanfaktor eksternal.Faktorinternalberasaldaridalamdiriindividu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik. Dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satubendayangsama,merekadapatmempersepsikannya berbeda-beda(JamesLGibson.2004) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan tidak ada perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok penggunajasabidan(p>0,605),halinidisebabkankarena pada dasarnya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pengalaman berdasarkan data yang didapatkan sebagian besar responden berpendidikan SD pada pengguna jasa dukun bayi namun tidak menutup kemungkinan responden mendapatkan pengalaman dari lingkunganyangadadisekitarnyadidukungdenganumur responden yang tergolong sudah tidak muda lagi dalam arti semakin bertambah umur maka proses berfikir pun akansemakinmatangdanjugaakanlebihbisamenerima informasiyangditerimanya,diperkuatlagibahwapersepsi sendiri mempunyai faktor lain yang mempengaruhi yaitu perhatian terhadap sesuatu, jika seseorang tidak ada perhatian terhadap sesuatu maka sama saja persepsinya tidak berpengaruh. Disamping itu untuk mempersepsikan segala sesuatu diperlukan daya dukung pengetahuan, kemampuandandidukungolehkemauan.Respondenyang pernahkedukunbayiataupunrespondenyangpernahke bidanuntukmemperolehinformasimemilikipeluangyang samauntukmendapatkaninformasitentangkesehatanibu dan anak, misalkan responden yang dulunya pada saat persalinan datang ke dukun untuk proses persalinannya namun pada saat ada penimbangan bayi responden juga datangkePosyanduatauketikarespondensakitresponden akan datang ke tenaga kesehatan yaitu bidan, dan juga sebaliknya responden yang persalinannya di tolong oleh bidan tidak menutup kemungkinan akan datang ke dukun bayi untuk memandikan bayi sampai usia bayi 36 hari, memijat bayinya ataupun memijat perutnya pada saat hamil, artinya selama proses tersebut samasama memperoleh informasi tentang kesehatan ibu dan anak sebagai modal untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sehingga dengan keadaan tersebut memudahkan responden untuk mempersepsikan tentang kesehatanibudananak. kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidak ada perbedaanpersepsitentangkesehatanibudananakantara Kelompok pengguna jasa dukun bayi dan kelompok penggunajasabidan(p>0,605). Maryam dan Arisona: Perbedaan Persepsi Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak saran 1.Dukun bayi hendaknya menjalin kemitraan dengan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak sehingga dukun bayi mengetahui dan paham batas kewenangannya. 2.Bidan Hendaknya lebih dekat dengan masyarakat dalam pemberian pelayanan kesehatan terutama dalamKesehatanIbudanAnaksehinggamasyarakat akan lebih percaya dan mau memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan menjalin kemitraan dengan dukun setempat dalam pemberian pelayanan kesehatan ibu dananak. 3.Masyarakat diharapkan Lebih meningkatkan pengetahuan dan kepercayaan kepada tenaga kesehatan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama kesehatan ibu dan anak sehingga akan meningkatkan persepsi masyarakat pada tenaga kesehatan dan berdampak pada perilaku yang positif untukselalumemanfaatkanpelayanankesehatanyang diberikantenagakesehatan. daftar pustaka 1.DepkesRI.Pedoman Supervisi Dukun Bayi.Jakarta.Derektorat binakesehatankeluarga.1993.50:3–5 2.Depkes,R.I,Penyelenggaraan Puskesmas Di Era Desentralisasi., Jakarta.2001:40;20–23 3.DinkesJatim.Buku Kesehatan Ibu dan Anak.Jakarta.JICA.2002. 52:2–9 4.Istiarti, T., Pemanfaatan Tenaga Bidan Desa di Kabupaten Semarang.Yogyakarta.1998.45:5–8 5.MaryamSiti.Peran Bidan dalam Menyukseskan MDGS.Jakarta. 2012.48:1–4 6.Poedji Rochjati. Rujukan Terencana Dalam Sistem Rujukan Paripurna Kabupaten/ Kota.Surabaya.UNAIR.2003.136:1–3 dan86 7.Riskesdas.Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.Jakarta,2010. 109:40–47 8.Sugiono,Statistik Untuk Penelitian,Bandung.2009.390:61–68 9.Susanti. Skala Psikologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003: 40–45 Artikel Penelitian Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Riau Community Behavior and Health Care of Maternal and Child Health Problems in Province of Riau Zahtamal, Tuti Restuastuti, Fifia Chandra Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Riau Abstrak Status kesehatan masyarakat yang rendah di Indonesia ditandai oleh angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang tinggi sebagaimana terlihat pada indikator pelayanan KIA yang belum ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi pelayanan KIA dan mengkaji faktor perilaku sebagai penyebab masalah KIA di Provinsi Riau. Riset ini menggunakan rancangan studi deskriptif dengan data kuantitatif dan kualitatif mengenai indikator keberhasilan pelayanan KIA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator-indikator kinerja pelayanan KIA ada yang tercapai, ada pula yang tidak. Sementara itu, perilaku masyarakat terhadap pengetahuan tentang kehamilan ibu tergolong baik, sikap netral, dan praktek baik. Seseorang yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar menyatakan suami/istri. Jika dilihat dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang mempunyai masalah KIA, sebagian besar tidak ada keterlambatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Kata kunci: Pelayanan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, perilaku masyarakat Abstract Low health community status in Indonesia is indicated by high maternal and infant mortality rates as shown in the indicators of health care of maternal and child health not ideal. The aim of this study was to understand the situation of maternal and child health and to analyze behavioral factor determining maternal and child health problems in Riau Province. This research employed descriptive design with quantitative and qualitative data on achievement of performance indicators of maternal and child health. The results showed that some performance indicators of maternal and child health were achievable and some were not. Meanwhile, the community health behavior about maternal health knowledge was good, attitude was neutral, and practice was good. Similarly, the community health behavior about new254 born and child health level of knowledge was medium, attitude was positive, and practice was good. In solving maternal and child health problems, key person who mostly categorized as a decision maker for health action was husband or wife. With respect to the family emergency response to maternal and child health problems of a family member, most decisions to care the problems were not late. However, there were many communities’ beliefs which do not match the health values, especially for maternal and child health aspects. Key words: Health care, maternal and child health, community behaviour Pendahuluan Saat ini, masalah kesehatan di Indonesia yang rendah antara lain ditandai oleh angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) yang tinggi. Berdasarkan survei kesehatan dasar 2007, AKI di Indonesia masih tergolong tinggi (228 per 100.000 kelahiran hidup). Demikian pula AKB, masih berada pada kisaran 26,9 per 1.000 kelahiran hidup. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan target AKI dan AKB yang diharapkan dicapai pada tahun 2010 adalah 125 per 100.000 kelahiran hidup dan 15 per 1.000 kelahiran hidup.1 Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, diketahui bahwa angka kematian bayi 26 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian anak balita 60 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah kematian bayi mencapai 1.272 kasus, sedangkan jumlah kematian ibu mencapai 179 kasus pada tahun 2006.2 AKI dan AKB yang masih tergolong tinggi tersebut Alamat Korespondensi: Zahtamal, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Komunitas FK Universitas Riau Jl. Diponegoro No. 1 Pekanbaru, Hp. 081371530203, e-mail: [email protected] Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi faktor penyedia (predisposing), faktor pemungkin (enabling) serta faktor pendorong atau penguat (reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam mendeteksi, memutuskan tindakan serta merujuk. Selain itu, akibat keterlambatan menangani keluarga yang mempunyai masalah kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan komperehensif. Belum banyak informasi yang menggambarkan berbagai faktor tersebut, khususnya dari aspek perilaku masyarakat. Padahal, strategi dan kebijakan tepat yang dikembangkan berdasarkan informasi bukti sangat diperlukan dalam upaya mengatasi masalah KIA tersebut. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran berbagai indikator dan faktor perilaku yang terkait pelayanan KIA di masyarakat. Metode Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di 4 kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan karakteristik masyarakat nelayan/pesisir, pertanian dan perkebunan serta perkotaan industri. Untuk merepresentasikan karakteristik tersebut dipilih masyarakat yang bermukim di Kota Pekanbaru mewakili wilayah perkotaan, Kabupaten Kampar mewakili daerah perkebunan/pertanian, Kota Dumai mewakili daerah industri, dan Kabupaten Rokan Hilir mewakili daerah nelayan/pesisir. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mengamati masyarakat di lokasi penelitian terpilih. Jumlah wilayah studi dan responden ditentukan secara quota sampling. Besar sampel ditentukan 550 orang masyarakat, masingmasing setiap kabupaten/kota berada pada kisaran 120150 orang. Instrumen yang digunakan adalah format identifikasi indikator pelayanan kesehatan dari data sekunder dan kuesioner. Hasil Secara umum, indikator keberhasilan pembangunan kesehatan untuk pelayanan KIA antara lain adalah AKI, jumlah anak balita bawah garis merah (BGM) (kurang 15%). Beberapa indikator lain yaitu cakupan balita yang naik berat badan (ada 2 kabupaten yang belum mencapai target yakni Kampar dan Rokan Hilir) dan cakupan Posyandu Purnama (ada 1 kabupaten yang belum mencapai target yakni Rokan Hilir). Selanjutnya, cakupan kunjungan bayi (ada 2 kabupaten yang belum mencapai target yakni Kampar dan Rokan Hilir). Indikator yang belum mencapai target antara lain cakupan kunjungan ibu hamil (K4), pertolongan persalinan ditolong petugas kesehatan, kunjungan neonatus (KN-2), cakupan peserta keluarga berencana (KB) aktif, cakupan desa/kelurahan kategori universal child immunization (UCI), caku- pan anak balita yang mendapat kapsul vitamin A 2 kali setahun, cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet fe, cakupan pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) pada anak balita bawah garis merah dari keluarga miskin, cakupan rumah tangga sehat serta cakupan bayi yang mendapat ASI ekslusif. Faktor Perilaku terkait Pelayanan KIA Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 550 orang dengan rata-rata umur 29,63 tahun (standar deviasi (SD) = 5,82). Status ekonomi responden sebagian besar berpenghasilan Rp. 800.000-2.000.000 (menengah rendah) yakni 61,3%. Selanjutnya, jika dilihat dari cara pembayaran untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sering digunakan keluarga adalah bayar langsung yakni 397 orang (72,2%). Hanya 20,1% yang ditanggung oleh asuransi (Asuransi Kesehatan (Askes)/Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Askes swasta, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)). Tenaga penolong dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan keluarga sebagian besar adalah tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan/mantri kesehatan) yakni 542 orang (98,5%). Sarana/fasilitas kesehatan yang paling sering digunakan oleh keluarga sebagian besar responden menjawab adalah puskesmas yakni 266 orang (48,4%). Pengetahuan tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Gambaran rata-rata skor pengetahuan responden tentang kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 74,05 (SD = 14,51). Secara keseluruhan, diketahui kategori pengetahuan responden berada pada kategori baik yakni 366 orang (66,6%) (Lihat Tabel 1). Jumlah yang paling banyak kategori baiknya adalah Kota Dumai (86,2%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir (50,7%). Berdasarkan uji komparatif kategorik diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan responden dengan nilai signifikan (p value = 0,000). Pengetahuan tentang Kesehatan Bayi Berdasarkan pengolahan data didapatkan rata-rata skor pengetahuan responden tentang kesehatan bayi adalah 63,87 (SD = 19,01). Secara keseluruhan diketahui bahwa kategori pengetahuan responden berada pada kategori cukup yakni 283 orang (51,5%) (Lihat Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa kategori pengetahuan responden sedikit bervariasi, 3 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori cukup (Rokan Hilir, Dumai, dan Kampar), sedangkan Pekanbaru sebagian besar (60,3%) berada pada kategori baik. Selanjutnya, kabupaten yang kurang ideal kategori pengetahuannya adalah Rokan Hilir, dimana kategori cukup dan kurangnya masih banyak yakni masing255 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011 Tabel 1. Pengetahuan Responden tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Kabupaten Kategori Pengetahuan Total Rokan Hilir Kurang Cukup Baik Total Dumai Pekanbaru Kampar Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 3 1,3 2,1% 67 46,2 47,2% 72 94,5 50,7% 0 1,3 0% 19 44,9 13,8% 119 91,8 86,2% 0 1,1 0% 28 37,8 24,1% 88 77,2 75,9% 2 1,4 1,3% 65 50,1 42,2% 87 102,5 56,5% 5 5,0 0,9% 179 179,0 32,5% 366 366,0 66,5% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% Tabel 2. Pengetahuan Kesehatan Bayi Kabupaten Kategori Pengetahuan Total Rokan Hilir Kurang Cukup Baik Total Dumai Pekanbaru Kampar Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 15 7,0 10,6% 69 73,1 48,6% 58 62,0 40,8% 5 6,8 3,6% 86 71,0 62,3% 47 60,2 34,1% 3 5,7 2,6% 43 59,7 37,1% 70 50,6 60,3% 4 7,6 2,6% 85 79,2 55,2% 65 67,2 42,2% 27 27,0 4,9% 283 283,0 51,5% 240 240,0 43,6% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% masing 48,6% dan 10,6%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pengetahuan antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). are diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori sikap antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,001). Gambaran Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi Gambaran Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor sikap responden terhadap kehamilan, persalinan, dan nifas adalah 69,92 (SD = 11,59). Adapun kategori sikap responden sebagian besar berada pada kategori netral yakni 137 responden (93,8%) (Lihat Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kategori sikap responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori positif (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui uji chi squ256 Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor sikap responden terhadap kesehatan bayi adalah 75,47 (SD = 15,06). Adapun kategori sikap responden sebagian besar sudah berada pada kategori positif yakni 362 responden (65,8%) (Lihat Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa kategori sikap responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori positif (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar adalah netral yakni sebanyak 52,1%. Melalui analisis statistik dengan uji komparatif kategorik tidak berpasangan diketahui bahwa terdapat perbedaan yang Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Tabel 3. Sikap Responden terhadap Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Kabupaten Kategori Sikap Total Rokan Hilir Netral Positif Total Dumai Pekanbaru Kampar Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 74 57,8 52,1% 68 84,2 47,9% 59 56,2 42,8% 79 81,8 57,2% 31 47,2 26,7% 85 68,8 73,3% 60 62,7 39,0% 94 91,3 61,0% 224 224,0 40,7% 326 326,0 59,3% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% Tabel 4. Sikap Responden terhadap Kesehatan Bayi Kabupaten Kategori Sikap Total Rokan Hilir Negatif Netral Positif Total Dumai Pekanbaru Kampar Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 5 1,3 3,5% 65 47,2 45,8% 72 93,5 50,7% 0 1,3 0% 47 45,9 34,1% 91 90,8 65,9% 0 1,1 0% 19 38,6 16,4% 97 76,3 83,6% 0 1,4 0% 52 51,2 33,8% 102 101,4 66,2% 5 5,0 0,9% 183 183,0 33,3% 362 362,0 65,8% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% bermakna kategori sikap antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, dan Ibu Nifas Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata skor praktek responden untuk peningkatan dan pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas adalah 80,70 (SD = 8,03). Adapun kategori praktek responden sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak 329 responden (59,8%) (Lihat Tabel 5). Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kategori praktek responden sedikit bervariasi, dimana 3 kabupaten sebagian besar dengan kategori baik (Dumai, Pekanbaru, dan Kampar), sedangkan Rokan Hilir sebagian besar berada pada kategori kurang yakni sebanyak 60,6%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori praktek antar kabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). Praktek Upaya Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak Balita Rata-rata skor praktek upaya peningkatan kesehatan pada bayi dan anak balita adalah 84,89 (SD = 17,19). Adapun kategori praktek responden sebagian besar berada pada kategori baik yakni sebanyak 446 responden (81,1%) (Lihat Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kategori praktek responden antarkabupaten/kota adalah sama, dimana 4 kabupaten/kota sebagian besar dengan kategori baik. Akan tetapi, Kabupaten Rokan Hilir memiliki kategori kurang masih cukup banyak yakni sebanyak 36,6%. Kabupaten/kota yang sangat baik praktek untuk peningkatan kesehatan pada bayi dan anak balita adalah Kota Pekanbaru dengan kategori baik sebanyak 95,7%. Melalui uji chi square diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna kategori praktek antarkabupaten/kota dengan nilai signifikan (p value = 0,000). 257 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011 Tabel 5. Praktek Pemeliharaan Kesehatan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, dan Ibu Nifas Kabupaten Kategori Praktek Total Rokan Hilir Kurang Baik Total Dumai Pekanbaru Kampar Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 86 57,1 60,6% 56 84,9 39,4% 61 55,5 44,2% 77 82,5 55,8% 28 46,6 24,1% 88 69,4 75,9% 46 61,9 29,9% 108 92,1 70,1% 221 221,0 40,2% 329 329,0 59,8% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% Tabel 6. Praktek Peningkatan Kesehatan pada Bayi dan Anak Balita Kabupaten Kategori Praktek Total Rokan Hilir Kurang Baik Total Dumai Pekanbaru Jumlah Nilai expected % kabupaten Jumlah Nilai expected % kabupaten 52 26,9 36,6% 90 115,1 63,4% 20 26,1 14,5% 118 111,9 85,5% 5 21,9 4,3% 111 94,1 95,7% 27 29,1 17,5% 127 124,9 82,5% 104 104,0 18,9% 446 446,0 81,1% Jumlah Nilai expected % kabupaten 142 142,0 100% 138 138,0 100% 116 116,0 100% 154 154,0 100% 550 550,0 100% Faktor Sosiokultural Kategori orang kunci yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri yakni sebanyak 513 responden (93,3%). Selanjutnya, dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga yang sakit (bermasalah) terutama terhadap KIA sebagian besar (458 orang; 83,3%) menjawab tidak ada keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden masih banyak juga yang mengatakan ”ya/terlambat” yakni Kota Pekanbaru (20,7%) dan Rokan Hilir (20,4%). Khususnya untuk kecepattanggapan keluarga dalam merespon anggota keluarga, aspek keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan untuk ibu yang mau bersalin sebagian besar (495 orang; 90,0%) menjawab tidak. Berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden masih banyak yang mengatakan ”ya/terlambat” yakni Rokan Hilir (15,5%) dan Kota Pekanbaru (12,1%). Berdasarkan pengolahan data diketahui bahwa masih 258 Kampar banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Sebanyak 274 responden yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam kesehariannya yang berhubungan dengan kesehatan ibu hamil/bersalin/nifas/menyusui didapatkan bahwa 124 (45,26%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan yang keliru/tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui yakni 31,32%. Kepercayaan yang keliru tersebut misalnya selama bersalin tidak boleh memakan udang dan selama menyusui tidak boleh makan kerang. Ada juga yang mempercayai bahwa selama nifas tidak boleh minum air putih, makan ikan, dan buah-buahan. Selain itu, ada juga aspek kepercayaan yang keliru ketika hamil (29,52%). Contoh kepercayaan yang keliru tersebut antara lain urut (kusuk) ibu ketika hamil ke dukun. Jika dilihat per kabupaten/kota, responden yang memiliki kepercayaan yang belum sesuai tersebut yaitu Kabupaten Rokan Hilir (64,47%), Kabupaten Kampar (46,55%), Kota Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Pekanbaru (38,70%), dan Kota Dumai (30,77%). Aspek kepercayaan yang keliru tersebut sebagian besar juga terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui. Selanjutnya, dari 254 orang yang menjawab pernyataan kebiasaan/tradisi yang diterapkan/dipercayai dalam keseharian responden yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita didapatkan bahwa ada 60 (23,62%) memiliki kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Adapun jenis kepercayaan yang tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan balita atau tidak mendukung ASI eksklusif yakni 42,62%. Kepercayaan tersebut misalnya adalah bayi baru lahir diberi kelapa muda, setiap bayi baru lahir diberi makan pisang. Selain itu, aspek kepercayaan yang keliru terhadap penanganan kesehatan pada bayi dan anak balita (27,87%). Contoh kepercayaan yang keliru tersebut antara lain kepercayaan ke dukun, mereka diberi “tetomeh” yaitu sejenis ramuan yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit/mengusir roh jahat penyebab penyakit. Pembahasan Dilihat dari 14 indikator yang dinilai, terlihat hanya 4 indikator (28,7%) yang sudah mencapai target. Pembangunan kesehatan atau pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada masyarakat belum maksimal. Sulit mencapai derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan di Provinsi Riau selama 2 tahun terakhir belum menunjukkan perubahan terhadap indikator standar pelayanan minimal (SPM) yang signifikan.3 Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Indikator SPM bidang kesehatan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi yang cakupan antenatal care (ANC) K4 (72,3%) masih kurang dari target nasional.4 Kabupaten Ngawi pada tahun 2008 mencapai target Posyandu Purnama hanya 286 (24,57%). Selain itu, cakupan pelayanan K4 hanya 13.218 (94,49%). Beberapa indikator untuk kesehatan bayi dan anak balita seperti cakupan pemberian kapsul vitamin A 2 kali pada balita pada tahun 2008 hanya sebanyak 35.268 (78,00%).5 Pengetahuan tentang kesehatan maternal tergolong baik yakni 366 orang (66,6%). Pengetahuan baik merupakan modal awal praktek yang baik dan pada akhirnya terjadi penurunan masalah maternal atau peningkatan indikator pelayanan kesehatan di masyarakat.6 Pengetahuan responden tentang kesehatan bayi dan anak balita tergolong cukup. Hal tersebut merupakan sesuatu yang belum ideal yang akan berdampak terhadap upaya modifikasi perilaku oleh pihak terkait yang meliputi pembentukan perilaku baru, peningkatan perilaku maupun pertahanan perilaku. Pengetahuan yang belum ideal merupakan salah satu penyebab peningkatan kasus/permasalahan kesehatan di masyarakat. Seseorang yang belum memiliki pengetahuan yang baik akan mengalami kesulitan mengubah perilaku ke arah positif atau menerima perilaku yang lebih baik. Sebaliknya, orang yang telah berpengetahuan cukup akan menerima atau mengadopsi perilaku baru dengan baik.6 Kategori sikap responden terhadap kesehatan ibu maternal sebagian besar adalah netral yang dinyatakan belum ideal karena setiap waktu dapat berubah ke arah positif atau negatif. Faktor yang membentuk sikap dan hubungannya dengan objek-objek tertentu dalam interaksi sosial saling mempengaruhi perilaku individu sebagai anggota masyarakat. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya. Stimulasi positif yang kurang menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang berpengetahuan tentang objek tertentu. Rangsangan positif yang kurang juga berpengaruh terhadap pertahanan kondisi sikap netral yang dapat menjadi sikap negatif.7 Praktek responden terhadap kesehatan maternal sebagian besar tergolong baik. Walaupun lebih dari 50% baik, tetapi angka ini belum ideal karena ada sebanyak 40,2% responden belum melakukan upaya yang mendukung kesehatan maternal. Banyak faktor yang terkait mengapa masyarakat belum melakukan praktek kesehatan dengan baik. Faktor tersebut antara adalah predisposing factors, enabling factors, dan reinforcing factors.5 Orang dengan tingkat penghasilan yang belum ideal cenderung memperlihatkan praktek yang kurang. Semua responden yang berpengetahuan kurang, sebagian besar berasal dari kelompok yang berpenghasilan Rp. 800.0002.000.000. Masyarakat yang belum tercakup asuransi (askes/asuransi swasta/Jamsostek/Jamkesmas), umumnya memperlihatkan praktek yang kurang. Masyarakat miskin (penghasilan < Rp. 800.000 per bulan) umumnya sudah tercakup asuransi (terutama Jamkesmas) dan sebagian besar berpraktek dengan kategori baik (65,4%). Masyarakat ekonomi menengah atas dan ekonomi baik cenderung berpraktek secara baik. Bertentangan dengan masyarakat berpenghasilan menengah bawah, mereka umumnya belum tercakup asuransi (81,1%), sebagian besar (66,5%) dengan kategori praktek kurang. Diharapkan pemerintah tidak hanya berkonsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin. Mereka yang berpenghasilan menengah keatas tidak mendapat jaminan pembiayaan kesehatan subsidi pemerintah, hendaknya ditanamkan supaya ikut dalam asuransi kesehatan secara mandiri termasuk menghidupkan kembali dana sehat, terutama kelompok yang berpenghasilan menengah hingga rendah. Praktek peningkatan kesehatan bayi dan anak balita sebagian besar berada pada kategori baik. Sebagian besar responden yang tidak memberikan ASI jolong untuk bayi 259 Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 6, Juni 2011 mengindikasikan pengetahuan tentang ASI yang tergolong kurang. Penelitian lain menemukan mereka tidak tahu melakukan dan mereka tahu tetapi tidak melakukan termasuk peran petugas kesehatan. Terkait dengan ASI eksklusif, ditemukan bahwa bidan menyatakan setuju memberikan susu formula kepada bayi baru lahir. Sebagian ibu dianjurkan petugas kesehatan untuk memberi susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran.8 Orang kunci yang berpengaruh besar pada pengambilan keputusan tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri. Hasil yang sama terlihat pada penelitian di Nusa Tenggara Timur, pengambil keputusan untuk mencari pertolongan persalinan adalah istri (36,7%), suami (30,7%), orang tua/mertua (16,9%), diputuskan secara bersama (suami istri atau anak dan orang tua) (16,9%), dan lainnya (0,9%).9 Berdasarkan aspek cepat tanggap keluarga merespons anggota keluarga yang sakit, sebagian besar merasa tidak ada keterlambatan memutuskan upaya tindakan kesehatan. Cepat tanggap keluarga merespons tindakan untuk ibu bersalin, umumnya responden menjawab tidak. Dilihat berdasarkan kabupaten/kota diketahui bahwa responden Kota Pekanbaru masih banyak yang mengatakan ”terlambat”. Hal ini mungkin disebabkan oleh masyarakat yang berusaha mengobati sendiri berdasarkan pengetahuan mereka. Selain itu karena banyak tersedia toko obat/apotek di Kota Pekanbaru. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Jenis kepercayaan yang tidak sesuai tersebut sebagian besar terkait aspek gizi selama hamil/bersalin/nifas dan menyusui. Menurut mereka, hal tersebut membuat tubuh mereka gatal karena makan udang atau kerang, akan terjadi perdarahan nifas jika mereka makan ikan. Hal tersebut menyebabkan ibu menjadi banyak pantangan makanan. Padahal, kandungan gizi makanan tersebut sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi. Makanan laut seperti kerang dan udang mengandung beberapa zat gizi penting yang merupakan sumber protein hewani dan digolongkan kepada complete protein karena kadar asam amino esensial yang tinggi dan sekitar 85%-95% mudah diserap tubuh. Ikan juga merupakan sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh dan apabila dipantang akan berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan janin karena ibu kekurangan asupan protein serta berpengaruh terhadap perkembangan janin atau bayinya.10 Masih banyak kebiasaan/tradisi yang berhubungan dengan kesehatan bayi dan anak balita yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Kepercayaan tersebut sebagian besar terkait aspek gizi pada bayi dan anak balita atau tidak mendukung ASI eksklusif dan penanganan ke260 sehatan pada bayi dan anak balita. Menurut mereka, bayi yang hanya diberi ASI tidak akan kenyang dan akan kekurangan gizi. Mengganti ASI dengan cairan yang tidak bergizi akan berdampak buruk bagi kondisi bayi, daya tahan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan. Konsumsi air putih atau cairan lain akan membuat bayi merasa kenyang sehingga tidak mau menyusu. Padahal, ASI kaya dengan gizi yang sempurna untuk bayi. Memberikan air putih sebagai tambahan cairan sebelum bayi berusia 6 bulan dapat mengurangi asupan ASI hingga 11%. Pemberian air manis dalam minggu pertama usia bayi berhubungan dengan penurunan berat badan bayi.11 Kesimpulan Perilaku responden tentang kehamilan, persalinan, dan nifas yakni dengan kategori pengetahuan baik, kategori sikap netral dan kategori praktek sebagian besar adalah baik. Perilaku responden terhadap kesehatan bayi dan anak balita sebagian besar kategori pengetahuan adalah cukup, sikap sudah berada pada kategori positif, dan praktek pada kategori baik. Orang kunci yang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan upaya tindakan kesehatan sebagian besar adalah suami/istri. Dilihat dari aspek kecepattanggapan keluarga dalam merespons anggota keluarga yang sakit (bermasalah) terutama terhadap KIA, sebagian besar responden tidak merasa ada keterlambatan dalam memutuskan upaya tindakan kesehatan. Masih banyak kepercayaan masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai kesehatan, terutama terhadap aspek KIA. Saran Bagi pemerintah Provinsi Riau khususnya dinas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan gerak pembangunan kesehatan khususnya untuk pelayanan KIA karena masih banyak indikator pelayanan KIA yang belum mencapai target. Peningkatan anggaran promosi kesehatan dalam merubah perilaku khususnya untuk daerah pertanian dan pesisir. Bagi tenaga kesehatan diharapkan adanya upaya peningkatan perilaku masyarakat tentang kesehatan melalui program promosi kesehatan/pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan meningkatkan perilaku kesehatan dan kesadaran pentingnya pelayanan kesehatan secara mandiri, seperti di pos kesehatan desa, pondok bersalin desa, dan pos pelayanan terpadu. Pemerintah tidak hanya konsentrasi menjamin pembiayaan kesehatan pada masyarakat miskin. Walaupun secara implementasi mereka dengan kategori penghasilan menengah keatas mampu memenuhi pembiayaan kesehatan tanpa subsidi dari pemerintah, hendaknya mereka ditanamkan supaya ikut dalam kepesertaan asuransi kesehatan secara mandiri (termasuk menghidupkan kembali dana sehat), Zahtamal, Restuastuti & Chandra, Perilaku Masyarakat dan Masalah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah kebawah. 6. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. 7. Azwar S. Sikap manusia, teori, dan pengukurannya. Yogyakarta: Daftar Pustaka Pustaka Pelajar Offset; 2000. 1. Departemen Kesehatan RI. Setiap jam, 2 orang ibu bersalin meninggal 8. Meyske E. Faktor yang berkaitan dengan praktek pemberian asi eksklu- dunia. 2004 [diakses tanggal 2 Januari 2008]. Diunduh dari: sif. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://202.155.5.44/index.php?option= news&task=viewarticle&sid=448& Itemid=2. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil kesehatan Provinsi Riau tahun 2007. Riau: Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2007. 3. Zahtamal. Studi/survei MMR-IMR dan indikator-indikator derajat kesehatan tahun 2007. Riau: PT Wastu Asrindoriau; 2007. http://www.fkm.unair.ac.id. 9. Musadad A, Rachmalina, Rahajeng E. Pengambilan keputusan dalam pertolongan persalinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2003 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/Anwar2_1.pdf. 10. Anonim. Udang: kaya protein dan rendah kalori. 2007 [diakses tanggal 4. Arali. Capaian MDG’s peningkatan kesehatan ibu di Polewali Mandar. 2 November 2008]. Diunduh dari: http://www.sportindo.com/pa- 2008 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://ara- ge/181/Food_Nutrition/Articles_Tips/Udang_Kaya_Protein_dan_Rend li2008.wordpress.com/2009/08/09/capaian-mdgs-peningkatan-kesehatan-ibu-di-polewali-mandar. ah_Kalori.html. 11. Linkages. Satu-satunya sumber cairan yang dibutuhkan bayi usia dini. 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Profil kesehatan Kabupaten Ngawi 2002 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: tahun 2008. 2009 [diakses tanggal 2 November 2009]. Diunduh dari: http://www.linkagesproject.org/media/publications/ENA-References http://www.profilkesngawi2008.html. /Indonesia/Ref4.7%20.pdf. 261 UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENGORGANISASIAN SISTEM SIAGA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA (STUDI DI DESA NOELTOKO DAN NOEPESU, KECAMATAN MIOMAFFO BARAT) (Improving Maternal and Child Health Through Community-Based Organizing Alert System in North Central Timor Regency (Studies in Noeltoko and Noepesu Village, West Miomaffo District)) M. Setyo Pramono dan Suharmiati ABSTRACT Background: One of the efforts of North Central Timor regency in Improving Maternal and Child Health is a MCH revolution in the save community. This research focus on organizing network on alert system particularly at the level of villages and naketi traditions in Noeltoko and Noelpesu village. Methods: The study was conducted in August-November 2012 in Noeltoko and Noepesu village, Eban health centers in the region. Types of non-interventional studies with exploratory design. Information was obtained through in-depth interviews and direct observations. As informants are community leaders, midwives and members of the networks. Results: There are six major networks in the study villages notication, transportation, family planning, funding, exclusive breastfeeding and blood donor. In the Village Noeltoko again that there is a network of disaster preparedness. Regular monthly meeting conducted the meeting initiator and network with a collective agreement since the creation of idle village. There is the usual tradition Naketi at between 7–9 months of gestation, the wife to the husband recantation face to face followed by recantation couple to a large family (parents). Conclusion: Communitybased alert system through idle villagers networking proved effective enough to increase public awareness of health villagers. Indicators of success, logging all pregnant women and birth mothers through their networks by themselves, not by health personnel. All the efforts of labor is no longer in the house but in a health facility with a commitment involving all networks. Another indicator is the discussion and the dialogue is quite intensive in the sufciently describes the networking meeting in high spirits for the improvement of health in their village. Naketi tradition as a form of local wisdom that is positive for minimal preparation for the delivery of maternal psychological side. Key words: networking, save community, naketi ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu upaya yang dilakukan kabupaten Timor Tengah Utara dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak adalah Revolusi KIA dalam bentuk Pengorganisasian Desa Siaga. Penelitian ini fokus pada jejaring pada pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa serta tradisi spesik naketi khususnya di desa Noeltoko dan Noelpesu. Metode: Penelitian dilakukan pada Agustus–November 2012 di Desa Noeltoko dan Noepesu, di wilayah Puskesmas Eban. Jenis penelitian nonintervensi dengan desain eksploratif. Informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Sebagai Informan adalah tokoh masyarakat, bidan desa dan anggota jejaring. Hasil: Terdapat enam jejaring yang utama di desa studi yaitu Notikasi, Transportasi, KB, Dana, ASI Eksklusif dan Donor Darah. Khusus di Desa Noeltoko ada satu jejaring lagi yaitu Siaga Bencana. Tiap bulan secara berkala dilakukan temu jejaring dengan inisiator pertemuan dan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga. Terdapat tradisi Naketi yang biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7–9 bulan, yaitu pengakuan kesalahan istri kepada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Kesimpulan: Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator keberhasilan, terdatanya semua ibu hamil dan ibu Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI Alamat korespondensi: E-mail: [email protected] 38 Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) bersalin oleh masyarakat sendiri lewat jejaringnya, bukan oleh tenaga kesehatan. Semua upaya persalinan yang tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring. Indikator lainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Tradisi Naketi sebagai wujud kearifan lokal yang bernilai positif untuk persiapan menjelang persalinan, minimal dari sisi psikologis ibu hamil. Kata Kunci: Jejaring, desa siaga, naketi Naskah masuk: 13 Desember 2012, Review 1: 15 Desember 2012, Review 2: 17 Desember 2012, Naskah Layak Terbit 28 Februari 2013 PENDAHULUAN Kematian ibu, kematian neonatal dan kematian bayi masih merupakan masalah besar yang dialami oleh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) khususnya. Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2004 menyebutkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di NTT 554 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007, AKI nasional turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup dan di NTT menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (hasil survei SDKI). Walaupun di NTT terjadi penurunan, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi lainnya di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa masih tingginya persalinan yang ditolong oleh dukun di NTT yaitu sebesar 46,2% sementara ibu bersalin di rumah mencapai 77,7% (Depkes, 2007). Angka Kematian Bayi (AKB) nasional 52 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2004 turun menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup. Di NTT dari 62 per 1.000 kelahiran hidup, turun menjadi 57 per 1000 kelahiran hidup. Di Kabupaten TTU beberapa penyebab kematian bayi baru lahir, yakni 34% disebabkan asfixia, 13% disebabkan BBLR, dua persen disebabkan infeksi. Penyebab kematian balita, antara lain 19% disebabkan pneumonia/ISPA, 16% diare, dan 6% gizi kurang (Dinas Kesehatan TTU, 2011). Sedangkan faktor penyebab langsung kematian ibu saat nifas Kabupaten TTU pada tahun 2009, yakni 52% akibat perdarahan, 37% akibat eklampsia, lima persen akibat infeksi, dan 5% oleh faktor lainnya. Kendala yang dihadapi adalah minimnya sarana dan prasarana kesehatan, baik polindes, puskesmas maupun rumah sakit. Jika mengacu pada tabel 1 secara umum status kesehatan di TTU masih rendah walau ada kecenderungan terjadi penurunan dari indikator derajat kesehatan. Berdasarkan latar belakang di atas menjadi dipahami jika kesehatan terutama KIA menjadi salah satu prioritas pembangunan di NTT. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Gubernur NTT yang menggulirkan Revolusi KIA melalui Peraturan Gubernur NTT No. 42 tahun 2009. Dengan adanya Revolusi KIA, diharapkan semua ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, dengan target selamat baik ibu dan bayinya. Terdapat tiga fokus dalam revolusi KIA, yaitu (1) pengorganisasian sistem siaga, (2) profesionalisme SDM kesehatan dan (3) sarana dan prasarana yang memadai. Penelitian ini fokus pada pengorganisasian sistem siaga khususnya di level desa. Pada tahun 2011 Dinas Kesehatan TTU melakukan kemitraan dengan Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health (AIPMNH) dalam rangka mengembangkan desa siaga. Program kemitraan lainnya adalah dengan GTZ (Jerman) dan DHS 2 (Asian Development Bank). Hingga sekarang jumlah desa siaga mencapai 31 buah dari total 174 desa/ kelurahan baik yang masih aktif maupun yang sudah Tabel 1. Derajat Kesehatan TTU tahun 2007–2011 Indikator Derajat kesehatan Jumlah Kematian Bayi Jumlah kematian Balita Jumlah Kematian Ibu AKB AKI 2007 90 19 8 15.8/1000 140/100.000 2008 96 18 13 17.34/1000 239/100.000 2009 46 12 18 8.66/1000 364/100.000 2010 43 35 18 8.52/1000 357/100.000 2011 37 10 12 6.8/1000 220.43/100.000 Diolah dari Laporan Tahunan 2011 Dinkes TTU 39 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47 tidak aktif. Pengembangan desa siaga bertujuan terwujudnya masyarakat desa yang sehat dan peduli terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Pelaksanaan kegiatan desa siaga di Kabupaten TTU juga melibatkan berbagai lintas sektor di antaranya Dinas Kesehatan, BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), BP2KB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana), Kecamatan dan Puskesmas setempat. Dengan terbentuknya desa siaga ini diharapkan tidak ada lagi kematian ibu dan bayi di desa setempat sehingga dapat menekan AKI dan AKB di Kabupaten TTU. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberlangsungan dan wujud partisipasi masyarakat dalam pengorganisasian sistem siaga. METODE Penelitian dilakukan di Desa Noeltoko dan Noepesu, Kecamatan Miomaffo Barat Kabupaten TTU pada tahun 2012. Kedua desa ini ditetapkan sebagai desa yang menjadi program kemitraan dengan AIPMNH dan masuk wilayah pelayanan Puskesmas Eban. Jenis penelitian ini adalah nonintervensi dengan desain eksploratif berupa studi kualitatif di mana informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi di lapangan. Informannya adalah kepala puskesmas, pemegang program KIA, bidan desa. Untuk keperluan FGD di level desa pesertanya perwakilan PKK, LKMD, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kedudukan PKK, LKMD, Tokoh masyarakat dan tokoh agama di era sekarang adalah berfungsi saling melengkapi dalam sebuah sistem pemerintahan di desa sehingga bisa dikatakan sudah setara (homogen di dalam kapasitas). Observasi bertujuan untuk analisa situasi di lapangan dan dilakukan pada pertemuan jejaring desa siaga untuk mengetahui sejauh mana mekanisme dan materi pertemuan. HASIL A. Gambaran Umum Deskripsi Lokasi Desa Noeltoko Desa Noeltoko sebagai lokasi penelitian memiliki luas wilayah 150,26 ha terdiri dari 4 RW dan 8 RT, 164 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 594 orang. Bila dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk yang sedang sekolah usia 7–18 tahun sebanyak 154 orang, sedangkan penduduk yang tidak pernah 40 sekolah (buta huruf) sebanyak 49 orang. Terdapat 3 orang yang tamat S1. Sebagian besar mata pencarian penduduk adalah pengrajin rumah tangga (58,7%), petani (35,1%), sedangkan sisanya bekerja sebagai guru swasta, pedagang kecil, PNS dan sebagian kecil pensiunan TNI/Polri/PNS (0,6%). Seluruh penduduk beragama Kristen terdiri dari Katolik (74,2%) dan sisanya (25,8%) Kristen Protestan (Potret Desa Siaga Noeltoko, 2011). Perjalanan dari ibukota TTU Kefamenanu menuju Desa Noeltoko berjarak kurang lebih 15 km, tetapi karena lokasi desa berada di lereng bukit, sebagian jalan masih berbatu, serta melalui jalan berliku-liku maka perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit. Kendaraan roda 4 masih bisa masuk walau dengan syarat harus pengemudi yang sudah menguasai medan, namun jika masuk musim penghujan kendaraan roda 4 tidak dapat ke desa ini. Sejarah lisan mengatakan bahwa dahulu desa ini merupakan pusat kerajaan sebelum akhirnya oleh Belanda dipindah ke lokasi Kefamenanu ibukota sekarang. Terdapat sungai yang membelah desa, cukup lebar tetapi dikarenakan kemarau panjang, airnya kering. Menurut informasi, saat ini banyak orang dari luar desa bahkan kota berada di lokasi sungai untuk mencari emas. Walaupun listrik dari PLN belum masuk, warga Desa Noletoko tetap mendapatkan listrik melalui sinar matahari dengan teknologi solar cell yang berada di atas rumah-rumah mereka. Jika pada siang hari sinar matahari cukup terik, maka energinya melalui solar cell cukup untuk menyalakan lampu pada malam hari hingga pagi harinya. Namun jika cuaca mendung, maka lampu hanya bisa menyala sampai pukul 21.00. Desa Noeltoko termasuk salah satu desa yang berhasil di wilayah kecamatan Miomaffo Barat. Hal ini dibuktikan banyaknya piagam dan piala yang tersimpan di Balai Desa Noletoko antara lain sebagai juara pembangunan desa dari Menteri dalam Negeri (tahun 1990 dan 1992) maupun piala penghargaan desa siaga dari provinsi NTT. Desa Noepesu Desa Noepesu dengan luas wilayah ± 800 ha (800.000 m 2) terdiri dari 3 dusun dan terdiri dari 6 RW dan 18 RT, 426 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 1.418 orang masing-masing 690 lakilaki dan 728 perempuan. Bila dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk yang tamat SD sebanyak Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) 323 orang, tidak tamat SD 73 orang, tamat SLTP 435 orang, tamat SLTA 313 orang, tamat Diploma 4 orang dan S1 sebanyak 5 orang. Sebagian besar mata pencarian penduduk adalah petani yaitu 341 orang, guru 18 orang, tukang batu 16 orang, pedagang kecil dan buruh bangunan masingmasing 14 orang, tukang kayu 12 orang, penjaga hotel 8 orang serta 2 orang bekerja sebagai sopir (Profil Desa, 2011). Lokasi desa di dataran tinggi dengan udara yang cukup sejuk. Berdasarkan observasi terlihat tanaman tumbuh cukup subur antara lain, wortel, bawang merah, alpukat, labu siam dan tentu saja kemiri. Khusus kemiri dapat ditemui hampir di setiap pekarangan warga di TTU. Seluruh penduduk beragama Kristen Katolik. Tradisi/kebiasaan ritual adat yang berkaitan dengan kelahiran dari bayi, anak sampai dewasa, pengambil keputusan dan yang berperan aktif dalam perkembangannya adalah orang tua dan keluarga. B. Jejaring Pengorganisasian Sistem Siaga Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui pengorganisasian sistem siaga sebagai wujud nyata partisipasi masyarakat. Keberadaan desa siaga yang menitikberatkan pada partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengembangan jejaring siaga. Terdapat tujuh jejaring di Desa Noeltoko yaitu jejaring notifikasi, jejaring dana, jejaring transportasi, jejaring donor darah, jejaring KB, jejaring ASI eksklusif serta jejaring siaga bencana. Di Desa Noepesu hanya ada enam jejaring karena tidak ada jejaring siaga bencana. Setiap jejaring mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda dan dipimpin oleh seorang ketua, beserta sekretaris, bendahara serta beberapa anggota yang dipilih dari masyarakat sendiri. Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi anggota jejaring kecuali mau bekerja dan mempunyai kepedulian yang besar terkait dengan kesehatan. Semua jejaring dikoordinir oleh Ketua Fasilitator Desa Siaga. Pada tanggal tertentu setiap bulan, semua jejaring termasuk aparat pemerintah desa berkumpul untuk melaporkan kegiatannya, berbagi informasi data terbaru serta memecahkan masalah yang ada, sekaligus evaluasi. Tempat pertemuan adalah di balai desa. Biasanya yang hadir pada acara tersebut adalah semua jejaring termasuk aparat pemerintah desa. Tugas dan fungsi yang sudah dilaksanakan oleh masing-masing jejaring sebagai berikut: 1. Jejaring Notikasi Tugas dari jejaring notikasi adalah mendata ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, pendataan KB, pendataan ibu yang ikut jamkesmas dan pendataan golongan darah satu keluarga. Format dari pendataan membuat sendiri. Secara umum tidak ada perbedaan konsep pendataan baik di Noeltoko maupun Noepesu. Hal menarik dari observasi adalah ketua jejaring notikasi Noeltoko melaporkan kegiatan sambil menggendong balitanya yang berumur 1 tahun, bahkan ketika tidak maju (kembali sebagai audience) tampak sesekali dia memberi ASI balitanya. Hal ini menunjukkan komitmen yang luar biasa. Dilaporkan pula bahwa 2 anggotanya sudah tidak aktif lagi karena mencari kerja di luar kota. 2. Jejaring Dana Mengumpulkan dana dari masyarakat untuk keperluan biaya persalinan, transportasi dan lainnya. Di desa Noeltoko setiap KK menyumbang Rp. 1.000,-/bulan. Kegiatan tersebut sudah berjalan sejak Juli 2011. Untuk ibu hamil yang datang ke posyandu juga ada tabungan ibu bersalin (tabulin). Jika tabulinnya kecil sementara ibu hamil harus dirujuk ke rumah sakit, maka ada bantuan dari Desa Siaga. Hal ini didukung oleh pernyataan bidan desa sebagai berikut: Ada, karena ke sana khan biasanya cuma Rp. 100.000,-, tetapi kemarin dirujuk ke Atambua, sehingga perlu biaya Rp. 300.000,- jadi kita bantu Rp. 150.000,- dan dari keluarga juga Rp.150.000,-. Karena tabulinnya agak kecil. Sedangkan jejaring dana di Desa Noepesu mencari dan mengkoordinir dana dari masyarakat untuk membantu ibu hamil sebesar Rp.2.000,-/KK/ tahun sebagai dasolin (Dana Sosial Ibu Bersalin). Pada tahun 2012 ada anggaran untuk ibu dan anak dari ADD (Alokasi Dana Desa) sebesar Rp. 2.000.000,- per tahun. Terdapat kotak amal Desa Siaga yang diletakkan di atas meja untuk tamu yang datang meskipun tidak ada unsur paksaan, termasuk masyarakat yang ada di Noepesu. Uang yang tersimpan di bendahara sampai sekarang (Oktober 2012) sekitar 4 juta rupiah. 3. Jejaring Transportasi Jejaring transportasi desa Noeltoko mendata semua lokasi ibu hamil, menyiapkan tandu 41 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47 serta mendata kendaraan yang siap digunakan sewaktu-waktu mengantar bumil yang akan bersalin. Tandu disiapkan sebagai antisipasi jalan tidak memungkinkan atau kendaraan tidak tersedia menuju lokasi ambulan (ambulan tidak dapat masuk ke desa). Jarak Desa Noeltoko dibandingkan desa-desa lainnya menuju ke Puskesmas Eban sebagai tempat faskes yang memadai untuk persalinan memang yang terjauh di samping medan yang sulit. Jarak antara desa Noeltoko dengan lokasi ambulan kurang lebih 7 km dengan struktur tanah mendaki (daerah pegunungan) dan hanya bisa dilalui oleh roda dua atau berjalan kaki. Jarak antara tempat ambulan ke puskesmas sendiri kurang lebih 3 km. Sedangkan di Desa Noepesu ada satu dusun yang terletak di bawah dan sulit untuk dijangkau oleh kendaraan. Jejaring transportasi dibantu masyarakat membawa ibu yang akan bersalin dengan cara didudukkan di kursi kemudian dibawa ke atas, selanjutnya menggunakan oto/mobil untuk dibawa ke puskesmas Eban. Sampai saat ini kejadian yang sama sudah berlangsung 5 kali. Baik di Desa Noeltoko maupun Noepesu biaya transport didanai oleh jejaring desa siaga. 4. Jejaring Donor Darah Tugas dan fungsinya adalah mendata golongan darah setiap KK. Yang memeriksa golongan darah adalah petugas puskesmas Eban pada bulan Agustus 2012. Penentuan orang yang dipilih menjadi pendonor berdasarkan batasan umur (dewasa) dan fisiknya bagus total di Noeltoko sebanyak 96 orang, sedangkan di Noepesu sebanyak 150 orang. Sejauh ini belum ada kebutuhan darah dari mendonor namun mereka tetap diminta siap-siap jika ada yang membutuhkan. Ketua FD jejaring bertugas membagi nama-nama pendonor berdasarkan golongan darah yang ada dengan golongan darah ibu hamil. 5. Jejaring KB Kegiatan yang sudah dilakukan jejaring KB di samping mendata pasangan usia subur (PUS), kegiatan utamanya adalah pendekatan pada PUS yang belum KB. Menurut laporan mereka baru 58% yang mengikuti KB dari total PUS. Selama ini kesulitan yang dirasakan oleh jejaring KB adalah mengajak menjadi akseptor KB karena dilarang oleh suaminya. Di Peraturan Desa belum 42 menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan KB. di Desa Noeltoko terdapat 48 orang yang ikut KB, tetapi drop out 8 orang. Jenis alat kontrasepsi yang digunakan adalah KB suntik. Mereka tidak menyukai KB jangka panjang seperti implant maupun IUD. Alasan masyarakat tidak menyukai KB IUD disampaikan oleh ketua jejaring KB sebagai berikut: Masyarakat sepertinya trauma dengan IUD, karena ada beberapa peserta KB IUD yang sudah memasang selama 10 tahun, tetapi setelah akan dilepas tidak mendapati IUD nya. Di samping itu juga ada yang tidak mau memasang IUD karena tabu untuk dilihat orang. Di Desa Noepesu jumlah peserta KB sebanyak 153 orang, terdiri dari peserta IUD (4 orang), implant (25 orang), suntik (87 orang) dan pil (9 orang). KB suntik banyak karena relatif simple sehingga mudah disepakati suami istri. 6. Jejaring ASI Eksklusif Jejaring ASI Eksklusif telah mendata ibu yang mempunyai bayi yang berusia 1–6 bulan untuk melakukan ASI eksklusif. Di samping pertemuan rutin tiap bulan sesama jejaring, juga melaporkan data ke bu bidan. Pada usia kehamilan ibu berusia 6 bulan, jejaring menjelaskan tentang bagaimana untuk menyusui bayi sehingga diharapkan ibu yang bersalin akan menyusui anaknya minimal sampai 6 bulan. 7. Jejaring Siaga Bencana Jejaring Siaga Bencana merupakan jejaring baru di desa Noeltoko. Jejaring ini tidak ditemukan di Desa Noepesu. Jejaring tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan mengingat kondisi geogras desa Noeltoko yang berbukit dan rawan bencana serta letaknya jauh dari puskesmas. Pada awal mulanya tujuan pembentukan jejaring ini untuk menghadapi bencana alam dan kematian. Namun dengan berjalannya waktu, yang berjalan selama ini adalah menghimpun dana jika ada kematian. Seperti pernyataan ketua jejaring Siaga Bencana berikut: Selama ini, kita menyumbang kalau ada kematian maka masing-masing KK menyumbang Rp.5.000,- dan yang menerima adalah keluarga yang mengalami musibah, dan ini sangat membantu. Di sini ada 8 RT jadi yang memungut Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) sumbangan ini adalah per RT, diperoleh antara Rp.700.000–Rp.900.000. Anggota jejaring Siaga Bencana melibatkan Ketua RT, RW, dusun dan tokoh masyarakat. Jika misalnya ada bencana, koordinator siaga bencana yang akan melapor ke BPD dan kabupaten. Hal yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya Desa Siaga seperti yang disampaikan oleh Sekretaris desa Noeltoko sebagai berikut: "Mungkin untuk semua pelaksanaan semua jejaring, memang selama ini berjalan dengan baik karena sejak Desa Siaga bulan Juli 2011 masyarakat di desa Noeltoko sudah merasakan manfaatnya. Yang baru Januari 2012 ada tambahan Jejaring Siaga Bencana dan masyarakat yang ada ini merasa terbantu dengan adanya jejaring ini. Karena dari tahun-tahun yang lalu tidak ada itu. C. Peraturan Desa Desa Noeltoko dijadikan sebagai desa siaga pada tahun 2011. Pada perkembangannya dibuat peraturan desa (perdes) dalam rangka desa siaga. Peraturan ini dibuat berdasarkan musyawarah/kesepakatan bersama mulai dari aparat pemerintah desa, BPD (Badan Perwakilan Desa) serta masyarakat desa. Hasil kesepakatan tersebut selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat sebelum kemudian ditetapkan sebagai peraturan desa. Apabila dicermati peraturan desa ini berkaitan dengan KIA, ibu hamil sampai dengan persalinan dan balita untuk mendapatkan pemeriksaan atau pelayanan yang standar. Di dalam peraturan tersebut juga memuat sanksi bagi yang tidak mentaati peraturan. Ibu-ibu yang tidak aktif di posyandu, ibu hamil yang tidak memeriksakan dengan teratur, serta ibu bersalin yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan diberikan sanksi berupa denda yang harus dibayar bila melanggar. Sejauh ini peraturan tersebut berjalan sesuai dengan ketetapan dan sudah ada yang mendapatkan sanksi. Peraturan desa di Desa Noepesu tidak murni berisi tentang kesehatan, tetapi juga berkaitan dengan lingkungan, kemasyarakatan, keamanan dan sebagainya. Terkait tentang kesehatan membahas tentang Kesehatan Ibu dan Anak. Konsep Peraturan Desa dibuat oleh aparat pemerintah desa dan BPD, kemudian disosialisasikan ke masyarakat. Jika masyarakat merasa keberatan maka perdes direvisi. Selanjutnya draft perdes dikirim ke tingkat atas (hukum) untuk disahkan. Perdes dibuat sekitar tahun 2008 dan setiap tahun direvisi untuk perbaikan serta untuk mengevaluasi apakah peraturan ini berjalan atau tidak. Jadi sebelum revolusi KIA, peraturan desa di Noepesu sebetulnya sudah ada. Peraturan desa terkait kesehatan ibu dan anak berisi tentang kewajiban yang harus dilaksanakan serta sanksi yang harus dibayar jika tidak mematuhi meliputi: 1) Bagi ibu yang mempunyai balita dan alpa ke posyandu dikenakan denda sebesar Rp.5.000,-/bulan. 2) Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu tidak mendapatkan bantuan, maksudnya bukan bantuan untuk kesehatan tetapi bantuan untuk program lain mis raskin, tetapi untuk kesehatan tetap diberikan. Jadi jika ibu yang melahirkan di rumah kita skors selama kurang lebih 1 tahun untuk mendapatkan kembali pelayanan. Jadi di sini tidak boleh melahirkan di rumah tetapi harus melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan. 3) Jejaring transportasi melaporkan bahwa sudah siap 7 sepeda motor dan 1 tenda yang siap mengantar ke faskes (puskesmas Eban). Untuk jejaring donor darah terdata 92 orang ditambah dengan gol darah bumil. Persiapan calon pendonor pada ibu yang berisiko. D. Observasi Pertemuan Jejaring Inisiator pertemuan jejaring di Desa Noeltoko merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga, bahwa setiap bulan tanggal 12 dilakukan pertemuan dengan agenda evaluasi, pelaporan dan penyampaian data terbaru. Tempat pertemuan adalah di balai desa Noeltoko. Peserta pertemuan lengkap mulai dari pengurus inti jejaring yang berjumlah 7 orang terdiri dari aparat pemerintah desa, BPD dan unsur kesehatan (ketiga unsur tersebut sebagai pembina desa siaga), kemudian ketua, sekretaris, bendahara dan anggota jejaring. Total peserta pertemuan kurang lebih terdapat 25 orang termasuk anggota jejaring.. Menurut catatan pengamat, ada beberapa anggota jejaring yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapat, hal ini diduga dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah (80% berpendidikan SD). Pendapat hanya disampaikan oleh beberapa orang antara lain ketua fasilitator desa (FD), sekretaris desa, bidan desa, ketua jejaring KB dan ketua jejaring notifikasi. Namun secara keseluruhan pengorganisasian desa siaga yang ada di desa Noeltoko sudah menjalankan 43 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47 tugasnya dengan baik. Acara dipandu oleh ketua FD. Hal yang menarik adalah setiap pertemuan selalu diawali dan ditutup dengan doa yang dipimpin tokoh agama setempat sekaligus ketua jejaring dana. Kemampuan ketua FD dalam memimpin pertemuan sangat baik. Berdasarkan pengamatan, pengurus inti jejaring seperti FD, bidan, sekdes cukup kompak saling melengkapi dan mengisi dalam menjalankan acara pertemuan jejaring. Diskusi pertemuan jejaring berlangsung lancar mengalir. Kemampuan ketua FD dan kekompakan pengurus inti di dalam memahami dan menguasai permasalahan, perkembangan dan data terbaru sangat berpengaruh dan membantu berlangsungnya temu jejaring. Masing-masing jejaring melaporkan hasil kegiatan. Terjadi diskusi yang cukup seru antar jejaring karena ada temuan balita gizi buruk satu orang, di mana anak tersebut merupakan anak ke-6 bahkan sekarang ibunya hamil lagi anak ke-7. Jejaring KB menyebutkan bahwa suami ibu tersebut tidak setuju KB. Sebagaimana di Noeltoko, di Desa Noepesu pun inisiator pertemuan merupakan kesepakatan bersama sejak dibentuknya desa siaga, bahwa setiap bulan tanggal 13 dilakukan pertemuan dengan agenda evaluasi, pelaporan dan penyampaian data terbaru. Tempat pertemuan di Balai Desa Noepesu. Peserta pertemuan lengkap mulai dari pengurus inti jejaring yang berjumlah 7 orang terdiri dari Pengurus desa (PD), BPD, dan unsur kesehatan (ketiga unsur ini sebagai pembina desa siaga), kemudian ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dengan anggota jejaring maka total peserta pertemuan kurang lebih terdapat 24 orang. Di akhir dialog disepakati tentang rencana tindak lanjut yang paling mendesak yaitu akan mengumpulkan ibu hamil dan suami di balai pertemuan desa untuk diberikan pencerahan tentang desa siaga serta revolusi KIA terkait dengan pertolongan persalinan yang harus dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang memadai yaitu puskesmas. Hal tersebut dilaksanakan karena beberapa hari sebelum acara dialog berlangsung terdapat seorang ibu yang melahirkan sendiri di rumah, setelah melahirkan baru dibawa ke puskesmas. E. Kearifan Lokal Tradisi Menjelang Persalinan Terdapat tradisi spesifik yang berkaitan dengan ibu hamil di NTT termasuk di kabupaten TTU berupa 44 acara yang disebut dengan Naketi atau Nakohe (Dodo, 2012) Naketi ini biasa dilakukan pada waktu usia kehamilan antara 7–9 bulan. Menurut kepercayaan masyarakat, persoalan ibu hamil (sebelum bersalin) terutama yang berhubungan dengan keluarga harus diselesaikan sebelum melahirkan yang medianya disebut dengan Naketi. Jika tidak dilakukan maka akan menghambat proses persalinan. Naketi yaitu pengakuan kesalahan/dosa istri kepada suami dengan cara bertatap muka dilanjutkan pengakuan kesalahan/dosa suami istri kepada keluarga besar (orang tua/mertua). Dengan telah dilakukannya Naketi maka ini menjadi dukungan moril bagi ibu yang akan bersalin. Hal ini sebagai wujud kearifan lokal yang positif bagi persiapan menjelang persalinan minimal dari sisi psikologis ibu hamil. Dengan dukungan keluarga besarnya, sang ibu hamil merasa tidak ada beban sehingga siap untuk bersalin. PEMBAHASAN Hasil analisis situasi pada Desa Noeltoko dan Noepesu menunjukkan bahwa komitmen bersama menjadi kata kunci berjalannya jejaring. Berdasarkan pengalaman hal ini tidak mudah. Di kedua desa tersebut kekompakan pengurus inti jejaring mulai dari ketua fasilitator desa, sekretaris desa, bidan desa dan kepala desanya menjadi kekuatan untuk menanamkan komitmen bersama tersebut. Untuk itu pendampingan dari pemerintah daerah menjadi hal penting karena memberikan energi baru. Upaya pemberdayaan desa oleh Dinas Kesehatan dan peran yang signifikan juga ada pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) karena mendampingi desa siaga langsung di lapangan. Disusul dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB). Jejaring desa siaga di Noeltoko dan Noepesu secara konsep dan penerapannya relatif sama walaupun jika dibandingkan ada sedikit perbedaan tapi hal itu lebih banyak ke arah teknis (tabel 2). Di Desa Noeltoko sudah ada tambahan jejarimg Siaga Bencana yang bertujuan masih terbatas mengurangi beban keluarga yang mendapat bencana yang dalam hal ini adalah kematian. Walau fokus utamanya adalah kesehatan ibu dan anak namun secara konsep, jejaring dimungkinkan untuk berkembang sesuai kebutuhan spesifik masing-masing desa. Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) Keberadaan jejaring baik di Desa Noeltoko maupun di Nepesu sangat membantu mengatasi masalah kesehatan terutama ibu dan anak. Hal ini diakui oleh kepala puskesmas dan kepala desa. Seiring dengan digaungkannya Revolusi KIA dan upaya pemerintah daerah TTU agar setiap persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai maka dapat dilihat tren lokasi persalinan di kedua desa tersebut sejak tahun 2010 (tabel 3). Jika menilik keberadaan jejaring yang mulai ada pada pertengahan 2011 maka setelah ada jejaring ada tren kenaikan persalinan di fasilitas kesehatan. Di Desa Noeltoko, pada tahun 2010 belum ada persalinan di fasilitas kesehatan, namun pada tahun 2011 sudah ada 36,4% bahkan di tahun 2012 mencapai 93,3%. Hal yang sama terjadi pada Desa Noepesu, Tabel 2. Perbadingan Jejaring di Desa Noeltoko dan Noepesu No 1 Sistem Siaga Jejaring Notikasi 2 Jejaring Dana 3 Jejaring Transportasi 4 Jejaring Donor darah 5 Jejaring KB 6 Jejaring ASI Ekslusif 7 Jejaring Siaga Bencana Waktu temu jejaring Peraturan Desa 8 9 Desa Noeltoko Desa Noepesu Ada, aktif, pendataan bumil, buteki, bayi, Ada, aktif, pendataan bayi, balita, bumil, balita, gol darah, masy yg tdk punya bunifas, KB, gol darah, PUS, WUS, ASI jamkesmas, tdk punya KTP. eks Problem: anggota tdk aktif krn mencari kerja di kota Ada, aktif, ada tabulin, tiap bulan Rp.1000/ Ada, aktif, KK. alokasi dana desa 2 juta tahun 2012 untuk Kotak sumbangan bulin Rp. 2.000/KK/th (dasolin) Rp.15.000/KK/th (dana desa) separuhnya masuk ke operasional jejaring transportasi) Ada, aktif, Ada, aktif, 1 tandu, 9 buah roda 2 5 buah roda 2, 2 buah roda 4 Ada, aktif Ada, aktif Tiap bumil di backup min 3 pendonor Ada, aktif, Ada, aktif, mendata PUS, WUS, mengajak ibu KB, sosialisasi alat kontrasepsi pd kegiatan banyak KB suntik, kendala: suami tidak posyandu mendukung Ada, aktif Ada, aktif, pendampingan bumil yang akan bersalin, mendata jumlah buteki, penyuluhan ASI pendampingan buteki eks Ada, aktif, tiap kematian ada sumbangan Tidak ada Rp.5000/KK Setiap bulan tanggal 12 Setiap bulan tanggal 13 Ada, tahun 2011 Ada, • usia kehamilan 3 bulan wajib lapor ke • ibu yang mempunyai balita kemudian nakes, jika tidak ada denda alpa ke posyandu dikenakan denda Rp. 100.000. sebesar Rp.5.000/bulan. • bumil dilarang urut ke dukun, jika hal • Jika ibu melahirkan di rumah, maka ibu tersebut dilakukan maka ibu hamil tidak mendapatkan bantuan program dikenai denda Rp. 200.000,- dan ibu (non kesehatan) mis raskin selama dukunnya juga kena denda 1 tahun, tetapi yankes kesehatan tetap Rp.200.000. diberikan. Ibu bersalin harus di fasilitas • Yang melahirkan sendiri, dendanya kesehatan. Rp. 200.000,-, untuk balita yang tidak • Ada jejaring dana yang khusus mencari dibawa ke posyandu kena denda dana untuk membantu ibu hamil yaitu Rp.100.000 masing-masing balita. sebesar Rp.2.000/KK/tahun 45 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 1 Januari 2013: 38–47 Tabel 3. Tren Lokasi Persalinan di Desa Noeltoko dan Noepesu Desa Noeltoko Noepesu Lokasi Bersalin Faskes Rumah Total Faskes Rumah Total 2010 N 0 6 6 9 5 14 2011 % 0,00 100,00 100,00 64,29 35,71 100,00 walaupun pada tahun 2012 sedikit ada penurunan namun jika kita perhatikan angka absolutnya antara tahun 2011 dan 2012 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dengan kata lain dibandingkan tahun 2010 maka tahun 2011 dan 2012 persalinan di Desa Noepesu menunjukkan pola yang positif (mayoritas persalinan sudah ke fasilitas kesehatan). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sistem siaga berbasis masyarakat lewat jejaring desa siaga terbukti cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan warga desanya. Indikator paling mudah adalah terdatanya semua ibu hamil dan ibu bersalin tidak oleh tenaga kesehatan tetapi oleh masyarakat itu sendiri lewat jejaringnya. Semua upaya persalinan yang tidak lagi di rumah tetapi pada fasilitas kesehatan menjadi komitmen bersama melibatkan semua jejaring mulai dana sampai transportasi. Indikator lainnya adalah terjadinya diskusi dan dialog yang cukup intensif dalam temu jejaring cukup menggambarkan adanya semangat yang tinggi untuk perbaikan kesehatan di desanya. Hal ini jika tetap “dirawat” akan dapat menjadi modal sosial yang cukup berharga. Fak tor yang ter penting dalam per baikan kesehatan adalah komitmen bersama baik di level kabupaten, kecamatan/puskesmas dan yang paling utama adalah desa. Keberadaan Perda dan Perdes yang mendukung upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak di masyarakat menjadi salah satu bukti kepedulian dalam bentuk kebijakan tertulis. Kebijakan dan komitmen yang diambil oleh para pengambil keputusan dalam penanggulangan masalah kesehatan ibu dan anak disesuaikan dengan peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing sektor terkait dan 46 N 4 7 11 17 3 20 2012 % 36,36 63,64 100,00 85,00 15,00 100,00 N 14 1 15 18 5 23 % 93,33 6,67 100,00 78,26 21,74 100,00 harus dilakukan secara konprehensif dan terintegrasi. Dengan adanya desa siaga lewat jejaringnya sangat membantu meningkatkan kepedulian masyarakat akan kesehatan terutama ibu hamil, bersalin dan bayinya. Jejaring desa siaga ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk direplikasikan pada banyak daerah lain, apalagi semua desa di TTU relatif memiliki karakteristik relatif sama. Keberhasilan di Noeltoko dan Noepesu justru dapat menjadi pemicu banyak desa lainnya di TTU. Apalagi sebelumnya sudah cukup banyak desa yang menjadi program desa siaga namun mati suri di tengah jalan. Berkaca dari Desa Noeltoko dan Noepesu diperlukan kepemimpinan yang kuat, peduli pada masalah kesehatan dan keterbukaan untuk menggerakkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kemauan keras dari penanggung jawab kesehatan atau pemerintah kecamatan/desa untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Saran Usulan langsung dari jejaring adalah agar pelatihan untuk pengurus jejaring ditingkatkan mengingat selama ini jarang ada pelatihan yang sudah diterima. Salah satunya adalah jejaring ASI eksklusif menyampaikan kendala bahwa kurang pelatihan dan belum ada fasilitasi, dan selama ini hanya belajar dari pengalaman saja. Administrasi/ pencatatan hendaknya dibuat sesederhana mungkin tapi cukup memadai. Perlu dukungan dari penentu kebijakan baik tingkat pusat sampai ke daerah akan membuat upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak yang dilakukan akan sia-sia saja. Kendala lain adalah kasus gizi kurang baik pada ibu maupun bayi yang sering kali perhatian belum sampai ke sana, walaupun sang ibu walau bersedia memberikan ASI eksklusif tetapi jika dia sendiri bergizi Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (M. Setyo Pramono dan Suharmiati) kurang maka ASI nya juga tidak berkualitas. Dengan kata lain faktor ekonomi turut menjadi determinan sektor kesehatan. Hal ini sekaligus sebagai bukti bahwa pembangunan haruslah terintegrasi di segala bidang. Penggunaan pendekatan budaya turut menjadi poin penting yang perlu dicermati. Aspek budaya tidak selamanya menjadi aspek yang menghambat implementasi suatu kebijakan namun justru dapat menjadi media implementasi. Sebagai contoh tradisi Naketi, walaupun asalnya adalah acara intern keluarga besar ibu bersalin sebetulnya dapat menjadi momentum jejaring untuk masuk aktif membantu mengawal persalinannya nanti. Tentu saja apapun yang menjadi tradisi tetap harus hati-hati agar tidak menjadi kontra produktif. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada peneliti daerah yang telah bekerja sama melaksanakan penelitian, Dinas Kesehatan TTU atas bantuan operasionalnya, Puskesmas Eban, Kepala Desa Noeltoko dan Noepesu yang menyediakan waktu dan lokasi desanya sebagai objek penelitian, serta berbagai pihak yang turut membantu jalannya penelitian. DAFTAR PUSTAKA Depkes, 2007. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta. Dinkes TTU. 2011. Laporan Tahunan 2011 Dinkes Timor Tengah Utara. Dodo, O. Dominirsep. 2012, Implementasi desa Siaga berbasis Kearifan Budaya di Desa Tuabatan, IGI, FISIP UGM. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Potret Desa Siaga Noeltoko 2011. Timor Tengah Utara NTT. Prol Desa Noepesu 2011. Timor Tengah Utara NTT. 47 UTILISASI PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL MELALUI INTEGRASI PROGRAM PERENCANAAN PERSALINAN DAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI DAN ANTENATAL CARE DI POSYANDU KOTA MOJOKERTO, PROVINSI JAWA TIMUR (Utilization of Pregnant Women Services through Integrating Childbirth Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care at Integrated Health Services Post in Mojokerto City, East Java Province) Muhammad Agus Mikrajab1 dan Syahrianti2 ABSTRACT Background: Implementing the Childbirth Planning and Complications Prevention Program that has released by Ministry of Health in 2007 for Pregnant women Services at Posyandu still tackles concern maternal health services particularly pregnant women that will be affected in achieving Fourth and Five MDGs Goals targets. Objectives: This study aimed to describe characteristics of pregnant women and to assess utiliziation of pregnant women services through integrating Childbirth Planning and Complications Prevention Program and Antenatal Care at Integrated Health Sevices Post. Methods: A cross sectional design with explorative approach through interview using structured questionn arias of pregnant women. Sample Size in this study was 69 pregnants women. Data were analyzed descriptively with STATA 11SE licensed©. This study was conducted in two health centers in Mojokerto City, Provincial East Java. Results: According to the observation shows that Posyandu services was conducted routinely by midwives, physician, nurses and health cadres involves counseling on imunization (92.8%) and family planning (85.5%), basic imunization services for maternal and neonatal (84.1%), allocating supplementary foods (82.6%), and maternal and neonatal services (81.2%) whereas Posyandu services was not conducted involves development and training for cadres (56.5%), receive referrals from traditional birth attendants (TBAs) and cadres (44.9%), referral for pregnant women to health center/hospital (34.8%), examining fundus utery (33.3%), examining fetal heart rate (31.9%), examining fetus position (27.5%), examining breastfeeding and postpartum mothers (26.1%), Screening (early detection of pregnant women at high risk (23.2%), examining tension and family planning (20.3%). Conclusions: P4K and ANC Services focused on high risk groups for pregnancies and delivery problems were 18–25 years and 34–41 years. Most of households head were work in private sector. Most of pregnant women were not referred to health facilities by family when they suffer complications. According to the medical views that pregnant women parity for Grande Para category has a serious health problems particularly maternal and neonatal death. Furthermore, availability of maternal and neonatal cohorts was still low as it cannot be obtained adequate information concerns progress/mother health problems. Integrating P4K and ANC services have founded that services routine coverage of pregnant women at Integrated Health Services Post that conducted by midwives was still low. Recommendations: Increasing role of pregnant women through pregnant women class and more broadly socialization concern important of referral system and health services facilities availability for pregnant women and health examination only to health professions. Building partnership with traditional birth attendants in referring as pregnant women examination coverage to traditional birth attendants can be decreased. Conducting pregnant women counseling is concerned with pregnant women risk and number children that fulll health requirements. It also, policy of local government to implement recording system for maternal and neonatal cohorts, information system based local area monitoring and its application particularly midwives and other health professions. Key words: Utilization, Pregnant Women, P4K, Antenatal Care, Integrated Health Services Post 1 2 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat - Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Indrapura No. 17 Surabaya 60176 Jawa Timur Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] Politeknik Kesehatan Kendari Kementerian Kesehatan RI, Jl. A.H. Nasution No. G. 14 Anduonohu, Sulawesi Utara 203 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 ABSTRAK Latar belakang: Pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2007 dalam pelayanan kesehatan maternal di Posyandu masih menyimpan permasalahan terkait pelayanan kesehatan maternal khususnya antenatal care yang akan berdampak pencapaian tujuan ke-4 dan 5 MDGs. Tujuan: Mendeskripsikan karakteristik Ibu Hamil dalam P4K dan Antenatal Care di Posyandu; dan menilai utilisasi pelayanan kesehatan Ibu Hamil melalui integrasi P4K dan Antenatal Care di Posyandu. Metode: Desain penelitian potong lintang dengan pendekatan eksploratif melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur ibu hamil. Besar sampel adalah 69 wanita hamil. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Piranti lunak yang digunakan adalah STATA 11SE berlisensi. Penelitian ini dilakukan di Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Hasil: Berdasarkan pemantauan diperoleh informasi bahwa pelayanan kesehatan di Posyandu yang rutin dilaksanakan dengan baik rata-rata 80% oleh bidan, dokter, perawat, dan kader kesehatan meliputi Penyuluhan tentang Imunisasi (92,8%) disusul penyuluhan tentang KB (85,5%) pelayanan imunisasi dasar dan Ibu (84,1%), Pemberian PMT (82,6%), pelayanan KIA (81,2%) sedangkan kegiatan yang masih tidak dilaksanakan meliputi membina dan melatih kader (56,5%), menerima Rujukan dari Dukun dan Kader (44,9%), merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS (34,8%), pemeriksaan Tinggi Fundus (TFU) (33,3%), pemeriksaan Denyut Jantung Janin (31,9%), pemeriksaan Letak Janin (27,5%), pemeriksaan Ibu menyusui dan Nifas (26,1%), skreening (deteksi dini risiko tinggi ibu hamil) (23,2%), pemeriksaan Tekanan Darah dan pelayanan KB (20,3%). Kesimpulan: Pelayanan P4K dan ANC difokuskan pada kelompok resti ibu hamil dan persalinan yaitu usia 18-25 tahun dan 34-41 tahun. Kebanyakan besar kepala rumah tangga bekerja di sektor swasta. Kebanyakan wanita hamil tidak di rujuk oleh keluarganya saat mereka mengalami komplikasi. Menurut pandangan medis bahwa paritas ibu hamil kategori grande para berisiko mengalami masalah serius terutama terjadinya kematian ibu dan bayi. Selanjutnya, ketersediaan kohor ibu dan bayi masih rendah sehingga kita tidak dapat memperoleh informasi memadai berkaitan perkembangan/masalah kesehatan ibu. Integrasi pelayanan P4K dan ANC, ditemukan bahwa cakupan pelayanan rutin ibu hamil di Posyandu yang dilaksanakan bidan masih rendah. Saran: Meningkatkan peran ibu hamil melalui kelas ibu hamil serta sosialisasi secara lebih luas mengenai esensi sistem rujukan berjenjang dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia kepada ibu hamil serta memeriksakan kesehatan hanya kepada tenaga kesehatan, membangun kemitraan dengan dukun dalam rujukan sehingga angka kunjungan pemeriksaan ibu hamil ke dukun menurun. Perlunya melaksanakan konseling kepada ibu hamil mengenai risiko kehamilan dan jumlah anak yang memenuhi syarat kesehatan serta perlunya kebijakan pemerintah daerah dalam penerapan sistem pencatatan kohor ibu dan bayi, pemantauan wilayah setempat berbasis sistem informasi serta peningkatan penerapannya terutama tenaga bidan. Kata kunci: Utilisasi, Ibu Hamil, P4K, ANC, Posyandu Naskah Masuk: 15 Februari 2013, Review 1: 18 Februari 2013, Review 2: 18 Februari 2013, Naskah layak terbit: 20 April 2013 PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan maternal khususnya fase kehamilan sangat esensial bagi ibu. Fase kehamilan menjadi perhatian khusus tenaga kesehatan terutama bidan karena pada fase ini kemungkinan buruk bisa terjadi yang dapat berakibat membahayakan ibu dan bayinya. Pada fase ini seorang ibu hamil dapat mengalami komplikasi kehamilan bila dari awal kehamilan tidak dilaksanakan pelayanan kesehatan ibu hamil dan bayinya sesuai dengan pedoman standar yang telah ditetapkan. Partisipasi tenaga kesehatan terutama bidan dalam menjembatani pelayanan kesehatan maternal khususnya fase antenatal care (ANC/prenatal care) pada ibu hamil menjadi tujuan kunci strategi dalam upaya menurunkan AKI dan AKB di Indonesia seperti yang tertuang dalam tujuan 4 dan 5 pembangunan 204 Milenium (MDGs) serta indikator outcomes pelayanan kesehatan maternal (KIA dan KB) di Indonesia pada tahun 2015 yang juga termaktub dalam Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota. Partisipasi bidan sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan maternal (First point of contact) menjadi dasar utama dari kebijakan pembangunan kesehatan untuk dapat menapis permasalahan KIA di Posyandu yang berfokus dalam mendeteksi dini komplikasi/kelainan pada masa hamil, nifas, dan pascanifas dengan menerapkan prinsip pelayanan antenatal terpadu (integrated antenatal care). Pembangunan kesehatan masyarakat tersebut akan menjadi lebih baik bila indikator outcomes utilisasi pelayanan kesehatan maternal di Posyandu mengalami peningkatan secara kualitas dan kuantitas Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) yang dapat berimplikasi pada kualitas kesehatan ibu dan anak. Berbagai upaya Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Institusi lintas sektoral di daerah yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB di Indonesia seperti peningkatan anggaran pelayanan kesehatan termasuk promosi kesehatan dan program kesehatan lainnya termasuk program masif seperti P4K, dan bentuk bantuan sosial yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Persalinan (Jampersal), serta Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan sehingga diharapkan akseptabilitas masyarakat terhadap program tersebut dapat lebih baik (Depkes, 2008a). Sejak Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan P4K tahun 2007 dan melaksanakan kebijakan internasional Safe Motherhood tahun 1988 yang dikenal 4 pilar yaitu KB, pelayanan antenatal care, persalinan bersih, dan penanganan masa nifas kemudian dilanjutkan dengan program Making Pregnancy Safer (MPS) tahun 2000 yaitu persalinan oleh tenaga kesehatan, penanggulangan komplikasi, pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran diharapkan juga mampu menurunkan angka kematian ibu dan anak khususnya di Kota Mojokerto. Selanjutnya, fungsi Posyandu sebagai wadah dalam mendekatkan pelayanan kesehatan masyarakat terutama ibu, bayi dan anak yang merupakan salah satu strategi upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak tersebut dapat dijelaskan secara detail dalam studi ini peran bidan dan ibu hamil dalam pelayanan kesehatan melalui program P4K meliputi kegiatan dan sasaran P4K dalam utilisasi Posyandu pada ibu hamil, melahirkan, nifas, pasca nifas, dan bayi. Upaya yang telah dilakukan Puskesmas melalui Posyandu dalam meningkatkan pelayanan P4K terkait utilisasi fasilitas kesehatan harus dapat dipertahankan terutama pada pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak serta diintegrasikan dengan pelayanan antenatal care dalam menyukseskan kegiatan P4K di Posyandu sehingga tujuan peningkatan pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak dapat tercapai sesuai dengan harapan semua komponen masyarakat khususnya di Kota Mojokerto (Depkes, 2008a). Hasil Riskesdas tahun 2007 mendeskripsikan bahwa persentase ibu melahirkan di fasilitas kesehatan adalah 55,4% sedangkan 43,2% lainnya melahirkan di rumah atau tempat lain. Di antara ibu yang melahirkan di rumah terdapat 40,2% ditolong oleh tenaga non kesehatan terutama dukun. Hal tersebut menunjukkan masih tingginya penolong persalinan non terampil yang melakukan asuhan persalinan yang bukan di fasilitas kesehatan. Peran bidan dalam memberikan konseling kepada dukun dan tenaga nonnakes mutlak dibutuhkan, strategi penapisan mulai dari kunjungan awal sampai kunjungan ke 4 pada fase kehamilan mutlak dilakukan oleh bidan dan mendorong ibu untuk akses pemeriksaan antenatal care lengkap (K4) di fasilitas kesehatan Posyandu dan lainnya yang ada sehingga tidak ditemukan lagi ibu yang tidak menerima pelayanan pada saat kontak dengan tenaga kesehatan (missed opportunity) (Badan Litbangkes, 2010). Menurut laporan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa angka nasional K1 (95,26%) dan K4 (85,56%) meningkat pada tahun 2011 menjadi K1 (95,71%) dan K4 (88,27%). Untuk Provinsi Jawa Timur kunjungan antenatal care K1 (96,63%) dan K4 (92,85%) melampaui target angka nasional menunjukkan bahwa peran partisipatif tenaga kesehatan dan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan kesadaran ibu hamil dalam pelayanan maternal yang meneruskan sampai kunjungan 2 kali pada triwulan ketiga (K4) terutama antenatal sangat baik (Kemenkes, 2011a; 2012a; 2012b). Berdasarkan nilai standar pelayanan yang harus dicapai dalam pelayanan ANC untuk kunjungan lengkap ibu hamil target pada 2015 yaitu 95% dan paling sedikit 4 kali yaitu minimal satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan. Adapun pelayanan ANC ibu hamil sesuai standar adalah kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah pelayanan yang mencakup minimal: (1) timbang badan dan ukur tinggi badan, (2) ukur tekanan darah, (3) skrining; status imunisasi tetanus (dan pemberian Tetanus Toksoid), (4) ukur tinggi fundus; uteri, (5) pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan), (6) temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling), (7) test laboratorium sederhana (Hb, Protein urine) dan atau berdasarkan indikasi (HbsAg, Sifilis, HIV, Malaria, TBC) (Depkes, 2008b). Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Mojokerto menunjukkan kenaikan dari 7,7 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 menjadi 11,6 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Meskipun demikian, AKB Kota Mojokerto tahun 2010 masih lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional yaitu 25,7 205 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 per 1.000 kelahiran hidup dan sudah memenuhi target MDG’s untuk penurunan AKB sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Target MDG’s untuk penurunan AKI sebesar 110 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Untuk Kota Mojokerto, pada tahun 2010 terdapat 2.005 sasaran ibu hamil. Pelayanan antenatal khususnya oleh bidan di Puskesmas, sekitar 20% di antara ibu hamil yang ditemui, tergolong dalam kasus risiko tinggi yang memerlukan pelayanan kesehatan rujukan sedangkan Persentase tenaga penolong persalinan di Kota Mojokerto adalah Bidan (10,95%) dan Medis (9, 89%). Menunjukkan bahwa masih terbatasnya distribusi dan ketersediaan tenaga bidan dan dokter dalam melayani Ibu hamil (Dinkes Kota Mojokerto, 2011). Di sisi lain, masih ditemui disparitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan cakupan imunisasi antar wilayah di Indonesia masih tinggi, yaitu: cakupan pemeriksaan kehamilan tertinggi 97,1% dan terendah 67%; cakupan imunisasi lengkap tertinggi sebesar 73,9% dan cakupan terendah sebesar 17,3% pada Riskesdas 2007; rata-rata cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 61,4% dan rata-rata cakupan imunisasi lengkap sebesar 53,8% pada Riskesdas 2010. Menunjukkan bahwa penerapan sistem kesehatan dalam pelayanan kesehatan yang bervariasi dan berbeda-beda (Badan Litbangkes 2008, 2010). Menurut laporan terdapat 83,14/100.000 kelahiran hidup di mana penyebab kematian: perdarahan 33%, eklamsia/pre eklamsia 25%, penyakit jantung 12%, infeksi 8%, lain-lain 22%. AKBA (Angka Kematian Balita) 35,09/1000 KH, angka ini lebih tinggi dari angka nasional yaitu 34 per 1000 KH, dengan penyebab kematian bayi BBLR 41,39%, Asfiksia 19%, Tetanus Neonatorum 0,70%, infeksi 4,92%, trauma lahir 4,59%, kelainan bawaan 12, 79% dan penyebab lainnya 16,61%. Persentase Balita tidak pernah ditimbang 20,6 %, sedang yang rutin ditimbang sebesar 57,7 %. Sebagian besar (84,1%) penimbangan dilakukan di posyandu. Berdasar catatan KMS, prevalensi bayi berat lahir rendah < 2500 gram sebanyak 11,5%. (BPS, 2008; Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2011). Cakupan deteksi dini risiko tinggi oleh masyarakat dapat digunakan untuk memantau kemampuan dan peran serta masyarakat termasuk peran ibu hamil itu sendiri, sedangkan cakupan deteksi dini risiko tinggi oleh tenaga kesehatan dapat digunakan untuk 206 memperkirakan besarnya masalah yang dihadapi oleh program KIA. Adapun keadaan sampai dengan akhir tahun 2010, dari 2.005 sasaran ibu hamil, terdapat perkiraan sasaran 401 ibu hamil risiko tinggi. Dari sasaran tersebut, jumlah ibu hamil risiko tinggi yang ditemukan tahun 2010 sebanyak 399 ibu hamil resti atau 99,50% dari target sasaran (Dinkes Kota Mojokerto, 2011). Menunjukkan bahwa angka risiko tinggi pada Ibu hamil masih tinggi sehingga diperlukan suatu peran partisipatif dan integratif antara bidan, dokter, perawat, dan kader kesehatan dalam meningkatkan integrasi pelayanan (P4K dan antenatal care) pada ibu hamil di Kota Mojokerto. Berdasarkan informasi di atas, maka perlu di kaji utilisasi pelayanan ibu hamil melalui integrasi program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) dan antenatal care di Posyandu di Kota Mojokerto, Jawa Timur. Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan karakteristik ibu hamil dalam integrasi program P4K dan antenatal care di Posyandu; dan mengakses utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil dengan integrasi P4K dan antenatal care di Posyandu. METODE Penelitian ini merupakan penelitian non intervensi dengan melakukan penilaian terhadap posyandu dalam program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) integrasi dan antenatal care dalam rangka percepatan target MDGs tahun 2015. Sedangkan desain penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan eksploratif yang wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur ibu hamil. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada indeks IPKM Kota Mojokerto yang mempunyai indeks IPKM 0,653035 (peringkat ke20 dari 440 kabupaten) dan AKB di Kota Mojokerto termasuk tinggi di Provinsi Jawa Timur yaitu 11,6‰ kelahiran hidup (2010). Besar sampel adalah 69 dan unit analisis adalah Ibu Hamil. Analisis data dilakukan dengan deskriptif data (univariat) untuk menjawab tujuan penelitian. Piranti lunak yang digunakan adalah STATA 11SE licensed© Serial Number 40110525372. Penelitian ini dilakukan di dua Puskesmas di Kota Mojokerto, Provinsi Jawa Timur dengan waktu penelitian 5 (lima) bulan tahun 2011. Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) HASIL Tabel 1 menunjukkan Persentase ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di berbagai provider (Puskesmas, Posyandu). Menurut tingkat pendidikan ibu hamil memanfaatkan pelayanan kesehatan di dominasi berpendidikan SLTA/MA (65,2%), hanya sedikit ibu hamil yang berpendidikan tinggi memanfaatkan pelayanan kesehatan di berbagai provider, kemungkinan ibu hamil yang berpendidikan tinggi banyak memanfaatkan RS Pemerintah, RS Swasta, dan atau klinik dengan fasilitas jaminan kesehatan (Health Insurance). Menurut usia ibu, masih terdapat risiko tinggi pada ibu hamil yang dapat menyebabkan masalah obstetri selama fase kehamilan dan persalinan dan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi yaitu antara usia 18–25 tahun (30,4%) dan usia 34–41 tahun (14,5%). Menurut pekerjaan, masih Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. 3. Variabel Kota Mojokerto (n = 69) (%) Pendidikan Ibu Tidak Tamat SD Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTs Tamat SLTA/MA Tamat Akademi/D3 Tamat Sarjana/S1 Usia Ibu 18–25 tahun 26–33 tahun 34–41 tahun ≥ 42 tahun Pekerjaan Ibu Ibu Rumah Tangga 4 (5,8) 5 (7,2) 8 (11,6) 45 (65,2) 2 (2,9) 5 (7,2) 21 (30,4) 35 (50,7) 10 (14,5) 3 (4,3) 47 (68,1) Buruh/Buruh Tani/Buruh Nelayan/Buruh Pabrik Petani 4. 8 (11,6) 4 (5,8) Nelayan 1 (1,4) Pedagang/Wiraswasta 5 (7,2) PNS/TNI/POLRI 4 (5,8) Penghasilan Kepala Rumah Tangga Tetap 16 (23,2) Tidak Tetap 53 (76,8) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Tabel 2. Utilisasi Pemeriksaan Kehamilan Pertama Kali menurut Tempat di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Variabel Rumah Ibu Hamil Rumah Petugas/Nakes Posyandu Polindes Poliklinik Swasta Puskesmas/Pustu RS Pemerintah RS Swasta Kota Mojokerto (n = 69) (%) 1 (1,4) 9 (13,0) 8 (11,6) 11 (15,9) 8 (11,6) 25 (36,2) 3 (4,3) 4 (5,8) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Tabel 3. Utilisasi Pemeriksa Kehamilan Pertama Kali menurut jenis tenaga kesehatan di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. Variabel Bidan di Desa Bidan Puskesmas Bidan Swasta Dokter Umum Dokter Spesialis Kota Mojokerto (n = 69) (%) 20 (29,9) 28 (40,6) 9 (13,0) 2 (2,9) 10 (14,5) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis terdapat ibu yang berisiko terjadinya kelelahan, kurang gizi sehingga dapat terjadi keguguran pada jenis pekerjaan Buruh/Buruh Tani/Buruh Nelayan/Buruh Pabrik (11,6%). Sedangkan menurut penghasilan kepala rumah tangga kebanyakan bekerja tidak tetap (76,8%) seperti berdagang dan wiraswasta, kebetulan di kota Mojokerto merupakan daerah industri sehingga banyak kepala rumah tangga yang berdagang dan sisanya berprofesi sebagai PNS/BUMN di beberapa Instansi Pemerintah. Tabel 2 menunjukkan bahwa utilisasi pemeriksaan kehamilan pertama kali menurut Tempat, terbanyak ke provider Puskesmas/Pustu (36,2%) dengan alasan kedekatan dengan fasilitas pelayanan dan makin meningkatnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya ke fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagian ke Tenaga Kesehatan yang tersedia di wilayah kota Mojokerto seperti Polindes (15,9%), Rumah Petugas (13,0%), Posyandu (11,6%) dan Poliklinik Swasta (11,6%). 207 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 Tabel 4. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil menurut pemberian rujukan di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. Kode Pelayanan* (n = 69) Variabel Pemberian Rujukan Pemberi Saran K% 1(5,0) B% 11(55,0) P% 0(0,0) D% 0(0,0) TR % 8(40,0) D% S% O% P% L% 23(33,3) 19(27,5) 7(10,1) 17(24,6) 3(4,3) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Keterangan : Kode Pelayanan: K = Kader, B = Bidan di Desa, P = Puskesmas, D = Dokter, TR = Tidak di rujuk, D = Sendiri, S = Suami, O = Orang tua/mertua, P = Petugas kesehatan, L = Lainnya Tabel 5. Tujuan berkunjung ke Posyandu pada Ibu di Kota Mojokerto, tahun 2011 Kode Tujuan* (n = 69) Variabel Tujuan Kunjungan 1% 2% 3% 4% 5% 6% 24 (34,8) 1 (1,4) 18 (26,1) 9 (13,0) 16 (23,2) 1 (1,4) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Keterangan : *Kode Tujuan: 1 = Pemeriksaan Kehamilan, 2 = Post Natal Care/Nifas, 3 = Pemeriksaan Bayi dan Anak, 4 = Imunisasi, 5 = Penimbangan Badan/PMT, 6 = Lainnya Tabel 6. Karakteristik Responden menurut Paritas, Metode Persalinan, dan Transportasi di Kota Mojokerto, tahun 2011 Variabel Paritas Ibu Metode Persalinan Transportasi Primi % 0 (0,0) - Multi % 49 (71,0) - Grande % 20 (29,0) - - - - Kode* (n = 69) S PV % % 59 (85,5) 1 (1,4) - - SC % 9 (13,0) J % - S % - SM % - - 58 (84,1) 3 (4,3) 8 (11,6) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang dianalisis Keterangan: *Kode: Primivara (1), Multi (2–4), Grand (≥ 5), S = Spontan, PV = Tindakan per vagina, SC = Operasi Sectio Caesaria, J = Jalan Kaki, SM = Sepeda, SM = Sepeda Motor Tabel 3 menunjukkan bahwa utilisasi pemeriksa kehamilan per tama kali menurut jenis tenaga kesehatan paling banyak memanfaatkan Bidan Puskesmas (40,6%). Peran bidan dalam memberikan sosialisasi dan pengetahuan ibu seputar pelayanan KIA serta sejalan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan dan tujuan ke 4 dan ke 5 MDGs pelayanan kesehatan ibu dan anak di Puskesmas dan Posyandu serta fasilitas pendukung di desa diwajibkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan terutama bidan. Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa alasan ibu hamil memperoleh rujukan paling banyak Bidan di desa (55,0%) disebabkan pertimbangan masalah KIA (resti, dan obstetri) dan masalah lain terkait kehamilan. Sedangkan alasan tidak di rujuk juga masih tinggi 208 (40%) berupa keterbatasan finansial dan transportasi masih menjadi alasan utama tidak di rujuk, sedangkan Pemberi saran mengenai tempat penolong persalinan paling banyak inisiatif dari ibu hamil (33,3%) dan peran Suami (27,5%) serta peran Petugas Kesehatan dalam menjelaskan pentingnya kesehatan ibu dan anak kepada ibu hamil (24,6%). Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa tujuan kunjungan ibu ke Posyandu paling banyak untuk pemeriksaan kehamilan (34,8%) dan pemeriksaan bayi dan anak (26,1%). Kesadaran dan pengetahuan pentingnya KIA menjadi dasar utama ibu berkunjung, baik kunjungan antenatal care maupun postnatal care. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa paritas ibu hamil yang mempunyai riwayat kehamilan Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) Tabel 7. Ketersediaan Kohor Ibu Hamil di Posyandu di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. Variabel Register Kohor Ibu Register Kohor Bayi Kode Pelayanan* (n = 20) T% TT % 9 (45,0) 11 (55,0) 7 (35,0) 13 (65,0) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Keterangan : *Kode Pelayanan: T = Tersedia, TT = Tidak Tersedia (paritas) Grande (29,0%) mempunyai risiko terjadinya kematian neonatal lebih tinggi dibandingkan Primi dan Multipara serta dapat memengaruhi kesehatan ibu. Metode persalinan (mode of delivery in childbirth) menunjukkan banyak dilakukan secara normal atau jalan lahir (85,5%), sedangkan untuk mengakses Posyandu dengan berjalan kaki dari rumah (84,1%). Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa obser vasi perkembangan kesehatan/masalah termasuk keadaan atau risiko yang dialami ibu mulai masa kehamilan dan nifas melalui kohor Ibu baru dapat di deteksi (45,0%) sedangkan untuk observasi perkembangan kesehatan/masalah termasuk keadaan atau risiko yang dialami bayi mulai masa neonatus, bayi dan balita melalui kohor bayi baru dapat di deteksi (35,0%). Pada Tabel 8 menunjukkan hasil observasi pelayanan terintegrasi P4K dan antenatal care yang dengan kemitraan antara bidan, dokter, perawat, dan kader kesehatan dalam pelayanan P4K dan ANC di Posyandu. Dari 21 jenis pelayanan P4K yang dilaksanakan di Posyandu telah terintegrasi dengan jenis pelayanan antenatal care (ANC) terpadu dan setiap jenis pelayanan ANC berjalan satu paket dengan pelayanan P4K sesuai dengan pedoman P4K dan pedoman ANC terpadu yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yang belum dilaksanakan dalam pemeriksaan Tekanan Darah (20,3%), Pemeriksaan Letak Janin (27,5%), Pemeriksaan Denyut Jantung Janin (31,9%), Pemeriksaan Tinggi Fundus (33,3%), Skrining (deteksi Risiko Tinggi) (23,2%), Merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS Tabel 8. Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dengan integrasi P4K dan ANC di Posyandu di Kota Mojokerto, tahun 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Variabel Penimbangan Ibu Hamil Pemeriksaan Tekanan Darah Pemeriksaan Letak Janin Pemeriksaan Denyut Jantung Janin Pemeriksaan Tinggi Fundus (TFU) Pencatatan Umur Kehamilan Penyuluhan tentang Risiko Kehamilan Penyuluhan tentang Imunisasi Penyuluhan tentang KB Skrining (deteksi risiko tinggi) Merujuk Ibu Hamil ke Puskesmas/RS Distribusi Oralit Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Memeriksa Ibu Menyusui dan Nifas Menerima Rujukan dari Dukun dan Kader Kunjungan Rumah Pelayanan KB Pelayanan Imunisasi desa Membina dan Melatih Dukun Membina dan Melatih Kader Posyandu Pelayanan KIA TP % 9 (13,0) 14 (20,3) 19 (27,5) 22 (31,9) 23 (33,3) 6 (8,7) 10 (14,5) 2 (2,9) 6 (8,7) 16 (23,2) 24 (34,8) 8 (11,6) 4 (5,8) 18 (26,1) 31 (44,9) 7 (10,1) 14 (20,3) 4 (5,8) 39 (56,5) 5 (7,2) 1 (1,5) Kode Pelayanan* (n = 69) J% 15 (21,7) 17 (20,3) 20 (29,0) 20 (29,0) 21 (30,4) 10 (14,5) 10 (14,5) 3 (4,4) 4 (5,8) 19 (27,5) 16 (23,2) 17 (24,6) 8 (11,6) 17 (24,6) 22 (31,9) 8 (11,6) 19 (27,5) 7 (10,1) 24 (34,8) 12 (17,4) 12 (17,4) RD % 45 (65,2) 38 (55,1) 30 (43,5) 27 (39,1) 25 (36,2) 53 (76,8) 49 (71,0) 64 (92,8) 59 (85,5) 34 (49,3) 29 (42,0) 44 (63,8) 57 (82,6) 34 (49,3) 16 (23,2) 54 (78,3) 36 (52,2) 58 (84,1) 6 (8,7) 52 (75,4) 56 (81,2) Sumber: Data Primer, 2012. Data yang di analisis Keterangan *Kode Pelayanan: TP = Tidak Pernah, J = Jarang, R = Rutin Dilakukan 209 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 (34,8%), Memeriksa Ibu Menyusui dan Nifas (26,1%), Menerima Rujukan dari Dukun dan Kader (44,9%), Pelayanan KB (20,3%), Membina dan Melatih Dukun (56,5%). PEMBAHASAN Utilisasi pelayanan kesehatan ibu hamil melalui integrasi P4K dan ANC di Posyandu menjadi bahasan utama. Pelayanan kesehatan ibu hamil sampai saat ini masih menjadi sorotan utama dalam meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga tahapan fase kehamilan dalam pelayanan kesehatan harus ditingkatkan dan menjadi penapisan utama sesuai dengan tujuan MDGs yaitu menurunkan angka kematian ibu dan anak. Deteksi kasus komplikasi kehamilan khusus di Kota Mojokerto masih rendah sehingga banyak ditemukan tidak terdeteksinya kasus komplikasi kehamilan di Kota Mojokerto. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan serta belum teradopsinya piranti PWS KIA, tidak terdatanya sasaran ibu hamil serta kurangnya informasi dan laporan dari warga/masyarakat juga berkontribusi terjadinya kejadian tersebut. Penemuan kasus komplikasi yang sering terjadi adalah abortus, hiperemesis gravidarum, perdarahan per vaginam, ketuban pecah dini, hipertensi kehamilan (eklampsi, pre-eklampsi), letak bayi sungsang dan kehamilan lewat waktu. Meskipun, Villar et al. (2001) dalam penelitiannya di empat negara yaitu Argentina, Kuba, Saudi Arabia, dan Thailand menyebutkan bahwa penerapan model baru WHO dalam pelayanan antenatal rutin yang mencakup BBLR, pre-eklampsia/ eklampsia, anemia pasca melahirkan, infeksi saluran kemih tidak berdampak signifikan terhadap outcomes pelayanan maternal dan perinatal. Selain itu dengan kelas ibu hamil diharapkan adanya pemahaman, perubahan sikap dan perilaku ibu hamil tentang kehamilan, perubahan tubuh dan keluhan (apakah kehamilan itu, perubahan tubuh selama kehamilan, keluhan umum saat hamil dan cara mengatasinya, apa saja yang perlu dilakukan ibu hamil dan pengaturan gizi termasuk pemberian tablet tambah darah untuk penanggulangan anemia); perawatan kehamilan (kesiapan psikologis menghadapi kehamilan, hubungan suami istri selama kehamilan, obat yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil, tanda bahaya kehamilan, dan P4K); persalinan 210 (tanda-tanda persalinan, tanda bahaya persalinan, dan proses persalinan). Duncombe et al. (2009) menyatakan informasi dan diskusi mengenai cara senam hamil dengan aman, nikmat, dan nyaman harus ditawarkan kepada ibu hamil oleh petugas kesehatan di awal kehamilan, sedangkan keyakinan akan keselamatan akan berdampak pada pola latihan dan selama kehamilan serta bentuk yang paling tepat dari senam hamil mungkin perlu di ubah dari waktu ke waktu untuk mencegah kebosanan. Selanjutnya, pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS) KIA bidan setempat. Adapun kegiatan PWS KIA yang dilaksanakan baik kader maupun bersama bidan adalah terutama PWS KIA yang meliputi identifikasi wanita usia subur (WUS), register ibu hamil, pemeriksaan antenatal care (ANC), persalinan ibu, bayi baru lahir (BBL), pemeriksaan postnatal care (PNC), pemeriksaan neonatus, bayibalita, kematian ibu dan bayi dan kunjungan desa/ kelurahan yang status KIA jelek termasuk catatan khusus dalam deteksi dini ibu hamil yang mengalami risiko tinggi kehamilan (high risks pregnancy) dengan kriteria usia ibu (kurang 23 tahun dan lebih 35 tahun), riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya kurang baik, pre-eklampsi/eklampsi, telah memiliki anak lebih dari 4 orang, DM, HIV/AIDS, kelainan letak janin dan bentuk panggul tidak normal, penyakit jantung serta anemia dan kondisi medis lainnya seperti hipertensi, gangguan pernapasan, dan gangguan ginjal (NICHD, 2012). Berdasarkan laporan fasilitas kesehatan Puskesmas di Jawa Timur Pelatihan PWS KIA baru mencapai 30,0%, Pelatihan PONED 14,8%, Pelatihan APN 57,4% sedangkan pelatihan lengkap kesehatan Ibu baru 7,3%. Menunjukkan perlunya peningkatan cakupan pelatihan terutama pada pelatihan PONED, APN dan pelatihan lengkap kesehatan ibu untuk meningkatkan keterampilan pada bidan (Kemenkes, 2011c). Laporan Fasilitas Kesehatan Puskesmas menyebutkan bahwa penggunaan pedoman APN dalam pelayanan persalinan di Puskesmas telah mencapai 84,3%. Menunjukkan bahwa hampir keseluruhan Puskesmas di wilayah Jawa Timur telah menggunakan standar pedoman dalam pelayanan persalinan. Kemudian, di Kota Mojokerto, Persentase pemeriksaan tekanan darah baru 50%. Masih terdapat 40% yang belum memanfaatkan pemeriksaan tekanan darah di Posyandu melainkan memilih sendiri fasilitas pelayanan kesehatan yang ada seperti klinik, RS Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) Swasta yang bekerja sama dengan Jamsostek dan jaminan kesehatan lainnya. Untuk pemeriksaan berat badan ibu hamil, baru tercakup 50%. Masih terdapat 35% yang belum memanfaatkan pemeriksaan berat badan ibu hamil di Posyandu. Kemungkinan mereka memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Selanjutnya, persentase pemeriksaan TFU ibu hamil baru mencapai 55%. Masih terdapat 45% yang tidak memanfaatkan pemeriksaan TFU di Posyandu. Mungkin ibu hamil memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (Klinik, RS Swasta) yang ada di wilayah Kota Mojokerto. Khusus pelayanan imunisasi pada ibu (TT) dan imunisasi dasar lengkap (LIL) di Posyandu pada Bayi (BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B) telah mencapai 90% (Hidayat, 2008; Depkes, 2009; Proverawati et al., 2010, Kemenkes, 2011c). Berdasarkan informasi bahwa ibu hamil cenderung memanfaatkan bidan Puskesmas. Tampak bahwa terdapat pola yang sama dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan saat hamil dan melahirkan dari sisi jenis tenaga kesehatan, sedangkan cakupan utilisasi persalinan menurut tempat, terjadi perbedaan pola yaitu cenderung memanfaatkan Rumah Petugas/ Nakes. Menunjukkan bahwa keterbatasan faktor kemampuan membayar (ability to pay) misalnya keterbatasan akses finansial serta ketersediaan fasilitas kesehatan misalnya klinik, dan RS Swasta menjadi kendala khususnya dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal (ibu dan bayi serta anak) sedangkan untuk pemberian rujukan di dominasi atas rekomendasi bidan di desa dan peran keluarga (tidak di rujuk). Secara demografi di wilayah datar dan padat penduduk, akses pelayanan KIA ke bidan cukup dekat diharapkan ibu hamil dapat mengakses fasilitas kesehatan. Tujuan kunjungan ibu ke Posyandu cukup baik dan ada empat hal yang memotivasi ibu ke Posyandu yaitu Pemeriksaan Kehamilan, Pemeriksaan bayi dan anak, Penimbangan BB/PMT serta Imunisasi. Keempat hal tersebut merupakan upaya promosi dan preventif (meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta dalam rangka pencegahan penyakit dan komplikasi kehamilan dan pascamelahirkan). Hassan et al. (2012) menyatakan bahwa alasan ibu hamil tidak di rujuk adalah faktor ketidaktahuan ibu akan sistem rujukan, hujan lebat, telah dikunjungi oleh dokter, melahirkan pada malam hari, tidak adanya inisiatif yang berarti dari keluarga, peran dan suami yang kurang serta masih adanya ibu hamil yang di rujuk ke dukun. Sejalan dengan penelitian Eijk et al. (2006), (Prawirohardjo, 2009 cit. Pranoto, 2007; Manuaba, 2008; Verney, 2006) menyebutkan bahwa paritas 2– 4 yang mendapat pelayanan ANC di fasilitas kesehatan 50,5%. Hal tersebut disebabkan faktor tingkat pendidikan, pekerjaan, keadaan ekonomi, latar belakang budaya dan kepercayaan serta pengetahuan (Friedman, 2004). Disisi lain, Handler et al. (1996) melihat dari sisi pelayanan menyatakan bahwa rendahnya kepuasan pelayanan maternal pada ibu hamil disebabkan karena kurangnya seni dalam merawat, rendahnya kompetensi teknis bidan, keberlangsungan perawatan, atmosfir dan lokasi fisik tempat perawatan. Provider penolong persalinan menurut Pemberi Saran di dominasi atas inisiatif sendiri di susul peran suami, dan peran petugas kesehatan. Menunjukkan bahwa di motivasi diri dalam pencarian pertolongan persalinan (seeking skilled attendance at birth) mengalami peningkatan. Ketersediaan register kohor ibu dan bayi di Kota Mojokerto baru mencapai masing-masing 45,0% dan 35,0%. Menunjukkan bahwa masih rendahnya pemanfaatan register kohor ibu dan bayi. Perlu peningkatan peran bidan koordinator dalam menggerakkan bidan di desa untuk mengisi asuhan kebidanan ke dalam register kohor ibu dan bayi. Kegiatan pengisian register kohor bagi ibu adalah pemeriksaan ANC, PNC, Kunjungan Nifas, dan KB Pasca-Persalinan. Kegiatan pengisian kohor Bayi adalah Pemeriksaan Neonatus, Bayi, dan Balita. Palluturi et al. (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara keterampilan, dan motivasi dengan kinerja bidan di puskesmas wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara. Menunjukkan makin tinggi keterampilan dan motivasi bidan berbanding lurus dengan kinerjanya. Masa kerja tidak berhubungan dengan kinerja bidan di puskesmas wilayah Kecamatan Pulau Dullah Selatan Kabupaten Maluku Tenggara dan masa kerja bidan lama dan baru tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kinerjanya. Selanjutnya, penelitian Agus & Horiuchi (2012) menyebutkan bahwa 77,9% ibu hamil menerima pelayanan ANC lebih dari 4 kali, 22,1% menerima pelayanan ANC kurang dari 4 kali dan 59,4% menerima pelayanan ANC saat berkunjung. Allegri et al. (2011) menyatakan 76% ibu hamil memanfaatkan paling sedikit 3 kali kunjungan ANC dan 72% mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan. Senada dengan 211 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 Allegri et al. (2011), Agus & Horiuchi (2012) menyatakan ada tiga dimensi yang mendorong ibu hamil di tolong bidan pada saat persalinan yaitu kepercayaan tradisional, jarak ke faskes dan pendapatan keluarga. Transportasi yang digunakan untuk mengakses Posyandu di dominasi jalan kaki. Menunjukkan bahwa jarak ke Posyandu dari rumah Ibu relatif dekat dan ketersediaan Posyandu yang tersebar di berbagai tempat sehingga mendekatkan pelayanan Posyandu kepada ibu lebih dapat tercapai. Hasil Riskesdas tahun 2007 menyebutkan di Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa jenis pelayanan dasar di Posyandu/Poskesdes yang masih rendah cakupannya yaitu: Pelayanan KB baru mencapai 27,2%; KIA 37,7%; Pengobatan 37,7%; Penyuluhan 39,3%; Imunisasi 56,8%; PMT 64,7%; Suplemen Gizi 68,2%; tetapi Penimbangan telah mencapai 96,1%. (Badan Litbangkes, 2008). Sedangkan Laporan Fasilitas Kesehatan di Puskesmas di Jawa Timur menyebutkan pelayanan P4K merupakan persentase tertinggi dilakukan Puskesmas (97,5%), di susul pelayanan ANC terintegrasi (86,1%), kemitraan bidan dan dukun (81,5%) serta kegiatan lengkap kesehatan ibu (44,9%). (Kemenkes, 2011c). Ditambahkan, hasil Riskesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa pemeriksaan kesehatan Ibu Hamil yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Jawa Timur, cakupan tertinggi pada pemeriksaan tensi (97,8%), pemeriksaan berat badan (96,7%), pemberian Fe (94,5%), pemeriksaan fundus (92,2%), imunisasi TT (83,3%), pemeriksaan tinggi badan (73,3%), dan terendah pemeriksaan Hb (30,7%) (Badan Litbangkes, 2008). Utilisasi Provider pemeriksaan kehamilan pertama kali bervariasi cenderung ke Puskesmas/Pustu sedangkan Provider persalinan pada kehamilan sebelumnya berbeda pada kedua tempat dan paling banyak melalui Bidan Puskesmas dan melalui dukun paling sedikit. Untuk Pelayanan Kesehatan di Posyandu sebagian besar menjawab Baik. Hasil Riskesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa kebanyakan ibu hamil memanfaatkan Polindes/ Posyandu (25,6%) dan tempat melahirkan di rumah di perkotaan (43,9%) sedangkan tempat melahirkan di pedesaan (84,9%). Untuk pemeriksaan kehamilan di Perkotaan, ibu hamil lebih banyak memanfaatkan provider pelayanan kesehatan (94,1%) dibandingkan di pedesaan (78,1%) (Badan Litbangkes, 2008). Hazarika (2011), & Greena et al. (2011) menyatakan bahwa keterampilan petugas merupakan faktor 212 determinan yang berhubungan dengan pertolongan persalinan, dan terdapat pengaruh bermakna antara keterampilan petugas yang baik dan tidak dalam menolong persalinan di antara penduduk kota dan desa di India. Wanita di Kota lebih memilih tenaga kesehatan terampil daripada wanita di Desa. Dalam menolong persalinan di suatu Negara selain keterampilan tenaga kesehatan terutama bidan diperlukan juga kebijakan terkait pertolongan persalinan terampil sehingga akseptabilitas ibu hamil terhadap provider pelayanan kesehatan meningkat. Butler et al. (2008) menyatakan kompetensi bidan adalah menjadi seorang praktisi yang mengutamakan keselamatan pasien meliputi update pengetahuan dalam praktik, memiliki ketanggapan profesional; memiliki sikap yang benar meliputi motivasi, komitmen terhadap pelayanan kebidanan; dan menjadi komunikator yang efektif meliputi keterampilan berkomunikasi, menjadi pendengar yang baik, ketersediaan informasi dan fleksibilitas. Bacote (2002) menyatakan ketanggapan, pengetahuan dan keterampilan budaya sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan. Namun, Cignacco (2002) menyatakan dalam melaksanakan tugas profesional terkadang bidan dihadapkan dengan konflik terkait hak perempuan. Konflik tersebut menyebabkan tingginya tekanan emosional, dan masalah identitas profesional. Barclay (2008) menyatakan bahwa bidan perlu merefleksikan praktik mereka dan mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang lebih luas dan bagaimana pengaruhnya pada sistem kesehatan. Bidan juga perlu memahami praktik berdasarkan konteks sosial, ekonomi, sejarah dan budaya, termasuk pengaruh ketidaksetaraan gender dan sikap bidan terhadap perempuan dan diri mereka sebagai bidan. Sejalan dengan Barclay (2008), Homer et al. (2009) dalam penelitiannya di Australia menyatakan bahwa beberapa hambatan dalam mencapai peran penuh bidan teridentifikasi termasuk kurangnya kesempatan untuk praktik di seluruh dimensi pelayanan maternal, invisibilitas kebidanan dalam peraturan dan praktik, dominasi kedokteran, kekurangan tenaga kerja, sistem kelembagaan pelayanan maternal, dan kurangnya gambaran yang jelas tentang kebidanan dalam komunitas yang lebih luas. Hambatan tersebut harus diatasi agar bidan dapat berfungsi sesuai dengan potensi dari peran mereka. Ditambahkan bahwa, perlu Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) peningkatan peran tenaga kesehatan terutama bidan dalam membina dan melatih dukun dalam merujuk dan memberikan pengetahuan yang tepat untuk mengenali tanda dini komplikasi agar segera di rujuk fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Pendataan ibu hamil melalui deteksi kantongkantong desa/kelurahan dan koordinasi dengan pihak desa/kelurahan serta aparatur kecamatan secara terintegrasi (lintas sektoral) dan dinas kesehatan untuk mencari seluruh ibu hamil (sasaran) yang ada di wilayah kerja Posyandu serta informasi dari warga sekitar. Pendataan tersebut dilakukan melalui sumber data dari desa, PWS Bidan, dan data sasaran pada kehamilan lalu dilakukan cross check (verifikasi dan validasi) data dengan melibatkan bidan, perawat dan tenaga kader kesehatan serta aparat desa yang peduli dengan kesehatan ibu hamil. Sedangkan pemasangan stiker P4K di rumah ibu hamil yang dilakukan oleh kader telah dilakukan dengan baik. Adapun isi dari stiker P4K meliputi: Nama Ibu, Taksiran/perkiraan persalinan, Penolong persalinan, Tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi dan calon pendonor darah. Metode pemasangan stiker P4K pada ibu hamil dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pada saat kunjungan ke rumah ibu hamil terkait kunjungan umum kader dan atau bidan (pelayanan umum dan P4K) serta pada saat kunjungan ibu hamil di Posyandu. Manfaat dari pemasangan stiker P4K yang ditempelkan di rumah ibu hamil adalah setiap ibu hamil akan tercatat, terdata dan terpantau secara cepat. Dengan data dalam stiker, suami, keluarga, kader, dukun, bersama bidan di desa dapat memantau secara intensif keadaan dan perkembangan kesehatan ibu hamil agar memperoleh pelayanan yang sesuai standar pada saat antenatal, persalinan dan nifas sehingga proses persalinan sampai nifas termasuk rujukan dapat berjalan dengan aman dan selamat untuk mencegah kematian ibu dan bayi lahir selamat. D’Ambruoso et al. (2009) menyatakan bahwa keluarga dan masyarakat tidak menyediakan emergensi dengan dukungan finansial atau transportasi secara terpisah disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem asuransi kesehatan di tambah kurangnya jaminan asuransi dalam pelayanan ibu hamil. Disini diperlukan suatu mekanisme sistem dalam pelayanan asuransi kesehatan terutama bagi ibu hamil termasuk kepesertaannya dalam pelayanan P4K. Saat ini sangat dibutuhkan suatu sistem asuransi kesehatan yang lebih komprehensif (universal health insurance coverage) dalam membantu meningkatkan pelayanan P4K di Posyandu meskipun saat ini telah hadir bantuan sosial berupa jaminan persalinan, jaminan kesehatan masyarakat maupun jaminan kesehatan daerah. Namun tetap saja diperlukan dukungan swadaya masyarakat sehingga mampu mandiri menjadi salah satu aspek penting untuk mencegah terjadinya kematian ibu melahirkan karena tiga terlambat (three delays) yaitu terlambat dalam mencari bantuan medis yang tersedia, mencapai pelayanan kesehatan, dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai (UNFPA, 2010). Dalam Kegiatan P4K dan ANC, peran bidan di Posyandu yang perlu ditingkatkan adalah membuat perencanaan persalinan yang meliputi kegiatan membuat taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, transportasi/ambulans desa, calon pendonor darah, penggunaan metode KB pascapersalinan. Kegiatan Posyandu meliputi KIA, imunisasi, gizi, KB, kelas ibu hamil, pencegahan dan penanggulangan diare. Juga membuat laporan bulanan (formulir LB3 dan LB4) pelayanan Posyandu dan P4K di Puskesmas (Depkes, 2008a, 2011b). Peran kemitraan bidan dan tenaga kesehatan lainnya perlu lebih baik dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan pada Ibu hamil dalam mengukur tekanan darah, letak janin, TFU, skrining, merujuk ibu hamil sesegera mungkin, memeriksa kesehatan ibu menyusui dan nifas, meningkatkan sistem rujukan pelayanan kesehatan dari dukun dan kader, pelayanan KB serta membina dan melatih dukun secara lebih proaktif dan partisipatif. Menurut Ariningrum & Aryastami (2008) menyatakan bahwa hambatan dalam pencapaian kunjungan ibu hamil (K4) yaitu: pendataan ibu hamil tidak selalu dijumpai di lapangan, bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur pengertian pendataan ibu hamil adalah ibu yang datang ke fasilitas kesehatan, bukan ibu yang hamil berdasarkan pendataan petugas atau kader di lapangan. Dengan demikian banyak ibu yang tidak termonitor karena tingkat pengetahuan dan kesadaran ibu hamil akan risiko kehamilan masih rendah; jumlah dan distribusi bidan belum memadai; beban kerja petugas tidak disertai dengan ketersediaan sarana/prasarana atau pun insentif, sehingga upaya jemput bola sulit diharapkan. Senada dengan Ariningrum & Aryastami (2008), bahwa standar pelayanan kunjungan Ibu hamil ke Posyandu perlu lebih masif dilaksanakan dalam pemeriksaan TB, BB, tensi, skrining status 213 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 imunisasi tetanus (TT), pengukuran TFU, pemberian tablet besi (Fe) dan tes lab sederhana (Hb, protein urine). Pelayanan tersebut belum dilaksanakan dengan baik. Sedangkan, temu wicara secara dalam bentuk komunikasi interpersonal dan konseling belum dilaksanakan dengan baik Depkes (2008b). Selanjutnya, yang menjadi perhatian utama dalam studi ini adalah dari dimensi sistem perlunya penapisan dan adopsi sistem terintegrasi terhadap cakupan pelayanan ANC pada ibu hamil yang merupakan dasar dalam menilai kinerja pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak, sangat dilematis minimnya sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi berupa catatan restropektif seluruh ibu hamil selama ini meskipun persentase pendataan dan pemasangan stiker ibu hamil baik tetapi yang terjadi catatan tersebut tidak dapat ditemukan dari kohor Ibu/Bayi, partograf mulai dari pelayanan selama hamil (ANC) sampai pascapersalinan (PNC) oleh bidan sampai rumah sakit secara lengkap, sehingga tidak dapat diketahui variabilitas ibu hamil yang memanfaatkan fasilitas kesehatan dan keberlanjutan ibu hamil ke Posyandu serta ketidakakuratan data dan ketidakseragaman laporan ANC. Dari dimensi kebijakan kesehatan diperlukan harmonisasi antar regulasi terkait pelayanan kesehatan ibu, bayi, dan anak serta regulasi adopsi interoperabilitas sistem terintegrasi mulai dari level bidan di Puskesmas melalui kegiatan Posyandu (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK tingkat 1) sampai pada rumah sakit rujukan (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK tingkat III). Menurut WHO (2007) cit. Ergo et al. (2011) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan KIA dan khususnya pelayanan ibu hamil diperlukan penguatan sistem kesehatan untuk mencapai tujuan/outcome Kesehatan. Adapun penguatan sistem kesehatan yang dimaksud, meliputi: pelayanan KI A (ser vice deliver y), ketersediaan dan kecukupan tenaga kesehatan dan pendukungnya termasuk kader, sistem informasi kesehatan, ketersediaan produk medis, vaksin, dan teknologi kesehatan, pembiayaan, kepemimpinan/ kepemerintahan yang baik (good governance). Tujuan/ outcome yang diharapkan adalah: meningkatnya derajat kesehat an, ket anggapan pelayanan kesehatan, proteksi risiko finansial dan sosial, serta terwujudnya efisiensi. Hal ini menunjukkan bahwa peran sistem kesehatan tidak dapat dipisahkan dari 214 mutu dan jangkauan pelayanan KIA, dengan demikian bahwa pengintegrasian antara komponen dalam sistem tersebut akan mampu meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan KIA yang berimplikasi pada rendahnya AKI dan AKB khususnya di Kota Mojokerto. Penelitian Aniebue (2011) menyatakan bahwa rendahnya kunjungan antenatal care di sarana pelayanan kesehatan disebabkan kurangnya pembelajaran yang memadai pada ibu hamil, keraguan Ibu hamil untuk mengenal lebih dekat provider terkait K4, rendahnya deteksi dini penyakit dan kepuasan sosial terkait K4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan karakteristik ibu hamil dalam program P4K dan ANC ditemukan bahwa kelompok usia yang berisiko tinggi mengalami masalah kehamilan dan persalinan adalah usia 18–25 tahun dan 34– 41 tahun. Dari segi penghasilan kepala rumah tangga sebagian besar adalah bekerja di sektor swasta padahal di daerah tersebut merupakan wilayah padat dan industri. Dari segi pemberian rujukan pelayanan kesehatan ibu hamil sebagian besar tidak di rujuk oleh keluarganya disebabkan beberapa hal yaitu ketidaktahuan ibu akan sistem rujukan, melahirkan di malam hari sehingga enggan untuk di rujuk, tidak adanya upaya dari keluarga untuk merujuk, kurangnya peran suami, serta masih adanya kemungkinan memilih ke dukun. Dari segi paritas ibu grande para (lebih dari 5 anak) yang secara medis berisiko terjadinya masalah kesehatan yang serius pada ibu hamil dan kematian neonatal. Dari segi register kohor ibu dan bayi juga masih kurang tersedia sistem pencatatan, observasi perkembangan/masalah termasuk keadaan atau risiko ibu mulai fase kehamilan sampai nifas. Keadaan ini menyebabkan tidak dapat di deteksi secara dini seluruh kemungkinan kejadian permasalahan kematian ibu dan bayi. Dari segi pelayanan kesehatan ibu hamil, terintegrasi antara P4K dan ANC, ditemukan bahwa masih rendahnya cakupan pelayanan rutin di Posyandu yang dilakukan oleh kemitraan tenaga kesehatan terutama bidan, dokter, perawat dan kader kesehatan. Pelayanan terintegrasi tersebut meliputi membina dan melatih dukun, menerima rujukan dari kader dan dukun, merujuk ibu hamil ke Puskesmas/RS, Pemeriksaan Tinggi Fundus Uteri dan Denyut Jantung Janin, Utilisasi Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Muhammad Agus Mikrajab dan Syahrianti) Tekanan Darah, Letak janin, skrining untuk risiko tinggi, menyusui dan nifas serta pelayanan KB. Saran Rekomendasi yang dapat diajukan terkait temuan penting (main findings) hasil studi ini adalah perlunya meningkatkan peran ibu hamil melalui kelas ibu hamil, mensosialisasikan secara lebih luas mengenai esensi sistem rujukan berjenjang dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia kepada ibu hamil serta memeriksakan kesehatan hanya kepada tenaga kesehatan serta membangun kemitraan dengan dukun dalam rujukan sehingga angka kunjungan pemeriksaan ibu hamil ke dukun menurun. Perlunya melaksanakan konseling kepada ibu hamil mengenai risiko kehamilan dan jumlah anak yang memenuhi syarat kesehatan serta usia produktif dan ideal untuk hamil dan tidak berisiko tinggi. Perlunya sebuah kebijakan pemerintah daerah dalam penerapan sistem pencatatan kohor ibu dan bayi serta pemantauan wilayah setempat berbasis sistem informasi, peningkatan penerapannya pada tenaga bidan bersama kader dan tenaga kesehatan lainnya serta bidan diharapkan lebih menjangkau kantong-kantong risiko tinggi, observasi stiker P4K, dan kunjungan rumah untuk meningkatkan integrasi pelayanan P4K dan ANC rutin mulai dari level Puskesmas sampai pada pelayanan di Posyandu serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai indeks pemanfaatan pelayanan ANC dalam integrasi program P4K dan ANC di Posyandu serta perlu studi kohor mengenai determinan pelayanan integrasi P4K dan ANC di level Puskesmas. Keterbatasan Penelitian Tidak dapat diukur indeks kecukupan pemanfaatan pelayanan antenatal care (prenatal care utilization index) terkait utilisasi pelayanan kesehatan Ibu hamil pada bayi dengan berat badan rendah (low birthweight) karena keterbatasan data dalam item pertanyaan kuesioner. DAFTAR PUSTAKA Agus Y, & Horiuchi S. 2012. Factors inuencing the use of antenatal care in rural West Sumatra, Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth, Vol. 12, No. 9. Allegri MD, Ridde V, Louis VR, Sarker M, Tiendrebeogo J, Ye M, Muller O, & Jahn A. 2011. Determinants of Utilisation of maternal care services after the reduction of user fees: A case study from rural Burkina Faso, Health Policy Vol. 99, No. 3, pp. 210–218. Aniebue UU, Aniebue PN. 2011. Women’s perception as a barrier to focused antenatal care in Nigeria: the issue of fewer antenatal visits, Health Policy Plan. Vol. 26, No. 5. pp. 423–8. Ariningrum R, Aryastami NK. 2008. Studi Kualitatif Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi setelah penerapan KW-SPM di Kabupaten Badung, Tanah Datar, dan Kota Kupang, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 11. No. 1, pp. 33–43. Bacote JC. 2002. The Process of Cultural Competence in the Delivery of Health care Services: A Model of Care, J. Transcult. Nurs. Vol. 13. No. 3, pp.181–184. Badan Litbangkes. 2008. Laporan Hasil Riskesdas-Indonesia tahun 2007, Jakarta. , 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, Jakarta. Barclay L. 2008. Woman and midwives: position, problems and potential. Midwifery, Vol. 24. No. 1, pp. 13–21. Biro Pusat Statistik. 2008. Laporan Hasil Survei Demogra dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, Jakarta. Butler MM, Fraser DM, Murphy RJL. 2008. What are the essential competencies required of a midwife at the point of registration, Midwifery. Vol. 24 No. 3, pp. 260–269. Cignacco E. 2002. Between Professional Duty and Ethical Confusion: midwives and selective termination of pregnancy, Nurs. Ethics, Vol. 9 No. 2, pp. 179–191. D’Ambruoso L, Adisasmita AE, Izati Y, Makowiecka K, Hussein J. 2009. Assessing quality of care provided by Indonesian village midwives with a condential enquiry. Midwifery, Vo. 25 No. 5, pp. 528–39. Depkes RI. 2008. Buku Pedoman P4K, Jakarta. . 2008. Keputusan Menteri Kesehatan No. 828/ Menkes/SK/IX/2008 tentang Juknis SPM bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta. . 2009. Imunisasi Dasar Lengkap, Pusat Promkes, Jakarta. Dinkes Kota Mojokerto. 2011. Profil Kesehatan Kota Mojokerto 2010, Kota Mojokerto. Duncombe D, Wertheim, Skouteris H, Paxton SJ, Kelly L. 2009. Factors related to exercise over the course of pregnancy including women’s beliefs about the safety of exercise during pregnancy. Midwifery, Vol. 5 No. 4, pp. 430–438. Eijk AM, Bles HM, Odhiambo F, Ayisi JG, Blokland IE, Rosen DH, Adazu K, Slutsker L & Lindblade KA. 2006. Use of antenatal services and delivery care among women in rural western Kenya: a community based survey, Reproductive Health 3: 2. 215 Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 203–216 Ergo A, Eichler R, Koblinsky M, & Shah N. 2011. Strengthening Health Systems to Improve Maternal, Neonatal and Child Health Outcomes: A Framework, USAID. Washington DC, USA. Friedman. 2004. Keperawatan Keluarga. EGC: Jakarta. Greena A, Gereina N, Mirzoeva T, Birda P, Pearsona S, Anh LV, Martineauc T, Mukhopadhyayd M, Qiane X. 2011. Health policy processes in maternal health: A comparison of Vietnam, India and China, Health Policy 100(2–3):167–173. Handler A, Raube K, Kelley MA, Giachello A. 1996. Women’s satisfaction with prenatal care settings: a focus group study, Birth. Vol. 23 No. 1, pp. 31–7. Hassan H, Jokhio AH, Winter H, & MacArthur Christine. 2012. Safe Delivery and Newborn care practices in Sindh, Pakistan: a community-based investigation of mothers and health workers, Midwifery. Vol. 28 No. 4, pp. 466–471. Hazarika I. 2011. Factors that Determine the Use of skilled care during delivery in India: Implications for Achievement of MDG-5 Targets, Matern. Child Health J. 15: 1381–1388. Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika. Jakarta. Homer CSE, Passant L, Brodie PM, Kildea S, Leap N, Pincombe J, Thorogood C. 2009. The role of the midwife in Australia: views of women and midwives. Midwifery. Vol. 25 No. 6, pp. 673–681. Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010, Jakarta. . 2011. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Jakarta. . 2011. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011. (Laporan Puskesmas), Badan Litbangkes, Jakarta. . 2012. Prol Data Kesehatan Indonesia 2011, Jakarta. . 2012. Perpres No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, Biro Hukor Setjen, Jakarta. Manuaba. 2008. Ilmu Kebidanan, Kandungan dan KB. Jakarta: EGC. NICHD. 2012. High-Risk, Pregnancy, URL: www.nichd.nih. gov di akses 27 Oktober 2012. Palutturi S, Nurhayani, Mandak N. 2007 Determinan Kinerja Bidan di Puskesmas Tahun 2006, JMPK Vol. 10 No. 4, pp. 195–200. Pranoto. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Yogyakarta. Proverawati, Atikah & Setyo CDA. 2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Nuha Offset, Yogyakarta. UNFPA. 2010. Reducing Maternal Mortality 2012, New York. USA. Villar J, Ba’aqeel H, Piaggio G, Lumbiganon P, Belizán JM, Farnot U, Al-Mazrou Y, Carroli G, Pinol A, Donner A, Langer A, Nigenda G, Mugford M, Rushby JF, Hutton G, Bergsjø P, Bakketeig L, Berendes H. 2001. WHO antenatal care randomised trial for the evaluation of a new model of routine antenatal care, The Lancet, 357(9268): 1551–64. Verney. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC: Jakarta. Catatan: Analisis Data dalam artikel ini menggunakan STATA 11SE Licensed dengan Serial Number 40110525372. 216