` HUBUNGAN SEDENTARY LIFESTYLE DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA ORANG DEWASA PEKERJA KONVEKSI DI KELURAHAN GENUK UNGARAN BARAT ARTIKEL Oleh: I WAYAN ADITYA HARYMBAWA 010112a043 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN SEPTEMBER, 2016 Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 1 HUBUNGAN SEDENTARY LIFESTYLE DENGTAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA ORANG DEWASA PEKERJA KONVEKSI DI KELURAHAN GENUK UNGARAN BARAT I Wayan Aditya Harymbawa *) Puji Lestari **), Abdul Wakhid **) *) Mahasiswa Progam Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo **) Dosen Progam Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Perubahan prilaku pada pola makan yang mengarah pada makanan siap saji dengan kandungan tinggi energi, lemak dan rendah serat berkontribusi besar pada peningkatan prevalensi DM, sehingga besar kemungkinan perilaku kurang gerak ada kaitannya dengan tingginya kadar gula darah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja konveksi di kelurahan Genuk, Ungaran Barat. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 84 orang. Data dianalisis menggunakan menggunakan uji chi square. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sebagian besar responden mempunyai sedentary life dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %) dan sebagian besar responden mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 53 responden (63,1%). Dari hasil uji statistik menggunakan chi square diketahui ada hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk dengan nilai p value 0,001 Hendaknya masyrakat khususnya pekerja konveksi dapat mengatur aktivitas secara mandiri sehingga mengurangi perilaku sedentary lifestyle yang beresiko terhadap kejadian diabetes mellitus. Kata kunci : sedentary lifestyle , kadar glukosa darah, pekerja konveksi Kepustakaan : 23 kepustakaan (2005 -2014) Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 2 ABSTRACT Behavioral changes in eating patterns that lead to fast food with high content of energy, fat and low in fiber contribute greatly to the increased prevalence of diabetes, so it is probable sedentary behavior is related to high blood sugar levels. The purpose of this study was to determine the relationship of sedentary lifestyle with blood glucose levels in adult workers in Genuk convection. This type of research is descriptive correlation with cross sectional approach using a questionnaire as a data collection tool. The population in this study were all workers in the village Genuk convection, Ungaran West. Sampling technique used is purposive sampling with total sample of 84 people. Data were analyzed with use of chi square test. Based on the research, known to most of the respondents have a sedentary life in the high category, as many as 45 respondents (48.8%) and the majority of respondents have blood glucose levels in hyperglycemic category as many as 53 respondents (63.1%). From the statistical test using chi squqre sedentary lifestyle is known to have relations with blood glucose levels in adults convection workers in Sub Genuk with p value 0,001 Should society especially convection workers can organize activities independently, thereby reducing sedentary lifestyle risky behavior on the incidence of diabetes mellitus. Key word : sedentary lifestyle , kadar glukosa darah, pekerja konveksi Bibliography : 17 refferences (2005 -2014) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskular jangka panjang, baik mikroangoiopati maupun makroangiopati (Darmono, 2007). Prevalensi kejadian diabetes melitus di Indonesia yang semakin meningkat. Terdapat sekitar 382 juta orang hidup dengan diabetes pada tahun 2013 di seluruh dunia. Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Dari 382 juta orang tersebut, 175 juta orang belum terdiagnosis. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2013 perkiraan penduduk Indonesia diatas 15 tahun sebesar 176 juta dan dengan prevalensi diabetes mellitus 5,7 %. Sekitar 12 juta penderita terdiagnosis mengalami diabetes mellitus. Menurut Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI pada Riskesdas tahun 2013, dari 6,9% penderita diabetes mellitus yang didapatkan, 30,4% yang telah terdiagnosis sebelumnya dan 69,6% tidak terdiagnosis sebelumnya. Data penderita diabetes mellitus di Jawa Tengah sebanyak 1,9% atau 385.431 jiwa yang telah terdiagnosis oleh dokter (Datin DepkesRI, 2014). Menurut Tremblay (2012); Riskesdas tahun 2007; LeBlanc et al (2012) dalam Janssen (2013), gaya hidup kurang gerak adalah setiap aktivitas dengan nilai pengeluaran energy ≤ 1,5 kali dibandingkan Resting Metabolic Rate (RMT) dalam posisi duduk atau berbaring. Screen behaviours seperti menonton televisi biasanya yang paling umum, tetapi bukan satu-satunya sedentary behaviour. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan “cukup”, apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama 5 hari dalam satu minggu. Menurut Ramadhani dan Indriasari dalam penelitiannya yang berjudul “hubungan aktivitas sedentari dengan kejadian overweight pada Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 3 remaja di SMA Katolik Cendrawasih Makassar”, menyimpulkan bahwa sebanyak 50,9 % remaja di SMA Katolik Cendrawasih Makassar yang mengalami overweight. Ada hubungan antara aktivitas sedentari dengan kejadian overweight diperoleh nilai (p=0,000) dimana remaja yang mengalami overweight cenderung sering melakukan aktivitas sedentari. Para peneliti telah menggunakan setidaknya empat metode untuk menilai sedentary behaviours. Mereka menggunakan job rating yang dikembangkan oleh para ahli, kuesioner (metode ini lebih prospektif untuk studi hubungan antara perilaku menetap dan efek samping kesehatan), heart rate monitors, dan accelerometers (Ford dan Caspersen, 2012). Individu yang kurang melakukan aktivitas fisik (sedentary lifestyle) menyimpan dan menyerap banyak kalori karena pengeluaran energi berkurang. Penimbunan kalori berlebih yang dapat menyebabkan obesitas (Inyang & Stella, 2015). Faktor-faktor yang meningkatkan gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) adalah kemajuan teknologi, etnis dan status sosial ekonomi, dan jam kerja yang panjang, faktor demografi (usia dan gender) (Inyang & Stella, 2015). Sehingga aktivitas kurang gerak menimbulkan naiknya kadar gula darah orang dewasa. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah antara lain, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya stress dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta berolahraga. Olahraga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehigga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah penelitian menunjukan bahwa peningkatan aktifitas fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko diabetes.(Fox & Kilvert, 2010). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 29 Maret 2016 yang dilakukan di Kelurahan Genuk diperoleh informasi dari petugas kelurahan bahwa Kelurahan Genuk terdiri dari 8 RW, dan 47 RT. Jumlah penduduk 8.704 orang dengan pekerjaan dominan adalah buruk pabrik. Hasil observasi terhadap 6 pekerja konveksi yang menjalani sedentary lifestyle sebanyak 4 orang dengan sedentary lebih dari 11jam per hari didapatkan 3 responden dengan kadar glukosa normal dan 1 orang dengan kadar glukosa tinggi, dan 2 orang dengan sedentary kurang dari 4 jam per hari didapatkan 1 orang dengan kadar glukosa tinggi dan 1 orang dengan kadar glukosa normal. Jam kerja yang panjang serta periode duduk yang lama tersebut menyebabkan sedentary activity (gerakan minimal dengan pengeluaran energi yang rendah) yang bisa menimbulkan penyakit diabetes karena insulin tidak bisa bekerja secara efektif, perilaku menetap seperti duduk, mengemudi, membaca sangat berpengaruh terhadap peningkatan berat badan yang mengacu pada diabetes mellitus (Brannon, 2007) Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk menganalisis adakah hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasional yaitu mendeskripsikan variabel bebas dan variabel terikat, kemudian melakukan korelasi antara kedua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat (Notoadmodjo, 2012), sehingga dapat diketahui seberapa jauh kontribusi variabel terikat terhadap adanya variabel bebas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu memberi gambaran tentang hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk. Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 3 HASIL PENELITIAN 1. Analisa univariat a. Gambaran gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Tabel 4. 2 Distribusi frekuensi gambaran gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Sedentary Life Sedang Tinggi Sangat tinggi Total Frekuensi 18 41 25 84 (%) 21,4 48,8 29,8 100,0 Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai sedentary life dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %) dan sebagian kecil responden mengalami sedentary life dalam kategori sedang yaitu sebanyak 18 responden (21,4 %) b. Gambaran kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi. Tabel 4. 3 Distribusi frekuensi gambaran kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi. Kecemasan Normal Hiperglikemia Hipoglikemia Total Frekuensi 31 53 0 84 (%) 36,9 63,1 0,00 100,0 Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 53 responden (63,1 %) dan sebagian kecil responden mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori normal yaitu sebanyak 31 responden (36,9 %). 2. Analisa Bivariat Hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Tabel 4. 4 Tabulasi silang hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Sedentary life Rendah Sedang Tinggi Total Kadar glukosa darah Normal Hiperglikemia n 16 12 3 31 % 88,9 29,3 12,0 36,9 n 2 29 22 53 % 11,1 70,7 88,0 63,1 Total n 18 41 25 84 % 100 100 100 100 p valu e 0,001 Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa, responden dengan sedentary life dalam kategori rendah sebagian besar yaitu sebanyak 16 responden (88,9 %) mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori normal dan responden dengan sedentary life dalam kategori sedang sebagian besar mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 29 responden (70,7 %), sedangkan pada responden dengan sedentary life dalam kategori tinggi sebagian besar mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 22 responden (88,0 %) . Dari hasil uji statistik menggunakan uji chi square dengan taraf signifikansi 5 % (0,05) didapatkan p value sebesar 0,0001. (Apabila p value/ signifikansi di bawah 0,05 maka hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima). Nilai p tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan sedentary life dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk. PEMBAHASAN A. Gambaran gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai sedentary life dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil kuesioner yang diberikan oleh peneliti kepada responden tentang sedentary life dimana dari hasil jawaban responden tersebut dapat disimpulkan rata-rata sedentary Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 4 life pada responden dalam penelitian ini adalah 70,24 jam/minggu dengan maksimal 99 jam/minggu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja konveksi mempunyai rata-rata sedentary time sebanyak 10,16 jam per hari. Waktu minimum untuk sedentary time sebanyak 6,1 jam per hari, sedangkan waktu maksimum 15,4 jam per hari. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang diberikan kepada responden diketahui bahwa sedentary life yang paling banyak pada responden adalah saat menonton televisi di rumah dan berada di tempat kerja. Semua responden menyatakan bahwa sebagian besar waktu yang ada mereka habiskan di lingkungan tempat mereka bekerja. Sebagian besar responden saat bekerja hanya melakukan aktivitas seperti jenis pekerjaan yang sudah ditentukan oleh pihak pemilik konveksi dimana apabila sesorang mendapatkan jenis pekerjaan yang diharuskan untuk duduk maka seharian pekerja tersebut hanya duduk dalam melakukan aktivitas kerjanya. Begitu juga apabila seorang pekerja dalam melakukan aktivitas kerjanya sambil berdiri maka hampir semua aktivitas bekerjanya dilakukan sambil berdiri tanpa beranjak dari tempat dia berdiri. Hal tersebut menurut asumsi peneliti merupakan faktor penyebab tingginya gaya hidup kurang gerak (sedentary life) pada sebagian besar responden di lingkungan pekerjaan responden. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Riskesdas (2007), sedentary life dapat disebabkan oleh jenis pekerjaan sebagai pekerja konveksi, dimana pekerja konveksi adalah pekerja yang kebanyakan duduk bekerja seharian, sehingga hal tersebut meningkatkan tingginya prevalensi kurang aktifitas fisik. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya, sehingga energi yang masuk sebagian akan disimpan sebagai cadangan energi. Apabila hal ini berlangsung secara terusmenerus maka akan mengalami penumpukan dalam tubuh sehingga terjadi obesitas yang dapat memicu terjadinya berbagai penyakit degeneratiaatur. Orang yang banyak duduk (sedentary) berisiko tinggi menderita penyakit kardiovaskular (Kozier et al., 2011). Risiko kematian mutlak lebih besarpada individu dengan penyakit jantung, diabetes, kelebihan berat badanatau obesitas, berarti bahwa penyebab kematian mutlak dari aktivitas duduk yang terlalu lama dan kurang aktivitas fisik. Responden mempunyai rata-rata sedentary time sebanyak 10,16 jam per hari. Data tersebut menyebabkan risiko terjadinya penyakit Cenderung lebih besar pada kelompokkelompok ini (Ploeg et al., 2012) . Tinjauan sistematis lain mengenai hubungan antara sedentary activity di tempat kerja dan status kesehatan menyebutkan bahwa individu dengan pekerjaan yang lebih aktif memiliki risiko penyebab atau mortalitas penyakit diabetes yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang melibatkan sitting timeterlalu lama (Uffelen et al., 2010) Menurut Tremblay (2012); Riskesdas tahun 2007; LeBlanc et al (2012) dalam Janssen (2013), sedentary behaviour adalah setiap aktivitas dengan nilai pengeluaran energy ≤ 1,5 kali dibandingkan Resting Metabolic Rate (RMT) dalam posisi duduk atau berbaring. Sedentary lifestyle berdampak buruk terhadap kesehatan pada anakanak selama hampir tiga puluh tahun, dan saat ini juga terkait dengan morbiditas pada orang dewasa(Raynor et al., 2011). Faktor-faktor yang meningkatkan gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) adalah kemajuan teknologi, etnis dan status sosial ekonomi dan jam kerja yang panjang, faktor demografi (usia dan gender) (Inyang & Stella, 2015). Ada banyak hal yang memungkinkan orang dewasa untuk duduk dalam waktu yang lama, hal-hal yang dapat menigkatkan sitting time yaitu saat sarapan, mengemudi menuju tempat kerja, duduk di meja kerja, Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 5 pulang kerja, makan malam, saat malam hari untuk melakukan sedentary activity seperti menonton televisi menggunakan komputer dan bersosialisasi. Orang dewasa menghabiskan lebih dari setengah waktunya untuk duduk (Owen, 2012). B. Gambaran kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 53 responden (63,1 %). Menurut Corwin (2009), hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah daripoada rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah antara lain, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya stress dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta berolahraga. Olahraga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehigga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah penelitian menunjukan bahwa peningkatan aktifitas fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko diabetes. Olah raga juga dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas (Fox & Kilvert, 2010). Kejadian hiperglikemia yang terjadi pada sebagian besar responden dalam penelitian ini menurut asumsi peneliti dan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berumur 40-60 tahun dimana hal tersebut merupakan salah satu faktor resiko tejadinya peningkatan glukosa darah yang merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa rata-rata usia responden terendahnya adalah 40 tahun dan usia tertinggi adalah 60 tahun. WHO menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapai umur 30 tahun, maka konsentrasi glukosa darah akan meningkat1–2 mg % pertahun pada saat puasa dan akan naik sekitar 5.6 –13 mg% pada 2 jam setelah makan, sehingga variabel usia merupakan salah satu faktor utama terjadinya kenaikan prevalensi diabetes serta gangguan toleransi glukosa (Sudoyo, 2009). Kejadian hiperglikemia pada sebagian besar responden juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin dimana pada penelitian ini didapatkan data bahwa sebagian besar responden adalah berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Fitri dan Yekti (2012) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa perempuan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami peningkatan berat badan dan obesitas. Hal inilah yang diduga berkaitan dengan lebih tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada perempuan dibanding laki-laki. Pada perempuan terjadi penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga memicu obesitas sentral. Obesitas sentral merupakan contoh penimbunan lemak tubuh yang berbahaya karena adeposit di daerah ini sangat efisien dan lebih resisten terhadap efek insulin dibandingkan adeposit di daerah lain. Adanya peningkatan jaringan adiposa biasanya diikuti keadaan resistensi insulin.Kegagalan sel pankreas menyebabkan sekresi insulin tidak adekuat, sehingga terjadi transisi dari kondisi resistensi insulin ke DM yang manifes secara klinis (Pusparini, 2007). C. Hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk Berdasarkan hasil peneltiian diketahui bahwa, responden dengan sedentary life dalam kategori rendah sebagian besar yaitu sebanyak 16 responden (88,9 %) mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori normal dan responden dengan sedentary life dalam kategori sedang sebagian besar mempunyai kadar glukosa darah dalam Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 6 kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 29 responden (70,7 %), sedangkan pada responden dengan sedentary life dalam kategori tinggi sebagian besar mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 22 responden (88,0 %) . Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah (Dorland, 2010). Kadar gula darah digunakan untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk penentuan diagnosis, pemeriksaan Pengaruh aktivitas fisik secara langsung berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot (seberapa banyak otot mengambil glukosa dari aliran darah). Saat berolahraga, otot menggunakan glukosa yang tersimpan dalam otot dan jika glukosa berkurang, otot mengisi kekosongan dengan mengambil glukosa dari darah. Ini akan mengakibatkan menurunnya glukosa darah sehingga memperbesar pengendalian glukosa darah (Barnes, 2012). Sedentary menurunkan transportasi glukosa melalui kontraksi otot. Kontraksi otot menimbulkan penurunan kebutuhan glukosa di dalam otot yang lebih lanjut melalui mekanisme kerja insulin, memberi sinyal terhadap GLUT4 berpindah ke permukaan sel untuk membawa glukosa masuk. Selain dengan insulin, mekanisme inijuga bisa terjadi tanpa tergantung pada kerja insulin yaitu melalui mekanisme Ca++ selama kontraksi otot, mekanisme ini mengeluarkan protein 5’AMP kinase yang berfungsi sebagai aktivator untuk perpindahan GLUT4 ke permukaan sel (EA, 2004: 1). Sedangkan menurut Meery (2009), latihan dapat berfungsi mirip seperti insulin, tidak hanya melalui Ca++, tetapi kontraksi otot juga AMPK (5’AMP Protein Kinase Aktif), ROS (Reactive Oxygen Species), NO (NitricOxide) untuk mensinyali GLUT4 (Meery, 2009). Selain berperan dalam meningkatkan translokasi GLUT4, terutama efek bahwa latihan meningkatkan jumlah mitokondria yang dipengaruhi oleh nitrit oksid (NO), membuat oksidasi lemak di permukaan sel meningkat sehingga meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap insulin. Penyerapan glukosa oleh jaringan tubuh pada saat istirahat membutuhkan insulin, sedangkan pada otot yang aktif tidak disertai kenaikan kadar insulin walaupun kebutuan glukosa meningkat. Hal ini dikarenakan pada waktu seseorang beraktivitas fisik, terjadi peningkatan kepekaan reseptor insulin di otot yang aktif. Masalah utama yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin yang menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Saat seseorang melakukan aktivitas, akan terjadi kontraksi otot yang pada akhirnya akan mempermudah glukosa masuk ke dalam sel. Hal tersebut berarti saat seseorang beraktivitas, akan menurunkan resistensi insulin dan pada akhirnya akan menurunkan kadar gula darah (Ilyas, 2011). Dari hasil uji statistik menggunakan chi square dengan taraf signifikansi 5 % (0,05) didapatkan p value sebesar 0,0001. (Apabila p value/ signifikansi di bawah 0,05 maka hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima). Nilai p tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mujio yaitu faktor resiko melakukan aktivitas fisik kurang dari 6 jam perhari secara statistic bermakna ada hubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe II pada orang dewasa. Peningkatan kalsium dalam sitoplasma. Keadaan tersebut merangsang pengambilan glukosa oleh otot, dan karena adanya interaksi proses metabolisme dengan meningkatnya glucose 6 fosfat yang akan menghambat aktivitas heksokinase yang kerjanya mengakumulasi glukosa intraselluler dan mengurangi ambilan glukosa oleh otot. Sekresi insulin pada saat aktivitas fisik akan dihambat oleh hormon alfaadrenergik, sehingga kadar insulin plasma menurun, berkurangnya insulin Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 7 pada saat beraktivitas akan meningkatkan lipolisis dan melakukan pengangkutan glukosa otot pada saat bergerak. Menurut Kahn (2008), menyatakan bahwa aktivitas fisik yang kurang (sedentary life) dapat beresiko terhadap kejadian pra-diabetes atau diabetes tipe 2. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, studi observasional pada 1467 laki-laki dan wanita dengan kondisi normal dan memilki toleransi glukosa terganggu / DM menunjukkan lifestyle yang berhubungan dengan aktivitas fisik sangat jelas berkaitan dengan adanya sensitivitas insulin. Penelitian lanjut menyatakan bahwa seseorang berjalan lebih dari 10.000 langkah setiap hari, kadar gula darah dalam batas normal dan pada obesitas akan menurunkan berat badan apabila diikuti dengan latihan berat. Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan bahwa orang yang berjalan 45 menit setiap hari akan membakar 20% lebih lemak, meningkatkan kemampuan otot untuk menyimpan glukosa. Menurut Plotnikoff (2006), dalam Canadian Journal of Diabetes, aktivitas fisik merupakan kunci dalam pengelolaan diabetes melitus terutama sebagai pengontrol gula darah dan memperbaiki faktor resiko kardiovaskuler seperti menurunkan hiperinsulinemia, meningkatkan sesnsitifitas insulin, menurunkan lemak tubuh, serta menurunkan tekanan darah. Berbagai penelitian telah menunjukkan pengaruh yang kuat antara tingkat aktifitas fisik dengan kejadian Diabetes Mellitus. Tingkat kebugaran jantung yang rendah meruapakan salah satu prediktor tingginya tingkat kematian akibat diabetes type 2 (Bell, 2012). Latihan fisik dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Berdasarkan berbagai studi kohort, ditemukan bahwa mereka yang melakukan latihan fisik secara teratur memilki resiko yang lebih rendah sekitar 35% memperoleh penyakit DM tipe 2 dbanding mereka yang tingkat aktivitasnya rendah. (Bazzano, 2004). Berdasarkan studi retrospective (case control) yang dilakukan Kriska, Andrea (2007), terhadap sekelompok komunitas orang India, ditemukan bahwa mereka yang terkena DM, setelah ditelusuri ternyata memiliki tingkat aktivitas fisik yang rendah. Berbagai studi menganjurkan latihan aerobik sebagai tipe aktivitas untuk mencegah DM. Latihan aerobik merupakan tipe latihan yang membutuhkan kerja otot yang lebih besar,seperti berjalan, lari, dan naik sepeda. Untuk tujuan meningkatkan sensitivitas insulin dan intoleransi glukosa, beberapa studi telah menganjurkan latihan berintensitas tinggi dibanding berintensitas rendah, karena hal ini lebih berpengaruh pada perubahan metabolisme tubuh. (Kriska, Andrea,2007). KESIMPULAN 1. Sebagian besar responden mempunyai sedentary life dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %) 2. Sebagian besar responden mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 53 responden (63,1 %). 3. Ada hubungan sedentary life dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk dengan nilai p value 0,001 (α ≤ 0,05) SARAN 1. Bagi perawat Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi atau bahan untuk penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup kurang gerak dan mengembangkan ilmu dan ketrampilan dalam mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang normal. 2. Bagi subyek penelitian Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 8 Hasil penelitian ini dapat membantu mengatur aktivitas secara mandiri sehingga mengurangi prilaku sedentary life 3. Bagi Peneliti Sebagai suatu pengalaman penelitian dan pengembangan wawasan terhadap bidang keperawatan serta melengkapi tugas akhir pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2013. Laporan Nasional 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. https://www.k4health.org/sites/defau lt/files/laporanNasional%20Riskesd as%202007.pdf. (Diakses pada tanggal 1 april 2016). Ford Earl S. and Carl J. Caspersen. 2012. Sedentary behaviour and cardiovascular disease: a review of prospective studies. USA: Oxford University. http://ije.oxfordjournals.org/content/ 41/5/1338.full.pdf (Diakses pada taggal 20 april 2016). Inyang Mfrekemfon dan Okey-Orji Stella. 2015. Sedentary Lifestyle: Health Implications (Jurnal). Nigeria: Departement of Human Kinetics and Health Education Faculty of Education University of PortHarcourt. http://iosrjournals.org/iosrjnhs/papers/vol4issue2/Version1/E04212025.pdf. (Diakses pada tanggal 20 april 2016). Owen, Neville. 2012. Sedentary Behaviours. Head – Behavioural Epidemiology, Baker IDI. https://www.bakeridi.edu.au/researc h/physical_activity_ behavioural_epidemiology/lab_head s/. Suiraoka, IP. 2012. Penyakit Dengeneratif. Yogyakarta: Nuha Medika. Chau JY et al. 2011. A tool for measuring workers’ sitting time by domain: the Workforce Sitting Questionnaire (Jurnal). http://www.sedentarybehaviour.org (Diakses pada tanggal 10 mei 2016). Ploeg, Van Der et al. 2012. Sitting Time and All-Cause Mortality Risk in 222 497 Australian Adults. Vol 172 (No. 6), Mar 26, 2012. Australia: American Medical Association. http://archinte.jamanetwork.com (Diakses pada tanggal 10 mei 2016). Smeltzer & Bare. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Price & Wilson. (2006) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses penyakit, Vol.2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang Tahun 2014; Semarang. Dinas Kesehatan Kota Semarang. https://drive.google.com/file/d/0ByoD_DDYqgRWpLUlNrWm8tRXc/vie w. Diakses pada tanggal 4 April 2016. Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat 9