hubungan sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada

advertisement
`
HUBUNGAN SEDENTARY LIFESTYLE DENGAN
KADAR GLUKOSA DARAH PADA ORANG DEWASA PEKERJA
KONVEKSI DI KELURAHAN GENUK
UNGARAN BARAT
ARTIKEL
Oleh:
I WAYAN ADITYA HARYMBAWA
010112a043
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
SEPTEMBER, 2016
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
1
HUBUNGAN SEDENTARY LIFESTYLE DENGTAN KADAR GLUKOSA
DARAH PADA ORANG DEWASA PEKERJA KONVEKSI
DI KELURAHAN GENUK UNGARAN BARAT
I Wayan Aditya Harymbawa *)
Puji Lestari **), Abdul Wakhid **)
*) Mahasiswa Progam Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
**) Dosen Progam Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRAK
Perubahan prilaku pada pola makan yang mengarah pada makanan siap saji dengan
kandungan tinggi energi, lemak dan rendah serat berkontribusi besar pada peningkatan
prevalensi DM, sehingga besar kemungkinan perilaku kurang gerak ada kaitannya dengan
tingginya kadar gula darah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
sedentary lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di
Kelurahan Genuk.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan menggunakan pendekatan
cross sectional menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pekerja konveksi di kelurahan Genuk, Ungaran Barat. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 84 orang. Data dianalisis
menggunakan menggunakan uji chi square.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sebagian besar responden mempunyai sedentary
life dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %) dan sebagian besar responden
mempunyai kadar glukosa darah dalam kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 53 responden
(63,1%). Dari hasil uji statistik menggunakan chi square diketahui ada hubungan sedentary
lifestyle dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa pekerja konveksi di Kelurahan Genuk
dengan nilai p value 0,001
Hendaknya masyrakat khususnya pekerja konveksi dapat mengatur aktivitas secara
mandiri sehingga mengurangi perilaku sedentary lifestyle yang beresiko terhadap kejadian
diabetes mellitus.
Kata kunci : sedentary lifestyle , kadar glukosa darah, pekerja konveksi
Kepustakaan : 23 kepustakaan (2005 -2014)
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
2
ABSTRACT
Behavioral changes in eating patterns that lead to fast food with high content of energy,
fat and low in fiber contribute greatly to the increased prevalence of diabetes, so it is probable
sedentary behavior is related to high blood sugar levels. The purpose of this study was to
determine the relationship of sedentary lifestyle with blood glucose levels in adult workers in
Genuk convection.
This type of research is descriptive correlation with cross sectional approach using a
questionnaire as a data collection tool. The population in this study were all workers in the
village Genuk convection, Ungaran West. Sampling technique used is purposive sampling with
total sample of 84 people. Data were analyzed with use of chi square test.
Based on the research, known to most of the respondents have a sedentary life in the high
category, as many as 45 respondents (48.8%) and the majority of respondents have blood
glucose levels in hyperglycemic category as many as 53 respondents (63.1%). From the
statistical test using chi squqre sedentary lifestyle is known to have relations with blood glucose
levels in adults convection workers in Sub Genuk with p value 0,001
Should society especially convection workers can organize activities independently,
thereby reducing sedentary lifestyle risky behavior on the incidence of diabetes mellitus.
Key word : sedentary lifestyle , kadar glukosa darah, pekerja konveksi
Bibliography : 17 refferences (2005 -2014)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit diabetes mellitus
merupakan suatu penyakit menahun
yang ditandai oleh kadar glukosa darah
melebihi normal dan gangguan
metabolism karbohidrat, lemak dan
protein
yang
disebabkan
oleh
kekurangan hormon insulin secara
relatif maupun absolut. Bila hal ini
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi
komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskular jangka panjang,
baik
mikroangoiopati
maupun
makroangiopati (Darmono, 2007).
Prevalensi kejadian diabetes
melitus di Indonesia yang semakin
meningkat. Terdapat sekitar 382 juta
orang hidup dengan diabetes pada
tahun 2013 di seluruh dunia. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan
meningkat menjadi 592 juta orang. Dari
382 juta orang tersebut, 175 juta orang
belum terdiagnosis. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2013
perkiraan penduduk Indonesia diatas 15
tahun sebesar 176 juta dan dengan
prevalensi diabetes mellitus 5,7 %.
Sekitar 12 juta penderita terdiagnosis
mengalami diabetes mellitus. Menurut
Pusat data dan informasi kementerian
kesehatan RI pada Riskesdas tahun
2013, dari 6,9% penderita diabetes
mellitus yang didapatkan, 30,4% yang
telah terdiagnosis sebelumnya dan
69,6% tidak terdiagnosis sebelumnya.
Data penderita diabetes mellitus di
Jawa Tengah sebanyak 1,9% atau
385.431 jiwa yang telah terdiagnosis
oleh dokter (Datin DepkesRI, 2014).
Menurut Tremblay (2012);
Riskesdas tahun 2007; LeBlanc et al
(2012) dalam Janssen (2013), gaya
hidup kurang gerak adalah setiap
aktivitas dengan nilai pengeluaran
energy ≤ 1,5 kali dibandingkan Resting
Metabolic Rate (RMT) dalam posisi
duduk
atau
berbaring.
Screen
behaviours seperti menonton televisi
biasanya yang paling umum, tetapi
bukan
satu-satunya
sedentary
behaviour. Kegiatan aktivitas fisik
dikategorikan “cukup”, apabila kegiatan
dilakukan terus-menerus sekurangnya
10 menit dalam satu kegiatan tanpa
henti dan secara kumulatif 150 menit
selama 5 hari dalam satu minggu.
Menurut
Ramadhani
dan
Indriasari dalam penelitiannya yang
berjudul “hubungan aktivitas sedentari
dengan kejadian overweight pada
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
3
remaja di SMA Katolik Cendrawasih
Makassar”, menyimpulkan bahwa
sebanyak 50,9 % remaja di SMA
Katolik Cendrawasih Makassar yang
mengalami overweight. Ada hubungan
antara aktivitas sedentari dengan
kejadian overweight diperoleh nilai
(p=0,000)
dimana
remaja
yang
mengalami
overweight
cenderung
sering melakukan aktivitas sedentari.
Para peneliti telah menggunakan
setidaknya empat metode untuk menilai
sedentary
behaviours.
Mereka
menggunakan
job
rating
yang
dikembangkan oleh para ahli, kuesioner
(metode ini lebih prospektif untuk studi
hubungan antara perilaku menetap dan
efek samping kesehatan), heart rate
monitors, dan accelerometers (Ford dan
Caspersen, 2012).
Individu
yang
kurang
melakukan aktivitas fisik (sedentary
lifestyle) menyimpan dan menyerap
banyak kalori karena pengeluaran
energi berkurang. Penimbunan kalori
berlebih yang dapat menyebabkan
obesitas (Inyang & Stella, 2015).
Faktor-faktor yang meningkatkan gaya
hidup kurang gerak (sedentary lifestyle)
adalah kemajuan teknologi, etnis dan
status sosial ekonomi, dan jam kerja
yang panjang, faktor demografi (usia
dan gender) (Inyang & Stella, 2015).
Sehingga aktivitas kurang gerak
menimbulkan naiknya kadar gula darah
orang dewasa.
Faktor
yang
dapat
mempengaruhi kadar glukosa darah
antara lain, bertambahnya jumlah
makanan
yang
dikonsumsi,
meningkatnya stress dan faktor emosi,
pertambahan berat badan dan usia, serta
berolahraga. Olahraga secara teratur
dapat mengurangi resistensi insulin
sehigga insulin dapat dipergunakan
lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah
penelitian
menunjukan
bahwa
peningkatan aktifitas fisik (sekitar 30
menit/hari) dapat mengurangi resiko
diabetes.(Fox & Kilvert, 2010).
Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti pada 29 Maret 2016
yang dilakukan di Kelurahan Genuk
diperoleh informasi dari petugas
kelurahan bahwa Kelurahan Genuk
terdiri dari 8 RW, dan 47 RT. Jumlah
penduduk
8.704
orang
dengan
pekerjaan dominan adalah buruk
pabrik. Hasil observasi terhadap 6
pekerja konveksi yang menjalani
sedentary lifestyle sebanyak 4 orang
dengan sedentary lebih dari 11jam per
hari didapatkan 3 responden dengan
kadar glukosa normal dan 1 orang
dengan kadar glukosa tinggi, dan 2
orang dengan sedentary kurang dari 4
jam per hari didapatkan 1 orang dengan
kadar glukosa tinggi dan 1 orang
dengan kadar glukosa normal. Jam
kerja yang panjang serta periode duduk
yang lama tersebut menyebabkan
sedentary activity (gerakan minimal
dengan pengeluaran energi yang
rendah) yang bisa menimbulkan
penyakit diabetes karena insulin tidak
bisa bekerja secara efektif, perilaku
menetap seperti duduk, mengemudi,
membaca sangat berpengaruh terhadap
peningkatan berat badan yang mengacu
pada diabetes mellitus (Brannon, 2007)
Berdasarkan fenomena di atas
peneliti tertarik untuk menganalisis
adakah hubungan sedentary lifestyle
dengan kadar glukosa darah pada orang
dewasa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif
korelasional yaitu mendeskripsikan variabel
bebas dan variabel terikat, kemudian
melakukan korelasi antara kedua variabel
yaitu variabel bebas dan variabel terikat
(Notoadmodjo, 2012), sehingga dapat
diketahui seberapa jauh kontribusi variabel
terikat terhadap adanya variabel bebas.
Pendekatan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah cross sectional, yaitu
memberi gambaran tentang hubungan
sedentary lifestyle dengan kadar glukosa
darah pada orang dewasa pekerja konveksi
di Kelurahan Genuk.
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
3
HASIL PENELITIAN
1. Analisa univariat
a. Gambaran gaya hidup kurang gerak
(sedentary lifestyle) pada orang dewasa
pekerja konveksi di Kelurahan Genuk
Tabel 4. 2 Distribusi
frekuensi
gambaran gaya hidup kurang gerak
(sedentary lifestyle) pada orang
dewasa
pekerja
konveksi
di
Kelurahan Genuk
Sedentary Life
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Total
Frekuensi
18
41
25
84
(%)
21,4
48,8
29,8
100,0
Berdasarkan tabel 4.1 dapat
diketahui
bahwa
sebagian
besar
responden mempunyai sedentary life
dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45
responden (48,8 %) dan sebagian kecil
responden mengalami sedentary life
dalam kategori sedang yaitu sebanyak 18
responden (21,4 %)
b. Gambaran kadar glukosa darah pada
orang dewasa pekerja konveksi.
Tabel 4. 3 Distribusi
frekuensi
gambaran
kadar glukosa darah
pada orang dewasa pekerja konveksi.
Kecemasan
Normal
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Total
Frekuensi
31
53
0
84
(%)
36,9
63,1
0,00
100,0
Berdasarkan tabel 4.2 dapat
diketahui
bahwa
sebagian
besar
responden mempunyai kadar glukosa
darah dalam kategori hiperglikemia yaitu
sebanyak 53 responden (63,1 %) dan
sebagian kecil responden mempunyai
kadar glukosa darah dalam kategori
normal yaitu sebanyak 31 responden
(36,9 %).
2. Analisa Bivariat
Hubungan sedentary lifestyle dengan
kadar glukosa darah pada orang dewasa
pekerja konveksi di Kelurahan Genuk
Tabel 4. 4
Tabulasi silang hubungan
sedentary lifestyle dengan kadar glukosa
darah pada orang dewasa pekerja
konveksi di Kelurahan Genuk
Sedentary
life
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Kadar glukosa darah
Normal
Hiperglikemia
n
16
12
3
31
%
88,9
29,3
12,0
36,9
n
2
29
22
53
%
11,1
70,7
88,0
63,1
Total
n
18
41
25
84
%
100
100
100
100
p
valu
e
0,001
Berdasarkan tabel 4.4 dapat
diketahui bahwa, responden dengan
sedentary life dalam kategori rendah
sebagian besar yaitu sebanyak 16
responden (88,9 %) mempunyai kadar
glukosa darah dalam kategori normal dan
responden dengan sedentary life dalam
kategori
sedang
sebagian
besar
mempunyai kadar glukosa darah dalam
kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 29
responden (70,7 %), sedangkan pada
responden dengan sedentary life dalam
kategori
tinggi
sebagian
besar
mempunyai kadar glukosa darah dalam
kategori hiperglikemia yaitu sebanyak 22
responden (88,0 %) . Dari hasil uji
statistik menggunakan uji chi square
dengan taraf signifikansi 5 % (0,05)
didapatkan p value sebesar 0,0001.
(Apabila p value/ signifikansi di bawah
0,05 maka hipotesis Ho ditolak dan Ha
diterima). Nilai p tersebut menunjukkan
bahwa ada hubungan sedentary life
dengan kadar glukosa darah pada orang
dewasa pekerja konveksi di Kelurahan
Genuk.
PEMBAHASAN
A. Gambaran gaya hidup kurang gerak
(sedentary lifestyle) pada orang
dewasa
pekerja
konveksi
di
Kelurahan Genuk
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui bahwa sebagian besar
responden mempunyai sedentary life
dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 45
responden (48,8 %). Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil kuesioner yang
diberikan
oleh
peneliti
kepada
responden tentang sedentary life dimana
dari hasil jawaban responden tersebut
dapat disimpulkan rata-rata sedentary
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
4
life pada responden dalam penelitian ini
adalah 70,24 jam/minggu dengan
maksimal 99 jam/minggu. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pekerja konveksi
mempunyai rata-rata sedentary time
sebanyak 10,16 jam per hari. Waktu
minimum
untuk
sedentary
time
sebanyak 6,1 jam per hari, sedangkan
waktu maksimum 15,4 jam per hari.
Berdasarkan hasil jawaban kuesioner
yang diberikan kepada responden
diketahui bahwa sedentary life yang
paling banyak pada responden adalah
saat menonton televisi di rumah dan
berada di tempat kerja. Semua
responden menyatakan bahwa sebagian
besar waktu yang ada mereka habiskan
di lingkungan tempat mereka bekerja.
Sebagian besar responden saat bekerja
hanya melakukan aktivitas seperti jenis
pekerjaan yang sudah ditentukan oleh
pihak pemilik konveksi dimana apabila
sesorang mendapatkan jenis pekerjaan
yang diharuskan untuk duduk maka
seharian pekerja tersebut hanya duduk
dalam melakukan aktivitas kerjanya.
Begitu juga apabila seorang pekerja
dalam melakukan aktivitas kerjanya
sambil berdiri maka hampir semua
aktivitas bekerjanya dilakukan sambil
berdiri tanpa beranjak dari tempat dia
berdiri. Hal tersebut menurut asumsi
peneliti merupakan faktor penyebab
tingginya gaya hidup kurang gerak
(sedentary life) pada sebagian besar
responden di lingkungan pekerjaan
responden.
Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan Riskesdas (2007), sedentary
life dapat disebabkan oleh jenis
pekerjaan sebagai pekerja konveksi,
dimana pekerja konveksi adalah pekerja
yang kebanyakan duduk bekerja
seharian,
sehingga
hal
tersebut
meningkatkan tingginya prevalensi
kurang aktifitas fisik. Orang yang duduk
bekerja seharian akan mengalami
penurunan metabolisme basal tubuhnya,
sehingga energi yang masuk sebagian
akan disimpan sebagai cadangan energi.
Apabila hal ini berlangsung secara terusmenerus
maka
akan
mengalami
penumpukan dalam tubuh sehingga
terjadi obesitas yang dapat memicu
terjadinya
berbagai
penyakit
degeneratiaatur.
Orang yang banyak duduk
(sedentary) berisiko tinggi menderita
penyakit kardiovaskular (Kozier et al.,
2011). Risiko kematian mutlak lebih
besarpada individu dengan penyakit
jantung, diabetes, kelebihan berat
badanatau obesitas, berarti bahwa
penyebab kematian mutlak dari aktivitas
duduk yang terlalu lama dan kurang
aktivitas fisik. Responden mempunyai
rata-rata sedentary time sebanyak 10,16
jam
per
hari.
Data
tersebut
menyebabkan risiko terjadinya penyakit
Cenderung lebih besar pada kelompokkelompok ini (Ploeg et al., 2012)
.
Tinjauan
sistematis
lain
mengenai hubungan antara sedentary
activity di tempat kerja dan status
kesehatan menyebutkan bahwa individu
dengan pekerjaan yang lebih aktif
memiliki risiko penyebab atau mortalitas
penyakit diabetes yang lebih rendah
dibandingkan dengan pekerjaan yang
melibatkan sitting timeterlalu lama
(Uffelen et al., 2010)
Menurut
Tremblay
(2012);
Riskesdas tahun 2007; LeBlanc et al
(2012) dalam Janssen (2013), sedentary
behaviour adalah setiap aktivitas dengan
nilai pengeluaran energy ≤ 1,5 kali
dibandingkan Resting Metabolic Rate
(RMT) dalam posisi duduk atau
berbaring. Sedentary lifestyle berdampak
buruk terhadap kesehatan pada anakanak selama hampir tiga puluh tahun,
dan saat ini juga terkait dengan
morbiditas pada orang dewasa(Raynor et
al., 2011).
Faktor-faktor yang meningkatkan
gaya hidup kurang gerak (sedentary
lifestyle) adalah kemajuan teknologi,
etnis dan status sosial ekonomi dan jam
kerja yang panjang, faktor demografi
(usia dan gender) (Inyang & Stella,
2015).
Ada
banyak
hal
yang
memungkinkan orang dewasa untuk
duduk dalam waktu yang lama, hal-hal
yang dapat menigkatkan sitting time
yaitu saat sarapan, mengemudi menuju
tempat kerja, duduk di meja kerja,
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
5
pulang kerja, makan malam, saat malam
hari untuk melakukan sedentary activity
seperti menonton televisi menggunakan
komputer dan bersosialisasi. Orang
dewasa menghabiskan lebih dari
setengah waktunya untuk duduk (Owen,
2012).
B. Gambaran
kadar glukosa darah
pada orang dewasa pekerja konveksi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa sebagian besar
responden mempunyai kadar glukosa
darah dalam kategori hiperglikemia
yaitu sebanyak 53 responden (63,1 %).
Menurut Corwin (2009), hiperglikemia
merupakan
keadaan
peningkatan
glukosa darah daripoada rentang kadar
puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau
rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg
/100 ml darah.
Faktor yang dapat mempengaruhi
kadar glukosa darah antara lain,
bertambahnya jumlah makanan yang
dikonsumsi, meningkatnya stress dan
faktor emosi, pertambahan berat badan
dan usia, serta berolahraga. Olahraga
secara teratur dapat mengurangi
resistensi insulin sehigga insulin dapat
dipergunakan lebih baik oleh sel-sel
tubuh. Sebuah penelitian menunjukan
bahwa peningkatan aktifitas fisik
(sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi
resiko diabetes. Olah raga juga dapat
digunakan
sebagai
usaha
untuk
membakar lemak dalam tubuh sehingga
dapat mengurangi berat badan bagi
orang obesitas (Fox & Kilvert, 2010).
Kejadian hiperglikemia yang
terjadi pada sebagian besar responden
dalam penelitian ini menurut asumsi
peneliti dan hasil penelitian diketahui
bahwa sebagian besar responden dalam
penelitian ini adalah berumur 40-60
tahun dimana hal tersebut merupakan
salah satu faktor resiko tejadinya
peningkatan glukosa darah yang
merupakan
penyebab
terjadinya
hiperglikemia. Dalam penelitian ini
didapatkan hasil bahwa rata-rata usia
responden terendahnya adalah 40 tahun
dan usia tertinggi adalah 60 tahun.
WHO menyebutkan bahwa setelah
seseorang mencapai umur 30 tahun,
maka konsentrasi glukosa darah akan
meningkat1–2 mg % pertahun pada saat
puasa dan akan naik sekitar 5.6 –13
mg% pada 2 jam setelah makan,
sehingga variabel usia merupakan salah
satu faktor utama terjadinya kenaikan
prevalensi diabetes serta gangguan
toleransi glukosa (Sudoyo, 2009).
Kejadian hiperglikemia pada
sebagian
besar
responden
juga
dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin
dimana pada penelitian ini didapatkan
data bahwa sebagian besar responden
adalah berjenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian
Fitri dan Yekti (2012) dalam jurnalnya
menyebutkan
bahwa
perempuan
memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami peningkatan berat badan dan
obesitas. Hal inilah yang diduga
berkaitan dengan lebih tingginya
prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada
perempuan dibanding laki-laki. Pada
perempuan terjadi penumpukan lemak
terkonsentrasi di sekitar perut sehingga
memicu obesitas sentral. Obesitas
sentral merupakan contoh penimbunan
lemak tubuh yang berbahaya karena
adeposit di daerah ini sangat efisien dan
lebih resisten terhadap efek insulin
dibandingkan adeposit di daerah lain.
Adanya peningkatan jaringan adiposa
biasanya diikuti keadaan resistensi
insulin.Kegagalan
sel
pankreas
menyebabkan sekresi insulin tidak
adekuat, sehingga terjadi transisi dari
kondisi resistensi insulin ke DM yang
manifes secara klinis (Pusparini, 2007).
C. Hubungan sedentary lifestyle dengan
kadar glukosa darah pada orang
dewasa
pekerja
konveksi
di
Kelurahan Genuk
Berdasarkan
hasil
peneltiian
diketahui bahwa, responden dengan
sedentary life dalam kategori rendah
sebagian besar yaitu sebanyak 16
responden (88,9 %) mempunyai kadar
glukosa darah dalam kategori normal
dan responden dengan sedentary life
dalam kategori sedang sebagian besar
mempunyai kadar glukosa darah dalam
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
6
kategori hiperglikemia yaitu sebanyak
29 responden (70,7 %), sedangkan pada
responden dengan sedentary life dalam
kategori
tinggi
sebagian
besar
mempunyai kadar glukosa darah dalam
kategori hiperglikemia yaitu sebanyak
22 responden (88,0 %) .
Kadar gula darah adalah jumlah
kandungan glukosa dalam plasma darah
(Dorland, 2010). Kadar gula darah
digunakan untuk menegakkan diagnosis
DM. Untuk penentuan diagnosis,
pemeriksaan Pengaruh aktivitas fisik
secara langsung berhubungan dengan
peningkatan
kecepatan
pemulihan
glukosa otot (seberapa banyak otot
mengambil glukosa dari aliran darah).
Saat berolahraga, otot menggunakan
glukosa yang tersimpan dalam otot dan
jika glukosa berkurang, otot mengisi
kekosongan dengan mengambil glukosa
dari darah. Ini akan mengakibatkan
menurunnya glukosa darah sehingga
memperbesar pengendalian glukosa
darah (Barnes, 2012).
Sedentary
menurunkan
transportasi glukosa melalui kontraksi
otot. Kontraksi otot menimbulkan
penurunan kebutuhan glukosa di dalam
otot yang lebih lanjut melalui
mekanisme kerja insulin, memberi
sinyal terhadap GLUT4 berpindah ke
permukaan sel untuk membawa glukosa
masuk.
Selain
dengan
insulin,
mekanisme inijuga bisa terjadi tanpa
tergantung pada kerja insulin yaitu
melalui mekanisme Ca++ selama
kontraksi
otot,
mekanisme
ini
mengeluarkan protein 5’AMP kinase
yang berfungsi sebagai aktivator untuk
perpindahan GLUT4 ke permukaan sel
(EA, 2004: 1). Sedangkan menurut
Meery (2009), latihan dapat berfungsi
mirip seperti insulin, tidak hanya
melalui Ca++, tetapi kontraksi otot juga
AMPK (5’AMP Protein Kinase Aktif),
ROS (Reactive Oxygen Species), NO
(NitricOxide) untuk mensinyali GLUT4
(Meery, 2009). Selain berperan dalam
meningkatkan translokasi GLUT4,
terutama
efek
bahwa
latihan
meningkatkan jumlah mitokondria yang
dipengaruhi oleh nitrit oksid (NO),
membuat oksidasi lemak di permukaan
sel meningkat sehingga meningkatkan
sensitivitas reseptor terhadap insulin.
Penyerapan glukosa oleh jaringan
tubuh pada saat istirahat membutuhkan
insulin, sedangkan pada otot yang aktif
tidak disertai kenaikan kadar insulin
walaupun kebutuan glukosa meningkat.
Hal ini dikarenakan pada waktu
seseorang beraktivitas fisik, terjadi
peningkatan kepekaan reseptor insulin di
otot yang aktif. Masalah utama yang
terjadi pada diabetes melitus tipe 2
adalah terjadinya resistensi insulin yang
menyebabkan glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel. Saat seseorang
melakukan aktivitas, akan terjadi
kontraksi otot yang pada akhirnya akan
mempermudah glukosa masuk ke dalam
sel. Hal tersebut berarti saat seseorang
beraktivitas, akan menurunkan resistensi
insulin dan pada akhirnya akan
menurunkan kadar gula darah (Ilyas,
2011).
Dari
hasil
uji
statistik
menggunakan chi square dengan taraf
signifikansi 5 % (0,05) didapatkan p
value sebesar 0,0001. (Apabila p value/
signifikansi di bawah 0,05 maka
hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima).
Nilai p tersebut menunjukkan bahwa ada
hubungan sedentary lifestyle dengan
kadar glukosa darah pada orang dewasa
pekerja konveksi di Kelurahan Genuk.
Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mujio yaitu faktor
resiko melakukan aktivitas fisik kurang
dari 6 jam perhari secara statistic
bermakna ada hubungan dengan
kejadian diabetes mellitus tipe II pada
orang dewasa. Peningkatan kalsium
dalam sitoplasma. Keadaan tersebut
merangsang pengambilan glukosa oleh
otot, dan karena adanya interaksi proses
metabolisme dengan meningkatnya
glucose 6 fosfat yang akan menghambat
aktivitas heksokinase yang kerjanya
mengakumulasi glukosa intraselluler
dan mengurangi ambilan glukosa oleh
otot. Sekresi insulin pada saat aktivitas
fisik akan dihambat oleh hormon alfaadrenergik, sehingga kadar insulin
plasma menurun, berkurangnya insulin
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
7
pada
saat
beraktivitas
akan
meningkatkan lipolisis dan melakukan
pengangkutan glukosa otot pada saat
bergerak.
Menurut
Kahn
(2008),
menyatakan bahwa aktivitas fisik yang
kurang (sedentary life) dapat beresiko
terhadap kejadian pra-diabetes atau
diabetes tipe 2. Hal ini sejalan dengan
penelitian
sebelumnya,
studi
observasional pada 1467 laki-laki dan
wanita dengan kondisi normal dan
memilki toleransi glukosa terganggu /
DM menunjukkan lifestyle yang
berhubungan dengan aktivitas fisik
sangat jelas berkaitan dengan adanya
sensitivitas insulin. Penelitian lanjut
menyatakan bahwa seseorang berjalan
lebih dari 10.000 langkah setiap hari,
kadar gula darah dalam batas normal
dan pada obesitas akan menurunkan
berat badan apabila diikuti dengan
latihan berat. Magnetic resonance
imaging (MRI) menunjukkan bahwa
orang yang berjalan 45 menit setiap hari
akan membakar 20% lebih lemak,
meningkatkan kemampuan otot untuk
menyimpan glukosa.
Menurut Plotnikoff (2006), dalam
Canadian Journal of Diabetes, aktivitas
fisik
merupakan
kunci
dalam
pengelolaan diabetes melitus terutama
sebagai pengontrol gula darah dan
memperbaiki
faktor
resiko
kardiovaskuler seperti menurunkan
hiperinsulinemia,
meningkatkan
sesnsitifitas insulin, menurunkan lemak
tubuh, serta menurunkan tekanan darah.
Berbagai
penelitian
telah
menunjukkan pengaruh yang kuat antara
tingkat aktifitas fisik dengan kejadian
Diabetes Mellitus. Tingkat kebugaran
jantung yang rendah meruapakan salah
satu
prediktor
tingginya
tingkat
kematian akibat diabetes type 2 (Bell,
2012). Latihan fisik dapat meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Berdasarkan berbagai studi kohort,
ditemukan
bahwa
mereka
yang
melakukan latihan fisik secara teratur
memilki resiko yang lebih rendah sekitar
35% memperoleh penyakit DM tipe 2
dbanding
mereka
yang
tingkat
aktivitasnya rendah. (Bazzano, 2004).
Berdasarkan studi retrospective (case
control) yang dilakukan Kriska, Andrea
(2007), terhadap sekelompok komunitas
orang India, ditemukan bahwa mereka
yang terkena DM, setelah ditelusuri
ternyata memiliki tingkat aktivitas fisik
yang
rendah.
Berbagai
studi
menganjurkan latihan aerobik sebagai
tipe aktivitas untuk mencegah DM.
Latihan aerobik merupakan tipe latihan
yang membutuhkan kerja otot yang
lebih besar,seperti berjalan, lari, dan
naik sepeda. Untuk tujuan meningkatkan
sensitivitas insulin dan intoleransi
glukosa,
beberapa
studi
telah
menganjurkan latihan berintensitas
tinggi dibanding berintensitas rendah,
karena hal ini lebih berpengaruh pada
perubahan metabolisme tubuh. (Kriska,
Andrea,2007).
KESIMPULAN
1. Sebagian besar responden mempunyai
sedentary life dalam kategori tinggi
yaitu sebanyak 45 responden (48,8 %)
2. Sebagian besar responden mempunyai
kadar glukosa darah dalam kategori
hiperglikemia yaitu sebanyak 53
responden (63,1 %).
3. Ada hubungan sedentary life dengan
kadar glukosa darah pada orang dewasa
pekerja konveksi di Kelurahan Genuk
dengan nilai p value 0,001 (α ≤ 0,05)
SARAN
1. Bagi perawat
Hasil penelitian dapat digunakan
sebagai referensi atau bahan untuk
penyuluhan dan edukasi kepada
masyarakat tentang gaya hidup kurang
gerak dan mengembangkan ilmu dan
ketrampilan dalam mempertahankan
kadar glukosa darah dalam rentang
normal.
2. Bagi subyek penelitian
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
8
Hasil penelitian ini dapat membantu
mengatur aktivitas secara mandiri
sehingga mengurangi prilaku sedentary
life
3. Bagi Peneliti
Sebagai suatu pengalaman penelitian
dan pengembangan wawasan terhadap
bidang keperawatan serta melengkapi
tugas akhir pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
2013. Laporan Nasional 2013.
Jakarta:
Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan
Departemen
Kesehatan.
https://www.k4health.org/sites/defau
lt/files/laporanNasional%20Riskesd
as%202007.pdf. (Diakses pada
tanggal 1 april 2016).
Ford Earl S. and Carl J. Caspersen. 2012.
Sedentary
behaviour
and
cardiovascular disease: a review of
prospective studies. USA: Oxford
University.
http://ije.oxfordjournals.org/content/
41/5/1338.full.pdf (Diakses pada
taggal 20 april 2016).
Inyang Mfrekemfon dan Okey-Orji Stella.
2015. Sedentary Lifestyle: Health
Implications
(Jurnal).
Nigeria:
Departement of Human Kinetics and
Health Education Faculty of
Education University of PortHarcourt.
http://iosrjournals.org/iosrjnhs/papers/vol4issue2/Version1/E04212025.pdf.
(Diakses pada tanggal 20 april
2016).
Owen, Neville. 2012. Sedentary Behaviours.
Head – Behavioural Epidemiology,
Baker
IDI.
https://www.bakeridi.edu.au/researc
h/physical_activity_
behavioural_epidemiology/lab_head
s/.
Suiraoka, IP. 2012. Penyakit Dengeneratif.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Chau JY et al. 2011. A tool for measuring
workers’ sitting time by domain: the
Workforce Sitting Questionnaire
(Jurnal).
http://www.sedentarybehaviour.org
(Diakses pada tanggal 10 mei 2016).
Ploeg, Van Der et al. 2012. Sitting Time and
All-Cause Mortality Risk in 222 497
Australian Adults. Vol 172 (No. 6),
Mar 26, 2012. Australia: American
Medical
Association.
http://archinte.jamanetwork.com
(Diakses pada tanggal 10 mei 2016).
Smeltzer & Bare. (2013). Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Price & Wilson. (2006) Patofisiologi :
Konsep
Klinis
Proses-Proses
penyakit, Vol.2. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi
Penelitian
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014.
Profil Dinas Kesehatan Kota
Semarang Tahun 2014; Semarang.
Dinas Kesehatan Kota Semarang.
https://drive.google.com/file/d/0ByoD_DDYqgRWpLUlNrWm8tRXc/vie
w. Diakses pada tanggal 4 April
2016.
Hubungan Antara Gaya Hidup Kurang Gerak (Sedentary Lifestyle) Dengan Hipertensi Pada Pekerja
Konveksi Di Kelurahan Genuk Ungaran Barat
9
Download