Pendogenesis Andisol Berbahan Induk Abu Volkan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pen~ertianAndisol
Andisol merupakan nama tanah yang sebelumnya disebut Andosol (FAO,
1974 ; Dudal-Soepraptohardjo, 1961) atau Andept (Soil Taxonomy, 1975). yakni
tanah#
tanah yang berkembang dari bahan piroklastik atau bahan volkan. Nama Andisol telah
resmi digunakan sebagai order baru dalam Soil Taronomy (Soil Survey Staff, i990)
sebagai hasil kej a selama sepuluh tahun dari komisi ~cbmand(International Commitee
on the Classification of Andisols) yang berkedudukan di Lower Hutt, New Zealand.
Smith (1978), yang pertama kali mengusulkan reklasifikasi tanah-tanah Andepts
menjadi Andisol, mengemukakan bahwa konsep utama Andisol adalah tanah yang
berkembang dari abu volkan, batuapung (pumice), cinder serta bahan volkan dan volkanoklastik lainnya dimana kompleks pertukaran didominasi oleh mineral-mineral ordo
kisaran pendek dari Al, Si dan humus atau matriks tanah didominasi oleh gelas volkan.
Tanah ini dicirikan oleh satu atau lebih horison penciri seperti epipedon umbrik, histik
atau kadang-kadang molik dan horison kambik, atau epipedon okrii dan horison kambik. Selain itu sering pula dijumpai horison diagnostik plakii dan duripan, tetapi ordo
ini tidak boleh memiliki horison argilik, natrik, spodik atau oksik (Leamy, Smith,
Daage dan Otawa, 1980).
Soil Survey Staff (1992) mengemukakan definisi Andisol sebagai tanah yang
mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60 persen atau lebih dari ketebalan berikut :
(1) Pada kedalaman 60 cm baik dari permukaan tanah mineral atau bagian atas lapisan
organik dengan sifat-sifat tanah andik, manapun yang terdangkal, apabila tidak dijumpai
kontak litik atau paralitik, duripan, horison petrokalsik pada kedalaman tersebut; atau
(2) Di antara permukaan tanah mineral atau bagian atas lapisan organik yang memiliki
sifat tanah andik, manapun yang terdangkal, dengan kontak litik atau paralitik, duripan,
atau horison petrokalsik. Untuk dapat memiliki sifat tanah andik, bahan tanah hams
mempunyai karbon organik kurang dari 25 persen (berat) dan memenuhi salah satu
atau kedua syarat berikut :
1. Dalam fraksi tanah halus, semua persyaratan berikut:
a. Kandungan aluminium ditambah setengah kandungan besi (dengan amonium
oksalat), adalah 2 persen atau lebih, dan
b. Bobot isi, ditetapkan pada retensi air 33 kPa, sebesar 0.90 g.cmg ataukrang,
dan
c. Retensi fosfat 85 persen atau lebih, atau
2. Dalam fraksi tanah halus, retensi fosfat 25 persen atau lebih, 30 persen atau lebih
partikel-partikel yang bemkuran 0.02 - 2.0 mm,dan memenuhi salah satu persyarat-
an berikut :
a. Aluminium ditambah setengah besi (dengan amonium oksalat) sebesar 0.40
persen atau lebih dan dalam fraksi 0.02 - 2.00 mm, 30 persen atau lebih gelas
volkanik; atau
b. Aluminium ditambah setengah besi (dengan amonium oksalat) 2.0persen atau
lebih dan dalam fraksi 0.02 - 2.00 mm mengandung 5 persen atau lebih gelas
volkanik; atau
c. Aluminium ditambah setengah besi (dengan amonium oksalat) antara 0.40 - 2.0
persen, dalam fraksi 0.02 - 2.0 mm mengandung gelas volkanik antara 5 - 30
persen.
Penvebaran Andisol
Distribusi geografis Andisol berkaitan dengan adanya aktivitas gunungapi yang
menghasilkan abu volkan (Tan, 1984). Peristiwa tektonik dan aktivitas volkan terutama
dijumpai pada zone Circum-Pacific. Secara umum Andisol tidak dijumpai berdasarkan
zone utama iklim dan vegetasi.
Tanah ini dapat dijumpai mulai dari daerah kumb (arctic) sampai daerah tropika dan dari daerah sub-alpin sampai daerah beriklim humid-panas di daerah tropika.
Daerahdaerah utama d i m tanah ini dijumpai adalah Jepang, Korea, Filipina, Indonesia, Hawaii, El Salvador dan Cili (Dudal, 1964 dalam Tan, 1984).
Sesuai
dengan meningkamya pengetahuan mengenai AndisoI, maka tanah ini juga telah diident i f h s i di Amerika, Meksiko, Kosta Rica, Columbia, Argentina, Spanyol, Kepulauan
Canary, Itali, Perancis, Rumania dan Taiwan (Tan. 1984).
Berdasarkan Peta Tanah Dunia FAO-UNESCO, Dudal (1976) mempeikirakan
luas tanah Andisol di dunia seluas 100 juta hektar, sedangkan Leamy et al. (1980)
berdasarkan analisis peta yang lebih detil memperkirakan seluas 124 juta hektar atau
0.8 persen dari luas seluruh permukaan bumi. Lembaga Penelitian Tanah (1972),
memperkirakan luas tanah Andisol di Indonesia kurang lebih 6.5 juta hektar atau 3.4
persen dari luas seluruh daratan Indonesia.
Pedo~enesisAndisol
Konsep tentang proses pembentukan tanah mencakup kumpulan berbagai proses
fisik, kimia dan biologi beserta semua faktor pendukung perkembangan t a m . Setiap
proses bersifat dinamis dan irreversible, dan selalu dalam keadaan kesetimbangan.
Pada dasamya terdapat dua tahap yang saling tumpang tindih dalarn proses pembentukan tanah, yaitu akumulasi bahan induk dan diferensiasi horison (Simonson, 1959;
Bunting, 1973). Tahap pertama terutarna dikendalikan oleh pelapukan fisik yang kuat
dengan pelapukan biokiiia yang lemah. Sedangkan tahap kedua diawali dengan proses
pelapukan b i o k i i a yang h a t . Proses diferensiasi horison meliputi proses pergerakan
bahan serta transfer bahan dan energi. Proses pelapukan biokiia itu nampaknya terus
berperan aktif sepanjang proses diferensiasi horison.
Pada dasarnya proses pembentukan tanah meiiputi empat kelompok, yaitu : (1)
penambahan bahan organik dan mineral ke dalam tanah baik dalam bentuk padat, cair
maupun gas, (2) kehilangan benda-benda tersebut dari tanah, (3) pemindahan bahanbahan tanah dari satu lapisan ke lapisan lain, dan (4) perubahan bentuk bahan-bahan
mineral atau bahan organik di dalam tanah (Hardjowigeno, 1993). Proses pembentukan
tanah tertentu dapat melibatkan lebih dari satu kelompok proses di atas, misalnya
melanisasi pa& Andisol melibatkan penambahan bahan organik dan pemindahan fraksi
humus ke lapisan tanah yang lebih bawah.
Proses pembentukan tanah yang utama pada Andisol adalah proses pelapukan
dan transformasi (perubahan bentuk). Proses pemindahan bahan (translokasi) dan
penimbunan bahan-bahan tersebut di dalam solum sangat sedikit. Akumula8i bahan
organik dan terjadinya kompleks bahan organik dengan Al merupakan sifat kha~pada
beberapa Andisol (Hardjowigeno, 1993). Pelapukan mineral alumino silikat primer
telah berlanjut hanya sampai pada pembentukan mineral short range order atau ordo
kisaran pendek seperti alofan, imogolit, dan ferihidrit. Tingkat pelapukan seperti ini
sering dikatakan sebagai tingkat peralihan antara tanah volkanik yang belum dilapuk
dengan tanah volkanik yang lebih melapuk. Walaupun demikian pada keadaan lingkungan tertentu mineral-mineral short range order cukup stabil sehingga tidak atau lambat
sekali berubah menjadi mineral lain.
Pembentukan tanah Andisol terutama ditentukan oleh sifat bahan inliuknya dan
berjalan sangat cepat akibat tingginya luas permukaan abu volkan bahan induknya
(FitzPatrick, 1980). Di daerah humid, pelapukan abu volkan berlangsung cepat, alofan
yang merupakan produk kopresipitasi A1 oksida dan Fe oksida, terbentuk di horison B,
atau dalam horison A tertimbun dimana senyawa Al-humus sedikit dijumpai dibandingkan horison permukaan (Wada dan Higashi, 1976; Wada, 1977; Mizota, 1978).
Ketika proses pelapukan dan perkembangan berlangsung, silika bebas ditambahkan
kepada alofan, membentuk haloisit, atau mungkin mineral liat kristalin laimya (Wada,
1977). Atau apabila lingkungan mendukung kehilangan Si, maka dapat terbentuk gibsit
dari mineral silikat. Imogolit adalah suatu mineral parakristalin, mengandung sedikit
SiO, dibandingkan alofan. Wada dan Hardward (1974) menduga bahwa imogolit
merupakan fase peralihan dalam desilikasi alofan menjadilmembentuk gibsit pada
lingkungan pencucian yang h a t .
A1 yang dilepas dari abu volkan ditahan oleh humus pada horison permukaan
dimana residu bahan organik melimpah (Wada dan Higashi, 1976). Pada Andisol
ketersediaan bahan humat merupakan pembatas laju pembentukan kompleks. Dengan
menekan aktifitas Al, maka humus dapat membentuk SiO, opalin dan menghambat
pembentukan mineral aluminium silikat amorf seperti alofan (Takashiki dan Wada,
n
1975).
Wada dan Aomine (1973) mengemukakan bahwa AndisoI dapat meecapai
kematangan (maturity) dalam waktu 5 000 tahun, sedangkan Yamada (1977 dalam Tan,
1984) melaporkan bahwa tanah ini dapat berkembang antara 500 sampai 1 500 tahun,
tergantung faktor-faktor pembentuk tanahnya seperti tipe abu volkan.
FitzPatrick (1980) mengemukakan bahwa proses utama pembentukan Andisol
adalah hidrolisis dan humifikasi. Hidrolisis akan melapuk abu volkan menjadi palagonit
yaitu berupa suatu senyawa aluminium-silikat yang mengandung Ca, Mg, dan K.
Senyawa ini kemudian akan berubah dengan cepat menjadi alofan. Hidrolisis merupakan proses penyerangan kii-kisi kristal oleh ion hidrogen. Hasilnya b e ~ @
penggantian kation oleh hidrogen yang berakibat hancurnya struktur kristal. Hidrolisis ini akan
membebaskan basa-basa dan terbentuknya asam silikat, silikat dan aluminium bebas.
Di alam, asam silikat ini berumur pendek dan selalu terdekomposisi. Silika dan aluminium hasil dekomposisi (pelapukan secara kimia) akan bersintesis dengan oksigen dan
hidroksil membentuk mineral sekunder, seperti alofan amorf dan haloisit kristalin
(Buol, Hole dan McCracken, 1980). Humifikasi merupakan proses perubahan bahan
organik kasar menjadi humus. Alofan yang merupakan produk utama pelapukan abu
volkan bergabung dengan humus membentuk bahan yang berwarna kelam dan tahan
terhadap pelapukan.
Duchaufour (1982) mengemukakan bahwa bahan organik memegang peranan
utama dalam pedogenesis Andisol, yakni bertanggung jawab terhadap proses pelapukan
melalui proses acidolysis ataupun complexolysis. Acidolysis adalah pelapukan yang
menyebabkan terkumpulnya asam-asam organik mudah larut yang berasal dari bahan
organik kasar. Sedangkan complexolysis adalah pembentukan senyawa kompleks antara
senyawa-senyawa organik terlarut (asam oksalat, asam sitrat dan senyawa-senyawa
fenol) dengan besi dan aluminium. Dalam proses ini, tidak hanya ion H+ yang terlibat,
tetapi juga kemampuan senyawa-senyawa organik tersebut membentuk kompleks sehingga menjadi aktif terhadap mineraI-mineral primer dan mineral liat. Senyawa ini
dapat mengekstrak dan memobilisir atom A1 dan Fe dari sturktur lembar kristalin
melalui pembentukan kompIeks. Senyawa kompleks tersebut, tidak mudah bergerak,
akibat polikondensasi dengan bahan organik atau mineral amorf.
Tuf volkan terdiri dari fragrnen-fragrnen batuan, butir-butir mineral tunggal dan
geIas volkan. Gelas volkan merupakan bahan terpenting dari ketiga komponen tersebut
(Pettijohn, 1957 daiam Mohr, Van Baren clan Van Schuylenborgh, 1972). Selanjutnya
Mohr et a1 (1972), mengemukakan bahwa proses pelapukan dan pembentukan tanah
Andisol berkaitan erat dengan pelapukan gelas volkan. Proses pelapukan abu volkan
dimulai dengan tercucinya senyawa-senyawa terlarut, seperti H,SiO,, Ca2+. Mg2+,
Na+, K+,dan sebagainya, oleh air hujan. Asam karbonat mempercepat dekornposisi
abu volkan. Seslcuioksida terakumulasi secara residual, sedangkan aluminium dan asam
silikat membentuk mineral sekunder. Komposisi abu volkan dan kondisi pencucian
menentukan tipe mineral sekunder yang terbentuk. Umumnya, nisbah Si021A120,yang
kecil merupakan ciri tanah-tanah volkan. Apabila alofan mendominasi fraksi Iiat,
nisbahnya antara satu sampai dua. Dengan meningkatnya umur, alofan mengalami
transformasi menjadi kandit dan nisbahnya menjadi dua. Apabila drainase buruk dan
bahan induknya mengandung mineral-mineral feromagnesium yang nyata, maka dapat
terbentuk srnektit dan nisbahnya menjadi tiga atau lebih. Kadang-kadang, pada abu
volkan basalt dan interrnedier di bawah drainase yang baik, nisbah Si021A120, lebih
kecil dari satu, akibat adanya aluminium hidroksida bebas.
Mohr dan Van Baren (1960) membagi pelapukan atau transformasi bahan induk
tanah menjadi lima kelompok, yaitu : (1) initial stage, (2) juvenil stage, (3) viril stage,
( 4 ) senile stage, dan (5)final stage. Initial stage adalah tahap dimana bahan induk
masih belum terlapuk. Juvenile stage adalah tahap yang ditandai adanya tahap awal
pelapukan, tetapi masih dominan bahan induk yang belum terlapuk. Virile stage ditandai dengan dominasi mineral mudah lapuk, kandungan liat mulai didapatkan dan juga
kadang-kadang didapatkan komponen yang kurang mudah dilapuk. Senile stage ditandai dengan dekomposisi yang mendekatifinal stage dan hanya mineral yang resisten
yang mampu bertahan. Final stage ditandai oleh perkembangan tanah yang fengkap.
Sedangkan Tavernier dan Eswaran (1972) mengemukakan urutan tingkat pelapukan
sebagai berikut : (1) entic stage, (2) cambic stage, (3) argillic stage, dan (4) oxic
stage. Tahap entik merupakan tahap awaI yang ditandai oleh fragmen batuan, fraksi
koloid antara mineral amorf dan kristalin. Pada bahan induk basalt, haloisit dapat
membentuk lebih dari 75 persen dari mineral liat kristalin. Bahan volkan yang mempunyai potensial pelapukan yang tinggi seperti gelas vokanik masih mendominasi fraksi
koloid alumino-silikat amorf. Pada tahap kambik dengan bahan induk volkan, alofan
masih merupakan mineral utama pada fraksi koloid, meskipun menunjukkan tingkat
desilikasi, haloisit, imogolit dan kadang-kadang dijumpai gibsit dalam jdmlah yang
sangat kecil. Alofan seperti juga montmorilonit akan tetap bertahan apabila dalam
keadaan lembab terus menerus. Tahap argilik ditunjukkan oleh dominasi fraksi liat
kristalin kaolinit. Kesetimbangan sudah dijumpai antara bentuk-bentuk liat dengan
proses alterasi yang berlangsung. Kandungan besi bebas mulai tinggi dan mengkristal
sebagai goetit, sisanya dalam bentuk amorf. Silika sebagian dicuci dan sebagian lagi
mengkristal sebagai kuarsa. Pelapukan tahap oksik meliputi tahap haplik yang ditandai
adanya mineral-mineral alumino-silikat dalam jumlah yang kecil, biasanya terjadi
penurunan kandungan mineral liat alumino-silikat tipe 2 : 1 dan tahap akrik yang ditandai oleh dominasi liat hidroksida yang mempunyai muatan netto positif dan pH-KC1
lebih besar dari pH-H,O, besi bebas mencapai maksimum dan mengkristal sebagai
goetit.
Ritonga (1983) berdasarkan hasil penelitiannya pada Andisol SukamantriKabupaten Bogor mengemukakan bahwa tingkat pelapukan yang dijumpai pada tanah
ini adalah tahap kambik. Proses-proses pedogenesis yang ditemui pada pedon-pedon di
suatu transek lereng adalah erosi, alterasi, pencucian, braunifikasi, deposisi dan liksiviasi. Andisol di Cisaruni Kabupaten Garut memiliki tingkat perkembangan tahap
kambik atau tahap viril dan proses-proses pedogenesis pada pedon-pedon di suatu transek lereng tidak menunjukkan hubungan erat dengan satuan lereng. P e r b e d a a ~ y a
hanya pada tingkat keintesifan proses tersebut berlangsung. Proses-proses
terjadi
adalah pencucian, alterasi dan melanisasi (Hadi, 1988).
Suryanto (1987) melaporkan bahwa proses pedogenesis yang dominan pada
suatu transek lereng pada Andisol di daerah Cibuni-Ciwidey Kabupaten Bandung adalah
pencucian dan secara umum tejadi proses eluviasi dan iluviasi liat, liksiviasi dan desilikasi berlangsung lemah. Andisol ini berkembang dari bahan induk basalto-andesit.
Sedangkan Barata (1987) mengemukakan bahwa tingkat pelapukan Andisol di daerah
perkebunan teh Patuhawati-Pasirjambu Ciwidey Kabupaten Bandung adalah tahap
kambik. Tanah ini berkembang dari lahar dan lava Gunung Patuha. Proses pedogene-
sis tanah dipengaruhi oleh keadaan lereng dan vegetasinya. Diferensiasi horison
kambik pada lereng puncak berbeda nyata secara morfologik, kmia, mineral dan fisika
dengan lereng tengah dan bawah. Faktor vegetasi berperan dalam perkernbangan
epipedon. Semakin rapat vegetasi menyebabkan terbentuknya epipedon yang semakin
tebal.
Sifat Mineral Andisol
Mineral Andisol meliputi dua aspek penting, yaitu mineral fraksi pasir dan
mineral fraksi liat. Kebanyakan pustaka berisi keterangan mengenai mineral liat,
sedangkan mineral fraksi pasir tidak banyak dikemukakan, padahal mineral fraksi pasir
penting bagi penentuan asal dari Andisol (Tan, 1984).
Abu yang dikeluarkan oleh berbagai gunungapi, atau oleh gunungapi yang sama
tetapi pada waktu berlainan, akan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam komposisi
mineralnya dan berakibat komposisi kimianya berbeda. Perbedaan dalam komposisi
kimia akan membentuk tanah-tanah Andisol dengan sifat kimia dan status kesuburan
yang berbeda.
Tipe dari abu volkan juga akan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam
komposisi mineral. Abu volkan masam, abu volkan riolit dan dasit sebagai contoh,
mengandung mineral-mineral utama seperti gelas volkan, feldspar, hornblende, piroksin, kuarsa dan biotit. Abu volkan intermedier, abu volkan andesit dicirikan ofkh sedikitnya kandungan gelas volkan, sedikit atau tanpa kuarsa, sedikit hornblende, ~edikit
atau tanpa biotit (Mohr clan Van Baren, 1960; Tan dan Van Schuylenborgh, 1961; Birrel, 1964). Menurut Shoji (1986) bahan volkan basa banyak mengandung gelas volkan
berwarna, plagioklas, piroksin, opak dan olivin.
Berdasarkan asosiasi mineral fraksi berat, Baak (1948 dalam Hardjowigeno,
1986) membagi asosiasi mineral beberapa gununapi di Indonesia sebagai berilcut :
1. Asosiasi augit (augit
> 70%, hiperstin < 20%)
2. Asosiasi augit - hiperstin (augit
> 50%, hiperstin > 30%)
3. Asosiasi hiperstin - augit (augit f 40%, hiperstin > 50%)
4. Asosiasi olivin (olivin
> 20%)
5. Asosiasi hornblende (hornblende hijau
> 60%)
Mineral liat Andisol merupakan topik beberapa penelitian. Kebanyakan para
ahli percaya bahwa alofan merupakan mineral utama dalam fraksi liat Andisol. Gelas
volkan umumnya dianggap sebagai sumber utama bagi pembentukan alofan, meskipun
mineral-mineral primer laimya juga diduga membentuk alofan (Birell, 1964). Menurut
Fieldes (1962). alofan berbeda dengan mineral liat laimya karena kandungan aluminium yang diikat dalam struktur koordinat tetrahedral. Hal ini diduga menjadi penyebab
utama dari beberapa sifat aktifitas kimia Andisol yang unik, misalnya penahanan air,
fiksasi fosfat dan pembentukan koloid mineral-organik yang stabil. Selain alofan,
imogolit juga telah diketahui sebagai mineral yang penting pada Andisol, meskipun
tampaknya imogolit hanya dijumpai pada beberapa tipe tertentu dari Andisol (Tan.
Alofan diklasifikasikan sebagai suatu mineral alumino-silikat non kristalin
dengan nisbah molar SiO,IAI,O, berkisar dari 1 sampai 2 (Yoshinaga, 1966; Henmi
dan Wada, 1976). Akan tetapi penelitian terakhir dengan mikroskop elektron beresolusi tinggi menunjukkan bahwa alofan berbentuk sebagai lingkaran (bola) berlubang
yang berdiameter 35 - 50 A (3.5 - 5.0 MI) (Kitagawa, 1971 &lam Tan, 1964; Wada,
1989). Menumt Fieldes (1955) dan Fieldes dan Furkert (1966) tiga tipe a l ~ & ndapat
dibedakan, yaitu : alofan B, AB, dan A. Alofan B merupakan yang pertama terbentuk
dari pelapukan mineral-mineral dalam abu volkan, dan dalam pelapukan selanjutnya
mineral ini dapat ditransformasikan menjadi tipe alofan lain dan bahkan menjadi haloisit. Sekuen pelapukannya adalah sebagai berikut :
Alofan B ->
alofan AB
-> alofan A -> metahloisit
Banyak ilmuwan Jepang meragukan adanya alofan B ini (Wada dan Aomine,
1973; Miyauchi dan Aomine, 1964). Mereka mengemukakan bahwa mineral yang
disebut alofan B mempunyai kurva DTA dan Infrared yang menyempai
kristobalit,
kuarsa dan feldspar. Sedangkan Shoji dan Maoni (1969 &lam Tan 1984) menyebutnya
sebagai silika opalin.
Imogolit merupakan mineral liat utama kedua Andisol yang dirnasukan ke dalam
kelornpok mineral liat ordo kisaran pendek, meskipun analisis difraksi sinar X dan
elektron mikroskop membuktikan bahwa mineral ini menunjukkan sifat-sifat kristalin
(Tan, 1984). Imogolit pertama-tama dikemukakan oleh Yoshinaga dan Aomine (1962)
dalam tanah yang berasal dari abu volkan yang mengandung gelas yang dikenal sebagai
imogo. Mineral ini berbentuk melingkar dengan komposisi kimia SiO,.A1,0,.2.5 H,O.
Lingkaran tersebut terdiri dari sekumpulan tabung-tabung yang berdiameter dalam 10
nm dan berdiameter luar 20 nm. Imogolit disebut sebagai mineral parakristalin karena
susunan atom dalam tabung tersusun secara teratur, tetapi satuan-satuan tabung-tabung
tersebut membentuk lingkaran kadang-kadang secara acak. Imogolit pada umumnya
dijumpai berasosiasi dengan alofan dan memiliki sifat-sifat kimia yang serupa dengan
aIofan (Wada, 1989).
Tan (1984) mengemukakan bahwa imogolit merupakan fase intermedier dari
sekuen pelapukan alofan menjadi lapisan silikat kristalii. Dalam kaitan itu, Wada dan
Aomine (1973) membuat hipotesis sebagai berikut :
,I
Alof an
gibsit
ii
haloisit
&
I
imogolit
P
Hipotesis tersebut merupakan reaksi-reaksi yang paling dapat diterima atas dasar
kenyataan bahwa proses desilikasi biasanya tejadi pada Andisol (Tan, 1984).
Mineral-mineral liat ordo kisaran pendek lainnya, seperti silika arnorf juga telah
terdeteksi pada Andisol (Tan, 1984). Shoji dan Masui (1969a) telah dapat membedakan tiga macam silika arnorf, yaitu plant opal, silika opalin dan agregat amorf silika.
Dari ketiga macam tersebut, silika opalin merupakan mineral ordo kisaran pendek yang
dominan.
Selain mineral ordo kisaran pendek, akhir-akhir ini juga dijumpai liat silika
kristalin pada Andisol, seperti haloisit dan kaolinit. Montmorilonit dan mineral 14 A
juga ditemukan pada Andisol. Mineral-mineral kristalin terutarna dijumpai pada Andisol yang berumur bahan induk tua.
Wada dan Aomine (1973) melaporkan bahwa alofan dan imogolit pada lingkungan pencucian terbuka di bawah iklim lembab dan panas memiliki umur yang relatif
pendek. Banyak ilmuwan Jepang berpendapat bahwa proses kristalisasi partikel alofan
yang globular tumbuh menjadi massa rnenyerupai bawang yang pada akhirnya berubah
menjadi partikel haloisit yang memanjang. Hipotesis tersebut bertentangan dengan
kebanyakan ahli tanah dari Amerika yang menganggap bahwa kaolinit akan didekornposisi menjadi alofan (Jackson dan Sherman, 1953).
Wada (1989), mengemukakan sekuen pembentukan dan transfonnasi abu volkan
selama proses pelapukan di daerah iklim sedang - lembab seperti yang disajikan pada
Gambar 1 b e r h t ini.
Sekuen
NO.
+
O.S.
1.
Al, Fe-humus
- Al, Fe-humus
2.
-A,
Im-humus
-A,
I
Fe-ox
Im-humus
. Ht
Fe-ox
- Al,
n
Fe-humus
-
,
Waktu
Gambar 1. Pembentukkan dan Transformasi Mineral Liat dan Kompleks
Humus pada Tanah Abu Volkan di Daerah Iklim Sedang,
Lembab. A = alofan; Fe-ox = besi oksida; Gb = gibsit;
Ht = haloisit; Im = imogolit; O.S. = silika opalin; 2 : 1
= mineral liat berlapisan tipe 2 : 1; 2 : 1-ch = chlorit '
Sekuen satu dan dua dijumpai pada horison A1 dimana akumulasi humus berlangsung aktif, dan pada horison A1 dan horison A1 yang tertimbun dimana akumulasi
humus tidak atau kurang aktif. Sekuen tiga dan empat dijumpai pada horison B atau
pada horison-horison lainnya.
Pada horison A1 yakni horison dengan aktifitas akumulasi humus yang tinggi,
sedikit atau tidak dijumpai kandungan alofan dan imogolit dan banyaknya kandungan
silika opalin menunjukkan bahwa pembentukan kompleks Al-humus mengakibatkan (1)
penghambatan pembentukan alofan dan imogolit melalui kompetisi dari A1 yang dilepaskan melalui pelapukan abu volkan, dan (2) mendukung pembentukan silika opalin.
Shoji et a1 (1982) dan Shoji dan Fujiwara (1984) yang dikutip oleh Wada (1989)
menekankan pentingnya pH (H,O) dalam pembentukan alofan dan imogolit. pH (H,O)
sendiri dipengamhi oleh curah hujan tahunan dan vegetasi. Mereka mengemukakan
bahwa pembentukan alofan dan imogolit berlangsung baik pada horison dengan pH
(H,O)
> 5.0.
Hampir semua tipe abu volkan (basalt, andesit, dasit atau riolit) meng-
hasilkan alofan dalam proses pelapukannya (Wada dan Howard, 1974 dalam Wada,
1989).
Berdasarkan hasil penelitiamya pada tanah-tanah Andisol di Indonesia (Sumatera Utara dan Jawa Barat), Sjarif (1990) rnengemukakan bahwa komposisi miheral liat
Andisol terutama didominasi oleh alofan dan imogolit, beberapa tanah mengandung
alofan dengan haloisit, gibsit dan kristobalit dalam jumlah yang kecil, dan hanya beberapa tanah Andisol yang mengandung kuarsa dalam jumlah yang sedikit sekali.
Andisol yang banyak mengandung haloisit umumnya berkembang pada curah hujan
yang relatif rendah dan pada bahan induk yang masam, sedangkan tanah yang berkembdng pada curah hujan yang lebih tinggi dan berasal dari bahan induk basa banyak
mengandung alofan dan imogolit. Kandungan alofan &an imogolit dalam tanah cenderung meningkat dengan kedalaman tanah. Pembentukan berbagai tipe mineral Iiat
pada Andisol tergantung kandungan Si dalam larutan tanah. Kandungad Si sendiri
dalam larutan tanah tergantung kepada komposisi mineral bahan induk yang mempengaruhi kandungan Si dan basa-basa serta kepada tingkat pencucian yang ditentukan oleh
curah hujan tahunan.
Parfitt, Russell dan Orbell (1983). berdasarkan hasil penelitiamya pada tanah
abu volkan di New Zealand, mengemukakan bahwa kandungan alofan dalam tanah
meningkat dengan meningkatnya curah hujan, sedangkan haloisit terbentuk pada tanah
yang lebih tua, biasanya pada horison tertimbun. Transformasi alofan menjadi haloisit
diperkirakan terjadi apabila alofan bereaksi dengan larutan yang kaya unsur Si (resilikasi)
pada kondisi pencucian yang lemah (Wada, 1989). Namun demikian, bukti-bukti baru
menunjukkan bahwa abu volkan atau beberapa komponen dari abu volkan (gelas volkan
dan plagioklas) dapat melapuk langsung menjadi haloisit (Eswaran, 1972).
Parfitt (1986) mendefinisikan alofan sebagai suatu nama kelompok (group name)
untuk mineral-mineral liat dengan ordo kisaran pendek (shorl range order) atau X-ray
amorphous clay minerals (Ross dan Ken; 1934 dalam Parfitt, 1986) yang terdiri dari
silika, aluminium dan air dalam suatu kombinasi kimia. Karena alofan adalah suatu
nama kelompok mineral, maka berbagai contoh alofan dapat memiliki kombinasi kiiia
yang berbeda dan nisbah AIISi dapat berkisar dari 0.7 sampai 4.0 (Farmer, 1985 dalam
Pafitt, 1986).
Alofan dengan nisbah AI/Si mendekati dua dinamakan proto-irnogolfr alofan
(PMitt dan Henry, 1980 dalam Parfi=,
1986). Awalan proto digunakan sepetti halnya
dalam istilah biologi, artinya memiliki kecenderungan ke arah. Imogolite-like allophane
merupakan nama lain untuk bahan yang sama, yakni memiliki kesamaan seperti imogolit.
Besi selalu dijumpai dalam contoh tanah alofanik dan dapat dijumpai dalam
beberapa bentuk besi oksida. Ferihidrit, sering dijumpai berasosiasi dengan alofan dan
bentuk tersebut merupakan yang paling umum dalam contoh tanah alofanik.
I d e n t i f h i alofan di lapangan bisa dirasakan dari sifat menyernir apabila ditekan di
antara jari-jari pada contoh lembab. Dengan cara ini contoh tanah dengad kandungan
alofan sebesar 2 persen dapat diidentifikasi.
Reaksi fluorida (NaF) juga dapat digunakan untuk menduga kandungan alofan.
Tapi cara ini kurang teliti karena kompleks Al-humus juga memberikan reaksi yang
positif terhadap fluorida. Alofan biasanya dapat teridentifikasi melalui pelarutan kimia
(chemical dissolution) dengan amonium oksalat, dan dengan reagen tersebut memberikan petunjuk yang baik adanya alofan (Parfitt dan Wilson, 1985).
Alofan pada contoh alami sulit diidentifikasikan baik oleh difraksi sinar -X
maupun oleh analisis termal, karena alofan mempunyai puncak-puncak sinar-X yang
lemah dan adanya bahan-bahan lain yang mempunyai pola termogram yang serupa.
Reagen oksalat masam telah ditemukan berguna terutama untuk menduga kandungan
alofan (Parfitt dan Wilson, 1985). Reagen tersebut agak spesifik dalam melarutkan
atofan dan apabila digunakan pada fraksi liat, hasil estimasi kuantitatifnya cocok dengan
yang diperoleh melalui infrared spectroscopy. Reagen oksalat masam juga melarutkan
imogolit, kompleks Al-humus, dan ferihidrit serta dapat juga merusak gibsit, maghemit
dan magnetit (Parfin dan Childs, 1987). Di New Zealand, reagen tersebut telah digu-
nakan dalam analisis rutin untuk menduga alofan dan imogolit pada kebanyakan tanah.
Fieldes dan Perron (1966) menyarankan untuk menggunakan uji NaF bagi identifikasi alofan dalam tanah. Uji ini telah digunakan dalam Taksonomi Tanah (USDA,
1975) untuk identifikasi mineral-mineral ordo kisaran pendek.
ele em ah an-gelemahan
dari uji NaF ini seringkali dilaporkan dalam berbagai publikasi, dimana tanabyang
tidak mengandung alofan juga memberikan reaksi positif terhadap NaF (Mizota dan
Wada, 1980). Menurut Wada (1980), uji NaF tidak spesifik untuk alofan dan imogolit,
tetapi dapat digunakan untuk mengetahui adanya gugus A1-OH aktif dalam tanah.
Perrott, Smith dan Michell(1976 dalam Shoji dan Ono, 1978) melaporkan
bahwa pelepasan ion-ion OH dari gel oksida besi (pada pH 9) dan silikat @ada pH 7.6)
akibat perlakuan dengan larutan NaF adalah sangat kecil. Di sisi lain, pelepasan ion
hidroksil dari gel aluminium dan aluminium-silikat amorf adalah tinggi. Oleh karenanya apabila tanah tidak mengandung alofan , tetapi mengandung sejumlah'aluminiurn
yang larut dalarn dithionit-sitrat, maka tanah akan memperlihatkan nilai pH (NaF) yang
tinggi.
Sifat Fisika Andisol
Andisol memiliki sifat-sifat fisika yang khas dan diasumsikan bahwa sifat-sifat
tersebut berkaitan erat dengan tingginya kandungan alofan. Alofan tersusun dari
bulatan-bulatan yang berlubang (hollow spherules) yang berdiameter 35 - 50 A. Mineral ini memiliki banyak lubang-lubang yang memungkinkan keluar masuknya molekulmolekul air (Maeda dan Soma, 1986).
Andisol tidak saja memiliki sifat kandungan bahan organik yang tinggi, bobot isi
rendah, daya menahan air tinggi, total porositas tinggi, tetapi juga tanah ini bersifat
gembur konsistensinya, kurang plastis dan tidak lengket (Tan, 1984). Bila basah tanah
ini bersifat berminyak (greasy) dan menyemir (smeary). Umumnya mengeluarkan air
apabila dipilin di antara jari-jari tangan. Sifat fisika Andisol berubah dengan adanya
pembahan kandungan airnya. Bila kering, tanah biasanya menjadi berbutir sangat halus
dan nampak seperti debu. Tanah tersebut kemudian sulit untuk menyerap air kembali
clan akan menghasilkan gumpalan-gumpalan hitarn. Hal ini merupakan alasan mengapa
ahli-ahli Belanda menyebutnya sebagai tanah debu hitam (black dust soils) (Druif, 1939
I
ahlam Tan, 1984).
Gejala apabila kering bersifat tak balik (irreversible) menimbulkan masalah
dalam analisis ukuran partikel. Tanah biasanya sulit didispersi. Menumt Birrel (1964)
mungkin akibat dari adanya ( 1 ) liat silikat arnorf yang memiliki nilai ZPC lebih besar
dari pada mineral-mineral kristalin biasa (2) adanya oksida-oksida terhidrat yang
menyebabkan presipitasi kembali (co-precipitation).
Sifat fisika Andisol yang khas telah digunakan sebagai kriteria dalam Taksonomi
Tanah (1975 dan 1992) yaitu sebagai penciri sifat andik bempa bobot isi fraksi
<2
mm yang diukur pada tegangan air 33 kPa adalah sarna atau lebih kecil dari 0.90 glcm3.
Kemudian di dalam menentukan suborder Vitrands digunakan kriteria kadar air pada
tegangan 1 500 kPa, yakni
< 15 persen pada contoh kering udara dan < 30 persen
pada contoh yang tidak dikeringkan.
Sifat-sifat fisika tanah Andisol menumt Maeda, Takenaka dan Warkentin (1977)
dapat dikemukakan sebagai berikut : memiliki bobot isi yang rendah, kandungan air
pada 15 bar yang tinggi, dan kandungan air tinggi, ketersediaan air bagi tanaman
sedang sampai rendah, memiliki batas mencair yang tinggi dan indeks plastisitas yang
rendah, tanah ini sulit didispersi serta terjadi pembahan-perubahan yang irreversible
pada semua sifat-sifat tersebut apabila tanah dikeringkan. Tan (1984) mengemukakan
bahwa sifat fisika penting lainnya dari Andisol adalah struktur tanahnya. Struktur
tanahnya terdiri dari makrostruktur dan mikrostruktur. Dalam kaitan dengan makrostruktur, horison A umumnya dicirikan oleh struktur granular yang khas, yang
terbentuk oleh proses yang disebut mountain granulation. Struktur ini berlainan dengan
stmktur granular tanah-tanah laimya karena satuan-satuan stmkturnya Sangat resisten
terhadap daya tumbuk air hujan. Karena ketahanamya ini dan terasa seperti pasir pada
m u s h kering, maka unit-unit struktur tersebut disebut pseudo-sand (pasir semu).
Uraian sifat-sifat fisika dari tanah Andisol yang cukup menarik untuk dikemukakan adalah seperti yang dilaporkan oleh Swindale (1964 dalam Maeda, Takenaka dan
Warkentin, 1977). Swidale (1964) menguraikan keadaan-keadaan sebagai berikut :
profil tanah dalam, biasanya dengan stratifikasi penimbunan yang jelas, biasanya
gembur di bagian atas, lapisan atas (topsoil) tebalnya sekitar satu meter, berwarna
coklat tua sampai hitam, mengandung senyawa-senyawa humik yang tahan terhadap
penguraian mikrobia, lapisan bawah (subsoil) berwarna coklat kemerahan sampai coklat
kekuningan yang terasa menyemir apabila basah, bersifat porous dengan bobot isi yang
rendah dan kapasitas menahan air yang tinggi, agregasi struktur agak lemah dengan
Wpalan-gumpalan (ped) porous yang mudah hancur, sed'it kutan, dan tidak memperlihatkan diferensiasi horisontal pada lapisan bawahnya, kecuali apabila ada duripan,
memilii konsistensi menyemir yang nyata terutama di daerah yang beriklim humid atau
perhumid. Tanah yang terbentuk di daerah beriklim perhumid menjadi kering irreversible apabila mengering pada tepian-tepian jalan atau tebing. Sifat irreversible apabila
kering merupakan kriteria klasifikasi yang berguna, meskipun di lapangan tidak pernah
cukup kering untuk memperlihatkan sifat-sifat tersebut.
Selanjutnya dikemukakan oleh Maeda et al (1977) bahwa tanah Andisol memiliki struktur permukaan tanah yang remah dan S t ~ k t u masiv
r
di lapisan bawah akan
tetapi memiliki permeabilitas yang relatif tinggi. Struktur remah di lapisan atas sebagian disebabkan oleh pengaruh pengeringan. Seringkali tanah Andisol memiliki beberapa lapisan dengan sifat-sifat fisik yang berlainan sehingga mempengamhi pergerakan
air serta ketersediaan air bagi tanaman.
Hasil penelitian Sjarif (1990) pada tanah-tanah Andisol di Medan - Sumatera
Utara; Cianten, Sukabumi. Lembang, Ciapus dan Pangalengan - Jawa Barat menunjukkan bahwa tanah-tanah Andisol di Indonesia memiliki sifat-sifat fisika yang serupa
dengan tanah-tanah Andisol dari berbagai negara lain. Bobot isi, retensi air dan distri-
busi ukuran partikel berkaitan erat dengan komposisi mineral liat, sehingga secara tidak
langsung berkaitan dengan bahan induk dan iklim. Nilai bobot isi yang rendah (0.3 0.8 glcm3) terutama akibat tingginya kandungan alofan dan imogolit. Bobot isi cenderung rendah pada tanah yang merniliki kondisi pencucian yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hubungan negatif antara bobot isi dengan kandungan kalsium dapat ditukar.
Retensi air pada berbagai tegangan lebih tinggi pada tanah-tanah Andisol yang hemiliki
kandungan alofan clan imogolit yang semakin tinggi. Distribusi ukuran partikel berkaitan erat dengan bahan induk, tanah yang berasal dari.bahan induk basalt cenderung
rnemiliki kandungan liat yang tinggi. Kandungan air pada tegangan 113 dan 15 bar
(lembab lapang) masing-masing berkisar antara 25 - 418 persen dan 16 - 171 persen.
Kandungan air pada sernua tegangan menurun drastis apabila contoh tanah dikeringkan
teflebih dahulu. Kandungan air meningkat dengan semakin meningkatnya kandungan
alofan dan imogolit serta kandungan liatnya, kemudian semakin rendah pada tanahtanah yang memiliki nilai bobot isi dan basa-basa dapat ditukar yang semakin rneningkat.
Sifat Kimia Andisol
Andisol merupakan tanah yang sangat penting tapi juga merupakan tanah-tanah
problematik dalam bidang pertanian dan kehutanan akibat rendahnya produktivitas
tanaman yang disebabkan oleh sifat-sifat kimianya yang khas seperti retensi P yang
tinggi dan tingginya pencucian unsur-unsur basa dari tanah serta sifat-sifat fisiknya yang
khas (Inoue, 1986). Andisol biasanya dicirikan oleh tekstur lempung berpasir sampai
lempung dan memiliki reaksi tanah masam sampai agak masarn (Tan, 1984). Tingkat
pH yang rendah kemungkinkan besar akibat fraksi bahan organik karena alofan di alam
umurnnya dianggap bereaksi sedikit agak masarn. Persentase kejenuhan basa (KB)
biasanya kurang dari 50 persen dan telah diketahui di New Zealand bahwa apabila nilai
KB sangat rendah, pH tanah tetap tinggi (Birrell. 1964).
Salah satu alasan penting bagi reaksi-reaksi kirnia pada Andisol adalah akibat
adanya muatan tidak tetap (variable charge), rnuatan ini diketahui terutama berasal dari
fraksi liatnya. Muatan negatif pada Andisol akan berubah dengan berubahnya pH,
kekuatan ion dan komposisi larutan tanah. Tergantung pada pH-nya, muatan dapat
berubah dari negatif menjadi positif melalui rnuatan no]. Jumlah dan tanda rnuatan akan
rnengendalikan banyak reaksi-reaksi pada Andisol. Adanya muatan negatif gengakibatkan reaksi-reaksi pertukaran kation, sedangkan muatan positif merupakan akibat
adanya kapasitas pertukaran anion dalam tanah. Selanjutnya Tan (1984) yang mengutip
dari hasil beberapa penelitian mengemukakan bahwa retensi P pada Andisol berkisar
antara 400 - 2 500 rng P,0,1100 g. Sjarif (1990) mengemukakan bahwa tanah-tanah
Andisol di Indonesia memiliki kapasitas pengikatan P yang tinggi, yakni maksirnum
fiKsasi P berkisar antara 0.17 sampai 9.97 mglg dengan nilai rerata 4.51 mglg. Faktorfaktor yang mempengaruhi kapasitas fiksasi P ini adalah kandungan alofan dan imogolit, pengeringan tanah, pH tanah, aluminium dapat ditukar dan bahan organik.
Mc. Laughlin et a1 (1981). yang dikutip oleh Sjarif (1990) melaporkan bahwa alofan
memiliki kapasitas sorpsi P hampir 100 kali dari gibsit. Alofan dan imogolit pada
lapisan permukaan lebih kecil dari lapisan bawah dengan demikian sorpsi P akan lebih
rendah di lapisan permukaan. Kapasitas sorpsi P pada Andisol adalah rendah pada nilai
pH yang tinggi, oleh karenanya sorpsi P dapat ditekan melalui pengapuran. Adanya
mineral alofan dianggap penting kontribusinya terhadap tingginya nilai pertukaran anion
pada Andisol. Wada (1980 dalam Tan 1984) melaporkan bahwa kapasitas tukar anion
(KTA) pada Andisol akan bernilai tinggi (rnendekati nilai KTK) hanya jika ada mineral
alofan dan imogolit. Berdasarkan hasil penelitiannya, Tan (1984) melaporkan bahwa
tanah Andisol di Indonesia (Surnatera Utara dan Jawa barat) dicirikan oleh kandungan
bahan organik yang tinggi. Tanah ini mengandung jumlah unsur nitrogen yang tinggi,
kalium sedang dan kandungan P yang rendah. Nilai KTK berkisar antara 23.9 - 44.4
mellOO g dan rnuatan permanen berkisar antara 1.2 - 8.4 me1100 g.
Kandungan basa-basa dapat ditukar pada tanah-tanah Andisol di Indonesia
(Sumut dan Jabar) pada umumnya rendah, yakni berkisar antara 0.30 - 5.99 me1100 g,
serta berasosiasi dengan nilai pH berkisar antara 3.8 - 6.4 (Sjarif, 1990). Bertentangan
dengan tipe-tipe tanah lainnya, kandungan basa dapat ditukar dan nilai pH yang rendah
tidak berhubungan dengan tingginya kandungan aluminium dapat ditukar. Dengan
demikian tidak dijumpai keracunan Al pada tanah Andisol.
!
i
Perbedaan antara nilai pH (H,O) dengan pH elektrolit dapat digunahn sebagai
indikator sifat muatan dalam tanah (Sjarif, 1990). Secara mum, nilai pH (H,O) lebih
tinggi dari pada pH elektrolit dan kompleks pertukaran tanah Andisol di Indonesia
didominasi oleh muatan negatif. Kompleks pertukaran didominasi muatan positif apabila pH dalam air lebih kecil dari pada pH dalam elektrolit. Kation-kation yang berasal
dali hasil dekomposisi mineral-mineral primer dan pupuk dapat dengan mudah tercuci
dari profil tanah apabila kompleks pertukaran bermuatan positif dan tanah lama-lama
akan menjadi masam akibat hilangnya unsur-unsur basa tersebut.
Nilai pH tanah dalam larutan NaF merupakan salah satu sifat yang' digunakan
untuk menentukan adanya mineral-mineral ordo kisaran pendek pada Andisol. Leamy
et a1 (1981 dalam Inoue 1986) mengemukakan bahwa apabila pH
> 9.4 dalam 1 M
NaF (50 mllg tanah) merupakan indikasi adanya kompleks pertukaran yang didominasi
oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan dan irnogolit). Smith (1978) mengusulkan kriteria untuk Andisol yang terbentuk dari abu voikan hams memiliki pH (NaF)
lebih besar atau sarna dengan 9.2. Tapi Inoue (1986) mengemukakan bahwa uji fluorida tidak spesifik untuk alofan dan imogolit, karena beberapa jenis tanah lain seperti
tamh hutan masam dan tanah-tanah yang mengandung karbonat bebas juga memiliki
pH (NaF) yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa pH (NaF) dapat digunakan
sebagai indeks adanya gugusan hidroksil A1 (Fe) aktif yang dominan dalam tanah atau
suatu metoda yang berguna untuk mengidentifikasi muatan tidak tetap yang tinggi dalam
tanah (Leamy, 1981 datum Sjarif, 1990).
Sjarif (1990) melaporkan bahwa pH (H,O) tanah-tanah Andisol di Indonesia
berkisar antara 3.8 - 6.4; pH (KCI) dari 3.7 - 5.9; pH (NaF)
> 9.4; dan umumnya pH
lapisan atas selalu lebih masam dari lapisan bawah pada setiap bahan induk dan larutan
yang digunakan untuk menetapkan pH. Selanjutnya diiemukakannya pula bahwa tanahtanah Andisol di Indonesia memiliki nilai aluminium dapat ditukar berkisar antara 0.01
- 0.49 me1100 g, kejenuhan basa antara 48.3 - 94.9 persen dan kejenuhan ahninium
antara 0.1 - 19.8 persen. Basa-basa dapat ditukar dart nilai aluminiuni bagiatanah
Andisol di Indonesia berkaitan erat dengan bahan induk tanah dan curah hujan tahunan.
Tanah yang berasal dari bahan induk yang lebih basa pada daerah dengan curah hujan
rendah memiliki basa-basa dapat ditukar yang tinggi serta kejenuhan aluminium yang
rendah dibandingkan dengan tanah-tanah yang berasal dari bahan induk yang lebih
ntasam pada daerah dengan curah hujan tinggi.
Muatan Variabel Pada Andisol
Tanah-tanah yang berkembang dari bahan abu volkan memperliatkin sifat-sifat
muatan variabel (Uehara dan Gillman, 1981). Tanah-tanah dengan muatan variabel
adalah tanah-tanah yang muatan negatifnya meningkat seiring dengan meningkatnya pH
dan muatan positifnya (jika ada) menurun (Parfitt, 1988). Bahan-bahan utama dari
tanah abu volkan tersebut adalah mineral-mineral liat non kristalin dan kristalin atau
komplek humus, terutama liat alumino-silikat amorf yang berasal dari pelapukan tahap
awal abu volkan. Parfitt (1988) lebih jelas lagi mengemukakan bahwa muatan variabel
pada Andisol berasal dari bahan organik, alofan dan besi oksida (ferihidrit).
Karakteristik utarna liat bermuatan variabel adalah muatan titik no1 (MTN) atau
zero point of charge (ZPC) yang muncul dari sifat amphoterik oksida-oksida dan atau
hidroksida besi atau aluminium dan alofan atau mineral ordo kisaran pendek lainnya
pada fraksi liat (Uehara dan Gillman, 1981; Tan, 1984). Dengan demikian salah satu
pedekatan untuk mengetahui adanya liat bermuatan variabel dengan teknik yang sederham ialah menentukan nilai MTN (Sakurai, 1989).
Muatan titik no1 (zero point of charge) dienal juga sebagai pHo, akan tercapai
apabila muatan netto pada komponen muatan variabel adalah nol. Muatan netto tanah
no1 tercapai jika jumlah Hf dan jumlah O H yang terjerap pada permukaan liat terhidroksi adalah sama (Uehara dan Gillman, 1981). MTN dapat menentukan tanda
muatan netto permukaan liat. Jika pH aktual dari sistem tanah kurang dari MTN, maka
muatan permukaan adalah positif. Sebaliknya jika pH aktual lebih besar aari pada
MTN, maka muatan nettonya adalah negatif (Bohn, er al, 1979).
Muatan negatif pada Andisol beragam sesuai dengan perubahan pH, kekuatan
ion dan komposisi larutan tanah, sehingga dikenal dengan muatan tergantung pH (Tan,
1984). Bergantung pada pH-nya, muatan dapat berubah tandanya dari negatif melalui
no1 menjadi positif. Sifat muatan variabel ini juga dijumpai pada Spodosol, Oksisol,
Alfisol dan Ultisols (Theng, 1980 dalam Tan, 1984).
Pada waktu yang lalu, mineral-mineral yang bersifat amphoterik dikenal dengan
mineral-mineral muatan tergantung pH @H dependent charge minerals), karena muatan
pemukaannya tergantung pada pH larutan. Akratopulu et af (1986 &lam Parfitt 1988)
mengemukakan bahwa alofan, sebagai bahan utama Andisol, memiliki banyak gugus A1
OH (H,O) yang reaktif pada permukaannya. Apabila gugus-gugus tersebut bereaksi
dengan ion H+ atau OH-, peImUkaa~yabisa menjadi lebih positif atau negatif, seperti
ilustrasi berikut ini.
\
A1
\
pH meningkat
H 0
/
8~
H+
A1
\
pH menurun
H20
OH 0~2'
/
\
H20
Hasil-hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa banyak faktor-faktor lainnya,
selain pH, yang mempengaruhi muatan permukaan, misalnya A pH, jumlah oksidaoksida, dan kandungan liat tanah (Sakurai, 1989).
Untuk menduga MTN, metoda adsorpsi ion yang dipelopori oleh Schofield
(1949) telah digunakan oleh banyak peneliti dengan beberapa modifikasinya (Sakurai,
1989). Dalam metoda ini MTN berhubungan dengan titik dimana kation dan anion di
jerap dengan jumlah yang sama oleh tanah dan titik keseimbangan tersebut akan berubah dengan adanya perubahan konsentrasi elektrolit. Uehara (1979) menyarankan
untuk menggunakan nilai A (delta) pH (pHH,O
It
- pH KCI) untuk menduga karakteristik
muatan variabel, yakni apabila A pH berkisar antara -0.5 dan +0.5 maka tanah akan
didominasi oleh komponen-komponen muatan variabek.
Daiam penelitian ini untuk mendapatkan pHo, digunakan metoda titrasi gararn
(salt titration) yang dipelopori oleh Kinniburgh (1975) dan dimodifikasi oleh Uehara
dan Gillman (1981).
Penelitian MTN dengan titrasi garam (TG) didasarkan pada gabungan teori
Gouy-Chapman dan persamaan Nerst sebagai berikut (Uehara dan Gillrnan, 1981) :
-.
To = (2 n EkT/a )
x sinh (1.15 x z x (pH0 pH) }
dimana :
To = kerapatan muatan permukaan (esu/cm2 )
a = konsentrasi ion lawan dalam larutan
keset imbangan (ion/cm3)
E = konstanta dielektrik (esu2/dyne cm2)
k = konstanta Boltzman (erg/derajat)
T = temperatur mutlak
z = valensi ion lawan
pH = nilai pH larutan
pHo= muatan titik no1 (muatan netto permukaan = 0 )
Dalam ha1 permukaan liat telah bermuatan netto negatif, muatan akan lebih
negatif dengan penambahan garam akibat deprotonisasi gugus OH pada permukaan.
Pelepasan ion hidrogen ke dalam larutan tanah mengakibatkan turunnya pH. Sebaliknya pH suspensi akan meningkat dengan penambahangaram apabila muatan pennukaa~ya
positif. Bila muatan netto pennukaan liat nol, maka pH larutan tidak akan dipengaruhi
oleh penambahan elektrolit. Nilai pH tersebut, yakni rnuatan titik no], dalam tulisan ini
disebut pHo.
Mikromorfologi A n d i i l
Mikromorfologi tanah adalah suatu metode modem untuk mempelajari contoh
tanah tidak terganggu dengan bantuan mikroskop danlatau ultramikroskop untuk mengidentifikasi partikel penyusun tanah dan kaitamya dengan ruang, dan jika mungkin,
dengan waktu (Stoops dan Jongerius, 1986 d a b Goenadi. 1989). Tujuan u d a analisis mikromorfologi tanah adalah untuk menentukan hubungan mang antam koqpnen
tanah yang berbeda dalam usaha mempelajari hubungan.fungsiona1, genetik dan kronologis (Bullock, 1983 &lam Goenadi, 1989).
Secara historis mikromorfologi tanah berkaitan erat dengan genesis tanah,
meskipun pada saat ini aplikasinya telah meningkat pada aspek-aspek yang luas seperti
pada fisika tanah, kiiia tanah dan biologi tanah (Bullock, a al, 1985).
Penelitian-penelitian mikromorfologi tanah telah digunakan secara luas untuk
mengembangkan dan memperbaiki model-model pembentukan tanah di Inggris (Bullock, 1985). Penggunaannya yang paling sederhana ialah memperjelas desRripsi tanah
di lapang. Dengan menggabungkan deskripsi makro dan mikromorfologi, dimungkinkan untuk mengkaitkan kenampakan-kenampakan yang ada dalam irisan tipis pada
profil tanah dan bentuk wilayah (landform). Pada tingkat yang Iebih rinci, studi
mikromorfologi telah digabungkan dengan berbagai studi mineral, kimia, fisika, dan
biologi tanah dengan tujuan untuk mengetahui proses tertentu yang terjadi dalam tanah
dan lebih jauh lagi pengamhnya terhadap pembentukan tanah.
Mikropedologi sebagai satu sub-disiplin baru didasarkan atas dua prinsip, yaitu
contoh utuh (tidak tertanggu) dan penelitian fungsional (Stoops dan Eswaran, 1986).
Prinsip pertama menyatakan bahwa penelitian dilakukan pada contoh tanah tidak terganggu (terorientasi secara alami). Oleh karena itu, rnikropedologi berbeda dengan
analisis mineral, kirnia dan fisika yang memerlukan contoh yang telah dicampur, digiling, dilamtkan atau difraksinasi. Prinsip kedua menyatakan bahwa semua pengamatan
hams diarahkan langsung untuk mencapai suatu pemahaman tentang fungsi dari masing-
masing bahan penyusun tanah serta hubungannya satu sama lain.
Bidang penelitian mikropedologi meliputi semua pengamatan mikroskopik
contoh tanah tidak terganggu, terrnasuk studi irisan tipis, metode-metode mikrokimia
dan mikrofisika, dan teknik ultramikroskopik. Dari kesemuanya itu, yang paling
banyak dimbangkan adalah analisis fabrik tanah yang juga disebut sebagai mikromorfologi tanah dan pasangannya yang bersifat kuantitaif disebut mikromorfometrj & a h .
Berbeda dengan kebanyakan ahli tanah lainnya, maka seorang ahli mikropedologi secara urnurn lebii tertarik pada gejala-gejala spesifk yang terarnati pada pedon atau
irisan tipis, dari pada komposisi rerata bahan. Hasil penafsirannya pada gejala-gejala
tersebut kadang-kadang dapat mengungkapkan genesis tanah secara jetas.
Banyak penelitian-penelitian mikromorfologi tanah yang teiah dilakukan dan
dipublikasikan dalam berbagai publikasi, terutama pada ordo Ultisol, Oxisol. Spodosol
dan Paleosol (Bullock, et al, 1985), tapi jarang sekali ditemukan hasil-hasil penelitian
pada ordo Andisol, terutama di Indonesia dapat dikatakan belum pernah dilakukan.
Dengan demikian tidak ada informasi mengenai mikromorfologi tanah Andisol, teruta-
ma yang berkembang dari beberapa bahan induk dan zona agroklimat yang berbeda.
Salah satu publikasi mengenai mikromorfologi Andisol dari Jepang melaporkan
sebagai berikut : Mikromorfologi horison A yang berwama gelap dari Andisol Jepang
menunjukkan fabrik berupa gumpalan-gumpalan lepas (blocky loose) atau fabrik berbutir halus yang porous. Pada gumpalan-gumpalan tersebut dijumpai void vugh berukuran
besar dengan sejumlah void channel di sekelilingnya. Pada plasma dijumpai pula void
vugh berukuran kecil. Hal tersebut merupakan ciri-ciri dari agregasi struktur primer
yang lepas. Dalam fabrik berbutir halus yang porous, mikroped tersebar sehingga
berporositas tinggi (Kawai, 1969 dalam Leamy, et al, 1980).
Warkentin et a1 (1988) mengemukakan bahwa porositas yang tinggi dari Andisol
disebabkan oleh banyaknya rongga vugh daIam plasma tanah. Rongga tersebut terisi
oleh air dan bila agregat tanah ditekan di antara telunjuk dan ibu jari tangan maka akan
terasa menyemir (smeary)akibat air keluar dari rongga vugh tersebut.
Download