Quo Vadis Hymn?

advertisement
Quo Vadis Hymn?
Tinjauan Kultur Terhadap Eksistensi Musik Gerejawi di Era Postmodern
Oleh: Ev. Liem Sien Liong
http://gkagloria.or.id/artikel/a18.php
POSTMODERN: FENOMENA KULTURAL YANG TIDAK DAPAT DIHINDARI
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972. Ketika rumah Pruitt-Igoe di St. Louis
sebagai lambang arsitektur modern dihancurkan, maka penghancuran tersebut menandai munculnya era
baru, yaitu postmodernisme. Dengan cepat fenomena ini kemudian menjadi gerakan populer dan
intelektual; menjadi sebuah karakter sosial yang terus berkembang di budaya Barat dan merasuki ranah
filsafat.
Istilah “postmodernisme” sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena makna
awalan “post” pada “postmodern” masih diperdebatkan. Tokoh-tokoh postmodernisme sendiri memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Jean-Francois Lyotard berpendapat, awalan “post” berarti pemutusan
hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. Bagi David Griffin, awalan tersebut berarti
sekadar koreksi terhadap aspek-aspek tertentu dari kemodernan. Sedangkan bagi Jacques Derrida dan
Michel Foucault, berarti kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Bagi Jurgen Habermas, berarti satu tahap
dari proyek modernisme yang belum selesai. Ketiadaan definisi ini justru menunjukkan ciri khas dari
postmodern. Karena itu, 'The Modern-Day Dictionary of Received Ideas' menjelaskan bahwa kata
postmodern ini “tidak punya arti,” dan “gunakan saja sesering mungkin.”
Apapun definisinya (yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan), postmodern telah hadir di tengahtengah kita. Postmodern dalam bentuk “isme”-nya merupakan kritik terhadap filosofi wawasan dunia
(world-view), epistemologi, dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan dalam bentuk kultural
(postmodernitas) menunjukkan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi
gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, serta usangnya
penggalian nilai-nilai tradisional. Meskipun keduanya berbeda, tetapi postmodernitas atau
postmodernisme seringkali dipakai bergantian, dan keduanya saling berkaitan erat.
Pada masa kini postmodern merupakan fenomena kultural yang tidak dapat kita hindari. Kita sedang
menghadapi sebuah kultur yang sangat berbeda dari kultur modern. Jika dalam modernisme
(pencerahan), manusia dengan rasionya dianggap mampu menemukan kebenaran, nilai, atau makna
tertinggi, maka dalam postmodernisme justru sebaliknya; kebenaran, nilai, atau makna tertinggi tidak
hanya diperoleh melalui rasio, tetapi juga melalui emosi atau intuisi. Demikian pula, jika modernisme
mengakui adanya kebenaran dan nilai yang obyektif, yang berkorelasi dengan sebuah obyek, maka
postmodernisme mengakui bahwa kebenaran dan nilai dari sebuah obyek bergantung pada
kelompok/massa yang menilainya, bukan berkorelasi dengan obyeknya. Karena itu, hal yang kita anggap
baik, hal ini belum tentu baik bagi orang lain. Demikian pula, hal yang orang lain anggap salah, hal itu
belum tentu salah bagi kita. Hal yang dianggap fiksi, juga dapat dianggap sebagai ilmiah, atau
sebaliknya. Hilangnya perbedaan fiksi dan ilmiah ini menjadi kultur postmodern.
MUSIK DALAM ERA POSTMODERN
Seperti apa musik di era postmodern? Keunikan postmodern yang berbasis lokal, massa, dan populer
telah menempatkan musik rock sebagai ciri khasnya. Lirik-lirik lagu rock mencerminkan semboyan
budaya pop postmodernisme. Musik rock (baik yang terkenal maupun yang biasa) sebenarnya adalah
gaya musik lokal dari etnis tertentu, namun musik ini memperlihatkan pluralitas gaya masing-masing yang
diambil dari gaya musik setempat (lokal). Jika musik rock mampu memperoleh banyak penggemar, hal ini
disebabkan karena tokoh-tokoh musik rock seringkali melakukan tur keliling dunia. Melalui sarana produk
elektronika-informatika, mereka dapat menjangkau masyarakat kelas biasa, masyarakat yang terbiasa
dengan budaya pop dan media massa.
Etos postmodernisme tampaknya telah menghilangkan batasan antara seni dan kehidupan seharihari, antara budaya tinggi dan budaya pop, termasuk pencampuradukan gaya yang bersifat ekletik,
parodi, pastiche, ironi, kebermainan dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada
“kedalaman,” serta hilangnya orisinalitas dan kejeniusan. Seni klasik yang bermutu tinggi tidak lagi
diletakkan di atas budaya pop. Dengan kata lain, lirik lagu tidak dinilai dari kualitasnya, tetapi bergantung
pada selera pasar, massa, dan populer.
Karena itu tidak mengherankan apabila lirik-lirik lagu pada masa kini bergantung pada penilaian dan
selera massa. Lirik-lirik lagu tidak lagi diciptakan untuk mencapai sebuah seni yang tinggi, tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan massa. Artinya, meskipun lirik lagu tertentu tidak memiliki kualitas yang
baik, namun sesuai dengan selera atau kebutuhan massa, maka lirik lagu tersebut akan memiliki massa
penggemar yang banyak. Sebaliknya, meskipun sebuah lirik lagu bermutu tinggi, namun tidak cocok
dengan selera massa, maka lirik lagu tersebut tidak diminati banyak penggemar. Inilah etos musik dalam
era postmodern.
Bagaimana perkembangan lirik lagu rohani/gerejawi pada masa kini? Sudah tentu lagu rohani yang
mengikuti etos postmodernisme cocok dengan fenomena kultur yang ada. Lagu rohani kontemporer
dapat beradaptasi dalam era postmodern karena lagu tersebut berbasis kultur postmodern. Penilaian
yang menekankan emosi, intuitif, populer, dan tidak harus menekankan seni musik yang tinggi, telah
mendorong lagu rohani kontemporer menjawab kebutuhan kultur masa kini. Selain itu, keterlibatan tokoh,
media elektronik dan informatika (TV/radio/ cassette), telah mendorong lagu rohani kontemporer memiliki
banyak penggemar (menarik massa).
Bagaimana respons kita terhadap fenomena kultur ini? Apakah kita akan menyesuaikan diri dan
tenggelam di dalamnya; ataukah kita akan mengambil sikap konfrontasi? Atau kita mencoba mengambil
sisi positif dari era postmodern ini? Hal ini tentu saja memerlukan pertimbangan teologis, filosofis dan
wawasan yang lebih mendalam tentang kebudayaan manusia di hadapan Allah. Karena tulisan ini hanya
sebuah refleksi atau perenungan terhadap eksistensi musik klasik gerejawi di era postmodern, maka
jawaban terhadap pertanyaan di atas tidak dibahas dalam tulisan ini.
EKSISTENSI MUSIK KLASIK GEREJAWI DI ERA POSTMODERN: SEBUAH PROPOSAL
Menghadapi fenomena kultur ini kita tentunya bertanya, “bagaimana eksistensi musik klasik gerejawi
di tengah-tengah era postmodern?” Apakah musik klasik gerejawi akan “terkubur” oleh budaya pop
postmodernisme? Apakah musik klasik gerejawi hanya akan menjadi koleksi musik yang dimiliki oleh
sekelompok jemaat tertentu?
Melihat dan mencermati kultur postmodernisme pada masa kini, maka yang perlu kita lakukan untuk
melestarikan eksistensi musik klasik gerejawi adalah mempopulerkannya dan menghidupkannya.
Mempopulerkan Musik Klasik Gerejawi
Kultur postmodern yang menghilangkan batasan antara seni tinggi dan budaya pop bukan berarti
meniadakan seni tinggi tersebut, melainkan menerima keduanya sebagai hal yang sama. Namun
mengapa musik rock lebih dominan, populer, dan menarik massa daripada musik klasik yang bermutu
tinggi? Hal ini terjadi karena budaya pop postmodern telah menjangkau masyarakat kelas biasa,
masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop.
Fenomena kultur ini harus kita sikapi dengan mempopulerkan musik klasik gerejawi. Jika dalam
sejarahnya, musik klasik hanya mendominasi kalangan elite saja, maka pada era postmodern, musik
klasik gerejawi harus mampu menjangkau semua kelas masyarakat melalui media elektronika dan
informatika (TV dan radio), sehingga musik klasik gerejawi menjadi kompetitor bagi budaya pop
postmodernisme, yang dapat mendatangkan apresiasi dari semua kelas masyarakat Kristen. Dengan
kata lain, musik klasik gerejawi dalam era postmodern harus memunculkan dan menyatukan basis
massanya.
Menghidupkan Musik Klasik Gerejawi
Selain mempopulerkannya, kita harus mengetahui bahwa musik klasik gerejawi dengan mutunya
yang tinggi merupakan warisan klasik (pra/modernisme) yang menekankan sisi rasionalitas, sehingga
kurang menyentuh emosi atau intuisi. Namun dalam hal ini bukan berarti lagu klasik gerejawi harus
menghilangkan keunikannya (rasionalitasnya), melainkan disajikan secara lebih “personal,” sehingga
membangkitkan dan melibatkan komponen pribadi seseorang yaitu emosi atau intuisinya. Dengan
demikian musik klasik gerejawi mendorong seseorang untuk melibatkan aspek rasio dan emosi secara
seimbang. Selain itu, musik/lagu klasik gerejawi tidak seharusnya menjadi warisan yang “mandeg,” tetapi
terus dihidupkan dengan munculnya komposer atau lagu-lagu rohani yang baru bercorak klasik bersifat
personal, tanpa meninggalkan warisan yang sudah ada. Memang diakui bahwa tingkat kesulitan musik
klasik seringkali menjadi “momok.” Namun jika musik ini mampu mendapatkan apresiasi emotif, maka
kesulitan akan berubah menjadi kecintaan. Musik ini harus dihidupkan sebagai musik personal yang
membangkitkan seluruh aspek pribadi seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam menyembah
Tuhan. •
Bacaan Lanjut
• Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: ANDI, 2005).
• I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003).
• Millard J. Erickson, Postmodernizing the Faith: Evangelical Responses to the Challenge of Postmodernism (Grand Rapids: Baker, 1998).
• _____________ , Truth or Consequences: the Promise & Perils of Postmodernism (Downers Grove: InterVarsity, 2001).
• Robert C. Greer, Mapping Postmodernism: A Survey of Christian Option (Downers Grove: InterVarsity, 2003).
• Justin R. Stutz, “The Reformers and Church Musics: a Biblical Analysis of Their Philosophies,” Faith and Mission 22/3 (2005).
• Mary L. Conway, “Worship Music: Maintaining Dynamic Tension,” McMaster Journal of Theology and Ministry no. 7 (2006).
Download