The Postmodernism

advertisement
THE POSTMODERNISM
Dosen: Hartanto, S.I.P, M.A.
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Respati Yogyakarta
PostModernism
 Postmodernisme adalah sebuah perspektif
yang tidak mudah untuk didefinisikan.
 Definisi postmodernisme masih
diperdebatkan oleh banyak pihak, bahkan
oleh para pendukungnya sendiri.
 Adapun Pemikir-pemikir postmodernism
antara lain: Max Weber, Richard Ashley,
Robert B.J. Walker, D. Campbell.
PostModernism
 Secara umum postmo mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang
paling valid bahkan ilmu alam sekalipun,
ilmu adalah hasil konstruksi para ilmuwan,
dimana diri mereka sendiri tidak bebas dari
kepentingan-kepentingan tertentu.
 Postmodernisme tidak dapat dikatakan
sebagai kontinuitas dari teori kritis.
PostModernism
 Apabila teori kritis berasumsi bahwa proyek
pencerahan harus dilanjutkan, dengan kata lain era
modernisme harus di rekonstruksi. Postmodernisme
berpendapat bahwa proyek pencerahan telah gagal
sama sekali, modernisme harus di dekonstruksi dari
dalam.
 Secara ironis dapat dikatakan bahwa postmodernisme
menghancurkan teori modernisme dari dalam namun
sayangnya tanpa menyediakan solusi atau teori baru
untuk menggantikannya.
Power and Knowledge in IR
 Postmodernisme memandang bahwa power membutuhkan
knowledge, dan knowledge juga membutuhkan power.
Kebenaran bisa diciptakan oleh pihak yang dominan, yang
memiliki knowledge dan power.
 Power di sini lebih berupa authority, otoritas untuk
menekan pihak lain agar mau menerima “kebenaran” yang
diciptakan oleh pihak dominan ini. Dengan kata lain,
kebenaran adalah hasil konstruksi sebuah “rezim of truth”.
Knowledge tidak bersifat objektif, knowledge bisa
dipercaya dengan adanya power. Power kemudian
berpengaruh kepada sovereignty.
 Seorang raja meminta kepada seorang penjahit untuk
membuatkannya sebuah baju yang unik dan indah.
Ketika raja datang, penjahit menunjukkan pada raja
sebuah baju yang menurutnya baju terbaik dan
terhalus yang pernah dia buat. Begitu halusnya bahan
baju itu sehingga baju itu tidak terlihat oleh mata.
 Raja mempercayai keterangan penjahit karena yakin
dengan pengetahuan si penjahit. Raja pun melepaskan
bajunya dan memakai “baju” buatan penjahit tersebut.
Setelah itu, Raja berkeliling negeri memakai baju itu.
Pendapat Raja bahwa baju itu sangat bagus membuat
rakyatnya juga percaya bahwa baju itu benar-benar
bagus. Namun, ada satu anak kecil yang mengatakan
“Raja sudah gila”.
Textual Strategies of Postmodernism
Genealogy
 Genealogi difahami sebagai sebuah metode penemuan
kebenaran melalui intepretasi proses sejarah yang bertujuan
sebagai counter terhadap pemaknaan tunggal atau narasi
mayoritas. Dikatakan oleh kaum postmodernisme, bahwa
sejarah tidak tunggal. Selalu ada pluralitas dalam sejarah,
sementara itu hanya satu perspektif yang kita lihat dan kita
pahami selama ini.
 Bagi kaum postmo, perspektif bersifat integral terhadap
konstitusi dunia yang riil. Isu-isu dalam hubungan
internasional selama ini bukan hanya mengenai persoalan
epistemologi dan ontologi (dua cabang dalam ilmu filsafat;
yang pertama adalah filsafat ilmu pengetahuan dan yang
kedua adalah filsafat ‘ada’) melainkan lebih kepada persoalan
kekuasaan dan otoritas. Dengan kata lain, postmodernisme
menolak intepretasi yang otoritatif dalam dunia ilmu
hubungan internasional
Dekonstruktif
 Postmodernisme merupakan sebuah penolakan
radikal terhadap pemikiran modern.
Postmodernisme adalah sebuah revolusi dalam ilmu
pengetahuan. Secara lebih tegas, postmo menandai
berakhirnya cara pandang yang totalistik dan utuh.
 Postmodernisme tidak memiliki teori. Ia berfungsi
sebagai mata pisau untuk mengoyak teori-teori yang
bersifat otoritatif dan tunggal, yang di konstruksi
oleh kekuasaan yang ada dan diamini selama
beberapa lamanya oleh umat manusia. Intinya
adalah penolakan adanya realitas yang utuh dan
tunggal sebagai obyek dari persepsi kita.
 Karakter dari pemikiran modern adalah apa
yang disebut sebagai “Logocentris”, yaitu
alam menyediakan segala sesuatu dan kita
tinggal mengaksesnya atau mempelajarinya.
 Permasalahannya kemudian adalah, tidak
semua orang memiliki akses terhadap apa
yang disediakan oleh alam.
Postmodernisme berusaha untuk
mendekonstruksi hal ini.
 Postmodernisme tidak percaya kepada logocentris.
Postmodernisme berupaya untuk mendekonstruksi segala
definisi yang dapat “memenjarakan”. Jika satu pihak sudah
memberikan definisi atau melakukan kategorisasi, maka
artinya satu “penjara” telah tercipta.
 Kategorisasi semacam ini bisa menimbulkan discourse,
yaitu wacana yang menggambarkan diri sendiri “benar”
dan pihak lain “salah”. Karena pihak lain dianggap salah,
maka pihak lain itu harus dikembalikan ke “jalan yang
benar” dengan menggunakan power dan knowledge yang
dimiliki, misalnya dengan dimasukkan ke penjara atau ke
rumah sakit jiwa.
 Contoh dari discourse adalah peristiwa holocaust serta
adanya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
 Postmodernisme tidak menerima kategorisasi
seperti ini. Postmodernisme memandang bahwa
tidak masalah jika ada definisi tentang kebenaran,
asalkan semua pihak memiliki akses terhadap
kebenaran tersebut.
 Postmodernisme ingin agar setiap orang
mengklaim atau memberi karakter tentang dirinya
sendiri, dan bukan orang lain yang memberikan
label. Sehingga, postmodernisme tidak bisa
menerima labelisasi semacam “normal”, “gila”,
“porno”, dan sebagainya.
 Dengan
demikian,
postmodernisme
sangat
menjunjung subyektivitas. Hal ini kemudian
menimbulkan kritik bahwa jika subyektivitas adalah
segala-galanya, maka akan terbuka kemungkinan
timbulnya sebuah dunia yang anarki, karena setiap
orang menjadi berhak melakukan apa saja yang
menurutnya benar.
 Postmodernisme yang anti kemapanan menjadi
terlihat hanya mampu mendekonstruksi tanpa bisa
memberikan
solusi
ideal
atas
apa
yang
didekonstruksinya.
 Dengan kata lain, postmodernisme hanya “terima
bongkar tapi tidak terima pasang”.
Problematizing Sovereign State
 Kedaulatan terkait dengan Tiga Hal antara lain: Violence,




Boundaries, Identity, Statecraft.
Violence, menurut Postmodern Violence adalah sesuatu
hal yang bersifat inaugural, tetapi menurut padangan
modern Violence adalah “to be a normal and regular
occurrence in international relations”.
Boundaries, Marking boundaries is not an innocent, prepolitical act. It is a political act with profound political
implications as it is fundamental to the production and
delimitation of political space.
Identity, identitas yang dibeda-bedakan berdasarkan
kedaulatan akan menimbulkan konflik.
Statecraft, Postmodern memandang bahwa ada negara
tetapi tidak ada negara yang sudah final.
Beyond the paradigm of soveregnty:
Rethingking The Political
 series of cross-national, nonstatist movements
organized across state lines, mobilized around
specific issues of global significance, pressing
states from inside and outside simultaneously
to reconfigure stablished convictions,
priorities, and policies’
 Sovereignty hanya akan membuat ekslusifitas
etnik.
 Etnik harus dibebaskan dari konsep teritorial.
 Gerakan pemikiran dekonstruktif masih menjadi mata
pisau tajam yang dapat digunakan untuk mengkritisi
kondisi dunia internasional yang dominatif dan
otoritatif terhadap penguasaan makna dan narasi.
Postmodernisme lahir sebagai bentuk reaksi yang
menganggap bahwa proyek pencerahan telah gagal
dengan demikian tidak ada alternatif selain
dekonstruksi.
 Postmodernisme tidak mampu memberikan solusi
bagi dunia internasional bahkan teori baru pun tidak.
Hal ini melemahkan posisinya dalam medan
pertarungan dan serta merta menjadi titik sasaran
penyerangan dari perspektif modern.
 Postmodernism makes several contributions to the
study of international relations.
 First, through its genealogical method it seeks to
expose the intimate connection between claims to
knowledge and claims to political power and authority.
 Secondly, through the textual strategy of
deconstruction it seeks to problematize all claims to
epistemological and political totalization.
 Thirdly, postmodernism seeks to rethink the concept
of the political without invoking assumptions of
sovereignty and reterritorialization.
 Metodologi genealogy memandang secara khusus
hubungan antara pandangan dari pengetahuan dan
pandangan dari political power dan otoritas
 textual strategi dari dekonstruksi memandang semua
permasalahan secara epistemological dan political
totalisation
 Postmodernism memandang untuk berpikir ulang
konsep dari politik tanpa asumsi dari kedaulatan
reterritorialisation.
Download