BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arsitektur

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arsitektur merupakan produk budaya manusia dalam bentuk bangunan yang
pada awalnya digunakan sebagai tempat untuk bernaung, hidup dan berlindung dari
cuaca dan alam yang mengancam. Kehadiran arsitektur dalam kehidupan manusia
memberikan kontribusi positif yakni sebagai tempat manusia untuk bertahan hidup
juga sebagai sarana manusia untuk melakukan berbagai aktivitasnya. Prinsip
umumnya adalah membangun sesuatu di atas permukaan tanah sebagai penanda,
sebagai ruang yang disiapkan untuk mereka menjadi kesatuan dalam komunitas
kehidupannya. Perkembangan zaman kemudian mempengaruhi upaya mereka dalam
membangun. Untuk menciptakan bangunan yang kuat, sebuah bangunan harus
memiliki fondasi, untuk memiliki kenyamanan dalam sebuah ruangan bangunan
harus ditata sedemikian rupa, dan untuk membedakan fungsi-fungsi ruangan
bangunan juga harus digolongkan berdasarkan kegunaannya.
Kondisi tersebut tersebut terjadi setelah keberadaan lingkungan manusia
dipengaruhi oleh zaman yang melingkupinya, maka bangunan tercipta dan
diwujudkan atas ide-ide manusia yang dikondisikan oleh zaman yang menaunginya.
Transisi zaman menuju zaman modern adalah salah satu puncak keberhasilan
modernisme mencetak sejarah baru dunia. Modernisme lahir sebagai sebuah pilihan
yang menghendaki sesuatu yang baru dan yang berbeda, tidak terus berkutat pada
1
2
ajaran-ajaran lama. Modernisme dengan berbagai turunan istilahnya ialah generasi
yang ditandai dengan keyakinan atas rasio, memudarnya regiusitas serta lahirnya
pemberontakan kreatif dalam dunia seni semenjak Renaissance mempengaruhi alam
pikiran manusia (Hidayat, 2012: 19-21).
Dampak pada dunia arsitektur adalah perubahan yang benar-benar
fundamental,
hingga
menjelang
berakhirnya
abad
19,
pemikiran
modern
mendominasi dunia arsitektur sehingga arsitektur secara paradigmatik merubah
haluannya dengan menanggalkan kaidah dekoratif seperti mereduksi penggunaan
ornamen pada sebuah bangunan. Yulianto Sumalyo (1997: 3), menyebutkan terjadi
transisi signifikan dari gaya arsitektur klasik murni menyatu dalam gaya modern di
era Neo-klasik abad ke-15. Beranjak dari transisi arsitektur tersebut, revolusi industri
di Eropa menyebabkan manusia ikut merasakan dampaknya, yang paling krusial
adalah penggunaan teknologi yang terbarukan, maka tercetuslah ide bahwa bangunan
harus sejalan dengan fungsi penghunian, artinya bangunan harus tepat guna sesuai
dengan fungsi utamanya.
Memasuki abad 20, terlebih pascaperang dunia kedua, terjadi lonjakan
kecepatan dalam pembangunan dan perhitungan efisiensi biaya secara matang demi
memenuhi kebutuhan hunian layak dan siap pakai. Para arsitek modern
merealisasikan ungkapan ‘less is more’ atau ‘form follow function’ ke dalam bentuk
bangunan baru yang berlandaskan geometri abstrak, bersih dan sederhana, tanpa
balutan ornamen, bercat putih, tembok beton bertulang, dan bentukan sudut sumbu
3
90° di setiap sisi ruangnya. Berdasarkan pemahaman ajaran rasionalisme, kaidah
fungsional sebuah bangunan menciptakan bangun dan ruang yang bersih dan menilai
keindahannya dengan mereduksi penggunaan dekorasi yang tidak penting, mengingat
ornamen dan dekorasi sebatas pertunjukan seni berperetensi palsu daripada alasan
ekonomis dan utility (Ikhwanuddin, 2005: 15).
Setelah berjaya dengan membumikan gaya internasional (international style),
arsitektur modern melepaskan diri dari arsitektur masa lampau Kenyataannya,
penerapan bangunan modern dengan asas fungsional, purisme, kubisme dan bentukbentuk modern lainnya memiliki banyak kelemahan untuk jangka panjang. Arsitektur
mengalami fase kekeringan sejarah yang berdampak pada kehilangan identitas dan isi
yang terkandung dalam sebuah bangunan, hingga akhirnya kasus terburuk melanda
eksistensi arsitektur modernisme dalam penghancuran Apartemen Pruitt-Igoe di Saint
Louis, Amerika Serikat pada 15 Juli 1972 yang dianggap sebagai kematian arsitektur
modern dunia (Hidayat, 2012: v).
Terjadilah serangkaian kritik yang memojokkan modernisme arsitektur dalam
gerakan postmodernisme arsitektur. Lengkapnya, arsitektur postmodern menekankan
pada pengembalian unsur kesejarahan yang telah lama menghilang berdasarkan tiga
titik utama pemikirannya yaitu no where, no memory, dan no rich content pada
bangunan arsitektur modern. Pendapat ini diutarakan oleh sejumlah arsitek yang
sudah bosan dengan bentuk bangunan modern, tidak berkaca pada sejarah,
memiskinkan bahasa arsitektural, dan kekayaan makna pada bangunan direduksi
4
sehingga bangunan bergaya ‘peti mati putih’ menjamur di seluruh kota dunia. Solusi
yang ditawarkan arsitektur postmodern seperti mengembalikan ornamen dan
dekorasi, mengembalikan aspek historisitas bangunan, serta memperkaya bahasanya
berdasarkan olah bentuk yang beragam dalam metafora arsitektur yang berfokus pada
aspek semantik seperti simbol dan makna (Ikhwanuddin, 2005: 55).
Pada konteks tersebut, postmodernisme arsitektur hendak mengubah kembali
paradigma ragam bentuk arsitektur dan memperkaya makna dan bahasanya dengan
mengembalikan langgam arsitektur oleh besutan gerakan regionalisme. Gerakan ini
ditujukan sebagai perlawanan terhadap universalisme gaya internasional agar
bangunan dapat tumbuh berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang sempat tercerabut.
Berdasarkan langgam ini, bentuk bangunan berhak dibebaskan dan sepenuhnya
diserahkan pada arsitek lokal untuk mengekspresikan serta mengkreasikan bentuk
dan isi bangunan pada titik kedaerahan mereka berpijak. Arsitektur postmodern
menjembatani nilai kultur-tradisional agar orang dapat menikmati bentuknya,
merasakan ekspresi dan kreasinya yang penuh dengan emosi, juga membedakan
fungsi berdasarkan kegunaannya.
Melihat olah bentuk arsitekturnya, pemikiran postmodernisme mencoba
mendobrak tradisi rasionalisme arsitektur, dunia seni dan filsafat seni dapat menjadi
pedoman yang berjalan beriringan, karena seni dan arsitektur memiliki keterkaitan
yang kuat satu sama lain. Dalam filsafat seni dibahas mengenai ragam bentuk, isi,
ekspresi, kreasi, nilai, dan sekelumit permasalahan tentang pengalaman estetis dan
5
lainnya, maka landasan filsafat seni dan dunia arsitektur memiliki korelasi yang kuat
terutama dalam pembahasan mengenai diskursus arsitektur postmodernisme.
Sebagaimana arsitektur, seni juga ikut mengalami pasang surut perubahan zaman
yang mengantarkan seni pada dinamika postmodern dan kontemporer. Seni arsitektur
berbeda dengan jenis seni yang lain karena terikat dan terbatasi oleh material seni
bangunannya dan fungsi bangunan tersebut, sehingga arsitektur termasuk dalam seni
guna yang sebelumnya diolah berdasarkan problem-problem dalam filsafat seni
menuju sebuah bangunan (Sumardjo, 2000: 109-110).
Setelah berjalan beriringan, arsitektur menciptakan gerakan postmodern,
gerakan seni postmodern juga aktif berperan dalam mengkritisi seni modern yang
dikenal kaku dan individualistis. Seni postmodern mencoba mendobrak batasan
antara seni tinggi dan seni rendah dan mengkomunikasikannya pada masyarakat,
sehingga tidak lagi terjadi kesenjangan sosial dan keberpihakan seni pada golongan
tertentu. Seniman postmodern lebih suka mengambil dari manapun hasil karya seni
untuk dikembangkan dalam pola dan konteks yang baru, sehingga seni postmodern
lebih unggul dengan memberontak terhadap tendensi pencarian nilai-nilai universal
(Norma, 1998: xxvii-xxviii). Karena seni selalu memuat sifat yang berakar pada
konteks sosio-kultural, maka dalam penafsirannya dapat berbeda satu sama lain.
6
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang ingin
dijawab adalah sebagai berikut:
a. Apa konsep dasar arsitektur postmodernisme?
b. Bagaimana kritik-kritik postmodernisme terhadap modernisme dalam seni
arsitektur?
c. Bagaimana filsafat seni memandang arsitektur postmodernisme?
2. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelitian di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada, ternyata penulis belum menemukan penelitian yang membahas
mengenai arsitektur postmodern dalam kajian filsafat seni, tetapi setidaknya terdapat
beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dalam objek formal:
a. R. Sukaca Widyatmanta, 2006, “Lukisan Telanjang Karya Affandi dalam
Tinjauan Filsafat Seni”, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini
memaparkan peran filsafat dalam fenomena ketelanjangan dalam lukisan
telanjang karya Affandi secara umum mengusung konsep seni sebagai
ekspresi dengan penekanan pada emosi dan perasaan subyektif seniman
terhadap kenyataan.
b. Nurcholis, 2010, “Pemanggungan Pertunjukan Wayang Kulit: dalam
Tinjauan Filsafat Seni”, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini secara
garis besar memaparkan tentang wayang adalah suatu petunjuk
7
keberadaan
manusia.
Tokoh-tokoh
dalam
pewayangan
berusaha
diungkapkan lewat tinjauan filsafat seni dalam masing-masing modelnya.
c. Anastasia Jessica Adinda Susanti, 2010, “Relasi Novel Arok Dedes Karya
Pramoedya Ananta Toer dengan Realitas Politik Indonesia Tahun 19651979 (Tinjauan Filsafat Seni Chernyshevsky)”, skripsi Fakultas Filsafat
UGM. Karya ini memaparkan tentang korelasi antara novel karya
Pramoedya Ananta Toer tentang “Arok Dedes” dengan realitas kehidupan
politik pada peristiwa 30 September 1965 dengan batasan filsafat seni
Chernyshevsky.
Sedangkan, penelitian yang memiliki kemiripan dengan objek material yang
akan ditulis antara lain:
a. Chatarina Indah S., 1998, “Konsep Keindahan dalam Arsitektur menurut
YB Mangunwijaya”, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini
memaparkan tentang perspektif keindahan arsitektur khususnya di
Indonesia karya YB Mangunwijaya yang dikenal sebagai Romo Mangun.
b. Agus Pramana, 1998, “Nilai Estetis dalam Arsitektur Rumah Jawa”,
Skripsi Fakultas Filsafat UGM. Karya tulis ini menjelaskan tentang nilainilai keindahan yang terkandung dalam rumah adat Jawa yaitu Joglo
berdasarkan kekuatan dan keindahan yang dimilikinya.
c. Ikhwanuddin, 2005, “Menggali Pemikiran Posmodernisme dalam
Arsitektur”, tesis yang berjudul “Postmodernisme dalam Arsitektur” telah
8
dibukukan dari Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan Perencanaan
UGM. Buku ini memaparkan tentang dinamika perkembangan arsitektur
postmodern, menjawab tantangan global sebagai langkah oposisional
terhadap pemikiran arsitektur modernisme.
d. Ardiansyah Ashar, 2008, “Nilai Estetis yang terdapat dalam Gaya
Arsitektur Rumah Minimalis”. Skripsi Fakultas Filsafat UGM. Karya tulis
ini menjabarkan dimensi estetika arsitektur yang terkandung dalam rumah
minimalis khususnya di Indonesia.
Berdasarkan hasil temuan, kedua penelitian yang memiliki kemiripan
dengan objek material membahas tentang perkembangan arsitektur. Penulis
mencoba menghindari pendekatan serupa dalam kajian historis perkembangan
arsitektur. Kajian arsitektur yang lebih terperinci digunakan penulis sebagai
sebuah pengamatan dimensi historis dalam dinamika arsitektur dunia.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
a. Bagi ilmu pengetahuan, peneliti berharap penelitian ini mampu
memberikan kontribusi posistif dan melengkapi pandangan mengenai
arsitektur postmodernisme serta memberikan pandangan berbeda terhadap
arsitektur modern dan postmodern.
9
b. Bagi filsafat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran terhadap studi arsitektur postmodernisme secara umum dan
secara khusus bagi studi filsafat seni.
c. Bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan wawasan baru tentang arsitektur postmodernisme
secara terperinci.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian adalah menjawab
pertanyaan yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu:
1. Memberikan penjelasan mengenai konsep-konsep dasar dalam arsitektur
postmodernisme
2. Menjelaskan tentang kritik-kritik aliran postmodernisme terhadap aliran
modernisme dalam seni arsitektur
3. Menemukan penjelasan tentang pandangan filsafat seni terhadap arsitektur
postmodernisme
C. Tinjauan Pustaka
Berbicara
tentang
arsitektur
postmodern
berarti
menilik
kembali
perkembangannya sebagai sebuah gerakan masal penentang arsitektur modern pada
akhir abad 20. Arsitektur postmodern adalah sebuah manifesto yang hendak
10
menggugat keberadaan arsitektur modern setelah sekian lama menciptakan kondisi
monotoni karya arsitektural di seluruh dunia. Andreas Huyssen dalam Ikhwanuddin
(2005: 20), menyebutkan di era modern, arsitektur adalah bentuk yang paling mudah
dilihat ketika modernisasi terus mengampanyekan industrialisasi diberbagai bidang
hingga mengakibatkan efek alienasi pada citra komunitas lokal dan eksistensi
jaringan kota. Serangan tersebut menjadi fondasi dasar bagi kekuatan gerakan
postmodernisme di bidang arsitektur.
Postmodern sebagai sebuah gerakan awalnya didirikan dalam bidang yang
lebih luas seperti seni, sastra, ilmu sosial atau politik. postmodern adalah nama
gerakan dalam kebudayaan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang secara khusus
merujuk pada bidang seni (Munir, 2008: 125). Dalam bentuk manifesto arsitektur
postmodern, mereka berpendapat akan menemukan sebuah pembaruan yang
spektakuler dari asosiasi historis arsitektur melalui lukisan, grafis dan pahat
(Anderson, 2008: 33). Gerakan postmodern sendiri kemudian bergerak menjadi sikap
oposisional terhadap arsitektur berhaluan modern yang ternyata belum mampu
menjawab dinamika peradaban manusia kini dan nanti.
Arsitektur modern dikupas dengan menyoroti titik awal kemunduran
eksistensi arsitektur modernisme pada peledakan gedung Apartemen Pruitt-Igoe di
Saint Louis, Amerika Serikat. Apartemen tersebut dihancurkan karena berbagai
tindak kriminal kerap terjadi, desainnya berbentuk kotak bercat putih dinilai tidak
manusiawi, hanya kekuatan beton yang tidak dapat mencitrakan wujud lain selain peti
11
mati saja. Kritik tersebut ditujukan pada perintis arsitektur modern dengan menyusun
kembali dan menetapkan identitas baru berdasarkan literasi yang merujuk pada
disiplin ilmu lain seperti sejarah, psikologi, sosiologi, dan bahasa. Sementara
perancangan atas identitas baru masih dirumuskan dengan tidak memecahkan
masalah secara sederhana, melainkan melakukan sebuah perencanaan berlandaskan
pada masalah yang ada (Ikhwanuddin, 2005: 19).
Kritik-kritik yang digunakan dalam penyerangan tehadap arsitektur modern
dengan menegaskan posisi nilai kesejarahan dan kontektualitas bangunan berdasarkan
nilai lokal kebudayaan yang melekat di lingkungan sekitar. Tiga acuan dasar kritik
arsitektur modern terdapat pada no where, no memory, dan no rich content kian
menyudutkan posisi arsitektur modern yang tidak dapat membuktikan keterkaitan
rancang bangunnya dengan tiga acuan tersebut. Berdasarkan ketiga acuan kritik
tersebut, arsitektur postmodern menetapkan langgamnya dan memperhitungkan
desain-desain kompleksitas yang kontradiktif pada sebuah bangunan, tidak semata
sederhana, tapi justru merumitkan desain. Meskipun demikian, arsitektur postmodern
tidaklah meninggalkan apa yang telah diwariskan arsitektur modern, Charles Jencks
dalam Ikhwanuddin (2005: 22) menyatakan bahwa postmodernisme merupakan
lanjutan dari modernisme dengan mengkombinasikan teknik modern dengan sesuatu
yang lain dan menambahkan konsep double coding (bahasa ganda).
Double coding dalam istilah arsitektur postmodern adalah sebuah ekspresi
multivalent yang menjelaskan bahwa arsitektur sebaiknya dapat ‘berbicara’. Secara
12
tersirat, istilah ini menjelaskan bahwa karya arsitektural harus memiliki bahasa yang
berganda sehingga dapat dikaitkan dengan objek apapun yang diperhatikan manusia.
Arsitektur sendiri dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat yang ada di
sekelilingnya, sehingga double coding diartikan juga sebagai kompleksifikasi
perpaduan unsur modern dan tradisional. Senada dengan pendapat Jencks ini, Kisho
Kurokawa menegaskan pentingnya kajian arsitektur yang bersumber pada filsafat
kebudayaan, sekaligus menggiring analisis berdasarkan akar sejarah dan budaya
secara mendalam (Ikhwanuddin, 2005: 73).
Paradigma arsitektur postmodernisme mengantarkan arsitektur menjadi
sebuah media komunikasi yang dibentuk lewat ragam budaya yang melingkupinya.
Arsitektur dibentuk dengan mengaktualisasikan keberadaan budaya agar pengenalan
atas identitas suatu masyarakat dapat terbaca. Sebagai contoh terdapat pada rumah
tradisional Jawa, masyarakat Jawa menilai rumah tinggalnya merupakan ungkapan
dari hakekat penghayatan terhadap kehidupan. Rumah tinggal di Jawa dibangun
dengan berlandaskan norma, nilai, perilaku, serta sisi spiritualitas masyarakatnya
(Pramana, 2000: 74). Arsitektur adalah bagian yang integral dari pengembangan
kebudayaan, maka segenap perwujudan dari seluruh hasil pikiran (logika), kemauan
(etika), serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka pengembangan kepribadian
bangsa (Chatarina Endah, 1998: 30-31).
Sisi inilah yang menjadi sorotan utama arsitektur postmodernisme, ketika
kesenjangan yang terjadi dalam bangunan berarsitektur modern merebak, kebosanan
13
masyarakat tanpa bisa mengenali identitas bangunan dalam sebuah kota semakin
memuncak, postmodernisme hadir memberikan rancangan desain arsitektural yang
kontekstual. Vittorio Lampugnani dalam Sumalyo (2003: 592), menjelaskan bahwa
postmodern layaknya modern, menganjurkan untuk memperbaiki arti arsitektur
dengan mengetengahkan elemen arsitektur konvensional dan lebih pluralistik dengan
memperkaya gaya dan bentuk oleh perancangnya. Terlebih lagi ditemukan benangbenang penghubung yang terjalin antara arsitektur modern dan postmodern dalam
tinjauan
dinamika
sosial
budaya
terhadap
perkembangan
gagasan-gagasan
arsitektural baru (Tanudjaja, 1992: 12).
Romi Koshla, seorang arsitek asal India, menyebutkan bahwa pemerataan
gaya internasional adalah penyebab lenyap, luntur, atau pudarnya jati diri arsitektur
dan terputusnya mata rantai kesinambungan budaya lokal, regional maupun nasional.
Budaya Barat yang merebak ditudingnya sebagai coitus interruptus, yaitu pemenuhan
kepuasan dan ekspresi jati diri tersedia tetapi sengaja tidak diolah sampai puncak
perancangan arsitektur dalam karya arsitektural kawasan Timur yang spesifik.
Budaya Barat cenderung menonjolkan superioritas teknologi dan kultural, maka
negara berkembang mengalami “rendah diri teknologi dan kultural” dengan mudah
akan mengadopsi sumber daya superior tersebut ke semua aspek kehidupan termasuk
arsitektur (dalam Budihardjo [ed], 1997: 51-52).
Berbanding terbalik dengan konsep rumah
minimalis
yang tengah
berkembang di Indonesia saat ini. Dalam skripsinya yang berjudul “Nilai Estetis yang
14
Terdapat dalam Gaya Arsitektur Rumah Minimalis”, Ardiansyah Ashar (2008: 94),
menyebutkan nilai estetis rumah minimalis tidak mengandalkan ornamen dan objek
artifisial, tetapi lebih merujuk pada bentuk yang jujur, fungsi, dan penjiwaan ruang
yang diciptakan dengan tetap mempertahankan faktor kenyamanan meskipun ruangan
sangat minim. Pernyataan tersebut akan bertolak belakang dengan kondisi masyarakat
postmodern yang digambarkan memiliki kehidupan yang plural dan komunal, serta
masyarakat yang hidup dan bekerja dengan imajinasi dan kreativitas (Griffin, 2005:
40). Apa yang diwujudkan dalam bangunan berarsitektur minimalis akan berasosiasi
dengan gaya yang dibentuk oleh rasionalitas arsitektur modernisme, dan
kenyataannya sikap penghuni rumah tersebut akan berdampak pada nilai sosial yang
kurang, serta kesenjangan sosial dalam motif baru.
Dialektika arsitektur postmodern menurut Charles Jencks, menekankan pada
beberapa pemikiran seperti bentuk-bentuk yang kontradiktif, ambigu, parodi,
metafora, dengan mengaplikasikan penerapan double coding untuk memecahkan
pembacaan terhadap karya arsitektur dari perspektif masing-masing orang; kemudian
hibrida (hybrid) guna menyatukan dan mengkondisikan bangunan yang bertentangan
dalam gaya jukstaposisi; dan arsitektur postmodern lahir sebagai schizophrenia, suatu
penyakit mental, menggambarkan kondisi masyarakat postmodern yang saling
berlawanan satu sama lain, namun tetap terhubung dalam dinamika sebuah kelompok
sosial (Ikhwanuddin, 2005: 50-54).
15
D. Landasan Teori
Seni secara terminologis diterjemahkan sebagai sesuatu yang bias karena
tidak dapat didefinisikan secara utuh dengan pengertian yang beragam pula. Seni
diartikan secara umum sebagai sebuah perbuatan apapun yang dilakukan dengan
sengaja dan maksud tertentu yang mengacu pada apa yang indah. Seni memiliki
keterkaitan yang kuat dengan kegiatan berketerampilan guna menciptakan sesuatu
lewat pengalaman estetis seseorang agar memperoleh hasil karya yang diingingkan
menurut prinsip-prinsip estetika (Bagus, 2000: 987).
Seni dapat menyampaikan perasaan-perasaan terdalam pada tiap individu,
memberikan kenikmatan, menjadi teman saat berduka, menghibur, dan seni seringkali
digunakan untuk memikat dan meyakinkan tiap individu dengan ragam ekspresi dan
bentuk juga citranya (Smiers, 2009: ix). Berkesenian berarti usaha manusia untuk
menciptakan bentuk menyenangkan yang dapat membingkai perasaan indah ketika
penyajian bentuk selesai. Seni juga memiliki fungsi sebagai sebuah penyampaian
sesuatu dari dalam diri pembuatnya, seperti fungsi spiritual, edukatif, komunikatif,
personal, sosial, serta fungsi fisik yang berusaha dijelaskan lewat ragam bentuk yang
tidak dapat dibahasakan secara verbal (Gie, 1996: 47-52; Dharsono, 2003: 26-28).
Setiap benda seni pasti memiliki sifat-sifat tertentu yang terkandung di
dalamnya. Seni bukan sebatas benda seni saja, tetapi esensi yang dikandung memiliki
dua batasan, yang pertama adalah nilai, karena seni bukanlah apa yang diperlihatkan
oleh benda seni, tetapi nilainya. Kedua yang bersifat empiris-ilmiah, mencakup
16
keterangan yang menjelaskan persepsi seseorang apakah suatu benda termasuk benda
seni atau bukan, kemudian keindahan atau pengalaman seni terletak pada perasaan
individu manusia, bukan pada benda yang menimbulkan pengalaman seni. Benda seni
adalah perwujudan dari nilai-nilai seni yang diekspresikan pembuatnya, dan
dikatakan berhasil jika publik dapat menggali nilai yang terkandung dalam artefak
seninya (Sumardjo, 2000: 49-51).
Suzanne K. Langer dalam bukunya Problematika Seni menjelaskan terdapat
persamaan pada setiap jenis seni dalam menetapkan sebuah karya seni, yaitu ekspresi,
bentuk, isi, dan kreasi yang ketiganya tidak dapat terpisahkan (Langer, 2006: 17).
Problematika tersebut mengantarkan filsafat seni membedakan kajiannya dengan
filsafat keindahan atau estetika. Estetika hendak mengungkapkan pemahaman kaidahkaidah estetik yang bersifat umum baik itu alam atau kehidupan sehingga dapat
disejajarkan dengan filsafat tentang nilai, atau etika. Jakob Sumardjo (2000: 26),
menambahkan:
“Estetika merupakan bagian dari studi filsafat yang bersifat spekulatif,
menyeluruh dan logis, dan awalnya adalah bagian dari pemikiran filsafat
umum. Menuju abad modern, filsafat keindahan ini akhirnya membatasi
kajiannya pada pada karya seni dan menggeser fokusnya juga pada ranah
keilmuan. Maka estetika modern dinamai pula sebagai estetika ilmiah dengan
objek kajian pada ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
logika dan lain sebagainya.”
Filsafat
seni
sebagai
bagian
dari
kajian
filsafat
keindahan
lebih
mengkhususkan pembahasannya pada aspek kreativitas seniman, terhadap bendabenda seni, nilai-nilai seni, pengalaman estetis seseorang serta komunikasi seni. Di
17
dalamnya juga terkandung nilai konteks seni sehingga pada akhirnya karya dapat
dipahami oleh publik seni yang bergantung pada aspek pokok filsafat seni seperti
sikap estetik, bentuk formal, pengalaman estetik, persoalan nilai, dan pengetahuan
dalam seni (Sumardjo, 2000: 27).
Berdasarkan pemaparan tersebut, kajian filsafat seni dapat menjadi induk
yang digunakan sebagai pisau analisis bagi cabang-cabang seni lainnya. Penelitian
tentang korelasi antara arsitektur dan filsafat seni ini memiliki kesinambungan yang
khas karena dunia arsitektur dan dunia seni beriringan membangun pandangan di era
yang disebut postmodern. Arsitektur adalah bagian dari cabang seni karena memiliki
nilai kegunaan langsung dirasakan oleh penikmat dan penggunanya Sebagaimana
yang diungkap dalam problematika seni, arsitektur juga memiliki nilai-nilai yang
serupa dengan kajian filsafat seni.
“Seni memandang arsitektur sebagai seni bangunan termasuk ragam hias di
dalamnya, sementara dari sudut pandang teknik, arsitektur adalah sistem
mendirikan bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi, struktur, dan
juga mencakup aspek dekorasi dan keindahannya. Membangun bentuk
arsitektur adalah naluri makhluk hidup, maka tidak berlebihan jika makhluk
lain seperti hewan ketika membangun sarangnya juga memiliki nilai arsitektur
seperti fungsi, daya tahan terhadap alam dan memancarkan keindahannya
sendiri, namun berrbeda secara prinsipil karena hewan tidak berbudaya.”
(Sumalyo, 2005: 1).
Budi A. Sukada menjelaskan bahwa arsitektur merupakan ungkapan ekspresi
dari apa yang dipikirkan pembuatnya. Pada dasarnya arsitektur ingin selalu
menyampaikan pesan karena tidak dapat diutarakan secara verbal (Budihardjo [ed.],
1996: 33). Begitu juga dalam tradisi zaman yang berubah, postmodernisme dalam
18
seni dan arsitektur semakin memperkuat landasan filosofisnya yang mengarah pada
wacana kearifan lokal sehingga tak lagi terdapat batasan seni tinggi dan rendah
(Prawira, 2000: 170). Filsafat seni sebagai kerangka sekaligus pendekatan penelitian
ini akan menjabarkan relasi di antara keduanya hingga berujung pada evaluasi kritis
atas pemahaman bentuk arsitektur postmodern bagi dunia dan masyarakat.
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian sederhana ini merupakan sebuah riset yang berbasis pada studi
kepustakaan yang diambil dari beberapa studi yang terkait dengan materi penelitian.
Pustaka yang digunakan yaitu:
Pustaka primer yaitu buku, hasil penelitian, jurnal atau artikel yang memiliki
otoritas terkait objek material dan objek formal. Data yang digunakan sebagai rujukan
utama dalam jalannya penelitian, membahas tentang pemikiran arsitektur postmodern
sebagai objek material dan filsafat seni sebagai objek formalnya. Buku-buku yang
menjadi sumber primer objek formal dalam penelitian ini antara lain: Problematika
Seni (2006), karya Suzanne K. Langer; Filsafat Seni (2000), karya Jakob Soemardjo;
Teks-Teks Kunci Estetika Filsafat Seni (2005), kumpulan esai oleh Mudji Sutrisno,
dkk; Postmodernisme (1996), karya I. Bambang Sugiharto; dan Vodka dan Birahi
Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (2012), karya St. Sunardi.
19
Sementara objek material antara lain: Menggali Pemikiran Postmodern dalam
Arsitektur (2005), karya Ikhwanuddin; Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad
XX Edisi ke-2 (1997), karya Yulianto Sumalyo; Pengantar Arsitektur (1984), karya
James C. Snyder dan Anthony J. Catanese; The Language of Post-Modern
Architecture (1984), karya Charles Jencks.
Sementara pustaka sekunder adalah buku, hasil penelitian, jurnal atau artikel
sebagai rujukan kedua setelah pustaka primer yang berguna sebagai pembanding dan
membantu memahami pengertian atau istilah kunci dalam pustaka primer. Pada objek
formal antara lain: Seni, Politik, Pemberontakan (1998), disunting oleh Ahmad
Norma; Sejarah Seni Rupa Modern (2000), karya Nanang Ganda Prawira; Visi-Visi
Postmodern (2005), karya David Ray Griffin; Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat
Kontemporer (2008), karya Misnal Munir; Menggugat Modernisme: Mengenali
Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Paul Baudrillard (2012), karya Medhy
Aginta Hidayat; Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektur di Indonesia
(2012), karya Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia.
Sedangkan dalam objek material antara lain: Dimensi Estetika pada Karya
Arsitektur dan Desain (2004), karya Artini Kusmiati; Arsitektur dan Perilaku
Manusia (2004), karya Joyce Marcella Laurens; Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan
Makna Sosial Budaya Manusia (1992), karya F. Christian J. Sinar Tanudjaja;
Complexity and Contradiction in Architecture (1966), karya Robert Venturi; Jati Diri
20
Arsitektur Indonesia (1996) dan Arsitektur Pembangunan dan Konservasi (1997). ,
karya Eko Budihardjo [ed.], dkk.
2. Jalan Penelitian
a. Inventarisir data: mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian
tentang arsitektur postmodernisme dalam kajian filsafat seni baik berupa
buku, jurnal, dan artikel terkait untuk dikaji lebih dalam.
b. Klasifikasi data: memilah data yang telah diperoleh menjadi data primer dan
data sekunder. Pemisahan dan klasifikasi dilakukan pada sumber seperti buku,
jurnal, dan artikel yang memiliki keterkaitan dengan objek formal dan objek
material penelitian. Data primer digunakan sebagai acuan utama, sementara
data sekunder sebagai penunjang jalannya penelitian.
c. Analisis data: dengan melakukan analisis terhadap data yang diperoleh
dengan metode yang dipilih untuk melakukan penelitian. Data yang dianalisis
mencakup data primer dan data sekunder tentang arsitektur postmodernisme
dan filsafat seni.
d. Penyusunan hasil: merupakan penulisan yang akan dilakukan secara
sistematis dan koreksi terhadap penelitian.
3. Analisis Hasil
Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan menggunakan model
penelitian deduktif dengan menggunakan metode hermeneutika. Penulis berupaya
menangkap dan memberi penafsiran baru dalam memahami teks yang terkait dengan
21
arsitektur postmodernisme. Guna memperoleh analisis tersebut digunakan unsur
metodis berupa: inventarisasi, deskripsi, analisis dan interpretasi:
a. Inventarisasi, mengumpulkan bahan pertimbangan historis yang dapat
ditemukan dalam kepustakaan tentang konsep arsitektur postmodernisme dan
tinjauan filsafat seni.
b. Deskripsi, data yang terkait dengan arsitektur postmodern dan filsafat seni
dipaparkan seakurat mungkin sehingga memperoleh pemahaman yang jelas.
c. Analisis, penulis melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas makna
yang terkandung dalam istilah atau konsep-konsep serta permasalahan yang
timbul terkait objek kajian arsitektur postmodern dan filsafat seni.
d. Interpretasi, semua bahan dari data yang sudah ada kemudian dianalisis dan
dipahami untuk menemukan arti dan makna sejelas mungkin. Langkah ini
dimaksudkan untuk menafsirkan secara filosofis tentang konsep filsafat seni
dalam memandang arsitektur postmodernisme.
F. Hasil yang Dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban
dari persoalan yang telah disampaikan dalam rumusan masalah, yaitu:
1. Mengungkapkan konsep arsitektur postmodernisme yang berkembang.
22
2. Mendapatkan gambaran umum dan pemahaman tentang konsep seni dalam
arsitektur
postmodernisme
berdasarkan
kritik
postmodern
terhadap
modernisme.
3. Memberikan deskripsi mengenai pandangan filsafat seni terhadap arsitektur
postmodernisme.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama, memuat pendahuluan yang berisi latar belakang dilakukannya
penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan
dicapai, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi tentang pembahasan mengenai objek formal terkait yaitu
filsafat seni, mendeskripsikan pengertian filsafat seni, perkembangan teori seni,
periodisasi seni, aliran-aliran dalam filsafat seni, serta bentuk umum yang dapat
dikaji lewat filsafat seni.
Bab ketiga, memuat tentang pembahasan objek material terkait yaitu
arsitektur postmodern berupa sejarah arsitektur, perkembangan arsitektur, latar
belakang perkembangan arsitektur postmodern, tokoh-tokoh dalam arsitektur
postmodern, kritik terhadap arsitektur modern dan bentuk-bentuk arsitektur
postmodern.
23
Bab keempat, berisi tentang analisis mengenai filsafat seni yang terdapat
dalam
arsitektur
postmodern
berupa
tinjauan-tinjauan
mendasar
mengenai
problematika dalam filsafat seni dan arsitektur postmodern, serta mengupayakan
sebuah refleksi kritis filsafat seni terhadap perkembangan arsitektur postmodern.
Bab terakhir, merupakan bagian penutup dari seluruh rangkaian penelitian ini
yang memuat kesimpulan sebagai refleksi pemikiran dari hasil penelitian, dan saran
dalam karya tulis ini.
Download