6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul atau rice bran

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bekatul
Bekatul atau rice bran merupakan hasil samping proses penggilingan padi
berasal dari lapisan terluar beras yaitu bagian antara butir beras dan kulit padi.
Warna bekatul padi bervariasi dari coklat muda sampai coklat tua. Bentuk bekatul
serta letak bekatul dalam padi dapat dilihat pada Gambar 2.1.
(a)
(b)
Gambar 2.1. (a) bentuk bekatul dan (b) lapisan bekatul dalam butir padi
(http:www.nutracea.com/a_ricebran.php).
Sebenarnya bekatul memiliki karakteristik cita rasa lembut dan agak
manis. Namun pada kenyataannya, cita rasa bekatul sering digambarkan bau
tengik, apek, dan asam. Hal ini terjadi karena bekatul mudah mengalami
kerusakan. Penurunan mutu bekatul ditandai dengan bau tengik dan struktur
menggumpal. Hal ini disebabkan aktivitas lipase yang menghidrolisis lipid
bekatul menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Widowati, 2001). Untuk
memperoleh bekatul yang tidak mudah tengik dan memperpanjang masa simpan,
6
7
maka bekatul harus diawetkan segera setelah diperoleh dari penggilingan padi.
Teknik pengawetan bekatul bisa dilakukan dengan cara dibungkus rapat dan
disimpan dalam lemari es pada suhu -4oC atau diawetkan menggunakan autoklaf
yang dilakukan pada suhu 121oC selama 3 menit (Damayanthi dkk, 2004).
Selama ini penggunaan bekatul masih terbatas hanya sebagai pakan ternak.
Sebenarnya bekatul yang kaya akan kandungan gizinya dapat dijadikan bahan
baku industri makanan dan industri farmasi. Bekatul dapat dicampur dengan
bahan lain pada pembuatan biskuit dan kue serta sereal. Selain itu juga
pemanfaatannya sebagai minyak goreng telah banyak digunakan di luar negeri.
2.2
Minyak Bekatul
Minyak bekatul atau yang lebih dikenal dengan rice bran oil adalah
minyak hasil ekstraksi bekatul yang merupakan salah satu produk dari industri
penggilingan padi. Berdasarkan hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian (BB-Pascapanen), randemen minyak
bekatul yang dihasilkan sekitar 14-17%. Selanjutnya Tahira et al. (2007)
memperoleh randemen minyak bekatul rata-rata sebesar 19,32%. Berbedanya
randemen minyak bekatul ini tergantung kepada varietas padi, proses
penggilingan, metode ekstraksi minyak, serta kondisi dan lamanya penyimpanan
bekatul (Nursalim dan Zalni, 2007).
Ekstraksi minyak bekatul bisa dilakukan pada suhu tinggi maupun rendah.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bekatul bisa diekstraksi dengan baik
menggunakan alat ekstraksi padat-cair dengan cara Soxhlet dan pelarut n-heksan.
8
Kualitas minyak yang dihasilkan berbau khas minyak bekatul dengan sedikit
berbau heksan, serta berwarna kuning kecoklatan (Nursalim dan Zalni, 2007).
Ekstraksi minyak bekatul dengan heksan pada suhu tinggi menghasilkan wax 34%. Wax dapat dipisahkan dari minyak dengan cara kristalisasi atau diendapkan
pada suhu rendah. Selain itu juga bisa dihilangkan dengan cara sentrifugasi karena
minyak memiliki massa jenis yang lebih kecil dari wax (Marshall et al., 1994).
Asam lemak bebas yang dapat dihasilkan sekitar 5-7% dari berat minyak bekatul.
(Mazza, 1998).
Minyak bekatul umumnya dimanfaatkan sebagai minyak goreng dan
margarin. Minyak bekatul memiliki titik asap yang cukup tinggi yaitu 254oC,
lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Selain itu minyak bekatul
memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yang bisa menurunkan
kadar kolesterol, sehingga minyak bekatul merupakan minyak goreng terbaik
diantara minyak yang ada (Mulyana, 2007).
Minyak bekatul telah digunakan secara luas di beberapa negara Asia
Timur dan Amerika sebagai premium edible oil atau minyak makan berkualitas
terbaik (Mulyana, 2007). Beberapa tahun terakhir minyak bekatul telah diproduksi
dan dimanfaatkan sebagai minyak salad, bahan baku kosmetik, bahkan
dikonsumsi langsung sebagai suplemen kesehatan. Minyak bekatul yang tidak
termurnikan bisa dimanfaatkan dalam pembuatan sabun. Bekatul yang sudah
diekstraksi minyaknya mengandung 1-3% minyak sisa yang sangat baik untuk
binatang ternak. Produk samping lain dari ekstraksi minyak bekatul adalah malam
9
(wax) yang bisa menggantikan carnauba wax dalam penggosokan, pembuatan
kertas karbon, dan produk lainnya (Nursalim dan Zalni, 2007).
2.3
Komposisi Kimia Bekatul dan Minyak Bekatul
2.3.1
Komposisi Kimia Bekatul
Komposisi kimia bekatul sangat bervariasi, tergantung pada faktor
agronomis, varietas padi, dan proses penggilingannya (Ardiansyah, 2008). Secara
umum bekatul mengandung protein (11,5%-17,2%), lipid (10-23%), karbohidrat
(51,1%-55%), abu (8%-17,7%), serat kasar (6,2%-31,5%), mineral dan vitamin
(Mazza, 1998). Protein bekatul lebih rendah dari protein hewani namun lebih
tinggi daripada kedelai, biji kapas, jagung, dan terigu. Bekatul mengandung asam
amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras (Damayanthi dkk., 2007).
Mineral yang paling banyak terkandung di dalam bekatul adalah fosfor.
Selain itu magnesium, kalium, besi, dan silikon dengan persentase yang cukup
tinggi serta natrium dan kalsium dengan persentase rendah. Bekatul kaya akan
vitamin B diantaranya adalah vitamin B1, B2, B3, B5, dan B6 serta tokoferol.
Serat yang terkandung dalam bekatul terdiri dari selulosa dan hemiselulosa. Serat
tersebut termasuk ke dalam serat yang tidak larut dalam air. Serat yang tidak larut
dapat memperlancar saluran pencernaan sehingga dapat mencegah konstipasi dan
menurunkan kolesterol dalam darah serta untuk kesehatan jantung (Mazza, 1998).
Seperti yang telah dikemukakan Marshall et al. (1994) bahwa kandungan bekatul
yang dapat berpengaruh pada penurunan kolesterol adalah tokotrienol, oryzanol,
β-sitosterol, hemiselulosa, β-glukan, asam lemak tak jenuh, dan protein.
10
Bekatul sangat potensial dijadikan bahan pangan fungsional karena
kandungan gizinya yang tinggi. Namun bekatul mengandung asam fitat yang
merupakan senyawa antinutrisi yang mampu berikatan dengan protein dan
mineral. Asam fitat bisa diubah menjadi senyawa lain yang lebih sederhana oleh
enzim fitase. Enzim fitase dapat diproduksi oleh mikroorganisme melalui
fermentasi. Saat ini sudah banyak dilakukan pengolahan bekatul dengan cara
fermentasi (Sujono, 2001).
Bekatul hasil fermentasi telah digunakan sebagai bahan campuran pakan
ternak yang memberikan efek kesehatan yang baik untuk ternak, yakni dapat
menurunkan kolesterol daging dari 54,44 mg menjadi 29,59 mg serta kolesterol
telur dari 252,07 mg/100 g bahan kering menjadi 196,49 mg/100 g bahan kering
(Sujono, 2001). Tidak hanya sebagai pakan ternak, bekatul hasil fermentasi bisa
digunakan sebagai sumber asam lemak tak jenuh. Berdasarkan hasil penelitian
Jang et al. (2000), diketahui bahwa bekatul merupakan substrat yang paling
efektif dibandingkan kacang tanah, gandum, dan ubi untuk menghasilkan asam
lemak tak jenuh dalam produksi minyak sel tunggal menggunakan Mortierella
alpina.
2.3.2
Komposisi Kimia Minyak Bekatul
Minyak bekatul merupakan minyak sehat yang sangat efektif untuk
menurunkan kadar kolesterol (Tsuji et al., 1997). Minyak bekatul mengandung
asam lemak tak jenuh dan fraksi tak tersabunkan yang larut dalam lemak yaitu
tokoferol, tokotrienol, dan oryzanol. Tokoferol dan tokotrienol merupakan
11
komponen pembentuk vitamin E. Kandungan vitamin E dan oryzanol bervariasi
tergantung pada varietas padinya yaitu sekitar 2-5% dari berat minyak bekatul
padi kasar (Moustapha et al., 1994).
Vitamin E berguna untuk memperbaiki sirkulasi darah dan berperan
sebagai antioksidan alami yang dapat melindungi minyak dari proses ketengikan
tanpa harus menambahkan antioksidan sintesis. Tokoferol, tokotrienol, dan
oryzanol merupakan antioksidan alami yang bermanfaat melawan radikal bebas
dalam tubuh terutama sel kanker, serta membantu menurunkan kadar kolesterol
dalam darah. Oryzanol merupakan antioksidan yang sangat kuat dan lebih aktif
daripada vitamin E dalam melawan radikal bebas, serta dipercaya sangat efektif
menurunkan kolesterol dalam darah dan kolesterol liver, menstimulasi sistem
saraf, serta menghambat waktu menopause (Ardiansyah, 2008). Oryzanol
termasuk ke dalam kelompok ester asam ferulat dalam alkohol triterpen dan sterol
(Rong et al., 1997).
Sterol merupakan kandungan utama dari fraksi tak tersabunkan minyak
bekatul. Kandungan bahan ini mencapai 5% dari berat minyak. Sterol yang
terdapat dalam jumlah banyak di dalam minyak bekatul adalah β-sitosterol yang
jumlahnya 50 persen dari total sterol (Ardiansyah, 2008). Sterol berperan dalam
menghambat penyerapan kolesterol plasma darah dan meningkatkan ekskresi
sehingga dapat menurunkan penyerapan kolesterol total (Faisal, 2003).
Kandungan kimia minyak bekatul dapat dilihat pada Tabel 2.1.
12
Tabel 2.1. Kandungan kimia minyak bekatul (Narasinga, 2000)
Komponen
Kandungan*
mg/100g
Tokol
11
Tokoferol
4
Tokotrienol
7
Gamma Oryzanol
1176
Sikloartanol
106
Sikloartenol
482
24-Metilen Sikloartenol
492
Fitosterol
1806
Campesterol
51
Stigmasterol
271
β-sitosterol
885
Squalen
756
Fosfolipid
4200
Lilin
3000
Selain kandungan sterol, minyak bekatul mengandung asam lemak tak
jenuh yang tinggi yang memberikan efek ganda bersama sterol dalam penurunan
kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh telah terbukti berperan penting dalam
pencegahan dan pengobatan aterosklerosis (penyumbatan pembuluh darah),
hipertrigliseridaemia dan tekanan darah tinggi (Koswara, 2002). Asam lemak tak
jenuh menjadikan kolesterol darah pada tingkat kadar yang normal, khususnya
asam linoleat dan oleat. Hampir 80% komposisi asam lemak yang terdapat dalam
minyak bekatul adalah asam lemak tak jenuh (Ardiansyah, 2008). Asam oleat
merupakan asam lemak tak jenuh yang paling banyak terdapat dalam minyak
bekatul. Komposisi asam lemak minyak bekatul dapat dilihat pada Tabel 2.2.
13
Tabel 2.2. Komposisi asam lemak minyak bekatul (Parrado et al., 2005)
Jenis Asam Lemak
Jumlah (%)
Asam Miristat (14:0)
0,21
Asam Palmitat (16:0)
16,4
Asam Palmitoleat (16:1)
0,13
Asam Stearat (18:0)
1,72
Asam Oleat (18:1)
42,4
Asam Linoleat (18:2)
36,4
Asam Linolenat (18:3)
0,80
Asam Eikosanoat (20:0)
0.60
Asam lemak tak jenuh tunggal (oleat) pada minyak bekatul dapat
menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler seperti hiperlipidemik. Asam lemak
tak jenuh ganda (linoleat dan linolenat) yang terdapat dalam minyak bekatul bila
digunakan untuk diet dapat mencegah peningkatan kadar gula dalam darah
(Drajat, 2003).
2.4
Manfaat Minyak Bekatul Untuk Kesehatan
Bekatul maupun minyak bekatul telah terbukti dapat digunakan sebagai
obat dan mencegah berbagai penyakit seperti kanker, hiperlipidemia, penyakit
jantung, dan arterosklerosis (Parrado et al., 2005). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bekatul dapat memberikan efek hipokolesterolemik. Asam
lemak tak jenuh, hemiselulosa dan fraksi tak tersabunkan merupakan komponen
dari bekatul yang bisa menurunkan kolesterol. Hal ini dibuktikan pada hewan dan
manusia yang mengkonsumsi bekatul terjadi penurunan trigliserida darah yang
signifikan (Kahlon et al., 1996). Minyak bekatul menurunkan secara nyata kadar
low density lipo-protein (LDL) dan very low density lipo-prortein (VLDL), serta
14
minyak bekatul dapat meningkatkan kadar high density lipo-protein (HDL). Nilai
LDL dan HDL mempunyai implikasi terhadap kesehatan jantung dan pembuluh
darah. Nilai LDL yang tinggi dikaitkan dengan resiko tinggi terhadap penyakit
jantung, sebaliknya HDL tinggi dikaitkan dengan resiko rendah penyakit jantung
(Almatsier, 2001). HDL merupakan jenis kolesterol yang bersifat baik atau
menguntungkan (good cholesterol), karena mengangkut kolesterol dari pembuluh
darah kembali ke hati untuk dibuang sehingga mencegah penebalan dinding
pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses aterosklerosis (Bahri , 2004).
Kandungan asam lemak omega-3 (asam linolenat) pada minyak bekatul
sangat berpengaruh terhadap penurunan kolesterol. Asam lemak omega-3 dapat
membersihkan plasma dari lipoprotein kilomikron dan VLDL, serta dipercaya
menurunkan produksi trigliserida dan apolipoprotein di dalam hati. Asam oleat,
dengan satu ikatan rangkap, bersifat netral terhadap LDL (tidak menurunkan atau
menaikkan), tetapi dapat meningkatkan lipoprotein HDL (Almatsier, 2001).
Disamping terbukti mampu menurunan kadar kolesterol darah, telah
terbukti bahwa fraksi bekatul mempunyai kemampuan menurunkan tekanan darah
dan meningkatkan metabolisme glukosa dengan menggunakan hewan percobaan,
yang disebut stroke-prone spontaneously hypertensive rats (SHRSP), spesies tikus
yang secara genetik mengalami hipertensi dan hiperlipidemia. Hipertensi (tekanan
darah tinggi) dan hiperlipidemia (berlebihnya jumlah lemak) merupakan dua
kondisi penyebab penyakit kardiovaskuler dan aterosklerosis (Ardiyansyah,
2008).
15
2.5
Fermentasi
Fermentasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengolahan pangan
dengan menggunakan jasa mikroorganisme untuk menghasilkan sifat-sifat produk
sesuai yang diharapkan. Winarno dkk. (1980) mengemukakan bahwa fermentasi
menyebabkan terjadinya perubahan sifat pada bahan yang difermentasi karena
terjadi segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari
mikroorganisme. Fardiaz (1992) mendefinisikan fermentasi sebagai proses
pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob, yaitu tanpa memerlukan
oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama
karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis
bakteri tertentu saja.
Menurut jenis substratnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu
fermentasi substrat padat dan fermentasi substrat cair. Fermentasi substrat padat
merupakan proses fermentasi yang menggunakan substrat yang tidak larut tetapi
cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi
substrat cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di
dalam fase cair (Hardjo dkk., 1989).
Fermentasi substrat padat lebih menguntungkan dibandingkan dengan
fermentasi substrat cair karena dapat menggunakan substrat alami yang sifatnya
tunggal, persiapan inokulum yang lebih sederhana, dan dapat menghasilkan
produk dengan kepekatan yang lebih tinggi. Selain itu kontrol terhadap
kontaminasi lebih mudah dan kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami
sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti, serta aerasi dapat
16
berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar. Sekitar 50% nutrisi dari
substrat pada fermentasi padat, digunakan kapang untuk pertumbuhan selnya
(Susana, 2004).
2.6
Mikroorganisme Oleaginous
Menurut
Rahman
(1992),
mikroorganisme
oleaginous
adalah
mikroorganisme yang mampu menghasilkan lipid dengan kandungan lipid atau
minyak yang tidak tinggi. Secara umum yang termasuk mikroorganisme
oleaginous (Svedsen, 1994 dalam Debby dkk., 2003) yaitu :
a. Bakteri, seperti lemak dari Staphylococcus aureus, S. hycus, Bacillus,
Pseudomonas, dan Moraxella.
b. Kapang, seperti lemak dari Penicillium camemberti, Geotrichum candidum,
Aspergillus tereus, Mucor miehei, dan Humicola lanuginose.
c. Khamir, seperti lemak dari Candida antartika, C. Rugosa, dan C.
cylindraceae.
Mikroorganisme oleaginous memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat
pada berbagai jenis substrat, mampu mensintesis senyawa, dan manipulasi
genetik. Mikroorganisme oleaginous mampu melakukan berbagai reaksi seperti
oksidasi, desaturasi, dan hidrogenasi yang bisa meningkatkan biomassa produk
baik karbohidrat maupun lipid. Penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme
oleaginous mampu mengkonversi karbohidrat menjadi lipid hingga 20% (Leman,
1997).
17
Minyak yang dihasilkan oleh mikroorganisme oleaginous berpotensial
menjadi minyak makan berkualitas tinggi karena mikroorganisme tersebut dapat
menghasilkan asam lemak essensial yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia.
Sebagian besar khamir, kapang, dan bakteri telah diidentifikasi cukup berpotensi
untuk menghasilkan asam lemak, terutama untuk menghasilkan asam lemak tak
jenuh majemuk.
Jumlah lipid yang dihasilkan mikroorganisme bervariasi tergantung dari
spesiesnya. Lipid yang dihasilkan khamir dan kapang cenderung didominasi
menjadi triasilgliserol. Asam lemak yang dihasilkan khamir dan kapang terutama
adalah asam lemak C16 dan C18 seperti asam oleat, palmitat, linoleat, stearat, dan
palmitoleat. Karena itu khamir dan kapang bisa dijadikan sebagai pengganti
minyak tumbuhan menjadi minyak pangan yang komersial (Ratledge, 1992).
Kapang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan khamir, dilihat dari
kemampuannya untuk menggunakan limbah dan pertumbuhannya yang cepat
pada limbah, serta dapat menghasilkan berbagai asam lemak. Penggunaan kapang
untuk memproduksi asam lemak tak jenuh lebih mendapat perhatian. Hal ini
disebabkan kapang mudah ditangani, dapat tumbuh pada kisaran pH yang rendah
sehingga dapat mencegah kontaminasi dari jenis bakteri maupun khamir. Selain
itu, kapang dapat mendeteksi sumber karbon yang kompleks sebagai sumber
makanannya, mampu tumbuh cepat pada limbah, dan mampu menghasilkan
berbagai asam lemak (Ratledge dan Wilkinson dalam Debby dkk., 2003).
18
2.7
Aspergillus terreus
Kapang Aspergillus tersebar luas di alam yang terdiri dari 180 spesies.
Beberapa spesies Aspergillus digunakan untuk fermentasi makanan tradisional
seperti kecap asin, miso (tauco), dan untuk industri sake. Selain itu, Aspergillus
telah digunakan untuk produksi enzim skala industri diantaranya amilase dan
protease. Penelitian menunjukkan bahwa spesies Aspergillus terreus (A.terreus)
dapat menghasilkan lovastatin yang bisa menurunkan kolesterol (Lubertozzi,
2008). Morfologi kapang Aspergillus ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Morfologi Kapang Aspergillus
(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Aspergillus.jpg)
Karakteristik genus kapang Aspergillus adalah miseliumnya terdiri dari
hifa yang bercabang-cabang dan berseptat, berwarna terang atau tidak berwarna.
Miseliumnya sebagian masuk ke dalam medium dan sebagian ke luar. Sel kaki
terkadang di dalam medium, terkadang di luar dan lebih besar dari bagian lain
serta berdinding lebih tebal. Dari sel kaki timbul batang konidiofor dan tumbuh
tegak lurus (Fardiaz, 1992).
Adapun ciri-ciri spesifik A.terreus yaitu dapat mencapai pertumbuhan
setelah 3-6 hari pada media agar miring potato dekstrosa agar (PDA), spora
19
aseksualnya diproduksi dalam jumlah banyak yang menyebar di permukaan media
agar, sporanya berukuran kecil dan ringan, berwarna coklat krem, koloninya
kompak serta tahan terhadap keadaan kering (Debby, 2003). Klasifikasi dari
A.terreus adalah sebagai berikut (Fardiaz, 1992):
Divisi :Amastigomycota,
Subdivisi : Deuteromycotina,
Kelas : Deuteromycetes,
Subkelas : Hyphomycetidae,
Ordo : Moniliales,
Famili : Moniliaceae,
Genus : Aspergillus, dan
Spesies : Aspergillus terreus.
Morfologi A.terreus baik secara mikroskopis maupun pada media PDA
dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar
2.3.
(a)
(b)
Morfologi Kapang Aspergillus terreus (a). Morfologi
mikroskopis dan (b). Morfologi pada media PDA
(http://www.doctorfungus.org).
20
A.terreus memiliki sel kaki yang tidak begitu jelas terlihat, konidioforanya
nonseptat, konidiofora membengkak menjadi visikel pada ujungnya dan
membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia (Debby dkk., 2003).
2.8
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
Oleaginous
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
oleaginous untuk bisa mengakumulasi lipid, diantaranya yaitu suhu pertumbuhan,
pH, kadar air, kelarutan oksigen, waktu inkubasi, dan nutrisi.
2.8.1. Suhu
Suhu lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan
mikroorganisme. Suhu pertumbuhan optimal kapang yang bersifat mesofilik
berkisar 25–30oC. Peningkatan suhu pertumbuhan pada kisaran optimum
umumnya disertai dengan peningkatan kandungan lemak dari kapang (Shaw
dalam Debby dkk, 2003). Selanjutnya dari penelitian Moon et al. dalam Leman
(1997) diketahui bahwa kondisi optimum untuk mengakumulasi lipid dari
berbagai jenis kapang yaitu pada suhu 30oC baik pada kultur batch maupun yang
continuosly. Namun Ratledge (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan sel dan
produksi minyak sel tunggal pada kapang Mortierella rammaniana var.
angulispora IFO 8187 tidak dipengaruhi suhu pertumbuhan (20 – 30oC), tidak ada
ketergantungan yang jelas antara suhu pertumbuhan dengan produksi biomassa
atau kandungan lemak pada miselium kapang. Berdasarkan penelitian Debby dkk.
21
(2003), diketahui bahwa produksi lipid dari A.terreus pada substrat onggok-ampas
tahu dilakukan pada suhu 30oC.
Pada suhu yang rendah, kapang dapat memproduksi lipid lebih besar. Hal
ini dibuktikan oleh Entomophthora exitalis yang tumbuh dalam kultur continuous
pada rentang suhu 20–300C. Kapang ini memproduksi asam lemak tak jenuh
(PUFA) jenis omega-3 dan omega-6 (Kendrick dan Ratledge dalam Leman,
1997).
Pengaruh suhu yang paling nyata terhadap produksi lipid adalah perubahan
pada komposisi asam lemaknya. Asam lemak tidak jenuh relatif meningkat pada
suhu pertumbuhan yang relatif rendah (Summer dan Morgan, 1969 dalam Debby
dkk., 2003). Perubahan komposisi asam lemak yang dipengaruhi oleh perubahan
suhu, ada hubungannya dengan aktivitas enzim desaturase. Enzim yang berperan
dalam pembentukan ikatan rangkap ini akan terhambat aktivitasnya pada suhu
yang tinggi. Hal ini memberi penjelasan mengapa pada suhu yang lebih rendah,
kandungan asam lemak tak jenuhnya tinggi (Gurr et.al. dalam Debby dkk., 2003).
2.8.2. pH
pH merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan
pembentukan produk. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang
luas yaitu pH 2–8,5 , tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada
kondisi asam atau pH rendah (Fardiaz, 1992). Nilai pH optimum untuk
pertumbuhan kapang berkisar antara 5,0–7,0, sedangkan pH optimum untuk
22
produksi lemak bervariasi pada setiap spesies kapang (Cantrell et al. dalam Debby
dkk.,2003).
Nilai pH medium dipengaruhi oleh jenis sumber nitrogen yang digunakan.
Amonium sulfat menyebabkan pH medium turun tajam hingga 2,0 setelah 10 hari
inkubasi, sedangkan pemakaian urea sebagai sumber nitrogen menyebabkan pH
sedikit meningkat hingga 5,0 – 6,0. Kessell dalam Debby dkk. (2003) melaporkan
bahwa kapang tersebut dapat tumbuh dan menghasilkan kandungan lipid yang
sama baik pada pH 4,0 maupun 8,0.
2.8.3. Kadar air
Mikroorganisme memerlukan air untuk hidup dan berkembang biak. Oleh
karena itu, pertumbuhan sel mikroorganisme dalam suatu substrat sangat
dipengaruhi oleh kadar air yang tersedia. Selain merupakan bagian terbesar dari
komponen sel (70-80%), air juga dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai
reaksi biokimia. Tersedianya air di dalam suatu bahan dapat dinyatakan dengan
istilah aw (aktivitas air). Setiap mikroorganisme memiliki kebutuhan aw minimal
yang berbeda-beda. Kapang membutuhkan aw untuk germinasi spora aseksual.
Nilai aw untuk germinasi spora adalah 62% untuk beberapa kapang. (Fardiaz,
1992).
Dalam kaitannya dengan fermentasi, air merupakan hal yang sangat
penting dalam fermentasi substrat padat. Pada fermentasi substrat padat biasanya
diperlukan keadaan yang cukup lembab sekitar 60% (Retno, 2005). Jang et al.
23
(2000) melaporkan bahwa kadar air optimum untuk produksi asam lemak tak
jenuh pada kapang Mortierella alpina yaitu antara 65%-68%.
2.8.4
Kelarutan Oksigen
Konsentrasi
oksigen
dalam
substrat
mempengaruhi
tumbuhnya
mikroorganisme. Mikroorganisme dapat dibedakan berdasarkan kebutuhan akan
oksigen untuk pertumbuhannya, yaitu mikroorganisme yang bersifat aerobik,
anaerobik, dan anaerobik fakultatif. Kapang pada umumnya bersifat aerobik.
Respirasi aerobik adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO2 dan air,
membentuk energi dalam bentuk ATP (Fardiaz, 1992).
2.8.5. Waktu Inkubasi
Waktu inkubasi erat hubungannya dengan kesempatan mikroorganisme
untuk memanfaatkan nutrisi yang tersedia pada medium dan efektivitas sistem
metabolisme mikroorganisme dalam memanfaatkannya. Fase pertumbuhan
mikroorganisme terbagi dalam fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase
logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan stasioner, dan fase
kematian (Fardiaz, 1992). Menurut Nawangsari (1996), waktu inkubasi
mikroorganisme oleaginous terbaik berada pada fase stasioner dan tidak boleh
melebihi fase kematian. Untuk produksi asam lemak tak jenuh, diharapkan pada
akhir waktu inkubasi akumulasi asam lemak sudah mencapai titik maksimum.
Debby dkk. (2003) melaporkan bahwa produksi lipid pada kapang
Aspergillus terreus dalam substrat onggok-ampas tahu mencapai maksimum
setelah 6 hari inkubasi. Selanjutnya dari penelitian Nakajima et al. dalam Leman
24
(1997), diketahui bahwa kondisi optimum untuk meningkatkan kandungan asam
gamma linolenat dari kapang Mortierella alpina yaitu pada masa inkubasi 6-7 hari
dalam
kultur terendam. Namun berbeda dengan Jang et al. (2000) yang
melaporkan bahwa produksi asam lemak tak jenuh oleh Mortierella alpina
meningkat pada 8-12 hari inkubasi, sedangkan Razavi et al. (2007) melaporkan
bahwa produksi asam lemak dari Sporobolomyces ruberrimus mencapai
maksimum pada waktu inkubasi 4 hari.
2.8.6. Nutrisi
Mikroorganisme membutuhkan nutrisi dalam melakukan metabolisme.
Nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk tumbuh diantaranya adalah
karbon, nitrogen, dan mineral. Karbohidrat merupakan substrat karbon terbaik
untuk pertumbuhan kapang dan hingga 20% yang tersedia dikonversi menjadi
lipid. Kemampuan mengkonversi karbohidrat menjadi lipid bervariasi pada setiap
kapang. Pada beberapa kapang, glukosa merupakan karbohidrat yang efisien
untuk diubah menjadi lipid. Karbohidrat yang berlebih pada substrat dikonversi
oleh mikroorganisme menjadi lipid tanpa poliferasi sel lebih lanjut (Ratledge,
1992).
Berbagai hasil dan limbah pengolahan hasil pertanian dapat digunakan
sebagai sumber karbon, diantaranya adalah umbi-umbian, onggok, bekatul, dedak,
dan gandum ( Muljono dkk., 1992). Sedangkan sumber nitrogen yang digunakan
dapat berupa organik maupun anorganik. Sumber nitrogen dapat berasal dari
pepton, ekstrak khamir, urea, ammonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat,
25
dan kalium nitrat. Menurut Hansson et al. dalam Debby dkk. (2003), jumlah N
terbatas akan merangsang dominasi asam oleat.
Selain karbon dan nitrogen, akumulasi lipid pada kapang juga dipengaruhi
oleh kandungan mineral. Fosfat, kalsium, kalium, sulfur dan magnesium
merupakan mineral utama untuk pertumbuhan kapang. Ion Mg2+, Mn2+, Fe2+,
Ca2+, Cu2+, dan Zn2+ telah dilaporkan dapat mempengaruhi produksi lipid dan
asam arakidonat (ARA), serta asam gamma linolenat (GLA) pada Mortieralla
rammanniana var rammaniana. Selain itu diketahui bahwa penambahan Cu2+ dan
Zn2+ dapat menstimulasi produksi lipid pada berbagai spesies kapang Mortierella
(Leman, 1997). Produksi asam lemak tak jenuh dari Rhizopus nigricans juga telah
dipelajari. Diantara banyak mineral yang ditambahkan pada medium PDA, KCl
merupakan mineral yang paling efektif untuk meningkatkan produksi asam lemak
tak jenuh (Kakali et al., 2003).
Sajbidor et al. dalam Leman (1997) melaporkan bahwa Fe2+ dapat
menghambat secara kuat terhadap akumulasi lipid pada kapang Mortierella sp.
Akumulasi lipid dalam sel memerlukan nitrogen (N) yang terbatas, fosfor (P),
seng (Zn), besi (Fe), atau magnesium (Mg) yang memungkinkan mensuplai
kelebihan karbon (C) yang akan diubah menjadi lemak. Dengan demikian, sintesis
lipid dengan hasil terbaik diperoleh di bawah kondisi yang membatasi nitrogen
(Ghanem et al. dalam Razavi et al, 2007).
Kekurangan nutrisi tersebut dapat menimbulkan masalah metabolisme sel
mikroorganisme. Ketersediaan nutrisi yang terbatas menyebabkan pertumbuhan
sel mikroorganisme terbatas pula sehingga efisiensi produksi lipid tidak optimal.
26
Media pertumbuhan yang baik untuk menghasilkan lipid adalah dengan
kandungan nitrogen rendah dan karbon tinggi (Ratledge, 1992).
2.9
Biosintesis Lipid Pada Mikroorganisme Oleaginous
Akumulasi lipid pada sebagian mikroorganisme oleaginous yang tumbuh
mengikuti pola dua tahap. Tahap pertama ialah perkembangbiakan sel yang
tumbuh dengan laju maksimum. Tahap ini berlangsung terus sampai nitrogen dan
nutrisi lainnya telah habis kecuali karbon. Pembentukan sel-sel baru yang
membutuhkan sintesis protein seperti RNA dan DNA tidak dapat diteruskan
harena habisnya nitrogen (fosfat atau nutrien lainnya). Setelah itu, karbon yang
berlebih terutama glukosa akan terus dikonsumsi dan dikonversi oleh
mikroorganisme oleaginous menjadi lipid yang terakumulasi pada jaringan
intraseluler (Ratledge, 1992). Adapun skema perubahan glukosa menjadi lipid
dalam mikroorganisme oleaginous dapat dilihat pada Gambar 2.4.
27
Glukosa
Fruktosa 6-fosfat
Gliserol
Fruktosa 1,6-bifosfat
Fosfoenolpiruvat
Gliserol
Mitokondria
Piruvat kinase
Piruvat
Piruvat Karboxilase
CO2 + ATP
ADP + Pi
Oksaloasetat
Enzim Malat
Malat dehidrogenase
Piruvat
Piruvat
dehidrogenase
Sitrat sintase
NADH
Sitrat
Akonitase
NADP+
Asetil Ko-A
karboxilase NADPH
Malonil Ko-A
Oksaloasetat
Asetil Ko-A
NAD+
Malat
Piruvat Karboxilase
Isositrat
ATP sitrat liase
Asetil Ko-A
Sitrat
AMP
Malat dehidrogenase
Oksaloasetat
Malat dehidrogenase
Isositrat
dehidrogenase
2-Oksaloglutarat
Malat
Siklus asam trikarboksilik
Malat
Triasilgliserol
Gambar 2.4. Skema Biosintesis Lipid dalam Mikroorganisme Oleaginous
(Ratledge dan Wynn dalam Makri et al., 2008).
Rangkaian tahapan proses biosintesis lipid tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Ketika nitrogen habis dalam substrat, konsentrasi AMP (Adenosin
Monophospat) intraseluler menjadi menurun dan akibatnya isositrat
dehidrogenase akan berhenti fungsinya karena aktivitasnya sangat
tergantung pada AMP tersebut. enzim ini merupakan syarat mutlak yang
harus dimiliki oleh mikroorganisme oleaginous (Botham et al. dalam
Ratledge dan Wynn, 2002).
28
2.
Isositrat tidak dimetabolisme melalui siklus asam trikarboksilik dan
kemudian isositrat dan sitrat akan terbentuk. Penghentian aktivitas isositrat
dehidrogenase dengan cepat mengarah kepada pembentukan sitrat sebagai
isositrat, lalu dengan cepat menyeimbangkan dengan sitrat melalui
akonitase (Ratledge dan Wynn, 2002).
3.
Sitrat diangkut keluar dari mitokondria lalu masuk ke dalam sitoplasma
yang dirubah menjadi asetil KoA dan oxaloasetat untuk biosintesis lipid
oleh ATP sitrat liase. ATP sitrat liase merupakan enzim yang hanya
dimiliki oleh mikroorganisme oleaginous yang bertanggung jawab atas
terbentuknya asetil KoA yang diperlukan untuk menghasilkan lipid.
Keberadaan
enzim
ini
oleaginous
memiliki
yang menjelaskan
kemampuan
yang
setiap
mikroorganisme
berbeda-beda
dalam
mengakumulasi lipid (Ratledge dan Wynn, 2002).
4.
Pengangkutan sitrat keluar dari mitokondria dihubungkan dengan malat
yang berlawanan tanda panahnya. Malat ini dihasilkan dari oxaloasetat.
Banyaknya lipid yang terakumulasi juga dikontrol oleh aktivitas enzim
malat yang bertindak sebagai satu-satunya sumber NADPH yang
bergabung dengan asam lemak sintetase. Jika enzim malat dihambat, atau
secara genetis cacat, maka akumulasi lipid sangat rendah (Ratledge dan
Wynn, 2002).
29
2.10
Enzim Yang Dihasilkan Oleh Mikroorganisme Oleaginous
Mikroorganisme oleaginous menghasilkan banyak enzim dari aktivitas
metabolismenya. Ada beberapa enzim yang dapat mengkatalis pembentukan asam
lemak tak jenuh, diantaranya adalah desaturase dan elongase.
2.10.1 Desaturase
Desaturase adalah enzim yang dapat mengkatalis pembentukan ikatan
rangkap rantai karbon asam lemak, sehingga sangat berperan dalam pembentukan
asam lemak tak jenuh tunggal maupun majemuk (Cahoon et.al. dalam Panji dkk.,
2005). Ada beberapa jenis enzim desaturase yang diketahui, diantaranya ∆9, ∆12,
∆5, dan ∆6 desaturase (Ratledge dan Wynn, 2002).
1. ∆9 Desaturase
∆9 Desaturase adalah enzim yang mengkatalis reaksi pembentukan ikatan
rangkap pertama ke dalam asam lemak jenuh antara karbon nomor 9 dan
10 dari rantai asam lemak. ∆9 Desaturase dapat bekerja pada salah satu
asam lemak jenuh yang dominan, misalnya palmitat (16:0) dan stearat
(18:0) menjadi palmitoleat atau oleat. ∆9 Desaturase dari mikroorganisme
muncul untuk memanfaatkan 18:0. Enzim ini merupakan satu-satunya
enzim yang mengkatalis asam lemak jenuh.
2. ∆12 Desaturase
∆12 Desaturase mengkatalis reaksi konversi dari asam oleat (18:1ω-9)
menjadi asam linoleat (18:2ω-6) dengan menyisipkan ikatan rangkap
antara karbon nomor 12 dan 13 dari asam lemak tak jenuh tunggal.
30
3. ∆5 Desaturase
∆5 Desaturase mengkatalis reaksi konversi dari asam dihomo gamma
linolenat
(20:3ω-6)
menjadi
arakidonat
(20:4ω-6)
atau
asam
eikosatetraenoat (20:4 ω -3) menjadi eikosapentaenoat (20:5ω-3).
4. ∆6 Desaturase
∆6 Desaturase adalah enzim yang mengkatalis reaksi konversi asam
linoleat (18:2ω-6) menjadi asam gamma linolenat (18:3ω-3). Selain itu
mengkonversi asam gamma linolenat (18:3ω-3) menjadi stearidonat
(18:4ω-3).
Secara umum reaksi pembentukan ikatan rangkap yang dikatalis oleh
enzim desaturase dapat dilihat pada Gambar 2.5.
CH3(CH2)7
H
H
C
C
H
H
(CH2)7
KoA
O2 + NADH + H+
Enzim Desaturase
NAD+ + 2H2O
CH3(CH2)7
H
H
C
C
(CH2)7
KoA
Gambar 2.5. Reaksi pembentukan ikatan rangkap yang dikatalis oleh enzim
desaturase (Mayes dan Kathleen, 1999).
31
2.10.2 Elongase
Elongase adalah enzim yang sangat berperan dalam pembentukan asam
lemak berantai panjang. Pemanjangan rantai karbon terjadi melalui
penambahan 2 atom karbon secara berturut-turut pada asil KoA. Senyawa
yang berfungsi sebagai donor 2 atom C adalah malonil KoA. Reaksi
pemanjangan rantai karbon pada asil KoA oleh elongase ditunjukkan pada
Gambar 2.6.
O
A sil-K o A
AKo
S
(n k a rb o n )
O
AKo
R
O
OH
S
3 -k e to a sil-K o A s in te ta se
M a lo n il-K o A
AKo
+ CO2
SH
O
O
K e to a sil-K o A
AKo
R
S
N A D PH
3 -k e to a sil-K o A re d u k tas e
NADP
OH
O
3 -H id ro k sia sil-K o A
AKo
S
3 -H id ro k sia sil-K o A
d eh id rata s e
H 2O
O
(E )-2 ,3 -en o il-K o A
AKo
S
N A D PH
(E )-2 ,3 -e n o il-K o A
red u k ta se
NADP
O
A s il-K o A
AKo
S
(n + 2 k arb o n )
R
Gambar 2.6.
Reaksi penambahan rantai karbon pada asam lemak yang
dikatalisis elongase (Puyaubert et al., 2005).
32
Berdasarkan Gambar 2.6 dapat dilihat bahwa tahapan-tahapan reaksi yang
terjadi adalah reaksi kondensasi pada malonil KoA dan Asil KoA oleh 3-ketoasilKoA sintetase menghasilkan ketoasil-KoA, kemudian direduksi oleh 3-ketoasilKoA reduktase yang menghasilkan 3-hidroksil-KoA. Selanjutnya 3-hidroksil-KoA
diubah menjadi 2,3-enoil-KoA oleh 3-hidroksil-KoA dehidratase. Reaksi terakhir
adalah reduksi kedua yang dikatalis oleh 2,3-enoil-KoA reduktase yang
menghasilkan dua atom karbon pada asil-KoA (Puyaubert et al., 2005).
2.11
Proses Transesterifikasi
Proses transesterifikasi disebut juga alkoholisis merupakan reaksi
pertukaran antara alkohol dengan suatu ester untuk membentuk ester lain dalam
suatu proses yang menyerupai hidrolisis. Pada proses transesterifikasi digunakan
alkohol sebagai pengganti air. Alkohol yang dapat digunakan diantaranya
metanol, etanol, propanol, dan butanol. (Fukuda et al, 2001).
Transesterifikasi merupakan reaksi bolak-balik dan pada dasarnya
merupakan proses pencampuran reaktan. Adanya katalis dapat mempercepat
jalannya reaksi. Katalis yang dapat digunakan dalam transesterifikasi diantaranya
katalis asam, basa, maupun enzimatis (Kumar et al, 2007).
Pada prinsipnya proses transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari
minyak dan mereaksikan asam bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol)
menjadi alkohol ester/ Fatty Acid Methyl Ester. Metil ester asam lemak yang
diperoleh melalui transesterifikasi bersifat stabil dan relatif nonpolar serta dapat
digunakan untuk analisis menggunakan alat GCMS.
33
Secara umum reaksi transesterifikasi menggunakan alkohol dapat dilihat
pada Gambar 2.7.
HO
CH2
R1COO
Katalis
R2COO
CH
R3COO
CH2
Trigliserida
+ 3R'OH
R1
R2
R3
COOR'
COOR'
COOR'
CH2
+ HO
HO
Ester asam lemak
Alkohol
CH
CH2
Gliserol
Gambar 2.7. Reaksi transesterifikasi secara umum
Pada dasarnya reaksi transesterifikasi merupakan reaksi bolak-balik.
Menurut Fukuda et al. (2001) reaksi transesterifikasi terjadi melalui beberapa
tahapan, yaitu langkah pertama adalah perubahan trigliserida menjadi digliserida,
diikuti dengan perubahan digliserida menjadi monogliserida, monogliserida
menjadi gliserol. Pada setiap langkahnya, tiap gliserida menghasilkan satu
molekul metil ester asam lemak. Reaksi bolak-balik dalam proses transesterifikasi
dapat dilihat pada Gambar 2.8.
1. Trigliserida (TG)
+
R'OH
2. Digliserida (DG)
+
R'OH
3. Monogliserida (MG)
+
R'OH
katalis
katalis
katalis
Digliserida (DG)
+ R'COOR1
Monogliserida (MG)
+ R'COOR2
Gliserol (GL)
+ R'COOR3
Gambar 2.8. Reaksi bolak-balik dalam proses transesterifikasi
Adapun mekanisme reaksi transesterifikasi berkatalis asam pada minyak
tumbuhan menurut Schuchardt et al. (1998) dapat dilihat pada Gambar 2.9.
34
R3
R1COO
CH2
R2COO
CH
C
BF3
CH2
O
R3
O
R1COO
CH2
R1COO
CH2
R2COO
CH
R2COO
CH
C
O
R3
CH2
C
OBF3
OBF3
Tahap 1
Trigliserida
CH2
R1COO
R1COO
CH2
R2COO
CH
R
R2COO
CH2
O
CH
+
- BF3
O
F3B
H
O
H
R3
C
R3
CH2
O
C
O
Tahap 2
OBF3
R
H
R1COO
O
R3
C
OR
CH2
R2COO
CH
Tahap 3
R3
C
+
OR
O
R1COO
CH2
R2COO
CH
O
H+
+
CH2
O
HO
CH2
Ester asam lemak
Digliserida
Gambar 2.9. Mekanisme reaksi transesterifikasi berkatalis asam
Tahap pertama (1) adalah protonasi oleh katalis asam pada gugus karbonil
dari ester yang menghasilkan karbokation. Tahap kedua (2) serangan nukleofilik
dari alkohol pada karbokation yang menghasilkan tetrahedral intermediet. Tahap
ketiga (3) eliminasi digliserida dan membentuk metil ester asam lemak serta
dihasilkan kembali katalis asam. Digliserida dan monogliserida diubah melalui
mekanisme reaksi yang sama untuk menghasilkan metil ester asam lemak dan
gliserol.
CH2
Download