BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul atau rice bran merupakan hasil samping proses penggilingan padi berasal dari lapisan terluar beras yaitu bagian antara butir beras dan kulit padi. Warna bekatul padi bervariasi dari coklat muda sampai coklat tua. Bentuk bekatul serta letak bekatul dalam padi dapat dilihat pada Gambar 2.1. (a) (b) Gambar 2.1. (a) bentuk bekatul dan (b) lapisan bekatul dalam butir padi (http:www.nutracea.com/a_ricebran.php). Sebenarnya bekatul memiliki karakteristik cita rasa lembut dan agak manis. Namun pada kenyataannya, cita rasa bekatul sering digambarkan bau tengik, apek, dan asam. Hal ini terjadi karena bekatul mudah mengalami kerusakan. Penurunan mutu bekatul ditandai dengan bau tengik dan struktur menggumpal. Hal ini disebabkan aktivitas lipase yang menghidrolisis lipid bekatul menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Widowati, 2001). Untuk memperoleh bekatul yang tidak mudah tengik dan memperpanjang masa simpan, 6 7 maka bekatul harus diawetkan segera setelah diperoleh dari penggilingan padi. Teknik pengawetan bekatul bisa dilakukan dengan cara dibungkus rapat dan disimpan dalam lemari es pada suhu -4oC atau diawetkan menggunakan autoklaf yang dilakukan pada suhu 121oC selama 3 menit (Damayanthi dkk, 2004). Selama ini penggunaan bekatul masih terbatas hanya sebagai pakan ternak. Sebenarnya bekatul yang kaya akan kandungan gizinya dapat dijadikan bahan baku industri makanan dan industri farmasi. Bekatul dapat dicampur dengan bahan lain pada pembuatan biskuit dan kue serta sereal. Selain itu juga pemanfaatannya sebagai minyak goreng telah banyak digunakan di luar negeri. 2.2 Minyak Bekatul Minyak bekatul atau yang lebih dikenal dengan rice bran oil adalah minyak hasil ekstraksi bekatul yang merupakan salah satu produk dari industri penggilingan padi. Berdasarkan hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian (BB-Pascapanen), randemen minyak bekatul yang dihasilkan sekitar 14-17%. Selanjutnya Tahira et al. (2007) memperoleh randemen minyak bekatul rata-rata sebesar 19,32%. Berbedanya randemen minyak bekatul ini tergantung kepada varietas padi, proses penggilingan, metode ekstraksi minyak, serta kondisi dan lamanya penyimpanan bekatul (Nursalim dan Zalni, 2007). Ekstraksi minyak bekatul bisa dilakukan pada suhu tinggi maupun rendah. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bekatul bisa diekstraksi dengan baik menggunakan alat ekstraksi padat-cair dengan cara Soxhlet dan pelarut n-heksan. 8 Kualitas minyak yang dihasilkan berbau khas minyak bekatul dengan sedikit berbau heksan, serta berwarna kuning kecoklatan (Nursalim dan Zalni, 2007). Ekstraksi minyak bekatul dengan heksan pada suhu tinggi menghasilkan wax 34%. Wax dapat dipisahkan dari minyak dengan cara kristalisasi atau diendapkan pada suhu rendah. Selain itu juga bisa dihilangkan dengan cara sentrifugasi karena minyak memiliki massa jenis yang lebih kecil dari wax (Marshall et al., 1994). Asam lemak bebas yang dapat dihasilkan sekitar 5-7% dari berat minyak bekatul. (Mazza, 1998). Minyak bekatul umumnya dimanfaatkan sebagai minyak goreng dan margarin. Minyak bekatul memiliki titik asap yang cukup tinggi yaitu 254oC, lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Selain itu minyak bekatul memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yang bisa menurunkan kadar kolesterol, sehingga minyak bekatul merupakan minyak goreng terbaik diantara minyak yang ada (Mulyana, 2007). Minyak bekatul telah digunakan secara luas di beberapa negara Asia Timur dan Amerika sebagai premium edible oil atau minyak makan berkualitas terbaik (Mulyana, 2007). Beberapa tahun terakhir minyak bekatul telah diproduksi dan dimanfaatkan sebagai minyak salad, bahan baku kosmetik, bahkan dikonsumsi langsung sebagai suplemen kesehatan. Minyak bekatul yang tidak termurnikan bisa dimanfaatkan dalam pembuatan sabun. Bekatul yang sudah diekstraksi minyaknya mengandung 1-3% minyak sisa yang sangat baik untuk binatang ternak. Produk samping lain dari ekstraksi minyak bekatul adalah malam 9 (wax) yang bisa menggantikan carnauba wax dalam penggosokan, pembuatan kertas karbon, dan produk lainnya (Nursalim dan Zalni, 2007). 2.3 Komposisi Kimia Bekatul dan Minyak Bekatul 2.3.1 Komposisi Kimia Bekatul Komposisi kimia bekatul sangat bervariasi, tergantung pada faktor agronomis, varietas padi, dan proses penggilingannya (Ardiansyah, 2008). Secara umum bekatul mengandung protein (11,5%-17,2%), lipid (10-23%), karbohidrat (51,1%-55%), abu (8%-17,7%), serat kasar (6,2%-31,5%), mineral dan vitamin (Mazza, 1998). Protein bekatul lebih rendah dari protein hewani namun lebih tinggi daripada kedelai, biji kapas, jagung, dan terigu. Bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras (Damayanthi dkk., 2007). Mineral yang paling banyak terkandung di dalam bekatul adalah fosfor. Selain itu magnesium, kalium, besi, dan silikon dengan persentase yang cukup tinggi serta natrium dan kalsium dengan persentase rendah. Bekatul kaya akan vitamin B diantaranya adalah vitamin B1, B2, B3, B5, dan B6 serta tokoferol. Serat yang terkandung dalam bekatul terdiri dari selulosa dan hemiselulosa. Serat tersebut termasuk ke dalam serat yang tidak larut dalam air. Serat yang tidak larut dapat memperlancar saluran pencernaan sehingga dapat mencegah konstipasi dan menurunkan kolesterol dalam darah serta untuk kesehatan jantung (Mazza, 1998). Seperti yang telah dikemukakan Marshall et al. (1994) bahwa kandungan bekatul yang dapat berpengaruh pada penurunan kolesterol adalah tokotrienol, oryzanol, β-sitosterol, hemiselulosa, β-glukan, asam lemak tak jenuh, dan protein. 10 Bekatul sangat potensial dijadikan bahan pangan fungsional karena kandungan gizinya yang tinggi. Namun bekatul mengandung asam fitat yang merupakan senyawa antinutrisi yang mampu berikatan dengan protein dan mineral. Asam fitat bisa diubah menjadi senyawa lain yang lebih sederhana oleh enzim fitase. Enzim fitase dapat diproduksi oleh mikroorganisme melalui fermentasi. Saat ini sudah banyak dilakukan pengolahan bekatul dengan cara fermentasi (Sujono, 2001). Bekatul hasil fermentasi telah digunakan sebagai bahan campuran pakan ternak yang memberikan efek kesehatan yang baik untuk ternak, yakni dapat menurunkan kolesterol daging dari 54,44 mg menjadi 29,59 mg serta kolesterol telur dari 252,07 mg/100 g bahan kering menjadi 196,49 mg/100 g bahan kering (Sujono, 2001). Tidak hanya sebagai pakan ternak, bekatul hasil fermentasi bisa digunakan sebagai sumber asam lemak tak jenuh. Berdasarkan hasil penelitian Jang et al. (2000), diketahui bahwa bekatul merupakan substrat yang paling efektif dibandingkan kacang tanah, gandum, dan ubi untuk menghasilkan asam lemak tak jenuh dalam produksi minyak sel tunggal menggunakan Mortierella alpina. 2.3.2 Komposisi Kimia Minyak Bekatul Minyak bekatul merupakan minyak sehat yang sangat efektif untuk menurunkan kadar kolesterol (Tsuji et al., 1997). Minyak bekatul mengandung asam lemak tak jenuh dan fraksi tak tersabunkan yang larut dalam lemak yaitu tokoferol, tokotrienol, dan oryzanol. Tokoferol dan tokotrienol merupakan 11 komponen pembentuk vitamin E. Kandungan vitamin E dan oryzanol bervariasi tergantung pada varietas padinya yaitu sekitar 2-5% dari berat minyak bekatul padi kasar (Moustapha et al., 1994). Vitamin E berguna untuk memperbaiki sirkulasi darah dan berperan sebagai antioksidan alami yang dapat melindungi minyak dari proses ketengikan tanpa harus menambahkan antioksidan sintesis. Tokoferol, tokotrienol, dan oryzanol merupakan antioksidan alami yang bermanfaat melawan radikal bebas dalam tubuh terutama sel kanker, serta membantu menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Oryzanol merupakan antioksidan yang sangat kuat dan lebih aktif daripada vitamin E dalam melawan radikal bebas, serta dipercaya sangat efektif menurunkan kolesterol dalam darah dan kolesterol liver, menstimulasi sistem saraf, serta menghambat waktu menopause (Ardiansyah, 2008). Oryzanol termasuk ke dalam kelompok ester asam ferulat dalam alkohol triterpen dan sterol (Rong et al., 1997). Sterol merupakan kandungan utama dari fraksi tak tersabunkan minyak bekatul. Kandungan bahan ini mencapai 5% dari berat minyak. Sterol yang terdapat dalam jumlah banyak di dalam minyak bekatul adalah β-sitosterol yang jumlahnya 50 persen dari total sterol (Ardiansyah, 2008). Sterol berperan dalam menghambat penyerapan kolesterol plasma darah dan meningkatkan ekskresi sehingga dapat menurunkan penyerapan kolesterol total (Faisal, 2003). Kandungan kimia minyak bekatul dapat dilihat pada Tabel 2.1. 12 Tabel 2.1. Kandungan kimia minyak bekatul (Narasinga, 2000) Komponen Kandungan* mg/100g Tokol 11 Tokoferol 4 Tokotrienol 7 Gamma Oryzanol 1176 Sikloartanol 106 Sikloartenol 482 24-Metilen Sikloartenol 492 Fitosterol 1806 Campesterol 51 Stigmasterol 271 β-sitosterol 885 Squalen 756 Fosfolipid 4200 Lilin 3000 Selain kandungan sterol, minyak bekatul mengandung asam lemak tak jenuh yang tinggi yang memberikan efek ganda bersama sterol dalam penurunan kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh telah terbukti berperan penting dalam pencegahan dan pengobatan aterosklerosis (penyumbatan pembuluh darah), hipertrigliseridaemia dan tekanan darah tinggi (Koswara, 2002). Asam lemak tak jenuh menjadikan kolesterol darah pada tingkat kadar yang normal, khususnya asam linoleat dan oleat. Hampir 80% komposisi asam lemak yang terdapat dalam minyak bekatul adalah asam lemak tak jenuh (Ardiansyah, 2008). Asam oleat merupakan asam lemak tak jenuh yang paling banyak terdapat dalam minyak bekatul. Komposisi asam lemak minyak bekatul dapat dilihat pada Tabel 2.2. 13 Tabel 2.2. Komposisi asam lemak minyak bekatul (Parrado et al., 2005) Jenis Asam Lemak Jumlah (%) Asam Miristat (14:0) 0,21 Asam Palmitat (16:0) 16,4 Asam Palmitoleat (16:1) 0,13 Asam Stearat (18:0) 1,72 Asam Oleat (18:1) 42,4 Asam Linoleat (18:2) 36,4 Asam Linolenat (18:3) 0,80 Asam Eikosanoat (20:0) 0.60 Asam lemak tak jenuh tunggal (oleat) pada minyak bekatul dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler seperti hiperlipidemik. Asam lemak tak jenuh ganda (linoleat dan linolenat) yang terdapat dalam minyak bekatul bila digunakan untuk diet dapat mencegah peningkatan kadar gula dalam darah (Drajat, 2003). 2.4 Manfaat Minyak Bekatul Untuk Kesehatan Bekatul maupun minyak bekatul telah terbukti dapat digunakan sebagai obat dan mencegah berbagai penyakit seperti kanker, hiperlipidemia, penyakit jantung, dan arterosklerosis (Parrado et al., 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bekatul dapat memberikan efek hipokolesterolemik. Asam lemak tak jenuh, hemiselulosa dan fraksi tak tersabunkan merupakan komponen dari bekatul yang bisa menurunkan kolesterol. Hal ini dibuktikan pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi bekatul terjadi penurunan trigliserida darah yang signifikan (Kahlon et al., 1996). Minyak bekatul menurunkan secara nyata kadar low density lipo-protein (LDL) dan very low density lipo-prortein (VLDL), serta 14 minyak bekatul dapat meningkatkan kadar high density lipo-protein (HDL). Nilai LDL dan HDL mempunyai implikasi terhadap kesehatan jantung dan pembuluh darah. Nilai LDL yang tinggi dikaitkan dengan resiko tinggi terhadap penyakit jantung, sebaliknya HDL tinggi dikaitkan dengan resiko rendah penyakit jantung (Almatsier, 2001). HDL merupakan jenis kolesterol yang bersifat baik atau menguntungkan (good cholesterol), karena mengangkut kolesterol dari pembuluh darah kembali ke hati untuk dibuang sehingga mencegah penebalan dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses aterosklerosis (Bahri , 2004). Kandungan asam lemak omega-3 (asam linolenat) pada minyak bekatul sangat berpengaruh terhadap penurunan kolesterol. Asam lemak omega-3 dapat membersihkan plasma dari lipoprotein kilomikron dan VLDL, serta dipercaya menurunkan produksi trigliserida dan apolipoprotein di dalam hati. Asam oleat, dengan satu ikatan rangkap, bersifat netral terhadap LDL (tidak menurunkan atau menaikkan), tetapi dapat meningkatkan lipoprotein HDL (Almatsier, 2001). Disamping terbukti mampu menurunan kadar kolesterol darah, telah terbukti bahwa fraksi bekatul mempunyai kemampuan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan metabolisme glukosa dengan menggunakan hewan percobaan, yang disebut stroke-prone spontaneously hypertensive rats (SHRSP), spesies tikus yang secara genetik mengalami hipertensi dan hiperlipidemia. Hipertensi (tekanan darah tinggi) dan hiperlipidemia (berlebihnya jumlah lemak) merupakan dua kondisi penyebab penyakit kardiovaskuler dan aterosklerosis (Ardiyansyah, 2008). 15 2.5 Fermentasi Fermentasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengolahan pangan dengan menggunakan jasa mikroorganisme untuk menghasilkan sifat-sifat produk sesuai yang diharapkan. Winarno dkk. (1980) mengemukakan bahwa fermentasi menyebabkan terjadinya perubahan sifat pada bahan yang difermentasi karena terjadi segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroorganisme. Fardiaz (1992) mendefinisikan fermentasi sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu saja. Menurut jenis substratnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu fermentasi substrat padat dan fermentasi substrat cair. Fermentasi substrat padat merupakan proses fermentasi yang menggunakan substrat yang tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi substrat cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Hardjo dkk., 1989). Fermentasi substrat padat lebih menguntungkan dibandingkan dengan fermentasi substrat cair karena dapat menggunakan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum yang lebih sederhana, dan dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi. Selain itu kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah dan kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti, serta aerasi dapat 16 berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar. Sekitar 50% nutrisi dari substrat pada fermentasi padat, digunakan kapang untuk pertumbuhan selnya (Susana, 2004). 2.6 Mikroorganisme Oleaginous Menurut Rahman (1992), mikroorganisme oleaginous adalah mikroorganisme yang mampu menghasilkan lipid dengan kandungan lipid atau minyak yang tidak tinggi. Secara umum yang termasuk mikroorganisme oleaginous (Svedsen, 1994 dalam Debby dkk., 2003) yaitu : a. Bakteri, seperti lemak dari Staphylococcus aureus, S. hycus, Bacillus, Pseudomonas, dan Moraxella. b. Kapang, seperti lemak dari Penicillium camemberti, Geotrichum candidum, Aspergillus tereus, Mucor miehei, dan Humicola lanuginose. c. Khamir, seperti lemak dari Candida antartika, C. Rugosa, dan C. cylindraceae. Mikroorganisme oleaginous memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat pada berbagai jenis substrat, mampu mensintesis senyawa, dan manipulasi genetik. Mikroorganisme oleaginous mampu melakukan berbagai reaksi seperti oksidasi, desaturasi, dan hidrogenasi yang bisa meningkatkan biomassa produk baik karbohidrat maupun lipid. Penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme oleaginous mampu mengkonversi karbohidrat menjadi lipid hingga 20% (Leman, 1997). 17 Minyak yang dihasilkan oleh mikroorganisme oleaginous berpotensial menjadi minyak makan berkualitas tinggi karena mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan asam lemak essensial yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia. Sebagian besar khamir, kapang, dan bakteri telah diidentifikasi cukup berpotensi untuk menghasilkan asam lemak, terutama untuk menghasilkan asam lemak tak jenuh majemuk. Jumlah lipid yang dihasilkan mikroorganisme bervariasi tergantung dari spesiesnya. Lipid yang dihasilkan khamir dan kapang cenderung didominasi menjadi triasilgliserol. Asam lemak yang dihasilkan khamir dan kapang terutama adalah asam lemak C16 dan C18 seperti asam oleat, palmitat, linoleat, stearat, dan palmitoleat. Karena itu khamir dan kapang bisa dijadikan sebagai pengganti minyak tumbuhan menjadi minyak pangan yang komersial (Ratledge, 1992). Kapang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan khamir, dilihat dari kemampuannya untuk menggunakan limbah dan pertumbuhannya yang cepat pada limbah, serta dapat menghasilkan berbagai asam lemak. Penggunaan kapang untuk memproduksi asam lemak tak jenuh lebih mendapat perhatian. Hal ini disebabkan kapang mudah ditangani, dapat tumbuh pada kisaran pH yang rendah sehingga dapat mencegah kontaminasi dari jenis bakteri maupun khamir. Selain itu, kapang dapat mendeteksi sumber karbon yang kompleks sebagai sumber makanannya, mampu tumbuh cepat pada limbah, dan mampu menghasilkan berbagai asam lemak (Ratledge dan Wilkinson dalam Debby dkk., 2003). 18 2.7 Aspergillus terreus Kapang Aspergillus tersebar luas di alam yang terdiri dari 180 spesies. Beberapa spesies Aspergillus digunakan untuk fermentasi makanan tradisional seperti kecap asin, miso (tauco), dan untuk industri sake. Selain itu, Aspergillus telah digunakan untuk produksi enzim skala industri diantaranya amilase dan protease. Penelitian menunjukkan bahwa spesies Aspergillus terreus (A.terreus) dapat menghasilkan lovastatin yang bisa menurunkan kolesterol (Lubertozzi, 2008). Morfologi kapang Aspergillus ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Morfologi Kapang Aspergillus (http://en.wikipedia.org/wiki/File:Aspergillus.jpg) Karakteristik genus kapang Aspergillus adalah miseliumnya terdiri dari hifa yang bercabang-cabang dan berseptat, berwarna terang atau tidak berwarna. Miseliumnya sebagian masuk ke dalam medium dan sebagian ke luar. Sel kaki terkadang di dalam medium, terkadang di luar dan lebih besar dari bagian lain serta berdinding lebih tebal. Dari sel kaki timbul batang konidiofor dan tumbuh tegak lurus (Fardiaz, 1992). Adapun ciri-ciri spesifik A.terreus yaitu dapat mencapai pertumbuhan setelah 3-6 hari pada media agar miring potato dekstrosa agar (PDA), spora 19 aseksualnya diproduksi dalam jumlah banyak yang menyebar di permukaan media agar, sporanya berukuran kecil dan ringan, berwarna coklat krem, koloninya kompak serta tahan terhadap keadaan kering (Debby, 2003). Klasifikasi dari A.terreus adalah sebagai berikut (Fardiaz, 1992): Divisi :Amastigomycota, Subdivisi : Deuteromycotina, Kelas : Deuteromycetes, Subkelas : Hyphomycetidae, Ordo : Moniliales, Famili : Moniliaceae, Genus : Aspergillus, dan Spesies : Aspergillus terreus. Morfologi A.terreus baik secara mikroskopis maupun pada media PDA dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. (a) (b) Morfologi Kapang Aspergillus terreus (a). Morfologi mikroskopis dan (b). Morfologi pada media PDA (http://www.doctorfungus.org). 20 A.terreus memiliki sel kaki yang tidak begitu jelas terlihat, konidioforanya nonseptat, konidiofora membengkak menjadi visikel pada ujungnya dan membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia (Debby dkk., 2003). 2.8 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme Oleaginous Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme oleaginous untuk bisa mengakumulasi lipid, diantaranya yaitu suhu pertumbuhan, pH, kadar air, kelarutan oksigen, waktu inkubasi, dan nutrisi. 2.8.1. Suhu Suhu lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Suhu pertumbuhan optimal kapang yang bersifat mesofilik berkisar 25–30oC. Peningkatan suhu pertumbuhan pada kisaran optimum umumnya disertai dengan peningkatan kandungan lemak dari kapang (Shaw dalam Debby dkk, 2003). Selanjutnya dari penelitian Moon et al. dalam Leman (1997) diketahui bahwa kondisi optimum untuk mengakumulasi lipid dari berbagai jenis kapang yaitu pada suhu 30oC baik pada kultur batch maupun yang continuosly. Namun Ratledge (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan sel dan produksi minyak sel tunggal pada kapang Mortierella rammaniana var. angulispora IFO 8187 tidak dipengaruhi suhu pertumbuhan (20 – 30oC), tidak ada ketergantungan yang jelas antara suhu pertumbuhan dengan produksi biomassa atau kandungan lemak pada miselium kapang. Berdasarkan penelitian Debby dkk. 21 (2003), diketahui bahwa produksi lipid dari A.terreus pada substrat onggok-ampas tahu dilakukan pada suhu 30oC. Pada suhu yang rendah, kapang dapat memproduksi lipid lebih besar. Hal ini dibuktikan oleh Entomophthora exitalis yang tumbuh dalam kultur continuous pada rentang suhu 20–300C. Kapang ini memproduksi asam lemak tak jenuh (PUFA) jenis omega-3 dan omega-6 (Kendrick dan Ratledge dalam Leman, 1997). Pengaruh suhu yang paling nyata terhadap produksi lipid adalah perubahan pada komposisi asam lemaknya. Asam lemak tidak jenuh relatif meningkat pada suhu pertumbuhan yang relatif rendah (Summer dan Morgan, 1969 dalam Debby dkk., 2003). Perubahan komposisi asam lemak yang dipengaruhi oleh perubahan suhu, ada hubungannya dengan aktivitas enzim desaturase. Enzim yang berperan dalam pembentukan ikatan rangkap ini akan terhambat aktivitasnya pada suhu yang tinggi. Hal ini memberi penjelasan mengapa pada suhu yang lebih rendah, kandungan asam lemak tak jenuhnya tinggi (Gurr et.al. dalam Debby dkk., 2003). 2.8.2. pH pH merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan pembentukan produk. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu pH 2–8,5 , tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Fardiaz, 1992). Nilai pH optimum untuk pertumbuhan kapang berkisar antara 5,0–7,0, sedangkan pH optimum untuk 22 produksi lemak bervariasi pada setiap spesies kapang (Cantrell et al. dalam Debby dkk.,2003). Nilai pH medium dipengaruhi oleh jenis sumber nitrogen yang digunakan. Amonium sulfat menyebabkan pH medium turun tajam hingga 2,0 setelah 10 hari inkubasi, sedangkan pemakaian urea sebagai sumber nitrogen menyebabkan pH sedikit meningkat hingga 5,0 – 6,0. Kessell dalam Debby dkk. (2003) melaporkan bahwa kapang tersebut dapat tumbuh dan menghasilkan kandungan lipid yang sama baik pada pH 4,0 maupun 8,0. 2.8.3. Kadar air Mikroorganisme memerlukan air untuk hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, pertumbuhan sel mikroorganisme dalam suatu substrat sangat dipengaruhi oleh kadar air yang tersedia. Selain merupakan bagian terbesar dari komponen sel (70-80%), air juga dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia. Tersedianya air di dalam suatu bahan dapat dinyatakan dengan istilah aw (aktivitas air). Setiap mikroorganisme memiliki kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda. Kapang membutuhkan aw untuk germinasi spora aseksual. Nilai aw untuk germinasi spora adalah 62% untuk beberapa kapang. (Fardiaz, 1992). Dalam kaitannya dengan fermentasi, air merupakan hal yang sangat penting dalam fermentasi substrat padat. Pada fermentasi substrat padat biasanya diperlukan keadaan yang cukup lembab sekitar 60% (Retno, 2005). Jang et al. 23 (2000) melaporkan bahwa kadar air optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh pada kapang Mortierella alpina yaitu antara 65%-68%. 2.8.4 Kelarutan Oksigen Konsentrasi oksigen dalam substrat mempengaruhi tumbuhnya mikroorganisme. Mikroorganisme dapat dibedakan berdasarkan kebutuhan akan oksigen untuk pertumbuhannya, yaitu mikroorganisme yang bersifat aerobik, anaerobik, dan anaerobik fakultatif. Kapang pada umumnya bersifat aerobik. Respirasi aerobik adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO2 dan air, membentuk energi dalam bentuk ATP (Fardiaz, 1992). 2.8.5. Waktu Inkubasi Waktu inkubasi erat hubungannya dengan kesempatan mikroorganisme untuk memanfaatkan nutrisi yang tersedia pada medium dan efektivitas sistem metabolisme mikroorganisme dalam memanfaatkannya. Fase pertumbuhan mikroorganisme terbagi dalam fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan stasioner, dan fase kematian (Fardiaz, 1992). Menurut Nawangsari (1996), waktu inkubasi mikroorganisme oleaginous terbaik berada pada fase stasioner dan tidak boleh melebihi fase kematian. Untuk produksi asam lemak tak jenuh, diharapkan pada akhir waktu inkubasi akumulasi asam lemak sudah mencapai titik maksimum. Debby dkk. (2003) melaporkan bahwa produksi lipid pada kapang Aspergillus terreus dalam substrat onggok-ampas tahu mencapai maksimum setelah 6 hari inkubasi. Selanjutnya dari penelitian Nakajima et al. dalam Leman 24 (1997), diketahui bahwa kondisi optimum untuk meningkatkan kandungan asam gamma linolenat dari kapang Mortierella alpina yaitu pada masa inkubasi 6-7 hari dalam kultur terendam. Namun berbeda dengan Jang et al. (2000) yang melaporkan bahwa produksi asam lemak tak jenuh oleh Mortierella alpina meningkat pada 8-12 hari inkubasi, sedangkan Razavi et al. (2007) melaporkan bahwa produksi asam lemak dari Sporobolomyces ruberrimus mencapai maksimum pada waktu inkubasi 4 hari. 2.8.6. Nutrisi Mikroorganisme membutuhkan nutrisi dalam melakukan metabolisme. Nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk tumbuh diantaranya adalah karbon, nitrogen, dan mineral. Karbohidrat merupakan substrat karbon terbaik untuk pertumbuhan kapang dan hingga 20% yang tersedia dikonversi menjadi lipid. Kemampuan mengkonversi karbohidrat menjadi lipid bervariasi pada setiap kapang. Pada beberapa kapang, glukosa merupakan karbohidrat yang efisien untuk diubah menjadi lipid. Karbohidrat yang berlebih pada substrat dikonversi oleh mikroorganisme menjadi lipid tanpa poliferasi sel lebih lanjut (Ratledge, 1992). Berbagai hasil dan limbah pengolahan hasil pertanian dapat digunakan sebagai sumber karbon, diantaranya adalah umbi-umbian, onggok, bekatul, dedak, dan gandum ( Muljono dkk., 1992). Sedangkan sumber nitrogen yang digunakan dapat berupa organik maupun anorganik. Sumber nitrogen dapat berasal dari pepton, ekstrak khamir, urea, ammonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat, 25 dan kalium nitrat. Menurut Hansson et al. dalam Debby dkk. (2003), jumlah N terbatas akan merangsang dominasi asam oleat. Selain karbon dan nitrogen, akumulasi lipid pada kapang juga dipengaruhi oleh kandungan mineral. Fosfat, kalsium, kalium, sulfur dan magnesium merupakan mineral utama untuk pertumbuhan kapang. Ion Mg2+, Mn2+, Fe2+, Ca2+, Cu2+, dan Zn2+ telah dilaporkan dapat mempengaruhi produksi lipid dan asam arakidonat (ARA), serta asam gamma linolenat (GLA) pada Mortieralla rammanniana var rammaniana. Selain itu diketahui bahwa penambahan Cu2+ dan Zn2+ dapat menstimulasi produksi lipid pada berbagai spesies kapang Mortierella (Leman, 1997). Produksi asam lemak tak jenuh dari Rhizopus nigricans juga telah dipelajari. Diantara banyak mineral yang ditambahkan pada medium PDA, KCl merupakan mineral yang paling efektif untuk meningkatkan produksi asam lemak tak jenuh (Kakali et al., 2003). Sajbidor et al. dalam Leman (1997) melaporkan bahwa Fe2+ dapat menghambat secara kuat terhadap akumulasi lipid pada kapang Mortierella sp. Akumulasi lipid dalam sel memerlukan nitrogen (N) yang terbatas, fosfor (P), seng (Zn), besi (Fe), atau magnesium (Mg) yang memungkinkan mensuplai kelebihan karbon (C) yang akan diubah menjadi lemak. Dengan demikian, sintesis lipid dengan hasil terbaik diperoleh di bawah kondisi yang membatasi nitrogen (Ghanem et al. dalam Razavi et al, 2007). Kekurangan nutrisi tersebut dapat menimbulkan masalah metabolisme sel mikroorganisme. Ketersediaan nutrisi yang terbatas menyebabkan pertumbuhan sel mikroorganisme terbatas pula sehingga efisiensi produksi lipid tidak optimal. 26 Media pertumbuhan yang baik untuk menghasilkan lipid adalah dengan kandungan nitrogen rendah dan karbon tinggi (Ratledge, 1992). 2.9 Biosintesis Lipid Pada Mikroorganisme Oleaginous Akumulasi lipid pada sebagian mikroorganisme oleaginous yang tumbuh mengikuti pola dua tahap. Tahap pertama ialah perkembangbiakan sel yang tumbuh dengan laju maksimum. Tahap ini berlangsung terus sampai nitrogen dan nutrisi lainnya telah habis kecuali karbon. Pembentukan sel-sel baru yang membutuhkan sintesis protein seperti RNA dan DNA tidak dapat diteruskan harena habisnya nitrogen (fosfat atau nutrien lainnya). Setelah itu, karbon yang berlebih terutama glukosa akan terus dikonsumsi dan dikonversi oleh mikroorganisme oleaginous menjadi lipid yang terakumulasi pada jaringan intraseluler (Ratledge, 1992). Adapun skema perubahan glukosa menjadi lipid dalam mikroorganisme oleaginous dapat dilihat pada Gambar 2.4. 27 Glukosa Fruktosa 6-fosfat Gliserol Fruktosa 1,6-bifosfat Fosfoenolpiruvat Gliserol Mitokondria Piruvat kinase Piruvat Piruvat Karboxilase CO2 + ATP ADP + Pi Oksaloasetat Enzim Malat Malat dehidrogenase Piruvat Piruvat dehidrogenase Sitrat sintase NADH Sitrat Akonitase NADP+ Asetil Ko-A karboxilase NADPH Malonil Ko-A Oksaloasetat Asetil Ko-A NAD+ Malat Piruvat Karboxilase Isositrat ATP sitrat liase Asetil Ko-A Sitrat AMP Malat dehidrogenase Oksaloasetat Malat dehidrogenase Isositrat dehidrogenase 2-Oksaloglutarat Malat Siklus asam trikarboksilik Malat Triasilgliserol Gambar 2.4. Skema Biosintesis Lipid dalam Mikroorganisme Oleaginous (Ratledge dan Wynn dalam Makri et al., 2008). Rangkaian tahapan proses biosintesis lipid tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ketika nitrogen habis dalam substrat, konsentrasi AMP (Adenosin Monophospat) intraseluler menjadi menurun dan akibatnya isositrat dehidrogenase akan berhenti fungsinya karena aktivitasnya sangat tergantung pada AMP tersebut. enzim ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh mikroorganisme oleaginous (Botham et al. dalam Ratledge dan Wynn, 2002). 28 2. Isositrat tidak dimetabolisme melalui siklus asam trikarboksilik dan kemudian isositrat dan sitrat akan terbentuk. Penghentian aktivitas isositrat dehidrogenase dengan cepat mengarah kepada pembentukan sitrat sebagai isositrat, lalu dengan cepat menyeimbangkan dengan sitrat melalui akonitase (Ratledge dan Wynn, 2002). 3. Sitrat diangkut keluar dari mitokondria lalu masuk ke dalam sitoplasma yang dirubah menjadi asetil KoA dan oxaloasetat untuk biosintesis lipid oleh ATP sitrat liase. ATP sitrat liase merupakan enzim yang hanya dimiliki oleh mikroorganisme oleaginous yang bertanggung jawab atas terbentuknya asetil KoA yang diperlukan untuk menghasilkan lipid. Keberadaan enzim ini oleaginous memiliki yang menjelaskan kemampuan yang setiap mikroorganisme berbeda-beda dalam mengakumulasi lipid (Ratledge dan Wynn, 2002). 4. Pengangkutan sitrat keluar dari mitokondria dihubungkan dengan malat yang berlawanan tanda panahnya. Malat ini dihasilkan dari oxaloasetat. Banyaknya lipid yang terakumulasi juga dikontrol oleh aktivitas enzim malat yang bertindak sebagai satu-satunya sumber NADPH yang bergabung dengan asam lemak sintetase. Jika enzim malat dihambat, atau secara genetis cacat, maka akumulasi lipid sangat rendah (Ratledge dan Wynn, 2002). 29 2.10 Enzim Yang Dihasilkan Oleh Mikroorganisme Oleaginous Mikroorganisme oleaginous menghasilkan banyak enzim dari aktivitas metabolismenya. Ada beberapa enzim yang dapat mengkatalis pembentukan asam lemak tak jenuh, diantaranya adalah desaturase dan elongase. 2.10.1 Desaturase Desaturase adalah enzim yang dapat mengkatalis pembentukan ikatan rangkap rantai karbon asam lemak, sehingga sangat berperan dalam pembentukan asam lemak tak jenuh tunggal maupun majemuk (Cahoon et.al. dalam Panji dkk., 2005). Ada beberapa jenis enzim desaturase yang diketahui, diantaranya ∆9, ∆12, ∆5, dan ∆6 desaturase (Ratledge dan Wynn, 2002). 1. ∆9 Desaturase ∆9 Desaturase adalah enzim yang mengkatalis reaksi pembentukan ikatan rangkap pertama ke dalam asam lemak jenuh antara karbon nomor 9 dan 10 dari rantai asam lemak. ∆9 Desaturase dapat bekerja pada salah satu asam lemak jenuh yang dominan, misalnya palmitat (16:0) dan stearat (18:0) menjadi palmitoleat atau oleat. ∆9 Desaturase dari mikroorganisme muncul untuk memanfaatkan 18:0. Enzim ini merupakan satu-satunya enzim yang mengkatalis asam lemak jenuh. 2. ∆12 Desaturase ∆12 Desaturase mengkatalis reaksi konversi dari asam oleat (18:1ω-9) menjadi asam linoleat (18:2ω-6) dengan menyisipkan ikatan rangkap antara karbon nomor 12 dan 13 dari asam lemak tak jenuh tunggal. 30 3. ∆5 Desaturase ∆5 Desaturase mengkatalis reaksi konversi dari asam dihomo gamma linolenat (20:3ω-6) menjadi arakidonat (20:4ω-6) atau asam eikosatetraenoat (20:4 ω -3) menjadi eikosapentaenoat (20:5ω-3). 4. ∆6 Desaturase ∆6 Desaturase adalah enzim yang mengkatalis reaksi konversi asam linoleat (18:2ω-6) menjadi asam gamma linolenat (18:3ω-3). Selain itu mengkonversi asam gamma linolenat (18:3ω-3) menjadi stearidonat (18:4ω-3). Secara umum reaksi pembentukan ikatan rangkap yang dikatalis oleh enzim desaturase dapat dilihat pada Gambar 2.5. CH3(CH2)7 H H C C H H (CH2)7 KoA O2 + NADH + H+ Enzim Desaturase NAD+ + 2H2O CH3(CH2)7 H H C C (CH2)7 KoA Gambar 2.5. Reaksi pembentukan ikatan rangkap yang dikatalis oleh enzim desaturase (Mayes dan Kathleen, 1999). 31 2.10.2 Elongase Elongase adalah enzim yang sangat berperan dalam pembentukan asam lemak berantai panjang. Pemanjangan rantai karbon terjadi melalui penambahan 2 atom karbon secara berturut-turut pada asil KoA. Senyawa yang berfungsi sebagai donor 2 atom C adalah malonil KoA. Reaksi pemanjangan rantai karbon pada asil KoA oleh elongase ditunjukkan pada Gambar 2.6. O A sil-K o A AKo S (n k a rb o n ) O AKo R O OH S 3 -k e to a sil-K o A s in te ta se M a lo n il-K o A AKo + CO2 SH O O K e to a sil-K o A AKo R S N A D PH 3 -k e to a sil-K o A re d u k tas e NADP OH O 3 -H id ro k sia sil-K o A AKo S 3 -H id ro k sia sil-K o A d eh id rata s e H 2O O (E )-2 ,3 -en o il-K o A AKo S N A D PH (E )-2 ,3 -e n o il-K o A red u k ta se NADP O A s il-K o A AKo S (n + 2 k arb o n ) R Gambar 2.6. Reaksi penambahan rantai karbon pada asam lemak yang dikatalisis elongase (Puyaubert et al., 2005). 32 Berdasarkan Gambar 2.6 dapat dilihat bahwa tahapan-tahapan reaksi yang terjadi adalah reaksi kondensasi pada malonil KoA dan Asil KoA oleh 3-ketoasilKoA sintetase menghasilkan ketoasil-KoA, kemudian direduksi oleh 3-ketoasilKoA reduktase yang menghasilkan 3-hidroksil-KoA. Selanjutnya 3-hidroksil-KoA diubah menjadi 2,3-enoil-KoA oleh 3-hidroksil-KoA dehidratase. Reaksi terakhir adalah reduksi kedua yang dikatalis oleh 2,3-enoil-KoA reduktase yang menghasilkan dua atom karbon pada asil-KoA (Puyaubert et al., 2005). 2.11 Proses Transesterifikasi Proses transesterifikasi disebut juga alkoholisis merupakan reaksi pertukaran antara alkohol dengan suatu ester untuk membentuk ester lain dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis. Pada proses transesterifikasi digunakan alkohol sebagai pengganti air. Alkohol yang dapat digunakan diantaranya metanol, etanol, propanol, dan butanol. (Fukuda et al, 2001). Transesterifikasi merupakan reaksi bolak-balik dan pada dasarnya merupakan proses pencampuran reaktan. Adanya katalis dapat mempercepat jalannya reaksi. Katalis yang dapat digunakan dalam transesterifikasi diantaranya katalis asam, basa, maupun enzimatis (Kumar et al, 2007). Pada prinsipnya proses transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol) menjadi alkohol ester/ Fatty Acid Methyl Ester. Metil ester asam lemak yang diperoleh melalui transesterifikasi bersifat stabil dan relatif nonpolar serta dapat digunakan untuk analisis menggunakan alat GCMS. 33 Secara umum reaksi transesterifikasi menggunakan alkohol dapat dilihat pada Gambar 2.7. HO CH2 R1COO Katalis R2COO CH R3COO CH2 Trigliserida + 3R'OH R1 R2 R3 COOR' COOR' COOR' CH2 + HO HO Ester asam lemak Alkohol CH CH2 Gliserol Gambar 2.7. Reaksi transesterifikasi secara umum Pada dasarnya reaksi transesterifikasi merupakan reaksi bolak-balik. Menurut Fukuda et al. (2001) reaksi transesterifikasi terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu langkah pertama adalah perubahan trigliserida menjadi digliserida, diikuti dengan perubahan digliserida menjadi monogliserida, monogliserida menjadi gliserol. Pada setiap langkahnya, tiap gliserida menghasilkan satu molekul metil ester asam lemak. Reaksi bolak-balik dalam proses transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.8. 1. Trigliserida (TG) + R'OH 2. Digliserida (DG) + R'OH 3. Monogliserida (MG) + R'OH katalis katalis katalis Digliserida (DG) + R'COOR1 Monogliserida (MG) + R'COOR2 Gliserol (GL) + R'COOR3 Gambar 2.8. Reaksi bolak-balik dalam proses transesterifikasi Adapun mekanisme reaksi transesterifikasi berkatalis asam pada minyak tumbuhan menurut Schuchardt et al. (1998) dapat dilihat pada Gambar 2.9. 34 R3 R1COO CH2 R2COO CH C BF3 CH2 O R3 O R1COO CH2 R1COO CH2 R2COO CH R2COO CH C O R3 CH2 C OBF3 OBF3 Tahap 1 Trigliserida CH2 R1COO R1COO CH2 R2COO CH R R2COO CH2 O CH + - BF3 O F3B H O H R3 C R3 CH2 O C O Tahap 2 OBF3 R H R1COO O R3 C OR CH2 R2COO CH Tahap 3 R3 C + OR O R1COO CH2 R2COO CH O H+ + CH2 O HO CH2 Ester asam lemak Digliserida Gambar 2.9. Mekanisme reaksi transesterifikasi berkatalis asam Tahap pertama (1) adalah protonasi oleh katalis asam pada gugus karbonil dari ester yang menghasilkan karbokation. Tahap kedua (2) serangan nukleofilik dari alkohol pada karbokation yang menghasilkan tetrahedral intermediet. Tahap ketiga (3) eliminasi digliserida dan membentuk metil ester asam lemak serta dihasilkan kembali katalis asam. Digliserida dan monogliserida diubah melalui mekanisme reaksi yang sama untuk menghasilkan metil ester asam lemak dan gliserol. CH2