26 TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe merupakan salah satu produk olahan hasil fermentasi kedelai. Tempe sebagai produk makanan telah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat luar. Komponen dan nilai gizi dalam kedelai mengalami perubahan selama fermentasi menjadi tempe. Nilai gizi protein tempe meningkat setelah proses fermentasi karena terjadinya pembebasan asam amino hasil aktivitas enzim proteolitik dari tempe. Fermentasi juga menyebabkan jumlah kandungan isoflavon dalam tempe meningkat dibandingkan dengan kedelai tanpa fermentasi (Cahyadi 2007). Komponen bioaktif sering disebut sebagai komponen nongizi dan telah terbukti secara ilmiah mempunyai efek positif pada kesehatan. Komponen bioaktif lebih ditujukan pada komponen bahan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis dalam peningkatan kesehatan (Zakaria et al. 1997). Manfaat tempe, di samping kandungan gizinya yang tinggi, kandungan bioaktif (isoflavon aglikon) yang dihasilkan dalam proses fermentasi kedelai menyebabkan tempe menjadi sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nakajima et al. 2005). Jumlah kandungan isoflavon pada tempe dengan menggunakan inokulum Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan inokulum Rhizopus oligosporus (Wuryani 1995). Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe terutama terjadi pada saat perendaman oleh bakteri pembentuk asam dan saat fermentasi oleh aktivitas kapang. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut, tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa isoflavon aglikon (daidzein dan genistein) dan terbentuknya senyawa faktor-II (6,7,4’- trihidroksiisoflavon) dalam jumlah yang paling kecil (Pawiroharsono 2007). Pawiroharsono (1995) melaporkan bahwa isoflavon glikosida (genistin dan daidzin) dapat terhidrolisis menjadi isoflavon aglikon oleh enzim β-glukosidase. Barz et al. (1993) menyatakan hidrolisis terjadi akibat aktivitas enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus sp. Selanjutnya Wuryani (1995) melaporkan bahwa hidrolisis juga mudah terjadi karena asam. 27 Menurut Pawiroharsono (1995), peningkatan konsentrasi isoflavon aglikon pada proses fermentasi lebih besar jika dibandingkan dengan pada proses perendaman. Barz et al. (1993) menyatakan bahwa biosintesis faktor-II dapat dilakukan oleh bakteri asal tempe, yaitu Micrococcus luteus dan Brevibacterium epidermidis melalui demetilasi glisitein dan hidroksilasi daidzein oleh Microbacterium arborescens. Kandungan zat aktif isoflavon, khususnya daidzein, genistein, serta isoflavon faktor II yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Pawiroharsono 2007). Menurut Wang dan Murphy (1994), senyawa faktor II berpotensi tinggi sebagai antioksidan. Tempe mengandung lebih banyak senyawa isoflavon aglikon bila dibandingkan dengan kedelai mentah. Bentuk aglikon merupakan bentuk aktif yang diperlukan tubuh karena mudah diserap usus. Tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi, yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah. Tempe yang baik dan bermutu tinggi memiliki cita rasa, aroma, serta tekstur yang khusus. Warna utama harus putih seperti kapas (Cahyadi 2007). Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g dapat dilihat pada Tabel 1. Tempe kedelai murni dibuat dengan menggunakan ragi murni, sedangkan tempe pasar dibuat dengan menggunakan ragi yang telah dicampur dengan bahan lain yang disebut laru. Beberapa penelitian mengenai kedelai dan produk olahannya sudah dilaporkan. Penambahan tepung tempe dan tepung tahu dalam pakan pada tikus ovariektomi tidak berpengaruh pada massa dan densitas tulang femur, serta massa tulang lumbar keempat (Nurdin 2002). Bakteri yang terdapat pada tempe berperan dalam pembentukan rasa pahit pada tempe (Barus 2008). Pemberian ekstrak metanol tempe sebanyak 300 mg/kg BB/hari mempunyai aktivitas hipoglikemik dan antioksidatif pada tikus diabetes (Suarsana 2009). Pemberian tempe sebanyak 160 gram setiap hari selama 4 minggu pada wanita menopause dapat memperbaiki profil lipid, yaitu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 6%, kolesterol-LDL sebesar 5.8%, dan trigliserida sebesar 11.7% (Utari 2011). Pemberian makanan 28 cair yang diperkaya dengan tempe menurunkan kadar glukosa darah penyandang diabetes melitus (Aitoman 2011). Pemberian bubuk tempe instan sebanyak 35% dapat menurunkan kadar malonaldehid (MDA) pada tikus hiperglikemik (Desminarti et al. 2012). Tabel 1 Komposisi rata-rata zat gizi tempe kedelai murni dan tempe pasar per 100 g Jumlah Tempe kedelai murni 201.0 Tempe pasar Protein(g) 20.8 14.0 Lemak (g) 8.8 7.7 Karbohidrat (g) 13.5 9.1 Serat (g) 1.4 1.4 Abu (g) 1.6 0.9 Kalsium (mg) 155.0 517.0 Fosfor (mg) 326.0 202.0 Besi (mg) 4.0 1.5 Karotin total (mg) 34.0 35.0 Vitamin B1 (mg) 0.19 0.17 Air (g) 55.3 68.3 Zat Gizi Kalori (kal) 150.0 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1995) Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan suatu substrat yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang strukturnya mirip dengan estrogen mamalia, oleh karena itu dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Terdapat tiga kelas utama fitoestrogen, yaitu isoflavon, lignan, dan coumestans. Fitoestrogen yang paling terkenal terutama isoflavon yang berasal dari kacang kedelai dan terdapat dalam jumlah yang banyak. Fitoestrogen dalam jumlah yang lebih kecil telah ditemukan di kacangkacangan lainnya dan dalam beberapa sayuran dan buah-buahan (Kurzer dan Xu 1997; Kurzer 2003). Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, 29 memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Fitoestrogen adalah senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman dan mempunyai efek biologis yang bervariasi pada sel hewan, baik secara in vitro maupun in vivo. Mekanisme aksi fitoestrogen secara seluler mencakup: a) efek genom melalui jalur klasik pada reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta serta reseptor nuklear lainnya; b) penghambatan aktivitas enzim pada steroidogenesis (3β- dan 17β- hidroksisteroid dehidrogenase, dan aromatase); c) menstimulasi sex hormone binding globulin (SHBG); d) menghambat protein tirosin kinase yang penting untuk transduksi sinyal; e) menghambat DNA topoisomerase I dan II yang berguna untuk replikasi DNA; f) mempunyai aktivitas antioksidan (Dusza et al. 2006). Secara in vitro, fitoestrogen dapat meningkatkan produksi SHBG dan menghambat angiogenesis, juga dapat menghambat tirosin kinase, protein kinase C, atau topoisomerase II. Fitoestrogen dapat menstimulasi atau menghambat ekspresi reseptor estrogen alfa atau reseptor estrogen beta dan mRNA pada jaringan saraf dan reproduksi rodensia. Efek fitoestrogen pada individu sangat bervariasi, bergantung pada spesies dan sel target (Dusza et al. 2006). Isoflavon Isoflavon merupakan salah satu bagian kelompok fitoestrogen, yaitu komponen bahan alam yang banyak terdapat dalam kedelai maupun produk olahannya. King (2002) melaporkan bahwa dalam kedelai terdapat 12 macam isoflavon, yaitu daidzein dengan tiga glukosida konjugasinya, yaitu daidzin, asetidaidzin, dan malonildaidzin; genistein dengan tiga glukosida konjugasinya yaitu genistin, asetilgenistin, dan malonilgenistin; dan glisitein dengan tiga glukosida konjugasinya, yaitu glisitin, asetilglisitin, dan malonilglisitin. Dalam kedelai, glisitein terdapat dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan daidzein dan genistein. Isoflavon pada kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu dalam bentuk aglikon : daidzein, genistein, dan glisitein; bentuk glikosida: daidzin, genistin, dan 30 glisitin; bentuk asetilglikosida: 6-0-asetildaidzin, 6-0-asetilgenistin, dan 6-0-asetil glisitin; dan bentuk malonilglikosida: 6-0-malonildaidzin, 6-0-malonilgenistin, dan 6-0-malonilglisitin (Wang dan Murphy 1994). Menurut Vincent dan Fitzpatrick (2000), isoflavon kedelai merupakan komponen yang diketahui sebagai flavonoid, yang tersusun atas daidzein, genistein, dan sejumlah kecil glisitein. Hasil penelitian Safrida (2008) menunjukkan bahwa di dalam kedelai dan produk olahannya terdapat senyawa isoflavon (Tabel 2). Tabel 2 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dalam kg bahan Tepung kedelai Tepung tempe Komponen (mg/kg bk) (mg/kg bk) Daidzein 113.63 555.55 Glisitein 27.59 95.04 Genistein 65.15 250.65 Total isoflavon 206.37 901.24 Keterangan: bk = bobot kering (Safrida 2008) Struktur Isoflavon Isoflavon mempunyai kemiripan struktur kimia dengan estrogen pada mamalia (Setchell dan Adlercreutz 1988). Cincin fenol pada isoflavon merupakan struktur penting pada kebanyakan komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor estrogen (Leclerq dan Heuson 1979). Struktur kimia isoflavon sangat menentukan aktivitas biologis, bioavailabilitas, dan efek fisiologis. Isoflavon, sebagai senyawa yang mirip estrogen, mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen. Implikasi klinis estrogen bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah reseptor yang dapat berikatan dengan isoflavon, lokasi atau letak reseptor, dan konsentrasi estrogen yang mampu bersaing dengan isoflavon (Kim et al. 1998). Manifestasi ikatan isoflavon dengan reseptor estrogen akan menunjukkan aktivitasnya yang agonis atau antagonis bergantung pada kadar estrogen (Brzozowski et al. 1997). Isoflavon memiliki cincin aromatik dengan 2 gugus – OH atau hidroksil yang jarak 11.0-11.5 A0 pada intinya, yang mirip dengan 31 struktur estrogen (Setchell 1998). Menurut Setchell dan Cassidy (1999), struktur isoflavon hasil metabolisme daidzein ialah equol. Jika ditumpangkan pada struktur estradiol, maka jarak antara gugus hidroksil keduanya sangat identik (Gambar 2). Gambar 2 Perbandingan kemiripan struktur equol isoflavon dengan estradiol (Setchell dan Cassidy1999) Metabolisme Isoflavon Mikroflora usus berperan penting dalam metabolisme maupun bioavailabilitas komponen isoflavon dan lignan. Banyaknya metabolit yang terbentuk juga bervariasi di antara individu, dan ini sangat dipengaruhi oleh komponen diet. Bila diet yang mengandung karbohidrat dalam jumlah banyak maka akan meningkatkan fermentasi intestinal sehingga menghasilkan biotransformasi fitoestrogen yang lebih banyak dan meningkatkan pembentukan equol sebagai hasil metabolisme daidzein mamalia (Setchell et al. 1984). Untuk mencapai sirkulasi plasma, komponen isoflavon dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti waktu konsumsi, usia seseorang, dan banyaknya isoflavon yang dikonsumsi. Setchell (1998) melaporkan bahwa daidzein dan genistein masuk ke dalam sirkulasi plasma orang dewasa dengan kadar optimal dicapai 6-8 jam setelah dikonsumsi. Konsentrasi daidzein, genistein, dan equol dalam plasma orang dewasa sebesar 50-800 ng/mL. Keadaan demikian terjadi ketika orang mengkonsumsi makanan dari kedelai yang mengandung isoflavon sekurangkurangnya 50 mg/hari. 32 Isoflavon sebagai Senyawa yang Mirip Estrogen Struktur molekul isoflavon memiliki kemiripan dengan struktur estrogen. Oleh sebab itu, isoflavon disebut estrogen like atau mirip estrogen. Adanya kemiripan struktur antara dua senyawa tersebut menyebabkan isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang terdapat dalam sel berbagai jaringan tubuh. Isoflavon diketahui berpotensi lebih rendah, yaitu 10 -3 - 10-5 kali dibanding estrogen endogen (Klein 1998), namun mampu berikatan kuat dengan reseptor estrogen beta. Melalui potensi ini, diduga komponen fitoestrogen mampu memberikan efek positif pada jaringan tulang maupun pembuluh darah, tetapi tidak memberikan efek negatif pada jaringan payudara maupun ovarium (Winarsi 2005). Secara fisiologis, efek isoflavon yang mirip estrogen bergantung pada respons yang terjadi, dapat bersifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) reseptor dalam sel targetnya (Ruggiero et al. 2002). Isoflavon genistein mempunyai efek pada proliferasi dan diferensiasi sel. Genistein berpengaruh pada pematangan oosit, perkembangan preimplantasi, dan postimplantasi baik secara in vitro maupun in vivo (Chan 2009). Isoflavon mempunyai efek estrogenik bagi manusia dan hewan bergantung pada dosis yang digunakan (Yulianto 2003). Dosis isoflavon yang digunakan oleh manusia berkisar 0.4-10 mg/kg bobot badan/hari, sedangkan dosis isoflavon pada rodensia mempunyai respons pada dosis rendah berkisar 0.005-0.2 mg/kg bobot badan/hari dan dosis tinggi berkisar 10-100 mg/kg bobot badan/hari. Dosis isoflavon yang diberikan secara oral sebanyak 3-8 mg/kg bobot badan/hari dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kanker payudara pada tikus (Whitten dan Patisaul 2001). Suatu penelitian yang dilakukan dengan subjek 114 wanita pascamenopause yang diberi kedelai berpengaruh pada hot flushes dan dryness vaginal. Penurunan hot flushes terjadi pada minggu ke-12 (Brzezinski et al. 1997). Selanjutnya, penelitian lain dengan subjek 104 wanita pascamenopause, setelah diberikan suplemen tepung kedelai sebagai diet reguler sebanyak 60 g/hari, ternyata pada minggu ke-12, sebanyak 45% subjek pada kelompok yang diberi tepung kedelai merasakan penurunan hot flushes, sedangkan kelompok kontrol 33 hanya 25%. Dengan demikian, isoflavon memberikan hasil yang lebih berefek pada gejala hot flushes (Albertazzi et al. 1998). Bentuk atau wujud isoflavon dapat berupa isolat protein kedelai, susu kedelai, tepung kedelai, atau makanan apa pun yang mengandung kedelai. Para peneliti, umumnya memberikan suplemen isoflavon dengan dosis berkisar 7-200 mg/hari, sedangkan lama intervensi berkisar 2 minggu hingga 6 bulan. Dilaporkan juga bahwa wanita premenopause yang mengkonsumsi isoflavon 45-200 mg/hari, baik berupa isolat protein kedelai, susu kedelai atupun Textured Vegetable Protein, ternyata kadar hormon LH dan FSH pada siklus pertengahan (midcycle) turun (Duncan et al. 1999), sedangkan panjang siklus menstruasi meningkat, dan estrogen urin turun, yang didukung oleh penurunan metabolit estrogen genotoksik (Xu et al. 1998). Isoflavon sebagai Antioksidan Antioksidan merupakan substansi yang dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas. Secara fisiologis, tubuh mempunyai dua sistem pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu sistem enzim dan sistem nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja secara intraseluler yang sebagian besar terdapat pada mitokondria dan sitoplasma. Ada tiga macam enzim oksidan, yaitu superoksidase dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH Px), namun sering kali ketiga enzim ini kurang efektif sehingga membutuhkan suplai antioksidan nonenzimatik yang terletak di bagian ekstraseluler yang mempunyai kemampuan memberikan dan menyediakan ion hidrogen sehingga radikal bebas menjadi molekul yang stabil (Hanim 1996). Suatu senyawa dikatakan memiliki sifat antioksidatif bila senyawa tersebut mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa prooksidan, kemudian mengubah senyawa oksidan menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi 2005). Zat antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik, dan memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas (Sizer 34 dan Whitney 2000). Terdapat tiga jenis antikosidan, yaitu antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase. Antioksidan alami yang diperoleh dari tumbuhan atau hewan ialah tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid, dan senyawa fenolik. Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia, seperti Butylated Hroayanisole (BHA), Butil Hydroksil Toluen (BHT), Tert Butil Hidroksi Quinon (TBHQ), dan Propil Galat (PG) (Kumalaningsih 2007). Sifat antioksidan isoflavon ditunjukkan melalui gugus hidroksilnya. Ketika isoflavon berinteraksi dengan senyawa oksidan, maka senyawa isoflavon memberikan satu gugus H kepada senyawa oksidan. Kemudian senyawa isoflavon berubah menjadi radikal isoflavon, sementara senyawa oksidan menjadi senyawa yang stabil. Meskipun isoflavon berubah menjadi senyawa radikal, senyawa tersebut tidak memiliki potensi untuk melakukan propagasi. Radikal tersebut akan dinonaktifkan oleh senyawa radikal lain sehingga kembali menjadi senyawa yang stabil (Winarsi 2005). Sebagai antioksidan, isoflavon dalam kedelai mampu meredam aktivitas radikal bebas dengan cara mengikat dan mencegah reaksi berantainya (Kameoka et al. 1999, Kapiotis et al. 1997). Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Komponen antioksidan flavonoid yang tinggi di dalam tubuh akan menangkap radikal bebas sehingga radikal bebas tidak sempat bereaksi dengan nitrit oksida. Dengan berperannya komponen flavonoid tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan membran sel secara berlebihan (Shutenko et al. 1999). Mekanisme lain yang bertanggung jawab dalam penangkapan radikal bebas turunan oksigen oleh flavonoid ialah melalui imobilisasi leukosit dan memperkuat adesi leukosit pada dinding endotel (Winarsi 2005). Status antioksidan tubuh yang rendah menyebabkan tubuh tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Kondisi seperti ini ditunjukkan oleh tingginya kadar malonaldehid (MDA) plasma. Di sisi lain, tingginya kadar MDA plasma juga membuktikan kerentanan komponen membran sel terhadap reaksi oksidasi (Wijaya 1996). 35 Penuaan Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan mobilitas dan ketangkasan (Datau dan Wibowo 2005). Penuaan (aging) merupakan suatu proses yang secara normal terjadi di dalam tubuh. Proses penuaan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu gizi, radikal bebas, sistem kekebalan tubuh, dan sebagainya. Proses penuaan dapat dihambat bila dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari terkandung antioksidan yang cukup (Siswono 2003). Proses menua erat kaitannya dengan menurunnya aktivitas suatu organel dan menumpuknya sisa metabolisme. Sisa metabolisme dapat mengganggu reaksi kimia dan peredaran suatu bahan metabolit dalam sel sehingga menyebabkan penurunan ketahanan organisme terhadap penyakit selama hidup yang dapat menyebabkan kematian (Ismadi 1987). Menurut Meydani et al. (1995) menua merupakan proses multifaktor yang terjadi pada tingkat sel, organ, dan organisme. Proses penuaan berkaitan dengan radikal bebas. Imbangan normal antara produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan pertukaran antioksidan alami mengalami gangguan sehingga menggoyahkan dan mengganggu suatu rantai reduksi oksidasi yang normal. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan. Keadaan ini diduga sebagai salah satu faktor pendorong terjadinya beberapa penyakit sistemik, seperti katarak, aterosklerosis, kerusakan hati, diabetes, kanker, dan dapat menyebabkan penuaaan dini (Shahidi 1997; Hariyatami 2004). Penuaan dini pada kulit dikarenakan berkurangnya elastisitas jaringan kolagen dan otot sehingga kulit menjadi keriput dan munculnya bintik-bintik pigmen kecokelatan (Kumalaningsih 2007). Ada beberapa teori penuaan, antara lain jaringan menua akibat mutasi acak pada DNA untuk sel somatik yang menyebabkan penumpukan berbagai kelainan. Teori lain menyatakan bahwa akumulasi kelainan tersebut ditimbulkan oleh ikatan silang kolagen dan protein lain, mungkin sebagai hasil akhir kombinasi nonenzimatik glukosa dengan gugus-gugus amino pada molekul-molekul tersebut (Weindruch dan Sehal 1997). 36 Teori lain juga menjelaskan bahwa penuaan sebagai akumulasi kerusakan jaringan akibat radikal-radikal bebas yang terbentuk. Hal ini sangat menarik karena spesies yang memiliki rentang hidup yang lebih panjang menghasilkan lebih banyak superoksida dismutase (SOD), yaitu suatu enzim yang menginaktifkan radikal bebas oksigen (Wallace 1999). Beberapa mekanisme penuaan secara molekuler meliputi kerusakan oksidatif, ketidakstabilan gen, dan penurunan kadar hormon dalam tubuh (Johnson et al. 1999). Perubahan transkripsi yang diinduksi penuaan meliputi penurunan tingkat transkripsi yang terlibat dalam metabolisme energi dan peningkatan produksi ekspresi gen yang terlibat dalam respons terhadap stress. Sejak awal sudah ada spekulasi bahwa peningkatan umur berhubungan dengan peningkatan disfungsi mitokondria yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) pada hewan-hewan tua (Lee et al.1999). Menurut Amway (2010), ada tiga teori penuaaan. Teori pertama ialah kerusakan oleh radikal bebas dan radikal bebas dapat dinetralisir dengan antioksidan. Teori kedua ialah kerusakan DNA, yaitu radikal bebas dan sinar UV dapat mengganggu dan merusak DNA di dalam nukleus. Teori ketiga ialah kerusakan mitokondria, yaitu semakin banyak mitokondria yang rusak akan menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga berakibat buruk pada kulit. Penuaan pada Wanita Seiring dengan proses penuaan, terjadi penurunan dramatis fungsi kelenjar reproduksi pada wanita (Ranakusuma 1992). Masa klimakterium, yaitu masa transisi dari reproduktif menjadi nonreproduktif, dibagi ke dalam empat tahap, yaitu premenopause, perimenopause, menopause, dan pascamenopause. Premenopause Tahap ini terjadi sejak fungsi reproduksi mulai menurun (Kasdu 2004; Gebbie dan Glasier 2006). Premenopause ditandai penurunan fungsi ovarium secara berangsur-angsur, ovarium mengecil dan bobotnya berkurang. Pada manusia, premenopause terjadi pada usia sekitar 40 tahun (Zulkarnaen 2003). Penurunan fungsi ovarium pada tikus dapat terjadi dari umur 6 sampai 18 bulan, bergantung pada strain (Felicio et al. 1984). Premenopause merupakan 37 keseluruhan waktu ketika siklus menstruasi berjalan normal sampai mulai mengalami perubahan-perubahan yang menandakan mendekatnya masa menopause. Istilah ini juga mengacu pada fase di mana mulai terjadi perubahan kadar hormon yang menyebabkan perubahan dalam siklus dan karakteristik menstruasi (Wirakusumah 2004). Menurut Walker (1995), kadar estrogen sering relatif stabil atau bahkan meningkat di masa premenopause, kadar progesteron mulai menurun dan terjadi ovulasi yang tidak teratur. Menurut Affandi (1997) pada wanita saat premenopause, yaitu kira-kira umur 40 tahun, mulai terjadi penurunan sekresi hormon progesteron. Hasil penelitian Karaguzel dan Holick (2010) menunjukkan bahwa umumnya wanita premenopause memiliki densitas tulang yang normal, namun pada wanita Kaukasia dengan badan kurus ditemukan osteopenia, yakni densitas tulang tidak normal atau mulai menurun. Perimenopause Definisi perimenopause adalah masa perubahan antara premenopause dan menopause, yang ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur dan disertai pula dengan perubahan-perubahan fisiologik, termasuk juga masa 12 bulan setelah menopause. Perimenopause ditandai dengan fluktuasi dari hormon yang didefinisikan sebagai “irregularly irregular”. Menurut WHO definisi perimenopause adalah 2-8 tahun sebelum menopause dan 1 tahun setelah berakhirnya haid. Perimenopause, yaitu suatu fase sebelum menopause yang umumnya terjadi antara umur 40-50 tahun, dimana terjadi transisi dari siklus haid yang teratur menjadi suatu bentuk siklus yang tidak teratur dan periode amenore yang berhubungan dengan perubahan hormonal. Lamanya perimenopause berkisar 2-8 tahun. Secara klinik durasinya bisa saja 10 tahun. Tanda awal dari perimenopause adalah perubahan pada pola perdarahan haid. Keadaan ini diakibatkan defisiensi atau berfluktuasinya estrogen dan progesteron (Zulkarnaen 2003). Perimenopause merupakan masa transisi menuju menopause yang meliputi beberapa tahun sebelum menstruasi mulai benar-benar berhenti. Pada masa ini mulai mengalami gejala-gejala seperti pendarahan yang tidak teratur, hot flush, dan lain sebagainya. Pada sebagian orang, menstruasi bisa terjadi lebih banyak dan pada sebagian lain justru menjadi lebih sedikit. Pada masa ini produksi 38 estrogen mulai berkurang dan fungsi ovarium juga mulai menurun dan akhirnya berhenti (Wirakusumah 2004). Menopause Menopause didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana berhentinya siklus menstruasi yang terjadi secara permanen dan hormon yang dihasilkan dari ovarium berangsur-angsur hilang. Fungsi ovarium berkurang sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron rendah. Pada wanita, usia mulai menopause bervariasi dimulai sekitar 45 tahun hingga 55 tahun (Timiras et al. 1995). Menopause merupakan haid terakhir yang masih dikendalikan oleh fungsi hormon ovarium. Saat menopause, kapasitas reproduksi seorang wanita berhenti, ovarium tidak lagi berfungsi, produksi hormon steroid dan peptida berangsur-angsur hilang, dan terjadi sejumlah perubahan fisiologik. Sebagian disebabkan oleh berhentinya fungsi ovarium dan sebagian lagi disebabkan oleh proses penuaan. Perubahan lain yang terjadi pada wanita menopause adalah perubahan pada sistem skeletal (tulang) dan kardiovaskular berupa osteoporosis, penyakit jantung dan pembuluh darah (Zulkarnaen 2003), terjadi penurunan kadar kolagen kulit (Brincat 2004), dan menurunkan densitas tulang (Walker 1995). Tikus betina tua memiliki periode diestrus yang panjang dan peningkatan sekresi gonadotropin (Ganong 2003). Pada wanita, gejala awal yang terjadi pada masa menopause adalah menstruasi yang tidak teratur yang disebabkan oleh penurunan kadar estrogen dan progesteron. Selain itu, penurunan kadar estrogen berpengaruh pada jaringan kolagen yang berfungsi sebagai jaringan penunjang tubuh, hilangnya kolagen menyebabkan kulit menjadi kering dan keriput, rambut rontok, gigi mudah goyang dan gusi berdarah, sariawan, serta timbul rasa sakit dan nyeri pada persendian. Gejala sindrom menopause yang lain adalah hot flush, kenaikan bobot badan, sembelit, osteoporosis dan sakit punggung, atropi vagina, insomnia, gangguan psikis, dan emosi (Shimp dan Smith 2000, Kasdu 2004, Wirakusumah 2004). 39 Pascamenopause Pascamenopause didefinisikan sebagai keadaan amenorea 12 bulan (12 bulan setelah menopause), yang ditandai dengan kadar LH dan FSH yang tinggi serta kadar estrogen dan progesteron yang rendah (Zulkarnaen 2003). Pada tikus strain Long Evans, pascamenopause ditandai dengan kadar estradiol dan progesteron plasma yang rendah, serta sedikit atau tidak ada folikel ovarium yang tersisa berkembang (Lu et al. 1979). Pada mamalia, saat pascamenopause terdapat jumlah folikel atresia yang lebih banyak (Johnson et al. 2004). Hormon Estrogen Kimia dan Biosintesis Estrogen Estrogen yang terdapat secara alamiah adalah 17β-estradiol (E2), estron (E1), dan estriol (E3). Hormon-hormon ini disekresikan oleh sel-sel teka interna folikel di ovarium secara primer, dan dalam jumlah lebih sedikit juga diproduksi di kelenjar adrenal melalui konversi hormon androgen (Ganong 2003). Sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel-sel teka dan sel-sel granulosa ovarium, yang pembentukannya melalui beberapa rangkaian reaksi enzimatik. Pada tahun 1959, Ryan dan Smith mengemukakan hipotesis 2 sel, yakni mekanisme produksi hormon steroid dalam ovarium untuk menerangkan kerja sama antara sel teka dan sel granulosa dalam pembentukan hormon (Hiller et al. 1994) Prekursor hormon estrogen adalah kolesterol. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukannya dari androgen juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dan bekerja melalui siklik AMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga 40 merangsang pembentukan estradiol (Johnson dan Everitt 1984, Ganong 2003) (Gambar 3). Gambar 3 Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel (Johnson dan Everitt 1984). Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung pada kehadiran FSH dan LH karena kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesis estrogen, sedangkan bila LH secara tunggal tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan folikel. Level hormon reproduksi bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap. Pola tersebut merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon. Pada mamalia dewasa, fluktuasi berbagai hormon reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus atau secara global umumnya dikenal dengan fase folikel (fase pertumbuhan, yang ditandai dengan level estrogen tinggi), sedangkan fase luteal memiliki waktu yang cukup panjang yang ditandai 41 dengan perkembangan korpus luteum dan kadar progesteron tinggi. Sekresi FSH terjadi secara ritmis selama 4-5 hari sebelum berahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan folikel dan folikel akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup singkat, di bawah pengaruh FSH dan 17β-estradiol, terjadi pembentukan reseptor-reseptor untuk kedua jenis hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel granula juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH (Pineda 1989). Folikel ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang (threshold) akan berespons terhadap hipotalamus untuk menekan pelepasan FSH dan selanjutnya memfasilitasi pelepasan LH untuk menandai proses ovulasi (Pineda 1989). Pada saat tersebut, sel-sel granulosa memproduksi inhibin yang bekerja khusus untuk menghambat produksi FSH (feedback negatif). Tingginya kadar estrogen merupakan sinyal untuk pelepasan LH dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi. Hipothalamus, hipofisis, gonad, dan plasenta merupakan kelenjar endokrin reproduksi. Kelenjar ini akan bekerja sama secara padu dan mempunyai suatu putaran interkoneksi yang dikenal sebagai poros Hipotalamus-hipofisis-gonad. Pada hipotalamus bagian median eminentia dan preoptik diduga gonadotropin releasing factor (GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin setelah mendapat rangsangan dari sistem saraf pusat (CNS). GnRH diangkut dan dikirim kelenjar pituitari anterior melalui sistem portal hipothalamus-hipophyseal. Pelepasan GnRH dari terminal saraf dan median eminence ke dalam sistem portal darah hipofisis merupakan sinyal neuroendokrin untuk merangsang proses ovulasi. GnRH akan menstimulasikan sel-sel gonadotropin kelenjar pituari untuk mensekresikan follicle stimullating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). GnRH, FSH, dan LH akan dilepaskan dengan lonjakan-lonjakan tertentu, FSH dan LH akan bekerja pada sel target pada gonad. FSH akan merangsang sel-sel granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggung jawab atas perkembangan dan pematangan folikel. LH berfungsi merangsang sintesis androstenedion dari kolesterol, dan selanjutnya dikonversi menjadi testosteron. Pada sel-sel granulosa terjadi aromatisasi 17ß-estradiol di bawah pengaruh FSH membentuk estrogen (Ganong 2003). 42 Hormon ataupun target organ memiliki suatu sistem umpan balik homeostatik, yaitu semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri. Estrogen dapat menyebabkan feedback positif pada hipotalamus dan pituitari anterior, yakni peningkatan kadar estrogen akan menyebabkan peningkatan sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan kadar gonadotropin dari pituitari anterior (Ganong 2003). Suatu mekanisme umpan balik negatif terdapat dalam pengaturan pelepasan estrogen oleh hipofisis, yaitu kadar FSH dan LH dikontrol oleh konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah. Kadar estrogen yang sangat rendah menstimulir pelepasan FSH yang bekerja sama dengan LH menyebabkan pertambahan pelepasan estrogen. Apabila kadar estrogen dalam darah cukup tinggi, estrogen akan bekerja balik pada hipofisis untuk menghambat pelepasan FSH lebih lanjut dan terjadi penurunan kadar estrogen. Sekresi progesteron dirangsang oleh LH dan pada fase luteal sekresi progesteron akan meningkat (Binkley 1995) (Gambar 4). Gambar 4 Diagram skematik pengaturan siklus reproduksi pada hewan betina (Binkley 1995) 43 Transpor dan Metabolisme Estrogen Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati. Hati melaksanakan peranan ganda dalam metabolisme estrogen, yaitu menginaktifkan steroid ini dan juga memberikan pengaruh mengaktifkan lewat pembentukan estoprotein. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urin dan feses (Gruber et al. 2002; Ganong 2003). Mekanisme Kerja Estrogen Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Di dalam inti kompleks hormon reseptor ini segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel. Perubahan pada tingkat pascatranskripsi adalah faktor yang mempengaruhi level steady-state-specific dan protein. Oleh karena itu, steroid mengatur fisiologis sel target dengan cara mengontrol mRNA dan protein dalam sel (Guyton 1996). Seperti yang dilaporkan oleh Kuiper et al. (1996) bahwa di dalam tubuh terdapat dua macam reseptor, yaitu reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa. Menurut Paech et al. (1997) dua reseptor estrogen ini memainkan peran yang berbeda, demikian pula distribusinya dalam jaringan dan afinitas pengikatannya dengan ligan juga berbeda. Reseptor estrogen beta terdistribusi dalam jaringan otak, tulang, ovarium, prostat, kandung kemih, dan epitel pembuluh darah. Selanjutnya menurut Warner et al. (1999) reseptor alfa terdistribusi dalam jaringan uterus, ovarium, payudara, liver, ginjal, testis, hipofisis, epididimis, dan adrenal. Menurut Ganong (2003), pengaturan fungsi ovarium oleh sumbu hipofisis-ovarium diperantarai oleh reseptor estrogen alfa, sedangkan estrogen yang disekresikan ke dalam folikel ovarium bekerja melalui reseptor estrogen beta. 44 Menurut penelitian Pelletier dan El-Alfi (2000), pewarnaan dengan imunohistokimia pada berbagai jaringan reproduksi manusia memiliki dua subtipe reseptor estrogen. Dalam ovarium terdapat dua reseptor estrogen, yaitu reseptor estrogen beta dan alfa. Reseptor estrogen beta ditemukan pada inti sel granulosa folikel dari tahap folikel primer sampai folikel matang, kelenjar interstisial, dan sel epitelium germinal, sedangkan reseptor estrogen alfa terdapat pada sel teka, kelenjar interstisial, dan sel epitelium germinal. Uterus mempunyai reseptor estrogen alfa yang terdapat pada epitelium, stroma dan sel otot, begitu juga dengan reseptor estrogen beta. Vagina mempuyai reseptor estrogen alfa yang terdapat di epitelium berlapis banyak (stratified epithelium), stroma dan sel otot, namun reseptor estrogen beta pada vagina tidak dapat dideteksi. Pada kelenjar mammae terdapat dua reseptor estrogen, yaitu reseptor estrogen beta dan alfa yang ditemukan pada sel epitelium dan stroma. Sebagian besar efek estrogen bersifat genomik, yaitu diperantarai oleh reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta. Namun, beberapa efek terjadi sedemikian cepat sehingga sulit dipercayai bahwa efek tersebut diperantarai oleh pembentukan mRNA. Efek-efek tersebut meliputi efek pada pencetusan impuls neuron di otak dan efek umpan balik pada sekresi gonadotropin. Adanya efek-efek ini berarti estrogen memiliki efek nongenomik dan genomik yang mungkin diperantarai oleh reseptor-reseptor membran (Ganong 2003). Aksi Molekuler Estrogen Kerja utama estrogen yang spesifik ditentukan oleh struktur hormon, subtipe, atau isoform reseptor estrogen yang terlibat, karakteristik promotor gen target, dan keseimbangan koaktivator dan koreseptor yang memodulasi respons transkripsional akhir dengan kompleks estrogen dan reseptor estrogen (Gruber et al. 2002). Sebagai estrogen bebas yang berdifusi ke dalam sel, estrogen mengikat domain ikatan ligan dari reseptor, yang dipisahkan dari pengantar sitoplasmanya; kompleks estrogen dan reseptor estrogen selanjutnya berdifusi ke dalam nukleus sel. Kompleks estrogen-reseptor estrogen ini berikatan dengan bagian spesifik dari DNA yang disebut elemen-elemen respons estrogen sebagai homodimer atau heterodimer (Pettersson et al. 1997). Kompleks estrogen-reseptor estrogen tidak berikatan hanya pada elemen respons, tetapi juga dengan koaktivator atau represor 45 reseptor inti. Mekanisme pasti dari translokasi inti kompleks estrogen-reseptor estrogen tidak juga sepenuhnya diketahui, tetapi diketahui bahwa protein sitosolik Kaveolin-1 menstimulasi proses translokasi ini melalui interaksi langsung dengan molekul reseptor (Schlegel et al. 1999). Reseptor estrogen merupakan anggota dari superfamili reseptor-hormon inti, yang memiliki kira-kira 150 anggota yang telah dikenal. Reseptor estrogen memiliki beberapa domain fungsional. Domain yang berikatan dengan DNA terdiri atas dua ikatan seng yang terlibat dalam pengikatan dan dimerisasi reseptor. Subtipe pertama, reseptor estrogen α yang klasik, pertama kali diklon tahun 1986. Subtipe kedua, reseptor estrogen β ditemukan paling terkini. Kedua subtipe reseptor ini bervariasi dalam struktur dan gen-gen pengkode, serta terdapat dalam kromosom-kromosom yang berbeda. Gen reseptor estrogen α telah dipetakan pada lengan panjang 13 kromosom 6, sedangkan gen reseptor estrogen β berlokasi pada pita q22-24 dari kromosom 14. Walaupun domain ikatan DNA dari reseptor estrogen α dan β sangat mirip, derajat keseluruhan homologi dari reseptor adalah rendah (Gruber et al. 2002; Kuiper et al. 1996). Beberapa ligan mempunyai afinitas yang berbeda untuk reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β (Tabel 3). Tabel 3 Afinitas-afinitas relatif ikatan ligan-ligan yang berbeda untuk reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β Ligan 17 β- estradiol 17α-estradiol Estriol Estron 4-hidroksiestradiol 2-hidroksiestron Tamoxifen Raloxifen Genestein Coumestrol Daidzein Roctylfenol Nonylfenol Reseptor estrogen α 100 58 14 60 13 2 4 69 4 20 0.1 0.02 0.05 Sumber : Gruber et al. 2002 Reseptor estrogen β 100 11 21 37 7 0.2 3 16 87 140 0.5 0.07 0.09 46 Reseptor estrogen berinteraksi dengan beberapa protein koregulator yang menghubungkan antara reseptor teraktivasi dan perlengkapan transkripsi. Untuk membentuk kompleks transkripsi-inisiasi, kumpulan berbagai faktor, seperti protein yang berikatan dengan kotak TATA (deret DNA yang ditemukan pada area promotor inti dari gen eukariota) dan faktor yang berhubungan lainnya di kotak TATA, dibutuhkan oleh RNA polimerase II. Dalam proses transkripsi, kotak TATA menentukan ketepatan awal proses transkripsi. Protein koregulator reseptor-nukleus berinteraksi dengan molekul reseptor untuk memodulasi kapasitas transkripsionalnya (Gruber et al. 2002). Reseptor estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ) dalam berbagai jaringan dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda (Gambar 5). Penelitian secara in vitro telah menunjukkan bahwa ERβ dan ERα dapat bersifat heterodimer, yang megindikasikan adanya kemungkinan aksi untuk bekerja sama, sinergis atau penghambat antara kedua reseptor (Thornton 2002). Gambar 5 Diagram skematik ikatan estrogen dengan reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta dapat memodulasi ekspresi gen yang berbeda. 17β-estradiol dapat mengaktifkan ekspresi gen yang berbeda melalui dua reseptor. 17βestradiol dapat berikatan dengan ERα dan ERβ dengan afinitas yang sama. Setelah mengikat ligan, reseptor steroid dalam bentuk homodimer berinteraksi pada bagian spesifik dengan elemen respons estrogen (ERE) dari gen target. Dalam sel, ekspresi reseptor estrogen heterodimer mungkin terjadi, yang mana menghasilkan ekspresi gen yang berbeda. Ligan selektif berikatan dengan salah satu reseptor estrogen (misalnya ERβ) akan memungkinkan ekspresi gen selektif (Thornton 2002) 47 Selain jalur genom, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002). Estrogen telah terbukti mempunyai respons yang cepat yang melibatkan second messenger (Nadal et al. 1995). Estradiol telah dapat mengaktifkan sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK), juga dapat menyebabkan stimulasi cepat fluks kalsium, generasi cAMP dan IP3, dan aktivasi fosfolipase C (Kato et al. 1995; Levin 2002). Lebih lanjut kompleksitas dari sinyal estrogen diketahui bahwa estradiol dapat berinteraksi dengan reseptor membran dan dapat berinteraksi dengan faktorfaktor pertumbuhan dan reseptornya. Hubungan estrogen dan faktor pertumbuhan di sejumlah jaringan telah dilaporkan, termasuk insulin-like growth factor-1 (IGF1) (Cardona-Gomez et al. 2002, Klotz et al. 2002), epidermal growth factor (EGF) (Filardo 2002) dan transforming growth factor-α (TGF-α) (Seo dan Leclercq 2002). Aksi estrogen secara genomik dan non genomik, mencakup reseptor membran untuk sinyal estrogen dan interaksinya dengan sinyal intraseluler lain dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Diagram skematik aksi estrogen secara genomik dan nongenomik. Estrogen dapat melakukan aksinya melalui reseptor estrogen intraseluler dan reseptor estrogen di permukaan sel. Secara genomik, estrogen dapat masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor nuklear intraseluler yang dimer dan berinteraksi dengan elemen respon estrogen (ERE) untuk memulai transkripsi gen (gen X). Secara non-genomik, estrogen dapat berikatan dengan reseptor membran plasma yang kemudian berinteraksi dengan jalur sinyal sel termasuk jalur MAP kinase dan mengaktifkan gen yang berbeda (gen Y). Melalui membran plasma, estrogen juga dapat berinteraksi dengan jalur sinyal intraseluler lainnya (?) (Thornton 2002). 48 Efek Estrogen pada Saat Menopause Pada saat menopause, terjadi penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy et al. 2006). Estrogen mempengaruhi kulit, terutama kadar kolagen, jumlah proteoglikan, dan kadar air kulit. Kolagen dan serat elastin berperan untuk mempertahankan stabilitas dan elastisitas kulit. Turgor kulit dapat dipertahankan oleh proteoglikan yang dapat menyimpan air dalam jumlah besar. Estrogen mempengaruhi aktivitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta aliran darah (Baziad 2003). Kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis kulit sampai atropi, menjadikan ketebalan kulit berkurang, menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen. Kehilangan kolagen ini juga berjalan paralel dengan hilangnya massa tulang. Kekurangan estrogen juga menyebabkan berkurangnya sintesis dan polimerisasi asam hialuron sehingga terjadi pengurangan pengambilan dan penyimpanan air, yang pada akhirnya terjadi dehidrasi kulit. Hal ini membuat kulit kehilangan elastisitasnya, atopik, tipis, kering, dan berlipat-lipat (Baziad 2003). Estrogen merupakan hormon yang mempunyai peranan dalam terjadinya osteoporosis pada saat pascamenopause, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pertama, efek berkurangnya estrogen secara tidak langsung akan meningkatkan sensitivitas tulang terhadap hormon paratiroid (PTH), yang dengan demikian akan meningkatkan resorpsi tulang. Dengan kata lain, estrogen dapat menurunkan aktivitas PTH terhadap tulang dengan menurunkan mekanisme PTHmediated bone resorpsi. Estrogen juga berpengaruh pada tulang melalui kalsitonin. Kalsitonin dalam darah cenderung menurun dengan bertambahnya usia dan menopause. Dengan demikian, pada wanita menopause akan lebih cepat terjadi defisiensi kalsitonin secara relatif. Penurunan respons kalsitonin berpengaruh pada kadar kalsium. Kedua, efek estrogen secara langsung, estrogen berpengaruh langsung pada metabolisme tulang melalui reseptor estrogen pada sel osteoblas yang terdapat di dalam trabekula tulang (Ranakusuma 1992). 49 Hormon Progesteron Progesteron adalah anggota dari progestin yang terpenting karena dari sekian banyak anggota progestin hanya progesteronlah yang banyak berfungsi, sedang yang lain merupakan metabolit dari progesteron. Meskipun demikian, sejumlah progesteron lain, yaitu 17-α-hidroksiprogesteron juga disekresikan bersama dengan progesteron dan mempunyai efek yang pada dasarnya sama (Guyton 1996). Progesteron adalah hormon steroid yang memiliki 21 atom C dengan struktur dasar inti pregnan. Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lainnya, seperti estrogen. Hal ini disebabkan progesteron secara normal bekerja sama dengan estrogen dan steroid-steroid lainnya dan menghasilkan hanya sedikit pengaruh-pengaruh khusus bila bekerja sendiri (Cole dan Cupps 1977). Salah satu organ utama sasaran progesteron adalah uterus. Progesteron berperan dalam perubahan progestasional di endometrium dan perubahan siklik di serviks dan vagina (Ganong 2003). Hormon steroid utama yang dihasilkan oleh ovarium ada dua, yaitu estrogen dan progesteron. Estrogen dihasilkan oleh sel-sel folikel graafian dan progesteron dihasilkan oleh korpus luteum dan beberapa jaringan lain pada mamalia (Rastogi 2007). Selain korpus luteum, progesteron juga disekresikan oleh plasenta, folikel, dan korteks adrenal. 17β-hidroksiprogesteron disekresikan bersama estrogen dari ovarium, dan sekresinya setara dengan sekresi 17βestradiol. Sekitar 2% progesteron dalam darah berada dalam keadaan bebas, sementara 80% terikat ke albumin dan 18% terikat ke globulin pengikat kortikosteroid. Progesteron memiliki waktu paruh yang singkat dan diubah menjadi pregnandiol di hati, yang kemudian dikonjugasi dengan asam glukuronat dan diekskresikan dalam urin (Ganong 2003). Pada saat menopause, ovarium tidak lagi mensekresikan progesteron dan estradiol dalam jumlah yang bermakna sehingga kadar estrogen dan progesteron dalam darah menjadi rendah. Uterus dan vagina perlahan-lahan menjadi atropi. Karena efek umpan balik negatif estrogen dan progesteron menurun, maka sekresi FSH dan LH meningkat (Ganong 2003). Tikus betina afkir ditandai dengan kadar estradiol dan progesteron plasma yang rendah, serta sedikit atau tidak ada folikel ovarium yang tersisa berkembang (Lu et al. 1979). 50 Uterus Tikus mempunyai uterus berbentuk dupleks, dengan dua serviks (Rastogi 2007). Dinding uterus terdiri atas suatu mukosa yang disebut endometrium, disekelilingi oleh lapisan otot polos miometrium yang membentuk hampir seluruh ketebalan dinding dan akhirnya membran serosa luar peritoneum, yang menutupi uterus disebut perimetrium. Pada endometrium terdapat kelenjar uterus yang berbentuk tubular, yang terbuka langsung ke permukaan mukosa. Kelenjar meluas ke bawah pada seluruh ketebalan stroma sampai dekat miometrium, kadangkadang ujungnya bercabang (Geneser 1994). Kelenjar uterus selama fase folikuler terlihat sederhana dan lurus dengan sedikit cabang, sedangkan selama fase luteal saat progesteron bekerja terhadap uterus akan terlihat endometrium bertambah tebal secara mencolok, diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat, menjadi bercabang dan berkelok-kelok. Estrogen menyebabkan meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang diberikan pada tikus dan mencit mengakibatkan akumulasi air pada lumen uterus (Guyton 1996). Kolagen ditemukan pada beberapa organ tubuh, di antaranya uterus. Pada lapisan endometrium uterus terdapat jaringan ikat kolagen. Kolagen adalah struktur penunjang pada uterus sebagai indikasi kepesatan pertumbuhan kelenjar yang akan berfungsi sebagai wadah penyedia nutrisi bagi embrio yang disebut dengan susu uterus (Satyaningtijas 2001). Perubahan struktur kolagen uterus dipengaruhi oleh estrogen (Pastore et al. 1992). Iwahashi dan Muragaki (2011) menyatakan pada wanita yang menderita prolapse uterus terjadi sebagai akibat adanya penurunan kolagen uterus. Uterus memiliki reseptor estrogen alfa lebih dominan bila dibandingkan dengan reseptor estrogen beta (Brandenberger et al. 1997). Reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta terdapat pada epitelium, stroma, dan sel otot uterus (Pelletier dan El-Alfi 2000). Peranan ERα tidak hanya untuk mendorong faktor pertumbuhan seperti IGF-1, yang kemudian menyebabkan respons proliferatif. Pemberian IGF-1 tidak menimbulkan respons pada uterus jika tidak ada Erα. Ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER) secara in vivo menunjukkan bahwa IGF-1 dapat mengaktifkan transkripsi reseptor estrogen yang termediasi 51 (ER-mediated transcription) pada uterus tikus. Sintesis DNA uterus dimulai dengan aktivasi ERα baik secara langsung oleh estradiol (E2), atau secara tidak langsung oleh jalur aktivasi reseptor IGF-1 (IGF-1R) yang termediasi pada ERα (Klozt et al. 2002) (Gambar 7). IGF-1 yang diinduksi aksi estradiol pada sel stroma Reseptor IGF-1 Sel epitel uterus IGF-1 terinduksi sinyal MAPK IGF-1 terinduksi sinyal P1-3 kinase terjadi di inti sel “Respons estrogenik" Gambar 7 Diagram skematik ikatan IGF-1 dengan reseptor estrogen (IGF-1/ER) pada uterus. E2 (estradiol) dapat mengaktifkan reseptor estrogen (ER) secara langsung melalui mekanisme ikatan E2/ER klasik (garis panah berwarna merah dan bulatan oval merah). IGF-1 juga dapat mengaktifkan ER (garis panah berwarna biru dan bulatan oval biru), melalui mekanisme yang melibatkan PI 3-kinase/Akt dan MAPK (mitogen-activated protein kinase) (garis panah terputus). Mekanisme aktivasi ER memperlihatkan respons sintesis DNA dan ekspresi proliferasi (PCNA). Aktivasi ER menunjukkan adanya aspek molekuler yang penting untuk respons estrogenik, contohnya pada uterus tikus ERα knockout (αERKO) yang diinduksi IGF-1, yang mana sintesis DNA tidak terjadi jika tidak ada ER (Klozt et al. 2002) Kulit Kulit merupakan organ terluas pada tubuh, dan merupakan organ pelindung primer terhadap serbuan kuman penyebab infeksi dan pelindung terhadap dehidrasi. Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Kulit juga mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Epidermis terdiri atas sel keratin dan melanosit dan membentuk lapisan 52 tipis terluar. Lapisan dermis merupakan lapisan yang lebih dalam membentuk ketebalan utama kulit yang fungsinya ialah menyediakan ruangan yang potensial untuk menunjang pembuluh darah, saraf, dan anggota tubuh lainnya yang terdapat di dalamnya (Geneser 1994). Kolagen adalah komponen protein pembentuk struktur kulit, otot, dan pembuluh darah yang berbentuk serat tripel heliks. Protein ini tersusun atas fragmen residu asam amino glisin-prolin-X, dengan X sebagai asam amino apa pun, secara berulang-ulang (Nurachman 2003). Kolagen merupakan protein struktural yang secara alami berbentuk serat, yang tersusun atas 25-30% total protein tubuh hewan. Kolagen ini disintesis pada semua tipe sel dan didepositkan pada semua tipe jaringan. Komponen utama tendon dan ligamen adalah kolagen. Serabut-serabut kolagen jaringan ikat mempunyai diameter antara 1-12 μm, sedangkan ikatan-ikatan paralel fibril penyusun serabut kolagen tersebut berdiameter antara 20 dan 100 nm (Soeparno 1992). Semakin bertambah umur, kelarutan kolagen menurun dan rantai polipeptida semakin menyempit serta kolagen yang tidak larut semakin menumpuk di ruang ekstraseluler. Akibat penumpukan ini, aliran nutrien dan oksigen ke sel terhambat yang menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan dan kematian. Kejadian ini akan memberikan kontribusi terhadap penuaan. Penurunan kelarutan kolagen dengan bertambahnya umur terjadi akibat penurunan enzim kolagenase secara tajam. Penurunan ini meningkatkan ikatan silang antara fibril kolagen dan perubahan daya regang kolagen yang menyebabkan terjadinya kekerutan pada kulit. Konsentrasi radikal bebas dan makromolekul meningkat dengan bertambahnya usia karena superoxide dismustase (SOD) yang dikode oleh gen semakin menurun (Kanungo 1994). Serat yang terdapat pada organ konektif dermis secara garis besar ada dua yang dominan, yaitu kolagen dan elastin. Dari total bobot badan orang dewasa, 80% adalah kolagen. Serat kolagen yang diproduksi oleh fibroblas dan tersusun paralel pada permukaan kulit memberikan kulit kekuatan untuk dapat diregangkan dan mencegahnya menjadi robek akibat robekan minor. Hanya 5% dari dermis berupa serat elastin. Serat elastin menyebabkan kulit menjadi elastis dan kenyal. Serat elastin tersusun setipis distribusi jaringan subepidermis, dan juga diproduksi 53 oleh fibroblas. Pada jaringan pengikat dermal terdapat reseptor sensorik dan glikosaminoglikan (GAGs). Kualitas kulit menurun seiring dengan bertambahnya usia karena efek sinergik dari penuaan, sinar matahari, defisiensi hormon, dan faktor lingkungan (Datau dan Wibowo 2005). Estrogen memiliki efek penting pada jaringan nonreproduksi, dan ekspresi dari reseptor estrogen bergantung pada jaringan. Selain jaringan reproduksi baik pada pria dan wanita, reseptor estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ) terdapat pada berbagai jaringan, seperti tulang, otak, paru-paru, kandung kemih, timus, hipofisis, hipotalamus, jantung, ginjal, adrenal, sistem kardiovaskular, dan kulit termasuk folikel rambut (Thornton 2002, 2005). Terdapat dua mekanisme aksi estrogen dalam pembentukan kolagen kulit, yaitu secara nongenomik dan secara genomik (Stevenson dan Thornton 2007). Pertama, estrogen bekerja secara nongenomik mengakibatkan efek seluler yang cepat pada berbagai jaringan (Levin 2002). Kedua, estrogen bekerja secara genomik yang diperantarai oleh reseptor estrogen yang terdapat pada sel-sel fibroblas kulit (Thornton 2002, 2005). Tulang Tulang merupakan suatu organ metabolisme aktif yang secara berkesinambungan mengalami perubahan, baik perubahan ukuran maupun bentuk (modelling) atau pembaharuan struktur tanpa perubahan bentuk tulang (remodelling). Modelling adalah proses yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja, yaitu pembentukan tulang baru pada daerah yang berbeda dan tulang yang diresorbsi sehingga menyebabkan perubahan bentuk tulang. Modelling tepatnya terjadi di bagian growth plate atau lempeng pertumbuhan. Pertumbuhan tulang berlangsung secara bertahap, dimulai dengan proliferasi dan kalsifikasi lempengan pertumbuhan atau perubahan tulang rawan menjadi tulang termineralisasi (Eriksen et al. 1994). Remodelling tulang ialah proses mempertahankan keseimbangan biokimia tulang melalui proses pembentukan (formasi) dan penyerapan atau resorbsi sejumlah tulang (removal bone) yang dilakukan sel-sel tulang osteoklas dan osteoblas (Favus 1993). 54 Secara fisiologis, penurunan kadar hormon estrogen pada saat menopause memiliki hubungan erat dengan ketidakseimbangan remodelling tulang karena estrogen mempunyai reseptor pada sel-sel osteoblas (Setyohadi 2000). Estrogen diperlukan untuk pemeliharaan densitas tulang dan pelaksanaan fungsi mekanik pada wanita sejak pubertas sampai perimenopause (Kasra dan Grynpas 1995). Selain peran mekanik, estrogen juga dapat menurunkan resorbsi tulang melalui penurunan berbagai sitokin, seperti interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-1 (IL-1). IL-6 diketahui banyak terdapat pada lingkungan mikro tulang dan berperan merangsang resorbsi tulang, sedangkan IL-1 menstimulasi pembentukan osteoklas (Raisz 2008). Peran estrogen pada pembentukan tulang adalah menurunkan resorpsi tulang. Pada masa premenopouse, estrogen sangat dibutuhkan untuk pembentukan dan pemeliharaan massa tulang. Estrogen diduga menghambat aktivitas hormon paratiroid (PTH) pada proses resorpsi tulang, melalui peningkatan kadar kalsitonin. Estrogen juga berperan pada resorpsi tulang melalui reseptor estrogen yang terdapat pada osteoklas dan osteoblas. Penurunan estrogen pada masa perimenopause menyebabkan hilangnya hambatan terhadap hormon PTH sehingga resorpsi tulang meningkat (Badawy dan Frankel 1999). Secara mikroskopis, tulang dibentuk oleh komponen seluler dan matriks tulang. Komposisi tulang secara umum terdiri atas 30% matriks, 70% mineral sedangkan tulang yang baru terbentuk mengandung 95% matriks organik yang juga merupakan jaringan kolagen dan 5% bahan homogen yang disebut sebagai substrat dasar (ground substance). Matriks organik menyusun sekitar 35% dari bobot tulang dan terdiri atas dua macam protein, yaitu kolagen dan nonkolagen (Favus 1993, Ott 2002). Proses pembentukan tulang terutama melibatkan osteoblas sebagai sel utama penghasil matriks tulang. Osteoblas mengatur konsentrasi ion kalsium pada matriks melalui pelepasan kalsium dari intraseluler. Osteoblas merupakan sel jaringan tulang yang berperan mensintesis kolagen untuk membentuk osteoid sebagai bahan dasar tulang dan mempunyai fungsi utama mensintesis komponen organik tulang, yaitu kolagen dan glikoprotein. Sel ini biasanya terletak pada permukaan jaringan tulang, berbentuk kuboid atau kolumnar, dengan posisi saling 55 bersebelahan seperti jaringan epitel. Apabila osteoblas sedang mensintesis matriks tulang, bentuknya kuboid dangan sitoplasma basofilik, sedangkan bila aktivitasnya menurun, bentuknya menjadi lebih fusiformis dengan sitoplasma yang kurang basofilik. Pada permukaan tulang terdapat deretan osteoblas yang tersusun menyerupai epitel selapis. Osteoblas yang aktif mensintesis matriks, berbentuk kubus, sedangkan osteoblas yang aktivitasnya menurun berbentuk pipih. Pada tulang yang sedang mengalami pertumbuhan, terdapat sel besar yang berinti banyak (osteoklas) yang berfungsi meresorpsi tulang. Di sekitar tulang yang sedang mengalami pertumbuhan ini terdapat jaringan mesenkim (Guyton 1996). Densitas tulang adalah kerapatan massa tulang. Densitas tulang memiliki kaitan dengan proses formasi tulang, terutama dengan metabolisme mineral tulang atau metabolisme kalsium. Penurunan densitas tulang mengarah pada kerapuhan tulang (porous) atau dikenal dengan osteoporosis (Compston et al. 1993). Osteoporosis adalah kelainan tulang akibat gangguan metabolik, yang disebabkan oleh kosongnya matriks tulang sehingga tulang menjadi rapuh, mudah pecah, dan cenderung menjadi fraktur. Keadaan demikian umumnya banyak terjadi pada wanita pascamenopause dan laki-laki berusia tua, akan tetapi wanita memiliki risiko lebih tinggi dibanding pria. Penyebab utama osteoporosis adalah menurunnya kadar estrogen, yang terjadi ketika wanita memasuki usia tua. Perubahan kadar estrogen ini menyebabkan massa tulang menurun. Selain disebabkan oleh defisiensi estrogen, osteoporosis juga disebabkan oleh defisiensi kalsium (Ca) dan vitamin D, yang semuanya itu akan memperberat keadaan osteoporosis (Winarsi 2005). Salah satu terapi untuk mengobati atau mencegah osteoporosis adalah dengan Estrogen Replacement Therapy (ERT), akan tetapi penggunaan ERT memberikan risiko dan efek yang tidak menyenangkan, dan bahkan memicu munculnya sel kanker (Lien dan Lien 1996). Hasil penelitian epidemiologis di negara barat menunjukkan bahwa kejadian osteoporosis lebih rendah pada populasi yang dietnya tinggi kedelai dibanding dengan populasi yang dietnya rendah kedelai (Tham et al. 1998). 56 Deoxyribonuceic Acid (DNA) dan Ribonuceic Acid (RNA) Asam deoksiribosanukleat (DNA) adalah komponen kromosom yang membawa pesan genetik untuk semua sifat-sifat yang diwariskan oleh sel dan turunannya. Setiap kromosom mengandung sebuah segmen heliks ganda DNA. Untuk heliks ganda DNA tidak saja memperbanyak dirinya, tetapi berfungsi juga sebagai cetakan dengan menjejerkan basa-basa komplementer di inti untuk membentuk messenger RNA (mRNA), transfer RNA (tRNA) dan RNA dalam ribosom (rRNA) dan berbagai RNA jenis lain (Ganong 2003). Untuk mengevaluasi adanya suatu pertumbuhan atau perkembangan dari suatu jaringan dapat dihitung dari kandungan DNA-nya dengan asumsi bahwa kandungan DNA per sel adalah konstan atau tetap. Menurut Rastogi (2007), salah satu penuaan pada tingkat molekuler dapat dilihat dari perubahan kuantitatif asam nukleat. Jumlah DNA per sel pada setiap spesies adalah konstan. Kehilangan DNA atau RNA per organ menggambarkan pada penurunan efisiensi fungsional. Tikus sebagai Hewan Model Rodgers et al. (1993) memberikan tiga kategori utama pemeliharan hewan sebagai hewan model penyakit manusia, yaitu 1) convenience, 2) comparability, 3) appropriateness. Rachman (1999) menyatakan bahwa penelitian klinik pada bidang biomedis dengan objek langsung menggunakan manusia mempunyai kesulitan karena beberapa faktor kendala, antara lain jenis pakan beragam, pola makan tidak bisa diatur, faktor lingkungan dan risiko sangat riskan. Secara luas pada bidang biomedis, tikus ovariektomi merupakan model juvenile osteopenia (Cesnjaj et al. 1991), dan dapat menjadi model wanita pascamenopause (Devareddy et al. 2008). Kalu et al. (1993) dan Dempster et al. (1995) menyatakan bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim alkalin fosfatase serum. Arjmandi et al. (1996) melaporkan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas. Ovariektomi menyebabkan kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang kortikal. 57