4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran

advertisement
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah Sebaran Penangkapan
Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan
ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada
kondisi alam. Kapal yang digunakan oleh nelayan tersebut untuk melaut merupakan
kapal-kapal yang berukuran 6-24 GT dan operasi penangkapan ikannya pun
dilakukan hanya di sekitar wilayah perairan Selat Sunda. Wilayah sebaran daerah
penangkapan ikan kuniran yang ditangkap oleh nelayan Labuan berada di daerah
sekitar pantai Pulau Rakata, Pulau Panaitan, Pulau Papole, Pulau Peucang, dan
Pulau Sebesi.
Secara partisipatif, sebaran daerah penangkapan ikan kuniran
disajikan pada Gambar 6.
W3
Z2
Y2 W X
1
1
W2
Z1
W4
X2Y1
X3
Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.
26
Berdasarkan Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa daerah penangkapan ikan
kuniran hanya berada di sekitar pantai pulau-pulau di Perairan Selat Sunda. Hal ini
disebabkan oleh ciri dari habitat yang disukai oleh ikan kuniran yaitu cenderung
menyusuri tepi pantai dan hidup di perairan yang dangkal (Widodo 1980 in Siregar
1990). Selain itu, ketersediaan kapal, alat tangkap, ABK, dan biaya operasional
yang memadai juga menjadi alasannya. Nelayan hanya mampu menjangkau daerahdaerah tersebut dengan permodalan yang rendah untuk melakukan operasi
penangkapan.
Pengalaman dari nelayan sebelumnya ataupun dari cerita antar
sesama nelayan juga menjadi acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan
kuniran.
Armada kapal yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan
penangkapan ikan kuniran dapat dilihat pada Lampiran 8.
Berdasarkan informasi dari TPI 1 Labuan, total kapal penangkap ikan kuniran
atau sering disebut kapal gardan yang aktif hingga saat ini hanya sekitar 5 kapal
motor.
Masing-masing kapal memiliki kapasitas mencapai 12-14 orang dan
biasanya melibatkan 8-10 orang ABK. Nelayan gardan melakukan penangkapan
selama 3-4 hari per trip dengan menggunakan alat tangkap cantrang atau mereka
biasanya menyebutnya jaring payang dengan bantuan gardan yang berfungsi saat
penarikan jaring dari air (hauling). Gardan digunakan sebagai mesin bantu untuk
memudahkan penanganan alat tangkap dan memperingan kerja di atas kapal.
Ikan kuniran ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dengan
mesh size pada bagian kantong sekitar 0,3 cm. Alat tangkap cantrang yang salah
satunya terdiri dari jaring payang yang digunakan untuk menangkap ikan kuniran di
Labuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Penentuan lokasi penangkapan ikan oleh
nelayan di sekitar perairan Labuan ini memang masih dilakukan secara tradisional
dan berdasarkan pengalaman melaut.
Jarak yang ditempuh oleh nelayan harus
melebihi 3 mil k arah Barat, Barat Daya, atau pun Barat Laut dari wilayah Labuan.
4.2
Produksi dan Nilai Produksi Ikan Kuniran
Penelitian yang telah dilakukan ini menghasilkan data produksi dan nilai
produksi ikan kuniran yang berfluktuasi.
Hasil tangkapan (produksi) dan nilai
produksi harian ikan kuniran diperoleh dari 4 nelayan yang melakukan penangkapan
27
ikan kuniran di sekitar perairan Labuan. Fluktuasi hasil tangkapan ikan kuniran
tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Hasil tangkapan ikan kuniran saat sampling.
Berdasarkan Gambar 7 di atas, dapat terlihat bahwa produksi harian ikan
kuniran untuk masing-masing nelayan yang melakukan penangkapan cenderung
berfluktuasi. Produksi tertinggi terdapat pada nelayan 2 sebesar 192,4 kg pada
tanggal 2 Maret 2012. Sedangkan produksi terendah didapatkan sebesar 14,3 kg
pada tanggal 19 Februari 2012.
Fluktuasi produksi harian rata-rata yang terjadi selama pengamatan
mengindikasikan adanya ketidakpastian hasil tangkapan.
Dalam kegiatan
penangkapan ikan kuniran yang dilakukan oleh nelayan Labuan digunakan alat
tangkap cantrang dengan bantuan gardan selama 3-4 hari melaut. Masing-masing
nelayan memiliki hasil tangkapan yang berbeda-beda, namun hasil tangkapan
seluruh nelayan tersebut cenderung mengalami fluktuasi.
Nelayan tidak dapat
memastikan berapa jumlah hasil tangkapan yang dapat diperoleh setiap kali
melakukan penangkapan. Hasil tangkapan ikan kuniran yang tertangkap pada jaring
nelayan akan segera ditangani dengan pemberian batu es agar hasil tangkapan tetap
dalam kondisi segar meskipun disimpan dalam waktu beberapa hari menjelang kapal
mendarat.
Setelah memperoleh hasil tangkapan yang cukup banyak, biasanya
nelayan akan pulang dan mendaratkan hasil tangkapan tersebut ke TPI untuk segera
dilelang.
Umumnya, ikan kuniran yang diperoleh dalam jumlah banyak akan
28
dilelang dengan harga yang rendah, sedangkan ikan kuniran dalam jumlah sedikit
akan dilelang dengan harga yang cukup tinggi. Hasil tangkapan yang diperoleh
akan berbanding terbalik dengan harga jual terhadap sumberdaya tersebut.
Berdasarkan Gambar 6 dan 7 di atas, dapat terlihat bahwa hasil tangkapan
untuk nelayan 3 dan 4 lebih sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapan yang
diperoleh oleh nelayan 1 dan 2. Hal ini berhubungan dengan daerah penangkapan
dari masing-masing nelayan. Nelayan 3 dan 4 hanya melakukan penangkapan di
daerah yang langsung berbatasan dengan laut yaitu di Pulau Rakata dan Pulau
Panaitan yang mana jumlah ikan demersal khususnya ikan kuniran sangat sedikit di
daerah tersebut sehingga hasil tangkapan yang diperoleh pun juga sedikit.
Fluktuasi produksi harian yang terjadi secara kontinu selama satu tahun dapat
mencerminkan trend penangkapan yang terjadi pada tahun tersebut. Gambaran pola
produksi yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga waktu penangkapan yang
baik untuk memperoleh hasil tangkapan yang optimal. Meskipun tidak sepenuhnya
hal tersebut dapat digunakan karena melihat kondisi cuaca yang saat ini sering sekali
sulit untuk diprediksi. Trend produksi dan nilai produksi ikan kuniran di Labuan
untuk tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Trend produksi dan nilai produksi ikan kuniran tahun 2005-2011.
(Tempat Pelelangan Ikan 1 Labuan, diolah 2012).
29
Berdasarkan Gambar 8 di atas dapat terlihat bahwa trend produksi dan nilai
produksi pada periode tahun 2005-2006 dan 2010-2011 cenderung mengalami
fluktuasi. Selama periode tahun tersebut, produksi tertinggi terdapat pada bulan Mei
2010 sebesar 5.260 kg ikan kuniran dengan harga jual sebesar Rp. 5.000,- dan
memperoleh nilai produksi sebesar Rp. 6.465.000,-. Sedangkan produksi terendah
selama periode tahun tersebut terdapat pada bulan Desember 2011 sebesar 352,9 kg
dengan harga jual sebesar Rp. 6.000,- dan memperoleh nilai produksi sebesar Rp.
2.117.400,-. Nilai produksi akan cenderung mengikuti pola produksi yang diperoleh
seperti yang terlihat pada Gambar 8 di atas.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi terjadinya fluktuasi pada produksi ikan.
Jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan dalam satu bulannya akan
mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan dalam satu bulan tersebut. Nelayan
hanya akan melakukan penangkapan ikan pada kondisi cuaca yang memungkinkan.
Jika kondisi cuaca tidak memungkinkan, maka sebagian besar nelayan memilih
untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan.
Selanjutnya, apabila kegiatan
penangkapan terganggu, maka produksi ikan yang diperoleh juga akan terpengaruh
sehingga penghasilan yang didapat oleh nelayan pun menjadi berkurang. Oleh
karena itu, terdapat ketidakpastian dalam produksi penangkapan ikan.
4.3
Pola Musim Penangkapan Ikan Kuniran
Penentuan pola musim penangkapan ikan kuniran akan memberikan gambaran
tentang keberadaan ikan tersebut di perairan sehingga operasi penangkapan ikan
dapat diarahkan pada saat musim banyak ikan. Hal ini merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan produksi nelayan yang memiliki peluang lebih besar untuk
memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.
Oleh karena itu melalui
pendekatan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan per bulan dalam kurun
waktu tahun 2001-2011 diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pola musim
penangkapan ikan kuniran di Labuan yang didaratkan di TPI 1 PPP Labuan.
Analisis pola musim penangkapan ikan kuniran tersebut menggunakan metode
rata-rata bergerak (moving average) dengan menghitung nilai Indeks Musim
30
Penangkapan (IMP) pada setiap bulannya. Pergerakan nilai IMP ikan kuniran dapat
dilihat pada Gambar 9.
musim
penangkapan
musim
paceklik
Gambar 9 Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan kuniran.
Berdasarkan Gambar 9 di atas, nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) di
sekitar perairan Labuan berkisar antara 17,80% - 174,57%. Pergerakan nilai IMP
ikan kuniran mengalami fluktuasi yang diawali dengan peningkatan pada bulan
Januari-Maret.
Kemudian mengalami penurunan pada bulan April.
Nilai IMP
cenderung stabil pada bulan September-November. Nilai IMP tertinggi terdapat
pada bulan Agustus senilai 174,57% dan terendah pada bulan Januari senilai
17,80%.
Kriteria yang digunakan dalam menentukan musim penangkapan ikan kuniran
adalah jika nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) lebih besar dari 100% maka
bulan tersebut merupakan musim penangkapan ikan, sedangkan jika nilai tersebut
kurang dari 100% maka bulan tersebut bukan merupakan musim penangkapan ikan.
Selain musim penangkapan, musim paceklik juga dapat diketahui dari nilai IMP
tersebut.
Musim paceklik ditandai dengan nilai IMP yang kurang dari 50%.
Berdasarkan Gambar 9, musim penangkapan ikan kuniran adalah bulan Mei, Juni,
Agustus, September, Oktober, dan November dengan nilai IMP yang melebihi
100%. Selain bulan-bulan tersebut diduga bukan merupakan musim penangkapan
ikan kuniran karena nilai IMPnya berada di bawah 100%. Musim paceklik terjadi
31
pada bulan Januari dan April karena nilai IMPnya berada di bawah 50% yaitu
masing-masing senilai 17,80% dan 26,74%.
Apabila dikaitkan dengan musim perairan yang terjadi di Indonesia, musim
penangkapan ikan kuniran hanya terjadi pada musim timur dan musim peralihan
timur-barat dengan musim puncak terbaik untuk melakukan penangkapan Ikan
Kuniran pada bulan Agustus (musim timur) dengan IMP tertinggi. Hal ini sesuai
menurut Syamsiyah (2010) yang menyatakan sewaktu musim barat biasanya banyak
terjadi hujan, angin dan arus yang kencang menyebabkan jumlah trip penangkapan
yang dilakukan oleh nelayan menjadi menurun sehingga hasil tangkapan yang
didapat pada musim barat biasanya lebih rendah dibandingkan pada musim timur.
4.4
Analisis CPUE (Catch Per Unit Effort) dan RPUE (Revenue Per Unit
Effort)
Analisis RPUE merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk melihat apakah
nelayan mengalokasikan upaya penangkapannya berdasarkan keuntungan atau laba
yang akan diperolehnya. Analisis ini juga disebut dengan prakiraan keuntungan
yang tidak dapat dihitung secara langsung. Oleh karena itu, prakiraan keuntungan
ini diestimasi dengan menggunakan perhitungan pendapatan bioekonomi dengan
persamaan yang dimodifikasi dari Bene and Tewfik (2000) in Khoiriya (2010)
sehingga didapat hasil perhitungan prakiraan keuntungan seperti terlampir pada
Lampiran 7.
Hasil perhitungan prakiraan keuntungan tersebut disajikan dalam bentuk
grafik pada Gambar 10 di bawah ini.
32
Gambar 10 Dinamika CPUE dan RPUE ikan kuniran.
Berdasarkan Gambar 10 di atas terlihat dinamika antara nilai CPUE dan
RPUE. Peningkatan yang terjadi pada CPUE juga diikuti oleh peningkatan pada
RPUE. Hal ini tampak terlihat jelas karena RPUE berbanding lurus dengan CPUE
berdasarkan formula yang digunakan yaitu RPUE = p x CPUE dengan p adalah
harga yang berlaku. Dari Gambar 10 di atas, nilai CPUE tertinggi terdapat pada
tanggal 2 Maret 2012 sebesar 192,4 kg/trip dan terendah terdapat pada tanggal 19
Februari 2012 sebesar 14,3 kg/trip. Hal yang sama juga terjadi pada nilai RPUE.
Nilai RPUE tertinggi juga terdapat pada tanggal 2 Maret sebesar Rp. 1.350.000,- dan
terendah juga terdapat pada tanggal 19 Februari sebesar Rp. 100.000,-.
Berdasarkan perbandingan dinamika CPUE dan RPUE tersebut, ikan kuniran
yang didaratkan di PPP Labuan merupakan ikan yang kurang responsif terhadap
pasar karena pada saat jumlah tangkapan ikan kuniran meningkat tidak diikuti oleh
penurunan prakiraan keuntungan, yang terjadi adalah sebaliknya.
Peningkatan
jumlah tangkapan ikan mengakibatkan peningkatan prakiraan keuntungan juga.
Komoditas ikan akan dikatakan responsif terhadap pasar jika jumlah tangkapan ikan
meningkat diikuti dengan penurunan prakiraan keuntungan nelayan (Khoiriya 2010).
Gambar 10 di atas dapat mengindikasikan adanya ketidakpastian harga yang cukup
tinggi pada sumberdaya ikan kuniran. Hal ini terlihat pada grafik dinamika CPUE
dan RPUE diatas.
Dinamika CPUE sangat terlihat, sedangkan nilai RPUE
cenderung terlihat stabil. Oleh karena nilai CPUE berfluktuasi dengan nilai RPUE
33
yang cukup stabil maka diduga adanya dinamika harga yang cukup signifikan yang
terjadi pada sumberdaya ikan kuniran tersebut.
Selain perbandingan CPUE dan RPUE, untuk mengetahui keadaan dari
sumberdaya ikan kuniran dapat digambarkan pada grafik yang memplotkan antara
CPUE dan E yaitu pada Gambar 11 berikut ini.
Gambar 11 Hubungan CPUE dan upaya penangkapan ikan kuniran selama tahun
2001-2011 (TPI 1 Labuan, diolah 2012).
Berdasarkan Gambar 11 di atas terlihat bahwa nilai CPUE mengalami
penurunan dengan semakin tingginya upaya penangkapan yang dalam hal ini adalah
jumlah trip penangkapan ikan kuniran.
Hubungan antara CPUE dan upaya
penangkapan (E) menggambarkan produktivitas dari alat tangkap cantrang dalam
melakukan penangkapan ikan kuniran yang dicerminkan dalam nilai CPUE.
Menurut Sparre dan Venema (1999), hubungan yang menunjukkan bahwa semakin
tinggi upaya penangkapan yang dilakukan maka nilai CPUE akan semakin rendah
dapat mengindikasikan bahwa terjadinya penangkapan yang berlebihan atau biasa
disebut over fishing.
Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan agar
kelangsungan hidup sumberdaya ikan kuniran tetap terus lestari dan berkelanjutan di
alam.
34
4.5
Alternatif Pengelolaan Perikanan Kuniran
Berdasarkan informasi mengenai kondisi yang terjadi terhadap sumberdaya
ikan kuniran di PPP Labuan yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan hasil tangkapan atau
produksi ikan kuniran tersebut.
Banyak hal yang dapat dilakukan seperti
mengetahui informasi penting mengenai sumberdaya ikan kuniran, penggunaan
teknologi yang cukup canggih, dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana
yang dapat menunjang kegiatan penangkapan. Selain itu, perlu adanya perbaikan
fasilitas TPI sehingga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perikanan tangkap dalam
menunjang kebutuhan masyarakat Labuan. Penambahan fasilitas yang mendukung
seperti adanya pabrik pengolahan perikanan juga dapat dilakukan agar hasil
tangkapan yang ditangkap oleh nelayan dapat ditangani dengan baik setelah
didaratkan dari kapal ke TPI.
Pada
umumnya
nelayan
melakukan
penangkapan
ikan
berdasarkan
pengalaman melaut dan melihat keadaan alam sekitar tanpa memanfaatkan teknologi
yang sebenarnya saat ini sudah ada namun tidak tersedia di PPP Labuan tersebut.
Alternatif pengelolaan perikanan yang dapat diterapkan antara lain perbaikan dalam
hal pencatatan data produksi dan nilai produksi untuk seluruh jenis sumber daya
ikan yang tertangkap di perairan sekitar Labuan, melakukan penangkapan dengan
intensitas penangkapan yang cukup banyak pada musim timur dibandingkan pada
musim barat serta perbaikan dan penambahan sarana dan prasarana yang terkait
dengan kegiatan perikanan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fadlian (2012), status ikan
kuniran yang didaratkan di PPP Labuan termasuk growth overfishing yaitu banyak
ikan kuniran yang tertangkap masih berukuran kecil-kecil sebelum ikan-ikan
tersebut berkesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini ditandai dengan
tertangkapnya ikan kuniran yang berukuran 65 mm. Selain itu, pada penelitian
Husna (2012) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan
kuniran jantan sebesar 159 mm dan ikan betina sebesar 144 mm. Oleh karena itu,
diharapkan nelayan Labuan hanya melakukan penangkapan ikan kuniran yang
berukuran lebih besar dari 159 mm.
35
Namun sebelum memberikan alternatif pengelolaan yang tepat untuk suatu
sumberdaya ikan, perlu diketahui mengenai komponen pokok dalam pengelolaan
perikanan, yaitu: a) identifikasi dan penetapan sistem tata batas pengelolaan
sumberdaya; b) identifikasi dan penetapan sistem hak pemanfaatan sumberdaya; c)
identifikasi dan penetapan sistem aturan pemanfaatan sumberdaya; d) identifikasi
dan penetapan sistem sanksi bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan; e)
identifikasi dan penetapan sistem monitoring dan evaluasi.
Untuk pengelolaan
sumberdaya ikan kuniran di PPP Labuan, Banten sendiri belum dilakukan lima
komponen pokok tersebut. Sebaiknya sumberdaya ikan kuniran yang ditangkap dan
akan didaratkan di PPP Labuan perlu diketahui lokasi penangkapan yang cukup
akurat sehingga untuk pengelolaannya tidak tercampur dengan pengelolaan
sumberdaya di perairan yang lain.
Selanjutnya, perlu adanya sistem hak dan
peraturan mengenai pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran yang benar agar
keberlangsungan sumberdaya tersebut di alam dapat terus lestari.
Misalnya
sumberdaya ikan yang belum matang gonad diharapkan tidak ditangkap dan
dimanfaatkan. Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan mengenai ukuran ikan
pertama kali matang gonad.
Selain itu ditetapkan pula siapa saja yang berhak untuk memanfaatkan
sumberdaya tersebut agar sumberdaya tersebut tidak jatuh pada orang-orang yang
tidak bertanggungjawab yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut di
alam. Hanya nelayan-nelayan yang memiliki KTN (Kartu Tanda Nelayan) atau
KTNA (Kartu Tanda Nelayan Andon) yang berhak melakukan penangkapan di
daerah perairan Indonesia khususnya di Perairan Selat Sunda.
Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No.05 Tahun 2008 dan disempurnakan pada Peraturan
Menteri No.12 Tahun 2009 bahwa setiap kapal perikanan diwajibkan mendaratkan
ikan di pelabuhan yang telah ditunjuk dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
agar data mengenai sumberdaya yang tersedia di suatu perairan juga dapat dikelola
dengan baik.
Adanya penetapan suatu peraturan tentunya tidak terlepas pula dengan adanya
pelanggaran terhadap peraturan yang telah dibuat tersebut. Oleh karena itu, perlu
ditetapkannya sanksi bagi pelanggaran terhadap aturan yang telah dibuat. Namun,
tidak hanya sekedar sanksi saja yang ditetapkan, tetapi stakeholders atau para
36
pemangku kepentingan juga perlu tegas dalam hal pemberian sanksi kepada yang
melakukan pelanggaran tersebut. Tidak hanya hal itu saja, pengawasan dan evaluasi
terhadap hal-hal yang telah dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan kuniran
tersebut juga perlu untuk dilakukan karena hal-hal tersebut diatas akan menjadi siasia saja jika tidak disejalankan. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi ini harus
melibatkan semua elemen yang ada agar dalam pelaksanaannya berjalan dengan
baik tanpa harus ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam pengelolaan
sumberdaya ini.
Download