kajian kesiapan umkm ramah lingkungan dalam

advertisement
Laporan Akhir
KAJIAN KESIAPAN UMKM
RAMAH LINGKUNGAN DALAM
MENDAPATKAN AKSES PEMBIAYAAN
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
KATA PENGANTAR
Perhatian terhadap kelestarian lingkungan hidup, kian hari bertambah besar. Hal ini
disebabkan kekhawatiran banyak pihak terhadap ketidakmampuan bumi dalam menopang
kehidupan manusia diatasnya di satu sisi, sementara di sisi lain kerusakan alam yang
disebabkan oleh aktivitas manusia yang tak terkendali menyebabkan keseimbangan ekosistem
menjadi terganggu. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus akan menurunkan kualitas lingkungan
hidup dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia secara menyeluruh.
Upaya pencegahan kerusakan lingkungan harus dilakukan dari berbagai sisi, baik secara
langsung terhadap aktivitas yang nyata-nyata berdampak langsung pada kerusakan alam, juga
melalui aktivitas yang secara tidak langsung menopang terjadinya aktivitas perusakan tersebut.
Disadari bahwa kerusakan lingkungan pada dasarnya disebabkan oleh aktivitas manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. Perilaku yang tidak seimbang, melalui eksploitasi berlebihan
terhadap alam yang tidak diimbangi upaya rehabilitasinya, menyebabkan menurunnya daya
dukung lingkungan dalam menopang aktivitas manusia.
UMKM sebagai pelaku usaha yang menghasilkan berbagai kebutuhan hidup, tanpa
disadari menjadi salah satu kontributor penyebab kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif
yang disebabkan oleh UMKM terjadi mulai dari upaya memperoleh bahan baku, proses
produksi, dan limbah yang dihasilkan baik pada saat produksi atau setelahnya. Upaya yang
dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah melalui kementerian, dinas terkait,
maupun pemerhati lingkungan baik lembaga maupun individu agaknya belum menghasilkan
sesuatu yang sangat signifikan untuk mengurangi laju kerusakan lingkungan.
Bank Indonesia dengan tugas dan wewenang yang tidak terkait langsung dalam
penanganan masalah lingkungan, berikhtiar merancang suatu kebijakan yang diharapkan dapat
meminimalisir kerusakan lingkungan melalui green lending, yang dapat mendorong UMKM agar
lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan, namun tetap mampu menjaga kinerja UMKM
dalam menghasilkan produk ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat dalam situasi
persaingan yang semakin ketat.
Seperti apa kebijakan yang akan diterapkan, hal ini akan ditentukan oleh kondisi dan
kesiapan UMKM dalam menjalankan aktivitasnya sesuai kriteria yang ditetapkan masing-masing
sektor usahanya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Studi ini dilakukan dalam
rangka mendapatkan informasi awal mengenai kondisi UMKM menuju ramah lingkungan,
semoga hasilnya dapat memberikan masukan yang berharga bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Jakarta, Desember 2012
i
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kajian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan
kelestarian lingkungan karena terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai
aktivitas ekonomi. Demikian pula UMKM sebagai pelaku ekonomi, perlu terus didorong untuk
senantiasa memperhatikan aspek ramah lingkungan dalam setiap proses kegiatannya.
Orientasi usaha yang ramah lingkungan diharapkan tidak hanya memberikan nilai positif bagi
lingkungan di sekitar UMKM tetapi juga dapat meningkatkan daya saing bagi UMKM itu sendiri.
Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk: (a) Mengidentifikasikan kriteria usaha ramah
lingkungan dan kesiapan UMKM dalam menerapkan usaha ramah lingkungan, (b)
Mengidentifikasikan permasalahan atau kendala yang dihadapi baik oleh perbankan dalam
menyalurkan kredit terkait lingkungan hidup maupun UMKM ramah lingkungan dalam
memperoleh akses pembiayaan, (c) Melakukan need assessment terhadap UMKM, Perbankan
dan Pemangku Kepentingan terkait atas akses pembiayaan lingkungan hidup, (d) Memperoleh
informasi mengenai skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup baik yang berasal dari
pinjaman lunak pemerintah maupun dana perbankan serta lembaga internasional, (e)
Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait dalam rangka mendorong
akses pembiayaan lingkungan hidup.
Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu melalui focus group discussion
(FGD) dan pendekatan kuantitatif, yaitu melalui survei yang melibatkan 288 UMKM dari 4
sektor ekonomi (Pertanian, Industri Pengolahan, Pertambangan dan Transportasi), termasuk
stakeholder terkait (Instansi/Dinas dan Lembaga Perbankan) baik di tingkat pusat maupun di
daerah, yang tersebar di wilayah DKI Jakarta (Jabodetabek), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Hasil kajian ini dapat
disarikan dalam beberapa butir berikut:
1. Kriteria usaha ramah lingkungan pada masing-masing sektor usaha yang ditetapkan oleh
kementerian atau dinas terkait, bisa berbeda satu sama lain sesuai dengan ranah
aktivitasnya. Namun demikian, kriteria ini memiliki tujuan yang sama yakni menjaga
kelestarian ekosistem guna mendukung aktivitas ekonomi secara berkesinambungan.
Sebagai contoh: (a) Pada sektor pertanian, kriteria usaha ramah lingkungan dikaitkan
dengan Sistem Pertanian Organik, yaitu mengarahkan pelaku usaha untuk menjaga
keseimbangan ekosistem guna menjamin keberlanjutan daya dukung alam dalam
menyediakan bahan pangan yang sehat dan bermutu serta memenuhi kebutuhan
industri, (b) Pada sektor pertambangan, kriteria ramah lingkungan dititikberatkan pada
upaya menjaga keseimbangan ekosistem melalui rehabilitasi kembali lahan bekas
tambang agar dapat mengembalikan fungsi ekosistem yang telah terganggu, dan (c)
Pada sektor industri, Industri Hijau merupakan kriteria usaha ramah lingkungan yang
antara lain mengarahkan pelaku usaha agar melakukan konsep 3R (reduce, reuse dan
recycle).
ii
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
2. Sebagian besar UMKM yang ada saat ini, dalam usahanya masih belum menjadikan
kriteria ramah lingkungan sebagai hal yang perlu memperoleh perhatian khusus. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (a) minimnya pengetahuan akan kelestarian
lingkungan, (b) lemahnya aspek manajemen, (c) aspek teknis yang tidak menunjang,
serta (d) belum tersedianya sumber pembiayaan yang berorientasi pada ramah
lingkungan. Disisi lain kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk ramah
lingkungan masih belum tumbuh.
3. Masing-masing kementerian melalui dinas terkait telah mulai melakukan pembinaan
melalui berbagai program agar UMKM di lingkungannya menuju ramah lingkungan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih memerlukan perbaikan dan
penyempurnaan, terutama terkait koordinasi antar dinas, pendanaan dan SDM.
Disamping itu, program pembinaan yang masih diprioritaskan pada peningkatan kualitas
dan kuantitas produksi juga perlu mendapat perhatian, karena terkadang tidak sejalan
dengan aspek ramah lingkungan.
4. Sebagian besar perbankan masih belum memiliki skim khusus yang ditujukan untuk
mendorong pembiayaan UMKM agar ramah lingkungan, yang saat ini diminta baru
sebatas penerapan persyaratan adanya AMDAL bagi calon debiturnya. Meski program
inisiasi pembiayaan ramah lingkungan telah diprakarsai oleh lembaga atau negara donor
yang bekerjasama dengan KLH, namun program tersebut masih belum menarik minat
pihak perbankan untuk melanjutkannya.
5. Kendala yang dihadapi dalam mendorong UMKM agar ramah lingkungan masih cukup
berat, terutama terkait dengan minimnya pengetahuan akan kelestarian lingkungan,
lemahnya aspek manajemen, aspek teknis yang tidak menunjang, serta terbatasnya
sumber pembiayaan yang berorientasi pada ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu
pentahapan pelaksanaan kriteria ramah lingkungan sesuai dengan kondisi UMKM.
6. Untuk mendorong UMKM agar secara bertahap melaksanakan usaha ramah lingkungan,
perlu usaha yang komprehensif dari berbagai pihak. Salah satu upaya yang perlu
dilakukan adalah penyediaan sumber pembiayaan yang diorientasikan secara khusus
untuk menunjang usaha ramah lingkungan. Strategi pembiayaan yang mungkin dipilih
adalah mengalokasikan dana CSR guna pembinaan UMK yang belum bankable dan
belum feasible, menyediakan skim kredit khusus bagi UMK yang belum feasible namun
sudah bankable, serta menyediakan berbagai program insentif bagi UMKM yang telah
memulai atau berhasil menjadi ramah lingkungan.
7. Aspek lain yang masih memerlukan dukungan dalam pengembangan UMKM ramah
lingkungan adalah mengupayakan peningkatan daya serap pasar produk ramah
lingkungan yang saat ini masih terbatas. Oleh karenanya pelaksanaan sosialisasi dan
edukasi sangat diperlukan dalam rangka menumbuhkan kesadaran konsumen untuk
memanfaatkan produk ramah lingkungan.
iii
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
DAFTAR ISI
Halaman
I
II
III
IV
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1.2. Tujuan Penelitian ...........................................................................
1.3. Manfaat Penelitian ......................................................................
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................
1
4
5
5
METODE PENELITIAN
2.1. Pendekatan Penelitian ...................................................................
2.2. Pendekatan Kualitatif ....................................................................
2.3. Pendekatan Kuantitatif ..................................................................
2.3.1. Target Responden dan Wilayah Penelitian ...........................
2.3.2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel .............................
2.3.3. Pengumpulan Data ..............................................................
2.3.4. Informasi yang Dikumpulkan................................................
2.3.5. Analisis Data ........................................................................
7
8
8
8
9
10
10
11
PENGEMBANGAN UMKM RAMAH LINGKUNGAN
3.1. Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Negara Lain ............
3.2. Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia................
3.2.1. Kementerian Pertanian (Kementan) ....................................
3.2.2. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ..............................
3.2.3. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ...........................
3.2.4. Kementerian Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) ......
3.2.5. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)..................................
3.2.6. Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop & UMKM).......
3.2.7. Pemerintah Daerah .............................................................
3.3. Peran Lembaga Keuangan dalam Pengembangan UMKM
Ramah Lingkungan di Indonesia.....................................................
3.3.1. Program PKBL Perbankan ..................................................
3.3.1. Pinjaman Lunak Ramah Lingkungan .....................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. UMKM Ramah Lingkungan ............................................................
4.1.1. Sektor Pertanian ..................................................................
4.1.1.1. Profil Responden ........................................................
4.1.1.2. Kriteria Usaha UMKM Ramah Lingkungan Subsektor
Tanaman Pangan ........................................................
4.1.1.3. Pengetahuan dan Kegiatan Usaha Ramah Lingkungan
12
12
13
14
14
15
15
17
17
20
24
25
29
29
29
35
39
iv
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertanian Menuju
Ramah Lingkungan ...................................................... 45
4.1.2. Sektor Industri .....................................................................
4.1.2.1. Profil Responden ........................................................
4.1.2.2. Kriteria Usaha UMKM Ramah Lingkungan Sektor
4.1.2.3. Industri .......................................................................
4.1.2.4. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM
Sektor Industri ............................................................
4.1.2.5. Permasalahan UMKM Sektor Industri Menuju Ramah
Lingkungan Sektor Industri .........................................
46
46
4.1.3. Sektor Pertambangan ..........................................................
4.1.3.1. Profil Responden ........................................................
4.1.3.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor
Pertambangan ............................................................
4.1.3.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM
Sektor Pertambangan .................................................
4.1.3.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertambangan Menuju
Ramah Lingkungan ......................................................
62
62
4.1.4. Sektor Transportasi .............................................................
4.1.4.1. Profil Responden ........................................................
4.1.4.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor
Transportasi ................................................................
4.1.4.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM
Sektor Transportasi .....................................................
4.1.4.4. Permasalahan UMKM Sektor Transportasi Menuju
Ramah Lingkungan ......................................................
4.2. Stratisikasi UMKM Menurut Aktivitas Ramah Lingkungan ..............
4.2.1. UMKM Sektor Pertanian ......................................................
4.2.2. UMKM Sektor Industri .........................................................
4.2.3. UMKM Sektor Pertambangan ..............................................
4.2.4. UMKM Sektor Transportasi .................................................
76
76
4.3. Kesiapan UMKM Menuju Ramah Lingkungan.................................
4.4. Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan ........................................
4.4.1. Sumber Pembiayaan UMKM ................................................
4.4.2. Minat Terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan
(Green Lending) ...................................................................
4.4.3. Peran Perbankan dan Konsep Pengembangan Skema
Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan ..............................
94
96
97
51
54
61
66
71
76
80
81
87
88
88
90
91
93
99
102
v
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 105
5.2. Rekomendasi ................................................................................. 108
VI
LAMPIRAN
6.1. Hasil Focus Group Discussion ......................................................... 110
6.2. Hasil Wawancara Mendalam Terhadap Dinas-Dinas Terkait
di Kabupaten/Kota......................................................................... 122
6.3. Contoh – contoh Investasi Lingkungan........................................... 132
vi
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dunia saat ini menghadapi keinginan besar untuk mengurangi dampak negatif
perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca1 dan aktivitas lainnya yang merusak lingkungan.
Berbagai pemimpin negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Cina dan Indonesia
telah memberikan komitmennya untuk mengadopsi program-program yang dapat mengurangi
laju emisi gas rumah kaca dan perusakan lingkungan.
Pada tingkat dunia berbagai kesepakatan telah ditanda-tangani mulai dari Earth Summit
di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang menghasilkan Kyoto Protocol. Salah satu poin penting
yang dihasilkan oleh Protokol Kyoto ini adalah Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Mechanism). Upaya penyelamatan lingkungan ini dilanjutkan pada konferensi di
Indonesia, yaitu di Bali, pada Desember 2007 (UNFCC/ COP XIII), yang menghasilkan Bali Accord.
Dalam konferensi ini dibahas rencana kedepan sesudah Kyoto Protocol.
Terkait dengan perubahan iklim serta upaya yang tengah dilakukan oleh berbagai
negara serta organisasi multinasional untuk mengatasinya, Indonesia memiliki komitmen untuk
memberikan kontribusinya melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam berbagai
aktivitas pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi alam sesuai letak geografisnya.
Dalam melaksanakan pembangunan, kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia
merupakan modal utama. Dalam kajian World Bank (2009) disebutkan bahwa 45% kekayaan
alam yang dimiliki oleh Indonesia merupakan aset yang berada dibawah tanah, 36% berupa
lahan pertanian, dan sumber kekayaan lainnya adalah sumber daya kayu, sumber daya non
kayu, kawasan lindung dan lahan pengembalaan. Dalam konsep strategi pembangunan,
kekayaan alam berupa sumber daya alam terbarukan dapat dikelola untuk menghasilkan
pendapatan yang berkelanjutan, sedangkan sumber daya alam tak terbarukan disalurkan untuk
menghasilkan SDM dan modal yang diproduksi.
Dengan tingginya ketergantungan pembangunan Indonesia pada sumber daya alam dan
sektor pertanian serta posisi geografisnya, dampaknya adalah Indonesia menjadi rentan akan
adanya efek perubahan iklim. ADB (2009) dalam kajiannya memperkirakan biaya seluruh sektor
ekonomi akibat perubahan iklim di Indonesia berkisar antara 2,5% hingga 7,0% dari nilai PDB
dengan berbagai skenario. Faktor penyebab tingginya biaya tersebut antara lain wilayah
Indonesia yang memiliki garis pantai yang relatif panjang, tingkat kepadatan penduduk di
wilayah pesisir yang tinggi, ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam dan
pertanian, serta kapasitas adaptasi yang relatif rendah. Biaya ekonomi akibat kerusakan
lingkungan berasal dari berbagai sumber :
a. Perubahan iklim yang diindikasikan dengan meningkatnya suhu, curah hujan, yang
berdampak pada penurunan produksi pertanian, meningkatnya permukaan laut, pemanasan
1
2
Efek rumah kaca adalah lapisan gas terutama CO yang meningkatkan pemanasan global.
1
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
air laut yang be rdampak pada penurunan keanekaragaman hayati laut dan menurunnya
kesehatan hewan.
b. Rusaknya sumber-sumber air bersih serta buruknya sistem sanitasi dan higienitas. Faktor ini
berdampak pada kerusakan pada bidang kesehatan, ketersediaan air bersih, kesehatan
biota air, timbulnya banjir akibat saluran air yang buruk dan dampak penggunaan air
tercemar pada sektor irigasi.
c. Pencemaran udara luar ruang.
d. Pencemaran udara dalam ruang yang ditunjukkan adanya konsentrasi pencemaran di suatu
lingkungan dan waktu yang dihabiskan seseorang pada lingkungan tersebut.
e. Kerusakan hutan akibat deforestasi, yang berdampak pada menurunnya kualitas udara,
rusaknya persediaan air tanah, dan hilangnya keragaman hayati.
f. Kerusakan tanah dengan melihat indeks mutu tanah.
g. Kerusakan terumbu karang.
Penurunan kualitas hidup manusia dan kuantitas sumber daya alam merupakan
permasalahan nyata yang perlu dihadapi dan dipecahkan. Situasi inipun juga yang
menggerakkan perusahaan dengan berbagai skala untuk menjalankan proses transformasi
bisnis berbasis lingkungan untuk menghadapi isu keberlanjutan (sustainability) sumber daya
alam tersebut. Menarik untuk disimak adalah meningkatnya kepedulian lingkungan
(environmental concern) sebagai unsur penting yang mempengaruhi lanskap kompetisi.
Lingkungan yang awalnya dipandang sebagai faktor eksternal bagi proses dan konten
manajemen produksi dan pemasaran, sekarang ini dipandang sebagai faktor sentral dalam
berbagai strategi baik produksi maupun pemasaran (Hart, 1995; Srivastava, 1994).
Di Indonesia, dampak dari kerusakan lingkungan hidup tersebut akan langsung dirasakan
oleh masyarakat khususnya para pelaku usaha yang terkait langsung dengan mutu dan
produktivitas sumber daya alam. Sesuai data dari Kementerian Koperasi & UKM dan BPS (tahun
2011) bahwa pelaku usaha di Indonesia masih didominasi oleh UMKM yakni sebesar 99,99%
dari total unit usaha atau sebesar 53,8 juta unit usaha yang terdiri dari 53,2 juta unit usaha
mikro, 573,6 ribu unit usaha kecil dan 42,6 ribu unit usaha menengah. Secara sektoral, jumlah
UMKM pada sektor pertanian paling dominan yakni sebesar 49,6%, hal ini sejalan dengan
serapan tenaga kerjanya yang berjumlah 43,0% dari total tenaga kerja. Oleh karenanya
kerusakan lingkungan akan berdampak sangat serius pada sektor ini.
Faktor utama pemicu besarnya dampak kerusakan lingkungan adalah rendahnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selain itu
penegakan peraturan (law enforcement) belum sepenuhnya berjalan. Pemicu lainnya yang tak
kalah penting adalah belum sinkronnya kebijakan yang dibuat antar institusi baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Berbagai upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan telah
dilakukan oleh pemerintah antara lain melakukan edukasi kepada seluruh pemangku
kepentingan terkait pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, pemberian insentif (berupa:
pembebasan bea impor, pengurangan PPh atas biaya pengolahan limbah, subsidi kompos, dll.),
dan pemberian pinjaman lunak lingkungan.
Terkait dengan pelaksanaan program lingkungan hidup, Bank Indonesia pada medio
1993 telah menerus pinjaman Dana Pinjaman dari The Overseas Economic Cooperation Fund
2
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(OECF) untuk program Small Scale Industry Program (SSI Program) dan Pollution Abatement
Equipment Program (PAE Program). Khusus untuk Program PAE, BI bekerjasama dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Bank Peserta (BCA, Bank Danamon, BII, Lippo Bank, Bank
Umum Nasional, PT. BBD (Persero), PT. BEII (Persero), PT. BNI (Persero), dan PT. Bapindo
(Persero)). Sementara itu, di luar Program PAE Kementerian Lingkungan Hidup telah
menyalurkan berbagai skim pinjaman lunak meliputi: Industrial Efficiency and Pollution ControlKreditanstalt fur Wiederaufbau (IEPC-KfW) Tahap I dan II, serta pembiayaan Investasi
lingkungan bagi UMK (Skema Debt of Nature Swap (DNS)).
Setelah Program PAE berakhir diharapkan Bank telah memiliki pengalaman dalam
pembiayaan program lingkungan hidup, dan selanjutnya diharapkan dapat meneruskan
program tersebut dengan menggunakan dana dari perbankan itu sendiri. Namun dalam
kenyataannya hingga menjelang berakhirnya Program PAE, masih sedikit perbankan yang
tertarik untuk membiayai program lingkungan hidup. Hal ini diduga karena UMKM yang menjadi
target penyaluran dana perbankan belum siap mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam
aktivitas usahanya. Perusahaan yang berniat untuk mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam
aktivitas usahanya perlu mempersiapkan beberapa aspek yang meliputi: manajemen produksi
dan pemasaran serta kesiapan secara teknis yang terkait dengan aspek produksi.
Lebih lanjut Kalafatis secara spesifik menyatakan bahwa ada 6 aspek yang perlu
mendapat perhatian dunia usaha terkait dengan isu lingkungan yaitu:
a. Asal-usul bahan baku,
b. Proses produksi bahan dan jenis bahan tambahan,
c. Proses pengolahan dan penanganan limbah produksi,
d. Bagaimana produk digunakan (konsumsi energi dan limbah yang dihasilkan),
e. Bagaimana penanganan limbah produk usai penggunaannya,
f. Kesiapan sumberdaya manusia,
g. Strategi pemasaran.
Di samping manajemen dan aspek produksi, aspek lain yang tidak kalah penting dan
memiliki peran krusial agar produsen dapat tumbuh dan berkembang adalah perhatian
terhadap aspek pemasaran (marketing). Aspek ini sering dilupakan dalam berbagai kajian
tentang produk ramah lingkungan, sehingga ketidakberhasilan program ini dalam jangka
panjang disebabkan karena ketidaksiapan pasar dalam menerima produk tersebut. Meski dari
berbagai penelitian ditunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan
semakin meningkat, namun tindakan nyata yang terkait dengan aktivitas langsung seperti
perubahan pola konsumsi dari produk konvensional ke produk ramah lingkungan masih sangat
rendah. Oleh karena itu upaya mengetahui sikap dan perilaku konsumen terkait green product
menjadi sangat penting untuk diketahui, sehingga produsen dapat merancang strategi green
marketing yang tepat.
Upaya untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta pelaku usaha atau produsen
(UMKM) dalam pelestarian lingkungan mikro maupun global, dapat ditempuh dengan cara
mendorong produsen (UMKM) konvensional menjadi UMKM yang ramah lingkungan. Upaya ini
dirasakan sangat mendesak mengingat penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah para
produsen yang bergerak di berbagai sektor usaha, meski kontribusinya berbeda satu sama lain.
3
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa baru sebagian kecil UMKM yang sudah mulai
menerapkan azas ramah lingkungan, itupun disebabkan adanya tekanan dari pihak eksternal
dan bukan karena kesadaran yang muncul secara internal. Disadari bahwa untuk menjadi
UMKM ramah lingkungan perlu berbagai persyaratan seperti yang disebutkan di atas, di
samping masalah pembiayaan yang diperlukan oleh UMKM untuk berbagai persiapan terutama
aspek produksi dan pemasaran.
Oleh karena itu, untuk mendorong UMKM konvensional menjadi ramah lingkungan
diperlukan berbagai informasi baik dari sisi internal maupun eksternal serta berbagai kendala
yang dihadapi. Dari sisi internal, aspek yang perlu diketahui meliputi: kesadaran dan persepsi
para pelaku usaha terkait isu lingkungan, ketertarikan, minat, serta kesiapan para pelaku usaha
dan upaya-upaya yang telah atau sedang mereka lakukan untuk beralih dari sistem
konvensional menjadi ramah lingkungan. Dalam pada itu, informasi penting lain yang
diperlukan adalah berbagai kendala atau kesulitan yang mungkin dihadapi UMKM baik kendala
manajemen, teknis, aspek pemasaran, maupun aspek pembiayaan yang diperlukan oleh pelaku
usaha dalam usaha migrasi dari sistem konvensional ke ramah lingkungan. Dari sisi eksternal,
aspek krusial yang perlu diketahui adalah peran lembaga keuangan serta pemangku
kepentingan terkait (Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah) dalam
mendorong dan memfasilitasi UMKM agar menjadi ramah lingkungan.
Selaras dengan permasalahan yang telah dijabarkan diatas, Bank Indonesia sangat
berkepentingan untuk mengetahui kondisi keterkinian UMKM terkait dengan isu lingkungan,
serta peran perbankan dalam aspek pembiayaan UMKM ramah lingkungan. Oleh karenanya
aktivitas penelitian dengan topik “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam
Mendapatkan Akses Pembiayaan”, sangat mendesak untuk dilakukan.
1.2.
a.
b.
c.
d.
e.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini meliputi:
Mengidentifikasikan kriteria usaha ramah lingkungan dan UMKM ramah lingkungan.
Mengidentifikasikan permasalahan atau kendala yang dihadapi baik oleh perbankan dalam
menyalurkan kredit terkait lingkungan hidup maupun UMKM ramah lingkungan dalam
mengakses pembiayaan.
Melakukan need assessment terhadap UMKM, Perbankan dan Pemangku Kepentingan
terkait (Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah) atas akses pembiayaan
lingkungan hidup.
Memperoleh informasi mengenai skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup baik yang
berasal dari pinjaman lunak pemerintah maupun dana perbankan serta lembaga
internasional, termasuk dalam informasi ini adalah keragaan skim-skim pembiayaan
tersebut.
Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait dalam rangka mendorong
akses pembiayaan lingkungan hidup.
4
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
1.3.
Manfaat Penelitian
a. Bagi Bank Indonesia: hasil kajian dapat dijadikan sebagai bahan dalam rangka menyusun
kebijakan pengembangan UMKM ramah lingkungan terkait akses pembiayaan;
b. Bagi Pemerintah: hasil kajian dapat sebagai masukan dalam menyusun kebijakan dan
program-program pemerintah untuk mendorong pengembangan UMKM ramah lingkungan
khususnya untuk meningkatkan akses kepada pembiayaan;
c. Bagi Perbankan: hasil kajian dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menyusun
skim-skim pembiayaan kepada UMKM terkait lingkungan hidup;
d. Bagi UMKM: hasil kajian dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk meningkatkan
bankability dalam rangka memperoleh akses pembiayaan dari perbankan.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mempertajam hasil kajian serta memudahkan dalam pelaksanaan teknis, maka
kajian ini dibatasi dalam lingkup sebagai berikut:
a. Definisi UMKM adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yaitu:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah)
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagai berikut:
a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai
5
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar
rupiah).
b. Definisi Lingkungan Hidup, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pembangunan Berkelanjutan, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), Kerusakan Lingkungan Hidup dan Dampak
Lingkungan Hidup adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No.27 Tahun 2013 Tentang Izin
Lingkungan.
c. Skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup yang merupakan program pemerintah
dan produk perbankan.
6
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
II. METODE PENELITIAN
2.1. Pendekatan Penelitian
Secara umum kerangka penelitian yang dilakukan untuk menjawab tujuan di atas
digambarkan pada diagram berikut ini:
Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan
Dalam Rangka Mendapatkan Akses Pembiayaan
Program Pemerintah Melalui
beberapa Kementerian dalam
Pengelolaan Lingkungan
Kebijakan Lembaga Keuangan
Bank dalam mendorong UMKM
Ramah Lingkungan
Kebijakan Bank Indonesia
dalam Mendorong Bank Ramah
Lingkungan (BRLH)
Focus Group Discussion
Analisa
Penelitian Kuantitatif
(Survey Lapangan)
Studi Literatur
Diskusi Internal dan Eksternal
Kriteria UMKM Ramah
Lingkungan
Kesiapan UMKM Ramah
Lingkungan
Akses Pembiayaan UMKM
Ramah Lingkungan
Rekomendasi Kriteria UMKM Ramah Lingkungan dan
Peningkatan Akses Kepada Pembiayaan
Gambar 1.
Kerangka Penelitian
7
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sesuai kerangka penelitian pada diagram di atas, jenis penelitian yang dilakukan
meliputi penelitian kualitatif dan kuantitatif, dengan uraian pelaksanaan sebagai berikut:
2.2. Pendekatan Kualitatif
Penelitian kualitatif pada dasarnya ditujukan sebagai upaya untuk menggali secara
mendalam berbagai informasi relevan dari sekelompok responden tertentu yang memiliki
pengetahuan ataupun pengalaman serta penentu kebijakan sesuai dengan topik kajian.
Informasi yang digali meliputi berbagai aspek terkait dengan kondisi riil saat ini, serta alasan
atau latar belakang terjadinya suatu tindakan, pandangan atau opini, serta harapan target
responden. Pendekatan yang dipilih adalah Focus Group Discussion (FGD), yang melibatkan
beberapa responden dari berbagai kelompok yang berbeda.
FGD diselenggarakan oleh Bank Indonesia dengan melibatkan peserta dari beberapa
pemangku kepentingan terkait seperti:
- Kementerian Lingkungan Hidup,
- Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
- Kementerian Perindustrian
- Kementerian Koperasi dan UKM
- Perbankan
- Lembaga Donor
- Bank Indonesia
Hasil dari FGD ini diharapkan dapat memberikan informasi secara komprehensif
mengenai aspek yang dikaji dan faktor-faktor yang melatarbelakangi serta keterkaitannya.
Sehingga hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu basis dalam pengambilan
kesimpulan serta masukan yang akan ditindaklanjuti dalam penelitian kuantitatif, terutama
dalam pengembangan kuesioner.
2.3. Pendekatan Kuantitatif
Penelitian Kuantitatif pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai
karakteristik dan kondisi populasi yang akan dikaji. Upaya ini ditempuh dengan cara
mempelajari sekelompok individu yang mewakili populasinya (sample) yang dipilih dengan
kaidah tertentu agar mampu mencerminkan kondisi populasi yang sebenarnya. Beberapa
langkah yang akan dilakukan dalam penelitian kuantitatif ini sebagai berikut:
2.3.1. Target Responden dan Wilayah Penelitian
Sesuai dengan tujuan dan lingkup penelitian, target responden yang menjadi sumber
informasi dalam penelitian ini meliputi:
a. UMKM yang saat ini telah menjalankan maupun yang belum menjalankan program
kelestarian lingkungan yang tersebar di 4 sektor ekonomi yakni Sektor Pertanian, Sektor
Industri Pengolahan, Sektor Pertambangan dan Sektor Transportasi.
8
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Lembaga Perbankan dan Instansi/Dinas terkait baik di tingkat pusat maupun di daerah.
c. Wilayah penelitian meliputi DKI Jakarta (Jabodetabek), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.
2.3.2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menjawab tujuan penelitian diperlukan informasi yang berasal dari respoden
yang berasal dari beberapa kategori. Jenis kategori responden serta jumlahnya dijabarkan
sebagai berikut:
1. Responden Perbankan
Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk mendapatkan responden perbankan
adalah purposive sampling. Faktor yang dipertimbangkan dalam memilih responden ini adalah
bank yang pernah mengikuti Program IEPC atau PAE atau program sejenis baik yang
diselenggarakan oleh Pemerintah melalui kementerian terkait maupun lembaga yang bergerak
pada pelestarian lingkungan, atau lembaga perbankan yang memiliki potensi dengan dana
sendiri memberikan pinjaman lunak ramah lingkungan. Dalam penelitian ini diharapkan ada 5
(lima) bank yang menjadi responden yakni Bank BRI, BNI, Mandiri, CIMB Niaga dan Syariah
Mandiri.
2. Responden Instansi Pemerintah
Tiga Instansi Pemerintah yang terkait dengan isu lingkungan dan UMKM yang menjadi
responden, yaitu Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian, dan Dinas Pertanian.
Dinas-dinas tersebut diwawancarai di masing-masing daerah.
3. Responden UMKM
Responden UMKM dalam penelitian ini mewakili 4 sektor ekonomi (Sektor Pertanian,
Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertambangan dan Sektor Transportasi). Dengan
menggunakan kaidah Slovin yang berbasis pada sebaran normal, jumlah populasi tak
terhingga, dan tingkat kepercayaan 95% serta tingkat kesalahan dugaan sekitar 5.9%, maka
jumlah sampel UMKM yang diambil sebanyak 288 responden. Jumlah dan sebaran responden
menurut kota disajikan pada Tabel 2.1. berikut:
Tabel 2.1. Jumlah dan Sebaran Responden menurut Sektor dan Kota
Wilayah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
DKI Jakarta (Jabodetabek)
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Kalimantan Timur
Pertanian
22
12
19
17
12
Sektor Ekonomi
Industri
PertamTransportasi
bangan Pengolahan
3
2
6
41
38
37
16
12
-
15
9
13
4
5
5
Total
56
72
52
32
36
17
23
9
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Jumlah
82
11
144
51
288
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Multistage
Random Sampling yang melibatkan Stratified Random, Simple Random Sampling serta
Purposive Sampling.
Stratified random sampling digunakan untuk memilih secara acak individu (UMKM) atas
dasar strata skala usaha (Mikro, Kecil, dan Menengah), sedangkan simple random sampling
digunakan untuk memilih secara acak UMKM pada setiap strata. Sementara itu purposive
sampling digunakan untuk mendapatkan secara sengaja UMKM yang telah menerapkan aspek
ramah lingkungan dalam usahanya. Hal ini dilakukan, karena jumlah UMKM yang menerapkan
aspek ramah lingkungan masih terbatas, oleh karenanya metode ini digunakan untuk
memudahkan dalam pencarian individu tersebut di lapangan.
2.3.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan
bantuan kuesioner terstruktur yang dirancang secara khusus untuk studi ini. Interviewer yang
bertugas dalam wawancara adalah mereka yang telah memiliki pengalaman serta spesifikasi
khusus sesuai dengan topik kajian. Sebelum wawancara dilakukan, para interviewer diberikan
pengetahuan sesuai dengan topik kajian dengan tujuan agar mereka siap dalam menjalankan
tugas di lapangan.
Untuk setiap wilayah telah ditugaskan interviewer dari wilayah setempat, tujuannya
agar dapat efisien secara biaya dan efektif dalam pelaksanaan secara teknis.
2.3.4. Informasi yang Dikumpulkan
Untuk menjawab tujuan penelitian yang telah ditetapkan, informasi yang telah
dikumpulkan dalam rangka penelitian menurut kategori responden meliputi:
a. Perbankan, yaitu Bank BCA, BNI, DANAMON, BII, BPD, Syariah Mandiri, mengemukakan:
1. Keberadaan dan jenis program kredit UMKM ramah lingkungan.
2. Alasan keberadaan program kredit UMKM ramah lingkungan.
3. Pertumbuhan kredit UMKM ramah lingkungan (jumlah dan volume).
4. Jenis usaha UMKM yang dibiayai.
5. Permasalahan dan kendala yang dihadapi Perbankan dalam penyaluran dana UMKM
ramah lingkungan.
6. Proyeksi pertumbuhan kredit UMKM ramah lingkungan (jumlah dan volume).
b. Dinas, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koperasi dan UMKM dan
Kementerian Perindustrian, menyampaikan:
1. Kebijakan atau Peraturan Kementerian terkait dengan pengembangan UMKM ramah
lingkungan.
2. Upaya yang dilakukan Kementerian dan/atau Dinas dalam rangka pembinaan UMKM
ramah lingkungan dan mendorong UMKM agar menjadi ramah lingkungan.
10
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
3. Kendala-kendala yang dihadapi Kementerian dan/atau Dinas terkait dalam upaya
mendorong UMKM menjadi ramah lingkungan.
c. UMKM, mencakup :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Profil UMKM (antara lain bentuk usaha dan demografi).
Manajemen usaha terkait aktivitas ramah lingkungan.
Aktivitas produksi terkait aspek ramah lingkungan.
Akses pembiayaan dan kendalanya terkait aktivitas usaha ramah lingkungan.
Jenis produk dan tujuan pemasaran.
Aspek pemasaran dan kendalanya.
Pengetahuan terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan.
Minat terhadap usaha ramah lingkungan.
Aktivitas nyata yang dilakukan dalam upaya menuju usaha ramah lingkungan.
2.3.5. Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk mengelola berbagai informasi terkait yang diperoleh dari
hasil wawancara dengan menggunakan kaidah-kaidah statistika yang lazim. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Analisis Deskriptif, merupakan sekumpulan aktivitas yang bertujuan untuk menggali
berbagai informasi dari data yang terkait dengan karakteristik populasi (ukuran pemusatan
dan sebaran) yang diduga melalui sample, dan menampilkannya dalam bentuk tabulasi
maupun gambar agar mudah dipahami (Tukey, 1980), serta mampu membangkitkan ide
atau gagasan (Du Toit, 1972).
b. Chi Square Test, suatu teknik analisis yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
keterkaitan atau kecocokan antar dua kategori data. Dalam analisis ini data yang diuji
berbentuk tabel kontingensi multi arah (multiway table contingency), hasil dari analisis
dapat digunakan untuk melihat tingkat keeratan hubungan (korelasi) antar data yang
berbentuk kategori.
c. Correspondence Analysis atau Analisis Korespondensi (AK) merupakan analisis yang
memperagakan baris dan kolom secara serempak dari tabel kontingensi dwi arah, yang
kemudian dapat diperluas untuk tabel kontingensi multi arah. Di bidang psikologi
perhitungan analisis ini dikenal dengan penskalaan dual sedangkan dalam ekologi dikenal
sebagai perataan timbal balik (Hill, 1974). Peragaan yang diperoleh merupakan penumpangtindihan profil-profil baris dan kolom, yang dalam analisis ini diperoleh dari tabel
kontingensi dengan menggunakan jarak khi-kuadrat.
d. Thurstone Analysis, metode ini merupakan teknik pemeringkatan sekumpulan atribut yang
didasarkan atas ukuran psikometrik, yang didasarkan pada ”Hukum Nilai Perbandingan (The
Law of Comparative Judgement)”. Setiap atribut produk atau jasa memiliki tingkat
kepentingan yang berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan penggunanya.
Oleh karena itu, konsumen umumnya memilih suatu produk yang memiliki atribut-atribut
yang diprioritaskan. Proses awal yang dilakukan dalam analisis ini adalah, responden
diminta untuk mengevaluasi sejumlah atribut produk atas dasar kepentingannya, kemudian
11
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melakukan pemeringkatan (ranking) yang didasarkan atas urutan prioritas dalam
pemenuhan kebutuhan atau keinginannya.
12
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
III.
3.1.
PENGEMBANGAN UMKM RAMAH LINGKUNGAN
Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Negara Lain
Isu mengenai UMKM ramah lingkungan di negara-negara yang situasinya mirip dengan
kondisi di Indonesia seperti kawasan Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir cukup
menonjol. Malaysia merupakan negara yang dapat dikatakan pertama di kawasan ASEAN
yang melakukan antisipasi terhadap isu ini, yakni dengan munculnya kebijakan penawaran
pinjaman lunak ramah lingkungan pada tahun 2010 dari pemerintah dan dinamakan Green
Technology Finance Scheme (GTFS). Total dana yang disediakan bernilai 1,5 miliar ringgit
ditujukan untuk pinjaman investasi bagi UMKM yang berencana menerapkan usaha ramah
lingkungan. Lingkup kegiatan yang didanai meliputi: (1) Reduces the greenhouse gas
emissions, (2) Safe for use and promotes a healthy and improved environment for all forms of
life, (3) Conserves the use of energy and natural resources, serta (4) Promotes the use of
renewable resources. Dalam menyalurkan dana tersebut pemerintah Malaysia bekerjasama
dengan lembaga Pusat Teknologi Hijau Malaysia (PTHM).
3.2.
Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia
UMKM di Indonesia memiliki peran yang sangat krusial dalam bidang ekonomi nasional,
baik dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia berbagai produk dan jasa yang dibutuhkan serta
sebagai sumber pendapatan masyarakat. Meski memiliki peran yang sangat besar dalam
perekonomian, namun terkait dengan masalah lingkungan, disinyalir UMKM memiliki kontribusi
yang cukup signifikan dalam penurunan kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah
yang dihasilkan dalam berbagai bentuknya, proses produksi yang belum efisien baik dalam
penggunaan bahan baku, energi, serta penggunaan bahan penolong lainnya.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, pemerintah melalui berbagai kementerian
dan dinas terkait tengah berupaya mendorong agar UMKM mulai memperhatikan kelestarian
lingkungan. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan, serta kendala-kendala yang dihadapi
dalam mendorong UMKM ramah terhadap lingkungan, telah dilakukan Focus Group Discussion
(FGD) yang melibatkan berbagai kementerian terkait dan perbankan. Informasi yang diharapkan
dari perbankan berupa keberadaan ragam produk atau skim kredit UMKM ramah lingkungan,
serta rencana yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang dalam upaya mendorong
UMKM menjadi ramah lingkungan.
Selain melalui FGD, untuk mengetahui aktivitas nyata dari lembaga atau institusi dan
dinas terkait yang memiliki wewenang dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM, juga
telah dilakukan wawancara mendalam (depth interview) guna mendapatkan informasi dari
beberapa lembaga perbankan di tingkat pusat (Jakarta) serta dinas-dinas di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota yang meliputi 7 (tujuh) provinsi sebagai wilayah penelitian. UMKM
yang dikaji meliputi 4 (empat) sektor ekonomi yakni Sektor Perindustrian, Pertanian,
13
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Transportasi dan Pertambangan. Aktvitas yang telah dilakukan oleh masing-masing
kementerian dan dinas-dinas terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)) dalam
mendorong UMKM agar ramah lingkungan disajikan berturut-turut sebagai berikut.
3.2.1. Kementerian Pertanian (Kementan)
Dalam mendorong UMKM sektor pertanian agar ramah lingkungan, pada awalnya
Kementan membentuk gugus tugas yang secara khusus merancang, melaksanakan dan
mengevaluasi program pembinaan guna mendorong pelaku usaha tani agar ramah terhadap
lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, efektivitas dan efisiensi gugus tugas tersebut tidak
seperti yang diharapkan, oleh karenanya gugus tugas ini dihentikan. Sementara fungsi dan
tugas terkait dengan usaha tani ramah lingkungan dikembalikan ke masing-masing bagian atau
divisi. Hal ini, dilakukan mengingat lingkup kerja Kementan sangat beragam serta meliputi
berbagai subsektor pertanian, sehingga gugus tugas ini kurang fokus dalam menjalankan
program yang sudah dirancang.
Upaya yang dilakukan Kementan dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM sektor
pertanian dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui program-program
kemitraan dengan petani dalam memprakarsai usaha tani terpadu yang dikenal dengan istilah
cluster. Sistem usaha tani yang dilakukan berbasis pada sistem Pertanian Organik (PO). Dalam
sistem usaha tani terpadu ini juga dikembangkan adanya Sekolah Lapang (SL) yang dikelola oleh
kelompok tani sendiri. Tujuan dari SL adalah sebagai tempat pembinaan dan sekaligus wahana
percontohan bagi petani anggota maupun non anggota kelompok dalam menjalankan praktek
pertanian organik. Berbagai bantuan yang disalurkan dalam program ini meliputi pengadaan
ternak besar (sapi) beserta pembangunan kandang, pengolahan limbah ternak hingga menjadi
biogas.
Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian adalah aspek permodalan dan
pemasaran. Rendahnya pertumbuhan konsumen produk pangan organik dalam negeri,
menjadikan pertumbuhan Pertanian Organik (PO) tidak sepesat yang diharapkan. Dari sisi
permodalan, para pelaku usaha tani yang mayoritas merupakan usaha tani rakyat memiliki
banyak kendala yang dihadapi dalam mengakses kredit ke bank. Kendala-kendala tersebut
antara lain adalah kelayakan (feasibility) usaha; petani umumnya memiliki lahan yang relatif
sempit, sehingga sulit untuk mencapai usaha yang layak secara ekonomi. Kesulitan untuk
beralih kepada usaha tani organik yang lebih ramah lingkungan, di samping masalah
permodalan, adalah rendahnya pengetahuan, masih terbatasnya ketersediaan sarana pertanian
organik dan harganya yang relatif mahal. Sementara itu dari sisi pemasaran, rendahnya
pertumbuhan pasar dalam negeri untuk produk-produk pertanian organik, menjadikan
pertumbuhan usaha tani organik menjadi lamban.
Sementara isu sentral saat ini yang dihadapi UMKM sektor pertanian yang telah
mengusahakan pertanian organik dan melakukan ekspor, adalah keharusan adanya sertifikasi
yang meliputi berbagai aspek, seperti sertifikasi lahan untuk subsektor tanaman pangan atau
kandang untuk peternakan, penggunaan pupuk dan pembasmi hama penyakit, serta
14
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pengolahan hasil, di mana dalam proses sertifikasi ini biaya yang dibutuhkan cukup besar. Oleh
karenanya perlu adanya kebijakan pemerintah untuk membantu mengatasi permasalahan ini.
Sebagai acuan dalam pembinaan UMKM pada sektor pertanian khususnya subsektor
tanaman pangan, Kementan telah merumuskan kriteria ramah lingkungan yang dikenal sebagai
Pertanian Organik, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam tatalaksana usaha
tani ramah lingkungan.
3.2.2. Kementerian Perhubungan (Kemenhub)
Terkait dengan isu lingkungan, Kementerian Perhubungan yang memiliki kewenangan
dalam mengatur regulasi sektor transportasi ini, memiliki beberapa program yang ditujukan
untuk:
a. Penurunan emisi gas buang terutama yang berasal dari kendaraan,
b. Pengurangan volume kendaraan yang beroperasi di jalan,
c. Penggunaan energi ramah lingkungan seperti Bahan Bakar Gas (BBG),
d. Pengurangan penggunaan energi fosil dalam industri pembangkit listrik melalui substitusi
dengan penggunaan hydro energy.
Sebagai bentuk tindakan antisipasi terhadap isu lingkungan pada saat ini dan masa
mendatang, Kemenhub meluncurkan program ASI (Avoid, Shift, Improvement) yang bertujuan
untuk mengurangi emisi gas buang, mengalihkan penggunaan kendaraan bermotor, serta
modifikasi mesin kendaraan agar menjadi ramah lingkungan. Namun sayangnya dalam
pelaksanaannya masih terkendala oleh berbagai faktor, sehingga hasilnya belum dapat
dirasakan.
Terkait dengan UMKM yang bergerak dalam bidang transportasi, Kemenhub belum
memiliki program pembinaan secara khusus, karena fokus program Kemenhub saat ini lebih
terfokus pada upaya penataan tata ruang dan pengaturan mobilitas masyarakat yang berkaitan
dengan pengaturan sarana transportasi yang menjadi isu utama pemerintah terutama di kotakota besar.
3.2.3. Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
Berkaitan dengan isu kelestarian lingkungan, Kemenperin memiliki program Industri
Hijau atau Industri Ramah Lingkungan, di mana salah satu programnya adalah produksi bersih
yang bertujuan mendorong pelaku usaha (Industri Kecil Menengah (IKM)) menuju aktvitas
usaha ramah lingkungan. Program ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi baik dari
sisi penggunaan bahan baku dan bahan penolong, serta penghematan penggunaan energi dan
air dalam menghasilkan satu satuan produk. Program ini pada dasarnya berbasis pada konsep
3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Diharapkan melalui program ini akan berdampak langsung
pada pengurangan limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Di sisi lain, konsep ini secara
tidak langsung akan mendorong industri penopang menjadi lebih efisien dalam menjalankan
proses usahanya.
Upaya lain dari Kemenperin untuk mendorong para pelaku usaha melaksanakan
program Industri Hijau adalah memberi bantuan atau subsidi kepada para pelaku IKM untuk
15
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
meremajakan mesin atau peralatan yang dimiliki. Diharapkan dengan adanya mesin baru, maka
konsumsi energi menjadi lebih hemat dan hasil yang diperoleh lebih baik dari sisi kualitas dan
kuantitasnya.
Kemenperin memberikan apresiasi dalam bentuk Industry Award atau Green Industry
kepada industri atau usaha yang telah menerapkan pola penghematan sumber daya dan
penggunaan bahan baku dan energi yang ramah lingkungan serta terbarukan. Tujuan
penyelenggaraan program ini adalah untuk mendorong motivasi perusahaan industri dalam
mewujudkan Industri Hijau. Sementara ini penghargaan tersebut diberikan khususnya kepada
industri yang berskala menengah dan besar. Sementara industri berskala mikro maupun kecil
masih belum dilibatkan. Pemikiran penting dari Kemenperin adalah menanamkan green
concept yang harus dipahami sebagai rangkaian aktivitas hijau yang dimulai dari hulu, yakni dari
penggunaan bahan baku yang jelas asal usulnya, proses produksi yang menerapkan konsep
reduce, reuse dan recycle, serta pengendalian dan pengelolaan limbah selama dan usai
penggunaan produk-produk yang dihasilkan.
3.2.4. Kementerian Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM)
Kementerian ESDM sesuai dengan tugas dan kewenangannya memiliki program dalam
pengembangan energi baru yang terbarukan seperti:
a. Pengembangan bioenergy, hydro energy, dan pemanfaatan tenaga surya dan panas bumi.
b. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro di daerah terpencil maupun pengadaan alat
untuk menghasilkan bioenergi untuk memanfaatkan limbah.
Berkaitan dengan upaya pembinaan terhadap UMKM, Kementerian ESDM tidak memiliki
binaan secara langsung, karena institusi ini tidak memiliki kewenangan untuk membina UMKM.
Oleh karenanya aktivitas ESDM hanya sebatas sebagai lembaga penunjang dalam menyediakan
sarana atau prasarana yang dibutuhkan oleh berbagai pihak.
Secara umum beberapa kementerian sudah memiliki kebijakan yang mengarah pada
upaya kelestarian lingkungan, hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan program yang
sudah dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala baik
masalah internal yang meliputi keterbatasan SDM dan pendanaan pada masing-masing
kementerian, maupun masalah eksternal seperti lemahnya koordinasi antar lembaga.
Akibatnya dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM isu sektoral lebih menonjol.
Sedangkan upaya optimalisasi program melalui koordinasi lintas kementerian maupun dinas
masih sangat terbatas.
3.2.5. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
KLH merupakan kementerian yang memiliki tugas khusus yaitu mengurusi lingkungan
hidup. Hal ini tercermin dari misinya yakni:
a. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi,
guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada
ekonomi hijau;
16
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk
mewujudkan integrasi, sinkronisasi anggaran ekonomi dan ekologi dalam pembangunan
berkelanjutan;
c. Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan
lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;
d. Melaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas
kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
terintegrasi.
Melalui misi tersebut tujuan yang ingin dicapai hingga akhir 2014 adalah: “Terwujudnya
pembangunan Indonesia berdasarkan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan pada
ekonomi hijau (green economy) untuk menahan laju kemerosotan daya tampung, daya dukung,
dan kelangkaan sumber daya alam, serta mengatasi bencana lingkungan”.
Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mewujudkan perbaikan
fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada prinsip
pembangunan berkelanjutan. Sementara itu sasaran khusus yang hendak dicapai adalah:
a. Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan sungai, danau, pesisir dan laut, serta
air tanah;
b. Terlindunginya kelestarian fungsi lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan;
c. Membaiknya kualitas udara dan pengelolaan sampah serta limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3);
d. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi.
Di samping tugas-tugas pokok yang harus dijalankan, KLH juga memiliki beberapa
program yang terkait dengan upaya pemberian apresiasi, guna mendorong berbagai pihak
mulai dari pemda, masyarakat luas dan entitas usaha sadar dan menjaga kelestarian lingkungan
seperti:
a. Adipura
b. Adiwiyata
c. Amdal
d. Kalpataru
e. Langit Biru
f. Menuju Indonesia Hijau
g. Pantai Laut Lestari
h. Penaatan Hukum Lingkungan
i. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
j. Perencanaan Lingkungan
k. Perlindungan Lapisan Ozon
l. Proper
17
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
3.2.6. Kementerian Koperasi dan UKM
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM)
adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan koperasi dan usaha
kecil dan menengah. Tugas pokok dan fungsi kementerian ini antara lain adalah:
a. Merumuskan kebijakan pemerintah di bidang pembinaan koperasi dan usaha kecil
menengah;
b. Mengkoordinasikan dan meningkatkan keterpaduan penyusunan rencana dan program,
pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang koperasi dan usaha kecil menengah;
c. Meningkatkan peran serta masyarakat di bidang koperasi dan usaha kecil menengah;
d. Mengkoordinasikan kegiatan operasional lembaga pengembangan sumber daya ekonomi
rakyat.
Salah satu sasaran dari kementerian ini yang berkaitan dengan pembinaan UMKM
ramah lingkungan adalah mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan
kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan
produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan
ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi UMKM untuk
memperkuat aspek kelembagaan serta membuka pasar baik domestik maupun internasional
bagi produk-produk UMKM.
Pada pertengahan tahun 2011, Kemenkop dan UKM bekerjasama dengan pemerintah
Korea melalui Green Business Center yang beranggotakan negara-negara dalam kelompok
ASEM. Tujuan dari kerjasama ini adalah mengembang bisnis hijau serta untuk saling bertukar
informasi yang dibentuk bersama dan dikelola oleh Pengusaha Kecil Menengah (PKM) dari
negara-negara anggota ASEM untuk mendukung industri hijau dan mengembangkan teknologi
hijau serta penghijauan secara terpadu. Namun hingga akhir tahun 2012 belum ada aktivitas
nyata yang direalisasikan di Indonesia, karena keterlibatan PKM di Indonesia menggunakan
sistem rekrutmen terbuka dengan persyaratan tertentu, sehingga akhir 2011 ada 9 PKM dari
Indonesia yang tergabung dalam kelompok tersebut.
Untuk aktivitas pembinaan di dalam negeri, hingga akhir tahun 2012 program utama
dari Kemenkop dan UKM masih fokus pada penguatan kemitraan UKM dengan industri besar.
Hal ini ditujukan untuk memudahkan aspek pemasaran serta pembinaan pada aspek produksi.
Di sisi lain kemitraan ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai produk UKM pada pasar
potensial melalui penyelenggaraan pameran di berbagai wilayah di Indonesia bahkan luar
negeri. Namun sayangnya pembinaan UMK ke arah ramah lingkungan belum menjadi prioritas
utama.
3.2.7. Pemerintah Daerah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, pemerintah kabupaten/kota
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundangundangan. Dengan adanya otonomi daerah ini, keberadaan dinas serta tugasnya disesuaikan
18
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dengan kebutuhan daerah masing-masing. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila antar
daerah memiliki struktur dinas yang berbeda-beda.
Dalam upaya mendapatkan informasi terkait dengan program pembinaan kepada
UMKM terkait kelestarian lingkungan telah dilakukan wawancara mendalam (depth interview)
kepada kepala Dinas atau staf yang mewakilinya di masing-masing wilayah survei. Dinas-dinas
yang menjadi fokus pengumpulan informasi meliputi: Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Dinas Pertanian dan Dinas Koperasi dan UMK.
Informasi dari hasil wawancara kepada dinas di wilayah survei, secara lengkap disajikan
pada Lampiran 2. Berikut adalah ringkasan hasil wawancara tersebut.
a. BLH merupakan dinas yang memiliki tugas utama mengawasi limbah yang dihasilkan oleh
IKM, namun karena keterbatasan sumber daya, BLH memprioritaskan aktivitasnya pada IKM
yang menghasilkan limbah B3 yang meresahkan masyarakat. Artinya BLH baru akan
melakukan tindakan apabila ada laporan dari masyarakat mengenai pencemaran yang
terjadi pada lingkungan di mana IKM tersebut berada.
Upaya lain yang dilakukan oleh BLH di samping melakukan pengendalian atas limbah yang
dihasilkan, juga melakukan edukasi terhadap IKM, di mana intinya adalah menganjurkan
agar IKM sedapat mungkin melakukan pengendalian terhadap limbah yang dihasilkan
melalui konsep reduce, reuse dan recycle, dengan tujuan menurunkan tingkat pencemaran
yang dihasilkan. Di sisi lain BLH memiliki program bantuan kepada kelompok IKM berupa
pemberian alat yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah industri, seperti alat daur
ulang sampah dan alat pembuat biogas dari kotoran hewan. Tujuannya agar limbah
tersebut dapat dimanfaatkan kembali dalam bentuk lain.
b. Disperindag merupakan lembaga pemerintah yang berada di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Secara umum dinas ini memiliki tugas dalam membina dan
mengembangkan industri atau usaha mikro, kecil dan menengah. Terkait dengan isu
kelestarian lingkungan dinas ini umumnya memiliki concern yang berbeda-beda terhadap
program ramah lingkungan. Prioritas utama dari sebagian besar Disperindag di wilayah
survei saat ini adalah peningkatan produksi dan kualitas hasil untuk membuka pasar
internasional. Sementara pembinaan terhadap IKM agar ramah lingkungan belum menjadi
prioritas utama, kalaupun ada sifatnya hanya membantu dinas provinsi atau dari
kementerian terkait. Bahkan beberapa dinas merasakan adanya pertentangan kebijakan
yang berasal dari BLH terkait dengan pengendalian limbah. Tantangan utama yang dihadapi
oleh dinas Disperindag adalah beragamnya jenis industri yang harus dibina, di sisi lain
kesadaran para pelaku usaha terhadap kelestarian lingkungan masih terbilang rendah.
Upaya untuk mengatasi permasalahan limbah yang dihasilkan oleh industri (terutama
industri makanan) yang umumnya usaha berskala mikro atau kecil yang dikelola oleh
keluarga dan berdomisili di lingkungan pemukiman, hanya bisa ditempuh melalui relokasi ke
sentra industri. Cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar, di samping itu keengganan
para IKM untuk pindah ke sentra industri yang juga membutuhkan biaya dan menjauhkan
dari target pasar (konsumen).
19
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Praktek ramah lingkungan pada IKM sesuai dengan arahan Kementerian Perindustrian dan
Perdagangan masih belum terkoordinasi dengan baik di tingkat kabupaten/kota, hal ini
disebabkan Disperindag tingkat kabupaten maupun kota hanya bersifat membantu program
tersebut. Akibatnya IKM yang menjadi sasaran program hanya bersifat volunter belaka.
Sementara IKM lain yang jumlahnya banyak dapat dikatakan masih belum tersentuh. Oleh
karenanya dapat dikatakan IKM yang omzetnya terkategori kecil bahkan mikro masih belum
terlalu mempedulikan aspek ramah lingkungan, apalagi sasaran Disperindag baru sebatas
peningkatan produksi dari sisi jumlah dan kualitas, belum merambah pada konsep produksi
bersih. Kalaupun ada IKM yang melakukan konsep produksi bersih, hal tersebut kebanyakan
dilatarbelakangi oleh motif ekonomi bukan atas kesadaran kelestarian lingkungan.
c. Dinas Pertanian dalam mendorong pelaku usaha tani agar melakukan praktek ramah
lingkungan (pertanian organik), melakukan kemitraan dengan petani untuk mendirikan
Sekolah Lapang, tujuannya sebagai demplot atau tempat penyuluhan dan sekaligus
peragaan praktek usaha tani terpadu, mulai dari proses hulu hingga hilir. Dinas menyiapkan
dana khusus untuk menyelenggarakan program yang diberikan dalam bentuk bantuan
saprotan, pengadaan sapi beserta bantuan pembuatan kandang, serta alat pengolahan
kompos menjadi biogas.
Masalah utama yang ditemui para petani produk sayuran oganik adalah aspek pemasaran.
Ini disebabkan masih belum tumbuhnya konsumen organik disebabkan harganya yang
relatif mahal dan kurangnya edukasi.
Pertanian khususnya subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang lebih dekat
dengan praktek ramah lingkungan. Karena spektrum aktivitasnya cukup luas, usaha tani
tanaman pangan ini rentan terhadap klaim organik, karena banyak aspek yang dapat
dijadikan dasar klaim petani atau pelaku usaha tani untuk menamai produknya ramah
lingkungan, mulai dari penggunaan bibit bersertifikasi, penggunaan pupuk organik, maupun
penggunaan biopestisida. Aspek lain adalah sulitnya membedakan secara fisik antara
produk organik dengan produk non organik. Oleh karenanya sertifikasi yang dilakukan
lembaga independen dan kredibel menjadi kebutuhan yang mendesak.
Khusus untuk subsektor perkebunan istilah ramah lingkungan lebih banyak diartikan sebagai
upaya untuk: (a) tidak merambah pada pembalakan atau pembukaan hutan alam sebagai
perluasan areal perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet; (b) menjaga
keseimbangan ekosistem dengan cara menyediakan hutan pada sebagian areal
perkebunannya sebagai habitat tempat hidupnya berbagai satwa dan tumbuhan lain guna
menjaga keragaman hayati. Di samping perhatian terhadap kondisi lingkungan fisik,
subsektor perkebunan juga menambahkan konsep kesimbangan sosial ekonomi masyarakat
sekitar dengan konsep pro poor, pro growth dan pro job yang pada akhirnya akan bermuara
pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO), khususnya untuk perkebunan kelapa sawit.
Subsektor lain dari sektor pertanian seperti peternakan unggas atau ruminansia (ternak
besar) serta perikanan, masih jauh dari penerapan aspek-aspek ramah lingkungan.
20
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Beberapa usaha perikanan seperti tambak udang sudah ada yang melakukan kegiatan
ramah lingkungan, namun ini dipicu karena produknya berorientasi ekspor.
d. Sektor pertambangan merupakan aktivitas usaha yang jauh dari ramah lingkungan dilihat
dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tidak saja merubah ekosistem, namun juga
pencemaran yang ditimbulkan baik pada lingkungan air (sistem tata air), tanah dan udara.
Pertambangan juga merubah tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat di mana
lokasi tambang tersebut berada.
Menyimak hasil pengumpulan informasi dari dinas-dinas di atas berkaitan dengan tugas dan
fungsi serta upaya pembinaan terhadap UMKM agar ramah lingkungan, dapat dikatakan
bahwa iklim otonomi daerah menyebabkan struktur organisasi masing-masing dinas di
tingkat kabupaten maupun kota tidak lagi seragam. Struktur kelembagaan yang
menyangkut tugas dan wewenang masing-masing dinas disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing pemda sesuai prioritas program pembangunan yang akan dijalankan.
Sementara itu koordinasi struktural dengan dinas provinsi maupun pusat hanya sebatas
pada program yang terkait dengan isu bersama, dimana peran dinas di tingkat kabupaten
atau kota hanya bersifat membantu. Berdasarkan fakta ini bisa terjadi bahwa program yang
menjadi prioritas bagi pemerintah pusat atau provinsi, belum tentu menjadi prioritas yang
sama bagi daerah lainnya.
Di sisi lain dalam melaksanakan tugasnya, setiap dinas berada di bawah koordinasi bupati
atau walikota setempat. Oleh karenanya dalam menyusun program kegiatan pembangunan
termasuk aktivitas yang mendorong para pelaku usaha agar mengarah pada ramah
lingkungan akan sangat ditentukan oleh prioritas yang akan dicapai oleh masing-masing
pemkab atau pemkot.
3.3. Peran Lembaga Keuangan dalam Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia
Pengelolaan lingkungan hidup seringkali dihadapkan pada berbagai kendala serta
tantangan, antara lain terbatasnya ketersediaan pendanaan yang memadai bagi investasi
lingkungan, serta rendahnya kesadaran terhadap arti penting dari peran lingkungan dalam
menopang berbagai aktivitas didalamnya. Berdasarkan eksplorasi terhadap sumber-sumber
pendanaan bagi kelestarian lingkungan di Indonesia, pendanaan untuk pengelolaan lingkungan
sebagian besar merupakan dana hibah, seperti subsidi kompos, hibah alat pengomposan dari
berbagai perusahaan, penghapusan bahan perusak lapisan ozon dan berbagai program hibah
lainnya. Ironisnya, skim pendanaan tersebut masih terbatas sebagai program pilot project dan
sangat tergantung anggaran dari pemerintah dan negara donor.
Sejatinya potensi pendanaan melalui lembaga keuangan khususnya perbankan sangat
terbuka, namun dukungan dari lembaga perbankan di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini
dikarenakan oleh beberapa alasan seperti:
a. Sifat investasi lingkungan yang dipahami bersifat cost center dan memerlukan waktu yang
panjang.
21
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Perbankan merupakan lembaga yang high regulated, artinya program kerjanya didasarkan
atas peraturan yang ketat, di mana dalam memberikan pinjaman (kredit) perlu berbagai
pertimbangan sesuai dengan azas 5C.
Terkait dengan alasan pertama di atas, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terus
berupaya mengubah pemahaman bahwa investasi lingkungan dapat juga mendatangkan
keuntungan yang memadai sehingga layak mendapatkan pinjaman. Upaya KLH dimulai sejak
tahun 1993 dengan melibatkan perbankan sebagai bank pelaksana dan penyalur dalam skema
pinjaman lunak lingkungan. Keterlibatan perbankan selaku bank pelaksana dalam program
pemberian insentif kepada kalangan usaha ini, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas
perbankan dalam mengenali investasi lingkungan dan prospeknya di masa yang akan datang.
Namun sayangnya setelah program tersebut berjalan beberapa periode bahkan hingga akhir
tahun 2012, bank pelaksana maupun penyalur tidak menindaklanjuti atau menjadikan program
tersebut sebagai inisiasi bagi skim pinjaman sejenis yang didanai oleh perbankan sendiri.
Fakta ini menimbulkan berbagai dugaan seperti: apakah investasi lingkungan tidak
menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan produk pinjaman konvensional yang
saat ini ada, atau aspek teknis maupun prosedur dari pinjaman lunak ramah lingkungan relatif
kompleks sehingga secara teknis sulit dilakukan, atau lembaga perbankan memerlukan
landasan peraturan yang lebih komprehensif dari pemerintah, atau bahkan pasar untuk skim
kredit ini masih terbatas, sehingga kurang menarik perbankan.
Bila dilihat dari dimensi yang lebih luas, lembaga perbankan memiliki andil langsung
maupun tidak langsung terhadap pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh UMKM. Hal ini
disebabkan oleh perannya dalam investasi dan pembiayaan industri tersebut. Dalam kaitan ini,
perbankan sudah sewajarnya menerapkan kebijakan pembiayaan bagi industri yang akan
didanai, seperti pemenuhan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Usaha
Pengelolaan Lingkungan dan Usaha Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) bagi usaha berskala
besar sebagaimana yang telah diatur oleh Bank Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup
dalam Kesepakatan Bersama (MoU) tentang "Green Banking" (GB) yang ditandatangani pada
tanggal 17 Desember 2010. Ada empat program utama dalam MoU tersebut yakni:
a. Persiapan masalah hukum dan pelaksanaan GB.
b. Manual dan kepatuhan nasabah pada perlindungan lingkungan, penjabaran teknis antara BI
dan KLH, dan direktori konsultan lingkungan.
c. Pendidikan dan sosialisasi yang mencakup risiko pelatihan manajemen dan pelatihan
sosialisasi.
d. Penelitian bersama untuk membangun tinjauan akademik GB.
Tujuan dari MOU ini adalah untuk menjawab bagaimana peran aktif dan pengembangan
produk-produk perbankan dan lembaga keuangan melalui pembiayaan ramah lingkungan yang
mendorong seluruh pelaku ekonomi agar lebih beretika dan ramah lingkungan selaras dengan
pembangunan yang berkelanjutan melalui keseimbangan sektor ekonomi, lingkungan dan
sosial. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan usaha-usaha lembaga keuangan guna memahami
ketergantungannya pada lingkungan, serta menunjukkan risiko dan peluang produk dan jasa
pembiayaan ramah lingkungan yang telah dikembangkan dan diimplementasikan di seluruh
dunia oleh lembaga keuangan konvensional dan Syariah.
22
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Adanya MoU tersebut, mendorong lembaga perbankan untuk lebih memperhatikan
aspek lingkungan dalam melakukan analisis pemberian pinjaman yang diajukan oleh
perusahaan. Lembaga perbankan dalam memberikan pinjaman kepada badan usaha dikaitkan
dengan program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) yang dilakukan oleh KLH.
PROPER merupakan salah satu upaya KLH untuk mendorong penaatan perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. PROPER dilakukan melalui berbagai
kegiatan yang diarahkan untuk: (i) mendorong perusahaan untuk menaati peraturan
perundang-undangan melalui insentif dan disinsentif reputasi, dan (ii) mendorong perusahaan
yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan produksi bersih (cleaner production).
Pada periode 2011–2012 sebanyak 1.317 perusahaan dari berbagai sektor yang tersebar
di 22 Provinsi seperti: sektor industri, pertambangan, energi, migas, agroindustri, kawasan
industri dan jasa telah melalui pemeriksaan kinerja pengelolaan lingkungannya. Hasilnya,
jumlah dan komposisi peringkat pada periode ini adalah:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Peringkat Emas berjumlah 12 perusahaan (1%)
Peringkat Hijau berjumlah 119 perusahaan (9%)
Peringkat Biru berjumlah 771 perusahaan (59%)
Peringkat Merah berjumlah 331 perusahaan (25%)
Peringkat Hitam berjumlah 79 perusahaan (6%)
Berdasarkan informasi PROPER ini kemudian lembaga perbankan menggunakannya sebagai
pertimbangan dalam penyaluran kreditnya.
Perlu diketahui bahwa, industri di Indonesia yang berskala mikro, kecil dan menengah
(UMKM) merupakan pemangku kepentingan yang strategis dalam pengelolaan lingkungan di
Indonesia. Diakui bahwa UMKM memiliki kontribusi signifikan bagi Pendapatan Domestik Bruto
Indonesia (lebih dari 53 persen tahun 2007), namun pada saat yang sama, ribuan UMK di
Indonesia juga bertanggung jawab terhadap limbah dan pencemaran yang dihasilkannya.
Faktor utama yang diduga menjadi penyebab pencemaran lingkungan oleh UMKM
adalah ketiadaan modal guna investasi serta rendahnya pengetahuan terhadap kelestarian
lingkungan. Ketiadaan modal ini disebabkan oleh lemahnya akses UMK terhadap lembaga
perbankan terkait dengan pinjaman lunak ramah lingkungan. Ironisnya kalaupun UMK
memperoleh pinjaman, bunga yang dibebankan akan lebih besar dibandingkan debitur
korporasi. Alasan utamanya adalah masalah risiko kredit serta biaya yang harus dikeluarkan
perbankan.
Dalam pandangan KLH, Bank harus menyetarakan perlakuan terhadap debitur korporasi
dan menengah dengan UMK. Bahkan beban bunga bagi UMK seyogyanya lebih rendah guna
mendorong dan membuka peluang agar UMK memperoleh dana dan sebagian peruntukannya
untuk mengurangi limbah melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih. Kesetaraan juga
harus diberikan antara kepentingan investasi pengembangan usaha dengan investasi untuk
pengelolaan lingkungan, porsi pembiayaan bank untuk keperluan ini dirasa masih sangat kecil
(bila tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali) dibandingkan total dana yang disalurkan.
23
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Keberpihakan bank pada pembangunan yang berkelanjutan seharusnya bisa ditunjukkan
dengan memberikan insentif pembiayaan bagi UMK yang mengarah keramah lingkungan.
Hingga akhir tahun 2012, belum ada lembaga perbankan yang secara khusus memiliki
produk atau skim kredit yang didanai sendiri untuk UMKM yang berorientasi ramah lingkungan.
Dari hasil wawancara kepada beberapa bank BUMN maupun BUSN, belum adanya skim
pembiayaan bagi UMKM untuk menuju ramah lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor
seperti:
a. Belum ada peraturan yang menjadi rujukan bagi bank untuk mengadakan kredit atau
pinjaman ramah lingkungan.
b. Perlu adanya kesiapan khusus untuk menjalankan produk pinjaman ramah lingkungan
seperti kriteria teknis yang jelas dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur.
c. Lembaga perbankan perlu melibatkan atau bekerjasama dengan pihak ketiga yang dapat
menjadi penilai dan sekaligus pemantau (assesor) atas pelaksanaan aktivitas ramah
lingkungan yang dilakukan oleh calon debitur.
d. Kebutuhan UMKM terhadap pendanaan baik untuk modal kerja dan investasi saat ini sudah
dapat ditutupi dengan berbagai skim pinjaman yang sudah dimiliki lembaga perbankan,
seperti Kredit usaha mikro, Kredit usaha mikro serbaguna atau kredit komersial lainnya, dan
juga Kredit Usaha Rakyat (KUR).
e. Khusus untuk pembinaan UMK, lembaga perbankan secara umum sudah memiliki Program
Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang dananya bersumber dari program CSR Bank.
f. Beberapa bank secara khusus memiliki program yang “diklaim” sebagai kegiatan yang
berorientasi ramah lingkungan yang disalurkan melalui program CSR meliputi:
1. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang pengadaan air bersih di daerah yang masih
kesulitan air.
2. Pengembangan energi terbarukan yang bertujuan untuk memberikan alternatif energi
bagi daerah yang belum dialiri listrik dan membantu pengembangan akses masyarakat
terhadap listrik dan energi.
3. Penanaman pohon pada lahan kritis untuk menghijaukan kembali bumi Indonesia,
mendukung program pemerintah penanaman 1 miliar pohon dan sebagai tindakan
pencegahan bencana alam.
4. Penanaman dan pemeliharaan tumbuhan bakau di daerah pantai dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya abrasi.
5. Pengadaan taman kota yang menggabungkan konsep penghijauan, edukasi, dan
ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan lahan terbuka hijau dan menyediakan
sarana rekreasi dan edukasi bagi masyarakat.
6. Pengembangan eco wisata dengan tujuan memberdayakan masyarakat dalam bidang
pariwisata dan menjaga keasrian lingkungan.
Menyimak informasi yang diperoleh dari perbankan terkait dengan belum tersedianya
pinjaman ramah lingkungan, agaknya cukup beralasan mengingat untuk mengadakan produk
pinjaman ramah lingkungan memerlukan berbagai persiapan baik dari sisi eksternal maupun
internal. Dari sisi eksternal perlu adanya suatu landasan peraturan yang jelas dan mengikat
disertai dengan pedoman teknis agar memudahkan dalam pelaksanaannya di lapangan.
24
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertimbangan lain yang perlu dicermati adalah kondisi UMKM mayoritas saat ini tampaknya
belum terlalu mempedulikan aspek kelestarian lingkungan, oleh karenanya perlu adanya suatu
strategi bersama yang harus dilakukan oleh lembaga perbankan bekerjasama dengan berbagai
instansi terkait untuk melakukan edukasi secara berkelanjutan kepada pelaku UMKM untuk
menumbuhkan perilaku sadar lingkungan. Dari sisi internal pihak perbankan perlu menyiapkan
kebijakan yang berimbang antara kebijakan yang berorientasi pada pertimbangan bisnis dan
kebijakan yang dapat mendorong pada kelestarian lingkungan.
Sementara itu program kegiatan CSR yang di “klaim” oleh perbankan sebagai aktivitas
ramah lingkungan pada dasarnya tidak terkait dengan program pinjaman yang mendorong
UMK untuk melakukan usahanya yang ramah lingkungan, namun lebih kepada upaya aktivitas
sosial yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan.
3.3.1. Program PKBL Perbankan
Meski saat ini lembaga perbankan belum memiliki skim khusus yang diperuntukkan
untuk mendorong UMKM agar ramah lingkungan, namun lembaga perbankan memiliki program
CSR yang dalam pelaksanaannya, sebagian diarahkan pada Program Kemitraan Bina Lingkungan
(PKBL), di mana program ini diarahkan untuk melakukan pembinaan kepada usaha mikro dan
kecil tujuannya adalah mendukung perkembangan dan peningkatan kompetensi UMKM yang
merupakan roda penggerak perekonomian masyarakat. Dalam PKBL ini UMKM binaan
diperlakukan sebagai mitra usaha, agar usaha yang dilakukan cepat berkembang. Pihak
perbankan memberikan akses UMKM pada jasa perbankan melalui pinjaman kemitraan non
komersial.
Dalam program PKBL ini mitra diberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, pameran
dan publikasi di media. Melalui pinjaman kemitraan dan pembinaan yang diberikan secara
intensif, diharapkan para Mitra Binaan dapat menjadi pengusaha yang tangguh, mandiri dan
beretika serta mampu mengakses fasilitas perbankan secara komersial.
Program yang dilakukan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kesulitan UMKM bukan
hanya dari sisi permodalan namun juga upaya pengembangan usaha, oleh karenanya UMKM
juga membutuhkan dukungan pembinaan berupa pendidikan, pelatihan teknis dan
pendampingan. Pihak perbankan telah memberikan pelatihan motivasi dan pembukuan
sederhana dengan harapan agar Mitra Binaan dapat membuat laporan keuangan, memiliki
insting bisnis dan jiwa leadership yang tinggi serta kemauan yang kuat untuk mengembangkan
bisnisnya secara visioner.
Masalah utama lain yang dihadapi oleh UMK adalah aspek pemasaran, terkait dengan
hal ini beberapa bank melakukan pelatihan pengembangan pemasaran produk-produk UMKM.
Untuk tujuan itu para Mitra Binaan diikutkan dalam berbagai kegiatan pameran baik di dalam
maupun di luar negeri. Pihak perbankan juga mempromosikan profil usaha dan produk Mitra
Binaan di media cetak berskala nasional baik koran maupun majalah. Upaya promosi ini
diharapkan dapat memperluas jaringan pemasaran dan meningkatkan produktivitas Mitra
Binaan. Selain itu juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat umum khususnya
generasi muda untuk memunculkan motivasi berwirausaha. Tujuan akhirnya adalah untuk
25
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melahirkan lebih banyak pengusaha-pengusaha baru yang gigih dan siap bersaing secara sehat
dengan kompetitor di dalam maupun luar negeri.
Meskipun program PKBL telah mulai dilakukan oleh lembaga perbankan melalui
program CSR, namun bila disimak tujuan yang menjadi sasaran utama adalah peningkatan
kualitas dan kuantitas produksi melalui pembinaan kualitas SDM serta membuka peluang usaha
atau pasar, serta pemberian pinjaman non komersial. Meski secara umum program ini
merupakan suatu langkah terobosan melalui program kemitraan, namun secara kuantitatif
jumlah UMK binaan relatif masih sangat sedikit. Sementara masih banyak UMKM yang belum
tersentuh sama sekali dengan program sejenis, baik melalui program PKBL maupun program
pembinaan yang dilakukan oleh masing-masing dinas terkait. Satu hal yang perlu dicermati
adalah, program PKBL ini belum secara langsung menyentuh aspek pembinaan usaha yang
ramah lingkungan. Oleh karena itu upaya lembaga perbankan dalam melakukan CSR melalui
PKBL ke arah ramah lingkungan perlu segera diinisiasi dengan melibatkan dinas terkait
termasuk dengan BLH atau KLH.
3.3.2. Pinjaman Lunak Ramah Lingkungan
Hingga akhir tahun 2012 belum ada bank BUMN maupun BUSN yang memberikan
pinjaman lunak ramah lingkungan bagi UMKM dari dana sendiri, padahal keterbatasan
pendanaan bagi pembiayaan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan merupakan salah satu
kendala yang dihadapi dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Program Pinjaman Lunak Lingkungan merupakan seperangkat instrumen ekonomi yang
bersifat preventif kepada dunia usaha dalam melakukan pengelolaan Lingkungan Hidup melalui
pembiayaan investasi lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan
beberapa lembaga perbankan mengelola dan menyalurkan dana yang bersumber dari negara
asing, yaitu:
1. Program PAE (Pollution Abatement Equipment) dimulai dari tahun 1992-2011 dengan
sumber dana dari Jepang melalui JBIC (Japan Bank for International Cooperation)- (JBICPAE)
2. Program IEPC (Industrial Efficiency and Pollution Control) Tahap I dimulai dari Tahun 19982013) dengan sumber dana dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur
Wiederaufbau)
3. Program IEPC (Industrial Efficiency and Pollution Control) Tahap II dimulai dari Tahun 20042044 dengan sumber dana berasal dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur
Wiederaufbau)
4. Program DNS (Debt for Nature Swap) dimulai dari Tahun 2006-2011 dengan sumber dana
dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau). Program ini
merupakan program penghapusan hutang negara sebanyak dua kali lipat dari dana yang
disalurkan oleh program DNS.
Keempat program di atas bertujuan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, Menengah
dan Usaha Besar dalam pengelolaan lingkungan dan meningkatkan efisiensi produksi, secara
tidak langsung program di atas merupakan insentif bagi pelaku usaha untuk merubah proses
26
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
produksinya menjadi usaha yang lebih ramah lingkungan. Pada pelaksanaannya, KLH
didampingi oleh konsultan yang disebut TAU (Technical Assisstant Unit) yang bertujuan untuk
membantu perbankan dalam mencari calon nasabah dan penilaian kelayakan teknis dari
peralatan yang akan diajukan.
Khusus untuk program IEPC Tahap I dan program DNS terdapat kegiatan Capacity
Building yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perbankan, efektifitas dan
keberlanjutan pengelolaan dana pinjaman dari bank pelaksana, yang meliputi kegiatan
rekomendasi teknis, pemantauan/pengawasan, pelatihan dan workshop.
Skema pendanaan lingkungan yang dikembangkan KLH sangat terbatas dan belum
mampu menjawab permasalahan keterbatasan dana dunia usaha bagi upaya pengelolaan
lingkungan. Peluang pertukaran hutang melalui pembiayaan kegiatan lingkungan atau yang
dikenal dengan program DNS merupakan alternatif pendanaan yang potensial dalam
melengkapi skema pendanaan lingkungan yang ada, karena dengan pendanaan tersebut UMKM
dapat mengatasi permasalahan lingkungannya sekaligus dapat mengurangi hutang Pemerintah
Indonesia.
Dana pinjaman bersifat bergulir (revolving fund), sehingga akan diterus-pinjamkan
kembali kepada dunia usaha yang menerapkan upaya pencegahan dan pengendalian
pencemaran lingkungan. Ketentuan yang berlaku untuk mendapatkan dana pinjaman lunak
lingkungan dijabarkan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Skema Pinjaman Lunak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup
JBIC-PAE
Sasaran
Bank
Pelaksana
Jenis
IEPC-KfW
IEPC-KfW
Tahap I
Tahap II
Seluruh Skala
Usaha
UKM
UKM
UMK
6 Bank
Nasional
(Bank BNI,
Bank Mandiri,
Bank BCA,
Bank BII, Bank
Danamon dan
Bank Lippo)
4 BPD, 1
Bank Nasional
(Bank BNI,
Bank Jateng,
Bank Nagari,
Bank Jabar
Banten, BPD
Bali)
2 APEX Bank (Bank
BNI dan Bank BEI)
7 Bank Pelaksana
(Bank BNI, Bank BEI,
Bank Jateng, Bank
Nagari,Bank Niaga,
Bank Kalbar dan BPD
Yogyakarta
Bank Syariah
Mandiri
Investasi
Investasi
Investasi (75%)
Modal Kerja (25%)
Investasi (60%)
Modal kerja (40%)
SBI
9-14%
Rata-rata 2%
dibawah komersial
Sistem bagi hasil
(setara bunga 10
%)
Kredit
Suku
Bunga
(efektif)
DNS
27
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Bantuan
Teknis
-
Konsultan
regional
Tim konsultan
Tim konsultan
Sumber : (Ekonomi Lingkungan) Kementerian Lingkungan Hidup
Dana ini dapat diberikan apabila dunia usaha tersebut telah memenuhi kelayakan teknis
yang ditentukan berdasarkan penilaian KLH dan kelayakan finansial yang ditentukan
berdasarkan penilaian Bank Pelaksana.
a. Mekanisme Pengajuan Pinjaman
Prosedur mendapatkan pinjaman lunak lingkungan, sebagai berikut:
1. Pengajuan permohonan pinjaman dari Perusahaan kepada Bank Pelaksana.
2. Penilaian aspek finansial oleh Bank Pelaksana.
3. Permohonan penilaian aspek teknis dari Bank Pelaksana kepada KLH.
4. Penilaian aspek teknis oleh KLH.
5. Penyampaian hasil penilaian teknis KLH kepada Bank Pelaksana.
6. Pencairan dana dari Bank Pelaksana kepada Perusahaan Pemohon.
b. Komponen Pembiayaan
Komponen investasi yang dapat dibiayai:
1. Peralatan pencegahan pencemaran (mesin produksi yang ramah lingkungan, mesin yang
lebih efesien dari segi bahan baku, energi dan berkurangnya cacat serta kegagalan
produk);
2. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Instalasi Pengendalian Pencemaran Udara
(IPPU), Instalasi Pengolahan Limbah Padat (IPLP), Instalasi Daur Ulang Limbah (IDUL);
3. Jasa konsultasi desain sistem dan konstruksi sipil, pencegahan dan pengendalian
pencemaran, serta daur ulang;
4. Lahan tapak IPAL.
c. Komponen modal kerja yang dapat dibiayai:
Modal kerja permanen yang terkait investasi seperti bahan kimia, suku cadang dan lain-lain
yang terkait dengan mesin atau alat yang dibiayai (tidak lebih dari 40%).
d. Komponen investasi yang tidak dapat dibiayai:
Beberapa hal yang tidak termasuk dalam pembiayaan program ramah lingkungan ini
meliputi:
1. Biaya administrasi
5. Bangunan pabrik, gudang, kantor, kantin
2. Pajak
6. Kompensasi dan pembebasan lahan pabrik
3. Alat transportasi
7. Biaya operasi dan pemeliharaan
4. Power plant, genset
28
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Hasil wawancara mendalam dengan pihak KLH dan beberapa Bank Pelaksana, program
ini cukup berhasil yang dicerminkan dengan meningkatnya jumlah debitur yang memanfaatkan.
Sayangnya, meski beberapa Bank Pelaksana sudah memiliki niatan untuk menyertakan dana
sendiri untuk pinjaman lunak ini, namun hingga saat ini belum ada satupun lembaga Bank
Pelaksana yang merealisasikannya.
29
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
UMKM Ramah Lingkungan
Dari paparan terdahulu, permasalahan yang dihadapi UMKM untuk menuju ramah
lingkungan seakan bermuara hanya pada aspek permodalan belaka, di mana permodalan ini
akan digunakan untuk investasi peralatan guna meningkatkan efisiensi baik dalam proses
produksi serta pengurangan limbah yang dihasilkan. Sebenarnya permasalahan yang dihadapi
oleh UMKM terkait dengan kelestarian lingkungan tidak semata aspek permodalan, namun ada
beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian yakni masalah pengetahuan mengenai
kelestarian itu sendiri dan tingkat kesiapan UMKM dalam menjalankan aktivitas ramah
lingkungan.
UMKM meski secara modal maupun aset dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, namun
bila dilihat dari sisi subsektor usahanya, kondisinya akan sangat beragam, baik dari sisi
pengetahuan, kondisi usaha yang meliputi proses produksi maupun kondisi lingkungannya.
Oleh karenanya informasi yang komprehensif mengenai kondisi UMKM yang meliputi
pengetahuan dan aktivitasnya yang terkait dengan aspek ramah lingkungan perlu diketahui.
Untuk mengetahui sejauh mana UMKM sudah menerapkan kaidah ramah lingkungan dalam
aktivitas usahanya, tentu perlu adanya suatu kriteria yang jelas. Melalui kriteria ini kemudian
dapat ditentukan tingkat kepatuhan UMKM dalam menjalakan aktivitas ramah lingkungan.
Berikut adalah paparan kondisi UMKM dari empat sektor ekonomi yang berkaitan dengan
usaha ramah lingkungan. Melalui paparan ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan
isu lingkungan sedikit banyak dapat diketahui dan untuk kemudian dicarikan solusinya.
4.1.1. Sektor Pertanian
4.1.1.1.
Profil Responden
Sektor pertanian memiliki 4 subsektor usaha, yaitu tanaman pangan, perkebunan,
peternakan dan perikanan, dimana masing-masing subsektor dibedakan lagi menurut jenis
komoditasnya. Pada penelitian ini telah diupayakan untuk meliputi sebagian besar jenis serta
skala usaha dari masing-masing subsektor dengan harapan dapat diketahui karakteristik yang
berhubungan dengan aktivitas dan kondisi UMKM pada sektor ini.
Pada Tabel 4.1 disajikan profil usaha responden pada sektor pertanian. Tampak bahwa
jumlah responden sektor pertanian untuk sub sektor tanaman pangan, tanaman hias dan
hortikultura sebesar 40%, subsektor Perikanan sebesar 28%, Peternakan sebesar 17% dan
Perkebunan sebesar 15%. Sementara itu untuk masing-masing subsektor dijelaskan distribusi
responden sesuai dengan jenis usahanya.
30
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.1. Profil Responden Sektor Pertanian
WILAYAH
TOTAL
Base Responden :
A. PERTANIAN
1. HOLTIKULTURA
- Cabe
- Sayuran
- Jeruk
- Jamur
- Kentang
- Semangka non biji
- Salak
2. TANAMAN PANGAN
- Padi
- Jagung
- Beras
3. TANAMAN HIAS
- Tanaman hias
- Mawar
B. PERIKANAN
1. PERIKANAN LAUT
- Bandeng
- Udang
- Udang windu
- Gurame
- Ebi
- Teripang
2. PERIKANAN TAWAR
- Ikan lele
- Ikan KOI
- Ikan Nila
C. PETERNAKAN
- Ayam Potong
- Susu SAPI
- Ternak sapi
- Ayam potong dan telur
- Kelinci
- Bebek potong
- Sarang Burung Walet
D. PERKEBUNAN
- Kelapa sawit
- Tebu
- Karet
81
40%
21%
7%
6%
2%
1%
1%
1%
1%
15%
11%
2%
1%
5%
4%
1%
28%
17%
7%
4%
2%
1%
1%
1%
11%
9%
1%
1%
17%
7%
2%
2%
1%
1%
1%
1%
14%
9%
2%
2%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Tengah Timur Utara
Selatan
Timur
Mikro Kecil Menengah
12
33%
17%
8%
8%
17%
17%
50%
33%
33%
17%
17%
17%
8%
8%
-
22
36%
14%
5%
5%
5%
18%
18%
9%
5%
5%
36%
36%
9%
14%
9%
5%
14%
9%
5%
9%
9%
-
19
42%
16%
11%
5%
26%
11%
11%
5%
5%
5%
5%
16%
11%
5%
37%
37%
-
16
38%
19%
13%
6%
6%
6%
13%
13%
44%
13%
6%
6%
31%
19%
6%
6%
19%
13%
6%
-
12
50%
50%
17%
17%
8%
8%
8%
8%
8%
25%
8%
17%
17%
17%
46
43%
22%
9%
2%
4%
2%
2%
2%
17%
13%
4%
4%
4%
28%
20%
7%
4%
2%
2%
2%
2%
9%
7%
2%
20%
7%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
9%
4%
2%
2%
26
35%
19%
4%
12%
4%
12%
8%
4%
8%
4%
4%
23%
8%
4%
4%
15%
12%
4%
12%
8%
4%
27%
19%
4%
4%
9
33%
22%
11%
11%
11%
11%
44%
33%
22%
11%
11%
11%
22%
11%
11%
-
Berdasarkan skala usaha responden, dapat dikategorikan menjadi 57% termasuk usaha
mikro, 32% usaha kecil dan 11% usaha menengah. Perlu dijelaskan bahwa untuk sektor
pertanian hortikultura dan tanaman pangan serta tanaman hias sebagian besar berskala mikro
dan umumnya dikelola oleh perorangan, hal ini disebabkan keterbatasan penguasaan lahan.
Kepemilikan lahan umumnya hanya berkisar 0,25 hingga 0,75 Ha. Sementara untuk perikanan,
31
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
peternakan maupun perkebunan, mayoritas berskala kecil. Kendala yang sama dijumpai terkait
dengan masalah penguasaan lahan.
Sementara itu aset yang dimiliki untuk masing-masing subsektor pertanian disajikan
pada Tabel 4.2. Sejalan dengan skala usaha yang dimiliki, berdasarkan aset dari masing-masing
subsektor, sebanyak 43% responden memiliki aset sampai dengan Rp50 juta, 42% responden
memiliki aset antara Rp50 juta hingga Rp500 juta dan sebanyak 15% responden memiliki aset
antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar.
Tabel 4.2. Aset yang dimiliki Usaha Sektor Pertanian
SUB SEKTOR
TOTAL
Base Responden :
Sampai dengan Rp 50 juta
Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar
81
43%
42%
15%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
35
51%
37%
11%
10
50%
50%
-
18
44%
33%
22%
24
25%
50%
25%
Jumah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tani dari masing-masing subsektor
dijabarkan pada Tabel 4.3, tampak bahwa kisaran jumlah tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan
usaha tani mayoritas berjumlah antara 5 hingga 19 orang. Hal ini sesuai dengan distribusi skala
usaha yang dimiliki.
Tabel 4.3. Jumlah SDM yang bekerja pada Subsektor Pertanian
SUB SEKTOR
TOTAL
Base Responden :
1 - 4 orang (Mikro)
5 - 19 orang (Kecil)
20 - 99 orang (Menengah)
81
30%
49%
20%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
35
23%
57%
17%
10
30%
40%
30%
18
39%
50%
11%
24
33%
42%
25%
Dari sisi status ketenagakerjaan SDM yang bekerja pada masing-masing subsektor
Pertanian secara keseluruhan hanya 36% yang merupakan pekerja tetap, 64% lainnya
merupakan pekerja tidak tetap (Gambar 4.1).
32
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Gambar 4.1. Status Pekerja pada Subsektor Pertanian
Pertanian
49%
Perkebunan
51%
22%
78%
Tenaga Kerja Tetap
Peternakan
54%
Perikanan
46%
25%
0%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
75%
20%
40%
60%
80% 100%
Dari sisi subsektor, pekerja tetap lebih banyak dijumpai pada subsektor tanaman
pangan, tanaman hias dan hortikultura serta peternakan, sedangkan pada subsektor
perkebunan dan perikanan tenaga kerja tak tetap. Bila dilihat dari sisi aktivitas yang dilakukan
sangatlah wajar komposisi tersebut, seperti di perkebunan dan perikanan, aktivitas rutin terjadi
pada pemeliharaan tanaman, di mana jumlah tenaga kerja tidak terlalu banyak yang
dibutuhkan, sementara pada saat panen kebutuhan tenaga kerja lebih banyak. Sementara pada
subsektor tanaman pangan, tanaman hias dan hortikultura serta peternakan, pemeliharaan
tanaman dan hewan ternak relatif lebih rutin, sehingga kebutuhan tenaga kerjanya relatif lebih
banyak.
Lama usaha yang sudah dijalani dari masing-masing subsektor mayoritas sudah melebihi
waktu 10 tahun (Tabel 4.4). Namun terdapat juga responden yang baru berusaha antara 3-5
tahun, terutama pada subsektor peternakan dan perikanan masing-masing 22% dan 25%.
Tabel 4.4. Lama Usaha yang sudah dilakukan
SUB SEKTOR
TOTAL
Base Responden :
3 – 5 tahun
Lebih dari 5 – 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
81
14%
25%
62%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
35
9%
23%
69%
10
0%
50%
50%
18
22%
22%
56%
24
25%
17%
58%
Informasi penting terkait dengan profil responden adalah masalah ada tidaknya badan
hukum atas usaha yang dilakukan. Hal ini kelak sangat berkaitan dengan upaya kredit yang akan
disalurkan, dimana badan hukum pendirian usaha menjadi salah satu persyaratan dalam
pengajuan kredit. Pada Tabel 4.5. disajikan kepemilikan badan hukum usaha tani yang
dilakukan.
33
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.5. Kepemilikan Badan Hukum Usaha Sektor Pertanian
SKALA USAHA
TOTAL
Base Responden : 81
Ya
22%
Tidak
78%
Usaha
Mikro
SUB SEKTOR
Usaha
Usaha
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
Kecil Menengah
46
17%
83%
26
27%
73%
9
33%
67%
35
29%
71%
10
100%
18
33%
67%
24
17%
83%
Dari 81 responden sektor pertanian, hanya 22% usaha yang memiliki badan hukum dan
selebihnya belum memiliki badan hukum. Subsektor peternakan lebih banyak yang memiliki
badan hukum (33%), urutan berikutnya adalah subsektor pertanian, sedangkan perkebunan
sama sekali tidak memiliki. Fakta ini menunjukkan bahwa kebanyakan usaha tani yang
dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki persyaratan adminsitrasi dalam melakukan akses ke
lembaga perbankan. Bentuk badan hukum yang dimiliki adalah Usaha Dagang (UD) sebanyak
72%, sedangkan 28% lainnya adalah CV (Tabel 4.6).
Tabel 4.6. Jenis Badan Hukum yang Dimiliki Usaha tani
SKALA USAHA
SUB SEKTOR
TOTAL
Usaha
Mikro
Usaha Usaha
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
Kecil Menengah
Base Responden : 18
CV
28%
UD (Firma)
72%
8
25%
75%
7
29%
71%
3
33%
67%
10
30%
70%
-
6
33%
67%
4
25%
75%
Sementara itu, berdasarkan jenis perijinan (Tabel 4.7) yang digunakan oleh pemilik
usaha tani dalam menjalankan usahnya, mayoritas adalah Surat Keterangan dari Desa atau
Kecamatan (69%), namun 27% diantaranya sudah memiliki NPWP dan 26% memiliki SIUP.
Sedangkan ijin seperti TDP/TDI, akta pendirian usaha, dan surat ijin gangguan dimiliki tidak
lebih dari 10% usaha tani.
Tabel 4.7. Surat Izin Usaha yang dimiliki
SKALA USAHA
Base Responden :
Surat Keterangan Usaha Desa/Kecamatan
NPWP
SIUP
TDP / TDI
Akta Pendirian Perusahaan
Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang
diterbitkan oleh Walikota
Surat pendirian kelompok
Tidak ada
SUB SEKTOR
TOTAL
Usaha
Mikro
81
69%
27%
26%
7%
5%
46
65%
11%
17%
2%
2%
26
73%
38%
27%
8%
12%
9
78%
78%
67%
33%
-
35
66%
31%
26%
6%
6%
10
80%
10%
-
18
72%
33%
39%
6%
-
24
71%
29%
25%
13%
8%
7%
4%
8%
22%
11%
-
6%
4%
1%
20%
26%
4%
15%
-
23%
20%
17%
4%
17%34
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kondisi perizinan usaha ini pada dasarnya mencerminkan kondisi nyata usaha tani yang
ada di Indonesia yang sebagian besar masih dimiliki oleh perorangan, alasan utama yang
diperoleh dari hasil wawancara menunjukkan bahwa skala usaha yang mereka miliki relatif
kecil, sehingga belum ada keperluan yang mendesak untuk mengurus izin usaha, di samping itu
tatacara pemasaran yang mereka lakukan langsung dibeli oleh pengepul, dan modal yang
digunakan kebanyakan adalah modal sendiri. Sedangkan bagi usaha dengan skala kecil dan
menengah, kebutuhan akan izin usaha sudah mulai muncul karena adanya kemitraan dengan
institusi lain seperti pedagang besar atau dengan suatu retailer tertentu yang mensyaratkan
adanya izin usaha.
Tabel 4.8. Kepemilikan Usaha Tani
SKALA USAHA
TOTAL
Base Responden : 81
Dimiliki sendiri
85%
Keluarga
15%
Usaha
Mikro
46
85%
15%
SUB SEKTOR
Usaha
Usaha
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
Kecil Menengah
26
81%
19%
9
100%
-
35
80%
20%
10
90%
10%
18
89%
11%
24
92%
8%
Dari sisi kepemilikan usaha (Tabel 4.8), mayoritas dimiliki oleh perorangan (85%)
selainnya dimiliki oleh keluarga (15%). Status kepemilikan ini serupa hampir di seluruh
subsektor. Berdasarkan fakta di lapangan, usaha yang berskala mikro hingga kecil merupakan
usaha yang dilakukan secara perorangan, kalaupun kepemilikannya oleh keluarga sebagian
besar disebabkan kelompok pengelola berasal dari kepemilikan turun temurun. Hal ini
mengisyaratkan bahwa sektor pertanian dengan skala usaha mikro hingga menengah lebih
identik sebagai usaha perorangan yang notabene juga dikelola oleh keluarga. Hal ini terjadi
hampir di seluruh wilayah survei. Bila dikaitkan antara kepemilikan dengan izin usaha yang
dimiliki, sangatlah konsisten bahwa usaha pertanian yang mayoritas dimiliki perorangan
ataupun keluarga menjadi penyebab izin yang dimiliki bukan faktor utama dalam menjalankan
usaha. Namun kesulitannya kelak akan dijumpai saat usaha tani ini berhubungan dengan pihak
perbankan sebagai persyaratan dalam memperoleh pinjaman.
Berkaitan dengan lokasi usaha, mayoritas usaha tani melakukan usaha sesuai dengan
lokasi peruntukannya, demikian juga dengan subsektor peternakan yang menimbulkan konflik,
karena berlokasi di dekat pemukiman. Untuk subsektor tanaman pangan seperti; tanaman
hortikultura, tanaman pangan, kebanyakan diusahakan di lahan sawah atau ladang. Untuk
perkebunan khusus diusahakan di lokasi perkebunan. Namun untuk usaha tanaman hias
diantaranya berlokasi di area pemukiman, karena tidak memerlukan area yang luas dengan
pengairan khusus.
35
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.2.
Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Subsektor Tanaman Pangan
Sektor pertanian khususnya untuk usaha tanaman pangan, konsep ramah lingkungan
yang lazim digunakan adalah sistem pertanian organik. Pertanian organik didefinisikan sebagai
suatu sistem pengelolaan produksi holistik yang mempromosikan dan mendorong terciptanya
keberlanjutan agro-ekosistem, termasuk di dalamnya keaneka-ragaman hayati/biodiversitas,
siklus biologi dan aktivitas biologis. Sistem ini tidak menggunakan bahan-bahan sintetis, tetapi
mengupayakan optimalisasi pemanfaatan metode-metode agronomis, biologis dan mekanis
untuk memenuhi atau menjalankan setiap fungsi-fungsi spesifik di dalam sistem. Dengan
demikian, terminologi "organik" bukan merupakan product claim, tetapi lebih bersifat process
claim (Adiyoga, 2002).
Hal senada diungkapkan oleh Pratita (Saputri, 2009), kegiatan usaha tani secara
menyeluruh dari proses produksi sampai proses pengolahan hasil yang dikelola secara alami
dan ramah lingkungan tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetik sehingga
menghasilkan produk yang sehat dan bergizi.
Dalam perkembangannya, sistem pertanian organik menambahkan kriteria baru, yakni
sertifikasi lahan sebagai upaya penjaminan akan kondisi lahan yang terbebas dari residu pupuk
sintetis guna memastikan bahwa lahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia sintetis
berbahaya yang umumnya berasal dari residu pupuk buatan dari praktek usaha tani
konvensional sebelumnya. Adapun tujuan utama pertanian organik, antara lain:
a. Menghasilkan pangan berkualitas tinggi yang bebas residu pestisida, residu pupuk
kimia organik sintetik, dan bahan kimia lainnya untuk membantu meningkatkan
kesehatan masyarakat.
b. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati agar dapat berfungsi secara alami dalam
mempertahankan interaksi di ekosistem pertanian sesuai sistem alami.
c. Memasyarakatkan kembali budidaya organik untuk mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas lahan guna menunjang sistem usaha tani yang berkelanjutan.
d. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan sarana produksi dari luar yang
harganya mahal dan berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga petani
dapat memperhitungkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan pertanian organik
dan pengolahannya.
e. Mendorong meningkatnya siklus biologi dalam sistem usaha tani dengan melibatkan tanah,
tanaman, ternak, flora dan fauna dalam ekosistem.
Secara umum, batasan pertanian organik meliputi 6 aspek sebagai berikut:
a. Lokasi, lahan dan tempat penyimpanan harus terpisah secara fisik dengan batas alami dari
pertanian non organic;
b. Masa konversi lahan dari pertanian organik menjadi pertanian organik diperlukan waktu 12
bulan untuk tanaman musiman dan 18 bulan untuk tanaman tahunan;
c. Bahan tanaman (benih/bibit) bukan berasal dari rekayasa genetika dan tidak diperlakukan
dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh;
d. Media tumbuh tidak menggunakan bahan kimia sintetik;
36
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
e. Perlindungan tanaman tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tapi berupa pengaturan
sistem tanam/pola tanam, pestisida nabati, agen hayati dan bahan alami lainnya;
f. Pengelolaan produk harus terpisah dari produk non organik dan tidak menggunakan bahan
yang mengandung bahan additive.
Untuk menjamin agar usaha tani mengarah pada Sistem Pertanian Organik, beberapa
aspek yang perlu diperhatikan seperti:
a. Aspek Lahan
Pada dasarnya semua lahan dapat dikembangkan menjadi lahan Pertanian Organik yang
ramah lingkungan. Areal yang terbaik adalah lahan pertanian yang berasal dari praktek
pertanian tradisional atau hutan alam yang tidak pernah mendapatkan asupan bahan-bahan
agrokimia (pupuk dan pestisida non organik). Namun, bila lahan yang digunakan berasal dari
lahan bekas budidaya pertanian konvensional (menggunakan pupuk dan pestisida kimia),
maka lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Konversi lahan bertujuan untuk
meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan
memulihkan unsur fauna dan mikro organisme tanah. Lamanya konversi tergantung dari
intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran, padi atau
tanaman keras).
Masa konversi dapat panjang maupun pendek tergantung pada kondisi lahan tersebut
sebelumnya. Bila masa konversi telah lewat, maka lahan tersebut dapat dikategorikan
sebagai lahan organik. Bila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan
konversi menuju organik. Untuk memastikan bahwa lahan yang akan digunakan layak untuk
pertanian organik, maka saat ini kepada para petani atau pelaku usaha PO diharuskan
melakukan sertifikasi lahan.
b. Aspek Benih
Benih yang digunakan untuk budidaya pertanian organik adalah benih yang tidak
mendapatkan perlakuan rekayasa genetika. Petani sebaiknya menggunakan benih lokal,
atau benih hibrida yang telah beradaptasi dengan alam sekitar.
Keunggulan menggunakan benih lokal adalah mudah memperolehnya dan murah harganya,
bahkan petani bisa membenihkan sendiri. Selain itu, benih lokal memiliki asal usul yang jelas
dan sesuai dengan kondisi alam sekitar. Dengan memakai benih sendiri, petani juga tidak
tergantung pada pihak luar.
c. Aspek Persiapan Tanam
Lahan yang digunakan untuk produksi sistem pertanian organik sedapat mungkin dijaga
kestabilannya tanpa harus merusaknya, yaitu berpedoman pada metode sedikit olah tanah
(minimum tillage).
d. Aspek Penanaman
Prinsip yang diterapkan dalam praktek penanaman pertanian organik selalu mencerminkan
adanya tumpangsari agar tercipta keanekaragaman tanaman (varietas). Perencanaan dan
37
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
teknik penanaman perlu disesuaikan dengan sifat tanaman, prinsip-prinsip pergiliran
tanaman dan kondisi cuaca setempat.
e. Aspek Pemeliharaan Tanaman
Setiap tanaman memiliki sifat karakteristik tertentu, maka pemeliharaan tanaman
ditentukan oleh sifat karakteristik tersebut. Dengan mengenali karakteristik tanaman petani
dapat dengan mudah melakukan pemeliharaan yang sesuai, sehingga tujuan pemeliharaan
tercapai sesuai dengan prinsip "kebahagiaan tanaman itu sendiri".
f. Aspek Pemupukan
Secara teori, lahan pertanian organik akan semakin subur karena proses-proses yang
diterapkan berpedoman pada pemeliharaan tanah. Tetapi realitanya, petani seringkali
kurang memahami hal ini sehingga tanah selalu lebih banyak kehilangan unsur hara melalui
erosi dan penguapan dibandingkan dengan hara yang diberikan/ditambahkan. Maka prinsip
pemupukan ditentukan oleh kepekaan petani dalam mengamati/menilai kapan tanaman
kekurangan makanan.
g. Aspek Pengendalian Hama Pengganggu Tanaman (HPT)/Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT).
Pertanian organik berbasis pada keseimbangan ekosistem. Konsekuensinya semua
organisme yang ada (termasuk hama) dipandang ikut berperan dalam proses keseimbangan
tersebut. Dengan kata lain, tidak ada makhluk hidup yang tidak berguna, hanya saja
diperlukan upaya mengendalikan hama/penyakit tanaman supaya tidak berada dalam
jumlah berlebihan.
Pola tumpangsari, pergiliran tanaman, pemberian mulsa, rekayasa teknik menanam, dan
manajemen kebun menjadi pilihan metode pengendalian HPT karena sesuai dengan prinsip
keseimbangan. Penggunaan pestisida alami diperlukan sejauh petani mengetahui bahwa
di lahan pertanian organik sedang terjadi ketidakseimbangan, yang terlihat pada munculnya
gangguan hama/penyakit. Kadar pemakaiannya juga tergantung dari tingkat gangguan yang
ada.
h. Aspek Pemanenan
Setiap langkah dalam proses produksi akan dinilai dari hasil panenan. Prinsip dalam panen
adalah menjaga standar mutu dengan memanen tepat waktu sesuai kematangan. Cara
pemanenan juga perlu berhati-hati sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan
hasil yang lebih besar.
i.
Aspek Penanganan Pasca Panen
Kegiatan pasca panen harus mampu menekan kerusakan hasil seminimal mungkin. Metode
pengolahan yang dilakukan tidak boleh mengubah sama sekali komposisi bahan aslinya.
Karenanya proses seleksi, pencucian, pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan produk
organik perlu kehati-hatian agar kondisi tetap segar dan sehat ketika berada di tangan
pembeli. Dalam pertanian organik, kegiatan pasca panen menghindari pemakaian bahan
38
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pengawet atau perlakuan kimiawi lainnya dan seminimal mungkin melakukan proses
pengolahan.
Dalam pertanian organik berlaku standar yang berfungsi sebagai pedoman bagi petani
dan pelaku lain dalam menjalankan usahanya di bidang ini. Standar ini berisi prinsip-prinsip
mendasar pertanian organik dan hal-hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam
bertani organik. Sebagai contoh, pemerintah telah menerbitkan SNI (Standar Nasional
Indonesia ) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para
pelaku terkait pengembangan pertanian organik. Standar ini mengacu pada standar
internasional yakni Codex CAC/GL 32/1999, dan cukup selaras dengan standar dasar IFOAM
(International Federation of Organic Agriculture Movement). Dalam pada itu, BIOCert tengah
mengembangkan standar pertanian organik yang selaras dengan pedoman di atas dan sesuai
dengan visi dan misinya.
Untuk memudahkan pengklasifikasian pertanian organik yang dilakukan oleh petani,
pada Tabel 4.9. disajikan ringkasan kriteria pelaksanaan sistem pertanian organik.
Tabel 4.9. Pedoman Pertanian Organik
(Subsektor Tanaman Pangan, Tanaman Hias dan Hortikultura)
No
1
Kegiatan (Activity)
Konversi Lahan
(Sertifikasi Lahan)
2
ï‚·
4
Persiapan benih (Seed
preparation)
Pengolahan tanah (Land
Preparation)
Penanaman (Planting)
5
Pemupukan (Fertilization)
ï‚·
6
Pengendalian hama
penyakit (Plantprotection)
ï‚·
3
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
7
Panen dan pascapanen
(Harvest and Post-harvest)
ï‚·
ï‚·
Pertanian Organik (Organic Farming)
Untuk meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia
yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur
fauna dan mikroorganisme tanah
Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi
sendiri dan berasal dari tumbuhan alami
Olah tanah minimal untuk memacu perkembangan
organisme tanah dan menjaga aerasi tanah
Multikultur
Rotasi tanaman
Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu
Tanaman pendamping (Companion planting)
Penanaman tanaman habitat predator, tanaman pagar,
penolak hama, perangkap hama
Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos,
kandang)
Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau
memusnahkan tanaman terserang layu)
Melakukan pengaturan waktu tanam
Memutuskan siklus hidup hama/penyakit (pemberaan
lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan Mulsa
tanaman sejenis)
Menyemprot dengan bio-pestisida
Sanitasi menjaga kebersihan lingkungan di
sekitar kebun
Terjadwal dan menggunakan kemasan daur ulang
Melalukan pengolahan meskipun minimalis
39
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.3.
Pengetahuan dan Kegiatan Usaha Ramah Lingkungan
Pengukuran awareness atau kesadaran (pengetahuan) pelaku usaha terhadap aktivitas
ramah lingkungan, dilakukan dengan cara menanyakan secara langsung kepada respoden
(pelaku usaha) terkait aktivitas dalam menjalankan usaha yang terkategori ramah lingkungan
sesuai yang mereka ketahui. Perlu diketahui bahwa dalam sektor pertanian ini terdiri dari
4 subsektor yakni subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan. Jawaban
atas pertanyaan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.10.
Dari 65 responden yang diperoleh secara acak (random) dari sektor pertanian
diharapkan dapat menggambarkan kondisi nyata pertanian di wilayah survei. Terlihat bahwa,
secara umum pengetahuan mereka terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan masih tergolong
rendah. Hal ini tercermin dari besarnya persentase atau proporsi petani yang mengetahui
kegiatan ramah lingkungan, serta jenis jawaban yang disampaikan. Persentase tertinggi yakni
40% menyatakan bahwa aktivitas ramah lingkungan yang terkait dengan usahanya adalah
“perhatian terhadap kebersihan atau kesehatan lingkungan usaha atau produksi sebagai media
tumbuh”. Menarik untuk disimak bahwa dalam praktek usaha pertanian kebersihan dan
kesehatan lingkungan hidup atau tumbuh dari tanaman, ikan atau hewan ternak harus selalu
terjaga, hal ini untuk menjamin dapat tumbuhnya objek usaha tersebut. Bila disimak kriteria
ramah lingkungan sektor pertanian, kebersihan atau kesehatan media tumbuh merupakan
prasayarat utama. Persoalannya dari tingginya pernyataan ini bukan pada kecocokannya
dengan kriteria ramah lingkungan. Namun tanpa kriteria ramah lingkungan pun para pelaku
usaha di sektor ini secara intrinsic (dengan sendirinya) akan melakukan hal tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa ada perilaku alami yang diklaim sebagai aktivitas ramah lingkungan.
Tabel 4.10. Awareness Pelaku Usaha terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan Sektor Pertanian
WILAYAH
Total
Base Responden :
Memperhatikan kebersihan/kesehatan tanah/kandang/kolam
sebagai media tumbuh
Menggunakan biopestisida (hayati ataupun nabati)
Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi,
seperti menggunakan pupuk/pakan organik dari limbah pertanian
Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas usahatani
Menggunakan bibit tanaman/ternak yang memiliki sertifikat
Melakukan pergiliran tanaman guna keseimbangan ekologi
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap konsumen
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap lingkungan
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
Melakukan sertifikasi kesehatan lahan/kandang/kolam/tambak
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi
Menggunakan media tumbuh atau hormon tanaman yang memiliki
MSDS/spesifikasi bahan
Tidak tahu
SKALA USAHA
Jawa
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Tengah Timur Utara
Selatan
Timur
Mikro Kecil Menengah
65
12
22
8
13
10
38
20
7
40%
33%
55%
-
38%
50%
34%
45%
57%
25%
23%
8%
25%
32%
27%
-
15%
15%
60%
40%
16%
18%
40%
25%
29%
43%
23%
25%
14%
-
15%
70%
26%
20%
14%
22%
20%
20%
20%
18%
15%
14%
12%
11%
8%
17%
25%
17%
8%
25%
8%
17%
8%
8%
36%
27%
41%
18%
27%
5%
9%
14%
5%
5%
-
8%
23%
8%
15%
8%
23%
15%
15%
15%
8%
30%
10%
30%
50%
40%
30%
40%
10%
30%
20%
16%
16%
13%
13%
11%
11%
16%
11%
11%
11%
25%
25%
30%
25%
30%
15%
10%
15%
-
43%
29%
29%
43%
29%
43%
14%
14%
43%
14%
5%
-
5%
-
8%
10%
3%
5%
14%
55%
67%
41%
100%
62%
30%
61%
50%
43%
40
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Rendahnya pengetahuan pelaku usaha tercermin dari perolehan tertinggi jawaban atau
pernyataan yang sesuai dengan kriteria ramah lingkungan seperti “penggunaan biopestisida
dalam pemberantasan hama tanaman” dengan persentase 25%. Dalam pada itu jawaban lain
yang masih sesuai dengan kriteria adalah “melakukan proses recycle dari limbah yang
dihasilkan”, seperti pembuatan pupuk kompos dari limbah ternak, di mana persentasenya
sedikit lebih rendah yakni 23%. Menarik untuk disimak bahwa terdapat sebanyak 23%
menyatakan “kejujuran dalam menjalankan usaha”, pernyataan ini pada dasarnya tidak
termasuk dalam kriteria ramah lingkungan namun bagian dari konsep Good Agriculture Practice
(GAP). Fakta ini menandakan bahwa pemahaman pelaku usaha tidak sepenuhnya sesuai
dengan kriteria ramah lingkungan.
Fenomena menunjukkan bahwa dalam praktek ramah lingkungan khususnya dalam
bidang pertanian terdapat aktivitas yang biasa dilakukan oleh petani yang sebenarnya sesuai
dengan kriteria ramah lingkungan, namun petani tidak menyadari akan hal tersebut. Hal ini
dapat dibuktikan dengan aktivitas-aktivitas nyata seperti yang dipaparkan dalam Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Aktivitas Usaha tani yang dilakukan yang terkait dengan Kriteria Ramah Lingkungan
Total
Base Responden :
Memperhatikan kebersihan/kesehatan
tanah/kandang/kolam sebagai media tumbuh
Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas
usahatani
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap
lingkungan
Menggunakan bibit tanaman/ternak yang
memiliki sertifikat
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap
konsumen
Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan
proses produksi
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melakukan pergiliran tanaman guna
keseimbangan ekologi
Menggunakan biopestisida (hayati ataupun
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan
proses produksi
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Menggunakan media tumbuh atau hormon
tanaman yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan
proses produksi
Melakukan sertifikasi kesehatan
lahan/kandang/kolam/tambak
Tidak melakukan satupun kegiatan di atas
65
Jawa
Tengah
12
Jawa Sumatera Sulawesi
Timur
Utara
Selatan
22
8
13
Kalimantan
Timur
10
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
57%
58%
73%
13%
69%
40%
50%
70%
57%
28%
25%
41%
-
15%
40%
26%
30%
29%
26%
25%
41%
-
23%
20%
21%
35%
29%
26%
42%
18%
38%
31%
10%
24%
25%
43%
26%
17%
36%
13%
23%
30%
18%
35%
43%
25%
25%
36%
-
23%
20%
24%
30%
14%
25%
42%
14%
13%
23%
40%
21%
30%
29%
18%
17%
27%
-
31%
-
16%
20%
29%
17%
-
32%
-
8%
30%
11%
30%
14%
9%
8%
18%
-
8%
-
11%
10%
-
8%
8%
5%
-
23%
-
8%
-
29%
6%
8%
9%
13%
-
-
3%
10%
14%
5%
-
9%
-
8%
-
5%
5%
-
5%
8%
-
-
15%
-
5%
5%
-
2%
-
-
-
8%
-
3%
-
-
20%
8%
5%
50%
15%
50%
26%
15%
-
Pada Tabel 4.11 pada dasarnya merupakan aktivitas nyata petani dalam melakukan
usahanya yang terkait dengan kriteria ramah lingkungan. Secara umum tampak bahwa aktivitas
nyata petani dibanding dengan pengetahuannya terkait kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan usahanya, persentasenya relatif lebih besar. Namun demikian besarnya nilai ini
tidak lebih dari 30%, kecuali mereka yang menjaga kebersihan lingkungan tumbuh objek
usahanya mencapai 57%. Hal yang mengejutkan hanya 20% petani tanaman pangan yang
41
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melakukan pergiliran tanaman, ini menandakan bahwa sepanjang tahun lahannya ditanami
tanaman sejenis.
Menyimak hasil ini, dapatlah disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani ramah lingkungan
yang dilakukan oleh para petani, secara umum masih terbilang rendah. Hal ini sesuai dengan
hasil temuan Kipdiyah (2012) yang meneliti tentang petani sayuran organik di wilayah Jawa
Barat. Faktor yang melatarbelakangi hal ini adalah sumberdaya yang terbatas seperti luasan
lahan, ataupun luasan kolam (tambak) serta rendahnya jumlah ternak yang dapat diusahakan.
Di sisi lain, dalam kasus pertanian organik, adanya kriteria sertifikasi lahan merupakan aspek
yang cukup memberatkan petani, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Faktor lain
yang menyebabkan pertanian organik yang merupakan cerminan ramah lingkungan
membutuhkan sertifikasi tidak hanya pada proses produksinya namun juga perlunya adanya
sertifikasi produk (BioCert, 2009). Hal ini untuk menghindari self claim dari pihak petani atas
produk yang dihasikan, serta untuk memberi kepercayaan pada pasar, bahwa produk pertanian
organik yang dihasilkan sesuai dengan kriteria yang sebenarnya.
Pada Tabel 4.12. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Kebersihan Media Tumbuh
Total
Base Responden :
65
MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN/KESEHATAN
57%
TANAH/KANDANG/KOLAM SEBAGAI MEDIA TUMBUH
- Membersihkan lahan/kandang/kolam
32%
- Memberikan kapur agar tidak ditumbuhi jamur
8%
- Mengganti air kolam
3%
Melakukan pengolahan lahan sebelum ditanami (mencangkul
3%
lahan)
- Memberikan pestisida
3%
- Memberikan pupuk organik (seperti pupuk kandang)
3%
Membiarkan/mengosongkan lahan beberapa saat setelah
3%
beberapa siklus
MENGANGGAP TELAH MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN/KESEHATAN
3%
TANAH/KANDANG/KOLAM SEBAGAI MEDIA TUMBUH
- Mutu susu yang dihasilkan dan kandang tidak bau
2%
- Membeli bibit yang baru
2%
TIDAK MELAKUKAN APA PUN
40%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Tengah Timur Utara Selatan
Timur
Mikro Kecil Menengah
12
22
8
13
10
38
20
7
58%
73%
13%
69%
40%
50%
70%
57%
33%
8%
45%
14%
-
-
38%
8%
8%
20%
10%
-
26%
11%
-
40%
5%
10%
43%
-
8%
5%
-
-
-
3%
5%
-
8%
-
5%
-
8%
8%
-
3%
-
10%
14%
-
-
-
-
15%
-
5%
-
-
8%
5%
-
-
-
3%
-
14%
8%
33%
5%
23%
88%
31%
60%
3%
47%
30%
14%
29%
Pada Tabel 4.12 hingga Tabel 4.18, disajikan aktivitas nyata yang dilakukan petani untuk
memastikan (konfirmasi ulang) bahwa apa yang dilakukan persepsinya sesuai dengan kriteria
pertanian organik. Terlihat bahwa mulai dari pembersihan media tumbuh (Tabel 4.12),
penggunaan EBT (Tabel 4.13), penggunaan bibit atau benih (Tabel 4.14), penggunaan air (Tabel
4.15), penggunaan biopsetisida (Tabel 4.16), proses reuse (Tabel 4.17), dan proses recycle
(Tabel 4.18), self claim sangat dominan menjadi argumen bahwa petani telah melakukan usaha
tani ramah lingkungan atau pertanian organik. Bila disimak lebih lanjut, apa yang dilakukan oleh
petani meskipun nyata dilakukan namun belum tentu sesuai dengan kriteria yang
42
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dipersyaratkan dalam pertanian organik yang sebenarnya. Jika hal ini benar, persentase petani
yang benar-benar melakukan pertanian organik juga masih rendah.
Pada Tabel 4.13. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan EBT
WILAYAH
Total
Base Responden :
MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN
DALAM AKTIVITAS USAHATANI
- Hujan
- Cahaya Matahari
- Arus pasang surut
- Angin
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN
ENERGI TERBARUKAN DALAM AKTIVITAS
USAHATANI
- Kayu Bakar
- Air PDAM
BELUM MENGGUNAKAN
65
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Tengah Timur Utara
Selatan
Timur
Mikro Kecil Menengah
12
22
8
13
10
38
20
7
28%
25%
41%
-
15%
40%
26%
30%
29%
15%
11%
8%
5%
17%
17%
17%
17%
14%
14%
14%
5%
-
8%
8%
-
40%
10%
-
13%
11%
8%
5%
20%
15%
5%
5%
14%
14%
-
3%
8%
5%
-
-
-
3%
5%
-
2%
2%
69%
8%
67%
5%
55%
100%
85%
60%
3%
71%
5%
65%
71%
Pada Tabel 4.14. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Bibit/Benih
Total
Base Responden :
MENGGUNAKAN BIBIT
TANAMAN/TERNAK YANG MEMILIKI
SERTIFIKAT
- Cap dari dinas pertanian
- Bibit bandeng dari perusahaan benih
- Dinas Perikanan
- Bibit sawit marihat PPKS Medan
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN
BIBIT TANAMAN/TERNAK YANG
MEMILIKI SERTIFIKAT
Sertifikat pengakuan sendiri (seperti
- bibit tanaman yang digunakan bebas
dari hama, bibit unggul)
- Rumput
Stampel label pada ayam sebagai
bukti ayam nya sehat
BELUM MELAKUKAN
WILAYAH
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan
Timur
Utara
Selatan
Timur
22
8
13
10
SKALA USAHA
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
65
Jawa
Tengah
12
26%
42%
18%
38%
31%
10%
24%
25%
43%
6%
3%
3%
3%
17%
17%
-
-
25%
15%
15%
-
-
11%
3%
-
5%
10%
14%
14%
-
12%
17%
14%
13%
15%
-
3%
30%
14%
9%
8%
14%
-
15%
-
-
25%
14%
2%
-
-
13%
-
-
3%
-
-
2%
8%
-
-
-
-
-
5%
-
62%
42%
68%
50%
54%
90%
74%
45%
43%
43
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pada Tabel 4.15. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Air
WILAYAH
Total
Base Responden :
65
MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN
18%
AIR
Membatasi penggunaan air (seperti
menggunakan air sesuai kebutuhan,
12%
hanya menggunakan satu bak untuk
pencelupan kain batik)
Tidak menggunakan air tanah, tetapi
5%
menggunakan air hujan atau air sungai
Dilakukan beberapa kali pengurasan
kalo sudah kotor di masukan kedalam
- mesin pengolahan ,disaring di jadikan 2%
air bersih lalu di buang ke
pembuangan
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN
2%
Dengan menggunakan diesel air untuk
2%
menyiram tanaman
BELUM MELAKUKAN
80%
Jawa
Tengah
12
SKALA USAHA
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan
Timur
Utara
Selatan
Timur
22
8
13
10
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
17%
27%
-
31%
-
16%
20%
29%
17%
18%
-
15%
-
11%
10%
29%
-
5%
-
15%
-
5%
5%
-
-
5%
-
-
-
-
5%
-
-
-
-
-
10%
-
5%
-
-
-
-
-
10%
-
5%
-
83%
73%
100%
69%
90%
84%
75%
71%
Pada Tabel 4.16. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Biopestisida
WILAYAH
Total
Base Responden :
MENGGUNAKAN BIOPESTISIDA (HAYATI
ATAUPUN NABATI)
- Telor ,kupu kupu untuk membasmi
- Daun sereh ,daun nimba
- Menggunakan daun pepaya
- Tanaman obat
Biopetisida alami buatan sendiri dari
nabati
- Bungkal pohon teh
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN
BIOPESTISIDA (HAYATI ATAUPUN
NABATI)
- Bistan (obat hama (keong))
- Antracol Del
- Orsal (vitamin perangsang makan)
Shamponen (obat-obatan membasmi
hama)
- VITASTRES (Vitamin ayam)
- TRIMISIN (Obat jika ayam sakit)
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa
Tengah
12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan
Timur
Utara
Selatan
Timur
22
8
13
10
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
9%
8%
18%
-
8%
-
11%
10%
-
2%
2%
2%
2%
8%
-
5%
5%
-
8%
-
-
3%
3%
3%
5%
-
-
2%
-
5%
-
-
-
3%
-
-
2%
-
5%
-
-
-
-
5%
-
22%
33%
23%
-
15%
30%
16%
35%
14%
3%
3%
2%
8%
8%
5%
9%
-
-
-
-
5%
3%
10%
-
-
2%
8%
-
-
-
-
3%
-
-
2%
2%
69%
8%
8%
58%
59%
100%
77%
70%
74%
5%
5%
55%
86%
44
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pada Tabel 4.17. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Aktivitas Reuse
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKSANAKAN PROSES REUSE DALAM
KEGIATAN PROSES PRODUKSI
Kemasan bahan baku/hasil produksi
(seperti kaleng, plastik)
Ampas/limbah/hasil sampingan
produksi (seperti air kolam)
Sisa bahan baku/bahan yang tidak
- terpakai utk produksi produk utama
(seperti potongan kayu)
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa
Tengah
12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan
Timur
Utara
Selatan
Timur
22
8
13
10
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
8%
8%
5%
-
23%
-
8%
-
29%
5%
8%
-
-
15%
-
5%
-
14%
2%
-
5%
-
-
-
3%
-
-
2%
-
-
-
8%
-
-
-
14%
92%
92%
95%
100%
77%
100%
92%
100%
71%
Pada Tabel 4.18. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Kegiatan Recycle
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKSANAKAN PROSES RECYCLE
DALAM KEGIATAN PROSES PRODUKSI
Ampas/limbah produksi (seperti
jerami, kotoran ternak, daun sayuran)
Sisa bahan baku/bahan yang tidak
terpakai utk produksi produk utama
(seperti jeroan ayam, daun tebu,
bekas tanaman)
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa
Tengah
12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan
Timur
Utara
Selatan
Timur
22
8
13
10
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
38
20
7
25%
42%
14%
13%
23%
40%
21%
30%
29%
17%
25%
9%
-
23%
30%
16%
15%
29%
6%
8%
5%
13%
-
10%
3%
15%
-
75%
58%
86%
88%
77%
60%
79%
70%
71%
Melihat hasil konfirmasi ulang terhadap apa yang diklaim oleh petani tanaman pangan
dalam melakukan usaha taninya terkait dengan pertanian organik, meski terlihat adanya
kecenderungan bahwa semakin tinggi skala usaha yang dimiliki, maka akan semakin besar
proporsi aktivitas yang mengarah pada pertanian organik yang dilakukan. Dari hasil ini, dapat
dijelaskan bahwa petani yang menjadi reponden survei memang tidak secara khusus melakukan
usaha pertanian organik, namun beberapa aktivitas di dalam usaha taninya secara alami sesuai
dengan kriteria pertanian organik. Bila dikaitkan dengan pemahaman awal mereka yang rendah
terhadap kriteria pertanian organik, maka dapat disimpulkan bahwa adanya dugaan masih
rendahnya sosialisasi mengenai pertanian organik yang terkait dengan beberapa aspek seperti
sertifikasi lahan, serta aspek saprotan seperti penggunaan bibit atau benih, pupuk bersertifikat,
serta pengolahan hasil, atau karena masih rendahnya permintaan pasar terhadap produk
organik, sehingga modal serta aset yang terbatas diarahkan pada kepastian pasar.
45
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.4.
Permasalahan UMKM Sektor Pertanian Menuju Ramah Lingkungan
Pada Tabel 4.19 disajikan alasan yang dikemukakan oleh UMKM sektor pertanian yaitu
belum tertarik untuk menjalankan pertanian organik. Aspek mengenai tatacara atau kriteria
bercocok tanam secara organik menjadi alasan utama mengapa 26% UMKM belum melakukan
kegiatan ramah lingkungan dalam bidang usahanya. Hal ini diperkuat oleh 16% lainnya yang
belum mengetahui teknologi yang dapat digunakan. Hal menarik seperti dipaparkan di atas
sesuai dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan yakni masalah pasar yang belum
membutuhkan produk pertanian organik (19%) dan biaya produksinya yang mahal (26%).
Pada Tabel 4.19. Alasan UMKM sektor belum melakukan Pertanian Organik
WILAYAH
Base Responden :
Tidak tahu caranya
Pasar belum memerlukannya
Biayanya mahal
Belum mengetahui teknologinya
Total
Jawa
Tengah
Jawa
Timur
82
26%
19%
26%
16%
12
20%
-
22
14%
29%
-
SKALA USAHA
Sumatera Sulawesi Kalimant
Utara
Selatan an Timur
19
73%
18%
-
17
33%
17%
12
50%
-
Usaha
Mikro
Usaha
Kecil
Usaha
Menengah
46
19%
24%
10%
-
27
57%
-
9
33%
33%
33%
Menyimak hasil jawaban yang diperoleh, bahwa faktor sosialisasi menjadi aspek
mendasar yang perlu disampaikan kepada UMKM di sektor pertanian. Permasalahan berikutnya
adalah masalah biaya produksi yang relatif mahal dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Bila merujuk pada kriteria ramah lingkungan bidang pertanian khususnya tanaman pangan,
salah satu biaya yang cukup besar adalah sertifikasi lahan.
Dari hasil diskusi dengan pihak terkait, banyak fakta membuktikan bahwa sebenarnya
petani kecil dengan lahan terbatas telah mencoba menerapkan pertanian organik dengan benar
namun menghadapi kendala yaitu tidak dapat mengakses sertifikasi lahan dari pihak ketiga
karena biaya sertifikasi yang relatif tinggi berkisar Rp20 – 30 juta. Praktek sertifikasi lahan pada
awalnya berasal dari negara maju yang lahannya luas, sementara di Indonesia kepemilikan
lahan oleh petani relatif sempit. Oleh sebab itu harus ada pilihan dari negara untuk melindungi
petani kecil. Untuk melindungi produsen sekaligus konsumen agar mendapatkan bahan pangan
yang sehat maka pemerintah diharapkan dapat segera merumuskan kebijakan atau peraturan
yang melindungi kedua pihak. Persoalan lain yang dihadapi dalam pemasaran pertanian organik
adalah rendahnya pemahaman konsumen akan pangan organik, 80% menganggap pangan
organik adalah pangan bebas pestisida, pengawet dan bahan kimia. Hal ini dapat merusak citra
produk organik.
Sebagai upaya memudahkan UMKM pertanian dalam melakukan sertifikasi lahan
munculah UU No.7/1996 tentang pangan. Dampak dari regulasi tersebut adalah berdirinya 8
lembaga sertifikasi organik namun tidak dapat mengakomodir permasalahan dari petani-petani
kecil, dimana pertanian di Indonesia khususnya subsektor pangan, merupakan petani
kecil/industri skala rumah tangga yang tidak mampu untuk membiayai sertifikasi. Alternatif
solusinya adalah perlu adanya kebijakan dari pemerintah dan lembaga keuangan untuk
membantu sertifikasi lahan petani tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah mengadopsi
46
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
skim sertifikasi yang lain seperti ICS (Internal Control System) dan PGS (Participatory Guarantee
System).
Akibat sulitnya dalam melakukan pertanian organik secara lengkap sesuai kriteria yang
ada, maka petani tidak sedikit yang mengklaim sendiri (self claim) bahwa produknya
merupakan produk organik. Pada dasarnya hal ini diakui secara internasional dan rujukannya
ada di dalam ISO/IEC ISO 17050. Standar ini mendefinisikan persyaratan bagi pemasok
(termasuk produsen) untuk bertemu ketika mereka membuat klaim resmi bahwa produk, jasa,
sistem, proses atau bahan sesuai dengan standar yang relevan, peraturan atau spesifikasi
lainnya.
4.1.2. Sektor Industri
4.1.2.1.
Profil Responden
Dari 142 responden manufaktur, jenis usaha yang dilakukan sangat beragam, umumnya
adalah jenis usaha makanan jadi, industri berbahan baku kayu, industri pakaian jadi, industri
kulit dan logam, masing-masing disajikan disajikan pada Tabel 4.20a-4.20c. Untuk industri
makanan kecil, mayoritas adalah usaha mikro dan kecil. Sedangkan usaha kayu mayoritas
adalah usaha kecil dan menengah, demikian juga untuk industri kulit, dimana produk nya
adalah sepatu, sandal atau tas. Sementara itu untuk industri logam cukup bervariasi dari sisi
skala usahanya. Melihat hasil ini, sektor industri merupakan sektor yang paling beragam dari sisi
jenis produk yang dihasilkan dan skala usahanya bervariasi.
Tabel 4.20a. Jenis Usaha Sektor Industri
Base Responden :
Industri makanan
- Roti
- Tahu
- Kerupuk
- Mie
- Cake (seperti blackforest, dll)
- Krupuk Udang
- Tahu Bakso
- Kue lapis Surabaya
- Kue Kering
- Donat
- Keripik Ubi
- Tepung Tapioka
- Somay
- Brownies Kukus
- Tape Ketan
- Pengasapan Ikan Laut
- Tempe
- Bandeng Presto
- Catering
- Kacang telur
- Saos
- Cireng
- Permen asem
- Burger
142
32%
5%
4%
3%
3%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa
Jawa Sumatera
Jabodetabek
Barat Tengah Timur
Utara
38
39
16
38
11
32%
15%
63%
32%
55%
3%
6%
8%
18%
5%
3%
8%
3%
27%
11%
3%
6%
13%
13%
5%
3%
3%
3%
9%
3%
3%
3%
3%
6%
6%
6%
3%
3%
6%
3%
3%
3%
-
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
15
60
67
47%
37%
25%
7%
7%
3%
5%
4%
5%
1%
3%
3%
7%
1%
7%
2%
2%
1%
7%
2%
7%
1%
2%
2%
2%
1%
1%
2%
7%
2%
2%
1%
1%
1%
7%
2%
1%
47
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.20b. Jenis Usaha Sektor Industri
Base Responden :
Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk
furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya/
Industri kertas dan barang dari kertas/ Industri pencetakan dan
reproduksi media rekaman
- Kusen
- Suyok Kering
- Furniture
- Buku
- Sablonan/cetakan
- Majalah Buku
- Jendela
- Jilid Buku
- Kardus
- Lantai kayu
- Ukiran kayu,kusen,lemari
- Kayu kaso untuk bangunan
- Meubel
Industri pakaian jadi
- Pakaian
- Textile (seperti Sprei, dll)
- Sweater
- Jaket
- Celana jeans
- Kaos
- Celana
142
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera
Jabodetabek
Barat Tengah Timur
Utara
38
39
16
38
11
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
15
60
67
12%
18%
8%
13%
11%
9%
13%
15%
9%
3%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
11%
5%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
5%
3%
3%
3%
3%
3%
11%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
21%
10%
3%
3%
3%
3%
-
6%
6%
-
3%
3%
3%
3%
11%
8%
3%
-
9%
-
13%
13%
7%
7%
-
3%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
8%
7%
2%
-
1%
1%
1%
1%
1%
1%
13%
4%
1%
1%
1%
3%
1%
Tabel 4.20c. Jenis Usaha Sektor Industri
WILAYAH
Jabodetabek
Base Responden :
Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki
- Sepatu
- Produk jadi berbahan kulit
- Tas
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya
- Flat besi
- Teralis + Pager Besi
- Kanopi
- Rak toko
- Besi Beton & Tulang Siku
- Streples untuk spring bed dan jok mobil
- Pagar besi
- Cor logam dan kuningan
- Cor logam/ornamen pagar
- Genteng
- Acesories AC
142
10%
8%
1%
1%
9%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
1%
38
16%
13%
3%
11%
3%
3%
3%
3%
Jawa Jawa Jawa Sumatera
Barat Tengah Timur Utara
39
16
38
11
15%
5%
13%
5%
3%
5% 13% 5%
27%
5%
6%
6%
18%
3%
3%
9%
-
SKALA USAHA
Usaha
Mikro
15
7%
7%
-
Usaha Usaha
Kecil Menengah
60
67
12%
10%
10%
9%
2%
1%
7%
12%
2%
2%
2%
2%
1%
1%
3%
1%
1%
1%
1%
Dari sisi aset, sektor industri mayoritas berkisar Rp50 juta hingga Rp500 juta (Tabel
4.21), 28% lainnya memiliki aset di atas Rp500 Juta. Namun demikian terdapat 25% yang
asetnya kurang dari Rp50 juta. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa untuk sektor industri skala
usahanya mayoritas adalah kecil menengah. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditemui pada
sektor pertanian.
48
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.21. Aset Usaha Sektor Industri
WILAYAH
Total
Base Responden :
Sampai dengan Rp 50 juta
Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar
Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar
Lebih dari Rp 50 miliar sampai dengan Rp 100 miliar
Jabodetabek
142
25%
46%
20%
6%
2%
38
37%
50%
11%
3%
-
Jawa
Barat
39
26%
38%
28%
5%
3%
Jawa
Tengah
16
31%
31%
25%
13%
-
SKALA USAHA
Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha
Timur Utara Mikro Kecil Menengah
38
11
15
60
67
16%
9%
67% 40%
3%
55% 55%
33% 57%
40%
18% 27%
3%
40%
5%
9%
12%
5%
4%
Pada Tabel 4.22, disajikan jumlah serapan tenaga kerja yang terdapat pada masingmasing usaha menurut skala usahanya. Tampak bahwa semakin besar skala usaha maka
semakin besar serapan tenaga kerjanya, hal ini berlaku untuk semua wilayah. Fakta ini
menunjukkan bahwa industri manufaktur di Indonesia masih bersifat semi automatis bahkan
tradisional.
Tabel 4.22. Jumlah Serapan Tenaga Kerja Sektor Industri
WILAYAH
Total
Base Responden :
1 - 4 orang (mikro)
5 - 19 orang (kecil)
20 - 99 orang (menengah)
100 orang atau lebih (besar)
142
9%
48%
32%
11%
Jabodetabek
38
11%
53%
32%
5%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera
Barat Tengah Timur Utara
39
16
38
11
10% 25%
3%
41% 19% 55%
73%
31% 38% 34%
27%
18% 19%
8%
-
Usaha Usaha Usaha
Mikro Kecil Menengah
15
60
67
33% 10%
3%
53% 70%
27%
13% 18%
49%
2%
21%
Dari sisi status tenaga kerja yang ada antara tenaga kerja tetap dan tidak tetap dapat
dikatakan hampir berimbang (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan sifat dari aktivitas sektor ini
bersifat rutin dalam proses produksinya, tidak seperti pada sektor pertanian di mana terdapat
periode menunggu, sementara pada sektor industri merupakan sektor yang tenaga kerjanya
bekerja secara intensif.
Usaha Mikro
33%
Usaha Kecil
67%
49%
Usaha Menengah
51%
54%
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
46%
40%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 4.2. Status Tenaga Kerja Sektor Industri
49
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari sisi pengalaman usaha yang telah dilakukan (Tabel 4.23), mayoritas responden
telah berusaha lebih dari 10 tahun, bahkan bila dijumlahkan 86% usaha manufaktur sudah
berpengalaman lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini telah terkategori yang
established.
Tabel 4.23. Lama Usaha yang telah dilakukan
SKALA USAHA
Total
Base Responden :
Kurang dari 3 tahun
3 – 5 tahun
Lebih dari 5 – 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
Usaha Mikro Usaha Kecil
142
14%
31%
55%
15
20%
20%
60%
60
18%
38%
43%
Usaha
Menengah
67
9%
27%
64%
Dari sisi badan hukum usaha yang dimiliki (Tabel 4.24), 54% usaha sektor ini telah
memiliki badan usaha (54%), sementara 46% lainnya belum memiliki. Dari sisi skala usaha,
diketahui bahwa semakin besar skala usahnyanya maka kepemilikan badan usaha akan semakin
besar.
Tabel 4.24. Kepemilikan Badan Usaha
SKALA USAHA
Total
Base Responden :
Ya
Tidak
142
54%
46%
Usaha
Mikro
15
27%
73%
Usaha Kecil
60
35%
65%
Usaha
Menengah
67
78%
22%
Bagi yang memiliki badan usaha, surat izin yang dimiliki mayoritas adalah CV (44%),
kemudian adalah UD (Firma) (29%) dan PT (25%), sedangkan 1% lainnya adalah perusahaan
dagang (Tabel 4.25). Dari sisi skala usaha, mayoritas usaha berskala mikro memiliki bentuk
usaha UD, hal ini menandakan bahwa usaha mikro lebih terspesifikasi dari sisi aktivitasnya.
Sementara usaha dengan skala menengah bentuk usaha berbentuk PT lebih dominan dibanding
skala usaha lainnya.
Tabel 4.25.
Bentuk Usaha yang Dimiliki Usaha Sektor Industri
SKALA USAHA
Total
Base Responden :
CV
UD (Firma)
PT
Perseorangan
Perusahaan dagang
77
44%
29%
25%
1%
1%
Usaha Mikro Usaha Kecil
4
25%
75%
-
21
48%
48%
5%
-
Usaha
Menengah
52
44%
17%
35%
2%
2%
50
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sehubungan hal tersebut, untuk menjalankan usaha pada sektor industri, jenis perijinan
yang dimiliki disajikan pada Tabel 4.26. Surat keterangan dari Desa/Kecamatan, NPWP, SIUP
dan Akta Pendirian serta TDP/TDI mayoritas telah dimiliki oleh usaha ini. Dari sisi skala usaha
terlihat bahwa ketaatan usaha kecil menengah cenderung telah memiliki berbagai izin. Hal
sebaliknya terjadi pada skala mikro.
Tabel 4.26.
Jenis Izin yang dimiliki Sektor Industri
SKALA USAHA
Total
Base Responden :
Surat Keterangan Usaha
dari Desa/Kecamatan
NPWP
SIUP
Akta Pendirian Perusahaan
TDP / TDI
Surat Ijin
Gangguan/Lingkungan/HO
yang diterbitkan oleh
Walikota
PIRT dari Depkes/Izin Usaha
Depkes
Surat izin dari Dinas
Perindustrian
Surat Dinas Kesehatan
Sertifikat halal MUI
Surat keterangan dari Dinas
Perikanan
Surat ijin Denpom
BPOM
Belum ada
Usaha Mikro
Usaha Kecil
142
15
60
Usaha
Menengah
67
69%
60%
68%
72%
66%
65%
48%
42%
40%
33%
7%
53%
50%
27%
27%
84%
85%
78%
63%
35%
13%
17%
55%
4%
-
5%
3%
1%
-
-
3%
1%
1%
-
3%
-
1%
1%
7%
-
-
1%
1%
4%
13%
2%
2%
3%
3%
Tabel 4.27. Lokasi Usaha Industri
WILAYAH
Total
Base Responden :
Pemukiman
Sentra usaha (produk yang dihasilkan
homogen)
Kawasan industri (produk yang dihasilkan
heterogen)
Kluster industri (konsentrasi geografi yang
saling berhubungan dalam wilayah
tertentu)
Sentra oleh-oleh
SKALA USAHA
193
79%
48
90%
Jawa Jawa Jawa Sumatera U Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara s Mikro Kecil Menengah
a 19
48
23
59
15
77
97
75% 74% 73%
93%
95% 88%
69%
8%
6%
13%
-
10%
7%
5%
5%
11%
6%
2%
4%
9%
12%
-
-
-
12%
4%
2%
4%
9%
5%
-
-
4%
5%
2%
-
4%
9%
-
-
-
3%
2%
Jabodetabek
Menarik untuk disimak adalah masalah lokasi usaha di mana proses produksi dilakukan
oleh usaha sektor industri ini. Pada Tabel 4.27 disajikan lokasi usaha tersebut, tampak bahwa
mayoritas lokasi usaha dilakukan di daerah pemukiman (79%), hanya sekitar 21% yang berlokasi
51
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
di wilayah sentra usaha. Bahkan bila dilihat dari skala usahanya, skala mikro mayoritas berlokasi
di pemukiman (95%), dan merupakan merupakan home industry.
Dari hasil diskusi dengan pemangku kepentingan seperti dinas terkait, bahwa masalah
utama yang dihadapi usaha yang ramah lingkungan adalah masalah lokasi usaha. Oleh karena
itu, persoalan kelestarian lingkungan yang dihadapi dari sisi sektor industri utamanya adalah
persoalan pembuangan limbah produksi. Di sisi lain aspek produksi bersih yang menjadi salah
satu aspek yang dipersyaratkan oleh Disperindag sama sekali belum tersentuh. Hal ini akan
dipaparkan pada bagian berikutnya, sejauh mana usaha manufaktur ini siap menghadapi atau
menjalankan usaha sesuai dengan kriteria ramah lingkungan.
4.1.2.2.
Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri
Sektor Industri memiliki peran strategis di samping sebagai penyumbang utama PDRB,
juga sebagai pengguna sumberdaya alam dan penyerap tenaga kerja terbesar. Di sisi lain,
adanya keterbatasan ketersediaan sumber daya alam dan keterbatasan daya dukung
lingkungan dalam menerima limbah dan emisi industri, maka pembangunan industri yang
berpedoman pada keberlangsungan nilai ekonomi, keterlibatan sosial, dan perlindungan
terhadap kualitas lingkungan hidup harus segera dilakukan. Atas dasar ini, munculah istilah
industri hijau yang mengarahkan agar industri mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas
penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan
industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat kepada
masyarakat.
Untuk mendorong pelaku usaha pada sektor industri (IKM), Kementerian Perindustrian
telah melakukan berbagai upaya guna mendorong berkembangnya Industri Hijau, salah satunya
melalui penerbitan pedoman Industri Hijau itu sendiri, serta sertifikasi kepada industri yang
telah melaksanakan program Industri Hijau. Upaya lain adalah dengan memberikan
penghargaan kepada pelaku industri yang telah melaksanakan upaya penghematan
penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan sumberdaya ramah lingkungan dan terbarukan
Pada sektor industri, pedoman yang digunakan oleh kementerian Perindustrian dalam
mendorong atau melakukan penilaian ramah lingkungan suatu industri didasarkan pada 3
aspek2 yaitu:
a. Proses Produksi, meliputi bahan baku dan bahan penolong, energi, air, teknologi proses,
produk, sumberdaya manusia, dan lingkungan kerja.
b. Manajemen Perusahaan, meliputi program efisiensi produksi, community development
(CSR), penghargaan yang pernah diterima dan sistem manajemen.
c. Pengelolaan lingkungan Industri, meliputi pemenuhan baku mutu lingkungan, sarana
pengelolaan limbah dan emisi, dan kinerja pengelolaan lingkungan.
Pada Tabel 4.28 disajikan rincian komponen masing-masing aspek pedoman pelaksanaan
industri hijau.
2
Pedoman Penilaian Industri Ramah Lingkungan 2012
52
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri
No
Kegiatan
A PROSES PRODUKSI
1 Bahan baku & Bahan
Penolong
a. Spesifikasi Bahan baku &
Bahan Penolong
b. Substitusi Bahan Baku
c. Kepemilikan Sertifikasi
Material safety Data
Sheet (MSDS)
d. Standard Operating
Procedure (SOP)
2
Industri Hijau
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Bentuk fisik
Sifat bahan baku
Asal Bahan baku
Sertifikasi bahan
Sistem penyimpanan dan Neraca bahan
Melakukan penggantian ke bahan baku yang
bersifat ramah lingkungan
ï‚· Bahan baku dan penolong yang memiliki MSDS
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Energi
a. Jenis energi yang digunakan ï‚·
b. Penggunaan Energi Baru
Terbarukan (EBT)
c. Melakukan Audit
Penggunaan Energi
3 Air
a. Upaya Penghematan
b. Melakukan Audit
Penggunaan Air
4 Teknologi Proses
a. Kepemilikan program
pemeliharaan mesin atau
peralatan secara periodik
Pemesanan Bahan Baku
Penerimaan Bahan Baku
Penyimpanan Bahan Baku
Pengangkutan Bahan Baku
Penghematan energi yang telah dilakukan
ï‚·
Jenis EBT
ï‚·
Rutinitas Audit
ï‚·
ï‚·
Besarnya penghematan penggunaan air
Rutinitas Audit
ï‚· Rutinitas pemeliharaan
53
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri (lanjutan)
No
Kegiatan
b. Pelaksanaan efisiensi
ï‚·
ï‚·
ï‚·
c. Melakukan penggantian
atau modifikasi peralatan
mesin sebagai upaya
meningkatkan efisiensi
proses produksi.
d. Ketersediaan SOP
5 Produk
a. Jenis Produk dan kapasitas
b. Kepemilikan eco product
c. Penggunaan bahan baku
dan penolong dan Produk
dihasilkan
6 Sumberdaya Manusia
7 Lingkungan Kerja
a. Parameter K3L yang sudah
terpenuhi
b. Pemantauan dan penilaian
kinerja K3L
ï‚·
Industri Hijau
Reduce (mengurangi penggunaan bahan baku atau
bahan penolong, termasuk energi, air dan
kemasan produk dll.)
Reuse (menggunakan kembali bahan baku dan
bahan penolong termasuk energi, air dan kemasan
produk yang terbuang)
Recycle (memanfaatkan kembali bahan baku dan
bahan penolong termasuk energi, air dan kemasan
produk yang terbuang melalui proses daur ulang)
Rutinitas pergantian
ï‚· Operasional Mesin
ï‚· Material input bahan baku
ï‚· Pemeliharaan mesin
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Jenis produk yang dihasilkan
Kapasitas produksi
Sertifikasi produk
Jenis sertifikat atau dokumen pendukung
Kapasitas produksi
Jumlah bahan baku
Jumlah bahan penolong
Hasil Produksi
Jumlah tenaga kerja keseluruhan
Jumlah tenaga kerja di proses produksi
Jumlah tenaga kerja yang sudah mengikuti
pendidikan atau pelatihan
ï‚· Jumlah tenaga kerja yang sudah memiliki
sertifikat
Parameter K3L sesuai Kepmenaker No. 51 1999
ï‚· Iklim kerja, kebisingan, getaran, frekuensi radio
atau gelombang mikro, radiasi ultra violet atau
gelombang mikro, radiasi ultra violet
Khusus untuk IKM
ï‚· Memasang rambu-rambu K3L
ï‚· Menyediakan alat K3L
ï‚· Menyediakan alat perlindungan diri (APD)
ï‚· Memiliki sistem ventilasi yang baik di ruangan
proses produksi.
54
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri (lanjutan)
No
Kegiatan
B MANAJEMAN PERUSAHAAN
1 Kebijakan Perusahaan dalam
menerapkan Efisiensi
Produksi
2 a. Pelaksanaan CD/CSR
b. Besarnya alokasi dana
untuk CD/CSR dari
keuntungan Bersih
3 Penghargaan terkait Industri
Hijau
4 Sistem manajemen
Industri Hijau
ï‚· Komitmen manajemen dalam menjalankan
keijakan peningkatan efiensi produksi
ï‚· Keberhasilan pelaksanaan kebijakan
ï‚· Adanya program kegiatan yang memberikan
manfaat kepada masyarakat sekitar
ï‚· Realisasi pelaksanaan CD/CSR
ï‚· Intensitas pelaksanaan CD/CSR
ï‚· Besarnya alokasi dana
ï‚· Ada tidaknya peningkatan jumlah alokasi
ï‚· Pernah tidaknya menerima penghargaan Industri
Hijau
ï‚· Sertifikat sistem manajeman yang telah dimiliki
ISO 1400S, ISO 9000S, SMK3, OHSAS, GMP,
HACCP, lainnya
C
PENGELOLAAN
LINGKUNGAN INDUSTRI
1 Pemenuhan Baku Mutu
Lingkungan
ï‚· Persentase pemenuhan baku mutu limbah cair
dalam 5 tahun terkahir
ï‚· Persentase pemenuhan baku mutu limbah gas dan
debu dalam 5 tahun terkahir
2 a. Sarana Pengelolaan Limbah ï‚· IPAL
dan Emisi, dan lama
ï‚· Incenator
pengoperasiannya
ï‚· Bak Sampah
ï‚· dll.
b. Ada tidaknya limbah B3
ï‚· Sarana pengelolaan limbah B3
ï‚· Perizinan yang dimiliki dalam pengelolaan B3
3 Keikutsertaan dalam PROPER ï‚· Tahun perolehan
Berdasarkan kriteria tersebut, Kemenperin menyusun secara lebih terstruktur sebanyak
72 komponen untuk menilai tingkat kehijauan suatu industri, di mana masing-masing aspek
memiliki bobot yang berbeda, aspek Proses Produksi memiliki bobot 70%, Manajemen
Perusahaan 10% dan Pengelolaan Lingkungan Industri 20%.
4.1.2.3.
Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Industri
Pemahaman pelaku usaha pada sektor industri terhadap kegiatan usaha yang ramah
lingkungan disajikan pada Tabel 4.29a dan 4.29b. Secara umum tampak bahwa dari 7 aspek
kriteria ramah lingkungan dari sektor industri bahwa proses produksi merupakan aspek yang
lebih dominan dikaitkan dengan kegiatan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semua
jawaban responden yang terkait dengan usaha ramah lingkungan seluruhnya merupakan
55
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
komponen dari kriteria proses produksi. Namun demikian pemahaman ini masih tergolong
relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa 24% dari 136 responden yang direkrut secara
random, menyatakan bahwa kegiatan usaha ramah lingkungan pada sektor industri identik
dengan penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan dengan jaminan adanya sertifikat atau
izin dari lembaga tertentu.
Menariknya adalah, 54% pelaku usaha sama sekali tidak mengetahui aktivitas ramah
lingkungan yang terkait dengan usaha yang dilakukan. Ironisnya hal ini dijumpai pada semua
skala usaha. Dengan cara pandang terbalik, fakta ini memperkuat suatu fenomena bahwa
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri disebabkan karena rendahnya
kesadaran, lebih tepatnya pengetahuan pelaku usaha dalam menjaga lingkungan hidup
sekitarnya.
Tabel 4.29a. Pemahaman Pelaku Usaha Sektor Industri Terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan
WILAYAH
Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera
Barat Tengah Timur Utara
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
Base Responden :
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
136
24%
40
28%
37
19%
15
27%
37
30%
7
-
15
27%
58
10%
63
37%
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong terbarukan
22%
8%
19%
40%
38%
-
13%
21%
25%
Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan
bahan penolong
14%
8%
11%
20%
24%
-
27%
2%
22%
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
(memanfaatkan kembali bahan baku dan bahan penolong
termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang melalui proses daur ulang)
13%
10%
8%
27%
19%
-
13%
9%
17%
11%
5%
8%
20%
19%
-
13%
5%
16%
10%
10%
5%
5%
8%
3%
20%
20%
14%
19%
-
20%
20%
3%
3%
13%
13%
7%
3%
5%
7%
14%
-
-
3%
11%
7%
5%
5%
13%
8%
-
-
9%
6%
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
(menggunakan kembali bahan baku dan bahan penolong
termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang)
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melakukan efisiensi penggunaan air
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki
MSDS/spesifikasi bahan
Menggunakan energi terbarukan
56
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.29b. Pemahaman Pelaku Usaha Sektor Industri Terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan
WILAYAH
Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Mikro Kecil Menengah
Base Responden :
Melaksanakan proses redusce dalam kegiatan proses produksi
(mengurangi pemakaian bahan baku dan bahan penolong
termasuk penggunaan energi,air, kemasan produk dan lainlain
136
40
37
15
37
7
15
58
63
4%
3%
3%
7%
8%
-
7%
2%
6%
Menggunakan bahan-bahan yang tidak merusak lingkungan
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
Membuang limbah kimia tidak di saluran air
Membuang/memilih sampah sesuai dengan jenisnya (logam,
kertas, zat cair kimia)
Lingkungan sekitar tidak terganggu pencemaran dan aktivitas
produksi
Tidak melakukan polusi udara dan pencemaran lingkungan (air
limbah)
Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah
lingkungan
Tidak tahu
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
1%
-
-
7%
-
-
-
2%
-
1%
-
3%
-
-
-
-
2%
-
1%
3%
3%
-
-
-
-
-
3%
54%
58%
57%
33%
46%
100%
47%
69%
41%
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan pemahaman pelaku usaha terkait aktivitas
usaha (proses produksi) ramah lingkungan, pada bagian ini disajikan aktivitas nyata yang
dilakukan oleh pelaku usaha sektor industri terkait dengan kriteria ramah lingkungan khususnya
untuk proses pengolahan, dimana pada Tabel 4.30 ditunjukkan bahwa persentase pelaku
usaha yang menganggap dirinya sudah melakukan sebagian kegiatan ramah lingkungan sesuai
kriteria mengalami peningkatan secara signifikan.
Tabel 4.30. Aktivitas Usaha Sektor Industri terkait Kriteria Ramah Lingkungan
Total
Base Responden :
Menggunakan bahan baku yang memiliki
sertifikat/izin
Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan
baku dan bahan penolong
Menggunakan bahan baku dan bahan
penolong terbarukan
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan
proses produksi
Menggunakan energi terbarukan
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan
proses produksi
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan
proses produksi
Menggunakan bahan baku dan bahan
penolong yang memiliki MSDS/Spesifikasi
bahan
Belum melakukan satupun kegiatan di atas
Jabodetabek
Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Mikro Kecil Menengah
136
40
37
15
37
7
15
58
63
42%
45%
27%
47%
57%
14%
33%
36%
49%
28%
25%
19%
33%
43%
-
47%
19%
32%
23%
3%
22%
53%
38%
-
27%
24%
21%
22%
20%
16%
7%
35%
29%
27%
17%
25%
16%
10%
14%
33%
19%
14%
13%
17%
16%
15%
8%
8%
20%
32%
-
7%
21%
13%
12%
3%
11%
20%
19%
14%
7%
7%
17%
10%
5%
8%
20%
14%
-
33%
3%
10%
4%
3%
3%
7%
8%
-
7%
2%
6%
4%
-
3%
7%
8%
-
-
2%
6%
31%
40%
51%
7%
3%
71%
27%
36%
27%
57
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari semua komponen proses produksi, penggunaan bahan baku bersertifikasi atau
memiliki izin merupakan komponen yang terbanyak yang telah dilakukan responden (42%).
Masih terkait dengan aspek produksi sebanyak 28% pelaku usaha telah melakukan efisiensi
dalam penggunaan bahan baku dan penolong, 23% melakukan efisiensi penggunaan bahan
baku dan penolong. Sementara itu, 22% melakukan efisiensi penggunaan energi dan 10%
efisiensi dalam penggunaan air. Terkait dengan konsep 3R yakni Reduce, Reuse dan Recycle,
baru sebagian kecil responden yang telah menerapkan konsep tersebut, masing-masing adalah
4%, 12% dan 16%. Hanya 4% pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dan penolong yang
memiliki MSDS. Sehubungan hal tersebut, 31% pelaku usaha sama sekali belum melakukan
proses produksi sesuai kriteria ramah lingkungan. Rincian dari masing-masing komponen proses
produksi akan dipaparkan pada Tabel 4.31 hingga Tabel 4.36.
Tabel 4.31. Jenis Sertifikasi Bahan Baku dan Bahan Penolong yang Digunakan
WILAYAH
Total
Jawa Jawa Jawa Sumatera
Barat Tengah Timur
Utara
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
19
95%
63%
11%
5%
-
11
91%
64%
9%
7
100%
71%
14%
-
22
95%
86%
5%
-
1
100%
100%
-
5
100%
60%
20%
-
22
95%
68%
5%
5%
5%
33
94%
79%
3%
3%
-
5%
-
-
-
-
-
5%
-
5%
5%
-
9%
9%
9%
14%
-
5%
5%
-
-
20%
-
5%
5%
3%
3%
3%
3%
3%
-
5%
9%
-
-
-
-
5%
3%
-
9%
-
-
-
-
5%
-
2%
5%
-
-
-
-
-
-
3%
2%
-
-
-
5%
-
-
-
3%
Jabodetabek
Base Responden :
60
MENGGUNAKAN BAHAN BAKU BERSERTIFIKASI
95%
- SNI
73%
- SNI (Terigu dari Bogasari)
3%
- Perhutani
3%
- Daging sapi yg sehat dan halal
2%
- Dural SS 304
2%
SNI (Bahan baku yg sudah standar SNI tidak menggunakan
- campuran bahan pengawet yg berbahaya buat kesehatan
2%
manusia maupun lingkungan)
- Sertifikat halal
2%
- SNI dan Stempel halal
2%
- Menggunakan bahan baku yang sudah berstandar SNI
2%
- Sudah menggunakan bahan yang sudah SNI
2%
- Sertifikat yang diberikan oleh pabrik baja untuk logam yang akan diproses
2%
- Sertifikasi halal baru MUI untuk bahan-bahan
2%
- ASME
2%
- BPOM
2%
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BAHAN BAKU
3%
BERSERTIFIKASI
Menggunakan tinta sablon yang mengandung bahan kimia
2%
rendah non toxin
- Tidak menggunakan formalin yg tidak baik buat kesehatan
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Secara lebih rinci, jenis sertifikasi bahan baku dan penolong adalah SNI dan sertifikasi
halal. Pada Tabel 4.31 terlihat bahwa sedikitnya 73% pelaku usaha telah menggunakan bahan
baku dan penolong dengan dengan sertifikasi SNI. Hal menarik terkait dengan sertifikasi ini
adalah pelaku usaha mengklaim sertifikasi Halal yang dikeluarkan oleh MUI merupakan salah
satu jenis sertifikasi yang termasuk kriteria dalam proses produksi ramah lingkungan. Bahkan
sebagian pelaku usaha (3%) salah dalam memahami maksud dari sertifikasi bahan. Fakta ini
menunjukkan bahwa pelaku UMKM belum sepenuhnya memahami kriteria ramah lingkungan
yang terkait dengan proses produksi.
Lebih lanjut terkait dengan penggunaan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki
MSDS, terdapat sebagian responden yang telah menggunakannya. Secara lebih rinci hal ini
dijelaskan pada Tabel 4.32.
58
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.32 Penggunaan Bahan Penolong yang Memiliki MSDS
WILAYAH
SKALA USAHA
Total Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Mikro Kecil Menengah
Base Responden :
MENGGUNAKAN BAHAN BAKU DAN BAHAN PENOLONG YANG
- Ragi
- Tinta cetak developer
- Tinta fixer
- Essence
- Vanilla
- Citrun
- Oxigen
- Bio Kompos dari PTPN X
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BAHAN BAKU DAN
BAHAN PENOLONG YANG MEMILIKI MSDS/SPESIFIKASI BAHAN
- Daging sapi
- Mesin penggiling dari cina
BELUM MELAKUKAN
7
71%
14%
14%
14%
14%
14%
14%
14%
14%
1
2
100% 50%
50%
50%
100%
100%
100%
-
4
75%
25%
25%
25%
0
-
0
-
1
100%
100%
-
6
67%
17%
17%
17%
17%
17%
17%
17%
29%
-
50%
25%
-
-
-
33%
14%
14%
-
-
50%
-
25%
-
-
-
-
17%
17%
-
Terlihat bahwa ada 7 respoden yang menggunakan jenis bahan penolong dalam proses
produksinya yang memiliki MSDS, sebagian besar adalah bahan penolong dalam pembuatan
makanan olahan. Terkait hal itu, terdapat 29% dari 7 responden yang salah mengartikan kriteria
MSDS dari bahan baku penolong yang digunakannya.
Tabel 4.33. Jenis Energi Terbarukan dalam Proses Produksi
WILAYAH
Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
Base Responden :
22
4
3
3
MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN
95%
75%
- Cahaya Matahari
82%
75%
100% 100%
- Angin
41%
25%
MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN
5%
25%
- Gas
5% Penghem
25%
Tabel 4.34. Jenis
BELUM MELAKUKAN
-
12
75%
67%
-
2
50%
50%
50%
50%
-
12
75%
50%
-
8
100%
38%
-
Sehubungan hal tersebut, dari 15% responden yang penggunaan energi terbarukan,
jenis energi yang digunakan dipaparkan pada Tabel 4.33. Penggunaan cahaya Matahari dan
angin dalam proses produksi yang diklaim oleh 82% dan 41% pada dasarnya ditujukan untuk
pengeringan produk yang dihasilkan. Penggunaan sinar matahari ini dilakukan secara langsung,
tanpa bantuan alat seperti solar cell, yang berfungsi mengubah energi panas menjadi energi
listrik. Hal serupa juga dijumpai pada pelaku usaha yang menggunakan energi angin dalam
proses produksinya.
59
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.34. Jenis Penghematan Penggunaan Energi
WILAYAH
Total
MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI
Membatasi penggunaan listrik/energi lainnya (seperti
- menggunakan penerangan sesuai dengan batas
maksimal bekerja, mematikan peralatan listrik bila tidak
Mengganti peralatan listrik/energi tak terbarukan
lainnya dengan peralatan lain yang tidak menggunakan
- listrik/energi tak terbarukan lainnya (seperti
menggunakan kipas sate, membuat kolam di dekat
sungai sehingga tidak perlu menggunakan pompa air
Menggunakan peralatan yang tepat dan sesuai
kebutuhan
- Menggunakan peralatan listrik yang hemat energi
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI
PENGGUNAAN ENERGI
- Bahan bakar solar diganti dgn LPG
- Beralih energi dari BBM ke listrik PLN
- Selalu memantau meteran listrik tiap hari
- Akan melakukan penghematan dan pemakaian energi
listrik
Pemakaian
tabung gas lebih hemat dibandingkan
minyak tanah dan lebih murah harganya
BELUM MELAKUKAN
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
36
83%
9
89%
8
75%
2
50%
15
87%
5
80%
12
83%
19
84%
56%
56%
50%
50%
60%
80%
42%
58%
19%
22%
13%
-
20%
-
25%
21%
8%
11%
13%
-
7%
-
8%
11%
3%
-
13%
-
-
-
8%
-
14%
-
25%
50%
13%
20%
8%
16%
3%
3%
3%
3%
-
13%
13%
-
-
7%
7%
20%
-
-
5%
5%
5%
3%
-
-
50%
-
-
8%
-
3%
11%
-
-
-
-
8%
-
Di samping menggunakan energi terbarukan, sebagian responden juga melakukan
penghematan energi 22% (Tabel 4.30). Cara yang ditempuh (Tabel 4.34) antara lain dengan
membatasi penggunaan listrik saat jam kerja saja atau memadamkan peralatan listrik bila tidak
digunakan (56%). Sebagian lain (19%) mengganti peralatan listrik dengan peralatan manual,
bahkan menggunakan peralatan yang tepat sesuai kebutuhan (8%). Penggantian ini kebanyakan
dilakukan oleh industri yang berskala menengah.
Terkait dengan penghematan energi ini, beberapa responden yang kurang tepat dalam
memahami penghematan energi ini, yakni memantau penggunaan listriknya, serta mengalihkan
penggunaan jenis bahan bakar ke jenis lainnya yang diharapkan lebih murah. Besarnya
penghematan ini bila dikaitkan dengan kriteria ramah lingkungan sektor industri, belum dapat
diukur besarannya, sehingga dalam penelitian ini baru indikasinya saja yang dapat
diinformasikan.
60
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.35. Jenis Penghematan Penggunaan Air
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
Membatasi penggunaan air (seperti menggunakan air sesuai
kebutuhan, hanya menggunakan satu bak untuk pencelupan
Dilakukan beberapa kali pengurasan kalo sudah kotor di
- masukan kedalam mesin pengolahan ,disaring di jadikan air
bersih lalu di buang ke pembuangan
- Ada water treatment
- Menggunakan saluran yang tingkat kebocoran airnya kecil
Tidak menggunakan air tanah, tetapi menggunakan air hujan
atau air sungai
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
24
54%
5
40%
7
43%
3
100%
8
63%
6
83%
10
20%
8
75%
42%
20%
29%
100%
50%
83%
20%
38%
4%
-
14%
-
-
-
-
13%
4%
4%
-
14%
-
13%
-
-
-
13%
13%
4%
20%
-
-
-
-
-
13%
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR 8%
20%
-
-
13%
17%
10%
-
- Melakukan penggantian air PAM dengan sumur
- Mengecat dan mencuci kaca
BELUM MELAKUKAN
20%
40%
57%
0%
13%
25%
17%
0%
10%
70%
25%
4%
4%
38%
Jenis aktivitas yang dilakukan dalam melakukan penghematan air (Tabel 4.35) yang
terbanyak adalah membatasi penggunaan air sesuai dengan kebutuhan (42%), serta
penggunaan air hujan atau air sungai (4%). Bila dilihat dari skala usahanya, penghematan yang
dilakukan kelompok usaha dengan skala menengah beberpa diantaranya sudah ada yang
memiliki water treatment, yakni semacam alat yang digunakan untuk penjernihan air atau
pengurangan kadar kandungan limbah sebelum dibuang ke saluran umum. Namun demikian,
besarnya nilai penghematan energi pada komponen air ini tidak bisa disajikan karena pelaku
usaha tidak melakukan pencatatan terhadapnya.
Berdasarkan hasil pemetaan terhadap perilaku UMKM (sektor industri) dalam
melakukan kegiatan produksinya yang terkait dengan kriteria ramah lingkungan (industri hijau),
dapat disimpulkan masih cukup rendah. Dapat juga diartikan bahwa belum ada industri UMKM
dengan berbagai skala usaha yang telah secara komprehensif melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan kriteria industri hijau, kalaupun ada hanya bersifat parsial atau sebagian saja. Namun
demikian, ada indikasi yang cukup kuat bahwa industri dengan skala menengah memiliki
kecenderungan atau perilaku yang sudah mengarah pada aktivitas sesuai dengan kriteria ramah
lingkungan yang ditetapkan oleh kemenperin.
Menarik untuk disampaikan, motivasi dari beberapa industri dalam melakukan
penghematan baik penggunaan energi dan air pada dasarnya lebih disebabkan oleh motif
ekonomi yakni penghematan biaya, alih-alih mematuhi aturan ramah lingkungan, hal ini
disebabkan pemahaman sebagian pelaku usaha terhadap kriteria ramah lingkungan masih
belum dipahami dengan baik.
61
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.2.4.
Permasalahan UMKM Menuju Ramah Lingkungan Sektor Industri
Sektor industri merupakan sektor yang paling beragam jenis produk yang dihasilkan
maupun proses produksinya. Persoalan yang dihadapi oleh UMKM pada sektor ini dalam
menuju ramah lingkungan cukup beragam juga. Bila merujuk pada kriteria industri hijau yang
dikeluarkan oleh Kemenperin yang meliputi 7 aspek, maka banyak hal yang harus dibenahi.
Pada Tabel 4.36. Alasan UMKM Sektor Industri Belum Ramah Lingkungan
WILAYAH
Base Responden :
Harga bahan baku yang bersertifikat lebih mahal
SDM belum terampil
Skala usaha masih kecil
Kesulitan modal mengganti peralatan
Pasar masih belum butuh
Belum tahu caranya
Total
Jabodeta
bek
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
58
25%
12%
16%
24%
18%
45%
41
28%
6%
25%
26%
23%
37
34%
10%
10%
23%
21%
16
71%
23%
11%
14%
SKALA USAHA
Jawa Sumatera
Timur
Utara
38
23%
8%
32%
43%
12
56%
12%
23%
32%
43%
25%
Usaha
Mikro
Usaha
Kecil
Usaha
Menengah
15
32%
46%
22%
32%
21
14%
5%
5%
15%
18%
21%
32
19%
24%
4%
13%
12%
Pada Tabel 4.36. disajikan alasan UMKM yang masih belum mengarah kepada industri
hijau. Terlihat bahwa 45% UMKM belum mengetahui bagaimana kriteria yang berlaku agar
dapat mengarah pada kelestarian lingkungan. Bagi sebagian yang mengetahui sekilas mengenai
industri hijau, kendala yang dihadapi adalah harga bahan baku yang nantinya untuk produksi
lebih mahal dibandingkan dengan harga bahan baku yang saat ini digunakan (25%). Bahkan
argumen lain yang diajukan adalah terbentur pada keterbatasan modal yang digunakan untuk
meremajakan mesin dan peralatan produksi yang dianggap sudah berumur (24%). Sementara
itu, UMKM juga mengalami masalah SDM yang belum terampil (12%).
Di samping masalah pengetahuan dan permodalan dan kesulitan bahan baku serta SDM,
masalah lain yang sangat krusial dihadapi oleh UMKM adalah aspek pemasaran (18%). Seperti
telah dipaparkan sebelumnya, bahwa persoalan mendasar terkait produk hijau adalah masih
rendahnya animo pasar, yang disebabkan oleh beberapa hal. Di sisi lain, alasan UMKM belum
berminat mengarah pada kelestarian lingkungan adalah karena adanya persepsi bahwa mereka
masih berskala kecil atau mikro (16%).
Bila disimak permasalahan yang dihadapi UMKM terkait dengan industri hijau meliputi
aspek manajeman, pengetahuan teknis, permodalan serta aspek pemasaran. Meski
Kementerian dan Dinas terkait memiliki program pembinaan namun karena kapasitas yang
terbatas serta prioritas pembangunan daerah pada peningkatan produksi maka perlu adanya
suatu upaya khusus yang dapat memotivasi pelaku UMKM mengarah pada kelestarian
lingkungan.
62
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.3. Sektor Pertambangan
4.1.3.1. Profil Responden
Dalam penelitian ini, jumlah sampel sektor pertambangan hanya berjumlah 11 unit
usaha yang tersebar di 3 wilayah, yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur masingmasing berjumlah 2, 3 dan 6 unit usaha. Dari 11 sampel tersebut 3 diantaranya adalah tambang
batubara, sedangkan lainnya adalah tambang jenis galian C yang meliputi pasir dan Batu (Tabel
4.37).
Tabel 4.37. Jenis Pertambangan
WILAYAH
Base Responden :
Batubara
Pasir
Batu dan tanah urugan
Batu Belah
Batu, tanah urug, pasir
Batu merah
11
27%
27%
9%
9%
18%
9%
SKALA USAHA
Jawa
Barat
Jawa
Timur
Kalimantan
Timur
2
50%
50%
-
3
33%
67%
-
6
50%
33%
17%
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
43%
14%
14%
14%
14%
4
75%
25%
-
Dari skala usahanya, 7 diantaranya merupakan usaha berskala kecil dan 4 lainnya
berskala menengah, di mana tambang batu bara mayoritas adalah berskala menengah dengan
omzet antara Rp10 miliar hingga Rp50 miliar, sedangan usaha tambang pasir atau batu
mayoritas berskala kecil dengan omzet antara Rp300 juta hingga Rp2,5 milliar (Tabel 4.38).
Dari sisi aset yang dimiliki, 64% usaha tambang ini mayoritas berkisar antara Rp500 juta hingga
Rp10 milliar, 27% memiliki aset Rp10 milliar hingga Rp50 Milliar, sedangkan lainnya beraset
Rp50 – 500 juta (Tabel 4.39).
Tabel 4.38. Skala Usaha Pertambangan
Total
Base Responden :
Kecil (Lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar)
Menengah (Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar)
11
64%
36%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur
Timur
Kecil Menengah
2
3
6
7
4
100% 67%
50%
100%
33%
50%
100%
63
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.39. Aset Usaha Sektor Pertambangan
Total
Base Responden :
Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar
Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar
11
9%
64%
27%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur
Timur
Kecil Menengah
2
3
6
7
4
33%
14%
100% 33%
67%
71%
50%
33%
33%
14%
50%
Berdasarkan jumlah karyawan yang dipekerjakan dalam usaha tambang (Tabel 4.40),
jumlah pekerja mayoritas berkisar antara 20-99 orang (64%), 27% usaha tambang
mempekerjakan 5-19 orang, namun 9% usaha memiliki jumlah karyawan lebih dari 100 orang,
yakni pada penambangan pasir. Dari jumlah karyawan ini dapat dijelaskan bahwa umumnya
usaha tambang batu bara bersifat padat teknologi,sehingga jumlah karyawan yang dipekerjakan
tidak sebanyak pada usaha tambang pasir ataupun penambangan batu, kerena pada usaha
yang tergolong tambang galian C ini lebih bersifat padat karya di mana penggunaan teknologi
relatif rendah.
Tabel 4.40. Jumlah Karyawan Usaha Pertambangan
Total
Base Responden :
5 - 19 orang (kecil)
20 - 99 orang (menengah)
100 orang atau lebih (besar)
Jawa
Barat
2
50%
50%
11
27%
64%
9%
WILAYAH
Jawa Kalimantan
Timur
Timur
3
6
67%
17%
33%
83%
-
SKALA USAHA
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
4
43%
43%
100%
14%
-
Berkaitan dengan status tenaga kerja pada usaha pertambangan (Gambar 4.3), 45%
merupakan tenaga kerja tetap, mereka sebagian besar bekerja pada usaha tambang batu bara,
yang berlokasi di Kalimantan Timur. Sedangkan pada usaha tambang pasir maupun batu,
mayoritas pekerjanya berstatus tidak tetap.
25%
Usaha Kecil
75%
75%
Usaha Menengah
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
40%
25%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 4.3. Status Pekerja Pertambangan
64
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari sisi lama usaha (Tabel 4.41), 45% usaha tambang ini baru beroperasi antara
3-5 tahun, 36% telah beroperasi 5-10 tahun, sedangkan lainnya beroperasi sudah lebih dari 10
tahun.
Tabel 4.41. Lama Usaha Pertambangan
Total
Base Responden :
3 – 5 tahun
Lebih dari 5 – 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
11
45%
36%
18%
Jawa
Barat
2
50%
50%
WILAYAH
Jawa Kalimantan
Timur
Timur
3
6
33%
50%
67%
33%
17%
SKALA USAHA
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
4
57%
25%
14%
75%
29%
-
Terkait kepemilikan badan hukum, hanya 73% usaha tambang yang disurvei yang
memiliki badan hukum (Tabel 4.42). Usaha tambang yang tidak berbadan hukum ini bahkan
tidak memiliki bentuk usaha (Tabel 4.43). Dari 8 usaha tambang yang memiliki badan hukum,
63% berbentuk CV, 38% berbentuk Perseroan Terbatas.
Tabel 4.42. Kepemilikan Badan Usaha Pertambangan
WILAYAH
SKALA USAHA
Total
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur
Timur
Kecil Menengah
Base Responden :
11
2
3
6
7
4
Ya
73%
100% 33%
83%
57%
100%
Tidak
27%
67%
17%
43%
Tabel 4.43. Bentuk Usaha Pertambangan
Total
Base Responden :
CV
PT
8
63%
38%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur
Timur
Kecil Menengah
2
1
5
4
4
100%
60%
75%
50%
100%
40%
25%
50%
Izin yang dimiliki oleh usaha tambang yang tidak memiliki badan hukum berupa izin dari
pemangku kepentingan wilayah setempat seperti surat izin dari desa atau kecamatan (Tabel
4.44). Sedangkan perusahan batubara ataupun pasir dan batu yang berskala menengah
mayoritas sudah memiliki kelengkapan izin usaha seperti SIUP, NPWP, Akta Pendirian Usaha,
TDP/TDI, Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Operasi Produksi Khusus (OPK) bahkan juga Izin
Usaha Jasa Pertambangan, serta izin gangguan lingkungan.
65
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.44. Bentuk Usaha Pertambangan
WILAYAH
Total
Base Responden :
11
73%
73%
Jawa
Barat
2
100%
100%
Jawa
Timur
3
33%
33%
SKALA USAHA
Kalimantan
Timur
6
83%
83%
SIUP
NPWP
Tabel 3.25. Kepemilikan Usaha Pertambangan
Surat Keterangan Usaha dari
73%
100% 67%
67%
Desa/Kecamatan
TDP / TDI
64%
100% 33%
67%
Akta Pendirian Perusahaan
64%
100% 33%
67%
Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang
55%
50%
33%
67%
diterbitkan oleh Walikota
Izin Usaha Pertambangan (IUP)
45%
50%
67%
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Khusus (IUP OPK) Pengangkuran dan
36%
50%
50%
Penjualan
Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP)
36%
67%
IUP Operasi Produksi
27%
50%
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
27%
50%
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
4
57%
100%
57%
100%
57%
100%
43%
43%
100%
100%
29%
100%
29%
75%
29%
50%
14%
-
75%
75%
75%
Dari sisi kepemilikan usaha, mayoritas usaha pertambangan baik skala kecil maupun
menengah dimiliki oleh perorangan (82%) dengan badan bentuk usaha CV atau PT, sementara
18% lainnya dimiliki oleh keluarga (Tabel 4.45).
Tabel 4.45. Kepemilikan Usaha Pertambangan
Total
Base Responden :
Dimiliki sendiri
Keluarga
11
82%
18%
Jawa
Barat
2
100%
-
WILAYAH
Jawa Kalimantan
Timur
Timur
3
6
67%
83%
33%
17%
SKALA USAHA
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
4
86%
75%
14%
25%
Hal yang menarik adalah terkait dengan lokasi pertambangan seperti yang disajikan
pada Tabel 4.46. Tabel menunjukkan bahwa 36% lokasi tambang berada dekat wilayah
pemukiman, bahkan untuk tambang batubara. Fakta ini menunjukkan bahwa izin prinsip yang
dikeluarkan oleh pemerintah setempat terkait dengan pertambangan tidak selalu berorientasi
pada aspek tata ruang. Hal ini ini tidaklah mengherankan karena dasar pemberian izin usaha ini
juga memperhatikan aspek peluang serapan tenaga kerja untuk meningkatkan pendapatan
warga yang tinggal di sekitar area konsesi pertambangan. Oleh karenanya izin gangguan
menjadi hal mendasar.
66
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.46. Lokasi Pertambangan
WILAYAH
Base Responden :
Penambangan
Pemukiman
Tanah tegal
Pegunungan
14
43%
36%
14%
7%
Jawa
Barat
2
50%
50%
-
Jawa
Timur
6
50%
33%
17%
Kalimantan
Timur
6
83%
17%
-
SKALA USAHA
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
8
6
50%
33%
25%
50%
25%
17%
4.1.3.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan
Hasil sumber daya alam seperti tambang dan bahan mineral, dapat menjadi salah satu
peluang (oportunity) yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebaliknya, keberadaan
pertambangan dapat menjadi ancaman (threat) yang sangat serius terhadap kelestarian
lingkungan, sosial budaya, serta dapat mengubah topografi permukaan bumi melalui
pembukaan dan penggalian lahan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keseimbangan
ekosistem (tanah, air dan udara) serta habitat yang hidup dan tumbuh di atasnya. Pada
akhirnya akan mengancam sistem kehidupan masyarakat disekitarnya.
Agar tambang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
haruslah dijalankan secara berkelanjutan dengan mengedepankan asas keseimbangan alam.
Karena sifatnya yang tak terbarukan (unrenewable resources), oleh karenanya hasil-hasil
pertambangan harus dapat dikonversi ke dalam bentuk lain (value transformation), sehingga
dapat menjadi modal pembangunan dan tetap memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Sektor pertambangan seperti batubara atau jenis galian C merupakan jenis usaha yang
sangat rentan dengan perusakan lingkungan. Hal ini disebabkan jenis usaha ini memiliki
aktivitas yang berpotensi mengubah ekosistem kawasan serta topografinya. Bahkan tidak
sedikit tambang yang beroperasi di wilayah hutan lindung atau hutan alam, yang menyimpan
kekayaan hayati. Dampak lain yang diakibatkan oleh perusahaan tambang adalah berubahnya
struktur kemasyarakatan karena perubahan gaya hidup dan sumber kehidupan.
Karena potensinya yang demikian besar dalam merusak lingkungan, maka regulasi yang
diterapkan oleh pemerintah sangat ketat. Saat ini terdapat beberapa jenis usaha
pertambangan, ada tambang yang dikelola oleh negara, swasta dan rakyat, bahkan juga
penambang liar. Meski pemerintah mengawasi secara ketat praktek pertambangan, namun
karena lokasinya di area yang remote maka sulit melakukan pengawasan secara kontinu. Di sisi
lain, usaha pertambangan seakan memiliki “dunianya” tersendiri, apalagi pemerintah daerah
sering menjadikan sektor pertambangan sebagai PAD utama tanpa lagi memperhatikan
keseimbangan ekosistem jangka menengah maupun panjang.
Melihat kondisi yang ada pada saat ini, sektor pertambangan seyogyanya menjadi
prioritas terhadap usaha yang harus ramah terhadap lingkungan. Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) menerapkan kriteria usaha tambang yang ramah lingkungan meliputi 2 hal,
67
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pertama terkait dengan pembukaan dan rehabilitasinya dan kedua adalah menerapkan proses
produksinya yang disetarakan dengan sektor industri. Tujuannya adalah untuk
memaksimumkan manfaat pertambangan di satu sisi, serta menekan serendah mungkin
dampak negatifnya di sisi lain, pengelolaan pertambangan yang mengedepankan kelestarian
lingkungan menjadi salah satu prasyarat utamanya. Pada Tabel 4.47. disajikan kriteria umum
yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan tambang yang berorientasi ramah lingkungan.
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan
Tahapan
A. Penambangan
Kegiatan
1. Pengupasan,
penimbunan dan
atau pengelolaan
tanah pucuk
2. Pengupasan,
penimbunan dan
pengelolaan
tanah/batuan
penutup
Indikator
a. Tanah pucuk tidak
tercampur dengan tanah/
batuan penutup
b. Tidak terjadi erosi dan
atau longsor lebih dari 15%
dari luas timbunan tanah
pucuk
c. Timbunan tanah pucuk
ditanami tanaman penutup
dengan baik
a. Batuan potensial
pembentuk asam (PAF)
dienkapsulasi
b. Tidak terjadi erosi dan
atau longsor yang
mengganggu enkapsulasi
dan/atau lebih dari 15%
dari luas timbunan
tanah/batuan penutup
c. Timbunan tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu
terjal dengan kemiringan
sesuai dengan kajian
geoteknik
d. Tidak terjadi rembesan air
di kaki timbunan yang
pHnya kurang dari 4
e. Timbunan tanah/batuan
penutup ditanami
tanaman penutup dengan
baik
Metode
Pengukuran
Pengamatan
lapangan
Citra satelit
dan verifikasi
lapangan
Pengukuran
di lapangan
Pengamatan
lapangan
Citra satelit
dan verifikasi
lapangan
Klinometer
dan meteran
pH meter
atau pH stick
Pengukuran
di lapangan
68
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan)
Tahapan
A. Penambangan
Kegiatan
3. Penggalian dan
pengambilan
bahan tambang
Indikator
Metode
Pengukuran
Citra satelit
dan verifikasi
lapangan
a. Luas permukaan lubang
galian yang terbentuk
tidak lebih dari 20% dari
luas IUP apabila
lubangnya
terkonsentrasi atau
tidak lebih dari 30% dari
luas IUP apabila
lubangnya
terfragmentasi dan
setiap lubang tidak lebih
dari 20% dari luas IUP
b. Jarak tepi lubang galian
Citra satelit
paling sedikit 500 meter
dan verifikasi
dari batas IUP (rona awal
lapangan
berdekatan dengan
permukiman)
c. Tidak dijumpai
pH meter
penurunan pH air tanah dan pH stick
lebih dari 1(satu) tingkat
dari kondisi awal
B. Reklamasi
1. Penataan lahan
bekas tambang
sesuai dengan
peruntukannya
a. Kemiringan lahan sesuai
dengan peruntukan lahan
dan kajian geoteknik
b. Tidak terjadi genangan
permanen, kecuali pada
lokasi lubang yang tidak
ditutup
c. Air permukaan/
genangan pada lubang
galian akhir yang tidak
ditutup memiliki
kualitas yang sesuai
dengan baku mutu
peruntukan air
Pengukuran
di lapangan
Pengukuran
di lapangan
Mengacu PP
82 Tahun 2001
69
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan)
Tahapan
B. Reklamasi
Kegiatan
Metode
Pengukuran
Pengukuran
di lapangan
2. Penutupan lubang (yang
harus ditutup) dengan
tanah/ batuan penutup
dari tempat
penimbunan
a. Tidak dijumpai batuan
potensial masam yang
teroksidasi
b. Tidak dijumpai
penurunan pH air tanah
lebih dari 1 (satu)
tingkat dari kondisi awal
pH meter dan
pH stick
3. Penyebaran tanah pucuk
dari tempat Penimbunan menutupi tanah/
batuan penutup pada
bekas lubang galian
a. Tanah pucuk tersebar
merata pada lebih dari
75% dari keseluruhan
lahan Reklamasi
b. Tanah pucuk pada zona
perakaran memiliki pH
tanah yang sesuai
dengan peruntukannya
a. Tahun pertama: Lebih
dari 80% dari luas areal
reklamasi ditumbuhi
oleh penutup tanah
b. Tahun kedua: Lebih dari
80% dari luas reklamasi
ditumbuhi oleh
tanaman cepat tumbuh
Luas permukaan bekas
lubang galian yang
terbentuk tidak lebih dari
20% dari luas IUP apabila
lubangnya terkonsentrasi
atau tidak lebih dari 30%
dari luas IUP apabila
lubangnya terfragmentasi
dan setiap lubang tidak
lebih dari 20% dari luas IUP
Pengukuran
di lapangan
4. Penanaman sesuai
dengan peruntukannya
C.Pasca tambang
Indikator
1. Penataan lahan
bekas tambang sesuai
dengan peruntukannya
pH meter
dan pH stick
Pengukuran
di lapangan
Pengukuran
di lapangan
Citra satelit
dan verifikasi
lapangan
70
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan)
Tahapan
C.Pasca tambang
Kegiatan
2. Penanaman sesuai
dengan peruntukannya
Indikator
a. Tahun pertama: Lebih
dari 90% luas lahan
sesuai peruntukan
ditutupi tanaman
penutup tanah dan
perbaikan kesuburan
tanah (peruntukan
hutan, perkebunan,
pertanian lahan kering,
sawah, perikanan darat
dan pariwisata)
b. Tahun kedua:
Lebih dari 90% luas lahan
peruntukan hutan
ditumbuhi tanaman.
Lebih dari 60% luas
lahan peruntukan
perkebunan, pertanian
lahan kering dan sawah
ditumbuhi tanaman.
Lebih dari 30% lahan
peruntukan
permukiman dan
pariwisata ditumbuhi
tanaman
c. Tahun ketiga dan
seterusnya: Lebih dari
90% lahan sesuai
peruntukan ditumbuhi
tanaman
Metode
Pengukuran
Pengukuran
di lapangan
Pengukuran
lapangan
Pengukuran
di lapangan
Selain aspek-aspek utama tersebut, beberapa aspek lain yang diadopsi dari sektor
perindustrian juga digunakan untuk melengkapi kriteria ramah lingkungan pada usaha
petambangan.
71
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.3.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Pertambangan
Usaha pertambangan merupakan jenis usaha yang sangat rentan terhadap proses
perusakan lingkungan hidup, oleh karenanya pemahaman pelaku usaha ini merupakan titik
krusial untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesadaran mereka terhadap masalah kelestarian
lingkungan. Tingkat kerusakan yang terjadi umumnya berbeda-beda berdasarkan jenis bahan
tambang dan cara penambangannya.
Kerusakan lingkungan sebagai dampak dari aktivitas penambangan batu bara tidak
hanya terjadi di lokasi tambang itu sendiri, akan tetapi juga berdampak pada daerah-daerah
sekitarnya. Selain menimbulkan erosi dan sedimentasi, aktivitas penambangan batu bara dapat
menyebabkan meningkatnya kandungan logam berat di tanah yang berpotensi masuk ke
lingkungan perairan, penurunan kuantitas dan kualitas air. Belum lagi hilangnya habitat dan
keragaman hayati, merubah bentang alam, serta gangguan keamanan dan kesehatan di
masyarakat sekitar kawasan pertambangan.
Persoalan utama yang dihadapi saat ini adalah sejauhmana tingkat kesadaran para
pelaku usaha pertambangan terkait dengan kelestarian lingkungan, hal ini menjadi penting
karena tindakan seseorang umumnya dicerminkan atas pengetahuannya terhadap suatu
permasalahan. Pada Tabel 4.48 disajikan pemahaman pelaku usaha tambang terhadap usaha
ramah lingkungan.
Tabel 4.48. Pemahaman UMKM Sektor Pertambangan terhadap Kelestarian Lingkungan
Total WILAYAH
Base Responden :
Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang
Pembuatan terasering untuk menghindari longsor
Melakukan penambangan ulang dengan pohon cepat tumbuh
Melakukan reklamasi bekas lahan tambang
Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil
Memperhatikan kontur lahan tambang mlalui pembuatan blok
Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang
Melakukan pengelolaan kualitas air tambang
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki
MSDS/spesifikasi bahan
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
Menggunakan energi terbarukan
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
(Memanfaatkan kembali bahan baku dan bahan penolong
termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang melalui proses daur ulang)
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
(menggunakan kembali bahan baku dan bahan penplong
termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang)
Tidak tahu
11
73%
73%
64%
55%
55%
45%
45%
36%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan
Barat Timur
Timur
2
3
6
50%
67%
83%
100% 67%
67%
50% 100%
50%
50%
83%
50%
83%
50%
67%
33%
67%
67%
Usaha
Usaha
Kecil Menengah
7
4
57%
100%
57%
100%
57%
100%
43%
75%
43%
75%
29%
75%
14%
100%
14%
75%
27%
-
-
50%
-
75%
18%
9%
9%
9%
-
67%
-
17%
17%
17%
14%
-
25%
25%
25%
25%
9%
-
-
17%
-
25%
9%
-
33%
-
14%
-
27%
-
33%
33%
43%
-
Secara umum, mayoritas usaha pertambangan berskala usaha menengah, hal ini
menunjukkan bahwa usaha ini membutuhkan modal yang cukup besar. Hal menarik yang perlu
diungkapkan adalah pemahaman UMKM pertambangan terhadap kelestarian lingkungan bila
dibandingkan dengan sektor lainnya relatif lebih baik. Hal ini terlihat dari persentase mereka
72
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
yang mengetahui aspek-aspek atau kriteria ramah lingkungan lebih tinggi, seperti melakukan
bio rehabilitasi, pembuatan terasering hingga pengelolaan kualitas air tambang. Namun
demikian, terdapat 27% UMKM yang sama sekali tidak mengetahui aspek pengelolaan tambang
ramah lingkungan. Bila ditelusuri lebih lanjut UMKM ini merupakan usaha berskala kecil.
Umumnya usaha tambang dengan skala mikro ini merupakan usaha rakyat dan izin usahanya
hanya izin kepala desa atau camat setempat.
Dari hasil ini, terlihat bahwa skala usaha pertambangan memberikan pembeda terhadap
pemahamannya terkait usaha ramah lingkungan. Semakin besar skala usahanya, maka semakin
memiliki pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan hidup. Seperti telah diutarakan
sebelumnya pada bahasan kriteria kelestarian pertambangan, pengawasan terhadap usaha
pertambangan relatif ketat baik oleh pemerintah maupun pemerhati kelestarian lingkungan.
Namun demikian aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM pertambangan ini akan
memberikan fakta yang sebenarnya, bagaimana praktek yang dilakukan UMKM ini dalam
melakukan usahanya.
Aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM pertambangan terkait dengan kelestarian
lingkungan disajikan pada Tabel 4.49. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase aktivitas
nyata yang dilakukan ternyata lebih rendah dari pemahaman yang mereka miliki. Hal ini
menandakan bahwa pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan belum tentu akan
ditindaklanjuti dalam prakteknya.
Berdasarkan fakta di lapangan, ada perbedaan mendasar antara tambang batubara
dengan tambang galian tipe C seperti pasir, batu dan tanah liat untuk bahan batubata, hal ini
disebabkan oleh keberadaan bahan tambangnya, ada yang di permukaan, di wilayah bukit dan
di daerah kedalaman tertentu. Oleh karenanya perlakuan dan teknik penambangannya pun
berbeda-beda. Seperti pembuatan terasering hanya diperlukan pada tambang yang bahan
tambangnya berada pada kedalaman atau ketinggian tertentu, demikian juga dengan kondisi air
tanah. Pada tambang yang mengakibatkan genangan, maka penanganan air (drainase) menjadi
penting, hal sebaliknya pada tambang yang bahan tambangnya berada pada ketinggian.
Pertambangan batubara, pada dasarnya menggunakan lahan hanya sementara waktu,
sehingga sangat penting untuk merehabilitasi lahan sesegera mungkin setelah kegiatan
penambangan dihentikan. Dalam praktek yang terbaik, rincian rehabilitasi atau rencana
reklamasi dirancang dan disetujui untuk setiap tahapan penambangan batubara, yang
mencakup periode dari awal operasi hingga jauh setelah penambangan selesai.
73
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.49. Aktivitas Nyata Pertambangan terkait Kriteria Ramah Lingkungan
WILAYAH
SKALA USAHA
Total
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur
Timur
Kecil Menengah
Base Responden :
Melakukan penanaman ulang dengan pohon cepat tumbuh
Pembuatan terasering untuk menghindari longsor
Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil
Melakukan reklamasi bekas lahan tambang
11
73%
73%
64%
45%
2
3
100% 100%
100% 67%
100%
100%
-
6
50%
67%
83%
50%
7
71%
57%
57%
43%
4
75%
100%
75%
50%
Memperhatikan kontur lahan tambang melalui pembuatan blok
Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang
Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang
Melakukan pengelolaan kualitas air tambang
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki
MSDS/spesifikasi bahan
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melakukan efisiensi penggunaan air
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
Menggunakan energi terbarukan
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi
Tidak melakukan satu pun kegiatan di atas
36%
18%
18%
18%
100%
67%
33%
-
33%
17%
33%
29%
14%
-
50%
25%
50%
50%
18%
-
-
33%
-
50%
18%
9%
9%
9%
50%
-
33%
33%
-
17%
17%
29%
14%
14%
25%
-
Bila merupakan pertambangan bawah tanah, tanah permukaan dapat digunakan untuk
keperluan lain seperti hutan, penggembalaan ternak dan pertanian. Kegiatan reklamasi
tambang dilakukan secara bertahap dengan membentuk dan contouring lahan, melapisi tanah
bagian atas dengan yang subur, penanaman dengan rumput dan penanaman pohon daerah
sekitar tambang. Bila pertambangan merupakan operasi tambang permukaan, buldoser
dan scrapper digunakan untuk menutupi kembali daerah bekas galian. Drainase di dalam dan
luar lokasi rehabilitasi, perlu dirancang dengan seksama agar permukaan lahan yang baru
menjadi stabil dan tahan terhadap erosi akibat air hujan. Berdasarkan persyaratan, tanah
tersebut harus ditanami dan dihijaukan kembali. Tanah reklamasi dapat memiliki banyak
kegunaan, termasuk untuk pertanian, kehutanan, habitat satwa liar, dan rekreasi. Perusahaan
harus memantau perkembangan rehabilitasi dengan hati-hati dan biasanya melarang
penggunaan lahan sampai vegetasi mampu hidup mandiri.
Dari aktivitas nyata di lapangan (Tabel 4.49), pembuatan terasering dilakukan oleh 100%
UMKM batubara dengan skala menengah, sementara untuk UMKM berskala kecil baru
57% yang melakukannya. Fakta ini bisa diterjemahkan berbeda, yakni saat ini UMKM berskala
besar masih dalam tahap penambangan sehingga penanaman ulang baru dilakukan oleh
sebagian (75%) UMKM yang sudah melewati fase penggalian, sementara sebagian lainnya
belum memasuki fase ini. Di sisi lain penambang dengan skala kecil, karena kemampuannya
dalam penggalian hanya mampu menambang pada areal permukaan (khususnya batubara)
maka pembuatan terasering belum diperlukan. Karena pembuatan terasering ini diperlukan
manakala bahan galian sudah berada pada kedalaman tertentu.
Hal lain yang perlu disimak adalah UMKM berskala kecil mencoba efisien dalam
usahanya dengan cara menggunakan kembali bahan baku yang masih bisa dimanfaatkan
74
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(reuse). Sementara proses reduce yang terkait dengan penghematan energi dan bahan
penolong belum menjadi prioritas. Di sisi lain proses recycle tampaknya belum ada yang
melakukan, dan bahkan untuk beberapa jenis tambang kurang relevan untuk diterapkan
sebagai kriteria ramah lingkungan.
Sebagai upaya konfirmasi atas aktifitas yang dilakukan oleh UMKM dalam melakukan
kegiatan ramah lingkungan, berikut akan disajikan rincian upaya yang telah dilakukan UMKM
pertambangan dalam kaitannya dengan upaya melestarikan lingkungan.
Pada Tabel 4.50. Aktivitas Rehabilitasi Bekas Tambang
WILAYAH
Base Responden :
MELAKUKAN REKLAMASI BEKAS LAHAN TAMBANG
- Menutup lubang tambang
- Mengurangi bekas galian
- Reklamasi
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN REKLAMASI BEKAS LAHAN
TAMBANG
- Memelihara drainase
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Total
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur Timur
Kecil Menengah
11
45%
27%
9%
9%
2
100%
50%
50%
-
3
-
6
50%
33%
17%
7
43%
29%
14%
-
4
50%
25%
25%
9%
-
-
-
14%
-
9%
45%
-
100%
50%
14%
43%
50%
Salah satu cara yang dilakukan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang adalah
melakukan reklamasi, jenis reklamasi yang dilakukan oleh respoden (Tabel 4.50) adalah
menutup lubang bekas tambang atau mengurangi bekas galian. Mengingat upaya rehabilitasi
lahan bekas tambang ini memerlukan waktu yang cukup lama, maka salah satu aspek yang
perlu diperhatikan oleh UMKM adalah secara rutin memelihara saluran drainase, untuk
memastikan bahwa sirkulasi air yang ada di lokasi sekitar tambang terus berfungsi. Hal ini untuk
menghindari terjadinya erosi yang dapat menyebabkan hilangnya tanah penutup yang akan
menjadi media tumbuh tanaman di atasnya, serta menjamin ketersediaan air bagi lahan
rehabilitasi.
Dari hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam,
Karakteristik lahan bekas tambang pada umumnya adalah terbuka, sangat panas, tingkat
kesuburannya sangat rendah, mudah tererosi, berpotensi menghasilkan air asam tambang dan
miskin keanekaragaman hayati. Selain masalah utama pada buruknya kondisi tanah, kondisi
iklim mikronya yang ekstrem juga dapat menjadi faktor pembatas keberhasilan rehabilitasi
pasca tambang. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan perawatan, perbaikan lahan, stabilisasi
lahan dan pengendalian erosi dan sedimentasi sebelum upaya penanaman.
Setelah melakukan tahap di atas, tahap selanjutnya yang paling penting adalah
pemilihan jenis tanaman dalam upaya rehabilitasi atau merestorasi lahan pasca tambang.
Pemilihan jenis tanaman bertujuan untuk memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi
75
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
tanah dan iklim mikronya. Ada beberapa jenis tanaman lokal yang mampu beradaptasi dengan
iklim suatu kawasan, namun ada juga beberapa jenis tanaman yang tidak mampu beradaptasi
dengan kondisi tanahnya. Pada Tabel 4.51. disajikan jenis tanaman cepat tumbuh yang
digunakan oleh UMKM pertambangan untuk penghijauan kembali. Sengon merupakan jenis
tanaman cepat tumbuh yang paling banyak dimanfaatkan oleh UMKM (36%). Jenis kedua
adalah Albasia masing-masing (18%) serta Jati Emas (9%) dan karet (9%). Di samping tanaman
kayu, juga ditanami tanaman pangan lain seperti sawit dan padi masing-masing 9%.
Tabel 4.51. Jenis Tanaman Cepat Tumbuh untuk Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKUKAN PENANAMAN ULANG DENGAN POHON CEPAT
TUMBUH
- Sengon
- Albasia
- Sawit
- Jati emas
- Teembesi
- Tanaman padi
- Karet
BELUM MELAKUKAN
11
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha
Barat Timur Timur
Kecil Menengah
2
3
6
7
4
73%
100% 100%
50%
71%
75%
36%
18%
18%
9%
9%
9%
9%
27%
100%
50%
-
33%
33%
17%
17%
50%
14%
29%
14%
14%
14%
29%
75%
25%
25%
25%
25%
67%
33%
-
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan antara kriteria kelestarian lingkungan pada
masing-masing sektor dengan aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM dari berbagai sektor
terdapat adanya gap yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan rendahnya pemahaman atau
kesadaran dari pelaku UMKM terhadap aspek ramah lingkungan. Rendahnya pemahaman
UMKM dapat disebabkan oleh berbagai faktor, pertama adalah kosentrasi para pelaku UMKM
masih tertuju pada upaya bagaimana menjaga atau bahkan meningkatkan usahanya agar tetap
eksis. Kedua adalah kementerian atau dinas terkait yang memiliki wewenang dalam pembinaan
UMKM, masih berkutat pada bagaimana meningkatkan kuantitas dan kualitas produk agar
dapat meningkatkan nilai tambah dan memperluas pasar dan tetap mampu menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Ketiga adalah, kriteria kelestarian lingkungan yang
digunakan oleh kementerian atau dinas terkait agaknya belum tersosialisasikan dengan baik,
karena kriteria tersebut lebih banyak digunakan sebagai pedoman untuk memberikan apresiasi
kepada UMKM yang telah melakukan kegiatan ramah lingkungan baik sebagian atau
seluruhnya, sementara UMKM yang belum melaksanakan kegiatan ramah lingkungan sama
sekali belum merasakan adanya pembinaan karena keterbatasan dana dan sumberdaya
manusia. Keempat, pembinaan yang dilakukan oleh kementerian atau dinas terkait masih
bersifat parsial dan baru memprioritaskan pada subsektor-subsektor yang berpotensi untuk
melakukan ekspor. Kelima, belum adanya sanksi yang tegas bagi UMKM yang nyata-nyata
melakukan pelanggaran pada aspek utama kelestarian lingkungan, hal ini disebabkan kurang
76
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
jelasnya peraturan, dan juga belum adanya sosialisasi yang komprehensif tentang peraturan itu
sendiri.
4.1.3.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertambangan Menuju Ramah Lingkungan
Sektor pertambangan merupakan sektor yang berpotensi merusak lingkungan hidup,
karena proses produksinya mengubah topografi lahan menjadi dearah terbuka dan dapat
merusak ekosistem setempat. Upaya utama yang harus dilakukan oleh UMKM dalam
mengembalikan fungsi bekas tambang menjadi seperti keadaan semula memerlukan waktu dan
biaya yang tidak sedikit. Pada Tabel 4.52 disajikan kendala yang dihadapi UMKM sektor
pertambangan dalam melakukan usaha ramah lingkungan.
Modal merupakan kendala utama yang dihadapi UMKM pertambangan dalam
melakukan rehabilitasi lahan. Di sisi lain peran Dinas atau Pemda sangat krusial dalam
mengarahkan UMKM agar ramah lingkungan. Dalam pada itu persepsi tidak adanya perjanjian
yang harus ditaati oleh pihak UMKM mengakibatkan UMKM lengah terhadap kewajiban ini.
Ironisnya UMKM ini menganggap pelanggaran atas kewajibannya untuk melestarikan
lingkungan berpedoman pada ada tidaknya teguran yang dilakukan oleh dinas terkait.
Tabel 4.52. Alasan UMKM sektor Pertambangan belum Ramah Lingkungan
Base Responden :
Terkendala modal karena mengeluarkan biaya
tambahan lagi
Belum ada anjuran dari dinas pertambangan
Tanah yang sudah digali dijadikan lahan sawah
Tidak ada perjanjian dengan pihak lain
Belum ada teguran dari dinas yang terkait
Sudah dilakukan oleh yang punya lahan
Total
Jawa
Timur
3
3
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
33%
SKALA USAHA
Usaha
Usaha
Menenga
Kecil
h
2
1
50%
50%
50%
50%
100%
100%
-
Bercermin dari alasan tersebut, tampak bahwa koordinasi dengan pihak terkait serta
keikutsertaan lembaga pemerhati lingkungan menjadi aspek penting dalam mengawasi UMKM
agar taat pada kriteria ramah lingkungan.
4.1.4. Sektor Transportasi
4.1.4.1. Profil Responden
Total responden yang dilibatkan dalam survei dari sektor transportasi ini berjumlah 51
usaha yang tersebar di 5 wilayah (Tabel 4.53). Terdapat 13 jenis usaha transportasi mulai dari
angkutan sewa yang jumlahnya mayoritas (31%) hingga usaha jasa angkutan pariwisata yang
berjumlah 2%. Dari sisi skala usaha, jumlah terbesar merupakan usaha jasa angkutan yang
77
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
terkategori usaha skala menengah yaitu sebanyak 34 responden (67%), 13 usaha kecil (24%)
dan usaha mikro 4 responden (10%) (Tabel 4.54).
Tabel 4.53. Jenis Usaha Jasa Transportasi
WILAYAH
Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
13
4
9
5
5
4
13
34
23% 25% 56%
20%
100% 23%
26%
Base Responden :
51
15
Angkutan sewa (termasuk bajaj)
31%
40%
Angkutan bermotor untuk barang umum (dapat
mengangkut lebih dari satu jenis barang)
18%
7%
23% 25%
Angkutan darat lainnya untuk penumpang
16%
13%
31%
Angkutan bus antar kota antar propinsi (AKAP)
6%
8%
Angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP) bukan
bus
6%
15%
Angkutan bus antar kota dalam propinsi (AKDP)
4%
25%
Angkutan bus pariwisata
4%
13%
Angkutan perkotaan bukan bus
4%
13%
Angkutan bermotor untuk barang khusus (seperti
BBM,alat-alat berat )
4%
13%
Angkutan jalan rel untuk barang
2%
Angkutan taxi
2%
Angkutan ojek motor
25%
Tabel 4.54.2% Skala- Usaha- Jasa
Angkutan darat lainnya bukan bus untuk wisata
2%
-
22%
-
40%
20%
40%
20%
-
31%
23%
-
15%
15%
9%
11%
-
20%
-
-
-
8%
9%
6%
6%
3%
-
8%
8%
-
3%
3%
3%
3%
20%
20%
Transportasi
11%
-
Tabel 4.54. Skala Usaha Jasa Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Mikro (Sampai dengan Rp 300 juta)
Kecil (Lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar)
Menengah (Lebih dari Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 10 miliar)
51
10%
24%
67%
Jabodetabek
15
20%
27%
53%
Jawa
Barat
13
8%
31%
62%
Jawa
Tengah
4
25%
75%
Jawa Sumatera Kalimantan
Timur Utara
Timur
9
5
5
11%
11% 20%
20%
78% 80%
80%
Dengan mayoritas Usaha Jasa Transportasi berskala menengah, ini menunjukkan bahwa
sektor transportasi merupakan salah satu jenis usaha yang padat modal. Hal ini tercermin salah
satunya dari aset yang dikuasai (Tabel 4.55), di mana mayoritas aset yang dimiliki oleh 67%
usaha jasa transportasi berkisar antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar. Bahkan 69% usaha yang
berskala kecil memiliki aset yang relatif sama.
Tabel 4.55. Aset Perusahaan Jasa Transportasi
SKALA USAHA
Total
Base Responden :
Sampai dengan Rp 50 juta
Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar
Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar
Lebih dari Rp 50 miliar sampai dengan Rp 100 miliar
51
4%
20%
67%
6%
4%
Usaha
Mikro
4
25%
50%
25%
-
Usaha Usaha
Kecil Menengah
13
34
3%
31%
12%
69%
71%
9%
6%
78
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari jumlah serapan tenaga kerja yang beraktivitas pada sektor ini (Tabel 4.56), terlihat
adanya hubungan linear, di mana semakin besar skala usahanya maka semakin besar pula
jumlah serapan tenaga kerjanya. Rata-rata jumlah karyawan yang bekerja di sektor ini
bervariasi, di mana mayoritas (47%) usaha jasa transportasi menyerap antara 20-99 orang,
dengan 62% diantaranya bekerja pada usaha dengan skala menengah. Bahkan 15% dari usaha
pada skala ini mempekerjakan lebih dari 100 orang pekerja dengan profesi yang beragam.
Tabel 4.56. Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap pada sektor Jasa Transportasi.
WILAYAH
Total
Base Responden :
1 - 4 orang (mikro)
5 - 19 orang (kecil)
20 - 99 orang (menengah)
100 orang atau lebih (besar)
Jabodetabek
51
12%
31%
47%
10%
15
13%
47%
40%
-
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
13
4
9
5
5
4
13
34
25% 22%
20%
75% 23%
46%
25% 11%
20%
25% 54%
24%
54%
56%
40%
80%
23%
62%
50% 11%
40%
15%
Terkait dengan tenaga kerja yang terserap pada sektor jasa ini, menarik untuk disimak
adalah status karyawan yang bekerja (Gambar 4.4). Tampak bahwa 30% pekerja di sektor
transportasi ini merupakan tenaga kerja tetap, sedangkan 70% lainnya merupakan karyawan
tidak tetap.
Usaha Mikro
28%
Usaha Kecil
72%
58%
Usaha Menengah
42%
29%
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
71%
40%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 3.4. Status Pekerja Transportasi
Bila disimak dari sisi skala usaha, usaha mikro dan menengah paling besar
mempekerjakan karyawannya dengan cara kontrak atau honorer. Sementara usaha kecil
mayoritas karyawannya merupakan pekerja tetap.
Tabel 4.57 Lama Usaha Jasa Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
3 – 5 tahun
> 5 – 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
51
22%
24%
55%
Jabodetabek
15
27%
13%
60%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
13
4
9
5
5
4
13
34
15% 25% 22%
40%
50% 38%
12%
15%
56%
20%
40%
8%
32%
69% 75% 22%
40%
60%
50% 54%
56%79
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Mayoritas responden pada sektor transpotasi (55%) telah beroperasi lebih dari 10 tahun
(Tabel 4.57), bahkan mayoritas usaha ini tersebar ke beberapa skala usaha. Terkait dengan
badan usaha yang dimiliki oleh responden, tampak bahwa semakin kecil skala usaha respoden
semakin besar peluang usaha tersebut tidak memiliki badan usaha (Tabel 4.58).
Tabel 4.58. Kepemilikan Badan Usaha Sektor Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Ya
Tidak
Jabodetabek
51
69%
31%
15
47%
53%
Jawa
Barat
13
62%
38%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan
Tengah Timur
Utara
Timur
4
9
5
5
75%
89%
100%
80%
25%
11%
20%
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
4
13
34
25% 46%
82%
75% 54%
18%
Badan hukum yang dimiliki oleh responden dari sektor Transportasi adalah CV (57%),
dimana skala usahanya tersebar dari skala mikro hingga menengah. Bentuk badan hukum
kedua terbesar lainnya adalah berbentuk PT (34%), dan lainnya adalah UD (Usaha Dagang)
(Tabel 4.59).
Tabel 4.59. Bentuk Badan Usaha Sektor Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
CV
PT
UD (Firma)
Jabodetabek
35
57%
34%
6%
7
71%
14%
14%
Jawa
Barat
8
63%
38%
-
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan
Tengah Timur
Utara
Timur
3
8
5
4
33%
50%
60%
50%
67%
38%
40%
25%
13%
-
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
1
6
28
100% 83%
50%
17%
39%
7%
Jenis surat perizinan yang dimiliki usaha transportasi secara lengkap disajikan pada
Tabel 4.60. Tampak bahwa 73% usaha sudah memiliki NPWP, 69% memiliki SIUP, 59% memiliki
Akta Pendirian Peusahaan. Hal menarik dari tabel tersebut, terdapat hanya 12% yang memiliki
Izin dari Dinas Perhubungan (DLLAJR).
Tabel 4.60. Surat Perizinan yang dimiliki Usaha Sektor Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
NPWP
SIUP
Akta Pendirian Perusahaan
Surat Keterangan Usaha dari
Desa/Kecamatan
TDP / TDI
Surat Ijin
Gangguan/Lingkungan/HO yang
diterbitkan oleh Walikota
Surat izin dari Dinas
Perhubungan/DLLAJR
Surat KIR (Kelayakan Operasi)
Dinas kepolisian
Tidak ada
51
73%
69%
59%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan
Jabodetabek
Barat Tengah Timur Utara
Timur
15
13
4
9
5
5
33%
100% 50% 100%
80%
80%
40%
92%
50% 89%
80%
60%
27%
69%
50% 67%
100%
80%
Usaha
Mikro
4
50%
25%
25%
Usaha Usaha
Kecil Menengah
13
34
54%
82%
46%
82%
31%
74%
51%
27%
85%
50%
44%
80%
20%
75%
62%
44%
47%
13%
54%
50%
56%
80%
80%
25%
23%
59%
35%
7%
77%
75%
-
60%
20%
25%
38%
35%
12%
7%
31%
25%
-
-
-
-
23%
9%
2%
2%
2%
7%
7%
-
25%
-
-
-
-
-
8%
8%
3%
-
80
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.61. Kepemilikan Usaha Sektor Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Dimiliki sendiri
Keluarga
Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDM)
Modal bersama
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
13
4
9
5
5
4
13
34
54% 75% 89%
60%
40%
100% 62%
56%
38% 25% 11%
40%
40%
23%
41%
51
61%
33%
15
53%
40%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
4%
7%
8%
-
-
-
-
-
15%
-
Dari sisi kepemilikan, usaha transportasi mayoritas dimiliki oleh perseorangan atau
individu (61%). Kepemilikan perorangan ini terdapat pada semua skala usaha, namun semakin
besar skala usahanya, proporsi kepemilikan individu semakin mengecil, sebaliknya kepemilikan
keluarga semakin membesar pada skala usaha menengah, dan proporsinya hampir berimbang.
Dari sisi sebaran wilayah pola kepemilikan yang sama juga terjadi, ini menunjukkan bahwa
penguasaan usaha oleh perorangan sangat dominan pada sektor transportasi dan juga pada
sektor-sektor lainnya.
Lokasi usaha untuk perusahaan di sektor transportasi harus memiliki pos yang
digunakan untuk menempatkan kendaraannya dan sekaligus sebagai kantor administrasi. Pada
Tabel 4.62 terlihat bahwa mayoritas usaha transportasi ini berada di lokasi pemukiman, 13%
berada pada klaster industri, 5% berada di lokasi perkantoran, 4% di terminal, sisanya tersebar
di berbagai tempat. Dari sisi skala usaha, tampaknya lokasi tidak membedakan di antara
responden. Artinya lokasi pemukiman merupakan tempat yang diminati.
Tabel 4.62. Lokasi Usaha Jasa Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Pemukiman
Cluster industri
Perkantoran
Terminal
Rumah sakit
Kawasan industri
Sentra Niaga
Ruko
77
69%
13%
5%
4%
4%
3%
1%
1%
Jabodetabek
Jawa
Barat
22
73%
5%
14%
5%
5%
-
18
94%
6%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan
Tengah Timur Utara
Timur
6
50%
33%
17%
-
15
67%
27%
7%
-
8
50%
38%
13%
-
8
38%
63%
-
Usaha Usaha
Usaha
Mikro Kecil Menengah
5
100%
-
18
78%
11%
11%
-
54
63%
15%
7%
2%
6%
4%
2%
2%
4.1.4.2. Kriteria Ramah Lingkungan Sektor Transportasi
Berbagai isu permasalahan transportasi yang mengemuka pada akhir-akhir ini adalah
pembangunan transportasi tidak ramah lingkungan dan berkeadilan, salah satu contohnya
adalah polusi udara akibat gas buang kendaraan bermotor serta konsumsi energi Bahan Bakar
Minyak (BBM) untuk transportasi darat yang tergolong paling tinggi yaitu sebesar 48% dari
konsumsi nasional, bila dibandingkan konsumsi sektor industri, listrik maupun rumah tangga.
81
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan baru menyebabkan tingginya volume dan intensitas
perjalanan. Semakin tinggi mobilitas masyarakat dalam menggunakan kendaraan bermotor,
maka semakin tinggi pula intensitas kebisingan, getaran, dan polusi udara yang dihasilkan gas
buang kendaraan bermotor. Polusi udara ini dapat membahayakan kesehatan, lingkungan dan
menimbulkan pemanasan global.
Inefisiensi pemanfaatan energi sektor transportasi darat secara tidak langsung
mengakibatkan cadangan minyak bumi (fossil) semakin kritis. Agar penggunaan BBM dapat
diminimalisir, maka telah diperkenalkan energi alternatif berupa Bahan Bakar Gas (BBG) dan
Bahan Bakar Nabati (BBN)/biofuel. Namun pada kenyataannya, implementasi pemanfaatan BBG
masih tersendat, begitu juga pemakaian BBN untuk kendaraan bermotor (kendaraan pribadi
maupun angkutan umum) masih rendah, karena kendala teknologi dan bahan baku.
Pembangunan sektor transportasi harus sustainable, yang memperhatikan sisi sosial
masyarakat, ekonomi, teknologi maupun lingkungan, serta seminimal mungkin memberikan
dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sistem transportasi yang berkelanjutan
merupakan integrasi antara Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan sistem transportasi yang
mengkombinasikan moda angkutan tak bermotor, berjalan kaki, dan moda angkutan umum
(masal). Ini merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dengan
dampak yang sangat minim.
Saat ini belum ada secara khusus kementerian atau lembaga baik pemerintah maupun
swasta yang memiliki pedoman untuk menilai apakah suatu usaha jasa transportasi ramah
terhadap lingkungan atau tidak. Oleh karena itu upaya untuk menilai tingkat keramahan
lingkungan jasa ini akan digunakan pedoman umum yang dikeluarkan oleh Departemen
Perhubungan yang meliputi aspek sebagai berikut:
a. Penggunaan sistem transportasi yang rendah emisi (Low Emission Transport);
b. Mendayagunakan penggunaan bahan bakar alternatif (Perpres 5/2006);
c. Meningkatkan kelayakan sarana kendaraan bermotor;
d. Pencegahan dampak negatif pembangunan terhadap lalu lintas; Sosialisasi Tata Cara
Mengemudi (Smart Driving);
e. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (BBG dan Bioenergy);
f. Peningkatan teknologi kendaraan;
g. Pelaksanaan uji emisi secara berkala kendaraan.
4.1.4.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Transportasi
Kegiatan usaha ramah lingkungan untuk berbagai sektor usaha bermuara pada tujuan
yang sama yakni menjaga keseimbangan lingkungan hidup, aspek sosial dan keterjaminan akan
keberlanjutan usaha. Bila dikaitkan dengan kriteria usaha ramah lingkungan untuk masingmasing sektor usaha, maka aktivitas yang dicakup memiliki spektrum yang luas dan tidak saja
pada aspek produksi namun juga berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Untuk mengetahui
sejauh mana para pelaku usaha menyadari hal tersebut, serta memahaminya dan kemudian
menerapkannya dalam aktivitas nyata sehari-hari.
82
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pemerintah melalui Kementerian terkait pada level nasional serta Dinas Provinsi dan
tingkat Kabupaten yang pada awalnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat,
kini dengan adanya otonomi daerah program yang dilakukan terkait dengan kelestarian
lingkungan tidak lagi selalu sejalan dalam menerapkan prioritas program pembangunan di
wilayah masing-masing. Oleh karena itu, pelaksanaan program kelestarian lingkungan yang
diprakarsai oleh pemerintah pusat bisa mendapatkan tanggapan atau disikapi beragam oleh
masing-masing dinas. Hal ini akan berlanjut pada para pelaku usaha di masing-masing wilayah
dan masing-masing sektor. Apalagi saat ini setiap daerah tengah berupaya meningkatkan
kinerjanya yang tercermin dari perolehan PAD atau PDRB, dimana hal ini hanya dapat dicapai
melalui peningkatan output daerah dengan cara mengoptimalkan kinerja sektor-sektor
unggulan, mendorong sisi produksi baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal dan nasional
maupun kebutuhan ekspor. Namun sayangnya peningkatan output daerah umumnya belum
beriringan dengan kelestarian lingkungan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab hal tersebut, penelitian ini mencoba menjawab
persoalan tersebut dari beberapa sisi baik dari regulator, dalam hal ini adalah pemerintah
melalui dinas-dinas terkait, serta pelaku usaha sendiri. Program dan aktivitas dinas terkait
dengan upaya mendorong dan membina para pelaku usaha telah dipaparkan sebelumnya. Pada
bagian ini akan disajikan perilaku pengusaha dalam menjalankan aktivitas yang dilihat dari sisi
kepeduliannya terhadap lingkungan hidup.
Langkah awal untuk mengetahui perilaku para pelaku usaha dilakukan melalui tingkat
kesadaran (awareness) yang menggambarkan pengetahuan mereka terkait aktivitas ramah
lingkungan dalam menjalankan usahanya. Dari pengetahuan ini, kemudian dilanjutkan dengan
mengetahui aktivitas nyata yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya. Berikutnya dipaparkan minat para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas
usahanya berbasis kriteria ramah lingkungan serta kendala yang mungkin akan dihadapi.
Meski belum ada kriteria khusus yang dapat digunakan untuk pengklasifikasian industri
transportasi ramah lingkungan (green transportation) khususnya untuk UMKM, namun ada
beberapa pedoman umum yang dikeluarkan oleh Kemenhub serta instansi terkait yang dapat
dijadikan sebagai pegangan awal untuk menilai apakah suatu usaha transportasi ramah
terhadap lingkungan atau tidak. Seperti telah dipaparkan pada bagian Kriteria Ramah
Lingkungan untuk sektor transportasi, setidaknya ada 7 aspek yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk menilai apakah suatu jasa transportasi ramah lingkungan atau tidak.
Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman pelaku usaha (UMKM) sektor transportasi
terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan. Pada Tabel 4.63 dipaparkan hal-hal yang diketahui
oleh UMKM transportasi terhadap aktivitas ramah lingkungan. Dari 48 responden yang dipilih
secara acak dari wilayah survei, ada 5 aspek utama yang menjadi dasar pengetahuan pelaku
UMKM terhadap kegiatan ramah lingkungan yaitu:
- Perawatan kendaraan secara rutin
- Melakukan uji emisi
- Melakukan peremajaan kendaraan
- Efisiensi penggunaan BBM
- Efisiensi penggunaan air dalam mencuci kendaraan.
83
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.63. Pemahaman Pelaku UMKM Transportasi terhadap aktivitas Ramah Lingkungan
WILAYAH
Total
Base Responden :
Melakukan perawatan kendaraan secara rutin
Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan)
Melakukan peremajaan kendaraan
Melakukan efisiensi penggunaan BBM
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan operasional
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan operasional
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan operasional
Menggunakan pewangi mobil yang tidak merusak ozon
Menggunakan energi terbarukan
Gas buang yang dihasilkan tidak melebihi batas ambang
yang membahayakan
Tidak tahu
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur Mikro Kecil Menengah
48
48%
40%
29%
23%
23%
13%
13%
8%
4%
4%
2%
15
47%
33%
33%
20%
27%
20%
7%
7%
-
13
46%
31%
15%
15%
15%
8%
8%
8%
4
75%
50%
50%
50%
25%
25%
25%
-
9
44%
33%
44%
33%
33%
11%
-
2
-
5
60%
100%
20%
20%
20%
40%
60%
60%
40%
-
4
25%
25%
25%
25%
25%
25%
25%
-
13
46%
31%
8%
23%
15%
15%
8%
8%
8%
31
52%
45%
39%
23%
26%
16%
13%
10%
3%
3%
-
2%
-
-
25%
-
-
-
-
-
3%
48%
53%
54%
25%
56%
100%
-
75% 54%
42%
Meskipun ada aspek lain yang dipahami namun frekuensinya relatif kecil. Pemahaman
perawatan terhadap kendaraan baru dipahami oleh 48% responden, sementara aspek lainnya
baru berkisar antara 23% hingga 40%. Bahkan pemahaman terhadap ambang batas gas buang
yang dihasilkan oleh kendaraan baru dipahami oleh 2% pelaku usaha. Padahal aspek ini yang
terkait langsung dengan pencemaran udara luar. Ironinya, 48% dari pelaku UMKM pada sektor
ini menyatakan tidak tahu sama sekali dengan aktivitas ramah lingkungan. Dengan tingkat
pemahaman tersebut menunjukkan bahwa pelaku UMKM sektor transportasi belum memiliki
pemahaman yang memadai terkait kegiatan ramah lingkungan.
Di samping pengukuran tentang pemahaman pelaku UMKM terhadap kegiatan ramah
lingkungan, aktivitas nyata yang dilakukan oleh pelaku UMKM juga ditanyakan, pada Tabel 4.64
disajikan aktivitas nyata tersebut. Terlihat bahwa hampir semua pelaku usaha (95%) melakukan
perawatan terhadap kendaraan, 56% melakukan uji emisi secara berkala. Sementara dengan
tingkat intensitas yang lebih rendah yakni melakukan efisiensi penggunaan BBM sebanyak 21%,
17% melakukan peremajaan kendaraan. Untuk dua aktivitas pertama menunjukkan bahwa
sebagian besar UMKM menyadari akan kelayakan kendaraan serta mematuhi aturan uji emisi
berkala yang memang diwajibkan oleh Dinas Perhubungan, namun sayangnya tidak semua
pelaku UMKM sektor ini yang melakukannya yakni baru 56%. Padahal uji emisi ini berkaitan
dengan uji ambang batas gas buang yang dihasilkan kendaraan yang terkait langsung dengan
pencemaran udara luar.
84
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.64. Aktivitas Ramah Lingkungan Sektor Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Melakukan perawatan kendaraan secara rutin
Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan)
Melakukan efisiensi penggunaan BBM
Melakukan peremajaan kendaraan
Melakukan efisiensi penggunaan air
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan
operasional
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan
operasional
Menggunakan energi terbarukan
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan
operasional
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
48
96%
56%
21%
17%
15%
6%
15
100%
47%
13%
13%
27%
13%
13
100%
69%
15%
15%
-
4
100%
25%
25%
25%
25%
-
9
100%
67%
44%
22%
11%
11%
2
50%
-
5
80%
80%
20%
20%
20%
-
4
100%
50%
50%
50%
25%
25%
13
100%
46%
23%
8%
-
31
94%
61%
16%
16%
19%
6%
4%
7%
8%
-
-
-
-
-
-
6%
2%
7%
-
-
-
-
-
-
-
3%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sementara itu pengehematan penggunaan BBM baru dilakukan oleh 21% pelaku
UMKM, dengan presentase lebih rendah (17%) pelaku UMKM melakukan peremajaan
kendaraan. Rendahnya kedua aktivitas terakhir ini pada dasarnya terkendala oleh teknologi
yang digunakan oleh kendaraan (mesin) untuk penghematan dan ketersediaan modal. Disisi
lain, proses penerapan 3R juga masih sangat rendah terutama terkait dengan bahan habis pakai
seperti ban dan oli, yang umumnya diserahkan (dijual) kepada pihak lain untuk dimanfaatkan
lebih lanjut.
Jenis perawatan kendaraan yang dilakukan (Tabel 4.65) meliputi perawatan mesin (88%)
serta ganti oli dan kanvas rem dengan presentase masing-masing sebesar 25% dan ganti ban
17%. Rendahnya pergantian oli mesin, kanvas rem dan ban disebabkan karena persepsi
pengusaha yang dipengaruhi oleh periode yang berbeda-beda dalam waktu tertentu, sehingga
sebagian dianggap rutin dan sebagian tidak.
Bila disimak lebih mendalam, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku UMKM dalam
merawat kendaran, merupakan kegiatan yang harus dilakukan untuk menjamin agar kendaraan
yang dioperasikan tetap dapat berfungsi dan layak jalan, oleh karenanya aspek ini pada
dasarnya bukan merupakan aktivitas yang bersifat khusus, karena memang demikian
seharusnya. Namun hal ini menjadi kriteria yang harus dipenuhi.
85
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tebel 4.65. Jenis Perawatan Kendaraan yang Rutin Dilakukan.
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKUKAN PERAWATAN
KENDARAAN SECARA RUTIN
- Mesin kendaraan
- Ganti oli
- Kanvas rem
- Ban
- Body
- Lampu
- AC mobil
- Kopling
BELUM MELAKUKAN
48
15
96%
100%
100%
100%
100%
50%
80%
100%
100%
94%
88%
25%
25%
17%
8%
8%
6%
2%
4%
87%
40%
47%
7%
13%
27%
-
92%
23%
31%
46%
8%
8%
-
100%
25%
25%
25%
-
89%
22%
11%
11%
-
50%
50%
80%
20%
20%
20%
75%
50%
50%
25%
25%
-
92%
31%
23%
23%
-
87%
19%
23%
16%
13%
10%
10%
6%
Jabodetabek
Jawa
Tengah
4
Jawa
Timur
9
SKALA USAHA
Jawa
Barat
13
Sumatera Kalimantan
Utara
Timur
2
5
Usaha
Mikro
4
Usaha
Kecil
13
Usaha
Menengah
31
Sesuai dengan ketentuan DLLAJR (bagian dari Dinas Perhubungan), uji emisi harus rutin
dilakukan, khususnya kendaraan umum atau kendaraan sewa, minimal dalam 6 bulan sekali.
Tempat yang lazim melakukan uji emisi adalah di Dinas Perhubungan/DLLAJR (31%) atau di
bengkel kendaraan tertentu yang sudah mendapat izin dari lembaga terkait (17%). Sementara
tempat lainnya di lokasi uji KIR atau bengkel resmi. Dari 48 usaha jasa transportasi ini, 40%
diantaranya belum pernah melakukan uji emisi sama sekali (Tabel 4.66). Fakta ini
menggambarkan bagaimana tingkat kepatuhan pengusaha dalam memenuhi suatu peraturan.
Tabel 4.66. Tempat Melakukan Uji Emisi
WILAYAH
Total
Base Responden :
MELAKUKAN UJI EMISI SECARA
BERKALA (SETIAP 6 BULAN)
- Dinas Perhubungan/DLLAJR
- Bengkel
- Dealer mobil resmi
- Tempat uji KIR
MENGANGGAP TELAH
MELAKUKAN UJI EMISI SECARA
BERKALA (SETIAP 6 BULAN)
- SAMSAT
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Jabodetabek
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Jawa Sumatera Kalimant
Timur Utara an Timur
Usaha
Mikro
Usaha Usaha
Kecil Menengah
48
15
13
4
9
2
5
4
13
31
56%
47%
69%
25%
67%
-
80%
50%
46%
61%
31%
17%
6%
2%
27%
7%
13%
-
62%
8%
-
25%
-
22%
44%
-
-
20%
40%
20%
50%
-
31%
8%
8%
35%
16%
10%
-
4%
7%
-
-
11%
-
-
-
-
6%
2%
40%
47%
31%
75%
11%
22%
100%
20%
50%
54%
3%
32%
Salah satu biaya operasional terbesar dalam menjalankan usaha transportasi adalah
biaya BBM, oleh karena itu penghematan pada komponen ini akan memberikan dampak yang
besar terhadap pendapatan usaha transportasi. Dari hasil survei ini, upaya yang dapat dilakukan
oleh UMKM untuk menghemat BBM, bukan menggantinya dengan bahan bakar jenis lain
seperti LPG atau biodiesel yang ramah lingkungan, akan tetapi dengan perawatan mesin,
membatasi pemakaian kendaraan untuk hal-hal yang tidak perlu, serta melakukan modifikasi
atau penyesuaian terhadap beberapa komponen kendaraan yang terkait sistem pembakaran
(karburator). Bahkan beberapa UMKM beralih menggunakakn mesin diesel agar dapat
86
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
mengganti bensin dengan solar yang harganya lebih murah, namun hal ini kurang ramah
lingkungan.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penghematan BBM dan sekaligus
menjaga agar kendaraan tetap layak jalan adalah menggantikannya dengan kendaraan yang
menggunakan teknologi terbaru yang lebih hemat energi dan sekaligus mengurangi emisi gas
buang. Namun cara ini membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga tetap berada pada
skala usaha yang ekonomis. Keuntungan lain dengan melakukan peremajaan kendaraan adalah
biaya operasionalnya relatif lebih murah, dan jam operasional kendaraannya tinggi. Sebaliknya
kendaraan yang cukup berumur umumnya akan lebih boros, baik dalam pemakaian BBM,
ongkos perawatan dan jam operasionalnya lebih rendah, bahkan kadang sudah tidak lagi layak
jalan karena kondisi strukturnya sudah “lelah”.
Tabel 4.67.
Aktivitas dalam Meningkatkan Efisien BBM
WILAYAH
Total
Jabodetabek
Base Responden :
MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN BBM
Melakukan perawatan kendaraan secara
rutin
- Membatasi pemakaian BBM yang tidak perlu
Melakukan penyesuaian di beberapa bagian
kendaraan (seperti menyetel mesin dan
karburator, mengganti dengan LPG,
menggunakan alat penghemat BBM)
Menentukan rute yang akan dilalui secara
tepat
Menggunakan kendaraan dengan jenis atau
tipe tertentu (seperti kendaraan dengan
kapasitas mesin/cc lebih kecil, tidak
menggunakan kendaraan 4 tak)
- Menggunakan mobil yang go green
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI
PENGGUNAAN BBM
Menggunakan solar sebagai bahan bakar
harganya lebih murah
BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Usaha
Mikro
Usaha
Kecil
Usaha
Menengah
48
21%
15
13%
13
15%
4
25%
9
44%
2
-
5
20%
4
50%
13
23%
31
16%
4%
-
-
-
22%
-
-
25%
-
3%
4%
13%
-
-
-
-
-
25%
-
3%
4%
-
15%
-
-
-
-
-
15%
-
4%
-
8%
-
11%
-
-
-
8%
3%
4%
-
-
25%
-
-
20%
-
8%
3%
2%
-
-
-
11%
-
-
-
-
3%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
77%
87%
85%
75%
56%
100%
60%
50%
77%
81%
87
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.68. Usia Kendaraan yang Dilakukan Peremajaan oleh UMKM Transportasi
WILAYAH
Total
Base Responden :
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha
Barat Tengah Timur Utara
Timur
Mikro Kecil Menengah
48
15
13
4
9
2
5
4
13
31
17%
13%
15%
25%
22%
-
20%
50%
8%
16%
8%
8%
13%
15%
25%
-
22%
-
-
20%
-
50%
8%
13%
3%
USIA KENDARAAN LEBIH DARI 5 TAHUN
38%
40%
46%
50%
44%
-
-
50%
8%
48%
- Tahun 2007
- Tahun 2006
- Tahun 2004
- Tahun 2005
- Tahun 1994
- Tahun 2003
- Tahun 2000
- Tahun 1985
- Tahun 1980
BELUM MELAKUKAN
8%
6%
6%
4%
4%
2%
2%
2%
2%
46%
7%
7%
13%
7%
7%
47%
8%
8%
8%
8%
8%
8%
38%
25%
25%
25%
22%
11%
11%
33%
100%
80%
50%
-
8%
85%
6%
6%
10%
6%
6%
3%
3%
3%
3%
35%
USIA KENDARAAN TIDAK LEBIH DARI 5 TAHUN
- Tahun 2009
- Tahun 2008
Pada Tabel 4.68 disajikan usia kendaraan yang akan diremajakan oleh Pemilik UMKM.
Terdapat 55% UMKM yang akan melakukan peremajaan kendaraannya, 38% UMKM melakukan
peremajaan kendaraan yang telah berusia lebih dari 5 tahun, sedangkan 17% lainnya kurang
dari 5 tahun. Sementara 46% UMKM lainnya belum pernah mengganti kendaraannya,
denganusia kendaraan yang cukup bervariasi. Untuk mengganti kendaraan dengan yang baru,
sudah barang tentu akan membutuhkan modal atau pinjaman dari bank. Dari sisi skala
usahanya, terlihat bahwa usaha dengan skala menengah melakukan peremajaan kendaraannya
yang telah berusia lebih dari 5 tahun, sedangkan skala usaha Mikro dan Kecil melakukan
peremajaan kendaraannya relatif baru atau mayoritas kurang dari 5 tahun.
4.1.4.4. Permasalahan UMKM Sektor Transportasi Menuju Ramah Lingkungan
Sektor transportasi merupakan sektor yang belum banyak tersentuh terkait upaya untuk
mendorong kearah usaha ramah lingkungan. Bila dilihat dari sisi regulasi atau kriteria ramah
lingkungan yang lazim ditemui pada sektor lain, sektor transportasi agaknya perlu mendapat
perhatian yang sangat khusus, mengingat sektor ini memiliki dampak langsung pada
pencemaran udara luar melalui emisi gas buang yang dihasilkannya. Di sisi lain, dampak yang
ditimbulkannya dan tidak terlihat adalah oli bekas yang dihasilkan hingga saat ini belum jelas
proses recycle yang dilakukan oleh pihak lain. Hal ini dikarenakan pada umumnya hasil buangan
oli bekas ditampung pada awalnya untuk kemudian diserahkan pada pihak ketiga dan diproses
lebih lanjut.
Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM sektor tranportasi ini disajikan pada
Tabel 4.69. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor ini tidak jauh berbeda
dengan sektor lainnya, yakni pertama masalah pengetahuan yang relatif rendah terhadap
kelestarian lingkungan, serta adanya persepsi bahwa apa yang dilakukan tidak berdampak pada
pencemaran udara. Terlihat bahwa 17% UMKM sektor transportasi menyatakan bahwa mereka
88
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
memiliki kendala dengan aspek permodalan yang harus disiapkan untuk melakukan efisiensi
penggunaan energi, yang akan dilakukan dengan peremajaan kendaraan. Kedua adalah masalah
ketiadaan pengetahuan untuk melakukan efisiensi energi (10%), serta adanya anggapan belum
tersedianya peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut (3%). Sedangkan 3%
lainnya adalah masalah kemacetan yang menjadi pemicu pencemaran udara serta borosnya
pemakaian BBM per kilometernya (3%).
Tabel 4.69. Alasan UMKM sektor Transportasi belum Ramah Lingkungan
WILAYAH
Base Responden :
Terkendala dengan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk melakukan efisiensi
penggunaan BBM
Tidak tahu cara efisiensi BBM
Tidak ada pengalaman untuk melakukan
efisiensi penggunaan BBM
Belum tersedia peralatan untuk melakukan
efisiensi penggunaan BBM
Kondisi jalanan macet jadi boros BBM
SKALA USAHA
Usaha
Mikro
Usaha
Kecil
1
2
8
Usaha
Menenga
h
20
-
-
50%
-
20%
-
33%
-
-
-
15%
-
25%
33%
-
-
13%
5%
-
-
-
-
-
-
-
5%
9%
-
-
-
-
-
-
5%
Total
Jabodeta
bek
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
Jawa
Timur
30
9
11
2
4
3
17%
11%
36%
-
-
10%
11%
-
50%
7%
-
-
3%
11%
3%
-
Sumatera Kalimant
Utara an Timur
4.2. Stratifikasi UMKM menurut Aktivitas Ramah Lingkungan
Aspek penting untuk mendorong UMKM agar ramah lingkungan adalah mengetahui
kesiapan mereka yang dicerminkan dari aktivitas nyata yang saat ini telah dilakukan. Hal ini
menjadi sangat penting untuk mengetahui terkait tingkat pengetahuan mereka, serta praktek
nyata atas apa yang mereka ketahui dan pelaksanaannya. Untuk membantu memudahkan
pengenalan atas UMKM terkait pelaksanaan aktivitas ramah lingkungan dalam usahanya,
dilakukan stratifikasi atau pengelompokkan terhadap UMKM yang didasarkan atas berbagai
aspek yang menjadi kriteria ramah lingkungan. Melalui hal ini diharapkan dapat diketahui
kelompok UMKM yang sudah cukup siap, kurang siap dan tidak siap dalam menjalankan usaha
ramah lingkungan.
Untuk melakukan stratifikasi atau pengelompokan ini digunakan Cluster Analysis,
dimana UMKM yang berada pada kelompok yang sama memiliki sifat yang relatif sama atas
aktivitasnya terkait dengan aspek ramah lingkungan.
4.2.1. UMKM sektor Pertanian
Berdasarkan hasil analisis cluster dengan menggunakan 16 kriteria ramah lingkungan
mengelompokkan 81 UMKM sektor pertanian menjadi 3 strata diperoleh proporsi dan sebaran
seperti disajikan pada Tabel 4.70. serta Gambar 3.5.
89
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.70. Proporsi Strata UMKM Sektor Pertanian
Strata
1
2
3
Jumlah
3
12
66
81
Total
Persen
4%
15%
81%
100%
5
REGR factor score 1 for analysis
1
4
3
2
1
Cluster Number of Ca
Strata 3
0
Strata 2
-1
Strata 1
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
REGR factor score 2 for analysis
1
Gambar 3.5. Sebaran UMKM Sektor Pertanian
Tampak bahwa hanya ada tiga UMKM yang berada pada Strata 1 (4%), 12 UMKM (15%)
masuk ke dalam Strata 2, dan mayoritas atau 66 UMKM (81%) berada pada strata 3.
Karakteristik masing-masing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.71.
Tabe 4.71.
No
Karakteristik UMKM Sektor Pertanian Atas Aktivitas Ramah Lingkungan
Aktivitas Ramah Lingkunga yang dilakukan
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 2
Rataan
1
Memperhatikan kebersihan/kesehatan tanah/kandang/kolam
100,0%
91,7%
16,7%
30,9%
2
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
100,0%
66,7%
4,5%
17,3%
3
Menggunakan biopestisida (hayati ataupun nabati)
33,3%
66,7%
6,1%
16,0%
4
Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani
100,0%
58,3%
3,0%
14,8%
5
Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas usahatani
100,0%
41,7%
4,5%
13,6%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
100,0%
41,7%
4,5%
13,6%
7
Menggunakan bibit tanaman/ternak yang memiliki sertifikat
100,0%
33,3%
4,5%
12,3%
8
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap lingkungan
100,0%
50,0%
1,5%
12,3%
9
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap konsumen
100,0%
58,3%
0,0%
12,3%
10
Melakukan pergiliran tanaman guna keseimbangan ekologi
33,3%
33,3%
4,5%
9,9%
11
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
33,3%
8,3%
7,6%
8,6%
12
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi
13
Melakukan sertifikasi kesehatan lahan/kandang/kolam/tambak
14
Melakukan efisiensi penggunaan energi
Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah
lingkungan
15
0,0%
50,0%
0,0%
7,4%
100,0%
16,7%
0,0%
6,2%
33,3%
0,0%
3,0%
3,7%
0,0%
8,3%
1,5%
2,5%
90
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
16
Menggunakan media tumbuh atau hormon tanaman
33,3%
0,0%
Rataan
66,7%
39,1%
Jumlah UMKM
3
12
1,5%
4,0%
66
2,5%
11,5%
81
Berdasarkan 16 kriteria aktivitas ramah lingkungannya, tampak bahwa UMKM pada
Strata 1, 66.7% aktivitas usahanya sudah mengarah pada aspek ramah lingkungan. UMKM pada
Strata 2 baru mencapai 39.1%, sedangkan Strata 3 hanya 4,0%. Sedangkan secara
keseluruhan baru 11.5% aktivitas UMKM sektor pertanian yang mengarah pada aspek ramah
lingkungan. Hasil ini menggambarkan bahwa mayoritas UMKM sektor pertanian masih harus
memperbaiki diri untuk menuju usaha yang ramah lingkungan.
4.2.2. UMKM Sektor Industri
Dari 141 UMKM sektor industri, berdasarkan hasil analisis cluster yang menggunakan 11
kriteria ramah lingkungan, dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM masing –
masing kelompok dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.72. serta Gambar 3.6.
Tabel 4.72. Proporsi Strata UMKM Sektor Industri
Strata
1
2
3
Total
Jumlah
9
17
115
141
Persen
6%
12%
82%
100%
6
4
2
0
Strata
-2
Strata 1
Strata 2
-4
Strata 3
-1
0
1
2
3
4
REGR factor score 1 for analysis
5
2
Gambar 3.6. Sebaran UMKM Sektor Industri
91
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari 141 UMKM, 9 UMKM diantaranya berada pada Strata 1 (6%), 17 UMKM (12%)
masuk ke dalam Strata 2, dan 115 UMKM (82%) berada pada strata 3. Karakteristik masingmasing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.73.
Tabel 4.73.
No
Karakteristik UMKM Sektor Industri Atas Aktivitas Ramah Lingkungan
Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
55,6%
23,5%
14,0%
17,9%
2
55,6%
100,0%
0,0%
15,7%
3
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong terbarukan
Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan
penunjang
100,0%
0,0%
5,3%
10,7%
4
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
55,6%
11,8%
4,4%
8,6%
5
Melakukan efisiensi penggunaan energi
77,8%
5,9%
2,6%
7,9%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
55,6%
17,6%
1,8%
7,1%
7
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
33,3%
35,3%
0,9%
7,1%
8
Menggunakan energi terbarukan
Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah
lingkungan
22,2%
29,4%
0,0%
5,0%
0,0%
0,0%
5,3%
4,3%
Melaksanakan proses redusce dalam kegiatan proses produksi
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki
MSDS
33,3%
5,9%
0,0%
2,9%
11,1%
0,0%
0,9%
1,4%
Rataan
45,5%
20,9%
3,2%
8,1%
Jumlah UMKM
9
17
9
10
11
115
Secara keseluruhan baru 8,1% aktivitas ramah lingkungan yang dilakukan oleh UMKM
sektor industri. Terkait hal itu, UMKM pada Strata 1 merupakan kelompok dengan aktivitas
ramah lingkungan yang sudah mencapai 45,5%. UMKM pada Strata 2 baru melaksanakan
20,9%, sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompok mayoritas masih sangat
sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 3.2%.
Berdasarkan hasil ini, UMKM sektor industri yang merupakan kelompok aktivitas
terbesar masyarakat masih jauh dari ketaatannya melakukan usaha yang ramah lingkungan.
Oleh karenanya upaya yang cukup besar yang memerlukan perhatian dan kerjasama berbagai
pihak untuk mendorong mereka lebih menghargai lingkungan sebagai ekosistem yang perlu
dijaga kelestariannya.
4.2.3. UMKM sektor Pertambangan
Dalam penelitian ini, jumlah sample UMKM sektor pertambangan hanya berjumlah 11.
Berdasarkan hasil analisis cluster dengan 11 kriteria ramah lingkungan, sampel ini
dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM masing–masing kelompok dan
sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.74. serta Gambar 3.7.
92
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.74. Proporsi Strata UMKM Sektor Pertambangan
Strata
1
2
3
Total
Jumlah
2
3
6
11
Persen
18%
27%
55%
100%
1,5
1,0
,5
0,0
-,5
Strata
Strata 2
-1,0
Strata 3
-1,5
strata 1
-1,5
-1,0
-,5
0,0
,5
1,0
1,5
REGR factor score 1 for analysis
2,0
3
Gambar 3.7. Sebaran UMKM Sektor Pertambangan
Dari 11 UMKM sektor pertambangan, 2 UMKM masuk kedalam Strata 1 (18%), 3 UMKM
(27%) masuk ke dalam Strata 2, dan 6 UMKM (55%) berada pada strata 3. Karakteristik masingmasing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.75 berikut.
Tabe 4.75. Karakteristik UMKM Sektor Pertambangan Atas Aktivitas Ramah Lingkungan
No
Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Melakukan reklamasi bekas lahan tambang
100%
67%
50%
64%
2
Melakukan penambangan ulang dengan pohon cepat tumbuh
100%
100%
33%
64%
3
Pembuatan terasering untuk menghindari longsor
100%
100%
17%
55%
4
Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang
100%
100%
0%
45%
5
Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil
100%
67%
0%
36%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
100%
33%
0%
27%
7
Belum melakukan kegiatan penambangan dan penggalia
0%
0%
33%
18%
8
Memperhatikan kontur lahan tambang mlalui pembuatan blok
100%
0%
0%
18%
9
Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang
50%
33%
0%
18%
93
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
10
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
11
Melakukan pengelolaan kualitas air tambang
100%
0%
0%
18%
50%
0%
0%
9%
Rataan
81,8%
45,5%
12,1%
33,9%
Jumlah UMKM
2
3
6
11
Secara keseluruhan baru 33,9% aktivitas ramah lingkungan yang baru dilakukan oleh
UMKM sektor Pertambangan. Dalam pada itu UMKM pada Strata 1 merupakan kelompok
dengan aktivitas ramah lingkungan sudah mencapai 81,8%. UMKM pada Strata 2 sudah
melaksanakan 45,5%, sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompokk mayoritas
masih sangat sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 12.1%.
Berdasarkan hasil ini, UMKM sektor pertambangan relatif sudah lebih baik dibanding
sektor pertanian dan industri, ini disebabkan sektor pertambangan mendapatkan perhatian
yang sangat memadai dari pemerintah terkait isu kerusakan lingkungan. Meskipun demikian,
upaya untuk mendorong sektor ini agar lebih baik dalam penerapan aktivitas ramah
lingkungannya masih memerlukan perhatian dan kerjasama berbagai pihak untuk lebih
menghargai lingkungan sebagai ekosistem untuk tempat kehidupan.
4.2.4. UMKM sektor Transportasi
UMKM sektor pertambangan yang berjumlah 51, berdasarkan hasil analisis cluster
dengan 9 kriteria ramah lingkungan, dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM
masing–masing kelompok dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.76. serta Gambar 3.8.
Tabel 4.76. Proporsi Strata UMKM Sektor Transportasi
Strata
1
2
3
Total
Jumlah
6
11
34
51
Persen
12%
22%
66%
100%
94
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
6
4
2
0
Strata
-2
Strata 2
Strata 1
-4
Strata 3
-1
0
1
2
3
REGR factor score 1 for analysis
4
4
Gambar 3.8. Sebaran UMKM Sektor Pertambangan
Dari 51 UMKM sektor transportasi, 6 UMKM masuk kedalam Strata 1 (12%), 11 UMKM
(22%) masuk ke dalam Strata 2, dan 34 UMKM (66%) berada pada strata 3. Karakteristik
masing-masing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.77 berikut.
Tabe 4.77. Karakteristik UMKM Sektor Transportasi Atas Aktivitas Ramah Lingkungan
No
Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Melakukan perawatan kendaraan secara rutin
83%
100%
24%
47%
2
Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan)
17%
73%
0%
18%
3
Melakukan efisiensi penggunaan BBM
83%
0%
9%
16%
4
Melakukan efisiensi penggunaan energi
17%
27%
0%
8%
5
Melakukan efisiensi penggunaan air
83%
18%
0%
14%
6
Melakukan peremajaan kendaraan
100%
82%
0%
29%
7
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan operasional
17%
0%
0%
2%
8
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan operasional
0%
9%
0%
2%
9
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan operasional
17%
0%
0%
2%
Rataan
46,3%
34,3%
3,6%
15,3%
Jumlah UMKM
6
11
34
51
Secara keseluruhan baru 15,3% aktivitas ramah lingkungan yang baru dilakukan oleh
UMKM sektor transportasi. UMKM Strata 1 merupakan kelompok dengan aktivitas ramah
lingkungan sudah mencapai 46,3%. UMKM pada Strata 2 sudah melaksanakan 34,3%,
sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompokk mayoritas, namun masih sangat
sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 3.6%.
95
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Berdasarkan hasil ini UMKM sektor transportasi masih relatif rendah dalam
melaksanakan usaha yang ramah lingkungan, ini disebabkan sektor transportasi merupakan
sektor yang padat teknologi. Meski saat ini upaya yang dilakukan oleh pihak terkait sudah
mengarah pada upaya kearah yang lebih baik, namun keterkaitan dengan sektor lain sangat
erat seperti perencanaan tata-ruang serta penggunaan Bahan bakar yang ramah lingkungan
yang semakin meningkat.
4.3. Kesiapan UMKM menuju Ramah Lingkungan
Upaya mendorong UMKM agar ramah lingkungan tidak cukup dilakukan dengan
membuat kebijakan dari satu sisi saja. Hal ini disebabkan permasalahan yang dihadapi oleh
UMKM relatif kompleks tidak hanya dari sisi permodalan belaka, namun aspek-aspek lain
seperti pengetahuan terhadap kelestarian lingkungan, beragamnya bidang, dan kondisi
usahanya. Bila dikaitkan dengan kriteria ramah lingkungan sesuai sektornya, kondisi sebagian
besar UMKM secara internal masih jauh dari kondisi siap dalam menjalankan kegiatan ramah
lingkungan. Namun demikian, dari hasil penelitian yang telah diperoleh menunjukkan adanya
tren yang cukup jelas bahwa semakin tinggi skala usaha UMKM kesiapan terhadap program
ramah lingkungan semakin tinggi pula. Hal ini terlihat dari tingginya pengetahuan serta
banyaknya aktivitas usaha yang sudah mulai mengarah ke ramah lingkungan.
Masalah lain terkait kesiapan UMKM ramah lingkungan adalah masalah peningkatan
kesadaran dari pelaku UMKM terhadap kelestarian lingkungan untuk menggerakkan
perusahaan beralih secara bertahap atau melakukan transformasi bisnis berbasis lingkungan
guna menghadapi isu keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam. Menarik untuk disimak,
bahwa lambat namun pasti, adalah meningkatnya kepedulian lingkungan (environmental
concern) dari berbagai lapisan masyarakat sebagai unsur penting yang mempengaruhi lanskap
kompetisi dalam dunia usaha. Lingkungan yang awalnya dipandang sebagai faktor eksternal
bagi proses dan konten manajemen pemasaran, sekarang ini dipandang sebagai faktor sentral
dalam strategi pemasaran (Hart, 1995; Srivastava, 1994).
Di sisi lain, rendahnya pemahaman akan kelestarian lingkungan pelaku UMKM akan
berdampak pada aktivitas yang tak terkendali dalam upaya menjalankan usahanya. Namun
demikian, tidak sedikit UMKM yang sudah mulai melakukan usaha mengikuti kaidah-kaidah
ramah lingkungan namun terbentur pada berbagai kendala. Jorgensen (2002) dan Kalafatis et
al. (1999) mensinyalir dalam tulisannya, bahwa kendala utama yang dihadapi oleh pelaku usaha
yang menghasilkan green product yaitu istilah yang populer dihasilkan oleh produsen yang
memperhatikan kelestarian lingkungan dalam memproduksinya adalah aspek pemasaran dan
meningkatnya biaya produksi yang berdampak pada harga jual produk.
Meski isu green product (produk ramah lingkungan) telah lama disosialisasikan, namun
pertumbuhan pasarnya tidak sepesat yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
(1) Harga produk ramah lingkungan relatif lebih mahal dibanding produk konvensional, bahkan
selisih harganya bisa mencapai 25 hingga 30%; (2) Daya beli masyarakat yang cenderung tidak
meningkat, menjadi salah satu penyebab produk ramah lingkungan kurang diminati;
(3) manfaat produk ramah lingkungan masih belum dapat dirasakan langsung oleh konsumen;
96
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(4) masih tersedianya produk konvensional dan tersedia di berbagai tempat, hal ini berbeda
dari produk ramah lingkungan, yang hanya tersedia di tempat tertentu saja. Berdasarkan
kondisi ini menjadi alasan beberapa industri besar menyesuaikan kembali strategi
perusahaannya untuk tetap memproduksi produk-produk yang kurang ramah lingkungan
karena lebih diminati (Yudis, 2012).
Secara umum, istilah dari kesadaran lingkungan (environmental consciousness)
digunakan bagi dimensi kognitif dari sikap terhadap lingkungan, sedangkan kepedulian
lingkungan merujuk pada disposisi emosi individu atau pengusaha terhadap kerusakan alam.
Temuan berkaitan dengan sikap terhadap rencana atau perilaku sebenarnya (actual behavior)
sering kontradiksi dan inkonklusif (Kalafatis et al., 1999; Schlegelmilch et al., 1996).
Terkait dengan diskusi di atas, salah satu aspek penting yang perlu digali terkait
rendahnya animo pelaku usaha dalam mentrasformasikan bisnisnya menjadi ramah lingkungan
adalah kendala apa yang sebenarnya dihadapi oleh pelaku usaha tersebut. Jawaban atas
persoalan ini diharapkan dapat menuntun pada perancangan strategi kedepan guna membantu
pemecahan masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha tepatnya UMKM.
Menurunnya kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh berbagai aktivitas UMKM
dalam menjalankan usahanya menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan dan kenyamanan
kehidupan dengan segala dimensinya. Kondisi ini memaksa berbagai kalangan untuk lebih
meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. UMKM yang
merupakan kelompok entitas usaha yang memiliki kontribusi terhadap menurunnya kualitas
lingkungan hidup berdasarkan hasil penelitian ini menghadapi banyak permasalahan terkait
dengan usaha ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
a. Minimnya sosialisasi dan edukasi usaha ramah lingkungan terhadap pelaku UMKM yang
dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian dan dinas-dinas terkait menyebabkan
minimnya pengetahuan dan kesadaran UMKM terhadap aspek-aspek usaha ramah
lingkungan, sehingga hal ini berdampak pada perilakunya yang kurang menghargai terhadap
kelestarian lingkungan.
b. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah menyebabkan pemantauan terhadap
pelaku usaha masih terkonsentrasi pada usaha dengan skala besar yang berpotensi
menimbulkan kerusakan lingkungan secara luas. Akibatnya UMKM yang jumlahnya sangat
besar belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya
koordinasi antar dinas dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap UMKM agar
ramah lingkungan menyebabkan hasilnya masih jauh dari harapan.
c. Sifat intrinsik dari UMKM itu sendiri yang mayoritas berawal dari usaha rumah tangga, di
mana lokasi usahanya menyatu dengan wilayah pemukiman, sehingga upaya pengelolaan
dan penanganan limbah dari proses produksi mengalami banyak kendala.
d. Tidak adanya aturan yang jelas dalam penerapan sanksi atau hukuman bagi UMKM yang
melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan.
e. Masih rendahnya kesadaran sosial masyarakat umum terhadap kelestarian lingkungan yang
tercermin dari lambannya pertumbuhan penggunaan produk-produk ramah lingkungan,
sehingga tidak mampu memberikan tekanan kepada UMKM yang berperan sebagai
produsen agar menerapkan usaha ramah lingkungan.
97
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Kurangnya permodalan yang dimiliki oleh UMKM sehingga memaksa usaha yang dilakukan
masih terfokus atau berorientasi pada upaya pencapaian hasil produksi baik secara
kuantitas maupun kualitas, sementara aspek efisiensi dan efektivitas baik dalam
penggunaan bahan baku, energi, serta sumberdaya produksi lainnya masih belum
diperhatikan karena membutuhkan investasi yang tidak sedikit, apalagi upaya penanganan
maupun pengelolaan limbah produksi tentu masih belum menjadi skala prioritas bila tidak
dapat dikatakan masih terabaikan.
4.4. Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan
Sesuai dengan tujuan penelitian, salah satu aspek yang ingin diketahui adalah sumbersumber pembiayaan yang digunakan oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Berkaitan
dengan sumber pembiayaan ini juga telah dilakukan penelusuran terhadap ketersediaan skema
pembiayaan yang bersifat ramah lingkungan dan hal-hal terkait dengan upaya UMKM untuk
menuju usaha ramah lingkungan. Jenis-jenis pinjaman atau kredit yang digunakan oleh UMKM
dalam menjalankan usahanya disajikan pada Tabel 4.78 berikut:
Tabel 4.78. Jenis Kredit yang dimanfaat oleh UMKM
Total
SKALA USAHA
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang dalam 5
tahun terakhir pernah memiliki pinjaman
dari bank
129
18
39
72
72
26
27
4
KUR
21%
28%
23%
18%
24%
19%
15%
25%
Kredit usaha kecil (KUK)
21%
17%
10%
28%
21%
12%
30%
25%
Kredit modal kerja
11%
6%
8%
14%
13%
8%
7%
25%
Kredit Tanpa Agunan (KTA)
5%
6%
8%
4%
6%
8%
4%
-
Kredit investasi
4%
-
-
7%
6%
-
4%
-
KMK (Kredit Mikro Kecil)
4%
6%
3%
4%
6%
4%
-
-
Kredit untuk UKM
3%
11%
5%
-
6%
-
-
-
Tidak tahu nama programnya
17%
17%
33%
8%
15%
31%
11%
-
Dari 129 UMKM yang melakukan pinjaman, mayoritas memanfaatkan KUR (Kredit Usaha
Rakyat) serta Kredit Usaha Kecil (KUK), masing-masing sebesar 21%. Sementara itu 11%
memanfaatkan Kredit Modal Kerja (KMK) dan KTA sebesar 5%. Hal menarik adalah hanya 5%
bahkan kurang dari itu yang melakukan pinjaman dengan tujuan investasi, Kredit Mikro Kecil
dan khusus Kredit untuk UKM. Bahkan yang mengejutkan adalah 17% dari responden UMKM
tidak mengetahui jenis kredit yang digunakan. Dari hasil wawancara di lapangan terungkap
bahwa kredit yang diterima adalah kredit yang bersifat program khusus dari dinas terutama
pada sektor pertanian dan industri dan disalurkan melalui lembaga perbankan.
Dilihat dari proporsi jumlah sample, UMKM dari sektor pertambangan lebih banyak yang
memanfaatkan pinjaman bank, sementara UMKM dari sektor Pertanian dan Transportasi relatif
98
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
lebih rendah. Menyimak hasil diatas, kredit yang dimanfaatkan oleh UMKM atau kredit yang
ditawarkan oleh lembaga keuangan/perbankan tidak terdapat kredit yang terkait dengan
kelestarian lingkungan hidup. Dari sisi skala usaha, UMKM berskala menengah lebih banyak
memanfaat pinjaman di Bank. Hal ini dapat dimengerti karena UMKM pada skala ini relatif lebih
banyak yang bankable ketimbang UMKM pada skala yang lebih rendah.
4.4.1. Sumber Pembiayaan UMKM
Dari sisi lembaga atau bank yang memberikan pinjaman, terlihat bank BRI merupakan
sumber utama bagi UMKM dalam mendapatkan kredit yaitu sebesar 40% sebagaimana
dikemukakan dalam Tabel 4.79, kemudian diikuti oleh Bank Mandiri 21%, BCA 12%, sedangkan
bank lainnya kurang dari 10%.
Tabel 4.79. Bank Sumber Pembiayaan UMKM
SKALA USAHA
Total
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang dalam 5
tahun terakhir pernah memiliki pinjaman
dari bank
129
18
39
72
72
26
27
4
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
40%
56%
46%
32%
38%
58%
22%
75%
Bank Mandiri
21%
-
21%
26%
24%
8%
30%
-
Bank Central Asia (BCA)
12%
-
3%
19%
13%
4%
19%
-
Bank Danamon
8%
6%
10%
7%
8%
4%
11%
-
Bank Negara Indonesia (BNI)
6%
-
-
11%
7%
-
7%
25%
Bank Niaga
5%
6%
5%
4%
6%
-
7%
-
BTPN
3%
6%
3%
3%
3%
4%
4%
-
Tingginya peran BRI sebagai sumber pembiayaan UMKM pada dasarnya tidak terlepas
dari sebaran bank ini yang dijumpai hampir diseluruh wilayah bahkan sampai tingkat
kecamatan. Disisi lain BRI juga memiliki skim khusus untuk usaha mikro yang disalurkan melalui
BRI unit dan dibantu dengan adanya teras BRI. Sementara Bank Mandiri lebih banyak
memberikan pinjaman pada skala Kecil dan Menengah, demikian juga dengan BCA. Sementara
Bank Danamon dengan program DSP (Danamon Simpan Pinjam), Bank Niaga serta BTPN
memiliki profil yang hampir sama dengan BRI, namun Bank BNI lebih banyak mengucurkan
kredit pada usaha skala Menengah.
Terkait dengan prosedur yang harus dilalui UMKM dalam memperoleh pinjaman,
terungkap bahwa dari 162 UMKM yang pernah mengajukan pinjaman diketahui 13% UMKM
menyatakan kesulitan dalam melakukan akses pinjaman. Kebanyakan adalah UMKM yang
berskala Mikro dan Kecil. Hal ini dijumpai pada UMKM yang berusaha pada sektor Pertanian
dan Transportasi. Sementara sektor Industri dan Pertambangan yang notabene banyak
bermasalah dengan kelestarian lingkungan justru relatif mudah dalam mendapatkan pinjaman.
99
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.80. Tingkat Kesulitan UMKM dalam Mengakses Pinjaman
SKALA USAHA
Total
Base: semua responden yang pernah
mengajukan pinjaman ke bank
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
162
28
51
83
90
38
30
4
Sangat sulit
3%
11%
2%
1%
-
8%
7%
-
Sulit
10%
25%
8%
6%
10%
18%
-
-
Antara mudah dan sulit
14%
25%
18%
8%
11%
18%
17%
25%
Mudah
61%
29%
61%
72%
67%
39%
73%
50%
Sangat mudah
12%
11%
12%
12%
12%
16%
3%
25%
Fakta ini menunjukkan bahwa bank dalam menjalankan program pinjaman kepada
UMKM lebih berorientasi pada aspek kelayakan usaha, artinya isu lingkungan belum menjadi
aspek yang menjadi pertimbangan. Hal ini terungkap saat wawancara dengan pihak perbankan
bahwa azas 5C menjadi dasar utama dalam penyaluran kreditnya.
Tabel 4.81. Jenis Kesulitan yang Dialami UMKM dalam Mengakses Pinjaman
SKALA USAHA
Total
Base: semua responden yang
menganggap tidak mudah mengakses
kredit di bank
Persyaratan pinjaman terlalu rumit
Suku bunga pinjaman yang ditetapkan
oleh bank terlalu tinggi
Bank tidak tertarik untuk membiayai
usaha yang dijalankan
Cara pembayaran angsuran yang
ditetapkan oleh bank tidak sesuai
dengan masa produksi
Tidak ada produk pinjaman dari bank
yang sesuai dengan karakteristik usaha
Plafon pinjaman lebih besar dari yang di
butuhkan (plafon tidak sesuai dengan
yang di harapkan)
Lokasi usaha jauh dari bank
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
44
17
14
13
19
17
7
1
77%
88%
64%
77%
63%
88%
86%
100%
43%
41%
29%
62%
58%
29%
43%
-
27%
12%
43%
31%
37%
12%
29%
100%
18%
24%
14%
15%
21%
24%
-
-
9%
6%
7%
15%
16%
-
14%
-
2%
-
-
8%
5%
-
-
-
2%
-
7%
-
5%
-
-
-
Alasan yang dikemukakan oleh UMKM terkait dengan kesulitan dalam melakukan akses
pinjaman ke bank disajikan pada Tabel 4.73. Masalah persyaratan tampaknya menjadi faktor
utama mengapa UMKM sulit mendapatkan pinjaman di Bank sebagaimana dialami oleh 77%
dari 44 responden UMKM yang merasa kesulitan dalam mengakses pinjaman di Bank. Masalah
berikutnya adalah suku bunga pinjaman yang dianggap tinggi (43%), dan Bank tidak tertarik
dengan usaha yang dilakukan oleh UMKM (27%). Hal menarik adalah cara pembayaran yang
diterapkan oleh bank tidak sesuai dengan karakteristik usaha yang dilakukan UMKM, hal ini
terjadi pada sektor pertanian di mana petani umumnya mendapatkan hasil pada saat panen.
Menyimak hasil yang terkait dengan skim pinjaman, tingkat dan jenis kesulitan yang
dialami UMKM tampak bahwa banyak UMKM yang masih memiliki masalah dalam
mendapatkan pinjaman dari bank. Penyebabnya tidak saja pada kelayakan usaha namun juga
100
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
adanya sektor-sektor yang memiliki karakteristik khusus dalam memperoleh penghasilannya.
Disisi lain skim pinjaman yang ada saat ini lebih menitik beratkan pada pinjaman yang bertujuan
untuk menambah modal maupun investasi, sedangkan para pengusaha yang berskala mikro
masih terkendala untuk memperoleh akses perbankan. Sementara skim pinjaman yang
bernuansa lingkungan dapat dikatakan belum ada sama sekali, meskipun ada bank yang sudah
memiliki skim ini namun sesuai hasil survei bahwa belum ada UMKM yang mendapatkan
pinjaman terkait dengan aspek ramah lingkungan.
4.4.2. Minat Terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan (Green Lending)
Berkaitan dengan upaya perintisan pinjaman yang mengarah pada upaya untuk
mendorong UMKM agar ramah lingkungan bahwa 77% responden UMKM menyatakan
minatnya untuk mendapatkan pinjaman jenis ini. Meskipun demikian terdapat sekitar 17,4%
UMKM lainnya dengan tegas menyatakan tidak berminat.
Tabel 4.82. Minat UMKM Mendapatkan Pinjaman Ramah Lingkungan
SKALA USAHA
Total
Base: semua responden
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
283
65
106
112
141
81
51
10
Sangat tidak berminat
0,4%
2%
-
-
1%
-
-
-
Tidak berminat
17%
28%
15%
13%
10%
28%
22%
-
Antara berminat dan tidak
6%
6%
8%
4%
6%
7%
4%
-
Berminat
59%
42%
58%
70%
67%
40%
61%
90%
Sangat berminat
18%
23%
20%
13%
16%
25%
14%
10%
Hampir semua UMKM dari berbagai sektor usaha berminat mendapatkan pinjaman
ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya niatan dari para pelaku UMKM untuk
mengarahkan usahanya pada kelestarian lingkungan. Namun demikian informasi ini perlu
dicermati dengan hati-hati, karena konsep ramah lingkungan belum dipahami dengan baik oleh
pelaku UMKM. Untuk memperjelas hal ini kepada UMKM ditanyakan peruntukan pinjaman
tersebut, dan hasilnya dijabarkan pada Tabel 4.83.
101
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.83. Rencana Peruntukan Pinjaman Ramah Lingkungan
SKALA USAHA
Total
Base: semua responden yang berminat
memanfaatkan pinjaman lunak untuk
kegiatan ramah lingkungan
Modal kerja yang menunjang kegiatan
ramah lingkungan
Investasi yang menunjang kegiatan
ramah lingkungan
Pengadaan peralatan pengendalian dan
pencegahan pencemaran
Kegiatan pengendalian dan pencegahan
pencemaran
Menambah lahan parkir
Belum tahu untuk apa
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
214
42
81
91
117
51
37
9
57%
60%
54%
59%
58%
71%
38%
56%
21%
17%
22%
23%
20%
14%
32%
44%
13%
14%
15%
10%
15%
6%
16%
-
7%
7%
5%
8%
4%
8%
14%
-
0,5%
1%
2%
1%
2%
-
1%
2%
2%
-
-
Pinjaman ramah lingkungan yang coba ditawarkan kepada UMKM tersebut
direncanakan akan digunakan untuk menambah modal (57%), dan investasi 21%. Hanya
sebagian saja yang menyatakan secara eksplisit bahwa pinjaman tersebut akan diperuntukan
guna pengadaan peralatan (13%) dan kegiatan pengendalian dan pencegahan pencemaran
(7%). Fakta ini menunjukkan bahwa pinjaman ramah lingkungan harus dirancang sedemikian
rupa agar peruntukannya sesuai dengan target yang diharapkan. Bila tidak maka para pelaku
UMKM akan menggunakan pinjaman tersebut seperti layaknya pinjaman konvensional.
Informasi lainnya yang menarik adalah adanya tingkat kesetujuaan UMKM bila
pinjaman Bank hanya diperuntukkan bagi UMKM yang sudah menjalankan usaha ramah
lingkungan dipaparkan pada Tabel 4.84.
Tabel 4.84. Tingkat Kesetujuan Bila Pinjaman Hanya Untuk UMKM Ramah Lingkungan
SKALA USAHA
Total
Total
277
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
64
103
110
141
77
50
9
Sangat tidak setuju
1%
3%
-
1%
1%
3%
-
-
Tidak setuju
24%
20%
24%
26%
26%
19%
28%
11%
Antara setuju dan tidak
8%
9%
5%
10%
7%
8%
10%
11%
Setuju
55%
50%
57%
55%
55%
55%
58%
44%
Sangat setuju
12%
17%
14%
7%
11%
16%
4%
33%
Tampak bahwa hanya 25% responden UMKM tidak setuju bila pinjaman hanya
diperuntukan bagi mereka yang sudah menjalankan program ramah lingkungan. Alasan UMKM
tidak setuju dengan program tersebut disajikan pada Tabel 4.85.
102
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.85. Alasan Tidak Setuju terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan
SKALA USAHA
Total
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang tidak setuju
bila bank hanya akan memberi pinjaman
kepada debitur yang telah menerapkan
aspek ramah lingkungan dalam kegiatan
usahanya
70
15
25
30
38
17
14
1
Pengusaha yang belum ramah lingkungan
juga membutuhkan pinjaman untuk
mengembangkan usahanya
33%
40%
36%
27%
34%
35%
29%
-
20%
20%
16%
23%
21%
12%
29%
-
14%
27%
12%
10%
13%
29%
-
-
13%
13%
16%
10%
11%
24%
-
100%
9%
-
4%
17%
11%
-
14%
-
3%
-
4%
3%
5%
-
-
-
Karena tidak semua usaha yang telah
menerapkan ramah lingkungan
membutuhkan pinjaman dari bank
Sebaiknya diberikan
penyuluhan/pelatihan kegiatan ramah
lingkungan bagi perusahaan yang
membutuhkan pinjaman namun belum
melakukan kegiatan ramah lingkungan
Belum mengerti bagaimana kegiatan
yang ramah lingkungan
Perusahaan yang belum ramah
lingkungan juga memerlukan pinjaman
dana untuk kegiatan ramah lingkungan
Karena tidak semua usaha menghasilkan
limbah yang mencemari lingkungan
Ketidaksetujuan UMKM terkait pinjaman ramah lingkungan umumnya berasal dari
UMKM yang belum melakukan usaha yang ramah lingkungan. Sementara 20% lainnya
menyatakan bahwa UMKM tidak semuanya mampu menjalankan usaha yang bersifat ramah
lingkungan. Alasan yang bersifat positif adalah 14% UMKM perlu bimbingan dalam bentuk
pelatihan atau sejenisnya agar mampu mengarah pada usaha ramah lingkungan. Bahkan 13%
UMKM belum memahami sama sekali istilah ramah lingkungan.
Sementara dari 67% UMKM yang menyatakan setuju dengan adanya program pinjaman
ramah lingkungan berpendapat pada Tabel 4.86, bahwa program ini mendorong agar pelaku
UMKM peduli terhadap kelestarian lingkungan (17%). Sementara 10% menyatakan alasan
senada agar UMKM memiliki kewajiban memelihara lingkungan. Alasan yang diberikan pada
dasarnya menunjukkan adanya kepedulian UMKM terhadap lingkungan.
103
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.86. Alasan Setuju terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan
SKALA USAHA
Total
Base: semua responden yang setuju bila
bank hanya akan memberi pinjaman
kepada debitur yang telah menerapkan
aspek ramah lingkungan dalam kegiatan
usahanya
Agar pengusaha peduli terhadap
lingkungan dengan berusaha
melaksanakan kegiatan ramah
lingkungan dalam usahanya
Untuk menjaga dari dampak pencemaran
lingkungan
Membantu mencegah pencemaran
lingkungan
Agar lingkungan sehat
Sudah melestarikan lingkungan
Agar debitur mau menerapkan kegiatan
ramah lingkungan dalam setiap usahanya
Untuk menciptakan kawasan yang
disiplin terhadap kegiatan ramah
lingkungan
Supaya para pengusaha giat menerapkan
aspek ramah lingkungan buat seluruh
kegiatan usahanya
Karena bisa mendidik pengusaha agar
melakukan proses produksi yang ramah
lingkungan
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha
Usaha
Industri
Pertanian Transportasi Pertambangan
Mikro Kecil Menengah Pengolahan
185
43
73
69
93
54
31
7
17%
14%
15%
20%
22%
15%
10%
-
10%
5%
11%
12%
12%
9%
6%
-
6%
7%
4%
7%
6%
6%
6%
-
5%
5%
9%
2%
4%
5%
3%
6%
5%
5%
7%
6%
3%
-
5%
5%
4%
6%
3%
4%
10%
14%
4%
5%
4%
4%
6%
-
6%
-
4%
2%
3%
7%
4%
4%
6%
-
3%
2%
5%
1%
3%
4%
3%
-
Memperhatikan hasil yang terkait dengan pinjaman ramah lingkungan, dapat diartikan
bahwa UMKM sebagian besar memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, namun
pemahan mereka terhadap hal tersebut masih terbatas, oleh karenanya sosialisasi kepada
UMKM perlu dilakukan secara masif dan berkesinambungan. Sementara instrumen perbankan
dalam bentuk skim pinjaman ramah lingkungan perlu dikaji lebih mendalam karena banyak
kendala yang akan dihadapi, tidak saja masalah terbatasnya pemahaman UMKM juga adanya
persepsi yang keliru dalam memahami usaha ramah lingkungan.
4.4.3. Peran Perbankan dan Konsep Pengembangan Skema Pembiayaan UMKM Ramah
Lingkungan
Secara sekilas, lembaga perbankan sepertinya tak terpengaruh atas masalah lingkungan
yang ada saat ini. Meski secara internal, lembaga perbankan itu sendiri umumnya menerapkan
aspek ramah lingkungan dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, secara eksternal, bila disimak
lebih mendalam hubungan yang terjadi antara lembaga perbankan dengan entitas pengguna
produk perbankan, maka kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh entitas pengguna jasa
perbankan ini sangat signifikan. Dengan kata lain, lembaga perbankan yang berperan sebagai
mediator dalam mempengaruhi kegiatan industri, secara tidak langsung akan berhadapan
dengan risiko terkait dengan kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, merosotnya kualitas
lingkungan hidup serta daya dukungnya terhadap kegiatan ekonomi di dalamnya diperkirakan
dapat mempengaruhi kualitas aktiva dan ekspektasi pengembalian pembiayaan dalam jangka
panjang. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi lembaga perbankan untuk menerapkan go
green dan berperan pro-aktif. Bahkan lembaga perbankan dapat berperan sebagai lokomotif
104
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dalam aspek kelestarian lingkungan hidup melalui prinsip pembiayaan yang berpihak pada
kelestarian lingkungan.
Kebijakan yang diterapkan lembaga perbankan sedikit banyak akan memaksa industri
(UMKM) untuk melakukan investasi melalui manajemen lingkungan yang tepat guna. Jika
kebijakan ini diimplementasikan secara proporsional sesuai dengan kondisi UMKM, maka tidak
mustahil kebijakan ini menjadi instrumen yang sangat efektif dalam mencegah kerusakan
lingkungan. Bahkan lembaga perbankan dapat berperan dalam menyeimbangkan kepentingan
ekonomi dengan etika dan tanggungjawab sosial perusahaan melalui penerapan kebijakan
investasi yang mempertimbangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini
pada gilirannya akan meningkatkan citra, daya saing dan memberi keunggulan komparatif
tersendiri bagi perbankan yang bersangkutan.
Tantangan akan kelestarian lingkungan hidup di Indonesia pada tahun-tahun mendatang
akan semakin berat, ini disebabkan Indonesia masih sangat bergantung pada devisa yang
berasal dari sumberdaya alam. Oleh karenanya industri ekstraktif tetap akan berkembang,
sehingga tekanan terhadap lingkungan akan semakin tinggi. Atas dasar ini lembaga perbankan
diharapkan sesegera mungkin menerapkan kebijakan ramah lingkungan serta memberikan
kemudahan penyaluran kredit kepada UMKM yang guna menerapkan usaha ramah lingkungan.
Jadi tidak hanya sebatas memberikan dorongan belaka kepada nasabah atau debiturnya namun
perlu political will yang kuat disertai dengan tindakan nyata sebelum semuanya terlambat.
Menyimak pentingnya peran lembaga perbankan sebagai salah satu institusi yang turut
menentukan arah kebijakan terhadap kelestarian lingkungan, serta memperhatikan kondisi
UMKM yang sangat bervariasi untuk menerapkan usaha ramah lingkungan, maka konsep
pengembangan skema pembiayaan usaha ramah lingkungan adalah:
a. Bekerjasama dengan lembaga terkait seperti dinas-dinas yang mengelola lingkungan hidup,
perindustrian dan perdagangan serta pertambangan untuk melakukan stratifikasi atau
assesment secara berkala atau periodik terhadap UMKM yang memiliki potensi
pencemaran lingkungan. Pihak perbankan juga melakukan assesment terhadap aspek
feasibility usaha dan aspek bankable-nya terhadap UMKM dimaksud. Hasil assesment akan
diperoleh stratifikasi atau pengelompokkan UMKM berdasarkan aspek kelayakan usaha dan
aspek lingkungan yaitu potensi pencemaran. Selanjutnya, kelompok UMKM dimaksud dapat
memiliki kriteria sebagai UMKM yang feasible dan bankable serta ramah lingkungan, atau
kriteria sebaliknya.
b. Berdasarkan stratitifikasi tersebut dapat dirancang bentuk bantuan teknis dan skema
pembiayaan yang sesuai dengan kondisi masing-masing strata UMKM atau kriteria yang
dimiliki. Rancangan dimaksud dapat didiskusikan dengan dinas terkait, sedangkan usulan
skema pembiayaan termasuk sumber pembiayaan dapat diusulkan melalui pemanfaatan
dana dari program CSR dan didiskusikan lebih lanjut dengan lembaga perbankan.
c. Rancangan dan implementasi program bantuan teknis dalam rangka pengembangan UMKM
ramah lingkungan merupakan program multi years dan berkesinambungan. Secara garis
besar terdapat kelompok UMKM yang feasible, namun belum memiliki potensi sebagai
usaha ramah lingkungan sehingga diupayakan pemberian pinjaman/pembiayaan dengan
105
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
suku bunga yang menarik. Untuk kelompok UMKM dengan keterbatasan kemampuan dari
sisi keuangan dan kemampuan diupayakan peningkatan kemampuan teknis sehingga akan
mendorong UMKM menjadi feasible seraya diarahkan usahanya memenuhi kriteria ramah
lingkungan.
d. Dukungan pemerintah dan lembaga domestik melalui edukasi dan sosialisasi secara
terencana dan berkesinambungan kepada UMKM dan masyarakat sangat diperlukan dalam
rangka meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap pentingnya kelestarian
lingkungan, diantaranya penggunaan produk-produk ramah lingkungan serta adanya sanksi
yang tegas dan bersifat mendidik bila diperlukan.
106
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Sesuai dengan pelaksanaan penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Usaha ramah lingkungan merupakan aktivitas usaha yang senantiasa berupaya
meminimalisir kerusakan terhadap lingkungan hidup, seperti pencemaran melalui limbah
yang dihasilkan, dan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan ekosistem maupun
lingkungan masyarakat yang berada di sekitar wilayah usaha. Keberadaan usaha ramah
lingkungan diharapkan akan meningkatkan keterjaminan dan keberlanjutan keseimbangan
ekosistem di masa mendatang.
b. Kriteria usaha ramah lingkungan masih terus dikembangkan, namun masing-masing
kementerian atau dinas memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan aktivitasnya. Berikut
kriteria usaha ramah lingkungan berdasarkan sektor usaha yang menjadi bagian dari ruang
lingkup penelitian :
1. Kriteria usaha ramah lingkungan pada sektor pertanian dikaitkan dengan Sistem
Pertanian Organik, yaitu mengarahkan pelaku usaha untuk menjaga keseimbangan
ekosistem guna menjamin keberlanjutan daya dukung alam dalam menyediakan bahan
pangan yang sehat dan bermutu serta memenuhi kebutuhan industri.
2. Kriteria Industri Hijau merupakan kriteria usaha ramah lingkungan pada sektor industri,
antara lain mengarahkan pelaku UMKM agar melakukan konsep 3R (reduce, reuse dan
recycle).
3. Kriteria ramah lingkungan yang dikembangkan pada sektor pertambangan, adalah
menitikberatkan pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem melalui rehabilitasi
kembali lahan bekas tambang agar dapat mengembalikan kembali fungsi ekosistem
yang telah terganggu.
4. Sektor transportasi merupakan sektor ekonomi yang tidak memiliki kriteria khusus
dalam mengarahkan pelaku UMKM agar menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan
transportasi merupakan bagian integral dari sistem tata ruang wilayah, oleh karenanya
kriteria yang digunakan mengacu pada sistem yang dikembangkan sesuai RUTR, di mana
pengurangan emisi gas buang menjadi isu utama pada kriteria yang diterapkan. Upaya
ini dapat ditempuh melalui penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, modifikasi
mesin agar lebih hemat energi, serta mengintegrasikan sistem angkutan untuk
meminimalisir limbah emisi yang dihasilkan.
c. Secara umum, UMKM belum memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan usaha ramah
lingkungan dengan kendala yang dihadapi antara lain minimnya pengetahuan dan
kesadaran terhadap ramah lingkungan, keterbatasan akan kemampuan teknis, aspek
107
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
permodalan serta lemahnya aspek manajemen. Permasalahan yang dihadapi dalam
melaksanakan usaha ramah lingkungan, adalah :
1. Sektor pertanian merupakan sektor yang secara alami lebih siap menuju ramah
lingkungan, namun pasar produk pertanian organik masih membutuhkan edukasi dan
pengembangan agar terjadi keseimbangan antara input dan output yang saling
menguntungkan.
2. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keragaman aktivitas usaha.
Permasalahan utama yang dihadapi sektor industri adalah pengolahan limbah yang
dihasilkan. Saat ini, lokasi industri umumnya berada di pemukiman sehingga perlu upaya
merelokasikannya ke sentra industri untuk memudahkan pengolahan limbahnya. Upaya
ini terkendala dengan tingginya biaya untuk membangun sentra industri sehingga solusi
3R (reduce, reuse dan recycle) sebagai pilihan yang logis untuk dilaksanakan melalui
pembinaan yang berkesinambungan oleh Kementerian dan Dinas terkait.
3. Sektor pertambangan merupakan sektor yang paling rentan terhadap kerusakan
lingkungan, namun pengetahuan UMKM sektor dimaksud terhadap kegiatan ramah
lingkungan relatif lebih baik walaupun dalam prakteknya masih terjadi gap yang cukup
lebar.
4. Kriteria ramah lingkungan pada sektor transportasi mengacu pada RUTR yang
mengedepankan aspek keseimbangan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa usaha
transportasi memiliki dampak langsung pada pengotoran udara luar, maka UMKM yang
berada pada sektor ini diarahkan pada upaya meminimalisir emisi gas buang melalui
pengalihan penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Kendala utama yang
dihadapi terletak pada permodalan untuk peremajaan kendaraan dan modifikasi mesin
agar lebih hemat dalam penggunaan bahan bakar.
d. Pemerintah melalui kementerian dan dinas terkait menghadapi kendala dalam melakukan
sosialisasi dan edukasi atau pembinaan terhadap UMKM agar menuju usaha ramah
lingkungan. Sebagaimana diketahui jumlah UMKM yang cukup banyak dengan kondisi yang
sangat variatif dari sisi skala maupun jenis usaha. Kendala ini disebabkan oleh berbagai
faktor seperti keterbatasan dana dan SDM yang handal, lemahnya koordinasi antar instansi
atau dinas, ditambah lagi prioritas pembinaan UMKM saat ini masih terfokus pada upaya
peningkatan produksi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas guna memenuhi kebutuhan
serta tingkat persaingan yang semakin meningkat.
e. Dalam pengembangan UMKM terdapat beberapa pinjaman lunak ramah lingkungan yang
merupakan pinjaman atau hibah dari negara lain, seperti Industrial Efficiency and Pollution
Control (IEPC) –Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) yang merupakan program Debt for
Nature Swap (DNS) yang berasal dari pemerintah Jerman. Program ini dilaksanakan sejak
tahun 2002 hingga sekarang dan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang
disalurkan melalui beberapa bank kepada UMK. Tujuan dari pinjaman ini adalah untuk
mendorong agar UMK dapat mengurangi limbah produksi melalui peningkatan efisiensi
108
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dalam penggunaan energi, bahan baku dan pengolahan limbah. Pada tahun 1992 terdapat
program Pollution Abatement Equipment, dari Japan Bank for International Cooperation
(JBIC), namun sayangnya hingga program tersebut berakhir belum ada lembaga perbankan
di Indonesia yang menginisiasi peluncuran skim pinjaman atau pembiayaan untuk UMKM
ramah lingkungan dengan mengadopsi program sejenis untuk tujuan serupa.
f.
Saat ini belum satupun lembaga perbankan di Indonesia yang memiliki kebijakan atau skim
pinjaman untuk mendorong UMKM ramah lingkungan. Skim pinjaman atau pembiayaan
yang tersedia saat ini bagi UMKM masih bersifat umum dan kriterianya didasarkan pada
aspek kelayakan usaha dengan berpedoman pada azas 5C. Namun demikian dalam hal
perbankan akan meluncurkan skema pembiayaan untuk mendorong UMKM ramah
lingkungan atau dapat disebutkan dengan green lending, maka perlu menambahkan kriteria
Commitment sebagai kesungguhan UMKM untuk mematuhi kriteria ramah lingkungan yang
diterapkan oleh kementerian terkait.
g. Strategi yang perlu diterapkan untuk mendukung UMKM ramah lingkungan sebagai berikut:
1. Menyusun kriteria UMKM ramah lingkungan yang mencakup aspek pengendalian
terhadap lingkungan dan juga kelayakan usaha, dilanjutkan dengan penyusunan
stratifikasi (pemetaan) UMKM ramah lingkungan dimaksud. Kegiatan ini memerlukan
mitra kerja yang berperan sebagai assesor independen dan terpercaya yang dapat
menilai kesiapan dan memantau UMKM dalam menerapkan kriteria ramah lingkungan,
serta merancang program insentif untuk percepatan terciptanya UMKM ramah
lingkungan.
2. Meningkatkan pembinaan kepada UMKM agar memiliki minat atau memulai untuk
menerapkan usaha ramah lingkungan secara bertahap, melalui sosialisasi dan edukasi
bekerjasama antara kementerian dan dinas terkait serta lembaga domestik seperti
perbankan.
3. Meningkatkan edukasi pasar untuk pemilihan dan pemanfaatan produk ramah
lingkungan. Di sisi lain perlu adanya dukungan dan subsidi pemerintah terhadap produkproduk ramah lingkungan agar harga produk dimaksud dapat bersaing dengan produk
konvensional.
h. Stratifikasi UMKM disusun berdasarkan aktivitas nyata yang dilakukan terkait dengan aspek
lingkungan. Secara umum UMKM masih jauh dari perilaku ramah lingkungan. Dari keempat
sektor yang dikaji, UMKM sektor pertambangan menunjukkan performa lingkungan yang
relatif lebih baik dari sektor lainnya. Hal ini disebabkan sektor pertambangan sering
menjadi sorotan umum terkait dampak yang ditimbulkan dalam perusakan lingkungan.
UMKM sektor industri yang merupakan sektor dengan jumlah UMKM terbanyak serta
UMKM sektor transportasi, ternyata menunjukkan perilaku lingkungan yang
memprihatinkan.
109
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
5.2.
Rekomendasi
Memperhatikan hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dipaparkan di atas maka
rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai berikut :
a. Pengetahuan dan kesadaran UMKM serta masyarakat terhadap ramah lingkungan masih
terbatas, oleh karenanya perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi yang terarah serta
berkesinambungan mengenai berbagai aspek dan kriteria ramah lingkungan sesuai
sektornya. Tujuannya agar UMKM dan masyarakat memahami makna dan manfaat ramah
lingkungan, sekaligus menyiapkan UMKM untuk menjalankan usaha ramah lingkungan
dalam jangka menengah dan panjang. Berkaitan dengan hal ini perlu pendalaman kriteria
ramah lingkungan agar mudah dipahami dan dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing
sektor usaha termasuk perbankan.
b. Penyediaan skim pinjaman atau pembiayaan telah diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan
Hidup melalui pinjaman lunak ramah lingkungan, namun langkah ini belum diikuti oleh
perbankan dalam mengembangkan usaha ramah lingkungan. Untuk itu, kedepannya
diperlukan pengaturan dalam rangka mendukung usaha ramah lingkungan yang
membutuhkan permodalan. Hal ini penting untuk mendorong perbankan memasukkan
aspek perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup melalui pinjaman yang pro
lingkungan (green lending) dan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab lembaga
perbankan dalam melestarikan lingkungan hidup serta juga memudahkan untuk
mendapatkan akses keuangan bagi UMKM.
c. Inisiasi skim pinjaman atau pembiayaan ramah lingkungan (green lending) memerlukan
prinsip kehati-hatian dan implementasi secara bertahap mengingat sebagian besar UMKM
belum siap menjalankan program ramah lingkungan. Dalam pelaksanaan implementasinya
memerlukan kerjasama antara pihak perbankan dan tenaga assesor yang terpercaya guna
melakukan penilaian dan evaluasi usaha ramah lingkungan dengan menggunakan kriteria
yang jelas dan terukur.
d. Berkenaan dengan usulan penyediaan skim pinjaman ramah lingkungan di atas, perbankan
dapat mengawali dengan melakukan:
(1) Pembinaan kepada UMKM yang belum bankable dan belum feasible melalui
program CSR. Kegiatan ini dapat bekerja sama dengan kementerian atau lembaga
lainnya.
(2) Penyediaan kredit dengan bunga khusus bagi UMKM yang belum feasible namun
telah bankable.
(3) Pemberian insentif khusus kepada UMKM yang sudah bankable dan feasible.
e. Disadari bahwa lembaga perbankan tidak memiliki sumber daya manusia yang mencukupi
untuk melakukan pembinaan kepada UMKM dalam penyaluran kredit ramah lingkungan.
Oleh karena itu perlu kerjasama dengan pihak ketiga yang berperan sebagai assesor dalam
menilai tingkat ramah lingkungan UMKM yang akan dibina maupun diberi pinjaman kredit
ramah lingkungan.
110
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Aspek lain yang masih memerlukan dukungan dalam pengembangan UMKM ramah
lingkungan adalah mengupayakan peningkatan daya serap pasar produk ramah lingkungan
yang saat ini masih terbatas. Oleh karenanya pelaksanaan sosialisasi dan edukasi sangat
diperlukan dalam rangka menumbuhkan kesadaran konsumen untuk memanfaatkan produk
ramah lingkungan.
111
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
LAMPIRAN 1
Hasil Focus Group Discussion
Topik Utama
Bila ada green lending yang hanya diperuntukkan bagi usaha dengan green concept,
bagaimana tanggapan dari Kementan? Akankah menjadi bumerang atau pemicu bagi pihak
kementerian dan bank? Bagaimana tanggapan dari Kementan yang membawahi sektor
industri dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak dan penyedia bahan baku industri?
Tanggapan:
1. Kementerian Pertanian (Sitimawan D.S, Staff Pengolahan PPHP Kementan Jakarta)
Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (PPHP)
memiliki tugas pure untuk mengurus teknologi pengolahan. Terkait dengan isu dampak
lingkungan, PPHP menangani bagian budidaya. Budidaya dalam lingkup pertanian sendiri
ada berbagai macam: budidaya tanaman pangan (di bawah Dirjen Pangan), sayuran (di
bawah Dirjen Hortikultura), buah-buahan (di bawah Dirjen Perkebunan), hingga kepada
pengolahan lahan dan air (Dirjen Pengelolaan Limbah dan Air).
PPHP memiliki beberapa program terkait pembinaan dalam hal pengolahan,
diantaranya adalah Dana Tugas dan Bantuan ke petani. Program ini dikenal sebagai dana
teknologi alat yang diberikan oleh Kementan setiap tahunnya bagi 64 kabupaten yang
tersebar pada 20-30 provinsi. Untuk mendapatkan dana bantuan tersebut dilakukan dengan
mengajukan proposal terlebih dahulu. Kendala yang dihadapi dalam program ini adalah
ketika pihak Kementan mensubsidi alat usaha terkait, yang dibantu mengalami kesulitan
dalam hal pengadaan modal sehingga kesulitan juga untuk membangun rumah produksi.
Hal tersebut terjadi karena usaha tersebut tidak memiliki akses untuk melakukan pinjaman
(lending) ke bank, sementara Dinas Pertanian tidak bisa menjembatani pemilik usaha
tersebut (yang umumnya berada di daerah terpencil) dengan pihak bank. Oleh karenanya,
Kementan tidak bisa mengcover seluruh kebutuhan usaha pertanian kecil seperti itu.
112
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 1:
Bagaimana dengan masalah ketersediaan bahan baku yang ramah lingkungan (go green)
seperti misalnya pupuk organik?
Tanggapan
Untuk bagian produksi sendiri sebenarnya berada di bawah Dirjen-dirjen yang
terkait jenis produk (Dirjen Pangan untuk tanaman pangan, dsb).
Kementan juga memiliki program “Go Organik 2010” namun yang menjadi kendala
utama adalah mahalnya biaya untuk bertani organik. Di proses hilir juga terkendala masalah
pemasaran di mana konsumen tanaman organik masih sedikit dan seringkali produk
pertanian organik yang harga jualnya mahal, kurang dapat bersaing dengan produk
pertanian non organik (konvensional).
Pertanyaan Sisipan 2:
Dapat disimpulkan adanya dua permasalahan utama bagi usaha kecil dengan green
concept di bidang pertanian: modal dan pemasaran. Apa usaha yang sudah dilakukan
Kementan untuk menanggulangi dua kendala tersebut?
Tanggapan:
Di Kementan sebenarnya ada Direktorat Pemasaran Domestik. Direktorat tersebut
membuat pasar tani di setiap sentra tani yang potensial. Contohnya Kota Malang dengan
komoditas utama buah dan produk utama keripik buah. Direktorat Pemasaran Domestik
akan membangun sentra tani di dekat daerah pasar dan tempat wisata.
Ada juga Sub Terminal Agribisnis (STA). Contohnya Brebes dengan komoditas
bawangnya. Pihak Direktorat Pemasaran Domestik akan membuat STA di mana di lokasi
tersebut akan didisplay bawang yang menjadi icon dari Brebes lengkap dengan informasi
dan kelebihannya, sehingga investor yang datang dapat melihat potensi bawang yang ada di
Brebes. Pameran juga diadakan setiap tahun, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tujuannya untuk mempromosikan produk pertanian dari dalam negeri.
Pertanyaan Sisipan 3:
Apakah ada program khusus yang dibuat Kementan untuk mengurangi dampak kerusakan
lingkungan secara langsung?
Tanggapan:
Kementan sempat memiliki Subdit Pengolahan Hasil dan Lingkungan Hidup, namun
dibubarkan 2 tahun terakhir ini dengan alasan efisiensi. Akhirnya subdit tersebut
dikembalikan dan bergabung dengan masing-masing subdirektorat yang ada. Kriteria good
factory (green factory) ada di masing-masing subdirektorat terkait. Kementan juga memiliki
program Good Manufacture Practice (GMP), hasil kerjasama antara Kementan dengan
113
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Direktorat Mutu dan Standardisasi. Fungsi program tersebut adalah untuk meninjau
kelayakan dari rumah produksi.
Mengingat tugas yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup tersebar di
beberapa direktorat maka narasumber mengusulkan untuk melibatkan Dirjen Perkebunan,
Dirjen Hortikultura, Dirjen Tanaman Pangan, dan Dirjen Pengolahan Air dan Limbah dalam
dialog ini.
2. Kementerian Perhubungan (Rudi Abisena, Kasi Dampak Transportasi dan Hikmat H. P,
Staff Dampak Transportasi)
Tanggapan:
Terkait isu lingkungan sebenarnya terdapat 4 hal yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Perhubungan:
- Pengurangan kemacetan lalu lintas. Hal tersebut berkaitan dengan efisiensi penggunaan
BBM.
-
Mendorong penggunaan transportasi masal, khususnya di kota besar dan kota
metropolitan. Seperti implementasi Transjakarta dan Transjogja.
-
Pemanfaatan teknologi kendaraan bermotor. Dalam hal ini adalah upaya konservasi
sumber energi baru terbarukan dan mesin yang mendukung energi tersebut. Sumber
energi kendaraan bermotor yang kini sedang dikembangkan meliputi Hydro Energy dan
BBG.
-
Mendorong pembangunan jalur nonmotorized seperti jalur sepeda dan trotoar untuk
pejalan kaki, sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas.
Pada PP No. 61 tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca, Kementerian Perhubungan memiliki misi “ASI” : Avoid, Shift, Improvement.
- Avoid
Tindakan pencegahan. Seperti misalnya untuk memisahkan mana aktivitas yang harus
melakukan mobilisasi menggunakan kendaraan bermotor (penggunaan BBM), mana yang
bisa tercover dengan jalan kaki ataupun naik sepeda.
Pencegahan juga dilakukan melalui penataan kota dan infrastruktur. Misalnya melalui
pemerataan fasilitas sehingga mengurangi mobilisasi pada masyarakat.
-
Shift
Perpindahan/mengalihkan. Caranya melalui penataan angkutan umum agar pengguna
kendaraan pribadi mau beralih ke transportasi masal.
-
Improvement
Dilakukan melalui modifikasi kendaraan bermotor agar mesin lebih hemat energi.
Sementara itu, program “ASI” diimplementasikan sebagai berikut:
114
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
-
Pengadaan ITS (Intelligent Traffic System) berupa kamera untuk memonitor kondisi lalu
lintas dan detector khususnya pada traffic light yang mengatur nyala lampu sesuai
dengan kepadatan jalan. Teknologi tersebut sudah tercover oleh dana dari APBN dan
APBD.
-
Andalalin (Analisis Dampak Lalu Lintas) atau TIC (Traffic Impact Control) di mana setiap
pembangunan infrastruktur seperti; pusat kegiatan masyarakat ataupun pemukiman,
yang mempengaruhi sistem lalu lintas harus dilengkapi dengan penelitian. Hal tersebut
tercantum pada UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Misalnya apakah pengembang
perlu membangun halte pada lokasi yang ingin dibangun dan apakah membutuhkan
tempat parkir (seluas apa dan seperti apa).
-
Manajemen parkir, di mana lokasi parkir dilengkapi dengan tanda parkir penuh/kosong
dan berapa sisa tempat parkir.
-
Penarikan retribusi bagi kendaraan yang masuk ke lokasi tertentu untuk biaya
pemeliharaan sarana dan prasarana.
-
Tiap kota besar dan kota metropolitan harus punya sistem transportasi transit seperti
Transjakarta dan Transjogja. Program ini akan memperoleh pembiayaan dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah wajib untuk membantu, khususnya dalam pengadaan
armada.
-
Peremajaan angkutan umum. Misal bila batas umur kendaraan adalah 10 tahun, maka
kendaraan umum diatas 10 tahun harus dihentikan operasinya. Kemenhub tengah
mempertimbangkan pembelian terhadap kendaraan umum tua agar pemilik mau
mengganti kendaraannya.
-
Penggunaan BBG sudah diberlakukan sejak tahun 2007 namun progresnya masih
tertatih-tatih karena kendala infrastruktur. BBG sendiri disalurkan melalui 2 jalur,
pertama melalui kredit. Jalur kredit diberikan melalui kredit kepada pengguna, namun
kegiatan ini berada di luar ranah Kementerian Perhubungan. Kedua melalui bantuan
teknis. Cara inilah yang selama ini diterapkan di mana BBG diberikan secara langsung dari
pemerintah ke pengelola angkutan umum.
Kendala utama yang dihadapi program konversi ini adalah pengadaan infrastruktur
dimana energi sudah tersedia namun stasiun pengisian dan armada khusus pengangkut
energi tidak tersedia. Seperti misalnya di Bogor, sejak tahun 2010 rencana pembangunan
stasiun pengisian BBG belum juga terlaksana. Padahal penggunaan BBG dapat
mengurangi emisi sampai 19%. Terlebih dengan harga yang lebih murah, bila
dibandingan dengan harga premium dengan harga Rp. 4.500,- per liter, sedangkan harga
BBG hanya sebesar Rp. 3.100,- per liter.
115
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 1:
Apakah Kementerian Perhubungan ada usaha/binaan yang lebih riil. Misal program Amdal
kendaraan bermotor atau angkutan jalan raya yang harus disetujui oleh Kemenhub?
Tanggapan:
Kementerian Perhubungan hanya mengurus Andalalin, bukan Amdal. Jelas 2 hal
yang berbeda. Tujuannya agar kemacetan berkurang dan emisi gas rumah kaca berkurang.
Pihak yang bertanggung jawab melaksanakan Andalalin tentu saja pihak pengembang.
Kemudian pada akhirnya harus disetujui oleh tiga pihak: PU, Dephub, dan Polri, untuk skala
nasional. Sedangkan pada di tingkat provinsi maka harus memperoleh persetujuan dari
gubernur.
Pertanyaan Sisipan 2:
Terkait izin usaha angkutan umum seperti angkot dan taksi misalnya, apakah Kementerian
Perhubungan juga mengurus hal tersebut?
Tanggapan:
Perizinan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan ada 3, salah satunya
seperti yang dimaksud tadi adalah AKAP (Angkutan Antarkota Antar provinsi), bagian yang
mengurusnya adalah Direktorat DLLAJ tepatnya di bagian Subdit Angkutan Jalan. Subdit
berfungsi mengurus perizinan, monitoring, evaluasi, termasuk keterkaitannya dengan
sektor pariwisata. Angkutan yang melayani perjalanan antarkota diurus oleh pemerintah
kota sedangkan angkutan yang melayani perjalanan antar provinsi diurus oleh pemerintah
di tingkat provinsi.
Pertanyaan Sisipan 3
Salah satu hal yang krusial terkait pencemaran lingkungan adalah pencemaran air dan udara.
Penyumbang polutan udara terbesar adalah emisi dari kendaraan bermotor, khususnya
kendaraan umum yang beroperasi setiap hari dan jumlahnya banyak. Bagaimana tanggapan
dari Kemenhub?
Tanggapan:
Pencemaran udara, tepatnya adalah udara ambien yaitu udara yang sudah tercampur
dengan berbagai macam partikel selain polutan dari emisi kendaraan. Kemenhub hanya bisa
berbuat untuk menangani sumbernya yaitu dengan melakukan Uji Tipe pada kendaraan. Uji
emisi diberikan kepada kendaraan-kendaraan baru dan berlaku 6 bulan. Uji berkala
dilakukan pada angkutan umum, juga berlaku 6 bulan.
Untuk masalah pemeliharaan kendaraan, kemenhub tidak bisa berbuat banyak hingga
hal yang paling detail. Hal yang bisa dan telah dilakukan adalah dengan mengumpulkan
116
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pemilik kendaraan umum di suatu tempat dan kami berikan pelatihan selama 1-2 hari
tentang cara mengemudi yang baik, bagaimana merawat kendaraan agar hemat energi, dsb.
“Hal yang paling krusial yang bisa segera direalisasikan adalah keringanan fiskal untuk
pengadaan infrastruktur seperti tabung dan truk BBG misalnya. Bayangkan, Palembang
mau mengimpor truk dengan harga 2 miliar, dua kali lipat harga truk biasa di Indonesia.” –
Kementerian Perhubungan”.
3. Kementerian Perindustrian (Sri Gadis P. Bekti, Kasie Kerjasama Industri Hijau dan Bayu F.
N., Kasie Kerjasama)
Tanggapan:
Pada dasarnya Kemenperin memiliki kebijakan industri nasional di mana
berdasarkan PP No 28 tahun 2008 menyatakan bahwa suatu industri tidak hanya mengejar
faktor ekonomi, tetapi juga memiliki tanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan.
Dari sisi kebijakan, sejak tahun 2010, Kemperin memiliki program Tingkat Kinerja
Lingkungan. Sejak tahun 2010 juga memiliki penghargaan untuk industri hijau (Industry
Award) untuk semua ukuran industri. Aspek penilaian Industry Award terdiri dari 70%
proses industri, 20% manajemen, dan 10% pengelolaan lingkungan. Proses industri dinilai
melalui penggunaan teknologi yang lebih efisien, dengan emisi kecil, dan kapasitas produksi
yang optimal tanpa mengganggu kualitas dari barang itu sendiri. Prinsip industri hijau
menurut pemahaman Kemperin adalah industri yang efisien dalam penggunaan energi,
sumber daya, dan bahan baku, serta ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kemenperin juga mendorong industri agar menggunakan bahan baku alami agar ramah
lingkungan, misalnya pada bahan pewarna tekstil.
Manajemen industri dinilai melalui ketaatan suatu industri pada standar operasional
prosedur (SOP). Pengelolaan lingkungan dinilai melalui PROPER yang dikeluarkan
Kementrian Lingkungan Hidup. Hasil akhir penilaian menempatkan suatu industri di level I
hingga V. Kementerian Perindustrian tidak memberlakukan punishment pada industri yang
dapat dikategorikan kurang/tidak ramah lingkungan karena program yang dirancang pada
dasarnya adalah pembinaan.
Sampai saat ini Kementerian Perindustrian memiliki 7 macam penghargaan bagi
industri yang concern pada masalah lingkungan. Penghargaan yang ada diberikan langsung
oleh Presiden. Tujuan utama dari penghargaan tersebut adalah peran suatu industri dalam
penghematan energi, konservasi energi, serta pengurangan emisi di beberapa sektor
industri. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian fokus kepada 8 sektor industri dengan
penggunaan energi dan risiko merusak lingkungan paling besar seperti industri semen, baja,
dan tekstil.
Kedepan Kementerian Perindustrian berharap dapat menjangkau semua sektor
industri. Pada tahun 2011 pesertanya ada 37 dan pada tahun 2012 ada 51 industrri, namun
sayangnya hanya sedikit sekali IKM yang ikut di dalamnya.
117
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kementerian Perindustrian sudah memiliki rencana induk untuk pengembangan
industri hijau dan ada targetnya. Tahun ini berhasil menghijaukan sekian persen industri
dan harapannya di tahun 2031 semua industri di Indonesia sudah bisa menghijaukan diri.
Pembinaan kami lakukan khususnya pada industri kecil dan menengah yaitu untuk produksi
bersih (cleaner production).
Kementerian Perindustrian juga mendorong program revitalisasi mesin yang diatur
oleh peraturan menteri. Mesin yang sudah tua cenderung menghabiskan banyak energi
namun kapasitas produksinya rendah. Program ini diterapkan melalui potongan sebesar
25% untuk harga mesin yang diberikan kepada industri tekstil, produk tekstil, penyamakan
kulit, gula rafinasi, dan alas kaki pada semua skala usaha. Dengan catatan, mesin yang
digunakan adalah mesin buatan dalam negeri.
Khusus untuk pemberian nominasi Industry Award, Kementerian Perindustrian selalu
memeriksa industri terkait dari ketaatan pajaknya (berhubungan dengan Dirjen Pajak) dan
status PROPERnya (berhubungan dengan KLH). Sejauh ini nominasi Industry Award kerapkali
jatuh pada industri besar. Harapannya, industri kecil dan menengah bisa mulai mengejar
ketertinggalannya.
Pertanyaan Sisipan 1:
Klasifikasi skala usaha di Kementerian Perindustrian seperti apa?
Tanggapan:
Kementerian Perindustrian mengklasifikasikan skala usaha berdasarkan kepemilikan
tenaga kerja, kami mengacu kepada informasi BPS. Khusus untuk penetapan klasifikasi ini
masih berada dalam tahap finalisasi RPP, masih didiskusikan. Sementara pemetaan industri
berdasarkan kepemilikan tenaga kerja dibedakan menjadi 3 kelompok yakni: kelompok
kecil (SDM ≤ 19), menengah (19 Ë‚ SDM ≤ 100), dan besar (SDM > 100).
Pertanyaan Sisipan 2:
Seperti apa pola pembinaan yang dilakukan Kementerian Perindustrian? Apa prioritas
program dari Kementerian Perindustrian?
Tanggapan:
Misi dari Industry Award sendiri adalah untuk mengapresiasi industri yang
memberikan sumbangsih bagi sektor ekonomi dan lingkungan. Kementerian Perindustrian
fokus pada proses produksi yang diterapkan. Harapannya adalah semua industri bisa ikut
dalam penilaian Industry Award. Berbeda dengan PROPER yang melaksanakan penilaian di
akhir tahun, penilaian Industry Award sudah mulai berjalan pada bulan-bulan ini (Oktober).
Kementrian Perindustrian juga sudah meluncurkan katalog bahan baku ramah lingkungan,
lengkap dengan harganya. Misal bila ada industri keramik yang mencari glasur warna ramah
lingkungan, Kementerian Perindustrian menyediakan informasi tersebut.
118
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 2:
Bila ternyata hanya industri dengan sertifikat green concept yang memperoleh lending dari
bank, bagaimana pendapat dari Kementerian Perindustrian?
Tanggapan:
Masalah utama untuk mencapai industri dengan green concept adalah biaya
operasionalnya, kemudian usaha untuk memperoleh sertifikatnya. Memang sulit untuk
memperoleh sertifikatnya namun harus semua industri memiliki sertifikat tersebut, kecil
maupun besar. Ada industri kecil yang memiliki ISO, mengapa industri lain tidak bisa?
Pemerintah dapat membantu industri dengan memberikan IPAL COMUNNAL seperti yang
dilakukan pada industri pengalengan ikan di Surabaya.
Kementerian Perindustrian memiliki 22 balai yang dapat membantu memberikan
kesadaran dan pengertian tentang pentingnya suatu industri menjadi ramah lingkungan
melalui pelatihan produksi bersih. Menurut hemat kami bila suatu industri sudah
melakukan produksi bersih, industri tersebut sudah bisa dikatakan mengusung konsep 3R
(Reduce, Recycle, Reuse). Produksi bersih dalam pengertian kami adalah produksi yang
melakukan penghematan energi serta adanya tata letak intsrumen produksi yang baik
sehingga tidak ada bahan baku dan energi yang tercecer sehingga jatuhnya lebih hemat.
Tentunya penilaian yang dilakukan terhadap suatu industri harus dibedakan karena
skala dan sektor industri yang berbeda mengalami kesulitan yang berbeda dalam
pencapaian green concept. Kalau IKM sudah bisa melakukan efisiensi energi dan bahan baku
walaupun kecil, harus diapresiasi.
Kementerian Perindustrian tidak setuju bila suatu industri harus benar-benar hijau
dan bersertifikat untuk memperoleh lending dari bank, karena roadmap yang dibuat
menargetkan pada Tahun 2031 untuk menghijaukan semua industri di Indonesia.
Menurut Kementerian Perindustrian ada beberapa tahap yang urgent atau
menentukan dalam pencapaian industri hijau yaitu :
- Kesadaran
- Produksi bersih
Optimalisasi dan minimalisasi penggunaan bahan baku serta bahan penolong
merupakan elemen terpenting dalam penerapan konsep produksi bersih pada industri.
Dengan penggunaan bahan baku secara efisien akan berdampak positif terhadap
pengurangan biaya produksi sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Pemenuhan tingkat rasio satu satuan penggunaan bahan baku terhadap satu satuan
produk yang dihasilkan dari rata-rata industri merupakan sasaran penerapan produksi
bersih.
- IKM berorientasi domestik
- IKM berorientasi ekspor
119
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kendala utama pencapaian green concept menurut Kemenperin adalah biaya
operasional yang besar bagi pelaku industri. Meski pemerintah memberikan potongan
harga bagi alat produksi namun belum mendukung pembiayaan alat pengolahan limbah.
Kementerian Perindustrian mendefiniskan industri hijau adalah industri yang sudah
memikirkan ‘hijau’ dari proses hulunya (preventif di bahan baku dan proses), bukan di akhir
saja (pengolahan limbah).
4. Kementerian ESDM (Arief H. Kuncoro, Kasubdit Tekno Ekonomi Energi dan Robi
Kurniawan, Staff Tekno Ekonomi Energi)
Tanggapan:
Energi di negara kita didominasi oleh energi fossil yang menghasilkan emisi CO 2. Di
tahun 2020 Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 26% atau sekitar
767 juta ton CO2. Arah kebijakan yang KESDM lakukan adalah dengan mengoptimalkan
pemakaian energi baru terbarukan (hydro dan panas bumi fokus saat ini) di mana sekarang
(tahun 2012) pengunaannya baru 5-6% sedangkan PP No 5 tahun 2006 menargetkan
penggunaan energi tersebut sebesar 17% untuk tahun 2025.
Terkait dengan energi bersih, menurut ESDM adalah energi yang baru terbarukan
dan konservasinya tidak merusak lingkungan. Energi yang baru terbarukan meliputi
bioenergy, geothermal, solar energy, hydro, dan angin. Energi yang potensial saat ini adalah
hdyro, bioenergy, sekam padi, energi dari sampah, dan sebagainya. Di india pemanfaatan
energi surya sangat luas sekarang dan pemerintah sangat mendukung khususnya dari segi
pembiayaan. Sementara itu energi nuklir adalah pilihan terakhir bagi kita. Konservasi energi
yang dilakukan meliputi pengefisienan energi di semua sektor, termasuk diversifikasi energi
dengan memberikan berbagai energi alternatif seperti hydro, cobalt-methan, dan nuklir.
Regulasi yang tengah kami rampungkan adalah mengenai pemanfaatan energi angin
dan surya. Khusus energi surya terkait dengan pemasangan sel surya pada rooftop. Kedua
energi tersebut masuk ke dalam roadmap energi baru terbarukan kami. Dukungan dari
pihak perbankan akan banyak membantu usaha yang dilakukan. ESDM telah berupaya
melakukan banyak aktivitas, salah satunya adalah Desa Mandiri Energi (detailnya dapat
dilihat di Direktorat Bioenergi dan Aneka Energi). Prinsipnya adalah dengan
mengoptimalkan sumber daya yang ada. Misalnya bila daerah tersebut memiliki banyak
peternak, maka biomass yang akan menjadi fokus pengembangan energi, yakni melalui
pembuatan reaktor untuk biomass agar energi output bisa siap pakai, untuk memasak
misalnya. Bila daerah tersebut memiliki energi potensial hydro yang baik (terjunan air),
bahkan sudah kami mengeluarkan regulasi agar PLN membeli energi bangkitan lokal
tersebut.
“Masalah utama dari kegiatan konservasi energi tersebut adalah informasi lokasi
pengembangan energi yang terbatas sehingga kurang memasyarakat dan bank tidak bisa
menangkap dan memahami potensi yang ada. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu juga
harus mempermudah sistem perpajakan dan perpabeanan untuk energi baru terbarukan.”
120
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
5. Bank BRI (Irwan Junaedy, Wakadiv Agribisnis dan Gilang Ramadhan S., Staff Agribisnis)
Tanggapan:
Bank merupakan institusi yang high regulated, taat pada peraturan dari Kementerian
Keuangan dan BI. Kami adalah user dari peraturan yang telah dibuat dan untuk green
lending ini, bank (BRI) siap berpartisipasi. Dari sisi perbankan, ada 2 hal yang perlu dicermati
terkait sistem pembiayaan: yaitu kelayakan dan accessibility.
Kelayakan meliputi aspek 5C:
- Character. Meliputi karakter pribadi dari industri dan karakter industri sebagai bagian
dari warga negara untuk menaati peraturan pemerintah.
- Capacity. Terkait tentang kapasitas industri tersebut. Jelas peralihan sistem produksi ke
arah green concept akan meningkatkan biaya operasional dan harga jual produk.
Tantangannya apakah dengan peralihan ini suatu industri bisa mempertahankan
finasialnya dengan tetap memasarkan produk di tengah kompetisi.
- Colateral. Merupakan second way out bagi kami. First way out terkait dengan apa yang
kami biayai.
- Condition
- Capital. Jelas bahwa industri besar memiliki capital yang besar dan tidak bermasalah
dengan constraint ini. Masalah terjadi pada industri kecil seperti UKM.
Dari sisi accessibility muncul pertanyaan: UKM mana yang dapat kami biayai?
Apakah yang kecil dan di lever dasar? Untuk UKM jenis tersebut kami berikan secara cumacuma melalui CSR. Naik lagi di atasnya ada usaha jenis kemitraan di mana perusahaan
tersebut merupakan binaan dari perusahaan yang besar. Di atasnya lagi ada usaha yang
sudah berani jalan sendiri tetapi masih disubsidi sekitar 7%, yaitu usaha yang berada di
sektor Pengembangan Energi dan Revitalisasi Pembangunan. Terakhir adalah kelompok
yang komersil mulai dari KUR pemula. Kelompok terakhir ini merupakan kelompok yang
feasible tetapi tidak bankable karena perijinan yang belum sempurna.
Aspek yang perlu diperhatikan dari rencana green lending ini adalah biaya
operasional bagi industri, timing untuk memperoleh sertifikat (di mana kebutuhan modal
bagi suatu industri tidak bisa menunggu), dan terakhir konsistensi. Konsistensi ini terkait
jenis usaha dan lokasi usaha yang tidak boleh dibeda-bedakan.
6.
Bank Mandiri (Wahyu Wardanto, SRM comm risk dan Agus Dharyanto)
Tanggapan:
Menanggapi keluhan dari Kemenhub, kami tegaskan bahwa Bank siap membantu
untuk meningkatkan sistem transportasi dan perhubungan di Indonesia. Hanya saja
terkadang informasi tidak sampai kepada kami dan infrastruktur belum memadai.
Terkait dengan kementerian ESDM, Bank Mandiri sendiri sudah membantu
pembangkit energi Micro Hydro seperti halnya di Bank Muamalat karena sudah ada dan
jelas end to end processnya: regulasi, ketentuan, harga jual dan harga pokok dari
pemerintah, juga sistem pembelian dari PLN. Program tersebut sudah kami layani hingga ke
121
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Nusa Tenggara. Untuk masalah lingkungan pada khususnya, jelas bagi kami, BNI, dan BRI,
kami mempertimbangkan status PROPER suatu industri sebelum memberikan kredit.
7. Bank BNI (Sudarmono Arifin, AUP PKBL)
Tanggapan:
Secara prinsip BNI mendukung adanya green lending. Kami juga memiliki program kerja
terkait isu lingkungan seperti Ciliwung Bersih. Di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung kami
melakukan pembinaan lingkungan dan pemberdayaan UMKM dan usaha mikro. Kami juga
memiliki kampung BNI di mana pada suatu peternakan sapi potong, kotorannya kami
manfaatkan untuk dijadikan biomass dan urine nya digunakan sebagai pupuk. Aspek yang
perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan baru ini nantinya adalah regulasinya
harus diatur secara jelas.
1.1.1. Kesimpulan FGD
Dari hasil FGD yang telah dilakukan, secara umum dapat disarikan kedalam beberapa
butir kesimpulan sebagai berikut:
a. Green concept meski peristilahannya tidak dibahas secara khusus dalam FGD, namun
dipahami sebagai upaya pelestarian lingkungan melalui berbagai aktivitas yang sedapat
mungkin mampu menurunkan atau mencegah pencemaran terhadap lingkungan yang
meliputi air, tanah dan udara.
b. Terkait dengan green concept tersebut, masing-masing kementerian memiliki program baik
langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan, yang
disesuaikan dengan wewenang dan lingkup kerjanya.
c. Kementerian Pertanian pada awalnya memiliki gugus tugas yang secara khsusus menangani
kelestarian lingkungan, namun efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya tidak
seperti diharapkan, oleh karenanya tugas dan fungsi upaya pelestarian lingkungan yang
menjadi tugas dari kementan dikembalikan ke masing-masing bagian atau divisi. Hal ini
sangat wajar mengingat lingkup kerja kementan sangat beragam dan meliputi berbagai
aspek pertanian dalam arti luas.
d. Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya direktorat tanaman pangan
adalah aspek pemasaran dan modal usaha tani. Rendahnya pertumbuhan konsumen
bahan pangan organik dalam negeri, ditambah besarnya modal yang harus dikeluarkan
untuk memproduksi tanaman pangan organik, menjadikan pertumbuhan sektor tanaman
pangan organik tidak sepesat yang diharapkan.
e. Kementerian perhubungan menyikapi green concept melalui upaya penurunan emisi gas
buang terutama yang berasal dari kendaraan. Pengurangan volume kendaraan yang
beroperasi di jalan, penggunaan BBG dan hydro energy. Meski Kemenhub memiliki slogan
ASI, namun sayangnya belum ada aktivitas nyata dan signifikan yang dilakukan terkait
dengan upaya pengurangan emisi gas buang.
122
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Kementerian perindustrian, memiliki program produksi bersih sebagai antisipasi terhadap
upaya pelestarian lingkungan. Program ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi
baik dari sisi bahan baku dan bahan penunjang serta energi yang digunakan dalam
menghasilkan satu satuan produk. Melalui cara ini limbah yang dihasilkan dengan sendirinya
akan turut menurun.
g. Upaya mendorong para pelaku usaha melaksanakan program produksi bersih,
kemenperindag memberi bantuan atau subsidi bagi para pelaku UMK untuk meremajakan
mesin yang dimiliki UMK. Diharapkan dengan mesin baru konsumsi energinya menjadi
lebih hemat dan hasil yang diperoleh lebih baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya.
h. Upaya lain untuk mendorong parapelaku usaha menerapkan program produksi bersih
(penghematan pengunaan energi, air, bahan baku utama dan penunjang), kemenperindag
memberikan apresiasi dan terus mendorong para pelaku usaha (IKM) untuk menjalankan
program produksi bersih, kemenperindag memberikan penghargaan (Industry Award)
kepada para pelaku usaha yang telah menerapkan program tersebut secara terpadu.
i.
Pemikiran penting dari Kemenperindag adalah green concept harus dipahami sebagai
rangkaian aktivitas hijau yang dimulai dari hulu, yakni dari penggunaan bahan baku yang
jelas asal usulnya, proses produksi yang menerapkan konsep reduce, reuse dan recycle, dan
memperhatikan limbah selama dan usai penggunaannya.
j.
Kementerian ESDM terkait dengan green concept menterjemahkannya dalam bentuk
program pengembangan energi baru yang terbarukan seperti bioenergi, hydro energy,
pamanfaatan tenaga surya dan panas bumi.
k. ESDM memprakarsai pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro didaerah terpencil
maupun pengadaan alat untuk menghasilkan bioenergi sebagai upaya pemanfaatan limbah.
l.
Pihak perbankan pada dasarnya merupakan lembaga pemberi pinjaman yang didasarkan
atas azas 5C. Terkait dengan upaya kelestarian lingkungan pihak perbankan secara khusus
belum memiliki program atau produk (seperti bank syariah Mandiri) yang diperuntukan
untuk mendorong UMK melakukan aktivitas ramah lingkungan. Pada dasarnya pihak
perbankan lebih bersifat menunggu terkait masalah peraturan dan kejelasan perkembangan
situasi usaha yang berbasis lingkungan, serta ada tidaknya potensi pasar bagi penyaluran
kredit. Hal ini disebabkan perbankan merupakan lembaga yang high regulated.
m. Butir penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pinjaman ramah lingkungan adalah
pelaku usaha tidak bisa menunggu pinjaman hingga keluarnya sertifikasi ramah lingkungan,
karena kebutuhan modal usaha umumnya bersifat mendesak, oleh karenanya penerapan
program green lending ini perlu dilakukan secara bertahap dan ada prioritas.
n. Dari hasil diskusi tersebut, secara umum tampak banyak masalah yang dihadapi oleh
masing-masing kementerian terkait pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan, baik
masalah yang berasal dari internal lembaga kementerian, maupun masalah eksternal
seperti ketiadaan koordinasi antar instansi, di mana masing-masing kementerian berjalan
masing-masing sesuai dengan lingkup kerjanya.
123
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
LAMPIRAN 2.
Hasil Wawancara Mendalam Terhadap Dinas-Dinas Terkait di Kabupaten/Kota
Sebagai upaya mendapatkan informasi terkait aktivitas dinas-dinas yang berada di
tingkat kabupaten atau kota dalam pelestarian lingkungan, telah dilakukan wawancara
mendalam (depth interview) kepada kepala Dinas atau staf yang mewakilinya. Dinas-dinas yang
menjadi fokus pengumpulan informasi di masing-masing wilayah survei adalah:
- Badan atau Dinas Lingkungan Hidup
- Dinas Perindustrian
- Dinas Pertanian
- Dinas Koperasi dan UMK.
Perlu dijelaskan bahwa iklim otonomi daerah menyebabkan struktur organisasi masingmasing dinas ditingkat kabupaten maupun kota berbeda satu sama lainnya. Hal ini disesuaikan
dengan kebutuhan dari masing-masing wilayah tersebut sesuai prioritas program pembangunan
yang akan dijalankan. Sementara itu koordinasi struktural dengan dinas provinsi maupun pusat,
hanya sebatas pada program yang terkait dengan isue bersama. Sementara itu aspek teknis
pelaksanaannya akan tergantung pada dinas mana yang memiliki program dan dana.
Berdasarkan fakta ini bisa terjadi bahwa program prioritas yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat menjadi bukan prioritas bagi daerah terentu, demikian pula sebaliknya.
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)
Program pembangunan sektor industri dan perdagangan dibeberapa wilayah survei
memiliki kosentrasi yang berbeda-beda. Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari dinas ini
adalah bagaimana mampu meningkatkan produksi dan juga kualitas dari IKM yang ada di
masing-masing wilayah, serta memiliki daya saing nasional maupun internasional sebagai upaya
untuk tujuan membuka pasar ekspor. Disisi lain upaya mengetahui program kerja dari masingmasing dinas ini lebih ditujukan untuk melihat sejauhmana masing-masing dinas memiliki
prioritas program dalam pelestarian lingkungan secara langsung maupun tak langsung.
Berikut adalah salah satu program kerja salah satu dinas di wilayah survei yang dianggap
cukup memberikan gambaran mengenai aktivitas yang akan dilakukan:
1. Pemberdayaan dan Penataan Basis Produksi dan Distribusi
Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan dan mengembangkan IKM; (b) meningkatkan
dan memperkuat basis produksi industri, utamanya melalui pengembangan industri
pendukung (supporting industries); (c) mengembangkan agroindustri skala kecil dan
menengah; (d) mengembangkan sistem informasi dan distribusi daerah dalam kesatuan
pasar nasional; (e) meningkatkan database statistik industri dan perdagangan.
124
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
2. Perluasan dan Penguatan Lembaga Pendukung Usaha Kecil dan Menengah
Program ini bertujuan untuk : (a) mengembangkan kluster IKM yang berbasis potensi
sumberdaya unggulan daerah; (b) memperkuat penajaman dan pemantapan perencanaan
program industri dan perdagangan; (c) mengembangkan pola kemitraan industri dan
dagang kecil menengah; (d) meningkatkan jasa layanan teknis kepada industri kecil dan
menengah (IKM); (e) meningkatkan penguasaan pasar dalam negeri, utamanya melalui
promosi dan informasi dan peningkatan nasionalisme dalam pemberdayaan produk dalam
negeri; (f) mengembangkan klinik layanan bisnis (HAKI, ISO, pengembangan SDM,
pembiayaan, teknologi, promosi dan informasi).
3. Pengembangan Ekspor.
Program ini ditujukan untuk (a) meningkatkan penerapan sistem manajemen mutu
industri dan perdagangan berorientasi ekspor; (b) meningkatkan penetrasi dan perluasan
pasar luar negeri; (c) meningkatkan akses pasar luar negeri melalui pendekatan bilateral,
multilateral, regional yang lebih proaktif dan efektif; (d) mengembangkan sistim
informasi ekspor dan impor; (e) meningkatkan uji mutu produk orientasi ekspor.
4. Penguatan Institusi Pendukung Pasar
Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan operasional kemetrologian;(b) meningkatkan
kesadaran masyarakat industri dan perdagangan untuk melakukan tera ulang; (c)
penguatan usaha dan kelembagaan perdagangan; (d) meningkatkan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Dari 7 wilayah survei ada 4 dinas perindustrian dan perdagangan yang dapat
diwawancarai yakni dinas Perindustrian dan perdagangan (Disperindag) Semarang, Medan,
Jawa Timur, Balikpapan. Dari sisi program Disperindag yang terkait dengan program kelestarian
lingkungan, masing-masing wilayah memiliki program yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat
prioritas di setiap wilayah. Sementara itu kordinasi dengan kementerian terkait terkesan kurang
harmonis, karena masing-masing memiliki prioritas yang berbeda-beda. Bahkan beberapa
program kementerian tidak bisa dijalankan di tingkat kabupaten ataupun kota. Namun
demikian untuk menjalankan program yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan
masing-masing memiliki institusi memiliki cara tersendiri dalam menterjemahkan ke dalam
program kegiatan.
Dari hasil wawancara dengan beberapa kepala Disperindag provinsi, fokus utama
program mereka adalah saat ini lebih menitik beratkan pada aspek peningkatan kuantitas dan
kualitas produk-produk yang dihasilkan oleh IKM, cara ini dilakukan dengan melalui pembinaan
atau kemitraan. Peningkatan kualitas ini pada dasarnya berorientasi pada pasar ekspor.
Sementara itu isue terkait proses produksi ramah lingkungan agaknya saat ini belum menjadi
prioritas berbagai disperindag di wilayah survei. Hal ini yang membedakan dengan prioritas
yang dimiliki Kemenperindag. Namun demikian upaya ke arah tersebut tetap diupayakan.
125
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pandangan beberapa kepala Dinas Perindustrian terkait issue lingkungan yang dikaitkan dengan
aktivitas IKM di masing-masing wilayah disarikan kedalam beberapa butir berikut:
a. Isue lingkungan yang terkait dengan UMK pada dasarnya sangat berkaitan dengan limbah
buangan dari proses produksi, di mana limbah cair dibuang di saluran air, atau sungai,
sementara limbah padat dibuang di tempat sampah, terkadang bercampur dengan limbah
lainnya.
b. Sementara pengelolaan limbah tersebut hampir dikatakan tidak mungkin karena IKM
umumnya atau mayoritas berdomisili di lingkungan tempat tinggal warga seperti kerajinan
batik, industri pembuatan tahu atau industri pengolahan makanan lainnya, sehingga tidak
memungkinkan dibuatkan sarana pengelolaan limbah, terutama limbah cair, karena
memerlukan lahan yang cukup luas untuk menampung dan mengolah limbah cair
tersebut.
c. Penanganan masalah limbah pada umumnya dilakukan apabila ada protes atau keluhan dari
warga lingkungan UMK, yang dilaporkan kepada pengurus lingkungan setempat. Apabila
tidak ada keluhan, maka dianggap limbah yang dibuang masih pada ambang toleran.
d. Terkait dengan masalah limbah ini, pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi Semarang,
memprioritas penanganan limbah lebih bersifat end of pipe, artinya bagaimana
mengendalikan limbah yang dihasilkan oleh suatu industri, belum sampai pada upaya
pengurangan limbah, apalagi produksi bersih sama sekali belum tergarap.
e. Cara lain yang diusulkan untuk mengatasi limbah ini adalah melakukan relokasi UMK yang
berdomisili di pemukiman warga ke suatu tempat yang secara khusus disediakan bagi UMK
yang berpotensi menghasilkan limbah berbahaya. Di mana lokasi tersebut sudah dilengkapi
oleh berbagai fasilitas pengolahan limbah serta sarana lainnya yang diperlukan.
f. Dalam aktivitas keseharian tampaknya koordinasi antar instansi di wilayah Propoinsi
Semarang kurang terjalin dengan baik, artinya masing-masing instansi menjalankan
program ramah lingkungan sesuai dengan definisi masing-masing disesuaikan dengan
wewenang dan tanggungjawabnya. Ketidak-sinkronnya program antara Dinas Pertindustrian
dengan BLH terungkap saat wawancara dilakukan, di mana program yang dilakukan BLH
sering bertentangan dengan program yang dilakukan oleh Dinas Perinsdustrian.
g. Koordinasi dengan pusat atau Kemenperindag, biasanya dilakukan untuk program berskala
nasional yang dilakukan oleh kementerian. Sedangkan pihak Dinas Provinsi ataupun
Kabupaten hanya sekedar mengetahui.
h. Salah satu upaya yang berhasil dilakukan oleh Disperindag Balikpapan adalah melakukan
relokasi terhadap industri tahu, yang dulunya tersebar di pemukiman warga, sekarang
menempati wilayah khusus yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan sarana
pengolahan Limbah.
126
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
2. Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Badan Lingkungan Hidup Provinsi merupakan badan yang menginduk ke KLH atau
dikenal sebagai dekosentrasi Kementerian Lingkungan Hidup, tugas utama KLH pada tingkat
provinsi adalah tercapainya upaya penurunan beban pencemaran, meningkatnya ketaatan
pengendalian pencemaran air, udara, sampah dan limbah B3 serta penghentian kerusakan
lingkungan. Sementara itu secara khusus BLH memiliki tugas utama lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan Proper yaitu Pengendalian Pencemaran Lingkungan, yang meliputi:
1. Pengawasan Pelaksanaan Pengelolaan Kualitas Air dan Udara serta Pengelolaan Limbah B3
melalui Program PROPER,
2. Pemantauan kualitas udara perkotaan.
3. Pemantauan dan evaluasi kualitas air perkotaan.
Dekonsentrasi Program PROPER untuk tahun 2012 ini akan melibatkan 21 Badan
Lingkungan Hidup Provinsi, di mana tahun sebelumnya kegiatan PROPER hanya melibatkan 8
Badan Lingkungan Hidup Provinsi. Peningkatan ini seiring dengan penambahan target peserta
industri PROPER dari 1002 perusahaan menjadi 1355 perusahaan di tahun 2012. Badan
Lingkungan Hidup Provinsi diharapkan dapat bersama-sama Kementerian Lingkungan Hidup
secara konsisten menjaga kredibilitas dan akuntabiitas pelaksanaan PROPER dengan
menjalankan etika Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dengan baik dan benar.
Program Pemantauan Kualitas Udara Perkotaan akan melaksanakan Dekonsentrasi
bersama 33 Badan Lingkungan Hidup Provinsi di Indonesia. Kegiatan ini meliputi spot cek uji
emisi, pemantauan kualitas udara jalan raya, kinerja lalu lintas serta pemantauan kualitas
Bahan Bakar Minyak (BBM) di mana hasil pemantauannya menjadi bahan penilaian Program
Adipura 2012. Sedangkan Dekonsentrasi Program Pemantauan dan Evaluasi Kualitas Air Sungai
di Perkotaan diserahkan kepada 16 Provinsi yang meliputi 22 kota metropolitan dan kota besar
yang bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai perkotaan sehingga dapat
dilakukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas air sungai perkotaan dengan cara
menurunkan tingkat pencemaran dari usaha dan atau kegiatan maupun rumah tangga. Hasil
pemantauan kualitas air sungai perkotaan ini juga akan dijadikan komponen penilaian Program
Adipura 2012.
Sesuai dengan penjelasan di atas tampaknya tugas utama KLH melalui BLH tingkat
provinsi akan terkosentrasi pada kualitas lingkungan luar, hal ini diistilahkan sebagai proses
akhir produksi (end of pipe). Sementara itu program Proper yakni program ketaatan industri
terhadap aspek-aspek ramah lingkungan hanya ditujukan pada perusahaan atau industri
berskala besar yang umumnya sudah go public. Oleh karenanya skala usaha yang masih kecil
atau bahkan mikro belum menjadi ranah kerja utama dari BLH. Dari hasil wawancara dengan
beberapa ketua BLH provinsi seperti Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Surabaya) dan
Samarinda (Kaltim), Sumatera Utara (Medan) terungkap bahwa program kerja BLH terkait
dengan pengawasan kegiatan ramah lingkungan dari UMK lebih difokuskan pada limbah
produksi. Dalam prosesnya BLH lebih bersifat menunggu dari hasil laporan masyarakat yang
merasa terusik karena lingkungan sekitarnya tercemar oleh limbah dari UMK yang beroperasi di
127
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
wilayah sekitar. Selama tidak ada laporan tersebut maka pihak BLH tidak menganggapnya
sebagai suatu masalah.
3. Dinas Koperasi dan UMKM
Berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan, fungsi dan tugas pokok Dinas
Koperasi dan UMKM pada tingkat provinsi dijabarkan sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan teknis dibidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang koperasi dan usaha
mikro kecil dan menengah.
3. Pembinaan dan fasilitasi bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah lingkup
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
4. Pelaksanaan tugas di bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah,
pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta pemberdayaan
koperasi simpan pinjam lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
lingkup Provinsi dan kabupaten/Kota.
6. Pelaksanaan kesekretariatan dinas.
7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, tidaklah mengherankan bila saat wawancara
dilakukan, informasi yang diperoleh terkait tugas dan wewenang dari dinas ini yang mengarah
pada aspek kelestarian lingkungan dapat dikatakan sama sekali tidak ada. Hal ini disebabkan
Dinas Koperasi dan UMKM lebih berkosentrasi pada aspek kelembagaan, bukan pada proses
produksi maupun pemasaran.
4. Dinas Pertanian dan Perkebunan
Otonomi daerah menyebabkan struktur kelembagaan Dinas Pertanian di tingkat
kabupaten maupun kota berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
pemkab maupun pemkot tersebut dalam upaya pengembangan wilayahnya. Tidaklah
mengherankan bila di beberapa wilayah dinas ini digabung dengan dinas dari sektor lain seperti
perkebunan dan juga kadang dengan sektor kehutanan.
Terlepas dari perbedaan struktur tersebut, dinas pertanian memiliki sektor kerja yang
lebih luas, karena mencaku subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan
(unggas, ruminansia atau ternak besar), dan perikanan, bahkan di beberapa wilayah sektor
perikanan dipilah lagi menjadi perikanan laut dan darat.
Terkait dengan program kerja dinas pertanian di masing-masing wilayah, fokus utama
sasaran kerja sebagian besar dinas pertanian adalah:
a.
Peningkatan yang berkeberlanjutan produksi pangan baik kualitas maupun kuantitas
untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah dalam rangka mencapai ketahanan pangan.
b. Terlaksananya pembangunan ekonomi pedesaan yang berwawasan agribisnis
berkelanjutan dan ramah lingkungan.
128
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
c.
d.
e.
f.
g.
Pengembangan ketahanan pangan dalam rangka penganekaragaman sumberdaya
pangan, peningkatan produktivitas hasil pertanian, penerapan teknologi tepat guna dan
ramah lingkungan.
Meningkatnya pelaksanaan kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam upaya
mengoptimalkan pemanfaatan lahan marjinal.
Penyediaan basic data pertanian yang akurat untuk menunjang perencanaan
pembangunan pertanian dalam arti luas.
Pengembangkan agroindustri pengolahan hasil dan unit pengolahan hasil dalam upaya
meningkatkan nilai tambah dan peluang pasar hasil pertanian dalam arti luas
Menumbuhkan kelembagaan agribisnis dan agroindustri yang bertumpu pada pasar.
Sementara itu untuk subsektor perkebunan beberapa sasaran yang ingin dicapai meliputi:
a.
Tercapainya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perkebunan yang berorientasi
bisnis dan berwawasan lingkungan.
b. Terwujudnya peningkatan pendapatan, nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat dalam
pembangunan perkebunan.
c.
Tersedianya peluang bagi semua lembaga yang ada pada masyarakat untuk
mengembangkan diri dengan memanfaatkan seluruh sumber daya dalam proses produksi,
pengolahan dan distribusi.
d. Tersedianya Pangan berbasis perkebunan.
e.
Tercapainya percepatan penerapan teknologi dalam bidang tehnik, ekonomis, manajemen
dalam status skala usaha yang optimal pada tiap sentra - sentra produksi.
f.
Meningkatkan efisiensi usaha tani melalui skala usaha ekonomi dan mempunyai
keunggulan lokal spesifik.
g.
Meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan yang mempunyai prospek tinggi.
h. Meningkatkan koordinasi yang intensif dengan menumbuhkembangkan jejaring kerja
diantara para pelaku.
i.
Meningkatkan ketersediaan pangan berbasis perkebunan dalam jumlah, mutu, dan
keragaman.
Hasil wawancara kepada beberapa kepala Dinas Pertanian terkait dengan program
ramah lingkungan dari masing-masing dinas dalam penyediaan bahan pangan bermutu bagi
masyarakat luas, masing-masing dinas memiliki program kemitraan dengan petani dengan cara
mendirikan Sekolah Lapang (SL). Tujuannya adalah memberikan contoh secara nyata
bagaimana praktek bertani secara organik yang sebenarnya dari hulu hingga hilir. Pendirian
Sekolah Lapang, dilakukan dengan cara memilih satu atau beberapa petani yang memiliki
kemampuan baik dari sisi pengetahuan agronomi, kemampuan komunikasi dan sekaligus
memiliki luasan lahan yang cukup dalam mempraktekan usaha tani terpadu.
Dalam melakukan kemitraan ini dinas pertanian setempat memberikan bantuan mulai
dari pengadaan sapi dan pembuatan kandangnya, peralatan untuk pengolahan limbah atau
kotoran sapi untuk diolah menjadi pupuk kompos serta biogas. Bahkan petani mitra memiliki
kemampuan untuk membuat biopestisida dari bahan tanaman, yang digunakan untuk
pemberantasan hama. Fungsi dari sekolah lapang di samping sebagai sarana demplot (usaha
129
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
tani percontohan) dan juga sekaligus sebagai tempat praktek bagi petani disekitarnya. Dari
hasil pantauan peneliti ke wilayah survei, sekolah lapang ini dijumpai di Balikpapan dan
Ungaran Semarang. Pola kemitraan ini merupakan program nasional dari kementerian
pertanian, meski dalam prakteknya masing-masing dinas menterjemahkannya disesuaiakan
dengan kondisi di masing-masing wilayah, seperti pemilihan komoditas pertanian yang
diusahakan.
Persoalan utama dari usaha tani terpadu ini adalah aspek pemasaran dari produkproduk usaha tani pangan yang dihasilkan. Berdasarkan informasi dari kepala Dinas Pertanian
Balikpapan hingga saat ini belum ada jalan keluar untuk mengatasi masalah pemasaran ini.
Disisi lain petani menjual produk organik yang dihasilkan masih sebatas pada pemasaran
langsung ke konsumen akhir. Bila dikaji lebih lanjut, dinas pertanian hanya membantu dari sisi
produksi, namun aspek pemasaran sepertinya belum menjadi prioritas terkait dengan
pemasaran produk organik, oleh karenanya konsumen belum teredukasi secara baik, sehingga
permintaan terhadap produk pertanian organik belum meningkat secara signifikan, apalagi
harga produk pertanian organik relatif lebih mahal dibanding produk pertanian konvensional.
Perlu diketahui bahwa skala usaha petani organik dari petani mitra masih tergolong kecil
bahkan skala mikro bila dilihat dari sisi omzetnya. Sementara itu untuk mendorong petani mitra
meningkatkan usahanya terkendala oleh terbatasnya luas lahan yang dikuasai, serta
keterbatasan tenaga kerja setempat. Untuk mengatasi hal ini dinas pertanian mencoba
mendorong terbentuknya kelompok tani organik sehingga luas keseluruhan lahan yang
diusahakandapat mencapai skala usaha yang menguntungkan karena jumlah dan jenis tanama
yang dihasilkan dapat bervariasi.
Dari hasil wawancara mendalam dengan para kepala dinas, di samping adanya pola
kemitraan yang dilakukan oleh petani untuk menarik petani lain agar mempraktekkan usaha
tani organik. Di Wilayah Ungaran dan Berastagi (Sumut) terdapat kelompok tani yang telah
mengusahakan pertanian organik secara komersial. Dinas pertanian memberikan bantuan
teknis serta beberapa peralatan saprotan untuk mendorong kelompok tani dapat meningkatkan
produksinya. Namun masalah yang sama dihadapi oleh kelompok tani ini adalah aspek
pemasaran yang masih terbatas, sementara daya serap pasar masih terbatas pada pasar-pasar
modern saja, sementara pasar tradisional agaknya belum masih dominan menjual produk
pertanian konvensional sesuai dengan daya beli konsumennya.
Dari hasil pemantauan di lapang, pertanian organik masih dominan diusahakan untuk
tanaman hortikultur, petani atau kelompok tani umumnya juga memiliki ternak sapi untuk
menjamin supply pupuk kompos. Sementara itu untuk kebutuhan biopestisida petani belum
sepenuhnya mampu menghasilkan sendiri, oleh karenanya ada yang masih menggunakan
campuran dengan bahan kimia lainnya dengan kadar yang ringan. Disisi lain bibit kadang
menggunakan hasil pembibitan sendiri, bukan menggunakan bibit bersertifikasi.
Menarik untuk disimak bahwa dari hasil wawancara dan pengamatan dilapang,
pertanian organik memiliki spektrum yang luas, mulai dari penggunaan bibit yang bersertifikasi,
menggunakan pupuk organik saja, pemberantasan hama terpadu, penggunaan biopestisida,
hingga sertifikasi lahan. Dari sisi pemasaran, klaim yang dilakukan oleh petani atau penjual
umumnya adalah tanaman organik, meski terkadang hanya satu aspek saja yang digunakan.
130
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Oleh karenanya untuk mengatasi hal ini perlu peran lembaga sertifikasi untuk memastikan pada
tingkat apa suatu produk dikatakan organik.
Sementara itu untuk subsektor lain, seperti perkebunan dan peternakan maupun
perikanan darat, masih belum menjadi prioritas program kerja dinas pertanian untuk
mendorong ke ranah usaha pertanian organik. Dalam prakteknya di lapangan subsektor
perkebuanan masih intensif menggunakan pupuk anorganik dan pestisida buatan dalam proses
usaha taninya. Sementara itu untuk subsektor perikanan dan peternakan unggas bahan
pakannya masih bertumpu pada bahan pakan jadi yang umumnya disupply oleh industri, yang
dalamproses produksinya masih belum diketahui apakah dalam proses produksinya maupun
bahan yang digunakan sudah memperhatikan aspek ramah lingkungan atau tidak.
5. Dinas Pertambagan dan Energi (Distamben)
Praktek Industri tambang khususnya di Kalimantan Timur yang ada saat ini telah
menimbulkan banyak masalah dan konflik, akibat tumpang tindihnya peraturan dan surat
keputusan Menteri terkait. Ini bisa dilihat dengan banyaknya jumlah pelanggaran-pelanggaran
terhadap hak-hak bawaan masyarakat adat yang sebenarnya telah melenceng dari konstitusi
NKRI itu sendiri. Praktek-praktek pengelolaan pertambangan oleh perusahaan besar maupun
kecil tak membawa dampak kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan bagi masyarakat adat
seperti apa yang selama ini dikomunikasikanoleh pihak perusahaan dan pemerintah. Terutama
menyangkut nasib pewaris wilayah adat yang telah turun-temurun bermukim di wilayah
tersebut. Praktek pertambangan hingga saat ini telah membuktikan dengan jelas bahwa
hasilnya bagi masyarakat adat adalah: menjadi penonton di atas tanah sendiri, tidak
mendapatkan keuntungan dari hasil tambang itu. Sementara sifat semena-mena pertambangan
yang melakukan ekploitasi mineral tambang secara besar-besaran, menghasilkan kerusakan
Lingkungan, kerusakan hutan, pencemaran air, tanah dan udara, perubahan sosial budaya,
rusaknya tatanan adat, dan dampak-dampak negatif lainnya. Sementara itu, komunitas
masyarakat adat semakin terdesak oleh kebijakan-kebijakan baik itu tingkat lokal maupun
nasional yang justru melindungi praktek-praktek buruk yang dilakukan oleh pihak perusahaan
tambang. Contoh yang paling nyata dari praktek pertambangan batubara oleh perusahaan
besar di Kalimantan.
Selain praktek industri pertambangan batubara skala besar, praktek pertambangan yang
buruk juga dapat ditemukan dalam pertambangan batubara illegal yang dilakukan oleh
masyarakat sendiri, di mana orang sudah tidak menerapkan prinsip-prinsip kerja pertambangan
yang baik dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Pertambangan Illegal telah
memberikan dampak buruk juga bagi Lingkungan, kesehatan, dan keselamatan manusia sebagai
pelaku itu sendiri. Meskipun kerusakan Lingkungan dan dampak negatif dari pertambangan
Illegal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaanperusahaan pertambangan skala besar.
Dari hasil wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan terkait dengan usaha
pertambangan, hanya sebagian kecil saja perusahaan tambang batubara yang peduli
lingkungan, itupun hanya skala kecil yang dituangkan dalam program CSR, namun kerusakan
131
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
lingkungan akibat eksploitasi tidak akan dapat diperbaiki dalam jangka panjang. Di sisi lain
adanya dana rehabilitasi yang diwajibkan bagi pengusaha tambang sebagai kompensasi atas
hasil usahanya guna memperbaiki lingkungan yang rusak hanya sebagian kecil yang dapat
direalisasikan.
Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Dinas
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap dinas yang diwakili
oleh kepala dinas sendiri atau jajarannya, dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
a. Dinas dalam melakukan tugas dan wewenangnya yang terkait dengan aktivitas ramah
lingkungan, memiliki program dan sasaran yang berbeda-beda sesuai dengan prioritas
pembangunan yang dilakukan oleh masing-masing pemkab/pemkot. Hal ini disebabkan
prinsip otonomi daerah, dimana kabupaten/kota memiliki wewenang dalam
memprioritaskan program pembangunan yang akan dilakukan. Sementara itu koordinasi
baik antar dinas dalam satu kabupaten atau kota menjadi wewenang kepala daerah yang
bersangkutan. Sementara koordinasi dengan dinas pada tingkat provinsi maupun
Kementerian terkait bersifat membantu.
b.
BLH merupakan dinas yang bertugas mengawasi limbah yang dihasilkan IKM, namun
karena keterbatasan sumberdaya, BLH akan memprioritaskan aktivitasnya pada IKM yang
menghasilkan limbah B3 yang meresahkan masyarakat. Edukasi yang dilakukan terhadap
IKM, BLH sebatas menganjurkan agar IKM sedapat mungkin melakukan pengendalian
terhadap limbah yang dihasilkan melalui konsep reduce, reuse dan recycle, dengan tujuan
menurunkan tingkat pencemaran yang dihasilkan.
c.
Disperindag kabupaten atau kota di wilayah survei memiliki concern yang berbeda-beda
terhadap program ramah lingkungan. Prioritas utama mayoritas disperindag di wilayah
survei saat ini adalah peningkatan produksi dan kualitas hasil untuk membuka pasar
internasional. Sementara pembinaan terhadap IKM agar ramah lingkungan belum menjadi
prioritas utama, kalaupun ada sifatnya hanya membantu dinas dari provinsi atau dari
kementerian terkait. Bahkan beberapa dinas merasakan adanya pertentangan kebijakan
yang berasal dari BLH terkait dengan pengendalian limbah, sementara untuk memindahkan
atau merelokasi ke sentra industri terumatama IKM (pengusaha tahu, batik) yang
umumnya berdomisili di lingkungan pemukiman membutuhkan dana yang besar.
d.
Praktek ramah lingkungan pada IKM sesuai dengan arahan kementerian perindustrian dan
perdagangan masih belum terkoordinasi dengan baik ditingkat kabupaten/kota, hal ini
disebabkan disperindag tingkat kabupaten maupun kota hanya bersifat membantu
program tersebut. Akibatnya IKM yang menjadi sasaran program hanya bersifat volunter
belaka. Sementara IKM lain yang jumlahnya banyak dapat dikatakan masih belum
tersentuh. Oleh karenanya dapat dikatakan IKM yang omzetnya terkategori kecil bahkan
mikro masih belum terlalu mempedulikan aspek ramah lingkungan, apalagi sasaran
Disperindag baru sebatas peningkatan produksi dari sisi jumlah dan kualitas, belum
merambah pada konsep produksi bersih. Kalaupun ada IKM yang melakukan konsep
132
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
produksi bersih, hal tersebut kebanyakan dilatarbelakangi oleh motif ekonomi bukan atas
kesadaran kelestarian lingkungan.
e.
Dalam mendorong pelaku usaha tani melakukan praktek ramah lingkungan (pertanian
organik) Dinas pertanian melakukan kemitraan dengan petani untuk mendirikan Sekolah
Lapang, tujuannya sebagai demplot atau tempat penyuluhan dan sekaligus peragaan
praktek usaha tani terpadu, mulai dari proses hilir hingga hulu. Dinas menyiapkan dana
khusus untuk menyelenggarakan program yang diberikan dalam bentuk bantuan saprotan,
sapi beserta bantuan pembuatan kandang , dan pengolahan biogas.
f.
Masalah utama yang ditemui para petani produk sayuran oganik adalah aspek pemasaran.
Ini disebabkan masih belum tumbuhnya konsumen organik disebabkan harganya yang
relatif mahal dan kurangnya edukasi.
g.
Pertanian khususnya subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang lebih dekat
dengan praktek ramah lingkungan. Karena spektrum aktivitasnya cukup luas, usaha tani
tanaman pangan ini rentan terhadap klaim organik, karena banyak aspek yang dapat
dijadikan dasar klaim petani atau pelaku usaha tani untuk menamai produknya ramah
lingkungan, mulai dari penggunaan bibit bersertifikasi, penggunaan pupuk organik, maupun
penggunaan biopestisida. Aspek lain adalah, sulitnya membedakan secara fisik antara
produk organik dengan produk non organik. Oleh karenanya sertifikasi yang dilakukan
lembaga independen dan credible menjadi kebutuhan yang mendesak.
h.
Khusus untuk subsektor perkebunan istilah ramah lingkungan lebih banyak diartikan
sebagai upaya, pertama adalah tidak merambah pada pembalakan atau pembukaan hutan
alam sebagai perluasan areal perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet. Kedua
adalah menjaga keseimbangan ekosistem dengan cara menyediakan hutan pada sebagian
areal perkebunannya sebagai habitat tempat hidupnya berbagai satwa dan tumbuhan lain
guna menjaga keragaman hayati. Di samping perhatian terhadap kondisi lingkungan fisik,
subsektor perkebunan juga menambahkan konsep kesimbangan sosial ekonomi
masyarakat sekitar dengan konsep, pro poor, pro growth dan pro job yang pada akhirnya
akan bermuara pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO), khususnya untuk perkebunan
kelapa sawit.
i.
Subsektor lain dari sektor pertanian seperti peternakan unggas atau ruminansia (ternak
besar) serta perikanan, masih jauh dari penerapan aspek-aspek ramah lingkungan. Sektor
pertambangan merupakan aktivitas usaha yang jauh dari ramah lingkungan dilihat dari sisi
kerusakan yang ditimbulkan, tidak saja merubah ekosistem alam, namun juga pencemaran
yang ditimbulkan baik pada lingkungan air (sistem tata air), tanah dan udara.
Pertambangan juga merubah tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat
dimana lokasi tambang tersebut berada.
133
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Lampiran 3.
Contoh-Contoh Investasi Lingkungan
Sabut Kelapa
Produk Sabut Kelapa
Produk Sabut Kelapa
Proses
Vulkanisir Ban
Mesin Pemintal
Roll Press
Mesin Oven
Mesin Sentrivius
Pemanasan Ban
Vulkanisir
134
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pengolahan Limbah Domestik/Sampah
135
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sumber : (Ekonomi Lingkungan) Kementerian Lingkungan Hidup
136
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
137
Download