Menggagas Pesantren sebagai Pusat Peradaban Muslim di Indonesia

advertisement
Menggagas Pesantren sebagai Pusat
Peradaban Muslim di Indonesia
Mohamad Kholil
STAI Sayid Sabiq dan STKIP NU Indramayu
Abstrak:
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara.
Kiprahnya dalam memajukan bangsa tidak bisa dipandang sebelah
mata. Pendidikan di pesantren sendiri dikenal holistik dan
menyeluruh, dengan menempatkan aspek moralitas, ketuhanan,
dan martabat kemanusiaan secara utuh sebagai hal yang
substansial, sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan dari
pendidikan. Berdasarkan kenyataan tersebut, artikel ini
mengusulkan pesantren sebagai pusat peradaban Muslim di
Indonesia. Dalam rangka menjadikan pusat peradaban tersebut,
artikel ini berargumen empat hal mesti dilakukan, yakni
rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem dan
manajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan
dukungan kebijakan pemerintah.
Kata Kunci: Pesantren, peradaban Muslim, Indonesia.
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia, Islam pernah
tampil sebagai pusat peradaban dunia yang berlangsung selama kurun
waktu ratusan tahun. Kondisi ini berlangsung seiring dengan pesatnya
proses penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia. Di dalam
periodeisasi sejarah peradaban Islam, masa kejayaan Islam ini sering
dikenal dengan istilah golden age atau masa keemasan Islam.1
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
298 MOHAMAD KHOLIL
Di Indonesia sendiri, menurut pendapat yang lebih kuat,
pengaruh Islam telah masuk sejak abad ke-7 M atau abad pertama
Hijriyah, yaitu melalui para pedagang dari semenanjung Arabia. Di
mana, selain berdagang mereka juga menjadi penyebar Islam di
Nusantara dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat
(pribumi). Sehingga, meskipun penduduk pribumi saat itu belum
banyak yang memeluk agama Islam, tetapi komunitas muslim
pertama telah berhasil dibentuk yang terdiri dari orang-orang Arab
pendatang dan penduduk lokal, sebagaimana yang didapatkan para
pengelana dari Cina di pesisir utara Sumatera (Aceh) dan komunitas
Islam di wilayah Sriwijaya.2
Namun demikian, perkembangan Islam secara massif dan
intensif di Indonesia baru terlihat pada beberapa abad setelahnya,
yaitu pada abad ke 12 M dan 13 M melalui para juru dakwah
(muballigh) dari kalangan ulama sufi. Penyebaran Islam di Indonesia
pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi
selat Malaka sebagai jalur perdagangan penting dunia, baru kemudian
menyebar ke daerah timur dan utara, seperti Jawa (1450 M),
Kalimantan (1580 M), Maluku (1490 M), Sulawesi (1600 M), Sulu
(1450 M) hingga ke Filipina Selatan (1480 M). Menurut Azra, faktor
utama yang menunjang keberhasilan Islamisasi di Indonesia ini
adalah lantaran kemampuan para penyebar Islam yang umumnya
para sufi dalam menyajikan kemasan ajaran Islam yang atraktif, dan
menekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam khususnya tasawuf
dengan mistisisme setempat.3
Pada fase selanjutnya, penyebaran dan pendalaman ajaran Islam
di Indonesia mulai difokuskan dalam sebuah institusi pendidikan
tradisional yang disebut “pesantren”. Meski pesantren dalam arti
lembaga pendidikan tempat dilakukannya pengajaran tekstual baru
muncul pada sekitar abad ke-18, namun berdasarkan catatan sejarah
disebutkan bahwa berdirinya pesantren sesungguhnya sudah ada
sejak masa-masa awal penyebaran Islam di Indonesia, terutama di
Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana
Malik Ibrahim (wafat 1419 M), tokoh Walisongo. Maulana Malik
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 299
Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmuilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh
Walisongo yang juga mendirikan pesantren di wilayahnya masingmasing, seperti Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik,
Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Lamongan, dan Raden Fatah
di Demak.4
Sebagai sebuah tempat penyebaran sekaligus institusi
pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki banyak
sekali tradisi dan potensi nilai-nilai keadaban. Sejak awal
kemunculannya hingga sekarang, pesantren memiliki arti dan peran
yang sangat penting di tengah-tengah masyarakat. Hingga, tidak
sedikit kalangan pengkaji Islam Indonesia menyebut pesantren
sebagai kampung peradaban, artefak peradaban Indonesia, subkultur, institusi kultural, dan lain-lain.
Potensi pesantren sebagai center of civilized muslim di Indonesia
ini diwujudkan dalam bentuk khazanah intelektual yang melekat di
dalam pesantren berupa tradisi “kitab kuning”, di samping tradisitradisi lainnya seperti sikap dan perilaku tasamuh, tawassuth, dan
tawazun.5
Dalam konteks sekarang, pembahasan seputar eksistensi
pesantren dalam kerangka pendidikan Islam di Indonesia merupakan
sesuatu yang dirasa makin penting. Dengan diterbitkannya UndangUndang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah
No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,
pesantren seperti mendapatkan “amunisi” baru yang
memposisikannya secara formal setara dengan model-model
pendidikan yang lain (pendidikan formal) di hadapan UndangUndang dan Kebijakan Pemerintah. Kondisi ini tentunya sangat
positif sekaligus merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi
eksistensi dan masa depan pesantren.
Sejauh ini, berdasarkan data dari Direktorat Pedidikan Diniyah
dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, dari segi kuantitas
jumlah pesantren di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari
14.067 dengan jumlah santri sebanyak 3.149.374. Dari jumlah
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
300 MOHAMAD KHOLIL
tersebut, lebih dari 8.000 pesantren adalah pesantren bercorak
salafiyah. Pesantren salafiyah ini memfokuskan dirinya pada
pembelajaran agama melalui kajian kitab kuning. Sementara
selebihnya adalah pesantren non-salafiyah, yakni pesantren yang
kegiatannya dilakukan di sekolah atau madrasah formal selain belajar
di pesantren.6
Sungguhpun demikian, dengan dinamika dan perkembangan
zaman serta situasi yang terjadi, tidak sedikit tantangan dan tuntutan
yang mengharuskan pesantren segera melakukan upaya-upaya
pembenahan dan langkah pengembangan ke depan yang lebih baik.
Selain terkait unsur-unsur pokok yang ada di dalam pesantren,
masalah pemulihan citra pesantren yang beberapa tahun terakhir ini
sempat “tercoreng” akibat aksi-aksi brutal segelintir orang pelaku
teror yang dikait-kaitkan dengan pesantren tertentu, merupakan
sesuatu yang juga harus dipikirkan dan diantisipasi secara serius. Hal
ini sangat penting demi mewujudkan potensi pesantren sebagai pusat
peradaban muslim di Indonesia, sekaligus untuk menampilkan wajah
Islam Indonesia di mata dunia internasional yang santun dan toleran
sesuai dengan jiwa pesantren, serta dapat menjadi penebar rahmat
dan kedamaian bagi umat manusia. Berdasarkan uraian di atas, di
dalam tulisan ini penulis merumuskan dua permasalahan: mengapa
institusi pesantren perlu digagas sebagai pusat peradaban muslim di
Indonesia?; apa saja upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk
menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia?
B. Historisitas Pesantren
Asal Mula Kata “Pesantren”
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang dikembangkan secara indigenous oleh
masyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, pesantren merupakan
sebuah produk budaya masyarakat Indonesia yang menyadari akan
arti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secara
natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 301
diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas)
dan telah sekian lama mengakar serta hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Amir Hamzah, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink
menyatakan, secara terminologi dapat dijelaskan bahwa budaya
pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistem pendidikannya, berasal
dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem
tersebut telah terlebih dahulu digunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam
masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diadopsi oleh
para ulama penyebar Islam. Istilah-istilah yang ada di pesantren pun,
seperti mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dari
India. Demikian juga istilah langgar di Jawa, surau di Minangkabau,
dan rangkang di Aceh, bukanlah istilah Arab, tetapi dari istilah yang
terdapat di India.7
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula kata “pesantren”.
Prof. John berpendapat, bahwa kata pesantren berasal dari term
“santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti “guru
mengaji”. Sementara C.C. Berg berpendapat lain, bahwa kata santri
menurutnya berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti “orang
yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”. Berbeda dengan
keduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa
Tamil “sattiri” yang berarti “orang yang tinggal di sebuah rumah
gubuk atau bangunan keagamaan secara umum”. 8 Pendapat lain
mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sanskerta “cantrik”
yang berarti “orang yang selalu mengikuti guru”. Ada pula pendapat
yang menyatakan bahwa santri pada awalnya merupakan gabungan
dari kata “saint” (manusia baik) dan “tra” (suka menolong), sehingga
kata pesantren diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baikbaik.9
Dalam hubungan ini, kata Jawa “pesantren” yang diturunkan
dari kata “santri” dengan awalan dan akhiran “pe-an”, memberi
makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah
pondok untuk para siswa (santri) sebagai model pendidikan agama
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
302 MOHAMAD KHOLIL
di Jawa.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal mula kata
pesantren, yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang masih tetap
konsisten sampai sekarang di dalam memelihara nilai-nilai, budaya
atau tradisi, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang diakui sejak awal sangat
independen atau mandiri. Dalam hal ini, Malik Fadjar dalam Amin
Haedari pernah membanggakan kemandirian pesantren ini dengan
mengatakan:
Ditinjau dari sisi kemandirian, pesantren jelas lebih unggul dibandingkan lembaga perguruan tinggi yang meski terkesan “wah” tetapi justeru
merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya paling bertanggungjawab terhadap membludaknya angka pengangguran di masyarakat.10
Sejarah Berdirinya Pesantren
Sejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desa
perdikan dengan tokoh agama yang kharismatik dan dianggap
“keramat” oleh masyarakat. Ketika para penduduk masuk Islam, desadesa perdikan Islam juga terbentuk dengan pesantren-pesantren yang
ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang
hampir sama juga sudah ada di daerah lain, bahkan lebih dulu dari
pada istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh misalnya, daerah pertama
di Indonesia yang menerima ajaran Islam, pesantren disebut dengan
“dayah” atau “rangkang”, “meunasah”. Di Pasundan ada “pondok”,
dan di Minangkabau ada “surau”. Di dalam pesantren, para santri
melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan
bermacam-macam pendidikan rohani, mental spiritual, dan sedikit
banyak pendidikan jasmani”.11
Secara historis, meski pesantren dalam arti lembaga pendidikan
tempat dilakukannya pengajaran tekstual baru muncul pada sekitar
abad ke-18, namun dari catatan sejarah disebutkan bahwa berdirinya
pesantren sesungguhnya sudah ada sejak masa-masa awal
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Tokoh yang
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 303
pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim
(wafat 1419 M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan
pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada
gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Walisongo yang juga mendirikan
pesantren di wilayahnya masing-masing, seperti Sunan Ampel di
Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat
di Lamongan, dan Raden Fatah di Demak. Bahkan, tercatat kemudian,
murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam
di Jawa dan Madura, termasuk pulau-pulau di Indonesia bagian
Timur, seperti Lombok, Sumbawa, Bima, Makasar, Ternate, Kangean
hingga Maluku. 12
Pada periode-periode selanjutnya seperti halnya di masa
Walisongo, proses berdirinya pondok pesantren tidak pernah lepas
dari kehadiran seorang ulama yang bercita-cita untuk menyebarkan
Islam di daerahnya. Ulama tersebut biasanya sudah pernah bermukim
selama beberapa tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan
agama Islam, baik di pesantren-pesantren di Indonesia maupun di
Mekkah dan Madinah. Setelah kembali ke tempat asalnya, ia lalu
mendirikan sebuah “surau” untuk digunakan shalat berjama’ah dan
aktivitas-aktivitas lainnya.
Kebanyakan pesantren didirikan secara pribadi oleh seorang
kyai. Hal ini merupakan faktor yang memperkuat eksisitensi
pesantren, meski faktor ini pula, yang jika tanpa diperkuat oleh faktor
pendukung lain akan menjadikan pesantren tertentu menjadi lemah
atau mati. Bahkan, lantaran kharisma dan pengaruh yang dimiliki,
tidak sedikit kyai atau ulama yang dianggap oleh masyarakat sebagai
cikal bakal berdirinya suatu daerah.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, setiap pesantren setidaktidaknya memiliki 5 (lima) elemen dasar, yaitu: masjid atau musholla,
kyai atau pengasuh pesantren, santri, pondok atau asrama santri, dan
pengajaran kitab-kitab (kitab kuning).
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga
semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum
abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
304 MOHAMAD KHOLIL
informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan
menghafal al-Qur’an hanya dari orang-orang kampungnya sendiri
yang terlebih dahulu menguasai. Apabila ada seorang haji atau
pedagang Arab yang kebetulan singgah di desa, orang-orang desa akan
memintanya singgah selama beberapa hari untuk mengajarkan kitab
dan ajaran Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga
memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid
yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan
tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut
biasanya akan pergi “mondok” ke Jawa, atau bila memungkinkan
pergi ke Mekkah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada
abad-abad pertama penyebaran Islam.13
Irfan Hielmy, salah seorang tokoh pesantren di Ciamis Jawa
Barat dalam bukunya Wacana Islam menjelaskan, bahwa
berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama Islam di
Indonesia telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang
kemudain dikenal dengan nama Pesantren. Bahkan dalam catatan
Howard M. Federspiel, salah seorang pengkaji ke-Islaman di
Indonesia, bahwa menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi Islam di
Aceh dan Palembang (Sumatera), termasuk di Jawa Timur dan Gowa
(Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah
menarik minat banyak santri untuk belajar.14
Di Sulawesi Selatan, masjid selain digunakan sebagai tempat
shalat berjama’ah juga difungsikan sebagai pesantren sekaligus.
Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Tallo) juga berfungsi
sebagai pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah
seputar syari’at Islam, rukun Islam, hukum perkawinan, warisan, dan
upacara hari besar Islam. Sejak awal perkembangan Islam di Sulawesi
Selatan, orang-orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya
mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitabkitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar.15
Sedangkan sejarah pesantren di Jawa bagian Barat, Serat Centini
menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama “Karang” di
Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 305
Salah satu tokohnya adalah Danadharma yang mengaku telah belajar
selama 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang
wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya ialah Jayengresmi alias
Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan
seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal
dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru
lagi kepada Ki Baja Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia
menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitabkitab ortodoks.16
Demikian pesantren telah menjadi pusat penyebaran Islam yang
sangat efektif di Indonesia sejak awal berdirinya. Kesuksesan ini
ditunjang oleh posisi penting para kyai, ajengan, tengku, tuan guru,
atau tokoh agama lainnya di tengah-tengah masyarakat. Mereka
bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja,
akan tetapi dianggap sebagai tokoh kharismatik bagi murid (santri)
dan masyarakatnya. Kharisma kyai ini didasarkan pada kekuatan
spiritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya
dengan Tuhan. Ziarah ke kuburan para kyai dan waliyullah
dipandang sebagai bagian integral dari wasilah atau keperantaraan
spiritual. Mata rantai yang terus tersambung melalui guru-guru
terdahulu dan waliyullah hingga Nabi, dianggap sangat penting untuk
keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.17
Tradisi Pesantren
Pesantren merupakan bentuk khas model pendidikan Islam
Indonesia. Meski pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
bercorak Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek pesantren
memiliki keunikan dibanding lembaga pendidikan Islam tradisional
lain mana pun di dunia. Pada saat yang sama, pesantren juga
sesungguhnya memiliki orientasi internasional, dengan Mekkah
sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.
Sebut saja misalnya tradisi “kitab kuning”, jelas bukan berasal
dari Indonesia. Semua kitab kuning yang dipelajari di Indonesia
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
306 MOHAMAD KHOLIL
menggunakan bahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum ajaran
Islam tersebar di Indonesia. Bahkan, pergeseran perhatian utama
dalam tradisi kitab kuning tersebut pun sejalan dengan pergeseran
serupa yang terjadi di sebagian besar dunia Islam. Sejumlah kitab
kuning yang dipelajari di pesantren meski relatif baru, tetapi tidak
ditulis di Indonesia, melainkan di Mekkah dan Madinah.
Keberadaan pesantren yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi
kajian kitab kuning sebagai literatur utamanya tersebut, menjadikan
eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional
di Indonesia tetap terjaga.
Di dalam pesantren dapat dikatakan tidak ada keseragaman
kurikulum terkait kitab yang dikaji. Bahkan, sebagian pesantren
mengkhususkan dirinya pada bidang ilmu tertentu sesuai dengan
disiplin keilmuan yang digeluti oleh sang kyai (pesantren takhassus),
meskipun tentu saja dengan tetap tanpa mengesampingkan bidang
ilmu lainnya. Hal yang sangat diperhatikan oleh lembaga pesantren
adalah selektifitas terhadap kitab-kitab yang diajarkan kepada para
santri (kitab-kitab mu’tabarah). Hampir seluruh kitab yang dikaji di
pesantren adalah kitab-kitab madzhab dan sangat memperhatikan
isnad kitab-kitab tersebut hingga sampai kepada pengarangnya.
Tradisi pesantren yang selalu mengkaji dan membahas segala
persoalan kehidupan kemasyarakatan berdasarkan kitab kuning telah
menjadikan pesantren mempunyai bentuknya tersendiri. Di dalam
menghadapi berbagai masalah, baik menyangkut keagamaan maupun
problem-problem kemasyarakatan, pesantren selalu menggunakan
kitab kuning sebagai rujukannya, yang ditulis oleh ulama salafus
shalih.
Selain tradisi kitab kuning, masih banyak tradisi lain dan nilainilai luhur yang dikembangkan di pesantren, seperti sikap dan
perilaku tasamuh, tawassuth, dan tawazun. Tasamuh berarti toleran
di dalam perbedaan pendapat keagamaan, dan di dalam urusan
kemasyarakatan dan kebudayaan. Tawassuth berarti sikap tengah
yang ber-intikan keadilan di tengah kehidupan bersama, serta
menjadi panutan, bertindak lurus, bersifat membangun dan tidak
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 307
ekstrem. Tawazun berarti keseimbangan dalam berkhidmat kepada
Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada
lingkungan, serta keselarasan antara masa lalu, masa kini, dan masa
depan.18
Perkembangan dan Fungsi Pesantren
Sejak pertengahan abad ke-20, di Indonesia telah terdapat 2 (dua)
macam kecenderungan sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan
kaum kolonial (disebut juga sistem pendidikan modern-sekuler) dan
sistem pendidikan pribumi yang bertumpu pada model pendidikan
pesantren (tradisional).
Sistem pendidikan kaum kolonial lebih condong kepada aspek
ilmu pengetahuan umum dan keterampilan pragmatis yang bersifat
intelektualistik, individualistik, serta cenderung kepada westerniasi
dan kristenisasi.19 Sistem pendidikan kaum kolonial ini belakangan
dikenal dengan model pendidikan sekolah. Pada masa itu, sedikit
sekali warga pribumi yang memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan manfaat dari lembaga pendidikan kolonial, karena
lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum kolonial
tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja dari
keturunan warga pribumi, seperti kaum bangsawan, pejabat
pemerintahan, dan sejenisnya. Tegasnya, sistem pendidikan kaum
kolonial ini sangat dibatasi bagi warga pribumi Indonesia, dan justeru
sangat terbuka bagi warga keturunan bangsa asing seperti Cina dan
Arab.
Selain itu, sebagian warga pribumi yang mayoritas menganut
ajaran Islam pada saat itu menganggap bahwa mengikuti pendidikan
kaum kolonial adalah sesuatu yang “diharamkan”, berdasarkan sifat
sekuler dan semangat westernisasi serta misi kristenisasi yang
terkandung di dalamnya.
Sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, pesantren
sudah ada jauh sebelum datangnya kaum kolonial ke tanah air. Pada
dasarnya, sistem pendidikan pesantren ini diselenggarakan dalam
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
308 MOHAMAD KHOLIL
rangka mendidik masyarakat (santri20) agar memiliki kepribadian dan
moralitas yang luhur serta pemahaman dan praktek keagamaan yang
mendalam.
Pesantren saat itu telah memiliki banyak tipe dan spesialisasi
keilmuan yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan Jawa
Timur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang memiliki spesialisasi
ilmu ‘alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika).
Sementara Pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagai
pesantren tasawuf.21 Selain itu, popularitas pesantren pada umumnya
sangat tergantung pada reputasi dan kedalaman ilmu agama yang
dimiliki pengasuhnya (kyai).
Di masa kolonial, eksistensi pesantren selalu dihadapkan secara
dikotomis dengan sistem pendidikan kolonial dalam 2 (dua) kutub
yang saling berlawanan: pendidikan tradisional (pesantren; pribumi)
di satu sisi, dan pendidikan modern-sekuler (sekolah; pemerintah)
di sisi lain. Bahkan, oleh kaum kolonial pesantren sering kali dianggap
sebagai sebuah ancaman dan perlawanan. Karena, pesantren selain
sebagai lembaga pendidikan, juga merupakan “agen perubahan
sosial”. Sebut saja misalnya apa yang dilakukan oleh Hasyim Asy’ari
dengan pesantren yang didirikannya di Tebuireng pada tahun 1899.
Bagi Hasyim Asy’ari, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
institusi pendidikan atau lembaga moral religius, namun lebih dari
itu, pesantren merupakan sarana penting untuk membuat perubahanperubahan mendasar di dalam masyarakat secara luas. Ia juga yakin
bahwa tradisi pesantren merupakan sebuah cerminan budaya Islam
dengan continuity and change-nya yang berasal dari warisan
intelektual dan kultural kaum Muslim Jawa masa awal, khususnya
Walisongo. Model Walisongo ini telah diyakini oleh seluruh kalangan
santri Jawa, karena Walisongo adalah model yang baik bagi mereka.
Hingga memasuki awal dekade abad ke-20, di Jawa mulai
terlihat adanya gejala perkembangan dan arah baru dunia pesantren
yang dimotori oleh Pesantren Tebuireng. Ini sebagaimana
dikemukakan oleh M. Yunus, ahli sejarah yang pernah mengunjungi
berbagai pesantren pada tahun 1950-an, bahwa kelahiran Pesantren
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 309
Tebuireng menandai era baru perkembangan pesantren di
Indonesia.22
Master plan Pesantren Tebuireng yang dirancang oleh Hasyim
Asy’ari ini tidak sia-sia. Ia menciptakan sebuah tradisi pesantren di
dalam dirinya sendiri sebagai seorang santri yang tekun, sekaligus
kyai yang tegas namun baik hati dalam keluarga dan pesantrennya.
Pernyataan terakhir ini bisa dijelaskan dengan mengamati
pertumbuhan dan perkembangan terakhir dari lembaga tersebut. Dari
8 hingga 28 orang santri pada awal berdirinya, pesantren ini lalu
tumbuh dengan ribuan santri pada dekade berikutnya. Para santri di
pesantren ini pada gilirannya banyak yang menunjukkan kemajuan
mereka yang pesat dan menjadi pemimpin di tengah masyarakat.
Dilaporkan bahwa ketika Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947,
ia telah berhasil mendidik tidak kurang dari puluhan ribu santri yang
berasal dari seluruh Indonesia.23 Prestasi yang luar biasa ini tidak
akan tercapai, jika Hasyim Asy’ari bukan seorang kyai yang
kharismatik dengan berbagai keunggulan dan kualitas yang ada di
dalam dirinya, seperti ketegasan, simpati, dan kepandaian dengan
kepribadian yang menyenangkan.
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Bentuk
pengajarannya saat itu tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan
kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca
(khatam). Materinya pun hanya berkisar pada Pengetahuan Agama
Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa
dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perjalanan waktu, sistem dan metode pengajaran di
pesantren ditambah, di antaranya dengan menambah “kelas
musyawarah” sebagai jenjang kelas tertinggi. Santri yang masuk ke
dalam kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya
yang sangat ketat. Pada tahun 1916, Kyai Ma’sum Ali, menantu
pertama Hasyim Asy’ari dari puterinya yang bernama Khairiyah,
mengenalkan sistem pengajaran klasikal (madrasah). Sistem klasikal
(madrasah) ini merupakan sistem pengajaran yang diadopsi dari
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
310 MOHAMAD KHOLIL
Makkah.
Pada tahun itu juga Madrasah Tebuireng membuka 7 (tujuh)
jenjang kelas yang dibagi menjadi 2 (dua) tingkatan. Tahun pertama
dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan
bagi para santri untuk dapat memasuki madrasah pada 5 (lima) tahun
berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara
khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi
pendidikan madrasah 5 (lima) tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan
materi Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan Geografi. Lalu
setelah kedatangan Kyai Ilyas pada tahun 1926, pelajaran ditambah
lagi dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Pada tahun 1928,
posisi Kyai Ma’sum sebagai Kepala Madrasah digantikan oleh Kyai
Ilyas, sedang Kyai Ma’sum sendiri ditunjuk Hasyim Asy’ari untuk
mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat
Tebuireng).24
Diperkenalkannya materi-materi non keagamaan di Tebuireng
pada awalnya mendapat kritikan tajam dari para ulama (kyai) lain,
sehingga banyak orang tua yang melarang anaknya memasuki atau
melanjutkan pendidikan di pesantren ini. Namun, pada awal tahun
1940-an saat pendudukan Jepang, mereka baru menyadari manfaat
ilmu-ilmu tersebut, tepatnya ketika Jepang melarang masyarakat
untuk berkomunikasi kecuali hanya dengan menggunakan hurufhuruf alfabet (latin). 25 Sebagai tambahan, kebanyakan alumni
Tebuireng dipercaya menjadi anggota Sanakai (suatu lembaga
perwakilan distrik) dengan bekal penguasaan mereka terhadap ilmu
pengetahuan non-agama, khususnya bahasa Indonesia sebagai
pengganti bahasa Arab yang telah sedemikian akrab dengan mereka.26
Demikian potret perkembangan dunia pesantren di Tanah Air.
Sebagai sebuah institusi pendidikan, pesantren telah mengalami
berbagai perubahan dan modifikasi, baik dalam hal manajemen
maupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Hal ini tak lepas dari
upaya pesantren dalam merespons kemajuan dan perkembangan
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 311
zaman, serta tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang kian
kompleks. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa institusi pesantren
sejak awal kemunculannya memang tak pernah lepas dari upayanya
merespons problem-problem yang terjadi dan dibutuhkan oleh
masyarakat, tentunya dengan tetap berlandaskan pada tradisi-tradisi
dan nilai luhur yang ada di tengah-tengah masyarakat. Spirit ini
sebagaimana termaktub dalam sebuah adagium yang sangat melekat
di dunia pesantren: al-muhâfaza ‘ala al-qadîm al-sâlih wa al-akhdhu
bi al-jadîd al-aslah (melestarikan tradisi-tradisi masa lalu yang baik,
serta mengadopsi tradisi-tradisi baru yang juga dianggap baik atau
lebih baik).
Hingga pada perkembangannya sekarang, pesantren pada
umumnya hampir merupakan institusi pendidikan yang
menggabungkan antara sistem pendidikan khas pesantren (pengajian
sorogan dan bandongan/wetonan) dan sistem pendidikan klasikal
melalui sistem “madrasah”, termasuk dengan penambahan materimateri pelajaran umum (non keagamaan) di dalamnya.
Perkembangan semacam ini merupakan sebuah langkah atau upaya
“modernisasi” yang dilakukan pesantren dalam rangka
menyelaraskan dirinya dengan kemajuan zaman dan tuntutan
masyarakat yang kian pesat. Meski demikian, tradisi khas pesantren
seperti kajian kitab kuning dan tradisi-tradisi lain yang telah melekat
di dalamnya, merupakan sesuatu yang mutlak dilestarikan oleh
pesantren. Bahkan, hingga saat ini masih terdapat banyak pesantren
yang melestarikan kemurnian sistem pendidikan salafiyah nya.
Dengan demikian, sebagaimana dikutip oleh A. Saerozi, sejauh
ini telah terdapat bermacam-macam tipologi pesantren di Indonesia,
yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam
tipe sebagai berikut:27
a. Pesantren Tipe A, yaitu pesantren di mana para santri belajar
dan bertempat tinggal bersama-sama dengan kyai dalam satu
komplek, kurikulum pembelajarannya terserah sang kyai, dengan
metode pembelajaran individual (sorogan) dan tidak
menyelenggarakan madrasah untuk belajar.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
312 MOHAMAD KHOLIL
b.
Pesantren Tipe B, yaitu pesantren di mana para santri bertempat
tinggal di pemondokan (asrama), pelajaran diberikan oleh kyai
melalui sistem studium general (bandongan) dengan materi/
kitab dan waktu yang ditentukan, di samping itu santri
mendapatkan pengajaran di madrasah dan sekolah umum yang
ada di komplek pesantren. Pada pesantren tipe ini, pengajaran
paling pokok terletak di dalam madrasah.
c. Pesantren Tipe C, yaitu pesantren di mana para santri tinggal di
pemondokan (asrama), mengikuti pelajaran di madrasah dan
sekolah umum yang ada di komplek pesantren. Pada pesantren
tipe ini, kyai hanya berperan sebagai pengawas dan pembina
mental spiritual para santri.
Walhasil, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, pesantren
telah memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dan strategis di
tengah-tengah masyarakat. Hingga, tidak sedikit kalangan pengkaji
Islam di Indonesia menyebut lembaga pesantren sebagai kampung
peradaban, artefak peradaban Indonesia, sub-kultur, institusi
kultural, dan lain-lain.
C. Filosofi Pendidikan Pesantren
Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam dengan beberapa ciri khas
dan karakteristik yang terdapat di dalamnya, pesantren jelas memiliki
landasan filosofis, pandangan, dan konsep tersendiri tentang
pendidikan, seperti konsep tentang hakikat guru (kyai) dan konsepsi
dasar pendidikan dan pengajaran.
Hakikat Guru (Kyai)
Dalam terminologi pendidikan modern, guru diartikan sebagai orang
yang memberikan pelajaran kepada peserta didik dengan suatu
disiplin keilmuan tertentu di sekolah (lembaga pendidikan).28 Dalam
terminologi ini, peran guru terlepas dari tanggungjawab “mendidik”
dalam arti yang sebenarnya, dan hanya terbatas pada tugas
“mengajar” (transfer of knowledge) yang berorientasi pada
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 313
pengembangan aspek kognisi (intelektualitas) peserta didik.
Terminologi inilah, baik diakui atau tidak, yang saat ini sesungguhnya
berlaku di lembaga-lembaga pendidikan konvensional. Dengan kata
lain, peran dan fungsi guru cenderung terbatas hanya pada aktivitas
memberikan pengajaran atau sebagai “fasilitator” semata.
Sedangkan dalam pendidikan pesantren, guru (kyai)
ditempatkan pada peran dan fungsinya yang sangat vital. Kyai
merupakan “tokoh sentral” di dalam keseluruhan proses pendidikan
yang dijalani oleh santri. Konsep ini tidak lepas dari pandangan
pesantren yang mengidealkan guru (kyai) sebagai “sumber
keteladanan” bagi para santrinya, baik dalam masalah keilmuan
maupun perilaku dan kepribadiannya.
Dalam sistem pendidikan pesantren, kyai dengan peran
utamanya sebagai pendidik dipandang sebagai “pewaris para Nabi”.
Karena para Nabi pun pada hakikatnya diutus oleh Allah adalah dalam
rangka bertugas mendidik umat manusia (masyarakat).
Dengan demikian, peran kyai tidak hanya terbatas pada
memberikan pengajaran yang berorientasi pada pengembangan
intelektualitas (kognisi) para santri saja, tetapi juga memberikan
pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Yakni, membentuk dan
mengarahkan para santri agar memiliki karakter dan kepribadian
kuat, berperilaku mulia sesuai dengan norma-norma ajaran agama
(Islam) dan nilai-nilai etika, serta menghargai tradisi agar mereka
dapat menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah masyarakat
sesuai fitrah kemanusiaannya baik sebagai hamba Allah maupun
selaku khalifah-Nya di muka bumi.
Konsep Dasar Pendidikan dan Pengajaran
Dalam dunia pesantren, aktivitas pengajaran dan pendidikan
merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan memiliki nilai ibadah
(bentuk pengabdian kepada Allah) yang sangat tinggi. Pendidikan
tak sekedar dimaknai sebagai aktivitas transmisi ilmu pengetahuan
semata yang berorientasi pada tujuan mencerdaskan masyarakat
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
314 MOHAMAD KHOLIL
secara intelektual, namun lebih dari itu, pendidikan merupakan
sarana penting untuk mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah)
dan meraih ridlo-Nya. Oleh karenanya, sebagaimana ibadah-ibadah
lain, di dalam aktivitas pendidikan, terlebih dahulu yang harus
dilakukan oleh subjek didik adalah menata hati dengan menanamkan
niat dan motivasi yang baik, serta membersihkannya dari hal-hal yang
dapat menodai nilai ibadah yang terkandung di dalamnya. Hal ini
merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, karena
aktivitas pendidikan sebagaimana ibadah yang lain, jika tidak
dibangun di atas pondasi niat dan motivasi yang baik serta keikhlasan
demi meraih ridlo-Nya, maka aktivitas tersebut akan sia-sia dan tidak
memiliki nilai ibadah sedikit pun. Selain itu, dengan penanaman niat
dan motivasi yang baik tentunya akan memberikan arah yang baik
pula terhadap setiap aktivitas pendidikan yang akan dilakukan,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: innamâ al-a’mâl bi al-niyyât
(sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya).29
Penanaman niat dan motivasi ini menempati prioritas pertama
dalam konsep pendidikan pesantren. Karena, selain merujuk kepada
hadits Nabi di atas, juga karena alasan bahwa hati merupakan
substansi pokok yang mendasari dan menentukan setiap perilaku baik
dan buruk (kepribadian) manusia.30 Selain itu, hati merupakan media
yang dapat menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Oleh
karenanya, apabila hati manusia telah bersih dari sifat-sifat tercela,
maka ia akan mampu menerima pancaran petunjuk dan ilmu dari
Allah, sebagaimana sebuah cermin yang bersih dari kotoran-kotoran
sehingga dapat memberikan pantulan cahaya yang kuat dan terang.
Dalam konteks ini, konsep pendidikan pesantren memiliki
pararelitas dengan konsep filsafat pendidikan “essensialisme” dan
“perennialisme”, yang menyatakan bahwa pendidikan harus
bertumpu di atas norma-norma yang bersifat tetap (abadi), stabil,
mapan, tidak mudah goyah oleh keadaan dan telah teruji oleh waktu,
sebagaimana norma agama dan tradisi-tradisi agung masa lalu.
Karena, dalam pandangan kedua aliran filsafat pendidikan tersebut,
salah satu tujuan penting pendidikan adalah “memperkaya dimensi
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 315
batin atau spiritualitas manusia sebagaimana fitrahnya, demi meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat”. Ini berbeda dengan konsep aliran
“progressivisme” atau “pragmatisme” yang memandang orientasi
pendidikan lebih kepada kepentingan-kepentingan yang bersifat
pragmatis.
Maka, di dalam pendidikan pesantren sangat diperhatikan aspek
pendidikan moral atau pembentukan kepribadian. Karena
terbentuknya watak dan kepribadian inilah yang sesungguhnya
merupakan inti tujuan dari semua proses pendidikan. Kecerdasan
intelektual akan menjadi tidak ada artinya sama sekali jika tidak
didukung dengan moral, watak dan kepribadian yang luhur. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Hasyim Asy’ari di dalam pengantar kitabnya
Adab al-’Alim wa al-Muta’allim yang ia kutip dari Ibnu al-Mubarak:
nahnu ila qalîl min al-adab ahwaj minnâ ila kathîr min al-‘ilm (kami
lebih membutuhkan adab [etika, moral, budi pekerti] meskipun
sedikit dari pada [memiliki] banyak ilmu pengetahuan [tetapi tidak
beradab]).31
Bahkan, secara lebih lanjut Hasyim Asy’ari di dalam
penjelasannya menyatakan bahwa aspek moralitas merupakan
cermin kesalehan seseorang terkait keimanannya kepada Allah,
sekaligus sebagai bukti konsistensinya dalam mengamalkan syariat
ajaran agama.
...konsekuensi dari pernyataan tauhid (meng-esakan Allah) yang telah
diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah
(yakni dengan membenarkan dan meyakini keberadaan-Nya tanpa
sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu,
tauhidnya dianggap tidak sah (rusak). Demikian pula keimanan, jika
keimanan itu tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukumhukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki
keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pun dengan pengamalan
syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab (keluhuran
budi pekerti), maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat,
belum pula dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.32
Dalam batas ini, konsep dasar pendidikan pesantren masih
cukup pararel dengan konsep filsafat essensialisme dan
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
316 MOHAMAD KHOLIL
perennialisme. Namun demikian, pada saat yang sama pesantren juga
memiliki pandangan yang hampir mirip dengan aliran “empirisme”,
yang berpandangan bahwa manusia pada awal kelahirannya
diumpamakan seperti kertas kosong atau tabula rasa, sehingga ia
perlu dididik.
Tokoh penting aliran empirisme adalah John Locke (1632-1704),
seorang filosof berkebangsaan Inggris. Menurut empirisme,
perkembangan kepribadian manusia didasarkan atas lingkungannya.
Dengan kata lain, perkembangan kejiwaan seseorang sangat
tergantung kepada pendidikan. Dunia luar pada umumnya juga
termasuk dalam kategori lingkungan yang dapat mewarnai watak dan
kepribadian seseorang. Pendidikan dengan segala aktivitasnya
merupakan salah satu lingkungan yang sangat menentukan bagi
terbentuknya kepribadian seseorang. Oleh karenanya, menurut aliran
ini, pendidik (guru) merupakan subjek sentral pendidikan yang
diharapkan dapat berbuat banyak terhadap pemberian warna bagi
pembentukan kepribadian peserta didiknya. Pendidik (guru) dalam
hal ini diumpamakan sebagai seorang pemahat atau pematung yang
dapat melakukan kreasi terhadap objeknya. Dengan demikian, aliran
ini memandang optimis terhadap hasil pendidikan.33
Di samping Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang
mempunyai pandangan hampir sama dengan Locke, yaitu Helvatus.
Ahli filsafat dari Yunani ini berpendapat bahwa manusia dilahirkan
dengan jiwa dan watak yang hampir sama, yaitu suci dan bersih.
Pendidikan dan lingkungan-lah yang kemudian akan membuat
kepribadian manusia menjadi berbeda-beda.34
Sungguhpun demikian, pandangan pesantren tentang sentralitas
peran guru (kyai) dalam pendidikan, meski sepintas terdapat
kemiripan atau pararelitas dengan aliran empirisme, dipastikan
pesantren tidak merujuk kepada salah satu aliran filsafat tertentu.
Akan tetapi lebih didasarkan pada sabda Nabi: kull mawlûd yûlad
‘ala al-fitra (setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah [suci]).35
Memahami substansi hadits Nabi di atas, Nizar Ali, guru besar
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di dalam bukunya Memahami
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 317
Hadits Nabi menjelaskan poin-poin penting sebagai berikut:36
Mengenai makna “fitrah”, al-Maraghi berpendapat bahwa fitrah
adalah suatu keadaan atau kondisi yang diciptakan oleh Allah dalam
diri manusia yang siap menerima dan menemukan kebenaran. Jiwa
manusia diibaratkan seperti kertas putih yang siap menerima tulisan
apapun. Jiwa manusia dapat saja menyerap berbagai agama dan
pengetahuan, akan tetapi yang diserap adalah hal-hal yang baik. Jiwa
manusia tidak akan mengubah atau mengganti fitrah tersebut dengan
hal-hal lain yang merusak, meskipun misalnya ada “guru” yang
mengajarinya ke arah yang rusak. Seandainya pun seorang anak
dibiarkan saja tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh dari luar,
maka anak itu akan tahu dengan sendirinya bahwa Tuhan itu Esa,
akalnya akan menetapkan demikian. 37 Al-Maraghi dengan
pendapatnya tersebut berangkat dari sudut pandang bahwa jiwa dan
akal manusia, sebagaimana wahyu, merupakan instrumen yang juga
dapat menemukan pancaran kebenaran Tuhan.
Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa fitrah adalah
potensi-potensi untuk menjadi baik dan sekaligus menjadi buruk,
potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Secara
sederhana, fitrah diartikan dengan potensi untuk beragama, juga
potensi untuk tidak beragama. 38 Dengan kata lain, fitrah adalah
potensi manusia yang berada di garis netral. Potensi tersebut bisa
menjadi baik atau buruk tergantung kepada bagaimana potensipotensi tersebut dididik dan dikembangkan.
Penafsiran fitrah dengan arti potensi akan lebih tepat jika yang
dimaksudkan adalah potensi-potensi internal manusia seperti: akal,
ruh, nafs, qalb, fuâd dan lain-lain. Potensi-potensi tersebut disebut
dengan fithrah munazzalah, yaitu potensi-potensi atau kesiapan yang
masih bersih tanpa goresan apapun, dan perkembangannya sangat
bergantung kepada faktor luar terutama pendidikan. Perkembangan
fithrah khalqiyyah sangat bergantung kepada pengembangan fithrah
munazzalah.
Dalam pendapat tersebut tampak bahwa fitrah mengandung
komponen-komponen psikologis yang meliputi: bakat, insting,
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
318 MOHAMAD KHOLIL
drives, karakter, hereditas dan intuisi, yang hal tersebut harus
mendapatkan suplai dan bimbingan yang benar. Selain itu, fitrah juga
mengandung nilai-nilai filosofis, karena psikologi termasuk
pembahasan filsafat. 39 Hal tersebut disebabkan karena filsafat
membicarakan tentang asal kejadian manusia, tujuan ia diciptakan,
dan sifat-sifat (potensi-potensi) nya.
Al-Qur’an sendiri juga memberikan isyarat: “Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya
roh (ciptaan) Ku” [QS. al-Hijr (15) :29]. Ayat tersebut mengandung
maksud bahwa Allah memberi manusia potensi atau bakat berkenaan
dengan sifat-sifat Allah (baca: Asmaul husna).40
Konsekuensi logisnya, sifat-sifat Tuhan merupakan potensi pada
manusia yang apabila dikembangkan maka ia akan mencapai tujuan
penciptaannya. Jika tidak, maka ia menyalahi tabiat semula. Lebih
dari itu Allah menciptakan manusia dengan jiwa “imanitas” dan
“humanitas” yang tumbuh sebelum manusia lahir di dunia. Pangkal
humanitas manusia terletak pada jiwa imanitasnya, sedangkan jiwa
humanitasnya tumbuh sebagai pancaran dari jiwa imanitasnya, jiwa
inilah yang menjadikan substansi kemanusiaan manusia berbeda
dengan substansi makhluk lain.
Sementara itu, perkembangan diri manusia, baik aspek imanitas
maupun humanitasnya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang
oleh M.J. Langeveld diklasifikasi ke dalam empat faktor, yaitu: faktor
pengaruh bawaan, faktor pengaruh lingkungan sekitar, faktor
emansipasi (kehendak untuk bebas dari orang lain), dan faktor dari
usaha eksplorasi (penjelajahan terhadap keadaan dunia sekitar).41
Adapun Morris L. Bigge mengatakan bahwa sifat dasar moral
manusia dan responsnya terhadap dunia luar bermacam-macam. Sifat
dasar moral tersebut adalah jelek, baik, dan netral (tidak baik dan
tidak jelek). Sedang responsnya terhadap dunia luar bersifat aktif,
pasif dan interaktif. 42
Aliran yang berpendapat bahwa sifat dasar moral manusia dan
responsnya terhadap dunia luar bad active adalah aliran Theistic
Mental Discipline yang mengatakan bahwa manusia itu pada
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 319
dasarnya mewarisi bawaan yang jelek (bad), dan tidak ada harapan
baik. Jika manusia dibiarkan tumbuh berkembang tanpa pendidikan,
maka yang akan tampak adalah kejelekannya saja. Dalam hal ini
fungsi pendidikan adalah mengupayakan pengekangan terhadap sifat
dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik.
Jika seseorang percaya bahwa sifat dasar moral manusia dan
responsnya terhadap alam luar adalah bersifat good active, maka yang
akan tampil adalah sifat-sifat baiknya. Implikasi dari konsep ini dalam
proses pengembangan manusia adalah bagaimana manusia
diletakkan pada pengaturan alam lingkungan luar sedemikian rupa
agar dapat mengoptimalkan perkembangan individu-individu
tersebut secara aktual.
Pendapat lain mengatakan bahwa sifat dasar moral manusia dan
respons manusia terhadap dunia luar bersifat neutral-passive.
Manusia pada dasarnya bersifat netral sehingga memiliki potensi
untuk baik dan pontensi untuk tidak baik, serta responsnya terhadap
dunia luar bersifat interaktif. Artinya, bahwa alam luar termasuk
pendidikan lah yang akan membentuk dan mengambangkan
kepribadian seseorang. Karakter atau kepribadain seseorang sangat
bergantung kepada pengaruh alam lingkungannya.
Terdapat pula pendapat lain yang mengatakan bahwa sifat dasar
moral manusia dan responnya terhadap alam luar bersifat neutral
interactive. Pandangan ini hampir mirip dengan neutral passive.
Perbedaannya terletak pada respon manusia terhadap dunia luar. Jika
neutral passive memandang bahwa respons datang dari luar, maka
neutral active ini memandang bahwa ada kerjasama atau interaksi
antara sifat dasar dengan dunia luar. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dunia luar, termasuk pendidikan, tidak dapat
mencetak manusia sesuai dengan tujuan yang diharapkan secara
penuh, karena manusia pada dasarnya dapat memberi respon atau
tanggapan terhadap pengaruh luar. Oleh karena itu, hasil proses
dialektis antara sifat dasar dan dunia luar itulah yang akan
membentuk format tampilan kepribadian manusia.
Berkaitan dengan teori-teori tersebut, Islam tidak berangkat dari
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
320 MOHAMAD KHOLIL
teori empirisme, nativisme atau konvergensi, dan juga bukan good
passive, bad active, neutral interactive atau neutral passive. Akan
tetapi, Islam melalui hadis tentang fitrah di atas menawarkan konsep
tersendiri tentang perkembangan manusia, yakni manusia pada
awalnya memiliki fithrah khalqiyyah atau potensi beragama (Islam),
yang pada tahap perkembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh
fithrah munazzalah atau potensi internal manusia (akal, rûh, nafs,
qalb, fuâd, dan lain-lain) dalam merespon pengaruh luar.
Implikasi dari pemahaman hadis Nabi tentang fitrah tersebut
terhadap perkembangan manusia adalah sebagai berikut:
a. Manusia mempunyai berbagai potensi (memahami, melihat dan
mendengar yang tidak dimiliki oleh hewan).
b. Apabila manusia tidak mendayagunakan berbagai potensi
tersebut, ia akan kehilangan sifat kemanusiaannya.
c. Perubahan sifat manusia ke arah sifat hina dikarenakan
keteledoran manusia, yakni sifat lalainya.
d. Pendidikan adalah media untuk mempertahankan fithrah
khalqiyyah, sekaligus sebagai sarana untuk mengasah dan
menumbuhkembangkan fithrah munazzalah sehingga manusia
mampu mengimplementasikan keberagaman dan moralitasnya
yang baik.
Maka tak diragukan lagi, bahwa masalah moralitas dalam konsep
dasar pendidikan pesantren merupakan hal yang substansial,
sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan itu
sendiri. Etika dan norma-norma agama serta tradisi-tradisi agung
merupakan landasan sekaligus kerangka dasar yang dibangun di
dalam setiap proses pendidikan, dalam rangka mengawal setiap tahap
perkembangan potensi jasmani maupun rohani para santri.
D. Menjadikan Pesantren sebagai
Pusat Peradaban Muslim di Indonesia
Sebelumnya telah dikemukakan alasan-alasan mendasar terkait
perlunya pesantren digagas sebagai pusat peradaban muslim di
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 321
Indonesia, baik berdasarkan tinjauan historis maupun secara
kefilsafatan, yakni pesantren pada intinya merupakan sebuah institusi
pendidikan Islam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan dan
beragam potensi yang meniscayakan institusi tersebut dapat menjadi
pusat peradaban muslim di Indonesia.
Namun demikian, eksistensi dan masa depan pesantren di masa
mendatang bukanlah tanpa tantangan. Hal ini seiring dengan
derasnya dinamika dan perubahan zaman serta arus globalisasi yang
kian tak terbendung. Semua itu mau tidak mau menuntut lembaga
pesantren untuk senantiasa melakukan upaya-upaya modifikasi dan
penyesuaian, di samping tentu saja dengan tetap berikhtiar
melestarikan tradisi-tradisi khas kepesantrenannya sebagai sebuah
aset penting dan budaya bangsa yang tak ternilai harganya di
sepanjang perjalanan sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Oleh karenanya, gagasan menjadikan lembaga pesantren sebagai
pusat peradaban muslim di Indonesia adalah sesuatu yang sangat
beralasan. Dan untuk mewujudkan gagasan tersebut, setidaktidaknya secara garis besar diperlukan upaya-upaya seperti:
rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem dan
manajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan dukungan
kebijakan Pemerintah.
Rekonstruksi Pendidikan Pesantren
Dalam rangka menyiapkan institusi pesantren menghadapi dinamika
dan perkembangan dunia kontemporer yang semakin kompleks,
maka sistem pendidikan pesantren perlu mengalami berbagai
perubahan dan penyesuaian, dalam arti perlu adanya rekonstruksi
dan reorientasi agar sistem pendidikan pesantren tersebut tetap eksis
di masa mendatang.
Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam tradisional,
pendidikan pesantren di dalamnya mengandung muatan-muatan
yang secara garis besar dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori.
Kategori pertama adalah ajaran dasar yang merupakan referensi bagi
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
322 MOHAMAD KHOLIL
landasan hidup dan penyelesaiannya dalam mengatasi seluruh
problematika kehidupan di tengah dinamika sosial-budaya, yang
mempunyai nilai kebenaran bersifat mutlak dan tidak runtuh dalam
segala perubahan zaman. Ajaran dasar ini mempunyai muatanmuatan nilai universal, yang mempunyai daya relevansi dalam segala
tataran ruang dan waktu. Bahkan, ajaran ini memiliki legalitas sakral
dan telah secara tuntas dikodifikasikan oleh para ulama salafus shalih,
yakni berupa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kategori kedua adalah ajaran-ajaran yang merupakan hasil
interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar di atas. Ajaran ini
mengelaborasi muatan ajaran dasar dengan kecenderungan pada
aspek-aspek praktis-aplikatif.
Dalam pendidikan pesantren, umumnya materi yang diberikan
secara intens dan simultan adalah lebih pada ajaran yang bersifat
elaboratif. Bahkan secara lebih spesifik bisa dikatakan bahwa
diskursus yang sangat berkembang dan dianggap penting dalam dunia
pesantren hanyalah bidang fiqih semata. Sementara itu, kajian
tentang ajaran dasar yang dibutuhkan dalam usaha memahami ajaran
Islam secara menyeluruh kurang mendapat perhatian serius. Hal ini
dapat dilihat dari wacana yang beredar di pesantren yang diwakili
dengan tradisi Kitab Kuning. Wacana fiqih terasa sangat dominan
ketimbang wacana lainnya. Bila kondisi demikian dibiarkan terus dan
lepas dari kontrol akademis, dikhawatirkan diskursus Al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang notabene merupakan ajaran dasar akan kian
terlupakan sama sekali dari pendidikan pesantren. Dengan kata lain,
Al-Qur’an dan Hadits Nabi hanya akan menjadi “lipstik” semata
karena kandungannya tidak pernah dipahami secara langsung.
Padahal, tidak semestinya wacana fiqih menggeser posisi Al-Qur’an
atau Hadits Nabi. Sebab, fiqih bukanlah sumber petunjuk mutlak
dalam segala praktek kehidupan.
Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sesungguhnya dapat diatasi
atau sekurang-kurangnya diminimalisasi, salah satu caranya adalah
mengubah atau memodifikasi metode pendidikan yang selama ini
dikembangkan di dunia pesantren. Metode pendidikan yang
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 323
diterapkan di pesantren selama ini cenderung bersifat induktif.
Pesantren umumnya mengembangkan kajian-kajian partikular
terlebih dahulu seperti fiqih dan berbagai tradisi lainnya yang
dianggap sebagai ilm al-hâl. Setelah penguasaan terhadap kajian
partikular tersebut dianggap memadai, baru merambah ke wilayah
kajian lainnya yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran
dasar. Hasil pendidikan pesantren tentunya akan berbeda bila metode
induktif yang selama ini berlangsung dibalik dengan menggunakan
metode deduksi, yakni mengembangkan kajian yang menjadi alat
bantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, lalu kemudian
mengimplementasikannya dalam kajian partikular seperti fiqih dan
kajian lain seputar perkembangan dinamika modern. Metode ini
agaknya lebih bisa mengembangkan proses penalaran, kreativitas,
dan dinamika dalam memahami Islam secara lebih kontekstual
ketimbang sekedar metode pertama (induksi) yang lebih menekankan
pemahaman doktrinal.
Aspek lain yang perlu dilihat dalam membangun sistem
pendidikan pesantren di masa depan adalah masalah kurikulum.
Kurikulum pesantren yang diwakili oleh Kitab Kuning, hanya lebih
menekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Keadaan
kurikulum pendidikan pesantren yang demikian memberikan sebuah
konsekuensi pada eksklusivisme pesantren dari wacana dan
pemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh madzhab
Syafi’i, Asy’ari, dan Al-Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islam
hanya dipahami sejauh ajaran yang menyangkut fiqih, teologi, dan
tasawuf yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Implikasinya
adalah hilangnya budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi
pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidak
diakui lagi dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren.
Dalam konteks ini, maka usaha yang perlu dilakukan dalam
pendidikan pesantren adalah membangun “kebenaran-kebenaran”
yang telah mengakar di dunia pesantren menjadi hal yang lebih
terbuka untuk upaya ijtihad baru dalam menghadapi perkembangan
dunia kontemporer. Dengan begitu maka kurikulum pesantren harus
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
324 MOHAMAD KHOLIL
lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
kontemporer yang terus berkembang.
Pembenahan Sistem dan Manajemen Pesantren
Upaya berikutnya yang perlu dilakukan dalam rangka menjadikan
pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia adalah
pembenahan terhadap sistem dan manajemen pesantren. Hal ini
penting dilakukan mengingat keberhasilan sistem pendidikan
pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya.
Sejauh ini, pola manajemen pesantren umumnya cenderung
dilakukan secara insidental serta kurang memperhatikan tujuantujuan yang disistematisasikan terlebih dahulu. Sistem pendidikan
pesantren biasanya dilakukan secara alamiah dengan pola manajerial
yang tetap (konstan) setiap tahunnya. Perubahan mendasar dalam
pengelolaan pesantren agaknya belum terlihat. Masalah penerimaan
santri baru, misalnya, masih dilakukan secara terbuka untuk semua
individu yang jelas-jelas mempunyai latar belakang dan kemampuan
beragam tanpa mengadakan usaha pre-test terlebih dahulu. Dengan
kata lain, usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatif
tidak pernah dilakukan.
Oleh karenanya, manajemen pesantren harus diupayakan lebih
terbuka. Sebab, perkembangan yang terjadi di luar harus diketahui
dan diantisipasi, terutama kemungkinan-kemungkinan akan
terjadinya berbenturan. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola
kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusiinstitusi lain yang dipandang mampu memberikan kontribusi dan
menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerjasama ini dapat juga
dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar
dapat memberdayakan dirinya dalam menghadapi tantangan
kontemporer yang semakin kompleks. Pola kerjasama semacam ini
dengan sendirinya akan minimalisir asumsi-asumsi negatif yang
selama ini disematkan pada lembaga pesantren, seperti terisolasi,
teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderungan mempertahankan
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 325
status quo.
Jika sudah demikian, maka arah perkembangan dunia pesantren
pada masa depan dapat diperkirakan akan menempuh bentuk yang
beraneka ragam. Ada pesantren yang bentuknya tetap seperti dulu,
yaitu sebagai lembaga pendidikan non formal yang khusus mendalami
ilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agama
dalam kehidupan sehari-hari, dimana ajaran-ajarannya bersumber
dari hasil ijtihad para ahli fiqih dan sufistik dengan kitab-kitab klasik.
Ada pula pesantren yang berbentuk tetap sebagai pendidikan non
formal yang menggeluti bidang agama, akan tetapi dilengkapi dengan
berbagai keterampilan, dengan catatan bahwa bidang studi agama
terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam
Islam, jadi tidak hanya terbatas pada sumber-sumber ajaran lama
yang bersifat fiqih-sufistik saja, tetapi juga dilengkapi dengan
pengajaran filsafat dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai
dengan perkembangan zaman.
Termasuk hal yang paling penting bagi sistem pesantren di masa
depan adalah adanya penyelenggaraan pendidikan formal, baik
madrasah maupun sekolah umum hingga perguruan tinggi yang
hidup dalam satu lingkungan pesantren. Bentuk ini dipastikan akan
menjadikan pesantren dapat bertahan di masa-masa mendatang,
karena akan saling mengisi antara pesantren sebagai pendidikan non
formal yang menggarap bidang nilai tafaqquh fiddîn dan pengamalan
agama, dengan pendidikan formal yang menggarap ilmu lainnya.
Di samping itu, diperlukan juga pembaruan konsep asrama di
masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya
sebagai subsistem pendidikan nasional secara mantap di masa depan.
Asrama pesantren di masa depan hendaknya bukan sekedar tempat
hidup bersama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti kondisi
pesantren saat ini, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagai
forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama, sesuai
dengan tantangan zamannya dan mengembangkan potensi
individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
326 MOHAMAD KHOLIL
dengan perkembangan kepribadian kolektif.
Melalui upaya-upaya di atas, pada gilirannya akan menampilkan
wajah pendidikan pesantren tidak lagi dianggap statis atau mandeg.
Dinamika kehidupan pendidikan pesantren harus terus berlanjut,
karena memang pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan
partisipasinya secara aktif dalam memberikan pelayanan terhadap
masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa
menyertai. Karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang memiliki akar budaya kuat di masyarakat.43
Penguatan Kultur Pesantren
Meski di satu sisi pesantren dituntut untuk lebih terbuka dalam
mengadopsi dan mengadaptasikan dirinya dengan perkembangan
dunia kontemporer, namun pesantren juga harus tetap menjaga dan
menguatkan kultur-kultur yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Prinsip kemandirian yang selama ini ada di pesantren misalnya,
merupakan pola pendidikan yang perlu terus dikembangkan dalam
membentuk kepribadian generasi bangsa yang mandiri. Sebab, sejak
awal para santri di pesantren sudah dilatih mandiri. Ia mengatur dan
bertanggung jawab atas keperluannya sendiri, seperti mengatur uang
belanja, memasak, mencuci pakaian, merencanakan belajar, dan
sebagainya. Prinsip seperti ini tentu saja merupakan keunggulan
tersendiri yang dimiliki pesantren dalam membentuk kepribadian
anak didik, dan tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah formal pada
umumnya. Selain itu, sikap-sikap seperti tawazun, tasamuh,
tawassuth yang telah menjadi karakter pesantren merupakan kultur
yang juga harus lebih dimantapkan.
Atas dasar itulah, maka termasuk pula sebagai upaya yang perlu
dilakukan untuk menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban
muslim di Indonesia adalah menjadikan prinsip-prinsip pendidikan
dan kultur yang ada di pesantren sebagai prinsip-prinsip yang juga
berlaku di lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Artinya, prinsip dan
kultur pendidikan pesantren perlu dijadikan sebagai alternatif yang
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 327
bisa diadopsi oleh sistem pendidikan sekolah atau lembaga
pendidikan formal lainnya.
Dukungan Kebijakan Pemerintah
Untuk menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di
Indonesia, keberadaan pondok pesantren dalam sistem pendidikan
nasional kiranya tidak cukup dipandang hanya sebagai sebuah subsistem, tetapi harus dipandang sebagai “mitra” di dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Posisi pesantren yang mengintegrasi di dalam sistem pendidikan
nasional sejauh ini tercermin dalam berbagai aspek. Pertama,
pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu
muatan wajib dalam semua jalur dan jenjang pendidikan. Kedua,
dalam sistem pendidikan nasional pesantren diposisikan sejajar
dengan pendidikan formal, sehingga kedudukannya menjadi sama,
tidak ada lagi sub-ordinasi terhadap pendidikan pesantren.44
Patokan yang harus dipegang dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional antara lain: (a) pendidikan
nasional menganut prinsip pendidikan seumur hidup; (b) pendidikan
nasional menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah; dan (c) pendidikan nasional diarahkan
untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Dalam kerangka itulah, maka eksistensi pesantren menjadi
penting dalam skema pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sebab,
muara akhir dari tujuan pendidikan nasional adalah membentuk
manusia bermartabat. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan
nasional sebagaimana diatur dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003,
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan
mengembang-kan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
328 MOHAMAD KHOLIL
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dari rumusan fungsi pendidikan nasional tersebut di atas, jelas
bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa memiliki ciri-ciri: (1)
beriman; (2) bertakwa; (3) berakhlak mulia; (4) sehat jasmani dan
ruhani; (5) berilmu pengetahuan; (6) cakap dan kreatif; (7) mandiri;
(8) demokratis; dan (9) bertanggung jawab.
Pencapaian bangsa yang bermartabat sebagai tujuan akhir dari
penyelenggaraan pendidikan nasional dengan ciri-ciri sebagaimana
tersebut di atas, sesungguhnya sudah dibangun oleh pendidikan
pesantren sejak awal kelahirannya hingga sekarang.
Oleh karena itu, di sinilah terlihat pentingnya menempatkan
pesantren bukan sebagai bagian (sub sistem) pendidikan nasional,
tetapi lebih sebagai “mitra”. Sebab, pencapaian tujuan pendidikan
nasional sesungguhnya sudah dijalankan oleh pesantren sebagaimana
diketahui dari prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantren
sebagaimana dikatakan oleh Mastuhu45, yaitu: (1) theocentric; (2)
sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5)
kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan
terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10)
mengamalkan ajaran agama; (11) tanpa ijazah; dan (12) restu kyai.
Pendidikan pesantren jelas dapat membentuk martabat bangsa
yang beriman dan bertakwa, karena pendidikan pesantren menganut
prinsip theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua
kejadian berasal, berproses, dan kembali pada kebenaran Tuhan.
Semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadah
kepada Tuhan.
Semua aktivitas pendidikan merupakan bagian integral dari
totalitas kehidupan, sehingga belajar di pesantren tidak dipandang
sebagai “alat” tetapi dipandang sebagai “tujuan”. Oleh karena itu,
kegiatan proses belajar mengajar di pesantren tidak
memperhitungkan soal waktu, sehingga kehidupan dalam
kesehariannya senantiasa didasarkan atas ibadah kepada Allah
semata, dan orientasi hidupnya jelas bahwa ibadahnya serta hidup
dan matinya semata-mata karena Allah.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 329
Prinsip pendidikan pesantren semacam ini tentu saja akan lebih
mudah membentuk martabat anak didik/santri menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa, apalagi pada saat yang bersamaan juga
langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu
saja berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolahsekolah pada umumnya. Oleh karena itu, pantas jika pembentukan
manusia yang beriman dan bertakwa sebagaimana tujuan pendidikan
nasional tersebut, sejatinya bisa dilakukan oleh sistem pendidikan
yang menganut prinsip pendidikan yang mengedepankan filsafat
theocentric sebagaimana yang ada di pesantren. Prinsip seperti ini
pada gilirannya akan membentuk akhlak mulia atau budi pekerti
luhur bangsa.
E. Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut. Pertama, gagasan menjadikan lembaga pesantren sebagai
pusat peradaban muslim di Indonesia adalah sesuatu yang sangat
beralasan. Alasan tersebut setidaknya dapat dijelaskan melalui 2 (dua)
sudut tinjauan, yaitu dari sudut tinjauan historisitas pesantren dan
sudut tinjauan kefilsafatan pendidikan yang berlaku di pesantren.
Secara historis, pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan
Islam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan dan beragam
potensi yang meniscayakan institusi tersebut dapat menjadi pusat
peradaban muslim di Indonesia. Sedangkan secara filosofis,
pesantren sejak awal berdirinya dibangun di atas landasan dan konsep
dasar pendidikan yang bersifat holistik dan terpadu, dengan
menempatkan aspek moralitas, ketuhanan, dan martabat
kemanusiaan secara utuh sebagai hal yang substansial, sekaligus
merupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan. Etika dan normanorma agama serta tradisi-tradisi agung dalam pesantren merupakan
landasan sekaligus kerangka dasar yang dibangun di dalam setiap
proses pendidikan, dalam rangka mengawal setiap tahap
perkembangan potensi jasmani maupun rohani para santri atau
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
330 MOHAMAD KHOLIL
peserta didik sebagai generasi bangsa.
Kedua, upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka
menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia
setidaknya harus menggarap 4 (empat) unsur pokok, yaitu:
rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem dan
manajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan dukungan
kebijakan Pemerintah.
Catatan:
1. Penggunaan istilah golden age (masa keemasan), lawan dari dark age
(masa kegelapan) ini sebagaimana digunakan oleh Marshall G.S. Hodgson
dalam bukunya The Venture of Islam (Jilid 3) yang diterbitkan pada 1974
oleh The University of Chicago Press, sebagaimana juga dikutip oleh
Nurcholis Madjid dalam bukunya Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994).
2. Penjelasan lebih lanjut seputar pendapat-pendapat para ahli terkait
sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia dapat dibaca
misalnya dalam: Zamzami M, dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di
Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama,
(Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), hlm. 1-32.
3. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32-33.
4. HS. Mastuki dan M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren:
Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,
(Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 8.
5. Ketiga sikap dan perilaku ini (tasamuh, tawassuth, dan tawazun)
sebagaimana diadopsi dalam “khittoh” pemikiran dan amaliyah Nahdlatul
Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sangat
identik dengan dunia pesantren, terkait sikap kemasyarakat warga NU.
Tasamuh berarti sikap toleran dalam perbedaan pendapat keagamaan,
termasuk dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan. Tawassuth
berarti “sikap tengah” yang ber-inti-kan keadilan di tengah kehidupan
bersama, serta menjadi panutan, bertindak lurus, bersifat membangun
dan tidak ekstrem. Tawazun berarti keseimbangan dalam berkhidmat
kepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada
lingkungan, serta keselarasan pemikiran antara masa lalu, masa kini, dan
masa depan. Lihat: “Khittah NU” dalam Zamzami M, dkk., Islam
Ahlussunnah, hlm. 183-187.
6. Amin Haidari, “Beberapa Pemikiran Pengembangan Pondok Pesantren”,
makalah disampaikan dalam Forum Kuliah Umum Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 September 2008, hlm. 2.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 331
7. Lihat: Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta:
LP3ES, 1974). Lihat juga Amir Hamzah Wirjosukarto, “Artikel
Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam”, (Malang: Pergerakan
Muhammadiyah, 1968).
8. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 15.
9. Rohadi Abdul Fatah, dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta:
PT. Listafariska Putra, 2005), hlm. 11.
10. Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press,
2004), hlm. 53.
11. Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988),
hlm. 6-7.
12. HS. Mastuki dan M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren,
hlm. 8.
13. Martin Van Brunessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 25.
14. Irfan Hielmy, Wacana Islam, (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000),
hlm. 120.
15. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara 5,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 22.
16. Abdullah, Ensiklopedi Tematis.
17. Van Brunessen, Kitab Kuning, hlm. 20.
18. Lihat: Zamzami M, dkk., Islam Ahlussunnah, hlm. 183-187.
19. Lihat: Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 24.
20.Santri merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut murid
yang tinggal atau belajar di pesantren. Namun demikian, penggunaan
istilah “santri” juga kadang ditujukan untuk makna yang lebih luas,
mencakup seluruh kaum muslim yang taat baik dari kalangan muslim
tradisionalis maupun muslim modernis. Makna yang kedua ini bisa
dikontraskan dengan istilah “abangan” yang mengacu pada orang-orang
Islam yang tidak menjalankan agamanya dengan taat dan sempurna serta
masih mempercayai ajaran-ajaran dari luar Islam. Lihat: Lathiful Khuluq,
Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 1.
21. Nahrawi Djunaedi, “Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari”, tesis di IAIN
Jakarta, 1983, hlm. 20.
22. Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: 1983),
hlm. 228-229.
23. Sholichin Salam, K.H. Hashim Ash’ari Ulama Besar Indonesia (Jakarta:
Daja Murni, 1963), hlm. 34.
24. Sumber: “Sejarah Pesantren Tebuireng”, dalam http://
www.tebuireng.net/index.php.
25. Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan
Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 207-208.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
332 MOHAMAD KHOLIL
26. Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 209.
27. Saerozi, dkk., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 3, (Surabaya: PW LP
Ma’arif NU Jawa Timur, 2002), hlm. 33.
28.Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 73.
29. HR. Bukhori, Muslim, At-Turmudzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan Ahmad. Lihat: Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo:
Syirkah Al-Baramij Al-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic Software
Company], 1991-1997).
30.Di dalam sebuah Hadits Nabi dinyatakan: “Sesungguhnya di dalam jasad
manusia terdapat segumpal darah. Apabila ia baik maka akan baik pula
seluruh (perilaku) jasad. Sebaliknya, apabila ia buruk maka akan buruk
pula (perilaku) jasad tersebut. Ketahuilah, itulah hati”.
31. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Tebuireng Jombang:
Maktabah At-Turats Al-Islamy, 1415 H), hlm. 10.
32. Asy’ari, Adab al-‘Alim, hlm. 11.
33. Djumransjah M., Filsafat Pendidikan, (Malang: Banyumedia Publishing,
2008), hlm. 57.
34. Djumransjah M., Filsafat Pendidikan.
35. HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan At-Turmudzi, dalam Software
Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo: Syirkah Al-Baramij
Al-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic Software Company], 19911997).
36. Lihat: Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi: Metode dan Pendekatan,
(Yogyakarta: Alfath Offset, 2001), hlm. 41-46.
37. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mushthafa alBabi al-Halabi, t.t.), hlm. 45.
38.Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 37.
39. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1979), hlm. 19.
40.Langgulung, Beberapa Pemikiran, hlm. 20.
41. Lihat M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987),
hlm. 63.
42. Morris L. Bigge, Learning Theories For Teachers, (New York: Harper
and Row, 1982), hlm. 12-16.
43. Sa’id Aqiel Siraj, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1999), hal. 181.
44.Mukhtar Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 159.
45. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),
hal.62-66.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM 333
DAFTAR PUSTAKA
“Sejarah Pesantren Tebuireng”, dalam http://www.tebuireng.net/
index.php.
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara
5, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Ali, Nizar, Memahami Hadits Nabi: Metode dan Pendekatan,
(Yogyakarta: Alfath Offset, 2001).
al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, (Mesir:
Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.).
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987).
Asy’ari, Hasyim, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Tebuireng
Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islamy, 1415 H).
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998).
Bigge, Morris L., Learning Theories For Teachers, (New York: Harper
and Row, 1982).
Djumransjah M., Filsafat Pendidikan, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2008).
Djunaedi, Nahrawi, “Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari”, tesis di
IAIN Jakarta, 1983.
Fatah, Rohadi Abdul dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan,
(Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2005).
Haedari, Amin dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD
Press, 2004).
Haedari, Amin, “Beberapa Pemikiran Pengembangan Pondok
Pesantren”, makalah disampaikan dalam Forum Kuliah Umum
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3
September 2008.
Hielmy, Irfan, Wacana Islam, (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren,
2000).
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000).
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1979).
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994).
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
334 MOHAMAD KHOLIL
Maksum, Mukhtar, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama
dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS,
1994).
Mastuki, HS. & M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren:
Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan
Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003).
Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo: Syirkah AlBaramij Al-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic Software
Company], 1991-1997).
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS,
1988).
Saerozi, A. dkk., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 3, (Surabaya:
PW LP Ma’arif NU Jawa Timur, 2002).
Salam, Sholichin, K.H. Hashim Ash’ari Ulama Besar Indonesia
(Jakarta: Daja Murni, 1963).
Siraj, Sa’id Aqiel, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999).
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta:
LP3ES, 1974).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1992).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992).
Van Brunessen, Martin, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,
(Bandung: Mizan, 1999).
Wirjosukarto, Amir Hamzah, “Artikel Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam”, (Malang: Pergerakan Muhammadiyah,
1968).
Yunus, Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:
1983).
Zamzami M., dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia:
Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta:
Pustaka Ma’arif NU, 2007).
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
Download