SKRIPSI - Digital Library UNS

advertisement
EFEK PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH BUBUK
KEDELAI PUTIH (Glycine max) PADA TIKUS PUTIH
DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH NORMAL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
APARIMINTA HERNING
G0006042
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan kebutuhan akan kesehatan dan pengaruh dari media massa,
akhir-akhir ini masyarakat mulai lebih memberikan perhatian terhadap
kesehatan tubuhnya. Hal tersebut menimbulkan fenomena semakin maraknya
penggunaan vitamin dan suplemen kesehatan (Nelson, 2003). Yusmarini
(2004) menyatakan bahwa diantara suplemen yang mulai banyak digunakan
adalah bubuk kedelai yang berasal dari olahan kedelai putih (Glycine max).
Bubuk kedelai putih (Glycine max) dapat memberikan beberapa manfaat
apabila dikonsumsi oleh masyarakat. Rivas et al. (2002) menyebutkan bahwa
dengan konsumsi bubuk kedelai putih (Glycine max) selama 3 bulan
didapatkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 18,4 ±10,7 mmHg dan
diastolik sebesar 15,9 ± 9,8 mmHg pada penderita hipertensi ringan sampai
dengan sedang. Sedangkan konsumsi 375 ml suplemen bubuk kedelai putih
(Glycine max) termasuk dalam strategi yang efektif untuk mempertahankan
densitas mineral tulang pada perempuan usia 14-16 tahun (Ho et al., 2005).
Efek dari bubuk kedelai terhadap penurunan risiko kanker prostat telah
ditunjukkan oleh Jacobsen et al. (2004) sebesar 70% di daerah Kalifornia,
Amerika Serikat. Suplementasi bubuk kedelai putih (Glycine max) pada
wanita menopause dapat menyebabkan terjadinya penurunan keluhan nyeri
otot dan sendi sebesar 33%. Hanachi et al. (2007) menyatakan bahwa setelah
penggunaan bubuk kedelai didapatkan peningkatan Total Antioksidan Status
1
2
(TAS) dalam serum sebanyak 642.88±66.9 µmol/l yang diukur dengan ferric
reducing ability of plasma assay (FRAP assay). Selain itu, tubuh dapat
memperoleh efek perlindungan terhadap kerusakan DNA limfosit akibat stress
oksidatif, sehingga fungsi dari sistem imun dapat ditingkatkan (Mitchell dan
Collins, 1999).
Dengan beragam manfaat yang dimilikinya, bubuk kedelai putih (Glycine
max) menjadi salah satu bisnis besar di dunia modern saat ini. Sering kali
pihak produsen tidak memberikan hak pada konsumen sebagai pengguna jasa
layanan kesehatan untuk memperoleh informasi mengenai efek samping
produk yang mereka gunakan (Abdalla, 2004). Ketika suatu produk
dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus karena tertarik dengan
manfaat yang ditawarkan dan produk tersebut tidak menjelaskan mengenai
efek samping yang dapat terjadi, tentunya masyarakat menjadi dirugikan.
Salah satu efek dari konsumsi bubuk kedelai putih (Glycine max) adalah
penurunan kadar glukosa darah, karena pada bubuk kedelai putih (Glycine
max) terdapat isoflavon (Busby et al., 2002). Cheng et al. (2004)
menyebutkan bahwa pada wanita post menopause setelah mendapatkan
isoflavon sebesar 100 mg ditambah dengan estrogen selama 6 bulan dapat
menyebabkan terjadinya hipoglikemi, ditunjukkan dengan kadar glukosa
darah puasa yang menjadi 85% dari kadar glukosa darah puasa awal. Data ini
menunjang keberadaan efek samping bubuk kedelai putih (Glycine max),
terkait dengan penggunaan bubuk kedelai putih (Glycine max) yang tidak
3
hanya oleh pasien dengan kadar glukosa darah tinggi tetapi juga oleh
masyarakat yang memiliki kadar glukosa darah normal.
Apabila kadar glukosa darah rendah dapat terjadi kelainan fungsi berbagai
sistem organ tubuh. Pada awalnya, tubuh secara otomatis memberikan respon
terhadap penurunan kadar glukosa darah dengan melepaskan epinefrin
(adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin akan
merangsang pelepasan glukosa dari cadangan tubuh, tetapi juga menyebabkan
gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan,
gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Karena
sumber energi otak yang utama adalah glukosa, maka apabila kadar glukosa
darah turun akan terjadi gangguan fungsi otak yang berakibat pusing, bingung,
lelah, lemah, sakit kepala, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan,
kejang, koma, dan dapat diikuti kematian (Liza, 2007).
Melihat beratnya gejala hipoglikemia, peneliti bermaksud untuk
menyelidiki efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih
(Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai
putih (Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai
putih (Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal.
4
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang
lebih mendalam mengenai efek penurunan kadar glukosa darah oleh
bubuk kedelai putih (Glycine max) pada subjek dengan kadar glukosa
darah normal.
b. Menambah pengetahuan tentang bubuk kedelai sehubungan dengan
perannya sebagai suplemen yang mulai banyak digunakan oleh
masyarakat.
2. Manfaat Aplikatif
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian
selanjutnya mengenai bubuk kedelai.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kedelai Putih
a.
Taksonomi
Klasifikasi tanaman kedelai putih adalah sebagai berikut
kerajaan
:
Plantae
filum
:
Magnoliophyta
kelas
:
Magnoliopsida
ordo
:
Fabales
famili
:
Fabaceae
subfamili
:
Faboideae
genus
:
Glycine
spesies
:
Glycine max (L.) Merr
(Kusdiarjo dan Sunarto, 2002).
b. Deskripsi Tanaman
Bentuk daun tanaman kedelai bulat telur dengan kedua ujungnya
membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan - kiri depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang
pohon. Buah kedelai berbentuk polong. Bunga kedelai termasuk bunga
sempurna, akan tetapi tidak semua bunga dapat menjadi polong
walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60%
bunga rontok sebelum membentuk polong. Baik kulit luar buah polong
5
6
maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna
coklat. Buah polong berisi biji-biji dengan bermacam-macam warna
kulit. Biji kedelai putih mempunyai warna kulit agak putih, kuning
atau hijau (Wijayakusuma , 2007).
c. Habitat dan Persebaran
Kedelai putih (Glycine max) bukan asli tanaman tropis dan lebih
banyak dihasilkan di daerah subtropik, sehingga Indonesia harus
mengimpor sebagian besar dari Jepang dan Cina (Daz, 2007).
Tanaman kedelai putih (Glycine max) dapat diusahakan di dataran
rendah mulai dari 0 – 500 meter di atas permukaan laut dengan curah
hujan relatif rendah (suhu tinggi), tetapi membutuhkan air yang
cukup untuk pertumbuhan tanamannya (Arif, 2008).
d. Budidaya
Budidaya tanaman kedelai putih (Glycine max) umumnya ditanam
pada awal dan akhir musim hujan di sawah (teknis, setengah teknis dan
tadah hujan) serta lahan kering. Dengan pola tanam rotasi (tumpang
gilir) dan atau tumpangsari dengan tanaman setahun lainnya, misalnya
jagung, padi, tebu dan ketela pohon. Pemeliharaan kedelai putih
(Glycine max) umumnya lebih sulit dari pada kedelai hitam (Glycine
soja). Kedelai putih (Glycine max) membutuhkan tanah yang lebih
subur, serta memerlukan pengairan dan pemeliharaan lebih baik dari
pada kedelai hitam (Arif, 2008).
7
2. Bubuk Kedelai Putih
a. Efek Farmakologis
Dalam bubuk kedelai putih (Glycine max) yang dijual di pasaran
terdapat zat-zat kimia bermanfaat yang berasal dari kedelai putih.
Antara lain lemak, vitamin B1, B2, B6, B12, karoten, asam nikotinik,
soyasapogenol, kholin, biotin, serat, polisakarida, protein, mineral
seperti kalium, seng, dan besi (Baskara, 2008).
Manfaat dari bubuk kedelai putih (Glycine max) yang dapat
meningkatkan kesehatan tubuh berhubungan erat dengan kandungan
isoflavon di dalam kacang kedelai.. Kadar isoflavon tertinggi dapat
diperoleh dari bubuk kedelai dan tofu (Murphy et al., 1999). Isoflavon
utama yang dikandung oleh kacang kedelai adalah daidzein dan
genistein. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang berasal dari protein
kedelai, jenis isoflavon diantaranya yaitu genistein dan daidzein.
Genistein sebagai komponen isoflavon kedelai yang paling aktif dan
paling banyak. Isoflavon hanya ditemukan pada beberapa tanaman,
karena kebanyakan tanaman tidak mempunyai enzim kalkon isomerase
yang merubah prekursor flavon menjadi isoflavon (Daz, 2007).
Efek biologis yang dihasilkan oleh isoflavon diantaranya meliputi
proestrogenik (mencegah osteoporosis, pada sistem kardiovaskuler,
dan pada wanita post menopause) , antiestrogenik (anti kanker), dan
antioksidan (Ross dan Kasum, 2002).
8
Manfaat isoflavon dalam biji kedelai sebagai strategi pencegahan
yang dapat menjaga kekuatan tulang dan menurunkan resiko
osteoporosis disebabkan oleh adanya mRNA ER α dan ER ß yang
terekspresi pada osteoblast. Selain itu, peningkatan absorbsi kalsium
dari biji kedelai juga dapat melindungi tulang (Mardon et al., 2008).
Genistein (fitoestrogen) juga mempunyai sifat kardioprotektif
seperti estrogen (Barnes, 2003). Genistein mempunyai afinitas yang
sama dengan estrogen terhadap estrogen receptor ß (ER ß) pada sistem
vaskularisasi, baik pada laki-laki maupun perempuan (Linder et al.,
2004). Seperti estrogen, genistein dapat mempotensiasikan respon
vasodilator dari asetilkolin. Selain itu, stimulasi pelepasan NO oleh
genistein juga memberikan efek kardioprotektif, yaitu dengan
pengurangan
resistensi
perifer
yang
dapat
berpengaruh
pada
vasodilatasi, penurunan tekanan darah dan distribusi aliran darah
(Walker et al., 2001).
Pada saat menopause, dimana kadar hormon estrogen menurun,
akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat.
Walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen, isoflavon yang
merupakan fitoestrogen dapat juga berikatan dengan reseptor tersebut.
Jika tubuh mengkonsumsi isoflavon, maka akan terjadi pengaruh
pengikatan isoflavon dengan reseptor estrogen yang menghasilkan efek
menguntungkan, sehingga dapat mengurangi simptom menopause
(Winto, 2009).
9
Konsumsi isoflavon memodulasi produksi sitokin, meningkatkan
aktivitas sel natural killer (NK) in vitro, menyebabkan penurunan
konsentrasi plasma 8-hydroxy-2-deoxy-guanosine sebagai tanda
oksidatif dari kerusakan DNA (15.3 ng/mL menjadi 10,9 ng/mL).
Dengan sifat estrogenik isoflavon maka terjadilah kenaikan populasi
sel B dari 8,1 % menjadi 11,3 % (Borchers et al. 2006).
Genistein dan Daidzein juga menstimulasi pertumbuhan sel MCF7, namun untuk menstimulasi, membutuhkan konsentrasi yang lebih
tinggi daripada yang dibutuhkan oleh 17ß-estradiol. Lebih banyaknya
konsentrasi yang dibutuhkan tersebut menerangkan bagaimana
genistein dan daidzein mengurangi resiko kanker payudara. Selain itu
isoflavon dapat berikatan dengan ER ß yang terekspresi pada prostat
dan payudara untuk memblokir ikatan reseptor dengan estrogen,
mengurangi konsentrasi estradiol serum karena feedback regulation,
dan menghambat tirosin kinase yang mempengaruhi siklus sel (Morito
et al., 2001).
Isoflavon mempunyai efek antioksidan (Daz, 2007). Aktivitas
antioksidan dari ekstrak kacang kedelai putih berkisar dari 7.51 to
12.18 µmol butylated hydroxytoluene (BHT) equivalent/g kedelai
dengan metode 2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazyl (DPPH). Sedangkan
aktivitas antioksidan dari ekstrak kacang kedelai putih yang larut air
dan lemak berkisar antara 2.40 to 4.44 µmol (Lee et al., 2004). Radikal
bebas dihubungkan dengan proses penuaan dan penyakit yang
10
berhubungan dengan usia. Anion superoksida, yang berasal dari
reduksi molekul oksigen, mempunyai peran dalam proses penuaan dan
pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) lainnya, seperti hidrogen
peroksida dan radikal hidroksil yang menginduksi kerusakan lipid,
protein, dan DNA (Wickens, 2001).
b. Mekanisme Hipoglikemi
Kadar genistein dalam serum manusia yang mengkonsumsi bubuk
kedelai tiga kali sehari dapat mencapai 4,6 µmol/l (Liu et al., 2006).
Flavonoid in vivo dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui
beberapa mekanisme (Song et al., 2002).
Isoflavon dapat mengontrol glikemia, menghambat absorpsi
glukosa pada usus, merubah jumlah reseptor insulin dan afinitasnya,
fosforilasi intraseluler, meningkatkan produksi hormon pertumbuhan
Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1), dan merubah sifat pengangkut
glukosa (Franzon et al., 2004).
Protein transporter tergolong protein transmembran yang memiliki
tempat perlekatan terhadap ion atau molekul yang akan ditransfer ke
dalam sel. Kebanyakan sel manusia dan mamalia lainnya memiliki
protein transmembran yang memfasilitasi difusi glukosa. Gradien
konsetrasi glukosa agar dapat terus menerus melakukan difusi dijaga
oleh fosforilasi glukosa setelah masuk ke dalam sitoplasma. Fosforilasi
ini menyebabkan konsentrasi glukosa di dalam sel terus menerus
rendah. Transportasi glukosa difasilitasi oleh transporter yang tidak
11
tergantung sodium, yaitu GLUT1-GLUT4, GLUT6, GLUT8 dan
transporter yang tergantung sodium SGLT1 dan SGLT2. Transporter
glukosa di usus adalah GLUT2 dan SGLT1, dan GLUT5 yang hanya
mentransport fruktosa. Menurut penelitian Song et al. (2002) dengan
pemberian flavonoid 1 mg/kg BB tikus selama 5 hari sudah dapat
terjadi penghambatan absorbsi glukosa melalui GLUT2 in vivo, dilihat
dari pengukuran kadar glukosa darah 30 menit setelah pemberian
flavonoid.
Isoflavon mempunyai pengaruh terhadap aksi insulin melalui
aktivitas estrogen yang dimediasi oleh suatu reseptor. Isoflavon
berikatan
dengan
peroxisome
proliferator–activated
receptors
(PPARs) yang berkaitan dengan aksi insulin . Dengan pemberian
genistein, maka terjadi aktivasi dan peningkatan ekspresi PPAR α
sebanyak 140% dan γ sebesar 380% (Wagner et al., 2007). PPARs
merupakan reseptor nuklear yang mengatur transkripsi gen dan terlibat
dalam berbagai metabolisme sel diantaranya adalah metabolisme
karbohidrat. Ada tiga jenis PPARs yang bekerja dalam tubuh,yaitu α,
β, dan γ. PPARs yang bekerja pada jantung, otot, usus, ginjal,
pankreas, dan limfa dapat membantu menurunkan kadar gula darah.
PPAR α dan γ berhubungan erat dengan aktivitas insulin. PPAR α
paling banyak terdapat pada jaringan lemak, hepar, otot skelet, ginjal,
dan usus. Sedangkan PPAR γ ditemukan pada sel-sel yang merupakan
sasaran kunci aksi insulin, yaitu di jaringan lemak, makrofag, hati, dan
12
otot skelet., Stimulasi PPARs tersebut akan merubah transkripsi gengen peka insulin yang terlibat dalam transport, penggunaan glukosa,
dan bertanggung jawab terhadap perbaikan sensitivitas reseptor insulin
sehingga sensitivitas insulin terhadap kenaikan glukosa darah
meningkat. Kenaikan sensitivitas insulin ini dapat menyebabkan
penurunan kadar glukosa darah (Mezei et al., 2003).
Genistein meningkatkan dengan cepat sekresi insulin yang
distimulasi oleh glukosa / glucose-stimulated insulin secretion (GSIS)
pada sel-sel yang menskresi insulin/ insulin-secreting cell lines (INS-1
dan MIN6) serta pada sel islet pankreas. Sesuai dengan efeknya pada
GSIS, genistein meningkatkan cAMP intraselular yang menimbulkan
peningkatan aktivitas adenilat siklase dan mengaktivasi fosforilasi
protein kinase A (PKA) pada INS-1, MIN-6, dan sel islet pankreas.
Genestein 10 nmol/l dapat meningkatkan sekresi insulin walaupun
efek maksimal dicapai pada dosis genistein 5 µmol/l (Liu et al., 2006).
Genistein meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pulau
langerhans. Insulin dan IGF-1, menstimulasi ambilan glukosa dengan
meningkatkan ekspresi transpor glukosa dalam sel. IGF-1 merupakan
suatu hormon protein polipeptida yang diproduksi di hati, mempunyai
struktur yang sama dengan insulin dan efek yang menyerupai insulin
(Lane et al., 2002). Efek tersebut didapat dari ikatan IGF-1 dengan
reseptor spesifik IGF-1 dan reseptor insulin pada beberapa tipe sel.
Seperti reseptor insulin, reseptor IGF-1 merupakan reseptor tirosin
13
kinase. Ikatan pada reseptor insulin mempunyai afinitas yang lebih
rendah dibandingkan ikatan dengan reseptor IGF-1, sehingga potensi
IGF-1 untuk mengaktifkan reseptor insulin adalah 0,1 x potensi dari
insulin. Namun IGF-1 tetap dapat menginduksi fosforilasi pada
reseptor insulin dan menyebabkan hipoglikemia (Scarth, 2006).
3. Glukosa Darah
a. Metabolisme Karbohidrat
Karbohidrat adalah senyawa polimer, monomernya ialah gula atau
sakarida. Komponen ini disusun oleh 3 unsur utama, yaitu karbon (C),
hidrogen (H) dan oksigen (O). Karbohidrat merupakan komponen
pangan yang menjadi sumber energi utama dan sumber serat makanan.
Berdasarkan jumlah monomernya terdapat karbohidrat sederhana,
kompleks, dan oligosakarida yang memiliki rantai monosakarida lebih
pendek daripada polisakarida (Syamsir, 2008).
Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida yang mempunyai
satu monomer dan disakarida yang mempunyai dua unit monomer
yang berikatan. Karbohidrat sederhana cepat dirombak di dalam tubuh
untuk menghasilkan energi. Dua karbohidrat sederhana utama yaitu
glukosa dan fruktosa. Glukosa adalah bentuk utama dari gula yang
disimpan dalam tubuh
sedangkan fruktosa merupakan gula utama
yang ditemukan dalam kebanyakan buah (Carpy, 2003).
Hasil akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan
hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa (80%), fruktosa, dan
14
galaktosa karena molekulnya kecil dan dapat langsung dibawa ke
dalam sel endotel pembuluh darah. Senyawa ini diangkut ke hepar
melalui vena porta hepar. Sebagian fruktosa dan hampir semua
galaktosa diubah menjadi glukosa di dalam hati (Syamsir, 2008).
Di hati glukosa dipakai sebagai sumber energi (dioksidasi,
dibakar), sebagian diubah kembali menjadi glikogen dan disimpan
dalam hati dan otot, sebagian lagi ada yang diubah menjadi asam
lemak dan gliserol, lalu keduanya bersenyawa membentuk lemak.
Sesungguhnya tidak semua glikogen dalam hati berasal dari glukosa.
Ada yang berasal dari dari asam amino, asam laktat, atau lemak. Akan
tetapi seluruhnya akan dirombak menjadi glukosa lagi (Wildan, 2001).
b.
Kadar Glukosa Darah
Sumber-sumber glukosa darah yaitu karbohidrat dalam makanan,
berbagai senyawa glukogenik yang mengalami glukoneogenesis, dan
glikogen hati melalui glikogenolisis (Murray et al., 2003).
. Dalam keadaan puasa, tidak ada makanan, termasuk glukosa,
yang masuk ke dalam tubuh. Karena itu, untuk mempertahankan kadar
glukosa darah perlu mengambil cadangan glukosa yang terdapat di
hepar dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa darah.
Glikogen hepar ini hanya cukup memenuhi kebutuhan tubuh 12-16
jam. Setelah glikogen hepar habis, sumber glukosa darah adalah
pemecahan asam lemak bebas dari organ-organ lain. Dan setelah 16
jam, enzim oksidasi asam lemak akan habis sehingga asam lemak
15
bebas dalam darah tinggi, mengakibatkan otak menjadi pusing,
membengkak dan lama-lama terjadi koma (Mashhudi, 2004).
Pemeriksaan kadar glukosa darah dahulu memakai metoda reduksi
ion Cu yang memanfaatkan sifat mereduksi molekul glukosa yang
tidak spesifik. Sekarang menggunakan cara enzimatik, baik glukosa
oksidase,
glukosa
dehidrogenase
maupun
heksokinase.
Enzim
berikatan dengan substrat spesifiknya (glukosa) dengan membebaskan
H2O2 yang banyaknya diukur secara tidak langsung. Cara enzimatik
lebih baik karena tidak ada pengaruh zat-zat reduktor. Dari cara
enzimatik yang terbaik adalah heksokinase (mahal), tetapi umumnya
laboratorium memakai enzim yang agak lebih murah dengan hasil
klinis yang tidak banyak terpengaruh. Dengan kemajuan teknologi
jelas makin berkembang metode-metode baru yang lebih canggih
(Petrus, 1999).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah
a. Makanan dan Minuman
Konsentrasi glukosa darah bervariasi, tergantung pada respon
metabolisme yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada orang normal,
konsentrasi glukosa meningkat selama jam pertama atau setelah
makan, tetapi sistem umpan balik yang mengatur kadar glukosa darah
dengan cepat mengembalikan konsentrasi glukosa ke nilai kontrolnya,
biasanya terjadi dalam waktu 2 jam sesudah absorbsi karbohidrat yang
16
terakhir. Nilai normal glukosa darah dua jam postprandial ialah < 140
mg/dl (Guyton,2000).
b. Penyakit
Beberapa jenis penyakit dapat mempengaruhi metabolisme
glukosa. Diantaranya yaitu penyakit penkreas dan hati, infeksi, dan
keganasan.
Lili (2008) menyatakan bahwa insulin dan glukagon
dihasilkan oleh pankreas. Sehingga, ketika terdapat penyakit pada
pankreas, maka konsentrasi glukosa darah dapat terganggu, baik
menjadi hiperglikemia / hipoglikemia.
Kenaikkan kadar glukosa darah karena infeksi dapat terjadi karena
peningkatan Basal Metabolism Rate (BMR) dan glikolisis anaerob
(Purwanto, 2009). Sedangkan penyakit pada hati dapat menimbulkan
hipoglikemia akibat kegagalan degradasi insulin. Pepper (2007)
menyatakan bahwa kebanyakan insulin didegradasi oleh hati dalam
waktu kurang lebih 1 jam setelah insulin dikeluarkan ke dalam darah
(waktu paruh insulin 70 menit).
Sel kanker mengkonsumsi glukosa dalam jumlah yang lebih besar
dari sel di sekelilingnya. Kecepatan pertumbuhan sel kanker yang
mencerminkan tingkat keganasannya sebanding dengan tingkat
konsumsi glukosa (Nurhadi, 2008).
c. Hormon
Konsentrasi glukosa dalam darah diatur oleh beberapa hormon,
terutama insulin dan glukagon. Glukagon menaikkan konsentrasi
17
glukosa darah dengan mendorong glikogenolisis di dalam liver.
Sekresi glukagon dipengaruhi oleh konsentrasi gula darah, tetapi
berlawanan dengan mekanisme pada insulin (Lili, 2008).
Sistem nervus simpatik (hormon stres epinefrin) melalui stimulasi
alfa2 adrenergik dapat menghambat pelepasan insulin. Epinefrin dapat
menaikkan konsentrasi glukosa darah dengan menaikkan kecepatan
glikogenolisis di dalam liver (Rowe et al., 2002). Epinefrin
memobilisasi glukosaa sebagai sumber energi untuk otak dengan
meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam hati serta
mengurangi uptake glukosa dalam otot dan organ lain. Aktivasi
fosfoprotein oleh CAMP dependent protein kinase menyebabkan
banyak efek biokimia epinefrin. Dalam otot dan sedikit dalam hati,
epinefrin merangsang glukoneogenesis dengan mengaktifkan reaksi
fosforilasi. Fosforilasi glikogen sintase mengurangi sintesis glikogen
(Murray, 2003).
Norepinefrin mengaktifkan glikogenolisis hati melalui reseptor alfa
(Murray, 2003). Selain itu hormon lain yang berpengaruh terhadap
glukosa darah adalah hormon tiroid, peningkatan aktifitas hormon
tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan insulin.
Hormon tiroid akan memacu konversi glikogen menjadi glukosa di
dalam liver dan mempercepat absorpsi glukosa di dalam usus (Harna,
2008).
18
Growth hormone juga dapat menaikkan konsentrasi glukosa
plasma dengan cara menghambat masuknya glukosa ke dalam otot,
utilisasi glukosa di perifer, meningkatkan produksi glukosa di hati
melalui glukoneogenesis, dan menghambat pembentukan trigliserida
dari glukosa. Growth hormone pada umumnya melawan efek insulin
(Murray, 2003).
Selain itu, glukokortikoid kortisol (hidrokortison) dapat menaikkan
konsentrasi glukosa darah dengan mendorong glukoneogenesis dari
pemecahan protein serta menaikkan konsentrasi glukosa darah dengan
menurunkan/ mencegah pemasukkan glukosa ke dalam sel-sel otot
oleh insulin dan antagonis kortisol (Lili, 2008).
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas ( sel-sel beta
pulau Langerhans) dan membantu memindahkan glukosa ke sel tubuh.
Sel memecah glukosa dan mengubahnya menjadi energi. Sel otot
(miosit) dan sel lemak (adiposit) merupakan dua tipe jaringan yang
paling terpengaruh oleh insulin (Pepper, 2007).
Sel beta dari pulau Langerhans melepaskan insulin ketika gula
darah meningkat. Hal ini terjadi melalui mekanisme glukosa masuk ke
dalam sel beta melalui pengangkut glukosa GLUT2, lalu glukosa
masuk ke dalam glikolisis dan siklus respiratorius yang akan
menghasilkan ATP melalui proses oksidasi. Selanjutnya, kanal K+
menutup, membran sel mengalami depolarisasi, kanal Ca2+ membuka
lalu Ca2+ masuk ke dalam sel. Pospolipase C teraktivasi, merubah
19
membran pospolipid pospatidil inositol 4,5-bispospat menjadi inositol
1,4,5-tripospat
dan
diasilgliserol. Inositol
1,4,5-tripospat
(IP3)
berikatan dengan reseptor protein di membran Retikulum Endoplasma
(RE) dan menyebabkan terjadinya pelepasan Ca2+ dari RE melalui
IP3, dilanjutkan dengan pelepasan insulin yang disimpan di vesikel
sekretori akibat peningkatan Ca2+ yang tinggi tersebut (Murray et al.,
2003).
Biasanya insulin dilepaskan akibat pengaruh makanan (tidak hanya
karena glukosa atau karbohidrat), tetapi dapat juga disebabkan oleh hal
lain. Beberapa zat yang dapat menstimulasi insulin antara lain asam
amino (alanin, glisin, dan arginin) yang mempunyai efek sama dengan
glukosa yaitu dengan merubah potensial membran sel, asetilkolin juga
memacu pelepasan insulin melalui
pospolipase C, dan sistem nervus
parasimpatik serta kolesistokinin (Guyton, 2000).
Fungsi insulin adalah meningkatkan replikasi DNA dan sintesa
protein dengan mengontrol masukan asam amino ke dalam sel,
meningkatkan kerja sel lemak untuk mengambil lipid dalam darah
(sintesa asam lemak) dan mengesterifikasi asam lemak. Insulin juga
dapat menurunkan proteolisis, menurunkan lipolisis (lipid menjadi
menjadi asam lemak darah), modifikasi aktivitas beberapa enzim serta
meningkatkan sekresi HCl oleh sel parietal. Selain itu aktivitas insulin
dapat meningkatkan sintesa glikogen, menurunkan glukoneogenesis,
dan mengontrol masukan glukosa ke dalam sel (Guyton, 2000). Ketika
20
tubuh tidak mampu memproduksi insulin atau gagal meresponnya
dengan benar, glukosa darah meningkat. Keadaan inilah yang disebut
diabetes mellitus.
Etiologi diabetes mellitus diantaranya yaitu diabetes mellitus tipe 1
(diabetes mellitus tergantung insulin/ IDDM) dan tipe 2 (diabetes
mellitus tidak tergantung insulin/ NIDDM). Penderita diabetes mellitus
tipe 1 tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki
tipe antigen HLA. Selain itu, DM tipe 1 dapat terjadi karena respons
autoimun yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan
insulin endogen, yang merupakan respon abnormal yang terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta. Pada diabetes mellitus 2 terjadi resistensi insulin dan
atau gangguan sekresi insulin. Faktor genetik memegang peranan
dalam proses terjadinya resistensi insulin (Guyton, 2000).
d. Genetik
Selain meningkatkan kadar glukosa darah, faktor genetik juga
dapat mengakibatkan penurunan kadar glukosa darah. Gloyn et al.
(2003) menjelaskan tentang glukokinase sebagai enzim pengatur dalam
sel beta pankreas dan mengkatalisis sel beta dalam metabolisme
21
glukosa. Mutasi GCK (T651 dan W99R) dapat meningkatkan kejadian
hipoglikemia familial karena terjadi perubahan fenotip (mutasi gen
kanal K+ sensitif ATP) yang terlihat dengan jelas.
e. Berat Badan
Ukuran tubuh secara tidak langsung mempengaruhi keseimbangan
konsentrasi glukosa darah. Hal ini berhubungan dengan fungsi
keseimbangan cairan. Individu dengan berat badan lebih (IMT > 23
kg/m²) komponen lemaknya tinggi dan cenderung mengalami kenaikan
kadar glukosa darah. Sebaliknya mereka dengan indek massa tubuh
rendah akan mempunyai komponen lemak relatif kecil (Soegondo,
2007).
f. Jenis Kelamin dan Usia
Responden yang berjenis kelamin perempuan dengan usia berkisar
antara 40-71 tahun adalah responden yang paling banyak (17,81%)
menderita penyakit diabetes mellitus di laboratorium Sumberpucung.
Selain itu, diketahui bahwa pada wanita, pemakaian glikogen otot 25%
lebih rendah daripada pria, sedangkan total oksidasi karbohidrat pada
wanita 43% lebih rendah daripada pria (Indriani, 2004).
g. Stres
Hormon sistem simpatoadrenal (katekolamin) dibutuhkan untuk
adaptasi terhadap stres akut dan kronik. Katekolamin (dopamin,
epinefrin, dan norepinefrin) mempermudah respon fight or flight
bersama dengan glukokortikoid, GH, dan glukokagon. Epinefrin
22
merupakan 80% katekolamin dalam medula (Murray, 2003). Stres
fisik atau emosional yang bersifat neurogenik dapat merangsang
sekresi epinefrin. Epinefrin yang meningkatkan dapat mengakibatkan
kenaikan kadar glukosa darah (Rowe et al., 2002).
Adanya stres dapat meningkatkan sekresi ACTH sehingga sekresi
hormon glukokortikoid juga akan meningkat dan akibatnya glukosa
darah mengalami kenaikan. Glukokortikoid lebih langsung terlibat
dalam respon terhadap stres mendadak biasanya pada tindakan
pembedahan, trauma, dan infeksi. Sekresi kortisol dipengaruhi oleh
stres fisik dan emosional input dari fomasio retikularis yang
menghantar respon terhadap nyeri. Respon ini dapat melampaui sistem
umpan balik negatif dan irama diurnal irama diurnal sehingga kadar
kortisol plasma dapat meningkat beberapa kali melebihi 25µg/dl.
Hormon kortisol dapat merangsang sekresi glukagon (Murray, 2003).
Sekresi Growth hormone dipengaruhi oleh stres. Respon terhadap
stres mungkin melalui perantaraan katekolamin yang beraksi lewat
hipothalamus (Murray, 2003).
h. Aktivitas Fisik
Indriani (2004) menyatakan bahwa peningkatan aktifitas fisik juga
dapat meningkatkan penggunaan glukosa secara efisien melalui
peningkatan pemakaian energi. Responden yang memiliki pekerjaan
swasta (tidak terlalu banyak aktifitas) merupakan responden yang
memiliki kadar glukosa yang paling tinggi yaitu 31,5 %.
23
i. Obat
Kenaikan kadar glukosa darah dapat terjadi pada penggunaan
beberapa jenis obat. Diantaranya adalah kortikosteroid karena
merupakan racun yang mempengaruhi pembentukan insulin dengan
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga produksi insulin
berkurang., beta bloker, produk yang mengandung estrogen, INH, dan
obat diuretik seperti furosemide serta thiazide (Putranti, 2008).
Penurunan kadar glukosa darah juga dapat disebabkan oleh
berbagai jenis obat. Konsumsi insulin dan obat hipoglikemia oral
(terutama sulfonilurea) paling sering menjadi penyebab penurunan
tersebut, terkadang penurunan kadar glukosa darah dapat pula terjadi
setelah konsumsi kinin, pentamidine, salisilat, dan sulfonamide
(Sugondo, 2007).
Konsumsi insulin atau obat hipoglikemia oral dengan dosis
berlebihan dapat mengakibatkan hipoglikemia. Hipoglikemia dapat
pula terjadi apabila konsumsi obat tersebut diikuti oleh keterlambatan
makan atau tidak makan, makan dengan karbohidrat (roti, nasi,
kentang) yang kurang, latihan jasmani yang terlalu keras dan terlalu
lama, dalam keadaan sakit, dan minum alkohol saat perut kosong
(Nike, 2009).
Obat hipoglikemia oral dibagi menjadi tiga golongan. Yaitu
pemicu sekresi insulin (jenis sulfonilurea dan glinid), penambah
sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion) serta
24
penghambat
absorpsi
glukosa
melalui
hambatan
glukosidase
alfa/akarbose (Soegondo, 2007).
5. Hipoglikemia
a. Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah
rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula
darah antara 70-110 mg/dL. Terdapat beberapa jenis hipoglikemia,
diantaranya yaitu hipoglikemia murni, reaksi hipoglikemia, dan
hipoglikemia
reaktif.
Hipoglikemia
murni
merupakan
gejala
hipoglikemia yang timbul bila glukosa darah < 60 mg/dl, sedangkan
reaksi hipoglikemia adalah gejala hipoglikemia yang timbul bila
glukosa darah turun mendadak meskipun kadar glukosa darah > 100
mg/dl, dan hipoglikemia reaktif merupakan gejala hipoglikemia yang
timbul 3-5 jam sesudah makan (Liza, 2007).
b. Penyebab
Hipoglikemia yang paling sering terjadi disebabkan oleh insulin
atau obat anti diabetik yang diberikan kepada penderita diabetes.
Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia
berat. Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak
membentuk glukagon secara normal dan kelenjar adrenalnya tidak
menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut
merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah
yang rendah. Penyebab lainnya adalah penggunaan pentamidin yang
25
digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS, pemakaian
alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama,
dan olah raga berat dalam waktu yang lama. Puasa yang lama bisa
menyebabkan hipoglikemia, hanya jika terdapat penyakit lain
(terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal). Pada
orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa juga
bisa menyebabkan hipoglikemia (Putri, 2007).
Pembentukan insulin yang berlebihan dapat pula menjadi penyebab
hipoglikemia. Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau
gagal jantung, penyakit autoimun, kanker, kekurangan gizi, kelainan
fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan infeksi yang berat.
Hipoglikemia reaktif dapat disebabkan oleh pembedahan lambung.
Bayi dan anak-anak dapat mengalami hipoglikemia reaktif apabila
memakan makanan yang mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau
asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi pelepasan
glukosa dari hati sedangkan leusin merangsang pembentukan insulin
yang berlebihan oleh pankreas. Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa
terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur dengan gula
(Putri, 2007).
c. Akibat
Cryer et al. (2003) menyatakan bahwa gejala hipoglikemia terdapat
dalam 4 stadium. Stadium pertama yaitu stadium parasimpatik (lapar,
mual, tekanan darah turun), diikuti stadium gangguan otak ringan
26
(lemah, letih, sulit bicara/ menghitung), dan stadium simpatik (keringat
dingin muka/ tangan, berdebar-berdebar). Stadium keempat adalah
stadium gangguan otak berat (koma, kejang, parese/ hemiplegia).
B. Kerangka Pemikiran
Kadar glukosa
darah naik
makanan dan minuman,
penyakit, hormon, genetik,
berat badan, jenis kelamin
perempuan, usia, aktivitas
fisik rendah, stres, dan obat
Faktorfaktor lain
yang
berpengaruh
Subjek dengan kadar
glukosa darah awal
normal
penyakit,hormon, genetik,
jenis kelamin laki-laki, dan
obat
Bubuk kedelai putih
Isoflavon:
menghambat absorpsi glukosa
pada usus, meningkatkan jumlah
reseptor insulin dan afinitasnya,
meningkatkan produksi hormon
insulin dan Insulin-Like Growth
Factor 1 (IGF-1)
Kadar glukosa
darah turun
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
27
C. Hipotesis
Bubuk kedelai putih (Glycine max) mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
dengan jenis kelamin jantan, umur 6-8 minggu, berat badan kurang lebih 200
gram, sehat, dan aktif.
Sampel akan di bagi dalam tiga kelompok. Jumlah sampel dihitung dengan
rumus Federer:
(n-1)(t-1) > 15
dimana :
n = besar sampel
t = jumlah kelompok
hasil penghitungan :
(n-1)(3-1) > 15
2n-2 > 15
2n > 15+2
2n > 17
n > 8,5
28
29
Besar sampel minimal untuk tiap kelompok adalah 9 ekor tikus putih dan 2 ekor
tikus putih sebagai cadangan pada tiap-tiap kelompoknya. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 33 ekor tikus putih (Rattus norvegicus).
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel hewan uji dilakukan dengan purposive sampling,
sedangkan pembagian subjek ke dalam kelompok menggunakan randomisasi..
E. Variabel Penelitian
Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
: bubuk kedelai putih.
2. Variabel terikat
: kadar glukosa darah.
3. Variabel luar :
a. dapat dikendalikan
:
1). makanan dan minuman
2). berat badan
3). jenis kelamin
4). usia
b. tidak dapat dikendalikan :
1). hormonal
2). penyakit
3). genetik
4). kondisi psikologis hewan uji/ stres
30
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Bubuk Kedelai Putih
Yang dimaksud bubuk kedelai putih pada penelitian ini adalah kedelai
putih yang direbus, dihaluskan, lalu di dehidrasi dan ditambahkan perasa.
Pada penelitian ini digunakan suatu produk bubuk kedelai yang memiliki
informasi nilai gizi yang lebih lengkap dibandingkan dengan produk
bubuk kedelai lainnya, dan mudah diperoleh, serta banyak dikonsumsi
oleh masyarakat.
Bubuk kedelai diberikan pada hewan coba dalam bentuk suspensi,
dicampur dengan 5 ml aquades dan diberikan secara oral dengan spuit
needle feeding satu kali sehari pada jam 08.00.
Skala variabel susu kedelai putih adalah skala nominal.
2. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah yang dimaksud merupakan kadar glukosa darah
tikus putih sebelum perlakuan (GD1) dan setelah perlakuan (GD2).
Penghitungan kadar glukosa darah dilakukan dengan metode GOD-PAP :
enzymatic photometric test. Metode GOD-PAP menggunakan dasar
glukosa yang dioksidasi oleh oksigen dengan katalis enzim glukosa
oksidase (GOD). Lalu akan terbentuk asam glukonik dan hidrogen
peroksida (H2O2). Hidrogen Peroksidase beraksi dengan 4 aminoantopyrin
dan fenol dengan katalis enzim peroksidase (POD) membentuk
quinoneimine dan air. Quinoneimine ini merupakan indikator yang
menunjukkan kadar glukosa dalam darah (Fahri dkk., 2005).
31
Skala variabel adalah skala rasio.
3. Variabel Luar Dapat Dikendalikan
a. Makanan dan Minuman.
Makanan dan minuman berpengaruh pada perubahan kadar glukosa
darah tikus putih. Oleh karena itu, walaupun tidak sepenuhnya bisa
dikendalikan karena tingkat konsumsi makanan dan minuman yang
berbeda-beda pada tiap tikus putih, namun variabel ini telah seoptimal
mungkin dikendalikan dengan cara semua hewan uji diberi pakan
standar (pellet standar BR-2), minuman yang cukup dalam jumlah
yang kurang lebih sama, dan tiap-tiap ekor tikus putih diletakkan
dalam masing-masing kandang untuk mencegah kompetisi terhadap
makanan/ minuman yang ada.
b.
Berat Badan, Jenis Kelamin, dan Usia
Jenis kelamin, umur, dan berat badan memberikan pengaruh pada
konsentrasi glukosa darah. Faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan
dengan cara hewan uji dipilih tikus putih berjenis kelamin jantan, umur
6-8 minggu dengan berat badan kurang lebih 200 gram.
c.
Aktifitas Fisik
Tinggi rendahnya aktifitas fisik dapat mempengaruhi kadar glukosa
darah tikus putih. Hal ini mampu dikendalikan dengan pemilihan
subjek tikus putih yang mempunyai aktivitas fisik normal dan ukuran
kandang tikus putih yang sama sehingga aktivitas tikus putih dapat
dibatasi serta seragam.
32
d.
Obat
Konsumsi obat dapat menaikkan/ menurunkan kadar glukosa darah.
Faktor obat dapat dikendalikan dengan cara tidak memberikan obat
apapun pada tikus putih selama penelitian berlangsung dan menjaga
kebersihan tikus putih serta kandangnya sehingga tikus putih dalam
kondisi sehat dan tidak perlu diberikan obat.
4. Variabel Luar Tidak Dapat Dikendalikan
a. Hormonal
Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh beberapa hormon,
sehingga memberikan pengaruh pada hasil penghitungan. Variabel ini
tidak dapat dikendalikan karena sifatnya yang sangat subjektif.
b. Penyakit
Beberapa jenis penyakit dapat meningkatkan/ menurunkan kadar
glukosa darah. Kemungkinan untuk mengendalikan secara penuh
relatif sukar, namun adanya bias telah dicoba diatasi dengan memilih
tikus putih yang sehat fisik dan mempunyai aktivitas normal, serta
dengan pemeriksaan gula darah sebelum diberi perlakuan.
c. Genetik
Sintesa reseptor dan produksi insulin dipengaruhi oleh genetik. Usaha
pengendalian dilakukan dengan memilih seluruh tikus putih yang
digunakan dalam penelitian dari galur Wistar. Diharapkan faktor
genetik dapat dikendalikan dengan cara ini walaupun tetap tidak bisa
dikendalikan sepenuhnya.
33
d. Kondisi Psikologik hewan coba/stres
Hal-hal yang dapat menimbulkan stres pada tikus putih antara lain
kondisi kandang, pengambilan darah melalui sinus orbitalis dan
pemberian perlakuan secara berulang-ulang. Pemeliharaan dan
penerapan prosedur perlakuan yang tepat akan membantu mengurangi
stres yang terjadi.
34
G. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah eksperimental pre and post test control group
design.
33 ekor tikus putih
Randomisasi
kontrol
I
II
GD1
GD1
GD1
Aquades
Dosis 1
Dosis 2
GD2
GD2
GD2
Adaptasi 3 hari
Perlakuan 5 hari
Analisa statistik
Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian
Keterangan:
Kontrol
:
11 ekor tikus putih kontrol negatif
I
:
11 ekor tikus putih perlakuan I
II
:
11 ekor tikus putih perlakuan II
35
GD1
:
pengukuran kadar glukosa darah tikus putih pada hari ke-1,
setelah tikus putih dipuasakan selama 12 jam.
Aquades
:
perlakuan dengan aquades
Dosis 1
:
perlakuan bubuk kedelai putih dosis 1 (1 gr/200grBB/hari)
Dosis 2
:
perlakuan bubuk kedelai putih dosis 2 (3 gr/200grBB/hari)
Analisis
:
membandingkan hasil pengukuran kadar glukosa darah dari
masing-masing kelompok dilanjutkan dengan analisa data
statistik.
H. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
a. Kandang hewan uji (tikus putih)
b. Timbangan hewan
c. Mikrokapiler
d. Tabung reaksi 5 ml
e. Alat dan tabung sentrifuge
f. Spuit needle feeding
g. Pipet berskala
h. Gelas ukur dan pengaduk
i. Becker glass
j. Perangkat pereaksi glukosa
k. Spektofotometer
2. Bahan
a. Bubuk kedelai putih
36
b. Aquades
c. Pakan pellet dan air PAM
I. Penentuan Dosis
Menurut penelitian Song et al. (2002) dengan pemberian flavonoid 1 mg/
kg BB tikus putih (setara dengan 0,2 mg/ 200 gr BB tikus putih) selama 5 hari
dapat menurunkan kadar glukosa darah sebesar 3 %. Pada produk bubuk
kedelai yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan isoflavon sebesar 6
mg tiap 50 mg takaran sajinya bagi manusia (setara dengan 0,2 mg/ 200 gr BB
tikus putih). Sehingga, lama perlakuan yang diberikan adalah 5 hari.
Perlakuan diberikan dalam 2 dosis. Dosis yang pertama disesuaikan
dengan anjuran konsumsi produk tersebut untuk manusia, yaitu 50 gr bubuk
kedelai putih ditambah 250 ml (satu gelas) air hangat/ 38oC untuk tiap
penyajian. Sedangkan dosis yang kedua (100 gr) digunakan untuk melihat
konsumsi berlebihan produk pada masyarakat.
Konversi dosis dari manusia (70 kg) ke tikus putih (200gr) adalah 0,018
(Harmita dan Maksum, 2005). Sedangkan berat rata-rata orang Indonesia 50
kg (Suwandi, 2006). Sjabana (2006) menyebutkan bahwa kapasitas lambung
tikus putih (100 gr) adalah 5 ml aquades.
Sehingga, melalui konversi dosis didapatkan
dosis 1: 0,018 x 70/50 x 50 gr = 1 gr/ 200 grBB/ hari
dosis 2: 0,018 x 70/50 x 100 gr = 3 gr/ 200 gr BB/ hari
yang dilarutkan dalam 5 ml air.
37
J. Cara Kerja
1. Hewan coba diperoleh dari Universitas Setia Budi (USB) Surakarta. Mulamula dilakukan adaptasi selama 3 hari dengan kondisi tempat penelitian,
diadakan penimbangan, serta dilakukan pengelompokan secara random
menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok terdiri atas 11 ekor tikus putih,
a. kelompok kontrol :
kelompok kontrol negatif
b. kelompok I
:
kelompok uji dosis 1 (1 gr/ 200 grBB/ hari)
c. kelompok II
:
kelompok uji dosis 2 (3 gr/ 200 gr BB/ hari)
Semua kelompok tikus putih tersebut diberikan pakan pellet standar BR-2
dan minum air PAM secara adlibitum.
2. Setelah tikus putih dipuasakan selama kurang lebih 12 jam (terhitung
mulai jam 20.00 pada malam hari ke-0), lalu masing-masing diambil
darahnya sekitar 0,5 ml melalui sinus orbitalis pada hari ke-1 dan dihitung
kadar glukosa darah awal (GD1). Pengambilan sampel darah sekitar pukul
08.00.
3. Mulai hari ke-2, dilakukan perlakuan secara oral dengan spuit needle
feeding. Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut :
a. kelompok kontrol diberi aquades 5 ml
b. kelompok I diberi bubuk kedelai putih 1 gr/ 200 grBB/ hari yang
dilarutkan dalam 5 ml aquades 38oC.
c. kelompok II diberi bubuk kedelai putih 3 gr/ 200 grBB/ hari yang
dilarutkan dalam 5 ml aquades 38oC.
Pemberian perlakuan sebanyak satu kali sehari (pukul 08.00).
38
4. Setelah tikus putih dipuasakan selama 12 jam, pada hari ke-7 diambil
darahnya melalui sinus orbitalis untuk mengetahui kadar glukosa darah
akhir (GD2).
5. Membandingkan rata-rata kadar glukosa darah hasil penelitian dari semua
kelompok, dilanjutkan dengan analisa data.
K. Analisis Data
Data diolah menggunakan program komputer SPSS versi 16. Data yang
didapat dianalisis secara statistik dengan uji Oneway ANOVA. ANOVA
merupakan uji parametrik, sehingga asumsi penggunaan uji parametrik harus
dipenuhi, yaitu: sebaran normal dan variansi untuk lebih dari 2 kelompok
harus homogen (Wahjuda, 2009).
Uji Oneway ANOVA digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan rerata kadar glukosa darah di antara tiga kelompok perlakuan. Jika
terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan Post-hoc multiple
comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) untuk melihat lebih
jelas letak perbedaan antar kelompok perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui
besar penurunan kadar glukosa darah pada tiap-tiap kelompok digunakan
paired samples t test (uji t berpasangan). Derajat kemaknaan yang digunakan
adalah α = 0,05.
Namun, apabila data berbeda (sebaran tidak normal/ sebaran normal tetapi
varians berbeda) sehingga tidak memenuhi syarat untuk uji statistik Anova,
digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis, dengan batas kemaknaan p <
0,05. Dan jika terdapat perbedaan bermakna maka perbedaan antar kelompok
39
ditentukan lebih lanjut dengan alat uji Post-hoc untuk uji Kruskal-Wallis yaitu
Two Independent Samples Test uji Mann-whitney U (Raflizar et al., 2006).
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratrium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sebelum dan setelah pemberian
perlakuan selama 5 hari dilakukan pengambilan sampel darah tikus putih
melalui sinus orbitalis. Kemudian dilakukan penghitungan kadar glukosa
darah di Laboratorium Farmasi Universitas Setia Budi.
Penelitian mengenai efek pemberian bubuk kedelai putih (Glycine max)
terhadap kadar glukosa darah tikus putih menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Putih
Kelompok
N
Rerata ±
Simpangan Baku
Sebelum Perlakuan
(mg/dl)
Rerata ±
Simpangan Baku
Setelah Perlakuan
(mg/dl)
Rerata ±
Simpangan Baku
Penurunan
(mg/dl)
I
11
79,18 ± 7,92
86,82 ± 7,33
-7,63 ± 6,89
II
11
75,73 ± 7,03
73,63 ± 6,77
2,09 ± 8,24
III
11
76,81 ± 7,93
73,09 ± 8,04
3,64 ± 5,55
keterangan:
Kelompok I
:
kelompok kontrol negatif dimana diberikan aquades
sebanyak 5 ml
Kelompok II :
kelompok perlakuan 1 dimana diberikan 1gr bubuk kedelai
putih/ ekor/ hari dalam 5 ml aquades.
40
41
Kelompok III :
kelompok perlakuan 2 dimana diberikan 3gr bubuk kedelai
putih/ ekor/ hari dalam 5 ml aquades.
Perbandingan rerata dari kadar glukosa darah setelah perlakuan selama 5
hari dapat dilihat pada grafik berikut:
90
85
80
Glukosa darah
(gr/dl)
Pre Test
Post Test
75
70
65
I
II
III
Kelompok
Gambar 4.1 Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Putih
Dari tabel 4.1 dan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa rerata kadar glukosa
darah pada kelompok kontrol mengalami kenaikan. Sedangkan rerata kadar
glukosa darah kelompok perlakuan dengan dosis 1 dan dosis 2 bubuk kedelai
putih (Glycine max) mengalami penurunan.
B. Analisis Data
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum perlakuan (GD1) semua
kelompok dianalisis dengan uji homogenitas variansi. Didapatkan nilai
signifikansi (p) 0,926 sedangkan α<0,05 hal ini menunjukkan bahwa data
42
ketiga kelompok tersebut homogen dan memenuhi syarat uji Oneway
ANOVA yang digunakan untuk mengetahui perubahan kadar glukosa darah
pada ketiga kelompok perlakuan. Dengan uji Oneway ANOVA diperoleh nilai
p sebesar 0,562 yang berarti tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah
yang bermakna pada ketiga kelompok sebelum perlakuan (lampiran 1).
Uji homogenitas variansi dilakukan pada rerata kadar glukosa darah ketiga
kelompok setelah diberikan perlakuan (GD2). Didapatkan nilai signifikansi (p)
sebesar 0,771 (p> 0,05) yang berarti bahwa data tersebut homogen dan
memenuhi syarat uji Oneway ANOVA. Uji Oneway ANOVA diperoleh nilai p
sebesar 0,000 yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada
rerata ketiga kelompok. Pada uji Oneway ANOVA menyatakan adanya
perbedaan yang bermakna, maka analisis kemudian dilanjutkan dengan Posthoc multiple comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) untuk
mengetahui perbedaan kadar glukosa darah antara masing-masing kelompok
perlakuan. Post-hoc multiple comparisons test uji Least Significance
Difference (LSD) diketahui bahwa ada perbedaan rerata penurunan kadar
glukosa darah yang bermakna pada kelompok perlakuan dengan aquades
terhadap kelompok perlakuan bubuk kedelai putih (Glycine max) dosis 1 dan 2
(lampiran 2).
Untuk mengetahui efektifitas perlakuan dalam menurunkan kadar glukosa
darah tikus putih, maka hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum (GD1)
dan setelah perlakuan (GD2) semua kelompok dianalisis dengan Paired
Samples t Test (Uji t Berpasangan).
43
Tabel 4.2 Hasil Uji t Berpasangan Kadar Glukosa Darah Sebelum (GD1) dan
Sesudah Perlakuan (GD2)
Kelompok
P
Keterangan
Signifikansi
I
0,004
< 0,05
Signifikan
II
0,420
> 0,05
Tidak siginifikan
III
0,050
= 0,05
Tidak siginifikan
Keterangan : α < 0,05
Kelompok kontrol terjadi
peningkatan kadar glukosa darah yang
siginifikan secara statistik. Pada kelompok dengan perlakuan dosis 1 dan dosis
2 didapatkan penurunan kadar glukosa darah yang tidak siginifikan. Akan
tetapi dari hasil analisis dengan uji t berpasangan tersebut, diketahui bahwa
dosis 2 menurunkan kadar glukosa darah lebih besar secara statistik.
44
BAB V
PEMBAHASAN
Pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum perlakuan (GD1) dilakukan
pada hari pertama.Variasi kadar glukosa darah sebelum perlakuan yang terjadi
pada ketiga kelompok tikus putih dapat disebabkan oleh adanya variabel-variabel
luar yang mempengaruhi. Hasil uji statistik Oneway ANOVA terhadap kadar
glukosa darah sebelum perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
bermakna pada rerata semua kelompok (lampiran 1). Dapat disimpulkan bahwa
kadar glukosa darah ketiga kelompok sebelum perlakuan tersebut homogen dan
keberadaan variabel- variabel luar dapat disingkirkan.
Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan setelah lima hari perlakuan
dengan aquades, dosis 1, dan dosis 2 bubuk kedelai putih (GD2). Dari hasil uji
homogenitas variansi diketahui bahwa dalam tiap kelompok perbedaan perubahan
kadar glukosa darah tikus putih tidak signifikan. Dapat dikatakan bahwa efek
perlakuan yang diterima tikus putih dalam tiap kelompoknya relatif homogen.
Hasil uji statistik Oneway ANOVA terhadap kadar glukosa darah setelah
perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata ketiga
kelompok. Dari Post-hoc multiple comparisons test uji Least Significance
Difference (LSD) diketahui adanya perbedaan rerata penurunan kadar glukosa
darah yang bermakna pada kelompok perlakuan dengan aquades terhadap
kelompok perlakuan dengan bubuk kedelai putih (lampiran 2). Hal ini dapat
dijelaskan dari tabel 4.1 dan gambar 4.1, dimana rerata tikus putih dengan
perlakuan aquades mengalami peningkatan kadar glukosa darah, sedangkan rerata
44
45
tikus putih dengan perlakuan bubuk kedelai putih (Glycine max) menunjukkan
penurunan pada kadar glukosa darahnya.
Kemudian untuk mengetahui efektifitas perlakuan dalam menurunkan
kadar glukosa darah tikus putih, maka hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sebelum (GD1) dan setelah perlakuan (GD2) semua kelompok dianalisis dengan
uji t Berpasangan (tabel 4.2). Glukosa darah pada kelompok perlakuan dengan
aquades mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena
aquades merupakan kontrol negatif yang tidak memiliki efek menurunkan kadar
glukosa darah.Ditambah dengan stres yang dialami tikus putih akibat pemberian
perlakuan selama 5 hari dengan spuit needle feeding, pengambilan darah melalui
sinus orbitalis, dan kemungkinan adanya infeksi akibat pengambilan darah
tersebut. Stres ini dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah pada tikus
putih.
Kelompok perlakuan dengan bubuk kedelai putih (Glycine max) dosis 1 gr/
200 grBB dan 3 gr/ 200grBB menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang
tidak signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan (tabel
4.2). Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi disebabkan oleh isoflavon
(terutama genestein) yang banyak terdapat di dalam bubuk kedelai putih (Glycine
max). Penurunan yang tidak signifikan kemungkinan dipengaruhi oleh mekanisme
adaptasi terhadap perubahan kadar glukosa darah oleh tikus putih sehat yang
digunakan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu mekanisme adaptasi hormonal.
Ketika kadar glukosa darah menurun, hormon glukagon dan tiroid dapat
meningkatkannya
kembali
dengan
memacu
proses
glikogenolisis
di
46
dalam liver. Kecepatan absorpsi glukosa di dalam usus juga dapat ditingkatkan
oleh hormon tiroid. Ditambah dengan adanya stres yang dialami tikus putih dalam
penelitian ini. Katekolamin mempermudah respon fight or flight terhadap stres
bersama dengan glukortikoid, growth hormone, dan glukagon. Adanya respon
fight or flight ini meningkatkan kadar glukosa darah melalui peningkatan
glikogenolisis otot, pada hepar produksi glukosa, glukoneogensis, dan
glikogenolisis meningkat sedangkan sintesa glikogen menurun.
Dari tabel 4.2 dapat terlihat bahwa bubuk kedelai putih (Glycine max) dengan
dosis 3 gr/ 200 grBB mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus putih lebih
besar dibanding dengan dosis 1 gr/ 200 grBB. Dosis 1 gr/ 200 grBB sudah
merupakan dosis yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Pada dosis yang
lebih besar kadar isoflavon dalam bubuk kedelai putih (Glycine max) semakin
tinggi, sehingga dapat memberikan efek penurunan yang lebih nyata dari kadar
glukosa darah sebelum perlakuan (yang dianggap sebagai kadar glukosa darah
normal).
Hipoglikemia dapat terjadi apabila kadar glukosa darah <60 mg/dl. Dikatakan
hipoglikemia apabila pada manusia terjadi penurunan kadar glukosa darah sebesar
16-46 % dari kadar glukosa darah awal yang normal (70-110 mg/dl).
Pada
penelitian ini, perlakuan dengan bubuk kedelai putih dosis 1 memberikan rerata
penurunan 2,09 mg/dl (3 % dari kadar glukosa darah sebelum perlakuan).
Perlakuan dengan bubuk kedelai putih dosis 2 memberikan rerata penurunan 3,64
mg/dl (5 % dari kadar glukosa darah sebelum perlakuan). Penurunan kadar
47
glukosa darah yang didapatkan dalam penelitian ini tidak memberikan reaksi
hipoglikemia pada hewan coba yang digunakan.
Penelitian Song et al (2002) selama 5 hari menggunakan hewan uji tikus,
diketahui bahwa dengan pemberian flavonoid 1 mg/kgBB sudah dapat terjadi
penghambatan absorbsi glukosa melalui GLUT2 in vivo sehingga kadar glukosa
darah turun sebesar 3%, dan dengan dosis 65 mg/kgBB kadar glukosa darah
menjadi 60% dari kadar glukosa darah awal. Hal ini menunjukkan kesesuaian
penelitian mengenai efek penurunan kadar glukosa darah oleh kedelai putih
(Glycine max) dengan penelitian sebelumnya. Besarnya dosis juga mempengaruhi
besarnya penurunan yang dihasilkan.
Isoflavon dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui beberapa
mekanisme selain menghambat absorbsi glukosa melalui GLUT2 pada usus
(Franzon et al., 2004). Wagner et al. (2007) menyatakan bahwa dengan pemberian
genestein, terjadi aktivasi dan peningkatan ekspresi peroxisome proliferator–
activated receptors (PPARs). Stimulasi PPARs meningkatkan sensitivitas insulin
terhadap kenaikan kadar glukosa darah sehingga dapat menyebabkan penurunan
kadar glukosa darah (Mezei et al., 2003). Genistein meningkatkan sekresi insulin
dan Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1). IGF-1 merupakan suatu hormon
protein polipeptida yang mempunyai struktur yang sama dengan insulin dan efek
yang menyerupai insulin, sehingga dapat menstimulasi ambilan glukosa dengan
meningkatkan ekspresi transpor glukosa dalam sel (Lane et al., 2002). Efek
tersebut didapat dari ikatan IGF-1 dengan reseptor spesifik IGF-1 dan reseptor
insulin pada beberapa tipe sel, walaupun ikatan pada reseptor insulin mempunyai
48
afinitas yang lebih rendah dibandingkan ikatan dengan reseptor IGF-1 (Scarth,
2006). Genistein juga dapat meningkatkan dengan cepat sekresi insulin yang
distimulasi oleh glukosa / glucose-stimulated insulin secretion (GSIS) pada sel-sel
yang menskresi insulin/ insulin-secreting cell lines (INS-1 dan MIN6) serta pada
sel islet pankreas (Liu et al., 2006).
Melihat beberapa macam mekanisme kerja isoflavon dalam bubuk kedelai
putih (Glycine max) yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih
dengan kadar glukosa darah normal pada penelitian ini, untuk mengetahui
mekanisme yang paling memungkinkan maka masih perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut.
49
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Terdapat efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih
(Glycine max) yang siginfikan secara statistik pada tikus putih dengan kadar
glukosa darah normal.
B. Saran
Setelah dilakukan penelitian ini, maka peneliti menyarankan:
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai dampak kronis dari konsumsi bubuk
kedelai putih (Glycine max) terhadap kadar glukosa darah pada subjek
dengan kadar glukosa darah normal.
2. Penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan hewan uji yang lebih
tinggi, kemudian diujikan pada manusia, sehingga efek penurunan kadar
glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) dapat lebih diamati
lalu diwaspadai oleh masyarakat.
3. Penggunaan bubuk kedelai putih (Glycine max) sehari-hari oleh
masyarakat, hendaknya sesuai dengan takaran dosis yang dianjurkan dan
diimbangi dengan
konsumsi karbohidrat yang cukup, sehingga efek
penurunan kadar glukosa darah dapat dicegah.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla
U.A.
2004.
Mencintai
Hidup,
Mencintai
http://islamlib.com/id/artikel/mencintai-hidup-mencintai-tubuh/
2009).
Tubuh.
(4 Mei
Arif. H. 2008. Aspek Produksi Budidaya Kedelai. http://anekaplanta.wordpress.
com/2008/01/23/aspek-produksi-budidaya-kedelai/ (8 Maret 2009).
Barnes S. 2003. Evolution of the health benefits of soy isoflavones. Proc Soc Exp
Biol. 217:386 –92.
Baskara A.W. 2008. Keajaiban Susu Kedelai dan Cara Pembuatannya. Edisi ke4. Jakarta: Kreasiwarna, hal: 20-5.
Borchers T.A.R.., Park J.S., Chew B.P., McGuire M.K., Fournier L.R.., Beerman
K.A. 2006. Soy isoflavones modulate immune function in healthy
postmenopausal women. Am J Clin Nutr. 83:1118 –25.
Busby M.G., Jeffcoa A.R., Bloedon L.T., Koch M.A., Black T., Dix K.J, Heizer
W.D., Thomas B.F., Hill J.M., Crowel J.A.l,Zeisel S.H. 2002. Clinical
characteristics and pharmacokinetics of purified soy isoflavones: singledose administration to healthy men. Am J Clin Nutr. 75 (1): 126.
Carpy A. 2003. Carbohydrates.http://www.visionlearning.com/library/ module
_viewer.php?mid=61 (8 Mei 2009).
Cheng S.Y., Shaw N.S., Tsai K.S., Chen C.Y. 2004. The hypoglycemic effects of
soy isoflavones on postmenopausal women. Journal of Women's Health.
13(10): 1080-86.
Cryer
P.E., Davis S.N., Shamoon H. 2003. Hypoglycemia in Diabetes.
Diacare. 26(6): 1902-12.
Daz D.Y. 2007. Kedelai Sumber Makanan dengan Sejuta Manfaat Bagi
Kesehatan
Tubuh.
http://microsite.detik.com/metabolis-indonesia/
webtorial.html (12 Mei 2009).
Fahri., Chasbi., Sutarno., Listyawati., Shanti. 2005. Kadar Glukosa Darah dan
Kolesterol Total Darah tikus Putih (Rattus norvegicus L.,) Hiperglikemik
Setelah Pemberian Ekstrak Metanol Akar Meniran (Phillanthus niruri L.).
Biofarmasi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret
Surakarta. 3:3.
50
51
Franzon R., Chiarani F., Mendes R.H., Klein A.B., Wyse A.T.S. 2004. Dietary
soy prevents brain Na+, K+-ATPase reduction in streptozotocin diabetic
rats. Elsevier. 69:117-12.
Gloyn A.L., Nordam K., Willemsen M.A.A.P., Ellard S., Lam W.W.K., Campbell
I.W., Midgley P., Shiota C., Buettger C., Magnuson M.A., Matschinsky
F.M., Hattersley A.T. 2003. Insights Into the Biochemical and Genetic
Basis of Glucokinase Activation From Naturally Occurring Hypoglycemia
Mutations. Diabetes. 52(9). 2433-40.
Guyton A.C. 2000. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-10. Jakarta: EGC, hal 1221-31.
Hanachi P., Golkho P., Ahmadi A., Barantalab F. 2007. The effect of soymilk on
alkaline phosphatase, total antioxidant levels, and vasomotor symptoms in
menopause women. Iranian Journal of Basic Medical Sciences. 10(3):
162-68.
Harmita, Maksum R. 2005. Analisa Hayati. Cetakan ke-2. Farmasi FMIPA
Univesitas Indonesia. Jakarta, hal: 56.
Harna.
2008. Hiperglikemia. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/
hiperglikemia/ (23 Juli 2009).
Ho S.C., Guldan G.S.,Yu J.W.R., Tse M.M., Sham A., Cheng J. 2005. A
prospective study of the effects of 1-year calcium-fortified soy milk
supplementation on dietary calcium intake and bone health in chinese
adolescent girls aged 14 to 16. Osteoporos Int. 16: 1907–16.
Indriani D. 2004. Faktor Pencetus Diabetes Mellitus (DM) Hasil Pemeriksaan
pada Pasien di Laboratorium Poliklinik Rumah Bersalin Muhammadiyah
Desa Sumberpucung Kecamatan Sumberpucung Kabupaten Malang.
Universitas Muhammadiyah Malang. Thesis.
Jacobsen B.K., Knutsen S.F., Fraser G.E. 2004. Does high soy milk intake reduce
prostate cancer incidence?. Cancer Causes dan Control. 9:553-7.
Kusdiarjo S. dan Sunarto. 2002. TTG.Membuat Kerupuk Singkong & Keripik
Kedelai. Edisi ke-1. Jakarta: Kanisius, hal:10.
Lane R.H., Dvorak B., MacLennan N.K., Dvorakova K., Halpern M.D., Pham
T.D., Philipps A.F.2002. IGF alters jejunal glucose transporter expression
and serum glucose levels in immature rats. American Journal of
Physiology. Regulatory, Integrative and Comparative Physiology. 283:
1450–60.
52
Lee J.H., Renita M., Ronald J., Fiorito., Martin S.K., Schwartz S.J., Vodovotz Y.
2004. Isoflavone characterization and antioxidant activity of ohio
soybeans. J. Agric. Food Chem. 52 : 2647-51.
Lili. 2008. Nutritional Food Safety. www.lily.staff.ugm.ac.id/dl/index.php?file
(23 Juli 2009).
Lindner V., Kim S.K., Karas R.H. 2004. Increased expression of estrogen receptor
beta mRNA in male blood vessels after vascular injury. Circ Res.83: 224 –
9.
Liu D., Zhen W., Yang Z., Carter J.D., Si H., Reynolds1 K.A. 2006. Genistein
acutely stimulates insulin secretion in pancreatic b-cells through a cAMPdependent protein kinase pathway. 55(4): 1043-50.
Liza. 2007. Hipoglikemia. http : // drlizakedokteran.blogspot.com / 2007 / 12 /
hipoglikemia.html (14 Juli 2009).
Mardon J., Mathey J., Coulibaly K.S., Puel C., Davico M.J., Lebecque P.,
Horcajada M.N., Coxam V. 2008. Influence of Lifelong Soy Isoflavones
Consumption on Bone Mass in The Rat. Exp Biol Med. 233: 229-37.
Mashhudi A.M. 2004. Sehat dengan Berpuasa. http://www. suaramerdeka. com/
harian/ 0411/ 07/ nas07.htm (13 April 2009)
Mezei O., Banz W.J., Steger R.W., Peluso M.R., Winters T.A, Shay N. 2003. Soy
isoflavones exert antidiabetic and hypolipidemic effects through the PPAR
pathways in obese zucker rats and murine RAW 264.7 Cells. J. Nutr. 133:
1238–43.
Mitchell J.H. dan Collins A.R. 1999. Effects of a soy milk supplement on plasma
cholesterol levels and oxidative DNA damage in men . a pilot study. Eur J
Nutr. 38:143–8.
Morito K., Hirose T., Kinjo J., Hirakawa T., Okawa M., Nohara T., Ogawa S.,
Inoue S., Muramatsu M., Masamune Y. 2001. Interaction of
phytoestrogens with estrogen receptors α and ß. Biol. Pharm. Bull. 24(4):
351—56
Murphy P. A., Song T., Buseman G., Barua K., Beecher G.R., Trainer D., Holden
J. Isoflavones in retail and institutional soy foods. J. Agric. Food Chem.
1999. 47: 2697-2704.
Murray R.K., Granner D.K., Mayes P.A. 2003. Biokimia Harper. Edisi ke-25.
Jakarta: EGC, hal: 145-170.
53
Nelson L. 2003. Kebaikan Herbal Suplemen. http://www. articlesnatch. com/ id/
tag/supplements (4Mei 2009).
Nike. 2009. Mengenal Hipoglikemia. http://n1ck-201.blog.com/page/2/ (15 Juli
2009)
Nurhadi R. 2008. Menyongsong Era Baru Kedokteran Nuklir Di Indonesia. http://
berita iptek. istecs. Org / menyongsong- era- baru- kedokteran- nuklir- diindonesia/ (23 Juli 2009).
Pepper G. 2007. Insulin. http://yourtotalhealth.ivillage.com/insulin.html#1 (9
Maret 2009).
Petrus
H.G. 1999. Perbedaan Hasil Laboratorium. http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg01615.html ( 9 Maret 2009).
Purwanto E.R. 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin. http://ekapunk.blogspot.com/2009/03/tumbang-janin.html (21 Juli 2009).
Putranti K.H.A. 2008. Analisis preferensi dan persepsi konsumen susu khusus
diabetes Indriani. Institut Pertanian Bogor. Thesis.
Putri A. 2007. Hipoglikemia. http : / / sweetpee. wordpress. com/ 2007 /03 /02/
hipoglikemia / (14 Juli 2009).
Raflizar, Adimunca C., Tuminah S. 2006. Dekok daun paliasa (Kleinhovia hospita
Linn) sebagai obat radang hati akut. Cermin Dunia Kedokteran.150:10-14.
Rivas M., Garay R.P., Escanero J.F., Cia P., Alda J.O. 2002. Soy milk lowers
blood pressure in men and women with mild to moderate essential
hypertension. J.Nutr. 132: 1900-02.
Ross J.A. dan Kasum C.M. 2002. Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic
effects, and safety. Annu Rev Nutr. 22: 19 –34.
Rowe J.W., Young J.B., Minaker K.L., Stevens A.L., Pallotta J., and Landsberg
L. 2002. Effect of insulin and glucose infusions on sympathetic nervous
system activity in normal man. Am Diabetes Assoc.159:567-74.
Scarth J. 2006. "Modulation of the growth hormone-insulin-like growth factor
(GH-IGF) axis by pharmaceutical, nutraceutical and environmental
xenobiotics: an emerging role for xenobiotic-metabolizing enzymes and
the transcription factors regulating their expression. A review".
Xenobiotica. 36(2-3): 119–218.
54
Sjabana D. 2006. Uji Toksisitas Akut. Indonesia, Universitas Airlangga. Thesis.
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press, Jakarta. pp :
37-8
Soegondo S.2007. Kontrol Diabetes - Faktor Risiko agar Tetap Sehat.
http://www.alatkesehatan.com/articles.php?articles_id=33 (9 Maret 2009).
Song J., Kwon O., Chen S., Daruwala R., Eck P., Park J.B.,Levine M. 2002.
Flavonoid inhibition of sodium-dependent vitamin C transporter 1
(SVCT1) and glucose transporter isoform 2 (GLUT2), intestinal
transporters for vitamin C and glucose. JBC. 277 (18): 15252–60.
Suwandi U. 2006. Uji pirogenitas dengan kelinci dan limulus amebocyt lysate.
Cermin Dunia Kedokteran. 52:20-2.
Syamsir
E.
2008.
Karbohidrat.
http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/1799308-karbohidrat (8 Mei 2009).
Wagner J., Zhang L., Shadoan M., Kavanagh K., Chen H., Tresnasari K., Kaplan
J., Adams M. 2007. Effects of soy protein and isoflavones on insulin
resistance and adiponectin in male monkeys. 57: 24-31.
Wahjuda.
2009.
Forum
SPSS
transformasi
anova.
http://milis.spss.co.id/pipermail/forum-spss_milis.spss.co.id/2009January/000023. html (7 Mei 2009).
Walker H.A., Dean T.S., Sanders T.A.B., Jackson G., Ritter J.M., Chowienczyk
P. J. 2001. Human forearm vasculature with similar potency to 17ßestradiol. Circulation. 103: 258-62
Wickens A. P. 2001. Aging and the free radical theory. Respir. Physiol. 128: 37991.
Wildan
Y.
2001.
Karbohidrat.
http://www2.kompas.com/kompascetak/0106/29/IPTEK/karb35.htm (9Maret 2009).
Wijayakusuma, H. 2007. Penyembuhan dengan Kedelai. Edisi ke-5. Jakarta:
Sarana Pustaka Prima, hal: 34.
Winto.
2009.
Peranan
Isoflavon
dan
Kacang
Kedelai.
http://www.smallcrab.com/kesehatan/25-healthy/504- peranan- isoflavondan-kacang-kedelai (12 Mei 2009).
Yusmarini, R.E. 2004. Evaluasi mutu soygurt yang dibuat dengan penambahan
beberapa jenis gula.. Jurnal Natur Indonesia. 6(2): 104-10.
Download