EFEK PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH BUBUK KEDELAI PUTIH (Glycine max) PADA TIKUS PUTIH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH NORMAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran APARIMINTA HERNING G0006042 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kebutuhan akan kesehatan dan pengaruh dari media massa, akhir-akhir ini masyarakat mulai lebih memberikan perhatian terhadap kesehatan tubuhnya. Hal tersebut menimbulkan fenomena semakin maraknya penggunaan vitamin dan suplemen kesehatan (Nelson, 2003). Yusmarini (2004) menyatakan bahwa diantara suplemen yang mulai banyak digunakan adalah bubuk kedelai yang berasal dari olahan kedelai putih (Glycine max). Bubuk kedelai putih (Glycine max) dapat memberikan beberapa manfaat apabila dikonsumsi oleh masyarakat. Rivas et al. (2002) menyebutkan bahwa dengan konsumsi bubuk kedelai putih (Glycine max) selama 3 bulan didapatkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 18,4 ±10,7 mmHg dan diastolik sebesar 15,9 ± 9,8 mmHg pada penderita hipertensi ringan sampai dengan sedang. Sedangkan konsumsi 375 ml suplemen bubuk kedelai putih (Glycine max) termasuk dalam strategi yang efektif untuk mempertahankan densitas mineral tulang pada perempuan usia 14-16 tahun (Ho et al., 2005). Efek dari bubuk kedelai terhadap penurunan risiko kanker prostat telah ditunjukkan oleh Jacobsen et al. (2004) sebesar 70% di daerah Kalifornia, Amerika Serikat. Suplementasi bubuk kedelai putih (Glycine max) pada wanita menopause dapat menyebabkan terjadinya penurunan keluhan nyeri otot dan sendi sebesar 33%. Hanachi et al. (2007) menyatakan bahwa setelah penggunaan bubuk kedelai didapatkan peningkatan Total Antioksidan Status 1 2 (TAS) dalam serum sebanyak 642.88±66.9 µmol/l yang diukur dengan ferric reducing ability of plasma assay (FRAP assay). Selain itu, tubuh dapat memperoleh efek perlindungan terhadap kerusakan DNA limfosit akibat stress oksidatif, sehingga fungsi dari sistem imun dapat ditingkatkan (Mitchell dan Collins, 1999). Dengan beragam manfaat yang dimilikinya, bubuk kedelai putih (Glycine max) menjadi salah satu bisnis besar di dunia modern saat ini. Sering kali pihak produsen tidak memberikan hak pada konsumen sebagai pengguna jasa layanan kesehatan untuk memperoleh informasi mengenai efek samping produk yang mereka gunakan (Abdalla, 2004). Ketika suatu produk dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus karena tertarik dengan manfaat yang ditawarkan dan produk tersebut tidak menjelaskan mengenai efek samping yang dapat terjadi, tentunya masyarakat menjadi dirugikan. Salah satu efek dari konsumsi bubuk kedelai putih (Glycine max) adalah penurunan kadar glukosa darah, karena pada bubuk kedelai putih (Glycine max) terdapat isoflavon (Busby et al., 2002). Cheng et al. (2004) menyebutkan bahwa pada wanita post menopause setelah mendapatkan isoflavon sebesar 100 mg ditambah dengan estrogen selama 6 bulan dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemi, ditunjukkan dengan kadar glukosa darah puasa yang menjadi 85% dari kadar glukosa darah puasa awal. Data ini menunjang keberadaan efek samping bubuk kedelai putih (Glycine max), terkait dengan penggunaan bubuk kedelai putih (Glycine max) yang tidak 3 hanya oleh pasien dengan kadar glukosa darah tinggi tetapi juga oleh masyarakat yang memiliki kadar glukosa darah normal. Apabila kadar glukosa darah rendah dapat terjadi kelainan fungsi berbagai sistem organ tubuh. Pada awalnya, tubuh secara otomatis memberikan respon terhadap penurunan kadar glukosa darah dengan melepaskan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin akan merangsang pelepasan glukosa dari cadangan tubuh, tetapi juga menyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Karena sumber energi otak yang utama adalah glukosa, maka apabila kadar glukosa darah turun akan terjadi gangguan fungsi otak yang berakibat pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang, koma, dan dapat diikuti kematian (Liza, 2007). Melihat beratnya gejala hipoglikemia, peneliti bermaksud untuk menyelidiki efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal. 4 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang lebih mendalam mengenai efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) pada subjek dengan kadar glukosa darah normal. b. Menambah pengetahuan tentang bubuk kedelai sehubungan dengan perannya sebagai suplemen yang mulai banyak digunakan oleh masyarakat. 2. Manfaat Aplikatif Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya mengenai bubuk kedelai. 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kedelai Putih a. Taksonomi Klasifikasi tanaman kedelai putih adalah sebagai berikut kerajaan : Plantae filum : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Fabales famili : Fabaceae subfamili : Faboideae genus : Glycine spesies : Glycine max (L.) Merr (Kusdiarjo dan Sunarto, 2002). b. Deskripsi Tanaman Bentuk daun tanaman kedelai bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan - kiri depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Buah kedelai berbentuk polong. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, akan tetapi tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong. Baik kulit luar buah polong 5 6 maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna coklat. Buah polong berisi biji-biji dengan bermacam-macam warna kulit. Biji kedelai putih mempunyai warna kulit agak putih, kuning atau hijau (Wijayakusuma , 2007). c. Habitat dan Persebaran Kedelai putih (Glycine max) bukan asli tanaman tropis dan lebih banyak dihasilkan di daerah subtropik, sehingga Indonesia harus mengimpor sebagian besar dari Jepang dan Cina (Daz, 2007). Tanaman kedelai putih (Glycine max) dapat diusahakan di dataran rendah mulai dari 0 – 500 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan relatif rendah (suhu tinggi), tetapi membutuhkan air yang cukup untuk pertumbuhan tanamannya (Arif, 2008). d. Budidaya Budidaya tanaman kedelai putih (Glycine max) umumnya ditanam pada awal dan akhir musim hujan di sawah (teknis, setengah teknis dan tadah hujan) serta lahan kering. Dengan pola tanam rotasi (tumpang gilir) dan atau tumpangsari dengan tanaman setahun lainnya, misalnya jagung, padi, tebu dan ketela pohon. Pemeliharaan kedelai putih (Glycine max) umumnya lebih sulit dari pada kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai putih (Glycine max) membutuhkan tanah yang lebih subur, serta memerlukan pengairan dan pemeliharaan lebih baik dari pada kedelai hitam (Arif, 2008). 7 2. Bubuk Kedelai Putih a. Efek Farmakologis Dalam bubuk kedelai putih (Glycine max) yang dijual di pasaran terdapat zat-zat kimia bermanfaat yang berasal dari kedelai putih. Antara lain lemak, vitamin B1, B2, B6, B12, karoten, asam nikotinik, soyasapogenol, kholin, biotin, serat, polisakarida, protein, mineral seperti kalium, seng, dan besi (Baskara, 2008). Manfaat dari bubuk kedelai putih (Glycine max) yang dapat meningkatkan kesehatan tubuh berhubungan erat dengan kandungan isoflavon di dalam kacang kedelai.. Kadar isoflavon tertinggi dapat diperoleh dari bubuk kedelai dan tofu (Murphy et al., 1999). Isoflavon utama yang dikandung oleh kacang kedelai adalah daidzein dan genistein. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang berasal dari protein kedelai, jenis isoflavon diantaranya yaitu genistein dan daidzein. Genistein sebagai komponen isoflavon kedelai yang paling aktif dan paling banyak. Isoflavon hanya ditemukan pada beberapa tanaman, karena kebanyakan tanaman tidak mempunyai enzim kalkon isomerase yang merubah prekursor flavon menjadi isoflavon (Daz, 2007). Efek biologis yang dihasilkan oleh isoflavon diantaranya meliputi proestrogenik (mencegah osteoporosis, pada sistem kardiovaskuler, dan pada wanita post menopause) , antiestrogenik (anti kanker), dan antioksidan (Ross dan Kasum, 2002). 8 Manfaat isoflavon dalam biji kedelai sebagai strategi pencegahan yang dapat menjaga kekuatan tulang dan menurunkan resiko osteoporosis disebabkan oleh adanya mRNA ER α dan ER ß yang terekspresi pada osteoblast. Selain itu, peningkatan absorbsi kalsium dari biji kedelai juga dapat melindungi tulang (Mardon et al., 2008). Genistein (fitoestrogen) juga mempunyai sifat kardioprotektif seperti estrogen (Barnes, 2003). Genistein mempunyai afinitas yang sama dengan estrogen terhadap estrogen receptor ß (ER ß) pada sistem vaskularisasi, baik pada laki-laki maupun perempuan (Linder et al., 2004). Seperti estrogen, genistein dapat mempotensiasikan respon vasodilator dari asetilkolin. Selain itu, stimulasi pelepasan NO oleh genistein juga memberikan efek kardioprotektif, yaitu dengan pengurangan resistensi perifer yang dapat berpengaruh pada vasodilatasi, penurunan tekanan darah dan distribusi aliran darah (Walker et al., 2001). Pada saat menopause, dimana kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat. Walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen, isoflavon yang merupakan fitoestrogen dapat juga berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mengkonsumsi isoflavon, maka akan terjadi pengaruh pengikatan isoflavon dengan reseptor estrogen yang menghasilkan efek menguntungkan, sehingga dapat mengurangi simptom menopause (Winto, 2009). 9 Konsumsi isoflavon memodulasi produksi sitokin, meningkatkan aktivitas sel natural killer (NK) in vitro, menyebabkan penurunan konsentrasi plasma 8-hydroxy-2-deoxy-guanosine sebagai tanda oksidatif dari kerusakan DNA (15.3 ng/mL menjadi 10,9 ng/mL). Dengan sifat estrogenik isoflavon maka terjadilah kenaikan populasi sel B dari 8,1 % menjadi 11,3 % (Borchers et al. 2006). Genistein dan Daidzein juga menstimulasi pertumbuhan sel MCF7, namun untuk menstimulasi, membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi daripada yang dibutuhkan oleh 17ß-estradiol. Lebih banyaknya konsentrasi yang dibutuhkan tersebut menerangkan bagaimana genistein dan daidzein mengurangi resiko kanker payudara. Selain itu isoflavon dapat berikatan dengan ER ß yang terekspresi pada prostat dan payudara untuk memblokir ikatan reseptor dengan estrogen, mengurangi konsentrasi estradiol serum karena feedback regulation, dan menghambat tirosin kinase yang mempengaruhi siklus sel (Morito et al., 2001). Isoflavon mempunyai efek antioksidan (Daz, 2007). Aktivitas antioksidan dari ekstrak kacang kedelai putih berkisar dari 7.51 to 12.18 µmol butylated hydroxytoluene (BHT) equivalent/g kedelai dengan metode 2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazyl (DPPH). Sedangkan aktivitas antioksidan dari ekstrak kacang kedelai putih yang larut air dan lemak berkisar antara 2.40 to 4.44 µmol (Lee et al., 2004). Radikal bebas dihubungkan dengan proses penuaan dan penyakit yang 10 berhubungan dengan usia. Anion superoksida, yang berasal dari reduksi molekul oksigen, mempunyai peran dalam proses penuaan dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) lainnya, seperti hidrogen peroksida dan radikal hidroksil yang menginduksi kerusakan lipid, protein, dan DNA (Wickens, 2001). b. Mekanisme Hipoglikemi Kadar genistein dalam serum manusia yang mengkonsumsi bubuk kedelai tiga kali sehari dapat mencapai 4,6 µmol/l (Liu et al., 2006). Flavonoid in vivo dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui beberapa mekanisme (Song et al., 2002). Isoflavon dapat mengontrol glikemia, menghambat absorpsi glukosa pada usus, merubah jumlah reseptor insulin dan afinitasnya, fosforilasi intraseluler, meningkatkan produksi hormon pertumbuhan Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1), dan merubah sifat pengangkut glukosa (Franzon et al., 2004). Protein transporter tergolong protein transmembran yang memiliki tempat perlekatan terhadap ion atau molekul yang akan ditransfer ke dalam sel. Kebanyakan sel manusia dan mamalia lainnya memiliki protein transmembran yang memfasilitasi difusi glukosa. Gradien konsetrasi glukosa agar dapat terus menerus melakukan difusi dijaga oleh fosforilasi glukosa setelah masuk ke dalam sitoplasma. Fosforilasi ini menyebabkan konsentrasi glukosa di dalam sel terus menerus rendah. Transportasi glukosa difasilitasi oleh transporter yang tidak 11 tergantung sodium, yaitu GLUT1-GLUT4, GLUT6, GLUT8 dan transporter yang tergantung sodium SGLT1 dan SGLT2. Transporter glukosa di usus adalah GLUT2 dan SGLT1, dan GLUT5 yang hanya mentransport fruktosa. Menurut penelitian Song et al. (2002) dengan pemberian flavonoid 1 mg/kg BB tikus selama 5 hari sudah dapat terjadi penghambatan absorbsi glukosa melalui GLUT2 in vivo, dilihat dari pengukuran kadar glukosa darah 30 menit setelah pemberian flavonoid. Isoflavon mempunyai pengaruh terhadap aksi insulin melalui aktivitas estrogen yang dimediasi oleh suatu reseptor. Isoflavon berikatan dengan peroxisome proliferator–activated receptors (PPARs) yang berkaitan dengan aksi insulin . Dengan pemberian genistein, maka terjadi aktivasi dan peningkatan ekspresi PPAR α sebanyak 140% dan γ sebesar 380% (Wagner et al., 2007). PPARs merupakan reseptor nuklear yang mengatur transkripsi gen dan terlibat dalam berbagai metabolisme sel diantaranya adalah metabolisme karbohidrat. Ada tiga jenis PPARs yang bekerja dalam tubuh,yaitu α, β, dan γ. PPARs yang bekerja pada jantung, otot, usus, ginjal, pankreas, dan limfa dapat membantu menurunkan kadar gula darah. PPAR α dan γ berhubungan erat dengan aktivitas insulin. PPAR α paling banyak terdapat pada jaringan lemak, hepar, otot skelet, ginjal, dan usus. Sedangkan PPAR γ ditemukan pada sel-sel yang merupakan sasaran kunci aksi insulin, yaitu di jaringan lemak, makrofag, hati, dan 12 otot skelet., Stimulasi PPARs tersebut akan merubah transkripsi gengen peka insulin yang terlibat dalam transport, penggunaan glukosa, dan bertanggung jawab terhadap perbaikan sensitivitas reseptor insulin sehingga sensitivitas insulin terhadap kenaikan glukosa darah meningkat. Kenaikan sensitivitas insulin ini dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa darah (Mezei et al., 2003). Genistein meningkatkan dengan cepat sekresi insulin yang distimulasi oleh glukosa / glucose-stimulated insulin secretion (GSIS) pada sel-sel yang menskresi insulin/ insulin-secreting cell lines (INS-1 dan MIN6) serta pada sel islet pankreas. Sesuai dengan efeknya pada GSIS, genistein meningkatkan cAMP intraselular yang menimbulkan peningkatan aktivitas adenilat siklase dan mengaktivasi fosforilasi protein kinase A (PKA) pada INS-1, MIN-6, dan sel islet pankreas. Genestein 10 nmol/l dapat meningkatkan sekresi insulin walaupun efek maksimal dicapai pada dosis genistein 5 µmol/l (Liu et al., 2006). Genistein meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pulau langerhans. Insulin dan IGF-1, menstimulasi ambilan glukosa dengan meningkatkan ekspresi transpor glukosa dalam sel. IGF-1 merupakan suatu hormon protein polipeptida yang diproduksi di hati, mempunyai struktur yang sama dengan insulin dan efek yang menyerupai insulin (Lane et al., 2002). Efek tersebut didapat dari ikatan IGF-1 dengan reseptor spesifik IGF-1 dan reseptor insulin pada beberapa tipe sel. Seperti reseptor insulin, reseptor IGF-1 merupakan reseptor tirosin 13 kinase. Ikatan pada reseptor insulin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan ikatan dengan reseptor IGF-1, sehingga potensi IGF-1 untuk mengaktifkan reseptor insulin adalah 0,1 x potensi dari insulin. Namun IGF-1 tetap dapat menginduksi fosforilasi pada reseptor insulin dan menyebabkan hipoglikemia (Scarth, 2006). 3. Glukosa Darah a. Metabolisme Karbohidrat Karbohidrat adalah senyawa polimer, monomernya ialah gula atau sakarida. Komponen ini disusun oleh 3 unsur utama, yaitu karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Karbohidrat merupakan komponen pangan yang menjadi sumber energi utama dan sumber serat makanan. Berdasarkan jumlah monomernya terdapat karbohidrat sederhana, kompleks, dan oligosakarida yang memiliki rantai monosakarida lebih pendek daripada polisakarida (Syamsir, 2008). Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida yang mempunyai satu monomer dan disakarida yang mempunyai dua unit monomer yang berikatan. Karbohidrat sederhana cepat dirombak di dalam tubuh untuk menghasilkan energi. Dua karbohidrat sederhana utama yaitu glukosa dan fruktosa. Glukosa adalah bentuk utama dari gula yang disimpan dalam tubuh sedangkan fruktosa merupakan gula utama yang ditemukan dalam kebanyakan buah (Carpy, 2003). Hasil akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa (80%), fruktosa, dan 14 galaktosa karena molekulnya kecil dan dapat langsung dibawa ke dalam sel endotel pembuluh darah. Senyawa ini diangkut ke hepar melalui vena porta hepar. Sebagian fruktosa dan hampir semua galaktosa diubah menjadi glukosa di dalam hati (Syamsir, 2008). Di hati glukosa dipakai sebagai sumber energi (dioksidasi, dibakar), sebagian diubah kembali menjadi glikogen dan disimpan dalam hati dan otot, sebagian lagi ada yang diubah menjadi asam lemak dan gliserol, lalu keduanya bersenyawa membentuk lemak. Sesungguhnya tidak semua glikogen dalam hati berasal dari glukosa. Ada yang berasal dari dari asam amino, asam laktat, atau lemak. Akan tetapi seluruhnya akan dirombak menjadi glukosa lagi (Wildan, 2001). b. Kadar Glukosa Darah Sumber-sumber glukosa darah yaitu karbohidrat dalam makanan, berbagai senyawa glukogenik yang mengalami glukoneogenesis, dan glikogen hati melalui glikogenolisis (Murray et al., 2003). . Dalam keadaan puasa, tidak ada makanan, termasuk glukosa, yang masuk ke dalam tubuh. Karena itu, untuk mempertahankan kadar glukosa darah perlu mengambil cadangan glukosa yang terdapat di hepar dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa darah. Glikogen hepar ini hanya cukup memenuhi kebutuhan tubuh 12-16 jam. Setelah glikogen hepar habis, sumber glukosa darah adalah pemecahan asam lemak bebas dari organ-organ lain. Dan setelah 16 jam, enzim oksidasi asam lemak akan habis sehingga asam lemak 15 bebas dalam darah tinggi, mengakibatkan otak menjadi pusing, membengkak dan lama-lama terjadi koma (Mashhudi, 2004). Pemeriksaan kadar glukosa darah dahulu memakai metoda reduksi ion Cu yang memanfaatkan sifat mereduksi molekul glukosa yang tidak spesifik. Sekarang menggunakan cara enzimatik, baik glukosa oksidase, glukosa dehidrogenase maupun heksokinase. Enzim berikatan dengan substrat spesifiknya (glukosa) dengan membebaskan H2O2 yang banyaknya diukur secara tidak langsung. Cara enzimatik lebih baik karena tidak ada pengaruh zat-zat reduktor. Dari cara enzimatik yang terbaik adalah heksokinase (mahal), tetapi umumnya laboratorium memakai enzim yang agak lebih murah dengan hasil klinis yang tidak banyak terpengaruh. Dengan kemajuan teknologi jelas makin berkembang metode-metode baru yang lebih canggih (Petrus, 1999). 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah a. Makanan dan Minuman Konsentrasi glukosa darah bervariasi, tergantung pada respon metabolisme yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada orang normal, konsentrasi glukosa meningkat selama jam pertama atau setelah makan, tetapi sistem umpan balik yang mengatur kadar glukosa darah dengan cepat mengembalikan konsentrasi glukosa ke nilai kontrolnya, biasanya terjadi dalam waktu 2 jam sesudah absorbsi karbohidrat yang 16 terakhir. Nilai normal glukosa darah dua jam postprandial ialah < 140 mg/dl (Guyton,2000). b. Penyakit Beberapa jenis penyakit dapat mempengaruhi metabolisme glukosa. Diantaranya yaitu penyakit penkreas dan hati, infeksi, dan keganasan. Lili (2008) menyatakan bahwa insulin dan glukagon dihasilkan oleh pankreas. Sehingga, ketika terdapat penyakit pada pankreas, maka konsentrasi glukosa darah dapat terganggu, baik menjadi hiperglikemia / hipoglikemia. Kenaikkan kadar glukosa darah karena infeksi dapat terjadi karena peningkatan Basal Metabolism Rate (BMR) dan glikolisis anaerob (Purwanto, 2009). Sedangkan penyakit pada hati dapat menimbulkan hipoglikemia akibat kegagalan degradasi insulin. Pepper (2007) menyatakan bahwa kebanyakan insulin didegradasi oleh hati dalam waktu kurang lebih 1 jam setelah insulin dikeluarkan ke dalam darah (waktu paruh insulin 70 menit). Sel kanker mengkonsumsi glukosa dalam jumlah yang lebih besar dari sel di sekelilingnya. Kecepatan pertumbuhan sel kanker yang mencerminkan tingkat keganasannya sebanding dengan tingkat konsumsi glukosa (Nurhadi, 2008). c. Hormon Konsentrasi glukosa dalam darah diatur oleh beberapa hormon, terutama insulin dan glukagon. Glukagon menaikkan konsentrasi 17 glukosa darah dengan mendorong glikogenolisis di dalam liver. Sekresi glukagon dipengaruhi oleh konsentrasi gula darah, tetapi berlawanan dengan mekanisme pada insulin (Lili, 2008). Sistem nervus simpatik (hormon stres epinefrin) melalui stimulasi alfa2 adrenergik dapat menghambat pelepasan insulin. Epinefrin dapat menaikkan konsentrasi glukosa darah dengan menaikkan kecepatan glikogenolisis di dalam liver (Rowe et al., 2002). Epinefrin memobilisasi glukosaa sebagai sumber energi untuk otak dengan meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam hati serta mengurangi uptake glukosa dalam otot dan organ lain. Aktivasi fosfoprotein oleh CAMP dependent protein kinase menyebabkan banyak efek biokimia epinefrin. Dalam otot dan sedikit dalam hati, epinefrin merangsang glukoneogenesis dengan mengaktifkan reaksi fosforilasi. Fosforilasi glikogen sintase mengurangi sintesis glikogen (Murray, 2003). Norepinefrin mengaktifkan glikogenolisis hati melalui reseptor alfa (Murray, 2003). Selain itu hormon lain yang berpengaruh terhadap glukosa darah adalah hormon tiroid, peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan insulin. Hormon tiroid akan memacu konversi glikogen menjadi glukosa di dalam liver dan mempercepat absorpsi glukosa di dalam usus (Harna, 2008). 18 Growth hormone juga dapat menaikkan konsentrasi glukosa plasma dengan cara menghambat masuknya glukosa ke dalam otot, utilisasi glukosa di perifer, meningkatkan produksi glukosa di hati melalui glukoneogenesis, dan menghambat pembentukan trigliserida dari glukosa. Growth hormone pada umumnya melawan efek insulin (Murray, 2003). Selain itu, glukokortikoid kortisol (hidrokortison) dapat menaikkan konsentrasi glukosa darah dengan mendorong glukoneogenesis dari pemecahan protein serta menaikkan konsentrasi glukosa darah dengan menurunkan/ mencegah pemasukkan glukosa ke dalam sel-sel otot oleh insulin dan antagonis kortisol (Lili, 2008). Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas ( sel-sel beta pulau Langerhans) dan membantu memindahkan glukosa ke sel tubuh. Sel memecah glukosa dan mengubahnya menjadi energi. Sel otot (miosit) dan sel lemak (adiposit) merupakan dua tipe jaringan yang paling terpengaruh oleh insulin (Pepper, 2007). Sel beta dari pulau Langerhans melepaskan insulin ketika gula darah meningkat. Hal ini terjadi melalui mekanisme glukosa masuk ke dalam sel beta melalui pengangkut glukosa GLUT2, lalu glukosa masuk ke dalam glikolisis dan siklus respiratorius yang akan menghasilkan ATP melalui proses oksidasi. Selanjutnya, kanal K+ menutup, membran sel mengalami depolarisasi, kanal Ca2+ membuka lalu Ca2+ masuk ke dalam sel. Pospolipase C teraktivasi, merubah 19 membran pospolipid pospatidil inositol 4,5-bispospat menjadi inositol 1,4,5-tripospat dan diasilgliserol. Inositol 1,4,5-tripospat (IP3) berikatan dengan reseptor protein di membran Retikulum Endoplasma (RE) dan menyebabkan terjadinya pelepasan Ca2+ dari RE melalui IP3, dilanjutkan dengan pelepasan insulin yang disimpan di vesikel sekretori akibat peningkatan Ca2+ yang tinggi tersebut (Murray et al., 2003). Biasanya insulin dilepaskan akibat pengaruh makanan (tidak hanya karena glukosa atau karbohidrat), tetapi dapat juga disebabkan oleh hal lain. Beberapa zat yang dapat menstimulasi insulin antara lain asam amino (alanin, glisin, dan arginin) yang mempunyai efek sama dengan glukosa yaitu dengan merubah potensial membran sel, asetilkolin juga memacu pelepasan insulin melalui pospolipase C, dan sistem nervus parasimpatik serta kolesistokinin (Guyton, 2000). Fungsi insulin adalah meningkatkan replikasi DNA dan sintesa protein dengan mengontrol masukan asam amino ke dalam sel, meningkatkan kerja sel lemak untuk mengambil lipid dalam darah (sintesa asam lemak) dan mengesterifikasi asam lemak. Insulin juga dapat menurunkan proteolisis, menurunkan lipolisis (lipid menjadi menjadi asam lemak darah), modifikasi aktivitas beberapa enzim serta meningkatkan sekresi HCl oleh sel parietal. Selain itu aktivitas insulin dapat meningkatkan sintesa glikogen, menurunkan glukoneogenesis, dan mengontrol masukan glukosa ke dalam sel (Guyton, 2000). Ketika 20 tubuh tidak mampu memproduksi insulin atau gagal meresponnya dengan benar, glukosa darah meningkat. Keadaan inilah yang disebut diabetes mellitus. Etiologi diabetes mellitus diantaranya yaitu diabetes mellitus tipe 1 (diabetes mellitus tergantung insulin/ IDDM) dan tipe 2 (diabetes mellitus tidak tergantung insulin/ NIDDM). Penderita diabetes mellitus tipe 1 tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA. Selain itu, DM tipe 1 dapat terjadi karena respons autoimun yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen, yang merupakan respon abnormal yang terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. Pada diabetes mellitus 2 terjadi resistensi insulin dan atau gangguan sekresi insulin. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin (Guyton, 2000). d. Genetik Selain meningkatkan kadar glukosa darah, faktor genetik juga dapat mengakibatkan penurunan kadar glukosa darah. Gloyn et al. (2003) menjelaskan tentang glukokinase sebagai enzim pengatur dalam sel beta pankreas dan mengkatalisis sel beta dalam metabolisme 21 glukosa. Mutasi GCK (T651 dan W99R) dapat meningkatkan kejadian hipoglikemia familial karena terjadi perubahan fenotip (mutasi gen kanal K+ sensitif ATP) yang terlihat dengan jelas. e. Berat Badan Ukuran tubuh secara tidak langsung mempengaruhi keseimbangan konsentrasi glukosa darah. Hal ini berhubungan dengan fungsi keseimbangan cairan. Individu dengan berat badan lebih (IMT > 23 kg/m²) komponen lemaknya tinggi dan cenderung mengalami kenaikan kadar glukosa darah. Sebaliknya mereka dengan indek massa tubuh rendah akan mempunyai komponen lemak relatif kecil (Soegondo, 2007). f. Jenis Kelamin dan Usia Responden yang berjenis kelamin perempuan dengan usia berkisar antara 40-71 tahun adalah responden yang paling banyak (17,81%) menderita penyakit diabetes mellitus di laboratorium Sumberpucung. Selain itu, diketahui bahwa pada wanita, pemakaian glikogen otot 25% lebih rendah daripada pria, sedangkan total oksidasi karbohidrat pada wanita 43% lebih rendah daripada pria (Indriani, 2004). g. Stres Hormon sistem simpatoadrenal (katekolamin) dibutuhkan untuk adaptasi terhadap stres akut dan kronik. Katekolamin (dopamin, epinefrin, dan norepinefrin) mempermudah respon fight or flight bersama dengan glukokortikoid, GH, dan glukokagon. Epinefrin 22 merupakan 80% katekolamin dalam medula (Murray, 2003). Stres fisik atau emosional yang bersifat neurogenik dapat merangsang sekresi epinefrin. Epinefrin yang meningkatkan dapat mengakibatkan kenaikan kadar glukosa darah (Rowe et al., 2002). Adanya stres dapat meningkatkan sekresi ACTH sehingga sekresi hormon glukokortikoid juga akan meningkat dan akibatnya glukosa darah mengalami kenaikan. Glukokortikoid lebih langsung terlibat dalam respon terhadap stres mendadak biasanya pada tindakan pembedahan, trauma, dan infeksi. Sekresi kortisol dipengaruhi oleh stres fisik dan emosional input dari fomasio retikularis yang menghantar respon terhadap nyeri. Respon ini dapat melampaui sistem umpan balik negatif dan irama diurnal irama diurnal sehingga kadar kortisol plasma dapat meningkat beberapa kali melebihi 25µg/dl. Hormon kortisol dapat merangsang sekresi glukagon (Murray, 2003). Sekresi Growth hormone dipengaruhi oleh stres. Respon terhadap stres mungkin melalui perantaraan katekolamin yang beraksi lewat hipothalamus (Murray, 2003). h. Aktivitas Fisik Indriani (2004) menyatakan bahwa peningkatan aktifitas fisik juga dapat meningkatkan penggunaan glukosa secara efisien melalui peningkatan pemakaian energi. Responden yang memiliki pekerjaan swasta (tidak terlalu banyak aktifitas) merupakan responden yang memiliki kadar glukosa yang paling tinggi yaitu 31,5 %. 23 i. Obat Kenaikan kadar glukosa darah dapat terjadi pada penggunaan beberapa jenis obat. Diantaranya adalah kortikosteroid karena merupakan racun yang mempengaruhi pembentukan insulin dengan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang., beta bloker, produk yang mengandung estrogen, INH, dan obat diuretik seperti furosemide serta thiazide (Putranti, 2008). Penurunan kadar glukosa darah juga dapat disebabkan oleh berbagai jenis obat. Konsumsi insulin dan obat hipoglikemia oral (terutama sulfonilurea) paling sering menjadi penyebab penurunan tersebut, terkadang penurunan kadar glukosa darah dapat pula terjadi setelah konsumsi kinin, pentamidine, salisilat, dan sulfonamide (Sugondo, 2007). Konsumsi insulin atau obat hipoglikemia oral dengan dosis berlebihan dapat mengakibatkan hipoglikemia. Hipoglikemia dapat pula terjadi apabila konsumsi obat tersebut diikuti oleh keterlambatan makan atau tidak makan, makan dengan karbohidrat (roti, nasi, kentang) yang kurang, latihan jasmani yang terlalu keras dan terlalu lama, dalam keadaan sakit, dan minum alkohol saat perut kosong (Nike, 2009). Obat hipoglikemia oral dibagi menjadi tiga golongan. Yaitu pemicu sekresi insulin (jenis sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion) serta 24 penghambat absorpsi glukosa melalui hambatan glukosidase alfa/akarbose (Soegondo, 2007). 5. Hipoglikemia a. Definisi Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. Terdapat beberapa jenis hipoglikemia, diantaranya yaitu hipoglikemia murni, reaksi hipoglikemia, dan hipoglikemia reaktif. Hipoglikemia murni merupakan gejala hipoglikemia yang timbul bila glukosa darah < 60 mg/dl, sedangkan reaksi hipoglikemia adalah gejala hipoglikemia yang timbul bila glukosa darah turun mendadak meskipun kadar glukosa darah > 100 mg/dl, dan hipoglikemia reaktif merupakan gejala hipoglikemia yang timbul 3-5 jam sesudah makan (Liza, 2007). b. Penyebab Hipoglikemia yang paling sering terjadi disebabkan oleh insulin atau obat anti diabetik yang diberikan kepada penderita diabetes. Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan kelenjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah. Penyebab lainnya adalah penggunaan pentamidin yang 25 digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS, pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama, dan olah raga berat dalam waktu yang lama. Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia, hanya jika terdapat penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal). Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa juga bisa menyebabkan hipoglikemia (Putri, 2007). Pembentukan insulin yang berlebihan dapat pula menjadi penyebab hipoglikemia. Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau gagal jantung, penyakit autoimun, kanker, kekurangan gizi, kelainan fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan infeksi yang berat. Hipoglikemia reaktif dapat disebabkan oleh pembedahan lambung. Bayi dan anak-anak dapat mengalami hipoglikemia reaktif apabila memakan makanan yang mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi pelepasan glukosa dari hati sedangkan leusin merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas. Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur dengan gula (Putri, 2007). c. Akibat Cryer et al. (2003) menyatakan bahwa gejala hipoglikemia terdapat dalam 4 stadium. Stadium pertama yaitu stadium parasimpatik (lapar, mual, tekanan darah turun), diikuti stadium gangguan otak ringan 26 (lemah, letih, sulit bicara/ menghitung), dan stadium simpatik (keringat dingin muka/ tangan, berdebar-berdebar). Stadium keempat adalah stadium gangguan otak berat (koma, kejang, parese/ hemiplegia). B. Kerangka Pemikiran Kadar glukosa darah naik makanan dan minuman, penyakit, hormon, genetik, berat badan, jenis kelamin perempuan, usia, aktivitas fisik rendah, stres, dan obat Faktorfaktor lain yang berpengaruh Subjek dengan kadar glukosa darah awal normal penyakit,hormon, genetik, jenis kelamin laki-laki, dan obat Bubuk kedelai putih Isoflavon: menghambat absorpsi glukosa pada usus, meningkatkan jumlah reseptor insulin dan afinitasnya, meningkatkan produksi hormon insulin dan Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1) Kadar glukosa darah turun Gambar 1. Skema kerangka pemikiran 27 C. Hipotesis Bubuk kedelai putih (Glycine max) mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal. 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta C. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan jenis kelamin jantan, umur 6-8 minggu, berat badan kurang lebih 200 gram, sehat, dan aktif. Sampel akan di bagi dalam tiga kelompok. Jumlah sampel dihitung dengan rumus Federer: (n-1)(t-1) > 15 dimana : n = besar sampel t = jumlah kelompok hasil penghitungan : (n-1)(3-1) > 15 2n-2 > 15 2n > 15+2 2n > 17 n > 8,5 28 29 Besar sampel minimal untuk tiap kelompok adalah 9 ekor tikus putih dan 2 ekor tikus putih sebagai cadangan pada tiap-tiap kelompoknya. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33 ekor tikus putih (Rattus norvegicus). D. Teknik Sampling Pengambilan sampel hewan uji dilakukan dengan purposive sampling, sedangkan pembagian subjek ke dalam kelompok menggunakan randomisasi.. E. Variabel Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : bubuk kedelai putih. 2. Variabel terikat : kadar glukosa darah. 3. Variabel luar : a. dapat dikendalikan : 1). makanan dan minuman 2). berat badan 3). jenis kelamin 4). usia b. tidak dapat dikendalikan : 1). hormonal 2). penyakit 3). genetik 4). kondisi psikologis hewan uji/ stres 30 F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Bubuk Kedelai Putih Yang dimaksud bubuk kedelai putih pada penelitian ini adalah kedelai putih yang direbus, dihaluskan, lalu di dehidrasi dan ditambahkan perasa. Pada penelitian ini digunakan suatu produk bubuk kedelai yang memiliki informasi nilai gizi yang lebih lengkap dibandingkan dengan produk bubuk kedelai lainnya, dan mudah diperoleh, serta banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Bubuk kedelai diberikan pada hewan coba dalam bentuk suspensi, dicampur dengan 5 ml aquades dan diberikan secara oral dengan spuit needle feeding satu kali sehari pada jam 08.00. Skala variabel susu kedelai putih adalah skala nominal. 2. Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah yang dimaksud merupakan kadar glukosa darah tikus putih sebelum perlakuan (GD1) dan setelah perlakuan (GD2). Penghitungan kadar glukosa darah dilakukan dengan metode GOD-PAP : enzymatic photometric test. Metode GOD-PAP menggunakan dasar glukosa yang dioksidasi oleh oksigen dengan katalis enzim glukosa oksidase (GOD). Lalu akan terbentuk asam glukonik dan hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen Peroksidase beraksi dengan 4 aminoantopyrin dan fenol dengan katalis enzim peroksidase (POD) membentuk quinoneimine dan air. Quinoneimine ini merupakan indikator yang menunjukkan kadar glukosa dalam darah (Fahri dkk., 2005). 31 Skala variabel adalah skala rasio. 3. Variabel Luar Dapat Dikendalikan a. Makanan dan Minuman. Makanan dan minuman berpengaruh pada perubahan kadar glukosa darah tikus putih. Oleh karena itu, walaupun tidak sepenuhnya bisa dikendalikan karena tingkat konsumsi makanan dan minuman yang berbeda-beda pada tiap tikus putih, namun variabel ini telah seoptimal mungkin dikendalikan dengan cara semua hewan uji diberi pakan standar (pellet standar BR-2), minuman yang cukup dalam jumlah yang kurang lebih sama, dan tiap-tiap ekor tikus putih diletakkan dalam masing-masing kandang untuk mencegah kompetisi terhadap makanan/ minuman yang ada. b. Berat Badan, Jenis Kelamin, dan Usia Jenis kelamin, umur, dan berat badan memberikan pengaruh pada konsentrasi glukosa darah. Faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan dengan cara hewan uji dipilih tikus putih berjenis kelamin jantan, umur 6-8 minggu dengan berat badan kurang lebih 200 gram. c. Aktifitas Fisik Tinggi rendahnya aktifitas fisik dapat mempengaruhi kadar glukosa darah tikus putih. Hal ini mampu dikendalikan dengan pemilihan subjek tikus putih yang mempunyai aktivitas fisik normal dan ukuran kandang tikus putih yang sama sehingga aktivitas tikus putih dapat dibatasi serta seragam. 32 d. Obat Konsumsi obat dapat menaikkan/ menurunkan kadar glukosa darah. Faktor obat dapat dikendalikan dengan cara tidak memberikan obat apapun pada tikus putih selama penelitian berlangsung dan menjaga kebersihan tikus putih serta kandangnya sehingga tikus putih dalam kondisi sehat dan tidak perlu diberikan obat. 4. Variabel Luar Tidak Dapat Dikendalikan a. Hormonal Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh beberapa hormon, sehingga memberikan pengaruh pada hasil penghitungan. Variabel ini tidak dapat dikendalikan karena sifatnya yang sangat subjektif. b. Penyakit Beberapa jenis penyakit dapat meningkatkan/ menurunkan kadar glukosa darah. Kemungkinan untuk mengendalikan secara penuh relatif sukar, namun adanya bias telah dicoba diatasi dengan memilih tikus putih yang sehat fisik dan mempunyai aktivitas normal, serta dengan pemeriksaan gula darah sebelum diberi perlakuan. c. Genetik Sintesa reseptor dan produksi insulin dipengaruhi oleh genetik. Usaha pengendalian dilakukan dengan memilih seluruh tikus putih yang digunakan dalam penelitian dari galur Wistar. Diharapkan faktor genetik dapat dikendalikan dengan cara ini walaupun tetap tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. 33 d. Kondisi Psikologik hewan coba/stres Hal-hal yang dapat menimbulkan stres pada tikus putih antara lain kondisi kandang, pengambilan darah melalui sinus orbitalis dan pemberian perlakuan secara berulang-ulang. Pemeliharaan dan penerapan prosedur perlakuan yang tepat akan membantu mengurangi stres yang terjadi. 34 G. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah eksperimental pre and post test control group design. 33 ekor tikus putih Randomisasi kontrol I II GD1 GD1 GD1 Aquades Dosis 1 Dosis 2 GD2 GD2 GD2 Adaptasi 3 hari Perlakuan 5 hari Analisa statistik Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian Keterangan: Kontrol : 11 ekor tikus putih kontrol negatif I : 11 ekor tikus putih perlakuan I II : 11 ekor tikus putih perlakuan II 35 GD1 : pengukuran kadar glukosa darah tikus putih pada hari ke-1, setelah tikus putih dipuasakan selama 12 jam. Aquades : perlakuan dengan aquades Dosis 1 : perlakuan bubuk kedelai putih dosis 1 (1 gr/200grBB/hari) Dosis 2 : perlakuan bubuk kedelai putih dosis 2 (3 gr/200grBB/hari) Analisis : membandingkan hasil pengukuran kadar glukosa darah dari masing-masing kelompok dilanjutkan dengan analisa data statistik. H. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat a. Kandang hewan uji (tikus putih) b. Timbangan hewan c. Mikrokapiler d. Tabung reaksi 5 ml e. Alat dan tabung sentrifuge f. Spuit needle feeding g. Pipet berskala h. Gelas ukur dan pengaduk i. Becker glass j. Perangkat pereaksi glukosa k. Spektofotometer 2. Bahan a. Bubuk kedelai putih 36 b. Aquades c. Pakan pellet dan air PAM I. Penentuan Dosis Menurut penelitian Song et al. (2002) dengan pemberian flavonoid 1 mg/ kg BB tikus putih (setara dengan 0,2 mg/ 200 gr BB tikus putih) selama 5 hari dapat menurunkan kadar glukosa darah sebesar 3 %. Pada produk bubuk kedelai yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan isoflavon sebesar 6 mg tiap 50 mg takaran sajinya bagi manusia (setara dengan 0,2 mg/ 200 gr BB tikus putih). Sehingga, lama perlakuan yang diberikan adalah 5 hari. Perlakuan diberikan dalam 2 dosis. Dosis yang pertama disesuaikan dengan anjuran konsumsi produk tersebut untuk manusia, yaitu 50 gr bubuk kedelai putih ditambah 250 ml (satu gelas) air hangat/ 38oC untuk tiap penyajian. Sedangkan dosis yang kedua (100 gr) digunakan untuk melihat konsumsi berlebihan produk pada masyarakat. Konversi dosis dari manusia (70 kg) ke tikus putih (200gr) adalah 0,018 (Harmita dan Maksum, 2005). Sedangkan berat rata-rata orang Indonesia 50 kg (Suwandi, 2006). Sjabana (2006) menyebutkan bahwa kapasitas lambung tikus putih (100 gr) adalah 5 ml aquades. Sehingga, melalui konversi dosis didapatkan dosis 1: 0,018 x 70/50 x 50 gr = 1 gr/ 200 grBB/ hari dosis 2: 0,018 x 70/50 x 100 gr = 3 gr/ 200 gr BB/ hari yang dilarutkan dalam 5 ml air. 37 J. Cara Kerja 1. Hewan coba diperoleh dari Universitas Setia Budi (USB) Surakarta. Mulamula dilakukan adaptasi selama 3 hari dengan kondisi tempat penelitian, diadakan penimbangan, serta dilakukan pengelompokan secara random menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok terdiri atas 11 ekor tikus putih, a. kelompok kontrol : kelompok kontrol negatif b. kelompok I : kelompok uji dosis 1 (1 gr/ 200 grBB/ hari) c. kelompok II : kelompok uji dosis 2 (3 gr/ 200 gr BB/ hari) Semua kelompok tikus putih tersebut diberikan pakan pellet standar BR-2 dan minum air PAM secara adlibitum. 2. Setelah tikus putih dipuasakan selama kurang lebih 12 jam (terhitung mulai jam 20.00 pada malam hari ke-0), lalu masing-masing diambil darahnya sekitar 0,5 ml melalui sinus orbitalis pada hari ke-1 dan dihitung kadar glukosa darah awal (GD1). Pengambilan sampel darah sekitar pukul 08.00. 3. Mulai hari ke-2, dilakukan perlakuan secara oral dengan spuit needle feeding. Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut : a. kelompok kontrol diberi aquades 5 ml b. kelompok I diberi bubuk kedelai putih 1 gr/ 200 grBB/ hari yang dilarutkan dalam 5 ml aquades 38oC. c. kelompok II diberi bubuk kedelai putih 3 gr/ 200 grBB/ hari yang dilarutkan dalam 5 ml aquades 38oC. Pemberian perlakuan sebanyak satu kali sehari (pukul 08.00). 38 4. Setelah tikus putih dipuasakan selama 12 jam, pada hari ke-7 diambil darahnya melalui sinus orbitalis untuk mengetahui kadar glukosa darah akhir (GD2). 5. Membandingkan rata-rata kadar glukosa darah hasil penelitian dari semua kelompok, dilanjutkan dengan analisa data. K. Analisis Data Data diolah menggunakan program komputer SPSS versi 16. Data yang didapat dianalisis secara statistik dengan uji Oneway ANOVA. ANOVA merupakan uji parametrik, sehingga asumsi penggunaan uji parametrik harus dipenuhi, yaitu: sebaran normal dan variansi untuk lebih dari 2 kelompok harus homogen (Wahjuda, 2009). Uji Oneway ANOVA digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata kadar glukosa darah di antara tiga kelompok perlakuan. Jika terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan Post-hoc multiple comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) untuk melihat lebih jelas letak perbedaan antar kelompok perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui besar penurunan kadar glukosa darah pada tiap-tiap kelompok digunakan paired samples t test (uji t berpasangan). Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Namun, apabila data berbeda (sebaran tidak normal/ sebaran normal tetapi varians berbeda) sehingga tidak memenuhi syarat untuk uji statistik Anova, digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis, dengan batas kemaknaan p < 0,05. Dan jika terdapat perbedaan bermakna maka perbedaan antar kelompok 39 ditentukan lebih lanjut dengan alat uji Post-hoc untuk uji Kruskal-Wallis yaitu Two Independent Samples Test uji Mann-whitney U (Raflizar et al., 2006). 40 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratrium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sebelum dan setelah pemberian perlakuan selama 5 hari dilakukan pengambilan sampel darah tikus putih melalui sinus orbitalis. Kemudian dilakukan penghitungan kadar glukosa darah di Laboratorium Farmasi Universitas Setia Budi. Penelitian mengenai efek pemberian bubuk kedelai putih (Glycine max) terhadap kadar glukosa darah tikus putih menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 4.1 Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Kelompok N Rerata ± Simpangan Baku Sebelum Perlakuan (mg/dl) Rerata ± Simpangan Baku Setelah Perlakuan (mg/dl) Rerata ± Simpangan Baku Penurunan (mg/dl) I 11 79,18 ± 7,92 86,82 ± 7,33 -7,63 ± 6,89 II 11 75,73 ± 7,03 73,63 ± 6,77 2,09 ± 8,24 III 11 76,81 ± 7,93 73,09 ± 8,04 3,64 ± 5,55 keterangan: Kelompok I : kelompok kontrol negatif dimana diberikan aquades sebanyak 5 ml Kelompok II : kelompok perlakuan 1 dimana diberikan 1gr bubuk kedelai putih/ ekor/ hari dalam 5 ml aquades. 40 41 Kelompok III : kelompok perlakuan 2 dimana diberikan 3gr bubuk kedelai putih/ ekor/ hari dalam 5 ml aquades. Perbandingan rerata dari kadar glukosa darah setelah perlakuan selama 5 hari dapat dilihat pada grafik berikut: 90 85 80 Glukosa darah (gr/dl) Pre Test Post Test 75 70 65 I II III Kelompok Gambar 4.1 Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Dari tabel 4.1 dan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa rerata kadar glukosa darah pada kelompok kontrol mengalami kenaikan. Sedangkan rerata kadar glukosa darah kelompok perlakuan dengan dosis 1 dan dosis 2 bubuk kedelai putih (Glycine max) mengalami penurunan. B. Analisis Data Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum perlakuan (GD1) semua kelompok dianalisis dengan uji homogenitas variansi. Didapatkan nilai signifikansi (p) 0,926 sedangkan α<0,05 hal ini menunjukkan bahwa data 42 ketiga kelompok tersebut homogen dan memenuhi syarat uji Oneway ANOVA yang digunakan untuk mengetahui perubahan kadar glukosa darah pada ketiga kelompok perlakuan. Dengan uji Oneway ANOVA diperoleh nilai p sebesar 0,562 yang berarti tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah yang bermakna pada ketiga kelompok sebelum perlakuan (lampiran 1). Uji homogenitas variansi dilakukan pada rerata kadar glukosa darah ketiga kelompok setelah diberikan perlakuan (GD2). Didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0,771 (p> 0,05) yang berarti bahwa data tersebut homogen dan memenuhi syarat uji Oneway ANOVA. Uji Oneway ANOVA diperoleh nilai p sebesar 0,000 yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada rerata ketiga kelompok. Pada uji Oneway ANOVA menyatakan adanya perbedaan yang bermakna, maka analisis kemudian dilanjutkan dengan Posthoc multiple comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah antara masing-masing kelompok perlakuan. Post-hoc multiple comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) diketahui bahwa ada perbedaan rerata penurunan kadar glukosa darah yang bermakna pada kelompok perlakuan dengan aquades terhadap kelompok perlakuan bubuk kedelai putih (Glycine max) dosis 1 dan 2 (lampiran 2). Untuk mengetahui efektifitas perlakuan dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih, maka hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum (GD1) dan setelah perlakuan (GD2) semua kelompok dianalisis dengan Paired Samples t Test (Uji t Berpasangan). 43 Tabel 4.2 Hasil Uji t Berpasangan Kadar Glukosa Darah Sebelum (GD1) dan Sesudah Perlakuan (GD2) Kelompok P Keterangan Signifikansi I 0,004 < 0,05 Signifikan II 0,420 > 0,05 Tidak siginifikan III 0,050 = 0,05 Tidak siginifikan Keterangan : α < 0,05 Kelompok kontrol terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang siginifikan secara statistik. Pada kelompok dengan perlakuan dosis 1 dan dosis 2 didapatkan penurunan kadar glukosa darah yang tidak siginifikan. Akan tetapi dari hasil analisis dengan uji t berpasangan tersebut, diketahui bahwa dosis 2 menurunkan kadar glukosa darah lebih besar secara statistik. 44 BAB V PEMBAHASAN Pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum perlakuan (GD1) dilakukan pada hari pertama.Variasi kadar glukosa darah sebelum perlakuan yang terjadi pada ketiga kelompok tikus putih dapat disebabkan oleh adanya variabel-variabel luar yang mempengaruhi. Hasil uji statistik Oneway ANOVA terhadap kadar glukosa darah sebelum perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna pada rerata semua kelompok (lampiran 1). Dapat disimpulkan bahwa kadar glukosa darah ketiga kelompok sebelum perlakuan tersebut homogen dan keberadaan variabel- variabel luar dapat disingkirkan. Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan setelah lima hari perlakuan dengan aquades, dosis 1, dan dosis 2 bubuk kedelai putih (GD2). Dari hasil uji homogenitas variansi diketahui bahwa dalam tiap kelompok perbedaan perubahan kadar glukosa darah tikus putih tidak signifikan. Dapat dikatakan bahwa efek perlakuan yang diterima tikus putih dalam tiap kelompoknya relatif homogen. Hasil uji statistik Oneway ANOVA terhadap kadar glukosa darah setelah perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata ketiga kelompok. Dari Post-hoc multiple comparisons test uji Least Significance Difference (LSD) diketahui adanya perbedaan rerata penurunan kadar glukosa darah yang bermakna pada kelompok perlakuan dengan aquades terhadap kelompok perlakuan dengan bubuk kedelai putih (lampiran 2). Hal ini dapat dijelaskan dari tabel 4.1 dan gambar 4.1, dimana rerata tikus putih dengan perlakuan aquades mengalami peningkatan kadar glukosa darah, sedangkan rerata 44 45 tikus putih dengan perlakuan bubuk kedelai putih (Glycine max) menunjukkan penurunan pada kadar glukosa darahnya. Kemudian untuk mengetahui efektifitas perlakuan dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih, maka hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum (GD1) dan setelah perlakuan (GD2) semua kelompok dianalisis dengan uji t Berpasangan (tabel 4.2). Glukosa darah pada kelompok perlakuan dengan aquades mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena aquades merupakan kontrol negatif yang tidak memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah.Ditambah dengan stres yang dialami tikus putih akibat pemberian perlakuan selama 5 hari dengan spuit needle feeding, pengambilan darah melalui sinus orbitalis, dan kemungkinan adanya infeksi akibat pengambilan darah tersebut. Stres ini dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah pada tikus putih. Kelompok perlakuan dengan bubuk kedelai putih (Glycine max) dosis 1 gr/ 200 grBB dan 3 gr/ 200grBB menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang tidak signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan (tabel 4.2). Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi disebabkan oleh isoflavon (terutama genestein) yang banyak terdapat di dalam bubuk kedelai putih (Glycine max). Penurunan yang tidak signifikan kemungkinan dipengaruhi oleh mekanisme adaptasi terhadap perubahan kadar glukosa darah oleh tikus putih sehat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu mekanisme adaptasi hormonal. Ketika kadar glukosa darah menurun, hormon glukagon dan tiroid dapat meningkatkannya kembali dengan memacu proses glikogenolisis di 46 dalam liver. Kecepatan absorpsi glukosa di dalam usus juga dapat ditingkatkan oleh hormon tiroid. Ditambah dengan adanya stres yang dialami tikus putih dalam penelitian ini. Katekolamin mempermudah respon fight or flight terhadap stres bersama dengan glukortikoid, growth hormone, dan glukagon. Adanya respon fight or flight ini meningkatkan kadar glukosa darah melalui peningkatan glikogenolisis otot, pada hepar produksi glukosa, glukoneogensis, dan glikogenolisis meningkat sedangkan sintesa glikogen menurun. Dari tabel 4.2 dapat terlihat bahwa bubuk kedelai putih (Glycine max) dengan dosis 3 gr/ 200 grBB mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus putih lebih besar dibanding dengan dosis 1 gr/ 200 grBB. Dosis 1 gr/ 200 grBB sudah merupakan dosis yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Pada dosis yang lebih besar kadar isoflavon dalam bubuk kedelai putih (Glycine max) semakin tinggi, sehingga dapat memberikan efek penurunan yang lebih nyata dari kadar glukosa darah sebelum perlakuan (yang dianggap sebagai kadar glukosa darah normal). Hipoglikemia dapat terjadi apabila kadar glukosa darah <60 mg/dl. Dikatakan hipoglikemia apabila pada manusia terjadi penurunan kadar glukosa darah sebesar 16-46 % dari kadar glukosa darah awal yang normal (70-110 mg/dl). Pada penelitian ini, perlakuan dengan bubuk kedelai putih dosis 1 memberikan rerata penurunan 2,09 mg/dl (3 % dari kadar glukosa darah sebelum perlakuan). Perlakuan dengan bubuk kedelai putih dosis 2 memberikan rerata penurunan 3,64 mg/dl (5 % dari kadar glukosa darah sebelum perlakuan). Penurunan kadar 47 glukosa darah yang didapatkan dalam penelitian ini tidak memberikan reaksi hipoglikemia pada hewan coba yang digunakan. Penelitian Song et al (2002) selama 5 hari menggunakan hewan uji tikus, diketahui bahwa dengan pemberian flavonoid 1 mg/kgBB sudah dapat terjadi penghambatan absorbsi glukosa melalui GLUT2 in vivo sehingga kadar glukosa darah turun sebesar 3%, dan dengan dosis 65 mg/kgBB kadar glukosa darah menjadi 60% dari kadar glukosa darah awal. Hal ini menunjukkan kesesuaian penelitian mengenai efek penurunan kadar glukosa darah oleh kedelai putih (Glycine max) dengan penelitian sebelumnya. Besarnya dosis juga mempengaruhi besarnya penurunan yang dihasilkan. Isoflavon dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui beberapa mekanisme selain menghambat absorbsi glukosa melalui GLUT2 pada usus (Franzon et al., 2004). Wagner et al. (2007) menyatakan bahwa dengan pemberian genestein, terjadi aktivasi dan peningkatan ekspresi peroxisome proliferator– activated receptors (PPARs). Stimulasi PPARs meningkatkan sensitivitas insulin terhadap kenaikan kadar glukosa darah sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa darah (Mezei et al., 2003). Genistein meningkatkan sekresi insulin dan Insulin-Like Growth Factor 1 (IGF-1). IGF-1 merupakan suatu hormon protein polipeptida yang mempunyai struktur yang sama dengan insulin dan efek yang menyerupai insulin, sehingga dapat menstimulasi ambilan glukosa dengan meningkatkan ekspresi transpor glukosa dalam sel (Lane et al., 2002). Efek tersebut didapat dari ikatan IGF-1 dengan reseptor spesifik IGF-1 dan reseptor insulin pada beberapa tipe sel, walaupun ikatan pada reseptor insulin mempunyai 48 afinitas yang lebih rendah dibandingkan ikatan dengan reseptor IGF-1 (Scarth, 2006). Genistein juga dapat meningkatkan dengan cepat sekresi insulin yang distimulasi oleh glukosa / glucose-stimulated insulin secretion (GSIS) pada sel-sel yang menskresi insulin/ insulin-secreting cell lines (INS-1 dan MIN6) serta pada sel islet pankreas (Liu et al., 2006). Melihat beberapa macam mekanisme kerja isoflavon dalam bubuk kedelai putih (Glycine max) yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih dengan kadar glukosa darah normal pada penelitian ini, untuk mengetahui mekanisme yang paling memungkinkan maka masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. 49 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Terdapat efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) yang siginfikan secara statistik pada tikus putih dengan kadar glukosa darah normal. B. Saran Setelah dilakukan penelitian ini, maka peneliti menyarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian mengenai dampak kronis dari konsumsi bubuk kedelai putih (Glycine max) terhadap kadar glukosa darah pada subjek dengan kadar glukosa darah normal. 2. Penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan hewan uji yang lebih tinggi, kemudian diujikan pada manusia, sehingga efek penurunan kadar glukosa darah oleh bubuk kedelai putih (Glycine max) dapat lebih diamati lalu diwaspadai oleh masyarakat. 3. Penggunaan bubuk kedelai putih (Glycine max) sehari-hari oleh masyarakat, hendaknya sesuai dengan takaran dosis yang dianjurkan dan diimbangi dengan konsumsi karbohidrat yang cukup, sehingga efek penurunan kadar glukosa darah dapat dicegah. 49 50 DAFTAR PUSTAKA Abdalla U.A. 2004. Mencintai Hidup, Mencintai http://islamlib.com/id/artikel/mencintai-hidup-mencintai-tubuh/ 2009). Tubuh. (4 Mei Arif. H. 2008. Aspek Produksi Budidaya Kedelai. http://anekaplanta.wordpress. com/2008/01/23/aspek-produksi-budidaya-kedelai/ (8 Maret 2009). Barnes S. 2003. Evolution of the health benefits of soy isoflavones. Proc Soc Exp Biol. 217:386 –92. Baskara A.W. 2008. Keajaiban Susu Kedelai dan Cara Pembuatannya. Edisi ke4. Jakarta: Kreasiwarna, hal: 20-5. Borchers T.A.R.., Park J.S., Chew B.P., McGuire M.K., Fournier L.R.., Beerman K.A. 2006. Soy isoflavones modulate immune function in healthy postmenopausal women. Am J Clin Nutr. 83:1118 –25. Busby M.G., Jeffcoa A.R., Bloedon L.T., Koch M.A., Black T., Dix K.J, Heizer W.D., Thomas B.F., Hill J.M., Crowel J.A.l,Zeisel S.H. 2002. Clinical characteristics and pharmacokinetics of purified soy isoflavones: singledose administration to healthy men. Am J Clin Nutr. 75 (1): 126. Carpy A. 2003. Carbohydrates.http://www.visionlearning.com/library/ module _viewer.php?mid=61 (8 Mei 2009). Cheng S.Y., Shaw N.S., Tsai K.S., Chen C.Y. 2004. The hypoglycemic effects of soy isoflavones on postmenopausal women. Journal of Women's Health. 13(10): 1080-86. Cryer P.E., Davis S.N., Shamoon H. 2003. Hypoglycemia in Diabetes. Diacare. 26(6): 1902-12. Daz D.Y. 2007. Kedelai Sumber Makanan dengan Sejuta Manfaat Bagi Kesehatan Tubuh. http://microsite.detik.com/metabolis-indonesia/ webtorial.html (12 Mei 2009). Fahri., Chasbi., Sutarno., Listyawati., Shanti. 2005. Kadar Glukosa Darah dan Kolesterol Total Darah tikus Putih (Rattus norvegicus L.,) Hiperglikemik Setelah Pemberian Ekstrak Metanol Akar Meniran (Phillanthus niruri L.). Biofarmasi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3:3. 50 51 Franzon R., Chiarani F., Mendes R.H., Klein A.B., Wyse A.T.S. 2004. Dietary soy prevents brain Na+, K+-ATPase reduction in streptozotocin diabetic rats. Elsevier. 69:117-12. Gloyn A.L., Nordam K., Willemsen M.A.A.P., Ellard S., Lam W.W.K., Campbell I.W., Midgley P., Shiota C., Buettger C., Magnuson M.A., Matschinsky F.M., Hattersley A.T. 2003. Insights Into the Biochemical and Genetic Basis of Glucokinase Activation From Naturally Occurring Hypoglycemia Mutations. Diabetes. 52(9). 2433-40. Guyton A.C. 2000. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-10. Jakarta: EGC, hal 1221-31. Hanachi P., Golkho P., Ahmadi A., Barantalab F. 2007. The effect of soymilk on alkaline phosphatase, total antioxidant levels, and vasomotor symptoms in menopause women. Iranian Journal of Basic Medical Sciences. 10(3): 162-68. Harmita, Maksum R. 2005. Analisa Hayati. Cetakan ke-2. Farmasi FMIPA Univesitas Indonesia. Jakarta, hal: 56. Harna. 2008. Hiperglikemia. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/ hiperglikemia/ (23 Juli 2009). Ho S.C., Guldan G.S.,Yu J.W.R., Tse M.M., Sham A., Cheng J. 2005. A prospective study of the effects of 1-year calcium-fortified soy milk supplementation on dietary calcium intake and bone health in chinese adolescent girls aged 14 to 16. Osteoporos Int. 16: 1907–16. Indriani D. 2004. Faktor Pencetus Diabetes Mellitus (DM) Hasil Pemeriksaan pada Pasien di Laboratorium Poliklinik Rumah Bersalin Muhammadiyah Desa Sumberpucung Kecamatan Sumberpucung Kabupaten Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. Thesis. Jacobsen B.K., Knutsen S.F., Fraser G.E. 2004. Does high soy milk intake reduce prostate cancer incidence?. Cancer Causes dan Control. 9:553-7. Kusdiarjo S. dan Sunarto. 2002. TTG.Membuat Kerupuk Singkong & Keripik Kedelai. Edisi ke-1. Jakarta: Kanisius, hal:10. Lane R.H., Dvorak B., MacLennan N.K., Dvorakova K., Halpern M.D., Pham T.D., Philipps A.F.2002. IGF alters jejunal glucose transporter expression and serum glucose levels in immature rats. American Journal of Physiology. Regulatory, Integrative and Comparative Physiology. 283: 1450–60. 52 Lee J.H., Renita M., Ronald J., Fiorito., Martin S.K., Schwartz S.J., Vodovotz Y. 2004. Isoflavone characterization and antioxidant activity of ohio soybeans. J. Agric. Food Chem. 52 : 2647-51. Lili. 2008. Nutritional Food Safety. www.lily.staff.ugm.ac.id/dl/index.php?file (23 Juli 2009). Lindner V., Kim S.K., Karas R.H. 2004. Increased expression of estrogen receptor beta mRNA in male blood vessels after vascular injury. Circ Res.83: 224 – 9. Liu D., Zhen W., Yang Z., Carter J.D., Si H., Reynolds1 K.A. 2006. Genistein acutely stimulates insulin secretion in pancreatic b-cells through a cAMPdependent protein kinase pathway. 55(4): 1043-50. Liza. 2007. Hipoglikemia. http : // drlizakedokteran.blogspot.com / 2007 / 12 / hipoglikemia.html (14 Juli 2009). Mardon J., Mathey J., Coulibaly K.S., Puel C., Davico M.J., Lebecque P., Horcajada M.N., Coxam V. 2008. Influence of Lifelong Soy Isoflavones Consumption on Bone Mass in The Rat. Exp Biol Med. 233: 229-37. Mashhudi A.M. 2004. Sehat dengan Berpuasa. http://www. suaramerdeka. com/ harian/ 0411/ 07/ nas07.htm (13 April 2009) Mezei O., Banz W.J., Steger R.W., Peluso M.R., Winters T.A, Shay N. 2003. Soy isoflavones exert antidiabetic and hypolipidemic effects through the PPAR pathways in obese zucker rats and murine RAW 264.7 Cells. J. Nutr. 133: 1238–43. Mitchell J.H. dan Collins A.R. 1999. Effects of a soy milk supplement on plasma cholesterol levels and oxidative DNA damage in men . a pilot study. Eur J Nutr. 38:143–8. Morito K., Hirose T., Kinjo J., Hirakawa T., Okawa M., Nohara T., Ogawa S., Inoue S., Muramatsu M., Masamune Y. 2001. Interaction of phytoestrogens with estrogen receptors α and ß. Biol. Pharm. Bull. 24(4): 351—56 Murphy P. A., Song T., Buseman G., Barua K., Beecher G.R., Trainer D., Holden J. Isoflavones in retail and institutional soy foods. J. Agric. Food Chem. 1999. 47: 2697-2704. Murray R.K., Granner D.K., Mayes P.A. 2003. Biokimia Harper. Edisi ke-25. Jakarta: EGC, hal: 145-170. 53 Nelson L. 2003. Kebaikan Herbal Suplemen. http://www. articlesnatch. com/ id/ tag/supplements (4Mei 2009). Nike. 2009. Mengenal Hipoglikemia. http://n1ck-201.blog.com/page/2/ (15 Juli 2009) Nurhadi R. 2008. Menyongsong Era Baru Kedokteran Nuklir Di Indonesia. http:// berita iptek. istecs. Org / menyongsong- era- baru- kedokteran- nuklir- diindonesia/ (23 Juli 2009). Pepper G. 2007. Insulin. http://yourtotalhealth.ivillage.com/insulin.html#1 (9 Maret 2009). Petrus H.G. 1999. Perbedaan Hasil Laboratorium. http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg01615.html ( 9 Maret 2009). Purwanto E.R. 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin. http://ekapunk.blogspot.com/2009/03/tumbang-janin.html (21 Juli 2009). Putranti K.H.A. 2008. Analisis preferensi dan persepsi konsumen susu khusus diabetes Indriani. Institut Pertanian Bogor. Thesis. Putri A. 2007. Hipoglikemia. http : / / sweetpee. wordpress. com/ 2007 /03 /02/ hipoglikemia / (14 Juli 2009). Raflizar, Adimunca C., Tuminah S. 2006. Dekok daun paliasa (Kleinhovia hospita Linn) sebagai obat radang hati akut. Cermin Dunia Kedokteran.150:10-14. Rivas M., Garay R.P., Escanero J.F., Cia P., Alda J.O. 2002. Soy milk lowers blood pressure in men and women with mild to moderate essential hypertension. J.Nutr. 132: 1900-02. Ross J.A. dan Kasum C.M. 2002. Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic effects, and safety. Annu Rev Nutr. 22: 19 –34. Rowe J.W., Young J.B., Minaker K.L., Stevens A.L., Pallotta J., and Landsberg L. 2002. Effect of insulin and glucose infusions on sympathetic nervous system activity in normal man. Am Diabetes Assoc.159:567-74. Scarth J. 2006. "Modulation of the growth hormone-insulin-like growth factor (GH-IGF) axis by pharmaceutical, nutraceutical and environmental xenobiotics: an emerging role for xenobiotic-metabolizing enzymes and the transcription factors regulating their expression. A review". Xenobiotica. 36(2-3): 119–218. 54 Sjabana D. 2006. Uji Toksisitas Akut. Indonesia, Universitas Airlangga. Thesis. Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press, Jakarta. pp : 37-8 Soegondo S.2007. Kontrol Diabetes - Faktor Risiko agar Tetap Sehat. http://www.alatkesehatan.com/articles.php?articles_id=33 (9 Maret 2009). Song J., Kwon O., Chen S., Daruwala R., Eck P., Park J.B.,Levine M. 2002. Flavonoid inhibition of sodium-dependent vitamin C transporter 1 (SVCT1) and glucose transporter isoform 2 (GLUT2), intestinal transporters for vitamin C and glucose. JBC. 277 (18): 15252–60. Suwandi U. 2006. Uji pirogenitas dengan kelinci dan limulus amebocyt lysate. Cermin Dunia Kedokteran. 52:20-2. Syamsir E. 2008. Karbohidrat. http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/1799308-karbohidrat (8 Mei 2009). Wagner J., Zhang L., Shadoan M., Kavanagh K., Chen H., Tresnasari K., Kaplan J., Adams M. 2007. Effects of soy protein and isoflavones on insulin resistance and adiponectin in male monkeys. 57: 24-31. Wahjuda. 2009. Forum SPSS transformasi anova. http://milis.spss.co.id/pipermail/forum-spss_milis.spss.co.id/2009January/000023. html (7 Mei 2009). Walker H.A., Dean T.S., Sanders T.A.B., Jackson G., Ritter J.M., Chowienczyk P. J. 2001. Human forearm vasculature with similar potency to 17ßestradiol. Circulation. 103: 258-62 Wickens A. P. 2001. Aging and the free radical theory. Respir. Physiol. 128: 37991. Wildan Y. 2001. Karbohidrat. http://www2.kompas.com/kompascetak/0106/29/IPTEK/karb35.htm (9Maret 2009). Wijayakusuma, H. 2007. Penyembuhan dengan Kedelai. Edisi ke-5. Jakarta: Sarana Pustaka Prima, hal: 34. Winto. 2009. Peranan Isoflavon dan Kacang Kedelai. http://www.smallcrab.com/kesehatan/25-healthy/504- peranan- isoflavondan-kacang-kedelai (12 Mei 2009). Yusmarini, R.E. 2004. Evaluasi mutu soygurt yang dibuat dengan penambahan beberapa jenis gula.. Jurnal Natur Indonesia. 6(2): 104-10.