ISBN: 979-3450-04-5 PROSIDING SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN Bogor, 2003 PENGKAJIAN TEKNOLOGI PEMBENIHAN GURAMI SKALA KECIL Diatri Krissunari, Yuli Astuti dan Anang Muhariyanto ABSTRAK Ketersediaan benih ikan secara berkesinambungan dengan jenis, jumlah dan mutu yang terjamin pengadaannya merupakan faktor penting dalam usaha budidaya sampai saat ini. Pembenihan ikan gurami secara tradisional tingkat kematiannya masih cukup tinggi, untuk menekan tingkat kematian tersebut diperlukan suatu teknik pembenihan yang efektif, salah satu caranya adalah dengan “pencucian” telur ikan dan penetasan sistem terkontrol dengan penambahan oksigen terlarut dalam air melalui aerator juga menjaga kestabilan suhu dengan melakukan pergantian air dalam wadah. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Bendosewu, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar dengan induk ikan yang berbeda umurnya (7, 8, 9 tahun) dan kepadatan telur dalam wadah 2000 dan 3000 butir atau 85-127 butir/l. Adapun tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh daya tetas telur yang cukup tinggi. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (sintasan) pada pengkajian (91,5 – 97,7%) lebih baik dibandingkan dengan petani (72,8 – 82,5%), untuk kepadatan yang terbaik dalam penetasan adalah 2.000 butir/wadah (94,4 – 97,7%). Sedangkan berdasarkan umur terlihat tidak berbeda antara umur 7, 8 dan 9 tahun. Sedangkan interaksi positif terjadi pada umur 7 dan 8 tahun dengan kepadatan 2.000 butir/wadah (sintasan 97,7% dan 97,0%). Kata Kunci : benih, pencucian, penetasan terkontrol, sintasan ABSTRACT The sustainable availability of guaranteed-stock of gouramy-seeds in species, quantity, and quality is, so far, an important factor in its culture. By traditional culture, the mortality-rate is still so high; accordingly, in order to minimize such the mortality-rate there should be and effective seeding technique. One of which is the eggpurification in controlled hatchery system by increasing the concentration of dissolved oxygen into the water using aerator as well as to keep the temperature constant. The assessment was conducted in Bendosewu village, sub-district Talun, Blitar by using various ages of parent stock of gouramy i.e. of 7, 8, and 9 years with egg-density of 2,000 – 3,000 eggs or 85-127 eggs/l. The objective of the activity was to obtain a high egg-hatching capacity. The result of the assessment shows that the survival-rate through assessment is 91,5 to 97,7% better than the one done by farmers. For hatchery, the best density is 2,000 eggs/place (94,4 to 97,7%). There is no different effect based on the various ages (7, 8, or 9 years), while the positive interaction occurs at the age of 7 and 8 years with egg-density of 2,000 eggs/place (the survival-rate are 97,7% and 97,0%). Key words : seed, purification, controlled hatchery, survival rate. PENDAHULUAN Ikan gurami (Osphronemous gouramy) telah dikenalkan sejak tahun 1802 sebagai ikan konsumsi dan ikan hias (Axelrod dan Vinkler, 1975). Tekstur dagingnya yang kompak dengan rasa yang gurih dan lezat membuat ikan ini menjadi salah satu ikan konsumsi air tawar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan harga relatif stabil dibandingkan dengan jenis ikan lainnya, dan karena memiliki pertumbuhan yang relatif lambat maka budidaya ikan ini dapat diusahakan secara segmentasi intensif yang bisa dilakukan beberapa tahap yaitu tahap telur, daun kelor (1-3 cm), dim (3-5 cm), korek api (5-7 cm), rokok (10-12 ekor/kg), tempelan (4-6 ekor/kg) dan super (0,5-1 ekor/kg), dengan masing-masing tahap memerlukan waktu 2-4 bulan, sedangkan pilihan segmen tergantung modal, jika modalnya kuat budidaya bisa berlanjut sampai ukuran konsumsi. Di beberapa daerah seperti di Purworejo dan Purwokerto (Jawa Tengah), Parung dan Tasikmalaya (Jawa Barat), Blitar (Jawa Timur) dan Padang (Sumatera Barat) gurami merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan. Akan tetapi pengembangan produksi komoditas tersebut selalu terkendala oleh kekurangan benih, baik dalam jumlah maupun mutu. Karena itu usaha peningkatan produksi benih dengan mutu yang baik serta sistem distribusi yang tepat sampai di tebar di perairan merupakan faktor penentu dalam peningkatan produksi budidaya sehingga pengadaannya mutlak perlu dijamin baik jenis, jumlah dan mutunya. Pembenihan ikan gurami yang dilakukan secara tradisional tingkat kematiannya masih cukup tinggi sekitar 50% (Insan, 2000 dan Trubus, 2001), oleh karena itu diperlukan suatu teknik pembenihan yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu caranya adalah dengan penetasan sistem wadah terkontrol sehingga telur dan benih ikan akan mendapat perlakuan dan pengamatan secara intensif. Pengkajian yang dilakukan ini bertujuan untuk memperoleh daya tetas (persentase penetasan) telur yang lebih tinggi dan mampu meningkatkan produktivitas pembenihan ikan gurami. BAHAN DAN METODOLOGI Pengkajian ini dilaksanakan di kolam milik petani yang terletak di Desa Bendosewu, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar pada bulan Maret sampai bulan Juli 2002, dengan menggunakan ember sebagai wadah penetasan telur dan aerator sebagai penambah oksigen dalam air. Sebelum proses pemijahan ikan gurami dilaksanakan, perlu dilakukan perbaikan kolam pemijahan, pipa saluran air yang rusak, kedalam kolam. Setelah itu mempersiapkan induk ikan gurami dengan memilih induk ikan yang baik/tidak cacat, memiliki susunan sisik teratur, warna dominan dan cerah (ikan betina), sedangkan ikan jantan bagian perut dekat anus lancip, gerakannya lincah dan bercula warnanya kehitam-hitaman, kuat dan tangkas. Setelah semua bahan dan peralatan telah siap, maka induk ikan gurami yang telah matang kelamin dimasukkan ke dalam kolam pemeliharaan dan ditunggu selama 4 sampai 6 minggu dan selama ini induk ikan diberi pakan yang bergizi berupa pakan pokok sebesar 10% dari berat badan ikan (daun tales, pepaya, kangkung, dll.), sedangkan pakan tambahan (jagung muda rebus/grontol dan pelet) diberikan sebesar 1-1,5% dari berat badan ikan. Apabila induk ikan siap memijah masukkan ke kolam pemijahan dan ditunggu beberapa waktu, lalu periksa sarang dengan cara menusukkan lidi, bila ada lapisan minyak keluar dari sarang berarti induk ikan telah bertelur.Sarang yang berisi telur dapat diangkat dari kolam kemudian telur dalam sarang diambil secara hati-hati dengan menggunakan ember plastik yang berisi air, kemudian telur dipisahkan dari sarang ijuk secara hati-hati agar tidak rusak dan dibersihkan dari kotoran yang menempel lalu dipilih telur yang baik (berwarna kuning cerah dan bening sedangkan yang kurang baik berwarna putih keruh/susu) kemudian telur dicuci dari lemak yang meliputinya, dengan cara memindahkan dari wadah yang satu ke wadah lain yang berisi air bersih (dilakukan 3 kali), bisa juga dengan menyemprotkan air ke telur. Setelah itu telur dimasukkan dalam ember yang berisi air bersih sekitar 25,5 liter dan ditetesi metyl Blue (anti bakteri). Juga diberi aerator (penambah oksigen dalam air). Lalu dilakukan pemisahan berdasarkan kelompok umur (7,8 dan 9 tahun) dan kepadatan telur (2.000 dan 3.000 butir atau 85 butir/liter dan 127 butir/liter serta diulang 2 kali. Pengamatan telur dilakukan setiap hari, jumlah telur yang mati atau rusak dihitung dan dibuang supaya tidak mengotori air dalam wadah penetasan dan setiap 2 hari air diganti untuk menjaga suhu air. Perhitungan akhir dilakukan setelah 10 hari pemeliharaan yaitu setelah larva menjadi bentuk ikan sempurna. Dan untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami berdasarkan rumus Effendi (1979), sedangkan data yang diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi sederhana, sedangkan untuk melihat perbedaan rata-rata mortalitas telur dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam Rancang Kelompok Faktorial. Untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan digunakan uji BNT dan hasil pengkajian yang ada disajikan dalam bentuk deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan sementara kegiatan penetasan telur ikan gurami dalam wadah yang terkontrol (pencucian telur, pemberian oksigen melalui aerator dan meletakkan wadah dalam ruangan juga dilakukan penggantian air untuk menstabilkan suhu air), hasilnya memperlihatkan bahwa pada wadah dengan kepadatan 3000 butir tingkat kematian (mortalitas) tertinggi terjadi di hari pertama, keadaan ini diduga disebabkan jumlah telur yang lebih padat membuat telur tersebut saling menempel yang dapat mengganggu proses penetasan sehingga telur menjadi busuk/mati, selain itu jumlah oksigen terlarut dalam air jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan wadah kepadatan 2000 butir (terlihat adanya kompetisi ruang dan oksigen terlarut (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah rata-rata telur ikan gurami yang mati/rusak dalam wadah terkontrol selama pengamatan Perlakuan Kepadatan Umur (telur/butir) (tahun) 7 2000 8 9 3000 7 8 9 Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 4 11 50 14 13 4 20 15 26 2 6 1 2 3 - 2 3 25 3 4 2 1 2 3 1 2 1 182 183 186 10 18 11 4 8 6 1 10 5 8 3 5 20 2 1 15 4 9 3 1 8 2 7 Dari analisis kelangsungan hidup (sintasan) (Tabel 2) menunjukkan bahwa pengaruh pencucian dan pemberian aerasi dengan aerator menghasilkan prosentase kelangsungan hidup larva (91,47 – 97,71%) yang lebih baik dibandingkan yang tanpa pencucian dan pemberian aerasi (perlakuan petani dengan sintasan 72,82 – 82,51%). Keadaan ini sama dengan hasil penelitian Renny (1976), di mana penetasan telur gurami dengan pencucian dan aerasi sintasannya 95,22%, sedangkan tanpa pencucian dan tanpa aerasi sebesar 75,50%. Kondisi ini terjadi diduga karena adanya lemak yang menutupi permukaan air sehingga menyebabkan penetrasi oksigen ke dalam air berkurang. Selain itu telur yang tidak dicuci terdapat partikel bahan organik (lemak) yang merupakan salah satu penyebab tidak menetasnya telur ikan yang masak dan walaupun telah dibuahi dengan baik (Sumarsini, 1981), selain dari itu kurangnya oksigen terlarut dalam air (Djajadireja, et al, 1980) secara tidak langsung mempengaruhi proses penetasan telur ikan gurami. Renny (1976) menambahkan bahwa perlakuan pencucian lebih penting daripada pemberian aerasi, karena walaupun aerasi diberikan tetapi larva tidak dapat memanfaatkannya karena insangnya tertutup oleh lemak atau partikel-partikel tanah, dengan demikian aerasi sebaiknya diberikan setelah pencucian dilakukan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Tabel 2. Nilai rata-rata sintasan Telur Ikan Gurami selama Pengamatan (%) Umur (tahun) 7 8 9 Perlakuan Pengkajian Petani Pengkajian Petani Pengkajian Petani Kepadatan (butir) 2000 3000 97,71 c 92,43 c 82,51 b 75,88 97,01 c 92,43 bc 81,95 ab 73,41 a 94,36 91,47 b 80,54a 72,82 a Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (P < 0,05) menurut Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Sedangkan berdasarkan hasil uji BNT (P < 0,05) terhadap kelangsungan hidup ternyata perbedaan tingkat kepadatan 2000 butir wadah (89,01%) dengan 3000 butir/wadah (83,15%) berbeda sangat nyata baik pada perlakuan pengkajian maupun petani, keadaan ini diduga karena ketersediaan akan oksigen terlarut dalam air lebih banyak pada wadah dengan kepadatan 2000 butir. Demikian pula ruang wadah lebih luas, hal ini sesuai menurut pendapatan Woynorivoch & Horvath (1980) dalam Insan (2000) bahwa faktor penting yang mempengaruhi penetasan telur selain suhu adalah oksigen berkadar tinggi, sedangkan menurut Hatimah et al (1997) kandungan oksigen terlarut dalam wadah penetasan yang berkisar 8,5 – 11,8 mg/l dapat menghasilkan penetasan tinggi dan suhu air media dijaga agar tetap pada kisaran 24-28OC untuk proses penetasan dan pertumbuhannya, sedangkan menurut Bitter et al (1989) suhu yang sesuai untuk penetasan berkisar 27-29OC. Pengujian terhadap jumlah telur ikan yang mati menunjukkan bahwa perbedaan umur induk ikan gurami yang dipergunakan baik pada pengkajian maupun petani tidak berbeda nyata hal ini diduga karena umur induk ikan tersebut masih termasuk kisaran umur yang produktif seperti pendapat Sutomo et al (2001) dan Trubus (2001), umur induk yang digunakan dalam pembenihan ikan gurami umur produktif mulai umur 5 tahun dengan bobot 4-5 kg, sedangkan menurut Insan (2000) induk ikan yang digunakan harus berbobot minimal 2 kg (kira-kira umur 3 tahun) dan menurut informasi BIP Banjarbaru (1983) induk ikan yang baik untuk ikan betina dan jantan adalah umur 3-7 tahun. Dan hasil analisis sidik ragam ternyata ada interaksi antara umur induk ikan yang digunakan dengan kepadatan telur ikan dalam wadah, dan hasil pengkajian menunjukkan interaksi positif yang menghasilkan sintasan yang tinggi (97,7 dan 97.0%) terjadi pada umur induk ikan 7 dan 8 tahun dengan kepadatan 2000 butir/wadah, keadaan ini seperti telah disebutkan di atas bahwa umur 7 dan 8 tahun merupakan umur yang produktif sedangkan kepadatan 2000 butir merupakan kepadatan yang tidak terlalu padat dalam wadah sehingga jumlah telur yang mati /rusak tidak banyak dalam proses penetasan tersebut KESIMPULAN DAN SARAN 1. Perlakuan pencucian telur dan pemberian aerasi melalui aerator berpengaruh sangat nyata terhadap kelangsungan hidup larva gurami (91,5 – 97,7%). 2. Kepadatan telur 3000 telur/wadah sebagian besar rusak/mati di hari pertama dan kepadatan yang terbaik adalah 2000 butir/wadah dengan sintasan 94,4 – 97,7%. 3. Umur induk ikan gurami yang digunakan (7, 8 dan 9 tahun) ternyata tidak berbeda nyata. 4. Adanya interaksi positif antara umur induk ikan (7, 8 tahun) dan kepadatan telur 2000 butir/23,5 liter air. 5. Secara teknis dan ekonomis pembenihan gurami dengan pencucian telur dan aerasi layak direkomendasikan kepada petani ikan. 6. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut tentang kisaran umur induk yang dipergunakan dalam proses pembenihan. DAFTAR PUSTAKA Ardiwinata, R.D. 1981. Pemelihraan Gurami Seri Pemilihan Ikan. Jilid III. Cetakan ke 3. Penerbit Sumur Bandung. Bandung. Axefrod, H.R. and W.V. Vinkler. 1975. Exotic Tropical Fishes Encylopedia of Tropical Fishes TFH Publication Inc. Correlison AV. New ork P-108-109. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru. 1983. Pemijahan dan Pembenihan Beberapa Jenis Ikan Air Tawar. BIP Banjarbaru, 26 halaman. Bitter. A., Koppor, R., Geisler, R. dan Patanakamjorn. 1989. Usaha-Usaha meningkatkan potensi budidaya produktifitas dan pertumbuhan ikan gurame. (Osphronemous gouramy. Anabantoidae). Asia Tenggara 151-174 Dalam Bitter A. (Ed) Budidaya Air. Yayasn Obor Indonesia Jakarta. 335 halaman. Djajadireja, R., Z. Jangkaru dan S. Oemiarso, 1980. Mekanisasi Dalam Usaha Peningkatan Daya Guna Air Tawar Untuk Budidaya Ikan Secara Intensif. Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Bogor. Effendi. M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama Yayasn Dewi Sri, Bogor. Falconer, D.S. 1986. Introduction to quantitative genetics Longnan London and New York. Hatimah, S. dan Heruwati, E.S. 1997. Pertumbuhan dan Sintasan benih gurame dalam pemeliharaan sistem resirkulasi dengan pemberian pakan berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III No. 1 : 73-70. Hoar, W.S. dan P.T. Rundell, 1969. Fish Physiology Academic Press New York. Insan, 1. 2000. Teknik Pembenihan Ikan Gurami dengan Media dan Pakan yang Terkontrol. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 6 (:2) Puslitbangkan. Halaman: 16-20 Nugroho, E., H. Amarulloh dan F. Sukardi. 2001. Pemuliaan dan Prospek Pembenihan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 7(14) : Halaman : 18-23. Renny, K.H. 1980. Pengaruh Pencucian dan Pemberian Aerasi Telur Terhadap Produksi Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy, Lac) dalam Prosiding Seminar Nasional Pembenihan Ikan dan Udang 5-7 Juli 1988. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dengan Universitas Pajajaran. Halaman : 411-421. Samsudin, A.R. 1982. Pengantar Perikanan. P.T. Karya Nusantara. Jakarta.. Solim. 1992. Mengenal gurami techner (04) 1 : 23-25. Stickney, R.R. 1979. Principle of Warm Water Aquaculture. Jhon Willey and Sands Toronto 161-221, Sudarto. 1989. Porselen, Blausafir dan Paris yang bertelur. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9(2): 1-2. Sutomo, A. Wahyudi dan A. Puspitasari 2001. Teknik Penetasan Telur Gurami Secara Terkontrol di Aquarium. Buletin Teknik Pertanian 6(2): Halaman: 55-57. Sumarsini, W. 1981. Pengaruh Kekeruhan Terhadap Penetasan Telur dan Toleransi Larva Ikan Nilam. Karya Ilmiah, Faperik – IPB Bogor. Trubus. 2001. Benihkan Gurami di Akuarium. Trubus 380 – Juli 2001/XXXII. Halaman: 29-30.