BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik merupakan paradigma baru yang berkembang di Indonesia saat ini. Menurut Tascherau dan Campos yang dikutip Thoha dalam Ambar Teguh (2011:22), tata pemerintahan yang baik (terjemahan dari good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu memiliki tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat tersebut tidak sebanding atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan yang baik.Peranan pemerintah yang saat ini telah beralih dari government ke governance, dengan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat. Beberapa kata kunci pelayanan publik prima anatar lain, pedoman penyelenggaraan, standar pelayanan, transparansi, akuntabilitas dan standar pelayanan minimal. Pelayanan publik prima yang berkualitas merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik atau good governance. Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang besar maka diperlukan sebuah langkah startegis untuk memulai pembaharuan praktik governance. Pengembangan good governance akan dirasa lebih mudah jika dimulai dari sektor pelayanan publik. Pelayanan publik dipilih sebagai penggerak utama dan entry point karena upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik praktik good 1 governance dalam pelayanan publik dapat dilakukan secara lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dapat diterjemahkan secara relativ lebih mudah dalam penyelenggaraan layanan publik. Mengembangkan sistem pelayanan publik dapat dilakukan secara relativ lebih mudah daripada melembagakan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan aspek pemerintahan (Dwiyanto, 2008: 3).Pemilihan reformasi pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dinilai strategis karena pelayanan publik dianggap penting oleh semua sektor dari semua unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Di dalam good governance itu sendiri terkandung beberapa prinsipprinsip untuk menunjang pelaksanaan good governance. United Nation Development Program dalam Syakrani (2009 ; 132) mengkalsifikasikan prinsipprinsip good governance menjadi 9 prinsip yaitu: 1. Prinsip partisipasi 2. Prinsip rule of law 3. Prinsip transparansi 4. Prinsip responsiveness 5. Prinsip orientasi consensus 6. Prinsip kesetaraan 7. Prinsip efektivitas dan efisiensi 8. Prinsip akuntabilitas 9. Dan prinsip visi strategik Salah satu prinsip terpenting dari yang telah disebutkan di atas adalah prinsip transparansi. Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan 2 menjadi semakin penting sejalan dengan semakin kuatnya keinginan untuk mengembangkan mensyaratkan praktik adanya good governance. transparansi dalam Praktik proses good governance penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Pemerintah dituntut untuk terbuka terhadap masyarakat mengenai berbagai informasi dalam penyelenggaraan Sumiyati (2009:4) Penyelenggaraan pemerintahannya. Menurut Salehuddin dalam pemerintahan transparansi pada dasarnya membuka ruang kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi, terutama yang berhubungan dengan publik needs. Transparansi masih menjadi barang mewah sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Padahal transparansi menjadi salah satu ukuran penting dari good governance. Governance dinilai baik atau buruk, salah satunya ditentukan oleh tingkat transparansi di dalam pemerintahan (Dwiyanto, 2009:226). Transparansi tidak hanya dianggap penting dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi juga dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Warga seringkali tidak memiliki akses terhadap informasi mengenai berbagai hal yang terkait dengan pelayanan publik yang mereka perlukan (Dwiyanto, 2008:231). Transparansi harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen pelayanan publik, meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/ pengendalian dan laporan hasil kinerjanya. Transparansi hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan pelayanan publik karena kepastian pelayanan bagi masyarakat umum yang memerlukan dan yang berhak atas pelayanan. Sebagaimana diketahui bahwa agenda pemerintah saat ini adalah melaksanakan reformasi birokrasi, yaitu melakukan perubahan secara mendasar 3 dalam organisasi pemerintah atau birokrasi selalu menghadapi lingkungan yang berubah sehingga perlu melakukan adaptasi dan antisipasi agar dapat memberikan pelayanan terbaik. Dalam era reformasi yang kini sedang dijalankan dalam aspek yang bersentuhan dengan publik, aspek transparansi sudah menjadi suatu kebutuhan. Aspek transparansi dianggap penting karena menunjuk pada suatu keadaan di mana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan publik bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholders yang membutuhkan. Jika segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan publik seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah dilakukan dan dipahami oleh publik, maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai memiliki transparansi yang tinggi. Banyak pelayanan publik yang persyaratannya tidak diketahui secara pasti oleh warga pengguna. Para penyelenggara seringkali merasa tidak bertanggungjawab untuk menyebarluaskan informasi mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pengguna. Mereka menganggap bahwa mengetahui persyaratan pelayanan sepenuhnya menjadi urusan pengguna layanan, bukan menjadi bagian dari tanggung jawab dan peran mereka sebagai penyelenggara layanan. Kalaupun mereka menganggap perlu menjelaskan persyaratan pelayanan, mereka cukup melakukannya dengan menempel pengumuman di papan tulis yang terdapat di ruang tunggu atau di sekitar tempat penyelenggaraan layanan (Dwiyanto, 2008: 237). 4 Pada kenyataannya, para pengguna sering kali tidak mengetahuinya karena mereka tidak bisa membaca, memahami atau bahkan tidak melihat papan pengumumanyang ada. Karena itu, untuk hal-hal yang sangat penting seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan dalam proses pelayanan para petugas pemberi pelayanan perlu menjelaskannya kembali, atau setidaktidaknya mengecek kembali ketika berinteraksi dengan para pengguna. Menjelaskan kepada para pengguna mengenai berbagai aspek penting dalam proses pelayanan publik merupakan kewajiban pemberi pelayanan (Dwiyanto, 2008: 237). Selain upaya dari pihak penyelenggara, dalam mewujudkan pelayanan yang transparan juga dibutuhkan peran aktif dari masyarakat ataupun pihak yang dilayani untuk cepat tanggap dalam memahami berbagai persyaratan pelayanan ataupun prosedur pelayanan. Dengan adanya berbagai permasalahan pelayanan publik di atas sehingga pemerintah mengeluarkan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Langkah ini merupakan upaya strategis dalam menerapkan prinsip transparansi dalam berbagai kegiatan pemerintahan, peraturan ini merupakan upaya dari pemerintah untuk mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta terciptanya tata kepemerintahan yang baik. Perwujudan dari upaya pemerintah dalam menciptakan pelayanan publik yang transparan adalah dengan diterapkannya e-government di berbagai instansi ataupun lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah. Seperti yang dijelaskan dalam Indrajit (2005:3), Konsep E-Government bukalah inisiatif yang mudah dan murah. Sebelum memutuskan untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang sangat besar, harus dimengerti 5 terlebih dahulu latar belakang apa yang menyebabkan inisiatif e-government perlu (atau tidak) untuk diimplementasikan. E-Government bukanlah sebuah obat atau jalan pintas menuju perbaikan atau pertumbuhan ekonomi yang signifikan secara cepat, atau pencapaian efisiensi kinerja pemerintahan dalam waktu singkat, atau pembentukan mekanisme pemerintahan yang bersih dan transparan, e-government adalah sarana atau alat untuk menuju kepada obyektif-obyektif tersebut. Salah satu bentuk e-government yang telah diterapkan pemerintah adalah aplikasi e-procurement, suatu sistem pengadaan barang dan jasa publik yang dikelola secara elektronik berbasi web. Pertimbangan yang mendasari kebijakan ini adalah kurang efisiennya sistem pengadaan barang dan jasa secara manual seperti yang selama ini dilakukan sebelum diterapkannya eprocurement. Selain tidak efisien, kelemahan dari pengadaan konfensional yaitu kurang transparan, praktik pengadaan barang dan jasa secara manual juga penuh dengan praktik korupsi dan kolusi oleh oknum pejabat pemerintah, sehingga kualitas barang dan jasa yang diperoleh tidak sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. kelemahan lain dari pengadaan konfensional yaitu kurang berfungsi sebagai perangkat untuk memajukan pembangunan (Sucahyo, dkk, 2009: 12). Menurut Nugroho dalam Sumiyati (2009:5) untuk menghindari tatap muka antara penyedia dan panitia pengadaan barang/jasa, maka perlu adanya media perantara diantara kedua belah pihak tersebut untuk membatasi pertemuan tatap muka dan media tersebut dapat pula memberikan informasi kepada masyarakat luas agar masyarakat dapat ikut mengawasi proses pengadaan barang/jasa. 6 Penerapan E-procurement mengacu pada Peraturan Presiden No. 54 pasal 131 ayat (1) Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib melaksanakan pengadaan secara elektronik berikut perubahannya Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012. Peraturan ini membahas mengenai proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa secara elektronik seperti pihak-pihak yang terlibat pada proses pengadaan barang dan jasa hingga pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa secara teknis. Manfaat yang paling pokok dari pelaksanaan e-procurement adalah berkurangnya proses pengadaan barang/jasa yang cenderung disertai dengan KKN. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak daerah, pelaksanaan tender pengadaan selalu tidak transparan atau diatur dengan orang dalam. Akibatnya, selain biaya pengadaan menjadi terlalu tinggi, kualitas barang/jasa yang diperoleh masyarakat juga rendah. Pengadaan barang dan jasa secara elektronik di Kab. Pinrang dioperasikan melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) Kab. Pinrang.Masalah-masalah yang umum terjadi di daerah-daerah mengenai proses pengadaan barang dan jasa juga terjadi di Kabupaten Pinrang, pengadaan barang dan jasa di Kab. Pinrang yang sebelumnya dilakukan secara manual banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat, utamanya transparansi dalam setiap tahapan pengadaan barang dan jasa, semisal masih adanya oknum pegawai yang mengatur sedemikian rupa sehingga tender dapat dimenangkan oleh orang-orang tertentu. Hal ini memungkinkan pengadaan secara manual terjadi KKN, bahkan telah ditemukan kasus korupsi pada proses pengadaan barang dan jasa di Kab. Pinrang, sehingga sejak tahun 2011 pemerintah daerah menerapkan sistem E-procurement dalam proses pengadaan barang dan jasa. 7 Permasalahan yang kemudian dijumpai setelah pelaksanaan e- procurement di Kab. Pinrang yaitu permasalahan jaringan yang menopang aplikasi LPSE di Kab. Pinrang, operator yang menjalankan sistem e-procurement belum semuanya menguasai sistem komputer dalam pelaksanaan e- procurement, selain itu permasalahan lain yang ditemukan peneliti pada saat observasi awal melaksanakan adalah kurangnya pelatihan-pelatihan dana pegawai yang dapat dalam digunakan untuk rangka meningkatkan kemampuan pegawai untuk mengoperasikan komputer dalam pelaksanaan eprocurement hal ini dikarenakan LPSE Kab. Pinrang belum berdiri sendiri dan juga pihak rekanan yang belum menguasai proses pengoperasian pengadaan barang/jasa berbasis elektronik. Permasalahan dalam pelaksaan barang/jasa secara elektronik yang telah disebutkan diatas kemudian memunculkan permasalahan transparansi pelayananyang ditemukan oleh peneliti pada saat melakukan wawancara dengan pihak perusahaan rekanan yaitu CV. Sakinah pada tanggal 18 Desember 2013 yang menjelaskan bahwa pada saat setelah tahapan evaluasi terkadang panitia mengumumkan tender ulang di website LPSE tanpa menjelaskan alasannya mengapa setiap perusahaan rekanan dinyatakan gagal. Karena itu, pihak pemerintah terus berupaya agar transparansi pelayanan pengadaan barang/jasa dapat diwujudkan di Kabupaten Pinrang. Dengan diterapkannya proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik diharapkan dapat memenuhi prinsip tarnsparansi dalam rangka meminimalisir setiap kecurangan yang mungkin terjadi pada setiap tahapan dalam proses pengadaan barang dan jasa, Berdasarkan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan mengangkat judul mengenai: “Analisis 8 TransparansiPengadaan Barang dan Jasa Berbasis Elektronik di Kab. Pinrang”. I.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian dalam latar belakang menyatakan bahwa transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa adalah hal yang penting untuk dikaji. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana transparansi pelayanan publik dalam proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik di Kabupaten Pinrang jika dilihat dari keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik, kemudahan memahami peraturan dan prosedur pelayanan dan kemudahan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan pelayanan? I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk menjelaskantransparansi pelayanan publik dalam proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik di Kab. Pinrangjika dilihat dari keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik, kemudahan memahami peraturan dan prosedur pelayanan dan kemudahan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan pelayanan I.3.2 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat administrasi negara khususnya menunjang perkembangan ilmu mengenai transparansi pelayanan pengadaan barang dan jasa . 2. Manfaat Praktis 9 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pada Pemerintah Kab. Pinrang mengenai proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik di LPSE Kab. Pinrang. 10