Kontroversi Holding BUMN Ketidaksesuaian Kualifikasi

advertisement
Edisi 4 Vol. II. Maret 2017
Kontroversi
Holding
BUMN
p. 03
Ketidaksesuaian
Kualifikasi
Tenaga Kerja
dengan
Kebutuhan
Investasi
p. 09
Buletin APBN
Pusat Kajian Anggaran
Badan Keahlian DPR RI
www.puskajianggaran.dpr.go.id
ISSN 2502-8685
1
Dewan Redaksi
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Rastri Paramita, S.E., M.E.
Redaktur
Jesly Yuriaty Panjaitan, S.E., M.M.
Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si.
Marihot Nasution, S.E., M.Si
Adhi Prasetyo S. W., S.M.
Editor
Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM.
Ade Nurul Aida, S.E.
Daftar Isi
Update APBN...................................................................................................p.02
Kontroversi Holding BUMN..............................................................................p.03
Ketidaksesuaian Kualifikasi Tenaga Kerja dengan Kebutuhan Investasi ..........p.09
Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id
2
Update APBN
Perkembangan BI 7-day (Reverse) Repo
Rate
BI 7-day digunakan sejak 1 Agustus 2016 dikisaran 5,25 persen. Kemudian
terus mengalami penurunan hingga Oktober 2016 menjadi 4,75 persen.
Hingga saat ini, Bank Indonesia masih mempertahankan kisaran BI 7-day
pada kisaran 4,75 persen.
Perkembangan BI 7-day (persen)
Sumber: Bank Indonesia
Cadangan Devisa Indonesia per Februari 2017 mengalami peningkatan 17,29
persen, dari USD102,1 miliar menjadi USD119,8 miliar. Trend peningkatan
cadangan devisa dimulai sejak Desember 2016.
Perkembangan Cadangan Devisa Indonesia (USD Miliar)
Sumber: Bank Indonesia
1
Kontroversi Holding BUMN
oleh
S
Jesly Yuriaty Panjaitan1)
ejalan dengan makin besarnya
peran Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dalam pembangunan
nasional maka perlu dilakukan
peningkatan nilai, penguatan daya
saing, perluasan jaringan usaha, dan
kemandirian pengelolaan BUMN.
Langkah strategis untuk mencapai
hal tersebut antara lain dengan
melakukan penguatan kelembagaan
dan mekanisme kerja BUMN
diantaranya melalui pembentukan
perusahaan induk BUMN (holding
BUMN). Menurut Kementerian
BUMN, pembentukan holding BUMN
penting dilakukan karena infrastruktur
belum terintegrasi dan merata,
perlunya penciptaan nilai tambah
untuk industri hilir, kebutuhan energi
dalam negeri belum tercukupi, daya
saing global belum optimal dan
kurangnya ketersediaan rumah layak.
Menurut paparan Menteri BUMN
per Agustus 2016, saat ini sedang
diselesaikan pembentukan 7 sektor
holding BUMN, seperti sektor
holding tambang, energi atau migas,
perbankan, konstruksi dan jalan tol,
perumahan, pangan dan kemaritiman.
Sebelumnya, terdapat 4 holding BUMN
yang telah dibentuk pemerintah,
yaitu holding semen dan pupuk yang
dibentuk pada tahun 2012, serta
holding kehutanan dan perkebunan
yang dibentuk pada tahun 2014. Riset
dari Lembaga Management Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia yang
ditulis oleh Dr. T. Pranoto dan Dr.
Makaliwe menyatakan bahwa holding
semen dan holding pupuk berdampak
positif pada kinerja keuangan dan
kapasitas produksi meningkat cukup
signifikan.
Pembentukan holding BUMN harus
mempunyai payung hukum yang jelas.
Ada beberapa peraturan perundangundangan utama yang harus menjadi
pertimbangan saat akan melakukan
holding BUMN, seperti UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
dan Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal
Negara Pada BUMN. Pada tanggal
30 Desember 2016, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Salah satu strategi Pemerintah dalam
pembentukan holding BUMN yaitu
dengan melakukan Penyertaan
Modal Negara yang bersumber dari
pergeseran saham milik negara pada
BUMN dan/atau Perseroan Terbatas
tertentu kepada BUMN dan/atau
Perseroan Terbatas lainnya. Presiden
Joko Widodo menyatakan pemerintah
tidak ingin selamanya BUMN hidup
dari dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) sehingga
BUMN diharapkan membuka investasi
dalam negeri dan luar negeri agar
dapat berdaya saing.
1
Redaktur Buletin APBN
2
Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penyertaan
Dan Penatausahaan Modal Negara
Pada Badan Usaha Milik Negara
Dan Perseroan Terbatas. Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Sri
Mulyani, mengatakan Peraturan
Pemerintah tersebut pada dasarnya
merupakan penyempurnaan dari
Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2005. Penyempurnaan aturan
di Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2016 menegaskan bahwa
tujuan pembentukan PP tersebut
untuk membentuk holding BUMN.
Usaha Milik Negara atau Peraturan
Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada
Badan Usaha Milik Negara atau
Perseroan Terbatas lain dilakukan
oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui
mekanisme APBN”.
Beberapa pendapat dari FITRA
dan KAHMI menyatakan PP
tersebut dicabut/dibatalkan karena
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 20A ayat (1), Undangundang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN dan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yang meniadakan kewenangan
DPR dalam fungsinya sebagai fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ada upaya memisahkan kekayaan
BUMN dari Keuangan Negara (APBN)
sehingga berpotensi membuka peluang
negara kehilangan aset-aset strategis.
Anak perusahaan eks BUMN dianggap
sangat mudah dijual ke swasta dan /
atau asing karena tanpa pengawasan
DPR.
Polemik Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2016
Sejak Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2016 terbit, polemik
terjadi di masyarakat. Polemik
tersebut berujung pada gugatan
Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA) ke hadapan
pengadilan negeri dan Korps Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
ke hadapan Mahkamah Agung pada
akhir Februari 2017 untuk melakukan
uji materi (judicial review) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
terhadap Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara, Undang-undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, dan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara.
Sedangkan, menurut pendapat Arief
Rachman dari Institute Proklamasi, PP
tersebut bukan menjadi suatu masalah,
sehingga dapat dijalankan. Pengamat
Ekonomi Energi Universitas Gajah
Mada, Fahmy Radhi meyakini holding
akan memperkuat struktur modal dan
aset serta efisiensi sehingga BUMN
dapat bermain di pasar global secara
kompetitif. Direktur Penelitian Center
of Reform on Economics, Mohammad
Faisal, mengatakan pembentukan
holding perusahaan sedianya dilakukan
untuk memperkuat sinergi dan daya
saing.
Polemik tersebut bersumber pada
permasalahan di Pasal 2A ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2016, yang disebutkan bahwa
“penyertaan modal negara yang
berasal dari kekayaan negara berupa
saham miik negara pada Badan
Kepemilikan saham negara pada
BUMN atau Perseroan Terbatas pada
hakekatnya merupakan kekayaan
negara yang sudah dipisahkan dari
3
APBN sehingga tidak berdampak pada
aset negara. Dimana hal ini sesuai
dengan definisi BUMN di UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN, yaitu badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
anak perusahaan eks-BUMN akan
dijual. Hal ini dikarenakan pemerintah
memiliki kontrol terhadap anak
perusahaan eks-BUMN melalui saham
dwiwarna (kepemilikan satu saham)
dan holding BUMN wajib memiliki
mayoritas saham lebih dari 51 persen
saham. Lebih jelasnya lihat gambar
1, ilustrasi holding digambarkan total
nilai saham pemerintah sebesar
5000 lembar saham sebelum holding
dimana ada 3000 saham perusahaan
A, 1000 perusahaan B dan 1000
perusahaan C. Setelah holding, eksBUMN B dan eks-BUMN C akan
menjadi anak perusahaan BUMN A
dan total nilai saham pemerintah
tetap sama yaitu 5000 saham.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2016 Pasal 2A ayat 2,
menyatakan bahwa negara wajib
memiliki saham dengan hak istimewa
yang diatur dalam anggaran dasar.
Yang dimaksud dengan “hak istimewa
yang diatur dalam anggaran dasar”
antara lain hak untuk menyetujui (a)
pengangkatan anggota Direksi dan
anggota Komisaris; (b) perubahan
anggaran dasar; (c) perubahan
struktur kepemilikan saham;
(d) penggabungan, peleburan,
pemisahan, dan pembubaran,
serta pengambilalihan perusahaan
oleh perusahaan lain. Kemudian,
pada Pasal 2A ayat (6) dan (7),
menyatakan bahwa anak perusahaan
BUMN juga diperlakukan sama
dengan BUMN untuk mendapatkan
penugasan Pemerintah atau
melaksanakan pelayanan umum;
dan/atau mendapatkan kebijakan
khusus negara dan/atau Pemerintah,
termasuk dalam pengelolaan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan,
anak perusahaan BUMN tetap
diperlakukan sama dengan BUMN,
serta negara tetap menguasai dan
mengendalikan anak perusahaan
BUMN tersebut.
Menurut Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 9
yakni BUMN terdiri dari Persero dan
Perum. Definisi Persero dan Perum
menurut Undang-Undang tersebut
dijabarkan antara lain :
Perusahaan Perseroan, yang
selanjutnya disebut Persero, adalah
BUMN yang berbentuk perseroan
terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruh atau paling
Gambar 1 Ilustrasi Holding
Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2016 menegaskan hak DPR
untuk mengawasi BUMN tidak
dihilangkan karena pemerintah tetap
harus meminta persetujuan DPR jika
Sumber: Kementerian BUMN
4
sedikit 51 % (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan.
Perusahaan Umum, yang selanjutnya
disebut Perum, adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki negara
dan tidak terbagi atas saham, yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/
atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan
berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.
berupa privatisasi, namun masih dalam
satu induk kepemilikan yang sama,
maka Peraturan Pemerintah tersebut
dapat dijalankan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah penjualan dan/atau
privatisasi BUMN antara lain, pertama,
revisi peraturan perundang-undangan
terkait secara komprehensif sehingga
menjadi dasar hukum yang kuat untuk
pembentukan holding BUMN sehingga
dapat dicegah terjadinya penjualan
aset-aset strategis negara. Rancangan
Undang-Undang tentang perubahan
Undang-Undang BUMN sedang
didiskusikan di DPR dan telah menjadi
program prolegnas prioritas tahun
2017. Revisi ini akan menjadi payung
hukum bagi pembentukan holding
BUMN dan kontrol terhadap anak
BUMN sebagai aset negara. Kedua,
perlu adanya mekanisme kontrol/
pengawasan terhadap anak BUMN
dari DPR termasuk BPK sehingga
penjualan aset negara tersebut dapat
dicegah. Ketiga, memajukan BUMN
tidak hanya melalui holdingisasi. Selain
holdingisasi, ada proses lain seperti
proses penggabungan (holdingisasi),
peleburan (merger), pemisahan, dan
pembubaran serta pengambilalihan
perusahaan oleh perusahaan lain
(akuisisi). Jadi tidak harus semua
entitas BUMN disamakan untuk
holdingisasi.
Jika anak perusahaan dijual atau
inbreng maka proses inbreng
tersebut harus tunduk pada Pasal
24 ayat (5) Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yaitu “Pemerintah Pusat
dapat melakukan penjualan dan/
atau privatisasi perusahaan negara
setelah mendapat persetujuan DPR.”
Privatisasi/penjualan merupakan
proses pemindahtanganan (inbreng)
hak kepemilikan saham milik negara
pada BUMN atau Perseroan Terbatas
yang diinbrengkan, dimana saham
negara pada BUMN dimaksud beralih
menjadi saham BUMN penerima
inbreng. Jadi, jika Pemerintah Pusat
melakukan penjualan dan/atau
privatisasi perusahaan negara tetap
harus melalui persetujuan DPR.
Hal ini tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Sebagai contoh, rencana pemerintah
untuk sektor keuangan yaitu bank
pemerintah seperti BTN, Mandiri, BNI,
BRI, juga Danareksa, Pegadaian dan
PNM akan diholding menjadi sektor
keungan dengan Danareksa sebagai
holding. Hal ini berpotensi menjadi
permasalahan baru yang akhirnya
tidak menyehatkan BUMN. Faktorfaktor yang perlu dipertimbangkan
sebelum holdingisasi antara lain
Sebaliknya, Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2016 memfokuskan
pada holding BUMN yaitu
restrukturisasi perusahaan
dengan membentuk satu group
yang menginduk pada salah satu
perusahan BUMN. Sehingga, bila
bentuk dari aksi korporasi yang
dilakukan oleh BUMN tersebut tidak
5
karakteristik usaha, profil risiko, visi/
misi entitas yang disesuaikan dengan
kapasitas sebagai holding atau anak
perusahaan yang berbeda satu sama
lain. Holdingisasi khususnya untuk
tiga sektor seperti perumahan,
pangan, dan infrastruktur masih
perlu dipersiapkan lebih matang.
Pemerintah harus memperhitungkan
dengan cermat dan tepat sehingga
BUMN dapat menjadi entitas yang
lebih kompetitif, efisien dan mandiri.
bumn.dinilai.berisiko, diakses pada 1
Maret 2017.
Basri, Faisal. Konsep Holding BUMN
Berbahaya dan Menyesatkan, 15
Februari 2017. https://faisalbasri.
com/2017/02/15/konsep-holdingbumn-berbahaya-dan-menyesatkan/,
diakses pada 2 Maret 2017.
Paparan Menteri BUMN, Agustus
2016. Pembentukan Holding BUMN.
Bisnis Indonesia, 6 Oktober 2016.
Pembentukan Holding BUMN,
Merajut Transformasi di Tengah
Resistensi. http://koran.bisnis.com/
read/20161006/250/589971/merajuttransformasi-di-tengah-resistensi.
Diakses pada 3 Maret 2017.
Detiknews. 17 Januari 2017.
Apakah PP No 72/2016 Diterbitkan
untuk Legalisasi Penghancuran
BUMN? https://news.detik.com/
kolom/d-3398217/apakah-pp-no722016-diterbitkan-untuk-legalisasipenghancuran-bumn, diakses pada 28
Februari 2017.
Liputan6. 31 Januari 2017. Deny,
Septian. INDEF: Pemerintah Perlu
Hilangkan Risiko Pembentukan
Holding BUMN. http://bisnis.liputan6.
com/read/2842668/indef-pemerintahperlu-hilangkan-risiko-pembentukanholding-bumn, diakses pada 3 Maret
2017.
Kompas. 16 Januari 2017. PP
72/2016 Terkait Pengalihan Aset
BUMN Dinilai Berisiko,http://
bisniskeuangan.kompas.com/
read/2017/01/16/184604726/
pp.72.2016.terkait.pengalihan.aset.
Pranoto, Dr. Toto dan Dr Willem
Makaliwe. Restrukturisasi BUMN
Menjadi Holding Company. Lembaga
Manajemen Fakultas Ekonomi
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
6
Catatan Redaksi
Pembentukan holding BUMN merupakan upaya pemerintah untuk
membangun BUMN sebagai alat negara selain untuk mengejar keuntungan
juga meningkatkan kesejahteraan hajat hidup orang banyak. Sejalan dengan
makin besarnya peran BUMN dalam pembangunan nasional maka perlu
dilakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan
usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN melalui pembentukan holding.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 merupakan dasar hukum
untuk pembentukan holding BUMN tersebut. Namun, Peraturan Pemerintah
tersebut menuai kontroversi karena dinilai meniadakan fungsi pengawasan
DPR karena penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara
berupa saham miik negara pada BUMN atau PT lain tanpa melalui mekanisme
APBN.
Holding BUMN berbeda dengan privatisasi dan/atau penjualan. Holding BUMN
tidak memerlukan mekanisme APBN, namun privatisasi/penjualan harus
meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Penjualan dan/atau privatisasi
berbeda dimana proses pemindahtanganan (inbreng) hak kepemilikan
saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang diinbrengkan,
dimana saham negara pada BUMN dimaksud beralih menjadi saham BUMN
penerima inbreng. Namun, jika Pemerintah Pusat melakukan penjualan dan/
atau privatisasi perusahaan negara harus melalui persetujuan DPR. Hal ini
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara Pasal 24 ayat (5).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penjualan dan/atau privatisasi
BUMN antara lain, pertama, revisi peraturan terkait secara komprehensif
sehingga menjadi dasar hukum yang kuat untuk pembentukan holding
BUMN. Kedua, perlu adanya mekanisme kontrol/pengawasan terhadap
anak BUMN dari DPR termasuk BPK RI. Ketiga, memajukan BUMN tidak
hanya melalui holdingisasi. Selain holdingisasi, ada proses lain seperti antara
lain proses penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran serta
pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain. Proses-proses itu perlu
mempertimbangkan karakteristik usaha, profil risiko, visi/misi entitas yang
disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai holding atau anak perusahaan
sehingga terwujud tujuan pembentukan holding BUMN yakni menyehatkan
BUMN kita.
7
Ketidaksesuaian Kualifiksi Tenaga Kerja
dengan Kebutuhan Investasi
Ratna Christianingrum 1)
Abstrak
Investasi yang gencar diupayakan oleh pemerintah sampai saat ini belum
berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja. Dua tahun terakhir, nilai
investasi yang terealisasi justru berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja
yang diserap oleh industri. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara
pekerja dengan sektor industri. Untuk mengatasi fenomena ketidaksesuaian
antara pekerja dengan sektor industri maka perlu kerjasama antara pemerintah
dan pelaku industri untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan berbasis
keterampilan. Selain itu dalam menghadapi bonus demografi Indonesia pada
tahun 2020-2030, pemerintah seharusnya mensinergiskan kegiatan investasi
pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan serta industri pengolahan
(industri manufaktur). Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mampu menarik investor untuk melakukan investasi di sektor-sektor tersebut.
eberapa tahun terakhir,
suatu cara yang dapat dilakukan oleh
pemerintah Indonesia melakukan
pemerintah untuk meningkatkan
berbagai upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan untuk
investasi ke Indonesia. Dalam
jangka panjang dapat menaikan
berbagai forum ekonomi baik lokal
standar hidup masyarakatnya (Mankiw,
ataupun internasional, pemerintah
2003:62).
selalu mempromosikan investasi
Investasi merupakan komponen
ke Indonesia. Selain melakukan
utama dalam menggerakan roda
promosi ke berbagai forum ekonomi,
perekonomian suatu negara. Secara
pemerintah juga mengeluarkan 12
teori peningkatan investasi akan
paket kebijakan. Paket kebijakan ini
mendorong volume perdagangan dan
diharapkan mampu memperbaiki
volume produksi yang selanjutnya akan
iklim investasi di Indonesia, sehingga
memperluas kesempatan kerja yang
investor mau menginvestasikan
produktif.
dananya di Indonesia.
Pemerintah mengusahakan realisasi
Investasi merupakan pengeluaran
yang ditujukan untuk menambah atau investasi yang besar di Indonesia selain
untuk membiayai pembangunan,
mempertahankan persediaan kapital
investasi diharapkan mampu
(capital stok) (Suparmoko, 1992:79).
menyerap banyak tenaga kerja.
Investasi meliputi penambahan stok
Penyerapan tenaga kerja diharapkan
modal atau barang di suatu negara,
seperti bangunan, peralatan produksi, mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
dan barang-barang inventaris dalam
B
Realisasi investasi di Indonesia
memiliki tren yang positif.
Perkembangan realisasi investasi di
Indonesia per triwulan dari tahun 2011
waktu satu tahun.
Investasi pada hakekatnya merupakan
awal kegiatan pembangunan
ekonomi. Investasi merupakan
1
Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail:[email protected]
8
hingga triwulan IV 2016 memiliki
tren peningkatan. Struktur realisasi
investasi dari tahun 2011 hingga
2016 ditopang oleh investasi asing.
Pada triwulan IV 2016, realisasi
investasi sebesar Rp159,4 triliun atau
meningkat 9,6 persen dibandingkan
periode yang sama pada tahun 2015.
Realisasi ini terdiri dari investasi
domestik dan investasi dari luar
negeri.
industri. Permasalahan ini terjadi
dalam dua tahun terakhir. Peningkatan
nilai realisasi investasi di tahun 2016
tidak disertai dengan peningkatan
tenaga kerja yang terserap di industri.
Sehingga perlu diketahui penyebab
terjadinya fenomena ini.
Karakteristik Investasi di Indonesia
Nilai investasi yang terealisasi di
tahun 2016 mencapai Rp612,8 triliun.
Dimana 64,7 persen nilai investasi
berasal dari asing (PMA). Kontribusi
investasi asing di tahun 2016
mengalami penurunan dibandingkan
tahun sebelumnya. Pulau Jawa masih
mendominasi lokasi realisasi investasi.
Realisasi investasi di Pulau Jawa pada
tahun 2016 mencapai 53,6 persen dari
total realisasi investasi di Indonesia.
Nilai invetasi di pulau Jawa mencapai
Rp328,7 triliun (gambar 3). Namun
dominasi Pulau Jawa mulai berkurang
apabila dibandingkan dengan
realisasi investasi di Pulau Jawa tahun
sebelumnya.
Pada triwulan IV 2016, realisasi
Domestic Direct Investment (DDI)
mencapai Rp58,1 triliun atau
meningkat 25,8 persen dibandingkan
pada periode yang sama di tahun
sebelumnya. Sedangkan realisasi
Foreign Direct Investment (FDI)
mencapai Rp101,9 triliun atau
mengalami peningkatan 2,1 persen
dibandingkan dengan periode yang
sama di tahun sebelumnya (gambar 1)
Idealnya, peningkatan nilai realisasi
sebanding dengan jumlah tenaga
kerja yang mampu diserap. Namun
berdasarkan gambar 2, peningkatan
realisasi investasi di Indonesia justru
berbanding terbalik dengan jumlah
tenaga kerja yang diserap oleh
Nilai realisasi investasi tertinggi
pada tahun 2016 terjadi pada sektor
industri kimia dasar, barang kimia dan
Gambar 1. Perkembangan Realisasi Investasi 2011 – 2016 (Rp triliun)
Sumber: BKPM
9
Gambar 2. Perkembangan Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia
2011 -2016
Sumber: BKPM, diolah
farmasi. Nilai investasi pada sektor ini
mencapai Rp69,6 triliun atau sebesar
11,3 persen dari total nilai realisasi
investasi di Indonesia pada tahun
2016. Sektor industri logam dasar,
barang logam, mesin, dan elektronik
menempati urutan kedua dengan nilai
investasi sebesar Rp64,9 triliun atau
sebesar 10,6 persen dari total nilai
realisasi investasi pada tahun 2016
(gambar 4).
bahan kimia. Jenis-jenis industri yang
termasuk dalam kelompok industri
kimia dasar antara lain industri
semen, pupuk, pestisida, kertas,
bahan peledak, dan ban kendaraan.
Sektor industri kimia dasar, barang
kimia, dan farmasi merupakan
sektor dengan nilai investasi yang
relatif besar namun kurang mampu
menyerap tenaga kerja. (Yustika,
2013) Hal ini dikarenakan karateristik
dari industri kimia yang dalam
proses produksinya dan produknya
menggunakan instrumen atau alat
tertentu yang memastikan proses
Industri kimia dasar merupakan
kelompok industri yang bahan baku
atau olahannya menggunakan bahan-
Gambar 3. Realisasi Investasi di tahun 2016 (Rp triliun)
Sumber: BKPM, diolah
10
keahlian khusus dan hanya berperan
sebagai pengawas untuk memastikan
proses produksi berjalan dengan baik.
Gambar 4. Realisasi Investasi pada
Tahun 2016 berdasarkan Sektor
(Rp triliun)
Gambar 5 menunjukkan jumlah tenaga
kerja Indonesia dari tahun 2011 hingga
tahun 2016 relatif stabil. Sektor yang
paling mendominasi penyerapan
tenaga kerja adalah sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan, perburuan,
dan perikanan. Sektor industri hanya
menempati urutan keempat. Apabila
pemerintah ingin terjadi penyerapan
tenaga kerja yang relatif tinggi, maka
perlu dilakukan investasi pada sektor
pertanian, perkebunan, kehutanan,
perburuan, dan perikanan. Hal ini
dikarenakan sektor inilah yang paling
banyak menyerap tenaga kerja.
Sumber: BKPM, diolah
produksi berjalan dengan aman
dan produk yang dihasilkan sesuai
dengan spesifikasi tertentu . Biasanya
industri kimia menerapkan teknologi
tinggi untuk memastikan keamanan
proses produksi dan akuransi kadar
produknya. Hal ini sangat diperlukan
dalam industri kimia, karena
sedikit kesalahan akan berakibat
fatal. Sehingga tenaga kerja yang
diperlukan dalam industri kimia
adalah tenaga kerja dengan keahlian
khusus.
Berdasarkan gambar 6 dapat diketahui
bahwa sebagian besar tenaga
kerja Indonesia hanya lulusan SD.
Apabila diasumsikan bahwa lulusan
SMK, Akademi, dan universitas
merupakan tenaga kerja dengan
kemampuan khusus, maka tenaga
Gambar 5. Tenaga Kerja Indonesia
Berdarkan Lapangan Pekerjaan 2011 –
2016 (Jiwa)
Industri logam dasar, barang logam,
mesin, dan elektronik antara
lain industri besi baja, industri
almunium, industri perakitan alat-alat
pertanian, industri alat-alat berat,
industri kereta api, dan industri
perkapalan.2 Industri-industri pada
sektor ini biasanya menggunakan
bahan beracun, khususnya pada
industri elektronik. Industri-industri
ini biasanya menggunakan mesin
outomatis, sehingga tenaga kerja
yang diperlukan relatif sedikit. Tenaga
kerja yang diperlukan pada industri
ini merupakan tenaga kerja dengan
Sumber: BPS, diolah
2
Industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronik merupakan kelompok industri yang mengolah bahan mentah
logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa mesin dan perakitan (Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor
19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan)
11
Belajar dari Investasi Tahun 2013
Gambar 6. Tenaga Kerja berdasarkan
Tingkat Pendidikan Februari 2016 (Jiwa)
Nilai investasi yang direalisasikan pada
tahun 2013 hanya setengah dari nilai
investasi yang direalisasikan pada
tahun 2016. Namun jumlah tenaga
kerja yang mampu diserap oleh
realisasi investasi pada tahun 2013
jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah
tenaga kerja yang diserap industri
pada tahun 2016.
Gambar 7 menunjukkan pada
tahun 2013, investasi pada sektor
industri pengolahan (manufacturing)
merupakan sektor yang mendominasi.
Investasi pada sektor ini mencapai Rp
51,2 triliun atau mencapai 40 persen
dari total nilai investasi pada tahun
2013. Industri manufaktur merupakan
industri yang proses pembuatan
produk dengan bantuan mesin
dan pengontrolannya dikerjakan
secara otomatis penuh namun tetap
memerlukan pengawasan secara
manual, sehingga tenaga kerja
yang diperlukan dalam industri ini
relatif besar (Bank Indonesia, 2017).
Investasi pada sektor padat karya di
tahun 2013 menyebabkan penyerapan
tenaga kerja di tahun ini cukup besar
walaupun dengan nilai investasi yang
rendah.
Sumber: BPS, diolah
kerja di Indonesia sebagian besar
merupakan tenaga kerja tanpa
kemampuan khusus. Atau hanya
22 persen dari tenaga kerja yang
memiliki kemampuan khusus, yang
kemungkinan besar mampu diserap
oleh industri.
Sebagian besar investasi yang
dilakukan di Indonesia berada pada
sektor industri yang memerlukan
tenaga kerja dengan keahlian khusus,
sedangkan tenaga kerja yang tersedia
78 presen merupakan tenaga kerja
tanpa keahlian khusus. Hal ini
menunjukkan adanya ketidaksesuaian
pekerja dengan industri.
Gambar 7. Investasi berdasarkan Sektor
Tahun 2013 (Rp triliun)
Fenomena ketidaksesuaian pekerja
dengan industri perlu segera
diselesaikan. Untuk itu pemerintah
dan pelaku industri perlu terlibat
dalam pengembangan pendidikan
berbasis keterampilan. Kontribusi
pelaku industri ini sangat diperlukan
karena pelaku industrilah yang akan
menggunakan tenaga kerja (demand
driven), sehingga fenomena mismatch
pekerja dengan industri dapat
dikurangi.
Sumber: BKPM
12
Apabila belajar dari tahun 2013, maka
pemerintah perlu menggalakkan
investasi pada sektor-sektor industri
padat karya selain investasi pada
sektor padat modal. Hal ini dilakukan
supaya industri-industri yang
dibangun mampu menyerap tenaga
kerja lebih baik
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori
Makro Ekonomi Terjemahan. PT
Gramedia Pusaka Utama, Jakarta
Suparmoko, Irawan M. 1992.
Ekonomika Pembangunan. BPFE.
Yogjakarta.
Wacana Pengetahuan.
“Pengelompokan atau Penggolongan
Jenis-Jenis industri dan Ciricirinya”. Diakses dari http://
wacanapengetahuan.blogspot.
co.id/2013/10/pengelompokan-ataupenggolongan-jenis_7988.htm. Tangal
akses 25 Februari 2017
Daftar Pustaka
Bank Indonesia. “Jurnal Ekonomi”.
diakses dari http://www.bi.go.id/id/
publikasi/jurnal-ekonomi/Documents/
61b002931ccd4ea69323f55a7a3a54e
9YatiKurniatiYanfitri.pdf. Tanggal akses
25 Februari 2017
Yustika, Ahmad. 2013. “Investasi dan
Prospek Industri”. Diakses dari http://
ahmaderani.com/investasi-danprospek-industri.html. Tanggal akses
26 Januari 2017
BKPM.2017 “Realisasi Penanamab
Modal PMDN-PMA Triwulan IV dan
Januari - Desember Tahun 2016
Rekomendasi
Investasi yang gencar diupayakan oleh pemerintah sampai saat ini belum
berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang
terserap oleh realisasi investasi tidak sebanding dengan besarnya investasi
yang dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pekerja
dengan sektor industri. Untuk mengatasi fenomena ketidaksesuaian antara
pekerja dengan sektor industri maka perlu kerjasama antara pemerintah dan
pelaku industri untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan berbasis
keterampilan.
Selain itu, untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang lebih baik
pemerintah perlu menggalakkan investasi pada sektor-sektor industri yang
padat karya. Pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih sehingga investor
tertarik untuk melakukan investasi di sektor padat karya.
Dalam menghadapi bonus demografi Indonesia pada tahun 2020-2030,
pemerintah seharusnya mensinergiskan kegiatan investasi pada sektor-sektor
yang menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor pertanian, perkebunan,
kehutanan, perburuan, dan perikanan serta industri pengolahan (industri
manufaktur). Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mampu menarik investor untuk melakukan investasi di sektor-sektor tersebut.
13
Buletin APBN
Pusat Kajian Anggaran
Badan Keahlian DPR RI
www.puskajianggaran.dpr.go.id
Telp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528
e-mail [email protected]
14
Download