Edisi 4 Vol. II. Maret 2017 Kontroversi Holding BUMN p. 03 Ketidaksesuaian Kualifikasi Tenaga Kerja dengan Kebutuhan Investasi p. 09 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685 1 Dewan Redaksi Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Pemimpin Redaksi Rastri Paramita, S.E., M.E. Redaktur Jesly Yuriaty Panjaitan, S.E., M.M. Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. Marihot Nasution, S.E., M.Si Adhi Prasetyo S. W., S.M. Editor Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM. Ade Nurul Aida, S.E. Daftar Isi Update APBN...................................................................................................p.02 Kontroversi Holding BUMN..............................................................................p.03 Ketidaksesuaian Kualifikasi Tenaga Kerja dengan Kebutuhan Investasi ..........p.09 Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id 2 Update APBN Perkembangan BI 7-day (Reverse) Repo Rate BI 7-day digunakan sejak 1 Agustus 2016 dikisaran 5,25 persen. Kemudian terus mengalami penurunan hingga Oktober 2016 menjadi 4,75 persen. Hingga saat ini, Bank Indonesia masih mempertahankan kisaran BI 7-day pada kisaran 4,75 persen. Perkembangan BI 7-day (persen) Sumber: Bank Indonesia Cadangan Devisa Indonesia per Februari 2017 mengalami peningkatan 17,29 persen, dari USD102,1 miliar menjadi USD119,8 miliar. Trend peningkatan cadangan devisa dimulai sejak Desember 2016. Perkembangan Cadangan Devisa Indonesia (USD Miliar) Sumber: Bank Indonesia 1 Kontroversi Holding BUMN oleh S Jesly Yuriaty Panjaitan1) ejalan dengan makin besarnya peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembangunan nasional maka perlu dilakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN. Langkah strategis untuk mencapai hal tersebut antara lain dengan melakukan penguatan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN diantaranya melalui pembentukan perusahaan induk BUMN (holding BUMN). Menurut Kementerian BUMN, pembentukan holding BUMN penting dilakukan karena infrastruktur belum terintegrasi dan merata, perlunya penciptaan nilai tambah untuk industri hilir, kebutuhan energi dalam negeri belum tercukupi, daya saing global belum optimal dan kurangnya ketersediaan rumah layak. Menurut paparan Menteri BUMN per Agustus 2016, saat ini sedang diselesaikan pembentukan 7 sektor holding BUMN, seperti sektor holding tambang, energi atau migas, perbankan, konstruksi dan jalan tol, perumahan, pangan dan kemaritiman. Sebelumnya, terdapat 4 holding BUMN yang telah dibentuk pemerintah, yaitu holding semen dan pupuk yang dibentuk pada tahun 2012, serta holding kehutanan dan perkebunan yang dibentuk pada tahun 2014. Riset dari Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang ditulis oleh Dr. T. Pranoto dan Dr. Makaliwe menyatakan bahwa holding semen dan holding pupuk berdampak positif pada kinerja keuangan dan kapasitas produksi meningkat cukup signifikan. Pembentukan holding BUMN harus mempunyai payung hukum yang jelas. Ada beberapa peraturan perundangundangan utama yang harus menjadi pertimbangan saat akan melakukan holding BUMN, seperti UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN. Pada tanggal 30 Desember 2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Salah satu strategi Pemerintah dalam pembentukan holding BUMN yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya. Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah tidak ingin selamanya BUMN hidup dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga BUMN diharapkan membuka investasi dalam negeri dan luar negeri agar dapat berdaya saing. 1 Redaktur Buletin APBN 2 Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, mengatakan Peraturan Pemerintah tersebut pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005. Penyempurnaan aturan di Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menegaskan bahwa tujuan pembentukan PP tersebut untuk membentuk holding BUMN. Usaha Milik Negara atau Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN”. Beberapa pendapat dari FITRA dan KAHMI menyatakan PP tersebut dicabut/dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20A ayat (1), Undangundang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang meniadakan kewenangan DPR dalam fungsinya sebagai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ada upaya memisahkan kekayaan BUMN dari Keuangan Negara (APBN) sehingga berpotensi membuka peluang negara kehilangan aset-aset strategis. Anak perusahaan eks BUMN dianggap sangat mudah dijual ke swasta dan / atau asing karena tanpa pengawasan DPR. Polemik Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 terbit, polemik terjadi di masyarakat. Polemik tersebut berujung pada gugatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) ke hadapan pengadilan negeri dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ke hadapan Mahkamah Agung pada akhir Februari 2017 untuk melakukan uji materi (judicial review) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Sedangkan, menurut pendapat Arief Rachman dari Institute Proklamasi, PP tersebut bukan menjadi suatu masalah, sehingga dapat dijalankan. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi meyakini holding akan memperkuat struktur modal dan aset serta efisiensi sehingga BUMN dapat bermain di pasar global secara kompetitif. Direktur Penelitian Center of Reform on Economics, Mohammad Faisal, mengatakan pembentukan holding perusahaan sedianya dilakukan untuk memperkuat sinergi dan daya saing. Polemik tersebut bersumber pada permasalahan di Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang disebutkan bahwa “penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada Badan Kepemilikan saham negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas pada hakekatnya merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari 3 APBN sehingga tidak berdampak pada aset negara. Dimana hal ini sesuai dengan definisi BUMN di UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. anak perusahaan eks-BUMN akan dijual. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki kontrol terhadap anak perusahaan eks-BUMN melalui saham dwiwarna (kepemilikan satu saham) dan holding BUMN wajib memiliki mayoritas saham lebih dari 51 persen saham. Lebih jelasnya lihat gambar 1, ilustrasi holding digambarkan total nilai saham pemerintah sebesar 5000 lembar saham sebelum holding dimana ada 3000 saham perusahaan A, 1000 perusahaan B dan 1000 perusahaan C. Setelah holding, eksBUMN B dan eks-BUMN C akan menjadi anak perusahaan BUMN A dan total nilai saham pemerintah tetap sama yaitu 5000 saham. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Pasal 2A ayat 2, menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Yang dimaksud dengan “hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar” antara lain hak untuk menyetujui (a) pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris; (b) perubahan anggaran dasar; (c) perubahan struktur kepemilikan saham; (d) penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain. Kemudian, pada Pasal 2A ayat (6) dan (7), menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN juga diperlakukan sama dengan BUMN untuk mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, anak perusahaan BUMN tetap diperlakukan sama dengan BUMN, serta negara tetap menguasai dan mengendalikan anak perusahaan BUMN tersebut. Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 9 yakni BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Definisi Persero dan Perum menurut Undang-Undang tersebut dijabarkan antara lain : Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling Gambar 1 Ilustrasi Holding Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menegaskan hak DPR untuk mengawasi BUMN tidak dihilangkan karena pemerintah tetap harus meminta persetujuan DPR jika Sumber: Kementerian BUMN 4 sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. berupa privatisasi, namun masih dalam satu induk kepemilikan yang sama, maka Peraturan Pemerintah tersebut dapat dijalankan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penjualan dan/atau privatisasi BUMN antara lain, pertama, revisi peraturan perundang-undangan terkait secara komprehensif sehingga menjadi dasar hukum yang kuat untuk pembentukan holding BUMN sehingga dapat dicegah terjadinya penjualan aset-aset strategis negara. Rancangan Undang-Undang tentang perubahan Undang-Undang BUMN sedang didiskusikan di DPR dan telah menjadi program prolegnas prioritas tahun 2017. Revisi ini akan menjadi payung hukum bagi pembentukan holding BUMN dan kontrol terhadap anak BUMN sebagai aset negara. Kedua, perlu adanya mekanisme kontrol/ pengawasan terhadap anak BUMN dari DPR termasuk BPK sehingga penjualan aset negara tersebut dapat dicegah. Ketiga, memajukan BUMN tidak hanya melalui holdingisasi. Selain holdingisasi, ada proses lain seperti proses penggabungan (holdingisasi), peleburan (merger), pemisahan, dan pembubaran serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain (akuisisi). Jadi tidak harus semua entitas BUMN disamakan untuk holdingisasi. Jika anak perusahaan dijual atau inbreng maka proses inbreng tersebut harus tunduk pada Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu “Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/ atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.” Privatisasi/penjualan merupakan proses pemindahtanganan (inbreng) hak kepemilikan saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang diinbrengkan, dimana saham negara pada BUMN dimaksud beralih menjadi saham BUMN penerima inbreng. Jadi, jika Pemerintah Pusat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara tetap harus melalui persetujuan DPR. Hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebagai contoh, rencana pemerintah untuk sektor keuangan yaitu bank pemerintah seperti BTN, Mandiri, BNI, BRI, juga Danareksa, Pegadaian dan PNM akan diholding menjadi sektor keungan dengan Danareksa sebagai holding. Hal ini berpotensi menjadi permasalahan baru yang akhirnya tidak menyehatkan BUMN. Faktorfaktor yang perlu dipertimbangkan sebelum holdingisasi antara lain Sebaliknya, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 memfokuskan pada holding BUMN yaitu restrukturisasi perusahaan dengan membentuk satu group yang menginduk pada salah satu perusahan BUMN. Sehingga, bila bentuk dari aksi korporasi yang dilakukan oleh BUMN tersebut tidak 5 karakteristik usaha, profil risiko, visi/ misi entitas yang disesuaikan dengan kapasitas sebagai holding atau anak perusahaan yang berbeda satu sama lain. Holdingisasi khususnya untuk tiga sektor seperti perumahan, pangan, dan infrastruktur masih perlu dipersiapkan lebih matang. Pemerintah harus memperhitungkan dengan cermat dan tepat sehingga BUMN dapat menjadi entitas yang lebih kompetitif, efisien dan mandiri. bumn.dinilai.berisiko, diakses pada 1 Maret 2017. Basri, Faisal. Konsep Holding BUMN Berbahaya dan Menyesatkan, 15 Februari 2017. https://faisalbasri. com/2017/02/15/konsep-holdingbumn-berbahaya-dan-menyesatkan/, diakses pada 2 Maret 2017. Paparan Menteri BUMN, Agustus 2016. Pembentukan Holding BUMN. Bisnis Indonesia, 6 Oktober 2016. Pembentukan Holding BUMN, Merajut Transformasi di Tengah Resistensi. http://koran.bisnis.com/ read/20161006/250/589971/merajuttransformasi-di-tengah-resistensi. Diakses pada 3 Maret 2017. Detiknews. 17 Januari 2017. Apakah PP No 72/2016 Diterbitkan untuk Legalisasi Penghancuran BUMN? https://news.detik.com/ kolom/d-3398217/apakah-pp-no722016-diterbitkan-untuk-legalisasipenghancuran-bumn, diakses pada 28 Februari 2017. Liputan6. 31 Januari 2017. Deny, Septian. INDEF: Pemerintah Perlu Hilangkan Risiko Pembentukan Holding BUMN. http://bisnis.liputan6. com/read/2842668/indef-pemerintahperlu-hilangkan-risiko-pembentukanholding-bumn, diakses pada 3 Maret 2017. Kompas. 16 Januari 2017. PP 72/2016 Terkait Pengalihan Aset BUMN Dinilai Berisiko,http:// bisniskeuangan.kompas.com/ read/2017/01/16/184604726/ pp.72.2016.terkait.pengalihan.aset. Pranoto, Dr. Toto dan Dr Willem Makaliwe. Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Indonesia. DAFTAR PUSTAKA 6 Catatan Redaksi Pembentukan holding BUMN merupakan upaya pemerintah untuk membangun BUMN sebagai alat negara selain untuk mengejar keuntungan juga meningkatkan kesejahteraan hajat hidup orang banyak. Sejalan dengan makin besarnya peran BUMN dalam pembangunan nasional maka perlu dilakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN melalui pembentukan holding. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 merupakan dasar hukum untuk pembentukan holding BUMN tersebut. Namun, Peraturan Pemerintah tersebut menuai kontroversi karena dinilai meniadakan fungsi pengawasan DPR karena penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PT lain tanpa melalui mekanisme APBN. Holding BUMN berbeda dengan privatisasi dan/atau penjualan. Holding BUMN tidak memerlukan mekanisme APBN, namun privatisasi/penjualan harus meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Penjualan dan/atau privatisasi berbeda dimana proses pemindahtanganan (inbreng) hak kepemilikan saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang diinbrengkan, dimana saham negara pada BUMN dimaksud beralih menjadi saham BUMN penerima inbreng. Namun, jika Pemerintah Pusat melakukan penjualan dan/ atau privatisasi perusahaan negara harus melalui persetujuan DPR. Hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 24 ayat (5). Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penjualan dan/atau privatisasi BUMN antara lain, pertama, revisi peraturan terkait secara komprehensif sehingga menjadi dasar hukum yang kuat untuk pembentukan holding BUMN. Kedua, perlu adanya mekanisme kontrol/pengawasan terhadap anak BUMN dari DPR termasuk BPK RI. Ketiga, memajukan BUMN tidak hanya melalui holdingisasi. Selain holdingisasi, ada proses lain seperti antara lain proses penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain. Proses-proses itu perlu mempertimbangkan karakteristik usaha, profil risiko, visi/misi entitas yang disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai holding atau anak perusahaan sehingga terwujud tujuan pembentukan holding BUMN yakni menyehatkan BUMN kita. 7 Ketidaksesuaian Kualifiksi Tenaga Kerja dengan Kebutuhan Investasi Ratna Christianingrum 1) Abstrak Investasi yang gencar diupayakan oleh pemerintah sampai saat ini belum berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja. Dua tahun terakhir, nilai investasi yang terealisasi justru berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pekerja dengan sektor industri. Untuk mengatasi fenomena ketidaksesuaian antara pekerja dengan sektor industri maka perlu kerjasama antara pemerintah dan pelaku industri untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan berbasis keterampilan. Selain itu dalam menghadapi bonus demografi Indonesia pada tahun 2020-2030, pemerintah seharusnya mensinergiskan kegiatan investasi pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan serta industri pengolahan (industri manufaktur). Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu menarik investor untuk melakukan investasi di sektor-sektor tersebut. eberapa tahun terakhir, suatu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia melakukan pemerintah untuk meningkatkan berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk investasi ke Indonesia. Dalam jangka panjang dapat menaikan berbagai forum ekonomi baik lokal standar hidup masyarakatnya (Mankiw, ataupun internasional, pemerintah 2003:62). selalu mempromosikan investasi Investasi merupakan komponen ke Indonesia. Selain melakukan utama dalam menggerakan roda promosi ke berbagai forum ekonomi, perekonomian suatu negara. Secara pemerintah juga mengeluarkan 12 teori peningkatan investasi akan paket kebijakan. Paket kebijakan ini mendorong volume perdagangan dan diharapkan mampu memperbaiki volume produksi yang selanjutnya akan iklim investasi di Indonesia, sehingga memperluas kesempatan kerja yang investor mau menginvestasikan produktif. dananya di Indonesia. Pemerintah mengusahakan realisasi Investasi merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk menambah atau investasi yang besar di Indonesia selain untuk membiayai pembangunan, mempertahankan persediaan kapital investasi diharapkan mampu (capital stok) (Suparmoko, 1992:79). menyerap banyak tenaga kerja. Investasi meliputi penambahan stok Penyerapan tenaga kerja diharapkan modal atau barang di suatu negara, seperti bangunan, peralatan produksi, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. dan barang-barang inventaris dalam B Realisasi investasi di Indonesia memiliki tren yang positif. Perkembangan realisasi investasi di Indonesia per triwulan dari tahun 2011 waktu satu tahun. Investasi pada hakekatnya merupakan awal kegiatan pembangunan ekonomi. Investasi merupakan 1 Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail:[email protected] 8 hingga triwulan IV 2016 memiliki tren peningkatan. Struktur realisasi investasi dari tahun 2011 hingga 2016 ditopang oleh investasi asing. Pada triwulan IV 2016, realisasi investasi sebesar Rp159,4 triliun atau meningkat 9,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015. Realisasi ini terdiri dari investasi domestik dan investasi dari luar negeri. industri. Permasalahan ini terjadi dalam dua tahun terakhir. Peningkatan nilai realisasi investasi di tahun 2016 tidak disertai dengan peningkatan tenaga kerja yang terserap di industri. Sehingga perlu diketahui penyebab terjadinya fenomena ini. Karakteristik Investasi di Indonesia Nilai investasi yang terealisasi di tahun 2016 mencapai Rp612,8 triliun. Dimana 64,7 persen nilai investasi berasal dari asing (PMA). Kontribusi investasi asing di tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Pulau Jawa masih mendominasi lokasi realisasi investasi. Realisasi investasi di Pulau Jawa pada tahun 2016 mencapai 53,6 persen dari total realisasi investasi di Indonesia. Nilai invetasi di pulau Jawa mencapai Rp328,7 triliun (gambar 3). Namun dominasi Pulau Jawa mulai berkurang apabila dibandingkan dengan realisasi investasi di Pulau Jawa tahun sebelumnya. Pada triwulan IV 2016, realisasi Domestic Direct Investment (DDI) mencapai Rp58,1 triliun atau meningkat 25,8 persen dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Sedangkan realisasi Foreign Direct Investment (FDI) mencapai Rp101,9 triliun atau mengalami peningkatan 2,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya (gambar 1) Idealnya, peningkatan nilai realisasi sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap. Namun berdasarkan gambar 2, peningkatan realisasi investasi di Indonesia justru berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh Nilai realisasi investasi tertinggi pada tahun 2016 terjadi pada sektor industri kimia dasar, barang kimia dan Gambar 1. Perkembangan Realisasi Investasi 2011 – 2016 (Rp triliun) Sumber: BKPM 9 Gambar 2. Perkembangan Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia 2011 -2016 Sumber: BKPM, diolah farmasi. Nilai investasi pada sektor ini mencapai Rp69,6 triliun atau sebesar 11,3 persen dari total nilai realisasi investasi di Indonesia pada tahun 2016. Sektor industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronik menempati urutan kedua dengan nilai investasi sebesar Rp64,9 triliun atau sebesar 10,6 persen dari total nilai realisasi investasi pada tahun 2016 (gambar 4). bahan kimia. Jenis-jenis industri yang termasuk dalam kelompok industri kimia dasar antara lain industri semen, pupuk, pestisida, kertas, bahan peledak, dan ban kendaraan. Sektor industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi merupakan sektor dengan nilai investasi yang relatif besar namun kurang mampu menyerap tenaga kerja. (Yustika, 2013) Hal ini dikarenakan karateristik dari industri kimia yang dalam proses produksinya dan produknya menggunakan instrumen atau alat tertentu yang memastikan proses Industri kimia dasar merupakan kelompok industri yang bahan baku atau olahannya menggunakan bahan- Gambar 3. Realisasi Investasi di tahun 2016 (Rp triliun) Sumber: BKPM, diolah 10 keahlian khusus dan hanya berperan sebagai pengawas untuk memastikan proses produksi berjalan dengan baik. Gambar 4. Realisasi Investasi pada Tahun 2016 berdasarkan Sektor (Rp triliun) Gambar 5 menunjukkan jumlah tenaga kerja Indonesia dari tahun 2011 hingga tahun 2016 relatif stabil. Sektor yang paling mendominasi penyerapan tenaga kerja adalah sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Sektor industri hanya menempati urutan keempat. Apabila pemerintah ingin terjadi penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi, maka perlu dilakukan investasi pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Hal ini dikarenakan sektor inilah yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sumber: BKPM, diolah produksi berjalan dengan aman dan produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi tertentu . Biasanya industri kimia menerapkan teknologi tinggi untuk memastikan keamanan proses produksi dan akuransi kadar produknya. Hal ini sangat diperlukan dalam industri kimia, karena sedikit kesalahan akan berakibat fatal. Sehingga tenaga kerja yang diperlukan dalam industri kimia adalah tenaga kerja dengan keahlian khusus. Berdasarkan gambar 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia hanya lulusan SD. Apabila diasumsikan bahwa lulusan SMK, Akademi, dan universitas merupakan tenaga kerja dengan kemampuan khusus, maka tenaga Gambar 5. Tenaga Kerja Indonesia Berdarkan Lapangan Pekerjaan 2011 – 2016 (Jiwa) Industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronik antara lain industri besi baja, industri almunium, industri perakitan alat-alat pertanian, industri alat-alat berat, industri kereta api, dan industri perkapalan.2 Industri-industri pada sektor ini biasanya menggunakan bahan beracun, khususnya pada industri elektronik. Industri-industri ini biasanya menggunakan mesin outomatis, sehingga tenaga kerja yang diperlukan relatif sedikit. Tenaga kerja yang diperlukan pada industri ini merupakan tenaga kerja dengan Sumber: BPS, diolah 2 Industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronik merupakan kelompok industri yang mengolah bahan mentah logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa mesin dan perakitan (Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan) 11 Belajar dari Investasi Tahun 2013 Gambar 6. Tenaga Kerja berdasarkan Tingkat Pendidikan Februari 2016 (Jiwa) Nilai investasi yang direalisasikan pada tahun 2013 hanya setengah dari nilai investasi yang direalisasikan pada tahun 2016. Namun jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh realisasi investasi pada tahun 2013 jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah tenaga kerja yang diserap industri pada tahun 2016. Gambar 7 menunjukkan pada tahun 2013, investasi pada sektor industri pengolahan (manufacturing) merupakan sektor yang mendominasi. Investasi pada sektor ini mencapai Rp 51,2 triliun atau mencapai 40 persen dari total nilai investasi pada tahun 2013. Industri manufaktur merupakan industri yang proses pembuatan produk dengan bantuan mesin dan pengontrolannya dikerjakan secara otomatis penuh namun tetap memerlukan pengawasan secara manual, sehingga tenaga kerja yang diperlukan dalam industri ini relatif besar (Bank Indonesia, 2017). Investasi pada sektor padat karya di tahun 2013 menyebabkan penyerapan tenaga kerja di tahun ini cukup besar walaupun dengan nilai investasi yang rendah. Sumber: BPS, diolah kerja di Indonesia sebagian besar merupakan tenaga kerja tanpa kemampuan khusus. Atau hanya 22 persen dari tenaga kerja yang memiliki kemampuan khusus, yang kemungkinan besar mampu diserap oleh industri. Sebagian besar investasi yang dilakukan di Indonesia berada pada sektor industri yang memerlukan tenaga kerja dengan keahlian khusus, sedangkan tenaga kerja yang tersedia 78 presen merupakan tenaga kerja tanpa keahlian khusus. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian pekerja dengan industri. Gambar 7. Investasi berdasarkan Sektor Tahun 2013 (Rp triliun) Fenomena ketidaksesuaian pekerja dengan industri perlu segera diselesaikan. Untuk itu pemerintah dan pelaku industri perlu terlibat dalam pengembangan pendidikan berbasis keterampilan. Kontribusi pelaku industri ini sangat diperlukan karena pelaku industrilah yang akan menggunakan tenaga kerja (demand driven), sehingga fenomena mismatch pekerja dengan industri dapat dikurangi. Sumber: BKPM 12 Apabila belajar dari tahun 2013, maka pemerintah perlu menggalakkan investasi pada sektor-sektor industri padat karya selain investasi pada sektor padat modal. Hal ini dilakukan supaya industri-industri yang dibangun mampu menyerap tenaga kerja lebih baik Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi Terjemahan. PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta Suparmoko, Irawan M. 1992. Ekonomika Pembangunan. BPFE. Yogjakarta. Wacana Pengetahuan. “Pengelompokan atau Penggolongan Jenis-Jenis industri dan Ciricirinya”. Diakses dari http:// wacanapengetahuan.blogspot. co.id/2013/10/pengelompokan-ataupenggolongan-jenis_7988.htm. Tangal akses 25 Februari 2017 Daftar Pustaka Bank Indonesia. “Jurnal Ekonomi”. diakses dari http://www.bi.go.id/id/ publikasi/jurnal-ekonomi/Documents/ 61b002931ccd4ea69323f55a7a3a54e 9YatiKurniatiYanfitri.pdf. Tanggal akses 25 Februari 2017 Yustika, Ahmad. 2013. “Investasi dan Prospek Industri”. Diakses dari http:// ahmaderani.com/investasi-danprospek-industri.html. Tanggal akses 26 Januari 2017 BKPM.2017 “Realisasi Penanamab Modal PMDN-PMA Triwulan IV dan Januari - Desember Tahun 2016 Rekomendasi Investasi yang gencar diupayakan oleh pemerintah sampai saat ini belum berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang terserap oleh realisasi investasi tidak sebanding dengan besarnya investasi yang dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pekerja dengan sektor industri. Untuk mengatasi fenomena ketidaksesuaian antara pekerja dengan sektor industri maka perlu kerjasama antara pemerintah dan pelaku industri untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan berbasis keterampilan. Selain itu, untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang lebih baik pemerintah perlu menggalakkan investasi pada sektor-sektor industri yang padat karya. Pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih sehingga investor tertarik untuk melakukan investasi di sektor padat karya. Dalam menghadapi bonus demografi Indonesia pada tahun 2020-2030, pemerintah seharusnya mensinergiskan kegiatan investasi pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan serta industri pengolahan (industri manufaktur). Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu menarik investor untuk melakukan investasi di sektor-sektor tersebut. 13 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528 e-mail [email protected] 14