Alat Peraga Sistem Kendali Pendulum Terbalik

advertisement
BAB IV
PENGUJIAN DAN ANALISIS
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengujian dan analisis alat peraga sistem
kendali pendulum terbalik yang meliputi pengujian dimensi mekanik, pengujian
dimensi dan massa batang pendulum, pengujian dan analisis sensor rotary encoder dan
photo interrupter, pengujian driver motor, pengujian sistem kendali PID, serta
pengujian alat peraga secara keseluruhan.
4.1. Pengujian Dimensi Mekanik
Pada bagian ini pengujian mekanik dilakukan dengan menggunakan sebuah
meteran standar yang tersedia di pasaran. Pengujian dilakukan untuk mengetahui
dimensi dari alat peraga yang telah direalisasikan yang meliputi panjang, lebar dan
tinggi alat peraga.
Gambar 4.1. Pengujian panjang mekanik.
Gambar 4.2. Pengujian tinggi mekanik.
46
Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa ukuran dimensi alat peraga adalah
panjang 202 cm, dengan tinggi 35 cm. Sedangkan untuk panjang jalur lintasan rel
setelah dibatasi oleh sensor photo interrupter adalah cm. Pada realisasi mekanik ini
panjang mekanik di ubah karena pertimbangan untuk menambah lamanya waktu
pendulum terbalik dalam kondisi stabil. Sedangkan tinggi pendulum berubah, agar
dapat mengurangi getaran yang dihasilkan saat sistem sedang bekerja untuk
menyeimbangkan pendulum.
4.2. Pengujian Dimensi dan Massa Batang Pendulum
Pada bagian ini pengujian terhadap batang pendulum dilakukan dengan mengukur
panjang dan juga massa dari batang pendulum. Pengujian panjang pendulum
menggunakan sebuah meteran standar yang tersedia di pasaran, sedangkan pengukuran
massa pendulum menggunakan timbangan digital Electronic Kitchen Scale Model
EK3550, division 1 gr, dan massa maksimal 5000 gr.
Gambar 4.3. Pengujian panjang batang pendulum.
Gambar 4.4. Pengujian massa batang pendulum.
Dari hasil pengujian didapatkan panjang dan massa batang pendulum adalah
sepanjang 53,5 cm dengan massa 366 gr. Perubahan massa pendulum dikarenakan
motor dan mekanik yang digunakan tidak kuat untuk mengangkat pendulum terbalik,
sehingga massa pendulum harus dikurangi.
47
4.3. Pengujian Sensor
Pada bagian ini sensor yang akan diuji dan dianalisis adalah sensor absolute
rotary encoder sebagai sensor sudut dan sensor photo interrupter sebagai pembatas
pergerakan bidang penyangga pendulum.
4.3.1. Pengujian Sensor Absolute Rotary Encoder
Pengujian absolute rotary encoder yang dilakukan meliputi pengujian tegangan
keluaran rotary, kode biner yang dihasilkan rotary, konversi kode biner menjadi
desimal dan sudut, dan perbandingan pengukuran sudut terhadap sudut acuan
pengukuran menggunakan busur derajat.
4.3.1.1. Pengujian Tegangan Keluaran Absolute Rotary Encoder
Pengujian tegangan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tegangan
keluaran yang dihasilkan oleh rotary encoder. Pada subbab 2.4.1 dan 3.2.2.2.1 telah
dikatakan bahwa sensor ini digunakan untuk mengetahui besar sudut yang dihasilkan
pendulum terhadap posisi setimbang tegak lurus keatas dengan keluaran berupa kode
biner yang nilainya hanya ada dua, yaitu high (Vcc) dan low (ground). Oleh sebab itu,
untuk membuktikan nilai keluaran rotary encoder hanya bernilai Vcc dan ground, maka
perlu dilakukan pengujian terhadap tegangan keluaran rotary encoder.Pengujian ini
dilakukan dengan menggunakan multimeter digital FLUKE 115.
Gambar 4.5. Pengujian tegangan masukan rotary encoder.
48
Gambar 4.6. Pengujian tegangan keluaran murni rotary encoder.
Terlihat dari hasil pengukuran didapatkan dengan tegangan masukan 12,03 VDC,
tegangan keluaran yang dihasilkan rotary encoder sebesar 0,599 VDC saat kondisi low
dan 0,932 VDC saat kondisi high. Pada datasheet absolute rotary encoder EP50S8-3601F-N-24, terlihat sensor ini membutuhkan sebuah pengendali untuk mengendalikan
keluarannya. Dikarenakan sensor ini bertipe N, yang pada acuan datasheet sistem
kontrol keluarannya adalah tipe NPN, maka sensor ini membutuhkan tambahan
komponen sebuah resistor yang dihubungkan antara keluaran dan Vcc (tegangan
masukan rotary).
Gambar 4.7. Pengujian tegangan keluaran rotary encoder setelah diberi resistor.
49
Terlihat setelah diberikan sebuah tambahan resistor, keluaran dari sensor ini
menjadi sebesar 9,08 VDC saat kondisi high dan 0,766 VDC saat kondisi low.
Tegangan keluaran ini nantinya akan masuk kedalam pegendali utama, dan akan di olah
menjadi sebuah besaran sudut. Oleh karena tegangan yang boleh masuk kedalam pin
pengendali utama hanya sebesar 5 VDC untuk kondisi high, maka sistem kontrol
keluaran sensor rotary encoder perlu tambahan sebuah pembagi tegangan.
Gambar 4.8. Pengujian akhir pengendali keluaran rotary encoder.
Setelah diberikan sebuah pembagi tegangan, keluaran yang dihasilkan oleh sensor
menjadi sebesar 4,778 VDC untuk kondisi high dan 0.029VDC untuk kondisi low.
Dengan hasil tersebut, maka keluaran dari sensor absolute rotary encoder sudah aman
dan dapat dimasukkan kedalam pin arduino.
4.3.1.2. Pengujian Kode Biner KeluaranAbsolute Rotary Encoder
Pengujian kode biner dilakukan untuk mengetahui nilai variasi kode biner yang di
hasilkan oleh sensor rotary encoder. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 10
buah LED yang menandakan 10 bit keluaran dari sensorrotary encoderyang digunakan.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.1.
50
Tabel 4.1. Hasil pengujian kode biner keluaran rotary encoder.
Output Biner Bit KeDesimal
Desimal
(BCD)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
166
106
0 0 1 0 1 0 0 1 1 0
182
116
0 0 1 0 1 1 0 1 1 0
198
126
0 0 1 1 0 0 0 1 1 0
214
136
0 0 1 1 0 1 0 1 1 0
230
146
0 0 1 1 1 0 0 1 1 0
246
156
0 0 1 1 1 1 0 1 1 0
358
166
0 1 0 1 1 0 0 1 1 0
374
176
0 1 0 1 1 1 0 1 1 0
390
186
0 1 1 0 0 0 0 1 1 0
406
196
0 1 1 0 0 1 0 1 1 0
422
206
0 1 1 0 1 0 0 1 1 0
438
216
0 1 1 0 1 1 0 1 1 0
454
226
0 1 1 1 0 0 0 1 1 0
470
236
0 1 1 1 0 1 0 1 1 0
486
246
0 1 1 1 1 0 0 1 1 0
502
256
0 1 1 1 1 1 0 1 1 0
614
266
1 0 0 1 1 0 0 1 1 0
630
276
1 0 0 1 1 1 0 1 1 0
646
286
1 0 1 0 0 0 0 1 1 0
662
296
1 0 1 0 0 1 0 1 1 0
678
306
1 0 1 0 1 0 0 1 1 0
694
316
1 0 1 0 1 1 0 1 1 0
710
326
1 0 1 1 0 0 0 1 1 0
726
336
1 0 1 1 0 1 0 1 1 0
742
346
1 0 1 1 1 0 0 1 1 0
758
356
1 0 1 1 1 1 0 1 1 0
870
366
1 1 0 1 1 0 0 1 1 0
886
376
1 1 0 1 1 1 0 1 1 0
902
386
1 1 1 0 0 0 0 1 1 0
918
396
1 1 1 0 0 1 0 1 1 0
934
406
1 1 1 0 1 0 0 1 1 0
950
416
1 1 1 0 1 1 0 1 1 0
966
426
1 1 1 1 0 0 0 1 1 0
982
436
1 1 1 1 0 1 0 1 1 0
998
446
1 1 1 1 1 0 0 1 1 0
1014
456
1 1 1 1 1 1 0 1 1 0
1023
465
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
51
Dari hasil pengujian yang dilakukan didapatkan 360 macam variasi biner,
sedangkan pada tabel 4.1 hanya menampilkan hasil pengukuran sebanyak 36 macam
variasi biner yang dimulai dari 00101001102 sampai 11111111112. Pada tabel 4.1 hasil
percobaan yang ditunjukkan hanya 36 jenis variasi biner dengan kenaikan 10 bit.
Terlihat hasil pada tabel 4.1 kode biner yang dihasilkan tidak dimulai dengan kode biner
10 bit seperti pada umumnya, yaitu 00000000002, melainkan dimulai dengan
00101001102. Hal ini dikarenakan tipe sensor rotary encoder yang digunakan adalah
tipe absolute, yang pada dasar teori subbab 2.4.1.1 telah dijelaskan bahwa kode biner
yang dihasilkan oleh rotary encoder tipe absolute sangat unik karena bergantung pada
susunan segmen pada piringan optik yang ada pada sensor tersebut.
Pengkodean biner pada sensor ini sendiri adalah BCD code, dimana BCD code
merupakan sistem pengkodean biner bilangan desimal yang sistem konversinya bukan
secara keseluruhan, melainkan konversi satu per satu. Cara konversi kode biner menjadi
desimal pada BCD code dilakukan dengan membagi 10 bit keluaran rotary encoder
menjadi 3 bagian, dimana setiap bagiannya terdiri dari 4 bit dimulai dari bit paling kecil
hingga bit paling besar secara berurutan. Dikarenakan pada sensor ini keluaran yang
dihasilkan hanya 10 bit, maka diberikan 2 bit tambahan yang nilainya tidak
mempengaruhi nilai 10 bit keluaran sebenarnya dari sensor rotary encoder yaitu 002
untuk bit 11 dan 12. Seperti terlihat pada tabel 3.2, 4 bit pertama (bit 0, 1, 2, 3)
merupakan nilai satuan desimal, kemudian 4 bit selanjutnya (bit 4, 5, 6, 7) merupakan
nilai puluhan desimal, dan 4 bit terakhir (bit 8, 9, 10, 11) merupakan nilai ratusan
desimal. Berikut ini adalah contoh konversi BCD code yang dihasilkan oleh sensor
rotary encoder menjadi desimal berdasarkan tabel 3.2.
BCD : 1111111111 0011-1111-1111
BCD : 0010100110  0000-1010-0110
1111 (8+4+2+1) x 1 = 15
0110(0+4+2+0) x 1 = 6
1111 (8+4+2+1) x 10 = 150
1010(8+0+2+0) x 10 = 100
0011 (0+0+2+1) x 100 = 300
0000(0+0+0+0) x 100 = 0
Desimal : 15+150+300 = 465
Desimal : 6+100 = 106
Dapat dilihat pada hasil perhitungan tersebut nilai maksimum dan minimum
desimal adalah 465 dan 106. Karena hasil perhitungan menunjukkan nilai desimal
tersebut ada 360 nilai, maka nilai desimal tersebut dapat di konversi kembali menjadi
52
sudut dari 0°-359°. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sensor ini dapat
menghasilkan perubahan sudut sebesar 1° untuk setiap satu perubahan 1 bit kode biner.
Untuk mengkonversi nilai desimal yang didapatkan menjadi besaran sudut, maka
yang perlu diperhatikan adalah rentang nilai sudut yang diinginkan. Pada tugas akhir ini
rentang nilai yang dipilih ada -179° sampai 180° dengan nilai tengah adalah 0°. Nilai
tengah ini merupakan nilai setpoint yang ingin dicapai oleh batang pendulum sehingga
batang pendulum tegak lurus keatas. Berikut ini potongan coding program untuk
mendapatkan nilai sudut.
Desimal = (a + b + c + d + e + f + g + h + i + j);
Sudut=(DesTemp-Desimal);
if(Sudut>180)
{
SudutTemp = Sudut-180;
SudutTemp = SudutDelta-SudutTemp;
Sudut = SudutTerkecil-SudutTemp;
}
Variable a sampai j pada potongan program diatas merupakan nilai desimal yang
dihasilkan oleh keluaran sensor untuk masing-masing bit, dimulai dari variable a untuk
bit0 sampai variable j untuk bit9. Kemudian variable Desimal adalah jumlah desimal
keseluruhan bit dari sensor. Setelah itu, cari nilai desimal dari sudut 0° untuk
menentukan rentang nilai sudut dari -179° sampai 180°(hal ini dilakukan dengan cara
manual). Kemudian dilakukan pengecekan secara manual kembali untuk melihat apakah
rentang nilai sudut sudah benar. Cara yang dilakukan adalah dengan melihat nilai sudut
apakah ada sudut yang melebihi 180° atau lebih kecil dari -179°. Jika ada yang di luar
rentang nilai sudut yang di inginkan, maka nilai sudut tersebut akan dipaksa menjadi
minimal -179° atau maksimal 180°. Cara yang digunakan adalah dengan menambahkan
nilai yang berlebih tersebut kepada nilai sudut yang kurang. Variable SudutDelta adalah
nilai selisih sudut yang terbaca dengan rentang sudut normal yang sudah ditentukan
kemudian ditambah 1. Misal hasil pengujian didapatkan sudut terkecil adalah -138° dan
53
sudut terbesar adalah 221°, maka SudutDelta adalah 42 dan SudutTerkecil adalah -138°.
Variable SudutTemp adalah nilai sudut sementara yang digunakan untuk menentukan
nilai sudut 0°. Variable Sudut adalah nilai sudut yang rentang nilainya adalah -179°
sampai 180°.
4.3.1.3. Pengujian Sudut Absolute Rotary Encoder
Pada bagian ini pengujian sudut yang dihasilkan rotary encoder menggunakan
busur derajat yang tersedia dipasaran. Pengujian dilakukan untuk melihat perbandingan
sudut atara sensor rotary encoder dengan busur derajat.
Tabel 4.2. Hasil pengujian sudut rotary encoder dan busur derajat.
Sudut Rotary (°)
0
9
19
30
40
50
59
70
81
89
100
111
121
131
139
150
160
170
180
Sudut Busur Derajat (°)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
Setelah dilakukan pengujian, nilai sudut yang terukur telah mendekati nilai sudut
dengan menggunakan busur derajat. Selisih hasil pengukuran antara sudut rotary
encoder dan busur derajat adalah 1°. Hal ini dikarenakan pada sensor rotary encoder
keluaran yang dihasilkan telah berupa data digital, sehingga nilai sudut yang hasilkan
54
tiap perubahan pengkodean biner adalah 1° namun dengan ralat seperti tertera pada
datasheet sebesar ±0,25°.
4.3.2. Pengujian Sensor Photo Interrupter
Pada bagian ini pengujian sensor photo interrupter dilakukan dengan mengukur
tegangan keluaran dari sensor tersebut dengan menggunakan multimeter digital FLUKE
115 saat kondisi sensor dalam keadaan terhalangi dan tidak terhalangi.
Gambar 4.9. Pengujian tegangan masukan photo interrupter.
Gambar 4.10. Pengujian tegangan keluaran photo interrupter saat dihalangi.
55
Gambar 4.11. Pengujian tegangan keluaran photo interrupter saat tidak dihalangi
Gambar diatas memperlihatkan hasil pengukuran saat kondisi tidak terhalangi
keluaran dari sensor adalah high (4,941 VDC) dan saat terhalagi keluaran dari sensor
adalah low (0,005 VDC).
4.4. Pengujian Driver Motor
Pengujian driver motor dilakukan dengan mengacu pada tabel kebenaran yang ada
pada datasheet untuk melihat hubungan PWM terhadap kecepatan dan arah putar motor
serta tegangan keluaran dari driver. Pada pengujian ini, driver motor diberikan sinyal
PWM dengan nilai 0-255 pada frekuensi 4 kHz dan mengukur tegangan yang diberikan
pada motor. Berikut ini adalah hasil pengujian yang telah di lakukan.
Gambar 4.12. Sinyal keluaran driver motor denganPWM 100.
56
Gambar 4.13. Sinyal keluaran driver motor dengan PWM 128.
Gambar 4.14. Sinyal keluaran driver motor dengan PWM 200.
Tabel 4.3. Hubungan antara PWM dan tegangan motor DC.
PWM (Digit)
Tegangan Motor DC (Volt)
0
2.13
50
3.54
60
3.84
70
4.13
80
5.34
90
6.21
100
6.88
110
7.52
128
8.43
150
9.10
175
10.00
57
200
10.22
225
10.33
240
11.00
255
11.58
14
Tegangan PWM
12
10
8
6
4
2
0
0
50
60
70
80
90
100 110 128 150 175 200 225 240 255
Digit PWM
Motor
Gambar 4.15. Grafik hubungan antara PWM dan tegangan motor DC.
Dari hasil pengujian diatas dapat dilihat bahwa antara PWM dan tegangan pada
motor sudah mendekati linear. Namun tidak sesuai dengan yang diharapkan karena saat
PWM 0, tegangan awal motor sudah mencapai lebih dari 2V yang seharusnya 0V. Pada
saat driver diberi nilai PWM sebesar -255, tegangan yang keluar sebesar 11,59. Hal ini
dikarenakan, nilai yang digunakan tetap 255. Sedangkan nilai positif maupun negatif
dari PWM, hanya sebagai tanda perbedaan arah putaran motor.
4.5. Pengujian Sistem Kendali
Pada bagian ini pengujian dilakukan dengan memberikan masukan nilai Kp, Ki,
dan Kd secara bergantian untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam menjaga posisi
setimbang pendulum. Hal ini dapat diamati dengan melihat pengaruh konstata Kp, Ki,
dan Kd yang dimasukkan kedalam sistem kendali terhadap grafik sudut aktual
pendulum, nilai rise time, max overshoot, peak time, dan settling time. Selain itu
58
pengujian dengan memberikan nilai Kp, Ki, dan Kd secara bergantian juga dilakukan
untuk melihat kerja dari sistem kendali PID.
Pengujian dilakukan dengan memasukkan nilai Kp, tanpa memasukkan Ki dan Kd
terlebih dahulu. Selanjutnya memberikan konstanta Ki tanpa Kp dan Kd. Dan selanjutnya
memberikan konstanta Kd tanpa Kpdan Ki.Pengujian ini di lakukan untuk melihat
tanggapan sistem terhadap perubahan sudut yang dihasilkan oleh sensor terhadap nilai
setpoint yang telah di tentukan. Berikut ini adalah beberapa gambar grafik hasil
percobaan yang telah dilakukan dengan memberikan nilai Kp, Ki, dan Kdyang berbedabeda.
200
150
50
0
-50
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67
73
79
85
91
97
103
109
115
121
127
133
139
145
151
157
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.16. Tuning dengan Kp=0, Ki=0, Kd=5.
200
150
50
0
-50
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
141
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.17. Tuning dengan Kp=0, Ki=0, Kd=10.
59
200
150
50
116
111
106
101
96
91
86
81
76
71
66
61
56
51
46
41
36
31
26
21
16
11
-50
6
0
1
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.18. Tuning dengan Kp=0, Ki=5, Kd=0.
200
150
50
0
-50
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67
73
79
85
91
97
103
109
115
121
127
133
139
145
151
157
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.19. Tuning dengan Kp=5, Ki=0, Kd=0.
200
150
50
0
-50
1
11
21
31
41
51
61
71
81
91
101
111
121
131
141
151
161
171
181
191
201
211
221
231
241
251
261
271
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.20. Tuning dengan Kp=22, Ki=0,2, Kd=24.
60
200
150
50
0
-50
1
10
19
28
37
46
55
64
73
82
91
100
109
118
127
136
145
154
163
172
181
190
199
208
217
226
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.21. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,2, Kd=20.
200
150
50
0
-50
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67
73
79
85
91
97
103
109
115
121
127
133
139
145
151
157
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.22. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,4, Kd=14.
200
150
50
0
-50
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
101
106
111
116
121
126
131
136
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.23. Tuning dengan Kp=10, Ki=0, Kd=10.
61
200
150
50
0
-50
1
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
78
85
92
99
106
113
120
127
134
141
148
155
162
169
176
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.24. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,2, Kd=30.
200
150
50
0
-50
1
10
19
28
37
46
55
64
73
82
91
100
109
118
127
136
145
154
163
172
181
190
199
208
217
226
235
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.25. Tuning dengan Kp=12, Ki=0,2, Kd=24.
200
0
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67
73
79
85
91
97
103
109
115
121
127
133
139
145
151
157
163
Sudut ( ° )
100
-100
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.26. Tuning dengan Kp=14, Ki=1, Kd=10.
62
200
150
50
0
-50
1
11
21
31
41
51
61
71
81
91
101
111
121
131
141
151
161
171
181
191
201
211
221
231
241
251
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.27. Tuning dengan Kp=20, Ki=0,2, Kd=25.
200
150
50
0
-50
1
9
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
105
113
121
129
137
145
153
161
169
177
185
193
201
209
Sudut ( ° )
100
-100
-150
-200
Waktu ( x 10) ms
Sudut Aktual
Gambar 4.28. Tuning dengan Kp=24, Ki=0,2, Kd=27.
Sistem kerja dari sistem kendali PID sangat bergantung pada nilai konstanta Kp,
Ki, dan Kd yang terlihat pada persamaan 2.9 dan 2.10. Komponen proportional
digunakan sebagai keluaran pengendali yang didapatkan dari hasil kali nilai error dan
konstanta Kp. Sedangkan komponen integral digunakan sebagai keluaran pengendali
yang didapatkan dari hasil kali nilai akumulasi error dan konstanta Ki. Dan komponen
derivative digunakan sebagai keluaran pengendali yang didapatkan dari hasil kali nilai
delta error (error sekarang dikurangi error sebelumnya) dan konstanta Kd. Semakin
besar nilai konstanta ketiganya, maka akan semakin besar pula keluaran pengendali
masing-masing komponen [7, h.69].
63
Terlihat dari grafik diatas, nilai konstanta PID sangat berpengaruh terhadap
perubahan sudut aktual yang dihasilkan oleh pendulum. Terlihat sudut aktual pendulum
dapat bertahan lebih lama pada posisi setimbang saat diberi konstanta Kp=22, Ki=0,2,
Kd=24. Diharapkan dengan memberikan konstanta PID yang tepat, maka pendulum
terbalik ini dapat mencapai posisi setimbang yang lebih lama.
4.6. Pengujian Keseluruhan Sistem
Pada pengujian ini, sistem di uji secara keseluruhan. Pengujian dilakukan dengan
menyatukan program user interface yang telah dirancang dengan pengendali utama.
Pengujian ini dilakukan dengan memberikan nilai Kp, Ki, dan Kd pada user interface,
kemudian melihat dan mengamati respons sistem terhadap konstanta PID yang
diberikan. Respons sistem diamati dari gambar grafik sudut aktual pendulum, dan
perhitungan lain seperti rise time, settling time, max overshoot, dan peak time. Berikut
ini beberapa hasil percobaan sistem secara keseluruhan dengan menggunakan program
user interface.
Gambar 4.28. Tuning dengan Kp=0, Ki =0, Kd=5.
Gambar 4.29. Tuning dengan Kp=0, Ki=0, Kd=10.
64
Gambar 4.30. Tuning dengan Kp=0, Ki=5, Kd=0.
Gambar 4.31. Tuning dengan Kp=5, Ki=0, Kd=0.
Gambar 4.32. Tuning dengan Kp=22, Ki=0,2, Kd=24.
Gambar 4.33. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,2, Kd=20.
65
Gambar 4.34. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,4, Kd=14.
Gambar 4.35. Tuning dengan Kp=10, Ki=0, Kd=10.
Gambar 4.36. Tuning dengan Kp=10, Ki=0,2, Kd=30.
Gambar 4.37. Tuning dengan Kp=12, Ki=0,2, Kd=24.
66
Gambar 4.38. Tuning dengan Kp=14, Ki=1, Kd=10.
Gambar 4.39. Tuning dengan Kp=20, Ki=0,2, Kd=25.
Gambar 4.40. Tuning dengan Kp=24, Ki=0,2, Kd=27.
Terlihat pada hasil pengujian nilai rise time disetiap pengujian adalah nol. Hal ini
disebabkan nilai rise time tidak dapat dapat dihitung pada program user interface. Nilai
rise time dapat dihitung jika ada data yang diterima oleh program user interface dari
pengendali utama mikrokontroler. Namun kenyataannya, pada saat proses gerak start
pengendali utama tidak mengirim data. Hal ini dikarenakan, proses pengiriman data
yang dilakukan pengendali utama hanya satu kali dalam satu looping program selesai
dilakukan. Sedangkan gerak start merupakan salah satu fungsi yang ada dalam satu
looping tersebut. Jika dalam fungsi gerak start dilakukan pengiriman data, maka akan
menyebabkan error pada program user interface. Error tersebut dikarenakan
pengiriman data dari pengendali utama sangat cepat, sehingga data tersebut tidak dapat
diterima oleh program user interface. Maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan
menunda waktu pengiriman data dari pengendali utama kedalam program user
67
interface. Penundaan dilakukan selama 20 ms dalam satu kali proses looping selesai
dilakukan.
Kemudian dari hasil pengujian, didapatkan hasil max overshoot terkecil adalah
saat konfigurasi PID adalah Kp=20, Ki=0,2, Kd=25. Sedangkan nilai peak time paling
kecil adalah saat PID adalah Kp=14, Ki=1, Kd=10. Dan nilai settling time paling kecil
adalah saat Kp=12, Ki=0,2, Kd=24. Hal ini menunjukkan bahwa setiap konstanta PID
yang diberikan pada sistem kendali PID, menimbulkan efek yang berbeda-beda.
Nilai Kp, dan Kd yang semakin membesar, akan mempengaruhi nilai max
overshoot menjadi semakin besar pula. Hal ini dikarenakan respons sistem semakin
cepat, namun respons yang sangat cepat tersebut menyebabkan error dari pendulum
akan semakin besar. Dengan memberikan nilai Kp dan Ki yang berlebihan, maka nilai
max overshoot sistem akan semakin besar dan sistem kestabilan sistem akan menurun.
Kemudian, saat diberikan konstanta Kd yang besar, maka max overshoot sistem akan
semakin kecil.
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan konfigurasi PID yang dapat
menjaga posisi setimbang pendulum paling baik adalah Kp=22, Ki=0,2, Kd=24 dengan
waktu diantara 3000 samai 5000 ms.
68
Download