Teraju REPUBLIKA RABU, 5 JANUARI 2011 AH JELAAJTIK SEB 25 Suku Tidung, bermukim di Pulau Kalimantan dan mewakili kebudayaan pesisir. oleh Andi Nur Aminah enyebut Borneo atau Kalimantan, yang terlintas salah satunya adalah suku Dayak. Suku yang sampai kini mendiami hutan-hutan di pedalaman Kalimantan. Tak banyak yang tahu jika di gugusan Pulau Borneo itu masih ada suku lainnya yang sebetulnya masih turunan dari suku Dayak. Suku Tidung. Begitulah nama suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kalimantan Timur (Kaltim). Kini, suku Tidung hanya bisa ditemui di wilayah pesisir dan beberapa di kawasan pegunungan sebelah barat Pulau Sebatik, yang merupakan bagian dari Kabupaten Nunukan. Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, Malaysia. Maklum saja, pijakan mereka pun Pulau Sebatik— pulau yang terbelah dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia, sebagian lagi wilayah Malaysia. Sebetulnya, di kawasan Kaltim bagian utara, secara umum penduduk aslinya terdiri dari suku Tidung, Dayak dan Bulungan. Tiga suku ini mewakili tiga kebudayaan, yakni pesisir (Tidung), kesultanan (Bulungan), dan pedalaman (Dayak). Suku Tidung umumnya mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau. Ada juga beberapa yang bermukim di tepian muara sungai. Menurut Zainal Aqli, warga asal Tarakan yang menikah dengan penduduk asli Tidung, suku Tidung masih memiliki tali kekerabatan dengan suku Dayak dari rumpun Murut (suku Dayak yang ada di Sabah, Malaysia). “Suku Tidung banyak mendiami pesisir pantai dan mereka mayoritas sudah beragama Islam,” ujar Zainal. Karena suku Tidung beragama Islam dan dalam kesehariannya menjalankan syariat Islam, pelan-pelan mereka tidak dianggap lagi sebagai suku Dayak. Keberadaan mereka lebih dikategorikan suku yang berbudaya M MELAYUONLINE Tersingkirnya Orang-orang Tidung Melayu, seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir. Sebetulnya, sisa-sisa kepercayaan suku Dayak tetap ada di masyarakat Tidung. Mereka masih kerap menjalankan ritual, memberikan sesajen berupa hewan. Mereka mengirim doa melalui hewan yang dipotong itu, kemudian ditenggelamkan ke laut dekat tempat tinggal mereka. Masih ada juga yang memercayai keberadaan roh halus yang mendiami bebatuan serta pohon besar. Kini suku Tidung semakin bergeser ke wilayah pesisir barat Pulau Sebatik. Jumlah mereka pun tak banyak, sekitar sepertiga dari jumlah penduduk Sebatik. Makin berkurangnya orangorang Tidung yang mendiami pulau ini karena banyaknya pendatang yang mayoritas adalah suku Bugis-Makassar. Perkawinan antarsuku juga salah Tari Jepen satu faktor yang membuat suku ini makin berkurang mendiami Sebatik. Apalagi jika perkawinan tersebut berlangsung antara perempuan suku Tidung dengan lelaki dari luar suku tersebut. Meski kian terpinggirkan, kata Zainal, orang-orang Tidung tidak merasa tergusur. Suku Tidung ini, menurutnya, punya tradisi berpindahpindah. Banyak di antara mereka yang memiliki tanah atau ladang lalu menjualnya kepada pendatang. Setelah itu, mereka pun berpindah ke tempat lain. Tak jarang, lahan mereka di barter dengan satu unit sepeda motor yang kira-kira seharga Rp 12 juta. Suku Tidung yang mendiami wilayah Sebatik Barat juga masih jarang yang tersentuh fasilitas kesehatan. Maklum, keberadaan tenaga dokter dan puskesmas di wilayah ini belum menjangkau mereka. Tak heran jika warga Tidung masih mengandalkan pengobatan dan bantuan dukun melalui cara-cara tradisional. Dukun dalam bahasa Tidung disebut tatamba. Tatamba juga merupakan kebiasaan adat (ritual) pengobatan bagi mereka yang terkena bisa ular, dikenai tenung atau guna-guna. Penyembuhannya dilakukan dengan menyemburkan air putih yang sudah dibacakan mantra-mantra. Cara pengobatan tradisional lainnya yang masih sering dilakukan warga suku Tidung adalah menggunakan tumbuhan dan buah-buahan. Wilayah Sebatik Barat yang dihuni kebanyakan suku Tidung merupakan kawasan perbukitan terjal di bagian barat, perbukitan sedang di bagian tengah, dan daratan bergelombang dan landai di bagian timur yang memanjang hingga ke pantai. Perbukitan terjal di sebelah barat merupakan jalur pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan, perbukitan di sebelah selatan bagian tengah ketinggiannya berkisar 500 meter di atas permukaan laut. Berawal dari kerajaan Suku-suku besar yang ada di nusantara ini umumnya berawal dari sebuah kerajaan. Begitu pula suku Tidung. Suku ini semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Kerajaan ini akhirnya punah akibat politik adu domba pihak Belanda. Sejak punahnya kerajaan itulah, mereka berpindah ke pulau-pulau di Indonesia dan Malaysia. Berdasar sejumlah dokumen tertulis, dahulu di kawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan. Kerajaan dari kaum suku Tidung dan kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan dari kaum suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan. Sedangkan, Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas. Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerin- tah di kalangan suku Tidung terbagi atas beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah kabupaten, antara lain Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian selatan. Kerajaan tertua di kalangan suku Tidung yang pernah ada yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap. Rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan lebat dan angin topan yang sangat dahsyat. Perkampungan itu kemudian tenggelam ke dalam sungai bersama seluruh warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab. Dari beberapa sumber diperoleh riwayat yang memperkirakan bahwa tragedi di Menjelutung itu terjadi sekitar awal abad XI. Selang 15 musim setelah Menjelutung runtuh, seorang keturunan Benayuk bernama Yamus mengangkat diri sebagai raja yang kemudian memindahkan pusat permukiman ke Binalatung (Tarakan). Dari situlah awal mula muncul dan berkembangnya Kerajaan Tidung di Tarakan. Yamus kemudian memerintah selama 44 musim, dan setelah wafat ia digantikan salah seorang cucunya bernama Ibugang (Aki Bugang). Begitu seterusnya, kerajaan ini silih berganti dipimpin oleh anak keturunan sang raja, Benayuk. ■ MELAYUONLINE Dinasti Kerajaan Tidung Kuno oleh Andi Nur Aminah idung Kuno adalah suatu pemerintahan yang dipimpin seorang raja. Pusat pemerintahannya selalu berpindah-pindah dengan wilayah yang kecil/kampung. Penelitian tentang keberadaan Kerajaan Tidung Kuno ini sudah pernah dilakukan tim arkelologi dari Pusat Arkeologi Nasional (PAN) 2005 lalu. Tim ini melakukan penelitian situs yang ada di Kota Tarakan dan berusaha menemukan jejak kerajaan tidung. Penelitian dilakukan Ketua Tim PAN, Gunady. Awalnya, Gunady tak mengetahui jika di Tarakan ada kerajaan bernama Kerajaan Tidung. Yang ia ketahui, hanyalah Kerajaan Bulungan dan Kerajaan Sembeliung (Berau). Setelah melakukan riset tentang adanya Kerajaan Tidung di Tarakan, T akhirnya mereka menemukan bukti-bukti keberadaan kerajaan tersebut. Berikut ini, dinasti yang pernah memimpin Kerajaan Tidung: 1. Raja Benayuk dari Sungai Sesayap, Menjelutung (memerintah sekitar 35 musim) Kerajaan Menjelutung berakhir setelah ditimpa malapetaka berupa hujan dan angin topan yang mengakibatkan perkampungan di situ tenggelam ke dalam bersama warganya. 2. Raja Yamus (Si Amus) (memerintah sekitar 44 musim) Sekitar 15 musim setelah Menjelutung runtuh, seorang keturunan Benayuk bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai raja. Ia kemudian memindahkan pusat permukiman ke Binalatung (Tarakan). 3. Raja Ibugang (Aki Bugang) Ibugang beristrikan Ilawang (Adu Lawang) beranak tiga orang. Dari ketiga anak ini, hanya seorang yang tetap tinggal di Binalatung, yakni Itara. Satu putranya ke Betayau dan satu lagi ke Penagar. 4. Raja Itara (memerintah sekitar 29 musim) Setelah wafat, anak keturunan Itara, bernama Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah selama 25 musim. 5. Ikurung (memerintah sekitar 25 musim) Ikurung beristrikan Putri Kurung yang beranakkan Ikarang dan kemudian menggantikan ayahnya setelah wafat. 6. Ikarang (memerintah sekitar 35 musim) di Tanjung Batu (Tarakan). 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Karangan (memerintah sekitar semusim). Karangan yang beristrikan Putri Kayam (Putri dari Linuang Kayam) yang kemudian memiliki anak bernama Ibidang. Ibidang (memerintah sekitar semusim) Bengawan (memerintah sekitar 44 musim). Diriwayatkan, sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang, yaitu dari Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia). Itambu (memerintah sekitar 20 musim) Aji Beruwing Sakti (memerintah sekitar 30 musim) Aji Surya Sakti (memerintah sekitar 30 musim) Aji Pengiran Kungun (memerintah sekitar 25 musim) Pengiran Tempuad (memerintah sekitar 34 musim) Pengiran Tempuad kemudian kawin dengan raja perempuan suku Kayan di Sungai Pimping bernama Ilahai. Aji Iram Sakti (memerintah sekitar 25 musim) di Pimping, Bulungan. Aji Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung. Setelah Aji Iram Sakti wafat, ia digantikan kemenakannya yang bernama Aji Baran Sakti yang beristrikan Adu Idung. Aji Baran Sakti (memerintah sekitar 20 musim) Datoe Mancang (memerintah sekitar 49 musim) Diriwayatkan, masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama, yaitu 49 Rumah Adat Tidung WIKIPEDIA musim. 18. Abang Lemanak (memerintah sekitar 20 musim), di Baratan, Bulungan. 19. Ikenawai bergelar Ratu Ulam Sari (memerintah sekitar 15 musim). Ikenawai bersuamikan Datoe Radja Laut keturunan Raja Suluk bergelar Sultan Abdurrasid. Catatan: Satu musim = satu tahun hitungan Hijriah ■