BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Terapi Musik Klasik a. Pengertian Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik atau mental. Dalam kehidupan sehari-hari, terapi terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, para psikolog akan mendengar dan berbicara dengan klien melalui tahapan konseling yang kadang-kadang perlu disertai terapi, ahli nutrisi akan mengajarkan tentang asupan nutrisi yang tepat, ahli fisioterapi akan memberikan berbagai latihan fisik untuk mengembalikan fungsi otot tertentu (Djohan, 2006). Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi (Djohan, 2006). Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang terorganisasi, yang terdiri atas melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya (Aizid, 2011). Terapi musik adalah terapi yang bersifat non verbal. Dengan bantuan musik, pikiran-pikiran seseorang dibiarkan mengembara, baik untuk mengenang hal-hal yang menyenangkan, mengangankan hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan permasalahan yang sedang dihadapi (Djohan, 5 6 2006). Ketika musik diaplikasikan menjadi sebuah terapi, maka ia dapat meningkatkan, memulihkan, serta memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual setiap individu (Aizid, 2011). b. Cara Kerja Musik Terapi musik dapat mengatasi stres pada bayi dan anak-anak setelah diputarkan musik yang menenangkan dan lembut pada mereka, setidaknya selama 20-30 menit, tetapi lebih lama lebih baik (Aizid, 2011). Beberapa cara kerja musik sehingga dapat mempengaruhi kondisi tubuh, antara lain : 1) Menurunkan hormon-hormon yang berhubungan dengan stres; 2) Mengalihkan perhatian seseorang dari rasa takut, cemas, tegang dan masalah sehari-hari lainnya; 3) Mengaktifkan hormon endorfin (semacam protein yang dihasilkan di dalam otak dan berfungsi untuk menghilangkan rasa sakit); 4) Meningkatkan perasaan rileks; 5) Menyediakan “liburan mental mini” yang bahkan dapat membawa pikiran seseorang menjauh dari rasa sakit fisik selama periode waktu tertentu; 6) Secara fisiologis memperbaiki sistem kimia tubuh, sehingga mampu menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak (Aizid, 2011). Menurut Turana dalam Aizid (2011) semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan sebagai terapi, seperti lagu-lagu relaksasi, lagu populer, maupun musik klasik. Akan tetapi, yang paling dianjurkan menurutnya adalah musik atau lagu 7 dengan tempo sekitar 60 ketukan per menit yang bersifat rileks seperti musik klasik. Sebab, apabila temponya terlalu cepat, maka secara tidak sadar, stimulus yang masuk akan membuat seseorang mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan istirahat yang optimal tidak tercapai. Di antara musik-musik klasik tersebut yang sering kali menjadi acuan untuk terapi musik adalah musik klasik Mozart. c. Musik Klasik Mozart Musik klasik Mozart merupakan musik klasik hasil karya seorang komponis Wolfgang Amadeus Mozart (bahasa Jerman) yang bernama asli Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart. Wolfgang Amadeus Mozart dianggap sebagai salah satu dari komponis musik klasik Eropa yang terpenting dan paling terkenal dalam sejarah (Latifah, 2006). Selain menciptakan musik klasik yang sejalan dieranya, Mozart juga merupakan komponis serba bisa dan menciptakan musik hampir di setiap genre yang ada pada saat itu, termasuk simfoni, opera, konser solo, piano sonata, dan musik paduan suara. Mozart turut mengembangkan dan mempopulerkan konser piano yang saat itu masih tergolong baru. Mozart juga ikut menciptakan beberapa musik religius, dansa, serenade, dan berbagai bentuk musik ringan yang menghibur (Tanjung, 2014). Ciri khas dari musik yang diciptakan Mozart dapat ditemukan pada setiap karyanya. Kejernihan, keseimbangan, dan transparansi merupakan nuansa yang selalu diangkat oleh Mozart, meskipun kadang hanya menggunakan nada-nada yang sederhana. Saat mendengar lagu Mozart, pendengar bisa merasakan kejeniusan bermusik lewat setiap nada yang dipilih. Mozart menyampaikan emosi 8 yang kuat dengan musik bernuansa kontras antara semangat dan ketenangan (Tanjung, 2014). Banyak komponis yang begitu mengapresiasi musik karya Mozart. Gioacinno Rossini, komponis musik klasik dari Italia, menegaskan bahwa Mozart merupakan satu-satunya musisi yang memiliki banyak ilmu lewat kejeniusannya. Musisi klasik lainnya seperti Ludwig van Beethoven juga menyatakan kekagumannya kepada Mozart. Beethoven sering menggunakan Mozart sebagai panutan dalam musiknya (Tanjung, 2014). Di era musik klasik, tidak hanya Beethoven, seluruh musisi klasik yang terkenal menaruh hormat atas karya yang diciptakan Mozart. Karya-karyanya (sekitar 700 lagu) secara luas diakui sebagai puncak karya musik simfoni, musik kamar, musik piano, musik opera, dan musik paduan suara. Banyak dari karya Mozart dianggap sebagai standar konser klasik dan diakui sebagai mahakarya musik zaman klasik (Rauscher, 2006). 2. Dismenorea a. Pengertian Dismenorea atau nyeri menstruasi merupakan salah satu keluhan ginekologi yang paling umum pada wanita muda yang datang ke klinik atau dokter (Anurogo, 2011). Dismenorea adalah nyeri pada waktu menstruasi yang terasa di perut bagian bawah atau di daerah bujur sangkar michaelis, nyeri terasa sebelum, selama dan sesudah menstruasi dan juga dapat bersifat terus-menerus (Lubis, 2013). Hampir semua wanita mengalami rasa tidak nyaman selama menstruasi ini, 9 seperti rasa tidak enak di perut bagian bawah dan biasanya juga disertai mual, pusing bahkan pingsan (Anurogo, 2011). b. Klasifikasi Klasifikasi dismenorea terdiri atas : 1) Dismenorea primer a) Pengertian Dismenorea primer adalah nyeri menstruasi yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat genital yang nyata. Dismenorea primer terjadi beberapa waktu setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih, oleh karena siklus-siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis anovulatoar yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Perdarahan pertama dari uterus yang terjadi pada seseorang wanita disebut sebagai menarche, dan biasanya rata-rata terjadi pada usia 11-13 tahun. Menarche ini merupakan salah satu tanda pubertas pada wanita. Awal pubertas jelas dipengaruhi oleh bangsa, iklim, gizi, dan kebudayaan. Pada akhir-akhir ini secara umum ada pergeseran permulaan pubertas ke arah usia yang lebih muda. Hal ini bisa disebabkan oleh semakin baiknya nutrisi atau gizi dan kesehatan pada generasi sekarang. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan menstruasi dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri ialah kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut 10 bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Wiknjosastro, 2009). b) Penyebab Beberapa faktor yang memegang peranan sebagai penyebab dismenorea primer, antara lain : (1) Faktor endokrin Penyebab dari dismenorea adalah adanya hiperkontraktilitas uterus yang disebabkan oleh prostaglandin. Darah menstruasi wanita mengandung prostaglandin yang dapat merangsang otot polos. Prostaglandin tersebut dihasilkan oleh endometrium. Prostaglandin dapat menimbulkan rasa nyeri, ketika kadar progesteron dalam darah rendah (Wiknjosastro, 2009). Jika kadar prostaglandin yang berlebihan memasuki peredaran darah maka selain dismenorea dapat juga dijumpai efek lainnya seperti mual, muntah, diare, flushing respons involunter (tak terkontrol) dari sistem saraf yang memicu pelebaran pembuluh kapiler kulit, dapat berupa warna kemerahan atau sensasi panas (Anurogo, 2011). (2) Faktor kejiwaan Pada wanita-wanita yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika mereka tidak mendapat informasi yang jelas tentang proses menstruasi, dapat mudah timbul dismenorea. 11 (3) Faktor konstitusi Faktor-faktor seperti anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi munculnya dismenorea. (4) Faktor obstruksi kanalis servikalis Salah satu teori yang paling tua tentang penyebab munculnya dismenorea adalah stenosis kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam keadaan hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya dismenorea. (5) Faktor alergi Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya hubungan antara dismenorea dengan urtikaria, migrain atau asma bronkiale. Para peneliti menduga bahwa sebab alergi ialah toksin menstruasi (Wiknjosastro, 2009). c) Penanganan Menurut Anurogo (2011) masih banyak wanita yang biasa mengalami dismenorea menganggap bahwa dismenorea merupakan rasa sakit biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Pernyataan tersebut tidak tepat, karena seseorang yang mengalami dismenorea jika tidak dilakukan penanganan sama sekali, rasa nyeri tersebut akan tetap dirasakan bahkan bisa semakin bertambah. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak sekali wanita yang mengalami dismenorea merasa terganggu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, sangat 12 perlu adanya penanganan yang tepat terhadap dismenorea yang dirasakan agar tidak lagi mengganggu aktivitas dan konsentrasi mereka. Adapun penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dismenorea, antara lain: (1) Farmakologis Penanganan secara farmakologis antara lain: (a) Pemberian obat analgesik Obat analgesik yang sering diberikan adalah preparat kombinasi aspirin, fenasetin, dan kafein. Obat-obat paten yang beredar di pasaran antara lain novalgin, ponstan, acetaminophen dan sebagainya (Wiknjosastro, 2009). (b) Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) Obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin dan memperbaiki gejala pada 80% kasus. Perempuan yang mengalami dismenorea dianjurkan untuk mengonsumsinya pada saat atau sesaat sebelum awal nyeri 3 kali sehari pada hari pertama hingga ketiga. (c) Kontrasepsi oral Kontrasepsi oral menekan ovulasi, mengurangi pertumbuhan endometrium, dan mengurangi kadar prostaglandin. Kontrasepsi oral yang cocok digunakan adalah kontrasepsi oral dengan kerja estrogen rendah dan kerja progesteron tinggi (Sinclair, 2009). 13 (2) Non-farmakologis Pencegahan dan penanganan dismenorea antara lain : (a) Menghindari stres dan relaksasi nafas dalam Pada penelitian Ernawati, dkk tahun 2010 di Universitas Muhammadiyah Semarang mengenai “Terapi Relaksasi Terhadap Nyeri Dismenorea” menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara nyeri dismenorea sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam serta ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri dismenorea. Selain itu dalam penelitian ini juga menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga hal penting yang menjadikan tindakan relaksasi bermakna secara signifikan terhadap skala nyeri yaitu posisi yang tepat, pikiran yang tenang dan lingkungan yang tenang. Kondisi-kondisi tersebut juga terjadi pada seseorang pada umumnya jika teknik relaksasi nafas dalam dilakukan secara baik ditambah dengan pikiran yang tenang dan tidak stres, sehingga sangat memberikan kontribusi dalam proses penurunan skala nyeri dismenorea. (b) Mengatur pola makan dengan baik (c) Olahraga teratur (d) Istirahat yang cukup (e) Melakukan pijatan dengan aroma terapi (Anurogo, 2011). 14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Serap Ejder Apay (2010) menunjukkan bahwa pijat memiliki sifat yang menenangkan, santai, dan mengurangi ketegangan. Selain itu, penggunaan pijat dengan aromaterapi lebih efektif daripada pijat biasa (pijat plasebo). Hal ini menunjukkan bahwa perpaduan dari terapi pijat dan aromaterapi akan sangat memiliki manfaat yang besar jika dipergunakan secara bersamasama daripada digunakan salah satu saja. Cara kerja bahan bahan aromaterapi yaitu melalui sistem sirkulasi tubuh dan sistem penciuman. Organ penciuman merupakan indra perasa dalam berbagai reseptor saraf yang berhubungan langsung dan merupakan saluran langsung ke otak. Bau merupakan suatu molekul yang mudah menguap, apabila masuk ke rongga hidung mellaui pernafasan akan diterjemahkan oleh otak sebagai proses penciuman. Melalui penghirupan sebagian molekul akan masuk ke paru. Molekul aromaterapik akan diserap oleh lapisan mukosa pada saluran pernafasan, baik pada bronkus atau pada cabang halusnya (bronkiolus) dan terjadi pertukaran gas di dalam alveoli, molekul tersebut akan diangkut oleh sistem sirkulasi darah di dalam paru. Pernafasan yang dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromaterapik yang ada ke dalam tubuh. Respon bau yang 15 dihasilkan akan merangsang kerja sel neurokimia otak (Guyton & Hall, 2007). (f) Mendengarkan musik (Anurogo, 2011). (g) Kompres hangat Seseorang yang diberikan terapi kompres hangat pada daerah abdomen saat menalami nyeri menstruasi (dismenorea) akan meningkatkan relaksasi otot-otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekauan otot serta memberikan rasa hangat dan nyaman. Selain itu panas juga dapat menyebabkan pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami perubahan fungsi, dan panas juga dapat mengurangi ketegangan otot menjadi relaksasi. Relaksasi ini merupakan bentuk kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres. (h) Minum minuman hangat (Laila, 2011). (i) Minum air putih minimal 8 gelas sehari Air merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh karena fungsi sel tergantung pada lingkungan cair. Untuk mempertahankan kesehatan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menyeimbangkan cairan di dalam tubuh. Keseimbangan ini dipertahankan oleh asupan, distribusi dan keluaran air dan elektrolit serta pengaturan komponen-komponen tersebut (Potter & Perry, 2006). Menurut Taber (2005) cara yang dapat 16 dilakukan untuk mengatasi dismenorea salah satunya yaitu dengan emperbanyak air putih. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Batmanghelidj (2007) yang menyatakan bahwa minum air putih dapat mengurangi nyeri menstruasi, air dapat mengencerkan darah dan mencegah penggumpalan darah ketika beredar di dalam tubuh. Hal ini dilakukan diharapkan dengan seringnya seseorang berkemih maka tubuh akan merespon terhdap keseimbangan cairan di dalam tubuh agar minum air yang banyak sehingga aliran darah menjadi lancar (Bobak, 2007). (j) Menghindari pakaian yang ketat menjelang atau selama menstruasi (Laila, 2011). d) Faktor Risiko Faktor-faktor risiko dismenorea primer yaitu : (1) Usia saat menstruasi pertama kurang dari 12 tahun; (2) Belum pernah melahirkan anak; (3) Menstruasi memanjang atau dalam waktu yang lama; (4) Merokok; (5) Kegemukan (Anurogo, 2011). Selain itu faktor usia dalam siklus kehidupan wanita juga ikut menjadi faktor risiko terjadinya dismenorea. Proses kognitif pada usia remaja merupakan suatu puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi terjadi pada masa remaja yang ditunjukkan dengan 17 sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental seperti mudah tersinggung atau marah dan mudah sedih atau murung (Yusuf, 2010). Oleh karena itu jika dihubungkan dengan menstruasi yang dialami oleh remaja putri, usia dan jenis kelamin dapat mempengaruhi persepsi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri (Zakiyah, 2015). Usia seseorang menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi respon nyeri. Usia berhubungan erat dengan tingkat kematanagan berfikir seseorang. Semakin bertambahnya usia, tingkatan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang juga semakin bertambah (Sulis, 2012). Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Apabila seseorang tidak pernah merasakan nyeri, maka perepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping individu. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian selama rentang kehidupannya. Apabila seseorang megalami nyeri tersebut dengan jenis yang sama dan berulang-ulang kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan maka akan lebih mudah bagi individu untuk menginterpretasikan sensasi nyeri tersebut (Potter dan Perry, 2007). e) Karakteristik Menurut Laurel D. Edmundson (2006), dismenorea primer memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) Onset dalam 6-12 bulan setelah menstruasi pertama; 18 (2) Nyeri pelvis atau perut bawah dimulai dengan onset menstruasi dan berakhir selama 8-72 jam; (3) Nyeri punggung; (4) Nyeri paha di medial atau anterior; (5) Sakit kepala; (6) Diare; (7) Nausea (mual) dan vomiting (muntah). 2) Dismenorea sekunder a) Pengertian Dismenorea sekunder adalah nyeri menstruasi yang dapat terjadi kapan saja setelah menstruasi pertama, tetapi yang paling sering muncul di usia 20-30 tahun, setelah tahun-tahun sebelumnya normal tanpa ada nyeri menstruasi. Dismenorea sekunder dikaitkan dengan patologi pelvis dan lebih sering dialami wanita berusia di atas 20 tahun (Sinclair, 2009). b) Penyebab Beberapa penyebab dismenorea sekunder antara lain : (1) Adenomyosis (adanya endometrium selain di rahim); (2) Endometriosis; (3) Salpingitis (Wiknjosastro, 2009). (4) Uterine leiomyoma (tumor jinak otot rahim); (5) Ovarian cysts (kista ovarium); (6) Ovarian torsion (sel telur terpelintir); (7) Pelvic congestion syndrome (gangguan atau sumbatan di panggul); 19 (8) Penyakit radang panggul; (9) Kelainan letak uterus seperti retrofleksi, hiperantefleksi, dan retrofleksi terfiksasi (Anurogo, 2011). (10) Polip endometrium; (11) Malformasi kongenital; (12) Prolaps uterus; (13) Penggunaan IUD/AKDR (Sinclair, 2009). c) Faktor Risiko Faktor-faktor risiko seorang wanita mengalami dismenorea sekunder antara lain : (1) IUD; (2) Pelvic inflamatory disease (penyakit radang panggul); (3) Endometrial carcinoma (kanker endometrium); (4) Ovarian cysts (kista ovarium); (5) Congenital pelvic malformations; (6) Cervical stenosis (Anurogo, 2011). d) Karakteristik Beberapa ciri khas dari dismenorea sekunder adalah : (1) Onset pada usia sekitar 20-30 tahun, setelah siklus menstruasi yang relatif tidak nyeri dimasa lalu; (2) Infertilitas; (3) Darah menstruasi yang banyak atau perdarahan yang tidak teratur; (4) Rasa nyeri saat berhubungan seks; 20 (5) Vaginal discharge (keluar cairan yang tidak normal dari vagina); (6) Nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain menstruasi (Anurogo, 2011). c. Pembagian Klinis Dismenorea terbagi menjadi tiga antara lain : 1) Dismenorea ringan Terjadi sejenak dapat pulih kembali, tidak memerlukan obat, rasa nyeri hilang sendiri, serta tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. 2) Dismenorea sedang Memerlukan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit, tidak perlu meninggalkan pekerjaannya. 3) Dismenorea berat Rasa sakit yang hebat, sehingga tidak mampu melakukan tugas harian, memerlukan istirahat, memerlukan obat dengan intensitas tinggi, diperlukan tindakan operasi karena mengganggu setiap menstruasi (Manuaba, 2010). d. Proses Nyeri Melzack dan Wall pada tahun 1959 menjelaskan teori gerbang kendali nyeri yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua macam transmitter impuls nyeri. Reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C) berfungsi untuk mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit dan pada struktur lebih 21 dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ interna. Sementara transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu mentransmisikan sensasi lain seperti getaran,sentuhan, sensasi hangat atau dingin. Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangaan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di medula spinalis inilah terjadi reaksi antara dua serabut berdiameter besar dan kecil di suatu area yang disebut substansia gelatinosa. Di substansia gelatinosa ini nanti akan ditentukan apakah sensasi nyeri yang diterima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut beta A sebagai inhibitor, maka impuls nyeri akan dibawa ke otak yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak inilah yang dinamakan “pintu gerbang terbuka”. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut beta A karena adanya suatu penanganan terhadap nyeri tersebut, impuls ini akan menghambat impuls dari serabut delta A dan C sehingga sensasi yang dihantarkan oleh serabutt delta A dan C akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak sehingga tubuh tidak merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut “pintu gerbang tertutup”. Salah satu hormon yang merangsang kerja dari serabut beta A tersebut adalah hormon endorfin (Zakiyah, 2015). 22 e. Pengukuran Nyeri Dismenorea Tingkatan nyeri dismenorea dapat dilakukan pengukuran dengan cara skala deskriptif seperti berikut: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 2.1 Skala Numerik Sumber: Applegate, 2013 Keterangan : 0 : tidak merasakan nyeri 1 : nyeri sedikit dan jarang dirasakan 2 : merasakan nyeri tetapi tidak mengganggu aktivitas 3 : merasakan nyeri dan kadang-kadang mengganggu konsentrasi 4 : merasakan nyeri dan mengganggu konsentrasi tetapi masih bisa beraktivitas seperti biasa 5 : nyeri yang dirasakan menghalangi beberapa aktivitas 6 : nyeri yang dirasakan sangat mengganggu sehingga menghindari aktivitas biasa 7 : perhatian terpusat pada nyeri yang dirasakan sehingga menghalangi untuk melakukan aktivitas sehari-hari 8 : merasa sangat nyeri dan kesulitan untuk melakukan aktivitas apapun 23 9 : tidak dapat menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apaapa 10 : nyeri yang dirasakan sangat hebat hingga tidak peduli dengan keadaan sekitar (Applegate, 2013). 3. Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Tingkat Dismenorea Terdapat beberapa macam cara pencegahan dan penatalaksanaan dismenorea yang biasa dilakukan oleh wanita penderita dismenorea. Secara farmakologis, wanita-wanita tersebut biasa mengonsumsi obat-obatan pereda rasa nyeri. Namun selain cara farmakologis tersebut, ada juga cara pencegahan dan penanganan secara non-farmakologis, salah satunya dengan mendengarkan musik (Anurogo, 2011). Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa diterima oleh semua orang karena kita tidak membutuhkan kerja otak yang berat untuk mengintepretasikan alunan musik. Musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek terapeutik secara bermakna (Rejeki, 2010). Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran kita dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi (sistem limbik). Bagian terpenting dari sistem limbik adalah hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak (Pusat Riset Terapi Musik dan Gelombang Otak, 2011). Hipotalamus mengontrol kerja dari kelenjar pituitari (kelenjar hipofisis). Selsel neurosekresi hipotalamus mengintegrasikan fungsi-fungsi endokrin dan fungsi syaraf dengan cara mempengaruhi kelenjar hipofisis. Hipotalamus dapat berkomunikasi dengan kelenjar hipofisis dengan dua cara, yaitu dengan impuls saraf 24 atau dengan mengeluarkan hormon. Hipotalamus dapat mengeluarkan hormon yang disebut releasing hormone dan inhibiting hormone. Releasing hormone merangsang kelenjar hipofisis mensekresikan hormon tertentu. Inhibiting hormone menekan kelenjar hipofisis sehingga tidak mensekresikan hormon tertentu (Ferdinand, 2009). Di bawah pengarahan hormon-hormon pembebas (releasing hormone) dan penghambat (inhibiting hormone) yang dikirimkan oleh pembuluh portal khusus dari hipotalamus tersebut, hipofisis anterior menghasilkan suatu kumpulan hormon. Salah satu hormon yang dihasilkan adalah hormon endorfin. Hormon ini merupakan opiat alamiah otak, penghambat persepsi rasa sakit (Ferdinand, 2009). Hormon endorfin adalah senyawa yang mirip dengan morfin, disamping dapat meningkatkan suasana hati, kerja farmakologisnya juga luar biasa, antara lain membantu memperlambat proses penuaan dan mempercepat penyembuhan diri sendiri. Jika hormon ini dilepaskan dalam jumlah cukup, efeknya tidak hanya pada otak, tetapi sampai ke seluruh tubuh. Dampak positif inilah yang dimanfaatkan dalam terapi musik (Haruyama, 2011). Menurut Mucci (2006) mendengarkan musik yang menenangkan serta menghanyutkan perasaan, bisa mengalihkan perhatian seseorang dari rasa sakit. Sebagai pengganti bahan-bahan kimia, musik merupakan “obat” yang mampu membuat seseorang rileks. Di samping melepaskan emosi, musik juga memberikan keuntungan lain yang benar-benar bersifat fisik. Frekuensi atau kecepatan getaran nada merupakan sumber yang meredakan rasa sakit. Hal ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Eko Purwani Asih Rejeki (2010) pada siswi kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru Yogyakarta 25 mengenai “Pengaruh Terapi Musik Mozart Dan Guided Imagery Terhadap Intensitas Dismenorea”. Nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0,00. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) yang menunjukkan hipotesis diterima yaitu ada perbedaan intensitas dismenorea pada kelompok eksperimen sebelum dan setelah diberi terapi musik Mozart dan guided imagery. Selain itu jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai posttest intensitas dismenorea antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan nilai signifikansi sebesar 0,018. Nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa nilai posttest intensitas dismenorea pada kelompok eksperimen lebih rendah dibandingkan dengan intensitas dismenorea pada kelompok kontrol. 26 B. KERANGKA KONSEP Pencegahan dan penanganan nonfarmakologis 1. Hindari stres 2. Pola makan baik 3. Olahraga teratur 4. Istirahat cukup 5. Mendengarkan musik 6. Pijatan dengan aroma terapi 7. Kompres panas 8. Minum minuman hangat 9. Minum air putih minimal 8 gelas sehari 10. Menghindari pakaian ketat sebelum atau selama menstruasi Faktor-faktor penyebab dismenorea: 1. Faktor endokrin 2. Faktor kejiwaan 3. Faktor konstitusi 4. Faktor obstruksi kanalis servikalis 5. Faktor alergi Nyeri menstruasi Terapi musik klasik Mozart Diperdengarkan melalui telinga Disalurkan dalam bentuk data digital Direspon oleh otak Masuk ke sistem limbik Hipotalamus (dismenorea) Hipofisis anterior Penghambat rasa sakit/nyeri Dihasilkan hormon endorfin Perasaan tenang Keterangan : : variabel bebas : variabel luar : variabel terikat : mempengaruh Gambar 2.2 Kerangka Konsep Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat Dismenorea 27 C. HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat dismenorea pada siswi kelas X SMA Negeri 5 Surakarta.