BAB V PEMBAHASAN A. Tingkat Dismenorea Pada Kelompok Eksperimen Sebelum dan Setelah Diberi Terapi Musik Klasik Mozart Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat dismenorea sebelum diberi terapi musik klasik Mozart sebesar 6,6, sedangkan rata-rata tingkat dismenorea setelah diberi terapi musik klasik Mozart sebesar 1,7. Rata-rata tingkat dismenorea setelah diberi terapi musik klasik Mozart menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat dismenorea sebelum terapi musik klasik Mozart, yaitu mengalami penurunan rata-rata sebesar 4,9. Selain itu, berdasarkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 dan lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan tingkat dismenorea yang bermakna pada kelompok eksperimen sebelum dan setelah diberi terapi musik klasik Mozart. Penyebab dari dismenorea adalah adanya hiperkontraktilitas uterus yang disebabkan oleh prostaglandin. Darah menstruasi wanita mengandung prostaglandin yang dapat merangsang otot polos. Prostaglandin tersebut dihasilkan oleh endometrium. Prostaglandin dapat menimbulkan rasa nyeri ketika kadar progesteron dalam darah rendah (Wiknjosastro, 2009). Jika kadar prostaglandin yang berlebihan memasuki peredaran darah maka selain dismenorea dapat juga dijumpai efek lainnya seperti mual, muntah, diare, 45 46 flushing respons involunter (tak terkontrol) dari sistem saraf yang memicu pelebaran pembuluh kapiler kulit, dapat berupa warna kemerahan atau sensasi panas (Anurogo, 2011). Selain itu faktor kejiwaan juga bisa menjadi penyebab munculnya dismenorea. Pada wanita-wanita yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika mereka tidak mendapat informasi yang jelas tentang proses menstruasi, dapat mudah timbul dismenorea (Wiknjosastro, 2009). Selain dari faktor hormonal dan kejiwaan, dismenorea juga dipengaruhi oleh faktor usia, terutama usia remaja. Proses kognitif pada usia remaja merupakan suatu puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi terjadi pada masa remaja yang ditunjukkan dengan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental seperti mudah tersinggung atau marah dan mudah sedih atau murung (Yusuf, 2010). Selain itu, jika dihubungkan dengan menstruasi yang dialami oleh remaja putri, usia dan jenis kelamin dapat mempengaruhi persepsi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri (Zakiyah, 2015). Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa menarche responden paling banyak baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol adalah pada usia 12 tahun. Di samping itu, pada tabel 4.1 menunjukkan mayoritas usia responden kelompok eksperimen adalah usia 16 tahun, dan mayoritas kelompok kontrol berusia 15 tahun, dengan kata lain kelompok eksperimen mempunyai pengalaman yang lebih panjang dengan dismenorea daripada kelompok kontrol. Hal ini mengakibatkan responden pada kelompok 47 eksperimen lebih mampu mengatasi dan mampu melakukan koping saat merasakan dismenorea sehingga tingkat nyeri juga dapat lebih diantisipasi dan dikendalikan oleh responden pada kelompok eksprimen. Hal ini juga sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa usia seseorang menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi respon nyeri. Usia berhubungan erat dengan tingkat kematanagan berfikir seseorang. Semakin bertambahnya usia, tingkatan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang juga semakin bertambah (Sulis, 2012). Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Apabila seseorang tidak pernah merasakan nyeri, maka perepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping individu. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian selama rentang kehidupannya. Apabila seseorang megalami nyeri tersebut dengan jenis yang sama dan berulang-ulang kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan maka akan lebih mudah bagi individu untuk menginterpretasikan sensasi nyeri tersebut (Potter dan Perry, 2007). Terdapat beberapa cara yang dilakukan wanita dalam mengatasi dismenorea. Beberapa wanita mengatasi dismenorea dengan mengonsumsi obat. Namun karena sifat obat-obat tersebut hanya menghilangkan rasa nyeri, maka penderita dismenorea akan mengalami ketergantungan obat dalam jangka panjang. Di sisi lain ada beberapa wanita yang mengatasi dismenorea dengan tindakan non-farmakologis, seperti istirahat cukup, pijatan dengan aroma terapi dan mendengarkan musik (Anurogo, 2011). 48 Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa diterima oleh semua orang karena tidak membutuhkan kerja otak yang berat untuk menginterpretasikan alunan musik (Rejeki, 2010). Terapi musik dapat mengatasi stres pada bayi dan anak-anak setelah diputarkan musik yang menenangkan dan lembut pada mereka, setidaknya selama 20-30 menit, tetapi lebih lama lebih baik. Jenis musik yang paling dianjurkan untuk digunakan terapi adalah musik atau lagu dengan tempo sekitar 60 ketukan per menit yang bersifat rileks seperti musik klasik. Di antara jenis musik-musik klasik yang paling sering digunakan sebagai acuan terapi musik klasik adalah musik klasik Mozart (Aizid, 2011). Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi (sistem limbik). Bagian terpenting dari sistem limbik adalah hipotalamus (Pusat Riset Terapi Musik dan Gelombang Otak, 2011). Hipotalamus mengontrol kerja dari kelenjar hipofisis. Hipotalamus dapat berkomunikasi dengan kelenjar hipofisis dengan dua cara, yaitu salah satunya dengan mengeluarkan hormon releasing hormone dan inhibiting hormone. Releasing hormone merangsang kelenjar hipofisis mensekresikan hormon tertentu. Inhibiting hormone menekan kelenjar hipofisis sehingga tidak mensekresikan hormon tertentu. Di bawah pengarahan releasing hormone dan inhibiting hormone yang dikirimkan oleh pembuluh portal khusus dari hipotalamus tersebut, hipofisis anterior menghasilkan suatu kumpulan hormon. Salah satu hormon yang dihasilkan adalah hormon endorfin. Hormon ini 49 merupakan opiat alamiah otak, penghambat persepsi rasa sakit (Ferdinand, 2009). Hormon endorfin adalah senyawa yang mirip dengan morfin, disamping dapat meningkatkan suasana hati, hormon tersebut juga membantu memperlambat proses penuaan dan mempercepat penyembuhan diri sendiri. Jika hormon ini dilepaskan dalam jumlah cukup, efeknya tidak hanya pada otak, tetapi sampai ke seluruh tubuh. Dampak positif inilah yang dimanfaatkan dalam terapi musik (Haruyama, 2011). Menurut Mucci (2006), mendengarkan musik yang menenangkan serta menghanyutkan perasaan, bisa mengalihkan perhatian seseorang dari rasa sakit. Sebagai pengganti bahan-bahan kimia, musik merupakan “obat” yang mampu membuat seseorang rileks. Di samping melepaskan emosi, musik juga memberikan keuntungan lain yang benar-benar bersifat fisik. Frekuensi atau kecepatan getaran nada merupakan sumber yang meredakan rasa sakit. Selain itu terapi musik juga dapat mempengaruhi kondisi tubuh, antara lain menurunkan tekanan darah, memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak serta menurunkan hormon-hormon yang berhubungan dengan stres (Aizid, 2011). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa tingkat dismenorea pada kelompok eksperimen pada siswi kelas X SMA Negeri 5 Surakarta setelah diberi terapi musik klasik Mozart mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tingkat dismenorea sebelum diberi terapi musik klasik Mozart. Hasil tersebut membuktikan bahwa dengan adanya intervensi atau perlakuan berupa 50 pemberian terapi musik klasik Mozart dapat membantu meringankan tingkat dismenorea. B. Tingkat Dismenorea Pada Kelompok Kontrol Saat Pretest dan Posttest Tanpa Diberi Terapi Musik Klasik Mozart Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pretest sebesar 5,5, sedangkan nilai rata-rata posttest sebesar 5,7. Rata-rata tingkat dismenorea pada saat posttest lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pretest, dan mengalami sedikit peningkatan rata-rata sebesar 0,2. Selain itu, berdasarkan uji paired sample t-test diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,651 di mana nilai signifikansi tersebut lebih dari 0,05 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat dismenorea pada kelompok kontrol saat pretest dan posttest tanpa diberi terapi musik klasik Mozart. Melzack dan Wall pada tahun 1959 menjelaskan teori gerbang kendali nyeri yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua macam transmitter impuls nyeri. Reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C) berfungsi untuk mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit dan pada struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ interna. Sementara transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu 51 mentransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi hangat atau dingin. Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangaan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di medula spinalis inilah terjadi reaksi antara dua serabut berdiameter besar dan kecil di suatu area yang disebut substansia gelatinosa. Di substansia gelatinosa ini nanti akan ditentukan apakah sensasi nyeri yang diterima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut beta A sebagai inhibitor, maka impuls nyeri akan dibawa ke otak yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak inilah yang dinamakan “pintu gerbang terbuka”. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut beta A karena adanya suatu penanganan terhadap nyeri tersebut, impuls ini akan menghambat impuls dari serabut delta A dan C sehingga sensasi yang dihantarkan oleh serabutt delta A dan C akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak sehingga tubuh tidak merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut “pintu gerbang tertutup”. Salah satu hormon yang merangsang kerja dari serabut beta A tersebut adalah hormon endorfin (Zakiyah, 2015). Oleh karena itu pada kelompok kontrol saat pretest maupun posttest tetap mengalami nyeri dismenorea, bahkan ada yang mengalami peningkatan tingkat nyeri dismenorea saat posttest, karena dalam kelompok kontrol ini tidak dilakukan intervensi berupa pemberian terapi musik klasik Mozart sehingga 52 tidak bisa dihasilkan hormon endorfin yang berfungsi untuk menurunkan atau menghambat sensasi nyeri dismenorea tersebut. Selain itu pada tabel 4.1 menunjukkan mayoritas kelompok kontrol berusia 15 tahun, sedangkan mayoritas usia kelompok eksperimen adalah usia 16 tahun, dengan kata lain kelompok kontrol mempunyai waktu atau pengalaman yang lebih singkat terhadap kejadian dismenorea dibandingkan dengan kelompok eksperimen, mengingat bahwa sebagian besar usia menarche pada kedua kelompok adalah sama yaitu usia 12 tahun. Hal ini mengakibatkan responden pada kelompok kontrol mempunyai pengalaman yang lebih singkat terhadap dismenorea, ditambah lagi mekanisme koping yang terbatas dalam menghadapi dismenorea sehingga pengukuran tingkat dismenorea pada kelompok kontrol cenderung tidak menurun bahkan meningkat tanpa dilakukan intervensi apapupun termasuk terapi musik klasik Mozart. Menurut Anurogo (2011) masih banyak wanita yang biasa mengalami dismenorea menganggap bahwa dismenorea merupakan rasa sakit biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Pernyataan tersebut tidak tepat, karena seseorang yang mengalami dismenorea jika tidak dilakukan penanganan sama sekali, rasa nyeri tersebut akan tetap dirasakan bahkan bisa semakin bertambah. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak sekali wanita yang mengalami dismenorea merasa terganggu dalam melakukan aktivitas seharihari. Oleh karena itu, sangat perlu adanya penanganan yang tepat terhadap dismenorea yang dirasakan agar tidak lagi mengganggu aktivitas dan konsentrasi mereka. 53 C. Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat Dismenorea Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat dismenorea pada kelompok eksperimen sebesar 1,7, sedangkan rata-rata tingkat dismenorea pada kelompok kontrol sebesar 5,7. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat dismenorea pada kelompok eksperimen lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat dismenorea pada kelompok kontrol. Selain itu berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 dimana nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat dismenorea yang bermakna antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sehingga membuktikkan terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat dismenorea. Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa tingkat dismenorea pada kelompok eksperimen pada sisiwi kelas X SMA Negeri 5 Surakarta setelah diberi terapi musik klasik Mozart mengalami penurunan dibandingkan sebelum diberi terapi musik klasik Mozart. Adanya intervensi berupa terapi musik klasik Mozart dapat membantu meringankan tingkat dismenorea responden, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat dismenorea. Di sisi lain, responden pada kelompok kontrol tetap merasakan dismenorea, bahkan ada yang mengalami peningkatan tingkat dismenorea, karena dalam kelompok kontrol tidak dilakukan intervensi berupa pemberian terapi musik klasik Mozart sehingga tidak ada upaya yang cukup untuk meringankan tingkat dismenorea pada responden di kelompok kontrol. 54 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gallager dkk (2006) dan Dunbar (2012). Gallager dkk (2006) dalam risetnya menemukan bahwa musik klasik (Beethoven dan Vivaldi) yang merupakan turunan dari musik klasik Mozart terbukti signifikan dalam menurunkan tingkat nyeri pada pasien kanker. Adapun Dunbar (2012) juga menemukan bahwa musik klasik (Copeland, Vivaldi, Ravels, Tchaikovsky dan Barbers) terbukti efektif dalam menurunkan tingkat nyeri iskemia. Menurut Gallager (2011) terapi musik klasik efektif dalam menurunkan rasa nyeri. Terapi musik klasik juga dipandang sebagai terapi alternatif yang murah dan mudah diaplikasikan serta tidak memiliki efek samping. Selain itu hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Dera Oktavia tentang Pengaruh Terapi Musik Klasik (Mozart) Terhadap Tingkat Nyeri Haid Pada Remaja Putri di SMAN 1 Pontianak pada tahun 2015. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terapi musik klasik (Mozart) berpengaruh terhadap penurunan tingkat nyeri haid pada remaja putri di SMAN 1 Pontianak. Rata-rata skala nyeri haid sebelum diberikan terapi musik klasik (Mozart) yaitu 6,00, sedangkan rata-rata skala nyeri haid setelah diberi terapi musik klasik menjadi 3,21. Berdasarkan data tersebut terlihat terjadi penurunan rata-rata skala nyeri haid pada responden. Pada data tersebut juga dibahas bahwa yang mempengaruhi penurunan skala nyeri haid tersebut adalah sifat terapi musik klasik yang memiliki nada lembut, nada yang memberikan stimulasi gelombang alfa dan membuat pendengar menjadi tenang dan rileks sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri.