NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN KECERDASAN ADVERSITY ANTARA ETNIS CINA DAN JAWA DALAM BERWIRAUSAHA Oleh: HARIZ ENGGAR WIJAYA ULY GUSNIARTI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 2 NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN KECERDASAN ADVERSITY ANTARA ETNIS CINA DAN JAWA DALAM BERWIRAUSAHA Telah Disetujui pada Tanggal Dosen Pembimbing Utama (Uly Gusniarti, S.Psi., M.Si.) 3 PERBEDAAN KECERDASAN ADVERSITY ANTARA ETNIS CINA DAN JAWA DALAM BERWIRAUSAHA Hariz Enggar Wijaya Uly Gusniarti INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha. Subyek dalam penelitian ini adalah wirausahawan dari kalangan etnis Cina dan Jawa yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Magelang. Tehnik sampling yang digunakan adalah tehnik purposive sampling. Jumlah keseluruhan subjek terdiri atas 49 orang dengan pembagian subjek 29 orang dari etnis Jawa dan 20 orang dari etnis Cina. Adapun skala yang digunakan adalah skala kecerdasan adversity yang mengacu pada teori Stoltz (2000) dengan empat aspek kecerdasan adversity. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis uji t - test melalui prosedur independent samples t-test program dari SPSS 11,0 for Windows untuk menguji apakah terdapat perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha. Analisis data menunjukkan bahwa nilai t = 0,598 (p = 0,552 atau p > 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha, sehingga dengan demikian hipotesis yang diajukan ditolak. Kata Kunci : Kecerdasan Adversity, Etnis Cina, Etnis Jawa, Wirausaha 4 PENGANTAR Latar Belakang Masalah Dunia usaha yang juga dikenal dengan istilah wirausaha, memiliki peran yang cukup signifikan dalam perekonomian suatu bangsa. Maju mundurnya taraf ekonomi negara bisa ditakar dengan melihat ilkim usaha yang ada. Arti penting dunia usaha tersebut bukanlah semata-mata karena ia bisa menjadi alternatif jalan kesuksesan di mata pencari kerja, melainkan juga karena kontribusinya secara menyeluruh terhadap laju ekonomi suatu bangsa. McClelland (Waseso, 1986) menyebutkan bahwa wirausaha merupakan faktor penting yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, bahkan menurut Schumpeter (Waseso, 1986), aktivitas wirausahalah yang menjadi penyebab terjadinya industrialisasi di Barat. Beberapa negara maju seperti Jepang, memperlihatkan peran swasta yang dominan dalam mendongkrak ekonomi bangsa. Menurut Alma (2003) kunci sukses ekonomi mereka dikendalikan oleh dunia usaha. Jepang memiliki sumber daya manusia yang memadai di sektor swasta. Program ekonomi disponsori oleh wirausahawan tingkat sedang, dengan jumlah yang mencapai 2% dari total penduduk Jepang dan wirausahawan tingkat kecil dengan jumlah yang mencapai 20% dari total penduduk Jepang. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan kondisi dunia usaha yang ada di Indonesia. Secara kuantitatif jumlah usaha yang tengah berjalan saat ini terbilang cukup banyak (lihat tabel 1). 5 Tabel 1 Profil UKM DIY dan Nasional 2004 Jenis usaha Deskripsi Jumlah Tenaga kerja Investasi UKM 18.929 unit 99,3% 33.094 1,9% Rp 21,83 milliar DIY Total industri 19.061 unit 100% 1,7 juta 100% Rp 2,25 juta per unit usaha Nasional UKM Total industri 43,22 juta unit 43,28 juta unit 99,8% 100% 79,06 juta 93,72 juta 84% 100% Rp 67,1 triliun Rp 1,6 juta per unit usaha (Sumber: Kompas, 24/12/2005) Hanya saja jumlah tersebut belumlah memadai jika mengikuti pola perbandingan usaha yang ada di Jepang, yaitu berarti dibutuhkan setidaknya tiga juta wirausahawan sedang dan besar serta 30 juta wirausahawan kecil di Indonesia. Fenomena ini cukup manarik dicermati. Sektor usaha dengan skala besar didominasi oleh pengusaha keturunan Cina, sedangkan pengusaha berskala menengah ke bawah dominan warga pribumi. Secara teoritik Stoltz (2000) telah menekankan peran adversity dalam usaha mencapi kesuksesan, termasuk dalam hal ini adalah wirausaha. Oleh karenanya, kecerdasan adversity para pengusaha kedua etnis tersebut menarik untuk dikaji. Beberapa penelitian yang mengkomparasikan wirausaha antara etnis Cina dan Jawa telah dilakukan. Prabowo (Alma, 2003) misalnya, membandingkan bagaimana sikap dan perilaku wirausaha pribumi dan nonpribumi. Ia melihat wirausaha Indonesia masih menemui hambatan di lapangan. Menurutnya, kelemahan secara umum wirausahawan Indonesia bersumber pada lima hal: mentalitas yang suka meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas, sifat 6 tidak pecaya pada diri sendiri, disiplin diri yang tidak murni, serta sifat mengabaikan tanggung jawab yang tinggi. As’ad (2003) secara ringkas mendeskripsikan adanya sikap mental orang Jawa yang tidak mendukung wirausaha, yaitu mengambil keuntungan jangka pendek, cepat merasa puas, serta sikap anti resiko. Hal ini menurutnya karena orang Jawa lebih meletakkan pentingnya hubungan dengan orang lain sehingga menumbuhkan sikap mental untuk lebih tergantung pada koneksi daripada rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Persoalan lain yang bisa menghambat iklim wirausaha adalah keyakinan diri individu. Koentjaraningrat (1984) melihat bahwa orang Jawa memiliki keyakinan hidup yang cenderung bersifat pasif. Keyakinan tersebut tergambar dari konsepsi hidup yang rela, narima, dan sabar. Berbeda dengan itu, pada umumnya orang Cina memang dikenal memiliki sifat ulet dalam usaha. Willmoth seperti yang dikutip Martaniah (1984) memandang orang Cina di Jawa lebih kompetitif. Di samping itu mereka juga mempunyai usaha yang besar dan sangat mengusahakan prestasi, serta mempunyai tingkat aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Jawa. Hal lain yang mendorong sikap ulet orang Cina adalah faktor keyakinan dari ajaran Kong Hu Cu. Hidayat (Martaniah, 1984) menyatakan bahwa dalam ajaran Kong Hu Cu, yang banyak dianut oleh orang-orang keturunan Cina, mengajarkan bahwa tiap-tiap individu harus mengembangkan kecakapan dan ketrampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya. Orang Cina semenjak dulu sudah diberi keyakinan bahwa mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka di manapun mereka berada harus melebihi tingkat hidup kaum 7 pribumi. Oleh karena itu mereka bekerja keras, tekun, dan sabar serta hemat supaya tingkat kehidupannya menonjol. Latar belakang budaya orang Cina dan Jawa memang berbeda. Dalam kategorisasi budaya yang dipakai oleh Alland (1973) pada sisi mental culture, yaitu sistem kepercayaan individu dalam masyarakat yang secara aktual akan membentuk sekumpulan aturan-aturan, jelas terlihat ada perbedaan antara orang Cina dengan Jawa. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi sikap kerja dan daya juang (adversity) dalam berwirausaha masing-masing etnis. Sebab kebudayaan bukan saja menjadi objek bentukan manusia, tetapi juga sekaligus membentuk dan menentukan perilaku manusia. Seperti pandangan Boesch (Martaniah, 1984) terhadap kebudayaan yang didefinisikan sebagai cara manusia membentuk dan meneropong lingkungannya, maka dari itu kebudayaan merupakan hasil perilaku manusia pada satu sisi. Pada sisi lain kebudayaan juga membentuk dan menentukan perilaku manusia. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa model keyakinan etnis Cina yang menghendaki persaingan dan prestasi berbeda dengan tradisi Jawa yang cenderung pasif dalam menghadapi hidup. Penelitian ini penting dilakukan guna melihat apakah memang ada perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha. Pengertian Kecerdasan Adversity Konsep kecerdasan adversity dikemukakan pertama kali oleh Stoltz (2000) dengan istilah adversity quotient (AQ). Menurut Pulatie (Stoltz, 2000) adversity quotient merupakan teori sekaligus ukuran bermakna dan merupakan 8 seperangkat instrumen yang telah diasah untuk membantu seseorang supaya tetap gigih dalam menghadapi berbagai tantangan. Adversity menurut Kamus Inggris-Indonesia berarti kesengsaraan, kemalangan (Echols & Shadily, 2003). Sedangkan menurut The Contemporary English-Indonesian Dictionary, kata adversity memiliki arti kesukaran, kesulitan, kemalangan, atau kemiskinan (Salim, 1991). Penggunaan kata quotient mengarah kepada hasil pengukuran yang sudah dikelompokkan menurut suatu norma-norma psikodiagnostik. Sehingga lebih tepat kemudian digunakan istilah adversity intelligence (kecerdasan adversity) untuk menunjuk konsep adversity. Kecerdasan adversity menurut Stoltz (2000) adalah kecerdasan seseorang untuk mengambil keputusan dalam bertindak sehingga ia mampu bertahan dan berusaha mengatasi kesulitan, kemudian akan mendorongnya untuk berusaha mencapai keberhasilan di masa yang akan datang. Grotberg (1999) menyebut kemampuan seseorang merespon kesulitankesulitan itu sebagai resilience. Ia mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup. Konsep lain yang semakna dengan adversity atau resiliensi adalah hardiness. APA (2003) menyebutkan bahwa hardiness merupakan kunci menuju resiliensi yang bukan hanya berfungsi untuk bertahan hidup, tetapi juga mampu berkembang di bawah tekanan. Sifat hardiness tersebut menurut Maddi memiliki tiga kunci keyakinan yang membantu seseorang untuk merubah kesulitan menjadi kekuatan yang bermanfaat, yaitu: komitmen, kontrol, dan sikap yang menyukai tantangan (www.psychologymatters.org). 9 Berdasarkan beragam konsep respon individu terhadap kesulitan tersebut di atas, penulis memilih menggunakan teori Stoltz tentang adversity dalam penelitian ini. Mengingat konsep adversity lebih spesifik mengarah kepada usaha individu menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dalam dunia usaha dan kerja, sesuai dengan fokus penelitian ini. Kecerdasan adversity dapat disimpulkan berdasarkan uraian sebelumnya yaitu merupakan kemampuan dan ketahanan seseorang mengatasi segala kesulitan hidup demi mencapai suatu tujuan atau kesuksesan tertentu. Aspek-aspek Kecerdasan Adversity Kecerdasan adversity terbentuk dari empat aspek. Aspek-aspek itu disingkat dengan akronim CO2RE yang merupakan kepanjangan dari Control, Origin dan Ownership, Reach, Endurance. a. Control (C) atau kendali Aspek ini merupakan suatu perasaan dalam kemampuannya mengendalikan peristiwa yang sulit. diri seseorang akan Kendali atas situasi yang sulit menjadi penentu sikap dan perilaku seseorang dalam merespon keadaan. Ia berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh serta mempengaruhi semua dimensi adversity lainnya b. Origin dan Ownership (O2) atau asal-usul dan pengakuan Aspek ini terdiri atas dua bagian yang saling mendukung. Pertama, origin (asal-usul). Origin mempertanyakan siapa atau apa yang menjadi sumber kesulitan. Asal-usul kesulitan tersebut terkait dengan rasa bersalah. Kedua, ownership (pengakuan). Aspek ini menggambarkan respon seseorang 10 setelah ia melihat kesalahan, apakah akan mengakuinya atau tidak. Individu yang mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mampu mengambil tanggung jawab. c. Reach (R) atau jangkauan Reach merupakan aspek yang mempertanyakan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan mempengaruhi sisi lain dari kehidupan individu. d. Endurance (E) atau daya tahan Aspek terakhir ini mengukur sejauh mana individu mampu bertahan dalam kesulitan-kesulitan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversity Stoltz mendeskripsikan suatu kesuksesan pada dasarnya mirip dengan sebuah pohon. Bagian paling atas menunjukkan kinerja seseorang, yang dipengaruhi oleh bagian paling bawah (akar) tempat tumbuh pohon itu. Akar kecerdasan adversity tersebut menurut Stoltz (2000) ada tiga hal: a. Genetika Genetika terkait dengan hereditas, yaitu pewarisan sifat-sifat tertentu dari orang tua individu. Selain karakteristik mempengaruhi sikap seseorang. fisik, faktor genetik turut Kecerdasan adversity memang tidak termasuk dalam kategori sifat yang diturunkan secara genetis sebagaimana karakteristik fisiologis seseorang. Hanya saja karena ia adalah hasil dari proses belajar individu, maka pembentukannya membutuhkan kemampuan dasar yang harus terpenuhi. Seperti misalnya adalah kecerdasan (IQ) yang bersifat genetis. 11 b. Pendidikan Pendidikan terkait dengan proses belajar, yaitu perubahan yang relatif permanen pada perilaku individu sebagai akibat dari latihan (Atkinson dkk, 1992). Proses belajar tersebut tidak hanya berlangsung secara formal di sekolah atau kuliah, tetapi juga secara informal di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sosial sekitar individu. Kecerdasan adversity sebagaimana juga konsep resiliensi tidak terlepas dari pengaruh pendidikan yang dialami pertama kali seseorang, yaitu dalam keluarganya. Grotberg (1999) menyebutkan bagaimana pola asuh orang tua dan respon lingkungan sosial di sekitar anak memberikan dukungan dan dasar pijakan kemampuan anak untuk menyikapi kesulitan hidup. c. Keyakinan (belief) secara umum oleh Fishbein dan Ajzen (1975) didefinisikan sebagai peniliaian subjektif seseorang terhadap dunianya, termasuk adalah pemahaman seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Tidak berbeda dengan sebuah kebiasaan dalam masyarakat atau nilai-nilai budaya, keyakinan seseorang diperoleh melalui proses yang dipelajari (Grotberg, 1999). Individu memulai proses belajar itu segera setelah ia dilahirkan. Keyakinan yang tertanam dalam budaya tempat individu hidup, baik budaya di tempat kerja, di sekolah, dalam komunitas, maupun di rumah, begitu mapan.Kecerdasan Perbedaan etnis, yaitu Cina dan Jawa, dengan budaya yang dibawa serta dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi kecerdasan adversity melalui pengasuhan orang tua terhadap anak. Nilai-nilai budaya maupun keyakinan yang dianut orang tua akan mendorong serta menjadi pengarah dalam 12 mendidik anak (Grotberg, 1999). Bagaimana masing-masing etnis memandang kerja, persepsi terhadap waktu, termasuk bagaimana menghadapi kesulitan hidup, terinternalisasi dalam keluarga. Pengertian Etnis Cina dan Jawa Etnis atau suku bangsa menurut Koentjaraningrat (1990) merupakan suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identiitas akan kesatuan budaya. Kesadaran dan identitas tersebut seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Kesatuan budaya terbentuk karena faktor internal (warga kebudayaan) yang bersangkutan dan bukan ditentukan oleh orang di luar mereka. Coppel (1994) mendefinisikan orang Tionghoa (Cina) adalah orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga atau berpihak pada masyarakat Tionghoa atau yang dianggap sebagai orang Tionghoa oleh orang Indonesia pribumi dan mendapatkan perlakuan tertentu sebagai akibatnya. Etnis Jawa merupakan etnis yang banyak bermukim di pulau Jawa khususnya Jawa bagian Tengah dan Timur. Etnis Jawa ini mempunyai pola perilaku dan aturan-aturan yang khas dan berlandaskan falsafah hidup yang telah digariskan secara turun-temurun kelestariannya. sebagai tradisi yang harus dipatuhi dan dijaga Kepatuhan terhadap tatanan dalam berpikir dan bertindak ini membatasi perilaku dan cara berpikir dari orang-orang etnis Jawa tersebut. Setiap akan berperilaku, orang Jawa seakan-akan dituntut untuk berpikir mengenai sesuatu yang akan dilakukan itu sesuai dengan falsafah hidup etnis Jawa. Falsafah hidup itu diringkas menjadi 3 hal yang saling terkait: rela, nerima, dan sabar (Fifo dan Sinambela, 1995). 13 Orang Jawa memiliki keyakinan hidup yang cenderung bersifat pasif. Koentjaraningrat (1984) menjelaskan bahwa tradisi Jawa mengajarkan kemauan dan kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rela untuk melepaskan segala hak milik, pikiran, atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Pengertian Wirausaha Wirausaha menurut Peters (1998) adalah proses menciptakan sesuatu dengan nilai baru setelah mencurahkan usaha dan waktu yang diperlukan, dengan memikul resiko keuangan, fisik, dan resiko sosial, serta memperoleh balas jasa moneter dan kepuasan pribadi serta kebebasan. Berbeda dengan itu Wiratno (1996) menekankan peran mandiri dalam mendefinisikan kewirausahaan. Ia menyebut wirausaha adalah orang yang memulai dan mengerjakan usahanya sendiri, mengorganisasi dan membangun perusahaan sejak revolusi industri. Suryana (2003) memberikan tekanan arti wirausaha terhadap gagasan Peter F. Druker. Menurutnya kewirausahaan adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup. Definisi ini berarti lebih melihat wirausaha sebagai sifat atau semangat yang ada pada seseorang, tanpa memperhatikan lagi jenis profesinya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wirausaha adalah kegiatan menciptakan kerja bagi diri sendiri dan orang lain dengan memperhatikan pengelolaan berbagai sumber daya yang dimiliki serta memperhitungkan resiko 14 dan peluang melalui berbagai cara yang memungkinkan terwujudnya kesuksesan. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subyek penelitian ini adalah etnis Cina dan Jawa yang menetap di Magelang serta Yogyakarta dan berprofesi sebagai wirausahawan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode angket. Metode angket merupakan suatu metode pengumpulan data yang mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau minimal pada pengetahuan atau keyakinan pribadi (Hadi, 1984). Penggunaan metode ini didasarkan pada alasan – alasan (1) subjek penelitian adalah orang yang paling tahu tentang dirinya ; (2) apa yang dinyatakan subjek dapat dipercaya ; dan (3) penafsiran subjek tentang pernyataan – pernyataan didalam angket yang ditujukan padanya sesuai dengan maksud penelitian (Hadi, 1984). Alat Ukur Alat yang digunakan dalam peneliltian ini adalah skala Kecerdasan Adversity yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan adversity yang dikemukakan oleh Stoltz (2000), yaitu meliputi: control (kendali), origin and ownership (asal-usul dan pengakuan), reach (jangkauan), dan endurance (daya tahan). 15 Skala di atas menggunakan model skala likert dengan memberikan 5 alternatif jawaban. Jawaban tersebut adalah Sangat Setuju (SS), Setuju (S), netral (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pemberian skor pada aitem favourable bergerak dari nilai tertinggi (4) hingga nilai terendah (0). Sedangkan untuk aitem unfavourable bergerak dari nilai terendah (0) sampai nilai tertinggi (4). Metode Analisis Data Alat ukur yang digunakan untuk mengambil data terlebih dahulu harus dipastikan validitas dan reliabilitasnya sebagai dasar untuk mempercayai bahwa alat ukut tersebut memang layak digunakan dalam suatu penelitian. Validitas dapat diartikan sebagai sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2004). Sementara itu, uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat keajegan alat ukur yang pada dasarnya menunjukkan sejauhmana suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama (Azwar, 2004). Pengujian reliabilitas skala ini memakai teknik Alpha Cronbach dengan bantuan komputer program SPSS 12.0 for Windows. Analisis data yang digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian ini adalah dengan analisis statistik uji beda. Teknik statistik yang digunakan adalah analisis statistik uji t - test. Proses analisis ini menggunakan bantuan SPSS versi 12.0 for windows. 16 HASIL PENELITIAN Tabel 2: Deskripsi Data Penelitian Variabel Kecerdasan Adversity Min Max Mean SD 0 114 72 24 Jawa 59 134 104,93 16,75 Cina 87 134 102,60 10,48 Hipotetik Empirik Hasil dari analisis statistik deskripsi di atas dapat diketahui bahwa subjek secara umum memliki rerata empirik kecerdasan adversity yang berada di atas rerata hipotetik. Hal ini berarti bahwa tingkat kecerdasan adversity subjek cenderung tinggi. Tabel 3: Kriteria Kategorisasi Kecerdasan Adversity pada Etnis Cina dan Jawa Kategori Etnis Skor Jumlah Persentase Cina x < 83,74 0 0% Sangat rendah Jawa x < 74,78 1 3,45 % Cina 83,74 < x < 96,31 5 25 % Rendah Jawa 74,78 < x < 94,88 5 17,24 % Cina 96,31 < x < 108,89 11 55 % Sedang jawa 94,88 < x < 114,98 15 51,72 % Cina 108,89 < x < 121,46 3 15 % Tinggi Jawa 114,98 < x < 135,08 8 27,59 % Cina x > 121,46 1 5% Sangat tinggi Jawa x > 135,08 0 0% Total 49 100 % Berdasar penggolongan subjek pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa subjek penelitian ini rata-rata memiliki tingkat kecerdasan adversity yang sedang yaitu 15 orang (51,72%) pada etnis Jawa dan 11 orang (55%) pada etnis Cina, tingkat kecerdasan adversity yang sangat rendah yaitu satu orang (3,45%) pada etnis Jawa dan pada etnis Cina tidak ada (0%), serta kategorisasi sangat tinggi tidak ada pada etnis Jawa (0%) dan satu orang pada etnis Cina (5%). 17 Uji Asumsi a. Uji Normalitas Uji normalitas dengan menggunakan tekhnik two sample kolmogorof smirnof test dari program SPSS 11,0 for Windows diperoleh sebaran skor kecerdasan adversity etnis Jawa dan Cina adalah normal dengan nilai K.S.Z = 0,961 (p = 0,314 atau p > 0,05). Tabel 4: Uji Normalitas Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Frequencies ETNIS cina jawa Total AQ N 20 29 49 Test Statisticsa Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) AQ .279 .157 -.279 .961 .314 a. Grouping Variable: ETNIS b. Uji Homogenitas Uji homogenitas dengan menggunakan analisis statistik compare means oneway anova SPSS for Windows 11.0 diperoleh bahwa variabel skor kecerdasan adversity adalah tidak homogen dengan nilai F = 3,857 ( p = 0,002 atau p < 0,05) 18 Tabel 5: Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances Etnis Levene Statistic 3.857 df1 df2 29 Sig. .002 19 ANOVA Etnis Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 5.837 6.000 11.837 df 29 19 48 Mean Square .201 .316 F .637 Sig. .866 Uji Hipotesis Analisis data untuk mengetahui perbedaan antara kecerdasan adversity antara orang Cina dan Jawa dalam bewirausaha menggunakan uji t-test melalui prosedur independent samples t-test program SPSS 11,0 for Windows. Dari hasil analisis, diperoleh besarnya nilai t = 0,598 (p = 0,552 atau p > 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan adversity antara orang Cina dan Jawa dalam berwirausaha, sehingga hipotesis yang diajukan ditolak. Table 6: Uji t T-Test Group Statistics AQ wirausaha Etnis jawa Cina N 29 20 Mean 104.9310 102.6000 Std. Deviation 16.75438 10.48508 Std. Error Mean 3.11121 2.34453 19 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F AQ wirausaha Equal variances assumed Equal variances not assumed 3.572 Sig. .065 t-test for Equality of Means t Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference df 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .551 47 .584 2.3310 4.22880 -6.17622 10.83829 .598 46.657 .552 2.3310 3.89570 -5.50762 10.16969 Pembahasan Kecerdasan adversity, sebagaimana Stoltz (2000) kemukakan, merupakan konsep kecerdasan yang diperoleh individu melalui proses belajar. Artinya, kecerdasan adversity seseorang bisa berubah sesuai dengan tingkat usaha yang ia lakukan. Meskipun ada pengaruh faktor yang bersifat genetika, kecerdasan adversity lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diperoleh karena pengalaman seseorang (proses belajar). Stoltz (2000) menyebutkan bahwa akar tempat tumbuh kecerdasan adversity itu adalah keyakinan (beliefs), genetika dan pendidikan seseorang. Terkait dengan hal tersebut, orang Cina dan Jawa secara teoritis seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, memiliki akar tempat tumbuh kecerdasan adversity yang berbeda. Baik secara genetik, keyakinan, maupun pendidikan. Sehingga secara hipotetik disimpulkan, ada perbedaan kecerdasan adversity dalam berwirausaha antara kedua etnis tersebut. Namun demikian, setelah dilakukan pengujian secara empiris, hipotesis itu terbukti tidak diterima. Tidak teruji ada perbedaan kecerdasan adversity Ada dua penjelasan mendasar yang bisa penulis sampaikan di sini. Pertama, terkait dengan landasan teori dan perubahan sosial yang terjadi selama ini. Kedua, terkait dengan kelemahan metodologi penelitian yang penulis lakukan. 20 Studi terhadap orang Jawa beserta budayanya, menunjukkan bahwa keyakinan etnis Jawa mengajarkan nilai-nilai terlalu nrima dan bersikap pasif terhadap hidup (Koentjaraningrat, 2002), sikap rela, nrima, sabar dalam melepaskan materi dunia, etos kerja aja ngaya, aja ngangsa (Koentjaraningrat, 1984), serta mengunggulkan nilai harmonis dengan meminimkan konflik terbuka (Gertz, 1983). Secara teoritik budaya Jawa sebagaimana Koentjaraningrat (1984) serta juga Mulder (1984) paparkan, cenderung mengarah kepada pola hidup yang pasif. Memiliki locus of control eksternal. Hanya saja, sebagaimana juga diakui oleh Koentjaraningrat, budaya Jawa yang berorientasi nilai tradisional itu telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan industrialisasi yang terjadi. Masyarakat Jawa yang benar-benar tradisional atau yang terisolasi dari dunia luar hampir tidak ditemukan lagi pada saat ini. Hal itu ia kemukakan pada era tahun 80-an. Apalagi jika dibandingkan dengan konteks hidup saat ini, dimana arus informasi telah mengglobal. Perubahan orientasi budaya menjadi semakin niscaya terjadi. Pengalaman selama mengalami kontak budaya dengan luar, juga proses industrialisasi yang sekarang telah mengarah pada globalisasi, mampu memberi pengaruh terhadap nilai-nilai atau keyakinan hidup tradisional Jawa. Begitu pula tekanan sosial berupa ketatnya persaingan mencari kerja, turut mendorong seseorang mencoba berwirausaha. Bagi etnis Cina di Indonesia mengalami perubahan budaya ketika mengalami kontak budaya setempat. Sebagaimana oleh Fiedler & Semin (1996) sampaikan, kontak budaya akan membawa pengaruh terhadap unsur-unsur sosial budaya. 21 Tidak terkecuali dalam hal ini warga keturunan Cina yang pada abad ke-8 merupakan warga pendatang di Indonesia. Dalam hal internalisasi nilai, meski telah terjadi pergeseran, pada subjek Cina yang penulis wawancarai memang menunjukkan peran model yang mempengaruhi keputusan untuk menekuni bidang wirausaha. Sebagaimana oleh Peters (1998) kemukakan, salah satu faktor penting yang mempengaruhi seseorang dalam berwirausaha adalah adanya role model. Model di sini adalah orang tua subjek yang berprofesi sebagai wirausahawan. subjek Jawa yang penulis wawancarai, keputusan Berbeda dengan subjek Cina untuk berwirausaha telah ada semenjak kuliah. Bahkan ia mengakui tidak ada niat untuk menjadi karyawan semenjak semula. Orang tualah yang menjadi model bagi dirinya untuk menekuni wirausaha. Penjelasan lain yang menjelaskan mengapa hipotesis ditolak adalah persoalan kelemahan metodologi penelitian. Secara tehnis, pengisian angket juga tidak bisa penulis saksikan sendiri untuk menjamin bahwa subjek sendirilah yang benar-benar mengisinya. Sebagian besar subjek meminta waktu tersendiri (angket dibawa pulang) untuk mengisinya. Karena alasan etis, penulis tidak bisa menolak permintaan mereka. Di samping, suasana kerja di kantor kurang kondusif bagi subjek agar bisa mengisi angket dengan nyaman. 22 KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan kecerdasan adversity antara etnis Cina dan Jawa dalam berwirausaha. Dengan demikian hipotesis yang diajukan tidak diterima. SARAN-SARAN 1. Bagi subjek penelitian Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan adversity antara kedua etnis tersebut dalam berwirausaha. Baik subjek Cina atau Jawa dengan demikian memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai puncak prestasi dalam mengembangkan usahanya. Persoalan yang menjadi tantangan bagi dunia wirausaha bukanlah sekedar bertahan ketika terbentur hambatan-hambatan, yang lebih penting kemudian adalah kemampuan mengembangkan usahanya. Baik subjek Cina atau Jawa yang telah mampu mengembangkan usahanya, diharapkan dapat membantu dan berbagi membutuhkan kesuksesan bimbingan terhadap serta wirausahawan juga mau lain mendorong yang masih calon-calon entrepreneur baru agar tumbuh pencetak lapangan kerja baru di masyarakat 2. Bagi peneliti selanjutnya Untuk penelitian ke depan, perlu lebih mencermati pintu-pintu akses relasi terhadap masyarakat Cina agar memudahkan pengambilan data. Mengingat mereka adalah warga minoritas dalam masyarakat, terdapat kepekaan sosial di antara mereka ketika berhubungan dengan para peneliti yang menjadikan 23 diri mereka sebagai objek penelitian. Kesan bahwa mereka hanyalah objek penelitian yang membuat sebagian mereka enggan untuk terbuka bisa diminimalisir jika peneliti dapat membangun hubungan yang baik dengan tokoh kunci mereka. Keluhan dari beberapa subjek penelitian yang memandang jumlah butir pernyataan terlalu banyak layak untuk dipertimbangkan agar lebih memudahkan bagi subjek selanjutnya dalam mengisi angket. Penelitian ke depan diharapkan mampu lebih mengembangkan dan menggali dasar pijakan teori kecerdasan adversity. Selain Stoltz, masih perlu teori pembanding untuk memperkaya pijakan konsep dalam membuat alat ukur. Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah tingkat kesesuaian butir-butir pernyataan kecerdasan adversity dengan realita dunia usaha. Beberapa masukan dari subjek menunjukkan masih perlunya penyempurnaan alat ukur itu karena menghadapi persoalan usaha tidaklah mudah dan sesederhana yang dibayangkan. Semakin butir-butir pernyataan tersebut mampu mendekati realita, semakin baik alat ukur tersebut. 3. Bagi masyarakat secara umum Menjadi wirausahawan pada konteks sosial saat ini memang merupakan solusi alternatif menjawab ketimpangan kerja antara jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada. Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah motif internal ketika menjalankan usaha. Sekedar pelarian karena kalah dalam persaingan bursa kerja jelas tidak memberikan solusi, kecuali jika cara pandang dan cara memaknai dunia usaha yang negatif bisa dirubah. 24 DAFTAR PUSTAKA _______2004. Kabinet Baru: Politik untuk UKM. http://www.majalahtrust.com /fokus/fokus/751.php. 10/10/04 (diakses tanggal 04/05/2006) _______2004. The Road To Resilience. http://apahelpcenter.org /featuredtopics/feature.php?id=6 (diakses tanggal 7/07/2007) _______2005. Hardiness. http://mentalhelp.net/poc/view_doc.php? type=doc&id=5791&cn=298 (diakses tanggal 7/07/2007) Alland, A. 1973. Evolution and Human Behaviour. New York: Anchor Books. Alma, B. 2003. Kewirausahaan. Bandung: Alfa-Beta. American Psychological Association. 2003. Turning Lemons into Lemonade: Hardiness Helps People Turn Stressful Circumstances into Opportunities http:// www.psychologymatters.org/hardiness.html (diakses tanggal 7/07/2007) Anderson, D. M. 1997. Thriving On The Edge - Psychology Of Winning. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m3514/is_n8_v44/ai_198566 42 (diakses tanggal 05/05/2006) As’ad, M. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Atkinson, dkk. 1992. Pengantar Psikologi Jilid 1. Batam: Interaksara. Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 1988. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R. A; Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Chua, A. 2003. Making The World Safe for Markets. Harvard Business Review. Vol. 81. No. 8, 14 – 17. Coppel, C.A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Davidoff, L.L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. 25 Echols, J.M; Shadily, H. 2003. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Feldman, R. S. 1994. Essentials of Understanding Psychology. New York: McGraw-Hill. Inc. Fishbein, M; Ajzein, C. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behaviour. California: Addison-Wesley Publishing Company. Fifo, A; Sinambela, F.C. 1995. Perbedaan Sikap Mahasiswa Terhadap Pembauran Antara Etnis Jawa dan Cina di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Jurnal ANIMA. Vol. X, No. 39. 3 - 25. Geertz, H. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press. Grotberg, H. 1999. Tapping Your Inner Strength. California: New Harbinger Publication. Habib, A. 2007. Dinamika Hubungan antar Etnik Cina dan Jawa di Pedesaan. http://elka.umm.ac.id/artikel6.htm (diakses tanggal 11/07/2007) Hadi, S. 1981. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset. Hariyono, P. 1993. Kultur Cina dan Jawa, Pemahaman Kultural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Menuju Asimilasi Khairuddin, 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Koentjaraningrat, 1982. Masalah-masalah Pembangunan: Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES. Koentjaraningrat, 1987. Gramedia. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kompas. Edisi 24 Desember 2005. Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology. Publishing Company. California: Brooks/Cole 26 Mariawati, D. 2006. Perilaku Produksi Pada Pedagang Etnis Cina di Kya-Kya Kembang Jepun Surabya. http://www.dspace.fe.unibraw.ac.id/ /dspace/bitstream/123456789/213/1/0142.pdf (diakses tanggal 11/07/2007) Martaniah, S.M. 1984. Motif Sosial Remaja Suku Jawa dan Keturunan Cina di Beberapa SMA Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Meredith, G. 1996. Kewirausahaan, Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Morris, dkk. 2005. Entrepreneurial values and the ethnic enterprise: an examination of six subcultures. http://goliath.ecnext.com/coms2/ summary_0199-6122350_ITM (diakses tanggal 19/07/2007) Mulder, N. 1984. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Neill, J. 2006. What is Psychological Resilience? http://wilderdom.com/ psychology/resilience/PsychologicalResilience.html (diakses tanggal 7/07/2007) Peters, H. 1998. Entrepreneurship. Boston: McGraw-Hill. Riyanti, B.P.D. 2003. Kewirausahaan dari sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Salim, P. 1991. The Contemporary English – Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press. Semin, G.R; Fiedler, K. Publication. 1996. Applied Social Psychology. London: Sage Sigel, dkk. 1992. Parental Belief System: The Psychological Consequences for Children. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Spielmann, G. L. 2005. Resilience. http://www.omh.state.ny.us/omhweb /savinglives/volume2/resilience.html (diakses tanggal 7/07/2007) Subanar, H. 1994. Manajemen Usaha Kecil. Yogyakarta: BPFE. Sumanto, W. 1984. Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta. Malang: Penerbit Bina Aksara. 27 Suparlan, P. 2006. Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd /artikel_ps2.htm (diakses tanggal 11/07/2007) Suryabrata, S. 2003. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suryana. 2003. Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat, dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Stoltz, P.G. 2000. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT. Grasindo. Walgito, B. 1994. Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan Penerbit UGM. Winarto, P. 2002. First Step to be an Entrepreneur. Jakarta: PT. Elex Media Computindo. Wiratno, M. 1996. Pengantar Kewiraswastaan, Kerangka Dasar Memasuki Dunia Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Wulandari, F.R. 2006. Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia sejak tahun 1930. http://iccsg.wordpress.com/2006/01/23/perilaku-ekonimi-etniscina-di-indonesia-sejak-tahun-1930-an-fr-wulandari ((diakses tanggal 11/07/2007)