PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 ANALISA YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUM BAGI PARA PIHAK BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Seftia Azrianti Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia [email protected] Abstrak Analisa yuridis perjanjian perkawinan dan akibat hukum bagi para pihak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Perjanjian. Perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 29 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Isi perjanjian mengikat keduanya sejak perjanjian itu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perjanjian kawin berlaku sebagai undang-undang, artinya disatu sisi perjanjian kawin tersebut wajib ditaati bersama. Sanksi jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan ialah dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan dan gugatan ganti rugi jika sebelum dilansungkan perkawinan, namun apabila sudah menikah maka dapat dijadikan alasan perceraian. Sesuai dengan Pasal 51 KHI yang menyebutkan” pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama”. Selain itu juga terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUP dan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai dasar alasan perceraian. Katakunci; perjanjian perkawinan, wanprestasi perjanjian perkawinan A. PENDAHULUAN Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun sebagai makluk sosial manusia mempunyai naluri untuk selalu ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya. Perkawinan terjadi karena adanya dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersamandengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling tarik-menarik satu sama lainnya untuk hidup bersama.1 1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Keenam, Bandung : Sumur Bandung, 1981, Hal 7 209 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang masih kurang matang, melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan psikis dan mental, untuk itu suatu perkawinan haruslah diawali dengan suatu persiapan yang matang pula. Perkawinan menurut hukum Islam yang disebut dengan Nikah, yaitu salah satu asas hidup yang utama dalam masyarakat beradab dan sempurna, karena menurut Islam bahwa perkawinan bukan saja salah satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga sebagai salah satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lainnya. Menurut Hukum Islam, nikah merupakan suatu akad yaitu akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami isteri tersebut terlebih dahulu melakukan akad nikah. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum, selama maupun sesudah perkawinan berlangsung. 3 Akibat dari suatu perkawinan memiliki dimensi yang cukup luas antara lain sosial dan hukum, mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun 2 3 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan http://eprints.undip.ac.id/17915/1/ZULFANOVRIYENDI.pdf. Diakses pada Jumat 20 Maret 2015, pukul 21.00 WIB.. 210 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 setelah perkawinan, karena dalam suatu perkawinan banyak hal yang akan terjadi maupun yang akan didapatkan seperti; masalah harta, keturunan, dimana apabila tidak ada ketentuan yang jelas khususnya masalah pembagian harta peninggalan dari yang meninggal maupun yang melakukan perceraian, termasuk juga masalah harta bawaan masing-masing akan menimbulkan suatu persoalan. Sehingga membuat sebagian orang-orang yang hendak melansungkan perkawinan, melakukan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.4 Perjanjian perkawinan belum terbiasa dalam kebiasaan masyarakat Indonesia yang akan melansungkan perkawinan. Namun Perjanjian perkawinan lebih sering dilakukan pada golongan penduduk yang tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata saja. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, ada sebagian orang yang beranggapan bahwa perjanjian perkawinan merupakan wujud rasa kurang percaya terhadap calon pasangan hidupnya. Bahkan, secara sosiologis akan berpengaruh terhadap keluarga kedua pasangan tersebut yang merasa seakan dicurigai dan merasa dilecehkan dikarenakan perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut. Namun dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai Undang-undang Perkawinan yang bersifat Nasional dan tidak membedakan tentang penggolongan penduduk, maka jurnal ini membahas tentang perjanjian perkawinan sehubungan dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 tersebut.5 Perjanjian perkawinan ini dicantum dalam Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, maka anggapan masyarakat bahwa perjanjian perkawinan 4 R. Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Jakarta : Intermasa, 2004, Hal 9 5 Ibid, 211 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 tersebut hanya ada di Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) adalah tidak benar. Isi yang diatur di dalam perjanjian kawin tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi perjanjian kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan (sesuai dengan asas hukum “kebebasan berkontrak”) asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.6 Kondisi masyarakat yang makin demokratis dan kritis, isi perjanjian perkawinan pun mengalami perkembangan, yang dicantumkan tak lagi hanya urusan pemisahan harta dan piutang, tapi juga urusan pembagian biaya keluarga, penyelesaian perselisihan dalam rumah tangga, kebiasaan mengoleksi barang langka yang tergolong mahal, mengatur terhadap profesi masing-masing calon suami istri selama perkawinan berlangsung, hingga klausul tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Semua itu kini bisa dimasukkan sebagai bagian dari perjanjian kawin.7 Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan saja melainkan juga meliputi hak-hak/kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Di samping itu dalam penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa “perjanjian” yang dimaksud dalam Pasal 29 tersebut tidak termasuk ta’lik talak. Sedang di dalam Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan tidak diatur secara khusus seperti halnya perjanjian perkawinan yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian sah menurut hukum yang berlaku dan sah pula menurut hukum Islam. Maka disini 6 Ibid, 7 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334308-T32600-Jeanita%20adeline.pdf. Diakses pada Jumat, 27 Maret 2015, pukul 21.00 WIB 212 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk Ta’likTalakdanPerjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. 8 Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. 9 Perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini banyak terjadi permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau istri terutama menjalankan kehidupan perkawinan, maka perjanjian perkawinan dapat dijadikan sebuah solusi untuk melindungi harta masing-masing. Sebagai gambaran seorang calon istri yang melangsungkan perkawinan tidak melakukan perjanjian perkawinan ternyata selama perkawinan perilaku si suami sering melakukan kesalahan yang dapat merugikan istri dan harta kekayaan milik bersama, misalnya suami suka berjudi, mabuk-mabukan sehingga sering menghabiskan uang dari harta bersama, hal itu tentunya akan merugikan istri dan harta bersama selama perkawinan atau sebaliknya istri yang terlalu boros dalam memakai harta bersama sehingga tentunya akan merugikan suami yang sudah bekerja keras mengumpulkan harta tersebut. Gambaran lain dalam bidang hukum keperdataan yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diperbaharui oleh UndangUndang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, seorang suami atau istri bekerja dalam jabatannya sebagai Direksi suatu perusahaan Perseroan Terbatas bertanggung jawab penuh atas kerugian Perseroan Terbatas sampai harta kekayaan pribadi jika yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalakan tugasnya, 8 Pasal 45 KompilasiHukum Islam 9 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334308-T32600-Jeanita%20adeline.pdf. Di akses pada 213 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 keadaan ini mulai dirasakan oleh para pasangan suami istri sangat merugikan bagi harta bersama mereka, sehingga memberikan implikasi terhadap pasangan suami isteri membuat perjanjian kawin setelah perkawinan mereka. Gambaran tersebut di atas pasangan suami-istri ini mengkhawatirkan akan adanya risiko dari perilaku suami-istri atau risiko pekerjaan suami-istri selama perkawinan terhadap harta bersama mereka, hal ini berkaitan dengan pihak ketiga yang menjadi kreditur agar kepastian terlunasinya piutang. Jika suami-istri kawin dengan persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, maka utang yang dibuat oleh suami atau istri dapat dituntut pelunasannya dari harta persatuan. Sebaliknya jika suami-istri dengan perjanjian kawin pisah mutlak harta kekayaan perkawinan maka utang suami hanya dapat ditagih dari harta pribadi suami, demikian pula utang yang dibuat oleh istri.10 Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik membahas mengenai ”Analisis Yuridis Tentang Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Bagi Para Pihak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang penulisan jurnal ini, maka akan diangkat pokok permasalahan yaitu: 1. Bagaimana analisa yuridis perjanjian perkawinan dan akibat hukum bagi para pihak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Bagaimana sanksi hukum jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Tujuan Penelitian 10 http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334308-T32600-Jeanita%20adeline.pdf. Di akses pada Jumat, 27 Maret 2015, pukul 21.00 WIB 214 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Dengan mengacu pada rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas maka tujuan penulisan penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui analisa yuridis perjanjian perkawinan dan akibat hukum bagi para pihak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Untuk mengetahui sanksi jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. B. KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah pendapat para sarjana atau doktrin yang diakui oleh masyarakat ilmiah. Kerangka teoritis digunakan sebagai pedoman dalam menganalisi permasalahan yang akan diteliti.11 a. Teori Van Dunne Menurut Van dunne yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua belah atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian sematamata tetap harus dilihat perbuatan –perbuatan sebelumnya atau yang mendahulunya.12 b. Teori prinsip umum Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efektifitas secara umum dari perjanjian itu sendiri. Jadi, sungguh pun banyak perjanjian yang sudah ada pengaturannya yang detil dalam perundang-undangan atau dalam draft-draft model perjanjian yang diterima umum, atau yang diatur sendiri oleh para pihak berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, tetapi secara umum tetap tidak 11 Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan, “Buku Panduan Skripsi Fakultas Hukum”, Batam : Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan, 2014, Hal 14 12 Salim,Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta;Sinar Grafika, 2002,Hal. 161 215 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 menyimpang secara signifikan dari prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam konsep-konsep perjanjian.13 c. Teori kontrak ekspresif Ini merupakan teori yang sangat kuat daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekspresif) oleh para pihak-pihak yang bersangkutan, sejauh memenuhi syarat syarat mengenai sahnya suatu kontrak (ditandai dengan adanya suatu penawaran dan penerimaan), dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak tersebut.14 Menurut penulis, teori-teori tersebut sesuai dan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meneliti judul jurnal yang akan dibuat penulis. Namun menurut penulis teori Van Dunne lebih tepat dijadikan sebagai pedoman dalam penulisan jurnal ini.Karena teori tersebut dapat menjelaskan tentang kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat hukumnnya bagi para pihak. 2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka pikir mengenai hubungan antar variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar konsep dengan konsep lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada studi kepustakaan.15 1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.16 2. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melansungkan pernikahan17. 13 http://eprints.undip.ac.id/17915/1/ZULFANOVRIYENDI.pdf. Diakses pada Jumat20 Maret 2015, pukul 21.00 WIB. 14 Ibid, 15 http://diditnote.blogspot.com/2013/04/kerangka-konsep-dalam-penelitian.html diakses pada Sabtu, tanggal 19 April 2015 Pukul 20:00 WIB 16 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 17 Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 216 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 3. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.18 4. Harta bawaan dari suami atau istri Yaitu harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan dan harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.19 5. Harta bersama Yaitu segala harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan kecuali yang diperoleh karena hibah atau warisan. Maksudnya harta yang diperoleh oleh suami-istri sepanjang perkawinan berlangsung sampai terjadinya perceraian.mengenai harta bawaan masingmasing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.20 6. Para Pihak dalam perjanjian perkawinan adalah : Calon Suami dan Calon Istri yang akan membuat perjanjian perkawinan tersebut.21 7. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.22 8. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda wanprestatie artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik yang timbul perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.23 18 Pasal 1 (e) Kompilasi Hukum Islam Pasal 35 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 20 Pasal 36 ayat (2)Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 21 Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 22 Pasal 1 (d) PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 23 J.Satrio, Hukum perikatan, cetakan ketiga, Bandung; PT. Alumni, 1999, Hal 122 19 217 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 C. PEMBAHASAN 1. Analisis yuridis perjanjian perkawinan dan akibat hukum bagi para pihak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan manusia, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudarasaudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.24 Menurut Undang-undang No. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP), tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hal yang penting dalam sebuah pernikahan adalah mengenai perjanjianperkawinan. Selama ini baru sebagian kecil masyarakat Indonesia yang melakukan perjanjian perkawinan. Anggapan bahwa setelah menikah segala sesuatu melebur menjadi satu membuat setiap pasangan mereka enggan untuk membuat perjanjian tersebut. Padahal, perjanjian perkawinan tak hanya memuat urusan harta benda saja, tetapi juga pembagian peran dan pengasuhan anak. Pendeknya, perjanjian perkawinan dianggap materialistic, tidak etis dan tidak sesuai adat ketimuran. Perjanjian perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dirasa perlu agar perjanjian perkawinan berjalan dalam koridor hukum dan untuk menjamin hak-hak pihak yang membuat kesepakatan suami istri. 24 http://fh.unram.ac.id/wpcontent/uploads/2014/05/PELANGGARANTERHADAPPERJANJIA NKAWINDANAKIBATHUKUMNYA.pdf, Diakses Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:30 WIB. 218 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan ketentuan dari perjanjian perkawinan yang dicantumkan dalam Pasal 29 ayat 1 sampai 4 yaitu25: (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. (2). Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. (3). Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4). Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Lebih jauh , KHI mengatur bentuk-bentuk perjanjian perkawinan yang dapat diadakan oleh kedua belah pihak dalam Pasal 45, yaitu : 1. Ta’lik talak 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan hukum Islam. Ketika perjanjian perkawinan telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka masing-masing wajib memenuhinya, sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak yang memaksa26. Tidak ada alasan untuk tidak menepatinya, karena hal tersebut akan menimbulkan implikasi hukum. Lebih jauh, pelanggaran atas perjanjian tersebut dapat membuat pernikahan menjadi goyah dan mengganggu tercapainya tujuan pernikahan. Perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan dari konteks pergaulan hidup, setiap hari manusia selalu melakukan perbuatan untuk memenuhi keinginannya. Segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan hak dan kewajiban (misal membuat surat wasiat, membuat 25 26 Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet ke 16 , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Hal. 159 219 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 persetujuan-persetujuan) dinamakan perbuatan hukum. Dalam perspektif hukum, perbuatan hukum digolongkan menjadi dua, yaitu27: a. Perbuatan hukum sepihak Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban kepada satu pihak pula. Misalnya, pembuatan surat wasiat dan pemberian hibah. b. Perbuatan hukum dua pihak Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi dua belah pihak. Misalnya, membuat persetujuan untuk melakukan perkawinan dan persetujuan jual beli. Dari dua penggolongan tersebut, perjanjian dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dua pihak, karena perjanjian perkawinan yang seperti itu telah diatur dalam KUH Perdata maupun UUP. Perjanjian perkawinan bisa terjadi karena adanya persetujuan kedua belah pihak, dalam hal ini suami istri. Perjanjian perkawinan sendiri merupakan bentuk dari pebuatan hukum yang bernama perjanjian. Beberapa ahli hukum mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dinamakan perjanjian perkawinan karena diadakan dan berkaitan dengan perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan sebelum perkawinan dilansungkan. Undang-Undang Perkawinan mengatur masalah perjanjian perkawinan pada Pasal 29. Biasanya perjanjian dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak pelaku perjanjian atau suami isteri. Perjanjian perkawinan sendiri mulai berlaku sejak perkawinan dilansungkan. Mengenai kemungkinan diubahnya isi perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata sama sekali tidak dapat dimungkinkan walaupun atas dasar 27 C.S.T . Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-7 Jakarta: Balai Pustaka, 1984, Hal.119 220 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 kesepakatan selama berlansungnya pernikahan. Sedangkan dalam UUP, perubahan dimungkinkan selama tidak merugikan pihak ketiga.28 Dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah bentuk perbuatan hukum dua belah pihak, antara suami isteri yang memperjanjikan baik mengenai harta maupun perjanjian lainnya yang tidak bertentangan dengan undang-undang moral maupun agama. Adapun bentuk - bentuk perjanjian perkawinan dapat dibedakan menurut sumbernya. Untuk itu penyusun membaginya dalam katagori berikut; a. Menurut KUH Perdata Menganut asas percampuran harta kekayaan antara suami istri (alghele gemeenschap van goerderen) ketika perkawinan terjadi, jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian terlebih dahulu. Namun calon suami istri dapat mengadakan perjanjian perkawinan sebagaimana disebut Pasal 139 KUH Perdata sebagai berikut: “Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari beberapa peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum asalkan diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini”. Sebagai contoh, suatu perjanjian perkawinan tidak hanya dapat menyingkirkan satu benda saja (misalnya satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran.Undangundang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu “perjanjian percampuran laba rugi” (gemeeschap van winst en verlies) dan perjanjian “percampuran penghasilan” (gemeeschap van vruchten en inkomsten)29. 28 http://digilib.uinsuka.ac.id/2486/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Dia ksesJumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:40 WIB. 29 R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1994, Hal 37 221 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 b. Menurut Undang - Undang Perkawinan Berbeda dengan ketentuan yang ada dalm KUH Perdata ,UUP mengatur sesuai yang di anut hukum adat maupun hukum islam , yaitu harta bawaan dan harta di peroleh sebagai hadiah atau pun warisan tetap di kuasai suami istri sedangkan yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.30 Melalui perjanjian kawin suami istri dapat menyimpangi ketentuan UUP di atas dan bila dikehendaki dapat perjanjian percampuran harta pribadi maupun dapat dipertegas lagi dalam bentuk31 : 1. Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung. 2. Hanya sebatas harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (Harta pribadi yang di peroleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing-masing).atau sebaliknya percampuran harta benda pribadi hanya saat perkawinan berlangsung (harta bawaan atau harta pribadi sebelum perkawinan dilangsungkan menjadi milik masingmasing). c. Menurut Komplikasi Hukum Islam (KHI) Menurut KHI pasal 45 menyatakan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian dalam bentuk: 1) Taklik talak 2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Islam Taklik talak sebagai bentuk perjanjian kawin ini tidak disebutkan dalam UUP. Namun KHI memasukannya sebagai salah satu bentuk perjanjian kawin.selain bentuk perjanjian perkawinan berupa yang menyangkut percampuran harta pribadi dan pemisah harta pencarian.32 Isi perjanjian merupakan hal yang sangat urgen untuk kebaikan besama antara kedua belah pihak.perjanjian kawin dibuat untuk 30 Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan http://digilib.uinsuka.ac.id/2486/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Dia kses Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:40 WIB. 32 Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam 31 222 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing –masing suami atau istri ,meskipun begitu UUP tidak mengatur tujuan perjanjian kawin dan apa yang dapat bdi perjanjikan secara detail.segala diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah . Pada dasarnya isi perjanjian kawin dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang bisa saja timbul selama masa perkawinan antara lain33: a. Pemisah harta kekayaan. Syaratnya harus dibuat sebelum pernikahan kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi buat pemisah harta semuanya menjadi harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang ada sebelumnya perkawinan berlangsung menjadi harta bawaan masing masing. Namun apabila dalam rangka proses cerai ingin memisah harta. Dimungkinkan membuat perjanjian pembagian harta. Pada dasarnya dalam perjanjian kawin bisa di capai kesepakatan tidak ada campuran harta pendapatan maupun aset –aset baik selama pernikahan itu berlangsung atau apabila terjadi perceraian atau kematian. b. Pemisah hutang Perjanjian kawin bisa juga mengatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu, utang yang di maksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan ,selama masa pernikahan atau setelah perceraiaan bahkan kematian. c. Tanggung jawab terhadap anak - anak hasil pernikahan Perjanjian perkawinan juga mengatur mengenain tanggung jawab terhadap anak,terutama mengenai biaya hidup anak dan biaya pendidikan. Dalam hal ini bisa diatur besaran konstribusi masingmasing orangtua agar kesejahteraan anak terjamin. 33 http://digilib.uinsuka.ac.id/2486/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.Dia kses Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:40 WIB. 223 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 d. Taklik talak Taklik talak sebagai perjanjian kawin ini hanya disebutkan dalam KHI taklik talak berarti pengantungan talak ,menurut penegertian hukum Indonesia ialah semacam ikrar dimana suami mengantungkan terjadinya suatu talak atas istri apabila terjadi di kemudian hari ,melaksanakan salah satu atau semua yang telah diinkahkan .taklik talak ini biasanya diucapkan setelah selesai melaksanakan akad nikah.sigat talik ini sudah diatur dalam peraturan menteri agama. Selain itu terdapat beberapa hal yang menjadikan perjanjian perkawinan memiliki peran yang sangat penting diantara lain adalah sebagai berikut : a. Dengan perjanjian kawin,istri bisa mengajukan sebagai alasan perceraian maupun pembatalan nikah bila perjanjian tersebut dilangar. 34 b. Perjanjian kawin tidak bisa menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.35 c. Suatu perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga maupun memberikan manfaat kepada pihak ketiga.kecuali sudah diperjanjikan untuk memberi manfaat kepada pihak ketiga. Sebagaimana ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata.36 Mengenai keabsahan perjanjian perkawinan, dalam hukum barat Eropa Kontinental, ditentukan bahwa agar dapat dikatakan sah suatu perjajian harus memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut37: a. adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian b. kecakapan atau kedewasaan c. mengenal pokok atau objek tertentu d. adanya sebab klausal yang halal 34 Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam Pasal 48 Kompilasi Hukum Islam 36 Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 37 Pasal1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 35 224 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Suatu perjanjian kawin dapat dikatakan dan memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi unsur sebagai berikut 38: a. Atas persetujuan bersama mengadakan perjanjian kawin . Calon suami istri yang akan membuat perjanjian kawin harus mendasarkan atas persetujuan bersama. Maksudnya ialah apa yang dikehendaki oleh calon suami ataupun isteri, merupakan suatu kesepakatan yang didalamnya tidak cacat kehendak atau berupa paksaan, penipuan, kekhilafan. Jika perjanjian sudah dibuat namun terdapat unsur paksaan, penipuan, kekhilafan, maka perjanjian dapat dibatalkan sehingga hilang keabsahannya b. Suami istri cakap membuat perjanjian Perjanjian perkawinan harus dibuat oleh suami istri yang cakap bertindak hukum karena secara hukum akan memikul beban perjanjian. Dalam KUH Perdata Pasal 1330 disebutkan tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu39: 1. Orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan dalam hal ini ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian perjanjian tertentu. Supaya perjanjian perkawinan dapat dikatakan sah maka harus terhindar dari unsur unsur dan dicantumkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata diatas. Salah satu unsur yang sangat urgen adalah “kedewasaan” parameter dewasa adalah umur dalam Pasal 6 ayat (2) UUP dinyatakan untuk melansungkan pernikahan, seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya sehingga dalam membuat perjanjian perkawinan juga harus mendapatkan izin orang tuanya. Mengenai batas usia kedewasaan ini di Mahkamah Agung (MA) 38 http://digilib.uinsuka.ac.id/2486/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Dia kses Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:40 WIB. 39 Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 225 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 sendiri belum ada kata sepakat. Namun dalam lokakarya hukum yang diadakan oleh para hakim Indonesia, dikemukakan bahwa selama belum ada ketegasan dari MA batas usia dewasa adalah 21 tahun dan belum pernah kawin. Syarat pertama dan kedua diatas disebut syarat subyektif karena syarat ini menyangkut orang atau subyek yang membuat perjanjian.Jika syarat tersebut tidak terpenuhi untuk dapat dibatalkan perlu ada pihak yang merasa keberatan dan menuntut untuk dibatalkan perjanjian tersebut jika tidak isi perjanjian perkawinan tetap berlaku dan mengikat kedua belah pihak. c. Objek perjanjian jelas Objek perjanjian ini mengenai isi perjanjian perkawinan, misalnya percampuran harta benda pribadi atau memisah harta bersama dan sebagian. Objek perjanjian perkawinan bisa mencakup barang-barang yang akan ada dikemudian hari. Misalnya, perjanjian berisi pemisahan harta benda bersama, meski saat perjanjian itu dibuat hartanya belum terwujud dan baru terwujud pada saat perkawinan berlansung.40 d. Tidak bertentangan dengan hukum agama dan kesusilaan. Isi perjanjian perkawinan tidak bertentangan dengan hukum agama dan kesusilaan, Isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, misalnya jika mendapat harta bersama akan digunakan untuk modal usaha perjudian. juga tidak boleh bertentangan dengan agama misalnya perjanjian untuk memadu dua kakak beradik. Syarat ketiga dan keempat diatas disebut syarat objektif karena menyangkut dari objek dan perjanjian perkawinan.Jika syarat ini tidak terpenuhi, tanpa menunggu adanya pihak yang merasa keberatan, pengadilan secara ex officio dapat menyatakn perjanjian dianggap tidak pernah ada dan masing-masing pihak dikembalikan pada hukum semula. e. Dinyatakan secara tertulis dan disahkan Pegawai Pencatan Nikah 40 Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 226 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Syarat ini lebih tepat disebut syarat administratif sebelum berlakunya UUP, menurut KUH Perdata apabila calon suami istri bermaksud membuat perjanjian perkawinan maka harus dituangkan dalam sebuah akta yang harus disahkan oleh notaris. Setelah berlaku UUP, perjanjian perkawinan dapat dicatat dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Jika tidak dicatattkan dan disahkan oleh Pegawai Pencatan Perkawinanatau notaris, maka perjanjian kawin tidak memiliki kekuatan hukum. Setelah penjabaran diatas penulis menganalisa bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melansungkan pernikahan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 29 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Itulah yang menjadi dasar oleh pasangan calon suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan. Untuk mengadakan perjanjian perkawinan terlebih dahulu dipenuhi rukun dan syarat perkawinan dengan sempurna dan perjanjian kawin tersebut tidak menghilangkan hak dan kewajiban suami maupun istri, isi perjanjian tersebut mengikat keduanya sejak perjanjian itu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perjanjian kawin berlaku sebagai undang-undang, artinya disatu sisi perjanjian kawin tersebut wajib ditaati bersama. 2. Sanksi jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Membuat suatu perjanjian sebelum perkawinan, terutama mengenai harta kekayaan tergantung kepada keinginan dan kesepakatan antara calon suami dan isteri. Banyak terbukti bahwa perjanjian kawin tersebut dibuat adalah untuk melindungi kaum perempuan. Perjanjian kawin yang telah dibuat maka mengikat para pihak yang membuatnya untuk memenuhi isi dari perjanjian kawin tersebut. Pada prinsipnya isi dari perjanjian kawin yaitu apa yang telah diatur, tidak dapat ditarik atau diubah oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Menurut 227 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Undang-undang No.1 Tahun 1974 perjanjian kawin dapat diubah jika telah disepakati oleh masing-masing pihak dan tidak merugikan pihak ketiga selama pihak ketiga tersangkut. Isi perjanjian kawin merupakan hal yang sangat urgen untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak. Perjanjian kawin dibuat untuk kepentingan hukum terhadap harta bawaan masing-masing suami atau isteri. Pada dasarnya isi perjanjian kawin dapat mengatur pemisahan harta kekayaan, pemisahan hutang, tanggung jawab terhadap anak. Dan perjanjian tersebut mulai berlaku setelah perkawinan itu berlangsung. Perjanjian kawin merupakan sarana untuk melakukan proteksi terhadap harta para mempelai. Maka perjanjian kawin dapat memuat pengaturan mengenai harta bersama maupun harta bawaan. Sebab suami dan isteri dibebaskan untuk melakukan tindakan hukum. Secara hukum para pihak saling terkait dengan diadakannya perjanjian kawin dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan haknya. Para pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kawin. Menurut bahasa hukum, pelanggaran perjanjian disebut wanprestasi. Kalimat tersebut berarti ketiadaan suatu prestasi. Prestasi dalam hukum perjanjian bermakna suatu hal yang harus dilaksanakaan sebagai isi dari suatu perjanjian. padanan yang mungkin tepat yaitu, “pelaksanan perjanjian” untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wansprestasi. Dalam ungkapan lain, wanprestasi dapat juga disebut istilah ingkar janji. Wanprestasi adalah suatu keadaan tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan dari salah satu pihak baik karena kesengajaan atau kelalaian. Dasar hukumnya adalah Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bentuk-bentuk wanprestasi antara lain adalah41: 1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali; 2. Melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat; 41 Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 228 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 3. Melaksanakan prestasi tetapi terlambat; 4. Melaksanakan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian. Secara moril dan psikologis perjanjian kawin akan menimbulkan perasaan tidak percaya terhadap pasangan hidupnya. Ia akan dibayangi perasaan takut kalau pasangannya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian. Kecemasan ini akan mengakibatkan ketidak bahagiaan dalam menjalani rumah tangga. Secara sosiologis dan budaya perjanjian kawin menimbulkan adanya culture shock. Masyarakat timur yang bersifat kekeluargaan tidak mengenal sifat individualistis dan materialistik tentu menolak adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian kawin dianggap sebagai hal yang tidak etis karena mementingkan harta saja. Perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian kawin dapat dilihat pada kompilasi hukum Islam diantaranya yaitu42 : a. Dalam hal suami isteri beritikad buruk dalam hal utang piutang terhadap pihak ketiga. Berdasarkan Putusan MA Nomor 1081 K/SIP/1978 yang menyatakan bahwa adanya perjanjian Perkawinan antara suami isteri yang tidak diberitahukan kepada pihak si berpiutang pada saat berlangsungnya transaksi-transaksi adalah jelas bahwa suami isteri tersebut beritikad buruk berlindung pada perjanjian kawin tersebut untuk menghindari tuntutan hukum dari pihak perpiutang. Hal mana bertentangan dengan ketertiban hukum, sehingga perjanjian itu haruslah dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi si berpiutang yang beritikad baik, dengan demikian suami isteri dengan harta pribadi mereka ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng atau hutang yang dibuat suami atau isteri dengan segala akibat hukumnya. b. 42 Apabila terjadinya perlanggaran isi perjanjian oleh suami. http://fh.unram.ac.id/wpcontent/uploads/2014/05/PELANGGARANTERHADAPPERJANJIA NKAWINDANAKIBATHUKUMNYA.pdf, Diakses Jumat, 20 Maret 2015. Pukul 21:30 WIB. 229 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Setelah dibuatnya akta perjanjian kawin dan ternyata sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami melanggar isi perjanjian kawin, maka calon isteri dapat meminta pembatalan perkawinan. Hal ini dapat dijelaskan dalam Pasal 51 KHI menyebutkan “pelanggaran atas perjanjian kawin memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah”. c. Apabila selama berlangsungnya perkawinan suami melanggar isi perjanjian kawin. Bila selama berlangsungnya perkawinan suami melanggar isi perjanjian kawin maka isteri dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama (Pasal 51 KHI); (4) Apabila terjadi sengketa perdata mengenai isi perjanjian perkawinan. Dalam hal ini perlu diatur pada pasal terakhir dalam akta perjanjian kawin bahwa “tentang akta ini dengan segala akibat dan pelaksanaannya, para pihak telah memilih tempat tinggal hukum yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri dalam perkawinan dilangsungkan, atau dilakukan pilhan hukum. Melihat dari peraturan perundang-uandangan yang lain, sebagaimana dalam Pasal 39 ayat (2) UUP dan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, keduanya tidak membahas tentang perjanjian kawin sebagai alasan perceraian, hal ini dimaksudkan kedua pasal itu sudah cukup memadai. Sesuai dengan jiwa Undangundang yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas. Bila dilihat dari segi peraturan perundangan, maka jelas bahwa dalam alasan perceraian yang berlaku di Indonesia tidak disebut-sebut perjanjian kawin. Perjanjian kawin bertujuan untuk melindungi kedudukan harta benda setelah perkawinan, sehingga tidak akan berbuat sewenang-wenang terhadap harta benda yang telah diperjanjikan. Dan apa yang diperjanjikan berlaku sebagai undang-undang yang mengikat masing-masing pihak yang melakukan perjanjian sehingga apabila perjanjian tersebut dilanggar maka dapat diajukan gugatan pembatalan perkawinan dan gugatan ganti rugi ke Pengadilan, juga bisa dijadikan sebagai alasan perceraian. 230 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 Adapun menurut penulis Sanksi jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan ialah dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan dan gugatan ganti rugi jika sebelum dilansungkan perkawinan, namun apabila sudah menikah maka dapat dijadikan alasan perceraian. Sesuai dengan Pasal 51 KHI yang menyebutkan” pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Selain itu juga terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUP yang berbunyi “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri” dan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai dasar alasan perceraian yang berbunyi “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan ataupenyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; D. KESIMPULAN 1. Analisa yuridis perjanjian perkawinan dan akibat hukum bagi para pihak berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang No. 231 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Perjanjian. Perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melansungkan pernikahan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 29 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Itulah yang menjadi dasar oleh pasangan calon suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan. Untuk mengadakan perjanjian kawin terlebih dahulu dipenuhi rukun dan syarat perkawinan dengan sempurna dan perjanjian perkawinan tersebut tidak menghilangkan hak dan kewajiban suami maupun istri. Isi perjanjian tersebut mengikat keduanya sejak perjanjian itu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perjanjian kawin berlaku sebagai undang-undang, artinya disatu sisi perjanjian kawin tersebut wajib ditaati bersama. 2. Sanksi jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian perkawinan ialah dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan dan gugatan ganti rugi jika sebelum dilansungkan perkawinan, namun apabila sudah menikah maka dapat dijadikan alasan perceraian. Sesuai dengan Pasal 51 KHI yang menyebutkan” pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama”. Selain itu juga terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUP dan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai dasar alasan perceraian. 232 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet ke 16, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 C.S.T . Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-7 Jakarta: Balai Pustaka, 1984 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2010 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga , Cetakan V, Bandung: Alumni, 1987 R.Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Jakarta : Inter masa, 2004 ---------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1994 Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, 2002 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Ketiga, Jakarta : Sinar Grafika, 2010 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V Bandung : Alumni, 1987 233 PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014 --------------------------,hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Keenam, Bandung : Sumur Bandung, 1981 B. Peraturan perundang-undangan. Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 234