1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronis (GGK) akhir-akhir ini semakin banyak terjadi,
berdasarkan data dari Annual Data Report of the US Renal Data System (USRDS)
tahun 2015 di Amerika Serikat pada akhir desember 2013 terdapat 661.648 kasus
GGK, diperkirakan sekitar 2.034 per juta penduduk AS menderita GGK. Jumlah
kasus GGK terus meningkat dari tahun 2010, dengan peningkatan sekitar 21.000
kasus per tahun (USRDS, 2015a). Di Indonesia berdasarkan data dari Pusat Data
dan lnformasi (PDI) Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 secara nasional
0,2% penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronis (Kemenkes, 2013).
GGK berhubungan signifikan dengan peningkatan morbiditas (angka
kesakitan) dan mortalitas (angka kematian), dan banyak pasien yang mengalami
berbagai masalah dalam pengobatan GGK. Berbagai masalah yang timbul dalam
pengobatan GGK dapat disebabkan oleh berbagai komplikasi yang menyertainya,
sesuai dengan National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (KDOQI) tahun 2002 komplikasi yang terjadi diantaranya
anemia, hipertensi, diabetes melitus, gangguan elektrolit, asidosis, penyakit dan
gangguan tulang akibat gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, serta neuropati
(KDOQI, 2002). Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah anemia, yang
bisa terjadi pada awal GGK dan menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien.
1
2
Anemia dapat mempercepat progresivitas GGK bahkan menyebabkan komplikasi
penyakit kardiovaskuler (Weiner dkk., 2005).
Menurut KDOQI 2006 anemia terjadi apabila kadar Hb< 13,5 g/dL pada
laki-laki dan <12,0 g/dL pada perempuan. Bedasarkan penelitian National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) by the National Institutes of Health
and the Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan
insiden anemia terjadi >70% pada GGK (Lankhorst, 2010). Penyebab terjadinya
anemia pada pasien dengan GGK bersifat multifaktorial, dan penyebab paling
banyak diketahui adalah kurangnya produksi hormon eritropoetin yang mana
sering terjadi bersamaan dengan kurangnya zat besi. Terjadinya kegagalan ginjal
berkontribusi besar menyebabkan terjadinya kekurangan eritropoetin sehingga
meningkatkan anemia (Lankhorst, 2010).
Sebelum hormon Recombinant Human Erythropoietin (r-HuEPO)
ditemukan, pasien GGK dengan anemia harus melakukan transfusi darah,
sehingga berisiko terkenanya virus hepatitis dan HIV, komplikasi hemosiderosis,
depresi sumsum tulang, hidrasi berlebih, dan meningkatkan sensitasi terhadap
Human Leucocyte Antigen (HLA) serta harus menggunakan suplemen besi dalam
jumlah banyak (Lankhorst, 2010 ; KDIGO, 2012). Sejak dipublikasikan pertama
kali Recombinant Human Erythropoietin (r-HuEPO) diakhir tahun 1980-an,
Erythropoietin Stimulating Agent (ESA) menjadi obat utama dalam pengobatan
anemia pada pasien GGK, dan menurunkan penggunaan transfusi darah dan
komplikasi yang disebabkan akibat transfusi darah (Pisioni dkk., 2004). Terapi
menggunakan epoetin dapat meningkatkan fungsi kardiovaskular, meningkatkan
3
energi dan menurunkan angka rawat inap, sehingga secara otomatis dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien (Ajuria dkk., 2005).
Penggunaan epoetin di Indonesia terus meningkat pada pasien GGK dari
tahun 2008 sampai tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa efikasi penggunaan
epoetin sebagai obat anemia semakin dipercaya dalam mengatasi anemia akibat
gagal ginjal (PERNEFRI, 2012). Terapi dengan epoetin dimulai pada kadar Hb
<10 g/dl, dimana target Hb pada terapi epoetin adalah 10-12 g/dl. Penggunaan
epoetin tidak direkomendasikan jika kadar Hb >13 g/dl, karena tidak
menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang bermakna secara klinis karena risiko
hipertensi, trombosis vaskular meningkat dan angka total akibat penyakit
kardiovaskular lebih tinggi (PERNEFRI, 2012). Epoetin yang paling banyak
digunakan adalah epoetin jenis alfa dan beta, tidak ada perbedaan antara epoetin
alfa dan juga beta baik dalam hal efikasi, keamanan, farmakokinetik dan
farmakodinamiknya (Lankhorst, 2010). Penggunaan epoetin dapat secara
subkutan ataupun intravena, namun diketahui jika penggunaan epoetin secara
subkutan bioavaibilitasnya lebih besar 30% dari intravena karena waktu paruhnya
yang lebih lama dibandingkan pemberian secara intravena (PERNEFRI, 2012 ;
Lankhorst, 2010).
Terapi epoetin dilaporkan juga mempunyai efek samping, efek samping
yang terjadi segera setelah penggunaan epoetin yang pernah dilaporkan terjadi
adalah flu-like symptom yang akan mereda 24 jam setelah pemberian. Efek
samping lain yang pernah terjadi diantaranya adalah peningkatan tekanan darah,
trombosis, reaksi alergi, kejang, hiperkalemia dan trombositosis (Ng dkk., 2003 ;
4
Casati, 1987). Selain efek samping, interaksi akibat penggunaan epoetin juga
pernah dilaporkan terjadi, diantaranya adalah interaksi dengan obat Angiotensin-II
Receptor Blocker (ARB), ACE-Inhibitor (ACE-I), steroid, Nonsteroidal antiinflammatory drug (NSAID), lenalidomide, thalidomide, kalsineurin inhibitor
yaitu tacrolimus, ciclosporin (Baxter, 2010a). Efek samping akibat penggunaan
epoetin lebih banyak dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
(Gahart & Adrienne, 2014). Komplikasi dan penggunaan obat yang beragam pada
pasien GGK membuka peluang besar untuk terjadinya efek samping dan interaksi
epoetin, untuk itu perlu dilakukan evaluasi penggunaan epoetin dengan melihat
kejadian efek samping serta interaksi penggunaannya. Pengkajian terhadap efek
samping dan interaksi akibat penggunaan epoetin dapat dijadikan sebagai salah
satu cara meminimalkan risiko dalam pengobatan anemia pada pasien GGK yang
menjalani hemodialisis (Tan & Prayitno, 2003).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran penggunaan epoetin yang digunakan dalam
mengobati anemia pada pasien gagal ginjal kronis di Unit Hemodialisis
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
2. Bagaimanakah kejadian efek samping dan interaksi epoetin di Unit
Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran penggunaan epoetin yang digunakan di Unit
Hemodialisis RSUP Dr. SardjitoYogyakarta.
2. Mengetahui kejadian efek samping dan interaksi obat dalam penggunaan
epoetin di Unit Hemodialisis RSUP Dr. SardjitoYogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit :
a. Sebagai informasi tentang bagaimana penggunaan epoetin yang efektif dan
aman bagi pasien.
b. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pengobatan anemia
pada pasien GGK.
2. Bagi pemerintah dan institusi :
a. Memperkaya data dan informasi tentang penggunaan epoetin.
b. Sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
Indonesia pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada
khususnya.
3. Bagi peneliti :
Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus
sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit Ginjal Kronis
a. Definisi
Gagal ginjal merupakan tahap akhir dari Penyakit Ginjal Kronis (PGK),
adalah kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara progresif dan
terjadi selama beberapa bulan hingga tahun dan ditandai dengan penggantian
bertahap arsitektur ginjal normal dengan fibrosis interstisial (Dipiro, 2008).
Menurut KDIGO-2012 PGK adalah terjadinya kerusakan pada ginjal yang
berlangsung ≥3 bulan, kerusakan ginjal ditandai dengan terjadinya penurunan laju
filtrasi glomerulus serta terjadinya
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal
(KDIGO, 2012).
b. Etiologi
Penurunan fungsi nefron terjadi akibat dari gangguan dan penyakit primer
pada ginjal, komplikasi sekunder yang bersifat sistemik (seperti diabetes melitus
dan hipertensi), atau kerusakan akut pada ginjal yang bersifat irreversibel. Pada
tahun 2008 penyebab terjadinya End State Renal Disease (ESRD) di Amerika
adalah diabetes melitus (44%), hipertensi (28%), dan chronic glomerulonephritis
(7%), sisanya penyakit lain yang berkontribusi terjadinya PGK adalah penyakit
ginjal polikistik, malformasi congenital dari ginjal, nephrolithiasis, interstitial
nephritis, renal artery stenosis, renal carcinoma, and human immunodeficiency
virus–associated nephropathy (Alldredge dkk., 2012).
7
c. Faktor Risiko
Menurut National Kidney Foundation (NKF) K/DOQI tahun 2002, ada
empat faktor yang mempengaruhi terjadinya GGK dan memperparah GGK yaitu:
1) Susceptibility adalah faktor yang meningkatkan risiko terjadinya GGK,
seperti lanjut usia, riwayat keluarga yang mempunyai penyakit ginjal,
penurunan massa ginjal, bayi lahir dengan berat badan rendah, RAS atau
etnik, serta rendahnya pendidikan dan pendapatan.
2) Initiation adalah faktor yang secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal,
misalnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi
sistemik, infeksi saluran urinari, batu ginjal, ketoksikan obat.
3) Progression adalah faktor yang menyebabkan memburuknya kerusakan ginjal
dan mempercepat penurunan fungsi ginjal, misalnya tingginya kadar
proteinuria, tekanan darah tinggi, tidak terkontrolnya gula darah pada pasien
diabetes, merokok.
4) End-stage adalah faktor yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
gagal ginjal, misalnya dialisis dengan dosis rendah (Kt/V), temporary
vascular acces, anemia, low serum albumin level, late referral (KDOQI,
2002)
d. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis
Berdasarkan nilai GFR, National Kidney Foundation mengklasifikasikan
PGK ke dalam 5 stadium yang menggambarkan fungsi ginjal, dapat dilihat pada
Tabel I. Gagal Ginjal Kronis merupakan penyakit ginjal kronis tahap akhir,
dimana kerusakan ginjal sudah total.
8
Stadium
1
2
3
4
5
Tabel I. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis (K/DOQI, 2002)
Deskripsi
GFR (mL/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
≥90
dengan peningkatan GFR
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
60-89
Penurunan GFR sedang
30-59
Penurunan GFR berat
15-29
Gagal ginjal
< 15
e. Patofisiologi
Kerusakan struktur ginjal tergantung pada penyakit utama yang
mempengaruhi ginjal, progresivitas kerusakan ginjal akan berakhir pada
kerusakan parenkim ginjal yang permanen dan End Stage Renal Disease (ESRD)
seperti Gambar 1. Jalur utama yang menyebabkan kerusakan ginjal adalah
hilangnya massa ginjal, hipertensi pada kapiler glomerular, proteinuria, hipertrofi
nefron menyebabkan hilangnya fungsi dan massa nefron, kemudian berkembang
menjadi hipertensi intraglomerular, yang menginisiasi pengeluaran angiotensin II,
menyebabkan vasokontriksi pada arteri aferen dan eferen, sehingga meningkatkan
tekanan didalam kapiler glomerular dan konsekuensinya meningkatkan fraksi
filtrasi, dengan meningkatnya tekanan kapiler intraglomerular merusak fungsi
membran glomerular dalam melakukan filtrasi sehingga meningkatkan sekresi
albumin di urin dan sampai menyebabkan proteinuria. Adanya protein di dalam
tubular ginjal mengaktifkan sel tubular ginjal untuk meregulasi terjadinya
inflamasi dan sitokin vasoaktif, agen inflamasi seperti sitokin menjadi penyebab
terbentuknya fibrosis and renal scarring, dan akhirnya menyebabkan hilangnya
fungsi nefron (Dipiro, 2008).
9
Inisiasi kerusakan
patogenik
Kerusakan
glomerular
Diabetes Melitus
Pembentukan hasil
akhir proses glikogen
Adaptasi perubahan
hemodinamik
Peningkatan aliran
darah glomerular
Kerusakan epitel
Hipertropi
glomerular
Aterio Sklerosis
Berkurangnya
area filtrasi
Proses detachmel
fokal pada epitel
Deposisi hialin
pada glomerular
Hiperlipydemia
Hipertensi
Sistemik
Peningkatan tekanan
kapiler glomerular
Kerusakan endotel
Proteinuri
Kerusakan mesangial
Pelebaran
mesangial
Penyumbatan
mikrotrombus pada
kapiler glomerulus
Glomerosklerosis
Pembentukan
mikroaneurisme
PERKEMBANGAN
PENYAKIT GINJAL
Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis (Joy dkk., 2008)
f. Manifestasi Klinik
Gejala gagal ginjal terlihat jelas yaitu berupa gejala uremia (lelah, lemah,
nafas pendek, pusing, mual muntah, pendarahan, dan kehilangan nafsu makan)
edema, perubahan output urin (volume dan konsistensi), urin berbusa (indikasi
ada protein), abdominal distension, timbul rasa gatal (itching), intoleran dingin,
kenaikan berat badan, dan peripheral neuropathies. Tanda terjadinya PGK dapat
dilihat dari empat hal yaitu pada :
10
1) Cardiovascular–pulmonary ditandai dengan adanya edema, memburuknya
hipertensi, hipertrofi ventrikal kiri, aritmia, hyperhomocysteinemia, and
dislipidemia.
2) Gastrointestinal ditandai dengan adanya Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD), penurunan berat badan.
3) Endokrin ditandai dengan adanya hiperparatiroid sekunder, penurunan
vitamin D aktivasi, penurunan beta2 microglobulin , dan gout.
4) Hematologi ditandai dengan adanya anemia pada GGK, defisiensi besi, dan
pendarahan.
5) Cairan dan elektrolit ditandai dengan adanya hiper atau hiponatremia,
hiperkalemia, dan asidosis metabolisme (Dipiro, 2008).
g. Komplikasi
Komplikasi spesifik terhadap penyakit ginjal kronis mulai berkembang
pada tahap 3 (eGFR <60 mL/minute/1,73 m2). Komplikasi yang tidak segera
disadari dan tidak ditanggulangi dapat memperburuk kondisi pasien, yang pada
akhirnya menyebabkan kebutuhan terapi dengan dialisis (Alldredge dkk., 2012).
Menurut KDOQI 2002 komplikasi yang terjadi adalah hipertensi, diabetes
melitus, anemia, penyakit tulang (renal osteodystrophy), gangguan metabolisme
kalsium dan fosfor (hiperparatiroid sekunder), neuropati, gangguan nutrisi
(malnutrisi), abnormalitas cairan dan elektrolit, asidosis metabolit (KDOQI,2002).
h. Komorbid
Komorbid adalah kondisi lain selain penyakit utama (gagal ginjal kronis).
Ada tiga tipe komorbid pada penyakit ginjal kronis:
11
1) Penyakit yang sebabkan GGK, adalah penyakit yang memperparah GGK
yaitu tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyumbatan pada saluran
urinari.
2) Penyakit yang tidak berhubungan langsung dengan GGK, adalah penyakit
yang
dapat
memperburuk
kondisi
pasien
namun
tidak
langsung
mempengaruhi fungsi ginjal, yaitu penyakit paru obstruksi kronik,
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), penyakit degeneratif, penyakit
alzheimer.
3) Penyakit kardiovaskular adalah penyakit utama yang pengaruhnya sangat
kompleks terhadap perkembangan GGK, sehingga perlu dicegah karena dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas yaitu arteriosklerosis, penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskular, penyakit pheriperal vascular,
hipertrofi ventrikal kiri, gagal jantung (KDOQI, 2002).
2. Anemia
a. Definisi
Anemia adalah penyakit yang dikarakterisasi dengan terjadinya penurunan
kadar Hb atau volume sel darah, sehingga menurunkan kapasitas pembawaan
oksigen oleh darah (Dipiro, 2008). Menurut World Health Organization (WHO),
anemia adalah keadaan jumlah sel darah merah yang tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisiologi tubuh (WHO, 2011 ; Dipiro, 2008). Tingkat keparahan
anemia dapat diketahui berdasarkan data kadar Hb sesuai dengan Tabel II.
12
Tabel II. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia (g/L) (WHO, 2011)
Anemia
Populasi
Bukan Anemia
Ringan
Sedang
Berat
Anak usia 6-59 bulan
≥ 110
110-109
70-99
≤ 70
Anak usia 5-11 tahun
≥ 115
110-114
80-109
≤ 80
Anak usia 12-14 tahun
≥ 120
110-119
80-109
≤ 80
≥ 110
100-109
70-99
≤ 70
≥ 120
100-119
80-109
≤ 80
≥ 130
110-129
80-109
≤ 80
Wanita hamil usia ≥15
tahun
Wanita tidak hamil usia
≥15 tahun
Laki-laki usia ≥ 15 tahun
b. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda bervariasi sesuai dengan tingkat penurunan dari sel darah
merahnya dan lamanya kejadian anemia. Kejadian anemia bisa bersifat akut atau
kronis, untuk anemia yang bersifat kronis gejalanya bisa bersifat asimptomatik
(Alldredge dkk., 2012). Gejala yang muncul misalnya penurunan kemampuan
dalam beraktifitas, kelelahan, pusing, iritabilitas, lemah, palpitasi, vertigo, nafas
pendek, nyeri dada, gejala gangguan neurologi jika terjadi defisiensi vitamin B12.
Tanda yang muncul misalnya takikardi, pucat, penurunan konsentrasi,
peningkatan intensitas beberapa cardiac valvular murmurs, penurunan vibratory
sense atau cara berjalan yang abnormal akibat defisiensi vitamin B12 (Dipiro,
2008). Pasien dengan anemia hemolisis akan terlihat sedikit jaundice
(kekuningan) akibat pelepasan bilirubin. Gejala dari hemorrhage (pendarahan)
bisa berupa petechiae, ecchymoses, hematomas, epistaksis, pendarahan gusi, dan
adanya darah pada urin atau feses (Alldredge dkk., 2012).
13
c. Macam-macam Anemia
1) Iron Deficiency Anemia (IDA), dikarakteristik dengan penurunan level
ferritin (tanda yang paling sensitif) dan serum Fe, penurunan saturasi
transferrin, Hb dan Hct. Total binding capacity (TIBC) meningkat.
Berdasarkan morfologi sel darah merahnya termasuk pada anemia
hyprochromic dan microcyrtic. Kebanyakan pasien dengan IDA ini dapat
diterapi dengan pemberian suplemen ferrous (FE+2) sulfate secara oral, terapi
suplemen besi secara parenteral digunakan hanya untuk pasien dengan
keadaan tertentu.
2) Anemia akibat defisiensi vitamin B12, adalah macrocytic anemia, yang
terjadi akibat asupan yang inadekuat, penurunan absorpsi, atau pemanfaatan
vitamin B12 yang inadekuat. Anemia disebabkan oleh kekurangan faktor
intrinsik, menyebabkan penurunan vitamin B12 dan jumlah retikulosit yang
relatif rendah. Gejala neurologi sering dijumpai dan bisa menjadi irreversible
jika defisiensi vitamin B12 tidak segera di atasi. Oral atau parenteral terapi
bisa digunakan untuk mengatasi defisiensi vitamin B12.
3) Anemia akibat defisiensi asam folat, adalah macrocytic anemia, yang terjadi
akibat asupan yang inadekuat, penurunan absorpsi, hyperutilization, atau
pemanfaatan yang inadekuat. Terapi dilakukan secara peroral, bahkan pada
pasien dengan masalah absorpsi (Dipiro, 2008).
Jika defisiensi vitamin B12 dan folat berlangsung terus-menerus, maka akan
terjadi gangguan pada sintesis DNA, maturasi terhenti, sehingga proses
14
eritropoesis inaktif dan berkembang menjadi anemia macrocytic (KDOQI,
2006).
4) Anemia Chronic Disease (ACD) adalah anemia yang berhubungan dengan
penyakit
kronis dikarakteristik dengan abnormalnya distribusi besi,
penurunan lama hidup dari sel darah merah dan lemahnya respon eritropoetin.
ACD adalah penyebab kedua paling banyak terjadinya anemia setelah IDA
dan prevalensi rawat inap pasien pun lebih banyak dibandingkan IDA (Weiss
dkk., 2005). Terjadinya ACD dihubungkan dengan terjadinya infeksi atau
proses inflamasi, kerusakan jaringan dan kondisi yang berhubungan dengan
pelepasan proinflamasi sitokin (Weiss dkk., 2005). Tes laboratorium untuk
membedakan ADI dan ADC dapat dilihat pada Tabel III.
Tabel III. Perbedaan Anemia ACD/ADI (Weiss dkk., 2005)
Nilai Tes Laboratorium
ACD
IDA
ACD-IDA
Besi
↓
↓
↓
Transferin
↓ / normal
↓
↓
Transferin Saturation
↓
↓
↓
Ferritin
↑ / normal
↓
↓ / normal
Soluble Transferin Receptor
normal
↑
↑ / normal
Keterangan :
ACD : Anemia Chronic Disease
ADI : Iron Deficiency Anemia
↓: terjadi penurunan dari nilai normal
↑: terjadi kenaikan dari nilai normal
3. Anemia pada Gagal Ginjal Kronis
a. Patofisiologi Anemia pada GGK
Anemia renal adalah anemia pada GGK yang terutama disebabkan
penurunan kapasitas produksi eritropoietin. Beberapa faktor
lain yang
berkontribusi untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi, umur
eritrosit yang memendek, hiperparatiroid sekunder, dan infeksi-inflamasi
15
(PERNEFRI, 2011). Ginjal memproduksi 90% eritropoetin, dan sisanya
diproduksi oleh hati (Alldredge dkk., 2012). Eritropoetin diproduksi sel
peritubular capillary endothelial yang ada pada ginjal, Hypoxia Inducible Factor
(HIF) diproduksi oleh ginjal dan juga jaringan lain apabila terjadinya hipoksia
pada jaringan yang kemudian menstimulasi produksi eritropoetin. Kemudian
eritropoetin akan berikatan dengan reseptornya sel erythroid progenitor di
sumsum tulang, yaitu Burst-forming Units (BFU-E) and Colony-forming Units
(CFU-E). Dengan terikatnya eritropoetin ke reseptor, sel erythroid progenitor
mengalami diferensiasi menjadi retikulosit dan sel darah merah yang dimediasi
oleh fas antigen (Lankhorst, 2010).
Inflamasi adalah gangguan paling umum yang terjadi pada pasien GGK,
yang akan mempengaruhi proses eritropoesis pada periode awal erythropoietindependent period dan kemudian iron-dependent period. Inflammatory cytokines
menghambat produksi eritropoetin, yang secara langsung merusak pertumbuhan
awal dari eritroblast, dan tidak adanya eriropoietin akan menginisiasi kerusakan
immature eritroblast (De Maria dkk., 1999). Inflammatory cytokines juga
menginduksi produksi hepcidin yang dihasilkan hati yang menghambat produksi
sel darah merah dengan menurunkan absorpsi zat besi di saluran cerna yang
berguna untuk membentuk eritroblast, sehingga juga mengganggu produksi sel
darah merah (Andrews, 2004).
Masa hidup sel darah merah pada pasien GGK juga berkurang normalnya
masa hidup sel darah merah adalah 120 hari namun pada pasien GGK masa hidup
sel darah merah hanya 60-90 hari. Pada kondisi normal sumsum tulang akan
16
secara signifikan menaikkan produksi sel darah merah dan mengkoreksi
pendeknya masa hidup sel darah merah, namun aksi ini pada pasien dengan GGK
menjadi lemah karena terjadinya kekurangan eritropoetin (Lankhorst, 2010).
b. Tatalaksana Terapi Anemia GGK menggunakan ESA
Tatalaksana terapi anemia pasien GGK menurut PENEFRI 2011 dapat
dilihat pada Gambar 2.
1) Terapi ESA dimulai pada kadar Hb <10 g/dl, dengan syarat pemberian ESA
yaitu :
a)
Tidak ada anemia defisiensi besi absolut yaitu Saturasi Transferin (ST) <20%
dan Ferritin Serum (FS) <100 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD), <200 ng/ml
(PGK_HD). Bila didapatkan anemia defisiensi besi absolut, harus dikoreksi
terlebih dahulu.
b) Tidak ada infeksi berat
2) Terapi ESA fase koreksi
Tujuannya adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb tercapai.
a)
Terapi ESA dianjurkan untuk diberikan secara subkutan.
b) Dosis ESA dapat dengan : Epoetin alfa dan beta : dimulai dengan 2000-5000
IU 2x seminggu atau 80-120 unit/kbBB/minggu subkutan. Continuous
Erythropoiesis Receptor Activator (CERA) dapat diberikan 0,6 µg/kgBB atau
50-75 µg setiap 2 minggu.
c)
Target respon yang diharapkan: Hb naik sekitar 0,5 – 1,5 g/dl dalam 4
minggu. Monitor Hb tiap 4 minggu.
17
Hb <10 g/dl
Status Besi
 ST >50%\
 ST ≥20%
dan FS
>500 ng/dl
 ST <20%
dan FS
>800 ng/dl
Anemia Defisiensi Besi Absolut
Tunda ESA
Terapi Besi Fase koreksi
Cukup
Anemia Defisiensi Besi
AnemiaFungsional
Defisiensi
Fungsional
Besi
Terapi ESA fase koreksi
Epoetin α atau Epoetin beta: 2000-5000 IU, 2x seminggu
atau 80-120 IU/kgBB/minggu
C.E.R.A: 0,6 µg/kgBB atau 50-75 µg setiap 2 minggu
Target Respon
Hb ↑ 0,5 – 1,5 g/dl dalam 4 minggu
Belum
tercapai
Melebihi target
Tercapai
Pertahankan dosis ESA
sampai target Hb
tercapai (Hb 10-12 g/dl)
Dosis ↑ 25%
tiap 4 minggu
Hb 12-13 g/dl atau
Hb ↑ 1,5 g/dl dalam
4 minggu
Hb >13 g/dl
g/dl
Belum
tercapai
Tercapai
Dosis ↓ 25%
Cari penyebab respon
ESA tidak adekuat
STOP
ESA
Evaluasi 1 bulan
Dosis ESA fase pemeliharaan
Epoetin ɑ dan beta: 2000-5000 IU/minggu
CERA: sama dengan dosis fase koreksi dalam 1 bulan diberikan setiap 4 minggu
Keterangan:
Terapi besi tidak diberikan
Diberikan terapi besi fase koreksi, ESA ditunda sementara
ESA diberikan bersamaan dengan terapi besi fase pemeliharaan
Gambar 2. Algoritma Terapi ESA (PENEFRI, 2011)
18
d) Bila target respon tercapai: pertahankan dosis ESA sampai target Hb tercapai
(10-12 g/dl).
e)
Bila taget respon belum tercapai naikkan dosis 25%
f)
Bila Hb naik >1,5 g/dl dalam 4 minggu atau Hb mencapai 12-13 g/dl
turunkan dosis 25%. Bila Hb >13 g/dl, dihentikan pemberian ESA
g) Monitoring status besi : Selama terapi ESA monitor status besi, berikan
suplemen besi sesuai.
3) Terapi ESA fase pemeliharaan : dilakukan bila target Hb sudah tercapai (Hb
10-12 g/dl).
a)
Dosis epoetin poetin alfa dan beta : dimulai dengan 2000-5000 IU/minggu
atau dosis Continuous Erythropoiesis Receptor Activator (CERA) sama
dengan fase koreksi dengan interval pemberian setiap 4 minggu.
b) Monitor Hb setiap bulan dan periksa status besi secara berkala. Bila dengan
terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 g/dl maka dosis ESA diturunkan 25%
(PERNEFRI, 2011).
4. Erythropoietin Stimulating Agent (ESA)
a. Definisi dan Kegunaan ESA
Eritropoetin untuk kegunaan klinik diproduksi melalui teknologi
rekombinan DNA, disebut dengan nama epoetin. RhuEpo mempunyai efek
farmakologi yang sama dengan eritropoetin endogen (Sweetman, 2009). Epoetin
alfa, beta, delta dan zeta, darbepoetin alfa, Continuous Erythropoietin Receptor
Activator (CERA) digunakan untuk manajemen anemia pada pasien yang
19
mengalami GGK dengan dialisis dan predialisis, yang menurunkan penggunaan
transfusi darah. (Sweetman, 2009 ; Anonim, 2009a ; Anonim, 2009b ; Anonim,
2006).
b. Jenis ESA
Preparat ESA yang beredar di Indonesia : epoetin alfa, epoetin beta, ESA
alfa
biosimilar,
Continuous
Erythropoietin
Receptor
Activator
(CERA)
(PENEFRI, 2011). Epoetin alfa, epoetin beta adalah eritropoetin rekombinan dari
manusia yang berasal dari kloning gen eritropoetin manusia, memiliki 165 sekuen
asam amino yang sama yang membedakan hanyalah susunan glycosylatenya dan
memiliki waktu paruh singkat (Sweetman, 2009 ; PENEFRI, 2011). Epoetin alfa
biosimilar adalah produk bio-teknologi non original dengan proses kompleks
maka tidak persis sama dengan produk asli, oleh karena itu digunakan istilah
biosimilar (PENEFRI, 2011). Continuous Erythropoietin Receptor Activator
(CERA), merupakan pegylated epoetin beta mempunyai waktu paruh yang lebih
panjang (sekitar 130 jam) sehingga dapat diberikan setiap 2 minggu sekali atau
sebulan sekali secara subkutan atau intravena (Anonim, 2009b ; PENEFRI, 2011).
c. Mekanisme ESA
Menginduksi
eritropoiesis
dengan
menstimulasi
pembelahan
dan
diferensiasi dari sel pregnitor, menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum
tulang ke dalam aliran darah, dimana retikulosit akan menjadi eritrosit. Efek
tergantung dosisnya. Peningkatan jumlah retikulosit diikuti dengan peningkatan
level hematokrit dan hemoglobin (Anonim, 2009a ; Anonim, 2006).
20
d. Peringatan dan Perhatian dalam Penggunaan ESA
1) Terapi
dengan
epoetin
berhubungan
dengan
peningkatan
risiko
kardiovaskuler atau neurologi pada pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK). Harus
digunakan secara hati-hati, hindari peningkatan Hb >13 g/dL dalam 2 minggu
periode, dan target Hb tidak boleh lebih dari 12 g/dL (Anonim, 2006).
2) Perlu perhatian dan kewaspadaan lebih penggunaan epoetin pada pasien
dengan hipertensi berat (hati-hati pada pemberian ESA pada hipertensi berat
(180/110 mmHg), riwayat kejang, trombositosis, kerusakan hati kronis,
penyakit iskemik pada pembuluh darah, atau pasien dengan kanker dan tumor
tekanan darah harus dikontrol selama terapi. Peningkatan hematokrit
kemungkinan dapat menyebabkan kekambuhan hipertensi dan kejang.
3) ESA dapat diberikan secara subkutan maupun intravena, namun pemberian
subkutan lebih dianjurkan. Hal ini disebabkan karena pemberian subkutan
dapat menghemat kebutuhan ESA sampai 30% karena waktu paruh yang
lebih panjang (PENEFRI, 2011; Sweetman, 2009).
4) Dalam manajemen anemia GGK, pemberian ESA subkutan dapat dilakukan
sebelum, saat atau setelah HD selesai (PENEFRI, 2011).
5) Tidak direkomendasikan untuk mengkoreksi anemia akut atau pengganti dari
transfusi.
e. Efek Samping ESA
Menurut Drug Information Handbook (DIH) edisi 17 tahun 2009 efek
samping akibat penggunaan epoetin dibagi menjadi 3 kategori yaitu :
1) Efek samping dengan persentase kejadian >10% dapat dilihat pada tabel X.
21
Tabel IV. Efek Samping ESA dengan persentase kejadian >10% (Anonim, 2009b)
No
Efek samping
Persentase kejadian (%)
1
Kardiovaskuler
Hipertensi
5 – 24
thrombotic/vascular events (coronary artery 23
bypass graft surgery
Udem
6 – 17
Deep vein thrombosis
3 – 11
2
Sistem saraf pusat
Demam
29 – 51
Pusing
< 7 – 21
Insomnia
13 – 21
Sakit kepala
10 – 19
3
Dermatologi
Pruritis
14 – 22
Nyeri kulit
4 – 18
Rash
< 16
4
Gastrointestinal
Mual
11 – 58
Konstipasi
42 – 53
Muntah
8 – 29
Diare
9 – 21
Dispepsia
7 – 11
5
Sakit ditempat injeksi
3 – 21
6
Neuromuskular dan skeletal
Nyeri sendi
11
Paresthesia
11
2) Efek samping dengan persetanse kejadian 1 – 10 %
Efek samping pada sistem saraf pusat yaitu seizure (1–3 %), efek lokal yaitu
clotted vascular access (7%).
3) Efek samping dengan persentase kejadian <1%
Efek samping dengan persentase kejadian <1% adalah efek samping yang
masih berupa laporan kasus diantaranya reaksi alergi, flu-like syndrome,
hiperkalemia, reaksi hipersensitivitas, hipertensi encephalopathy, trombosis
mikrovaskuler, Myocardial Infark (MI), nyeri otot, netralisasi antibodi, emboli
paru, pure red cell aplasia (PRCA), trombosis pada vena renal, trombosis pada
pembuluh
arteri
retina
mata,
takikardi,
temporal
vein
thrombosis,
22
thrombophlebitis, trombosis, Transient Ischaemic Attack (TIA) stroke ringan,
urtikaria (Anonim, 2009b).
f. Interaksi dalam Penggunaan ESA
Beberapa obat yang dapat menimbulkan interaksi jika digunakan secara
bersamaan dengan epoetin adalah androgen, darbepoetin alfa, epoetin alfa,
desmopressin probenecid, amphotericin B, suplemen besi, lenalidomide,
thalidomide, NSAID, steroid, kalsineurin inhibitor yaitu tacrolimus, ciclosporin,
ACE-I, angiotensin II reseptor antagonis (Mozayani & Raymon, 2004 ; Baxter,
2010a ; Baxter, 2010b ; Karalliedde, 2010 ; Schiffl, 1999 ; Sweetman, 2009).
5. Efek Samping dan Interaksi Obat
a. Efek Samping Obat
Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan
tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada
manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi
fungsi fisiologik (BPOM, 2012). Efek samping obat menurut National Centres
Participating in the WHO International Drug Monitoring Proggrame tahun 1991,
adalah efek produk farmasetika yang tidak dikehendaki dan terjadi pada dosis
lazim yang dipakai oleh manusia yang berkaitan dengan pemakaian farmakologi
dari obat (Edwards, 2001). Efek samping dibagi dua yaitu reaksi tipe A dan reaksi
tipe B (Barone & Desantis, 2000). Ciri-ciri dari reaksi efek samping obat dapat
dilihat pada Tabel V.
23
Tabel V. Ciri-ciri Efek Samping Obat (Prest dkk., 2003)
Tipe A
Tipe B
(ESO- Efek Samping Obat)
(reaksi alergi, idosinkratis, imunologik,
karsinogenik, teratogenik)
Dapat
diramalkan
(dari
pengetahuan Tidak
dapat
diramalkan
(melibatkan
farmakologinya)
mekanisme imunologik atau mekanisme yang
Tergantung Dosis
belum diketahui)
Morbiditas tinggi
Jarang tergantung dosis
Mortalitas rendah
Morbiditas rendah
Dapat ditangani dengan pengurangan dosis
Mortalitas tinggi
Angka kejadian tinggi
Dapat ditangani hanya dengan penghentian
pengobatan
Angka kejadian rendah (tidak dapat ditemukan
sampai obat dipasarkan dalam waktu lama
Faktor yang mempengaruhi terjadinya efek samping obat diantaranya adalah:
1) Onset dari reaksi
Respon abnormal terhadap obat dapat terjadi segera setelah penggunaan obat
atau dapat terjadi dengan jangka waktu tertentu setelah penggunaan obat.
Tingkat risiko terjadinya efek samping bervariasi tergantung terhadap tipe
reaksi dan lamanya pemakaian obat.
2) Dosis yang digunakan
Beberapa obat efeknya tergantung dosis pemberian, namun karena setiap
individu berbeda respon farmakokinetiknya terhadap obat, sehingga dosis pun
terkadang tergantung dari pasiennya. Pengobatan yang salah juga dapat
mempengaruhi terjadinya kesalahan dalam dosis pemberian obat.
3) Umur
Efek samping umumnya banyak terjadi pada pediatri dan geriatri,
dikarenakan fungsi organnya yang terbatas dan eliminasi obat yang lebih
lama pada geriatri dan bayi yang baru lahir. Perubahan distribusi juga
menimbulkan respon yang berbeda. Kesensitivitasan reseptor dan perubahan
24
homeostasis juga mempengaruhi terjadinya efek samping. Pada usia pediatri
dan geriatri biasanya digunakan dosis yang lebih rendah.
4) Penyakit
Adanya penyakit juga dapat merubah farmakokinetik obat, atau merubah
sensitivitas reseptor terhadap obat sehingga meningkatkan terjadinya efek
samping. Terutama penyakit yang terjadi pada organ ekskresi (hati dan
ginjal), yang dapat meningkatkan terjadinya efek samping karena lambatnya
obat dieliminasi dari tubuh. Dalam kondisi seperti ini biasanya obat yang
digunakan adalah obat yang eliminasinya melalui salah satu organ agar tidak
memperparah keadaan ginjal atau hati.
5) Polifarmasi
Insiden terjadinya efek samping meningkat jumlahnya dengan banyaknya
jumlah obat yang digunakan. Adanya penambahan pemakaian obat-obat lain
seperti obat herbal ataupun suplemen juga perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya efek samping. Insiden terjadinya efek samping meningkat
jumlahnya dengan banyaknya jumlah obat yang digunakan. Studi pada
sebuah rumah sakit menemukan bahwa kemungkinan efek samping untuk
muncul adalah sebanyak 7% pada pasien yang menggunakan 6-10 0bat, dan
sebanyak 40% pada penggunaan 16-20 obat (Baxter, 2010a).
6) Jenis Kelamin
Lebih banyak efek samping terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.
Kemungkinan hormon seks yang mempengaruhi predisposisi obat.
25
7) Riwayat alergi atau reaksi tertentu terhadap obat
Pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat alergi terhadap obat biasanya
memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya efek samping, karena secara
genetikal terjadi perbedaan jumlah dari IgE.
8) Genetik dan etnik
Faktor keturunan bisa memberikan respon yang abnormal tehadap obat yang
dapat
meningkatkan efek samping,
baik karena perbedaan respon
farmakokinetiknya maupun perbedaan reseptor dalam merespon (Edward,
1997).
b. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah terjadinya respon obat yang berubah pada pasien
karena adanya obat lain, makanan, minuman, atau beberapa bahan kimia lain yang
ada di lingkungan (Stockley dkk., 2001). Interaksi obat semakin besar
kemungkinan kejadiannya apabila seseorang pasien diberikan dua atau lebih obat
(polifarmasi), efek dari masing-masing obat dapat saling mengganggu dan bisa
juga timbul efek samping yang tidak diinginkan (Tan & Rahardja, 2002 ;
Rowland & Towzer, 1995).
Mekanisme terjadinya interaksi obat dapat dibedakan menjadi interaksi
farmakokinetik dan farmakodinamik :
1) Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi lewat pengaruh proses
farmakokinetik, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
(interaksi ADME).
26
2) Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah
oleh adanya obat lain pada tempat aksinya. Bisa melalui mekanisme
kompetisi langsung di reseptor tertentu, tapi bisa juga saling mempengaruhi
secara tidak langsung lewat mekanisme fisiologis tertentu (Baxter, 2010 a).
Ada tiga kategori untuk menilai signifikan dari interaksi obat yaitu :
1) Aksi : kategori ini menjelaskan apakah perlu tindakan tertentu untuk
mengatasi interaksi yang terjadi. Kategori ini berkisar dari “dihindari” sampai
“tidak ada tindakan yang diperlukan”.
2) Keparahan : kategori ini menjelaskan kemungkinan yang terjadi jika interaksi
tidak dikendalikan. Kategori ini berkisar antara “parah” sampai “tidak
terekspektasi”
3) Bukti : kategori ini menjelaskan bukti yang melatarbelakangi terjadinya
interaksi. Kategori ini berkisar antara “ekstensif” sampai “teoritis” (Baxter,
2010b).
Berdasarkan kategori penentuan signifikansi interaksi obat, signifikansi interaksi
obat dikelompokkan menjadi 4 peringkat sesuai dengan Tabel VI.
27
Tabel VI. Peringkat Signifikansi Interaksi Obat (Baxter, 2010b)
Signifikansi
interaksi
1
2
3
4
Keterangan
Interaksi yang memiliki hasil yang mengancam jiwa, atau di mana
penggunaan bersamaan merupakan kontraindikasi.
Interaksi di mana penggunaan bersamaan dapat mengakibatkan reaksi
yang signifikan berbahaya kepada pasien dan perlu penyesuaian dosis
atau monitoring yang ketat.
Interaksi dimana ada beberapa keraguan tentang hasil interaksi obat.
Karena itu mungkin perlu untuk memberi tahu pasien tentang
kemungkinan terjadinya efek samping akibat interaksi obat, dan / atau
mempertimbangkan untuk monitoring.
Interaksi yang tidak dianggap signifikan secara klinis, atau dimana tidak
ada interaksi terjadi
F. Kerangka Konsep
Pasien GGK dengan
anemia
Terapi menggunakan
epoetin
Evaluasi penggunaan epoetin:
1. Efek samping
2. Interaksi obat
G. Keterangan Empiris
Dengan dilakukan penelitian ini dapat diketahui gambaran penggunaan
epoetin dan kejadian efek samping serta interaksi epoetin dalam pengobatan
anemia pada pasien GGK di Unit Hemodialiasis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Download