ISSN 2337-3776 The Comparison of the Incidence of Sexual Dysfunction According to the FSFI Scoring on IUD and Hormonal Acceptor at Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung Saputra, MAR., Sutyarso Medical Faculty of Lampung University Abstract Sexual Dysfunction is the inability or uncomfortable in normal sexual activity. More than half of women in a country may experience sexual dysfunction. The aim of this research to determine the differences in the incidence of sexual dysfunction between hormonal and IUD acceptors at Puskesmas Rajabasa in Bandar Lampung. The research design is analitic-comparative with cross-sectional. The research was conducted in OctoberNovember 2013, with 110 respondents who were taken using consecutive sampling technique then matching with inclusion and exclusion criteria. The result of the research showed that the prevalence of sexual dysfunction at Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung are 75 hormonal acceptors and 23 IUD acceptors. According to the Mannwhitney test, it can be concluded there was a significant difference in the incidence of sexual dysfunction between hormonal and IUD acceptors . The conclusion of this research is a significant difference in the incidence of sexual dysfunction between hormonal and IUD acceptors with p = 0,001where hormonal acceptor sexual dysfunction is higher than IUD. Key words : Sexual dysfunction, contraception Perbandingan Angka Kejadian Disfungai Seksual Menurut Skoring FSFI pada Akseptor IUD dan Hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung Abstrak Disfungsi seksual adalah ketidakmampuan atau tidak nyaman dalam melakukan aktivitas seksual yang normal. Lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor IUD dan hormonal pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. Desain penelitian menggunakan metode analitik-korelatif dengan pendekatan cross sectional. Waktu Penelitian dilakukan Oktober-November 2013 dengan 110 responden untuk tiap jenis kontrasepsi dengan teknik consecutive sampling kemudian disesuaikan dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil penelitian ini adalah prevalensi disfungsi seksual pasangan usia subur (PUS) di puskesmas rajabasa Bandar Lampung pada akseptor hormonal 75 orang dan pada akseptor IUD terdapat 23 orang. Berdasarkan uji Mann-whitney didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan antara angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD. Simpulan pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan signifikan angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD dimana angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal lebih tinggi dibanding akseptor IUD dengan p = 0,001. Kata kunci: Disfungsi seksual, kontrasepsi 69 ISSN 2337-3776 Pendahuluan Disfungsi seksual pada wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang penting karena berhubungan dengan kelangsungan fungsi reproduksi seorang wanita dan berperngaruh besar terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005). Pada Diagnostic and Statistic Manual version IV (DSM IV) dari American Phychiatric Assocation, dan International Classification of Disease-10 (ICD-10) dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder). Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri (Walwiener, 2010). Angka kejadian disfungsi seksual wanita di setiap negara bisa berbedabeda. Di Indonesia, Imronah (2011) dengan menggunakan instrumen FSFI menemukan bahwa kasus disfungsi seksual pada kaum wanita di Bandar Lampung mencapai 66,2%. Jika angka-angka disfungsi seksual wanita di Turki (48,3%), Ghana 72,8%), Nigeria (63%), dan Indonesia (66,2%) itu dirata-ratakan kita dapatkan angka prevalensi sebesar 58,04%. Itu artinya lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Sebuah studi oleh Journal of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal dan non-hormonal (Walwiener, 2010). Pada tahun 2011 peserta KB Baru secara nasional pada Bulan Januari sampai dengan Desember 2011 sebanyak 9.581.469 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut : 627.980 peserta IUD (6,55%), 115.018 peserta Metode Operatif Wanita (MOW) (1,2%), 25.612 70 ISSN 2337-3776 peserta Metode Operatif Pria (MOP) (0,27%), 748.316 peserta Kondom (7,81%), 768.464 peserta Implant (8,02%), 4.618.051 peserta Suntikan (48,2%), dan 2.677.839 peserta Pil (27,95%) (BKKBN, 2011). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa metode kontrasepsi hormonal dan IUD yang paling banyak digunakan. Kota Bandar Lampung adalah kota yang memiliki jumlah pasangan usia subur (PUS) yang cukup banyak, salah satunya di kelurahan Rajabasa yang berjumlah 7256 orang pada tahun 2012. Berdasarkan jumlah tersebut 4900 pasangan usia subur merupakan akseptor KB (BKKBN Lampung, 2012). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung. Peneliti memilih Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung karena merupakan puskesmas kesehatan induk di Kelurahan Rajabasa dan terjangkau oleh peneliti. Metode Penelitian ini menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross secsional. Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia subur (PUS) 15-49 tahun akseptor IUD atau hormonal di Puskesmas Rajabasa. Teknik pengumpulan sampel dalam peneltian ini adalah consecutive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung dilaksanakan selama 2 bulan periode Oktober-November 2013. Besar sampel yang digunakan sebanyak 110 orang untuk tiap jenis kontrasepsi yakni IUD dan Hormonal dengan kriteria inklusi yaitu pasangan usia subur 15-49 tahun, menggunakan salah satu kontrasepsi antara hormonal dan IUD. Kriteria eksklusi yaitu tidak bersedia menjadi subjek penelitian dengan tidak mengisi dan menandatangani informed concent serta hambatan etis. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah disfungsi seksual. Variabel bebasnya adalah pasangan usia subur akseptor IUD dan hormonal. 71 ISSN 2337-3776 Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuisioner disfungsi seksual, alat tulis, lembar persetujuan, dan formulir untuk mencatat hasil observasi. Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden (data primer), yang diawali dengan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian dilanjutkan dengan pengisian informed consent, pengisian kuisioner terbimbing, dan pencatatan hasil observasi pada formulir lembar penelitian. Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program statistik. Hasil Tabel 1. Karakteristik responden Karakteristik Disfungsi Seksual a. Disfungsi b. Tidak Disfungsi Disfungsi Domain Hormonal a. Hasrat b. Rangsangan c. Lubrikasi d. Orgasme e. Kepuasan f. Nyeri Disfungsi Seksual Domain IUD a. Hasrat b. Rangsangan c. Lubrikasi d. Orgasme e. Kepuasan f. Nyeri n % 98 122 44,55 55,45 101 77 69 39 17 64 91,82 70 62,73 35,46 15,46 58,18 21 31 21 16 23 67 19,09 28,18 19,09 14,55 20,91 60,9 Berdasarkan distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual, dari 220 responden yang menjadi subjek penelitian yang terdiri dari 110 akseptor IUD dan 110 akseptor hormonal, terdapat 98 orang (44,55%) akseptor yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122 orang (55,45%). Distribusi responden akseptor berdasarkan domain disfungsi seksual, pada akseptor IUD sebagian besar pada domain keenam (kesakitan) 67 responden mengalami disfungsi seksual. Pada akseptor hormonal sebagian besar responden mengalami disfungsi seksual pada domain pertama (hasrat) yakni 91,82% atau 101 orang. 72 ISSN 2337-3776 Tabel 2. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD IUD Hormonal Kategori n % n Persentase Disfungsi 75 68,18 % 23 20,91% Tidak Disfungsi Total 35 110 31,82 % 100 % 87 79,09% 110 100% p 0,001 Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi disfungsi seksual akseptor kontrasepsi hormonal dan IUD dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%) yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%). Dengan nilai p=0.001 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual. Pembahasan Kejadian Kejadian Disfungsi Seksual dikategorikan menjadi 2 yaitu yang terjadi disfungsi seksual dan non disfungsi seksual atau normal. Hal ini merujuk pada Female Sexual Function Index (Rosen dkk, 2000) yang merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai seluruh domain kurang atau sama 26,5. Kejadian disfungsi seksual pada pengguna kontrasepsi di puskesas Rajabasa bandar lampung berdasarkan hasil pada penelitian ini didapatkan prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi di puskesmas rajabasa Bandar Lampung. Dari 220 responden yang terdiri dari 110 akseptor hormonal dan 110 akseptor IUD yang menjadi subjek penelitian, terdapat 98 orang (44,5%) pengguna kontrasepsi yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122 orang PUS yang tidak mengalami disfungsi seksual atau normal. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir separuh akseptor di Puskesmas Rajabasa Indah mengalami disfungsi seksual yakni sebanyak 44,5%. Pada penelitian ini didapatkan persentase domain dari disfungsi seksual yang telah ditentukan oleh FSFI. Pada penelitian didapatkan sebesar 91,82% atau 73 ISSN 2337-3776 101 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain pertama (hasrat) sebesar 70% atau 77 orang responden mangalami disfungsi seksual pada domain kedua (perangsangan), sebesar 62,73% atau 69 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga (kebasahan/lubrikasi), sebesar 35,46% atau 39 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (orgasme), sebesar 15,46% atau 17 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (kepuasan), dan sebesar 58,18% atau 64 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keenam (kesakitan). Pada penelitian akseptor IUD didapatkan 23 orang dari 110 responden yang mengalami disfungsi seksual hanya sekitar 23,91%. Sedangkan yang tidak termasuk disfungsi seksual pada wanita sekitar 79,09% atau 87 orang. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa domain pertama yakni hasrat merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor hormonal yaitu sebesar 91,82% . Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana persentase jumlah responden yang paling besar dan juga merupakan domain yang paling besar pengaruhnya sebagai penyebab disfungsi seksual pada aksetor hormonal adalah domain pertama (Hasrat/libido) (Dewi, 2011). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori tentang pemakaian kontrasepsi hormonal khususnya yang berisi progesteron (gestagen) yang mempunyai efek samping salah satunya adalah menurunkan libido, vagina menjadi kering dan perasaan tertekan (Baziad, 2005). Penurunan libido tersebut dikarenakan adanya gangguan hormonal seperti penurunan hormon estrogen. Penurunan kadar estrogen menyebabkan penurunan aliran darah ke jaringan intrakavernosa klitoris, vagina dan uretra secara signifikan sehingga dapat mengganggu tahap perangsangan (vasokongesti). Peneliti juga menemukan 4 responden yang mengakui bahwa vaginanya menjadi kering dan kadang nyeri saat berhubungan, hal ini juga termasuk salah satu domain perilaku dari disfungsi seksual yaitu lubrikasi dan berkaitan dengan efek samping dari progesteron itu sendiri yaitu dapat menyebabkan vagina menjadi kering sehingga kemudian wanita merasakan sakit saat berhubungan seksual (Prawirohardjo, 2008). 74 ISSN 2337-3776 Berdasarkan penelitian pada akseptor IUD disimpulkan bahwa domain keenam yakni nyeri/kesakitan merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami oleh responden akseptor IUD. Dari hasil penelitian responden mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman pada saat melakukan hubungan seksual pada waktu awal pemasangan hal ini berkaitan dengan adanya pemasangan yang salah dapat menyebabkan perlukaan pada vagina dan menimbulkan rasa tidak nyaman (BKKBN, 2005). Berdasarkan penelitian dapat diketahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar Lampung. Dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%) yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%). Dengan nilai p=0.001 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD dimana angka kejadian disfungsi seksual hormonal lebih tinggi yakni 75 orang (68,18%) dibandingkan IUD yang hanya 23 orang (20,91%%). Tingginya prevalensi disfungsi seksual pada akseptor hormonal dibanding IUD pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana dari hasil penelitian pada perempuan pelajar kedokteran di Jerman, menunjukkan bahwa metode kontrasepsi memiliki efek samping yang signifikan dalam fungsi seksual terutama kontrasepsi hormonal (Walwiener et al, 2010). Angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor hormonal lebih tinggi daripada akseptor IUD salah satunya dipengaruhi oleh mekasnisme kerja kontrasepsi hormonal tersebut yang dapat berpengaruh secara langsung menyebabkan penekanan pada produksi Follicle Stimulating Hormone (FSH) sehingga menghambat peningkatan hormon estrogen (Ningsih, 2010). Tingginya angka kejadian disfungsi seksual pada hormonal dibanding IUD ini dapat memberikan perhatian terhadap masyarakat pada umumnya dan pada 75 ISSN 2337-3776 khususnya petugas kesehatan karena disfungsi dapat mempengaruhi hubungan dengan keluarga dan akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang yang menyebutkan wanita yang memiliki masalah disfungsi seksual memiliki kualitas hidup yang lebih rendah (Laumann,1999). Sebagian besar responden dengan disfungsi seksual yang diwawancarai menyatakan mereka hanya merasa pasrah dengan masalah ini dan tidak berusaha untuk mencari solusi serta masih merasa malu untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan dokter karena menganggap masalah seksual masih tabu. Pengaruh sosial budaya dan kurangnya pengetahuan juga dapat menyebabkan wanita malu untuk mendiskusikan masalah seksual, padahal sikap malu dapat menyebabkan wanita mengalami depresi. Sebaliknya jika kehidupan seksual yang memuaskan serta pengalaman dan fungsi seksual yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri dan pandangan positif mengenai dirinya akan berdampak pada kesejahteraan hidup dalam bekeluarga. Hubungan seksual dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagiaan, oleh karena itulah kedua belah pihak harus dapat menikmatinya bersama. Perlu diakui bahwa pada permulaan perkawinan sebagian besar belum mampu mencapai kepuasan bersama, karena berbagai kendala. Setelah tahun pertama sebagian besar sudah mengerti dan dapat mencapai kepuasan bersama. Sekalipun hubungan seksual bukan satu- satunya yang dapat memegang kendali kerukunan rumah tangga, tetapi ketidakpuasan seksual juga dapat menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan, dan akhirnya terjadi perceraian (Manuaba, 2004). Menurut Santoso (2007), untuk mencoba keluar dari problem seksual itu, ada beberapa hal yang bisa dicoba guna memperbaiki kondisi tersebut, yaitu memperbaiki komunikasi. Diyakini, kualitas hubungan seksual ditentukan oleh komunikasi yang baik sebelum kontak seksual. Kemesraan dan kebersamaan sebelum berhubungan seksual merupakan salah satu foreplay yang baik. Kemudian, selalu menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh serta tidak mencoba obat- obatan atau jamu tanpa indikasi yang jelas. Justru penggunaan yang demikian ini akan menimbulkan disfungsi seksual. Itulah sebabnya masalah 76 ISSN 2337-3776 seksual seharusnya dibicarakan secara terbuka sehingga tidak mengecewakan dalam keluarga (Manuaba, 2004). Simpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung, terdapat 23 orang (20,91%) yang mengalami disfungsi seksual. Prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar Lampung, terdapat 75 orang (68,18%) pengguna kontrasepsi hormonal mengalami disfungsi seksual. Angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor hormonal lebih tinggi yakni 75 orang (68,18%) dibanding angka kejadian difungsi seksual akseptor IUD yakni 23 orang(20,91%) dan terdapat perbedaan yang signfikan dengan p = 0,001 Daftar Pustaka American Pschiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Dissorder Fourth Edition Text Revision. Arlington, VA: American Pschiatric Association. pp: 526–529. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2011. Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: BKKBN. Hal 4. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2011. Penyajian dan Pemutahiran Hasil Pendataan Keluarga Kota Bandar Lampung. Lampung: BKKBN. Hal 5. Chandra L. 2005. Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya. Jakarta : Cer Dun Ked; 149: 15 Dewi M . 2011. Prevalensi Disfungsi Seksual Pada Wanita Pengguna Kontrasepsi Implant (skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. hal. 50. Imronah. 2011. Hubungan pemakaian kontrasepsi suntik DMPA dengan disfungsi seksual pada wanita di Puskesmas Rajabasa Indah Kota Bandar Lampung (Tesis). STIKES MITRA Lampung. hal. 40. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. 1999. Sexual dysfunction in the United States. JAMA.; 281 (6) : 537-44 Manuaba I. 2004. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Edisi II. Jakarta: ARCAN. Hal. 22 Ningsi A. 2012. Pengaruh Penggunaan Metode Kontrasepsi Suntikan DMPA Terhadap Kejadian Disfungsi Seksual (Skripsi). Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar. hal. 14 Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Hal. 22-33 Rosen R, Brown C, Heiman J, Leiblum S, Meston C, Shasigh R. 2000. The Female Sexual Function Index (FSFI) . Journal of Sex and Marital Therapy; 26: 191-208 77 ISSN 2337-3776 Santoso B. 2007. Panduan Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : SKP Publishing. Hal. 721 Walwiener M, Walwiener L, Seeger H, Mueck A, Zipfel S, Bitzer J, Walwiener C. 2010. Effect of Sex Hormones in Oral Contraceptives on the Female Sexual Function Score : A Study in German Female Medical Student. In Contraception (Ed) New York, Springerverlag. pp: 26 WHO. 2006. International Classification of Disease-10 10’th Revision. World Health Organization. 10 : 150-152. 78