POLICY BRIEF Mengawal Implementasi Undang-Undang Desa Optimalisasi Fungsi Kecamatan dalam Memberdayakan dan Memandirikan Desa K ecamatan merupakan salah satu perangkat daerah kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, juga melaksanakan tugas pembantuan. Kecamatan selama ini diatur secara rinci melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Namun setelah disahkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), belum ada aturan pelaksanaan yang mengatur khusus tentang kecamatan. Secara umum, pembahasan mengenai kecamatan relatif kurang mendapat perhatian. Kecamatan dianggap sebagai unit pemerintahan yang ambigu, menjadi perangkat daerah tapi juga mencakup kewilayahan. Seperti dinyatakan dalam UU 23 Tahun 2014 bahwa daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa (Pasal 2 ayat 2). Kecamatan sendiri adalah bagian wilayah dari daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat (Pasal 1 angka 24). Namun, camat sendiri tidak memiliki wewenang layaknya seperti kepala wilayah. Sempat muncul dorongan agar kecamatan dihapuskan dari rantai pemerintahan di Indonesia (de-layering), karena tugas pokok dan fungsinya kurang konkrit, “hanya” sebatas koordinasi dan pengawasan semata. Keberadaannya juga dianggap akan memperpanjang rantai birokrasi, atau bahkan dapat “menggerogoti” otonomi lokal di tingkat desa1. Upaya membenahi kecamatan sejatinya telah lama dilakukan, salah satunya melalui peningkatan kapasitas dalam penyediaan pelayanan publik, khususnya pelayanan administrasi, melalui PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) yang menjadi agenda Kementerian Dalam Negeri dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah. Hal ini dituangkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2010 tentang Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, yang memandatkan pada akhir tahun 2014 seluruh kecamatan di Indonesia telah menerapkan PATEN. Namun realitanya, hingga akhir tahun 2015 baru 1.000 kecamatan (14,3%) dari total 7.000 kecamatan yang telah menerapkan PATEN, dan di tahun 2016 ditargetkan 3.500 kecamatan (50% dari jumlah total kecamatan) yang memiliki layanan PATEN2. Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) “memaksa” pemerintah untuk memikirkan kembali peran kecamatan, terutama dalam rangka mendorong kemandirian desa, melalui fasilitasi dan peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Karena tujuan dibentuknya UU Desa sendiri diantaranya adalah: a) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; b) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; c) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; d) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan e) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Undang-Undang Desa ini memandatkan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam pelaksanaannya, dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah (Pasal 112 1. “Kecamatan di Era Otonomi Daerah”, Rilus A. Kinseng. Project Working Paper Series No. 03, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, IPB dan DRSP-USAID, 2008. 2. Pernyataan Direktur Dekosentrasi Tugas Perbantuan dan Kerja Sama, Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Rizari di Batam dalam “PTSP dan Paten Optimalkan Implementasi Jaminan Sosial di Daerah”, www.beritasatu.com, 21 Januari 2016 2 Foto: Pelatihan layanan kesehatan di Distrik (desa) Aimas, Kabupaten Sorong oleh PATTIRO. Sumber: PATTIRO ayat 1 dan 2). Salah satunya adalah camat. Hal ini dipertegas melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama Pasal 154 ayat 1 dan 2 yang menyatakan Camat atau sebutan lain melakukan tugas pembinaan dan pengawasan Desa, yang dilakukan melalui: a) fasilitasi penyusunan peraturan Desa dan peraturan kepala Desa; b) fasilitasi administrasi tata Pemerintahan Desa; c) fasilitasi pengelolaan keuangan Desa dan pendayagunaan aset Desa; d) fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; e) fasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan perangkat Desa; f) fasilitasi pelaksanaan pemilihan kepala Desa; g) fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa; h) rekomendasi pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa; i) fasilitasi sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah dengan pembangunan Desa; j) fasilitasi penetapan lokasi pembangunan kawasan perdesaan; k) fasilitasi penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; l) fasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasyarakatan; m) fasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif; n) fasilitasi kerja sama antar-Desa dan kerja sama Desa dengan pihak ketiga; o) fasilitasi penataan, pemanfaatan, dan pendayagunaan ruang Desa serta penetapan dan penegasan batas Desa; p) fasilitasi penyusunan program dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat Desa; q) koordinasi pendampingan Desa di wilayahnya; dan r) koordinasi pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan di wilayahnya. Dalam kaitannya dengan desa, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda juga menyatakan bahwa salah satu mandat pembentukan kecamatan adalah untuk pemberdayaan masyarakat desa, seperti dinyatakan dalam Pasal 221 ayat 1 bahwa, “Daerah kabupaten/ kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan”. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa menurut UU Desa dan UU Pemda, kecamatan, di samping harus mengelola potensi internalnya, juga wajib memberikan pembinaan kepada pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga tujuan pengaturan desa tercapai yaitu desa yang berdaya dan mandiri. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, maka keberadaan kecamatan hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga anggaran dan fasilitas yang digunakan untuk pembiayaan kecamatan dapat memberi manfaat besar bagi masyarakat, termasuk masyarakat desa. 3 Sumber: Masawah Desa Variasi Kewenangan Kecamatan Kecamatan merupakan salah satu perangkat daerah kabupaten/kota yang memiliki posisi yang relatif unik, dalam arti tidak memiliki urusan (berbeda dengan SKPD lain, seperti Dinas Kesehatan atau Dinas Pendidikan), namun memiliki wilayah kerja. Meski demikian, Camat yang memimpin kecamatan sebagai bagian wilayah dari daerah kabupaten/kota tidak memiliki wewenang sebagai kepala wilayah pada umumnya. Camat selama ini memiliki kewenangan untuk urusan pemerintahan umum di tingkat kecamatan, yang merupakan tugas dari bupati/wali kota yang dilimpahkan kepada camat. Tugas camat lainnya adalah mengoordinasikan berbagai kegiatan di tingkat kecamatan; membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan desa/kelurahan; melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan pembinaan dan pengawasan desa, meski tugas kecamatan sudah 4 didefinisikan dengan rinci, namun belum dapat dijalankan, karena hal ini tergantung pada pendelegasian wewenang dari pemerintah kabupaten/ kota. Dengan kata lain, sepanjang bupati/wali kota tidak melimpahkan kewenangannya kepada camat dalam urusan pembinaan dan pengawasan desa, maka camat tidak dapat mengimplementasikan tugas dimaksud. Mengingat kewenangan kecamatan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, yang “hanya” terdiri dari koordinasi dan pembinaan, maka besar wewenang kecamatan tergantung pada besar kecilnya pelimpahan wewenang dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, kewenangan delegatif sangat menentukan. Oleh karena itu, luas dan sempitnya kewenangan camat sangat tergantung dari delegasi kewenangan yang diberikan oleh bupati/ walikota. Sementara pada sisi lain, peran kecamatan menjadi sangat penting dalam memandirikan desa. Karena jarak geografis dan rentang pembinaan pemerintah kabupaten dianggap “relatif jauh” dengan desa. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata kecamatan lebih sering dianggap sebagai rantai birokrasi tambahan dalam komunikasi dan hubungan antara desa dengan kabupaten/kota. Hal ini terlihat dari studi yang dilakukan oleh PATTIRO di Kebumen, Bantul dan Siak. Kewenangan kecamatan terkait pemberdayaan pemerinta- han dan masyarakat desa bervariasi. Hal ini terlihat dari: a) Tata Kelola Pemerintahan Desa Beberapa hal yang dapat dilihat adalah pemilihan kepala desa; pengangkatan perangkat desa, dan penyusunan peraturan desa. Pada pemilihan kepala desa, sebagian besar camat berperan sebagai pengarah dan pengawas proses pilkades. Pengarah dalam arti memberi pengarahan kepada panitia pemilihan kepala desa agar proses pelaksanaan pilkades sesuai dengan peraturan yang ada. Pengawas dalam arti mengawasi agar pilkades luber jurdil (langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil). Sementara kecamatan lain cukup dominan. Mulai dari menjadi panitia pilkades dan terlibat dalam penyelesaian masalah yang dihadapi panitia, yaitu proses seleksi calon kades yang diprotes oleh salah satu bakal calon kades, dengan cara melakukan konsultasi dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten. Pada pengangkatan perangkat desa, kepala desa melakukan konsultasi kepada camat. Sebagian besar camat memaknai konsultasi itu dengan menindaklanjutinya melalui pemberian rekomendasi kepada Bupati atas usulan perangkat desa yang diajukan oleh Kepala Desa. Sepanjang memenuhi persyaratan, maka usulan perangkat desa itu dapat diteruskan kepada Bupati. Namun di desa lain, Camat terlibat dalam proses seleksi calon perangkat desa. Bila camat setuju, maka perangkat desa itu bisa diangkat. Pada penyusunan Peraturan Desa. Setidaknya ada empat peraturan desa (Perdes) yang harus melalui persetujuan pemerintah kabupaten/kota melalui camat, yaitu Perdes tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa); tentang Pungutan; tentang Tata Ruang dan tentang Organisasi Pemerintah Desa. Rancangan Perdes ini harus dievaluasi oleh Bupati (melalui Camat) sebelum disahkan (Pasal 69 ayat 4 UU Desa). Sebagian besar, pemerintah desa melakukan konsultasi dengan camat dalam penyusunan Perdes dimaksud. Namun konsultasi ini tidak dilakukan secara maksimal, dalam arti jika Perdes yang disusun tidak menyimpang dari regulasi yang ada, pasti diterima. Selain itu konsultasi juga dilakukan in the last minute, sehingga proses konsultasi tidak optimal. Di desa lain, peran kecamatan relatif sedikit. Bahkan menurut anggota BPD di salah satu desa di Kabupaten Siak, “Tidak pernah juga perdes diserahkan ke camat, tidak juga ada evaluasi. Dalam hal perdes, menurut BPD sudah otonom, artinya tidak ada campur tangan dari bupati. Prinsipnya, tidak melanggar atau bertentangan atau menyimpang dari peraturan di atasnya.” b) Keuangan dan Aset Desa Camat memiliki peran melakukan review terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Setelah itu, Camat mengeluarkan rekomendasi. Melalui rekomendasi itulah, dana ADD dan DD dapat dicairkan. Beberapa camat melalukan review secara detil hingga pengecekan ke dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB). Beberapa lainnya, memastikan sepanjang dokumen-dokumen yang dikirimkan memenuhi persyaratan dapat diberikan rekomendasi untuk pencairan. Proses ini dikritik oleh beberapa kepala desa yang menyatakan bahwa camat memang memberikan evaluasi atau mengoreksi dokumen usulan dari desa, namun tidak memberikan solusi atas masalah yang dikoreksi tersebut. Sehingga pemerintah desa harus “menebak” apa yang dimaksud dengan koreksi kecamatan terkait dokumen usulan desa tersebut. Hal ini mengakibatkan waktu untuk penyelesaian dokumen menjadi bertambah panjang dan berpotensi mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Sementara bagi Camat, tidak adanya panduan rinci dalam proses evaluasi dan kurangnya kemampuan Desa dalam menatakelola keuangan dan kurang disiplin dalam penyampaian laporan keuangan desa menjadi penyebab lambatnya proses pemberian rekomendasi. Hal itu mengakibatkan “kekurangnyamanan” camat dalam melakukan review, sehingga ada camat yang berharap agar pemerintah langsung saja memberikan dana tersebut ke desa sebagai bentuk block grant, dan bisa langsung ke rekening desa. Sehingga kecamatan tidak perlu memberikan rekomendasi. “Kalau saya “keras” nanti dikira saya terlalu “keras”, kalau hanya block grant, bisa langsung datang ke rekening desa dari rekening pusat dan akan menjadi tanggungjawab kepala desa”. Peran lain dari kecamatan adalah evaluasi laporan pertanggungjawaban APBDesa. Peran yang dimainkan oleh kecamatan juga relatif bervariasi. Sebagian camat hanya melakukan verifikasi sebatas “asal jangan melanggar peraturan”. Sebagian lainnya melakukan evaluasi secara menyeluruh. Namun proses evaluasi ini juga relatif dikeluhkan oleh pemerintah desa, karena beberapa hal, yaitu keterbatasan jumlah personil kecamatan, kinerja tim kecamatan yang tidak maksimal dan tidak adanya instrumen khusus untuk evaluasi, sehingga menyita waktu serta tidak adanya forum diskusi untuk membahas apa yang harus diperbaiki dari laporan pertanggungjawaban dimaksud. 5 Tantangan Optimalisasi Peran Kecamatan Dengan tugas yang relatif signifikan dalam kerangka pemberdayaan dan mendorong kemandirian desa, maka selayaknya kecamatan memiliki kemampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dimaksud. Namun dari pengalaman di berbagai daerah, menunjukkan bahwa kemampuan aparatur kecamatan masih sangat terbatas, terutama yang terkait dengan pembinaan dan pengelolaan keuangan desa. Hal ini terlihat dari koreksi yang diberikan oleh kecamatan terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran desa tidak memberikan solusi konkrit bagaimana memperbaiki dokumen dimaksud. kan dukungan kebijakan yang memadai, terutama terkait dengan pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota kepada camat. Dari pantauan terhadap beberapa daerah, nampak bahwa camat melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan desa lebih terkesan “kebiasaan” tanpa dukungan kebijakan formal. Akibatnya pelaksanaan tugas itu tergantung kepada tafsir dari masing-masing camat. Selain itu, besar kecilnya kewenangan yang didelegasikan oleh bupati/walikota kepada camat ikut menentukan besarnya peran kecamatan dalam pemberdayaan pemerintahan dan masyarakat desa. Meski demikian, kewenangan yang diberikan Dari pantauan terhakepada camat juga jangan samdap beberapa daerah, pai mengakibatkan dominannya nampak bahwa camat peran camat terhadap pemerintahan dan masyarakat desa. melaksanakan tugas Sumber daya aparatur kecamatan juga merupakan salah satu titik kritis dalam optimalisasi fungsi kecamatan. Kapabilitas SDM kecamatan dapat dilihat dari pembinaan dan pengajenjang pendidikan terakhir Mengingat karakteristik dan wasan desa lebih terke- kondisi masyarakat di masingpegawai kecamatan, yang dianggap sebagai faktor masing daerah berbeda, maka san “kebiasaan” tanpa penting dalam pengembajenis dan besar kecilnya kedukungan kebijakan ngan SDM organisasi (Schulwenangan yang diberikan kepaformal. Akibatnya pelak- da camat juga perlu disesuaikan er & Youngblood,++ 1986; sanaan tugas itu tergan- dengan kondisi pemerintahan Suprapto dkk., 2000). Pendidikan yang tinggi membuat dan masyarakat desanya mastung kepada tafsir dari pegawai kecamatan memiliki ing-masing. Sehingga seperti masing-masing camat. keahlian dan pola pikir yang disampaikan oleh pakar pemerlebih baik daripada pegaintahan daerah, Prof. Sadu wai yang memiliki pendidiWasistiono (2009) bahwa parakan yang lebih rendah . Di daerah perkotaan digma satu kebijakan untuk semua ( one policy fit yang dekat dengan ibukota DKI Jakarta saja, for all) perlu digantikan dengan beberapa kebiseperti Kota Depok, sebagian besar pegawai jakan yang disesuaikan dengan kondisi yang ada kecamatan adalah lulusan SMA. Lulusan SMA ( several policies fit with condition ). belum memiliki keahlian khusus terutama keahlian dalam memberikan pelayanan yang Sebagian kecamatan juga telah memiliki penbaik kepada masyarakat. galaman dalam melaksanakan reformasi pelayanan administrasi perizinan dan kependudukan Dapat dikatakan SDM aparatur kecamatan melalui PATEN. Pengalaman dan kemampuan ini merupakan kualitas kelas dua. Sementara selayaknya dapat ditransfer kepada pemerinitu, bila ada staf yang memiliki kinerja yang tah desa. Hal ini tidak berarti bahwa desa akan baik dipromosikan ke SKPD lain di kabupaten/ melaksanakan pelayanan seperti kecamatan, kota seperti Dinas atau Sekretariat Daerah. namun kemampuan teknis dalam menata adminMeski promosi ini menguntungkan bagi staf istrasi dan keuangan kecamtan dapat dimanfaatdimaksud, namun dalam konteks peningkatan kan oleh Desa untuk menatakelola administrasi kualitas kecamatan menjadi disinsentif. pemerintahan dan keuangannya dengan lebih baik. Efektifitas tugas kecamatan juga memerlu- 6 Rekomendasi Berdasarkan permasalahan yang dihadapi kecamatan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa serta pemberdayaan masyarakat desa, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: Perlunya Kementerian Dalam Negeri menyusun regulasi terkait pelimpahan kewenangan kepada camat, terutama terkait dengan pemberdayaan pemerintahan desa. Regulasi dimaksud berisikan kriteria kewenangan yang dapat dilimpahkan oleh Bupati kepada Camat dalam rangka mendorong kemandirian desa. Selanjutnya berdasarkan kriteria tersebut, Bupati/Walikota menerbitkan Surat Keputusan Bupati/ Walikota tentang jenis-jenis kewenangan yang dilimpahkan sesuai dengan kemampuan dan karakteristik tiap kecamatan. Dengan demikian paradigma yang digunakan adalah “several policies fit with condition”. Hal lini sesuai dengan perintah UUD 1945 tentang otonomi yang seluas-luasnya maupun sesanti Bhineka Tunggal Ika. Mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera menerbitkan Surat Keputusan Bupati/Wali Kota tentang pendelegasian wewenang kepada masing-masing camat dalam pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa serta pemberdayaan masyarakat desa. Kebijakan pendelegasian wewenang ini menjadi pedoman formal bagi kecamatan dalam melaksanakan tugasnya dengan efektif. Jenis-jenis kewenangan yang didelegasikan itu perlu dinyatakan secara rinci dan mengikuti prinsip money follow function, yang berarti selain wewenang yang dilimpahkan, juga harus disertai dengan anggaran, sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana untuk melaksanakan wewenang dimaksud. Dalam kerangka melaksanakan tugas pembinaan, pengawasan dan pemberdayaan itu, aparatur kecamatan perlu disiapkan melalui program peningkatan kapasitas, termasuk di dalamnya memastikan jumlah dan kapasitas SDM aparatur kecamatan yang memahami dengan baik pengelolaan pemerintahan, perencanaan dan penganggaran, program pemberdayaan masyarakat serta implementasi kebijakan, sehingga mampu melaksanakan tugas pemberdayaan dan mendorong kemandirian desa. Pemerintah Kabupaten/Kota perlu memfasilitasi kecamatan agar mampu mengoptimalkan pelayanan administrasi dan juga pelayanan dasar dengan menggunakan pengalaman dan metode PATEN. Hal ini akan menjadi modal yang kuat bagi kecamatan untuk memberikan asistensi kepada desa terutama dalam menatakelola pemerintahan dan keuangan desa. Untuk provinsi, dukungannya kepada camat adalah dalam bentuk keuangan kepada camat ataupun pembiayaan pelatihan agar camat lebih professional. Untukpemkab/pemkot, memberikan dukungan anggaran sesuai misi kecamatan sebagai SKPD. Pendekatan yang digunakan untuk mengatur kecamatan bukanlah urusan pemerintahan atau fungsi pemerintahan, melainkan wilayah kerja. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Wasistiono, Sadu dkk. Perkembangan Organisasi Kecamatan dari Masa ke Masa. Bandung: Fokusmedia, 2009. Kanseng, Rilus A. “Kecamatan di Era Otonomi Daerah”, dalam Project Working Paper Series No. 03, Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, IPB dan DRSP-USAID, 2008. Khairi, Akmal. “Analisis Pemberdayaan Peran dan Fungsi Camat” dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi. Universitas Indonesia. Mei–Agustus 2010, hlm. 160-169. PATTIRO, Laporan Penelitian Implementasi UU Desa di Kabupaten Siak, Kebumen dan Bantul. Jakarta: 2015. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan 7 Baca Juga Mempertangguh Badan Usaha Milik Desa untuk Menggerakkan Ekonomi Desa Upaya pemerintah dalam menggerakkan ekonomi desa sudah dilakukan sejak dikeluarkan kebijakan sebagaimana disebutkan di atas. Upaya ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Jika melihat prosentase penduduk miskin yang relatif banyak terdapat di perdesaan. Pengaturan BUM Desa melalui UU Desa merupakan upaya strategis untuk mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan pembangunan yang berorientasi bagi masyarakat. Studi PATTIRO masih memperlihatkan keberadaan BUM Desa sebagai wadah dalam menggerakkan ekonomi desa dan pelayanan desa, masih memerlukan perhatian serius pemerintah supra desa. Pemberdayaan Badan Permusyawaratan Desa untuk Penguatan Demokrasi Desa Praktik demokrasi desa sebagaimana dimandatkan oleh UU Desa tidak melibatkan partai politik sebagai representasi warga, namun dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam konteks inilah maka pemberdayaan BPD menjadi penting dalam rangka menguatkan demokrasi Desa. Namun di sisi lain, meskipun memiliki posisi yang sangat strategis, BPD belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memberikan catatan terhadap laporan tersebut. Maka perlu rekomendasi perbaikan agar peran dan fungsi BPD optimal. Sasi: Antara Kebanggan, Penghargaan dan Keprihatinan Sasi adalah mekanisme kearifan lokal yang digunakan masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam (darat, perairan/ sungai dan pesisir/laut) secara turun temurun dalam pemenuhan pangan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam penerapannya aturan ini hanya berlaku secara partial lingkup Negeri, sehingga hanya mengikat komunitas setempat dan dalam prakteknya selalu diperhadapkan dengan tantangan baik dari dalam, terlebih dari pihak luar. Integrasi peran antara pemerintah daerah dan masyarakat adat yang sudah memiliki kearifan dalam pengelolaan sumber daya alam akan mampu mendorong keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan Jl. Mawar, Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12520 - Indonesia, Telepon: +62 21 7801314, Fax: +62 21 7823800, Email: [email protected], Website: www.pattiro.org @infoPATTIRO Yayasan PATTIRO : PATTIRO