12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tesis ini ditujukan untuk menganalisis global value chain produk kulit
Indonesia. Tujuan tersebut dimaksudkan untuk melihat kesempatan bagi peningkatan
daya saing produk kulit Indonesia di pasar internasional.
Pertemuan negara-negara G20 yang berlangsung di Puerto Vallarta, Meksiko,
telah memberikan pemahaman bersama tentang arti penting global value chain.
Negara G20 sepakat bahwa global value chain merupakan sebuah fenomena baru
yang patut diperhatikan, di mana setiap negara memainkan perannya masing- masing
sebagai penyedia bahan baku, produk antara dan produk akhir. Wiryawan (2012)
menyatakan bahwa dalam mata rantai ini banyak sektor seperti jasa, pembiayaan
dan fasilitas perdagangan yang berperan kunci sebagai pelumas bagi kelancaran
global value chain.
Perkembangan global value chain telah menyebabkan meningkatnya pemisahan
proses produksi di seluruh dunia. Naisbitt dalam Global Paradoks telah meramalkan
bahwa semakin beasar dan terbukanya perdagangan global, maka perusahaan kecil
dan menengah semakin dominan. Pergeseran
ini
memerlukan
perubahan
12
paradigma dalam pembuatan kebijakan. Indonesia seperti banyak negara lain
memiliki keinginan besar untuk memperbaiki posisinya dalam global value chain.
Beberapa langkah pemerintah untuk memajukan produk lokal unggulan telah
dilakukan. Berbagai upaya untuk memperkecil kekurangan pengusaha kecil dan
menengah seperti meningkatkan kreatifitas dan mempermudah permodalan terus
dilakukan. Namun disisi lain ketergantungan terhadap bahan baku, komponen, dan
suku cadang impor dan kurangnya koneksi masih menjadi tantangan yang perlu di
pecahkan.
Dua isu besar yang terjadi pada
ekonomi global saat ini yaitu pertama
berkembangnya kekuatan ekonomi baru yang berperan penting dalam perekonomian
global. Kekuatan ini dimotori oleh negara berpenduduk besar seperti Cina, Brazil,
India dan beberapa negara berkembang lainnya. Kedua, adanya peningkatan produksi
dan perdagangan oleh berkembangnya sistem perdagangan alternatif termasuk di
dalamnya
global value chain. Pengakuan yang berkembang oleh beberapa pihak
menyatakan bahwa partisipasi global value chain mampu meningkatkan nilai
tambah pada sektor industri barang dan jasa. Tentu hal ini menjadi bukti bahwa
global value chain dapat memainkan peran sebagai opsi perdagangan bagi negara
berkembang.
Pemerintah Indonesia sendiri sangat
meningkatkan
keunggulan
komparatif
yakin bahwa rantai global ini mampu
pada
komoditas ekspor
unggulan.
Indonesia saat ini telah mengembangkan 10 komoditas utama antara lain: tekstil
dan produk tekstil (TPT), elektronik, karet dan produk karet, sawit, produk hasil
13
hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, dan kopi. Selain itu Indonesia memiliki 10
komoditas potensial yang juga disukai pasar internasional, seperti: produk kulit,
peralatan medis, tanaman obat, makanan olahan, minyak atsiri, ikan dan produk
perikanan, kerajinan, perhiasan, rempah-rempah dan peralatan kantor. Sehingga
konsep global value chain sangat penting sebagai landasan memperbesar hubungan
perdagangan internasional.
Industri produk kulit merupakan sektor industri kecil dan menengah Indonesia.
Keberadaan industri kulit saat
ini
banyak
memperoleh
dukungan
dari
pemerintah Indonesia serta menginisiasi hadirnya Asosiasi Penyamakan Kulit
Indonesia (APKI). Dukungan pemerintah tersebut sangat wajar mengingat struktur
perekonomian Indonesia yang masih bertumpu pada tiga pilar yaitu industri
manufaktur, perdagangan dan jasa. Industri pengolahan di negara berkembang selama
ini merupakan perintis dalam pembangunan ekonomi selain itu pemerintah tidak
melupakan jasa industri kecil dan menegah dalam menghambat kehancuran ekonomi
akibat krisis ditahun 1998.
Indonesia merupakan salah satu anggota ASEAN yang menjadi negara ke
empat terbesar dalam ekspor produk kulitnya. Ekspor produk kulit dari Indonesia
telah berusia 18 tahun. Tujuan utama ekspor produk kulit Indonesia pada awalnya
hanya ke beberapa negara saja, antara lain Belanda, Portugal, Inggris dan Spanyol.
Namun saat ini pasar ekspor produk kulit Indonesia sudah menembus pasar Eropa,
Amerika Serikat dan wilayah Asia Pasifik. Produk kulit Indonesia kini telah
menjangkau 192 negara di seluruh dunia, keuntungan yang diperoleh dari ekspor
14
produk kulit Indonesia akan terus bertambah dan pasarnya masih cukup besar.
Selain produk kulit, industri kulit mentah Indonesia juga mendapat tempat di pasar
internasional dan semakin hari semakin meningkatkan produknya. Negara pengimpor
produk kulit Indonesia seperti Italia, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Australia
dan Belanda merupakan negara yang telah memiliki brand bagi produk kulitnya.
Begitu luasnya kesempatan ekspor menjadikan konsep global value chain diperlukan
untuk melihat peluang bagi optimalisasi perdagangan komoditas ini
Konsep pelayanan pembelian retail menjadi unggulan produk kulit Indonesia.
Pelayanan ini tentu dapat tercipta karena adanya dukungan dari asosiasi lokal.
Asosiasi ini memberikan pelatihan, keterampilan, dan manajemen pemasaran.
Sehingga memungkinkan produsen atau pemasok dapat berinteraksi langsung dengan
pembeli asing secara efektif. Lembaga non pemerintahan seperti Bali Export
Development Organization, merupakan lembaga yang sering mengadakan seminar
serta workshop guna meningkatkan kemampuan produsen guna memenuhi standar
internasional terutama pada produk kulit.
Pemerintah guna meningkatkan kualitas dan penerimaan produk kulit Indonesia
di pasar domestik dan pasar luar negeri, mendorong dicapainya kepatuhan terhadap
standar kualitas nasional dan internasional. Penerapan standar nasional Indonesia dan
ISO 9000 dan 14000. Standard internasional ISO ditujukan untuk meningkatkan
daya saing domestik agar mampu bersaing di pasar internasional. Pemerintah
Indonesia dengan mengadopsi ISO 9000 telah menunjukkan kesungguhan untuk
meningkatkan kualitas produk kulit Indonesia agar mendapat tempat di mata
15
konsumen luar negeri dan domestik. Indonesia juga telah menerapkan pula Standard
of Environmental Management System (EMS) ISO 14000. Standard ini diharapkan
dapat menjadi jaminan perlindungan lingkungan terhadap dampak dari pengolahan
industri kulit.
Trend konsumen internasional yang semakin menglobal adalah produk
ramah lingkungan
yang dibuat dengan gaya tradisional dan unik yang
dikombinasikan dengan bahan-bahan alami yang berasal dari tanaman seperti serat
rotan, kayu dan serat alam lainnya. Pemerintah Indonesia menyadari masalah ini dan
telah mengambil langkah-langkah pengaturan untuk menjaga lingkungan melalui
hukum dan pedoman seperti Peraturan tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya
(Pangestu, 2010).
Pemerintah selain berusaha memperkuat penerimaan pasar terhadap produk
kulit melalui isu ramah lingkungan juga berusaha semakin memperlebar pemasaran
komoditas kulit. Sejauh ini pemerintah gencar mempromosikan produk kulit
Indonesia. Promosi pemerintah tersebut dilakukan hampir diseluruh penjuru dunia
termasuk Timur Tengah, Asia dan Australia. Kementerian Perdagangan saat ini
bekerjasama dengan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah selalu melakukan pameran skala nasional untuk produk –
produk domestik. Pemerintah dalam kegiatan promosi ini juga bermaksud untuk
mendorong para entrepreneurs untuk mengejar standar kualitas produk ekspor
mereka. Event internasional yang biasa diikuti pemerintah Indonesia dalam pameran
16
internasional antara lain The Frankfurt Fair (Jerman), Mances (Milan, Italia),
Birmingham (Inggris), Bologna (Italia) dan SIPPO (Switzerland).
Melihat uraian di atas jelaslah bahwa pemerintah telah berupaya memajukan
industri kulit di tanah air. Analisa global value chain dalam tesis ini diharapkan
mampu menguraikan kekurangan dan kelebihan peran pemerintah tersebut pada
industri kulit.
B. Pertanyaan Penelitian
Konsep global value chain yang berkembang di berbagai negara berkembang
terlihat memberikan peluang baru bagi industri produk kulit di Indonesia.
Kebijakan rantai nilai global cukup menarik untuk di teliti, sehingga di dalam
tesis ini penulis mengajukan pertanyaan penelitian yang mendasar, yaitu.
1. Bagaimana peran pemerintah dalam memanfaatkan kondisi internal dalam
meningkatkan ekspor produk kulit Indonesia di pasar internasional melalui
analisa global value chain?
2. Apa saja kondisi eksternal produk kulit Indonesia dan bagaimana peran
pemerintah dalam menghadapi kondisi tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Dalam tesis ini penulis berusaha memaparkan tiga hal. Pertama, memaparkan
kebijakan pemerintah Indonesia dalam ekspor dan impor produk kulit di Indonesia.
Kedua, menganalisis dan mengelaborasi sejauh mana peran pemerintah serta
kebijakan yang telah dilakukan guna meningkatkan daya saing produk kulit di
17
pasar internasional. Ketiga, menganalisis peluang global value chain dalam
mengembangkan sektor industri komoditi potensial ini di pasar internasional.
D. Reviu Literatur
Berdasarkan ketiga hal diatas diharapkan akan menghasilkan suatu analisis
dan keluaran penelitian yang kemudian dapat menyumbangkan suatu rekomendasi/
masukan secara akademik bagi kebijakan politik dalam hal peningkatan daya saing
produk kulit Indonesia. Lebih dari itu penelitian ini diharapkan mampu melihat
peluang yang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan produk kulit Indonesia di
pasar internasional dengan menggunakan brand Indonesia.
Penelitian tentang global value chain produk kulit di beberapa negara pernah
dilakukan seperti di Afrika yang dipaparkan dalam jurnal berjudul Integrated Value
Chain Analysis Of The Leather Sektor In Kenya. Muthee (2006) dalam penelitian
deskriptifnya tersebut, menjawab secara keseluruhan Value Chain Analysis (VCA)
dari sub sektor kulit melalui Usaha Kecil Menengah (UKM). Penelitian ini secara
luas mengupas peran sektor publik dan swasta, serta faktor apa saja yang
mempengaruhi peningkatan daya saing (profitabilitas) produk kulit di Kenya.
Value chain analysis oleh muthee, dilakukan dengan mengidentifikasikan ke
dalam beberapa hal yaitu organisasi pada rantai nilai, fasilitas infrastruktur, kualitas
produk yang dihasilkan, kebijakan yang digunakan, dan bagaimana nasib segmen
akhirnya.
18
Kebijakan dan kerangka peraturan menunjukan bagaimana akses dapat
diperoleh untuk membuat lebih banyak segmen pasar yang menguntungkan melalui
manajemen kualitas yang lebih baik dalam rantai pasokan peternak,
pedagang,
pengolah dan eksportir dengan dukungan pemerintah yang tepat dan memadai
(Lihat Muthee, 2006).
Hasil penelitian tersebut menunjukan tindakan kolektif yang dapat dilakukan
dalam menciptakan perbaikan pada seluruh rantai pasokan untuk meningkatkan daya
saing
(profitabilitas)
termasuk
penanganan
(pra
dan
pasca
pemotongan),
penyimpanan, pengolahan dan pengujian. Tindakan pemerintah dalam penelitian
tersebut terlihat sangat diperlukan untuk
meningkatkan peran aspek kelembagaan
seperti koordinasi dalam tiap mata rantai industri kulit. Adanya insentif dan
penerapan standar yang tepat ditambah penyesuaian regulasi dan peningkatan kinerja
fasilitas pengujian untuk publik dan swasta berkorelasi positif dalam meningkatkan
daya saing.
Penelitian Muthee (2006) menggunakan analysis costs, margins and
competitiveness, identifying marketing option and responses to market requirements
and standards, analysis governance and linkages, analysis resourses productivity and
environmental performance, analysis options for development, innovation and
upgrading, dan analysis Actual and future income distribution, employment and
livelihood impact. Menurut muthee alasan Afrika perlu menerapkan global value
chain adalah adanya beberapa aspek yaitu keterbatasan pasar, harga jual yang rendah,
19
fasilitas tehnologi yang rendah, asosiasi penyamak kulit yang tidak berjalan, sistem
standar kulitas yang rendah, penanganan dan teknik pemotongan hewan yang baik.
Muthee (2006: 26) kemudian memberikan rekomendasi bahwa UKM yang
berada di Afrika harus melakukan kerjasama dengan beberapa organisasi yang terkait
dengan rantai pasokan kulit. Karena industri kulit di Afrika merupakan industri kecil
dan menengah maka dibutuhkan strategi jangka panjang dalam pengembangan pasar
ekspornya, seperti adanya penetapan harga, kebijakan produk, kebijakan komunikasi
dimana
konsumen
paham
akan
isu-isu
tentang
kualitas,
standarisasi dan
kesehatan. Lebih lanjut lagi yang terpenting adalah di kuatkan nya kerjasama dengan
tiap stakeholder yang terkait dalam industri produk kulit ini, serta dilakukannya
transfer teknologi untuk menciptakan upgrading produk kulit di Afrika.
Nathan dan Kalpana merupakan peneliti yang pernah melakukan penelitian
tentang global value chain produk kulit di India dengan mengambil judul Issues in
the analysis of global value chains and their impact on employment and incomes in
India.
Kalpana mengemukakan
ada dua isu yang berkaitan meskipun terpisah
untuk dipelajari. Pertama adalah tentang apakah perusahaan-perusahaan di India, atau
negara berkembang lainnya, memiliki daya tawar dalam rantai nilai dunia. Kedua
adalah apakah ada hubungan langsung antara partisipasi dalam rantai nilai dan
standar tenaga kerja.
Penelitian Kalpana melihat salah satu cara untuk menanggapi persaingan harga
antara pemasok adalah mengurangi upah dan standar lingkungan. Cara lain dan
lebih positif adalah untuk merespon dengan meningkatkan nilai produk seseorang.
20
Perubahan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan diferensiasi produk,
dengan demikian perusahaan dapat mencapai keunggulan komparatif. Satu-satunya
cara untuk mempertahannkan keunggulan kompetitif adalah dengan peningkatan
kualitas secara terus menerus.
Penelitian ini melihat dari segi analysis Actual and future income distribution,
employment and livelihood impact yang terjadi di India. Sejak integrasi di dalam
rantai nilai global tercermin dalam perubahan sifat perusahaan. Banyak pekerja
outsourcing, tidak di pasok oleh internal perusahaan, dan ini mempengaruhi
perusahaan utama, pengecer besar, dan para pengecer. Outsourcing cenderung untuk
mengambil bagian semua kegiatan perusahaan guna mengurangi biaya. Sementara
dalam rezim sebelumnya produksi yang dilindungi, perusahaan bisa beroperasi pada
biaya lebih. Dasar untuk menetapkan harga dan keuntungan, tidak lagi terintegrasi
dalam rantai nilai global. Harga yang ditentukan oleh perusahaan relatif kecil
karena perusahaan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dengan menekan
biaya.
Menurut Teresa Salazar de Buckle, kebijakan pemerintah baik daerah
maupun pusat harus ikut serta dalam peningkatan kerjasama multilateral di kawasan
industri sebagai suatu upaya membentuk aliansi vertikal guna menghadapi
globalisasi. Disini peran instansi pemerintah adalah sebagai mendiator antara
perusahaan besar dan asosiasi yang beroperasi di klaster industri (kasus Lembah
Sinoh). Teresa juga mengatakan pemerintah dalam tahapan ini harus mampu
menerapkan
kebijakan baik secara lokal maupun nasional, dimana pemerintah
21
memfasilitasi pengembangan kegiatan asosiasi lokal. Mekanisme yang dapat
diupayakan adalah meningkatkan koordinasi antara asosiasi dan negara, serta
memberikan dukungan bagi perusahaan industri kulit jika diperlukan.
Penentu keberhasilan dari jalannya global value chain adalah ketersediaan
bahan baku, upah yang kompetitif, dan peningkatan pengetahuan teknis yang
memadai. Sebuah strategi jelas harus dijalankan guna mengembangkan dan
meningkatkan ekspor suatu industri. Adanya jaringan kelembagaan sangat diperlukan
guna menghubungkan tiap rantai industri produk kulit sehingga daya saing dapat
ditingkatkan. Selanjutnya ada agen penghubung yang mampu menghubungkan
eksportir dan pembeli. Pemerintah juga mampu memberikan manajemen konsep
untuk masa yang akan datang bagi industri produk kulit serta memberikan dukungan
melalui pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan. Dukungan yang lain
adalah memberikan pengetahuan tentang audit lingkungan
dan
pengenalan
teknologi bersih atau ramah lingkungan, kemudian peningkatan standar kualitas
dan pengembangan merek dagang. Dengan menerapkan hal ini maka akan muncul
respon yang terpadu antara sektor pemerintah dengan pihak swasta agar mampu
bersaing di era globalisasi terutama sub sektor agro- industri.
Penelitian-penelitian yang terjadi di India, Argentina dan Afrika dalam
penerapan global value chain menyadari terdapat keterbatasan dimensi yang dihadapi
oleh masing-masing negara. Sementara, dalam tesis ini penulis hendak menganalisa
peluang global value chain dalam kebijakan pemerintah Indonesia guna peningkatan
daya saing produk kulit Indonesia di pasar internasional.
22
E. Kerangka Teori
Tesis ini beranjak dari analisa utama rantai nilai yang dapat bekerja menuju
tujuan pembangunan yang berbeda termasuk partisipasi efektif aktor tertentu dalam
rantai, peningkatan kinerja mereka, interaksi mereka, secara keseluruhan manajemen
dan tata kelola rantai, dan peningkatan fungsi dan daya saing .
Pendekatan rantai nilai telah terbukti berguna dalam memberikan informasi
penting dalam pengambilan keputusan untuk tujuan pengembangan. Pengembangan
rantai nilai pada negara belum berkembang terjadi sebagai reaksi terhadap dukungan
dari aktor luar rantai seperti instansi pemerintah namun terdapat juga situasi di
mana dukungan pada tiap rantai nilai tidak menghasilkan manfaat sosial yang cukup
atau hanya membuka peluang kecil.
Menurut Gereffi global value chain adalah
“A commodity chain encompasses the whole range of activities involved in
the desain, production, and marketing of product. The value chain also called the
commodity chain and production consumption chain is described as a
comprehensive set of activities that are required to bring a product from a
concept stage to marketing and consumption of and product”.
Konsep ini menyatakan bahwa rantai nilai komoditas meliputi semua kegiatan
yang tekait dari hulu hingga hilir penjualan suatu produk. Rantai nilai juga disebut
dengan rantai komoditi, kemudian rantai produksi sampai konsumsi. Jika dilihat dari
industri produk kulit di Indonesia, rantai produksi bahan mentah menuju produk
setengah jadi, terakhir bahan jadi memiliki keunggulan yang sesuai dengan rantai
GVCs.
23
Gereffi (1994) telah mengelompokan dua tipe dari rantai nilai yaitu produsen
dan pembeli. Rantai nilai kulit memiliki karakteristik rantai pendorong pembeli
dimana dalam industri ini merupakan tenaga kerja padat karya, kemudian memiliki
agen global dan barang bermerek global yang melakukan kontrol yang kuat atas
rantai. Pemain di sektor hulu adalah peternak, rumah jagal/lembaran, dan kulit lokal
dan pedagang kulit dimana mereka memiliki posisi lemah pada rantai meskipun peran
utama mereka sebagai penyedia dan produksi bahan baku.
Ada empat dimensi dasar dalam metodologi GVCs untuk melihat perubahan
rantai produksi satu ke rantai lainnya antara lain.
1. Struktur input dan output, menjelaskan proses perubahan dari bahan mentah
menjadi produk jadi.
2. Pertimbangan geografis, dimana bahan tersebut diperoleh serta siapa yang
membelinya.
3. Struktur pemerintah, sejauh mana pemerintah mengendalikan rantai nilai ini.
4. Serta lembaga-lembaga mana saja yang terkait dalam konteks global value chain.
Pada konteks governance, menurut Gereffi (1994,p.97 in Gereffi 2011: 8)
governance di definisikan,
“ Authority and power relationship that determine how financial, material and
human resourses are allocated and flow within a chain” . Initially in the global
commodity chain framework, governance was described broadly in terms of
“buyer- driven” or “producer-driven” chain”.
Intinya adanya otoritas kekuasaan yang menentukan bagaimana hubungan
keuangan, material dan sumber daya manusia dialokasikan dalam rantai nilai.
24
Pemerintah dalam kerangka rantai komoditas global digambarkan sebagai pembeli
dan produsen. Terkait dalam penulisan tesis ini penulis ingin melihat peran
pemerintah sebagai otoritas kekuasaan yang mampu di gambarkan sebagai pembeli
dan produsen, dimana mampu mempengaruhi pasar. Peran pemerintah adalah sebagai
modular yaitu, mampu menjalin pasar antar negara.
Fokus governance adalah asimetris hubungan antar pelaku atau firma dalam
suatu rantai nilai. Governance secara sederhana, ini digambarkan melalui hubungan
antara firma atau inter firma, dimana salah satu pelaku merupakan penentu atau
pengontrol dari rantai nilai tersebut dalam suatu proses produksi (Lihat Gereffi,
1994).
Gereffi
(1994)
menyatakan
dalam
kerangka
institusional
identifikasi
terhadap kondisi lokal, nasional dan internasional serta kebijakan pemerintah akan
membentuk globalisasi dalam setiap rantai nilai. Hal ini dikarenakan konsep global
value chain mampu masuk dalam dinamika ekonomi, sosial dan kelembagaan lokal
yang ada. Faktor ekonomi merupakan faktor kunci dan sangat memainkan perandi
dalam konsep ini. Faktor tersebut adalah ongkos buruh,
infrastruktur,
akses
terhadap sumber pendanaan, ketersediaan dan keterampilan dan pada akhirnya
peran pemerintah dalam regulasi ekonomi seperti penetapan pajak, pemberian
insentif, kebijakan energi dan penetapanupah minimum. Sehingga dalam konteks
governance model Gereffi ini penulis ingin melihat sejauh mana pemerintah berperan
besar pada berjalannya global value chain industri produk kulit.
25
Pola pemerintahan untuk global value chain menurut Gereffi, dkk (2011: 910) berbeda-beda yang berfokus terutama pada prevalensi bentuk jaringan organisasi.
Perbedaan tersebut dapat dibagi menjadi lima antara lain: (1) pasar di mana
perusahaan dan individu membeli dan menjual produk ke salah satu dengan
sedikit sekali terjadi interaksi di luar pertukaran barang dan jasa, (2) rantai nilai
modular di mana pemasok membuat produk atau memberikan jasa sesuai dengan
spesifikasi permintaan pelanggan, (3) rantai nilai relasional di mana satu set yang
relatif kecil perusahaan terletak intensif berinteraksi dan berbagi pengetahuan dalam
mendukung semua mitra rantai nilai, (4) rantai nilai captive dimana pemasok kecil
cenderung tergantung pembeli besar yang dominan yang kemudian memegang
kendali terhadap transaksi, dan (5) hirarki yang ditandai dengan integrasi vertikal
(yaitu "transaksi" terjadi di dalam satu perusahaan) dan bentuk dominan dari tata
kelola kontrol manajerial.
Analisis
governance
yang
dilakukan
akan
dihubungkan dengan teori
pembuatan kebijakan publik (public policy making theories). Kraft dan Furlong
(2007: 5) mengatakan bahwa dalam teori pembuatan kebijakan publik akan
memperlihatkan bagaimana aktor dan faktor penting yang berkaitan akan
memberikan efek tarik menerik kepentingan bagi pemerintah saat menetapkan
kebijakan. Penelitian ini melihat apakah kebijakan yang dibuat untuk industri produk
kulit mempengaruhi daya saing produk kulit di pasar internasional.
26
Tabel. 1. Tipe Global Value Chain Pemerintahan
Sumber : (Gereffi, dkk, 2005 in Gereffi and Stark, 2011: 10 ).
Tipe Governance sebagai Market muncul ketika barang yang dipedagangkan
memiliki spesifikasi sederhana, transaksi barang mudah dilakukan, dan produsen
memiliki kemampuan untuk memenuhi keinginan sederhana dari konsumen. Tipe
umumnya dikendalikan oleh produsen,dimana perubahan antara produsen dan
konsumen mudah terjadi. Pemerintah pada tipe ini umumnya tidak banyak
mencampuri perdagangan. Umumnya barang yang diperdagangkan untuk contoh
kasus produk kuli indonesia, adalah kulit mentah, kulit tersamak, dan barang
kerajinan kreatif hasil Usaha kecil dan Menengah.
27
Tipe Governance sebagai Modular adalah rantai nilai untuk barang yang
memerlukan syarat yang kompleks, seperti persyaratan lingkungan, memiliki
spesifikasi kilap tertentu, ukuran tertentu, dan bahan tertentu. Rantai nilai cenderung
semakin banyak. Pertukaran informasi mengenai perubahan kondisi cenderung kecil
dengan level koordinasi yang kecil. Pada industri kulit, semakin bertambahnya
persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor menyebabkan peran
pemerintah berubah dari market menjadi modular. Contoh dari kasus ini adalah pada
produk kulit tersamak dengan persyaratan lingkungan yang semakin ketat.
Tipe Governance sebagai Relational hadir ketika barang memiliki sepesifikasi
yang tidak baku. Transaksi melibatkan banyak pihak sehingga sangat komplek.
Supplier haruslah sangat kompeten karena permintaan buyer menjadi customize
sekali. Peran pemerintah menjadi sangat diperlukan karena pertukaran informasi
antara penjual dan pembeli semakin banyak.
Tipe Governance sebagai Captive merupakan fungsi pemerintah ketika barang
yang diperdagangkan memiliki spesifikasi yang komplek disertai intruksi yang detil
sekali. Level koordinasi menjadi meningkat pada tipe ini. Melihat tipe governance ini
kita tentu menjadi teringat ketika pembelian pesawat dari produsen asal Amerika
Serikat oleh perusahaan pesawat tanah air disaksikan langsung oleh Presiden Obama.
Tipe Governance sebagai Hierarcy hadir untuk perdagangan barang yang tidak
ada spesifikasinya. Produk barang menjadi komplek, dimana supplier yang kompeten
sangat sedikit. Peran pemerintah diperlukan terutama untuk melindungi kekayaan
intelektual (patent) akan barang tersebut.
28
Faktor pemerintah dan kebijakan yang dihasilkan akan sangat mempengaruhi
sinergi aktivitas produksi di Indonesia. Pemerintah sebagai institusi politik akan
berfungsi untuk menampung dan mengolah ketertarikan yang ada dalam pelaku
industri sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat mewakili keinginan setiap
stakeholder industri kulit. Kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mengatasi dan
mewakili suatu permasalahan dan kepentingan tertentu namun juga untuk tujuan
nasional yang sifatnya jangka panjang.
F. Argumentasi Utama
Industri produk kulit di tanah air bukan merupakan industri yang baru. Hal ini
tentu menciptakan serangkaian kelebihan secara internal hasil dari interaksi para
aktornya selama bertahun-tahun. Industri kulit disisi lain dalam pasar internasional
yang sangat besar
yang meliputi banyak barang, banyak negara, banyak pelaku
dengan berbagai aturan yang berbeda-beda. Produk kulit dalam perdagangan
internasional juga terdiri dari produk sederhana hingga custom yang dipasarkan dari
cara yang sederhana hingga memerlukan interaksi antar negara. Melihat hal tersebut
maka penulis berargumen bahwa diperlukan lebih dari satu tipe governance agar
pemerintah mampu berperan dalam perdagangan internasional produk kulit Indonesia
Argumen kedua dalam tesis ini didasari atas kondisi eksternal perdagangan
produk kulit di pasar internasional yang berubah-ubah. Contoh dari hal ini adalah
bagimana isu kesadaran akan lingkungan kini telah menciptakan trend baru pada
industri yang mengeksploitasi sumber daya alam termasuk kulit. Contoh lain adalah
29
semakin berkembangnya perdagangan barang antar negara melalui media teknologi
yang menggeser cara lama untuk berdagang. Perubahan pada perdagangan
internasional ini tentu memerlukan concern perubahan dari tipe governance
pemerintah. Apalagi rantai industri kulit di indonesia untuk perdagangan
internasional global dikelola langsung oleh tiga kementerian terkait yaitu dari hulu
kehilir; Kementerian Petanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian
Perdagangan dan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal Kementerian Keuangan. Hal
ini menjadi argumen bahwa pemerintah sebagai market pada suatu masa perlu
menjadi
modular
atau
bahkan relation supplier
atau juga sebaliknya agar
perdagangan industri kulit dapat berjalan.
G. Jangkauan Penelitian
Jangkauan penulisan tesis ini akan mengambil rentang waktu di tahun 2010 –
2013, melihat pelbagai perkembangan produk kulit dari kebijakan serta peluang serta
hambatan.
Sejauhmana peluang yang ada dapat di ambil oleh produsen lokal
Indonesia dan Indonesia secara keseluruhan. Penulis juga melihat peran pemerintah
memanfaat kondisi yang ada dalam membantu kemajuan industry produk kulit
Indonesia di pasar internasional sebagai acuan pengembangan komoditi potensial.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskiriptif. Analisis ini
ditujukan untuk memperoleh pandangan komprehensif global value chain produk
30
kulit. Peneliti menggunakan studi kasus dengan pertimbangan bahwa desain ini
memungkinkan peneliti lebih fokus di dalam menganalisis suatu permasalahan.
Selain itu, desain studi kasus juga memungkinkan peneliti untuk lebih spesifik dalam
menghimpun, menganalisis serta melakukan generalisasi atau kesimpulan secara
terbatas.
Data utama penulisan tesis ini mencakup (1) pesaing utama industri produk
kulit Indonesia di pasar internasional, (2) pasar utama produk kulit Indonesia di pasar
internasional, (3) data statistik ekspor produk kulit provinsi D.I. Yogyakarta, (4)
pendapat para stakeholder. Sumber data dari penelitian ini adalah literatur, jurnal,
majalah, dan dokumen negara, serta wawancara secara lebih mendalam melalui
narasumber yang berkaitan dengan rantai nilai produk kulit. Narasumber tersebut
adalah Sutanto Haryono (Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia, 2014-2016,
Pemilik PT. Budi Makmur Jayamurni), Harsono (Seksi Sandang dan Kulit, Bidang
Industri Logam, Sandang dan Aneka, Disperindagkop dan UKM Provinsi D.I.
Yogyakarta).
I. Sistematika Penulisan
Kerangka penulisan dalam tesis ini adalah Bab I, Pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, reviu literatur,
metodologi, argumentasi, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II,
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Ekspor Produk Kulit, dimana penulis
memaparkan berbagai kebijakan yang terkait dalam ekspor dan impor serta road map
31
pemerintah Indonesia tahun 2010-2014. Selanjutnya Bab III, Global Value Chain
Dalam Perdagangan Produk Kulit Dan Posisi Indonesia yang berisi tentang rantai,
posisi industri kulit indonesia serta analisa SWOT pegembangan industri produk kulit
pada tiap rantai global value chain. Bab IV berisi capaian yang telah dilakukan dalam
peningkatan daya saing produk kulit Indonesia, bagaimana peranan pengusaha,
konsumen dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta strategistrategi apa yang telah diupayakan oleh pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta dalam
peningkatan kualitas produk kulit agar mampu bersaing di pasar internasional.
Terakhir pada Bab V merupakan hasil kesimpulan dan saran dari rangkaian penulisan
tesis ini dimana dipaparkan uraian singkat dari keseluruhan penulisan tesis dan
mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan pengembangan daya saing industri
produk kulit Indonesia.
32
Download