BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tesis ini ditujukan untuk menganalisis global value chain produk kulit Indonesia. Tujuan tersebut dimaksudkan untuk melihat kesempatan bagi peningkatan daya saing produk kulit Indonesia di pasar internasional. Pertemuan negara-negara G20 yang berlangsung di Puerto Vallarta, Meksiko, telah memberikan pemahaman bersama tentang arti penting global value chain. Negara G20 sepakat bahwa global value chain merupakan sebuah fenomena baru yang patut diperhatikan, di mana setiap negara memainkan perannya masing- masing sebagai penyedia bahan baku, produk antara dan produk akhir. Wiryawan (2012) menyatakan bahwa dalam mata rantai ini banyak sektor seperti jasa, pembiayaan dan fasilitas perdagangan yang berperan kunci sebagai pelumas bagi kelancaran global value chain. Perkembangan global value chain telah menyebabkan meningkatnya pemisahan proses produksi di seluruh dunia. Naisbitt dalam Global Paradoks telah meramalkan bahwa semakin beasar dan terbukanya perdagangan global, maka perusahaan kecil dan menengah semakin dominan. Pergeseran ini memerlukan perubahan 12 paradigma dalam pembuatan kebijakan. Indonesia seperti banyak negara lain memiliki keinginan besar untuk memperbaiki posisinya dalam global value chain. Beberapa langkah pemerintah untuk memajukan produk lokal unggulan telah dilakukan. Berbagai upaya untuk memperkecil kekurangan pengusaha kecil dan menengah seperti meningkatkan kreatifitas dan mempermudah permodalan terus dilakukan. Namun disisi lain ketergantungan terhadap bahan baku, komponen, dan suku cadang impor dan kurangnya koneksi masih menjadi tantangan yang perlu di pecahkan. Dua isu besar yang terjadi pada ekonomi global saat ini yaitu pertama berkembangnya kekuatan ekonomi baru yang berperan penting dalam perekonomian global. Kekuatan ini dimotori oleh negara berpenduduk besar seperti Cina, Brazil, India dan beberapa negara berkembang lainnya. Kedua, adanya peningkatan produksi dan perdagangan oleh berkembangnya sistem perdagangan alternatif termasuk di dalamnya global value chain. Pengakuan yang berkembang oleh beberapa pihak menyatakan bahwa partisipasi global value chain mampu meningkatkan nilai tambah pada sektor industri barang dan jasa. Tentu hal ini menjadi bukti bahwa global value chain dapat memainkan peran sebagai opsi perdagangan bagi negara berkembang. Pemerintah Indonesia sendiri sangat meningkatkan keunggulan komparatif yakin bahwa rantai global ini mampu pada komoditas ekspor unggulan. Indonesia saat ini telah mengembangkan 10 komoditas utama antara lain: tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, karet dan produk karet, sawit, produk hasil 13 hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, dan kopi. Selain itu Indonesia memiliki 10 komoditas potensial yang juga disukai pasar internasional, seperti: produk kulit, peralatan medis, tanaman obat, makanan olahan, minyak atsiri, ikan dan produk perikanan, kerajinan, perhiasan, rempah-rempah dan peralatan kantor. Sehingga konsep global value chain sangat penting sebagai landasan memperbesar hubungan perdagangan internasional. Industri produk kulit merupakan sektor industri kecil dan menengah Indonesia. Keberadaan industri kulit saat ini banyak memperoleh dukungan dari pemerintah Indonesia serta menginisiasi hadirnya Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI). Dukungan pemerintah tersebut sangat wajar mengingat struktur perekonomian Indonesia yang masih bertumpu pada tiga pilar yaitu industri manufaktur, perdagangan dan jasa. Industri pengolahan di negara berkembang selama ini merupakan perintis dalam pembangunan ekonomi selain itu pemerintah tidak melupakan jasa industri kecil dan menegah dalam menghambat kehancuran ekonomi akibat krisis ditahun 1998. Indonesia merupakan salah satu anggota ASEAN yang menjadi negara ke empat terbesar dalam ekspor produk kulitnya. Ekspor produk kulit dari Indonesia telah berusia 18 tahun. Tujuan utama ekspor produk kulit Indonesia pada awalnya hanya ke beberapa negara saja, antara lain Belanda, Portugal, Inggris dan Spanyol. Namun saat ini pasar ekspor produk kulit Indonesia sudah menembus pasar Eropa, Amerika Serikat dan wilayah Asia Pasifik. Produk kulit Indonesia kini telah menjangkau 192 negara di seluruh dunia, keuntungan yang diperoleh dari ekspor 14 produk kulit Indonesia akan terus bertambah dan pasarnya masih cukup besar. Selain produk kulit, industri kulit mentah Indonesia juga mendapat tempat di pasar internasional dan semakin hari semakin meningkatkan produknya. Negara pengimpor produk kulit Indonesia seperti Italia, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Australia dan Belanda merupakan negara yang telah memiliki brand bagi produk kulitnya. Begitu luasnya kesempatan ekspor menjadikan konsep global value chain diperlukan untuk melihat peluang bagi optimalisasi perdagangan komoditas ini Konsep pelayanan pembelian retail menjadi unggulan produk kulit Indonesia. Pelayanan ini tentu dapat tercipta karena adanya dukungan dari asosiasi lokal. Asosiasi ini memberikan pelatihan, keterampilan, dan manajemen pemasaran. Sehingga memungkinkan produsen atau pemasok dapat berinteraksi langsung dengan pembeli asing secara efektif. Lembaga non pemerintahan seperti Bali Export Development Organization, merupakan lembaga yang sering mengadakan seminar serta workshop guna meningkatkan kemampuan produsen guna memenuhi standar internasional terutama pada produk kulit. Pemerintah guna meningkatkan kualitas dan penerimaan produk kulit Indonesia di pasar domestik dan pasar luar negeri, mendorong dicapainya kepatuhan terhadap standar kualitas nasional dan internasional. Penerapan standar nasional Indonesia dan ISO 9000 dan 14000. Standard internasional ISO ditujukan untuk meningkatkan daya saing domestik agar mampu bersaing di pasar internasional. Pemerintah Indonesia dengan mengadopsi ISO 9000 telah menunjukkan kesungguhan untuk meningkatkan kualitas produk kulit Indonesia agar mendapat tempat di mata 15 konsumen luar negeri dan domestik. Indonesia juga telah menerapkan pula Standard of Environmental Management System (EMS) ISO 14000. Standard ini diharapkan dapat menjadi jaminan perlindungan lingkungan terhadap dampak dari pengolahan industri kulit. Trend konsumen internasional yang semakin menglobal adalah produk ramah lingkungan yang dibuat dengan gaya tradisional dan unik yang dikombinasikan dengan bahan-bahan alami yang berasal dari tanaman seperti serat rotan, kayu dan serat alam lainnya. Pemerintah Indonesia menyadari masalah ini dan telah mengambil langkah-langkah pengaturan untuk menjaga lingkungan melalui hukum dan pedoman seperti Peraturan tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya (Pangestu, 2010). Pemerintah selain berusaha memperkuat penerimaan pasar terhadap produk kulit melalui isu ramah lingkungan juga berusaha semakin memperlebar pemasaran komoditas kulit. Sejauh ini pemerintah gencar mempromosikan produk kulit Indonesia. Promosi pemerintah tersebut dilakukan hampir diseluruh penjuru dunia termasuk Timur Tengah, Asia dan Australia. Kementerian Perdagangan saat ini bekerjasama dengan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah selalu melakukan pameran skala nasional untuk produk – produk domestik. Pemerintah dalam kegiatan promosi ini juga bermaksud untuk mendorong para entrepreneurs untuk mengejar standar kualitas produk ekspor mereka. Event internasional yang biasa diikuti pemerintah Indonesia dalam pameran 16 internasional antara lain The Frankfurt Fair (Jerman), Mances (Milan, Italia), Birmingham (Inggris), Bologna (Italia) dan SIPPO (Switzerland). Melihat uraian di atas jelaslah bahwa pemerintah telah berupaya memajukan industri kulit di tanah air. Analisa global value chain dalam tesis ini diharapkan mampu menguraikan kekurangan dan kelebihan peran pemerintah tersebut pada industri kulit. B. Pertanyaan Penelitian Konsep global value chain yang berkembang di berbagai negara berkembang terlihat memberikan peluang baru bagi industri produk kulit di Indonesia. Kebijakan rantai nilai global cukup menarik untuk di teliti, sehingga di dalam tesis ini penulis mengajukan pertanyaan penelitian yang mendasar, yaitu. 1. Bagaimana peran pemerintah dalam memanfaatkan kondisi internal dalam meningkatkan ekspor produk kulit Indonesia di pasar internasional melalui analisa global value chain? 2. Apa saja kondisi eksternal produk kulit Indonesia dan bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi kondisi tersebut? C. Tujuan Penelitian Dalam tesis ini penulis berusaha memaparkan tiga hal. Pertama, memaparkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam ekspor dan impor produk kulit di Indonesia. Kedua, menganalisis dan mengelaborasi sejauh mana peran pemerintah serta kebijakan yang telah dilakukan guna meningkatkan daya saing produk kulit di 17 pasar internasional. Ketiga, menganalisis peluang global value chain dalam mengembangkan sektor industri komoditi potensial ini di pasar internasional. D. Reviu Literatur Berdasarkan ketiga hal diatas diharapkan akan menghasilkan suatu analisis dan keluaran penelitian yang kemudian dapat menyumbangkan suatu rekomendasi/ masukan secara akademik bagi kebijakan politik dalam hal peningkatan daya saing produk kulit Indonesia. Lebih dari itu penelitian ini diharapkan mampu melihat peluang yang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan produk kulit Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan brand Indonesia. Penelitian tentang global value chain produk kulit di beberapa negara pernah dilakukan seperti di Afrika yang dipaparkan dalam jurnal berjudul Integrated Value Chain Analysis Of The Leather Sektor In Kenya. Muthee (2006) dalam penelitian deskriptifnya tersebut, menjawab secara keseluruhan Value Chain Analysis (VCA) dari sub sektor kulit melalui Usaha Kecil Menengah (UKM). Penelitian ini secara luas mengupas peran sektor publik dan swasta, serta faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan daya saing (profitabilitas) produk kulit di Kenya. Value chain analysis oleh muthee, dilakukan dengan mengidentifikasikan ke dalam beberapa hal yaitu organisasi pada rantai nilai, fasilitas infrastruktur, kualitas produk yang dihasilkan, kebijakan yang digunakan, dan bagaimana nasib segmen akhirnya. 18 Kebijakan dan kerangka peraturan menunjukan bagaimana akses dapat diperoleh untuk membuat lebih banyak segmen pasar yang menguntungkan melalui manajemen kualitas yang lebih baik dalam rantai pasokan peternak, pedagang, pengolah dan eksportir dengan dukungan pemerintah yang tepat dan memadai (Lihat Muthee, 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukan tindakan kolektif yang dapat dilakukan dalam menciptakan perbaikan pada seluruh rantai pasokan untuk meningkatkan daya saing (profitabilitas) termasuk penanganan (pra dan pasca pemotongan), penyimpanan, pengolahan dan pengujian. Tindakan pemerintah dalam penelitian tersebut terlihat sangat diperlukan untuk meningkatkan peran aspek kelembagaan seperti koordinasi dalam tiap mata rantai industri kulit. Adanya insentif dan penerapan standar yang tepat ditambah penyesuaian regulasi dan peningkatan kinerja fasilitas pengujian untuk publik dan swasta berkorelasi positif dalam meningkatkan daya saing. Penelitian Muthee (2006) menggunakan analysis costs, margins and competitiveness, identifying marketing option and responses to market requirements and standards, analysis governance and linkages, analysis resourses productivity and environmental performance, analysis options for development, innovation and upgrading, dan analysis Actual and future income distribution, employment and livelihood impact. Menurut muthee alasan Afrika perlu menerapkan global value chain adalah adanya beberapa aspek yaitu keterbatasan pasar, harga jual yang rendah, 19 fasilitas tehnologi yang rendah, asosiasi penyamak kulit yang tidak berjalan, sistem standar kulitas yang rendah, penanganan dan teknik pemotongan hewan yang baik. Muthee (2006: 26) kemudian memberikan rekomendasi bahwa UKM yang berada di Afrika harus melakukan kerjasama dengan beberapa organisasi yang terkait dengan rantai pasokan kulit. Karena industri kulit di Afrika merupakan industri kecil dan menengah maka dibutuhkan strategi jangka panjang dalam pengembangan pasar ekspornya, seperti adanya penetapan harga, kebijakan produk, kebijakan komunikasi dimana konsumen paham akan isu-isu tentang kualitas, standarisasi dan kesehatan. Lebih lanjut lagi yang terpenting adalah di kuatkan nya kerjasama dengan tiap stakeholder yang terkait dalam industri produk kulit ini, serta dilakukannya transfer teknologi untuk menciptakan upgrading produk kulit di Afrika. Nathan dan Kalpana merupakan peneliti yang pernah melakukan penelitian tentang global value chain produk kulit di India dengan mengambil judul Issues in the analysis of global value chains and their impact on employment and incomes in India. Kalpana mengemukakan ada dua isu yang berkaitan meskipun terpisah untuk dipelajari. Pertama adalah tentang apakah perusahaan-perusahaan di India, atau negara berkembang lainnya, memiliki daya tawar dalam rantai nilai dunia. Kedua adalah apakah ada hubungan langsung antara partisipasi dalam rantai nilai dan standar tenaga kerja. Penelitian Kalpana melihat salah satu cara untuk menanggapi persaingan harga antara pemasok adalah mengurangi upah dan standar lingkungan. Cara lain dan lebih positif adalah untuk merespon dengan meningkatkan nilai produk seseorang. 20 Perubahan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan diferensiasi produk, dengan demikian perusahaan dapat mencapai keunggulan komparatif. Satu-satunya cara untuk mempertahannkan keunggulan kompetitif adalah dengan peningkatan kualitas secara terus menerus. Penelitian ini melihat dari segi analysis Actual and future income distribution, employment and livelihood impact yang terjadi di India. Sejak integrasi di dalam rantai nilai global tercermin dalam perubahan sifat perusahaan. Banyak pekerja outsourcing, tidak di pasok oleh internal perusahaan, dan ini mempengaruhi perusahaan utama, pengecer besar, dan para pengecer. Outsourcing cenderung untuk mengambil bagian semua kegiatan perusahaan guna mengurangi biaya. Sementara dalam rezim sebelumnya produksi yang dilindungi, perusahaan bisa beroperasi pada biaya lebih. Dasar untuk menetapkan harga dan keuntungan, tidak lagi terintegrasi dalam rantai nilai global. Harga yang ditentukan oleh perusahaan relatif kecil karena perusahaan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya. Menurut Teresa Salazar de Buckle, kebijakan pemerintah baik daerah maupun pusat harus ikut serta dalam peningkatan kerjasama multilateral di kawasan industri sebagai suatu upaya membentuk aliansi vertikal guna menghadapi globalisasi. Disini peran instansi pemerintah adalah sebagai mendiator antara perusahaan besar dan asosiasi yang beroperasi di klaster industri (kasus Lembah Sinoh). Teresa juga mengatakan pemerintah dalam tahapan ini harus mampu menerapkan kebijakan baik secara lokal maupun nasional, dimana pemerintah 21 memfasilitasi pengembangan kegiatan asosiasi lokal. Mekanisme yang dapat diupayakan adalah meningkatkan koordinasi antara asosiasi dan negara, serta memberikan dukungan bagi perusahaan industri kulit jika diperlukan. Penentu keberhasilan dari jalannya global value chain adalah ketersediaan bahan baku, upah yang kompetitif, dan peningkatan pengetahuan teknis yang memadai. Sebuah strategi jelas harus dijalankan guna mengembangkan dan meningkatkan ekspor suatu industri. Adanya jaringan kelembagaan sangat diperlukan guna menghubungkan tiap rantai industri produk kulit sehingga daya saing dapat ditingkatkan. Selanjutnya ada agen penghubung yang mampu menghubungkan eksportir dan pembeli. Pemerintah juga mampu memberikan manajemen konsep untuk masa yang akan datang bagi industri produk kulit serta memberikan dukungan melalui pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan. Dukungan yang lain adalah memberikan pengetahuan tentang audit lingkungan dan pengenalan teknologi bersih atau ramah lingkungan, kemudian peningkatan standar kualitas dan pengembangan merek dagang. Dengan menerapkan hal ini maka akan muncul respon yang terpadu antara sektor pemerintah dengan pihak swasta agar mampu bersaing di era globalisasi terutama sub sektor agro- industri. Penelitian-penelitian yang terjadi di India, Argentina dan Afrika dalam penerapan global value chain menyadari terdapat keterbatasan dimensi yang dihadapi oleh masing-masing negara. Sementara, dalam tesis ini penulis hendak menganalisa peluang global value chain dalam kebijakan pemerintah Indonesia guna peningkatan daya saing produk kulit Indonesia di pasar internasional. 22 E. Kerangka Teori Tesis ini beranjak dari analisa utama rantai nilai yang dapat bekerja menuju tujuan pembangunan yang berbeda termasuk partisipasi efektif aktor tertentu dalam rantai, peningkatan kinerja mereka, interaksi mereka, secara keseluruhan manajemen dan tata kelola rantai, dan peningkatan fungsi dan daya saing . Pendekatan rantai nilai telah terbukti berguna dalam memberikan informasi penting dalam pengambilan keputusan untuk tujuan pengembangan. Pengembangan rantai nilai pada negara belum berkembang terjadi sebagai reaksi terhadap dukungan dari aktor luar rantai seperti instansi pemerintah namun terdapat juga situasi di mana dukungan pada tiap rantai nilai tidak menghasilkan manfaat sosial yang cukup atau hanya membuka peluang kecil. Menurut Gereffi global value chain adalah “A commodity chain encompasses the whole range of activities involved in the desain, production, and marketing of product. The value chain also called the commodity chain and production consumption chain is described as a comprehensive set of activities that are required to bring a product from a concept stage to marketing and consumption of and product”. Konsep ini menyatakan bahwa rantai nilai komoditas meliputi semua kegiatan yang tekait dari hulu hingga hilir penjualan suatu produk. Rantai nilai juga disebut dengan rantai komoditi, kemudian rantai produksi sampai konsumsi. Jika dilihat dari industri produk kulit di Indonesia, rantai produksi bahan mentah menuju produk setengah jadi, terakhir bahan jadi memiliki keunggulan yang sesuai dengan rantai GVCs. 23 Gereffi (1994) telah mengelompokan dua tipe dari rantai nilai yaitu produsen dan pembeli. Rantai nilai kulit memiliki karakteristik rantai pendorong pembeli dimana dalam industri ini merupakan tenaga kerja padat karya, kemudian memiliki agen global dan barang bermerek global yang melakukan kontrol yang kuat atas rantai. Pemain di sektor hulu adalah peternak, rumah jagal/lembaran, dan kulit lokal dan pedagang kulit dimana mereka memiliki posisi lemah pada rantai meskipun peran utama mereka sebagai penyedia dan produksi bahan baku. Ada empat dimensi dasar dalam metodologi GVCs untuk melihat perubahan rantai produksi satu ke rantai lainnya antara lain. 1. Struktur input dan output, menjelaskan proses perubahan dari bahan mentah menjadi produk jadi. 2. Pertimbangan geografis, dimana bahan tersebut diperoleh serta siapa yang membelinya. 3. Struktur pemerintah, sejauh mana pemerintah mengendalikan rantai nilai ini. 4. Serta lembaga-lembaga mana saja yang terkait dalam konteks global value chain. Pada konteks governance, menurut Gereffi (1994,p.97 in Gereffi 2011: 8) governance di definisikan, “ Authority and power relationship that determine how financial, material and human resourses are allocated and flow within a chain” . Initially in the global commodity chain framework, governance was described broadly in terms of “buyer- driven” or “producer-driven” chain”. Intinya adanya otoritas kekuasaan yang menentukan bagaimana hubungan keuangan, material dan sumber daya manusia dialokasikan dalam rantai nilai. 24 Pemerintah dalam kerangka rantai komoditas global digambarkan sebagai pembeli dan produsen. Terkait dalam penulisan tesis ini penulis ingin melihat peran pemerintah sebagai otoritas kekuasaan yang mampu di gambarkan sebagai pembeli dan produsen, dimana mampu mempengaruhi pasar. Peran pemerintah adalah sebagai modular yaitu, mampu menjalin pasar antar negara. Fokus governance adalah asimetris hubungan antar pelaku atau firma dalam suatu rantai nilai. Governance secara sederhana, ini digambarkan melalui hubungan antara firma atau inter firma, dimana salah satu pelaku merupakan penentu atau pengontrol dari rantai nilai tersebut dalam suatu proses produksi (Lihat Gereffi, 1994). Gereffi (1994) menyatakan dalam kerangka institusional identifikasi terhadap kondisi lokal, nasional dan internasional serta kebijakan pemerintah akan membentuk globalisasi dalam setiap rantai nilai. Hal ini dikarenakan konsep global value chain mampu masuk dalam dinamika ekonomi, sosial dan kelembagaan lokal yang ada. Faktor ekonomi merupakan faktor kunci dan sangat memainkan perandi dalam konsep ini. Faktor tersebut adalah ongkos buruh, infrastruktur, akses terhadap sumber pendanaan, ketersediaan dan keterampilan dan pada akhirnya peran pemerintah dalam regulasi ekonomi seperti penetapan pajak, pemberian insentif, kebijakan energi dan penetapanupah minimum. Sehingga dalam konteks governance model Gereffi ini penulis ingin melihat sejauh mana pemerintah berperan besar pada berjalannya global value chain industri produk kulit. 25 Pola pemerintahan untuk global value chain menurut Gereffi, dkk (2011: 910) berbeda-beda yang berfokus terutama pada prevalensi bentuk jaringan organisasi. Perbedaan tersebut dapat dibagi menjadi lima antara lain: (1) pasar di mana perusahaan dan individu membeli dan menjual produk ke salah satu dengan sedikit sekali terjadi interaksi di luar pertukaran barang dan jasa, (2) rantai nilai modular di mana pemasok membuat produk atau memberikan jasa sesuai dengan spesifikasi permintaan pelanggan, (3) rantai nilai relasional di mana satu set yang relatif kecil perusahaan terletak intensif berinteraksi dan berbagi pengetahuan dalam mendukung semua mitra rantai nilai, (4) rantai nilai captive dimana pemasok kecil cenderung tergantung pembeli besar yang dominan yang kemudian memegang kendali terhadap transaksi, dan (5) hirarki yang ditandai dengan integrasi vertikal (yaitu "transaksi" terjadi di dalam satu perusahaan) dan bentuk dominan dari tata kelola kontrol manajerial. Analisis governance yang dilakukan akan dihubungkan dengan teori pembuatan kebijakan publik (public policy making theories). Kraft dan Furlong (2007: 5) mengatakan bahwa dalam teori pembuatan kebijakan publik akan memperlihatkan bagaimana aktor dan faktor penting yang berkaitan akan memberikan efek tarik menerik kepentingan bagi pemerintah saat menetapkan kebijakan. Penelitian ini melihat apakah kebijakan yang dibuat untuk industri produk kulit mempengaruhi daya saing produk kulit di pasar internasional. 26 Tabel. 1. Tipe Global Value Chain Pemerintahan Sumber : (Gereffi, dkk, 2005 in Gereffi and Stark, 2011: 10 ). Tipe Governance sebagai Market muncul ketika barang yang dipedagangkan memiliki spesifikasi sederhana, transaksi barang mudah dilakukan, dan produsen memiliki kemampuan untuk memenuhi keinginan sederhana dari konsumen. Tipe umumnya dikendalikan oleh produsen,dimana perubahan antara produsen dan konsumen mudah terjadi. Pemerintah pada tipe ini umumnya tidak banyak mencampuri perdagangan. Umumnya barang yang diperdagangkan untuk contoh kasus produk kuli indonesia, adalah kulit mentah, kulit tersamak, dan barang kerajinan kreatif hasil Usaha kecil dan Menengah. 27 Tipe Governance sebagai Modular adalah rantai nilai untuk barang yang memerlukan syarat yang kompleks, seperti persyaratan lingkungan, memiliki spesifikasi kilap tertentu, ukuran tertentu, dan bahan tertentu. Rantai nilai cenderung semakin banyak. Pertukaran informasi mengenai perubahan kondisi cenderung kecil dengan level koordinasi yang kecil. Pada industri kulit, semakin bertambahnya persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor menyebabkan peran pemerintah berubah dari market menjadi modular. Contoh dari kasus ini adalah pada produk kulit tersamak dengan persyaratan lingkungan yang semakin ketat. Tipe Governance sebagai Relational hadir ketika barang memiliki sepesifikasi yang tidak baku. Transaksi melibatkan banyak pihak sehingga sangat komplek. Supplier haruslah sangat kompeten karena permintaan buyer menjadi customize sekali. Peran pemerintah menjadi sangat diperlukan karena pertukaran informasi antara penjual dan pembeli semakin banyak. Tipe Governance sebagai Captive merupakan fungsi pemerintah ketika barang yang diperdagangkan memiliki spesifikasi yang komplek disertai intruksi yang detil sekali. Level koordinasi menjadi meningkat pada tipe ini. Melihat tipe governance ini kita tentu menjadi teringat ketika pembelian pesawat dari produsen asal Amerika Serikat oleh perusahaan pesawat tanah air disaksikan langsung oleh Presiden Obama. Tipe Governance sebagai Hierarcy hadir untuk perdagangan barang yang tidak ada spesifikasinya. Produk barang menjadi komplek, dimana supplier yang kompeten sangat sedikit. Peran pemerintah diperlukan terutama untuk melindungi kekayaan intelektual (patent) akan barang tersebut. 28 Faktor pemerintah dan kebijakan yang dihasilkan akan sangat mempengaruhi sinergi aktivitas produksi di Indonesia. Pemerintah sebagai institusi politik akan berfungsi untuk menampung dan mengolah ketertarikan yang ada dalam pelaku industri sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat mewakili keinginan setiap stakeholder industri kulit. Kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mengatasi dan mewakili suatu permasalahan dan kepentingan tertentu namun juga untuk tujuan nasional yang sifatnya jangka panjang. F. Argumentasi Utama Industri produk kulit di tanah air bukan merupakan industri yang baru. Hal ini tentu menciptakan serangkaian kelebihan secara internal hasil dari interaksi para aktornya selama bertahun-tahun. Industri kulit disisi lain dalam pasar internasional yang sangat besar yang meliputi banyak barang, banyak negara, banyak pelaku dengan berbagai aturan yang berbeda-beda. Produk kulit dalam perdagangan internasional juga terdiri dari produk sederhana hingga custom yang dipasarkan dari cara yang sederhana hingga memerlukan interaksi antar negara. Melihat hal tersebut maka penulis berargumen bahwa diperlukan lebih dari satu tipe governance agar pemerintah mampu berperan dalam perdagangan internasional produk kulit Indonesia Argumen kedua dalam tesis ini didasari atas kondisi eksternal perdagangan produk kulit di pasar internasional yang berubah-ubah. Contoh dari hal ini adalah bagimana isu kesadaran akan lingkungan kini telah menciptakan trend baru pada industri yang mengeksploitasi sumber daya alam termasuk kulit. Contoh lain adalah 29 semakin berkembangnya perdagangan barang antar negara melalui media teknologi yang menggeser cara lama untuk berdagang. Perubahan pada perdagangan internasional ini tentu memerlukan concern perubahan dari tipe governance pemerintah. Apalagi rantai industri kulit di indonesia untuk perdagangan internasional global dikelola langsung oleh tiga kementerian terkait yaitu dari hulu kehilir; Kementerian Petanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan dan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal Kementerian Keuangan. Hal ini menjadi argumen bahwa pemerintah sebagai market pada suatu masa perlu menjadi modular atau bahkan relation supplier atau juga sebaliknya agar perdagangan industri kulit dapat berjalan. G. Jangkauan Penelitian Jangkauan penulisan tesis ini akan mengambil rentang waktu di tahun 2010 – 2013, melihat pelbagai perkembangan produk kulit dari kebijakan serta peluang serta hambatan. Sejauhmana peluang yang ada dapat di ambil oleh produsen lokal Indonesia dan Indonesia secara keseluruhan. Penulis juga melihat peran pemerintah memanfaat kondisi yang ada dalam membantu kemajuan industry produk kulit Indonesia di pasar internasional sebagai acuan pengembangan komoditi potensial. H. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskiriptif. Analisis ini ditujukan untuk memperoleh pandangan komprehensif global value chain produk 30 kulit. Peneliti menggunakan studi kasus dengan pertimbangan bahwa desain ini memungkinkan peneliti lebih fokus di dalam menganalisis suatu permasalahan. Selain itu, desain studi kasus juga memungkinkan peneliti untuk lebih spesifik dalam menghimpun, menganalisis serta melakukan generalisasi atau kesimpulan secara terbatas. Data utama penulisan tesis ini mencakup (1) pesaing utama industri produk kulit Indonesia di pasar internasional, (2) pasar utama produk kulit Indonesia di pasar internasional, (3) data statistik ekspor produk kulit provinsi D.I. Yogyakarta, (4) pendapat para stakeholder. Sumber data dari penelitian ini adalah literatur, jurnal, majalah, dan dokumen negara, serta wawancara secara lebih mendalam melalui narasumber yang berkaitan dengan rantai nilai produk kulit. Narasumber tersebut adalah Sutanto Haryono (Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia, 2014-2016, Pemilik PT. Budi Makmur Jayamurni), Harsono (Seksi Sandang dan Kulit, Bidang Industri Logam, Sandang dan Aneka, Disperindagkop dan UKM Provinsi D.I. Yogyakarta). I. Sistematika Penulisan Kerangka penulisan dalam tesis ini adalah Bab I, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, reviu literatur, metodologi, argumentasi, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Ekspor Produk Kulit, dimana penulis memaparkan berbagai kebijakan yang terkait dalam ekspor dan impor serta road map 31 pemerintah Indonesia tahun 2010-2014. Selanjutnya Bab III, Global Value Chain Dalam Perdagangan Produk Kulit Dan Posisi Indonesia yang berisi tentang rantai, posisi industri kulit indonesia serta analisa SWOT pegembangan industri produk kulit pada tiap rantai global value chain. Bab IV berisi capaian yang telah dilakukan dalam peningkatan daya saing produk kulit Indonesia, bagaimana peranan pengusaha, konsumen dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta strategistrategi apa yang telah diupayakan oleh pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta dalam peningkatan kualitas produk kulit agar mampu bersaing di pasar internasional. Terakhir pada Bab V merupakan hasil kesimpulan dan saran dari rangkaian penulisan tesis ini dimana dipaparkan uraian singkat dari keseluruhan penulisan tesis dan mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan pengembangan daya saing industri produk kulit Indonesia. 32