STRUKTUR HUKUM AKAD RAHN DI PEGADAIAN SYARIAH KUDUS

advertisement
STRUKTUR HUKUM AKAD RAHN
DI PEGADAIAN SYARIAH KUDUS
Oleh : Ahmad Supriyadi*
Abstrak
Pembahasan tentang gadai syariah volumenya masih sangat
langka, hal ini wajar karena lembaga yang mengembangkan
gadai syariah juga sangat minim, misalnya Pegadaian Syariah
Kudus. Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi
lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan
mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah ini merupakan sistem
hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini
didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum
ada dalam sistem hukum perdata di Indonesia misalnya
ar-rahn. Karena Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum
Islam. Ketiadaan aturan ini menimbulkan ketidakpastian
hukum dan akan banyak masalah yang terjadi. Sedangkan
penelitian tentang struktur hukum pegadaian syariah dalam
perspektif hukum Islam dan Hukum positif belum banyak
dan hanya beberapa orang misalnya Zainuddin Ali, Abdul
Ghofur Anshori dan Nur Aliyah. Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan dengan pengambilan datanya melalui
observasi dan quesioner. Untuk bisa menyelesaikan rumusan
masalah yang ada peneliti menggunakan pendekatan
sistem dengan pemahaman bahwa dalam pegadaian
syariah itu operasionalnya menggunakan sistem tertentu
Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang
*
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
1
Ahmad Supriyadi
dan pendekatan yang lain yaitu pendekatan normatif yang
digunakan untuk menganalisis praktik pegadaian syariah
dari sisi norma. Struktur hukum dalam pegadaian syariah
yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat
di simpulkan. Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat
oleh para pihak yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian
gadai. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian
Syariah Kudus memuat : suatu perbuatan hukum oleh
seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau
murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan
berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum
perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai
sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain
punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian
itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir, karena
terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang
di perjanjikan mengandung unsur ekonomi.
Kata Kunci: Struktur Hukum, Akad Rahn, Pegadaian Syariah
A.Latar Belakang Masalah.
Islam telah mengatur pemeluknya dalam segala aspek
kehidupan melalui syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah
dasar dan aturan-aturan. semua pemeluk Islam di wajibkan untuk
mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis kehidupan.
Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat Islam yang
berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat
perlu panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku. Karena itu
perlu pengkajian aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita
sehari-hari, diantaranya yang berawal dari interaksi sosial dengan
sesama manusia, khususnya dalam hal ekonomi.
Pinjam meminjam dalam ekonomi adalah sesuatu yang lazim
di lakukan oleh para pelaku ekonomi. Walau demikian meminjam
untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum
dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam.
Sedangkan pinjaman yang berkaitan dengan harta untuk modal usaha
sangat di anjurkan, dengan dasar bahwa uang yang di miliki oleh para
aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih.
Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena
kelemahan orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik modal.
2
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal tentang
pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga
bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah pemerintah
telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum
(perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian
yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih
singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana. Hal ini kegiatan bagi
masyarakat yang beragama non Islam. padahal Indonesia berpenduduk
sebagian besar beragama Islam.
Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian
besar beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang
berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat
beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk
yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah.
Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha
di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan
kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150.
Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat
atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156). Undang-undang
ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun
2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi yang
baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh
Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/
DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/
III/2002 tentang Rahn Emas.
Kegiatan gadai syariah yang baru ini melahirkan sistem hukum
baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan
pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem
hukum di Indonesia misalnya ar-rahn. Sistem ar-rahn berasal dari
sistem hukum Islam yang di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik
maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan oleh
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
3
Ahmad Supriyadi
masyarakat Indonesi. Implementasinya memunculkan masalah baru
di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu pegadaian
konvensional yang pengaturannya mengacu pada hukum positip
murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam.
Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar
hukum yang kuat bila dilihat dari sisi hukum positip, karena belum
adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidak pastian
hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan
hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana
hukumnya?
Walaupun saat ini belum pernah di dengar adanya suatu
masalah hukum menyangkut pegadaian syariah, tapi di kemudian hari
akan ada suatu wanprestasi di dalam implementasi produk-produk
pegadaian syariah. Karena itu semua akan membutuhkan hukum.
Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah
selalu bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta
bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan
tentang produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah.
Misalnya mempertanyakan apa bedanya pegadaian syariah dengan
konvensional.
Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah mereka
kurang menyukai pegadaian syariah. Padahal umat Islam di Indonesia
adalah penduduk mayoritas yang berinteraksi ekonomi secara
syariah.
B. Rumusan Masalah
Akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus merupakan perbuatan
hukum yang tidak memiliki kepastian hukum dan dibutuhkan suatu
pencarian kebenaran struktur hukumnya, sehingga dapat diambil
rumusan masalah yaitu:
Bagaimana struktur hukum akad rahn di Pegadaian Syariah
Kudus dari perspektif hukum positif dan hukum Islam?
C.Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul struktur hukum pegadaian syariah
dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (suatu tinjauan
4
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
yuridis normatif terhadap praktek pegadaian syariah di Kudus) adalah
Penelitian mengenai praktik dan sistem hukum di Pegadaian syariah
yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Untuk menyelesaikan rumusan masalah, peneliti menggunakan
pendekatan sistem dengan tujuan mendapatkan sistem yang saling
berhubungan antara satu produk dengan produk lain di Pegadaian
Syariah dan juga dengan pendekatan yuridis normatif untuk
menemukan gambaran yang komprehensip mengenai struktur hukum
yang ada dalam praktik Pegadaian Syariah.
Obyek penelitian ini adalah praktik produk-produk Pegadaian
Syariah dan subyeknya adalah seluruh pegawai atau karyawan di
Pegadaian Syariah Kudus dan para nasabahnya.
Data yang diperoleh berupa data primer yang dikumpulkan
dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara untuk menggali
data, dilakukan kepada manajer dan para nasabah di Pegadaian
Syariah, kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif.
Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelompokan
data dan memberi kode-kode tertentu kemudian dilakukan
pengolahan data secara kualitatif melalui tahapan seleksi, klasifikasi
dan kategorisasi berdasarkan kelompok masalah, kemudian dilakukan
analisa dengan pendekatan yuridis dan normatif. Dalam proses
analisa data ini setidaknya peneliti akan menggunakan beberapa
tahap: dimulai dengan analisa deskriptif yang memungkinkan
peneliti menguraikan hasil penelitian apa adanya, lalu dilanjutkan
dengan analisa hermeneutic yaitu memberikan makna-makna yang
ditemukan dalam hubungannya dengan aktivitas. Selanjutnya analisa
dan kesimpulan yang logis, utuh, terpadu dan bisa dimengerti dengan
menggunakan metode induktif.
Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data
primer yang dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif kemudian
disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang memberikan
gambaran secara menyeluruh dan sistematis.
D.Telaah Pustaka
Telaah pustakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang utuh terhadap implementasi rahn menurut hukum Islam, dimana
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
5
Ahmad Supriyadi
rahn itu merupakan term yang diadopsi dari hukum Islam, kemudian
di implementasikan di Indonesia.
Pengertian Pegadaian Syariah
Kegiatan pegadaian syariah merupakan bagian obyek kajian
dari ekonomi syariah. Kegiatan ini di zaman Rarulullah telah di
praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam sejarah
nabi pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya
kepada orang Yahudi.
Walaupun kegiatan ini sudah lama ada, namun karena kurang
di gali oleh para ilmuan, sehingga kesulitan untuk mendefinisikannya
dalam Bahasa Indonesia. Bahkan kegiatan ini dalam term fiqih sering
ada tapi untuk mempraktikkan belum bisa memasyarakat seperti
sekarang ini.
Pemahaman tentang pegadaian syariah dapat di lihat dari dua
sisi, yaitu dari sisi pegadaian syariah sebagai lembaga perum dan juga
pegadaian syariah dari sisi komersial atau menjalankan produk-produk
yang di keluarkan oleh lembaga tersebut. Karena itu pembahasan ini
nanti pada bab-bab berikutnya akan mengacu pada dua hal itu yaitu
pada lembaga dan pada sisi komersial.
Pegadaian syariah di terjemahkan dari kata ar-rahn dalam
kitab-kitab fiqih (pemikiran hukum Islam) seperti dalam bidayah almujtahid. Ar-Rahn artinya secara terminologi adalah jaminan hutang
atau gadai (Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998:996), begitu
juga dalam kamus Hans Wehr (1980:363) bahwa ar-rahn is deposit as
security. Atas dasar dua pengertian secara terminologi itu dapat di
simpulkan bahwa ar-rahn adalah pegadaian atau jaminan hutang. ArRahn pengertian secara bahasa artinya “tetap”, “berlangsung”, dan
“menahan” (Wahbah Zuhaili, 2002:4202).
Adapun pengertian ar-rahn yang dimaksud adalah menahan
harta yang dimiliki oleh peminjam uang sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya ‫ جعل الشئ وثيقة بدين‬Barang yang dijadikan jaminan
tersebut haruslah punya nilai jual atau yang memiliki nilai ekonomis,
sehingga pihak yang menahan barang memperoleh kepastian jaminan
bahwa peminjam akan melunasi pinjamannya dan bila tidak dapat
melunasinya pihak penerima gadai dapat menjual barang jaminan
sebagai pembayaran atas piutang nasabah (Sayyid Sabiq,1987:169).
6
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Karena itu gadai syariah perlu di cermati unsur-unsur yang
ada dalam setiap kegiatannya. Menurut penulis bahwa gadai itu ada
karena adanya suatu hubungan antara satu orang atau lebih dengan
seorang atau lebih dalam lingkup menjadikan barang sebagai jaminan
atas pembiayaan yang diberikan oleh murtahin. Dikatakan satu orang
bila yang bertemu hanya pihak rahin dan murtahin saja. Tapi bila
barang yang di gadaikan (marhun) itu milik saudaranya, maka pihak
yang bertemu tidak hanya dua orang tetapi tiga orang. Hubungan
antara mereka tidak hanya sekedar hubungan tetapi merupakan
hubungan hukum, karena hubungan yang di lakukan oleh para pihak
akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan hubungan hukum yang
dimaksud adalah melakukan kesepakatan bahwa pihak rahin sepakat
menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar
biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi
sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang.
Atas keterangan tersebut menurut penulis bahwa gadai syariah
adalah hubungan hukum antara satu orang atau lebih dengan seorang
atau lebih dengan kata sepakat untuk mengikatkan dirinya bahwa
di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan
oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat
penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk
memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.
Pengertian tersebut perlu juga memperhatikan pengertianpengertian yang di uraikan oleh para ahli hukum Islam antara lain :
Rahn menurut Ahmad Azhar Basyir (1983:50) perjanjian
menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Karena itu
perbuatan yang dilakukan adalah menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pandangan syariah sebagai tanggungan utang.
Rahn menurut Sulaiman Rasjid (1976:295) adalah menjadikan
suatu barang sebagai jaminan dalam utang piutang untuk memberikan
kepercayaan dan keyakinan bahwa hutang itu akan ia bayar, dan bila
ia tidak bisa membayar, barang tersebut bisa di jual oleh pemberi
hutang.
Menurut pemahaman Fadly “rahn” berarti pemenjaraan.
Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya
apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiaptiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38).
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
7
Ahmad Supriyadi
Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta
sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai
pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi
hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).
Atas dasar pengertian-pengertian di atas perlu di ambil satu
pemahaman sebagai patokan dalam pengertian gadai syariah yang
mencakup unsur-unsur antara lain :
(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan
orang yang menerima gadai (murtahin) keduanya ada syaratsyarat tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum
(b)Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun)
dengan syarat-syarat tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undangundang.
3. Barang milik rahin
4. Benda bergerak
(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi
antara rahin dan murtahin yang kemudian di implementasikan
dalam perjanjian.
E. Hasil Penelitian
1. Struktur Hukum Akad Rahn di PERUM Pegadaian Syariah
Kudus.
PERUM Pegadaian Syariah memiliki beberapa produk gadai
yang telah di operasionalkan sejak adanya unit syariah hingga
sekarang. Produk-produk itu antara lain:
1.1.Produk Ar-Rahn (Gadai Syariah)
a. Gadai Syariah Kudus
Gadai syariah di Pegadaian Syariah adalah merupakan
skim pinjaman yang mudah dan praktis untuk memenuhi
kebutuhan dana bagi masyarakat dengan sistem gadai yang
sesuai dengan syariah dengan cara menyerahkan agunan
berupa emas perhiasan, berlian, elektronik dan kendaraan
8
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
bermotor (Sumber: liflet Pegadaian Syariah). Atas dasar liflet
peneliti memberikan definisi yang spesifik bahwa rahn adalah
hubungan hukum yang dilakukan oleh rahin dan marhun untuk
memberikan pinjaman berupa uang dari marhun sedangkan
rahin menyerahkan sesuatu barang bergerak sebagai jaminan
atas kemampuannya mengembalikan uang, dan membayar
biaya sewa tempat dan pemeliharaan.
Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai
beberapa keuntungan antara lain:
a) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang
yang di gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKBnya. Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan
dapat menghasilkan keuntungan.
b) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan
pinjaman uang sangat mudah dan cepat
c) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai
taksiran bisa optimal
d) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, bebas
menentukan pilihan pembayaran
e) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan
f) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah
b. Tahap-Tahap Pelaksanaan gadai syariah
Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim
gadai syariah ini ada beberapa tahapan yang di lalui :
a) Tahap Pengajuan
Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin
mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus
datang dengan memenuhi beberapa persyaratan :
1. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya;
2. Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga
misalnya berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan
bermotor;
3. Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan
dokumen kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK
sebagai pelengkap jaminan;
4. Mengisi formulir permintaan pinjaman;
5. Menandatangani akad
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
9
Ahmad Supriyadi
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah
membawa barang jaminan disertai photo copy identitas
ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir
oleh penaksir, kemudian akan memperoleh pinjaman uang
maksimal 90% dari nilai taksiran.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang
dilakukan sebagai berikut:
b) Tahap Perjanjian
Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang
sendiri dan melakukan negosiasi terlebih dahulu atas
perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila
pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak
jadi meminjam uang di Pegadaian Syariah. Namun bila telah
sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung
menandatangani akad tersebut. Adapun akad yang di
gunakan dalam perjanjian gadai syariah ini adalah akad ijroh
atau Fee Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin
dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun
dalam hal penyimpanan barang yang di gadaikan.
Apa yang diperjanjikan?
Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian gadai
syariah adalah :
(a) Judul perjanjian yaitu akad rahn.
(b)Hari dan tanggal serta tahun akad
(c) Kedudukan para pihak yaitu (1) kantor cabang pegadaian
syariah yang diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih,
dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta
kepentingan CPS, disebut sebagai pihak pertama. (2)
rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan
alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.
(d)Hal-hal yang diperjanjikan dalam gadai syariah antara
lain : (1) rahn dengan ini mengakui telah menerima
pinjaman dari murtahin sebesar nilai pinjaman dan
dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana tercantum
dalam surat buku rahn. (2) Murtahin dengan ini
mengakui telah menerima barang milik rahn yang
digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin
10
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin telah
melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajiban lainnya. (3)
Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4)
Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin
tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak
memperpanjang akad, maka rahin dengan ini menyetujui
dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat
ditarik kembali untuk melakukan penjualan atau lelang
marhun yang berada dalam kekuasaan murtahin guna
pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut.
Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak
mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin,
maka rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada
murtahin sejumlah kekurangannya. (5) Bilamana terdapat
kelebihan hasil penjualan marhun, maka rahin berhak
menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka
satu tahun sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin
tidak mengambil kelebihan tersebut, maka dengan ini
rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut
sebagai shodaqah yang pelaksanaannya diserahkan
kepada murtahin. (6) Apabila marhun tersebut tidak laku
dijual, maka rahin menyetujui pembelian marhun tersebut
oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun.
(7) segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya
dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara
damai, maka akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah bersifat final
dan mengikat.
(e) Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan
akad rahn.
Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya
adalah untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan
dengan rahn. Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn
isinya adalah sebagai berikut :
1. Berisi judul akad yaitu akad ijarah
2. Hari dan tanggal serta tahun akad
3. Keterangan tentang kedudukan para pihak : (1)
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
11
Ahmad Supriyadi
Kantor Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana
tersebut dalam surat bukti rahn ini yang dalam hal
ini diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih dan
oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta
kepentingan CPS untuk selanjutnya disebut sebagai
Mu’ajjir. (2) Musta’jir adalah orang yang nama dan
alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.
4. Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya
: (1) bahwa musta’jir sebelumnya telah mengadakan
perjanjian dengan muajjir sebagaimana tercantum
dalam akad rahn yang juga tercantum di dalam surat
bukti rahn ini, dimana musta’jir bertindak sebagai
rahin dan muajjir bertindak sebagai murtahin dan
oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan akad ini. (2) bahwa
atas marhun berdasarkan akad diatas musta’jir setuju
dikenakan ijarah.
5. Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah
: (1) para pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, untuk jangka
waktu per-sepuluh hari kalender dengan ketentuan
penggunaan ma’jur selama satu hari tetap dikenakan
ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari. (2) Jumlah
keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus
oleh musta’jir kepada mu’ajjir diakhir jangka waktu
akad rahn atau bersamaan dengan dilunasinya
pinjaman. (3) apabila dalam penyimpanan marhun
terjadi hal-hal di luar kemampuan musta’jir sehingga
menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai
maka akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang
berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran
ganti rugi ini musta’jir setuju dikenakan potongan
sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal
ganti rugi, sedangkan perhitungan ijarah dihitung
sampai dengan tanggal penebusan / ganti rugi.
Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan
akad ujroh (fee based marhun) :
12
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Biaya yang di perhitungkan dalam membayar
upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan
marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang
di lakukan adalah:
Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu
10.000,- Hari
Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia
seberat 25 gram dengan kadar 99,99% asumsi harta
per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara
menghitungnya adalah sebagai berikut:
• Taksiran =25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,• Uang Pinjaman =90%xRp.7.500.000,- = Rp. 6.750.000,• Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000,
Rp.10.000,10
• Biaya Administrasi = Rp. 25.000,Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari,
ijaroh ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka
besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di
bayar pada saat nasabah melunasi atau memperpanjang
dengan akad baru.
Di Pegadaian Syariah, tarif yang biasa di kenakan
pada nasabah dapat di lihat dalam gambar berikut ini (Daftar
Tabel dari Pegadaian Syariah) :
Tarif Ijarah dan Biaya Administrasi Gadai Syariah (Rahn)
Gol
ong
an
A
B
C
D
E
F
G
UP Min
UPMax
Rp.
Rp.
20,000
150,000
151,000
500,000
501,000
1,000,000
1,005,000
5,000,000
5,010,000 10,000,000
10,050,000 20,000,000
20,100,000 50,000,000
Pembul
atan UP
Rp.
1,000
1,000
1,000
5,000
10,000
50,000
100,000
Pemb
ulatan
Ijarah
Tarif
Ijarah
Rp.
100
100
100
100
100
100
100
Rp.
80
80
80
80
80
80
80
Periode
Biaya
Penghitung
an Ijarah
Rp.
Per 10 hari
Per 10 hari
Per 10 hari
Per 10 hari
Per 10 hari
Per 10 hari
Per 10 hari
Administr
asi Gadai
Rp.
1,000
5,000
8,000
16,000
25,000
40,000
50,000
Biaya
Admini
strasi
Surat
Hilang
Rp.
1,000
2,000
3,000
4,000
4,000
4,000
4,000
Ket.
c) Tahap Realisasi Perjanjian
Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati
bersama dan telah di tandatangani oleh kedua belah
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
13
Ahmad Supriyadi
pihak, maka tahap selanjutnya adalah realisasi penyerahan
pinjaman kepada rahin.
d) Tahap Akhir Gadai
Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah
sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian
Syariah) memberikan informasi kepada rahin bahwa
pinjaman akan berakhir. Setelah di sampaikan maka rahin
akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biayabiaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses
pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum jangka
waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur.
Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar
uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka
barang di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar,
sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada
rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman
dan biayanya maka pihak rahin di minta untuk membayar
kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering
tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya.
e) Realisasi Pelelangan Barang Gadai
Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak
rahin tidak mampu membayar seluruh hutangnya beserta
biaya-biaya yang harus di tanggungnya. Karena itu pihak
murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang
yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme
penjualannya adalah sebagai berikut:
(a) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk
menjualkan barang yang digadaikan;
(b)Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum
melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada
tanggal tertentu.
(c) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan
prosedur.
Salah satu cara pelelangan barang gadai di pegadaian
syariah adalah (Zainuddin Ali,2008:51):
(1).Ditetapkan harga emas oleh pegadaian pada saat
pelelangan dengan margin 2% untuk pembeli.
14
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
(2).Harga penawaran yang dilakukan oleh banyak orang
tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan
kerugian bagi rahin. Karena itu, pihak pegadaian
melakukan pelelangan terbatas, yaitu hanya memilih
beberapa pembeli.
(3).Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan
1% dari harga jual, biaya perwatan dan penyimpanan
barang dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
(4).Sisa kelebihan yang tidak diambil selama setahun, akan
diserahkan oleh pihak pegadaian kepada baitul maal.
2. Analisis Yuridis Dan Normatif Praktik Rahn di PERUM
Pegadaian Syariah Kudus
2.1.Analisis Hukum Positip Terhadap Praktik Gadai di PERUM
Pegadaian Syariah Kudus
Analisis ini didasarkan pada hukum perdata yang ada di
Indonesia dan merujuk pada KUH Perdata dengan meninggalkan
beberap prinsip yang tidak sesuai dengan hukum Islam misalnya
tentang riba, ataupun hal-hal lain yang tidak sesuai dengan hukum
Islam.
Pada asasnya bahwa hutang itu harus di bayar. Setiap orang
yang mempunyai hutang ia mempunyai kewajiban untuk membayar
sebesar hutang uang yang dipinjam. Tetapi bila sesorang bisa
meminjam uang dengan pembayarannya di tangguhkan maka ia harus
memberikan jaminan atas kemampuannya untuk membayar. Karena
itu gadai pada prinsip adalah memberikan jaminan bahwa seseorang
bisa membayar hutangnya.
Gadai dalam Islam di sebut rahn tapi dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1150 juga telah ada yang memberikan
pengertian bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang lainnya,
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu
di gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (J. Satrio,1996:97).
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
15
Ahmad Supriyadi
Dalam perjanjian tersebut telah di uraikan tentang para pihak
atau disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian diatas ada dua
yaitu rahin dan murtahin dan ini telah di atur dalam Pasal 1150 KUH
Perdata.
Di dalam perjanjian yang di perjanjikan adalah barang yang di
gadaikan bahwa barang yang digadaikan yaitu berupak cicin. Barang
tersebut adalah termasuk benda bergerak sebagaimana di atur dalam
Pasal 1150 jo 1152 KUH Perdata. Karena itu barang gadai bisa benda
bergerak dan bisa juga surat berharga.
Tentang penyerahan barang gadai diletakkan dengan membawa
benda gadai di bawah kekuasaan kreditur atau di bawah kekuasaan
pihak ketiga sebagaimana pasal 1152. Penyerahan barang gadai di
Pegadaian Syariah telah memenuhi pasal tersebut yang faktanya si
rahin menyerahkan marhun bih kepada murtahin.
Perjanjian gadai menurut ilmu hukum, termasuk perjanjian riil
dan sifatnya konsensuil. Dikatakan riil karena benda yang dijadikan
jaminan benar-benar diserahkan kepada murtahin dan dikatakan
konsensui, bahwa perjanjian ini lahir karena ada kata sepakat dari para
pihak.
2.1.1. Perumusan Gadai
Perumusan tentang gadai sebagaimana dalam Pasal 1150 KUH
Perdata telah menjadikan suatu ikatan hukum yang di akibatkan dari
perjanjian gadai bahwa seseorang yang mendapatkan utang dengan
menjaminkan barang berupa barang bergerak dan akan di bayar di
kemudian hari. Kata ”gadai” disini memiliki dua arti yaitu sebagai
benda gadai dan juga hak gadai.
2.1.2.Para Pihak dalam Gadai
Para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai adalah raahin
(pemberi gadai) dan murtahin (penerima jaminan).
2.1.3. Barang yang di Gadaikan
2.1.4. Penyerahan Barang Gadai
2.2.Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn di PERUM
Pegadaian Syariah kudus
PERUM Pegadaian Syariah telah mengeluarkan beberapa
produk jasa antara lain : gadai syariah, jual beli emas logam mulia
16
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
(produk mulia) dan arrum. Dari tiga produk tersebut ada praktik
produk pegadaian syariah yang hampir sama yaitu arrum dengan gadai
syariah. Jasa-jasa tersebut telah didipraktikkan sebagaimana perjanjian
yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.
Secara umum perjanjian yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa
tersebut adalah akad rahn, akad ijarah dan akad jual beli murabahah.
a. Gadai Syariah
Gadai syariah atau rahn telah di perbolehkan oleh alQur’an dan as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan gadai.
Dasarnya adalah :
‫ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ‬
‫ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ‬
‫ﭩ ﭪﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰﭱ ﭲ‬
‫ﭳﭴﭵ‬
Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis,
maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu
pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya)
dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)
Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah
telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan obyek akad,
para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian
akad. Hal ini bila merujuk pada norma-norma yang ada dalam
fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi, bahwa akad rahn
harus mempunyai empat rukun antara lain (internet september
11,2007) :
(a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
(b) Al Marhun bih (hutang)
(c) Shighat
(d)Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang
menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang).
Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa
rukun rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj. Mansor,1992:68):
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
17
Ahmad Supriyadi
(a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk
mendapatkan pinjaman uang;
(b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia
memberikan pinjaman uang;
(c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang;
(d) Sighat adalah ijab dan qabul.
Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua
pihak tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak raahin, pihak murtahin
dan pihak ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin.
Hal ini bisa terjadi pada saat barang yang di gadaikan itu milik
orang lain, atau barang itu telah di jual kepada pihak ke-tiga.
Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau
raahin hanya saja tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar
benda gadai yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap
menjadi tanggungan debitur raahin sendiri. Pihak ketiga
pemberi gadai tidak mempunyai hutang tetapi secara yuridis ia
mempunyai tanggungjawab dengan benda gadaiannya.
Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para
pihak, keempat rukun yang di butuhkan oleh perjanjian rahn
telah terpenuhi. Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja,
ada hal-hal lain yang di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin
antara lain :
a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan;
b. Membayar biaya administrasi;
c. Membayar asuransi;
d. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang;
e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi
hutangnya.
Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang
kedua belah sepakati antara lain:
(a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala
kerusakan;
(b)Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas
gadai untuk mengamankan dan memelihara barang gadai;
(c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi
pinjamannya.
18
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang
dibuat oleh para pihak di Pegadaian Syariah telah memenuhi
rukun yang tercantum dalam akad gadai syariah tersebut.
Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut
Khalid Samhudi adalah sebagai berikut (internet september
11,2007) :
(1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang
bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya
adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu
baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
(2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai)
ada dua:
(a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat
menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika
tidak mampu melunasinya.
(b)Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk
menjadikannya sebagai jaminan gadai.
(c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis
dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta
sehingga disyaratkan hal ini.
(3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah
hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002
tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk
rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum :
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk
menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin
(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin.
Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh
murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi
nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti
biaya pemeliharaan perawatannya.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
19
Ahmad Supriyadi
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga
oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
(a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan
rahin untuk segera melunasi utangnya.
(b)Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka
marhun dijual paksa/dieksekusi.
(c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan.
(d)Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
b. Ketentuan Penutup
(a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
(a) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan
diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun ada juga
tentang pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perawatan
barang gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan
dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan
dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang
gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila
rusak atau hilang, diantaranya:
(a)Pemegang barang gadai
Pemegang barang gadai adalah murtahin selama
perjanjian belum berakhir.
sebagaimana firman Allah:
20
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
‫وض ُة‬
ُ ‫َو ِإن ُكن ُت ْم َعلَى َس َف ٍر َول َْم َت ِج ُدوا َكات ًِبا َف ِر َه‬
َ ‫ان َّم ْق ُب‬
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda
beliau:
‫ان َم ْر ُهو ًنا‬
َ ‫الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َك‬
َ ‫الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك‬
َّ ‫ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن‬
‫َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه‬
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya
dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi).
(b)Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan
manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang
menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut
berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya,
maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya
apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang
tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya
nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal
ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
‫ان َم ْر ُهو ًنا‬
َ ‫الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َك‬
َ ‫الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك‬
َّ ‫ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن‬
‫َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه‬
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya
dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi).
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan:
Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak
penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang
lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan
murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat
barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
21
Ahmad Supriyadi
dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu
adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan
yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin
mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya
nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
‫الد ِّر ُي ْش َر ُب ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا‬
َ ‫الر ْه ُن ُي ْر َك ُب ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا َك‬
َّ ‫ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن‬
َّ
ِ‫ذ‬
‫الن َف َق ُة‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ش‬
‫ي‬
‫و‬
‫ب‬
‫ك‬
‫ر‬
‫ي‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ا‬
‫َى‬
‫ل‬
‫ع‬
‫و‬
‫ا‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ر‬
‫م‬
‫ان‬
َّ
َ
َ
ْ
ً
َّ ُ َ َ َ ُ ْ َ
ُ ْ َ ‫َك‬
َ َ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya,
apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan
sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya
dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini
madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari
hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang
tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan
pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda
Rasululloh:
‫ل َُه ُغ ْن ُم ُه َو َعل َْي ِه َغ َر ُم ُه‬
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya.
(HR Al daraquthni dan Al Hakim)
Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan
yang diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau memberikan
komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan
pernyataan: Hadits ini menunjukkan kaedah dan ushul
syari’at yang menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati
karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan
dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya
hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu
tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang
kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan,
analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang
barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah
Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras
susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan
tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya
22
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada
kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
(c).Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan
barang gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya
kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya
kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin)
dan tidak mampu melunasinya (Kholid Syamhudi).
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo
pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum
melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka
pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara
langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu
Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan
bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya
ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa
orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila
tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai
tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut.
Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang
gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut)
dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi
hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut
masih menanggung sisa hutangnya.
Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang
menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka
penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang)
untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu
adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi
seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya
tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang
gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia
tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka
wajib bagi orang yang menggadaikan (Raahin) untuk menjual
sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan
izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
23
Ahmad Supriyadi
pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya
dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut.
Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual
barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari
nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah
dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh
menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan
melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya.
Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh
menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta
pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak
mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan)
menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja
sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual
barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai
tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan
itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya
dampak negatip sosial masyarakat dan lainnya pada
pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi
seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila
tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut
memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya
dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan islam
dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku
direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang
gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya
bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah
dan kedzoliman yang harus dihilangkan.
Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga
memuat kapan berakhirnya suatu perjanjian. Menurut
ketentuan syariat bahwa apabila hal-hal yang diperjanjikan
itu telah terpenuhi yaitu hutang telah di bayar oleh rahin,
maka perjanjian itu telah berakhir. Namun bia rahin belum
mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan membayar
24
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang kemudian
diadakan pembaharuan dalam perjanjian gadai syariah. Jadi
perjanjian yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang
benar-benar baru menurut berlakunya perjanjian.
Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar
hutang, dalam syariat Islam di perbolehkan untuk menjual
barang gadai yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini
Sayyid Sabiq (1987:145) berpendapat bahwa klausula
murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh
tempo perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena barang
yang digadaikan hak penguasa telah berpindah ke murtahin
dalam hal menjual.
Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian
rahn karena hal-hal berikut ini (Abdul Ghafur Anshori,
2006:98) :
(a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya;
(b)Rahin membayar hutangnya;
(c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin;
(d)Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun
tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
F. SIMPULAN
Berdasarkan deskripsi tentang struktur hukum akad rahn yang
telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan,
bahwa struktur hukum akad rahn yang di buat oleh para pihak yaitu
rahin dan marhun meruupakan struktur hukum gadai pada akad
rahn. Tapi struktur ini berbeda dengan gadai konvensional yang
memberikan pinjaman uang dengan meminta bunga atas sejumlah
uang yang dipinjam, sedangkan gadai syariah atau rahn meminta
imbalan atas sewa tempat menaruh barang gadai atau marhun bih
dan biaya pemeliharaannya. Struktur hukum gadai yang di lakukan
di Pegadaian Syariah Kudus memuat: suatu perbuatan hukum oleh
seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin
untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda
bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk
perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu
sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik.
Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir,
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
25
Ahmad Supriyadi
karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan
yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Struktur hukum
tersebut telah diatur dalam KUH perdata dan telah diatur dalam
hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini
mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur hukum Islam
yang di adopsi dari budaya Islam di zaman Arab. Karena itu rahn yang
diimplementasikan oleh gadai syariah mempunyai landasan hukum
Islam yang kuat dan landasan hukum perdata Indonesia yang kuat,
dengan tidak mempraktikkan bunga dalam praktik gadai.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada beberapa saran yang
perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa :
1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga
yang baru dan membutuhkan kreatifitas umat Islam dalam
mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah yang
dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam
mendukung dengan bertransaksi di Pegadaian Syariah Kudus.
2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum
yang lebih jelas dan spesifik dari undang-undang karena gadai
syariah mempunyai spesifik perilaku, sehingga mempunyai
kepastian hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan syariah
yang berkaitan dengan gadai syariah.
26
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
DAFTAR PUSTAKA
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep,
Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan
oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit
PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al
Hulwu, Mughni, Ibnu Qudamah Tahqiq, cetakan kedua tahun
1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Abdullah bin Muhammad
Al Muthliq dan Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan
pertama tahun1425H Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul
Mu’amalah, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal.
115
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut,
cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim,
Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang
Gadai, al-Ma’arif, Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al
Waie 57
Al-Amaanah al ‘Aamah Lihai’at Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats
Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah,
Cetakan I.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
27
Ahmad Supriyadi
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Surabaya: Risalah Gusti.
Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian
Syariah, http://ulgs.tripod.com.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Penerbit Multi Karya Grafika, Yogyakarta.
Biro Perbankan Syariah, Produk Perbankan Syariah, Karim Business
consulting dan Bank Indonesia, Jakarta.
Choiruman Pasaribu Dan Sukarwardi K Lubis, 2004, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Dewan Syari’ah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN –
MUI / IV / 2000, Majelis Ulama Indonesia
Djuhaendah Hasan,1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum
Pegadaian syariah di Indonesia, Magister Hukum Bisnis Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
Emmy Pangaribuan S., 1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap
Hukum Persaingan, Makalah penataran hukum perdata dan
ekonomi, UGM, Yogyakarta.
Ghazali, al-Mustasyfa, dikutip oleh Umar Chapra,2000, Islam dan
tantangan Ekonomi, Penerjemah Ichwan Abidin, Penerbit Gema
insani Press bekerja sama dengan tazkia Institut, Jakarta.
Hans Wehr, 1980, A Dictionary of Modern Written Arabic, Libanon
Beirut.
Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit
Ekonosia,Yogyakarta.
Hikmanto Juwono, 1998, Analisa Ekonomi Atas Hukum Pegadaian
syariah. Makalah disampaikan dalam seminar tentang
Pendekatan ekonomi dalam pengmbangan sistem hukum
nasional dalam rangka globalisasi, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama dengan BAPENAS,
30 April 1998, Bandung.
HR. Ibnu Majah No.2421, kitab al-Ahkam;Ibnu Hibban dan Baihaqi.
http://alislamu.com/index
Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut.
1400 ;
28
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Daarul
Fikr.
------------------, Bidayatul Mujtahid, Asy-syifa’ terjemahan, semarang.
Ibnu Taimiyah, Majmuk Fatawa, Daarul Ma’rifah Kairo.
Ikhwan A.Bisri : 2008, Makalah Pelatihan Perbankan Syariah, tidak
di publikasikan.
Imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al
Muthi’I, cetakan tahun 1419H,Al Majmu’ Syarhul Muhadzab,
Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi, Beirut.
J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta.
James Stoner, 1986, manajemen, erlangga, Jakarta.
Johannes Ibrahim,2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Rafika Aditama, Bandung.
Keraf, 1991, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur,
Kanisius, Yogyakarta.
M. Dahlan Yacub Al-Barry, 2001, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
Arkola, Surabaya.
Mahmud Syaltut,1985, al-Islam, Aqidah wa syariah, Bulan Bintang,
Jakarta.
Moch Rifa’i,2008, Perbankan Syari’ah, Wicaksono, Semarang.
Mochtar effendi,1996, manajemen, Suatu Pendekatan Berdasarkan
Ajaran Islam, Penerbit Bhratara, Jakarta.
Moh Rifai, Moh Zuhri, Salomo, 1978,Terjemah Khulashah Akhyar,
Semarang: CV. Toha Putra.
Moh. Rifa’i,2002, Konsep Perbankan Syariah, Penerbit wicaksana
Semarang.
Mohammad Sobari,2000, Islam dan Manajemen, disampaikan dalam
pelatiahan Perbankan syariah, Institut Tazkia, Jakarta.
Muchdarsyah Sinungan,1994, Strategi Manajemen Bank Menghadapi
Tahun 2000, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Muhamad Djumhana,1993, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------, 1996, Rahasia Bank (Ketentuan dan Penerapannya di
Indonesia) Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
29
Ahmad Supriyadi
Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân
Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah, Beirut.;
Muhammad Ridwan, 2004,Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
UII Press, Yogyakarta.
Muhammad Syafi’i Antonia, 2001, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek,
Gema Insani Jakarta.
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah (Mudharabah
dalam Wacana Fiqih dan Praktik Ekonomi Modern), Penerbit
BPFE UGM, Yogyakarta.
Nindyo Pramono, 1999, Mengenal Lembaga Pegadaian syariah di
Indonesia Sebuah Pendekatan dari Perspektif Hukum Ekonomi,
Magister Hukum Bisnis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
---------------------, 1992, Perkembangan Aspek Hukum Perseroan Dalam
Era Globalisasi Dalam Kaitannya Dengan Etika Bisnis, Fak.
Hukum UGM,Yogyakarta.
---------------------, 2001, Hutang Menurut Pandangan Majelis Hakim
Niaga, Makalah UGM, tidak dipublikasikan.
Prasentiantono Toni A. 1997, Agenda Ekonomi Indonesia, Gramedia,
Pustaka Utama, Jakarta.
PT. Danareksa, 1997 Pasar Modal Indonesia Pengalaman dan Tantangan,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta Hlm. 238
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Cetakan ke-5, Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Rasiman Rasyid, Fiqih Islam
Sayyid Sabiq, 1987, Fiqhus Sunnah Vol. III, Daarul Kitab al-’Arabi,
Beirut.
Simorangkir OP. 1983, Etika dan Moral Pegadaian syariah ind. Hill
Coo. Jakarta Hlm. 10
Siti Fatimah, 2008,Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Hiwalah
di BMT BIF Gedung Kuning Yogjakarta, Thesis UIN Sunan
Kalijaga Yogjakarta.
Siti Ismijati Jenie, 1996, Beberapa Perjanjian Yang Berkenaan Dengan
Kegiatan Pembiayaan, Magister Hukum Bisnis, UGM,
Yogyakarta.
30
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberti, Yogyakarta.
Sulaiman Rasjid, 1976, al-Fiqh al-Islami, Penerbit at-Tahiriyyah
Jakarta.
Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqih Islam, Sinar Baru Al Gesindo,
Bandung,
Susilo,YS.Triandaru, Sigit, etc.2000:180
Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, Hlm. 159.
Syeikh Abdullah Al Bassaam, Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh
Al Maram, cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi,
Makkah, KSA
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy,1975, Beberapa Permasalahan Hukum
Islam,Penerbit Tintamas, Jakarta.
Veronica Komalawati, 1984, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter,
Sinar Harapan, Jakarta.
Wahbah Zuhaili, 2002, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid 4, Daar
al-Fikr, Beirut.
Warkum Sumitro, 1996, Asas-Asas Perbankan Islam dan LembagaLembaga Terkait, raja Grafindo Persaada, Jakarta.
Wiroso, 2008, Konsep Perbankan Syariah, Penyaluran Dana Bank
Syariah, makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan
Syariah STAIN Kudus.
Wiroso, 2008,Konsep Perbankan Syariah, Komparasi Bank Syariah dan
Bank Konvensional, makalah disampaikan dalam Pelatiahan
Perbankan Syariah STAIN Kudus.
Wiroso, 2008,Konsep Perbankan Syariah, Penghimpunan Dana,
makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah
STAIN Kudus.
Wiroso,2008, Konsep Perbankan Syariah, Jasa Keuangan, makalah
disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah STAIN
Kudus.
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
31
Ahmad Supriyadi
Yusuf Qardhawi, 1995, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan,
Gema Insani, Jakarta.
Zainuddin Ali, 2008, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
Zainul Arifin, 2003,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Penerbit
Alvabet, Jakarta.
Zainul Arifin, Kebutuhan Fitrah Manusia Sebagai Pilar Kegitan Ekonomi
Syari’ah, Khutbah Idul Fitri 1419 H (Jakarta : Yayasan Bina
Sarana Masjid Raya Al-Ittihad).
32
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Download