tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan Pertanian
Komunikasi dan Pembangunan
Komunikasi berasal dari bahasa latin communis atau common dalam
bahasa Inggris yang berarti sama atau berusaha untuk mencapai kesamaan makna
(commonness) dan komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi
untuk mencapai saling pengertian atau kebersamaan. Komunikasi pada
hakekatnya adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
satu atau lebih penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka
(Rogers, 1976). Menurut Muhammad (2007) komunikasi adalah pertukaran pesan
verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk
mengubah tingkah laku. Si pengirim atau si penerima pesan dapat berupa seorang
individu, kelompok atau organisasi melalui suatu proses yang timbal balik yang
saling mempengaruhi satu sama lain.
Berlo (1960) mengemukakan teori S-M-C-R (Source, Message, Channel,
Receiver) dalam pengembangan komunikasi. Source (sumber) adalah orang atau
badan yang mengandung pesan, message (pesan) artinya semua informasi yang
akan disampaikan oleh sumber kepada penerima, channel (saluran) adalah media
yang digunakan oleh penerima (receiver) yakni orang atau pihak yang menerima
pesan. Menurut Lasswell (1976) komunikasi pada dasarnya merupakan suatu
proses dua arah yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa?
kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa?, atau terdiri dari lima unsur yakni: S–
M–C–R–E (Source-Message-Cannel-Receiver-Effect). Effect (dampak) terjadi
pada komunikan setelah menerima pesan dari sumber, seperti perubahan sikap,
bertambahnya pengetahuan, dan lain-lain. Bagan komunikasi dua arah dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut.
Pesan
Sumber
Saluran
Penerima
Umpan balik
Gambar 1. Bagan komunikasi dua arah
11
Sendjaja et al., (1994) berpendapat bahwa komunikasi sebagai sebuah
tindakan untuk berbagai informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap
partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kesamaan makna
dapat dilakukan dalam beragam konteks. Hal ini didukung pendapat dari
Middleton (1980) yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan proses
di mana informasi terbagi melalui jaring-jaring masyarakat, baik individu maupun
kelompok dan lebih mengacu kepada proses sosial yang menyangkut peredaran
pengetahuan dan gagasan-gagasan, pengembangan dan internalisasi pikiran.
Effendy (2001) menekankan bahwa proses komunikasi pada hakekatnya
adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator)
kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini
dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Sedangkan perasaan bisa merupakan
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian,
kegairahan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Proses komunikasi
sebagai ekspresi dinamis individu dalam merespon setiap simbol yang
diterimanya melalui mekanisme psikologis untuk memberi makna dan terjadilah
pesan yang bisa diterima dan digunakan untuk merumuskan pesan baru sehingga
melahirkan situasi komunikasi dua arah.
Menurut Kincaid dan Schramm (1987) proses komunikasi antara lain
terdiri dari model komunikasi linear dan relational, di mana model linear
informasi yang berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima
disebut umpan balik. Model relational setiap partisipan komunikasi dapat saling
meneruskan atau memberi pesan baru karena setiap pesan dapat dipakai sebagai
perangsang untuk mendapatkan umpan balik dari pesan-pesan sebelumnya. Proses
komunikasi dalam model linear biasanya terjadi secara vertikal dan model
relational tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik, melainkan kembali ke
peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan baru. Dengan
demikian model relational merupakan proses komunikasi yang berlangsung
bolak-balik yang dikenal sebagai two-way traffic communication atau komunikasi
dua arah (Seiler, 1988).
Rogers (1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang
terjadi pada tingkat sistem sosial dan modernisasi yang terjadi pada tingkat
12
individu termasuk proses difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi, belajar atau
sosialisasi. Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah
proses perubahan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh
masyarakat tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada
dan berusaha, serta melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dan
menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.
Peran komunikasi dalam pembangunan seiring dengan perkembangan
teknologi informasi dan meningkatnya dinamika interaksi komunikasi dalam
masyarakat dunia telah mempercepat pengaruhnya terhadap modernisasi
pembangunan. Nasution (1996) mengatakan bahwa komunikasi pembangunan
diartikan sebagai komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang
dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Grunig (1981) pada para petani Kolombia menyimpulkan bahwa komunikasi
merupakan faktor penunjang modernisasi pembangunan dan untuk meningkatkan
perannya perlu lebih dahulu dilakukan perubahan struktural untuk mengawali
proses pembangunan.
Effendy (2001) menyatakan bahwa konsep komunikasi pembangunan
Indonesia dapat didefinisikan yakni; “komunikasi pembangunan adalah proses
penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna
mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan
lahiriah dan kepuasan batiniah yang dalam keselarasannya dirasakan secara
merata oleh seluruh rakyat.” Menurut Rogers (1976) komunikasi pembangunan
merupakan suatu inovasi yang berhubungan dengan teknologi yang didasari
jaringan komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk kegiatan
pembangunan termasuk pembangunan pertanian. Rogers dan Shoemaker (1995)
lebih lanjut menyebutkan bahwa semua analisis perubahan sosial harus
memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi.
Terkait dengan upaya pelaksanaan pembangunan dalam rangka mencapai
visi dan misi pembangunan nasional jangka panjang diharapkan dapat
memperbaiki pengelolaan untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan,
keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pemanfaatan sumber daya alam harus selalu menjaga fungsi, daya dukung dan
13
kenyamanan dalam kehidupan yang serasi antara penggunaan untuk pemukiman,
kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi. Pembangunan pertanian ke depan
harus mampu meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan
lingkungan yang berkesinambungan, memperbaiki pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberi keindahan
dan kenyamanan kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan pertanian (Umar,
2007).
Menurut Soekartawi (2005) komunikasi pembangunan pertanian yang
umum dilakukan selama ini adalah melalui metode penyuluhan (agricultural
extension), perlu dikembangkan lebih luas sehingga bukan saja dimaksudkan
untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku komunikan melalui model
komunikasi linier akan tetapi dimaksudkan untuk memperoleh kesamaan makna
antara komunikator dan komunikan melalui model komunikasi konvergen atau
dua arah. Sumardjo dan Saharudin (2004) menyatakan bahwa dalam praktiknya
banyak program penyuluhan kurang memberdayakan dan memandirikan
masyarakat sasaran karena menyimpang dari falsafah penyuluhan itu sendiri. Di
samping itu kebijakan pembangunan selama ini cenderung bersifat top-down,
penyeragaman, non demokratik dan mengabaikan aspirasi serta kebutuhan
masyarakat bawah. Proses komunikasi cenderung bekembang satu arah (linear),
sementara itu sedang berkembang suatu komunikasi modern yang dapat
menciptakan banyak sumber informasi yang berpeluang untuk dapat diakses oleh
petani dengan cepat.
Tamba (2007) mengemukakan beberapa indikator paradigma baru
penyuluhan yang menekankan proses perubahan perilaku melalui pendidikan yang
memberdayakan petani antara lain: (1) ukuran keberhasilan adalah manusia yang
mandiri dengan model pemberdayaan yang mengutamakan kemandirian, (2)
menggunakan komunikasi banyak arah bersifat bottom up, (3) petani banyak
terlibat sebagai sumber informasi, penyuluh sebagai sumber informasi bersifat
demokratis dan egaliter, (4) adanya proses penemuan ilmu tidak hanya sebatas
proses pemberian ilmu pada petani. Lebih lanjut dikemukakan bahwa model
komunikasi konvergen atau interaktif dinilai layak untuk dikembangkan dalam
14
komunikasi pembangunan karena menghasilkan keseimbangan dalam perspektif
teori pertukaran melalui jalur kelembagaan yang telah mapan dan didukung
komunikasi yang konvergen (interaktif), baik vertikal maupun horizontal dalam
sistem sosial pertanian.
Tamba (2007) lebih lajut mengemukakan bahwa keberhasilan akses petani
ke sumber informasi secara tepat dan akurat merupakan hal yang sangat krusial
bagi keberhasilan pembangunan pertanian karena belum lengkap informasi yang
tersedia dan belum mantapnya sistem informasi pembangunan pertanian.
Tersedianya informasi pertanian dari berbagai sumber dikaitkan dengan
kebutuhan petani sangat tergantung kepada: (1) relevansi informasi, (2) akurasi
informasi, (3) kelengkapan informasi, (4) ketajaman informasi, (5) ketepatan
waktu informasi dan (6) keterwakilan informasi. Keenam indikator tersebut
merupakan variabel yang dapat diukur melalui sejumlah parameter. Dengan
memperhatikan pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa komunikasi pertanian
adalah merupakan proses interaksi komunikasi dalam pengembangan berbagai
informasi yang diperlukan oleh masyarakat melalui berbagai saluran atau media
dalam suatu model komunikasi guna mengubah sikap dan perilakunya terkait
dengan pengembangan sistem usahatani modern (agribisnis) untuk menyukseskan
pembangunan pertanian.
Peran Komunikasi dalam Modernisasi Pertanian
Revolusi hijau yang sarat dengan teknologi kimia dan teknolgi mekanik
telah berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup, oleh karena itu
pembangunan pertanian modern ke depan melakukan pendekatan teknologi tepat
guna dan ramah lingkungan. Pengembangan mekanisasi pertanian telah mulai
dikembangkan dengan pendekatan selektif dan teknolgi tepat guna berdasarkan
kesesuaian karakteristik daerah dan sosial budaya lokal. Prinsip pengelolaan
pertanian berkelanjutan dikembangkan dalam lingkup multikultur, menghargai
keanekaragaman hayati, menghargai kearifan lokal, memanfaatkan bahan-bahan
lokal, tidak bergantung bahan luar, tidak mengekploitasi alam serta sesuai budaya
dan pilihan serta kemampuan petani. Prinsip-prinsip tersebut telah menumbuhkan
beragam model pertanian berkelanjutan di berbagai belahan dunia (Adjid, 2001)
15
Menurut Adjid (2001) perubahan lingkungan strategis global pada awal
abad 21 atau awal milenium ketiga yang merubah tata hubungan perdagangan
dunia, telah memaksa negara-negara sedang berkembang merubah konsep dan
pendekatan pembangunan pertaniannya menjadi pembangunan modern yang dapat
menciptakan sektor pertanian yang semakin efisien. Corak pertanian modern
menuntut efisiensi yang tinggi, berorientasi pasar dan mampu bersaing di bidang
mutu (quality), jumlah (quantity), kontinuitas (continuity), ketepatan waktu
(delivery on time) dan harga (price) memasuki pasar domestik dan global dengan
memanfaatkan sumber daya manusia yang berkualitas, menerapkan teknologi
tepat guna dan kelembagaan agribisnis yang kokoh.
Elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani menempati posisi
sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan
(prime mover to development), di mana petani memerlukan informasi pertanian
yang dibutuhkan dan memberikan kemudahan untuk memperoleh informasi.
Adapun jenis-jenis informasi yang dibutuhkan petani
antara lain adalah: (1)
informasi tentang hasil penelitian untuk pengelolaan usahatani dan teknologi
produksi, (2) informasi mengenai pengalaman petani, (3) informasi pasar input
dan output sesuai perkembangan terakhir dan (4) informasi kebijakan-kebijakan
pemerintah (Mardikanto, 1991). Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan
bahwa ada dua peubah penting yang mempengaruhi kesadaran seseorang terhadap
kebutuhannya yaitu karakteristik pribadi dan kemampuan mengakses informasi
dari sumber informasi yang memberinya informasi sesuai dengan yang
dibutuhkannya.
Perkembangan Mekanisasi Pertanian
Menurut Soekartawi (2005) pembangunan pertanian modern ke depan
sangat dipengaruhi proses komunikasi pertanian di lingkungan petani dalam
mengambil keputusan adopsi inovasi sebagai suatu proses transfer atau alih
teknologi melalui pendekatan berdasarkan kelembagaan dan pendekatan
berdasarkan proses. Mosher (1985) merumuskan paradigma baru pembangunan
pertanian yang bertolak dari teori adanya sepuluh faktor esensial yang menjadi
komponen utama dari sistem pembangunan pertanian. Lima faktor dikategorikan
sebagai faktor esensial yang menjadi syarat mutlak yang selalu ada agar petani
16
dapat mengadopsi inovasi yakni: (1) teknologi baru, (2) pemasaran, (3) suplai
sarana produksi pertanian (saprotan), (4) sistem transportasi, dan (5) adanya
rangsangan berproduksi. Sedangkan lima faktor lainnya temasuk faktor pelancar
adalah: (1) penyuluhan pertanian, (2) kredit produksi, (3) pengembangan lahan,
(4) perencanaan program dan (5) tahapan pembangunan pertanian.
Perubahan corak pembangunan pertanian dari pola subsisten atau
tradisional menjadi pertanian modern merupakan paradigma baru, di mana salah
satu aspek esensial adalah penerapan teknologi tepat guna untuk pemanfaatan alat
dan mesin pertanian (alsintan) dalam rangka pengembangan mekanisasi pertanian.
Menurut Soedodo et al., (1986) pada dasarnya mekanisasi pertanian yang
dikembangkan di Indonesia mempunyai pengertian agricultural engineering
mencakup kegiatan dan penerapan atau penggunaan bahan dan tegaga alam untuk
mengembangkan daya karya manusia di dalam bidang pertanian demi
kesejahteraan umat manusia (khususnya petani). Pengertian ini seiring dengan
pendapat
Moens
(1978)
yang
memberi
definisi
mekanisasi
pertanian
“Mechanization of agricultural is the introduction and the utilization of any
mechanical aid to perform agricultural operations and can olso be described as
the whole of the application of engineering science to develop, to organize and to
control operation in agricultural production. To operation mechanical aid belong
all kind of tool and equipment that are powered by men, animal, combustion
engines, electric motor, wind water or others energy sources.”
Adjid (2001) mengemukakan bahwa sejak dekade 1970, peranan
penelitian alsintan semakin besar artinya dalam menunjang pengembangan
mekanisasi pertanian untuk program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian,
pengembangan agroindustri, peningkatan kualitas produksi dan perluasan
lapangan kerja pada kegiatan pascapanen dan jasa. Menurut Kasryno (1997)
penggunaan alsintan sudah banyak dilakukan dalam kegiatan produksi pangan dan
cenderung meningkat sebagai dampak dari pengembangan mekanisasi pertanian
dan merupakan bagian dari proses modernisasi pertanian untuk meningkatkan
efisiensi proses produksi. Seiring dengan perkembangan mekanisasi pertanian
telah menimbulkan peningkatan pemanfaatan alsintan yang berorientasi pada
17
peningkatkan produktivitas, efisiensi, nilai tambah melalui pengolahan hasil dan
perbaikan mutu.
Kemajuan
pertanian
sesungguhnya
adalah
manifestasi
keserasian
rangkaian kegiatan produksi yang berbasis pada sumberdaya hayati, baik primer,
sekunder maupun tersier yang menjelma sebagai sistem agribisnis yang terdiri
dari empat subsistem yakni: (1) subsistem hulu (upstream industry), (2)
susbsistem usahatani (onfarm agribusiness), (3) subsistem agribisnis hilir (down
stream industry) dan (4) subsistem jasa penunjang (agro supporting institution)
(Saragih, 1993). Dengan memiliki dan menampilkan citra modern yang terpencar
dari konsep pertanian sebagai sistem agribisnis berbasis iptek, modal serta
organisasi dan manajemen modern, maka pertanian modern akan ditentukan oleh
perkembangan mekanisasi pertanian, kelembagaan dan efektifitas komunikasi
organisasi di dalam organisasi pertanian yang terkait langsung dengan
kepentingannya sebagai anggota dan petani (Adjid, 2001).
Dukungan mekanisasi pertanian sebagai penerapan dari pengembangan
ilmu teknologi pertanian (agricultural engineering) dalam upaya meningkatkan
dan mengontrol produksi
sangat penting untuk mencapai tiga pilar utama
pembangunan pertanian yaitu ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dan
kesejahteraan rakyat. Mekanisasi pertanian sebagai supporting systems telah
berkembang dalam berbagai pemanfaatan alsintan pada usahatani khususnya
komoditas padi seperti program pompanisasi, program traktorisasi, optimasi
pengolahan padi dan sebagainya. Deptan (2007a) sektor pertanian telah memberi
dukungan yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian nasional yakni
sekitar 6,3 persen pada tahun 2007 yang ditopang oleh kemantapan produksi
pangan domestik dengan tercapainya produksi padi sebesar 57 juta ton Gabah
Kering Giling (GKG) dengan pertumbuhan 4,76 persen.
Data penyebaran alsintan memberikan kecenderungan kuat bahwa
mekanisasi pertanian semakin diperlukan terutama pada kegiatan usahatani
pengolahan tanah, panen dan pasca panen dengan indikasi kebutuhan alsintan
pada ketiga kegiatan usahatani tersebut (terutama tanaman pangan) cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut BPS (2002) beberapa alsintan yang
telah berkembang di Indonesia antara lain: traktor roda sebanyak 284.664 unit,
18
pompa air irigasi 215.774 unit, sprayer 1.562.217 unit, perontok gabah 340.654
unit, dan RMU (Rice Milling Unit) mencapai 46.123 unit. Namun bila dikaitkan
dengan alsintan yang dibutuhkan oleh petani terlihat bahwa jumlah alsintan yang
digunakan saat ini masih rendah, baik teknologi prapanen dan pascapenan dalam
usahatani padi sehingga produktivitas, kualitas produksi dan kesejahteraan petani
belum optimal.
Deptan (2007b) merumuskan paradigma pembangunan pertanian modern
dengan memberikan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan dan
kesejahteraan masyarakat yang akan diimplementasikan melalui tiga program
jangka menengah 2005-2009 yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan,
(2) Program Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dan (3)
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Menurut Arintadisastra (2006)
konsep pembangunan pertanian yang dikembangkan saat ini adalah pembangunan
pertanian berkelanjutan antara lain menciptakan: (1) pertanian yang maju, modern
dan tangguh berbudaya agribisnis dan mandiri, (2) pertanian yang berupaya untuk
memberdayakan masyarakat dan keberpihakan pada masyarakat tani, (4) pertanian
yang memanfaatkan ilmu dan teknologi, (5) pertanian yang ramah lingkungan dan
(6) masyarakat yang berdaya dan memiliki daya tawar melalui koperasi.
Lebih lanjut Arintadisastra (2006) mengemukakan bahwa grand strategy
pembangunan pertanian jangka panjang untuk mewujudkan pertanian yang maju
dan modern antara lain adalah keberpihakan pada petani, pengentasan kemiskinan
serta membangun kelembagaan masyarakat dan kelembagaan ekonomi pedesaan
melalui asosiasi petani dan koperasi pertanian (KUD). Pengembangan teknologi
baru, baik dalam aspek prapanen maupun pascapanen dapat dilakukan melalui
proses adopsi inovasi teknologi yang layak diterapkan oleh petani dan telah teruji
adaptasinya dengan kondisi setempat melalui kerjasama dengan perguruan tinggi,
badan litbang (penelitian dan pengembangan) dan berbagai informasi teknologi
dari luar negeri.
Peran Koperasi Unit Desa (KUD)
Prinsip-prinsip Perkoperasian
Koperasi adalah satu bentuk organisasi yang muncul sebagai reaksi
terhadap kekuatan ekonomi dengan modal besar saat revolusi industri berkembang
19
di Eropa di mana terjadi perubahan sosial dan teknologi yang sangat cepat
(Munker, 1989). Prinsip-prinsip dasar koperasi berawal dari para pionir pendiri
koperasi pada 16 Agustus 1844 di kota Rochdale Inggris yang dikenal dengan
“ The Rochdale Society of Equitable Pioneers “. Prinsip-prinsp dasar koperasi
tersebut mengalami perubahan dan penyempurnaan pada kongres ICA
(International Cooperative Alliance) di Paris tahun 1937, di Wina tahun 1966.
dan terakhir disempurnakan dalam ICA di Manchester, Inggris tahun 1995
(Sudarsono, 1996).
Hendrojogi (2004) mengemukakan bahwa asas-asas Rochadle telah
mengilhami cara kerja dari gerakan-gerakan koperasi sedunia. Asas-asas Rochdale
tersebut diuraikan lebih rinci dalam beberapa aspek meliputi:
(1) Pengendalian secara demokratis (democratic control).
(2) Keanggotaan yang terbuka (open membership).
(3) Bunga terbatas atas modal (limited interest on capital).
(4) Pembagian sisa hasil usaha (SHU) kepada anggota proporsioal dengan
pembeliannya (the distribution of surplus in deviden to the members in
proportion to their purshases).
(5) Pembayaran secara tunai atas transaksi perdagangan (trading stictly on a cash
basis).
(6) Tidak boleh menjual barang-barang palsu dan harus murni (selling only pure
and unadelterated goods).
(7) Mengadakan pendidikan bagi anggotanya tentang asas-asas koperasi dan
perdagangan yang saling membantu (providing for the education of the
members in co-operative principles as well as for mutual trading).
(8) Netral dalam aliran agama dan politik (politic and religious neutrality).
Secara singkat sejarah perkembangan perkoperasian di Indonesia dimulai
dengan didirikannya bank bantuan dan tabungan pegawai bangsa Indonesia
(Spaark bank voor Inlandsche bestuurs ambtenaren) oleh R. Bei Aria Wiria
Atmadja sebagai patih di Purwokerto pada tahun 1895 untuk membantu pegawai
negeri bumi putra, petani dan tukang. Kemudian terbentuk beberapa lembaga
keuangan seperti Bank Rakyat, Rumah Gadai, Bank Desa dan Lumbung Desa.
Niti Sumantri bersama tokoh koperasi lainnya seperti R.M. Margono
20
Djojohadikoesoemo dan Prof. Ir. Teko Sumodiwirjo menyelenggarakan Kongres
Koperasi ke-1 pada bulan Juli 1947 di Tasikmalaya dan melahirkan beberapa
keputusan penting bagi perkembangan koperasi di Indonesia antara lain: (1)
ditetapkannya tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia, (2) ditetapkannya
asas gotong-royong sebagai asas koperasi dan (3) mengusahakan terbentuknya
koperasi desa di seluruh Indonesia (Soetrisno, 2003).
Keberhasilan koperasi dalam bisnis dengan lingkungan yang dinamis
tergantung pada: (1) daya saing dari pasar yang tercermin dari kepuasan
pelanggan, kualitas produksi maupun pelayanan dan tingkat harga, (2) efisiensi
bisnis dalam hal pemanfaatan teknik produksi, metoda kepemimpinan dan situasi
pasar, dan (3) perkembangan operasi bisnis sesuai dengan kebutuhan pasar dan
pengembangan dari tujuan (Tambunan, 2008). Menurut Steers (1985) ukuran
untuk menentukan keberhasilan satu organisasi terdapat 19 peubah (variabel) yang
digunakan secara luas, namun yang paling menonjol adalah: (1) prestasi, (2)
produktivitas, (3) kepuasan kerja pegawai, (4) laba atau tingkat penghasilan dan
(5) keluarnya karyawan.
Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2009) untuk meningkatkan
kualitas kelembagaan koperasi pemerintah akan menerapkan kebijakan berupa
program kelembagaan koperasi yang bertujuan agar koperasi dapat menjalankan
aktivitasnya dengan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai dasar koperasi. Koperasi
dimaksudkan dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan pasar yang kompetitif,
serta diarahkan pada tercapainya kondisi koperasi sebagai berikut:
(1) Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang bersifat distinct (memiliki ciri yang
khas), dengan demikian corporate philosophy, corporate culture dan praktik
bisnis koperasi harus mampu untuk menjadikan koperasi tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan pasar yang kompetitif.
(2) Nilai-nilai yang melekat pada organisasi dan manajemen koperasi yakni
kemampuan
menolong
diri
sendiri,
pengelolaan
secara
demokratis,
berkeadilan, dan solidaritas yang mengisyaratkan koperasi memiliki tujuan
yang jelas dan manajemen kebersamaan (joint management) yang profesional.
21
(3) Sebagai organisasi ekonomi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk para
anggotanya,
maka
organisasi koperasi
harus
dengan
tepat
mampu
merepresentasikan aktivitas ekonomi kepentingan para anggotanya.
(4) Prinsip pengorganisasian koperasi disesuaikan dengan sektor kegiatan
ekonomi yang ditangani oleh para anggota koperasi berlandaskan atas
keperluan untuk memperkuat posisi tawar pada masing-masing tingkatan.
(5) Mengoptimalkan
pelayanan
kepada
anggotanya,
yang
diantaranya
membangun jaringan koperasi, baik secara vertikal maupun horizontal serta
diagonal.
Perkembangan KUD di Indonesia
Dengan keluarnya Inpres (Instruksi Presiden) No. 4 tahun 1973 tentang
KUD, semua koperasi pertanian dan koperasi desa lainnya digabungkan menjadi
Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang merupakan cikal bakal berdirinya KUD.
Dalam pembentukan KUD lebih banyak diinisiasi oleh pemerintah (top-down) dan
dalam aktivitas usahanya banyak menjadi alat perpanjangan tangan pemerintah
dalam pelaksanaan program pengembangan ekonomi pedesaan (Krisnamurthi
1998).
Menurut
Nasution (1990)
dengan
melihat
faktor-faktor
penciri
keberhasilan KUD yang dikaitkan dengan pembangunan wilayah, menyimpulkan
bahwa: (1) secara kuantitas jumlah anggota, modal, volume usaha dan SHU dari
KUD mengalami peningkatan, (2) KUD telah berhasil sebagai instrumen
pemerintah dalam membangun pedesaan dan memasyarakatkan koperasi di
pedesaan dan (3) KUD belum dapat menyatakan jatidirinya sebagai koperasi yang
profesional.
Hasil analisa kinerja Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009
menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan koperasi yang signifikan yakni bila pada
tahun 2004 jumlah koperasi di Indonesia hanya 130.730 unit dan pada 2006
meningkat menjadi 138.411 unit atau tumbuh sekitar 5,9 persen dan jumlah
anggota sekitar 30.000.000 orang. Volume permodalan koperasipun meningkat
hingga 19,7 persen selama dua tahun sehingga pada tahun 2006 meningkat
menjadi Rp 34,6 triliun. Perkembangan keragaan koperasi periode 2002-2006
mencapai 19,12 persen dengan tingkat keaktipan 6,93 persen, anggota 11,07
persen, pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan 2,73 persen, volume usaha 120,72
22
persen dan SHU sebesar 225,42 persen. Namun jika dirinci lebih lanjut
menunjukkan bahwa yang terjadi adalah percepatan peningkatan jumlah koperasi
nonKUD sebagai akibat dari kemudahan proses pembentukan koperasi.
Perkembangan KUD relatif stagnan bahkan kondisinya semakin menurun akibat
dari adanya kebijakan pemerintah mencabut berbagai kemudahan kegiatan
perdagangan seperti penyaluran pupuk dan perdagangan beras (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2009).
Perkembangan KUD di Indonesia sangat erat kaitannya dengan
pembangunan usahatani pangan khususnya padi menuju pola usahatani modern
yang didukung oleh penerapan iptek dan penanganan pasar. Produktivitas dan
kualitas produksi padi dalam mendukung ketahanan pangan telah meningkat tajam
setelah teknologi rekayasa genetika, teknologi kimia dan teknologi mekanis
diterapkan para petani. Peran KUD sangat besar dalam transformasi teknologi
baru terutama pengembangan bibit unggul, pupuk kimia, obat pemberantas hama
(pestisida), alsintan (prapanen dan pascapanen) sehingga terjadi lonjakan produksi
yang ditandai dengan tercapainya swasembada pangan nasional pada tahun 1984.
Transformasi iptek telah terjadi sangat cepat melalui sistem penyuluhan yang
dikembangkan oleh pemerintah saat itu (Adjid, 2001).
Kebijakan pembangunan koperasi di Indonesia yang bersifat top down
telah mendorong tumbuhnya KUD tidak memiliki landasan yang kokoh. KUD
pada umumnya berperan karena besarnya intervensi pemerintah dalam pembinaan
koperasi sehingga KUD tidak mampu mengakomodasi perubahan-perubahan yang
terjadi. KUD pada akhirnya lebih dijadikan sebagai obyek dari pada subyek
bahkan lebih berperan sebagai instrumen dalam mekanisme penyaluran kredit,
pemerataan dan pelaksanaan kebijakan lainnya, sehingga koperasi kurang tumbuh
sebagai organisasi ekonomi sesuai kebutuhan masyarakat sebagai anggota. Untuk
meningkatkan peran KUD perlu dilakukan pendekatan agribisnis dengan
dukungan penyuluhan yang lebih dinamis (Saragih, 1993)
Setelah arah pembangunan mulai bersifat bottom up, telah terjadi
perubahan kebijakan-kebijakan tentang pangan yang berdampak terhadap peran
KUD yang menurun drastis. Kebijakan baru tersebut telah menyebabkan
kelangkaan pupuk pada petani, harga pupuk lebih tinggi di atas Harga Eceran
23
Tertinggi (HET) dan terjadi monopoli penyaluran pupuk oleh swasta yang
bermodal kuat. Peran KUD dalam pengadaan pangan juga menurun drastis akibat
fasilitas-fasilitas penunjang seperti gudang, lantai jemur, RMU dan lain-lain tidak
lagi beroperasi maksimal bahkan banyak yang sudah bangkrut. Perlu kebijakan
pemerintah agar KUD dapat berperan optimal secara mandiri dan berdaya saing
(Tambunan, 2006).
Komunikasi Organisasi KUD
Prinsip-Prinsip Dasar Organisasi
Untuk memahami komunikasi organisasi di samping memahami prinsipprinsip komunikasi perlu mengetahui prinsip-prinsip dasar organisasi, karena pada
dasarnya komunikasi organisasi adalah suatu proses komunikasi dalam organisasi.
Setiap organisasi memerlukan koordinasi melalui proses komunikasi agar masingmasing elemen dapat berperan dengan efektif dan efisien dalam mewujudkan
tujuannya. Menurut Muhammad (2007) komunikasi yang terjadi dalam
lingkungan tertentu dari suatu organisasi mempunyai struktur, karakteristik dan
fungsi tertentu yang mempengaruhi proses komunikasi. Lebih lanjut Schein
(1982) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan
sejumlah orang untuk mencapai tujuan melalui pembagian pekerjaan dan fungsi
melalui hierarki otoritas dan tanggungjawab dalam suatu sistem yang saling
tergantung antara satu elemen dengan elemen yang lain.
Dalam internal suatu organisasi terdiri dari berbagai elemen yang saling
terkait di antaranya struktur sosial, teknologi, tujuan dan partisipan (anggota)
berkaitan langsung dengan faktor lingkungan eksternal organisasi. Struktur sosial
adalah pola atau aspek aturan hubungan yang dapat dibedakan menjadi dua
komponen yakni struktur normatif dan struktur tingkah laku. Struktur normatif
adalah mencakup nilai, norma dan peranan yang diharapkan, sedangkan struktur
tingkah laku adalah karakteristik sosial dari anggota ysng akan mempengaruhi
tingkat partisipasinya dalam suatu organisasi. Partisipasi para anggota sangat
bervariasi tergantung pada karakteristik masing-masing terutama terkait dengan
ketrampilan (pendidikan formal dan nonformal) (Scott, 1981).
Di samping setiap organisasi memiliki elemen, juga mempunyai
karakteristik
yang
bersifat
dinamis dan memerlukan
informasi.
Untuk
24
mendapatkan informasi tersebut, baik dari dalam organisasi maupun dari luar
organisasi memerlukan dukungan kualitas informasi, iklim komunikasi dan
intensitas komunikasi organisasi melalui suatu proses komunikasi organisasi.
Menurut Muhammad (2007) setiap organisasi dalam mencapai tujuannya
mempunyai struktur yang mengatur hubungan hierarki antar berbagai elemen
yang diatur berdasarkan kesepakatan tiap organisasi yang digambarkan dalam
struktur organisasi. Struktur organisasi membakukan prosedur kerja dan membagi
tugas dan fungsinya berdasarkan ruang lingkup dan tujuan organisasi. Dalam
kaitan antara komunikasi dan organisasi terlihat bahwa proses komunikasi dalam
organisasi merupakan jaringan informasi secara vertikal dan horizontal dalam
berbagai tingkatan atau subsistem dari proses komunikasi yang terjadi dalam
sistem yang lebih besar (sistem dan suprasistem).
Muhammad (2007) lebih spesifik menyatakan bahwa semua organisasi
memerlukan informasi untuk hidup dan untuk mendapatkan informasi adalah
melalui proses komunikasi efektif. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan
penerimaan berbagai pesan organisasi, baik di dalam organisasi (internal) maupun
komunikasi antar institusi atau organisasi (eksternal). Komunikasi internal adalah
komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi
kepentingan organisasi, sedangkan komunikasi eksternal adalah komunikasi
organisasi dengan pihak luar untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh
organisasi. Menurut Mardikanto (1991) sistem informasi dalam proses
komunikasi pembangunan pertanian seharusnya dapat berperan, baik dalam proses
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program termasuk dalam pemecahan
masalah yang dihadapi petani yang berciri partisipatif. Dari pemahaman di atas
dapat diartikan bahwa model komunikasi organisasi adalah suatu bentuk
komunikasi dalam organisasi, baik di dalam (internal) maupun dengan pihak luar
(eksternal) yang meliputi berbagai elemen dengan fungsi-fungsinya untuk
meningkatkan kinerja dan kapasitas organisasi mencapai tujuan organisasi.
Dalam UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian mendefinisikan
bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsipprinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
25
asas kekeluargaan. UU tersebut menyebutkan bahwa prinsip koperasi adalah: (1)
keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela, (2) pengelolaan dilakukan secara
demokratis, (3) pembagian SHU dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota, (4) pemberian balas jasa yang terbatas
terhadap modal, (5) kemandirian, (6) pendidikan perkoperasian dan (7) kerja sama
antar koperasi. Di samping itu ditegaskan bahwa koperasi berfungsi membangun
dan mengembangkan potensi ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya
(Depkop dan PPK, 1992).
Melalui pemahaman tentang koperasi berdasarkan UU No. 25 tahun 1992
tentang Perkoperasian dapat diartikan bahwa koperasi adalah sebuah organisasi
ekonomi masyarakat yang berbadan hukum dan sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi pada dasarnya
merupakan wadah ekonomi rakyat yang didasarkan pada kesamaan kegiatan dan
kepentingan ekonomi anggotanya. KUD merupakan salah satu bentuk koperasi
petani di pedesaan
yang mempunyai perangkat atau elemen organisasi yang
terdiri dari (1) rapat anggota, (2) pengurus dan (3) pengawas. Rapat anggota
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi dan mempunyai
kewenangan antara lain menetapkan anggaran dasar, kebijakan umum di bidang
organisasi, manajemen dan usaha, personil pengawas, rencana kerja termasuk
rencana anggaran dan pembagian sisa hasil usaha. Pengurus koperasi bertugas
mengelola usaha, melaksanakan rapat anggota dan dapat mengangkat pngelola
usaha atau manajer sesuai dengan kebutuhan, sedangkan pengawas bertugas
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebujakan dan pengelolaan
koperasi.
Konsep Dasar Komunikasi Organisasi
Menurut Golhaber (1986) definisi komunikasi organisasi adalah proses
menciptakan dan saling menukar pesan dalam suatu jaringan hubungan yang
saling tergantung satu dengan lainnya untuk mengatasi lingkungan yang tidak
pasti atau yang selalu berubah. Setiap organisasi merupakan suatu sistem dan
mengkoordinasikan aktivitas dari berbagai elemen organisasi untuk mencapai
tujuan oerganisasi. Komunikasi yang efektif sangat menentukan bagi suatu
26
organisasi, oleh karena itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam
organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi
mereka. Menurut Seiler (1988) suatu pesan yang diciptakan akan berbeda dari
pesan-pesan yang lain walaupun pesan itu diciptakan sama dari waktu ke waktu,
tetapi akan berbeda karena pesan tidak dapat diulangi atau diterima dalam cara
yang persis sama karena ada pengaruh lingkungan.
Koehler et al., (1981) menyatakan bahwa komunikasi organisasi efektif
adalah penting bagi semua organisasi oleh karena itu para pemimpin organisasi
dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan
kemampuan
komunikasinya
melalui
pemahaman
konsep-konsep
dasar
komunikasi dan organisasi. Pada hakekatnya komunikasi organisasi didasari oleh
pengertian komunikasi dan organisasi, dan keduanya menjadi panduan dan
referensi bagi semua orang dalam memberi pengertian komunikasi organisasi.
Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
komunikasi
organisasi
sebagai
sebuah
perkembangan budaya yang tidak terlepas dari proses komunikasi dalam
memperoleh informasi dan penciptaan hubungan dalam lingkungan yang
direkayasa untuk dapat dikelola dan berkerjasama untuk mencapai tujuan.
DeVito (1997) mengemukakan bahwa komunikasi organisasi merupakan
pengiriman dan penerimaan berbagai pesan di dalam organisasi, baik di dalam
kelompok formal maupun informal. Komunikasi formal merupakan komunikasi
yang disetujui oleh organisasi sedangkan komunikasi informal adalah komunikasi
yang disetujui secara sosial. Lebih lanjut Mulyana dan Rakhmat (2001)
mengatakan bahwa komunikasi organisasi terjadi dalam suatu jaringan yang lebih
besar dari pada komunikasi kelompok. Komunikasi organisasi serikali melibatkan
juga komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi dan dapat juga terkait
komunikasi publik. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur
organisasi, yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas dan komunikasi
horizontal.
Menurut Koehler et al., (1981) komunikasi organisasi diberi batasan
sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling bergabung
satu sama lain (the flow of messages within a network of interdependent
relationships). Dari pembatasan tersebut dapat diartikan lebih spesifik yakni
27
mengandung tujuh konsep kunci yaitu; proses, pesan, jaringan, saling tergantung,
hubungan, lingkungan dan ketidakpastian. Ketujuh konsep kunci ini dapat
dijadikan sebagai suatu pola untuk membangun suatu model komunikasi
organisasi pada kondisi dan lingkungan tertentu. Pengertian tiap konsep kunci
model komunikasi organisasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) proses; karena gejala menciptakan dan menukar informasi berjalan terus
menerus dan tidak ada henti-hentinya maka dikatakan suatu proses
komunikasi sebagai respons terhadap kebutuhan lingkungannya.
(2) pesan; pesan sebagai simbol yang penuh arti tentang orang, obyek, kejadian
yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang, akan efektif jika pesan yang
dikirim itu diartikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim.
(3) jaringan; suatu jaringan komunikasi organisasi dalam pertukaran pesan
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: hubungan peran, arah dan arus
pesan, hakikat seri dari arus pesan dan isi dari pesan.
(4) saling tergantung; sebagai sifat terbuka dari organisasi, setiap proses
komunikasi akan saling tergantung pada seluruh sistem organisasi.
(5) hubungan; hubungan manusia dalam organisasi yang memfokuskan kepada
tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat,
(6) lingkungan; aspek lingkungan mencakup fisik dan sosial yang mempengaruhi
proses pembuatan keputusan dalam sistem lingkungan,
(7) ketidakpastian; sering terjadi perbedaan informasi yang tersedia dengan
informasi yang diharapkan.
Untuk mendalami komunikasi organisasi perlu memahami beberapa
persepsi dikaitkan dengan definisi dan konsep kunci mengenai komunikasi
organisasi. Menurut Muhammad (2007) terdapat berbagai macam persepsi yang
berbeda dari para ahli komunikasi organisasi antara lain :
(1) Persepsi Redding dan Sanborn, menyatakan bahwa komunikasi organisasi
adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang meliputi:
a) komunikasi internal, b) hubungan manusia, c) hubungan persatuan
pengelola, d) komunikasi downward (dari atas ke bawah), e) komunikasi
upward (dari bawah ke atas), f) komunikasi horizontal g) keterampilan
berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan evaluasi program.
28
(2) Persepsi Katz dan Kahn, berpendapat bahwa komunikasi organisasi
merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam
organisasi.
(3) Persepsi Zelko dan Dance, menyatakan bahwa komunikasi organisasi adalah
suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan
komunikasi eksternal.
(4) Persepsi Thayer, memperkenalkan tiga sistem komunikasi dalam organisasi
yaitu: a) berkenaan dengan kerja organisasi b) berkenaan dengan pengaturan
organisasi, c) berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan organisasi.
(5) Persepsi Greenbaunm menjelaskan bahwa komunikasi organisasi termasuk
arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi, memandang peranan
komunikasi terutama sebagai koordinasi pribadi, tujuan organisasi dan
masalah menggiatkan aktivitas.
Dalam proses komunikasi organisasi tidak hanya ada sumber atau
penerima saja tetapi juga penerima di mana sumber berada dalam kedudukan yang
sama dan tingkat yang sederajat. Oleh karena itu kegiatan komunikasi bukan
kegiatan memberi dan menerima melainkan berbagi atau berdialog. Isi
komunikasi bukan lagi pesan yang dirancang oleh sumber dari atas melainkan
merupakan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodifikasikan menjadi
tema. Tema inilah yang disoroti, dibicarakan dan dianalisa serta semua informasi
didengar dan diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan sebagai bentuk partisipasi yang satu dengan yang lain (Wibowo et
al.,1994).
Pace dan Faules (1989) menjelaskan bahwa komunikasi organisasi ke
bawah merupakan informasi yang berpindah secara formal dari seseorang yang
otoritasnya lebih tinggi kepada orang lain yang otoritasnya lebih rendah.
Komunikasi ke atas adalah informasi yang bergerak dari suatu jabatan yang
otoritasnya lebih rendah kepada orang yang otoritasnya lebih tinggi. Adler dan
Rodman (1988) juga berpendapat bahwa ditinjau dari arus komunikasi dalam
suatu organisasi dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yakni: (1) Downward
communication, yaitu komunikasi yang berlangsung ketika orang-orang yang
berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya, (2)
29
Upward communication, yaitu komunikasi yang terjadi ketika bawahan
(subordinate)
mengirim
pesan
kepada
atasannya
dan
(3)
Horizontal
communication, yaitu tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan
atau bagian yang memiliki kedudukan yang setara.
Salah satu tantangan besar dalam komunikasi organisasi KUD adalah
bagaimana sistem komunikasi dikembangkan agar dapat meningkatkan kinerja,
kapasitas dan kualitas pelayanan KUD dalam rangka mewujudkan peran dan
fungsinya sebagai wadah ekonomi anggota. Berdasarkan hasil penelitian
Departemen Pertanian bekerjasama dengan Bank Dunia tahun 1994 dalam
laporannya yang berjudul “Improving the transfer and Use of Agricultural
Information” mengemukakan bahwa terhambatnya pembangunan pedesaan
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) kesadaran masyarakat pedesaan masih
rendah akan perlunya informasi, (2) masih sulit mendapat informasi yang tepat
waktu, (3) sebagian besar informasi dalam bentuk tertulis dan sulit dimengerti
petani, (4) masih sulit memanfaatkan informasi secara bersama-sama, (5) petugas
lapang mempunyai akses yang terbatas terhadap informasi hasil penelitian dan (6)
kurangnya penguasaan terhadap pelayanan komunikasi yang baik ke daerah
pedesaan (Suryana, 2005).
Model Komunikasi Organisasi
Menurut Seiler (1988) pada hakekatnya model komunikasi mempunyai
empat prinsip dasar yang perlu dipahami yakni komunikasi sebagai suatu proses,
bersifat sistemik, merupakan interaksi dan transaksi. Di samping menekankan
pentingnya balikan dalam proses komunikasi sebagaimana teori dari Laswell, juga
perlu menekankan pentingnya faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
hakikat dan kualitas komunikasi. Lebih lanjut Effendy (1987) mengemukakan
bahwa komunikasi kelompok atau organisasi pada prinsipnya adalah dalam setiap
melakukan
komunikasi
menekankan
faktor-faktor
yang
terkait
dengan
kepentingan kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
Model komunikasi organisasi pada dasarnya identik dengan model
komunikasi pembangunan yang meliputi berbagai elemen dengan fungsinya
masing-masing dalam membangun interaksi komunikasi untuk mencapai tujuan
organisasi. Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan
30
yang partisipatif-horisontal tersebut dimunculkanlah kembali (revitalisasi) konsep
komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), media rakyat (folk
media), komunikasi kelompok (group communication) dan model komunikasi dua
tahap (two-step flow communication). Dalam paradigma komunikasi partisipatifhorisontal tersebut, masyarakat diundang untuk lebih berpartisipasi dalam proses
komunikasi hingga proses pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung
pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horisontal dan interaksi
komunikasi dilakukan secara lebih demokratis.
Muhammad (2007) berpendapat bahwa setiap proses komunikasi
memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen
lainnya yang ditunjukkan dalam suatu model komunikasi antara si pengirim pesan
dapat berupa seorang individu, kelompok atau organisasi. Lebih lanjut
Muhammad (2007) mengemukakan bahwa ada enam model komunikasi yang
dapat dikembangkan yakni: (1) Model Lasswell, (2) Model Shannon, (3) Model
Schraumn, (4) Model Berlo, (5) Model Seiler dan 6) Model Arni Muhammad.
Dari berbagai model komunikasi tersebut Muhammad (2007) cenderung
menggambarkan komunikasi itu merupakan proses yang dua arah sesuai dengan
prinsip-prinsp dasar yang termuat dalam definisi komunikasi. Komponen utama
dari komunikasi yakni: pengirim pesan, penerima pesan, pesan, saluran dan
balikan (Gambar 2).
Lingkungan
Latar Belakang
Gangguan
Pengirim
Latar Belakang
Pesan
Penyandian
Penerima
Saluran
Penginderaan
Balikan
Gambar 2. Model komunikasi dua arah (Muhammad, 2007)
Dalam model komunikasi dua arah proses komunikasi memperlihatkan
kaitan antara satu komponen komunikasi dengan kamponen lainnya yang di mana
31
pengirim dan penerima dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing dan
dipengaruhi oleh fakro lingkungan eksternal. Di samping itu proses komunikasi
dalam suatu organisasi terjadi gangguan dari berbagai faktor seperti suara yang
brisik (noise) dan juga terjadi umpan balik (balikan) dari penerima ke pengirim.
Hal yang mendasar dalam proses komunikasi organisasi adalah adanya orangorang yang berinteraksi mencapai tujuan dalam struktur dan dalam sistem
komunikasi yang berlangsung dalam setiap organisasi. Dalam hal ini menurut
Ginting (1999) dan Slamet (1978) mengemukakan bahwa ada lima kenyataan
yang selalu terdapat dalam setiap organisasi yaitu: (1) organisasi selalu terdiri dari
orang-orang, (2) orang-orang tersebut berinteraksi satu sama lain, (3) interaksi
tersebut selalu dapat diukur atau diterangkan, (4) setiap orang dalam organisasi
mempunyai
tujuan-tujuan
pribadi
dan
berharap
organisasi
akan
dapat
menolongnya dan (5) interaksi tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan
bersama. Bagan konsep dasar komunikasi organisasi dapat dilihat pada Gambar 3
berikut.
Pengertian
Komunikasi
Kebutuhan
Informasi Organisasi
Persepsi
Komunikasi
Organisasi
Proses Komunikasi
Organisasi
Pengertian
Organisasi
Faktor Lingkungan
Organisasi
Kepentingan
Bersama
Gambar 3. Konsep dasar komunikasi dalam organisasi
Sumardjo (1999) menyatakan bahwa model komunikasi interaktif sejalan
dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku dalam model komunkasi tipe
relational maupun tipe konvergen. Konsep utama dari komunikasi konvergen atau
interaktif mencakup: (1) informasi, (2) adanya ketidakpastian, (3) konvergensi
kepentingan, (4) saling pengertian, (5) persamaan tujuan, (6) tindakan bersama
dan (7) jaringan hubungan atau relasi sosial. Model konvergensi atau interaktif
32
bersifat dua arah yaitu partisipatif, baik vertikal maupun horizontal di mana setiap
keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan
kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah atau masyarakat berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pace dan Faules (1989) menyatakan bahwa informasi mengalir melalui
suatu proses menyangkut aliran informasi dalam struktur dalam organisasi. Dalam
kehidupan organisasi terdiri dari berbagai unsur yang mempunyai maksud dan
tujuan agar organisasi yang dimilikinya tetap dipertahankan dan diarahkan demi
untuk perkembangan yang lebih dinamis. Informasi sangat penting dalam
membangun kinerja dan kapasitas organisasi, namun tumpukan informasi tidak
akan bermanfaat jika tidak diorganisir dengan baik. Informasi pertanian dapat
diakses oleh petani dari sumber-sumber informasi yang telah dirancang untuk
memperbaiki
budidaya
produksi,
manajemen
usahatani,
pemasaran
dan
pengolahan hasil (processing) yang diberikan kepada petani, baik melalui media
elektronik maupun non elektronik.
Dari pemahaman pengertian dan definisi komunikasi organisasi tersebut di
atas menunjukkan bahwa dari konsepsi dasar komunikasi yang terdiri dari sumber,
pesan, saluran, penerima dan dampaknya dapat dikembangkan suatu pola
komunikasi organisasi yang mencakup enam kunci komunikasi organisasi. Secara
sederhana konsep dasar komunikasi dikaitkan dengan konsep dasar organisasi
KUD sebagai organisasi ekonomi masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu
pola komunikasi organisasi untuk dikembangkan sebagai model komunikasi
organisasi efektif. Pola komunikasi organisasi tersebut mencakup beberapa
komponen yakni: (1) sumber informasi (ekternal), (2) penerima tahap pertama
informasi dan menjadi pengirim informasi tahap dua (manajemen organisasi), (3)
penerima informasi tahap dua (anggota organisasi), (4) iklim komunikasi
organisasi, (5) komunikasi publik organisasi dan (6) manfaat atau dampak
informasi bagi anggota organisasi. Organisasi sebagai penerima dan sekaligus
sebagai pengirim informasi memerlukan kemampuan kinerja organisasi dalam
pengembangan kapasitas organisasi. Bagan pola komunikasi organisasi dapat
dilihat pada Gambar 4.
33
Iklim Komunikasi
Organisasi
Pengirim
Informasi
(Pemerintah
Swasta, Perti, dll
/komunikator)
Penerima Informasi/
Pengirim Informasi
(Kinerja dan
kapasitas urganisasi)
Penerima
Informasi
(Anggota
Organisasi/
komunikan)
Manfaat/
Dampak
Bagi
Anggota
Komunikasi
Publik Organisasi
Gambar 4. Pola komunikasi organisasi
Kinerja Organisasi
Kinerja (performans) organisasi sebagai suatu pencapaian hasil kerja
manajemen yang berarti bahwa kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari
tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuannya berdasarkan latar
belakang pembentukannya. Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan
untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan organisasi sudah sejalan
dengan tujuan yang diharapkan (Bryson, 1995). Dalam rangka peningkatan
kinerja koperasi melalui pencapaian sasaran dan tujuan, baik untuk meningkatkan
pelayanan kepada anggota maupun meningkatkan kemampuan koperasi untuk
memperoleh sisa hasil usaha, maka koperasi perlu meningkatkan sistem
manajemen agar dalam menjalankan usahanya yang selalu berpedoman pada
efisiensi dan efektivitas usaha.
Untuk meningkatakan kinerja suatu organisasi memerlukan kepemimpinan
yang efektif yakni kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi atau
memotivasi bawahan (karyawan dan anggota) untuk melaksanakan kegiatan suatu
organisasi. Menurut Wilson et al., (1986) kepemimpinan adalah kemampuan
memperoleh konsensus dan keikatan pada sasaran bersama melalui syarat-syarat
organisasi. Pada dasarmya kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, baik perorangan maupun kelompok. Kossen (1993)
menyebutkan bahwa ada beberapa sifat yang mempengaruhi keefektifan seorang
34
pemimpin diantaranya: kesanggupan untuk memecahkan persoalan secara kreatif,
kesanggupan berkomunikasi dan mendengarkan, hasrat kuat untuk mencapai
sesuatu, bersikap positif dan tulus, kepercayaan diri, disiplin dan sebagainya.
Keberhasilan seseorang pemimpin banyak tergantung dari keberhasilannya
dalam kegiatan komunikasi. Komunikasi yang harus dijalankan pemimpin
haruslah efektif, dan kondisi ini dapat dicapai bila memperhatikan hal-hal berikut:
(1) pesan yang disampaikan dapat menarik perhatian sasaran yang dituju, (2)
pesan harus mempergunakan tanda-tanda yang disadari pada pengertian atau
pengalaman yang sama antara komunikator dengan komunikan, (3) pesan harus
membangkitkan kebutuhan pribadi, dan menyarankan cara untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, dan (4) pesan harus mengarahkan suatu jalan untuk
memperoleh kebutuhan yang layak bagi situasi dan kelompoknya (Gibson dan
Hodgetts, 1991).
Menurut Dwiyanto (1995) untuk mengukur kinerja organisasi publik
dapat dilakukan dengan indikator produktivitas, kualitas pelayanan, responsivitas,
rensponsibilitas dan akuntabilitas. Produktivitas dimaksudkan untuk mengukur
tingkat efisiensi dan efektivitas pelayanan. Kualitas layanan terkait dengan
kepuasan anggota atau masyarakat dalam menilai kinerja organisasi publik.
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan
program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi. Akuntabilitas menunjukkan seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik
(pemerintah) sesuai dengan peran setiap organisasi.
Semetara itu Kumorotomo et al., (1998) menggunakan beberapa kriteria
untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik antar
lain: efisiensi, efektivitas, keadilan dan daya tanggap. Efisiensi menyangkut
pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba
berdasarkan pertimbangan ekonomis. Efektivitas organisasi erat kaitannya dengan
rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi dan fungsinya sebagai agen
35
pembangunan. Keadilan terkait dengan distribusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Daya tanggap merupakan
bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat
yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.
Mengacu pada UU No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian (Depkop RI
dan PPK, 1992) beberapa fungsi manajemen koperasi yang sangat berpengaruh
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha antara lain: (1) kepemimpinan
atau pengorganisaian, (2) perencanaan atau penyusunan program, (3) pelaksanaan
program dan (4) pengendalian melalui rapat anggota. Kepemimpinan organisasi
koperasi ditentukan oleh pengurus yang dipilih dari dan oleh anggota koperasi
dalam rapat anggota untuk mengelola koperasi. Kualitas pemimpin koperasi
sangat
menentukan
terhadap
keberhasilannya
dalam
mengelola
usaha,
mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran
pendapatan dan belanja koperasi, menyelenggarakan rapat anggota, mengajukan
laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas.
Pengembangan
koperasi
dalam
dimensi
pembangunan
nasional
berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi
masalah kesenjangan pendapatan antar golongan dan antar pelaku ataupum
penyerapan tenaga kerja, tetapi juga diharapkan mampu memperluas basis
ekonomi dan dapat memberikan kontribusi dalam mempercepat meningkatnya
perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional. Untuk mencapai tujuan
tersebut koperasi memiliki perangkat organisasi yang meliputi rapat anggota,
pengurus dan pengawas yang sangat menentukan kinerja dari setiap organisasi
koperasi. Mengingat bahwa di dalam organisasi koperasi anggota adalah sebagai
pemilik dan pengguna jasa koperasi maka kemampuan anggota untuk
melaksanakan pengendalian melalui rapat anggota sangat menentukan kinerja
organisasi koperasi. Dengan meningkatnya kemampuan anggota untuk melakukan
pengendalian di dalam rapat anggota, maka fungsi anggota untuk melakukan
pengawasan terutama untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya semakin
baik.
Sesuai dengan ruang lingkup fungsi, peran dan prinsip koperasi maka
kinerja organisasi koperasi dapat dilakukan identifikasi dan pengukuran
36
berdasarkan masing-masing perangkat organisasi (anggota, pengurus dan
pengawas) dalam suatu sinergi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Pengukuran kinerja organisasi KUD terkait dengan perangkat tersebut dalam
penelitian ini akan dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan komunikasi
organisasi KUD dalam upaya pengembangan kapasitasnya terutama dalam
pemanfaatan tumbuhnya mekanisasi pertanian sawah khususnya pemanfaatan
penggilingan padi. Pengukuran kinerja organisasi KUD dimaksudkan untuk
meningkatkan peran perangkat organisasi KUD serta efisiensi dan efektivitas
usaha yang mencakup: kepemimpinan pengurus, peran pengawas, pelaksanaan
program, pelayanan anggota dan pelaksanaan RAT. Dari pemahaman berbagai
penjelasan terdahulu dapat diartikan bahwa kinerja KUD adalah tingkat
kemampuan KUD menggunakan potensi organisasi untuk melaksanakan program
kerja
yang
berkaitan
dengan
kebutuhan
anggota
dalam
meningkatkan
produktivitas KUD. Tingkat kinerja KUD sangat dipengaruhi oleh pesan
informasi, iklim komunikasi organisasi dan intensitas komunikasi publik
organisasi di lingkungan KUD untuk pengembangan kapasitasnya sebagai
organisasi ekonomi petani.
Iklim Komunikasi Organisasi
Konsep
mengenai
iklim
komunikasi
organisasi
(organization
communication climate) telah mendapat perhatian secara luas dengan berbagai
definisi, karena faktor tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku warga suatu
organisasi. Kegiatan dari suatu organisasi ditentukan oleh adanya komunikasi
antaranggota atau antarkelompok dan masyarakat melalui interaksi, baik secara
verbal, nonverbal, lisan maupun tulisan. Aktivitas komunikasi yang terjadi dalam
suatu organisasi secara perlahan-lahan akan membentuk suatu iklim komunikasi
organisasi. Menurut Pace dan Faules (1989) iklim komunikasi organisasi
merupakan persepsi-persepsi mengenai pesan dan peristiwa yang berhubungan
dengan pesan yang terjadi dalam organisasi. Keberadaan iklim komunikasi
organisasi dapat mempengaruhi cara hidup anggotanya, kepada siapa berbicara,
siapa yang disukai, bagaimana kegiatan kerjan dan perkembangannya, apa yang
ingin dicapai dan bagaimana cara beradaptasi.
37
Tagiuri et al., (1968) mengemukakan bahwa iklim organisasi adalah
kualitas yang relatif dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh
anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan
dalam istilah nilai-nilai suatu karakteristik tertentu dari lingkungan. Iklim
organisasi sebagai konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai
umum, norma, sikap, tingkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu sistem
sosial. Lingkungan organisasi adalah semua totalitas secara fisik dan faktor sosial
yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu
sistem organisasi. Lingkungan organisasi dapat dibedakan atas lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal organisasi adalah
personalia (karyawan), staf, golongan fungsional dari organisasi dan komponen
organisasi lainnya seperti tujuan, produk dan sebagainya. Sedangkan lingkungan
eksternal organisasi meliputi anrata lain pelanggan, leveransir, saingan dan
teknologi.
Dari pengertian iklim komunikasi organisasi menunjukkan bahwa ada
beberapa kesepakatan umum antara lain ada konsensus bahwa iklim komunikasi
organisasi lebih bersifat deskriptif daripada afektif atau evaluatif. Iklim
komunikasi organisasi timbul dari praktik organisasi yang terbatas pada aktivitas
yang sistematis serta mempengaruhi tingkah laku anggota. Jablin (1987)
mengemukakan bahwa telah dilakukan suatu penelitian tentang pengukuran iklim
komunikasi organisasi terkait dengan berbagai aspek antara lain: kebenaran,
pengaruh, mobilitas, keinginan berinteraksi, pengarahan dari atasan, rasa puas,
dan sebagainya. Salah satu faktor penting dalam proses komunikasi organisasi
adalah tingkat kepuasan anggota dalam memperoleh informasi untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mengembangkan kegiatannya dalam upaya mencapai tujuan
bersama.
Menurut Tompkins dan Mc Phee (1985) bahwa organisasi mungkin
mempunyai banyak iklim yang berbeda seperti, iklim keselamatan, iklim
pelayanan langganan dan sebagainya. Jika berbagai kegiatan organisasi
menghasilkan iklim komunikasi organisasi maka akan dijumpai iklim tertentu
yang berbeda dalam setiap organisasi. Berbagai hasil penelitian mengenai iklim
organisasi cenderung mendukung kesimpulan bahwa lebih positif iklim organisasi
38
lebih produktif suatu organisasi.
Iklim
yang
positif ini tidak
hanya
menguntungkan organisasi tetapi juga penting bagi kehidupan individu dalam
organisasi. Dimensi iklim organisasi meliputi: rasa tanggungjawab, standar atau
harapan kualitas pekerjaan, ganjaran (reward), rasa persaudaraan dan semangat
tim.
Davis (1976) dan Muhammad (2007) mengemukakan bahwa iklim
komunikasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat obyektif mengenai
lingkungan internal organisasi yang mencakup persepsi anggota organisasi
terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam
organisasi. Pokok persoalan utama dari iklim komunikasi organisasi adalah
persepsi mengenai sumber komunikasi dan hubungannya dalam organisasi, dan
persepsi mengenai tersedianya informasi bagi anggota organisasi. Karena ada
hubungan iklim organisasi dengan iklim komunikasi maka peran dari faktor-faktor
yang ada di dalam suatu organisasi sangat mempengaruhi proses komunikasi
dalam suatu organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Redding (Goldhaber, 1986) menunjukkan
bahwa iklim komunikasi lebih luas daripada persepsi karyawan terhadap kualitas
hubungan dan komunikasi dalam organisasi serta tingkat pengaruh dan
keterlibatan terdapat lima dimensi penting yakni: (1) supportiveness (dukungan),
(2) partisipasi membuat keputusan, (3) kepercayaan, (4) keterbukaan, dan (5)
tujuan penampilan (kinerja) yang tinggi. Pokok persoalan utama dari iklim
komunikasi adalah menyangkut persepsi mengenai sumber komunikasi dan
hubungannya dalam organisasi, persepsi mengenai tersedianya informasi bagi
anggota organisasi dan persepsi mengenai organisasi itu sendiri.
Iklim komunikasi organisasi memiliki pengaruh yang cukup penting bagi
motivasi kerja dan masa kerja pegawai dalam organisasi. Iklim komunikasi yang
positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen pada organisasi dan
iklim komunikasi yang kuat seringkali menghasilkan praktik-praktik pengelolaan
dan pedoman organisasi yang lebih mendukung (Pace dan Faules, 1989). Iklim
komunikasi organisasi KUD terkait dengan lingkungan organisasi mencakup
persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian
yang terjadi di dalam organisasi. Dari pemahaman berbagai uraian di atas dapat
39
diartikan bahwa iklim komunikasi organissi KUD adalah kualitas lingkungan
internal dan eksternal yang mempengaruhi proses komunikasi yang dapat
mempengaruhi tingkah laku partisipan terhadap proses komunikasi dalam
peningkatan kinerja KUD untuk mencapai produktivitas kerja yang optimal.
Tingkat iklim komunikasi organisasi KUD sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yakni dukungan anggota, keterbukaan, kebersamaan, kepercayaan dan rasa
keadilan.
Komunikasi Publik Organisasi
Menurut Rogers (1976) organisasi sebagai suatu kelompok persekutuan
antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk sesuatu tjuan, tidak terlepas
dari publik organisasinya yakni lingkungan yang terdiri dari antara lain:
stakeholders, masyarakat disekitarnya, pemerintah, konsumen, spesial publik dan
sebagainya. Menurut Grunig (1992) publik dalam arti komunikasi merupakan
konsep interaktif usaha bersama untuk mempengaruhi opini melalui karakter yang
baik dan kinerja yang bertanggungjawab berdasarkan pada komunikasi dua arah
yang saling memuaskan. Pengertian ini telah cukup berpengaruh dalam
manajemen komunikasi antara organisasi dengan publiknya.
Memberikan informasi kepada publik bertujuan untuk mengubah sikap
publik terhadap informasi yang diberikan agar kepercayaan orang atau kesan baik
orang akan hasil produksi atau jasa organisasi pada stakeholders. Kualitas yang
membedakan komunikasi publik organisasi dengan komunikasi interpersonal dan
komunikasi kelompok kecil adalah: (1) komunikasi publik berorientasi pada
pembicara atau sumber, (2) komunikasi publik melibatkan sejumlah besar
penerima, (3) komunikasi publik kurang terdapat interaksi antara si pembicara
dengan si pendengar dan (4) bahasa yang digunakan dalam komunikasi publik
lebih umum
Wilson et al., 1986) menyatakan bahwa publik organisasi dapat dilihat
dalam empat hubungan yaitu: (1) hubungan yang mungkin (enabling lingkage),
(2) hubungan yang fungsional (funktional linkage), (3) hubungan yang normatif
(normative linkage) dan (4) hubungan yang menyebar (diffused linkage). Dalam
hubungan yang mungkin publik diberi kekuasaan, pengawasan dan pengaturan
agar organisai berfungsi, misalnya pada badan legislatif, agen pembangunan,
40
dewan direksi dan pemegang saham. Hubungan fungsional diartikan bahwa
organisasi mempunyai hubungan dengan publik yang memiliki input (karyawan,
serikat pekerja, persediaan bahan baku) dan yang memiliki output (pelayanan jasa,
pembeli produk, industri pengguna). Hubungan yang normatif sangat diperlukan
bagi suatu organisasi yang mempunyai kesamaan terhadap kepentingan dan nilai
organisasi. Hubungan yang menyebar merupakan hubungan yang menyebar ke
berbagai kelompok-kelompok yang secara formal bukan suatu organisasi sebagai
konsekwensi dari adanya organisasi.
Teori Grunig (1992) mendefinisikan publik secara efektif dan dapat
memperkirakan
perilaku
komunikasi.
Teori
situasional
dari
Grunig
mengemukakan bahwa ada tiga variabel untuk membedakan publik yaitu: (1)
pengenalan terhadap masalah (problem recognition), 2) pengenalannya terhadap
kendala (constraint recognation) dan 3) tingkat keruwetan (level of involvement).
Dari ketiga variabel tersebut, Grunig membedakan publik menjadi tiga macan
yakni: (1) publik laten (latent public) yang memberikan ciri bahwa suatu
kelompok tidak mengenal situasi tertentu sebagai suatu masalah, (2) publik sadar
(aware public) yang merupakan suatu kelompok yang mengetahui bahwa suatu
siruasi tertentu sebagai suatu masalah tetapi tidak berbuat sesuatu dan (3) publik
aktif (active public) yang merupakan suatu kelompok yang mengetahui adanya
masalah dan mereka bertindak untuk menyelesaiakn masalah tersebut.
Kualitas yang membedakan komunikasi organisasi publik dengan
komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok kecil antara lain: (1)
komunikasi publik berorientasi kepada si pembicara atau sumber, sedangkan pada
komunikasi interpersonal dan kelompok kecil tedapat hubungan timbal bail di
antara si pembicara dengan si penerima yang terlibat, (2) pada komunikasi publik
melibatkan sejumlah besar penerima tetapi pada komunikasi interpersonal
biasanya hanya dua orang dan kelompok kecil sekitar 5-7 orang penerima, (3)
pada komunikasi publik kurang terdapat interaksi si pembicara dengan si
pendengar dan bahasa yang digunakan lebih umum. Tujuan komunikasi publik
terutama sekali adalah untuk memberikan informasi kepada pihak terkait
mengenai kegiatan dan produksi organisasi. (Muhammad, 2007).
41
Muhammad (2007) di dalam organisasi sering ditemui adanya komunikasi
dalam kelompok-kelompok kecil, seperti dalam rapat-rapat, konferensi, seminar,
dan komunikasi dalam kelompok kerja. Berdasakan hasil penelitian dinyatakan
bahwa
kebanyakan
organisasi
menggunakan
kelompok-kelompok
dalam
pekerjaannya sehari-hari. Rata-rata anggota pimpinan tingkat menengah dan atas
menghabiskan seperempat atau sepertiga dari waktu kerja mereka sehari-hari
untuk berdiskusi, tidak termasuk aktivitas sosial dan aktivitas lainnya dalam
masyarakat. Efek komunikasi publik organisasi dapat diukur untuk mengetahui
sejauh mana dampak dari intensitasnya terhadap tingkat keberhasilan suatu
pelaksanaan dari rencana organisasi yang telah ditetapkan. Intensitas komunikasi
publik organisasi KUD diduga sangat dipengaruhi oleh tingkat intensitas
komunikasi dengan pemerintah, swasta, pelanggan, tokoh masyarakat dan internal
organisasi.
Pengembangan Kapasitas Organisasi
Pengertian Kapasitas Organisasi
Dalam beberapa literatur pembangunan, konsep capacity building masih
ada perbedaan definisi dari para ahli. Sebagian ilmuwan memaknai capacity
building sebagai capacity development atau capacity strengthening dan
mengisyaratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada
(existing capacity). Sementara ilmuan yang lain lebih merujuk pada constructing
capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (not yet
exist). Grindle (1997) menyatakan bahwa capacity building merupakan upaya
untuk
mengembangkan
suatu
ragam
strategi
meningkatkan
efficiency,
effectiveness, responssiveness kinerja organisasi (pemerintah), yakni efisien dalam
hal waktu dan sumber daya yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome,
efektif dalam kepantasan usaha
yang
dilakukan dan responsif dalam
mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan.
Brown et al., (2001) memberi definisi capacity building ke arah
pengembangan kapasitas organisasi yakni sebagai suatu proses yang dapat
meningkatkan kemampuan seseorang dalam suatu organisasi atau suatu sistem
untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Morrison (2001) melihat
capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu atau serangkaian
42
gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat
kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap
perubahan lingkungan yang ada. Sedangkan Milen (2001) melihat capacity
building sebagai tugas khusus karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan
faktor-faktor dalam suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu.
Program pengembangan kapasitas seringkali dirancang untuk memperkuat
kemampuan
dalam
mengevaluasi
pilihan-pilihan
kebijakan
menjalankan
keputusan-keputusan organisasi secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa
meliputi pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan dan juga
asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan. Setiap organisasi berada di
lingkungan tertentu yang menyediakan kondisi yang beragam yang akan
mempengaruhi organisasi tersebut. Intinya adalah mempelajari dampak berbagai
lingkungan tersebut terhadap misi (mission), kinerja dan kapasitas organisasi
(capacity of the organization). Kondisi lingkungan teknologi dan ekologi
(technological and ecological environments) akan mempengaruhi jalannya
organisasi (Ikhsan, 2002).
Untuk meningkatkan peran koperasi dalam perdagangan global, menurut
Tambunan (2008) paling tidak diperlukan tujuh faktor penting yakni: (1) keahlian
atau tingkat pendidikan pekerja, (2) keahlian pengusaha, (3) ketersediaan modal,
(4) sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), (5)
ketersediaan teknologi, (6) ketersediaan informasi dan (7) ketersediaan input-input
lainnya seperti energi, bahan baku dan sebagainya. Pendorong utama daya saing
perusahaan adalah kualitas sumber daya manusia dan prasyarat utama untuk
meningkatan daya saing perusahaan adalah pendidikan, modal, teknologi,
informasi dan input krusial lainnya. Lebih lanjut Tambunan (2008) menyatakan
bahwa bantuan yang diberikan pemerintah selama ini harus berubah orientasinya
dan sepenuhnya tertuju pada upaya peningkatan kemampuan teknologi produksi,
manajemen dan pemasaran. Faktor penting untuk mewujudkannya sangat
ditentukan oleh capacity building dengan inovasi sebagai motor penggerak utama.
Pendekatan strategi yang digunakan untuk mendukung kebijakan tersebut adalah
43
clustering yang memiliki jaringan kerja sama yang kuat dengan semua
stakeholders.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun
kesuksesan program pengembangan kapasitas organisasi namun dalam konteks
organisasi masyarakat terdapat 5 (lima) hal pokok yang mempengaruhi yaitu: (1)
komitmen bersama, (2) kepemimpinan, (3) reformasi peraturan, (4) reformasi
kelembagaan dan (5) pengakuan tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Terkait dengan kontekstualitas politik dan budaya lokal di Indonesia yang selalu
dipengaruhi
faktor
legal-formal-prosedural
dalam
kesuksesan
program
pembangunan kapasitas, maka reformasi merupakan salah satu cara yang perlu
dilakukan untuk pengembangan kapasitas organisasi. Reformasi kelembagaan
pada intinya menunjuk kepada pengembangan iklim dan budaya yang kondusif
bagi penyelenggaraan program kapasitas personal dan kelembagaan menuju pada
realisasi tujuan yang ingin dicapai, baik reformasi struktural maupun kultural
(Yuwono, 2003).
Dalam era berkembangnya masyarakat
informasi seiring dengan
perkembangan teknologi komunikasi, peran komunikasi organisasi dalam
mengembangkan kapasitasnya semakin penting artinya bagi anggota dan
masyarakat sekitar KUD. Terkait dengan kapasitas koperasi masalah pokok yang
masih dihadapi adalah rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi,
tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi. Dari pengertian
kapasitas organisasi dikaitkan dengan kapasitas KUD sebagai organisasi petani
adalah sebagai suatu kemampuan KUD untuk melaksanakan program kerja dalam
mencapai tujuan terutama melaksanakan peran dan fungsinya melayani kebutuhan
pelanggan
atau
anggota.
Upaya
pengembangan
kapasitas
KUD
dapat
meningkatkan pelayanan anggota dalam memanfaatkan penggilingan padi sangat
ditentukan oleh: (1) permodalan, (2) pemasaran, (3) jasa, (4) input
sarana
produksi (saprotan) dan (5) SHU.
Karakteristik Personil
Menurut Rakhmat (2005) karakteristik personil merupakan sifat-sifat atau
ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek
kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor
44
biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf serta sistem hormonal dan faktor
sosiopsikologis berupa komponen-komponen konatif yang berhubungan dengan
kebiasaan dan afektif. Karakteristk individu menurut Newcomb et al., (1978)
meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa,
agama dan lain-lain. Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah
yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal di antaranya adalah peubah
karakteristik individu yang meliputi; usia, tingkat pendidikan dan ciri psikologis.
Rogers (2003) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih rinci
mengenai perbedaan individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi
inovasi yaitu;
(1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola
hubungan (lokalit atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap
terhadap perubahan sosial, (7) motivasi kerja, (8) aspirasi, (9) fatalisme (tidak
adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri) dan (10) dogmatisme (sistem
kepercayaan yang tertutup). Dilihat dari aktivitas komunikasi, Muhammad (2007)
menyatakan bahwa komunikasi akan lebih mudah dilakukan antara orang-orang
yang mempunyai hubungan yang bersifat homofili yaitu hubungan karena adanya
persamaan karakteristik personal seperti usia, ras, pendidikan, pekerjaan, jenis
kelamin dan sebagainya. Menurut Rogers (2003) proses pengambilan keputusan
petani apakah menerima atau menolak suatu inovasi tergantung pada sikap mental
(sikap terhadap perubahan), situasi internal dan situasi eksternal.
Azwar
(1977)
menyebutkan
bahwa
karakteristik
individu
yang
menentukan perilakunya meliputi berbagai peubah seperti motif, nilai, sifat
kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Adapun Lionberger
dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu yaitu;
pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orangtua, kecakapan dalam manajemen,
umur dan perilaku. Havelock et al., (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah
individu yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah; kompetensi
dan penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu,
ancaman dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses
perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi.
Sementara itu menurut Rogers dan Shoemaker (1995) mengemukakan bahwa
dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya
45
sedikitnya memiliki tiga karakteristik personil yaitu; (1) status sosial ekonomi
meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha, (2) perilaku komunikasi
meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan
keterdedahan media massa dan (3) kepribadian meliputi diantaranya empati,
senang mengambil risiko dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciriciri individual yang mencerminkan karakteristik personil dapat berbeda-beda,
tergantung pada penekanan masing-masing keperluannya. Dengan kata lain
pilihan karakteristik personil tertentu tergantung pada tujuan penelitian yang
hendak dilakukan. Misalnya, sejauhmana karakteristik personil yang dipilih
tersebut
dapat
menjelaskan
hubungan
antara
keterkaitannya
dengan
pengembangan kapasitas suatu organisasi dan keterlibatannya dalam pemanfaatan
penggilingan padi. Karakteristik personil yang dimaksud dalam penelitian ini
meliputi umur, pendidikan (formal atau nonformal), pemilikan luas lahan sawah,
dan keaktifan dalam suatu organisasi koperasi. Dalam penelitian ini karakteristik
personil dijadikan sebagai peubah bebas terhadap pengembangan kapasitas KUD
dalam komunikasi organisasi KUD.
Proses Komunikasi Organisasi
Organisasi terbentuk karena adanya kesamaan misi dan visi yang ingin
dicapai dan setiap individu atau unsur yang terdapat di dalam organisasi tersebut
secara langsung maupun tidak langsung melakukan komunikasi organisasi.
Organisasi sebagai suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk
mencapai tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi lewat hirarki
otoritas dan tanggungjawab. Karakterisitik organisasi menurut Schein (1985)
meliputi: memiliki struktur, tujuan dan saling berhubungan satu bagian dengan
bagian yang lain untuk mengkoordinasikan aktivitas didalamnya. Organisasi
adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu
kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Koehler et al., 1981).
Organisasi koperasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang
dikoordinasi oleh pengurus untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi koperasi
menyangkut tiga aspek penting yakni: (1) organisasi sebagai suatu sistem, (2)
terdapat koordinasi aktivitas dan (3) mencapai tujuan bersama. Organisasi
46
koperasi dalam mencapai tujuannya berkaitan dengan kondisi dinamis internal dan
eksternal yang terus berubah, baik dalam aspek perubahan ekonomi, perubahan
pasar, perubahan kondisi sosial maupun perubahan teknologi sehingga
memerlukan informasi melalui proses komunikasi organisasi. Menurut Sendjaja et
al., (1994) komunikasi dalam organisasi berfungsi sebagai pembentuk iklim
organisasi yakni yang menggambarkan suasana kerja organisasi atau sejumlah
keseluruhan perasaan dan sikap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi dan
untuk membangun budaya organisasi yakni nilai dan kepercayaan yang menjadi
titik sentral organisasi. Tujuan komunikasi dalam organisasi adalah mutual
understanding dalam arti mencoba mencari saling sepemahaman antara anggotaanggota dalam organisasi tersebut.
Komunikasi organisasi yang terjadi dalam suatu organisasi bersifat formal
dan informal dan berlangsung dalam suatu jaringan melalui proses pengiriman
dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Proses komunikasi
yang termasuk di dalam jaringan tersebut adalah: komunikasi internal, komunikasi
dari atasan ke bawahan atau sebaliknya dari bawahan kepada atasan, komunikasi
horisontal, ketrampilan berkomunikasi dan komunikasi evaluasi program
organisasi. Di dalam suatu kelompok atau organisasi selalu terdapat bentuk
kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup
kelompok yang terdiri dari pemimpin dan bawahan atau karyawan. Komunikasi
dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yakni: (1) komunikasi antarpribadi, (2)
komunikasi kelompok dan (3) komunikasi massa (Effendy, 2001).
Menurut definisi dari Goldhaber (1986) komunikasi organisasi diberi
batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling
bergabung satu sama lain di mana arus komunikasi dalam organisasi meliputi
komunikasi vertikal dan komunikasi horisontal. Dalam suatu organisasi baik yang
berorientasi komersial maupun sosial komunikasi dalam organisasi atau lembaga
tersebut akan melibatkan empat fungsi yaitu: (1) fungsi informatif, (2) regulatif,
(3) persuasif dan (4) integratif. Fungsi informatif bertujuan agar seluruh anggota
dalam suatu organisasi dapat memperoleh informasi yang memungkinkan setiap
anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih efektif. Fungsi
regulatif berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu
47
organisasi yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi
yang disampaikan. Fungsi persuasif mengatur suatu organisasi untuk mempersuasi
anggotanya sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan pimpinan suatu organisasi.
Fungsi integratif berusaha menyediakan saluran yang memungkinkan anggota
atau karyawan organisasi dapat melaksananan tugas dan pekerjaan dengan baik
melalui saluran komunikasi formal dan saluran komunikasi informal.
Berkaitan dengan teori proses komunikasi organisasi dengan organisasi
KUD sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat yang bersifat terbuka pada
dasarnya proses komunikasi organisasi KUD bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program organisasi KUD. Proses komunikasi
dalam organisasi KUD berperan penting dalam memanfaatkan setiap informasi
sesuai dengan fungsinya yang bersifat informatif, regulatif, persuasif dan
integratif. Dari berbagai teori yang diuraikan di atas ada beberapa indikator yang
perlu diperhatikan dalam proses komunikasi organisasi KUD antara lain: (1) arus
komunikasi antara pengurus dengan anggota, (2) tingkat umpan balik dari anggota
sebagai komunikan, (3) kualitas saluran proses komunikasi, (4) efektivitas proses
komunikasi dalam mencapai tujuan KUD dan (5) tingkat pemanfaatan informasi
dari berbagai sumber.
Kualitas Pelayanan KUD
Salah satu fungsi utama KUD adalah memberi pelayanan kepada anggota
untuk memenuhi kebutuhannya dalam mengelola usahatani agar lebih berhasil
guna. Penggilingan padi merupakan salah satu rantai proses pengolahan
pascapanen gabah untuk mendapatkan beras yang berkualitas. Penggilingan padi
memiliki peran yang sangat penting dalam sistem agribisnis padi atau perberasan,
hal ini tercermin dari besarnya jumlah penggilingan padi dan sebarannya yang
hampir merata di seluruh daerah sentra produksi padi di Indonesia. Berdasarkan
data statistik (BPS, 2002) jumlah penggilingan padi di Indonesia sebanyak
108.512 unit yang terdiri dari 5.133 unit penggilingan padi besar (PPB), 39.425
unit pengilingan padi kecil (PPK), 35.093 unit rice milling unit (RMU), 14.153
unit mesin huller 1.630 unit penggilingan padi engelberg, dan 13.178 unit mesin
penyosoh beras (Tabel 1).
48
Tabel 1. Jumlah penggilingan padi di Indonesia *)
Alat dan mesin pertanian
Penggilingan Padi Besar (PPB)
Penggilingan Padi Kecil (PPK)
Rice Milling Unit (RMU)
Huller
Engelberg
Mesin penyosoh
Jumlah (unit)
Jumlah
(Unit)
5.133
39.425
35.093
14.153
1.630
13.178
108.512
*) BPS (2002)
Menurut BPS (2002) berdasarkan kapasitas giling, penggilingan padi
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penggilingan padi skala besar (PPB),
penggilingan padi skala sedang/menengah (PPS), dan penggilingan padi skala
kecil (PPK). Penggilingan padi skala besar adalah penggilingan padi yang
menggunakan tenaga penggerak lebih dari 60 hp (horse power) dengan kapasitas
produksi lebih dari 1000 kg per jam, penggilingan padi skala sedang
menggunakan tenaga penggerak 40-60 hp dengan kapasitas produksi 700-1000 kg
per jam, dan penggilingan padi skala kecil adalah penggilingan padi yang
menggunakan tenaga penggerak 20-40 hp dengan kapasitas produksi 300-700 kg
per jam. Penggilingan padi manual yang terdiri dari dua unit mesin pemecah kulit
dan dua unit mesin penyosoh ini sering disebut RMU dengan menggunakan
tenaga penggerak kurang dari 20 hp dan kapasitasnya kurang dari 300 kg per jam.
Huller terdiri dari satu unit mesin pemecah kulit dan satu unit penyosoh dengan
mutu beras yang dihasilkan kurang baik dan umumnya untuk dikonsumsi sendiri
di pedesaan.
Hasil produksi penggilingan padi berupa beras memerlukan standar dan
mutu berkualitas seperti: beras giling harus bebas dari penyakit yang
membahayakan, bahan kimia, dedak, dan bau yang tidak normal dengan
maksimum standar bagi kadar air adalah 14 persen dengan 90 persen derajat sosoh
minimal, menir 35 persen, gabah 2 persen, impurities (benda asing) 0,05 persen
dan sebagainya (Sutrisno, 2004). Program peningkatan efisiensi industri
penggilingan gabah dapat menekan kehilangan pasca panen yang selanjutnya
dapat berdampak pada peningkatan efisiensi sistem agribisnis padi dan
peningkatan harga jual gabah yang diterima petani padi.
49
Menurut Tjahjohutomo et al., (2004) ditinjau dari rendemen beras giling
secara nasional dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan kuantitatif dari 70
persen pada dekade 70-an, 65 persen pada dekade 80-an, 63,3 persen pada akhir
dekade 90-an dan pada tahun 2000 menjadi 62 persen dan bahkan di tingkat
lapangan dapat mencapai di bawah 60 persen. Penurunan 1 persen per tahun akan
menyebabkan kehilangan setara kuntitatif setara $ 117,5 juta US dengan asumsi
produksi padi 50 juta ton dengan harga $ 235 US per ton. Susunan komponen
mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh sangat nyata terhadap
rendemen beras giling dan berpengaruh pula pada kualitas beras giling. Hal ini
didukung oleh pendapat
Berdasarkan hasil survei (BPS, 2008) atas kerjasama BPS dan Deptan
tentang susut panen dan pasca panen gabah beras menunjukkan terjadi penurunan
susut yang sangat signifikan yakni dari 20,51 persen menjadi 10,82 persen.
Penurunan susut tersebut diduga karena adanya perbedaan metode pengukuran
yang digunakan dan adanya perbaikan penanganan pascapanen seperti pembinaan
dan pengembangan kelembagaan pascapanen, penerapan sarana dan teknologi alat
mesin pascapanen tepat guna, peningkatan kemampuan dan ketrampilan petani,
pendampingan, supervisi, serta pengawalan dibidang teknis dan manajemen usaha
pascapanen.
Ternyata susut panen akibat dari penggilingan padi justru mengalami
peningkatan sebesar 1,06 persen, hal ini disebabkan karena masih banyak mesin
penggilingan padi yang relatif sudah tua yaitu berumur lebih dari 10 tahun sekitar
32 persen dan masih banyak menggunakan penggilingan padi kecil yakni sekitar
65 persen dari seluruh penggilingan padi yang digunakan masyarakat. Hasil
penelitian Warman (1984) diacu dalam Sutrisno (2004), menyimpulkan bahwa
penggilingan dengan PPB, meskipun
dapat menekan kehilangan hasil tetapi
kurang memberikan insentif ekonomi bagi petani. Dalam hal ini terdapat trade-off
antara penggunaan PPB yang dapat menekan kehilangan hasil namun diikuti oleh
kenaikan biaya penggilingan.
Keberadaan
KUD
terkait
dengan
kebutuhan
anggota
dalam
mengembangkan usahatani padi khususnya kepentingan ekonomi anggota dan
usaha koperasi, sangat ditentukan oleh seberapa besar manfaat penggilingan padi
50
yang diperoleh anggota KUD. Meskipun pada dasarnya koperasi dapat berusaha
secara luas dan luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha
terkait lainnya sesuai dengan tujuan koperasi, namun agar usaha koperasi
senantiasa terkait dengan kepentingan ekonomi anggota, maka usaha koperasi
harus mampu menyediakan pelayanan ekonomi yang dibutuhkan anggota. Dalam
penelitian ini dibatasi tingkat kepuasan pelayanan KUD dalam menggiling gabah
anggota ditinjau dari segi manfaat teknis, ekonomi dan sosial. Beberapa faktor
yang dapat disarikan dari uraian tentang penggilingan padi yang dikelola oleh
KUD adalah: (1) manfaat dari segi teknis (rendemen), (2) manfaat dari segi
ekonomi (kualitas hasil olahan gabah menjadi beras), dan (3) manfaat dari sosial
(menyenangkan).
Beberapa Studi tentang Komunikasi dan Organisasi KUD
Menurut Panuju (2001) masalah komunikasi selalu muncul dalam proses
organisasi untuk menghubungkan dan membangkitkan kinerja antar bagian dalam
membangun iklim organisasi secara sinergi. Perbedaan dan kurangnya
pemahaman tentang organisasi harus dapat diperkecil untuk menghindari
terjadinya berbagai konflik dan menjamin eksistensinya mencapai tujuan
organisasi. Atas dasar peran komunikasi dalam setiap organisasi, maka
komunikasi perlu mendapat perhatian agar komunikasi organisasi dapat efektif
untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan organisasi. Berbagai masalah terkait
dengan komunikasi organisasi seperti saluran dan media komunikasi dalam
organisasi, aliran dan arus komunikasi organisasi, iklim organisasi, fungsi
organisasi, usaha-usaha untuk mengurangi hambatan komunikasi dalam organisasi
dan etika komunikasi telah menjadi pembahasan dan penelitian dari para pakar
komunikasi untuk meningkatkan efektifitas komunikasi organisasi.
Suryana (2005) mengemukakan bahwa untuk pembangunan pertanian
yang lebih maju dengan pendekatan sistem agribisnis diperlukan kebijakan
pengembangan sistem informasi dan jaringan kerja agribisnis. Pengembangan
Sistem Informasi Agribisnis (SIA) memerlukan dukungan data yang akurat,
sistem informasi, serta layanan data dan informasi agribisnis yang efektif. Dengan
sistem informasi yang
efektif akan dapat
dilakukan pemantauan dan
penyebarluasan informasi agribisnis secara cepat, akurat dan murah. Sasaran yang
51
ingin dicapai adalah: (1) tersedianya data dan informasi agribisnis yang akurat, (2)
terbangunnya sistem informasi agribisnis yang cepat dan akurat, (3) terbangunnya
jaringan kerja setiap pelaku agribisnis, dan (4) terbangunnya sistem koordinasi
dan sikronisasi dalam pembangunan agribisnis baik internal pemerintah mapun
dengan pihak lain yang terkait. Hal ini senada dengan pendapat Roling (1989) dan
Abadi dan Pannell (1999) yang mengusulkan dikembangkannya AKIS (The
Agricultural Knowledge and Information System) berdasarkan hasil kerja di
berbagai negara.
Beberapa
hasil
kajian
terdahulu
tentang
koperasi
di
Indonesia
menunjukkan bahwa keberhasilan koperasi dalam memperjuangkan kepentingan
usaha anggotanya masih belum berhasil optimal karena kapasitasnya sebagai
organisasi ekonomi petani masih lemah dan masih banyak kegiatan koperasi yang
kurang memenuhi kepentingan usaha anggota. Menurut hasil penelitian oleh Ketut,
(2000) tentang Pengaruh Partisipasi Anggota, Kualitas Pengelola, Kualitas
Pengurus, dan Peranan Pemerintah terhadap Keberhasilan Usaha KUD (Kasus
KUD di Kabupaten Buleleng. Provinsi Bali) menyimpulkan bahwa: (1) faktor
partisipasi anggota dengan keberhasilan usaha KUD memiliki korelasi yang tinggi,
baik langsung maupun tidak langsung, (2) faktor kualitas pengelola dengan
keberhasilan usaha KUD, baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki
korelasi yang tinggi, dan (3) faktor kualitas pengurus dengan keberhasilan usaha
KUD memiliki korelasi yang tinggi, baik langsung maupun tidak langsung.
Melalui path analysis terbukti bahwa peranan pemerintah memiliki pengaruh
terhadap keberhasilan usaha KUD meskipun tidak terlalu besar. Implikasi dari
hasil penelitian tersebut terhadap kebijakan adalah: (1) pengurus perlu memonitor
dan mengevaluasi kebutuhan dan keinginan anggota secara kontinyu, agar
pelayanan yang diberikan KUD selalu sesuai dengan yang diharapkan anggota, (2)
perlu diadakan pendidikan dan latihan kerja yang lebih intensif agar para
pengelola dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam
mengelola, baik usaha maupun manajemen organisasi KUD secara efektif, dan (3)
KUD hendaknya diberi hak untuk menolak (memutuskan sendiri) apabila program
pemerintah dianggap mengganggu keseimbangan usahanya.
52
Suatu kajian yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM tentang
kajian ulang peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan (Sinaga et al.,
2008) menyatakan bahwa peran koperasi dalam menunjang ketahahan pangan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemampuan menyediakan pupuk bagi petani dan
pengadaan pangan/beras. Setelah dilakukan perubahan kebijakan tentang
penyaluran pupuk dan pengadaan beras maka jumlah penyaluran pupuk oleh KUD
menurun hingga sekitar 30 persen, sedangkan pihak swasta menjadi dominan dan
semakin mendesak kesempatan koperasi untuk menyalurkan pupuk. Demikian
halnya dengan pengadaan pangan/beras, peran KUD menurun dan semakin tidak
berdaya untuk menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Koperasi
mengalami kendala dalam permodalan yang semakin terbatas, penurunan
kapasitas prasarana dan sarana produksi beras sperti RMU, gudang dan lantai
jemur dan peralatan penunjang lainnya bahkan banyak yang sudah tidak
beroperasi secara optimal.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh KUD tersebut di
atas dalam melakukan kegiatannya saat ini, tim peneliti Kementerian Koperasi
dan UKM (Sinaga et al., 2008) mengusulkan agar pemerintah memberi prioritas
terhadap dua alternatif kebijakan yakni: (1) kebijakan memerankan swasta dan
koperasi secara seimbang dalam penyaluran pupuk disertai kenaikan penggunaan
pupuk para petani sebesar 25 persen, dikombinasikan dengan kebijakan
memerankan kembali KUD dalam pembelian gabah dan beras yakni peningkatan
pembelian gabah koperasi sebesar 25 persen, dan (2) kebijakan memerankan
koperasi secara penuh, baik pada penyaluran pupuk maupun pada pengadaan
pangan/beras. Hasil simulasi alternatif untuk memerankan kembali KUD
memerlukan beberapa kebijakan alternatif tambahan yakni: (1) harga gabah dapat
dinaikkan sebesar sepuluh persen dan harga pupuk sebesar lima persen, (2) untuk
menunjang pengadaan pangan/beras, koperasi dan pengembangan sistem bank
melalui model yang lebih efisien dan efektif (Kementerian Koperasi dan UKM,
2008).
Penelitian dinamika organisasi koperasi dilaksanakan yang oleh Ginting
(1999) untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai koperasi terkait dengan
keragaan dan perkembangan koperasi dan perkembangan koperasi di daerah
53
penelitian dan deskripsi dari berbagai peubah penelitian, perbedaan antara KUD
dengan CU (Credit Union) dan perbedaan antara anggota dengan pengurus KUD
dan CU, hubungan antara karakteristik responden dan faktor-faktor dinamika
koperasi dengan keberhasilan KUD dan CU, serta pengaruh faktor-faktor
dinamika organisasi koperasi terhadap keberhasilan KUD dan CU. Kesimpulan
dan saran yang diperoleh antara lain bahwa; terdapat perbedaan yang nyata
karakteristik anggota terhadap dimanika koperasi sebagai lembaga ekonomi para
petani. Agar koperasi dapat lebih dinamis disarankan perlu dikembangkan strategi
pembinaan dalam pemberdayaan dan pengembangan koperasi dilakukan melalui
peningkatan pendidikan, kaderisasi pengurus koperasi dan menabung di koperasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Panggabean (2006) peneliti Kementerian
Koperasi dan UKM tentang Kompetensi KUD dan Koperasi dalam Agribisnis
Susu dan Tantangannya menyimpulkan antara lain bahwa kekuatan KUD
melaksanakan agribisnis susu terdapat pada anggota, modal, SHU dan pelayanan
sedangkan kelemahan dan tantangan yang dihadapi adalah masih lemahnya
kemampuan teknis karyawan, tingkat kompetensi melaksanakan agribisnis susu
masih rendah, partisipasi anggota termasuk rendah dan tingkat pendapatan
anggota rendah. Secara umum, faktor-faktor kekuatan KUD dan koperasi
melaksanakan agribisnis susu adalah: (1) karakteristik anggota meliputi umur dan
pengalaman anggota, (2) sosial ekonomi anggota meliputi lama keanggotaan,
skala usaha dan luas lahan, (3) tingkat kompetensi subsistem pengolahan dan (4)
tingkat kompetensi pada subsistem sarana penunjang rata-rata baik. Hasil
penelitian menyarankan agar memperjelas lembaga yang bertanggung jawab
terhadap penyuluhan agribisnis susu dan mempertahankan dan mengembangkan
usaha pabrik makanan ternak dari yang ada sekarang kepada usaha yang mampu
memenuhi jumlah dan kualitas makanan ternak, melalui kerjasama antara KUD
dan koperasi atau antara KUD dengan Gabungan Koperasi Susu Seluruh
Indonesia (GKSI).
Penelitian tentang kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya untuk
pengembangan model penyediaan informasi pertanian dalam pemberdayaan
petani sayuran di Jawa Barat dilakukan oleh Tamba (2007) dengan tujuan untuk
menemukan
model penyediaan
informasi pertanian
bagi petani
dalam
54
mengembangkan usahatani sayuran. Kesimpulan dan saran dari penelitian ini
antara lain mengemukakan bahwa tingkat keberdayaan petani sayuran dipengaruhi
oleh karakteristik petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi
pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian,
kemudahan mendapatkan informasi dan penyediaan informasi. Model penyediaan
informasi pertanian dirumuskan dengan beberapa upaya antara lain: membangun
komitmen antarlembaga terkait untuk bekerjasama dan berkoordinasi dalam
penyediaan informasi pertanian dan merancang mekanisme aliran informasi bagi
petani sayuran.
Penelitian penggunaan media massa dan peran komunikasi anggota
kelompok peternakan dalam jaringan komunikasi penyuluhan yang dilaksanakan
oleh Saleh (2006) dengan tujuan untuk menelusuri dan menganalisis perubahan
proses komunikasi penyampaian informasi penyuluhan pembangunan kepada
masyarakat berupa program pengembangan sapi potong. Kesimpulan dan saran
penelitian ini antara lain: ada perbedaan sangat nyata pada perilaku komunikasi di
kalangan peternak sapi potong kelompok maju dengan kelompok kurang maju
yang mengindikasikan telah terjadi pergeseran pola komunikasi peternak anggota
kelompok jaringan komunikasi sapi potong dari mengutamakan hubungan
komunikasi interpersonal dalam menerima dan menyebarkan informasi ke
perilaku komunikasi bermedia, terutama pada perilaku keterdedahan siaran
televisi dan suratkabar. Artinya ada peningkatan peran sumber informasi dari luar
lingkungan kelompoknya. Disarankan agar dalam penyusunan komunikasi
penyuluhan sapi potong didasarkan pada beberapa faktor yakni ciri individual
peternak, distorsi pesan dan ketiadaan informasi, keterlibatan birokrasi, pelibatan
pemuka pendapat dan sumber informasi relevan dengan cara pengembangan
siaran interaktif dua arah, penguatan kelembagaan peternak dan memantapkan
partisipasi dengan pendekatan sosial budaya lokal.
Menurut Rohi et al., (2009) menyatakan bahwa efektivitas komunikasi
pemuka pendapat kelompok tani dalam menggunakan teknologi usahatani padi
sebagai hasil dari studi kasus di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, antara lain menyimpulkan bahwa secara umum
karakteristik pemuka kelompok tani padi memahami, bersikap positif dan mau
55
menerapkan teknologi usahatani, karakteristik individu partisipasi sosial petani
berhubungan nyata positif dengan efektivitas komunikasi. Sedangkan status sosial
berhubungan sangat nyata negatif dengan efektivitas komunikasi khususnya aspek
pemahaman dan berhubungan nyata negatif dengan sikap, pekerjaan berhubungan
dengan efektivitas komunikasi pada aspek pemahaman dan tindakan. Intensitas
pendampingan dan komunikasi yang berkesinambungan antara instansi terkait
yang berhubungan dengan kelompok tani padi dengan dukungan pemuka
pendapat kelompok tani masih perlu ditingkatkan, sehingga mampu meningkatkan
pemahaman, sikap dan tindakan untuk mengembangkan inovasi teknologi
usahatani padi dalam kegiatan usahatani dalam kelompok tani.
Menurut Cahyanto et al., (2008) dari hasil penelitian tentang Efektivitas
Komunikasi Partisipatif dalam Pelaksanaan Prima Tani di Kecamatan Sungai
Kakap, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, menyimpulkan antara lain
bahwa: (1) sumber informasi yang dominan diakses oleh nelayan adalah sumber
informasi melalui media interpersonal terutama melalui komunikasi sesama
nelayan dan kelompok serta elektronik terutama radio dan televisi, (2) tidak
semua komponen karakteristik nelayan responden berhubungan dengan akses
sumber
informasi
melalui
interpersonal,
pendidikan
nonformal
nelayan
berhubungan sangat nyata dengan akses sumber informasi melalui komunikasi
sesama nelayan, (3) tidak semua komponen karakteristik nelayan berhubungan
dengan akses sumber informasi melalui media cetak, pendidikan nonformal
berhubungan nyata dengan pemanfaatan media surat kabar, (4) tidak semua
komponen karakteristik nelayan berhubungan dengan akses sumber informasi
melalui media elektronik dan (5) status nelayan berhubungan nyata dengan
pemanfaatan media radio dan pendidikan nonformal berhubungan sangat nyata
dengan pemanfaatan media televisi.
Melalui penelitian tentang hubungan pemanfaatan media komunikasi
Prima Tani, aksesibilitas kelembagaan dengan persepsi petani tentang teknologi
agribisnis industrial pedesaan (Sapari et al., 2009) menyimpulkan bahwa gelar
teknologi, media komunikasi dan klinik agribisnis berhubungan nyata dengan
persepsi petani kooperator di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan tentang teknologi
AIP (Agribisnis Industrial Pedesaan) pada aspek biofisik, sosial dan ekonomi.
56
Karakteristik petani kooperator dan nonkooperator di Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan mempunyai drajat hubungan nyata dengan persepsi mereka mengenai
teknologi AIP. Persepsi petani nonkoperator Jawa Barat berhubungan nyata
dengan pemanfaatan media komunikasi Prima Tani terutama gelar teknologi dan
klinik agribisnis. Untuk meningkatkan persepsi positif petani di Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan terhadap teknologi AIP maka peran media komunikasi, gelar
teknologi dan klinik agribisnis perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya serta
berorientasi kepada kebutuhan petani yang lokal spesifik. Salah satu saran dari
peneliti adalah perlu ditinjau kembali profesi dan proporsi para penyuluh,
instruktur dan pembina yang terlibat langsung dengan kegiatan Prima Tani
terutama dalam hal teknologi AIP di lokasi Prima Tani.
Menurut Sinaga et al., (2008) peranan Usaha Kecil menengah dan
Koperasi dalam meningkatkan ekonomi kerakyatan dalam menggerakkan sektor
riil adalah merupakan realitas dalam kegiatan ekonomi nasional yang sangat
penting dan strategis. Mengamati keberhasilan program OTOP (One Tambon One
Product) di Thailand yang pada dasarnya merupakan suatu konsep untuk
menghasilkan satu jenis komoditas atau produk unggulan yang berada dalam
suatu kawasan tertentu sangat memungkinkan di terapkan di Indonesia. Dari hasil
kajian yang telah dilakukan oleh Kementerian UKM dan Koperasi menunjukkan
bahwa terdapat enam faktor yang perlu diperhatikan yakni: (1) kesesuaian potensi
sumber daya alam, (2) potensi sumber daya manusia, (3) peluang pasar, (4)
dukungn modal yang memadai, (5) pemanfaatan sumber daya teknologi informasi
dan (6) dukungan koordinasi diantara institusi pemerintah. Basis dari OTOP
tersebut haruslah UKM dan Koperasi dengan tiga prinsip yakni: (1) berbasis
sumber daya lokal, (2) usaha mandiri dan (3) pengembangan sumber daya
manusia. Salah satu rekomendasi hasil kajian tersebut untuk mengembangkan
OTOP di Indonesia adalah melakukan identifikasi produksi dan pasar sesuai
dengan
luasan
kawasan
tertentu
sebagai
Satu
Kawasan
Satu
Produk
(SAKASPRO).
Dari berbagai pendapat dan hasil studi terkait dengan aspek komunikasi
dan koperasi pertanian, peneliti berkesimpulan bahwa KUD masih mempunyai
potensi dan posisi strategis dalam membangun usahatani padi yang lebih maju dan
57
modern. Peran mekanisasi pertanian khususnya dalam pemanfaatan alsintan
secara selektif, sangat besar dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
produksi, baik dalam kegiatan prapanen maupun dalam kegiatan pascapanen.
Peran komunikasi organisasi KUD dalam mengembangkan kapasitasnya sebagai
organisasi ekonomi petani kecil menjadi sangat penting agar mampu mandiri dan
mempunyai daya saing dalam memasuki era yang semakin kompetitif dalam
perdagangan global. Paradigma pembangunan pertanian modern di lingkungan
pedesaan dengan pendekatan agribisnis dan berbasis koperasi pertanian yang
handal dengan memanfaatkan informasi pertanian melalui model komunikasi
organisasi koperasi (KUD) yang efektif menjadi pilihan alternatif di masa depan.
Dalam kaitan itu peneliti mencoba meneliti komunikasi organisasi dalam
pengembangan kapasitas KUD sebagai suatu kasus dalam pemanfaatan
penggilingan padi di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa
Barat.
Download