BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. Alasan

advertisement
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.
Alasan Pemilihan Judul
Judul merupakan bagian penting yang memberikan ketertarikan kepada
kelompok
masyarakat dalam melestarikan Hutan Mangrove (Studi tentang pengelolaan
dan pemanfaatan Hutan Mangrove Di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan
belakangi dalam menentukan judul tersebut adalah adalah keresahan peneliti
akan berbagai permasalahan yang dialami wilayah pesisir, terutama mengenai
lingkungan. Pemilihan judul juga didasari ketertarikan peneliti mengenai
organisasi atau kelompok masyakat yang mengelola hutan mangrove di Desa
Lubuk Kertang. Peneliti juga dapat mengetahui lebih lanjut apa saja cara yang
digunakan kelompok masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove. Dasar
pe,ilihan judul ini juga memperhatikan aspek relevansi dengan program studi,
aktualitas dan orisinalitas.
Pemilihan judul tersebut berdasarkan dua pertimbangan, yaitu
pertimbangan praktis dan teoritis. Pertimbangan pertama, pertimbangan praktis
yaitu pertimbangan yang berkaitan dengan kemudahan dan hambatan yang
dialami oleh peneliti dari awal melakukan penelitian hingga selesai.
Pertimbangan kedua, pertimbangan teoritis, yaitu sebuah judul penelitian harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
1
a. Relevansi dengan Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga
konsentrasi pembelajaran, yaitu Corporate Sosial Responsibility (CSR),
Sosial
Policy
(Kebijakan
Sosial)
dan
Community
Empowerment
(Pemberdayaan Masyarakat). Penelitian ini juga berdasar pada mata kuliah
pengorganisasian masyarakat dan advokasi kebijakan yang termasuk dalam
konsentrasi Community Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat).
Masyarakat sebagai objek komunal yang saling berkaitan satu sama lain
baik sebagai sesama manusia, maupun dengan lingkungannya. Masyarakat
yang sadar dan teroganisir menjadi syarat mutlak bagi pencapaian
kesejahteraan masyarakat. Karena pada dasarnya masyarakat adalah
individu yang berkumpul menjadi satu, dan perlu menjadi sebuah kesatuan
yang terorganisasi agar menjadi teratur. Dari keberadaan organisasi dengan
pengelolaan dan manajemen yang baik, dapat memunculkan inovasi,
gagasan, atau ide baru yang bermanfaat bagi kelompoknya, masyarakat, dan
lingkungan disekitarnya. Inovasi tersebut nantinya dilaksanakan melalui
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan. Hal ini pula yang menjadi
rujukan bahwa hutan mangrove berpengaruh besar terhadap kehidupan
masyarakat pesisir harus dilindungi dan dilestarikan oleh segenap
masyarakat untuk kehidupan berkelanjutan yang lebih baik.
2
b. Aktualitas
Wilayah
pantai
merupakan
daerah
yang
sangat
intensif
dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti untuk pertambakan,
pertanian, perikanan, pariwisata dan kegiatan lainnya. Adapun kegiatan
tersebut akan menimbulkan berbagai permasalahan baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat merugikan nilai guna pantai itu. Selain itu
pertumbuhan manusia yang cukup pesat serta aktivitasnya di daerah pesisir
dan daerah hulu dapat menjadi pemicu berkembangnya permasalahan yang
timbul di daerah pantai. Hutan mangrove sebagai penopang kehidupan di
wilayah pesisir mulai tergusur oleh kegiatan manusia. Penebangan pohon
mangrove yang terjadi di Desa Lubuk Kertang diperuntukkan untuk
pertambakan, pembukaan lahan kebun sawit, perumahan, dan lain
sebagainya. Keberadaan kelompok masyarakat yang mengelola dan
memanfaatkan mangrove banyak berpengaruh terhadap pelestarian hutan
mangrove di Desa Lubuk Kertang. Inovasi kelompok ini berfokus pada
upaya pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove di Desa Lubuk Kertang
secara terpadu dan berkelanjutan.
c. Orisinalitas
Orisinalitas fokus peneletian ini dapat dibedakan berdasarkan
sintesis penelitian tedahulu yang mengambil subyek tentang pemanfaatan
irigasi untuk pertanian. beberapa diantaranya adalah penelitian yang
dilakukan Abdillah, M. Syarif pada tahun 2014 dengan judul Pengelolaan
3
Mangrove berbasis masyarakat di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi
Kalimantan
Selatan.
Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
permasalahan lingkungan yang terjadi dan pengaruhnya pada ekosistem
hutan mangrove di Kabupaten Tanah Bumbu, mengetahui partisipasi
masyarakat setempat, dan kebijakan serta program pemerintah dalam
pengelolaan
hutan
mangrove
serta
untuk
mengetahui
dan
merekomendasikan bentuk co-management dalam pengelolaan hutan
mangrove.
Adapun
penelitian
lain
diantaranya
yang
dilakukan
oleh
Rahandekut, Paulus L berjudul Konservasi hutan mangrove berbasis
masyarakat
di
Teluk
Ambon
Dalam
Provinsi
Maluku
melalui
pendekatan interaksi masyarakat dengan lingkungan dalam melakukan
pengelolaan terhadap hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis partisipasi masyarakat terkait konservasi hutan mangrove dan
menganalisis penerapan konservasi hutan mangrove dengan penekanan
pada konsep Ko-Manajemen di Desa Passo.
Perbedaan dua penelitian terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan yaitu pada unit analisis dan lokasi penelitian. Penelitian ini
berfokus pada inovasi kelompok tani dan kehutanan dalam berbagai
aktivitasnya dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove. Salah
satunya dengan pembentukan beberapa kelompok agar dapat terkoordinir
dan terwadahi dengan baik. Selain itu agar masyarakat semakin sadar akan
pentingnya mangrove untuk kelangsungan hidup, ada berbagai cara yang
4
dilakukan kelompok masyarakat Desa Lubuk kertang yang dibahas dalam
penelitian ini.
2.
Latar Belakang
Wilayah pantai merupakan daerah yang sangat intensif dimanfaatkan
untuk kegiatan manusia, seperti untuk pertambakan, pertanian, perikanan,
pariwisata dan kegiatan lainnya. Adapun kegiatan tersebut akan menimbulkan
berbagai permasalahan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
merugikan nilai guna pantai itu. Selain itu pertumbuhan manusia yang cukup
pesat serta aktivitasnya di daerah pesisir dan daerah hulu dapat menjadi pemicu
berkembangnya permasalahan yang timbul di daerah pantai (Pariyono, 2006).
Menurut Sunarto (1991) berdasarkan sifatnya, permasalahan yang timbul di
wilayah pantai dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu permasalahan
yang sifatnya alami, non alami dan kombinasi diantara keduanya.
Permasalahan alami diantaranya adalah abrasi, intrusi air asin, perpindahan
muara sungai, sedimentasi di muara sungai dan perubahan bentuk delta,
sedangkan permasalahan non alami yaitu permasalahan yang timbul akibat
kegiatan manusia, seperti penebangan hutan mangrove, pembangunan
dermaga, perluasan areal tambak ke arah laut, pengambilan karang mati dan
pencemaran.
Ekosistem adalah suatu fungsional dasar dalam ekologi yang di
dalamnya tercakup komponen hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik)
yang saling mempengaruhi dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan sistem
5
yang teratur, selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan
bekerjasama dengan baik, serta keteraturan ekosistem itu terjaga. Keteraturan
ekosistem menunjukan bahwa ekosistem tersebut berada dalam suatu
keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah bersifat statis, melainkan
dinamis atau berubah-ubah baik secara alamiah, maupun sebagai akibat
perbuatan manusia (Saerjoni, 1991). Salah satu bentuk ekosistem yang
memegang peranan penting di kawasan pesisir Indonesia adalah ekosistem
mangrove.
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang khas,
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara
sungai dan pantai yang terlindung dengan subtrat lumpur atau lumpur berpasir.
Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan
tanah lumpur dan daratan secara terus menerus oleh tumbuhan sehingga secara
perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan (www.menlhk.go.id).
Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti
yang sama, yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika,
terdapat dipantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta
mendapat pengaruh pasang surut air laut. Mangrove juga merupakan mata
rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi disuatu
perairan.
Perkiraan luas kawasan mangrove di Indonesia mencapai 3,5 juta ha
dan menjadi negara yang mempunyai kawasan mangrove terluas di dunia (1823% dari luas kawasan mangrove dunia), kemudian Brazil (1,3 juta ha),
6
Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha).
Mangrove terluas di
Indonesia terdapat di Papua sekitar 1.350.600 ha (38% dari luas kawasan
mangrove di Indonesia), kemudian diikuti Kalimantan 978.200 ha (28 %) dan
Sumatera 673.300 ha (19%). Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik
pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Walaupun
mangrove dapat tumbuh di sistem lingkungan lain di daerah pesisir,
perkembangan yang paling pesat tercatat di daerah tersebut (Nur, 2006).
Hiariey (2009) menjelaskan bahwa hutan mangrove merupakan
sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi
utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik mangrove yaitu
sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak,
pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan, fungsi biologis
mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan
(nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi
ikan dan biota laut lainnya, sedangkan fungsi ekonomis mangrove sebagai
penghasil kayu untuk bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan
obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut adalah strategis sebagai produsen
primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem laut maupun
daratan.
Hutan mangrove dan ekosistem di sekitarnya telah sering mengalami
perusakan dan degradasi seiring dengan bertambahnya penduduk dan
kebutuhan akan peningkatan ekonomi yang didapat dari hutan mangrove.
Kerusakan dan ketidaktahuan fungsi hutan mangrove oleh manusia, telah
7
menyebabkan kerusakan hutan mangrove hampir di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang
sangat unik karena berperan sebagai ekosistem penyambung antara ekosistem
daratan dengan ekosistem lautan. Hutan mangrove juga memiliki banyak
fungsi bagi kehidupan. Selain sebagai penyerap karbondioksida, penyimpan
cadangan oksigen, dan pencegah erosi atau abrasi, hutan juga berfungsi sebagai
tempat tinggal biota-biota laut seperti ikan, kepiting, udang, kerang, dan
burung.
Akan tetapi, keadaan hutan mangrove di Indonesia kini sangat
memprihatinkan. Banyak hutan mangrove yang mengalami kerusakan, baik
karena alih fungsi lahan maupun penebangan. Luas hutan mangrove di
Indonesia sekitar 4.251.011 Ha. Distribusi hutan mangrove terbesar terdapat di
Papua (± 65 %) dan Sumatera (± 15%) (World Conservation Monitoring
Centre, 1992). Lebih dari setengah hutan mangrove atau sekitar 57,6% dari luas
total mengalami kerusakan (Sunarto, 2008). Berdasarkan Peta Sebaran
Mangrove Setiap Fungsi Kawasan di Sumatera Utara milik Badan Pengelolaan
Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II tahun 2011, luas hutan mangrove di
Provinsi Sumatera Utara adalah 187.322,06 Ha dengan kondisi rusak berat
59.584,90 Ha (31,81%), kondisi rusak sedang 98.301,21 Ha dan kondisi tidak
rusak 29.435,98 Ha (15,71%).
Desa Lubuk Kertang di Kecamatan Berandan Barat, Kabupaten
Langkat, Sumatra Utara yang memiliki hutan mangrove. Berdasarkan data
8
monografi desa tahun 2010, luas hutan mangrove di desa tersebut sekitar 1.200
Ha. Akan tetapi, hutan mangrove di daerah tersebut mengalami kerusakan dari
tahun 2005 sampai tahun 2010, baik karena alih fungsi lahan maupun karena
penebangan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Akibatnya, dari total hutan mangrove seluas 1.200 Ha, 740 Ha diantaranya
mengalami kerusakan. Hutan mangrove yang kondisinya rusak ringan 52 Ha,
rusak sedang 140 Ha, dan rusak berat 528 Ha (Sari, 2012:3
4). Sedangkan
menurut data monografi desa tahun 2015, luas hutan bakau di Desa Lubuk
Kertang seluas 630 ha. 430 ha dalam kondisi baik, dan 200 ha dalam kondisi
rusak. Dari data tersebut menunjukkan penurunan luasan hutan bakau yang
signifikan.
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang berbasis kelompok
masyarakat
khususnya
masyarakat lokal/setempat
adalah pendekatan
pengelolaan yang melibatkan kerjasama antara masyarakat setempat (dalam
wadah kelompok) beserta pemerintah dan swasta, dimana partisipasi
masyarakat tersebut secara aktif dilakukan dari mulai perencanaan yang
berkaitan dengan penentuan kebijakan strategis sampai pada pelaksanaannya
bahkan sampai ke tahap pengawasannya. Keterlibatan aktif semua elemen di
Desa Lubuk Kertang dalam melestarikan hutan mangrove menarik karena
sebagai prototype pengembangan kawasan pesisir.
Munculnya beberapa kelompok yang mengelola dan memanfaatkan
hutan mangrove ini dilatarbelakangi kondisi lingkungan di hutan mangrove di
Desa Lubuk Kertang yang semakin memburuk. Alihfungsi lahan dan
9
penebangan liar semakin merusak ekosistem hutan mangrove. Dengan begitu,
terbentuklah kelompok agar kekuatan yang ada atau dimiliki masyarakat dapat
dihimpun dengan tujuan melestarikan hutan mangrove dan mewujudkan
masyarakat yang peduli dengan hutan mangrove. Dengan adanya kelompok
maka gagasan yang muncul dari anggota kelompok dapat terhimpun, dikelola,
dan diwadahi dengan baik untuk dapat menjadi sebuah inovasi kelompok.
Dalam penelitian ini dapat diketahui upaya yang dilakukan kelompok
masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove dalam bentuk berbagai
inovasi.
3.
Rumusan Masalah
Bagamaina inovasi kelompok masyarakat di Desa Lubuk Kertang dalam
mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove dan dampak dari inovasi untuk
kelompok ?
4.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan dalam latar belakang masalah dan rumusan
masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui inovasi
kelompok tani dan kehutanan dalam melestarikan hutan mangrove yang
mempunyai habitat luas di wilayah Desa Lubuk Kertang. Menurunnya luasan
hutan mangrove akan mengakibatkan semakin naiknya permukaan air laut ke
Desa Lubuk Kertang.
10
5.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi dan referensi untuk
mengembangkan keilmuan di Jurusan Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan.
2.
Bagi masyarakat, diharapkan mampu dijadikan sumbangan pemikiran dan
referensi dalam pengelolaan hutan mangrove untuk mendukung upaya
pelestarian lingkungan.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
untuk turut andil membantu Pemerintah Desa dalam pengelolaan hutan
mangrove berbasis masyarakat, serta memberikan sebuah hasil tulisan yang
nantinya dapat menjadi rujukan bagi masyarakat umum di wilayah sekitar
Desa Lubuk Kertang atau yang lebih luas untuk dijadikan sebuah referensi.
6.
Tinjauan Pustaka
Dalam menjabarkan konsep inovasi, peneliti membaginya menurut
inovasi dalam produk, dan inovasi dalam proses. Inovasi dalam produk,
peneliti menggunakan konsep inovasi menurut Everett Rogers. Menurut
Everett Rogers (1971:29) inovasi adalah suatu ide, praktek, atau obyek yang
dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau kelompok. Sifat
kebaruan tersebut dianggap seseorang itulah yang akan mempengaruhi
reaksinya pada inovasi. Baru dalam suatu ide yang inovatif, tidak harus sematamata suatu pengetahuan yang baru. Suatu inovasi mungkin telah diketahui oleh
11
seseorang (dalam arti ia menyadari ide itu), tetapi ia belum mengembangkan
inovasi itu. Kebaruan aspek inovasi ini dapat diungkapkan dalam pengetahuan
sikap atau hal yang berhubungan dengan keputusan untuk menggunakannya.
Kadang, setiap ide adalah inovasi. Setiap inovasi mengalami perubahan sesuai
dengan waktu. Rogers (1983) juga mengemukakan lima karakteristik inovasi
meliputi :
1.
Keunggulan relatif (relatif advantage)
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih
baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari
berbagai segi, seperti segi ekonomi, pretise sosial, kenyamanan, kepuasan
dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh
pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
2.
Kompatibilitas (compatibility)
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten
dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan
pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat
diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat
diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai
(compatible).
12
3.
Kerumitan (complexity)
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang
sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang
dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada
pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh
pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
4.
Kemampuan diujicobakan (trialability)
Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi
dapat diujicoba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan
dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar
dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu
menunjukkan (mendemonstrasikan) keunggulannya.
5.
Kemampuan diamati (observability)
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi,
semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut
mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan
relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan
kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka
semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut diadopsi.
Lima aspek tersebut merupakan karakteristik dari perwujudan sebuah
inovasi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, proses penerapan inovasi
akan berjalan dengan lebih baik. Memberikan gambaran pengalaman baru,
sehingga masyarakat akan mulai berfikir dan mengambil sikap untuk menerima
13
atau menolak. Adanya sikap menunjukkan sebuah apresiasi dan ketika
menerima dan mengimplementasikan gagasan baru tersebut. Inovasi yang
ditawarkan oleh Kelompok Mekar yaitu berupak produk Ekowisata Mangrove
sedangkan dari Kelompok Tani Abadi Mangrove adalah produk olahan
mangrove. Kedua produk inovasi tersebut memang telah ada ditempat lain.
Namun seperti yang dikemukakan diawal, bahwa inovasi kadang sudah
diketahui, dan kadang setiap ide adalah inovasi. Maka, Ekowisata Mangrove
dan produk olahan mangrove dapat dikatakan sebagai produk inovasi karena
keduanya muncul dari ide dari aktor kelompok untuk memunculkan produk
dalam rangka melestarikan hutan mangrove.
Kemudian inovasi berdasarkan proses. Menurut Stephen Robbins
(1994), inovasi merupakan suatu gagasan baru yang diterapkan untuk
memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa. Inovasi
mempunyai 4 (empat) ciri yaitu :
1.
Memiliki kekhasan / khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas
dalam arti ide, program, tatanan, sistem, termasuk kemungkinan hasil yang
diharapkan.
2.
Memiliki ciri atau unsur kebaruan, dalam arti suatu inovasi harus memiliki
karakteristik sebagai sebuah karya dan buah pemikiran yang memilki
kadar orisinalitas dan kebaruan.
3.
Program inovasi dilaksanakan melalui program yang terencana, dalam arti
bahwa suatu inovasi dilakukan melalui suatu proses yang tidak tergesa-
14
gesa, namun inovasi dipersiapkan secara matang dengan program yang
jelas dan direncanakan terlebih dahulu.
4.
Inovasi yang digulirkan memiliki tujuan, program inovasi yang dilakukan
harus memiliki arah yang ingin dicapai, termasuk arah dan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut.
Poin-poin diatas menjadi tolok ukur dalam melihat inovasi. Inovasi
yang khas akan lebih mudah diinggat dan diterima. Kebaruan akan
memberikan kesan up to date sehingga akan menarik masyarakat untuk
mengenal sesuatu hal yang baru. Jika dilakukan dengan terencana maka proses
inovasi akan lebih terarah dan mudah untuk mencapai tujuannya. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Dharma Kelana Putera di Kampoeng Nipah
yang berjudul
Kampoeng Nipah berada di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan
Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Dalam
penelitian tersebut dijelaskan bahwa awalnya kondisi hutan mangrove di
sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai masuk dalam kategori
mengkhawatirkan6 . Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi,
diantaranya; penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan oleh
komunitas nelayan yang sudah terjadi selama beberapa generasi, pembukaan
lahan tambak secara masif (sebagian besar sudah ditelantarkan begitu saja
tanpa penghijauan kembali), penebangan hutan bakau untuk kebutuhan kayu
bakar, dan lain sebagainya. Kemudian dibuatlah Kampoeng Nipah yang
merupakan satu-satunya yang berhasil dikelola oleh masyarakat secara
15
swadaya dan terorganisir di bawah bendera Koperasi Serba Usaha (KSU)
Muara Baimbai. Keberhasilan ini disebabkan karena mereka memanfaatkan
potensi modal sosial yang ada secara optimal dalam pengelolaannya dengan
melakukan inovasi disektor ekowisata. Melalui aktivitas yang mereka lakukan,
terbentuklah model kerjasama kolektif (kolaborasi). Orientasinya bukan untuk
memperkaya diri sendiri, tetapi mencapai kesejahteraan bersama.
Kelompok Masyarakat
Kelompok masyarakat adalah kelompok sosial yang berada dalam
masyarakat. Kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan
manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut
kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk
saling tolong-menolong. Syarat terbentuknya kelompok sosial adalah:
a. Adanya kesadaran setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan bagian
dari kelompok yang bersangkutan .
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainya.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka
menjadi erat, yang dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang
sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain. Faktor
mempunyai musuh yang sama juga dapat pula menjadi faktor pengikat atau
pemersatu.
d. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku.
e. Bersistem dan berproses (Soerjono Soekanto, 2006: 101)
16
Suatu kelompok sosial cenderung mempunyai sifat yang tidak statis
atau berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, baik dalam aktivitas
maupun bentuknya. Suatu aspek yang menarik dari kelompok sosial tersebut
adalah bagaimana cara mengendalikan anggota-anggotanya. Para sosiolog
akan tertarik oleh cara-cara kelompok sosial tersebut dalam mengatur tindakan
anggota-anggotanya agar tercapai tata tertib didalam kelompok. Hal yang
agaknya penting adalah kelompok sosial tersebut merupakan kekuatankekuatan sosial berhubungan, berkembang, mengalami disorganisasi,
memegang peranan, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 2006: 102-103).
Kelompok Mekar dan Kelompok Tani Abadi Mangrove merupakan
kelompok sosial dimana kesadaran kolektif diantara anggota kelompok
terbentuk atas sebuah persepsi mengenai pelestarian hutan mangrove. Ada
faktor pemersatu yang dimiliki bersama yaitu tentang pengelolaan dan
pemanfaatan hutan mangrove. Kelompok Mekar bergerak dibidang kehutanan.
Mereka memiliki wilayah pengelolaan hutan mangrove sebagai basis kegiatan
kelompok mereka. Sedangkan Kelompok Tani Abadi Mangrove merupakan
kelompok pengolah mangrove yang mengolah hasil mangrove untuk
dikreasiakan menjadi barang yang bisa dimanfaatkan yang berbasis pada
ekonomi dan pemberdayaan perempuan.
Pelestarian Hutan Mangrove Berbasis Kelompok Masyarakat
Sebagai bagian dari wilayah pesisir, pengelolaan mangrove secara
terpadu dapat mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6 Undang-undang
17
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil, yaitu pengelolaan yang mengintegrasikan kegiatan: (a) antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b). antar-Pemerintah Daerah; (c). antar
sektor; (d). antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; (e). antara
Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan
prinsip-prinsip manajemen. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan
mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan seperti termuat dalam
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (www.menlhk.go.id).
Terlihat bahwa intinya berada pada integrasi tiga pilar konsep pembangunan
berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi, ekologi dan sosial sehingga memberikan
jaminan akan keberadaan mangrove untuk dinikmati bagi semua generasi di
bumi.
Pengelolaan kawasan hutan menjadi tugas pokok pemerintah, yang
dalam pelaksanaannya harus melibatkan masyarakat setempat. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove
merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2).
Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang
18
yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi,
wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi
(Pasal 43) (www.menlhk.go.id).
Menurut Lewis (2001) terdapat lima hal penting yang harus
diperhatikan untuk keberhasilan dalam rehabilitasi hutan mangrove, yaitu:
1.
Memahami betul kondisi ekologi individu jenis penyusun hutan mangrove,
terutama dalam hal kemampuan reproduksi, penyebaran, keberhasilan di
tingkat persemaian.
2.
Memahami pola-pola hidrologi normal yang mengontrol distribusi dan
keberhasilan pengembangan dan pertumbuhan tanaman mangrove yang
akan ditanam.
3.
Menilai kondisi
modifikasi ingkungan hutan bakau yang terjadi
sebelumnya yang menyebabkan terhalangnya kemampuan suksesi
berikutnya secara alami.
4.
Mendesain program restorasi yang tepat sebagai langkah awal untuk
rehabilitasi kemampuan hirologi dengan memilih jenis-jenis mangrove
tertentu untuk penanaman di lapangan.
5.
Setelah menetapkan tahapan-tahapan di atas maka tinggal pelaksanaan
penanaman secara nyata propagul yang telah disiapkan baik dari hasil
koleksi anakan alam atau hasil penyemaian buah, mengamati tingkat
kestabilan
dan
pertumbuhan
tanaman
harus
diperhatikan
(www.wanadri.or.id).
19
Mengelola sebuah hutan mangrove harus merupakan kawasan lindung,
namun tidak kemudian berarti menutup peluang usaha yang bisa mendatangkan
nilai ekonomi. Selama dilakukan dengan menerapkan strategi konservasi
(perlindungan, pengawetan, dan pelestarian pemanfaatan) serta dibuatnya
ketentuan hukum yang akan mengaturnya, sehingga jelas dan tegas apa hak,
kewajiban dan pengenaan sanksi bagi yang melanggarnya, adalah sah-sah saja
berusaha dikawasan lindung. Model pengelolaan yang bisa dilakukan antara
lain dikelola dengan baik sebagai suatu kawasan hutan wisata.
Jenis wisata pantai di hutan mangrove dengan membuat jalan berupa
jembatan diantara tanaman pengisi hutan mangrove, merupakan atraksi yang
akan menarik pengunjung. Juga restoran yang menyajikan masakan dari hasil
laut, bisa dibangun sarananya berupa panggung diatas pepohonan yang tidak
terlalu tinggi. Atau rekreasi memancing serta berperahu. Penempatan usaha
tambak bisa juga difasilitasi, namun persyaratan ketat harus diberlakukan
untuk pemilihan tempat yang layak berikut luas maksimum garapan, lama
waktu berusaha, permodalan yang kuat serta mutlaknya memperkerjakan
penduduk setempat.
Sebagai contoh pengelolaan kawasan hutan mangrove di Pulau
Iriomote (pulau paling selatan di Jepang) sebagai suatu kawasan konservasi
menujukkkan kondisi hutan yang sangat baik dan terhindar dari kerusakan
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat setempat untuk melestarikan
kawasan tersebut. Kondisi ini tidak menyebabkan berkurangnya pendapatan
masayarakat setempat bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan
20
penyediaan jasa transportasi wisata, olah raga air (kano), penyewaan rumah
tinggal untuk hotel/penginapan, rumah makan, peningkatan produksi
kerajinan/cindera mata, produksi perikanan dan lain-lain (Adinugraha, 2002
dalam www.wanadri.or.id).
Menurut Kementerian Kehutanan (2013) menyebutkan pengelolaan
ekosistem mangrove berbasis masyarakat merupakan bagian dari kebijakan
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove guna meningkatkan 5
pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan mangrove harus mengikuti azas:
1.
Transparansi, yaitu bisa diakses oleh semua pihak untuk ditinjau ulang.
2.
Partisipatif, yaitu mengakomodasi semua komitmen stakeholders dan
dapat diterapkan secara partisipatif.
3.
Akuntabilitas, yaitu disosialisasikan kepada publik dan dikaji secara
menyeluruh, ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.
4.
Responsif, yaitu mampu mengantisipasi perubahan komitmen lokal,
nasional dan global terhadap ekosistem mangrove.
5.
Efisien, yaitu mempunyai kemampuan untuk menserasikan kebijakan
(Pusat dan Daerah) secara harmonis.
6.
Efektif, yaitu dapat dilaksanakan tepat sasaran oleh para pihak baik
pemangku kepentingan maupun masyarakat.
7.
Berkeadilan, yaitu mampu memberikan manfaat sesuai dengan tanggung
jawab masing-masing pihak yang terlibat (www.menlhk.go.id).
21
Faktor lain yang penting diperhatikan dalam pengelolaan mangrove
berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat dan kearifan lokal
yang dimilikinya. Menurut UU Nomor 32/2009, nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi
dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Sedangkan mengacu kepada
Kementrian Kehutanan (2013) keterpaduan dalam pengelolaan mangrove
direalisasikan dengan cara :
1. Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai bagian integral dari pengelolaan
wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai).
2. Memperkuat komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah, pemerintah
daerah, dan para pihak.
3. Koordinasi dan kerjasama antar instansi dan para pihak terkait secara
vertical dan horizontal.
4. Peningkatan
kapasitas
Pemerintah
Daerah
dalam
melaksanakan
kewenangan dan kewajiban pengelolaan ekosistem mangrove sesuai
dengan kondisi dan aspirasi lokal.
5. Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi yang diperlukan untuk
memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
6. Pengelolaan ekosistem mangrove melalui pola kemitraan antara
pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan
dukungan lembaga dan masyarakat Internasional, sebagai bagian dari
upaya mewujudkan komitmen lingkungan global (www.menlhk.go.id).
22
Kehidupan masyarakat di Desa Lubuk Kertang semakin menyadari
sangat tergantung pada sumberdaya alam yang tersedia disekitarnya, termasuk
hutan mangrove. Sistem kelembagan lokal yang di dalamnya mengandung
local knowledge atau indigeous knowledge dan kelembagaan lokal (local
institution), terdapat pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang digunakan
untuk menata dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Kelembagaan
lokal pada pengertian yang dikembangkan dan ditransmisikan oleh warga
masyarakat setempat, dalam waktu lama, untuk melestarikan hutan mangrove
dan lingkungan sosioekonominya bersifat dinamis dan berubah sepanjang
waktu. Perubahan dan perkembangannya bisa berasal dari dalam masyarakat
sendiri sebagai bagian dari proses adaptasi dan strategi untuk memenuhi
kebutuhan hidup, dan bisa juga berasal dari proses-proses interaksi dengan
pihak luar melalui program-program atau tindakan intervensi. Dalam keadaan
dimana terjadi perubahan aspek lingkungan yang lebih luas, masyarakat lokal
secara individual mencoba menerapkan inovasi-inovasi baru, untuk
menciptakan dan membangun cara-cara mereka sendiri dalam melestarikan
hutan mangrove. Oleh karena itu, lahir sistem kelembagaan yang selalu
diperbaharui sebagai perwujudan kedinamisan dari pengetahuan dan daya
adaptasi untuk melestarikan hutan mangrove. Kelembagaan lokal selalu
mengalami perubahan, yakni berhubungan dengan proses konstruksi dan
rekonstruksi secara terus menerus oleh para anggota masyarakat setempat.
Dalam penataan kawasan hutan mangrove di Desa Lubuk Kertang,
semua elemen masyarakat berupaya untuk bersinergi. Salah satunya dengan
23
membentuk kelompok mangrove yang bertujuan untuk melindungi dan
melestarikan hutan mangrove. Keberadaan kelompok ini membantu
pemerintah desa dalam melestarikan hutan mangrove. Salah satunya kelompok
Mekar yang ada di Dusun Janggus. Berbagai upaya inovasi dilakukan
kelompok Mekar dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove. Selain
itu ada juga kelompok Tani Abadi Mangrove yang memanfaatkan dan
mengolah hasil mangrove seperti buah dan daunnya menjadi makanan dan
minuman.
24
Download