BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi merupakan masalah besar yang menyedot perhatian dunia. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization) menyebutkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab kematian terbesar di seluruh dunia. Penyakit infeksi telah
menyebabkan kematian sebesar 13 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, terutama
di negara-negara berkembang seperti Indonesia (Salni dkk., 2011). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa kematian akibat penyakit infeksi
dan parasit menempati urutan kedua setelah penyakit sistemik sirkulasi darah pada
tahun 2008 (Anonim, 2009).
Terapi yang diberikan untuk penyakit infeksi adalah dengan pemberian
antibiotik seperti penisilin dan streptomisin untuk mencegah penyebaran infeksi.
Antibiotik adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang diproduksi
oleh mikroorganisme dan dalam konsentrasi kecil dapat menghambat organisme lain.
Saat ini senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme telah dapat di
sintesis secara kimia dan diproduksi dalam skala besar. Antibiotik telah banyak
digunakan oleh masyarakat hampir di seluruh dunia untuk mengobati penyakit infeksi
terutama infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, fungi dan parasit (Strobel dan
Daisy, 2003).
Pemakaian antibiotik merupakan keharusan dalam penanggulangan penyakit
infeksi. Namun, penggunaan antibiotik sebagai terapi utama penyakit infeksi kini
menghadapi masalah, yaitu resistensi. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat
peningkatan angka resistensi terhadap antibiotik (Salni dkk., 2011). Menurut WHO
resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik merupakan kejadian natural yang dapat
meningkat karena berbagai macam faktor salah satunya cara penggunaan antibiotik
oleh manusia. Resistensi antibiotik mengakibatkan kegagalan terapi yang berefek
pada sakit yang berkepanjangan dan risiko kematian yang besar.
Kejadian resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik mendorong peneliti
untuk menemukan senyawa antibakteri baru. Tanaman, telah lama kita ketahui
merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam upaya pengobatan dan
upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Tanaman obat sejak dulu digunakan
sebagai sumber untuk mengobati penyakit infeksi maupun noninfeksi. Bahkan sampai
saat ini pun menurut perkiraan bahan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia
masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan
obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari obat-obat modern
yang beredar di seluruh dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan
dikembangkan dari tanaman. Menurut WHO obat yang berasal dari tanaman
merupakan sumber daya terbaik untuk mendapatkan obat yang bervariasi.
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari tujuh negara yang
keanekaragaman hayatinya terbesar ke dua setelah Brazil, tentu sangat potensial
dalam mengembangkan obat yang berbasis pada tanaman obat kita sendiri.
Permasalahannya adalah bagaimana menjaga tingkat produksi dengan bahan baku
yang terbatas karena sebagian besar bahan baku obat diambil dari tanaman induknya.
Sehingga dikhawatirkan bahwa sumber daya hayati ini akan musnah disebabkan
karena adanya kendala dalam budi dayanya.
Peran bioteknologi dalam budi daya, multiplikasi, rekayasa genetika, dan
skrining mikroba endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sangat penting
dalam rangka pengembangan bahan obat yang berasal dari tanaman obat ini (Radji,
2005).
Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman pada
periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan
tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa
metabolit sekunder yang mirip atau sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya
karena telah terjadi koevolusi atau rekombinasi genetik dari tanaman inangnya ke
dalam mikroba endofit (Tan dkk., 2001).
Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi ini, masingmasing tanaman mengandung satu atau lebih mikroba endofit yang terdiri dari bakteri
dan jamur. Pertumbuhan endofit lebih cepat dari inangnya, sehingga eksplorasi
endofit sebagai sumber penemuan obat baru sangat menguntungkan (Strobel dan
Daisy, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Verdian-rizi (2008), menghasilkan
ekstrak bagian tanaman bunga Artemisia annua Linn. yang memiliki aktivitas
antibakteri dan antifungi. Liu (2001), menyatakan bahwa jamur endofit yang diisolasi
dari A. annua Linn. memiliki aktivitas dalam menghambat fungi fitopatogen.
Tanaman A. annua Linn secara tradisional dan klinis terbukti mampu
mengatasi kasus malaria (Anonim, 2010). Tanaman ini juga sudah dikembangkan
sebagai antikanker, antipiretik, dan antimikroba. Minyak atsiri herba A. annua Linn.
mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, Escerichia coli,
Saccharomyces cereviceae, dan Candida albicans (Verdian-rizi dkk., 2008). Ekstrak
herba A. annua Linn. juga ditemukan aktif sebagai antibakteri ketika diuji pada
Pseudomonas aeruginosa, S. aureus, Bacillus pumilus, B. subtilis, B. cereus, dan
Micrococcus luteus (Gupta dkk., 2009).
Pencarian metabolit aktif dari mikroba selain bertujuan untuk menemukan
senyawa baru yang lebih poten juga untuk mengatasi masalah ketersediaan jumlah
tanaman penghasil, dan keterbatasan produksi. Mikroba endofit berupa jamur
berpotensi besar dalam pengembangan obat baru khususnya sebagai antibiotik. Jamur
endofit DP10 adalah salah satu fungi endofit koleksi Indah Purwantini, M.Si., Apt.
yang sifat antimikrobanya masih belum diketahui. Dalam penelitian potensi
antimikroba fungi endofit, diharapkan dapat diperoleh aktivitas antimikroba yang
lebih besar, lebih spesifik, atau bahkan ditemukan senyawa baru yang lebih efektif
dan efisien (Safitri, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah mikroba endofit DP10 menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki
aktivitas sebagai antimikroba?
2. Termasuk genus apakah mikroba endofit DP10?
3. Golongan senyawa apakah yang memiliki aktivitas antibakteri pada mikroba
endofit DP10?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui aktivitas mikroba endofit DP10 sebagai penghasil agen antimikroba.
2. Mengetahui genus jamur DP10.
3. Mengidentifikasi golongan senyawa aktif dari mikroba endofit kode DP10 yang
bersifat antimikroba.
D. Tinjauan Pustaka
1. Klasifikasi A. annua
a. Taksonomi
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Artemisia
Jenis
: Artemisia annua Linn
b. Beberapa sinonim penamaan
Indonesia : Anuma
: Cao Hao, Caohao, Cao Qinghao, Cao Haozi, Chouhao, Chou
Cina
Qinghao, Haozi, Jiu Bingcao, Kuhao, San Gengcao, Xianghao,
Xiang Qinghao, Xiang Sicao, Xiyehao
Inggris
: annual wormwood, sweet wormwood
Perancis
: armoise annuelle
Jepang
: Kusoninjin
Korea
: Chui-ho, Hwang-hwa-ho, Gae-tong-sook
Vietnam
: Thanh cao hoa vàng
c. Sebaran Geografis
A. annua Linn. adalah tanaman tradisional yang berasal dari provinsi
Char dan Suiyuan, Cina (Bhakuni dkk., 2001) serta digunakan kurang lebih
2000 tahun yang lalu sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda
gangguan menstruasi. Nama artemisia diambil dari nama dewi bangsa
Yunani “Artemis”, yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit dan
mencegah hal-hal yang buruk (Ferreira, 2004).
d. Morfologi
Tumbuhan ini termasuk terna semusim dengan tinggi rata-rata 30100 cm. Artemisia annua Linn. mempunyai batang tegak, berbentuk bulat
persegi, bercabang, berwarna hijau kekuningan atau kuning kecoklatan.
Tipe daunnya majemuk menyirip ganda dua (bipinnatus), bentuk oval,
lonjong, panjang 10-18 cm, lebar 6-15 cm dengan ujung runcing, pangkal
tumpul, tepi beringgit, anak daun berbentuk oval, bergerigi, pertulangan
daun tegas, warna hijau tua atau hijau kecoklatan, dan terdapat trikoma
glandular yang mengandung minyak atsiri.
Artemisia annua Linn. memiliki bunga majemuk, bentuk tandan,
terletak di ujung batang, panjang mencapai 30 cm, kelopak berwarna hijau
atau putih, bentuk bintang, berlekuk lima, mahkota halus mengelilingi
cawan bunga tempat benang sari dan putik, diameter 2-3 mm membentuk
globular, braktea berbentuk linier atau oval, bunga tepi berkelamin tunggal
(betina) dengan jumlah mahkota 4 helai dan bunga sentral berkelamin
ganda dengan jumlah mahkota bunga 5 helai, benang sari 5 buah, dan
terdapat trikoma glandular yang mengandung mintak atsiri. Biji berbentuk
lanset, kecil, dan berwarna coklat. Sedangkan akarnya merupakan serabut
berwarna
putih
kekuningan
(Syamsuhidayat
dan
Hutapea,
1999;
Woerdenbag dan Pras, 2002).
Sebagian besar spesies artemisia adalah tanaman yang tidak
tergantung musim. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada derah
dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut.
Kondisi tanah yang cocok adalah tanah yang berpasir atau berlempung,
berdrainase baik dengan pH 5,5-8,5 (pH optimum 6-8), dan curah hujan
700-1000 mm/tahun. Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada umur 1-2 bulan
(Gusmaini dan Nurhayati, 2007).
e. Komposisi senyawa kimia di dalam A. annua Linn.
Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua Linn. adalah
terpenoid dan flavonoid (Bhakuni, 2001). Daun atau seluruh bagian
tanaman A. annua mengandung saponin, flavonoid, minyak atsiri
(Syamsuhidrat dan Hutapea, 1999), triterpenoid, steroid, kumarin, fenolik,
dan lipid (Li dkk., 2005). Golongan monoterpen pada minyak atsiri
diantaranya adalah kamfor, 1,8-sineol, kamfren, spatulenol, Artemisia
keton, kariofilen oksida, dan a-kopaen (Soylu dkk., 2005). Golongan
seskuiterpen meliputi artemisinin yang merupakan kelompok seskuiterpen
lakton (Bhakuni dkk., 2002).
Mintak atsiri banyak terdapat pada daun, dengan komponen
utamanya adalah tujon (mencapai 70%). Fungsi tujon adalah sebagai
antioksidan, antimikroba, dan antijamur. Pemakaian tujon dosis tinggi
dapat berefek halusinasi. Rasa pahit pada herba A. annua Linn. disebabkan
oleh absinthin dan anabsinthin. Minyak atsiri yang dicampurkan dengan
minuman bersifat aprodisiaka dan tonik (Kardinan, 2008).
Senyawa lain yang terdapat pada herba tanaman ini adalah asam
artemisinat (Ma dkk., 2001), artemisinol (Anonim, 2006), arteanuin C,
epidoksiartenuin,
qinghaosu
III,
qinghaosu
IV,
artenuin
D,
dihidropideoksiarteanuin B, artemisinin G, annuadiepoksida, annulida,
asam norannuat, dan artemether (Potawale dkk., 2008). Golongan
triterpenoid seperti friedelin dan friedela-3-p-ol dari daun dan akar serta
tarakseril asetat dari akar. Stigmasetrol dan p-sitosterol diisolasi dari herba
dan akar. Flavonoid ertemetin terdapat pada daun dan batang,
kripsosplenetin, kripsospenol D, kuersetagenin-6,7,4’-trimetileter, 5hidroksi-3,6,7,4’-tetrametil flavon, patuletin, dan 6-metoksi kaemferol (Li
dkk., 2005). Alkaloid dalam A. annua Linn. berefek sebagai inhibitor
asetilkolin esterase sehingga mampu mencegah penyakit Alzheimer’s
(Mojarad dkk., 2005). Tanaman ini juga mengandung senyawa seperti
skopoletin, skoparon, skopolin, 7-hidroksi-6,8-dimetiloksi kumarin, 6metoksikromon, dan 2,2,6-trihidroksikromon (Bhakuni dkk., 2002).
f. Kegunaan
Kegunaan dari A. annua terkait dengan kandungan kimiawi dalam
tanaman tersebut. Artemisinin adalah senyawa kimia dari A. annua yang
paling banyak digunakan terkait dengan aktivitas farmakologisnya.
Beberapa
penelitian
menunjukkan
artemisinin
memiliki
aktivitas
antimalaria. Bersama dengan senyawa turunannya, artemisinin diketahui
memiliki daya hambat terhadap beberapa strain Plasmodium sp. Indikasi
dari penggunaan A. annua yakni : malaria dengan gejala menggigil dan
demam. Kegunaan lain dari tanaman ini adalah untuk terapi hemoroid,
aromaterapi, antikanker, antivirus, antiripanosoma (Ferreira dan Janick,
2009), antibakteri, industri parfum, dan kosmetik (Muzemil, 2008).
2. Antibiotik
Kata antibiotik diberikan pada produk metabolik yang dihasilkan suatu
mikroorganisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau
menghambat mikroorganisme lain. Dengan perkataan lain, antibiotik merupakan
zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang menghambat
mikroorganisme lain.
Selama bertahun-tahun telah diketahui adanya antagonisme di antara
beberapa mikroorganisme yang tumbuh berdekatan di lingkungan alamiah. Pada
tahun 1929, Alexander Fleming memperlihatkan bahwa suatu cawan yang
diinokulasi dengan Staphylococcus aureus telah terkontaminasi oleh sejenis
kapang dan bahwa koloni kapang tersebut dikelilingi oleh suatu zone yang jernih,
menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri. Karena setelah
diidentifikasi, kapang tersebut ternyata adalah suatu spesies Penicillium, maka
Flemming menamakan antibiotik itu penisilin. Penggunaan penisilin dan
antibiotik telah mengakibatkan berkurangnya secara dramatis penderita penyakit
menular pada masa Perang Dunia II.
Sejak tahun 1940, beberapa ribu substansi antibiotik telah diisolasi dan
diidentifikasi, tetapi hanya sejumlah kecil dari antaranya telah terbukti
bermanfaat untuk mengobati penyakit. Namun demikian, substansi efektif yang
hanya sedikit jumlahnya itu sudah mampu mengakibatkan perubahan radikal di
bidang medis dalam usaha pengobatan penyakit menular.
Antibiotik berdasar sumbernya dibedakan menjadi antibiotik sintetik dan
alamiah. Antibiotik sintetik seperti sulfur, tembaga sulfat, kalsium hidroksida,
dan arsenat. Antibiotik alami dalam berasal dari mikroba dan tumbuhan.
Antibiotik seperti sulfur, tembaga sulfat, kalsium hidroksida, dan arsenat.
Antibiotik alami dapat berasal dari mikroba dan tumbuhan. Senyawa yang dapat
digunakan sebagai antibiotik berasal dari tumbuhan seperti eugenol dari minyak
atsiri cengkeh (Syzygium aromaticum), piperin dari daun sirih (Piper bettle),
timol dari Thyme, sarfakrol dari Savory, dan sanguinarin dari suku Papaveraceae.
Antibiotik juga dapat diklasifikasikan berdasar mekanisme kerja, spektrum,
mekanisme aksi, strain penghasil, sistem biosintesis, objek mikroorganisme, dan
berdasar struktur biokimianya. Berdasar spektrumnya antibiotik meliputi
spektrum luas dan sempit. Termasuk spektrum luas (broad spctrum) jika mampu
menghambat atau membunuh mikroorganisme Gram positif maupun negatif.
Dikatakan termasuk spektrum sempit (narrow spectrum) jika hanya mampu
menghambat atau membunuh suatu golongan mikroorganisme saja (Pelczar dan
Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi II; 508-540; Griffin, 1981; Hugo dan Russel,
1998).
Antibiotik berdasar mekanisme aksi dibedakan menjadi :
a. Menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik
ini
mencegah
terbentuknya
ikatan
silang
peptidoglikan pada akhir sintesis dinding sel. Sebagai contohnya
protein pengikat penisilin dalam membran plasma bakteri dihambat
sehingga penambahan asam amino pada ikatan peptidoglikan tidak
terjadi
dan
mengeblok
enzim
transpeptidase.
Hal
tersebut
mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh dan mudah lisis, atau tidak
tahan terhadap tekanan osmotik plasma kemudian pecah.
b. Merusak membran plasma
Antibiotik jenis ini mengganggu sistem perlindungan membran.
Cara kerja antibiotik ini dengan menyelipkan diri pada kedua lapisan
barrier membran sehingga lalu lintas substansi bisa bebas keluar
masuk, membentuk ikatan dengan ergosterol sehingga menyebabkan
kebocoran
sitoplasma,
dan
atau
dengan
mengganggu
sintesa
pembentukan lipoprotein sehingga membran lebih permeabel.
c. Menghambat sintesis protein
Antibiotik jenis ini akan berikatan pada ribosom bakteri yang
mengakibatkan kesalahan pada pembacaan mRNA sehingga sintesis
maupun kerja enzim terhambat.
d. Menghambat sintesis asam nukleat
Antibiotik ini bekerja dengan menghambat transkripsi dan
replikasi mikroorganisme.
e. Menghambat sintesis metabolit esensial
Penghambatan
sintesis
metabolit
esensial
dapat
berupa
competitor antimetabolit, yaitu substansi yang memiliki struktur mirip
dengan substrat normal namum fungsinya berbeda.
Beberapa mikroorganisme dalam satu genus mampu menghasilkan
antibiotik yang sama maupun berbeda. Seperti antibiotik mitramisin yang bisa
didapat
dari
Streptomycetes
plicatus,
Streptomyces
argillaceus,
dan
Streptomycetes atroolivaceus, sedangkan Streptomyces mitakaenis menghasilkan
mikamisin, Streptomyces fradiae menghasilkan tilosin, dan Streptomyces
tateyamenis menghasilkan tiopeptin.
Awalnya antibiotik disebut antibiosis yang berarti substansi yang dapat
menghambat pertumbuhan organisme lain dan berasal dari mikroorganisme. Pada
perkembangannya digunakan istilah antibiotik yang cakupannya lebih luas yaitu
tidak hanya berasal dari mikroorganisme namun semua substansi. Antibiotik
dapat dibedakan lagi berdasar objek organisme yang dihambat atau dibunuh
seperti antifungi jika objeknya adalah jamur, antibakteri jika objeknya bakteri,
dan antiviral jika objeknya adalah virus. Antibiotik yang hanya mampu
menghambat pertumbuhan diberi akhiran –statik dan yang mampu mematikan
baik pada fase tumbuh maupun fase istirahat diberi akhiran –sida atau –sidal.
Misal bakterisida yang mempunyai arti substansi tersebut mampu membunuh
mikroorganisme bakteri (Pratiwi, 2008; Tjay dan Rahardja, 2007).
3. Mikroba Endofit
Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam jaringan
tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya
(Simanjuntak dkk., 2002; Radji, 2005). Istilah endofit diperkenalkan pertama
kali oleh De Bary pada tahun 1866 sebagai mikroorganisme yang hidup dalam
jaringan tanaman yang menyebabkan infeksi asimtomatis tetapi tidak berupa
simtom penyakit (Wang dkk., 2008).
Hampir semua jaringan tanaman mengandung mikroba endofit (Faeth,
2002), termasuk ganggang laut dan lumut (Tan dan Zou, 2001). Hasil berbagai
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mikroba endofit yang ditemukan
adalah fungi (Strobel dkk., 2004). Identifikasi fungi endofit yang banyak
dilakukan adalah dengan mengamati morfologi dan miselia konidianya (Wang
dkk., 2008). Mikroba endofit menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu
dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Tombe, 2008).
Purwanto (2008), menyebutkan bahwa endofit merupakan mikroorganisme yang
sebagian atau seluruh hidupnya berada di dalam jaringan hidup tanaman inang.
Setiap tanaman tingkat tinggi umumnya mengandung beberapa mikroba
endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder
yang diduga sebagai akibat koevolusi atau rekombinasi genetik (genetic
recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Tan dan Zou,
2001).
Pada permukaan daun, koloni fungi dapat dilihat secara langsung tanpa
ditumbuhkan dalam media pertumbuhan fungi, sedangkan pada akar dan batang,
koloni fungi endofit hanya dapat diamati setelah ditumbuhkan dalam media
pertumbuhan. Fungi yang masih dalam bentuk spora baik pada daun, akar, dan
batang tidak dapat diamati tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan.
Populasi fungi endofit yang terdapat pada batang dan daun lebih banyak
dibandingkan pada akar (Morris dkk., 2001).
Mikroba endofit menghasilkan berbagai senyawa yang memiliki aktivitas
biologi, diantaranya alkaloid, terpenoid, fenolik, dan sebagainya (Tan, 2001).
Mikroba endofit yang tumbuh pada jaringan tumbuhan obat, juga dapat
menghasilkan senyawa yang memiliki khasiat sama dengan tumbuhan inangnya,
walaupun jenis senyawanya berbeda. Bahkan, senyawa yang dihasilkan fungi
endofit seringkali memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas
senyawa dari tumbuhan inangnya (Prihatiningtias, 2005).
Hubungan antara fungi endofit dan tumbuhan inang dapat terjadi melalui
infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan simbiosis
mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman memperoleh nutrisi dan
perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba endofit membantu kehidupan inang
dengan cara memproduksi metabolit yang dibutuhkan inang tersebut. Tanaman
yang mengandung endofit sering tumbuh lebih cepat dari tanaman yang tidak
terinfeksi. Efek ini terjadi karena endofit memproduksi fitohormon seperti
indole-3-acetic acid (IAA), sitokin, dan senyawa pemacu pertumbuhan lain.
Selain itu endofit dapat membantu inang dalam mengambil nutrisi seperti
nitrogen dan fosfor (Tan dan Zou, 2001).
Tumbuhan inang juga dapat memperoleh perlindungan dari hasil metabolit
fungi endofit terhadap serangan pathogen seperti fungi, bakteri, insekta, dan
predator lainnya (Strobel dan Daisy, 2003). Mikroba endofit juga mampu
meningkatkan kemampuan adaptasi inang terhadap fitopatogen, herbivore,
cacing, serangga pemakan inang, serta bakteri dan fungi patogen. Endofit yang
tumbuh pada rerumputan biasanya menambah tolerasi terhadap kekeringan (Tan
dan Zou, 2001; Faeth dan Fagan, 2002).
Asosiasi mikroba endofit dengan tumbuhan inangnya dapat digolongkan
dalam dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme
konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara jamur dengan tumbuhan terutama
rumput-rumputan. Pada kelompok ini jamur endofit menginfeksi benih inang,
dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme
induktif adalah asosiasi antara jamur dengan tumbuhan inang, yang
penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Ditinjau dari sisi
taksonomi dan ekologi, jamur ini merupakan organism yang sangat heterogen
(Worang, 2003).
Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan
telah berhasil dibiakkan dalam media perbenihan yang sesuai. Demikian pula
metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikroba endofit tersebut telah berhasil
diisolasi dan dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya. Beberapa
diantaranya adalah :
a. Mikroba endofit yang menghasilkan antibiotika
Cryptocandin adalah antifungi yang dihasilkan oleh mikroba endofit
Cryptosporiopsis quercina yang berhasil diisolasi dari tanaman obat
Tripterigeum wilfordii, dan berhasiat sebagai antijamur yang pathogen
terhadap manusia yaitu Candida albicans dan Trichopyton spp. (Strobel
dkk., 1999).
Beberapa zat aktif lain yang diisolasi dari mikroba endofit misalnya
ecomycin diproduksi oleh Pseudomonas viridiflava juga aktif terhadap
Cryptococcus neoformans dan C. albicans. Ecomycin merupakan
lipopeptida yang disamping terdiri dari molekul asam amino yang umum
juga mengandung homoserin dan beta-hidroksi asam aspartat (Miller dkk.,
1998), sedangkan senyawa kimia yang diproduksi oleh mikroba endofit P.
Syringae yang berhasiat sebagai anti jamur adalah pseudomycin, yang
dapat menghambat pertumbuhan C. albicans dan C. neoformans (Harrison
dkk., 1991).
Pestalotiopsis micrispora, merupakan mikroba endofit yang paling
sering ditemukan di tanaman hutan lindung di seluruh dunia. Endofit ini
menghasilkan metabolit sekunder ambuic acid yang berhasiat sebagai
antifungi (Li dkk., 2001). Phomopsichalasin, merupakan metabolit yang
diisolasi dari mikroba endofit Phomopsis spp. Berhasiat sebagai anti
bakteri Bacillus subtilis, Salmonella enteric, S. aureus, dan juga dapat
menghambat pertumbuhan jamur C. tropicalis (Horn dkk., 1995).
Antibiotika berspektrum luas yang disebut munumbicin, dihasilkan
oleh endofit Streptomyces spp. strain NRRL 30562 yang merupakan
endofit
yang diisolasi
dari
tanaman Kennedia niriscans,
dapat
menghambat pertumbuhan B. antrhracis, dan Mycobacterium tuberculosis
yang multiresisten terhadap berbagai obat anti TBC (Castillo dkk., 2002).
Jenis endofit lainnya yang juga menghasilkan antibiotika berspaktrum luas
adalah mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman Gravillea pteridifolia.
Endofit ini menghasilkan metabolit kakadumycin. Aktifitas antibakterinya
sama seperti munumbicin D, dan kakadumycin ini juga berhasiat sebagai
antimalaria (Castillo dkk., 2003).
b. Mikroba endofit yang menghasilkan antivirus
Jamur endofit Cytonaema sp. Dapat menghasilkan metabolit cytonic
acid A dan B, yang struktur molekulnya merupakan isomer p-tridepside,
berhasiat sebagai anti virus. Cytonic acid A dan B ini merupakan protease
inhibitor dan dapat menghambat pertumbuhan sitomegalovirus manusia
(Guo dkk., 2000).
c. Mikroba endofit yang menghasilkan metabolit sebagai antikanker
Paclitaxel dan derivatnya merupakan zat yang berkhasiat sebagai
antikanker yang pertama kali ditemukan yang diprodeksi oleh mikroba
endofit. Paclitaxel merupakan senyawa diterpenoid yang didapatkan
dalam tanaman bergenus Taxus. Senyawa yang dapat mempengaruhi
molekul tubulin dalam proses pembelahan sel-sel kanker ini, umumnya
diproduksi oleh endofit Pestalotiopsis microspora, yang diisolasi dari
tanaman Taxus andreanae, T. brevifolia, dan T. wallichiana. Saat ini
beberapa jenis endofit lainnya telah dapat diisolasi dari berbagai jenis
Taxus dan didapatkan berbagai senyawa yang berhasiat sebagai anti
tumor. Demikian pula upaya untuk sintesisnya telah berhasil dilakukan
(Strobel dkk., 2002).
d. Mikroba endofit penghasil zat anti malaria
Colletotrichum sp. Merupakan endofit yang diisolasi dari tanaman A.
annua Linn., menghasilkan metabolit artemisinin yang sangat potensial
sebagai anti malaria (Lu dkk., 2000). Disamping itu beberapa mikroba
endofit yang diisolasi dari tanaman Cinchona spp., juga mampu
menghasilkan alkaloid cinchona yang dapat dikembangkan sebagai
sumber bahan baku obat anti malaria (Simanjuntak dkk., 2002).
e. Endofit yang memproduksi antioksidan
Pestacin dan isopestacin merupakan metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh endofit Pestalotiopsis microspora. Endofit ini berhasil
diisolasi dari tanaman Terminalia morobensis, yang tumbuh di Papua New
Guinea. Baik pectacin ataupun isopectacin berhasiat sebagai antioksidan,
dimana aktivitas ini diduga karena struktur molekulnya mirip dengan
flavonoid (Strobel dkk., 2002).
f. Endofit yang menghasilkan metabolit yang berkhasiat sebagai antidiabetes
Endofit Pseudomonassaria sp. yang diisolasi dari hutan lindung,
menghasilkan metabolit sekunder yang bekerja seperti insulin. Senyawa
ini sangat menjanjikan karena tidak sebagaimana insulin, senyawa ini
tidak rusak jika diberikan peroral. Dalam uji praklinik terhadap binatang
coba membuktikan bahwa aktivitasnya sangat baik dalam menurunkan
glukosa darah tikus yang diabetes. Hasil tersebut diperkirakan dapat
menjadi awal dari era terapi baru untuk mengatasi diabetes dimasa
mendatang (Zhang dkk., 1999).
g. Endofit yang memproduksi senyawa imunosupresif
Obat-obat imunosupresif merupakan obat yang digunakan untuk
pasien yang akan dilakukan tindakan transplantasi organ. Selain itu
imunosupresif juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit autoimun
seperti rematoid arthritis dan insulin dependent diabetes. Senyawa
subglutinol A dan B yang dihasilkan oleh endofit Fusarium subglutinans
yang diisolasi dari tanaman Tripterygium wilfordii, merupakan senyawa
imunosupresif yang sangat poten (Lee dkk., 1996).
4. Klasifikasi Mikroba Uji
a. Salmonella typhi
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Subfilum
: Gammaproteobacteria
Kelas
: Enterobacteria
Orde
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella typhi (Pollack, 2003)
Kelompok ini pertama kali ditemukan tahun 1880 oleh Karl J. Erberth.
Namun baru dipatenkan pada tahun 1885 oleh Daniel Elmer Salmon dan
asistennya Theobald Smith yang mampu menjelaskan dengan rinci
klasifikasi dan cara pendeteksiannya (Pollack, 2003). Bakteri ini merupakan
bakteri
Gram
negatif
berbentuk
basil
termasuk
dalam
keluarga
Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki tiga serotipe antara lain: S. enterica
serotipe typhi (S. typhi), S. enterica serotipe typhimurium (S. typhimurium)
dan S. enterica serotipe enteritidis (S. enteritidis). Bakteri Gram negatif
memiliki ciri yang khas yaitu terdapat endotoksin (lipoid A pada LPS) dapat
memberikan manifestasi klinik berupa demam dan antigen Vi yang dapat
meningkatkan virulensi. Pemberian 109 secara oral S. typhimurium dapat
menyebabkan keracunan makanan pada manusia. Gejala simptom yang
timbul setelah 12-24 jam memakan makanan yang terkontaminasi diare,
muntah, demam enterik selama 2-5 hari. Biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya. Penamaan bakteri ini karena bakteri ini penyebab demam tipoid
pada mencit. Sedikitnya 105 pemberian dosis oral bakteri S. typhi
menyebabkan infeksi demam tipoid pada 50% manusia (Todar, 2011).
Penyakit demam tipoid disebabkan oleh bakteri typhi dan parathypi A, B, C.
Bakteri ini dapat menginfeksi saluran pencernaan melalui mulut. Bakteri ini
menempel pada jejunum (Kayser, 2005).
b. Staphylococcus aureus
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Orde
: Bacililales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Staphylococcaeceae
Spesies
: Staphylococcus aureus (Todar, 2008)
Staphylococcus aureus adalah keluarga Staphylococeae yang termasuk
dalam bakteri Gram positif. Bentuk koloninya seperti anggur dengan
diameter tiap sel 0,8-1,0 µm. Bakteri ini dapat menyebabkan pneumonia,
mastitis, phlebitis, meningitis, dan urinary tract infections (Todar, 2008;
Benzon, 2001). Sifat toksiknya disebabkan bakteri ini mempunyai plasmid
yang dapat mengkode protein pathogen dan mampu menghasilkan toksin
eksfoliatif. Beberapa strain yang ditemukan mengalami mutasi dan mampu
mengadakan toleransi terhadap obat antibiotik yang diberikan. Strain mutan
paling terkenal adalah MRSA atau Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus. Strain ini diketahui telah resisten juga terhadap oksasilin, penisilin,
dan amoksisilin.
c. Candida albicans
Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Saccharomycotina
Orde
: Saccharomycetes
Famili
: Saccharocetaceae
Genus
: Candida
Spesies
: Candida albicans (Jones dkk., 2004)
Candida albicans merupakan flora normal dalam tubuh yang terdapat
pada saluran pernapasan, saluran cerna, kulit, dan vagina (Tjay dan Rhardja,
2007). Organisme ini tumbuh optimum pada suhu 37 0C (Soll dan Mitchell,
1983). Candidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh C. albicans akibat
peningkatan jumlah melampaui ambang batas normal. Infeksi tersebut dapat
menyerang mulut, kulit, usus, bronkus, paru, vagina, terkadang jantung, dan
selaput otak (Johnson dkk., 1994; Tjay dan Rahardja, 2007).
Candida albicans adalah jamur yang terdiri dari sel-sel oval dan selsel yang memanjang sambung menyambung seperti hifa yang disebut
pseudomiselium (Tjay dan Rahardja, 2007). Mikroorganisme ini mempunyai
sifat dimorfik (mempunyai dua fase kehidupan) yaitu blasopora dan
pseudohifa (Sudbery dkk., 2004). Sifat ini dipengaruhi oleh temperatur, pH
(Soll dan Mitchell, 1983), dan biosintesis dinding sel (Ishii dkk., 1997).
d. Bacillus subtilis
Kingdom
: Bakteri
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Orde
: Bacilales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus subtilis (Gerbawy, 2009)
Bacillus subtilis mempunyai batang kemoheterotropik, bersifat
fakultatif anaerob, mempunyai lebar 0,5-2,5 µm, dan panjang 1,2-10 µm.
Bakteri batang Gram positif ini mampu membentuk kapsul asam D-glutamat.
Dalam industry farmasi bakteri ini digunakan untuk memproduksi enzim
(amilase dan protease) dan digunakan sebagai inang untuk produksi protein
dan vitamin (Waites dkk., 2001). Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, air,
dekomposisi tanaman bahkan udara.
Bacillus subtilis dapat menghasilkan toksin ekstraselular seperti
subtillisin yang bersifat toksik lemah dan dapat menimbulkan alergi. Bacillus
subtilis juga mampu menghasilkan polipeptida bernama inthurin yang
bersifat bakterisida dan fungisida. Genus ini dapat menghasilkan antibiotik
basitrasin namun juga dapat dihambat pertumbuhan sporanya menggunakan
tilosin (Pratiwi, 2008). Bakteri ini sering digunakan untuk mengurangi kadar
CO2 dalam air, hal ini sering diterapkan pada pertanian tambak udang.
Bakteri ini dapat hidup pada suhu rendah yaitu 5-20 0C dan suhu tinggi yaitu
45-55 0C (Zeigler dan Perkins, 2009).
e. Staphylococcus epidermidis
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus
epidermidis adalah
bakteri
berbentuk
coccus
bergerombol, tidak berspora, Gram positif. Berdiameter 0,5 - 1,5 µm
(Nielsen dkk., 1999). Bakteri ini sebenarnya bukan bakteri yang sangat
berbahaya. Bakteri ini merupakan flora normal yang ada pada manusia dan
tidak menyebabkan penyakit. Staphylococcus epidermidis dapat ditemukan
pada tubuh orang sehat, antara lain di permukaan kulit, di saluran pencernaan,
dan di saluran pernapasan bagian atas. Meski tak berbahaya, pada kondisi
tertentu, kuman ini menimbulkan masalah. Seperti pada orang yang sedang
mengalami kondisi badan menurun. Sehingga, bakteri yang tidak berbahaya
itu dapat menyebabkan penyakit. Pada orang yang di dalam tubuhnya
terdapat "benda-benda" asing juga berisiko mengalami infeksi kuman
staphylococcus epidermidis (Anonim, 2007).
f. Streptococcus mutans
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Famili
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus mutans (Todar, 2004)
Streptococcus mutans termasuk dalam bakteri Gram positif dan
bersifat α-hemolitik yang menjadi salah satu penyebab caries gigi. S. mutans
dengan enzim glycosyl transferase dapat mengubah sukrosa yang menempel
pada gigi menjadi polimer dekstran (glukan) yang dapat membentuk plak.
Bakteri ini juga mengekskresikan heksosil transferase yang dapat mengubah
sakarosa menjadi polifruktosa. Akumulasi koloni bakteri, polisakarida,
dekstran, dan asam laktat mampu merusak enamel, dentin atau cementum
sehingga terbentuk plak gigi bahkan menyebabkan gigi berlubang dan
berwarna coklat. S. mutans berbentuk bulat atau bulat telur dan membentuk
koloni tipe rantai (Todar, 2009; Pratiwi, 2008).
g. Escherichia coli
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gammaproteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Eschericia
Spesies
: Eschericia coli (Gerbawy, 2009)
Eschericia coli merupakan bakteri tidak berspora, berbentuk basil,
diameter +0,5 µm, dan panjang 1,0-3,0 µm. Bakteri ini termasuk bakteri
Gram negatif, dan merupakan flora normal dalam usus terutama kolon dan
usus hewan berdarah panas (Waites dkk., 2001). Beberapa strain yang
ditemukan dapat digunakan dalam pembentukan vitamin K serta membantu
pencernaan terhadap serangan bakteri patogen. Mikroorganisme ini dapat
memfermentasi laktosa dengan cepat, memproduksi indol dan toksin seperti
enterobakteria lainnya, dan dapat menyebabkan diare (Ryan dan Ray, 2004).
Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 15-48 0C dengan pH 5,5-8,0 (Welch,
2006).
5. Media
Media merupakan tempat tumbuh sel dalam media terdapat komponen
yang dibutuhkan oleh sel untuk tetap hidup. Terdapat 3 jenis media yang
digunakan dalam kultur, yaitu media padat, media semi padat dan media cair.
Perbedaan dari ketiga media tersebut terdapat pada penambahan gelling agent
atau agar. Menurut McNeil (2008), Media yang digunakan dalam kultur mikroba
berdasarkan komponen media ada 3 jenis, yaitu media sintesis, semi sintesis dan
kompleks. Media sintesis adalah media yang secara keseluruhan terbuat secara
kimiawi. Komponen yang terkandung dalam media sintesis merupakan
komponen yang sudah diketahui dan konsentrasi tiap komponen spesifik. Media
semi sintetik adalah media yang secara keseluruhan terbuat dari bahan kimia tapi
beberapa atau sebagian komponen terbuat dari bahan non sintetis tapi tetap
terkontrol, seperti yeast. Yeast digunakan jika sel membutuhkan vitamin B dalam
jumlah besar. Media kompleks adalah media yang hampir secara keseluruhan
komponen berasal dari tumbuhan atau hewan akan tetapi semua komponen
tersebut tetap terkontrol.
Pembuatan media disesuaikan dengan nutrisi yang diperlukan untuk
menumbuhkan mikroorganisme dan tujuan dari pembiakan mikroorganisme
tersebut. Beberapa elemen yang mutlak terdapat dalam suatu media pembiakan
mikroorganisme seperti :
a. Sumber karbon
Mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai sumber energi
dan sintesis komponen sel. Sumber karbon seperti gula, pati, minyak,
dan lemak.
b. Sumber nitrogen
Nitrogen digunakan mikroorganisme sebagai bahan untuk
sintesis enzim, protein, dan asam nukleat (asam amino). Sumber
nitrogen seperti Ammonium sulfat ((NH4)2SO4), Ammonium klorida
(NH4Cl), yeast extract, soya bean meal, dan corn steep liquor.
c. Sumber oksigen
Oksigen memiliki peran penting bagi struktur dan fungsi enzim
dari sel sebagai bahan dalam proses metabolisme. Kebutuhan oksigen
ini
juga
dipengaruhi
dikembangkan.
tipe
metabolisme
mikroorganisme
yang
d. Sumber hidrogen
Senyawa ini berperan penting dalam mekanisme biokimia sel
diantaranya pembentuk ikatan hidrogen, sumber energi bebas, dan
pengatur pH larutan.
e. Sumber belerang
Belerang digunakan untuk bahan penyusun protein, koenzim,
dan komponen sel lainnya.
f. Sumber fosfor
Fosfor dalam bentuk fosfat (PO43-) dipakai sebagai komponen
ATP, fosfolipid, dan asam nukleat.
g. Sumber mineral
Mineral seperti Fe, Zn, dan Co biasanya terdapat dalam bentuk
ion dan digunakan sebagai kofaktor dari reaksi enzimatis. Sedangkan
Zn, Mg, dan Mn digunakan dalam aktivasi reaksi enzim.
h. Sumber vitamin
Vitamin adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme
dalam jumlah kecil dan biasanya berfungsi sebagai koenzim atau
katalis dalam proses biosintesis (Harvey dan McNeil, 2008; Stanbury
dkk., 2003; Pratiwi, 2008; Waluyo, 2008).
Contoh media yang umum digunakan untuk fungi dan kapang seperti
Capedok’s Dox Agar (CDA), Hay Infusion Agar, Malt Extract Agar (MEA),
Malt Yeast Agar (MYA), Oatmeal Agar (OA), Potato Carrot Agar (PCA), dan
Potato Dekstrose Agar (PDA). Media lain yang biasa digunakan misalnya CMCAgar yang mengandung carboxymethyl untuk isolasi kapang-kapang selulotik
dan media Dichloran-Glycerol (DG18) untuk isolasi food-borne fungi.
Agar dalam media digunakan sebagai bahan pemadat karena tidak dapat
diurai oleh mikroba. Kadar agar yang sering digunakan antara 1,5-2,0%. Untuk
tujuan khusus media terkadang diberi nutrisi khusus seperti perkursor, induser,
inhibitor, antibusa, bufer, katalisator, faktor pertumbuhan, atau antibiotik spesifik.
6. Fermentasi
Fermentasi adalah proses dekomposisi yang terjadi secara lambat,
contohnya proses dekomposisi zat-zat organik oleh mikroorganisme seperti
dekomposisi larutan gula (glukosa) oleh ragi untuk membuat alkohol (Gupta,
2009). Fermentasi dalam mikrobiologi industri digambarkan sebagai proses
untuk mengubah bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dalam kultur
mikroba tertentu. Dalam pengambilan hasil fermentasi, terdapat sejumlah
tahapan yang tergantung pada bahan awal, konsentrasi awal, kestabilan produk,
dan tingkat kemurnian produk akhir yang diinginkan (Rahman, 1992).
Secara garis besar sistem fermentasi dapat dibedakan menjadi fermentasi
solid state dan sub-merged. Fermentasi solid state adalah metode menumbuhkan
mikroorganisme pada kondisi dengan kandungan air terbatas tanpa memiliki
aliran air yang mengalir bebas. Fermentasi sub-merged adalah proses fermentasi
dimana mikroorganisme dan substrat berada dalam satu tempat sub-merged
stated, biasanya pada media cair dalam jumlah besar.
Tabel 1. Karakteristik fermentasi solid state dan sub-merged (Riadi, 2007)
Karakteristik
Solid state
Sub-merged
Teraduk
Murni
Tinggi
Dengan
menyemburkan atau
menggelembungkan
Oksigen terlarut
Besar
Tinggi
Sederhana
“Smooth”
Mudah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
1.
2.
3.
4.
5.
Kondisi mikroorganisme dan substrat
Status substrat
Keadaan alami dari mikroorganisme
Keberadaan air
Suplai oksigen
Statis
Mentah
Sistem fungi
Terbatas
Difusi
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kontak dengan oksigen
Kebutuhan media fermentasi
Kebutuhan energy
Studi kinetika
Perubahan suhu dan konsentrasi
Pengendalian reaksi
Potensi kontaminasi
Jumlah cairan yang harus dibuang
Problem polusi
Langsung
Kecil
Rendah
Kompleks
Fungsi step
Sulit
Kecil
Rendah
Rnedah
Menurut Stanbury dkk. (2003), proses fermentasi dibagi menjadi 6 tahap,
yaitu formulasi media yang akan digunakan untuk kultur, sterilisasi media dan
alat, penyiapan kultur murni yang akan digunakan dalam fementasi, penumbuhan
kultur dalam media fermentasi yang optimum, ekstraksi dan pemurnian metabolit
hasil fermentasi, pembuangan limbah produksi.
Stanburry dkk. juga menyatakan bahwa fermentasi dapat menghasilkan:
a. Biomassa (sel-sel mikrobia), misalnya protein sel tunggal
b. Enzim, misalnya amylase dan protease
c. Metabolit mikroba, yaitu metabolit primer misalnya polisakarida,
protein, asam nukleat, dan metabolit sekunder misalnya antibiotika
d. Produk rekominan, misalnya insulin dan interferon
e. Biokonversi, misalnya konversi asam asetat dari etanol, aseton dari
proanol, sorbosa dari sorbitol serta produk steroid, antibiotika dan
prostaglandin
Komposisi media fermentasi dapat berupa media sederhana atau kompleks
tergantung pada jenis mikroba dan proses fermentasi. Kelengkapan nutrient dan
bahan sumber nutrient disesuaikan dengan kebutuhan dan metode fermentasi
yang digunakan. Nutrien yang dibutuhkan dalam media fermentasi adalah :
a. Air
Air merupakan komponen utama dari semua media fermentasi. Dalam
proses pertumbuhan suatu organisme keberadaan air adalah mutlak, selain
itu juga sebagai pelarut bahan-bahan organik yang ada.
b. Sumber energi
Sumber energy yang dipakai berupa senyawa karbon.
c. Sumber nitrogen
Senyawa ini digunakan sebagai senyawa pembangun. Senyawa ini dapat
berupa senyawa organic dan anorganik. Sumber nitrogen anorganik seperti
gas ammonia (NH3), garam ammonium (NH4Cl), dan nitrat. Sumber
nitrogen organic seperti urea, asam amino, dan protein.
d. Mineral
Senyawa ini digunakan dalam beberapa proses produksi antibiotika.
Mineral yang biasa digunakan seperti Mg, P, K, S, Ca, dan Cl.
e. Oksigen
Senyawa ini dibutuhkan untuk fermentasi aerobik, berguna untuk
mengendalikan laju pertumbuhan, dan produksi metabolit.
f. Buffer
Buffer digunakan agar proses fermentasi dapat berjalan optimum dan
menjaga kestabilan pH.
g. Vitamin
Beberapa fermentasi membutuhkan vitamin sebagai pendukung proses
fermentasi yang optimal. Contohnya biotin yang berguna dalam
pembentukan asam glutamate.
h. Antibuih
Dalam beberapa kasus dibutuhkan antibuih untuk mencegah terbentuknya
buih akibat pengadukan/penggojogan (Pudjono, 2005; Riadi, 2007).
Metode fermentasi dibagi menjadi 3 berdasarkan proses fermentasi, yaitu:
batch culture, fed-batch culture, dan continuous culture. Sistem Batch culture
merupakan sistem fementasi tertutup, semua nutrisi yang dibutuhkan mikroba
selama pertumbuhan dan pembentukan produk berada di dalam 1 fermentor. Jadi
tidak ada penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi
berlangsung.
Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan kecil kemungkinan
adanya kontaminasi; sedangkan kerugiannya adalah kultur mikroba yang menua,
yaitu tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba, pembetukan metabolit toksik
yang bercampur dengan produk, konsentrasi substrat terbatas, dan sukar untuk
diaplikasikan dalam skala besar (McNeil and Harvey, 2008).
Fed-batch culture merupakan proses fermentasi yang mana media
pertumbuhan ditambahkan ke dalam batch secara terus-menerus saat setelah
penanaman atau saat setelah setengah proses batch culture berlangsung tanpa
menghilangkan cairan kultur (Harada dkk., 1997). Sistem fed-batch dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sistem volume tetap dan volume berubah.
Sistem volume tetap berarti setiap ada penambahan medium baru ke dalam
fermentor, ada medium lama, produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak
medium baru yang dimasukkan ke dalam fermentor; sedangkan volume sistem
volume berubah, berarti ke dalam fermentor ditambahkan medium baru tetapi
tidak ada medium lama atau produk yang dikeluarkan dari dalam fermentor
(McNeil and Harvey, 2008).
Dalam model ini terdapat pengaliran serta pergantian media, nutrisi, dan
produk. Dengan teknik ini, fermentasi dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih
lama daripada model batch culture karena tidak mudah terjadi kejenuhan.
Continuous culture biasanya digunakan dalam skala industry. Sistem ini
merupakan proses fermentasi yang mana media pertumbuhan ditambahkan
dengan kecepatan yang sama secara terus-menerus saat setelah penanaman dan
saat bersamaan cairan kultur dikeluarkan dari wadah fermentasi.
Keuntungan sistem ini adalah mempunyai produktivitas dan kecepatan
pertumbuhan dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat dijalankan,
dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan lingkungan mudah
dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai dengan kaidah Good
Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan untuk memproduksi
produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk yang belum optimal
terbentuk, dan mudah timbul perubahan/evolusi pada mikroba (McNeil and
Harvey, 2008).
Disebutkan oleh Pratiwi (2008), bahwa pertumbuhan mikroba di dalam
media terjadi melalui 4 tahap, yaitu :
a. Fase Lag, merupakan fase adaptasi, fase penyesuaian mikroba pada
lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah
sel, tetapi hanya terjadi peningkatan ukuran sel. Lama fase lag
tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikrobia dan media
pertumbuhan.
b. Fase Log/eksponensial, mikroba tumbuh dan membelah dengan
kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikrobia, sifat media,
dan kondisi pertumbuhan.
c. Fase stasioner, pertumbuhan mikroba terhenti dan terjadi keseimbangan
antara jumlah sel yang membelah dan sel yang mati. Pada fase ini
terjadi akumulasi buangan yang toksik.
d. Fase kematian, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya
adalah ketidak-tersediaan nutrisi dan akumulasi produk toksik.
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Sel (Stanbury dkk., 2003)
Selain keempat fase diatas Wibowo (2011), menyebutkan bahwa di dalam
Kurva pertumbuhan mikroorganisme sistem batch, terdapat satu fase lagi yang
dinamakan fase kriptik. Fase kriptik terbentuk setelah fase stasioner dan sebelum
fase kematian. Wibowo menjelaskan bahwa adakalanya setelah fase stasioner,
beberapa saat terjadi lisis pada sel yang telah mati, menyebabkan keluarnya
produk/ isi sel. Isi sel yang lisis dapat menjadi nutrisi bagi sebagian sel yang
masih hidup sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan baru (cryptic
growth).
Aspek kritis dalam proses fermentasi adalah pada tahap pemurnian dan
pemanenan produk. Proses pemurnian mulai dari pemisahan sel dan bahan
bernutrien yang tidak larut pada media kultur. Pemisahan sel dari media kultur
dapat
dilakukan
dengan
penyaringan
atau
sedimentasi.
Produk-produk
intraselular dapat diisolasi dengan cara menghancurkan sel baik secara kimia,
fisik, maupun biologis. Beberapa unit operasi yang dibutuhkan untuk pemanenan
hasil fermentasi yaitu ekstraksi, kromatografi, evaporasi, ultrafiltrasi, dialisa,
kristalisasi, pengendapan serta penyaringan (Rahman, 1992).
7. Uji aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas antibakteri ada dua metode menurut Parija (2009), yaitu:
metode difusi dan metode dilusi. Metode difusi dibag menjadi empat yaitu: disc
diffusion, E-test, ditch plate technique, dan cup-plate technique. Pengujian ini
bermaksud untuk mengetahui respon populasi mikroorganisme terhadap
pertumbuhan mikroba lainnya. Hasil metode difusi diukur sebagai besar diameter
zona hambatan pertumbuhan bakteri di sekitar disc. Zona hambatan dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Zona Radikal yaitu suatu daerah di sekitar disk di mana sama sekali tidak
ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan
mengukur diameter dari zona radikal.
b. Zona Iradikal yaitu suatu daerah disekitar disk di mana pertumbuhan
bakteri dihambat oleh antibakteri, tetapi tidak dimatikan.
Menurut Pratiwi (2008), terdapat berbagai macam cara menguji daya
antibiotik, antara lain:
a. Metode difusi
1) Disc Diffusion
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media
padat yang telah ditanami mikroorganisme. Area jernih disekitar
piringan menandakan adanya hambatan pertumbuhan oleh agen
antimikroba.
2) E-Test
Metode ini juga dapat mengetahui MIC (Minimal Inhibitory
concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimal). KHM atau MIC
adalah konsentrasi minimal agen mikroba untuk dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Metode ini menggunakan strip plastik
yang mengandung agen antimikroba dengan kadar terendah hingga
tertinggi kemudian diletakkan pada media padat yang telah ditanami
mikroorganisme.
Secara umum metode E-test (Epsilometer test) sama dengan
metode disc diffusion, perbedaannya pada E-test bentuk disc berupa
potongan nilon berbentuk linier yang berisi antimikroba dengan
berbagai konsentrasi yang dibatasi dengan garis-garis dan gambar
yang merupakan nilai MIC (Smith, 2004). Seperti pada pengujian
lainnya daerah jernih disekitar strip menunjukkan kemampuan agen
antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Zona
hambat yang terbentuk buasanya berbentuk elips.
3) Ditch-plate technique
Agen antimikroba diletakkan pada parit yang diletakkan
dengan cara memotong media Agar dalam perti dibagian tengah secara
membujur dan mikroba uji digoreskan kearah parit tersebut.
4) Cup-plate technique
Metode ini dilakukan dengan membuat sumur pada media agar
yang telah ditanamu mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi
agen antimikroba yang akan diuji.
5) Gradien plate technique
Dalam metode ini digunakan berbagai konsentrasi agen
antimikroba secara teoritis. Media Agar dilarutkan dahulu kemudian
agen antimikroba ditambahkan dengan dituang ke dalam petri dan
diletakkan pada posisi miring, selanjutnya nutrisi kedua dituang
diatasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antimikroba berdifusi. Mikroba uji digoreskan mulai dari konsentrasi
tinggi ke rendah. Hasil dilihat dari panjang total pertumbuhan
mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan
panjang pertumbuhan hasil goresan.
b. Metode dilusi
1) Metode dilusi cair/broth dilution test (dilusi berseri)
Metode ini untuk mengukur MIC atau KHM dan MBC
(Minimum Bactericidal Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh
Minimum). Dalam metode ini dibuat seri pengenceran agen
antimikroba pada media cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.
Kadar terkecil larutan uji agen antimikroba yang terlihat jernih
ditetapkan sebagai KHM. Kemudian larutan yang ditetapkan sebagai
KHM diinkubasi dan ditanam. Hasil inkubasi larutan KHM yang
paling jernih ditetapkan sebagai KBM.
2) Metode dilusi padat/solid dilution test
Metode ini serupa dengan dilusi cair hanya saja menggunakan
medium padat. Keuntungan metode ini adalah agen antimikroba uji
dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba. Kekurangannya
adalah membutuhkan waktu lama, penggunaan terbatas, dan tidak
praktis.
Menurut Wanger (2009), metode difusi dikenal juga dengan metode Kirby
Bauer. Prinsip kerja metode ini adalah difusi sejumlah senyawa antibakteri dalam
paper disc ke media agar yang telah diinokulasikan oleh sejumlah mikroba
kemudian diinkubasi selama 18-24 jam suhu 370C. Metode disc diffusion dibagi
menjadi tiga, yaitu: metode Kirby Bauer, metode Stokes, dan metode Primary
disc diffusion. Menurut Parija (2009), prinsip kerja metode Kirby Bauer adalah
difusi sejumlah senyawa antibakteri ke media agar yang telah diinokulasikan
dengan cara menggoreskan mikroba uji di atas permukaan agar.
Metode dilusi merupakan metode kuantitatif. Menurut Wanger (2009),
MIC sangat berpengaruh terhadap aktivitas terapi suatu antibakteri. Nilai MIC
0.016 μg mL−1 memiliki perbeadaan yang sangat signifikan terhadap nilai MIC 1
μg mL−1 dalam terapi antibakteri. Metode dilusi dibagi menjadi dua yaitu dilusi
cair dan dilusi agar. Dilusi cair merupakan metode kuantitatif, prinsip metode ini
adalah sejumlah senyawa antibakteri dibuat beberapa seri kadar kemudian
ditempatkan dalam sumuran atau tube dan ke dalam tube tersebut dimasukkan
standar mikroba uji. kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C.
Metode dilusi agar merupakan metode kuantitatif yang diukur berdasarkan MIC.
Prinsip metode ini adalah sejumlah senyawa antibakteri dibuat beberapa seri
kadar atau konsentrasi di teteskan pada media agar yang telah diinokulasikan
standar mikroba uji kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C.
Metode plate count merupakan metode untuk menghitung jumlah mikroba.
Metode plate count dibagi menjadi 2 metode (Herbert, 1990) berdasarkan cara
inokulasi mikroba uji pada media agar, yaitu metode pour plate dan metode
spread plate. Metode pour plate adalah sejumlah mikroba uji tertentu dicampur
dengan media agar yang telah cair kemudian dicampur dan dituang ke dalam
cawan petri steril. Sedangkan metode spread plate mikroba uji diinokulasikan
dengan cara menggoreskan mikroba uji di atas permukaan agar.
8. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah teknik kromtografi yang digunakan secara
luas untuk analisis kualitatif dari senyawa-senyawa organik, isolasi suatu
senyawa dari campuran multi komponen, analisis kuantitatif dan isolasi pada
skala preparatif (Waksmundzka dkk., 2008). Prinsip dari KLT sendiri adalah
suatu analit bergerak naik atau melintasi fase diam, di bawah pengaruh fase
gerak, yang bergerak melalui fase diam oleh kerja kapiler. Jarak pemindahan
oleh analit tersebut ditentukan oleh afinitas relatifnya untuk fase diam terhadap
fase gerak.
a. Sistem KLT
Hasil KLT ditentukan oleh fase diam (penyerap), fase gerak (pelarut),
dan teknik kerja. Teknik kerja meliputi atmosfer bejana dan jenis
pengembangan. Kondisi awal keberhasilan metode ini ditentukan oleh fase
diam, fase gerak, bejana pemisah, cuplikan, cara dan jumlah penotolan,
pembuatan cuplikan, dan deteksi senyawa yang dipisahkan.
Fase diam adalah material inert yang dilapiskan pada permukaan
pelat tipis pendukung. Ada sekitar 25 material inert yang dapat digunakan
sebagai sorbent untuk KLT. Menurut Wall (2005), gel silika adalah yang
paling banyak digunakan (64%), diikuti oleh selulosa (9%), dan alumina
(3%). Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung
substansi yang mana dapat berpendar flour dalam sinar ultra violet.
Eluen adalah fase gerak yang berperan penting pada proses elusi bagi
larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (sorbent). Interaksi antara
sorbent
dengan
eluent
sangat
menentukan
terjadinya
pemisahan
komponen-komponen senyawa dalam analit. Eluen dapat digolongkan
menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut
tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah
jenis adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika. Penggolongan ini
dikenal sebagai deret eluotropik (eluotropic series). Suatu pelarut yang
bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar
dari ikatannya dengan sorbent.
Jarak
pengembangan
senyawa
pada
kromatogram
biasanya
dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf dirumuskan sebagai
berikut:
Rf = Jarak antara titik penotolan ke pusat bercak
Jarak antara titik penotolan ke batas elusi
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan
dua desimal. Bilangan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h),
menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100.
b. Pemisahan senyawa dalam analit
Secara umum, pemisahan senyawa dalam analit dengan metode KLT,
dapat terjadi melalui tiga mekanisme (Wall, 2005) :
1.
Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu fenomena permukaan yang terjadi akibat
adanya interaksi antara gugus-gugus pada pemukaan dengan molekul
yang mendekati permukaan tersebut. Dalam pemisahan komponen
senyawa analit dengan KLT, senyawa yang berinteraksi lebih kuat
dengan gugus permukaan dibandingkan interaksinya dengan pelarut,
akan tertahan lebih lama, sementara senyawa yang sukar berinteraksi
dengan gugus-gugus permukaan akan terlihat lebih menjauhi titik spot
awal analit ditotolkan. Dengan demikian, pemisahan secara adsorpsi
sangat dipengaruhi oleh kekuatan interaksi dipol terinduksi.
2.
Partisi
Pada pemisahan secara partisi, fase diam yang berupa larutan,
teradsorpsi atau terikat secara kimiawi pada gel silika. Fase diam ini
tidak larut dalam fase gerak. Migrasi dari senyawa-senyawa dalam
analit, bergantung pada kelarutannya pada kedua fase. Dengan
demikian, komponen senyawa yang memiliki afinitas lebih besar
terhadap fase gerak, akan terelusi lebih dahulu dibanding komponen
lain yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase diam.
3.
Penukar ion
Proses pertukaran ion dapat terjadi pada sorbent yang
mengandung ion yang memiliki kemampuan untuk digantikan dengan
ion lain dari analit atau fase gerak. Fase gerak berperan sebagai
elektrolit. Pada pH yang konstan, senyawa dengan afinitas rendah,
akan dengan mudah bertukar ion dengan elektrolit pada fase gerak dan
bermigrasi lebih dahulu bersama fase gerak tersebut. Sementara
senyawa dengan afinitas tinggi akan bergerak lebih lambat dan
cenderung berada pada tempat awal senyawa tersebut.
Pita hasil pemisahan umumnya tidak berwarna, maka untuk
penentuan identitasnya dapat dilakukan secara fisika, kimia maupun
biologi. Secara fisika dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar
UV (Rohman, 2007). Secara kimia dilakukan dengan cara mereaksikan pita
dengan pereaksi yang cocok melalui penyemprotan sehingga pita menjadi
jelas terlihat. Reagen pereaksi pendeteksi golongan senyawa yang sering
digunakan adalah :
1) Vanilin-asam sulfat digunakan untuk mendeteksi senyawa
fenolik, steroid, minyak atsiri, zat pahit dan saponin.
2) Anisaldehid-asam sulfat digunakan untuk mendeteksi adanya
senyawa fenolik, terpenoid, gula, dan seteroid. Pereaksi ini juga
dapat digunakan untuk mengamati minyak atsri, zat pedas, zat
pahit, saponin, dan lainnya.
3) Liebermann Burchard (LB) digunakan untuk mendeteksi steroid,
sterol, triterpen, triterpen glikosid, dan α-5,3-sterol (kolesterol
dan esternya).
4) Besi (III) klorida (FeCl3) untuk mendeteksi asam hidroksimat dan
fenolik.
5) Antimon klorida (SbCl3) atau reagen Carr-price digunakan untuk
mengetahui gugus rangkap karbon.
6) DNPH (Dinitro Phenilhidrazina LP) untuk mendeteksi keton dan
aldehid.
7) Dragendorff LP untuk mendeteksi gugus N-heterosiklik seperti
pada alkaloid.
8) Serium sulfat untuk mendeteksi senyawa organik (Sutrisno,
1986).
9. Bioautografi
Bioautografi merupakan suatu metode pendeteksian untuk menemukan
senyawa antimikroba yang belum teridentifikasi. Bioautografi merupakan
gabungan dari sistem kromatografi dan sistem uji aktivitas difusi agar. Metode
ini dilakukan dengan cara melokalisir aktivitas zat antimikroba target pada suatu
kromatogram dengan memanfaatkan sistem kromatografi lapis tipis (KLT).
Jenis metode bioautografi menurut Djide dkk. (2005), adalah sebagai
berikut :
a. Bioautografi langsung
Dalam metode ini mikroba ditumbuhkan secara langsung diatas
lempeng KLT. Prinsip metode ini adalah suspense mikroba uji yang
berada dalam media cair disemprotkan pada lempeng KLT. Setelah itu
dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Senyawa dalam
lempeng KLT dideteksi dengan sinar UV 254 nm dan UV 366 nm.
Dalam metode ini terkadang dikombinasikan dengan pewarnaan
mikroba untuk memperjelas pola daerah aksi senyawa aktif.
b. Bioautografi kontak
Dalam metode ini senyawa antimikroba dipindahkan dari
lempeng KLT ke media Agar yang telah diinokulasikan mikroba uji
secara merata dan melakukan kontak langsung. Metode ini didasarkan
pada reaksi difusi senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT pada
media.
c. Bioautografi pencelupan
Dalam sistem ini lempeng KLT yang telah dielusi dituangi
media Agar sehingga permukaan KLT tertutupi oleh media Agar yang
berfungsi sebagai “base layer”. Setelah media memadat, tahap
selanjutnya adalah menuang media Agar yang telah diinokulasi dengan
suspense mikroba uji sebagai “seed layer”.
Menurut Aqil dkk. (2010), ada 2 macam metode bioautografi, yaitu
bioautografi kontak dan overlay bioautography. Selain itu juga terdapat metode
bioautografi langsung. Bioautografi langsung disuspensikan dalam media cair
disemprotkan pada plat KLT dan diinkubasi. Zona hambatan dideteksi dengan
penyemprotan garam tetrazolium (contoh: MTT). Garam tetrazolium akan diubah
oleh enzim dehidrogenase oleh mikroorganisme hidup dan menghasilkan warna
formazan ungu (Das, 2010). Daerah bersih yang timbul di antara warna ungu
pada plat KLT menunjukkan adanya aktivitas antimikroba pada senyawa uji.
Bioautografi kontak merupakan metode dimana senyawa antimikroba dalam plat
KLT ditransfer ke dalam agar yang telah diinokulasi dengan mikroba uji dengan
cara penempelan langsung. Overlay bioautography merupakan metode media
yang telah berisi mikroba uji dituang ke atas plat KLT.
Penggunaan overlay bioautography dijelaskan oleh Slusarenko dkk.
(1989), 5-10µl ekstrak ditotolkan dalam plat KLT silika gel G F254 dengan
ketebalan 0,25 mm dan ukuran 3x8 cm. Plat KLT dikembangkan dengan fase
gerak. Tiap 10 mL media diberi suspensi bakteri uji sebanyak 1 mL (105
spora/mL). Plat KLT yang telah dikembangkan dengan fase gerak diletakkan
dicawan petri steril. Suspensi mikroba uji dicampur dengan media agar yang
telah meleleh kemudian media agar cair yang telah berisi mikroba uji dituang di
atas kromatogram. Untuk menjaga agar plat KLT tidak bergerak saat dituang
media yang telah berisi mikroba uji maka cawan petri perlu dialasi dengan media
agar yang telah memadat. Plat diinkubasi selama 72 jam, suhu 280C. Zona
hambatan dapat terlihat di sekitar spot aktif dalam kromatogram dengan
menggunakan reagen deteksi garam tetrazolium.
Penggunaan bioautografi memiliki keterbatasan, terutama bila mikroba uji
berupa fungi. Karena pertumbuhan fungi jauh lebih lambat dibanding bakteri dan
risiko kontaminasi makin besar. Selain itu apabila aktivitas antimikroba akibat
dari senyawa yang saling bersinergi. Selain itu metode ini tergantung dari cara
ekstraksi dan fase gerak yang digunakan.
Metode ini cukup efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba
karena letak pita senyawa aktif dapat ditentukan sehingga memungkinkan untuk
mengisolasi senyawa aktif tersebut.
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas senyawa antibakteri
jamur endofit DP10 terhadap mikroba uji. Selain itu juga untuk mengetahui
genus jamur endofit DP10 dan mengidentifikasi golongan senyawa aktif jamur
endofit DP10 yang bertanggung jawab terhadap antimikrobanya.
Download