E:\JURNAL MDVI\MDVI Suplemen 20

advertisement
Laporan Kasus
KUSTA MULTIBASILER TIPE BORDERLINE TUBERKULOID
DENGAN REAKSI REVERSAL DAN CACAT DERAJAT II
PADA ANAK 9 TAHUN
Kalista Yuniar, Miratri Winny Risadini, Nurrachmat Mulianto, Arie Kusumawardani,
Nugrohoaji Dharmawan, Indah Julianto
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sebelas Maret/ RS Dr. Moewardi, Surakarta
ABSTRAK
Kusta adalah infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
melibatkan terutama kulit dan saraf. Di Indonesia proporsi anak dengan kasus baru kusta yang
terdeteksi pada tahun 2010 sebesar 11,2%.
Seorang anak laki-laki, 9 tahun, dengan lepuh berulang pada telapak tangan dan kaki
yang tidak nyeri, serta jari tangan kiri yang tidak bisa diluruskan. Pada regio ekstremitas atas,
bawah, gluteal tampak bercak (patch) hipopigmentasi berbatas tegas, multipel dengan hipoestesi,
bula dinding kendur, dan ulkus pada regio plantar pedis sinistra. Tidak didapatkan pembesaran
saraf. Terdapat penurunan fungsi saraf sensorik dan motorik N.ulnaris kanan kiri, N.medianus kiri,
serta penurunan sensorik N. tibialis posterior kanan kiri. Terdapat claw hand tangan kiri. Pasien
didiagnosis kusta multibasiler tipe borderline tuberkuloid dengan neuritis dan cacat derajat 2.
Pasien diterapi rifampisin 300 mg/bulan, klaritromisin 250 mg/hari, metilprednisolon(MP) 16
mg/hari dan aspirin 250 mg 2 kali sehari, untuk ulkus dikompres NaCl 2 kali sehari dan gentamisin
salep serta rehabilitasi medis. Selama proses terapi, pasien mengalami reaksi reversal.
Pasien menunjukkan perbaikan ditandai dengan mengecilnya ulkus, penurunan indeks
morfologi, tidak terdapat penurunan fungsi saraf. (MDVI 2012; 39/s; 29s - 35s)
Kata kunci: kusta, reaksi reversal, cacat derajat II
ABSTRACT
Korespondensi:
Jl. Kesehatan No.1A, Sekip
Yogyakarta
Telp. 0274 – 560700
Email:[email protected]
Leprosy is a chronic granulomatous infection caused by Mycobacterium leprae, involving
primarily skin and nerves. The proportion of children among newly detected case in Indonesia on
2010 is about 11,2%.
A 9 year-old boy came to hospital with repeated nonpainful blister on his palms and soles,
and cannot straighten his left fingers. There were multiple well defined hypopigmented patch with
hypoesthesia on superior et inferior extremities and gluteal region, flaccid blister on his palm, and
ulcer on his left plantar pedis.There were no nerve enlargement. The sensory and motor function
were decrease on left and right ulnar, left medianus nerves and the sensory function were decrease
on posterior tibial nerves. There were left claw hand. The patient diagnose as multibacillary
tuberculoid borderline leprosy with neuritis and dissability grade II., and being treated with 300
mg Rifampicin/month, 250 mg clarythromycin/ day, 16 mg methylprednisolon/day and 250 mg
aspirin twice a day. In the course therapy, the patient show reversal reaction.
The patient shows improvement with therapy marked by the decreasing morfology index, no
functional nerves decrease and decreasing of ulcer size. (MDVI 2012; 39/s; 29s - 35s)
Keyword: leprosy, reversal reaction, dissability grade II
29 S
MDVI
PENDAHULUAN
Kusta atau Morbus Hansen (MH) adalah infeksi
granulomatosa kronik
yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, melibatkan terutama saraf perifer
dan kulit, tetapi kadang juga mengenai jaringan lain seperti
mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan testis.1
Menurut World Health Organization (WHO)
berdasarkan data Departemen Kesehatan 130 negara, jumlah
kasus kusta yang terdaftar pada semester 1 tahun 2011
sebesar 192.246 kasus, dengan jumlah kasus 0,34 per 10.000
populasi, sedangkan jumlah kasus baru selama tahun 2010
sebesar 228.474 kasus. Jumlah ini terutama dipengaruhi
oleh negara yang melaporkan jumlah pasien terbesar
misalnya India pada urutan pertama dengan kasus sebesar
55% dari jumlah kusta baru yang terdeteksi, diikuti Brazilia
sebesar 15% dan Indonesia sebesar 7%.2
Di Indonesia prevalensi kasus yang terdaftar pada
tahun 2010 sebesar 19.785 orang, dan jumlah kasus baru
selama 2010 sebesar 17.012, dengan jumlah kasus multi
basiler (MB) sebesar 13.734, jumlah kasus baru dengan cacat
derajat 2 sebesar 1.906 dan jumlah wanita pada kasus baru
6.598. Proporsi kasus baru dengan anak pada kusta yang
terdeteksi pada tahun 2010 sebesar 11,2% di Indonesia. 2
Proporsi besar anak di antara kasus baru (>10%)
menandakan transmisi aktif dan baru.3
Diagnosis kusta dapat ditegakkan bila terdapat gejala
klinis minimal satu dari tanda berikut 1) bercak kemerahan
(eritema) atau putih (hipopigmentasi) dengan berkurangnya
sensibilitas, 2) penebalan saraf perifer dan gangguan fungsi
saraf baik sensorik, motorik atau otonom, dan 3) temuan
bakteri tahan asam pada slit skin smear atau dari
biopsi.4,5Pemeriksaan histopatologis merupakan baku emas
untuk diagnosis kusta. Klasifikasi kusta yang biasa
digunakan adalah klasifikasi Ridley-Jopling, didasarkan
pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan histopatologis.
Selain itu terdapat pula klasifikasi WHO berdasarkan temuan
basil tahan asam (BTA) pada jaringan kulit yaitu pausibasiler
(PB) jika tidak didapatkan BTA pada slit skin smear dan MB
jika didapatkan BTA pada slit skin smear.1
Kusta dapat menyebabkan cacat dan deformitas pada
mata, tangan dan kaki. Hal ini terjadi akibat kerusakan saraf
saat neuritis dan reaksi kusta sehingga menyebabkan
kekuatan otot menurun dan sensasi nenghilang.6 Kerusakan
pada saraf dapat terjadi sebelum, selama dan setelah terapi,
dan dapat menyebabkan cacat sehingga menimbulkan
stigma.7 Sebuah penelitian kohort di Ethiopia menunjukkan
47% dari 594 kasus baru telah mengalami gangguan fungsi
saraf pada saat terdiagnosis. Sekitar 12% pasien mengalami
kerusakan saraf saat pengobatan dan pada 33% pasien tidak
terdapat tanda klinis gangguan fungsi saraf. Derajat
kerusakan saraf pada saat diagnosis menunjukkan
keterlambatan antara awitan penyakit dan diagnosis.
Keterlambatan ini biasanya dalam hitungan tahun dan selama
30 S
Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s
itu neuropati dapat terjadi tanpa disadari (silent neuropathy).8
Berikut akan kami laporkan satu kasus kusta MB tipe
BT pada anak dengan reaksi reversal dan cacat derajat II.
KASUS
Seorang anak laki-laki FA, usia 9 tahun, pelajar, datang
ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Moewardi Surakarta
pada tanggal 7 September 2011 dengan keluhan lepuh dan
luka di telapak kaki dan tangan yang berulang, dan jari tangan
kiri yang tidak dapat diluruskan. Pasien adalah rujukan
spesialis kulit dan kelamin di Surakarta dengan kecurigaan
kusta.
Berdasarkan alloanamnesis sejak kurang lebih 3 tahun
sebelumnya orang tua pasien melihat ada bercak-bercak
putih di pantat dan lengan pasien. Karena pasien tidak
mengeluh gatal atau nyeri, oleh orang tua dianggap hanya
buras dan tidak dibawa berobat. Satu tahun sebelumnya
pasien mengalami lepuh berulang yang tidak terasa nyeri
pada kedua telapak tangan dan telapak kaki, pasien juga
merasa jari tangan kiri tidak bisa diluruskan.Sekitar 6 bulan
kemudian pada luka bekas operasi timbul lepuh yang tidak
sembuh-sembuh, pasien berobat ke dokter umum dan diberi
obat minum 2 buah dan salep, orang tua pasien tidak
mengetahui nama obatnya. Karena merasa tidak ada
perbaikan, pasien tidak pernah kontrol lagi.Keluhan lepuh
berulang dan jari tangan kirinya tidak membaik sehingga
berobat ke spesialis kulit dan kelamin, lalu dirujuk ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin di RS Dr. Moewardi.
Orang tua pasien menyangkal riwayat alergi obat, atopi
dan sakit gula pada pasien.Pasien menyangkal riwayat
demam, nyeri serta kemerahan pada bercak-bercak putih di
tubuhnya. Setahun sebelumnya pasien dioperasi oleh dokter
bedah karena mata ikan di telapak kaki, luka sudah sembuh.
Kakek pasien tinggal serumah dengan pasien, tidak pernah
didiagnosis dan diobati sakit kusta, tetapi sempat
mengalami jari tangan yang putus sendiri tanpa nyeri dan
berdarah, dan sudah meninggal karena sakit jantung 8 bulan
yang lalu. Pasien adalah putra kedua dari 2 bersaudara. Selain
pasien tidak ada keluarga yang mengalami sakit serupa.
Pemeriksaan fisis dan slit skin smear yang dilakukan
terhadap orangtua pasien tidak didapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital pasien dalam
batas normal dengan berat badan 18 kg. Status dermatologis
pada regio ekstremitas superior dan inferior dan gluteal
tampak bercak hipopigmentasi berbatas tegas, dan multipel
(Gambar 1 A,B,C)
Pada palmar manus dekstra tampak bula soliter
berdinding kendur. Pada digiti II dan III manus sinistra
tampak erosi tertutup krusta, serta digiti III manus dekstra
tampak onikodistrofi.Tidak ditemukan lagoftalmus, tetapi
ditemukan atrofi hipotenar dan tenar kiri, serta ditemukan
complete claw hand pada tangan kiri (Gambar 2.A,B). Pada
plantar pedis sinistra tampak ulkus dengan dasar jaringan
K Yuniar dkk.
Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak
Gambar 1. A,B.CPatch hipopigmentasi batas tegas,multipel
granulasi berukuran 3x 1,5x ½ cm. (Gambar 2.C) Terdapat
skar akibat vaksinasi BCG di lengan kanan. Pasien diagnosis
banding kusta tipe borderline tuberkuloid (BT) dengan
kecacatan derajat 2, pitiriasis versikolor (PV) dengan ulkus
pedis, dan pitiriasis alba dengan ulkus pedis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien
berupa pemeriksaan KOH-tinta Parker, lampu Wood,
pemeriksaan slit skin smear, pemeriksaan gram ulkus,
pemeriksaan rutin kusta dan biopsi lesi. Pada pemeriksaan
dengan KOH-tinta Parker tidak ditemukan gambaran
Gambar 2. A.B. Bula dinding kendur pada palmar manus dektra, atrofi tenar dan hipotenar, claw hand, erosi tertutup krusta pada palmar
manus sinistra C. ulkus pedis
Gambar 3. Slit skin smear
spaghetti and meat ball. Pemeriksaan dengan lampu Wood
hasilnya negatif, pewarnaan Gram dan bahan ulkus
ditemukan kokus Gram positif. Pada pemeriksaan slit skin
smear ditemukan basil tahan asam dengan indeks bakteri
(IB) +1 dan indeks morfologi (IM) 100%. (Gambar 3)
Pada pemeriksaan sensibilitas lesi, sensasi tajam
tumpul dan panas dingin pada lesi berkurang (hipoestesi).
Pada pemeriksaan saraf tidak ditemukan pembesaran saraf
pada nervus auricularis magnus, nervus ulnaris, nervus
peroneus komunis dan nervus tibialis posterior. Pada
pemeriksaan sensorik nervus ulnaris kanan dan kiri, nervus
medianus kiri dan nervus tibialis posterior kanan dan kiri
mengalami hipoestesi, nervus medianus kanan normal.
Pemeriksaan motorik nervus ulnaris kanan berkekuatan
sedang, nervus ulnaris kiri sulit diperiksa karena claw hand,
nervus medianus kanan kuat, nervus medianus kiri kekuatan
31S
MDVI
Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s
Gambar 4. A,B Hasil biopsi dengan pengecatan HE. tampak tuberkel epiteloid dan sel raksasa Langhans.
sedang, nervus radialis kiri berkekuatan sedang, sedangkan
nervus radalis kanan dan nervus peroneus komunis kanan
dan kiri kuat.
Hasil laboratorium pada tanggal 8 September
menunjukkan darah rutin, glukosa darah sewaktu, fungsi
ginjal dan hati pasien dalam batas normal. Hasil patologi
anatomi pada tanggal 12 September 2011 dengan
pengecatan hematoksilin eosin (HE) (Gambar 4. A,B) dan
Fite Faraco (Gambar 4 C) tampak ortokeratosis tipe basket
wave, epidermis normal, pada dermis tampak beberapa
tuberkel epiteloid dengan sel raksasa Langhans, tidak
tampak grenz zone, tidak tampak foam cell, dapat ditemukan
Mycobacterium leprae walaupun sangat jarang. Hasil
patologi anatomi sesuai dengan kusta tipe borderline
tuberkuloid.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisis dan penunjang di
atas, pasien lalu didiagnosis sebagai kusta multi basilar (MB)
tipe BT, dengan silent neuritis dan cacat derajat II (claw
hand dan ulkus tropis).Terapi yang diberikan pada pasien
adalah rifampisin 300 mg/bulan, klaritromisin 250 mg/hari,
metilprednisolon(MP) 16 mg/hari, aspirin 250 mg 2 kali sehari
dan cream urea 10% dua kali sehari setelah mandi.
Sedangkan untuk ulkus dan bula yang pecah dilakukan
kompres NaCl 2x 15 menit lalu diberikan salep gentamisin.
Setiap 2 minggu sekali pasien disarankan untuk kontrol.
Rencana terapi rifampisin dan klaritromisin diberikan selama
12 bulan, dan MP diturunkan 4 mg setiap 2 minggu sekali.
Pada saat kontrol tanggal 22 November 2011 (2,5 bulan
kemudian), pasien mengalami demam sampai suhu 38,2o C
dan timbul kemerahan pada tepi bercak putih di tangan dan
kaki pasien. Pada regio ekstremitas superior dan inferior,
dan glutea tampak plak eritematosa pada tepi lesi dengan
32 S
bagian tengah hipopigmentasi, bentuk anular, dengan
ukuran bervariasi, multipel, diskret (Gambar 5).
Pemeriksaan saraf tidak didapatkan pembesaran,
namun pasien merasa nyeri pada perabaan nervus ulnaris
dan nervus peroneus kanan. Pemeriksaan sensorik dan
motorik tidak ada perbedaan dengan sebelumnya. Mesipun
pasien sudah mengalami penurunan dosis MP sampai
dengan 4 mg selang sehari, namun karena terjadi reaksi,
dosis MP dikembalikan ke dosis sebelum mengalami reaksi
yaitu 4 mg per hari selama 1 bulan dan tapering perlahan.
Pada saat kontrol terakhir pada tanggal 8 Januari 2012,
reaksi sudah membaik dengan dosis MP terakhir 4 mg dan 2
mg selang seling. Status dermatologis pada regio tangan,
kaki, punggung dan pantat tampak bercak hipopigmentasi
dengan tepi hiperpigmentasi, multipel, diskret. Pada palmar
manus tampak beberapa bula baru, disebabkan pasien sering
bermain play station sampai 3 jam, sehingga terjadi friction
Gambar 5. Pengecatan Fite Faraco. Tampak bak teri tahan asam
(BTA)
K Yuniar dkk.
Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak
Gambar 5. Lesi kulit plak eritem pada tepi lesi dengan bagian tengah patch hipopigmentas, multipel.
Gambar 6. Slit skin smear (22 November 20112,5 bulan pasca terapi)
Gambar 7. Ukuran ulkus yang sudah mengecil pada plantar pedis sinistra
bula akibat hipoestesi pada palmar manus. Ulkus di plantar
pedis sinistra sudah mengecil dengan ukuran 1,5x 1x 0,5
cm. Karena reaksi sudah membaik, pasien juga dikonsulkan
ke Departemen rehabilitasi medis untuk melatih tangan
pasien yang mengalami claw hand. Selama pengobatan
kusta tidak didapatkan penurunan fungsi saraf baik sensorik
maupun motorik. Selain penatalaksanaan di rumah sakit,
untuk hipoestesi pada telapak tangan dan kaki, pasien dan
keluarga diberi edukasi, latihan dan perlindungan diri untuk
mencegah kecatatan lebih lanjut.
PEMBAHASAN
Kusta pada anak dapat menjadi indikator prevalensi
penyakit di populasi umum, sehingga temuan dapat
membantu menentukan transmisi penyakit. Karena masa
inkunbasinya yang lama, kusta biasanya terjadi pada
dewasa,9 namun anak juga merupakan kelompok risiko tinggi,
karena lebih rentan terinfeksi dan mengalami kusta dibanding
dewasa, karena sistem imun yang lebih rendah daripada
dewasa serta kontak yang erat dan lama dengan “tersangka”
sumber infeksi dalam keluarga. Jadi anak berisiko lebih tinggi
terkena kusta jika mereka tinggal di wilayah endemis dan
terpajan kontak dalam keluarga (terutama yang belum
terdeteksi dan tidak diobati).10
Pada kasus, terjadi tipe borderline tuberkuloid, hal ini
sesuai dengan klinis pasien berupa patch hipopigmentasi,
batas tegas, multipel, dengan hipoestesi, dengan IB +1, IM
100%. Secara histopatologis pada kusta tipe borderline
tuberkuloid, tampak tuberkel, limfosit dan sel Langhans
walaupun tidak sebanyak pada tipe tuberkuloid, hal ini
sesuai dengan hasil histopatologi pada pasien. Basil M.
leprae juga dapat ditemukan pada jaringan, walaupun sedikit.
Keluarga pasien menolak dirujuk ke Puskesmas, namun
karena ketidaktersediaan multi drug therapy (MDT) anak
di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Moewardi maka pasien
diberi terapi rifampisin 300 mg/bulan dan klaritromisin 250
mg/hari selama 12 bulan. Hal ini sesuai dengan rejimen yang
digunakan pada pengobatan kusta untuk anak-anak di
33 S
MDVI
RSUD Tugurejo Semarang, yaitu rifampisin 10-15 mg/kg
berat badan setiap bulan dan klaritromisin 15 mg/kg berat
badan. Rejimen ini aman bagi pasien gangguan fungsi hati,
ginjal, jantung, anemia berat, psikosis dan anakanak.11Dosis klaritromisin sesuai dengan penelitian di India
yang menggunakan dosis 250 mg untuk anak usia 5-15
tahun.12
Klaritromisin adalah obat golongan makrolid yang
menunjukkan aktivitas bakterisidal setara dengan oflokasin
dan minoksiklin pada mencit. Kadar hambat minimal obat
ini adalah 0,125 ìg/ml. Obat ini bekerja melalui penghambatan
sintesis protein bakteri dengan mengikat subunit ribosom
50 S, sehingga mencegah elongasi rantai peptida. Pasien
kusta MB yang diobati dengan klaritromisin 500 mg/hari
menunjukkan respons klinis dan bakteriologik yang sama
dengan pemberian ofloksasin dan minoksiklin.13
Percobaan klinik dengaan pemberian klaritromisin 500
mg/hari memperlihatkan aktivitas yang baik melawan
M.leprae yang dibuktikan dengan biopsi pada kaki
mencit.Pasien kusta di Belanda yang resisten terhadap
rifampisin diberikan terapi alternatif, berupa pemberian
klaritromisin 250 mg 2 kali sehari di samping dapson dan
klofazimin. Pemberian klaritromisin selama sebulan mampu
membunuh kuman M.leprae sebanyak 99% dan selanjutnya
kuman M. leprae akan mati sebanyak 99,9% apabila
diberikan selama 2 bulan. Sebagaimana golongan makrolid
lainnya, obat ini relatif tidak toksik. Efek samping obat ini
yang paling umum berupa iritasi gastrointestinal, mual,
muntah dan diare.14
Rifampisin bersifat bakterisidal poten terhadap M.
leprae. Empat hari setelah pemberian 600 mg Rifampisin
dosis tunggal, basil dari pasien multibasiler yang belum
pernah diterapi tidak lagi viable pada tes mouse footpad
(MFP). Rifampisin bekerja dengan menghambat polimerase
RNA dependent-DNA. Resistensi rifampisin terjadi akibat
mutasi pada rpoB. Resistensi M. leprae terhadap rifampisin
terjadi berupa proses satu tahap, sehingga obat ini harus
Foto Kontrol tanggal 8 Januari 2012
34 S
Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s
selalu dipakai dalam kombinasi dengan obat lain. Pada anakanak di bawah 10 tahun dosis yang digunakan adalah 300
mg perbulan.5
Pada anamnesis, pasien dan keluarga menyangkal
tanda-tanda reaksi misalnya demam, lesi kulit yang menjadi
bengkak, memerah dan nyeri, atau rasa kesemutan. Namun
karena pada pasien telah terjadi cacat derajat II, maka kami
menduga adanya silent neuritis sebelumnya. Silent neuritis
merupakan istilah klinis yang digunakan untuk neuropati
dengan gangguan fungsi motorik dan sensorik namun tanpa
keluhan nyeri pada saraf, parestesi, atau nyeri saraf pada
perabaan. Istilah ini tidak mencakup neuropati kronik
destruktif pada kusta lepromatosa, namun merupakan
episode neuropati yang menyebabkan kerusakan saraf dalam
periode yang relatif lebih singkat,15 sehingga bukan termasuk
reaksi reversal. Silent neuropathy diterapi dengan cara yang
sama dengan reaksi reversal. Angka responssnya
tergantung keparahan kerusakan awal, namun walaupun
diterapi sejak awal kerusakan, saraf hanya membaik pada
60% kasus.5 Hal ini sesuai dengan tipe kusta pada pasien
yaitu borderline tuberculoid yang sering berhubungan
dengan kerusakan saraf yang cepat dan parah.
Pasien mengalami reaksi reversal pada bulan ke 3 terapi
kusta. Reaksi reversal (reaksi tipe I) bermanifestasi klinis
berupa eritema dan edema pada lesi kulit dan saraf tepi yang
nyeri (neuritis). Penurunan fungsi saraf yang terjadi dapat
parah. Waktu puncak reaksi reversal biasanya terjadi 2 bulan
terapi, tapi dapat berlanjut sampai 12 bulan, dan kadang
setelah MDT selesai. Terapi pada reaksi terutama ditujukan
untuk mengontrol inflamasi akut, mengurangi nyeri,
menghentikan kerusakan saraf dan mata. MDT harus tetap
dilanjutkan. Reaksi reversal ini harus diterapi dengan
kortikosteroid. Dosis standar prednison yang digunakan
berkisar 40-60 mg perhari, atau 0,5-1 mg/kgBB dan dikurangi
5 mg setiap 2-4 minggu jika terdapat perbaikan pada nyeri
perabaan saraf, gejala pasien dan evaluasi fungsi saraf
contohnya dengan filamen Semme Weinstein. Pasien MH
K Yuniar dkk.
BT dengan reaksi biasanya membutuhkan kortikosteroid
sekitar 3-4 bulan, sedangkan pasien BL dengan reaksi
membutuhkan kortikosteroid sekitar 6 bulan. Inflamasi pada
tipe MH BL lebih lambat perbaikannya, dan bahkan setelah
terapi kortikosteroid selama 6 bulan beberapa pasien tetap
menunjukkan sitokin proinflamasi yang tinggi pada lesi
kulitnya. Jika reaksi diterapi dengan baik diharapkan angka
kesembuhan sekitar 60-70%, dan kesembuhan lebih sulit
terjadi bila sebelumnya telah ada gangguan fungsi saraf
atau pada reaksi berulang.5
Pasien sering mengalami lepuh pada telapak tangan
dan kaki, akibat anestesi pada tangan kiri dan kaki kanan
dan kiri, sehingga mudah timbul bula akibat friksi atau
trauma. Pada pasien, bula sering timbul akibat memasak,
bersepeda, dan main sepakbola. Pada orang normal bula ini
nyeri sehingga orang menghentikan aktivitasnya, namun
karena anestesi, pasien terlambat menyadarinya sehingga
timbul ulkus. Sekitar 19% kasus baru di Para, Brazilia
mengalami cacat derajat I atau II, hal ini mungkin disebabkan
antara lain karena keterlambatan diagnosis, kurangnya terapi
yang sesuai dan kegagalan penanganan reaksi kusta
kerusakan saraf dan ulkus neuropatik pada pasien kusta.16
Pada pasien ini, ulkus di kaki kiri sudah mengalami perbaikan
walaupun belum menutup sempurna. Masih muncul bula
baru selain akibat anestesi yang ada, juga karena pasien
adalah anak yang aktif, sehingga sulit diedukasi untuk
menghentikan atau mengurangi aktivitas yang berbahaya
dan sulit untuk mengistirahatkan kakinya yang terkena
ulkus, sehingga tekanan akibat berjalan tetap dialami oleh
ulkus sehingga sulit sembuh.
Prognosis pada pasien ini kurang baik karena kecacatan
yang dideritanya sudah menetap.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus pasien kusta MB tipe BT
dengan reaksi reversal dan cacat derajat II, yang diterapi
dengan rifampisin 300 mg / bulan dan klaritromisin 250 mg /
hari, serta perawatan ulkus dengan kompres NaCl 2x 15 menit
dan gentamisin salep. Didapatkan perbaikan kusta ditandai
dengan menurunnya IM dan perbaikan ukuran ulkus.
Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak
DAFTAR PUSTAKA
1. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. 3 ed. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 1990.
2. WHO. Weekly epidemiological record, 2 September 2011.
2011; 86(36): 389–400 http://www.who.int/wer
3. Declercq Etienne. Leprosy statistics 2009: some thoughts.
Leprosy Review 2011; 82: 87-9.
4. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Jakarta ; 2006.
5. Britton Wj, Lockwood DNJ. Leprosy. The Lancet 2004; 363:
1209-19.
6. Handog EB, Gabriel TG, Co CC. Leprosy in the Phillippines:
a review. Int J Dermatol. 2011; 50: 573-81.
7. Boku N, Lockwood DN, Balagon MV, et al. Impacts of the
diagnosis of leprosy and of visible impairments amongst
people affected by leprosy in Cebu, the Philippines. Lepr
Rev. 2010; 81: 111–20.
8. Saunderson P. The epidemiology of reactions and nerve
damage. Lepr Rev 2000; 71: S106–10.
9. Imbiriba EB, Guerrero JCH, Garnelo L, Levino A, Cunha
MG, Pedrosa V. Epidemiological profile of leprosy in children
under 15 in Manaus (Northern Brazil), 1998–2005. 2007.
Rev Saúde Pública 2008;42(6): 1-5.
10. Cortés SL, Rodríguez G. Leprosy in Children: Association
between Clinical and Pathological Aspects. J Trop Ped. 2004;
50(1): 13-16
11. Hubaya K. Pengenalan penyakit kusta secra dini dan
pengobatannya. Pertemuan Konsultasi Program P2 Kusta
Kepala Puskesmas sekota Semarang. Semarang, RSUD
Tugurejo, Juni 2002
12. Girdhar A, Kumar A, Girdhar BK. A randomised controlled
trial assessing the effect of adding clarithromycin to
Rifampicin, ofloxacin and minocycline in the treatment of
single lesion paucibacillary leprosy in Agra District, India.
Lepr Rev. 2011; 82: 46 – 54
13. Yawalkar SJ. Treatment leprosy for medical practitioners and
paramedical workers. Edisi ke-7. Swizerland: Novartis
Foundation for Sustainable Development, 2002:59-71
14. Jacobson RR. Treatment of leprosy. Dalam: Hasting RC,
Opromolla DVA editor Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg:
Churchil Livingston, 1994: 317-49.)
15. Santhanam A. Silent neuropathy: Detection and monitoring
using Semmes-Weinstein monofilaments. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2003; 69: 350-2
16. Barreto JG, Salgado CG.Clinic-epidemiological evaluation of
ulcers in patients with leprosy sequelae and the effect of low
level laser therapy on wound healing: a randomized clinical
trial. BMC Infectious Diseases. 2010; 10: 237.
35 S
Download