Laporan Kasus KUSTA MULTIBASILER TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN REAKSI REVERSAL DAN CACAT DERAJAT II PADA ANAK 9 TAHUN Kalista Yuniar, Miratri Winny Risadini, Nurrachmat Mulianto, Arie Kusumawardani, Nugrohoaji Dharmawan, Indah Julianto Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sebelas Maret/ RS Dr. Moewardi, Surakarta ABSTRAK Kusta adalah infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, melibatkan terutama kulit dan saraf. Di Indonesia proporsi anak dengan kasus baru kusta yang terdeteksi pada tahun 2010 sebesar 11,2%. Seorang anak laki-laki, 9 tahun, dengan lepuh berulang pada telapak tangan dan kaki yang tidak nyeri, serta jari tangan kiri yang tidak bisa diluruskan. Pada regio ekstremitas atas, bawah, gluteal tampak bercak (patch) hipopigmentasi berbatas tegas, multipel dengan hipoestesi, bula dinding kendur, dan ulkus pada regio plantar pedis sinistra. Tidak didapatkan pembesaran saraf. Terdapat penurunan fungsi saraf sensorik dan motorik N.ulnaris kanan kiri, N.medianus kiri, serta penurunan sensorik N. tibialis posterior kanan kiri. Terdapat claw hand tangan kiri. Pasien didiagnosis kusta multibasiler tipe borderline tuberkuloid dengan neuritis dan cacat derajat 2. Pasien diterapi rifampisin 300 mg/bulan, klaritromisin 250 mg/hari, metilprednisolon(MP) 16 mg/hari dan aspirin 250 mg 2 kali sehari, untuk ulkus dikompres NaCl 2 kali sehari dan gentamisin salep serta rehabilitasi medis. Selama proses terapi, pasien mengalami reaksi reversal. Pasien menunjukkan perbaikan ditandai dengan mengecilnya ulkus, penurunan indeks morfologi, tidak terdapat penurunan fungsi saraf. (MDVI 2012; 39/s; 29s - 35s) Kata kunci: kusta, reaksi reversal, cacat derajat II ABSTRACT Korespondensi: Jl. Kesehatan No.1A, Sekip Yogyakarta Telp. 0274 – 560700 Email:[email protected] Leprosy is a chronic granulomatous infection caused by Mycobacterium leprae, involving primarily skin and nerves. The proportion of children among newly detected case in Indonesia on 2010 is about 11,2%. A 9 year-old boy came to hospital with repeated nonpainful blister on his palms and soles, and cannot straighten his left fingers. There were multiple well defined hypopigmented patch with hypoesthesia on superior et inferior extremities and gluteal region, flaccid blister on his palm, and ulcer on his left plantar pedis.There were no nerve enlargement. The sensory and motor function were decrease on left and right ulnar, left medianus nerves and the sensory function were decrease on posterior tibial nerves. There were left claw hand. The patient diagnose as multibacillary tuberculoid borderline leprosy with neuritis and dissability grade II., and being treated with 300 mg Rifampicin/month, 250 mg clarythromycin/ day, 16 mg methylprednisolon/day and 250 mg aspirin twice a day. In the course therapy, the patient show reversal reaction. The patient shows improvement with therapy marked by the decreasing morfology index, no functional nerves decrease and decreasing of ulcer size. (MDVI 2012; 39/s; 29s - 35s) Keyword: leprosy, reversal reaction, dissability grade II 29 S MDVI PENDAHULUAN Kusta atau Morbus Hansen (MH) adalah infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, melibatkan terutama saraf perifer dan kulit, tetapi kadang juga mengenai jaringan lain seperti mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan testis.1 Menurut World Health Organization (WHO) berdasarkan data Departemen Kesehatan 130 negara, jumlah kasus kusta yang terdaftar pada semester 1 tahun 2011 sebesar 192.246 kasus, dengan jumlah kasus 0,34 per 10.000 populasi, sedangkan jumlah kasus baru selama tahun 2010 sebesar 228.474 kasus. Jumlah ini terutama dipengaruhi oleh negara yang melaporkan jumlah pasien terbesar misalnya India pada urutan pertama dengan kasus sebesar 55% dari jumlah kusta baru yang terdeteksi, diikuti Brazilia sebesar 15% dan Indonesia sebesar 7%.2 Di Indonesia prevalensi kasus yang terdaftar pada tahun 2010 sebesar 19.785 orang, dan jumlah kasus baru selama 2010 sebesar 17.012, dengan jumlah kasus multi basiler (MB) sebesar 13.734, jumlah kasus baru dengan cacat derajat 2 sebesar 1.906 dan jumlah wanita pada kasus baru 6.598. Proporsi kasus baru dengan anak pada kusta yang terdeteksi pada tahun 2010 sebesar 11,2% di Indonesia. 2 Proporsi besar anak di antara kasus baru (>10%) menandakan transmisi aktif dan baru.3 Diagnosis kusta dapat ditegakkan bila terdapat gejala klinis minimal satu dari tanda berikut 1) bercak kemerahan (eritema) atau putih (hipopigmentasi) dengan berkurangnya sensibilitas, 2) penebalan saraf perifer dan gangguan fungsi saraf baik sensorik, motorik atau otonom, dan 3) temuan bakteri tahan asam pada slit skin smear atau dari biopsi.4,5Pemeriksaan histopatologis merupakan baku emas untuk diagnosis kusta. Klasifikasi kusta yang biasa digunakan adalah klasifikasi Ridley-Jopling, didasarkan pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan histopatologis. Selain itu terdapat pula klasifikasi WHO berdasarkan temuan basil tahan asam (BTA) pada jaringan kulit yaitu pausibasiler (PB) jika tidak didapatkan BTA pada slit skin smear dan MB jika didapatkan BTA pada slit skin smear.1 Kusta dapat menyebabkan cacat dan deformitas pada mata, tangan dan kaki. Hal ini terjadi akibat kerusakan saraf saat neuritis dan reaksi kusta sehingga menyebabkan kekuatan otot menurun dan sensasi nenghilang.6 Kerusakan pada saraf dapat terjadi sebelum, selama dan setelah terapi, dan dapat menyebabkan cacat sehingga menimbulkan stigma.7 Sebuah penelitian kohort di Ethiopia menunjukkan 47% dari 594 kasus baru telah mengalami gangguan fungsi saraf pada saat terdiagnosis. Sekitar 12% pasien mengalami kerusakan saraf saat pengobatan dan pada 33% pasien tidak terdapat tanda klinis gangguan fungsi saraf. Derajat kerusakan saraf pada saat diagnosis menunjukkan keterlambatan antara awitan penyakit dan diagnosis. Keterlambatan ini biasanya dalam hitungan tahun dan selama 30 S Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s itu neuropati dapat terjadi tanpa disadari (silent neuropathy).8 Berikut akan kami laporkan satu kasus kusta MB tipe BT pada anak dengan reaksi reversal dan cacat derajat II. KASUS Seorang anak laki-laki FA, usia 9 tahun, pelajar, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 7 September 2011 dengan keluhan lepuh dan luka di telapak kaki dan tangan yang berulang, dan jari tangan kiri yang tidak dapat diluruskan. Pasien adalah rujukan spesialis kulit dan kelamin di Surakarta dengan kecurigaan kusta. Berdasarkan alloanamnesis sejak kurang lebih 3 tahun sebelumnya orang tua pasien melihat ada bercak-bercak putih di pantat dan lengan pasien. Karena pasien tidak mengeluh gatal atau nyeri, oleh orang tua dianggap hanya buras dan tidak dibawa berobat. Satu tahun sebelumnya pasien mengalami lepuh berulang yang tidak terasa nyeri pada kedua telapak tangan dan telapak kaki, pasien juga merasa jari tangan kiri tidak bisa diluruskan.Sekitar 6 bulan kemudian pada luka bekas operasi timbul lepuh yang tidak sembuh-sembuh, pasien berobat ke dokter umum dan diberi obat minum 2 buah dan salep, orang tua pasien tidak mengetahui nama obatnya. Karena merasa tidak ada perbaikan, pasien tidak pernah kontrol lagi.Keluhan lepuh berulang dan jari tangan kirinya tidak membaik sehingga berobat ke spesialis kulit dan kelamin, lalu dirujuk ke Poliklinik Kulit dan Kelamin di RS Dr. Moewardi. Orang tua pasien menyangkal riwayat alergi obat, atopi dan sakit gula pada pasien.Pasien menyangkal riwayat demam, nyeri serta kemerahan pada bercak-bercak putih di tubuhnya. Setahun sebelumnya pasien dioperasi oleh dokter bedah karena mata ikan di telapak kaki, luka sudah sembuh. Kakek pasien tinggal serumah dengan pasien, tidak pernah didiagnosis dan diobati sakit kusta, tetapi sempat mengalami jari tangan yang putus sendiri tanpa nyeri dan berdarah, dan sudah meninggal karena sakit jantung 8 bulan yang lalu. Pasien adalah putra kedua dari 2 bersaudara. Selain pasien tidak ada keluarga yang mengalami sakit serupa. Pemeriksaan fisis dan slit skin smear yang dilakukan terhadap orangtua pasien tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital pasien dalam batas normal dengan berat badan 18 kg. Status dermatologis pada regio ekstremitas superior dan inferior dan gluteal tampak bercak hipopigmentasi berbatas tegas, dan multipel (Gambar 1 A,B,C) Pada palmar manus dekstra tampak bula soliter berdinding kendur. Pada digiti II dan III manus sinistra tampak erosi tertutup krusta, serta digiti III manus dekstra tampak onikodistrofi.Tidak ditemukan lagoftalmus, tetapi ditemukan atrofi hipotenar dan tenar kiri, serta ditemukan complete claw hand pada tangan kiri (Gambar 2.A,B). Pada plantar pedis sinistra tampak ulkus dengan dasar jaringan K Yuniar dkk. Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak Gambar 1. A,B.CPatch hipopigmentasi batas tegas,multipel granulasi berukuran 3x 1,5x ½ cm. (Gambar 2.C) Terdapat skar akibat vaksinasi BCG di lengan kanan. Pasien diagnosis banding kusta tipe borderline tuberkuloid (BT) dengan kecacatan derajat 2, pitiriasis versikolor (PV) dengan ulkus pedis, dan pitiriasis alba dengan ulkus pedis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien berupa pemeriksaan KOH-tinta Parker, lampu Wood, pemeriksaan slit skin smear, pemeriksaan gram ulkus, pemeriksaan rutin kusta dan biopsi lesi. Pada pemeriksaan dengan KOH-tinta Parker tidak ditemukan gambaran Gambar 2. A.B. Bula dinding kendur pada palmar manus dektra, atrofi tenar dan hipotenar, claw hand, erosi tertutup krusta pada palmar manus sinistra C. ulkus pedis Gambar 3. Slit skin smear spaghetti and meat ball. Pemeriksaan dengan lampu Wood hasilnya negatif, pewarnaan Gram dan bahan ulkus ditemukan kokus Gram positif. Pada pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam dengan indeks bakteri (IB) +1 dan indeks morfologi (IM) 100%. (Gambar 3) Pada pemeriksaan sensibilitas lesi, sensasi tajam tumpul dan panas dingin pada lesi berkurang (hipoestesi). Pada pemeriksaan saraf tidak ditemukan pembesaran saraf pada nervus auricularis magnus, nervus ulnaris, nervus peroneus komunis dan nervus tibialis posterior. Pada pemeriksaan sensorik nervus ulnaris kanan dan kiri, nervus medianus kiri dan nervus tibialis posterior kanan dan kiri mengalami hipoestesi, nervus medianus kanan normal. Pemeriksaan motorik nervus ulnaris kanan berkekuatan sedang, nervus ulnaris kiri sulit diperiksa karena claw hand, nervus medianus kanan kuat, nervus medianus kiri kekuatan 31S MDVI Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s Gambar 4. A,B Hasil biopsi dengan pengecatan HE. tampak tuberkel epiteloid dan sel raksasa Langhans. sedang, nervus radialis kiri berkekuatan sedang, sedangkan nervus radalis kanan dan nervus peroneus komunis kanan dan kiri kuat. Hasil laboratorium pada tanggal 8 September menunjukkan darah rutin, glukosa darah sewaktu, fungsi ginjal dan hati pasien dalam batas normal. Hasil patologi anatomi pada tanggal 12 September 2011 dengan pengecatan hematoksilin eosin (HE) (Gambar 4. A,B) dan Fite Faraco (Gambar 4 C) tampak ortokeratosis tipe basket wave, epidermis normal, pada dermis tampak beberapa tuberkel epiteloid dengan sel raksasa Langhans, tidak tampak grenz zone, tidak tampak foam cell, dapat ditemukan Mycobacterium leprae walaupun sangat jarang. Hasil patologi anatomi sesuai dengan kusta tipe borderline tuberkuloid. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisis dan penunjang di atas, pasien lalu didiagnosis sebagai kusta multi basilar (MB) tipe BT, dengan silent neuritis dan cacat derajat II (claw hand dan ulkus tropis).Terapi yang diberikan pada pasien adalah rifampisin 300 mg/bulan, klaritromisin 250 mg/hari, metilprednisolon(MP) 16 mg/hari, aspirin 250 mg 2 kali sehari dan cream urea 10% dua kali sehari setelah mandi. Sedangkan untuk ulkus dan bula yang pecah dilakukan kompres NaCl 2x 15 menit lalu diberikan salep gentamisin. Setiap 2 minggu sekali pasien disarankan untuk kontrol. Rencana terapi rifampisin dan klaritromisin diberikan selama 12 bulan, dan MP diturunkan 4 mg setiap 2 minggu sekali. Pada saat kontrol tanggal 22 November 2011 (2,5 bulan kemudian), pasien mengalami demam sampai suhu 38,2o C dan timbul kemerahan pada tepi bercak putih di tangan dan kaki pasien. Pada regio ekstremitas superior dan inferior, dan glutea tampak plak eritematosa pada tepi lesi dengan 32 S bagian tengah hipopigmentasi, bentuk anular, dengan ukuran bervariasi, multipel, diskret (Gambar 5). Pemeriksaan saraf tidak didapatkan pembesaran, namun pasien merasa nyeri pada perabaan nervus ulnaris dan nervus peroneus kanan. Pemeriksaan sensorik dan motorik tidak ada perbedaan dengan sebelumnya. Mesipun pasien sudah mengalami penurunan dosis MP sampai dengan 4 mg selang sehari, namun karena terjadi reaksi, dosis MP dikembalikan ke dosis sebelum mengalami reaksi yaitu 4 mg per hari selama 1 bulan dan tapering perlahan. Pada saat kontrol terakhir pada tanggal 8 Januari 2012, reaksi sudah membaik dengan dosis MP terakhir 4 mg dan 2 mg selang seling. Status dermatologis pada regio tangan, kaki, punggung dan pantat tampak bercak hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi, multipel, diskret. Pada palmar manus tampak beberapa bula baru, disebabkan pasien sering bermain play station sampai 3 jam, sehingga terjadi friction Gambar 5. Pengecatan Fite Faraco. Tampak bak teri tahan asam (BTA) K Yuniar dkk. Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak Gambar 5. Lesi kulit plak eritem pada tepi lesi dengan bagian tengah patch hipopigmentas, multipel. Gambar 6. Slit skin smear (22 November 20112,5 bulan pasca terapi) Gambar 7. Ukuran ulkus yang sudah mengecil pada plantar pedis sinistra bula akibat hipoestesi pada palmar manus. Ulkus di plantar pedis sinistra sudah mengecil dengan ukuran 1,5x 1x 0,5 cm. Karena reaksi sudah membaik, pasien juga dikonsulkan ke Departemen rehabilitasi medis untuk melatih tangan pasien yang mengalami claw hand. Selama pengobatan kusta tidak didapatkan penurunan fungsi saraf baik sensorik maupun motorik. Selain penatalaksanaan di rumah sakit, untuk hipoestesi pada telapak tangan dan kaki, pasien dan keluarga diberi edukasi, latihan dan perlindungan diri untuk mencegah kecatatan lebih lanjut. PEMBAHASAN Kusta pada anak dapat menjadi indikator prevalensi penyakit di populasi umum, sehingga temuan dapat membantu menentukan transmisi penyakit. Karena masa inkunbasinya yang lama, kusta biasanya terjadi pada dewasa,9 namun anak juga merupakan kelompok risiko tinggi, karena lebih rentan terinfeksi dan mengalami kusta dibanding dewasa, karena sistem imun yang lebih rendah daripada dewasa serta kontak yang erat dan lama dengan “tersangka” sumber infeksi dalam keluarga. Jadi anak berisiko lebih tinggi terkena kusta jika mereka tinggal di wilayah endemis dan terpajan kontak dalam keluarga (terutama yang belum terdeteksi dan tidak diobati).10 Pada kasus, terjadi tipe borderline tuberkuloid, hal ini sesuai dengan klinis pasien berupa patch hipopigmentasi, batas tegas, multipel, dengan hipoestesi, dengan IB +1, IM 100%. Secara histopatologis pada kusta tipe borderline tuberkuloid, tampak tuberkel, limfosit dan sel Langhans walaupun tidak sebanyak pada tipe tuberkuloid, hal ini sesuai dengan hasil histopatologi pada pasien. Basil M. leprae juga dapat ditemukan pada jaringan, walaupun sedikit. Keluarga pasien menolak dirujuk ke Puskesmas, namun karena ketidaktersediaan multi drug therapy (MDT) anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Moewardi maka pasien diberi terapi rifampisin 300 mg/bulan dan klaritromisin 250 mg/hari selama 12 bulan. Hal ini sesuai dengan rejimen yang digunakan pada pengobatan kusta untuk anak-anak di 33 S MDVI RSUD Tugurejo Semarang, yaitu rifampisin 10-15 mg/kg berat badan setiap bulan dan klaritromisin 15 mg/kg berat badan. Rejimen ini aman bagi pasien gangguan fungsi hati, ginjal, jantung, anemia berat, psikosis dan anakanak.11Dosis klaritromisin sesuai dengan penelitian di India yang menggunakan dosis 250 mg untuk anak usia 5-15 tahun.12 Klaritromisin adalah obat golongan makrolid yang menunjukkan aktivitas bakterisidal setara dengan oflokasin dan minoksiklin pada mencit. Kadar hambat minimal obat ini adalah 0,125 ìg/ml. Obat ini bekerja melalui penghambatan sintesis protein bakteri dengan mengikat subunit ribosom 50 S, sehingga mencegah elongasi rantai peptida. Pasien kusta MB yang diobati dengan klaritromisin 500 mg/hari menunjukkan respons klinis dan bakteriologik yang sama dengan pemberian ofloksasin dan minoksiklin.13 Percobaan klinik dengaan pemberian klaritromisin 500 mg/hari memperlihatkan aktivitas yang baik melawan M.leprae yang dibuktikan dengan biopsi pada kaki mencit.Pasien kusta di Belanda yang resisten terhadap rifampisin diberikan terapi alternatif, berupa pemberian klaritromisin 250 mg 2 kali sehari di samping dapson dan klofazimin. Pemberian klaritromisin selama sebulan mampu membunuh kuman M.leprae sebanyak 99% dan selanjutnya kuman M. leprae akan mati sebanyak 99,9% apabila diberikan selama 2 bulan. Sebagaimana golongan makrolid lainnya, obat ini relatif tidak toksik. Efek samping obat ini yang paling umum berupa iritasi gastrointestinal, mual, muntah dan diare.14 Rifampisin bersifat bakterisidal poten terhadap M. leprae. Empat hari setelah pemberian 600 mg Rifampisin dosis tunggal, basil dari pasien multibasiler yang belum pernah diterapi tidak lagi viable pada tes mouse footpad (MFP). Rifampisin bekerja dengan menghambat polimerase RNA dependent-DNA. Resistensi rifampisin terjadi akibat mutasi pada rpoB. Resistensi M. leprae terhadap rifampisin terjadi berupa proses satu tahap, sehingga obat ini harus Foto Kontrol tanggal 8 Januari 2012 34 S Vol 39 No. Suplemen Tahun 2012; 29 s - 35 s selalu dipakai dalam kombinasi dengan obat lain. Pada anakanak di bawah 10 tahun dosis yang digunakan adalah 300 mg perbulan.5 Pada anamnesis, pasien dan keluarga menyangkal tanda-tanda reaksi misalnya demam, lesi kulit yang menjadi bengkak, memerah dan nyeri, atau rasa kesemutan. Namun karena pada pasien telah terjadi cacat derajat II, maka kami menduga adanya silent neuritis sebelumnya. Silent neuritis merupakan istilah klinis yang digunakan untuk neuropati dengan gangguan fungsi motorik dan sensorik namun tanpa keluhan nyeri pada saraf, parestesi, atau nyeri saraf pada perabaan. Istilah ini tidak mencakup neuropati kronik destruktif pada kusta lepromatosa, namun merupakan episode neuropati yang menyebabkan kerusakan saraf dalam periode yang relatif lebih singkat,15 sehingga bukan termasuk reaksi reversal. Silent neuropathy diterapi dengan cara yang sama dengan reaksi reversal. Angka responssnya tergantung keparahan kerusakan awal, namun walaupun diterapi sejak awal kerusakan, saraf hanya membaik pada 60% kasus.5 Hal ini sesuai dengan tipe kusta pada pasien yaitu borderline tuberculoid yang sering berhubungan dengan kerusakan saraf yang cepat dan parah. Pasien mengalami reaksi reversal pada bulan ke 3 terapi kusta. Reaksi reversal (reaksi tipe I) bermanifestasi klinis berupa eritema dan edema pada lesi kulit dan saraf tepi yang nyeri (neuritis). Penurunan fungsi saraf yang terjadi dapat parah. Waktu puncak reaksi reversal biasanya terjadi 2 bulan terapi, tapi dapat berlanjut sampai 12 bulan, dan kadang setelah MDT selesai. Terapi pada reaksi terutama ditujukan untuk mengontrol inflamasi akut, mengurangi nyeri, menghentikan kerusakan saraf dan mata. MDT harus tetap dilanjutkan. Reaksi reversal ini harus diterapi dengan kortikosteroid. Dosis standar prednison yang digunakan berkisar 40-60 mg perhari, atau 0,5-1 mg/kgBB dan dikurangi 5 mg setiap 2-4 minggu jika terdapat perbaikan pada nyeri perabaan saraf, gejala pasien dan evaluasi fungsi saraf contohnya dengan filamen Semme Weinstein. Pasien MH K Yuniar dkk. BT dengan reaksi biasanya membutuhkan kortikosteroid sekitar 3-4 bulan, sedangkan pasien BL dengan reaksi membutuhkan kortikosteroid sekitar 6 bulan. Inflamasi pada tipe MH BL lebih lambat perbaikannya, dan bahkan setelah terapi kortikosteroid selama 6 bulan beberapa pasien tetap menunjukkan sitokin proinflamasi yang tinggi pada lesi kulitnya. Jika reaksi diterapi dengan baik diharapkan angka kesembuhan sekitar 60-70%, dan kesembuhan lebih sulit terjadi bila sebelumnya telah ada gangguan fungsi saraf atau pada reaksi berulang.5 Pasien sering mengalami lepuh pada telapak tangan dan kaki, akibat anestesi pada tangan kiri dan kaki kanan dan kiri, sehingga mudah timbul bula akibat friksi atau trauma. Pada pasien, bula sering timbul akibat memasak, bersepeda, dan main sepakbola. Pada orang normal bula ini nyeri sehingga orang menghentikan aktivitasnya, namun karena anestesi, pasien terlambat menyadarinya sehingga timbul ulkus. Sekitar 19% kasus baru di Para, Brazilia mengalami cacat derajat I atau II, hal ini mungkin disebabkan antara lain karena keterlambatan diagnosis, kurangnya terapi yang sesuai dan kegagalan penanganan reaksi kusta kerusakan saraf dan ulkus neuropatik pada pasien kusta.16 Pada pasien ini, ulkus di kaki kiri sudah mengalami perbaikan walaupun belum menutup sempurna. Masih muncul bula baru selain akibat anestesi yang ada, juga karena pasien adalah anak yang aktif, sehingga sulit diedukasi untuk menghentikan atau mengurangi aktivitas yang berbahaya dan sulit untuk mengistirahatkan kakinya yang terkena ulkus, sehingga tekanan akibat berjalan tetap dialami oleh ulkus sehingga sulit sembuh. Prognosis pada pasien ini kurang baik karena kecacatan yang dideritanya sudah menetap. KESIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus pasien kusta MB tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat derajat II, yang diterapi dengan rifampisin 300 mg / bulan dan klaritromisin 250 mg / hari, serta perawatan ulkus dengan kompres NaCl 2x 15 menit dan gentamisin salep. Didapatkan perbaikan kusta ditandai dengan menurunnya IM dan perbaikan ukuran ulkus. Kusta tipe BT dengan reaksi reversal dan cacat pada anak DAFTAR PUSTAKA 1. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. 3 ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1990. 2. WHO. Weekly epidemiological record, 2 September 2011. 2011; 86(36): 389–400 http://www.who.int/wer 3. Declercq Etienne. Leprosy statistics 2009: some thoughts. Leprosy Review 2011; 82: 87-9. 4. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Jakarta ; 2006. 5. Britton Wj, Lockwood DNJ. Leprosy. The Lancet 2004; 363: 1209-19. 6. Handog EB, Gabriel TG, Co CC. Leprosy in the Phillippines: a review. Int J Dermatol. 2011; 50: 573-81. 7. Boku N, Lockwood DN, Balagon MV, et al. Impacts of the diagnosis of leprosy and of visible impairments amongst people affected by leprosy in Cebu, the Philippines. Lepr Rev. 2010; 81: 111–20. 8. Saunderson P. The epidemiology of reactions and nerve damage. Lepr Rev 2000; 71: S106–10. 9. Imbiriba EB, Guerrero JCH, Garnelo L, Levino A, Cunha MG, Pedrosa V. Epidemiological profile of leprosy in children under 15 in Manaus (Northern Brazil), 1998–2005. 2007. Rev Saúde Pública 2008;42(6): 1-5. 10. Cortés SL, Rodríguez G. Leprosy in Children: Association between Clinical and Pathological Aspects. J Trop Ped. 2004; 50(1): 13-16 11. Hubaya K. Pengenalan penyakit kusta secra dini dan pengobatannya. Pertemuan Konsultasi Program P2 Kusta Kepala Puskesmas sekota Semarang. Semarang, RSUD Tugurejo, Juni 2002 12. Girdhar A, Kumar A, Girdhar BK. A randomised controlled trial assessing the effect of adding clarithromycin to Rifampicin, ofloxacin and minocycline in the treatment of single lesion paucibacillary leprosy in Agra District, India. Lepr Rev. 2011; 82: 46 – 54 13. Yawalkar SJ. Treatment leprosy for medical practitioners and paramedical workers. Edisi ke-7. Swizerland: Novartis Foundation for Sustainable Development, 2002:59-71 14. Jacobson RR. Treatment of leprosy. Dalam: Hasting RC, Opromolla DVA editor Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingston, 1994: 317-49.) 15. Santhanam A. Silent neuropathy: Detection and monitoring using Semmes-Weinstein monofilaments. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2003; 69: 350-2 16. Barreto JG, Salgado CG.Clinic-epidemiological evaluation of ulcers in patients with leprosy sequelae and the effect of low level laser therapy on wound healing: a randomized clinical trial. BMC Infectious Diseases. 2010; 10: 237. 35 S