upaya penanganan infeksi cacing`mata ayam buras melalui

advertisement
Seminar Nasional Peternakan dam Vetenner 1997
UPAYA PENANGANAN INFEKSI CACING'MATA AYAM
BURAS MELALUI PEMELIHARAAN DAN PENGOBATAN
WASITO
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Gedong Johor
Alan Katya Yasa 20, iLledan 20143
RINGKASAN
Cacing mata ditemukan di bawah membrana niktitans atau di dalam kantong konjungtiva
ayam, itik dan bangsa bunmg lain. Infeksi cacing mata dengan konjungtivitis disertai eksudat
purulent atau perkejuan pada anak ayam buras umur 1 - 3,5 bulan tanpa penanganan dapat
menimbulkan kematian sampai 90%. Sistem pemeliharaan, faktor musim, sanitasi dan inang
perantara cacing mata berpenganill terhadap angka prevalensi clan derajat infeksi cacing . Pada
sistem pemeliharaan ekstensif atau sctengah liar dengan sanitasi buruk (kotor clan lembab) disertai
populasi inang perantara yang tinggi dalam musim penghujan, ditemukan infeksi cacing mata
lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan pemeliharaan intensif atau semi intensif dengan sanitasi
cukup baik, tanpa adanya inang perantara, pada musim kemarau . Pengobatan dengan obat-obatan
tradisional, seperti cabai rawit, bawang putili, daun tembakau, buah pinang belum memberikan
daya terapeutik seperti yang diharapkan . Hasil uji -efikasi berbagai bahan obat menunjukan: 1 2
tinktura (1%, 10%); Ivermectine (1%, 10%); Mebendazole & Pyrantel pamoat ; Piperazine sitrat
40% (10%), air jenlk nipis (50'Yo) mempunyai aktivitas anthelmintik terhadap cacing mata pada in
vitro atau in vivo (sangat nyata, P < 0,01) . Morantel sitrat & Oxyclozanide (25%), air tembakau
(40%), bawang putili (30%,), cabe rawit kurang mempunyai aktivitas anthelmintik terhadap cacing
mata pada in vitro atau in vivo (tidak nyata, P > 0,05) . Oksitetrasiklin, Chloramphenicol
(antibiotika) tidak memiliki aktivitas anthelmintik terhadap cacing mata, in vitro atau in vivo.
Tidak terjadi reinfeksi cacing mata pada ayam buras setelah pengobatan dengan 12 tinktura 2%
clan dipelihara secara intensif (sangat nyata, P < 0,01), tetapi apabila ayam dipelihara secara
ekstensif di daerah endemik cacing mata, akan terjadi reinfeksi cacing mata. Upaya penanganan
infeksi cacing mata secara praktis dan efisien dapat dilakukan antara lain dengan cara: (1)
Pemeliharaan intensif atau semi intensif dengan sanitasi baik atau disertai pemberantasan inang
perantara . (2) Pemeliharaan ekstensif dengan sanitasi baik disertai pemberantasan inang perantara, (3) Pemeliharaan ekstensif dan berkanclang dengan pengobatan imensif dengan obat berdaya
terapeutik baik. Tenltaina pada infeksi dengan konjungtivitis disertai eksudat perkejuan atau
punilent, pengobatan awal dengan antibiotik, setelah sembuh pengobatan dengan anthelmintika,
(4) Pemeliharaan intensif atau semi intensif dengan sanitasi baik pacla anak-anak ayam,
dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengan liar pada ayam muda - de%vasa dengan sanitasi
baik.
Kata kunci : Caclng mata, ayam buras, sistem pemeliharaan, pengobatan
PENDAHULUAN
Oxvspirura adalah genus cacing gilig famili 7helaziidne, dari phylum Nentathelininihes,
ditemukan di bawah membrana niktitans atau di dalam kantong konjungtiva ayam, itik dan bangsa
burung lain. Tiga spesies Oxvspirura yang pernah dilaporkan yaitu O. ntansoni, O. petrowi dan O.
parvorum ( HOFSTAD et al., 1978; SOULStiY, 1982). Ayam yang terinfeksi cacing mata ini akan
94
Seminar Nasiwtal Peternakan dan Yeteriner 1997
Tnemperliliatkan gejala klinis gelisah, keluar cairan-dari mata (lakrimasi), ian :pada mata4ersebut
ada goresan-goresan yang vnengakibatkan kelopak mata -menjadi lengket, timbul :endapen putih
atau perkejuan. Iika tidak diobati akan terjadi tukak atau ulkus pada kornea dan-penonjolan isi
serambi anterior mata sehingga terjadi kebutaan total yang -diakhiri . kematian ayam ( HoFsTAD et
al., 1978; SOULSBY, 1982, SOEKARDONO dan PARTOSOEDJONO, 1986). Infeksi .cacing nyata pada
ayam muda - dewasa kurang begitu patogen (SOEKARDONo dan PARTOSOEDJONO, 1986).
Infeksi cacing mata pada ayam-ayam bums di Indonesia telah dilaporkan cleh SiREGAR dan
SOEGIARTO (1985); BROTOWIDJOJO (1987) KETAREN dan ARIEF (1989) ; MUNAWAROH (1989) ;
WAsiTo dan TARMUDJI (1991) . Infeksi cacing mata, terutama pada anak-anak ayam buras umur 1 -
3,5 bulan dapat menyebabkan gejala klinis berupa hiperlakrimasi, kebengkakan mata disertai
adanya eksudat purulent atau perkejuan sehingga kedua kelopak mata menjadi lengket . Apabila
tidak diobati dapat menyebabkan terjadinya tukak (ulkus) pada kornea dan penonjolan isi dari
serambi anterior mata sehingga terjadi kebutaan total, ayam sulit mencari niakan, dan diakhiri
dengan kematian ayam (WASITo dan TARMUDA, 1991) . Pada ayam yang sakit tampak gejala
kekurusan, pucat, ditemukan O. mansoni Iebill banyak, sedangkan pada ayam yang sehat tidak
ditemukan cacing nyata tersebut (MUNAWAROH, 1989). O. mansoni atau O. petrowi dapat menular
dari satu ayani ke ayam yang lain melalui inang perantara yakni lipas atau kecoa. Adanya infeksi
cacing mata (Oxyspirura mansoni) pada anak-anak ayam kampung (buras) di Semenanjung
Malaysia banyak dilaporkan OICII ZAHEDI et al. (1983) .
Menunlt SOULSBY (1982), SOEKARDONO dan PARTOSOEDJONO (1986), pengobatan cacing
mata ini dapat dilakukan dengan air tembakau, asam borat (2 - 3%), lysol (0,5%), sublimat
(0,05%), iodine (0,05%), niercuri chloride (0,05%) atau dengan ripercol (10%), thiabendazole
(ROBALINO, 1977) atau dengan Ivermectine (0,005 - 0,05 n1g; 0,05 - 0,1%) (THOMAs - BAKKER,
1988; I WAYAN BATAN et al., 1993).
Penulisan ini bertuiuan untuk nieniberikan gambaran bahwa infeksi cacing mata, terutama
pada anak-anak ayani buras, menierlukan penanganan yang baik. Penanganannya dapat dilakukan
dengan nianajerial pemeliliaman yang baik, atau dengan pengobatan yang baik, atau
penggabungan dari keduanya .
RANGKUMAN HASIL
Pengaruh sistem pemeliharaan terhadap infeksi cacing
Rataan infeksi cacing mata pada anak ayam umur 1 - 3,5 bulan dan ayam buras muda umur 4
- 10 bulan di daerah Kalimantan Selatan adalah 66,15% dan 67,90% ; di Kalimantan Tengah
81,67%) clan 96,67% serta di Kalimantan Timur 77,27% dan 87,14% . Rata-rata persentasi pada
kedua unulr tersebut, pada setiap kabupaten disetiap propinsi tidak berbeda nyata (P > 0,05), tetapi
antar ketiga propinsi berbeda nyata (P< 0,05). Derajat infeksi cacing mata (iunilah cacing yang
menginfeksi per ekor ayani) sebanyak 1 - 25 cacing pada kedua umur tersebut, pada tiap-dap
kabupaten di Kalimant n Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, saangat nyata (P<
0,01) lebih tinggi dibandingkan derajat infeksi cacing lebili dari 25 cacing, tidak nyata (P> 0,05)
antar ketiga propinsi . Rata-rata infeksi cacing mata pada kedua konjungtiva atau menibrana
niktitans (bilateral) baik pada anak ayam atau ayam muda pada ketiga daerah sangat -nyata (P<
0,01) lebih tinggi dibanding infeksi unilateral (kanan atau kiri saja). Namun antar propinsi
sangat nyata (P< 0,01) pada anak ayam dan tidak nyata (P> 0,05) pada ayam muda untuk infeksi
95
Seminar Nasi»nal Peternalcan Jan Tieteriner 1997
unilateral. Pada infeksi bilateral nyata (P< 0,05) pada anak ayam clan tidak nyata pads ayan) muda
(WASITo clan TARMUDJI, 1991, WAsiTo et al., 1995x).
Secara patologi anatomi pada anak ayam buras umur 1 - 3,5 bulan, infeksi cacing mata
dengan jumlah 27 - 42 cacing/ekor ayam (bilateral) menyebabkan terjadinya konjungtivitis berat
(gejala klinis berupa hiperlakrimasi, kebengkakan mata disertai adanya eksudat purulent atau
perkejuan) sehingga kedua kelopak mata n)enjacli lengket . Apabila tidak diobati dapat
menyebabkan terjadi tukak (ulkus) pada kornea dan penonjolan isi dari serambi anterior mata
sehingga terjadi kebutaan total yang diakhiri dengan kematian ayam. Hasil pengamatan kami,
informasi dari petugas lapangan (PPL, PPS, teknis dinas), menunjukkan bahwa persentasi
kematian pada suatu daerah dapat mencapai 90%. Infeksi cacing mata (Ozvspirura mansoni) pada
anak-anak ayani kampung (buras) sampai umur 2 bulan pada peternakan rakyat di Semenanjung
Malaysia dapat menimbulkan kematian karena adanya infeksi sekunder (ZAHEDI et al., 1983) .
Staphvlococcus, Klehsiella dan E. coli ditemukan dari hasil pen)eriksaan sebagian sampel
mata yang terinfeksi cacing mata ini, nampaknya berupa kuman yang sangat berperan dalain
proses peradangan atau pen)bentukan eksudat . Kuman E. coli dapat mengakibatkan panopthalmitis
serta menyebabkan kebutaan ( HOFSTAD et al., 1978) . Semakin komplek penyebabnya, Inisalnya
tingginya derajat infeksi cacing (kausa primer) dibarengi kausa sekunder (bakteri) akan semakin
memperparah tin)bulnya gejala klinis dan akan mempercepat ayani sulit melil)at, sehingga timbul
kematian. Kerugian,yang ditimbulkan akibat perpaduan antara infeksi primer (cacing mata) dan
sekunder (bakteri) ini tenltan)a kematian . Pada infeksi yang bersifat tidak men)alikan (terutan)a
tidak ada kebutaan), kerugian utanla adalah hambatan pertumbuhan atau penunman berat badan.
Pada ayam muda umur 4 - 10 bulan, infeksi cacing mata ini tidak begitu membahayakan, di mana
infeksi cacing n)ata ± 27 - 74 cacing/ekor ayam (bilateral) 1)anya menyebabkan konjungtivitis
ringan (WASITO dan TARMUD.11, 1991 ; WAsITo et al., 1995a), 1)al ini sesuai dengan pendapat
HOFSTADet a/. (1978) ; SOULSI3Y (1982); SOEKARDONo dan PAR7'OSOEDJONO (1986). Dimana ayam
yang tampak sakit dengan gejala kekurusan, pucat, ditemukan O. mansoni Iebil) banyak,
sedangkan pada ayani yang sehat tidak ditemukan cacingnya, atau ditemukan cacing dalan) jumlah
sedikit (MLINAWAROH, 1989; WASITO dan TARI,IL)DJI, 1991 ; serta WASITO et al., 1995a).
Pada Tabel 1 terlil)at, sampel ayani buras yang diambil dari daerah transmigrasi atau non
transmigrasi dengan tipe desa : swadaya dan sNvakarya awal dengan mayoritas pola pemeliharaan
ayani burasnya secara ekstensif atau selcngah liar, sedangkan semi intensif dan intensif hanya
sebagian, persentasi infeksi cacing Inata akan lebih dominan, berbeda nvata (P< 0,05) atau sangat
berbeda nyata (P < 0,01) dibandingkan pada daerah transmigrasi atau non transmigrasi dengan
tipe desa: swakarya lanjut dan swasembada dengan pola pemeliharaan ayani dominan intensif atau
semi intensif. Misalnya san)pel ayani buras yang diperoleh dari daerah Tapin (Kalimantan
Selatan), Kapuas, Barito Selatan (Kalimantan Tengah), Pasir atau Kutai (Kalimantan Timur),
dimana sekitar 90 persen sampel ayani berasal dari pola pemeliharaan ekstensif atau setengah liar
pada areal transmigrasi dengan klasifikasi tipologi desa pada taraf dasar atau seclang berkembang
(transisi), yaitu desa swadaya atau swakarya awal, penilaian berdasarkan faktor ekonomi, sosial
budaya dan prasarana desa), pembukaan areal desa baru sekitar 5 - 10 talum (dulu hutan),
memiliki prevalensi infeksi cacing mata lebil) tinggi, sangat nyata (P < 0,01) dibanding infeksi
cacing mata di daerah transmigrasi atau non transmigrasi dengan tipe desa swakarya lanjut atau
swasembada (desa taraf berkembang tetapi kehidupan dan kesejahteraan n)asyarakatnya telah
meningkat) dengan pembukaan areal desa telah mancapai lebil) dari 20 tahun, dan pola
pemeliharaan ayani buras yang bersifat serni intensif atau intensif lebil) dominan (Tabel 1).
96
Seminar Nosional Peternakan don Veteriner 1997
Tabel 1.
Rataan persentasi infeksi cacing mata pada ayam buras antaramusim'
kemarau, dan kaitannya dengan pola pemeliharaan, Aipologi desa .adan
sanitasi
Alan
t
Persentasi infeksi cacing pada pemeliharaan, sanitasi dan
Tipologi Ih°.sa
Ekstensif
Bunlk
Seini intensif
Bunik
Baik
-intensif
Baik
PH
KM
PH
KM
PH
KM
PH
KM
87,2
77,5
67,8
58,1
67,8
58,1
38,7
29,0
non trammignsi
77,5
67,8
58,1
48,4
58,1
48,4
38,7
29,0
2. Swakarya lanjut
dan Swau:mbada
- tranmigan
67,8
58,1
48,4
38,7
48,4
38,7
38,7
29,0
58,1
38,7
38,7
29,0
29,0
19,3
19,3
9,6
1. Swakarya dan
Swakarya awal
tranmigan
- Non
transnugasi
Bunik
Baik
PH
KM
PH
19,3
9,6
0,0
0,0
9,6
0,0
0,0
0,0
KM
,4
Sumber : WASITo et al. (I 995a).
Keterangan : PH = Penghujan; KM =Kc:ntaraU
Tingginya angka prevalensi dan derajal infeksi cacing nlata tersebut di atas menant9akan
secara epidelniologi infeksi cacing mata pada ayam buras telah menyebar luas pada daerah-daerah
yang diteliti (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur). Juga, dari hasil
kuesioner di lapangan terhadap peternak, PPL, PPS, petugas teknis Dinas Peternakan Kabupaten,
diketahui bahwa infeksi cacing maw ini terjadi setiap tahun. Angka prevalensi dan derajat infeksi
cacing mata yang ditemukan berkaitan erat dengan pola pemeliharaan, areal pemeliharaan ayam,
dan faktor pendukung lain (nuisun, sanitasi, inang peranwra) . Pada anak ayam, besarnya derajat
infeksi cacing berkaitan erat dengan gejala klinik yang ditimbulkan . Prevalensi tersebut juga
berkaitan dengan ada atau tidaknya inang peranwra (kecoa awu lipas), karena pada pola
pemeliharaan setengah liar atau ekslensif ayam lebill leluasa berkeliaran mencari makan, dan
berpeluang besar untuk mendapatkan kecoa yang mengandung larva infektif cacing mata,
dibandingkan pada pola semi intensif (terkurung pada areal tertentu) atau pola intensif (terkurung
terus-menenls), demikian pula hasil penelitian MUNAWAROH (1989). Menurut pengamatan di
lapangan dan infornlasi respoden, prevalensi infeksi cacing maw dari tinggi ke rendah, yaitu pada
pola pemeliharaan ekslensif, senli intensif dan intensif, prevalensi ini berdasarkan gejala klinik,
bukan pelneriksaan cacingnya . Penyebaran populasi kecoa atau lipas tinggi pada musim
penghujan, dipenganihi oleh faktor sanitasi yang buruk (kotor dan lembab).
Faktor sanitasi seperti kebersilian kandang dan iingkungan serta inang peranwra
(lipas/kecoa) sangat berperan penting sekah . Misalnya di daerah Pasir dan Tapin (Kalimantan
Selatan), dinlana infeksi cacing nlata nlemang telah menyebar luas dan bersifat endemik pada
daerah yang diteliti, walaupun pola pemeliharaan bersifat intensif tewpi dengan saniwsi kandang
97
SeminarNasiona! Peternakan dan Vetenner 1997
dnn lingkungan tetap kotor, lembab dan berbau, disertai tingginya populasi lipas/kecoa, maka
infeksi cacing mata tetap ditemukan . Dari hasil pengamatan kami di daerah Sanjar (Kalimantan
Selatan) selama 3 talmn, menunjukkan bahwa infeksi cacing mata (angka prevalensi) pada tiap
bulan ada nanmm derajat infeksinya pada musim penghujan sangat tinggi, lalu diikuti pada musim
peralihan (penghujan ke kemarau) clan pada selang waktu ini populasi kecoa atau lipas tinggi .
Hubungan antara populasi kecoa atau lipas dengan infeksi cacing mata juga pernah dilaporkan
KETAREN el a/. (1989) di daerah Sulawesi Selatan .
Upaya penanganan infeksi cacing mata secara praktis clan efisien, berkaitan dengan pengaruh
sistem pemeliltaraan ini, dapat dilakukan antara lain dengan cara: (1) Pemeliharaan intensif atau
semi intensif dengan sanitasi baik, (2) Pemeliharaan intensif atau semi intensif disertai
pemberantasan inang perantara . (3) Pemeliharaan ekstensif dengan sanitasi baik disertai
pemberantasan inang perantara (kecoa/lipas). Alternatif lain, namun kurang begitu baik, dapat
dilakukan antara lain dengan cara : (a) Pemeliharaan secara intensif atau semi intensif dengan
sanitasi baik pada anak ayam buras, dilanjutkan pemeliliaman ekstensif atau setengah liar pada
ayam muda - dcwasa, (b) Pemeliharaan intensif atau semi intensif disertai pemberantasan inang
perantara pada anak-anak ayam buras, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengah liar pada
ayam muda - dewasa .
Pengobatan infeksi cacing mata
Pengamatan kami, informasi para peternak, penytiluh pertanian (PPL, PPS) ataupun petugas
teknis dings peternakan, menyatakan bahwa cara pengendalian yang pernah petani lakukan adalah
dengan penggunaan obat tradisional, seperti air tembakau, cabe rawit, bawang putili, buah pinang
atau dengan obat buatan pabrik, seperti Piperazine, rheumason, obat merah; obat-obat tersebut
belum memberikan daya terapcutik seperti yang diharapkannya, bahkan sebagian besar ayam mati,
namun cacing mata tetap hidup. Dibandingkan dengan penggunaan obat tradisional, maka obat
patent buatan pabrik, dapat memberikan hasil lebilt baik tetapi sayangnya tidak selalu tersedia di
pedesaan atau di toko, kios peternakan rakyat (WAsITO el al., 1995a) .
Dari penelitian kami lernyala, I, tinktura (1%, 10%,); Ivermectine (1%, 10%); Mebendazole
& Pyrantel pamoat ; Piperazine sitrat 40% (l0%), air jerlk nipis (50%) mempunyai aktivitas
anthelmintik terhadap cacing mata pada in vitro atau in vivo (sangat nyata, P< 0,01) . Morantel
sitrat & Oxyclozanide (25%), air tembakau (40%), bawang putih (30%), cabe rawit kurang
mempunyai aktivitas anthelmintik terhadap cacing mata pada in vitro atau in vivo (tidak berbeda
nyata, P> 0,05). Oksitetrasiklin, Chloramphenicol (antibiotika) tidak memiliki aktivitas'
anthelmintik terhadap cacing mata, in vitro atau in vivo (WAsITo et al., 1995b).
Pemberian 1, tinktura (1 'Yo, 10%6); Ivermectine (1%, 10%); Mebendazole & Pyrantel pamoat ;,
Piperazine sitrat 40% (10%), air bawang putih (30%) pada anak ayam buras terinfeksi cacing,
mata _+ 8 - 16 ekor/mata ayam disertai kebengkakan wata (konjungtivitis) clan eksudat sercus atatt
mukus , menghasilkan kesentbultan mata yang nyata (P< 0,05) . Pengecualian untuk air bawang
putilt (30%), kesembultan mata dengan pemberian air bawang putih, tidak mematikan cacing iuata7
Pada infeksi cacing mata _+ 7 - 16 ekor/mata ayam disertai kebengkikan mata (konjungtivitis) daq
eksudat punilent atau perkejuan (lengket kedua kelopak mata) tidak nyata (P> 0,05) . I, tinktura
(1%, 10%) ; Ivermectine (1%A, .10%); Mebendazole & Pyrantel pamoat ; Piperazine sitrat (kadarnya
40%) (10%); air jenik nipis (50%,) secara in vivo memiliki crikasi obat relatif terhadap cacing matal
80 - 100% pada anak ayam buras umur 1 - 3,5 bulan atau ayam muda umtir 4 - 10 bulan, memiliki
aktifitas anthelmintik sangat baik. Menunll SIMON et at. (1991), suatu balian obat dianggali
98
Seminar ldasional Pah twakan dan Yeteriner 1997
mempunyai aktifitas anthelmintik terhadap cacing tertentu jika memiliki efikasi obat relatif =
EORC 40% atau lebih . Ivermectine, Mcbendazole 150 mg + Pyrantel pamoat 100 mg/tablet atau
Piperazine sitrat 40% merupakan obat cacing, biasanya dipakai untuk pengobatan infeksi cacing
nematoda saluran pencernaan pada manusia atau ternak . Ivermectine pernah diaplikasikan untuk
pengobatan infeksi cacing mata (Oxyspirura) pada burung dengan dosis 0,01 - 0,05 mg
(THOMAS-BAKKER, 1988), infeksi cacing mata sapi dengan dosis 0,05 - 0,1% (BATAN et al., 1993)
dengan aplikasi tetes mata dan effektif. Piperazine sitrat 40% telah banyak dicoba peternak, PPL,
PPS di lapangan, menurut mereka juga effektif dengan aplikasi tetes mata. Sedangkan
Mebendazole 150 mg + Pyrantel pamoat 100 mg/tablet yang biasanya dipakai untuk pengobatan
cacing nematoda pada manusia, juga effektif.
Pemberian 12 tinktura (1%, 10%); lvermectine (1%, 10%); Mebendazole & Pyrantel pamoat;
Piperazine sitrat 40% (10'%) (Antlielmintik), yang diawali dengan pemberian Cliloramphenicol,
Oksitetrasikfn (Antibiotik) pada anak ayam buras terinfeksi cacing mata disertai kebengkakan
mata (konjungtivitis) clan adanya eksudat purulent atau perkejuan (lengket kcdua kelopak mata),
dapat mengurangi angka keinatian (nyata, P < 0,05) (WASITO et al., 1995b) .
Upaya penanganan infeksi cacing mata secara praktis dan efisien, melalui pengobatan, dapat
dilakukan antara lain dengan cara (1) pcngobatan intensif dengan obat berdaya anthelmintik baik
pada pemeliharaan ektcnsif bcrkandang, terutama pada anak-anak ayam buras terinfeksi cacing
mata yang sifatnya iembahayakan. (2) Pada infeksi dengan konjungtivitis disertai eksudat
perkejuan atau purulent, pengobatan awal hanis dengan antibiotik, setelah sembuh pengobatan
dengan antelmintika. Alternatif lain, nanmn kurang begitu baik, dengan cara: (a) Pcmeliharaan
ektcnsif berkandang dengan pcngobatan intensif dengan obat berdaya terapi baik pada anak-anak
ayam buras terinfeksi cacing taraf membahayakan, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau
setengah liar pada ayam inuda - dewasa . (b) Pada infeksi dengan konjungtivitis disertai eksudat
perkejuan atau purulent pada ayam muda - dewasa, pengobatan awal dengan antibiotik, setelah
sembuh dilanjutkan poncliharaan ekstensif atau setengah liar.
Reinfeksi racing mata
Tidak terjadi reinfeksi cacing mata pada ayam buras setelah pcngobatan dengan 12 tinktura
2% dar dipeliliara secara intensif sangat nyata, (P< 0,01) sampai pengomatan hari ke-60
(laboratorium) atau hari ke-30 setelah pcngobatan 12 tinktura 2%, atau nyata (P< 0,05) pada
pengomatan hari ke-70 (laboratoritun), clan terjadi penuninan persentasi ayam terinfeksi cacing
mata pada kontrol . Tetapi, apabila dipchhara secara ekstensif di daerah endemik cacing mata, akan
terjadi reinfeksi cacing mata sampai pengainatan hari ke-60 (lapangan), hari ke-100 (laboratorium)
(Tabel 2) . Naunpaknya ada kaitannya berimplikasi dengan siklus hidup cacing mata yang
memerlukan inang perantara kecoa atau lipas ( HOFSTAD et al.,_1978, SOUt.St3Y, 1982, ZAHEDt et
al., 1983). Pada percobaan laboratorium, tinja-tinja ayam yang mengandung telur cacing mata
tidak dapat berkembang (tidak termakan kecoa atau lipas) sehingga siklus hidupnya akan terputus .
Sedangkan pada penelitian lapangan di daerah yang endemik (epizootik) cacing mata, walaupun
pada hari ke-2 - ke-15 setelah pcngobatan ayam-ayam telah negatif cacing mata, terapi mereka
sangat berpcluang untuk inemakan kecoa atau lipas yang mengandung telur cacing mata infektif di
daerah endemik ini, sehingga pada hari 30, 45 dan 60 telah positif kembali (WASITo et al., 1995b) .
Upaya penanganan infeksi cacing mata secara praktis clan efisien dalam upaya mencegah
reinfeksi cacing, dapat dilakukan antara lain dengan cara (1) pemeliharaan secara intensif atau
semi intensif dengan sanitasi baik pada anak-anak ayam, dilanjuakan dengan sistem pemeliharaan
99
Seminar Nosional Peternakandan Peterrner 1997
ekstensif atau setengan liar pada ayam muda - dewasa dengan sanitasi baik . Atau (2) pengobatan
secara intensif dengan obat berdaya anthelmintik baik pada anak-anak ayam buras terinfeksi
cacing taraf mernballnyakan yang pemeliharaannya ekstensif-berkandang, dilanjutkan dengan
pengobatan sekadarnya pada ayam muda - deavasa . Altenlatif lain, namun kurang begitu baik,
dapat dilakukan antara lain dengan cara: pemeliharaan intensif atau semi intensif pada anak-anak
ayam buras dengan sanitasi baik tanpa pengobatan anthellnintika, dilanjutkan pemeliharaan
ekstensif atau setengan liar pada ayam nulda - dewasa .
Tabel 2.
Pengomatan ada/tidaknya reinfeksi racing mats pads percobaan laboratorium atau
lapangan
Hasil lx-meriksaan racing mata ( persen)
post pengobatan hari ke :
Percobaan
pra
Jenis obat
obat
10
20
30
40
50
60
70
90
90
10t1
100111
100m
0a
95A
0b
85t3
0c
75C
0d
60D
0e
40E
0f
35F
0g
25h
0i
15i
Oj
IOj
0k
5k
loos
OL
951
ON
95 n
40p
95 p
80q
95 q
100r
95 r
955
1. Laboratorium
-1 tk . 2%
-NaCI fis.
II .Lapangan
-1 tk . 2%
-NaCI fis.
INS
loos
Keterungun :
a. Hurufkecil dan hundfbesar yang sama "am I kolom = sangat nyata (P -- ; 0,01).
b. Hunifkecil Ixrbeda dalam satu kolom = nyata (P -' 0,05).
c. Hunifkecil yang svna dalam satu kolom = tidak nyata (P >" 0,05).
a,b,c untuk laboratoritun atau lapangan .
I tk . = Mdium tinktura
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari rangkuman hasil penelitian yang ditunjang studi literatur ini, dapat kami sintpulkan
Sistem pemelillaman, faktor musim, sanitasi dan inang perantara cacing Inata berpengaruh
terhadap angka prevalensi dan derajat infeksi cacing. Pada sistem penleliltaman ekstensif atau
setengah liar dengan sanitasi bunik (kotor dan lembab) disertai adanya perkenlbangan
populasi inang perantara yang baik dalam musim pengltujan akan ditelnukan infeksi cacing
nlata lebill lyata (P < 0,01) dibandingkan pemeliharaan intensif atau semi intensif dengan
sanitasi cukup baik, tanpa adanya inang perantara clan musim kenlarau .
2.
100
Pengobatan dengan obat-obatan tradisional, seperti cabai rawit, bawang putih, daun
tembakau, buali pinang tidak meniberikan daya terapi seperti yang diharapkan . Hasil
penelitian uji efikasi berbagai balian obat menunjukkan baliwa 1 2 tinktura (1%, 10%);
Ivernlectine (1%, 10%); Mebendazole & Pyrantel pamoat ; Piperazine sitrat 40% (I0"/), air
jenik nipis (50%) mempunyai aktivitas anthelmintik terhadap cacing nlata pada in vilro atau
in vivo (sangat nyata, P < 0,01) . Morantel sitrat & Oxyclozanide (25%), air tembakau (40%),
bawang putih (30"/), cabe rawit kurang mempunyai aktivitas anthelmintik terhadap cacing
Seminar Nasional Peternakan dan Metermer 1997
mata pada in vitro atau in vivo (tidak nyata, P > 0,05) . Oksitetrasiklin, Chlor
pl icol
(antibiotika) tidak memiliki aktivitas anthelmintik terhadap cacing mata, in vitro otaa:in vivo.
3.
Tidak terjadi reinfeksi cacing mata pada ayam buras setelah pengobatan dengan 1z 4ini Wra
2% clan dipeliltara secara intensif sangat nyata (P< 0,01) (laboratorium, lapangan)saumyata
(P< 0,05) (laboratoritim), dan terjadi penurunan persentasi ayam terinfeksi caeing:anata_ da
kelompok kontrol . Tetapi apabila dipelihara .secara ekstensif di daerah endemik caeing
ta,
akan terjadi reinfeksi cacing pada pengomatan hari ke-30 sampai pengamatan itaari,,ke-G0
(lapangan) .
4.
Upaya penanganan infeksi cacing mata melalui sistem pemeliharaan dan pengobatan
ra
praktis dan efsien dapat dilakukan antara lain dengan cara: (1) Pemeliharaan secara intensif
atau senii intensif dengan sanitasi baik atau disertai pemberantasan inang perantara, (2)
Pemcliharaan ekstensif dengan sanitasi baik disertai pemberantasan inang perantara, (3)
Pemeliharaan ektensif bcrkandang dengan pengobatan intensif dengan obat berdaya -terapi
baik. terutama pada infeksi dengan konjunglivitis disertai eksudat perkejuan atau purulent,
pengobatan awal dengan antibiotik, setelah sembuh dilanjutkan pengobatan dengan
antelmintika, (4) Pemeliharaan intensif atau semi intensif dengan sanitasi baik pada
anak-anak ayam, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengan liar pada ayam muda dewasa dengan sanitasi baik clan pengobatan sekadarnya.
5.
Apabila upaya penanganan infeksi cacing mata melalui cara 1 sampai 4 tersebut sulit
untuk dilakukan, alternatif lain namun kurang begitu baik, dapat dilakukan antara lain
dengan cara: (a) Pemeliharaan secara intensif atau semi intensif dengan sanitasi baik pada
anak ayam buras, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengah liar pada ayam muda dewasa, (b) Pemcliharaan intensif atau semi intensif disertai pemberantasan inang perantara
pada anak-anak ayam buras, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengah liar pada
ayam muda - dewasa, (c) Pemeliharaan ekstensif berkandang dengan pengobatan intensif
dengan obat berdaya terapi baik pada anak-anak ayam buras terinfeksi cacing mata taraf
membaltayakan, dilanjutkan pemeliharaan ekstensif atau setengah liar pada ayam muda dewasa . (d) Pada infeksi dengan konjunglivitis disertai eksudat perkejuan atau purulent pada
ayam muda - dewasa, pengobatan awal dengan antibiotik, setelah sembuh dilanjutkan
penieliliaman ekstensif atau setengah liar. (e) Pemeliharaan intensif atau semi intensif
dengan sanitasi baik tanpa pengobatan anthelmintika pada anak-anak ayam buras,
dilanjutkan penieliliaraan ekstensif atau setengan liar pada ayam muda - dewasa .
Adanya rangkuman penelitian untuk komponen teknologi tentang pengendalian infeksi
cacing mata melalui siklus hidupnya yang sangat aplikatif, efisien dan murah clan sangat
efektif hasilnya .
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasilt kanii disampaikan kepada Proyek Penelitian Pembangunan Pertanian
Nasional (P4N), Badan Litbang Pertanian . alas pemberian dana (1992/1993), dan semua pihak
yang telah membantu schingga penelitian tentang infeksi cacing mata pada ayam buras ini dapat
terlaksana din memberikan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
BROTOWIDJOYO, M.D . 1987 .
Parasit dan Parasitisme . PT. Mellon Putra.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
HoFSTAD, M.S ., B.W . CALNEK, O.F . HUMBOLDT, W.M. REID and H.W. JODER. 1978. Diseases of Poultry.
2nd ed . Iowa State Univ . Press. USA.
I WAYAN BATAN, PUTU WIRAT, A.A .G . ARIANA, I.G.M.K . ERAWAN dan I KETUT SUATHA. 1993 . Pengobatan
Nematodiasis Okuler Sapi Bali Dengan Ivennectin. Makalah Seminar Parasitologi Nasional VII dan
Kongres P41 Vi, Dcnpasar 23 - 25 Agustus 1993 . P4I.
KETAREN, K. dan M. ARIEF. 1989 . Studi Epidemiologi Parasit-parasit casing Ayam Buras di Sulawesi
Selatan. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V, Ciawi 20 - 22 Agustus 1998 . 1'41 .
MUNAWAROH, E. 1989 . Nematoda parasit pada mata ayam . Proc . Seminar Parasitologi Nasional V, Ciawi 20 22 Agustus 1988 . P41.
ROBALINO, R.A .T . 1977. Field trial of letramisole in fowls infected
Abstracts . Series A: (2243) 472 .
Oxyspinma mansoni.
Helminthological
SIREGAR, H.M .G . dan SOEGIARTO. 1985 . Hasil Penelitian Parasit
Casing Ayam Kampung di Sulawesi
Selatan . Dalam Laporan Tahunan Dir. KesWan tallun 1993 - 1994 . Dit. Jen. Nak. Jakarta.
SOEKARDONO, S. dnn S. PARTOSOEDJONO. 1986 . Parasit-parasit Ayam . P.T . Gramedia . Jakarta.
SOULSBY, E.J .L . 1982 . Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed . Bailliere
Tindall and Cassel .
SimoN HE., R. TwRIA dan E.B . RETNANL 1991 . Laporan penelitian uji biologis aktivitas anthelmintik sari
buah nenas muda, daun miana dan ranting, puring terhadap racing_ Aspiculuris teltztptera
(Nematoda) dan
Ftvnunolepis nana
FKH IPB. Bogor.
(Cestoda) pada mencit putih (Mus Musculus Albinus) . DIKTI -
THOMAS - BAKER, B. 1988 . Ivennectine as treatment for ocular nematodiasis in birds. Helminthological
Abstract : 685 (57) 85 .
WASITo dan TARMUDn. 1991 . Oksispiruriasis pada ayam buras.
Penvakil Heuvin XXUI (41):
57 - 61 .
ZAHEDI, M., JEFFERY, J., NAGENDRAN, C. ROBIAH, M. and JALIL, M. 1983 . A preliminary report on the
isolation of the birds eye worn, O. mansoni and intermediate host in Malaysia . Helminthological
Abstracts. Series A: 3341 (52) 375.
WASITO, A. SUBHAN, SURYANA, Rtmi A. dnn TARMUmi. 1995a. Infeksi casing mata pada ayam buras di
betx:rapa tempat di Kalimantan . Laporan penelitian (Tidak dipublikasi).
WASITO, A. SUBHAN, SURYANA, Rum A. dan TARMlm1I . 1995b. Pengobatan infeksi casing mata pada ayam
buras di beberapa tempat di Kalimantan . Laporan penelitian (Tidak dipublikasi) .
DISKUSI
Beriajaya (Tanggapan Umum)
Dalam upaya meningkatkan pendapatan peternak, usalia peternakan ayam buras mempunyai
peluang pasar yang mengttntungkan karena mat ini kebutulian daging ayam buras meningkat
dengan tajam. Masyarakat lebill men}ltkai daging ayam buras dibanding ayam negeri dan sebagai
konsekuensinya tentunya harga ayam buras menjadi lebill malial .
Salah satu kendala untuk peningkatan produktivitas ayam buras adalah penyakit . Berbagai
penyakit dapat nienyemng ayam buras yang menimbulkan kerugian berupa penurtman bobot
badan dan kematian . Penyakit yang disebabkan casing niata dari genus Oxyspirura, menimbulkan
10 2
SeminorNasionalPeternakan don Veteriner 1997
angka kematian yang cukup tinggi . Petani belum menyadari tentang hal ini dan mereka hanya
berusaha mengobati dengan obat tradisional yang hasilnya belum memuaskan . Input teknologi
yang direkomendasikan masili dirasakan suclah diaplikasi dan memerlukan dana yang besar .
Walaupun dari segi agribisnis pemeliharaan ayam buras cukup menguntungkan tetapi mereka
masih susah untuk memasukkan paket teknologi mencegah penyakit cacing mata. Untuk
menanggulangi penyakit cacing mata, maka kita harus berpijak pada siklus hidup cacing agar kita
dapat memutus mmai siklus hidup . Dalam kehidupannya, cacing tersebut memerlukan kecoa
sebagai inang perantara dimana telur dalam tinja ayam yang termakan oleh kecoa akan
berkembang menjadi larva 1, larva 2 clan larva 3 atau larva infektif Kecoa yang mengandung larva
infektif dari cacing mata akan tennakan oleh ayam buras, yang mengakibatkan ayam terinfeksi
larva racing, kemudian cacing clewasanya akan berdomisili dalam mata.
Atas dasar lial diatas maka beberapa alternatif penanggulangan dapat dikemukakan sebagai
berikut : Sanitasi kandang menjadi bagian yang penting dalam upaya penanggulangan cacing
mata, artinya kita; bentsalia agar tinja tidak dimakan oleh kecoa ; Pemberantasan kecoa yang
kemungkinan terinfeksi larva cacing mata sehingga ayam kecil; kemungkinan umuk memakan
kecoa tersebut ; Pemberian obat cacing untuk membunuh cacing yang ada dalam mata, sehingga
ayam tidak lagi mengeluarkan telur cacing dalam tinja . Obat yang murah dan murah didapat
merupakan pilihan yang paling tepat untuk petani .
Beberapa usaha pemeliliarian ayam buras baik secara intensif, semi intensif atau ekstensif
dapat dilakukan asal memenuhi ketiga kriteria upaya penanggulaugan _penyakit ; cacing mata,
sehingga sistem pemeliharaan yang dipilih merupakan sistem yang dapat mencegah penyakit
cacing mata.
Tanya Jawah
Sutijono Partoutomo : Tolong beri komentar beberapa alternatif pengendalian yang ditawarkan
oleh pemakalah .
Wasito : Bukan tidak mungkin dengan sanitasi baik namun masih ditemukan kecoa .
Desmayati Zainuddin : Anak yang terserang sebaiknya diberi antibiotik, baru obat cacing.
Pertanyaan bagaimana cara pemberian antibiotik dan berapa lama ? Bagaimana pencegahannya ?
Wasito : Antibiotik dibcrikan dengan tetes sebaiknya diencerkan menjadi sekitar 10%. Bila ada
perkejuan sebaiknya diangkat dulu bani diberi antibiotik .
RM Ahdul Adjid : Apakah kecoa juga diteliti di lokasi ? Keterlibatan kecoa pada penelitian ?
Wasito : Tidak dilakukan pengamatan siput. Peran kecoa secara pasti belum diketahui . Akan tetapi
ada kecendenmgan baliwa banyak kecoa kasus juga lebili tinggi .
Sukardi Hastiono : Adakah kasus aspergilosis pada pengamatan ini
Wasito : Ditemukan aspergilosis baik di ternak intensif maupun ekstensif.
Arnold P. Sinurat : Kematian dicurigai 90% dengan konfirmasi ternyata bukan? Bagaimana
diferensial diagnosis dengan penyakit ini ?
Wasito : Ciri-ciri yang spesifik untuk infeksi cacing mata tidak spesifik kecuali ditemukan racing
pada mata ayam.
103
Download