BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh dengan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau jantung dapat memompa darah hanya jika disertai adanya peningkatan tekanan pengisian (backward failure), atau kombinasi keduanya (Chatterjee dan Fifer, 2011). Gagal jantung dibedakan menjadi gagal jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun (heart failure with reduced ejection fraction = HFrEF) dan gagal jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik (heart failure with preserved ejection fraction = HFpEF) (Yancy et al., 2013). HFrEF dalam beberapa literatur disebut sebagai gagal jantung sistolik, sementara HFpEF sebagai gagal jantung diastolik. Pasien yang mengalami disfungsi sistolik dapat juga disertai adanya disfungsi diastolik, terutama pada gagal jantung tahap lanjut (McMurray et al., 2012). Mortalitas pasien gagal jantung berdasarkan berbagai studi diketahui berbanding terbalik dengan fungsi sistolik ventrikel kiri. Nilai fraksi ejeksi secara umum telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis paling kuat yang mempengaruhi luaran jelek pada pasien dengan gagal jantung (Ponikowski et al., 2008). Cohn et al. (1990) dalam studinya menunjukkan bahwa pasien gagal jantung yang mempunyai fraksi ejeksi normal (≥ 45%) cenderung mempunyai 1 prognosis yang secara signifikan lebih baik dibandingkan pasien dengan gagal jantung sistolik (angka mortalitas tahunan 8% vs. 19%; p =0.0001). Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu diagnosis pasien dengan gagal jantung. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menilai disfungsi diastolik maupun sistolik pada pasien gagal jantung (Dickstein et al., 2008). Namun pemeriksaan ekokardiografi ini membutuhkan seorang ahli untuk melakukannya dan tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai alat tersebut sehingga akan sangat membantu apabila terdapat suatu alat sederhana yang dapat menggambarkan adanya disfungsi sistolik atau diastolik. Basnet et al. (2009) menyatakan bahwa pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan foto rontgen merupakan media murah yang tersedia hampir di semua pusat kesehatan primer. Davie et al. (1996) menunjukkan bahwa gambaran EKG yang normal atau hanya menunjukkan kelainan minor (pembesaran atrium, bradikardia, takikardia, pelebaran kompleks QRS, poor R wave progression, deviasi aksis ke kanan, iskemia miokard, blok AV derajat I dan perubahan gelombang ST-T yang nonspesifik), mempunyai kemungkinan yang kecil untuk terjadi disfungsi ventrikel kiri. Sebaliknya, adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri biasanya akan disertai adanya kelainan EKG mayor seperti fibrilasi atrium, old myocard infarction (OMI), hipertrofi ventrikel kiri (LVH = left ventricular hypertrophy), blok pada cabang berkas, atau deviasi aksis ke kiri. Abnormalitas EKG seperti fibrilasi atrium, OMI, LVH, LBBB (left bundle branch block), deviasi aksis ke kiri dan perubahan segmen ST-T mempunyai sensitivitas 100%, spesifisitas 70%, nilai prediksi positif 89,3% serta nilai prediksi 2 negatif 100% dalam hal diagnosis adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri (Basnet et al., 2009). Hasil ini hanya berbeda sedikit dari studi yang dilakukan oleh Davie et al. (1996) dimana abnormalitas EKG mempunyai sensitivitas sebesar 94%, spesifisitas sebesar 61%, nilai prediksi positif sebesar 35% serta nilai prediksi negatif sebesar 95% dalam hal diagnosis adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri. Studi mengenai gambaran EKG pada pasien HFpEF masih sedikit dan beragam hingga saat ini seperti studi yang dilakukan oleh Davie et al. (1996) pada 438 pasien dengan HFpEF, dimana 38% pasien mempunyai gambaran EKG yang abnormal, sementara sisanya menunjukkan gambaran EKG yang normal atau abnormalitas minor. Berbagai parameter EKG yang berhubungan dengan disfungsi diastolik telah diteliti seperti studi Wilcox et al. (2011) yang menyatakan bahwa pemanjangan interval QTc merupakan prediktor adanya disfungsi diastolik, dan studi Sauer et al. (2012) yang menemukan pemanjangan interval T-peak to T-end (TpTe) berhubungan dengan disfungsi diastolik. Dari berbagai studi di atas terlihat bahwa EKG menjadi alat yang sangat bermanfaat karena dapat menjadi alat investigasi pertama bagi klinisi untuk membantu diagnosis adanya disfungsi sistolik atau diastolik pada pasien gagal jantung kronik. Namun demikian, EKG memang belum dapat menggantikan peran ekokardiografi dalam menentukan adanya disfungsi diastolik atau sistolik pada pasien dengan gagal jantung. Sistem skoring merupakan suatu metode sederhana yang dapat kita gunakan sehari-hari untuk mempermudah diagnosis suatu penyakit (Dahlan, 2011). Beberapa sistem skoring berdasar gambaran EKG telah lama diteliti untuk 3 memperkirakan fungsi ventrikel kiri, seperti sistem skoring berdasar jumlah keseluruhan voltase gelombang R (∑R) di lead aVL, aVF serta V1-V6 oleh Askenazi et al. (1978), sistem skoring QRS oleh Wagner et al. (1982) serta sistem skoring berdasar amplitudo gelombang Q dan R oleh Gottwik et al. (1978). Sistem skoring ini banyak diterapkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner terutama pasca infark miokard. Namun demikian penelitian lanjutan menunjukkan bahwa beberapa sistem skoring diatas mempunyai keterbatasan atau kurang akurat dalam memperkirakan fungsi ventrikel kiri seperti studi yang dilakukan oleh Young et al. (1983) dan Fioretti et al. (1985). B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: Gagal jantung sudah menjadi problematika utama di masyarakat yang mana angka kejadiannya sangat tinggi hingga saat ini dan menjadi salah satu penyebab kematian kardiovaskular di dunia saat ini (Vasan dan Levy, 2003). Gagal jantung sistolik mempunyai prognosis yang lebih buruk apabila tidak mendapatkan terapi yang optimal dibandingkan gagal jantung diastolik. Banyak penderita gagal jantung berobat di fasilitas kesehatan primer yang mana pada fasilitas kesehatan tersebut kurang mempunyai sarana prasarana yang memadai dalam hal mendukung diagnosis gagal jantung seperti halnya ketersediaan ekokardiografi ataupun rontgen toraks. EKG merupakan alat sederhana yang 4 banyak tersedia di semua fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis adanya gagal jantung pada seorang pasien. Hasil penelitian mengenai gambaran EKG pada gagal jantung sistolik dan diastolik masih variatif, belum ada standar baku berdasarkan gambaran EKG untuk menetapkan jenis gagal jantung, apakah termasuk gagal jantung sistolik atau diastolik. Untuk itu dirasa perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran EKG pada pasien dengan gagal jantung sistolik maupun diastolik yang diharapkan dapat dibuat suatu sistem skoring berdasar gambaran EKG tersebut untuk mempermudah prediksi jenis gagal jantung meskipun peran EKG disini tetap tidak bisa menggantikan fungsi ekokardiografi sebagai alat diagnosis utama untuk membedakan gagal jantung sistolik atau diastolik. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka dapat timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah sistem skoring berdasar gambaran EKG dapat membantu prediksi jenis gagal jantung (HFpEF atau HFrEF) pada pasien dengan gagal jantung kronik ? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat sistem skoring berdasar gambaran EKG untuk membantu prediksi jenis gagal jantung (HFpEF atau HFrEF) pada pasien dengan gagal jantung kronik. 5 E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik Apabila sistem skoring berdasar gambaran EKG pada penelitian ini dapat digunakan untuk membantu membedakan jenis gagal jantung pada pasien dengan gagal jantung kronik, maka sistem skoring ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan pemeriksaan EKG sebagai pemeriksaan awal pada pasien dengan gagal jantung kronik sehingga bisa diketahui apakah pasien termasuk ke dalam pasien dengan gagal jantung sistolik atau diastolik (HFrEF atau HFpEF). 2. Manfaat Klinis Apabila sistem skoring berdasar gambaran EKG ini dapat digunakan untuk membantu membedakan jenis gagal jantung pada pasien dengan gagal jantung kronik, maka sistem skoring ini dapat menjadi panduan bagi klinisi terutama yang berada di fasilitas kesehatan primer untuk membantu memprediksi pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik atau diastolik yang nantinya perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih memadai untuk dilakukan ekokardiografi karena pasien dengan gagal jantung sistolik mempunyai prognosis yang lebih buruk jika tidak mendapatkan terapi yang optimal. F. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada beberapa penelitian (tabel 1). 6 Tabel 1. Studi terdahulu mengenai gambaran EKG pada gagal jantung Nama peneliti Davie et al. Tahun 1996 Basnet et al. 2009 Das et al. 2001 Murkofsky et al. 1998 Nielsen et al. 2000 Wilcox et al. 2011 Judul studi Value of the Electrocardoogram in Identifying Heart Failure Due to Left Ventricular Systolic Dysfunction Electrocardiograph and Chest X-Ray in Prediction of Left Ventricular Systolic Dysfunction Prolonged QRS duration (QRS ≥170 ms) and Left Axis Deviation in the Presence of Left Bundle Branch Block: A Marker of Poor Left Ventricular Systolic? A Prolonged QRS Duration on Surface Electrocardiogram Is a Spesific Indicator of Left Ventricular Dysfunction Risk Assessment of Left Ventricular Systolic Dysfunction in Primary Care: Cross Sectional Study Evaluating A Range of Diagnostic Tests Usefulness of Electrocardiographic QT Interval to Predict Left Ventricular Diastolic Dysfunction Hasil Abnormalitas EKG (mayor) lebih banyak ditemukan pada pasien dengan HFrEF dibandingkan pasien dengan HFpEF Abnormalitas EKG berhubungan dengan adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri Durasi QRS mempunyai hubungan signifikan (inverse relationship) dengan nilai fraksi ejeksi dan pemanjangan durasi QRS (≥170 milidetik) bersamaan dengan adanya LBBB merupakan tanda signifikan adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri Pemanjangan durasi QRS (>0.10 detik) pada gambaran EKG merupakan tanda spesifik, tetapi kurang sensitif terhadap penurunan fungsi ventrikel kiri LBBB sebagai indikator kuat adanya disfungsi sistolik Interval QTc ≥435 milidetik mempunyai sensitifitas 73% dan spesifisitas 74% untuk terjadinya disfungsi diastolik (septal E′ velocity <8 cm/s) 7 Sauer et al. 2012 Diastolic Electromechanical Coupling: Association of the Electrocardiographic T-peak to T-end Interval with Echocardiographic Markers of Diastolic Dysfunction Askenazi et al. 1978 Value of the QRS Complex in Assessing Left Ventricular Ejection Fraction Fioretti et al. 1985 Pemanjangan interval Tpeak to T-end (TpTe) berhubungan dengan disfungsi diastolik Pasien dengan ∑R <4.0 mV, augmented ejection fraction <0.45 (73%); sementara pasien dengan ∑R ≥4.0 mV augmented ejection fraction >0.45 (93%) dengan p<0.001 Limitations of a QRS Skor QRS mempunyai nilai scoring system to assess yang rendah untuk left memperkirakan nilai fraksi ventricular function and ejeksi prognosis at hospital discharge after myocardial infarction Sepengetahuan peneliti hingga saat ini belum ada penelitian yang membuat suatu sistem skoring berdasar gambaran EKG untuk memprediksi pasien dengan gagal jantung kronik, apakah termasuk ke dalam gagal jantung diastolik atau sistolik (HFpEF atau HFrEF). 8