BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kegiatan. Pelayanan kesehatan prefentif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan pasien dalam kondisi semula.1 Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kesehatan terjalin hubungan antar tenaga kesehatan khususnya dokter dengan pasien. Penyakit yang datang tanpa kompromi membuat konsumen tidak dapat lagi menunda atau mengesampingkan jasa pelayanan kesehatan, walaupun tidak memiliki biaya yang cukup. Jasa pelayanan kesehatan memiliki sifat yang khusus sehingga jenis jasa pelayanan kesehatan ini menyandang misi fungsi sosial yang mana misi fungsi 1 Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sosial ini tetap harus diutamakan, mengingat pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan rasa kemanusiaan yang secara jelas dijamin oleh Undang-undang, karena itu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan memadai. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang intensif. Dokter dianggap sebagai pribadi yang akan dapat menolongnya karena kemampuannya secara ilmiah sehingga peranan dokter dalam melakukan tindakan medis seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang lebih tinggi daripada pasien. Dokter adalah orang yang mempunyai keahlian profesional sebagai pemberi jasa, di pihak lain pasien orang yang memerlukan bantuan jasa profesi dokter sebagai penerima jasa pelayanan. Hubungan kedua belah pihak tersebut dimulai pada saat pertama kali pasien datang ke kamar praktik dokter dengan membawa keluhan sakit pada dirinya. Setelah mendengar keluhan sakit dari pasien maka timbul inisiatif dokter untuk melakukan tindakan tertentu yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien.2 Kedudukan hukum para pihak dalam tindakan medis adalah seimbang sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Dokter bertanggungjawab selaku profesional di bidang medis yang memiliki ciri tindakan medis berupa pemberian bantuan atau pertolongan yang seharusnya selalu berupaya meningkatkan keahlian dan ketrampilannya melalui penelitian. Pasien bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang ia berikan kepada dokter dan membayar biaya administrasi pengobatan. Pasien di dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sering kali pasien hanya mengikuti kata dokter sehingga pasien berada pada posisi yang lemah. 2 Cst. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 234 Hubungan dokter dengan pasien tidaklah seimbang, dokter sebagai orang yang mempunyai ilmu tentang kesehatan, semua perkataan dan perintahnya akan diikuti oleh pasien sedangkan hak pasien kadang terabaikan. Tindakan dokter secara umum hanyalah menyangkut kewajiban untuk mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada standar profesi medis (inspanings verbintennis). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesional dan menghormati hak pasien. Kewajiban dokter untuk memberikan informed consent kepada pasien sebenarnya tidak terlepas dari kewajiban dokter untuk memperoleh atau mendapatkan informasi yang benar dari pasien. Hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit yang ditentukan pada kode etik di samping menimbulkan hubungan medis, juga berakibat pada hubungan hukum pelayanan kesehatan kesehatan melibatkan beberapa tenaga kesehatan di dalamnya. Pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang mempunyai sifat-sifat khusus dan tidak sama dengan industri jasa lainnya, seperti jasa angkutan, jasa telekomonikasi, dan jasa perbankan. Konsumen yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan biasanya dalam kondisi sakit, prihatin, panik, dan tegang dalam ketidakpastian, ini artinya konsumen menghadapi unsur keterpaksaan.3 Kalangan penyandang profesi medik/kesehatan melakukan tindakan/perbuatan terhadap pasien berupa upaya yang belum tentu keberhasilannya, karena transaksi terapeutik hakikatnya merupakan transaksi para pihak, yaitu dokter dan pasien, untuk mencari terapi yang paling tepat oleh dokter dalam upaya menyembuhkan penyakit pasien. Hubungan transaksi terapeutik ini dinamakan inspanningsverbintenis dan bukan resultaatverbintenis sebagaimana persepsi pasien 3 Z umrotin K Susilo dan Puspa Swara, Penyambung Lidah Konsumen, ctk pertama, YLKI, 1996, hlm. 63 yang menilai dari hasil. Pasien juga tidak pernah mempunyai pikiran bahwa apa pun tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya itu sudah didasarkan pada persetujuan pasien, yang dalam kepustakaan disebut sebagai informed consent atau persetujuan tindakan medik.4 Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi apabila pasien datang membutuhkan bantuan dokter mengenai diagnosis atau perawatan doter dalam melakukan jasa tertentu. Hubungan dokter dengan pasien ditinjau dari sudut hukum merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan, yang dikenal dengan perjanjian terapeutik. Hubungan hak dasar antara pasien dan dokter tersebut tentulah dilandasi oleh perjanjian terapeutik, maka setiap pasien hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi juga ia terlebih dahulu berhak mengetahui hak-hak mengenai penyakitnya dan tindakantindakan atau terapi apa yang dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian. Atas kesepakan bersama untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang mendasarkan atas suatu persetujuan untuk melakukan hal-hal tertentu akan berakibat munculnya hak dan kewajiaban. Hubungan antara pasien dengan dokter itu tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan hubungan antara pelayanan kesehatan dengan masyarakat.5 Hubungan antara dokter dengan pasien dalam hal ini adalah di RSIA Sakina Idaman menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, 4 Herrmien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 60 5 H.J.J. Leenen dan P.A.F. Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, ctk. Pertama, Bina Cipta, Bandung, 1991, hlm. 62 sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, di mana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan memberikan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien. Seorang dokter dianggap sebagai orang yang mempunyai kemampuan luar biasa yaitu kemampuannya mengobati sehingga orang yang sakit dapat menjadi sembuh dan pada pasien pada umumnya sedikit sekali mengetahui tentang penyakitnya akan pasrah diri sepenuhnya kepada kemampuan dokter. Idealitanya, dokter maupun pasien dalam hal tindakan medis mempunyai hak-hak dasar yang sama, di satu pihak dokter adalah orang yang mempunyai keahlian profesional sebagai pemberi jasa, dan pasien adalah orang yang membutuhkan jasa profesional dokter sebagai penerima jasa tindakan medis. Hermien Hadiati Koeswadji, mengemukakan bahwa hubungan antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik didasari oleh dua macam hak asasi manusia, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak untuk mendapatkan informasi (the right to information). Kedua hak tersebut bertolak dari hak atas perawatan kesehatan (the right to healthcare) yang merupakan hak asasi individu.6 Realitanya di RSIA Sakina Idaman pasien selaku konsumen dalam hal ini adalah pengguna jasa medis sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas, dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. 6 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Bayu Media Publishing, ctk. Pertama, Malang, 2007, hlm.7 Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Mengingat kelanjutan hubungan tersebut mengandung resiko, maka untuk memulai melakukan tindakan tertentu sebagai kelanjutan hubungan tersebut diperlukan persetujuan tersendiri oleh kedua belah pihak. Walaupun sebenarnya bahwa seorang pasien yang dengan keluhan datang ke kamar praktek dokter dengan tujuan memperoleh kesembuhan, berarti telah bersedia menerima tindakan dokter yang berarti telah menyetujui apapun yang akan dilakukan oleh dokter dalam upaya penyembuhannya, dengan kata lain pasien telah memberikan persetujuan, namun persetujuan yang demikian sifatnya terselubung, yaitu tidak nyata dan tidak dapat dibuktikan oleh pihak lain. Keadaan yang demikian untuk saat ini sulit diterima karena cara berpikir masyarakat telah mengalami kemajuan. Kedudukan dokter dan pasien sejajar secara hukum karena keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati bersama. Secara umum perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pelayanan jasa kesehatan belum maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih ditemukannya berbagai hambatan dalam upaya untuk menyelesaikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Salah satunya ketidaktahuan konsumen bagaimana dan di mana tempat untuk menyampaikan keluhan. Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengamati, meneliti, serta mengulas lebih lanjut tentang “ Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Pada RSIA Sakina Idaman Yogyakarta “. Kesenjangan yang terjadi di RSIA Sakina Idaman pada umumnya konsumen selaku pengguna jasa kesehatan dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan, maupun pemakaian barang dan atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha dalam hal ini adalah rumah sakit, dikarenakan terbatasnya informasi yang diberikan melainkan juga terhadap pembagian posisi yang kurang seimbang. Sebagai ilustrasi, dapat dipaparkan sebuah contoh di mana salah seorang pasien memeriksakan kesehatannya, dokter meminta pasien untuk rawat inap dikarenakan memerlukan penanganan yang baik. Setelah melakukan rawat inap selama beberapa hari pasien diperbolehkan untuk pulang karena dinyatakan sudah cukup sehat, akan tetapi setelah beberapa hari pulang ke rumah ternyata penyakit yang diderita oleh pasien kambuh kembali sehingga pasien dibawa kembali ke rumah sakit, wali pasien dengan bingung dan merasa kurang puas terhadap pelayanan dokter akhirnya melaporkan ke bagian umum pelayanan kesehatan (humas) mengenai kesehatan pasien. Pihak dari bagian pelayann kesehatan pada saat itu hanya meminta untuk menunggu informasi dari dokter yang akan menyampaikan, setelah menunggu lama ternyata pihak dokter hanya memberikan informasi kepada wali pasien bahwa pasien diminta untuk menjalani pemeriksaan kembali karena penyakit yang dideritanya perlu penanganan lagi, hanya itu yang wali pasien bisa dapatkan sehingga wali pasien merasa kurang puas atas pemeliharaan pelayanan kesehatan berkaitan denga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik yang diberikan dokter yang mana hak pasien, dengan kondisi demikian posisi pasien menjadi berada pada posisi yang lemah dan dirasa kurang seimbang, karena yang pada akhirnya pasienlah yang memakai dan merasakan jasa yang akan digunakan. Konsumen sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan merasa dirugikan baik materi maupun non materi yaitu pihak rumah sakit yang bersangkutan sebagai penyelenggara seharusnya mampu memberikan kendala bagi para konsumen selaku pengguna jasa kesehatan di rumah sakit tersebut, tidak hanya mengutamakan faktor kenyamanan akan tetapi juga keamanan itu sendiri. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum pasien dalam perjanjian terapeutik di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta? 2. Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh pasien yang menderita kerugian akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum pasien pasien dalam perjanjian terapeutik di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh pasien yang menderita kerugian akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta. D. Tinjauan Pustaka Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain, mengingat hal tersebut, kebutuhan dan keperluan manusia yang berbeda-beda, maka manusia membentuk suatu kehidupan bermasyarakat guna memenuhi kebutuhan hidup dengan saling membantu. Manusia saling mengadakan hubungan satu sama lain untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut dengan jalan manusia selalu mengadakan interaksi yang dilakukan antar mereka, adanya hubungan antar manusia maka terjadilah hubungan kepentingan satu dengan yang lainnya, hubungan dua pihak atau lebih disebut sebagai perbuatan hukum, karena para pihak telah mempunyai hak dan kewajiban, untuk mengatur agar hak dan kewajiban selalu seimbang, maka diperlukan suatu alat yang dinamakan peraturan atau hukum. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak disebut hukum perdata.7 Kepentingan-kepentingan untuk memenuhi kebutuhan manusia diwujudkan dalam bentuk perjanjian, yang mana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hubungan antara dokter dan pasien dalam tindakan medis didasarkan atas adanya suatu perjanjian, baik itu dilakukan secara langsung ataupun tidak secara langsung yang di dalamnya berisi suatu pernyataan setuju untuk dilakukannya suatu tindakan medis. Perikatan oleh Buku III B.W itu, ialah : Suatu hubungan hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.8 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan pada pasal 1313, bahwa persetujuan ialah satu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih yang menimbulkan perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, maka pada saat terjalinnya pendekatan yang dilakukan antara penerima jasa pelayanan kesehatan dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan timbullah hubungan hukum yang dapat melahirkan akibat hukum antara masingmasing pihak.9 7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 16 Ibid, hlm. 122 9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia, ctk. Pertama, PT. Citra aditya bakti, Bandung, 1999, hlm. 224 8 Perjanjian dalam melakukan jasa tertentu antara dokter dengan pasien, para pihak kedudukannya sama, sifat dari pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai dokter dan objeknya tentang keselamatan orang sehingga dalam pelayanan dituntut hubungan atas rasa kemanusiaan yang tinggi, jujur, sukarela, dan tidak diskriminasi dalam membedakan suku, ras, atau etnis.10 Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur syarat syah perjanjian, dalam pembahasan ini akan dikaitkan dengan praktek perjanjian dokterpasien seperti yang telah diuraikan di atas.11 1. Adanya kata sepakat Kata sepakat harus diperoleh dari pihak dokter dan pasien setelah terlebih dahulu dokter memberikan informasi kepada pasien dengan sejelas-jelasnya. Pihak pasien sebaliknya harus menceritakan keadaan yang sebenarnya tentang dirinya kepada dokter dan tidak boleh ada yang disembunyikan. Hal ini perlu untuk kesembuhannya agar dokter dapat melakukan tindakan dengan tepat 2. Kecakapan Perjanjian dokter dan pasien, apabila pasien adalah seorang anak, maka yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, sedangkan dalam hal seorang suami namun karena keadaan penyakitnya maka ia tidak dapat berpikir dengan baik maka persetujuan tindakan dokterdiberikan oleh istrinya. 3. Suatu hal tertentu Obyek dalam perjanjian antara dokter dengan pasien harus disebutkan secara jelas dan rinci. 4. Suatu sebab yang halal 10 Abdul Djamali dan Lenawati Tedja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, ctk. Pertama, Abardin, Bandung, 1998, hlm. 93 11 Cst. Kansil, Pengantar … op.cit, hlm. 235 Isi perjanjian antara dokter dengan pasien tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, tata tertib, dan kesusilaan. Dilihat dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencari / menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter. Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturanaturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahawa “tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang. Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, para pihak juga diatur oleh undang-undang.12 Transaksi terapeutik merupakan kegiatan di dalam penyelenggaraan praktik dokter berupa pemberian pelayanan kesehatan secara individual atau disebut pelayanan medik yang didasarkan atas keahlian dan ketrampilan, serta ketelitian. Pelayanan medik itu sendiri merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya, yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.13 Umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspaningverbintenis, dalam hal ini secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, ketrampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, 12 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga rampai … op.cit, hlm.12 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.121 13 tambah sehat, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan.14 Seorang pasien yang menanyakan terhadap seorang dokter mengenai diagnosis dan perawatan dan dokter menjawab setuju, maka terjadi perjanjian lisan yang langsung, apabila tidak terdapat persetujuan yang eksplisit maka terdapat perjanjian diam-diam yang didasarkan pada perilaku pasien dan dokter.15 Perjanjian terapeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum.16 Perjanjian terapeutik antara pasien dengan dokter terdapat kesepakatan, yaitu kesepakatan yang diberikan oleh pasien yang senantiasa didasarkan pada informasi yang diberikan oleh dokter (informed consent). Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai penanganan dalam melakukan jasa layanan kesehatan yang akan dilakukan terhadap pasien beserta resiko yang mungkin timbul akibat dari tindakan pelayanan kesehatan yang akan diberikan, oleh karena itu pemberian informasi resep obat kepada pasien mengenai jumlah barang dan atau jasa merupakan salah satu dari kewajiban seorang dokter dalam melakukan jasa kesehatan. Perjanjian terapeutik yang penting adalah adanya informasi dari kedua belah pihak yang merupakan hak dan kewajiban masing-masing sebagai landasan untuk pelaksanaan tindakan medis. 14 15 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai … op.cit, hlm.11 Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 3 16 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga rampai … op.cit, hlm.8 Dokter dalam melakukan tindakan medis yang bersifat mempunyai resiko tinggi seperti pembedahan, perlu memberikan informed consent terlebih dahulu kepada pasien mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya. Rumah Sakit menyediakan formulir penolakan tindakan medis andaikata pembedahan tidak disetujui oleh pasien atau keluarganya. Hubungan antara dokter dengan pasien sebenarnya antar subyek dengan subyek itu diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata dan memenuhi hubungan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak. Di samping menimbulkan hubungan medis, hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit yang ditentukan pada kode etik juga berakibat pada hubungan hukum pelayanan kesehatan kesehatan melibatkan beberapa tenaga kesehatan di dalamnya. Peraturan pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan e. membuat dan memelihara rekam medis Mengenai informasi persetujuan ini diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/ MEN/ KES/PER/ IX 1989 tentang Persetujuan Tindakan Pelayanan Medis. Informasi kepada pasien harus diberikan oleh dokter karena : 1. Pasien mempunyai hak utama untuk menentukan nasibnya sendiri, sehingga ia memiliki hak untuk menentukan apa yang sepantasnya dilakukan terhadap dirinya. 2. Hubungan antara dokter dengan pasien didasarkan pada kepercayaan dan kerahasiaan atas rahasia milik pasien, sehingg pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dari dokter mengenai hal tersebut. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata bahwa masalah penyampaian informasi oleh dokter kepada pasien mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan juga pelaksanaan pengobatan, terutama dampak pada pasien,17 karena dalam pemberian pemenuhan informasi pada penerima jasa pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien adalah pemberitahuan akan penemuan hasil diagnosa dokter setelah selesai pemeriksaan dan juga membutuhkan kebenaran informasi yang didasarkan atas kejujuran dan ketulusan dokter untuk menolong pasien. Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan manusia untuk mengoptimalkan kesehatan, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Pasal 48 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan melalui kegiatan : a. pelayanan kesehatan b. pelayanan kesehatan tradisional c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit 17 Veronica Komalawati, Peranan … op. cit, hlm 55 d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan e. kesehatan reproduksi f. keluarga berencana g. kesehatan sekolah h. kesehatan olah raga i. pelayanan kesehatan pada bencana j. pelayanan darah k. kesehatan gigi dan mulut l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran m. kesehatan mata n. pengamanan dan penggunaa sediaan farmasi dan alat kesehatan o. pengamanan makanan dan minuman p. pengamanan zat adiktif; dan/atau q. bedah mayat Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan dasar hukum bagi penuntutan hukum bagi penuntut dalam masalah ganti kerugian, hal ini diatur dalam BW sebagai peraturan yang berlaku secara umum, dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung ada perlindungan terhadap haknya pasien oleh kelalaian dokter, kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya dalam halnya adanya perjanjian terapeutik meliputi kesalahan yang berkaitan dengan kewajibannya yang timbul dari perjanjian tersebut. Pasien yang menderita kerugian akibat kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya, maka pasien dapat menuntut ganti kerugian baik menurut wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian dalam tulisan ini adalah bagaimana Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pasien pasien yang tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh pasien yang menderita kerugian akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik di Rumah Sakit Ibu dan Anak Sakina Idaman Yogyakarta. 2. Subyek penelitian : RSIA Sakina Idaman 3. Lokasi penelitian : Jl. Condro Lukito, Blunyah Gede 60 Yogyakarta 4. Nara Sumber : Nara sumber merupakan pihak-pihak yang dapat memberikan pendapat, informasi atau keterangan terhadap masalah yang diteliti dan dipilih karena kompetensi/kepakarannya, jabatannya, maupun pengalamannya, antara lain adalah : a. tenaga medis b. tenaga keperawatan c. tenaga bagian pelayanan umum kesehatan rumah sakit d. pasien 5. Bahan Hukum : Bahan hukum primer, yakni bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, antara lain yaitu : 1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 2) Undang undang tentang Tindakan Medis 3) Peraturan Pemerintah Nomer 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan 4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti rancangan peraturan perundangan-undangan, buku/ literatur, jurnal, hasil wawancara serta hasil penelitian terdahulu. 6. Cara Pengumpulan Bahan Hukum Cara mengumpulkan bahan-bahan hukum dalam tulisan ini dilakukan dengan: a. Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum, dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi intitusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. c. Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada nara sumber baik secara bebas maupun terpimpin. 7. Pendekatan yang digunakan Metode pendekatan yang digunakan adalah menggunakan sudut pandang yuridis normatif yakni menganalisa dan mengkaji secara mendalam sebuah perundang-undangan, serta yuridis sosiologis yakni pendekatan untuk memahami masalah dengan cara memperhatikan fokus kasus yang terjadi. 8. Pengolahan dan analisis bahan-bahan hukum Pengolahan bahan-bahan hukum merupakan kegiatan mengorganisasikan bahan-bahan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan. Kegiatan tersebut meliputi menggolong-golongkan bahan sesuai kualifikasi yang dibutuhkan dan pemberian kode-kode tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Analisis bahan-bahan hukum merupakan kegiatan menguraikan/menarasikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan perpektif atau sudut pandang tertentu. F. Kerangka Skripsi Skripsi ini terdiri dari Empat Bab, yaitu: 1. BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, rumusan masalah,tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan kerangka skripsi. 2. BAB II Tinjauan Umum tentang Perjanjian dan Perjanjian Dalam Tindakan Medis. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pada Sub Bab Pertama tentang Tinjauan Umum Perjanjian, berisi penjelasan mengenai: pengertian perjanjian, syarat-syarat perjanjian, unsur-unsur perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, macam-macam perjanjian, wan prestasi dan akibat hukumnya, perbuatan melawan hukum, berakunya perjanjian dan berakhirnya perjanjian. Pada Sub Bab Kedua tentang Perjanjian dalam Tindakan Medis, berisi penjelasan mengenai : Pengertian tindakan medis, pengertian informed consent 3. BAB III tentang Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Pada RSIA Sakina Idaman Yogyakarta. Terdiri dari dua sub bab, yaitu : Sub Bab Pertama berisi penjelasan tentang perlindungan hukum terhadap pasien dalam perjanjian terapeutik. Sub Bab Kedua berisi penjelasan tentang upaya hukum dalam hal tidak dipenuhi hak pasien yang menderita kerugian. 4. BAB IV Penutup, yang didalamnya berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan dan penelitian yang dilakukan, serta saran dari kesimpulan yang telah ada.