BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting
dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi
mewujudkan hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam
bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pelayanan
kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kegiatan.
Pelayanan kesehatan prefentif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk
penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian
penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga
seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan pasien dalam kondisi semula.1
Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kesehatan terjalin
hubungan antar tenaga kesehatan khususnya dokter dengan pasien. Penyakit yang
datang tanpa kompromi membuat konsumen tidak dapat lagi menunda atau
mengesampingkan jasa pelayanan kesehatan, walaupun tidak memiliki biaya yang
cukup. Jasa pelayanan kesehatan memiliki sifat yang khusus sehingga jenis jasa
pelayanan kesehatan ini menyandang misi fungsi sosial yang mana misi fungsi
1
Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
sosial ini tetap harus diutamakan, mengingat pelayanan kesehatan sangat erat
kaitannya dengan rasa kemanusiaan yang secara jelas dijamin oleh Undang-undang,
karena itu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang baik
dan memadai.
Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan
yang intensif. Dokter dianggap sebagai pribadi yang akan dapat menolongnya
karena kemampuannya secara ilmiah sehingga peranan dokter dalam melakukan
tindakan medis seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan peranan
yang lebih tinggi daripada pasien.
Dokter adalah orang yang mempunyai keahlian profesional sebagai
pemberi jasa, di pihak lain pasien orang yang memerlukan bantuan jasa profesi
dokter sebagai penerima jasa pelayanan. Hubungan kedua belah pihak tersebut
dimulai pada saat pertama kali pasien datang ke kamar praktik dokter dengan
membawa keluhan sakit pada dirinya. Setelah mendengar keluhan sakit dari pasien
maka timbul inisiatif dokter untuk melakukan tindakan tertentu yang bertujuan
untuk menyembuhkan pasien.2
Kedudukan hukum para pihak dalam tindakan medis adalah seimbang
sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Dokter bertanggungjawab selaku
profesional di bidang medis yang memiliki ciri tindakan medis berupa pemberian
bantuan atau pertolongan yang seharusnya selalu berupaya meningkatkan keahlian
dan ketrampilannya melalui penelitian. Pasien bertanggung jawab atas kebenaran
informasi yang ia berikan kepada dokter dan membayar biaya administrasi
pengobatan. Pasien di dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sering kali pasien
hanya mengikuti kata dokter sehingga pasien berada pada posisi yang lemah.
2
Cst. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 234
Hubungan dokter dengan pasien tidaklah seimbang, dokter sebagai orang yang
mempunyai ilmu tentang kesehatan, semua perkataan dan perintahnya akan diikuti
oleh pasien sedangkan hak pasien kadang terabaikan.
Tindakan dokter secara umum hanyalah menyangkut kewajiban untuk
mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada standar profesi medis (inspanings
verbintennis). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesional dan menghormati hak pasien. Kewajiban dokter untuk
memberikan informed consent kepada pasien sebenarnya tidak terlepas dari
kewajiban dokter untuk memperoleh atau mendapatkan informasi yang benar dari
pasien. Hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit yang ditentukan pada kode
etik di samping menimbulkan hubungan medis, juga berakibat pada hubungan
hukum pelayanan kesehatan kesehatan melibatkan beberapa tenaga kesehatan di
dalamnya.
Pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang mempunyai
sifat-sifat khusus dan tidak sama dengan industri jasa lainnya, seperti jasa angkutan,
jasa telekomonikasi, dan jasa perbankan. Konsumen yang menggunakan jasa
pelayanan kesehatan biasanya dalam kondisi sakit, prihatin, panik, dan tegang dalam
ketidakpastian, ini artinya konsumen menghadapi unsur keterpaksaan.3
Kalangan
penyandang
profesi
medik/kesehatan
melakukan
tindakan/perbuatan terhadap pasien berupa upaya yang belum tentu keberhasilannya,
karena transaksi terapeutik hakikatnya merupakan transaksi para pihak, yaitu dokter
dan pasien, untuk mencari terapi yang paling tepat oleh dokter dalam upaya
menyembuhkan penyakit pasien. Hubungan transaksi terapeutik ini dinamakan
inspanningsverbintenis dan bukan resultaatverbintenis sebagaimana persepsi pasien
3
Z umrotin K Susilo dan Puspa Swara, Penyambung Lidah Konsumen, ctk pertama, YLKI,
1996, hlm. 63
yang menilai dari hasil. Pasien juga tidak pernah mempunyai pikiran bahwa apa pun
tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya
itu sudah didasarkan pada persetujuan pasien, yang dalam kepustakaan disebut
sebagai informed consent atau persetujuan tindakan medik.4
Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi apabila pasien datang
membutuhkan bantuan dokter mengenai diagnosis atau perawatan doter dalam
melakukan jasa tertentu. Hubungan dokter dengan pasien ditinjau dari sudut hukum
merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya
penyembuhan, yang dikenal dengan perjanjian terapeutik.
Hubungan hak dasar antara pasien dan dokter tersebut tentulah dilandasi
oleh perjanjian terapeutik, maka setiap pasien hanya mempunyai kebebasan untuk
menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi juga ia
terlebih dahulu berhak mengetahui hak-hak mengenai penyakitnya dan tindakantindakan atau terapi apa yang dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong
dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian. Atas kesepakan bersama
untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang mendasarkan atas suatu
persetujuan untuk melakukan hal-hal tertentu akan berakibat munculnya hak dan
kewajiaban.
Hubungan antara pasien dengan dokter itu tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan hubungan
antara pelayanan kesehatan dengan masyarakat.5
Hubungan antara dokter dengan pasien dalam hal ini adalah di RSIA
Sakina Idaman menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant,
4
Herrmien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 60
5
H.J.J. Leenen dan P.A.F. Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, ctk. Pertama, Bina Cipta,
Bandung, 1991, hlm. 62
sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk
melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, di
mana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan
khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia
merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan
sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan
memberikan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien. Seorang dokter
dianggap sebagai orang yang mempunyai kemampuan luar biasa yaitu
kemampuannya mengobati sehingga orang yang sakit dapat menjadi sembuh dan
pada pasien pada umumnya sedikit sekali mengetahui tentang penyakitnya akan
pasrah diri sepenuhnya kepada kemampuan dokter.
Idealitanya, dokter maupun pasien dalam hal tindakan medis mempunyai
hak-hak dasar yang sama, di satu pihak dokter adalah orang yang mempunyai
keahlian profesional sebagai pemberi jasa, dan pasien adalah orang yang
membutuhkan jasa profesional dokter sebagai penerima jasa tindakan medis.
Hermien Hadiati Koeswadji, mengemukakan bahwa hubungan antara dokter dengan
pasien dalam transaksi terapeutik didasari oleh dua macam hak asasi manusia, yaitu
hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak untuk
mendapatkan informasi (the right to information). Kedua hak tersebut bertolak dari
hak atas perawatan kesehatan (the right to healthcare) yang merupakan hak asasi
individu.6 Realitanya di RSIA Sakina Idaman pasien selaku konsumen dalam hal ini
adalah pengguna jasa medis sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan
secarik kertas, dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya
pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan.
6
Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Bayu Media Publishing, ctk. Pertama,
Malang, 2007, hlm.7
Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini
disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat
apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan
suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang
dijamin oleh kode etik kedokteran. Mengingat kelanjutan hubungan tersebut
mengandung resiko, maka untuk memulai melakukan tindakan tertentu sebagai
kelanjutan hubungan tersebut diperlukan persetujuan tersendiri oleh kedua belah
pihak. Walaupun sebenarnya bahwa seorang pasien yang dengan keluhan datang ke
kamar praktek dokter dengan tujuan memperoleh kesembuhan, berarti telah bersedia
menerima tindakan dokter yang berarti telah menyetujui apapun yang akan
dilakukan oleh dokter dalam upaya penyembuhannya, dengan kata lain pasien telah
memberikan persetujuan, namun persetujuan yang demikian sifatnya terselubung,
yaitu tidak nyata dan tidak dapat dibuktikan oleh pihak lain.
Keadaan yang demikian untuk saat ini sulit diterima karena cara berpikir
masyarakat telah mengalami kemajuan. Kedudukan dokter dan pasien sejajar secara
hukum karena keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati
bersama. Secara umum perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan
pelayanan jasa kesehatan belum maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih
ditemukannya berbagai hambatan dalam upaya untuk menyelesaikan perlindungan
hukum terhadap konsumen. Salah satunya ketidaktahuan konsumen bagaimana dan
di mana tempat untuk menyampaikan keluhan.
Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengamati, meneliti,
serta mengulas lebih lanjut tentang “ Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian
Terapeutik Pada RSIA Sakina Idaman Yogyakarta “.
Kesenjangan yang terjadi di RSIA Sakina Idaman pada umumnya
konsumen
selaku
pengguna
jasa
kesehatan
dihadapkan
pada
persoalan
ketidakmengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan,
maupun pemakaian barang dan atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha dalam
hal ini adalah rumah sakit, dikarenakan terbatasnya informasi yang diberikan
melainkan juga terhadap pembagian posisi yang kurang seimbang. Sebagai ilustrasi,
dapat dipaparkan sebuah contoh di mana salah seorang pasien memeriksakan
kesehatannya, dokter meminta pasien untuk rawat inap dikarenakan memerlukan
penanganan yang baik. Setelah melakukan rawat inap selama beberapa hari pasien
diperbolehkan untuk pulang karena dinyatakan sudah cukup sehat, akan tetapi
setelah beberapa hari pulang ke rumah ternyata penyakit yang diderita oleh pasien
kambuh kembali sehingga pasien dibawa kembali ke rumah sakit, wali pasien
dengan bingung dan merasa kurang puas terhadap pelayanan dokter akhirnya
melaporkan ke bagian umum pelayanan kesehatan (humas) mengenai kesehatan
pasien. Pihak dari bagian pelayann kesehatan pada saat itu hanya meminta untuk
menunggu informasi dari dokter yang akan menyampaikan, setelah menunggu lama
ternyata pihak dokter hanya memberikan informasi kepada wali pasien bahwa
pasien diminta untuk menjalani pemeriksaan kembali karena penyakit yang
dideritanya perlu penanganan lagi, hanya itu yang wali pasien bisa dapatkan
sehingga wali pasien merasa kurang puas atas pemeliharaan pelayanan kesehatan
berkaitan denga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik yang
diberikan dokter yang mana hak pasien, dengan kondisi demikian posisi pasien
menjadi berada pada posisi yang lemah dan dirasa kurang seimbang, karena yang
pada akhirnya pasienlah yang memakai dan merasakan jasa yang akan digunakan.
Konsumen sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan merasa dirugikan baik materi
maupun non materi yaitu pihak rumah sakit yang bersangkutan sebagai
penyelenggara seharusnya mampu memberikan kendala bagi para konsumen selaku
pengguna jasa kesehatan di rumah sakit tersebut, tidak hanya mengutamakan faktor
kenyamanan akan tetapi juga keamanan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum pasien dalam perjanjian terapeutik di RSIA
Sakina Idaman Yogyakarta?
2. Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh pasien yang menderita kerugian
akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik di RSIA Sakina Idaman
Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum pasien pasien dalam perjanjian terapeutik
di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh pasien yang menderita
kerugian akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian terapeutik di RSIA
Sakina Idaman Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang
lain, mengingat hal tersebut, kebutuhan dan keperluan manusia yang berbeda-beda,
maka manusia membentuk suatu kehidupan bermasyarakat guna memenuhi
kebutuhan hidup dengan saling membantu. Manusia saling mengadakan hubungan
satu sama lain untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut dengan jalan
manusia selalu mengadakan interaksi yang dilakukan antar mereka, adanya
hubungan antar manusia maka terjadilah hubungan kepentingan satu dengan yang
lainnya, hubungan dua pihak atau lebih disebut sebagai perbuatan hukum, karena
para pihak telah mempunyai hak dan kewajiban, untuk mengatur agar hak dan
kewajiban selalu seimbang, maka diperlukan suatu alat yang dinamakan peraturan
atau hukum. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak disebut hukum
perdata.7
Kepentingan-kepentingan untuk memenuhi kebutuhan manusia diwujudkan
dalam bentuk perjanjian, yang mana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Hubungan antara dokter dan pasien dalam tindakan medis didasarkan atas
adanya suatu perjanjian, baik itu dilakukan secara langsung ataupun tidak secara
langsung yang di dalamnya berisi suatu pernyataan setuju untuk dilakukannya suatu
tindakan medis.
Perikatan oleh Buku III B.W itu, ialah : Suatu hubungan hukum antara dua
orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.8
Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan pada pasal 1313, bahwa
persetujuan ialah satu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya kepada satu orang atau lebih yang menimbulkan perjanjian untuk melakukan
jasa-jasa tertentu, maka pada saat terjalinnya pendekatan yang dilakukan antara
penerima jasa pelayanan kesehatan dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan
timbullah hubungan hukum yang dapat melahirkan akibat hukum antara masingmasing pihak.9
7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 16
Ibid, hlm. 122
9
Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia, ctk. Pertama, PT. Citra aditya bakti, Bandung,
1999, hlm. 224
8
Perjanjian dalam melakukan jasa tertentu antara dokter dengan pasien, para
pihak kedudukannya sama, sifat dari pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai
dokter dan objeknya tentang keselamatan orang sehingga dalam pelayanan dituntut
hubungan atas rasa kemanusiaan yang tinggi, jujur, sukarela, dan tidak diskriminasi
dalam membedakan suku, ras, atau etnis.10
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur syarat syah
perjanjian, dalam pembahasan ini akan dikaitkan dengan praktek perjanjian dokterpasien seperti yang telah diuraikan di atas.11
1. Adanya kata sepakat
Kata sepakat harus diperoleh dari pihak dokter dan pasien setelah terlebih
dahulu dokter memberikan informasi kepada pasien dengan sejelas-jelasnya.
Pihak pasien sebaliknya harus menceritakan keadaan yang sebenarnya tentang
dirinya kepada dokter dan tidak boleh ada yang disembunyikan. Hal ini perlu
untuk kesembuhannya agar dokter dapat melakukan tindakan dengan tepat
2. Kecakapan
Perjanjian dokter dan pasien, apabila pasien adalah seorang anak, maka
yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, sedangkan dalam hal
seorang suami namun karena keadaan penyakitnya maka ia tidak dapat berpikir
dengan baik maka persetujuan tindakan dokterdiberikan oleh istrinya.
3. Suatu hal tertentu
Obyek dalam perjanjian antara dokter dengan pasien harus disebutkan
secara jelas dan rinci.
4. Suatu sebab yang halal
10
Abdul Djamali dan Lenawati Tedja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam
Menangani Pasien, ctk. Pertama, Abardin, Bandung, 1998, hlm. 93
11
Cst. Kansil, Pengantar … op.cit, hlm. 235
Isi perjanjian antara dokter dengan pasien tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, tata tertib, dan kesusilaan.
Dilihat dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa transaksi terapeutik antara
dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian
terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk
mencari / menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh
dokter.
Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturanaturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal
1233 KUHPerdata menyatakan bahawa “tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari
suatu perjanjian maupun karena undang-undang. Pada perjanjian terapeutik di
samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, para pihak juga diatur oleh undang-undang.12
Transaksi terapeutik merupakan kegiatan di dalam penyelenggaraan praktik
dokter berupa pemberian pelayanan kesehatan secara individual atau disebut
pelayanan medik yang didasarkan atas keahlian dan ketrampilan, serta ketelitian.
Pelayanan medik itu sendiri merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan
yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya,
yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.13
Umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspaningverbintenis, dalam hal
ini secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian,
ketrampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang
dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit,
12
Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga rampai … op.cit, hlm.12
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm.121
13
tambah sehat, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang
dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan.14
Seorang pasien yang menanyakan terhadap seorang dokter mengenai
diagnosis dan perawatan dan dokter menjawab setuju, maka terjadi perjanjian lisan
yang langsung, apabila tidak terdapat persetujuan yang eksplisit maka terdapat
perjanjian diam-diam yang didasarkan pada perilaku pasien dan dokter.15
Perjanjian terapeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat
pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam perjanjian
terapeutik antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa
tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan
hukum.16
Perjanjian terapeutik antara pasien dengan dokter terdapat kesepakatan,
yaitu kesepakatan yang diberikan oleh pasien yang senantiasa didasarkan pada
informasi yang diberikan oleh dokter (informed consent). Informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai penanganan dalam melakukan jasa layanan kesehatan yang akan
dilakukan terhadap pasien beserta resiko yang mungkin timbul akibat dari tindakan
pelayanan kesehatan yang akan diberikan, oleh karena itu pemberian informasi resep
obat kepada pasien mengenai jumlah barang dan atau jasa merupakan salah satu dari
kewajiban seorang dokter dalam melakukan jasa kesehatan. Perjanjian terapeutik
yang penting adalah adanya informasi dari kedua belah pihak yang merupakan hak
dan kewajiban masing-masing sebagai landasan untuk pelaksanaan tindakan medis.
14
15
Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai … op.cit, hlm.11
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, Bandung, 1990,
hlm. 3
16
Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga rampai … op.cit, hlm.8
Dokter dalam melakukan tindakan medis yang bersifat mempunyai resiko
tinggi seperti pembedahan, perlu memberikan informed consent terlebih dahulu
kepada pasien mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya. Rumah Sakit
menyediakan formulir penolakan tindakan medis andaikata pembedahan tidak
disetujui oleh pasien atau keluarganya.
Hubungan antara dokter dengan pasien sebenarnya antar subyek dengan
subyek itu diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata dan memenuhi hubungan yang
mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak. Di samping menimbulkan
hubungan medis, hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit yang ditentukan
pada kode etik juga berakibat pada hubungan hukum pelayanan kesehatan kesehatan
melibatkan beberapa tenaga kesehatan di dalamnya.
Peraturan pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :
a. menghormati hak pasien
b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien
c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan
d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan
e. membuat dan memelihara rekam medis
Mengenai informasi persetujuan ini diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/ MEN/ KES/PER/ IX 1989 tentang Persetujuan Tindakan
Pelayanan Medis. Informasi kepada pasien harus diberikan oleh dokter karena :
1. Pasien mempunyai hak utama untuk menentukan nasibnya sendiri, sehingga ia
memiliki hak untuk menentukan apa yang sepantasnya dilakukan terhadap
dirinya.
2. Hubungan antara dokter dengan pasien didasarkan pada kepercayaan dan
kerahasiaan atas rahasia milik pasien, sehingg pasien mempunyai hak untuk
mendapatkan informasi dari dokter mengenai hal tersebut.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata bahwa masalah
penyampaian informasi oleh dokter kepada pasien mempengaruhi kualitas
pelayanan kesehatan dan juga pelaksanaan pengobatan, terutama dampak pada
pasien,17 karena dalam pemberian pemenuhan informasi pada penerima jasa
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien adalah pemberitahuan akan
penemuan hasil diagnosa dokter setelah selesai pemeriksaan dan juga membutuhkan
kebenaran informasi yang didasarkan atas kejujuran dan ketulusan dokter untuk
menolong pasien.
Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan
manusia untuk mengoptimalkan kesehatan, untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat. Pasal 48 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan melalui
kegiatan :
a. pelayanan kesehatan
b. pelayanan kesehatan tradisional
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
17
Veronica Komalawati, Peranan … op. cit, hlm 55
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
e. kesehatan reproduksi
f. keluarga berencana
g. kesehatan sekolah
h. kesehatan olah raga
i. pelayanan kesehatan pada bencana
j. pelayanan darah
k. kesehatan gigi dan mulut
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
m. kesehatan mata
n. pengamanan dan penggunaa sediaan farmasi dan alat kesehatan
o. pengamanan makanan dan minuman
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
memberikan dasar hukum bagi penuntutan hukum bagi penuntut dalam masalah
ganti kerugian, hal ini diatur dalam BW sebagai peraturan yang berlaku secara
umum, dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung ada perlindungan terhadap
haknya pasien oleh kelalaian dokter, kesalahan dokter dalam menjalankan
profesinya dalam halnya adanya perjanjian terapeutik meliputi kesalahan yang
berkaitan dengan kewajibannya yang timbul dari perjanjian tersebut. Pasien yang
menderita kerugian akibat kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya, maka
pasien dapat menuntut ganti kerugian baik menurut wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum.
E. Metode Penelitian
1. Obyek penelitian dalam tulisan ini adalah bagaimana Untuk mengetahui
perlindungan hukum terhadap pasien pasien yang tidak dipenuhi haknya dalam
perjanjian terapeutik serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh
pasien yang menderita kerugian akibat tidak dipenuhi haknya dalam perjanjian
terapeutik di Rumah Sakit Ibu dan Anak Sakina Idaman Yogyakarta.
2. Subyek penelitian : RSIA Sakina Idaman
3. Lokasi penelitian : Jl. Condro Lukito, Blunyah Gede 60 Yogyakarta
4. Nara Sumber :
Nara sumber merupakan pihak-pihak yang dapat memberikan pendapat, informasi
atau
keterangan
terhadap
masalah
yang
diteliti
dan
dipilih
karena
kompetensi/kepakarannya, jabatannya, maupun pengalamannya, antara lain
adalah :
a. tenaga medis
b. tenaga keperawatan
c. tenaga bagian pelayanan umum kesehatan rumah sakit
d. pasien
5. Bahan Hukum :
Bahan hukum primer, yakni bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara
yuridis, seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian,
antara lain yaitu :
1) Undang-undang Nomer 36 Tahun 2009
2) Undang undang tentang Tindakan Medis
3) Peraturan Pemerintah Nomer 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara yuridis, seperti rancangan peraturan perundangan-undangan, buku/
literatur, jurnal, hasil wawancara serta hasil penelitian terdahulu.
6. Cara Pengumpulan Bahan Hukum
Cara mengumpulkan bahan-bahan hukum dalam tulisan ini dilakukan
dengan:
a. Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum, dan
literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
b. Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi
intitusional
yang
berupa
peraturan
perundang-undangan,
putusan
pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.
c. Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada nara sumber baik
secara bebas maupun terpimpin.
7. Pendekatan yang digunakan
Metode pendekatan yang digunakan adalah menggunakan sudut pandang
yuridis normatif yakni menganalisa dan
mengkaji secara mendalam sebuah
perundang-undangan, serta yuridis sosiologis yakni pendekatan untuk memahami
masalah dengan cara memperhatikan fokus kasus yang terjadi.
8. Pengolahan dan analisis bahan-bahan hukum
Pengolahan bahan-bahan hukum merupakan kegiatan mengorganisasikan
bahan-bahan
tersebut
sedemikian
rupa
sehingga
dapat
dibaca
dan
diinterpretasikan. Kegiatan tersebut meliputi menggolong-golongkan bahan
sesuai kualifikasi yang dibutuhkan dan pemberian kode-kode tertentu sesuai
dengan yang diinginkan. Analisis bahan-bahan hukum merupakan kegiatan
menguraikan/menarasikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian
dengan perpektif atau sudut pandang tertentu.
F. Kerangka Skripsi
Skripsi ini terdiri dari Empat Bab, yaitu:
1. BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, rumusan
masalah,tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan kerangka
skripsi.
2. BAB II Tinjauan Umum tentang Perjanjian dan Perjanjian Dalam Tindakan
Medis. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu:
Pada Sub Bab Pertama tentang Tinjauan Umum Perjanjian, berisi penjelasan
mengenai:
pengertian
perjanjian,
syarat-syarat
perjanjian,
unsur-unsur
perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, macam-macam perjanjian, wan prestasi
dan akibat hukumnya, perbuatan melawan hukum, berakunya perjanjian dan
berakhirnya perjanjian.
Pada Sub Bab Kedua tentang Perjanjian dalam Tindakan Medis, berisi
penjelasan mengenai : Pengertian tindakan medis, pengertian informed consent
3. BAB III tentang Perlindungan Hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Pada
RSIA Sakina Idaman Yogyakarta. Terdiri dari dua sub bab, yaitu :
Sub Bab Pertama berisi penjelasan tentang perlindungan hukum terhadap pasien
dalam perjanjian terapeutik.
Sub Bab Kedua berisi penjelasan tentang upaya hukum dalam hal tidak
dipenuhi hak pasien yang menderita kerugian.
4. BAB IV Penutup, yang didalamnya berisi mengenai kesimpulan dari
pembahasan dan penelitian yang dilakukan, serta saran dari kesimpulan yang
telah ada.
Download