POTENSI GARAM DI KUPANG : SUMBERDAYA YANG MELIMPAH & TINGGAL AMBIL Oleh: Irmadi Nahib, Yatin S, Yosef P, dan Syahrul Arief BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46 Cibinong 16911 Email ;[email protected] Kita patut bersyukur, karena sumberdaya yang ada di negara kita sungguh sangat melimpah. Tidak hanya sumberdaya alam yang ada di darat, terlebih juga sumberdaya alam yang ada di laut. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai panjang garis pantai sebesar 95.181 km, apa yang kita inginkan sudah tersedia dan hanya tinggal mengambil (memanfaatkan) saja di laut. Fotokita.net/foto/851280364015_6348560/ pembuat-garam-tradisional(Oleh Ahmad Fitroni)) Kupang mendapat 1 milyar (wawancara dengan Bp Wempy, Kepala Bidang di DKP Prov NTT). Program ini untuk mendukung industri garam yang menargetkan pada 2014 mencapai 1.200.000 ton/ tahun dan ada modal penguatan modal (BLM Pugar). Pengusahaan garam di Kabupaten Kupang belum adanya sentuhan teknologi. Tetapi ironisnya sampai saat ini, kita masih mengimpor garam untuk kebutuhan konsumsi terlebih garam industri. Program nasional swasembada garam nasional yang dimulai tahun 2009 dan Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) diharapkan mampu mempercepat tercapainya bebas impor garam pada tahun 2014. Untuk mencapai itu tentunya diperlukan dukungan informasi geospasial. Potensi garam di Kabupaten Kupang ada di Kecamatan Kupang Tengah, Kupang Timur dan Kecamatan Sulamu. Tahun 2011 melaui program PUGAR : di Kabupaten Kupang ada 10 kelompok petambak (dengan luas 97 ha) yang menerima bantuan dan juga pelatihan bagi untuk peningkatan produksi garam. Masing-masing kelompok terdiri atas 610 orang nelayan tambak. Tahun 2010 Potensi Garam di Kupang Sentra produksi garam di Provinsi NTT adalah di Kabupaten Kupang, Ngadakeo dan Ende. Tahun 2011 melaui program PUGAR, Provinsi NTT menerima bantuan dana dari pusat / DIPA TUGAS PERBANTUAN sebesar 16 milyar yang disebar pada 9 kabupaten. Kabupaten. 1 terjadi gagal panen akibat perubahan iklim. Tetapi masih ada juga yang membuat garam secara tradisional, seperti yang dilakukan di desa Pitai, Pantai Beringin dan Desa Pariti (Kecamatan Sulamu). Pengolahan atau pembuatan garam masih menggunakan cara sederhana (tradisional / tidak menggunakan tambak). Hal yang sama juga dilakukan oleh para nelayan garam di Obelo dan Tanah Merah di Kecamatan Kupang Tengah. Sentra produksi garam ada perindustrian di Ngadakeo (PT Cheetam Salt dari Australia). Permasalahan pengembangan tambak garam adalah tumpang tindih penggunaan lahan. Tahun 1992, PT Pandu Guna Ganda memegang HGU seluas 3.000 Ha, Tetapi belum ada kegiatan sama sekali. Dengan tersedianya informasi geospasial semestinya hal ini tidak terjadi setidak dikurangi. No Saat ini tim BAKOSURTANAL melalui program Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) 2012 yang didanai dari DIPA Kemen Ristek, sedang melakukan kajian untuk memberikan data geospasial sebaran tambak garam eksisting dan areal yang potensial untukdijadikantambak garam. Kabupaten Luas (Ha) 175.59 Persen 1 Nagakeo 22,92 2 Ende 8.99 1,17 3 Alor 1.26 0,16 4 TTU 89.97 11,75 5 TTS 1.14 0,15 6 Kupang 489.04 63,84 Total 765.99 100 Luas garam hasil pemetaan. Sumber : PSSDAL, 2011 Sampai saat ini belum ada data tentang luas areal tambak yang representatif, yang menunjukkan dengan tepat data tentang luas areal eksisting tambak dan areal potensial untuk dijadikan sebagai areal tambak garam. Data yang ada selama ini merupakan data statistik dan merupakan yang sudah cukup lama. Data hasil pemetaan yang dilakukan oleh Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut pada skala : 1 : 25.000 diperoleh luas areal tambak (pada tabel), sedangkan data potensial areal tambak yang direkomendasikan sedang dalam proses kajian dengan menggunakan peta: penutupan lahan, pasang surut, tata ruang (hutan lindung dan budidaya). Merujuk data diatas, luas areal tambak garam di Kabupaten kupang adalah yang terbesar (64 %), Nagakeo (23 %) dan TTU (12 %). Pengolahan Garam Tradisional (sederhana). Rute Survei Tim BAKOSURTANAL Proses pembuatan garam di Kupang secara umum dilakukan melalui proses pembuatan garam pada lahan tambak. Diharapkan dengan informasi geospasial, 2 tersedianya perencanaan pengembangan garam di kabupaten Kupang akan lebih teringrasi dan terencana dengan baik. tanah kering. Dibawah tempat penyaringan diletakkan ember atau bokor (yang berfungsi sebagai tempat penampung air garam. Aktifitas ini terutama dilakukan pada saat musim kemarau ( mulai bulan Juli). Para nelayan membuat garam dengan “bahan dasarnya adalah lempung atau debu” yang diambil dari areal sekitar pantai di wilayah pasang air laut terjauh. Areal ini oleh masyarakat biasa dikenal sebagai “ arak”. Selanjutnya, tanah kering atau debu tersebut, disiram dengan air laut. Proses penyaringan ini berlangsung selama lebih kurang 1-2 jam. Tanah dan debu tersebut digunakan untuk 2 kali proses penyaringan. Pada saat terjadinya pasang yang paling tinggi (jauh), dimana biasanya air laut sampai ke sekitar areal sawah dan dekat pemukiman (di Obelo) atau jalan raya (Kecamatan Salamu), setiap dua mingu sekali, sehingga terdapat permukaan tanah yang kering dan bisa diambil tanah / debu. Setelah dua mingggu dari kejadian pasang jauh tersebut tanah sekitar areal “arak” tersebut lambat laut menjadi kering. Pada saat ini nelayan pembuat garam tradisional mulai melakukan aktifitas mengumpulkan tanah dan debu. Proses Penyaringan Garam Kristal Untuk proses penyaringan kristal garam (garam kasar), peralatan dan kontruksi tikar penyaring yang digunakan relatif sama, hanya saja tanah atau debu diganti dengan garam kristal “ yang diperoleh dari membeli dari petambak garam dengan harga 9saat ini, Rp. 80.000- 90.000 per karung (sekitar 50 kg). Alat yang digunakan untuk menggaruk tanah adalah tempurung kelapa atau piring bekas. Tanah atau debu yang sudah dikumpulkan, dimasuk ke karung plastik atau langsung dimuat pada gerobak. Selanjutnya tanah tersebut dibawa ke tempat penyaringan. “Tempat / Tikar Penyaringan” terbuat anyaman daun lontar yang berbentuk kerucut terbalik. Tikar ini diikatkan pada tiang penyangga sehingga membentuk bidang segi empat dan dibawahnya berbentuk kerucut. Jarak ujung kerucut dengan permukaan tanah sekitar 0,5 – 1 meter. Pada dasar tikar ditaruh kerikil dan juga pasir, kemudian diatasnya dilapisi dengan karung plastik. Diatas karung plastik dipasang satu lapisan lagi kerikil dan pasir sebagai media penyaringan. Diatas media penyaring tersebut, ditaruh debu atau lempung Kristal garam yang dimasukkan pada ember yang telah di beri lubang pada bagian bawah dan juga sampingnya di letak di atas kayu. Selanjutnya, garam dalam ember disiram dengan air tawar. Air tersebut akan melalui penyaringan, dimana tetesan air mengalir sangat lambat. Air hasil tampungan yang sudah terlihat jernih, selanjutnya dimasak sama seperti proses perebusan air garam yang berasal dari debu. Air hasil penyaringan dipindah ke tempat memasak, yang bisa terbuat dari drum bekas yang sudah dibelah dua atau yang 3 terbuat dari seng. Proses perebusan air tersebut berlangsung sekitar 3 hingga 4 jam untuk satu kali proses perebusan air menjadi garam. Kayu sebagai bahan bakar diperoleh dari mengambil dihutan (Kecamatan Salamu), atau dengan membeli kayu bakar seharga Rp. 500.000,- per mobil truk. hanya saja pada saat musimhujan telah tiba, petambak tidak lagi bisa beraktifitas, Obello Desa Garam Di Kupang Jika kita melitasi jalan Timor Raya yang menghubungkan kota Kupang dengan kota Atambua, sampai Timor Leste di ujung timur Pulau Timor itu. setelah perjalanan kurang lebih 20 menit darikota Kupang kita akan melihat “ bungkusan berwarna putih. Itu menandakan kita telah memasuki desa Obelo, yang terletak sekita 20 Km timur kota Kupang. Masyarakat desa Obelo dan juga Tanah Merah sebagain ada yang bekerja sebagai pengolah garam kristal menjadi garam siap konsumsi. Sebagain produksi garam mereka jual dengan memajang garam yang dimuat dalam sokal (kantong berbentuk bulat yang terbuat dari daun lontar), sokal ini biasa digunakan sebagai wadah botol dan juga wadah benda lainnya yang berbentuk bulat dengan berbagai ukuran diameter dan tinggi). Garam yang dihasil dari proses perebusan ini sekitar 10-15 kg. Dalam satu musim, petani garamyang menggunakan bahan baku debu bisa menghasil 1000 Kg atau 20 karung garam. Lebih Untung Garam Debu Pada saat musim kemarau bergnati dengan musim hujan, aktivitas pembuatan garam debu sudah tidak bsa dilakukan. Bagi pembuat garam yang mempunyai modal (seperti petambak garam Obelo) mereka menggunakan bahan baku berpa garam kristal yang dibeli dari petambak di Kelurahan Medeka dan sekitarnya. Dengan modal Rp. 80.000-Rp.90.000 per karung, pengolahan garam bisa menghasilkan sekarung “garam siap dikonsumsi “ yang bisa dijual dengan harga Rp. 150.000,perkarung. Setelah dikurangi biaya untuk membeli kayu sebagai bahan bakar Rp. 30.000- 40.000, pengolahan garam memperoleh marjin keuntungan sekitar Rp. 30.000,- Rp. 40.000-. "Kami menjualnya dengan harga Rp10.000 per sokal yang ukuran besar dan Rp5.000 per sokal ukuran kecil. Jika nasib baik dalam sehari kami bisa dapatkan Rp300.000-Rp400.000," kata Martha Feo (36), seorang penjual garam di Desa Oebelo. "Usaha ini sudah menjadi tempat sandaran hidup kami. Orangtua hanya mewariskan usaha pengolahan garam ini kepada kami untuk melanjutkannya," katanya menambahkan. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dengan bahan debu relatih sama, dimana setiap harinya, bisa menghasilakan 20-30kg, (setengah karung), akan menghasilkan uang sebesar Rp. 15.000-Rp.22.500. Kondisi geografis yang .... menyebabkan harga jual garamkristal hasil oleh sedikit lebih murah. Ketiadaan modal menyebabkan metode ini dirasakan lebih menguntungkan, 4 dilakukan secara turun-temurun. Garam tersebut diperoleh dari para petambak garam dengan harga Rp 80.000 – 90.000 / karung ukuran 50 kg (informasi saat survei), sebelum diolah lagi menjadi halus dalam bentuk garam beriodium. Para penjual garam di Desa Oebelo, umumnya mendapatkan garam kasar dari para petambak asal Bugis yang menambak garam di tepian pantai sekitar Oebelo di Desa Oebelo "Kami menjualnya dengan harga Rp10.000 per sokal yang ukuran besar dan Rp5.000 per sokal ukuran kecil. Jika nasib baik dalam sehari kami bisa dapatkan Rp300.000-Rp400.000," kata Martha Feo (36), seorang penjual garam di Desa Oebelo. "Usaha ini sudah menjadi tempat sandaran hidup kami. Orangtua hanya mewariskan usaha pengolahan garam ini kepada kami untuk melanjutkannya," katanya menambahkan. “Garam yang dijajakan oleh Penjual di Jalan Oebelo Hampir semua warga Desa Oebelo bergerak di bidang usaha penjualan garam, karena usaha tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun. Garam tersebut diperoleh dari para petambak garam dengan harga Rp 80.000 – 90.000 / karung ukuran 50 kg (informasi saat survei), sebelum diolah lagi menjadi halus dalam bentuk garam beriodium. Hampir semua warga Desa Oebelo bergerak di bidang usaha penjualan garam, karena usaha tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun. Garam tersebut diperoleh dari para petambak garam dengan harga Rp 80.000 – 90.000 / karung ukuran 50 kg (informasi saat survei), sebelum diolah lagi menjadi halus dalam bentuk garam beriodium. Para penjual garam di Desa Oebelo, umumnya mendapatkan garam kasar dari para petambak asal Bugis yang menambak garam di tepian pantai sekitar Oebelo "Kami menjualnya dengan harga Rp10.000 per sokal yang ukuran besar dan Rp5.000 per sokal ukuran kecil. Jika nasib baik dalam sehari kami bisa dapatkan Rp300.000Rp400.000," kata Martha Feo (36), seorang penjual garam di Desa Oebelo. "Usaha ini sudah menjadi tempat sandaran hidup kami. Orangtua hanya mewariskan usaha pengolahan garam ini kepada kami untuk melanjutkannya," katanya menambahkan. Para penjual garam di Desa Oebelo, umumnya mendapatkan garam kasar dari para petambak asal Bugis yang menambak garam di tepian pantai sekitar Oebelo PENGELOLAAN SUMBERDAYA : INFORMASI SPASIAL dan VALUASI EKONOMI. Informasi geospasial sangat diperlukan untuk mendukung berbagai proses pembangunan dan menjadi dasar perencanaan penataan ruang, Hampir semua warga Desa Oebelo bergerak di bidang usaha penjualan garam, karena usaha tersebut sudah 5 penanggulangan bencana, pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai sumber lainya, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besr bagi kemakmuran rakyat Indonesia. dapat dipakai sebagai dasar pemberian ijin peman-faatan sumberdaya hutan mangrove, sehingga diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (maximizing social well being) Sayangnya peran informasi geospsial selama ini masih belum dijadikan acauan dalam pengambil kebijakan. Faktor politik dan keinginan pejabat atau pengusahan lebih mendominasi dalam penetapan kebijakan pembangunan, sehingga sering kali terjadi tumpang tindih perijinan pada lokasi yang sama dan pemanfaatan yang tidak berdasarakan informasi spasial yang akurat. Merujuk Rekomendasi dalam Seminar Nasional Geomatika 2012 ( ( Mei 2012 di BIG) : • IG diharapkan tidak hanya untuk mengidentifikasi potensi sumber daya alam daerah, namun juga harus dapat mengidentifikasi daya dukung wilayah untuk menjamin suistainable development . • Kondisi faktor penentu pembangunan akan selalu berubah dan berkembang. Diharapkan IG dapat menangkap dan memprediksi perubahan tersebut serta memanfaatkannya dalam pembangunan. • Meningkatkan kesadaran spasial masyarakat, sehingga menjadikan IG lebih mudah dipahami dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari Permasalahan lainnya, selama ini, dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia, aktivitas ekonomi dipacu sedemikian rupa, sehingga sumberdaya alam mengalami konversi untuk aktivitas lain. Gangguan dan kerusakan sumberdaya tersebut dapat menjalari secara berantai terhadap fungsi-fungsi ekosistem yang lain dan akhirnya bermuara pada penurunan nilai ekonomi dari sumberdaya. Seharusnya dalam pemanfaatn sumberdaya alam secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya alam berdasarakan pendekatan valuasi ekonomi, diharapkan : • Mampu untuk mengukur jasa lingkungan (environmental services), dimana dinali sumberdaya tidak hanya didasarakn dari nilai guna langsung. • Nilai asset sumberdaya dapat mengeliminasi (memperlambat) laju degradasi lingkungan, sehingga pembangunan dapat berkelanjutan. • Instrumen valuasi ekonomi sumberdaya alam dapat diterapkan sebagai dasar kebijakan pembangunan. Nilai ekonomi total Instrumen dan perangkat peraturan sudah cukup tersedia, untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Semoga saja sosialiasi UU yang dimotori BIG akan mampu merubah perubahan paragidma dari IG sebagai decisionsupport tools menjadi decision-making tools baik di sektor pemerintah maupun swasta. Dengan demikian tidak lagi ada tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya alam. Kepastian Hak Guna Usaha (oleh Perusahaan) dan kepemilikan lahan rakyat, batas-batas semakin jelas. Akhirnya pembangunan yang bertujuan mensejahteraan rakyat dapat dicapai. Semoga (irmnahib) 6 7