Gambaran Model Agresivitas Umum pada Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penganiayaan Apri Yeni 1 Ester Lianawati Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran model agresivitas umum pelaku KDRT penganiayaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jumlah subjek 3 orang pelaku kekerasan domestik/relasi personal di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan Salemba. Dengan mengacu kepada model agresivitas umum Bushman dan Anderson, peneliti menemukan bahwa agresivitas yang terjadi pada pelaku KDRT adalah agresivitas yang bersifat impulsif. Mekanisme agresivitas pada pelaku KDRT dalam penelitian ini dimulai dari faktor person dan situational yang merupakan masukan (inputs) dalam munculnya agresivitas. Masukan, kemudian diproses di dalam jalur kondisi internal seseorang melalui afeksi, kognisi, dan keterbangkitan agresi. Hasil ini kemudian menjadi penilaian awal dalam proses penilaian dan pengambilan keputusan hasil akhir agresi yang dilakukan. Kata kunci: agresivitas, kekerasan, rumah tangga Pendahuluan Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan berbasis gender yang lebih sering menempatkan perempuan sebagai korban. Lebih seringnya perempuan menjadi korban dalam suatu kekerasan menurut Poerwandari (2008) disebabkan oleh ideologi gender sebagai konstruksi sosial yang melestarikan mitos-mitos serta pembedaan atau diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan dilihat sebagai lebih rendah, berbeda, pendamping, menjadi objek, hak milik, tidak mampu dan tidak memiliki hak untuk mengatur kepentingan diri sendiri, ada untuk kepentingan laki-laki, dan sebagainya. Subiantoro (2009) mengatakan bahwa terhadap situasi seperti di atas, di mana peran laki-laki dan perempuan dijalankan dalam perspektif patriarkis, pada kenyataannya tidak semua laki-laki merasa nyaman. Meskipun peran yang diberikan kepada laki-laki memberikan keistimewaan bagi laki-laki, namun tidak semua lakilaki memahaminya 1 Korespondensi artikel ini dapat menghubungi: [email protected] sebagai sebuah keistimewaan. Laki-laki mulai menyadari bahwa konstruksi gender yang dijalankannya selama ini menurunkan aspek-aspek kemanusiaan. Dalam kerangka itu maka konstruksi gender yang selama ini berjalan secara substansial tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga merugikan laki-laki. Lakilaki juga harus menerima stereotipe dan stigma yang negatif yang disandang oleh laki-laki. Hal ini berarti bahwa perjuangan atas kesetaraan gender sewajarnya juga melihat perspektif laki-laki dan juga menuntut peran dan keterlibatan laki-laki dalam perjuangan tersebut (Subiantoro, 2009). Keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapuasan kekerasan terhadap perempuan semestinya harus dilakukan sesegera mungkin. Namun situasi yang terjadi di Indonesia mengatakan hal sebaliknya. Nur Hasyim, dalam tulisannya di Jurnal Perempuan No. 64 (2009), dapat memberikan gambaran situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa ada beberapa strategi gerakan laki-laki pro-perempuan yang sudah dan sedang berlangsung sebagai upaya mentransformasi laki-laki di berbagai belahan dunia, dan juga telah ada di Indonesia. Beberapa strategi ini dibedakan dalam tiga bagian besar. Pertama, membangun aliansi atau jaringan laki-laki properempuan. Strategi kedua adalah penyelenggaraan program-program perubahan perilaku untuk laki-laki yang memiliki riwayat kekerasan. Ketiga, adalah melakukan studi-studi kritis tentang laki-laki dan maskulinitas. Dalam konteks Indonesia, ketiga strategi tersebut bukan hanya sudah tertingal sangat jauh, namun juga masih sangat sedikit (Hasyim, 2009). Berlatarbelakang keprihatinan akan terbatasnya penelitian dan pendampingan terhadap pelaku laki-laki dan besarnya pengaruh peran gender dalam munculnya tindak kekerasan dalam relasi personal terutama KDRT, mendasari peneliti untuk memfokuskan perhatian pada pelaku laki-laki. Bila pengetahuan mendalam dapat dikumpulkan mengenai pelaku laki-laki, maka sangat mungkin dikembangkan program intervensi maupun prevensi dalam berbagai bentuknya yang sesuai dengan mereka. Kepedulian dan pemahaman bahwa laki-laki juga menjadi korban dalam sistem patriarki, tidak lantas membuat kita menutup mata atau seakan memaklumkan tindak kekerasan yang mereka lakukan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa serangan serius lebih banyak dilakukan laki-laki dibandingkan wanita terhadap pasangan mereka, hal ini di buktikan dari lebih seringnya perempuan memerlukan perawatan medis setelah serangan parah (Stets & Strauss, 1990 dalam Kantor & Jasinski, 1998). Agresi laki-laki terhadap wanita terjadi di seluruh dunia (Daly & Wilson, 1988 dalam Anderson & Anderson, 2008). Koss et al. (1994) menemukan bahwa diperkirakan satu dari tiga wanita dewasa di AS dianiaya oleh pasangan hidup mereka. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk memahami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pelaku yang dalam hal ini adalah lakilaki, kita tidak dapat melepaskannya dari perilaku agresi yang muncul. Bushman dan Anderson (2002) mendefinisikan agresi sebagai tindakan apapun yang diarahkan terhadap individu lain dengan maksud (segera) menyebabkan kerusakan. Selain itu pelaku harus percaya bahwa tindakannya akan merugikan target (korban) dan korban termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut. Sedangkan kekerasan didefinisikan sebagai agresi yang bertujuan untuk menimbulkan kerusakan ekstrim (kematian). Bushman dan Anderson (2002) secara tegas menekankan bahwa semua kekerasan adalah agresi, tetapi banyak contoh agresi bukan merupakan suatu kekerasan. Sears (2006) mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, dan pelecehan seksual merupakan bentuk spesifik dari perilaku agresif di kalangan orang dekat. Tindakan agresivitas yang dilakukan oleh pelaku seringkali baru diketahui setelah jatuhnya korban atau meninggalkan dampak serius bagi korban. Namun, yang begitu membingungkan adalah bahwa sering kali para pelaku tidak bisa menjelaskan bagaimana hal tersebut terjadi. Mereka lebih sering menggunakan istilah khilaf, gelap mata, meledak, dan lain sebagainya. Pada sebagian pelaku alasan ini perlu dipertanyakan karena pelaku KDRT sering kali memiliki karekteristik untuk meminimalisasi kesalahan, atau bahkan merasa tidak bersalah hingga tidak perlu mengingat-ingat bagaimana hal tersebut terjadi (Stordeur & Stille, 1989 dalam Poewandari & Sumampouw, 2007). Namun, pada sebagian pelaku hal ini mungkin menjelaskan keadaan yang sebenarnya, hal ini dikarenakan tindak kekerasan sering kali terjadi begitu cepat. Pelaku baru menyadari apa yang dilakukannya setelah beberapa waktu kemudian ketika melihat luka atau efek dari serangannya terhadap korban. Guna menjawab fenomena ini diperlukan teori agresi yang terintegrasi menjadi satu kesatuan, sehingga dapat menjelaskan tindakan agresif yang didasarkan pada beberapa motif. Hal inilah yang ditawarkan penelitian Craig Anderson dan rekannya melalui model agresivitas umum (Bushman & Anderson, 2002). Bushman dan Anderson (2002) selain memberikan pendefinisian yang lebih jelas tentang agresivitas manusia, juga mengusulkan sebuah model agresivitas umum (the general aggression model). Model agresi umum ini fokus pada keberadaan seseorang dalam suatu situasi” (person in the situation) dalam satu episode, yang terdiri dari satu siklus interaksi sosial yang sedang berlangsung. Mereka berpendapat bahwa perbedaan individual (person) dan faktor situasi merupakan dua faktor utama yang mendasari munculnya perilaku agresivitas. Kedua faktor ini disebut sebagai input atau masukan. Masukan ini, pada gilirannya membuat pemikiran agresif, perasaan agresif, dan keterbangkitan agresif menjadi menonjol. Ketiga hal ini (pemikiran, perasaan, dan keterbangkita agresif) merupakan penilaian awal yang mendasari interpretasi perilaku orang lain. Interpretasi ini kemudian menimbulkan keputusan apakah dirinya akan bertindak agresif terhadap orang lain atau tidak (Bushman & Anderson, 2002). Menyadari pentingnya pemahaman yang mendalam mengenai dinamika yang terjadi di dalam diri pelaku (laki-laki) ketika melakukan kekerasaan penganiayaan, mendasari peneliti untuk mengetahui bagaimana gambaran model agresivitas umum pelaku KDRT penganiayaan. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Healey, Smith dan O’Sullivan (1998) mengatakan bahwa sebagian besar praktisi dibidang intervensi pelaku mendefinisikan kekerasan domestik sebagai konstelasi penganiayaan/penderitaan fisik, seksual, dan psikologis. Ann Galey seorang penyedia kesehatan mental pertama yang membangun program intervensi pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga di tahun 1970-an memberikan 3 penekanan definisi kekerasan domestik, yaitu: adanya hubungan dalam pihak-pihak yang terlibat dalam kekerasan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, dan tujuan/fungsi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (Healey, Smith, & O’Sullivan, 1998). Respect –sebuah asosiasi yang berlokasi di Inggris untuk proram pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan pelayanan terhadap korban perempuan- (2004) mendefinisikan kekerasan domestik pola perilaku mengendalikan pasangan intim atau mantan pasangan, yang meliputi namun tidak terbatas pada serangan fisik, seksual, pelecehan emosional, isolasi, pelecehan ekonomi, ancaman, pengintaian, dan intimidasi. Meski seringkali hanya beberapa bentuk dari kekerasan domestik yang dianggap ilegal dan menarik sanksi pidana (kekerasan fisik, seksual, pengintaian, ancaman terhadap pembunuhan), namun pada dasarnya bentuk-bentuk lain dari kekerasan domestik juga memiliki dampak serius bahkan selamanya bagi pemaknaan seseorang akan diri, kesejahteraan, dan otonomi. Berdasarkan definisi tersebut diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kekerasan domestik adalah setiap tindakan penganiayaan baik fisik, seksual, psikologis, maupun pemaksaan ekonomi yang dapat dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa terhadap pihak yang memiliki hubungan dengan mereka khususnya hubungan intim, dimana tindak kekerasan yang dilakukan memiliki dampak serius bagi fisik bahkan selamanya bagi pemaknaan seseorang akan diri, kesejahteraan, dan otonomi. Agresivitas Bushman dan Anderson (2002) mendefinsikan agresi sebagai tindakan apapun yang diarahkan terhadap individu lain yang dilakukan dengan maksud (segera) menyebabkan kerusakan. Selain itu, pelaku harus percaya bahwa tindakannya akan merugikan target (korban), dan korban termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut. Model Agresivitas Umum Craig Anderson dan rekannya mengusulkan model agresi umum. Mereka berpendapat bahwa agresi diperbesar oleh peningkatan faktor sikap agresif, pemikiran agresif, dan kebangkitan agresif (Busman & Anderson, 2002). Kerangka teori tersebut mereka rancang untuk mengintegrasikan teori agresi yang sudah ada menjadi satu kesatuan. Model agresi umum ini memiliki empat keunggulan dibandingkan teori yang lebih kecil. Pertama, model agresi ini lebih padat dibandingkan gabungan teori yang sudah ada. Kedua, model agresi ini cukup baik menjelaskan tindakan agresif yang didasarkan pada beberapa motif. Ketiga, membantu dalam pengembangan intervensi yang lebih komprehensif guna mengobati individu yang memiliki sejarah agresif kronis. Empat, memberikan wawasan yang lebih luas tentang cara pengasuhan anak dan isu-isu perkembangan anak. Hal ini memungkinkan orang tua, guru, serta pembuat kebijakan publik membuat keputusan yang lebih baik tentang praktek pengasuhan anak. Model agresi umum ini fokus pada “keberadaan seseorang dalam suatu situasi” (person in the situation) dalam satu episode, yang terdiri dari satu siklus interaksi sosial yang sedang berlangsung. Bagan di bawah ini menampilkan versi sederhana dari fokus utama dalam satu episodik. Gambar 1. Model agresi umum (Busman & Anderson, 2002) Model agresi umum mengintegrasikan apa yang dikenal sebagai akar dari agresi. Akar agresi ini antara lain perbedaan individual (person), seperti sikap dan ciri personalitas yang mendukung perilaku agresif, dan juga faktor situasi (situation), seperti frustasi, atau ketersedian senjata. Kedua faktor ini disebut sebagai input atau masukan. Masukan ini, pada gilirannya membuat pemikiran agresif, sikap agresif, dan gairah yang membangkitkan agresif menjadi menonjol, sehingga mereka bertindak sebagai penilaian (atribusi) yang mendasari interpretasi perilaku orang lain. Interpretasi ini kemudian menimbulkan keputusan apakah dirinya akan bertindak agresif terhadap orang lain atau tidak. Agresi paling mungkin terjadi ketika tanda-tanda dalam situasi berkombinasi dengan predisposisi agresif individual. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, karena penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini hal yang diharapkan diperoleh peneliti adalah pemahaman yang utuh mengenai gambaran model agresivitas umum pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga jenis penganiayaan, oleh karena itu pendekatan kualitatif dirasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti karena salah satu karekteristik penelitian kualitatif adalah pendekatan holistik yaitu diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2001). Subjek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, mereka adalah pelaku kekerasan dalam relasi personal/kekerasan domestik, yang sedang menjalani menjalani hukuman kurungan baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 atau Undang- Undang Hukum Pidana, dengan batasan pelaku adalah lakilaki dewasa dengan korban perempuan yang menjadi pasangannya. Selain itu kriteria lain yang menjadi dasar pemilihan subjek dalam penelitian ini adalah bahwa tindak kekerasan/agresi terakhir yang dilakukan pelakulah yang membawanya masuk ke dalam penjara atau dengan kata lain jelas faktor pencetus yang menyebabkan pelaku di penjara, dan bentuk kekerasan yang dilakukan adalah kekerasan penganiyaan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengambilan sampel ini dipilih karena peneliti ingin mendapatkan sample yang peneliti anggap paling mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan dan bersedia untuk berbagi informasi tersebut. Keseluruhan data mengenai subjek penelitian didapat melalui wawancara, teknik wawancara yang peneliti guanakan adalah wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berikut ini adalah informasi umum pelaku berdasarkan aspek-aspek demografis, usia perkawinan, awal kekerasan terjadi, dan proses hukum yang sedang dijalani. Gambaran berdasarkan aspek demografis menunjukkan tiap orang dapat saja menjadi pelaku KDRT terlepas dari usia, agama, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Dari hasil analisa yang telah dilakukan, peneliti melihat bahwa ketiga subjek dalam penelitian ini melakukan tindak agresi yang bersifat impulsif. Agresi yang bersifat impulsif memiliki ciri, yaitu: proses terjadi secara otomatis, relatif mudah (tanpa usaha), spontan, dan terjadi di luar kesadaran dan kontrol dirinya. Meski tindakan agresi yang dilakukan oleh ketiga subjek di kategorikan dalam aksi yang impusif, namun proses yang dilalui oleh subjek YK pada tahap outcome sedikit berbeda dengan proses yang dilalui oleh SY dan MD. Pada peristiwa terjadinya kekerasan yang dilakukan subjek MD dan SY, tidak diketahui batasan jelas antara proses pertimbangan dengan kekerasan itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan terjadi dalam waktu yang begitu singkat, dan pelaku tidak sempat memikirkan dampak yang akan dihasilkan oleh tindakannya. Keadaan ini terjadi karena subjek tidak memiliki sumber daya lain yang memadai (resources sufficient) guna mempertimbangkan kembali tindakannya. Sebaliknya pada subjek YK, sumber daya lain yang memadai (resources sufficient) guna mempertimbangkan kembali tindakannya pada dasarnya ia miliki. Hanya saja desakan provokasi dan frustasi karena kehadiran massa membuat hasil pertimbangan singkat yang telah dilakukannya menjadi tidak penting lagi dan dirasa cukup. Ia merasa cukup puas dengan penilaiannya sehingga pada akhirnya ia melakukan tindak agresi yang juga bersifat impulsif. Gambaran mekanisme agresivitas pada pelaku kekerasan domestik dapat dilihat dari kontruk model agresi umum yang terdiri dari tiga fokus/penekanan penting yaitu inputs (masukan), routes (jalur kondisi internal yang terbentuk pada saat kejadian), dan outcome (hasil akhir munculnya perilaku agresi). Gambaran ketiga subjek pada tahap routes (yang terbentuk dari kondisi internal kognisi, afeksi, dan keterbangkitan) bisa dikatakan cukup bervariasi, hal ini dipengaruhi inputs person dan situational yang berbeda pada ketiga subjek. Tabel 1 Informasi Umum Tentang Subjek Penelitian Keterangan SY YK MD Usia 28 20 58 Suku Jawa Menado Betawi Lokasi LP. Cipinang LP. Salemba LP. Cipinang Keterangan Pribadi Islam, SD, Buruh serabutan, menikah selama 4 tahun, belum memiliki anak Islam, Lulus SPM, saat kejadian sedang menempuh pendidikan STIP, belum menikah (pacar telah hamil) Islam, belum lulus SD, buruh serabutan, menikah selama 23 tahun, memiliki 3 anak, dan telah memiliki cucu. Kekerasan dan Pidana Menarik leher istri dengan kabel setrika, mencoba bunuh diri dan tertolong. Pidana kurungan 1 tahun 6 bulan. Menganiaya pacar (menusuk dengan sangkur). Hukuman kurungan 4 tahun Dilaporkan anak atas penganiayan yang dilakukan terhadap istri (melukai tangan istri dengan pisau). Hukuman kurungan 1 tahun Pada ketiga subjek terlihat bahwa variabel person-trait (sifat) merupakan pembentuk dari terakesesnya konsep-konsep agresif di dalam pikiran, hal ini terjadi dalam jalur kondisi internal kognisi. Pada subjek YK dan MD person-trait yang terlihat adalah sifat agresif, pemarah dan tidak sabar. Sedangkan pada subjek SY persontrait yang terlihat adalah sifat rendah diri, merasa kecil, dan tidak berharga. Pada ketiga subjek variabel person-trait kemudian berkombinasi dengan variabel situasional-provokasi yang berbeda-beda pada setiap orang, hal ini terkait dengan perbedaan masalah yang dihadapi setiap subjek. Pada tahap routes-affect, kombinasi faktor masukan pada ketiga subjek dapat dikatakan begitu bervariasi. Pada subjek SY kombinasi yang terbentuk adalah sifat yang cenderung bergantung secara emosional, yang pada dasarnya bertentangan dengan penilaian SY kepada istri yang dinilai tidak menghargai bahkan cenderung melecehkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan suami. Konflik tersebut diperhadapkan pada situasi dimana istri dipersepsikan telah melakukan perselingkuhan. Hasil dari kombinasi ketiga hal adalah munculnya perasaan marah yang begitu besar di dalam diri SY. Pada subjek YK jalur kondisi afeksi terbentuk karena adanya kombinasi faktor situational-provocation dengan person-attitudes terhadap pasangan. Faktor situasional yang diprovokasi oleh berita bahwa pasangan telah menggugurkan kandungannya seakan membuktikan sikap YK yang selama ini menilai pasangan tidak dewasa, bahkan egois, tidak bertanggung jawab seperti anak-anak. Hal ini memancing perasaan marah di dalam diri YK, yang awalnya hendak dibalas dengan cara membongkar hubungannya dengan pacar kepada orang tua pasangan. Berbeda dengan kombinasi kedua subjek lain yang terkesan lebih sedikit dan sederhana, kombinasi yang terjadi pada MD terbilang cukup kompleks dan melibatkan beberapa faktor. Kombinasi pertama adalah perasaan tidak enak atau malu yang dirasakan oleh MD kepada masyarakat akan tindak tidak terpuji yang dilakukan anak pada seorang tetangganya dengan keterbatasan MD dalam mengungkapkan perasaan tidak nyaman di hatinya membuatkan cenderung mengeksprsikannya dalam bahasa kekerasan. Kombinasi lain ialah perasaan tidak berdaya karena merasa telah kehilangan kendali atas istri dan anak-anaknya. MD pada awalnya merasa marah karena istri yang memang sudah dinilainya keras kepala dan suka berlama-lama saat disuruh, tidak juga melaksanakan perintahnya untuk menasehati HR. Ia merasa bahwa jalan satu-satunya untuk mengembalikan posisinya sebagai sang penentu dalam keluarga adalah melakukan kekerasan. Kondisi internal afeksi yang penuh kemarahan dan teraksesnya konsep-konsep agresi dalam jalur interal kognitif seakan membangkitan kondisi internal keterbangkitan (arousal) pada ketiga subyek. Hal ini ditandai dengan munculnya keberanian dan kekuatan untuk melakukan tindak agresi yang pada dasarnya tidak pernah mereka pikirkan. Penutup Gambaran mekanisme pada pelaku KDRT penganiayaan dapat dilihat dari konstruk model agresi umum yang terdiri dari masukan (inputs), jalur kondisi internal yang terbentuk pada saat kejadian (routes), dan hasil akhir agresi yang dilakukan (outcomes). Dalam penelitian ini ditemukan sejumlah aspek individual yang mendasari pelaku KDRT dalam melakukan kekerasan, antara lain: sifat yang cenderung agresif (pemarah dan tidak sabar), self-esteem yang rendah, ideologi gender yang kaku, serta nilai (value) yang membenarkan kekerasan. Perbedaan individual (person) ini akan berintegrasi dengan sejumlah faktor situasional sehingga membentuk apa yang disebut sebagai akar agresi atau masukan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa akar agresi (masukan) pada pelaku KDRT akan diproses di dalam kondisi internal seseorang melalui afeksi, kognisi, dan keterbangkitan agresi. Hasil dari proses internal ini kemudian menjadi penilaian awal dalam proses penilaian dan pengambilan keputusan. Pelaku KDRT yang memiliki sumber daya yang cukup (waktu dan kapasitas kognitif) akan kembali mempertimbangkan hasil penilaian awalnya, sebaliknya jika sumber daya tersebut tidak dimiliki maka pelaku akan melakukan tindakan agresi yang bersifat impulsif. Dengan demikian, agresivitas pada pelaku penganiayaan dalam penelitian ini sesuai dengan model agresi umum yang dikemukakan oleh Bushman-Anderson (2002). Daftar Pustaka Anderson, C. A., & Anderson, K. B. (2008, n.d). Men who target woman: Specificity of target, generality of aggressive behavior. Home Page Craig A. Anderson. Diunduh dari: http://www.psychology.iastate.edu/faculty/caa/abstracts/20052009/08AA.pdf Bushman, B. J., & Anderson, C. A. (2002). Human aggression. Home Page Craig A. Anderson. Diunduh dari: http://www.psychology.iastate.edu/faculty/caa/ abstracts/2000-2004/02AB.pdf Hasyim, N. (2009). Gerakan laki laki pro perempuan. Transformasi dua sisi: Jurnal Perempuan, 64, 53-64. Kantor, G. K., & Jasinski, J. L. (1998). Partner violence: A comprehensive review of 20 years of research. California: Sage Publications. Poerwandari, K. (2008). Penguatan psikologis untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Panduan dalam Bentuk Tanya Jawab. Depok: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Poewandari, K., & Sumampouw, N. (2007). Mengungkap aspek psikologis pelaku kekerasan domestik untuk upaya penanggulangan: Studi kasus pada laki laki dewasa yang sedang menjalani proses atau sanksi di Polres atau Lembaga Pemasyarakatan. Depok, Universitas Indonesia. Subiantoro, E. B. (2009). Laki laki baru mendobrak tabu: Jurnal Perempuan, 64, 7787. Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.