Setiap perubahan menimbulkan ketidaknyamanan, sebaliknya dalam kenyamanan sulit tercapai perubahan. Ungkapan ini memang benar adanya. Setelah lulus dari sekolah menengah tingkat atas, individu yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan mengalami lebih banyak perubahan dibandingkan masa transisi pendidikan sebelumnya, misalnya dari SD ke SMP, atau dari SMP ke SMA. Menjadi mahasiswa tingkat satu bukanlah hal yang mudah. Perubahan yang dialami muncul dari beberapa aspek kehidupan, hadir dalam waktu hampir bersamaan. Masa transisi dari SMA ke Perguruan Tinggi yang dialami bersamaan dengan beratnya tugas perkembangan pada masa remaja ini seringkali menjadi permasalahan dalam pribadi mahasiswa. Permasalahan remaja ini berhubungan erat dengan perubahan fisik dan emosinya, misa lnya depresi (4,2 %), bulimia nervosa (0,4%) dan penyalahgunaan narkotika (8,9%). Angka tersebut merupakan prevalensi kejadian di Amerika dalam satu tahun menurut Stice, Presnell & Bearman (2001). Terdapat banyak permasalahan yang cukup membebani mahasiswa dalam menjalankan perannya. Berdasarkan data konseling, wawancara, dan observasi selama satu tahun (sebagai preliminary study) sejak bulan April 2013 hingga April 2014, di sebuah universitas swasta di Yogyakarta, dengan jumlah partisipan 212 mahasiswa, keadaan mahasiswa tahun pertama selama ini lebih sering kurang termotivasi. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: berasal dari beragam daerah di seluruh Indonesia, dapat dikatakan dari Sabang hingga Merauke semuanya terwakili. Masing-masing individu merasakan tidak mudah menyesuaikan diri dengan pergaulan di Yogyakarta, bersama dengan teman-teman yang berbeda kebiasaan. Terkadang hanya karena berbicara dengan nada suara dan intonasi yang lebih keras dari yang biasanya didengar, dapat menimbulkan konflik antar pribadi. Blaine (2009) menyebutkan bahwa keragaman semacam ini, yang sering disebut dengan diversity, akan mempengaruhi secara langsung kepada identitas personal masing-masing mahasiswa dan juga kepada perilaku yang mereka tampilkan. Dari beberapa mahasiswa yang menjalani konseling, konflik antar pribadi dapat menimbulkan rasa malas datang ke kampus, sampai mempengaruhi persentase kehadiran kuliah. Faktor berikutnya adalah kecepatan belajar yang tidak merata, karena kemampuan kognitif mereka yang beragam. Ada yang superior dan di atas rata-rata, namun sebagian besar rata-rata dan di bawah rata-rata. Kecepatan menyerap pelajaran yang berbeda ini menyebabkan yang pintar cepat bosan dengan materi, sedangkan mahasiswa yang kemampuan kognitifnya lebih rendah membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami materi. Kecepatan pengajar dalam menyampaikan tetap disesuaikan dengan silabus yang telah dibuat sejak awal kuliah. Untuk mengatasi perbedaan ini, dosen menyediakan asisten yang dapat diminta mengajar secara privat di luar jam kuliah. Akan tetapi, perasaan ‘tidak mampu secepat temanteman’ tetap mempengaruhi motivasi sebagian mahasiswa. Dalhouse (2012) menyebutkan beberapa cara mengajar yang tepat bagi karakteristik mahasiswa tahun pertama, agar kemampuan kognitif mereka dapat menjadi setara dan siap mengikuti perkuliahan di tahun berikutnya. Selain itu, terdapat faktor cara belajar yang belum berubah dari cara belajar saat SMA. Selama masa SMA, siswa terbiasa mendapatkan materi dari guru mata pelajaran. Tugas-tugas dapat diselesaikan cukup dari buku yang tersedia. Perlu dicermati pula bahwa SMA di daerah pelosok tentu berbeda dengan SMA di Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka tidak mudah mengakses sumber informasi baik melalui buku terbitan terbaru maupun jaringan internet. Misalnya ketika perkuliahan diawali, dosen menanyakan berapa orang di antara mahasiswa baru yang belum pernah mengirim email, jawabannya ada 12 orang. Pada saat semester 1 mahasiswa sudah diberi tugas, yang bersumber dari artikel, jurnal atau e-book sehingga merasa terbebani mengerjakan mereka tugas kuliahnya. Mahasiswa belum menyadari bahwa cara belajar mereka di SMA tidak sesuai lagi digunakan di perkuliahan. Saat ini mereka semestinya lebih proaktif dan meningkatkan daya juang agar sukses belajar. Faktor lain penyebab kurangnya motivasi mahasiswa adalah kekecewaan tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Hal ini menimbulkan efek psikologis pada mereka dan mempengaruhi cara belajar di kuliahnya saat ini. Mahasiswa masih merasa bahwa kuliah di universitas swasta tidak sesuai dengan harapannya semula, sehingga ia memiliki alasan untuk tidak bersemangat menjalaninya. Faktor lain yang tak kalah pentingnya yaitu perubahan cara mengelola diri saat masih sebagai siswa SMA yang tinggal dengan orangtua, menjadi seorang mahasiswa perantau menuntut mereka untuk cepat beradaptasi. Mereka perlu mengubah diri agar dewasa dan mandiri dalam banyak hal, antara lain mengatur waktu, mengatur keuangan, hubungan interpersonal dengan lawan jenis, pertemanan, menjaga kesehatan, dan lain-lain. Hal-hal di luar akademik tersebut, secara langsung maupun tidak, dapat menjadi masalah yang besar sampai mengganggu motivasi belajar. Faktor yang paling dicermati peneliti adalah banyak mahasiswa baru yang belum memiliki visi masa depan yang jelas. Mereka ada yang hanya mengikuti kemauan orangtua untuk kuliah, atau hanya berdasarkan saran dari orang lain. Terlebih ketika tidak diterima di universitas yang diinginkan, lalu memutuskan untuk ‘yang penting kuliah, di kampus mana saja mau’. Mahasiswa yang seperti ini belum memiliki impian untuk sukses dalam karir masa depannya,dan belum memiliki kesadaran bahwa hal itu harus dimulai dari sukses dalam menempuh pendidikan. Jika visi belum ditetapkan, tentu langkah sehari-hari menjadi tanpa arah yang jelas pula. Keadaan ini menyebabkan mahasiswa mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari tujuannya kuliah. Misalnya bisnis kecil-kecilan bersama teman, terseret kepada pergaulan bebas, atau terlalu sibuk dengan organisasi. Kondisi mahasiswa tingkat satu yang kurang termotivasi dari dalam diri ini, cukup memunculkan kekhawatiran bagi pihak universitas yaitu mengenai angka peluruhan mahasiswa. Pada akhir semester ke-dua, mulai terjadi peluruhan mahasiswa yang cukup tinggi, yaitu sebesar 5-12% setiap tahunnya. Data ini diperoleh dari bagian kemahasiswaan. Newbaker (2014) menyebut peluruhan dengan istilah persistence rate yang berarti presentase jumlah mahasiswa yang tidak meneruskan pendidikan di institusi yang sama pada tahun berikutnya. Angka rata-rata persistence rate mahasiswa tahun pertama di negara bagian Virginia dilaporkan sebesar 1.8 persen pada tahun 2009, dan mahasiswa tahun kedua sebesar 2.8 persen. Ditinjau dari prosentase tersebut, berarti angka peluruhan mahasiswa di universitas ini tergolong tinggi. Ditemukan terdapat banyak faktor yang dijadikan alasan mahasiswa tidak meneruskan kuliahnya, antara lain karena merasa salah memilih jurusan, diterima di perguruan tinggi yang lain, pelajaran yang terlalu sulit, atau tidak mampu beradaptasi dengan pergaulan di lingkungan kampus. Sedangkan mahasiswa lain yang tetap meneruskan kuliah di program studi ini juga mengalami banyak dinamika dalam menjaga motivasinya. Apabila ditinjau dari sudut pandang perkembangan, berdasarkan tingkat usianya, yaitu 17-18 tahun, mahasiswa tingkat satu berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Ciri-ciri dari masa remaja adalah: (1) periode yang penting dari perkembangan fisik dan mental yang cepat, (2) masa peralihan dari anak- anak menuju kedewasaan, (3) periode perubahan sikap dan perilaku, (4) masa remaja sebagai usia bermasalah (5) remaja sebagai masa mencari identitas, (6) masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, (7) masa remaja sebagai masa yang tidak realistik dalam menentukan cita-cita, (8) masa remaja sebagai ambang masa dewasa yang menggelisahkan (Hurlock, 1980). Individu dalam masa remaja memiliki tugas perkembangan yang mesti diselesaikan agar menjadi individu yang sehat mental. Tugas perkembangan ini disebutkan oleh Hurlock (1980) yaitu: (1) Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. (2) Mencapai peran sosial sebagai pria maupun wanita. (3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. (4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. (5) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya. (6) Mempersiapkan karir untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. (7) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. (8) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Menjadi mahasiswa tingkat satu merupakan penjabaran dari beberapa tugas perkembangan sekaligus secara nyata. Keputusan untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi merupakan bentuk perwujudan dari poin mencapai peran sosial, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orangtua, sembari mempersiapkan karir dan mempelajari perangkat nilai dan sistem etis dalam mengembangkan ideologi. Kompleksitas pelajaran, perubahan cara hidup, maupun pengelolaan diri sendiri ini sangat membutuhkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi dalam menjalaninya. Penelitian ini layak dan penting untuk dilakukan karena dapat dijadikan studi bagi pengembangan model pelatihan sebagai pendukung kesuksesan akademik. Penelitian di bidang psikologi pendidikan seperti ini merupakan salah satu upaya yang diarahkan guna meningkatkan hasil belajar dan kualitas lulusan mahasiswa, serta menemukan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar (Saimun, 2002). Mempertahankan motivasi berprestasi, daya juang, dan pengelolaan emosi bukanlah hal yang mudah, terutama pada mahasiswa tingkat satu strata sarjana. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengembangkan bentukbentuk pelatihan yang meningkatkan soft skill mahasiswa. West, Tateishi, Wright & Fonoimona (2011) mengembangkan pelatihan inovasi dan kreatifitas untuk mahasiswa dari multidisiplin, terutama dari disiplin ilmu teknologi dan pengembangan mesin. Istilah daya juang diambil oleh peneliti sebagai padanan dari istilah adversity quotient yang dicetuskan oleh Paul G. Stoltz, PhD. Secara makna bahasa, adversity dalam bahasa Inggris bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti rintangan, kesulitan, atau keadaan yang tidak menyenangkan. Sedangkan quotient dalam idiom ini berarti derajat atau besaran dari suatu kualitas spesifik atau karakteristik tertentu. Makna dari daya juang dalam penelitian ini adalah derajat kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan dan upaya bergerak ke depan secara maksimal mengatasi kesulitan untuk mencapai tujuan tertentu. Ada tiga tipe kepribadian dalam teori daya juang ini yaitu tipe quitters, seseorang yang mudah menyerah, camper yaitu seseorang yang mudah puas, dan climber yaitu seseorang yang terus berusaha sampai titik puncak (Stoltz, 2000). Ketika situasinya menjadi semakin sulit, quitters akan menyerah dan campers akan berkemah, sementara climbers bertahan dan terus mendaki. Daya juang menjelaskan tentang kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan, yang berfungsi untuk memberdayakan potensi. Berpijak dari teori psikologi kognitif, pembangun daya juang dapat dijelaskan sebagai berikut: Orang yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, memiliki jangkauan jauh, bersifat internal, dan di luar kendali mereka, akan menderita, sementara orang yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang pasti akan cepat berlalu, terbatas, eksternal, dan berada dalam kendali mereka, akan berkembang pesat (Stoltz, 2000). Hal ini berarti bahwa secara fungsi daya juang merupakan fasilitas bagi sifatsifat kepribadian, baik yang berasal dari bawaan maupun hasil belajar dan pengalaman. Sifat-sifat kepribadian yang akomodatif terhadap kemajuan dan kesuksesan individu belum tentu dapat berfungsi dengan baik bagi kinerja dirinya bila tidak didukung dengan adanya daya juang yang memadai (Musthofa, 2004). Hasil penelitian Musthofa merekomendasikan bahwa untuk membangun kualitas diri dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas daya juang. Kualitas daya juang pada dasarnya meningkatkan karakteristik respon individu terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi. Karakteristik respon tersebut adalah berupa mendahulukan respon kognitif ketika berhadapan dengan suatu masalah untuk dihadapi atau diputuskan. Teori daya juang yang dipublikasikan oleh Stoltz (2000) ini merupakan terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Pengembangan teori ini berawal dari penelitian yang menggali keberagaman dunia kerja yang kompleks dengan persaingan yang cukup tinggi, sehingga banyak individu merasa stres menghadapinya. Ada empat aspek dalam kecerdasan adversity, yaitu control (kendali) merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan peristiwa sulit. Origin (asal-usul) yaitu kemampuan individu dalam menempatkan rasa bersalah atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya, sedangkan Ownership (pengakuan) merupakan kemampuan individu untuk mengakui atau tidak penyebab timbulnya kesulitan, serta kemampuan untuk merespon setelah mengetahui adanya kesulitan yang mesti dihadapi. Reach (jangkauan) merupakan kemampuan individu untuk memperkecil akibat dari kesulitan agar kesulitan yang dihadapi tidak mempengaruhi sisi lain dari kehidupannya. Endurance (daya tahan) merupakan kemampuan individu untuk bertahan dalam kesulitan yang dihadapinya. Pengukuran AQ akan dapat memberitahukan seberapa baik seseorang dapat bertahan dan mampu mengatasi kesulitan, dapat meramalkan siapa saja yang dapat bertahan dan siapa saja yang akan hancur. Selain itu, pengukuran AQ dapat meramalkan siapa yang dapat melebihi harapan dari potensinya dan siapa yang akan gagal, lalu memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan menang (Stoltz, 2000). Teori AQ berasal dari disiplin ilmu manajemen, namun sudah banyak peneliti psikologi yang tertarik menggunakannya. Praseeda & Parvathy (2014) dalam kancah penelitian psikologi pendidikan menemukan adanya korelasi negatif antara AQ dengan permasalahan akademik pada mahasiswa keguruan. Semakin tinggi skor AQ yang diperoleh, maka semakin berkurang permasalahan akademik yang dialami mahasiswa. Seseorang yang memiliki AQ tinggi juga memiliki kualitas baik yang lain, seperti self-esteem, motivasi, kreativitas, perilaku positif, optimistik, kesehatan emosi yang baik, dan lain-lain. Seseorang yang memiliki AQ yang baik juga dapat memberikan pengaruh kepada orang lain dengan mudah, dan dapat membantu orang lain mengatasi rintangan dalam kehidupan. Seiring dengan hasil penelitian tersebut, pada subjek yang lain yaitu mahasiswa keperawatan di China, juga ditemukan adanya hubungan antara AQ dengan motivasi berprestasi (Qian, Xiuzhen, Zhu & Fei, 2011). Kanjanakaroon (2012) juga telah meneliti hubungan antara adversity quotient dengan self-empowerment dengan hasil ada hubungan positif antara kedua variabel tersebut secara sangat signifikan (p<0,01). Komponen belajar yang lain yang juga sangat penting, sekaligus yang sulit diukur adalah motivasi. Apa sebenarnya yang dapat membuat mahasiswa ingin belajar? Kemauan untuk terus melakukan usaha dalam belajar dapat disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari kepribadian mahasiswa, kemampuan kognitifnya, karakteristik tugas yang diberikan, imbalan yang didapatkan dari belajar, setting kelas dan lingkungan, sampai pada perilaku pengajar (Slavin, 2009). Pada dasarnya semua mahasiswa memiliki motivasi, namun pertanyaannya adalah motivasi untuk apa. Tugas pengajar bukanlah untuk meningkatkan motivasi mahasiswa begitu saja, melainkan untuk menemukan, mendorong, dan mempertahankan motivasi mahasiswa untuk menyerap pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk keberhasilan di sekolah maupun di kehidupan pada umumnya, dan untuk ikut serta dalam aktivitas yang memastikan mahasiswa benar-benar belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses dari dalam diri individu yang mengaktifkan, memandu, dan mempertahankan perilaku dari waktu ke waktu (Murphy & Alexander, Pintrich, Schunk, Stipek, dalam Slavin, 2009). Hakim (2005) menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Belajar secara Efektif, bahwa definisi motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa atau mahasiswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Manfaat motivasi dalam belajar (Hakim, 2005) adalah (1) memberikan dorongan semangat kepada siswa atau mahasiswa untuk rajin belajar dan mengatasi kesulitan belajar. (2) Mengarahkan kegiatan belajar siswa atau mahasiswa kepada suatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan masa depan dan cita-cita. (3) Membantu siswa atau mahasiswa untuk mencari suatu metode belajar yang tepat dalam mencapai tujuan belajar yang diinginkan. Semua manfaat tersebut sangat penting untuk mengarahkan mahasiswa agar kegiatan belajar menjadi hal utama bagi mereka sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang kurang bermanfaat. Saimun (2002) melakukan penelitian mengenai hubungan motivasi berprestasi dan persepsi mahasiswa tentang partisipasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi ekstrakurikuler dengan prestasi belajar mahasiswa. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa (1) ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar, (2) ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dengan prestasi belajar, (3) secara bersama-sama motivasi berprestasi dan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi ekstrakurikuler berkorelasi dengan prestasi belajar. Semakin tinggi motivasi berprestasi dan partisipasi, maka akan semakin tinggi prestasi belajarnya. Walden & Rowey (dalam Saimun, 2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan prediktor yang baik bagi prestasi belajar. Tidak jarang hasil belajar kurang baik, bukan karena inteligensinya kurang baik tetapi justru karena motivasinya kurang mendukung. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tidak akan menyerah pada tugas-tugas yang menantang, ia akan bekerja keras untuk meningkatkan prestasinya, tidak akan diam melainkan dinamis. Hasil penelitian lain yang dilakukan Sattler dan Kerr (1991) menyatakan bahwa siswa yang lebih banyak didorong oleh motivasi berprestasi dalam kenyataannya mendapatkan nilai yang lebih tinggi di sekolah, disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugas maupun perilaku sehari-hari, dan memperhatikan penyesuaian personal yang lebih baik terhadap sekolahnya. Konsep motivasi berprestasi (need for achievement) mula-mula dikemukakan oleh David McClelland. Menurut David McClelland (1986) motivasi berprestasi didefinisikan sebagai usaha mencapai sukses atau berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan yang dapat berupa prestasi orang lain maupun prestasinya sendiri sebelumnya. Motivasi berprestasi merupakan motivasi yang mendorong individu untuk sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa ukuran keunggulan (standard of excellence). Ukuran keunggulan tersebut dapat berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya dengan hasil yang memuaskan serta standar keunggulan diri yaitu perbandingan dengan prestasi yang dicapai sebelumnya dan perbandingan dengan prestasi orang lain seperti dalam kompetisi. Satu variabel lain yang juga mendukung individu dalam meraih prestasi adalah pengelolaan emosi. Hampir semua orang yang meneliti emosi dewasa ini sependapat dengan apa yang telah digambarkan Ekman (2007) selama ini, yaitu: pertama, bahwa emosi adalah reaksi terhadap masalah yang tampak menjadi sangat penting bagi kesejahteraan kita, dan kedua, bahwa emosi seringkali bermula dengan sangat cepat hingga tidak disadari prosesnya dalam pikiran saat emosi itu keluar. Demikian halnya dengan temuan penulis pada proses pre-eliminary studi, emosi bagi sebagian besar mahasiswa dirasakan sulit untuk dikendalikan ekspresinya. Kejadian-kejadian dalam interaksi dengan orang lain yang mengandung emosi pada akhirnya disesali, dan menjadi beban fikiran hingga mengacaukan konsentrasi belajar. Definisi pengelolaan emosi adalah kemampuan untuk mengatur dan memodifikasi reaksi emosi seseorang untuk meraih hasil sesuai dengan tujuan awal (Matsumoto, 2006). Memahami pengelolaan emosi dapat dimulai dengan memahami timbulnya emosi, yaitu masuknya sebuah stimulus ke dalam kesadaran seseorang kemudian dinilai. Penilaian ini memunculkan emosi (Ellsworth & Scherer, 2003). Emosi yang timbul selanjutnya mengaktifkan pikiran tertentu, perasaan, perilaku ekspresif, dan gejala fisiologis (Matsumoto, 2006). Hofmann (2012) menyebutkan pengelolaan emosi adalah proses dimana seseorang mengendalikan emosi yang mereka miliki dan mengatur bagaimana mereka mengalami dan mengekspresikan emosi itu. Gross (2002) telah melakukan sejumlah penelitian dengan desain yang menyenangkan, yang membuktikan bahwa kemauan seseorang untuk mengubah respon emosinya, termasuk respon fisiologisnya, bergantung kepada pendekatannya untuk berdamai dengan muatan emosinya. Kemampuan mengelola emosi merupakan hal yang sangat penting bagi penyesuaian diri manusia. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan individu, kondisi kesehatan, dan proses perkembangan sepanjang kehidupan (Ochsner & Gross, 2005). Kemampuan ini dapat berubah seiring dengan pengalaman yang diperoleh dan cara memaknai pengalaman tersebut. Ada satu cara yang ditawarkan oleh Sheldon & Lyubomirsky (2006), untuk meningkatkan dan menjaga agar emosi tetap positif dalam situasi apapun, yaitu dengan mengekspresikan rasa syukur dan melakukan visualisasi kemungkinan terbaik yang bisa didapatkan. Mereka melakukan eksperimen selama 4 minggu, kemudian melakukan pengukuran dengan skala emosi positif dan motivasi. Eksperimen ini menghasilkan peningkatan motivasi yang signifikan (F(1,65) = 5.08, p<0.05). Vision Camp juga mengajarkan subjek untuk bersyukur dan melakukan visualisasi dirinya yang matang secara emosi, dengan harapan dapat meningkatkan pengelolaan emosi subjek. Strategi pengelolaan emosi yang digunakan dalam pelatihan ini mengacu kepada teori dari Hofmann (2012), yaitu reappraisal yaitu penilaian ulang atas objek emosi. Misalnya, jika seseorang dapat menemukan alternatif penjelasan yang lebih menyenangkan maka informasi atau gambaran yang dihasilkan lebih positif muatan emosinya. Vision Camp kemudian digunakan dalam penelitian ini. Vision Camp adalah pelatihan sepanjang 2 hari yang dikemas secara indoor dan outdoor sebagai rangkaian intervensi yang menggabungkan psikoedukasi dan psikoterapi. Materimateri yang disampaikan selain bertujuan untuk memberikan pemahaman secara kognitif, juga melatihkan pengendalian emosi dengan metode reappraisal, mengenali perasaan dari setiap kejadian baik berupa kesuksesan maupun kegagalan, serta memandu restrukturisasi visi masa depan beserta langkah-langkahnya untuk menggapai kesuksesan. Untuk mendapatkan outcome perubahan perilaku dari pelatihan ini, diberikan sesi outbond dengan mempraktikkan nilai-nilai yang telah diajarkan melalui ceramah menjadi experiential learning. Intervensi vision camp mengacu kepada teori goal setting yang disusun oleh Locke & Latham (1990). Edwin Locke dan Gary Latham merupakan dua orang ilmuwan psikologi yang telah banyak melakukan penelitian tentang goal setting dan hubungannya dengan kinerja dalam penyelesaian tugas. Berdasarkan teori yang mereka susun, terdapat dua hal dalam kognitif yang dapat menentukan perilaku, yaitu nilai (values) dan tujuan (intention). Postulat penting yang sesuai dengan pelatihan vision camp adalah bahwa bentuk pertimbangan nilai dari pengalaman seseorang bersifat emosional. Nilai yang diangkat dalam vision camp adalah spiritual dan cinta kasih. Apapun tujuan yang akan dicapai, mahasiswa diajak terlebih dahulu untuk menjadi orang baik dalam pandangan spiritual dan cinta kasih. Tindakan yang dilakukan diharapkan konsisten dengan kedua nilai tersebut, sehingga perilaku yang muncul terjaga agar tetap santun dan mempertimbangan kebaikan orang lain, di tengah perubahan tren di masyarakat yang cukup mengkhawatirkan dewasa ini. Nilai spiritual yang diajarkan dibatasi pada mengenali diri sendiri, apa tujuan peserta hidup di dunia, bagaimana ibadah yang telah dilakukan selama ini, dan kemampuan mendengarkan kata hati. Nilai cinta kasih yang diajarkan adalah mengingatkan bahwa pencapaian diri tidak hanya untuk diri sendiri. Ada harapan orang lain di dalam setiap tindakan yang ditempuh, antara lain harapan orangtua, saudara, teman, adik angkatan, lingkungan tempat tinggal, hingga bangsa dan negara. Nilai cinta kasih diajarkan supaya generasi muda peserta vision camp mampu meningkatkan tanggung jawabnya dalam melayani tanpa syarat. Definisi sederhana dari tujuan menurut Locke & Latham (1990) adalah apa yang individu secara sadar ingin coba untuk lakukan. Tujuan mempengaruhi kinerja (performance) melalui mekanisme mengarahkan atensi dan tindakan. Tujuan yang sifatnya menantang akan menggerakkan energi dan sumber daya yang dimiliki individu, mendorong usaha yang lebih tinggi, dan meningkatkan kegigihan. Tujuan memotivasi orang untuk mengembangkan strategi yang memampukan mereka untuk tampil sesuai dengan level yang diperlukan. Pada akhirnya, menyelesaikan tujuan dapat menimbulkan rasa puas dan motivasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan pencapaian berikutnya, atau sebaliknya, menimbulkan frustasi dan motivasi yang rendah bila tidak tercapai. Skema teori goal-setting tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Skema teori goal setting dari Locke & Latham (1990) Intervensi kedua dalam penelitian ini adalah literasi visi. Literasi Visi merupakan psikoedukasi dalam bentuk pemberian buklet berisi kisah inspiratif dari orang-orang terkenal di Indonesia maupun mancanegara. Penyajian buklet ini terinspirasi dari banyaknya artikel, majalah, maupun blog di internet mengenai keberhasilan pengobatan sebagai literasi medis yang dapat meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan sekaligus mengubah perilaku subjek menjadi lebih sehat (Stellefson, Hanik, Chaney, Tennant, & Chavaria, 2011), dan peneliti bermaksud mengukur seberapa jauh peningkatan faktor-faktor psikologis dari membaca artikel serupa. Selama ini telah dikenal bahwa literasi kesehatan merupakan kemampuan untuk memperoleh, membaca, memahami dan menggunakan informasi kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat dan mengikuti instruksi pengobatan yang harus dilakukan (Reber & Reber, 2010; Vandenbus, 2007). Dalam bidang psikologi, kisah inspiratif dari orang-orang yang telah sukses merupakan sumber motivasi yang efektif. Bandura (1999) menyebutkan bahwa motivasi dan perilaku manusia diatur lebih dulu oleh harapan mengenai hasil yang dapat dicapai dari serangkaian tindakan terencana. Tindakan terdahulu yang menghasilkan hasil positif akan diadopsi dan digunakan, sedangkan tindakan yang tidak menghasilkan hasil yang berharga akan dibuang. Akan tetapi, konsekuensi tindakan pribadi bukan satu-satunya sumber yang mempengaruhi perilaku manusia. Manusia dapat mengambil manfaat dari mengamati kesuksesan maupun kesalahan yang dihasilkan oleh orang lain, sama baiknya dengan mengamati pengalaman mereka sendiri. Secara umum, manusia akan melakukan sesuatu yang pernah terlihat berhasil, dan akan menghindari sesuatu yang pernah terlihat gagal. Setelah mengadopsi tindakan orang lain baik yang berhasil maupun yang gagal, pada umumnya manusia akan mempengaruhi motivasi dan perilakunya dengan mempertimbangkan konsekuensi positif maupun negatif yang pernah dihasilkannya sendiri. Dalam penelitian ini, intervensi Literasi Visi meliputi penyajian buklet yang berfokus pada penggambaran kesuksesan orang lain dan cara mencapainya yang memungkinkan untuk dijadikan acuan motivasi dan tindakan bagi subyek. Kedua intervensi ini ditentukan setelah menyusun alur penelitian yang dapat dilihat pada gambar 2. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan pada gambar 2, maka dapat ditentukan rumusan permasalahannya. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah “seberapa besar efektifitas intervensi pelatihan Vision Camp dan intervensi Literasi Visi dalam meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi pada mahasiswa tingkat pertama?”. Konseling, Pendataan, FED Preliminary study Perumusan masalah Penentuan pemberian perlakuan Eksperimen Vision Camp Pretes Pelatihan Vision Camp Postes Eksperimen Literasi Pretes Pemberian bahan bacaan Postes Kontrol Pretes Tanpa perlakuan Postes Analisis data Hasil Penelitian Gambar 2. Alur penelitian. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Vision Camp dan literasi untuk meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi. Hipotesis penelitian ini adalah (1) Vision Camp dapat meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi, (2) Literasi Visi dapat meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi. (3) Peningkatan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi yang diperoleh dari perlakuan Vision Camp lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan yang diperoleh dari perlakuan literasi. (4) Peningkatan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi yang diperoleh dari perlakuan Vision Camp dan literasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. (5) Tidak terdapat peningkatan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi pada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu psikologi, terutama bagi pengajar, mahasiswa dan praktisi sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi.