Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani Vol. IV , No. 1 , Tahun. 2008 ULU AL-ALBĀB SEBAGAI PROFIL INTELEKTUAL PENDIDIK (Kajian Tematis Terhadap Konsep Ulu al-Ālbāb Dalam Al- Qur`ān)* Qusaiyen Abstrak Tulisan ini membahas terkait paradigma Al-Qur’an tentang pendidik. Pembahasan ini mengetengahkan tentang ulu al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian menunjukkan konsep ulu al- albāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna pendidik, guru dan cendikiawan Muslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu al- albāb seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat al- Quran, harus memiliki beberapa kriteria di antaranya; seorang pendidik harus memiliki pengetahuan, memliliki integritas moral, berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana, adil, tawadu`, kasih sayang terhadap subjek didik dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu alalbāb, harus memiliki pemikiran (mind) yang luas, perasaan (heart) yang peka, sensitif, memiliki daya pikir (intellect), memiliki wawasan (insight) yang luas, memiliki pengertian yang akurat (understanding), dan memiliki kebijakan (wisdom) dan selalu mejaga komunikasi transendental dengan Khaliknya, melalui fakultas dan aktifitas dhikr. Semua karakter ini merupakan cerminan dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh pendidik ketika berhadapan dengan subjek didik. Kata kunci : Pendidik dalam Al-Qur’an, Ulul Albab, Profil Intelektual Pendidik A. Pendahuluan Pendidik merupakan salah satu komponen utama bagi terwujudnya suatu hasil yang ideal dalam proses belajar mengajar. Seorang pendidik tidak hanya dituntut untuk mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek ketrampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengejewatahkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain). Al-Qurān sebagai landasan paradigma pemikiran pendidikan Islam, telah banyak mengungkapkan anasir kependidikan yang memerlukan perenungan mendalam, terutama bagi praktisi pendidikan. Pemikiran pendidikan Islam yang berlandaskan kepada wahyu Tuhan menuntut terwujudnya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi ketiga aspek cognitive, affective dan psycomotoric yang nantinya diharapkan akan mampu melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang akan berperan dalam menginternalisasikan nilai- Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 61 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen nilai Islam dan mampu mengembangkan peserta didik ke arah pengamalan nilai-nilai Islam secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi realitas wahyu Tuhan1. Ironisnya, kependidikan Islam dewasa ini tampaknya hanya menonjolkan satu aspek dari tiga aspek pendidikan di atas, sehingga melahirkan tipe-tipe anak didik yang mempunyai keunggulan kognitif saja, minus dari sikap serta etika (affective domain). Suatu sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang dapat memadukan tiga aspek tersebut dengan cara mentransferkan pengetahuan serta mewariskan nilai-nilai bagi peserta didik dan generasi selanjutnya. Maka keharusan melahirkan kalangan yang dapat berperan sebagai medium (pendidik) dalam proses pentransferan ilmu, adalah menjadi suatu keniscayaan2. Beranjak dari adanya kesenjangan di atas, maka usaha-usaha untuk mengkaji kembali ide-ide tentang profil seorang pendidik yang ideal menurut al-Qurān tampaknya merupakan suatu solusi dalam memecahkan problematika itu. Dalam al-Qurān didapatkan ulu al-albāb sebagai tolak ukur bagi seorang pendidik dalam melakukan proses pentrnasferan pendidikan subjek didik. Sebanyak 16 kali kata ulu al-albāb disebutkan al-Qurān dalam bebeberapa surat,3 yang oleh para mufasir al- Qurān sepakat memberi makna kalangan yang mempunyai kemampuan intelektual yang sangat mendalam (hikmah) serta mempunyai keterkaitan yang sangat kontras secara vertikal dengan nilai-nilai ilahiyah4. Kelompok intelektual ini menyadari tentang kejadian-kejadian alam, hukum-hukum dan realitas alam, serta mengenyampingkan kemampuan dan kebebasan mengambil jalan apapun. Kesadaran akan kemampuan intelektual yang mereka peroleh berasal dari anugerah Tuhan, telah memotivasikan mereka untuk berkiprah dan terlibat secara aktif dalam setiap kebajikan baik untuk kemaslahatan mereka sendiri maupun untuk kemaslahatan umat. * Makalah ini di ajukan pada Seminar Internasional Bahasa dan Penafsiran Al- Qur`an, yang diadakan oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) – IMLA, di Aula UNJ Jakarta, 7-9 September 2008 1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hal. 122. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 74-75. 2 Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education, (Chopenham: Anthony Rowe, 1985, hal. 18. Maudurrahman, The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4, (America: The Institute of Islamic Thought, 1994), hal. 529-530. 3 Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam al-Mufahras li al- Fad al-Qurān, (Mesir: Dar al-Fikr, 1992), hal. 644. 4 M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al- Qurān, Juz. 3, (Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991), hal. 34. Ibn Manzur, Lisan al-`Arabi, Juz. 1, (Beirut: Dar Sādir, 1990), hal. 31. A.M. Saifuddin, Fenomena Kemanusiaan, (Bandung: Dinamika, 1996), hal. 57 62 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen B. Makna Ulu al-Ālbāb Dalam Al-Qurān Ulu al-albāb dikonotasikan dengan cendikiawan Muslim, intelektual Muslim, ulama bahkan Ali Syariati menyebutkannya dengan orang yang “tercerahkan.”5Al-Qurān secara eksplisit menyebutkan kata ulu al-albāb sebanyak 16 kali, masing-masing 3 kali pada surat Al- Baqarah (ayat 179, 197, dan 269): dua kali pada surat `Ali `Imran ( ayat 7 dan 190), satu kali pada surat Al- Maidah (ayat 100), satu kali pada surat Yusuf ( ayat 111), satu kali pada surat Ar- Ra`du (ayat 19), satu kali pada surat Ibrahim ( ayat 52), dua kali pada surat Sad (ayat 29 dan 43), tiga kali pada surat Al-Zumar ( ayat 9, 17, dan 21 ), satu kali pada surat al Ghafir (ayat 54) dan satu kali pada surat Al- Talaq (ayat 9). Secara keseluruhan kata ulu alalbāb yang terdapat dalam ayat-ayat di atas memberi kesan, tafakkur fikhalqillah, tafakkur fiddin, dan takut kepada Allah. Untuk lebih jelas perician ayat-ayat di atas dapat dilihat dalam uraian berikut: َب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون َ َِولَ ُك ْم فِي ْالق ِ اص َحيَاةٌ يَا أُولِي ْاْلَ ْلبَا ِ ص “Dan dalam qishāsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al- Baqarah, 2: 179). َّ َُال فِي ْال َحجِّ ۗ َو َما تَ ْف َعلُوا ِم ْن خَ ي ٍْر يَ ْعلَ ْمه ٌ ْال َحجُّ أَ ْشهُ ٌر َم ْعلُو َم َ َض فِي ِه َّن ْال َح َّج فَ ََل َرف ۗ َُّللا َ ث َو ََل فُسُو َ ق َو ََل ِجد َ ات ۚ فَ َم ْن فَ َر ب ِ ون يَا أُولِي ْاْلَ ْلبَا ِ َُوتَ َز َّودُوا فَإِ َّن َخي َْر ال َّزا ِد التَّ ْق َو ٰى ۚ َواتَّق “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaikbaik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah, 2: 197) ب ِ ي ُْؤتِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَ َشا ُء ۚ َو َم ْن ي ُْؤتَ ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد أُوتِ َي خَ ْيرًا َكثِيرًا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر إِ ََّل أُولُو ْاْلَ ْلبَا “Allah menganugerahkan al- hikmah (pefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al- hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak(Qs. Al-Baqarah, 2: 269) ٌ َب َوأُ َخ ُر ُمتَ َشابِه ٌ ات ُمحْ َك َم ٌ ََاب ِم ْنهُ آي ات ۖ فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما َ هُ َو الَّ ِذي أَ ْن َز َل َعلَ ْي َ ك ْال ِكت ِ ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا َّ تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِ ِه ۗ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِ ََّل َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّ ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا ۗ َو َما ِ َّللاُ ۗ َوالر ب ِ يَ َّذ َّك ُر إِ ََّل أُولُو ْاْلَ ْلبَا 5 Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 27-28. 63 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qurān) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qurān dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayatayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs. `Ali Imran, 3: 7) َّ َب الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُون ْ ض َو َّللاَ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ٍ ار ََليَا ِ ت ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا ِ اختِ ََل ِ اوا َ ق ال َّس َم ِ إِ َّن فِي خ َْل ِ َف اللَّي ِْ ٌّ َوالنَّه ِ ْت َو ْاْلَر ار َ َاط ًَل ُس ْب َحان َ ك فَقِنَا َع َذ ِ َض َربَّنَا َما خَ لَ ْقتَ ٰهَ َذا ب ِ اوا َ ق ال َّس َم ِ ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِي خ َْل ِ َّاب الن ِ ْت َو ْاْلَر ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan siasia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. `Ali Imran, 3: 190-191). َّ ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر َّللاِ َوع َِن الص َََّل ِة ۖ فَهَ ٌّْ أَ ْنتُ ْم ُ َضا َء فِي ْال َخ ْم ِر َو ْال َمي ِْس ِر َوي َ إِنَّ َما ي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ أَ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ َُم ْنتَهُون “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al- Maidah, 5: 100) ي ٌّ ُك ِّ ٌّ َش ْي ٍء َوهُدًى َ ب ۗ َما َكانَ َح ِديثًا يُ ْفتَ َر ٰى َو ٰلَ ِك ْن تَصْ ِدي َ ص َ َلَقَ ْد َكانَ فِي ق ِ ق الَّ ِذي بَ ْينَ يَ َد ْي ِه َوتَ ْف ِ ص ِه ْم ِعب َْرةٌ ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا ِ ص ََو َرحْ َمةً لِقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qurān itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Qs. Yusuf, 12: 111) َّ ب الَّ ِذينَ يُوفُونَ بِ َع ْه ِد ُّ ك ِم ْن َربِّكَ ْال َح ََّللاِ َو ََل يَ ْنقُضُون َ أَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَّ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِ ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َم ٰى ۚ إِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر أُولُو ْاْلَ ْلبَا َّ صلُونَ َما أَ َم َر صبَرُوا ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِّ ِه ْم َ ْال ِميثَا َ َب َوالَّ ِذين َ َّللاُ بِ ِه أَ ْن يُو ِ ص َ ٌّ َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَ َخافُونَ سُو َء ْال ِح َسا ِ َق َوالَّ ِذينَ ي ار َ َوأَقَا ُموا الص َََّلةَ َوأَ ْنفَقُوا ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم ِس ًرا َوع َََلنِيَةً َويَ ْد َرءُونَ بِ ْال َح َسنَ ِة ال َّسيِّئَةَ أُو ٰلَ ِئ ِ ك لَهُ ْم ُع ْقبَى ال َّد 64 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orangorang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (Qs. Al-Ra`d, 13: 22) ٌ ٰهَ َذا بَ ََل ب ِ اح ٌد َولِيَ َّذ َّك َر أُولُو ْاْلَ ْلبَا ِ اس َولِيُ ْن َذرُوا بِ ِه َولِيَ ْعلَ ُموا أَنَّ َما هُ َو إِ ٰلَهٌ َو ِ َّغ لِلن “(Al Qurān) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (Qs. Ibrahim, 14: 52) ٌ ك ُمبَا َر ب َ ِكتَابٌ أَ ْنز َْلنَاهُ إِلَ ْي ِ ك لِيَ َّدبَّرُوا آيَاتِ ِه َولِيَتَ َذ َّك َر أُولُو ْاْلَ ْلبَا “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Sad, 38: 29) ُار ٌد َو َش َرابٌ َو َوهَ ْبنَا لَه ٍ ب َو َع َذا ٍ ُّْوب إِ ْذ نَاد َٰى َربَّهُ أَنِّي َم َّسنِ َي ال َّش ْيطَانُ بِنُص َ َو ْاذ ُكرْ َع ْب َدنَا أَي ِ َب ارْ ُكضْ بِ ِرجْ لِكَ ۖ ٰهَ َذا ُم ْغتَ َس ٌ ٌّ ب ب ِ أَ ْهلَهُ َو ِم ْثلَهُ ْم َم َعهُ ْم َرحْ َمةً ِمنَّا َو ِذ ْك َر ٰى ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orangorang yang mempunyai fikiran. (Qs. Sad, 38: 41-43) ٌ ِأَ َّم ْن هُ َو قَان ۗ َاجدًا َوقَائِ ًما يَحْ َذ ُر ْاَل ِخ َرةَ َويَرْ جُو َرحْ َمةَ َربِّ ِه ۗ قُ ٌّْ هَ ٌّْ يَ ْست َِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ ََل يَ ْعلَ ُمون ِ ت آنَا َء اللَّي ِْ ٌّ َس ب ِ إِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر أُولُو ْاْلَ ْلبَا “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orangorang yang 65 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Al-Zumar, 39: 9) َ الَ ِّذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَبِعُونَ أَحْ َّسنَهُ أُولَئِكَ الَ ِّذينَ هَدَاهُ ُم ب َ َّللاُ َوأُولَ ِئ ِ ك هُ ْم أُولُو اْلَ ْلبَا “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Al- Zumar, 39: 18) َ َأَلَ ْم تَ َر أَن ض ثُ َم ي ُْخ ِر ُج بِ ِه زَ رْ عًا ُم ْختَلِفًا أَ ْل َوانُهُ ثُ َم يَ ِهي ُج فَت ََراهُ ُمصْ فَرًا ثُ َم ِ َّْللاَ أَ ْن َز َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَ َّسلَ َكهُ يَنَابِي َع فِي اْلَر ب ِ يَجْ َعلُهُ ُحطَا ًما إِنَ فِي َذلِكَ لَ ِّذ ْك َرى ْلولِي اْلَ ْلبَا “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumbersumber air di bumi kemudian ditumbuhkan- Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuningkuningan kekuningkuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Al-Zumar, 39: 21) “Dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa;dan Kami wariskan Taurat kepada Bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yangberfikir.” (Qs. Al-Ghāfir, 40: 53-54) “Dan betapa banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan. Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orangorang yang mempunyai akal; (yaitu) orang- orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatankepadamu “(Qs. Al- Thalāq, 65: 8-10) Al-Raghib Al-Asfahani ketika memberikan penafsirannya tentang makna ulu alalbāb yang terdapat dalam ayat-ayat di atas mengatakan bahwa kata al-albāb tersebut merupakan bentuk plural dari kata al-lub, yang bermakna yaitu "akal pemikiran yang bebas dari kerancuan dan kekeliruan". Lebih jauh Asfahani memberikan komentar bahwa setiap al lub adalah àql, tetapi tidak mesti setiap àql adalah 66 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen al lub6. Jadi menurut Al-Asfahani al- lub merupakan suatu ‘entitas’ pemikiran yang yang mengungguli pemikiran yang berlandaskan rasiol belaka (àql). Pemahaman Al-Asfahani di atas di dukung oleh pendapat M Quraish Shihab dalam tafsirnya tentang kata al- albāb yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (179). Menurut Quraish secara leksikal kata al- albāb bentuk jamak dari al-lub yang bermakna itu diambil dari unsur bahasa Arab yaitu saripati sesuatu. Kacang, misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulu al-albāb adalah orangorang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Yang merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakannya diharapkan dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini maka pasti ada kerancuan dalam cara berfikir7. Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 197, Quraish memberi pemahaman bahwa ulu al- albāb adalah mereka yang tidak terbelunggu oleh nafsu kebinatangan atau dikuasai oleh ajakan unsur debu tanahnya 8 . mempunyai makna “pemilik” atau “penyandang”. Berarti dalam ayat ini dipahami ulu al-albāb itu orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi kulit, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam cara berfikir. Yang memahami petunjuk-petunjuk Allah, merenungi ketetapan-ketetapan-Nya, serta melaksanakannya, itulah yang telah mendapat hikmah9.Dalam surat Ali Imran ayat 190, Quraish memberi makna ulu al-albāb yaitu orang yang (berfikir) merenungi tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt. Menurut Quraish, ayat ini mirip dengan ayat 164 surat Al-Baqarah: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan". (QS. Al- Baqarah 2:164) Al -Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān, ( Beirut, Dar Al Maàrifah, tt) hal. 446 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 369 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 407 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 543 6 7 67 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Menurut Quraish, pada surat Ali Ìmran ayat 191, Al Qurān menyebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga macam saja. Bagi kalangan sufi, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika qalbu telah memperoleh kecerahan, maka kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudera ma`rifah. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan Allah swt10. Di sisi lain, ayat 164 Al-Baqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan,”tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Pada tahap ini manusia telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan kata ulu al-albāb11. Al- Razi memberi makna kata ‘al-lub dalam karyanya “Mukhtar Shuhhah” dengan, `aql sehingga kata al-labib bermakna orang yang cerdas12. Sedangkan Muhammad Ali AsShabuni memahami ulu al-albāb itu orang yang memiliki pemikiran yang terbebas dari belenggu nafsu أصحاب العقول المستنيرة الخالصة من الهوى “Orang-orang yang memiliki akal yang tercerahkan yang bebas dari kungkungan dorongan hawa nafsu.”13 Al Maraghi memahami kata lub seperti dipahami oleh A-Razi yaitu `aql14. Lebih lanjut al Maraghi menafsirkan ayat 191 dari surat Ali Imran bahwa ulu al-albāb adalah kalangan yang memiliki akal pikiran yang cemerlang dan memiliki kemampuan penalaran dan yang dapat megamati, memperoleh manfaat, menjadikan sebagai petujuk dan mampu menghadirkan keagungan Allah serta memiliki kemampuan untuk selalu mengingat tentang hikmah- hikmah dan anugerah Allah dalam 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291. 12 Imam Muhammad Ibn Abi Bakr `Abdul Qadir al- Razi, Mukhtar Sahah, (Beirut: Dar Al Fikr, 2003), hal.533. 13 Muhammad `Ali Al-Sabuni, Shafwa al- Tafasir, Juz. 1, (Makkah: Maktabah Al Faishaliah, tt) hal. 1170. 14 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 60 11 68 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen setiap aspek kehidupan dalam segala situasi kehidupan mereka (berdiri, duduk dan tidur)15Mereka adalah orang-orang yang memiliki kualitas intelektual yang tiggi dan mendalam serta memiliki potensi zikir yang kuat, seraya tunduk kepada Allah atas segenap kekuasaanNya16. Imam Ibn Jarir At-Thabary, memberikan interpretasi ulu al-albāb sebagai kalangan yang mampu membedakan antara yang benar dan yang bathil dan meiliki kemampuann memahami serta mengetahui17.Mereka tidak tergoyahkan oleh dorongan nafsu serta mampu memilah yang terbaik diantara berbagai pilihan18. Bagi kalangan sufi, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu telah memperoleh kecerahan, maka kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudera ma`rifah. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan Allah swt19. Di sisi lain, ayat 164 AlBaqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan,”tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Pada tahap ini manusia telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan kata ulu al-albāb20. Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya The Holy Qur`an mendefinisikan ulu al-albāb sebagai orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam (men of understanding). Definisi yang yang diberikan Yusuf Ali ini terlihat jelas ketika dia memberikan interperetasi terhadap ayat 100 surat Al Maidah: "People often judge by quantity rather than quality. They are dazzled by numbers: their hearts are captured by what they see everywhere around them.But the man of understanding and discrimination judges by a different standard. He knows that good and 15 14Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 163 Haedar Nashr, Intelektualisme Muhammadiyah, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 53 17 Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Jami` Al Bayan, Juz. 3, (Beirut: Dar Fikr, 2001), hal. 252 18 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz. 8, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 156. 19 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291. 20 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291. 16 69 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen bad things are not to be lumped together, and carefully chooses the best, which may be scarcest, and avoid the bad, though evil may meet him at every step.”21 Komentar yang diberikan Abdullah Yusuf Ali di atas sejalan dengan tafsir Syekh Muhammad Al-Ghazali. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam rutinitas kehidupan, kita cenderung mengutamakan aspek kuantitas namun menafikan aspek kualitas. Padahal pilihan yang ideal kita harus selalu memprioritas aspek esensial/ kualitas.Muhammad Al-Ghazali 22menegaskan: الكيف أعظم من الكم “Kualitas jauh lebih besar dari pada kuantitas.” Dodi Tisna Amidjaya menafsirkan ulu al- albāb sebagai cendikiawan Muslim. Seorang ulu al-albāb , senantiasa tumbuh menjadi seorang pembaharu dalam masyarakat karena proses berfikirnya yang telah terlatih untuk bertanya. Dengan sikap dan cara pendekatan yang obyektif dan berdasarkan metode ilmiah, mereka selalu mempertanyakan sesuatu dalam usaha mencapai kebenaran hakiki. Itulah sebabnya ulu al-albāb dalam konteks cendikiawan seringkali tampil sebagai pengeritik dalam masyarakatnya23. Karakter lain yang dapat membedakan ulu al-albāb dalam konteks cendikiawan pada kegelisahannya, kritis terhadap masalah dan selalu ingin tahu terhadap persoalan-persoalan yang menimpai subjek didik dan masyarakat. Kepekaan ulu al-albāb seperti disebutkan dalam kontek ayat di atas, dituntut selalu menyampaikan pesan-pesan pendidikan dan mengayomi masyarakat ke jalan yang benar. Mereka selalu bertanya dan berfikir terhadap penomena alam, fenomena subjek didik dan kehidupan masyarakat dengan menggunakan metode ilmiah. Dari metode itulah dihasilkan kebenaran yang terkadang bertentangan dengan praktek kehidupan, adanya kebenaran ilmiyah tersebut boleh jadi membuka pemikiran ulu al-albāb ke arah kemajuan dalam menyelesaikan problema pendidikan dan masyarakat. Sifat keingintahuan seorang ulu al-albāb dalam kontek cendikiawan, seperti disebutkan di atas, terlebih dahulu telah disebutkan secara panjang lebar oleh Al-Qurān. Al-Qurān menyebutkan karakter yang dimiliki oleh seorang ulu al-albāb adalah banyak berzikir (3: 190); sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu (12: 111, 39: 18), Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qurān and Commentary,(Mekkah Al- Mukarramah: King Fahd Holly Quràn Printing Complex, tt), hal. 319. 22 Muhammad al-Ghazali, Khuthab…, hal 389 23 AM. Saefuddin, Fenomena…, hal. 54-46. 24Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim AlTurmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub, ( Kairo, Markaz al-Kitab wa al-Nasyr, 1998), hal. 57 21 70 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen bersungguh- sungguh dalam mencari ilmu (3: 7), dengan merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi (3: 190, 39: 21) dan mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan Allah (38: 29, 40: 54), dan selalu berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (14: 52). Abi `Abdillah Muhammad bin Ali Al Hakim Al Turmizi meyatakan bahwa kata allub yang merupakan bentuk singular dari kata albāb memiliki makna dasar sebagai yaitu sebaagi gunung yan menjulang dan tempat /maqam yang paling ideal, yang akan menjadi pilar yang tak tergoyahkan dalam kehidupan spitual keagamaan. Levelitas “al lub" tidak akan dapat dicapai kecuali oleh pribadi yang selalu konsisten dengan keimanan dan ketakwaan24. Ziauddin Sardar memaknai kata ulu al-albāb itu dengan cendikiawan Muslim, yaitu golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilainilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin. Orang-orang berpendidikan saja tidak dengan sendirinya dapat disebut sebagai intelektual. Para insiyur, akuntan dan dokter bukanlah intelektual; sering mereka tidak begitu tentang hal-hal lain di luar masalah teknik mesin, akuntansi, dan obat-obatan25. Cara pemikiran yang menodai para intelektual itu bukanlah cabang ilmu atau teologi, melainkan ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilainilai budaya mereka. Inteligensia Muslim adalah segolongan masyarakat Muslim berpendidikan yang pegangannya atas ideology Islam tak perlu diragukan. Dari semua penjelasan ayat di atas, dapat dipahami bahwa makna ulu al-albāb itu indentik dengan cendikiawan ( memiliki kemamuan intelktual yang tinggi) serta memiliki etos yang kuat dalam memberikan tanwir (pencerahan) dalam kehidupan masyarakat. Proses pencerahan ini akan terealisir hanya melalui pendidikan, dan pendidik meruapakan pilar utama dalam mewujudkannya. Mereka mempunyai tanggung jawab moral dalam mendidik, dan mengubah watak masyarakat dari kebiasaan- kebiasaan buruk menjadi baik. Soetjipto Wirosardjono dalam perspektif antropologis memberikan makna terma ulul albab itu dengan cendikiawan Muslim yakni, “…para intelektual yang berakar budaya AM. Saefuddin, Fenomena…, hal. 54-46. 24Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim AlTurmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub, ( Kairo, Markaz al-Kitab wa al-Nasyr, 1998), hal. 57 25 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 88-89. 24 71 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Islam dan menjadikan ajaran Islam sebagai pelita penggerak semangat pengorbannanya dalam memperjuangkan kemaslahatan di dalam kehidupan masyarakat26. Seorang cendikiawan atau para pendidik yang telah dipilih dan dikategorikan alQuran menjadi ulu al-albāb harus memiliki karakter berbeda dengan yang lain. Di antara karakter itu adalah berakhlak mulia, peka terhadap persoalan-persoalan yang menimpa dunia pendidikan dan rela berkorban dalam mempertahankan agama atau kebenaran. Abuddin Nata memahami ulu al-albāb adalah sebagai orang yang mampu mempergunakan fungsi berfikir yang terdapat dalam ranah kognitif dan fungsi mengingat yang terdapat pada ranah afektif. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang kemampuan intelektualnya, menguasai ilmu penegetahuan dan teknologi serta emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepad Allah dalam arti yang seluas-luasnya27. Terkait dengan masalah ini, Soetjipto, M.M. Rachmat Kartakusuma memberi makna tentang ulu al-albāb, menurutnya ulu al-albāb adalah yaitu orang yang pada waktu-waktu tertentu mengambil jarak dengan hidup serta kehidupan, dengan masyarakat dan diri sendiri, untuk merenungkannya, dan menganalisanya. Dia memerlukan ‘erudasi’, terpelajar dan berpengetahuan umum yang luas. Dengan demikian, ulu al-albāb mestilah seorang “generalis”, bukan “spesialis” dalam suatu cabang ilmu tertentu. Selanjutnya ia harus memiliki daya fikir atau intelegensia yang kuat, daya pengamat (observasi) yang tajam, daya analisa dan sintesa. Karena itu ulu al-albāb bukan saja seringkali tetapi malah selalu menjadi perintis perubahan zaman. Perbedaannya dengan yang lain terletak pada kadar perubahan itu. Ada yang revolusioner dan spektakuler, ada yang tidak. Cendikiawan adalah pembaharu dan pembimbing masyarakat. Itu semua terjadi karena ras tanggung jawanya dalam hidup ini. Orang yang tidak memiliki rasa tersebut bukan cendikiawan, akan tetapi hanya intelectueel jongleur, tukang sulap intelektual, ahli kata, silat kata dan pikiran.”28 Abuddin Nata memahami ulu al-albāb adalah sebagai orang yang mampu mempergunakan fungsi berfikir yang terdapat dalam ranah kognitif dan fungsi mengingat 26 Soetjipto Wirosardjono, Cendikiawan Islam Indonesia Masa Kini, Pemikiran dan Peranannya, “Panji Masyarakat”, no. 630, 23 Rabi’ul Akhir- 2 Jumadil awal 1410 H, 21-30 desember 1989, hal. 50. 27 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2002), hal. 139 28 M. M. Rachmat Kartakusuma, Serba Pandangan Tentang Peranan Cendikiawan, “PRISMA”, NO. 9, November 1976, tahun ke-5, hal. 47-48. 72 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen yang terdapat pada ranah afektif. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang kemampuan intelektualnya menguasai ilmu penegetahuan dan teknologi serta emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepad Allah dalam arti yang seluas-luasnya29. Seorang yang memiliki kualitas ulu al-albāb adalah yang terdidik dan terlatih serta tidak hanya terbatas pada memikirkan melainkan selalu berusaha mengadakan perubahan, pembaharuan, dan membimbing masyarakat ke arah yang lebih maju. Untuk mencapai ke arah itu, harus bersedia mengorbankan dan mempersembahkan segala potensi yang dimilikinya demi kepentingan subjek didik dan masyarakat. C. Padanan Ulu al-Albāb Dalam Al-Qurān 1. Al-Fu’ad Kata al-fu’ad terbentuk dari unsur kata fada yang berarti humma wa syiddah wal hararahm (penyakit panas dan sangat panas). Secara leksikal kata tersebut berarti asaba fu’āda alda` wa al-khawf (penyakit dan rasa takut menimpa hatinya)30. Kata al-fu’ād itu juga terdapat 16 kali di dalam al-Qurān, seluruhnya tercantum dalam surat Makkiyah dengan rincian: 3 kali kata alfu’ād, 2 kali kata fu’āduka dan 8 kali kata alafidah, dan 3 kali kata al-fidatahum31. Berpijak dari deskripsi di atas, diperoleh beberapa informasi; pertama, terma alfu’ād termaktub dalam bentuk kata benda. Kedua, kata al-fu’ād itu merupakan salah satu fasilitas yang berfungsi tempat melahirkan ilmu. Untuk membuktikan bahwa kata al-fu’ad mempunyai hubungan dan persamaan makna dengan kata al-lub, dapat dilihat dalam surat al- `Arāf (179), yaitu: ٌ ْصرُونَ بِهَا َولَهُم ْم آ َذ ۚ ان ََل يَسْم َمعُونَ بِهَما ِ س ۖ لَهُ ْم قُلُوبٌ ََل يَ ْفقَهُونَ بِهَا َولَهُ ْم أَ ْعي ٌُن ََل يُب ِ ْ َولَقَ ْد َذ َر ْأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِمنَ ْال ِجنِّ َو ِ اْل ْن َك هُ ُم ْالغَافِلُون َ ِض ٌُّّ ۚ أُو ٰلَئ َ َأُو ٰلَئِكَ َك ْاْلَ ْن َع ِام بَ ٌّْ هُ ْم أ “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayatayat 29 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2002), hal. 139 Fuad `Abdul Baqi`, Mu`jam…, hal. 549- 551. 31 Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasit, (Kairo: Dar al-Kutb, 1972), hal. 671. 30 73 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidakdipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”, (Qs. Al- Àrāf: 7: 179). Pada ayat tersebut menjelaskan keadaan manusia ketika pertama sekali terlahir ke dunia. Manusia tidak mengetahui apa-apa, dia tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dia pun tidak dapat membedakan mana yang berguna dan yang tidak berguna. Seiring dengan perkembangan masa, Allah menjadika ia telinga, mata dan fu’ād yang diwarisinya sejak ia lahir ke dunia. Ulasan ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan fu’ād bagi perkembangan pemikiran manusia. Karena itu, ia harus dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika manusia tidak memfungsikannya dengan baik, mengikuti bisikan syaithan dan hawa nafsu, dengan kata lain bila seseorang yang telah Allah berikan fasilitas pemahaman (fu’ād) tetapi masih mengedepankan hawa nafsunya maka dia akan terjerumus ke dalam kehinaan 2. Al-Qalb Kata al-qalb dalam al-Qurān dapat ditafsirkan dengan sikap atau karakter. Hal ini dapat dijumpai dalam surat `Ali `Imrān ayat 159: َّ َفَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمن ۖ اورْ هُ ْم فِي ْاْلَ ْم ِر َ ِب ََل ْنفَضُّ وا ِم ْن َحوْ ل ِ َّللاِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًا َغلِيظَ ْالقَ ْل ِ ك ۖ فَا ْعفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش َّ َّللاِ ۚ إِ َّن َّ فَإِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ٌّْ َعلَى ََّللاَ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِين "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS.Ali Ìmran: 3:159) Ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., berkenaan dengan sikap sebagian para sahabat di saat menghadapi peperangan. Ternyata tidak sedikit di antara mereka yang bersikap acuh terhadap ajakan Nabi saw. Kendatipun mereka bersikap demikian, Nabi saw., tetap bersabar menghadapi sikap mereka. Perintah terhadap Rasulullah agar bersikap lemah lembut di atas, adalah karena tujuan diutusnya Nabi Muhammad saw. adalah untuk menyampaikan pesan risalah syari’ah serta ajaran-ajaran 74 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Allah baik dalam rangka pengoptimalan potensi intelensia maupun pemenuhan aspek spritual manusia (yatlu àlaihim ayātihi wa yuzakkihim wa yuàllim alkitāba wa al-hikmah) . Misi tersebut tidak akan memperoleh hasil yang baik, kecuali jika mereka yang menerima ajakan tersebut bersikap simpati dan penuh perhatian terhadap Nabi saw., dan merasakan ketenangan dengan menerima ajaran tersebut. Ayat tersebut merupakan ajaran bagi ummat Islam agar konsisten dalam mengakkan amar ma`ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah perbuatan keji) dengan sikap yang lemah lembut dan sabar dalam menghadapi respon audien/ masyarakat. Karena hanya dengan sikap tersebut seseorang akan memperoleh respon yang positif dan simpati baik terhadap dirinya maupun terhadap pesan-pesan serta ajaran yang disampaikannya. 3. Al-Nuhā Kata al-Nuhā juga memiliki makna yang paralel dengan albāb32. Di dalam alQuran, kata tersebut terdapat dua kali. Kedua ayat tesebut terdapat dalam surat Thaha ayat 54 dan 128, : ُكلُوا َوارْ عَموْ ا.ت َشتَى َ َض َم ْهدًا َو َسل ٍ ك لَ ُك ْم فِيهَا ُسبَُل َوأَ ْن َز َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَأ َ ْخ َرجْ نَا بِ ِه أَ ْز َواجًا ِم ْن نَبَا َ ْالَ ِّذي َج َع َّ ٌّ لَ ُك ُم ااْلَر ت ْلُولِي النُهَى َ ِأَ ْن َعا َم ُك ْم إِنَ فِي َذل ٍ ك َليَا "Makanlah dan gembalakanlah binatang- binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. (QS. Thaha, 20:54) ت ْلولِي النُهَى َ ُِون يَ ْم ُشونَ فِي َمسَّا ِكنِ ِه ْم إِنَ فِي َذل ٍ ك َليَا ِ أَفَلَ ْم يَ ْه ِد لَهُ ْم َك ْم أَ ْهلَ ْكنَا قَ ْبلَهُ ْم ِمنَ ْالقُر "Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas- bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda bagi orang yang berakal. (QS.Thaha, 20:128) Secara etimologis al-Nuhā itu merupakan derivasi nahiya-yanhā, yang merupak bentuk plural dari نمهية yang bermakna melarang. Sehinga dari tinjauaan etimologis dapat di pahami bahwa kata al-Nuhā dalam al-Qurān yang di idhafahkan dengan kata ulu sehingga menjadi ulu al-Nuhā mempunyai makna sebagai orang-orang yang memiliki akal 32 Yusuf Qardhawi, Al-`Aql wa al-`Ilm fi 1996), hal. 22. 75 al- Qurān al-Karim, Cet. 1, (Kairo: Maktabah wahbah, Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen yang jernih dan daya fikir yang kuat33 Sehingga mereka memiliki kemampuan berfikir menganalisa dan mengambil konklusi baik dalam pemikiran maupun perilaku selalu berada dalam paradigma Ilahi. Hal itu, disebabkan potensi yang telah mereka miliki mampu mencegah mereka untuk berbuat yang tidak sesuai dengan kehendak syari`at. Dalam ayat 54 di atas,Al-Qurān literatur bahasa Arab memiliki kaitan makna menjelaskan, seseorang yang memiliki karakter ulu al-Nuhā akan memiliki kemampuan untuk menata kehidupan di bumi ini dengan sangat baik. Dalam ayat tersebut Al-Qurān menggunakan kata mahdan yang memiliki makna buaian/ayunan. Ini memiliki pemahaman bahwa ulu al-nuhā berhasil menjadikan kehidupan dibumi ini sebagai tempat yang penuh ketenagan dan kedamaian. Selanjutnya kata wa salaka lakum subulan juga mengisyaratkan, ulu al-Nuhā memiliki kapasitas untuk menempuh jalan dan sistem dalam proses kehidupan ini. Ada yang menarik dalam ayat di atas, ketika Allah memaparkan tentang bumi berikut segala kehidupan flora diatasanya, Al- Qurān menyebutkan “ kulu war`au an`amakum, (makanlah kamu apa yang ada diatas permukaan bumi, dan gembalkan ternakmu). Ini dapat dipahami, kalau Allah memerintahkan ulu al-nuhā untuk mencukupkan kebutuhan gembalannya, maka secara filosofis dapat dikonklusikan AlQurān juga menyatakan, ulu al-nuhā semestinya lebih bertanggung jawab untuk mengayomi serta mengarahkan dan menata kehidupan masyarakatnya. 4. Hijrun Kata hijr dalam al-Qurān hanya terdapat satu kali. Secara bahasa kata tersebut bermakna “batasan atau penghalang”. Para ulama tafsir memberika makna hijr sama denga àql, karena potensi hijr yang dimiliknya akan mencegah ia untuk terjerumus kedalam perbuatan yang tercela dan durjana34.` Binti Syathi` menyebutkan kata hijr dalam dalam literatur bahasa Arab memiliki kaitan makna yang sama dengan الحجرdan الحجرةyaitu batu dan kamar. Batu memiliki unsur yang sangat keras, karena itu orang Arab menggunakan batu sebagai matrial untuk menahan aliran air ke dalam suatu telaga. Sebagaimana 76 33 Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, (Kairo: Dar al- Maàrif, juz. 9, tt), hal. 116 34 Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, (Kairo: Dar al- Maàrif, juz. 15, tt), hal. 384 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen penggunaan kata الحجرةyang tersekat oleh dinding sehingga dapat memisahkan seseorang dengan orang lain35. Di dalam al-Qurān kata hijr hanya satu kali yaitu dalam surat Al-Fajr (5); “Tidakkah itu semua menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”( Qs. Al- Fajr: 89: 5) Dalam ayat tersebut kata hijr diidhafahkan dengan kata dzawi yang bermakna orang-orang yang “memiliki”. Jadi dalam konteks ayat tersebut kata hijr bermkna orangorang yang memiliki akal pemikiran. Para mufassir menginterpretasikan bahwa penggunaan kata hijr dalam ayat di atas memiliki makna filosofis yaitu orang-orang yang telah memiliki pemikiran yang benar akan terhindar dari kerancuan berfikir. Lebih jauh para mufasir menjelaskan bahwa jika dilihat dari konteks kata, hijr tersebut memiliki makna orang-orang yang mempunyai pemikiran akan mampu melakukan refleksi terhadap ciptaan Allah swt serta berbagai peristiwa sejarah yang telah yang pernah terjadi. Dalam ayat itu juga, menisyaratkan dzawil hijr akan menemukan pesan-pesan moral dari kehidupan kaum `Ad, Thamud dan Fir`aun. 5. Al- Absār Kata absār merupakan derivasi dari basharayabshuru yang bermakna “melihat”36.Kata tersebut terdapat dalam surat `Ali `Imran (13). َّ ي ْال َعي ِْن ۚ َو َّ ٌّ ي َّللاُ يُ َؤيِّ ُد بِنَصْ ِر ِه َم ْن َ َّللاِ َوأُ ْخ َر ٰى َكافِ َرةٌ يَ َروْ نَهُ ْم ِم ْثلَ ْي ِه ْم َر ْأ ِ ِقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم آيَةٌ فِي فِئَتَي ِْن ْالتَقَتَا ۖ فِئَةٌ تُقَاتِ ُ ٌّ فِي َسب ار َ ِيَ َشا ُء ۗ إِ َّن فِي ٰ َذل َ ك لَ ِع ْب َرةً ِْلُولِي ْاْلَ ْب ِ ص "Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." (QS. Ali Ìmr ān:3:13). Dalam konteks ayat tersebut Allah menggambarkan dua kelompok yang memiliki ideologi dan paradigma yang secara diameteral sangat berbeda, yaitu orang-orang kafir Àisyah Àbd Al- Rahman Binti Syathi`, Al- Tafsir Al- Bayāni Li Al- Qurā`n Al- Hakim,(Kairo: Dar Al- Maàrif, juz II, 1968), hal. 137. 36 Abu Hilal Al-`Ashkari, Al-Furuq Al- Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), 35 77 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen dan orang-orang Mu’min. Pola kehidupan kedua kelompok tersebut akan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki karakter ulil abshar37. Muhammnad Ali Al- Shabuni, menjelaskan bahwa sabab al- nuzul ayat di atas adalah ketika Rasulullah kembali ke Medinah pasca perng Badr, beliau berbicara dihadapan Yahudi di Medinah, dan mengajak mereka bergabung kedalam agama Islam. Namun seruan Rasulullah saw tersebut ditanggapi secara arogan. Mereka mengatakan, kekuatan militer mereka dan pengalaman tempur yang mereka miliki jauh di atas kemampun kaum Quraisy yang baru saja ditaklukan kaum Muslimin. Karena itu mereka menantang Rasullullah saw di medan tempur. Lebih lanjut Ali Al- Shabuni memberi penafsiran ulu al- abshār (orang– orang yang memiliki yang bersih dan pemikiran yang lurus) yang akan dapat mengambil pelajaran (`ibrah) dari suatu peristiwa. Mereka sadar kemenagan yang dipereoleh pasukan Muslimin dalam peetempuran dengan kaum kafir, tidakllah ditentukan oleh kuantitas/ jumlah pasukan yang banyak. Kesuksesan itu diperoleh melalui kualitas iman dan etos serta skill yang cukup dan terutama bantuan Allah sebagai respon sang Khalik terhadap pengabdian yang intens dan ikhlas dari hambaNya38. Sedangkan dalam surat al-Nur ayat 44,: َّ ُيُقَلِّب ار َ َِّللاُ اللَّ ْي َ ٌّ َوالنَّهَا َر ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل َ ك لَ ِع ْب َرةً ِْلُولِي ْاْلَ ْب ِ ص "Allah mempergantikan malam dan siang.Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (QS. Al- Nur 24:44) Dalam ayat 44 di atas Al-Qurān menggunakan lafadz al-‘ibrah sebagai potensi bagi uli al-absār untuk mengambil pemahaman terhadap penomena alam, seperti pergantian malam dan siang, penguapan udara, dan pergantian musim. Demean memiliki korelasi makna demean ayat sebelumnya ayat 43, Semua itu akan mengantarkan uli al-absār melakukan hubungan vertikal dengan Khaliqnya. 6. al- Zikr Dalam al-Qurān kata al-Zikr terdapat beragam bentuk, namun hanya dua tempat kata al-zikr tersebut diidhafahkan dengan kata ahl, yang bermakna orang-orang yang memiliki39. Dengan kata ahl al-zikr bermakna orang-orang yang memiliki pengetahuan. Ibn Katsir, Tafsir Qurān al-`Azim, Juz. 1, (Kairo: Al- Maktabah al- Thaqafy, 2001), hal.243 Muhammad Àli Al- Shabuni, Shafwah Al- Tafāsir, juz I, ( Makkah Al- Mukarramah: AlFaishaliyah, tt), hal. 188. 39 Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Vol. 8, (Beirut: Dar Fikr, 1979) 37 38 78 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Al- Qurān menjelaskan bahwa ahl zikr memiliki otoritas untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ungkapan al-Qurān dalam surat al- Nahl ayat 43,: ً ك إ ِ ََّل رِ َج ْ اَل ن ُ و ِح ي إ ِ ل َ ي ْ هِ ْم ۚ ف َ ا س أ َل ُ وا أ َ ه ْ َ ٌّ ال ذِّ ْك رِ إ ِ ْن كُ ن ْ ت ُ ْم ََل ت َ ْع ل َ ُم و َن َ ِ َو َم ا أ َ ْر سَ ل ْ ن َا ِم ْن ق َ ب ْ ل "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalahkepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidakmengetahui" (Qs. Al- Nahl: 16: 43) Demikian sebaliknya, Al-Qurān mengisyaratkan bahwa seseorang harus berguru dan bertanya terhadap sesuatu informasi kepada orang yang tidak diragukan lagi otoritas keilmuannya. penggunaan uslub ‘amar ( )dalam ayat di atas mengindikasikan bahwa ilmu itu harus dirujuk pada ahlinya. Hanna Jumhana Bustaman ketika menafsirakan ayat diatas dari perspektif psikologis mengatakan ahl al- zikr adalah mereka yang benarbenar memahami konsepsi zikrullah baik secara teoriis maupun praktis, mereka telah benar-benar meneliti, membuktikan dan mengamalkan, disamping maengamalkan ibadahibadah yang lain40. 7. `Aqala Term akal merupakan pola kata mashdar yang terderivasi dari kata . Kalau kita merujuk pada kepada kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata `aqala bermakna mengikat dan menahan.. Sehingga dalam komunikasi bahasa arab Orang Arab terdapat ungkapan: Al-`Aqil adalah orang yang mampu menahan dirinya dan membentengi diri dari nafsunya. Juga terdapat dalam ungkapan mereka: “apabila seseorang mampu menahan lidahnya untuk tidak ngomong41. Demikian juga untuk menyatakan menahan orang dalam penjara juga digunakan yaitu `itaqala dan tempat tahanan dengan mu`taqala kata yang merupakan derivasi dari kata `aqala42. 40 Hanna Jumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, (Yakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 162. Faimah Ismail Muhammad Isma`il, Al- Qurān wa `Aql- Nadar al-`Aqli, (Herndon USA: Ma`had `Almi Lilfikri al Islamy,1992), hal. 49 41 42 79 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Cet. 2, ( Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Ibn Mandur43 menyebutkan menahan , Qusaiyen beberapa makna dari kata mengekang `aqala, antara lain memberikan makna kata akal memahmi, dan kebijaksanaan, pemahaman menyebutkan ungkapan Selanjutnya Ibn Manzur menjelaskan, kata `aqal juga berarti memahami: . Kamus Al- Muhith mendefiniskan kata al-`qlu dengan: ilmu atau pengetahuan tentang sifat sesuatu baik dari segi positif maupun aspek negatif44. Di dalam al Qurān tidak terdapat kata al- `aqlu ٌّ العقمdalam bentuk kata Ini mengisyaratkan bahwa Al-Qurān ingin menjelaskan bahwa berfikir dengan benda. `aqal adalah kerja dan terus menerus dan bukan hasil perbuatan. Menurut Baharuddin Kata- kata tersebut berbentuk `aqala dalam dalam 1 ayat, تعقلمونdalam 24 ayat dan يعقلمون dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat45. Prof Izutsu, sebagaimana dikutip Harun Nasution menyatakan, bahwa pada masa Jahiliyah kata `aqal digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam terma psikologi modern dikenal dengan istilah kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Menurut Isutzu orang berakal adalah orang yang memiliki kecakapan untuk menyelesaikan masalah, dan sekaligus dapat melepaskan diri dari bahaya yang dia hadapi. Kebijaksanaan praktis seperti ini sangat dihargai dalam kehidupan orang Arab di zaman Jahiliyah46. Dari beragam makna diatas, kita melihat para sarjana bahasa Arab memahami makna al- `aql dengan dua pengertian, segi idikasi lafad bermakna pemahaman, ilmu dan dari segi praktis yaitu sebagai kemampuan membedakan antara yang baik dan yang buruk. D. Kriteria Ulu Al-Albab Sebagimana telah dijelaskan diatas, terma ulu al-albāb merupakan bentuk plural dari al- lub, yang merupakan derivasi dari kata labba yang berarti aqama `la `l-amar ( berpergang pada suatu perkara), al-luzum thubut wa al- khālis ( konsisten, konsekwen dan sesuatu yang murni). Misalnya ungkapan al- rajul labba bi hāzihi al- amr ( orang itu 43 Ibnu Manzur, Lisan Al- `Arab. 44 Al Fairuzbadi, Al-Qamus al-Muhit, Juz. 4, (Kairo: Mathba`ah Dar al-Sa`adah, 1913), hal. 18 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 217. 46 Harun Nasution, Akal…, hal 7. 45 80 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen konsisten dalam menghadapi masalahnya). Secara leksikal kata al- lub berarti al- khālis wa al- lkhiyār ( Sesutu yang murni dan terpilih). Yang utama dari sesuatu disebut al-lub. Juga disebut iqāmah wa al- luzum (konsisten dan konsekwen)47. Dalam al- Qur`ān, ulu al-albāb, memiliki beragam arti tergantung dari kontek penggunaannya. Dalam A Concordance of the Qur`ān, Hanna E. Kassis , sebagaimana yang dikutif oleh Dawam Raharjo kata ulu al- albāb bisa mempunyai beberapa arti48: orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam orang yang mempunyai perasaan (hearth), yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya, orang yang memiliki daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat, orang yang memiliki pandangan yang mendalam atau wawasan (insight) yang luas, dan mendalam orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas dan orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran, dengan pertimbangan- pertimbagan yang terbuka dan adil Para mufassir memahami ungkapan ulu al- albāb yang digunakan Al-Qurān dengan uslub takhsis ) sebagaimana terdapat dalam surat Al-Ra`d: 19, ُ ك ْال َح ب َ ِك ِم ْن َرب َ أَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِ ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َمى إِنَ َما يَتَ َّذ َك ُر أُولُو اْلَ ْلبَا mengindikasikan bahwa kapasitas intelektual dan kesadaran spiritual mereka yang cemerlang menempatkan mereka pada posisi hamba Allah yang terbaik di sisi-Nya. Mereka juga menjelaskan bahwa ulu al-albāb itu sosok yang memiliki ketaqwaan dan integritas moral49. Saiyed Quthub sebagaimana dikutip Quraish Shihab memberikan komentar tentang ayat diatas bahwa dikontardiksikan penyebutan lafadh ulu al-albāb dengan àma (orang yang buta) bukan dengan orang yang tidak mengetahui, merupakan salah satu indikasi bahwa hanya kebutaan hati yang menjadikan seseorang menolak hakikat yang sangat jelas yang ditawarkan oleh ajaran Islam. Manusia ketika menghadapi hakikat kebenaran terdiri dari dua kelompok yaitu mereka yang melihat sehingga mengetahui dan yang buta sehingga tidak mengetahui50. 47 48 49 50 81 Luis Ma`luf, Al- Munjid Fi Al- Lughah Wa al- `Alam, ( Beirut: Dar al- Fikr, 1986), hal. 711 Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qurān, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 557 Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma`ani, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 8, 2001); hal. 320 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 6, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 577. Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Dari ayat diatas dapat dipahmi bahwa ull- albāb akan bersedia mendengarkan dan bersikap terbuka terhadap informasi pihak lain. Dia menyadari bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh ilmu pengetahuan dan kebenaran. Namun dengan kemampuan pemikiran (mind) dan perasaan (hearth), yang dimilikinya, dia akan bertindak selektif dalam menyeleksi setiap masukan informasi serta berhasil menemukan apa yang paling baik diantaranya. Thabathabaì memahami makna dari surat al- Zumar : 18, bahwa ulu al-albāb adalah sosok yang memiliki karakter yang selalu terobsesi dan konsern mencari kebenaran. Mereka senantiasa terus menerus menginginkan petunjuk dan sasaran kenyataan. Konsekwensinya dalam setiap pengembaraan intelektualnya, ulu al-albāb menemukan haq dan bathil atau petunjuk dan kesesatan, mereka sungguh-sungguh mengikiuti petunjuk itu sambil meninggalkan yang bathil dan sesat. Demikian juga, setiap mereka menemukan yang benar dan benar ( lebih ), atau petunjuk dan sesuatu yang lebih banyak dan tepat petunjuknya, maka mereka akan mengambil yang lebih benar dan lebih banyak petunjuknya. Kebenaran dan petunjuklah yang selalu mereka dambakan, dan karena itu mereka dengan penuh perhatianm menyimak dan menganalisa setiap pernyataan dan ide. Mereka tidak serta merta menolak dan apriori terhadap suatu ucapan karena mengikuti hawa nafsu dan tanpa memikirkan dan memahaminya51. Pemahaman yang terkandung dalam ayat diatas sejalan dengan pesan moral yang terkandung dalam surat Al-Hujarat, 49: 6 , yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(Qs. Al-Hujarat, 49: 6). Kriteria dan sikap ulu al-albāb yang terdapat dalam QS. Al- Zumar: 18 di atas mempunyai hubungan paralelitas makna dengan kandungan ayat surat al – Maidāh ayat 100,: 51 M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al- Qurān, Juz. 6, (Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991), hal. 156 82 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen “Katakanlah:"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."(Qs. Al- Maidah, 5: 100) M. Quraish Shihab mengatakan, dari ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah swt mengingatkan hambanya bahwa dalam hidup ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah dan ada bisikan setan dan rayuan nafsu. Demikian juga Allah menuntun hambaNya agar kuantitas tidak membuat mereka terkesima dan terpedaya, sehingga mereka meniggalkan yang baik karena kuantitasnya sedikit52. Mereka senatiasa selalu dhikr dan rajin bertafakur serta mengkaji fenomena alam, sebagaimana termaktub dalam surah `Ali- `Imran ayat 190-191 ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. `Ali Imran, 3: 190- 191). Berdasarkan ayat diatas, dapat dipahami ulu al-albāb adalah orang yang berpikir di dalam berzikir dan berzikir di dalam berpikir. Dalam ayat diatas, diungkapkan bahwa objek telaahan pikir dan dhikr orang orang yang dinamakan ulu al-albāb adalah proses penciptaan langit dan bumi dan proses pertukaran malam dan siang. Proses penciptaan langit adalah proses spritual- transendental, sebab tidak pernah dialami manusia, jadi jelasnya itu merupakan diluar wilayah empiris. Sebaliknya, proses pertukaran malam dan siang adalah proses empiris, karena semua mengalami proses pergantian itu. Dawam Raharjo dalam analisisnya tentang ayat diatas menyatakan bahwa dhikir adalah tingkat yang lebih tinggi dari pikir, sebab dhikr adalah kegiatan ternsendental, mengarah kepada pemikiran yang dalam, yang lebih tinggi, karena mengarah kepada hakekat. Dengan mencermati susunan tarkib (sintaksis) dan ìjāz lughawi ( demean ditaqdimkan/ di dahulukan penyebutan lafadh dhikr dari pikir pada ayat di atas), Dawam 52 83 Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qurān, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 565 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Raharjo memahami dhikir mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian dhikr, sebab dalan dhikr terkandung unsur pikir53. Dhikr adalah memiliki makna mengingat atau mendapatkan peringatan. Dari sini dapat dipahami, watak seseorang yang melakukan dhikr adalah juga memiliki makna "memikul tanggung jawab mengingatkan". Tindakan mengingatkan hanya akan muncul bila seseorang bersikap kritis. Sikap kritis seseorang sanagtlah didukung oleh wawasan dan pengetahuna yang dimiliki. Selanjutnya, seseorang yang melakukukan dhikr akan merespon seruan Allah untuk membebtuk komunitas yang berorientasi kepada kebajikan (al- khair)dan kemudianmelakukan amar ma`ruf nahy al- mungkar (Qs. Ali Ìmran: 3: 104 dan 110). Merujuk pada penafsiran para Mufassir, tentang kandunagn Qs. Al- Ra`du : 19-22, َ الَ ِّذينَ يُوفُونَ بِ َع ْه ِد. ب ُ ك ْال َح ََّللاِ َوَل يَ ْنقُضُون َ ِأَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْيكَ ِم ْن َرب ِ ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َمى إِنَ َما يَتَ َّذ َك ُر أُولُو اْلَ ْلبَا َ صلُونَ َما أَ َم َر صبَرُوا ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِ ِه ْم َ َ َوالَ ِّذين.ص َّ ٌّ َويَ ْخ َشوْ نَ َربَهُ ْم َويَخَ افُونَ سُو َء ْال ِحسَّاب َ َّللاُ بِ ِه أَ ْن يُو ِ َ َوالَ ِّذينَ ي. ْال ِميثَاق ََار ََ ُون ِب ْال َح َّس َن َِة الس َِّي َئ ََة أُولَ ِئ ََ صَلةَ َوأَ ْنفَقُوا ِم َما َر َز ْقنَاهُ ْم ِسرًا َوع َََلنِيَةً َو َي ْد َرء َ َوأَقَا ُموا ال ِ ك لَ ُه َْم ُع ْق َبى الد “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk, serta orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orangorang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”. (Qs. Al-Ra`d, 13: 19-22) Kita menemukan beberapa kriteria ulu alalbāb yaitu: memiliki pengetahuan, komitmen terhadap jannji dengan Allah serta istiqamah dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah, menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung (seperti mempererat hubungan silaturrahmi), takut kepada Allah (kalau berbuat dosa), selalu sabar karena ingin mendapat keridhaan Allah, menegakkan shalat, menyalurkan 53 Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II,( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), hal.331 84 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen rezeki yang diperoleh untuk kebutuhan orang lain baik secara terbuka maupun tersembunyi, dan mampu menolak kejahatan dengan kebajika dan penuh kesantunan54. Karakteristik prilaku ulu al-albāb juga termuat surat al- Zumar ayat 9: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (`azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Al-Zumar, 39: 9) Ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin dari orang-orang yang tekun itu, menurut Quraish Shihab kata qānit bermakna orang yang memiliki ketekunan dan disertai dengan ketundukan hati dan ketulusannya. Sikap lahir digambarkan oleh lafadh sājidan (sujud) dan qāiman (berdiri), sedangkan sikap batin termuat dalam ungkapan (takut kepada akhirat dan mngharapkan rahmat Tuhannya). Mereka ialah golongan yang mengingati Allah dalam segala situasi dan kondisi. Pernyaaan Allah yang (mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring) tentang kreteria ulu al-albāb yang terdapat dalam surat Àli Imran ayat 191 merupakan ungkapan bersifat metaforis yang memberikan visualisasi tentang betapa kommitmennya ulu al-albāb dalam menjaga hubungan tradesentalnya dengan khaliknya. Sehingga respon dan konsepsinya terhadap Tuhannya senantiasa selalu bersifat positif. Dan hasil serta konklusi kontemplatif dan zikirnya mengantarkan mereka pada pernyataan yang sangat tulus: “Wahai Tuhan kami Kamu tidak menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka " (Qs. Ali Ìmran: 3: 191) ض َّ ٌّ ع َْن َسبِيلِ ِه َوه َُو أَ ْعلَ ُم َ َك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َّسنَ ِة َو َجا ِد ْلهُ ْم بِالَتِي ِه َي أَحْ سَّنُ إِنَ َرب َ ِا ْد ُع إِلَى َسبِي ِّ ٌّ َرب َ ك هُ َو أَ ْعلَ ُم بِ َم ْن َبِ ْال ُم ْهتَ ِدين "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaranyang baik dan bantahlah mereka dengan cara yangbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yanglebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".(Qs. Al- Nahl: 16: 125) 54 Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II,( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), hal.331 85 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Berdasarkan ayat-ayat tersebut terkandung maksud bahwa siapapun dapat menjadi pendidik Islam asalkan ia memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih, serta keterampilan dan sikap yang sesuai dengan kapasitas dan prinsip-prinsip edukatif. Disamping itu ia mampu mengimplimentasikan nilai-nilai relevan dalam pengetahuan itu kepada peserta didik. Orang yang berilmu, mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Tuhan dan manusia. Al-Qurān menggelarkan golongan ini dengan pelbagai gelaran mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah swt., dan makhluk-Nya. Mereka digelar sebagai "al-Rāsikhun fil `Ilm" (Ali `Imran : 7), "Ulul al-`Ilmi" (Ali `Imran : 18), "Ulu al-albāb " (Ali `Imran : 190), "al-Basir" dan "al-Sami` " (Hud : 24), "al-`Alimun" (al- `Ankabut : 43), "al-`Ulamā" (Fatir : 28), "alAhya’ " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia lain. Gelaran ini disetarakan Allah swt., dengan ayat-ayat yang membicarakan dasar-dasar akidah tawhid dengan menghubungkan kitab suci al-Qurān dan fenomena alam sebagai "wasilah" atau "ayat" bagi mengenal dan mengakui-Nya. Ia sekaligus menunjukkan bahwa daya usaha untuk memperoleh ilmu melalui pelbagai saluran dan pancaindera yang dikurniakan Allah swt., membimbing seseorang ke arah mengenal dan mengakui ketauhidan Rabbul Jalil. Ini memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa ilmu mempunyai hubungan yang amat erat dengan dasar akidah tauhid. Orang yang memiliki ilmu, sepatutnya mengenal dan mengakui keesaan Allah swt., dan keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan gerun, tunduk, kerdil dan hina berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan Allah swt. Mereka tunduk dan beriman kepada kekuasaan Allah swt. Ini membuktikan bahwa perkara akidah dan roh fitrah Islam merentasi semua aspek kehidupan manusia khususnya para ilmuan dan cendekiawan yang terlibat secara langsung dalam kajian dan penyelidikan alam "kauniyyah" dan manusia. Dalam surah `Ali Imran ayat ke-18, Allah swt., berfirman: "Allah menerangkan (kepada sekalian makhluk-Nya dengan dalil-dalil dan bukti), bahwasanya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang senantiasa menta`birkan (seluruh alam) dengan keadilan dan malaikat-malaikat serta orang-orang yang berilmu; tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana". Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir membuat suatu rumusan yang menarik bahawa apabila Allah swt., mensetarakan "diri- Nya" dengan para malaikat dan orang yang 86 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah swt., dan kemutlakan-Nya sebagai Tuhan yang layak disembah". Ini adalah suatu penghormatan agung secara khusus daripada- Nya kepada orang-orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas kebenaran dan menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya dalam semua keadaan dan suasana. Penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu, sebagai peringatan kepada golongan berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi Allah swt. Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah swt. Mereka memikul amanah Allah swt., karena mereka adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu, mereka perlu memiliki dan beramal dengan sifat-sifat yang jelas melalui perkataan yang dituturkan, tindakan yang diambil, perbuatan yang dilakukan, sikap yang ditunjukkan, dan seruan yang dibuat. Sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka akan mencoret kewibawaan dan penghormatan. Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta sentiasa istiqamah harus dimiliki oleh ulu al-albāb. Ulu al-albāb tidak mengharapkan imbalan, sanjungan, dan pujian manusia. Keikhlasan adalah hasil dari ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip kebenaran yang menjadi tonggak pegangan orang berilmu. Mereka sangat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula mencemari kebenaran. Kebenaran yang menjadi pegangan mereka bukan diukur dari perkataan yang keluar dari mulutnya. Bahkan kebenaran itu boleh juga datang dari pada orang lain. E. Kesimpulan Pembahasan ini merupakan bahagian akhir dari tulisan ini dan sekaligus menjadi kesimpulan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Pembahasan ini mengetengahkan tentang ulu al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian menunjukkan konsep ulu alalbāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna pendidik, guru dan cendikiawan M uslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu al- albāb seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat alQuran, harus memiliki beberapa kriteria di antaranya; seorang pendidik harus memiliki pengetahuan, memliliki integritas moral, berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana, adil, tawadu`, kasih sayang terhadap subjek didik dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu al-albāb, harus memiliki pemikiran (mind) yang luas, perasaan (heart) yang peka, sensitif, memiliki daya pikir (intellect), memiliki wawasan (insight) yang luas, memiliki pengertian yang akurat (understanding), dan memiliki kebijakan (wisdom) dan selalu mejaga komunikasi transendental dengan 87 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Khaliknya, melalui fakultas dan aktifitas dhikr. Semua karakter ini merupakan cerminan dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh pendidik ketika berhadapan dengan subjek didik. Jika pendekatan itu mampu dijabarkan dalam kehidupan , maka seorang pendidik akan betul-betul memiliki kemapuan dalam proses transfer of hearts, transfer of head dan tranfer of hand kepada peserta didik dan linggkungan kehidupannya. Daftar Pustaka Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta, Raja Grafindo, 2002 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qurān and Commentary. Mekkah Al- Mukarramah: King Fahd Holly Quràn Printing Complex, tt. Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim Al-Turmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub. Kairo, Markaz al-Kitab wa al-Nasyr, 1998. Abu Hilal Al-`Ashkari, Al-Furuq Al- Lughawiyah. Kairo: Dar al-Hadith, 2003 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1. Beirut: Dar Al Fikri. Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz. 8. Beirut: Dar Al Fikri. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992 Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Cet. 2, .Bandung: Mizan, 1989 Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma`ani Juz VIII. Beirut: Dar al-Fikr, 2001. Al Fairuzbadi, Al-Qamus al-Muhit, Juz. 4. Kairo: Mathba`ah Dar al-Sa`adah, 1913. Àisyah Àbd Al- Rahman Binti Syathi`, Al- Tafsir Al- Bayāni Li Al- Qurā`n Al- Hakim Kairo: Dar Al- Maàrif, juz II, 1968 Al -Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān. Beirut, Dar Al Maàrifah, tt A.M. Saifuddin, Fenomena Kemanusiaan, (Bandung: Dinamika, 1996), hal. 57. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qurān. Jakarta: Paramadina, 1996. 88 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Fatimah Ismail Muhammad Isma`il, Al- Qurān wa `Aql- Nadar al-`Aqli. Herndon USA: Ma`had `Almi Lilfikri al Islamy,1992. Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam al-Mufahras li al- Fad al-Qurān. Mesir: Dar al-Fikr, 1992 Haedar Nashr, Intelektualisme Muhammadiyah. Bandung: Mizan, 1995. Hanna Jumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Cet. 2. Jakarta: UI Press, 1986 Ibn Katsir, Tafsir Qurān al-`Azim, Juz. 1, Kairo: Al- Maktabah al- Thaqafy, 2001 Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Vol. 8. Beirut: Dar Fikr, 1979. Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasit. Kairo: Dar al-Kutb, 1972. Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Jami` Al Bayan, Juz. 3. Beirut: Dar Fikr, 2001 Imam Muhammad Ibn Abi Bakr `Abdul Qadir al- Razi, Mukhtar Sahah. Beirut: Dar Al Fikr, 2003 Luis Ma`luf, Al- Munjid Fi Al- Lughah Wa al- `Alam. Beirut: Dar al- Fikr, 1986 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 19 Maudurrahman, The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4, America: The Institute of Islamic Thought, 1994. Muhammad Àli Al- Shabuni, Shafwah Al- Tafāsir, juz I. Makkah Al- Mukarramah: AlFaishaliyah, tt. Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II. Kairo: Maktabah Wahbah, 2002 M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān, Juz.III. Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991. ........................., Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān, Juz. VI. Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. I.Bandung: Lentera Hati, 2000. …………………., Tafsir Al-Misbah, Jil. 2. Bandung: Lentera Hati, 2000 M. Rachmat Kartakusuma, Serba Pandangan Tentang Peranan Cendikiawan, “PRISMA”, NO. 9, November 1976, 89 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614 Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik Qusaiyen Muhammad `Ali Al-Sabuni, Shafwa al- Tafasir, Juz. 1.Makkah: Maktabah Al Faishaliah, tt Yusuf Qardhawi, Al-`Aql wa al-`Ilm fi al- Qurān al-Karim, Cet. 1. Kairo: Maktabah Wahbah, 1996. 87 Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education.,Chopenham: Anthony Rowe, 1985. Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, 9. Kairo: Dar al- Maàrif, tt), hal. 116 juz. Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz juz. 15, Kairo: Dar al- Maàrif, tt Soetjipto Wirosardjono, Cendikiawan Islam Indonesia Masa Kini, Pemikiran dan Peranannya, “Panji Masyarakat”, no. 630, 23 Rabi’ul Akhir- 2 Jumadil awal 1410 H, 21-30 desember 1989 Ziauddin Sardar M. , Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim .Bandung: Mizan, 1989 90 Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614