Psikologi Islam Kontemporer

advertisement
Jurnal Studi Al-Qur’an;
Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani
Vol. IV , No. 1 , Tahun. 2008
ULU AL-ALBĀB SEBAGAI PROFIL INTELEKTUAL PENDIDIK
(Kajian Tematis Terhadap Konsep Ulu al-Ālbāb Dalam Al- Qur`ān)*
Qusaiyen
Abstrak
Tulisan ini membahas terkait paradigma Al-Qur’an tentang pendidik. Pembahasan ini
mengetengahkan tentang ulu al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian
menunjukkan konsep ulu al- albāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna
pendidik, guru dan cendikiawan Muslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu al- albāb
seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat al- Quran, harus memiliki beberapa kriteria di
antaranya; seorang pendidik harus memiliki pengetahuan, memliliki integritas moral,
berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana, adil, tawadu`, kasih sayang terhadap subjek
didik dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu alalbāb, harus memiliki pemikiran (mind) yang luas, perasaan (heart) yang peka, sensitif,
memiliki daya pikir (intellect), memiliki wawasan (insight) yang luas, memiliki pengertian
yang akurat (understanding), dan memiliki kebijakan (wisdom) dan selalu mejaga
komunikasi transendental dengan Khaliknya, melalui fakultas dan aktifitas dhikr. Semua
karakter ini merupakan cerminan dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh
pendidik ketika berhadapan dengan subjek didik.
Kata kunci : Pendidik dalam Al-Qur’an, Ulul Albab, Profil Intelektual Pendidik
A. Pendahuluan
Pendidik merupakan salah satu komponen utama bagi terwujudnya suatu hasil yang
ideal dalam proses belajar mengajar. Seorang pendidik tidak hanya dituntut untuk mampu
melakukan transformasi seperangkat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive
domain) dan aspek ketrampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai
tanggung jawab untuk mengejewatahkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective
domain).
Al-Qurān sebagai landasan paradigma pemikiran pendidikan Islam, telah banyak
mengungkapkan anasir kependidikan yang memerlukan perenungan mendalam, terutama
bagi praktisi pendidikan. Pemikiran pendidikan Islam yang berlandaskan kepada wahyu
Tuhan menuntut terwujudnya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi ketiga
aspek cognitive, affective dan psycomotoric yang nantinya diharapkan akan mampu
melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang akan berperan dalam menginternalisasikan nilai-
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
61
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
nilai Islam dan mampu mengembangkan peserta didik ke arah pengamalan nilai-nilai Islam
secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi realitas wahyu Tuhan1.
Ironisnya, kependidikan Islam dewasa ini tampaknya hanya menonjolkan satu
aspek dari tiga aspek pendidikan di atas, sehingga melahirkan tipe-tipe anak didik yang
mempunyai keunggulan kognitif saja, minus dari sikap serta etika (affective domain).
Suatu sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang dapat memadukan tiga
aspek tersebut dengan cara mentransferkan pengetahuan serta mewariskan nilai-nilai bagi
peserta didik dan generasi selanjutnya. Maka keharusan melahirkan kalangan yang dapat
berperan sebagai medium (pendidik) dalam proses pentransferan ilmu, adalah menjadi
suatu keniscayaan2.
Beranjak dari adanya kesenjangan di atas, maka usaha-usaha untuk mengkaji
kembali ide-ide tentang profil seorang pendidik yang ideal menurut al-Qurān tampaknya
merupakan suatu solusi dalam memecahkan problematika itu.
Dalam al-Qurān didapatkan ulu al-albāb sebagai tolak ukur bagi seorang pendidik
dalam melakukan proses pentrnasferan pendidikan subjek didik. Sebanyak 16 kali kata ulu
al-albāb disebutkan al-Qurān dalam bebeberapa surat,3 yang oleh para mufasir al- Qurān
sepakat memberi makna kalangan yang mempunyai kemampuan intelektual yang sangat
mendalam (hikmah) serta mempunyai keterkaitan yang sangat kontras secara vertikal
dengan nilai-nilai ilahiyah4.
Kelompok intelektual ini menyadari tentang kejadian-kejadian alam, hukum-hukum
dan realitas alam, serta mengenyampingkan kemampuan dan kebebasan mengambil jalan
apapun. Kesadaran akan kemampuan intelektual yang mereka peroleh berasal dari
anugerah Tuhan, telah memotivasikan mereka untuk berkiprah dan terlibat secara aktif
dalam setiap kebajikan baik untuk kemaslahatan mereka sendiri maupun untuk
kemaslahatan umat.
* Makalah ini di ajukan pada Seminar Internasional Bahasa dan Penafsiran Al- Qur`an, yang
diadakan oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) – IMLA, di Aula UNJ Jakarta, 7-9 September 2008
1
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hal. 122. Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 74-75.
2
Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education, (Chopenham: Anthony Rowe, 1985, hal.
18. Maudurrahman, The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4, (America: The Institute
of Islamic Thought, 1994), hal. 529-530.
3
Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam al-Mufahras li al- Fad al-Qurān, (Mesir: Dar al-Fikr, 1992), hal. 644.
4
M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al- Qurān, Juz. 3, (Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991), hal. 34.
Ibn Manzur, Lisan al-`Arabi, Juz. 1, (Beirut: Dar Sādir, 1990), hal. 31. A.M. Saifuddin, Fenomena
Kemanusiaan, (Bandung: Dinamika, 1996), hal. 57
62
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
B. Makna Ulu al-Ālbāb Dalam Al-Qurān
Ulu al-albāb dikonotasikan dengan cendikiawan Muslim, intelektual Muslim,
ulama bahkan Ali Syariati menyebutkannya dengan orang yang “tercerahkan.”5Al-Qurān
secara eksplisit menyebutkan kata ulu al-albāb sebanyak 16 kali, masing-masing 3 kali
pada surat Al- Baqarah (ayat 179, 197, dan 269): dua kali pada surat `Ali `Imran ( ayat 7
dan 190), satu kali pada surat Al- Maidah (ayat 100), satu kali pada surat Yusuf ( ayat
111), satu kali pada surat Ar- Ra`du (ayat 19), satu kali pada surat Ibrahim ( ayat 52), dua
kali pada surat Sad (ayat 29 dan 43), tiga kali pada surat Al-Zumar ( ayat 9, 17, dan 21 ),
satu kali pada surat al Ghafir (ayat 54) dan satu kali pada surat Al- Talaq (ayat 9). Secara
keseluruhan kata ulu alalbāb yang terdapat dalam ayat-ayat di atas memberi kesan,
tafakkur fikhalqillah, tafakkur fiddin, dan takut kepada Allah. Untuk lebih jelas perician
ayat-ayat di atas dapat dilihat dalam uraian berikut:
َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬
ِ ‫اص َحيَاةٌ يَا أُولِي ْاْلَ ْلبَا‬
ِ ‫ص‬
“Dan dalam qishāsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al- Baqarah, 2: 179).
َّ ُ‫َال فِي ْال َحجِّ ۗ َو َما تَ ْف َعلُوا ِم ْن خَ ي ٍْر يَ ْعلَ ْمه‬
ٌ ‫ْال َحجُّ أَ ْشهُ ٌر َم ْعلُو َم‬
َ َ‫ض فِي ِه َّن ْال َح َّج فَ ََل َرف‬
ۗ ُ‫َّللا‬
َ ‫ث َو ََل فُسُو‬
َ ‫ق َو ََل ِجد‬
َ ‫ات ۚ فَ َم ْن فَ َر‬
‫ب‬
ِ ‫ون يَا أُولِي ْاْلَ ْلبَا‬
ِ ُ‫َوتَ َز َّودُوا فَإِ َّن َخي َْر ال َّزا ِد التَّ ْق َو ٰى ۚ َواتَّق‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaikbaik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Qs.
Al-Baqarah, 2: 197)
‫ب‬
ِ ‫ي ُْؤتِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَ َشا ُء ۚ َو َم ْن ي ُْؤتَ ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد أُوتِ َي خَ ْيرًا َكثِيرًا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر إِ ََّل أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
“Allah menganugerahkan al- hikmah (pefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As
Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al- hikmah
itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak(Qs. Al-Baqarah, 2: 269)
ٌ َ‫ب َوأُ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬
ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬
ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬
‫ات ۖ فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما‬
َ ‫هُ َو الَّ ِذي أَ ْن َز َل َعلَ ْي‬
َ ‫ك ْال ِكت‬
ِ ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا‬
َّ ‫تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِ ِه ۗ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِ ََّل‬
‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّ ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا ۗ َو َما‬
ِ ‫َّللاُ ۗ َوالر‬
‫ب‬
ِ ‫يَ َّذ َّك ُر إِ ََّل أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
5
Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Cet. 2,
(Bandung: Mizan, 1989), hal. 27-28.
63
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qurān) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qurān dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah
dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayatayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs. `Ali
Imran, 3: 7)
َّ َ‫ب الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُون‬
ْ ‫ض َو‬
‫َّللاَ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى‬
ٍ ‫ار ََليَا‬
ِ ‫ت ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا‬
ِ ‫اختِ ََل‬
ِ ‫اوا‬
َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫إِ َّن فِي خ َْل‬
ِ َ‫ف اللَّي ِْ ٌّ َوالنَّه‬
ِ ْ‫ت َو ْاْلَر‬
‫ار‬
َ َ‫اط ًَل ُس ْب َحان‬
َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬
ِ َ‫ض َربَّنَا َما خَ لَ ْقتَ ٰهَ َذا ب‬
ِ ‫اوا‬
َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِي خ َْل‬
ِ َّ‫اب الن‬
ِ ْ‫ت َو ْاْلَر‬
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan siasia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka.” (Qs. `Ali Imran, 3: 190-191).
َّ ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر‬
‫َّللاِ َوع َِن الص َََّل ِة ۖ فَهَ ٌّْ أَ ْنتُ ْم‬
ُ َ‫ضا َء فِي ْال َخ ْم ِر َو ْال َمي ِْس ِر َوي‬
َ ‫إِنَّ َما ي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ أَ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ‬
َ‫ُم ْنتَهُون‬
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang
buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar
kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al- Maidah, 5: 100)
‫ي ٌّ ُك ِّ ٌّ َش ْي ٍء َوهُدًى‬
َ ‫ب ۗ َما َكانَ َح ِديثًا يُ ْفتَ َر ٰى َو ٰلَ ِك ْن تَصْ ِدي‬
َ ‫ص‬
َ َ‫لَقَ ْد َكانَ فِي ق‬
ِ ‫ق الَّ ِذي بَ ْينَ يَ َد ْي ِه َوتَ ْف‬
ِ ‫ص ِه ْم ِعب َْرةٌ ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا‬
ِ ‫ص‬
َ‫َو َرحْ َمةً لِقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al Qurān itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Qs. Yusuf, 12: 111)
َّ ‫ب الَّ ِذينَ يُوفُونَ بِ َع ْه ِد‬
ُّ ‫ك ِم ْن َربِّكَ ْال َح‬
َ‫َّللاِ َو ََل يَ ْنقُضُون‬
َ ‫أَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَّ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي‬
ِ ‫ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َم ٰى ۚ إِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
َّ ‫صلُونَ َما أَ َم َر‬
‫صبَرُوا ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِّ ِه ْم‬
َ ‫ْال ِميثَا‬
َ َ‫ب َوالَّ ِذين‬
َ ‫َّللاُ بِ ِه أَ ْن يُو‬
ِ ‫ص َ ٌّ َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَ َخافُونَ سُو َء ْال ِح َسا‬
ِ َ‫ق َوالَّ ِذينَ ي‬
‫ار‬
َ ‫َوأَقَا ُموا الص َََّلةَ َوأَ ْنفَقُوا ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم ِس ًرا َوع َََلنِيَةً َويَ ْد َرءُونَ بِ ْال َح َسنَ ِة ال َّسيِّئَةَ أُو ٰلَ ِئ‬
ِ ‫ك لَهُ ْم ُع ْقبَى ال َّد‬
64
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal
saja yang dapat mengambil pelajaran. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian, orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada
hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka,
secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan;
orangorang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (Qs. Al-Ra`d, 13: 22)
ٌ ‫ٰهَ َذا بَ ََل‬
‫ب‬
ِ ‫اح ٌد َولِيَ َّذ َّك َر أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
ِ ‫اس َولِيُ ْن َذرُوا بِ ِه َولِيَ ْعلَ ُموا أَنَّ َما هُ َو إِ ٰلَهٌ َو‬
ِ َّ‫غ لِلن‬
“(Al Qurān) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka
diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah
Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (Qs.
Ibrahim, 14: 52)
ٌ ‫ك ُمبَا َر‬
‫ب‬
َ ‫ِكتَابٌ أَ ْنز َْلنَاهُ إِلَ ْي‬
ِ ‫ك لِيَ َّدبَّرُوا آيَاتِ ِه َولِيَتَ َذ َّك َر أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (Qs. Sad, 38: 29)
ُ‫ار ٌد َو َش َرابٌ َو َوهَ ْبنَا لَه‬
ٍ ‫ب َو َع َذا‬
ٍ ْ‫ُّوب إِ ْذ نَاد َٰى َربَّهُ أَنِّي َم َّسنِ َي ال َّش ْيطَانُ بِنُص‬
َ ‫َو ْاذ ُكرْ َع ْب َدنَا أَي‬
ِ َ‫ب ارْ ُكضْ بِ ِرجْ لِكَ ۖ ٰهَ َذا ُم ْغتَ َس ٌ ٌّ ب‬
‫ب‬
ِ ‫أَ ْهلَهُ َو ِم ْثلَهُ ْم َم َعهُ ْم َرحْ َمةً ِمنَّا َو ِذ ْك َر ٰى ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَا‬
Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku
diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". (Allah berfirman): "Hantamkanlah
kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". Dan Kami anugerahi dia
(dengan mengumpulkan kembali)keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka
sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orangorang yang
mempunyai fikiran. (Qs. Sad, 38: 41-43)
ٌ ِ‫أَ َّم ْن هُ َو قَان‬
ۗ َ‫اجدًا َوقَائِ ًما يَحْ َذ ُر ْاَل ِخ َرةَ َويَرْ جُو َرحْ َمةَ َربِّ ِه ۗ قُ ٌّْ هَ ٌّْ يَ ْست َِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ ََل يَ ْعلَ ُمون‬
ِ ‫ت آنَا َء اللَّي ِْ ٌّ َس‬
‫ب‬
ِ ‫إِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر أُولُو ْاْلَ ْلبَا‬
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat
dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orangorang yang
65
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Al-Zumar, 39: 9)
َ ‫الَ ِّذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَبِعُونَ أَحْ َّسنَهُ أُولَئِكَ الَ ِّذينَ هَدَاهُ ُم‬
‫ب‬
َ ‫َّللاُ َوأُولَ ِئ‬
ِ ‫ك هُ ْم أُولُو اْلَ ْلبَا‬
“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Al- Zumar, 39: 18)
َ َ‫أَلَ ْم تَ َر أَن‬
‫ض ثُ َم ي ُْخ ِر ُج بِ ِه زَ رْ عًا ُم ْختَلِفًا أَ ْل َوانُهُ ثُ َم يَ ِهي ُج فَت ََراهُ ُمصْ فَرًا ثُ َم‬
ِ ْ‫َّللاَ أَ ْن َز َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَ َّسلَ َكهُ يَنَابِي َع فِي اْلَر‬
‫ب‬
ِ ‫يَجْ َعلُهُ ُحطَا ًما إِنَ فِي َذلِكَ لَ ِّذ ْك َرى ْلولِي اْلَ ْلبَا‬
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari
langit, maka diaturnya menjadi sumbersumber air di bumi kemudian ditumbuhkan- Nya
dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering
lalu kamu melihatnya kekuningkuningan kekuningkuningan, kemudian dijadikan-Nya
hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Al-Zumar, 39: 21)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa;dan Kami wariskan Taurat
kepada Bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang
yangberfikir.” (Qs. Al-Ghāfir, 40: 53-54)
“Dan betapa banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan
Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan
Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan. Maka mereka merasakan akibat yang
buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. Allah
menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orangorang yang mempunyai akal; (yaitu) orang- orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatankepadamu “(Qs. Al- Thalāq, 65: 8-10)
Al-Raghib Al-Asfahani ketika memberikan penafsirannya tentang makna ulu alalbāb yang terdapat dalam ayat-ayat di atas mengatakan bahwa kata al-albāb tersebut
merupakan bentuk plural dari kata al-lub,
yang bermakna
yaitu
"akal pemikiran yang bebas dari kerancuan dan kekeliruan". Lebih jauh Asfahani
memberikan komentar bahwa setiap al lub adalah àql, tetapi tidak mesti setiap àql adalah
66
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
al lub6. Jadi menurut Al-Asfahani al- lub merupakan suatu ‘entitas’ pemikiran yang yang
mengungguli pemikiran yang berlandaskan rasiol belaka (àql).
Pemahaman Al-Asfahani di atas di dukung oleh pendapat M Quraish Shihab dalam
tafsirnya tentang kata al- albāb yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (179). Menurut
Quraish secara leksikal kata
al- albāb
bentuk jamak dari al-lub yang bermakna
itu diambil dari unsur bahasa Arab yaitu
saripati sesuatu. Kacang, misalnya,
memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulu al-albāb adalah orangorang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi
oleh kulit”, yakni kabut
ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Yang merenungkan ketetapan Allah
dan melaksanakannya diharapkan dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolak
ketetapan ini maka pasti ada kerancuan dalam cara berfikir7.
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 197, Quraish memberi pemahaman bahwa
ulu al- albāb adalah mereka yang tidak terbelunggu oleh nafsu kebinatangan atau dikuasai
oleh ajakan unsur debu tanahnya 8 . mempunyai makna “pemilik” atau “penyandang”.
Berarti dalam ayat ini dipahami ulu al-albāb itu orang-orang yang memiliki akal murni,
yang tidak diselubungi kulit, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam cara
berfikir. Yang memahami petunjuk-petunjuk Allah, merenungi ketetapan-ketetapan-Nya,
serta melaksanakannya, itulah yang telah mendapat hikmah9.Dalam surat Ali Imran ayat
190, Quraish memberi makna ulu al-albāb yaitu orang yang (berfikir) merenungi tentang
fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan
dan kekuasaan Allah swt.
Menurut Quraish, ayat ini mirip dengan ayat 164 surat Al-Baqarah:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan". (QS. Al- Baqarah 2:164)
Al -Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān, ( Beirut, Dar Al Maàrifah, tt) hal. 446
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 369
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 407
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 543
6
7
67
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Menurut Quraish, pada surat Ali Ìmran ayat 191, Al Qurān menyebutkan delapan
macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga macam saja. Bagi kalangan sufi, seorang
salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliah. Akan tetapi,
setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika qalbu telah memperoleh kecerahan, maka
kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi
kalbu untuk terjun ke samudera ma`rifah. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan
di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini
adalah bukti-bukti yang terbentang di
langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih
menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa
keagungan Allah swt10. Di sisi lain, ayat 164 Al-Baqarah ditutup dengan menyatakan
bahwa yang demikian itu merupakan,”tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Pada tahap
ini manusia telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian
akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan kata ulu al-albāb11.
Al- Razi memberi makna kata ‘al-lub dalam karyanya “Mukhtar Shuhhah” dengan,
`aql sehingga kata al-labib bermakna orang yang cerdas12. Sedangkan Muhammad Ali AsShabuni memahami ulu al-albāb itu orang yang memiliki pemikiran yang terbebas dari
belenggu nafsu
‫أصحاب العقول المستنيرة الخالصة من الهوى‬
“Orang-orang yang memiliki akal yang tercerahkan yang bebas dari kungkungan
dorongan hawa nafsu.”13
Al Maraghi memahami kata lub seperti dipahami oleh A-Razi yaitu `aql14. Lebih
lanjut al Maraghi menafsirkan ayat 191 dari surat Ali Imran bahwa ulu al-albāb adalah
kalangan yang memiliki akal pikiran yang cemerlang dan memiliki kemampuan penalaran
dan
yang dapat
megamati, memperoleh manfaat,
menjadikan sebagai petujuk dan mampu menghadirkan keagungan Allah serta memiliki
kemampuan untuk selalu mengingat tentang hikmah- hikmah dan anugerah Allah dalam
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291.
12
Imam Muhammad Ibn Abi Bakr `Abdul Qadir al- Razi, Mukhtar Sahah, (Beirut: Dar Al Fikr,
2003), hal.533.
13
Muhammad `Ali Al-Sabuni, Shafwa al- Tafasir, Juz. 1, (Makkah: Maktabah Al Faishaliah, tt) hal.
1170.
14
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 60
11
68
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
setiap aspek kehidupan dalam segala situasi kehidupan mereka
(berdiri, duduk dan tidur)15Mereka adalah orang-orang yang memiliki kualitas intelektual
yang tiggi dan mendalam serta memiliki potensi zikir yang kuat, seraya tunduk kepada
Allah atas segenap kekuasaanNya16.
Imam Ibn Jarir At-Thabary, memberikan interpretasi ulu al-albāb sebagai kalangan
yang mampu membedakan antara yang benar dan yang bathil dan meiliki kemampuann
memahami serta mengetahui17.Mereka tidak tergoyahkan oleh dorongan nafsu
serta
mampu memilah yang terbaik diantara berbagai pilihan18.
Bagi kalangan sufi, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan
banyak argumen akliah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu
telah memperoleh kecerahan, maka kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang,
bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudera ma`rifah.
Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di
langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah bukti-bukti yang terbentang di
langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, serta lebih cepat
mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan Allah swt19. Di sisi lain, ayat 164 AlBaqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan,”tanda-tanda
bagi orang yang berakal”. Pada tahap ini manusia telah berada pada tahap yang lebih tinggi
dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan kata
ulu al-albāb20.
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya The Holy Qur`an mendefinisikan ulu al-albāb
sebagai orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam (men of understanding).
Definisi yang yang diberikan Yusuf Ali ini terlihat jelas ketika dia memberikan
interperetasi terhadap ayat 100 surat Al Maidah:
"People often judge by quantity rather than quality. They are dazzled by numbers: their
hearts are captured by what they see everywhere around them.But the man of
understanding and discrimination judges by a different standard. He knows that good and
15
14Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 163
Haedar Nashr, Intelektualisme Muhammadiyah, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 53
17
Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Jami` Al Bayan, Juz. 3, (Beirut: Dar Fikr, 2001), hal. 252
18
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz. 8, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal 156.
19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291.
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 2, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 291.
16
69
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
bad things are not to be lumped together, and carefully chooses the best, which may be
scarcest, and avoid the bad, though evil may meet him at every step.”21
Komentar yang diberikan Abdullah Yusuf Ali di atas sejalan dengan tafsir Syekh
Muhammad Al-Ghazali. Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam rutinitas kehidupan, kita
cenderung mengutamakan aspek kuantitas namun menafikan aspek kualitas. Padahal
pilihan yang ideal kita harus selalu memprioritas aspek esensial/ kualitas.Muhammad
Al-Ghazali 22menegaskan: ‫الكيف أعظم من الكم‬
“Kualitas jauh lebih besar dari pada kuantitas.”
Dodi Tisna Amidjaya menafsirkan ulu al- albāb sebagai cendikiawan Muslim.
Seorang ulu al-albāb , senantiasa tumbuh menjadi seorang pembaharu dalam masyarakat
karena proses berfikirnya yang telah terlatih untuk bertanya. Dengan sikap dan cara
pendekatan yang obyektif dan berdasarkan metode ilmiah, mereka selalu mempertanyakan
sesuatu dalam usaha mencapai kebenaran hakiki. Itulah sebabnya ulu al-albāb dalam
konteks cendikiawan seringkali tampil sebagai pengeritik dalam masyarakatnya23. Karakter
lain yang dapat membedakan
ulu
al-albāb dalam konteks cendikiawan pada
kegelisahannya, kritis terhadap masalah dan selalu ingin tahu terhadap persoalan-persoalan
yang menimpai subjek didik dan masyarakat. Kepekaan ulu al-albāb seperti disebutkan
dalam kontek ayat di atas, dituntut selalu menyampaikan pesan-pesan pendidikan dan
mengayomi masyarakat ke jalan yang benar. Mereka selalu bertanya dan berfikir terhadap
penomena alam, fenomena subjek didik dan kehidupan masyarakat dengan menggunakan
metode ilmiah. Dari metode itulah dihasilkan kebenaran yang terkadang bertentangan
dengan praktek kehidupan, adanya kebenaran ilmiyah tersebut boleh jadi membuka
pemikiran ulu al-albāb ke arah kemajuan dalam menyelesaikan problema pendidikan dan
masyarakat.
Sifat keingintahuan seorang ulu al-albāb dalam kontek cendikiawan, seperti
disebutkan di atas, terlebih dahulu telah disebutkan secara panjang lebar oleh Al-Qurān.
Al-Qurān menyebutkan karakter yang dimiliki oleh seorang ulu al-albāb adalah banyak
berzikir (3: 190); sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu (12: 111, 39: 18),
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qurān and Commentary,(Mekkah Al- Mukarramah: King Fahd
Holly Quràn Printing Complex, tt), hal. 319.
22
Muhammad al-Ghazali, Khuthab…, hal 389
23
AM. Saefuddin, Fenomena…, hal. 54-46. 24Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim AlTurmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub, ( Kairo, Markaz al-Kitab wa
al-Nasyr, 1998), hal. 57
21
70
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
bersungguh- sungguh dalam mencari ilmu (3: 7), dengan merenungkan ciptaan Allah di
langit dan di bumi (3: 190, 39: 21) dan mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan
Allah (38: 29, 40: 54), dan selalu berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada
masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (14: 52).
Abi `Abdillah Muhammad bin Ali Al Hakim Al Turmizi meyatakan bahwa kata allub yang merupakan bentuk singular dari kata albāb memiliki makna dasar sebagai
yaitu sebaagi gunung yan menjulang dan tempat /maqam yang paling ideal, yang akan
menjadi pilar yang tak tergoyahkan dalam kehidupan spitual keagamaan. Levelitas “al
lub" tidak akan dapat dicapai kecuali oleh pribadi yang selalu konsisten dengan keimanan
dan ketakwaan24.
Ziauddin Sardar memaknai kata ulu al-albāb itu dengan cendikiawan Muslim, yaitu
golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilainilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin. Orang-orang berpendidikan saja
tidak dengan sendirinya dapat disebut sebagai intelektual. Para insiyur, akuntan dan dokter
bukanlah intelektual; sering mereka tidak begitu tentang hal-hal lain di luar masalah teknik
mesin, akuntansi, dan obat-obatan25.
Cara pemikiran yang menodai para intelektual itu bukanlah cabang ilmu atau
teologi, melainkan ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilainilai budaya mereka. Inteligensia Muslim adalah segolongan masyarakat Muslim
berpendidikan yang pegangannya atas ideology Islam tak perlu diragukan.
Dari semua penjelasan ayat di atas, dapat dipahami bahwa makna ulu al-albāb itu
indentik dengan cendikiawan ( memiliki kemamuan intelktual yang tinggi) serta memiliki
etos yang kuat dalam memberikan tanwir (pencerahan) dalam kehidupan masyarakat.
Proses pencerahan ini akan terealisir hanya melalui pendidikan, dan pendidik meruapakan
pilar utama dalam mewujudkannya. Mereka mempunyai tanggung jawab moral dalam
mendidik, dan mengubah watak masyarakat dari kebiasaan- kebiasaan buruk menjadi baik.
Soetjipto Wirosardjono dalam perspektif antropologis memberikan makna terma
ulul albab itu dengan cendikiawan Muslim yakni, “…para intelektual yang berakar budaya
AM. Saefuddin, Fenomena…, hal. 54-46. 24Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim AlTurmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub, ( Kairo, Markaz al-Kitab wa
al-Nasyr, 1998), hal. 57
25
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1989), hal.
88-89.
24
71
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Islam dan menjadikan ajaran Islam sebagai pelita penggerak semangat pengorbannanya
dalam memperjuangkan kemaslahatan di dalam kehidupan masyarakat26.
Seorang cendikiawan atau para pendidik yang telah dipilih dan dikategorikan alQuran menjadi ulu al-albāb harus memiliki karakter berbeda dengan yang lain. Di antara
karakter itu adalah berakhlak mulia, peka terhadap persoalan-persoalan yang menimpa
dunia pendidikan dan rela berkorban dalam mempertahankan agama atau kebenaran.
Abuddin Nata memahami ulu al-albāb adalah sebagai orang yang mampu
mempergunakan fungsi berfikir yang terdapat dalam ranah kognitif dan fungsi mengingat
yang terdapat pada ranah afektif. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang
kemampuan
intelektualnya,
menguasai
ilmu
penegetahuan
dan
teknologi
serta
emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepad Allah
dalam arti yang seluas-luasnya27.
Terkait dengan masalah ini, Soetjipto, M.M. Rachmat Kartakusuma memberi
makna
tentang ulu al-albāb, menurutnya ulu al-albāb adalah yaitu orang yang pada waktu-waktu
tertentu mengambil jarak dengan hidup serta kehidupan, dengan masyarakat dan diri
sendiri,
untuk merenungkannya, dan menganalisanya. Dia memerlukan ‘erudasi’, terpelajar dan
berpengetahuan umum yang luas. Dengan demikian, ulu al-albāb mestilah seorang
“generalis”, bukan “spesialis” dalam suatu cabang ilmu tertentu. Selanjutnya ia harus
memiliki daya fikir atau intelegensia yang kuat, daya pengamat (observasi) yang tajam,
daya analisa dan sintesa. Karena itu ulu al-albāb bukan saja seringkali tetapi malah selalu
menjadi perintis perubahan zaman. Perbedaannya dengan yang lain terletak pada kadar
perubahan itu. Ada yang revolusioner dan spektakuler, ada yang tidak. Cendikiawan adalah
pembaharu dan pembimbing masyarakat. Itu semua terjadi karena ras tanggung jawanya
dalam hidup ini. Orang yang tidak memiliki rasa tersebut bukan cendikiawan, akan tetapi
hanya intelectueel jongleur, tukang sulap intelektual, ahli kata, silat kata dan pikiran.”28
Abuddin Nata memahami ulu al-albāb adalah sebagai orang yang mampu
mempergunakan fungsi berfikir yang terdapat dalam ranah kognitif dan fungsi mengingat
26
Soetjipto Wirosardjono, Cendikiawan Islam Indonesia Masa Kini, Pemikiran dan Peranannya,
“Panji Masyarakat”, no. 630, 23 Rabi’ul Akhir- 2 Jumadil awal 1410 H, 21-30 desember 1989, hal. 50.
27
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2002), hal. 139
28
M. M. Rachmat Kartakusuma, Serba Pandangan Tentang Peranan
Cendikiawan,
“PRISMA”, NO. 9, November 1976, tahun ke-5, hal. 47-48.
72
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
yang terdapat pada ranah afektif. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang
kemampuan
intelektualnya
menguasai
ilmu
penegetahuan
dan
teknologi
serta
emosionalnya dan mampu mempergunakan semuanya itu untuk berbakti kepad Allah
dalam arti yang seluas-luasnya29.
Seorang yang memiliki kualitas ulu al-albāb adalah yang terdidik dan terlatih serta
tidak hanya terbatas pada memikirkan melainkan selalu berusaha mengadakan perubahan,
pembaharuan, dan membimbing masyarakat ke arah yang lebih maju. Untuk mencapai ke
arah itu, harus bersedia mengorbankan dan mempersembahkan segala potensi yang
dimilikinya demi kepentingan subjek didik dan masyarakat.
C. Padanan Ulu al-Albāb Dalam Al-Qurān
1. Al-Fu’ad
Kata al-fu’ad terbentuk dari unsur kata fada yang berarti humma wa syiddah wal
hararahm (penyakit panas dan sangat panas). Secara leksikal kata tersebut berarti asaba
fu’āda alda` wa al-khawf (penyakit dan rasa takut menimpa hatinya)30.
Kata al-fu’ād itu juga terdapat 16 kali di dalam al-Qurān, seluruhnya tercantum
dalam
surat Makkiyah dengan rincian: 3 kali kata alfu’ād, 2 kali kata fu’āduka dan 8 kali kata
alafidah, dan 3 kali kata al-fidatahum31.
Berpijak dari deskripsi di atas, diperoleh beberapa informasi; pertama, terma alfu’ād
termaktub dalam bentuk kata benda. Kedua, kata al-fu’ād itu merupakan salah satu fasilitas
yang berfungsi tempat melahirkan ilmu. Untuk membuktikan bahwa kata al-fu’ad
mempunyai hubungan dan persamaan makna dengan kata al-lub, dapat dilihat dalam surat
al- `Arāf (179), yaitu:
ٌ ‫ْصرُونَ بِهَا َولَهُم ْم آ َذ‬
ۚ ‫ان ََل يَسْم َمعُونَ بِهَما‬
ِ ‫س ۖ لَهُ ْم قُلُوبٌ ََل يَ ْفقَهُونَ بِهَا َولَهُ ْم أَ ْعي ٌُن ََل يُب‬
ِ ْ ‫َولَقَ ْد َذ َر ْأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِمنَ ْال ِجنِّ َو‬
ِ ‫اْل ْن‬
َ‫ك هُ ُم ْالغَافِلُون‬
َ ِ‫ض ٌُّّ ۚ أُو ٰلَئ‬
َ َ‫أُو ٰلَئِكَ َك ْاْلَ ْن َع ِام بَ ٌّْ هُ ْم أ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayatayat
29
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2002), hal. 139
Fuad `Abdul Baqi`, Mu`jam…, hal. 549- 551.
31
Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasit, (Kairo: Dar al-Kutb, 1972), hal. 671.
30
73
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidakdipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”, (Qs. Al- Àrāf: 7: 179).
Pada ayat tersebut menjelaskan keadaan manusia ketika pertama sekali terlahir ke
dunia. Manusia tidak mengetahui apa-apa, dia tidak mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk. Dia pun tidak dapat membedakan mana yang berguna dan yang tidak berguna.
Seiring dengan perkembangan masa, Allah menjadika ia telinga, mata dan fu’ād yang
diwarisinya sejak ia lahir ke dunia.
Ulasan ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan fu’ād bagi
perkembangan
pemikiran manusia. Karena itu, ia harus dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika
manusia tidak memfungsikannya dengan baik, mengikuti bisikan syaithan dan hawa nafsu,
dengan kata lain bila seseorang yang telah Allah berikan fasilitas pemahaman (fu’ād) tetapi
masih mengedepankan hawa nafsunya maka dia akan terjerumus ke dalam kehinaan
2. Al-Qalb
Kata al-qalb dalam al-Qurān dapat ditafsirkan dengan sikap atau karakter. Hal ini
dapat dijumpai dalam surat `Ali `Imrān ayat 159:
َّ َ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمن‬
ۖ ‫اورْ هُ ْم فِي ْاْلَ ْم ِر‬
َ ِ‫ب ََل ْنفَضُّ وا ِم ْن َحوْ ل‬
ِ ‫َّللاِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًا َغلِيظَ ْالقَ ْل‬
ِ ‫ك ۖ فَا ْعفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش‬
َّ ‫َّللاِ ۚ إِ َّن‬
َّ ‫فَإِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ٌّْ َعلَى‬
َ‫َّللاَ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِين‬
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS.Ali Ìmran: 3:159)
Ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., berkenaan dengan sikap
sebagian para sahabat di saat menghadapi peperangan. Ternyata tidak sedikit di antara
mereka yang bersikap acuh terhadap ajakan Nabi saw. Kendatipun mereka bersikap
demikian, Nabi saw., tetap bersabar menghadapi sikap mereka. Perintah terhadap
Rasulullah agar bersikap lemah lembut di atas, adalah karena tujuan diutusnya Nabi
Muhammad saw. adalah untuk menyampaikan pesan risalah syari’ah serta ajaran-ajaran
74
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Allah baik dalam rangka pengoptimalan potensi intelensia maupun pemenuhan aspek
spritual manusia (yatlu àlaihim ayātihi wa yuzakkihim wa yuàllim alkitāba wa al-hikmah) .
Misi tersebut tidak akan memperoleh hasil yang baik, kecuali jika mereka yang
menerima ajakan tersebut bersikap simpati dan penuh perhatian terhadap Nabi saw., dan
merasakan ketenangan dengan menerima ajaran tersebut. Ayat tersebut merupakan ajaran
bagi
ummat Islam agar konsisten dalam mengakkan amar ma`ruf nahi mungkar (menyeru
kepada kebajikan dan mencegah perbuatan keji) dengan sikap yang lemah lembut dan
sabar dalam menghadapi respon audien/ masyarakat. Karena hanya dengan sikap tersebut
seseorang akan memperoleh respon yang positif dan simpati baik terhadap dirinya maupun
terhadap pesan-pesan serta ajaran yang disampaikannya.
3. Al-Nuhā
Kata al-Nuhā juga memiliki makna yang paralel dengan albāb32. Di dalam alQuran,
kata tersebut terdapat dua kali. Kedua ayat tesebut terdapat dalam surat Thaha ayat 54 dan
128, :
‫ ُكلُوا َوارْ عَموْ ا‬.‫ت َشتَى‬
َ َ‫ض َم ْهدًا َو َسل‬
ٍ ‫ك لَ ُك ْم فِيهَا ُسبَُل َوأَ ْن َز َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَأ َ ْخ َرجْ نَا بِ ِه أَ ْز َواجًا ِم ْن نَبَا‬
َ ْ‫الَ ِّذي َج َع َّ ٌّ لَ ُك ُم ااْلَر‬
‫ت ْلُولِي النُهَى‬
َ ِ‫أَ ْن َعا َم ُك ْم إِنَ فِي َذل‬
ٍ ‫ك َليَا‬
"Makanlah dan gembalakanlah binatang- binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian
itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi
orang-orang yang
berakal. (QS.
Thaha, 20:54)
‫ت ْلولِي النُهَى‬
َ ِ‫ُون يَ ْم ُشونَ فِي َمسَّا ِكنِ ِه ْم إِنَ فِي َذل‬
ٍ ‫ك َليَا‬
ِ ‫أَفَلَ ْم يَ ْه ِد لَهُ ْم َك ْم أَ ْهلَ ْكنَا قَ ْبلَهُ ْم ِمنَ ْالقُر‬
"Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami
membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas- bekas)
tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda bagi orang yang berakal. (QS.Thaha, 20:128)
Secara etimologis al-Nuhā itu merupakan derivasi nahiya-yanhā, yang merupak
bentuk plural dari ‫نمهية‬
yang bermakna melarang. Sehinga dari tinjauaan etimologis
dapat di pahami bahwa kata al-Nuhā dalam al-Qurān yang di idhafahkan dengan kata ulu
sehingga menjadi ulu al-Nuhā mempunyai makna sebagai orang-orang yang memiliki akal
32
Yusuf Qardhawi, Al-`Aql wa al-`Ilm fi
1996), hal. 22.
75
al- Qurān al-Karim, Cet. 1, (Kairo: Maktabah wahbah,
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
yang jernih dan daya fikir yang kuat33 Sehingga mereka memiliki kemampuan berfikir
menganalisa dan mengambil konklusi baik dalam pemikiran maupun perilaku selalu berada
dalam paradigma Ilahi. Hal itu, disebabkan potensi yang telah mereka miliki mampu
mencegah mereka untuk berbuat yang tidak sesuai dengan kehendak syari`at.
Dalam ayat 54 di atas,Al-Qurān literatur bahasa Arab memiliki kaitan makna
menjelaskan, seseorang yang memiliki karakter ulu al-Nuhā akan memiliki kemampuan
untuk menata kehidupan di bumi ini dengan sangat baik. Dalam ayat tersebut Al-Qurān
menggunakan kata mahdan yang memiliki makna buaian/ayunan. Ini memiliki pemahaman
bahwa ulu al-nuhā berhasil menjadikan kehidupan dibumi ini sebagai tempat yang penuh
ketenagan dan
kedamaian.
Selanjutnya
kata
wa salaka lakum subulan
juga
mengisyaratkan, ulu al-Nuhā memiliki kapasitas untuk menempuh jalan dan sistem dalam
proses kehidupan ini.
Ada yang menarik dalam ayat di atas, ketika Allah memaparkan tentang bumi
berikut segala kehidupan flora diatasanya, Al- Qurān menyebutkan “ kulu war`au
an`amakum, (makanlah kamu apa yang ada diatas permukaan bumi, dan gembalkan
ternakmu). Ini dapat dipahami, kalau Allah memerintahkan ulu al-nuhā untuk
mencukupkan kebutuhan gembalannya, maka secara filosofis dapat dikonklusikan AlQurān juga menyatakan, ulu al-nuhā semestinya lebih bertanggung jawab untuk
mengayomi serta mengarahkan dan menata kehidupan masyarakatnya.
4. Hijrun
Kata hijr dalam al-Qurān hanya terdapat satu kali. Secara bahasa kata tersebut
bermakna “batasan atau penghalang”. Para ulama tafsir memberika makna hijr sama denga
àql, karena potensi hijr yang dimiliknya akan mencegah ia untuk terjerumus kedalam
perbuatan yang tercela dan durjana34.` Binti Syathi` menyebutkan kata hijr dalam dalam
literatur bahasa Arab memiliki kaitan makna yang sama dengan ‫ الحجر‬dan ‫ الحجرة‬yaitu batu
dan kamar. Batu memiliki unsur yang sangat keras, karena itu orang Arab menggunakan
batu sebagai matrial untuk menahan aliran air ke dalam suatu telaga. Sebagaimana
76
33
Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, (Kairo: Dar al- Maàrif, juz. 9, tt), hal. 116
34
Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, (Kairo: Dar al- Maàrif, juz. 15, tt), hal. 384
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
penggunaan kata ‫ الحجرة‬yang tersekat oleh dinding sehingga dapat memisahkan seseorang
dengan orang lain35.
Di dalam al-Qurān kata hijr hanya satu kali yaitu dalam surat Al-Fajr (5);
“Tidakkah itu semua menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”( Qs.
Al- Fajr: 89: 5)
Dalam ayat tersebut kata hijr diidhafahkan dengan kata dzawi yang bermakna
orang-orang yang “memiliki”. Jadi dalam konteks ayat tersebut kata hijr bermkna orangorang yang memiliki akal pemikiran. Para mufassir menginterpretasikan bahwa
penggunaan kata hijr dalam ayat di atas memiliki makna filosofis yaitu orang-orang yang
telah memiliki pemikiran yang benar akan terhindar dari kerancuan berfikir. Lebih jauh
para mufasir menjelaskan bahwa jika dilihat dari konteks kata, hijr tersebut memiliki
makna orang-orang yang mempunyai pemikiran akan mampu melakukan refleksi terhadap
ciptaan Allah swt serta berbagai peristiwa sejarah yang telah yang pernah terjadi. Dalam
ayat itu juga, menisyaratkan dzawil hijr akan menemukan pesan-pesan moral dari
kehidupan kaum `Ad, Thamud dan Fir`aun.
5. Al- Absār
Kata
absār
merupakan
derivasi
dari
basharayabshuru
yang
bermakna
“melihat”36.Kata tersebut terdapat dalam surat `Ali `Imran (13).
َّ ‫ي ْال َعي ِْن ۚ َو‬
َّ ٌّ ‫ي‬
‫َّللاُ يُ َؤيِّ ُد بِنَصْ ِر ِه َم ْن‬
َ ‫َّللاِ َوأُ ْخ َر ٰى َكافِ َرةٌ يَ َروْ نَهُ ْم ِم ْثلَ ْي ِه ْم َر ْأ‬
ِ ِ‫قَ ْد َكانَ لَ ُك ْم آيَةٌ فِي فِئَتَي ِْن ْالتَقَتَا ۖ فِئَةٌ تُقَاتِ ُ ٌّ فِي َسب‬
‫ار‬
َ ِ‫يَ َشا ُء ۗ إِ َّن فِي ٰ َذل‬
َ ‫ك لَ ِع ْب َرةً ِْلُولِي ْاْلَ ْب‬
ِ ‫ص‬
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu
(bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka.
Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." (QS.
Ali Ìmr ān:3:13).
Dalam konteks ayat tersebut Allah menggambarkan dua kelompok yang memiliki
ideologi dan paradigma yang secara diameteral sangat berbeda, yaitu orang-orang kafir
Àisyah Àbd Al- Rahman Binti Syathi`, Al- Tafsir Al- Bayāni Li Al- Qurā`n Al- Hakim,(Kairo:
Dar Al- Maàrif, juz II, 1968), hal. 137.
36
Abu Hilal Al-`Ashkari, Al-Furuq Al- Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003),
35
77
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
dan orang-orang Mu’min. Pola kehidupan kedua kelompok tersebut akan hanya dapat
dipahami oleh orang-orang yang memiliki karakter ulil abshar37.
Muhammnad Ali Al- Shabuni, menjelaskan bahwa sabab al- nuzul ayat di atas
adalah ketika Rasulullah kembali ke Medinah pasca perng Badr, beliau berbicara
dihadapan Yahudi di Medinah, dan mengajak mereka bergabung kedalam agama Islam.
Namun seruan Rasulullah saw tersebut ditanggapi secara arogan. Mereka mengatakan,
kekuatan militer mereka dan pengalaman tempur yang mereka miliki jauh di atas
kemampun kaum Quraisy yang baru saja ditaklukan kaum Muslimin. Karena itu mereka
menantang Rasullullah saw di medan tempur. Lebih lanjut Ali Al- Shabuni memberi
penafsiran ulu al- abshār (orang– orang yang memiliki yang bersih dan pemikiran yang
lurus) yang akan dapat mengambil pelajaran (`ibrah) dari suatu peristiwa. Mereka sadar
kemenagan yang dipereoleh pasukan Muslimin dalam peetempuran dengan kaum kafir,
tidakllah ditentukan oleh kuantitas/ jumlah pasukan yang banyak. Kesuksesan itu diperoleh
melalui kualitas iman dan etos serta skill yang cukup dan terutama bantuan Allah sebagai
respon sang Khalik terhadap pengabdian yang intens dan ikhlas dari hambaNya38.
Sedangkan dalam surat al-Nur ayat 44,:
َّ ُ‫يُقَلِّب‬
‫ار‬
َ ِ‫َّللاُ اللَّ ْي َ ٌّ َوالنَّهَا َر ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل‬
َ ‫ك لَ ِع ْب َرةً ِْلُولِي ْاْلَ ْب‬
ِ ‫ص‬
"Allah mempergantikan malam dan siang.Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat
pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (QS. Al- Nur 24:44)
Dalam ayat 44 di atas Al-Qurān menggunakan lafadz al-‘ibrah sebagai potensi bagi
uli al-absār untuk mengambil pemahaman terhadap penomena alam, seperti pergantian
malam dan siang, penguapan udara, dan pergantian musim. Demean memiliki korelasi
makna demean ayat sebelumnya ayat 43, Semua itu akan mengantarkan uli al-absār
melakukan hubungan vertikal dengan Khaliqnya.
6. al- Zikr
Dalam al-Qurān kata al-Zikr terdapat beragam bentuk, namun hanya dua tempat
kata al-zikr tersebut diidhafahkan dengan kata ahl, yang bermakna orang-orang yang
memiliki39. Dengan kata ahl al-zikr bermakna orang-orang yang memiliki pengetahuan.
Ibn Katsir, Tafsir Qurān al-`Azim, Juz. 1, (Kairo: Al- Maktabah al- Thaqafy, 2001), hal.243
Muhammad Àli Al- Shabuni, Shafwah Al- Tafāsir, juz I, ( Makkah Al- Mukarramah: AlFaishaliyah, tt), hal. 188.
39
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Vol. 8, (Beirut: Dar Fikr, 1979)
37
38
78
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Al- Qurān menjelaskan bahwa ahl zikr memiliki otoritas untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat. Ungkapan al-Qurān dalam surat al- Nahl ayat 43,:
ً ‫ك إ ِ ََّل رِ َج‬
ْ ‫اَل ن ُ و ِح ي إ ِ ل َ ي ْ هِ ْم ۚ ف َ ا‬
‫س أ َل ُ وا أ َ ه ْ َ ٌّ ال ذِّ ْك رِ إ ِ ْن كُ ن ْ ت ُ ْم ََل ت َ ْع ل َ ُم و َن‬
َ ِ ‫َو َم ا أ َ ْر سَ ل ْ ن َا ِم ْن ق َ ب ْ ل‬
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalahkepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidakmengetahui" (Qs. Al- Nahl: 16: 43)
Demikian sebaliknya, Al-Qurān mengisyaratkan bahwa seseorang harus berguru
dan bertanya terhadap sesuatu informasi kepada orang yang tidak diragukan lagi otoritas
keilmuannya. penggunaan uslub ‘amar
(
)dalam ayat di atas
mengindikasikan
bahwa ilmu itu harus dirujuk pada ahlinya. Hanna Jumhana Bustaman ketika menafsirakan
ayat diatas dari perspektif psikologis mengatakan ahl al- zikr adalah mereka yang benarbenar memahami konsepsi zikrullah baik secara teoriis maupun praktis, mereka telah
benar-benar meneliti, membuktikan dan mengamalkan, disamping maengamalkan ibadahibadah yang lain40.
7. `Aqala
Term akal merupakan pola kata mashdar yang terderivasi dari kata . Kalau
kita merujuk pada kepada kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata `aqala bermakna
mengikat dan menahan.. Sehingga dalam komunikasi bahasa arab Orang Arab terdapat
ungkapan:
Al-`Aqil adalah orang yang mampu menahan dirinya
dan membentengi diri dari nafsunya. Juga terdapat dalam ungkapan mereka: “apabila
seseorang mampu menahan lidahnya untuk tidak ngomong41.
Demikian juga untuk menyatakan menahan orang dalam penjara juga digunakan
yaitu `itaqala
dan tempat tahanan dengan mu`taqala
kata yang merupakan
derivasi dari kata `aqala42.
40
Hanna Jumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, (Yakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hal. 162.
Faimah Ismail Muhammad Isma`il, Al- Qurān wa `Aql- Nadar al-`Aqli, (Herndon USA: Ma`had
`Almi Lilfikri al Islamy,1992), hal. 49
41
42
79
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Cet. 2, ( Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Ibn Mandur43 menyebutkan
menahan
,
Qusaiyen
beberapa makna dari kata
mengekang
`aqala, antara lain
memberikan makna kata akal memahmi, dan
kebijaksanaan, pemahaman
menyebutkan
ungkapan Selanjutnya Ibn Manzur
menjelaskan, kata `aqal juga berarti memahami:
. Kamus Al- Muhith
mendefiniskan kata al-`qlu dengan: ilmu atau pengetahuan tentang sifat sesuatu baik dari
segi positif maupun aspek negatif44.
Di dalam al Qurān tidak terdapat
kata
al- `aqlu
ٌّ ‫ العقم‬dalam bentuk kata
Ini mengisyaratkan bahwa Al-Qurān ingin menjelaskan bahwa berfikir dengan
benda.
`aqal adalah kerja dan terus menerus dan bukan hasil perbuatan. Menurut Baharuddin
Kata- kata tersebut berbentuk `aqala dalam dalam 1 ayat, ‫ تعقلمون‬dalam 24 ayat dan ‫يعقلمون‬
dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat
dan 49 ayat45.
Prof Izutsu, sebagaimana dikutip Harun Nasution menyatakan, bahwa pada masa
Jahiliyah kata `aqal digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang
dalam terma psikologi modern dikenal dengan istilah kecakapan memecahkan masalah
(problem solving capacity). Menurut Isutzu orang berakal adalah orang yang memiliki
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, dan sekaligus dapat melepaskan diri dari bahaya
yang dia hadapi. Kebijaksanaan praktis seperti ini sangat dihargai dalam kehidupan orang
Arab di zaman Jahiliyah46.
Dari beragam makna diatas, kita melihat para sarjana bahasa Arab memahami
makna al- `aql dengan dua pengertian, segi idikasi lafad bermakna pemahaman, ilmu dan
dari segi praktis
yaitu
sebagai
kemampuan membedakan antara yang baik dan
yang buruk.
D. Kriteria Ulu Al-Albab
Sebagimana telah dijelaskan diatas, terma ulu al-albāb merupakan bentuk plural
dari al- lub, yang merupakan derivasi dari kata labba yang berarti aqama `la `l-amar (
berpergang pada suatu perkara), al-luzum thubut wa al- khālis ( konsisten, konsekwen dan
sesuatu yang murni). Misalnya ungkapan al- rajul labba bi hāzihi al- amr ( orang itu
43
Ibnu Manzur, Lisan Al- `Arab.
44
Al Fairuzbadi, Al-Qamus al-Muhit, Juz. 4, (Kairo: Mathba`ah Dar al-Sa`adah, 1913), hal. 18
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 217.
46
Harun Nasution, Akal…, hal 7.
45
80
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
konsisten dalam menghadapi masalahnya). Secara leksikal kata al- lub berarti al- khālis wa
al- lkhiyār ( Sesutu yang murni dan terpilih). Yang utama dari sesuatu disebut al-lub. Juga
disebut iqāmah wa al- luzum (konsisten dan konsekwen)47.
Dalam al- Qur`ān, ulu al-albāb, memiliki beragam arti tergantung dari kontek
penggunaannya. Dalam A Concordance of the Qur`ān, Hanna E. Kassis , sebagaimana
yang dikutif oleh Dawam Raharjo kata ulu al- albāb bisa mempunyai beberapa arti48:

orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam

orang yang mempunyai perasaan (hearth), yang peka, sensitif atau yang halus
perasaannya,

orang yang memiliki daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat,

orang yang memiliki pandangan yang mendalam atau wawasan (insight) yang
luas, dan mendalam

orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas dan
orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran,
dengan pertimbangan- pertimbagan yang terbuka dan adil
Para mufassir memahami ungkapan ulu al- albāb yang digunakan Al-Qurān dengan
uslub takhsis
) sebagaimana terdapat dalam surat Al-Ra`d: 19,
ُ ‫ك ْال َح‬
‫ب‬
َ ِ‫ك ِم ْن َرب‬
َ ‫أَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي‬
ِ ‫ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َمى إِنَ َما يَتَ َّذ َك ُر أُولُو اْلَ ْلبَا‬
mengindikasikan bahwa kapasitas intelektual dan kesadaran spiritual mereka yang
cemerlang menempatkan mereka pada posisi hamba Allah yang terbaik di sisi-Nya.
Mereka juga menjelaskan bahwa ulu al-albāb itu sosok yang memiliki ketaqwaan dan
integritas moral49.
Saiyed Quthub sebagaimana dikutip Quraish Shihab memberikan
komentar tentang ayat diatas bahwa dikontardiksikan penyebutan lafadh ulu al-albāb
dengan àma (orang yang buta) bukan dengan orang yang tidak mengetahui, merupakan
salah satu indikasi bahwa hanya kebutaan hati yang menjadikan seseorang menolak
hakikat yang sangat jelas yang ditawarkan oleh ajaran Islam. Manusia ketika menghadapi
hakikat kebenaran terdiri dari dua kelompok yaitu mereka yang melihat sehingga
mengetahui dan yang buta sehingga tidak mengetahui50.
47
48
49
50
81
Luis Ma`luf, Al- Munjid Fi Al- Lughah Wa al- `Alam, ( Beirut: Dar al- Fikr, 1986), hal. 711
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qurān, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 557
Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma`ani, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 8, 2001); hal. 320
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 6, (Bandung: Lentera Hati, 2000), hal. 577.
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Dari ayat diatas dapat dipahmi bahwa ull- albāb akan bersedia mendengarkan dan
bersikap terbuka terhadap informasi
pihak lain. Dia menyadari bahwa diri sendiri
mustahil mampu meliputi seluruh ilmu pengetahuan dan kebenaran. Namun dengan
kemampuan pemikiran (mind) dan perasaan (hearth), yang dimilikinya, dia akan bertindak
selektif dalam menyeleksi setiap masukan informasi serta berhasil menemukan apa yang
paling baik diantaranya. Thabathabaì memahami makna
dari surat al- Zumar :
18, bahwa ulu al-albāb adalah sosok yang memiliki karakter yang
selalu terobsesi dan konsern mencari kebenaran. Mereka senantiasa terus menerus
menginginkan
petunjuk
dan
sasaran
kenyataan.
Konsekwensinya
dalam
setiap
pengembaraan intelektualnya, ulu al-albāb menemukan haq dan bathil atau petunjuk dan
kesesatan, mereka sungguh-sungguh mengikiuti petunjuk itu sambil meninggalkan yang
bathil dan sesat. Demikian juga, setiap mereka menemukan yang benar dan
benar (
lebih
), atau petunjuk dan sesuatu yang lebih banyak dan tepat petunjuknya, maka
mereka akan mengambil yang lebih benar dan lebih banyak petunjuknya. Kebenaran
dan petunjuklah yang selalu mereka dambakan, dan karena itu mereka dengan penuh
perhatianm menyimak dan menganalisa setiap pernyataan dan ide. Mereka tidak serta
merta menolak dan apriori terhadap suatu ucapan karena mengikuti hawa nafsu dan tanpa
memikirkan dan memahaminya51. Pemahaman yang terkandung dalam ayat diatas sejalan
dengan pesan moral yang terkandung dalam surat Al-Hujarat, 49: 6 , yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”(Qs. Al-Hujarat, 49: 6).
Kriteria dan sikap ulu al-albāb yang terdapat dalam QS. Al- Zumar: 18 di atas
mempunyai hubungan paralelitas makna dengan kandungan ayat surat al – Maidāh ayat
100,:
51
M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al- Qurān, Juz. 6, (Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991), hal.
156
82
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
“Katakanlah:"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk
itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu
mendapat keberuntungan."(Qs. Al- Maidah, 5: 100)
M. Quraish Shihab mengatakan, dari ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah swt
mengingatkan hambanya bahwa dalam hidup ada yang baik dan ada yang buruk. Ada
tuntunan Allah dan ada bisikan setan dan rayuan nafsu. Demikian juga Allah menuntun
hambaNya agar kuantitas tidak membuat mereka terkesima dan terpedaya, sehingga
mereka meniggalkan yang baik karena kuantitasnya sedikit52.
Mereka senatiasa selalu dhikr dan rajin bertafakur serta mengkaji fenomena alam,
sebagaimana termaktub dalam surah `Ali- `Imran ayat 190-191
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia- sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (Qs. `Ali Imran, 3: 190- 191).
Berdasarkan ayat diatas, dapat dipahami ulu al-albāb adalah orang yang berpikir di
dalam berzikir dan berzikir di dalam berpikir. Dalam ayat diatas, diungkapkan bahwa
objek telaahan pikir dan dhikr orang orang yang dinamakan ulu al-albāb adalah proses
penciptaan langit dan bumi dan proses pertukaran malam dan siang. Proses penciptaan
langit adalah proses spritual- transendental, sebab tidak pernah dialami manusia, jadi
jelasnya itu merupakan diluar wilayah empiris. Sebaliknya, proses pertukaran malam dan
siang adalah proses empiris, karena semua mengalami proses pergantian itu.
Dawam Raharjo dalam analisisnya tentang ayat diatas menyatakan bahwa dhikir
adalah tingkat yang lebih tinggi dari pikir, sebab dhikr adalah kegiatan ternsendental,
mengarah kepada pemikiran yang dalam, yang lebih tinggi, karena mengarah kepada
hakekat. Dengan mencermati susunan tarkib (sintaksis) dan ìjāz lughawi ( demean
ditaqdimkan/ di dahulukan penyebutan lafadh dhikr dari pikir pada ayat di atas), Dawam
52
83
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qurān, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 565
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Raharjo memahami dhikir mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian
dhikr, sebab dalan dhikr terkandung unsur pikir53.
Dhikr adalah memiliki makna mengingat atau mendapatkan peringatan. Dari sini
dapat dipahami, watak seseorang yang melakukan dhikr adalah juga memiliki makna
"memikul tanggung jawab mengingatkan". Tindakan mengingatkan hanya akan muncul
bila seseorang bersikap kritis. Sikap kritis seseorang sanagtlah didukung oleh wawasan
dan pengetahuna yang dimiliki. Selanjutnya, seseorang yang melakukukan dhikr akan
merespon seruan Allah untuk membebtuk komunitas yang berorientasi kepada kebajikan
(al- khair)dan kemudianmelakukan amar ma`ruf nahy al- mungkar (Qs. Ali Ìmran: 3: 104
dan 110).
Merujuk pada penafsiran para Mufassir, tentang kandunagn Qs. Al- Ra`du : 19-22,
َ ‫ الَ ِّذينَ يُوفُونَ بِ َع ْه ِد‬. ‫ب‬
ُ ‫ك ْال َح‬
َ‫َّللاِ َوَل يَ ْنقُضُون‬
َ ِ‫أَفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم أَنَ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْيكَ ِم ْن َرب‬
ِ ‫ق َك َم ْن هُ َو أَ ْع َمى إِنَ َما يَتَ َّذ َك ُر أُولُو اْلَ ْلبَا‬
َ ‫صلُونَ َما أَ َم َر‬
‫صبَرُوا ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َربِ ِه ْم‬
َ َ‫ َوالَ ِّذين‬.‫ص َّ ٌّ َويَ ْخ َشوْ نَ َربَهُ ْم َويَخَ افُونَ سُو َء ْال ِحسَّاب‬
َ ‫َّللاُ بِ ِه أَ ْن يُو‬
ِ َ‫ َوالَ ِّذينَ ي‬. ‫ْال ِميثَاق‬
َ‫َار‬
ََ ‫ُون ِب ْال َح َّس َن َِة الس َِّي َئ ََة أُولَ ِئ‬
ََ ‫صَلةَ َوأَ ْنفَقُوا ِم َما َر َز ْقنَاهُ ْم ِسرًا َوع َََلنِيَةً َو َي ْد َرء‬
َ ‫َوأَقَا ُموا ال‬
ِ ‫ك لَ ُه َْم ُع ْق َبى الد‬
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal
saja yang dapat mengambil pelajaran. “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah
dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada
hisab yang buruk, serta orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka,
secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orangorang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”. (Qs. Al-Ra`d, 13: 19-22)
Kita menemukan beberapa kriteria ulu alalbāb yaitu: memiliki pengetahuan,
komitmen terhadap jannji dengan Allah serta istiqamah dalam melaksanakan kewajiban
yang diperintahkan Allah, menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung
(seperti mempererat hubungan silaturrahmi), takut kepada Allah (kalau berbuat dosa),
selalu sabar karena ingin mendapat keridhaan Allah, menegakkan shalat, menyalurkan
53
Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II,( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002),
hal.331
84
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
rezeki yang diperoleh untuk kebutuhan orang lain baik secara terbuka maupun
tersembunyi, dan mampu menolak kejahatan dengan kebajika dan penuh kesantunan54.
Karakteristik prilaku ulu al-albāb juga termuat surat al- Zumar ayat 9:
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (`azab) akhirat
dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang- orang
yang
mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Al-Zumar, 39: 9)
Ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin dari orang-orang yang tekun itu,
menurut Quraish Shihab kata qānit bermakna orang yang memiliki ketekunan dan disertai
dengan ketundukan hati dan ketulusannya. Sikap lahir digambarkan oleh lafadh sājidan
(sujud) dan qāiman (berdiri), sedangkan sikap batin termuat dalam ungkapan
(takut kepada akhirat dan mngharapkan rahmat Tuhannya).
Mereka ialah golongan yang mengingati Allah dalam segala situasi dan kondisi. Pernyaaan
Allah yang
(mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring) tentang kreteria ulu al-albāb yang terdapat dalam surat Àli
Imran ayat 191 merupakan ungkapan bersifat metaforis yang memberikan visualisasi
tentang betapa kommitmennya ulu al-albāb dalam menjaga hubungan tradesentalnya
dengan khaliknya. Sehingga respon dan konsepsinya terhadap Tuhannya senantiasa selalu
bersifat positif. Dan hasil serta konklusi kontemplatif dan zikirnya mengantarkan mereka
pada pernyataan yang sangat tulus:
“Wahai Tuhan kami Kamu tidak menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka " (Qs. Ali Ìmran: 3: 191)
‫ض َّ ٌّ ع َْن َسبِيلِ ِه َوه َُو أَ ْعلَ ُم‬
َ َ‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َّسنَ ِة َو َجا ِد ْلهُ ْم بِالَتِي ِه َي أَحْ سَّنُ إِنَ َرب‬
َ ِ‫ا ْد ُع إِلَى َسبِي ِّ ٌّ َرب‬
َ ‫ك هُ َو أَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
َ‫بِ ْال ُم ْهتَ ِدين‬
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaranyang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yangbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yanglebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk".(Qs. Al- Nahl: 16: 125)
54
Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II,( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002),
hal.331
85
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Berdasarkan ayat-ayat tersebut terkandung maksud bahwa siapapun dapat menjadi
pendidik Islam asalkan ia memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih, serta keterampilan
dan sikap yang sesuai dengan kapasitas dan prinsip-prinsip edukatif. Disamping itu ia
mampu mengimplimentasikan nilai-nilai
relevan dalam pengetahuan itu kepada peserta
didik.
Orang yang berilmu, mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Tuhan
dan manusia. Al-Qurān menggelarkan golongan ini dengan pelbagai gelaran mulia dan
terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah
swt., dan makhluk-Nya. Mereka digelar sebagai "al-Rāsikhun fil `Ilm"
(Ali `Imran :
7), "Ulul al-`Ilmi" (Ali `Imran : 18), "Ulu al-albāb " (Ali `Imran : 190), "al-Basir" dan
"al-Sami` " (Hud : 24), "al-`Alimun" (al- `Ankabut : 43), "al-`Ulamā" (Fatir : 28), "alAhya’ " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia lain. Gelaran ini disetarakan
Allah swt., dengan ayat-ayat yang membicarakan dasar-dasar akidah tawhid dengan
menghubungkan kitab suci al-Qurān dan fenomena alam sebagai "wasilah" atau "ayat"
bagi mengenal dan mengakui-Nya. Ia sekaligus menunjukkan bahwa daya usaha untuk
memperoleh ilmu melalui pelbagai saluran dan pancaindera yang dikurniakan Allah swt.,
membimbing seseorang ke arah mengenal dan mengakui ketauhidan Rabbul Jalil. Ini
memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa ilmu mempunyai hubungan yang
amat erat dengan dasar akidah tauhid. Orang yang memiliki ilmu, sepatutnya mengenal dan
mengakui keesaan Allah swt., dan keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan
gerun, tunduk, kerdil dan hina berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan Allah swt.
Mereka tunduk dan beriman kepada kekuasaan Allah swt. Ini membuktikan bahwa perkara
akidah dan roh fitrah Islam merentasi semua aspek kehidupan manusia khususnya para
ilmuan dan cendekiawan yang terlibat secara langsung dalam kajian dan penyelidikan alam
"kauniyyah" dan manusia. Dalam surah `Ali Imran ayat ke-18, Allah swt., berfirman:
"Allah menerangkan (kepada sekalian makhluk-Nya dengan dalil-dalil dan bukti),
bahwasanya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang senantiasa
menta`birkan (seluruh alam) dengan keadilan dan malaikat-malaikat serta orang-orang
yang berilmu; tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; Yang Maha Kuasa, lagi
Maha Bijaksana".
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir membuat suatu rumusan yang menarik
bahawa apabila Allah swt., mensetarakan "diri- Nya" dengan para malaikat dan orang yang
86
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah swt., dan kemutlakan-Nya sebagai Tuhan yang
layak disembah". Ini adalah suatu penghormatan agung secara khusus daripada- Nya
kepada orang-orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas kebenaran dan
menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya dalam semua keadaan dan
suasana. Penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu, sebagai peringatan
kepada golongan berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi Allah swt. Mereka diangkat
sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah swt. Mereka memikul
amanah Allah swt., karena mereka adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu, mereka perlu
memiliki dan beramal dengan sifat-sifat yang jelas melalui perkataan yang dituturkan,
tindakan yang diambil, perbuatan yang dilakukan, sikap yang ditunjukkan, dan seruan yang
dibuat. Sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian kedudukan
mereka akan mencoret kewibawaan dan penghormatan.
Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta sentiasa istiqamah harus dimiliki oleh ulu al-albāb. Ulu
al-albāb tidak mengharapkan imbalan, sanjungan, dan pujian manusia. Keikhlasan adalah
hasil dari ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip kebenaran yang menjadi
tonggak pegangan orang berilmu. Mereka sangat menjunjung tinggi prinsip kebenaran.
Tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula mencemari kebenaran.
Kebenaran yang menjadi pegangan mereka bukan diukur dari perkataan yang keluar dari
mulutnya. Bahkan kebenaran itu boleh juga datang dari pada orang lain.
E. Kesimpulan
Pembahasan ini merupakan bahagian akhir dari tulisan ini dan sekaligus menjadi
kesimpulan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Pembahasan ini mengetengahkan
tentang ulu al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian menunjukkan konsep ulu alalbāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna pendidik, guru dan cendikiawan M
uslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu al- albāb seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat alQuran, harus memiliki beberapa kriteria di antaranya; seorang pendidik harus memiliki
pengetahuan, memliliki integritas moral, berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana,
adil, tawadu`, kasih sayang terhadap subjek didik dan mengamalkan ilmu yang
dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu al-albāb, harus memiliki pemikiran (mind)
yang luas, perasaan (heart) yang peka, sensitif, memiliki daya pikir (intellect), memiliki
wawasan (insight) yang luas, memiliki pengertian yang akurat (understanding), dan
memiliki kebijakan (wisdom) dan selalu mejaga komunikasi transendental dengan
87
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Khaliknya, melalui fakultas dan aktifitas dhikr. Semua karakter ini merupakan cerminan
dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh pendidik ketika berhadapan dengan
subjek didik.
Jika pendekatan itu mampu dijabarkan dalam kehidupan , maka seorang pendidik
akan betul-betul memiliki kemapuan dalam proses transfer of hearts, transfer of head dan
tranfer of hand kepada peserta didik dan linggkungan kehidupannya.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan.
Jakarta, Raja Grafindo, 2002
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qurān and Commentary. Mekkah Al- Mukarramah: King
Fahd Holly Quràn Printing Complex, tt.
Abi `Abdillah Muhammad bin `Ali Al Hakim Al-Turmizi, Bayan al Faraq baina al Sadr
wa al-Qalb wa al Fuad wa al-Lub. Kairo, Markaz al-Kitab wa al-Nasyr, 1998.
Abu Hilal Al-`Ashkari, Al-Furuq Al- Lughawiyah. Kairo: Dar al-Hadith, 2003
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz.1. Beirut: Dar Al Fikri.
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, Juz. 8. Beirut: Dar Al Fikri.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1992
Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim,
Cet. 2, .Bandung: Mizan, 1989
Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma`ani Juz VIII. Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Al Fairuzbadi, Al-Qamus al-Muhit, Juz. 4.
Kairo: Mathba`ah Dar al-Sa`adah, 1913.
Àisyah Àbd Al- Rahman Binti Syathi`, Al- Tafsir Al- Bayāni Li Al- Qurā`n Al- Hakim
Kairo: Dar Al- Maàrif, juz II, 1968
Al -Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān. Beirut, Dar Al Maàrifah, tt
A.M. Saifuddin,
Fenomena
Kemanusiaan,
(Bandung: Dinamika, 1996), hal. 57.
Baharuddin,
Paradigma
Psikologi
Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Dawam
Raharjo,
Ensiklopedi
Al-Qurān. Jakarta: Paramadina, 1996.
88
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Fatimah Ismail Muhammad Isma`il, Al- Qurān wa `Aql- Nadar al-`Aqli. Herndon USA:
Ma`had `Almi Lilfikri al Islamy,1992.
Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam al-Mufahras li al- Fad al-Qurān. Mesir: Dar al-Fikr, 1992
Haedar Nashr, Intelektualisme Muhammadiyah. Bandung: Mizan, 1995.
Hanna Jumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar,
2005
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Cet. 2. Jakarta: UI Press, 1986
Ibn Katsir, Tafsir Qurān al-`Azim, Juz. 1, Kairo: Al- Maktabah al- Thaqafy, 2001
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Vol. 8. Beirut: Dar Fikr, 1979.
Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasit. Kairo: Dar al-Kutb, 1972.
Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Jami` Al Bayan,
Juz. 3. Beirut: Dar Fikr, 2001
Imam Muhammad Ibn Abi Bakr `Abdul Qadir al- Razi, Mukhtar Sahah. Beirut: Dar Al
Fikr, 2003
Luis Ma`luf, Al- Munjid Fi Al- Lughah Wa al- `Alam. Beirut: Dar al- Fikr, 1986
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 19
Maudurrahman, The Amirican Jornal of Islamic Social Sciencies, vol. XI, No. 4, America:
The Institute of Islamic Thought, 1994.
Muhammad Àli Al- Shabuni, Shafwah Al- Tafāsir, juz I. Makkah Al- Mukarramah: AlFaishaliyah, tt.
Mahmud Nibrawi, Tafsir Nur Al-Qurān Wa Al- Sunnah, Juz II. Kairo: Maktabah Wahbah,
2002
M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān,
Juz.III. Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991.
........................., Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān,
Juz. VI. Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. I.Bandung: Lentera Hati, 2000.
…………………., Tafsir Al-Misbah, Jil. 2.
Bandung: Lentera Hati, 2000
M. Rachmat Kartakusuma, Serba Pandangan Tentang Peranan Cendikiawan, “PRISMA”,
NO. 9, November 1976,
89
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Ulu Al-Albāb Sebagai Profil Intelektual Pendidik
Qusaiyen
Muhammad `Ali Al-Sabuni, Shafwa al- Tafasir, Juz. 1.Makkah: Maktabah Al Faishaliah,
tt
Yusuf Qardhawi, Al-`Aql wa al-`Ilm fi al- Qurān al-Karim, Cet. 1. Kairo: Maktabah
Wahbah, 1996.
87
Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education.,Chopenham: Anthony Rowe, 1985.
Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz, 9. Kairo: Dar al- Maàrif, tt), hal. 116 juz.
Sayed Muihammad Thanthawi, Tafsir Al- Wajiz juz. 15, Kairo: Dar al- Maàrif, tt
Soetjipto Wirosardjono, Cendikiawan Islam Indonesia Masa Kini, Pemikiran dan
Peranannya, “Panji Masyarakat”, no. 630, 23 Rabi’ul Akhir- 2 Jumadil awal 1410
H, 21-30 desember 1989
Ziauddin Sardar M. , Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim .Bandung: Mizan, 1989
90
Jurnal Studi Al-Quran, P-ISSN: 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614
Download