TINJAUAN TEORITIS Komunikasi Akar kata komunikasi adalah communication, dari kata dasar communis, yang berarti kesamaan dalam suatu hal. Dahulu, orang menyatakan komunikasi sebagai proses mengirim dan menerima informasi. Saat ini, kata berbagi informasi lebih dekat dengan arti sebenarnya dari komunikasi. Komunikasi lebih berarti dua orang berbagi informasi bersama dari pada seseorang memberi informasi dan orang lain menerima (Lubis et al., 2009). Pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin “communication”. Istilah ini bersumber dari perkataan ”communis” yang berarti sama; sama disini maksudnya sama makna atau sama arti. Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 1993). Menurut Devito (2011), komunikasi mengacu kepada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. West dan Turner (2009) menawarkan definisi komunikasi sebagai proses sosial dimana individuindividu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka. Menurut Leeuwis (2009), komunikasi merupakan sebuah proses penting yang digunakan oleh manusia dalam pertukaran pengalaman dan ide, dan hal itu menjadi pemicu penting bagi penyampaian pengetahuan dan persepsi dari berbagai jenis (misalkan pembelajaran). Karena itu, komunikasi merupakan unsur inti dalam perubahan strategi untuk mendorong perubahan. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa komunikasi, yaitu suatu pernyataan manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok, yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti, maka tampak bahwa dengan perkembangan objek tertentu akan memerlukan komunikasi yang lebih spesifik. Misalnya, komunikasi pembangunan, komunikasi politik, komunikasi antar budaya, dan sebagainya. Pengertian komunikasi secara paradigmatik didefinisikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Berdasarkan definisi tersebut, maka 10 dapat disimpulkan bahwa tujuan komunikasi yakni, memberi tahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behavior) (Effendy, 2000). Proses komunikasi pada hakikatnya adalah cara penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi dikategorikan dalam dua perspektif yaitu proses komunikasi dalam perspektif psikologis dan mekanistis. Proses komunikasi dalam perspektif psikologis merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri komunikator ketika berniat akan menyampaikan suatu pesan kepada komunikan. Adapun pesan komunikasi yang disampaikan terdiri dari dua aspek yaitu isi pesan berupa pikiran dan lambang berupa bahasa. Dengan kata lain, proses pengemasan pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator dalam bahasa komunikasi, kemudian disampaikan kepada komunikan sebagai penerima (Effendy, 1993). Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis merupakan cara yang berlangsung ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Proses komunikasi ini bersifat kompleks, sebab bersifat situasional saat komunikasi berlangsung. Proses komunikasi dalam perspektif mekanistis diklasifikasikan dalam proses komunikasi secara primer dan sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan lambang sebagai media. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat sebagai media (Effendy, 1993). Memahami model penyampaian komunikasi berarti memahami kondisi penerima pesan atau komunikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian informasi atau pesan. Banyak model komunikasi yang telah diungkapkan oleh para ahli komunikasi salah satunya dikemukakan dalam model Berlo (1960), yaitu : a) Sumber Sumber adalah pihak yang menciptakan pesan, bila diklasifikasikan maka sumber dapat berbentuk lembaga atau organisasi dan personal orang. Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses komunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikan. Berlo (1960) juga menyebutkan beberapa aspek yang mempengaruhi kualitas sumber untuk menghasilkan komunikasi yang tepat yaitu keterampilan berkomunikasi, sikap, tingkat pengetahuan dan kemampuan beradaptasi. 11 b) Pesan Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh sumber kepada penerima dengan kata lain sebagian produk fisik aktual dari komunikator-komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa informasi pesan, hiburan, informasi, inovasi, nasehat atau propaganda. Agar komunikasi berjalan efektif maka pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan, kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi, pemilihan serta pengaturan bahasa dan isi pesan. c) Saluran Saluran adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media, misalnya dalam komunikasi antarpribadi panca indera dianggap sebagai media komunikasi. Selain indera manusia, ada juga saluran komunikasi seperti telepon, surat dan telegram yang digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. d) Komunikan Komunikan sering disebut juga sebagai penerima pesan. Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, organisasi dan lain sebagainya. Penerima adalah elemen penting dalam proses komunikasi, karena unsur atau komponen inilah yang menjadi sasaran komunikasi. Jika suatu pesan tidak diterima oleh penerima akan menimbulkan berbagai macam masalah yang seringkali menuntut perubahan, baik dari sumber, pesan ataupun media. Adapun tujuan komunikasi menurut Effendy (1993), adalah a) mengubah sikap (to change the attitude), b) mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion), c) mengubah perilaku (to change the behavior) dan d) mengubah masyarakat (to change the society). Sedangkan fungsi komunikasi itu sendiri adalah a) menginformasikan (to inform), b) mendidik (to educate), c) menghibur (to entertain) dan d) mempengaruhi (to influence). Tujuan komunikasi menurut Levis (1996) antara lain adalah: (1) informasi, untuk memberikan informasi yang menggunakan pendekatan dengan pemikiran, (2) persuasif, untuk menggugah perasaan penerima, (3) mengubah perilaku (sikap, pengetahuan dan keterampilan) perubahan sikap terhadap pelaku 12 pembangunan, (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan usaha secara efisien di bidang usaha yang dapat memberi manfaat dalam batas waktu yang tidak tertentu, (5) mewujudkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Dalam suatu organisasi kerja, komunikasi menjalankan beberapa fungsi yaitu: (1) komunikasi menyampaikan informasi dan pengetahuan dari orang yang satu ke orang yang lain sehingga dapat terjadi tindakan kerjasama. (2) Komunikasi membantu mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk melakukan sesuatu. (3) komunikasi membantu dalam membentuk sikap dan menanamkan kepercayaan untuk mengajak, meyakinkan dan mempengaruhi perilaku. (4) komunikasi membantu memperkenalkan pegawai-pegawai dengan lingkungan fisik dan sosial mereka (Moekijat, 1993). Komunikasi Pembangunan Komunikasi pembangunan telah menjadi multi-fase, multi-dimensi dan partisipatif, dan harus dilihat dalam konteks sosial-politik, ekonomi dan budaya agar relevan untuk masyarakat yang dituju. Pada intinya, komunikasi pembangunan adalah tentang pengembangan masyarakat. Millennium Development Goals (MDGs) harus diatasi dan dinilai dari perspektif rakyat. Oleh karena itu penting untuk memulai dari perspektif masyarakat lokal dan bekerja sama dengan organisasi (PBB, pemerintah, LSM, masyarakat dan sektor swasta, dan masyarakat sipil) yang telah mengembangkan kepercayaan di dalam masyarakat. Dalam praktek dan dalam pandangan secara global dan pemisahan komunikasi untuk pembangunan menjadi lebih penting dalam konteks abad ke 21, mengingat politik, ekonomi dan komunikasi lanskap baru berlangsung. Namun, komunikasi untuk pengembangan teknologi tidak boleh didorong. Hal ini harus didasarkan pada isu-isu sosial dan keprihatinan masyarakat. Fasilitator merupakan sebagai teknologi dan alat dalam komunikasi pembangunan. Sebaliknya, budaya merupakan pusat pengembangan dan perlu penekanan yang lebih besar dalam komunikasi untuk program pembangunan. Peningkatan komunikasi pembangunan sangat penting untuk meningkatkan program-program pembangunan. Pengembangan komunikasi pembangunan ini perlu dilakukan dengan mengubah paradigma komunikasi pembangunan dari yang berciri linier (searah dari atas ke bawah) ke pola 13 komunikasi yang berciri konvergen. Agar program yang akan dilaksanakan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Menurut Effendy (2001), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khlayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis. Berdasarkan pernyataan Rosario-Braid dalam Nasution (2002) menyebutkan bahwa komunikasi pembangunan adalah elemen dari proses manajemen dalam keseluruhan perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan. Dalam pengertian yang lebih luas, komunikasi pembangunan diartikan sebagai identifikasi dan pemanfaatan keahlian dalam proses pembangunan dalam meningkatkan partisipasi untuk mencapai keuntungan yang diinginkan pada level yang paling rendah. Hal ini seiring dengan pendapat Nasution (2002), yang membedakan komunikasi dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan adalah suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik (peran dan fungsi komunikasi) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit, komunikasi pembangunan adalah segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat. Komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya, perencanaan komunikasi disekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu dan bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang pasif. Manusia pada hakekatnya selalu mencari interaksi atau hubunganhubungan yang merupakan penjelasan yang memuaskan dari apa yang dilihat, dengan atau imajinasi. Pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan 14 telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya adalah visi kesisteman dalam arti luas (Eriyanto, 1996; Brocklesby dan Cummings, 1995 dalam Sumardjo, 1999). Menurut Mills dalam Mardikanto (1987), mengemukakan adanya empat peranan komunikasi di dalam proses pembangunan, yaitu : 1. Menerangkan atau menunjukkan kepada masyarakat tentang identitas dirinya sendiri. 2. Memberikan aspirasi terhadap anggota masyarakat. 3. Menunjukkan teknik-teknik atau alternatif yang dapat dilakukan. 4. Menerangkan tentang alternatif yang dirasakan paling tepat oleh masyarakatnya untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapi. Menurut Widjaja A.W dan Hawab, serta Asyik (1987) dalam Dilla (2007), mereka mengartikan komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah dan negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok, musyawarah pada lembaga resmi siaran dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi. Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, pembangunan membutuhkan kontribusi komunikasi, baik sebagai bagian dari kegiatan masyarakat maupun sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Banyak proses pembangunan tidak mecapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla, 2007). Secara sederhana, pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan berencana yang dikehendaki. Perubahan tersebut menyangkut perubahan struktur komunitas dan perubahan kebudayaan. Salah satu penyebab perubahan tersebut adalah karena adanya penemuan baru (inovasi). Inovasi tersebut bisa saja berupa alat dan bisa pula berupa ide baru. Seringkali, suatu inovasi baru ditemukan setelah melalui proses pertukaran pikiran dan diskusi yang panjang. Dalam hal inilah, komunikasi menjadi wadah penemuan inovasi. Demikianlah, komunikasi berperan untuk menfasilitasi penemuan (invention) dan menyebarkan 15 inovasi tersebut ke sistem sosial yang lebih luas. Ringkasnya komunikasi sangat bermanfaat untuk pembangunan (Lubis et al., 2009). Komunikasi Partisipatif Komunikasi partisipatif mulai berkembang pada akhir 1980an serta awal 1990an, ketika sejumlah peneliti atau ilmuwan bekerja dalam perspektif ini, di antaranya adalah Servaes (1991), Modi (1991) dan White et al. (1994) dalam Mefalopulos (2003). Servaes (1991) membahas secara terbuka kebutuhan untuk paradigma baru dalam komunikasi untuk pengembangan dan Melkote (1991) membahas alternatif paradigma, paradigma baru yang menjadi kebutuhan, yaitu model komunikasi partisipatif. Para peneliti atau ilmuwan memfokuskan pada aliran komunikasi horizontal, jauh dari komunikasi yang sebelumnya bersifat topdown yang pada dasarnya membayangkan sebuah pengirim, pesan dan penerima. Akan tetapi untuk komunikasi horizontal penekanan lebih pada pengguna dan berorientasi pendekatan bottom-up untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (Servaes et al., 1996). Partisipasi juga memunculkan pertanyaan akan isu kekuasaan dan pemberdayaan mengasumsikan lebih tinggi relevansinya. Permasalahan yang dihadapi membantu untuk menentukan tujuan komunikasi yang strategis. Dimulai dari mengkomunikasikan informasi yang benar atau relevan dengan khalayak tertentu, serta mengartikulasikan proses tindakan kolektif dan refleksi oleh para pemangku kepentingan yang relevan. Pusat perhatian dari komunikasi partisipatif adalah pemberdayaan masyarakat oleh keterlibatan aktif mereka dalam identifikasi masalah, pengembangan solusi dan pelaksanaan strategi. Model partisipatif adalah pendekatan dialogis dan horizontal untuk komunikasi dan pembangunan (Tufte & Mefalopulos, 2009). Dialog yang bersifat bebas dan terbuka merupakan prinsip inti dari komunikasi partisipatif. Paulo Freire mendefinisikan dialog sebagai "pertemuan antara masyarakat untuk memberikan suara yang mengatasnamakan dunia.” Mengatasi permasalahan pembangunan masyarakat yang semakin kompleks, maka diperlukan suatu pendekatan yang memungkinkan masyarakat memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri, untuk itu diperlukan suatu bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya (Sulistyowati et al., 2005). 16 Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaktif (interaktif model). Komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respon balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical proses), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2008). Dalam komunikasi dua arah bukan hanya pesan yang diperhatikan tetapi juga arusnya yang dua arah. Kalau pesan yang dipentingkan, maka yang keluar hanya perintah, pengarahan atau petunjuk yang tanpa diskusi atau komunikasi sekalipun. Tetapi arusnya yang diutamakan dalam komunikasi dua arah, maka yang terjadi adalah alternatif pendapat, saran dan cara pemecahan yang timbul dari keinginan bersama. Menurut Hamijoyo (2005), model ini disebut model konvergensi komunikasi, model ini berlandaskan konsepsi komunikasi sosial sebagai suatu proses dialog dua arah dalam upaya mencapai saling pengertian dan kesepakatan antara dua individu atau dua kelompok atau lebih, dan bukan satu orang atau satu kelompok yang berkuasa atau berwibawa memaksakan kekuasaan atau kewibawaannya kepada orang lain. Proses dialog dua arah menurut Effendy (2000), selalu lebih baik dari pada monologis. Proses komunikasi dialogis menunjukkan terjadinya interaksi dimana mereka yang terlibat dalam komunikasi berupaya untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Mekanisme yang bersifat bottom-up ini, perencanaan pembangunan yang digunakan adalah model perencanaan partisipatif. Isu yang akan menjadi mata program dalam perencanaan digali dari bawah yang diyakini sebagai masalah dan kebutuhan nyata masyarakat. Model perencanaan partisipatif diharapkan memiliki beberapa keuntungan. Masyarakat sendiri yang dianggap paling tahu kebutuhan, permasalahan dan potensi yang dimiliki, dengan demikian program yang dirumuskan akan lebih tepat sasaran karena mempunyai relevansi yang 17 tinggi dengan permasalahan, kebutuhan dan kondisi nyata di lapangan. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam perencanaan akan membuat masyarakat merasa ikut memiliki, karena ikut menentukan program, sehingga ikut merasa bertanggung jawab akan keberhasilannya. Lebih dari itu, melalui cara ini masyarakat juga memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengasah diri agar lebih memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi dan mempunyai kemampuan merancang masa depannya sendiri (Soetomo, 2011). Mengacu pada konsep pengembangan wilayah serta pola pendekatan komunikasi top-down dan buttom-up, Sumardjo (1999) juga mengemukakan bahwa model komunikasi pembangunan yang dinilai layak untuk dikembangkan adalah model komunikasi “interaktif” yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran (exchange theory). Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan individu. Menurut Freire (1983) semua orang baik secara individual dan kolektif memiliki hak untuk berbicara. “Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang, namun hak setiap manusia.“ Penerapan model partisipatif dalam komunikasi tidak mengarah ke model yang menentang pendahulunya, melainkan ingin memperluas ruang lingkup komunikasi. Dalam beberapa hal, terlepas dari batas-batas tradisional komunikasi, karena tidak hanya bertujuan untuk menginformasikan atau mengirim pesan tertentu, tetapi juga menggunakan sifat komunikatif dan lintassektoral untuk membangun kepercayaan, pertukaran pengetahuan dan persepsi, 18 menyelidiki masalah dan peluang dan akhirnya mencapai konsensus tentang perubahan dimaksud antara semua pemangku kepentingan (Mefalopulos, 2003). Komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Rahim (2004), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Pertama, Heteroglasia: Konsep ini menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik ditingkat nasional-lokal, makro-mikro, public-privat, teknisideologis, dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama, tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan memanfaatkan bagi kekuatan komunikasi heteroglasia, pembangunan bagaimana adalah bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan kelompok yang berbeda-beda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari partisipasi. Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dengan pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagai. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam 19 dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia musti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan. Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimuli proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkostruksikan suatu pesan yang dapat menstimuli suatu dialogi internal. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subyek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai obyek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan atau disatukan dengan suara orang lain. Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suarasuara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan. Keempat, Karnaval: Konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual seperti legenda, komik, festival, permainan, parody, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa. Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari sesuatu yang serius dan otoratif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi. Karnaval dan pembangunan 20 bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi, menggunakan kosakata yang umum, fantastik, dan berbau pengalaman dari mereka. Komunikasi Partisipatif dalam Pemberdayaan Untuk memperbaiki kondisi dunia, terutama kondisi negara-negara Eropa Barat dan negara dunia ketiga, Amerika Serikat berinisiatif memunculkan program bantuan ekonomi bertitel Marshall Plan. Bantuan itu mencakup dukungan modal, teknologi, program-program pembangunan dan tenaga ahli. Tujuannya adalah untuk mempercepat peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, tentu saja dengan mekanisme pengaturan strategi sesuai proposal negara donor. Sejak itu, dimulailah penerapan paradigma pembangunan yang mempunyai karakter vertical top-down (pola pembangunan ditransferkan begitu saja dari negara donor kepada negara penerima bantuan), bertumpu pada investasi modal asing, dan dijalankan sesuai dengan program dan rencana proyek negara-negara maju, dan diterapkannya teori trickle-down effect atau efek tetesan ke bawah, yang asumsinya manfaat program-program intervensi sosial di negara-negara Dunia Ketiga akan menetes ke bawah kepada setiap orang, mulai dari mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi paling atas yang pertama-tama mengakses pesan-pesan kemajuan atas dukungan kemampuan ekonomi mereka dan selanjutnya diteruskan kepada mereka yang berada dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah. Penerapan model “tetesan ke bawah” tidak mampu memberi hasil yang direncanakan. Pada kenyataannya, manfaat pembangunan tidak pernah “menetes” sampai jauh “ke bawah,” tetapi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang berada dalam kelas sosial teratas. Di banyak negara Dunia Ketiga, fenomena ini terlihat jelas dari timbulnya ketimpangan sosial ekonomi yang semakin parah. Sementara itu sentralisasi informasi yang didukung perkembangan teknologi berlangsung begitu imperialistis sehingga masuklah peradaban Barat tanpa seleksi atau reserve. Hal ini menimbulkan erosi moral dan etika rakyat seiring dengan proses yang sama terjadi dengan kaum elitnya. 21 Paradigma Lama Komunikasi Vertical Top-Down Kondisi yang mensubordinasikan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga dalam situasi global dunia, maupun subordinasi rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan negara dalam konteks situasi Indonesia sangat dilestarikan oleh pola-pola komunikasi. Oleh karena itu, digunakanlah pendekatan komunikasi pembangunan, yakni disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana, untuk meningkatkan “pembangunan manusiawi”, yang berarti komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk menghapuskan kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan (Nasution, 2002). Salah satu kajian penting dalam pendekatan komunikasi pembangunan adalah permasalahan betapa rendahnya partisipasi rakyat dalam proses pembangunan akibat minimalnya kesempatan terjadinya komunikasi yang adil dan seimbang antara rakyat dan pembuat keputusan negara dalam menentukan jalannya proses pembangunan. Keprihatinan ini dicerminkan oleh proses pembangunan yang tidak selalu mengutamakan kepentingan dan partisipasi rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan politis (stabilitas, status quo, kekuasaan), akumulasi modal dan pertambahan keuntungan elit ekonomi, maupun superioritas. Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia yang dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-mediapenerima). Model linier-konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial masyarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah. Asumsi dasar paradigma ini adalah bahwa komunikasi sangat diperlukan dalam pemecahan masalah-masalah masyarakat, dengan memberikan penekanan elemen kognitif komunikasi (elemen komunikasi yang mempunyai sasaran pada perubahan pola pikir atau ideologi). Komunikasi dirancang sedemikian rupa sehingga pesan-pesan persuasif yang telah dibakukan secara terpusat disuntikkan sebanyak mungkin kepada masyarakat. Asumsinya, semakin banyak pengaruh persuasif (yang positif dan konstruktif) disuntikkan, masyarakat semakin tergerak untuk melakukan apa yang diprogramkan dalam 22 pembangunan, sesuai format pesan tersebut, karena pola pikirnya telah berhasil diubah lewat proses komunikasi itu. Kelemahan paradigma lama ini, terletak pada diabaikannya aspek struktural dari proses pembangunan (Oepen, 1988). Bahkan, penekanannya pada kecanggihan teknologi komunikasi (terutama media massa), yang begitu diyakini mampu membawa perubahan psikologis individu dan sosial, dengan serta merta menggusur kemungkinan diperhatikan dan dikembangkannya modelmodel tradisional komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication), yang pada kenyataannya masih sangat menentukan keberhasilan komunikasi dalam masyarakat di Indonesia. Kritik terhadap paradigma lama tersebut secara kritis dirumuskan dalam imperialisme “budaya” atau imperialisme “media,” yaitu pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karena prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan khususnya Amerika Serikat (McQuail, 1994). Paradigma Baru Komunikasi Partisipatif (Horisontal) Rogers (1989) memproklamasikan usangnya Paradigma Lama Komunikasi Pembangunan, yang segera disusul pemunculan tesis-tesis baru tentang perombakan komunikasi pembangunan. Untuk itu dibutuhkan strategi pembangunan yang lebih mandiri dan adil bagi masyarakat lapisan bawah secara terdesentralisasi yang sama sekali berbeda dengan model “top-down.” Seirama dengan itu, bahwa yang seharusnya menjadi prioritas perhatian dalam penyusunan kebijakan pembangunan di Indonesia adalah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekonomis maupun politis, di semua tingkat dan dalam semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa yang bersangkutan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan, lalu “survive” di tengah-tengah dunia yang tidak stabil, rumit dan makin tunduk pada persaingan. Pembangunan tidak harus sebagai sesuatu yang diperbuat lewat kegiatan dan keterampilan yang diperoleh melainkan sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai proses belajar. Maka dimulailah era paradigma baru 23 komunikasi dalam pembangunan di Indonesia, yang lebih berciri partisipatif (horizontal). Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif-horisontal tersebut dimunculkanlah kembali (revitalisasi) konsep komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), media rakyat (folk media), komunikasi kelompok (group communication) dan model komunikasi dua tahap (two-step flow communication). Selain itu, oleh karena ikatan kultural di banyak daerah, masyarakat Indonesia masih mengakui kharisma agen perubahan atau opinion leader (pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, kadus, pemuka adat dsb.) sebagai aktor penting dalam proses komunikasi masyarakat (Oepen, 1988). Akan tetapi, pentingnya peranan opinion leader tidak bisa diartikan sebagai “penguasa baru” melainkan hanyalah sosok panutan yang menjadi jembatan perantara diadakannya perubahan pola komunikasi lama yang vertikal dan tergantung media menuju pola komunikasi yang horizontal yang sepenuhnya mengandalkan demokratisasi dan partisipasi rakyat. Dalam paradigma komunikasi partisipatif (horizontal) ini, semua rakyat diundang untuk lebih berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horizontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Dalam proses komunikasi, tidak hanya ada sumber atau penerima saja. Sumber juga penerima, penerima juga sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat. Karena itu kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan “berbagi” atau “berdialog.” Isi komunikasi bukan lagi “pesan” yang dirancang oleh sumber dari atas, melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dimodifikasikan menjadi “tema.” Tema inilah yang disoroti, dibicarakan dan dianalisa. Semua suara didengar dan diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Maka yang terlibat dalam model komunikasi ini bukan lagi “sumber dan penerima” melainkan “partisipan” yang satu dengan yang lain. Selain itu, praktek komunikasi partisipatif (horizontal) pertama-tama sangat menekankan proses pembebasan masyarakat secara kultural, dari budaya apapun yang mengkondisikan mereka “miskin suara” atau yang kita kenal dengan “budaya bisu.” “Budaya bisu” dicerminkan oleh situasi manakala sebuah kebijaksanaan diterapkan dan diperintahkan untuk dilaksanakan, 24 masyarakat tidak pernah sadar atau berdaya untuk menilainya dahulu dari sudut kepentingan dan keuntungan mereka sehingga seringkali kebijakan pembangunan yang sesungguhnya lebih menguntungkan penguasa modal dan kekuasaan pemerintahan tidak mereka ketahui dan tinggal mereka laksanakan saja. Maka, pembebasan rakyat dari “budaya bisu” berarti menggalakkan upaya apa saja untuk membantu rakyat memunculkan kesadarannya terhadap apa saja yang dilaksanakan oleh negara ini, agar senantiasa bisa berorientasi pada kepentingan rakyat. Untuk itu dibutuhkan proses pendidikan politik yang intentis, yang membuat rakyat sadar akan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tidak sekedar menjadi pelaksana, melainkan menjadi penentu segenap proses lahirnya kebijakan sampai pelaksanaan sebuah kebijakan. Paradigma komunikasi partisipatif (horizontal) memungkinkan lahirnya harapan baru akan semakin intensifnya upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia menuju situasi yang lebih demokratis, berdaya, merdeka sepenuhnya, dalam kerangka civil society. Namun yang perlu diingat, perintisan komunikasi partisipatif tidak dimulai dari tingkatan struktur atas yang hanya menjangkau aspek hukum dan perundangan, sistem pemerintahan dan niat baik elit penguasa, melainkan perlu dirintis sejak dari kehidupan sehari-hari dan persoalan sederhana dalam masyarakat itu sendiri. Habermas dan Ruang Publik Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitaskomunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik di dalam masyarakat demokratis dewasa ini. Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik dari hasil proses debat didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh 25 proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional. Habermas menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan di dalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipan haruslah dilampaui, yakni warga negara yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik di dalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual. Proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara dengan kesempatan yang sama tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya. Proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik. Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, dari pada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene bukanlah opini publik sama sekali. Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang di mana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan membenarkan ketidakadilan tertentu. Menurut Habermas, masyarakat memiliki 3 jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Karena sifatnya yang sangat instrumental dengan tugas kerja yang konkret, pada dasarnya adalah kepentingan yang “teknis.” Kepentingan yang kedua adalah interaksi. Karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis.” Ia mencakup kebutuhankebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah 26 cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama, kita juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris.” Masyarakat Pertentangan antar selalu mengandung ketiga kepentingan-kepentingan jenis yang kepentingan ada, hanya ini. dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep Ruang Publik. Baginya, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Situasi ideal, kebenaran tidak menjadi obyek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi. Ruang publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman, 2009). Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Prinsip dasar dari kegiatan pendampingan adalah egaliter atau kesederajatan kedudukan. Dengan demikian hubungan yang terjalin antara fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan 27 mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya. Beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizer” atau “educator.” Peranan ini bergerak dari satu ke lainnya, sehingga ia memiliki peranan ganda. Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist” (Nasdian, 2003). Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat sebagai berikut: Peran Fasilitatif Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas. Peran Pendidik Tantangan untuk fasilitator adalah “mengajar” dengan cara seterbuka mungkin sambil menanggapi agenda partisipan, dari pada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari keterampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, 28 dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. Peneliti Fasilitator Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik. Peran Teknikal Proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknikteknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assessment.” Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan 29 prasarana desa. Untuk maksud tersebut, seorang fasilitator teknik harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu: a. Keterampilan untuk memberdayakan masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas teknis dan manajerial. Hal termasuk keterampilan untuk menerapkan prosedur dan metode yang mendorong peningkatan tingkat pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan pengalihan ilmu sosial dengan uraian tugas. b. Keterampilan teknis, termasuk keterampilan dalam bidang teknis sipil yang umum maupun keterampilan dalam pembangunan jenis prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. c. Keterampilan untuk menilai dan meningkatkan kemandirian teknis. Pemerintah Kelurahan Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 2005 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan. Dalam UndangUndang tersebut dicantumkan bahwa: (1) kelurahan di bentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah; (2) kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota; (3) selain tugas tersebut di atas, lurah mempunyai tugas untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, pembinaan lembaga kemasyarakatan; (4) lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (5) dalam melaksanakan tugasnya, lurah bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat ; (6) lurah dalam melaksanakan tugasnya, dibantu oleh perangkat kelurahan; (7) perangkat kelurahan bertanggung jawab kepada lurah; (8) untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah, dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Perda, yang dimaksud dengan lembaga lain adalah lembaga 30 kemasyarakatan seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)1. Perangkat kelurahan terdiri dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi sebanyak-banyaknya 4 Seksi serta jabatan fungsional yang bertugas membantu lurah dalam menjalankan roda pemerintahan (Adi, 2003). Dalam melaksanakan tugasnya perangkat kelurahan bertanggung jawab kepada lurah, dan perangkat kelurahan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Tugas dan fungsi perangkat kelurahan dalam mengelola administrasi pemerintahan kelurahan antara lain: (1) sekretaris kelurahan mempunyai tugas dan fungsi sebagai penyelenggara pembinaan administrasi pemerintahan kelurahan dan memberikan pelayanan staf kepada Seksi dan serta melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan, dan laporan, urusan keuangan, urusan pembangunan dan urusan kemasyarakatan; (2) seksi melaksanakan tugas lurah dalam wilayah kerjanya dan membantu pelaksanaan tugas lurah dalam wilayah kerjanya serta melaksanakan tugas dan fungsi lurah, apabila lurah berhalangan hadir melakukan tugas di wilayah kerjanya. Pemerintahan kelurahan adalah merupakan keseluruhan dalam hubungan dengan pencapaian tujuan pemerintah kelurahan atau bisa juga dikatakan bahwa pemerintah kelurahan berfungsi sebagai pelaksana dalam pencapaian tujuan pemerintahan kelurahan itu sendiri. Hal ini dipertegas bahwa pemerintahan kelurahan adalah pelaksana dan penyelenggara semua kegiatan yang bersumber pada wewenang pemerintahan kelurahan yang terdiri atas tugas-tugas, kewajiban, tanggung jawab dan hubungan-hubungan kerja yang dilaksanakan dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna menjalankan pemerintahan kelurahan. Pemerintah kelurahan tidak dapat melepaskan diri dari fungsi pemerintahan Negara sebab pemerintahan kelurahan merupakan organisasi yang paling bawah dari pemerintahan Negara, dengan demikian dapat dilihat betapa pentingnya fungsi administrasi pemerintahan kelurahan dalam melaksanakan kegiatannya. Fungsi dari pemerintahan kelurahan antara lain: (1) merencanakan, yaitu membuat suatu rencana kerja atau program operasional 1 PNPM Pedesaan. 2005. Peraturan Kelurahan. http://www.pnpm-perdesaan. or.id/ downloads /PP%2073.2005%20-%20Kelurahan.pdf [diakses 18 Januari 2011]. 31 yang sesuai dengan segi pendekatan yang mengarah kepada suatu tujuan, fungsi serta ruang lingkup tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dari para anggota perangkat kelurahan; (2) mengkoordinir, yaitu mengorganisir seluruh kegiatan alat-alat, tugas, tanggung jawab serta wewenang dari seluruh pamong kelurahan sehingga terdapat organisasi yang digerakkan sebagai suatu kesatuan di dalam pencapaian tujuan pemerintah kelurahan yang baik; (3) mengawasi, yaitu mengawasai seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan sehingga dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana yang telah ditentukan; (4) mengadakan kerja sama, yaitu memimpin keseluruhan kerja sama yang baik antara masyarakat, instansi-instansi atau badan-badan/organisasi atasan dalam tingkat kelurahan. Pembangunan kelurahan atau pembangunan masyarakatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional suatu bangsa/Negara. Keberhasilan pembangunan kelurahan turut menentukan keberhasilan pembangunan nasional demikian pula keberhasilan pembangunan nasional dapat dinikmati secara merata oleh semua lapisan masyarakat hingga ketingkat yang paling bawah. Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) Sebagai upaya mendukung kebijakan pemerintah terutama Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersama para mitranya, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) melakukan model implementasi kebijakan tersebut melalui kegiatan pembangunan pemberdayaan keluarga, utamanya di pedukuhan dan pedesaan di hampir seluruh Indonesia. Pemberdayaan keluarga tersebut bukan saja meliputi bidang kesehatan maupun lingkungan hidup khususnya kebun bergizi, tetapi juga bidang pendidikan dan ekonomi keluarga yang diwujudkan lewat koperasi. Semua kegiatan tersebut dikonversikan melalui Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya)2 Posdaya adalah forum silaturahmi, advokasi, komunikasi, informasi, edukasi dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara terpadu (Suyono & Haryanto, 2009). Posdaya juga dapat menjadi wadah pelayanan keluarga secara terpadu, yaitu pelayanan pengembangan keluarga secara berkelanjutan dalam berbagai 2 Majalah Gemari. Posdaya. 2010. http://www.gemari.or.id/file/edisi122/gemari12215.pdf [diakses 18 Januari 2011]. 32 bidang, utamanya agama, pendidikan, kesehatan, wirausaha dan lingkungan hidup, sehingga keluarga secara harmonis bisa tumbuh mandiri di desanya. Pengembangan Posdaya menurut Suyono dan Haryanto (2009) ditujukan untuk tercapainya hal-hal sebagai berikut: (1) dihidupkan dukungan sosial budaya atau sosial capital seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk merangsang keluarga lain membantu pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama memecahkan kehidupan yang kompleks, melalui wadah atau forum yang memberikan kesempatan para keluarga untuk saling asah, asih, dan asuh dalam memenuhi kebutuhan membangun keluarga bahagia dan sejahtera (2) terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga yang dapat menjadi perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun damai dan memiliki dinamika yang tinggi (3) terbentuknya lembaga sosial dengan keanggotaan dan partisipasi keluarga di desa atau kelurahan yang dinamis menjadi wadah atau wahana partisipasi sosial, sehingga para keluarga dapat memberi dan menerima pembaharuan. Sesuai dengan delapan fungsi keluarga, sasaran kegiatan yang ditujukan adalah upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan delapan fungsi keluarga. Sasaran utama diarahkan kepada empat prioritas utama, yakni komitmen pimpinan kepada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten; bidang keluarga berencana dan kesehatan; bidang pendidikan; bidang wirausaha. Tujuannya adalah menjadikan Posdaya sebagai wahana bersama untuk membantu pemberdayaan keluarga yang memungkinkan setiap keluarga bisa saling belajar dari keluarga yang lain sehingga mampu menjadi subyek untuk secara mandiri membangun anggota keluarganya. Program melalui kegiatan advokasi harus bisa menyakinkan para pejabat formal dan fungsional serta para pemimpin non formal untuk mampu membantu mengisi dan meningkatkan dinamika pembangunan melalui kerjasama dengan seluruh unsur yang tergabung dalam Posdaya. Adanya dukungan dan partisipasi para pemimpin tersebut, proses pemberdayaan pembangunan ditawarkan melalui Posdaya berupa program-program yang mendukung penyegaran hidup gotong-royong, mampu memberikan tambahan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mendorong dalam pemantapan fungsi-fungsi keluarga seperti telah disampaikan di atas. Penguatan fungsi-fungsi utama tersebut diharapkan memungkinkan setiap keluarga semakin mampu membangun dirinya menjadi keluarga yang sejahtera, keluarga yang mandiri dan keluarga yang sanggup 33 menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik. Lebih dari itu keluarga sejahtera yang bermutu dan mandiri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan keluarga yang intinya keikutsertaan dalam KB, kesehatan, pendidikan, dan kemampuan ekonomi keluarga yang mencukupi dan berkelanjutan. Posdaya bukan dimaksudkan untuk mengganti pelayanan sosial ekonomi kepada masyarakat berupa pelayanan terpadu diberbagai bidang seperti Posyandu, PAUD, pelayanan BLT, pelayanan beras RASKIN, atau pelayanan pembangunan mengembangkan lainnya. kegiatan Posdaya di bangun pemberdayaan sebagai terpadu yang forum untuk dinamis, yaitu pemberdayaan pembangunan untuk seluruh anggota keluarga yang dipadukan dengan saling terkait. Tujuannya adalah agar pimpinan keluarga mengetahui peran dan fungsinya yang lengkap sebagai kesatuan keluarga yang utuh. Akhirnya setiap kepala keluarga dan anggotanya bisa saling mengingatkan untuk melakukan pemberdayaan seluruh anggota keluarga secara mandiri. Posdaya dikembangkan secara bertahap, mulai dari yang bersifat sederhana dengan kegiatan terbatas sampai akhirnya paripurna, tergantung dari dukungan masyarakatnya. Posdaya paripurna merupakan forum pemberdayaan yang bervariasi, dimana sebagian besar pengelolaan dan pembiayaannya di kelola dan berasal dari anggota masyarakat. Sasaran kegiatan yang dituju adalah terselenggaranya upaya bersama agar setiap anggota keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan fungsi-fungsi keluarga secara baik. Pengembangan Posdaya ditujukan untuk tercapainya hal-hal sebagai berikut : a. Dihidupkannya dukungan sosial budaya atau modal sosial seperti budaya hidup gotong royong dalam masyarakat untuk saling peduli sesama anak bangsa, saling tolong menolong antar keluarga dengan keluarga lain, saling mengulurkan bantuan pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama memecahkan masalah kehidupan yang kompleks, melalui wadah atau forum yang memungkinkan setiap keluarga untuk saling asah, asih dan asuh, dalam memenuhi kebutuhan membangun keluarga bahagia dan sejahtera. b. Terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai dan memiliki dinamika yang tinggi. 34 c. Terbentuknya lembaga sosial keanggotaan dan partisipasi keluarga di desa atau kelurahan yang dinamis dan menjadi wadah atau wahana partisipasi sosial, dimana setiap keluarga dapat memberi dan menerima pembaharuan yang bisa membantu proses pembangunan kehidupan. Metode Pengembangan Posdaya dilakukan melalui beberapa bentuk kegiatan berikut: 1. Pelatihan, dilakukan untuk membekali pengurus dan kader Posdaya dengan program motivasi dan keterampilan. 2. Rapat koordinasi, dilakukan untuk mengetahui perkembangan masingmasing Posdaya, saling berbagi antar pengurus atau kader, dan sosialisasi program. 3. Pendampingan, dimaksudkan untuk mengadakan teman diskusi bagi Posdaya, sumber informasi dan motivator pengembangan Posdaya. Berdasarkan kemampuan Posdaya membiayai kegiatan dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Mandiri, yakni sumber pembiayaan kegiatannya tidak lagi tergantung dari Yayasan Damandiri, tetapi dapat mengakses sumber-sumber dana tanpa ikatan. b. Mandiri Partial, yakni sumber pembiayaan kegiatannya sebagian masih tergantung dari bantuan Yayasan Damandiri, sebagian diperoleh dari sumber-sumber lain. c. Pemula/Belum Mampu Mandiri, yakni sumber pembiayaan kegiatannya sepenuhnya dari Yayasan Damandiri. Hasil Penelitian yang Relevan Berbagai penelitian tentang komunikasi partisipatif dalam program pembangunan telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh praktisi komunikasi, mahasiswa maupun para ahlinya. Berbagai faktor diketahui dapat mempengaruhi komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan suatu program pembangunan. Hasil penelitian Wahyuni (2006), menemukan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara mengimplementasikan program melalui proses komunikasi yang cenderung top-down dan searah serta kurang terjadinya komunikasi yang bottom-up dan interaktif cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat. Akibatnya, peningkatan aspirasi masyarakat menjadi kurang efektif. 35 Cahyanto (2007), menemukan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani tehadap model usahatani terpadu yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani. Keefektivan komunikasi dalam peningkatan pengetahuan dan sikap petani dalam model usahatani ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. Mulyasari (2009), menemukan bahwa pada kegiatan Bengkulu Regional Development Project (BRDP) warga sangat aktif pada tahap evaluasi. Namun, pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, warga tidak banyak aktif terlibat dalam kegiatan BRDP. Aktifnya komunikasi partisipatif warga pada tahap evaluasi dikarenakan mereka ingin menjadi anggota UPKD yang berhak memperoleh bantuan modal bergulir. Selain itu, komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP tidak dipengaruhi oleh faktor kredibilitas agen pendamping (fasilitator) dan faktor keragaan individu. Muchlis (2009), komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) terimplementasi baik dari dengan perspektif baik dalam ekonomi Program maupun Nasional gender belum Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM MPd). Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia, dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif.