buku jurnal 1 convert - Jurnal Hukum dan Peradilan

advertisement
Volume 02 Nomor
ff+i'. '.i'F :
iir.i..:ij:;:.. .
:. . ':
r
::'"..
ffi
ill""."'
,
l.l.t.'....: l
I Morel 201 3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil
penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan.
Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, Nopember)
Penasehat
Penasehat
Penanggung Jawab
Pemimpin Umum
Wakil Pemimpim Umum
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi
Sekretaris
Anggota
Dewan Pakar
Mitra Bestari
Tata Usaha
: 1. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH.
2. Dr. H. Ahmad Kamil, SH. M.Hum.
3. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH.
: Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH.
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS.
: H. Amirullah Sholeh, SH. MM.
: R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM.
:
: Dr. Ismail Rumadan, MH.
: Hudan Isnawan, SH., M.SI.
: 1. Moch. Iqbal, SH.
2. Johanes Brata Wijaya, SH.
3. Budi Suhariyanto, SH., MH.
4. Mila Kurnia Rahma, SH.
: 1. Dr. Andi Syamsu Alam, SH. MH.
2. Suwardi, SH.
3. Dr. Artidjo Alkostar, SH. LLM.
4 Timur Manurung, SH., MH.
5. Widayatno Sastro Hardjono, SH., M.Sc.
6. H.M. Imron Anwari, SH., Sp.N., MH.
: 1. Prof. Dr. Abdul Latif, SH. MH.
2. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH.
3. Dr. Hasbi Hasan, SH. MH.
4. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH.
5. Laksamana Muda A.R. Tampubolon, SH, MH.
: Enny Yuniarti, S.Sos., Muchtar, SH, Sudaryanto,
SH. MH., Auto, SH., Suhenda, SH.
Alamat Redaksi :
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011
Email: [email protected]
[email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Kebebasan Hakim dan Problematikanya dalam Sistem
Peradilan Indonesia ………………………………………………
1
Abdul Latif
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia :
Refleksi dalam Penelitian Sosio-Legal …………………………..
21
Herlambang P. Wiratman
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan ………………..
35
Muhammad Djafar Saidi
Teori Ganti Rugi dalam Perspektif Hukum Islam …………….
45
Asmuni
Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum Nasional ……..
67
Dina Sunyowati
Politik Hukum Pelembagaan Komisi-Komisi Negara dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia ………………………………
85
Muhammad Anis
Quo Vadis Perlindungan Hukum terhadap Korban melalui
Restitusi (Perspektif Filsafat, Teori, Norma dan Praktek
Penerapannya) …………………………..………………………..
109
Budi Suhariyanto
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht : Kajian Tentang Hak
Atas Tanah oleh Penduduk ……………………………………..
Harto Juwono
131
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
Biodata Penulis
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan
Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI
Bisminllahirrahmannirrahim
Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang
Maha Segala atas segala, yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
menuntun gerak dan memotivasi, memberi kemampuan berfikir kepada hambaNya untuk berbuat kearah yang terbaik, memberikan penghargaan yang tinggi
kepada hamba-Nya yang selalu mengkaji berbagai problem kehidupan
disekitarnya.
Sebagai salah satu program prioritas Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung
RI Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan menjadi upaya positif yang dilakukan
oleh Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara
kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI
yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan ini diharapkan menjadi media bagi
insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum dan peradilan untuk
mengaktuasikan ide, pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan
hukum dan peradilan secara ilmiah. Kehadirannya patut diapresiasi, dan
diharapkan menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa menata pembangunan
hukum dan peradilan masa mendatang.
Beberapa tema yang menarik untuk dikaji dan diangkat dalam terbitan
edisi perdana ini adalah: Kebebasan Hakim dan Problematikanya dalam
Sistem Peradilan Indonesia, Good Governance dan Pembaruan Hukum di
Indonesia: Refleksi dalam Penelitian Sosio-Legal, Tindak Pidana Korupsi di
Bidang Perpajakan, Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Internasional sebagai Sumber Hukum dalam Hukum Nasional (Dalam
Perspektif Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di
Indonesia), Politik Hukum Pelembagaan Komisi-Komisi Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Quo Vadis Perlindungan Hukum terhadap Korban
melalui Restitusi (Perspektif Filsafat, Teori, Norma dan Praktek Penerapannya),
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht: Kajian tentang Hak Atas Tanah oleh
Penduduk.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua
Mahkamah Agung RI dan seluruh unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang
telah memberikan dukungan terbitnya jurnal ini, Juga Kepala Badan Litbang Diklat
Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Selanjutnya ucapan
terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada para penulis yang telah
berkontribusi mengirimkan artikelnya,para Mitra Bestari yang telah meluangkan
waktunya untuknya mereview artikel para penulis, Semoga mendapat pahala yang
setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Jakarta, Maret 2013.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Abdul Latif
Kebebasan Hakim dan Problematikanya dalam Sistem Peradilan Indonesia
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No.1-21., hlm.
Sistem peradilan Indonesia tidak sepenuhnya berfungsi karena ada peraturanperaturan yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang
memerlukan sanksi untuk lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan
tugasnya. Kepercayaan masyarakat kepada peradilan hams dipulihkan. Untuk
memantapkan sistem peradilan hakim perlu lebih dijamin kebebasannya. Sumber
daya manusianya perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun penguasaan
pengetahuannya khususnya hukum materiil maupun formil. Modernisasi
administrasi peradilan akan lebih memperlancar jalannya peradilan yang akan
menumbuhkan kembali kepercayaan kepada peradilan, namun kini belum optimal
berfungsi untuk menyelesaikan administrasi peradilan seperti masih
bertumpuknya putusan-putusan yang belum sampai kepada para pencari keadilan.
Hak pencari keadilan untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak,
diperlakukan sama dengan sesama pencari keadilan, serta memperoleh putusan
dalam waktu yang wajar, sederhana dan biaya ringan adalah merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap pencari keadilan. Perlu adanya peningkatan ke arah
terjadinya pembahan atau pergeseran dari "hakim terikat" ke arah "hakim bebas",
dan "keadilan menurut undangundang" ke arah "keadilan menurut hakim seperti
yang tertuang dalam putusannya, dari berfikir dengan mengacu kepada sistem ke
arah berfikir dengan mengacu kepada masalahnya.
Kata Kunci: Kebebasan hakim, Problematika, Sistem Peradilan Indonesia.
Indonesian justice system is not fully functioning because there-rules and
regulations that do not run as it should and there is a need to ensure greater
freedom sanction judges in performing their duties. Public confidence in the
judiciary should be restored. To strengthen the justice system needs to be
guaranteed freedom of judges. Human resources need to be increased both its
integrity and mastery of knowledge in particular substantive legal or formal.
Modernization of the administration of justice would be better facilitate the course
of justice will grow back confidence to the judiciary, but now is not optimal
functioning to complete the administration of justice as is the accumulation of
decisions that have not come to those seeking justice. Justice seeker the right to
obtain justice freely and impartially, to be treated the same as fellow seekers of
justice, and to obtain a decision within a reasonable, simple and low cost is a
basic need for every seeker of justice. There needs to be increased in the direction
of the change or shift from "the judge is bound" to the "independent judge", of
"justice under the law" toward "justice according to the judge as set out in its
decision, of thinking with reference to the system in the direction of thinking with
reference to the problem.
2
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Keywords: Freedom of judges, Problems, Indonesian Justice System.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Herlambang P. Wiratman
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia : Refleksi dalam
Penelitian Sosio-Legal
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 22-34, hlm.
Dalam dekade terakhir pasca Soeharto, Good Governance (GG) telah sering
mendengar seperti 'mantra' GG tampaknya mudah diucapkan banyak bicara,
formal, dan tumbuh menjadi cita-cita politik yang dominan serta konstitusional
dan publik wacana administrasi besar yang telah berakar dalam hukum, kebijakan,
dan pendidikan tinggi. Seperti ayam yang berkokok di pagi hari, is terns berbicara
di pagi hari, lebar kotak bibit 'governance', seperti 'tata kelola kehutanan yang
baik', 'tata kelola keuangan yang baik', 'good university governance', dan banyak
lainnya. GG, dalam konteks itu, tampaknya seperti nutrisi yang tepat untuk
mengatasi kelemahan sistem hukum Indonesia, birokrasi yang korup, dan
kepemimpinan politik predatoric.
Dalam hal ini, harus dilihat lebih dekat, apa yang sebenarnya keunggulan yang
dimiliki saat GG adalah berbicara? Jelas, hukum adalah salah satu alat untuk
memastikan pengoperasian mantra dalam pelaksanaannya, dan didasarkan pada
penelitian utama yang dilakukan pada tahun 2005-2006, dengan fokus pada isu
Reformasi Hukum dengan menerapkan pendekatan sosio-legal.
Akibatnya, penelitian ini memberikan fakta yang berbeda atau bahkan
bertentangan dengan cita-cita bangunan politik atau diformalkan atau terwujud
hukum dan kebijakan. Sebagai contoh, satu studi menunjukkan bahwa GG dalam
konteks reformasi hukum di Indonesia sebenarnya sangat menakutkan dan
melemahnya jaminan hak asasi manusia. Hukum, khususnya produk legislasi dan
lembaga, serta transmisi mesin yang dominan dalam mengadvokasi pasar bebas
(pasar reformasi hukum ramah gratis). Mungkin, kesimpulan tidak populer di
tengah-tengah pidato ejaan bising GG dan proyekproyeknya. Namun demikian,
Indonesia saat ini menunjukkan kelanjutan dari korupsi besar-besaran,
pelanggaran HAM, impunitas dan semua situasi non-perlindungan dalam sistem
hukum Indonesia.
Kata Kunci : Pembaharuan Hukum, Reformasi Hukum, Pendekatan Sosio Legal
In the last decade post Soeharto, Good Governance (GG) has been often heard
like a `mantra'. GG seems easily uttered talkative, formalized, and grew into a
dominant political ideals as well as major constitutional and public
administration discourse which have rooted in law, policy, and higher education.
Like a rooster crowing in the morning, he continued to speak out in the mornings,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
wide box spawn 'governance, such as 'good forestry governance, 'good financial
governance, 'good university governance, and many others. GG, in that context,
seems like an appropriate nutrition to overcome the weakness of the Indonesian
legal system, corrupt bureaucracy, and the predatoric political leadership.
In this regard, it should be viewed more closely, what is actually superiority owned
when GG is talked? Obviously, the law is one of the tools to ensure the operation of
the mantra in its implementation, and based on master research conducted in 20052006, focusing on the issue of the Law Reform by applying a socio-legal approach.
As a result, this study gave the fact which is different or even contrary to the ideals of
political buildings or formalized or materialized law and policy. For example, one
study showed that the GG in the context of legal reform in Indonesia actually very
sinister and weakening the guarantee of human rights. Law, especially product of
legislation and institutions, as well as its machinery transmission are dominant in
advocating free market (free market friendly legal reform). Perhaps, the conclusions
is not popular in the middle of the noisy speech spelling of GG and its projects.
However, Indonesia today shows the continuation of massive corruption, violation of
human rights, impunity and all the non protection situation in the Indonesian legal
system.
Keywords : Good Governance, Law reform, Sosio Legal approach
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Muhammad Djafar Saidi
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 35-44, hlm.
Pelaksanaan hukum pajak in casu UUKUP bertujuan mendidik wajib pajak
memenuhi hak dan kewajibannya, tetapi pegawai pajak dan pejabat pajak
menyalahgunakan untuk memperkaya din sendiri dalam bentuk melakukan tindak
pidana korupsi di bidang perpajakan. Berhubung karena kaidah hukum dalam
UUKUP memberikan wewenang luar biasa kepada pejabat pajak sehingga
pegawai pajak mewujudkannya. Oleh karena itu, kaidah hukum dalam UUKUP
memerlukan penataan kembali untuk mencegah tindak pidana korupsi di bidang
perpajakan.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Pidana Korupsi, Perpajakan
Implementation of the tax law in casu UUKUP aims to educate taxpayers fulfill
their rights and duties, but tax officials and tax officials to enrich themselves
abused in the form of committing corruption in the field of taxation. Since the rule
of law because of the tremendous UUKUP authorizes the tax authorities that tax
officials to make it happen. Therefore, the rule of law in UUKUP require
realignment to prevent corruption in the field of taxation.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Keywords : Crime, Corruption, Taxation
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Asmuni
Teori Ganti Rugi dalam Perspektif Hukum Islam
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 45-66, hlm.
Ide Ganti rugi terhadap korban perdata maupun pidana, sejak awal sudah
disebutkan oleh nas al-Qur'an maupun Hadis Nabi. Dari nas-nas tersebut para
ulama merumuskan berbagai kaidah fiqh yang berhubungan dengan ganti rugi
atau daman. Memang diakui sejak awal, para fuqaha tidak menggunakan istilah
masuliyah madaniyah sebagai sebutan tanggung jawab perdata, dan juga
masuliyah al-jina'iya.h untuk sebutan tanggung jawab pidana. Akan tetapi
sejumlah pemikir hukum Islam klasik terutama al-Qurafi dan al-qz Ibn Abdi
Salam memperkenalkan istilah al-jawabir untuk sebutan ganti rugi perdata (baca:
daman), dan al-zawajir untuk sebutan ganti rugi pidana (baca: `uqubah diyat,
arusy dan lain-lain). Walaupun dalam perkembangannya kemudian terutama era
kekinian para fuqaha' sering menggunakan istilah masuliyah yang tidak lain
merupakan pengaruh dari karya-karya tentang hukum Barat. Daman dapat terjadi
karena penyimpangan terhadap akad dan disebut daman al-aqdi, dan dapat pula
terjadi akibat pelanggaran yang disebut daman `udwan. Di dalam menetapkan
ganti rugi unsur-unsur yang paling penting adalah darar atau kerugian pada
korban. Kerugian dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga
kerusakan yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan darar adabi
termasuk di dalamnya pencemaran nama baik. Tolak ukur ganti rugi baik kualitas
maupun kuantitas sepadan dengan kerugian yang diderita pihak korban, walaupun
dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai
dengan kondisi pelaku.
Kata Kunci : Ganti Rugi, Hukum Islam, Perspektif Hukum.
The idea of daman towards both criminal and justice victims, from early time, has
been mentioned in the nash of both Al-Quran and Al-Hadith. From the nash,
Ulemas have formulated various fiqh forms concerning daman (compensation). In
fact, from early time the Islamic Jurists have not applied the terms masuliyah
madaniyah for justice responsibility, and masuliyah al ina'iyah for criminal one.
However, several thinkers of classical Islamic law mainly al-Qurafi and al- `Iz
Ibn Abdi Salam have introduced the term al-jawabir for justice conpensation
(read: daman) and al-zawajir for criminal compensation (read: 'uqubah diyat,
arus, etc.). Although in its development, up to recent time, Islamic Jurists often
use the term masuliyah that is because of the Western work influences. Daman
could occur because of deviation on akad (agreement) namely daman al-aqdi,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
and could happen because of violation namely daman `udwan. In determining the
compensation, the esential elements are darar or lost on the victims. Darar could
occur on physical, material or things and service aspects; and it could also be on
moral and emotional destruction or called darar adabi including name-reputation
damage. The standard for the compensation either on quality or quantity must be
similar to darar suffered by the victims. Although in certain cases, the multiplying
compensation may happen based on the victims' condition.
Keywords : Compensation Theory, Islamic Law, Law perspectives
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Dina Sunyowati
Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum Nasional
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 67-84, hlm.
Kesepakatan negara-negara yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional
baik dalam bentuk perjanjian bilateral, regional dan multilateral merupakan
perjanjian yang mengikat para pihak dan menjadi hukum bagi yang mengikatkan
diri dalam suatu perjanjian (pacta sunt servanda). Perjanjian internasional yang
telah disepakati dan di sahkan dalam suatu ratifikasi oleh suatu negara, maka
perjanjian tersebut berlaku mengikat bagi semua dan menjadi sumber hukum bagi
penegak hukum dalam mengambil keputusan. Hal ini berlaku juga di Indonesia.
Setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia baik yang sudah
tertuang dalam suatu persyaratan ratifikasi atau tidak, tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat bagi kedua belah pihak.
Kata Kunci : Hukum Internasional, Sumber Hukum, Perjanjian Internasional,
Perjanjian Internasional
Countries agreement contained in an international agreement in the form of
bilateral agreements, regional and multilateral agreements that are binding on
the parties and a law for that entered into an agreement (pacta sunt servanda).
International agreements that have been agreed and validated in a ratification by
a country, then the agreement is valid and binding upon all be a source of law for
the enforcement of law in making decisions. This is true also in Indonesia. Any
international agreement that has been followed by Indonesia, which is contained
in a ratification requirement or not, still have the force of binding for both
parties.
Keywords :
International Law, Sources of Law, International Treaties,
International Agreements.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Muhammad Anis
Politik Hukum Pelembagaan Komisi-Komisi
Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 85-108, hlm.
Negara
dalam
Sistem
Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru memiliki kelebihan dan tentu
kekurangan, di satu segi pembangunan insfrastruktur dan supra struktur
berkembang secara pesat, namun perjalanan pemerintahan mengalami penurunan
fungsi dan perannya bahkan stagnan. Oleh karena itu, terjadilah revormasi tahun
1998 dalam berbagai bidang.
Sebagai jawaban menurunnya funsgi dan peran pemerintahan berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, terdapat lah pendapat dengan pembentukan
organisasi barn di luar pemerintahan. Gagasan-gagsan tersebut diwujudkan
dengan pembentukan komisi-komisi yang memerlukan anggaran Negara yang
tidak sedikit, bahkan kadang-kadang terjadi benturan kewenangan antara komisikomisi juga dengan lembaga pemerintahan. Pembentukan komisi-komisi tersebut
tidak lepas dari politik hukum.
Kata Kunci :
Politik Hukum Pelembagaan, Komisi Negara, Sistem
ketatanegaraan
During the 32 years of the New Order government certainly has its advantages
and disadvantages, in terms of the development of infrastructure and suprastructure growing rapidly, but the journey has decreased function of government
and its role even stagnant. Therefore, there was the Reform of 1998 in a variety of
fields.
In reply fungsi decline and the role of government under the Constitution of 1945,
there was an opinion with the formation of a new organization outside the
government. Gagsan ideas are realized with the establishment of committees that
do not require the State budget a little, sometimes a clash of authority between
committees also with government agencies. Committees should not be separated
from the politics of law.
Keywords :
Institutionalization of Political Law, Commissions of the State,
State Administration System
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Budi Suhariyanto
Quo Vadis Perlindungan Hukum terhadap Korban melalui Restitusi (Perspektif
Filsafat, Teori, Norma dan Praktek Penerapannya)
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 109-130, hlm.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang
berorientasi pada pemulihan korban, dimana pelaku melalui pertanggungjawaban
pidananya mengganti kerugian korban. Secara normatif, pengaturan restitusi
dalam hukum positif masih belum tersinergikan dengan baik. Implikasinya, dalam
hal penerapannya mengalami kendala berupa ketidaksingkronan struktur hukum.
Dalam perspektif teori sistem peradilan pidana terpadu, ketidakharmonisan
substansi hukum dan ketidaksingkronan struktur hukum ini hares segera dibenahi.
Pembenahan fundamental dilakukan melalui Re-Filosofi pemidanaan dengan
menjadikan restitusi sebagai pidana pokok dan memberikan posisi barn bagi
korban dalam sistem peradilan pidana mendatang berdasarkan filsafat
restoratifjustice.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Restitusi.
Restitution is a form of legal protection form for victims of victim recovery
oriented. Normatively, on the positive law, restitution has not been cooperated
well yet. Consequenly, the application of the restitution had a problem,
specifically unsynchronized legal structure. Under the integrated criminal justice
system perspective, legal structure and legal substance disharmony need to be
reorganized (regulated). A fundamental arrangement will be done by rephylosophy some punishment, than make restitution become a prinsipal
(main)criminal and giving a new position for the victim to the later integrated
criminal justice system based on the phylosophy of restoratifjustice.
Key words: legal protection, victims, restitution.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Harto Juwono
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht : Kajian Tentang Hak Atas Tanah oleh
Penduduk
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 131-150, hlm.
Pada saat ini, persoalan kepemilikian tanah diantara penduduk menjadi hal
yang rumit dan sering mengakibatkan terjadinya konflik, baik individual
maupun kelompok (massal). Adanya ketidakjelasan status tanah memerlukan
suatu kajian dengan pendekatan historis atas pengaturan hukum atas tanah,
yang berubah mengikuti rezim hukum, yang mengakibatkan perubahan pada
hak dan status kepemilikan tanah tersebut. Hasil kajian ini menyimpulkan
bahwa permasalahan yang terjadi adalah akibat ketidakjelasan dari pemerintah
dalam menerangkan rezim hukum mana yang diberlakukan pada saat ini.
Sebagian besar masyarakat masih bertahan dengan pemahaman tentang hak
kepemilikan (bezitzrecht) atau hak penguasaan (beschikkingsrecht) atas tanah,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
yang berbeda dengan konsep hak milik atas tanah (eigendom). Oleh karena itu,
Pemerintah diharapkan dapat lebih mensosialisasikan konsep hak atas tanah
(eigendom) dan hak-hal atas tanah lainnya yang diberlakukan pada saat ini
sehingga tidak lagi terjadi konflik mengenai hak kepemilikan atas tanah.
Kata Kunci : Hak Kepemilikan (bezitzrecht), Hak Kepemilikan Atas Tanah
(eigendom), Sejarah Regulasi.
Nowadays, land ownership's issues become complicated and often result in
conflict to nation, either individually or groups (mass). Lack of clarity of the
status of the land requires a historical approach to the study of the legal
regulation of land that changed following regime, which resulted in changes to
the rights and status of land ownership. Results of this study concluded that the
problems came out from an incomprehensive notice from the
regulator/government, in order to clarify which regime used by now. Most of
the people are sticking with the understanding of property rights (bezitzrecht)
or tenure (beschikkingsrecht) of land, which is different from the concept of
land title rights (eigendom). Therefore, the Government is expected to socialize
the concept of land title rights (eigendom) and other present land rights so the
conflicts will decrease or subside.
Keyword :
property rights (bezitzrecht), land title rights (eigendom),
regulation history
KEBEBASAN HAKIM DAN PROBLEMATIKANYA DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA
Abdul Latif1
Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar
Jl. Racing Centre Perum. Dosen UMI Blok G/3 Makassar Sul-Sel
Abstrak
Sistem peradilan Indonesia tidak sepenuhnya berfungsi karena ada peraturanperaturan yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang
memerlukan sanksi untuk lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan
tugasnya. Kepercayaan masyarakat kepada peradilan hams dipulihkan. Untuk
memantapkan sistem peradilan hakim perlu lebih dijamin kebebasannya.
Sumber daya manusianya perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun
penguasaan pengetahuannya khususnya hukum materiil maupun formil.
Modernisasi administrasi peradilan akan lebih memperlancar jalannya peradilan
yang akan menumbuhkan kembali kepercayaan kepada peradilan, namun kini
belum optimal berfungsi untuk menyelesaikan administrasi peradilan seperti
masih bertumpuknya putusan-putusan yang belum sampai kepada para pencari
keadilan. Hak pencari keadilan untuk memperoleh peradilan yang bebas dan
tidak berpihak, diperlakukan sama dengan sesama pencari keadilan, serta
memperoleh putusan dalam waktu yang wajar, sederhana dan biaya ringan
adalah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap pencari keadilan. Perlu adanya
peningkatan ke arah terjadinya pembahan atau pergeseran dari "hakim terikat"
ke arah "hakim bebas", dan "keadilan menurut undangundang" ke arah
"keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusannya, dari berfikir
dengan mengacu kepada sistem ke arah berfikir dengan mengacu kepada
masalahnya.
Kata Kunci: Kebebasan hakim, Problematika, Sistem Peradilan Indonesia.
Abstract
Indonesian justice system is not fully functioning because there-rules and
regulations that do not run as it should and there is a need to ensure greater
freedom sanction judges in performing their duties. Public confidence in the
judiciary should be restored. To strengthen the justice system needs to be
guaranteed freedom of judges. Human resources need to be increased both its
integrity and mastery of knowledge in particular substantive legal or formal.
Modernization of the administration of justice would be better facilitate the
course of justice will grow back confidence to the judiciary, but now is not
1
Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar dan kini Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
optimal functioning to complete the administration of justice as is the
accumulation of decisions that have not come to those seeking justice. Justice
seeker the right to obtain justice freely and impartially, to be treated the same as
fellow seekers of justice, and to obtain a decision within a reasonable, simple
and low cost is a basic need for every seeker of justice. There needs to be
increased in the direction of the change or shift from "the judge is bound" to the
"independent judge", of "justice under the law" toward "justice according to the
judge as set out in its decision, of thinking with reference to the system in the
direction of thinking with reference to the problem.
Keywords: Freedom of judges, Problems, Indonesian Justice System.
A. Pendahuluan
Isu sentral tulisan ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah sistem
peradilan Indonesia belum bebas dan mandiri, sehingga perlu ditelaah? Kalau
kita bicara tentang "sistem peradilan" maka itu berarti bahwa sistem
peradilannya belum bebas dan mandiri, tetapi perlu ditingkatkan agar bisa
bebas dan mandiri. Di sinipun dapat timbul pertanyaan, apakah benar bahwa
sistem peradilan Indonesia belum bebas dan mandiri? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka perlu diketahui dan didiskusikan antara lain hal-hal
yang berkaitan dengan problematika sistem peradilan, asas peradilan cepat dan
lambannya peradilan, peran peradilan dalam mempositifkan hukum, penemuan
hukum dan perubahan sosial, dan hakim dalam pembentukan hukum yang akan
menjadi sub pokok bahasan dalam uraian berikut.
Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
berkaitan erat satu sama lain, yang tidak menghendaki adanya konflik di dalam
sistem itu, dan kalau terjadi konflik maka konflik itu tidak akan dibiarkan
berlarut-larut, namun akan dipecahkan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.
Demikian pula dengan sistem peradilan yang erat hubungannya dengan sistemsistem lain dalam sistem hukum nasional seperti diungkapkan Bagir Manan2,
sehingga dalam menilai atau memantapkan sistem peradilan, kita tidak boleh
lepas dari sistemsistem lain dalam sistem hukum nasional. Sistem peradilan itu
tidak berdiri sendiri dan mengingat pula keadaan umum dewasa ini, maka tidak
dapat terlalu diharapkan sepenuhnya hasil yang maksimal dari usaha
pemantapan sistem peradilan ini, jika dalam pembentukan undang-undang
misalnya, karena tidak terkoordinasi, karena tidak memperhatikan sistem lain
dalam sistem hukum nasional, maka hasilnya tidak memuaskan, karena isinya
ada yang bertentangan dengan undang-undang lain.
2
Bagir Manan,bahwa dalam kenyataan, walaupun tradisi common law bertolak dari
kebebasan individual hakim, tetapi disertai pula kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Demikian pula sebaliknya, meskipun tradisi kontinental bertolak dari kemerdekaan
kekuasaan kehakiman, tetapi kebebasan hakim dipandang mutlak dan tidak terpisah
dari kekuasaan kehakiman yang merdeka (makalah, 2012:3).
2
2
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Meskipun demikian keadaan peradilan kita sudah cukup
mengkhawatirkan untuk hanya bertopang dagu bersikap pesimistis dan tidak
berbuat apa-apa. Maka kita hams sangat arif dalam usaha kita memantapkan
sistem peradilan kita dengan selalu memperhatikan sistem-sistem lain dalam
sistem hukum nasional. Kita hams berfikir dalam sistem dan tidak partial.
Kebebasan hakim merupakan asas utama peradilan yang diatur dalam Undangundang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: "Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia"3.
Selanjutnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan-badan peradilan, yang tugas pokoknya adalah untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, sedangkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihakpihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang. Jadi hakim bebas untuk dan
dalam memeriksa serta mengadili (bebas untuk menilai pembuktian, bebas
dalam menemukan hukumnya, bebas dalam mengambil keputusan) serta bebas
dari campur tangan pihak ekstra yudisial.
Namun, kenyataan tantangan independensi hakim selalu datang dari pihakpihak yang kurang memiliki kesadaran hukum4, yaitu pengaruh dari pihakpihak berperkara, pengaruh dari pihak kekuasaan, dan dari kerabat bahkan
ancaman dari pemndang-undangan.Tantangan dari pihak berperkara yaitu
pengaruh suap, tekanan psikhis berupa ancaman dan tekanan pisik misal,
demonstrasi, sedangkan tantangan yang berasal dari penguasa atau pemerintah
yaitu hak keuangan lembaga peradilan ada ketergantungan dengan lembaga
lain, ada perasaan superior dari penguasa, dan ada ketergantungan pelaksanaan
tugas dengan instansi lain. Dan tidak kalah pentingnya juga adalah pengaruh
kerabat yaitu hubungan keluarga, pertemanan dan hutang budi. Ancaman
perundang-undangan yaitu adanya RUU perubahan UU MA yang sangat
berpotensi melanggar independensi hakim, berakibat membunuh kreatifitas
hakim karena ancaman pidana terhadap hakim yang melanggar undang-undang,
hanya akan ada hakim yang legalistik. Menimbulkan ketakutan bagi hakim
untuk membuat putusan, karena putusan yang menimbulkan keonaran dan
kerusuhan diancam pidana dan denda.
Rancangan UU tersebut menurut Harifin A. Tumpa merupakan
"Malaikatul Maut" bagi rokh kekuasaan kehakiman yang merdeka. Inilah
3
4
Harifin A. Tumpa, Independensi hakim bukanlah hak istimewa daripada hakim, tetapi
merupakan sesuatu yang melekat pada hakim yang diberikan oleh undang-undang
untuk kepentingan pencari keadilan. Kemerdekaan hakim harus diartikan bebas dari
tekanan fisik maupun psikhis, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta
bebas dari pengaruh siapapun (makalah, 2012:3).
Ibid, h. 4-5.
3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
semua yang dapat dihadapi oleh hakim dalam melaksanakan peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Walaupun ancaman tersebut tidak perlu
dibatasi dalam undangundang karena pada prinsipnya kebebasan hakim bukan
tanpa batas karena hakim tidak boleh melampaui batas kewenangannya, hakim
hams menjaga kepastian hukum dan hakim hams menjaga konsistensi putusan.
Oleh karena itu kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat
di seluruh dunia yaitu The independence of the judiciary shall be guaranted by
the state and enshrined in the constitution or the law of the country 5, adalah
merupakan dambaan semua bangsa, kebebasan hakim ini tidaklah mutlak. Hal
ini dapat dilihat secara makro dan mikro yaitu Secara makro kebebasan hakim
dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan
sebagainya, dan secara mikro di Indonesia kebebasan hakim dibatasi oleh
Pancasila, Undangundang Dasar, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan,
kepentingan atau kehendak para pihak dalam semua perkara.
B. PEMBAHASAN
1. Problematika Sistem Peradilan
Hakim tidaklah bebas dengan pembatasan seperti yang diketengahkan
dimuka. Tidak sedikit terjadi campur tangan dari pihak luar kekuasaan
kehakiman. Campur tangan dari pihak ekstra yudisiil yang berupa tekanantekanan, provokasi, surat sakti dan sebagainya dalam memeriksa dan mengadili
suatu perkara, membuat hakim tidak tenang dalam menjalankan tugasnya.
Jaminan ketenangan atau keamanan bagi hakim kiranya sangat diperlukan agar
hakim sungguh-sungguh dapat menjalankan tugasnya dengan bebas tanpa
dipengaruhi pihak ekstra yudisiil berdasarkan hati nuraninya dan keyakinannya.
Ia hams dijamin perlindungannya terhadap tekanan, ancaman atau teror.
Oleh karena itu diperlukan pengaturan mengenai sanksi lebih lanjut
terhadap campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Larangan campur tangan
tidak hanya berlaku bagi pihak di luar kekuasaan kehakiman saja, tetapi
ketentuan larangan campur tangan itu kiranya juga berlaku bagi hakim, yang
berarti bahwa hakim wajib menolak campur tangan dari luar kekuasaan
kehakiman. Jaminan berupa rumah, kendaraan atau gaji tinggi tidaklah cukup
untuk menjamin ketenangan menghadapi campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Larangan campur tangan saja kiranya belumlah cukup kalau tidak disertai
dengan sanksi, terutama bagi hakim. Sanksi, terutama bagi hakim, dalam hal ini
secara tidak langsung akan melindungi hakim terhadap campur tangan pihak
luar kekuasaan kehakiman, karena is dapat berlindung di belakang sanksi,
untuk menolak campur tangan.
5
4
Basic Principles On Independence of Judiciary (diadopsi oleh The Seventh United
Nations Congress On The Prevention Of Crimes And The Treatment Of Offenders di
Milan, 26 Agustus — 6 September 1985.
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Kenyataan dapat juga terjadi, bahwa pribadi hakim yang bersangkutan
memang sengaja mau "dicampuri" atau dipengaruhi (suap). Hal ini tidak dapat
sepenuhnya dipersalahkan kepada hakim, karena peradilan merupakan sistem
yang melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, pengacara, para pihak, jaksa.
Kalau tidak ada yang menawarkan (para pencari keadilan, pengacara dan
sebagainya) tidak akan terjadi suap, kecuali apabila hakim yang minta, itupun
masih tergantung kepada yang dimintai mau atau tidak. Baik atas permintaan
hakim maupun atas tawaran pihak lain, kalau hakim akhirnya mau
menerimanya (disuap), kedua perbuatan itu merupakan perbuatan tercela
Teringat pada ungkapan dari Sidney Smith yang sangat memprihatinkan
mengingat keadaan sekarang, yang menyatakan bahwa6. Betapa besar dosa kita
kalau hal ini nanti benar-benar terjadi. Ini menyangkut integritas hakim yang
memerlukan peningkatan integritas sumber daya manusia, yang dapat berupa
pendidikan, penataran, eksaminasi putusan, lebih selektif dalam pengangkatan,
promosi, evaluasi dan mutasi hakim serta sanksi yang lebih berat dalam hal
terjadi pelanggaran oleh hakim. Untuk meningkatkan integritas, kecuali apa
yang telah dikemukakan di atas, perlu kiranya meningkatkan juga
kewaspadaan, aktivitas pengawasan dan pengetahuan para pengawas (hakim
pengawas) serta secara konsisten menindak setiap pelanggaran. Jangan terlalu
gegabah menganggap suatu pelanggaran sebagai "hanya penyimpangan
prosedur" saja.
2. Asas Peradilan Cepat dan Lambannya Peradilan
Speedy administration of justice atau peradilan cepat selalu didambakan
oleh setiap pencari keadilan. Pada umumnya setiap pencari keadilan
menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas walaupun akhirnya
dikalahkan dari pada pemeriksaan yang bertele-tele, tertunda-tunda, sekalipun
akhirnya dimenangkan juga perkaranya.
Sudahlah wajar kalau para pencari keadilan menghendaki penyelesaian
perkara yang cepat, kecuali ingin lekas tahu mengenai kepastian (hukum) hakhaknya dalam suatu perkara, pemeriksaan yang bertele-tele atau tertunda-tunda
berarti mengeluarkan banyak beaya dan waktu. Ada ungkapan yang berbunyi:
justice delayed is justice denied. Asas peradilan cepat ini diatur dalam
UndangUndang Kekuasaan Kehakiman .
Banyak penyebab lambannya jalannya peradilan mengingat babwa sistem
peradilan melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, para pihak, pengacara,
jaksa dan sebagainya. Hakim dapat menunda sidang karena pelbagai alasan,
karena sakit gigi, atas permintaan para pihak, para pihak atau pengacaranya
tidak datang tanpa pemberitahuan atau pengacaranya minta ditunda sidang
dengan alasan ada sidang di tempat lain dan pada umumnya itu semuanya
6
Sidney Smith, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the
multitude think worth defending,
6
5
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
hanyalah bertujuan untuk mengulur-ulur waktu saja, untuk "menunda
eksekusi".
Permohonan banding dan kasasi seringkali hanyalah untuk mengulur-ulur
waktu saja. Barangkali tidak jauh dari kenyataan kalau dikatakan bahwa (di
Indonesia) perkara perdata bukanlah perkara perdata kalau tidak banding.
Banding dan kasasi memang merupakan upaya hukum memperoleh putusan
yang lebih tinggi.Akan tetapi kalau setiap perkara (perdata) dimintakan banding
berarti bahwa kesadaran menurun karena permohoman banding hanya
digunakan untuk mengulur-ulur waktu saja, atau putusannya tidak memuaskan
karena tidak bermutu. Dalam masalah banding di dalam praktek seringkali
tidak ditepati peraturannya, terutama mengenai tenggang waktunya: ini sudah
menyangkut penyimpangan prosedur. Kedua hal tersebut di atas hakim hams
berani menegur pihak yang bersangkutan, pengacara atau jaksa dan peraturan
tentang hukum acara hams lebih ketat dijalankan. Berlarut-Iarutnya jalannya
peradilan karena sering ditunda-tunda dan juga proses permohonan banding
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengurangi kepercayaan para
pencari keadilan kepada pengadilan.
Untuk lebih memperlancar jalannya peradilan perlu kiranya diadakan
pemutakhiran (memodernisasi) administrasi peradilan seperti komputerisasi
putusan dan arsip, alat fotokopi dan sebagainya hal ini telah dilakukan
Mahkamah Agung meskipun belum optimal dalam kenyataannya. Penyelesaian
perkara (terutama yang kondemnatoir) tidak jarang yang tidal( tuntas. Tidak
tuntasnya penyelesaian perkara disebabkan karena putusannya terlalu formal:
yuridis formal tepat, tetapi tidak dapat dilaksanakan, misalnya adanya putusan
kasasi MA yang tidak mencantumkan dalam amar putusan yang menyatakan
terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan, sehingga tidak bermanfaat terutama
bagi yang berkepentingan. Putusan semacam ini jelas tidak akan memuaskan
pihak terpidana atau dalam perkara perdata tidak akan memuaskan pihak yang
dimenangkan karena kecuali tidak dapat melaksanakan putusannya is misalnya
hams mengajukan gugatan lagi. Di samping itu tidak jarang pula suatu putusan
tidak menyelesaikan perkara dengan tuntas, akan tetapi justm menimbulkan
perkara baru,yang dapat merupakan penyebab di sini adalah kurangnya alat
bukti dan atau kurangnya penguasaan hukum materiil dan hukum formil dari
hakim yang bersangkutan.
Di dalam hal ini hakim harus berani melakukan penemuan hukum yang
bebas, penemuan hukum yang tidak hanya bersifat system oriented saja tetapi
juga problem oriented. Hukum materiil dan hukum formil pada umumnya di
dalam praktek orang mudah terjebak dalam rutinitas pekerjaan. Tidak terkecuali
dengan hakim, sehingga akhimya yang dikuasai mengenai hukum materiil dan
formil hanyalah itu-itu saja atau bahkan tidak menguasai, sehingga putusanputusannya sering tidak bermutu. Dalam menemukan hukumnya ajaran
6
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
mengenai penemuan hukum sering diabaikan atau tidak tahu7, bahkan sering
menyimpang dan sistem hukum. Sebagai contoh misalnya ada hakim yang
minta agar akta notaris itu dilegalisasi. Pertimbangan dalam putusan sering
terlalu langsung atau sumir. Selama ini untuk kepentingan itu telah diadakan
lokakarya-lokakarya dan seminar-seminar nasional oleh Mahkamah Agung
seperti yang diselenggarakan melalui Pusdiklat MA pada tanggal 18 Oktober
2012. Di samping lokakarya dan seminar tersebut perlu adanya refreshing atau
penyegaran dalam bentuk pendidikan bagi hakim dan seluruh perangkat
peradilan yang terintegrasi dalam satu sistem.
3. Peran Peradilan dalam Mempositifkan Hukum.
Sekarang ini, dunia peradilan semakin banyak melepaskan diri dari
legisme yang ketat. Hal ini tidak terjadi hanya dalam bidang hukum perdata,
tetapi juga dalam bidang hukum pidana. Terutama setelah diterimanya "alasanalasan penghapus pidana" yang ada di luar undang-undang. Norma-norma yang
bersifat ekstra legal semakin banyak turut menentukan, dan asas-asas yang
bersifat jurisprudensi memainkan fungsi dan peran penting dalam pelaksanaan
undangundang. Di sini kelihatan bahwa acara peradilan merupakan suatu fungsi
yang esensial dalam mempositifkan hukum, karena itu dengan perkembangan
seperti sekarang ini, maka diadakan suatu corak baru dalam dunia peradilan.
Disadari pula bahwa tercipta corak baru dalam peradilan, yang keadaannya
lain daripada dulu sewaktu peradilan yang mengutamakan melaksanakan
undangundang dengan menerapkan sepenuhnya kepada kejadian-kejadian yang
ada. Dewasa ini produk yang dihasilkan oleh acara merupakan input pihakpihak yang berkedudukan penting dan berfungsi dalam proses peradilan.
Perbedaan dalam kekuasaan dan dapat ikut sertanya penegak hukum yang lain
daripada hakim dalam hal-hal yang bersifat juridis, akan mempunyai pengaruh
besar dalam menentukan hasil peradilan itu sendiri. Perspektif sebagian besar
pihak yang terkena dapat pula menguasai jalannya acara peradilan.8
Secara singkat dapat dikatakan bahwa acara peradilan mengambil alih
kedudukan utama dengan menggeser kedudukan pembentuk undang-undang,
maka, dengan demikian peradilan merupakan faktor pembaharu dari materi
hukum secara keseluruhan. Khusus mengenai hukum pidana, para ahli dalam
bidang yang lugs ini akan banyak berfungsi turut menentukan dan berperan
dalam pembentukan hukum yang berkeadilan.
Namun, satu hal yang hams kita perhatikan, seperti diketahui di negaranegara Anglo Saxion peradilan memang mempakan sumber hukum yang
7
8
Sudikno Mertokusumo, dalam bukunya Penemuan Hukum sebuah pengantar,
menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, oleh
karena itu hams dilengkapi dan dijelaskan dengan jalan penemuan hukum. atau dapat
dikatakan menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas,
(2001:26).
Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, (1984: 57).
7
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
pertama dan selanjutnya pula yang utama. Sebaliknya hakim-hakim di negara
kontinental, juga hakim-hakim kita di Indonesia, lebih banyak membatasi diri.
Mereka berkewajiban untuk memberikan suatu putusan, tetapi mereka juga
terikat pada undang-undang. Mereka masih hams berpegang teguh kepada
undang-undang sebagai prinsip legalitas yang mempakan karakteristik bagi
negara hukum yang menganut sistem hukum eropa continental atau civil law
system yang menamakan diri sebagai recht staat atau negara hukum termasuk
Indonesia.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, kita tetap menganggap hakim
sebagai orang yang menegakkan hukum dan sumber yang membahami hukum
itu sendiri. Dalam menerapkan hukum atas kejadian-kejadian konkrit, hakim
hams memperhatikan keadaan-keadaan dan perimbangan-perimbangan sosial
yang senantiasa bembah-ubah. Hakim tidak akan menemukan hukum dalam arti
mengadakan suatu "penyelesaian" dengan melakukan silogisme seperti:
kejadiankejadian objektif lalu aturan hukumnya kemudian konklusinya, putusan
sebagai sanksi yang telah ditetapkan dan ditunjuk oleh suatu aturan hukum itu.
Dapat pula dikatakan bahwa sebenarnya pembentuk undang-undang di satu
pihak dan pelaksana undang-undang di lain pihak, terutama dan khususnya
hakim kedua-duanya silih berganti berhubungan dengan yang disebut
penetapanpenetapan hukum ini. Pembentukan undang-undang dapat
menetapkan undangundang baik sebagai sesuatu perwujudan atas penemuan
hal-hal yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun bersifat
merintis hal-hal yang menjadi acara pembangunan masyarakat itu sendiri.9
Tetapi kenyataan hidup yang senantiasa tumbuh dan perubahan atas
dirinya menyebabkan situasi mengejar antara undang-undang yang telah ada
dan batas maksimum kemampuannya dengan perintisan kembali serta
pengarahan oleh undang-undang "barn" terhadap pembaharuan-pembaharuan
sosial serta perubahan-perubahannya. Oleh karenanya hakim pun senantiasa
dihadapkan kepada persoalan-persoalan seperti yang telah dikemukakan tadi,
yaitu langsung sebagai pelaksana undang-undang atas kejadian sehari-hari yang
dalam perkembangannya masih berada dalam batas luas lingkup daya
berlakunya undang-undang itu sendiri atau telah sampai kepada bagian akhir
dari daya berlakunya undang-undang itu sehingga harus "menciptakan" di
samping menemukan hukum itu sendiri. Dalam hal inilah diperlukan bagi
seorang hakim itu harus memiliki keahlian dan keterampilan teknis yudisial
dalam menemukan dan menciptakan hukum, sehingga is dapat merupakan
9
8
Bagir Manan, mengatakan ada dua instrumen yang dapat dipakai hakim yaitu pertama,
ajaran hakim bukan mulut undang-undang. Kedua, pranata judicial review, salah satu
dari instrumen itu yang menarik adalah ajaran hakim bukan mulut undang-undang,
hakim berhak menolak menerapkan atau mengenyampingkan undang-undang yang
sewenang-wenang atau tidak adil, atau sekurang-kurangnya melakukan penemuan
hukum (penafsiran, konstruksi, dan lain-lain) untuk menemukan putusan yang benar
dan adil
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
pengisian kekosongankekosongan hukum, sementara belum dikejar oleh
pembentuk undang-undang dengan penciptaan undang-undang barn pula.
Untuk sekedar penyegaran perlu dengan singkat diuraikan mengenai
hubungan antara hukum dan penemuan hukum, sebagai hal yang merupakan
masalah barn dalam mengisi kekosongan pembentukan undang-undang. Pada
umumnya orang tidak lagi berpendapat bahwa "dalam suatu negara hanya
pembentuk undang-undang yang berhak menciptakan tertib hukum, dan yang
akan berlaku bagi semua kemungkinan-kemungkinan kejadian. Dahulu orang
memang berpendapat demikian, yaitu bahwa mereka yang ditugaskan untuk
melaksanakan undang-undang tidak diberi wewenang lain lagi dan dalam
bentuk apapun berhubung dengan penerapan undang-undang.10 Hanya
pembentuk undang-undanglah berwenang untuk mengisi semua kemungkinan
kekurangankekurangan itu. Begitu pula untuk mentafsirkan undang-undang,
sehingga hakim hanya sebagai mulut atau corong undang-undang (bouche de la
loi).
4. Penemuan Hukum dan Perubahan Sosial
Di dalam kepustakaan penemuan hukum lazimnya adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan
untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit atau proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sain) tertentu. Hakim
selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang hams
diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi
dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit. Diketahui bahwa pikiran
seperti itu ditonjolkan oleh teori-teori Jean Bedin dan Montesquieu, 11 yaitu
hubungan kekuasaan antara pembentuk undang-undang dan kekuasaan
peradilan. Di sini dikaitkan dengan pendapat bahwa perundang-undangan suatu
negara merupakan suatu kesatuan yang logis sistematis, dan berdasarkan
pendapat ini dikemukakan bahwa putusan-putusan mengenai kejadian-kejadian
yang konkrit selalu dapat ditarik dari undang-undang. Penerapan hukum dengan
demikian hanya akan merupakan deduksi yang bersifat logis belaka terutama
dalam abad yang lewat, pandangan demikian sangat berkuasa dalam hal
"penemuan hukum.11
10
11
Sudikno Mertukusumo, mengemukakan bahwa penerapan hukum tidak lain berarti
menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan
(peraturan) hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin.
Montesquieu, The Spirit of the Laws dalam Bagir Manan,bahwa keterkaitan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim adalah berkaitan dengan fairness dan
impartiality, untuk menjamin agar suatu sengketa atau pelanggaran hukum dapat
diselesaikan secara fair dan tidak memihak, diperlukan badan peradilan dan hakim
yang netral. Itulah sebabnya kekuasaan peradilan hams terpisah dari legislatif dan
eksekutif atau pengaruh dari kekuasaan lain. Untuk menjamin netralitas, tidak
9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya
dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, akan tetapi di dalam
kenyataannya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada
kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja. Penemuan hukum boleh
dikatakan merupakan problematik setiap pencari keadilan yang berkepentingan
dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk peristiwa
konkrit. Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan
Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum
sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri.
Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang sehingga
tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang tidak dapat menambah
dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena menurut
Montesquieu undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif. Oleh
karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga
negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada di bawah
undang-undang. Berdasarkan pandangan ini peradilan tidak lain hanyalah
bentuk silogisme atau bentuk pikir logis dengan mengambil kesimpulan dari
hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis
mayornya adalah undang-undang dan premis minornya adalah peristiwa atau
kasusnya, sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang logis, yaitu suatu
putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat
dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit.
Tetapi, pandangan demikian itu mulai ditinggalkan di abad modern
sekarang ini. Di Perancis. Fancois Geny mengemukakan kritik dalam bukunya,
is mencela pandangan aliran seperti dikemukakan di atas tadi, yaitu yang
berpangkal tolak dari suatu fiksi kesempurnaan undang-undang. Dia
mengemukakan pula suatu teori barn mengenai sumber hukum yang terpadu di
dalam "librerecherche scientifique" sebagai sumber asas-asas hukum, yang
seyogyanya diterapkan oleh hakim apabila undang-undang dan kebiasaan yang
didukung oleh "autorite dan tradition" mengandung kekurangan-kekurangan.
Demikian pula di Jerman tumbuh dan kemudian diperkembangkan, antara lain
oleh Von Jhering, yang disebut "interessenjurisprudenz", dan selanjutnya
diikuti sosiologi hukum (Eugen Ehrlich). "freirechtsbewegung" dari Flapius. Di
Amerika kita lihat realis-realis radikal seperti O.W. Holmes dan Jerome Frank,
begitu pula penulis-penulis B. Cardozo dan Roscoe Pound, yang secara radikal
memutuskan hubungan dengan fiksi-fiksi itu.12
Semua aliran ini menolak pikiran kesempurnaan undang-undang dan
menganggap perlu adanya pembentukan hukum oleh alat-alat yang dibebankan
tugas menerapkan undang-undang; dan merekalah yang akan mengisi
12
10
berpihak dan fair, kekuasaan kehakiman yang terpisah harus merdeka dan ada
kebebasan hakim (makalah, 2012:7)
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (Pengantar Filsafat Hukum),
1996:15.
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
kekurangan-kekurangan dalam hukum. Semua aliran ini, kecuali aliran realitas
radikal dari Amerika, banyak sedikit masih berpegang kepada artian sentral dari
undang-undang yang berlaku, yang akan mengikat hakim sebagai tujuan
karyanya. Juga "freirechtsbewegung" mengikuti pandangan seperti ini. Geny,
masih berpegang teguh kepada metoda penafsiran menurut sejarah undangundang, yang didasarkan kepada kehendak pembentuk undang-undang, dan
menggunakan metoda-metoda penafsiran lainnya semata-mata hanya untuk
menetapkan tentang kehendak pembentuk undang-undang pada waktu
terjadinya undang-undang yang bersangkutan. Ia berpendapat demikian karena
didorong alasan-alasan "kepastian hukum".
Aliran-aliran lain ternyata bergerak lebih jauh lagi. Mereka
menitikberatkan kepada metoda-metoda penafsiran menurut teleologis.13 Di sini
isi undang-undang diorientasikan kepada perimbangan kepentingankepentingan yang dilihat dalam kaitan suasana hubungan yang tertentu, dan
yang memerlukan agar undang-undang diterapkan. Dalam hubungan ini orang
lalu menaruh perhatian terhadap asas-asas tertentu yang dalam hubunganhubungan sosial hams menetapkan tentang berat-ringannya kepentingan hukum
itu, dan hakimlah yang ditunjuk berperan utama mengenai dan dalam segala
sesuatunya.
Sehubungan dengan hal tersebut, lalu timbul pertanyaan mengenai
hubungan satu dengan yang lain antara pembentuk undang-undang dan
peradilan. Sekarang mengenai segi ini dikatakan sebagian orang bahwa "Di satu
pihak pembentuk undang-undang tidak pernah mampu menyiapkan dan
mendugakan terlebih dahulu mengenai kejadian-kejadian di hari yang akan
datang, apalagi memperhitungkan hal-hal seperti demikian itu; sehingga
betapapun undangundang harus dikerjakan lebih jauh oleh yang menerapkan
undang-undang; artinya hams diperhalusnya dan juga dilengkapi". Sebaliknya,
mereka yang menerapkan undang-undang pun hams terikat kepada asas-asas
dan perimbanganperimbangan kepentingan yang oleh undang-undang telah
diberi bentuk positif. Pikiran seperti inilah yang dewasa ini menguasai
pandangan tentang penemuan hukum, dikaitkan kepada perubahan-perubahan
sosial. Dengan lain perkataan bahwa ada suatu pertumbuhan hukum yang
sifatnya dinamis, dalam batas-batas kerangka perundang-undangan yang secara
relatif sifatnya adalah konstan.14
Pusat dari perhatian menurut pandangan ini adalah masalah hubungan
konstan dan dinamik, atau kepastian dan sifat berubah-ubah dalam proses
pembentukan hukum. Dalam kepustakaan Anglo Saxion orang memmuskan
persoalan ini sehubungan dengan yang disebut asas stare decisis (abiding by
precedent). Di satu pihak orang mengakui adanya ikatan juridis formal dari
13
14
Soedikno Mertokusumo, Penafsiran Hukum, 1985:25.
Hal seperti ini terlihat dalam tulisan Julius Stone, dalam Legal System and Lawyer's
Reasoning, 1964: 73.
11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
hakim terhadap ratio decindendi atas dasar stelsel precedent, sedangkan di lain
pihak orang berpegang pada pandangan bahwa ikatan ini dibatasi oleh
kebutuhan hukum baru,15 dan antara hubungan kemasyarakatan yang
mengharuskan lebih jauh ada penghalusan dan pengerjaan terhadap asas hukum
(ratio decidendi). Jika hal ini kita hubungkan dan dilihat dari perintisan masa
depan peradilan pidana dan perkembangannya, maka dapat dikatakan bahwa
masa depan peradilan pidana tidaklah hanya suatu pemekaran dari saat ini
belaka. Sebabnya oleh karena pertumbuhan hukum adalah sesuatu yang secara
prinsipiil bersifat "discountinued". Pertumbuhan hukum tidak berarti
bertambahnya hal yang sama, melainkan hal yang sama menjadi lain.
Untuk dapat memberikan bentuk dan isi kepada pertumbuhan ini, maka
seorang ahli hukum pidana hams dijiwai oleh suatu kehendak yang mantap dan
ulet untuk melihat, dan kemudian lalu berkeyakinan bahwa hal-hal di dunia ini
akan selalu menjadi lebih baik lagi. Dia akan menghadapi lapangan
pekerjaannya tidak sebagai sesuatu yang telah disediakan, terbuka oleh alam
ditempatnya, tetapi sebagai suatu perencanaan (design) yang telah digariskan
kepadanya untuk diarahkan kepada suatu cita-cita kehidupan yang mulia. Ia
dapat memulai dengan melihat perencanaan itu secara historis, tetapi
selanjutnya is dapat menempatkan perencanaannya sendiri di samping yang
telah ada itu atau bahkan bertentangan dengan itu. Baru setelah dijabarkan
secara demikian akan ada saat-saat kreatif dalam kehidupan ahli hukum
tersebut bergulat dengan masalah-masalah hukum dan kemasyarakatan.
Sekarang cita-cita kemanusiaan dan pandangan kemasyarakatan
mempunyai arti yang lebih besar sehingga masyarakat akan datang memerlukan
pembentukan dan penegakan hukum yang wajahnya lain dari yang kemarin.
Tetapi hukum yang sekarang ini tetap merupakan pangkal tolaknya di samping
dasar-dasar kekecewaannya pula. Sehingga politik hukum pembentukan
undang-undang hams mengacu kepada kondisi dan kebutuhan masyarakat,
yang hams menjadi dasar pembentukan hukum yang dicita-citakan (rechtsidee)
oleh bangsa dan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD
Negara RI Tahun 1945.
Kedepan di dalam kenyataan hidup kemasyarakatan, persoalan bukanlah
hanya untuk mendapatkan dan membentuk pengertian-pengertian serta cita-cita
belaka, tetapi yang penting lagi adalah untuk mewujudkannya. Dengan
demikian maka kenyataan-kenyataan sekitar pengusutan, peradilan, penjara dan
pelaksanaannya, senantiasa akan merupakan hasil usaha cita-cita tentang halhal tersebut. Diukur kepada cita-cita itu maka kenyataan-kenyataan ini selalu
tidak sempurna, dan karenanya pula hal-hal yang terjadi itu akan selalu ada
jejaknya untuk diteruskan dan mengadakan perubahan-perubahan.
15
12
Lengemeijer, dalam bukunya Pengantar Studi Filsafat Hukum, mencatat bahwa
manusia seringkali bertahan untuk taat pada suatu aturan hukum positif, selama dia
masih berlaku, sekalipun aturan itu sebenarnya tidak adil, 1970: 186.
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Hal tersebut mempunyai akibat bahwa selumh kompleks norma, dan begitu
pula pandangan-pandangan serta pendapat mengenai segala sesuatunya ini
selalu dan terus-menerus harus didiskusikan dan usaha ini tidak dibatasi hanya
sebagai suatu soal teknis para ahli hukum saja, tetapi juga menjadi soal ahli-ahli
kejuruan lain mengenai ilmu pengetahuan tentang kelakuan manusia,
sedangkan pada akhirnya juga sebagai soal semua warga. Karena itu,16 sejak
zaman Socrates orang memahami secara sistematis, bahwa akal memainkan
peranan utama dalam pembentukan hukum.
5. Hakim dalam Pembentukan Hukum
Sekarang kita lihat lebih jauh segi lain dari proses pembentukan hukum itu
sendiri dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial, dengan memusatkan
pandangan kepada masalah hubungan konstan dan dinamik, sifat kepastian dan
berubah-ubah dalam proses pembentukan hukum, seperti dikemukakan di atas.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa masalah ini sebagai masalah konstansirelatif dan dinamik-relatif dalam pembentukan hukum, serta hubungan
keduanya itu satu sama lain. Soal tentang konstansi-relatif dan dinamik-relatif
dalam pembentukan hukum, begitu pula hubungan keduanya satu sama lain,
hanya dapat dijawab apabila kita bersedia memperhatikan dan mengindahkan
sifat norma hukum yang berlaku pada umumnya.
Semua norma hukum yang berlaku terjadi hanya oleh karena kepada asasasas hukum materiil diberi bentuk juridis oleh badan hukum legislatif yang
kompeten. Dalil ini mengandung pengertian bahwa hanya hukum positiflah
yang merupakan hukum berlaku dan bahwa suatu hukum kodrat di luar hukum
positif, jika dilihat dari segi keberlakuannya semata-mata, jadi terlepas dari
karya mengpositifkannya oleh manusia, sebenarnya tidak ada. Tetapi
pemberian bentuk juridis seperti demikian saja tidak bersifat menentukan
terhadap norma hukum, tanpa memperhatikan isi norma hukum itu. Ia hanya
mempunyai arti juridis di dalam hubungannya dengan asas-asas hukum
materiil, yang karena pemberian bentuk oleh manusia lalu mendapat bentuk
konkrit dan historis, dan karenanya pula menjadi norma hukum yang berlaku.
Karenanya konstansi juridis dan dinamik dalam pembentukan haruslah
ditarik terus dan dikaitkan balik kepada asas-asas hukum materiil maupun
kepada pemberian bentuk juridis daripadanya. Pemberian bentuk juridis dan
asas-asas hukum materiil itu berkaitan satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan oleh karena yang satu hanya mempunyai arti jika dihubungkan
dengan yang lain, maka kedua isi dari konstansi juridis dan dinamik itu
berkaitan dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Asas-asas hukum materiil menentukan isi hukum yang berlaku. Ia bersifat
konstan-relatif. Harus pula dipisahkan antara asas-asas hukum yang "umum"
16
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil,
2004: 271.
13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
dan asas-asas hukum yang "typisch". Pertama, asas yang bersifat umum dan
aspek hukum berdasarkan pengalaman-pengalaman yang fundamental (modus
quo) tentang kenyataan. Oleh karena sifat umum dan aspek hukum merupakan
dasar tertib hukum, maka asas-asas hukum umum ini harus dipositifkan dalam
tiap-tiap tertib hukum yang berlaku. Tidak mengakuinya akan mengakibatkan
hasil pembentukan hukum itu sebagai "bukan hukum" atau "yang hanya
kelihatannya sebagai hukum". Tidak satu pun tertib hukum misalnya ada tanpa
lembaga pembentuk hukum. Apabila suatu masyarakat menghindarkannya, dan
sematamata ingin mendasarkan din kepada perasaan hukum yang spontan dari
anggotaanggota masyarakat. maka tidak akan terjadi ketertiban hukum.
Asas-asas hukum umum dan konstitutif ini merupakan dasar tiap-tiap tertib
hukum. Oleh karenanya maka is memperlihatkan "konstansi juridis" yang
tinggi sekali. Dalam stelsel-stelsel hukum belum berkembang wataknya kaku,
satu jenis, satu bentuk dan tertutup. Dalam stelsel-stelsel hukum yang sudah
berkembang, asas-asas hukum umum dan konstitutif ini terbuka, di samping
diperdalam dan diperhalus oleh asas-asas regulatif dari moral juridis. Asas-asas
hukum regulatif ini mempunyai konstansi juridis yang lebih terbatas daripada
yang konstitutif. Mereka berfungsi hanya dalam stelsel-stelsel hukum yang
telah jauh berkembang.
Di samping asas-asas hukum umum hams dibedakan dengan asas-asas
hukum yang tidak berdasarkan pada sifat yang umum dari aspek hukum, tetapi
dalam struktur dari kehidupan bermasyarakat dan is berfungsi dalam
semuaaspek pengalaman kita badan mengikat fungsi-fungsi dalam aspek
pengalaman menjadi kesatuan struktur masyarakat. Sejauh sifat-sifat dan
hubungan kehidupan bermasyarakat ini berfungsi di dalam aspek hukum, maka
akan ada asas-asas hukum yang tipis, baik konstitutif maupun regulatif sebagai
dasar di dalamnya. Apabila dalam proses pertumbuhan yang bersifat
kulturhistoris ini ditinggalkan ikatan-ikatan primitifnya, maka akan lenyap
pulalah asas-asas hukum primitif yang tipis itu. Dia ini mempunyai suatu
konstansi terbatas, yaitu dia hanya merupakan dasar di dalam stelsel-stelsel
hukum yang belum berkembang dan merupakan dasar di dalam proses
pembentukan hukum itu.
Juga di dalam stelsel-stelsel hukum yang telah berkembang kita akan
temukan asas-asas hukum konstitutif yang tipis itu di dalam hubungan
kehidupan bermasyarakat yang telah berbeda-beda. Lain daripada asas-asas
hukum tipis yang bersifat primitif, asas-asas hukum typisch yang telah
berkembang dipimpin oleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat regulatif.Juga
asas-asas hukum yang tipis, balk konstitutif maupun regulatif ini, dan yang
telah berkembang pula mempunyai konstansi yang relatif. Selama suatu
masyarakat yang telah berkembang itu mempertahankannya, maka asas-asas
hukum yang typisch akan merupakan dasar bagi proses pembentukan hukum.
Konstansi relatif dari semua asas-asas hukum ini terwujud dalam keadaan,
yaitu dalam memberi bentuk juridis. Alat-alat hukum harus selalu dan terus14
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
menerus akan mendesakkannya ke dalam kesadaran hukumnya. Dia tidak akan
melanggar atau mengesampingkan asas-asas konstitutif itu. Jika
dikesampingkan juga, maka is akan bersalah membentuk yang disebut "non
hukum" atau "hal yang kelihatannya saja sebagai hukum". Hal ini berlaku pula
bagi asas-asas hukum typisch yang telah berkembang, yang adalah konstitutif
bagi stelsel-stelsel hukum yang telah mengadakan pembedaan-pembedaan.
Selagi pembentuk hukum masih berpegang kepada asas hukum konstitutif
dan hanya hertentangan dengan prinsip-prinsip moral juridis, paling jauh akan
ada yang disebut "hukum yang tidak adil". Tetapi padanya masih ada sifat
kekuatan hukum.Konstansi relatif dari asas-asas hukum yang typisch dan
umum berhubungan dan tak dapat dipisahkan dari dinamik juridisnya asas-asas
ini. Konstansi juridis dari asas-asas hukum materiil tidak boleh kaku dan statis.
Asasasas itu tidaklah dinyatakan secara tetap dan sempurna, melainkan
menunjukkan arti juridisnya itu dalam pertumbuhan hukum yang semakin kaya
dan semakin dalam. Jadi konstansi relatif dari asas-asas hukum materiel sisinya
yang lain adalah dinamik juridis, yang di dalam stelsel-stelsel hukum telah
berkembang karena tuntutan prinsip-prinsip hukum regulatif lalu mencapai
tingkat yang tinggi dan utama. Konstansi dan dinamik relatif dari asas-asas
hukum materiil ini menyimpulkan bahwa proses pembentukan hukum yang
dinamis ada dalam alatalat hukum yang kompeten. Baru di dalam proses
pembentukan hukum inilah asas-asas hukum konstansi yang relatif dapat
mengembangkan artinya yang dinamik. Sebaliknya dianggap pula bahwa
proses pembentukan hukum yang dinamik mengandung di dalamnya asas-asas
hukum materiil, yang tanpa dia tidak akan dapat terjadi hukum yang berlaku.
Berikut ini sedikit tentang dinamik horizontal dalam proses pembentukan
hukum. Di dalamnya termasuk perubahan dan pembentukan hukum pada
tingkat yang sama dalam suatu daerah hukum materiil. Pembentuk undangundang biasa hams menyesuaikan perundang-undangan dalam arti materiil
selalu kepada hubungan-hubungan hukum bare dan kebutuhan-kebutuhan barn.
Demikian pula hakim. Dia ini pun hams memperhalus dan membangun
peradilan yang telah letup itu dari sorotan keadaan-keadaan dan kebutuhankebutuhan yang barn. Tetapi dinamika yang bersifat horizontal di dalam dirinya
itu sendiri mengandung adanya dinamika vertikal dalam pembentukan hukum.
Hal yang terakhir ini dimaksudkan proses pengwujudan lebih jauh dan
pengindividualisasian dari banyak atau sedikitnya norma hukum yang bersifat
umum melalui bermacam-macam anak tangga yang rendah dalam pembentukan
hukum. Dinamikanya adalah sangat tergantung pada hirarki dari pembentukpembentuk hukum yang lebih tinggi dan lebih rendah di dalam suatu muatan
hukum materiil. Suatu perundang-undangan dalam arti formal yang banyak
sedikitnya bersifat umum haruslah oleh hakim lebih jauh diwujudkannya dalam
hal adanya perkara dengan memperhatikan kejadian yang diadili itu. Di sini
pembentukan hukum dari suatu anak tangga yang lebih tinggi bergerak menuju
kepada suatu anak tangga yang lebih rendah dalam geraknya yang vertikal.
15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Perundang-undangan dalam arti yang formal hams selalu dalam garisnya
yang horizontal diserasikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang baru, tetapi isi
tetap merupakan “huruf-huruf mati”, apabila dia tidak diterapkan oleh
pembentuk hukum yang lebih rendah dalam garis vertikalnya itu atas kejadiankejadian konkrit. Pembentuk hukum yang lebih rendah seharusnya lebih lanjut
menyesuaikan peradilan konstannya itu terhadap kebutuhan-kebutuhan hukum
baru. Dan peradilan yang berjalan terus ini dapat menimbulkan pula lagi suatu
perundang-undangan dalam arti formal yang lebih baru, dan begitulah
seterusnya.
Tetapi keseluruhan proses pembentukan hukum yang dinamis, baik dalam
arti horizontal maupun yang vertikal tidak mungkin tanpa konstansi dan
dinamik relatif dari asas-asas hukum materil. Adalah asas-asas hukum materiil
yang bersifat konstitutif dan regulatif yang mendorong terus proses
pembentukan hukum, sedangkan sebaliknya asas-asas ini akan
mengembangkan arti isi juridis daripadanya itu di dalam pembentukan hukum
yang dinamis. Selalulah di dalam hal itu hams ada suatu harmoni antara
konstansi relatif dan dinamik relatif dari pembentukan-pembentukan hukum.
Konstansi relatif itu tidak boleh dijadikan mutlak, oleh karena ini akan
menimbulkan pembekuan dalam kehidupan hukum. Dan jangan pula sampai
dinamik relatif itu ditekankan dengan mengorbankan konstansi relatif, oleh
karena dengan demikian akan timbul ketidakpastian hukum dan kesewenangwenangan.
Adalah menjadi tugas bagi aparat penegak hukum yang kompeten untuk
mewujudkan harmoni ini. Mereka adalah pendukung proses pembentukan
hukum dinamis di dalam daerah hukum materiil mereka. Di atas bahu
merekalah diletakkan tanggung jawab untuk mengarahkan kehidupan hukum
melalui pengwujudan secara positif dan dinamik dari asas-asas relatif konstan
dan dinamik itu terhadap cita-cita hukum dan pembangunan
masyarakat.Sekarang mengenai perubahan masyarakat in. sendiri. Walaupun
telah banyak dibicarakan dan dikaitkan orang hukum dengan perubahan
masyarakat, namun tidak banyak ahli hukum mempunyai minat untuk melihat
lebih jauh dan dengan baik hal-hal menyangkut perubahan masyarakat itu
sendiri. Sebenarnya mengenai perubahan masyarakat telah banyak diteliti dan
dibicarakan orang. Menurut hemat kami tidaklah sempurna seorang ahli hukum
meninjau perubahan hukum yang dikaitkan domean perubahan masyarakat
tanpa mengerti lebih jauh mengenai hal-hal menyangkut perubahan masyarakat
ini sendiri, yang telah ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan lain.
Perubahan akan terjadi di setiap masyarakat dan di setiap waktu. Akhirakhir ini hal perubahan masyarakat banyak mendapat perhatian, terutama
setelah dikonstatir, bahwa apabila suatu masyarakat belum maju mengadakan
hubungan lebih banyak dengan masyarakat lain yang telah maju, maka terjadi
perubahanperubahan yang cepat dan kadang-kadang juga menimbulkan
kekacauankekacauan. Demikianlah misalnya teknik-teknik baru menggeser
16
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
pola-pola bekerja dan kerja sama; adanya lalu-lintas keuangan mengakibatkan
perubahanperubahan yang banyak dan berturut-turut di dalam tukar-menukar,
menimbulkan masalah-masalah keuangan internasional, dan menimbulkan
persoalan-persoalan bagaimana kemakmuran dapat dicapai lebih banyak lagi.
Timbul bermacammacam pekerjaan baru, dan semuanya ini mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan. Dalam hubungan ini pula kadang-kadang timbul
pelbagai disintegrasi. Yang disebut "control social'; juga lalu kehilangan
kekuatannya, sehingga dalam beberapa hal menimbulkan bentuk kejahatan baru
dan meningkatnya kejahatan.
Tetapi tidak hanya yang jelek terjadi, melainkan terjadi juga hal-hal yang
baik, di mana masyarakat dapat dan berhasil menyesuaikan diri, lalu
ditingkatkan kehidupan materiil anggota masyarakat. Ditingkatkan dan
bertambah-tambahnya tingkat serta kompleksnya keadaan ekonomi dan politik
mereka, tanpa secara radikal melemparkan segi-segi moralnya. Tetapi di dalam
tiap-tiap kejadian itu ternyata bahwa situasi kemasyarakatan yang baru tidaklah
begitu saja merupakan suatu campuran cara-cara lama dan cara-cara baru,
melainkan merupakan suatu fenomena sosial yang serba baru pula yang
menghendaki suatu studi khusus lagi. Inilah yang kami kemukakan tadi bahwa
penyesuaian pembentukan hukum terhadap perubahan-perubahan masyarakat
menghendaki pengertian ahli hukum terhadap hasil-hasil studi mengenai
perubahan-perubahan masyarakat tersebut.
Kehidupan sosial itu sangat memuaskan akan cenderung untuk menahan
diri dalam melakukan perubahan-perubahan. Mungkin sekali bahwa aturanaturan yang barn itu mengandung hal-hal yang lebih baik tetapi diperlukan
sekali beberapa waktu lama terjadinya kebimbangan-kebimbangan sebelum
peraturan yang baru itu betul-betul dapat menjadi sama diketahui dan
digunakan oleh semua orang. Masa-masa terjadinya perubahan masyarakat
yang besar biasanya ditandai oleh suatu kemunduran di dalam wibawa dari
aturan-aturan dan semakin besarnya bergantung orang kepada eksperimeneksperimen, dan rasionalitas di dalam tindakan-tindakan.
Inilah beberapa pokok berkaitan dengan perubahan masyarakat yang
kiranya perlu mendapat perhatian para ahli hukum di dalam mengkaitkannya
dengan pembentukan hukum, baik apakah itu akan mendahului peristiwaperistiwa seharihari ataupun penyesuaian terhadap peristiwa-peristiwa itu
sendiri. Dengan lain perkataan, seorang ahli hukum yang baik untuk dapat
selalu menyesuaikan hukum yang diterapkannya itu, dan yang disusunnya itu,
dengan kenyataan-kenyataan hidup sehari-hari, termasuk perubahan-perubahan
masyarakat hams selaras, di samping ilmu pengetahuan hukumnya mendalami
pula hal-hal yang bersangkutan dengan kemasyarakatan. Ini adalah suatu
17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
tuntutan mutlak dewasa ini, walaupun masih banyak sekali ahli hukum yang
tidak menyadarinya.17
Memang tepatlah kiranya, sifat pembentukan hukum dalam tata hukum
modern yang memaksa ke arah pandangan dinamis penemuan hukum oleh
hakim atau pejabat-pejabat lainnya yang dibebani tugas dengan pelaksanaan
undangundang. Oleh karena itu diakui bahwa dalam hal kekosongan atau
ketidak jelasan undang-undang hakim mempunyai tugas sendiri, yaitu memberi
pemecahan dengan penafsiran undang-undang. Meskipun orang makin lama
meninggalkan pandangan legistis atau positivisme undang-undang, tetapi
pangkal tolak penemuan hukum adalah sistem. Semua hukum terdapat dalam
undang-undang dan hanya kalau ada kekosongan atau ketidakjelasan dalam
undang-undang saja maka hakim boleh menafsirkan. Dalam cara pemecahan
semacam ini sistem menjadi titik tolak. Di sini penemuan hukum bukan
semata-mata hanya penerapan peraturan peraturan hukum terhadap peristiwa
konkrit, tetapi sekaligus juga merupakan penciptaan dan pembentukan hukum.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sistem peradilan Indonesia
tidak sepenuhnya berfungsi berhubung ada peraturan-peraturan yang tidak
dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang memerlukan sanksi untuk
lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Kepercayaan
masyarakat kepada peradilan hams dipulihkan. Untuk memantapkan sistem
peradilan hakim perlu lebih dijamin kebebasannya. Sumber daya manusianya
perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun penguasaan pengetahuannya
khususnya hukum materiil maupun formil.
Modernisasi administrasi peradilan akan lebih memperlancar jalannya
peradilan yang akan menumbuhkan kembali kepercayaan kepada peradilan,
namun kini belum optimal berfungsi untuk menyelesaikan administrasi
peradilan seperti masih bertumpuknya putusan-putusan yang belum sampai
kepada para pencari keadilan. Hak pencari keadilan untuk memperoleh
peradilan yang bebas dan tidak berpihak (asas fair trial), diperlakukan sama
dengan sesama pencari keadilan (asas equality before the law), serta
memperoleh putusan dalam waktu yang wajar, sederhana dan biaya ringan
(asas contante justitie) adalah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap pencari
keadilan.
Bagi pencari keadilan yang berkepentingan untuk memperoleh putusan
yang diperlukan itu tidak jarang hams mengeluarkan biaya ekstra yang tidak
sedikit dan kalau itu yang terjadi dalam kenyataan maka sudah dapat dipastikan
asas peradilan dengan biaya ringan belum dapat berjalan sebagaimana mestinya
17
18
Lihat, L.H.C. Hulsman, Frustratie en Justitie, dalam P.J. Verdam, Overheid en
Frustratie, Deventer, 1967, page 66-67). Khususnya Sosiologi, tidak dapat disangkal
harus ada sebagai alat di tangan ahli hukum dan tidak boleh diabaikannya. Bukankah
"hukum" itu adalah suatu gejala sosial yang relevan.
Kebebasan Hakim dan Problematikanya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
serta berakibat biaya pengeluaran tersebut dapat dipastikan secara illegal dan
dengan demikian berakibat pada sistem peradilan yang buruk, oleh karena itu
perlu ditingkatkan kesadaran dan integritas aparat peradilan disemua empat
lingkup peradilan yang ada di Indonesia.
Betapa pentingnya penemuan hukum dikaitkan kepada perubahanperubahan sosial yang dilaksanakan oleh seorang pembentuk hukum termasuk
hakim dengan suatu sikap yang dijiwai oleh suatu kehendak untuk memandang
dan berkeyakinan bahwa dunia ini selalu menjadi lebih baik bagi putusan
hakim yang berkeadilan dan bagi masyarakat pencari keadilan itu sendiri. Oleh
karena itu, diperlukan adanya peningkatan ke arah terjadinya perubahan atau
pergeseran dari "hakim terikat" ke arah "hakim bebas", dari "keadilan menurut
undang-undang" (Normgerechtigkeit) ke arah "keadilan menurut hakim seperti
yang tertuang dalam putusannya (Einzelfallgerechtigkeit), dari berfikir dengan
mengacu kepada sistem (Systeemdenken) ke arah berfikir dengan mengacu
kepada masalahnya (Probleemdenken).
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, 2012, Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri, (makalah)
disampaikan dalam acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Pusdiklat Balitbang Mahkamah Agung RI, tanggal 10 Oktober 2012.
Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban
yang Adil, Parahiangan, Bandung.
Harifin A. Tumpa, 2012, Kemandirian Hakim, (makalah), disampaikan dalam
acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Balitbang
Mahkamah Agung RI, tanggal 10 Oktober 2012.
Julius Stone, 1964, Legal System and Lawyer's Reasoning,
L.H.C. Hulsman, 1967, Frustratie en Justitie, dalam P.J. Verdam, Overheid en
Frustratie, Deventer.
Lengemeij er, 1970, Pengantar Studi Filsafat Hukum,
Roscoe Pound, 1996, An Introduction to the Philosophy of Law (Pengantar
Filsafat Hukum).
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty
Yogyakarta.
Sidney Smith, 1976, Nations fall when judges are injust, because there is
nothing which the multitude think worth defending.
Van Eemeren, et al, 1987, Argumenteren voor juristen, Wolters-Noordhoff,
Groningen.
Van Eikema Hommes, Logika en rechtsvinding, Vrije Universiteit, Amsterdam
tanpa tahun.
Van Gerven dan Leijten, 1981, Theorie en Praktijk van de rechtsvinding,
W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Vranken, J.B.M., 1978, Kritiek en Methode in de Rechtsvinding, Kluwer,
Deventer.
Wiarda, G.J., 1988, Typen van Rechtsvinding, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
20
GOOD GOVERNANCE DAN PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA:
REFLEKSI DALAM PENELITIAN SOSIO-LEGAL1
Herlambang P. Wiratraman
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
PhD Researcher, Faculteit der Rechtsgeleedheid, Universiteit Leiden
[email protected]
Abstrak
Dalam dekade terakhir pasca Soeharto, Good Governance (GG) telah sering
mendengar seperti 'mantra' GG tampaknya mudah diucapkan banyak bicara,
formal, dan tumbuh menjadi cita-cita politik yang dominan serta konstitusional dan
publik wacana administrasi besar yang telah berakar dalam hukum, kebijakan, dan
pendidikan tinggi. Seperti ayam yang berkokok di pagi hari, is terns berbicara di
pagi hari, lebar kotak bibit 'governance', seperti 'tata kelola kehutanan yang baik',
'tata kelola keuangan yang baik', 'good university governance', dan banyak lainnya.
GG, dalam konteks itu, tampaknya seperti nutrisi yang tepat untuk mengatasi
kelemahan sistem hukum Indonesia, birokrasi yang korup, dan kepemimpinan
politik predatoric.
Dalam hal ini, harus dilihat lebih dekat, apa yang sebenarnya keunggulan yang
dimiliki saat GG adalah berbicara? Jelas, hukum adalah salah satu alat untuk
memastikan pengoperasian mantra dalam pelaksanaannya, dan didasarkan pada
penelitian utama yang dilakukan pada tahun 2005-2006, dengan fokus pada isu
Reformasi Hukum dengan menerapkan pendekatan sosio-legal.
Akibatnya, penelitian ini memberikan fakta yang berbeda atau bahkan bertentangan
dengan cita-cita bangunan politik atau diformalkan atau terwujud hukum dan
kebijakan. Sebagai contoh, satu studi menunjukkan bahwa GG dalam konteks
reformasi hukum di Indonesia sebenarnya sangat menakutkan dan melemahnya
jaminan hak asasi manusia. Hukum, khususnya produk legislasi dan lembaga, serta
transmisi mesin yang dominan dalam mengadvokasi pasar bebas (pasar reformasi
hukum ramah gratis). Mungkin, kesimpulan tidak populer di tengah-tengah pidato
ejaan bising GG dan proyekproyeknya. Namun demikian, Indonesia saat ini
menunjukkan kelanjutan dari korupsi besar-besaran, pelanggaran HAM, impunitas
dan semua situasi non-perlindungan dalam sistem hukum Indonesia.
Kata Kunci : Pembaharuan Hukum, Reformasi Hukum, Pendekatan Sosio Legal
Abstract
In the last decade post Soeharto, Good Governance (GG) has been often heard like
a `mantra'. GG seems easily uttered talkative, formalized, and grew into a
dominant political ideals as well as major constitutional and public administration
discourse which have rooted in law, policy, and higher education. Like a rooster
1
Diambil dari presentasi Pelatihan Socio-Legal, Epistema, Jakarta, 15-16 April 2013.
Diolah kembali untuk keperluan Jurnal di Mahkamah Agung
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
crowing in the morning, he continued to speak out in the mornings, wide box
spawn 'governance, such as 'good forestry governance, 'good financial
governance, 'good university governance, and many others. GG, in that context,
seems like an appropriate nutrition to overcome the weakness of the Indonesian
legal system, corrupt bureaucracy, and the predatoric political leadership.
In this regard, it should be viewed more closely, what is actually superiority owned
when GG is talked? Obviously, the law is one of the tools to ensure the operation of the
mantra in its implementation, and based on master research conducted in 2005-2006,
focusing on the issue of the Law Reform by applying a socio-legal approach.
As a result, this study gave the fact which is different or even contrary to the ideals of
political buildings or formalized or materialized law and policy. For example, one
study showed that the GG in the context of legal reform in Indonesia actually very
sinister and weakening the guarantee of human rights. Law, especially product of
legislation and institutions, as well as its machinery transmission are dominant in
advocating free market (free market friendly legal reform). Perhaps, the conclusions is
not popular in the middle of the noisy speech spelling of GG and its projects. However,
Indonesia today shows the continuation of massive corruption, violation of human
rights, impunity and all the non protection situation in the Indonesian legal system.
Keywords : Good Governance, Law reform, Sosio Legal approach
1. Mengapa Good Governance?
Sungguh mengenaskan perkembangan ketatanegaraan Indonesia hari ini.
Sejak reformasi bergulir, jumlah kelembagaan negara yang dibentuk barn mencapai
lebih dari 70 lembaga, baik di bawah pilar kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan
yudisial. Demokrasi sendiri berjalan menempuh rute prosedural yang sarat dengan
politik representasi liberal pemilu, tanpa bisa lagi mengidentifikasi keperluan
mendasar bagi pemenuhan kesejahteraan sosial.
Desentralisasi melahirkan penyebaran korupsi yang kian sistematik, rapi dan
menjadi keseharian politik dan hukum. Elit-elit lokal predatorik yang merampok
sumberdaya alam dengan ditopang kebijakan dikriminatif, represif, dan kekuatan
aliansi politik-ekonomi yang dominan. Dalam rangka merawat kepentingan aliansi
tersebut, desentralisasi pula menyuburkan 'privatized gangsters' untuk menjaga
keberlanjutan kepentingan.
Hak asasi manusia, sekalipun di awal telah melengkapi suasana
konstitusionalisme UUD RI 1945, dalam prakteknya hak-hak asasi manusia pun
diseleksi untuk menuruti kebutuhan liberalisasi pasar dan pelanggaran terus saja
terjadi. Kekerasan, pemiskinan, pelemahan penegakan hukum, dan impunitas
masih saja dominan di Republik ini.
Salah satu wacana yang paling atraktif, ofensif, dan pada akhirnya
terformalisasi dalam wacana dan hukum ketatanegaraan adalah good governance Ia
hadir seperti mitos, yang begitu gampang dipercaya baik oleh pengambil dan
pelaksana kebijakan, kaum intelektual dan celakanya, sebagian besar rakyat.
Rasa penasaran inilah yang menggerakkan, apa yang sebenarnya 'good' dalam
'good governance', dan mengapa? Apa hukum berikut institusi (hukum) yang
22
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
dipergunakan untuk mentransmisikan wacana itu? Apakah is juga
memperbincangkan atau mengupayakan perlindungan dan pemenuhan HAM,
ataukah tidak? Bilamana good governance kuat ditancapkan, mengapa situasi yang
disebut di muka masih saja kerap terjadi?
Penasaran kian bertambah tatkala kawan Rival Gulam Ahmad (Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan/PSHK), menghadiahi sebuah buku yang ditulis Rita
Abrahamsen,2 yang diberikannya saat jumpa di suatu pendidikan hukum kritis
untuk petani miskin di Kendal, Jawa Tengah, tahun 2005. Buku yang berangkat
dari studi di empat negara Afrika itu menginspirasi untuk mengkontekstualisasi
dalam konteks Indonesia, dan mempertegas keterkaitannya dengan hukum.3
2. Socio-Legal: Awal Ketertarikan
Menyadari sedari awal, kajian hukum perundang-undangan tidaklah cukup
menjawab pertanyaan tersebut. Ditambah pula, interaksi personal dalam
mengembangkan program di HuMa saat itu (Program II: Pengembangan Pemikiran
Kritis tentang Hukum, Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis
Masyarakat dan Ekologis), mendapati situasi yang memang tidak mungkin untuk
tidak mendayagunakan disiplin ilmu lain untuk memahami hukum dan
penegakannya.
Sekalipun demikian, penelusuran dalam rangka penelitian good governance
setidaknya dilandasi atas tiga hal :
Pertama, pertanyaan itu sendiri kunci yang mengarahkan pada metodologi
yang lebih presisi. Kedua, menempatkan kajian socio-legal menjadikan lebih
memungkinkan menjangkau segala disiplin ilmu, memberdayakan segala teori
sosial (politik dan ekonomi) untuk membedahnya, sekaligus mendapatkan
argumentasi yang lebih melegakan. Ketiga, dibuat dalam kerangka master thesis
program HAM dan Pembangunan Sosial, sehingga jelas tak memungkinkan studi
hukum doktrinal semata.4
Salah satu obyek yang hendak dikaji adalah isu legal reform dalam kerangka
good governance di Indonesia. Karena isu legal reform demikian luas, maka untuk
memastikan proses dan hasilnya lebih dalam, dipilih sejumlah legal reform yang
berkaitan dengan isu hak buruh (ketenagakerjaan). Apalagi, waktu yang tersedia
dalam proses penelitian dan menulis adalah 4 bulan kerja. Tentunya, pula disadari
ada keterbatasan dalam prosesnya, atau bahkan hasil yang dikemukakan.
2
3
4
Abrahamsen, Rita (2000) Disciplining Democracy: Development Discourse and Good
Governance in Africa. New York : Zed Books.
Keterkaitan dengan hukum ini yang kurang mendapat perhatian dalam studi
Abrahamsen (2000).
Untuk alasan ketiga ini, saya harus berterima kasih kepada Prof Soetandyo
Wignyosoebroto, yang merekomendasikan ambil program master di Mahidol
University, yang dibilangnya saat itu sebagai "menyeberangi ilmu, melintasi
pengalaman berbeda...". Sekalipun tak memungkinkan sekadar penelitian hukum
normatif atau doktrinal, dalam proses perumusan penelitian hingga ujian senantiasa
melibatkan penguji dari Fakultas Hukum.
23
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
3. Tinjauan Hukum Perundang-undangan
Dalam proses penelitian, kajian hukum perundang-undangan beserta kebijakan
merupakan titik awal berangkat penyelidikan. Kompilasi atas norma terkait good
governance, HAM dan isu ketenagakerjaan dikumpulkan. Bahan hukum ini penting
untuk kemudia dipetakan sejarah, konteks dan perdebatan yang melatarbelakangi
kelahirannya.
Analisis hukum dilakukan terhadap bahan-bahan tersebut, dengan pertanyaan
utama: Apa landasan hukum tentang good governance? Bagaimana hukum
menjelaskan good governance ke dalam aturan implementasi / operasionalnya? Isu
apa saja yang terkait dengan good governance?
Sungguh, berbasis bahan dan analisis tersebut, terlihatlah bentangan norma,
asumsi, isu, institusi, kewenangan, aturan lebih rendah, serta mekanisme yang
keseluruhannya berkait dengan isu good governance. Ini merupakan modal awal
dalam melucuti 'good governance' dalam kebijakan dan konstruksi perundangundangan.
4. Membongkar Mitos
Dengan mudah kita menyaksikan atau mendengar dari dekat bahasa santun
nan elok 'good governance', tetapi dengan sangat gampang pula di sekitar kita
terlihat centang perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi suap antar lembaga
kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan imperial lainnya.
Sepertinya, beda tipis antara apa yang disebut dengan 'good' (baik) dengan 'had'
(buruk) atau poor' (miskin) dalam tata kelola pemerintahan, karena keduanya
berjalan seiring bak lintasan rel kereta yang didisain kuat menancap dengan
tantalan' teori dan mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk stasiun mengangkut
(baca: memperdagangkan) penumpang sebanyak-banyaknya. Persis seperti 'good
governance' yang diinjeksikan dari negara satu ke negara lain yang menebarkan
pengaruh tentang kebenaran absolut pengelolaan urusan negara (ketatanegaraan).
Uniknya, tak lama berselang, mitos ini kian beranak-pinak dalam sejumlah
mitos lainnya yang membuat teori-teori yang menopang di bawahnya sangatlah
absurd, latah dan menggelikan karena telah jauh meninggalkan substansi serta
paradigma ketatanegaraan. Lihat saja, 'good sustainable development governance'
(Partnership Initiatives 2002), ' good financial governance' (Soekarwo 2005),
„good environmental governance' (Wijoyo 2005: 44), 'good coastal governance',
dan lain sebagainya.
Kritik terhadap good governance bukanlah hal yang barn, karena banyak studi
atau riset yang telah dilakukan untuk membongkar wacana ini dalam berbagai
pendekatan, baik itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah, hukum, sosiologi
internasional, hubungan internasional dan pendekatan disiplin ilmu lainnya
(Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005; Bendana 2004; George 1995; Parasuraman,
et. al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001; Robinson 2004; Selznick 1969;
Gathii 1998; Hosen 2003).
Bank Dunia merupakan pencetus gagasan yang memperkenalkannya sebagai
„program pengelolaan sektor publik‟ (public sector management program), dalam
24
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan
bantuan pembangunan (World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks
ini merupakan suara pembangunan. Sebagai suara pembangunan, sesungguhnya is
lebih menampakkan pendisiplinan demokrasi atau model ketatapemerintahan
tertentu. Krisis di Afrika telah membawa pesan demikian jelas dalam mencetuskan
suatu konsep barn mengenai 'governance' untuk menentang apa yang disebut Bank
Dunia sebagai suatu 'crisis of governance' atau 'bad governance' (World Bank
1992). Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan p erang dingin telah
menggambarkan latar dari suatu iklim umum dalam menyokong pasar bebas dan
demokrasi liberal, dan hal ini telah secara dahsyat menunjukkan betapa good
governance sebagai pemaksaan politik hukum oleh negara industrialisasi maju dan
agen internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk
ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen 2000; Stokke 1995; Gathii 1998).
Dalam konteks Asia, proyek-proyek good governance sesungguhnya telah
lama diperkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke negara-negara yang memiliki
ketergantungan atas bantuan hutang luar negeri. Proyek tersebut sama sekali tidak
mempedulikan rezim yang berkuasa adalah rezim yang koruptif dan diktatorial. Di
Indonesia, pada awal tahun 1990an sudah mulai diperkenalkan model
ketatapemerintahan yang ramah terhadap kepentingan pasar, melalui skenario
program penyesuaian struktural. Meskipun demikian, saat Soeharto masih
berkuasa, proyek-proyek yang dikembangkan di Indonesia praktis gagal dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan Bahkan korupsi yang dilakukan atas bantuan hutang
luar negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun Bank Dunia melakukan
pembiaran atas hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah yang disebut
'criminal debt' (hutang kriminal), yang ironisnya hams dibayar oleh rakyat dan
dibebankan pada generasi bangsa pasca Soeharto (Winters 1999; 2002).
Jadi apa yang disebut sebagai 'bantuan' oleh Bank Dunia, sebenarnya
merupakan proses sistematik penghancuran yang tidak hanya ditujukan pada rakyat
saat rezim Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos `pelanggengan kekuasaan
diktator' yang memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan rakyat Indonesia di
masa-masa berikutnya. Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas bahwa
'good governance' bersahabat dengan mekanisme-mekanisme siluman yang tidak
berkepentingan atas demokratisasi dan hak asasi manusia.
Tekanan Bank Dunia dalam urusan pembaruan ketatapemerintahan kian
menguat disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial di Asia di paruh akhir
1990an. Praktek dan justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara
ketatapemerintahan yang `buruk dan baik' menjadi wacana utama dalam
mempengaruhi faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis tersebut, dan ini persis
seperti apa yang telah dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980an.
Seining bersama dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa
tahun 1998, seolah proponen neo-liberal diberi `pintu masuk' untuk kembali
menanamkan proyek-proyeknya (juga melalui utang) kepada pemerintah. Ratusan
juta dolar dikucurkan untuk pemerintah dalam membiayai pembaruan kebijakan
dan institusi politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak terelakkan bahwa good
25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
governance menjadi arus utama pembaruan birokrasi dan hukum sebagai penopang
proyek ketatapemerintahan tersebut.
Desentralisasi yang terjadi di awal reformasi telah memuluskan dan
menyuburkan wacana good governance, karena is menjadi sesuatu yang seksi,
segar, populer, dan diucapkan secara berulangkali baik oleh pejabat tinggi hingga
level yang paling rendah di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda gerakan menjadi
ikut pula termoderasi dan mempercayai good governance sebagai obat mujarab
bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi Indonesia. Akademisi dan organisasi nonpemerintah pun latah mengucapkan wacana tersebut sebagai ikon barn yang
menemani demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah lahir banyak pusat studi
maupun proyek-proyek good governance yang dipesan melalui perguruan tinggi,
dari mulai isu yang lekat dengan pembaruan hukum, pembaruan peradilan,
desentralisasi, penganggaran, hingga soal legal drafting. Begitu juga organisasi
non-pemerintah yang secara kuat pula mentransmisikan gagasan good governance
melalui isu yang tidak jauh berbeda.
Mengapa transmisi wacana good governance tersebut demikian kuat diusung
oleh Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan dengan rapi oleh agen-agen
negara maupun non-negara? Kita bisa mulai membedahnya dari sisi konseptual,
dan lalu dilanjutkan dengan memetakan bagaimana kerangka konseptual tersebut
menjadi sangat dominan dipaksakan ke negara-negara selatan, termasuk di
Indonesia.
Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia telah mengekspresikan gagasan
"Upaya untuk menciptakan suatu kemampuan lingkungan dan untuk membangun
kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks politik tidak mendukung. Pada
akhirnya, pemerintahan yang baik memerlukan pembaharuan politik. Ini berarti
suatu tindakan bersama melawan korupsi dari tingkat paling tinggi hingga paling
rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan menata suatu contoh baik, dengan
memperkuat pertanggungjawaban, dengan mendukung debat publik, dengan
memelihara suatu pers bebas. Ini juga berartimembantu perkembangan akar rumput
dan organisasi non-pemerintah seperti serikat petani, perkumpulanperkumpulan,
dan kelompok-kelompok perempuan" (World Bank 1989).
Dengan langgam bahasa yang hampir sama, Bank Dunia telah menyatakan
pula, "Good governance dilambangkan dengan dapat diperkirakan (predictable),
terbuka (open) dan pembuatan kebijakan yang tercerahkan (enlightened policymaking), suatu birokrasi diilhami dengan bertindak etos professional dalam
pemajuan fasilitas publik, rule of law, proses-proses transparan, dan masyarakat
sipil yang kuat berpartisipaso dalam kepentingan publik. Ketatapemerintahan yang
miskin (poor governance) di sisi lain dikarakteristikan dengan pembuatan
kebijakan
yang
sewenang-wenang,
birokrasi
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan, sistem perundangan yang tidak adil dan tidak bisa
ditegakkan, penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu masyarakat sipil yang
tidak bisa menikmatik kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas." (World
Bank 1994: vii).
26
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
Dalam mengkampayekan good governance, Bank Dunia telah
memprogramkan suatu program pembelajaran dan telah memperkenalkan konsep
ketatapemerintahan, Good governance merupakan suatu manual yang didefinisikan
sebagai implementasi efektif kebijakan dan provisi pelayanan yang yang
responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan warganya. Good governance melekat
pada kualitas, seperti akuntabilitas, responsif, transparan, dan efisiensi. Ia
mengasumsikan kemampuan pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian,
jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan dan menciptakan kondisi-kondisi
yang perlu untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan suatu level minimum
jaminan sosial (World Bank 2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya telah
tetap dan secara kuat dipertahankan untuk menyokong aturan main bahwa
membuat pasar bekerja secara efisien dan lebih problematiknya, Bank Dunia
mengoreksi kegagalan pasar (Bank Dunia 1992).
Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan yang
digunakan oleh Bank Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu penting
akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan dalam rangka mengupayakan pembaharuan
untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang diperlukan dalam proses
liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi yang demikian sesungguhnya berfokus
pada model demokrasi liberal dan liberalisasi ekonomi, dan good governance-nya
pun merupakan model neo-liberal, yakni 'good governance free market assistance'
(Wiratraman 2006).
Watak neo-liberalisme good governance dapat dilihat dari sasaran-sasarannya
yang senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan sumberdaya dan menopang
pasar bebas. Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas, rule of law, transparan,
dan partisipasi. Sungguh, elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan masyarakat
Indonesia di tengah eforia reformasi, namun elemen kunci tersebut sebenarnya
menyimpan rencana besar untuk melucuti peran-peran negara di sektor publik dan
menggantikannya dengan peran dominan swasta atau privat. Urusan perlindungan
hak-hak asasi manusia bukanlah urusan yang penting dalam skema good
governance ini, meskipun mandat tanggung jawab hak asasi manusia bertumpu
pada peran utama negara (vide: Pasal 281 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
Setelah Amandemen). A contrario, berarti, good governance yang demikian hanya
akan menempatkan posisi pasar secara dominan, dan urusan-urusan publik yang
dimaksudkan pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis pada iklim liberalisasi
pasar.
5. Good Governance dan HAM: Inkoheren plus Subordinasi
Dalam riset disimpulkan bahwa Good Governance tak ubahnya semacam
teknologi peluruhan kedaultan rakyat. Selain bentuknya yang imperatif dan penuh
dengan mitos `kebaikan', good governance juga menggunakan teknologi yang
dalam prakteknya justru mengsubordinasi atau bahkan bertentangan dengan upaya
pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Ia seperti mantra
dalam sirkuit pembangunan yang membentuk ketatapemerintahan politik dalam
abad globalisasi.
27
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Bagaimana teknologi ini bekerja dan berpengaruh dalam mensubordinasi hakhak asasi manusia? Pertama, munculnya good governance tidak terpisahkan
dengan tekanan untuk liberalisasi pasar dalam bentuknya yang lebih santun. Oleh
sebabnya, good governance sekarang lebih tampil dalam diskursus hak asasi
manusia, namun terseleksi dan mengharuskan ramah terhadap pasar (market
friendly human rights paradigm). Meskipun banyak yang berpendapat bahwa good
governance sangat terkait dengan upaya maju hak asasi manusia, namun dalam
sejumlah penelitian dan kajian membuktikan sebaliknya. Mulai dan konstruksi
wacana, paradigma, dan rancangan good governance yang ditampilkan dengan
dominan neo-liberalisme yang memaksakan negara-negara selatan mengikutinya,
sungguh dinamika antara teks dan konteksnya memperlihatkan penyingkiran hakhak rakyat banyak. Apa yang kita saksikan sekarang ini, good governance
merupakan teknologi mendisiplinkan demokrasi melalui kerangka hukum untuk
pembangunan. Uniknya, teknologi dipergunakan secara latah baik bagi kalangan
pemerintahan itu sendiri maupun di luar pemerintahan, seperti organisasi nonpemerintah, pusat studi kampus, jurnalis dan kelompok-kelompok masyarakat
lainnya. Teknologi transplantasi gagasan good governance kian mulus disebabkan
persinggungan keinginan perubahan dalam konteks reformasi tidak bisa dijelaskan
dengan gampang, mana yang terbilang 'baik' dan mana yang terbilang 'buruk',
karena teknologi wacana ini memberikan perangkap di segala lini untuk
mengerucut pada proses-proses liberalisasi pasar.
Di kalangan intelektual kampus, barangkali memang good governance telah
banyak diajarkan melalui diktat-diktat perkuliahan (utamanya kajian
ketatapemerintahan dan ketatanegaraan), karena tidak sedikit akademisi dan pusatpusat studi di perguruan tinggi yang penuh dengan kesadaran mentransmisikan
gagasan neo-liberalisme ketatanegaraan melalui good governance Dengan
perspektif Derrida tentang 'difference', good governance yang dilanggamkan oleh
sejumlah pihak nampak seragam, tetapi agenda-agenda secara substansi
dibaliknya sungguh berbeda, baik secara historis, konseptual, prinsip, dan narasinarasinya. Tentunya, ketika memperbincangkan konsepsi dominan, wacana Bank
Dunia lah yang paling kuat dan berpengaruh untuk lebih bisa menancap pada
disain kebijakan pemerintahan, termasuk pembaruan hukum dalam konteks
ketatanegaraan.
Kedua, teknologi yang digunakan untuk mentransmisikan good governance
juga mendasarkan pada strategi mistifikasi kekuatan-kekuatan yang sebenarnya
tidak berimbang. Bank Dunia tidak bekerja sendiri di Indonesia, is melibatkan
pekerja-pekerja wacana yang memuluskan proyek-proyek pembaruan. Bantuan
hukum dalam rangka pengurangan kemiskinan yang digencarkan Bank Dunia
(melalui Justice for the Poor), juga digerojok dengan jumlah dana besar agar
mesin promosi hak asasi manusia, anti korupsi, demokrasi, rule of law, partisipasi,
dan lain sebagainya, kelihatan sungguh-sungguh ada dan bekerja, telah
melengkapi wacana paradigma hak asasi manusia ramah pasar.
Situasi pemiskinan struktural yang diakibatkan proyek Bank Dunia, seperti
kebijakan fleksibilitas buruh dengan - salah satunya - hadirnya PHI yang
28
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
menyakitkan bagi buruh untuk beracara di peradilan, proyek privatisasi, dan
komersialisasi, tidaklah menjadi agenda bagi proponen neo-liberal. Dalam konteks
inilah, mistifikasi wacana dan mesin institusional merupakan teknologi rasional
yang secara sistematik memproduksi konsep `kebenaran dan pengetahuan' good
governance, merupakan cara menghaluskan penindasan neoliberal.
Ketiga, teknologi perundangan yang dibingkai dalam wacana good
governance, dengan menggunakan doktrin rule of law sebagai prasyarat
pembangunan ekonomi, dipergunakan untuk membenarkan imperialisme pasar.
Good governance merupakan alat canggih menstipulasi mekanisme perubahan
hukum dan institusi melalui kerangka hukum untuk pembangunan sebagai bentuk
penjaminan kepentingan korporasi dan pemodal. Secara ideologi, promosi prinsipprinsip liberalisasi pasar jauh lebih kuat dibandingkan perlindungan bagi rakyat
miskin, dan hal ini sangat jelas terlihat dari upaya sistematik menarik peran-peran
negara agar 'sumberdaya dan pengelolaannya lebih efisien'. Teknologi ini
memperlihatkan dua hal: (i) good governance absen dalam upaya pemajuan hak
asasi manusia, dan tidak segan-segan menggerogotinya dan mensubversinya dalam
bentuk-bentuk kebijakan payung (semacam 'kerangka hukum untuk
pembangunan'). (ii) good governance secara paradigmatik memindahkan peranperan negara ke swasta atau privat, sehingga is memperlihatkan jalur yang berbeda
dengan aspirasi hak asasi manusia, dan sekaligus membajak jalur yang ada untuk
kian melemahkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak.
Inilah apa yang publik percayai tentang kebaikan-kebaikan dalam good
governance, yakni good for governing neoliberal performance.' Bila secara
sistematik dilakukan dengan teknologi pembenaran melalui pembaruan peraturan
perundang-undangan, maka telah terang bahwa good governance yang sangat
menekankan proseduralisme melahirkan proses-proses pelanggaran hak asasi
manusia yang difasilitasi oleh hukum yang ada atau dibentuknya (legalized
violations of human rights). Dengan mitos ketatanegaraan (dan mantramantranya)
good governance yang mengusung agenda-agenda pembaruan, menjelaskan pada
kita bahwa hukum ditempatkan sekadar alat kekerasan dan sekaligus pelumas
menuju mekanisme pasar bebas.
Sebagai kesimpulan, sekaligus peringatan, bahwa good governance sebagai
teknologi neoliberal telah benar-benar rapi disiapkan untuk meluruhkan kedaulatan
rakyat melalui pintu pembaruan ketatanegaraan Indonesia. Pintu itu memang tidak
100 persen dipaksakan untuk dibuka, melainkan teknokrat liberal sendirilah dari
produk rezim reformasi yang menawarkan diri dan bahkan mengajak seisi rumah
untuk bermantra membukanya.
6. Penjelasan Sosio-Legal, Rengkuhan `Kenikmatan' dalam studi hukum
Melalui studi sosio-legal, memang terjelaskan bahwa telah terjadi perubahan
yang cukup banyak termasuk lompatan-lompatan pembentukan dan kerja
kelembagaan negara yang kian melengkapi percaturan politik kenegaraan
Indonesia. Proyek-proyek hukum dilakukan secara serentak, mulai dari upaya
29
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
pembaruan hukum, pembaruan peradilan, dan pembaruan lembaga-lembaga negara
lainnya
Dari sudut pandang political economy of law, nampak bahwa bagi Bank
Dunia, hukum dan implementasinya dilihat sebagai faktor-faktor penting untuk
memperkuat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip good
governance adalah 'legal framework for development' (kerangka perundangundangan untuk pembangunan) (World Bank 1992). Dalam kerangka perundangan
yang demikian, rule of law adalah konsep utama yang secara instrumental dan
substansial penting, karena is mengkonsentrasikan pada keadilan (justice),
kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty). Bank Dunia menegaskan suatu sistem
hukum yang 'fair', yang kondusif untuk menyeimbangkan pembangunan (World
Bank 1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau mengejutkan, perspektif Bank
Dunia dalam good governance terkait utamanya dengan kebutuhan-kebutuhan
perundangan bagi aktor-aktor komersial dalam pasar (LCHR 1993: 53).
Pendapat cukup kritis dilontarkan dalam menganalisis hubungan antara rule of
law dan kerangka perundangan untuk pembangunan dibawah agenda agenda good
governance telah ditulis oleh Tsuma (1999). Menurutnya, Bank Dunia memulai
mengarahkan proyek pembaruan hukum dalam 1990an ketika good governance
menjadi bagian dari agenda pembangunan (World Bank 1992; 1995a). Kerangka
perundangan untuk pembangunan ini sesungguhnya merupakan evolusi pro ekproyek Bank Dunia, ketika Bank Dunia telah mempromosikan good governance
sebagai sinonim dengan suara pengelolaan pembangunan (World Bank 1992: 1;
Tshuma 1999: 79). Ini disebabkan Bank Dunia meletakkan doktrin rule of law
sebagai suatu prasyarat untuk pembangunan ekonomi.
Bila kita lihat lebih jauh, perspektif rule of law dengan memperkuat
prosedural dan institusional semata, dalam rangka menjamin stabilitas dan
predikbilitas yang menjadi elemen mendasar suatu iklim usaha, adalah suatu
perspektif yang lebih dipengaruhi oleh model Weberian dalam hukum. Weber
(1978: 24-26) mengidentifikasi 4 jalan dalam orientasi aksi sosial: rasional secara
instrumen, rasional nilai, memiliki daya pengaruh, dan tradisional. Ia telah
mengargumentasikan bahwa prediktabilitas dan perhitungan dalam sistem
perundangan adalah penting bagi pembangunan kapitalis. Rule of law sebagai
prasyarat untuk liberalisme kapital adalah konversi segala bentuk produksi buruh,
tanah dan modal — ke dalam komoditas-komoditas yang memiliki nilai daya tukar
mereka dalam pasar (Tshuma 1999: 85). Dalam hal ini, konversi kapitalistik berarti
proses transformasi ke dalam komoditas-komoditas yang menggunakan kekuatan
paksa negara untuk merampas hak-hak rakyat dalam jumlah besar. Serupa dengan
hal tersebut, Polanyi (1944) telah lama menekankan bahwa transformasi memiliki
konsekuensi traumatik bagi mereka yang dirampas alat-alat produksinya serta
mereka yang secara konsekuensi dipaksa untuk menjual tenaganya sebagai buruh
hanya untuk bertahan hidup (Polanyi, dalam Tshuma 1999: 85).
Dalam konteks Indonesia, tekanan disain ketatanegaraan neo-liberal sangat
jelas terlihat ketika upaya pembaruan hukum tidak meletakkan arah perubahannya
30
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
pada sistem yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak, melainkan lebih menuruti
kepentingan atau selera pasar dalam penciptaan iklim usaha. Dalam soal
pembaruan kelembagaan negara, hal ini bisa dicontohkan pada pembentukan
institusi peradilan khusus bagi buruh melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pembentukan
mekanisme peradilan barn ini merupakan bagian dari proyek pembaruan peradilan
(judicial reform) yang disponsori Bank Dunia dan bertujuan untuk sekadar
meningkatkan `wajah' perekonomian suatu bangsa. Sedangkan dalam soal
pembaruan peraturan perundang-undangan, banyak kasus yang bisa dicontohkan,
seperti lahirnya Undang-Undang Sumberdaya Air (UU Nomor 7 Tahun 2004),
Undang-Undang Penanaman Modal (UU Nomor 25 Tahun 2007), Undang-Undang
Ketenagakerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003).
Bagi Bank Dunia, proyek pembaruan peradilan adalah relevan bagi
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, dan ini merupakan kunci
sukses strategi peminjaman uang Bank pada suatu negara (Shihata 1995: 170;
Armstrong 1998). Singkatnya, proyek pembaruan peradilan dilihat sebagai bagian
penting upaya membuat sistem perundangan di negara berkembang dan selatan
serta negara dengan ekonomi transisi lebih ramah pasar. Dalam implementasinya,
upaya pembaruan ini dilakukan dengan segala bentuk cara mulai dari proses
perencanaan dan perancangan kebijakan, merevisinya, mengajarkannya kepada
menteri yang terkait dengan hukum dan perundang-undangan dan mengajaknya
untuk berfikir lebih strategis dalam mendorong liberalisasi pasar. Sebagai suatu
mesin perundangan, is meyakinkan adanya kompetensi, etika, dan jaminan digaji
secara profesional bagi mereka yang membentuk perundangan yang secara baik
mendisain promosi aktifitas komersial (Posner 1998: 1; Severino 1999). Sejak
1994, Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American
Development Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) telah
menyetujui dan mengucurkan pinjaman bagi proyek pembaruan peradilan sebesar
US$ 500 juta di 26 negara (Armstrong 1998).
Good governance dalam konsepnya yang demikian, memperlihatkan
hubungan sangat erat antara upaya-upaya pembaruan hukum (teanasuk pembaruan
peradilan) dengan bagaimana menciptakan sistem keuangan yang `sehat' bagi
parsyarat liberalisasi pasar. Ia diupayakan untuk menjamin, bukan pada hak-hak
masyarakat banyak, melainkan jaminan bagi pemodal yang melakukan investasi
dan menggerakkan sumber dayanya dalam suatu mekanisme yang benar-benar
efisien. Dalam konteks ini, kerangka hukum ditujukan untuk meyakinkan adanya
jaminan hak-hak para kreditor dan bekerjanya fungsi peradilan untuk
menegakkannya, arus informasi yang lebih bertanggung jawab, peraturan yang
lebih kuat dan independen, khususnya bagi supervisi lembagalembaga keuangan
(World Bank 2005: 8).
Terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, sungguh bukan
hal yang susah untuk diamati sebagai kepentingan neo-liberal yang dimainkan
Bank Dunia, karena sejak awal Bank Dunia telah mendorong negara-negara yang
berhutang untuk membuat aturan-aturan dan mekanisme hukum barn. Tidak saja
31
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
pada hukum perburuhan saja, banyak kebijakan peraturan barn yang terkait
semacam peraturan investasi dan perdagangan, peraturan anti-korupsi, dan
pembentukan peradilan usaha (niaga) yang kesemuanya ditempatkan dalam rangka
menjalankan mesin legislasi bagi efektifitas pengucuran utang sekaligus
meminimalisir resiko atau ketiadaan jaminan hak-hak atas kekayaan. Sekali lagi,
good governance lebih bertumpu pada disain substantif kerangka hukum untuk
(sekadar) liberalisasi pasar. Faktanya, justru berbahaya dan mensubordinasi hak
asasi manusia.
Dengan hasil penelitian yang demikian, tentu terasa `kenikmatan' suatu studi
yang berada dalam sisi lain suatu mainstream yang memandang good governance
sebagai suatu hal yang baik atau tak bermasalah. Secara personal, tak hanya
merasakan berada di sisi lain, tetapi sekaligus memahami hukum dan segala
konteks, implementasi, strategi transmisi maupun injeksi, serta kontroversi
dibaliknya. Tentu saja, temuan itu bisa jadi tak (mudah) populer di kalangan
akademisi hukum, tetapi setidaknya, hasil kajian ini seolah menjadi catatan kaki'
dari setiap norma, kebijakan, ketentuan beserta realitasnya soal good governance.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, Rita (2000) Disciplining Democracy: Development Discourse and
Good Governance in Africa. New York : Zed Books.
Abrahamsen, Rita (2004) "The Power of Partnership in Global Governance". Third
World Quarterly, Vol 25, No. 8, 1453-1467, 2004.
Armstrong, Patricia (1998) Selected World Bank, Judicial and/or Legal Reform
Projects. New York: Lawyer's Committee of Human Rights.
Bello, Walden (2002) Deglobalization: Ideas for a New World Economy. London:
Zed Books.
Bello, Walden (2005c) Dilemmas of Domination, The Unmaking of the American
Empire. New York: Metropolitan Books, Henry Holt and Company.
Bendana, Alejandro (2004) "Good Governance" and the MDGs: Contradictory or
Complementary", Paper presented at Institute for Global Network,
Information and Studies (IGNIS) Conference, Oslo, 20 September 2004.
Gathii, James Thuo (1998) "Representations of Africa on Good Governance
Discourse: Policing and Containing Dissidence to Neo-Liberalism", Third
World Legal Studies, 65, 1998-1999.
George, Susan (1995) "The World Bank and Its Concept of Good Governance",
The Democratization of Disempowerment, The Problem of Democracy in
the Third World. London: Pluto Press.
Hosen, Nadirsyah (2003) Reform of Indonesian Law in the Post-Soeharto Era
(19981999). PhD thesis, Faculty of Law, University of Wollongong.
LCHR/Lawyers Committee For Human Rights (1993) The World Bank:
Governance and Human Rights. New York: Lawyers Committee For
Human Rights.
32
Good Governance dan Pembaruan Hukum di Indonesia
Parasuraman, S et. al. (2004) Good Governance: Resource Book. Bangalore: Books
for Change-ActionAid.
Partnership Initiatives (2002) Good Governance in Sustainable Development (http
://webapp s 01 .un. org/dsd/p artnership s/public/partnership s/228 .html)
(diakses tanggal 16/6/2006).
Pieterse, Jan Naderveen (2004), Globalization or Empire? New York: Routledge.
Posner, Richard A (1998) "Creating A Legal Framework for Economic
Development", The World Bank Research Observer, Vol. 13, No. 1
(February 1998), p. 1-11.
Quadir, Fahimul, Sandra J. Maclean, and Timothy M. Shaw (2001) "Pluralism and
The Changing Global Political Economy: Ethnicities in Crises of
Governance in Asia and Africa", in Crises of Governance in Asia and
Africa, The International Political Economy of New Regionalisms Series.
Burlington: Ashgate.
Robinson, Richard (2004) "Neo-Liberalism and The Future World: Markets and
The End of Politics", Inaugural address as Professor of Political Economy,
delivered on 5 February 2004 at ISS/Institute Social Studies, The Hague,
Netherlands.
Selznick, Philip (1969) Law, Society, and Industrial Justice. New York: Russel
Sage Foundation.
Severino, Jean-Michel (1999) Remarks to the Jakarta Capital Markets Conference,
Vice President, East Asia and Pacific The World Bank, Jakarta, August 24,
1999
Shihata, Ibrahim FI. (1995) The World Bank in Changing World: Selected Essays
and Lectures. Vol. 2. The Hague: The Martinus Nijhoff Publishers.
Soekarwo (2005) Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan PrinsipPrinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University
Press.
Tshuma, Lawrence (1999) "The Political Economy of The World Bank's Legal
Framework for Economic Development", Socio and Legal Studies, Vol. 8
(1), 75-96, New Delhi: Sage Publication.
Weber, Max (1978) Economic and Society: Volume 1 and 2. Berkeley/Los
Angeles/London: University of California Press.
Wijoyo, Suparto (2005) Otoda dari Mana Dimulai? Surabaya: Airlangga
University Press.
Winters, Jeffrey A (1999) 'Criminal Debt', a paper for Conference: Reinventing the
World Bank: Opportunities and Challenges for the 21' Century, 14-16 Mei
1999, Northwestern University, Illinois, US.
Winters, Jeffrey A (2002) 'Criminal Debt', in Reinventing the World Bank,
Jonathan R. Pincus and Jeffrey A. Winters. Ithaca NY and London: Corenll
University Press.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006) "What's Wrong With 'Good
Governance'? A Human Rights Perspective on Governance Reform in
Indonesia." Paper presented for The 1" Southeast Asian Studies project of
33
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
2006 on the topic "Indonesian Future in 2006", organized by the Southeast
Asian Studies Program (SEAS) of the Liberal Arts Faculty of the
Thammasat University, Thailand, 20th January 2006.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007) Good Governance and Legal Reform
in Indonesia. Bangkok: OHRSD Mahidol University.
World Bank (1983) World Development Report 1983. Washington: World Bank.
World Bank (1989) Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth.
Washington: World Bank.
World Bank (1992) Governance and Development. Washington: The World Bank.
World Bank (1994) Governance: The World Bank's Experience. Washington: The
World Bank.
World Bank (2002) "Module I: Introduction to Governance", Youth for Good
Governance, Distance
Learning
Program.
(http://extsearch.
worldbank.org/servlet/SiteSearchServlet?q—Governance%20Training%20
Youth%20for%20Good%20Governance%20) (accessed on 14/5/2006).
World Bank (2005) OED Review of Bank Assistance For Financial Sector Reform,
Country Evaluation and Regional Relations-Operation Operational
Development, July 22, 2005, Report No. 33030.
34
TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERPAJAKAN
Muhammad Djafar Saidi
Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pajak
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Sul-Sel
Abstrak
Pelaksanaan hukum pajak in casu UUKUP bertujuan mendidik wajib pajak
memenuhi hak dan kewajibannya, tetapi pegawai pajak dan pejabat pajak
menyalahgunakan untuk memperkaya din sendiri dalam bentuk melakukan tindak
pidana korupsi di bidang perpajakan. Berhubung karena kaidah hukum dalam
UUKUP memberikan wewenang luar biasa kepada pejabat pajak sehingga pegawai
pajak mewujudkannya. Oleh karena itu, kaidah hukum dalam UUKUP
memerlukan penataan kembali untuk mencegah tindak pidana korupsi di bidang
perpajakan.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Pidana Korupsi, Perpajakan
Abstract
Implementation of the tax law in casu UUKUP aims to educate taxpayers fulfill
their rights and duties, but tax officials and tax officials to enrich themselves
abused in the form of committing corruption in the field of taxation. Since the rule
of law because of the tremendous UUKUP authorizes the tax authorities that tax
officials to make it happen. Therefore, the rule of law in UUKUP require
realignment to prevent corruption in the field of taxation.
Keywords : Crime, Corruption, Taxation
A. Pendahuluan
Ketergantungan negara dari pajak sebagai sumber pendapatan negara tidak
boleh dipungkiri lagi. Terlihat pada Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang tiap-tiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini dilandasi
pemikiran penyusun Konstitusi yang lebih memprioritaskan pajak daripada
pungutan yangbersifat memaksa lainnya. Awalnya pajak dalam Konstitusi diatur
pada Pasal 23ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan : "segala
pajak untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang". Kaidah hukum ini
mengalami amandemen berdasarkan kepentingan negara terhadap sumber
pendapatan negara. Amandemen kaidah hukum, tergambar pada Pasal 23A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan
"pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang".
Pajak merupakan energi yang dibutuhkan oleh negara dalam kerangka
kelangsungan berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa pajak sangat
berperan dan merupakan unsur terpenting keberadaan dan kelangsungan berdirinya
negara hukum Indonesia. Presiden sebagai kepala Pemerintahan Negara, wajib
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
melakukan penataan terhadap "Institusi dan aparaturnya" yang bertanggungjawab
terhadap pengelolaan pajak agar tidak terjadi pelanggaran hukum yang berakibat
menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Berhubung
karena, pajak tidak sekadar menunjang hak budget bagi negara melainkan boleh
dijadikan sebagai instrumen yang mengatur perekonomian untuk melindungi
produk dalam negeri.
Pelanggaran hukum terhadap pengelolaan pajak, berkaitan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP). Kelanjutan pelaksanaan UUKUP
boleh terkait Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Hal ini didasarkan
bahwa UUKUP berfokus pada ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang
wajib ditaati oleh pegawai pajak, pejabat pajak, dan wajib pajak dalam kerangka
penegakan hukum pajak.
Penegakan hukum pajak tidak hanya terfokus pada peningkatan pendapatan
negara dan pengaturan perekonomian, melainkan berupaya untuk mencegah
terjadinya perbuatan melanggar hukum pajak. Pelanggaran hukum pajak boleh
terjadi karena dilakukan oleh pegawai pajak, pejabat pajak, dan wajib pajak.
Bentuk pelanggaran hukum pajak dapat berupa "tidak melakukan perbuatan" atau
"melakukan perbuatan" yang bertentangan dengan hukum pajak. Misalnya,
perbuatan melawan hukum (onrecthtmatige overheidsdaad), penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir), atau kesewenang-wenangan (daad van
willekeur).
B. Tindak Pidana Pajak
Suatu penegasan yang wajib dijadikan pegangan untuk memahami tindak
pidana korupsi di bidang perpajakan, bahwa tindak pidana korupsi tersebut bukan
merupakan tindak pidana pajak. Oleh karena, tindak pidana pajak diatur secara
tegas dalam UUKUP. Sementara itu, tindak pidana korupsi diatur secara tegas
dalam UUPTPK. Akan tetapi, keduanya merupakan tindak pidana khusus karena
berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUUHP) yang mengatur
mengenai tindak pidana umum.
Walaupun tindak pidana pajak merupakan tindak pidana khusus. Akan tetapi,
perlakukan tidak sama dengan tindak pidana korupsi yang memeliki sifat luar biasa
"extra ordinary crime" sehingga memerlukan penyelesaian secara luar biasa pula.
Hal ini tidak terdapat dalam tindak pidana pajak karena terikat pada asas hukum
"ultimun remedium" yang menunjukkan bahwa penerapan sanksi pidana wajib
dilakukan pada tahap terakhir.
36
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan
Gambaran umum mengenai tindak pidana pajak sebagaimana diatur dalam
UUKUP yang dikemukakan oleh Muhammad Djafar Saidi & Eka Merdekawati
Djafar (2012; 18-136) adalah sebagai berikut;
1. Tindak pidana pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak
a. Tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya;
b. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
c. Pemalsuan surat pemberitahuan;
d. Menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak;
e. Menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak;
f. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak;
g. Menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusaha kena pajak;
h. Menolak untuk diperiksa;
i. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;
j. Tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan di Indonesia;
k. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lain;
1. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan;
m. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;
n. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;
o. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak;
p. Tidak memberi keterangan atau bukti;
q. Menghalangi atau mempersulit penyidikan;
r. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi;
s. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat dan pihak lain;
t. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan;
u. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan.
2. Tindak pidana pajak yang dilakukan oleh Pegawai Pajak
a. Menghitung atau menetapkan pajak;
b. Bertindak di luar kewenangan;
c. Melakukan pemerasan dan pengancaman;
d. Penyalahgunaan kekuasaan.
3. Tindak pidana pajak yang dilakukan oleh Pejabat Pajak
a. Tidak menenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak;
b. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak.
4. Tindak pidana pajak yang dilakukan oleh Pihak Ketiga
a. Menyuruh melakukan (Doenplegen);
b. Turut melakukan (Medeplegen);
c. Menganjurkan melakukan (Uitlokking);
d. Membantu melakukan (Medeplichtigheid).
37
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Optimalisasi penanganan tindak pidana pajak membutuhkan konsistensi dalam
penegakan hukum pajak dan kerjasama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dengan lembaga penegak hukum pajak lainnya,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah
menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan pihak
kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaaan Agung Republik Indonesia.
Substansi yang termuat dalam nota kesepahaman tersebut, meliputi;
a. kerjasama penyidikan pajak, pengamanan kegiatan dan pelaksanaan tugas
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
pemanfaatan data dan informasi untuk meningkatkan kepatuhan dan
penerimaan pajak,
b. Kerjasama dalam proses penuntutan dan penindakan perkara tindak pidana
pajak, dan
c. Kerjasama dalam pelaksanaan tugas di bidang perdata dan tata usaha
negara.
Dalam jangka waktu empat tahun terakhir ini, yakni dari tahun 2009 sampai
tahun 2012, jumlah kasus tindak pidana pajak yang selesai dilakukan penyidikan
oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan
berkasnya dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P-21) terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Pelaku tindak pidana pajak selama empat tahun terakhir dilakukan
oleh 68 wajib pajak badan, 14 wajib pajak bendahara, dan 10 wajib pajak orang
pribadi, yang didominasi oleh kasus faktur pajak tidak sah (fiktif) dan kasus
bendaharawan. Sementara itu, jumlah kerugian pada pendapatan negara
diperkirakan mencapai lebih dari Rp.1.13 trilyun. Perkembangan selanjutnya,
ternyata sembilan puluh dua kasus telah dilimpahkan ke tahap penuntutan di
pengadilan oleh Kejaksaan. Kemudian, enam puluh sembilan kasus tindak pidana
pajak telah divonis oleh pengadilan dengan putusan berupa hukuman penjara dan
denda pidana hampir sebesar Rp.4,3 trilyun.
Tindak pidana pajak yang sangat memperoleh perhatian di masyarakat adalah
kasus Asian Agri yang diperkirakan menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara mencapai Rp.1.25 trilyun. Tindak pidana pajak tersebut telah divonis oleh
Mahkamah Agung dengan putusan dua tahun penjara dengan masa percobaan satu
tahun serta denda pidana sebesar lebih dari Rp.2.5 trilyun. Pada awalnya tindak
pidana pajak yang dilakukan oleh Asian Agri telah divonis bebas oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kemudian pada tahap banding, ternyata vonis Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dikuatkan oleh vonis Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Beberapa tindak pidana pajak yang dikategorikan sebagai kasus besar lain (di
luar kasus Asian Agri) yang telah divonis pengadilan selama empat tahun terkahir,
yaitu kasus Sulasindo Niagatama dan kasus Sumber Tani Niaga. Kasus Sulasindo
Niagatama diperkirakan menimbulkan kerugian pada pendapatan negara lebih dari
Rp.27 milyar. Kasus ini telah divonis oleh pengadilan dengan hukuman penjara
dua tahun dan denda pidana sebesar Rp.336 milyar. Sementara itu, kasus Sumber
Tani Niaga diperkirakan menimbulkan kerugian pada pendapatan negara hampir
38
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan
Rp.77 milyar. Kasus ini telah divonis oleh pengadilan dengan hukuman penjara
dua tahun dan denda pidana sebesar lebih dari Rp.306 milyar.
Pada tahun 2013 diharapkan pengadilan dapat mengadili dan memutus
terhadap dua puluh tiga kasus tindak pidana pajak. Harapan itu didasarkan bahwa
kasus tindak pidana pajak tersebut telah berada pada posisi berkas P-21. Kasus
tindak pidana pajak tersebut berasal dari tahun 2010 sampai tahun 2012 yang
belum dapat diadili dan divonis oleh pengadilan dalam wilayah hukum Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
C. Tindak Pidana Korupsi Berkaitan dengan Pajak
Korupsi merupakan kajian ilmu hukum, tidak hanya berintegrasi pada hukum
pidana melainkan berintegrasi pula dengan hukum administrasi negara, hukum
keuangan negara, dan hukum pajak. Walaupun demikian, istilah "korupsi" pertama
kali diperkenalkan dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Prof Dr.
Elwi Danil, SH,MH (2012;5) bahwa dalam sejarah kehidupan hukum pidana
Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum.
Penggunaan isitilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian
konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatanperbuatan yang
merugikan keuangan atau perekonomian negara yang oleh khalayak ramai
dinamakan korupsi.
Korupsi pada hakikatnya merupakan tindak pidana yang memiliki akibat
hukum berupa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak
pidana korupsi boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang melaksanakan fungsi
negara maupun pihak partikulir (swasta) yang memiliki keterkaitan dengan fungsi
negara. Dengan demikian, tindak pidana korupsi boleh terjadi dari segala aspek
berbangsa dan bernegara yang memperoleh legitimasi hukum positif.
Tindak pidana korupsi dalam perspektif kebangsaan dan kenegaraan,
tergolong sebagai bentuk tindak pidana yang luar biasa sehingga penanganannya
hams dilakukan secara khusus pula. Hal ini membuktikan bahwa kehadiran tindak
pidana korupsi hams disambut dengan prosedur hukum yang berbeda dengan
tindak pidana umum. Selama ini penanganan tindak pidana korupsi, baik yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kejaksaan telah dilakukan
secara maksimal dengan tetap berada dalam koridor hukum positif. Kenyataannya,
tindak pidana korupsi bahkan mengalami perkembangan mengikuti perkembangan
kebutuhan, baik kebutuhan personal maupun kebutuhan institusi dalam
menyelengarakan fungsi negara.
Meskipun telah ada UUPTPK, tetapi undang-undang ini hanya memuat
substansi hukum dengan cara bagaimana memberantas tindak pidana korupsi. Lain
perkataan, UUPTPK menitikberatkan pada upaya yang bersifat represif dan sifat
preventif terhadap tindak pidana korupsi dikesampingkan sebagaimana tertuang
dalam konsideran menimbang pada humf b UUPTPK yang menegaskan "bahwa
untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum
dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
39
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, ……………
dst". Oleh karena itu, paradigma UUPTPK ke depan memerlukan pengkajian
secara utuh menyeluruh sehingga dapat memiliki kemanfaatan dalam mencegah
dan menanggulangi tindak pidana korupsi dalam negara hukum Indonesia.
UUPTPK dan UUKUP merupakan dua bentuk undang-undang dengan
substansi hukum yang berbeda serta digunakan dalam kerangka berbangsa dan
bernegara. UUPTPK memuat substansi hukum dengan cara bagaimana
memberantas tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan oleh pihak yang memiliki
kewenangan maupun oleh partikulir yang memiliki keterkaitan dengan fungsi
negara. Sementara itu, UUKUP memuat substansi hukum berupa ketentuan umum
dan tata cara perpajakan yang menjadi pegangan oleh pegawai pajak, pejabat pajak,
dan wajib pajak. Dengasn demikian, penerapan kaidah hukum yang termuat dalam
UUPTPK dan UUKUP diharapkan dapat bersinergik dalam kerangka mencegah
dan menanggulangi tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perpajakan.
Penerapan UUKUP yang bermuara kepada tindak pidana, tidak hanya tertuju
pada tindak pidana pajak melainkan dapat pula tertuju pada tindak pidana korupsi.
Ketika dilaksanakan UUKUP dan menimbulkan tindak pidana korupsi maka tindak
pidana itu disebut sebagai "tindak pidana korupsi di bidang perpajakan". Modus
operandi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dapat
berupa kerugian keuangan negara, perekonomian negara, suap, penggelapan,
pemerasan dan pemberian. Sementara itu, subjek hukum yang mengarah pada
terjadinya tindak pidana korupsi di bidang perpajakan meliputi pegawai pajak,
pejabat pajak, dan wajib pajak.
Ketiga subjek hukum tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam
melakukan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan. Hal ini didasarkan pada
perlakuan terhadap UUKUP sehingga tidak melakukan perbuatan hukum atau
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum pajak. Praktek selama ini,
berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang dilakukan oleh
pegawai pajak dan pejabat pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, adalah sebagai berikut;
1. Gayus HP Tambunan (Pegawai Ditjen Pajak) dengan modus operandi
menyalahgunakan wewenang pada saat menangani keberatan pajak Rp.570,92
juta dan memiliki rekening dengan dana Rp.25 milyar. Jumlah dana dan
transaksi tidak sesuai dengan pekerjaannya, karena itu dihukum dengan
hukuman penjara 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tanggal 19
Januari 2011.
2. Bahasyim Assifie (Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta
VII) dengan modus operandi berupa gratifikasi Rp.1 milyar dari wajib pajak
dan pencucian uang atas hartanya Rp.60.82 milyar dan 681.000 dollar AS.
Memiliki dana hingga Rp.70 milliar di rekening. Jumlah dana transaksi tidak
sesuai dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, dihukum dengan hukuman
penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tanggal 3 Pebruari
2011.
3. Dhana Widyatmika (Pegawai Direktorat Jenderal Pajak) dengan modus
40
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan
4.
5.
6.
operandi menerima gratifikasi Rp.2.75 milyar dari PT. Mutiara Virgo.
Memiliki 12 rekening di tujuh bank dengan aliran dana hingga Rp.97 milliar
pada salah satu rekening. Sejumlah aliran dana bersumber dari tiga wajib
pajak. Oleh karena, dihukum dengan hukuman penjara 7 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, tanggal 9 November 2012.
Tommy Hindratno (Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo) dengan modus operandi menerima Rp280
juta, terkait restitusi pajak PT Bhakti Investama Tbk. Transaksi dilakukan di
sebuah rumah makan di Tebet Jakarta. Uang suap Rp280 juta dibungkus
dalam amplop coklat. Oleh karena itu, dihukum dengan hukuman penjara 3,5
tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, tanggal 18 Pebruari
2013.
Pargono Riyadi (Penyidik pegawai negeri sipil di kantor wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jakarta Pusat) diduga melakukan pemerasan kepada wajib
pajak dengan nilai ratusan juta rupiah. Transaksi dilakukan di Stasiun Gambir.
Kurir menyerahkan uang Rp.25 juta yang dibungkus tas plastik di lorong
stasiun. Ditangkap oleh KPK di Jakarta, tanggal 9 April 2013.
Muhammad Dian Irwan Nugishira dan Eko Darmayanto (keduanya pemeriksa
dan penyidik pajak pada Kantor Pajak Jakarta Timur). Menerima suap
300.000 dollar Singapura (sekitar Rp.2,3 milyar) diduga berasal dari wajib
pajak korporasi (perusahaan baja) The Master Steel yang beralamat di Jalan
Raya Bekasi 21, Jakarta Timur. Ditangkap oleh KPK di terminal 3 Bandara
Sukarno-Hatta, tanggal 15 Mei 2013.
Terjadinya tindak pidana korupsi di bidang pajak tersebut, tidak terlepas dari
tiga faktor yang mendukungnya, yaitu:
1. Substansi hukum dalam UUKUP memberikan peluang untuk melakukan
tindak pidana korupsi;
2.
Meskipun UUKUP yang bermula dari tahun 1983, telah beberapa kali diubah,
dan terakhir pada tahun 2007, ternyata masih memiliki kaidah hukum yang
memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya,
kaidah hukum yang memberi hak kepada wajib pajak untuk mengajukan
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada
Direktur Jenderal Pajak. Atau, kaidah hukum yang berkaitan dengan keadaan
di luar kekuasaan wajib pajak (force majeur). Serta masih banyak kaidah
hukum lainnya yang memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk dilakukan
penataan kembali agar tindak pidana korupsi tidak terjadi lagi.
Pengawasan oleh atasan tidak terlaksana atau kurang terlaksana;
Suatu kewajiban hukum yang melekat pada diri seorang atasan adalah
melakukan pengawasan kepada bawahannya. Pengawasan itu wajib dilakukan
terhadap bawahannya yang tertuju pada kinerja dan tingkah lakunya. Ketika
pengawasan itu tidak dilaksanakan atau kurang dilaksanakan sehingga
bawahannya melakukan tindak pidana korupsi maka atasan tersebut wajib
dikenakan sanksi administrasi.
41
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
3.
Adanya kerjasama pelaku dengan atasan yang membawahinya;
Kerjasama atasan dengan bawahan untuk menghasilkan suatu pekerjaan yang
terbaik kepada negara merupakan suatu hal yang memerlukan penghargaan.
Sebaliknya, bila kerjasama itu mengarah kepada tindak pidana korupsi, berarti
atasan dan bawahan melakukan kerjasama untuk melanggar sumpah atau janji
pada saat diangkat menjadi pegawai negeri sipil maupun pada saat memangku
jabatan yang dipangkunya. Oleh karena itu, keduanya wajib diberhentikan
menjadi pegawai negeri sipil sebagai bentuk pengenaan sanksi administratif
yang sifatnya berat.
4. Karakter dari pegawai pajak dan pejabat pajak;
Pada hakikatnya, karakter seseorang sangat berperan untuk dijadikan alat ukur
dalam kerangka menilai pengabdiannya kepada negara. Ketika karakter dari
pegawai pajak atau pejabat pajak sangat mendukung untuk berkarir maka
pekerjaan yang ditekuni tersebut akan menghasilkan yang terbaik. Sebaliknya,
bila karakter dari pegawai pajak dan pejabat pajak sangat diragukan pada saat
melakukan atau menjabat suatu jabatan maka jabatan yang dipangkunya dapat
dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan, terlebih
dahulu ditempuh keempat hal tersebut. Berhubung karena keempat hal itu tidak
terpisah satu dengan lainnya, berarti memerlukan pemikiran dari pakar hukum
pajak dan birokrat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Selama ini, tidak terjalin kerjasama antara pakar hukum pajak yang
berasal dari Perguruan Tinggi dengan birokrat Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dengan demikian, pencegahan tindak
pidana korupsi di bidang perpajakan setiap saat dapat dilakukan agar negara dapat
segera mewujudkan fungsinya yang utama yaitu mewujudkan "masyarakat adil dan
makmur serta makmur dalam keadilan" yang berujung pada penaatan hukum pajak.
D. Kesimpulan
Pada bagian ini, dikemukakan beberapa hal yang sangat mendasar yang terkait
dengan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan. Hal ini menunjukkan bahwa
pelanggaran hukum pajak dapat berdampak kepada tindak pidana pajak dan bahkan
tindak pidana korupsi. Namun, tindak pidana pajak tidak memiliki sifat yang luar
biasa sehingga penanganannya juga tidak dilakukan secara luar biasa. Berbeda
dengan Tindak pidana Korupsi di bidang perpajakan memiliki sifat yang luar biasa
sehingga penanganannya hams dilakukan secara luar biasa.
Terjadinya tindak pidana korupsi di bidang perpajakan, tidak terlepas dari
empat faktor sebagai penyebabnya. Faktor penyebab yang lebih dominan adalah
kaidah hukum UUKUP yang memberikan kewenangan luar biasa kepada pejabat
pajak sehingga pegawai pajak ikut berperan mewujudkannya. Sementara faktor
lain, berupa pengawasan, kerjasama, dan karakter hanya merupakan faktor
pendukung. Oleh karena itu, perlu penataan kembali UUKUP yang mengarah
kepada pencegahan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan.
42
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 2012; Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Cetakan ke-5, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta;
Elwi Danil, 2012; Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Penerapannya, Cetakan ke2, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta;
Muhammad Djafar Saidi, 2011; Pembaruan Hukum Pajak, Cetakan ke-3, Penerbit
Rajawali Pers, Jakarta;
Muhammad Djafar Saidi & Eka Merdekawati Djafar, 2012; Kejahatan Di Bidang
Perpajakan, Cetakan ke-2, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta;
Santoso Brotodihardjo, 1995; Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Penerbit PT Eresco,
Bandung;
Andi Zainal Abidin Farid, 2007; Hukum Pidana I, Cetakan ke-2, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta;
…………., Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi, 2006; Edisi
Kedua Cetakan Kedua, Diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
Jakarta.
43
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
44
ISSN : 2303-3274
TEORI GANTI RUGI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
The Compensation Theory in Islamic Law Perspectives
Asmuni
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Indonesa Yogyakarta
Abstrak
Ide Ganti rugi terhadap korban perdata maupun pidana, sejak awal sudah
disebutkan oleh nas al-Qur'an maupun Hadis Nabi. Dari nas-nas tersebut para
ulama merumuskan berbagai kaidah fiqh yang berhubungan dengan ganti rugi atau
daman. Memang diakui sejak awal, para fuqaha tidak menggunakan istilah
masuliyah madaniyah sebagai sebutan tanggung jawab perdata, dan juga masuliyah
al-jina'iya.h untuk sebutan tanggung jawab pidana. Akan tetapi sejumlah pemikir
hukum Islam klasik terutama al-Qurafi dan al-qz Ibn Abdi Salam memperkenalkan
istilah al-jawabir untuk sebutan ganti rugi perdata (baca: daman), dan al-zawajir
untuk sebutan ganti rugi pidana (baca: `uqubah diyat, arusy dan lain-lain).
Walaupun dalam perkembangannya kemudian terutama era kekinian para fuqaha'
sering menggunakan istilah masuliyah yang tidak lain merupakan pengaruh dari
karya-karya tentang hukum Barat. Daman dapat terjadi karena penyimpangan
terhadap akad dan disebut daman al-aqdi, dan dapat pula terjadi akibat pelanggaran
yang disebut daman `udwan. Di dalam menetapkan ganti rugi unsur-unsur yang
paling penting adalah darar atau kerugian pada korban. Kerugian dapat terjadi pada
fisik, harta atau barang, jasa dan juga kerusakan yang bersifat moral dan perasaan
atau disebut dengan darar adabi termasuk di dalamnya pencemaran nama baik.
Tolak ukur ganti rugi baik kualitas maupun kuantitas sepadan dengan kerugian
yang diderita pihak korban, walaupun dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan
ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pelaku.
Kata Kunci : Ganti Rugi, Hukum Islam, Perspektif Hukum.
Abstract
The idea of daman towards both criminal and justice victims, from early time, has
been mentioned in the nash of both Al-Quran and Al-Hadith. From the nash,
Ulemas have formulated various fiqh forms concerning daman (compensation). In
fact, from early time the Islamic Jurists have not applied the terms masuliyah
madaniyah for justice responsibility, and masuliyah al ina'iyah for criminal one.
However, several thinkers of classical Islamic law mainly al-Qurafi and al- `Iz Ibn
Abdi Salam have introduced the term al-jawabir for justice conpensation (read:
daman) and al-zawajir for criminal compensation (read: 'uqubah diyat, arus, etc.).
Although in its development, up to recent time, Islamic Jurists often use the term
masuliyah that is because of the Western work influences. Daman could occur
because of deviation on akad (agreement) namely daman al-aqdi, and could
happen because of violation namely daman `udwan. In determining the
compensation, the esential elements are darar or lost on the victims. Darar could
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
occur on physical, material or things and service aspects; and it could also be on
moral and emotional destruction or called darar adabi including name-reputation
damage. The standard for the compensation either on quality or quantity must be
similar to darar suffered by the victims. Although in certain cases, the multiplying
compensation may happen based on the victims' condition.
Keywords : Compensation Theory, Islamic Law, Law perspectives
A. Pendahuluan
Sebelum hadirnya Islam, ide kreatif yang berkaitan dengan pemikiran hukum,
sama sekali tidak ditemukan. Perlindungan terhadap hak-hak individu dengan
sendirinya terabaikan. Bilapun hendak memperoleh hak-hak individu tersebut,
satu-satunya cara adalah melalui kekuatan yang disimbolkan oleh kekuasaan. Hal
inilah yang kemudian menjadi hukum.
Karena belum adanya aturan yang baku, maka kezaliman dan penindasan
merajalela di mana-mana. Permusuhan dan main hakim sendiri menjadi tontonan
yang tidak asing lagi. Suku yang lebih kuat akan merasa lebih terhormat dan
berbuat semena-mena terhadap suku yang lemah. Dalam situasi yang tidak
mengenal "hukum" seperti inilah kemudian turun Al-Qur'an kepada Muhammad
Negara Islam pun berdiri bersamaan dengan datangnya agama barn yang komitmen
terhadap perintah dan larangan Tuhan (imtisal al-awamir wa ijtinab alnawahi). AlQur'an menegaskan "athi'ulla wa athi'u ar-rasul " (Taatlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya).
Posisi dan keberadaan sistem kesukuan yang cenderung tirani dan semenamena, digantikan oleh kekuasaan publik "sulthoh 'arnmah" yang memberlakukan
hukum syariah untuk melindungi hak-hak individu masyarakat tanpa melihat latar
belakang suku, bahkan agamanya. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang
miskin, yang kuat dan yang lemah
Secara umum, hukum Islam secara kualitatif maupun kuantitatif melindungi
kemaslahatan setiap individu di tengah masyarakat. Perlindungan tersebut meliputi
aspek agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Semua orang diwajibkan untuk
menghormati kelima hak tersebut dan bekerja secara sungguhsungguh untuk
memeliharanya. Dalam konteks ini Al-Qur'an menjelaskan bahwa: man qotala
nafsan bigairi nafsin awu fasddin fi al-ardh fakaannama qotala alnasa jami 'a,
juga man qotala mu 'rninan khotho 'an fatahriru roqobatin mu 'rninatin wa
diyyatun musallamah ila ahlihi.
Al-Qur'an juga mewajibkan berlaku adil dalam bermuamalah dan berlaku
ihsan kepada kerabat, tetangga, dan umat Islam secara keseluruhan. Al-Qur'an
melarang makan harta orang lain dengan cara yang tidak sah menurut hukum,
mewajibkan qisas terhadap pelaku pembunuhan yang zalim untuk menghilangkan
darar pada korban: wa jaz al-'u sayyiatin sayyiatun misluha, juga famani' tada
„alaikum fa'tadu „bi misli mani'tada „alaikum. Islam juga meletakkan prinsipprinsip tanggung jawab seseorang terhadap perbuatannya, bukan atas perbuatan
orang lain: fakullu nafsin bima kasabat rahinah, juga wa likulli insanin ma kasaba
46
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
wa `alaihi ma iktasaba, serta wala taziru waziratun wizra ukhra dan prinsip-prinsip
lainnya yang belum dikenal oleh sistem hukum Barat kecuali di zaman modern ini.
Sunnah Nabi pun muncul untuk memperkuat makna prinsip pertanggungjawaban tersebut. Ditegaskan oleh Nabi Muhammad bahwa al-muslim akhu almuslim la yazlimuhu wala yakhzuluhu. Sunah Nabi juga meletakkan pondasi
kaidah-kaidah umum yang bertujuan untuk menghilangkan kerugian (darar) secara
mutlak seperti disebutkan oleh hadis Nabi La darara wala diroro. Pada saat haji
wada', juga menegaskan dasar-dasar umum untuk kehidupan sosial yang anggun
dan bermartabat. Pada saat-saat terakhir kehidupan Muhammad, beliau
mewajibkan daman (ganti rugi) pada perbuatan yang berlatar belakang ta 'addi
(pelanggaran terhadap hukum) pada amwal (harta), al-mumtalikat (hak milik),
Nabi menegaskan "'ala al-yadi ma akhazat hatta tarudduhu".
Bertitik tolak dari prinsip-prinsip umum tersebut di atas, para fuqaha'
memformulasikan kaidah-kaidah pertanggungjawaban (qawa 'id al-mas filiyah).
Mereka melakukan identifikasi mana yang masuk dalam kategori khitab al-taklif
al-j ina (pidana) yang berimplikasi pada al- `uqubah (hukuman) terhadap pelaku
(mukholafatu awamir al-syari' wa ahkamihi), dengan al-taklif bi daman (beban
ganti rugi). Dalam hubungan inilah al-Qurafi dan `Izzuddin Ibn Abdi al-Salam
masing-masing dalam karya mereka al-Furuq dan al-Qawa 'id al-Ahkam
menegaskan dan menjelaskan secara konkret perbedaan antara al-zawajir atau al`uqubat dengan al-jawabir atau damanat.1
Demikian pula pada pasal-pasal lain dalam al-Majallah. Hukum-hukum yang
berkaitan dengan perampasan (al-gash), misalnya, dimuat dalam pasal 890912.
hukum-hukum yang berkaitan dengan perusakan barang Wan dimuat dalam pasal
912-942.
1
Kenyataan ini kemudian menyimpan pertanyaan akan sumber perundang-undangan
Barat yang sesungguhnya ketika membedakan antara al-masuliyah al-jinaiyah
(tanggung jawab pidana) dan al-masuliyah al-madaniyah (tanggung jawab perdata),
dan antara al-masuliyah altaqshiriyah (tanggung jawab akibat kecerobohan dan
kelalaian) dan al-masuliyah al-aqdiyah (tanggung jawab akibat pelanggaran perjanjian
kontrak). Adalah sangat tidak mungkin model pembagian ini tanpa dipengaruhi oleh
sistem hukum Islam.
Meski demikian al-Sanhuri berkeyakinan bahwa sistem hukum Perancis adalah paling
awal dalam menjelaskan masuliyah dan macam-macamnya dengan melakukan
interpretasi terhadap hukum Romawi. Padahal hukum Romawi tidak melakukan
pembagian al-masuliyah secara rinci seperti itu. Inilah yang ditegaskan oleh Sayyid
Abdullah Husain ketika menolak pendapat Sanhuri dengan menyatakan:
"Pengambilan atau penyaduran dan mazhab Malik bukan dimulai pada tahun 1805,
melainkan sejak tahun 200 H. Ketika Islam menguasai Eropa, Andalusia menjadi
pusat ilmu pengetahuan, pada saat Eropa secara umum berada dalam kegelapan
intelektual." Pada saat itu Islam masuk daratan Eropa dan memerintah penduduknya
serta membangun kaidah-kaidah hukum yang adil. Penduduk Eropa berdatangan ke
Andalusia semata-mata untuk menimba ilmu pengetahuan. Abdullah Husain juga
berpendapat bahwa hukum perdata Perancis yang menjadi sumber berbagai hukum
saat ini adalah terambil dari mazhab Malik ibn Anas. Lihat Sayyid Abdullah Husain,
'al-Muqaraniit al-Tasyri'iyah", dalam Muhammad Ahmad Siraj, Daman al- Vdwan fi
al-Filth al-Islami (Dirasah Fiqhiyah Muqaranah bi ahldim al-masuliyah alTaqshiriyah fi al-qanun), al-Muassasah al-Jami'iyyah li al-Dirdsat wa al-Nasyr wa alTauzi', hal. 15.
47
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Tulisan ini tidak bermaksud melakukan perbandingan antara teori daman2
menurut fiqh dan hukum, apalagi melakukan kajian terhadap pengaruh hukum fiqh
terhadap sistem hukum Barat terutama hukum Perancis. Tulisan ini hendak
mengemukakan teori daman secara umum dan sebagian aplikasinya terhadap
tanggung jawab seseorang atas perbuatannya.
B. Pengertian Ganti Rugi (Daman)
Secara etimologis, daman2 memiliki makna yang cukup beragam. Misalnya,
menanggung, tanggung jawab, dan kewajiban. Dalam kamus Lisan al-'Arab, Ibnu
Manzur menandaskan bahwa semua makna daman terkonsentrasi pada jaminan,
penanggungan atau garansi. Makna yang tak jauh berbeda juga ditemukan dalam
kamus al-Muhith3 yang mengartikan daman dengan ganti rugi.
Dalam term fiqh, daman juga dimaknai beragam.4 Imam Ghazali,5 misalnya
memaknai daman dengan "luzumu rad al-syayy' awu badaluhu bil mitsli awu bil
qimati (keharusan mengganti suatu barang dengan barang yang sama atau sepadan
dengan nilai jualnya). Al-Hamawy6 pensyarah kitab al-Asybah wa alNaza'ir karya
Ibn Nujaim mengatakan bahwa daman adalah 'ibaratun 'an raddi misli awu
qimatuhu (mengganti barang yang rusak dengan barang yang sama atau yang
sepadan dengan nilai jualnya). Sedangkan as-Syaukani7 mengatakan bahwa daman
adalah `ibaratun 'an garamati al-talif (mengganti barang yang rusak).
Majallah al-Ahkam al-Adliyah8 menyebutkan bahwa ganti rugi disesuaikan
dengan jenis barang yang rusak (daman huwa i'tha'u misli al-syai' inkana minal
misliyat, waqimatuhu inkana minal qimiyat). Apabila jenisnya tergolong almisliyat, maka ganti ruginya dengan barang yang sama (al-misli). Jika barang yang
rusak tergolong al-qimiyat, maka nilai ganti rugi disesuaikan dengan nilai jualnya
di pasar (qimah).9 Menurut al-Zarqa'10 daman adalah iltizam bi ta 'widhin maliyin
'an darari al-gair. Sedangkan menurut al-Zuhaili daman adalah hua al-iltizam bita
'widhi al-gair „amma lahiqahu min talafi al-mal awu awu ishabatin min dhararin
2
3
4
5
6
7
8
9
10
48
Dalam fiqh kontemporer istilah ganti rugi (daman) sering digandengkan dengan istilah
almasuliyah. Daman sendiri mengandung makna ganti rugi, sedangkan al-masuliyah
mengandung makna tanggung jawab. Dasar hukum syar'i tentang daman maupun almasuliyah, antara lain ya aiyuhallaz Ena cimana la tasalit 'an asyyd in tubda lakum
tasu'kum (al-Maidah: 101); fas 'al bihi khabira (al-Furqon: 59); inna as-sam'a wa albashara wa al-fu 'dda kullu ulaika kcina anhu masfila (al-Isra': 36).
Majduddin al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhit, Kairo: Dar al-Hadis, tt, bagian daman.
Definisi daman yang beragam mengarah pada makna menjamin (menanggung) untuk
membayar utang, mengadakan barang, atau menghadirkan orang pada tempat yang
telah ditentukan. Karena itu, biasanya daman mengandung tiga masalah pokok, yaitu
(1) jaminan atas utang seseorang; (2) jaminan dalam pengadaan barang; dan (3)
jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu, seperti pengadilan.
al-Gazali, al-Wajiz, hal. 1/208.
Ahmad Ibn Muhammad al-Hamawy, Gamzu „Uyuni al-Basha 'ir wa Syarah al-Asybah
wa al Naiza 'ir, Bairut: Dar al-Kutub al-'ilmiah, Cet. 1405 H/1985 M, hal. 2/211.
As-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Mesir: Mustafa al-Babi alHalabi, 1380 H, hal. 5/299.
Atasi, Syarah Majallatu al-Ahkam al- Adliyah, dicetak di Hims Suriah, 1352 H.
al-Majallah, pasal 416.
al-Zarqa', al-Madkhal, hal. 1032, pasal 648.
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
juz awu kulli hadisun hi al-nafsi al-insdniyah awu hi'udhwin minha.11 Baik definisi
al-Gazali maupun al-Majallah sama-sama membatasi daman pada tanggung jawab
akibat perbuatan yang tergolong ta 'addi seperti merampas atau merusak harta
orang lain. Kedua definisi tersebut juga tidak menyentuh daman al-aqdi (ganti rugi
yang muncul akibat pelanggaran akad). Pengertian daman seperti ini sudah barang
tentu masih kurang karena tidak mengakomodasi seluruh teori daman yang sudah
dirumuskan oleh para fuqaha'.
Adapun definisi al-Syaukani, al-Zarqa', dan al-Zuhaili sama-sama berangkat
dari darar. Darar-lah yang mewajibkan ganti rugi. Berdasarkan titik tolak ini maka
daman mencakup sesuatu yang wajib pada zimmah untuk menghilangkan darar
yang muncul akibat pelanggaran pada akad (mukhalafatu aqdin), melakukan dan
atau tidak melakukan perbuatan tertentu sehingga mengakibatkan mafasid. AlBazdawi mengisyaratkan dua macam daman, yaitu daman al-aqdi fasidan kana
awu jaizan yajibu bi al-tarodhi, wa daman al-rudwan ya'tamidu awusofal ain12
(ganti rugi akibat pelanggaran terhadap perjanjian dalam akad fasid maupun jaiz
(akad sahih) diwajibkan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak, dan ganti rugi
akibat pelanggaran tersebut mengacu pada sifat-sifat barang).
Hal yang sama juga dilakukan oleh al-Sarakhsi. Ia membedakan antara daman
judwan dengan daman al-aqdi (ganti rugi akibat pelanggaran dengan ganti rugi
berdasarkan akad).13 Indikasi perbedaan tersebut juga ditunjukkan oleh al-Suyuthi
yang merinci sebab-sebab daman menjadi dua yaitu ta' addi dan aqdi.14 Cakupan
daman, dengan demikian, meliputi wilayah perdata dan pidana. Sehingga ganti rugi
dapat terjadi atas barang yang rusak atau manfaat barang yang hilang, atau luka
fisik seseorang sehingga mengakibatkan kerugian, baik total atau sebagian.
Dari catatan tersebut dapat disimpulkan bahwa daman adalah tanggungan
seseorang untuk memenuhi hak yang berkaitan dengan kehartabendaan, fisik,
maupun perasaan seperti pencemaran nama baik. Hal ini berlaku baik darar yang
muncul akibat pelanggaran seluruh dan atau sebagian perjanjian dalam akad,
melakukan perbuatan (yang diharamkan) dan atau tidak melakukan perbuatan yang
(diwajibkan) oleh pembuat undang-undang. Dengan demikian definisi ini
mencakup makna-makna sebagai berikut:
a. Obyek wajib daman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban daman
tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak yang
berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan (mutadarrar)
berhak mengadukan mutasabbib (penyebab kerugian) ke pengadilan agar
memenuhi kewajibannya. Berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau
keagamaan, syari' hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa implikasi
hukuman keduniaan karena merupakan khitab al-targib yang meliputi
makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al- `andu
11
12
13
14
Wahbah al-Zuhaily, al-Mas 'uliyah 'an Fi al-Gair, Damaskus: Dar al-Muktabi, Cet. 1,
1416 H/1995 M, hal. 12.
Al-Bazdawi, Ushul, hal. 31.
Al-Saralchsi, al-Mabsut, Mesir: al-Sa'adah, 1324 H, hal 11/69.
Jalaluddin Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Naza 'ir, Beirut: Muassasah al-Kutub alSaqofiyah, Cet. 1, 1415 H/1994 M, hal. 362.
49
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
b.
d.
e.
f.
50
ISSN : 2303-3274
(perjanjian). Menurut tradisi fuqaha' zimmah adalah suatu sifat yang
menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima hak atau
melakukan kewajiban. Ahlu zimmah adalah mereka yang melakukan
perjanjian di mana dengan perjanjian itu mereka memiliki hak dan kewajiban.
Kewajiban atas dasar daman berbeda dengan kewajiban atas dasar `uqubah,
baik pada karakter maupun tujuannya. Daman ditetapkan untuk melindungi
hak-hak individu. Sedangkan `uqubah ditetapkan karena adanya unsur
pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT. Kewajiban pada daman bertujuan
untuk mengganti atau menutupi (al-jabru) kerugian pada korban. Sementara
`uqubah ditetapkan untuk menghukum pelaku kejahatan agar jera dan tidak
melakukan perbuatan itu lagi (al- zajru). Jadi tujuan yang berorientasi pada aljabru disebut daman. Sedangkan tujuan yang berorientasi pada al-zajru
disebut `uqubah.
Sebab-sebab daman adalah adanya unsur ta'addi, yaitu melakukan perbuatan
terlarang dan atau tidak melakukan kewajiban menurut hukum. Ta'addi dapat
terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad yang semestinya hams
dipenuhi. Misalnya, penerima titipan barang (al-muda)' tidak memelihara
barang sebagaimana mestinya, seorang al-ajir (buruh upahan, orang sewaan)
dangan al-musta jir (penyewa) sama-sama tidak komitmen terhadap akad
yang mereka sepakati. Ta'addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum
syariah (mukhalafatu ahkcim syari'ah) seperti pada kasus perusakan barang
perampasan (al-gasb), maupun kelalaian atau penyia-nyiaan barang secara
sengaja (al-ihme11).
Ta'addi yang mewajibkan daman benar-benar menimbulkan darar (kerugian).
Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada daman, karena secara
faktual tidak ada darar yang hams digantirugikan. Itulah sebabnya jika
seorang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain tetapi tidak
menimbulkan kerusakan, tidak wajib memberikan daman. Namun demikian,
terdapat suatu perbuatan dengan sendirinya mewajibkan daman seperti algasbu (perampasan). Menurut jumhur ulama, pelaku perampasan hams
mengganti manfaat barang selama berada dalam penguasaannya walaupun
tidak difungsikan. Pendapat ini berdasarkan asumsi bahwa kerugian selalu
terjadi pada kasus-kasus perampasan. Kemgian atau darar juga akan dialami
oleh orang-orang yang dibatasi kebebasannya oleh penguasa atau seseorang
yang ditahan secara ilegal menumt fuqaha' Hanabilah. Pendapat ini
memperkuat kaidah bahwa al-dharar syarthun liwujubi daman (kerugian
adalah syarat terhadap kehamsan ganti rugi).
Antara ta'addi (pelanggaran) dengan darar (kerugian) harus memiliki
hubungan kausalitas. Artinya, darar dapat dinisbatkan kepada pelaku
pelanggaran secara langsung. Jika darar dinisbatkan kepada sebab-sebab lain,
bukan perbuatan pelaku (muta'addi) sendiri, maka daman tidak dapat
diberlakukan, karena seseorang tidak dapat dibebani tanggung jawab atas
akibat perbuatan orang lain.
Darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadis Nabi: laa dharara
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
wa laa dhirara (tidak boleh memgikan diri sendiri dan memgikan orang lain).
Tingkat darar diukur berdasarkan `urf (kebiasaan) yang berlaku. Hal ini
sejalan dengan kaidah ushul: yajibu hamlu al-lafzi `ala ma'nahu almuhaddad
fi as-syar'i in wujida, wa illa wajaba hamluhu `ala ma'nahu al-`urfi (suatu
kehamsan membawa kata kepada maknanya yang definitif secara syara' jika
ditemukan, tetapi kalau tidak ada, maka dialihkan kepada makna definitif
berdasarkan `urf). Karena syari' tidak menetapkan makna darar, sehingga
ukurannya, baik kualitas maupun kuantitas, mengacu pada `urf. Dengan
demikian, darar yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta
benda, jiwa, dan hak-hak yang berkaitan dengan kehartabendaan jika selaras
dengan `urf yang berlaku di tengah masyarakat.
g. Kualitas dan kuantitas daman hams seimbang dengan darar. Hal ini sejalan
dengan filosofi daman, yaitu untuk mengganti dan menutupi kerugian yang
diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar menjadi jera. Kendati
demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau hanya bersifat
konvensional.
Penetapan makna demikian sejalan dengan makna darnan15 secara bahasa,
yakni ganti mgi. Maksud ganti mgi yaitu penggantian kerugian yang dialami
seseorang. Pemaknaan seperti ini juga terdapat dalam KUH Perdata pasal 1244 dan
pasal 1248.
Dari sini perlu dimengerti bahwa daman dapat diterapkan dalam berbagai
bidang muamalah, temtama menyangkut jaminan harta benda dan nyawa manusia.
Maka dari itu, tidak mengherankan bila al-Mawardi mengatakan bahwa daman
dalam pendayagunaan harta benda, tanggungan dalam masalah diyat, jaminan
terhadap kekayaan, jaminan terhadap jiwa, dan jaminan terhadap beberapa
perserikatan adalah hal yang lumrah terjadi di masyarakat. Dengan demikian,
daman dapat diterapkan juga dalam masalah jual beli, pinjam meminj am, titipan
(al-wadi 'ah), jaminan (rahn), kerj a patungan (qirad/mudharabah), barang temuan
(luqathah), peradilan (qadd), hukuman terhadap pembunuhan (qisas), perampasan
(gasab), pencurian, dan sebagainya.
15
Dasar legalitas daman antara lain ayat al-Qur'an: famani'tadd `alaikum fa 'tadii bimisli
ma i'tadd `alaikum"(al-Baciarah: 194); ayat wa jazeiu sayyiatin sayyiatun
mis/uhei(al-Syuro: 40); ayat wa in `aqabtum fa 'aqibei bimisli ma -tiqibtum bihi" (alNahl: 126). Adapun di dalam al-Sunnah disebutkan, antara lain hadis, riwayat Anas
berkata: Ahdat ba'dhu azwajin nabi SW ilaihi tha'aman fi qush'atin, fadharahat al-qus
'ata hiyadiha, fa alqat ma fiha, faqdla an-nabi SW: tha'amun bitha 'amin, wa indun bi
Main (Riwayat Tirmizi). Juga hadis yang cukup populer 'Ala al-yadi ma akhazat hattil
tuaddihi (Riwayat Ahmad). Hadis lairmya, Irma dimdakum wa amwellakum `alaikum
haromun kahurmati yaumikum haza, fi syahrikum haza, fi baladikum haza (Bukhari
Muslim). Ibn Hazam juga mengatakan bahwa yang sahih adalah bahwa harta yang
diharamkan tidak ada kewajiban seseorang untuk memberikan ganti rugi terhadapnya,
baik di dalam nas ataupun ijma'. Hadis lain yang paling populer adalah la dharara wa
la dhireira. Imam al-Kasani berkata, "Diwajibkan ganti rugi pada kasus perampasan
dan perusakan (al-gashbu wa al-itlaf), karena semua itu mengandung unsur perbuatan
i'tida‟ dan idrar."(Bada'i, hal. VII/165).
51
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
C. Sebab-Sebab Ganti Rugi (Daman)16
Kaum fuqaha' tidak mendiskusikan rukun daman secara sistematis dan terpadu
seperti yang dilakukan oleh ahli hukum. Mereka membahasnya secara sporadis di
berbagai tempat, antara lain di dalam kitab-kitab al-furu', kaidahkaidah fiqh, dan
kitab ushul al-fiqh. Walau begitu, rukun daman sudah tergambar di dalam
pemikiran mereka ketika mendiskusikan berbagai kasus hukum fiqh. Dari berbagai
konstruksi dan fatwa hukum dalam karya-karya fiqh, dapat disimpulkan bahwa
rukun daman adalah khatha', dharar, dan sababiyah.
Perbuatan-perbuatan hukum yang mewajibkan daman hampir tidak terbatas
jumlahnya. Tetapi secara akumulatif perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut
perbuatan gair masyru 'ah, atau akhtha' atau ta 'ddiyat (delicts, torts, wrongs).
Namun untuk memudahkan sistem pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan,
maka para ahli hukum pertama-tama melakukan pembagian terhadap perbuatan
prespektif motif dan tujuan pelaku menjadi: akhtha' amdiyah (intekntional torts)
dan akhtha' taqshiriyah atau al-ihmal (negligence).
Di dalam fiqh, al-akhtha' gair al- `amdiyah dibagi menjadi dua macam yaitu
al-khatha' dan ma jara majrahu. Suatu perbuatan yang menjadi tujuan pelaku,
namun tidak menghendaki akibatnya disebut al-khatha'. Sedangkan suatu
perbuatan dan akibatnya sama-sama tidak dikehendaki oleh pelaku disebut ma jara
majra al-khatha'. Yang pasti khatha' amdi sangat berbahaya sehingga di dalam
hukum Barat - dengan mengacu kepada istilah hukum Perancis - disebut alkhatha'
lei yagtafiru (kesalahan yang tidak dimaafkan).17
16
17
52
Seseorang tidak dapat dibebankan ganti rugi kecuali memenuhi dua rukun, yaitu: ali'tida' dan al-darar. Al-i'tida' adalah melampaui batas yang menurut para fuqaha'
mengandung unsur kezaliman, rasa permusuhan, dan melampaui hak. Kriterianya
adalah menyimpang dari perilaku normal. Adapun sebab-sebab daman ada tiga, yaitu
aqad, yad, dan itlaf. Daman pada aqad dapat terjadi ketika ada pihak yang melakukan
interpretasi terhadap ketentuan eksplisit dari redaksi perjanjian atau makna implisitnya
sesuai dengan keadaan dan situasi (al- `urf atau al- `aclah) yang berlaku. Sedangkan
wadh'u al-yad dapat menjadi sumber ganti rugi baik itu alyad mu 'tamanah maupun
bukan mu 'tamanah. Yad al-mu 'tamanah seperti yad al-wadi' dan al-mudharib, alamil al-musaqi, al-ajir al-khas, al-washi `ala mal al-yatim, hakim dan al-qadhi` al
asunduq dan lain-lain. Mereka ini jika melakukan ta 'addi (personal abuse case) atau
taqshir dibebani / dikenakan ganti rugi. Namun jika tidak ada unsur ta 'addi atau
taqshir tidak dapat dibebankan ganti rugi karena mereka tergolong al-aydi al-amcinah
(tangan-tangan amanah). Adapun al-yad gairu al-mu 'tamanah yang melakukan
sesuatu terhadap harta orang lain tanpa izin dari pemilik seperti pencuri dan perampas,
atau dengan seizin pemilik seperti alyad al-ba terhadap barang yang dijual sebelum
serah terima, atau al-musytari setelah serah terima barang, dan penyewa hewan
tunggangan atau semisalnya jika melakukan ta 'addi terhadap syarat-syarat yang
sudah ditentukan atau ketentuan yang sudah biasa berlaku. Mereka ini wajib
memberikan ganti rugi terhadap kerusakan barang pada saat berada di tangannya,
apapun penyebab kerusakan sekalipun terpaksa seperti bencana alam dan lainnya.
Adapun aliticif menjadi sebab ganti rugi baik langsung maupun hanya sebagai
penyebab. Itlaf biasanya diartikan mendisfungsikan barang. dibagi dua yaitu al-itlaf
al-mubasyir (perusakan langsung), dan al-itlaf bi al-tasabbub (perusakan tidak
langsung). (Pembahasan tuntas dapat dilihat dalam al-Kasani, al-Badai' dan dalam
Majallatu al-Ahkam al- Adliyah pasal 887-888.
Siraj, Daman, Ibid.
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
Perbuatan-perbuatan mewajibkan daman, kata al-Qurafi18 adalah dilakukan
secara langsung oleh pelaku (al-„udwan bi al-mubasyir), kemudian karena
perbuatannya tersebut mengakibatkan kerusakan (al-tasabbub li al-itlaf) pada harta
benda misalnya. Singkatnya, sebab-sebab daman adalah al-mubasyir, altasabbub,
dan al-itlaf. Kerusakan ini tidak mesti menjadi tujuan dari pelaku (qashdu al-fa'il).
Karena masing-masing orang bertanggung jawab atas akibat perbuatannya.
Adapun kesengajaan (al-. amd) yang mengakibatkan darar atau kesengajaan
untuk melakukan perbuatan namun tidak mengakibatkan darar, tidak menjadi
syarat dalam penetapan daman. Karena daman berkaitan dengan perbuatan hukum
dalam lingkup khatha' atau `udwan bukan pada tujuan perbuatan atau niat pelaku.
Namun demikian, khatha' yang mengharuskan daman dibedakan dengan
khata' yang mengharuskan `uqubah serta khatha' al-akhlaqi (kesalahan secara
moral) yang hanya berimplikasi pada dosa. Orang tidur menurut teori ini tidak
salah secara moral dan juga tidak berdosa. Dengan demikian kalau dia terbolak
balik atau jatuh menimpa sesuatu sehingga menimbulkan kerusakan, dia wajib
melakukan daman, tetapi secara etis relegius dia tidak berdosa.
Daman tidak terkait dengan al-qasdu dan al-niat. Pendapat ini berdasarkan
ijma'. Karena ijma'-lah yang mewajibkan daman bagi seorang anak yang belum
dewasa (al-sabiyi), orang gila (al-majnun), orang pelupa (al-nasi), orang tidur (alnaim) dan orang lalai (al-gafil). Daman semata-mata terkait dengan al-asbab
(adanya sebab akibat). Atau dengan meminjam istilah imam al-Gazali bahwa alahliyah (cakap hukum) yang menjadi syarat dalam menetapkan daman adalah
ahliyatu al-wujub yaitu seseorang dianggap cakap hukum untuk menerima hak,
bukan ahliyat al-ada' di mana seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan
hukum.
Meski sangat jelas bahwa khatha', ihmal, dan taqshir menjadi syarat wajib
daman, namun tim penyusun al-Majallah al-Ahkam al-Adliyah sepertinya
mengabaikan prinsip-prinsip umum daman. Hal itu terbukti bahwa mereka
menetapkan unsur kesengajaan (ta'ammud) sebagai syarat daman.
Kemungkinan ada dua faktor yang menyebabkan kekeliruan tersebut.
Pertama, mengikuti kesalahan yang terdapat dalam karya-karya klasik terutama
kitab al-Asybah karya Ibn Nujaim.
Kedua, ada kemungkinan mengikuti jejak sebagian fuqaha' Hanafiyah
generasi awal yang keliru memahami dan menafsirkan mazhab Abu Hanifah yang
menetapkan bahwa penyebab kerusakan dibebani ganti rugi (tadhmin mutasabbib)
Imam mazhab sendiri tidak melihat tadhmin mutasabbib kecuali ada unsur
kesalahan (al-khatha) yang mirip dengan kesengajaan atau suatu kesalahan yang
sangat berlebihan sehingga mendekati atau setidaknya mirip dengan kesengajaan.
Terlepas dari apakah ini merupakan kesalahan ilmiah atau kesalahan teknis
pengetikan, namun yang pasti kaidah tersebut hares dibaca dalam konteks sesuai
dengan kaidah yang ada di dalam Majma' Damanat.19
18
19
al-Qurafi, al-Furuq, Ibid.
al-Bagdadi, Majma' al-Damanat, Mesir: al-Khairiyah, 1388 H, hal. 57.
53
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Kaum fuqaha' tidak menetapkan syarat bahwa orang yang menyebabkan
(mutasabbib) kerugian hams sudah mumayyiz, atau memiliki al-idrak
(pemahaman dan pengetahuan) terhadap kewajiban daman. Sehingga seorang
anak yang masih usia mumayyiz atau belum, wajib dikenakan daman jika
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang lan. Demikian
pula al-ma'tuh (orang idiot) dan al-majnun (gila). Karena tujuan dari daman
adalah ganti rugi dengan mal, yang pembayarannya dapat diwakilkan kepada
pihak lain.
Hadis tentang diampuni umatku suatu perbuatan karena kelalaian dan
kealpaan, tidak menafikan hukum daman ketika terjadi al-taqshir (kecerobohan)
dan al-ihmal (kelalaian). Karena yang diampuni adalah dosa atau hukuman pidana,
bukan hukuman daman. Hal inilah yang menjadi perhatian para fuqaha'. Seorang
faqih Sadru al-Syari'ah menyebutkan bahwa al-khatha' adalah apabila seseorang
mengerjakan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu sendiri tidak diniati secara
sempurna. Misalnya, orang menembak hewan buruan namun pelurunya nyasar
mengenai seseorang sehingga tewas. Di sini terdapat niat atau al-qasdu yang tidak
sempurna. Sehubungan dengan ini si pemburu tidak dapat dikenakan qisas karena
hukuman ini diperuntukkan bagi pelaku pidana penuh. Atas dasar ini, is tidak dapat
dikenakan kepada orang ma'zur (orang yang dimaafkan). Namun `uzur ini terkait
dengan hak-hak hamba sehingga kategori daman-nya adalah daman al- `udwan.
D. Macam-macam Khatha' dan Darar
Secara teoritis khata' dapat berupa meninggalkan kewajiban yang ditetapkan
oleh syariah. Misalnya, seorang ibu meninggalkan anaknya sehingga jatuh. Khata'
juga dapat dalam bentuk melakukan perbuatan yang haram. Misalnya, memberikan
kesaksian palsu, merampas harta orang lain, merusak atau menyebabkan rusaknya
harta.
Daman tidak akan berlaku kalau tidak ada unsur khatha'. Dan khatha' tidak
akan ada kalau seseorang melakukan suatu perbuatan yang diijinkan oleh syariah
(hukum).
Sedangkan darar sendiri ada tiga macam, yaitu darar yang berkaitan dengan
kehartabendaan; darar yang berkaitan dengan fisik; dan darar yang berkaitan
dengan kehormatan dan nama baik seseorang atau lembaga. Yang terakhir ini
disebut dengan darar adabi. Menjaga dan melindungi kehormatan dan nama baik
masuk dalam kategori al-masalih al-daruriyah atau kemaslahatan primer.
Namun dari aspek lain, darar dibagi menjadi dua, yaitu, pertama, darar alyasir (kerugian ringan). Para fuqaha' pada umumnya berpendapat tidak ada daman
terhadap darar ini. Menurut hemat penulis, permasalahan ganti rugi terhadap darar
yasir bersifat kondisional. Kedua, darar fakhisy (kerugian berat).
54
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
Sementara kerusakan terhadap harta benda (darar maliyah) dapat digolongkan
menjadi kerusakan terhadap benda bergerak (manqulat), benda tidak bergerak (
Vqarat), dan jasa (al-manafi).20
Para fuqaha' sepakat atas daman terhadap kerusakan benda bergerak (karena
merampas barang, merusak atau menguranginya, mengubah bentuk barang atau
mengeksploitasi pemanfaatannya). Sehubungan dengan daman barang-barang
bergerak terdapat dua syarat:
Pertama, maliyatu al-manqul (barang bergerak itu betul-betul harta secara
syara'). Al-manqulat (bentuk jamak dari al-manqul) yang kehartaannya tidak
diakui oleh syara' tidak dapat dilakukan ganti rugi terhadapnya. Itulah sebabnya
tidak ada daman dengan merusak bangkai, kulit bangkai, darah dan lain-lain yang
pemanfaatannya dilarang oleh syara'. Juga yang tidak dapat dilakukan daman
terhadapnya adalah al-mubahat al- `ammah (hak-hak umum) yaitu al-kala'
(rumput), al-ma' (air) dan al-nar (api). Itulah sebabnya jika ada seseorang
menimba sumur orang lain sampai kering, tidak dikenakan daman. Sebab pemilik
sumur, bukan berarti memiliki air, berbeda kalau merampas air dari wadah yang
lain. Hukum al-kala' (kecuali kalau dipelihara dan ditanam), dan al-nar sama
dengan hukum al-ma'.
Kedua, tuqawwimu al-manqul (barang tersebut mengandung nilai ekonomis).
al-Taqawwum menurut Ibn Nujaim dapat ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu
adanya unsur kehartaan (al-maliyah) dalam suatu barang, dan barang tersebut
boleh dimanfaatkan menurut syara'.
Adapun barang-barang tetap (al-Vqdrat, immovable property), para fuqaha'
bersepakat wajibnya daman terhadapnya apabila merusak keseluruhan, sebagian
atau merugikan pemiliknya. Berbeda dengan manafi' terdapat perbedaan pendapat
yang berkaitan dengan daman terhadapnya. Perbedaan ini sebagai konsekuensi dari
silang pendapat yang terjadi antara fuqaha tentang status kehartaan al-manafi'
(maliyatu al-manafi). Fuqaha' Hanafiyah terutama generasi awal tidak menetapkan
daman terhadap al-manafi', karena wujudnya yang abstrak, sehingga ia tidak
termasuk harta. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mayoritas fuqaha dari
berbagai mazhab, termasuk Syiah Imamiyah, menurut mereka daman terhadap almanafi' sesuatu yang wajib.
Argumentasi fuqaha' Ahnaf antara lain bahwa al-manafi' tidak mengandung
nilai ekonomis. Statusnya sama dengan khamar dan bangkai. Artinya, tidak
tergambar pada al-mandfi' mengingat sifatnya yang abstrak. Pendapat ini oleh
fuqaha' Hanafiyah generasi mutaakhkhirin dianggap lemah, sehingga mereka
mengevaluasi pendapat tersebut dan mengemukakan bahwa adalah
bagian dari al-mal (harta).
Adapun darar badaniyah meliputi jiwa, anggota badan, atau hilangnya fungsi
salah satu anggota badan. Misalnya, hilangnya pendengaran dan penglihatan.
20
Lihat Ibrahim Fadil al-Dabbo, Daman al-Manafi' dirasah muqaranah fi al-filth alislami wa al-qanun al-madani, Amman, Beirut: Dar al-Bayariq, Dar 'Ammar, Cet. I,
1417 H/1997.
55
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Terhadap semua kasus yang berkaitan dengan kerugian fisik seluruh atau
sebagiannya, menurut para fuqaha' berlaku hukum daman terhadapnya.
E. Menakar Ganti Rugi
Tujuan dari pada daman adalah untuk memberikan ganti rugi pada korban dan
menghilangkan kerugian yang diderita (raf'u al-darar wa izalatuha). Hal ini
mencakup dua hal. Pertama ganti rugi terhadap kerugian yang berhubungan dengan
jiwa, kehormatan, dan nama balk seseorang. Kedua, ganti rugi terhadap kerugian
yang berkaitan dengan harta benda.
Ganti rugi terhadap kerugian yang berhubungan dengan jiwa disebut jawabir
al-dharar al-badaniyah mencakup kehilangan jiwa, kehilangan anggota badan,
atau fungsi keduanya. Jawabir model ini oleh para fuqaha' disebut dengan diyat
(ganti rugi pembunuhan), ursy al-muqaddarah wa gairu al-muqaddarah (denda
luka yang sudah ditetapkan di dalam nas). Ganti rugi model ini sering disebut
hukumatu 'adl karena ukuran kualitas dan kuantitasnya diserahkan kepada otoritas
peradilan yang adil.
Adapun ganti rugi yang berkaitan dengan harta (jawabir al-darar al-maliyah)
seperti perampasan, perusakan terhadap barang atau manfaatnya mencakup dua hal
yaitu:
1. Jawabir naqdiyah yaitu ganti rugi dengan mengembalikan nilai jual barang (alqimah).
2. Jawabir `ainiyah, yaitu ganti rugi dengan mengembalikan barang itu sendiri,
atau menggantinya dengan barang yang sama dalam kasus-kasus perampasan
dan penguasaan terhadap harta orang lain secara tidak legal.
Adapun hitungan atau perkiraan (al-taqdir) ganti rugi bisa mengacu pada
beberapa model berikut. Pertama, perhitungan ganti rugi berdasarkan kesepakatan
(al-taqdir al-ittifaqi). Kedua, penggantian ganti rugi yang dilakukan oleh hakim
(al-taqdir al-qadai) yang mengacu pada ijtihad dan pendapatnya. Dan, ketiga,
penghitungan ganti rugi sesuai dengan yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang (al-taqdir al-syar 'i).
Hitungan dan perkiraan ganti rugi tersebut berasaskan pada beberapa hal.
1. Ganti rugi tidak dimaksudkan untuk memperkaya pihak yang dirugikan,
menolongnya, atau memberikan taharru' terhadapnya. Namun, dimaksudkan
untuk mengembalikan keadaannya seperti sebelum terjadi kerugian—dengan
catatan jika hal itu memungkinkan.
2. Ganti rugi dibebankan kepada pihak yang mengakibatkan darar secara
langsung. Adapun darar tidak langsung yang tidak dapat dinisbatkan kepada
perbuatan muta'addi tidak dapat dikenakan ganti rugi.
3. Hitungan dan perkiraan ganti rugi disesuaikan dengan tingkat darar yang ada,
tidak lebih dan juga tidak kurang. Menyimpang dari prinsip ini dikategorikan
"aklu amwalinnas bi al-bathil (makan harta orang lain secara batil). Kecuali
dalam kasus di mana tingkat ta'addi-nya sangat tinggi, ganti rugi perlu
dilipatgandakan agar pelaku menjadi jera.
56
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
Bila dilihat dari berat ringannya ganti rugi, para fuqaha' membaginya menjadi
dua macam. Pertama, kerugian ringan (jawabir mukhaf-fafah) yang diukur
berdasarkan tingkat kerugian (darar) yang diderita pihak korban. Kedua, kerugian
berat (Jawabir mughallazah). Jawabir mukhaf-fafah terlihat pada kasus-kasus
dalam kategori khatha'. Sedangkan jawabir mugallazah terlihat pada kasus-kasus
syibhu al- `amad (perbuatan semi sengaja). Pelipatgandaan ganti rugi dikenakan
kepada mereka yang mengambil harta orang lain dan membelanjakannya untuk
memperkaya diri sendiri. Tujuan dari tagliz (pemberatan dengan pelipatgandaan
kerugian) adalah zijru al-muta'addi (membuat pelaku agar menjadi jera) tidak
mengulangi perbuatan yang melawan hukum. Kendati demikian perbedaan antara
al- `uqubah dengan daman selalu ada, setidaknya dapat diamati sebagai berikut:
1. Al-qatl syibhu al- 'amad (pembunuhan semi sengaja). Sisi tagliz dalam kasus
pembunuhan ini adalah tingginya umur unta yang dijadikan sebagai diyat
wajib. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abdullah Ibn Amr bahwa Rasulullah
bersabda21: (bahwa dalam kasus pembunuhan semi sengaja yaitu pembunuhan
dengan cemeti dan tongkat, dendanya seratus unta, 40 di antaranya sedang
mengandung). Hadis yang searti dengan itu juga diriwayatkan oleh Amr Ibn
Syu'aib bahwa seseorang yang bernama Qatadah melempar anaknya dengan
pedang sampai tewas. Karena itu, diyat yang dibebankan kepadanya adalah 30
ekor unta kategori hiqqah (umur 3 tahun masuk tahun ke 4), 30 unta lagi
kategori jiz 'ah (umur 4 tahun masuk tahun ke 5), dan 30 ekor lagi kategori
khilfah (unta yang sedang mengandung).
2. Mengambil harta orang lain yang sulit diletakkan pada wadah tertentu atau
dijaga sepanjang waktu. Diriwayatkan dari Amr Ibn Syu'aib dari ayah dan
neneknya berkata: "Rasulullah pernah ditanya tentang buah-buahan yang
masih menggantung di pohonnya.
3. Dengan demikian jawabir mugallazah tidak hanya pada luka-luka fisik,
melainkan juga pada kerugian harta dalam situsi-situasi yang memerlukan
"pemberatan terdakwa" seperi ingin memperkaya diri dengan cara merugikan
orang lain. Fenomena ini sekaligus memberikan keleluasaan hakim dalam
menghitung dan memperkirakan kualitas dan kuantitas ganti rugi.
F. Prinsip Umum Penetapan Ganti Rugi
Penggunaan istilah al-jabr oleh para fuqaha' dalam konteks daman yang
dihubungkan dengan darar masih mengandung ambiguitas. Karena makna darar
sangat beragam mengikuti konteksnya. Misalnya, al-jibr al-kamil (ganti rugi
penuh) bertujuan untuk menetapkan ganti rugi yang harus ditanggung oleh pihak
pelaku (al-mutadarrir). Darar dalam konteks ini mencakup darar maliyah, darar
badaniyah, dan darar adabiyah. Standarisasi jibru al-kamil bersifat kondisional,
tergantung pengadilan dan usaha cerdas hakim. Karena betapa sulitnya mengukur
rasa sakit yang bersifat psikis dibandingkan kerugian lain yang bersifat material.
Dengan kata lain, rasa keadilan yang didambakan oleh para pencari keadilan sangat
ditentukan oleh sikap, kecermatan, dan keadilan hakim itu sendiri.
21
Hadis dan takhrij-nya dapat dilihat dalam Nail al-Authar oleh al-Syaukani, hal. 7/167.
57
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Dalam menetapkan ganti rugi, setidaknya harus didasarkan pada empat
prinsip. Pertama, prinsip al-yusr (memudahkan) dalam menghitung dan mengukur
ganti rugi tersebut untuk menghindari proses dan prosudur yang panjang di
pengadilan agar para pencari keadilan tidak terlalu lama menunggu haknya.
Kedua, konsisten. Artinya, terdapat keseragaman kualitas dan kuantitas ganti
rugi dalam kasus yang sama pula.
Ketiga, menyamakan (al-musawat) antara semua penduduk dalam menerima
ganti rugi. Misalnya, jangan sampai ada pembedaan antara petani dengan
pengusaha untuk ganti rugi kasus yang sama, karena prinsip dalam menetapkan
darar bukan mempertimbangkan strata sosial atau kemampuan finansial.
Dan keempat, hams terlebih dahulu mengidentifikasi dan menetapkan tingkat
keterlibatan para pelaku. Karena hal ini akan menentukan kualitas ganti mgi yang
akan dibebankan kepada mereka.
1. Prinsip al-Misli dalam Menetapkan Ganti rugi
Prinsip persamaan (mabda' al-misliyah) dalam ganti mgi ditetapkan
berdasarkan nas syariah antara lain firman Allah wajazau saiatin saiatun misluha.
Disebut dengan istilah al-uqubah atau al-jaza' semata-mata dalam konteks almusyakalah/al-mumasalah (persamaan), dan juga untuk mengingatkan si pelaku
agar menjadi jera. Prinsip al-mumasalah juga diperkuat oleh ayat fa mani'tada
„alaikum fa'tadu `alahi hi misli ma i'tada `alaikum. Untuk membantu kita dalam
menafsirkan ayat ini, perlu kiranya mengutip perkataan al-Zaila'i, seorang fuqaha'
Hanafi, wa daman al-udawan masyruthun bi al-mumasalah bi al-nassi wa alijma'.
Wasummiya daman al-muqabil i'tidaan hi thariq al-muqabalah li fi'li ali'tida' awu
al-idhrar majazan la haqiqatan, li anna al-majazat awu daman la yakun saiyiah
wala ta'ddiyan.22 Intl dari pernyataan al-Zaila'i bahwa ganti rugi pelanggaran
disyaratkan hams sama berdasarkan nas dan ijma', sedangkan penamaan daman
berdasarkan pelanggaran dalam konteks majazi, bukan pada makna hakikinya,
karena ganti mgi menurut makna majazinya bukanlah sesuatu yang buruk atau
merupakan suatu pelanggaran.
Menghitung ganti mgi mengacu pada kaidah kesepadanan (al-misli) dengan
mempertimbangkan metode syari' dalam menetapkan al-misli, al-qimah dan ujratu
al-misli terhadap ganti mgi al-mal. Namun, manakala kaidah al-misli sulit
diterapkan dalam kasus-kasus luka fisik (al-isabat al-badaniyah), karena luka fisik,
sesungguhnya, tidak mungkin sepadan dengan ganti mgi dalam bentuk uang, maka
syari' menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang dapat direalisasikan yaitu aljawabir al-muqaddarah misalnya diyat (denda pembunuhan), al-urusy (denda
luka), al-aqilah (denda pembunuhan kolektif), dan lain-lain. Hal ini kemudian oleh
para fuqaha' disebut al-mumasalah al-hukmiyah.
22
58
Usman Ibn All al-Zaila'i, Tabyin al-haqoiq Syarh Kanzu al-Daqaiq, Kairo: Dar alKitab alIslami, Cet. II, 1990, hal. V: 223.
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
2. Pencemaran Nama Baik (iza' al-muslim fi sum'atilu)
Untuk melindungi kehormatan seseorang, syariah memulai dari masalah yang
sederhana. Misalnya, larangan menuduh seseorang melakukan zina (al-qazf),
larangan saling mencela dan memberi julukan jelek (al-tanabuz bi al-alqaf) atau
menafikan ketumnan (nafyu al-nasab). Hal ini sesuai surat al-Hujarat ayat 11-12.
Demikian pula dalam Surat al-Nur ayat 4-5. Sedang di dalam hadis disebutkan, almuslim man salimal muslimun min lisanihi wayadih (seseorang bam dikatakan
muslim apabila menyelamatkan umat Islam dari gangguan ucapan dan prilakunya).
Para fuqaha' kemudian merumuskan masalah pencemaran nama baik dalam
bingkai al-maqasid al-khamsah li al-syariah (lima kemaslahatan) , yaitu menjaga
agama, jiwa, moral, akal, dan harta. Hanya saja, para fuqaha' lebih banyak fokus
pada hal-hal yang terkait dengan al- `ardh dalam pengertian yang sangat sempit
dengan menjelaskan hukuman pelaku zina, hukuman bagi penuduh berbuat zina.
Tegasnya, para fuqaha' lebih asyik menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan
dengan zina (al-qazj), atau hukum lain yang berkaitan dengan kehormatan
keluarga.
Al-Qur'an mengharamkan apa pun bentuk perbuatan yang menyentuh
kehormatan muslim. Dalam surat al-Nur ayat 4 dan 5, al-Qur'an mengharamkan
qazf, zina, dan hukumannya. Sementara dalam ayat 11 dan 12 Surat al-Hujarat
mengisyaratkan berbagai bentuk pelanggaran yang menyentuh kehormatan dalam
pengertian yang lebih luas. Misalnya sukhriyah (pengejekan), al-lamz (mencela
dan mengkritik dengan bahasa yang tidak etis), tanabuz bi al-qaaf (saling mencela
dengan memberi julukan jelek), tajassus (memata-matai) dan al-gibah (umpatan).
Betapapun terbatasnya konsep perlindungan nama baik yang telah dirumuskan
para fuqaha', namun dapat diidentifikasi menjadi pelanggaran (alta 'addiyat)
terhadap nama baik seseorang yang meliputi tuduhan melakukan zina dan tuduhan
terhadap selain zina yang dapat mengakibatkan pencemaran nama baik.
Oleh karena itu fungsi faqih termasuk hakim dalam hal ini adalah melakukan
istimbath hukum sekaligus mengembangkan konsep perlindungan terhadap
kehormatan. Tegasnya, mereka hams mewujudkan konsep tersebut berdasarkan
keumuman konsep syariah dan maqasid-nya.
3. Hal-hal yang Menafikan Daman
Pada prinsipnya daman diberlakukan kepada siapapun yang menyebabkan
kerugian pihak lain. Namun demikian, daman juga tidak dapat diberlakukan kalau
terdapat halangan (al-mawani') atau alasan pembenar, antara lain:
a) Pemusnahan barang secara legal. Misalnya, khamar atau barang-barang
sejenis tidak dapat diberlakukan ganti mgi terhadap muslim baik pribadi
mapun kolektif. Karena khamar dan babi adalah harta yang pemanfaatannya
dilarang oleh syariah (mal gairu mutaqawwim). Memusnahkan harta jenis ini
termasuk suatu kewajiban syariah. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas
ulama. Hanya saja ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menambahkan khamar dan
babi yang dimiliki kaum zimmi juga hams dimusnahkan.
59
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
b)
c)
d)
e)
23
60
ISSN : 2303-3274
Pemusnahan terhadap harta benda yang dilakukan oleh seseorang sematamata
karena melaksanakan tugas (perintah dalam konteks ketaatan) seperti para
pembantu hakim, tidak dibebani ganti rugi. Berbeda, misalnya perintah itu
dalam konteks maksiat, maka ganti rugi menjadi suatu kewajiban.
Apabila sesuatu yang diperintah tergolong boleh dilakukan (ja'iz al-fi‟l) serta
dikerjakan atas dasar ketaatan terhadap perintah—ketaatan seorang pegawai
terhadap atasan, misalnya—maka dalam hal ini perbuatan orang yang
diperintah sama dengan perbuatan orang yang memberi perintah. Dengan
demikian ganti rugi dibebankan kepada yang memberi perintah, dengan
catatan jika perbuatan tersebut memang benar-benar mengharuskan ganti rugi.
Melakukan sesuatu yang merugikan orang lain dalam keadaan darurat.
Misalnya melakukan perusakan terhadap harta benda orang lain, dalam
keadaan terancam baik jiwa maupun hartanya oleh orang lain atau hewan,
tidak dibebankan ganti rugi. Tentu saja terikat dengan syarat-syarat tertentu.
Misalnya mencegah terjadinya suatu kerugian dengan melakukan sesuatu yang
merugikan pihak lain hams bersifat tiba-tiba dan seketika. Tanpa direncanakan
sebelumnya.
Keadaan darurat (halat al-darurah). Apabila seseorang dalam keadaan lapar
atau haus yang dapat mengakibatkan kematiannya. Untuk mencegah kematian
tersebut diperbolehkan makan atau minum milik orang lain, dengan syarat
tidak melebihi kebutuhan. Dalam keadaan seperti ini kewajiban ganti mgi
menjadi gugur, tetapi is diwajibkan untuk membayar makanan dan minuman
itu. Pendapat tersebut disepakati oleh mazhab empat dan juga pendapat
mazhab Zaidiyah.
Ada kerelaan dari pihak yang dimgikan. Jika seseorang memerintahkan orang
lain untuk membuang bajunya ke laut, atau merusak rumahnya, ternyata
perintah itu dilakukan, maka orang tersebut tidak dibebani ganti mgi. Sebab,
perintah untuk melakukan hal tersebut, masih dalam batas wewenangnya.
Lagipula, yang melakukan perintah tersebut tidak termasuk pelaku
pelanggaran (muta'addi).
Apabila pembebanan ganti mgi itu tidak berguna (`adamu al-faidah fi altadhmin). Jika kaum muslim memusnahkan harta benda kaum pemberontak
(al-bugat), atau sebaliknya al-bugat memusnahkan harta benda kaum muslim,
masing-masing tidak dapat dibebani ganti rugi. Sebab, pembebanan ganti rugi
kepada mereka tidak berguna. Umat Islam tidak boleh menanggung ganti rugi
terhadap harta benda orang-orang bugat. Sebaliknya orang muslim pun tidak
dapat memberlakukan ganti rugi terhadap kaum bugat mengingat tidak ada
kewenangan pemerintah muslim terhadap mereka.23
Jami' al-Fushulain, hal. 2/78, Ibn Abidin, Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al-Mukhtar,
Beirut: Dar al-Kutub Cet. I, 1415H/1994M, hal. 5/140, Muhammad Ibn Ahmad
al-Dasuqi, Hasyiyah al-Syarh al-Kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, Cet.I, 1417
H/1996 M, hal.4/240.
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
G. Perubahan Status Yadu24 Amanah25 Menjadi Yadu Damanah
Tidak terdapat perbedaan antara para fuqaha' bahwa yad al-wadi' (orang yang
menerima titipan), al-musta jir (penyewa), al-mudarib (pelaku usaha), alsyarik
(mitra usaha), al-rasul (utusan), al-ajir al-khas, wakil sukarela, wall, wasi, almultaqith atau orang yang menemukan dan memungut barang yang bertujuan
untuk memperkenalkan barang adalah yadu amanah. Mereka tidak dibebani ganti
rugi jika terjadi kerusakan barang pada saat berada dalam penguasaan mereka,
kecuali kalau melakukan pelanggaran dan kecerobohan (ta'addi dan tafrith).
Karena tangan-tangan ini secara keseluruhan tergolong penolong (al-irfaq wa alma
24
25
Al-yad menuru bahasa adalah salah satu anggota badan yang disebut tangan. Dalam
pengertian majazi dapat bermakna nikmat, penguasaan terhadap sesuatu barang,
kepemilikan atau juga dapat bermakna kekuatan. Menurut al-Zarkasyi, al-yad ada dua
macam, yakni yad hissiyah yaitu tangan dalam pengertian konkret dan yad ma
'nawiyah yaitu tangan dalam pengertian abstrak. Yad hissiyah adalah mulai dari jarijari sampai dengan siku. Adapun yadma'nawiyah maksudnya penguasaan terhadap
suatu barang baik karena kepemilikan maupun karena lainnya, karena dengan al-yad
atau penguasaan terhadap suatu barang dapat ditasarrufkan (ditukar, dijual dan lainlain). Lihat Badruddin al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa 'id, Dar al-Kuwait, Cet. II,
1405 H, hal 3/370. Para fuqaha' kemudian membagi al-yad al-ma 'nawiyah menjadi
yad daman dan yad amanah. Yad daman adalah yad yang menguasai barang (al-haiz li
al-syai‟) tanpa seizin pemiliknya. Penguasaan dengan cara merampas, mencuri atau
dengan cara lain yang tergolong 'udwan. Atau menguasai barang dengan seizin
pemiliknya akan tetapi dengan maksud memilikinya seperi mengambil barang dengan
menuntut agar pemilik menjual barang tersebut kepadanya, dan pemungut barang (almultaqith) dengan niat untuk memiliki Menurut mazhab Syafi'iyah dan Hanabilah,
yad al-musta 'ir (peminjam) adalah yad daman. Pendapat ini disepakati oleh mazhab
Malikiyah pada jenis barang yang dapat disembunyikan seperti perhiasan dan pakaian.
Mazhab Hanafiyah juga berpendapat bahwa yad al-murtahin (penerima gadai) adalah
yad daman. Demikian pula pendapat mazhab Maliki terutama pada barang-barang
yang dapat disembunyikan. Lihat Ali Ibn Muhammad al-Mawardi al-Hawi alKabir
Syarh Mukhtasar al-Muzani, Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, Cet. I, 1414 H/1994 M,
hal. 8/191, 9/254, 255; Ahmad Ibn Idris al-Qurafi, al-Furuq fi Anwar al-Buruq fi
Anwai alFuruq, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Beirut: Dar al-Kutub al'ilmiyah, Cet. I, 1418 H/ 1998 M, hal.2/207; Zarkasyi, al-Qawa 'id, hal 2/323,332,
339; Abdurrahman Ibn Syihabuddin Ibn Rajab, al-Qawa 'id al-Fiqhiyah, Kairo, 1392
H./ 1997 M, hal 60; Muhammad Ibn Ahmad al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, Beirut:
Dar Kutub al-'ilmiyah, Cet. I, 1415H/1994M, hal. 2/267; dan Ibn Rusyd al-Hafid,
Bidayat al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Kutub Cet. I, 1418 H/1997 M, hal. 2/263.
Amanah dalam istilah fiqh adalah kepercayaan yang diberikan kepada seseorang
berkaitan dengan pemeliharaan harta benda berdasarkan suatu akad atau bukan akad,
baik akad itu tergolong akad is tihfaz (akad pemeliharaan barang) seperti wadi 'ah ,
maupun akad is ti jar (akad untuk penggunaan jasa barang) seperti Sarah. Amanah
yang tanpa menggunakan akad seperti luqathoh (barang pungutan) yang berda pada
al-multaqith selama dalam penyiarannya. Sedangkan di dalam Majallatu al-Ahkan al'Adliyah menyebutkan bahwa amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada
seseorang berupa akad, seperti harta benda yang disewakan atau yang dipinjamkan,
maupun harta yang berada di tangan orang lain tanpa melalui akad atau tanpa
kesengajaan. Sedangkan al-amin adalah orang-orang yang sedang mengemban
amanah. Lihat Muhammad Ruwas Qol'aji dan Hamid Sodiq Qunaibi, Mu jam Lugat
al-Fuqaha' "Arabi-Inklizi, Beirut: Dar'al-Nafa'is,Ceti',1408H/1988M.
61
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
'unah).26 Jika tangan-tangan mereka dibebani ganti rugi, maka kepentingan publik
akan terabaikan.
Akan tetapi fuqaha' berbeda pendapat pada sebagian al-yad yang lain seperti
yad al-mustajr (peminjam barang), yad al-murtahin (penerima gadai), yad alwakil
dengan upah, yad ajir al-musytarak, dan yad sunna' (pembuat barang pada akad
istisna'). Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa tangan-tangan mereka termasuk
tangan amanah sehingga kalau terjadi kerusakan barang tidak dibebani ganti rugi.
Sedangkan fuqaha' yang lain berpendapat bahwa tangan-tangan mereka adalah
yadu daman, artinya jika terjadi kerusakan pada barang pada saat dalam
mpenguasaan mereka dibebani ganti rugi.27
Perbedaan pendapat tersebut muncul karena beberapa sebab. Pertama:
Sebagian al-aidi (jamak dari al-yad) tersebut dari satu sisi memiliki kemiripan
secara dominan dengan al-aidi al-aminah, sedang di sisi lain kemiripannya juga
dominan dengan al-aidi al-daminah. Fuqaha yang mentarjih kemiripannya dengan
al-aidi al-aminah menjadikannya bagian dari yad amanah sendiri, sebaliknya
fuqaha' yang mentarjih kemiripannya dengan al-aidi al-daminah menjadikannya
bagian dari al-yad al-daminah.28
Kedua sebagian fuqaha' melakukan istihsan untuk menetapkan ganti rugi
terhadap al-aidi al-aminah untuk mengantisipasi kerugian akibat kerusakan barang
karena suatu kecerobohan dan kelalaian mereka. Ketiga terdapat perbedaan
pendapat tentang subut-nya sejumlah nas yang berkaitan dengan alaidi.
Terlepas dari silang pendapat tersebut status yadu amanah dapat berubah
menjadi yadu damanah karena antara lain pertimbagan „urf atau tradisi kolektif
yang berlaku di tengah masyarakat. Pendapat ini umum di kalangan fuqaha'
Hanafiyah dan Malikiyah.
Contoh konkret mengenai masalah tersebut dapat ditemukan dalam filth
mazhab Hanbali yang mengatakan bahwa para hurras (tukang jaga, satpam untuk
masa sekarang) barang tidak dapat dibebankan ganti rugi. Sebab mereka tergolong
yadu amanah. Namun demikian, seperti dikemukakan oleh penulis Kasyfu alQina',29 para hurras tersebut sewaktu-waktu dapat dibebani ganti rugi berdasarkan
pertimbangan
Jadi, menurut Ibn Nujaim, para pekerja dan peminjam barang dikenakan ganti
rugi jika terjadi kerusakan akibat kecerobohan atau kelalaian.
Selain faktor 'toy; unsur ta addi (perlakuan yang melampaui wewenang baik
secara syara' maupun 'yid) juga dapat menyebabkan ganti rugi bagi yad amanah.
Hal ini menjadi kesepakatan para fuqaha' seperti ta 'addi yang dilakukan oleh alwadi' (yang diberi kepercayaan memegang titipan) terhadap al-wadi'ah (titipan)
26
27
28
29
62
Al-Mawardi, al-Hawi, hal. 8/192, 394, 9/104, 10/385.
Lihat referensi sejumlah fiqh klasik dalam Nazih Hammad, Qodoya Fiqhiyah Mu
'asirah fi almal wa al-Iqtisad, Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. I, 1421 H/ 2001 M, hal.
370
Lihat al-Muqaddimat al-mumahhidat, hal. 2/246, 368, al-Mawardi, al-Hawi, ha.
8/191, 9/254, al-Qurafi, al-Furuq, hal. 2/207, Ibn Rajab, al-Qawa 'id, hal. 60, Kasyfu
al-Qina', hal. 92, alZakhirah, hal. 8/112.
Al-Buhuti, Kasy-syaf al-qincz ', Makkah: Mathba'ah al-Hukumah 1394 H, hal. 2/69.
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
dengan merusak atau memanfaatkan tanpa seizin pemiliknya. Atau juga ta 'addi
yang dilakukan oleh mudharib (yang melakukan usaha dalam akad mudarabah)
ketika mengerjakan sesuatu di luar kontrak dengan sahib al-mal (pemilik modal).
Seperti juga al-ta addi yang dilakukan oleh al-ajir (tenaga sewaan/orang upahan)
dengan tidak mengindahkan perintah al-musta jir (orang yang menyewa tenaga),
atau juga tindakan wakil (wakil) yang melampaui wewenang yang didelegasikan
oleh al-muwakkil (pihak yang diwakili). Mereka ini terkena kewajiban daman
karena sebagai pelaku langsung (mubasyir) yang mengakibatkan kerusakan, atau
penyebab rusaknya barang secara zalim dan adanya unsur permusuhan.
Jika terjadi perselisihan antara al-amin dengan sahib al-mal tentang prilaku ta
'addi ini, maka penyelesaiannya diserahkan kepada ahli atau orang yang memiliki
kompetensi untuk itu. Solusi seperti ini sesuai dengan petunjuk Majallatu alAhkam al-Syar 'iyah `ala Mazhabi Ahmad.30
Al-tafrith menurut bahasa al-taqshir dan al-tadhyi' (kelalain, kealpaan,
kesembronoan). Sedangkan al-Ifrath bermakna al-israf wa mujawazatu al-had
(melampaui batas, pemborosan). Menurut al-Jurjani31 al-ifrath digunakan pada
kesewenangan yang berlebihan melampaui porsi yang normal (tajawazu al-had
min janib al-ziyadah wa al-kamal). Sedangkan al-tafrith digunakan pada sikap
minimalis yang tidak proporsional (tajawazu al-had min jihat al-nuqshon wa altaqshir).
Para fuqaha' sepakat bahwa yadu amanah dapat berubah status menjadi yadu
damanah karena perilaku tafrith. Hal ini bisa terjadi pada mudharib, wadi', dan
musta jir. Standar tafrith yang mengharuskan daman itu ditakar dengan al- urf.
Sedangkan tatawwu 'ul amin bi iltizam ad-daman ba 'da al- `aqdi (kesanggupan
dan kerelaan dari al-amin secara suka rela untuk melakukan ganti rugi setelah
akad), menurut mazhab Maliki termasuk dalam kategori tabarru'.
Selain itu, pertimbangan maslahah juga dapat memposisikan yadu amanah
menjadi yadu damanah. Tentunya kemaslahatan pihak yang dikorbankan. Terakhir
adalah al-tuhmah. Maksudnya, terdapat dugaan kuat bahwa terjadi kebohongan
dari al-amin yang menyatakan bahwa kerusakan barang bukan karena kelalaian
atau kecerobohannya, melainkan faktor lain di luar kemampuannya. Klaim seperti
ini sangat mungkin dilakukan oleh mereka yang berstatus yadu amanah yang tidak
menyadari tanggung jawabnya. Atas dasar ini ganti rugi tetap diberlakukan kepada
mereka.
Demikian pula yadu amanah berubah menjadi yadu damanah karena syaratsyarat yang ditetapkan secara sepihak (isytirath daman `ala al-amin), namun
mendapat persetujuan dari pihak yadu amanah baik itu mudharib, musta jir, wadi',
wakil, syarik atau lainnya. Tetang masalah ini terdapat silang pendapat di antara
para fuqaha'. Pendapat pertama, syarat yang ditetapkan tersebut adalah batal karena
tidak sejalan dengan karakteristik akad yang berstatus amanah. Pendapat ini
dikemukakan oleh fuqaha' Hanafiyah, Syafi'iyah, Malikiyah, dan fuqaha' Hanabilah
30
31
Al-Qori, Majallatu al-Ahkam al- Adliyah
Mazhabi Ahmad, Jedah: Tihamah,
1401 H.
Syarif al-Jurjani, al-Ta 'rifat, al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1971, hal. 43.
63
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
dalam salah satu pendapat mereka yang populer. Pendapat tersebut juga
dikemukakan oleh al-Sauri, Auza'i, Ishaq, Nakha'i, dan Ibn alMunzir.
Pendapat kedua, menetapkan syarat karena faktor yang mengkhawatirkan
pemilik modal misalnya, dapat dibenarkan dan diberlakukan jika sesuatu yang
dikhawatirkan itu dalam kenyataannya merusak barang sehingga mengakibatkan
kerugian pada pemilik modal. Pendapat ini dikemukakan oleh Mutharrif dari
mazhab Maliki.
Pendapat ketiga, syarat tersebut sahih dan mengikat. Pendapat ini
dikemukakan oleh Qatadah, Usman al-Buttiy, Ubaidillah ibn Hasan al-`Anbari,
Dawud al-Zahiri dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Walaupun pendapat ini
kurang populer di kalangan fuqaha' Malikiyah, dan pendapat yang tergolong lemah
dalam mazhab Hanafi, namun pendapat ini mendapat dukungan dari Imam
Syaukani.
Penutup
Ide daman dalam hukum Islam bersamaan dengan datangnya sumber hukum
Islam sendiri. Sejumlah ayat dan hadis secara eksplisit telah mengisyaratkan daman
ini. Lalu kemudian dikembangkan oleh para fuqaha' dalam kontek perdata dan
pidana. Dalam konteks perdata para fuqaha, khususnya al-Qurofi dan al-qz Ibn
Abdi Salam menggunakan istilah al-zawajir. Sedangkan dalam kontek pidana
mereka menggunakan istilah al-zawajir. Adapun istilah al-masuliyah barn banyak
ditemukan dalam fiqh-fiqh karya ahli hukum Islam modem.
Secara garis besar daman muncul karena darar badaniyah, darar maliyah dan
darar sangat mungkin terjadi di luar fisik dan harta, seperti pencemaran nama
baik. Tetapi terdapat darar yang kualifikasinya tidak mudah dinominalkan dengan
ganti rugi dalam bentuk uang misalnya. Karena itu berapa jumlah ganti rugi yang
hams dibayarkan selain yang tidak ditetapkan berdasarkan nas. Persoalan ini
kembali kepada al- `urf yang berlaku di masyarakat. Karena itu besarnya ganti rugi
dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika cara ini sulit dilakukan
maka besarnya ganti rugi ditetapkan berdasarkan ketetapan dari pembuat undangundang. Namun demikian seorang hakim punya wewenang untuk menetapkan
nominal ganti rugi asal sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan ganti rugi dan
tidak bertentangan dengan rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Ahmad Siraj, Muhammad, Daman al- `Udwan fi al-Fiqh al-Islami (Dirdsah
Fiqhiyah Muqdranah bi ahkeim al-masuliyah al-Taqshiriyah fi al-qanun),
al-Muassasah al-Jami'iyyah li al-Dirdsat wa al-Nasyr wa al-Tauzi'.
Atasi, Syarah Majallatu al-Ahkam al- Adliyah, dicetak di Hims Suriah, 1352 H. AlBagdadi, Majma' al-Damanat, Mesir: al-Khairiyah, 1388 H. Al-Buhuti,
Kasy-syaf al-qina ', Makkah: Mathba'ah al-Hukumah 1394 H.
64
Teori Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Dabbo, Ibrahim Fadil, Daman al-Manafi' dirasah muqaranah fi al-fiqh alislami
wa al-qanun al-madani, Amman, Beirut: Dar al-Bayariq, Dar `Ammar,
Cet. I, 1417 H/1997.
Al-Dasuqi, Muhammad Ibn Ahmad, Hasyiyah `ala al-Syarh al-Kabir, Beirut: Dar
al-Kutub al-'ilmiyah, Cet.I, 1417 H/1996 M.
Al-Hamawy, Ahmad Ibn Muhammad, Gamzu al-Basha'ir wa Syarah al- Asybelh
wa Bairut: Dar al-Kutub Cet. 1405 H/1985 M.
Ibn Abidin, Raddu al-Mukhtar ala al-Durri al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Kutub al`ilmiyah, Cet. I, 1415H/1994M.
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadis al-Rafi al-Kabir,
Mesir: Syarikat al-Thiba'ah al-Fanniyah, 1384 H.
Ibn Rajab, Syihabuddin, al-Qawa 'id al-Fiqhiyah, Kairo, 1392 H/ 1997 M
Ibn Rusyd al-Hafid, Bidayat al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, Cet. I,
1418 H/1997 M.
Al-Jurjani, Syarif, al-Ta 'rifat, al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1971. Majduddin alFairuzabadi, al-Qamus al-Muhit, Kairo: Dar al-Hadis, tt.
Al-Mawardi, Ali Ibn Muhammad, al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasar al-Muzani,
Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, Cet. I, 1414 H/1994 M
Qol'aji, Muhammad Ruwas dan Qunaibi, Hamid Sodiq, Mu jam Lugat alFuqaha—
Arabi-Inklizi, Beirut: Dar'al-Nafa'is, Cet.II, 1408 H/1988 M.
Al-Fatlawi, Shahib `Ubaid, Daman al- `uyub watakhallafa al-muwasafat fi `Uqud
al-Bai', Amman: Maktabah Dar al-Saqofah li al-Nasyr wa al-tauzi', Cet. I,
1417 H/1997 M.
Al-Qori, Majallatu al-Ahkam al- Adliyah `ala Mazhabi Ahmad, Jedah: Tihamah,
1401 H.
Al-Qurafi, Ahmad Ibn Idris, al-Furuq fi Anwar al-Buruq fi Anwai al-Furuq,
Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, Cet.
I, 1418 H/ 1998 M.
Al-Sarakhsi, al-Mabsut, Mesir: al-Sa'adah, 1324 H.
Suyuthi, Jalaluddin, al-Asybah wa al-Naza 'ir, Beirut: Muassasah al-Kutub alSaqofiyah, Cet. 1, 1415 H/1994 M.
Al-Syarbini, Muhammad Ibn Ahmad, Mugni al-Muhtaj, Beirut: Dar Kutub al„ilmiyah, Cet. I, 1415H/1994M.
Al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Mesir: Mustafa al-Babi alHalabi, 1380 H.
Al-Zaila'i, Usman Ibn Ali, Tabyin al-haqoiq Syarh Kanzu al-Daqaiq, Kairo: Dar
al-Kitab al-Islami, Cet. II, 1990.
Al-Zarkasyi, Badruddin, al-Mantsur fi al-Qawa'id, Dar al-Kuwait, Cet. II, 1405 H.
Al-Zarqa', Mustofa Ahmad, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am (al-Fiqh al-Islami fi
Saubihi al-Jadid),Beirut: Dar al-Fikr, hal. 1032.
Al-Zuhaily, Wahbah, al-Mas 'uliyah 'an Fi'li al-Gain, Damaskus: Dar alMuktabi,
Cet. 1, 1416 H/1995 M.
65
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
66
ISSN : 2303-3274
HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM
DALAM HUKUM NASIONAL
(Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum
Nasional Di Indonesia)
Dina Sunyowati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
e-mail :[email protected]
Abstrak
Kesepakatan negara-negara yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional baik
dalam bentuk perjanjian bilateral, regional dan multilateral merupakan perjanjian
yang mengikat para pihak dan menjadi hukum bagi yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian (pacta sunt servanda). Perjanjian internasional yang telah
disepakati dan di sahkan dalam suatu ratifikasi oleh suatu negara, maka perjanjian
tersebut berlaku mengikat bagi semua dan menjadi sumber hukum bagi penegak
hukum dalam mengambil keputusan. Hal ini berlaku juga di Indonesia. Setiap
perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia baik yang sudah tertuang
dalam suatu persyaratan ratifikasi atau tidak, tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat bagi kedua belah pihak.
Kata Kunci : Hukum Internasional, Sumber Hukum, Perjanjian Internasional,
Perjanjian Internasional
Abstract
Countries agreement contained in an international agreement in the form of
bilateral agreements, regional and multilateral agreements that are binding on the
parties and a law for that entered into an agreement (pacta sunt servanda).
International agreements that have been agreed and validated in a ratification by a
country, then the agreement is valid and binding upon all be a source of law for the
enforcement of law in making decisions. This is true also in Indonesia. Any
international agreement that has been followed by Indonesia, which is contained in
a ratification requirement or not, still have the force of binding for both parties.
Keywords :
International Law, Sources of Law, International Treaties,
International Agreements.
1. Pendahuluan
Pembahasan mengenai sumber hukum merupakan persoalan yang sangat
penting dalam bidang hukum, bukan hanya dalam tataran Hukum Nasional (HN)
tapi juga Hukum Internasional (HI). Pemahaman tentang ini mutlak diperlukan
dikarenakan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum, sumber hukum
menjadi tempat diketemukannya dasar hukum yang dipakai sebagai pedoman.
Dewasa ini terdapat kecenderungan membicarakan kembali mengenai sumber
hukum dalam hukum internasional, karena perkembangan masyarakat intemasional
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
yang sangat cepat dan hukum internasional itu sendiri.Sumber hukum intemasional
berbeda dengan Hukum Nasional. HI memiliki keunikan tersendiri, terutama
ketiadaan pernyataan yang secara eksplisit menyebutkan apa sumber-sumber
hukum intemasional itu sendiri yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam
memutuskan sengketa internasional. HI tidak memiliki organ-organ yang pada
umumnya ada di tingkat nasional, seperti lembaga legislatif, yudikatif dan
eksekutif. (Martin Dixon, 1993, 2003, 19).
Dalam Statuta the International Court of justice (ICJ), salah satu main organ
PBB yang berfungsi mengadili sengketa internasional antar negara, disebutkan
tentang sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan tuntunan bagi hakim dalam
mengambil keputusan terhadap perkara yang masuk ke International Court of
justice atau Mahkamah Intemasional, Dalam Pasal 38 Ayat (1) Statuta ICJ
menyebutkan bahwa :
"The Court, whose function is to decide in accordance with international law such
disputes as are submitted to it, shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, [.e. that only the parties bound by
the decision in any particular case] judicial decisions and the teachings
of the most highly qualified publicists of the various nations, as
subsidiary means for the determination of rules of law."
Sedangkan dalam ayat (2)nya, memberikan kekuasaan bagi ICJ untuk
memutuskan kasus secara pantas dan adil (ex aequo et bono) berdasarkan prinsipprinsip umum ("This provision shall not prejudice the power of the Court to decide
a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto”).Mahkamah Internasional
mempunyai kekuasaan untuk memutus berdasarkan pada pertimbangan hakim atau
arbitrator sebagai „the fairest solution in the circumstances' tanpa
mempertimbangkan aturan yang berlaku. (Hugh Thirlway, dalam Jawahir
Thontowi, 2003, 121)
Urut-urutan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 38 Ayat (1) di atas
bukanlah menunjukkan urutan atas yang paling penting dan utama, melainkan
hanyalah untuk memudahkan saja.Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dari empat
sumber tersebut, dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu sumber hukum
utama (primer / urutan a, b dan c) dan sumber hukum tambahan (subsidier / urutan
d). Persoalan mana sumber hukum yang terpenting/paling utama tergantung dari
mana sudut pandang Hakim dalam memutus sengketa. (Mochtar Kusumaatmadja,
1989, 34). Statuta MI meletakkan traktat/perjanjian pada urutan atas, disebabkan
karenaadanya protes dari negara-negara yang barn merdeka, apabila hukum
internasional bersumber pada kebiasaan internasional yang dipandang bersifat
Eropa centris, hukum internasional modern (diatas tahun 1945) lebih banyak
mengatur masalah sosial ekonomi dan hal ini tidak akan ditemukan dalam
kebiasaan internasional. Perjanjian internasional memberi kepastian hukum, karena
68
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
tertulis dan hukum internasional modern lebih bersifat mencegah konflik antar
negara, daripada menyelesaikan konflik. Sementara itu dari sudut pandang historis
/ sejarah, yang paling utama adalah kebiasaan internasional, karena merupakan
sumber hukum yang tertua. Sedangkan dari sudut pandang perkembangan hukum
internasional, prinsip-prinsip hukum umum yang paling berperan, karena memberi
keleluasaan kepada MI untuk menemukan atau membentuk kaidah hukum baru.
Hugh Thirlway membedakan antara aturan-aturan utama (primary rules) dan
aturan-aturan sekunder (secondary rules) . Meskipun pembedaan ini berasal dari
pembedaan yang ada dalam sistem hukum nasional, namun pembedaan ini cukup
menolong untuk memahami sifat-sifat dari sumber hukum internasional (Jawahir
Thontowi, 2006, 54). Dlam setiap sistem hukum terdapat sekumpulan prinsipprinsip dan aturan-aturan yang menjabarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
subyek hukum dari sistem tersebut yang kemudian dikenal dengan aturan-aturan
utama. Sedangkan setiap sistem juga memiliki aturan yang ditujukan untuk
menerapkan apa yang termasuk aturan-aturan utama dan bagaimana aturan tersebut
dapat terwujud, diterapkan dan dirubah, yang kemudian dikenal dengan aturanaturan sekunder.(Jawahir Thontowi, 2006,54)
Keberadaan sumber hukum tersebut, menyebabkan negara-negara hams
mengikuti dan mematuhi aturan-aturan utama, karena aturan ini tersedia dalam
suatu perjanjian internasional yang dibuat negara-negara yang mengikatkan dirinya
pada perjanjian (treaty —law). Negara yang menjadi peserta dalam suatu perjanjian
internasional yang dibuat berdasarkan hukum perjanjian internasional hams tunduk
pada kesepakatan /perjanjian tersebut, sebab negara terikat dengan pacta sund
servanda. Memang tidak aturan yang menyatakan bahwa prinsip tersebut dikatakan
sebagai prinsip yang tertinggi dalam hubungan antar negara yang terikat dengan
perjanjian internasional,tetapi seperti dinyatakan dalam Pasal 38 Ayat (1) bahwa
dalam memutuskan suatu sengketa, maka hams mendasarkan pada hukum
internasional, yakni menerapkan treaty dan kebiasaan internasional yang ada, dan
hal ini merupakan pengakuan terhadap traktat sebagai sumber hukum formal,
sedangkan Statuta merupakan sumber material dan aturan-aturan sekunder dari
treaty make-law.
2. Perbedaan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Pelanggaran terhadap hukum internasional akhir-akhir ini menunjukkan
peningkatan seining dengan perkembangan masyarakat internasional, dan menjadi
pembahasan yang sangat menarik perhatian karena dalam kenyataan negaranegara
sebagai subyek hukum internasional tunduk dan mentaati kaidah-kaidah hukum
internasional dalam menyelesaikan sengketa intemasional. Struktur masyarakat
internasional yang koordinatif, antara lain ditandai oleh tiadanya badan supra
nasional di atas subyek-subyek atau anggota masyarakat intemasional yang sama
derajad antara satu dengan lainnya. Apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat
hukum internasional? Sementara itu diketahui bahwa tiadanya badan supra
nasional yang berwenang membentuk dan memaksakan berlakunya hukum
intemasional, akan dapat menimbulkan sikap skeptis yaitu, apakah hukum
69
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
internasional itu memang benar-benar ada atau memenuhi kualifikasi sebagai
hukum dalam pengertian yang sebenarnya.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, hukum hanya dipandang sebagai suatu
mekanisme yang bekerja sesuai dengan norma-norma yang diwujudkan dengan
adanya aparat-aparat penegak hukum serta sanksi sebagai upaya memaksakan dan
mendayausahakan hukum itu sendiri.Padahal, sebenarnya hukum itu tidak saja
sekedar mekanisme pelaksanaan dan pemaksaan norma-norma melainkan jauh
lebih luas dari pada itu.Dalam tata masyarakat intemasional, tidak terdapat suatu
badan legislatif maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat
memaksakan berlakunya kehendak masyarakat internasional sebagaimana
tercermin dalam kaidah hukumnya.Menurut Mochtar Kusumaatmadja, semua
kelemahan kelembagaan (institusional) ini telah menyebabkan beberapa pemikir
mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat hukum
internasional, dan menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum dalam
arti yang sebenarnya. Para ahli menempatkan hukum intemasional segolongan
dengan "the laws of honour" dan "the laws set by fashion" sebagai "rules o
fpositive morality". (Mochtar Kusumaatmadja, 1989, 35)
Lebih jauh Austin memandang hukum itu sebagai perintah yakni perintah dari
penguasa kepada pihak yang dikuasai. Penguasa itu memiliki kedaulatan yang
didalamnya termasuk pula kekuasaan untuk membuat hukum yang akan
diberlakukan kepada pihak yang berada di bawah kekuasaannya. Hal ini berarti
bahwa, jika suatu peraturan tidak berasal dari penguasa yang berdaulat, peraturan
semacam itu bukanlah merupakan hukum, melainkan hanyalah merupakan norma
moral, seperti misalnya norma kesopanan dan norma kesusilaan. Pandangan Austin
ini mendasarkan adanya hukum pada badan yang memiliki kedaulatan dan
kekuasaan untuk memaksakan berlakunya hukum kepada pihak yang dikuasainya,
juga merupakan penyangkalan atas eksistensi hukum yang berasal dari atau tumbuh
dalam pergaulan hidup masyarakat, seperti misalnya hukum kebiasaan (customary
law). Menurut Austin, hukum kebiasaan itu bukanlah hukum melainkan hanyalah
norma moral saja. Jika pandangan Austin ini diterapkan pada hukum intemasional,
dimana masyarakat internasional dan tata hukum intemasionaltidak mengenal
badan supra nasional, dapat dikatakan bahwa Austin memandang hukum
internasional itu bukanlah hukum dalam arti yang sebenarnya, tetapi hanyalah
merupakan norma moral intemasional saja.
Bagi Austin, walaupun kini sudah ditinggalkan oleh para ahli hukum
intemasional, tetapi tidak jarang masih menghinggapi pola pikiran para ahli hukum
terhadap eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Hal ini
antara lain disebabkan oleh karena kita sudah terbiasa dalam suasana masyarakat
dan hukum nasional yang seperti telah diuraikan di atas, secara puma memiliki
alat-alat perlengkapan atau lembaga-lembaga dengan tugas dan wewenang yang
jelas dan tegas sehingga dapat memaksakan berlakunya hukum nasional kepada
subyek-subyek hukum nasional.
Dalam tata masyarakat dan hukum nasional, peranan lembaga dan aparataparat penegak hukum beserta sanksi hukumnya tampak sangat menonjol dan
70
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
mendominasi mekanisme pembentukan, pelaksanaan dan pemaksaan hukum itu
sendiri.Dalam kenyataan memang terdapat peraturan-peraturan hukum nasional
yang seringkali mengalami kelumpuhan, disebabkan oleh karena kurang
berperannya lembaga dan aparat penegak hukum tersebut. Apalagi kalau lembaga
dan aparat penegak hukum itu tidak ada sama sekali, seperti halnya dalam
masyarakat dan hukum internasional, sudah barang tentu akan mengakibatkan
hukum nasional itu akan lumpuh sama sekali.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika timbul pandangan pada
sebahagian ahli hukum, lebih-lebih di kalangan orang yang awam hukum bahwa
adanya lembaga dan aparat-aparat penegak hukum serta sanksi hukum yang tegas,
merupakan faktor yang esensial bagi adanya suatu kaidah hukum.Dengan demikian
hukum dipandang selalu dalam keterkaitannya dengan lembaga dan aparat penegak
hukum.Tanpa adanya lembaga dan aparat, maka hukum itupun dipandang seperti
tidak pernah ada.
Sebenamya pandangan seperti tersebut di atas, sudah lama
ditinggalkan.Lembaga dan aparat penegak hukum serta sanksi hukum bukanlah
merupakan unsur yang paling menentukan dari suatu norma hukum. Eksistensi
suatu norma hukum sebenamya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta
kesadaran hukum dari masyarakat. Kalau masyarakat merasakan, menerima dan
mentaatinya sebagai suatu norma hukum, jadi sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat, walaupun tidak ada lembaga yang membuat maupun aparat yang
memaksakannya, maka norma demikian itu adalah merupakan norma hukum.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perkembangan ilmu hukum
kemudian telah membuktikan tidak benamya anggapan Austin tersebut mengenai
hukum.Kita cukup mengingat adanya hukum adat di Indonesia sebagai suatu
sistem hukum yang tersendiri untuk menginsyafi kelirunya pikiran Austin
mengenai hakikat hukum. Keberadaan badan legislatif, badan kehakiman dan polisi
merupakan ciri yang jelas dari suatu sistem hukum positif yang efektif, akan tetapi
ini tidak berarti bahwa tanpa lembaga-lembaga ini tidak terdapat hukum.
Keberadaan dan hakikat hukum internasional sebenamya tidak perlu
diragukan lagi, sehingga memerlukan dasar kekuatan mengikat hukum
internasional.Teori tentang kekuatan mengikat hukum internasional, seperti teori
hukum alam (natural law) mempunyai pengaruh yang besar atas hukum
internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula
mempunyai ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari
hubungannya dengan keagamaan oleh Hugo Grotius.Dalam bentuknya yang telah
disekularisir maka hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas
hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang
diilhamkan alam pada akal manusia.Menurut para penganut ajaran hukum alam ini,
hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain karena
"hukum alam" yang ditetapkan pada kehidupan masyarakat bangsabangsa. Dengan
demikian negara terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain karena hukum internasional merupakan bagian dari
hukum yang lebih tinggi yaitu "hukum alam". Pendapat ini kemudian dalam abad
71
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
XVIII lebih disempurnakan lagi, antara lain oleh seorang ahli hukum dan diplomat
bangsa Swiss, Emmerich Vattel (1714-1767) dalam bukunya Droit des Gens.
Teori-teori yang didasarkan pada asas hukum alam sangat samar dan
tergantung dari pendapat subyektif mengenai "keadilan", kepentingan masyarakat
internasional dan konsep lain yang serupa. Bahkan dalam hukum internasional,
banyak pandangan yang subyektif tentang isi dan pengertian hukum alam, karena
kaidah moral dan keadilan dimaknai beragam oleh para ahli yang
mengemukakannya. Hal ini disadari karena taraf integrasi yang rendah dan
masyarakat internasional dewasa ini dan adanya pola hidup kebudayaan dan sistem
nilai yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa lain, maka pengertian tentang nilainilai yang biasa diasosiasikan dengan hukum alam mungkin sekali juga akan
berbeda, walaupun istilah yang digunakan mempunyai kesamaan. Walaupun
demikian teori hukum alam dan konsep hukum alam telah memberi pengaruh besar
dan baik terhadap perkembangan hukum internasional, karena telah meletakkan
dasar moral dan etika yang berharga bagi hukum internasional dan perkembangan
selanjutnya.
Aliran lain mengenai kekuatan mengikat hukum internasional adalah
keinginan suatu negara untuk tunduk pada HI atas kehendak negara itu sendiri,
"Selbst limitation theorie" atau Self limitation theory. Tokoh aliran ini adalah
George Jellineck, yang meletakkan dasar bahwa negaralah yang merupakan sumber
segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu tunduk pada
hukum internasionalatas kemauan sendiri.Aliran ini menyandarkan pada falsafah
Hegel yang mempunyai pengaruh sangat kuat di Jerman.(Mochtar Kusumaatmadja,
1989, 44) . Hukum internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang mempunyai
kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Kelemahan dari teori-teori ini ialah
bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya
hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara dapat mengikat suatu
negara. Muncul pertanyaan bagaimana jika suatu negara secara sepihak
membatalkan niatnya untuk terikat pada hukum internasional, sehingga tidak
mempunyai kekuatan mengikat lagi, masih patutkah dinamakan hukum? Teori ini
tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara baru, sejak menjadi
bagian dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional,
terlepas dari mau atau tidak tunduk pada hukum internasional. Begitu juga
mengenai hukum kebiasaan internasional belum terjawab dalam teori ini.
Berbagai kelemahan dan keberatan dari aliran tersebut dicoba diatasi oleh
aliran lain dari teori kehendak negara yang menyandarkan kekuatan mengikat
hukum internasional pada kemauan bersama. Triepel berusaha membuktikan
bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak
mereka satu per satu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak
bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional.Sementara itu aliran lain menyatakan bahwa kehendak
bersama negara ini berlainan dengan kehendak negara yang spesifik yang tidak
perlu dinyatakan, disebut sebagai "Vereinbarung".Vereinbarungstheorie ini
mencoba menerangkan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law) dengan
72
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
mengatakan bahwa kehendak untuk terikat kepada hukum internasional diberikan
secara diam-diam (implied),dengan melepaskannya dari kehendak individual
negara dan mendasarkannya kepada kemauan bersama (Vereinbarung), Triepel
mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara tetapi
membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan
suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum
internasional itu pada kehendak negara (teori voluntaris) ini merupakan
pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai alam
pikiran dunia ilmu hukum di benua Eropa-terutama Jerman pada bagian kedua
abad ke -19.
Selain teori kehendak diatas, muncullah madzab Wienna, yang pada
hakikatnya ingin mengembalikan kekuatan mengikatnya hukum internasional itu
pada kehendak (atau persetujuan) negara untuk diikat oleh hukum internasional
dalam suatu hukum perjanjian antara negara-negara.Teori kehendak mempunyai
kaitan dengan teori alami perjanjian. Persetujuan negara untuk tunduk pada hukum
internasional menghendaki adanya hukum atau norma sebagai suatu yang telah ada
terlebih dahulu dan lepas dari kehendak negara (Aliran obyektivis). Bukan
kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir
kekuatan mengikat hukum internasional. Menurut madzab Wienna ini, kekuatan
mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan pada suatu kaidah yang
lebih tinggi yang didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan begitu
seterusnya.Akhirnya sampailah pada puncak piramida kaidah hukum dimana
terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu
kaidah yang lebih tinggi, melainkan hams diterima adanya sebagai suatu hipotese
asal (Ursprungshypothese) yang tidak dapat diterangkan secara hukum. Kelsen
merupakan tokoh dari madzab Wienna ini mengemukakan asas "pacta sunt
servanda" sebagai kaidah dasar (Grundnorm) hukum internasional. (Mochtar
Kusumaatmadj a, 1989, 48)
Ajaran madzab Wienna ini mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu
kaidah dasar, dapat menerangkan secara logis dari mana kaidah hukum
intemasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya, akan tetapi ajaran ini tidak
dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Dengan demikian,
seluruh sistem yang logis tadi menjadi tidak mempunyai kekuatan, sebab tidak
mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum intemasional itu disandarkan atas
suatu hipotese.Dengan pengakuan bahwa persoalan kekuatan Grundnorm
merupakan suatu persoalan di luar hukum (metayuridis) yang tak dapat
diterangkan, maka persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat
dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yakni rasa
keadilan dan moral.Dengan demikian, teori mengenai dasar berlakunya atau
kekuatan mengikat hukum internasional setelah mengalami perkembangan sekian
lama, kembali lagi kepada teori yang tertua mengenai hal ini yakni teori hukum
alam.Timbulnya kembali teori hukum alam dalam ilmu hukum pada umumnya
setelah Perang Dunia II juga disebabkan karena kebutuhan orang untuk kembali
mempunyai pegangan hidup dan nilai yang pasti, setelah menyaksikan
73
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
kemerosotan spiritual di masa tahun tiga dan empat puluhan. (Mochtar
Kusumaatmadj a, 1989, 49)
Aliran lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum
internasional tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan
menghubungkannya dengan kenyataan hidup manusia, yaitu madzab Perancis,
dengan tokohnya antara lain Fauchile, Scelle dan Duguit yang mendasarkan
kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor
biologis, sosiologis dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta
kemasyarakatan (fait social) yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala
hukum, termasuk hukum internasional. Menurut tokoh tersebut, persoalannya dapat
dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, keinginan untuk
bergabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan
naluri sosial manusia sebagai orang seorang menurut mereka juga dimiliki oleh
bangsa-bangsa.Sehingga dasar kekuatan mengikat hukum internasional terdapat
dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Keberadaan hukum internasional sebagai suatu norma hukum, sebagai hukum
yang tumbuh, berlaku dan berkembang di dalam masyarakat internasional-tanpa
dibuat dan dipaksakan oleh lembaga supra nasional- sangat sulit untuk dibantah
eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Eksistensi hukum
internasional sekarang ini tidak perlu diragukan lagi.masyarakat internasional kini
telah menerimanya sebagai suatu norma hukum yang mengatur masyarakat
internasional.beberapa bukti seperti di bawah ini dapat dikemukakan untuk
menunjukkan bahwa hukum internasional dalam kehidupan sehari-hari telah
diterima, dipatuhi dan dihormati sebagai suatu norma hukum, seperti misalnya :
a. Alat-alat perlengkapan negara, khususnya yang bertugas menangani
masalahmasalah luar negeri atau internasional, menghormati kaidah-kaidah
hukum intemasional yang mengatur hubungan-hubungan yang diadakannya
dengan sesama alat-alat perlengkapan dari negara lain. Mereka bertindak
untuk dan atas nama negaranya masing-masing. Ini berarti bahwa negaranegara itu menghormati hukum internasional tersebut. Sebagai contoh,
perjanjian antara dua negara tentang garis batas wilayah, perjanjian tentang
perdagangan dan lain-lainnya, mereka taati sebagai norma hukum
intemasional yang mengikat dan berlaku bagi mereka. Mereka atau salah
satu pihak tidak mau melanggarnya, meskipun kesempatan dan
kemungkinan untuk melakukan pelanggaran itu selalu terbuka.
b. Perselisihan-perselisihan internasional, khususnya yang menyangkut masalah
yang mengandung aspek hukum-walaupun tidak selalu- diselesaikan melalui
jalur-jalur hukum internasional, seperti misalnya mengajukan ke Mahkamah
Internasional, Mahkamah Arbitrase Internasional dan upaya-upaya hukum
lainnya. Demikian pula putusan-putusan dari badan-badan peradilan itu-diakui
oleh para pihak-mengandung nilai-nilai hukum internasional, meskipun dalam
praktiknya kadang-kadang tidak ditaati. Namun demikian, hal ini tidaklah
mengurangi nilai hukum yang terkandung di dalamnya.
74
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
c.
Pelanggaran-pelanggaran atas kaedah-kaedah hukum internasional ataupun
konflik-konflik intemasional yang sering kita jumpai dalam berita-berita
media massa, hanyalah sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan
perilaku dan tindakan-tindakan negara-negara yang mentaati hukum
internasional itu. Hal serupa juga terjadi di dalam masyarakat nasional
dengan tata hukum nasionalnya yang jelas dan tegas serta dilengkapi dengan
aparat-aparat penegak hukumnya. Pelanggaran-pelanggaran atas hukum
nasional pun hampir setiap hari dapat dijumpai serta tidak kalah jumlah
maupun kualitas pelanggarannya dibandingkan dengan pelanggaran atas
hukum internasional. Pelanggaranpelanggaran atas hukum nasional tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa hukum nasional itu tidak
ada. Sudah tentu demikian pula dengan pelanggaran-pelanggaran atas hukum
internasional, tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa
hukum intemasional itu tidak ada. Masih lebih banyak anggota masyarakat
yang mentaati hukum internasional dibandingkan dengan yang melanggarnya.
d. Kaidah-kaidah hukum internasional dapat diterima dan diadaptasi sebagai
bagian dari hukum nasional negara-negara. Hal ini berarti bahwa negaranegara sudah menerima hukum internasional sebagai suatu bidang hukum
yang berdiri sendiri yang dengan melalui cara atau prosedur tertentu dapat
diterima menjadi bagian dari hukum nasional. Bahkan dalam beberapa
hal, hukum internasional mau tidak mau hams diperhitungkan dan
diperhatikan oleh negara-negara di dalam menyusun peraturan perundangundangan nasional mengenai suatu masalah tertentu. Sebagai contohnya,
pada waktu suatu negara akan menyusun ketentuan undang-undang pidana
tentang kejahatan penerbangan, negara itu tidak dapat melepaskan din dari
Konvensi-konvensi Intemasional yang berkenaan dengan kejahatan
penerbangan seperti misalnya Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den
Haag tahun 1970 dan Konvensi Montreal tahun 1971. demikian pula
dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982, yang merupakan norma hukum
laut bam dan modem yang menggantikan kaidahkaidah hukum laut
sebelumnya (Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958). Jika suatu negara
meratifikasi Konvensi tersebut, hal ini tentu saja akan memaksa negara itu
untuk menyesuaikan peraturan-peraturan hukum laut nasionalnya dengan
isi dan jiwa Konvensi Hukum laut 1982 itu.
Hukum internasional, pada dasamya ditujukan untuk mengatur hubungan
negara-negara pada tataran intemasional. Utamanya dilakukan oleh negara
sebagai salah satu subyek hukum intemasional.Sementara itu, hukum
intemasional terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara- negara
dalam melangsungkan hubungan antara masing-masing negara.Oleh karena
itu tidaklah terlalu penting untuk mempertanyakan ada tidaknya kekuasaan
tertinggi dalam hukum intemasional. Sebab tanpa adanya kekuasaan tertinggi
sekalipun,
kebanyakan
negara
mematuhi
kesepakatan-kesepakatan
intemasional.
75
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
3. Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Pembahasan tentang tempat atau kedudukan hukum intemasional dalam
rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu
jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada
umumnya. Hukum Internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang
efektif yang hidup dimasayarakat dan karenanya mempunyai hubungan yang
efektif dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling
penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam
lingkungan kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan hukum nasional.
Hukum nasional setiap negara mempunyai arti penting dalam konstelasi
politik dunia dewasa ini dan masyarakat intemasional, sehingga akan
memunculkan persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum nasional
itu dengan hukum intemasional dan kedudukan hukum intemasional dalam
keseluruhan tata hukum di lihat dari sudut praktis. Pembahasan mengenai
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dapat ditinjau dari sudut
teori dan kebutuhan praktis.
Dalam teori ada 2 (dua) pandangan tentang hukum internasional yaitu
pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum
internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada
kemauan negara, dan pandangan obyektivis yang menganggap ada dan berlakunya
hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Menurut pandangan Voluntaris
bahwa hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat
hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pada pandangan
obyektivitis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat
hukum. Erat hubungannya dengan yang dijelaskan tersebut adalah persoalan
hubungan hirarkhiantara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan perangkat
hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat
hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dan satu keseluruhan tata hukum
yang sama.
Dari dua teori tersebut, muncullah dua aliran atau sudut pandangan yang
membahas tentang hal tersebut.Aliran yang pertama adalah aliran dualisme.Aliran
ini sangat berpengaruh di Jerman dan Italia dengan tokoh yang sangat terkenal
adalah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari Jerman yang menulis buku
Volkerrecht and Landesrecht (1899) dan Anzilotti, pemuka aliran positivisme dari
Italia yang menulis buku Corso di Dirrito Internazionale (1923). menurut aliran
dualisme yang bersumber dari teori daya ikat hukum intemasional bersumber pada
kemauan negara, maka hukum intemasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dengan lainnya. Hal ini di
dasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan.Paham
dualisme ini sangat terkait dengan paham positivisme yang sangat menekankan
unsur persetujuan dari negara-negara. Secara historis pandangan dualisme
merupakan cerminan spirit nasionalisme.
Diantara alasan-alasan yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
(1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum
76
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum intemasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
(2) perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya Subyek hukum dari
hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam hukum perdata
maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum internasional ialah
Negara dan beberapa entitas lainnya;
(3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional
menampakkan Pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang
diperlukan untuk melaksanakan hukum seperti mahkamah intemasional
dan organ eksekutif, tidak sama bentuknya seperti dalam hukum nasional;
Dalam praktiknya daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak
terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan
hukum intemasional. Dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku
secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.
Dari pandangan aliran ini mempunyai beberapa akibat penting, yaitu :
(1) bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dalam teori
dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarkhi antara hukum nasional
dan hukum internasional, karena pada hakikatnya kedua perangkat
hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya
tapi juga lepas satu dari lainnya.
(2) bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum
itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja.
(3) ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional.
Dengan demikian hukum internasional hanya berlaku setelah di
transformasikan dan menjadi hukum nasional, sehingga is tidak berlaku
sebagai hukum internasional.
Pada paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia. Menurut paham ini hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum
yang mengatur kehidupan manusia.Akibat dari pandangan monisme ini bahwa
antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan
hirarkhi.Persoalan hirarkhi antara hukum nasional dan hukum internasional inilah
yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme
mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional.Ada pihak yang menganggap bahwa dalam
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum
nasional.Untuk paham yang seperti disebut sebagai paham "monisme dengan
primat hukum nasional".
Paham lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut
77
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
sebagai paham "monisme dengan primat internasional". Menurut teori monisme ,
keduanya sangat mungkin terjadi.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum
internasional itu tidak lain merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak
lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri, atau auszeres Staatsrecht.
Aliran ini pernah berlaku di Jerman, yang kemudian di kenal dengan madzab Bonn
(dengan tokohnya Max Wenzel). (Mochtar Kusumaatmadja, 1989, 57).
Perkembangan masyarakat internasional di era global memunculkan
kelompok moderat dengan teori koordinasi. Mereka menganggap bahwa HI
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem
hukum tersebut memiliki keutamaan di lapangannya masing-masing. HI dan HN
tidak bisa dikatakan terdapat masalah keutamaan. Masing-masing berlaku dalam
areanya sendiri, oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah
antara satu dengan lainnya. Pemahaman kelompok ini sebenarnya merupakan
modifikasi dari paham teori dualisme. Menurut Anzilotti, bahwa hukum nasional
ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar
persetujuan yang dibuat antar negara ditujukan untuk dihormati. ( John 0 Brien,
dalam Jawahir Thontowi, 2001, 109).
4. Praktik Penerapan Hukum Internasional di tingkat Nasional
Berlakunya hukum intemasional dalam peradilan nasional suatu negara
mengacu pada doktrin "inkorporasi" dan doktrin "transformasi". Menurut doktrin
inkorporasi, bahwa hukum intemasional dapat langsung menjadi bagian dari
hukum nasional. Apabila suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat
atau perjanjian apapun dengan negara lain, maka perjanjian tersebut dapat secara
langsung mengikat terhadap warga negaranya tanpa adanya sebuah legislasi
terlebih dahulu. Contoh negara yang menerapkan doktrin ini adalah Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan beberapa negara dengan sistem AngloSaxon.
Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, bahwa tidak terdapat hukum
internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukan proses tranformasi berupa
pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Sehingga traktat atau
perjanjian internasional, tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum di
pengadilan nasional sebelum dilakukannya `transformasi' ke dalam hukum
nasional. (Malcolm D.Evans, 2003, 147). Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa
hukum internasional merupakan bagian yang secara otomatis menyatu dengan
hukum nasional. Doktrin ini lebih mendekati teori monnisme yang tidak
memisahkan antara hukum nasional dan hukum internasional. Sedangkan doktrin
transformasi menuntut adanya tindakan positif dari negara yang bersangkutan,
sehingga lebih mendekati teori dualisme. Contoh negara yang menerapkan teori ini
diantaranya adalah negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia
78
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
5.
Praktik Penerapan Hukum Internasional di Indonesia dan beberapa
Negara Inggris
Negara Inggris menganut suatu ajaran bahwa hukum internasional adalah
hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal
dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine). Doktrin ini mula-mula
di kemukakan oleh ahli hukum Blackstone pada abad ke 18 dan di rumuskan
sebagai berikut : "The law of nations, wherever any question arises which is
properly the object of its jurisdiction is here adopted in its full extent by the
common law, and it is held to be part of the law of the land ".Inggris merupakan
salah satu negara modern yang memiliki Konstitusi tidak tertulis, dan menyerahkan
persoalan hubungan luar negeri sepenuhnya pada kewenangan lembaga eksekutif.
(Mochtar K, 1989; Jawahir T, 2006, 83)
Doktrin ini menganggap bahwa hukum internasional sebagian hukum Inggris
berkembang dan di kukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam
beberapakeputusan pengadilan yang terkenal.Dalam perkembangannya terjadi
perubahan bahwa doktrin itu tidak lagi di terima secara mutlak. Penilaian daya laku
doktrin dalam hukum positif yang berlaku di Inggris di bedakan antara : (1) hukum
kebiasaan intemasional (customary international law); dan (2) hukum internasional
tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian).
Mengenai hukum kebiasaan internasional dapat di katakan bahwa doktrin
inkoorporasi ini berlaku dalam dua pengecualian, yakni : (1) bahwa ketentuan
hukum kebiasaan intemasional itu tidak bertentangan dengan suatu undangundang,
baik yang lebih tua maupun yang di undangkan kemudian; dan (2) sekali ruang
lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh keputusan
mahkamah yang tertinggi, maka semua pengadilan terikat oleh keputusan itu
sekalipun kemudian terjadi perkembangan suatu ketentuan hukum kebiasaan
intemasional yang bertentangan. Dan ketentuan hukum kebiasaan tersebut hams di
terima oleh masyarakat internasional.Apa yang di uraikan tersebut tidak berarti
bahwa suatu ketentuan hukum kebiasaan intemasional begitu saja secara otomatis
akan di terapkan oleh semua pengadilan di Inggris. Pengadilan di Inggris dalam
persoalan yang menyangkut hukum intemasional terikat oleh tindakan / sikap
pemerintah (eksekutif) untuk beberapa hal misalnya yang menyangkut pernyataan
perang, perebutan (aneksasi) wilayah atau tindakan nasionalisasi.
Doktrin yang berlaku dalam hukum positif di Inggris tersebut di dasarkan
pada dua dalil, yaitu (1) dalil konstmksi hukum (rule of contruction) menyatakan
bahwa undang-undang yang di buat oleh parlemen (Acts of Pairlement) hams di
tafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum internasional; (2) dalil tentang
pembuktian suatu ketentuan hukum internasional (rule of evidence) yang berarti
hukum internasional tidak memerlukan kesaksiaan para ahli di pengadilan Inggris
untuk membuktikannya. Pengadilan di Inggris boleh menetapkan sendiri ada
tidaknya (take judicial notice) suatu ketentuan hukum intemasional yang langsung
menunjuk pada keputusan mahkamah lain, tulisan sarjana terkemuka atau sumbersumber lain sebagai bukti tentang adanya suatu ketentuan hukum intemasional.
Perjanjian intemasional yang berlaku di Inggris memerlukan persetujuan parlemen
79
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
untuk pengaturan yang berlaku dalam lingkup nasional.Misalnya, pemndangan
yang mengakibatkan perubahan dalam status atau garis bataswilayah negara, yang
mempengaruhi hak sipil di Inggris, dan menambah beban keuangan baik secara
langsung atau tidak.
Amerika Serikat
Doktrin inkoorporasi dianut oleh Amerika Serikat, yang menganggap bahwa
hukum internasional sebagai bagian dan hukum nasional adalah Amerika Serikat.
Dalam praktik di Amerika Serikat mengenai hubungan antara hukum nasional dan
hukum perjanjian internasional yang menentukan adalah ketentuan (tertulis)
konstitusi Amerika Serikat. Menurut praktik di Amerika Serikat, apabila suatu
perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan termasuk
golongan perjanjian yang "self executing", maka isi perjanjian demikian di anggap
menjadi bagian dari hukum yang berlaku di Amerika Serikat tanpa memerlukan
pengundangan melalui perundang-undangan nasional. Sebaliknya perjanjian yang
tidak termasuk golongan yang berlaku dengan sendirinya (non self executing) baru
di anggap mengikat pengadilan di Amerika Serikat setelah adanya perundangundangan yang menjadikannya berlaku sebagai hukum, dan tidak memerlukan
persetujuan badan legislatif.
Jerman
Praktik di beberapa negara Eropa, misalnya di Republik Federasi Jerman
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian
dari hukum nasional Jerman. Bahkan ketentuan demikian lebih tinggi
kedudukannya dari undang-undang (nasional) dan langsung mengakibatkan hak
dan kewajiban bagi penduduk dan wilayah Federasi Jerman Sedangkan undangundang dasar Perancis merupakan hasil dari traktat atau perjanjian internasional
lainnya yang telah disahkan atau di terima menurut undang-undang, sehingga
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang nasional, dengan
mensyaratkan bahwa berlakunya perjanjian itu sama dengan ketentuan
pemberlakuan pada pihak lain yang terikat dalam perjanjian.
Belanda
Kedudukan hukum internasional dalam Konstitusi Belanda didasarkan pada
Konstitusi tahun 1987, dengan ketentuan bahwa parlemen memiliki hak kontrol
yang kuat terhadap hukum intemasional yang akan disahkan dan berlaku di
Belanda. Sedangkan kedudukan hukum perjanjian internasional yang telah
diratifikasi secara hierarkhis sangat jelas kedudukannya dalam hukum nasional.
Dalam Konstitusi Belanda Pasal 66 disebutkan bahwa perjanjian internasional
lebih utama dari hukum nasional, dengan ketentuan bahwa hanya perjanjian yang
telah mendapat persetujuan dari the State-General dan the Council-State baik
dalam bentuk tersurat dan tersirat. Pemerintah Belanda merasa wajib untuk selalu
ikut dalam perjanjian internasional, sebagai upaya pengembangan hukum
intemasional, sehingga jika terdapat pertentangan antara perjanjian internasional
80
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
yang akan diratifikasi dengan Konstitusi negaranya, maka harus mendapat
persetujuan dulu dengan 2/3 suara dari the State-General.
Perancis
Pada Konstitusi Perancis 1958 meyatakan bahwa traktat yang telah diratifikasi
dan dipublikasikan dapat berlaku sebagaimana halnya hukum nasional. Tetapi
terdapat pembatasan dalam Konstitusi, bahwa untuk beberapa persoalan yang
menyangkut status individu, maka ratifikasi memerlukan proses legislasi parlemen,
dan memerlukan penafsiraan oleh Dewan Konstitusi, sehingga dapat digunakan
oleh pengadilan lokal. (Malcolm.N.Shaw, 1997, 124).
Indonesia
Pelaksanaan di Indonesia pada prinsipnya mengakui supremasi hukum
internasional, tetapi tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima hukum
internasional. Sikap kita terhadap hukum internasional di tentukan oleh kesadaran
akan kedudukan kita dalam masyarakat intemasional yang sedang berkembang.
Sebagai bagian dari masyarakat intemasional maka Indonesia mengakui
keberadaan Hukum Internasional, tetapi bukan berarti hukum nasional hams
tunduk pada hukum internasional. Pada praktiknya Indonesia tidak menganut teori
tranformasi, tetapi lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa,
yakni langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan
menaati semua perjanjian dan konvensi yang telah di sahkan tanpa perlu
mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan (implementing legislation).
Praktik di Indonesia terkait dengan keberadaan hukum kebiasaan intemasional,
belum menampakkan sikap yang tegas. Tetapi untuk beberapa hal, seperti hukum
kebiasaan di laut tentang hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di laut teritorial
Indonesia, maka Indonesia menerima hukum kebiasaan tersebut. Sedangkan terkait
dengan sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional, didasarkan pada
kepentingan Indonesia dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian intemasional
tersebut.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi intemasional dan
subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting
karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu
pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
undang-undang.Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa
Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu
penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan
menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960
mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.( Dina Sunyowati
dkk, 2011, 45)
81
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Pengaturan tentang perjanjian intemasional selama ini dijabarkan dalam
bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, ditujukan
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian
internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang
atau peraturan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian
internasional. Tetapi dalam praktiknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak
terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan UndangUndang yang
mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.Hal ini kemudian yang
menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No.
24 Tahun 2000. Secara umum dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi
dalam empat kategori, yaitu: (1) Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang
akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah
perjanjian internasional; (2) Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan
mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah
perjanjian; (3) Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu
pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu
perjanjian intemasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut; dan (4)
perjanjian-perjanjian intemasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku
pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu
perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap
perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan
pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat
para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili
pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian
atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat
Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden
dan Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang
menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah
berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara
atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, dilakukan
tanpa memerlukan surat kuasa. (Dina Sunyowati dkk, 2011, 46)
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang
dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.
Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang. Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau Peraturan Presiden.
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan
dengan Pearaturan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR. Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan
dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara;kedaulatan atau hak berdaulat
82
Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional
negara;hak asasi manusia dan lingkungan hidup;pembentukan kaidah hukum
baru;pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung
jawaban atau keterangan dari Pemerintah mengenai perjanjian internasional yang
telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian
internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Dengan pengaturan seperti ini, maka dapatlah Indonesia dikatakan
sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat
2 UU Nomor 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa: "Pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden."
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional Indonesia dan digunakan sebaagai tuntunan di lembaga peradilan nasional
tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang
hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda
dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus
ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundangundangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU Nomor 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan
presiden.( Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1) huruf e, menyebutkan bahwa keputusan
presiden diubah menjadi peraturan presiden). Dalam Undang-undang ratifikasi
tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional
Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara
terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional
tersebut berlaku perlu dibuat undangundang yang lebih spesifik mengenai
perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi
International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka
selanjutnya Indonesia harus membuat undangundang yang menjamin hak-hak yang
ada di covenant tersebut dalam undangundang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam
pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu
pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini
dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian
oleh para pihak.Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah
perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan,
sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan
kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan
mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian
tersebut.
83
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
6. Penutup
Sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting untuk setiap bagian
dari hukum manapun, bail( hukum nasional dan hukum internasional. Dalam
penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan hukum, maka sumber hukum
menjadi tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau
pedoman dalam menyelesaiakan persoalan tersebut. Berlakunya hukum
internasional (dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau hukum
kebiasaan internasional di Indonesia didasarkan pada keterikatan Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional dan berlakunya prinsip pacta sund servada.
Apabila perjanjian internasional (bilateral dan multilateral) telah disahkan dan
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu, hukum internasional
berlaku dan menjadi hukum nasional, sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman
dalam penyelesaian sengketa atau persoalan hukum di peradilan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Dina Sunyowati, Enny narwati, Lina Hastuti, Hukum Internasional, Buku Ajar,
Airlangga University Press, Surabaya, 2011
Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press
Limited,Great Britain, 1993.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,Binacipta, Bandung,
1989. Malcol N. Shaw, International Law, Cambridge University Press,
Cambridge, 1997 Malcolm D.Evans, International Law , New Yotk,
Oxford University Press, 2003
Thontowi, Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2006.
UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara RI
Tahun 2000 Nomor 185
UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan LNRI Nomor
5234
84
POLITIK HUKUM PELEMBAGAAN KOMISI-KOMISI NEGARA
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Bunyamin Alamsyah & Uu Nurul Huda
Hakim Tinggi PTA Jakarta
Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung
Abstrak
Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru memiliki kelebihan dan tentu
kekurangan, di satu segi pembangunan insfrastruktur dan supra struktur
berkembang secara pesat, namun perjalanan pemerintahan mengalami penurunan
fungsi dan perannya bahkan stagnan. Oleh karena itu, terjadilah reformasi tahun
1998 dalam berbagai bidang.
Sebagai jawaban menurunnya funsgi dan peran pemerintahan berdasarkan UndangUndang Dasar 1945, terdapat lah pendapat dengan pembentukan organisasi barn di
luar pemerintahan. Gagasan-gagsan tersebut diwujudkan dengan pembentukan
komisi-komisi yang memerlukan anggaran Negara yang tidak sedikit, bahkan
kadang-kadang terjadi benturan kewenangan antara komisi-komisi juga dengan
lembaga pemerintahan. Pembentukan komisi-komisi tersebut tidak lepas dari
politik hukum.
Kata Kunci : Politik Hukum Pelembagaan, Komisi Negara, Sistem ketatanegaraan
Abstract
During the 32 years of the New Order government certainly has its advantages and
disadvantages, in terms of the development of infrastructure and supra-structure
growing rapidly, but the journey has decreased function of government and its role
even stagnant. Therefore, there was the Reform of 1998 in a variety of fields.
In reply funsgi decline and the role of government under the Constitution of 1945,
there was an opinion with the formation of a new organization outside the
government. Gagsan ideas are realized with the establishment of committees that
do not require the State budget a little, sometimes a clash of authority between
committees also with government agencies. Committees should not be separated
from the politics of law.
Keywords: Institutionalization of Political Law, Commissions of the State, State
Administration System
Latar Belakang
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi adalah
reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem
konstitusi, yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses
penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Sebagai langkah awal
reformasi hukum, maka diwujudkan dalam bentuk amandemen UUD 1945 yang
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
merupakan hukum dasar dan landasan konstitusional dalam penyelenggaraan
negara.
Langkah ini diawali dari reformasi politik pada tahun 1998 yang kemudian
disusul dengan reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999 sampai dengan 2002.
Indonesia telah melakukan perubahan besar dalam bidang ketatanegaraan. Salah
satu fenomena yang mengiringi transisi menuju demokrasi adalah lahirnya
lembaga-lembaga negara independen ataupun komisi-komisi negara dengan dasar
hukum pembentukannya yang sangat beragam. Ada komisi negara yang
kewenangannya berdasarkan perintah UUD, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Undang-Undang (UU), dan bahkan ada pula lembaga atau komisi yang
kewenangannya berasal atau bersumber dari Keputusan Presiden (Kepres) dan
Peraturan Presiden (Perpres).
Kehadiran komisi-komisi negara ini pada awalnya dilatarbelakangi oleh krisis
kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Krisis kepercayaan ini
bukan saja dimonopoli oleh publik secara umum, tetapi juga oleh para elit politik.
Krisis kepercayaan ini berawal dari kegagalan lembaga-lembaga negara yang ada
dalam menjalankan fungsi-fungsi utamanya atau sebagai akibat dari meluasnya
penyimpangan fungsi lembaga-lembaga yang ada selama kurun waktu 32 tahun
Orde Baru.1
Di camping itu, hadirnya komisi-komisi negara di Indonesia didukung oleh
adanya keterbukaan yang mendorong masifikasi kepentingan dan tuntutan
masyarakat sebagai dampak modernisasi sekaligus perubahan sosial politik dalam
masyarakat yang selama ini kurang sekali diagregasikan secara memadai oleh
lembaga-lembaga negara yang tersedia. Perubahan-perubahan sosial politik
tersebut juga telah melahirkan pergeseran paradigma dalam melihat pembedaan
secara tegas ranah negara dan ranah non-negara yang menjadi skema dasar dan
konstruksi argumentasi trias politika.
Namun diakui atau pun tidak, bahwa lahirnya ide demi ide mengenai komisi
negara itu masih bersifat reaktif, sektoral, dan bahkan dadakan, belum dibungkus
dengan ide-ide yang komprehensif dan utuh. Ide pembaruan yang menyertai
pembentukan komisi-komisi negara itu pada umumnya didasarkan atas dorongan
untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik
yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala
bidang. Oleh karena itu, trend pembentukan komisi-komisi negara itu tumbuh
1
86
Di tingkat masyarakat umum, performance masa lalu yang tidak kapabel, menjadi
dasar bagi penolakan luas atas lembaga-lembaga negara yang ada. Sementara di
tingkat elit, kegagalan atau penyimpangan fungsi lembaga-lembaga negara di masa
lalu telah melahirkan kehendak yang kuat untuk menyebarkan kekuasaan lembagalembaga yang ada baik secara horizontal-lewat penciptaan lembaga-lembaga negara
independen (dibaca: komisi-komisi negara) maupun secara vertikal melalui
desentralisasi. Kehendak yang kuat ini semakin mendesak karena adanya frustasi yang
luar biasa di kalangan elit menyaksikan kecenderungan kegagalan dan penyimpangan
fungsi lembaga-lembaga negara yang terus berlanjut menuju era reformasi, dengan
harapan yang sangat kecil unyuk melakukan perubahan dari dalam lembaga negara
tersebut.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa
disertai oleh penciutan peran birokrasi yang besar.
Komisi-komisi yang demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana.
Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran negara dan menambah jumlah
personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang ada pula lembaga
yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu
Akan tetapi, karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak
atau belum juga dibubarkan, sementara para peng urusnya terus menerus digaji dari
anggaran pen dapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Menurut Cornelis Lay, kehadiran komisi-komisi negara dalam skala massif,
dapat dilihat sebagai bagian dari dua kemugkinan sekenario besar, pertama,
merupakan mekanisme penyesuaian diri atau adaptasi dalam tradisi Huntingtunion,
yang dilakukan negara dalan kerangka pengaturan trias politika. Kedua, sebaliknya,
merupakan bentuk kekalahan gagasan trias politika dihadapan perkembangan barn
dan pergeseran paradigma pemerintah.2
Setelah hampir sebelas tahun, implementasi dari perubahan UUD 1945 masih
belum menemukan bentuknya yang ideal. Sistem ketatanegaraan Indonesia masih
saja gamang dan mencari bentuk. Salah satunya, reformasi institusional
ketatanegaraan menemukan banyak masalah dan justru menumbuhkan keraguan
publik. Beberapa pihak bahkan menyuarakan agar UUD 1945 yang "asli" diadopsi
kembali, meski dengan argumentasi yang tidak terlalu jelas dan cenderung
emosional. Suara demikian kebanyakan disuarakan oleh kelompok senior yang
mempunyai keterkaitan romantisme sejarah yang kuat dengan konstitusi
kemerdekaan tersebut.
Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan, patut dipertimbankan bahwa
kehadiran komisi-komisi negara sudah mengalami inflasi lembaga. Ironisnya,
kehadiran lembaga-lembaga itu sama sekali tidak mengurangi problem
kebangsaan. Tugas dan fungsi mereka malah cenderung tumpang-tindih. Pola
hubungan antara komisi-komisi negara belum tertata dengan baik, sehingga konflik
antarlembaga pun tak terhindarkan. Justru, keberadaan komisi-komisi negara itu
sangat membebani keuangan negara. Triliunan rupiah uang negara yang bersumber
dari utang dan pajak setiap bulan dipakai untuk menggaji anggota dan membiayai
operasional lembaga-lembaga tersebut.
Menurut Denny Indrayana, ketidakjelasan komisi negara di Indonesia karena
ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensif tentang apa dan bagaimana
sebaiknya komisi negara. Akhirnya, komisi negara hanya lahir sebagai kebijakan
yang reaktif-responsif, tetapi justru tidak preventif-solutif terhadap masalah
kebangsaan. Lebih lanjut Denny menegaskan, di era 1990-an, Afrika Selatan dan
Thailand juga bertransisi dari pemerintahan otoriter. Keduanya juga mengalami
masa-masa menjamurnya komisi negara. Namun, berbeda dengan Indonesia, kedua
2
Conelis Lay, State Auxiliary, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III April-Juni
2006, hlm. 14
87
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
negara tersebut mendesain komisi negaranya secara lebih terencana dan
komprehensif. UUD Afrika Selatan mengatur secara rinci tentang fungsi dan tugas
komisi negara. Demikian pula di Thailand, komisi negara mendapat tempat
terhormat dalam konstitusinya.3
Ryas Rasyid berpendapat, kondisi seperti ini memberi kesan Indonesia berada
dalam keadaan darurat karena pelbagai institusi yang ada selama ini tidak berperan
serta berjalan efektif sesuai ketatanegaraan dan konstitusi. Kebijakan ini
menggambarkan betapa DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan
terhadap kinerja lembaga negara yang berada di bawah lembaga eksekutif. Di sisi
lain, lembaga quasi negara adalah terobosan sekaligus perwujudan
ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan negara terhadap lembaga negara yang ada.4
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpandangan bahwa pembentukan
komisi-komisi negara belum didasarkan pada konsepsi yang utuh untuk sebuah
sistem ketatanegaraan yang ideal, sehingga masih terjadi tumpang tindih
kewenangan dengan lembaga-lembaga lain. Di samping itu, kewenangan yang
diberikan kepada komisi-komisi negara sangat beragam, sehingga mengakibatkan
kewenangan yang tumpang tindih yang menyulitkan secara praktik dalam
menentukan pola hubungan antara komisi-komisi negara tersebut. Atas dasar
uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji mengenai
Politik Hukum Pelembagaan Komisi-komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia.
POLITIK HUKUM DAN KOMISI NEGARA: TINJAUAN TEORITIS
Politik Hukum
Definisi tentang politik hukum cukup banyak dijumpai dalam literature, baik
yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Imam Syaukani dan A. Ahsin
Thohari membagi definisi politik hukum yang dikemukakan beberapa pakar
menjadi dua bagian, yaitu:5
Perspektif etimologis
Politik hukum dalam perspektif ini lebih dilihat secara kebahasaan. Politik
hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, rechtspolitiek. Recht dalam
bahasa Indonesia berarti hukum, sementara kata hukum berasal dari bahasa Arab
hukm yang berarti putusan (judgement), ketetapan (provision), perintah
(command), dan pengertian lainnya. Sementara kata politiek mengandung arti
beleid, yaitu kebijakan (policy). Politik, dalam penelusuran beberapa literatur
berasal dari bahasa Yunani "politica" (politika) yang berarti hubungan yang terjadi
antar individu (anggota masyarakat) dalam suatu negara. Dalam hubungan
(interaksi) yang resiprokal tersebut, terjadi kesepakatan-kesepakatan terhadap suatu
keputusan atau kebijakan yang bersifat kolektif. Dengan demikian, secara
3
4
5
88
Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi di Negeri Kampung Maling, Kompas, 30
April 2005, hlm 5
Restorasi Meiji ala Indonesia, Kompas, 30 April 2005, hlm 5
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik' Hukum, Raj awali Pers,
Jakarta, 2008, hlm. 18
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
etimologis, politik hukum adalah kebijakankebijakan yang direncanakan dan
dilaksanakan dalam bidang hukum, termasuk pengambilan keputusan-keputusan
hukum yang bersifat kolektif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik hukum didefinisikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak6 Definisi dari
KBBI tersebut lebih melihat politik hukum sebagai blueprint terhadap sekalian
kebijakan yang akan diambil dalam rangka penegakan hukum pada segenap
dimensi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, politik hukum merupakan
patronase bagi stakeholders dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
kewenangannya di bidang hukum.
Perspektif terminologis
Definisi politik hukum secara terminologis, banyak diungkapkan beberapa
pemikir yang mendalami kajian politik hukum sebagai berikut:7
Satjipto Rahardjo: Politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara (metode) yang
akan digunakan dalam upaya mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu
dalam masyarakat (negara). Berdasar pada definisi tersebut, Satjipto Rahardjo
mengemukakn beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik
hukum, yaitu (1) tujuan apa yang ingin dicapai dengan system hukum yang ada
(diterapkan); (2) cara-cara (mekanisme) apa yang dianggap paling baik (efektif)
untuk mencapai tujuan tersebut; (3) kapan dan bagaimana hukum hams diubah; dan
(4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang dapat membantu
kita memutuskan tujuan-tujuan serta cara-cara (mekanisme) untuk mencapai tujuan
tersebut secara baik?
Padmo Wahjono: Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi (substansi) hukum yang akan dibentuk, serta bagaimana
penerapan dan penegakannya.
Soedarto: Politik hukum adalah kebijakan negara via institusi-institusi negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki (yang selaras dengan
nilai-nilai dan aspirasi masyarakat) untuk mencapai tujuan negara.
Abdul Hakim Garuda Nusantara: Politik hukum adalah kebijakan hukum (legal
policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang
dalam implementasinya meliputi :
 Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaruan
terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan
kebutuhan dengan penciptaan hukum yang dibutuhkan.
 Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum.
 Berdasarkan elaborasi ragam definisi politik hukum di atas, penulis
menyimpulkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan dasar
penyelenggaraan negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah
6
7
Ibid, hlm. 26-31.
Ibid.
89
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
berlaku yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.8
Relevansi politik hukum dengan tujuan negara dengan satu sistem hukum
nasional, setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
 Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi
politik hukum, termasuk penggalian nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai
pemandu politik hukum;
 Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya;
 Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum;
 Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;
 Pemagaran hukum denga prolegnas dan judial review, legislative review, dan
sebagainya.
Komisi Negara
Pembahasan mengenai komisi negara tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
mengenai lembaga negara. Lembaga negara bukan konsep yang secara
terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris,
untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah political institution, sedangkan
dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu,
bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ negara.9
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata "lembaga" antara lain diartikan
sebagai (1) asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, dan
tumbuhan); (2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan, ikatan (tentang mata
cincin dsb); (4) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan
keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola perilaku manusia yang mapan,
terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan.10
Menurut Kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan Saleh
Adiwinata dkk, kata'organ' diartikan sebagai berikut:
"Organ adalah kelengkapan. Alat perlenglapan adalah orang atau majelis
yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran
8
9
10
90
Menurut Frans Magnis-Suseno, tujuan negara adalah memajukan kepentingan
masyarakat dalam kerangka keadilan, kebebasan, dan solidaritas bangsa. Apabila
bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat
untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera, dimana masyarakat dapat hidup
dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah penyelenggaraan
kesejahteraan umum. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm 310-314.
Firmansyah Arifin dkk (Tim Peneliti) Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara, KRHN bekerja sama dengan MKRI didukung oleh The Asia
Foundation dan USAID, Jakarta, Juni 2005, hlm. 29.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat dalam HAS Natabaya, Lembaga (Tinggi)
Negara Menurut UUD 1945, dalam Refly Harun dkk., Menjaga Denyut Konstitusi:
Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konsttitusi Press, Jakarta, 2004, hlm 6061. Lihat juga dalam Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi
Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm 76.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
dasar wewenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum...
.......... Selanjutnya negara dan badan pemerintahan rendah mempunyai alat
perlengkapan. Mulai dari raja (Presiden) sampai pada pegawai yang rendah, para
pejabat itu dapat dianggap sebagai alat-alat perlengkapan. Akan tetapi, perkataan
ini lebih banyak dipakai untuk badan pemerintahan tinggi dan dewan
pemerintahan yang mempunyai wewenang yang diwakilkan secara teratur dan
pasti."11
Berdasarkan pengertian tersebut, istilah lembaga negara, organ negara, badan
negara, dan alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Akan
tetapi satu sama lain sebenarnya dapat dan memang perlu dibedakan, sehingga
tidak membingungkan Untuk memahami secara tepat, maka tidak ada jalan lain
kecuali mengetahui persis apa yang dimaksud dan apa kewenangan dan fungsi
yang dikaitkan dengan organisasi atau badan yang bersangkutan.
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara, biasanya para ahli
selalu mengkaitkan dengan pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the
State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen
menguraikan bahwa "Whoever fulfills a function determined by the legal order is
an organ", maksudnya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.12 Organ negara itu tidak
selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas
lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan atau bersifat
menjalankan norma (norm applying). "These function, be they a norm-creating or
11
12
Ibid.
Menurut Hans Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara
yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ
negara dalam arti yang luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum
penjahat serta terpidana yang menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan,
adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini,
organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan
tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Dikatakan lebih lanjut oleh Hans Kelsen
"An organs, in this sense, is an individual fulfilling a spesific function". Kualitas
individu itu sebagai organ ditentukan oleh fungsinya. "he is an organ because and in
so for as he performs a law creating or law-applying function". Individu tersebut
dapat disebut organ negara, karena is menjalankan fungsi yang menciptakan hukum
(law-creating) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying). Di samping
dalam arti yang luas, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara
dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ negara dalam arti material. Menurut
konsep "material" ini, seseorang disebut "organ" negara jika dia secara pribadi
menempati kedudukan hukum tertentu (... he personally has a specific legal position).
Transaksi hukum, yakni perjanjian, merupakan tindakan membuat hukum, seperti
halnya keputusan pengadilan. Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, dan juga
hakim, melakukan fungsi membuat hukum, tetapi hakim adalah sebuah organ negara.
Hakim adalah organ negara menurut pengertian yang lebih sempit ini karena dia
dipilih atau diangkat untuk menduduki fungsinya, karena dia menjalankan fungsinya
secara profesional dan karena itu menerima upah reguler, gaji, yang bersumber dari
keuangan negara. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Rusell & Rusell,
New York, 1961, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan
Negara, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 276.
91
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal
sanction.13
Berdasarkan pengertian Hans Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa konsep organ negara dan lembaga negara sangat luas
maknanya, sehingga tidak dapat dipersempit dalam hanya pada pengertian tiga
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja. Setidaknya ada lima
pengertian organ atau lembaga negara tersebut. Pertama, dalam arti yang paling
luas, (pengertian pertama) organ negara paling luas mencakup setiap individu yang
menjalankan fungsi law-creating dan law-applying; Kedua, (pengertian kedua)
organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian yang pertama, yaitu
mencakup individu yang menjalankan fungi law-creating dan law-applying dan
juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau
pemerintahan; Ketiga (pengertian ketiga) organ negara dalam arti lebih sempit,
yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law creating dan lawapplying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan.
Keempat, (dalam pengertian keempat) yang lebih sempit lagi, organ atau lembaga
negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, untuk
memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga yang berada di tingkat pusat
yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, maka lembagalembaga seperti MPR, DPR, MA, MK, dan BPK dapat pula disebut sebagai
lembaga negara yang tersendiri, yaitu lembaga negara dalam arti sempit atau
lembaga negara dalam pengertian kelima.14
Berdasarkan pengertian tersebut, maka ciri-ciri penting organ negara dalam
arti sempit ini adalah bahwa (i) organ negara itu dipilih atau diangkat untuk
menduduki jabatan atau fungsi tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai profesi
utama atau bahkan secara hukum bersifat eksklusif; dan (iii) karena fungsinya itu is
berhak untuk mendapatkan imbalan gaji dari negara.15
13
14
15
92
Ibid.
Suatu organ dapat dibentuk melalui pengangkatan, pemilihan atau pengundian.
Perbedaan antara pengangkatan dengan pemilihan terletak pada karakter dan
kedudukan hukum dari organ yang dibentuk tersebut. Suatu organ "diangkat" oleh
organ yang lebih tinggi. Suatu organ "dipilih" oleh organ negara sederajat atau
sejawat, yang terdiri atas individu-individu yang secara hukum berada di bawah organ
yang dipilih. Suatu organ lebih tinggi dari organ lain jika organ yang disebut pertama
dapat menciptakan norma-norma yang mewajibkan organ yang disebut belakangan.
Pengangkatan dan pemilihan, sebagaimana yang kita definisikan, merupakan tipe-tipe
ideal yang diantara keduanya terdapat berbagai macam tipe yang tidak mempunyai
sebutan khusus.Dikutip juga dalam Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa
Transisi Demokrasi, UH Press, Yogyakarta, 2007, hlm 79.
Di dalam Bab III Konstitusi RIS dinyatakan alat-alat perlengkapan Federal RIS terdiri
dari Presiden, Menteri-menteri, Senat, DPR, Mahkamah Agung Indonesia, dan Dewan
Pengawas Keuangan. Adapun Pasal 44 UUDS 1950 menyatakan alat-alat
perlengkapan negara terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-menteri,
Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Setjend MK, Jakarta, 2006, hlm. 40-43.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, menurut Natabaya, bila
dihubungkan dengan UUD 1945, penyusun UUD 1945 sebelum perubahan,
cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara
atau organ negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS tahun 1949 tidak
menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945
setelah perubahan keempat, melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi
dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara,
dan badan negara. Sri Soemantri menafsirkan lembaga negara berdasarkan UUD
1945 basil amandemen terdiri dari BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil
Presiden, MA, MK dan KY. Pendapat ini didasarkan pemikiran bahwa sistem
kelembagaan negara hasil amandemen UUD 1945 dibagi menjadi tiga
bidang/fungsi, pertama, dalam bidang perundang-undangan; kedua, berkaitan
dengan pengawasan; dan ketiga, berkaitan dengan pengangkatan hakim agung.16
Bintan R. Saragih, misalnya, melakukan penggolongan lembaga negara secara
fungsional dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, meliputi lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif.17 Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie,
lembaga-lembaga negara dalam arti sempit yang dapat disebut lembaga (tinggi)
negara itu menurut UUD 1945 (Pasca Amandemen) ada tujuh institusi, yaitu: (1)
Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR); (4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (5)
Presiden dan Wakil Presiden; (6) Mahkamah Agung (MA); (7) Mahkamah
Konstitusi. Ketujuh lembaga (tinggi) negara inilah yang dapat dikaitkan dengan
pengertian alat-alat perlengkapan negara yang utama (main organs) yang lazim
dipergunakan selama ini. Karena itu, agar tidak menyulitkan, Jimly mengusulkan
ketujuh lembaga ini tetap disebut lembaga tinggi negara. Adapun lembaga Komisi
Yudisial, menurut Jimly, kewenangannya langsung diberikan Undang-Undang
Dasar tetapi tidak tepat disebut sebagai lembaga (tinggi) negara. Sebab fungsinya
hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama kekuasaan
kehakiman.18
Berkaitan dengan keberadaan komisi-komisi negara yang merupakan akibat
gelombang baru demokrasi ini, di sejumlah negara, khususnya yang mengalami
proses transisi demokrasi dari otoritarian ke demokratis, muncul organ-organ
kekuasaan barn, baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies),
maupun yang sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies). Kalaupun bukan
merupakan bentuk kekalahan gagasan trias politica, terhadap perkembangan baru
16
17
18
Ibid.
Bintan R. Saragih, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur Pemerintahan
Terkini, makalah disampaikan pada diskusi terbatas Posisi dan Peran Komisi-komisi
Negara dalam Sistem Pemerintahan yang Berubah, KRHN, Jakarta, 1 Oktober 2004.
Dari pembagian tersebut, menurutnya, semua lembaga negara lain yang diatur dalam
UUD 1945 adalah lembaga yang memberikan dukungan kepada ketiga pembagian
tersebut dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan mereka. Lihat dalam Firmansyah
Arifin dkk (Tim Peneliti) Lembaga Negara ... Op.Cit., hlm 107, dan lihat juga dalam
Ni'matul Huda, Lembaga Negara … Op. Cit., hlm 82.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi.... op.cit., hlm. 42. Dikutip juga
dalam Ni'matul Huda, Lembaga Negara… ibid, hlm. 82.
93
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
dan pergeseran paradigma pemerintahan, dari perspektif Huntingtonian, kelahiran
organ-organ kekuasaan barn, dapat dibaca sebagai sebuah bentuk penyesuain diri
negara, untuk mempertahankan stabilitas sistem dalam kerangka pengaturan trias
politica. Untuk menuju suatu kondisi tertib politik.19
Terminologi lembaga independen pertama kali diperkenalkan oleh Sir
Douglas Hague dari Inggris dengan istilah quasi-autonomous non-governmental
organization (QUANGO). Istilah QUANGO ini dipergunakan untuk
menggambarkan lembaga yang terbentuk dari kecenderungan pemerintah yang
menyerahkan kewenangannya untuk menetapkan atau membentuk badan sendiri
(the agencies produced by the growing trend of government power to appointed or
self-appointed bodies). Sedangkan makna lain QUANGO menurut Pemerintah
Inggris adalah suatu badan yang mempunyai peran di dalam proses pemerintah
nasional, tetapi bukan departemen pemerintah atau tidak merupakan bagian dari
departemen pemerintah, dan yang beroperasi lebih luas atau lebih kecil dari
Menteri suatu Departemen (a body has a role in the processes of national
government, but is not government department or part of one, and which
accordingly operates to a greater or lesser extent at arm's length from Ministers).20
Lembaga-lembaga semacam ini ada yang bersifat independen dan semi atau
quasi independen sehingga biasa disebut dengan istilah independent and quasi
independent agencies, committees, dan commissions.
Secara teoritis, lembaga independen (selanjutnya penulis menyebut komisi
negara) bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara barn yang
pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan
dibiayai oleh negara tanpa hams menjadi pegawai negara. Gagasan komisi negara
sebenamya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika
berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, is diawasi
oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal maupun horizontal.
Munculnya komisi negara dimaksudkan untuk menjawab tuntutan masyarakat atas
terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan
melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya komisi negara adalah
terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administrative menjadi bagian
dari tugas komisi negara. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder
mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang
berfungsi membuat aturan serta melakukan supervise terhadap aktivitas hubungan
yang bersifat privat; dan (2) advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau
nasihat kepada pemerintah.21
19
20
21
94
Lihat Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, New Haven and
London, Yale University Press, 1968.
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi..., Op. Cit., hlm 10-20
Ibid.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative
Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya komisi
negara dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut:
 Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang
bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
 Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat nonpolitik.
 Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen,
seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.
 Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat
teknis.
 Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute
resolution/alternatif penyelesaian sengketa).22
Lembaga-lembaga yang berdiri dengan latar belakang di atas pun memiliki
bentuk yang bervariasi. Gerry Stoker, dalam analisisnya mengenai perkembangan
komisi negara atau yang is sebut sebagai non-elected agency di Inggris, membagi
bentuk lembaga semacam ini menjadi beberapa jenis. Pembagian tersebut
didasarkan pada dua hal, yaitu (1) berasal dari mana sumber daya untuk
mengadakan dan melaksanakan lembaga itu; dan (2) bagaimana cara pengisian
keanggotaan serta berasal dari mana anggota lembaga itu.23 Atas kedua dasar
tersebut, Stoker menyebutkan enam jenis lembaga sebagai berikut:
 Central government's 'arm's-length' agency, yaitu lembaga yang
penyediaansumber dayanya terutama berasal dari pemerintah pusat dan
keanggotaannya diisi atas perintah pemerintah pusat.
 Local authority implementation agency, yaitu lembaga yang penyediaan
sumber dayanya terutama melalui pemerintah daerah/lokal dan pengisian
keanggotaannya menjadi wewenang pemerintah daerah/lokal.
 Public/private partnership organisation, merupakan lembaga yang dibentuk
atas partisipasi badan-badan lain yang bersifat publik maupun privat.
Anggotanya adalah individu-individu yang berasal dari badan partisipan.
 User organisation, yaitu lembaga yang sumber dananya berasal dari sektor
publik dan komposisi anggotanya didominasi oleh para pengguna jasa.
 Inter-governmental forum, merupakan lembaga yang mewakili badan-badan di
sektor publik dan pendanaannya berasal dari badan-badan yang berpartisipasi
tersebut.
 Joint boards, yaitu lembaga yang didirikan oleh pemerintah-pemerintah
daerah/lokal yang ingin berpartisipasi.
22
23
John Alder, Constitutional & Administrative Law, Macmillan Professional Masters,
London, 1989, hal. 232-233.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
2006, hlm…
95
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Independensi lembaga-komisi negara bervariasi antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya, begitu pula hubungan kedudukan antarberbagai lembaga tersebut,
semua bergantung kepada dasar dan proses pembentukan, ataupun tingkat wilayah
yang menjadi ruang lingkup kerjanya, kebanyakan bersifat nasional, namun ada
pula yang terbatas pada daerah tertentu atau lokal. Sebagian besar lembaga
semacam ini terlepas dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun
beberapa di antaranya merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif seperti halnya di
Inggris, sebagaimana diuraikan Alder berikut ini:
Some ad hoc bodies are part of the Crown and therefore have the various
Crown immunities and also fall within the Official Secrets Acts. This depends
firstly upon the terms of any relevant statute and failing that upon the extent to
which the Crown can legally control the day-to-day activities of the body.24
Bagaimanapun bentuk dan derajat independensinya, pada hakikatnya, komisi
negara bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyelengaraan negara dengan
dibentuk dan diatur berdasarkan kebutuhan, apabila sudah tidak dibutuhkan maka
tidak perlu lagi diadakan. Dengan demikian, sifat lembaga seperti ini bukan
sementara atau ad-hoc melainkan permanen sepanjang dibutuhkan.
Menurut Michael R. Asimov, komisi negara atau disebutnya sebagai
administrative agencies, memiliki pengertian sebagai units of government created
by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most
administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies
are independent.25 Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah bersifat biasa atau
independen, Asimov melihatnya dari segi bagaimana mekanisme pengangkatan
dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian
anggota komisi negara independen, hanya dapat dilakukan berdasarkan sebabsebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi bersangkutan.
Sedangkan anggota komisi negara biasa, dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh
presiden.26
Senada dengan Asimov, dikemukakan oleh William F. Fox, Jr., bahwa suatu
komisi negara adalah bersifat independen bila dinyatakan secara tegas di dalam
undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress. Atau, jiakalau
Presiden dibatasi untuk tidak bisa secara bebas memutuskan (discretionary
decision) pemberhentian pimpinan komisi.27 Sedangkan William F. Funk dan
Richad H. Seamon memberikan penjelasan, bahwa sifat independen dari suatu
komisi terefleksikan sedikitnya dari tiga hal: pertama, kepemimpinan yang bersifat
kolektif, bukan hanya dipimpin oleh seorang pimpinan; kedua, kepemimpinan
tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan ketiga, masa
24
25
26
27
96
John Alder, Op.Cit. hlm 232-233.
Michael R. Asimov, Administrative Law, Chicago, The BarBri Group, 2002, hlm. 2.
Ibid., hlm. 20.
William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law, Danvers, Lexis Publishing,
2000, hlm. 56.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian
(staggered terms).28
LATAR BELAKANG LAHIRNYA KOMISI-KOMISI NEGARA
Menurut Said Amir Arjomand, kehadiran komisi-komisi negara atau dalam
istilahnya sebagai administrative organ, telah mendominasi proses pembangunan
hukum (legal development) di era modem ini, khusunya dalam reformasi konstusi
di beberapa negara yang mengalami proses transisi dari otoritarian ke demokrasi.
Dominasi ini hampir terjadi di seluruh negara, mengingat begitu kompleksnya
kebutuhan masyarakat modern. Disebutkan oleh Arjomand salah satu
kecenderungan reformasi konstitusi di berbagai negara baru-baru ini adalah:
"The modern stage of political reconstruction by rational design in the age of
democratic revolutions in the late 18th century, when constitution-making itself
was introduced as the procedure for the elaboration of a rational design for
political reconstruction, alongside parliamentary law-making as an expression of
national sovereignty and the principle of separation of powers; The age of
modernization in the second half of the 19th and early 20th centuries,
when(authoritarian) constitutions served as instruments of state-building and
rationalization of the centralized bureaucratic Rechtsstaat, and law-making by
parliaments and administrative organs dominated legal development ".29
Pernyataan Arjomand di atas diperkuat oleh Fabrice E. Lehoucq, yang
menyebutkan bahwa sesungguhnya konsolidasi demokrasi, yang menekan
kelompok status quo, bersamaan dengan hadirnya gelombang ketiga demokratisasi,
dengan cara-cara institusionalisasi politik barn, dengan pembentukan sejumlah
aturan main, adalah sarana untuk pembangunan ekonomi yang pro-pasar. Dalam
studinya di Amerika Latin, Lehoucq menyatakan, pembentukan komisi pemilihan
umum—electoral comission—yang mengisolasi diri dari keterlibatan eksekutif dan
legislative telah berkontribusi besar dalam pennguatan demokrasi konstitusional.
Keberhasilan Amerika Latin dalam melakukan inovasi pembentukan institusi barn,
yang bebas dari intervensi eksekutif dan legislative iniliah yang kemudian
dijadikan rujukan dan diadopsi oleh banyak negara di dunia.30
Di Amerika Serikat sendiri, kelahiran organ kekuasaan baru, yang kemudian
dikenal dengan istilah „komisi negara' atau administrative agencies,
sesungghuhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate Commerce
Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada 1887. Kemudian
dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Amerika Serikat
menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus mengatur dunia bisnis, untuk
mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha. Maka lahirlah apa yang dinamakan
dengan Federal Trade Commision. Dalam periode berikutnya, di AS bermunculan
28
29
30
William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and
Explanations, New York, Aspen Publishers, Inc, 2001, hlm. 23.
Idem.
Fabrice E. Lehoucq, Can Parties Police Themselves? Electoral Governance and
Democratization, dalam Journal International Political Science Review, 2002, Vol.
23, No. 1, hlm. 29-46.
97
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
sejumlah komisi negara independen (independent regulatory agencies). Hingga
saat ini, setidaknya tercatat 30 komisi negara independen yang dimiliki oleh
Amerika Serikat. Menurut catatan Nixon's Independent Regulatory Commissioner
Database (2005), beberapa komisi negara independen di Amerika Serikat antara
lain: the Consumer Product Safety Commission, Equal Employment Opportunity
Commission, Federal Communications Commission, Federal Election
Commission, Federal Energy Regulatory Commission, Federal Reserve Board of
Governors, Federal Trade Commission, Interstate Commerce Commission,
National Labor Relations Board, National Transportation Safety Board, Nuclear
Regulatory Commission, and Securities and Exchange Commission.31
Serupa dengan Amerika Serikat, kelahiran komisi-komisi negara di Inggris,
bahkan sudah dimulai semenjak masa Revolusi Industri. Kemunculan badan-badan
khusus di luar organ kekuasaan pokok, merupakan jawaban atas meningkatnya
kompleksitas permasalahan masyarakat Inggris. Sebagai imbas dari perubahan
struktur dan konfigurasi sosial dan politik, pasca-revolusi industri. Untuk
memenuhi kebutuhan itu di Inggris didirikan Countryside Commission, The Office
of Fair Tradding, The Commission for Racial Equality, The Helath and Safety
Commision, dan sejumlah badan lainnya.32
Menurut Jimly, banyaknya tumbuh komisi-komisi yang bersifat independen
merupakan gejala yang mendunia, dalam arti bukan hanya di Indonesia. Seperti
dalam perkembangan di Inggris dan di Amerika Serikat, komisi-komisi itu masih
berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada juga yang bersifat independen
dan berada di luar wilayah kekuasaan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Pada
umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh
kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintah dinilai tidak dapat lagi
memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang
semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien dan efektif.33
Untuk kasus di Indonesia, menurut Firmansyah Arifin, ada beberapa hal yang
menjadi inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan komisi-komisi negara
bare yang bersifat independen, di antaranya sebagai berikut :
 Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada, akibat asumsi dan
bukti mengenai korupsi yag sistemik dan mengakar dan sulit untuk di
berantas.
 Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada, karena satu atau
lain halnya tunduk di atas pengaruh satu kekuatan negara atau kekuasaan
lain.
 Ketidakmampuan lembaga-lembaga yang telah ada untuk tugas-tugas yang
urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi, karena persoalan birokrasi
dan KKN.
31
32
33
98
Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest" of
Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number
4, December 2007, hlm 645-654.
Jhon Alder, Constituional and Administrative Law, Macmillan Education LTD,
London, 1989, hhn 232-233
Dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 59-60.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara


Pengaruh global, dengan pembentukan lembaga dinamakan auxiliary state
agence atau wathchdog institutions di banyak negara yang berada dalam
situasi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan, bahkan suatu
keharusan sebagai alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin
menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi.
Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat
untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai
satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada di bawah
kekuasaan yang otoriter.34
POLITIK HUKUM PELEMBAGAAN KOMISI-KOMISI NEGARA
Secara historis, embrional pelembagaan/pembentukan state auxiliary agencies
di Indonesia sebenarnya sudah dimulai semenjak pembentukan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pada 1993. Pada mulanya, Komnas HAM
hanyalah merupakan perpanjangan dari kekuasaan eksekutif, sebagaimana terlihat
dari dasar pembentukannya yang menggunakan Keputusan Presiden (Keppres),35
dan seluruh anggotanya pun diangkat oleh Presiden berkuasa saat itu, Soeharto.
Awalnya, komisi bentukan Soeharto ini diragukan independensi dan
kredibilitasnya. Namun melihat sepak terjangnya dalam menangani dan
mengungkap sejumlah kasus pelanggran HAM, serta kemampuanya membuka
relasi dengan unsur-unsur masyarakat sipil, menjadikan komisi ini cukup dipercaya
masyarakat.36 Catatan lain bagi Komnas HAM adalah, meski di awal pendiriannya
lembaga ini rapuh secara politik maupun pijakan konstitusionalnya. Akan tetapi,
institusionalisasi Komnas HAM sebagai sebuah lembaga negara baru, di luar organ
kekuasaan pokok, setidaknya telah menjadi pondasi dan pilot project bagai
pembentukan lembaga-lembaga serupa, pada kurun waktu sesudahnya.37
Secara massif pelembagaan komisi-komisi negara baru terjadi pasca-reformasi
1998, Komisi Negara bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak jarang
diantara komisi-komisi tersebut saling beririsan antara satu dengan yang lainnya,
dalam soal pelaksanaan kewenangan atau mandatnya saling menegasikan satu
sama lain. Hingga tahun 2009, Indonesia sedikitnya telah memiliki 14 komisi
negara independen, yang bukan perpanjangan dari salah satu organ kekuasaan
tertentu. Berikut adalah ke-delapan belas komisi tersebut:
NO
1
34
35
36
37
KOMISI
Komisi Yudisial
DASAR HUKUM
Pasal 24B UUD 1945 &
Undang-undang Nomor
22/2004
Firmansyah Arifin dkk, Op.Cit. , hlm. 107.
Komisi Nasional HAM pertama kali didirikan berdasar pada Keputusan Presiden No.
50 Tahun 1993.
Abdul Hakim Garuda Nusantara., KOMNAS HAM: Sub-sistem dalam Sistem
Perlindungan HAM, makalah tidak dipublikasikan, Jakarta, Oktober 2004.
Cornelis Lay, Op. Cit., hlm.5.
99
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
2
Komisi Pemilihan Umum
Hak
ISSN : 2303-3274
Pasal 22E UUD 1945 &
Undang-undang Nomor
2007
22/
3
Komisi Nasional
Asasi Manusia
4
Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha
UU Nomor 5/1999
5
Komisi
Nasional
Keppres. Nomor 44/2000 —
Undang-undang
Nomor
37/2008
6
Komisi
Indonesia
Penyiaran
UU Nomor 32/2002
7
Komisi Pemberantasan
Korupsi
UU Nomor 30/2002
8
Komisi
Anak
UU Nomor 23/2002
Keppres. Nomor 77/2003
9
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
10
Dewan Pers
UU Nomor 27/2004 (Undangundang ini dibatalkan MK
secara keseluruhan)
UU Nomor 40/1999
11
Dewan Pendidikan
UU Nomor 20/2003
12
Lembaga Perlindungan
Saksi &Korban
UU Nomor 13/2006
13
Komisi Informasi Publik
UU Nomor 14/2008
14
Badan Pengawas Pemilu
UU Nomor 22/2007
Ombudsman
Perlindungan
Keppres 48/2001- UU Nomor
39/1999
&
Sumber: diformulasikan dari Firmansyah Arifin, dkk (2005), Kementerian Negara
PAN, dan Naskah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Kelompok
DPD di MPR, (2008).
Selain ke-empat belas komisi negara independen di atas, Indonesia juga
memiliki sedikitnya 41 komisi negara atau badan-badan khusus, yang merupakan
cabang dari kekuasaan eksekutif (executive branch agencies). Lembaga-lembaga
ini, komisioner atau anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta
memberikan pertanggung-jawaban kelembagaan kepada Presiden.
Lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
100
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
NO
KOMISI
DASAR HUKUM
1
Komisi Hukum Nasional
Keppres Nomor 15/2000
2
Komisi Kepolisian
UU Nomor 2/2002
3
Komisi Kejaksaan
UU Nomor 16/2004
Perpres. Nomor 18/2005
4
Dewan
Strategis
5
Dewan Riset Nasional
Keppres. Nomor 94/1999
6
Dewan Buku Nasional
Keppres. Nomor 110/1999
7
Dewan Maritim Indonesia
Keppres. Nomor 161/1999
8
Dewan Ekonomi Nasional
Keppres. Nomor 144/1999
9
Dewan Pengembangan Usaha
Nasional
Komite Nasional Keselamatan
Transportasi
Keppres No. 165/1999
11
Komite Antar Departemen
Bidang Kehutanan
Keppres. Nomor 80/2000
12
Komite Akreditasi Nasional
Keppres. Nomor 78/2001
13
Komite Penilaian Independen
Keppres. Nomor 99/1999
14
Komite Olahraga
Indonesia
Nasional
Keppres. Nomor 72/2001
15
Komite
Kebijakan
Keuangan
Sektor
Keppres. Nomor 89/1999
16
Komite Standar Nasional Satuan
Ukuran
PP Nomor 102/2000
17
Komite
Aksi
Nasional
Penghapusan
Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak
Komisi
Nasional
Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan
Keppres. Nomor 12/2000
19
Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan
UU Nomor 25/2003 Keppres.
Nomor 81/2003
20.
Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan
Keppres. Nomor 54/2005
10
18
Pembina
Industri
Keppres. Nomor 40/1999
UU Nomor 41/1999 Keppres.
Nomor 105/1999
Keppres. Nomor 181/1998
Perpres. Nomor 65/2005
101
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
102
ISSN : 2303-3274
21
Dewan Gula Nasional
Keppres. Nomor 23/2003
22
Dewan Ketahanan Pangan
Keppres. Nomor 132/2001
23
Dewan Pengembangan Kawasan
Timur Indonesia
Keppres. Nomor 44/2002
24
Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah
Keppres. Nomor 151/2000
25
Dewan Pertahanan Nasional
UU Nomor 3/2003
26
Badan Narkotika Nasional
Keppres. Nomor 17/2002
27
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana
UU Nomor 24/2007
28
Badan Pengembangan Karet
Keppres. Nomor 150/2002
29
Bakor Pengembangan TKI
Keppres. Nomor 29/1999
30
Badan Pengelola Gelora Bung
Karno
Keppres. Nomor 72/1999
31
Badan Pengelola
Kemayoran
Keppres. Nomor 73/1999
32
BRR Prop.NAD dan Kep. Nias
Sum-utara
Perpu. Nomor 2/2005
33
Badan
Profesi
PP Nomor 23/2004
34
Badan Pengatur Jalan Tol
PP Nomor 15/2005
35
PP Nomor 16/2005
36
Badan
Pendukung
Pengembangan
Sist
em
Penyediaan Air Minum
Lembaga
Koordinasi
dan
Pengendalian
Pening-katan
Kesejahteraan
Sosial
Penyandang Cacat
37
Lembaga Sensor Film
PP Nomor. 8/1994
Nasional
Kawasan
Sertifikasi
Keppres. Nomor 83/1999
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
38
Korsil Kedokteran Indonesia
UU Nomor. 29/2004
39
Badan Pengelola Puspiptek
Keppres. Nomor. 43/1976
40
Badan
Pengembangan
Kehidupan Bernegara
Keppres. Nomor. 85/1999
41
Dewan
Penerbangan
Antariksa Nasional
dan
Keppres. Nomor. 132/1998
42
Lembaga Pemerintah
Departemen
Non-
Keppres . Nomor 3/2002 jo.
Keppres. Nomor103/2001
Sumber : diformulasikan dari Firmansyah Arifin, dkk (2005), Kementerian
Negara PAN, dan Naskah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
Kelompok DPD di MPR, (2008).
Membanjirnya komisi-komisi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
kekinian menimbulkan problem ketatanegaraan. Setidaknya telah memunculkan
beragam pertanyaan, mengapa komisi-komisi tersebut kemunculannya bisa
sedemikian massif? Pertama, mungkinkah jamaknya komisi-komisi negara ini
merupakan bentuk kelatahan kita dalam mengelola transisi demokrasi? Sehingga
setiap pembuatan undang-undang yang mengatur kepentingan khalayak umum,
selalu mengamanatkan pembentukan organ-organ negara barn, untuk melakukan
pengurusan kepentingan khalayak tersebut; Kedua, apakah kemunculan
beranekaragam komisi ini merupakan suatau keharusan dalam menghadapi era
demokrasi? Sebagai jawaban atas meningkatnya kompleksitas persolaan
masyarakat modem, yang mengakibatkan lumpuh layunya organ-organ pokok
negara; Ketiga, apakah kelahiran sejumlah institusi negara di luar organ pokok
kekuasaan ini, sekedar menjadi instrument untuk berbagi kuasa? Seperti diketahui,
pasca-reformasi banyak elemen masyarakat sipil yang turut serta merangsek masuk
dalam kursi kekuasaan, sehingga diperlukan wadah yang luas untuk menampung
seluruh elemen tersebut; Keempat, mungkinkah ada skenario besar di luar negara
yang mendesain sedemikian rupa, pembentukan organ-organ negara di luar organ
pokok kekuasan? Selama ini muncul sinyalemen, bahwa ada campur tangan kaum
`fundamentalis pasar neo-liberalis' untuk mengamputasi fungsi-fungsi pokok
negara, melalui pelembagaan institusi-institusi barn negara. Langkah semacam ini
sebagai sebuah upaya untuk menumbuhkan public distrust pada negara, sehingga
pasar lebih mendapatkan tempat di masyarakat; Kelima, atau sebenarnya, kelahiran
institusi-institusi barn tersebut, sekedar luapan ungkapan kekecewaan dan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara yang mapan sejak
lama? Sebagai jawabannya, maka perlu dibentuk lembaga-lembaga negara bare
untuk menggantikannya, atau paling tidak memberikan topangan.
Berdasarkan ragam pertanyaan atas menjamurnya komisi-komisi negara
negara, Cornelis Lay berpandangan bahwa kelahiran komisi-komisi negara,
setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal berikut: pertama, keresahan negara
terhadap ketidakpastian dan dan kealpaan perlindungan individu dan kelompok
103
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
marginal, dari despotisme pejabat publik, mauupun warganegara yang lain; kedua,
mencerminkan sentralitas negara sebagai otoritas publik, dengan sebuah tanggung
jawab publik yang besar; ketiga, merupakan sebuah produk evolusi yang sifatnya
incremental dan komplementer, terhadap organ-organ kekuasaan yang hadir
terdahulu, yang merupakan hasil pemilihan gagasan trias politica.38
Menurut hemat penulis, bahwa dalam konteks seperti ini, maka politik hukum
di bidang ketatanegaraan, bukan saja hams merumuskan landasan falsafah negara
di dalam Pembukaan UUD 1945 ke dalam undang-undang, namun penafsiran
terhadap norma-norma konstitusi hasil amandemen juga telah menimbulkan
problema tersendiri, sebelum norma-norma dasar itu ditransformasikan ke dalam
norma undang-undang. Politik hukum di bidang ketatanegaraan memerlukan
pemikiran yang sungguh-sungguh terutama dalam mentransformasikan landasan
falsafah negara kita sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, dan
menelaah dengan sungguh-sungguh pula kerumitan pengaturan baik berkaitan
dengan kewenangan, maupun hubungan antar komisi-komisi negara yang
dihasilkan dari amandeman UUD 1945, Undang-Undang dan Peraturan di bawah
Undang-Undang.
Karena itu, perlu dilakukan restrukturisasi dan penyelarasan terhadap komisikomisi negara, agar masing-masing komisi negara mampu berjalan secara sinergis,
dalam pelaksanaan tugasnya. Penyelarasan mesti dilakukan baik di tingkat
kewenangan maupun pengaturannya. Sekiranya komisi-komisi negara mana saja
yang keberadaannya dapat ditiadakan, untuk kemudian mengefektifkan
kewenangan dan kinreja komisi yang lain. Selanjutnya, komisi negara yang
memiliki urgensi bagi pemenuhan hak-hak masyarakat, tetapi masih lemah dalam
soal kewenangan, perlu diperkuat ruang lingkup dan cakupan kerjanya. Di tingkat
pengaturan, perlu didesain ulang komisi-komisi negara mana saja yang
pengaturannya perlu dicantumkan di konstitusi, undang-undang, atau cukup
menggunakan Keppres. Pemilahan ini didasarkan pada tingkat signifikansi dan
kebutuhan masyarakat akan eksistensi komisi-komisi negara tersebut.
Melalui restrukturisasi, harmonisasi dan penyelarasan, diharapkan kinerja
komisi-komisi negara, dapat memberikan pelayanan terbaik bagi pemenuhan hakhak konstitusional warganegara. Tidak sekedar menghabiskan anggaran negara
yang sudah minim jumlahnya, dengan eksistensi yang antara-ada dan tiada.
Untuk melakukan restrukturisasi komisi-komisi negara, perlu segera disusun
blueprint lembaga negara, khususnya bagi institusi-instusi yang aturannya berada
di luar konstitusi. Di dalam blueprint tersebut perlu ditegaskan bahwa komisi
negara yang sebaiknya dipertahankan hanyalah komisi-komisi yang mempertegas
dan memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi-komisi negara yang
mendorong dan menjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan berintegritas,
bersih dari praktik mafia peradilan; (2) perlindungan hak asasi manusia; (3)
kebebasan pers; dan (4) pemilihan umum yang jujur dan adil.
Di samping itu, acuan kedua bagi restrukturisasi komisi negara adalah
urgensinya untuk menguatkan konsep separation of powers dalam kehidupan
38
104
Ibid., hlm. 11-12.
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
bernegara. Untuk itu, diperlukan independent regulatory agencies untuk
melengkapi institusi ketatanegaraan modem di Indonesia, dengan model relasi
saling imbang-saling kontrol yang lebih lengkap di antara lembaga-lembaga negara
(state organs).
Berdasarkan empat parameter syarat dasar negara hukum serta konsep
pemisahan kekuasaan modem tersebut, Deny Indrayana mengusulkan komisi
negara yang patut dipertahankan adalah:
 Komisi Yudisial; namun dengan perluasan tidak hanya kepada hakim tetapi
kepada semua aparatur hukum. KY tidak hanya mengawasi hakim namun juga
polisi dan jaksa. Dengan demikian, Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan
tidak diperlukan lagi, tetapi hanya akan menjadi bagian dari KY. Ada baiknya,
KY dijadikan institusi yang fokus bagi administrasi peradilan. Masalah
rekruitmen, promosi, mutasi hingga pemberian sanksi bagi para aparat hukum
adalah wilayah kerja KY yang patut dipertimbangkan.
 Komisi Ombudsman; lembaga ini diperlukan untuk mengawal agenda good
governance.
 Komisi Pemberantasan Korupsi; lembaga ini penting untuk terus menjaga
Indonesia yang bebas dari korupsi melalui upaya pencegahan dan penindakan
hukum.
 Komisi Nasional HAM; yang mempunyai divisi kerja perlindungan anak dan
perempuan. Artinya Komisi Perlindungan Anak serta Komnas HAM
Perempuan sebaiknya tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.
 Komisi Pers Indonesia; lembaga ini merupakan peleburan Dewan Pers
Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia yang penting untuk menjaga
prinsip kebebasan pers yang.
 Komisi Pemilihan Umum; lembaga ini strategis untuk mengawal pemilihan
umum yang luber dan jurdil bagi hadimya sistem ketatanegaraan yang
akuntabel.
Di akhir tulisan ini, untuk mengembangkan politik hukum pelembagaan
komisi-komisi negara diperlukan terobosan hukum dan politik untuk penguatan
komisi-komisi negara melalui konstitusi, agar memiliki dasar hukum yang kuat
sebagai bagian dari penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip checks and
balances. Penguatan itu penting, misalnya, sebagai bentuk komitmen tegas
pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Komnas HAM dinaikkan status dasar hukumnya ke tingkat konstitusi.
Jaminan konstitusional itu tidak hanya menambah amunisi kehidupan bagi kedua
komisi negara itu, tetapi sekaligus menjadi signal yang kuat bagi peperangan
melawan korupsi dan para penjahat HAM di tanah air. Peningkatan derajat
beberapa komisi menjadi organ konstitusi juga strategis untuk mengantisipasi
kemungkinan konflik. Dengan posisi sebagai organ konstitusi, komisi negara
independen akan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara di hadapan meja merah
Mahkamah Konstitusi.
105
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Di samping menguatkan komisi-komisi negara, kiranya perlu juga untuk
melikuidasi komisi-komisi negara lain di luar penegasan konsep negara hukum dan
fungsi transitional justice. Likuidasi ini perlu dilakukan karena alasan strategis,
teknis dan politis. Secara strategis tidak jarang keberadaan suatu komisi negara
hanya menambah panjang rantai birokrasi dan tumpang tindih dengan fungsifungsi lembaga negara yang lain. Secara teknis, banyaknya komisi negara yang
tumpang tindih tersebut melahirkan sistem pemerintahan yang tidak efisien dan
cenderung membuat defisit keuangan negara. Secara politis, banyaknya komisi
negara cenderung hanya menjadi sarana antar partai politik untuk berbagi kursi
kekuasaan bahkan meski seringkali mengorbankan efisiensi pemerintahan negara.
Oleh karena itu, atas dasar pertimbangan tersebut, maka likuidasi komisi-komisi
negara merupakan kebutuhan yang mendesak dengan tetap memperhatikan urgensi
dan konsepsi yang benar-benar komperehensif dan kajian yang mendalam,
sehingga likuidasi tersebut tidak menimbulkan problema hukum di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta,
1988.
Bintan R. Saragih, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur Pemerintahan
Terkini, Makalah, Jakarta, 1 Oktober 2004.
Conelis Lay, State Auxiliary, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun Ili April-Juni
2006.
Denny Inrayana, Negara Hukum Pasca Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi vs
Korupsi, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Vol. 1 No. 1,
Juli 2004.
_____ , Merevitalisasi Komisi di Negeri Kampung Maling, Kompas, 30 April
2005.
Fabrice E. Lehoucq, Can Parties Police Themselves? Electoral Governance and
Democratization, dalam Journal International Political Science Review,
Vol. 23, No. 1, 2002.
Firmansyah Arifm dkk (Tim Peneliti) Lembaga Negara dan Sengketa
Kewenangan Antarlembaga Negara, KRHN bekerja sama dengan MKRI
didukung oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta, Juni 2005.
Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994,
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitiusi RI, Jakarta, 2006.
Jhon Alder, Constituional and Administrative Law, Macmillan Education LTD,
London, 1989.
Michael R. Asimov, Administrative Law, The BarBri Group, Chicago, 2002.
Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,
Yogyakarta, 2007.
O. Hood Philips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and
106
Politik Hukum Pelembagaan Komisi Komisi Negara
Administrative Law, Sweet and Maxwell, London, 2001.
Refly Harun dick., Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, Konsttitusi Press, Jakarta, 2004.
Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest"
of Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume
60 Number 4, December 2007.
Said Amir Arjomand, Law, Political Reconstruction and Constitutional Politics,
dalam Journal International Sociology, edisi March 2003, Vol 18.
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, Yale University Press,
New Haven and London, 1968.
William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law, Lexis Publishing,
Danvers, 2000.
107
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
108
ISSN : 2303-3274
QUO VADIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
MELALUI RESTITUSI
(Perspektif Filsafat, Teori, Norma dan Praktek Penerapannya)
Budi Suhariyanto
Puslitbang Kumdil MA-RI
Abstrak
Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang
berorientasi pada pemulihan korban, dimana pelaku melalui pertanggungjawaban
pidananya mengganti kerugian korban. Secara normatif, pengaturan restitusi dalam
hukum positif masih belum tersinergikan dengan baik. Implikasinya, dalam hal
penerapannya mengalami kendala berupa ketidaksingkronan struktur hukum.
Dalam perspektif teori sistem peradilan pidana terpadu, ketidakharmonisan
substansi hukum dan ketidaksingkronan struktur hukum ini hares segera dibenahi.
Pembenahan fundamental dilakukan melalui Re-Filosofi pemidanaan dengan
menjadikan restitusi sebagai pidana pokok dan memberikan posisi barn bagi
korban dalam sistem peradilan pidana mendatang berdasarkan filsafat
restoratifjustice.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Korban, Restitusi.
Abstract
Restitution is a form of legal protection form for victims of victim recovery
oriented. Normatively, on the positive law, restitution has not been cooperated well
yet. Consequenly, the application of the restitution had a problem, specifically
unsynchronized legal structure. Under the integrated criminal justice system
perspective, legal structure and legal substance disharmony need to be
reorganized (regulated). A fundamental arrangement will be done by rephylosophy some punishment, than make restitution become a prinsipal
(main)criminal and giving a new position for the victim to the later integrated
criminal justice system based on the phylosophy of restoratifjustice.
Key words: legal protection, victims, restitution.
A. PENDAHULUAN
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa eksistensi kejahatan pada suatu
masyarakat selalu melahirkan Korban, baik yang berwujud Korban langsung
(individu yang terlanggar hak-haknya oleh pelaku kejahatan) maupun Korban tidak
langsung (terganggunya eksistensi sistem norma kemasyarakatan). Dalam sistem
peradilan pidana konvensional, Korban kejahatan selalu "dilupakan". Sistem
peradilan pidana konvensional lebih berorientasi mempidana Pelaku kejahatan
guna memberikan penjeraan, sementara Korban hanya diposisikan sebagai bagian
dari alat bukti atau pendukung pembuktian di persidangan.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Dapat dikatakan bahwa perhatian terhadap hal-hak Korban kejahatan dalam
sistem peradilan pidana sangat minim. Padahal kurangnya perhatian yang diberikan
terhadap Korban akan melemahkan bekerjanya sistem peradilan pidana.1 Apabila
sistem peradilan semakin lemah dalam memberikan penyelesaian konflik kejahatan
dalam masyarakat, maka lambat laun akan terjadi degradasi kesadaran hukum
masyarakat terhadap sistem hukum. Sehingga tidak heran jika pihak Korban atau
keluarganya beserta masyarakat melakukan tindakan "main hakim sendiri" sebagai
ekspresi dari rasa kecewa terhadap minimnya perlindungan hukum terhadap
Korban.
Sungguh ironis, perlindungan hak-hak asasi Pelaku kejahatan mulai dari
sebagai tersangka, terdakwa hingga terpidana adalah tidak sebanding dengan
perlindungan hak-hak asasi (pemulihan dari kerugian atau penderitaan) yang
diterima oleh Korban kejahatan. Oleh karenanya Mudzakkir2 menyatakan bahwa
adalah aib suatu bangsa ketika konstitusi melindungi hak-hak asasi orang yang
melanggar hukum pidana, sementara hak-hak asasinya orang yang menjadi Korban
dari suatu kejahatan yang notabene tidak bersalah tidak dilindungi konstitusi.
Semestinya Korban kejahatan hams dilindungi sebab pada waktu Korban
masih berhak menuntut pembalasan terhadap pelaku, Korban dapat menentukan
besar kecilnya ganti mgi yang diharapkannya. Namun, setelah segala bentuk balas
dendam dan ganti mgi diambil alih oleh negara, peranan Korban tidak diperhatikan
lagi.3 Oleh karena itu menurut Mudzakkir, kedudukan korban kejahatan tidak
diakui oleh hukum pidana sebagai korban atau pihak yang dirugikan karena adanya
kejahatan. Korban kejahatan dalam hukum pidana dan proses peradilan pidana
hanya berperan sebagai pelapor (delik biasa), pengadu (delik aduan), saksi (perkara
pidana) dan pihak yang berkepentingan (perkara Praperadilan). Kerugian korban
kejahatan dinilai dari kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum
dalam konteks keperdataan.4
Tidak salah kiranya ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Korban
kejahatan dihadapan sistem peradilan pidana seolah-olah dipersamakan dengan
Korban bencana alam, eksistensinya antara "ada" (nyata dirugikan atau mengalami
penderitaan) dan "tiada" (pengakuan hak-hak asasinya guna memulihkan
penderitaan atau kerugiannya). Bahkan selama dalam proses peradilan pidana
1
2
3
4
110
M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankkan, Malang, Bayu Media, 2003, Hlm.69
Mudzakkir, Tinjauan Umum Mengenai Efektivitas Ganti Rugi Pasal 98 KUHAP,
Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM yang Berat dan Restitusi bagi Korban,
Makalah yang disampaikan pada diskusi terfokus tentang "Tinjauan mengenai Rezim
Ganti Rugi Bagi Korban Kejahatan di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban di Hotel Red Top, Jakarta, Desember 2011
Apalagi, dengan adanya perkembangan pemikiran dalam hukum pidana, dimana
perlunya pembinaan terhadap pelaku agar dapat kembali kepada masyarakat.
Akibatnya, telah mengurangi perhatian negara terhadap Korban, Lihat Mardjono
Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, Hlm.75-76 dalam M.
Arief Amrullah, Op Cit, Hlm.83
Mudzakkir, Op Cit, Hlm.4
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
berlangsung terkadang Korban kejahatan harus menjadi korban untuk kedua
kalinya (re-viktimization) dalam konteks perlakuan dari penegak hukum.
Kemudian setelah proses peradilan pidana selesai pun Korban kejahatan akan
menjadi korban dalam konteks kemasyarakatan karena tidak jarang korban
teimarginalkan (misalnya kasus kesusilaan). Dengan demikian korban mengalami
penderitaan berkali-kali tanpa ada upaya pemulihan hak berupa ganti kerugian atas
segala penderitaan, kehilangan dan kenestapaannya dari Pelaku kejahatan.
Seiring dengan berjalannya waktu, negara melalui kebijakan peraturan
perundang-undangannya mulai mengakomodir aspirasi dari korban kejahatan
dengan memberikan hak berupa ganti kerugian yang dapat dituntut terhadap pelaku
kejahatan (restitusi). Saat ini telah terdapat beberapa peraturan perundangundangan
yang mengatur mengenai ganti kerugian terhadap korban kejahatan (restitusi). 5
Pengaturan restitusi dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut memiliki perbedaan dalam memberikan pengertian, ruang lingkup dan
mekanisme dari pemberian restitusi bagi korban. Sehingga terkadang dianggap
saling bertentangan. Misalnya terkait dengan hukum acara yang mengatur
mekanisme pemberian restitusi antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) beserta Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
kepada Saksi dan Korban (PP No.44 Thn.2008) dengan Pasal 98 KUHAP
mengenai penggabungan perkara. Selain itu terkait ruang lingkup kerugian yang
diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga berbeda.
Berdasarkan realitas permasalahan normatif di atas, secara law in konkreto,
aparat penegak hukum dan stakeholder6 yang memiliki tanggungjawab
memberikan perlindungan terhadap korban dalam sistem peradilan pidana berbeda
pemahaman dalam melaksanakan pemberian restitusi tersebut. Satu pihak lebih
memilih menggunakan atau menerapkan penggabungan perkara sebagaimana yang
diatur dalam KUHAP karena dianggap lebih memberikan kepastian hukum (derajat
KUHAP lebih tinggi daripada PP No.44 Thn.2008 yang merupakan penjabaran dari
UU PSK), meskipun ruang lingkup restitusinya terbatas kerugian meteriilnya.
Sementara pada pihak lain menginginkan penerapan UU PSK beserta PP No.44
Thn.2008 karena menilai mekanisme tersebut dapat memberikan restitusi yang
lebih besar lingkupnya daripada yang diatur oleh KUHAP.
5
6
Diantaranya: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP),Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi
dan Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi danlatau
Korban sebagaimana diatur dalam UU PSK.
111
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Persoalan-persoalan tersebut diatas menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih
mendalam dengan menggunakan perspektif filsafat, teori, norma dan praktek
penerapan pemberian restitusi dalam konteks perlindungan hukum terhadap
korban. Perspektif kefilsafatan yang di aplikasikan dalam kajian ini adalah filsafat
pemidanaan dalam konteks perlindungan Korban dengan pendekatan restoratif
justice. Kajian ini juga didukung dengan perspektif teori sistem peradilan pidana
terpadu sebagai tolak ukur analisis dalam konteks praktek penerapan pemberian
restitusi. Sementara itu kajian normatif menjadi perspektif dasar dalam
menguraikan kelemahan pengaturan restitusi dalam peraturan perundangundangan
yang saat ini berlaku.
Sebagai akhir dari kajian dan pembahasan permasalahan tersebut maka
dirumuskan solusi dan rekomendasi bagi upaya perbaikan perlindungan hukum
terhadap korban yang terkait dengan pemberian restitusi. Dengan demikian
diharapkan secara teoritis, kajian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum pidana, khususnya terkait dengan perlindungan hukum terhadap korban
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kemudian secara praktis, diharapkan
dapat dimanfaatkan oleh para praktisi (penegak hukum) dalam melaksanakan tugas
perlindungan hukum terhadap korban khususnya terkait dengan pemberian
restitusi.
B. TINJAUAN UMUM MENGENAI KORBAN
Korban kejahatan secara sederhana dapat diartikan sebagai pihak yang telah
dirugikan atau yang telah mengalami penderitaan atas terjadinya suatu kejahatan.
Para ahli7 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Korban8 mempunyai definisi yang beragam mengenai korban, sebagai gambaran
7
8
1.
2.
112
Misalnya, Arif Gosita, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. "Mereka" di sini dapat berarti:
individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah. (lihat dalam Arif Gosita,
Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Jakarta, Bhuana Ilmu Komputer,
2004, Hlm.64) Sementara Muladi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan korban
adalah Orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian
termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial
terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang
melanggar hukum pidana di masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan
kekuasaan. (lihat dalam Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007,
Hlm.47)
Secara normatif, peraturan perundang-undangan telah merumuskan pengertian
korban. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
memberikan definisi mengenai korban sebagai "seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakihatkan oleh suatu
tindak pidana ".
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga memberikan pengertian korban sebagai prang yang mengalami
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
umum maka penulis akan mengetengahkan pendapat salah satunya saja, yaitu
pendapat Lilik Mulyadi.9 Beliau10 berpendapat bahwa:
Dikaji dari perspektif ilmu Victimologi pengertian korban dapat
diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan
sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat
pelanggaran hukum pidana (penal) maupun di luar hukum pidana (non penal) atau
dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power).
Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of
crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Dari
perspektif Ilmu Victimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi
kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut,
misalnya seperti akibat bencana alam bukanlah merupakan obyek kajian dari Ilmu
Victimologi.
Lebih lanjut Lilik Mulyadi juga menegaskan bahwa dari perspektif Ilmu
Victimologi, korban tersebut yang hanya berorientasi kepada dimensi akibat
perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global menjadi:11
 Korban kejahatan (victims of crime) sebagaimana termaktub dalam ketentuan
hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan penerapan sanksi
3.
4.
5.
6.
9
10
11
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga ".
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
yang dimaksud dengan korban adalah "orang perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan, balk fisik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak
dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk
korban atau ahli warisnya”.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang memberikan pengertian korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat,
mendeftnisikan korban adalah "orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror,
dan kekerasan pihak mana pun.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Dalam
peraturan ini yang dimaksud Korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak
dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah ahli warisnya.
Yang menurut penulis telah berhasil memberikan pengertian korban secara rinci dan
cukup komprehensif.
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik,
Bandung, Alumni, 2012, Hlm.246
Ibid
113
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai penal victimology
dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan tradisional, kejahatan
kerah putih (white collar crimes), serta victimless crimes yaitu victimisasi
dalam kolerasinya dengan penegak hukum, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan;
 Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power). Pada
konteks ini lazim disebutkan dengan terminology political victimology dengan
ruang lingkup abuse of power, Hak Asasi Manusia (HAM) dan terorisme;
 Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang
bersifat non penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang bersifat
administratif bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang lingkupnya
bersifat economic victimology; dan
 Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan bermasyarakat
yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga sanksinya bersifat sanksi
sosial atau sanksi moral.
Berdasarkan pengertian dan definisi yang ada, selanjutnya dapat
dispesifikasikan jenis Korban sesuai dengan tipologinya. Para ahli memiliki
perspektif berbeda terkait pembagian tipologi Korban,12 namun secara sederhana
12
Apabila ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan, Ezzat Abdel Fattah (dalam Lilik Mulyadi, Op Cit, Hlm.258-260)
menyebutkan beberapa tipologi korban yaitu:

Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan
penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu
cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu
kejahatan.
Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain
sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Sementara itu Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban ditinjau dari perspektif
tanggung jawab korban itu sendiri (dalam Lilik Mulyadi, Op Cit, Hlm.258-260), yaitu:
Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan
menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab
sepenuhnya berada di pihak korban.
Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk
memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada din
korban dan pelaku secara bersama-sama.
Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong
pelaku melakukan kejahatan, misalnya mengambil uang di Bank dalam jumlah besar
yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong
orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada
pelaku.
Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dart aspek pertanggungjawabannya







114
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
penulis akan mengetengahkan pendapat Sellin dan Wolfgang13 yang
mengklasifikasikan jenis korban sebagai berikut:
 Primary Victimization, adalah korban individual. Korbannya merupakan
orangperorang atau bukan kelompok
 Secondary Victimization. Korban merupakan kelompok seperti badan hukum
 Tertiary Victimization. Korban merupakan masyarakat luas
 Mutual Victimization. Korban merupakan pelaku, misalnya pelacuran,
perzinahan, narkotika, dan lain-lain
 No Victimization. Korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen
yang tertipu delam menggunakan suatu hasil produksi.
C. URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan bahwa Korban kejahatan dalam
sistem peradilan pidana cenderung dilupakan dan kurang diberikan perhatian
(dalam konteks pengakuan hak-hak asasinya). Perhatian terhadap Korban tidaklah
sepadan dengan perhatian dan pengakuan hak-hak Pelaku. Padahal dalam konteks
penegakan hukum disebuah negara yang mendasarkan dirinya sebagai negara
hukum, seharusnya perhatian yang diberikan negara terhadap Pelaku dan Korban
kejahatan adalah sepadan sesuai dengan amanah konstitusi yang menegaskan
bahwa setiap warga negara adalah sama kedudukannya dihadapan hukum.14 Pada
dasamya persoalan ketidak seimbangan hak antara korban dan pelaku ini hams
dipandang secara adil dalam konteks perwujudan perlindungan hak asasi manusia
yang bersifat universal melingkupi skala nasional maupun internasional.15 Dalam
perspektif hak asasi manusia secara nasional maupun internasional, menganggap



13
14
15
terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat member
perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.
Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk
itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu)
atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu, pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak
pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
Politicalll victims adalah korban lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajztican Upaya Hukum Peninjauan
Kembali dalam Perkara Pidana bagi Korban Kejahatan, Bandung, Refika Aditama,
2007, Hlm.60-61
Sesuai dengan prinsip equality before the law, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28
D ayat 1 yang berbunyi : " Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum".
Ketentuan-ketentuan Internasional yang memberikan jaminan atas hak-hak korban,
termasuk juga jaminan atas tiadanya diskriminasi, jaminan atas persamaan di hadapan
hukum dan jaminan atas penghormatan martabat manusia sebagaimana juga dijamin
oleh UUD 1945, misalnya: Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy
and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian Law
115
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
perlindungan hukum terhadap Korban sangat urgen. Oleh karena itu secara
normatif Korban hams diberikan hak-hak perlindungan baik berupa perlindungan
hukum maupun perlindungan khusus. Para ahli telah merumuskan argumentasi
mengenai urgensi perlindungan hukum terhadap korban. Berikut ini diketengahkan
argumentasi para ahli hukum yang menguraikan alasan perlindungan hukum
terhadap korban sangat urgen ditinjau dari beberapa perspektif.
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pengertian perlindungan korban
tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu:16
a. Dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak
pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);
b. Dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan
hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak
pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat
berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin
(antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti mgi (restitusi, kompensasi,
jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.
Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari pendekatan kriminologi ada
beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu mendapat perhatian, yaitu:17
1) Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian kepada
permasalahan dan peranan pelaku kejahatan (offender-centered);
2) Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan
melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal (terutama statistik yang
berasal dri kepolisian); ini dilakukan melalui survai tentang korban kejahatan
(victim surveys);
3) Makin disadari bahwa di samping korban kejahatan konvensional (kejahatanjalanan; street crime) tidak kurang pentingnya untuk memberi perhatian
kepada korban kejahatan non konvensional (a.l. kejahatan korporasi dan
kejahatan kerah putih) maupun korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of economic power and/or public power).
Sementara itu Muladi menyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa
korban kejahatan perlu dilindungi, yaitu:18
Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik
dalam arti umum maupun arti konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan
merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas legalitas,
yang menegaskan bahwa, baik poena maupun crimen hams ditetapkan terlebih
dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak
pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan
pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga
16
17
18
116
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Mikan? dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Prenada Media Group, 2007, Him. 61
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
Universitas Indonesia, 1994, Hlm.102
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sirtem Peradilan Pidana, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2002, Hlm 176-177
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
pemasyarakatan dan sebagainya). Di sini, terkandung didalamnya tuntutan
moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan
sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada
lain pihak. Secara sosiologis, semua warga negara hams berpartisipasi penuh
di dalam kehidupan kemasyarakatan, masyarakat dianggap sebagai suatu
wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of instituonalized trust).
Tanpa kepercayaan ini, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik,
sebab tidak ada pedoman atau patokan yang pasti dalam bertingkah laku.
Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di
dalam struktur kelembagaan (organisasional) seperti kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, lembaga koreksi dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri
korban, akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut,
pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah
korban, berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan
tersebut.
Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi
korban kejahatan adalah argumen kontrak sosial dan argumen solidaritas
sosial. Yang pertama, menyatakan bahwa negara boleh dikatakan
memonopoli seluruh raksi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi
kejahatan dan membawa korban, negara hams bertanggung jawab untuk
memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang disebut terakhir,
menyatakan bahwa negara hams menjaga warganegaranya dalam
memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami
kesulitan, melalui kerjasama dalam bermasyarakat berdasarkan atau
menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa
dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui
pengaturan hak.
Ketiga, perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah
satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni
penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam Rancangan Konsep KUHP
Nasional yang barn (Pasal 47 ayat 1 ke 3).
Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas, dapat ditarik benang
merah bahwa perlindungan hukum terhadap korban, dapat dimaknai
sebagai upaya mengembalikan hak-hak korban hingga terpulihkan seperti
sedia kala sebagaimana sebelum kejahatan menimpanya. Negara dalam
konteks ini hams bersikap progresif untuk menuntut Pelaku
bertanggungjawab atas pemulihan Korban di satu sisi. Sementara itu di sisi
lain negara bertanggungjawab atas kelalaiannya menjaga warganya dari akibat
kejahatan (perspektif Korban) dan juga negara bertanggungjawab atas
kelengahannya mengantisipasi terjadinya peristiwa jahat (perspektif situasi dan
kondisi serta motivasi Pelaku berani melakukan perbuatan jahatnya).
117
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Secara sosiologis, perlindungan hukum terhadap korban juga dimaknai
sebagai upaya negara menciptakan keharmonisan hubungan kepercayaan
terhadap warganya dengan mewujudkan jaminan pelayanan berupa penegakan
hukum yang adil19 hingga warganya 20 tidak melakukan ancaman atau perbuatan
main hakim sendiri.21 Sebagaimana dalam konsepsi teori kontrak sosial,22 negara
diberikan hak untuk mengelola dan mengatur warganya didasarkan oleh sebuah
kontrak pelimpahan kehendak bebas dari warganya dengan persyaratan bahwa
negara dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap warganya. Dengan
demikian apabila negara menyalahi kontrak pelayanan perlindungan tersebut
maka sudah tentu mandat dari warga negara tersebut akan terdistorsi dengan
sendirinya. Maka tidak heran jika kemudian warga negaranya menjadi kecewa
dan tidak lagi mengindahkan negara.
Selain itu secara fungsional, perlindungan hukum terhadap korban hams juga
dimaknai sebagai bagian utama dari kebijakan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan. Tidak mungkin dapat melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan secara tepat, jika tidak memperhatikan permasalahan korban secara
tepat. Karena kejahatan pada dasarnya merupakan hasil hubungan 23 antara
fenomena Pelaku kejahatan di satu sisi dengan Korban kejahatan di sisi yang
lain. Dengan demikian apabila Korban tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dari negara maka sudah tentu akan terjadi apatisme dan sinisme terhadap
sistem hukum dan peradilan, yang kemudian secara qonditio sine quanon akan
menyebabkan kejahatan akan sulit ditanggulangi. Seringkali terungkapnya
kejahatan karena adanya laporan dari Korban kepada aparat penegak hukum.
Jadi apabila Korban tidak lagi diberikan perlindungan oleh hukum, kemudian
Korban tidak bergairah melaporkan pada penegak hukum, maka sudah tentu
upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan akan mengalami hambatan.
Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap korban sangatlah urgen bagi
upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.
19
20
21
22
23
118
Keseimbangan perlakuan dan perhatian antara Pelaku dan Korban kejahatan
Yang kecewa terhadap negara dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan
Korban
Seolah-olah warga sudah tidak mau diatur oleh sistem yang dimiliki negara
Jean Jacques Rousseau adalah penggagas teori contract social, dalam ajarannya
Rousseau mengenai masyarakat dan negara terdapat pertentangan. Di satu pihak
kebebasan tiap-tiap pribadi ditonjolkan, di lain pihak kekuasaan negara ditekankan
Hal terakhir ini terjadi, oleh karena menurut Rousseau dalam negaralah kehendak
umum (volonte generale) terwujud, yakni kehendak rakyat sendiri yang tak boleh
dilanggar. Atas nama kehendak umum itu hak-hak pribadi dikorbankan. Lihat dalam
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1982,
Hlm.91
Sebagaimana dikatakan oleh Arif Gosita bahwa kejahatan adalah suatu hasil interaksi
karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi.
Dalam usaha menanggulangi kejahatan kita hares mencari fenomena mana yang
penting dan perlu diperhitungkan dalam terjadinya kejahatan.Lihat dalam Arif
Gosita, Op Cit, Hlm.98
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
D. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN MELALUI
RESTITUSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF FILSAFAT,
TEORI, NORMA DAN PRAKTEK PENERAPANNYA
Pada dasarnya terdapat beberapa bentuk perlindungan hukum terhadap
Korban,24 salah satu diantaranya adalah pemberian ganti kerugian atau restitusi.
Setidaknya terdapat lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian menurut
Gelaway yaitu:25
1. Meringankan penderitaan korban;
2. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;
3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;
4. Mempermudah proses peradilan;
5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan
balas dendam;
Adapun pengertian ganti rugi menurut Jeremy Bentham, adalah sesuatu
yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan
memperhitungkan kerusakan yang diderita.26 Sementara itu menurut Mardjono
Reksodiputro:27
Ganti kerugian yang diberikan kepada korban dapat dibedakan antara yang
dibayarkan oleh institusi resmi dari dana negara (disini akan dinamakan
kompensasi atau compensation) dan yang dibayar oleh pelaku (dinamakan
restitusi atau restitution). Kemungkinan pembayaran dalam bentuk kompensasi
dapat dibagi dua. Pertama, negara merasa bertanggungjawab atas terjadinya
peristiwa tersebut, karena tidak mampu melindungi korban dari ancaman
pelaku. Kompensasi ini dapat diberikan dalam bentuk fasilitas pengobatan
secara cuma-cuma sampai korban sembuh kembali. Bentuk lain adalah bantuan
unrtuk mengganti penghasilan yang hilang (ini tentu sangat diperlukan untuk
korban yang kurang mampu), biaya penasihat hukum untuk membela
kepentingan korban dan menghadapi pelaku (dan meminta restitusi dari
pelaku), ganti rugi karena timbulnya cacat badan dan bentuk-bentuk lain yang
serupa.
Pada dasamya ganti kerugian mempunyai dua dimensi yaitu dimensi hukum
perdata dan hukum pidana. Adapun ganti kerugian dalam aspek hukum pidana
dapat dibedakan menjadi dua yaitu kompensasi dan restitusi. Kompensasi adalah
ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada Korban sebagai bentuk
24
25
26
27
Bentuk perlindungan hukum terhadap korban dapat berupa perlindungan terhadap
rasa aman selama proses peradilan, mendapatkan informasi dari perkembangan
kasusnya, berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, bantuan medis
dan psikologis, dan hak-hak lain yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan.
Oktarinaz Maulidi, Upaya Perlindungan bagi Korban Kejahatan Human Trafficking,
dalam http ://pembaharuan-hukum.blogspot.com
Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan
Hukum Pidana, Bandung, Nusa media dan Nuansa, 2006, Hlm.316
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku Kedua, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
UI, 2007, Hlm.94
119
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
pertanggungjawabannya akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan restitusi
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang
berorientasi pada pemulihan korban, dimana pelaku melalui pertanggungjawaban
pidananya mengganti kerugian korban.
Ditinjau dari perspektif normatif, pengertian atau ruang lingkup, objek
tindak pidana, dan mekanisme, serta daya paksa eksekusi restitusi yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan berbeda-beda, secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut: Pertama, terkait dengan pengertian dan ruang lingkup restitusi.
Pengaturan restitusi menurut UU PSK selanjutnya secara teknis diatur secara
rinci dalam PP No.44 Thn.2008, Restitusi didefinisikan sebagai ganti kerugian
yangdiberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,
dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.28
Senada dengan ketentuan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
HAM yang Berat mendefinisikan Restitusi sebagai ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,
dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Dengan demikian menurut kedua peraturan ini, rang lingkup kerugiaan yang
dapat dituntut tidak hanya dari kerugian materiil saja, akan tetapi juga
melingkupi kerugian immateriil. Hal ini sama dengan restitusi yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), yang didefinisikan sebagai
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materill
dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. 29 Sementara itu
ganti kerugian yang dimaksud dalam KUHAP sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 98 s/d 101 berbeda dengan ketiga peraturan yang disebutkan
sebelumnya Ganti kerugian yang dimaksud dalam KUHAP ini adalah ganti
kerugian dalam konteks keperdataan dan pengertian ganti kerugian dalam hal
ini hanya sebatas pada biaya-biaya yang telah dikeluarkan disertai dengan
bukti-bukti pengeluaran.30 Dengan demikian kerugian immateriil tidak termasuk
dalam lingkup kerugian yang dapat dituntut melalui prosedur penggabungan
perkara ini, meskipun dapat dibuktikan bahwa biayabiaya tersebut
dipergunakan untuk kepentingan yang berhubungan dengan dampak
kejahatan.31 Kedua, terkait dengan objek tindak pidana yang dapat dituntutkan
28
29
30
31
120
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Bukti-bukti tersebut menjelaskan penggunaannya sebagai sarana memperbaiki dan
memulihkan kerugian atau kesehatan yang langsung ditimbulkan oleh kejahatan.
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pdana,
Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, Hlm.111.
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
restitusi, peraturan perundang-undangan mengatur secara berbeda. UU PSK
sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan
Korban mengatur objek tindak pidananya adalah kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK. 32 Sementara itu UU TPPO memiliki objek tindak
pidana hanya pada tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan KUHAP
mengatur objek tindak pidana yang dapat dituntutkan ganti kerugian adalah
semua tindak pidana. Ketiga, terkait dengan mekanisme pemberian restitusi.
Menurut PP No.44 Thn.2008, dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh
Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Yang dimaksud dengan pengadilan
tersebut adalah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus tindak pidana yang bersangkutan. Dalam hal permohonan Restitusi
diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan. Dalam halpermohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya
mencantumkan permohonan Restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya
untuk mendapatkan putusan pengadilan. 33 Sementara itu mekanisme ganti
kerugian yang diatur dalam KUHAP mensyaratkan permohonan dari pihak
Korban guna mengajukan penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara
pidana.34 Secara teknis permohonan ganti kerugian tersebut diajukan melalui
penuntut umum sebelum pembacaan tuntutan pidana. 35 Apabila Hakim
memutuskan mengabulkan gugatan ganti kerugian tersebut maka dengan
sendirinya mempunyai kekuatan hukum tetap jika putusan pidananya juga
mendapatkan kekuatan hukum tetap. 36 Keempat, terkait dengan daya paksa
eksekusi restitusi. UU PSK selanjutnya secara teknis diatur secara rinci dalam
PP No.44 Thn.2008, Restitusi tidak memberikan klausul mengenai kekuatan
memaksa berupa sanksi terhadap pelaksanaan restitusi apabila Pelaku tidak mau
melaksanakan putusan atau penetapan restitusi yang dibebankan kepadanya.
Dengan demikian pelaksanaan restitusi sepenuhnya digantungkan pada itikad
baik dari Pelaku. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam UU TPPO yang
menegaskan bahwa apabila Pelaku tidak dapat memenuhi kewajiban restitusi
32
33
34
35
36
Pasal 5 ayat (2) UU PSK yang menyebutkan bahwa "hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu sesuai dengan keputusan LPSK".
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Pasal 98 ayat (1) KUHAP
Pasal 98 ayat (2) KUHAP
Pasal 99 ayat (3) KUHAP
121
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
sampai dengan jangka waktu yang ditentukan maka terhadap Pelaku dikenai
pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. 37
Berdasarkan persoalan tumpang-tindihnya pengaturan mengenai restitusi
terhadap Korban kejahatan sebagaimana yang tersebut di atas maka akibatnya
menurut Maharani Siti Shopia, "secara yuridis formal, justru menghambat
pelaksanaan restitusi dan cenderung menimbulkan masalah Baru karena tidak
ada standar dan prosedur yang sama serta cenderung memunculkan ego
sektoral."38 Hal ini dapat ditinjau dari perspektif praktik penerapan penegakan
hukum dalam konteks perlindungan hukum terhadap Korban melalui pemberian
restitusi yang seringkali mengalami kendala. Diantaranya adalah terkait dengan
pemilihan peraturan yang digunakan dalam pemberian restitusi oleh penegak
hukum dan stakeholder39 yang terkait. Jaksa dan Hakim cenderung lebih
memilih menggunakan penggabungan perkara pasal 98 KUHAP dibandingkan
menggunakan UU PSK sebagaimana dijabarkan dalam PP No.44 Thn.2008. Hal
ini disebabkan menurut mereka mekanisme yang diatur oleh KUHAP dianggap
lebih pasti, kuat dan fleksibel dibandingkan dengan PP No.44 Thn.2008,
Restitusi yang notabene berada di bawah KUHAP.40 Meskipun akibat dari
penggunaan KUHAP tersebut menyebabkan ganti kerugian yang akan didapatkan
oleh Korban lebih kecil (hanya kerugian materiil saja) dibandingkan menggunakan
Peraturan Pemerintah tersebut (yang notabene termasuk kerugian immateriil).
Sementara itu di pihak lain, LPSK lebih cenderung untuk menggunakan
mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut karena dinilai lebih
dapat memberikan pelayanan pemberian restitusi yang lebih optimal kepada
Korban. Dalam hal ini maka terjadi ketidak singkronan struktur hukum dalam
konteks perlindungan hukum terhadap Korban melalui pemberian restitusi.
Pada dasarnya kedua permasalahan (problema normatif dan praktek) di atas
dapat dikaji dan dianalisis secara teoritis melalui teori sistem peradilan pidana
terpadu (intergrated criminal justice). Maim dan sistem peradilan terpadu ini
menurut Muladi41 adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang
dapat dibedakan dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka
hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat
vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
37
38
39
40
41
122
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Maharani Siti Shopia, Tantangan Berat Restitusi Korban Kejahatan, dalam
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/01/24/641 diunduh pada tanggal 16 Mei 2013
pk1.09.44
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Hasil Rekapitulasi Laporan Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi LPSK, Rapat
Kerja dengan Aparat Penegak Hukum di 8 Wilayah pada Tahun 2010, dalam Lili
Pintauli, Layanan Korban di LPSK.• Praktek, Tantangan dan Harapan, Makalah
Presentasi pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh LPSK, Hlm.12
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1996, Hlm.
17.
1
5
6
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
3.
Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Apabila diperhatikan secara seksama maka dapat disimpulkan bahwa problema
normatif dan praktek dalam pemberian restitusi sebagaimana dijelaskan di atas
sangat terkait dengan singkronisasi substansial dan singkronisasi struktural. Terhadap
dua hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, singkronisasi substansial.
Sebagaimana dijelaskan dalam perspektif normatif di atas, masih ada
ketidakharmonisan pengaturan mengenai restitusi. Meskipun objek yang diatur
berbeda42 namun terkesan tumpang tindih dalam realitasnya ketika
diinterpretasikan,43 sehingga seolah-olah menimbulkan konflik antar norma
(antinomi hukum).44 Dalam menghadapi antinomi hukum, menurut Ahmad Rifa'i
perlu diberlakukan asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:45
1. Lex posterior derogat legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan
yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundang-undangan yang
ada terdahulu;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan yang
khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang umum;
3. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang
labih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Seringkali konflik antar norma dalam hal pemberian restitusi ini dikaitkan
dilema pemberlakuan UU PSK dibenturkan dengan pasal 98 KUHAP.
Sebagaimana mekanisme penyelesaian antinomi berdasarkan asas preferensi
diatas maka dapat katakan bahwa secara lex posterior derogat legi priori,
maka UU PSK yang diutamakan karena keberadaannya lebih barn daripada
KUHAP. Demikian pula secara lex specialis derogat legi generali pun juga
UU PSK yang diutamakan karena secara khusus mengatur mengenai
perlindungan korban. Namun secara lex superiori derogat legi inferiori,
KUHAP lah yang hams diutamakan karena pengaturan restitusi dalam UU PSK
ini dijabarkan dengan menggunakan PP No.44 Thn.2008 yang notabene
derajatnya dibawah KUHAP. Dengan demikian kedudukan pengaturan restitusi
yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah ini cukup lemah jika
dibandingkan dengan pasal 98 KLTHAP. Seharusnya pengaturan secara teknis
42
43
44
45
Objek tindak pidana yang dapat dituntutkan restitusi dalam hukum positif berbeda,
sebagaimana penjelasan sebelumnya
Pemahaman LPSK dan parat penegak hukum berbeda terkait pemberian retitusi
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu
kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi
hukum) dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Lihat dalam
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang
Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Bandung, Citra
Aditya Bakti, Hlm 87
Ahmad Rifa'i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta, Sinar Gratika, 2011, Hlm.90
Ibid.
123
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
tentang restitusi ini ditegaskan di dalam level Undang-Undang agar lebih
memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat, sehingga meminimalisir
terjadinya disharmoni norma (ketidaksingkronan substansi hukum).
Kedua, singkronisasi struktural yang terkait dengan keserempakan dan
keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa implikasi dari pengaturan norma
restitusi yang dikesankan bertentangan tersebut telah menyebabkan terjadinya
ketidaksingkronan antar struktur hukum baik yang berperan sebagai penegak
hukum (Jaksa dan Hakim) maupun yang berfungsi sebagai stakeholder (LPSK).
Secara teknis, ketidakserempakan tersebut menyebabkan seolah-olah terjadi
tumpang tindih kewenangan dan menimbulkan benih "ego sektoral".
Permasalahan ini sedapat mungkin hams segera dibenahi karena
"ketidaksehatan" hubungan antar strutural hukum akan menyebabkan kerugian
bagi fungsionalisasi sistem peradilan pidana pada umumnya dan secara khusus
merugikan Korban. Dalam perspektif sistem peradilan pidana terpadu, vitalitas
sistem peradilan pidana ini sangat terkait dengan makna "sistem" yang diartikan
sebagai keterpaduan yang utuh. Sebagaimana ditegaskan oleh Mardjono
Reksodiputro bahwa apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan
maka kemungkinan terdapat (tiga) kemgian sebagai berikut: 46
1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing
instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing
instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana); dan
3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari
sistem peradilan pidana.
Pada dasarnya kerugian-kerugian akibat ketidak terpaduan struktural hukum
dalam sistem peradilan pidana tersebut di atas, dapat diminimalisir melalui
langkah-langkah koordinatif antar struktural hukum yang berwenang dalam
mekanisme pemberian restitusi. Komunikasi secara institusional melalui forumforum koordinasi akan memudahkan upaya persamaan persepsi (kesepahaman)
dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban melalui pemberian restitusi.
Selain itu secara fundamental, pembaharuan hukum mengenai restitusi baik
secara materiil maupun formil melalui revisi UU PSK ini juga sangat urgen
keberadaannya dalam upaya mewujudkan harmonisasi substansi hukum dan
singkronisasi struktural hukum. Penegasan mekanisme pemberian restitusi yang
diinisiasi LPSK dalam bentuk Undang-Undang ini dapat mengakhiri polemik
interpretasi pilihan hukum diantara struktural hukum.
Selain itu secara formil diperlukan penguatan kedudukan LPSK dalam
konstelasi hubungan sub sistem peradilan pidana guna meminimalisir konflik
kepentingan sektoral (saling intervensi). Sebagaimana yang ada saat ini, posisi
46
124
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum, Universitas Indonesia, 1994.
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
LPSK hanya sebatas sebagai supporting unit dalam membantu korban
berhadapan dengan proses peradilan pidana. Implikasinya, LPSK dalam
mekanisme pemberian restitusi ini hanya memiliki kewenangan pemberian
rekomendasi kepada penegak hukum tentang layak tidaknya Korban
mendapatkan restitusi dan juga terkait dengan perhitungan jumlah restitusi yang
diminta korban. Selanjutnya tergantung penegak hukum yang memutuskan
restitusi tersebut dikabulkan atau ditolak. Apabila berdasarkan pertimbangan
Hakim berdasarkan fakta persidangan ternyata Hakim menolak restitusi maka
LPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan upaya hukum.
Sementara itu terhadap putusan pengadilan yang mengabulkan restitusi
korban, LPSK pun juga tidak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa
eksekusi restitusi terhadap Pelaku yang tidak mempunyai itikad baik untuk
membayar restitusi. Dengan kewenangan yang demikian maka sudah tentu
perlindungan hukum terhadap Korban yang diinisiasi LPSK tidak dapat berhasil
secara optimal bahkan cenderung mengalami kendala. Diantaranya terkait
dengan letak geografis LPSK yang hanya di pusat (ibukota negara), sementara
korban yang memerlukan restitusi ada di daerah pelosok negeri. Dengan
demikian mekanisme birokratisasi pemberian restitusi47 akan menjadi
permasalahan utama bagi Korban. Sehingga kemudian timbul anggapan bahwa
birokratisasi restitusi melalui LPSK ini tidak simple dan kurang fleksibel,
berbeda halnya ketika menggunakan penggabungan perkara dimana Korban
hanya melakukan permohonan melalui Penuntut Umum sebelum tuntutan
dibacakan. Dalam konteks ini restitusi via Pasal 98 KUHAP lebih sederhana
dan lebih cepat serta berbiaya murah dibandingkan restitusi via LPSK.
Meskipun lingkup restitusi dari pasal 98 KUHAP lebih sempit daripada yang
dapat dituntut via LPSK. Selanjutnya apabila Korban menghendaki ganti
kerugian immateriil setelah ganti rugi materiilnya dikabulkan oleh pengadilan
melalui penggabungan perkara, Korban hams mengajukan gugatan secara
perdata dengan konsekuensi penyelesaian perkara sampai dengan eksekusinya
memakan waktu yang cukup lama.
Berdasarkan beberapa persoalan tersebut diatas, menurut hemat penulis
kedua konsep mekanisme pemberian restitusi, baik melalui penggabungan
perkara yang didasarkan pada pasal 98 KUHAP maupun melalui LPSK
berdasarkan UU PSK pada asasnya belum memenuhi asas peradilan yang baik
yaitu prosedur yang sederhana, dengan waktu penyelesaian yang cepat, dan
berbiaya murah. Oleh karenanya penulis mengusulkan untuk dilakukan
reformulasi pengaturan restitusi.
Reformulasi guna membenahi harmonisasi substansi hukum dan
singkronisasi struktural hukum. Menurut penulis, pengertian restitusi sekaligus
ruang lingkup restitusi hams meliputi ganti kerugian materiil maupun
immateriil. Secara teknis sesuai dengan pengertian restitusi dalam UU PSK.
Adapun terkait dengan objek tindak pidana yang dapat dituntutkan restitusi
47
Yang notabene hares melalui LPSK sebelum dibacakannya tuntutan oleh
Penuntut Umum.
125
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
adalah sesuai dengan KUHAP yaitu meliputi semua tindak pidana. Tidak perlu
dipilah sebagaimana UU PSK yang saat ini berlaku dimana hams sesuai dengan
keputusan LPSK. Hal ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para
Korban tindak pidana yang tidak termasuk dalam keputusan LPSK dimana
mereka juga memerlukan restitusi. Sedangkan terkait dengan daya paksa
restitusi, menurut penulis perlu diatur sesuai dengan Pasal 50 UU TPPO yaitu
ancaman berupa sanksi pidana bagi pelaku yang tidak mau membayar restitusi
berdasarkan putusan pengadilan kepada Korban. Hanya saja perlu ditambahkan
klausul ancaman sanksi pidana yang lebih tinggi daripada TPPO disesuaikan
dengan tingkat kerugian yang dialami Korban dan berdasarkan pertimbangan
hukum dari Hakim.
Sementara itu terkait dengan mekanisme pemberian restitusi, dalam
konteks reformulasi ini, sebaiknya disesuaikan dengan mekanisme KUHAP
dimana Korban cukup mengajukan pada Penuntut Umum sebelum tuntutan
dibacakan, tanpa melibatkan LPSK guna meminimalisir birokratisasi restitusi.
Namun perlu juga diatur mengenai kemungkinan tanpa diajukan pun, Hakim
dapat memutuskan Korban mendapatkan restitusi jika dalam persidangan
ditemukan fakta bahwa Korban mengalami kerugian dan patut untuk
dipertanggungjawabankan oleh pelaku.
Dalam perspektif filosofis, penulis mengusulkan untuk memasukkan
restitusi sebagai salah satu pidana pokok, dalam konteks ini perlu diakomodir
filsafat pemidanaan yang berorientasi pada restoratif justice.48 Restitusi dalam
konteks ini penulis sebut sebagai pidana ganti rugi yang notabene merupakan
salah satu bentuk pemidanaan berupa penggantian kerugian oleh Pelaku kepada
Korban, terkait pertanggungjawaban pidana Pelaku atas segala akibat tindak
pidananya berupa kerugian dan kenestapaan yang telah dialami Korban. Pidana
ganti rugi ini akan efektif berlakunya dan lebih mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat dibandingkan ganti kerugian atau restitusi yang hanya
dipandang sebagai pidana tambahan ataupun yang hanya sebagai gugatan
keperdataan.
Secara konseptual pidana ganti rugi ini akan menjadi suatu rezim hukum barn
dimana terjadi penggabungan dimensi hukum pidana dan hukum perdata.
Sebagaimana konsep pidana qishash dan diyat dalam hukum pidana Islam,49
pelaksanannya tergantung pada kehendak Korban yang notabene merupakan
pihak yang dirugikan. Pada perspektif ini, pidana ganti rugi pun barn dijatuhkan
48
49
126
Restoratif justice atau keadilan restoratif saat ini sedang menjadi paradigma bare
dalam penegakan hukum pidana kontemporer. Sehingga kajian terhadapnya selalu
menjadi primadona bagi upaya pencarian solusi alternatif dalam mengatasi
kelemahan-kelemahan sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Di dalam konsep qishash dan diyat ini terkandung sifat-sifat perdata dan pidana
sekaligus. Pidana qishash dan diyat itu dijatuhkan, selain karena pertimbangan
yang bersifat pidana, juga dilakukan demi korban. Pelaksanaannya itu dijatuhkan,
selain karena pertimbangan yang bersifat pidana, juga dilakukan demi korban.
Pelaksanaannya itu sendiripun merupakan hak korban. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Angkasa, 1996,
Hlm.134-135.
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
apabila dalam persidangan Korban menginginkannya, dan dapat dimungkinkan
juga pidana pokok yang lain tidak perlu diterapkan jika Korban menghendaki
Pelaku cukup divonis dengan pidana pokok berupa ganti kerugian. Jadi fondasi
dasar dalam pemidaan tersebut adalah filsafat restoratif justice 50 dimana
reparasi atau pemulihan akibat tindak pidana dapat terwujud dan hubungan
antar pihak dapat terjaga pasca proses peradilan. 51 Implikasi dari filsafat
pemidanaan model ini mengakibatkan perlunya rekonstruksi kedudukan Korban
dalam hukum pidana dan hukum acara pidana yang baru,52 dimana Korban
diberikan ruang untuk menyampaikan aspira.si hak-haknya (dengan tetap
didukung oleh Jaksa Penuntut Umum namun tetap Korban lah yang memegang
peranan penting) di muka persidangan sebagaimana konsep peradilan restoratif.
E. PENUTUP
Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap
korban yang berorientasi pada pemulihan korban, dimana pelaku melalui
pertanggungjawaban pidananya mengganti kerugian korban. Secara normatif,
pengaturan restitusi dalam hukum positif masih belum tersinergikan dengan baik.
1mplikasinya, dalam hal penerapannya mengalami kendala berupa ketidaksingkronan struktur hukum. Dalam perspektif teori sistem peradilan pidana
terpadu, ketidakharmonisan substansi hukum dan ketidaksingkronan struktur
hukum ini hams segera dibenahi. Pembenahan fundamental dilakukan melalui ReFilosofi pemidanaan dengan menjadikan restitusi sebagai pidana pokok dan
memberikan posisi baru bagi korban dalam sistem peradilan pidana mendatang
berdasarkan filsafat restoratif justice.
50
51
52
Sebagaimana pendapat Bagir Manan yang mengartikan restorative justice sebagai
sebuah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya
terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materiil). Restorative Justice
hares juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. Bagir
Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Rudy Rizky (eds), Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir( Analisis
Komprehensif tentang Hukum oleh Akademisi & Praktisi Hukum), In Memoriam
Prof. DR. Komar Kantaamadja, S.H.,LL.M, Jakarta, Perum Percetakan Negara RI,
2008, Hlm. 4.
Marian Liebmann yang secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai
suatu sistem hukum yang "bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban,
pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran
atau tindakan kejahatan lebih lanjut. Dalam Marian Liebmann, Restorative Justice:
How It Works. London: Jessica Kingsley Publisher, 2007. Hlm.25.
Beberapa aspek yang mendasar dalam hukum yang relevan dengan kebijakan
terhadap korban adalah pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban
kejahatan, member penegasan hukum bahwa pelanggaran hukum pidana
(kejahatan) adalah melanggar hak-hak korban kejahatan (disamping itu juga
melanggar kepentingan masyarakat dan negara), sistem peradilan pidana sebagai
sistem penyelesaian konflik dan pemberdayaan posisi hukum korban kejahatan,
tanggungjawab pelanggar terhadap pemulihan dampak kejahatan, dan
memasukkan restitusi sebagai bagian dari hukum pidana dan pemidanaan. Lihat
dalam Mudzakkir, Posisi Hukum .......0p Cit, Hlm.407-408.
127
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rifa'i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta, Sinar Grafika, 2011
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Jakarta, Bhuana
Ilmu Komputer, 2004
Bagir Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Rudy Rizky (eds),
Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir(
Analisis Komprehensif tentang Hukum oleh Akademisi & Praktisi Hukum),
In Memoriam Prof DR. Komar Kantaamadja, S.H.,LL.M, Jakarta, Perum
Percetakan Negara RI, 2008.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Prenada Media Group, 2007
Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, Jakarta, Raja Grafmdo Persada, 2007.
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang
Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia,
Bandung, Citra Aditya Bakti.
Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan Prinsip Legislasi, Hukum Perdata
dan Hukum Pidana, Bandung, Nusa media dan Nuansa, 2006
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Angkasa,
1996.
Lili Pintauli, Layanan Korban di LPSK: Praktek, Tantangan dan Harapan,
Makalah Presentasi pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan
oleh LPSK.
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik,
Bandung, Alumni, 2012
M.Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankkan, Malang, Bayu Media, 2003
Maharani Siti Shopia, Tantangan Berat Restitusi Korban Kejahatan, dalam
http://www. tempo.co/read/ko lom/2013/01/24/641
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994
…………., Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku Kedua, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
UI, 2007
Marian Liebmann, Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley
Publisher, 2007
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pdana,
Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
…………, Tinjauan Umum Mengenai Efektivitas Ganti Rugi Pasal 98 KUHAP,
Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM yang Berat dan Restitusi bagi
Korban, Makalah yang disampaikan pada diskusi terfokus tentang
128
Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi
"Tinjauan mengenai Rezim Ganti Rugi Bagi Korban Kejahatan di
Indonesia" yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban di Hotel Red Top, Jakarta, Desember 2011
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sirtem Peradilan Pidana, Semarang,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
Oktarinaz Maulidi, Upaya Perlindungan bagi Korban Kejahatan Human
Trafficking, dalam http://pembaharuan-hukum.blogspot.com.
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali dalam Perkara Pidana bagi Korban Kejahatan, Bandung, Refika
Aditama, 2007.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1996
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisius,
1982.
129
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
130
ISSN : 2303-3274
ANTARA BEZITSRECHT DAN EIGENDOMRECHT:
Kajian Tentang Hak Atas Tanah Oleh Penduduk
Harto Juwono 1
Dosen Universitas Indonesia.
Abstrak
Pada saat ini, persoalan kepemilikian tanah diantara penduduk menjadi hal yang
rumit dan sering mengakibatkan terjadinya konflik, baik individual maupun
kelompok (massal). Adanya ketidakjelasan status tanah memerlukan suatu
kajian dengan pendekatan historis atas pengaturan hukum atas tanah, yang
berubah mengikuti rezim hukum, yang mengakibatkan perubahan pada hak dan
status kepemilikan tanah tersebut. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa
permasalahan yang terjadi adalah akibat ketidakjelasan dari pemerintah dalam
menerangkan rezim hukum mana yang diberlakukan pada saat ini. Sebagian
besar masyarakat masih bertahan dengan pemahaman tentang hak kepemilikan
(bezitzrecht) atau hak penguasaan (beschikkingsrecht) atas tanah, yang berbeda
dengan konsep hak milik atas tanah (eigendom). Oleh karena itu, Pemerintah
diharapkan dapat lebih mensosialisasikan konsep hak atas tanah (eigendom) dan
hak-hal atas tanah lainnya yang diberlakukan pada saat ini sehingga tidak lagi
terjadi konflik mengenai hak kepemilikan atas tanah.
Kata Kunci : Hak Kepemilikan (bezitzrecht), Hak Kepemilikan Atas Tanah
(eigendom), Sejarah Regulasi.
Abstract
Nowadays, land ownership's issues become complicated and often result in
conflict to nation, either individually or groups (mass). Lack of clarity of the
status of the land requires a historical approach to the study of the legal
regulation of land that changed following regime, which resulted in changes to
the rights and status of land ownership. Results of this study concluded that the
problems came out from an incomprehensive notice from the
regulator/government, in order to clarify which regime used by now. Most of the
people are sticking with the understanding of property rights (bezitzrecht) or
tenure (beschikkingsrecht) of land, which is different from the concept of land
title rights (eigendom). Therefore, the Government is expected to socialize the
concept of land title rights (eigendom) and other present land rights so the
conflicts will decrease or subside.
Keyword :
property rights (bezitzrecht), land title rights (eigendom),
regulation history
Pada awal bulan Oktober 1875, seorang juru lelang (vendumeester) di Batavia
menolak permohonan seorang pribumi untuk mengesahkan penjualan hak pakai
1
Penulis adalah doktor ilmu sejarah, pengajar di Departemen Sejarah, Fak. Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
individu turun-temurun atas sebidang tanah yang telah lama dihuninya. Persoalan
ini disampaikan kepada pemerintah melalui Residen Batavia dan diterima oleh
Gubernur Jenderal untuk diputuskan. Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge
meminta pertimbangan kepada Direktur Keuangan Sprenger van Eijk, atasan juru
lelang tersebut, sebelum persoalan ini bisa diputuskan.2
Persoalannya berkisar pada keabsahan hak orang pribumi (inlander) atas
tanah, baik yang dihuni maupun digarapnya. Menurut pandangan para ahli
hukum Belanda saat itu, hak tanah orang pribumi khususnya Jawa (grondrecht
van den Javaan) tidak bisa begitu saja menerima pandangan hukum Barat yang
dituangkan lewat aturan-aturan perundangan yang berlaku. Hal ini disebabkan
oleh adanya perbedaan dalam hal asal-usul dan nilai-nilai yang berlaku. Jika
pemerintah kolonial yang merupakan institusi tertinggi dalam sistem hukum
koloni masa itu, berusaha keras untuk memutuskan persoalan di atas dengan
menggunakan aturanaturan dalam hukum positif Barat, resiko yang akan muncul
adalah pelanggaran hak orang pribumi atas tanah dan bisa mengarah pada
terjadinya suatu kerusuhan sosial yang bersumber dari sektor agraria. 3
Tulisan ini berusaha untuk menelusuri kembali hak apa yang sebenarnya
dimiliki oleh orang pribumi khususnya di Jawa dan Madura atas tanah yang
mereka akui sebagai sumber kehidupan dan bernilai sacral karena terkait
dengan norma-norma aturan adat. Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan
akan diketahui penerapannya dan penyesuaiannya dengan penerapan hukum
positif yang diawali oleh rezim kolonial dan akan diteruskan oleh pemerintah
nasional.
A. Kepemilikan Tanah Penduduk
Kepemilikan tanah pada penduduk pribumi di Indonesia pada masa lalu
telah banyak diteliti oleh para ilmuwan, baik ilmuwan asing maupun ilmuwan
Indonesia sendiri. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, kepemilikan tanah
menjadi objek kajian yang menarik bagi sejumlah besar ilmuwan Belanda.
Terlepas dari kepentingan yang berada di balik proyek penelitian tersebut, hasil
kajian mereka bisa menjadi sumber informasi dan referensi untuk
ditindaklanjuti oleh para peneliti lain termasuk juga peneliti Indonesia.
Berlimpahnya hasil kegiatan penelitian ini mengarah pada terjadinya
polemic yang tak berakhir di kalangan para ilmuwan Belanda, khususnya di
bidang ilmu hukum yang terkait dengan pengkajian sistem agraria di tanah
koloni Hindia Belanda. Polemic ini kemudian menghasilkan adanya perbedaan
2
3
132
Circulaire aan de hoofden van Gewestelijk Bestuur op Java en Madoera, 28 October
1875, dimuat dalam Bijblad no. 2936.
Bahkan ketika Parlemen Belanda disibukkan dalam pembicaraan tentang
pengesahan Agrarische Wet pada tahun 1866, Menteri Koloni E. de Waal saat itu
menyatakan hak tanah orang-orang pribumi masih sangat lemah dan tunduk pada
aturan adat yang tidak bisa dengan mudah diabaikan oleh penerapan hukum Barat
meskipun menjanjikan prospek yang lebih baik (gebrekkige grondrecht,
overdriven eerbiet voor hadats inoeten wijken voor een beter stelsel). Periksa
Anon,"De koloniale staatkunde tegenover het Buitenland", dalam Tijdschrift voor
Nederlandsch Indie, tahun 1867, jilid 1, halaman 187.
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
pandangan, yang mengkristal dalam dua kelompok atau mazhab besar di Negeri
Belanda. Kedua mazhab ini tidak bisa saling ditemukan setidaknya sampai
rezim kolonial Belanda mengakhiri kekuasaannya di Indonesia, dan sering
menimbulkan masalah di kalangan para pejabat administrative kolonial yang
ditempatkan di Hindia Belanda ketika mereka diperintahkan untuk menjadikan
dua mazhab sebagai referensi utama dalam kebijakannya. 4
Mazhab pertama dikenal sebagai mazhab Leiden, yang dipelopori oleh C.
Van Vollenhoven. Dalam penelitiannya, Van Vollenhoven menyebutkan bahwa
kepemilikan tanah yang dipegang oleh orang pribumi di Hindia Belanda berasal
dari upaya mereka yang didorong oleh kebutuhan untuk membuka lahan. Hal
ini terkait dengan perubahan sistem pengolahan tanah dari perladangan yang
nomaden menjadi persawahan yang permanen. Sebagai konsekuensinya mereka
yang kemudian membuka, menggarap dan akhirnya menghuni lahan tersebut
dianggap sebagai pemilik tanah (primus inter pares) sekaligus pendiri
pemukiman komunal. Dan situ muncul pandangan bahwa tanah merupakan milik
rakyat (volksdomein).5
Sesuai dengan perkembangannya, mengingat penduduk pribumi masa itu
tidak mengenal bentuk kepemilikan individu, sistem kepemilikan bertumpu
pada ikatan kolektif yang menghasilkan bentuk komunal. Apa yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa lahan yang mereka garap dan huni
merupakan milik bersama, dengan pembagian hasil pada scat panen. Namun
demikian mereka juga berkepentingan untuk menegaskan hak atas lahan itu
terhadap adanya potensi ancaman dari luar kelompok komunal tersebut,
khususnya mereka yang bukan menjadi anggota kerabat besarnya.
Ketika jumlah warga yang menghuni dan menggarap lahan tersebut terns
bertambah, standard penilaian yang mereka terapkan atas tanah masih
bertumpu pada produktivitas. Dalam perhitungannya, produksi tanah
merupakan nilai tanah dan bukan luas tanah. Oleh karena itu kesuburan tanah
akan lebih menentukan jenis tanah daripada lokasi atau luas lahan. Dengan
4
5
Pada umumnya kelompok Utrecht menuduh para ilmuwan di Leiden sebagai
kembali pada hukum alam yang tidak lagi relevan untuk mengatur dan
memerintah tanah koloni berdasarkan sistem pemerintahan modern. Salah satu
tokoh Utrecht, Profesor de Louter, menyerang Van Vollenhoven dengan
pendekatan positivis dianggap lebih tepat menurut aliran Utrecht untuk
menganalisis dan menghasilkan kajian bidang hukum bagi tanah koloni. Periksa
W.P. Heere and J.P.S Offerhaus, International Law in Historical Perspective
(The Hague, 1998, Kluwer Publ), halaman xvii.
Dalam hal ini apa yang dimaksud Van Vollenhoven sendiri sebenarnya bukan hak
milik dalam arti eigendom seperti pengertian hukum Barat. Ia menyebutnya dengan
hak pertuanan atau penguasaan (beschikkingsrecht) yang berlaku sama seperti hak
ulayat. Pada prinsipnya hak ini tidak mengenal pengalihan hak (vervreemdelingen)
atas tanah yang dibuka bersama. Dari situ paradigma dalam pandangan hukum adat
Barat tentang hubungan hukum antara individu dan komunitasnya muncul, yaitu
keseimbangan antara hak individu dan hak komunal. Periksa Svein Aass, "Relevansi
Teori Makro Chayanov untuk kasus Pulau Jawa", dalam Sediono M.P. Tjodronegoro
dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari masa ke masa (Jakarta, 2008, Yayasan Obor), halaman 144.
133
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
menggunakan produksi sebagai standard ukuran, nilai yang lebih tinggi akan
diberikan pada lahan yang subur termasuk fasilitas pendukungnya seper ti
aliran sungai. Sebaliknya lahan hutan dan tanah rumput yang luas dianggap
bernilai lebih rendah dibandingkan persawahan. 6
Karena prioritas pada nilai produksi dan ikatan primordial di antara mereka
yang menggarapnya, kepemilikan atau penguasaan lahan model ini tidak
mengenal hal milik individu meskipun penguasaan oleh individu semakin lama
bisa terjadi. Pertumbuhan jumlah warga yang terlibat mendorong pada
terbentuknya pola pemukiman permanen, seiring dengan terpenuhinya kehidupan
subsistensi mereka. Hal ini juga mempengaruhi pola pembagian lahan bagi
masing-masing warga, yang meskipun tidak bisa melepaskan diri dari ikatan
primordial, secara perlahan berhasil menegaskan hak penguasaannya
(beschikkingsrecht) atas tanah yang selama ini mereka garap dan mereka huni,
khususnya terhadap intervensi warga lain yang datang dari luar. 7
Bentuk kepemilikan lahan yang demikian telah memperkuat institusi
primordial dalam hubungan horizontal, yaitu antara warga dan keluarga induknya.
Hubungan antara anggota dan keluarga induk semakin diperkuat dengan
institusionalisasi kehidupan sosial komunitas itu, yang tumbuh dalam bentuk
ikatan komunal. Ketika sistem administrative diterapkan pada ikatan komunal
dengan munculnya kampung atau desa, ikatan desa menjadi perwujudan ikatan
horizontal. Bertolak dari sini, setiap anggota keluarga menjadi warga desa dan
sistem penguasaan tanah (beschikkingsrecht) komunal diperkuat dengan
pelembagaannya oleh desa, yaitu dengan adanya institusi tanah desa, lumbung
desa, banda desa, dan tanah-tanah lain bagi kepentingan bersama seperti makam,
rumah ibadah, dan sebagainya. Masing-masing anggota atau warga ikut
bertanggungjawab mewujudkan kepemilikan komunal institusional demikian
melalui penyetoran sebagian hasil produksi tanahnya kepada lembaga-lembaga
sosial desa.8
6
7
8
134
Rendahnya nilai kedua asset itu karena pertimbangan manfaat bagi penggunanya.
Ketika prioritas manfaat tertinggi diberikan pada sumber produksi yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup pertama bagi penggarapnya, maka tanah yang
menghasilkan tanaman pangan akan mendapatkan nilai tertinggi, sebab dari situ tanah
bisa menentukan kehidupan manusia. Dari sini muncul dua unsure penting dalam
hukum adat mengenai tanah, yaitu sifat dan fakta. Menurut sifatnya, tanah menjadi
symbol kekuasaan karena pemilik tanah akan mengendalikan mereka yang bergantung
padanya. Sementara itu menurut faktanya, tanah menjadi tempat berinteraksi, sumber
penghasilan dan tempat tinggal. Periksa C. van Vollenhoven, Indonesier en zijn grond
(Leiden, 1932, E.J. Brill), halaman 3-4.
Menurut Collenbrander, dalam pemahaman masyarakat adat tentang penguasaan
tanah, hak ini sering sulit dibedakan antara hak penguasaan dan hak kepemilikan. Bagi
para ahli hukum Badat Barat, kesulitan ini diperparah dengan tidak adanya data
tertulis yang mendukung dan menjelaskan kewenangan mereka atas tanah. Periksa
H.T. Collenbrander, Koloniale Geschiedenis, derde deel: Nederlandsch Oost Indie
sedert 1816 ('s Gravenhage, 1926, Martinus Nijhoff), halaman 54.
Menurut konsep van Vollenhoven, meskipun dikenal sebagai institusi sosial komunal,
desa sendiri juga tidak memiliki legalitas yang kuat sebagai pemilik tanah di seluruh
wilayahnya. Menurutnya, desa hanya memiliki sisa-sisa dari hak penguasaan pribumi
lama (oudinheeinsche beschikkingsrecht), sehingga ketika pada suatu saat terjadi
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
Pola serupa juga muncul tetapi mengarah pada bentuk institusi yang berbeda
dan akhirnya memunculkan suatu struktur kepemilikan tanah yang berlainan
dengan konsep volksdomein Van Vollenhoven. Pola kedua ini oleh seorang ahli
sejarah agraria G.P. Rouffaer disebut sebagai Vorstdomein, atau tanah milik raja.
Rouffaer bertolak pada pandangan bahwa hanya penguasa yang memiliki tanah,
sementara mereka yang menjadi kawulanya hanya meminjam atau menumpang
dalam menggarap tanah penguasa demi kepentingan mendapatkan sebagian hasil
produksinya.
Seperti halnya konsep Volksdomein, Vorstdomein juga menunjukkan
kesamaan setidaknya dalam dua hal : pembukaan lahan pertama (ontginning)
oleh orang pertama yang menjadi cikal bakal pemukiman (primus inter pares)
dan pengaturan penggunaan serta penguasaan lahan dengan nilai-nilai adat yang
tumbuh pada komunitas itu. Mereka yang ikut menikmati lahan itu
(genotsrecht) juga memiliki ikatan primordial seperti halnya yang berlaku pada
prinsip Volksdomein.9
Perbedaannya terletak pada perkembangan institusi politik yang dilakukan
oleh pembuka lahan (ontginner). Jika pada prinsip volksdomein, ikatan komunal
berkembang secara horizontal dan bersifat lokal, pada prinsip vorstdomein ikatan
komunal berkembang menjadi ikatan feodal yang vertikal, seiring dengan
pertumbuhan kelompok lokal dari kelompok sosial menjadi kelompok politik, yaitu
didasarkan pada praktek dan hubungan kekuasaan. Dari kelompok lokal, apakah
sesuai dengan rencana pembukanya atau tergantung pada perkembangan situasi,
satuan sosial tumbuh menjadi kekuatan politik yang akhirnya terlembaga dalam
Riau unit administrative tradisional yang disebut kerajaan.10
Dengan bentuk institusi politik seperti kerajaan, nilai-nilai sosial yang
diadopsi dan sering juga dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan seperti Islam dan
9
10
perputaran dalam pembagian tanah kembali setelah rotasi beberapa kali panen di
antara warganya, institusi desa tidak mampu menolak permintaan dan mengubah
kebiasaan ini. Periksa C. Lekkerkerker, Land en Volks van Java, vol L (Amsterdam,
1938, J.B. Wolters), halaman 569.
Dalam bahasa Jawa atau Sunda dikenal dengan istilah yasa, yang berarti membuat
atau mencipta. Dengan merujuk istilah ini, kata tanah yasan berarti adalah tanah
yang dibuka. Dalam aturan adat mereka diakui bahwa hak atas pembukaan ini bukan
berasal dari penguasaan oleh pemerintah atau penguasa, melainkan menjadi hak
tanah mereka sendiri. Periksa Willem Philip Scheuer, Het grondbezit in de
Germaansche mark en de Javaansche dessa (Rotterdam, 1885, Wed. F.G.
Mortelmans), halaman 243.
Menurut Benedict Anderson, perbedaan antara primus inter pares rakyat dan raja
adalah bahwa primus interpares pada raja tampil sebagai pendiri dinasti, bukan hanya
pendiri komunitas. Sebagai pendiri dinasti, is sering melakukan suatu tindakan keras
yang menghancurkan symbol-simbol dinasti lama. Ini terjadi pada Raden Wijaya di
Majapahit, Raden Patah di Demak, Sutowijoyo di Mataram dan Pangeran
Mangkubumi di Yogyakarta. Dengan menegaskan symbol-simbol kekuasaan barn,
pendiri dinasti bukan hanya mendapatkan kekuasaan tetapi juga keabsahan yang
tidak bisa dibantah. Hal ini tidak terjadi pada para primus inter pares yang hanya
sampai pada pembentuk komunitas lokal. Periksa Benedict. G.O. Anderson,
Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia (Jakarta, 2006,
Equinox Publ.), halaman 39.
135
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Hindu, berubah menjadi aturan hukum. Aturan-aturan hukum ini mengatur segala
aspek kehidupan sosial masyarakat yang kemudian dilengkapi dengan sanksi dan
hak bagi para pelaksanannya. Sementara itu hubungan antara mereka yang
kemudian dilimpahi oleh kewenangan dan kekuasaan politik, dan mereka yang
wajib patuh kepadanya diletakkan pada konsep kosmologis yang bersumber pada
filosofis keagamaan (kultus dewa-raja dalam Hindu, dan kalifatullah dalam
Islam).11
Bertolak dari konteks ini, muncul kewenangan raja atau penguasa untuk
menguasai seluruh lahan yang ada di bawah kewenangannya. Dua sumber hukum
menjadi dasar dari tuntutan ini : statusnya sebagai pembuka lahan sekaligus cikal
bakal daerah itu, dan dukungan filsafat-ideologis yang mewarnai hubungan
kekuasaan. Berdasarkan keduanya, raja menjadi penguasa mutlak atas seluruh
tanah yang ada di bawah kekuasaan politiknya (salumahing bumi, sakurebing
langit, hamung narendra kang wenang murba lan misesa).12
Dengan berlandaskan pada konsep tersebut, rakyat sebagai kawulanya
mengakui hak penguasaan raja ini dalam hubungan patron-klien yang
bertumpu pada ikatan primordial atau ikatan feodal. Mereka merasa bahwa
dengan menggarap tanah yang dianggap sebagai milik penguasa, sebagian
besar hasilnya menjadi hak penguasa dan mereka harus puas dengan sisa
produksinya selain ditambah dengan hak perlindungan dan berkah yang
dianggap memancar dari pusat kekuasaan. Dengan demikian dalam prinsip
vorstdomein terdapat ketergantungan dalam hal kepemilikan tanah, yang
sepenuhnya dipegang oleh penguasa. 13
11
12
13
136
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau
(Jakarta, 1985, Yayasan Obor), halaman 32-33. Pandangan tersebut tidak bisa
dilepaskan dari konsep kosmologi yang awalnya bersumber dalam konsep kekuasaan
Hindu, ketika raja menduduki posisi penting antara alam makrokosmos dan
mikrokosmos. Dalam hal ini sebagai titisan dewa, raja menjadi penghubung antara
alam manusia dan alam di atas manusia (supranatural sphere). Dalam konteks Islam,
posisi tersebut tidak berubah kecuali dalam hal penyebutan yaitu dengan gelar sebagai
Kalifatullah Sayidin Panatagama Ngabdulrachman, yang memberi raja kewenangan
dan kekuasaan sangat besar.
Stuart Wilson and Singgih Wibisono, Javanese English Dictionary (Singapore, 2002,
Periplus), halaman 246. Meskipun dalam perkembangannya muncul interpretasi yang
berbedabeda mengenai ungkapan tersebut, pada prinsipnya maknanya tetap yaitu
melukiskan kekuasaan mutlak raja-raja Jawa atas kehidupan kawulanya di seluruh
wilayah kekuasaannya. Di era Kerajaan Mataram Islam pada abad XVI-XVII,
pandangan kekuasaan ini dipertegas lagi dengan adanya tambahan gung binathara
baudenda hanyakrawati wenang wisesa ing saknegari (berkuasa mutlak dan tak
terbatas atas seluruh negeri, sekaligus menjadi pengendali hukum dan penguasa
duniawi). Periksa G. Moedjanto,"Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo
Dulu" dalam Hans Antlov and Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa, Perintah Alus,
Pemerintahan Otoriter (Jakarta, 2001, Yayasan Obor), halaman xvii.
D.H. Burger, Structural Changes in Javanese Society: the Supravillage Sphere
(Cornell, 1956, Cornell University Press), halaman 29. Hubungan antara penguasa
atau raja dan kawulanya dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi tradisional di
Jawa ini didasarkan pada ikatan primordial yang diatur berdasarkan kewilayahan.
Ketika kekuasaan raja diambil alih oleh pemerintah kolonial, praktis hak-hak
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
B. Penerapan Hukum Positif
Ketika pemerintah jajahan Belanda mulai memperluas lingkup
kekuasaannya dari wilayah yang telah didominasi oleh VOC pada akhir abad
XVIII, mereka menjumpai bahwa dua prinsip kepemilikan tanah di atas berlaku
di Jawa. Di wilayah yang tidak berada di bawah kekuasaan raja-raja, yaitu
wilayah di luar Banten, Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta, prinsip
volksdomein lebih banyak berlaku, meskipun juga dengan sedikit sisa-sisa
prinsip vorstdomein yang masih bisa ditemukan. Khususnya bagi daerah yang
telah dianeksasi dari raja-raja pribumi, prinsip vorstdomein masih tersisa pada
para bupati setempat, yang akhirnya dihapuskan oleh Gubernur Jenderal H.W.
Daendels ketika para bupati dijadikan pegawai pemerintah dan dimasukkan
dalam korps birokrasi kolonia1. 14
Ironisnya, meskipun rezim kolonial telah melikuidasi sisa sistem
vorstdomein di bawah kekuasaannya, justri sistem yang berlaku tetap
dipertahankan untuk menopang kepentingannya. Preangerstelsel, yang
diterapkan di Priangan sejak akhir abad XVII, dan kemudian juga Kultuurstelsel
yang diberlakukan sebagai kebijakan eksploitasi agraria sejak 1830 di tanahtanah pemerintah, menunjukkan dengan jelas penerapan kembali sistem
vorstdomein namun dengan pemerintah kolonial yang menggantikan peran dan
posisi raja-raja. Dalam kedua sistem ini, pemerintah kolonial menjadi sponsor
utama bagi eksploitasi ekonomi. Meskipun untuk memudahkan pelaksanaan
kebijakannya kepemilikan tanah secara komunal di kalangan masyarakat
diperkuat, prinsip itu bukan untuk mengakui kepemilikan oleh penduduk
melainkan demi kepentingan produktivitas yang menguntungkan bagi tuntutan
pemerintah, baik dalam bentuk hasil bumi maupun tenaga kerja
(heerendiensten).15
14
15
kekuasaannya beralih kepada pemerintah Belanda termasuk juga hak pengaturan atas
kepemilikan tanah kawulanya.
Sebelum pemerintahannya, di bawah rezim VOC para bupati masih dipertahankan
posisi dan statusnya seperti di masa kekuasaan raja-raja Jawa. Mereka bertindak dan
memiliki kewenangan seperti raja-raja kecil termasuk juga dalam hal penguasaan
tanah. Di bawah pemerintahan Daendels, bupati diubah statusnya menjadi bagian dari
korps pemerintahan, atau dengan kata lain dijadikan sebagai pegawai pemerintah
dengan gaji tetap. Perubahan status ini membawa dampak bahwa bupati tidak lagi
memiliki tanah-tanah jabatan atau menjadi penguasa tanah lokal dan juga tidak berhak
mendapatkan pelayanan kerja wajib dari rakyatnya. Periksa H.W. van den Doel, Het
Rijk van Insulinde: Opkomst en Ondergang van een Nederlandse Kolonie
(Amsterdam, 1996, Promotheus), halaman 15.
Kerja wajib bersumber dari pemahaman yang muncul di wilayah raja (vorstdomein),
yaitu bahwa mengingat semua yang hidup dan mati adalah milik raja (rajapati,
rajakaya, rajabrana), kawula wajib mempersembahkan tenaga dan hasil kerjanya. Jika
hasil kerja diwujudkan sebagian dari panen tanah, persembahan tenaga muncul dalam
bentuk kerja wajib. Kerja wajib terdiri atas kerja bagi raja atau penguasa, bagi istana,
bagi masyarakat dan bagi komunitasnya. Kerja bagi masyarakat dan komunitasnya
sering juga disebut dengan istilah kerja bakti. Mengenai pemahaman kerja wajib
sebagai pengganti upeti, bisa dilihat pada Anon, Regeling der heerendiensten op Java
('s Gravenhage, 1866, J.A. de la Vieter), halaman 4-5.
137
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Namun demikian bersamaan dengan kemerosotan produktivitas
Kultuurstelsel yang diikuti oleh serangan gencar dari pihak kelompok
pengusaha swasta di belakang partai liberal dalam parlemen Belanda (Staten
Generaal) terhadap monopoli pemerintah, kesadaran mulai tumbuh di antara
para petinggi dan politikus Belanda baik di Den Haag maupun di Batavia,
bahwa kepastian hukum di tanah koloni sangat diperlukan. Hal ini penting
untuk meletakkan fondasi yang kuat bagi perkembangan lebih lanjut sistem
administrasi kolonial yang semakin mengarah pada model legal-rasional.
Dengan kepastian hukum, bukan hanya terdapat batasan yang jelas antara hak
dan kewajiban, melainkan juga ada penegasan dalam hubungan antara negara
induk di Eropa dan tanah koloni.
Akan tetapi yang paling penting dalam perubahan ini adalah bahwa kepastian
hukum diperlukan untuk menjamin kelangsungan eksploitasi ekonomi, yang tidak
lagi menjadi monopoli negara melainkan juga bagi kepentingan modal swasta.
Meskipun sejak tahun 1818 peluang bagi investasi telah terbuka, barn pada tahun
1850an perhatian lebih besar dicurahkan ke situ. Sementara itu investasi modal
swasta bukan hanya menuntut penghapusan monopoli negara melainkan juga
kejelasan dalam hal hak-hak individu atas tanah dan hubungan antara penguasaan
tanah dan keberadaan institusi sosial. Melalui kejelasan ini, kalangan swasta
menggunakan sebagai sarana untuk menuntut penghapusan dominasi pemerintah
dengan alasan memaksimalkan eksploitasi tanah koloni sekaligus meningkatkan
kesejahteraan penduduk pribumi yang selama ini terkekang oleh dominasi
Kultuurstelsel.16
Setelah melewati perdebatan yang panjang sejak tahun 1848, akhirnya
Parlemen Belanda memutuskan akan mengeluarkan sebuah peraturan yang
digunakan sebagai sumber rujukan bagi ketetapan hukum di tanah koloni. Peraturan
ini dikenal dengan nama Regeerings Reglement yang diundangkan pada tahun 1854,
sebagai landasan hukum tertinggi di tanah koloni. Di samping isi dari peraturan barn
ini, nuansa yang muncul dengan pengundangannya menunjukkan bahwa sudah
waktunya peraturan yang bertumpu pada hukum positif Barat diberlakukan di tanah
koloni, mengingat semua tujuan yang dimaksudkan di atas tidak mungkin bisa
terwujud tanpa menggunakan sistem hukum Barat. Oleh karena itu semua hukum
yang berlaku di Belanda juga berlaku di tanah koloni, atau setidaknya tanah koloni
memiliki peraturan yang modelnya merujuk pada perundangan di negara induk
(azas konkordansi). Semua peraturan ini dinyatakan berlaku bagi semua kawula
16
138
Kritik yang semakin keras dari kalangan swasta terhadap Kultuurstelsel muncul sejak
terjadinya kemerosotan produksi yang membuktikan ketidakmampuan negara
mengendalikan monopolinya atas produktivitas program ini. Kasus kelaparan di
sejumlah daerah yang meskipun terkait juga dengan kondisi alam digunakan sebagai
sarana untuk menyerang pemerintah agar segera melepaskan monopoli dan
mengakhiri Kultuurstelsel, sambil memberikan peluang semakin besar bagi investasi
modal swasta. Periksa Cornelis Fasseur, The Politics of Colonial Exploitation: Java,
the Dutch, and the Cultivation System (Ithaca, 1992, Cornell University Press),
halaman 124-125.
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
pemerintah kolonial, sedangkan penduduk pribumi diberikan kebebasan untuk
mengikutinya.17
Dalam peraturan yang diterbitkan itu, pemerintah kolonial bukan
hanya mengakui status klasifikasi kelompok yang menghuni tanah koloni
Hindia Belanda (ingezetenen van Nederlandsch Indie), namun juga mengenai
pengakuan terhadap hak orang pribumi atas tanah yang juga dilindungi oleh
pemerintah kolonial. Hal ini terlihat dari pasal 62 peraturan tersebut sebagai
berikut:
De Gouverneur Generaal mag gene gronden verkoopen. In dit verbod, zijn
niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd tot uitbreiding van steden en
dorpen en tot het oprichten van inrichtingen van nijverheid. De Gouverneur
Generaal kan gronden uitgeven in huur, volgens tregels, bij algemeene
verordening te stellen. Onder die gronden worden niet begrepen de zoodanige,
door de inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit eenigen anderen
hoofed tot de dorpen of dessa's behoorende. Volgens regels bij algemeene
verordening te stellen, worden gronden afgestaan in erfpacht voor niet langer
dan vijf-en-zeventig jaren. De Gouverneur Generaal zorgt dat geenerlei afstand
van grond inbreuk gemaakt op de rechten der inlandsche bevolking.
Gubernur Jenderal tidak boleti menjual tanah. Dalam larangan ini, tidak
termasuk petak-petak tanah kecil yang dimaksudkan bagi perluasan kota-kota
dan desa-desa dan untuk mendirikan infrastruktur industri. Gubernur Jenderal
bisa menyewakan tanah-tanah menurut aturan yang ditetapkan dalam
peraturan umum. Dalam tanah-tanah ini tidak termasuk tanah-tanah yang
digarap oleh orang pribumi atau sebagai lahan pengembalaan, atau karena
alasan lain termasuk milik desa atau dusun. Menurut aturan-aturan yang
ditetapkan dalam peraturan umum, tanah-tanah ini diserahkan dalam bentuk
hak sewa erfpacht selama tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun. Gubernur
Jenderal memperhatikan agar tidak ada pelepasan tanah yang melanggar hakhak penduduk pribumi.
Ketentuan tersebut di atas, meskipun masih dalam nuansa Kultuurstelsel
yang konservatif, mulai menunjukkan adanya pandangan pemerintah untuk
mengakui hak-hak penduduk dan melindunginya terhadap pelanggaran.
Terlepas dari aplikasinya, semangat yang berada di balik penyusunan
peraturan tersebut menunjukkan adanya niat dari negara untuk mulai
memperhatikan hak-hak penduduk atas tanah.
Hal ini semakin jelas dalam ketentuan berikutnya :
Over gronden door inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene
weide of uit eenigen anderen hoofed tot de dorpen behoorende, wordt door den
17
G.J. Resink, "Conflictenrecht van de Nederlands-Indische staat in internationaalrechterlijke setting" dalam Bijdrage tot de Koloniaal Instituut (BKI), tahun 1959,
jilid 115, halaman 2. Dasar pemikiran ini adalah bahwa Dewan Negara (Raad van
Staat) pada tahun 1845 memutuskan dalam sidangnya bila tanah koloni Hindia
bukan merupakan wilayah atau negara asing, melainkan bagian yang tak
terpisahkan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu adalah wajar apabila hukum
yang berlaku di Kerajaan Belanda juga berlaku di tanah koloninya.
139
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Gouverneur Generaal niet beschikt dan ten algemeenen nutte, op den voet van
art 77 en ten behoove van de op hoog gezag ingevoerde cultures volgens de
daarop betrekkelijke verordeningen, tegen behoorlijke schadeloostelling. Grond
door inlanders in erfelijk individueel gebruik bezeten, wordt, op aanvraag van
den rechtmatigen bezitter, aan dezen in eigendom afgestaan onder de noodige
beperkingen, bij algemeene verordening te stellen en in den eigendomsbrief uit
te drukken, ten aanzien van de verplichtingen jegens den lande en de gemeente
en van de bevoegheid tot verkoop aan niet-inikanders. Verhuur of in-gebruikgeving van grond door inlanders aan niet-inlanders geschiedt volgens regels, bij
algemeene verordening te bepalen.
Tentang tanah-tanah yang dibuka untuk digunakan sendiri oleh orang pribumi,
atau sebagai lahan penggembalaan umum atau karena alasan lain termasuk
milik desa, oleh Gubernur Jenderal tidak bisa dikuasai kecuali demi
kepentingan umum, atas dasar pasal 77 (Regeerings Reglement) dan demi
kepentingan perkebunan yang dikelola oleh penguasa menurut peraturan yang
terkait, dengan pembayaran ganti rugi yang memadai. Tanah yang dikuasai
hak pakainya secara individu turun-temurun oleh orang pribumi, atas
permohonan pemiliknya yang sah, bisa diserahkan nkepada pemerintah hak
kepemilikannya dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan, seperti yang
ditetapkan dalam peraturan umum dan dimuat dalam surat hak milik,
sehubungan dengan kewajiban terhadap negara dan komunitas serta wewenang
untuk menjual kepada non-pribumi. Persewaan atau penyerahan hak pakai
tanah oleh orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut aturanaturan yang ditetapkan dalam peraturan umum.
Dalam ketentuan ini tampak adanya dua hal penting : pemerintah mulai
mengarahkan pada hak milik tanah oleh orang pribumi (eigendom), dan
pemerintah tetap menegaskan kewenangannya sebagai penguasa atas tanah di
seluruh wilayah koloni, termasuk juga mengorbankannya apabila memang
negara atau kepentingan umum membutuhkan lahan itu. Dengan demikian,
fakta yang dualistis ini mengarah pada adanya suatu sistem kepemilikan tanah
dengan negara sebagai pihak yang paling dominan dalam struktur bare yang
dibentuk kemudian setelah 1870.
C. Perubahan menuju Hak Milik (eigendom)
Meskipun Kultuurstelsel tidak mengakui kepemilikan individu atas tanah dan
mengarah pada kepemilikan komunal demi kepentingan produktivitasnya, pada
prakteknya sistem ini justru memperkuat institusi desa sebagai pemegang
kewenangan atas tanah. Jika di masa sebelumnya desa lebih banyak bergantung
pada kehendak warganya dalam hal penggarapan dan produktivitas tanah, akibat
Kultuurstelsel kewenangan desa atas tanah diperkuat sementara hak individu
merosot tajam.18
18
140
Salah satu kebijakan pemerintah yang memperkuat institusi desa adalah dengan
merekrut para petani yang sebelum masa ini diketahui menguasai sebagian tanah
desa karena faktor keturunan, diangkat menjadi kepala desa atau aparat desa.
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
Penguatan hak desa atas tanah ini tampak dari adanya kewenangan desa yang
diwakili oleh aparatnya untuk menggantikan posisi individu sebagai pemegang hak
penguasaan tanah dengan orang lain selama kuota produksi tanah yang wajib
disetorkan kepada pemerintah dipenuhi. Dengan demikian ada empat cara desa
untuk mengurangi peran individu. Pertama, ketika desa menganggap bahwa
penggarap tanah itu tidak mampu memenuhi target produksi yang ditetapkan.
Kedua, memaksa individu meninggalkan desa dan tidak menggantikannya dengan
warga lain tetapi menjadikannya sebagai tanah desa. Ketiga, sistem dadal, yaitu
menempatkan tanah yang belum dibuka langsung menjadi hak kepemilikan
(bezitsrecht) desa. Keempat, desa bisa mengundang orang dari luar untuk
menggarap tanah yang dinyatakan milik desa namun tetap hanya dengan hak
menikmati (genootrecht) selama beberapa kali panen.19
Kondisi tersebut di atas secara perlahan menciptakan perubahan baru dalam
sistem kepemilikan tanah. Meskipun kewenangan institusi desa diperkuat, konsep
hak penguasaan perlahan-lahan tergeser dengan hak kepemilikan (bezitsrecht).
Dalam hal ini ada dua pihak yang paling berperan : desa itu sendiri dan
pendatang dari luar desa yang berpeluang untuk menguasai tanah meskipun pada
mulanya hanya terbatas menikmati hasilnya (genotsrecht). Kemunculan
pendatang dari luar desa otomatis telah menandai memudarnya ikatan komunal
desa dan hal ini akan berpengaruh pada kepemilikan tanah lebih lanjut.20
Ketika pada tahun 1870 Parlemen Belanda mengesahkan Undang-Undang
Agraria (Agrarische Wet) yang berlaku untuk wilayah koloninya di Jawa dan
Madura, salah satu pasalnya menjamin hak-hak penduduk pribumi yang tercatat
sebagai berikut:
19
20
Akibatnya dia hams bertanggungjawab pada pasokan kuota hasil bumi desanya yang
ditetapkan oleh pemerintah dan statusnya, meskipun is masih membawahi petani
numpang atau orang bujang yang tinggal di rumahnya, merosot menjadi abdi
pemerintah daripada orang kaya desa. Namun demikian hal ini justru memperkuat
desa sebagai institusi yang menjadi ketergantungan pemerintah bagi pelaksanaan
Kultuurstelsel. Periksa Nicolaas Gerard Pierson, Het kultuurstelsel: zes voorlezingen
(Amsterdam, 1868, P.N. van Kampen), halaman 22-23.
C. Van Vollenhoven, Javaansch adatrecht : Overgedrukt uit het adatrecht van
Nederlandsch Indie (Leiden, 1923, E.J. Brill), halaman 108. Menurut Van
Vollenhoven semua praktek ini diijinkan oleh pemerintah dan dimungkinkan oleh
sistem Kultuurstelsel. Karena tuntutan yang berlebihan dan menciptakan beban berat,
banyak orang tidak lagi mampu bekerja dan memilih untuk meninggalkan desa dan
mencari lahan barn yang bebas dari aturan eksploitasi tersebut. Kesempatan itu
dimanfaatkan untuk memperkuat posisi desa dan menguntungkan bagi aparat desa, di
samping juga membuka peluang bagi orang di luar desa untuk mulai ikut
mengeksploitasi tanah komunal.
Meskipun hak menikmati hasil (genotsrecht) di desa sudah ada sejak pembukaan
pertama lahan tanah itu, pelimpahannya kepada orang luar baru bisa terjadi setelah
adanya pembagian permanen dari tanah-tanah komunal untuk digunakan oleh setiap
individu warganya (gebruikrecht) dan akhirnya mengarah pada kepemilikan
(bezitsrecht). Dengan demikian yang dimaksudkan pelimpahan genotsrecht sebenarnya
adalah hak menggarap individu (persoonlijk gebruikrecht) dan memetik hasil, bukan
memiliki tanah. Periksa M.L.M. van der Linden, De gronverhuring door inlanders aan
niet-inlanders op Java en Madoera: vastgesteld door ordonnantie van 27 Augustus
1900 (Rotterdam, 1907, Masereeuw en Bouten), halaman 134.
141
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Over gronden, door inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene
weide of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen behoorende, wordt door den
Gouverneur Generaal niet beschikt dan ten het algemeenen nut op den voet van
art 77 en ten behoove van de op hoog gezag ingevoerde cultuurs volgens de
daarop betrekkelijk verordeningen, tegen behoorlijk schadellostelingen. Grond,
door inlanders erfelijk individueel gebruik bezeten, wordt, op aanvraag van den
regelmatigen bezitter, aan dezen een eigendom afgestaan onder de noodige
beperkingen, bij algemeene verordening te stellen en in den eigendomsbrief
uitdrukken, ten aanzien van verplichtingen ferns den lande en de gemeente van
de bevoegheid te verkoop aan niet-inlanders.21
Tentang tanah-tanah yang dibuka oleh orang pribunii untuk digunakan sendiri,
apakah sebagai lahan penggembalaan atau karena alasan lain termasuk milik
desa, oleh Gubernur Jenderal tidakmbisa dikuasai kecuali demi kepentingan umum
atas dasar pasal 77 dan demi kepentingan tanaman yang ditanam oleh pemerintah
menurut peraturan terkait untuk itu dengan ganti rugi yang memadai. Tanah yang
digunakan oleh orang pribumi secara individu turun-temurun, atas permohonan
pemiliknya yang sah, bisa diserahkan kepadanya menjadi hak milik dengan
pembatasan-pembatasan yang diperlukan, ditetapkan dalam peraturan umum dan
dicetak dalam surat bukti hak milik, sehubungan dengan kewajibankewajibannya
terhadap negara dan masyarakat yang berwenang untuk menjualnya kepada orang
non-pribumi.
Dalam pasal tersebut terdapat suatu ketentuan yang menegaskan dua hal :
pengakuan pada kepemilikan individu (indivueel gebruik bezeten), meskipun pada
mulanya hanya terbatas pada hak pakai, dan peluang untuk menjadikannya sebagai
hak milik individu secara mutlak (eigendom) termasuk menjualnya kepada orang
non-pribumi, meskipun masih berada dalam batas-batas tertentu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, sejak tahun 1870 bisa dikatakan ada
perubahan besar dalam apa yang disebut sebagai hak milik tanah bagi orang
pribumi. Dengan adanya status hak milik yang jelas, hak-hak materi individu
secara utuh diakui sehubungan dengan kepemilikan atas tanah oleh pemerintah,
bahkan pemerintah sendiri tidak bisa melanggarnya kecuali jika kepentingan
umum menuntutnya.
Namun demikian proses menuju perubahan menuju hak milik bukan
merupakan sesuatu yang mudah. Selain latar belakang budaya dan adat yang
berbeda dengan masyarakat Barat, pada orang pribumi nilai-nilai hukum materi
yang menyangkut tanah saat itu juga masih rendah, di samping nilai-nilai ikatan
adat komunal masih terasa sebagai akibat dari Kultuurstelsel.22 Hal ini seperti
yang tampak pada kasus yang tercantum di bagian awal tulisan ini.
21
22
142
Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1870, no. 55. Peraturan ini
sebelunmya dikenal sebagai UU tanggal 6 April 1870 dan dicantumkan dalam
Lembaran Negara Belanda tahun 1870 nomor 71.
Sulitnya mengikis sisa-sisa adat Kultuurstelsel ini bersumber pada tradisi budaya yang
tumbuh dalam masyarakat Jawa tradisional. Gubernur Jenderal, kemudian Menteri
Koloni, J.C. Baud menyatakan bahwa sistem kepemilikan lahan komunal yang
ditopang oleh kerja bersama seperti gotong royong sangat sesuai bagi pengembangan
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
Salah satu kendala yang pertama-tama menghambat penyesuaian hak
orang pribumi atas tanah adalah bahwa selain nilai-nilai adat, hak atas tanah
pribumi juga diatur dengan nilai-nilai yang dimuat dalam hukum Islam.
Menurut hukum Islam, setidaknya ada dua jenis tanah yang berlaku: tanah
milik penguasa Islam dengan penduduk yang tinggal di atasnya atau
menggarapnya dan memetik hasilnya, serta tanah yang menjadi milik individu.
Hukum Islam mengakui bahwa mereka yang mengaku memiliki tanah akan tetap
diakui apabila membayar upeti kepada penguasa, sebagai bukti ketundukkannya
sementara penguasa akan melindungi dirinya dan hak-haknya.23
Bersama dengan sistem adat yang berlaku, hukum Islam di atas diberlakukan
terutama pada tanah-tanah yang dikuasai oleh raja-raja Jawa. Namun demikian
setelah pemerintah Belanda menganeksasi wilayah mereka, sistem tersebut ternyata
tetap dipertahankan dan pemerintah kolonial cenderung menggantikan status raja.
Kultuurstelsel, dan juga Agrarische Wet 1870 yang meskipun menghapuskan
prinsip dasar Kultuurstelsel, tetap menegaskan adanya dua pemilik tanah :
penguasa dan individu sebagai rakyat.
Mengingat dalam hukum Barat yang diterapkan oleh Belanda melalui hukum
perdata (Bergerlijke Wet) tujuan pemerintah selain untuk menguasai tanah tak
bertuan sebagai milik negara (staatsdomein) juga bermaksud untuk melindungi
penduduk atas hak-haknya, pemerintah bermaksud memberikan kepastian hukum.
Satu-satunya cara adalah dengan memberikan penegasan tentang hak milik
(eigendom recht) yang akan memudahkan pencapaian tujuan tersebut sekaligus
melakukan pendataan bagi kepentingan pembayaran pajak tanah sebagai pengganti
upeti atau bentuk sewa tanah.24
23
24
Kultuurstelsel dan akhirnya kebijakan eksploitasi ekonomi agraris permanen
pemerintah kolonial, daripada kerja bebas dan kepemilikan tanah individu. Menurut
Baud sistem ekonomi bebas ini tidak sesuai dengan budaya masyarakat Jawa. Periksa
Gerardus Hubertus van Soest, Geschiedenis van het Kultuurstelsel, vol. 3 (Rotterdam,
1871, Nijgh en van Ditmar), halaman 75.
Beberapa ahli hukum Belanda berdebat mengenai hal ini. Ada sekelompok orang
yang percaya bahwa sistem yang dianut orang pribumi, terutama di kalangan rajaraja Jawa, bertumpu pada hukum Islam khususnya dalam mengatur tanah.
Sementara itu ada yang mengatakan merupakan campuran (mengelmoe) antara
sistem kerajaan Hindu dan Islam. Kelompok ketiga justru berpendapat bahwa aturan
itu bersumber dari nilai-nilai tradisional ash masyarakat pribumi. Tetapi pada
prinsipnya mereka sepakat bahwa kepemmilikan tanah tidak bisa dilepaskan dengan
penguasaan atas hak kedaulatan untuk memerintah. Periksa Wop van W. Tadama,
Indische brieven van Mr. Wop over koloniale hervorming : proeven van wetsontwerpen voor radikale, geleidelijke en konservatieve hervormers ('s Gravenhage,
1866, Martinus Nijhoff), halaman 18.
Bentuk upeti lama (schatting) yang merupakan warisan sistem raja-raja dan
dilestarikan oleh VOC, digantikan dengan landrent atau sewa tanah yang diterapkan
oleh penguasa Inggris di Jawa pada tahun 1813. Dalam konsep landrent, Raffles
telah mendahului dengan mengikuti sistem yang berlaku di Inggris bahwa semua
tanah merupakan milik raja dan rakyat sebagai kawula hanya menyewanya. Oleh
karena itu dalam sistem ini, hak milik tanah rakyat sama sekali tidak diakui.
Pemerintah kolonial dengan Kultuurstelsel tidak menghilangkan landrent meskipun
hak kepemilikan komunal diakui. Baru pada tahun 1873 pemerintah mulai
143
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Akan tetapi langkah yang diambil tidak begitu mudah mengingat
pemahaman hak milik dalam sistem hukum Barat dan pandangan orang pribumi
berbeda. Bagi orang pribumi, hak pakai dan hak huni yang selama ini mereka
gunakan dianggap sudah mewakili hak milik, sementara menurut hukum Barat
keduanya belum mewakili hak milik mutlak. Untuk mengarah pada hak milik
mutlak, kedua hak tersebut bersama dengan sejumlah hak lain yang muncul dari
produktivitas tanah (seperti hak panen, hak petik, hak garap) diakui sebagai hak
paten (zakelijk rechten). Dengan pengakuan ini, pemerintah bisa membuat
aturan-aturan dan bahkan larangan bagi pengalihan hak (vervremden) dari
orang pribumi kepada orang non-pribumi, dengan maksud untuk melindungi
orang pribumi dari resiko kehilangan haknya. 25
Menurut pandangan pemerintah kolonial, hak paten yang diberikan kepada
orang pribumi ini bisa disebut sebagai hak kepemilikan (bezitsrecht). Di samping
mendapatkan lewat proses di atas, hak kepemilikan ini berdadsarkan ketentuan
yang ada bisa didapatkan lewat
1. Pembukaan lahan (ontginning) dan mendaftarkannya kepada petugas
pemerintah, sehingga lahan yang dibuka tidak lagi diakui sebagai hak pakai
seperti dahulu melainkan hak kepemilikan.
2. Pemberian hak atas lahan tertentu oleh pemerintah dengan status hak
kepemilikan.26
Akan tetapi selain persoalan di atas, pemerintah masih menghadapi
persoalan lain yang merupakan warisan dari sistem kepemilikan komunal
periode sebelumnya. Setidaknya diperlukan waktu lima belas tahun oleh
pemerintah untuk menghapuskan kepemilikan komunal ini, termasuk
kepemilikan oleh desa dan keluarga yang masih secara utuh. Baru pada tahun
1885, pemerintah kolonial akhirnya menyatakan bahwa hak kepemilikan
komunal di Jawa dan Madura tidak lagi berlaku dan diganti dengan hak
kepemilikan individu yang bersifat turun temurun.27
Dalam ketentuan tersebut, sejumlah syarat diperlukan yaitu :
a. Minimal tiga perempat dari pemegang hak pakai atas tanah menyetujui
perubahan dan cara pembagiannya.
b. Setiap pemegang hak pakai tanah memiliki andil dalam kepemilikan individu
tersebut
c. Bila ada sebagian lahan yang digunakan sebagai tanah jabatan, apakah
permanen atau bergantian, oleh kepala desa atau aparat desa, lahan itu tidak
ikut dibagi namun setelah dikurangi andil untuk tanah tersebut.
25
26
27
144
memperhitungkan tentang proses pengakuan hak dengan mengeluarkan aturan
verponding. Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1872 nomor 66.
Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1875 no. 179. Dengan keluarnya
peraturan ini, yang dianggap berlaku surut, semua kesepakatan yang telah
mengalihkan hak-hak itu selamanya dari orang pribumi kepada non-pribumi,
dinyatakan batal demi hukum (van rechtswege nietig).
Staatsblad van Nederlangsch Indie over het jaar 1874 no. 78.
Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1885 no. 102.
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
Dalam proses ini, tanah jabatan yang sering digunakan sebagai pengganti gaji
bagi kepala desa dan aparat desa, muncul dan tetap dipertahankan dibandingkan
dengan tanah komunal lainnya seperti banda desa, kas desa, lumbung desa, dan
sebagainya yang berpeluang mengalami pengurangan.28
Selain itu perubahan lain yang terjadi dalam prose situ adalah keterlibatan
aparat pemerintah. Dalam pasal 3 peraturan tersebut, residen memiliki
kewenangan untuk menentukan lugs tanah jabatan seiring dengan meluasnya
kontrol pemerintah atas institusi desa. Di samping kewenangan tersebut,
residen juga berhak membatalkan pembagian jika dianggap berpotensi konflik
dan membentuk suatu komisi yang terdiri atas aparat Eropa dan pribumi untuk
melakukan penyelidikan tentang pembagian tanah tersebut jika dipandang
perlu.
Sementara itu mengenai hak milik mutlak (eigendomrecht) dalam arti
pemahaman hukum Barat, yang diharapkan oleh pemerintah kolonial bisa dimiliki
oleh penduduk pribumi, tidak mudah diwujudkan. Meskipun di Jawa dan Madura
tidak terdapat ikatan komunal seperti yang berlaku di luar Jawa (tanah marga,
tanah ulayat, tanah adat), namun demikian konsep tersebut masih sedikit dipahami
dan popular di kalangan masyarakat pribumi.29
Namun demikian, sebagai dampak lebih lanjut dari Agrarische Wet tahun
1870, pemerintah kolonial memberikan peluang untuk mengarah pada hak milik
mutlak tersebut. Peluang ini muncul pada tahun 1872 ketika sebuah peraturan
dikeluarkan yang pada pasal 1 tercantum sebagai berikut:
Elk inlander, die den door hem krachtens erfelijk individueel gebruiksregt
bezeten grond, overeenkomstig de vierde bepaling der wet van 9 April 1870
(Indische Staatsblad no. 55) in eigendom wenscht to verkrijgen, moet zich tot
uitwijzing van zijn gebruiksregt, met een verzoekschrift wenden tot den president
van den landraad, binnen welke gebied de grond gelegen is, onder overlegging
van een meetbrief, en voor zoover het gronden betreft waarvan geen landrente of
gelijksooritge belasting verschuldig is, ook van een taxatie brief.30
Setiap orang pribumi yang ingin mendapatkan hak milik atas tanah yang
olehnya telah dikuasai berdasarkan hak pakai individu turun-temurun, sesuai
dengan ketentuan keempat dari UU tanggal 9 April 1870 (Lembaran Negara
no. 55), harus menghadap kepada pimpinan pengadilan untuk menunjukkan
28
29
30
Lembaga-lembaga ini bukan hanya memenuhi kebutuhan bersama baik di tingkat
pemerintahan desa maupun social-komunal, seperti perayaan desa, syukuran setelah
panen, dan sebagainya, melainkan juga berkaitan dengan kebutuhan keagamaan,
seperti mengatur subsidi bagi rumah ibadah, pembayaran zakat dan sebagainya. Dutch
East Indies, Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java
en Madoera, vol. 9 (Batavia, 1912, Landsdrukkerij), halaman 236.
Salomon van Deventer, Bijdragen tot de kennis van het landelijk stelsel op Java,
derde deel (Zalt Bommel, 1866, Joh. Noman en Zoon), halaman 235. Salah satu
faktor yang menjadi penyebabnya, menurut Van Deventer, adalah rakyat selalu
meraasa meminjam tanah, baik dari raja maupun dari komunitasnya. Nilai -nilai
moral yang tinggi mencegah mereka untuk menegaskan haknya di depan rajanya
atau masyarakatnya, dengan resiko sanksi moral atau hukum.
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1872 no. 117.
145
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
hak pakainya dengan sebuah surat permohonan, di tempat tanahnya berada,
dengan menyodorkan sebuah surat ukur dan sejauh menyangkut tanah-tanah
yang tidak dibebani dengan pajak tanah atau pajak serupa, juga dengan surat
penafsiran.
Dalam ketentuan itu, persoalan hak milik (eigendom) menjadi kewenangan
kepala pengadilan setempat (landraad). Dengan demikian status hak milik
memiliki dasar keputusan hukum yang diakui oleh pengadilan, bukan oleh
pemerintah daerah (gewestelijk bestuur).
Dan pasal tersebut, apabila permintaan itu dikabulkan, pengadilan
(landraad) akan mengeluarkan bukti hak milik (acte van eigendom) atas nama
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang kemudian didaftarkan untuk dicatat
dan disesuaikan dengan kewajiban pemiliknya, seperti pembayaran pajak.
Tentang pembayaran pajak ini, pasal 21 dari peraturan tersebut menetapkan:
De gronden, die krachtens dit besluit in eigendom verkregen worden, zijn, voor
zoover daarvan geen landrente of gelijksoortige belasting verschuldigd is,
onderworpen aan de belasting der verponding.
Tanah-tanah yang berdasarkan keputusan ini mendapatkan status hak milik,
sejauh tidak dibebani dengan sewa tanah atau pajak serupa, harus tunduk pada
pajak verponding.
Dengan ketentuan tersebut, ada dua alternative bagi pembebanan kewajiban
dalam bentuk pajak atau kewajiban lain, yaitu sewa tanah atau pajak verponding.
Mengingat sewa tanah (landrent) menurut konotasi lama menunjukkan bahwa
pemegang hak tanah bukan pemilik31 tanah, verponding lebih sesuai untuk
menegaskan kepemilikan tanah tersebut karena dengan verponding nilai pokok
tanah mulai ditetapkan dibandingkan dengan sewa tanah.32
Namun demikian, meskipun ada pembebanan kewajiban yang sah dan
pemberian status yang sah, kepada pemegang hak milik tanah masih ada ketentuan
pembatasan lain, yang dimuat dalam pasal 19 peraturan ini, yaitu:
31
32
146
Dalam pengertian lama, landrent atau sewa tanah, memuat konotasi bahwa
pembayarnya bukan pemilik melainkan penggarap tanah, dan pihak yang menerima
pembayaran adalah pemiliknya. Pemahaman ini bertumpu pada konsep yang dianut
oleh pemerintah Inggris saat itu bahwa semua tanah adalah milik pemerintah atau raja
Inggris, dan mereka yang menggarap berstatus meminjam. Meskipun ada kemiripan
dengan prinsip yang berlaku di wilayah raja-raja pribumi khususnya di Jawa
(vorstenlanden), perbedaannya terletak pada struktur yang melaksanakannya. Periksa
Daniel Welco van Welderenp-Rengers, The failure of a liberal colonial policy:
Netherlands East Indies, 1816-1830 (The Hague, 1947, Martinus Nijhoff), halaman
21.
Pada mulanya, verponding diterapkan bagi perhitungan pajak lokal karena pemerintah
menyadari kesulitan yang akan muncul apabila digunakan untuk seluruh macam pajak
yang berkaitan dengan tanah dan langsung mengganti landrent. Dengan verponding,
pajak dihitung atas sebagian dari nilai jual tanah dan tentu saja hal ini baru bisa
dilakukan apabila ada peluang untuk menegaskan kepemilikan tanah itu secara mutlak
dan individu. Periksa Willem Huender, Overzicht van den economischen toestand der
Inlandsche bevolking op Java en Mandoera (;s Gravenhage, 1921, Martinus Nijhoff),
halaman 183.
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
De ingevolge dit besluit in eigendom verkregen grond mag voor 's hands, op strafe
van nietigheid der handeling, niet worden vervreemd aan niet-inlanders. Geen
ander zakelijk regt mag daarop worden verleend dan dat van hypotheek.
Tanah yang memperoleh status hak milik menurut keputusan ini terutama tidak
bisa dialihkan haknya kepada non-pribumi, dengan resiko pembatalan tindakan
itu. tidak ada hak paten lain yang bisa diberikan kecuali hak hipotik.
Dengan demikian bisa dipahami bahwa mereka yang menerima hak milik
(eigendom recht) adalah orang pribumi dan pemerintah menjaga sepenuhnya agar
tidak dikuasai oleh non-pribumi. Di samping itu juga ada hak hipotik yang
memperkuat status hak milik tanah itu, yang tidak bisa diberikan kepada jenis
kepemilikan tanah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa nilai hak milik
(eigendom) menjadi sangat kuat bagi pemegangnya (eigenaar van het grond),
daripada pemegang hak kepemilikan (bezitter).
D. Penutup
Persoalan kepemilikan tanah di antara penduduk menjadi suatu persoalan
rumit yang sering memicu pada terjadinya konflik, individu dan sosial. Di
samping nilai ekonomi, kepemilikan tanah identik dengan faktor harga diri
dan pada kelompok sosial tertentu juga berkaitan erat dengan nilai-nilai
sosiofilosofis. Oleh karena itu sering ditemukan kasus sengketa tanah yang
berakhir dengan konflik bahkan tidak jarang mengarah pada konflik massal.
Semua konflik dan sengketa yang terjadi praktis bersumber pada
ketidakjelasan tentang kepemilikan tanah sebagai obyek. Akan tetapi kejelasan
tentang pemilik obyek juga tergantung pada kejelasan dan penegasan pada
statusnya, yang tidak terlepas dari sistem pengaturan legal yang berlaku dan
valid pada zamannya. Banyak dari lahan yang menjadi obyek sengketa di
Indonesia dewasa ini yang bersumber dari ketidakjelasan status, dan lebih
buruk lagi, status turun-temurun. Dalam hal ini, penelusuran kembali pada awal
kepemilikan tanah sangat diperlukan, dan dengan demikian pendekatan historis
akan sangat membantu.
Dalam kajian historis, kepemilikan tanah khususnya bagi orang pribumi
mengalami perkembangan yang kompleks. Perkembangan ini tidak terlepas dari
pengaturan hukum atas tanah, dan berakibat pada perubahan hak dan status
kepemilikannya. Penerapan hukum positif yang dilakukan sejak pertengahan
abad XIX oleh pemerintah kolonial secara perlahan menggantikan penerapan
hukum adat, sehubungan dengan status penguasaan dan kepemilikan tanah.
Berbeda dengan sistem politik kolonial yang sering ditandai dengan konflik di
antara elite, penggantian hukum positif dari hukum adat berlangsung secara
bertahap dan damai. Meskipun ada beberapa konflik yang muncul di sektor
agraria selama abad XIX, konflik itu bukan menolak penerapan hukum melainkan
pada pelaksanaan di lapangan khususnya terkait dengan eksploitasi lahan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini bahwa hukum positif Barat tidak
selalu berdampak negative terhadap struktur sosial masyarakat. Meskipun memiliki
motivasi dan kepentingan yang berbeda dengan masyarakat, pemerintah Belanda
147
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
telah mengambil langkah positif untuk menegaskan kepemilikan lahan oleh
masyarakat pribumi. Dengan menetapkan pembagian hak khususnya hak milik
tanah (eigendom), status kepemilikan lahan menjadi jelas dan sah. Pemilik hak
(eigenaar) mendapatkan jaminan bukan hanya pada hak atas obyek tanah,
melainkan juga perlindungan terhadap perampasan oleh orang asing.
Akan tetapi mengingat sistem hukum dan perundangan yang dibuat oleh
pemerintah kolonial memiliki jangkauan yang terbatas, sehubungan dengan tingkat
pemahaman masyarakat masa itu, ketentuan yang mengatur hak milik (eigendom)
ini tidak diterima secara merata oleh semua warga koloni Hindia Belanda.
Sebagian besar bahkan masih terbatas pada pemahaman tentang hak kepemilikan
(bezitsrecht) atau bahkan masih terikat dengan aturan adat yang bersumber dari hak
penguasaan (beschikkingsrecht) atas tanah. Tentu saja situasi ini menjadi
penghambat bagi pelaksanaan kepastian hukum dan penerapan status hak milik
mutlak individu, dan justru mengarah pada persoalan barn.
Proses perkembangan di bidang politik yang berlangsung sangat pesat, dengan
berakhirnya rezim kolonial dan tampilnya pemerintah nasional pada tahun 1945,
tidak segera diikuti dengan penyelesaian ketidakjelasan di atas yang berlangsung
lambat. Pemerintah Indonesia barn mengambil langkah pertama tahun 1960 dengan
mengeluarkan UUPA, yang meskipun dianggap sebagai suatu langkah progresif
tetapi juga tidak begitu saja menyelesaikan masalah tersebut. Sampai dewasa ini,
masih banyak sengketa lahan yang berkisar pada ketidakjelasan status kepemilikan
seperti yang disampaikan di atas. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang
intensif, dengan melibatkan berbagai pihak dari disiplin ilmu, oleh lembaga yang
berwenang untuk memberikan penjelasan dan penerangan memadai kepada publik
tentang pemahaman hak-hak kepemilikan lahan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. G.O., 2006,Language and Power: Exploring Political Culture
in Indonesia, Jakarta, Equinox Publ.
Anon, 1866, Regeling der heerendiensten op Java, 's Gravenhage, J.A. de la
Vieter.
Anon,"De koloniale staatkunde tegenover het Buitenland", dalam Tijdschrift voor
Nederlandsch Indie, tahun 1867, jilid 1
Antlov, Hans, and Sven Cederroth, 2001,Kepemimpinan Jawa, Perintah Alus,
Pemerintahan Otoriter, Jakarta, Yayasan Obor.
Burger, D.H., 1956, Structural Changes in Javanese Society: the Supravillage
Sphere, Cornell, Cornell University Press.
Circulaire aan de hoofden van Gewestelijk Bestuur op Java en Madoera, 28
October 1875, dimuat dalam Bijblad no. 2936
Collenbrander, H.T. , 1926, Koloniale Geschiedenis, derde deel:• Nederlandsch
Oost Indie sedert 1816, s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Deventer, Salomon van, 1866, Bijdragen tot de kennis van het landelijk stelsel op
Java, derde deel, Zalt Bommel, Joh. Noman en Zoon.
148
Antara Bezitsrecht dan Eigendomrecht
Doel, H.W. van den, 1996, Het Rijk van Insulinde: Opkomst en Ondergang van een
Nederlandse Kolonie, Amsterdam, Promotheus.
Dutch East Indies, 1912, Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche
bevolking op Java en Madoera, vol. 9, Batavia, Landsdrukkerij.
Fasseur, Cornelis, 1992, The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch,
and the Cultivation System, Ithaca, Cornell University Press.
Heere, W.P., and J.P.S Offerhaus, 1998, International Law in Historical
Perspective (The Hague, Kluwer Publ.
Huender, Willem, 1921, Overzicht van den economischen toestand der
Inlandsche bevolking op Java en Mandoera, ;s Gravenhage, Martinus
Nijhoff.
Lekkerkerker, C., Land en Volks van Java, vol I., Amsterdam, 1938, J.B. Wolters.
Linden, M.L.M. van der, 1907, De gronverhuring door inlanders aan nietinlanders
op Java en Madoera: vastgesteld door ordonnantie van 27 Augustus 1900,
Rotterdam, Masereeuw en Bouten.
Moertono, Soemarsaid, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau, Jakarta, Yayasan Obor.
Pierson, Nicolaas Gerard, 1868, Het kultuurstelsel: zes voorlezingen, Amsterdam,
P.N. van Kampen.
Resink, G.J., "Conflictenrecht van de Nederlands-Indische staat in
internationaalrechterlijke setting" dalam Bijdrage tot de Koloniaal Instituut
(BKI), tahun 1959, jilid 115.
Scheuer, Willem Philip, 1885, Het grondbezit in de Germaansche mark en de
Javaansche dessa, Rotterdam, Wed. F.G. Mortelmans.
Soest, Gerardus Hubertus van, 1871, Geschiedenis van het Kultuurstelsel, vol. 3,
Rotterdam, Nijgh en van Ditmar.
Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1870, no. 55. Staatsblad van
Nederlandsch Indie tahun 1872 nomor 66 Staatsblad van Nederlandsch
Indie 1872 no. 117
Staatsblad van Nederlangsch Indie over het jaar 1874 no. 78. Staatsblad van
Nederlandsch Indie over het jaar 1875 no. 179. Staatsblad van
Nederlandsch Indie over het jaar 1885 no. 102
Tadama, Wop van W., 1866, Indische brieven van Mr. Wop over koloniale
hervorming : proeven van wets-ontwerpen voor radikale, geleidelijke en
konservatieve hervormers, 's Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Tjodronegoro, Sediono M.P., dan Gunawan Wiradi, 2008, Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke masa,
Jakarta, Yayasan Obor.
Vollenhoven, C. Van, 1923, Javaansch adatrecht: Overgedrukt uit het adatrecht
van Nederlandsch Indie, Leiden, E.J. Brill.
Vollenhoven, C. van, 1932, Indonesier en zijn grond, Leiden, E.J. Brill.
Welderen-Rengers, Daniel Welco van, 1947, The failure of a liberal colonial
policy: Netherlands East Indies, 1816-1830, The Hague, Martinus Nijhoff.
149
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Wilson, Stuart, and Singgih Wibisono, 2002„Javanese English Dictionary,
Singapore, Periplus.
150
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS
Prof Dr. H. Abdul Latif, SH. M.Hum. Lahir di Ujung Pandang, 25 September 1959,
menyelesaikan pendidkan sarjana (S1) Universitas Muslim Makassar tahun 1986,
Magister Hukum Universitas Airlangga Surabaya tahun 1996 dan Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gajahmada Yogyakarta tahun 2006. selain sebagai dosen beliau juga aktif
menulis dibeberapa jurnal ilmiah serta menulis banyak buku tentang ilmu hukum, saat
ini menjabat sebagai Hakim Agung, pernah menjadi Dekan fakultas hukum universitas
Muslim Makssar dan pernah menduduki berbagai jabatan strategis dalam
pemerintahan.
Herlambang Perdana, SH. Lahir Wuluhan, 8 mei 1976, Si Fakultas Hukum
Universitas Airlangga (1998), S2 - Mahidol Univercity, Thailand Kini sedang
menempuh Program PhD di Faculteit Rechgeleerdheid, Universteit Leiden.
Sejumlah artikel telah diterbitkan baik dalam jurnal nasional maupun
intemasional. Penulis buku Good Governance and Legal Reform in Indonesia.
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Prof Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., lahir di Pare-pare, tanggal 11
November 1952. Pendidikan berawal dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, dan Sekolah Menengah Atas ditempuh di tempat kelahiran. Hijrah ke
Makassar pada tahun 1973 untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin dan selesai tahun 1980. Kemudian pendidikan Magister
di bidang Ilmu Hukum Pajak pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada
tahun 1997 dan selesai tahun 2000, dan di tingkat Doktoral dalam bidang Ilmu
Hukum Pajak pada tahun 2000 dan selesai tahun 2006. Guru Besar dalam bidang
ilmu hukum pajak.
Dalam pengembaraannya sebagai Guru Besar di bidang Hukum Pajak, telah
menghasilkan beberapa karya ilmiah berupa buku yang bertaraf nasional yang
diterbitkan oleh Rajawali Pers, khususnya PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Karya ilmiah tersebut meliputi; 1) Pembaruan Hukum Pajak; 2) Perlindungan
Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak; 3) Hukum Keuangan
Negara; 4) Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak; 5) Kejahatan di Bidang
Perpajakan; dan 6) Hukum Acara peradilan Pajak.
Dr. Dina Sunyowati, S.H., M.Hum., dilahirkan di Malang pada 5 Oktober 1961.
Sejak tahun 1987 hingga sekarang menjadi Dosen Tetap di Fakultas Hukum
Universitas Airlangga (UA) pada Prodi Si, S2 dan S3. (NIP. 19611005 198701
2001- Pangkat / Golongan: Lektor Kepala/Pembina/IV-A). Pendidikan S1 (S.H.),
diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Jember, Magister (M.Hum), pada
Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan gelar Doktor Ilmu
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Hukum (Dr), diperoleh dari Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga,
Surabaya. Bidang ilmu yang ditekuni dan dikembangkan sesuai dengan studi
penulis adalah Hukum Intemasional, Hukum Laut, Hukum Perjanjian
Internasional, Teknik Perancangan Perjanjian Internasional, Hukum Lingkungan
Internasional dan Hukum Sumberdaya Alam. Selain menjadi dosen di Universitas
Airlangga, penulis juga menjadi dosen tamu di Prodi S2 Teknik Kelautan ITS 10
November Surabaya, Prodi Magister Administrasi Publik pada Universitas Hang
Tuah Surabaya, dan di Kodikal Armatim Surabaya, serta menjadi narasumber dan
pembicara di berbagai seminar dan konferensi baik lingkup nasional dan
internasional. Untuk memperdalam bidang keilmuan dan meningkatan kualitas
pendidikan dan pengajaran penulis melakukan penelitian melalui pendanaan dari
DIPA UA, Program Hibah Bersaing, dan Riset Unggulan Perguruan Tinggi serta
melakukan pengabdian masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni,
Sebagai bagian dari civitas akademika Universitas Airlangga, penulis juga
menjadi bagian dari penyelenggaraan proses pembelajaran, dan aktif sebagai Tim
Asesor Sertifikasi Dosen UA, Auditor pada Audit Mutu Internal Program Studi /
Fakultas dan Unit Kerja UA; Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT-2010-sekarang); Koordinator PHKI Batch IV Fakultas Hukum
Universitas Airlangga; dan Sekretaris pada Pusat Penjaminan Mutu Universitas
Airlangga (2011-sekarang).
Beberapa kegiatan pada organisasi profesi dan keilmuan, antara lain: menjadi
Ketua Asosiasi Pengajar HI (APHI) wilayah Jatim dan Sekretaris APHI Seluruh
Indonesia (2007-sekarang); Staf Ahli pada drafting untuk Penyusunan Raperda
Prop Jawa Timur ; Anggota Kelompok Studi Perbatasan; Anggota Himpunan
Ahli Pengelolaan Perairan Pesisir Indonesia (HAPPI); Forum Pemerhati
Terumbu Karang (Forum Hati Terang) Jawa Timur, Anggota, Koordinator
Divisi Hukum (2010-sekarang).
Dr. H. Bunyamin Alamsyah, S.H., M.H., Hakim Tinggi PTA Jakarta, ditugaskan
di Balitbang Diklat Kumdil MA RI, alumnus S3 Ilmu Hukum UII Yogyakarta,
Dosen Fakultas Hukum UNBAR JAMBI,
Hj. Uu Nurul Huda, S.Ag., S.H., M.H., Dosen sekaligus Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Budi Suharyanto, SH., M.H. lahir di Jombang Jawa Timur, menyelesaikan pendidikan
Sarjana dan Pasca Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekarang adalah
Peneliti Bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Peradilan Mahkamah Agung RI
Dr. Harto Juwono, kahir di Magelang 17 Juli 1967, Sarjana sejarah lulusan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Universitas Diponegoro semarang tahun 1992, lulus Pasca Sarjana Universitas
Indonesia 2006 dan program doctor pada universitas yang sama tahun 2011.
Dosen Pasca Sarjana fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
terlibat dalam berbagai penelitian tentang sejarah dan menulisbanyak buku dan
artikel ilmiah tentang masalah pertanahan di Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit 3
(tiga) kali dalam setahun (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan
menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan:
1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian
lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi
kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis,
analitis, dan deskriptis.
2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas,
sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda.
3. Naskah harus orisinil dengan dibuktikan pernyataan akan keorisinilan naskah
tersebut oleh penulis.
4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang
15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time
New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata.
5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis,
Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar
Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian
dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka.
6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus
mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa
Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat
sub-sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar
Pustaka.
7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata
cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence,
Seattle: University of Washington Press, 1962.
Makalah.
Knight, Robin. “Poland‟s Feud in the Family.”, New York, 10 September
1990, 52-53, 56.
Artikel Jurnal.
Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for
Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988):
665-683.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan.
Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N.
Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Internet
Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk
assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4
(December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/
B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009)
8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir.
9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti
turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University
of Washington Press, 1962), 62.
Makalah.
Robin Knight, “Poland‟s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10
September 1990, 52.
Artikel Jurnal.
Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for
Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988):
670.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan
Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N.
Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663.
Internet
Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk
assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4
(December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/B6WX84WM
M7CY1/2/aa85435453ae88c432a
10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan
biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp,
naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil
Mahkamah Agung RI
11. Naskah dapat dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu)
bulan sebelum penerbitan kepada:
Redaksi Jurnal Mahkamah Agung
Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI
Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau
[email protected]
12. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan diatas tidak akan
diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk
tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan
kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi
dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel
yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
Jurnal Hukum dan Peradilan
Menyampaikan terima kasih Kepada para
Mitra Bestari (referee) dan semua pihak
Yang telah membantu penerbitan jurnal ini
Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
VISI:
Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang Profesional di bidang teknis peradilan
dan manajemen kepemimpinan serta hasil penelitian dan pengembangan yang
berkualitas dalam membentuk terselenggaranya tugas pokok dan fungsi Mahkamah
Agung RI untuk mewujudkan peradilan yang agung
MISI:
1.
2.
3.
4.
Meningkatkan kualitas profesionalisme Sumber Daya Manusia teknis
peradilan
Meningkatkan kualitas profesionalisme manajemen dan kepemimpinan
Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan di bidang hukum
dan peradilan
Meningkatkan pelayanan dan dukungan operasional diklat teknis peradilan
dan diklat manajemen dan kepemimpinan dan penelitian dan pengembangan
di bidang hukum dan peradilan yang memadai
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 1 Maret 2013
ISSN : 2303-3274
Download