223 MASALAH PERJANJIAN INTERNASJONAL DALAM HUBUNGAN . DENGAN KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ISLAMIC DEVEWPMENTBANK.*) Oleh : Dedi Soemardi Sebagaimana, kita telah makium, beberapa waktu yang Ialu telah dilakukan penanda-tanganan (ratifikasi) oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota dari Islamic Development Bank atau di singkat I.D.B. Berhubung dengan keanggotaan Negara kita didalam I.D.B. tersebut, timbullah masalah mengenai apakah untuk menjadi anggota I.D.B_ itu, Pilmerintah harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat atau dengan perkataan lain apakah keanggotaan Negara Republik Indonesia didalam Bank tersebut harus berdasarkan Un dangun dang? Namun sebelum kita sampai kepada pembicaraan mengenai inti permasalahan tersebut, kiranya perlu diteliti terlebih dahulu hal-hal yang bertalian dengan perjanjian itu sendiri dilihat dari segi hukum internasiona!. Berdasarkan pasal 38 Anggaran Dasar Malikamah Internasional, perjanjian-perjanjian yang dilangsungkan antara satu dan lain negara atau antara satu dengan beberapa negara lain yang lazirnnya dinamakan "treaty" (traktat), merupakan salah satu sumber hukum internasional, disamping sumber-sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, azas-azas hukum yang diakui oleh negara-negara yang beradab, akal-pikiran manusia dan lain-lainnya. I) *) Karangan ini te!ah disampaikan pada ceramah yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 16 1anuari 1976. 224 Mengenai petjanjian internasional itu sendiri, Idta tidak clapat menarik kebatas yang terlalu tajam apakah petjanjian itu rnengandung aspek-aspek hukum perdata atau hokum publik. Sebagaimana telah dikatakan oleh Oppenheim Lauterpacht didaIam bukunya yang betjudul "International Law", apakah suatu petjanjian itu mengandung aspekhukum perdata ·ataukab hokum,pubHk,tergantung dati perkara yang hendak dipetjanjikan oleh Negara-negara yang bersangkutan. 2J Apabila perkaranya perdata, maka petjanjian tersebut masuk kedaIam pengertian hokum perdata internasional dan 80baliknya apabila perkara yang dipetjanjikan o1eh negara-negara yang bersangkutan mengandung aspek hukum publik, mak~petjanjian tersebut masuk kedalam pengertian hokum publik internasional. Demikian juga antara hukum nasional dan!hokum internasional,ltidak ada perbedaan yang prinsipiJ, oleh karena didalam hokum inlemasional bail< negara maupun manusia-manusia pribadi, kedua-duanya sarna·sarna bertindak 80bagai subyek hokum atau dengan perkataan lain didalam hukum intemasional manusia pribadi (individu) dapat bertindak sebagai subyek hukum sama haInya dengan Negara. Satu-satunya perbedaan yang ada i.lab fungsinya. Apabila manusia itu didalam hokum nasionalnya bertindak selaku pemegang kekuasaan, maka didalam hukum intemasional ia bertindak sebagai subyek hukum Didalam hukuminlemasional, apa yang lazim kita namakan petjanjian (lihat pasal II Undang.... ndang Dasar 1945), tidak 80lalu dapat diartikan 80bagai "treaty" oleh karena perkataan treaty ini mencakup beberapa pengertian. SiJalu perjanjian internasional masuk kedalam pengertian treaty, apabila masalah yang diperjanjikan mengandung aspek-aspek juridia dan politis yang sangat prinsipil bagi negara-negara yang berkepentingan. Selainnya dari pada itu maka perjanjian-perjanjian lainnya dimasukkan kedalam apa yang dinamakan agreement, convention, protocol, act dsh. 3) Didalam hukum internamonal dikenal juga apa yang dinamakan "quasi international agreement", yaitu petjanjian·perjanjian yang dibuat o1eh Pemerintab Pusat dari sualu negara tertentu dengan suatu badan/organisasi terlentu dari negara lain. Perjanjian semacam ini tidal< tunduk kepada hukum intemasional maupun hukum nasional. Hukum yang menguasai perjanjian.perjanjian 80macam ini yaitu kaedab.Jcaedab yang lerluang di dalam perjajianl itu 80ndiri yang harus dilafsirkan dalam rangka azas hukum umum sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 38 Anggaran Dasar Mahkarnab Internasional. MASALAH PERJANJIAN 225 Adapun mengenai masalah hukum mana yang akan diperlakukan apabila suatu negara sebagai subyek hukum in temasional mengadakan perjanjian dengan negara lain yang menyangku t keIja-sama yang mengandung aspek perdata, kami kira pemecahannya tidak terlalu sulit, apabila kita perhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dinegara masingoffiasing. Sebagairnana kita ketahui didalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia berlaku dua macam azas (tidalam hubungan-hubungan hukum yang bersifat intemasional. Azas pertama terdapat didaiam pasal 16 Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan (dulu disebut Algemeene Bepalingen van Wetgeving A.B.) yang dinamakan Status Personaiia dan azas yang kedua terdapat didalam pasal18 Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan. Status personalia, yaitu hukum yang bersangkutan dengan hak, kedudukan dan kewenangan-kewenangan seseroang, menurut sistirn Hukum Perdata Internasionai (H.P.!) yang kita warisi dari zaman Hindia Belanda. Menurut azas personalia ini,hak, kedudukan dan kewenangan sese orang, diatur oleh hukum nasionalnya. Inilah yang dikenal kemudian sebagai azas nasionalitas. Didalam ayat I dari pasal 16 A.B. itu dikatakan bahwa hak·hak, status dan kewenangan seorang kaulanegara Belanda (sekarang harus dibaea : warga·negara Republik Indonesia) dimanapun ia berada di luar negeri, diatur oleh hukum nasionalnya. Dengan mempergunakan analogi terhadap ketentuan ini, azas nasionalitas· dapat' diterapkan terhadap orang-orang asing yang berada didalam wilayah Republik Indonesia . Contoh mengenai hal ini dapat dilihat dalam putusan Raad van Justitie (sekarang Pengadilan Negeri) di Medan pada tahun 1925; yang telah menerima berlakunya hukum Jepang untuk seorang wan ita Jepang yang hendak minta pailisemen tanpa bantuan dari suaminya, karena menurut hukum Jepang ia mempu untuk berbuat demikian (Bandingkan dengan pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Contoh lainnya mengenai penerangan azas nasionalitas ini dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1953 mengenai gugatan cerai seorang isteri terhadap suaminya yang kedua-duanya berkebangsaan R.R. Cma. Didalam kasus ini Hakim telah. mengabulkan gugatan wanita Cina itu untuk bereerai dari suanrinya atas dasar hukum perkawinan R.R. Cina yang memperbolehkan suami-isteri melakukan perceraian berdasarkan persetujuan bersama kedua belah pihak. 4) Didalam hubungan ini maka negara R.l. sebagai subyek dalam hukum intemasional secara analogis dapat menerapkan azas yang terdapat didalam 226 MAJALAH FHUI pasal 16 A.B. terse but didalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional. Efek juridis dengan diperlakukannya pasal 16 A.B. akan bertambah mantap dengan berlakunya azas campuran atau yang lazim dinamakan statJu mixta sebagaimana tercantum didalam pasallS. A.B . .5ebagaimana kita maklumi pasal IS A.B menetapkan bahwa bentuk dari pad a tiap-tiap tindakan dinilai menurut undang-undang dari negara atau tempat dimana tindakan itu dilakukan. Kembali kepada inti permasalahan sebagaimana telah dikemukakan diatas yakni mengenai persetujuan D.P.R. sebagai syarat keanggotaan negara Republik Indonesia didalam Islamic Development Bank, menurut hemat kami persetujuan termaksud tidak perlu mendapat persetujuan DP.R. mengingat materi dari pada perjanjian tersebut hanya menyangkut masalah keanggotaan Pemerintah didalam suatu badan tertentu di luar Indonesia. Undang.undang Dasar 1945 Apa yang ditetapkan didalam pasal 11 bahwa Presiden dengan persetujuan DP.R. membuat perjanjian dengan negara lain harus dihubungkan dengan tujuan dan kepentingan dari pada diadakannya perjanjian itu. lJengan mempergunakan penafsiran teleologis atau sosiologis maka keanggotaan Indonesia dalam l.D.B. cukup diletakkan dalam suatu naskah perjanjian yang berbentuk agreement. Dengan demikian penanda-tanganan dari pada naskah perjanjian (agreement) terse but cukup ditanda-tangani oleh Presiden atau oleh pejabat yang diberi kuasa oleh Presiden untuk menanda-tangani naskah perjanjian termaksud. Suatu masalah yang cukup penting untuk kita pikirkan bersama ialah pembuatan suatu Undang-undang yang mengatur secara menyeluruh mengenai masalahperjanjian-perjanjian internasional ini satu dan lain hal mengingat sangat sumimya bunyi pasal 11 Undang.undang Dasar 1945. Selama Undang.undang semacam ini belum ada , maka selama itu pula akan selalu timbul bermacarn-macam tafsiran dan tanggapan yang simpang-siur mengenai perjanjian-perjanjian internasional. Mengenai wewenang Pemerintah untuk meratiflkasi perjanjianperjanjian internasional tertentu, kami kira erat hUbungannya dengan masalah tugas dan tanggung-jawab Pemerintah terhadap Negara dan masyarakat . Pemerintah tidak dapat mengelakkan diri dari masalah-)11asalah yang. dihadapinya. Apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dapat dilakukan olehnya azas ''[reie ermessen", artinya Pemerintah dalam rangka menegakkan tata-tertib hukum dapat melakukan MASALAH PERJANJIAN 227 tindak-tindak kebijaksanaan sekalipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur wewenang itu seeara tegas. Didalam hubungan ini perlu kiranya diingat pendapat dari Prof Paul Scholten dengan ajararmya yang dikenal yakni bahwa tata-hukum itu harus mempergunakan sistim terbuka. Artinya ialah bahwa didalam memeeahkan persolan-persolan hukum kita tidak boleh menutup diri terhadap perkembangan-perkembangan ,yang timbul didalam masyarakat. 5) Hukum harus terbuka untuk permbaharuan-pembaharuan,hal mana mengandung arli pula bahwa kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa perundang-undangan kita belum memenuhi .apa yang kita harapkan, baik dibidang nasional maupun internasional. Sehubungan dengan masalah wewenang Kepala Negara untuk meratifIkasi perjanjian-perjanjian internasional (agreements, conventions dsb.), perlu kami singgung adanya fakta - fakta sejarah didalam perkembangan ketata-negaraan R.I. yaitu surat Presiden Republik Indonesia No. 2862/HK/60, tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Didalam surat Presiden itu an tara lain dikatakan bah wa perkataan "perjanjian" didalam pasal 11 Undang·undang Dasar 1945 tidak mengandung arti segala perjanjian, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal·soal politik dan yang lazimnya Uikehendaki berbentuk traktat atau treaty. lika tidak diartikan sedemikian, rnaka Pemerintah akan tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan Internasional dengan sewajamya, karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari D.P.R., sedangkan hubungan intemasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusioni! yang Ian car . Selanjutnya didalam bagian berikut dari surat Presiden tersebut dikatakan bahwa pasa1 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak menentukan bentuk juridis dari persetujuan D.P.R. itu , sehingga tidak ada keharusan bagi D.P.R. untuk memberinya dengan Undang-undang. Ditegaskan pula di dalam SUlat tersebut perjanjian-perjanjian yang bagaiman yang menumt hukum intemasional disebut treaty yang harus disampaikan kepada D.P.R., yaitu : 228 MAJALAH FHUI 1. Soal-soal .politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi perjanjianperjanjian persahabatan, perjanjian pesekutuan, perjanjian ten tang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas. 2. ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri,dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan didalam perjanjian kerjsama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang. 3. Soal-soal yang menurut Undang-undang Dasar atau menurut perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-undang, seperti soal-soal Kehakiman. Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement, akan disampaikan kepada D.P.R. hanya untuk diketahui setelah disyahkan deh Presiden. Terlepas dari masalah bahwa surat Presiden terse but dibuat pada masa Pemerintahan Orde Lama, narnun isinya ansich mengandung nilai-nilai juridis yang penting. Setidak-tidaknya kita mengetahui bahwa Pemerintah pada waktu itu sudah memikirkan masalah-masalah apa yang akan selalu tlmbul, apabila persoalan perjanjian-perjanjian intemasional itu tidak cepat-cepat diatur _ Didalam praktek tata-pemerintahan, termasuk hubungan-hubungan dengan negara lain, tidak dapat kita hindari timbulnya masalah-masalah yang memerlukan penyelesaian yang elisien (tidak doghmatis), meskipun ada kalanya tidak sesuai dengan Undang-undang (onwetmatig)_ Kemudilm sebagai bahan perbandingan perlu kami kemukakan mengenai Jielaksanaan ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional dibeberapa negara tertentu. Di Negara inggris, kekuasaan membuat perjanjian-perjanjian internasional (treaty-making power) dipegang oJeh Badan Ekseku tif. Didalam kekuasaan ini termasuk ratifIkasi dari pada perjanjian-perjanjian. DiNegara Peraneis, pelaksanaan dari pada ratiflkasi perjanjian-perjanjian internasional diatur sesuai dengan materi yang diperjanjikan. Perjanjianperjanjian yang menyangkut perdamaian perdagangan, kewajiban-kewajiban keuangan dari hak-hak warga negara Perancis, hanya mempunyai kekuatan mengikat apabila sudan disahkan oleh Parle men Peraneis. Di Negara Amerika Serikat, secara konstitusiuJlil persetujuan persetujuan internasional harus rneudapat persetujuan dari Senate 6) Dinegara kita sendiri sering kali terjadi peristiwa-peristiwa pellandatanganan perjanjian-perjanjian internasional tanpa persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat seperti pernberian kredit dalarn rangka IGGI. Peristiwa lainnya yang cukup menarik perhatian kita adalah keanggotaan Negara R.1. dalam ASEAN, didalarn peristiwa mana negara kita cukup diwakili oleh MASALAH PERJANJIAN 229 Menteri Luar Negeri sebagal penanda-tanganan pelJanJlannya. Dengan uraian-uraian yang telah kami tampilkan terse but diatas, kami berpendapat bahwa keanggotaan Negara R.1. didalam ID.B. (Islamic Development Bank) tidak perlu dimintai persetujuan terlebih dahulu dari Parlemen . Sebagal penutup dari pada eeramah kami yang singkat ini, perlu kami kutip pandangan Oppenheim-Lautespacht yang bertalian dengan masalah ratifikasi . Ratiflkasi atau pengesyahan meskipun ,didalam prinsipnya ,perlu, namun perbuatan itu tidak merupakan masalah yang essensiil untuk berlakunya suatu treaty. Memang pada umumnya kebiasaan-kebiasaan yang sekarang berlaku didalam hukum Intemasional menghendaki pengesyahan terhadap suatu treaty, namun terhadap hal ini berlaku pengecualian-pengecualian. Peljanjian-peljanjian yang diadakan oleh penjabat-penjabat Pemerintah yang secara ipso facto diberi wewenang oleh negaranya untuk dalam batas-batas tertentu - membuat peljanjian-peljanjian intemasional, tidak memerlukan ratiflkasi. Peljanjian tersebut pada saat itu juga mengikat pihak-pihak yang bersangkutan sesudah dilakukan. ,penutupan . Kadang-kadang didalam praktek teljadi pula bahwa pihak-pihak yang membuat peljanjian meng-syaratkan dengan tegas demi pelaksanaan secara tepat, bahwa peljanjian itu akan segera mengikat tanpa memerlukan ratiflkasi. 7} CATATAN. 1) 2) Starke,,J.G.,An Introduction to International Law, Third Edition, Buttorworth & Co., London, 1954, hal. 30. Oppenheim,L.,INTERNATIONAL LAW a treatise, Eight Edition (Vol. I), David McKay Coy. Inc.,New York, hal. 6. 3) Oppenheim,L.,INTERNATONAL LAW a Treatise, Eight Edition (Vo1.I), David McKay Coy. IIic., New York, hal. 898. 4) Gautama,S., CINERAMAHUKUM, in Memorium Prof.Djokosutono SH, P.T. Eresco, Bandung-Iakarta, hal. 175. 5) Scholten,Pau1,ALGEMEEN DEEL, Tweede druk, N.V.Uitgevers Mij. W.E.I.Tjeeuk Willink, Swone, 1954, hal. 102. 6) Ency10pedia Britanicea, Edisi tahun 1968, hal. 201. 230 7) MAJALAH FHID Oppenheim,L. ,INTERNATIONAL LAW, A Treatise, Eight Edition (Vol. I), David McKya Coy. Inc., New York, hal.906 KEPUSTAKAAN. I. "Cinerama Hukum", sebuah kumpulan karangan dibawah Redaksi Drs.Djajusman. 2. "International Law" oleh Oppenheim - Lau~pacht, Edisi ke-8, tahun 1963. 3. "An Introduction to International Law" ol~h JJ. Starke, Edi,i tahun 1954. 4. "Encyclopedia Britanicca", Edi,i tahun 1968. 5. "Inleiding tot het administratief recht in Indone,ie" oleh Mr. W.F. Prin,.