(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN) A Comparative Study Produced and Printed by Printing Press of Produksi buku ini didanai oleh UNHCR Naif Arab University for Security Sciences Naif Arab University for Security Sciences Prof. Ahmed Abou-El-Wafa Riyadh - 2009 (1430 H.) Riyadh - 2009 (1430 H.) Cyan Magenta Yellow Black HAK –The HAK PENCARIAN SUAKA Right to Asylum between Islamic Shari’ah and DALAM SYARIAT ISLAM DAN International Refugee Law HUKUM INTERNASIONAL HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL (SUATU KAJIAN PERBANDINGAN) Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ Riyadh, 1430 H/2009 M i HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL (SUATU KAJIAN PERBANDINGAN) Judul Asli: Haqq al-Lujû′ bain al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Dauliy li al-Lâji’în, Dirâsah Muqâranah Penulis: Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’ Konsultan: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M Penerjemah: Dr. Asmawi, M.Ag Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A Afwan Faizin, M.A Pembaca Ahli: Dr. H.Ahmad Mukri Aji, M.A Harry Alexander, S.H, L.LM Editor dan Penyelaras Bahasa: Dr. Asmawi, M.Ag Sekretariat: Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H Diterbitkan atas kerjasama: Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia Cetakan I, Oktober 2011 Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia http://www.unhcr.or.id Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir.H.Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, Indonesia http://www.fsh-uinjkt.net Sekretariat: ii Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H Diterbitkan atas kerjasama: Kanto Atas Nama Allah Yang Maha Besar dan Maha Pengampun iii Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang beriman, yang hijrah dan yang jihad di jalan Allah, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.s. alAnfâl/8:74) “Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain untuk melindungi dirinya dari penganiayaan/penyiksaan.“ (Pasal 14 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). “Setiap orang berhak, dalam pandangan Syariat Islam, berpergian dan mengungsi ke negara lain... apabila menghadapi penganiayaan. Negara tujuan wajib memberikan suaka kepada orang tersebut sehingga ia memperoleh keamanan, terkecuali pelarian didorong oleh alasan dan tindakan yang dipandang oleh Syariat Islam sebagai kejahatan.” (Pasal 12 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Menurut Islam). iv United Nations High Commissioner for Refugees Kantor Regional Republik Arab Mesir e-mail: [email protected] Website Berbahasa Arab: www.unhcr.org.eg Kantor Regional NegaraNegara Teluk email: [email protected] Website Berbahasa Inggris: www.unhcr.org Cetakan Pertama 2009 Buku ini ditulis atas nama UNHCR Prof. Dr. Ahmad Abû alWafa’, Ketua Jurusan Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir. Kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan opini penulis, bukan opini UNHCR. Pengutipan, perujukan dan penyalinan isi buku ini, baik untuk tujuan akademis, tujuan pendidikan, ataupun tujuan nonkomersial lainnya dapat diperkenankan tanpa perlu ada izin formal dari UNHCR, dengan catatan menyebutkannya sebagai referensi. Buku ini tersedia dalam Bahasa Arab, yang dapat diunduh pada situs: www.unhcr.org.eg dan Bahasa Inggris pada: www.unhcr.org Penerjemahan kedalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, 2011 v DAFTAR ISI Daftar Isi.............................................................................. vi Sambutan Komisioner Tinggi UNHCR............................ x Sambutan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam..................................................................................... xvii Sambutan Rektor Universitas Ilmu Keamanan Naif Arab..................................................................................... xxiv Sambutan Rektor Universitas Al-Azhar………………... xxvi Persembahan……………………………………………... xxxvi Pengantar Umum……………………………………….... 1 Bab I: Persyaratan pemberian suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional ..................................... A. Menurut Syariat Islam…………………………….... B. Menurut Hukum Internasional…………………................................... Bab II: Prinsip - prinsip hukum tentang suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional.......... A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur pemberian suaka……………………………………. B. Prinsip - prinsip utama yang mengatur hak – hak suaka………………………………………………... B.1. Prinsip Larangan Pemulangan (non-refoulement) B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara……… B.3. Asas non-diskriminasi............................................. B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka......... Bab III: Macam - Macam Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Internasional................................................. 1. Suaka Agama………………………………………... 18 vi 18 25 27 27 29 29 47 56 62 65 65 2. Suaka Teritorial……………………………………... 3. Suaka Diplomatik………………………………….... Bab IV: Status Hukum Pengungsi Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional...................................... 1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi……... 2. Penyatuan keluarga………………………………….. 3. Harta kekayaaan pengungsi………………………..... 4. Perlindungan diplomatik …………………………..... 5. Hak – hak pengungsi anak…………………………... 6. Hak atas harta kekayaan…………………………….. 7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim 8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati………. 9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang non-Muslim………………………………….... 10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non-Muslim………………………………………...... 11. Perlindungan atas hidup non-Muslim……………... 12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan yang adil……………………………………………........... Bab V: Faktor yang Menghalangi Pencarian Suaka Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional......... I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi................................................................. II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka: perlindungan sementara………………………........ III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka…. III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solutions)…….. III.2. Berakhirnya suaka……………………………….. Bab VI: Perbandingan antara Syariat Islam dan Hukum Internasional dalam Konteks Hak Suaka ........ vii 79 133 147 147 156 166 171 174 179 180 180 181 186 188 189 191 191 214 219 219 239 250 A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka…….......... B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka………………….... Penutup…………………………………………………… Rujukan…………………………………………………... viii 250 251 271 282 ix SAMBUTAN KOMISIONER TINGGI BADAN PERSERIKATAN BANGSA – BANGSA UNTUK URUSAN PENGUNGSI (UNHCR) Tradisi dan budaya bangsa Arab merupakan fondasi yang kokoh bagi upaya perlindungan manusia dan penghormatan harkat-martabat mereka. Penggunaan beberapa istilah seperti alijârah (perlindungan), al-istijârah (meminta perlindungan) dan al-îwâ’ (perlindungan), tiada lain, menunjukkan gambaran yang terang benderang tentang ide perlindungan kemanusiaan, yang kemudian pada era sekarang ini menjadi tugas pokok UNHCR. Syariat Islam hadir untuk mengukuhkan prinsip-prinsip kemanusiaan, seperti persaudaraan, persamaan dan toleransi. Pemberian bantuan, jaminan keamanan dan perlindungan kepada orang yang membutuhkan, hingga kepada musuh sekalipun, merupakan ajaran mulia Syariat Islam, yang nota bene hadir mendahului kelahiran sejumlah instrumen hukum internasional modern tentang hak asasi manusia dan pengungsi, yang mengatur, antara lain, hak suaka dan larangan ekstradisi pengungsi. Itu semua dalam rangka melindungi keselamatan jiwa orang bersangkutan dan menghindarkannya dari penganiayaan atau pembunuhan. x Syariat Islam mengatur masalah suaka dengan jelas dan rinci. Syariat Islam juga menjamin secara penuh perlindungan, penghormatan, dan pemeliharaan bagi setiap pencari suaka. Ia juga menggariskan aturan, bagi masyarakat Islam, yang wajib dijalani dalam rangka memenuhi permintaan-permintaan suaka. Oleh karena itu, tindakan menolak permintaan pencari suaka adalah dilarang secara tegas. Yang kini dikenal dengan “asas larangan pengusiran/pengembalian pencari suaka ke negara asalnya (Prinsip non-refoulement)”, yang menjadi dasar dari Hukum Pengungsi Intenasional, beranjak dari prinsip dalam Syariat Islam tersebut. Tradisi panjang pemberian perlindungan dalam sejarah kemanusiaan menuntut adanya pemberian perlindungan bagi pencari suaka, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Hal ini ditegaskan oleh Q.s. al-Taubah/9:6, yakni: “ dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya; yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” Makna terdalam “permintaan perlindungan” (istijârah) tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan harta kekayaannya, terutama yang terkait dengan “tempat-tempat suci”, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. al-Baqarah/2:125, xi Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (Q.s. al-Baqarah/2:125). Begitu pula dalam Hadis: Siapa saja yang masuk ke dalam Masjidilharam, ia dijamin aman; siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, ia dijamin aman; siapa saja yang melempar senjatanya, ia dijamin aman; dan siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia dijamin aman. (Diriwayatkan oleh Muslim)1 Sebagaimana ditegaskan sejumlah sarjana Islam, migrasi (hijrah) dan pengungsian orang-orang Muslim ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy) dan migrasinya Nabi SAW ke Madinah untuk menghindari penganiayaan kaum kafir Quraisy merupakan perwujudan dari rasa kasih sayang. Hal tersebut juga merupakan preseden penting bagi adanya hubungan yang erat antara pencari suaka dan pemberi suaka yang membentuk ikatan hak bagi pencari suaka dan kewajiban bagi pemberi suaka. Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah memberikan fondasi yuridis bagi hukum suaka kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Meskipun banyak dari 1 Muslim. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqi, (Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1347 H/1954 M), Hadis No. 1780, Jilid III, h. 8-14; dan Ibn Abî Syaibah, Abû Bakr ‘Abdullah, Kitâb al-Magâziy, tahqîq ‘Abd al-Azîz Ibrahîm al-‘Umri, (Riyadh: Dâr Sibiliyâ, 1420 H/1999 M), h. 318-319. xii nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam, tetapi realitas ini tidak selamanya diakui , termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu mengapresiasi tradisi murah hati dan ramah tamah terhadap tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi terbentuknya hukum modern. Di dalam studi yang intensif ini, penulis mendeskripsikan secara detil Syariat Islam dan tradisi bangsa Arab, termasuk standar dan norma yang menjadi rujukan hukum, yang mendasari aktivitas - aktivitas UNHCR. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ menunjukkan betapa Islam memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap pengungsi, meskipun non-Muslim; juga menunjukkan betapa Islam melarang tindakan pemaksaan perubahan agama mereka; dan juga menunjukkan betapa Islam memerintahkan berbuat adil terhadap mereka, tidak mengurangi hak-hak mereka, melindungi diri dan harta kekayaan mereka, dan menyatukan mereka dengan keluarga mereka. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ juga menghimpun teksteks ayat al-Qur’an dan syair bangsa Arab pra-Islam dan pascaIslam, yang disertai dengan penjelasan mendalam dan sumbersumber teks tersebut. Dari sisi inilah nampak jelas kelebihan dan keutamaan karya ini dalam menyingkap nilai yang dikandung tradisi Islam dan bangsa Arab, yang memandang bahwa siapa saja xiii yang memberi perlindungan kepada orang yang bermigrasi ke lingkungannya, itulah orang Mukmin yang sejati; juga memandang hak suaka sebagai salah satu hak asasi manusia yang mendasar dan sakral, bahkan bagi pendatang non-Muslim. Dewasa ini, mayoritas pengungsi di berbagai belahan dunia adalah Muslim. Ini merupakan realitas yang sangat kentara pada era di mana fanatisme dengan berbagai bentuknya, baik yang bersifat etnik maupun keagamaan, tumbuh subur di belahan dunia manapun, bahkan di kawasan negara-negara maju sekalipun. Kita dapat melihat fenomena rasisme dan kebencian terhadap segala sesuatu yang berbau asing (xenophobia), yang bertujuan memprovokasi dan memanipulasi opini publik, dengan cara mengaburkan pengertian antara pengungsi (pencari suaka), imigran, dan bahkan teroris. Sikap dan perilaku ini berakibat terhadap menjamurnya mispersepsi terhadap Islam; dan ini harus dibayar mahal oleh para pengungsi Muslim. Marilah kita klarifikasi bahwa pengungsi itu bukanlah teroris, mereka justru menjadi korban pertama dan utama terorisme. Melalui buku ini kita dapat memahami kewajiban kita untuk menghadapi, menangani serta memberantas sikap dan perilaku tersebut. Perlu diakui bahwa buku ini menawarkan kajian yang sangat berharga, suatu kajian perbandingan antara Syariat Islam dan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan urusan pengungsi dan suaka, serta migrasi dan perpindahan secara xiv terpaksa. Buku ini lahir sebagai produk kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara UNHCR dan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Hal yang penting sesungguhnya bukanlah semata penyematan “pengungsi” kepada seseorang, melainkan upaya pemberian perlindungan terhadap orang tersebut. Pemberian perlindungan itu merupakan tradisi sekaligus praktik yang terus dijalankan oleh negara-negara OKI. Hasil kerjasama antara UNHCR dan OKI ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disahkan pada tahun 1990 dalam Konferensi OKI di Kairo, Mesir, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dianiaya oleh pemerintahnya berhak untuk meminta perlindungan/suaka kepada negara lain; dan negara yang bersangkutan wajib memberikan perlindungan/suaka hingga ia merasa aman. Buku ini merupakan referensi yang sangat penting untuk dipelajari dan dikaji, yang dilengkapi dengan contoh-contoh historis-faktual dan teks-teks ayat al-Qur’an. Buku ini juga sangat penting untuk dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan terhadap isu - isu hak asasi manusia (HAM), urusan pengungsi dan migrasi. Sebab, buku ini merupakan buah studi yang sangat relevan dengan upaya sosialisasi dan promosi nilai-nilai luhur ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab, yang berperan penting xv sebagai rujukan, baik secara langsung maupun tak langsung, dalam pembentukan hukum dan perjanjian internasional. Kerjasama strategis antara UNHCR dan Dunia Islam ini merupakan hal yang sangat penting bagi kontinuitas komitmen terhadap tradisi murah hati, penerimaan ramah tamah, dan pemberian perlindungan tanpa diskriminasi yang telah ada sejak 14 abad yang lalu. Prinsip – prinsip ini, dan prinsip – prinsip dasar hak asasi manusia dijelaskan secara rinci di dalam buku ini; dan sekaligus juga dibuktikan betapa prinsip-prinsip tersebut menjadi sumbu/poros bagi kehadiran hukum internasional yang mengatur kerja-kerja kemanusiaan internasional. Kami akan selalu mengingat prinsip Islam bahwa semua manusia adalah setara dihadapan manusia lainnya. António Guterres Komisioner Tinggi UNHCR xvi SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI) Segala puji tertuju kepada Allah, Tuhan di alam dan semesta. Salawat dan salam tertuju kepada Rasulullah yang mulia, keluarganya yang diberkahi dan sahabat – sahabatnya yang baik. Sungguh suatu kebahagian tersendiri bagi saya, dapat menyampaikan kata pengantar bagi hasil kerja ilmiah yang besar ini, dibawah arahan UNHCR - badan kemanusiaan internasional yang memberikan penanganan dan perlindungan yang baik bagi pengungsi di berbagai negara di dunia. Apa yang dilakukan UNHCR merupakan kerja dan aktivitas yang patut dihargai dan sungguh mendatangkan manfaat kemanusiaan. Saya juga patut menyampaikan ucapan terima kasih kepada UNHCR atas perhatian dan kepeduliannya terhadap isu pengungsi demi tercapainya tujuan-tujuan kemanusiaan, lebih lagi karena persentase terbesar pengungsi di berbagai kawasan dunia merupakan orang-orang Muslim. Adanya penugasan UNHCR terhadap Prof. Ahmad Abu alWafâ’ untuk mengadakan riset/kajian tentang hak suaka dalam pandangan Syariat Islam sungguh merupakan indikator gamblang tentang obyektivitas Syariat Islam dan perhatiannya terhadap misi xvii kemanusiaan. Hal demikian dipertegas oleh pernyataan Komisioner UNHCR, Mr. António Guterres, dalam kata sambutannya atas hasil kerja ilmiah yang istimewa ini, yang mengatakan: “Syariat Islam hadir dalam rangka mengukuhkan prinsip-prinsip kemanusiaan: persaudaraan, persamaan dan toleransi sesama manusia. Upaya memberikan bantuan, perlindungan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan, bahkan terhadap musuh sekalipun, sungguh merupakan ajaran Syariat Islam yang integral dan hadir lebih awal berabad-abad, mendahului kemunculan hukum dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia di era modern, termasuk hak suaka dan larangan pemulangan pengungsi (prinsip non-refoulement), yang dimaksudkan dalam rangka memelihara keselamatan jiwa pengungsi dan memastikan mereka terhindar dari penganiayaan dan pembunuhan.” “Syariat Islam telah menggambarkan masalah suaka secara jelas dan rinci, dan menjamin dengan penuh perlindungan, kehormatan, dan pemeliharaan bagi para pencari suaka. Syariat Islam juga menggariskan prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh masyarakat Islam dalam rangka memenuhi berbagai permintaan suaka. Tindakan pemulangan pencari suaka hukumnya tentu haram berdasarkan Syariat Islam. Apa yang dikenal sekarang ini sebagai larangan pemulangan pencari suaka (prinsip nonxviii refoulement) yang menjadi fondasi hukum suaka internasional sesungguhnya merupakan manifestasi dari prinsip tersebut.” Beliau juga mengatakan: “Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah memberikan fondasi bagi hukum suaka kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Nilai-nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam, meskipun kenyataan ini belum diakui sepenuhnya, termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu mengapresiasi tradisi bermurah-hati dan beramah tamah terhadap tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi terbentuknya hukum internasional kontemporer. ” Studi tentang hak suaka dalam perspektif Syariat Islam merupakan hasil kerja genius yang diteliti secara mendalam oleh Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’, Ketua Jurusan dan Guru Besar Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir. Di dalam buku ini, penulis menyajikan bahasan sejumlah isu, yakni pengertian “pengungsi”, suaka menurut hukum internasional dan Syariat Islam, persyaratan pemberian suaka, prinsip-prinsip yang mengatur hak suaka, dengan fokus pada karakter kemanusiaan dari prinsip – prinsip tersebut. Penulis juga menjelaskan secara terperinci klasifikasi suaka yang meliputi suaka atas dasar isu keagamaan, teritorial, dan politik, di samping xix menjabarkan mengenai hak-hak pengungsi menurut Syariat Islam dan hukum internasional. Studi ini juga mempunyai bobot istimewa lantaran adanya paparan prinsip-prinsip yang adil dan toleran yang dipratikkan Syariat Islam terhadap para pengungsi serta adanya perhatian terhadap kesejahteraan dan kepentingan pengungsi, dengan menjunjung tinggi integritas manusia dan hak – hak manusia untuk hidup dengan bebas dan layak. Penulis telah mencatat sedemikian banyak bukti historis tentang keterdepanan Islam dalam bidang ini dan keunggulan prinsip-prinsip dan hukumSyariat Islam terkait isu ini. Penulis menegaskan: “ Boleh jadi apa yang kami ungkapkan memperjelas bukti keunggulan sistem Islam atas sistem-sistem yang lain, yang menjadikan ras dan etnis sebagai parameter dan dasar diskriminasi (sebagaimana muncul di Amerika Serikat dan negara lain seperti Afrika Selatan) terhadap umat manusia, padahal manusia sendiri tidak punya peran sama sekali dalam menentukan ras dan etnis yang inheren dalam dirinya. Hal ini diperkuat oleh pengakuan sejumlah pakar Barat bahwa Islam hadir membawa ajaran pemberantasan diskriminasi rasial. Bahkan, mereka (para pakar Barat) menganggap misi pemberantasan diskriminasi rasial yang diserukan Islam inilah yang merupakan faktor penyebab agama ini tersebar meluas di segala penjuru dunia dan yang merupakan unsur/elemen penting xx bagi terbentuknya hubungan antarnegara (internasional), antara umat Islam dan umat non-Islam. Penulis juga memperkuat pembahasan dan uraiannya dengan berbagai keputusan hasil sejumlah muktamar Organisasi Konferensi Islam (OKI) tentang hak asasi manusia serta berupaya memperkenalkannya kepada pembaca. Studi ini ditandai dengan adanya perhatian yang intens terhadap teks – teks sumber Syariat Islam, baik al-Qur’an maupun Hadis, yang mendasari prinsip-prinsip dan garis-garis besar pikiran terkait isu hak suaka. Tidak hanya itu, studi ini juga menilik pandangan-pandangan yurisprudensial terkait isu hak suaka dan aspek-aspek yang sehubungan dengannya. Ketertarikan penulis tidak hanya terbatas pada aspek – aspek diatas, namun juga mencakup kejadian–kejadian bersejarah yang berhubungan. Pada level kontemporer, penulis memaparkan keberlakuan berbagai resolusi dan perjanjian yang dibuat oleh OKI dan organisasi internasional lainnya yang terkait, di mana sisi ini menjadikan buku ini memiliki keunggulan teoritis dan perhatian atas praktik kontemporer isu suaka. Karena itu, di bagian awal bab kesimpulan, penulis menyatakan: “Syariat Islam telah benarbenar menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan pokok terkait hukum suaka, baik secara eksplisit maupun implisit; secara tertulis maupun tersirat; dalam kata maupun perbuatan. Hal ini xxi ditekankan oleh Syariat Islam itu sendiri, sehingga menjadi kewajiban bagi setiap Muslim.”2 Penulis juga bersikap kredibel dan obyektif dalam studinya, terutama cermat dalam mengutip dokumen dan pendapat para pakar. Isu-isu terkait penyikapan Syariat Islam tentang topik ini dibahas secara obyektif dan independen, dengan pendekatan perbandingan hukum, tanpa memaksakan adanya kesamaan dan keserupaan antara sistem Syariat Islam dan sistem hukum internasional. Hal ini memberi nilai tambah ilmu pengetahuan tersendiri bagi studi apabila dibandingkan dengan studi komparatif lainnya, terutama karena studi ini berhasil menunjukkan kontribusi Syariat Islam dalam perjalanan sejarah kemanusiaan, terutama menyangkut hukum internasional pada umumnya dan dalam perlindungan dan hak pengungsi pada khususnya. Saya memohon kepada Allah, semoga buku ini bermanfaat besar dan semoga penulisnya dianugerahi Allah dengan lebih banyak pencapaian kedepannya. Sekali lagi, saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi kepada UNHCR dan Yang Mulia Komisioner Tinggi, atas keberhasilan ini, yang memperkaya dinamisasi studi perbandingan hukum internasional. 2 Lihat halaman 56 dan 61 mengenai asas non-diskriminasi xxii Dengan penuh hormat dan kebanggaan, saya sampaikan semua ini dengan tulus kepada penulis, Prof. Ahmad Abû alWafâ’, semoga beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Prof. Akmal al-Dîn Ikhsan Ogouli Sekretaris Jendral xxiii SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS NAIF ARAB UNTUK ILMU KEAMANAN Salah satu keistimewaaan Syariat Islam adalah adanya prinsip-prinsip yang komprehensif, ketentuan - ketentuannya, dan pendekatannya ke berbagai aspek yang mampu memberikan keselamatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam hadir untuk memproteksi hak asasi manusia (HAM) secara umum, termasuk diantaranya adalah hak atas keamanan, dalam arti menyeluruh. Hak-hak suaka adalah salah satu hak mendasar yang paling penting yang dijamin oleh Syariat Islam dan diberikan olehnya perangkat untuk mendukung implementasinya. Syariat Islam memberikan proteksi atas hak ini, sejalan dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan peradaban bangsa Arab yang baik. Meskipun masyarakat internasional telah mengatur hak-hak suaka melalui penerbitan dan pengesahan sejumlah deklarasi dan perjanjian internasional, tetapi efektivitas aturan-aturan tersebut menuntut adanya tanggung jawab moral para pihak yang melaksanakan penerapannya. Dari sinilah muncul signifikansi pengaturan hak-hak suaka oleh Syariat Islam, yang dibahas dalam xxiv studi ini, yaitu bahwa ajaran ini dicirikan dengan luasnya cakupan perlindungan dan hakikat kemanusiaan dari hak suaka. Tema yang diangkat dalam buku ini menjadi semakin signifikan kehadirannya di tengah-tengah kondisi kian bertambah pesatnya jumlah pengungsi di negara-negara Arab dan negaranegara Islam pada beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat berbagai peristiwa internasional dan regional yang terjadi. Hal demikian tentu menuntut adanya kerjasama internasional dan implementasi Hukum Shari’ah dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan hak suaka. Pada kesempatan ini, saya ingin menggarisbawahi ikatan kerjasama bilateral antara Universitas Naif Arab untuk Ilmu Keamanan dan UNHCR. Ikatan ini diharapkan dapat mendorong bertambahnya program-program dan kajian-kajian yang dapat menekankan pentingnya isu ini dan menekankan pentingnya peran dunia internasional yang beradab dalam menangani masalah suaka dan pengungsi. Hanya Allah yang berada di balik segala keinginan dan tujuan ini. Prof. Dr. ‘Abd al-‘Azîz Saqr al-Gâmidi Rektor Universitas Naif Arab untuk Ilmu Keamanan xxv SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR-MESIR Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun, Islam mungkin merupakan satu-satunya agama yang bersikap terbuka terhadap agama-agama lain dan terbuka terhadap sistem budaya dan nilai lain, baik menyangkut moral maupun hukum. Islam mengambil semua nilai kebajikan itu dan memasukkannya ke dalam sistemnya (Islam), baik dalam hal intelektual maupun spiritual. Di dalam mengambil dan memasukkan nilai tersebut, Islam menyeleksi dengan satu parameter, yakni unsur yang diambil dan dimasukkan itu, selain sejalan dengan norma - norma akhlak yang baik, juga mampu mewujudkan kemaslahatan yang otentik, yang bersama-sama dengan norma akhlak itu, menuju pada satu tujuan yang sama. Dalam hal ini, kita merujuk kepada Hadis Nabi yang bersumber dari Abu Hurairah: Aku [Nabi Muhammad]diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.3 3 Hadis diriwayatkan oleh al-Hâkim, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah, dalam kitab alMustadrak ‘ala al-Sahîhain, tahqîq Mustafa ‘Abd al-Qâdir ‘Atiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), dan al-Hâkim berkata: “Hadis ini sahîh menurut persyaratan Imam Muslim.” Ini disetujui oleh Imam al-Dzahabiy dalam Kitab al-Talkhîs, Hadis No. 4221, Jilid II, h. 67. Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab al-Adab al-Mufrad, takhrîj Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), Hadis No. 273, h. 104; juga oleh al-Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn Husain, dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’b al-Îmân, tahqîq Mukhtâr Ahmad al-Nadwi, (Bombay, India: Dâr al-Salafiyyah, 1414 H/1993 M), Jilid XIV, Hadis No. 4608, h. 134. Pen-tahqîq berkata: “ Hadis ini sanadnya hasan.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Suyûti, Jalâl al-Dîn xxvi Hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan tujuan luhur pesan-pesan Islam dan bahwa akhlak mulia yang merupakan nilai-nilai kebaikan kemanusiaan yang hampir punah dan lenyap pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat pra-Islam dibangkitkan lagi di dalam agama Islam. Bahkan lebih lagi, melalui agama ini, dibangkitkanlah bersamanya khazanah ilahiah yang hampir punah ditelan zaman sekiranya agama Islam tidak tampil di muka bumi. Orang yang merenungi kandungan isi al-Qur’an tidak akan tergelincir ke dalam faham pluralisme agama atau diversifikasi agama samawi karena al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa agama ilahi itu hanya satu, yakni agama yang tampil pada sepanjang zaman di pentas sejarah dunia, dimulai sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW melalui masa-masa Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi ‘Isa a.s, dan para nabi/rasul lainnya. Al-Qur’an juga mengindikasikan bahwa agama ilahi tidak pernah putus hubungan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman dan bahwa cahaya hikmah yang dikandung risalah para Nabi dan Rasul Allah tetap terus berkilau memancarkan sinar panduan dan pedoman bagi kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Abû Bakr, dalam kitab al-Jâmi’ al-Sagîr fi Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Hadis No. 2584, h. 155. al-Suyûti berkata: “ Hadis ini sahîh.” xxvii Dari sisi inilah risalah Islam dan risalah ilahi pra-Islam secara bersama-sama membentuk satu “kesatuan entitas” yang melahirkan persaudaraan sejati yang mengikat erat tali hubungan antara Nabi Muhammad SAW dan para rasul sebelumnya tanpa diskriminasi apapun. Diantara mutiara hikmah Nabi SAW yang diwartakan melalui Abu Hurairah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Saya adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi ‘Isa a.s di dunia dan akhirat kelak. Para nabi itu saudara sebapak, ibu mereka berbeda tetapi agama mereka satu/sama.4 Demikian pula halnya, kita mengetahui hal senada dari sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak diakui sebagai orang Mukmin kecuali dia mengimani semua Nabi dan Rasul seperti halnya dia mengimani Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya bahwa iman kepada al-Qur’an tidak dianggap sah pada hati seorang Muslim kecuali jika dia mengimani kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. AlQur’an itu adalah saudara kandung Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s, saudara kandung Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa a.s. Al-Qur’an menggambarkan kedua kitab tersebut sebagai “petunjuk“ (hudan) dan “cahaya” (nûr). Penting 4 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab Sahîh al-Bukhâriy, tahqîq Mustafa Dîb al-Bigâ, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr wa al-Yamâmah, 1414 H/1993 M), Hadis No. 3259, Jilid III, h. 1270. Ungkapan أوالت عالتmaksudnya “mereka yang saudara sebapak dari ibu yang berbeda.” xxviii diketahui pembaca, satu kesatuan entitas itu tidak hanya ditandai oleh kesamaan dimensi persaudaraan kenabian dan persaudaraan kitab suci saja, tetapi berarti kita memahami dengan sangat jelas dalam kandungan ajaran Islam itu sendiri, legislasinya dan hukum-hukumnya. Terkait ini, Q.s. al-Syûra/42:13 menyatakan: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yakni tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.s. al-Syûra/42:13). Hal ini adalah kebalikan dari kaidah Syariat Islam: Syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita juga, selama tidak ada yang menggantikan5. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang menjamin kontinuitas kebajikan dari generasi ke generasi; dan bahwa ia merupakan agama yang membuka pintu terhadap siapa saja, meskipun sang manusia itu datang dari zaman kebodohan dan kegelapan. Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dari Rasulullah 5 Syariat umat sebelum kita tersebut diperoleh informasinya melalui sumber-sumber ajaran kita (Islam) , yakni al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, apabila diperoleh informasinya melalui sumber periwayatan ahl al-kitâb seperti Taurat dan Injil yang ada pada mereka, atau periwayatan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah maka syariat umat sebelum kita tersebut tidak boleh digunakan sebaga hujah, dalil dan sumber hukum, lihat Atûr Syu’aib ‘Abd al-Salâm, Syar’u Man Qablana: Mahiyyatuhu wa Hujjiyyatuhu wa Nasy’atuhu wa Dawâbituhu wa Tatbîqatuhu, (Kuwait: Jâmi’at al-Kuwait, 2005), h. 383. xxix SAW, ketika ditanya mengenai tokoh-tokoh bangsa Arab, Nabi Muhammad SAW menjawab: “Yang terbaik di antara mereka pada zaman Jahiliah adalah yang terbaik pula pada zaman Islam bilamana mereka faham (agama).”6 Dari sini nampak jelas kedudukan penting masalah “perlindungan” atau “suaka” yang menjadi fokus studi buku ini dengan pendekatan komparatif antara Syariat Islam dan sejumlah piagam/dokumen hukum internasional dan berbagai perjanjian internasional. Studi buku ini mengeksplorasi pengertian “perlindungan” atau “suaka”, dimensi moral dan etis menurut Syariat Islam dan yang tidak terungkap atau hampir tidak terlihat dalam hubungan internasional kontemporer. Studi buku ini juga mengungkapkan kepioniran Islam dalam mengakui hak perlindungan atau “suaka”. Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa semata-mata penjelasan mengenai kepioniran Islam tersebut tidaklah cukup untuk menguraikan dimensi moral dan etis yang merupakan pijakan dasar di balik legislasi hak asasi manusia menurut pandangan filsafat Islam. Studi buku ini menunjukkan asal muasal metodologi konsep yang telah disebutkan penulis. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ telah mengidentifikasi segi-segi perbedaan dan persamaan antara pandangan filsafat Syariat Islam dan filsafat hukum internasional 6 al-Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid XIII, h. 1224, Hadis No. 317; dan Muslim, Sahîh Muslim, Jilid III, h. 1846, Hadis No. 2378. xxx kontemporer tentang hak perlindungan/suaka. Seperti yang diindikasikan penulis, konsep “perlindungan” atau “suaka merupakan dasar fundamental hukum kontemporer, dan bahkan telah dipraktikkan di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Prinsip ini disebarkan melalui Syariat Islam, karena merupakan bentuk tradisi dan budaya yang baik, yang mencakup perilaku dan nilai etis yang luhur seperti sikap melindungi dan menolong terhadap orang yang sangat membutuhkan dan yang tengah dizalimi. Karena itu, Islam sangat menganjurkan dan menuntut kaum Muslimin mempraktikkan ajaran tolong-menolong (ta’âwun) ini dalam realitas kehidupan di segala tempat dan waktu, oleh dan terhadap siapapun, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa maupun kanak-kanak 7 , orang merdeka maupun hamba sahaya. Kita memahami berdasarkan sejarah bahwa Abû Sufyân meminta sebelum ia memeluk Islam melalui Fatimah, 7 Anak pra-mumayyiz tidak sah perjanjian perlindungannya; berdasarkan konsensus ulama fikih . Mengenai anak mumayyiz (para puber), para ulama fikih berbeda pendapat tentang keabsahan perjanjian perlindungannya. Kalangan ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz tidak sah secara hukum Islam karena ia terbebas dari taklîf (tuntutan hukum) dan perkataannya tidak mengikat secara hukum. Pandangan ini diikuti juga oleh kalangan ulama mazhab Hanbali menurut satu riwayat. Sedangkan Malik, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani dan satu riwayat dari kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz adalah sah secara hukum Islam karena didasarkan kepada keumuman makna sabda Nabi SAW: “perlindungan (dzimmah) orang-orang Muslim itu satu, dengannya berjalan orang yang lebih rendah dari mereka.” ( ) ذمة المسلمين واحدة يسعى بھا أدناھم. Pendapat yang terkuat ialah yang menyatakan ketidakabsahan perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz. Ibn Qudâmah berkata: “ Barangsiapa diantara kita memberikan janji perlindungan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya maka dibolehkan/dinilai sah janji perlindungannya; dan dinilai sah janji perlindungan dari orang Muslim yang dewasa, berakal sehat, dan tidak terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun hamba sahaya; dan dinilai tidak sah janji perlindungan dari anak kecil. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni, tahqîq ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halwa, (Kairo: Dâr Hajar, 1413 H/1992 M), Jilid XIII, h. 75. Lihat pula al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Jilid II, h. 155; dan Mugni al-Muhtâj, Jilid IV, h. 237; dan Kasysyâf al-Qinâ’, Jilid III, h. 104; dan Mawâhib al-Jalîl, Jilid III, h. 361; sebagaimana dikutip dari Sâlih ‘Abd al-Karîm al-Zaid, Ahkâm ‘Aqd al-Amân wa al-Musta’minîn fi al-Islâm, (Riyadh: al-Dâr al-Wataniyyah li alNasyr, 1406 H), h. 57, 25,77. xxxi puteri Nabi SAW, agar Nabi SAW memberikannya hak suaka di tengah-tengah kehidupan masyarakat Madinah. Permintaan Abû Sufyân ini tidak dipenuhi oleh Nabi SAW lantaran ia telah melanggar perjanjian yang ditandatangani Nabi SAW dan kaum musyrikin, yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.8 Pembaca Muslim patut berbangga dengan buah karya riset ini yang telah mengemukakan bahwa Islam mencari segala cara untuk memenuhi hak suaka kepada orang non-Muslim. Disini kita mengetahui bahwa Nabi SAW telah memberikan hak suaka kepada orang-orang musyrik, semata-mata dengan alasan memberikan suaka bagi mereka yang mendekati Masjidil Haram atau tindakan mereka memasuki rumahnya masing-masing atau tindakan mereka memasuki rumah Abû Sufyân. Ketentuan hukum ini berlaku dalam setiap situasi dan kondisi yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Penulis mengungkapkan perkataan ‘Umar ibn al-Khattâb bahwa kata metras merupakan kata bahasa Persia yang bermakna “perlindungan”; apabila seorang Muslim mengatakannya kepada seorang non-Muslim harbiy (Orang non-Muslim harbiy adalah orang non-Muslim yang melakukan tindakan penyerangan/agresi secara fisik terhadap orang Muslim) yang tidak memahami bahasa Arab maka ia harus memberikan kepada orang tersebut jaminan perlindungan/suaka. 8 Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, Kitâb al-Amwâl, tahqîq Abû Anas Sayyid Rajab, (Riyadh: Dâr alFadîlah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 295. xxxii Hal ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, seorang non-Muslim harbiy yang berada dibawah perjanjian perlindungan tidak boleh dibunuh dan harta kekayaannya akan diamankan. Kalau ada seorang Muslim berkata kepada seorang non-Muslim harbiy: “Berhenti dan letakkan senjatamu!” Ibn Qudâmah mengemukakan bahwa ‘Umar ibn al-Khattâb pernah berkata kepada Hormuzan: “Bicaralah dan jangan takut!”; ketika Hormuzan telah berbicara, ‘Umar ibn al-Khattâb menginstruksikan agar ia dibunuh. Lalu, Anas menyelak dan langsung berkata kepada Umar: “Engkau tidak punya alasan untuk hal demikian, sebab engkau telah menjanjikan perlindungan terhadapnya.” ‘Umar ibn al-Khattâb menjawab: “Tidak sama sekali.” Lalu, Zubair berkata: “ Sungguh engkau telah mengatakan kepadanya: “ Bicaralah dan jangan takut!“. Lalu, ‘Umar menarik kembali instruksinya tersebut. Sejauh yang penulis ketahui, ini semua tidak diperdebatkan lagi oleh para ulama.9 Perlu waktu yang panjang apabila kita mau melakukan perbandingan yang relevan tentang konsep suaka menurut Hukun Syari’ah yang banyak sekali dijumpai buku ini. Akan tetapi, kita cukup mengapresiasi artikulasi penyajian dan kedalaman pembandingan yang ditunjukkan penulis, Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’. Beliau cukup berhasil dalam kajian ilmu pengetahuan 9 Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid XIII, h. 192-193. xxxiii ini, terutama karena atribusi konsep hak perlindungan/suaka dalam perspektif Islam dengan landasan teori maslahah. Beliau memang memiliki pengetahuan mendalam dan wawasan luas tentang hal-ihwal teori ini dan dimensi-dimensi penerapannya serta aturan fundamental yurisprudensi teori ini. Lebih dari itu, beliau kaya akan pengetahuan yang mendalam tentang qawâ’id usûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah sehingga mampu menyajikan pembahasan dan pandangan yang kokoh di dalam karya riset beliau yang istimewa ini, yang dengan mantap menginspirasi pembaca bahwa Syariat Islam bukanlah teks-teks Tuhan yang dibacakan atau peta hukum yang dihapal, tetapi ia merupakan sistem kehidupan yang terus bergerak dinamis di dalam kehidupan manusia di dunia. Saya mengakhiri kata sambutan ini dengan mengutip pernyataan Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ sendiri yang dijadikan oleh beliau sebagai kalimat penutup pembahasan dan uraiannya, suatu pernyataan yang sesungguhnya telah dikemukaan oleh Ibn al-Nabulsi al-Hanafi, yakni: “ Adapun memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat dan mewajibkan mereka dengan hal demikian melalui cara pemaksaan dan otoriter merupakan tindakan zalim dan melanggar hukum, yang wajib dihindari dan dicegah oleh umat Islam. xxxiv Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegah dan menahan tindakan yang tidak adil ini.” Prof. Dr. Ahmad At-Tayyib Rektor Universitas Al-Azhar - Kairo xxxv PERSEMBAHAN Kepada Almarhumah Ibuku Tercinta Kepada Almarhum Ayahku Tercinta Dariku dengan kesetiaan, rasa syukur dan dalam kenanganku Ahmad Abû al-Wafâ’ xxxvi PENGANTAR UMUM Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan, tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah SWT : Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89). Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. alNahl/16:44). Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ). Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan (vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi manakala: 10 Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6. 11 Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1428 H/2008 M), h. 53-62. 1 1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari suaka. 2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau lainnya, dimana ia menghadapi ancaman penindasan/penyiksaan. Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi (migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut: 1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa aman, dan suaka. 2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person), tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi. Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri, terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 2 3. Migran ekonomi adalah orang yang meninggalkan negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik antara orang yang migrasi dan pengungsi yang masingmasing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda. Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan hukum internasional Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut pandangan hukum internasional. Menurut Syariat Islam Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti “berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu. Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau obyek yang dijadikan untuk 3 berlindung dari hal yang membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini muncul pada Q.s. al-Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s. alSyûra[42]:47, yakni :12 Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau guagua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]:57). Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118) Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47). Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti 12 Lihat Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah alMisriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1390 H/1970 M), Bab II, h. 564-565. 4 menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13 Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan dalam hal pertimbangan pencarian bahwa dan pemberian sekiranya yang suaka atas dasar tampak itu makna “melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna “menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab menggunakan kata “awaituhu” (saya memberikan suaka kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi perlindungan kepada seseorang).14 Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab menyebutnyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam rangka mengabadikannya dan untuk memotivasi para 13 Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, (Kairo: Dâr alFikr, 1382 H/1962 M), h. 257. 14 Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, h. 338. 5 pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15 Kapan saja aku menyeru kaumku Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengahtengah mereka Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan Maka, kami memegangnya dengan teguh Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16 Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa takut Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim dingin Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan Pemberian perlindungan/suaka dan penerimaan atas permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka (al15 Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46. 16 Abû al-‘Abbâs Tsaglab, Syarh Dîwân Zuhair ibn Abî Sulamiy, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1348 H/1964 M), h. 79-80. 6 mustajirin). 17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair mereka 18 , disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan celaan dan ejekan. Telah nyata bahwa pemberian suaka itu bertujuan mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah ‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan 17 Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni: Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98. Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah menggubah syairnya, yakni: Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar, Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi dengan melimpah Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni: Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122. 18 Muhammad al-Sudaisi, Ijâbat al-Dâ’iy wa Gauts al-Mustanjid ‘ind al-‘Arab hasb Taswîriha fi alSyi’r al-Qadîm, dalam Jurnal Universitas Islam al-Imâm Muhaamd ibn Su’ud, Edisi VI, 1413 H/1992 M, h. 441446. 7 memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian membela isteri dan anak kalian.”19 Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain, sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “ Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20 Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an, untuk menggunakan sejumlah kata untuk mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (اإليواء yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam Q.s.al19 Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik, Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.” 20 Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8. 21 Diucapkan: أوى زيد, dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan sebagai kata kerja intransitif ()فعل الزم. Juga diucapkan: أوى زيد, dengan cara baca memanjangkan huruf hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif ()فعل متعدي. al-Qur’an menggunakan kedua bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6. Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat al-Tibâ’ah alMunîriyyah, t.th.), h. 16. Para ahli bahasa Arab menghimpun antara )أويته وأويته وأويت إلى فالن( اإليواءdan ضفت ( التضيف )الرجل و تضيفتهpada satu judul, yakni اإليواء والتضيف. Lihat Ibn Sayyidih, al-Mukhassas, al-Sifr al-Tsâni ‘Asyr, (Beirut: t.np., t.th.), h. 312-313. Diantara penggunaan lafaz itu ialah lafaz yang muncul dalam wasiat Rasulullah SAW kepada orang-orang Ansâr, ketika beliau mengalami sakit parah, yakni bahwa “Mereka adalah keluargaku yang aku berlindung kepadanya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo; Matba’ah Mustafa al-Bâb al-Halabiy, 1375 H/1955 M), Jilid II, h. 650. 8 Anfâl/8:26, Q.s.al-Anfâl/8:72, Q.s.al-Anfâl/8:74, dan Q.s. alDuha/93:6, yakni : Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26). Lafaz أوواmuncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun ( )ضمواdan berhenti ()انتھوا, lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah alMisriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289. Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100, yang berbunyi: يل ﱠ اج ًرا إِلَى ﱠ ُ ْﷲِ َو َرسُولِ ِه ثُ ﱠم يُ ْد ِر ْكهُ ْال َمو ت ِ َض ُم َرا َغ ًما َكثِيرًا َو َس َعةً َو َم ْن يَ ْخرُجْ ِم ْن بَ ْيتِ ِه ُمھ ِ ِاجرْ فِي َسب ِ ََو َم ْن يُھ ِ ْﷲِ يَ ِج ْد فِي ْاألَر ﷲ َو َكانَ ﱠ فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُرهُ َعلَى ِﱠ ﷲُ َغفُورًا َر ِحي ًما disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab. Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talab dunyâ dan talab dîn. Adapun hijrah talab dîn meliputi bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan. Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn (keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr (pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl (perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd (pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs (pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: al-Maktabah al‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224. Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: ( تخفرت بفالنsaya menjadikan si fulan sebagai pembela diri saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr al-Alfiy, (Kuwait: Wizârat al-Auqâf wa alSyu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan” sebagaimana berikut ini: “ Ini surat dari si fulan untuk si fulan. Sesungguhnya saya melindungimu atas darahmu, hamba sahayamu, dan pengikutmu. Bagimu dan mereka perlindungan Allah yang ditunaikan, peraduannya yang menenteramkan; lalu, perlindungan para nabi yang diutus membawa risalah-Nya, yang dimuliakan dengan wahyu-Nya; lalu, perlindungan orang-orang pilihan, dengan memelihara darahmu dan orang yang masuk namanya besertamu di dalam surat ini, dan keselamatan hartamu dan harta mereka, dan demikian seterusnya; maka, terimalah tawarannya, sambutlah perlindungannya, bergantunglah dengan tali perlindungannya, karena tidak ada lagi setelah itu tali pengikat bagi orang yang masuk dalam perlindungannya melainkan tali pengikat yang kamu ikat dengan sekuat-kuatnya dan kamu berlindung kepada seaman-amannya perlindungan dan keselamatan.” Lihat Ibn Qutaibah al-Dainûri, Kitâb ‘Uyûn al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1343 H/1925 M), h. 225 9 Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.s.al-Anfâl [8]:72) Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.alAnfâl [8]:74). Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi-Mu? (Q.s. al-Duha[3]:6). Terkadang digunakan pula kata al-hijrah ( )الھجرةuntuk menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam Q.s.alHasyr [59]:9 : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan 10 kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.alHasyr [59]:9) Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata almalja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah: Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. alTaubah/9:56) Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau guagua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57) Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula( terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118). Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh 11 tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47). Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab (pemeliharaanku), maljaî terdapat ungkapan hishni (perlindunganku), malâdzi, (perlindunganku), maw’ilî (perlindunganku), ma’qilî (pemeliharaanku), ma’âdzȋ (perlindunganku), (perlindunganku), wizrȋ (bebanku), kahfȋ maqsadȋ (tujuanku), mu’tamadȋ (sandaranku), mu’tadadȋ (pemeliharaanku), mu’tasamȋ (sandaranku), hirdzȋ (pemeliharaanku), manjaya (penyelamatanku), mahȋsȋ (perlindunganku), ma’alȋ (perlindunganku) ,kanafȋ 23 istajârahu (meminta perlindungan), (pemeliharaanku). istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu (meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya), jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang kepadanya).24 Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara, menaungi. Secara spesifik kata اإلستعاذةmuncul dalam Q.s. alNahl/16:98 : 22 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki: alMaktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345. 23 Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35. 24 Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 79. 12 Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. alNahl/16:98). Menurut Hukum Internasional Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap dirinya lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke negaranya. 25 Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26 a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang AspekAspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27 25 Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol 1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional. 26 Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130 27 Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika, yang disahkan pada 10 September 1969 dan mulai diberlakukan pada 20 Juni 1974. 13 memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut: “Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya lantaran adanya agresi asing, pendudukan asing, penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia tidak mengalami ketakutan terhadap penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi peperangan atau pendudukan militer. b. Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi (1984) memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951, yakni bahwa kata atau konsep “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang lari dari 14 negaranya lantaran kehidupannya, keselamatannya atau kebebasannya terancam oleh kekerasan yang meluas, agresi asing, konflik di dalam negeri, pelanggaran hak asasi manusia secara luas, atau situasi apapun yang membahayakan ketertiban umum. Meskipun Deklarasi ini tidak mengikat karena hanya deklarasi semata, bukan perjanjian internasional yang mengikat, sehingga tidak berlaku terhadapnya “pacta sunt servanda” (perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya) atau prinsip “ex consensus advenit vinculum” (kesepakatan bersifat mengikat); akan tetapi, prinsip ini diimplementasikan dalam praktik hukum dan legislasi nasional di sebagian negara-negara Amerika Tengah. Lebih lagi, Pasal 14 Deklarasi Universal tentang Hak Asas Manusia menyatakan bahwa : (1) setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka untuk memperoleh perlindungan dari negara pemberi suaka dan untuk menghindari penyiksaan/penindasan; (2) hak ini tidak dapat diperoleh apabila keadaan itu lahir atas dasar tindak pidana/kejahatan non-politik atau lantaran perbuatan yang melanggar tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.28 28 Ketentuan ini juga tercantum pada Pasal 1 Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1967 dengan Resolusi No. 2312, yang menyatakan : 15 Lebih jauh lagi, hak suaka diartikan diperolehnya perlindungan yang diberikan oleh suatu negara, di wilayah negara tersebut atau di wilayah lain yang tunduk kepada pemerintah negara tersebut, kepada seseorang yang meminta suaka/perlindungan.29 Komponen – komponen hak suaka Hak suaka mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu: 1. Masuknya seseorang kedalam suatu teritori tertentu, dengan asumsi ia mencari suaka (dalam bahasa hukum, ini disebut 1. Semua negara wajib menghormati suaka yang diberikan negara lain, dalam rangka melaksanakan kedaulatannya, kepada setiap orang yang berhak untuk meminta diberlakukannya Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, termasuk orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme. 2. Hak mencari dan menikmati suaka boleh tidak diberikan kepada siapa saja diduga kuat melakukan tindak kejahatan terhadap perdamaian atau tindak kejahatan perang atau tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan yang diatur dalam instrumen hukum internasional. 3. Negara pemberi suaka berhak mengevaluasi alasan-alasan pemberian suaka. Perlu dikemukakan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi pengungsi dalam negeri (refugee sur place in situ). Misalnya, pejabat diplomatik, utusan/delegasi negara, tawanan perang, mahasiswa, dan pekerja migrant; mereka adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka tanpa berkeinginan sama sekali mencari suaka; namun, akibat situasi dan kondisi yang terjadi, mereka merasa takut akan kemungkinan terjadinya penganiayaan terhadap mereka atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, afiliasi kepada kelompok sosial tertentu, atau pendapat/pandangan politik tertentu, atau kemarahan mereka atas peristiwa yang terjadi di negara mereka, atau keterkaitan mereka dengan tokoh-tokoh politik yang ada di luar negeri dan kelompok oposisi. Mereka ini, sesudah memenuhi persyaratan, dapat dikualifikasi sebagai pengungsi Telah diketahui bahwa seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi lantaran keadaannya yang demikian; dan karena itu, pengakuan terhadapnya sebagai pengungsi oleh pihak negara pemberi suaka membawa efek deklaratif, bukan konstitutif. Terdapat perbedaan penting antara efek deklaratif dan efek konstitutif. Sebab, status “pengungsi” merupakan status yang empirik sifatnya manakala telah terpenuhi persyaratannya dan unsur-unsurnya tanpa tergantung kepada unsur-unsur eksternal. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat dianggap sebagai pengungsi hanya dengan pengakuan terhadap dirinya, tetapi pengakuan tersebut menjadi sempurna tatkala dia berstatus sebagai pengungsi. Lihat UNHCR, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees, (Genewa: UNHCR, 1992), h. 9. 29 Lihat Ann. IDI, 1950, Vol. 43, h. 157. Lihat pula P. Weiss, The present state of international law of territorial asylum, Ann. Suisse de DI, 1975, Vol. 31; Mubanga-Chipoya, The right to everyone to leave any country, including his own and to return to his country, E/C4/Sba. 2, 1988, h. 35, Juni 1988, h. 103-106. Lihat pula S.Agha Khan, Legal problems relating to refugees and displaced persons, RCADI, 1976. Lihat pula pengertian hak suaka dalam UNHCR, Madkhal ila al-Himâyah al-Dauliyah li al-Lâji’in, 2005, h.184 (dalam Bahasa Arab). 16 îjâb), yang kemudian dijawab dengan persetujuan negara tujuan (dalam bahasa hukum, disebut qabûl). 2. Pemberian izin kepada pencari suaka untuk menetap di wilayah negara tujuan. Ini melahirkan 2 (dua) implikasi penting, yaitu (1) pencari suaka tersebut tidak boleh dipulangkan ke negaranya; dan (2) pencari suaka tersebut tidak boleh diekstradisi ke suatu negara atau pihak lain yang memintanya, apabila hal ini akan berakibat hukuman atau penganiayaan bagi pencari suaka tersebut. 3. Pencari suaka itu tidak boleh dihukum lantaran memasuki wilayah negara tersebut secara ilegal, Hal ini dibenarkan menurut konsep alasan darurat yang mendorong pencari suaka itu lari dari negaranya ke negara lain karena menghindari penganiayaan yang akan dialami diri yang bersangkutan. 17 BAB I PERSYARATAN PEMBERIAN SUAKA MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL Secara prinsipil, perlindungan terhadap pengungsi berhubungan dengan mereka yang memenuhi persyaratan kualifikasi pengungsi, atau yang dikenal dengan “pengungsi beritikad baik” (bona fide refugees)30, sesuai dengan Paragraf 1/A Tambahan No. 1 Statuta Organisasi Pengungsi Internasional (1946). A. Menurut Syariat Islam 1. Persyaratan memperoleh suaka Agar dapat diberikan suaka sesuai dengan ketentuan Syariat Islam maka harus dipenuhi persyaratan berikut ini. a. Pertama, pencari suaka berada di negara Islam atau di wilayah yang tunduk kepada negara Islam. Hal ini masuk akal, sebab, untuk dapat diberikan suaka oleh suatu negara Islam, pencari suaka harus berada di wilayah negara Islam itu. Sebutan “negara Islam” mencakup 30 Lihat kembali tentang “pengungsi beritikad baik” (bona fide refugees), konklusi No. 15 yang disetujui oleh Komite Eksekutif Program UNHCR tentang “Pengungsi tanpa Negara Pemberi Suaka”, yang terdapat dalam the UNHCR Conclusions on International Protection for Refugees yang disetujui oleh Komite Eksekutif versi Arab, Kairo 2004, h. 31. 18 wilayah-wilayah di mana Syariat Islam diterapkan, dan orang-orang yang menghuninya, baik Muslim, nonMuslim (dzimmiy) maupun orang lainnya, berada di bawah perlindungan Islam dan dilindungi atas dasar ajaran Islam. Dalam kaitan ini, Abu Hanîfah mengemukakan 3 (tiga) syarat mengenai apa yang disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm). Pertama, aturan - aturan yang ditegakkan bersumber dari Syariat Islam. Kedua, negara itu bertetangga dengan negaranegara Islam lainnya. Ketiga, penduduknya, baik Muslim maupun non-Muslim, dilindungi atas dasar ajaran Islam.31 Kalangan ulama mazhab Mâliki berpendapat bahwa yang disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara yang memberlakukan aturan Muslim (Syariat Islam) dalam sistem hukumnya. 32 Kalangan ulama mazhab Syâfi’i berpandangan bahwa yang disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara yang penduduknya diberi ruang untuk menegakkan aturan-aturan Islam (Syariat Islam). Sedangkan fikih mazhab Hanbali 31 “Tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (ulama-ulama Hanafi), bahwa dâr al-kufr (Negara non-Muslim) dapat menjadi dâr al-Islâm (Negara Muslim) lantaran adanya pengakuan/penerapan Hukum Syari’ah di negara tersebut.” Lihat al-Kâsaniy, Abû Bakr Mas’ûd, Badâ’i al-Sanâ’i’ fi Tartîb al-Syarâ’i’, tahqîq Muhammad Yâsîn Darwîsy, (Beirut: Dâr Ihyâ’i al-Turâts al-Islâmiy, 1421 H/2000 M), Jilid VI, h. 12. 32 Ibn Rusyd, Abû al-Walîd, al-Muqaddamât al-Mumahhadât, tahqîq Muhammad Hajji, et.al., (Qatar: Dâr al-Turâts al-Islâmiy, 1408 H), Jilid II, h. 153; dan Zakriyyâ al-Ansâriy, Asna al-Matâlib Syarh Raud alTâlib, (t.t.p.: al-Matba’ah al-Maimaniyyah, 1313 H), Jilid IV, h. 204. 19 mengaskan bahwa setiap negara di mana sistem hukumnya didominasi oleh aturan Islam (Syariat Islam) merupakan negara Islam (Dâr al-Islâm); dan sebaliknya, setiap negara di mana sistem hukumnya didominasi hukum non-Islam merupakan negara non-Islam(Dâr alKufr); dan tidak ada negara selain kedua macam negara tersebut.33 Begitu pula halnya, suaka/perlindungan dapat diberikan, seperti akan kita bahas lebih lanjut, di wilayah-wilayah yang tunduk kepada negara-negara Islam (seperti tempattempat misi diplomatik atau kapal perang).34 Para ulama fikih juga mengakui suaka/perlindungan yang diberikan negara-negara lain, dan ini sejalan dengan penerapan asas yurisdiksi-teritorial dan asas yurisdiksi non-perluasan teritorial negara Islam ke wilayah yang bukan bagian dari negara Islam. b. Kedua, terdapat motif untuk memperoleh suaka dan dalam pandangan Islam, semua motif itu adalah setara.35 33 Ibn Muflih al-Hanbaliy, al-Âdâb al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, (Riyadh: Maktabah alRiyâd al-Hadîtsah, 1391 H/1971 M), Jilid I, h. 213. 34 Lihat halaman 133 mengenai suaka diplomatik. 35 Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan tetap ingin membunuhnya, maka kita harus membunuh orang yang ingin membunuh pencari suaka tersebut. Seandainya kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu kita wajib membantunya dan pahala diberikan terhadap tindakan membantu dirinya karena itulah hal yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, 20 Disyaratkan adanya motif memperoleh suaka. Namun, tidak disyaratkan si pencari suaka itu hanya lari ke negara Islam lantaran takut terhadap penganiayaan yang akan menimpanya. Lebih dari itu, 36 suaka dapat diberikan kepada setiap orang yang ingin tinggal di negara Islam, baik dengan alasan ia telah memeluk agama Islam ataupun alasan ia ingin tetap menjadi warga negara dengan status ahl al-dzimmah (non-Muslim dibawah perlindungan negara Islam). Dengan demikian, tidak seperti ketentuan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang mengatur status pengungsi, yang membatasi pengertian “pengungsi” pada orang yang lari dari negaranya lantaran takut akan penindasan/penyiksaan yang menimpanya, Islam menerapkan pengertian “pengungsi” yang lebih luas. c. Ketiga, ketidakinginan atau ketidakmungkinan pencari suaka memperoleh perlindungan dari negara asalnya. Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât alAzhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, h. 95. 36 Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan dengan menaklukannya maka kita harus menaklukkannya. Seandainya kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu kita membantu untuk hal demikian; dan pahala diberikan terhadap tindakan membantu dirinya karena itulah hal yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, 95. 21 Kedatangan si pencari suaka ke negara Islam dan keinginannya tinggal di negara itu menunjukkan ketidakinginan atau ketidakmungkinan tersebut. Telah dikemukakan bahwa makna kata “istijârah” menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, makna kata “ijârah” yang terdapat di dalam al-Qur’an. d. Keempat, ketiadaan pertentangan antara pemberian suaka dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.37 Sudah sewajarnya bahwa pemberian suaka, baik dari segi substansinya, hasilnya maupun dampaknya, tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan prinsipprinsip dan ajaran Syariat Islam. 2. Prinsip-prinsip memperoleh suaka dalam al-Qur’an Q.S.al-Hasyr/59:9 menetapkan 5 (lima) prinsip utama terkait suaka dan tatacara penanganan/perlakuan terhadap pengungsi. Allah berkalam: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (ansâr) sebelum (kedatangan) mereka (muhâjirîn), mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah kepada mereka (muhâjirîn). Dan mereka (ansâr) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (muhâjirîn); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun 37 Karena itu, Abû Hanîfah berpendapat bahwa perjanjian perlindungan menjadi batal apabila pihak orang non-Muslim dzimmiy melakukan perbuatan yang merugikan/membahayakan orang Islam, seperti menjadi mata-mata bagi kelompok orang kafir harbiy. Lihat Ibn Jamâ’ah, Tahrîr al-Ahkâm fi Tadbîr Ahl al-Islâm, tahqîq Fu’ad ‘Abd al-Mun’im Ahmad, (Doha: Dâr al-Tsaqafah, 1408 H/1988 M), h. 262. 22 mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. (Q.S.al-Hasyr/59:9). Dari ayat ini terlihat jelas prinsip-prinsip di bawah ini: a. Kaum Muslim sepantasnya bersikap senang dan gembira menyambut kedatangan pengungsi (atau imigran dari suatu wilayah ke wilayah lain) dan bergaul secara baik dengan mereka. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: “…mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah kepada mereka (muhâjirîn)…”. Oleh karena itu, para pencari suaka tidak boleh diusir ke luar batas teritori negara Islam atau ditolak kedatangannya. b. Kaum Muslim sepantasnya memperlakukan mereka dengan baik, dan memprioritaskan kepentingan/kebutuhan hidup mereka. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: “…dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri…”. Yang dimaksud dengan al-îtsâr ialah lebih mengutamakan orang lain ketimbang kebutuhan/kepentingan dirinya duniawi sendiri lantaran perihal lebih menginginkan keuntungan ukhrawi. Sikap ini lahir dari sikap percaya diri yang kokoh, kecintaan kepada Allah yang mendalam, dan 23 kesabaran terhadap kesulitan/kesukaran. 38 Seperti demikian halnya, karena sikap lebih mengutamakan orang lain dalam urusan hidup berada di atas sikap lebih mengutamakan orang lain dalam urusan harta sekalipun kembalinya kepada urusan hidup juga.39 c. Penerimaan simpatik terhadap pengungsi, baik yang kaya maupun yang miskin. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: ”Dan mereka (ansâr) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (muhâjirîn)…”. Dengan demikian, apakah pengungsi itu orang kaya atau miskin tidak punya pengaruh apapun, karena masalah ini hanya berkaitan dengan upaya perlindungan dan jaminan keamanan serta kesejahteraan terhadap diri pengungsi di daerah/negara tujuan. d. Ketidakbolehan menolak imigran sekalipun penduduk daerah/negara tujuan migrasi para imigran itu tengah mengalami krisis, kemiskinan dan kebutuhan hidup yang meningkat. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: “Sekalipun mereka dalam kesusahan…”, yakni kemiskinan kebutuhan hidup yang mendesak atau sedikitnya harta kekayaan. 38 39 Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Jail, 1407 H/1987 M), Jilid II, h. 1777. Ibid. 24 e. Ayat ini juga membuktikan adanya suaka teritorial, hal ini tercermin dalam ayat: : “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (ansâr) sebelum (kedatangan) mereka (muhâjirîn)…”. Maksudnya, mereka yang tinggal di negeri itu dan menjadikannya sebagai tanah kediaman mereka. 40 Ini menunjukkan bahwa penduduk daerah/wilayah tujuan migrasi wajib menerima kedatangan imigran ke daerah/negara mereka. B. Menurut Hukum Internasional Terlihat jelas dari pengertian yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi 1951 memeperoleh dan status Protokol 1967 “pengungsi”, bahwa seseorang sebelum diharuskan memenuhi persyaratan berikut ini: 1. Orang tersebut berada di luar negara yang menjadi identitas kebangsaannya atau di luar negara yang biasa didiaminya apabila ia berstatus tidak punya kewarganegaraan. 2. Adanya kekhawatiran membenarkannya atas untuk 40 timbulnya mengalami faktor yang penganiayaan 41 Ibn al-Turkimâniy, Bahjat al-Arîb fi Bayân ma fi Kitâbillah al-‘Azîz min al-Garîb, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1422 H/2002 M), Jilid II, h. 157. 41 Karena itu, Belanda menolak pengakuan warganegara Kristen Turki atas terjadinya penganiayaan terhadap mereka sebagai alasan memperoleh hak suaka, dengan mengatakan: “ Pemerintah memandang bahwa warga negara Kristen Turki tidak memiliki alasan yang patut akan adanya penganiayaan di tanah air mereka, 25 lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau afiliasinya kepada kelompok sosial tertentu, atau lantaran pandangan politiknya. 3. Pengungsi itu tidak mampu atau tidak ingin berada dalam perlindungan negara asalnya atau negara yang biasa didiaminya atau apabila ia berstatus tidak punya kewarganegaraan dari negara asalnya atau negara yang biasa didiaminya. seperti yang dimaksudkan Konvensi Pengungsi Genewa. Penerapan yang dilakukan oleh warga negara Kristen Turki untuk pemberian status “pengungsi”, karenanya, ditolak tanpa pengecualian.” Lihat NYIL, 1985, h. 345. 26 BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG SUAKA MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL Jelas bahwa hak suaka telah diatur secara prinsipil, baik dalam Syariat Islam maupun hukum internasional. Akan tetapi, sebelum menjelaskan prinsip-prinsip hukum tentang suaka, perlu kita tinjau faktor pembeda diantaranya dan tujuan dari pemberian suaka itu sendiri. A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur pemberian suaka Tujuan akhir dari pemberian suaka ialah adanya jaminan keamanan dan perlindungan bagi pengungsi yang tinggal di wilayah negara pemberi suaka. Prinsip-prinsip hukum yang mengatur pemberian suaka merupakan hal yang wajib diperhatikan dan ditaati agar tujuan adanya suaka tersebut terwujud. Jadi, ia merupakan media atau alat yang mengantarkan kita kepada tujuan akhir dari pemberian suaka sehingga wajib diperhatikan. Sebab, tujuan akhir dari pemberian suaka itu disyariatkan, dan karenanya disyariatkan pula media yang menyampaikan kepadanya. Maka, di dalam 27 konteks hak suaka, seperti halnya aturan hukum lainnya, “tujuan” itu tidak menghalalkan “cara”. Pembukaan Piagam Negara-negara Arab tentang Hak Asasi Manusia (tahun 2004) mengisyaratkan pengakuan “prinsip - prinsip yang abadi, yakni persaudaraan, persamaan dan toleransi antar sesama manusia yang dibangun oleh Islam dan agama-agama samawi lainnya”. Pembukaan Konvensi Negara-negara Arab tentang Status Pengungsi di Negara-negara Arab (tahun 1994) menyatakan bahwa negara pihak Konvensi berpegang teguh kepada “keyakinan dan prinsip-prinsip ajaran agama para pengungsi yang mengakar secara mendalam dalam sejarah Arab dan Islam, dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk berderajat agung dan bermartabat mulia, dengan berbagai sistem hidup dan sistem hukum yang apabila dijalankan akan mewujudkan kebahagiaan, kebebasan dan hak-hak mereka”. Hal demikian diisyaratkan pula oleh Seminar Pertama Cendekiawan Arab tentang Suaka dan Hukum Kepengungsian, yang merujuk kepada “tradisi Arab Islam tentang suaka dan kepengungsian” Kemudian, Seminar Keempat juga merujuk kepada prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama dalam hal “prinsip-prinsip solidaritas sosial dan suaka serta prinsipprinsip kemanusiaan tentang suaka dalam sistem Syariat Islam dan sistem nilai bangsa Arab”. 28 Sementara itu, komunike final dari Simposium dan Seminar Anggota Parlemen Dunia Arab tentang Hukum Pengungsi Regional dan Internasional serta Masalah Migrasi, yang diselenggarakan di Kota Sharm el-Syaikh (kota wisata di tepi Laut Tengah, Mesir) pada bulan Oktober 2008, menyatakan bahwa “tradisi, kebiasaan dan praktek – praktek dalam nilai nilai Arab dan Islam, berlaku sebagai poros yang kokoh bagi perlindungan para pengungsi, dan penghormatan atas integritas kemanusiaan mereka. B. Prinsip – prinsip utama yang mengatur hak-hak suaka Patut diketahui bahwa prinsip utama yang mengatur hak – hak suaka terdiri dari 4 (empat) prinsip. B.1 Prinsip larangan pemulangan (non-refoulement) A.Menurut Syariat Islam Islam menolak keras tindakan pemulangan atau pengembalian pengungsi ke suatu daerah/wilayah dimana ia merasa takut kebebasan dan hak-hak dasar lain yang dimilikinya terancam (seperti menjadi korban kekerasan, penindasan/penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau lainnya). Bahkan, dikatakan bahwa Islam ialah yang pertama kali mengakui asas larangan pemulangan dan asas larangan 29 ekstradisi bagi mereka yang melakukan kejahatan politik. 42 Alasan yang mendasari hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Asas larangan pemulangan atau non-refoulement dianggap sebagai asas yang bersumber dari hukum kebiasaan43 atau ‘urf (dalam tata pergaulan antar bangsa) dan telah jelas di dalam qawâ’id fiqhiyyah (kaidah Syariat Islam) bahwa sesuatu yang diakui oleh kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan aturan atau sesuatu yang diperjanjikan (al-ma’rûf ‘urf-an ka al-masyrût syart-an) 44 ; bahwa sesuatu yang dilandasi kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan sesuatu yang tertuliskan dalam teks atau dilandasi teks syara’ (altsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nass) 45 ; dan bahwa kebiasaan atau ‘urf merujuk kepada pengadilan (al-‘âdah muhakkamah)46, maksudnya kebiasaan atau ‘urf itu dapat dijadikan rujukan dan fondasi hukum. 42 Lihat S mahmassani: The Principles of International Law in the Light of the Islamic Doctrine, RCADI Vol.117, 1966, h.256 43 Vide infra 44 Al-Farghani, Abu al-Mahasin Hasan, Fatawa Qadikhan (al-Fatawa al-Khaniyah), Jilid I, h. 385, (Hasyiyah al-Fatawa al-Hindiyyah). 45 al-Sarkhasiy, Syarh al-Sair al-Kabîr, h. 170 dan 290; dan al-Husairi, al-Qawâ’id al-Dâwâbit alMustakhlasah min Syarh al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq ‘Ali ibn Ahmad al-Nadwiy, (Kairo: Matba’ah al-Madaniy, 1411 H), h. 283-285. 46 Ibn al-Subki, Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir, tahqîq ‘Âdil ‘Abd al-Maujûd dan ‘Ali ‘Iwad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1991 M), Jilid 1 , h. 50; Nâzir Zâdah Muhammad ibn Sulaimân, Tartîb al-La’âli fi Salak al-Amâliy (Kitâb fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah), tahqîq Khâlid ibn ‘Abd al‘Azîz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th.), Jilid 2, h. 821. 30 2. Asas ini telah diterapkan sejak periode awal negara Islam Madinah di bawah kepemimpinan Nabi SAW dan yang telah beliau akui legalitasnya, sehingga asas ini menjadi berlaku bagi setiap pengungsi. Salah satu contoh, ketika kaum Quraisy Mekkah meminta Abû Tâlib (paman Nabi SAW) menyerahkan beliau kepada mereka, Abû Tâlib menolaknya dan menggubah syair yang menyatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan diri Muhammad SAW kepada kaum Quraisy Mekkah meskipun harus meregang nyawa demi membela diri Muhammad SAW, yakni:47 Kalian berbohong, saya tidak akan menyerahkan Muhammad Dan kami akan berjuang mati-matian demi dirinya Kami tidak akan menyerahkannya Sebelum kami berguguran di sekeliling dirinya Dan diasingkan dari anak dan isteri kami Lalu, kaum yang lain akan bangkit Dengan gemerincing suara pedang yang menghantam kalian 3. Pemulangan atau pengusiran pengungsi atau pencari suaka ke daerah dimana dikhawatirkan akan terjadi tindak kekerasan atau penyiksaan terhadapnya bertentangan dengan asas/prinsip Islam yang dikenal dengan “asas larangan mencederai jaminan perlindungan” atau “asas 47 Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1418 H/1998 M), Jilid 3, h. 103-104. 31 larangan mengkhianati janji perlindungan orang yang meminta perlindungan”. Umar ibn al-Khattab berkata: “Sesungguhnya kata mitras (ungkapan bahasa Persia) memiliki arti keamanan. Apabila kata tersebut kamu ucapkan kepada siapa saja yang tidak paham bahasa itu, maka kamu telah menjamin perlindungan terhadapnya.”48 Tak diragukan lagi, ungkapan ‘Umar ibn al-Khattab itu mengandung maksud bahwa di dalam perjanjian jaminan perlindungan, tidak ada syarat keharusan penggunaan bahasa Arab, ia boleh menggunakan wadah bahasa apapun. Ketika Negus, Raja Ethiopia (Abessinia/ Habsy), menolak penyerahan orang Muslim Muhâjirîn kepada rombongan utusan suku Quraisy (‘Amr ibn al-‘Âsh dan ‘Imârah ibn alWalîd), Ja’far ibn Abî Tâlib berkata: “Kini, kami benar – benar berada di negeri yang paling baik dan di dalam perlindungan yang paling berharga.”49 4. Pemulangan pengungsi ke negara dimana ia khawatir akan terancam jiwanya atau terlanggar hak-hak asasinya dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dan menurut Syariat Islam, pengkhianatan hukumnya haram. Hal demikian berlaku, 48 Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid 3, h. 193. Lihat Ibn Hadîdah al-Ansâri, al-Misbâh al-Mudî’ fi Kitâb al-Nabiy al-Ummiy wa Rusulih ilâ Mulûk al-Ard min ‘Arabiy wa A’jamiy, (Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, 1406 H/1986 M), h. 231. 49 32 baik pengungsi itu orang Muslim maupun orang yang berpindah ke Islam. Sebab, dalam kondisi tersebut orang tersebut sudah memperoleh semua hak yang dimiliki orang Muslim, antara lain hak perlindungan terhadap jiwanya dan keselamatan badannya, baik pengungsi itu orang nonMuslim pencari perlindungan (musta’min) maupun orang non-Muslim yang tinggal di teritori Islam (ahl aldzimmah). Sebab, dengan diberikannya perlindungan (alamân dan al-dzimmah), mereka memperoleh penghormatan yang sama dengan yang diperoleh orang Muslim. Bahkan, kalangan ulama fikih berpendapat bahwa negara Islam tidak boleh mengekstradisi sandera atau orang nonMuslim pencari perlindungan (musta’min) tanpa kerelaan yang bersangkutan, ke negara asal mereka, meskipun dalam konteks pertukaran sandera atau tawanan yang Muslim, dan walaupun negara asal mereka menyampaikan ancaman agresi jika tidak dilakukan ekstradisi. Terkait hal ini, dikemukakan dalam kitab al-Siyâr al-Kabîr :50 “Apabila seorang non-Muslim harbiy datang kepada kita dengan meminta perlindungan (sehingga ia disebut musta’min), lalu pimpinan negara orang itu meminta 50 Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: Ma’had al-Makhtûtât bi Jâmi’ah al-Duwal al-‘Arabiyyah, 1972), Jilid 4, h. 1612-1614. Lihat pula sumber yang sama dengan terbitan Haidarabad al-Dakan, Jilid 3, h. 300-301. 33 pertukaran tawanan orang Muslim dengan orang nonMuslim harbiy (yang sudah menjadi musta’min) itu, dan ia menolak pertukaran itu dengan mengatakan bahwa jika kalian serahkan diri saya kepada mereka maka pasti saya akan dibunuh, maka kita tidak boleh menyerahkan orang non-Muslim tersebut kepada pimpinan negaranya. Sebab, ia berada dalam jaminan perlindungan kita sehingga ia seperti orang non-Muslim dzimmiy ketika menolak pertukaran. Di samping itu, kita menzaliminya bilamana membuka ruang untuk terjadi pembunuhan terhadap diri orang itu lantaran mengembalikan mereka ke negara asalnya, sedang berbuat zalim haram hukumnya, baik terhadap orang non-Muslim musta’min, orang non-Muslim dzimmiy maupun orang Muslim yang mencari perlindungan. Akan tetapi, kita mengatakan kepada dirinya: “Kembalilah ke negaramu atau kemanapun yang kamu inginkan jika orang-orang non-Muslim merelakan hal ini.” Sebab, pemerintah memiliki kekuasaan yurisdiksi terhadap orang non-Muslim bukan warganegara yang mencari perlindungan (musta’min) meskipun kekhawatiran terbunuhnya tawanan yang tidak ada Muslim. Ketahuilah bahwa seandainya tawanan yang non-Muslim itu tinggal menetap dalam waktu yang lama di negara kita (Muslim) maka ia dapat diusir. Maka dari itu, ketika ada 34 kekhawatiran terhadap terbunuhnya tawanan yang Muslim atau ketika ada upaya pertukaran tawanan tersebut, maka tawanan non-Muslim itu dapat diusir dengan syarat ia tidak berkeberatan atau nyata-nyata ada kekuasaan (yurisdiksi).” Begitu juga, negara Islam tidak boleh mengekstradisi orang non-Muslim musta’min, walaupun dalam konteks pertukaran tawanan yang Muslim. Sebab, menghindarkan diri dari pengkhianatan atas perjanjian merupakan perbuatan yang wajib hukumnya menurut ajaran Syariat Islam dan mengekstradisi orang non-Muslim tersebut merupakan bentuk pengkhianatan atas perjanjian.51 Bahkan, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani berpendapat bahwa tidak boleh hukumnya mengekstradisi orang non-Muslim musta’min yang berada di negara kita, meskipun pemerintah negara asal mereka mengeluarkan ancaman agresi militer dan deklarasi perang. Lebih rinci, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani mengatakan: “Jika kaum non-Muslim berkata kepada kaum Muslim: Serahkanlah ia kepada kami! Jika tidak, kami akan perangi kalian! Padahal kaum Muslim tidak punya kekuatan militer untuk melawan mereka, maka kaum Muslim tidak boleh melakukan hal yang diminta tersebut”. Sebab, tindakan hal demikian merupakan pengkhianatan kita atas janji jaminan 51 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Jilid 4, h. 1612-1614. 35 perlindungan terhadap dirinya dan itu tidak diperbolehkan. Sama halnya, sekiranya mereka berkata: “Jika kalian sependapat (dengan kami), itu baik; jika tidak, kami akan serang kalian.” kepadanya: Akan “Keluarlah tetapi, dari mereka negara mengatakan Islam, pergilah kemanapun yang kamu inginkan.” Sekiranya mereka berkata: “Keluarlah ke daerah/wilayah lain dalam jangka waktu tertentu; jika tidak, kami akan ekstradisi kalian ke negara asal kalian; lalu ia menjawab: “Ya, saya terima”, namun ia tidak keluar. Jika ia merasa nyaman jiwanya dengan ekstradisi itu, maka kita dapat mengekstradisi dirinya. Namun jika ia menolak, kita tidak boleh mengekstradisinya. Sebab, ia memperoleh jaminan perlindungan di negara kita hingga ia kembali memperoleh perlindungan di tempatnya yang semula. Dikatakan bahwa apabila lama tinggal menetapnya orang tersebut di negara kita melewati batas waktu menetapnya, hal itu merupakan petunjuk bahwa ia rela diekstradisi ke negara asalnya. Dengan demikian, kita harus menjadikan hal tersebut sama dengan pernyataan rela yang tegas. Seperti halnya, seorang kepala negara berkata kepada orang non-Muslim musta’min : “Kecuali kau keluar dalam kurun waktu yang diberikan, maka saya menjadikanmu sebagai dzimmiy.” (non-Muslim yang tinggal di teritori Islam). Kemudian, ia 36 tidak keluar maka jadilah ia sebagai orang non-Muslim dzimmiy atas dasar adanya indikator kerelaan dirinya terhadap cara demikian. Kami berpendapat, demikian pula halnya jaminan perlindungan. Hal di atas merupakan indikator (dalil) yang bersifat hipotetis sehingga tidak boleh seseorang kematian/pembunuhan, dihadapkan selama ia kepada tidak risiko menegaskan kerelaannya terhadap tindakan ekstradisi ke negara asalnya. Adapun perubahan statusnya sebagai orang nonMuslim dzimmiy merupakan suatu ketetapan hukum yang mengandung keraguan/ketidakpastian (syubhah); dan hal ini diperbolehkan atas dasar indikator (dalil) yang bersifat hipotetis.”52 Dari apa yang dipaparkan oleh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Dalam kondisi apapun, seorang non-Muslim musta’min tidak boleh diekstradisi ke negara asalnya, meskipun kejadian itu berada dalam konteks pertukaran tawanan yang Muslim atau meskipun berimplikasi munculnya ancaman agresi militer terhadap negara Islam. Sebab, tindakan mengekstradisi orang tersebut dalam kondisi ini 52 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Haidarabad al-Dakan: t.np., t.tt.), Jilid III, h. 300-301. Lihat pula Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: t.np., t.tt.), Jilid 4, h. 1612-1614. 37 setara dengan bentuk pengkhianatan yang tidak mengandung dispensasi apapun. b. Kepala negara atau pemegang kekuasaan memiliki otoritas memberikan pilihan kepada orang non-Muslim musta’min untuk keluar dari teritori negara Islam ke negara lain yang diinginkannya. Karena itu, pilihan yang dilaksanakan adalah pilihan yang ditentukan sendiri oleh orang nonMuslim musta’min tersebut. c. Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, dengan pandangannya itu, menjadi pionir terdepan sejak beberapa abad yang lalu, dalam menjalankan ketentuan – ketentuan yang diadopsi sejumlah piagam perjanjian internasional modern tentang hak asasi manusia, hak – hak suaka, prinsip larangan pemulangan pengungsi yang melewati teritori negara atau ketentuan larangan ekspulsi (pengusiran) pengungsi ke suatu negara di mana jiwa dan kebebasannya terancam. d. Pemenuhan jaminan perlindungan kepada pengungsi harus diprioritaskan dibanding yang lainnya. e. Tujuan adanya larangan mengekstradisi pengungsi negara asalnya ialah memberikan jaminan keselamatan fisik bagi pengungsi, dengan tidak mendatangkan kepadanya resiko kekerasan, penyiksaan atau kehilangan nyawa; karena ini 38 merupakan hal yang tidak boleh diremehkan dalam pandagan ajaran Islam. Beberapa contoh faktual terkait pelarangan ekstradisi pengungsi dalam Islam, diantaranya ialah: (i) Penolakan Raja Negus, Raja Ethiopia, atas ekstradisi sejumlah orang Muslim Muhâjirîn, di mana penolakan tersebut dilakukan terhadap delegasi suku Quraisy yang meminta ekstradisi tersebut. Raja Negus justru memberikan jaminan perlindungan bagi orang-orang Muslim tersebut sehingga mereka tinggal menetap dalam naungan jaminan perlindungan yang terbaik di negeri yang terbaik; sebagaimana yang diwartakan oleh Ummu Salamah r.a.53 (ii) Peristiwa yang terjadi negeri Yaman, terjadi upaya penahanan Ibn Najib al-Daulah yang datang untuk membantu Sayyidah Bint Ahmad dengan menyindir masyarakat untuk mentaatinya dalam rangka melawan sang penguasa, al-‘Ubaidi. Ketika hal itu telah diketahui olehnya, al-‘Ubaidimengirim 100 orang tentara dibawah kepemimpinan Ibn al-Khayyât untuk menangkapnya. Ketika Ibn al-Khayyât menemui Sayyidah Bint Ahmad dan meminta penyerahan Ibn Najib al-Daulah kepada 53 Ibn Ishâq, al-Sair wa al-Magâziy, h. 213-217, Sîrah Ibn Hisyâm, h. 289. 39 dirinya, Sayyidah Bint Ahmad menolak terang-terangan, seraya berkata: “Engkau itu utusan yang membawa surat; ambillah surat jawaban kami dan pergilah atau tunggulah karena kami akan mengirim surat kepada Khalîfah, dan kemudian surat jawaban Khalîfah dikirim lagi kepada kami.” Maka, pasukan itu menakut-nakuti dan mengancam Sayyidah Bint Ahmad, hingga Sayyidah Bint Ahmad bersumpah, demi kebaikan Ibn Najib alDaulah, dengan empat puluh kali sumpah kepada Ibn alKhayyât. Maka, Sayyidah Bint Ahmad mengirim surat tentang masalah ini kepada sang penguasa, al-‘Ubaidi, seraya memintakan maaf dan memohon pengampunan bagi Ibn Najib al-Daulah, kemudian, ia menyerahkan Ibn Najib al-Daulah kepada Ibn al-Khayyât. Kemudian, ketika Ibn al-Khayyât bergerak meninggalkan daerah Dzi Jabalah sejauh satu marhalah, ia melanggar perjanjian; ia menempatkan piringan besi seberat 100 kati ke kaki Ibn Najib al-Daulah, seraya mencelanya serta mencacimakinya, kemudian dibawanya ke Aden, lalu dinaikkannya ke kapal air menuju Mesir.54 (iii) Ketika ‘Abdullah al-Qa’syariy diangkat sebagai penguasa di Irak, penguasa Persia (Iran) memerintahkan agar 54 Lihat Yahya ibn al-Husain, Gâyat al-Amâniy fi Akhbâr al-Qatr al-Yamâniy, tahqîq Sa’îd ‘Âsyûr, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M), h. 286-287. 40 Mani, pemimpin sekte Maniwiah, agar dibunuh dan agar para pengikutnya dikejar dan dihabisi sehingga tidak tersisa seorang pun. Akan tetapi, mereka memperoleh jaminan keamanan, perlindungan dan ketenteraman di bawah naungan pemerintah Islam; dan Khalifah Khalid banyak memberikan jaminan perlindungan kepada mereka.55 (iv) Peristiwa dikalahkannya ‘Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ dalam suatu pertempuran di kawasan dekat Faz oleh tangan kekuatan pasukan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al-Murîni pada tahun 707 H/1309 M). Kemudian, ia lari ke Andalucía, Granda lantaran takut akan keselamatan jiwanya. Disana ia diangkat oleh Sultan Nasr Abû alJiyûsy sebagai komandan/panglima pasukan Andalusia. Ia berhasil memenangkan sebagian besar pertempuran. Hal ini memperkukuh faktor yang mendorong mereka menolak permintaan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ alMurîni untuk mengekstradisi Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ meskipun pihak Sultan acapkali menyampaikan ancaman keras, termasuk ancaman pemutusan bantuan negeri Marokko ke Andalusia.56 55 Syibli al-Nu’mâni, Fadl al-Islâm ‘ala al-Hadârah al-Insâniyyah, tarjamah ‘Abd al-‘Azîz ‘Abd alJalîl, (Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1401 H/1981 M), h. 18. 56 Lihat al-Wazîr Ibn al-Khatîb, Kinâsat al-Dukkân ba’da Intiqâl al-Sukkân, haul al-‘Alâqât alSiyâsiyyah bain Mamlakatai Garnâtah wa al-Magrib fi al-Qarn al-Tsâmin al-Hijriy, tahqîq Kamâl Syibânah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1386 H/1966 M), , h.22 - 24 41 B. Menurut Hukum Internasional Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) mengandung makna bahwa pengungsi tidak boleh diusir atau dipulangkan kembali dengan cara apapun ke perbatasan wilayah di mana jiwa atau kebebasannya terancam, baik lantaran ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada organisasi sosial tertentu ataupun lantaran pandangan politiknya, terlepas dari apakah ia telah secara resmi diakui sebagai pengungsi ataupun belum (Pasal 33 ayat [1] Konvensi 1951). 57 Hal ini berlaku juga bagi siapa saja yang memiliki alasan yang valid bahwa mereka akan mengalami tindakan penyiksaan/kekerasan. Dalam hal ini, Pasal 3 Konvensi tentang Penentangan Penyiksaan dan Kekejaman lain, Penghukuman atas Perlakuan yang Merendahkan atau Tidak Manusiawi, 1984 menyatakan: "Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir, memulangkan kembali atau mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana ada alasan kuat untuk mempercayai bahwa ia akan mengalami bahaya penyiksaan."58 Demikian juga Pasal 16 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa (2006) menyatakan: 57 Lihat juga Pasal 3 ayat (1) Deklarasi tentang SuakaTeritorial, Tahun 1967. Yang dimaksud dengan “negara lain” ialah negara yang kepadanya seseorang akan dikeluarkan, dikembalikan atau diekstradisi. Lihat Komentar Umum No. (1) yang disetujui oleh Komite Penentang Penyiksaan, 1997, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of concern to UNHCR, Volume 1, h. 587. 58 42 " Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir, mengembalikan memulangkan kembali, menyerahkan atau mengekstradisi seseorang ke negara lain, di mana terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa ia akan mengalami bahaya dihilangkan secara paksa."59 Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) diatur oleh 5 (lima) aturan dasar dalam hukum internasional kontemporer: a. Tidak boleh ada reservasi atau pengecualian dalam satu atau beberapa teks peraturan perundang-undangan yang mengakuinya, 60 ditinjau dari segi dampak bahaya yang dapat ditimbulkannya.61 b. Dalam keadaan apapun, asas larangan pemulangan kembali (non-refoulement) tidak boleh dikesampingkan.62 c. Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, dan karenanya setiap negara harus terikat 59 Lihat Resolusi Majelis Umum PBB No. 61/177, 20 Desember 2006 dan Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia No. 1/1, 29 Juni 2006. 60 Lihat, misalnya, Pasal 42 Konvensi 1951 yang menegaskan ketidakbolehan membuat pengecualian (reservasi) atas Pasal 33. 61 Salah satu ketentuan yang terbaik dalam masalah ini ialah Rekomendasi Umum No. 30 (Diskriminasi terhadap non-Warganegara) yang disetujui oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial pada awal Oktober 2004, yang menyatakan bahwa non-warga negara tidak boleh dipulangkan ke negara atau wilayah di mana mereka berada dalam ancaman bahaya pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan. 62 Karena itu, ditekankan pentingnya ketaatan yang mendasar terhadap prinsip larangan pemulangan kembali, baik di perbatasan maupun di dalam wilayah suatu negara-orang yang mungkin mengalami penganiayaan jika kembali ke negara asal mereka, terlepas dari apakah mereka telah secara resmi diakui sebagai pengungsi. Lihat Konklusi tentang Perlindungan Pengungsi Internasional yang disetujui oleh Komite Eksekutif Program UNHCR, Jenewa, 1996, h. 14, No. 6 (28). Demikian juga ditegaskan bahwa prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) tidak dapat dikesampingkan. Lihat dalam the UNHCR Conclusions on International Protection for Refugees approved by the Executive Committee, Jenewa, 1996, h. 214, No. 79 (47). 43 dengan prinsip ini, terlepas dari keterikatannya dengan teks perjanjian apapun.63 d. Karena prinsip larangan pemulangan kembali (nonrefoulement) bersifat jus cogens 64 maka tidak boleh ada kesepakatan untuk mengesampingkannya, dan kesepakatan seperti itu menjadi batal dengan sendirinya.65 e. Asas ini berfungsi sebagai salah satu alasan mendasar untuk menolak ekstradisi.66 Mengenai pengusiran pengungsi, secara khusus Pasal 32 Konvensi 1951 menetapkan: 1. Negara pihak tidak akan mengusir pengungsi legal di wilayah mereka kecuali dengan alasan keamanan nasional atau ketertiban umum. 2. Pengusiran pengungsi demikian hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang adil, yang ditetapkan undang-undang. Kecuali terdapat alasan keamanan nasional, pengungsi 63 Deklarasi Negara-negara Pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, (yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 Konvensi 1951) menyatakan bahwa penerapan prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) telah menjadi bagian hukum internasional yang umum" (Alinea Keempat Pembukaan). Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 51. 64 Pembukaan Deklarasi Meksiko dan Rencana Aksi Penguatan Perlindungan Pengungsi Internasional di Amerika Latin (2004) menegaskan bahwa prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) bersifat jus cogens, Vol. 3, h. 1221 65 Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969. 66 . Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang. Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F). 44 berhak mengajukan bukti-bukti untuk mengklarifikasi dirinya;67 dan ia berhak mengajukan protes/banding, dan berhak pula menunjuk wakil yang akan melaksanakan hal ini (protes/banding) di hadapan otoritas kekuasaan yang berwenang atau pejabat yang secara khusus ditunjuk oleh otoritas kekuasaan yang kompeten. 3. Negara pihak memberikan kepada pengungsi, jangka waktu yang wajar untuk memperoleh penerimaan dirinya secara legal di negara lain. Negara pihak berwenang melakukan pengawasan internal dalam jangka waktu tersebut apabila dipandang perlu. Pelanggaran asas larangan pemulangan kembali (non- refoulement) dapat tercermin dalam beberapa contoh kejadian, termasuk yang berikut ini: 1. Menolak pencari suaka di wilayah perbatasan, padahal mereka dapat mencarinya di wilayah lain. 2. Mengusir atau memulangkan kembali pengungsi ke wilayah dimana ia berpotensi mengalami penganiayaan, apakah itu adalah negara asalnya atau negara lain. 3. Tidak memberikan kesempatan kepada pengungsi untuk mencari tempat/wilayah lain yang aman dengan tidak 67 Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang. Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F). 45 memberikan durasi waktu yang wajar untuk melakukannya. Pengecualian dari asas ini terbatas pada yang diatur dalam Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, yaitu: 1. Jika pengungsi dianggap mengancam keamanan nasional bagi negara yang didatanginya atau mengancam upaya pengendalian penduduk seperti bermigrasinya sejumlah besar orang, 68 atau jika Negara Pihak memutuskan pengecualian-pengecualian terkait asas larangan pemulangan kembali (non-refoulement), seperti yang tertulis dalam paragraf 1 dalam pasal ini diberlakukan, maka negara itu wajib memberikan kepada orang tersebut, kesempatan suaka sementara atau kesempatan memperoleh suaka di negara lain, menurut apa yang pantas dilakukan.69 2. Jikapun pengungsi telah divonis terlibat kejahatan yang berat, dimana ia merupakan ancaman bahaya bagi masyarakat negara itu. Namun, ia tidak boleh diusir ke negara di mana ia mungkin menghadapi risiko penyiksaan, perlakuan, hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau 68 Pasal 3 ayat (2) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967. Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967. Lihat juga Rekomendasi No. 22 (97), yang dikeluarkan oleh Dewan Menteri Uni Eropa, khususnya Panduan untuk Menerapkan Konsep Negara Ketiga yang Aman, lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. IV, h. 1403. 69 Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967. 46 yang merendahkan martabat kemanusiaan, atau hukuman lainnya yang melanggar hak-hak asasinya. B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara A. Menurut Syariat Islam Telah jelas bahwa negara-negara mengakui pentingnya orang asing memperoleh izin masuk (visa) sebelum datang ke wilayah suatu negara. Kalangan ulama fikih pun berpendapat demikian. Kiranya cukuplah kami menyebutkan pernyataan Ibn Qudâmah :" Tak satu pun dari mereka (nonMuslim) boleh masuk ke wilayah kami tanpa izin, meskipun ia adalah seorang utusan atau pedagang.”70 Kalangan ulama fikih mengecualikan sejumlah orang yang dibebaskan dari keharusan memperoleh izin masuk (visa) tersebut. Mereka itu ialah: 70 Ibn Qudâmah, al-Iqnâ' fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Bab II, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, t.th.), h. 38. Lihat al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ' ‘an Matn al-Iqnâ', Bab III, h. 108. Imam al-Bagawî berkata: (tentang non-Muslim yang masuk ke negeri Muslim sebagai seorang pejuang), "Seorang non-Muslim yang memasuki tanah Muslim tanpa diberikan suaka boleh dibunuh." Lihat Imam al-Bagâwî, Syarh as-Sunnah, tahqîq: Syu’aib al-Arnaout dan Zuhair asy-Syâawisy, (Kairo: Dâr Badr, t.th), Hadis nomor 2709, Jilid XI, h.71. Lihat juga Majd al-Dîn Abû alBarakât, al-Muharrar fî al-Fiqh 'alâ Mazhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Matba’ah as-Sunnah alMuhammadiyyah, 1369 H/1950 M), Bab II, h 181; al-Murâdî: al-Insâf fî Ma'rifat al ar-Râjih min al-khilâf 'alâ Mazhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1400 H/1980 M), Jilid IV, h. 208. 47 1. Duta besar, utusan atau pedagang yang memiliki bukti yang dapat menerangkan statusnya seperti berikut ini:. Dalam hal ini, Ibn Muflih al-Hanbali berkata: “Haram hukumnya seseorang yang memasuki wilayah negara kita tanpa izin. Namun dibolehkan bagi utusan (delegasi) dan pengusaha/pedagang secara khusus.” 71 Al-Baidâwi menyatakan: “Duta besar dan pendengar bacaan al-Qur’an dijamin oleh Syariat Islam, yang berbeda halnya dengan pedagang, yang tidak akan mendapat rasa aman hingga ia menjadi seorang Mukmin yang sesungguhnya”.72 2. Perlindungan yang diberikan kepada seseorang berdasarkan hukum kebiasaan. Dalam hal ini, salah satu pendapat yang terbaik, tercantum dalam kitab Hâsyiyah Ibn ‘Âbidin: “Singkat kata, menurut kebiasaan, seseorang yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, ketika ia mencari perlindungan, maka dia akan memperoleh perlindungan; dan kebiasaan itu dapat menjadi hukum, selama tidak ada norma hukum eksplisit yang berlawanan dengannya. Jika kita menemukan seorang non-Muslim, di wilayah negara Muslim, berkata: “Saya 71 Ibn Muflih, Kitâb al-Furû` fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Matba’ah. Al-Manâr, Kairo, 1354H., Bab III, h. 627; demikian juga karyanya, al-Mubdi’ fî Syarh al-Muqni’, Jilid III, h. 394. 72 al-Baidâwi, al-Gâyah al-Quswâ fi Dirâyat al-Fatwâ, tahqîq: Muhy al-Dîn Dâgi, (Kairo: Dâr al-Nasr li al-Tabâ’ah al-Islâmiyyah, 1982), Jilid II, h. 953. 48 datang untuk memperoleh perlindungan”, ucapannya itu bisa saja tidak kita terima. Demikian pula (tidak dapat dibenarkan), jika dia mengatakan: “Saya adalah utusan Raja yang diutus untuk menemui Khalifah”, kecuali jika dia dapat menunjukkan bukti tertulis seperti surat, meskipun mungkin saja surat itu hasil rekayasa. Sebab, seorang utusan dapat memperoleh perlindungan sebagaimana praktik yang berjalan, baik dalam tradisi Jahiliyyah (pra-Islam) maupun dalam tradisi Islam, meskipun tidak ada dua orang Muslim di wilayah orang tersebut yang menjadi saksi baginya.73 Al-Buhûti mengatakan: “Orang yang masuk (dari kalangan mereka) ke negeri Muslim tanpa memperoleh perlindungan dan mengklaim bahwa dia adalah seorang utusan atau dia adalah pedagang dan dia memiliki barang untuk dijual, maka klaimnya itu dapat diterima jika kebiasaan setempat mengakuinya, seperti masuknya perniagaan nonMuslim ke wilayah Muslim, dan sebagainya. Sebab, klaimnya mungkin benar (benerfit of doubt) sehingga hal itu menjadi alasan untuk mencegah tindakan pembunuhan terhadap dirinya. Juga karena tidak mungkin pula diajukan bukti atas hal itu dan juga karena kebiasaan dipandang sebagai perjanjian/peraturan, 73 maka terhadapnya tidak Lihat Ibn ‘Âbidîn, Hâsyiyah Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî, 1387 H/1966M), Bab IV, h. 135. Lihat juga: al-Sarakhsî, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Bab X, h. 92-93. 49 dikenakan hukuman. Namun, jika tidak terdapat kebiasaan itu maka status orang tersebut seperti sediakala, yakni rentan dan tidak memperoleh perlindungan. Demikian juga, jika tidak ada benda perniagaan yang menyertainya, ketika dia mengklaim bahwa dirinya adalah musta’min (orang yang mencari perlindungan), maka dia harus dipandang telah bersikap tidak jujur. Dalam keadaan demikian, orang ini dapat menjadi tawanan perang, di mana penguasa negara dapat memutuskan dengan pilihan, yakni menjatuhkan baginya hukuman mati, menjadikannya sebagai budak, membebaskannya secara cuma-cuma, atau memulangkannya dengan membayar tebusan.74 3. Klaim seseorang yang didukung oleh bukti prima facie/ kondisional Dalam hal ini, Imam al-Syâfi’i berkata: “Jika seorang non-Muslim ditemukan di jalan umum tanpa bersenjata dan dia mengatakan: ‘Saya datang sebagai utusan’, maka pernyataannya itu dapat diterima dan kita tidak boleh mengabaikannya. Jika keadaannya mencurigakan atau meragukan, maka dia dapat diminta untuk bersumpah. Jika sudah bersumpah maka dia mesti dilepaskan. Demikian pula, jika dia bersenjata dalam keadaan sendirian, tidak ikut dalam 74 al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Ibid, Bab III, h. 108. 50 rombongan yang dilarang, maka, pernyataannya dapat diterima dan tidak boleh ditolak. Sebab, kedua keadaan tersebut sejalan dengan pengakuan keduanya. Dalam hal ini terdapat semacam kaidah hukum, yaitu: siapapun yang menyatakan sesuatu, dan terdapat fakta yang sesuai dengan apa yang dikatakannya serta kebohongan tidak dapat ditemukan, maka perkataannya dapat dipegang/dianggap benar bila disertai dengan sumpah.75 Tak diragukan bahwa apa yang dikemukakan para ulama fikih tentang penerimaan klaim pencari suaka yang didukung oleh bukti kondisional (prima facie) sejalan dengan asas yang berlaku dalam hukum internasional yang menetapkan urgensinya pengambilan petunjuk dari keadaan yang meragukan atau penafsiran keadaan meragukan untuk kebaikan pencari suaka (benefit of doubt).76 4. Jika dia masuk ke wilayah negara Islam untuk memperoleh perlindungan Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menerima pandangan ini. Dia mempersyaratkan keharusan memperoleh izin bagi orang yang memasuki wilayah negara Islam, dengan mengatakan: “Non-Muslim harbiy tidak boleh memasuki ke wilayah 75 al-Syâfi’î, al-Umm, (Kairo: Dâr al-Sya’b, t.th), Bab III, h. 201. Lihat ketentuan ini dalam Manual of Applicable Procedures and Standards in Refugee Status Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol relating to Refugee Status, UNHCR, Genewa, 1992, h. 62 76 51 negara Islam tanpa izin penguasa negara itu karena dia mungkin termasuk sebagai mata-mata yang datang untuk mencari informasi tentang kondisi masyarakat Muslim itu, dan mungkin melakukan aktifitas penghancuran/perusakan di wilayah negara Islam”. Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menambahkan: “Jika dia memasuki wilayah itu untuk kepentingan misi kaum Muslimin atau untuk melakukan aktivitas yang membawa manfaat/maslahat bagi mereka maka dia dapat masuk tanpa hambatan apapun”.77 Lebih jauh, Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail berkata: “Jika mereka memasuki wilayah negara Islam itu tanpa izin atau bukan untuk memperoleh suaka atau bukan untuk melakukan perniagaan maka status hukum orang yang masuk dengan sifat seperti ini serupa dengan status hukum tawanan perang, di mana penguasa negara dapat memutuskan 4 (empat) macam pilihan tindakan, yaitu hukuman mati, pembebasan cuma-cuma, pemulangan dengan pembayaran uang tebusan, atau penetapan sebagai budak.”78 77 Sâlih al-Rasyîd, Abû al-Wafâ` ibn ‘Uqail, Hayâtuhu wa Ikhtiyarâtuhu al-Fiqhiyyâh, Disertasi Doktor, (Kairo: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas al-Azhar, t.th.), Bab III, h. 343-344. 78 Ibid, h. 444. 52 5. Ringkasan argumen-argumen yang mendukung perlindungan bagi pengungsi yang masuk tanpa izin Dari uraian sebelumnya telah jelas bahwa sejalan dengan pendapat kaum ulama fikih, siapapun yang mencari suaka memasuki wilayah negara Islam tanpa izin akan diberi perlindungan dan tidak dikenai hukuman. Hal ini didasarkan pada argumentasi sebagai berikut: 1. Bahwa hal demikian merupakan kebiasaan yang terus berlaku; dan inilah yang diberlakukan dalam hukum internasional kontemporer, dan yang merupakan kebiasaan serta perilaku mulia bangsa Arab dan umat Islam yang memberikan perlindungan dan keamanan kepada pengungsi karena statusnya sebagai pengungsi atau pencari suaka. 2. Bahwa hal demikian didukung oleh fakta kondisional (prima facie). Secara spesifik, ini tergambarkan ketika pengungsi mengalami kepanikan dan rasa takut yang berat lantaran ketakutan akan penganiayaan. Hal ini juga dapat dianggap sebagai tindakan memberikan bantuan kepada orang yang mengalami tekanan. 3. Bahwa dia (pengungsi) biasanya mencari perlindungan dan keamanan. Dalam hal ini terlihat kekhasan yang yang dimiliki Syariat Islam yang senantiasa memberikan perlindungan kepada siapa saja yang memintanya, 53 bahkan kepada orang biasa, sebagaimana yang akan kita lihat nanti. B. Menurut Hukum Internasional Dalam paragraf pertama, pasal 31 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi termakub: “Negara pihak tidak akan menjatuhkan hukuman, atas alasan masuknya atau beradanya pengungsi secara ilegal, kepada pengungsi yang datang secara langsung dari wilayah di mana hidup atau kebebasan mereka terancam, sesuai dengan Pasal 1 yang menyatakan bahwa apabila mereka masuk atau berada di luar wilayah negara mereka tanpa memiliki izin, asalkan mereka melaporkan keberadaan diri mereka tanpa menundanya kepada pihak berwenang dan menunjukkan alasan yang tepat bagi kedatangan mereka yang ilegal”. Hal demikian mengandung makna bahwa tidak dijatuhkannya hukuman lantaran masuknya atau beradanya pengungsi dalam suatu wilayah negara secara ilegal, diatur oleh 4 (empat) syarat: a. Masuknya atau beradanya pengungsi secara ilegal itu lantaran jiwa atau kemerdekaan mereka terancam, sesuai dengan Pasal 1 (adanya rasa takut yang benar-benar terjadi lantaran menghadapi penganiayaan dengan alasan 54 ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik tertentu). b. Mereka harus melaporkan diri tanpa menunda kepada pihak berwenang. c. Mereka harus menunjukkan alasan yang tepat atas masuknya atau beradanya mereka secara ilegal. d. Mereka harus datang langsung dari wilayah negara di mana hidup atau kebebasan mereka terancam mengalami penganiayaan. Ini berarti bahwa pencari suaka datang langsung dari negara asalnya, atau dari negara lain yang tidak memiliki jaminan perlindungan terhadapnya, atau dari negara transit, tempat di mana keberadaan dirinya hanya dalam waktu singkat tanpa permintaan memperoleh suaka.79 Paragraf 2 dalam pasal yang sama menambahkan bahwa negara pihak tidak boleh membatasi pergerakan pengungsi kecuali pembatasan yang perlu dan pembatasan demikian hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu disahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain . Negara pihak akan memberikan jangka waktu yang layak dan 79 Lihat A Guide to International Refugee Law, No. II, 2001, UNHCR & Inter-Parliamentary Union, h. 84. 55 juga fasilitas yang perlu bagi para pengungsi untuk mendapatkan izin masuk ke negara lain.80 B.3. Asas non-diskriminasi A. Menurut Syariat Islam Islam memberi suaka kepada siapa pun yang memintanya, tanpa memandang agama, kebangsaan, ras, ataupun status ekonominya.81 Hal demikian kembali kepada prinsip bahwa Islam melindungi hak asasi setiap manusia tanpa diskriminasi apapun.82 Oleh karena itu, Pasal 9 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (1981) menyatakan: “Setiap orang yang dianiaya atau dizalimi berhak meminta perlindungan dan suaka. Hak ini harus dijaminkan bagi setiap orang, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, atau jenis kelamin yang bersangkutan.” Hak persamaan bagi setiap orang merupakan salah satu hal yang paling esensial yang menjadi dasar Syariat Islam, sebab tidak ada keunggulan/kelebihan di antara manusia, yang didasarkan atas kebangsaan, ras, warna kulit, kekuasaan, 80 Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, UNHCR Regional Office, Egypt, Cairo, April 2006, h. 20. Lihat juga Pasal 5 the Convention on Territorial Asylum (Caracas, 1954). 81 Lihat Utsman bin Fudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘alâ al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat alJihâd, tahqiq: Fathî al-Misrî, (Khartoum: Dâr Jâmi’at al-Khartum, 1977), h. 124. 82 Islam telah melindungi hak-hak dari semua orang, Muslim ataupun non-Muslim, laki-laki ataupun perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, di masa damai ataupun perang, dalam situasi normal ataupun luar biasa.” Lihat Zangi, R. Ben Achourm Giappichelli, (eds.), La Nouvelle Charte Arabe des Droits de l’Homme, Torino, 2004, dalam Ahmed Abou-el-Wafa, h. 609. 56 ataupun kekayaan; yang ada ialah keunggulan/kelebihan atas dasar ketakwaannya (kesalehannya). Al-Qur’an telah menegaskan prinsip persamaan ini dalam sejumlah ayat, diantaranya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13). Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami mudahkan transportasi mereka di daratan dan di lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. alIsrâ’/17:70). Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berkalam: “ Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lakilaki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Q.S. Ali Imran/3:195). Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S. al-Nisâ`[4]:1). 57 Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan isterinya (Hawa) agar dia (Adam) merasa senang kepadanya. (Q.S. al-A’râf/7:189). Dia (Allah) menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya. (Q.S. al-Zumar/39:6) Sunnah Nabi juga menegaskan kesetaraan manusia. Menurut narasi Abu Dzarr r.a.: “Sungguh saya pernah memaki seseorang dengan cara mencaci ibunya", maka Rasulullah SAW menegur saya: “Wahai Abu Dzarr, mengapa kau mencaci ibunya? Sungguh kau orang yang masih memiliki sifat Jahiliyyah (pra Islam). Hamba sahayamu adalah saudaramu, yang Allah telah tempatkan untukmu. Barangsiapa yang memiliki saudara (pelayan dan budak), maka dia harus memberinya makanan sebagaimana yang dia makan, dan memberinya pakaian sebagaimana yang dia pakai. Jangan kau bebani mereka dengan tugas yang di luar kemampuan dirinya, dan jika kamu memberi mereka tugas yang diluar kemampuannya, maka bantulah mereka (mengerjakannya)”.83 Demikian juga, ketika Abu Dzarr al-Ghiffari mencaci seseorang dengan mengatakan, “Hai anak kulit hitam”, 84 Rasulullah SAW bersabda: Mengapa kau caci ibunya? Sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyyah.85 83 Abû Dâud Sulaimân al-Asy’as, Sunan Abî Dâud, tahqîq ‘Izzat ‘Abd al-Da’as dan ‘Adil al-Sayyid, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1418H./ 1997M), Hadis No. 5121, Jilid V, h.215. 84 Mungkin Hadis ini yang menjadi acuan pandangan yang menyatakan bahwa Syariah banyak berisi larangan terhadap rasisme, dan memberinya label sebagai jahiliyah (ketidakadilan). Lihat Human Rights Practices in the Arab States: the Modern Impact of Shari’a Values, the Georgia Journal of International and Comparative Law, Jilid. XII, 1982, h. 62-63. 85 al-Bukhârî, Abû ‘Abdillah bin Ismail, Sahîh al-Bukhârî, Kitab al-Imân, al-Ma’âsî min Amr alJâhiliyyah, No. 30, Bab I, h. 20; dan Muslim, Sahîh Muslim, Kitab al-Imân, Bâb It’âm al-Mamlûk mimmâ Ya`kul, No. 1661, Jilid III, h. 1661. 58 Al-Qur’an menjelaskan bahwa alasan di balik penghapusan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit atau fisik itu berdasarkan pada prinsip Islam yang menyatakan bahwa fakta berbeda-bedanya hal tersebut bukanlah kuasa manusia.86 Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan: Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah ? Yang telah menciptakan kamu; lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh-mu seimbang; dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (Q.S. al-Infitâr/82:6-8) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berbeda-beda bahasa kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. al-Rûm/30:22). Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya, dan di antara gununggunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat, dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada 86 Dr. Abdel Aziz Kamil menekankan bahwa masalah diskriminasi ras dapat diselesaikan melalui dua cara yang berbeda: sains dan agama. Karena Islam, sebagai agama, telah memberi perhatian besar untuk ilmu pengetahuan sejak ayat pertama diturunkan, yakni Iqra’ (bacalah). Sejak awal Islam telah mengetahui bagaimana mengatasi masalah diskriminasi ras. Lihat A. Kamil L'Islam et la Question Raciale, UNESCO, Paris, 1970, h. ii. Lebih jauh, (h. 30) dia berkata: “ Islam melihat manusia sebagai sebuah taman besar, dengan bunga beraneka warna, tapi warna yang satu tidak memiliki prioritas di atas warna yang lain”. Lihat juga Mahmud Syaltut, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 452. 59 Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fâtir/35:27-28). Agaknya, teks-teks ayat yang telah kami kutipkan di atas menunjukkan keunggulan Islam dibanding dengan sistem hukum lainnya yang mengadopsi perlakuan diskriminasi atas warna kulit atau kebangsaan (seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Afrika Selatan) padahal mereka tidak memiliki andil atas warna kulit dan kebangsaan yang mereka miliki. Hal ini dikuatkan oleh pengakuan banyak pemikir Barat terhadap citra Islam yang menjadi terhormat karena ajarannya yang anti diskriminasi ras. 87 Bahkan, sebagian mereka berpendapat bahwa sikap Islam yang anti-diskriminasi ras itu merupakan salah satu faktor penyebab tersebarluasnya Islam dan terjalinnya hubungan internasional antara pihak yang mendukung Islam dan pihak yang tidak mendukungnya.88 87 Demikin juga, ketika melakukan perbandingan antara sikap Islam dan Amerika terhadap budak, Dunnant berkata: “Terdapat perbedaan nyata antara perilaku kebanyakan orang Amerika dan pengikut al-Qur’an terhadap orang-orang kulit berwarna. Kalangan umat Islam percaya hukum-hukum dibuat untuk berpihak kepada budak, sedangkan di Amerika, didorong oleh keserakahan dan egoisme, mereka mengepung budak dari semua sisi, seperti sebuah penjara dengan dinding besi. Sementara dalam Islam, orang kulit hitam atau blasteran tidak hanya diperlakukan dengan lembut dan ramah, tapi dia dianggap oleh moral dan hukum sebagai sama dengan orang kulit putih, tidak ada penghinaan berat pada dirinya. Pendek kata, mereka adalah saudara”. H. Dunant, L’Esclavage Chez les Musulmans et aux Etats–Unis d’Amérique, Genève, imprimerie Jules–Guillaume Fick, 1863, h. 43-44. 88 Demikian juga, seorang penulis menegaskan bahwa tidak diragukan lagi, penerimaan agama Islam secara meluas disebabkan agama ini tidak melakukan diskiriminasi atas dasar ras atau warna kulit. Lihat Wormser, The Legal System of Islam, American Bar Association Journal, 1978, h. 1361. 60 Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah mengeluarkan resolusi tentang asas non-diskriminasi dalam masalah hak asasi manusia, yaitu: (i) Resolusi No. 37/20-S menegaskan: “Kesatuan nilai-nilai Islam tentang hak asasi manusia dan perhatian besar yang ditunjukkan Syariah Islam terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia adalah berlaku untuk setiap orang tanpa diskriminasi apapun”. Resolusi ini juga menyatakan diperlukannya upaya memfasilitasi perjuangan menegakkan “nilai-nilai Islam di dalam masalah hak asasi manusia”. (ii) Resolusi No. 6/6-S Konferensi Tingkat Menteri di Jeddah, 1975 M/1395 H tentang Apartheid dan Diskriminasi Rasial di Afrika Selatan, Rhodesia, Namibia dan Palestina menyatakan bahwa peserta Konferensi berkomitmen untuk menegakkan prinsip Islam yang menolak diskriminasi manusia atas dasar ras dan warna kulit.89 B. Menurut Hukum Internasional Prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu prinsip fundamental hukum internasional tentang hak asasi manusia pada umumnya, 90 dan terkait hak suaka pada khususnya. Pasal 3 Konvensi 1951 89 tentang Status Pengungsi Resolusi No. 3/7-S Konferensi Tingkat Menteri, Istanbul, 1976, tentang isu yang sama menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, umat Islam harus melawan diskriminasi rasial dalam berbagai bentuknya. Pernyataan dan Resolusi Konferensi Tingkat Tinggi dan Pertemuan para Menteri Luar Negeri OKI, Tahun 1969-1981, (Jeddah: OKI, t.th.), h.182. 90 Ahmad ‘Abd al-Wafa`, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huquq al-Insân, h. 138-139. 61 menyebutkan bahwa negara-negara Pihak akan menerapkan ketentuan – ketentuan Konvensi ini terhadap pengungsi tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama atau negara asal. B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka Hak suaka melahirkan jaminan perlindungan terhadap orang yang mengalami ancaman penganiayaan. Hak suaka memiliki karakter manusiawi yang intrinsik dan tidak mungkin tidak terlihat. Karakter tersebut terletak di dalam sumber dan asal dari hak – hak tersebut. A. Menurut Syariat Islam Syariat Islam dan hukum internasional kontemporer memiliki kesamaan pandangan, bahwa dalam hak – hak suaka terdapat karakter manusiawi. Sebab, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hak suaka ini ada untuk kepentingan memenuhi permintaan bantuan orang yang sangat membutuhkannya. Inilah sisi karakter manusiawi dari hak tersebut. 91 Suaka sendirimerupakan percikan rasa kasih sayang yang diberikan kepada orang yang dilanggar hak dan kebebasan asasinya. Oleh karena itu, kami setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa pengaturan status pengungsi berada di 91 Demikian juga, pendapat yang mengatakan bahwa desain teori suaka merupakan sebuah konsep kemanusiaan Islam yang mempertimbangkan kesejahteraan individu, dan bukan kepentingan penguasa mereka. Cf. “ Suaka dan Pengungsi dalam Tradisi Islam ", dalam International law Association, Report of the SixtyNinth Conference, tahun 2000, h. 321. 62 bawah lingkup masalah ”interaksi antar sesama manusia” (muamalah), di mana aturan-aturannya didasarkan pada hikmah/tujuan hukum yang bermuara pada realisasi kemaslahatan dan negasi kemudaratan (tahqîq al-masâlih wa dar’u al-mafâsid).92 Dapat ditambahkan bahwa karena pemberian suaka berada di bawah lingkup masalah interaksi antar sesama manusia (muamalah), maka ia juga tunduk pada dua prinsip berikut: a. Prinsip Tagayyur al-Ahkâm bi Tagayyur al-Zamân (perubahan hukum karena perubahan waktu). 93 Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa teks-teks alQur’an dan Hadis terbatas jumlahnya, sedang peristiwa hukum tidak terbatas kejadiannya. Sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat diatur oleh sesuatu yang terbatas. Oleh karena itu, ijtihad harus dilakukan untuk menemukan jawaban atas peristiwa hukum baru, termasuk masalah hukum suaka, terutama karena mempertimbangkan karakternya yang manusiawi. b. Prinsip yang diambil dari Hadis Nabi Muhammad SAW: 92 Ahmad al-Khamlisyi Mada Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’at al-Duwaliyyah al-Khassah bi alLâji`in. h. 38. Sebuah studi yang diterbitkan oleh ISESCO sebagai bagian dari rencana aksi organisasi pada tahun 2004-2006, h. 38. 93 Kaidah “lâ yunkar tagayyur al-ahkâm bi tagayyur al-azmân”, pasal 39 dari Majallah al-‘Adliyyah, Al-Zarqa, Mustafa, al-Madkhal al-Fiqhiyy al-‘Âmm, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1418 H/ 1998M), Jilid II, h. 941-942. . 63 Kamu lebih tahu urusan duniamu.94 Demikian pula, Hadis yang mengharuskan penanganan masalah pengungsi berlandaskan alasan dan pikiran pertimbangan kemanusiaan. B. Menurut Hukum Internasional Sejumlah konvensi internasional menegaskan bahwa terdapat karakter manusiawi dan damai di dalam hak suaka. Akibatnya, hak tersebut tidak dapat dianggap tidak bersahabat atau mengundang permusuhan.95 94 Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Tsabit, dari Anas ra. bahwa Nabi SAW melintas di sekelompok orang yang sedang mengawinkan pohon kurma, lalu Beliau SAW bersabda: “Sekiranya tidak kamu lakukan, akan lebih baik”, katanya: “Kemudian panennya gagal, lalu Beliau SAW melintas lagi di situ pada kesempatan lain, dan bertanya: “Bagaimana keadaan kurma kamu?”, mereka menjawab: “Tetapi begini dan begini (gagal panen)”, maka Nabi SAW bersabda: “Anda lebih tahu tentang urusan duniamu”. Sahîh Muslim, Kitab al-Fada`il, Bâb: Wjib mematuhi sabda Beliau tentang syariat, bukan sabda Beliau SAW tentang kehidupan dunia yang berdasarkan nalar Beliau, nomor 2363, Jilid IV, 1836; Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Kitâb al-Rahûn, Bâb: talqîh al-nakhl (Mengawinkan pohon kurma), Hadis No. 2471, Jilid II, h. 825. . 95 Di antaranya ialah (a) Paragraf No. 5 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi; (b) Pembukaan Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1967 (Resolusi No. 2312); (c) Paragraf No. 2 Deklarasi Negara-negara Peserta Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan hari jadi ke-50 Konvensi 1951; (d) Resolusi No. 50\152 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB, 1995 (Paragraf No. 13); (e) Pasal 2\ 2 Konvensi tentang Aspek-aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika, 1969; (f) Pasal 6 Konvensi Dunia Arab tentang Status Pengungsi di Negara-negara Arab, 1994; (g) Pasal 3 Deklarasi tentang Suaka Teritorial (Dewan Eropa, 1977). Pasal 2 Deklarasi terakhir ini menetapkan bahwa suaka diberikan kepada setiap orang yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Demikian juga, suaka diberikan kepada orang yang layak dengan dasar alasan kemanusiaan. 64 BAB III MACAM - MACAM SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL Ada 3 (tiga) macam suaka, yaitu suaka agama, suaka teritorial dan suaka diplomatik. 1. Suaka agama A. Menurut Syariat Islam Suaka agama dalam pandangan Syariat Islam diberikan dalam 2 (dua) bentuk. 1. Suaka yang bertujuan untuk mendengarkan al-Qur’an Allah SWT berkalam: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrik (pagan) itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (Q.S. alTaubah/9:6) Secara tekstual dan kontekstual, ayat ini menjelaskan 96 bahwa suaka diberikan jika: 96 al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat ism nakirah yang bersifat umum dalam format kalimat bersyarat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî, t.th.), Edisi 2. Jilid II, h. 6. Hal demikian karena lafaz al-‘âmm (kata umum) itu mencakup semua makna yang sesuai dengan kandungannya secara tak terbatas. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyutî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, tahqîq Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 23-24. 65 a. orang yang datang memintanya ialah orang non-Muslim (alasan personal yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut); b. dia datang untuk mendengar kalam Allah (alasan tujuan keagamaan yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut); c. dia sedang mencari/meminta perlindungan (obyek isi yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut); d. sehingga dia konsekuensi/efek harus diberi hukum perlindungan yang terkandung (faktor dalam penerapan makna ayat tersebut), dan e. dia harus dibawa ke tempat/lokasi perlindungan yang aman (tujuan yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut). 2. Suaka ke Masjid al-Haram (tempat perlindungan yang suci di Mekkah) Pencarian suaka ke kawasan al-Haram juga dianggap sebagai suaka teritorial, 97 jika pengungsi berasal dari luar wilayah negara Islam. Allah SWT menetapkan, dalam rangka menjaga kemuliaan dan kesucian kawasan al-Haram, bahwa siapapun yang mengungsi ke kawasan al-Haram akan 97 Beberapa ahli fikih menganggap suaka ke al-Haram sebagai semacam “suaka agama dalam Hukum Syari’ah”. Burhan Amrullah, al-Nazariyyah al-‘Âmmah li Haqq al-Malja` fi al-Qânun al-Duwaliy al-Mu’âsir, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h. 40-41. 66 mendapat jaminan perlindungan. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam (tempat berdiri) Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah) maka amanlah dia. (Q.S. Ali ‘Imrân/3:96-97). dan kalam Allah SWT: Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya rampokmerampok. (Q.S. al-‘Ankabût/29:67). dan kalam Allah SWT : Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Q.S. Quraisy/106: 3-4). Demikian juga kalam Allah SWT : Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.. (Q.S. al-Baqarah/2:125).98 98 Dalam penafsiran kata “tempat yang aman” pada frasa kalam Allah SWT (Kami jadikan Baitullah tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman), dalam ayat di atas, Imam Abu al-Sa'ûd menjelaskan bahwa “tempat yang aman”, sebagaimana kalam Allah (kawasan al-Haram yang aman), dengan menggunakan kata dasar (al-masdar) menempati posisi ism fâ’il, dalam bentuk mubâlagah (penekanan yang kuat); atau dipandang sebagai gabungan kata yang bermakna “yang memiliki rasa aman”; atau dalam bentuk frasa majaz, yang mengandung makna “orang yang aman dari siksa Allah di akhirat karena melaksanakan ibadah haji”, mengingat bahwa ibadah haji menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya; atau mengandung makna, sebagaiamana pendapat Abu Hanifah, yakni pelaku kejahatan yang memasuki kawasan al-Haram, aman dari ancaman hukuman, sampai dia keluar dari kawasan itu. Kata “aman” dapat juga dipandang sebagai analogi terhadap keamanan yang mencakup semua hal, termasuk keamanan bagi orang yang masuk lebih dahulu. Lihat 67 Nabi Muhammad SAW, pada peristiwa pengambilalihan otoritas kota Mekkah, bersabda: Siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka dia akan aman, barangsiapa yang masuk ke rumah Abû Sufyân, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang tetap berada di rumahnya, maka dia akan aman.99 Seorang ulama fikih terkenal, al-Kâsani berpendapat bahwa ada 3 (tiga) dasar alasan yang melandasi larangan tindakan pertumpahan darah di kawasan al-Haram (Mekkah dan Medinah), yaitu keimanan, permintaan perlindungan, dan pencarian suaka ke kawasan al-Haram. Berkaitan dengan kawasan al-Haram sebagai tempat berlindung, al-Kasani menegaskan: mengenai berlindung ke kawasan al-Haram, apabila orang non-Muslim harby berlindung ke kawasan al-Haram, ia tidak boleh dibunuh, tetapi ia tidak perlu diberikan makanan, minuman, tempat penampungan, dan diambil sumpah setianya, hingga ia keluar meninggalkan kawasan al-Haram. Sedangkan menurut alSyafi’i, orang itu boleh dibunuh di kawasan al-Haram. Namun, ahli fikih (mazhab Hanafi) secara internal berbeda pendapat; Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa Abu Sa'ûd, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazâya al-Qur`an al-Karîm, Bab I, (Kairo: Dâr al-Mushaf), h. 157. Lihat juga Ibn al-'Arabi, Ahkâm al-Qur`an, Bab I, h. 37-39. 99 Hadis diriwayatkan oleh Muslim, Bab: Fath Mekkah dari Kitab al-Jihâd wa al-Siyar, Sahîh Muslim, Bab III, h. 1408, Hadis No.1780. Lihat juga Ibn Syaibah, Kitâb al-Magâzî, h. 318-319. 68 orang itu tidak boleh dibunuh atau dikeluarkan dari kawasan al-Haram, Abu Yusuf berpendapat bahwa orang itu tidak boleh dibunuh, tetapi boleh dikeluarkan/diusir dari kawasan al-Haram.”100 Para ulama fikih sepakat bahwa jika seseorang melakukan kejahatan terhadap tubuh yang diancam dengan hukuman qisas, lalu ia berlindung ke kawasan al-Haram maka hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Demikian juga, orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa atau tubuh di kawasan al-Haram hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, yang kemudian berlindung masuk ke kawasan al-Haram dapat langsung dikenakan dengan hukuman tersebut. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh langsung dikenakan hukumannya di kawasan alHaram, tetapi harus dipaksa keluar dari kawasan al-Haram, dengan cara tidak diberikan makanan, minuman atau izin berinteraksi. Jika orang itu keluar, barulah ia dieksekusi. Pendapat ini berdasarkan makna umum ayat al-Qur’an: 100 al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, (Beirut:Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1402 H/ 1982 M), Bab VII, h.114. 69 Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka ia akan aman. (Q.S. Âli ‘Imrân/3:97). Dalam pada itu, mayoritas ulama fikih, termasuk alSyâfi'i dan Mâlik, berpendapat bahwa apabila orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa secara sengaja di luar kawasan al-Haram, kemudian berlindung masuk ke kawasan al-Haram maka ia boleh langsung dikenakan hukumannya. Mereka menganalogikan kasus tersebut dengan kasus orang yang melakukan kejahatan di kawasan al-Haram, 101 yakni apabila ia menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja atau melakukan salah satu kejahatan hudûd (hukuman yang telah ditentukan sanksinya oleh Syariat Islam) di kawasan alHaram maka ia akan dijatuhi hukuman yang sesuai.102 Terdapat perbedaaan pendapat para ulama perihal apakah jika seorang non-Muslim harbiy masuk ke kawasan alHaram, maka hal itu tidak mencegah seorang Muslim dalam memberikan perlindungan kepada orang non-Muslim itu. Dalam hal ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika orang Muslim memberikan perlindungan kepada orang non- Muslim harbiy yang berada di kawasan al-Haram atau 101 Tafsîr al-Qurtubî, Bab IV, h. 140; Tafsîr al-Tabarî, Jilid VII, h. 29-34; Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsar al-Ikhtilâf fî al-Qawâ’id al-Usuliyyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Disertasi Doktor, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar, t.th.), h. 165-166. Al-Qurtubî berkata: “Pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kebebasan pelaku dipersempit sampai ia keluar dari al-Haram atau mati, mengandung arti bahwa kita menghukumnya dengan pedang, sedang Abu Hanifah menghukumnya dengan kelaparan; maka, pembunuhan manakah yang lebih sadis dari ini? Lihat al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Jilis II, h. 111. 102 Ibn Qudâmah, al-Mugnî, Bab X, h. 236-238; al-Syafi’i, al-Umm, Jilid IV, h. 201-202. 70 setelah orang itu keluar dari kawasan al-Haram, atau sebelum ia ditangkap, maka Sedangkan Abu Yusuf ia ditolak permintaan suakanya. dan Muhammad bin Hasan al- Syaibânȋ menyatakan bahwa jaminan suakannya itu sah, dan orang non-Muslim harbiy tersebut diberikan tempat yang aman.103 Sementara itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa orang yang jiwanya tidak dilindungi di luar kawasan al-Haram, dia dapat memperoleh perlindungan jika masuk ke kawasan alHaram, dengan syarat orang tersebut meminta perlindungan bukan karena alasan peperangan. Berbeda halnya apabila orang tersebut masuk ke kawasan al-Haram karena alasan peperangan, maka ia tidak mendapat jaminan perlindungan. Lebih dari itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa meskipun orang tersebut termasuk orang yang dibolehkan untuk diperlakukan dibawah tekanan dan tidak perlu diberikan perlakuan yang baik, tapi ia tidak boleh terhalang dalam mendapatkan makanan, dan minuman lantaran ini semua merupakan hak orang tersebut. Sebab, Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak kolektif atas padang rumput, air, dan api (diasosiasikan dengan sumber daya energi) berdasarkan dalil berikut: 103 al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’,Ibid, Jilid VII, h. 117. 71 Ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh dihalangi, yaitu air, lahan berumput dan api.104 Kami (penulis) berpendapat bahwa pada dasarnya, apabila pengungsi yang datang dengan alasan melarikan diri dari tindakan penganiayaan terhadap dirinya, maka ia dapat menikmati jaminan perlindungan yang dianugerahkan Allah kepada kawasan al-Haram, bahkan meskipun ia adalah seorang petarung non-Muslim harbiy. Hal ini didukung oleh Hakim Ibn al-‘Arabi yang menginformasikan: “Saya datang ke kawasan Bait al-Maqdis (semoga Allah mensucikannya), di Madrasah Abi ‘Uqbah al-Hanafi, di mana Hakim alRaihâni sedang memberikan materi pengajian pada hari Jumat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki tampan mengenakan pakaian gembala yang lusuh lalu ia mengucap salam kepada kami dengan gaya salam ulama dan langsung mengambil posisi di hadapan majelis pengajian. Lalu, al-Raihâni bertanya kepadanya, “Siapakah Tuan ?” Ia menjawab: “Saya adalah orang yang kemarin dilucuti oleh perampok, dan tujuan saya adalah kawasan al-Haram yang suci ini. Saya adalah seorang pencari ilmu pengetahuan dari Sâgân.” Lalu, al-Raihâni segera berkata: “Tanyai dia! Sudah menjadi kebiasan mereka, menghormati ulama dengan 104 mengajukan pertanyaan Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, tahqîqMuhammad Fuad ‘Abd al-Bâqî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.), Hadis No. 2473. Di dalam kitab al-Zawâ`id, beliau menyatakan bahwa sanad Hadis ini sahîh dan para periwayatnya dapat dipercaya, Bab II, h. 826. . 72 kepadanya. Banyak pertanyaan yang keluar melalui undian (karena demikian banyaknya pertanyaan) ialah perihal orang kafir yang mencari perlindungan di kawasan al-Haram; mengenai apakah ia boleh diperangi (dibunuh) ataukah tidak. Lalu, tokoh ulama Sâgân itu berpendapat bahwa orang itu tidak boleh dibunuh. Lalu, sang tokoh ulama ini ditanya tentang dalil/alasan pendapatnya maka ia menjawab dengan Kalam Allah SWT : Dan janganlah memerangi mereka di Masjid al-Haram sampai mereka memerangi kamu di situ. (Q.S. alBaqarah/2:191) “Ada yang membaca ayat ini dengan bunyi: jangan membunuh mereka dan ada yang membacanya dengan bunyi: jangan memerangi mereka. Jika dibaca Dan janganlah memerangi mereka maka ini merupakan suatu pernyataan yang tegas maknanya (nass). Akan tetapi, jika dibaca Dan janganlah memerangi mereka, maka ini merupakan suatu ungkapan bermakna peringatan karena larangan memerangi yang merupakan awal penyebab terjadinya pembunuhan, itu juga merupakan petunjuk yang gamblang akan adanya larangan membunuh.” Kemudian, Hakim al-Raihâni menyanggah pendapat sang tokoh ini sekaligus mendukung pendapat al-Syâfi’i dan 73 Mâlik, meskipun biasanya al-Raihâni tidak setuju dengan pendapat kedua tokoh ulama pendiri mazhab ini. Lalu, alRaihâni berkata: “Ayat ini mansûkh (digantikan atau diperbarui) oleh kalam Allah dalam Q.S.al-Taubah/9:5 (maka bunuhlah orang-orang kafir di mana saja mereka berada). Tokoh ulama al-Sâgânî itu kemudian berkata kepada alRaihâni: “(Sanggahan) ini tidak pantas diutarakan hanya karena tingginya martabat dan intelektualitas seorang hakim. Ayat yang Anda kemukakan untuk menyanggah pendapat saya merupakan ayat yang bernada umum (‘âmm), berlaku untuk semua tempat dan keadaan, sedang ayat yang saya kemukakan merupakan ayat yang bernada spesifik (khâss). Tidak seorangpun dibolehkan mengklaim ayat yang bernada umum (‘âmm) membatalkan atau menggantikan atau memperbarui ayat yang bernada spesifik (khâss). Seketika alRaihâni diam tertegun. Ini merupakan salah satu pernyataan yang terbaik. senantiasa 105 Oleh karena itu, kawasan al-Haram merupakan tempat berkumpul dan tempat berlindung semua orang.106 Demikianlah, kaum ulama fikih membedakan 2 (dua) macam perlindungan di kawasan al-Haram. Pertama, memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi yang 105 106 Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân, Bab I, h. 106-107. Bagi seluruh umat manusia 74 masuk ke kawasan al-Haram untuk meminta perlindungan dari penganiayaan dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, hal ini sesuai dengan esensi konsep dan sistem suaka dalam hukum internasional modern, yakni memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi setiap pencari suaka. Kedua, tidak memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi apabila ia masuk ke kawasan al-Haram untuk berperang atau menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi demikian, pengungsi tersebut memang tidak mencari keselamatan, tetapi mencari yang sebaliknya. Karena itu, sangat logis jika tidak memberikan jaminan perlindungan apapun kepada dirinya. Konsekuensinya, ia tidak mendapat perlindungan dan keselamatan seperti yang termasuk dalam hak suaka. Nabi SAW menegaskan perlunya menghormati setiap orang mengungsi ke kawasan al-Haram, melalui Hadis: Sesungguhnya Mekkah telah dimuliakan oleh Allah, ketika orang belum memuliakannya; Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan darah di kawasan al-Haram. (H.R. al-Bukhâri).107 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa hal demikian merupakan pengharaman dalam Syariat Islam yang 107 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 4044, Jilid IV, h. 1563; Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 1354, Jilid II, h. 987. 75 bersifat tetap. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah membedakan antara pengungsi dan orang yang terlibat tindak pidana di alHaram, dengan mengatakan bahwa Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid alHaram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu; jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Q.S. al-Baqarah/2:191). Perbedaan antara pengungsi dan pelaku kejahatan di kawasan al-Haram dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, pengungsi yang melakukan kejahatan di dalam kawasan alHaram berarti menistakan kemuliaan dan kesuciannya. Hal ini berbeda dengan penjahat yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, lalu mencari perlindungan dengan masuk ke kawasan al-Haram. Dengan meminta perlindungan, berarti ia mengagungkan dan menghormati kemuliaan atau kesucian kawasan al-Haram. Analogi salah satu dari kedua tipe orang itu dengan tipe yang lain tentu merupakan analogi yang tidak valid. Kedua, pelaku kejahatan di kawasan alHaram serupa dengan orang yang melakukan kejahatan di istana raja. Sedangkan pelaku yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, lalu ia masuk ke dalam kawasan alHaram, adalah sama seperti seorang pelaku kejahatan di luar istana raja, kemudian masuk ke istana raja untuk mencari perlindungan. Ketiga, pelaku kejahatan di kawasan al-Haram 76 telah menistakan kesucian Allah dan Masjid al-Haram yang dimuliakan-Nya sehingga ia telah menistakan dua macam kesucian; dan berbeda halnya pelaku kejahatan di luar kawasan al-Haram. Keempat, jika hukuman hadd tidak diberlakukan terhadap pelaku kejahatan di kawasan alHaram, tentu kerusakan, korupsi dan keburukan akan merajalela di kawasan itu, padahal penduduk kawasan alHaram itu sama dengan penduduk di wilayah lainnya yang nota bene membutuhkan perlindungan atas jiwa, harta dan kehormatan mereka. Jika hukuman hadd tidak diberlakukan kepada pelaku kejahatan di kawasan al-Haram maka hukumhukum Allah akan terabaikan sia-sia, dan kemudaratan akan menimpa kawasan al-Haram dan penduduknya. Kelima, orang yang berlindung masuk ke kawasan al-Haram serupa dengan pelaku kejahatan yang bertaubat dan menyesal, mengharapkan perlindungan ke rumah Allah SWT, sehingga ia tidak boleh dilecehkan atas nama kemuliaan al-Haram, berbeda halnya dengan orang yang menistakan kesuciannya. Jadi, jelas sekali perbedaannya. Ibn Qayyim menambahkan, dalam kehidupan bangsa Arab masa Jahiliah, biasanya ketika seseorang melihat pembunuh ayahnya atau anaknya di kawasan al-Haram, maka ia tidak boleh melawannya. Kebiasaan itu dipraktikkan 77 pada masa sebelum Islam dan kemudian agama Islam datang dan mengukuhkannya.108 Oleh karena itu, menghormati orang yang berlindung/mengungsi ke kawasan al-Haram, dalam batasbatas yang tertentu seperti diatas, merupakan hal yang valid dalam Syariat Islam. B. Menurut Hukum Internasional109 Pemberian suaka agama dalam rangka menyediakan perlindungan kepada siapa pun yang memasuki tempat-tempat keagamaan atau sakral merupakan salah satu bentuk tertua pencarian suaka. Sejak zaman dahulu, sebagian besar agamaagama, bangsa dan masyarakat telah membenarkan tindakan tersebut. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapat suaka memiliki makna sakral, ketika pengungsi mencari suaka dari tempat-tempat keagamaan atau suci menjadi tempat berlindung (Sanctuaire). 108 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi), Jilid II, h. 177. 109 Patut dicatat bahwa hukum internasional modern tidak menjadikan agama-agama sebagai dasar landasan aturan dan sistemnya. Hal ini bertolak belakang dengan Hukum Syari’ah yang menjadikan Islam sebagai fokus perhatiannya, bahkan pada tingkat global dan dalam hubungan dengan negara-negara lain. Pernyataan ini, khususnya yang berkaitan dengan hukum internasional, didukung oleh kutipan berikut: “ Cuius region eius religio (wilayah hukum adalah wilayah agama) adalah formula substantif untuk perdamaian yang memuaskan semua pihak.“ Zartman dan Berman, The Practical Negotiator, (Yale University Press, 1982), h. 103. Pendapat lain mengatakan bahwa hukum positif internasional mengabaikan seluk-beluk seperti paralegal yang mengabaikan hukum agama dengan berpura-pura secara halus. R. Yakemtchouk, Les Frontieres Africaines, RGDIP, 1970, h. 58. 78 2. Suaka Teritorial A. Menurut Syariat Islam Syariah Islam tidak mengabaikan suaka teritorial karena hal ini pada dasarnya sudah dikenal sejak era pra-Islam. Memberi perlindungan dan memuliakan pengungsi merupakan salah satu sifat luar biasa dari bangsa Arab. Mereka menyebut jenis suaka ini dengan istilah dikhalah (intervensi) atau najdah (menolong). Konsep Islam telah mengadopsi pendekatan yang sama dengan mengakui pemberian suaka kepada Muslim dan non-Muslim.”110 Ada beberapa bentuk suaka teritorial menurut pandangan Syariah Islam. Dalam pandangan penulis, yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Pemberian suaka teritorial oleh otoritas negara Sebagaimana diketahui, para pemegang otoritas di setiap negara, termasuk negara-negara Islam, memiliki wewenang untuk memberi suaka di wilayah mereka sendiri. Dalam sejarah negara-negara Islam, contoh seperti itu sangat banyak. Salah satu contohnya ialah bahwa pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, terjadi peristiwa di mana Rauzabah ibn Barzag, orang Persia, meminta suaka 110 Lihat Muhammad Tal’at al-Gunaimi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fî Qânûn al-Umam, (Alexandria: Mansya`at al-Ma'arif, 1970), h. 720. Al-Tahtawi mengatakan bahwa manusia bersikap sebagai warga negara secara alami dan akrab sesuai dengan lingkungan. Lihat Rifâ'ah Râfi' al-Tahtawi, al-Daulah al-Islâmiyyah Nizâmuhâ wa 'Amâlâtuhâ, yang merupakan buku suplemen atas buku Nihâyat al-`Îjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz, (Kairo: Maktabat al-Adab, 1410-1991), h. 47. 79 kepada Sa’ad ibn Abi Waqqâs. 111 Menurut para penulis biografinya, ia adalah seorang gubernur di suatu wilayah Romawi yang diinstruksikan oleh Raja Persia untuk membawa senjata ke wilayah itu. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi kalangan bangsawan Persia sehingga Rauzabah merasa tidak aman. Kemudian ia datang ke Kufah menemui Sa’ad. Rauzabah membangun istana dan masjid agung untuk Sa’ad. Sa’ad menulis surat kepada Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb tentang status Rauzabah. Ketika Rauzabah memeluk Islam, Khalifah ‘Umar memberinya uang dan mengirimkannya melalui Sa’ad. Contoh lainnya ialah pembelotan ke negara Islam, yang dilakukan oleh Ward pada masa pemerintahan Khalifah ‘Adud al-Daulah. Raja Romawi meminta kepada Khalifah ‘Adud al-Daulah untuk mengekstradisi Ward.112 111 Muhammad Hamidullah, Majmû’ah al-Watsâ`iq al-Siyâsiyyah li al- ‘Ahd al-Nabawî wa al-Khilâfah al-Râsyidah, (Beirut: Dâr al-Nafâ`is, 1403 H/1983 M), h. 417. 112 Lihat Menteri Abu Suja’ (yang juga dikenal sebagai Zahr al-Dîn al-Rûzrâwi), Dzail Kitâb Tajârub al-Umam, (Mesir: Maktabah al-Mutsanna, , 1334 H/1916 M), h 28-39 dan h. 111 dan sesudahnya. Contoh lain ialah, ketika Pangeran Don Sanchez memberontak kepada ayahnya, Alfonso X, untuk menggulingkan kekuasaannya. Alfonso X kemudian meminta perlindungan kepada Sultan Abû- Yûsuf alMansûr. (Lihat ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, al-Târîkh al-Diblûmâsî li al-Magrib min Aqdam al-‘Usûr ila al-Yaum, (Matba’ah Fadâlah al-Muhamadiyyah, 1407H-1987M, Jilid VII, h. 63). Demikian juga, ketika Sultan Abû Yûsuf menyambut pengungsi politik Kastilia, di mana bersama mereka turut serta para pemimpin dan komandan militer (h. 65). Demikian juga dua pangeran Maroko membelot ke ke Portugal pada tahun 986 H/1578M ( 8, h.146). Contoh lainnya, pengungsian Ferdnande, asal Tergale dan saudara iparnya, Advonce, pada tahun 563 H, ke Seville, kemudian ke Marrakesh dan berlindung di sana selama lima bulan. Lihat Ibn Sahib al-Salah, alMann bi al-Imâmah, tahqîq ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 1987), h. 284-295. Adisicia, seorang penulis kesohor, menerangkan bahwa toleransi yang diterima di tanah Muslim oleh para ilmuwan Yunani yang melarikan diri dari tanah air mereka untuk mengindari penganiayaan oleh gereja, telah mendorong lebih banyak orang untuk bermigrasi, di mana mereka bisa bekerja dengan damai. Sebaliknya, dewasa ini migrasi terbalik meningkat dari wilayah Muslim ke negara non-Muslim karena alasan politik, ekonomi, sosial, akademik, pendidikan atau lainnya. Lebih jauh, lihat Muhammad ‘Abd al-‘Alîm Mursî, Hijrat al-‘Ulamâ` min al-‘Âlam al-Islâmîy, (Riyadh: Markaz al-Buhûts Jâmi’at al-Imâm Muhammad Ibnu Sa'ûd alIslâmiyyah, 1404 H/1984 H), h. 134-245. 80 Contoh pemberian wilayah suaka oleh otoritas negara ialah pesan yang dikirim oleh Sultan Barquq kepada Timur Lenk tentang seorang pria yang meminta suaka, di mana Sultan Barquq memberi perlindungan, sedang Timur Lenk menuntut ekstradisi. Pesan itu berbunyi: “Apakah Anda berpikir bahwa apa yang Anda lakukan kepada hamba Ahmad yang dimaksud, sejauh ini masih belum cukup, sehingga Anda meminta kami untuk mengekstradisinya? Anda perlu mengetahui bahwa hamba Ahmad yang dimaksud telah meminta perlindungan kami, datang kepada kami dan menjadi tamu kami. Barangsiapa yang meminta bantuan kepada kami, maka kami wajib memberi haknya (untuk mendapat perlindungan)”. Allah SWT telah berkalam kepada Pemimpin semua makhluk (Nabi Muhammad SAW) tentang hak orang-orang kafir: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.(Q.S. al-Taubah/9:6) Bagaimana jika kaum Muslimin mencari perlindungan pada kaum Muslimin. Jika sebaliknya yang terjadi, apakah boleh dalam tradisi ksatria, diberikan kemurahan hati dan pemenuhan janji untuk mengekstradisi tamu kita atau yang 81 meminta perlindungan kepada kita? Sudah menjadi adat, tradisi dan perilaku bangsa kita untuk tidak menyerahkan tamu kita atau orang yang dalam perlindungan kita kepada siapapun. Jika Anda tidak mempercayai penjelasan ini, di wilayah terdapat orang-orang dari kaum keluarga (bangsa) kita, tanyalah mereka, maka mereka akan memberitahu Anda tentang hal itu. Kita tidak akan memperlakukan satupun dari tamu kita secara tidak adil, tetapi akan diperlakukan dengan baik dan ramah.”113 Jelas bahwa pesan surat yang disebutkan di atas didasarkan pada ayat yang dikutip di atas, yaitu: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).114 Dan inilah yang melembagakan hak suaka dalam Islam. 113 al-Qalqasyandi, Subh al-'A'sâ, (Kairo: Dâr al-Kutub, t.th.), Bab 7, h 308-319. 114 Penafsiran lain menyatakan, ayat ini merupakan bukti hak suaka dalam Islam, dengan mengatakan: “Mungkin tidak ada aturan lain yang lebih liberal yang bisa dianjurkan untuk pengembangan masa depan hukum internasional, sehubungan dengan penghormatan terhadap permintaan suaka.” Lihat I. Shihata, Islamic Law and the World Community, the Harvard international Law Club Journal, Desember, 1962, h.108; Zakaria al-Birry mengikuti pandangan yang sama. Lihat Z. El-Berry, Immunity of Members of Diplomatic Missions in Islamic Law, R. Egyp. DI, 1985, h. 180. E. Stavraki berpendapat bahwa ayat ini mendukung hak yang tercantum di kalangan orang Arab dalam hal hak suaka. Lihat Emmanuel Stavraki, Konsep Kemanusiaan dalam Hukum Internasional Kemanusiaan, Tinjauan Internasional dari Palang Merah, Edisi 17, 1991, h. 38; Pendekatan yang sama diadopsi oleh Prof. Dr al-Ghunaimi. Ia mengatakan: "Adapun tentang suaka, al-Qur’an telah mengaturnya dengan jelas; Allah SWT berkalam: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Yang demikian itu karena mereka tidak mengetahui. (Qs. Al-Taubah, 9: 6)”. Muhammad Tala’at al-Gunaimi, Nazrah al-‘Âmmah fî al-Qânûn al-Duali al-Insânî al-Islâmî, Simposium Mesir I Seputar Hukum Humaniter Internasional, Kairo, 1982, h. 36-37. Pendapat lain mengatakan: "Tidak ada negara ataupun hukum lain yang menunjukkan pertimbangan/ perhatian yang sama untuk pengungsi untuk menyampaikannya kembali ke tempatnya sendiri dan menjaganya dari bahaya dalam perjalanan”. Lihat S. Tabandah, A Muslim Commentary on the Universal Declaration of Human Rights, Goulding Comp, London, 1970), h. 34. 82 2. Pemberian suaka teritorial oleh individu Ada ulama yang mengatakan: "Semua Muslim adalah sama dalam pemberian perlindungan pribadi dan jaminan keamanan, tanpa perbedaan dalam hak ini antara Sultan, rakyat, wanita, anak-anak, dan remaja. Jika salah satu dari mereka memberikan hak perlindungan, maka semua pihak (termasuk Sultan) wajib menghormatinya.115 Orang Arab kuno memiliki kebiasaan, jika pembesar memberi perlindungan kepada seseorang, maka tidak ada orang lain, terutama orang biasa, dapat memberinya perlindungan. Jika tidak demikian, maka dianggap melanggar tradisi dan adat istiadat yang berlaku dan wajib dipatuhi. Adapun dalam Islam, seorang individu dapat memberikan perlindungan. Hal ini didukung oleh 2 (dua) pertimbangan: Pertama, Islam memberikan setiap orang hak untuk memberi jaminan perlindungan berdasarkan Hadis Nabi Muhammad SAW. Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang lain. 116 115 Muhammad Tabliyyah al-Qutb, al-Islâm wa Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1396 H/1976 M), h. 369. 116 Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-Jihad, Bâb al-Sariyyah, No. 2751, Bab III, h. 126-127. 83 Oleh karena itu, berdasarkan Hadis yang mulia ini, setiap individu berhak untuk memberi jaminan perlindungan kepada orang lain, yakni memberinya suaka.117 Kedua, konsep istijârah (pencarian suaka) dan ijârah (pemberian suaka) dalam sistem hubungan antar-pribadi telah benar-benar terlaksana dalam praktek dalam negara Islam, sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman berikutnya. Contoh untuk hal itu sangat banyak. Diantaranya sebagai berikut: (i) Ibnu Abdul Barr berkata: “Adapun Nabi Muhammad SAW menerima suaka dan perlindungan dari pamannya, Abu Talib. 118 Ketika pamannya, pelindung dan pendukungnya, meninggal dunia pada tahun 10 H, sifat antipati dan pelecehan Quraisy semakin merajalela, sehingga ia berangkat menuju Taif untuk mencari suaka dan perlindungan kepada suku Tsaqif. Sepuluh hari kemudian, ia kembali dari Taif tanpa hasil. Kemudian ia masuk kembali ke Mekkah di bawah perlindungan al-Mut'am bin 'Adiy, yang memberinya suaka.119 117 Hal ini dperkuat oleh sebagian ahli melalui pernyataan mereka:“Dewasa ini, menerima naturalisasi orang merupakan hak istimewa, hak prerogatif milik pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam konstitusi Negara Madinah, hak ini diberikan kepada setiap warga negara; bahkan, orang yang paling rendah derajatnya memiliki hak untuk memberi jaminan perlindungan kepada siapapun yang ia kehendaki. Orang yang menerima perlindungan akan diperlakukan sama sebagaimana perlakuan semua anggota suku lainnya. Lihat Muhammad Hamîdullah, La tolérance dans l’oeuvre du prophète à Médin, in L›Islam, (Paris: La Philosophie et les Sciences, les Presses de l’UNESCO, 1981), h. 23. 118 Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Maghazi wa al-Siyar, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu`ûn al-Islamiyyah, 1415 H/1995 M), h. 43. 119 Lihat Amîn Sa’îd, Nasy`at al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kairo: Matba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî, 1353 H/1934 M), h. 8. 84 (ii) Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berada dalam perlindungan al-Mut'am bin ‘Adiy, Nabi Muhammad SAW telah pergi ke Hara` meminta perlindungan kepada Al-Ahnaf bin Shuraiq. Tetapi Ahnaf menjawab, "Saya sekutu dan sekutu tidak memberikan suaka". 120 Kemudian barulah Nabi Muhammad SAW pergi kepada al-Mut'am bin 'Adiy yang memberi suaka kepada beliau. (iii) Berkaitan dengan ucapan Nabi Muhammad SAW kepada Ummu Hani’: Kami memberi suaka kepada orang yang telah Anda beri suaka, wahai Umm Hani`.121 Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalâni, yang dimaksud dengan kata al-jiwâr dan al-mujâwarah adalah pemberian suaka/ perlindungan. Timbangan kata tersebut ialah: jâwartu, ujâwiruhu, mujâwarat-an, jiwâr-an, âjartuhu, ujîruhu dan jiwâr-an.122 (iv) Abu Bakar mendapat suaka dari Ibn al-Daginah, ketika ia hendak bermigrasi ke Ethiopia (Abessinia/Habsy). Ibn alDaginah keluar untuk menemui para pembesar Quraisy, dan berkata: “Orang seperti Abu Bakar tidak boleh keluar atau diusir. Apakah Anda akan mengusir orang yang 120 Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1375H/ 1955M), Jilid I, h.381. 121 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 350, Jilid I, h. 141. 122 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1419 H/1999 M), Jilid VI, h. 209. 85 menyediakan mata pencaharian untuk masyarakat miskin, memelihara silaturrahim, membela kaum lemah, bersikap ramah kepada tamu dan membantu menegakkan kebenaran? “ Masyarakat Quraisy kemudian memberlakukan perlindungan Ibn al-Daginah dan menjamin keselamatan Abu Bakar, asalkan ia beribadah menyembah Tuhannya di dalam rumahnya, bukan di tempat umum. Maka, Abû Bakar membuat sebuah masjid di rumahnya. Orangorang Quraisy kemudian mengkhawatirkan anak-anak dan isteri-isteri mereka terpengaruh, sehingga mereka meminta Ibn al-Daginah untuk menghentikan Abu Bakar dari melakukan hal itu. Ibn al-Daghinah berkata kepada Abu Bakar: “Anda tahu isi perjanjian yang saya berikan kepada Anda. Anda dapat tetap berkomitmen untuk itu atau dapat juga mengembalikan suaka (jiwâr) saya, karena saya tidak suka orang Arab mendengar bahwa saya mengingkari perjanjian yang saya berikan kepada seseorang.” Abu Bakar menjawab: “Saya kembalikan suaka (jiwâr) kepada Anda, dan saya merasa cukup dengan perlindungan Allah.”123 123 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Jilid III, h. 126-128; Ibn Katsir, al-Sîrah alNabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1396H/ 1976M), Jilid II, h. 63- 64 dan 153; Fath al-Bârî Syarh Sahîh alBukhârî, op. Cit.,Jilid IV, h. 543-544. 86 (v) Peristiwa yang terjadi pada seorang pria bernama Hujjiyah ibn al-Madrib, yang isterinya memeluk Islam, pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn al-Khattab. Sementara ia sendiri adalah penganut Kristen. Ia datang ke Madinah, menuntut agar isterinya dikembalikan kepadanya. Ia menemui Zubair ibn al-'Awwâm (yang ketika itu menjadi Gubernur Madinah) menceritakan kisahnya, sambil berkata mengingatkan Zubair: “Hati-hatilah, jika ‘Umar sampai tahu tentang masalah ini, Anda akan mendapat hukuman darinya”. Cerita tersebut kemudian beredar di Madinah, sehingga sampai kepada 'Umar. ‘Umar kemudian berkata kepada Zubair: “Sungguh saya telah mendengar tentang kisah tamu Anda. Sekiranya bukan karena Anda telah melindunginya, sungguh saya sudah berniat hendak menyerangnya”. Zubair kemudian kembali menemui Hujjiyah dan menyampaikan ungkapan ‘Umar. lalu ia kembali ke daerah asalnya.124 124 Abû Faraj al-Asfahâni, Kitâb al-Agâni, (Kairo: al-Hai`ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kutub, t.th.), Jilid XX, h 318-319. Salah satu bukti bahwa umat Islam menghormati hak suaka ialah peristiwa ketika kekhilafahan telah diserahkan kepada Bani al-‘Abbâs, beberapa tokoh Bani Umayyah bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Salah satu dari mereka ialah Ibrâhîm ibn Sulaimân ibn ‘Abd al-Malik; ia mendatangi rumah seorang lelaki yang tampan. Lelaki itu bertanya kepadanya: "Siapa Anda?," Ibrahim menjawab: "Saya adalah orang yang bersembunyi karena takut dibunuh, saya mencari suaka di rumah Anda". Lelaki ini kemudian membolehkannya masuk ke rumahnya. Lelaki itu memberinya makanan dan minuman. Hanya saja lelaki itu terbiasa pergi keluar rumah sekali dalam sehari, sehingga Ibrahim bertanya kepadanya: "Saya perhatikan Anda gemar menunggang kuda, untuk apa?". Lelaki itu menjawab: "Ibrâhîm ibn Sulaimân menyandera ayahku hingga wafat; saya diberitahu bahwa dia bersembunyi; saya sedang mencarinya untuk melampiaskan balas dendam." Ibrahim berkata: "Saya Ibrâhîm ibn Sulaimân, pembunuh ayahmu." Lalu lelaki itu berkata: “Soal Anda, Anda akan bertemu ayahku (di akhirat) dan dia akan membalaskan dendamnya kepada Anda. Sedangkan saya, saya tidak akan mengingkari perjanjian saya untuk melindungi Anda. Keluarlah dari (rumah) saya, karena saya tidak dapat menjamin diri saya (bertindak salah) terhadap Anda”. Lalu, lelaki itu memberikan Ibrâhîm uang sebesar 1000 dinar; dan Ibrâhîm mengambilnya dan pergi meninggalkannya. Lihat al-Amir Usâmah ibn Munqidz, Lubâb al- 87 (vi) Ibn Ishâq melaporkan cerita dari Ibn ‘Umar tentang ayahnya (‘Umar bin Khatab). Ibn ‘Umar berkata: ”Mereka melakukan tindakan penyerangan terhadap ayahku; mereka terlibat dalam perang yang berkecamuk hingga matahari terbit”. Kemudia Ibn ‘Umar melanjutkan ceritanya: “Ketika ayahku lelah, ia pun duduk, dan mereka berdiri di atas kepalanya. Lalu, ia berkata: “ Lakukanlah apa yang kamu mau. Saya bersumpah demi Allah, jika kami memiliki sebanyak 300 orang prajurit, kami akan kehilangan mereka (karena kalah) melawan kamu, atau kamu kehilangan mereka (karena kalah) melawan kami.” Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seorang pembesar Quraisy yang mengenakan pakaian berhias bordir datang dan berdiri di dekatnya, sambil bertanya: “Apa yang terjadi?”. Mereka menjawab, “Umar telah tersesat.” Pembesar itu menukas: “Hentikan! Seorang lelaki memilih sesuatu untuk dirinya! Apa yang kalian inginkan ? Apakah kalian berpikir bahwa Bani ‘Adiy akan menyerahkan orang ini kepada kalian? Lepaskan orang itu.” ‘Umar menjelaskan: “Demi Allah, mereka pergi begitu cepat seolah jubah dilucuti.” Ibn ‘Umar kemudian menjelaskan: “Saya bertanya kepada ayah saya setelah dia bermigrasi ke Adab, (Kairo: Maktabah al-Sunnah 1407 H/1987M), h. 128-129; dan al- Tanukhi, al-Mustajad min Fa'alat alAjwad, (Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustâniy, 1985), h. 22 - 23. 88 Madinah: “Ayah, siapakah yang telah mengusir orangorang menjauh dari engkau di Mekkah pada hari engkau memeluk Islam, padahal ketika itu mereka sedang memerangi engkau?” ‘Umar menjawab: ”Itulah!” (maksudnya Bani al-‘Ash ibn Wâ`il al-Sahmi). 125 Antara al-‘Ash dan Bani 'Adiy (suku asli ‘Umar), terdapat aliansi. Al-‘Ash berkata kepada 'Umar: “(Mereka) tidak bisa menyentuh Anda, saya pelindung Anda.” Karena itu ‘Umar menjadi aman. Demikianlah al-‘Ash memberi suaka kepada ‘Umar.126 (vii) Peristiwa yang terjadi ketika suku Quraisy mengejar sekelompok orang Muslim, lalu mereka bertemu Sa’ad bin ‘Ubâdah di sebuah tempat yang disebut Azakhir, dan alMundzir ibn ‘Amr, saudara Bani Sâ’idah ibn Ka’b ibn alKhazraj, dan keduanya adalah petinggi di kalangannya. Mereka tidak bisa mengalahkan al-Mundzir, tetapi mereka dapat menangkap Sa’ad bin ‘Ubâdah, lalu mengikat tangannya ke lehernya dengan tali dari barang bawaannya. Dan kemudian membawanya ke Mekkah sambil memukulinya dan menjambaki rambutnya, di mana ia memiliki rambut yang lebat. Sa’ad menjelaskan: “Demi Allah, saat aku jatuh ke tangan mereka, tiba-tiba 125 Ibn Katsir, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Majlis al-A’lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, 1422H/ 2002M), Jilid II, h. 22-23. 126 ‘Alî Ahmad al-Khatîb, Muqaddimah Qabla Hijrat al-Nabî SAW, h. 93. 89 sekelompok orang dari Quraisy, di antara mereka ada seorang pria tampan dengan wajah cerah, mencegatku. Dalam hati saya: "Jika ada orang yang baik di antara mereka, tentu dialah orang itu". Tetapi ketika dia mendekati saya, dia mengangkat tangannya dan memberiku pukulan yang kuat. Lalu, saya berkata dalam hati: “Tidak! Demi Allah, tidak ada di kelompok mereka, setelah kejadian ini, orang yang baik”. Demi Allah, ketika saya masih dalam genggaman mereka, dan mereka menyeret saya, salah satu dari mereka melindungiku, sambil berkata: “Celakalah engkau!, apakah ada jiwar atau perjanjian antara Anda dan salah satu orang dari Quraisy". Saya berkata: “Ya, demi Allah, saya memberi suaka dan perlindungan (aman) kepada Jubair bin Mut'im untuk para pedagangnya, dan saya melindungi mereka dari orangorang yang berusaha menindas mereka di daerah saya. Demikian juga untuk al-Harits ibn Harb ibn Umayyah ibn Abd al-Syams. "Celakalah engkau, berbicaralah atas nama kedua laki-laki itu, dan sebutkanlah tentang perjanjian Anda dengan keduanya". Sa’ad melanjutkan ceritanya: “Saya kemudian melakukan yang dikatakannya. Orang itu kemudian pergi mencari keduanya (para pelindung), dan menemukan mereka di masjid di sisi Ka'bah. Orang tersebut berkata kepada keduanya: “Ada seorang pria dari 90 suku al-Khazraj saat ini sedang dipukuli di sebuah tempat bernama al-Abtah dan menyebut-nyebut nama Anda berdua (sebagai pelindungnya). Keduanya bertanya: “Siapa dia?” Ia menjawab: “Sa’ad bin ‘Ubadah”. Mereka berkata: “Ia benar, demi Allah, dia memberi jaminan keamanan kepada pedagang kami, dan melindungi mereka terhadap orang-orang yang berusaha menindas mereka di daerahnya". Kedua orang itu kemudian datang dan melepaskan Sa’ad dari cengkeraman mereka. Sa’ad kemudian pergi. Orang yang memukul Sa’ad sebelumnya adalah Sa’ad bin Suhail bin ‘Amr. Ibn Hisyam menjelaskan: Adapun orang yang melindungi Sa’ad adalah Abu al-Bakhtari bin Hisyam.127 (viii) Perjanjian persaudaraan antara Umayyah ibn Khalaf ibn Abi Sufyân-dari suku Quraisy-dan Sa'ad ibn Mu’az-dari Madinah. Perjanjian tersebut sudah lama terjadi, bahkan sebelum Sa'ad memeluk Islam. Perjanjian persaudaraan itu mengikat masing-masing pihak apabila masing – masing pihak memberikan perlindungan kepada yang lain. Setiap kali Umayyah melakukan perjalanan ke utara dan melintasi Madinah, ia mampir sebagai tamu ke kediaman Sa'ad. Begitu juga dengan Sa'ad, ketika bepergian ke selatan melintasi Mekkah, maka ia mampir ke kediaman 127 Ibn Katsîr, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 107-108. 91 Umayyah. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, Sa'ad berangkat menuju Mekkah untuk melakukan 'umrah dan tinggal sebagai tamu Umayyah. Karena mengetahui watak orang-orang Mekkah yang pemarah dan sempit hati, Sa’ad tidak ingin menyusahkan Umayyah, lalu ia berkata kepadanya: “Maukah Anda memberi saya beberapa waktu untuk tawaf di sekitar Ka'bah?”. Umayyah balik bertanya: “Maukah Anda menunggu sampai tengah hari?“. Mereka kemudian pergi ketika hampir tengah hari, dan Sa'ad mulai melaksanakan tawaf. Tiba-tiba muncul Abu Jahal di depannya dan bertanya pada Umayyah: “Wahai Abu Safwân, siapa yang bersama Anda itu?”. “Ini adalah Sa'ad”, jawab Umayyah. Abu Jahal kemudian berkata mengarahkan ucapannya kepada Sa’ad “Saya melihat Anda bergerak dengan aman di Mekkah, padahal Anda telah memberikan perlindungan untuk orang-orang Sabean, dan mengklaim telah mendukung dan membantu mereka. Demi Allah, sekiranya Anda tidak bersama Abi Safwan, Anda tidak akan pernah kembali dengan selamat ke rumahmu.128 (ix) Kisah yang terkait dengan Aslam, budak 'Umar bin alKhaththab, ketika ia bepergian untuk melakukan perdagangan bersama orang-orang Quraisy. Ketika mereka 128 Lihat Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 3734, Jilid IV, h. 1453. 92 sudah berangkat, 'Umar tertinggal di belakang untuk sebagian urusan pribadinya. Ketika sampai di suatu daerah, salah seorang komandan Romawi menangkap lehernya dan menyerangnya. ‘Umar mencoba melawan, tetapi dia tidak dapat mengalahkannya. Komandan tersebut kemudian mendorongnya ke sebuah rumah yang di dalamnya ada tanah, kapak, sekop dan keranjang korma. Orang itu berkata: “Kamu hanya boleh berada di sekitar sini, dari sini sampai sini”. Kemudian dia mengunci pintu rumah itu dan pergi, sampai hampir tengah hari baru kembali. 'Umar hanya duduk sambil terus berpikir, tanpa melakukan apa-apa, yang diperintahkannya. Ketika dia kembali ke rumah, dia bertanya kepadaku: “Mengapa kau tidak melakukan apa-apa?”, sambil memukul kepala ‘Umar dengan tangannya. Kemudian 'Umar mengambil kapak, menghantamkannya dan membunuhnya. Lalu ia berusaha keluar sendiri dan melarikan diri, sampai menemukan sebuah biara seorang rahib, ia pun berhenti di samping biara itu sampai malam. “Rahib itu menunjukkan sikap hormat pada saya dan mengajak saya masuk ke biara, lalu memberi saya makan dan minum dengan sopan, sambil mengamati apa yang sedang terjadi pada saya. Kemudian ia bertanya tentang apa yang saya alami. “Saya telah kehilangan jejak teman saya”, jawab ’Umar. 93 Biarawan itu berkomentar: ketakutan”, sambil berusaha “Anda tampak sedang menyelidiki saya. Dia melanjutkan: “Penganut agama Kristen tahu bahwa saya paling banyak mendalami tentang Kitab mereka. Sungguh saya dapat meramalkan bahwa Anda adalah orang yang akan mengusir kami dari negeri kami ini. Apakah Anda mau menuliskan perjanjian tentang jaminan keamanan bagi saya untuk biara saya ini?”. Saya menjawab: “Oh! Anda mengalihkan pembicaraan kepada yang lain”. Biarawan itu terus menekan saya sampai saya menuliskan perjanjian yang berisi apa yang dimintanya kepada saya. Ketika tiba saat untuk pergi, ia memberi saya keledai betina, sambil berkata: "Tunggangilah itu, setelah Anda bertemu rekan Anda, kirimkan kembali kepada saya keledai itu sendirian, karena setiap kali ia melewati biara, mereka akan menghormatinya”. Lalu ‘Umar melakukan apa yang dikatakan kepadanya. Ketika Umar datang ke Bait al-Maqdis (Yerusalem) sebagai seorang penakluk, Rahib tersebut mendatanginya sambil menyerahkan lembar perjanjian jaminan keamanan (yang ditulis ‘Umar). ‘Umar menerimanya dengan syarat bahwa Rahib tersebut akan menyambut secara baik setiap umat Islam yang melintas di sana dan memandu jalan mereka.129 129 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, op. cit.,h. 56-57. 94 (x) Kasus yang terjadi pada Khalid bin 'Itab, ketika dia menghina al-Hajjaj. Al-Hajjaj lalu menulis surat kepada Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan tentang insiden tersebut. Ketika Khalid datang ke Syam (Syria), dia bertanya tentang siapa yang menjadi orang kepercayaan ‘Abdul Malik. Dia diberitahu bahwa orang tersebut adalah Rauh bin Zinba’. Saat matahari terbit Khalid menemuinya, sambil berkata: “Saya mendatangi Anda untuk memohon suaka”. Rauh menjawab: "Saya akan memberimu suaka kecuali jika Anda Khalid”. “Saya Khalid”, katanya. Tibatiba suara Rauh berubah dan berkata: “Demi Allah, tolong pergi dari saya. Aku tidak percaya ‘Abdul Malik”. Khalid memohon kepadanya: “Beri saya waktu sampai matahari terbenam”. Lalu Rauh melindunginya (menunggu matahari terbenam), sampai Khalid pergi. Kemudian Khalid pergi menemui Zufar bin al-Hârits al-Kilâbî, dan berkata: “Saya datang menemui Anda untuk memohon suaka. “Saya beri Anda suaka”, jawab Zufar. “Saya Khalid bin ‘Itab”, kata Khalid. Zufar menegaskan: “Walaupun Anda Khalid”. Di pagi hari, Zufar memanggil kedua putranya, karena ia sudah tua, keduanya memapahnya, menghadap Khalifah. Khalifah ‘Abdul Malik mengizinkan rakyat masuk ke istananya. Ketika Khalifah melihat Zufar, ia memerintahkan untuk membawa kursi untuknya, dan 95 menempatkannya di dekat singgasananya. Setelah duduk, Zufar berkata kepada khalifah: ”Wahai Khalifah (pimpinan)! Saya memohonkan suaka kepada Anda untuk seorang pria, mohon lindungilah dia”. Khalifah menjawab: “Saya akan memberinya suaka, kecuali jika dia adalah Khalid”. Zufar menukas: “Dia adalah Khalid”. “Tidak, dan tidak ada pengecualian!”, tegas Khalifah. Kemudian Zufar menoleh kepada kedua anaknya, sambil berkata: “Papah saya”. Sambil keluar, ia berkata kepada Khalifah: “Wahai Khalifah ‘Abdul Malik, demi Allah, seandainya Anda lihat bahwa tangan saya mampu memikul panah dan mengendalikan kuda, pasti Anda akan memberi suaka kepada orang yang saya lindungi”. Khalifah kemudian tertawa dan berkata: “Wahai Abu al-Huzail, kami memutuskan memberinya suaka”.130 3. Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk Islam atau menjadi non-Muslim dzimmiy Sejak zaman dahulu, menawarkan suaka dalam bentuk penuh kepada sandera (misalnya, sejumlah orang), telah digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin pelaksanaan perjanjian internasional. Toleransi Islam telah mencapai batas yang sangat jauh, sampai memberi hak untuk tinggal kepada 130 Abû al-Faraj al-Asfahâni, Kitab al-Agâni, Jilid XVII, h. 10-11, h. 232-233. Pada tahun 633 H. alNâsir Daud pindah dari al-Kark ke Baghdad, untuk meminta suaka kepada Khalifah al-Mustansir, ketika dia merasa takut terhadap pamannya, al-Kamil. Muhammad Kurdi Ali, Khuttât al-Syâm, (Damaskus: Matba’ah alHaditsah, 1343 H/1925 M), Jilid II, h. 96. 96 sandera non-Muslim di wilayah Muslim, jika ia memeluk Islam. Dalam pada itu, tidak boleh mengekstradisinya, karena hal itu bertentangan dengan keinginannya. Sebab, dengan memeluk Islam penghormatan terhadap darahnya menjadi setara dengan penghormatan terhadap darah (jiwa) sandera Muslim. Dalam hubungan ini, Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni berkata: “Jika sandera (non-Muslim) memeluk Islam, sedangkan kelompok musyrikin (mengancam) dengan mengatakan: “Apabila kalian tidak mengekstradisi orang-orang pelarian kami, maka kami akan membunuh orang-orang Islam yang menjadi sandera kami, atau kami akan memperbudak mereka”, sedangkan para sandera non-Muslim tersebut itu tidak mau diekstradisi, maka imam (pemimpin) tidak boleh mengekstradisi mereka. Bahkan meskipun imam tahu bahwa mereka akan membunuh kaum Muslim yang mereka sandera. Sebab, kehormatan jiwa mereka sama seperti kehormatan jiwa kaum Muslim yang mereka sandera. Apabila sandera dari pihak mereka (kaum musyrik) yang telah memeluk Islam berkata: “Kembalikanlah kami kepada mereka, dan ambillah sandera Anda yang berada pada mereka”, maka jika penguasa negara meyakini bahwa mereka akan dibunuh (setelah dikembalikan), ia tidak boleh mengembalikan sandera tersebut kepada mereka. Dalam hal 97 memberikan izin yang melegitimasi pembunuhan seseorang atau menjadikan seseorang terkena resiko untuk menjadi terbunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh. Namun, dalam kasus di mana kita tidak tahu apa yang akan menimpa diri mereka, maka tidak apa-apa jika kita mengembalikan mereka. Karena mengembalikan mereka dengan seizin menzalimi. Lagi mereka pula, bukanlah merupakan mengembalikan mereka tindakan bukan penyebab bagi kebinasaan mereka. Biasanya, dalam kasus seperti itu, mereka (para pelarian) tidak akan mau kembali, jika mereka merasa diri mereka tidak aman. 131 Berdasarkan uraian sebelumnya, jelaslah bahwa dalam Islam, menjaga keselamatan dan keamanan pengungsi adalah suatu kewajiban ditinjau dari dua segi: 131 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh a-Siyar al-Kabir, (Heiderabad: Matba’ah Haidarabad, t.th.), Jilid IV, h. 43. Hal tersebut di atas berlaku juga untuk kasus di mana sandera telah memperoleh status sebagai “Ahl al-dzimmah" (status ini diberikan jika seseorang telah tinggal selama lebih dari satu tahun atau ia mengajukan permintaan). Di dalam kitab al-Siyar al-Kabîr terdapat uraian: “Jika seorang penguasa memberi mereka (sandera non-Muslim) status zimmah (perjanjian aman) dan kemudian meminta pengembalian sandera Muslim, namun mereka (kaum musyrikin) menolak mengembalikannya kecuali setelah penguasa mengembalikan ahl al-zimmah itu, maka penguasa tidak boleh mengingkari perjanjiannya untuk tidak mengembalikan sandera non-Muslim yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebab, ketika mereka telah berada dalam jaminan kita, maka status penghormatan terhadap jiwa mereka sama dengan penghormatan terhadap jiwa orang Islam. Demikian juga, jika mereka (ahl al-dzimmah itu) memeluk Islam. Jika sandera non-Muslim merasa nyaman dan rela untuk dipulangkan, maka tidak ada keberatan untuk itu. Namun jika imam meyakini bahwa mereka akan dibunuh, maka imam tidak boleh memulangkan mereka, berdasarkan analogi kepada kasus yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu ketika sandera memeluk Islam. Hal ini mirip dengan kasus pertukaran sandera Islam dengan sandera dzimmiy. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, hal ini diperbolehkan, jika sandera non Muslim rela. Sebaliknya tidak boleh, jika sandera tersebut tidak rela”.Lihat al-Siyar al-Kabîr, h. 45-46. Berdasarkan uraian sebelumnya, menurut pendapat kami, ini berarti bahwa pemberian suaka dalam kasus-kasus tersebut merupakan sejenis "suaka teritorial paksa", ketika sandera yang telah mengkonversi agama mereka ke Islam atau yang telah menjadi dzimmiy ingin kembali ke negeri mereka, sedang mereka berpotensi untuk dibunuh di negerinya itu. 98 Pertama, tidak boleh mengembalikan sandera kepada otoritas negara lain, apabila mereka akan dibunuh di sana. Bahkan sandera non-Muslim tidak boleh dikembalikan, meskipun jika pihak negara lain tersebut mengancam akan membunuh sandera Islam. Karena, seperti ungkapan Imam Asy-Shibani: “Penghormatan atas jiwa sandera non Muslim sama dengan penghormatan terhadap jiwa sandera Muslim”. Kedua, tidak boleh memulangkan sandera, meskipun mereka setuju dipulangkan, namun dengan kepulangan mereka, kemungkinan besar mereka akan dibunuh. Hal ini didasarkan pada premis Islam: “Dalam kasus di mana seseorang akan dibunuh atau mengalami resiko dibunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh”. 4. Hijrah (migrasi) sebagai bentuk suaka teritorial Al-Mawardi berpendapat bahwa hijrah (imigrasi) pada masa Nabi Muhammad SAW adalah boleh (mubah) bagi orang yang khawatir dirinya akan disakiti, atau keyakinan agamanya terancam. Ayat al-Qur`an yang menerangkan hal itu, antara lain: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (Q.S. al-Nisâ`/4:75). 99 Allah SWT menjawab permintaan mereka untuk hijrah, dengan kalam-Nya: Barangsiapa berhijrah dari rumahnya di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisâ/4:100).132 Ketika Islam muncul ke permukaan dan orang Mukmin mulai memperbincangkan agama mereka, suku Quraisy menghadapi kaum Mukmin dengan cara “menyiksa dan menyakiti kaum Mukmin”, dengan maksud untuk mengacaukan keimanan mereka. Nabi Muhammad SAW berkata kepada mereka: “Berpencarlah kalian di bumi”. “Kemana kami akan pergi?”, tanya mereka. Beliau bersabda: “Ke sana”, sambil (Abessinia/Habsy). Lalu menunjuk sejumlah ke tanah orang dari Ethiopia mereka bermigrasi ke sana; sebagian ada yang berhijrah secara sendirisendiri, sedangkan yang lain bersama keluarganya. Dalam hal ini Ibn ‘Abdul Barr berkata: “Ketika mereka sampai di Ethiopia (Abessinia/Habsy), mereka merasa aman dengan 132 al-Mawardi berkata: “Di dalam ayat tersebut terdapat dua penafsiran. Salah satunya, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain; sedang al-sa’ah ialah harta. Penafsiran kedua, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah mencari penghidupan; sedang al-sa’ah berarti kehidupan yang baik. Lihat al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/ 1994M), Jilid XVIII, h. 110-111. Untuk membantah pemahaman yang berkembang dalam fikih Islam yang menyatakan, wajib hijrah dari dâr al-fisq (negeri yang penuh dosa) karena dianalogikan (di-qiyâs-kan) kepada dâr al-kufr (negeri kafir), al-Syaukani berkata: “ Sungguh analogi ini adalah paralogisme (analogi yang tidak tepat). Yang benar ialah tidak wajib hijrah dari dâr al-fisq, sebab pada hakikatnya, negeri itu adalah negeri Islam. Menyamakan dâr alfisq dengan dâr al-kufr, semata-mata karena di dalamnya terdapat kemaksiatan secara nyata, tidak sesuai dengan ‘ilm al-riwâyah (pengetahuan yang didasarkan pada informasi Hadis) maupun dengan ‘ilm al-dirâyah (pengetahuan yang bersifat rasional teoritis tentang Hadis)”. Lihat al-Syaukani, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr alKutub al-’Ilmiyyah, 1403H/ 1983M, Jilid VIII, h. 27. 100 keimanan mereka, dan tinggal di rumah terbaik dan menikmati perlindungan terbaik."133 Dari hal pencarian hak suaka ke Ethiopia (Abessinia/Habsy), terdapat 3 (tiga) aturan, yang membentuk sebagian dari hukum internasional kontemporer tentang suaka, yaitu: a. Tujuan suaka: untuk memastikan keamanan bagi pengungsi. Dalam hubungan ini, Ummu Salamah (salah satu yang turut berhijrah) berkata: “Sungguh, di Ethiopia kami aman mempertahankan keimanan kami”.134 b. Sebab bermigrasi: terjadinya penganiayaan terhadap pengungsi mendorong mereka untuk berimigrasi. Inilah sebenarnya yang terjadi; karena kaum Muslimin disakiti oleh Quraisy, maka Nabi Muhammad SAW menyarankan mereka untuk berimigrasi. c. Tidak boleh mengekstradisi pengungsi jika tindakan tersebut menimbulkan ancaman penganiayaan baginya di negara yang meminta ekstradisinya. Suku Quraisy mengirim hadiah dan benda berharga yang dibawa ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin al-‘Ash, untuk Negus, Kaisar Abyssinia, dengan tujuan memintanya 133 Sirah Ibn Hisyam, Jilid I, h. 334; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Magâzi wa al-Siyar, tahqîq Syauqi Daif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, edisi ke-3.), h. 36-37, 52. Perlu disebutkan bahwa hijrah ke Ethiopia (Abessinia/Habsy) merupakan hijrah pertama dalam sejarah Islam. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 321-322. Lihat juga Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhâriy, Jilid VII, h. 206-209. 134 Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 358; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 134.; 101 menyerahkan imigran Muslim kepada keduanya. Sebagai tanggapan, Negus berkata: “Tidak, demi Tuhan, saya tidak akan menyerahkan mereka. Saya tidak akan pernah membiarkan mereka disakiti, mereka yang telah meminta perlindungan saya, datang ke negara saya dan memilih saya, sampai saya memanggil mereka, kemudian saya menanyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan orang tentang mereka. menyerahkan Jika terbukti mereka kepada benar, saya akan keduanya, dan mengembalikan mereka ke masyarakat mereka. Akan tetapi, jika tidak benar, saya akan membela dan melindungi mereka dengan baik selama mereka berlindung pada saya”.135 Setelah Negus mendengar dari kaum Muslimin dan mengetahui kebenaran argumen mereka, Negus menolak permintaan 2 (dua) orang utusan Quraisy tersebut. Negus bahkan berkata kepada kedua utusan Quraisy tersebut: “Bahkan jika Anda memberi saya segunung emas, saya tidak akan menyerahkan mereka kepada Anda”. Negus kemudian memerintahkan untuk mengembalikan hadiah kepada keduanya, dan mereka pulang dengan kecewa.136 135 Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 359; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 137.; 136 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th.), Jilid II, h. 64. 102 Di samping hijrahnya sebagian kaum Muslimin ke Ethiopia (Abessinia/Habsy) 137 (dua kali) pada tahun 615 Masehi, kami perlu juga menyebutkan hijrahnya Nabi Muhammad SAW, bersama dengan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. dan sejumlah kaum Muslim lainnya ke Madinah pada tahun 622 Masehi.138 Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk hijrah, antara lain: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orangorang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu untuk melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali bertentangan dengan kaum yang telah ada perjanjian 137 Nabi Muhammad SAW Pernah mengirimkan surat kepada Negus, yang berbunyi, antara lain: “Saya mengirimkan kepada Anda saudara sepupuku, Ja’far dan sekelompok Muslim. Ketika mereka datang menemui Anda, biarkan mereka tenang dan tinggalkanlah pendekatan kekerasan. Beberapa komentar menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meminta perlakuan adil dari Negus dalam mengurus pengungsi yang terasing dari kaum Muslimin di negerinya sendiri. Lihat Muhammad Sît Khattab, Ja’far ibn Abî Tâlib, Awwal Safîr fi al-Islâm, (Majjalah al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Riyasah al-‘Ammah li`Idârat al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ`, alAmânah al-‘Âmmah li Hai`at Kibâr al-‘Ulama`, Riyadh, 1410 H), h. 193-194. Sebagian ahli mengatakan, hijrahnya umat Islam ke Ethiopia, sebagai salah satu bentuk suaka politik. Kaum Muslim yang pertama hijrah ke Ethiopia, sebuah negara Kristen, yang memberi mereka “suaka politik”. Lihat Malik, The Concept of Human Rights in Islamic Jurisprudence, Human Rights Quarterly, The Johns Hopkins Univ. Press, nomor 3, 1981, h. 6. Sebagian orientalis melihat, bahwa hijrah ke Ethiopia dapat dirujukkan kepada salah satu dari lima sebab, yaitu melarikan diri dari penganiayaan, menjauhkan diri dari resiko pemurtadan, untuk melakukan aktivitas perdagangan, untuk meminta bantuan militer dari orang-orang Ethiopia, atau karena terjadinya perselisihan di antara kaum Muslimin, sehingga Nabi SAW menjauhkan salah satu kelompok ke Ethiopia sampai mereka dapat menyelesaikan pertentangan. Lihat rincian lebih lanjut dan bantahan atas argumen ini dalam Daufiq al-Râ’iy, Dirâsat fi Fahm al-Mustasyriqîn li al-Islâm, (Majallat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah alKuwait, 1412H/1992M), No. 18, h. 174-179. 138 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 480-485. 103 dengan kamu. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Anfal, 8: 72) Dan ingatlah (wahai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap.. (Q.S. alAnfâl/8:26) Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), dan yang meninggalkan rumah mereka dan mereka yang memberikan bantuan dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti nilai – nilai baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah (Q.S. al-Taubah/9:100) (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman mereka, dan dari harta benda mereka, (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan RasulNya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan (Q.S. al-Hasyr/59:8-9). Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (karena tidak berhijrah), (kepada mereka) Malaikat bertanya: "Penderiataan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang lemah dan 104 tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuknya tempat kembali. (Q.S. al-Nisâ`/4:97).139 Ketika Nabi Muhammad SAW menunjuk komandan untuk memimpin pasukan batalion, biasanya Beliau memberi wasiat (amanat) kepada komandan untuk bertakwa kepada Allah, dan bersikap baik kepada kaum Muslimin lainnya yang turut dalam barisannya. Dalam salah satu kejadian, Nabi Muhammad SAW bersabda: Berperanglah dalam nama Allah, pada jalan Allah. Perangilah orang yang ingkar kepada Allah. Jika Anda bertemu dengan musuhmu dari kelompok musyrikin, serukanlah kepada mereka untuk menjalankan tiga hal. Yang manapun dari tiga hal tersebut yang mereka ikuti, maka terimalah dan hentikanlah seranganmu terhadap mereka. Mintalah mereka untuk memeluk Islam. Jika mereka mengabulkannya, maka terimalah dan tahanlah seranganmu terhadap mereka. Kemudian, ajaklah mereka untuk pindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin, dan jelaskan pada mereka bahwa jika mereka melakukannya, maka mereka memiliki hak yang sama dengan yang dimiliki kaum 139 Mahmûd Syaltût berpendapat bahwa ayat ini berlaku dalam beberapa kasus masa kini: Pertama, individu-individu Muslim yang tinggal di negara yang penguasanya menganiaya kaum Muslimin. Mereka ini diwajibkan hijrah. Jika tidak, mereka pantas mendapat ancaman ayat ini. Kedua, Negara-negara Islam yang dijajah musuh, dimana mereka merampas kekuasaan dan pemerintahan dari penguasa yang sah, serta menghalangi mereka untuk melaksanakan ajaran agama dan menghilangkan kebebasan terhadap harta mereka. Mereka ini wajib hijrah secara moral dan fisik, berusaha menyatukan kekuatan dengan saudara-saudara sebangsa mereka untuk mengusir penjajah tersebut. Ketiga, Negara Islam yang terpecah-belah dalam beberapa faksi, dimana setiap faksi dikuasai oleh kelompok musuh kolonialis. Masing-masing faksi tunduk pada kolonialisnya, tanpa berusaha berhijrah. Serta mereka semua mengabadikan perpecahan bukannya bersatu, yang berarti mendukung musuh-musuh mereka. Dengan begitu, mereka semua adalah orang-orang zalim. Mahmûd Syaltût, al-Fatâwa, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 430-434. Lihat juga penafsiran yang mengagumkan terhadap ayat ini dalam Abû al-Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazaya al-Qur`an al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Mushaf, t.th.), Jlid II, h. 222-223. 105 Muhajirin. Jika mereka menolak dan lebih memilih negeri mereka, maka beritahukan bahwa mereka sama dengan Arab Badui lainnya, dimana hukum Allah berlaku atas mereka sebagaimana berlaku terhadap kaum Mukmin. Mereka tidak mendapat harta rampasan perang sedikitpun, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum Muslim. Jika mereka masih menolak maka mintalah jizyah (pajak keamanan) kepada mereka. Bila mereka patuh maka terimalah kepatuhan mereka, dan tahanlah serangan terhadap mereka. Akan tetapi, bila mereka menolak, maka mohonlah bantuan Allah dan perangilah mereka.140 Terdapat kecenderungan yang kuat di kalangan para ulama untuk berpendapat bahwa hijrah ke Dâr al-Islâm (negara Islam) adalah wajib. 141 Karena itu, Ibn Faudi pun menegaskan bahwa hijrah adalah wajib berdasarkan ketentuan al-Qur’an: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. alNisâ`/4:97) Dan juga berdasarkan Hadis Nabi SAW: Saya berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di bawah kekuasan orang-orang musyrik. Mereka (para Sahabat) 140 Muslim, Sahîh Muslim, Jilid al-Jihâd wa la-Siyâr No. 1731, Jilid III, h. 1356-1357. Ulama, yang menegaskan bahwa hijrah merupakan kewajiban, secara khusus berargumen kepada prinsip bahwa tidak ada kekuasaan bagi non-Muslim terhadap orang Muslim dalam keadaan bagaimanapun. Artinya tidak ada kewenangan dalam dua segi, yaitu bidang politik dan hukum. Lihat “Mauqif al-Malikiyyah” dalam Ridwan al-Said, Dâr al-Islâm wa Nizâm al-Daulah wa al-Ummah al-‘Arabiyyah Mustaqbal al-‘Âlam alIslâmiy, Pusat Studi Dunia Islam, Malta, Edisi I, Musim Dingin 1991, h. 41- 42. Demikian juga pendapat Ibn alArabi yang mengatakan bahwa Anda (kaum Muslim) wajib berhijrah, dan tidak boleh berada di bawah kekuasaan kafir, karena hal itu menghinakan agama Islam dan meninggikan “panji-panji” kafir di atas “panjipanji” Allah. Waspadalah, sedapat mungkin jangan berdiri atau berada di bawah kekuasaan kafir. Ketahuilah, bahwa orang yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, padahal ia berpeluang untuk melepaskan diri dari kekuasaan mereka, tak ada tempatnya dalam Islam. Ibn al-‘Arabi, al-Wasâya, (Kairo: Maktabah alMutanabbi, t.th.), h. 41. 141 106 bertanya: “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sebab, kamu tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya.”142 (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, alNasâ`i dan al-Tirmidzi). Kewajiban hijrah juga didasarkan atas konsensus semua ulama. 143 Uraian yang sama juga terdapat dalam kitab Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, yakni: Bahwa melaksanakan hijrah wajib bagi orang Muslim yang tidak mampu menampakkan agamanya di dar al-harb, yaitu wilayah yang hukum kafir berlaku di sana. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT : Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. alNisâ`/4:97). Dan berdasarkan sabda Nabi SAW: Saya berlepas diri dari setiap Muslim yangtinggal menetap di lingkungan musyrikin; Anda tidak tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya. (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, al-Nasâ`i dan al-Tirmidzi). 142 Abû Dâwud, Sunan Abi Daud, Hadis No. 2645, Jilid III, h. 73-74; al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzyi, Hadis No. 1604, Jilid IV, h. 132-133. 143 Ibn Faudi mengecualikan kewajiban hijrah bagi semua kaum Muslimin yang termasuk orang-orang yang lemah di antara mereka, berdasarkan kalam Allah SWT : “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Q.S. an-Nisa`, 4: 98). Seperti dalam Hadis Nabi SAW: “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah”. Ibn Faudi sependapat dengan penafsiran salah satu mazhab fikih yang menyatakan, bahwa maksud Hadis tersebut:”Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah”, maksudnya, setelah Mekkah menjadi Dâr al-Islâm. Jadi, hukum hijrah tetap berlaku dan merupakan suatu kewajiban (di wilayah kafir lainnya). Jika kafir harbiy memeluk Islam, tetapi mereka tidak melaksanakan hijrah, maka mereka dianggap maksiat (durhaka, tidak patuh) kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, status keislamannya tetap sah. Lihat ‘Utsman ibn Faudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘ala al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat al-Jihâd, h. 12-13 dan 16-20. 107 Artinya, seorang Muslim tidak boleh tinggal dimana perbedaan api (keimanan) mereka yang Muslim dan nonMuslim tidak terlihat (perbedaanya) Karena menegakkan ajaran agama adalah wajib, maka hijrah merupakan kewajiban yang sangat mendasar. Adalah sesuatu yang dapat dipahami bilamana suatu persyaratan yang muncul karena suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka persyaratan tersebut menjadi kewajiban.144 Sementara itu, aliran fikih lain berpendapat sebaliknya, dengan menegaskan bahwa hijrah tidak wajib. Pendapat ini didasarkan atas Hadis Nabi SAW : Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah, tetapi jihad dan niat.145 144 Lihat al-Bahuti, Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 43-44. Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 2631, Jilid III, h. 1025. Salah satu argumen terbaik, yang mengkompromikan Hadis ini dan wasiat Rasulullah kepada komandan pasukan, dikemukakan oleh Imam Al-Hazimi: Pada awal Islam, hijrah adalah wajib, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Hadis. Kemudian berubah menjadi Sunnah/mandûb; tidak wajib. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (Q.S. an-Nisa`, 4: 100). Ayat ini turun ketika kaum Muslimin mengalami penderitaan berat karena penganiyaan kaum Musyrikin, yaitu ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Beliau memerintahkan kaum Muslimin pindah untuk dapat bersama-sama dengan Beliau, saling menolong, saling menegakkan agama dan agar mereka mendalami dan memahami ajaran agama dari Beliau, meskipun keadaan sangat sulit. Kekhawatiran terbesar yang mereka hadapi ketika itu berasal dari suku Quraisy yang notabene penduduk Mekkah. Tetapi, ketika Mekkah telah ditaklukkan dan berubah menjadi taat, resiko ancaman dan kewajiban untuk hijrah pun menjadi sirna. Ketentuan hukum kembali kepada mandub/mustahab (bersifat anjuran). Jadi, wajib dan mandub, keduanya hukum melaksanakan hijrah. Yang terhenti adalah hukum wajibnya, sedang yang masih berlaku adalah hukum mandub melaksanakan hijrah. Inilah cara menggabungkan kedua makna Hadis tersebut. Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hazimi al-Hamazani, al-I’tibar fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh min alÂtsar, tahqiq ‘Abd al-Mu’ti Qal’aji, (Halab: Dâr al-Wa’yi, 1403 H/1982 M), h. 308-309. Lihat juga, untuk pemikiran yang sama, Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî Daud, Jilid II, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401H./1981M), h. 234-235. Pendapat ini didukung oleh Yazid bin Abi Ziyad: “Tidak ada kewajiban hijrah dari suatu negeri yang penduduknya telah memeluk Islam”. Demikian juga penegasan Salam bin al-Akwa’, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Anda adalah Muhajirin? dimanapun Anda berada”, lihat Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî Daud, h. 310-312. Oleh karena itu, al-Nawawi berkata: “Seorang Muslim yang lemah yang tinggal di 145 108 Pada kenyataannya, sebaiknya perlu dibedakan antara kedua masalah hukum yang bersifat hipotetis tersebut: Hipotesis pertama, jika seorang Muslim mampu menunjukkan agamanya di negara non-Muslim, ia tidak memiliki kewajiban untuk mengungsi ke Dar al-Islam, karena tidak ada alasan hukum (‘illah) untuk itu. Karena, dalam keadaan seperti ini, tidak ada resiko penganiayaan terhadap keberagamaannya. Hipotesis kedua, jika seorang Muslim tidak mampu menampakkan agamanya atau melaksanakan kewajiban agamanya di negara non-Muslim, maka wajib baginya untuk hijrah, berdasarkan kalam Allah SWT : Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : "Penderitaan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keyakinan agamanya, haram baginya tetap tinggal di sana, dan dia wajib berhijrah ke Dâr al-Islâm (negeri Islam). Jika dia tidak mampu melakukannya, dia dimaafkan sampai ia mampu melaksanakannya. Jika negeri tersebut telah ditaklukkan oleh negara Islam sebelum dia berhijrah, maka gugur kewajiban hijrah baginya. Jika dia mampu menampakkan keyakinan agamanya di negeri tersebut, karena dia menjadi panutan, atau karena memiliki keluarga yang melindungi dirinya, dan dia tidak khawatir keimanannya akan tergoncang, maka dia tidak wajib berhijrah, melainkan mustahabb/mandûb (anjuran), agar ia tidak menambah jumlah mereka, agar ia tidak terpengaruh pada mereka, dan agar mereka tidak memperdayanya. Ada informasi yang mengatakan bahwa al-Nawawi berpendapat hukumnya wajib. Akan tetapi, yang berlaku ialah pendapat yang pertama (mustahabb). Lihat al-Nawawi, Raudat al-Tâlibin, Jilid X, h 82. Penulis kitab alHâwi al-Kabîr mengatakan: “Jika seorang Muslim memiliki harapan melihat Islam muncul di wilayah tempat tinggalnya, maka sebaiknya dia tetap tinggal di sana. Jika seorang Muslim mampu untuk tetap dilindungi dan terpencil di tanah non-Muslim, ia harus tetap tinggal, karena lokasinya adalah Dâr al-Islâm (negeri Islam), yang jika dia meninggalkannya akan menjadi Dâr al-Harb (negeri non-Muslim). Oleh karena itu, ia dilarang pergi meninggalkannya. Jika ia mampu melawan orang kafir dan mengajak mereka untuk memeluk Islam, maka ia boleh tinggal, Akan tetapi, jika tidak demikian, maka ia harus pergi.” Lihat al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid XVIII, h. 111. Lihat juga Ibn Hazm, al-Muhalla, Jilid XI, h. 100-199 (masalah no.2198); dan al-Mawardi, alInsâf fi Ma'rifat al-Râjih min al-Khilâf 'ala Madzhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Jilid IV, h. 121; al-Mâziri, Kitab al-Mu’allim bi Fawâ’id Muslim, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1416 H./1996 M), Jilid II, h. 166; dan al-Syaukâni, al-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq 'ala Hada`iq al-Azhâr, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1415 H/1994 M), Jilid IV, h. 576. 109 yang lemah dan tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orangorang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (Q.S. al-Nisâ`/4:97) Sebagai pengecualian, kewajiban hijrah tersebut dihilangkan apabila terdapat alasan kuat untuk tidak melaksanakannya, seperti: sakit, terpaksa dan lain-lain. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT: Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berusaha dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, semoga Allah memaafkan mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Nisâ`/4:98-99).146 5. Hak konvensional / kontraktual suaka teritorial dalam Islam Berbagai pengaturan yang mengatur suaka seseorang dari sebuah Negara ke teritori Negara lain dapat dibuat dibawah perjanjian internasional yang mengatur persyaratan- 146 Adalah hal yang wajar, jika seorang Muslim yang hijrah ke negeri Islam akan menikmati hak-hak yang sama dengan warga pribumi. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh pendapat hukum internasional sebagai berikut: Merupakan suatu kebutuhan bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara Islam agar ia mendapat hak-hak kewarganegaraannya. Hak ini tersedia baginya segera setelah ia memasuki wilayah Islam, baik untuk menetap secara permanen atau untuk berkunjung. Keadaan ini persis sama dengan kasus kewarganegaraan umum di Persemakmuran Inggris. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Karena itu, semata-mata masuk ke pintu wilayah itu, seharusnya sudah cukup untuk mencapai hak-hak tersebut. Lihat R. Kemal, Concept of Constitutional Law in Islam, (India: Fase Brothers, 1955), h. 95-96). Ulama fikih lainnya berpendapat, bahwa dewasa ini tidak tepat untuk menggeneralisasi pertimbangan tinggal menetap di negara non-Muslim sebagai negatif atau positif. Ada tinggal menetap yang wajib dan diperlukan (misalnya: para da’i yang datang untuk tujuan dakwah), dan ada pula tinggal menetap yang terlarang dan haram (misalnya, orang yang tinggal secara sukarela di negara non-Muslim). Akan tetapi, ada juga yang tinggal menetap yang hukumnya boleh dan sah (yakni orang-orang terpaksa tinggal selama ada alasan tertentu, seperti mahasiswa). Lihat Muhammad Abû al-Fath al-Bayânuni, al-Usûl al-Syar’iyyah li al-‘Alâqât bain alMuslimîn wa Gairihim fi al-Mujtama’ât gair al-Muslimah, Majallat Jâmi’at al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd, 1413H/1993 M), Edisi 6, h. 164-167. 110 persyaratan suaka, dan bagaimana seorang pengungsi diperlakukan dan diekstradisi. Tidak terkecuali Islam, yang juga mengatur hak suaka sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditetapkan bersama Negara-negara non-Islam. Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah perjanjian yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan komunitas masyarakat Jarba’ dan Adzrah sebagai berikut: Ini adalah surat dari Muhammad seorang Nabi kepada komunitas masyarakat Adzrah, sesunguhnya mereka selamat dan aman dalam perlindungan Allah dan Muhammad, selanjutnya mereka wajib memberikan jizyah sebesar seratus dinar pada setiap bulan Rajab dan harus dipenuhi secara baik. Allah menjamin keamanan mereka dengan memberikan nasehat dan kebaikan bagi kaum Muslimin. Orang-orang yang meminta perlindungan kepada masyarakat Adzrah dari gangguan orang-orang Islam bila terdapat adanya rasa takut dan sanksi hukum, maka mereka aman, sampai Nabi Muhammad menetapkan kebijakan baru sebelum Beliau keluar dari komunitas masyarakat Adzrah ini.147 147 Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubra, (Beirut: Dâr Bairût, 1400 H/1980 M), h. 290, Ibn Katsir, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,1395/1976), Jilid IV, h. 30. Terdapat sebuah perjanjian seorang penguasa di Yabras dan al-Istibtar sebagai berikut: “Jika terdapat seseorang yang lari meninggalkan tempat dan menuju ke tempat lain dengan membawa barang dan harta tertentu, maka harta yang ia bawa akan dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan orang yang besangkutan disuruh memilih antara tinggal di tempat yang dituju atau kembali ke tempat semula. Jika orang yang lari itu hamba sahaya, yang mengabaikan agamanya, maka, uang seharga hamba sahaya akan dikembalikan. Tetapi jika ia mengikuti kepercayaannya, maka ia akan dikembalikan.” Lihat al-Qalqasyandi, Subh al-A’syâ, Jilid 14, h 38. 111 . Terdapat sebuah contoh lain yang terkait tata aturan suaka territorial ini, yaitu dalam kasus perjanjian Hudaybiyyah dan berbagai hal yang akan kami bahas kemudian.148 Kemudian hal penting yang bisa dikemukakan adalah hak-hak suaka diplomatik, bukan hak-hak yang besifat territorial dalam arti yang teknis, yang telah disepakati perjanjian internasional dan tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip mendasar dalam Syariat Islam. 6. Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer atau lainnya Model suaka jenis ini membentuk pelanggaran atas tujuan dari hak suaka, yang memperjuangkan kondisi kemanusiaan seseorang yang terancam penganiayaan dengan cara pemberian perlindungan baginya. Seorang pengamat hubungan antara Negara Islam dan Negara – negara lainnya mencatat bahwa hak suaka dalam beberapa kasus memang melangkahi tujuan ini. Dalam hal ini, kita tidak menilik kasus suaka dalam arti katanya, namun lebih sebagai suatu tindakan memata-matai atau bersiasat dalam perang 149 atau tindakan lainnya yang dilarang untuk 148 Lihat halaman 203 – 208 mengenai ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional Di antara data pendukung dalam masalah ini ada sebuah pendapat yang dikemukakan dalam sebuah referensi bahwa pada saat Abu Ja’far memperoleh kabar kasus al-Isbahbadz, dan apa yang diperbuatnya atas 149 112 pengungsi, namun dapat dilakukan oleh tentara pada saat perang.150 7. Suaka seorang Muslim ke negara non-Muslim Kini parameter telah mengalami perubahan secara mendasar. Sebagian umat Muslim berada dibawah kungkungan para penguasa diktator atau tiran, sehingga kaum Muslim pada saat itu, Abû Ja’far kemudian mengutus Khâzim ibn Huzaimah, Rûh ibn Hâtim, dan juga Marzûq Abû al-Khasîb, anak angkat Abû Ja’far untuk mengepung benteng pertahanan al-Isbahbadz sang penguasa Dailam. Pasukan ini menyerang benteng pertahanannya selama beberapa waktu. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb mengatur siasat peperangan dengan mengeluarkan instruksi kepada pasukan yang dipimpinnya: “Pukuli aku, gunduli rambut dan janggutku ini!“ Maka anak buah Marzûq Abû al-Khasîb melakukan apa yang diminta oleh sang pemimpin perangnya itu, untuk kemudian akan ditunjukkan kepada al-Isbahbadz, sang musuh besarnya, yang menguasai benteng pertahanan. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb berkata kepada alIsbahbadz: “Sunguh aku telah mendapat masalah besar, aku telah dipukuli dan rambut dan jenggotku digunduli oleh anak buahku. Mereka melakukan itu karena menuduhku telah bersekongkol dengan Anda”. Lalu Marzuq menyatakan kepada al-Isbahbadz bahwa ia berada dalam pihak al-Isbahbadz serta menunjukkan kelemahan pasukannya. Maka Marzûq Abû al-Khasîb pun disambut dan diterima dengan baik oleh al-Isbahbadz, bahkan dijadikan sebagai orang terdekatnya. Pada saat itu, pintu kota (Dailam) berada di bawah tanggungjawab sekelompok pasukan penjaga. Al-Isbahbadz telah menunjuk Marzûq Abû al-Khasîb sebagai wakilnya atas pasukan penjaga pintu kota. Lalu ia mempertanyakan mengapa ia tidak dipercayakan untuk menjaga pintu kota itu sendirian. Kemudian mereka menyatakan, “Mengapa Anda berpikir demikian?” Kemudian Marzûq Abû alKhasîb bekata: “Begini saya mau minta bantuan kalian, bukankah kalian sudah menganggap aku sebagai saudara yang berpihak kepada kalian? Bukankah kalian sudah percaya sebagaimana kepercayaan al-Isbahbadz kepadaku? Oleh sebab itu, kalian tidak perlu memperlakukan aku seperti ini, kalian tidak lagi perlu membatasi gerak-gerikku, biarkan aku bebas keluar masuk di istana raja Dailam ini.” Maka, setelah mereka yakin bahwa Marzûq Abû al-Khasîb sudah tidak akan mungkin membangkang, akhirnya ia dibebaskan keluar masuk istana raja itu, tanpa ada hambatan sedikitpun dan diserahkan tanggung jawab atas pintu tersebut. Hingga akhirnya Marzûq Abû al-Khasîb menulis surat kepada Rûh ibn Hâtim dan Khâzim ibn Huzaimah, agar dipersiapkan pasukan khusus para penembak jitu agar pada malam tertentu datang dan serangan mendadak. Mereka pun bersiap-siap menghabisi seluruh musuh yang ada dalam istana al-Isbahbadz. Akhirnya, siasat Marzûq Abû alKhasîb ini benar-benar berhasil tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak al-Isbahbadz dan pasukannya berhasil masuk ke dalam istana. Dengan cara strategi seperti ini Marzûq Abû al-Khasîb ternyata berhasil menghancurkan pertahanan musuh, bahkan menahan tawanan perang dari kalangan musuh itu. Lebih lanjut lihat al-Tabari, Târîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.th), Jilid VII, h. 512-513. 150 Di antaranya, apa yang disebutkan pada salinan naskah pelantikan penguasa Sisse sebagai berikut: “Allah telah memberikan anugerah kekuasaan yang luas kepada kami dan telah menundukkan hati para penguasa di penjuru wilayah secara damai. Karena itu kami berjanji kepada Allah untuk tidak mengusir mereka, kami tidak menghalang-halangi jalan kemuliaan mereka, kami akan menghormati mereka, serta kami akan selalu memberikan perlindungan mereka. Hal ini kami lakukan karena bersyukur atas kekuasaan yang telah Allah berikan kepada kami seperti yang selama ini kami harapkan. Juga karena didadasarkan pada keyakinan bahwa sesungguhnya kekuasaan kami berada di genggaman-Nya kapan saja kami inginkan. Namun demikian, jika sekiranya ada seorang pengungsi yang masih menyimpan rasa dendam dan bahkan selalu bersikap memusuhi Islam, maka pengungsi tersebutlah yang berkewajiban untuk memelihara dirinya sendiri. Sebab seorang penjahat akan menanggung resiko atas kejahatan yang disembunyikannya dan orang yang melampaui batas akan menuai balasannya pada hari itu atau hari esoknya tergantung pada sikap permusuhannya pada masa lalunya”. Lihat al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, op.cit., Jilid XIII, h. 267. Lihat pula, al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, Jilid XIII, h. 534-535, yakni permintaan suaka Araghon dari Andalusia ke negeri para Khalifah Islam mengupayakan jaminan perlindungan di kawasan wilayahnya karena merasa tidak nyaman atas sikap dendam penduduk di bawah kekuasaannya. 113 terpaksa mencari suaka ke negara non-Muslim agar terhindar dari kemungkinan penganiayaan yang dapat menimpa mereka. Hal ini terjadi meskipun pada dasarnya ajaran Islam tidak diskriminatif dan dapat menampung, menerima dan melindungi hak pengungsi, serta memberikan rasa aman walau hanya berupa isyarat-isyarat atau ungkapan-ungkapan yang tidak difahami. Tidak diragukan lagi, hal mendasar itulah yang terabaikan atas para pengungsi Muslim tersebut sehingga mereka menempuh jalan itu. Akibatnya saat ini, sebagian negara-negara Islam yakni negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menjadi negara yang berlaku sebaliknya. Sebagian warga negara Muslim pergi meninggalkan tanah airnya untuk memperoleh perlindungan di negara lain atau untuk mencari penghidupan. Dengan modus seperti ini, timbullah jenis pengungsi yang lain daripada yang sudah ada sebelumnya, yang mana Muslim mencari kewarganegaraan di negara lain tempat mereka mengungsi. Apakah hal seperti ini diperbolehkan menurut Syariat Islam? Hal ini akan dikemukakan pembahasannya pada uraian berikutnya.151 151 Lihat uraian selanjutnya mengenai integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim, halaman 232. 114 8. Mengungsi dengan cara diam-diam atau tanpa izin secara eksplisit Para ahli ulama fikih mengemukakan suatu kajian terkait suaka secara diam-diam, atau suaka individu-individu tanpa izin. Mereka mengungsi secara sembunyi-sembunyi tanpa izin dari negara Islam atau wilayah yang mengikuti negara Islam untuk memasuki wilayahnya. Dalam hal ini para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki mengemukakan pendapat bahwa sekiranya para calon pencari suaka politik ini bersedia diperlakukan seperti warga negara yang berstatus dzimmiy, maka mereka akan diperbolehkan. Akan tetapi, jika mereka enggan untuk menjadi warganegara yang berstatus dzimmiy, maka seorang kepala negara Islam bisa mengirim mereka ke negara yang aman. 152 Dapat 152 Menurut Ibn Rushd, dalam kitab al-Bayân wa al-Tahsîl terdapat informasi sebagai berikut: Yahya berkata: ”Saya bertanya kepada Ibnu al-Qasim apabila ada orang – orang yang mencurigakan dari kalangan musuh yang keluar dari negaranya menuju ke kawasan negara Islam dengan tanpa izin, maka tatkala mereka tertangkap di negara Islam atau di daerah perbatasan antara orang-orang Islam dan musuh, ketika mereka sedang menuju ke Negara Islam, mereka hendak pindah ke negara Islam bukan dalam suasana perang atau dalam rangka mencari kesempatan untuk menangkap, mengambil yang diinginkannya, sementara mereka hanya berkeinginan untuk tinggal di kawasan negeri Islam, secara bebas, tanpa kewajiban membayar jizyah, dengan demikian apakah mereka dapat diperlakukan sebagai orang bebas atau akan dikenakan jizyah? Apakah bila mereka diterima, kepala negara akan menetapkan jizyah kepada mereka, dan jika mereka ditolak, maka mereka akan dikembalikan ke wilayah aman dan tidak boleh diganggu kehormatannya?. Ibn al-Qâsim berkata “Jika pada saat mereka keluar dari negaranya dan masuk ke negara Islam mereka telah diperintahkan untuk membayar jizyah, maka kepala negara Islam wajib menerima mereka dengan ketentuan mereka membayar jizyah. Kepala negara tidak boleh menjual mereka sebagai budak atau mengirim ke tempat lain. Lebih lanjut Ibn al-Qâsim berkata, seorang kepala negara Islam bisa saja menetapkan hukum berdasarkan wewenangnya terhadap kasus seseorang dari negeri musuh yang masuk tanpa izin sesuai dengan pertimbangan nalar sehatnya. Jika sekelompok orang yang kapalnya rusak dan terdampar di tertangkap lalu mereka ditangkap oleh orang Muslim, lalu mereka menyatakan bahwa mereka tidak sengaja masuk ke negeri Muslim, maka imam atau kepala negara dapat menjual mereka sebagai budak, atau menempatkan mereka dalam posisi-posisi tertentu untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, Yahya bertanya kembali apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh saja? Ibn al-Qâsim menjawab: “Tidak, saya tidak setuju dengan pendapat yang membolehkan untuk membunuhnya, dan saya juga pernah bertanya kepada Imam Malik apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh. Beliau menjawab tidak boleh, kecuali ada kekhawatiran bahwa mereka akan menimbulkan bahaya besar. Jika ada indikasi akan menimbulkan bahaya besar, maka mereka boleh dibunuh. Jika ada di antara sejumlah tawanan perang ini 115 dikatakan bahwa sesungguhnya melalui pendekatan ini, Syariat Islam berbeda dengan praktek dan ketentuan umum, yang saat ini diikuiti sebagian Negara, yang memberlakukan hukuman keras bagi warganegara asing yang masuk ke sebuah negaranya tanpa dilengkapi dokumen resmi. 9. Suaka tidak dengan sukarela/ kemauan sendiri Bisa saja terjadi kasus suaka yang tidak dikehendaki atau bukan kemauan sendiri, misalnya dalam kasus terdamparnya perahu lantaran badai laut yang ganas hingga singgah di pantai sebuah negara yang tidak direncanakan. Hal ini menyebabkan orang tersesat dalam perjalanan hingga memasuki batas negara lain. Bagaimanakah pandangan Syariat Islam dalam masalah seperti ini. Para ahli Syariat Islam mengemukakan beberapa pendapat mereka dalam kasus seperti ini. Di antaranya pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Qudamah, “Barang siapa yang tersesat dan kehilangan jejak dalam medan pertempuran, hingga ia masuk ke wilayah negeri Muslim, atau orang tersebut terbawa angin hingga masuk dalam wilayah kita, atau dibawa oleh binatang seseorang yang berbahaya seperti seorang pembunuh atau sadis atau yang sejenisnya, maka Imam Malik berpendapat orang itu boleh saja dibunuh. Lihat Ibn al-Rusyd, al- Bayân wa al-Tahsîl wa al-Syarh wa al-Taujîh wa al-Ta’lil fî Masâ`il al-Mustakhrajah, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmîy, 1408 H/1988 M), Jilid III, h. 20-21. Dari uraian ini tampak jelas perbedaan mendasar antara pengungsi di satu sisi dan tawanan perang di sisi lain yang tidak memiliki status pengungsi, tentu saja akan diperlakukan berbeda. 116 kendaraannya hingga akhirnya masuk dalam wilayah kita, maka menurut Abu al-Khattâb terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa orang itu masuk dalam kategori fa’i (rampasan perang), sebab ia jelas merupakan harta orang musyrik yang masuk dalam wilayah kita tanpa adanya peperangan, hal ini sama persis dengan harta rampasan perang yang ditinggal lari oleh musuh karena kepanikan. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta yang tiba-tiba datang ke wilayah negeri Muslim ini menjadi milik siapa saja yang menemukannya, sebab harta itu datang dengan sendirinya tanpa ada usaha perebutan dari pihak yang mendapatkannya, maka ia berhak memilikinya sebagaimana berbagai hal lain yang dibolehkan yang terjadi di negeri Muslim.153 Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat kasus seperti ini termasuk suaka yang tidak dikehendaki oleh pengungsi yang bersangkutan, dan konteks suaka hanya sebatas nama saja, tapi tidak dilihat dari arti katanya secara hakiki. Alasannya karena hal itu terjadi dalam suasana perang, oleh karena itu kaidah yang berlaku juga harus didasarkan atas aturan-aturan peperangan, sehingga orang-orang yang terlibat 153 Ibn Qudâmah al-Maqdisiy, al-Kâfi fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1993), Jilid IV, h 219. 117 didalamnya diperlakukan sebagai peserta perang dan bukan sebagai pengungsi.154 10. Suaka lantaran adanya aktvitas peperangan atau militer Dalam masalah ini, pembahasan akan dibagi menjadi 4 (empat) hal. a. Konflik bersenjata yang mengakibatkan berbagai situasi pengungsian.155 Dalam al-Qur’an terdapat sederetan dalil yang jelas tentang problematika pengungsi, khususnya mereka yang dipaksa oleh pihak musuh untuk meninggalkan negerinya sendiri dan lari ke berbagai tempat lain. Dalam hal ini Allah SWT berkalam: Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya Kami telah diusir dari kampung halaman kami dan anak-anak kami? (Maksudnya: 154 Di antara contoh lain tentang kasus pengungsi yang tidak dikehendaki ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Yusuf. Menurutnya, jika ada sejumlah penumpang kapal dalam suasana perang terdampar dibawa angin dengan harta bawaannya, hingga akhirnya masuk ke sebuah pantai negeri Muslim, maka kaum Muslimin boleh saja menangkap penumpang kapal tersebut dan mengambil barang bawaannya. Apabila seorang gubernur menangkap mereka, seyogyanya ia mengirim mereka beserta harta bawaan mereka kepada kepala negera Islam. Kemudian, kepala negara mempunyai pilihan untuk mengizinkan mereka tetap tinggal atau dieksekusi. Penguasa Negara dalam kasus ini sangat diberikan wewenang yang luas. Jika sendainya orang-orang yang terdampar tadi mengaku sebagai pedangang, maka pengakuan mereka ini tidak bisa diterima, bahkan harta bawaannya itu bisa dianggap sebagai fa’i yang pengelolaannya diserahkan kepada kepentingan kaum Muslimin. Pengakuan mereka sebagai pedagang tidak bisa diterima begitu saja. Abû Yûsuf, Kitâb alKharaj, (Kairo: al-Matba’ah al-Salafiyyah, 1397 H), h 205. 155 Lihat pula secara khusus tentang orang yang melarikan diri dari tugas pelayanan pusat atau menolak kerjasama dalam urusan peperangan dan sejauh mana hak-hak mereka akan suaka. Lihat Manual of Applicable Procedure and Criteria in Refugee Status Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol on Refugee Status, UNHCR, Geneva, 1992, h. 52-55. 118 mereka diusir dan anak-anak mereka ditawan). (QS alBaqarah/2:246). Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS : an-Nisâ’/4:66) Maka orang-orang yang berhijrah dan yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku. (Q.S. Ali ‘Imrân/3:195). Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. ( َ◌Q.S. alMumtahanah/60:9). Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka. (Qs al-Hasyr/59: 3) b. Ketidakbolehan memberikan suaka kepada orang yang ikut berperang Secara mendasar hak-hak suaka memiliki karakter “perdamaian sipil dan kemanusiaan.” 156 Oleh sebab itu tidak bisa dibenarkan jika tentara dalam sebuah 156 Lihat The 1967 Declaration on Territorial Asylum adopted by the Umited Nations General Assembly. Lihat juga Introduction to International Protection of Refugees, August 2005, UNHCR, Geneva, h. 71 119 peperangan melakukan pencarian suaka157 sampai ketika pihak yang berwenang telah yakin, dalam periode tertentu, bahwa mereka telah benar-benar dinonaktifkan dari aktifitas ketenteraan. Dengan adanya jaminan kenonaktifan yang bersangkutan dari kegiatan ketentaraan, maka langkah-langkah spesifik akan diambil untuk menentukan status pengungsi dengan basis kasus per kasus dalam rangka memastikan bahwa pemohon suaka memenuhi kriteria yang diperlukan untuk memperoleh status pengungsi.158 Pengungsi adalah bagian dari masyarakat sipil. Oleh sebab itu seseorang yang tergabung dalam unsur ketentaraan tidak memungkinkan untuk menjadi pencari suaka atau menjadi pengungsi. 159 Demikian halnya seseorang yang bekerja di sebuah markas militer dalam rangka membela negaranya dan, ia juga tidak dapat memperoleh status sebagai pengungsi. Ajaran Islam tampaknya sepakat dengan apa yang dikemukakan di atas. Sebab selama seseorang bekerja dalam urusan peperangan, maka orang tersebut pasti akan 157 Lihat rekomendasi Conclusions on International Protection of Refugees adopted by UNHCR Executive Committee, Cairo, 2004, h. 265 No. 94(53). 158 Ibid h. 268. 159 Pasal 44 Konferensi Genewa Keempat tahun 1949 tentang Perlindungan bagi Warga Sipil dalam Masa Perang menyatakan bahwa dalam hal pemakaian langkah-langkah pemantauan, negara pemberi suaka tidak boleh melindungi pencari suaka yang nyata-nyata tidak memanfaatkan perlindungan berbagai negara sebagaimana pihak-pihak musuh yang hanya karena mengikuti tata aturan bagi negara yang sedang bermusuhan itu. 120 bertentangan dengan ‘keamanan’, yang mana adalah dasar dari pemberian suaka (istijarah dan ijarah) dalam Syariat Islam. c. Perpindahan tawanan perang Pandangan kaum ulama fikih menyatakan bahwa sesungguhnya seorang tawanan perang harus meminta perlindungan suakanya di negara Islam. Demikian halnya menurut al-Mawardi bahwa seorang tawanan perang wajib apabila memungkinkan, walaupun ia telah diambil sumpahnya agar tetap tinggal di tempat dan tidak melakukan hijrah. Hal ini mesti dilakukan, sebab sumpah dalam kondisi seperti ini adalah dipaksakan dan terjadi pada saat mereka sedang dalam keadaan tertekan.160 d. Pemberian suaka teritorial kepada tawanan perang Problem ini secara mendasar muncul akibat terjadi peperangan antara Korea Utara dan Korena Selatan (sekitar tahun 1950-1953). Sejumlah besar tawanan perang ditahan di beberapa negara yang terlibat peperangan dengan Korea Utara. Mereka menolak untuk kembali ke negara asalnya dan aliansi negara-negara 160 al-Mâwardi berkata: “Seorang tawanan perang adalah pihak yang lemah dan wajib berhijrah jika mampu untuk melakukannya. Bahkan ia diperbolehkan untuk melakukan pembunuhan dan merampas harta pihak yang menjadikan tawanan perang. Jika pada saat berusaha lari ia tertangkap, ia boleh menyerang mereka, jika akhirnya tertangkap lagi dan diambil sumpah agar ia tidak melarikan diri dan agar tetap harus bersama mereka menjadi budak, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk keluar meninggalkan mereka, maka ia wajib melakukanya, sekalipun ia pernah bersumpah untuk tidak akan lari lagi. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi yang menyatakan bahwa barang siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, tetapi ternyata hal yang terjadi merupakan kebalikannya, maka laksanakan hal terbaik dan bayarlah kafarat atas sumpah yang dilakukannya.” al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid XVIII, h. 312-313. 121 Barat memberikan hak suaka kepada mereka. Kejadian ini memunculkan beberapa penafsiran berbeda tentang ketentuan dalam Konvensi Genewa tentang Perlakuan terhadap tawanan Perang tahun 1949, khususnya pasal 118/1 yang menyebutkan bahwa “Tawanan perang harus dilepaskan secara bebas dan dipulangkan ke negeri asal mereka tanpa penundaan, segera setelah aktivitas militer siakhiri.” Dan Pasal 7 menyatakan bahwa “Tawanan perang tidak boleh, dalam keadaan apapun, tidak boleh meninggalkan sebagian atau keseluruhan hak-hak yang dijaminkan kepadanya oleh Konvensi ini. 161 Dengan adanya ketentuan pasal ini, ada sebagian ahli hukum yang berpendapat bahwa pemberian suaka kepada tawanan perang tidak diperbolehkan, sementara sebagian lainnya berpendapat lain, yakni tetap saja suaka diperbolehkan kepada tawanan perang. Sebab suaka adalah hak asasi manusia, dan berlaku bagi tawanan perang sekalipun.162 Sepelik apapun sebuah masalah, bagaimana pandangan Islam dalam masalah ini? 161 Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Nazariyyât al-‘Âmmah li Qanûn al-Duwal al-Insâniy, (Kairo: Dâr alNahdah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 71. 162 Lebih lanjut tentang perbedaan pendangan ulama dalam masalah ini bisa dilihat dalam Abdul Wahid al-Far, Asrâr al-Harb, Dirâsah Fiqhiyyah Tatbîqiyyah fi Nitâq al-Qanûn al-Duwaliy al-‘Âmm wa al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1975), h 390-397. Lihat pula Burhân Amrullah, al-Nazariyyah al’Âmmah li Haqq al-Malja’ fi al-Qânûn al-Duwali al-Mu’âsir, Disertasi (Kairo: Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h 239-255. 122 Menurut pandangan kami, untuk menyelesaikan kasus ini, sangat memungkinkan jika pengungsi yang ada dalam kawasan peperangan ini dianalogikan seperti barang yang disandera atau gadai, dalam arti bahwa tawanan perang tidak boleh dikembalikan, dan harus tetap diberikan perlindungan suaka teritorial, jika mereka masuk agama Islam atau berstatus sebagai dzimmiy atau bilamana ada ketakutan akan keselamatan nyawa mereka apabila dipulangkan. 11. Penghormatan suaka oleh pihak ketiga kepada negara yang memiliki perjanjian dengan Muslim Terkait masalah ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Nisâ’/4:8890: Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (Q.S. al-Nisâ’/4:88) Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan 123 bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,.. (Q.S. alNisâ’/4:89). … kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.(Q.S. al-Nisâ’/4:90). Hal mendasar yang kami perhatikan dalam kajian ini ialah kalam Allah yang berbunyi …kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).(Q.S.alNisâ’/4:90) Dalam hal ini, Al-Farrâ’ mengatakan: Jika Nabi SAW membuat perjanjian dengan beberapa orang yang tidak memerangi atau membantu yang lain untuk memerangi Beliau, dan mereka membuat kesepakatan damai maka dilarang untuk melawan orang-orang tersebut atau orang-orang yang menyertai mereka. Maka pendapat beliau dalam masalah memerangi Rasulullah SAW sama dengan pendapat mereka, sehingga sepakat tidak boleh memerangi 124 Rasulullah SAW, itulah maksud dari kalam Allah “”ﻳﺼﻠﻮن, menghubungkan, artinya adalah “”ﻳﺘﺼﻠﻮن ﻢ, orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum.163 Kami berpendapat bahwa pengecualian yang terdapat dalam ayat yang berbunyi: Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai). (Q.S. al-Nisâ’/4:90). benar-benar mengandung prinsip dan kaidah-kaidah hukum Internasional yang wajib diikuti. Ayat tersebut bahkan melahirkan tiga aturan dasar yakni 1. adanya perluasan dampak perjanjian terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga, 2. penghormatan atas hak suaka, dan 3. tidak melakukan intervensi dan tidak ikut serta dalam tindakan permusuhan terhadap pengungsi. Hal ini bisa dijelaskan dengan uraian di bawah ini : a. Memperluas pengaruh atau dampak perjanjian internasional terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga. Ayat-ayat suci al-Qur’an di atas menyebutkan bahwa sesungguhnya terdapat pengecualian dari pernyataan dalam ayat sebelumnya mengenai “penawanan dan pembunuhan”, 163 Abû Zakariyâ Yahya bin Ziyâd al-Farrâ’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub,1980), Jilid I, h 281-282 . Ibn al-‘Arabi menyatakan, Q.S. al-Nisâ’/4:90 mengandung arti bahwa siapa saja yang bergabung dengan suatu kelompok yang memiliki perjanjian dengan Muslim maka Muslim tidak boleh menangkap orang itu karena dia telah terikat perjanjian tersebut. Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, op.cit., jilid I, h. 469-470. 125 dan ayat–ayat tersebut berlaku bagi kaum yang memiliki perjanjian damai dengan Muslim. Dalam uraian ayat-ayat ini terdapat batas-batas pengecualian yang sangat jelas. Pengecualian berlaku walaupun tidak secara tegas disepakati dalam sebuah perjanjian, dan dapat berlaku hanya dengan bergabung dengan suatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Dengan kata lain, berlaku secara de facto. Sebab kalau telah ada perjanjian dengan kaum yang telah ada kesepakatan damai dengan kaum Muslimin, berarti mereka sudah tidak berpaling, sehingga tidak perlu lagi ditawan dan diperangi. Hal ini juga berlaku bahkan ketika seseorang tidak menunjukkan keinginan atau persetujuan terhadap perjanjian macam itu (seperti yang tertuang dalam konvensi Vienna tahun 1969, khususnya tentang adanya pengaruh perjanjian terhadap pihak lain). Tentu saja jika nyata-nyata terdapat unsur permusuhan yang membahayakan kekuasan pemerintahan Islam atau ada suatu gejala yang mengganggu keamanan pemerintah, maka tidak berlaku ketentuan mendasar sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Sebab dalan konteks ini tidak diragukan lagi bahwa ada unsur permusuhan atas kedaulatan Islam dan bukannya ada unsur hubungan sehat dan damai dengan kaum Islam. 126 b. Penghormatan atas hak suaka teritorial: Beberapa ayat di atas mengisyaratakan tentang adanya perlindungan bagi pencari suaka teritorial, terutama dalam menunjuk orang-orang yang bergabung dan meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim, maka orang tersebut dapat menikmati keuntungan dari perjanian tersebut dan kepadanya hak suaka harus ditepati. 164 Dengan demikian, perjanjian ini bisa disebut sebagai semacam sebuah kontrak pemberian rasa aman yang memang wajib diprioritaskan oleh orang-orang Islam,165 dari pihak dan arah manapun para pencari suaka ini berasal, baik mereka itu ada hubungan kekerabatan dengan pihak pemberi suaka maupun tidak166 dan bahkan jika orang tersebut tidak menjadi bagian dari perjanjian dengan kaum Muslim, namun mereka hanya berada dalam kedaulatan negara yang telah memiliki kesepakatan damai dengan kaum Muslimin. Menurut pendapat kami, perluasan dampak hukum terhadap pihak 164 Al-Khâzin mengatakan bahwa makna “yasilûn” dalam ayat ini ialah dimiliki oleh, atau terhubung atau memasuki perjanjian untuk perlindungan. Ibn ‘Abbâs mengatakan bahwa seseorang yang mencari perlindungan kepada kaum yang telah terlebih dahulu mempunyai perjanjian damai dengan Islam adalah sama saja seperti telah terikat dengan perjanjian yang sama. Lihat al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1370 H/1955 M), Jilid I, h. 571 165 Artinya, menurut sebagian ulama fikih, dilarang membunuh orang yang punya hubungan dengan sekelompok pihak ketiga yang menjalin perjanjian damai dengan Muslim karena “bagi mereka hak-hak perlindungan berlaku sebagaimana hak-hak yang melekat pada pihak ketiga”, bahkan baginya berlaku hak-hak dzimmiy. (Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 19). 166 al-Tabari mengkritik pembatasan dalam ayat ini yang hanya membahas sebatas orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Lihat Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 20. Lihat pula al-Zamakhsyari, alKasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb alHalabi, 1392 H/1972 M), Jilid I tahqîq Muhammad al-Sâdiq Qamhawi, h. 551; al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, alNâsyir Mahfuz al-‘Ali, (Beirut:), Jilid I, h. 495-496; dan al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, h. 220. 127 ketiga bergantung juga pada batasan fisik dan ruang, yakni kehadiran dan kedudukan pengungsi dalam teritori negara yang bersangkutan. Dengan demikian, jika mereka tidak berada di atau telah meninggalkan teritori, secara langsung mereka tidak dapat menikmati perlindungan sebagai perluasan perjanjian tersebut, kecuali terdapat perjanjian atau kesepakatan dalam bentuk lain. c. Tidak adanya intervensi dan ketidakikutsertaan dalam perlawanan, serta pada saat yang sama menciptakan perdamaian. Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya pengecualian dalam ayat Q.S. al-Nisâ’/4:90 konsekuensi yang muncul adalah tidak boleh adanya kekerasan atau perlawanan terhadap kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan dengan kaum Muslimin, karena mereka telah dianggap sebagai pengungsi bagi kaum Muslim. 12. Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam Para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa berpindah dari kawasan yang dikuasai pihak musuh dan berupaya untuk tidak berlama-lama berada di satu tempat dengan para musuh merupakan suatu keharusan. Masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut, dengan adanya suatu pertanyaan. 128 Bagaimana bila terdapat sebuah negara Islam yang dikuasai, dijajah bahkan ditindas oleh pihak musuh nonMuslim? Warga Muslim dan negara Islam yang dijajah dan dikuasai pihak musuh ini hidup dalam keadaan terkekang, dikuasai bahkan dieksploitasi. Dipinggiran daerah negara tersebut, terdapatlah gunung yang tidak dapat dimasuki musuh karena dijaga oleh penduduk setempat. Sebagian diantara warga negara yang dijajah itu berpindah dengan seluruh anggota keluarga, anak dan harta bendanya ke gunung tersebut. Ada juga warga Muslim yang tetap bertahan di tempatnya masing-masing dan berada di bawah kekuasaan hukum orang kafir, dan mereka diwajibkan untuk membayar pajak seperti jizyah. Diantara orang-orang ini, baik yang telah berpindah maupun yang masih menetap, terdapat para ulama. Dengan kata lain, ulama terbagi menjadi dua golongan. Ulama yang telah menyingkir dari kawasan penguasa zalim menuju ke pinggiran kota bahkan di gunung-gunung bersama beberapa warga Muslim lain berpendapat bahwa bermigrasi atau menyingkir dari penguasa zalim hukumnya adalah wajib. Mereka bahkan memberikan fatwa yang mengharamkan hidup, kekayaan, keluarga dan budak wanita dari para Muslim tersebut, yang tetap tinggal bersama para penguasa zalim, padahal sebetulnya mereka mampu untuk menyingkir. Bahkan keluarga, anak dan cucu-cucunya bisa dianggap 129 sebagai tawanan perang. Fatwa ini didasarkan atas pendapat yang mengatakan bahwa siapapun yang tetap bertahan tinggal bersama dengan penguasa zalim, padahal mampu untuk hijrah ke tempat lain, berarti sama saja ia membantu pihak musuh untuk memerangi kaum Muslimin, bahkan sama saja ia telah merampas harta kaum Muslimin dan sama halnya telah membantu kemengangan pihak musuh. Argumentasi atau dalil lain tentu saja masih ada. Sedangkan ulama yang tetap bertahan bersama beberapa orang pihak musuh yang non Muslim dan berada pada hukum penguasa kafir ini berpendapat bahwa hijrah, eksodus atau menyingkir dari kawasan tersebut hukumnya tidak wajib. Dasar argumentasinya merujuk kepada sejumlah dalil hukum, antara lain kalam Allah: …kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S. Ali ‘Imrân/3:28). dan Hadis Nabi: Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Mekkah, tetapi jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berperang, maka berangkatlah. (Hadis Muttafaq ‘alaih).167 dan juga dalil-dalil yang lain.168 167 Lihat halaman 108. Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyasy, Fath al-‘Aliy al-Mâlik fi al-Fatwâ ‘ala Madzhab al-Imam Mâlik, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1378 H/1958 M), h. 375-385. 168 130 Pertanyaan di atas dijawab dengan uraian sebagai berikut: Sesungguhnya hijrah dari negara kafir menuju negara Islam hukumnya wajib hingga kelak hari kiamat, demikian halnya hijrah dari kawasan yang haram, zalim dan penuh dosa atau godaan. Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat akan terjadi anggapan bahwa harta seorang Muslim yang paling baik adalah sekedar seekor kambing yang akan terus diikuti oleh pemiliknya hingga ke bukit-bukit dan tempat-tempat turunnya hujan, ia lari dengan agamanya karena takut terjadi malapetaka menimpa”. 169 Diriwayatkan pula oleh Asyhab dari Mâlik, bahwa hendaknya tidak ada orang yang menetap di suatu tempat dimana berlaku aturan dan perbuatan yang tidak baik. Apabila tidak ada negara yang lebih baik (semua negara sama buruknya) maka orang tersebut harus memilih di antara dua tempat yang paling sedikit resiko keburukannya. Negara dimana kejahatan dan ketidakadilan berada, tetap lebih baik daripada negara yang kafir. Negara yang didalamnya terdapat kejahatan atau ketidakadilan namun halal, tetap lebih baik daripada negara yang adil namun penuh keharaman. Negara dimana terdapat kemaksiatan terkait hak-hak Allah SWT, tetap lebih 169 baik dari negara dimana terdapat kemaksiatan- Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, Hadis No. 19, Jilid 1, h. 15. 131 kemaksiatan yang berakibat kepada perlakuan zalim terhadap warga masyarakat. Fatwa di atas sampailah pada pernyataan bahwa “Jika orang-orang Islam yang tinggal di negara kafir menyerang kita beserta para pemimpin mereka, maka nyawa mereka halal untuk diambil dan apabila mereka membantu memerangi kita dengan menggunakan harta mereka, maka harta itu halal untuk dirampas. Fatwa di atas ditutup dengan kesimpulan bahwa jika hal-hal yang telah disebut di atas terjadi, maka tidak ada seseorang tidak boleh kembali ke negara tersebut atau menahan diri dari kegiatan bermigrasi, namun wajib meninggalkan negara yang dikuasai oleh kaum musyrik dan kaum yang merugi menuju ke sebuah negara yang aman dan penuh dengan keimanan. Oleh sebab itu kepada mereka yang tidak bermigrasi, Allah SWT berkalam: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.s al-Nisâ’/4:97).170 Dari uraian fatwa di atas, bisa kami simpulkan sebagai berikut. Pertama, dari sisi redaksional, yakni pelarian dari negara yang dikuasai oleh pihak musuh menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap warganegara Muslim yang mampu 170 Lihat kembali Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyisy, Ibid, h. 375-385;.Lihat juga h. 385-387 132 melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam melaksanakan ajaran agamanya dan terhalangi mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal buruk ini tidak ada (penganiayaan dan pelanggaran kebebasan beragama), maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan negeri tersebut. B. Menurut Hukum Internasional Suaka teritorial diartikan sebagai ketika seseorang berpindah dari suatu tempat (asalnya) yang tidak nyaman bagi dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam teritori itu (yang didatangi).171 3. Suaka Diplomatik A. Menurut Syariat Islam Pembahasan tentang suaka diplomatik akan kami ulas sesuai arti katanya. Demikian pula terdapat pembahasan terkait 171 Lihat pula I’lân al-Umam al-Muttahidah haul al-Lujû’ al-Iqlîmiy, Tahun 1967; Konvensi Tahun 1954 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Amerika); dan Konvensi Tahun 1977 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Eropa), dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and other of Concern to UNHCR, op. Cit.,Vol. I h. 49, Vol. III, h. 1207, Vol. IV, h. 1397. 133 problematika suaka teritorial yang berkaitan erat dengan para diplomat atau mereka yang bertugas dalam urusan Islam. A.1. Pemberian suaka diplomatik dalam Islam Karena hubungan diplomasi yang ada antar negara terjadi ditengah-tengah kemunculan Islam dilakukan atas dasar ad hoc, maka jenis suaka ini tidak banyak ditemukan penerapannya dalam ajaran Islam. Sebab, suaka diplomasi kerap kali diasosiasikan dengan diplomasi tetap, seperti yang terepresentasikan dengan pembentukan kedutaan besar dan pemberian tempat timggal dan kantor permanen kepada utusan diplomatik di negara tempat mereka ditugaskan. Sedangkan representasi diplomatik pada awal masa sejarah Islam merupakan representasi diplomatik yang bersifat sementara atau ad hoc. Pertanyaannya adalah apakah pemberian suaka diplomasi pada saat ini, dimana terdapat utusan diplomatik tetap, berlawanan dengan ajaan Islam? Kami berpendapat bahwa memang dimungkinkan untuk memberikan suaka diplomatik dalam Islam dengan alasanalasan sebagai berikut: 1) Keadaan dan kebiasaan telah berubah. Dengan demikian, suaka diplomatik memungkinkan atas dasar aturan: “Ketika keadaan berubah, aturan dan ketentuan juga harus berubah.” 134 2) Pada saat suatu negara Islam terikat dalam perjanjian internasional yang menyangkut kewajiban pemberian suaka diplomatik, maka kesepakatan dan perjanjian tersebut harus ditepati, sebab dalam ajaran Islam terdapat prinsip dasar untuk menepati janji dan memenuhi akad-akad, sebagaimana kalam Allah: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS al-Mâ’idah/5:1) 3) Duta Besar Muslim dari negara-negara Islam mungkin memberikan suaka diplomatik dengan mempertimbangkan Hadis Nabi: Orang-orang Muslim itu sepadan darah mereka (dalam masalah qisâs dan diat, orang yang paling jauh dapat memberikan suaka, mereka dapat saling tolong menolong, dan orang paling dekat dari mereka dapat mengupayakan jaminan.172 Meskipun dengan beberapa alasan diatas penguasa negara Islam dapat melakukan pemberian suaka diplomatik, namun bukan berarti mereka berada dibawah kewajiban untuk memberikan suaka diplomatik dalam semua kondisi dan situasi. Melainkan perlu dilakukan peninjauan dari segi kemaslahatan yang akan muncul dengan adanya pemberian perlindungan kepada pencari suaka diplomasi ini. Bahkan 172 Takhrîj Hadis ini telah dikemukakan sebelumnya dalam buku ini halaman 83. 135 dapat disimpulkan bahwa pemberian suaka diplomatik jumlahnya sangat terbatas, dibandingkan pemberian suaka teritorial. 173 Namun kiranya perlu diingat bahwa bentuk suaka diplomatik oleh orang Muslim, dapat termanifestasi dalam bentuk lain seperti pemberian perlindungan dan keamanan dalam camp tentara. Dalam hal ini, Abu Yusuf mengatakan: “Saya bertanya kepada Khalifah, tentang seseorang non-Muslim yang keluar dari negaranya dalam suasana perang untuk menuju masuk ke negara Islam. Orang tersebut lari bersama-sama rombongan tentara kaum Muslimin, baik melalui jalan raya atau jalan belakang. Lalu orang tersebut tertangkap oleh pasukan Muslim dan diinterogasi. Orang non-Muslim itu menjawab bahwa ia keluar untuk menuju negara Islam dalam rangka mencari perlindungan dan keamanan atas 173 Di antara beberapa kasus yang populer tentang masalah ini adalah pada saat penguasa Yaman mengirim utusan kepada pembesar Ethiopia (Abessinia/Habsy), ketika itu ada salah seorang wanita yang beragama Islam, yang mana wanita Muslimah ini menikah dengan laki-laki setempat. Mereka berasal dari Musawwa’. Wanita tersebut keluar dari agama Islam dan memeluk agama Nasrani di di ibu kota Ethiopia. Ia memiliki dua orang anak perempuan. Agar kemurtadan ibu dua anak ini tidak berpengaruh terhadap kedua putrinya, maka bibi dari kedua anak perempuan ini membawa lari kedua anak perempuan ini kepada sang pemimpin utusan dari Yaman yang berada di Ethiopia dan memohon agar keduanya dilindungi. Kemudian sang pemipin utusan Yaman ini membawa keduanya untuk tinggal bersama salah seorang anggota utusan Yaman. Pada saat ibu kandung dari kedua anak perempuan ini mengetahui hal tersebut, maka keesokan harinya, ia ditemani 12 pengawal yang terdiri dari para pembesar agama Nasrani dan para tokohnya, menjemput paksa kedua putrinya. Namun para utusan Yaman tadi menolak keras apa yang diinginkan oleh ibu kandung dan rombongannya. Di mata para utusan Yaman kasus ini dianggap sebagai sebuah kasus serius, sebab pasti menyinggung para pemeluk agama Nasrani, sehingga mereka menunggu dengan sungguh – sungguh keputusan Sang Maharaja Ethiopia. Tetapi ternyata Sang Maharaja, ataupun para menterinya tidak mengambil tindakan apa-apa. Hingga akhirnya pemimpin utusan Yaman, setelah melihat ada sebuah kesempatan yang baik, ia mengirikmkan kedua putri yang dititipkan ini kembali kepada ayahnya di Musawwa’. Lihat Abdullah ibn Hâmid al-Hayyid, Safârat al-Imâm al-Mutawakkil ‘alaallah Ismâ’îl ibn al-Qâsim ila al-Balât al-Milkiy fi ‘Âsimah Jûndar, ‘Âm 1057 H/1647 M , Majallah Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah Umm alQurâ, Makah al-Mukarramah, Vol. 3 1397-1398H, h. 34-35. 136 nyawa saya, nyawa istri dan nyawa anak-anak saya, atau ia juga bisa mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan. Apakah kita harus mempercayainya?”. Selanjutnya Abu Yusuf menegaskan bahwa jika orang non-Muslim yang lari tersebut termasuk sebagai anggota tentara yang pada saat ia berjalan terlihat kuat dan bersenjata, maka ucapannya tidak bisa diterima dan tidak boleh dipercaya. Namun jira tidak demikian, maka pengakuannya dapat diterima dan ia bisa dipercaya.174 Dari uraian di atas, menurut pendapat kami, jika dari tanda-tanda alamiah seseorang yang akan mencari suaka itu memang tampak (dan tidak dibuat – buat) dan ada indikasi bahwa ia memang perlu dilindungi, maka ia berhak mendapatkan perlindungan, sekalipun ia merupakan anggota tentara. Lain halnya jika indikasi yang ada menunjukkan sebaliknya, dalam arti misalnya ia bersenjata dan bersama rombongan yang bertampang seperti tentara seperti ia sendiri, maka ia tidak bisa begitu saja langsung dilindungi. Sebab orang seperti itu terkategori sebagai tentara. Kaidah mendasar sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah bahwa perlindungan hanya berlaku bagi warga sipil yang memang sangat membutuhkan perlindungan suaka dari 174 Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj, h 203-205. 137 negara tempat mereka terdampar atau singgah sementara. Tetapi bukan untuk anggota tentara dalam suasana perang. A.2. Suaka teritoral bagi anggota misi diplomatik Terkadang terjadi pimpinan atau anggota misi diplomatik yang sedang bertugas meminta suaka teritorial ke negara Islam. Masalahnya, apakah hal ini diperbolehkan? Memang terkadang, Islam bisa saja tidak menerima permintaan suaka dari seorang duta besar atau utusan, sebab duta atau utusan teresbut memiliki misi menyampaikan pesan yang harus dijawab dan disampaikan dahulu kepada sumber/ pengirim pesan, melalui dirinya (utusan yang bersangkutan). Landasan hal ini adalah kejadian yang terjadi pada Abu Râfi’, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW; ia (Abu Râfi’)berkata: “Orang-orang Quraisy mengutus aku untuk menemui Nabi SAW. Tetapi begitu saya bertemu Nabi, dalam benak saya justru terbersit sebuah semangat untuk masuk dan memeluk agama Islam. Maka pada saat itu saya langsung berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak akan kembali lagi kepada mereka (kaum Quraisy).’ Tapi Rasulullah bersabda, saya tidak akan berbuat curang dan membatalkan janji, saya tidak akan menahan seorang utusan atau duta. Kembalilah dulu kepada mereka, jika apa yang terbersit dalam hati kamu saat 138 ini nanti masih ada juga dalam hati kamu ketika kau sudah dirumah, maka kembalilah ke sini! “175. Dari Hadis ini bisa diketahui bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada utusan kaum Quraisy itu agar kembali terlebih mengutusnya dahulu (kaum kepada Quraisy), masyarakat untuk yang menyampaikan jawaban dari pesan yang dikirimkan. Baru setelah ia melakukan hal tersebut, jika memang niatannya untuk masuk Islam itu masih kokoh dan mantap seperti semula, seperti pada saat ia bertemu Nabi, maka segeralah datang kembali untuk membuktikan keseriusan niat masuk Islam ini. Terkait dengan Hadis ini, secara khusus al-Khattâbi mengatakan, Hadis yang berbunyi: “Saya tidak akan menahan utusan.”, mengandung makna bahwa suatu misi (yang dibawa oleh utusan) pasti menuntut jawaban, dan jawaban harus disampaikan oleh utusan yang sama tersebut. Jadi pada hakekatnya seorang utusan adalah seseorang yang memiliki janji prasetia kepada pihak yang mengutus, sejak ia pergi menunaikan tugasnya hingga ia kembali.176 175 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Hadis No. 2758, Jilid III, h. 129 , Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 23857, Jilid XXXIX, h. 282; dan al-Nasâ’i, al-Sunan al-Kubrâ, , Hadis No. 8621, Jilid VIII, h 52. 176 al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan, yakni Syarh Sunan al-Imâm Abî Dâwûd, Jilid 2 al-Maktabah al’Ilmiyyah, Beirut 1401 H/1981 M), h 317. Al-San’ânî mengatakan, dalam Hadis ini terdapat dalil tentang kewajiban memelihara janji dan memenuhi janji, walaupun terkait dengan orang kafir. Melalui Hadis ini pula diketahui bahwa seorang utusan tidak boleh ditahan, melainkan harus dilepas untuk menyampaikan berita yang ia peroleh dan sangat ditunggu-tunggu oleh pihak yang mengutusnya.( Al-San’ânî, Subul al-Salâm Jâmia’h al- 139 Demikian, kalimat Rasulullah SAW kepada Abu Râfi’ dalam Hadis yang berbunyi “”وال أحبس البرد, kata al-burud yang berarti utusan adalah bentuk jamak dari kata al-barid, yakni utusan harus kembali kepada pihak yang mengutusnya, tidak boleh ditahan, sebab seorang utusan memiliki dua misi, pertama untuk menyampaikan pesan, kedua untuk menyampaikan jawaban atas pesan yang ia bawa. Apabila sang utusan tidak mengindahi salah satu bagian dari misinya tersebut (misalnya tidak kembali ke pengutus) maka berarti ia telah mengkhianati misi dan tugasnya, dan hal ini adalah statu sifat yang tidak dapat diterima oleh Nabi SAW.177 Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam contoh di atas, praktek tersebut diberlakukan dalam kondisi diplomatik yang berlaku secara ad hoc/sementara, bukan karena adanya misi diplomatik permanen. Oleh sebab itu bisa ditegaskan bahwa hukum dan ketentuan dalam kasus di atas sebagai sebuah pengecualian (sebab pada dasarnya tidak diperbolehkan mengembalikan seorang utusan yang telah menyatakan diri masuk Islam kepada komunitasnya yang Imâm ibnu Su’ud al-Islâmiyyah, Riyâd, 1408H/, Jilid 4, h 133, Ahmad Hasan al-Dahlâwî : Hâsyiyah alDahlawi, ‘alâ Bulûg al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmî, 1392 H/1972 M), Jilid II, h 292-293; ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Hanbali al-Najdi, Ahkâm Syarh Usûl al-Ahkâm, (Damaskus: Matba’ah al-Tarqî, 1375 H/1957 M), Jilid II, h. 403. 177 Lihat Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâni berikut syarah-nya Bulûg al-Amâni min Asrâr al-Fath al-Rabbâniy, (Kairo: Dâr al-Syihâb, Jilid XIV, h 118. 140 masih kafir). Jadi, menurut hemat kami, contoh ini tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diterapkan bagi anggota misi diplomatik permanen yang ditempatkan di negara Islam. Kasus dalam Hadis di atas hanya bisa dijadikan dasar hukum bagi pengiriman delegasi atau duta sementara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan suatu hal penting yang sifatnya khusus dan wajib membawa kembali hasilnya.178 Di samping argumen yang telah dikemukakan diatas (yaitu bahwa kasus ini terbatas pada masalah misi diplomasi yang bersifat khusus dan terbatas/sementara), kami perlu menegaskan sebuah pendapat lain yang membenarkan bahwa Hadis di atas tidak terlalu sesuai untuk dijadikan pegangan dalam misi diplomatik yang bersifat permanen. Alasan lain yang dimaksud tersebut adalah penuturan kaum ulama fikih modern yang menyatakan bahwa Hadis tersebut menekankan pentingnya penyampaian jawaban kembali kepada pihak yang bertanya atau mengirim. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, di masa modern ini misi 178 Abû Dâwud mengatakan bahwa hal ini terjadi di masa lalu, sedang untuk kondisi saat ini sudah tidak sesuai. Atas dasar ini, jika ada seorang utusan orang kafir yang mendatangi seorang pemimpin kaum Muslimin dan ia menyatakan diri ingin masuk Islam dan ia tidak berkeinginan untuk kembali lagi kepada pihak kafir yang mengutusnya, maka seorang pemimpin pasukan Islam tidak boleh mengembalikan utusan itu kepada kaumnya. Adapun tindakan Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan untuk kembali terhadap Abû Râfi’, dinilai sebagai sesuatu yang berlaku khusus. Yakni beliau ingin meyakinkan dahulu apakah dia benar-benar ingin masuk Islam atau tidak serius. Dalam kejadian, apabila pada masa itu Rasulullah tetap menahan sang utusan, maka permasalahan akan muncul, karena akan terdengar reputasi Beliau sebagai yang menahan utusan dan menghalangi tersampaikannya pesan dan terselesaikannya sebuah misi, yang bukanlah sesuatu yang baik dalam konteks menyebarkan Islam. Dalam masa penerus Nabi, praktek ini sudah tidak dijalankan lagi. Lihat alSahâranfûrî, Badzl al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Jilid XII, h. 379-380. 141 tersebut dapat dilakukan tanpa harus mengirim kembali utusan yang membawa pesannya, karena jawaban atas pesan tersebut dapat dikirimkan melalui media komunikasi modern seperti telepon, telex, fax, radio, email dan sebagainya. Berbagai teknologi ini, tanpa diragukan lagi, telah diterima dan dipergunakan oleh para ahli dan kaum ulama fikih modern. 179 A.3.Intervensi utusan diplomatik untuk menyelesaikan problem terkait suaka teritorial yang diberikan kepada individu di negara lain Dalam kasus tertentu, terkadang dapat terjadi kasus dimana sebuah negara mengirim dutanya kepada sebuah negara lain, untuk suatu misi terkait suaka seorang individu di negara lain tersebut. Dalam hal ini, negara pengirim duta memiliki kepentingan agar individu yang meminta suaka tersebut ditolak permintaan suakanya (oleh negara lain yang didatanginya) dan meminta agar individu yang bersangkutan diekstradisi atau dikembalikan ke negara pengirim duta tersebut. Hal ini tidak bisa diragukan lagi berkorelasi erat 179 Ini didukung oleh Resolusi No. 54/3/6 Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy dalam Muktamar OKI di Jeddah pada tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H/14-20 Maret 1990, di mana disepakati bahwa pelaksanaan berbagai perjanjian bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi masa kini seperti telepon, faksimili, komputer dan internet. Lihat keputusan ini di dalam Majallat al-Buhûts al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah, Edisi V, Tahun 1410 H, h. 200-201. 142 dengan masalah politik. Beberapa contoh kejadian serupa dapat ditemukan dalam praktek – praktek negara Islam. Salah satu contohnya adalah pada tahun 360 H (967 M), setelah kaum pemberontak Byzantium (Romawi Timur) dibawah kepemimpinan seseorang yang bernama Ward (yang sangat menginginkan kekuasaan) berhasil dikalahkan oleh tentara Byzantin, Ward mendatangi pemerintahan Bani Abbasiah dan meminta perlindungan. Pada masa itu berkali – kali berlangsung proses tukar menukar duta, terutama dari sisi kelompok Byzantin untuk mengurus masalah suaka tersebut. Pada akhirnya pihak penguasa Abbasiah bersedia memenuhi permintaan pihak Byzantium untuk mengembalikan Ward dan para pemberontak, setelah terlebih dahulu dibuat kesepakatan-kesepakatan dengan kompensasi-kompensasi antara lain dalam bentuk kerja sama dan muamalah secara baik antara pihak tertawan dan pihak penguasa (terutama dalam hal penyediaan keamanan, perlakuan baik bagi pihak tertawan). Pada saat itu tercatat bahwa Ward berada di tangan orang-orang Abbasiah selama lima tahun dan selama itu ia diperlakukan dalam muamalah yang baik.180 180 Lihat kembali uraian dalam Sulaiman Dafîda’al-Rahili, al-Safârat al-Islâmiyyah ila al-Daulah alBizantiyyah, Disertasi Doktor, (Riyadh: Kulliyat al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Jâmi’at al-Imâm Ibn Su’ud alIslâmiyyah, 1406 H/1986 M), h. 63-75. Perhatikan tentang adanya prinsip bahwa sesungguhnya suatu hal seperti ini bisa saja terjadi dalam hal penyerahan seorang diplomat ke negara lain. Salah satu contoh paling populer dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan kasus al-Ma’az ibn Bâdis yang pernah menjabat sebagai gubernur 143 A.4.Larangan menyerahkan duta besar yang datang untuk mendiskusikan permasalahan pengungsi Negus, Raja Ethiopia (Abessinia/Habsy), adalah pencetus prinsip ini. Ketika orang Islam bermigrasi ke negerinya, pada saat itu, sang Raja sedang menerima dalam kerajaannya ‘Amr bin Umayyah al-Damirî, yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menangani masalah Ja’far dan kawan-kawannya yang telah bermigrasi ke Ethiopia (Abessinia/Habsy). Kemudian, pada waktu yang berdekatan ‘Amr ibn al-‘Âsh (duta dari suku Quraisy) yang juga ada disana mengatakan bahwa ia melihat ‘Amr bin Umayyah alDamiri masuk menghadap Raja Negus, tak lama kemudian ia keluar meninggalkannya. Lalu, ‘Amr ibn al-‘Âsh berkata kepada teman-temannya: “Ini adalah ‘Amr bin Umayyah alDamiri. Andaikan saya dapat mendatangi Raja Negus dan saya meminta kepada beliau untuk menyerahkan al-Damiri dan beliau kabulkan, maka akan saya tebas leher ‘Amr bin Umayyah al-Damiri. Apabila saya melakukan hal demikian, di Afrika, dari dinasti Fathimiyyah. Pada tahun 433 H, ia merasa keberatan bila dikuasai oleh Dinasti Fathimiyyah dan memproklamirkan kesetiaan kepada Dinasti Abbasiah. Kemudian sang Khalifah Dinasti Abbasiah mengutus Abû Gâlib al-Syairâzi agar memberikan piagam ketundukkan kepada ibn Bâdis. Dalam rangka penyampaian tersebut, utusan tersebut terpaksa singgah di kawasan Byzantium untuk mengarungi samudera menuju Afrika. Akan tetapi, ternyata di Byzantium, utusan sang Khalifah ini bertemu dan berseteru dengan utusan Khalifah Dinasti Fatimiyyah yang juga telah mempunyai hubungan diplomatik baik dengan Byzantium, sehingga Maharaja Byzantium menyerahkan utusan dinasti Abbasiah ini kepada utusan Fatimiyyah dan akhirnya ia dibawa ke Kairo, Mesir dengan penghinaan yang sangat dahsyat dan diarak diatas unta di sudutsudut jalan Kairo. Namun Khalifah al-Fatimiyyah mengetahui hal ini, dan meminta agar utusan Abbasiah itu dikembalikan secara terhormat ke Baghdad. Dan akhirnya ia pun dikembalikan. Lihat pula Sâbir Muhammad Dayyâb, Siyâsat al-Duwal al-Islamiyyah fi Haud al-Bahr al-Mutawassit min Awâ’il al-Qarn al-Tsâni al-Hijriy hatta Nihâyat al-‘Asr al-Fâtimiy, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1973 M), h. 225-226. 144 orang-orang Quraisy akan melihat bahwa saya telah berjasa kepada mereka karena saya membunuh utusan Muhammad SAW.” Ia berkata lagi: “Lalu, saya mendatanginya dan kemudian bersujud kepadanya seperti yang pernah saya lakukan.” ‘Amr ibn al-‘Âsh kemudian melanjutkan ceritanya, bahwa Negus berkata: “Selamat datang, kawanku. Apakah kamu ingin menghadiahi aku dengan sesuatu dari negerimu?” Saya menjawab: “Betul, wahai Raja. Saya persembahkan kepada engkau makanan yang banyak.” Lalu hadiah tersebut saya dekatkan kepada beliau dan tampak beliau tertarik dan berkeinginan menyantapnya. Lalu, aku berkata kepada Negus lagi: “Wahai Raja, kami tadi melihat seseorang yang belum lama ini keluar dari istana Anda; dan orang tersebut adalah utusan musuh kami (Rasulullah SAW). Maka dari itu, mohon serahkan ia kepada kami untuk kami bunuh! Sebab ia benarbenar telah melecehkan tokoh dan elit sosial masyarakat kami.” Namun Amr bin Umayyah al-Damiri melaporkan bahwa Raja Negus sangat marah dan menolak permintaan itu dengan tegas.”181 181 Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 17776, Jilid XXIX, h. 313-314. Lihat pula Ibn Hisyâm, Sirâh al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 227. 145 B. Menurut Hukum Internasional Suaka Diplomatik182 adalah suaka yang diberikan oleh suatu negara di luar batas wilayah negara tersebut di tempat-tempat atau dalam keadaan dimana negara tersebut memberlakukan otoritas dan yurisdiksi-nya, dalam bentuk kedutaan besar, konsulat jenderal, kapal air dan pesawat militer/perang atau pemukiman militer selama pendudukan/agresi militer terhadap wilayah suatu negara atau sebagai dampak dari kehadiran kekuatan militer di suatu teritori atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. 182 Sebagai contoh, lihat Convention on Diplomatic Asylum (Caracas, 1954). Yang menyebutkan: Negara dari teritori wajib memberikan suaka dalam kapal-kapal perang atau di pusat-pusat pertahanan atau pada pihak kedutaan (Pasal 1). Negara memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi, akan tetapi hal ini bukan merupakan kewajiban, tapi tidak boleh menampakkan alasan-alasan penolakan terhadap pengungsi (Pasal 2). Suaka tidak boleh diberikan kepada para penjahat (Pasal 3), Suaka hanya diberikan dalam keadaankeadaan mendesak dan pada waktu yang diizinkan untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pengungsi sesuai dengan tata aturan resmi di sebuah negara tertentu (Pasal 5). Pada saat proses evakuasi (dari jalan-jalan raya), maka negara bersangkutan harus mengawal dan melindunginya (Pasal 15). Negara tempat singgah harus melindungi hak-hak pengungsi meski telah putus hubungan diplomatik (Pasal 19). Lihat pula Ahmad Abû al-Wafâ’, Qanûn al-‘Alâqât al-Diblumâsiyyah wa al-Qansuliyyah, (Kairo:Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 2003 M). h. 139-144. Lihat pula F. Morgenstern, Extra-Territorial Asylum, BYIL, 1948, h. 236; E. Young, The Development of the Law of Diplomatic Relations, BYIL, 1964, h. 146. 146 BAB IV STATUS HUKUM PENGUNGSI MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL Hal mendasar yang perlu diingat di sini adalah bahwa istilah “status hukum”, mengandung makna yang batasannya tidak konkret. Yang kami maksud dengan “status hukum” ialah hakhak dan kewajiban-kewajiban dari pengungsi selama berada di negara yang memberinya suaka. 1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi A. Menurut Syariat Islam Dalam Islam, pengungsi mendapatkan status hukum, yang tidak kurang dari yang ditetapkan dalam hukum internasional. Bahkan, Islam tidak memperbolehkan pelanggaran hak-hak pengungsi atau pencari suaka lantaran alasan perbedaan agama. Ini sesuai dengan kalam Allah: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk 147 mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. alMumtahanah/60:8-9) Hak-hak terpenting pengungsi menurut Syariat Islam tergambarkan sebagai berikut. Pertama adalah pemenuhan kebutuhan pokok yang bersifat fisik dan materiil bagi pengungsi. Beberapa kebutuhan pokok yang termasuk diantaranya adalah makanan, minuman dan pakaian. Hal ini sesuai dengan ayat berikut: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Q.S. al-Insân/76:8-9) Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) Melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (Q.S. al-Balad/90:11-16) Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW: “Hal apakah yang paling baik dilakukan menurut agama Islam?” Beliau menjawab: “Kamu memberikan bantuan makanan, dan memberikan salam (menebarkan ajaran kasih sayang) kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu 148 kenal.”183 Dalam Hadis lain, Nabi SAW bersabda: “Sembahlah Allah yang Maha Pengasih, berikanlah makanan, sebarkan perdamaian, pasti kamu akan masuk surga dengan penuh kedamaian.”184 Kaum Muslimin telah melakukan penerapan yang cemerlang terhadap ayat berikut: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS: alInsan/76:8).185 Mereka tidak hanya membatasi bantuan dalam hal makanan saja, melainkan meliputi berbagai kebutuhan pokok lain bagi para pengungsi atau tawanan perang, yang sangat dibutuhkan untuk menjaga fisik dan kesehatan serta menjaga keamanan moral dan integritas mereka. Jika ayat itu bisa diamalkan untuk menyantuni para tawanan perang, maka anjuran untuk menyantuni para pengungsi jauh lebih diutamakan, sebab pengungsi tidak menjalankan peperangan terhadap orang-orang Islam. Contoh untuk masalah yang seperti ini sangat banyak. Diantaranya pada saat terjadi penawanan atas kaum kafir pada perang Badar, Rasulullah SAW membagi mereka dan 183 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 12, Jilid I, h. 13; Muslim, Sâhîh Muslim, No. 39, Jilid I, h.65. 184 al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Hadis No. 1855, Jilid IV, h. 253; dan al-Tirmidzi mengatakan bahwa Hadis ini sahîh. 185 Muttafaq ‘alaih, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, HNo. 12; Muslim, Sâhîh Muslim, No. 39; al-Nasâ`i, Sunan al-Nasâ`i, Hadis No. 12, dan Abû Dâwud, Hadis No. 5194. 149 menyerahkan mereka kepada sahabatnya seraya berpesan agar para sahabat memperlakukan para tawanan perang itu dengan baik. Abu Aziz, salah seorang tawanan yang dibawa dari Badar oleh rombongan kaum Ansar (penduduk asli Madinah) bercerita: “Para sahabat Nabi, setiap kali menghidangkan makanan baik untuk makan siang maupun makan malam, mereka selalu membiarkan aku memakan roti, padahal mereka hanya memakan kurma.” Hal ini, menurut Abu Aziz, dilakukan karena wasiat Rasulullah SAW. “Sekalipun sepotong roti jatuh ke tangan mereka, mereka akan mengembalikannya kepada kami. Hingga saya merasa malu, ingin mengembalikannya lagi kepada mereka, tetapi mereka mendorong tanganku kembali tanpa menyentuh roti itu.”186 Kedua adalah perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi (musafir yang kehabisan biaya atau Ibn al-Sabîl). Diantara jenis – jenis pengungsi, terdapat diantaranya yang tergolong sebagai ibn al-sabîl 187 yaitu orang yang menjadi pengungsi karena kehabisan biaya ditengah perjalanannya. Dan jumlahnya pun 186 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 645; dan al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahâbah, Jilid II, h. 337. Lihat contoh lain dalam Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ`îd al-Qânûn al-Duwaliy wa al‘Alâqât al-Duwaliyyah fî Syarî’at al-Islâm, Jilid X, h. 208-210. 187 Pengertian ibn al-sabîl adalah seorang musafir yang kehabisan bekal sehingga tidak bisa sampai ke tempat tujuan. Lihat Mu’jam Alfâz al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, 1409 H/1989 M), Jilid I, h . 553. Pengertian ibn al-sabîl juga didefinisikan sebagai seorang musafir yang jauh dari rumah, dinisbatkan kepada kata jalan karena ia sedang mencari jejak atau jalan itu sendiri. Lihat al-Râgib al-Isfahâni, al-Mufradât fi Garîb al-Qur`ân, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, t.th.), h 223. 150 banyak. Beberapa kaidah mendasar tentang ibn al-sabîl terdapat dalam al-Qur’an: a. Bantuan materiil kepada ibn al-sabîl harus secara rela dan lapang hati diberikan sesuai dengan kalam Allah : …dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan). ( َ◌Q.S.al-Baqarah/2:177). b. Infaq yang paling utama adalah yang diberikan antara lain untuk ibn al-sabîl sesuai dengan kalam Allah: . Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. (Q.S.al-Baqarah/2:215). Ibn al-sabîl adalah pihak yang selalu memiliki hak atas harta kaum Muslimin, baik berupa rampasan perang, fa’i maupun zakat, sesuai dengan ayat berikut: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabîl. (Q.S. alAnfâl/8:41). Allah juga berkalam: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai 151 suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: al-Taubah/9:60).188 Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Q.S.al-Hasyr/59:7). Dengan demikian, mencukupi kebutuhan ibn al-sabîl hukumnya menjadi wajib sesuai dengan kalam Allah berikut: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Q.S. al-Rûm/30:38). 188 Seorang ahli berpendapat bahwa atas dasar ketentuan ayat ini, mestinya persoalan para pengungsi ini tidak akan menjadi problem. Menurutnya, sesungguhnya di bawah perlindungan aturan ajaran Islam, masalah rumit dalam hal pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan seharusnya tidak ada sebab mereka itu bisa dianggap sebagai kaum dzimmiy, yaitu komunitas orang tidak memiliki wilayah selain Negara Islam. Mereka bisa hidup cukup dengan hak – hak yang dijaminkan kepada mereka sesuai dengan al-Qur’an surat ke-9 ayat 60 selama status mereka belum memiliki wilayah atau wewenang kongkrit yang menjamin hak – hak mereka bisa dipenuhi, maka mereka mendapat perlindungan dalam Negara Islam. Tata aturan pensiun dan asuransi bisa dinikmati oleh semua orang baik orang Muslim maupun orang dzimmiy yang lemah dan tidak bermatapencaharian, sebab kekuasaan Negara Islam tidak dijalankan atas kepentingan golongan, agama atau bangsa tertentu, melainkan dijalankan atas pertimbangan kemanusiaan secara menyeluruh Ibn al-sabîl adalah mereka yang terhalang dan tidak mungkin untuk bisa kembali lagi kepada keluarga besarnya atau rumahnya. Dalam hal ini, negara-negara Islam wajib melindungi mereka, sesuai dengan prinsip mendasar syariat agama Islam, bahkan secara tekstual ibnu sabil ibn al-sabîl disebutkan dalam QS9 ayat 60 sebagai pihak yang berhak menerima jatah dari zakat. Ibn al-sabîl mencakup pengungsi, orang-orang yang eksodus dari satu tempat ke tempat lain, dan pengembara yang tidak memiliki tempat kembali, kehilangan tempat tinggal, rumah bahkan sanak saudara mereka karena berbagai persoalan yang menimpa mereka, siapapun mereka, apapun suku dan agama mereka. Ayat al-Qur’an di atas bersifat umum tidak membeda-bedakan. Lihat Muhammad Kâmil Yâqût, al-Syakhsiyyah al-Dauliyyah fî al-Qânûn al-Duwalî al-‘Âm, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmiah al-Qâhirah, t.th.), h. 441. Terdapat sebuah pendapat lain bahwa salah satu sebab kekacauan di negeranegara Islam adalah karena keberadaan para pengungsi. Karena dengan adanya mereka, menjadi ada upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lihat Ibrahim Ali Tharkhan, al-Nuzum al-Iqtâ’iyyah fi al-Syarq alAusat fi al-‘Usûr al-Wusta, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968M, h. 6. 152 Dalam ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa konteks membantu ibn al-sabîl dapat dilihat sebagai hak yang tidak boleh dihalangi atau kewajiban, yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan, tidak ada kewenangan dalam negara Islam yang dapat melanggar ketentuan tersebut.189 Yûsuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa Allah SWT menetapkan bagi ibn al-sabîl hak menerima harta zakat, hak menerima fa’i (harta rampasan perang) yang merupakan penghasilan negara, serta hak menerima harta dari kewajiban lain di luar zakat. 190 Berdekatan dengan hal tersebut ialah konsep “keramahtamahan” atau “penghormatan” terhadap tamu.191 Dalam sebuah Hadis sahîh, Abu Syuraih al-Ka’bi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menerima dan menjamu tamunya. Para sahabat bertanya: “Berapa lamakah ia harus menjamu tamunya?” Beliau menjawab: “Sehari semalam. 189 Oleh sebab itu ditegaskan dalam sebuah pendapat bahwa kemanusiaan adalah salah satu prinsip yang sangat fundamental dalam ajaran agama Islam (menurut J. Krafess). Tindakan memberikan sumbangan uang atau menolong seseorang yang sedang mengalami kesusahan hidup tidak bisa dikesampingkan, melainkan harus dipandang sebagai kewajiban layaknya berdoa. Dinyatakan pula bahwa memberikan bantuan kepada pengungsi adalah wajib sesuai ayat: …dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). J. Krafess, the Influence of Muslim Religion in Humanitarian Aid, IRRC, vol 87, Juni 2005, h. 327 dan 334. 190 Yusuf al-Qardhawi, Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam fi Dhau`I al-Nushus wa al-Maqasid alSyar’iyyah, al-Hilal al-Ahmar al-Qathri, 1428 H/2007 M, h. 35. 191 Tamu adalah seorang asing yang berada di sebuah tempat, dimana ia tidak memiliki keluarga dan juga tidak mempunyai rumah. Oleh sebab itu ajaran Islam sangat menekankan agar memuliakan dan menjamunya, baik hukumnya wajib atau sekedar anjuran, terlebih lagi bila sang tamu tidak memiliki tempat berteduh, seperti yang sering terjadi pada zaman dahulu di berbagai pelosok kampung dan di beberapa daerah. Dan apabila sang tamu tersebut memiliki tempat untuk singgah sementara seperti di wisma atau hotel, tetapi tidak memiliki bekal yang cukup untuk membayarnya, maka jangan biarkan ia terlantar tanpa tempat berteduh. ibid, h. 44. 153 Waktu maksimal bertamu itu adalah tiga hari, bila lebih dari tiga hari, maka itu akan terhitung sebagai sedekah.” 192 Adanya perintah untuk memuliakan tamu menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib, terlebih lagi jamuan terhadap tamu ini dikaitkan dengan masalah iman dan keyakinan dan dimaktubkan bahwa waktu jamuan yang lebih lama diangap sebagai sedekah.193 Hal yang demikian dikuatkan juga oleh sebuah Hadis Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr: “Sesunguhnya pada jasad kamu ada hak yang wajib kamu berikan, ada hak yang wajib kau berikan pada mata kamu, pada para tamumu, dan pada istrimu.”194 B. Menurut Hukum Internasional Tentang kewajiban dan hak pengungsi ini disebutkan dalam Konvensi 1951 sebagai berikut: 1. Kewajiban pengungsi. Secara khusus seorang pengungsi harus mentaati peraturan perundang-undangan. Demikian halnya mengenai berbagai prosedur yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan umum di negara tempat keberadaan pengungsi/pencari suaka. (Pasal 2). 192 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 5673, Jilid V, h. 2240; dan Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 48, Jilid I, h. 69. 193 Yûsuf al-Qaradâwi, Usûl al-‘Amal al-Khairiy fi al-Islâm, h. 44. 194 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 1874, Jilid II, h. 697; dan Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 1159, Jilid II, h. 813. 154 2. Hak – hak pengungsi meliputi hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif (Pasal 3), hak akan kebebasan beragama/berkeyakinan (Pasal 4), hak akan pembebasan dari resiprositas (Pasal 7), hak akan pembebasan dari tindakan luar biasa (Pasal 8), hak atas status pribadi (Pasal 12), hak atas karya seni perindustrian (Pasal 14), hak untuk berserikat (Pasal 15), hak atas akses ke pengadilan (Pasal 16), hak atas pekerjaan yang menghasilkan upah (Pasal 17), hak atas swakarya (Pasal 18), hak untuk menjalankan profesinya (Pasal 19), hak atas pengaturan distribusi produk-produk yang kurang persediaannya (Pasal 20), hak memperoleh tempat tinggal (Pasal 21), hak memperoleh pendidikan umum (Pasal 22), hak memperoleh bantuan publik (Pasal 23), hak akan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan jaminan sosial (Pasal 24), hak atas bantuan administratif (Pasal 25), hak akan kebebasan berpindah tempat (Pasal 26), hak atas surat identitas (Pasal 27), hak atas dokumen-dokumen perjalanan (Pasal 28), hak atas pembebasan dari pungutan fiskal (Pasal 29), hak atas pemindahan aset atau harta kekayaan (Pasal 30), hak akan pembebasan dari sanksi hukum bagi pengungsi yang masuk dengan cara yang illegal (Pasal 31), hak untuk tidak diusir (Pasal 32), dan hak untuk tidak dipulangkan (Pasal 33).195 195 Pasal 9 Konvensi 1951 menyatakan bahwa tiada suatu ketentuan pun dalam Konvensi ini yang 155 2. Penyatuan keluarga A. Menurut Syariat Islam Memelihara dan menjaga hak – hak kekerabatan dan anjuran untuk menyatukan keluarga dalam satu tempat sangat ditekankan dalam ajaran Sunnah Nabi SAW dan dalam praktek – praktek dalam Negara Islam. Beberapa contoh dalam hal ini adalah: Abu Ayyub berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memisah – misahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi).196 Imam al-San’ani mengatakan bahwa Hadis ini merupakan dalil tegas yang mengharamkan tindakan mencerai-beraikan antara seorang ibu dengan anak kandungnya; dan larangan ini diperluas, dengan analogi, yang juga berlaku dalam konteks kehidupan keluarga/ karib kerabat berdasarkan hubungan persaudaraan.197 mencegah suatu Negara Pihak, dalam waktu perang atau keadaan – keadaan gawat atau luar biasa lainnya, untuk mengambil tindakan-tindakan sementara yang dianggapnya esensial bagi keamanan nasional dalam kasus seseorang tertentu, sementara menunggu penentuan oleh Negara Pihak itu bahwa orang tersebut sebenarnya adalah seorang pengungsi dan bahwa kelanjutan tindakan – tindakan demikian adalah perlu dalam kasus orang tersebut demi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers, (Geneva: International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, 2001), h. 34. 196 al-Tirmidizi, Sunan al-Tirmidzi, tahqîq Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Hadis No. 1238, Jilid III, h. 580. Menurut al-Tirmidzi, Hadis ini merupakan Hadis hasan garîb. Lihat pula Musnad al-Imâm Ahmad, tahqîq Syuaib al-Arnote, Hadis No. 23499, Jilid 38, h. 485-486. 197 al-San’âni, Subul al-Salâm, ibid., Jilid II, h. 494-495, Jilid tentang Persyaratan Jual-Beli dan JualBeli yang Dilarang, Hadis No. 30. 156 Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan aku agar menjual dua budak yang bersaudara, maka aku membeli keduanya, lalu aku memisahkannya.” “Kemudian aku bercerita kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, dapatkan lagi kedua budak itu, kembalikan agar keduanya bersatu dan jangan sampai kamu jual lagi kecuali keduanya bersatu.198 (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dianggap sahih oleh Ibnu Huzaimah ).199 Abu Musa berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang memisahkan antara seorang ibu dan anak kandungnya dan antara dua saudara kandung. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan alDâruqutni).200 Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW pernah bahwa beliau disodorkan beberapa tawanan perang. Beliau berdiri dan melihat seorang wanita di antara mereka yang sedang menangis, maka beliau bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia menjawab, “Puteraku dijual kepada suku Bani Abbas.” Kemudian Rasulullah bersabda kepada sahabatnya yang menjual anak laki-laki wanita tersebut: “Kamu benar telah memisahkan antara keduanya? Maka kembalikan dan datangkan anak laki198 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 760, Jilid II, h. 551. al-San’âni berkata: “Hadis itu menunjukkan batalnya jual-beli tersebut dan menunjukkan keharaman memisahkan seorang ibu dengan anaknya sebagaimana ditunjukkan oleh Hadis yang disebut pertama. Sementara Hadis yang disebut pertama menunjukkan keharaman tindakan memisahkan seorang ibu dengan anaknya dengan cara apapun, Hadis yang terakhir ini menegaskan keharaman tindakan pemisahan tersebut dengan cara menjual-belikan sang anak. Mereka (para ulama fikih) menganalogikan, dengan kasus ini, keharaman tindakan memisahkan tersebut dengan cara perbuatan hukum yang lain, seperti hibah dan nadzar; dan hal demikian dilakukan dengan kemauan orang yang melakukan tindakan memisahkan. Adapun tindakan pemisahan dengan cara melakukan pembagian melalui pewarisan, orang yang memisahkan tersebut tidak memiliki pilihan karena kepemilikan itu bersifat “memaksa”. Lihat al-San’âni, Subul al-Salâm, Jilid 4, h. 486, Hadis No. 31. 200 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2250, Jilid II, h. 756. 199 157 lakinya agar tetap bisa bersamanya!” Maka sahabat tersebut melakukannya. Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau menulis sebuah surat yang berisi agar jangan sampai ada seseorang yang memisahkan antara dua saudara kandung, antara seorang ibu dengan anaknya, baik jika keduanya masih kecil, maupun jika salah satunya masih kecil dan yang lainnya sudah besar.201 Dikemukakan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi SAW melihat seorang budak yang terpisah dari anaknya, di antara sekian banyak jenis harta rampasan perang. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada budak wanita itu?” Ketika itu dijawab oleh seseorang bahwa budak wanita itu menangis karena anaknya dijual, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu pisahkan seorang ibu dengan anak kandungnya!”202 Dari uraian di atas, bisa dikemukakan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Beberapa tradisi Nabi yang sahih di atas secara tegas melarang untuk memisahkan antara seorang ibu dangan anak kandungnya, juga antara sanak kerabat yang masih kecil-kecil. Keberlakuan tradisi ini dalam Muslim, mencakup konteks yang lebih luas lagi. Menurut Imam al-Sayibani apabila pemindahan seorang ibu dengan anaknya atau seorang budak dengan saudara kandungnya 201 202 al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibânî, Jilid V, h. 2073. Ibid. Jilid III, h.1040. 158 tidak dapat dihindarkan, maka pilihan yang ada adalah antara meninggalkan mereka bersama atau memindahkannya bersama. 203 2. Dampak dari pelanggaran atas larangan memisahkan antara kedua ibu dan anaknya atau antara dua saudara yang masih kecil ini terlihat sangat jelas dalam tradisi Nabi Muhammad SAW, dan pentingnya menyatukan mereka terlihat jelas didalamnya. 3. Pelarangan untuk memisahkan antara dua saudara kandung yang masih kecil sebagaimana dinyatakan dalam Hadis, tampaknya tidak banyak terbatas pada anak kecil saja. Menurut kami pemisahan anggota keluarga yang sudah dewasa sekalipun tetap akan membawa pengaruh buruk. Hal ini bisa dilihat dalam 2 (dua) kejadian dalam masa kehidupan Nabi: (i) Apa yang terjadi pada saat terjadi pengiriman pasukan Zaid bin Haritsah, ketika itu ditangkaplah seorang wanita bernama Halimah, yang memberikan petunjuk kepada seluruh pasukan tentang dimana Bani Sulaim tinggal. Maka mereka mendapat kemenangan dan mengambil rampasan perang seperti ternak, 203 Demikian pula disebutkan di dalam kitab Syarh al-Siyar al-Kabîr: Jika mereka mampu membawa kedua budak bersaudara itu, maka saya tidak suka mereka meninggalkan salah seorang dari keduanya karena hal itu berarti tidak mendatangkan kemaslahatan kepada orang-orang Muslim padahal mampu berbuat demikian. Dalam hal tindakan pemisahan antara ibu dengan anak kandungnya, ini tidak diperbolehkan. Sebab hal tersebut merugikan untuk keduanya sehingga tidak boleh dilakukan kecuali tidak ada kemungkinan untuk memindahkan keduanya. Berbeda halnya, jika mereka mendapati ibu dan anaknya itu sudah berada di suatu tempat maka mereka boleh mengambil salah seorang dari keduanya, apabila mereka menyetujuinya. Hal ini adalah pemisahan yang diperbolehkan. Dalam hal terjadi pemisahan dan seorang anak diambil atau dipindahkan, dan orang yang mengambilnya yakin bahwa ia dapat menghidupi anak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila tidak seperti demikian, pemisahan tidak diperbolehkan sehingga pilihan yang ada adalah, mengambil ibu dan anaknya itu jika mereka mampu, atau meninggalkan keduanya. Sebab, tindakan mengambil anaknya saja merupakan tindakan pemisahan antara ibu dan anaknya, yang tidak membawa manfaat apapun. Lihat alSarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibâni, Jilid IV, h. 1559. 159 dan salah satu di antaranya suami dari wanita tersebut. Ibnu al-Atsir mengatakan bahwa ketika Rasulullah SAW mengetahuinya, Beliau memerintahkan agar wanita penunjuk jalan itu dilepaskan dan diberi kesempatan untuk pergi bersama suaminya.204 (ii) Demikian ceritanya, di masa jahiliah, sebelum masa kemunculan Islam, Zubair bin Bata al-Quradzi pernah memberikan perlakuan baik kepada tawanannya, Tsabit bin Syammas dengan melepaskannya. Pada saat perang Khaibar, Tsabit menemui Zubair, kemudian Zubair bertanya kepada Tsabit: “Kenalkah Anda dengan saya?”. Tsabit menjawab, “Mungkinkah orang sepertiku lupa dengan kamu?” “Saat ini aku ingin membalas kebaikanmu”, kata Tsabit. Zubair menimpali, “Orang yang murah hati, akan membalas orang yang murah hati pula.” Maka waktu itu Tsabit sebagai pihak yang akan membalas kebaikan Zubair datang kepada Rasulullah SAW dan bercerita singkat kepada Beliau. Kata Tsabit, saya mempunyai hutang budi kepada Zubair wahai Nabi, berikanlah ia (Zubair) kepadaku agar aku bisa melepaskannya (membalas budinya). Nabi SAW menyetujuinya, lalu Tsabit mendatangi Zubair dan berkata: ”Sesungguhnya Nabi telah memberikan dirimu kepadaku, 204 Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra, Jilid II, h. 85; dan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah alNabawiyyah, tahqîq Basysyâr ‘Awwâd, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1422 H/2001 M), Jilid II, h. 21. 160 maka engkau kubebaskan.” Zubair mengatakan: “Namun aku adalah orang tua renta yang tidak memiliki saudara dan anak (karena saudara dan anaknya itu masih berstatus tawanan perang). Maka Tsabit mendatangi Nabi SAW dan memintakan pembebasan atas saudara dan anak Zubair. Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaannya. Lalu Zubair kembali berkata, bahwa keluarganya di Hijaz tidak memiliki harta sama sekali. Maka Tsabit kembali mendatangi Rasulullah SAW dan memintakan harta dari Rasulullah SAW. Maka Rasulullah sekali lagi mengabulkan permintaannya sehingga Zubair mendapatkan semuanya.205 4. Alasan mengapa tidak boleh memisahkan antara anak dengan ibu kandungnya dan antara keluarga dekat ini sangat jelas, yakni untuk pemenuhan kebutuhan moral dan psikologis yang harus dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, Imam Ahmad pernah mengatakan: “Janganlah kalian memisahkan antara seorang ibu dengan anak kandungnya, sekalipun sang ibu menyetujuinya. Penyebab dari tidak diperbolehkannya hal itu, Wallahu a’lam. Sebab bisa jadi hal ini merugikan anak tersebut dan suatu hari sang ibu mungkin menyesalinya dan berharap dapat merubah keputusannya.206 205 Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh, (Beirut: Dâr Sâdir, 1399 H), h. 148. Ibn Qudâmah, al-Mugnî wa al-Syarh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1403 H/1983 M), Jilid X, h. 468-471; al-Buhûtî, Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 57-58. Adapun jika kedua budak itu masih kecil, maka dalam buku al-Siyar al-Kabîr maka salah satunya pasti akan sangat merasa kehilangan dan sedih akibat berpisah dengan saudaranya, dan hal ini sungguh akan sangat berat untuk dirasakan. 206 161 5. Hadis dan tradisi Nabi yang berkaitan dengan pelarangan untuk memisahkan seorang budak dengan ibu kandungnya atau saudara kandungnya yang masih kecil, jelas selangkah lebih tegas dibandingkan dengan hukum internasional modern. Dimana dalam Islam larangan pemisahan menjadi kewajiban bagi orang Muslim, dalam hukum internasional hanya diusahakan sebisa mungkin sebuah keluarga untuk tetap disatukan. Hal ini dapat menjadi celah yang memberikan kesempatan munculnya tindakan sewenang-wenang oleh negara atau individu tertentu. 6. Hal lain yang penting dalam ajaran Syariat Islam adalah adanya pertimbangan simpatik atau “kasih sayang” atas diri seorang anak kecil. Hal ini sangatlah normal mengingat sifat dasar seorang anak yang cenderung lemah dan tidak memiliki kuasa, yang selalu diperhatikan dalam ajaran Syariat Islam di berbagai kawasan Negara Islam. Berikut adalah beberapa contohcontohnya: (i) Terdapat sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Ja’far, bahwa salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Usaid datang kepada Nabi dengan membawa tawanan perang yang berasal dari Bahrain. Pada saat itu Rasulullah SAW melihat salah seorang wanita di antara para tawanan itu sedang Bahkan, bisa jadi keduanya bisa mengalami sakit dan bahkan meninggal. Hal-hal semacam ini tidak akan terjadi bila keduanya telah dewasa. Lihat Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibânî, Jilid V, h. 2071. 162 menangis tersedu-sedu, lalu Beliau bertanya mengapa kamu menangis? Wanita itu menjawab: “Anakku dijual orang itu.” Maka Nabi bertanya kepada Abu Usaid: “Benarkah kamu menjual anak wanita tersebut?” Ia membenarkan. Nabi bertanya lagi, “Kepada siapa kamu menjualnya?” Abu Usaid menjawab: “Saya jual kepada Bani Isa. Lalu Nabi berkata, “Segeralah kamu datang ke sana dan bawa anak itu kepada ibunya!”207 (ii) Di antara sekian banyak kasus mengenai hal ini, terdapat sebuah contoh lain yang terjadi pada saat pengepungan kampung ‘Uka. Pada saat itu orang-orang Islam banyak memiliki kelompok orang yang berprofesi sebagai pencuri. Mereka masuk di tenda-tenda orang-orang Perancis untuk mencuri harta benda mereka. Suatu saat ada juga yang dicuri adalah seorang anak laki – laki yang baru berusia tiga bulan. Maka sang ibu dari anak bayi itu menangis sejadi – jadinya dan mengadukan halnya kepada rajanya. Maka para pembesar pihak musuh itu mengatakan kepada wanita itu bahwa para pemimpin pasukan Muslim adalah orang yang sangat santun dan pengasih. Ia memerintahkannya: “Maka keluarlah kamu wahai sang ibu, cari anakmu yang dicuri para pencuri Muslim itu!” Pada saat sang ibu yang sedih ini bertemu dengan pembesar pasukan Muslim, sang pembesar 207 al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahabah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Jilid II, h. 79. 163 Muslim sangat sedih dan menyayangkan kejadian ini. Kemudian ia perintahkan agar bayi itu bisa diketemukan. Maka setelah ditelusuri, ternyata bayi itu sudah dijual di sebuah pasar. Kemudian ia mengeluarkan perintah untuk mengambil bayi itu dan membelinya kembali dari pembelinya. Setelah bayi itu kembali, diserahkannya kepada sang ibu. Setelah itu sang ibu langsung menerima dan menyusui bayi tersebut sambil menangis karena kebahagiaan yang tiada tara. Lalu pergilah sang ibu sambil membawa bayinya kembali ke tendanya dengan kuda yang dihias. Terhadap kasus ini Ibnu Syidad berkomentar: “Lihat dan cermatilah kejadian ini, betapa besar kasih sayang Islam bagi umat manusia.” 208 B. Menurut Hukum Internasional Ditinjau dari karakter kemanusiannya, penyatuan keluarga pengungsi yang tercerai – berai merupakan salah satu persoalan mendasar yang penting dalam hal hak suaka.209 208 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, 1977 M), Jilid XII, h. 342. Lihat pula Ibn Syidâd, al-Nawadir al-Sultâniyyah wa al-Mahâsin al-Yusûfiyyah au Sirah Salâhudîn, al-Ayyûbî, (Kairo: Dâr al-Misriyyah, li al-Ta’lîf wa al-Turjumah, 1964 M), h. 159. 209 Inilah yang sangat ditekankan dalam konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi oleh Executive Committee UNHCR Programme, Genewa, 1996), h. 19 No. 9 (28); h. 55-56, No. 24 (32). Lihat juga konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi oleh Executive Committee UNHCR Programme, Kairo, 2003, h. 245-246, No. 88. Prinsip “Penyatuan Keluarga” juga ditegaskan dalam Lampiran B instrumen final Konferensi PBB tentang Status Pengungsi dan Orang tanpa Kewarganegaraan, lihat kembali Collection of the International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op. cit, Vol I, h. 30. 164 Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa keluarga adalah sebuah kelompok fundamental dalam masyarakat yang berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam hukum humaniter internasional: 1. Pada pasal 26 Konvensi Genewa tahun 1949, dalam ketentuan Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Keadaaan Perang, dinyatakan bahwa “Setiap pihak dalam konflik harus memfasilitasi permintaan dari anggota – anggota keluarga yang terpisah karena perang, untuk berhubungan satu dengan yang lainnya, atau untuk bertemu, apabila memungkinkan. 2. Pada Pasal 74 Protokol Pertama tahun 1977 atas Konvensi Genewa 1949, juga dinyatakan bahwa Negara Pihak Konvensi dan Protokol tersebut dan negara yang terlibat konflik selayaknya memfasilitasi, sedapat mungkin, penyatuan keluarga yang terpisah karena konflik bersenjata. Dengan demikian, apa yang dianut dalam tradisi/ Hadis Nabi, menunjukkan adanya perlindungan yang lebih besar daripada yang terdapat dalam hukum internasional modern yang hanya meliputi dua hal : 1. Sekedar diberikannya kesempatan untuk saling berkomunikasi dan bertemu antar anggota keluarga. 2. Memfasilitasi, sebisa mungkin, upaya untuk menyatukan keluarga yang terpisah akibat konflik bersenjata. 165 Sementara itu, dalam sejarah hidup Nabi, terdapat suatu praktek yang mengharuskan kaum Muslim untuk tidak memisahmisahkan anggota keluarga seseorang. Dalam konteks hak suaka, agaknya telah dipahami bahwa, kebersatuan keluarga adalah sesuatu yang diberikan, misalnya dalam kasus “status derivatif”, dalam mana apabila status pengungsi persyaratan diberikan kepada pengungsi, status seseorang tersebut yang memenuhi diperluas juga pemberlakuannya bagi anggota keluarga lainnya yang berada dibawah asuhannya atau mengikutinya yang disebut sebagai tanggungan (yaitu pasangan dan anak – anak dibawah 18 tahun). Perlu dicatat, bahwa tanggungan yang memenuhi syarat sebagai pengungsi dapat diberikan status sendiri, selain melalui status derivatif.210 3. Harta kekayaan pengungsi A. Menurut Syariat Islam Dalam Syariat Islam, harta kekayaan pengungsi dijamin keamanannya dan tidak boleh diganggu atau direbut diluar keinginan pemiliknya atau dipergunakan secara sembarangan. Terkait dengan status seorang musta`min (orang non Muslim 210 Lihat informasi pencari suaka dan pengungsi di Mesir, UNHCR Kantor Perwakilan Regional Mesir, November 2005, h. 38. Lihat pula Direktif No. 86/2003 M, diterbitkan oleh Uni Eropa, tentang Penyatuan Keluarga, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, op. cit, Vol. IV, h.1682-1690. Lihat pula Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Rekomendasi 23 (99) oleh Dewan Menteri Eropa, h.1409. 166 yang tinggal di kawasan Negara Islam), Imam al-Nawawi mengatakan: ”Jika ada seorang kafir memasuki Negara Islam dengan aman atau dengan jaminan keamanan, maka harta, anak-anaknya dan keluarga yang bersamanya dijamin keamanannya. Tetapi tidak harta, anak – anak dan keluarganya yang ia tinggalkan di negara non-Muslim.” Dalam kondisi itu, harta milik orang kafir bisa dianggap sebagai harta rampasan perang dan anak keturunannya bisa ditahan sebagai tawanan perang. Penulis kitab al-Hawi (al-Mawardi) mengemukakan, jika seorang kafir diberikan ‘aman’ secara umum, maka dirinya, hartanya dan saudaranya akan menerima perlindungan, namun jika ia hanya diberikan ‘aman’ secara khusus, maka hanya dirinya yang menerima perlindungan, tapi tidak harta dan saudaranya.Mayoritas kaum ulama fikih berpendapat bahwa terkadang perlu dibedakan antara perlindungan yang diberikan kepada pemilik dan perlindungan terhadap harta yang dimilikinya. Oleh sebab itu jika ada seorang Muslim memasuki wilayah non-Muslim dengan aman (perlindungan), lalu ada seorang kafir harbiy (non-Muslim) yang memberikan sejumlah uang kepada yang Muslim tersebut untuk membeli berbagai keperluan, maka uang atau harta yang diberikan itu harus tetap dijamin aman (tidak digunakan) hingga uang tersebut dikembalikan kepada sang pemilik uang tersebut (kafir harbiy) meskipun sang pemilik tidak memiliki perlindungan. Demikian 167 halnya jika harta itu diberikan kepada seorang kafir dzimmiy yang memasuki wilayah non-Muslim dalam kondisi memiliki perlindungan. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendapat lain mengemukakan bahwa harta yang diberikan itu tidak mendapatkan perlindungan. Karena perlindungan kafir dzimmiy tersebut batal secara hukum. Pendapat yang pertama adalah pendapat yang lebih kuat dan populer karena seorang kafir harbiy telah meyakini kebenaran perlindungan tersebut sehingga harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya (kafir harbiy).211 Seorang hakim Agung, al-Baidhawi mengemukakan bahwa jaminan keamanan bagi warga non-Muslim itu meliputi apa yang ada bersamanya berupa keluarga dan hartanya, meskipun aman tersebut diberikan secara umum, sebab orang tersebut telah meninggalkan segala kepunyaannya yang pastinya dapat 211 al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 289. Di kalangan mazhab Maliki dikemukakan bahwa jika di antara kami ada seorang non-Muslim (kafir harbiy) yang berhasil masuk ke wilayah kami dengan aman, lalu ternyata ia meninggal dan meninggalkan sejumlah harta, maka harta tersebut tidak boleh dianggap sebagai fa`i atau rampasan perang, melainkan harus dikembalikan kepada ahli warisnya. Bahkan Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang mengenai seorang kafir harbiy yang berhasil memasuki kawasan negara Islam secara aman, lalu dibunuh oleh seorang Muslim, beliau menjawab bahwa diat (ganti rugi) orang yang dibunuh itu harus dibayar oleh si pembunuh kepada ahli warisnya yang ada di negara non-Muslim. Dalam hal ini Ibn al-Qasim berkomentar bahwa hal ini menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang kafir harbiy itu menjadi hak milik ahli warisnya. Ibn al-Qasim berkomentar bahwa sejauh yang diketahuinya, ia tidak mengetahui adanya pendapat Imam Malik yang lain, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa si pembunuh dalam kasus ini juga harus memerdekakan budak dan menyerahkan hartanya dan ganti ruginya kepada pemerintah dari kalangan kafir harbiy tersebut, seperti layaknya jika ia dibunuh di negaranya sendiri. Lihat Syahnûn al-Tanûkhî, alMudawwanah al-Kubrâ fî Fiqh al-Imâm Mâlik, (Beirut: Dâru Sadir, Mesir: Matba’ah al-Sa’âdah, 1323 H), Jilid II, h. 24. Demikian halnya dikemukakan bahwa seorang Muslim tidak berhak mengambil harta orang nonMuslim, jika ia mati, ia juga tidak berhak mengambil diatnya jika ia terbunuh, melainkan seluruh hartanya harus dikembalikan kepada ahli warisnya di negaranya. Lihat al-Khattâb, Mawâhib al-Jalîl bi Syarh Mukhtasar Khalîl, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M, Jilid III, h. 363. 168 membahayakan dirinya, karena hal – hal tersebut adalah pokok dan penting untuk kehidupannya. 212 Sejalan dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas, jelas bahwa kekebalan atau imunitas tidak berlaku bagi berbagai macam harta benda yang tidak dibawa oleh seorang pengungsi baik itu berupa benda, harta atau anggota keluarga. Demikian halnya seluruh harta benda dan anggota keluarga yang ditinggalkan di negara non-Muslim, kecuali jika mereka masuk ke sebuah negara Islam. Oleh sebab itu hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Imam al-Qurtubi bahwa ”Barang siapa (non-Muslim) yang keluar dari kawasan konflik dan menuju kepada kami (kawasan Muslim) dengan tujuan meminta suaka, maka kami tidak bisa memberikan perlindungan sedikitpun kepada harta, benda dan sanak saudara atau anak dari yang bersangkutan, yang ditinggalkannya di negara non-Muslim asalnya.”213 Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kekebalan/imunitas terhadap harta kekayaan seorang pengungsi mencakup 3 (tiga) aspek penting berikut: Aspek positif: yaitu harta kekayaan pengungsi yang dibawanya akan dijaminkan keamanan sebagaimana adat kebiasaan yang berlaku dan juga seperti apa yang dikemukakan 212 al-Baidâwî, al-Gâyah al-Quswâ fî Dirâyah al-Fatwâ, tahqîq ‘Alî Muhyiddîn Dâghî, (Kairo: Dâr alNasr li al-Tibâ’ah al-Islâmiyyah), 1982, Jilid II, h. 953. 213 Abû ‘Amr bin ‘Abdul Barr al-Namri al-Qurtubî, Kitâb al-Kâfî fî Fiqh Madzâhib al- Madînah alMâliki, (Riyadh: Maktabah Riyâd al-Hadîtsah, 1400 H/1980 M), Jilid 1. 169 oleh al-Baidhawi bahwa kekayaan tersebut dianggap sebagai kebutuhan yang sifatnya pokok. Aspek negatif: yaitu jaminan keamanan tidak berlaku bagi harta benda dan berbagai macam kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang pengungsi di negaranya, mengingat peraturan perundang – undangan yang berlaku terikat teritori dan tentu saja karena batas kewenangan negara Islam tidak bisa menjangkau batas wilayah negara lain. Aspek praktis: jaminan perlindungan berlaku bagi anggota keluarga seorang pengungsi yang datang bersama mereka. Sebab mereka dianggap sebagai para pengikut atau tanggungan (termasuk juga dalam hal ini ada jaminan keamanan bagi harta benda pengungsi), tetapi tidak bagi anggota keluarga yang masih tinggal di kawasan non-Muslim yang ditinggalkannya. B. Menurut Hukum Internasional Pada pasal 30 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, dinyatakan bahwa Negara Pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, harus mengijinkan dan menjamin para pengungsi agar dapat memindahkan harta benda yang dibawa oleh para pengungsi dari negara asalnya ke negara lain (negara ketiga) yang menjadi tujuan mereka (negara resettlement) yang telah menyatakan menerima mereka. Negara Pihak wajib memberikan pertimbangan simpatik 170 untuk mengijinkan perpindahan aset mereka kemanapun mereka akan pergi, karena aset tersebut akan sangat berguna bagi kehidupan baru mereka di negara ketiga yang menerima mereka. 4. Perlindungan diplomatik A. Menurut Syariat Islam Sebuah negara Islam dimungkinkan untuk memberikan perlindungan diplomatik bagi para pengungsi yang berada di dalam wilayahnya. Hal ini didasarkan kepada dalil Qiyas (interpretasi analogis), yakni berupa teori penyelamatan (istinqadz) yang didukung oleh para ahli Syariat Islam. Dalam Syariat Islam, teori penyelamatan diakui sebagai media untuk memberikan perlindungan kepada orang Muslim yang dianiaya atas dasar keyakinan agama mereka, atau orang yang ditawan, dalam rangka menghilangkan tindakan penganiayaan terhadap mereka dan membebaskan mereka. Hal ini dapat dianggap semakna dengan teori intervensi kemanusiaan dalam yurisprudensi Barat. Teori ini dilandasi oleh kalam Allah: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanitawanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (QS: an-Nisa/3:75). 171 Para kaum ulama fikih memperluas cakupan teori terhadap kaum dzimmiy dan kafir-musta’min. Dalam buku al-Siyar alKabîr dikemukakan sebagai berikut: “Wajib bagi kita untuk memberikan pertolongan kepada kafir dzimmiy jika mereka dalam kondisi terdesak dan pada saat kita mampu menolong mereka. Namun kita tidak wajib memberikan bantuan pertolongan kepada para kafir musta’min jika mereka telah memasuki kawasan peperangan atau kawasan non-Muslim. Sebab perlu ditegaskan di sini bahwa status al-Dzimmah dapat dianggap setara dengan orang Islam jika mereka berada atau berdomisili di kawasan negara kita (Islam).”214 Ditambahkan pula bahwa “Pada aslinya, seorang pemimpin negara Islam wajib memberikan penyelamatan dan keadilan kepada para musta’min, selama mereka berada di negara kita dan seorang kepala negara Islam juga harus memberikan perlindungan kepada kaum dzimmiy, sebab selama mereka berada di bawah wilayah kekuasaan negara Islam tersebut, artinya mereka berada dibawah yurisdiksi Islam, sehingga musta’min harus diperlakukan setara dengan ahlu al- dzimmah.215 Sehubungan dengan hal tersebut, negara Islam juga wajib menyelamatkan para pengungsi, baik dari kalangan ahlu al214 215 al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, op. Cit., Jilid II, h. 688. al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, Jilid 5, h. 1853. 172 Dzimmah maupun musta`min dari tangan musuh walaupun upaya penyelamatan ini membutuhkan penggunaan senjata dan wajib melaksanakan perlindungan diplomatik untuk menyelamatkan mereka dari berbagai tindakan ketidakadilan. B. Menurut Hukum Internasional Menurut hukum internasional, perlindungan diplomatik merupakan sebuah sistem dimana sebuah negara turun tangan dalam perlindungan warga negaranya, yang berada di luar negeri dan hak – haknya terlanggar. Perlindungan diplomatik juga dapat menjadi sebuah sarana bagi sebuah negara agar bisa melindungi seseorang yang menjadi korban, dalam rangka menghormati hukum internasional, dengan cara menjamin pemenuhan hak orang yang terkait.216 Sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan diplomatik terkait masalah pengungsi, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 paragraf 2 Rancangan Pasal tentang Perlindungan Diplomatik yang diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 2006, dimana dinyatakan bahwa: Sebuah negara dimungkinkan untuk memberikan perlindungan diplomatik sesuai dengan ketetapan mendasar yang sah, terhadap seseorang yang berstatus pengungsi, yang pada saat kemalangan terjadi atau pada saat permintaan 216 Ahmad Abu al-Wafa’, al-Wasit fi al-Qanun al-Duwali al-‘Amm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1428 H/ 2007 M, h. 641. 173 perlindungan diajukan, secara hukum dan sebagaimana dibenarkan sebelumnya tinggal menetap di negara tersebut.217 Meskipun demikian, pasal 8 paragraf 3 menambahkan bahwa hal tersebut tidak berlaku dalam hal adanya aktivitas yang secara internasional dinilai salah, yang dilakukan oleh negara asal pengungsi tersebut. 5. Hak – hak pengungsi anak A. Menurut Syariat Islam Tidak diragukan lagi bahwa dalam ajaran Islam, hal – hal terkait hak anak harus dimuliakan dan diperhatikan, baik anak itu pengungsi maupun bukan pengungsi. Dalam Islam terdapat perjanjian khusus terkait dengan hak - hak anak (tahun 2005) yang telah diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tentang hak-hak anak yang memberikan hak – hak seperti hak persamaan, hak memperoleh kohesi keluarga, hak memperoleh kemerdekaan secara individu, hak dibesarkan, hak mendapatkan pendidikan, hak akan kebudayaan, hak memperoleh waktu cukup untuk istirahat dan bermain, hak atas kesehatan, perlindungan, keadilan dan seterusnya. Dalam perjanjian itu juga ditetapkan mengenai pengungsi anak-anak bahwa “Negara Pihak perjanjian ini akan memastikan, semaksimal mungkin, pengungsi anak atau anak – anak yang secara hukum disamakan 217 Lihat pula Resolusi Majelis Umum PBB No. A/61/10/2006 M. 174 dengan status tersebut, dapat menikmati hak – hak dalam perjanjian dalam legislasi nasional mereka.” (pasal 21).218 Dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun 1989 M, ditetapkan sebuah peraturan tentang anak – anak yang terlantar secara sementara atau permanen, yang didasarkan pada sistem kafala (pemeliharaan) dari Syariat Islam. Dalam pasal 20 paragraf 3 disebutkan bahwa “Perawatan mencakup, diantaranya, penempatan dirumah orang tua asuh, kafalah (pemeliharaan) berdasarkan Syariat Islam, adopsi, atau jika dibutuhkan, penempatan di institusi anak yang sesuai untuk perawatan anak.” Demikianlah dalam ketetapan Konvensi ini ditekankan adanya suatu sistem kafalah (pemeliharaan) yang merupakan sebuah sistem yang telah lama dijalankan menurut Syariat Islam. Hadis Nabi telah menggariskan sejumlah hal terkait anak.219 Diantaranya ialah anjuran menikahi perempuan yang sehat reproduktif untuk memperbanyak populasi penduduk Muslim, anjuran memilih isteri yang baik, anjuran merayakan kelahiran 218 Lihat dokumen No.OIC/9 - IGGE/HRI/2004/Rep.Final . Lihat pula Muhammad ‘Abd al-Jawwâd Muhammad, Himâyat al-Tufûlah fi al-Syarî’ah alIslâmiyyah wa al-Qânûn al-Duwaliy al-‘Âmm, wa al-Sûdaniy wa al-Su’ûdiy, (Iskandaria: Mansya’at al-Ma’ârif, h. 29-80. Sebagian ahli Syariat Islam membagi hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya menjadi hakhak yang bersifat materiil (hak akan garis keturunan, hak untuk disusui, hak untuk diasuh,, hak akan perwalian, hak untuk memperoleh nafkah) dan hak yang bersifat moriil dan hak – hak moral (hak untuk dibesarkan dengan baik, perlindungan moral, hak atas nama yang terbaik, hak atas perlakuan yang adil dan setara diantara anak – anak lainnya. Sementara hak – hak orang tua mencakup: hak menerima bakti anaknya, hak untuk memperolah bantuan nafkah pada saat mereka telah memasuki usia dewasa, dan hak untuk diperlakukan dengan hormat ketika masih hidup atau sudah wafat. Lihat ‘Abdullah Muhammad Sa’îd, al-Huquq al-Mutabâdilah bain al-Âbâ` wa al-Abnâ` fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Qânûn, 1402 H/1982 M), h. 466. 219 175 anak (aqiqah), hak anak untuk memperoleh nama yang baik, hak akan pernasaban atau garis keturunan (berdasarkan hubungan perkawinan, bukti-bukti, atau pengakuan), hak anak untuk memperoleh pengasuhan, hak anak untuk bermain, perlindungan terhadap perempuan dan anak pada kondisi perang, perlakuan khusus terhadap ibu dan anak dalam hukum pidana Islam, hak untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan, dan hak anak yang lahir dari budak untuk dibebaskan dari status budak. Hak-hak anak lainnya telah ditetapkan pula melalui ijtihad (pemberian pendapat hukum) oleh ahli Syariat Islam, diantaranya ialah hak anak untuk memperoleh nafkah, hak anak untuk memperoleh pengarahan atau perwalian atas diri dan harta kekayaannya, hak anak hilang yang telah ditemukan kembali, hak bagi anak yang baru lahir untuk memperoleh bantuan finansial dari Bait al-Mâl (kantor perbendaharaan negara), dan hak akan wasiat wajibah (hak wasiat yang ditetapkan bagi anak dari harta warisan orang tuanya). Bahkan Syariat Islam juga mengatur hak-hak janin. 220 Adanya indikasi perhatian Syariat Islam dalam hal anak, terlihat dalam kisah yang cukup dikenal dari Khalifah Umar bin al-Khattab. Suatu ketika, datang serombongan pedagang, dan kemudian singgah di suatu tempat shalat. Waktu itu, Umar 220 Terkait hak janin antara lain hak al-Ahliyyah wa al-Dzimmah, hak untuk diakui sebagai anak kandungnya, hak mendapatkan jatah waris, hak mendapat wasiat, wakaf, dan hak untuk tidak diaborsi dan lainlain, lihat Muhammad Sallâm Madkûr, al-Janîn wa al-Ahkâm al-Muta’alliqah bihi fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1389 H/1979 M), h. 271-328. 176 mengajak Abdurrahman bin Auf, untuk bergabung dengannya mengawasi keamanan di malam hari untuk menghindari pencurian. Maka kedua tokoh ini berjaga untuk melakukan ronda malam itu sambil tetap menjalankan shalat. Malam itu, Umar mendengar sebuah tangisan bayi, lalu ia bergegas menuju ke arah bunyi anak kecil menangis itu dan berkata kepada sang ibu: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan rawatlah anak kamu dengan baik.” Setelah itu Umar kembali ke tempat berjaganya semula, namun tidak selang lama beliau mendengar lagi tangisan anak yang sama. Sehingga ia kembali menghampiri ibu sang anak hingga tiga kali. Maka kemudian sang ibu itu menuturkan bahwa si bayi itu ternyata baru saja disapih padahal belum waktunya disapih. Hal tersebut dilakukan sang ibu karena seorang anak akan memperoleh bantuan dana apabila telah disapih. Pada saat itulah Umar meminta petugas untuk mengumumkan dengan mengatakan: “Janganlah kalian menyapih anak kalian sebelum waktunya, sebab mulai saat ini bantuan dana akan kami berikan bagi setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan Islam. Hal ini juga ia sampaikan ke seluruh pelosok di negara Islam. Demikian praktek ini seterusnya dilanjutkan oleh Khalifah Ustman dan Ali bahkan hingga zaman Umar bin Abdul Aziz.221 221 Lihat Ibn Sallâm, Kitab al-Amwâl, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388 H/1976 M), h. 337-341. 177 B. Menurut Hukum Internasional Ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun 1989M menetapkan bahwa seorang anak harus mendapatkan berbagai fasilitas hak yang antara lain meliputi hak untuk turut dipertimbangkan dalam pengambilan sebuah keputusan (best interest determination) yang akan mempengaruhi keadaan anak tersebut, hak untuk hidup, hak untuk memperoleh nama dan kebangsaan, serta pendidikan yang penting. Lebih lagi, hukuman mati wajib dihindarkan bagi anak pelaku yang belum mencapai usia 18 tahun. Anak dibawah 15 tahun tidak boleh dilibatkan dalam konflik bersenjata. Demikian pula dinyatakan dalam Konvensi pentingnya pemenuhan kebutuhan bagi pengungsi anak dan jaminan bagi mereka untuk dapat menikmati hak – hak yang diberlakukan. (Pasal 22), dan seterusnya.222 Pasal 5 paragraph dari 4 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama dan Keyakinan (G.A. Res.36/55, 25 November, 1981), menyatakan 222 Lihat Declaration of the Rights of the Child (1959); Convention on the Rights of the Child (1989); African Charter on the Right and Welfare of the Child (1990); Convention concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (ILO No. 182) (1999); Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts (2000); Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (2000); General Comment No. 5 by the Child Rights Committee on Unaccompanied Children Outside their Country of Origin (2005); UN Security Council Resolution No. 1612 on Children in Armed Conflicts (2005); dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 469, 405, 465, 419, 423, 594, 474; Vol. III, h. 1058. Lihat pula Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, h. 54-56. Keberlanjutan pengaturan hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers, International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, Geneva, 2001, h. 34. 178 bahwa: “Bilamana seorang anak tidak mendapatkan perlindungan baik dari kedua orang tuanya atau walinya secara hukum maka yang dijadikan acuan untuk memenuhi kepentingan ajaran agama yang dianutnya ialah prinsip memperhatikan kemaslahatan terbaik bagi si anak.”223 6. Hak atas harta kekayaan Ajaran agama Islam menekankan pentingnya pemeliharaan atas harta orang-orang non-Muslim, baik harta itu benda tetap, maupun benda bergerak, baik pada saat yang berhak memiliki harta itu masih hidup ataupun sudah meninggal. Toleransi macam in terlihat dalam suatu ketentuan mengenai waris oleh Khalifah al-Muqtadir, pada tahun 310 H/923 M, dimana dinyatakan bahwa jika seorang dzimmiy, (yaitu warga negara non-Muslim di negara Islam) meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya bisa dikembalikan kepada seluruh keluarga yang seagama dengan yang bersangkutan. Sementara jika pihak yang meninggal itu beragama Islam dan ia tidak meninggalkan ahli waris seorangpun, maka harta peninggalannya dikembalikan ke Bait al-Mâl.224 Praktek ini didasarkan pada aturan yang menyebutkan bahwa tidak ada orang Islam yang boleh menerima warisan dari 223 Lihat Resolusi No. 36/55 Majelis Umum PBB, 25 November 1981. Adam Maitaz, al-Hadârah al-Islâmiyyah fi al-Qarn al-Râbi’ al-Hijriy au ‘Asr al-Nahdah fî alIslâm, alih bahasa Muhammad Abû Raidah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ârabî, 1387 H/1967 M), Jilid I, h. 77. 224 179 non-Muslim, dan bahwa perbedaan agama adalah faktor yang menghalangi pewarisan 225 dan bahwa menurut Hadis Nabi, hanya pengikut atau kerabat yang sama agamanya, yang dapat mewariskan harta kekayaan seseorang jika ia tidak memiliki ahli waris dari golongan dzaw al-arhâm.226 7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim Islam memerintahkan orang Muslim untuk menjalin perdamaian dengan orang non-Muslim, mengunjungi mereka ketika mereka sakit, menghadiri pemakaman mereka, menyampaikan belasungkawa atau ucapan selamat atau bentuk lain interaksi.227 8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati 228 Aturan ini didasarkan pada fakta bahwa Allah SWT memperlakukan sama semua manusia dalam asal-usul penciptaannya, ketika menjadikan mereka, lahir dari satu ayah dan satu ibu sebagaimana dijelaskan kalam Allah SWT: 225 al-Fatâwa al-Islâmiyyah min Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, (Kairo: 1409 H/1989 M), Jilid XVI, h. 6064-6070. 226 Ahmad Amîn, Zuhr al- Islâm, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1962), h. 81-82. 227 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, h. 191-206. 228 Ibn `Âbidîn, Hâsyiyat Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1386 H./1966 M), Jilid V, h. 58. 180 Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.s al-Isrâ '/17:70). Istilah "anak-anak (keturunan) Adam" bersifat umum dan bukan istilah khusus untuk umat manusia, mencakup Muslim dan non-Muslim, tanpa membedakan ras, bangsa atau agama, terlepas dari apakah mereka pengungsi atau bukan. 9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang non-Muslim Hal ini didasari oleh kalam Allah: Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. (Q.S. alBaqarah/2:256). Di dalam kitab tafsirnya, setelah menyebutkan bahwa Allah telah mengemukakan dalil-dalil ajaran tauhid atau monoteisme secara jelas dan mematahkan alasan yang menyanggah dalildalil tersebut, al-Razi menyatakan “Maka sesungguhnya tidak ada lagi alasan bagi orang kafir untuk mempertahankan kekafirannya”; tidak ada pilihan lain kecuali orang kafir itu mengaku beriman atau ia dipaksa untuk itu. Namun pemaksaan itu tentu tidak boleh dilakukan di dunia ini, karena kehidupan di dunia ini adalah tempat ujian. Sementara memaksa seseorang 181 untuk memeluk suatu agama berarti menafikan makna ujian tersebut. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah: “…barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Q.S. alKahfi/18:29). Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya? (Q.S.Yûnus/10:99). Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (Q.S. alSyu’arâ’/26:3-4). Al-Qâsimi menyebutkan bahwa Allah SWT tidak memberlakukan perintah iman dengan cara paksaan dan tekanan, tetapi Dia memerintahkannya melalui pemberian kapasitas (akal) dan pemberian pilihan. 229 Di dalam kitab alSiyar al-Kabîr dijelaskan bahwa kekafiran, meskipun termasuk tindak dosa yang paling besar, tetapi merupakan urusan antara hamba dan Tuhannya. Balasan terhadap dosa ini ditunda sampai datangnya Hari Kiamat nanti. Sementara, adanya peperangan antara agama di dunia saat ini terjadi atas dasar kepentingan 229 Lihat Tafsîr al-Imâm al-Râzi, Jilid II, h. 319; dan Alkiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1974), Jilid I, h. 339. 182 manusia 230 Artinya, sebenarnya tidak ada paksaan dalam memeluk agama, namun perang terjadi karena keinginan untuk memperoleh kemanusiaan atau kekuasaan oleh manusia itu sendiri, dan hal – hal tersebut muncul sebagai agresi dan tindakan penganiayaan yang dikaitkan dengan masalah agama. Al-Qur’an itu sendiri menekankan bahwa banyak manusia berpegang kepada agamanya namun akan dihakimi nanti pada Hari Kiamat, sebagaimana kalam Allah: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orangorang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. al-Hajj/22:17). Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Tagâbun/64:2). Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuhbunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. (Q.S.alBaqarah/2:253). Prinsip-prinsip tersebut berlaku pula terhadap pengungsi. Disini kita menyebutkan 3 (tiga) contoh: 230 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh Kitab Siyar al-Kabîr, (Heiderabad al-Dakan: t.np., t.th.), Jilid III, h. 182. 183 Pertama: Contohnya Musa bin Maimun, seorang pemeluk Yahudi yang tinggal di Andalusia (Spanyol), dan pernah dipaksa untuk masuk Islam, sehingga ia hidup sebagai Muslim, tapi dalam hati tetap berpegang pada agama Yahudi. Kemudian ia lari ke Mesir dan tinggal di kota Fustat dengan kelompok orang yang sama keyakinannya dan ia menampakkan agamanya. Tatkala Abul Arab, seorang ahli hukum Andalusia, singgah di Mesir, ia menginterogasi Musa bin Maimun perkara kepindahan agamanya ke Islam, bahkan ia memiliki tujuan untuk menyakitinya. Namun Qadhi al-Fadhil mencegahnya seraya berkata kepadanya: “Seseorang yang dipaksa tidak sah ke-Islamannya menurut Syariat Islam.”231 Kedua: Dalam surat Khalifah al-Ma’mun kepada Constantin, Kaisar Byzantium (Romawi Timur), ia meyatakan: “Demi Allah, seandainya orang-orang sebelum kamu, yakni 231 Ibn al-Ibry, Tarîkh Mukhtasar al-Duwal, (Beirut: Dâr al-Musayyarah, t.th.), h. 239. Oleh karena itu, dikatakan bahwa seseorang yang tidak boleh dipaksa masuk Islam (seperti orang non-muslim dzimmiy dan orang non-muslim musta’min); jika dipaksa masuk Islam, maka keislaman mereka tidak sah kecuali ada pertanda bahwa mereka dengan rela hati memeluk Islam, misalnya dia secara rela hati menyatakan masuk Islam usai berlalunya pemaksaan itu; sehingga, apabila dia wafat sebelum pernyataan masuk Islamnya dengan rela hati itu terjadi maka dia dihukum sebagai orang yang wafat dalam keadaan kafir. Ibn Qudâmah pun berpendapat bahwa tindakan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dipaksakan, yakni berpindah agama menjadi Islam, maka secara hukum, keislamannya itu tidak diakui, sama saja seperti seorang Muslim yang dipaksa untuk keluar dari agama Islam. Dalil dilarangnya pemaksaan ini ialah kalam Allah: “Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam”. Para ulama telah bersepakat bahwa orang non-Muslim dzimmiy dan orang non-Muslim musta’min yang telah menepati perjanjian, maka tidak boleh dibatalkan perjanjiannya itu dan tidak boleh pula memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak mengikatnya, karena pemaksaan demikian merupakan pemaksaan atas sesuatu yang dilarang untuk dipaksa sehingga secara hukum, tidak berlaku kepadanya apa yang dipaksakan itu. Lihat Ibn Qudâmah, alMugni dan al-Syarh al-Kabîr, Jilid X, h. 104-105. Demikian juga, William al-Sûriy berpendapat bahwa umat Islam, ketika memerintah Jerusalem, mempersilahkan penduduk Jerusalem untuk membangun kembali gereja-gereja mereka yang rusak dan melaksanakan perayaan-perayaan agama mereka sebagaimana telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya, serta mengizinkan para Uskup untuk tinggal dan memeluk agama Kristen tanpa pembatasan sedikitpun. Lihat William al-Sûriy, al-Hurûb al-Salîbiyyah, alih bahasa Hasan Habasy, (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1991), Jilid I, h. 65-66. 184 orang-orang fakir miskin, para petani, orang lemah, dan para pekerja mengetahui apa yang menjadi hak-hak mereka dari Khalifah, maka pasti mereka mendatangi Khalifah untuk menuntut hak akan tempat tinggal, hak atas lahan tanah yang memadai, hak memperoleh air, hak akan perlakuan yang adil semaksimal mungkin. Khalifah akan memperlakukan mereka dengan kasih sayang, kepedulian dan berbuat baik kepada mereka serta memberikan kebebasan pribadi dan beragama mereka, tidak memaksa mereka berpindah ke agama yang tidak mereka inginkan. Demi Allah, apabila mereka mengetahuinya, pasti mereka mendekat kepada Khalifah dan berlindung kepadanya (Khalifah al-Ma’mun), bukannya kepadamu (Raja Romawi).232 Ketiga: al-Qarafy pernah berkata mengenai kaum nonMuslim dzimmiy: “Barangsiapa bersikap memusuhi atau membantu permusuhan terhadap kaum non-Muslim dzimmiy, walau hanya sekedar dengan kata-kata buruk atas kehormatannya atau melakukan bentuk tindakan lain yang menyakitinya, maka sungguh telah ia sia-siakan jaminan keselamatan dari Allah, Rasul-Nya dan dari agama Islam.”233 232 Ahmad Farid Rifâ’i, ‘Asr al-Ma’mûn, (Kairo: Maktabah Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1346 H/1928 M), h. 235-236. 233 al-Qarafî, al-Furûq, (Beirut: `Âlam al-Kutub, t.th), Jilid III, al-Farq 119 h. 14. Lihat pula perihal kewajiban berbuat baik, dan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, dan sebagainya. (h. 15). Termasuk dosa besar adalah tindakan menyakiti tetangga meskipun ia seorang non-Muslim dzimmiy dan juga tindakan penzaliman oleh, penguasa, hakim, dan yang serupa dengan mereka terhadap orang Muslim atau orang nonMuslim dzimmiy, dengan cara seperti pengambilan harta mereka, pemukulan, penghinaan, dan sebagainya. (h. 522). Lihat Ibn Hajar al-Haitamî, al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir, (Kairo: Dâr al-Syuab, 1400 H/1980 M), h. 185 10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi nonMuslim Standar keadilan yang diberlakukan adalah satu untuk semuanya, tanpa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim. Aturan ini tidak berubah, meskipun terhadap pengungsi sekalipun. Ibn ‘Abd al-Hakam telah meriwayatkan bahwa Khalifah ‘Umar ibn Khattâb pernah berkata: “Sungguh aku telah mengirim para gubernurku untuk mengajari kalian tentang agama kalian dan Sunah Nabi kalian. Aku tidak mengutus mereka untuk menghukum kalian atau mengambil harta kalian. Maka barangsiapa diantara kalian mengalami hal itu, maka adukanlah masalahnya kepadaku. Demi Allah, yang menguasai jiwaku, saya akan memberikan balasan yang setimpal.” Lalu Amr bin Al-Ash bediri seraya berkata: “Wahai Khalifah, bagaimana bila salah seorang gubernurmu menyakiti seorang rakyatnya dalam rangka mendidiknya, apakah gubernur tersebut akan mendapatkan hukuman yang setimpal juga? Akan kamu balas dengan hukuman setimpal?” Umar berkata: “Ya, aku akan memberikan hukuman yang setimpal karena aku telah melihat Rasulllah juga melakukan hal yang sama. Ingatlah, jangan sekali-kali kalian mumukul orang-orang Islam sehingga kalian 346., Di antaranya juga, tindakan membunuh, baik secara sengaja maupun semi-sengaja, terhadap orang Muslim atau orang non-Muslim dzimmiy yang dilindungi. (h. 482); demikian pula, tindakan pemukulan orang Islam atau orang non-Muslim dzimmiy tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syariat Islam. (h. 495). 186 menghinakan mereka. Jangan kau halangi hak-hak mereka sehingga engkau mengingkari mereka. Jangan melempar tuduhan terhadap mereka sehingga kalian memfitnah mereka. Janganlah kalian tempatkan mereka di hutan sehingga kalian menyia-nyiakan mereka.” Kemudian seorang laki-laki dari Mesir mendatangi Umar seraya bertanya: “Wahai Khalifah, aku berlindung kepadamu dari kezaliman.” Umar berkata: “Aku berikan perlindungan kepadamu.” Orang itu berkata kembali: “Aku telah mendahului anak Amr bin al-Ash dalam sebuah perlombaan, namun ia terus memukulku dengan cambuk sambil ia berkata: “Aku anak orang terhormat””. Kemudian Umar menulis surat kepada Amr bin al-Ash di Mesir dan memerintahnya untuk menghadapnya. Amr pun menghadap bersama anaknya. Umar berkata: “Mana orang Mesir tadi? Ambilah cambuk, dan cambuklah anak orang yang terhormat ini (anak Amr ibn al-Ash).” Kemudian orang Mesir tadi memukul anak Amr. Anas (periwayat Hadis) berkata: “Demi Allah sungguh ia benar-benar memukul anak Amr sampai kami puas, tanpa henti hingga kami berharap ia berhenti memukulnya.” Kemudian Umar berkata kepada orang Mesir tadi: “Letakkan cambuk itu di atas kepala Amr”. Orang Mesir tadi berkata: “Wahai Khalifah, sesungguhnya anaknya yang telah memukulku, dan aku sekarang sudah selesai (memukulnya)”. Kemudian Umar berkata kepada Amr bin Ash: 187 “Kenapa kamu perlakukan manusia merdeka seperti budak, padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” Amr berkata: “Aku tidak tahu dan belum ada yang memberitahuku, wahai Khalifah.” 11. Perlindungan atas hidup non-Muslim Syariat Islam melindungi hak hidup non-Muslim yang tidak memerangi kaum Muslimin, bahkan tidak boleh bersandar kepada alasan darurat untuk merampas hak hidup mereka. AlSyaibani berkata: “Bila di dalam sebuah kapal orang-orang Islam bersama kaum dzimmiy atau musta’min (non-Muslim yang dilindungi negara Muslim), maka status hukum mereka setara dengan orang-orang Islam. Orang-orang Islam tidak boleh melempar mereka ke laut, meski mereka khawatir akan keselamatan jiwa mereka. Hal ini disebabkan karena mereka adalah orang-orang yang dijaminkan perlindungan oleh perjanjian (perjanjian dzimmah atau perjanjian aman). Sama seperti orang Muslim yang dilindungi karena keimanannya.”234 Dengan demikian, hak hidup manusia, Muslim atau nonMuslim, dan meskipun berstatus pengungsi 235 harus dilindungi menurut Syariat Islam. 234 al-Syaibâni, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, Jilid IV, h. 1562-1563. Dikatakan: “Sesungguhnya hak hidup dan hak mencari rezeki adalah satu kesatuan, karena berkaitan dengan penghidupan (hak – hak ini dipandang sebagai hak untuk kepentingan pribadi). Sementara memberikan kepedulian kepada orang lain yang membutuhkan, adalah lebih baik daripada mementingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib untuk menolong orang yang membutuhkan meskipun kepada orang-orang non-Muslim.” Lihat Muhammad al-Syahhât al-Jundî, Qawâid al-Tanmiyah al-Iqtisâdiyyah fi alQânûn al-Duwaliy wa al-Fiqh al-Islâmîy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1985), h. 62. 235 188 12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan adil Dijelaskan dalam kitab al-Siyar al-Kabîr bahwa sebenarnya wajib hukumnya atas kepala negara Islam untuk menolong musta’min (orang bukan warga negara Islam yang mendapat perlindungan di negara Islam) selama ia berada di negara kita, membelanya dari orang-orang yang menzalimi mereka, sebagimana kewajiban kepala negara Muslim terhadap dzimmiy. Imam al-Syarkhasyi memberikan argumen atas hal ini dengan penjelasan berikut: “Karena mereka (musta’min) berada di negara Islam, mereka berada dibawah yurisdiksi kepala negara Muslim, maka status hukumnya sama dengan dzimmyi.”236 Dengan demikian, adalah wajib untuk memberlakukan keadilan bagi non-Muslim yang berada dalam perlindungan, sekalipun mereka adalah pengungsi 237 . Sikap adil tersebut mecakup dua hal: 236 al-Syaibânî, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, 1972 h. 1853. Bahkan di dalam al-Qur’an terdapat 396 ayat yang mengisyaratkan secara khusus terhadap masalah perlindungan dan mendahulukan bantuan terhadap mereka. 170 ayat di antaranya khusus berbicara tentang orang-orang yang berada di tempat yang berbahaya atau terancam, 20 ayat berkaitan dengan hijrah dan keamanan, 12 ayat tentang suaka, 68 ayat berkaitan dengan zakat dan berbuat baik. Demikian pula terdapat sekitar 850 Hadis Nabi yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan. Berdasarkan hal itu Kirsten Zaar berkata: “Hak seluruh umat manusia untuk menikmati perlindungan dan bantuan, dan kewajiban untuk melindungi dan membantu mereka yang membutuhkan, termasuk mereka yang dipaksa pindah, adalah salah satu kelebihan lembaga-lembaga Syariat Islam yang dapat disimpulkan baik melalui interpretasi harafiah dari teks-teks Syariat dan dengan qiyas (analogi)". Dia menambahkan, (h. 9-11) "Syariat Islam menetapkan kewajiban untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada orang yang membutuhkan" Lihat: Kirsten Zaar: Perlindungan Migran Paksa dalam Syariat Islam, Masalah Baru dalam Penelitian Pengungsi, Kertas Penelitian No. 146, UNHCR, Desember 2007, h. 6, Rujukan 30; h. 7-8 Rujukan 32. .. 237 189 Pertama: Bersikap adil terhadap orang yang terzalimi di negara Islam. Kedua: Bersikap adil terhadap mereka yang teraniaya oleh nonMuslim (dari segala bentuk penganiayaan militer; atau melakuakan perlindungan diplomatik untuk mempertahankan hak-hak mereka). Pendapat ini dikuatkan oleh kalam Allah: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S..alMumtahanah/60:8). Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini berlaku kepada pengungsi karena menurut definisinya, para pengungsi termasuk orangorang sipil biasa (bukan tentara perang) dan tidak terkait dengan tindakan pengusiran kaum Muslim dari negerinya. 190 BAB V FAKTOR YANG MENGHALANGI HAK PENCARIAN SUAKA MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL Yang dimaksudkan sebagai ”faktor yang menghalangi” seperti tersebut diatas adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi hak untuk mendapat suaka, baik pada saat kemunculan, keberlangsungan maupun keberakhirannya, misalnya hal-hal yang sedari awal menghalangi pemberian suaka (golongan individu yang tidak berhak mendapat status pengungsi), hal-hal yang mengakibatkan pembatasan jangka waktu suaka yang diberikan (perlindungan sementara), atau hal-hal yang berujung pada adanya solusi permanen dan berakhirnya suaka (solusi jangka panjang dan penghentian suaka). I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi Terdapat sejumlah golongan orang yang tidak berhak mendapatkan suaka karena mereka memang tidak layak untuk itu. 191 A. Menurut Syariat Islam Jelaslah bahwa ketentuan ketiga yang disebutkan dalam Pasal 1 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi belum dikenal pada masa awal sejarah Islam karena PBB baru didirikan pada tahun 1945, yakni 14 abad setelah kemunculan Islam. Akan tetapi, karena negara-negara Islam adalah juga anggota PBB dan oleh karenanya mereka secara otomatis menjadi negara pihak dari Piagam yang melahirkan organisasi dunia itu, ketentuan ini berlaku pula bagi negara-negara Islam dan wajib diterapkan oleh mereka. Sedangkan dua ketentuan lainnya yang menyangkut tindak pidana berat, baik dilakukan dengan satu cara ataupun cara lainnya, akan dipaparkan dalam penjelasan berikut ini : A.1. Larangan memberikan suaka kepada pelaku tindak kejahatan non-politik Terdapat larangan memberikan suaka kepada pengungsi yang merupakan pelaku tindak kejahatan, terutama tindak kejahatan yang diancam dengan sanksi pidana hadd (sanksi hukum yang telah baku dalam alQur’an dan Hadis), seperti pembunuhan dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan. Ini merupakan ajaran otentik Syariat Islam. 192 Faktor penyebab ini dipegang teguh umat Islam dan mereka terapkan di dalam kehidupan sosial mereka sejak dekade awal sejarah negara Islam dan masa-masa sesudahnya. Dalam kaitan ini, penulis mengemukakan 2 (dua) indikator penting. (a) Tidak memberikan suaka kepada pelaku tindak kejahatan, sesuai dengan perjanjian internasional Apabila terdapat perjanjian yang melarang negara Islam memberikan hak suaka kepada golongan individu tertentu, dan perjanjian itu tidak bertentangan dengan sumber dan dalil Syariat Islam maka negara Islam wajib mematuhi perjanjian tersebut karena prinsip kesucian perjanjian dan kewajiban penunaian perjanjian merupakan prinsip yang sangat sulit dilepaskan dari Syariat Islam. Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad SAW untuk mengikat kaum Muhâjirîn dan Ansâr, yang mengikutsertakan Yahudi: : “ Sesungguhnya bagi orang yang telah menyepakati perjanjian dan beriman kepada Allah serta Hari Kiamat tidak boleh menolong orang yang bersalah dan memberi perlindungan kepadanya. Siapa saja yang menolongnya atau memberikannya perlindungan maka ia terkena 193 laknat dan murka Allah pada Hari Kiamat kelak, tidak dipalingkan darinya sedikitpun.”238 Contoh lainnya, surat ‘Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn Nasîr kepada Raja Tadmîr, raja Oreolah, Andalusia (Spanyol) Utara: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini surat Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn Nasîr kepada Raja Tadmîr, bahwa ia siap berdamai dan ia punya perjanjian dengan Allah dan jaminan Nabi SAW; ia tidak boleh melindungi budak yang kabur, tidak boleh melindungi musuh, tidak boleh menakut-nakuti orang yang terlindungi, dan tidak boleh menyembunyikan informasi tentang musuh yang ia ketahui.”239 Contoh lainnya juga, surat Khalifah ‘Umar ibn alKhattâb kepada Raja Romawi, yakni pada saat Iyâd bin Nizzâr berangkat ke negeri Romawi di tengah-tengah momen penaklukan Jazirah Arabia: “Telah sampai (informasi) kepadaku bahwa seorang tokoh terkemuka bangsa Arab telah meninggalkan negeri 238 Lihat Majmû‘ah al-Watsâiq al-Siyâsiyyah, Bab Nomor 22, al-‘Umarî, Akram Dhiya’, al-Sîrah alNabawiyyah al-Sahihah (Muhawalah li Tatbîq Qawâid al-Muhaddisin fi Naqd Riwâyât Sîrah), Jilid 1, h. 283; dan Ibrahim ‘Ali, Sahih al-Sirah al-Nabawiyah (Jordan: Dâr al-Nafâis, t.th), cet. ke-6, 1423 H/2002) h. 205, alSîrah al-Nabawiyah karya Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 301. Di antara contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab ketika ia mengutus Suwaid bin Maqran ke Tabaristan (terletak di selatan Laut Kaspia dan masuk wilayah Republik Islam Iran sekarang), lalu ia menulis surat kepada penduduk Tabaristan yang berbunyi: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah tulisan Suwaid bin Maqran kepada Farkhan Ashbadz Khurasan yang berkuasa atas Tabaristan… . Sesungguhnya engkau aman dengan perlindungan Allah untuk mempertahankan atas tanahmu dengan suaramu dan penduduk sekitarnya, maka para pemberontak tidak akan kami lindungi.”, Muhammad al-Khudari, Itmâm al-Wafâ’ fi Sîrah al-Khulafâ’, h. 88-89. 239 Lihat Muhammad Hammadah, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al-Andalus wa Syimâl Afriqiyya, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1400 H/1980), h. 120. 194 kami dan mendatangi negerimu. Demi Allah keluarkan mereka dari negerimu atau masukkan mereka ke komunitas Nasrani, kemudian kami akan usir mereka ke negerimu.” Maka, Raja Romawi mengeluarkan mereka dari negeri Romawi.”240 Alhasil, pemberian suaka kepada seseorang terkadang terkait dengan perjanjian yang dibuat terhadap orang tersebut. Tatkala perjanjian telah disetujui maka perjanjian menjadi wajib ditaati dengan syarat-syarat yang ada dalam kesepakatan itu karena terkadang perjanjian dalam beberapa kondisi tidak dapat diikuti, dan bahkan dapat menimbulkan adanya pengaruhpengaruh lain. Di dalam beberapa pergaulan kaum Muslimin ada hal – hal yang menunjukkan kondisi itu. Tatkala Secularus berlindung kepada Kerajaan Romawi setelah perang dengan musuhnya, ia meminta perlindungan ke negera Muslim lalu membuat perjanjian dengan Simsam al-Daulah termasuk perjanjian berikut: “Kamu butuh perlindungan dengan mediasi saudara kami dan panglima perang kami, Abi Harb Rabar ibn Sarahrakoub. Pikirkan keadaanmu sendiri dalam masa tinggal dan kebebasanmu yang panjang untuk kembali ke 240 Lihat Ahmad Zakiy Safwât, Jamharat Rasâ’il al-‘Arab, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), Jilid I, h. 234. 195 negerimu. Karena itu, ketika kamu telah mendapat jalan dan mendapat peluang kembali ke negerimu untuk memegang kekuasaan kembali, maka pelindung kami harus menjadi pelindungmu dan musuh kami menjadi musuhmu, berdamai ketika kami berdamai, dan berperang ketika kami berperang. Kamu harus ikut mempertahankan kota-kota pelabuhan kami dari serangan musuh dan wilayah lain di bawah kekuasaan kami dan orang-orang yang masuk dan tunduk kepada kekusaan kami. Jangan pernah kamu mengirim pasukan untuk menyerang mereka, jangan pernah menginvasi mereka, jangan pernah mengumumkan perselisihan atau konflik terhadap mereka, dan jangan pernah melakukan tipu daya secara terang-terangan atau sembunyi- sembunyi. Jangan pernah menyakiti atau melukai mereka secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.”241 Demikian pula dalam menerima para pengungsi, sebaiknya suatu negara mengikuti ketentuan yang mengikuti perjanjian internasional yang telah disepakati oleh negara asal pengungsi tersebut.242 241 Disebutkan dalam Muhammad Mâhir Hammâdi, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi alAndalus wa Syimâl Afriqiyya, (Beirut 1400 H/1980M) h. 321 242 Misalnya, Raja Lyon yang dikucilkan dari gereja karena dituduh sebagai pengkhianat oleh Paus, dan Paus meminta kepada Raja Portugal untuk memeranginya. Raja Lyon pun menuju Seville, untuk mencari suaka kepada Khalifah al-Mansur dan meminta bantuan tentara dan uang. Meskipun Khalifah memberikan sambutan yang baik kepadanya karena Islam melarang perbuatan semena-mena kepada seorang raja, tapi dia tidak mengabulkan permintaan suaka, karena adanya perjanjian gencatan senjata dan perjanjian damai antara 196 (b) Tidak boleh memberikan suaka kepada pengungsi yang terlibat tindakan kejahatan serius yang suaka ialah dilakukan di negara asalnya. Tujuan utama dari pemberian melindungi seseorang dari penganiayaan yang mungkin menimpanya bila ia harus tinggal di negara asalnya atau di tempat lain. Oleh karena itu, seharusnya seorang pengungsi tidak boleh terlibat tindakan kejahatan serius, lalu ia ingin mencari suaka untuk bebas dari hukuman (yakni menikmati impunitas). Dalam hal ini, al-Haitami menganggap tindakan melindungi mereka dari upaya orang-orang yang berusaha menebus hak dari mereka sebagai dosa besar. Yang dimaksud mereka di sini adalah orang yang melakukan suatu pelanggaran pidana menurut Syariat Islam. Hal ini diperkuat oleh Hadis yang diriwayatkan dari 'Ali ibn Abi Tâlib: "Allah melaknat orang yang menyembelih dengan selain nama Allah. Allah melaknat orang yang mengutuk orang tuanya. Dinasti al-Muwahhidin dan Raja Castile. Lihat Dr Abdul Hadi al-Tazi, al-Tarîkh al-Diblûmasiy fi al-Magrîb min Aqdam al-'Usûr ila al-Yaum, (t.t.p: Matâbi’ al-Fadalah al-Muhammadiyyah, 1407 H/1987 M), Jilid VI, h.66. Bila tidak ada perjanjian internasional yang melarang pemberian suaka, maka aturan yang berlaku bahwa semua tindakan pada dasarnya diperbolehkan (mubâhât), yaitu apa yang tidak tegas dilarang, diperbolehkan. Oleh karena itu, suaka dapat diberikan dalam kasus tersebut. Jadi, Abû Syâmah mengatakan bahwa penguasa Tripoli (Libya) pernah minta suaka kepada Sultan Dinasti alAyyubi, Salahuddin (Saladin), lalu ia masuk Islam dan Sultan Salahuddn mendukungnya. Lihat Abu Syamah ‘Uyun ar-Raudatain fi Akhbâr al-Daulatain al-Nuriyyah wa al-Salahiyyah, (Damaskus: Wizârat al-Tsaqâfah, 1992), Jilid II, h 131. 197 Allah melaknat orang yang memindahkan patok tanah.243 Karena Islam tidak mengizinkan kezaliman dalam bentuk apapun, maka Islam tidak menyetujui pemberian suaka kepada orang-orang semacam ini, 244 khususnya bila pengungsi tersebut seorang kepala negara atau pengambil keputusan atau para pelaku kriminal berbahaya. Dalam nada yang sama, Ibn Taimiyah mengatakan:245 "Hal yang biasa terjadi ialah banyak kepala suku dari desa atau perkotaan yang dimintai suaka oleh seseorang yang mengalami kesulitan; atau orang yang memiliki hubungan keluarga atau pertemanan. Didorong oleh tradisi Jahiliah atau arogansi kelompok, dan mengejar popularitas, mereka membantunya, meski ia adalah seorang penindas batil, dengan memperlakukannya sebagai korban yang dizalimi, terutama jika pimpinan 243 Lihat Sahih Muslim, Hadis No.1978, Jilid 3 h. 1567; dan Musnad Iman Ahmad, musnad Ali ibn Abi Thalib, Hadis No. 855, Jilid 2 h. 212. 244 Dalam interpretasi Hadis Nabi Muhammad SAW: Setiap Muslim adalah sama di dalam darah; terendah-peringkat di antara mereka dapat memberikan keamanan dan zimma (jaminan) satu dengan lainnya. Tidak akan pernah seorang muslim dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidaklah orang di bawah perjanjian damai dapat dibunuh selama ia mematuhi perjanjian. Orang yang melakukan pelanggaran akan bertanggung jawab untuk itu. Mereka yang melakukan pelanggaran atau melindungi pelaku akan mendapat kutukan Allah, malaikat dan semua orang. Imam al-Khattabî menyatakan: Perkataan Nabi SAW “Orang yang memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan akan mendapat kutukan Allah” mengandung makna bahwa orang yang memberikan perlindungan kepada pelaku kriminal, atau memberikan perlindungan diri pelaku kriminal dari seterunya atau menghalanginya dari hukuman qisâs, maka ia akan mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua orang. Imam al-Khattabî, Ma'âlim al-Sunan, Jilid 4, h. 16-19. Untuk arti ungkapan siapa memberikan perlindungan kepada pelaku dosa, Lihat Ibn Hajar al-Asqalânî Fath al-Bâri bi Syarh Sahih al-Bukhârî, Jilid 13, h. 239-240. 245 Ibn Taimiyah, Majmû’ah Fatâwa Ibn Taimiyah, Ibn Qâsim al-Najdî (ed.), (Riyadh: Matâbi’ alHukûmah, 1381 H), Jilid 28, h. 326-327. 198 orang-orang tadi dianggap sebagai musuh mereka. Dalam hal ini mereka berpikir bahwa menyerahkan pencari suaka kepada musuh akan menjadi tanda kehinaan dan kelemahan. Ini merupakan sikap Jahiliah, salah satu bahaya terbesar untuk agama dan dunia ini. Telah diriwayatkan bahwa inilah yang sering menjdi sebab pemicu perang sipil antar suku Arab dalam masa praIslam, seperti perang Basus, perang antara Bani Bakar dan Taghlib, dan sebagainya. Faktor ini pula penyebab intervensi orang-orang Turki dan Mongol ke wilayah Islam dan penguasaan wilayah Mesopotamia dan Khurasan. Ibnu Taimiyah menambahkan, untuk menguatkan pendapat terdahulu: " Ini adalah tugas setiap orang untuk memberikan bantuan dan perlindungan bagi orang yang mencari perlindungan, jika ia terbukti benar-benar terzalimi. Seorang pria tidak akan dinilai sebagai terzalimi hanya berdasarkan klaim mereka sendiri. Sering terjadi orang mengadu, meskipun mungkin dirinya sendiri adalah orang zalim. Seharusnya ia diverifikasi dahulu kepada lawannya atau sumber lainnya. Bila ia terbukti menjadi orang zalim, maka ia akan ditolak dengan cara halus dan jika memungkinkan 199 dengan perdamaian atau penilaian yang adil, atau bila tidak memungkinkan baru dengan tindakan keras."246 A.2. Diperbolehkannya ektradisi pengungsi Menurut Syariat Islam247 pengungsi dapat diekstradisi dalam dua kasus: 246 Cerita berikut menunjukkan di mana pencari suaka dengan secara terpaksa meminta perlindungan setelah melakukan tindakan kejahatan di negara asalnya ketika mereka memiliki kekuasaan. Contohnya, ketika Bani Marwan (Dinasti Umayyah) melarikan diri ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy), ketika Abbasiyyah mengambil alih kekuasaan. Kaisar Ethiopia bertanya, “Apa yang membawa Anda ke sini?”. “Penguasa baru telah mengubah nasib kami, maka kami mencari suaka kepada Anda.” jawabnya. Lalu Kaisar berkata, “Anda mengklaim Nabi Anda melarang minum arak, tapi mengapa Anda meminumnya”. Ia berkata: ‘Yang melakukan hanyalah orang-orang tak bermoral diantara kami”. Kaisar berkata lagi “Anda mengatakan bahwa dilarang berpakaian sutra, mengapa Anda memakainya?. Bani Marwan berkata: “Hanya beberapa pengikut kami saja yang melakukan”. Kaisar berkata: “ Dan ketika Anda berangkat untuk berburu burung gereja, Anda mengepung desa-desa, merebut harta milik mereka, dan merusak perkebunan mereka.” Jawab mereka: “Hanya orang bodoh yang melakukannya”. Kaisar berkata: “Tidak, demi Allah. Akibat kesalahan-kesalahan itu, Anda telah melakukan dosa terhadap Tuhan, sehingga Ia lucuti kekuasaan Anda“. Lihat Ibn al-Jauzi, al-Syifâ’ fi Mawa’iz al-Muluk wal-Khulafâ ', tahqîq Fu'ad ‘Abd al-Mun'im, (Iskandariyah: Mu'assasat Syabâb al-Jâmi'ah, 1398 H/1978 M), h. 60. Dalam hal ini kami juga mengutip pendapat Ibn Syâhin bahwa seorang raja "tidak boleh bersikap penuh kedekatan kepada setiap buronan dari seorang raja rekan, atau mengungkapkan rahasia raja rekan kepadanya, tetapi harus menghormati dan menjauhi sikap demikian. Bila ia melarikan diri dari raja musuh, dia harus berhati-hati karena bisa jadi buronan tadi mungkin bertindak tidak terpuji kepada tuannya; atau ia membuat intrik untuk mendapatkan informasi tentang keadaan di negara suaka dan kemudian melaporkan kepada rajanya. Atau buron mungkin dapat berdampak kepada demoralisasi pada prajurit. Jika buronan melarikan diri dari seorang raja, maka bersikap diam dan tidak terlalu dekat kepadanya adalah upaya menghindari bahaya. Mengenai seorang buronan yang dijatuhi hukuman mati, berusaha berlindung pada raja negara suaka, kami telah jelaskan sebelumnya terkait perkataan Amirul Mukminin, “Engkau jangan sekali-kali mengabaikan hukuman yang telah ditentukan Allah. Jika buronan memiliki dosa dan kemudian bertobat, upayaupaya harus dilakukan untuk meminta permaafan sehingga ia bisa kembali ke tuannya.". Lihat Gars al-Dîn ibn Syâhin al-Zâhirî, Kitab Kasyf al-Zubdât Mamâlik Bayân wa al-Turuq wa al-Masâlik, tashîh Bolos Rawis, (Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustânî, 1988-1989), h. 60-61. Ini berarti bahwa Ibn Syâhin menetapkan tiga aturan khusus untuk pengungsi: 1. Perlu kehati-hatian penuh, karena seorang buron yang datang ke negara Islam mungkin telah dikirim untuk tujuan lain; misalnya untuk mengumpulkan informasi. Dengan demikian, Ibn Syahin telah meramalkan praktek yang digunakan oleh badan intelijen modern dalam menyebarkan orang kepada negara-negara lain secara rahasia dalam penyamaran sebagai pengungsi politik, pembangkang, atau terdakwa yang dicari untuk diadili atas kejahatan yang dilakukan. 2. Jika buron telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hadd, maka raja harus memulangkannya, mengingat dia diperlukan agar tidak mengganggu penegakan hukuman yang ditentukan Ilahi (hudûd). (Rupanya Ibn Syâhin membatasi ketentuan ini dalam hubungan antar negara Islam yang mengadopsi konsep hudûd.) 3. Jika pelakunya bertobat dari tindakan yang telah dilakukan (misalnya, dengan tidak menyerang rezim di negara asalnya dan mundur dari ajakan untuk menggulingkan pemerintah), maka negara Islam mungkin ikut campur dan meminta amnesti bagi dia atau memulangkan dia asalkan ada jaminan bahwa ia tidak akan dihukum dalam kasus ini. Lihat Dr Ahmed Abu al-Wafa, Kitab al-I’lâm bi al-Qânûn Qawâîd al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, Jilid XIV, h. 555-556. 200 (a) Ektradisi pengungsi pelaku kriminal: Sejauh mana ekstradisi pelaku kriminal diperbolehkan dalam Islam Idealnya, seorang tersangka pelaku tindak kriminal, diadili dalam persidangan di negara tempat ia berbuat tindakan tersebut. Sebab dengan demikian, proses lainnya akan lebih mudah dilaksanakan, seperti pengadaan barang bukti, pendengaran pernyataan para saksi, inspeksi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan penelitian terhadap kondisi – kondisi lainnya. Namun kenyataannya, banyak negara di dunia ini tidak mau menyerahkan atau tidak memprioritaskan penyerahan warga negaranya ke negara lain untuk diproses di pengadilan sesuai dengan undangundang yang berlaku. Bagaimana pandangan Syariat Islam dalam hal ini ? Ada 2 (dua) aspek pokok dalam Syariat Islam khususnya terkait dalam kasus bila pelaku kriminal tersebut seorang Muslim yang melakukan kejahatan di dar al-harb (negara yang sedang berkonflik dengan Negara Islam) kemudian ia lari ke negara Islam. i. Aspek yang pertama: “Aspek Personalitas”: Dimungkinkan penetapan hukuman dalam kondisi ini, 247 Lihat juga “Extradition Problems Affecting Refugees ” dalam Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Cairo, 2004, 39, No. 17 (XXXI) 201 karena setiap Muslim wajib tunduk kepada Syariat Islam dimanapun ia berada. Mayoritas ulama berpendapat demikian. ii. Aspek kedua: ”Aspek Teritorial”: Dapat dilihat bahwa hukuman terhadap tindak pidana menjadi tergantung pada eksistensi yurisdiksi Islam pada saat terjadinya tindak pidana itu. Bila yurisdiksi ini tidak ada di wilayah dar al-harb, maka seorang Muslim tidak dapat dihukum karena tindakan yang dilakukannya (di luar negara Islam). Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi. Akan tetapi apakah boleh, terkait dengan kewajiban ini, menyerahkan seorang Muslim atau dzimmiy ke dar al-harb untuk diadili karena kejahatan yang dilakukannya disana walaupun dalam rangka penerapan perjanjian internasional?248 248 Mantan Mufti Republik Arab Mesir, Prof. Dr. Nasr Farîd Wâsil mendukung ekstradisi Osama bin Laden dengan alasan-alasan berikut: "Perang melawan Afghanistan menjadikan orang sipil tak berdosa dan lemah sebagai sasaran. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini tidak ada keberatan dari perspektif Syariat Islam, Osama bin Laden menyerahkan diri karena oleh Amerika Serikat karena dianggap sebagai terdakwa utama tindakan terorisme di New York dan Washington, agar diadili dalam rangka menjaga perdamaian dunia dan keselamatan orang Afghan. Sebagai alternatif, rezim Taliban yang memberinya tempat berlindung, dapat menyerahkannya ke pengadilan di bawah Organisasi Islam Internasional atau badan yang netral di bawah pengawasan internasional untuk memastikan bahwa ia akan diadili secara adil, dengan menyelamatkan warga sipil Afghanistan yang lemah dan telah menjadi korban untuk penindasan dan agresi. Jadi, jika penghentian perang melawan Afghanistan dan pemulihan perdamaian internasional memerlukan ekstradisi Osama bin Laden, ia harus menyerahkan diri kepada suatu badan internasional di mana keadilan dapat ditegakkan oleh pengadilan yang adil, sebagaimana diabadikan oleh hukum universal yang diakui syariat-syariat agama Samawi dan kesepakatan hukum internasional. Yang penting bahwa pengadilan yang adil harus dipastikan dan Osama bin Laden harus memiliki kesempatan untuk membela diri dan menyerahkan bukti-bukti untuk membantah tuduhan terhadap dirinya. Akan tetapi apabila ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa kebenaran tidak dapat diungkap atau keadilan dapat ditegakkan kecuali bila sidang dilakukan oleh seorang hakim Muslim, dalam hal ini Osama bin Laden harus diadili di depan pengadilan Islam ... "Lihat Nasr Farîd Wâsil, “ Mufâja’ah Yufajjiuraha Mufti al-Jumhûriyyah: Taslîm Bin Laden li-Amrika Wâjib bi Syurût’ “, Jarîdah Saut al-Azhar, 23 Sya'ban, 1422 H/November 9, 2001, h. 3. 202 Dalam hal ini, Syekh Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut: i. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang Muslim tidak boleh diadili oleh hakim non-Muslim. ii. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang Muslim tidak boleh diadili dengan hukum yang tidak berdasar al-Qur’an dan Sunnah Nabi.249 (b) Ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional Jika sebuah negara Islam terikat dengan perjanjian internasional yang memungkinkan untuk mengekstradisi seseorang, maka tidak diragukan lagi negara tersebut harus menghormati kewajibannya, mengingat bahwa pemenuhan janji adalah aturan dasar Syariat Islam.250 249 Syekh Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabî,t.th.), h. 382-383. Hal senada dijelaskan pula oleh Mahmûd Ibrâhim Dik, al-Mu’âhadât fi al-Syarî’ah al-Islamiyyah wa al-Qanûn alDuwalî al-‘Âmm, (Dubai: al-Bayân al-Tijâriyah, h. 352-354. Seorang ahli menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengatur tentang ekstradisi para pelaku kriminal berdasarkan kalam Allah: “Barang siapa membunuh sebuah jiwa tanpa alasan yang benar atau membuat kerusakan di atas bumi, maka seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memberikan kehidupan kepada seorang manusia maka seolah-olah ia memberikan kehidupan kepada seluruh manusia”. (Q.S. al-Mâ’idah/5: 32). Ini berarti bahwa keadilan harus merata, dan penjahat harus dihukum. Dia menambahkan: “L'islam pose, le premier, le Principe de l'ekstradisi, en indiquant de la Facon la rationnelle et la, la sur laquelle dasar Noelle fondée est. En effet, il est dit dans le Quran (SV ay. 32): «Celui qui aura un homme tue sera regardé meurtrier du genre humain», n'est - ce pas la de l'indivisibilité justice de la et de la nécéssité de punir les coupables, nonobstant les politiques et les Frontières teori basées sur la theories de la souveraineté des Etats et la territorialité, des lois pénales “. Lihat A. Rechid, L'Islam et le droit des gens, RCADI, 1937, II, h. 434. Menurut Hamidullah:”Jika orang dari negara Muslim melakukan kejahatan di negara luar, meskipun tindakan kejahatan tersebut dilakukan untuk melawan non-Muslim, maka kasus mereka tidak dapat diadili dalam pengadilan Muslim, meskipun mereka mungkin akan diekstradisi jika ada perjanjian yang efektif. Hamidullah, Muslim Conduct State, Sh. M. Ashraf, (Lahore:tp. 1945), h. 178. 250 Lihat juga al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid 18, h. 412, 426. 203 Hal ini dapat disimpulkan dari insiden yang terjadi setelah Perjanjian Hudaybiyyah, ketika Abu Basir datang kepada Nabi Muhammad SAW, lalu suku Quraisy mengirim dua orang untuk meminta ekstradisi. Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abu-Basir, "Wahai Abu-Basir, kami telah memberikan orang-orang ini apa yang anda tahu (perjanjian) 251 dan dalam agama kami, pengkhianatan tidak pantas bagi kami. Allah Yang Maha Kuasa akan memberikan anda dan orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan dari penderitaan. Jadi kembalilah kepada kaummu". Abu Basir berkata: "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikan saya kepada orang-orang kafir untuk membujuk saya keluar dari iman? Nabi Muhammad SAW menegaskan: “Wahai Abu-Basir, pulanglah kepada kaummu, karena Allah akan memberikan kamu dan orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan diri dari penderitaan”. Maka Abu-Basir kembali ke kaumnya. Kemudian orang-orang Islam mulai tidak membiarkan orang mengunjungi suku Quraisy. Akibatnya orang Quraisy menderita kerugian akibat apa yang mereka dilakukan. Lalu suku Quraisy menulis surat kepada Nabi Muhammad SAW meminta untuk membawa mereka ke Madinah. Kemudian ayat al-Qur'an turun menggantikan kata ketentuan dalam hal pemulangan wanita251 Perjanjian yang disepakati kedua pihak adalah: ”Apabila salah seorang dari kami, bahkan yang seagama denganmu (Islam), datang kepadamu, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami.” 204 wanita Mukmin, 252 Nabi Muhammad pun membuat ketentuan yang melarang ekstradisi wanita-wanita Mukmin. Namun, dapatkah dikatakan bahwa ada pertentangan antara prinsip yang disebutkan sebelumnya mengenai tidak memperbolehkan ekstradisi pengungsi dan peristiwa yang terjadi selama perjanjian Hudaybiyyah?. Yakni ketika umat Islam memulangkan pengungsi dari Mekkah, meski mereka Muslim. Sementara itu orang Quraisy tidak akan mengizinkan Muslim masuk ke tanah mereka? Realitasnya, apabila ditinjau dari pengamatan yang sederhana pertentangan itu memang ada. Namun bila ditinjau secara mendalam, pertentangan itu tidak ada, didasari dengan dua alasan berikut: (1) Menurut Syariat Islam, pemenuhan janji merupakan suatu prasyarat yang wajib. 252 Ketentuan itu berdasarkan ayat “ujian” di dalam suarat al-Mumtahanah ayat 10. Ayat itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang-orang beriman! Ketika ada datang kepada kamu pengungsi wanita yang beriman, ujilah mereka: Allah tahu yang terbaik untuk iman mereka: jika kamu memastikan bahwa mereka beriman, janganlah mengirimkan mereka kembali kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal (sebagai istri) untuk orang-orang kafir, atau orang kafir tidak halal (suami) untuk mereka. bayarlah kepada orang-orang kafir apa yang mereka telah menghabiskan (pada mahar mereka). Dan tidak akan ada atas kamu jika kamu menikahi mereka. (Q.S. alMumtahanah/60:10). Mengomentari hal itu Ibn Hisyâm berkata: “Seandainya tidak ada ketentuan Allah tentang hal itu, Nabi Muhammad SAW akan memulangkan wanita-wanita Quraisy seperti yang dilakukannya dengan pria. Dan kalau bukan karena gencatan senjata dan perjanjian damai dengan Quraisy di Hudaybiyya, beliau akan tetap menahan wanita-wanita itu dan menjadikannya tebusan. Ini adalah sikap Nabi SAW terhadap wanita-wanita muslim sebelum adanya perjanjian. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid 2, h. 326-327. al-Hâzimî mengatakan tentang tidak dapat diterimanya pemulangan wanita: “Ada sebuah dalil bahwa jika kepala negara membuat syarat dalam perjanjian yang tidak boleh dilakasanakan karena bertentangan dengan agama, maka syarat itu dianggap batal. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW: “Setiap ketentuan yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka ketentuan itu batal.” Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hâzimî, alI'tibâr fi Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr, op cit, h. 332. 205 (2) Namun, ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Hal yang harus dipenuhi adalah musta’min dijamin keselamatannya serta keamanan hidup dan harta miliknya. Hal ini membawa kita untuk mengatakan bahwa ekstradisi dapat diterima dalam Islam setelah adanya perjanjian antara negaranya dengan negera Islam. Bila tidak ada perjanjian, maka orang tersebut tidak dapat diekstradisi, karena bila tetap diekstradisi, maka hal itu akan dianggap sebagai pengkhianatan dan pelanggaran hak aman yang sudah ada sebelumnya, mengingat bahwa tinggal terus-menerus tanpa perjanjian adalah tanda kerelaannya untuk tunduk kepada hukum-hukum yang berlaku di negara Islam. Menurut pendapat kami, kepala negara Islam harus menetapkan untuk musta'min, waktu untuk kembali ke negara asalnya atau tempat lain pilihannya, demikian untuk mempertahankan “aman” yang diberikan kepadanya, dalam penerapan prinsip tidak boleh ektradisi ke tempat di mana ada kekhawatiran akan dianiaya 253 dan dalam rangka pencegahan pengkhianatan dalam bentuk apapun. 253 Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ekstradisi oleh negara atas warga negara dari sebuah negara asing untuk dipulangkan ke negara mereka, tidak bertentangan dengan perjanjian “aman” atau Syariat Islam, karena “aman” yang diberikan kepada musta'min, apabila ada perjanjian ekstradisi, telah memenuhi syarat dengan kondisi implisit (dimnî) yakni memulangkannya ke negaranya, jika ada permintaan dan syaratsyarat untuk ekstradisi terpenuhi. Lihat Dr `Abd al-Karîm Zaydân, Ahkâm al-Dzimmiyyîn wa al-Musta’minîn fî Dâr al-Islâm, (Baghdad; Maktabah al-Quds, Beirut: Mu'assasât al-Risâlah1402 H/1982 M), h.121 Bahkan kita percaya bahwa ini dapat terjadi hanya jika perjanjian ekstradisi disepakati sebelum pemberian hak “aman”. Dalam hal demikian, ekstradisi akan berlaku di bawah syarat yang jelas dan didasarkan pada pengetahuan sebelumnya oleh musta'min tersebut. Di sisi lain, jika perjanjian ekstradisi itu disepakati setelah pemberian hak aman, maka musta’min tidak dapat diekstradisi, tetapi ia akan ditawarkan pilihan untuk 206 Preseden perjanjian Hudaybiyyah menunjukkan dua pertimbangan: Pertama: Negara Islam boleh mengektradisi Muslim jika terikat dalam perjanjian internasional, asalkan ia telah memasuki wilayah Islam setelah ratifikasi perjanjian. Kedua: Dia yang masuk negara Islam sebelum ratifikasi perjanjian internasional, tidak dikenakan ketentuan ekstradisi karena tidak adanya kesepakatan yang tersedia terkait hal itu.254 Selain Perjanjian Hudaybiyyah, terdapat pula sebagai contoh dari sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani oleh negara Islam untuk mengekstradisi orang tertentu. Banyak contoh yang dapat ditelusuri dalam praktek negara-negara Islam.255 diantar ke tempat di mana ia merasa aman. Dalam kasus ini, tidak bisa dikatakan bahwa adanya “syarat dimnî" dibenarkan untuk ekstradisi. Dalam pandangan kami, ini adalah pandangan asumtif yang tidak sesuai dengan kenyataan. al-Syaukânî mengatakan, "Ketahuilah bahwa kembalinya orang-orang kafir yang melarikan diri ke tanah Muslim, yang ingin memeluk Islam, jelas bertentangan dengan ketentuan Syariat dan persyaratan kehormatan Islam. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika penguasa cenderung untuk percaya bahwa jika hal ini tidak dilakukan, akan terdapat kerugian jauh lebih besar oleh orang-orang kafir terhadap kekuasaan Islam. Lihat al-Syaukânî, al-Sail al-Jarrâr al-Mutadaffiq 'alâ Hadâi'q al-Azhâr. h. 537. 254 Pada saat perang Hudaybiyyah, dua orang budak datang kepada Nabi Muhammad SAW sebelum perjanjian perdamaian ditandatangani. Tuan-tuan mereka menulis kepada Nabi dan berkata, “Wahai Muhammad, mereka datang kepada anda bukan karena mencintai agama anda, tetapi dalam rangka lari dari perbudakan”. Beberapa sahabat Nabi berkata: “Mereka benar, wahai Rasulullah”. Nabi menjawab, “Anda kaum Quraisy, aku lihat kalian tidak akan dihalangi sampai Allah mengirimkan kepada kalian beberapa orang untuk memotong leher kalian untuk ini”. Dia menolak untuk mengembalikan mereka ke perbudakan, Nabi mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah” Lihat al-Khattabî, Ma‘âlim al-Sunan, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401 H /1981 M), Jilid. 2, h. 295. 255 Salah satu contoh adalah perjanjian antara Muslim dan dengan bangsa Nubia yang menyatakan: “Kami dengan ini melakukan kontrak dan perjanjian agar kalian memberikan kepada kami tiga ratus kepala (sapi) setiap tahun; dan kalian boleh masuk ke negeri kami untuk transit bukan untuk tujuan tinggal. Demikian pula kami dapat memasuki negara kalian dengan ketentuan yang sama. Namun, jika Anda membunuh seorang Muslim, maka perjanjian ini akan dibatalkan; dan jika Anda memberikan suaka bagi budak yang dimiliki oleh umat Islam, maka kalian harus memulangkan budak Muslim yang lari atau dzimmî yang meminta suaka kepada 207 Jika tidak ada perjanjian sejenis yang disepakati maka urusannya dikembalikan kepada kebijaksanaan penguasa dimana pengungsi berada di sana.256 kalian. Lihat Ibn ‘Abd al-Hakam, Futûh Misr wa al-Maghrîb, diedit oleh ‘Abd al-Mun'im Âmir, (Kairo: Lajnah al-Bayân al-‘Arabî, Bagian Sejarah), h. 254. Contoh lain adalah perjanjian antara Sultan Mamluk dan Gubernur Acca yang berbunyi :"Setiap kali ada seorang yang secara sukarela lari dari wilayah di bawah kekuasaan Sultan dan putranya ke Acca, maka segala harta benda, pakaian dan barang – barang yang dibawanya, harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan (ke negara Sultan) dan orang tersebut ditinggalkan seadanya. Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Kristen, dia akan kembali ke pintu-pintu (negeri asalnya) beserta semua harta benda dengan pertolongan orang-orang yang dapat dipercaya setelah diberikan hak aman. Demikian juga, jika salah satu orang dari Acca atau kota-kota pesisir yang termasuk dalam perjanjian ini, datang dengan niat memeluk Islam lalu memeluk Islam dengan keinginannya sendiri, maka semua harta bendanya harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan ke tempat asalnya, dan ia dibiarkan/ ditinggalkan seadanya (atas pilihannya). Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Islam dan ia benar-benar tidak mengubah agamanya, dia akan dikembalikan bersama dengan semua harta bendanya kepada pemerintah Acca dan diberikan bantuan setelah diberikan hak “aman” "Lihat al-Qalqasyandî, Subh alA’syâ, Jilid 14, h.56-57. Terdapat pula contoh perjanjian yang diratifikasi antara Raja Levon dari Cisse dan Sultan Qalawun yang berbunyi: "Setiap kali ada orang melarikan diri dari negeri Sultan Qalawun, Raja Levon dan wakilnya harus menahan dan memulangkannya ke negeri Sultan ...Jika salah seorang rakyat, budak, atau tentara Raja Levon melarikan diri dan tetap mematuhi agamanya, maka wakil Sultan berjanji untuk memulangkannya. Tetapi jika ia memeluk Islam, maka harta benda yang dibawanya harus dikembalikan. Lihat Muhyi al-Dîn bin Abd al-Zâhir, Tasyrîf al-Ayyâm wa al-‘Usûr fî Sirah al-Malik al-Mansûr, diedit oleh Murâd Kâmil, (Kairo: Wizârah alTsaqafah wa al-Irsyâd al-Qaumî, 1961), h.100. Lihat juga h. 101: “Setiap kali sesuatu diambil atau seseorang dari salah satu pihak tewas, pelaku harus diekstradisi untuk dikisas”. Contoh lebih lanjut dapat dilihat pada perjanjian antara al-Mansur Qalawun dan Rodrigon dari Barcelona dan saudaranya penguasa Sisilia, yang menyatakan :”Setiap kali seseorang dari negara-negara di bawah Sultan Qalawun yang terikat dengan perjanjian damai ini, melarikan diri ke wilayah Raja Rodrigon dan saudara-saudaranya atau membawa barang kepada pihak lain dan berada di negara-negara tersebut, Rodrigon akan mengembalikannya beserta harta yang dibawanya ke wilayah Sultan, selama dia tetap seorang Muslim. Jika ia pindah agama ke Kristen, maka harta benda yang dibawanya, baik yang miliknya sendiri atau yang ia peroleh dari kerajaan Rodrigon dan saudaranya, harus dikembalikan. Termasuk juga mereka yang lari dari negaranya memasuki teritori dibawah kekuasaan Sultan.. Lihat teks dalam Dr Muhammad Mâhir Hammadah, al-Watsâiq al-Siyâsiyah wa al-Idâriyah li al-‘Asr al-Mamlûkî, (Beirut: Muassasât al-Risâlah, 1403 H /1983 M), h. 490. 256 ` Ibn Tabâtiba menjelaskan tentang Dubays bin Shadaqah, penguasa Hillah dengan cara menceritakan kisah pemberian suaka Pangeran Abû al-Hasan, saudara Khalifah al-Mustarsyid: “Dubays adalah tuan rumah, pelindung, tempat perlindungan dan benteng. Di bawah kekuasaannya, Hillah adalah pusat wisatawan, tempat perlindungan bagi musafir, benteng untuk orang terusir, dan pegangan bagi orang-orang ketakutan”. Lalu Khalifah memintanya untuk mengucapkan sumpah kesetiaan kepada Khalifah dan mengekstradisi saudaranya. Dia setuju untuk mengucapakan sumpah kesetiaan, tetapi menolak untuk mengekstradisi saudara Khalifah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkannya kepada anda dan ia akan tetap menjadi tamuku bahkan jika saya harus tewas dalam membelanya.”Lihat Ibn Tabâtiba, al-Fakhr fi alAdab al-Sultâniyyah wa Duwal al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr Sadir, t.th), h. 302. Penyair ‘Adîl bin al-Farkh pernah menulis sebuah puisi yang menyebabkan kemarahan al-Hajjaj (salah seorang gubernur pada masa Dinasti Abbasiyyah), dan menginginkan ia ditangkap. Tapi ‘Adîl berhasil melarikan diri ke wilayah Romawi. Al-Hajjâj pun menulis surat kepada Kaisar Romawi, "Demi Allah, jika anda tidak mengirimnya kembali ke saya, saya akan mengirimkan tentara perang kepada anda, yang dimulai padamu dan berakhir padaku!" Kemudian ‘Adîl dipanggil dan dipulangkan ke al-Hajjâj (tapi al-Hajjâj kemudian melepaskannya setelah penyair tadi menulis sebuah puisi yang memujinya.) Lihat al-Raqqâm al-Basrî, Kitâb al'Afw wa al-I'tidzâr, (Riyâd: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Sa‘ûd al-Islamiyyah, 1401 H/1981), Jilid 2, h. 353- 208 Hal tersebut di atas tidak bertentangan dengan Syariat Islam. A.3.Sejauh mana ekstradisi dapat diterapkan bagi pengungsi tawanan perang Menurut Syariat Islam, disebutkan sebelumnya bahwa dibolehkan memberikan suaka teritorial bagi tawanan perang yang berasal dari negara non-Islam, jika mereka memeluk Islam atau menjadi dzimmiy. Akan tetapi, apakah boleh mengekstradisi tawanan perang yang beragama Islam yang lari dari kawasan musuh untuk menyelamatkan diri dari musuh? Dapat disimpulkkan bahwa para ahli Syariat Islam hampir sepakat bahwa tawanan Muslim tidak boleh dikembalikan kepada musuh dalam kondisi seperti ini, meskipun ada perjanjian internasional yang membolehkan adanya ekstradisi, karena perjanjian tersebut dipandang tidak sesuai dengan kondisi atau dianggap batal. Dan hal itu menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan.257 Menurut Ibn Hazm, "Jika seorang tawanan Muslim berada di tangan orang-orang kafir kemudian mereka membuat perjanjian dengan meminta tebusan untuk pembebasannya, 356. Diantara contoh suaka adalah suaka Ibn al-Asy'âts ke Kabul, Afghanistan, dan selama masa pemerintahan al-Hajjâj, di mana ia telah diberikan suaka oleh Shah Kabul, h. 368. 257 Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Azis, ia mengatakan, “Jika seorang tawanan perang muslim lari untuk mempertahankan hidupnya, ia akan ditebus oleh Muslim lain dan tidak akan dikembalikan kepada nonMuslim, sebagaimana Allah SWT berkalam: "Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, dan tidak halal bagi anda untuk mengusir mereka." Ini ada di dalam bahasa Arabnya” (Q.S. al-Baqarah/2:85). Lihat Imam Hamîd bin Zanjawaih. Kitâb al-Amwâl, (Riyâd: Markaz Mâlik Faisal li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1406 H/1986 M), Jilid I, h. 323. 209 jika akhirnya ia benar-benar dibebaskan, maka ia tidak boleh kembali kepada mereka atau memberikan apapun kepada mereka, dan pemimpin Islam tidak boleh memaksanya untuk memberikan tebusan apapun kepada mereka."258 Hal ini berlaku jika tawanan tersebut adalah Muslim. Namun bila tawanan tersebut non-Muslim, dan ia berada di dalam kekuasaan Muslim, maka kita tidak boleh pula menyerahkan mereka, dan wajib memberikan hak aman dan suaka kepadanya dalam kondisi tertentu jika ia ingin mendengar kalam Allah. Ini adalah penerapan kalam Allah: Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka kepadamu maka berikanlanh suaka hingga mereka mendengar kalam Allah kemudian sampaikan kepadanya perlindungan (diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6) Dengan kata lain, bila ia memeluk Islam, maka sudah menjadi kewajiban yang tidak dapat dipungkiri bagi negara Islam untuk memberikan suaka kepadanya. Dari pernyataan diatas, terlihat jelas bahwa Islam telah melampaui praktek – prakter internasional. Contohnya, dalam US Army Field Manual 1956 tentang penahanan pengungsi dalam perang, menyatakan bahwa suatu kekuasaan untuk menahan, mungkin sah untuk, dengan kebijakannya sendiri, 258 Ibn Hazm, al-Muhallâ, Jilid. 7, h. 308-309. Lihat juga al-Syâfi'î, al-Umm, Jilid 5, h. 194, alNawawi, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 283. 210 memberikan suaka bagi tawanan perang yang tidak ingin dipulangkan. 259 B. Menurut Hukum Internasional Dalam hukum internasional, Pasal 1-F Konvensi 1951 (dan juga Pasal 1-5 Konvensi 1969 Organisasi Dunia Afrika tentang Aspek-Aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika serta Pasal 2 Konvensi Arab 1994), mengacu kepada orangorang yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh perlindungan internasional260 dan akibatnya dikecualikan dari ruang lingkup penerapan aturan-aturan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang "dengan alasan serius” dianggap: (i) Telah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan perdamaian atau kejahatan perang, atau kejahatan melawan kemanusiaan.261 259 Dalam hukum tersebut dinyatakan bahwa, ”Sebuah kekuatan untuk menahan mungkin sah untuk, dalam kebijaksanaannya sendiri, memberikan suaka kepada tawanan perang yang tidak ingin dipulangkan.” Lihat: Whiteman, Digest of IL, Vol. 10, hal 260. Pada tanggal 27 Juli 1953, Menteri Luar Negeri AS membuat pernyataan mengenai pemberian suaka untuk tahanan perang Korea dan Cina sebagai berikut: "Prinsip kedua yang sangat penting dan telah mapan adalah prinsip suaka politik yang tidak pernah diterapkan sebelumnya kepada para tahanan perang. Banyak tawanan perang komunis dari Korea Utara dan China yang menyerah, tidak ingin dikembalikan ke penampungan, tetapi mereka ingin tinggal di tanah kebebasan” tambahnya. Dia memaparkan bahwa bahwa pihak komunis bersikeras mengajukan permintaan agar mereka dikembalikan secara paksa sebagai para tahanan perang. Tapi Amerika Serikat menolak keras permintaan ini, dan mereka pun menyerah“. Lihat Whiteman, Digest of IL, vol. 10, h. 262-263. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim telah membahas masalah ini berabad-abad yang lalu. 260 Selain itu, dua kategori orang yang dikecualikan: a. Mereka yang menikmati perlindungan dari Badan atau Perwakilan PBB yang tidak diserahi tugas oleh PBB dalam urusan pengungsi (Pasal 1D) b. Mereka yang menikmati hak-hak mereka dan mereka memiliki kewajiban yang terkait dengan kepemilikan kewarganegaraan di negara tempat ia tinggal. 261 Lihat-terkait pidana ini-Ahmad Abû al-Wafâ’, Criminal International Law, (Cairo:Dar al-Nahda alArabia, 2007), h. 167-189. Lihat pula rekomendasi Lajnah al-Wuzara fi Majlis Uroba (Dewan Menteri Majelis Eropa) kepada negara-negara anggotanya,tentang tafsir dan penerapan teks tersebut (Rekomendasi No. 6 Tahun 211 (ii) Telah melakukan kejahatan (selain politik) yang sangat berbahaya di luar negara tempat mengungsi sebelum ia diterima di negara tersebut sebagai pengungsi. (iii) Telah dinyatakan bersalah karena telah melakukan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsipprinsip dasar PBB. 262 Sudah jelas bahwa tujuan dari hal tersebut adalah mencegah pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan hak suaka, menikmati kekebalan, serta terhindar dari jeratan sanksi hukum.263 Hal ini perlu dicatat pula, disamping orang-orang yang disebutkan di atas yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi, ada pula orang-orang yang tidak membutuhkan perlindungan dari Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), yakni orang – orang yang sudah 2005), dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern of UNHCR, Vol. IV, h.1419-1420. 262 Mengenai tujuan dan dan prinsip-prinsip dasar PBB, lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Wasît fî alQanûn al-Munazzamât al-Dauliyyah, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-Arabiyah, 1427 H/2007 M, cet. ke-7, h. 307327. 263 Hal ini ditekankan dalam beberapa instrumen PBB: Pasal 14 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak untuk mencari suaka dan untuk menikmati perlindungan dari penganiayaan di negara lain tidak diperbolehkan dalam kasus-kasus kejahatan non-politik atau dari tindak pidana lain yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi tentang Suaka Teritorial (yang diadopsi oleh Majelis Umum di bawah Resolusi Nomor 2312 Tahun 1967) menyatakan bahwa, "hak suaka mungkin tidak dibolehkan bagi setiap orang yang telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.."(Pasal 1-2) Resolusi No. 3074 yang dikeluarkan pada tahun 1973 oleh Majelis Umum khususnya tentang prinsipprinsip kerjasama internasional dalam ekstradisi, pelacakan, dan hukuman pelaku kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, menyatakan bahwa "Amerika Serikat mungkin tidak memberikan suaka bagi orang-orang tertentu dengan alasan serius karena dianggap telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan" (Pasal 7). Pasal 15 dari Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang terhadap Penghilangan Paksa (1992) menyatakan bahwa "Dalam mengambil keputusan untuk memberikan atau menolak suatu suaka seseorang, Negara pihak berwenang yang terkait harus mempertimbangkan apakah ada alasan untuk percaya bahwa orang yang terlibat berpartisipasi dalam tindakan penghilangan paksa.. 212 menikmati perlindungan atau bantuan dari organisasi atau lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lain (misalnya, orangorang Palestina yang berada dibawah mandat United Nations Relief and Work Agency for Palestine Refugees in the Near East atau Badan Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA)). Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1-D Konvensi 1951 yang menetapkan bahwa “Konvensi ini tidak berlaku bagi orang yang saat ini menerima perlindungan atau bantuan dari organisasi atau lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa selain UNHCR”. Ketika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk alasan apapun tanpa status definitif, sesuai dengan resolusiresolusi yang relevan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB, maka orang-orang ini, berhak atas manfaat dari Konvensi ini karena dinilai penting (ipso facto). Ini berarti bahwa penerapan ketentuan tersebut diatur oleh 2 (dua) aturan: 1) Seseorang tidak akan menikmati manfaat Konvensi ini, jika ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari organisasi atau badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa selain UNHCR. 2) Orang yang menikmati manfaat dari Konvensi ini, harus memenuhi 2 (dua) syarat: (i) Jika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk alasan apapun; 213 (ii) Jika status akhir orang tersebut belum diselesaikan secara definitif. Di sisi lain, ada lagi kategori orang-orang yang dianggap tidak membutuhkan perlindungan internasional. Hal ini berlaku untuk orang-orang yang mungkin memenuhi syarat untuk status pengungsi, tapi telah diterima di suatu negara di mana mereka telah diberikan sebagian besar hak-hak yang biasa dinikmati oleh warga negara tetapi tidak diberikan kewarganegaraan resmi (Mereka ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional"). Negara yang menerima mereka, umumnya adalah negara yang penduduknya beretnis sama dengan pengungsi yang diterimanya.264 II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka: perlindungan sementara A. Menurut Syariat Islam Sistem perlindungan sementara diakui dalam Islam dengan pemberian hak “aman”, di mana pengungsi diakui sebagai musta'min (orang yang berada di bawah perlindungan sementara) untuk jangka waktu sampai dengan satu tahun. 265 264 Pasal 1 E dari Konvensi 1951 menetapkan bahwa "Konvensi ini tidak berlaku bagi orang, yang sebagaimana diakui oleh pejabat yang berwenang dari negara di mana ia telah tinggal, yang dianggap telah memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan kewarganegaraan di negara itu." Lihat, UNHCR Handbook tentang Prosedur dan Kriteria Penentuan Status Pengungsi di bawah Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi, Genewa: UNHCR, 1992, h. 45. 265 Dikatakan bahwa untuk para ahli hukum Islam, seorang musta'min "adalah orang yang masuk ke negeri Islam di bawah perjanjian sementara “aman” yang diberikan oleh penguasa atau individu Muslim. 214 Jika dia ingin tinggal lebih lama, ia akan diakui sebagai dzimmiy (non-Muslim yang tinggal permanen di wilayah Muslim). Aturan “perlindungan” itu didasarkan pada kalam Allah: Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka kepadamu maka berikanlah suaka hingga mereka mendengar kalam Allah kemudian sampaikan kepada kepadanya perlindungan (diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6) Dan Hadis Nabi SAW: Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang lain.266 Perbedaan antara dzimmiyy dan musta'min adalah bahwa perlindungan yang permanenlah (atau kekal) yang diberikan kepada yang pertama, dan perlidungan yang sementara kepada yang kedua. Aturan dalam Islam adalah bahwa non-Muslim yang tidak diakui sebagai dzimmiy tidak akan diberikan tempat tinggal permanen di tanah Muslim, tetapi akan diberikan perlindungan jangka pendek untuk tinggal di bawah aman sementara. Ada konsensus di antara mayoritas ahli hukum Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali bahwa mereka yang tinggal sebagai musta'min di tanah Muslim harus kurang dari satu tahun. Jika ia menyelesaikan satu tahun penuh atau lebih, dia akan diminta untuk membayar jizyah dan kemudian diakui sebagai dzimmiy. Panjang tinggal oleh seorang nonMuslim adalah bukti penerimaannya untuk tinggal permanen serta kondisi yang dikenakan pada dzimmiy. Sebagian besar ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat bahwa kecuali seorang non-Muslim diberi jangka waktu tertentu, maka ia harus diakui sebagai dzimmiy dengan ketentuan masa tinggal selama satu tahun. Jika seorang musta'min melewati batas waktu izin tinggal dengan waktu yang lama dan bahkan melebihi satu tahun setelah diperintahkan untuk pergi, ia akan diminta untuk membayar jizyah. Periode satu tahun dihitung dari tanggal peringatan oleh penguasa untuk pergi. Jika ia melewati batas waktu izin tinggal selama bertahun-tahun tanpa diperintahkan oleh penguasa untuk pergi, ia dapat kembali ke wilayah non-Muslim, dan karena itu, tidak akan diakui sebagai dzimmiy. Lihat al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-‘Âmmah, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li alSyu’ûn al-Islâmiyyah,) h. 1288. Diakui secara luas bahwa seorang musta'min adalah orang yang mencari aman atau masuk ke lahan lainnya, jadi dia seorang Muslim atau non-Muslim. Lihat Muhammad 'Ala al-Dîn al-Haskafî, Syarh al-Durr al-Mukhtâr, Mesir: al-Wa'îz, Jilid. 2), h. 98. Musta'min adalah orang asing untuk tanah Muslim, lihat ‘Abd al-Karîm Zaidân, Ahkâm al-dzimmiyîn wa al-Musta'minîn fi Dâr al-Islâm, op cit, h. 66-67. 266 Penelusurannya telah dijelaskan sebelumnya pada halaman 83. 215 Ini berarti bahwa seorang individu: pria, wanita atau bahkan seorang budak dapat memberikan perlindungan/ aman.267 Setelah “aman” diberikan, maka musta’min harus dihormati, mengingat bahwa pemenuhan perjanjian adalah kewajiban dalam Islam. Akibatnya, seorang musta'min harus dijamin hak hidup, begitu pula harta dan kerabatnya, jika mereka berada dalam lindungan sistem “aman”.268 Dalam kaitan ini, al-Nawâwi mengatakan: "Setelah “aman” diberikan (kepada musta'min), maka ia tidak akan dibunuh dan harta miliknya tidak akan dijarah. Bagaimana jika dia terbunuh? al-Nawâwi mengatakan bahwa musta'min dijamin keamanannya seperti dzimmiy. “Aman” adalah kewajiban terhadap umat Muslim dan hal ini tidak boleh dihalangi oleh penguasa. Jika dirasa musta'min berkhianat, baru penguasa boleh mencabutnya, karena dalam kasus ini, hal itu diperbolehkan untuk menolak gencatan senjata. Begitu pula, perlindungan yang diberikan oleh individu, dapat dicabut oleh seorang non-Muslim, kapanpun ia ingin. Perlindungan 267 I. Shehata mengomentari pemberian hak “aman” oleh individu: “Membiarkan orang asing untuk memasuki negara dan mendapat perlindungan Negara Islam hanya berdasarkan undangan dari warga Muslim negara ini, adalah sebuah sistem unik dan salah satu yang tidak ada persamaannya di dalam hukum internasional sekarang.” Lihat I. Shehata, Islamic Law and the World Community, h.108. 268 Aturan dalam Syariat Islam adalah merupakan pelanggaran hukum menjadikan musta’min sebagai budak, bahkan ketika dia melanggar perjanjian. Jika ia melakukan perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran “aman”, maka ia akan diantar ke tempat di mana dia merasa aman, setelah menyelesaikan seluruh kewajibannya. Lihat Mausû’ât al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo:, 1391 H, h. 24-25. Ada pula yang berpendapat bahwa orang asing (non-warga negara) di negara Islam, termasuk turis, pedagang atau pengungsi dianggap sebagai musta'min yang menikmati perlindungan di tanah Muslim. Lihat M. Abdel Rahim, Asylum and Sanctuary in Islam, Khartoum Séminaire de Khartoum sur les Refugiés, 11-14 September 1982, (Khartoum: Khartoum University Press, 1984), h. 5. 216 tidak berlaku bagi keluarga dan kekayaan musta’min yang tidak dibawa/ ditinggal di negara non-Muslim. Sedangkan, bagi harta dan keluarga yang menyertai musta’min¸ kondisi spesifik perlindungan dapat berlaku. Jika tidak, “aman” tidak berlaku, mengingat sifat khusus dari teks perjanjian.”269 Ini berarti bahwa musta'min akan aman dan tidak bisa diganggu di tanah Muslim dan tidak boleh diserang atau dihina. Dalam hal ini, Ibn Yahya al-Murtada mengatakan: "Barang siapa yang bebas atau mendapat hak “aman” sebelum larangan penguasa, dengan catatan ia beragama Islam yang mukallaf (dewasa), maka adalah dilarang untuk mengganggunya dan membunuhnya sebelum masa satu tahun, atau lebih. Jika musta'min melanggar perjanjian aman, ia harus diantar ke mana ia merasa aman, tapi ia tetap tidak boleh diserang, karena ini akan dianggap sebagai pengkhianatan."270 269 al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid l. 10, h. 281. 270 Ahmad ibn Yahya al-Murtadâ, Kitâb al-Azhâr fi al-Fiqh al-A'immah al-Athar, (San'a: Muassasât Ghamdhan), h. 320-321. Imam al-Nawâwî mengatakan, "Tujuan utama mengantar orang non-Muslim ke tempat di mana dia merasa aman adalah untuk melindungi dirinya dari Muslim dan musta'min lain, dengan menempatkan di tanah non-Muslim. Menurut Ibn Kajj, dipandang sudah cukup mengantarnya hingga perbatasan tanah non-Muslim. Ia juga berpedapat bahwa orang tersebut tidak harus diantar hingga kota atau desa asalnya, kecuali bila negara Islam itu berada diantara negara non Muslim dan negara asalnya sehingga ia harus transit melalui wilayah Muslim. Menurut pendapat lain, jika ia memiliki pilihan dua tempat di mana ia bisa merasa aman, ia harus dibawa ke salah satu dua negara tersebut. Pilihan penempatan tersebut harus berdasar kebijaksanaan penguasa negara Islam. Lihat al-Nawâwi, Raudat al-Tâlibîn, ibid, Jilid 10, h. 338-339. 217 B. Menurut Hukum Internasional Sistem perlindungan sementara271 (temporary protection) mengacu pada perlindungan yang diberikan oleh negara, terutama ketika dihadapkan pada kejadian masuknya massa dalam skala besar (large-scale mass influx) secara tiba-tiba, sehingga negara memberikan suaka untuk orang-orang tersebut. Oleh karenanya, pemberian suaka itu merupakan respon jangka pendek dan instan, ketika sejumlah penduduk melarikan diri dari konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia atau bentuk lain penganiayaan. Perlindungan sementara ini tidak akan berlangsung untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menunjukkan adanya perbaikan, karena orang tidak boleh dibiarkan hidup selamanya di bawah tingkat perlindungan minimum tanpa akhir. Negara-negara di dunia harus menerapkan prosedur normal terhadap mereka untuk mendapat suaka atau memberikan hak tinggal secara legal.272 271 Perlindungan sementara didefinisikan sebagai “suatu pengaturan atau mekanisme yang diperkenalkan oleh negara untuk memberikan perlindungan sementara untuk orang-orang tertentu secara massal dari konflik atau situasi konflik, sebelum proses penentuan status pengungsi diselesaikan bagi masing-masing individu.” Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, op cit h.133. 272 Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, h. 53. Sementara Rekomendasi No. 9 (2001) Dewan Menteri Majelis Eropa (Council of Europe Ministerial Committee) menyatakan bahwa orang-orang yang diberikan perlindungan sementara harus diberikan sedikitnya mata pencaharian yang memadai, termasuk perumahan, perawatan kesehatan yang tepat, pendidikan untuk anak-anak dan pekerjaan sesuai standar undang-undang nasional. Lihat juga Rekomendasi Tahun 2001 yang diberlakukan di lingkungan masyarakat Eropa, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op.cit,Vol. IV, h. 1410, 1620 – 1632. Patut dicatat bahwa Rekomendasi No. 18 (2001) Dewan yang sama mengadopsi konsep “perlindungan kehati-hatian atau pengganti” (subsidairy protection) untuk diterapkan kepada orang-orang yang tidak memenuhi kriteria status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tetapi karena risiko penganiayaan atau dipaksa untuk meninggalkan negara asal, mereka membutuhkan perlindungan internasional. 218 III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solution) Telah disepakati bahwa dalam kaitan masalah pengungsi, seperti dalam semua hal lainnya, pencegahan lebih baik daripada mengobati. Oleh karena itu, tujuan akhir dari perlindungan internasional adalah untuk mencapai solusi jangka panjang untuk masalah pengungsi. Ada 3 (tiga) macam solusi jangka panjang untuk pengungsi:273 1. Pemulangan sukarela ke negara asalnya, sebuah keputusan yang harus diambil oleh pengungsi atas pilihan sendiri, berdasarkan informasi yang tersedia baginya tentang kondisi saat ini di negara asalnya; 2. Integrasi lokal di negara suaka; dan 3. Penempatan di negara ketiga selain negara asalnya dan selain negara suaka pertama. Selain itu, ada alasan lain yang dapat menyebabkan penghentian suaka dalam Islam. Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. IV, h. 1412. The Executive Committee of The UNHCR Programme dalam Kesimpulan No. 19 (XXXI) menekankan karakter yang luar biasa dari perlindungan sementara dan kebutuhan yang penting bagi orang-orang tertentu yang telah mendapatkan perlindungan sementara untuk menikmati standar dasar kemanusiaan. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme, op.cit, h. 41. Kesimpulan Komite Nomor 22 (XXXII) yang menetapkan hak-hak minimum yang harus dinikmati oleh pengungsi yang telah menerima perlindungan sementara. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme, h. 50-51. 273 Pasal 1-4 Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) and Pasal 4 al-Ittifaqiyyah al-‘Arabiyyah (1994). 219 1.1. Pemulangan sukarela A. Menurut Syariat Islam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam tahun 1990 menetapkan bahwa “Setiap orang, jika mengalami penganiayaan, maka ia memiliki hak untuk mencari suaka di negara lain. Negara tersebut harus menjamin perlindungan hingga ia sampai di tempat aman, kecuali suaka itu dimotivasi oleh suatu tindakan kejahatan menurut Syari'ah." (Pasal 12). Ada banyak contoh pemulangan sukarela yang dilakukan para pengungsi di antaranya: (i) Ibn Hisyâm menceritakan bahwa setelah mendengar bahwa orang Mekkah telah memeluk Islam, para pengungsi Muslim di Abessinia (Ethiopia) memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Tapi ketika mereka mendekati Mekkah, mereka mendapat berita tentang konversi orang Mekkah itu tidak benar. Maka tidak satupun dari mereka memasuki kota kecuali ada perjanjian perlindungan (jiwar) atau di bawah penyamaran (mustakhfiyan).274 (ii) Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Amr bin Umayyah ad-Dhimari kepada Raja Negus untuk memintanya mengirim kembali Muslim yang berlindung dengan dia. Kemudian ia membawa mereka dengan dua perahu yang berisi enam 274 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 463. 220 belas orang, termasuk Ja'far ibn Abi Tâlib, dan dibawa kepada Nabi SAW di Khaibar. Ini terjadi setelah Perjanjian Hudaybiyyah.275 (iii) Dalam konteks yang hampir sama, Huwaitib ibn ‘Abd al‘Izzi berkata: "Ketika Nabi Muhammad SAW memasuki Mekkah dalam masa penaklukan Mekkah, saya sangat takut. Aku keluar rumah untuk menempatkan anak-anak saya ke berbagai tempat di mana mereka merasa aman. Lalu kaki saya membawa saya ke rumah 'Auf, tiba-tiba saya menemukan diri berhadapan dengan Abi-Zar al-Ghiffari, yang sebelumnya adalah temanku. Saat aku melihat dia, aku lari. Tapi dia memanggilku dan menanyakan apa yang terjadi dengan saya. Kukatakan padanya aku takut. Ia berkata, "Jangan takut, kau aman di bawah lindungan Allah. Aku pun kembali dan berjabat tangan dengan dia dan dia memintaku untuk pulang "Pulanglah ke rumahmu!”, katanya. Aku bertanya ”Apakah aku punya jalan untuk pulang?" Demi Tuhan aku tidak melihat ada kemungkinan aku sampai di rumah dalam keadaan hidup karena aku akan ditemukan dan dibunuh, atau mungkin diserang dan dibunuh di sana! Anak-anakku tersebar di beberapa tempat", tambahku. Dia mengatakan kepada saya untuk 275 Abû Abdillah Muhammad Ibn Ishâq, al-Siyar al-Kabîr, Jilid II, h. 359. Lihat ‘Ali ibn Sa’ûd alKhuza’î, Takhrîj al-Dalalat al-Sami’yyah, tahqîq Ihsân ‘Abbâs (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmiy, 1416 H/1999 M), h. 210. 221 mengumpulkan anak-anakku dan ia akan mengawal saya ke rumah saya. Dalam perjalanan kami, ia terus berteriak bahwa Huwaytib aman dan tidak harus diserang. Lalu AbiZar pergi ke Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya tentang kejadian itu. Nabi bersabda, "Bukankah semua orang telah aman sekarang, kecuali yang diperintahkan untuk dibunuh?" Huwaytib berkata, "Saya merasa aman dan mengambil anak-anakku untuk pulang."276 (iv) Ketika putri Hatim at-Tha'ie ditangkap dalam sebuah pertempuran, ia mengajukan petisi kepada Nabi Muhammad SAW untuk melepaskan dan membiarkannya kembali ke rumahnya. "Jangan terburu-buru untuk pulang sampai beberapa kerabat terpercayamu datang dan membawamu pulang." kata Nabi. Ketika sekelompok temannya datang, ia pun menghadap Nabi Muhammad SAW dan memberitahukannya. Rasul SAW pun memberikannya pakaian, transportasi dan uang. Akhirnya, mereka dapat pulang ke Syam.277 B. Menurut Hukum Internasional Pemulangan sukarela, apabila memungkinkan, adalah solusi ideal untuk masalah pengungsi, karena itu berarti pengungsi kembali ke negara asalnya dengan aman dan bermartabat. Hal 276 al-Kandahlawî, Hayât al-Sahabah, Jilid. I, h. 136-137. Al-Tabarî, Tarîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, t.th), Jilid III, h. 309-310. Lihat pula Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op.cit, Jilid II, h. 579-581. 277 222 ini juga membantu dia kembali berintegrasi dengan cepat dengan orang lain. Prinsip pemulangan sukarela (asas sukarela) menyiratkan bahwa orang yang bersangkutan menyatakan pilihannya sendiri untuk kembali ke rumah dengan bebas.278 1.2. Integrasi Lokal A. Menurut Syariat Islam Masalah ini akan dibahas dari 2 (dua) perspektif: a. Integrasi lokal non-Muslim di tanah Muslim (perjanjian al-zimmah) Kami percaya bahwa bila pengungsi non-Muslim mengambil status " dzimmiy", itu adalah setara dengan "integrasi lokal" dalam hukum internasional kontemporer. 279 Seorang pengungsi di bawah perjanjian dzimmah, harus diberikan kewarganegaraan oleh negara Islam, dan harus diberikan hak 278 Pemulangan sukarela berarti menghormati keinginan pengungsi, pengungsi tidak dapat dipulangkan kecuali atas kehendak sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 5-1 Convention Governing the Aspect of Refugee Problems in Africa (Konvensi yang mengatur aspek-aspek khusus masalah pengungsi di Afrika tahun 1969). Menurut prinsip Housing and Property Restitution of Refugees and Displaced Persons (pengembalian perumahan dan hak milik pengungsi dan orang yang berpindah) tahun 2005, paragraf 10, dinyatakan bahwa semua pengungsi dan orang yang berpindah berhak untuk kembali secara sukarela ke rumah mereka, tanah asal, atau tempat tinggalnya dengan aman dan bermartabat. Pemulangan sukarela yang aman dan bermartabat ini harus didasarkan pada pilihan bebas secara individual dan terinformasikan dengan baik. Negara harus memberikan ijin kepada para pengungsi dan orang – orang yang berpindah yang ingin kembali secara sukarela ke tanah, rumah, atau tempat tinggalnya. Pengungsi dan orang – orang tersebut tidak akan dipaksa, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk kembali ke tanah, rumah, atau tempat tinggal asalnya. Negara harus, bila perlu, meminta bantuan keuangan dan/atau teknis yang diperlukan dari negara lain atau organisasi internasional untuk memfasilitasi pemulangan sukarela yang efektif, dengan aman dan bermartabat, bagi pengungsi dan orang-orang yang berpindah tersebut. Lihat Collection on International and Legal Text Concerning Refugees and Others of Concern of UNHCR, Vol. I, h. 568. 279 Ada sebuah kecenderungan di dalam fikih yang melihat perjanjian dzimmah sebagai suaka yang diberikan kepada orang non-Muslim. Oleh karena itu ada pendapat yang percaya bahwa perlindungan yang diberikan di bawah perjanjian dzimmah atau perjanjian sementara (aman) membuat tanah Muslim menjadi "tanah suaka" untuk orang asing. Gh. Arnaout, Asylum in the Arab Tradition, UNHCR, Genewa, 1987, hal 23. L. Gardet, La Cité musulmane, vie et Sociale Politique, Librairie philosophique, Vrin, Paris, 1954, h. 78. 223 dan kewajiban yang sama seperti Muslim. Jadi, ia sepenuhnya diintegrasikan ke dalam negeri Muslim dan hampir sama diperlakukan seperti Muslim. Untuk memperjelas hal ini, kami menekankan bahwa bilamana perjanjian dzimmah telah diberlakukan maka hal tersebut berimplikasi terhadap berbagai masalah-masalah berikut: (i) Hak hidup kaum dzimmiy tidak dapat diganggu gugat. (ii) Harta benda milik kaum dzimmiy tidak dapat diganggu gugat. Ini menjadi konsekuensi dari yang disebutkan di atas, karena tak dapat diganggugugatnya harta benda bergantung pada dijaminnya hak hidup. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib diriwayatkan telah berkata, "Adanya perjanjian dzimmah, adalah agar harta benda mereka (sama amannya) seperti harta benda kita dan hidup mereka (sama amannya) seperti hidup kita.” Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa perjanjian dzimmah bagi umat Islam adalah untuk memastikan kita tidak menyentuh mereka dan memastikan bahwa kehidupan dan harta benda mereka tidak diganggu gugat.280 280 al-Ghazâlî, al-Wajîz fi al-Fiqh Madzhab Imam al-Syâfi'î, Jilid. 2, h. 21; Ibnu Jawzî, Qawânîn alAhkâm al-Syar’iyyah, (Kairo: 'Âlam al-Fikr,1415H/1986 M), h. 151. 224 (iii) Apakah orang non-Muslim dzimmiy dapat memperoleh kewarganegaraan di negara Islam? Menurut ajaran Syariat Islam, kewarganegaraan wilayah Islam tidak dapat diberikan kepada orang non-Muslim dzimmiy, sebagaimana penerapan kalam Allah: Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam), kebenaran telah jelas dari kesalahan. (Q.S. al-Baqarah/2:256). Seorang non-Muslim dapat memperoleh kewarganegaraan, baik karena ia berpindah agama ke Islam atau dengan perjanjian dzimmah secara eksplisit atau implisit (misalnya dengan tinggal di tanah Muslim). Terkait dengan perjanjian dzimmah, beberapa ulama berpendapat bahwa perjanjian dzimmah tidak memberikan status kewarganegaraan Islam kepada orang nonMuslim dzimmiy, karena mereka tidak menikmati hak yang sama (seperti hak-hak politik) maupun kewajiban yang sama sebagai Muslim (misalnya, sementara orang non-Muslim dzimmiy harus membayar jizyah, Muslim harus membayar zakat/ pajak yang diwajibkan untuk orang Muslim).281 Akan tetapi, beberapa ahli Syariat Islam lainnya mengadopsi pendapat yang berlawanan, dengan alasan bahwa karena orang non-Muslim dzimmiy membayar jizyah, itu berarti bahwa mereka akan memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti 281 Muhammad al-Lâfî, Fî Ahkâm Nazarât al-Harb wa al-Silm: Dirâsah Muqâranah,(Tripoli-Libya: Dar Iqra), h. 342. 225 orang Muslim. Menurut Ibn Abidin, jika mereka menerima untuk membayar jizyah, maka mereka akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang Muslim, termasuk hak mendapat perlakuan adil (insâf) dan hak mencari keadilan (intisâf).282 Ahli Syariat Islam yang berpendapat seperti diatas memiliki pemahaman yang beragam mengenai dasar bagi nonMuslim dzimmiy dapat memperoleh kewarganegaraan dari negara Islam. Sebagian ahli Syariat Islam berpendapat bahwa pengakuan sebagai warga negara didasarkan kepada kepatuhan mereka dengan ajaran Islam; 283 sementara ahli Syariat Islam yang lain menghubungkan hal ini dengan ketiadaan jangka waktu tinggal di wilayah Muslim. 284 Pendapat ketiga menyatakan bahwa hal itu kembali pada orang yang masuk dalam perjanjian dzimmah dengan cara membuat perjanjian yang eksplisit, sebagaimana dikatakan al-Sarkhasi bahwa dengan mengikat perjanjian dzimmah, seorang non-Muslim harus dianggap sebagai “penduduk wilayah Muslim". Namun, dalam hal tidak adanya perjanjian yang menjadi dasar kewarganegaraan wilayah Islam bagi orang non-Muslim dzimmiy, hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan negara Islam. Ini terjadi dalam kasus di mana orang dzimmiy 282 Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ala Durr al-Mukhtâr, op.cit, Jilid. III, h. 307. Abd al-Qadîr ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ'î al-Islâmî, (Kairo: Nâdi al-Qudah, 1984), Jilid. I, h. 307; Muhammad 'Âtif al-Banna, al-Wasît fi Nizâm al-Siyâsiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1414 H/1994 M), h. 30. 284 Ahmad Musllam, al-Qanûn al-Duwali al-Khass, (Kairo: tp., 1956), Jilid. II, h. 326. 283 226 memperoleh kewarganegaraan di wilayah Islam atas dasar indikator-indikator yang menunjukkan penerimaannya, atau subordinasinya kepada pihak ketiga, atau sebagai akibat penaklukan sebuah wilayah. Dalam kasus tersebut, negara Islam memberikan dzimmah status kewarganegaraan atas dasar kehendak orang itu sendiri dan kebijakan negara.285 Menurut kami, orang dzimmiy dapat menikmati “kewarganegaraan dari sebuah Negara Islam” tapi bukan berarti “kewarganegaraan Islam” karena kewarganegaraan dalam Islam didasarkan pada adanya "ikatan pribadi", yakni penerimaan terhadap agama Islam daripada "ikatan fisik", yakni keberadaan pada wilayah tertentu. Seorang Muslim menikmati kewarganegaraan Islam, di manapun ia berada, di wilayah Muslim ataupun wilayah non-Muslim. Namun, non-Muslim, karena tidak adanya ikatan diatas, adalah warga negara di sebuah negara Islam dimana berlaku diatasnya Syariat Islam, yang mengatur hak dan kewajiban yang sama untuk orang Muslim dan orang non-Muslim, termasuk hak-hak yang timbul sebagai konsekuensi darinya, seperti hak untuk mendapatkan paspor, akses tanpa hambatan ke dan tinggal di wilayah negara Islam, dan akses terhadap semua hak, kecuali yang dikecualikan oleh aturan dan prinsip-prinsip Syariat Islam. 285 ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Ghani, ‘Atsâr al-Istikhlâf al-Duwali fî al-Qanûn al-Duwali al-‘Âmm wa alSyarî'ah al-Islâmiyyah’, Disertasi, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar, 1400 H/1980 M), h. 357. 227 Ini berarti bahwa mereka lebih menikmati “kewarganegaraan negara Islam” ketimbang “kewarganegaraan Islam”.286 Dengan kata lain, ini lebih merupakan "kebangsaan negara" ketimbang "kebangsaan agama". (iv) Syariat Islam meletakkan dasar konstitusi untuk memperlakukan orang dzimmiy, yang dapat disimpulkan dalam sebuah surat Imam Abû Yûsuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid: "Wahai menunjukkan Amîr al-Mu’minîn, kelonggaran untuk anda orang mungkin dzimmiy, harus yang menikmati perlindungan (dzimmah) Nabimu dan sepupumu Muhammad SAW dan bahwa mereka tidak tertindas, terluka, diberikan beban di luar kapasitas mereka, atau diambil harta mereka kecuali yang kewajiban mereka. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Barangsiapa menzalimi orang non-Muslim dzimmiy yang mau membayar jizyah, yang mengakui bahwa ia lemah, maka aku sebagai musuhnya pada Hari Kiamat. Di tempat tidur, menjelang kematiannya, Khalifah 'Umar ibn alKhattâb berwasiat: “Aku berwasiat kepada penerusku, antara lain, untuk mengurus orang dzimmiy di bawah perlindungan Nabi Muhammad SAW serta menghormati perjanjian “aman” 286 Pendapat lain mengatakan: “Bahwasannya dzimmî itu berhubungan dengan negara Islam bukan sebagai bangsa (umat) Islam. Islam sebagai keyakinan menganggap semua Muslim sebagai saudara dalam agama, tetapi dalam kewarganegaraan, Islam memandang baik Muslim dan dzimmiy sebagai saudara senegara (sesama warga negara). Lihat Muhammad Sallâm Madkûr, Ma'âlim al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kuwait: Maktabat al-Falâh, 1403 H/1983 M), h. 106-107. 228 yang diberikan kepada mereka, ikut berperang untuk membela mereka dan tidak memberikan beban tugas di luar kemampuan mereka.287 (v) Islam menghormati dan memerintahkan berbuat baik kepada orang dzimmiy, sebagai bentuk penerapan kalam Allah SWT: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama, serta tidak mengusir kalian dari rumah kalian, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. (Q.S. alMumtahanah/60: 8). Sikap melanggar kewajiban untuk berbuat adil kepada mereka dilarang Nabi SAW dalam Hadis: Ketahuilah, barangsiapa berbuat zalim kepada orang dalam hal perjanjian, mengurangi hak, memberi beban tugas di luar kemampuan, atau mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku sebagai musuhnya pada Hari Kiamat.288 Dalam Hadis lain, Nabi bersabda: Jika seseorang memberikan perlindungan dan kemudian membunuhnya, maka aku terbebas dari urusan pembunuh tersebut (memusuhi pembunuh itu), walaupun korbannya adalah seorang non-Muslim. Bahkan, Ibn Hazm berpendapat dalam kitab Marâtib alIjmâ’, "Jika seorang dzimmiy diserang oleh musuh di wilayah kita, maka orang Muslim harus membela mereka sampai mati.” 287 288 Abû Yûsuf, al-Kharâj, op. cit, h. 125 Abû Dâwûd, al-Sunan, Kitâb al-Kharâj wa al-Imârah wa al-Fay', Hadis No. 3052, Jilid. III, h. 288. 229 Ini merupakan kewajiban untuk menjaga orang dzimmiy di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya, karena menyerahkan orang dzimmiy kepada musuh adalah sebuah pelanggaran perjanjian.289 (vi) Aturan umum menyangkut orang dzimmiy adalah bahwa “mereka memiliki hak seperti yang kita miliki, dan dapat berhutang seperti kita berhutang”, ini karena mereka telah menerima perjanjian zimmah sehingga “harta benda mereka harus dipelihara seperti harta kita dan darah mereka harus dipelihara pula seperti darah kita” 290 atau mereka menerima perjanjian zimmah sehingga harta benda dan hak-hak mereka dilindungi dan aman seperti kita.291 Namun, ada beberapa perbedaan antara orang dzimmiy dan orang Muslim terkait karena adanya perbedaan agama. Seorang dzimmiy harus membayar jizyah, sementara seorang Muslim membayar zakat. Seorang Muslim diwajibkan untuk melawan dalam membela wilayah Islam, sementara orang dzimmiy tidak memiliki kewajiban seperti itu. Seorang dzimmiy dilarang menduduki posisi tertentu seperti kepala negara atau panglima tentara karena posisi itu hanya diperuntukkan bagi orang Muslim. 289 Ibn al-Azrâq al-Andalusî, Badâ'i al-Sulûk fi Tabâ'i al-Mulk, dikoreksi oleh Muhammad ibn ‘Abd alKarîm, (Tunisia-Libya: Dâr al-‘Arabiyyah li al- Kitâb, 1980), Jilid. II, h. 688. 290 al-Kasâni, Badâ'i al-Sanâ'i,op.cit , Jilid. 7, h. 111. 291 al-Syaibâni, Syarh al-Siyar al-Kabîr, Jilid III, Edisi Hyderabad, op. cit, , h. 250. 230 Banyak sarjana non-Muslim telah memberikan penghargaan untuk sistem dzimmah. Sebagian sarjana Barat mengatakan bahwa Islam sebelum hidup berdampingan dengan agama-agama lain, sejak lama sistemnya telah sempurna dalam konteks politik internasional.292 Sementara L. Massignon menyatakan Islam telah mendahului Kristen dengan mengakui kepribadian manusia secara penuh untuk orang dzimmiy dengan dasar prinsip persamaan.293 Boisard berpendapat bahwa perlindungan non-Muslim di tanah Muslim terbukti menjadi saluran hukum yang asli pada saat Barat mulai keluar dari Abad Pertengahan dan menyadari perlunya menetapkan aturan yang mengatur hubungan dengan orang asing.294 292 Dalam hubungan ini, B.F. Gohnson, penasihat hukum di Kementerian Luar Negeri Swedia pernah mengatakan, “Koeksistensi adalah mungkin. Seseorang dapat di sini, menyebutkan prinsip-prinsip Islam dalam mengatur posisi dzimmiy, pemeluk agama lain, dalam dunia Islam. Agama lain diterima dalam Islam. Sesuatu yang telah dilupakan dalam politik dunia akhir-akhir ini. Lihat BF Gohnson, Change in the Norms Guiding the International Legal System, R. Egyp DI, 1980, h, 7. 293 Massignon mengatakan: “Et, les deux categories d.exclus, les barbares Etrangers (les dhimmi) et les esclaves barbares, l.Islam, quoi pense en qu.on ordinairement en Occident, e precede la chrétienneté (qui lui était antérieure) dans un effort juridique destine a Leur restituer la personalité humaine. C’est que l’Islam ne pas le séparant spirituel du temporel, est tenu de se faire une Philosophy originale des «fondements du droit» (ushul al - fiqh), du Droit des gens, dont il n’existe pas d’analog dans le droit canon Chrétien ... Des l'epoque du Prophete, Muhammad, pada avait à tendu accorder la pleine aux Dhimmiyûn personnalité humaine, à Egalite. “ Lihat L. Massignon, Le Respect de la Personne Humaine en Islam et la Droit du d'Priorité Asile sur le Droit de la Guerre Juste, RICR, 1952, h 353-354. 294 Boisard mengatakan: “La protection des non-musulmans en terre d Islam mérite une analyze, car Noelle comme une s.est affirmé voie originale, ou même au saat l.Occident allait sortir du Moyen Age et de la prendre conscience nécéssité de fixer des règles régissant les rapports avec les Etrangers”. Dia menambahkan: “La respect dans la difference fut la plus la belle expression de la tolerance musulmane. Il serait faux et injuste de dénoncer le fanatisme de l.Islam en certains des considérant peu nombreux qui Abus ont Marque, intermittance nominal, l histoire de l Etat musulman.” Lihat M. Biosard, L et la moral Islam Internationale, Droz, Genève, 1980, h. 176, 188. 231 Turtone menyatakan bahwa perlindungan orang dzimmiy kadang menyiratkan bahwa mereka benar-benar menikmati hak yang sama seperti orang Muslim.295 Terakhir, sebagian sarjana Barat mempertahankan pendapat bahwa secara umum, sistem dzimmah serupa dengan sistem jiwâr, yang diterapkan di antara suku-suku Arab pra-Islam, di mana satu individu atau sekelompok orang ditempatkan di bawah perlindungan dari suku tertentu.296 b. Integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim Ahli Syariat Islam telah membahas masalah ini, terutama aspek legalitas dalam perspektif Islam tentang seorang Muslim yang memperoleh kewarganegaraan dari negara non-Muslim. Dalam hubungan ini, sejumlah pertanyaan telah diajukan oleh Institut Pemikiran Islam Dunia (Washington) kepada Dewan Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam. Satu dari pertanyaan ini 295 Lihat Turtone, Ahl al-Dzimmah fi al-Islâm, alih bahasa Hasan Habasyi, (Kairo: Dâr al-Fikr al‘Arabiy), h. 153. Seorang mantan konsul Inggris di Tunisia mengatakan:“Diketahui bahwa dzimmiy memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti Muslim, jika tujuan nasional mereka terbukti sesuai dengan umat Islam, dan jika mereka, seperti juga Muslim, dalam kewajiban mengutamakan kepentingan tanah air dan kesejahteraan umum.” Dia menambahkan bahwa banyak sekte Kristen tetap aman dan makmur di bawah kekuasaan Islam dan kadang-kadang status sosial mereka bahkan lebih tinggi dari masyarakat lokal Muslim. Lihat Sir Richard Wood, al-Islâm wa al-Islâh, Majallat al-Azhar, Mei 1986 (Sya’ban 1406 H), h. 21, 32. Stavraki mengatakan Muslim diharamkan untuk memaksa orang lain masuk Islam. Selain itu, perang untuk mengubah keyakinan juga dilarang.” Lihat Emmanuel Stavraki, (The Humanitarian Concept in Humanitarian International Law, International Review of the Red Cross) al-Mafhûm al-Insâniy fi al-Qânûn alDauliy al-Insâniy, al-Majallah al-Dauliyyah li al-Salîb al-Ahmar, No. 17, 1991, h. 36. 296 R. Caspar, Entre les Declarations Universelles des droits de l home et le statute de la Dimma un: Essai de F. Huwaidi, dalam the Third Islamic-Christian Colloquoum Human Rights, Tunisian University, Center for Economic and Social Studies and Research, Official Tunisian Government Printing Press, 1985, h. 210-211. Pendapat lain mengatakan bahwa "Islam mengakui agama-agama lain dan mentolerir koeksistensi mereka dengan orang Islam". Reisman, Islamic Fundamentalism and its Influence on Internasional Law and Politics, in “The influence of Religion on the Development of International Law”, M. W. Janis, M. Nijhoff, Dordrecht, (eds.), 1991, h. 123. 232 adalah bagaimana penilaian terhadap penerimaan seorang Muslim menjadi warga negara asing baik di Amerika atau Eropa, mengingat sebagian dari mereka telah memperoleh atau berniat untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut, dimana mereka melakukannya hanya karena mengalami penyiksaan, penganiayaan di negara asal mereka berupa hukuman penjara, ancaman, penyitaan properti, dan lain lain. Beberapa ahli Syariat Islam menyatakan bahwa sepanjang Syariat Islam dan hudud (hukuman yang ditentukan dalam Islam) ditangguhkan di negara asal mereka, hal itu tidak ada bedanya bagi orang tersebut, baik ia berkewarganegaraan negara asal dimana ia dianiaya atau ia warga negara dari negara yang ia pilih untuk menetap. Dalam kedua kasus tersebut, Syariat Islam tidak diberlakukan dan hudud tidak diterapkan. Di negara suaka, hakhak pribadinya, kehidupan, harta, dan kehormatannya dijamin, dan ia tidak mungkin dipenjarakan atau diancam kecuali jika ia melakukan perbuatan yang menyebabkan sanksi hukum.297 Sebagian anggota Dewan menjawab pertanyaan tersebut di atas. Dan kami cukup menyebutkan sebagian diantaranya saja. 297 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h. 1095. Ahmad ibn Hamd al-Khalîliy menjawab: “Masalah kewarganegaraan Muslim di negara non-Muslim tergantung pada berbagai aspek yang terkait dengan kasusnya. Naturalisasi berarti perlakuan yang sama dalam hak-hak kewarganegaraan dan kewajiban dengan warga asli dari negara pemberi kewarganegaraan. Jika negara tersebut mewajibkan warganya untuk melakukan perlawanan terhadap negara Islam, maka bagi Muslim ini akan berada di bawah kewajibannya untuk terlibat dalam tindakan ini. Oleh karena itu kami percaya bahwa kewarganegaraan Muslim dari negara non-Muslim mungkin dibolehkan dalam suatu kondisi terpaksa, hanya dalam kasus-kasus kebutuhan, seperti di mana seorang Muslim beresiko dikejar-kejar atau tidak aman hidupnya, kehormatan dari anak-anaknya terancam, dan sebagainya, dan di mana ia tidak memiliki akses suaka ke negara Islam lain.“ Lihat Jilid II, h. 1119. 233 Haji Abdullah Bah menyatakan, "Dipilihnya kewarganegaraan asing oleh seorang Muslim, baik Amerika atau Eropa, mungkin diizinkan jika hal itu didorong oleh kebutuhan, bukan oleh keinginan untuk meniru orang non-Muslim dalam gaya hidup, nama, atau karakteristik, dan asalkan naturalisasi tersebut tidak akan menyebabkan gangguan atau fitnah dari kewajiban agamanya atau menjadikannya berkolaborasi dengan musuhmusuh Allah. Pendapat ini didukung oleh kalam Allah Yang Maha Kuasa: "Siapapun yang ingkar setelah menerima iman kepada Allah, kecuali di bawah paksaan, sedang hati mereka tetap dalam iman. Akan tetapi barangsiapa membuka dada mereka untuk kekafiran, maka bagi mereka adalah murka dari Allah, dan bagi mereka azab yang besar.” (Q.S. al-Nahl: 106).298 Sheikh Mohammad Taqiyuddin berkata, "Hukum atas penerimaan kewarganegaraan oleh seorang Muslim dari negara non-Muslim, mungkin bervariasi menurut keadaan, kasus, atau tujuan dari naturalisasi itu. Jika seorang Muslim terpaksa, karena disakiti atau dianiaya di negara asalnya, melalui ancaman penjara atau penyitaan properti; bukan karena melakukan kejahatan dan atau memiliki kesalahan, sedang ia tidak menemukan perlindungan lain selain di negara tersebut, maka seorang Muslim boleh berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan jika dia 298 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h. 1095. 234 menginginkannya, asalkan dia akan mengakui pada dirinya sendiri untuk mempertahankan iman selama karirnya (hidupnya) dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang telah umum ada di negara itu. Dalil yang menguatkan pendapat ini, adalah bahwa para sahabat Nabi telah hijrah ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy) setelah dianiaya oleh orang Mekkah. Meskipun Abessinia pada waktu itu didominasi oleh orang-orang non-Muslim, sahabat Nabi tinggal di daerah itu, dan bahkan beberapa dari mereka tetap tinggal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Abû Mûsa al-Asy'ari, kembali dari Abessinia hanya ketika perang Khaibar berlangsung pada tahun 7 Hijriyah. Ini adalah kewajiban setiap Muslim untuk melindungi hidupnya sendiri terhadap semua bentuk kezaliman. Jadi jika seseorang tidak menemukan tempat yang aman kecuali di tanah non-Muslim, maka tidak ada larangan baginya untuk hijrah ke sana, asalkan ia mematuhi kewajiban agama dan menjaga diri dari kemaksiatan yang dilarang. Jika seorang Muslim memperoleh kewarganegaraan tersebut dengan tujuan dakwah kepada Islam, tindakan ini selain diijinkan, juga akan dianjurkan. Begitu banyak para sahabat dan tabiin yang menetap di tanah non-Muslim untuk tujuan terpuji ini. Tindakan 235 ini direkam dalam biografi mereka dan cerita sifat-sifat mulia mereka.299 Maka dapat disimpulkan bahwa suaka oleh seorang Muslim ke negara non-Muslim dan integrasi ke dalam masyarakat setempat diatur oleh dua kaidah: Kaidah Pertama: Perlindungan dapat dicari hanya dalam keadaan darurat dan dalam suatu keadaan bahaya serta keadaan yang mengancam keselamatan fisik, kehidupan, keluarga atau properti seseorang. Kaidah Kedua: Suaka tidak seharusnya berujung pada pelanggaran aturan Islam, seperti keterlibatan dalam perang, intrik, atau rencana untuk melawan negara Islam. Dalam kaitan ini, peristiwa berikut dapat menjadi contoh yang tepat yakni ketika tentara Khalifah al-Mansur dikalahkan, ia berpikir untuk mengungsi ke wilayah Kekaisaran Romawi. Salah satu anak buahnya berkata kepadanya, "Maukah anda pergi bersama anak-anak anda dan keluarga anda, mencari perlindungan kepada orang non-Muslim yang telah membentuk kerajaan aman dan stabil? Mungkin keadaan kerajaannya menarik bagi anak-anak anda, atau mungkin menggoda mereka untuk masuk ke dalam Kristen. Jika anda pergi jauh sampai anda masuk 299 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h. 1129-1130. Lihat juga jawaban serupa dari Muhammad Mukhtâr al-Salâmi, h.1156. Lihat juga Muhammad ibn Sabîl dalam “al-Tajannus bi Jinsiyyah Daulah ghair Islâmiyyah”, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi 4, 1410 H (1989 M) h. 165-166. Lihat pula pendapat al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’, dalam Majallat al-Buhûts al-Islâmiyyah, (Riyadh: al-Ri’âsah al-‘Âmmah li Idârat al-Buhûts al‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1412 dan 1414 H), Edisi 32, h. 98 dan 101-103. 236 ke Mesir, anda akan menemukan para laki-laki, kuda, senjata dan uang. Jika kamu memilih, maka kamu bisa memilikinya. Maka, al-Mansur mengubah tujuannya dan menuju Mesir.300 B. Menurut Hukum Internasional Pasal 1-F Konvensi 1951 menyatakan bahwa "orang-orang yang tidak membutuhkan perlindungan internasional" dikecualikan dari penerapan Konvensi. Hal ini mengacu pada “setiap orang yang diakui oleh pejabat berwenang dari suatu negara di mana ia telah tinggal, sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada hak kewarganegaraan negara itu."301 Ini berarti bahwa orang yang bersangkutan seharusnya telah terintegrasi dan telah memperoleh status yang sama seperti warga negara dari negara pemberi suaka. Ini artinya bahwa kepada seseorang itu tidak diberlakukan Konvensi 1951, jika ia telah terasimilasi (is assimilated). Oleh karena itu ia dapat menikmati status seperti warga negara dari negara pemberi suaka. Orang300 Lihat Ibn ad-Dayah, Kitâb al-Mukâfa'ah wa Husn al-'Uqbâ, (Mekkah: Dâr al-Bâz, t.th.), h. 85. Contoh lain ialah surat oleh Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Jarba dan Azrah (yang memberitahukan kepada mereka bahwa) Allah memberikan jaminan kepada mereka dalam memberikan nasihat dan berbuat baik kepada Muslim (hidup dengan mereka) dan mereka yang berlindung karena takut akan bahaya atau hukuman. Lihat Ali ibn Husain Ali al-Ahmadi, Makâtib al-Rasûl, Beirut: Dâr Sa’b, Jilid II, h. 294-295. 301 Program Aksi Cotunou (tahun 2004) menyatakan bahwa manakala pengungsi telah mengembangkan ikatan kekeluargaan, hubungan sosial dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat tuan rumah, maka mungkin akan menguntungkan bagi negara tuan rumah untuk bisa memfasilitasi proses integrasi lokal para pengungsi tersebut melalui pemberian tempat tinggal permanen dan akhirnya naturalisasi. Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op.cit, Jilid. III, h. 1027. Harus ditekankan bahwa sistem zimmah dalam Islam lebih baik karena: 1- Pemberian suaka sematamata didasarkan permintaan suaka tanpa perlu menunggu; 2- Implikasinya orang tersebut tetap membawa kewarganegaraan negara Islam. 237 orang ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional" (national refugees), karena mereka secara lokal telah terintegrasi (locally integrated) dengan penduduk negara pemberi suaka. 1.3. Penempatan di negara ketiga A. Menurut Syariat Islam Dalam Islam tidak ada hal yang menghalangi penempatan di negara ketiga bagi pengungsi jika ia sangat menginginkannya. Ini adalah bagian dari kebebasan individu untuk berpindah dan tinggal di tempat pilihannya, sebagaimana dikuatkan oleh kalam Allah: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15). Dan kalam Allah: Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10). B. Menurut Hukum Internasional Penempatan di negara ketiga adalah solusi jangka panjang yang dapat diharapkan. Haruslah dipahami bahwa penempatan di negara ketiga bukanlah sebuah hak atau perkara yang sifatnya otomatis, tetapi tergantung pada keputusan yang akan diambil 238 oleh otoritas negara penerima. Dalam hal ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi: - Orang yang bersangkutan harus menjadi pengungsi di negara yang ditinggali saat ini; - Dia menghadapi hambatan secara fisik atau hukum yang tidak bisa diselesaikan secara lokal atau dengan cara lain; atau - Dia memiliki anggota keluarga dekat yang tinggal di negara tujuan penempatan secara sah.302 III.2. Berakhirnya suaka Status pengungsi dapat berakhir lantaran sejumlah faktor sebagaimana dijelaskan berikut ini. A. Menurut Syariat Islam 1. Perpindahan agama ke Islam Ini adalah alasan yang hanya berlaku dalam Islam. Kami memandang bahwa perpindahan agama pengungsi menjadi pemeluk agama Islam merupakan alasan yang baik untuk mengakhiri statusnya sebagai pengungsi berdasarkan argumentasi berikut ini. Pertama, kesatuan wilayah dunia Islam, meskipun beragam dan berbeda-beda kebangsaannya. Kedua, jaminan kesetaraan dan persamaan antar sesama Muslim dapat terjamin. Tentu tidaklah adil kalau seorang pencari suaka (mustajîr) yang telah memeluk Islam tetap menjadi pengungsi dengan hak-haknya 302 Lihat Information for asylum-seekers and refugees in Egypt, op cit, h. 58, 76. 239 sebagai pengungsi, sementara saudara-saudara Muslimnya yang lain di negara Islam merupakan warganegara yang memiliki hakhak kewarganegaraan secara utuh. Hal ini telah menjadi ketentuan dalam ajaran Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Seorang Muslim merupakan saudara bagi Muslim yang lain; dan karena itu, tidak boleh menghina atau mengkhianatinya. Siapa saja yang membantu kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan membantu kebutuhannya. (Diriwayatkan oleh Muslim).303 Oleh karena itu, tindakan tetap memperlakukan pencari suaka yang telah memeluk agama Islam sebagai seorang pengungsi merupakan suatu bentuk penelantaran dan kezaliman. Dalam hal ini diberlakukan asas hukum bahwa agama Islam menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya. 304 Artinya, seseorang yang telah memeluk agama Islam tidak dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Hal ini didasarkan kepada dalil hukum berikut ini. Pertama, Q.S. al-Anfâl/8:38 : Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) Sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu".. (Q.S.alAnfâl/8:38). 303 304 Sahîh Muslim, Kitâb al-Birr wa al-Silâh, Bab Tahrîm al-Zulm, No. 2580, Jilid. 4, h. 1996. Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Musnad ‘Amr ibn al-Ash, Hadis No. 17775. Jilid. 29, h. 315. 240 Kedua, Hadis : Sesungguhnya agama Islam itu menghapus semua dosa yang telah diperbuat sebelumnya. (Diriwayatkan oleh Ahmad). Ketiga, Hadis, yakni perkataan Nabi SAW kepada ‘Amr ibn al‘Âs : Tahukah engkau bahwa sesungguhnya Islam meniadakan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya dan hijrah (migrasi) menghapuskan perbuatan sebelumnya. (Diriwayatkan oleh Muslim).305 2. Aktivitas membahayakan yang dilakukan pengungsi A. Menurut Syariat Islam Jika seorang non-Muslim melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan stabilitas keamanan negara Islam, maka suaka harus dihentikan. Dalam kaitan ini, Allah SWT berkalam: kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Taubah/9:4) Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. alTaubah/9:12). 305 Sahîh Muslim, Hadis No. 121. Jilid. I, h. 112. 241 Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. al-Anfâl/8:58) Ayat terakhir mengandung arti, dalam konteks hak suaka, bahwa apabila terdapat kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan oleh seorang pengungsi, kepada dia harus diberitahukan tentang pembatalan dan penghentian terhadapnya menjadi seimbang suakanya, agar dengan Muslim perlakuan lainnya. Konsekuensinya ialah (1) suaka tidak boleh dihentikan secara mendadak tanpa pemberitahuan alasan atau faktor penyebabnya; dan (2) pengungsi tersebut mesti diberi waktu secukupnya untuk mengatur perpindahannya ke wilayah aman yang lain. B. Menurut Hukum Internasional Pasal 3 Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problem in Africa (Konvensi Organisasi Uni Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problematika Pengungsi di Afrika) Tahun 1969, menyatakan bahwa: 1) Perilaku setiap pengungsi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara yang ditempatinya; demikian pula dengan semua regulasi yang menyangkut pemeliharaan ketertiban umum. Pengungsi menghindari segala aktivitas yang membahayakan (subversif) bagi setiap negara anggota Organisasi Uni Afrika. 242 2) Negara Pihak menghindari dan melarang pengungsi dalam melakukan segala aktivitas yang menyebabkan meningginya ketegangan di antara negara-negara anggota, terutama melalui penggunaan senjata militer, media massa atau radio. 3. Penolakan (repudiasi) atas suaka A. Menurut Syariat Islam Pencari suaka (mustajîr) dapat menolak perjanjian suaka (jiwâr) dari sang pemberi suaka (mujîr) sehingga dia tidak lagi memperoleh perlindungan atas dirinya. Ada 2 (dua) contoh yang dapat dikemukakan: Pertama, ketika Abû Bakr al-Siddîq mengadakan perjanjian suaka (jiwâr) dengan Ibn al-Daginah, kaum Quraisy khawatir bahwa anak-anak dan kaum perempuan mereka akan tersihir dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an. Maka, Ibn al-Daginah menemui Abû Bakr seraya berujar: ”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku tidak memberikan suaka (jiwâr) kepadamu untuk mencelakai kaummu; mereka merasa muak dengan apa yang engkau lakukan, dan juga merasa mengalami celaka lantaran tindakanmu. Maka, masuklah ke dalam rumahmu dan lakukan apa yang ingin engkau lakukan.” Abû Bakr menjawab: ”Haruskah aku membatalkan suaka (jiwâr) darimu dan akan berpuas diri dengan suaka (jiwâr) Allah?. “Aku batalkan suaka dariku”, kata laki-laki itu. “Aku terima”, kata Abû Bakr. Kemudian Ibn al-Daginah berseru, 243 “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya anak dari Abî Quhâfah (Abû Bakr) telah membatalkan suakaku; maka, terserah pada kalian untuk memperlakukan kawan kalian”.306 Kedua, pembatalan oleh ‘Utsmân ibn Maz’ûn atas suaka (jiwâr) al-Walîd ibn al-Mugîrah.307 B. Menurut Hukum Internasional Perspektif hukum internasional perihal penghentian/pembatalan suaka adalah tidak berbeda dengan masalah pemulangan secara sukarela. 4. Hilangnya faktor penyebab munculnya suaka (melalui amnesti/ pengampunan atau permintaan maaf oleh pengungsi) A. Menurut Syariat Islam Apabila faktor penyebab adanya sesuatu (dalam hal ini hak suaka) itu hilang, maka hilang pula sesuatu yang disebabkannya. Karena itu, suaka bisa saja hilang atau terhenti lantaran faktor yang menjadi penyebabnya juga hilang atau berakhir dengan 306 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 373-374. Ibn Hisyâm mengisahkan, ketika ‘Utsmân sedang berada di bawah suaka al-Walîd ibn al-Mugîrah, dia merasa malu karena bernasib baik berada di bawah perlindungan seorang kafir. Sementara teman-teman dan saudara-saudaranya sesama Muslim mengalami penyiksaan dan kesengsaraan yang tidak dialaminya. Jadi, dia menemui al-Walîd ibn al-Mugîrah, dan menyapanya, “Wahai Abâ-‘Abd Shams, suaka anda sudah berakhir, dan dengan ini aku menyatakan mencabutnya.” “Untuk apa keponakanku?”, al-Walîd ibn al-Mugîrah bertanya dengan heran, ”Mungkin orang-orangku telah berbuat salah padamu?” “Tidak, hanya saja aku merasa cukup dengan suaka Allah, dan aku tidak akan mencari perlindungan kecuali dari-Nya.” ‘Utsmân menjawab, ”Kalau begitu pergilah ke masjid dan umumkan penghentian ini di depan umum seperti aku memberikannya padamu dulu.” Kemudian keduanya berjalan ke masjid, dan al-Walîd berkata, “Ini ‘Utsmân, dan dia mencabut suaka dariku.” ‘Utsmân berkata, “Dia benar. Dia merupakan seorang pelindung yang baik dan bisa dipercaya; namun, aku ingin mencari perlindungan secara eksklusif dari Allah. Itulah sebabnya sekarang aku mencabut suaka darinya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 370. 307 244 sendirinya. Hal ini dapat terjadi melalui pengampunan dari penguasa negara atas segala perbuatan yang dilakukan oleh pengungsi, atau melalui permintaan maaf pengungsi yang diterima oleh penguasa negara. Sebagai contoh, peristiwa yang dialami Ka’ab ibn Zuhair, yang pernah mengolok-olok Rasulullah SAW melalui sya’irnya, lalu ia melarikan diri. Tak lama waktu berselang, akhirnya dia datang menemui Rasulullah SAW dengan maksud bertaubat. Diceritakan bahwa dalam pelariannya, dia merasa seakan-akan bumi tempat berpijaknya sangat sempit, dia merasa amat bersalah dan gelisah. Lalu, dia menemui Abû Bakr, dan kemudian usai shalat Subuh, Abû Bakr membawa Ka’ab ibn Zuhair, dalam keadaan mukanya tertutup sorban, menemui Rasulullah SAW. Abû Bakr berkata: “Wahai Rasulullah, orang ini ingin mengangkat janji setia kepada engkau atas dasar agama Islam.” Lalu, Rasulullah mengangkat tangannya. Ka’ab ibn Zuhair menyingkirkan sorban dari mukanya, dan berkata, ”Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkaulah tempat berlindung aku, Ka’ab ibn Zuhair.” Kaum Anshar marah dan berkata secara kasar kepada Ka’ab atas pernyataannya itu kepada Rasulullah SAW. Kaum Quraisy bersimpati kepadanya dan menginginkannya agar memeluk Islam. Kemudian, Rasulullah SAW memberikannya perlindungan. Tak lama kemudian, Ka’ab membacakan eulogi sebagai pujian kepada Rasulullah SAW, 245 dengan pembukaan sebagai berikut:308 Hari ini, saat Su’âd pergi, hatiku merindu dendam Terpesona dan terbelenggu cinta, tak terobati dan sebagai penutup, dia berkata: Kemudian para sahabat yang kupercaya berkata, “Sudahlah, saya sedang sibuk.” “Pergilah kau anak yatim,” aku berkata. “Apapun Yang Maha Pengasih (Allah) inginkan akan terjadi.” Seberapa lamapun dia berada dalam keadaan aman, setiap anak dari seorang wanita suatu hari pasti akan berada dalam peti mati Aku diberitahu bahwa pesuruh Allah telah mengancamku, namun maaf dari pesuruh Allah merupakan suatu yang diidam-idamkan Al-Raqqâm al-Basri dalam bab tentang “Pengampunan dan Repatriasi para Pelarian dan Orang Buangan melalui Pemberian Kasih Sayang dan Pemaafan kepada Mereka”, menceritakan bahwa istri ‘Ikrimah ibn Abî Jahl, yang telah melarikan diri ke Yaman, telah memeluk Islam. Sang perempuan itu mendatangi Rasulullah SAW, memohonkan perlindungan untuk ‘Ikrimah, 308 Lihat al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid. II, h. 447-451. Lihat contoh yang lain pada h. 455-461. 246 suaminya. Kemudian, sang perempuan itu pergi menemui suaminya di Yaman, lalu dia mengajaknya menemui Rasulullah SAW, dan kemudian beliau mengesahkan perkawinannya yang pertama.309 B. Menurut Hukum Internasional Perspektif hukum internasional perihal penghentian suaka lantaran faktor ini tidak berbeda dengan perihal penghentian suaka lantaran faktor yang disebut pada Pasal 1 C, klausa 1 dan 4, Konvensi 1951. 5. Melakukan negosiasi dengan negara asal untuk menjamin pemulangan pengungsi secara aman A. Menurut Syariat Islam Dalam pandangan Syariat Islam, suaka dapat berakhir lantaran pengungsi memperoleh jaminan perlindungan dari otoritas negara asal yang ditinggalkannya, dan pengungsi tersebut dijamin bahwa dia tidak akan dianiaya atau diadili. Terdapat contoh populer tentang hal ini, yakni terjadi suatu peristiwa negosiasi antara ‘Adid al-Daulah dan Raja Romawi (372 H). Penyebab peristiwa negosiasi ini ialah tindakan mengungsi yang dilakukan oleh salah seorang warganegara Romawi, yang bernama Ward, ke negara Islam. Di tengah-tengah negosiasi, Raja 309 al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid 1, h. 290-291 Lihat contoh-contoh lainnya pada h. 292 dan sesudahnya, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2008, Jilid. I, h. 647. Dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs dilaporkan bahwa Rasulullah mengembalikan anak perempuannya kepada Amr ibn al-‘Âsh ibn al-Rabî’, dua tahun setelah pernikahannya. 247 Romawi meminta penyerahan orang tersebut; lalu ditolak oleh negosiator muslim (yang bernama Ibn Syahrâm) dengan mengatakan: “Saya tidak mendengar peristiwa ini dan tidak pula menghadirinya; maka saya menolak menyetujui permintaan itu.” Pada akhirnya, negosiasi itu dapat diselesaikan dengan sukses oleh kedua negara. Agar jaminan perlindungan yang diberikan kepada pengungsi seperti yang tersebut dalam perjanjian tidak dilanggar, masyarakat Muslim mengirim surat kepada Raja Romawi agar ia memberikan jaminan keamanan dan perlakuan yang baik bagi orang Muslim dan saudaranya, dan mengembalikan kedua orang itu pada kedudukannya yang terdahulu dan keadaannya yang tepat. Demikian pula, Ward terikat dengan perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak dibolehkan mengancam stabilitas keamanan Kekaisaran Romawi.310 B. Menurut Hukum Internasional Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan suaka di suatu negara dapat berakhir, seperti pengembalian kewarganegaraan apabila seseorang telah memperoleh suaka di negara lain. Lebih dari itu, Pasal 1C Konvensi 1951 menegaskan sejumlah keadaan 310 Lihat Ibn Miskawaih, Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at alSyirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1333 H/ 1915 M), Jilid II, h. 396-397; Perdana Menteri Abû Sujâ’, digelari Zahîr al-Dîn al-Ruwadzrâwiy, Dzail Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at al-Syirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1334 H/ 1916 M), h. 28-39, h. 111 dan seterusnya. Lihat juga notulen dan hasil negosiasi tersebut dalam Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa alIlâqât al-Duwaliyyah fi Syarî’ah al-Islâm, Vol. IX, h. 478-499. 248 yang mengakibatkan berakhirnya masa pemanfaatan suaka oleh pengungsi atau biasa dikenal sebagai “cessation clauses”, yaitu :311 1. apabila dia secara sukarela mengambil kembali perlindungan negara asalnya; atau 2. apabila dia secara sukarela memperoleh kembali kewarganegaraannya setelah dia kehilangan kewarganegaraan; atau 3. apabila dia telah memperoleh kewarganegaraan baru dan menikmati perlindungan dari negara barunya itu; atau 4. apabila dia kembali secara sukarela ke negara yang dia tinggalkan atau tetap di luar negara itu lantaran takut akan penganiayaan; atau 5. apabila dia tidak mampu lagi (karena hilangnya faktor keadaan yang melahirkan pengakuan akan dirinya dalam kapasitasnya sebagai pengungsi) untuk terus menolak perlindungan dari negara asalnya; atau 6. Meski dia tidak memiliki kewarganegaraan, dia (karena hilangnya faktor keadaan yang melahirkan pengakuan akan dirinya dalam kapasitasnya sebagai pengungsi) dapat pulang kembali ke negara yang didiaminya terdahulu.312 311 Lihat juga kasus-kasus lain yang disebutkan dalam Pasal 1-4 Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa, 1969. 312 Lihat dalam Conclusion No. 69 on Cessation of Refugee Status, Komite Eksekutif menekankan bahwa dalam pengambilan semua kesimpulan terhadap permohonan klausa penghentian yang didasarkan pada “keadaan terhenti” (ceased circumstances), negara harus secara hati-hati menilai karakter dasar mengenai 249 BAB VI PERBANDINGAN ANTARA SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM KONTEKS HAK SUAKA Pada bagian ini, kami akan memaparkan persamaan antara pandangan Syariat Islam dan hukum internasional tentang hak suaka, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan mengenai perbedaan antara pandangan Syariat Islam dan hukum internasional tentang isu yang sama. A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka Indikator terpenting persamaan antara pandangan Syariat Islam dan hukum internasional tentang hak suaka tergambarkan sebagai berikut: 1. Larangan pemulangan kembali pengungsi ke negara di mana dia menghadapi risiko penganiayaan; 2. Larangan penjatuhan hukuman terhadap pengungsi yang masuk atau berada di dalam wilayah suatu negara secara ilegal; perubahan yang terjadi dalam negara asal, termasuk situasi hak asasi nasionalnya secara umum, dan begitu juga penyebab khusus dari adanya ketakutan akan penindasan, untuk memastikan cara yang obyektif dan dapat diverifikasi yang membenarkan pemberian status pengungsi untuk diakhiri. Juga ditekankan bahwa “keadaan terhenti” dari klausa pengakhiran tidak dapat diterapkan kepada pengungsi yang masih takut akan penindasan. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Geneva, 1996, Conclusion No. 69 (IVIII) h. 170 -171. 250 3. Prinsip non-diskriminasi; 4. Prinsip kemanusiaan hak suaka; 5. Larangan pemberian suaka kepada pengungsi yang merupakan prajurit perang; 6. Kemungkinan pemberian suaka kepada tawanan perang; 7. Keharusan penyediaan kebutuhan primer pengungsi; 8. Prasyarat reunifikasi atau penyatuan anggota keluarga pengungsi; 9. Perlindungan terhadap harta kekayaan dan properti milik pengungsi; 10. Pemberian hak dan kebebasan dasar kepada pengungsi sebagai manusia dan subyek hukum; 11. Larangan pemberian suaka kepada para pelaku kejahatan (non-politik); 12. Kemungkinan bagi para pencari suaka untuk memperoleh perlindungan sementara; dan 13. Penghentian suaka lantaran hilangnya faktor penyebab kemunculan suaka. B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka Jika suaka, menurut hukum internasional modern, berarti perlindungan yang diberikan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain, yang didapatkan oleh seseorang 251 atau sekelompok orang (yang disebut sebagai pengungsi), maka Syariat Islam berbeda pandangan dengan hukum internasional dalam sejumlah hal. Yang paling pokok antara lain perihal siapa yang memberikan suaka, siapa yang berhak memperoleh suaka, tempat diberikannya suaka, sifat hak suaka, bentuk suaka nonsukarela (involuntary asylum), ekstradisi pengungsi dan tata perlakuan terhadapnya, suaka yang diperoleh melalui cara penipuan, pemberian status kewarganegaraan pengungsi dengan identitas kewarganegaraan negara pemberi suaka, dan perihal klasifikasi suaka. 1. Pihak pemberi suaka Menurut Syariat Islam, suaka dapat diberikan, baik oleh institusi negara maupun oleh individu biasa.313 Hal ini didasarkan pada Hadis: Orang Mukmin (Muslim) itu sederajat. Yang paling rendah di antara mereka dapat bergerak dengan jaminan perlindungan; dan mereka adalah tangan (yang melindungi) atas orang-orang selain mereka. (Diriwayatkan oleh Ahmad).314 Juga berdasarkan konsep jiwâr (pemberian perlindungan) yang diterapkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menerima jiwâr yang diberikan oleh al-Mut’im ibn ‘Adiy dan praktik ini diikuti oleh umat Islam pasca beliau wafat. Sementara itu, dalam 313 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm al-Jawziyyah: Ahkâm Ahl al-Dzimmah, tahqîq Subhi alSâlih (Beirutt: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1983, , Jilid. 2, h. 858. 314 Telah dikemukakan takhrij-nya pada halaman 83. 252 hukum internasional modern, yang berhak memberikan suaka hanyalah institusi negara sehingga pengungsi berada di bawah kekuasaan dan perlindungan negara saja. Nabi SAW bersabda: Jika seseorang meminta perlindungan akan jiwanya kepadamu maka janganlah kamu bunuh dia. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah) 315 Abû Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Keimanan adalah pengaman dari tindakan pembunuhan/penganiayaan. Seseorang yang memiliki keimanan tidak boleh dibunuh/dianiaya. (Diriwayatkan oleh Abû Dâwud).316 Aturan dalam Islam, sebagaimana halnya aturan di negaranegara lain, adalah negaralah yang memiliki hak eksklusif dalam mengatur urusan luar negeri negara tersebut, hal ini dinyatakan dalam Hadis: Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (Diriwayatkan oleh al-Bukhâri).317 Dengan demikian, hanya pihak pemimpin negara yang memiliki hak untuk mengatur urusan dalam dan luar negeri 315 Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Pembahasan tentang diyat, bab tentang orang yang dimintai perlindungan atas jiwa orang lain, tetapi kemudian orang itu membiarkannya terbunuh, hadis No. 2689, Jilid. II, h. 869 316 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwûd, Pembahasan tentang Jihad, bab tentang musuh yang tertangkap dalam keadaan sekarat, hadis No. 2769. Jilid.3 h. 145. 317 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Pembahasan tentang shalat Jum’at, bab tentang shalat Jum’at di kawasan desa dan kota, hadis No. 857, Jilid. 1, h. 304.. 253 negaranya; dan individu orang Muslim tidak boleh melakukan hal demikian apabila pemimpin negara tidak mendelegasikan kewenangannya atau tidak memberikan izin kepada orang itu untuk melakukan tugas tersebut.318 Tetapi, hak suaka merupakan pengecualian dari prinsip ini, karena individu biasa dapat memberikan suaka. 2. Perihal penerima manfaat suaka Orang Muslim, orang non-Muslim dzimmiy dan orang nonMuslim harbiy dapat menerima/memanfaatkan suaka. Tidak ada satupun kelompok orang yang dikecualikan dari hak ini. 319 Sedangkan menurut hukum internasional, sejumlah negara dapat membatasi subyek sasaran pemberian suaka, terutama pada masamasa sekarang ini.320 Lebih jauh, dalam pandangan hukum internasional, sebutan “pengungsi”, sesuai dengan Pasal 1A Konvensi 1951, mengacu pada setiap orang yang memiliki ketakutan yang beralasan karena adanya penganiayaan atas alasan ras, agama, kewarganegaraan, 318 Lihat Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa al-‘Alâqât alDuwaliyyah fî Syarî’ah al-Islâm, Jilid. IV, h. 61. 319 Roger C. Glase mengakui bahwa hak suaka diberikan bahkan kepada musuh negara Islam. Satu prinsip esensial dari hukum internasional Islam ialah penghormatan atas hak-hak non-Muslim. Dia menambahkan bahwa penghormatan ini sangat jelas. Hak atas suaka diberikan kepada orang asing, bahkan orang asing yang merupakan musuh. Lihat, Roger C. Glase, Protection of Civilian Lives in Warfare–A Comparison between Islamic Law and Modern International Law concerning the Conduct of Hostilities. Revue de droit penal militaire et de droit de la guerre, 1977, h. 249. 320 Untuk membatasi calon pengungsi (pencari suaka), negara-negara Eropa mengumumkan penerapan sejumlah pembatasan, seperti memberlakukan hukuman (denda) terhadap maskapai penerbangan yang membawa penumpang yang tidak memiliki dokumen yang sah, memberlakukan pembatasan izin masuk pengungsi dengan mengidentifikasi kasus penolakan untuk masuk, dan menciptakan badan penentuan status pengungsi. Lihat, sebagai contoh, situasi di Belgia dalam Johnson, Refugee Law Reform in Europe–the Belgian Example, Col. J. Of Trans. L., Jilid. XXVII, 1989, h. 589-613. 254 keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik tertentu. Dalam pandangan Syariat Islam, di samping yang telah disebutkan, yang juga dapat menerima/memanfaatkan suaka ialah orang yang ingin mendengarkan kalam Allah (dikenal dengan suaka keagamaan) atau seseorang yang datang, dengan faktor penyebab apapun, untuk memperoleh status penerima perlindungan sementara (musta’min), atau warganegara nonMuslim (ahl al-dzimmah). 3. Perihal aspek eksteritorial pemberian suaka Pemberian suaka di wilayah teritorial Islam membawa implikasi bahwa pengungsi dapat menikmati hak ini di setiap wilayah negara Islam karena bahwa (a) sistem hukum (negara Islam) itu satu; dan (b) wilayah negara Islam itu satu 321 , meskipun keadaan tersebarnya umat Islam di sejumlah negara di dunia kini menghalangi aplikasi hukum ini. Sedangkan dalam hukum internasional modern, negara di dunia dibagi menjadi entitas politik independen yang terpisah, yang masing-masing hidup dengan batasan geografis yang jelas. Karena itu, hukum internasional memandang bahwa pemberian suaka dibatasi pada negara yang memberikannya, dan dipastikan tidak akan beralih ke 321 Menurut Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah: “ Semua negara Islam dianggap sebagai tempat tinggal bagi setiap Muslim.”Lihat al-Fatâwâ al-Islâmiyyah min Dâr al-Ifta al-Islâmiyyah, al-Majlis al-A’la li Syu’ûn alIslâmiyyah, Kairo 1402 H (1989). Jilid. VII, h. 2645. Prinsip Islam tersebut sekarang diberlakukan di wilayah Uni Eropa. Dalam kenyataannya, Protocol No. 29 concerning Right to Asylum for Citizens of the European Union (1997) menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian masyarakat Eropa membuat ruang (une espace) tanpa batas-batas internal dan memberikan semua penduduk di dalam perserikatan hak untuk pindah secara bebas dan tinggal di wilayah negara anggota. Lihat, L. Dubois et C. Gueydan, Les Grands Textes du Droit de l’Union Europeene, (Dalloz, Paris, 2002, t.th.), h. 195. 255 negara-negara lain. Patut dicatat bahwa Komite Eksekutif Program UNHCR, melalui Konklusi No.12 tentang Pengaruh yang Bersifat Teritorial untuk Menentukan Status Pengungsi, mengatakan bahwa sejumlah ketentuan aturan dalam Konvensi 1951 memungkinkan seorang pengungsi yang tinggal di dalam suatu negara pihak, untuk menggunakan hak-hak tertentu sebagai seorang pengungsi di negara pihak yang lain; dan bahwa penggunaan hak ini tidak mengharuskan dilakukannya kembali proses penentuan status pengungsi.322 Seperti yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa pengungsi hanya bisa menikmati hak-hak tertentu. sementara di negara Islam, pengungsi dapat melaksanakan semua haknya. 4. Sifat dasar dari hak suaka Penting dicatat bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih bermuara pada pertanyaan apakah suaka itu merupakan hak negara ataukah hak individu. Dengan kata lain, apakah seorang individu memiliki hak, berhadapan dengan negara, untuk menikmati suaka, meskipun dalam jangka waktu yang singkat, yang dengan demikian menafikkan kemungkinan pemulangan kembali / penolakan di perbatasan negara, pengusiran, atau ekstradisi (penyerahan) ke negara asalnya? 322 Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, h. 27. 256 Dalam Syariat Islam, suaka dapat dikatakan sebagai suatu hak yang valid bagi setiap individu dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pemberiannya dan sudut pandang pemerolehan dan penggunaannya. Pasal 9 Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Islamic Council, London, tahun 1981, 323 menyatakan, “ Setiap orang yang teraniaya dan tertindas berhak mencari suaka. Hak ini harus dijamin bagi setiap manusia, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, ataupun jenis kelamin.” Demikian pula, Pasal 13 Piagam Hak Asasi Manusia dalam Islam (OKI, Dhaka, 1983) menyatakan: “Setiap orang memiliki hak untuk berpindah tempat secara bebas dan memilih tempat tinggalnya, baik di dalam maupun di luar negaranya. Jika dia menghadapi penganiayaan, dia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan di suatu negara di luar negara asalnya. Negara yang ditujunya untuk meminta suaka harus melindunginya dan memberinya suaka politik, kecuali suaka politik yang diminta atas dasar alasan yang bertentangan dengan Syariat Islam.”324 323 Dikatakan bahwa hak atas suaka benar-benar merupakan hak asasi manusia yang sejati. Lihat Asylum and Refugees in Islamic Tradition/ L asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, International Law Association, Report of the Sixty-ninth Conference, op cit, h. 308. 324 Sebagian ahli hukum berketatapan bahwa syariat Islam menganggap suaka sebagai suatu hak bagi pengungsi dan sebagai suatu kewajiban bagi suatu negara Islam. Suaka bisa diberikan baik kepada Muslim atau non-Muslim, tanpa perkecualian, berdasarkan prinsip umum yang mengakui hal itu. Sebelum terjadi bencana dunia, seluruh Muslim dan non-Muslim itu sederajat. Namun demikian, bisa terjadi penolakan untuk memberikan hak suaka sebagaimana dalam kasus dari perjanjian perdamaian Hudaybiyyah, yang mengakui bahwa para pengungsi yang datang dari kaum Quraisy ke masyarakat Muslim akan dipulangkan, sementara jika datang dari sebaliknya tidak demikian. Lihat. Muhammad Tal’at al-Gunaymi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fi Qânûn alUmam, h. 720; Hamdi al-Gunaimi, al-Malja‘ fi al-Qânûn al-Duwaliy, (Kairo: Kulliyat al-Huqûq, Jâmi’ah alIskandariyah, 1976), h. 132. 257 Sementara itu, Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (tahun 1948) menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain. Permintaan akan hak ini tidak selalu dapat dikabulkan. Begitu juga Konvensi 1951 tidak memberikan perlindungan otomatis atau permanen kepada orang yang meminta suaka. Begitu pula, Pasal 1-2 Konvensi Uni Afrika tentang Aspek-Aspek Problematika Pengungsi di Afrika (tahun 1969) menegaskan bahwa setiap negara harus mengerahkan kemampuan optimalnya untuk menerima para pengungsi dan menjamin pemukiman mereka. 5. Suaka non-sukarela atau suaka wajib Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengungsi tidak boleh dipulangkan ke negaranya, meskipun dia berstatus non-Muslim dzimmiy, baru menganut Islam atau berstatus musta’min. Apabila pengungsi setuju untuk pulang kembali ke negaranya maka tidak boleh dilakukan pemulangan bila ternyata terdapat alasan kuat bahwa hidup pengungsi tersebut akan terancam karena tidak ada dispensasi (rukhsah) dalam hal ini. Jika tidak demikian, negara Islam akan dianggap bekerjasama dalam melanggar hak asasi manusia yang esensial ini. Tidak diragukan lagi, hal tersebut tidak diimplementasikan dalam hukum internasional modern, kecuali pengungsi sendiri menolak 258 dipulangkan lantaran ketakutan atas keselamatan jiwanya.325 Terdapat ciri lain dari pola suaka wajib, yakni keharusan negara Islam memberikan suaka kepada orang yang meminta diperdengarkan ayat suci al-Qur’an, berdasarkan kalam Allah: Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat mendengar Kalamullah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).326 Kewajiban menghormati suaka sebagai suatu hak asasi manusia telah ditetapkan dalam agama Islam, sebab hal tersebut merupakan unsur integral dari akidah dan Syariat Islam. Dalam hal ini, Piagam Perjanjian tentang Hak Anak dalam Islam, yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada tahun 325 Bandingkan, terkait perlindungan atas hak hidup dalam hukum internasional modern, artikel kami yang berjudul, Le Devoir de Respecter le Droit a la Vie en Droit International Public, R. Egypt. DI, 1984, h. 970. 326 Terkait frase dalam ayat “Berikan perlindungan kepadanya, sehingga dia dapat mendengar kalam Allah”, Ibn al-‘Arabiy mengatakan bahwa hal itu berarti jika seseorang mencari suaka atau perlindungan (jiwar, amân maupun dzimmah) darimu, berikanlah sehingga dia bisa mendengar al-Qur’an. Ayat ini berhubungan dengan mereka yang ingin mendengar al-Qur’an dan tertarik untuk memahami Islam. Namun demikian, suaka (ijarah) untuk tujuan-tujuan yang lain dapat diberikan sesuai kepentingan dan untuk kemaslahatan umat Muslim. Oleh sebab itu, suaka bisa diberikan baik oleh Amir (penguasa) atau masyarakat. Otoritas penguasa dalam memberikan suaka merupakan hal yang relatif karena kekuasaan datang dari amanat seluruh masyarakat untuk menjamin kepentingan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kerugian (untuk kemaslahatan). Berkenaan dengan otoritas seseorang untuk memberikan suaka, Hadis Nabi menyebutkan, “Muslim sama derajatnya; yang terendah di antara mereka bisa memberi rasa aman dan yang tertinggi di antara mereka dapat menolak aman yang diberikan pada mereka.” Lihat, Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’an, op. cit., Jilid. 2. h. 891; al-Qurtubiy, alJâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid. 8, h. 76. Dalam pikiran yang serupa, Ibn Qudâmah berkata, “Jika seseorang mencari suaka supaya dapat mendengar kalam Allah dan mengerti tentang syariah, dia harus diberikan suaka dan diantarkan ke tempat di mana dia dapat merasa aman.” Lihat, Ibn Qudâmah al-Maqdisi, al-Kâfi fî Fiqh alImâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, 1399 H/1979 M), Jilid. 4, h. 332. Sebaliknya, ahli lain berkata, “Frasa dalam ayat, “Berikanlah itu (suaka)” mengindikasikan suatu perintah yang wajib yang terbatas hanya pada tujuan ini saja, tujuan yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan aman yang dikenal dalam Syariat Islam. Aman adalah suaka yang diberikan atas dasar kebijaksanaan dan kehendak sendiri dari seorang Muslim. Namun jika seseorang mencari suaka dengan tujuan supaya bisa mendengar kalam Allah, dia harus mendapatkannya dan keselamatannya harus terjamin, sesegera mungkin setelah dia mengajukan permohonannya, tanpa melihat apakah suaka diberikan atau tidak”. Lihat ‘Imâd al-Dîn ibn Muhammad al-Tabariy, Ahkâm al-Qur’ân, tahqîq Mûsâ Muhammad dan ‘Izzat ‘Athiyyah, (Kairo: Dâr alKutub al-Hadîtsah, t.th.), Jilid. 4, h. 26. 259 2005, menegaskan bahwa: “…hak dasar dan kebebasan publik, menurut Syariat Islam, merupakan ajaran integral (tidak dapat dipisah – pisah). Tak seorangpun memiliki hak untuk menghentikan, merusak, atau mengabaikannya.’’327 Syariat Islam merupakan suatu entitas yang memiliki totalitas, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. gagalnya suatu 328 Menurut hukum internasional modern, negara memenuhi kewajibannya untuk memberikan suaka disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama, negaralah yang berhak menentukan dasar alasan pemberian suaka. Dalam hal ini, Pasal 1 paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka (1967) menyatakan bahwa pihak negara pemberi suaka berhak menentukan dasar alasan pemberian suaka. Kedua, hak setiap orang untuk meminta dan memperoleh suaka di negara lain adalah sejalan dengan peraturan perundang-undangan negara dan konvensi internasional (Pasal 12 paragraf 3 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Bangsa-bangsa, 1981). Sementara itu, dalam agama Islam, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian suaka itu bersifat wajib, dan dalam sejumlah keadaan, tidak ada pilihan lain. 6. Perlakuan terhadap pengungsi Dalam masalah ini, sejarah Islam memberikan contoh yang 327 Lihat teks dalam: Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid. 3, h. 1171 (Paragraf 6). 328 Lihat Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Nazariyyah al-Islâm wa Hadyih fî al-Siyâsah wa al-Qânûn wa alDustûr, (Beirût: Mu’assasat al-Risâlah), 1400 H/ 1980 M, h. 159. 260 paling baik. Sejarah Islam memperlihatkan bahwa pengungsi, baik Muslim maupun non-Muslim, harus diberikan perlakuan yang tidak kurang dari, jika tidak bisa dikatakan melebihi, yang ditetapkan bagi penduduk negara asal mereka. Perlakuan demikian dapat dibenarkan, terutama atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ketenangan jiwa pengungsi yang berada dalam lingkungan situasi yang mengancam keselamatan jiwanya.329 Sementara itu, Resolusi Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly Resolutions) No. 50/152 menyatakan bahwa dalam banyak situasi, perlindungan pengungsi dapat menghadapi resiko lantaran penolakan, pengusiran, dan penangkapan mereka secara tidak sah serta bentuk-bentuk ancaman yang ditujukan terhadap keselamatan fisik, martabat dan kehormatan diri, kesejahteraan, serta eksistensi hak dan kebebasan dasar mereka.330 Pendek kata, dapat dikatakan bahwa perlindungan internasional terhadap pengungsi pada saat ini tengah menghadapi ancaman.331 329 Dikatakan bahwa para pengungsi di Marokko, Muslim, atau Kristiani, Arab maupun non Arab, tidak terlihat berbeda dengan penduduk lainnya. Orang-orang asing yang datang ke Marokko heran melihat tidak adanya perbedaan antara para pengungsi dengan penduduk asli. Lihat ‘Abd al-Hâdi al-Tâzi, al-Târîkh alDiblûmâsi li al-Maghrib min Aqdam al-‘Ushûr ila al-Yaum, Jilid 2, h. 80-82. 330 Lihat, Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Jilid 1, h. 102. 331 Buku pegangan mengenai Hukum Internasional untuk Pengungsi (Handbook of International Law for Refugees), UNHCR-IPU, No. 2-2001, h. 6. Perlu dicatat bahwa jika keadaan memaksa dan tidak dapat dielakkan lagi, seorang pengungsi bisa ditahan atas dasar empat alasan: ketika butuh untuk memverifikasi identitas si pencari suaka; ketika butuh untuk memutuskan alasan untuk mencari suaka; ketika butuh untuk mencari tahu dimana pencari suaka memusnahkan dokumen perjalanan mereka atau menggunakan dokumen palsu, dan di mana dibutuhkan untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, ibid, h. 82. 261 7. Berlakunya jaminan perlindungan bagi pengungsi di negara Islam, meskipun diperoleh dengan cara – cara curang/ penipuan Terkait dengan isu ini, suatu peristiwa yang populer dalam sejarah Islam yang dialami Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb dan Raja Hormozan al-Ahwaz dapat menjadi contoh yang sangat jelas. Setelah jatuh ke dalam tahanan, Raja Hormozan dibawa ke hadapan ‘Umar. “Apa yang menyebabkan anda beberapa kali melanggar perjanjian anda?”, Umar bertanya padanya. “Saya takut anda akan membunuh saya sebelum saya mengatakannya pada anda”, jawab Hormozan. “Jangan takut,” ‘Umar berusaha meyakinkan dia. Kemudian Hormozan meminta air minum dan ketika dibawakan air itu padanya, dia berkata, “Saya takut anda akan membunuh saya sebelum saya meminumnya.” Setelah sekali lagi diyakinkan oleh ‘Umar, Hormozan menumpahkan air tadi dan berkata, “Saya tidak butuh air. Saya hanya ingin mencari perlindungan dengannya”. “Aku akan membunuhmu”, kata ‘Umar. “Tapi tadi anda sudah berjanji,” kata Hormozan. Hadir di tempat itu, Anas bin Malik yang berusaha ikut campur untuk menolong Hormozan dengan berkata kepada ‘Umar, “Anda telah berjanji kepadanya dengan berkata, “Anda tidak perlu khawatir sampai anda minum.” Kemudian ‘Umar berpaling ke Hormozan sambil berkata, “Kau membohongiku! Demi Allah, aku tidak ingin ditipu kecuali oleh seorang Muslim!” 262 Jadi Hormozan memeluk Islam, dan atas hal itu ‘Umar memberinya 1000 dirham dan sebuah rumah di Madinah. Dari gambaran di atas, jelas bahwa Khalifah ‘Umar menghargai perjanjian perlindungan meskipun hal itu (perlindungan) didapatkannya dengan cara yang curang.332 Sementara itu menurut hukum internasional, pembatalan status pengungsi dapat terjadi pada 2 (dua) situasi: a. Ketika diketahui bahwa individu telah secara sengaja memalsukan atau menyembunyikan fakta-fakta material dalam upaya memperoleh status pengungsi; dan b. Ketika bukti baru yang muncul membuka kenyataan bahwa individu tidak semestinya berhak atas status pengungsi, sebagai contoh, karena dia bisa dikecualikan.333 8. Pemberian status kewarganegaraan dari negara pemberi suaka kepada pengungsi Menurut Pasal 34 Konvensi 1951, negara-negara yang ikut perjanjian sedapat mungkin harus memfasilitasi asimilasi dan naturalisasi pengungsi. Mereka secara khusus sebaiknya berupaya untuk melancarkan proses naturalisasi dan untuk mengurangi 332 Lihat Ibn al-Jauziy, Sîrah wa al-Manâqib Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththâb, tahqîq Hamzah al-Nasart,dalam bahasa Inggris ada kalimat “diverifikasi oleh Dr. Hamza an Nasharti” (Kairo: alMaktabah al-Qayyimah, t.th), , h. 150. 333 Lihat A Guide to International Refugee Law: A Handbook for Parliamentarians No. 2 -2001, op cit, h. 60. Lihat juga Concluding Instrument of the Amended Bangkok Principles on Refugee Status and Treatment, New Delhi, 2001, yang menyatakan bahwa seorang pengungsi dapat kehilangan status pengungsinya jika dia mendapatkan statusnya itu atas dasar informasi yang salah, bukti-bukti yang tidak benar, atau dengan tindakan yang curang, sehingga mempengaruhi keputusan dari otoritas pemberi suaka suatu negara. Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid 3, h. 1182. 263 sebanyak mungkin biaya dari proses ini. Oleh karena itu, menurut hukum internasional kontemporer, negara-negara memiliki kebebasan yang besar (discretionary power) untuk memutuskan ada tidaknya naturalisasi pengungsi. Sementara dalam Islam, diakuisisinya status dzimmiy oleh seseorang secara otomatis berarti orang tersebut memperoleh kewarganegaraan sebuah negara Islam. Dalam kasus ini negara tidak memiliki discretionary power. Lebih jauh lagi, menurut Pasal 34 Konvensi 1951, suatu negara memiliki kebebasan penuh untuk menaturalisasi atau tidak menaturalisasi pengungsi. Hal ini jelas terlihat dari penulisan kata ”sejauh mungkin” dalam teks berbahasa Inggris (teks bahasa Perancis menggunakan ungkapan “dans toute la measure du possible”, yang artinya dengan segala cara). Patut dicatat bahwa Deklarasi Cotunou tahun 2004 menunjukkan kemungkinan adanya kemaslahatan bagi negara tuan rumah dalam memfasilitasi integrasi lokal pengungsi melalui pemberian status permanent residence (ijin tinggal tetap) dan naturalisasi sepenuhnya.334 Bila dalam Islam dzimmiy diberikan perjanjian dzimmah, dia memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana seorang Muslim. Ini berarti bahwa dia diberi lebih banyak hak daripada 334 Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Jilid. III, h. 1027 264 penduduk tetap atau keringanan proses naturalisasi. 9. Penyatuan keluarga Seperti telah dikemukakan sebelumnya, reunifikasi atau penyatuan anggota keluarga pengungsi diatur dalam Syariat Islam dan hukum internasional. Meskipun demikian, ada perbedaan pandangan antara dua sistem hukum tersebut. Dalam hukum internasional, suatu negara harus memfasilitasi penyatuan kembali anggota keluarga pengungsi dengan segala cara (Pasal 74 Protokol Tambahan Pertama 1977 atas Konvensi Genewa 1949). Menurut Syariat Islam, haram hukumnya memisahkan anggota keluarga, maka implikasinya adalah adanya kewajiban untuk menghindari hal itu. Ketika mengomentari Hadis yang menyatakan: Siapa saja yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, niscaya Allah akan memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya pada hari kiamat kelak. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi) Seorang ulama Hadis terkenal, al-San’ani, mengatakan bahwa Hadis ini secara jelas melarang pemisahan antara ibu dan anaknya, tetapi larangan ini diperluas dengan analogi kepada semua sanak saudara lainnya berdasarkan hubungan pertalian saudara.335 335 al-San’âni, Subul al-Salâm, op. cit, Jilid. 2 h. 494-495. 265 10. Klasifikasi suaka Menurut Syariat Islam dan hukum internasional, suaka teritorial dan suaka diplomatik diakui dan bisa diberikan kepada yang membutuhkan. Akan tetapi, Islam menetapkan kemungkinan pemberian suaka keagamaan (misalnya untuk mendengar kalam Allah atau masuk ke kawasan al-Haram). Sedangkan hukum internasional, sebagaimana didiskusikan sebelumnya, 336 tidak menjadikan agama sebagai landasan aturn-aturannya. 11. Pengaruh “Kedaulatan Negara” terhadap pemberian suaka Konsep “kedaulatan” merupakan konsep politik yang mendasari hukum internasional kontemporer, dengan melihat masalah – masalah fundamental yang terkait. Kedaulatan termanifestasikan dalam 2 (dua) hal. Pertama, kedaulatan tertinggi terhadap orang-orang dan rakyat/penduduk di atas wilayah negara (unsur kedaulatan yang ditujukan kepada personal/ imperium ). Kedua, kedaultan negara atas segala sesuatu yang ada di wilayahnya (unsur kedaulatan yang bersifat teritorial, dominium). Dengan demikian, semua orang dan segala sesuatu yang berada di atas wilayah negara tunduk kepada kedaulatan dan kekuasaan negara itu,337 sesuai dengan asas hukum qui quid est in 336 Vide supra, h. 75-76 Kedaulatan termanifestasi dalam dua aspek. Aspek positif yaitu penggunaan semua tanda-tanda kedaulatan oleh suatu negara di seluruh wilayah teritorial darat, air, dan udaranya. Aspek negatif yaitu keengganan oleh negara-negara lain untuk melawan kedaulatannya. Lihat detilnya dalam komentar kami 337 266 territorio est etiam de territorio. Pada kenyataannya, eksistensi suatu negara dalam kerangka masyarakat internasional mengharuskan, dengan satu cara ataupun lebih, adanya batasan – batasan terhadap kedaulatan negara tersebut. Ini bukanlah hal yang tidak lazim karena realitas kehidupan internasional menunjukkan hal demikian. Keberadaan individu dalam suatu komunitas yang terorganisir (negara) mengakibatkan adanya pembatasan terhadap kebebasannya dalam bertindak, bahkan kebebasan ini terbelenggu pada sejumlah hal, (dahulu, seorang individu boleh menggunakan haknya dengan tangan (kekuatan)-nya berperang satu sama sendiri; lain demikian dalam upaya pula suku-suku mereka untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka; dan semua itu telah usai pada era sekarang ini seiring dengan mantapnya kedaulatan dan kekuasaan negara atas wilayahnya). Demikian pula halnya dengan negara, di mana eksistensinya dalam masyarakat internasional (masyarakat internasional modern) atau dalam mengenai kasus aktivitas militer dan para militer di dan terhadap Nikaragua, Revue Egyptienne de Droit International, 1986, h. 364. Mahkamah Internasional telah bersidang sejak tahun 1949 mengenai kasus Corvu Channel (h. 35) bahwa penghormatan terhadap kedaulatan teritorial di antara negara-negara merdeka merupakan dasar yang esensial dalam hubungan internasional. Lihat juga mengenai konsep kedaulatan, Ahmad Abû alWafâ, Arbitration and Adjudication of International Land Boundary Disputes, Mesir. DI, 1986, h. 145-147; Descamps, Le Droit International Nouveeau, RCADI, 1930, h. 439; Van Kleffens Sovereignty in International Law , RCADI , 1953 , 1 , h. 8; L’etat souverain à l’aube du Xxe siècle : SFDI, colloque de Nancy, Pedone, Paris, 1994, h.318. Instrumen-instrumen pokok dari organisasi-organisasi internasional secara umum menekankan prinsipprinsip kedaulatan ini. Piagam PBB (Pasal 2-1) menegaskan bahwa PBB didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan negara – negara anggotanya. The Charter of Organization of inter-American States (pasal 5-B) menegaskan bahwa “ketertiban internasional pada dasarnya dibangun atas penghargaan terhadap sifat, kedaulatan, dan kemerdekaan negara.” Piagam Organisasi Persatuan Afrika (OAU) (Pasal 2-1) menegaskan bahwa “salah satu fungsi dari organisasi ini adalah untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan negara-negara Afrika.” Demikian halnya Mahkamah Hukum Internasional (Laporan tahun 1986, paragraf 258, 263) merujuk kepada “prinsip dasar dari kedaulatan yang menjadi dasar semua hukum internasional.” 267 masyarakat terorganisir (organisasi-organisasi internasional) mengimplikasikan adanya pembatasan kedaulatan negara itu.338 Indikasi pembatasan kedaulatan negara itu terlihat jelas manakala dikaitkan dengan isu suaka yaitu pada keharusan mentaati setiap negara terhadap prinsip-prinsip dasar suaka, terutama prinsip larangan pemulangan kembali (non- refoulement).339 Demikian pula, hal yang mutlak harus dipatuhi ialah keharusan negara melakukan pengaturan tata kelola urusan pencari suaka yang ditolak suakanya secara bertanggungjawab dan responsif.f340 Namun demikian, sebagian negara terbukti, pada prakteknya, tidak melaksanakan prinsip aturan tersebut sebagaimana mestinya, seperti telah dibicarakan sebelumnya. Hal ini terbukti dari adanya sebagian negara yang membuat batasan-batasan untuk diterimanya pencari suaka/pengungsi, dan bahkan ada sejumlah negara yang memulangkan pencari suaka/pengungsi di daerah perbatasan.341 338 Ahmad Abû al-Wafâ, al-Wasît fî al-Qûnûn al-Dauliy, op cit, h. 414. Oleh sebab itu ditegaskan bahwa, perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara. Negara-negara penandatangan Konvensi tahun 1951 memiliki kewajiban hukum di bawah syarat-syarat Konvensi ini dan harus mengaplikasikan syarat-syarat tersebut tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama, atau negara asal dan menghormati prinsip-prinsip perlindungan, seperti non-refoulment (larangan pemulangan kembali) dan non-expulsion (larangan pengusiran) yang juga diawasi oleh negara-negara yang tidak menandatanganinya. Lihat Refugee Protection: A field Guide for NGOs, (Kairo: UNHCR dan mitra LSM, 2000), h. 22. 340 Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, No. 62, h. 151. 341 Sebagian negara tersebut menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan administrasi untuk membatasi masuknya pengungsi ke negara yang bersangkutan. Peraturan administrasi ini dijadikan landasan dalam pemberian kewenangan yang luas kepada para penjaga perbatasan untuk mencegah masuknya 339 268 Menurut Syariat Islam, seperti telah dikemukakan terdahulu, kedaulatan negara Islam dibatasi dengan sejumlah hal, terutama perihal penerimaan pencari suaka/pengungsi dan tata perlakuan terhadapnya. Diantara hal tersebut ialah: a. Keharusan memberikan suaka kepada setiap orang yang membutuhkan bantuan atau yang menghadapi risiko penganiayaan atau penyiksaan; b. Keharusan menerima pencari suaka/pengungsi yang datang untuk tujuan mendengar kalam Allah; c. Keharusan mengantarkan pengungsi ketempat yang aman apabila hak atas suakanya hilang (atas alasan – alasan yang disebut diatas) dan seiring dengan itu, larangan pemulangan para pencari suaka. Demikian pula, adanya pengenaan denda yang berjumlah besar kepada perusahaan penerbangan dan perusahaan lainnya yang terlibat dalam kerja pengangkutan para pencari suaka yang tidak membawa dokumen-dokumen penting yang otentik, mengakibatkan mereka terhalang memasuki negara yang dituju. Lihat M.Fullerton, Restricitng the Flow of Asylum Seekers in Belgium, Denmark, the Federal Republic of Germany and Netherlands: New Challenges to the Geneva Convention relating to the Status of Refugees and the European Convention on Human Rights, (Virginia: Journal of International Law, 1988) Vol. 29, 1988, h. 33114. Ph. De Bruycker, La Comptabilite de Legislation Belge Avec le Droit International, RBDI, 1989, h. 201-225. Symposium, Refusing Refugees, Political legal Barriers to Asylum, (Cornell ILJ, 1993), Vol.26, h. 495-770 Symposium, Refugee Law and Policy, (Virginia JIL, 1993), Vol. 33, h. 473-526. Patut menjadi catatan, Asosiasi Hukum Internasional (International Law Association), setelah mengadopsi, pada tahun 1986, Deklarasi tentang Pengusiran Massal (Putaran 62 Seoul) juga mengadopsi, pada tahun 1992 di Kairo, Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional terkait Pemberian Kompensasi kepada Pengungsi. Di dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa negara yang memaksa seseorang untuk berpindah ke status pengungsi, berarti melakukan perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional; dan bahwa yang demikian itu dapat dianggap sebagai pemusnahan ras apabila hal itu dilakukan dengan maksud pemusnahan massal atau pemusnahan sekelompok bangsa, ras atau agama tertentu; dan negara tersebut harus bertanggung jawab atas pengusiran pengungsi dengan: (i) menghentikan perbuatan tersebut; (ii) pengembalian status seperti semula sebelum terjadinya tindakan itu; (iii) memberikan kompensasi ketika pengembalian status tersebut mustahil untuk dilakukan; (iv) memberikan jaminan agar tidak terulang lagi tindakan tersebut; dan (v) menerapkan prosedur persangkaan/penuduhan sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional (lihat teks deklarasi pada h. 157-159, AJIL, 1953). Patut dikemukakan bahwa PBB menyetujui, dalam Resolusi No. 41/70 (1986) hak pengungsi untuk dikembalikan dengan jaminan kebebasan dan perlindungan ke negaranya; demikian pula, hak mereka untuk memperoleh kompensasi yang wajar manakala mereka tidak mau dipulangkan ke negaranya. Ada juga pendapat ahli yang menyatakan bahwa sebagian pengungsi tidak saling mengenal sehingga mereka tidak disukai. Lihat A. Harper, Iraq`s Refugees, Ignored and Unwanted, IRRC, Vol. 90, No. 869, 2008. 269 pencari suaka/pengungsi ke daerah dimana dikhawatirkan mereka akan mengalami penyiksaan;342 dan d. Penghormatan penguasa di negara-negara Islam terhadap suaka yang diberikan individu atau orang biasa.343 342 Ada suatu pendapat yang membedakan antara ijârah (perlindungan yang diberikan terhadap “risiko penyerangan yang ditakuti pencari suaka di tempat ia tinggal, baik secara permanen ataupun sementara”) dan al-lujû`(perlindungan dari rasa takut terhadap penganiayaaan di negara asal yang telah ditinggalkannya). Sementara tempat dimana dia tinggal sekarang aman dan oleh sebab itu dia memilihnya sebagai tempat suaka dan tempat tinggal sementara. Lihat Ahmad al-Khamlisyi , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât alDauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, op cit, h. 12. Pendapat yang sama juga menetapkan bahwa tidak boleh menjadikan ayat al-Qur’an (Q.S. al-Taubah/9:6) sebagai landasan hak suaka dalam Syariat Islam. Pendapat tadi berargumen bahwa jika seorang kafir mencari perlindungan dari adanya bahaya di negara yang kebetulan didatanginya yaitu wilayah pemberi suaka, sementara di domisili aslinya (bukan negara Islam) dia merasa aman. Konsep ini ditegaskan oleh ayat ini dengan memerintahkan orang kafir tersebut diantarkan ke tempat dimana dia merasa aman (asal domisilinya). Jadi jika seorang pengungsi berada dalam bahaya di negaranya sendiri, dia memperoleh perlindungan di negara pemberi suaka. Ayat ini juga memberlakukan “pemberian perlindungan” dan bukan “pemberian suaka” sebagaimana berlaku dalam terminologi masa kini.” Lihat Ahmad al-Khamlisyi, , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, h. 12-13. Sebenarnya kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, ayat ini mengandung kata yang umum, tidak secara khusus diperuntukan bagi perpindahan seseorang dari suatu tempat di mana dia merasa tidak aman ke tempat lain di mana dia merasa aman.. Point pertama ini dapat didasarkan kepada dua proposisi. Imam al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat isim nakirah (kata benda tak tertentu) dalam kalimat bersyarat, Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: al-Bâb al-Halabiy), Edisi II. Jilid. 2 h. 6. Aturan umumnya adalah “klausul umum meliputi semua yang ada di bawahnya tanpa pembatasan”. Lihat, al-Suyûtiy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqîq Muhammad Abû alFadl Ibrâhîm, al-Turast House, Kairo, Jilid. 3, h. 22-23. Kedua, penyampaian jaminan perlindungan dikemukakan secara umum, di mana mencakup tempat asal pengungsi atau tempat lain di mana saja ia dapat memperoleh perlindungan.. Ketiga, , penyampaian jaminan perlindungan dalam ayat, mengandung arti bahwa jika seorang pengungsi ingin pulang kembali, dia harus diantarkan ke tempat aman. Jika dia ingin tinggal di negara Islam, dia harus diterima dan tidak boleh dipaksa pulang kembali. Sama juga bila dia ingin pergi ke suatu tempat selain negara asalnya, dia harus diantarkan ke tempat aman. Keempat, para ahli Syariat Islam menggunakan istilah “istijârah” dalam pengertian umum, tidak membatasinya pada satu syarat atau satu tempat saja. Dalam hal ini al-Imam al-al-Baidawi berkata, “Merupakan kebiasaan dari seorang pencari suaka (mostajer), untuk memegangi ekor atau kerah baju dari para pemberi suaka sebagai suatu tanda kebutuhan yang berlebih terhadap perlindungan.” Lihat, al-Ahâdits al-Qudsiyyah, (Kairo: Majelis Umum untuk Urusan Islam, 1402 H/1981), Jilid. 1-2, h. 117. 343 Ada satu opini yang berpendapat bahwa ada perbedaan yang jelas a di masa lalu dan masa kini tentang kelayakan pemberian suaka. Tidak lagi dapat diterima, baik di dalam maupun di luar fikih Islam, bahwa hak suaka dapat diberikan oleh individu, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mengatur masyarakat politik. Ahmad al-Khamlisyi, Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah alKhassah bi al-Lâji’în, ibid, h..23. Kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan, sebagai berikut. Pertama, dari sisi muatan isinya, opini ini bertentangan dengan Hadis Nabi, “ Muslim itu sederajat; yang terendah dari mereka bisa memberikan perlindungan dan menjalankan dzimmah (perlindungan) yang diberikan oleh orang Muslim yang lain dan mereka bersatu melawan musuh.” Ini berarti bahwa setiap orang Muslim bahkan dari kalangan bawah berhak untuk memberi suaka. Kedua, dari segi rasionalisasinya, kami tidak setuju dengan alasan yang dipergunakan untuk membenarkan aturan tersebut, yakni bahwa praktik semacam itu “bertentangan dengan prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik”, ini adalah alasan yang tidak dapat diterima karena sejak kemunculan negara Islam, sepanjang hidup Rasulullah SAW dan sesudahnya, sudah ada suaka yang diberikan oleh individu atau individu berhak untuk memberi suaka meskipun ada prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik. Seiring dengan itu, kami berpendapat bahwa penguasa negara Islam bisa mengatur masalah ini menurut pola 270 PENUTUP A. Catatan Penutup Syariat Islam telah menetapkan aturan - aturan dan dasar dasar yang aplikatif dan dapat diterima dalam perihal hak suaka, baik itu dalam tataran normatif maupun substantif dalam bentuk surat, kata, dalam pengalaman dan perbuatan. Apa yang ditetapkan Syariat Islam tersebut perlu mendapat perhatian dan penekanan dan menjadi kewajiban bagi kaum Muslim.344 Arti penting dari hak suaka jelas terlihat dan tidak diragukan oleh siapapun. Sebab, pemenuhan hak suaka, melalui pemberian suaka, adalah unsur yang akan melengkapi hak asasi manusia secara keseluruhan, begitupun jika tidak dilaksanakan dalam situasi dan kondisi tertentu akan mengabaikan pelaksanaan hak asasi manusia secara menyeluruh.345 Al-Qur’an secara eksplist menetapkan bahwa siapa saja yang memberikan tempat perlindungan kepada orang yang bermigrasi (yang mencari perlindungan) di tempat ia tinggal, maka ia adalah Mukmin sejati. Mengenai hal ini, al-Qur’an menyatakan: yang sesuai dengan kemaslahatan negara Islam. Hal ini masuk dalam kerangka kekuasaan penguasa dalam mengatur perkara yang dibolehkan (mubâh) dan tugasnya dalam mewujudkan kemaslahatan negara Islam. 344 Dikatakan: “Dans l Islam, l asile est un devoir tout d abord du persecute, qui est oblige de fuir dans le cas ou il ne peut resister a l oppression, puis ensuite, une obligation pour tous les musulmans de proteger la personne qui cherche asile.” Lihat dalam L Asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, op cit, h. 322. 345 Dalam kaitan ini, Deklarasi Cotonou, Benin (2004) menyatakan bahwa tidak ada satu negara pun yang terhindar dari risiko menghasilkan atau menerima sejumlah aliran pengungsi; dan karena itu upaya melindungi pengungsi merupakan tugas bersama semua negara dan merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang bersifat mendasar. Lihat dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. 3, op cit, h. 102. 271 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. (Q.S. al-Anfâl/8:72). Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. (Q.S. al-Anfâl/8:74). Migrasi (hijrah) dalam terminologi hukum internasional kontemporer sama dengan suaka teritorial, yakni relokasi dari suatu daerah ke daerah lain, dari daerah dimana seseorang merasa khawatir atas keselamatan jiwa, keluarga, dan harta kekayaannya ke daerah di mana dia memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan. Seorang Muslim yang memberikan perlindungan kepada pengungsi atau migran dianggap sebagai orang Mukmin sejati karena ia telah mengamalkan aturan-aturan dan prinsipprinsip dalam Syariat Islam. Kata hâjara dalam bahasa Arab berarti meninggalkan negara atau tanah airnya, seperti halnya kata tuhâjirû fîhâ, yang berarti pindah dari dâr al-fitnah (wilayah dimana terjadi pelanggaran) menuju dâr al-amân (wilayah yang menjamin perlindungan). 346 Hal ini dinyatakan dalam ayat alQur’an berikut: Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga 346 Lihat dalam Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Jilid. 2, h. 1141. 272 kamu dapat hijrah di bumi itu?". (Q.S. al-Nisâ’/4:97) Dan dalam al-Anfâl/8:74. B. Pandangan ahli hukum non-Muslim Para ahli hukum non-Muslim menyadari kemuliaan dan menghargai Syariat Islam, terkait aturan didalamnya yang mengenai hak suaka sebagai hak asasi manusia. Khazanah pemikiran hukum Barat seringkali mengaitkan asal muasal diakunya hak suaka dalam Syariat Islam, dengan tradisi keramahtamahan dalam Islam (ajaran “penghormatan terhadap tamu”) dan juga dikaitkan dengan ajaran Islam yang menganggap hak suaka seorang pengungsi adalah suci. Massignon, salah satunya, berpendapat bahwa meski Islam membolehkan mengangkat senjata terhadap orang-orang yang tidak mengakui hak Allah atas masyarakat, hal demikian diimbangi dan diperingan dengan adanya pemberian hak suaka kepada siapa saja yang mencarinya.347 Ahli hukum yang sama merasa khawatir bahwa tradisi Barat yang muncul setelah runtuhnya Imperium Turki Utsmani 347 L Islam estime qu’il est juste de tirer l epee contre ceux qui ne reconnaissent pas le droit de Dieu sur la Societe humaine. Mais il tempere cette (guerre sainte) par le Droit d’asile, l’hospitalite. Ce n’est pas seulement en temps de paix, … que les Dhimmiyun ont ete traites a egalite par l’Etat musulman…, C’est en temps de guerre que l’Etat musulman fait combattre pour proteger la vie et les biens de Dhimiyun comme ceux des Musulmans: leurs prisonniers aussi, le Bayt al-Mal musulmans doit payer equivalement la rancon des Dhimmiyun et celle des Musulmans… Il y a plus: Si un etranger resident en temps de paix en territoire islamique devient un ennemi du fait d’une de claration de guerre contre son pays d’origine, ses droits acquis persistent en temps de guerre: cet etranger ennemi peut continuer paisiblement son sejour jusqu’ a la date prevue dans le visa. L. Massignon: Le respect de la personne humaine en Islam et la priorite du droit d’asile sur le devoir de juste guerre, Rev. Inter. De la croix Rouge, 1952, p. 458-9, 460, 467. 273 mengakibatkan adanya penolakan dari negara-negara Islam terhadap pemberian hak suaka. 348 Akademisi Barat lainnya, Hoy Eduardo mengakui bahwa pemberian hak suaka paling luas dapat ditemukan dalam tradisi kehidupan bangsa Arab Islam.349 Kristen Zaat mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk mengambil inspirasi, dari Syariat Islam, tentang sejumlah ide dan konsep yang relevan dengan upaya perlindungan dan pemberian bantuan kepada orang yang bermigrasi lantaran adanya keterpaksaan. Di samping itu, diakui pula olehnya keharusan mengakhiri opini yang memandang bahwa Syariat Islam merupakan faktor penyebab penyalahgunaan pemenuhan hak-hak dan pemberian fasiltas hidup bagi orang-orang migran.350 Bahkan, S. Akram mengisyaratkan keharusan menengok kembali tradisi budaya Timur ketika memperbincangkan hak suaka.351 Salah satu bentuk dari tradisi ini ialah penghargaan terhadap 348 La liquidation de cet Empire par l’Europe en 1923, ou le traite de Lausanne, aboutit a une regression du droit international en consacrant le principe raciste (assyrien) des transferts massifs de population, d’ echanges, pour (incompatibilite d’humeur avec leurs voisins), des personnes d’ placees: echange entre les Musulmans turcs de Macedoine et les Chretiens grecs.. cet echange qui a determine, des deux cotes, une situation miserable… a servi de type et de modele a d’autres echanges diplomatiques, a commencer par certains replis raciaux hitleriens… pour aboutir a l’ expulsion massive, par l’Etat d’arabes musulmans des Juifs… Nous avons ainsi amene les Musulmans a nous imiter en expulsant les minorites… Et l’on peut se demander si les Etats musulmans, pour nous combattre avec nos armes, ne vont pas renier comme nous le Droit d’asile, qui est, pourtant, dans leur tradition et leur droit international fondamental. 349 Secara lugas, ia mengatakan: “Mungkin suaka yang paling genuine ialah yang dipraktekan dalam tradisi masyarakat Islam Arab” Lihat Hoy Eduardo, Convention Refugee Definition in the West: Disharmony of Interpretation and Application, International Journal of Refugee Law, 5, 1993, h. 69. 350 Zaat mengatakan bahwa: “Para pihak yang menaruh perhatian terhadap nasib kaum pengungsi dan IDPs (Internally Displaced People) di dalam kehidupan masyarakat dunia seharusnya mendekati Syariat Islam dengan niat baik dan semangat ingin tahu, yang berupaya menemukan, dari tradisi Arab Islam klasik, pola yang tepat secara budaya, asli dan terpuji tentang perlindungan dan bantuan bagi kaum yang bermigrasi lantaran keterpaksaan. Masa – masa kelam yang hanya mempersalahkan Syariat Islam sebagai penyebab penyalahgunaan hak-hak dan fasilitas kehidupan kaum migran memang harus diakhiri.” Lihat Kirsten Zaat: The Protection of Forced Migrants in Islamic Law, h. 35 . 351 S. Akram, Orientalism Revisited in Asylum and Refugee Claims, International Journal of Refugee Law, 12 (I), 2000, op cit, h. 7-40. 274 jiwâr (suaka). Oleh karena itu, seorang penyair Arab tidak segansegan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap mereka yang tidak menghargai hak suaka dengan cara mengintimidasi dan mempermalukan pencari suaka (mustajîr). Dalam kaitan ini, seorang penyair Arab, al-Burj ibn Mushar al-Tâ’iy, bersyair: Betapa hebatnya orang-orang Kalb, Namun, di bawah jiwâr mereka, kami melihat kekurangan, Betapa hebatnya orang-orang Kalb, Tetapi kami menderita lantaran anak-anak kami, Pengkhianatan terjadi pada siang dan malam, Di dataran rendah maupun dataran tinggi, Sejak perang satu tahun, kami tinggalkan rakyat kami, Betapa mengerikan, rakyat kami tercerai-berai, Kami keluarkan perempuan-perempuan tua dari benteng, Tempat mereka berdiam dalam damai dan kestabilan, Suatu hari kami harus kembali ke dua gunung, Kami akan selalu hidup dalam kedamaian hingga mati menjemput.352 Berkomentar atas Hadis Nabi Muhammad SAW: 353 “Pada dasarnya, aku diutus dengan pesan untuk menyuruh (kalian) berbuat baik.”, penulis (Marzuq ibn Tinbâk) berpendapat bahwa di antara perilaku mulia dalam tradisi bangsa Arab adalah yang disebut sebagai perilaku atau sifat bermurah hati, berani, memelihara harga diri, melindungi tetangga, dan menyayangi orang lain yang tidak dikenal.354 352 Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, (Kuwait: Hauliyyât Kulliyah al-Âdâb, 1410-11 H/ 1989/90 M), h. 93 353 Lihat sebelumnya, Sambutan Rektor Universitas al-Azhar, halaman xxvi. 354 Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, h. 11 275 C. Pandangan Pribadi Penulis Penting untuk disampaikan bahwa pemberian hak suaka sejalan dengan 3 (tiga) prinsip dalam Syariat Islam sebagai berikut:355 1. Kewajiban melindungi dan membantu orang yang mengalami penganiayaan merupakan atau bentuk penyiksaan. minimal 356 dari Pemberian upaya suaka pemberian perlindungan dan bantuan bagi orang tersebut. Hal ini disokong oleh ayat al-Qur’an: (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S. al-Hasyr/59:8) 2. Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk memiliki “sikap bergerak” dan “sikap tidak terikat dengan daerah tertentu” apabila terdapat alasan-alasan mengharuskan “bergerak atau berpindah tempat”. Ini sesuai dengan pesan ayat-ayat al- Qur’an berikut:357 Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) 355 Seorang ahli hukum berpendapat bahwa, “Dans le monde musulman d aujourd hui, les pratiques et les legislations relatives a l asile et aux refugies sont loin d etre musulmanes. Elles s alignent tres souvent sur la pratique internationale moderne, tres souvent restrictive et assez peu genereuse.” See: L’asile et les refugies dans la tradition musulmane, , h. 333 dan 337. 356 Ada yang berpandangan bahwa “jiwar” saat ini telah menjadi ranah kebijakan luar negeri dalam Islam yang mengombinasi kombinasi berbagai sifat mulia, yang mana bermakna perlindungan terhadap kehidupan, keluarga, kekayaan, dan penghargaan terhadap individu maupun kelompok”. Lihat Ali Ahmad alKhatîb, Muqaddimah fî Hijrat al-Rasûl, Final Volume, (Jiwar), op cit, h. 164. 357 Hal ini juga dikukuhkan oleh hukum internasional. Lihat C. Mubanga-Chipoya, The Right to Everyone to Leave any Country, Including his Own and to Return to his Country, UN doc.E/C4/Sba.2 1988/35, June 1988, Final Report. 276 kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (Q.S. alA’râf/7:128) Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.S. al-Anbiyâ’/21:105) Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15) Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10). Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. alJumu’ah/62:10) Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orangorang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah,.. (Q.S. alMuzzammil/73:20) 3. Tindakan melanggar dan membatalkan perjanjian suaka yang diberikan kepada pengungsi merupakan hal yang ditentang Islam selamanya.358 Hal demikian terbukti dari faham bahwa 358 Hal demikian terbukti dari norma Syariat Islam yang menyatakan bahwa setiap pelanggaran, oleh orang Muslim, terhadap ketentuan dan persyaratan perlindungan, akan dihukum menurut Syariat Islam. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash? (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1427 H/ 2006 M), h. 79. Di dalam buku ini, penulis juga (Ahmad Abû al-Wafâ’) mengatakan bahwa asal-usul suaka 277 penghormatan terhadap orang yang bermigrasi dan mereka yang mencari suaka merupakan salah satu noktah penting ajaran akidah Islam. Hak suaka merupakan hak Arab yang genuine, di mana banyak orang telah meminta untuk menghidupkannya kembali, bahkan dalam khazanah sya’ir Arab. 359 Dalam hal ini, Pasal 12 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (the Cairo Declaration on Human Rights in Islam), yang disahkan dalam Konferensi Menteri Luar Negeri dari Negara-Negara OKI ke-19 di Kairo tahun 1411 H/1990 M, menyatakan: “ Setiap orang berhak, menurut Syariat Islam, untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal, baik di dalam maupun berakar kuat dalam tradisi Islam dan Arab. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash?, h. 194. 359 Sebagai contoh, ketika Hind bint Nu’mân meminta suaka kepada Safiyyah bint Tsa’lab alSyaibâniyyah maka Safiyyah memberikannya suaka, dan dia mendatangi kaumnya mengumumkan perihal suaka itu terkait tindakan Raja Kisra Persia dan bala tentaranya, dengan mengatakan: Wahai Bani Syaibân, hidupkan suaka (jiwâr) Yang telah dimatikan oleh semua suku bangsa Arab Apa alasannya? Pakaianku dilipat oleh seorang perempuan merdeka Ditanam dalam kumpulan mutiara dan berlian Menghadapi para Kaisar, aku beri suaka kepada seorang perempuan merdeka Dengan bantuan kaum tua dan kaum muda kaum saya Syaiban adalah suku saya, apakah ada suku lain yang seperti mereka Pada saat perlawanan dan berkecamuknya pasukan berkuda Suatu kaum yang melindungi orang yang dikejar musuh Dan hidupku terpelihara dari perubahan masa Kemudian Bani Syaibân memberikan suaka dan melawan serangan pasukan tentara asing (Persia) hingga pasukan itu takluk. Safiyah berkata: Katakan kepada Kisra, kami memberikan suaka kepada seorang perempuan pencari suaka Maka ia menempati tempat kemuliaan, wahai Kisra Kami adalah orang-orang yang apabila tinggal di tempat berbahaya Kami tidak pernah menyesal Kami lindungi pencari suaka itu dari semua bahaya Kami berikan kepadanya karunia yang menyenangkan, Lihat Muhammad ‘Anâni, al-Mukhtâr min Asy’âr al-Mar’ah al-‘Arabiyyah fî al-Jâhiliyyah wa alIslâm, (Kairo: General Book Organization, 1997), h. 27-42. 278 di luar negaranya. Setiap orang juga berhak-apabila disiksa/dianiaya, mencari suaka ke negara lain dan negara yang dimintai suaka olehnya wajib memberikan perlindungan kepadanya hingga dia benar-benar terlindungi, sejauh penyebab yang membuat dirinya mencari suaka itu bukan merupakan suatu tindak kejahatan menurut Syariat Islam.”360 4. Sebuah fatwa penting dikemukakan oleh Ibn al-Nâbulsi alHanafi. Pada bagian akhir ini, patut kiranya kami mengutip pandangan progresif Ibn al-Nâbulsi al-Hanafi mengenai hak untuk bebas bergerak, memilih tempat tinggal, dan memperoleh suaka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Hak Setiap Orang untuk Memilih Tempat Tinggal di suatu Negara” (Takhyîr al-‘Ibâd fi Suknâ al-Bilâd), Ibn al-Nâbulsi al-Hanafi berkata: “Memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat 360 ‘Abd al-Qâdir ‘Audah berpandangan bahwa pengusiran seorang Muslim dari wilayah Muslim bisa menjadikan dirinya beresiko untuk jatuh pada godaan dan mendorongnya pada kebinasaan dan menghalanginya untuk melakukan ibadah agamanya di ranah publik. Dia menambahkan, tidak ada negara Islam yang berhak menolak akses ke wilayahnya bagi warga negara-negara Islam lain, karena setiap negara memiliki langkahlangkah keamanan dan ketentuan syariah yang dapat memenuhi setiap kebutuhan. Jika semua ini tersedia dan berlaku di negara itu, maka aturan syariah tidak akan terganggu. Dalam kasus ini, negara tidak boleh menyimpang dari hak ini dengan dalih perlunya mendukung tindakan yang akan mengganggu aturan penting syariah. Pendapat ini sejalan dengan maksud dan tujuan syariah untuk menyatukan tanah Muslim dan mengubahnya menjadi wilayah yang aman dan damai bagi setiap Muslim dan dzimmy. Di sisi lain, pandangan yang bertentangan dengan semangat di atas, hal mana mengusung ketimpangan serta bias nasionalisme dan rasisme, jelas tidak sejalan dengan Islam. ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ 'al-Jinâ'i al-Islâmiy, op cit, h. 304305. Mencermati pesan dari khalifah al-Mansûr berkenaan dengan beberapa orang Muslim yang berlindung di Turki dan kemudian mereka dihukum berat dan dibunuh oleh mereka, Syeikh bin Saudah berpandangan, tidak diragukan lagi bahwa para pelaku yang membunuh dan menghukum berat beberapa Muslim yang mencari perlindungan karena Allah dan bersekutu dengan kelompok mujahidin (pejuang untuk tujuan yang suci) tidak dapat dianggap sebagai saudara dalam agama. Tindakan mereka menunjukkan keimanan yang tipis dan kurangnya kesetiakawanan. Dengan demikian mereka harus dihukum dengan terbuka dan dipermalukan di depan publik dan kemudian dibunuh. Ini akan menjadi hukuman yang setimpal(Qaishâsh) untuk tindakan mereka yang keji. Allah mengetahui yang terbaik dari niat dan tujuan mereka, jika ia membunuh para mujahidin dengan maksud untuk mendukung musuh-musuh Allah atau karena cinta dan semangat untuk mendukung agama mereka, maka mereka akan dikeluarkan dari agama Islam dan akan diperlakukan sebagai kafir. 'Abd alHâdiy al-Tâziy, al-Târîkh al-Diblûmâsiy li al-Maghrib min Aqdam al-'Ushûr ila al-Yawm, (t.tp: Mathâbi' Fudhâlah, al-Muhammadiyyah, 1407 H / 1987 M.), op cit, Jilid 1, h. 139. 279 dan mewajibkannya dengan jalan pemaksaan merupakan suatu tindakan zalim dan melanggar hukum. Tindakan semacam ini harus dijauhkan dari diri setiap Muslim. Diwajibkan pula setiap Muslim, terutama penguasa Muslim dan orang yang kompeten, untuk mencegah, melawan, dan memberantas pelaku tindakan semacam ini dengan berbagai cara seoptimal mungkin, seperti dengan cara menasehati dan memperingatkan secara keras dengan lisan, dan bentuk pencegahan dan pemberantasan kemunkaran lainnya.” Dia menambahkan: “ Oleh karena itu, terdapat atsar (ungkapan bijak ulama) yang menyatakan bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari keimanan. Jadi, seseorang tidak boleh meninggalkan negaranya atau melepaskan ikatan kewarganegaraan dengan negaranya kecuali dengan dasar alasan kesulitan/kesusahan berat yang menimpa dirinya, seperti kelaliman penguasa, tindakan fitnah, tindakan penganiayaan, dan alasan lain yang memungkinkan dirinya meninggalkan negaranya, keluarganya dan tempat tinggalnya. Mengenai hal ini, Allah SWT berkalam dalam al-Qur’an: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. (Q.S. al-Nisâ’/4:66) 280 Jadi, Allah menjadikan tindakan meninggalkan negara seperti tindakan membunuh diri dan Allah mempersamakan dua tindakan itu dari segi kesukaran/kesusahan yang ditimpakan kepada manusia.” Dia menambahkan pula: “Tindakan sekelompok penduduk Muslim meninggalkan daerah, tempat tinggal dan harta kekayaan mereka lantaran kezaliman dan kesewang-wenangan pihak lain, yang di luar kesanggupan mereka menghadapinya, sehingga mereka tidak bisa menjalankan aktivitas ibadah dan keyakinan akan perkara halal dan perkara haram maka tindakan sekelompok penduduk Muslim itu merupakan tindakan mulia yang diberi ganjaran pahala. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah SWT: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. (Q.S. al-‘Ankabût/29:56).” Ketika memahami kandungan makna ayat ini, al-Nasafi berkata: “Apabila orang Muslim merasa tidak mudah beribadah di negerinya atau ia tidak dapat menjalankan ajaran agamanya maka dia harus bermigrasi ke negeri lain yang lebih menjamin kehidupan beragamanya.” 361 361 Institute Francais de Damas, Bulletin d Etudes Orientales, Tome XXXIX-XL, Annes 1987-1988, h. 28-37. 281