The Right to Asylum between Islamic Shari`ah and

advertisement
(SUATU
KAJIAN PERBANDINGAN)
A Comparative
Study
Produced and Printed by Printing Press of
Produksi buku ini didanai oleh UNHCR
Naif Arab University for Security Sciences
Naif Arab University for Security Sciences
Prof. Ahmed Abou-El-Wafa
Riyadh - 2009 (1430 H.)
Riyadh - 2009 (1430 H.)
Cyan Magenta Yellow Black
HAK –The
HAK
PENCARIAN
SUAKA
Right
to Asylum
between
Islamic Shari’ah
and
DALAM SYARIAT
ISLAM DAN
International
Refugee Law
HUKUM INTERNASIONAL
HAK – HAK PENCARIAN SUAKA
DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM
INTERNASIONAL
(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)
Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’
Riyadh, 1430 H/2009 M
i
HAK – HAK PENCARIAN SUAKA
DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL
(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)
Judul Asli:
Haqq al-Lujû′ bain al-Syarî’ah al-Islâmiyyah
wa al-Qânûn al-Dauliy li al-Lâji’în, Dirâsah Muqâranah
Penulis:
Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’
Konsultan:
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M
Penerjemah:
Dr. Asmawi, M.Ag
Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A
Afwan Faizin, M.A
Pembaca Ahli:
Dr. H.Ahmad Mukri Aji, M.A
Harry Alexander, S.H, L.LM
Editor dan Penyelaras Bahasa:
Dr. Asmawi, M.Ag
Sekretariat:
Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H
Diterbitkan atas kerjasama:
Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia
dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Indonesia
Cetakan I, Oktober 2011
Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia
http://www.unhcr.or.id
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jl. Ir.H.Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, Indonesia
http://www.fsh-uinjkt.net
Sekretariat:
ii
Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H
Diterbitkan atas kerjasama:
Kanto
Atas Nama Allah Yang Maha Besar
dan Maha Pengampun
iii
Allah SWT berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, yang hijrah dan yang jihad di
jalan Allah, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman
dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah),
mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka
memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.s. alAnfâl/8:74)
“Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain
untuk melindungi dirinya dari penganiayaan/penyiksaan.“ (Pasal
14 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
“Setiap orang berhak, dalam pandangan Syariat Islam, berpergian
dan mengungsi ke negara lain... apabila menghadapi
penganiayaan. Negara tujuan wajib memberikan suaka kepada
orang tersebut sehingga ia memperoleh keamanan, terkecuali
pelarian didorong oleh alasan dan tindakan yang dipandang oleh
Syariat Islam sebagai kejahatan.” (Pasal 12 Piagam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia Menurut Islam).
iv
United Nations High Commissioner for Refugees
Kantor Regional Republik
Arab Mesir
e-mail: [email protected]
Website Berbahasa Arab:
www.unhcr.org.eg
Kantor Regional NegaraNegara Teluk
email: [email protected]
Website Berbahasa Inggris:
www.unhcr.org
Cetakan Pertama
2009
Buku ini ditulis atas nama UNHCR Prof. Dr. Ahmad Abû alWafa’, Ketua Jurusan Hukum Publik Internasional, Fakultas
Hukum, Universitas Kairo, Mesir.
Kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan opini penulis,
bukan opini UNHCR.
Pengutipan, perujukan dan penyalinan isi buku ini, baik untuk
tujuan akademis, tujuan pendidikan, ataupun tujuan nonkomersial lainnya dapat diperkenankan tanpa perlu ada izin
formal dari UNHCR, dengan catatan menyebutkannya sebagai
referensi.
Buku ini tersedia dalam Bahasa Arab, yang dapat diunduh pada
situs:
www.unhcr.org.eg
dan
Bahasa
Inggris
pada:
www.unhcr.org
Penerjemahan kedalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, 2011
v
DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................
vi
Sambutan Komisioner Tinggi UNHCR............................
x
Sambutan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi
Islam.....................................................................................
xvii
Sambutan Rektor Universitas Ilmu Keamanan Naif
Arab.....................................................................................
xxiv
Sambutan Rektor Universitas Al-Azhar………………...
xxvi
Persembahan……………………………………………... xxxvi
Pengantar Umum………………………………………....
1
Bab I: Persyaratan pemberian suaka menurut Syariat
Islam dan Hukum Internasional .....................................
A. Menurut Syariat Islam……………………………....
B. Menurut Hukum
Internasional…………………...................................
Bab II: Prinsip - prinsip hukum tentang suaka
menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional..........
A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur
pemberian suaka…………………………………….
B. Prinsip - prinsip utama yang mengatur hak – hak
suaka………………………………………………...
B.1. Prinsip Larangan Pemulangan (non-refoulement)
B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk
atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara………
B.3. Asas non-diskriminasi.............................................
B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka.........
Bab III: Macam - Macam Suaka dalam Syariat Islam
dan Hukum Internasional.................................................
1. Suaka Agama………………………………………...
18
vi
18
25
27
27
29
29
47
56
62
65
65
2. Suaka Teritorial……………………………………...
3. Suaka Diplomatik…………………………………....
Bab IV: Status Hukum Pengungsi Menurut Syariat
Islam dan Hukum Internasional......................................
1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi……...
2. Penyatuan keluarga…………………………………..
3. Harta kekayaaan pengungsi……………………….....
4. Perlindungan diplomatik ………………………….....
5. Hak – hak pengungsi anak…………………………...
6. Hak atas harta kekayaan……………………………..
7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim
8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa
pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati……….
9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap
orang non-Muslim…………………………………....
10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi
non-Muslim………………………………………......
11. Perlindungan atas hidup non-Muslim……………...
12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan yang
adil……………………………………………...........
Bab V: Faktor yang Menghalangi Pencarian Suaka
Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional.........
I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak
suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status
pengungsi.................................................................
II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka:
perlindungan sementara………………………........
III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi
jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka….
III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solutions)……..
III.2. Berakhirnya suaka………………………………..
Bab VI: Perbandingan antara Syariat Islam dan
Hukum Internasional dalam Konteks Hak Suaka ........
vii
79
133
147
147
156
166
171
174
179
180
180
181
186
188
189
191
191
214
219
219
239
250
A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan
Hukum Internasional tentang hak suaka……..........
B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum
Internasional tentang hak suaka…………………....
Penutup……………………………………………………
Rujukan…………………………………………………...
viii
250
251
271
282
ix
SAMBUTAN
KOMISIONER TINGGI BADAN PERSERIKATAN
BANGSA – BANGSA UNTUK URUSAN
PENGUNGSI (UNHCR)
Tradisi dan budaya bangsa Arab merupakan fondasi yang
kokoh bagi upaya perlindungan manusia dan penghormatan
harkat-martabat mereka. Penggunaan beberapa istilah seperti alijârah (perlindungan), al-istijârah (meminta perlindungan) dan
al-îwâ’ (perlindungan), tiada lain, menunjukkan gambaran yang
terang benderang tentang ide perlindungan kemanusiaan, yang
kemudian pada era sekarang ini menjadi tugas pokok UNHCR.
Syariat Islam hadir untuk mengukuhkan prinsip-prinsip
kemanusiaan, seperti persaudaraan, persamaan dan toleransi.
Pemberian bantuan, jaminan keamanan dan perlindungan kepada
orang yang membutuhkan, hingga kepada musuh sekalipun,
merupakan ajaran mulia Syariat Islam, yang nota bene hadir
mendahului kelahiran sejumlah instrumen hukum internasional
modern tentang hak asasi manusia dan pengungsi, yang mengatur,
antara lain, hak suaka dan larangan ekstradisi pengungsi. Itu
semua dalam rangka melindungi keselamatan jiwa orang
bersangkutan dan menghindarkannya dari penganiayaan atau
pembunuhan.
x
Syariat Islam mengatur masalah suaka dengan jelas dan
rinci. Syariat Islam juga menjamin secara penuh perlindungan,
penghormatan, dan pemeliharaan bagi setiap pencari suaka. Ia
juga menggariskan aturan, bagi masyarakat Islam, yang wajib
dijalani dalam rangka memenuhi permintaan-permintaan suaka.
Oleh karena itu, tindakan menolak permintaan pencari suaka
adalah dilarang secara tegas. Yang kini dikenal dengan “asas
larangan pengusiran/pengembalian pencari suaka ke negara
asalnya (Prinsip non-refoulement)”, yang menjadi dasar dari
Hukum Pengungsi Intenasional, beranjak dari prinsip dalam
Syariat Islam tersebut.
Tradisi panjang pemberian perlindungan dalam sejarah
kemanusiaan menuntut adanya pemberian perlindungan bagi
pencari suaka, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Hal ini
ditegaskan oleh Q.s. al-Taubah/9:6, yakni: “ dan jika seorang
diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya;
yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui.”
Makna
terdalam
“permintaan
perlindungan”
(istijârah) tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung
perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan
harta kekayaannya, terutama yang terkait dengan “tempat-tempat
suci”, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. al-Baqarah/2:125,
xi
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah)
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan
jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah
Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang
ruku' dan yang sujud". (Q.s. al-Baqarah/2:125). Begitu pula
dalam Hadis:
Siapa saja yang masuk ke dalam Masjidilharam, ia dijamin
aman; siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, ia
dijamin aman; siapa saja yang melempar senjatanya, ia dijamin
aman; dan siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia dijamin
aman. (Diriwayatkan oleh Muslim)1
Sebagaimana ditegaskan sejumlah sarjana Islam, migrasi
(hijrah) dan pengungsian orang-orang Muslim ke Ethiopia
(Abessinia/ Habsy) dan migrasinya Nabi SAW ke Madinah untuk
menghindari penganiayaan kaum kafir Quraisy merupakan
perwujudan dari rasa kasih sayang. Hal tersebut juga merupakan
preseden penting bagi adanya hubungan yang erat antara pencari
suaka dan pemberi suaka yang membentuk ikatan hak bagi
pencari suaka dan kewajiban bagi pemberi suaka.
Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah
memberikan fondasi yuridis bagi hukum suaka kontemporer
dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan
sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Meskipun banyak dari
1
Muslim. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqi,
(Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1347 H/1954 M), Hadis No. 1780, Jilid III, h. 8-14; dan Ibn Abî
Syaibah, Abû Bakr ‘Abdullah, Kitâb al-Magâziy, tahqîq ‘Abd al-Azîz Ibrahîm al-‘Umri, (Riyadh: Dâr Sibiliyâ,
1420 H/1999 M), h. 318-319.
xii
nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa
Arab pra-Islam, tetapi realitas ini tidak selamanya diakui ,
termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu
mengapresiasi tradisi murah hati dan ramah tamah terhadap tamu
ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu
juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi
terbentuknya hukum modern.
Di dalam studi yang intensif ini, penulis mendeskripsikan
secara detil Syariat Islam dan tradisi bangsa Arab, termasuk
standar dan norma yang menjadi rujukan hukum, yang mendasari
aktivitas - aktivitas UNHCR.
Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ menunjukkan betapa Islam
memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap pengungsi,
meskipun non-Muslim; juga menunjukkan betapa Islam melarang
tindakan pemaksaan perubahan agama mereka; dan juga
menunjukkan betapa Islam memerintahkan berbuat adil terhadap
mereka, tidak mengurangi hak-hak mereka, melindungi diri dan
harta kekayaan mereka, dan menyatukan mereka dengan keluarga
mereka. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ juga menghimpun teksteks ayat al-Qur’an dan syair bangsa Arab pra-Islam dan pascaIslam, yang disertai dengan penjelasan mendalam dan sumbersumber teks tersebut. Dari sisi inilah nampak jelas kelebihan dan
keutamaan karya ini dalam menyingkap nilai yang dikandung
tradisi Islam dan bangsa Arab, yang memandang bahwa siapa saja
xiii
yang memberi perlindungan kepada orang yang bermigrasi ke
lingkungannya,
itulah
orang
Mukmin
yang
sejati;
juga
memandang hak suaka sebagai salah satu hak asasi manusia yang
mendasar dan sakral, bahkan bagi pendatang non-Muslim.
Dewasa ini, mayoritas pengungsi di berbagai belahan dunia
adalah Muslim. Ini merupakan realitas yang sangat kentara pada
era di mana fanatisme dengan berbagai bentuknya, baik yang
bersifat etnik maupun keagamaan, tumbuh subur di belahan dunia
manapun, bahkan di kawasan negara-negara maju sekalipun. Kita
dapat melihat fenomena rasisme dan kebencian terhadap segala
sesuatu yang berbau asing (xenophobia), yang bertujuan
memprovokasi dan memanipulasi opini publik, dengan cara
mengaburkan pengertian antara pengungsi (pencari suaka),
imigran, dan bahkan teroris. Sikap dan perilaku ini berakibat
terhadap menjamurnya mispersepsi terhadap Islam; dan ini harus
dibayar mahal oleh para pengungsi Muslim. Marilah kita
klarifikasi bahwa pengungsi itu bukanlah teroris, mereka justru
menjadi korban pertama dan utama terorisme. Melalui buku ini
kita dapat memahami kewajiban kita untuk menghadapi,
menangani serta memberantas sikap dan perilaku tersebut.
Perlu diakui bahwa buku ini menawarkan kajian yang sangat
berharga, suatu kajian perbandingan antara Syariat Islam dan
hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan urusan
pengungsi dan suaka, serta migrasi dan perpindahan secara
xiv
terpaksa. Buku ini lahir sebagai produk kerjasama yang erat dan
berkesinambungan antara UNHCR dan Organisasi Konferensi
Islam (OKI).
Hal
yang
penting
sesungguhnya
bukanlah
semata
penyematan “pengungsi” kepada seseorang, melainkan upaya
pemberian perlindungan terhadap orang tersebut. Pemberian
perlindungan itu merupakan tradisi sekaligus praktik yang terus
dijalankan oleh negara-negara OKI. Hasil kerjasama antara
UNHCR dan OKI ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disahkan pada
tahun 1990 dalam Konferensi OKI di Kairo, Mesir, yang
menyatakan
bahwa
setiap
orang
yang
dianiaya
oleh
pemerintahnya berhak untuk meminta perlindungan/suaka kepada
negara lain; dan negara yang bersangkutan wajib memberikan
perlindungan/suaka hingga ia merasa aman.
Buku ini merupakan referensi yang sangat penting untuk
dipelajari dan dikaji, yang dilengkapi dengan contoh-contoh
historis-faktual dan teks-teks ayat al-Qur’an. Buku ini juga sangat
penting untuk dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan
terhadap isu - isu hak asasi manusia (HAM), urusan pengungsi
dan migrasi. Sebab, buku ini merupakan buah studi yang sangat
relevan dengan upaya sosialisasi dan promosi nilai-nilai luhur
ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab, yang berperan penting
xv
sebagai rujukan, baik secara langsung maupun tak langsung,
dalam pembentukan hukum dan perjanjian internasional.
Kerjasama strategis antara UNHCR dan Dunia Islam ini
merupakan hal yang sangat penting bagi kontinuitas komitmen
terhadap tradisi murah hati, penerimaan ramah tamah, dan
pemberian perlindungan tanpa diskriminasi yang telah ada sejak
14 abad yang lalu. Prinsip – prinsip ini, dan prinsip – prinsip
dasar hak asasi manusia dijelaskan secara rinci di dalam buku ini;
dan sekaligus juga dibuktikan betapa prinsip-prinsip tersebut
menjadi sumbu/poros bagi kehadiran hukum internasional yang
mengatur kerja-kerja kemanusiaan internasional. Kami akan
selalu mengingat prinsip Islam bahwa semua manusia adalah
setara dihadapan manusia lainnya.
António Guterres
Komisioner Tinggi UNHCR
xvi
SAMBUTAN
SEKRETARIS JENDERAL
ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)
Segala puji tertuju kepada Allah, Tuhan di alam dan
semesta. Salawat dan salam tertuju kepada Rasulullah yang mulia,
keluarganya yang diberkahi dan sahabat – sahabatnya yang baik.
Sungguh suatu kebahagian tersendiri bagi saya, dapat
menyampaikan kata pengantar bagi hasil kerja ilmiah yang besar
ini, dibawah arahan UNHCR - badan kemanusiaan internasional
yang memberikan penanganan dan perlindungan yang baik bagi
pengungsi di berbagai negara di dunia. Apa yang dilakukan
UNHCR merupakan kerja dan aktivitas yang patut dihargai dan
sungguh mendatangkan manfaat kemanusiaan. Saya juga patut
menyampaikan ucapan terima kasih kepada UNHCR atas
perhatian dan kepeduliannya terhadap isu pengungsi demi
tercapainya tujuan-tujuan kemanusiaan, lebih lagi
karena
persentase terbesar pengungsi di berbagai kawasan dunia
merupakan orang-orang Muslim.
Adanya penugasan UNHCR terhadap Prof. Ahmad Abu alWafâ’ untuk mengadakan riset/kajian tentang hak suaka dalam
pandangan Syariat Islam sungguh merupakan indikator gamblang
tentang obyektivitas Syariat Islam dan perhatiannya terhadap misi
xvii
kemanusiaan.
Hal
demikian
dipertegas
oleh
pernyataan
Komisioner UNHCR, Mr. António Guterres, dalam kata
sambutannya atas hasil kerja ilmiah yang istimewa ini, yang
mengatakan: “Syariat Islam hadir dalam rangka mengukuhkan
prinsip-prinsip kemanusiaan: persaudaraan, persamaan dan
toleransi
sesama
manusia.
Upaya
memberikan
bantuan,
perlindungan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan, bahkan
terhadap musuh sekalipun, sungguh merupakan ajaran Syariat
Islam yang integral dan hadir lebih awal berabad-abad,
mendahului kemunculan hukum dan konvensi internasional
tentang hak asasi manusia di era modern, termasuk hak suaka dan
larangan pemulangan pengungsi (prinsip non-refoulement), yang
dimaksudkan dalam rangka memelihara keselamatan jiwa
pengungsi dan memastikan mereka terhindar dari penganiayaan
dan pembunuhan.”
“Syariat Islam telah menggambarkan masalah suaka secara
jelas dan rinci, dan menjamin dengan penuh perlindungan,
kehormatan, dan pemeliharaan bagi para pencari suaka. Syariat
Islam juga menggariskan prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh
masyarakat Islam dalam rangka memenuhi berbagai permintaan
suaka. Tindakan pemulangan pencari suaka hukumnya tentu
haram berdasarkan Syariat Islam. Apa yang dikenal sekarang ini
sebagai larangan pemulangan pencari suaka (prinsip nonxviii
refoulement) yang menjadi fondasi hukum suaka internasional
sesungguhnya merupakan manifestasi dari prinsip tersebut.”
Beliau juga mengatakan: “Al-Qur’an dan Hadis merupakan
sumber hukum yang telah memberikan fondasi bagi hukum suaka
kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang
diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Nilai-nilai
hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab
pra-Islam, meskipun kenyataan ini belum diakui sepenuhnya,
termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu
mengapresiasi tradisi bermurah-hati dan beramah tamah terhadap
tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad.
Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut
bagi terbentuknya hukum internasional kontemporer. ”
Studi tentang hak suaka dalam perspektif Syariat Islam
merupakan hasil kerja genius yang diteliti secara mendalam oleh
Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’, Ketua Jurusan dan Guru Besar
Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo,
Mesir. Di dalam buku ini, penulis menyajikan bahasan sejumlah
isu, yakni pengertian “pengungsi”, suaka menurut hukum
internasional dan Syariat Islam, persyaratan pemberian suaka,
prinsip-prinsip yang mengatur hak suaka, dengan fokus pada
karakter kemanusiaan dari prinsip – prinsip tersebut. Penulis juga
menjelaskan secara terperinci klasifikasi suaka yang meliputi
suaka atas dasar isu keagamaan, teritorial, dan politik, di samping
xix
menjabarkan mengenai hak-hak pengungsi menurut Syariat Islam
dan hukum internasional.
Studi ini juga mempunyai bobot istimewa lantaran adanya
paparan prinsip-prinsip yang adil dan toleran yang dipratikkan
Syariat Islam terhadap para pengungsi serta adanya perhatian
terhadap kesejahteraan dan kepentingan pengungsi, dengan
menjunjung tinggi integritas manusia dan hak – hak manusia
untuk hidup dengan bebas dan layak. Penulis telah mencatat
sedemikian banyak bukti historis tentang keterdepanan Islam
dalam bidang ini dan keunggulan prinsip-prinsip dan hukumSyariat Islam terkait isu ini. Penulis menegaskan: “ Boleh jadi apa
yang kami ungkapkan memperjelas bukti keunggulan sistem
Islam atas sistem-sistem yang lain, yang menjadikan ras dan etnis
sebagai parameter dan dasar diskriminasi (sebagaimana muncul di
Amerika Serikat dan negara lain seperti Afrika Selatan) terhadap
umat manusia, padahal manusia sendiri tidak punya peran sama
sekali dalam menentukan ras dan etnis yang inheren dalam
dirinya. Hal ini diperkuat oleh pengakuan sejumlah pakar Barat
bahwa Islam hadir membawa ajaran pemberantasan diskriminasi
rasial. Bahkan, mereka (para pakar Barat) menganggap misi
pemberantasan diskriminasi rasial yang diserukan Islam inilah
yang merupakan faktor penyebab agama ini tersebar meluas di
segala penjuru dunia dan yang merupakan unsur/elemen penting
xx
bagi terbentuknya hubungan antarnegara (internasional), antara
umat Islam dan umat non-Islam.
Penulis juga memperkuat pembahasan dan uraiannya dengan
berbagai
keputusan
hasil
sejumlah
muktamar
Organisasi
Konferensi Islam (OKI) tentang hak asasi manusia serta berupaya
memperkenalkannya kepada pembaca.
Studi ini ditandai dengan adanya perhatian yang intens
terhadap teks – teks sumber Syariat Islam, baik al-Qur’an maupun
Hadis, yang mendasari prinsip-prinsip dan garis-garis besar
pikiran terkait isu hak suaka. Tidak hanya itu, studi ini juga
menilik pandangan-pandangan yurisprudensial terkait isu hak
suaka dan aspek-aspek yang sehubungan dengannya. Ketertarikan
penulis tidak hanya terbatas pada aspek – aspek diatas, namun
juga mencakup kejadian–kejadian bersejarah yang berhubungan.
Pada level kontemporer, penulis memaparkan keberlakuan
berbagai resolusi dan perjanjian yang dibuat oleh OKI dan
organisasi internasional lainnya yang terkait, di mana sisi ini
menjadikan buku ini memiliki keunggulan teoritis dan perhatian
atas praktik kontemporer isu suaka. Karena itu, di bagian awal
bab kesimpulan, penulis menyatakan: “Syariat Islam telah benarbenar menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan pokok terkait
hukum suaka, baik secara eksplisit maupun implisit; secara
tertulis maupun tersirat; dalam kata maupun perbuatan. Hal ini
xxi
ditekankan oleh Syariat Islam itu sendiri, sehingga menjadi
kewajiban bagi setiap Muslim.”2
Penulis juga bersikap kredibel dan obyektif dalam studinya,
terutama cermat dalam mengutip dokumen dan pendapat para
pakar. Isu-isu terkait penyikapan Syariat Islam tentang topik ini
dibahas secara obyektif dan independen, dengan pendekatan
perbandingan hukum, tanpa memaksakan adanya kesamaan dan
keserupaan antara sistem Syariat Islam dan sistem hukum
internasional. Hal ini memberi nilai tambah ilmu pengetahuan
tersendiri bagi studi apabila dibandingkan dengan studi
komparatif
lainnya,
terutama
karena
studi
ini
berhasil
menunjukkan kontribusi Syariat Islam dalam perjalanan sejarah
kemanusiaan, terutama menyangkut hukum internasional pada
umumnya dan dalam perlindungan dan hak pengungsi pada
khususnya.
Saya memohon kepada Allah, semoga buku ini bermanfaat
besar dan semoga penulisnya dianugerahi Allah dengan lebih
banyak pencapaian kedepannya. Sekali lagi, saya menyampaikan
ucapan terima kasih dan apresiasi kepada UNHCR dan Yang
Mulia
Komisioner
Tinggi,
atas
keberhasilan
ini,
yang
memperkaya dinamisasi studi perbandingan hukum internasional.
2
Lihat halaman 56 dan 61 mengenai asas non-diskriminasi
xxii
Dengan penuh hormat dan kebanggaan, saya sampaikan
semua ini dengan tulus kepada penulis, Prof. Ahmad Abû alWafâ’, semoga beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
Prof. Akmal al-Dîn Ikhsan Ogouli
Sekretaris Jendral
xxiii
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS NAIF ARAB UNTUK
ILMU KEAMANAN
Salah satu keistimewaaan Syariat Islam adalah adanya
prinsip-prinsip yang komprehensif, ketentuan - ketentuannya, dan
pendekatannya ke berbagai aspek yang mampu memberikan
keselamatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam hadir untuk memproteksi hak asasi manusia (HAM)
secara umum, termasuk diantaranya adalah hak atas keamanan,
dalam arti menyeluruh. Hak-hak suaka adalah salah satu hak
mendasar yang paling penting yang dijamin oleh Syariat Islam
dan
diberikan
olehnya
perangkat
untuk
mendukung
implementasinya. Syariat Islam memberikan proteksi atas hak ini,
sejalan dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan peradaban bangsa
Arab yang baik.
Meskipun masyarakat internasional telah mengatur hak-hak
suaka melalui penerbitan dan pengesahan sejumlah deklarasi dan
perjanjian internasional, tetapi efektivitas aturan-aturan tersebut
menuntut adanya tanggung jawab moral para pihak yang
melaksanakan penerapannya. Dari sinilah muncul signifikansi
pengaturan hak-hak suaka oleh Syariat Islam, yang dibahas dalam
xxiv
studi ini, yaitu bahwa ajaran ini dicirikan dengan luasnya cakupan
perlindungan dan hakikat kemanusiaan dari hak suaka.
Tema yang diangkat dalam buku ini menjadi semakin
signifikan kehadirannya di tengah-tengah kondisi kian bertambah
pesatnya jumlah pengungsi di negara-negara Arab dan negaranegara Islam pada beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat
berbagai peristiwa internasional dan regional yang terjadi. Hal
demikian tentu menuntut adanya kerjasama internasional dan
implementasi Hukum Shari’ah dan ketentuan hukum yang
berkaitan dengan hak suaka.
Pada kesempatan ini, saya ingin menggarisbawahi ikatan
kerjasama bilateral antara Universitas Naif Arab untuk Ilmu
Keamanan dan UNHCR. Ikatan ini diharapkan dapat mendorong
bertambahnya program-program dan kajian-kajian yang dapat
menekankan pentingnya isu ini dan menekankan pentingnya
peran dunia internasional yang beradab dalam menangani
masalah suaka dan pengungsi.
Hanya Allah yang berada di balik segala keinginan dan
tujuan ini.
Prof. Dr. ‘Abd al-‘Azîz Saqr al-Gâmidi
Rektor Universitas Naif Arab untuk
Ilmu Keamanan
xxv
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR-MESIR
Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Pengampun, Islam mungkin merupakan satu-satunya agama yang
bersikap terbuka terhadap agama-agama lain dan terbuka terhadap
sistem budaya dan nilai lain, baik menyangkut moral maupun
hukum. Islam mengambil semua nilai kebajikan itu dan
memasukkannya ke dalam sistemnya (Islam), baik dalam hal
intelektual
maupun
spiritual.
Di
dalam
mengambil
dan
memasukkan nilai tersebut, Islam menyeleksi dengan satu
parameter, yakni unsur yang diambil dan dimasukkan itu, selain
sejalan dengan norma - norma akhlak yang baik, juga mampu
mewujudkan kemaslahatan yang otentik, yang bersama-sama
dengan norma akhlak itu, menuju pada satu tujuan yang sama.
Dalam hal ini, kita merujuk kepada Hadis Nabi yang bersumber
dari Abu Hurairah:
Aku [Nabi Muhammad]diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang baik.3
3
Hadis diriwayatkan oleh al-Hâkim, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah, dalam kitab alMustadrak ‘ala al-Sahîhain, tahqîq Mustafa ‘Abd al-Qâdir ‘Atiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), dan al-Hâkim berkata: “Hadis ini sahîh menurut persyaratan Imam
Muslim.” Ini disetujui oleh Imam al-Dzahabiy dalam Kitab al-Talkhîs, Hadis No. 4221, Jilid II, h. 67. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab al-Adab al-Mufrad,
takhrîj Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), Hadis No.
273, h. 104; juga oleh al-Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn Husain, dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’b al-Îmân, tahqîq
Mukhtâr Ahmad al-Nadwi, (Bombay, India: Dâr al-Salafiyyah, 1414 H/1993 M), Jilid XIV, Hadis No. 4608, h.
134. Pen-tahqîq berkata: “ Hadis ini sanadnya hasan.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Suyûti, Jalâl al-Dîn
xxvi
Hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan
tujuan luhur pesan-pesan Islam dan bahwa akhlak mulia yang
merupakan nilai-nilai kebaikan kemanusiaan yang hampir punah
dan lenyap pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat
pra-Islam dibangkitkan lagi di dalam agama Islam. Bahkan lebih
lagi, melalui agama ini, dibangkitkanlah bersamanya khazanah
ilahiah yang hampir punah ditelan zaman sekiranya agama Islam
tidak tampil di muka bumi.
Orang yang merenungi kandungan isi al-Qur’an tidak akan
tergelincir ke dalam faham pluralisme agama atau diversifikasi
agama samawi karena al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa
agama ilahi itu hanya satu, yakni agama yang tampil pada
sepanjang zaman di pentas sejarah dunia, dimulai sejak Nabi
Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW melalui masa-masa
Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi ‘Isa a.s, dan
para nabi/rasul lainnya. Al-Qur’an juga mengindikasikan bahwa
agama ilahi tidak pernah putus hubungan dengan kehidupan
manusia sepanjang zaman dan bahwa cahaya hikmah yang
dikandung risalah para Nabi dan Rasul Allah tetap terus berkilau
memancarkan sinar panduan dan pedoman bagi kehidupan umat
manusia sepanjang zaman.
Abû Bakr, dalam kitab al-Jâmi’ al-Sagîr fi Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), Hadis No. 2584, h. 155. al-Suyûti berkata: “ Hadis ini sahîh.”
xxvii
Dari sisi inilah risalah Islam dan risalah ilahi pra-Islam
secara bersama-sama membentuk satu “kesatuan entitas” yang
melahirkan persaudaraan sejati yang mengikat erat tali hubungan
antara Nabi Muhammad SAW dan para rasul sebelumnya tanpa
diskriminasi apapun. Diantara mutiara hikmah Nabi SAW yang
diwartakan melalui Abu Hurairah, ia berkata: “Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
Saya adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi ‘Isa a.s di
dunia dan akhirat kelak. Para nabi itu saudara sebapak, ibu
mereka berbeda tetapi agama mereka satu/sama.4
Demikian pula halnya, kita mengetahui hal senada dari
sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak
diakui sebagai orang Mukmin kecuali dia mengimani semua Nabi
dan Rasul seperti halnya dia mengimani Nabi Muhammad SAW.
Seperti halnya bahwa iman kepada al-Qur’an tidak dianggap sah
pada hati seorang Muslim kecuali jika dia mengimani kitab-kitab
Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. AlQur’an itu adalah saudara kandung Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa a.s, saudara kandung Injil yang diturunkan
kepada Nabi ‘Isa a.s. Al-Qur’an menggambarkan kedua kitab
tersebut sebagai “petunjuk“ (hudan) dan “cahaya” (nûr). Penting
4
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab Sahîh
al-Bukhâriy, tahqîq Mustafa Dîb al-Bigâ, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr wa al-Yamâmah, 1414 H/1993 M), Hadis
No. 3259, Jilid III, h. 1270. Ungkapan ‫أوالت عالت‬maksudnya “mereka yang saudara sebapak dari ibu yang
berbeda.”
xxviii
diketahui pembaca, satu kesatuan entitas itu tidak hanya ditandai
oleh kesamaan dimensi persaudaraan kenabian dan persaudaraan
kitab suci saja, tetapi berarti kita memahami dengan sangat jelas
dalam kandungan ajaran Islam itu sendiri, legislasinya dan
hukum-hukumnya. Terkait ini, Q.s. al-Syûra/42:13 menyatakan:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yakni tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya). (Q.s. al-Syûra/42:13).
Hal ini adalah kebalikan dari kaidah Syariat Islam:
Syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita juga, selama
tidak ada yang menggantikan5.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang
menjamin kontinuitas kebajikan dari generasi ke generasi; dan
bahwa ia merupakan agama yang membuka pintu terhadap siapa
saja, meskipun sang manusia itu datang dari zaman kebodohan
dan kegelapan. Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dari Rasulullah
5
Syariat umat sebelum kita tersebut diperoleh informasinya melalui sumber-sumber ajaran kita
(Islam) , yakni al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, apabila diperoleh informasinya melalui sumber periwayatan ahl
al-kitâb seperti Taurat dan Injil yang ada pada mereka, atau periwayatan yang ada di kalangan umat Islam yang
tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah maka syariat umat sebelum kita tersebut tidak boleh digunakan
sebaga hujah, dalil dan sumber hukum, lihat Atûr Syu’aib ‘Abd al-Salâm, Syar’u Man Qablana: Mahiyyatuhu
wa Hujjiyyatuhu wa Nasy’atuhu wa Dawâbituhu wa Tatbîqatuhu, (Kuwait: Jâmi’at al-Kuwait, 2005), h. 383.
xxix
SAW, ketika ditanya mengenai tokoh-tokoh bangsa Arab, Nabi
Muhammad SAW menjawab: “Yang terbaik di antara mereka
pada zaman Jahiliah adalah yang terbaik pula pada zaman Islam
bilamana mereka faham (agama).”6
Dari sini nampak jelas kedudukan penting masalah
“perlindungan” atau “suaka” yang menjadi fokus studi buku ini
dengan pendekatan komparatif antara Syariat Islam dan sejumlah
piagam/dokumen hukum internasional dan berbagai perjanjian
internasional.
Studi
buku
ini
mengeksplorasi
pengertian
“perlindungan” atau “suaka”, dimensi moral dan etis menurut
Syariat Islam dan yang tidak terungkap atau hampir tidak terlihat
dalam hubungan internasional kontemporer. Studi buku ini juga
mengungkapkan
kepioniran
Islam
dalam
mengakui
hak
perlindungan atau “suaka”. Meskipun demikian, saya berpendapat
bahwa semata-mata penjelasan mengenai kepioniran Islam
tersebut tidaklah cukup untuk menguraikan dimensi moral dan
etis yang merupakan pijakan dasar di balik legislasi hak asasi
manusia menurut pandangan filsafat Islam.
Studi buku ini menunjukkan asal muasal metodologi konsep
yang telah disebutkan penulis. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’
telah mengidentifikasi segi-segi perbedaan dan persamaan antara
pandangan filsafat Syariat Islam dan filsafat hukum internasional
6
al-Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid XIII, h. 1224, Hadis No. 317;
dan Muslim, Sahîh Muslim, Jilid III, h. 1846, Hadis No. 2378.
xxx
kontemporer tentang hak perlindungan/suaka. Seperti yang
diindikasikan penulis, konsep “perlindungan” atau “suaka
merupakan dasar fundamental hukum kontemporer, dan bahkan
telah dipraktikkan di kalangan masyarakat Arab pra-Islam.
Prinsip ini disebarkan melalui Syariat Islam, karena merupakan
bentuk tradisi dan budaya yang baik, yang mencakup perilaku dan
nilai etis yang luhur seperti sikap melindungi dan menolong
terhadap orang yang sangat membutuhkan dan yang tengah
dizalimi. Karena itu, Islam sangat menganjurkan dan menuntut
kaum
Muslimin
mempraktikkan
ajaran
tolong-menolong
(ta’âwun) ini dalam realitas kehidupan di segala tempat dan
waktu, oleh dan terhadap siapapun, laki-laki maupun perempuan,
orang dewasa maupun kanak-kanak 7 , orang merdeka maupun
hamba sahaya. Kita memahami berdasarkan sejarah bahwa Abû
Sufyân meminta sebelum ia memeluk Islam melalui Fatimah,
7
Anak pra-mumayyiz tidak sah perjanjian perlindungannya; berdasarkan konsensus ulama fikih .
Mengenai anak mumayyiz (para puber), para ulama fikih berbeda pendapat tentang keabsahan perjanjian
perlindungannya. Kalangan ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa perjanjian
perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz tidak sah secara hukum Islam karena ia terbebas dari taklîf
(tuntutan hukum) dan perkataannya tidak mengikat secara hukum. Pandangan ini diikuti juga oleh kalangan
ulama mazhab Hanbali menurut satu riwayat. Sedangkan Malik, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani dan satu
riwayat dari kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak
mumayyiz adalah sah secara hukum Islam karena didasarkan kepada keumuman makna sabda Nabi SAW:
“perlindungan (dzimmah) orang-orang Muslim itu satu, dengannya berjalan orang yang lebih rendah dari
mereka.” ( ‫) ذمة المسلمين واحدة يسعى بھا أدناھم‬. Pendapat yang terkuat ialah yang menyatakan
ketidakabsahan perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz. Ibn Qudâmah berkata: “ Barangsiapa
diantara kita memberikan janji perlindungan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya
maka dibolehkan/dinilai sah janji perlindungannya; dan dinilai sah janji perlindungan dari orang Muslim yang
dewasa, berakal sehat, dan tidak terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun hamba
sahaya; dan dinilai tidak sah janji perlindungan dari anak kecil. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni, tahqîq ‘Abdullah
ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halwa, (Kairo: Dâr Hajar, 1413 H/1992 M),
Jilid XIII, h. 75. Lihat pula al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Jilid II, h. 155; dan Mugni al-Muhtâj, Jilid IV, h. 237; dan
Kasysyâf al-Qinâ’, Jilid III, h. 104; dan Mawâhib al-Jalîl, Jilid III, h. 361; sebagaimana dikutip dari Sâlih ‘Abd
al-Karîm al-Zaid, Ahkâm ‘Aqd al-Amân wa al-Musta’minîn fi al-Islâm, (Riyadh: al-Dâr al-Wataniyyah li alNasyr, 1406 H), h. 57, 25,77.
xxxi
puteri Nabi SAW, agar Nabi SAW memberikannya hak suaka di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Madinah. Permintaan Abû
Sufyân ini tidak dipenuhi oleh Nabi SAW lantaran ia telah
melanggar perjanjian yang ditandatangani Nabi SAW dan kaum
musyrikin, yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.8
Pembaca Muslim patut berbangga dengan buah karya riset
ini yang telah mengemukakan bahwa Islam mencari segala cara
untuk memenuhi hak suaka kepada orang non-Muslim. Disini
kita mengetahui bahwa Nabi SAW telah memberikan hak suaka
kepada orang-orang musyrik, semata-mata dengan alasan
memberikan suaka bagi mereka yang mendekati Masjidil Haram
atau tindakan mereka memasuki rumahnya masing-masing atau
tindakan mereka memasuki rumah Abû Sufyân. Ketentuan hukum
ini berlaku dalam setiap situasi dan kondisi yang memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan. Penulis mengungkapkan
perkataan ‘Umar ibn al-Khattâb bahwa kata metras merupakan
kata bahasa Persia yang bermakna “perlindungan”; apabila
seorang Muslim mengatakannya kepada seorang non-Muslim
harbiy (Orang non-Muslim harbiy adalah orang non-Muslim yang
melakukan tindakan penyerangan/agresi secara fisik terhadap
orang Muslim) yang tidak memahami bahasa Arab maka ia harus
memberikan kepada orang tersebut jaminan perlindungan/suaka.
8
Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, Kitâb al-Amwâl, tahqîq Abû Anas Sayyid Rajab, (Riyadh: Dâr alFadîlah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 295.
xxxii
Hal ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, seorang
non-Muslim harbiy yang berada dibawah perjanjian perlindungan
tidak boleh dibunuh dan harta kekayaannya akan diamankan.
Kalau ada seorang Muslim berkata kepada seorang non-Muslim
harbiy: “Berhenti dan letakkan senjatamu!” Ibn Qudâmah
mengemukakan bahwa ‘Umar ibn al-Khattâb pernah berkata
kepada Hormuzan: “Bicaralah dan jangan takut!”; ketika
Hormuzan
telah
berbicara,
‘Umar
ibn
al-Khattâb
menginstruksikan agar ia dibunuh. Lalu, Anas menyelak dan
langsung berkata kepada Umar: “Engkau tidak punya alasan
untuk hal demikian, sebab engkau telah menjanjikan perlindungan
terhadapnya.” ‘Umar ibn al-Khattâb menjawab: “Tidak sama
sekali.” Lalu, Zubair berkata: “ Sungguh engkau telah
mengatakan kepadanya: “ Bicaralah dan jangan takut!“. Lalu,
‘Umar menarik kembali instruksinya tersebut. Sejauh yang
penulis ketahui, ini semua tidak diperdebatkan lagi oleh para
ulama.9
Perlu waktu yang panjang apabila kita mau melakukan
perbandingan yang relevan tentang konsep suaka menurut Hukun
Syari’ah yang banyak sekali dijumpai buku ini. Akan tetapi, kita
cukup
mengapresiasi
artikulasi
penyajian
dan
kedalaman
pembandingan yang ditunjukkan penulis, Prof. Dr. Ahmad Abû
al-Wafâ’. Beliau cukup berhasil dalam kajian ilmu pengetahuan
9
Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid XIII, h. 192-193.
xxxiii
ini, terutama karena atribusi konsep hak perlindungan/suaka
dalam perspektif Islam dengan landasan teori maslahah. Beliau
memang memiliki pengetahuan mendalam dan wawasan luas
tentang hal-ihwal teori ini dan dimensi-dimensi penerapannya
serta aturan fundamental yurisprudensi teori ini. Lebih dari itu,
beliau kaya akan pengetahuan yang mendalam tentang qawâ’id
usûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah sehingga mampu menyajikan
pembahasan dan pandangan yang kokoh di dalam karya riset
beliau yang istimewa ini, yang dengan mantap menginspirasi
pembaca bahwa Syariat Islam bukanlah teks-teks Tuhan yang
dibacakan atau peta hukum yang dihapal, tetapi ia merupakan
sistem kehidupan yang terus bergerak dinamis di dalam
kehidupan manusia di dunia.
Saya mengakhiri kata sambutan ini dengan mengutip
pernyataan Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ sendiri yang dijadikan
oleh beliau sebagai kalimat penutup pembahasan dan uraiannya,
suatu pernyataan yang sesungguhnya telah dikemukaan oleh Ibn
al-Nabulsi al-Hanafi, yakni: “ Adapun memaksa seseorang untuk
tinggal menetap di suatu tempat dan mewajibkan mereka dengan
hal demikian melalui cara pemaksaan dan otoriter merupakan
tindakan zalim dan melanggar hukum, yang wajib dihindari dan
dicegah oleh umat Islam.
xxxiv
Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegah dan
menahan tindakan yang tidak adil ini.”
Prof. Dr. Ahmad At-Tayyib
Rektor Universitas Al-Azhar - Kairo
xxxv
PERSEMBAHAN
Kepada Almarhumah Ibuku Tercinta
Kepada Almarhum Ayahku Tercinta
Dariku dengan kesetiaan, rasa syukur dan dalam
kenanganku
Ahmad Abû al-Wafâ’
xxxvi
PENGANTAR UMUM
Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan,
tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk
persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar
bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam
hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan
urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah
SWT :
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89).
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. alNahl/16:44).
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ).
Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan
(vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai
pengungsi manakala:
10
Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi
Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6.
11
Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1428 H/2008 M), h. 53-62.
1
1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni
seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta
keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami
penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari
suaka.
2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan
akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau
lainnya,
dimana
ia
menghadapi
ancaman
penindasan/penyiksaan.
Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah
negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi
(migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut:
1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial
negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa
aman, dan suaka.
2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person),
tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi.
Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri,
terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah
negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus
diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku.
2
3. Migran
ekonomi
adalah
orang
yang
meninggalkan
negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut
akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan
pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan
hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab
tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi
oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah
negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik
antara orang yang migrasi dan pengungsi yang masingmasing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda.
Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan
hukum internasional
Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka
menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut
pandangan hukum internasional.
Menurut Syariat Islam
Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu
arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti
“berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di
benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang
membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu.
Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau
obyek
yang
dijadikan
untuk
3
berlindung
dari
hal
yang
membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini
muncul pada Q.s. al-Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s. alSyûra[42]:47, yakni :12
Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau guagua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera
pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah
[9]:57).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat)
mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka,
Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak
ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap
dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118)
Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu
hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak
memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula)
dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47).
Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih
dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah
mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti
12
Lihat Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah alMisriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1390 H/1970 M), Bab II, h. 564-565.
4
menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu
fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13
Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan
dalam
hal
pertimbangan
pencarian
bahwa
dan
pemberian
sekiranya
yang
suaka
atas
dasar
tampak
itu
makna
“melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna
“menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan
kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab
menggunakan
kata
“awaituhu”
(saya
memberikan
suaka
kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah
memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan
perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka
menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi
perlindungan kepada seseorang).14
Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat
Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk
dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang
sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan
umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab menyebutnyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam
rangka
mengabadikannya
dan
untuk
memotivasi
para
13
Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, (Kairo: Dâr alFikr, 1382 H/1962 M), h. 257.
14
Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, h. 338.
5
pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah
seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15
Kapan saja aku menyeru kaumku
Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku
Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengahtengah mereka
Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh
Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan
Maka, kami memegangnya dengan teguh
Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16
Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa
takut
Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka
Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat
Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim
dingin
Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat
Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya
Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan
Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir
Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya
Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan
Pemberian
perlindungan/suaka
dan
penerimaan
atas
permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian
tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka (al15
Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo:
Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46.
16
Abû al-‘Abbâs Tsaglab, Syarh Dîwân Zuhair ibn Abî Sulamiy, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1348
H/1964 M), h. 79-80.
6
mustajirin). 17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan
permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa
bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair
mereka 18 , disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan
celaan dan ejekan.
Telah
nyata
bahwa
pemberian
suaka
itu
bertujuan
mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada
pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah
‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului
peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika
warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke
daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan
17
Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni:
Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami
Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka
Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka
Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan
Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami
Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat
Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya
Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami
Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah
Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo:
Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98.
Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya
mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah
menggubah syairnya, yakni:
Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar,
Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi
dengan melimpah
Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka
Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet
Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni:
Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka
Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn
‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122.
18
Muhammad al-Sudaisi, Ijâbat al-Dâ’iy wa Gauts al-Mustanjid ‘ind al-‘Arab hasb Taswîriha fi alSyi’r al-Qadîm, dalam Jurnal Universitas Islam al-Imâm Muhaamd ibn Su’ud, Edisi VI, 1413 H/1992 M, h. 441446.
7
memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga
melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian
membela isteri dan anak kalian.”19
Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini
memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn
Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh
perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia
menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang
telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain,
sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “
Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20
Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa
al-Qur’an,
untuk
menggunakan
sejumlah
kata
untuk
mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai
hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (‫اإليواء‬
yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam Q.s.al19
Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik,
Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.”
20
Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8.
21
Diucapkan: ‫ أوى زيد‬, dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan
sebagai kata kerja intransitif (‫)فعل الزم‬. Juga diucapkan: ‫ أوى زيد‬, dengan cara baca memanjangkan huruf
hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif (‫)فعل متعدي‬. al-Qur’an menggunakan kedua
bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6.
Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat al-Tibâ’ah alMunîriyyah, t.th.), h. 16.
Para ahli bahasa Arab menghimpun antara ‫ )أويته وأويته وأويت إلى فالن( اإليواء‬dan ‫ضفت ( التضيف‬
‫ )الرجل و تضيفته‬pada satu judul, yakni ‫ اإليواء والتضيف‬. Lihat Ibn Sayyidih, al-Mukhassas, al-Sifr al-Tsâni
‘Asyr, (Beirut: t.np., t.th.), h. 312-313. Diantara penggunaan lafaz itu ialah lafaz yang muncul dalam wasiat
Rasulullah SAW kepada orang-orang Ansâr, ketika beliau mengalami sakit parah, yakni bahwa “Mereka adalah
keluargaku yang aku berlindung kepadanya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo; Matba’ah
Mustafa al-Bâb al-Halabiy, 1375 H/1955 M), Jilid II, h. 650.
8
Anfâl/8:26, Q.s.al-Anfâl/8:72, Q.s.al-Anfâl/8:74, dan Q.s. alDuha/93:6, yakni :
Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih
berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu
takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah
memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya
kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki
dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26).
Lafaz ‫ أووا‬muncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun (‫ )ضموا‬dan berhenti (‫)انتھوا‬,
lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah alMisriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289.
Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100,
yang berbunyi:
‫يل ﱠ‬
‫اج ًرا إِلَى ﱠ‬
ُ ْ‫ﷲِ َو َرسُولِ ِه ثُ ﱠم يُ ْد ِر ْكهُ ْال َمو‬
‫ت‬
ِ َ‫ض ُم َرا َغ ًما َكثِيرًا َو َس َعةً َو َم ْن يَ ْخرُجْ ِم ْن بَ ْيتِ ِه ُمھ‬
ِ ِ‫اجرْ فِي َسب‬
ِ َ‫َو َم ْن يُھ‬
ِ ْ‫ﷲِ يَ ِج ْد فِي ْاألَر‬
‫ﷲ َو َكانَ ﱠ‬
‫فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُرهُ َعلَى ِﱠ‬
‫ﷲُ َغفُورًا َر ِحي ًما‬
disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab.
Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi
dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4)
migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang
dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi
menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk
menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari
tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan
tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talab dunyâ dan talab dîn. Adapun hijrah talab dîn meliputi
bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian
untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk
kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan.
Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn
(keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr
(pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl
(perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd
(pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs
(pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: al-Maktabah al‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224.
Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: ‫( تخفرت بفالن‬saya menjadikan si fulan sebagai pembela diri
saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr
al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr al-Alfiy, (Kuwait: Wizârat al-Auqâf wa alSyu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan”
sebagaimana berikut ini:
“ Ini surat dari si fulan untuk si fulan. Sesungguhnya saya melindungimu atas darahmu, hamba
sahayamu, dan pengikutmu. Bagimu dan mereka perlindungan Allah yang ditunaikan, peraduannya yang
menenteramkan; lalu, perlindungan para nabi yang diutus membawa risalah-Nya, yang dimuliakan dengan
wahyu-Nya; lalu, perlindungan orang-orang pilihan, dengan memelihara darahmu dan orang yang masuk
namanya besertamu di dalam surat ini, dan keselamatan hartamu dan harta mereka, dan demikian seterusnya;
maka, terimalah tawarannya, sambutlah perlindungannya, bergantunglah dengan tali perlindungannya, karena
tidak ada lagi setelah itu tali pengikat bagi orang yang masuk dalam perlindungannya melainkan tali pengikat
yang kamu ikat dengan sekuat-kuatnya dan kamu berlindung kepada seaman-amannya perlindungan dan
keselamatan.” Lihat Ibn Qutaibah al-Dainûri, Kitâb ‘Uyûn al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1343
H/1925 M), h. 225
9
Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang
yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada
orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling
melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum
hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan
mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Q.s.al-Anfâl [8]:72)
Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan
Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka
itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.alAnfâl [8]:74).
Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungi-Mu? (Q.s. al-Duha[3]:6).
Terkadang digunakan pula kata al-hijrah (‫ )الھجرة‬untuk
menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam Q.s.alHasyr [59]:9 :
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
10
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.alHasyr [59]:9)
Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk
menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata almalja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah:
Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu,
padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka
adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. alTaubah/9:56)
Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau guagua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi
kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57)
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat)
mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka,
padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula(
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak
ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap
dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118).
Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari
yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh
11
tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat
mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47).
Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata
adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata
dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab
(pemeliharaanku),
maljaî
terdapat
ungkapan
hishni
(perlindunganku),
malâdzi,
(perlindunganku),
maw’ilî
(perlindunganku),
ma’qilî
(pemeliharaanku),
ma’âdzȋ
(perlindunganku),
(perlindunganku), wizrȋ (bebanku), kahfȋ
maqsadȋ (tujuanku), mu’tamadȋ (sandaranku), mu’tadadȋ
(pemeliharaanku),
mu’tasamȋ
(sandaranku),
hirdzȋ
(pemeliharaanku),
manjaya
(penyelamatanku),
mahȋsȋ
(perlindunganku),
ma’alȋ
(perlindunganku)
,kanafȋ
23
istajârahu (meminta perlindungan),
(pemeliharaanku).
istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta
pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu
(meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya),
jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta
pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang
kepadanya).24
Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang
bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara,
menaungi. Secara spesifik kata ‫ اإلستعاذة‬muncul dalam Q.s. alNahl/16:98 :
22
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki: alMaktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345.
23
Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah
Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35.
24
Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah
Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 79.
12
Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. alNahl/16:98).
Menurut Hukum Internasional
Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut
akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap
dirinya
lantaran
rasnya,
agamanya,
kebangsaannya
atau
keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu
atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi
kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh
perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau
setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar
negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu
atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke
negaranya.
25
Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam
Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26
a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang AspekAspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27
25
Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol
1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional.
26
Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di
Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts
Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130
27
Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika,
yang disahkan pada 10 September 1969 dan mulai diberlakukan pada 20 Juni 1974.
13
memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang
tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:
“Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang
yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari
suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya
lantaran
adanya
agresi
asing,
pendudukan
asing,
penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu
kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah
negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan
Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi
apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia
tidak
mengalami
ketakutan
terhadap
penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada
prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan
kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara
asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau
tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada
warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi
peperangan atau pendudukan militer.
b. Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi (1984) memberi
tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam
Konvensi
1951,
yakni
bahwa
kata
atau
konsep
“pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang lari dari
14
negaranya lantaran kehidupannya, keselamatannya atau
kebebasannya terancam oleh kekerasan yang meluas,
agresi asing, konflik di dalam negeri, pelanggaran hak
asasi manusia secara luas, atau situasi apapun yang
membahayakan ketertiban umum. Meskipun Deklarasi ini
tidak mengikat karena hanya deklarasi semata, bukan
perjanjian internasional yang mengikat, sehingga tidak
berlaku terhadapnya “pacta sunt servanda” (perjanjian
mengikat para pihak yang membuatnya) atau prinsip “ex
consensus
advenit
vinculum”
(kesepakatan
bersifat
mengikat); akan tetapi, prinsip ini diimplementasikan
dalam praktik hukum dan legislasi nasional di sebagian
negara-negara Amerika Tengah.
Lebih lagi, Pasal 14 Deklarasi Universal tentang Hak Asas
Manusia menyatakan bahwa :
(1) setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka untuk
memperoleh perlindungan dari negara pemberi suaka dan untuk
menghindari penyiksaan/penindasan;
(2) hak ini tidak dapat diperoleh apabila keadaan itu lahir atas
dasar tindak pidana/kejahatan non-politik atau lantaran perbuatan
yang melanggar tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.28
28
Ketentuan ini juga tercantum pada Pasal 1 Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diadopsi oleh
Majelis Umum PBB tahun 1967 dengan Resolusi No. 2312, yang menyatakan :
15
Lebih
jauh
lagi,
hak
suaka
diartikan
diperolehnya
perlindungan yang diberikan oleh suatu negara, di wilayah negara
tersebut atau di wilayah lain yang tunduk kepada pemerintah
negara
tersebut,
kepada
seseorang
yang
meminta
suaka/perlindungan.29
Komponen – komponen hak suaka
Hak suaka mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu:
1. Masuknya seseorang kedalam suatu teritori tertentu, dengan
asumsi ia mencari suaka (dalam bahasa hukum, ini disebut
1. Semua negara wajib menghormati suaka yang diberikan negara lain, dalam rangka melaksanakan
kedaulatannya, kepada setiap orang yang berhak untuk meminta diberlakukannya Pasal 14 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, termasuk orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme.
2. Hak mencari dan menikmati suaka boleh tidak diberikan kepada siapa saja diduga kuat melakukan tindak
kejahatan terhadap perdamaian atau tindak kejahatan perang atau tindak kejahatan terhadap kemanusiaan,
sesuai dengan yang diatur dalam instrumen hukum internasional.
3. Negara pemberi suaka berhak mengevaluasi alasan-alasan pemberian suaka.
Perlu dikemukakan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi pengungsi dalam negeri (refugee sur
place in situ). Misalnya, pejabat diplomatik, utusan/delegasi negara, tawanan perang, mahasiswa, dan pekerja
migrant; mereka adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka tanpa berkeinginan sama sekali
mencari suaka; namun, akibat situasi dan kondisi yang terjadi, mereka merasa takut akan kemungkinan
terjadinya penganiayaan terhadap mereka atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, afiliasi kepada kelompok
sosial tertentu, atau pendapat/pandangan politik tertentu, atau kemarahan mereka atas peristiwa yang terjadi di
negara mereka, atau keterkaitan mereka dengan tokoh-tokoh politik yang ada di luar negeri dan kelompok
oposisi. Mereka ini, sesudah memenuhi persyaratan, dapat dikualifikasi sebagai pengungsi
Telah diketahui bahwa seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi lantaran keadaannya yang
demikian; dan karena itu, pengakuan terhadapnya sebagai pengungsi oleh pihak negara pemberi suaka
membawa efek deklaratif, bukan konstitutif. Terdapat perbedaan penting antara efek deklaratif dan efek
konstitutif. Sebab, status “pengungsi” merupakan status yang empirik sifatnya manakala telah terpenuhi
persyaratannya dan unsur-unsurnya tanpa tergantung kepada unsur-unsur eksternal. Oleh karena itu, seseorang
tidak dapat dianggap sebagai pengungsi hanya dengan pengakuan terhadap dirinya, tetapi pengakuan tersebut
menjadi sempurna tatkala dia berstatus sebagai pengungsi. Lihat UNHCR, Handbook on Procedures and
Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to the
Status of Refugees, (Genewa: UNHCR, 1992), h. 9.
29
Lihat Ann. IDI, 1950, Vol. 43, h. 157. Lihat pula P. Weiss, The present state of international law of
territorial asylum, Ann. Suisse de DI, 1975, Vol. 31; Mubanga-Chipoya, The right to everyone to leave any
country, including his own and to return to his country, E/C4/Sba. 2, 1988, h. 35, Juni 1988, h. 103-106. Lihat
pula S.Agha Khan, Legal problems relating to refugees and displaced persons, RCADI, 1976. Lihat pula
pengertian hak suaka dalam UNHCR, Madkhal ila al-Himâyah al-Dauliyah li al-Lâji’in, 2005, h.184 (dalam
Bahasa Arab).
16
îjâb), yang kemudian dijawab dengan persetujuan negara
tujuan (dalam bahasa hukum, disebut qabûl).
2. Pemberian izin kepada pencari suaka untuk menetap di wilayah
negara tujuan. Ini melahirkan 2 (dua) implikasi penting, yaitu
(1) pencari suaka tersebut tidak boleh dipulangkan ke
negaranya; dan (2) pencari suaka tersebut tidak boleh
diekstradisi ke suatu negara atau pihak lain yang memintanya,
apabila hal ini akan berakibat hukuman atau penganiayaan
bagi pencari suaka tersebut.
3. Pencari suaka itu tidak boleh dihukum lantaran memasuki
wilayah negara tersebut secara ilegal, Hal ini dibenarkan
menurut konsep alasan darurat yang mendorong pencari suaka
itu lari dari negaranya ke negara lain karena menghindari
penganiayaan yang akan dialami diri yang bersangkutan.
17
BAB I
PERSYARATAN PEMBERIAN SUAKA
MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM
INTERNASIONAL
Secara
prinsipil,
perlindungan
terhadap
pengungsi
berhubungan dengan mereka yang memenuhi persyaratan
kualifikasi pengungsi, atau yang dikenal dengan “pengungsi
beritikad baik” (bona fide refugees)30, sesuai dengan Paragraf 1/A
Tambahan No. 1 Statuta Organisasi Pengungsi Internasional
(1946).
A. Menurut Syariat Islam
1. Persyaratan memperoleh suaka
Agar dapat diberikan suaka sesuai dengan ketentuan Syariat
Islam maka harus dipenuhi persyaratan berikut ini.
a. Pertama, pencari suaka berada di negara Islam atau di
wilayah yang tunduk kepada negara Islam. Hal ini masuk
akal, sebab, untuk dapat diberikan suaka oleh suatu
negara Islam, pencari suaka harus berada di wilayah
negara Islam itu. Sebutan “negara Islam” mencakup
30
Lihat kembali tentang “pengungsi beritikad baik” (bona fide refugees), konklusi No. 15 yang
disetujui oleh Komite Eksekutif Program UNHCR tentang “Pengungsi tanpa Negara Pemberi Suaka”, yang
terdapat dalam the UNHCR Conclusions on International Protection for Refugees yang disetujui oleh Komite
Eksekutif versi Arab, Kairo 2004, h. 31.
18
wilayah-wilayah di mana Syariat Islam diterapkan, dan
orang-orang yang menghuninya, baik Muslim, nonMuslim (dzimmiy) maupun orang lainnya, berada di
bawah perlindungan Islam dan dilindungi atas dasar
ajaran
Islam.
Dalam
kaitan
ini,
Abu
Hanîfah
mengemukakan 3 (tiga) syarat mengenai apa yang
disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm). Pertama,
aturan - aturan yang ditegakkan bersumber dari Syariat
Islam. Kedua, negara itu bertetangga dengan negaranegara Islam lainnya. Ketiga, penduduknya, baik Muslim
maupun non-Muslim, dilindungi atas dasar ajaran
Islam.31
Kalangan ulama mazhab Mâliki berpendapat bahwa yang
disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara
yang memberlakukan aturan Muslim (Syariat Islam)
dalam sistem hukumnya. 32 Kalangan ulama mazhab
Syâfi’i berpandangan bahwa yang disebut sebagai negara
Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara yang penduduknya
diberi ruang untuk menegakkan aturan-aturan Islam
(Syariat Islam). Sedangkan fikih mazhab Hanbali
31
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (ulama-ulama Hanafi), bahwa dâr al-kufr (Negara
non-Muslim) dapat menjadi dâr al-Islâm (Negara Muslim) lantaran adanya pengakuan/penerapan Hukum
Syari’ah di negara tersebut.” Lihat al-Kâsaniy, Abû Bakr Mas’ûd, Badâ’i al-Sanâ’i’ fi Tartîb al-Syarâ’i’, tahqîq
Muhammad Yâsîn Darwîsy, (Beirut: Dâr Ihyâ’i al-Turâts al-Islâmiy, 1421 H/2000 M), Jilid VI, h. 12.
32
Ibn Rusyd, Abû al-Walîd, al-Muqaddamât al-Mumahhadât, tahqîq Muhammad Hajji, et.al., (Qatar:
Dâr al-Turâts al-Islâmiy, 1408 H), Jilid II, h. 153; dan Zakriyyâ al-Ansâriy, Asna al-Matâlib Syarh Raud alTâlib, (t.t.p.: al-Matba’ah al-Maimaniyyah, 1313 H), Jilid IV, h. 204.
19
mengaskan bahwa setiap negara di mana sistem
hukumnya didominasi oleh aturan Islam (Syariat Islam)
merupakan negara Islam (Dâr al-Islâm); dan sebaliknya,
setiap negara di mana sistem hukumnya didominasi
hukum non-Islam merupakan negara non-Islam(Dâr alKufr); dan tidak ada negara selain kedua macam negara
tersebut.33
Begitu pula halnya, suaka/perlindungan dapat diberikan,
seperti akan kita bahas lebih lanjut, di wilayah-wilayah
yang tunduk kepada negara-negara Islam (seperti tempattempat misi diplomatik atau kapal perang).34
Para ulama fikih juga mengakui suaka/perlindungan yang
diberikan negara-negara lain, dan ini sejalan dengan
penerapan asas yurisdiksi-teritorial dan asas yurisdiksi
non-perluasan teritorial negara Islam ke wilayah yang
bukan bagian dari negara Islam.
b. Kedua, terdapat motif untuk memperoleh suaka dan
dalam pandangan Islam, semua motif itu adalah setara.35
33
Ibn Muflih al-Hanbaliy, al-Âdâb al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, (Riyadh: Maktabah alRiyâd al-Hadîtsah, 1391 H/1971 M), Jilid I, h. 213.
34
Lihat halaman 133 mengenai suaka diplomatik.
35
Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan
oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena
hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan
agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak
pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta
sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan tetap ingin
membunuhnya, maka kita harus membunuh orang yang ingin membunuh pencari suaka tersebut. Seandainya
kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu kita wajib membantunya dan pahala diberikan terhadap tindakan
membantu dirinya karena itulah hal yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm,
20
Disyaratkan adanya motif memperoleh suaka. Namun,
tidak disyaratkan si pencari suaka itu hanya lari ke
negara Islam lantaran takut terhadap penganiayaan yang
akan menimpanya. Lebih dari itu,
36
suaka dapat
diberikan kepada setiap orang yang ingin tinggal di
negara Islam, baik dengan alasan ia telah memeluk
agama Islam ataupun alasan ia ingin tetap menjadi warga
negara dengan status ahl al-dzimmah (non-Muslim
dibawah perlindungan negara Islam). Dengan demikian,
tidak seperti ketentuan Konvensi 1951 dan Protokol 1967
yang mengatur status pengungsi, yang membatasi
pengertian “pengungsi” pada orang yang lari dari
negaranya lantaran takut akan penindasan/penyiksaan
yang
menimpanya,
Islam
menerapkan
pengertian
“pengungsi” yang lebih luas.
c. Ketiga, ketidakinginan atau ketidakmungkinan pencari
suaka memperoleh perlindungan dari negara asalnya.
Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât alAzhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, h. 95.
36
Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan
oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena
hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan
agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak
pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta
sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan dengan
menaklukannya maka kita harus menaklukkannya. Seandainya kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu
kita membantu untuk hal demikian; dan pahala diberikan terhadap tindakan membantu dirinya karena itulah hal
yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm,
tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, 95.
21
Kedatangan si pencari suaka ke negara Islam dan
keinginannya
tinggal
di
negara
itu
menunjukkan
ketidakinginan atau ketidakmungkinan tersebut. Telah
dikemukakan
bahwa
makna
kata
“istijârah”
menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, makna kata
“ijârah” yang terdapat di dalam al-Qur’an.
d. Keempat, ketiadaan pertentangan antara pemberian suaka
dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.37
Sudah sewajarnya bahwa pemberian suaka, baik dari
segi substansinya, hasilnya maupun dampaknya, tidak
boleh melanggar atau bertentangan dengan prinsipprinsip dan ajaran Syariat Islam.
2.
Prinsip-prinsip memperoleh suaka dalam al-Qur’an
Q.S.al-Hasyr/59:9 menetapkan 5 (lima) prinsip utama terkait
suaka dan tatacara penanganan/perlakuan terhadap pengungsi.
Allah berkalam:
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (ansâr) sebelum (kedatangan) mereka
(muhâjirîn), mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah
kepada mereka (muhâjirîn). Dan mereka (ansâr) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (muhâjirîn); dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun
37
Karena itu, Abû Hanîfah berpendapat bahwa perjanjian perlindungan menjadi batal apabila pihak
orang non-Muslim dzimmiy melakukan perbuatan yang merugikan/membahayakan orang Islam, seperti menjadi
mata-mata bagi kelompok orang kafir harbiy. Lihat Ibn Jamâ’ah, Tahrîr al-Ahkâm fi Tadbîr Ahl al-Islâm, tahqîq
Fu’ad ‘Abd al-Mun’im Ahmad, (Doha: Dâr al-Tsaqafah, 1408 H/1988 M), h. 262.
22
mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.
(Q.S.al-Hasyr/59:9).
Dari ayat ini terlihat jelas prinsip-prinsip di bawah ini:
a. Kaum Muslim sepantasnya bersikap senang dan gembira
menyambut kedatangan pengungsi (atau imigran dari
suatu wilayah ke wilayah lain) dan bergaul secara baik
dengan mereka. Ini terlihat jelas dari kalam Allah:
“…mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah kepada
mereka (muhâjirîn)…”. Oleh karena itu, para pencari
suaka tidak boleh diusir ke luar batas teritori negara
Islam atau ditolak kedatangannya.
b. Kaum Muslim sepantasnya memperlakukan mereka
dengan
baik,
dan
memprioritaskan
kepentingan/kebutuhan hidup mereka. Ini terlihat jelas
dari kalam Allah: “…dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri…”. Yang
dimaksud dengan al-îtsâr ialah lebih mengutamakan
orang
lain
ketimbang
kebutuhan/kepentingan
dirinya
duniawi
sendiri
lantaran
perihal
lebih
menginginkan keuntungan ukhrawi. Sikap ini lahir dari
sikap percaya diri yang kokoh, kecintaan kepada Allah
yang
mendalam,
dan
23
kesabaran
terhadap
kesulitan/kesukaran. 38 Seperti demikian halnya, karena
sikap lebih mengutamakan orang lain dalam urusan hidup
berada di atas sikap lebih mengutamakan orang lain
dalam urusan harta sekalipun kembalinya kepada urusan
hidup juga.39
c. Penerimaan simpatik terhadap pengungsi, baik yang kaya
maupun yang miskin. Ini terlihat jelas dari kalam Allah:
”Dan mereka (ansâr) tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka
(muhâjirîn)…”.
Dengan
demikian,
apakah
pengungsi itu orang kaya atau miskin tidak punya
pengaruh apapun, karena masalah ini hanya berkaitan
dengan upaya perlindungan dan jaminan keamanan serta
kesejahteraan terhadap diri pengungsi di daerah/negara
tujuan.
d. Ketidakbolehan menolak imigran sekalipun penduduk
daerah/negara tujuan migrasi para imigran itu tengah
mengalami krisis, kemiskinan dan kebutuhan hidup yang
meningkat. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: “Sekalipun
mereka
dalam
kesusahan…”,
yakni
kemiskinan
kebutuhan hidup yang mendesak atau sedikitnya harta
kekayaan.
38
39
Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Jail, 1407 H/1987 M), Jilid II, h. 1777.
Ibid.
24
e. Ayat ini juga membuktikan adanya suaka teritorial, hal
ini tercermin dalam ayat:
: “Dan orang-orang yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(ansâr) sebelum (kedatangan) mereka (muhâjirîn)…”.
Maksudnya, mereka yang tinggal di negeri itu dan
menjadikannya sebagai tanah kediaman mereka. 40 Ini
menunjukkan bahwa penduduk daerah/wilayah tujuan
migrasi
wajib
menerima
kedatangan
imigran
ke
daerah/negara mereka.
B.
Menurut Hukum Internasional
Terlihat jelas dari pengertian yang tercantum pada Pasal 1
Konvensi
1951
memeperoleh
dan
status
Protokol
1967
“pengungsi”,
bahwa
seseorang
sebelum
diharuskan
memenuhi persyaratan berikut ini:
1. Orang tersebut berada di luar negara yang menjadi
identitas kebangsaannya atau di luar negara yang biasa
didiaminya
apabila
ia
berstatus
tidak
punya
kewarganegaraan.
2. Adanya
kekhawatiran
membenarkannya
atas
untuk
40
timbulnya
mengalami
faktor
yang
penganiayaan
41
Ibn al-Turkimâniy, Bahjat al-Arîb fi Bayân ma fi Kitâbillah al-‘Azîz min al-Garîb, (Kairo: al-Majlis
al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1422 H/2002 M), Jilid II, h. 157.
41
Karena itu, Belanda menolak pengakuan warganegara Kristen Turki atas terjadinya penganiayaan
terhadap mereka sebagai alasan memperoleh hak suaka, dengan mengatakan: “ Pemerintah memandang bahwa
warga negara Kristen Turki tidak memiliki alasan yang patut akan adanya penganiayaan di tanah air mereka,
25
lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau afiliasinya
kepada kelompok sosial tertentu, atau lantaran pandangan
politiknya.
3. Pengungsi itu tidak mampu atau tidak ingin berada dalam
perlindungan negara asalnya atau negara yang biasa
didiaminya atau apabila ia berstatus tidak punya
kewarganegaraan dari negara asalnya atau negara yang
biasa didiaminya.
seperti yang dimaksudkan Konvensi Pengungsi Genewa. Penerapan yang dilakukan oleh warga negara Kristen
Turki untuk pemberian status “pengungsi”, karenanya, ditolak tanpa pengecualian.” Lihat NYIL, 1985, h. 345.
26
BAB II
PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG SUAKA
MENURUT SYARIAT ISLAM DAN
HUKUM INTERNASIONAL
Jelas bahwa hak suaka telah diatur secara prinsipil, baik dalam
Syariat Islam maupun hukum internasional. Akan tetapi, sebelum
menjelaskan prinsip-prinsip hukum tentang suaka, perlu kita
tinjau faktor pembeda diantaranya dan tujuan dari pemberian
suaka itu sendiri.
A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur
pemberian suaka
Tujuan akhir dari pemberian suaka ialah adanya jaminan
keamanan dan perlindungan bagi pengungsi yang tinggal di
wilayah negara pemberi suaka.
Prinsip-prinsip hukum yang mengatur pemberian suaka
merupakan hal yang wajib diperhatikan dan ditaati agar tujuan
adanya suaka tersebut terwujud. Jadi, ia merupakan media atau
alat yang mengantarkan kita kepada tujuan akhir dari pemberian
suaka sehingga wajib diperhatikan. Sebab, tujuan akhir dari
pemberian suaka itu disyariatkan, dan karenanya disyariatkan
pula media yang menyampaikan kepadanya. Maka, di dalam
27
konteks hak suaka, seperti halnya aturan hukum lainnya,
“tujuan” itu tidak menghalalkan “cara”.
Pembukaan Piagam Negara-negara Arab tentang Hak
Asasi Manusia (tahun 2004) mengisyaratkan pengakuan
“prinsip - prinsip yang abadi, yakni persaudaraan, persamaan
dan toleransi antar sesama manusia yang dibangun oleh Islam
dan agama-agama samawi lainnya”.
Pembukaan Konvensi Negara-negara Arab tentang Status
Pengungsi di Negara-negara Arab (tahun 1994) menyatakan
bahwa negara pihak Konvensi berpegang teguh kepada
“keyakinan dan prinsip-prinsip ajaran agama para pengungsi
yang mengakar secara mendalam dalam sejarah Arab dan
Islam, dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk
berderajat agung dan bermartabat mulia, dengan berbagai
sistem hidup dan sistem hukum yang apabila dijalankan akan
mewujudkan kebahagiaan, kebebasan dan hak-hak mereka”.
Hal demikian diisyaratkan pula oleh Seminar Pertama
Cendekiawan Arab tentang Suaka dan Hukum Kepengungsian,
yang merujuk kepada “tradisi Arab Islam tentang suaka dan
kepengungsian” Kemudian, Seminar Keempat juga merujuk
kepada prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama dalam hal
“prinsip-prinsip solidaritas sosial dan suaka serta prinsipprinsip kemanusiaan tentang suaka dalam sistem Syariat Islam
dan sistem nilai bangsa Arab”.
28
Sementara itu, komunike final dari Simposium dan Seminar
Anggota Parlemen Dunia Arab tentang Hukum Pengungsi
Regional dan Internasional serta Masalah Migrasi, yang
diselenggarakan di Kota Sharm el-Syaikh (kota wisata di tepi
Laut Tengah, Mesir) pada bulan Oktober 2008, menyatakan
bahwa “tradisi, kebiasaan dan praktek – praktek dalam nilai nilai Arab dan Islam, berlaku sebagai poros yang kokoh bagi
perlindungan para pengungsi, dan penghormatan atas integritas
kemanusiaan mereka.
B. Prinsip – prinsip utama yang mengatur hak-hak suaka
Patut diketahui bahwa prinsip utama yang mengatur hak –
hak suaka terdiri dari 4 (empat) prinsip.
B.1 Prinsip larangan pemulangan (non-refoulement)
A.Menurut Syariat Islam
Islam menolak keras tindakan pemulangan atau
pengembalian pengungsi ke suatu daerah/wilayah dimana ia
merasa takut kebebasan dan hak-hak dasar lain yang
dimilikinya terancam (seperti menjadi korban kekerasan,
penindasan/penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau
lainnya). Bahkan, dikatakan bahwa Islam ialah yang pertama
kali mengakui asas larangan pemulangan dan asas larangan
29
ekstradisi bagi mereka yang melakukan kejahatan politik. 42
Alasan yang mendasari hal tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1. Asas larangan pemulangan atau non-refoulement dianggap
sebagai asas yang bersumber dari hukum kebiasaan43 atau
‘urf (dalam tata pergaulan antar bangsa) dan telah jelas di
dalam qawâ’id fiqhiyyah (kaidah Syariat Islam) bahwa
sesuatu yang diakui oleh kebiasaan atau ‘urf adalah setara
dengan aturan atau sesuatu yang diperjanjikan (al-ma’rûf
‘urf-an ka al-masyrût syart-an) 44 ; bahwa sesuatu yang
dilandasi kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan sesuatu
yang tertuliskan dalam teks atau dilandasi teks syara’ (altsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nass) 45 ; dan bahwa
kebiasaan atau ‘urf merujuk kepada pengadilan (al-‘âdah
muhakkamah)46, maksudnya kebiasaan atau ‘urf itu dapat
dijadikan rujukan dan fondasi hukum.
42
Lihat S mahmassani: The Principles of International Law in the Light of the Islamic Doctrine, RCADI
Vol.117, 1966, h.256
43
Vide infra
44
Al-Farghani, Abu al-Mahasin Hasan, Fatawa Qadikhan (al-Fatawa al-Khaniyah), Jilid I, h. 385, (Hasyiyah
al-Fatawa al-Hindiyyah).
45
al-Sarkhasiy, Syarh al-Sair al-Kabîr, h. 170 dan 290; dan al-Husairi, al-Qawâ’id al-Dâwâbit alMustakhlasah min Syarh al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq ‘Ali ibn Ahmad al-Nadwiy, (Kairo: Matba’ah al-Madaniy,
1411 H), h. 283-285.
46
Ibn al-Subki, Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir, tahqîq ‘Âdil ‘Abd al-Maujûd
dan ‘Ali ‘Iwad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1991 M), Jilid 1 , h. 50; Nâzir Zâdah Muhammad
ibn Sulaimân, Tartîb al-La’âli fi Salak al-Amâliy (Kitâb fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah), tahqîq Khâlid ibn ‘Abd al‘Azîz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th.), Jilid 2, h. 821.
30
2. Asas ini telah diterapkan sejak periode awal negara Islam
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi SAW dan yang
telah beliau akui legalitasnya, sehingga asas ini menjadi
berlaku bagi setiap pengungsi. Salah satu contoh, ketika
kaum Quraisy Mekkah meminta Abû Tâlib (paman Nabi
SAW) menyerahkan beliau kepada mereka, Abû Tâlib
menolaknya dan menggubah syair yang menyatakan bahwa
ia tidak akan menyerahkan diri Muhammad SAW kepada
kaum Quraisy Mekkah meskipun harus meregang nyawa
demi membela diri Muhammad SAW, yakni:47
Kalian berbohong, saya tidak akan menyerahkan
Muhammad
Dan kami akan berjuang mati-matian demi dirinya
Kami tidak akan menyerahkannya
Sebelum kami berguguran di sekeliling dirinya
Dan diasingkan dari anak dan isteri kami
Lalu, kaum yang lain akan bangkit
Dengan gemerincing suara pedang yang menghantam
kalian
3. Pemulangan atau pengusiran pengungsi atau pencari suaka
ke daerah dimana
dikhawatirkan akan terjadi tindak
kekerasan atau penyiksaan terhadapnya
bertentangan
dengan asas/prinsip Islam yang dikenal dengan “asas
larangan mencederai jaminan perlindungan” atau “asas
47
Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1418 H/1998 M), Jilid 3, h. 103-104.
31
larangan mengkhianati janji perlindungan orang yang
meminta perlindungan”.
Umar ibn al-Khattab berkata: “Sesungguhnya kata mitras
(ungkapan bahasa Persia) memiliki arti keamanan. Apabila
kata tersebut kamu ucapkan kepada siapa saja yang tidak
paham
bahasa
itu,
maka
kamu
telah
menjamin
perlindungan terhadapnya.”48
Tak diragukan lagi, ungkapan ‘Umar ibn al-Khattab itu
mengandung maksud bahwa di dalam perjanjian jaminan
perlindungan, tidak ada syarat keharusan penggunaan
bahasa Arab, ia boleh menggunakan wadah bahasa apapun.
Ketika Negus, Raja Ethiopia (Abessinia/ Habsy), menolak
penyerahan orang Muslim Muhâjirîn kepada rombongan
utusan suku Quraisy (‘Amr ibn al-‘Âsh dan ‘Imârah ibn alWalîd), Ja’far ibn Abî Tâlib berkata: “Kini, kami benar –
benar berada di negeri yang paling baik dan di dalam
perlindungan yang paling berharga.”49
4. Pemulangan pengungsi ke negara dimana ia khawatir akan
terancam jiwanya atau terlanggar hak-hak asasinya dinilai
sebagai tindakan pengkhianatan dan menurut Syariat Islam,
pengkhianatan hukumnya haram. Hal demikian berlaku,
48
Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid 3, h. 193.
Lihat Ibn Hadîdah al-Ansâri, al-Misbâh al-Mudî’ fi Kitâb al-Nabiy al-Ummiy wa Rusulih ilâ Mulûk
al-Ard min ‘Arabiy wa A’jamiy, (Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, 1406 H/1986 M), h. 231.
49
32
baik pengungsi itu orang Muslim maupun orang yang
berpindah ke Islam. Sebab, dalam kondisi tersebut orang
tersebut sudah memperoleh semua hak yang dimiliki orang
Muslim, antara lain hak perlindungan terhadap jiwanya dan
keselamatan badannya, baik pengungsi itu orang nonMuslim pencari perlindungan (musta’min) maupun orang
non-Muslim yang tinggal di teritori Islam (ahl aldzimmah). Sebab, dengan diberikannya perlindungan (alamân dan al-dzimmah), mereka memperoleh penghormatan
yang sama dengan yang diperoleh orang Muslim.
Bahkan, kalangan ulama fikih berpendapat bahwa negara
Islam tidak boleh mengekstradisi sandera atau orang nonMuslim pencari perlindungan (musta’min) tanpa kerelaan
yang bersangkutan, ke negara asal mereka, meskipun
dalam konteks pertukaran sandera atau tawanan yang
Muslim, dan walaupun negara asal mereka menyampaikan
ancaman agresi jika tidak dilakukan ekstradisi.
Terkait hal ini, dikemukakan dalam kitab al-Siyâr al-Kabîr
:50
“Apabila seorang non-Muslim harbiy datang kepada
kita dengan meminta perlindungan (sehingga ia disebut
musta’min), lalu pimpinan negara orang itu meminta
50
Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: Ma’had al-Makhtûtât bi
Jâmi’ah al-Duwal al-‘Arabiyyah, 1972), Jilid 4, h. 1612-1614. Lihat pula sumber yang sama dengan terbitan
Haidarabad al-Dakan, Jilid 3, h. 300-301.
33
pertukaran tawanan orang Muslim dengan orang nonMuslim harbiy (yang sudah menjadi musta’min) itu, dan ia
menolak pertukaran itu dengan mengatakan bahwa jika
kalian serahkan diri saya kepada mereka maka pasti saya
akan dibunuh, maka kita tidak boleh menyerahkan orang
non-Muslim tersebut kepada pimpinan negaranya. Sebab,
ia berada dalam jaminan perlindungan kita sehingga ia
seperti orang non-Muslim dzimmiy ketika menolak
pertukaran. Di samping itu, kita menzaliminya bilamana
membuka ruang untuk terjadi pembunuhan terhadap diri
orang itu lantaran mengembalikan mereka ke negara
asalnya, sedang berbuat zalim haram hukumnya, baik
terhadap orang non-Muslim musta’min, orang non-Muslim
dzimmiy
maupun
orang
Muslim
yang
mencari
perlindungan. Akan tetapi, kita mengatakan kepada
dirinya: “Kembalilah ke negaramu atau kemanapun yang
kamu inginkan jika orang-orang non-Muslim merelakan
hal ini.” Sebab, pemerintah memiliki kekuasaan yurisdiksi
terhadap orang non-Muslim bukan warganegara yang
mencari perlindungan (musta’min) meskipun
kekhawatiran
terbunuhnya
tawanan
yang
tidak ada
Muslim.
Ketahuilah bahwa seandainya tawanan yang non-Muslim
itu tinggal menetap dalam waktu yang lama di negara kita
(Muslim) maka ia dapat diusir. Maka dari itu, ketika ada
34
kekhawatiran terhadap terbunuhnya tawanan yang Muslim
atau ketika ada upaya pertukaran tawanan tersebut, maka
tawanan non-Muslim itu dapat diusir dengan syarat ia tidak
berkeberatan atau nyata-nyata ada kekuasaan (yurisdiksi).”
Begitu juga, negara Islam tidak boleh mengekstradisi
orang non-Muslim musta’min, walaupun dalam konteks
pertukaran tawanan yang Muslim. Sebab, menghindarkan
diri
dari
pengkhianatan
atas
perjanjian
merupakan
perbuatan yang wajib hukumnya menurut ajaran Syariat
Islam dan mengekstradisi orang non-Muslim tersebut
merupakan bentuk pengkhianatan atas perjanjian.51
Bahkan,
Muhammad
ibn
al-Hasan
al-Syaibani
berpendapat bahwa tidak boleh hukumnya mengekstradisi
orang non-Muslim musta’min yang berada di negara kita,
meskipun pemerintah negara asal mereka mengeluarkan
ancaman agresi militer dan deklarasi perang. Lebih rinci,
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani mengatakan: “Jika
kaum
non-Muslim
berkata
kepada
kaum
Muslim:
Serahkanlah ia kepada kami! Jika tidak, kami akan perangi
kalian! Padahal kaum Muslim tidak punya kekuatan militer
untuk melawan mereka, maka kaum Muslim tidak boleh
melakukan hal yang diminta tersebut”. Sebab, tindakan hal
demikian merupakan pengkhianatan kita atas janji jaminan
51
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Jilid 4, h. 1612-1614.
35
perlindungan terhadap dirinya dan itu tidak diperbolehkan.
Sama halnya, sekiranya mereka berkata: “Jika kalian
sependapat (dengan kami), itu baik; jika tidak, kami akan
serang
kalian.”
kepadanya:
Akan
“Keluarlah
tetapi,
dari
mereka
negara
mengatakan
Islam,
pergilah
kemanapun yang kamu inginkan.” Sekiranya mereka
berkata: “Keluarlah ke daerah/wilayah lain dalam jangka
waktu tertentu; jika tidak, kami akan ekstradisi kalian ke
negara asal kalian; lalu ia menjawab: “Ya, saya terima”,
namun ia tidak keluar. Jika ia merasa nyaman jiwanya
dengan ekstradisi itu, maka kita dapat mengekstradisi
dirinya. Namun jika ia menolak, kita tidak boleh
mengekstradisinya.
Sebab,
ia
memperoleh
jaminan
perlindungan di negara kita hingga ia kembali memperoleh
perlindungan di tempatnya yang semula. Dikatakan bahwa
apabila lama tinggal menetapnya orang tersebut di negara
kita melewati batas waktu menetapnya, hal itu merupakan
petunjuk bahwa ia rela diekstradisi ke negara asalnya.
Dengan demikian, kita harus menjadikan hal tersebut sama
dengan pernyataan rela yang tegas. Seperti halnya, seorang
kepala
negara
berkata
kepada
orang
non-Muslim
musta’min : “Kecuali kau keluar dalam kurun waktu yang
diberikan, maka saya menjadikanmu sebagai dzimmiy.”
(non-Muslim yang tinggal di teritori Islam). Kemudian, ia
36
tidak keluar maka jadilah ia sebagai orang non-Muslim
dzimmiy atas dasar adanya indikator kerelaan dirinya
terhadap cara demikian. Kami berpendapat, demikian pula
halnya jaminan perlindungan. Hal di atas merupakan
indikator (dalil) yang bersifat hipotetis sehingga tidak
boleh
seseorang
kematian/pembunuhan,
dihadapkan
selama
ia
kepada
tidak
risiko
menegaskan
kerelaannya terhadap tindakan ekstradisi ke negara
asalnya. Adapun perubahan statusnya sebagai orang nonMuslim dzimmiy merupakan suatu ketetapan hukum yang
mengandung keraguan/ketidakpastian (syubhah); dan hal
ini diperbolehkan atas dasar indikator (dalil) yang bersifat
hipotetis.”52
Dari apa yang dipaparkan oleh Muhammad ibn al-Hasan
al-Syaibani di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Dalam kondisi apapun, seorang non-Muslim musta’min
tidak boleh diekstradisi ke negara asalnya, meskipun
kejadian itu berada dalam konteks pertukaran tawanan
yang Muslim atau meskipun berimplikasi munculnya
ancaman agresi militer terhadap negara Islam. Sebab,
tindakan mengekstradisi orang tersebut dalam kondisi ini
52
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Haidarabad al-Dakan: t.np., t.tt.), Jilid III,
h. 300-301. Lihat pula Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: t.np., t.tt.), Jilid 4, h.
1612-1614.
37
setara
dengan
bentuk
pengkhianatan
yang
tidak
mengandung dispensasi apapun.
b. Kepala negara atau pemegang kekuasaan memiliki otoritas
memberikan pilihan kepada orang non-Muslim musta’min
untuk keluar dari teritori negara Islam ke negara lain yang
diinginkannya. Karena itu, pilihan yang dilaksanakan
adalah pilihan yang ditentukan sendiri oleh orang nonMuslim musta’min tersebut.
c. Muhammad
ibn
al-Hasan
al-Syaibani,
dengan
pandangannya itu, menjadi pionir terdepan sejak beberapa
abad yang lalu, dalam menjalankan ketentuan – ketentuan
yang diadopsi sejumlah piagam perjanjian internasional
modern tentang hak asasi manusia, hak – hak suaka,
prinsip larangan pemulangan pengungsi yang melewati
teritori
negara
atau
ketentuan
larangan
ekspulsi
(pengusiran) pengungsi ke suatu negara di mana jiwa dan
kebebasannya terancam.
d. Pemenuhan jaminan perlindungan kepada pengungsi harus
diprioritaskan dibanding yang lainnya.
e. Tujuan adanya larangan mengekstradisi pengungsi negara
asalnya ialah memberikan jaminan keselamatan fisik bagi
pengungsi, dengan tidak mendatangkan kepadanya resiko
kekerasan, penyiksaan atau kehilangan nyawa; karena ini
38
merupakan hal yang tidak boleh diremehkan dalam
pandagan ajaran Islam.
Beberapa contoh faktual terkait pelarangan ekstradisi
pengungsi dalam Islam, diantaranya ialah:
(i) Penolakan Raja Negus, Raja Ethiopia, atas ekstradisi
sejumlah orang Muslim Muhâjirîn, di mana penolakan
tersebut dilakukan terhadap delegasi suku Quraisy yang
meminta
ekstradisi
tersebut.
Raja
Negus
justru
memberikan jaminan perlindungan bagi orang-orang
Muslim tersebut sehingga mereka tinggal menetap dalam
naungan jaminan perlindungan yang terbaik di negeri
yang terbaik; sebagaimana yang diwartakan oleh Ummu
Salamah r.a.53
(ii) Peristiwa yang terjadi negeri Yaman, terjadi upaya
penahanan Ibn Najib al-Daulah yang datang untuk
membantu Sayyidah Bint Ahmad dengan menyindir
masyarakat untuk mentaatinya dalam rangka melawan
sang penguasa, al-‘Ubaidi. Ketika hal itu telah diketahui
olehnya, al-‘Ubaidimengirim 100 orang tentara dibawah
kepemimpinan Ibn al-Khayyât
untuk menangkapnya.
Ketika Ibn al-Khayyât menemui Sayyidah Bint Ahmad
dan meminta penyerahan Ibn Najib al-Daulah kepada
53
Ibn Ishâq, al-Sair wa al-Magâziy, h. 213-217, Sîrah Ibn Hisyâm, h. 289.
39
dirinya, Sayyidah Bint Ahmad menolak terang-terangan,
seraya berkata: “Engkau itu utusan yang membawa surat;
ambillah surat jawaban kami dan pergilah atau tunggulah
karena kami akan mengirim surat kepada Khalîfah, dan
kemudian surat jawaban Khalîfah dikirim lagi kepada
kami.”
Maka,
pasukan
itu
menakut-nakuti
dan
mengancam Sayyidah Bint Ahmad, hingga Sayyidah
Bint Ahmad bersumpah, demi kebaikan Ibn Najib alDaulah, dengan empat puluh kali sumpah kepada Ibn alKhayyât. Maka, Sayyidah Bint Ahmad mengirim surat
tentang masalah ini kepada sang penguasa, al-‘Ubaidi,
seraya memintakan maaf dan memohon pengampunan
bagi Ibn Najib al-Daulah, kemudian, ia menyerahkan Ibn
Najib al-Daulah kepada Ibn al-Khayyât. Kemudian,
ketika Ibn al-Khayyât bergerak meninggalkan daerah Dzi
Jabalah sejauh satu marhalah, ia melanggar perjanjian; ia
menempatkan piringan besi seberat 100 kati ke kaki Ibn
Najib al-Daulah, seraya mencelanya serta mencacimakinya,
kemudian
dibawanya
ke
Aden,
lalu
dinaikkannya ke kapal air menuju Mesir.54
(iii) Ketika ‘Abdullah al-Qa’syariy diangkat sebagai penguasa
di Irak, penguasa Persia (Iran) memerintahkan agar
54
Lihat Yahya ibn al-Husain, Gâyat al-Amâniy fi Akhbâr al-Qatr al-Yamâniy, tahqîq Sa’îd ‘Âsyûr,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M), h. 286-287.
40
Mani, pemimpin sekte Maniwiah, agar dibunuh dan agar
para pengikutnya dikejar dan dihabisi sehingga tidak
tersisa seorang pun. Akan tetapi, mereka memperoleh
jaminan keamanan, perlindungan dan ketenteraman di
bawah naungan pemerintah Islam; dan Khalifah Khalid
banyak memberikan jaminan perlindungan kepada
mereka.55
(iv) Peristiwa dikalahkannya ‘Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ dalam
suatu pertempuran di kawasan dekat Faz oleh tangan
kekuatan pasukan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al-Murîni
pada tahun 707 H/1309 M). Kemudian, ia lari ke
Andalucía, Granda lantaran takut akan keselamatan
jiwanya. Disana ia diangkat oleh Sultan Nasr Abû alJiyûsy sebagai komandan/panglima pasukan Andalusia.
Ia berhasil memenangkan sebagian besar pertempuran.
Hal ini memperkukuh faktor yang mendorong mereka
menolak permintaan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ alMurîni untuk mengekstradisi Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’
meskipun pihak Sultan acapkali menyampaikan ancaman
keras, termasuk ancaman pemutusan bantuan negeri
Marokko ke Andalusia.56
55
Syibli al-Nu’mâni, Fadl al-Islâm ‘ala al-Hadârah al-Insâniyyah, tarjamah ‘Abd al-‘Azîz ‘Abd alJalîl, (Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1401 H/1981 M), h. 18.
56
Lihat al-Wazîr Ibn al-Khatîb, Kinâsat al-Dukkân ba’da Intiqâl al-Sukkân, haul al-‘Alâqât alSiyâsiyyah bain Mamlakatai Garnâtah wa al-Magrib fi al-Qarn al-Tsâmin al-Hijriy, tahqîq Kamâl Syibânah,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1386 H/1966 M), , h.22 - 24
41
B. Menurut Hukum Internasional
Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)
mengandung makna bahwa pengungsi tidak boleh diusir atau
dipulangkan kembali dengan cara apapun ke perbatasan
wilayah di mana jiwa atau kebebasannya terancam, baik
lantaran ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada organisasi
sosial tertentu ataupun lantaran pandangan politiknya, terlepas
dari apakah ia telah secara resmi diakui sebagai pengungsi
ataupun belum (Pasal 33 ayat [1] Konvensi 1951). 57 Hal ini
berlaku juga bagi siapa saja yang memiliki alasan yang valid
bahwa mereka akan mengalami tindakan penyiksaan/kekerasan.
Dalam hal ini, Pasal 3 Konvensi tentang Penentangan
Penyiksaan dan Kekejaman lain, Penghukuman atas Perlakuan
yang Merendahkan atau Tidak Manusiawi, 1984 menyatakan:
"Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir,
memulangkan kembali atau mengekstradisi seseorang ke
negara lain di mana ada alasan kuat untuk mempercayai
bahwa ia akan mengalami bahaya penyiksaan."58
Demikian juga Pasal 16 Konvensi Internasional tentang
Perlindungan semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara
Paksa (2006) menyatakan:
57
Lihat juga Pasal 3 ayat (1) Deklarasi tentang SuakaTeritorial, Tahun 1967.
Yang dimaksud dengan “negara lain” ialah negara yang kepadanya seseorang akan dikeluarkan,
dikembalikan atau diekstradisi. Lihat Komentar Umum No. (1) yang disetujui oleh Komite Penentang
Penyiksaan, 1997, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and
Others of concern to UNHCR, Volume 1, h. 587.
58
42
" Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir,
mengembalikan memulangkan kembali, menyerahkan atau
mengekstradisi seseorang ke negara lain, di mana terdapat
alasan kuat untuk mempercayai bahwa ia akan mengalami
bahaya dihilangkan secara paksa."59
Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)
diatur oleh 5 (lima) aturan dasar dalam hukum internasional
kontemporer:
a. Tidak boleh ada reservasi atau pengecualian dalam satu
atau beberapa teks peraturan perundang-undangan yang
mengakuinya, 60 ditinjau dari segi dampak bahaya yang
dapat ditimbulkannya.61
b. Dalam keadaan apapun, asas larangan pemulangan
kembali (non-refoulement) tidak boleh dikesampingkan.62
c. Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)
dianggap
sebagai
bagian
dari
hukum
kebiasaan
internasional, dan karenanya setiap negara harus terikat
59
Lihat Resolusi Majelis Umum PBB No. 61/177, 20 Desember 2006 dan Resolusi Dewan Hak Asasi
Manusia No. 1/1, 29 Juni 2006.
60
Lihat, misalnya, Pasal 42 Konvensi 1951 yang menegaskan ketidakbolehan membuat pengecualian
(reservasi) atas Pasal 33.
61
Salah satu ketentuan yang terbaik dalam masalah ini ialah Rekomendasi Umum No. 30 (Diskriminasi
terhadap non-Warganegara) yang disetujui oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial pada awal Oktober
2004, yang menyatakan bahwa non-warga negara tidak boleh dipulangkan ke negara atau wilayah di mana
mereka berada dalam ancaman bahaya pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan, perlakuan dan penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan.
62
Karena itu, ditekankan pentingnya ketaatan yang mendasar terhadap prinsip larangan pemulangan
kembali, baik di perbatasan maupun di dalam wilayah suatu negara-orang yang mungkin mengalami
penganiayaan jika kembali ke negara asal mereka, terlepas dari apakah mereka telah secara resmi diakui sebagai
pengungsi. Lihat Konklusi tentang Perlindungan Pengungsi Internasional yang disetujui oleh Komite Eksekutif
Program UNHCR, Jenewa, 1996, h. 14, No. 6 (28). Demikian juga ditegaskan bahwa prinsip larangan
pemulangan kembali (non-refoulement) tidak dapat dikesampingkan. Lihat dalam the UNHCR Conclusions on
International Protection for Refugees approved by the Executive Committee, Jenewa, 1996, h. 214, No. 79 (47).
43
dengan prinsip ini, terlepas dari keterikatannya dengan
teks perjanjian apapun.63
d. Karena prinsip larangan pemulangan kembali (nonrefoulement) bersifat jus cogens 64 maka tidak boleh ada
kesepakatan
untuk
mengesampingkannya,
dan
kesepakatan seperti itu menjadi batal dengan sendirinya.65
e. Asas ini berfungsi sebagai salah satu alasan mendasar
untuk menolak ekstradisi.66
Mengenai pengusiran pengungsi, secara khusus Pasal 32
Konvensi 1951 menetapkan:
1. Negara pihak tidak akan mengusir pengungsi legal di
wilayah mereka kecuali dengan alasan keamanan nasional
atau ketertiban umum.
2. Pengusiran pengungsi demikian hanya dapat dilakukan
berdasarkan keputusan yang dicapai sesuai dengan proses
hukum yang adil, yang ditetapkan undang-undang.
Kecuali terdapat alasan keamanan nasional, pengungsi
63
Deklarasi Negara-negara Pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi,
(yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 Konvensi 1951) menyatakan
bahwa penerapan prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) telah menjadi bagian hukum
internasional yang umum" (Alinea Keempat Pembukaan). Lihat Collection of International Instruments and
Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 51.
64
Pembukaan Deklarasi Meksiko dan Rencana Aksi Penguatan Perlindungan Pengungsi Internasional di
Amerika Latin (2004) menegaskan bahwa prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) bersifat jus
cogens, Vol. 3, h. 1221
65
Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969.
66
. Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi
sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang.
Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan
Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F).
44
berhak mengajukan bukti-bukti untuk mengklarifikasi
dirinya;67 dan ia berhak mengajukan protes/banding, dan
berhak pula menunjuk wakil yang akan melaksanakan hal
ini (protes/banding) di hadapan otoritas kekuasaan yang
berwenang atau pejabat yang secara khusus ditunjuk oleh
otoritas kekuasaan yang kompeten.
3. Negara pihak memberikan kepada pengungsi, jangka
waktu yang wajar untuk memperoleh penerimaan dirinya
secara legal di negara lain. Negara pihak berwenang
melakukan pengawasan internal dalam jangka waktu
tersebut apabila dipandang perlu.
Pelanggaran
asas
larangan
pemulangan
kembali
(non-
refoulement) dapat tercermin dalam beberapa contoh kejadian,
termasuk yang berikut ini:
1. Menolak pencari suaka di wilayah perbatasan, padahal
mereka dapat mencarinya di wilayah lain.
2. Mengusir atau memulangkan kembali pengungsi ke
wilayah dimana ia berpotensi mengalami penganiayaan,
apakah itu adalah negara asalnya atau negara lain.
3. Tidak memberikan kesempatan kepada pengungsi untuk
mencari tempat/wilayah lain yang aman dengan tidak
67
Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi
sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang.
Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan
Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F).
45
memberikan
durasi
waktu
yang
wajar
untuk
melakukannya.
Pengecualian dari asas ini terbatas pada yang diatur dalam Pasal
33 ayat 2 Konvensi 1951, yaitu:
1. Jika pengungsi dianggap mengancam keamanan nasional
bagi negara yang didatanginya atau mengancam upaya
pengendalian penduduk seperti bermigrasinya sejumlah
besar orang,
68
atau jika Negara Pihak memutuskan
pengecualian-pengecualian
terkait
asas
larangan
pemulangan kembali (non-refoulement), seperti yang
tertulis dalam paragraf 1 dalam pasal ini diberlakukan,
maka negara itu wajib memberikan kepada orang tersebut,
kesempatan suaka sementara atau kesempatan memperoleh
suaka di negara lain, menurut apa yang pantas dilakukan.69
2. Jikapun pengungsi telah divonis terlibat kejahatan yang
berat, dimana ia merupakan ancaman bahaya bagi
masyarakat negara itu. Namun, ia tidak boleh diusir ke
negara di mana ia mungkin menghadapi risiko penyiksaan,
perlakuan, hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau
68
Pasal 3 ayat (2) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967. Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka
Teritorial, 1967. Lihat juga Rekomendasi No. 22 (97), yang dikeluarkan oleh Dewan Menteri Uni Eropa,
khususnya Panduan untuk Menerapkan Konsep Negara Ketiga yang Aman, lihat Collection of International
Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. IV, h. 1403.
69
Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967.
46
yang merendahkan martabat kemanusiaan, atau hukuman
lainnya yang melanggar hak-hak asasinya.
B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk atau
hadir secara ilegal di wilayah suatu negara
A. Menurut Syariat Islam
Telah jelas bahwa negara-negara mengakui pentingnya
orang asing memperoleh izin masuk (visa) sebelum datang
ke wilayah suatu negara. Kalangan ulama fikih pun
berpendapat demikian. Kiranya cukuplah kami menyebutkan
pernyataan Ibn Qudâmah :" Tak satu pun dari mereka (nonMuslim) boleh masuk ke wilayah kami tanpa izin, meskipun
ia adalah seorang utusan atau pedagang.”70
Kalangan ulama fikih mengecualikan sejumlah orang yang
dibebaskan dari keharusan memperoleh izin masuk (visa)
tersebut. Mereka itu ialah:
70
Ibn Qudâmah, al-Iqnâ' fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Bab II, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, t.th.), h. 38. Lihat
al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ' ‘an Matn al-Iqnâ', Bab III, h. 108. Imam al-Bagawî berkata: (tentang non-Muslim
yang masuk ke negeri Muslim sebagai seorang pejuang), "Seorang non-Muslim yang memasuki tanah Muslim
tanpa diberikan suaka boleh dibunuh." Lihat Imam al-Bagâwî, Syarh as-Sunnah, tahqîq: Syu’aib al-Arnaout dan
Zuhair asy-Syâawisy, (Kairo: Dâr Badr, t.th), Hadis nomor 2709, Jilid XI, h.71. Lihat juga Majd al-Dîn Abû alBarakât, al-Muharrar fî al-Fiqh 'alâ Mazhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Matba’ah as-Sunnah alMuhammadiyyah, 1369 H/1950 M), Bab II, h 181; al-Murâdî: al-Insâf fî Ma'rifat al ar-Râjih min al-khilâf 'alâ
Mazhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1400 H/1980 M), Jilid
IV, h. 208.
47
1. Duta besar, utusan atau pedagang yang memiliki bukti
yang dapat menerangkan statusnya seperti berikut ini:.
Dalam hal ini, Ibn Muflih al-Hanbali berkata: “Haram
hukumnya seseorang yang memasuki wilayah negara kita
tanpa izin. Namun dibolehkan bagi utusan (delegasi) dan
pengusaha/pedagang secara khusus.” 71
Al-Baidâwi menyatakan: “Duta besar dan
pendengar
bacaan al-Qur’an dijamin oleh Syariat Islam, yang berbeda
halnya dengan pedagang, yang tidak akan mendapat rasa
aman
hingga
ia
menjadi
seorang
Mukmin
yang
sesungguhnya”.72
2. Perlindungan yang diberikan kepada seseorang
berdasarkan hukum kebiasaan.
Dalam hal ini, salah satu pendapat yang terbaik,
tercantum dalam kitab Hâsyiyah Ibn ‘Âbidin: “Singkat kata,
menurut kebiasaan, seseorang yang tidak memiliki kekuatan
untuk melawan, ketika ia mencari perlindungan, maka dia
akan memperoleh perlindungan; dan kebiasaan itu dapat
menjadi hukum, selama tidak ada norma hukum eksplisit
yang berlawanan dengannya. Jika kita menemukan seorang
non-Muslim, di wilayah negara Muslim, berkata: “Saya
71
Ibn Muflih, Kitâb al-Furû` fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Matba’ah. Al-Manâr, Kairo, 1354H.,
Bab III, h. 627; demikian juga karyanya, al-Mubdi’ fî Syarh al-Muqni’, Jilid III, h. 394.
72
al-Baidâwi, al-Gâyah al-Quswâ fi Dirâyat al-Fatwâ, tahqîq: Muhy al-Dîn Dâgi, (Kairo: Dâr al-Nasr
li al-Tabâ’ah al-Islâmiyyah, 1982), Jilid II, h. 953.
48
datang untuk memperoleh perlindungan”, ucapannya itu bisa
saja tidak kita terima. Demikian pula (tidak dapat
dibenarkan), jika dia mengatakan: “Saya adalah utusan Raja
yang diutus untuk menemui Khalifah”, kecuali jika dia dapat
menunjukkan bukti tertulis seperti surat, meskipun mungkin
saja surat itu hasil rekayasa. Sebab, seorang utusan dapat
memperoleh
perlindungan
sebagaimana
praktik
yang
berjalan, baik dalam tradisi Jahiliyyah (pra-Islam) maupun
dalam tradisi Islam, meskipun tidak ada dua orang Muslim di
wilayah orang tersebut yang menjadi saksi baginya.73
Al-Buhûti mengatakan: “Orang yang masuk (dari
kalangan mereka) ke negeri Muslim tanpa memperoleh
perlindungan dan mengklaim bahwa dia adalah seorang
utusan atau dia adalah pedagang dan dia memiliki barang
untuk dijual, maka klaimnya itu dapat diterima jika kebiasaan
setempat mengakuinya, seperti masuknya perniagaan nonMuslim ke wilayah Muslim, dan sebagainya. Sebab,
klaimnya mungkin benar (benerfit of doubt) sehingga hal itu
menjadi alasan untuk mencegah tindakan pembunuhan
terhadap dirinya. Juga karena tidak mungkin pula diajukan
bukti atas hal itu dan juga karena kebiasaan dipandang
sebagai
perjanjian/peraturan,
73
maka
terhadapnya
tidak
Lihat Ibn ‘Âbidîn, Hâsyiyah Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî, 1387 H/1966M),
Bab IV, h. 135. Lihat juga: al-Sarakhsî, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Bab X, h. 92-93.
49
dikenakan hukuman. Namun, jika tidak terdapat kebiasaan
itu maka status orang tersebut seperti sediakala, yakni rentan
dan tidak memperoleh perlindungan. Demikian juga, jika
tidak ada benda perniagaan yang menyertainya, ketika dia
mengklaim bahwa dirinya adalah musta’min (orang yang
mencari perlindungan), maka dia harus dipandang telah
bersikap tidak jujur. Dalam keadaan demikian, orang ini
dapat menjadi tawanan perang, di mana penguasa negara
dapat
memutuskan dengan pilihan, yakni menjatuhkan
baginya hukuman mati, menjadikannya sebagai budak,
membebaskannya secara cuma-cuma, atau memulangkannya
dengan membayar tebusan.74
3. Klaim seseorang yang didukung oleh bukti prima facie/
kondisional
Dalam hal ini, Imam al-Syâfi’i berkata: “Jika seorang
non-Muslim ditemukan di jalan umum tanpa bersenjata dan
dia mengatakan: ‘Saya datang sebagai utusan’, maka
pernyataannya itu dapat diterima dan kita tidak boleh
mengabaikannya.
Jika
keadaannya
mencurigakan
atau
meragukan, maka dia dapat diminta untuk bersumpah. Jika
sudah bersumpah maka dia mesti dilepaskan. Demikian pula,
jika dia bersenjata dalam keadaan sendirian, tidak ikut dalam
74
al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Ibid, Bab III, h. 108.
50
rombongan yang dilarang, maka, pernyataannya dapat
diterima dan tidak boleh ditolak. Sebab, kedua keadaan
tersebut sejalan dengan pengakuan keduanya. Dalam hal ini
terdapat semacam kaidah hukum, yaitu: siapapun yang
menyatakan sesuatu, dan terdapat fakta yang sesuai dengan
apa yang dikatakannya serta kebohongan tidak dapat
ditemukan, maka perkataannya dapat dipegang/dianggap
benar bila disertai dengan sumpah.75
Tak diragukan bahwa apa yang dikemukakan para ulama
fikih tentang penerimaan klaim pencari suaka yang didukung
oleh bukti kondisional (prima facie) sejalan dengan asas yang
berlaku dalam hukum internasional yang menetapkan
urgensinya
pengambilan
petunjuk
dari
keadaan
yang
meragukan atau penafsiran keadaan meragukan untuk
kebaikan pencari suaka (benefit of doubt).76
4. Jika dia masuk ke wilayah negara Islam untuk
memperoleh perlindungan
Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menerima pandangan ini. Dia
mempersyaratkan keharusan memperoleh izin bagi orang
yang memasuki wilayah negara Islam, dengan mengatakan:
“Non-Muslim harbiy tidak boleh memasuki ke wilayah
75
al-Syâfi’î, al-Umm, (Kairo: Dâr al-Sya’b, t.th), Bab III, h. 201.
Lihat ketentuan ini dalam Manual of Applicable Procedures and Standards in Refugee Status
Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol relating to Refugee Status, UNHCR, Genewa,
1992, h. 62
76
51
negara Islam tanpa izin penguasa negara itu karena dia
mungkin termasuk sebagai mata-mata yang datang untuk
mencari informasi tentang kondisi masyarakat Muslim itu,
dan mungkin melakukan aktifitas penghancuran/perusakan di
wilayah
negara
Islam”.
Abû
al-Wafâ’
ibn
‘Uqail
menambahkan: “Jika dia memasuki wilayah itu untuk
kepentingan misi kaum Muslimin atau untuk melakukan
aktivitas yang membawa manfaat/maslahat bagi mereka maka
dia dapat masuk tanpa hambatan apapun”.77
Lebih jauh, Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail berkata: “Jika
mereka memasuki wilayah negara Islam itu tanpa izin atau
bukan untuk memperoleh suaka atau bukan untuk melakukan
perniagaan maka status hukum orang yang masuk dengan
sifat seperti ini serupa dengan status hukum tawanan perang,
di mana penguasa negara dapat memutuskan 4 (empat)
macam pilihan tindakan, yaitu hukuman mati, pembebasan
cuma-cuma, pemulangan dengan pembayaran uang tebusan,
atau penetapan sebagai budak.”78
77
Sâlih al-Rasyîd, Abû al-Wafâ` ibn ‘Uqail, Hayâtuhu wa Ikhtiyarâtuhu al-Fiqhiyyâh, Disertasi
Doktor, (Kairo: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas al-Azhar, t.th.), Bab III, h. 343-344.
78
Ibid, h. 444.
52
5. Ringkasan argumen-argumen yang mendukung
perlindungan bagi pengungsi yang masuk tanpa izin
Dari uraian sebelumnya telah jelas bahwa sejalan dengan
pendapat kaum ulama fikih, siapapun yang mencari suaka
memasuki wilayah negara Islam tanpa izin akan diberi
perlindungan dan tidak dikenai hukuman. Hal ini didasarkan
pada argumentasi sebagai berikut:
1. Bahwa hal demikian merupakan kebiasaan yang terus
berlaku; dan inilah yang diberlakukan dalam hukum
internasional
kontemporer,
dan
yang
merupakan
kebiasaan serta perilaku mulia bangsa Arab dan umat
Islam yang memberikan perlindungan dan keamanan
kepada pengungsi karena statusnya sebagai pengungsi
atau pencari suaka.
2. Bahwa hal demikian didukung oleh fakta kondisional
(prima facie). Secara spesifik, ini tergambarkan ketika
pengungsi mengalami kepanikan dan rasa takut yang
berat lantaran ketakutan akan penganiayaan. Hal ini juga
dapat dianggap sebagai tindakan memberikan bantuan
kepada orang yang mengalami tekanan.
3. Bahwa dia (pengungsi) biasanya mencari perlindungan
dan keamanan. Dalam hal ini terlihat kekhasan yang
yang dimiliki Syariat Islam yang senantiasa memberikan
perlindungan kepada siapa saja yang memintanya,
53
bahkan kepada orang biasa, sebagaimana yang akan kita
lihat nanti.
B. Menurut Hukum Internasional
Dalam paragraf pertama, pasal 31 Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi termakub: “Negara pihak tidak akan
menjatuhkan hukuman, atas alasan masuknya atau beradanya
pengungsi secara ilegal, kepada pengungsi yang datang secara
langsung dari wilayah di mana hidup atau kebebasan mereka
terancam, sesuai dengan Pasal 1 yang menyatakan bahwa
apabila mereka masuk atau berada di luar wilayah negara
mereka tanpa memiliki izin, asalkan mereka melaporkan
keberadaan diri mereka tanpa menundanya kepada pihak
berwenang dan menunjukkan alasan yang tepat bagi kedatangan
mereka yang ilegal”.
Hal
demikian
mengandung
makna
bahwa
tidak
dijatuhkannya hukuman lantaran masuknya atau beradanya
pengungsi dalam suatu wilayah negara secara ilegal, diatur oleh
4 (empat) syarat:
a. Masuknya atau beradanya pengungsi secara ilegal itu
lantaran jiwa atau kemerdekaan mereka terancam, sesuai
dengan Pasal 1 (adanya rasa takut yang benar-benar
terjadi lantaran menghadapi penganiayaan dengan alasan
54
ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok
sosial tertentu atau pandangan politik tertentu).
b. Mereka harus melaporkan diri tanpa menunda kepada
pihak berwenang.
c. Mereka harus menunjukkan alasan yang tepat atas
masuknya atau beradanya mereka secara ilegal.
d. Mereka harus datang langsung dari wilayah negara di
mana hidup atau kebebasan mereka terancam mengalami
penganiayaan. Ini berarti bahwa pencari suaka datang
langsung dari negara asalnya, atau dari negara lain yang
tidak memiliki jaminan perlindungan terhadapnya, atau
dari negara transit, tempat di mana keberadaan dirinya
hanya dalam waktu singkat tanpa permintaan memperoleh
suaka.79
Paragraf 2 dalam pasal yang sama menambahkan bahwa
negara pihak tidak boleh membatasi pergerakan pengungsi
kecuali pembatasan yang perlu dan pembatasan demikian
hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu
disahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain .
Negara pihak akan memberikan jangka waktu yang layak dan
79
Lihat A Guide to International Refugee Law, No. II, 2001, UNHCR & Inter-Parliamentary Union, h.
84.
55
juga
fasilitas
yang
perlu
bagi
para
pengungsi
untuk
mendapatkan izin masuk ke negara lain.80
B.3.
Asas non-diskriminasi
A. Menurut Syariat Islam
Islam
memberi
suaka
kepada
siapa
pun
yang
memintanya, tanpa memandang agama, kebangsaan, ras,
ataupun status ekonominya.81 Hal demikian kembali kepada
prinsip bahwa Islam melindungi hak asasi setiap manusia
tanpa diskriminasi apapun.82
Oleh karena itu, Pasal 9 Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia dalam Islam (1981) menyatakan: “Setiap
orang
yang
dianiaya
atau
dizalimi
berhak
meminta
perlindungan dan suaka. Hak ini harus dijaminkan bagi setiap
orang, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, atau jenis
kelamin yang bersangkutan.”
Hak persamaan bagi setiap orang merupakan salah satu
hal yang paling esensial yang menjadi dasar Syariat Islam,
sebab tidak ada keunggulan/kelebihan di antara manusia,
yang didasarkan atas kebangsaan, ras, warna kulit, kekuasaan,
80
Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of
Concern to the UNHCR, UNHCR Regional Office, Egypt, Cairo, April 2006, h. 20. Lihat juga Pasal 5 the
Convention on Territorial Asylum (Caracas, 1954).
81
Lihat Utsman bin Fudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘alâ al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat alJihâd, tahqiq: Fathî al-Misrî, (Khartoum: Dâr Jâmi’at al-Khartum, 1977), h. 124.
82
Islam telah melindungi hak-hak dari semua orang, Muslim ataupun non-Muslim, laki-laki ataupun
perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, di masa damai ataupun perang, dalam situasi normal ataupun luar
biasa.” Lihat Zangi, R. Ben Achourm Giappichelli, (eds.), La Nouvelle Charte Arabe des Droits de l’Homme,
Torino, 2004, dalam Ahmed Abou-el-Wafa, h. 609.
56
ataupun kekayaan; yang ada ialah keunggulan/kelebihan atas
dasar ketakwaannya (kesalehannya).
Al-Qur’an telah menegaskan prinsip persamaan ini dalam
sejumlah ayat, diantaranya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13).
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami mudahkan transportasi mereka di daratan dan di
lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. alIsrâ’/17:70).
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka
dengan berkalam: “ Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lakilaki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain.” (Q.S. Ali Imran/3:195).
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
(Q.S. al-Nisâ`[4]:1).
57
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)
dan dari padanya Dia menciptakan isterinya (Hawa) agar
dia (Adam) merasa senang kepadanya. (Q.S. al-A’râf/7:189).
Dia (Allah) menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian
Dia jadikan daripadanya isterinya. (Q.S. al-Zumar/39:6)
Sunnah Nabi juga menegaskan kesetaraan manusia. Menurut
narasi Abu Dzarr r.a.:
“Sungguh saya pernah memaki seseorang dengan cara
mencaci ibunya", maka Rasulullah SAW menegur saya:
“Wahai Abu Dzarr, mengapa kau mencaci ibunya? Sungguh
kau orang yang masih memiliki sifat Jahiliyyah (pra Islam).
Hamba sahayamu adalah saudaramu, yang Allah telah
tempatkan untukmu. Barangsiapa yang memiliki saudara
(pelayan dan budak), maka dia harus memberinya makanan
sebagaimana yang dia makan, dan memberinya pakaian
sebagaimana yang dia pakai. Jangan kau bebani mereka
dengan tugas yang di luar kemampuan dirinya, dan jika
kamu memberi mereka tugas yang diluar kemampuannya,
maka bantulah mereka (mengerjakannya)”.83
Demikian juga, ketika Abu Dzarr al-Ghiffari mencaci
seseorang dengan mengatakan, “Hai anak kulit hitam”, 84
Rasulullah SAW bersabda:
Mengapa kau caci ibunya? Sungguh dalam dirimu masih
terdapat sifat jahiliyyah.85
83
Abû Dâud Sulaimân al-Asy’as, Sunan Abî Dâud, tahqîq ‘Izzat ‘Abd al-Da’as dan ‘Adil al-Sayyid,
(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1418H./ 1997M), Hadis No. 5121, Jilid V, h.215.
84
Mungkin Hadis ini yang menjadi acuan pandangan yang menyatakan bahwa Syariah banyak berisi
larangan terhadap rasisme, dan memberinya label sebagai jahiliyah (ketidakadilan). Lihat Human Rights
Practices in the Arab States: the Modern Impact of Shari’a Values, the Georgia Journal of International and
Comparative Law, Jilid. XII, 1982, h. 62-63.
85
al-Bukhârî, Abû ‘Abdillah bin Ismail, Sahîh al-Bukhârî, Kitab al-Imân, al-Ma’âsî min Amr alJâhiliyyah, No. 30, Bab I, h. 20; dan Muslim, Sahîh Muslim, Kitab al-Imân, Bâb It’âm al-Mamlûk mimmâ
Ya`kul, No. 1661, Jilid III, h. 1661.
58
Al-Qur’an
menjelaskan
bahwa
alasan
di
balik
penghapusan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit atau
fisik itu berdasarkan pada prinsip Islam yang menyatakan
bahwa fakta berbeda-bedanya hal tersebut bukanlah kuasa
manusia.86 Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan:
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah ?
Yang telah menciptakan kamu; lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh-mu seimbang;
dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu. (Q.S. al-Infitâr/82:6-8)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berbeda-beda bahasa kamu
dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui. (Q.S. al-Rûm/30:22).
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka macam jenisnya, dan di antara gununggunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat, dan
demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
86
Dr. Abdel Aziz Kamil menekankan bahwa masalah diskriminasi ras dapat diselesaikan melalui dua
cara yang berbeda: sains dan agama. Karena Islam, sebagai agama, telah memberi perhatian besar untuk ilmu
pengetahuan sejak ayat pertama diturunkan, yakni Iqra’ (bacalah). Sejak awal Islam telah mengetahui
bagaimana mengatasi masalah diskriminasi ras. Lihat A. Kamil L'Islam et la Question Raciale, UNESCO, Paris,
1970, h. ii. Lebih jauh, (h. 30) dia berkata: “ Islam melihat manusia sebagai sebuah taman besar, dengan bunga
beraneka warna, tapi warna yang satu tidak memiliki prioritas di atas warna yang lain”. Lihat juga Mahmud
Syaltut, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 452.
59
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(Q.S. Fâtir/35:27-28).
Agaknya, teks-teks ayat yang telah kami kutipkan di
atas menunjukkan keunggulan Islam dibanding dengan
sistem hukum lainnya
yang mengadopsi perlakuan
diskriminasi atas warna kulit atau kebangsaan (seperti yang
terjadi di Amerika Serikat dan Afrika Selatan) padahal
mereka tidak memiliki andil atas warna kulit dan kebangsaan
yang mereka miliki. Hal ini dikuatkan oleh pengakuan
banyak pemikir Barat terhadap citra Islam yang menjadi
terhormat karena ajarannya yang anti diskriminasi ras. 87
Bahkan, sebagian mereka berpendapat bahwa sikap Islam
yang anti-diskriminasi ras itu merupakan salah satu faktor
penyebab tersebarluasnya Islam dan terjalinnya hubungan
internasional antara pihak yang mendukung Islam dan pihak
yang tidak mendukungnya.88
87
Demikin juga, ketika melakukan perbandingan antara sikap Islam dan Amerika terhadap budak,
Dunnant berkata: “Terdapat perbedaan nyata antara perilaku kebanyakan orang Amerika dan pengikut al-Qur’an
terhadap orang-orang kulit berwarna. Kalangan umat Islam percaya hukum-hukum dibuat untuk berpihak
kepada budak, sedangkan di Amerika, didorong oleh keserakahan dan egoisme, mereka mengepung budak dari
semua sisi, seperti sebuah penjara dengan dinding besi. Sementara dalam Islam, orang kulit hitam atau blasteran
tidak hanya diperlakukan dengan lembut dan ramah, tapi dia dianggap oleh moral dan hukum sebagai sama
dengan orang kulit putih, tidak ada penghinaan berat pada dirinya. Pendek kata, mereka adalah saudara”. H.
Dunant, L’Esclavage Chez les Musulmans et aux Etats–Unis d’Amérique, Genève, imprimerie Jules–Guillaume
Fick, 1863, h. 43-44.
88
Demikian juga, seorang penulis menegaskan bahwa tidak diragukan lagi, penerimaan agama Islam
secara meluas disebabkan agama ini tidak melakukan diskiriminasi atas dasar ras atau warna kulit. Lihat
Wormser, The Legal System of Islam, American Bar Association Journal, 1978, h. 1361.
60
Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah mengeluarkan
resolusi tentang asas non-diskriminasi dalam masalah hak
asasi manusia, yaitu:
(i) Resolusi No. 37/20-S menegaskan: “Kesatuan nilai-nilai
Islam tentang hak asasi manusia dan perhatian besar yang
ditunjukkan Syariah Islam terhadap hak asasi dan
kebebasan dasar manusia adalah berlaku untuk setiap orang
tanpa diskriminasi apapun”. Resolusi ini juga menyatakan
diperlukannya upaya memfasilitasi perjuangan menegakkan
“nilai-nilai Islam di dalam masalah hak asasi manusia”.
(ii) Resolusi No. 6/6-S Konferensi Tingkat Menteri di Jeddah,
1975 M/1395 H tentang Apartheid dan Diskriminasi Rasial
di Afrika Selatan, Rhodesia, Namibia dan Palestina
menyatakan bahwa peserta Konferensi berkomitmen untuk
menegakkan prinsip Islam yang menolak diskriminasi
manusia atas dasar ras dan warna kulit.89
B. Menurut Hukum Internasional
Prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu prinsip
fundamental hukum internasional tentang hak asasi manusia
pada umumnya, 90 dan terkait hak suaka pada khususnya.
Pasal
3
Konvensi
1951
89
tentang
Status
Pengungsi
Resolusi No. 3/7-S Konferensi Tingkat Menteri, Istanbul, 1976, tentang isu yang sama menyatakan
bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, umat Islam harus melawan diskriminasi rasial dalam berbagai
bentuknya. Pernyataan dan Resolusi Konferensi Tingkat Tinggi dan Pertemuan para Menteri Luar Negeri OKI,
Tahun 1969-1981, (Jeddah: OKI, t.th.), h.182.
90
Ahmad ‘Abd al-Wafa`, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huquq al-Insân, h. 138-139.
61
menyebutkan bahwa negara-negara Pihak akan menerapkan
ketentuan – ketentuan Konvensi ini terhadap pengungsi tanpa
diskriminasi atas dasar ras, agama atau negara asal.
B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka
Hak suaka melahirkan jaminan perlindungan terhadap
orang yang mengalami ancaman penganiayaan. Hak suaka
memiliki karakter manusiawi yang intrinsik dan tidak
mungkin tidak terlihat. Karakter tersebut terletak di dalam
sumber dan asal dari hak – hak tersebut.
A. Menurut Syariat Islam
Syariat Islam dan hukum internasional kontemporer
memiliki kesamaan pandangan, bahwa dalam hak – hak suaka
terdapat karakter manusiawi. Sebab, sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, hak suaka ini ada untuk kepentingan
memenuhi
permintaan
bantuan
orang
yang
sangat
membutuhkannya. Inilah sisi karakter manusiawi dari hak
tersebut.
91
Suaka sendirimerupakan percikan rasa kasih
sayang yang diberikan kepada orang yang dilanggar hak dan
kebebasan asasinya.
Oleh karena itu, kami setuju dengan pendapat yang
menyatakan bahwa pengaturan status pengungsi berada di
91
Demikian juga, pendapat yang mengatakan bahwa desain teori suaka merupakan sebuah konsep
kemanusiaan Islam yang mempertimbangkan kesejahteraan individu, dan bukan kepentingan penguasa mereka.
Cf. “ Suaka dan Pengungsi dalam Tradisi Islam ", dalam International law Association, Report of the SixtyNinth Conference, tahun 2000, h. 321.
62
bawah lingkup masalah ”interaksi antar sesama manusia”
(muamalah), di mana aturan-aturannya didasarkan pada
hikmah/tujuan
hukum
yang
bermuara
pada
realisasi
kemaslahatan dan negasi kemudaratan (tahqîq al-masâlih wa
dar’u al-mafâsid).92
Dapat ditambahkan bahwa karena pemberian suaka
berada di bawah lingkup masalah interaksi antar sesama
manusia (muamalah), maka ia juga tunduk pada dua prinsip
berikut:
a. Prinsip Tagayyur al-Ahkâm bi Tagayyur al-Zamân
(perubahan hukum karena perubahan waktu). 93 Prinsip
ini didasarkan pada pandangan bahwa teks-teks alQur’an dan Hadis terbatas jumlahnya, sedang peristiwa
hukum tidak terbatas kejadiannya. Sesuatu yang tidak
terbatas tidak dapat diatur oleh sesuatu yang terbatas.
Oleh karena itu, ijtihad harus dilakukan untuk
menemukan jawaban atas peristiwa hukum baru,
termasuk masalah hukum suaka, terutama karena
mempertimbangkan karakternya yang manusiawi.
b. Prinsip yang diambil dari Hadis Nabi Muhammad SAW:
92
Ahmad al-Khamlisyi Mada Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’at al-Duwaliyyah al-Khassah bi alLâji`in. h. 38. Sebuah studi yang diterbitkan oleh ISESCO sebagai bagian dari rencana aksi organisasi pada
tahun 2004-2006, h. 38.
93
Kaidah “lâ yunkar tagayyur al-ahkâm bi tagayyur al-azmân”, pasal 39 dari Majallah al-‘Adliyyah,
Al-Zarqa, Mustafa, al-Madkhal al-Fiqhiyy al-‘Âmm, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1418 H/ 1998M), Jilid II, h.
941-942. .
63
Kamu lebih tahu urusan duniamu.94
Demikian pula, Hadis yang mengharuskan penanganan
masalah
pengungsi
berlandaskan
alasan
dan
pikiran
pertimbangan kemanusiaan.
B. Menurut Hukum Internasional
Sejumlah konvensi internasional menegaskan bahwa
terdapat karakter manusiawi dan damai di dalam hak suaka.
Akibatnya, hak tersebut tidak dapat dianggap tidak bersahabat
atau mengundang permusuhan.95
94
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Tsabit, dari Anas ra. bahwa Nabi SAW melintas di sekelompok
orang yang sedang mengawinkan pohon kurma, lalu Beliau SAW bersabda: “Sekiranya tidak kamu lakukan,
akan lebih baik”, katanya: “Kemudian panennya gagal, lalu Beliau SAW melintas lagi di situ pada kesempatan
lain, dan bertanya: “Bagaimana keadaan kurma kamu?”, mereka menjawab: “Tetapi begini dan begini (gagal
panen)”, maka Nabi SAW bersabda: “Anda lebih tahu tentang urusan duniamu”. Sahîh Muslim, Kitab al-Fada`il,
Bâb: Wjib mematuhi sabda Beliau tentang syariat, bukan sabda Beliau SAW tentang kehidupan dunia yang
berdasarkan nalar Beliau, nomor 2363, Jilid IV, 1836; Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Kitâb al-Rahûn, Bâb: talqîh
al-nakhl (Mengawinkan pohon kurma), Hadis No. 2471, Jilid II, h. 825. .
95
Di antaranya ialah (a) Paragraf No. 5 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi; (b) Pembukaan
Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1967 (Resolusi No.
2312); (c) Paragraf No. 2 Deklarasi Negara-negara Peserta Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi, yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan hari jadi ke-50 Konvensi 1951; (d)
Resolusi No. 50\152 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB, 1995 (Paragraf No. 13); (e) Pasal 2\ 2
Konvensi tentang Aspek-aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika, 1969; (f) Pasal 6 Konvensi Dunia Arab
tentang Status Pengungsi di Negara-negara Arab, 1994; (g) Pasal 3 Deklarasi tentang Suaka Teritorial (Dewan
Eropa, 1977). Pasal 2 Deklarasi terakhir ini menetapkan bahwa suaka diberikan kepada setiap orang yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Demikian juga, suaka
diberikan kepada orang yang layak dengan dasar alasan kemanusiaan.
64
BAB III
MACAM - MACAM SUAKA
DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM
INTERNASIONAL
Ada 3 (tiga) macam suaka, yaitu suaka agama, suaka
teritorial dan suaka diplomatik.
1. Suaka agama
A. Menurut Syariat Islam
Suaka agama dalam pandangan Syariat Islam diberikan
dalam 2 (dua) bentuk.
1. Suaka yang bertujuan untuk mendengarkan al-Qur’an
Allah SWT berkalam:
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrik (pagan) itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian
antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (Q.S. alTaubah/9:6)
Secara tekstual dan kontekstual, ayat ini menjelaskan 96
bahwa suaka diberikan jika:
96
al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat ism nakirah yang bersifat umum dalam
format kalimat bersyarat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî, t.th.),
Edisi 2. Jilid II, h. 6. Hal demikian karena lafaz al-‘âmm (kata umum) itu mencakup semua makna yang sesuai
dengan kandungannya secara tak terbatas. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyutî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, tahqîq
Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 23-24.
65
a. orang yang datang memintanya ialah orang non-Muslim
(alasan personal yang terkandung dalam penerapan
makna ayat tersebut);
b. dia datang untuk mendengar kalam Allah (alasan tujuan
keagamaan yang terkandung dalam penerapan makna ayat
tersebut);
c. dia sedang mencari/meminta perlindungan (obyek isi
yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut);
d. sehingga
dia
konsekuensi/efek
harus
diberi
hukum
perlindungan
yang
terkandung
(faktor
dalam
penerapan makna ayat tersebut), dan
e. dia harus dibawa ke tempat/lokasi perlindungan yang
aman (tujuan yang terkandung dalam penerapan makna
ayat tersebut).
2. Suaka ke Masjid al-Haram (tempat perlindungan yang
suci di Mekkah)
Pencarian suaka ke kawasan al-Haram juga dianggap
sebagai suaka teritorial, 97 jika pengungsi berasal dari luar
wilayah negara Islam. Allah SWT menetapkan, dalam rangka
menjaga kemuliaan dan kesucian kawasan al-Haram, bahwa
siapapun yang mengungsi ke kawasan al-Haram akan
97
Beberapa ahli fikih menganggap suaka ke al-Haram sebagai semacam “suaka agama dalam Hukum
Syari’ah”. Burhan Amrullah, al-Nazariyyah al-‘Âmmah li Haqq al-Malja` fi al-Qânun al-Duwaliy al-Mu’âsir,
Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h. 40-41.
66
mendapat jaminan perlindungan. Hal ini berdasarkan kalam
Allah SWT:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam (tempat berdiri) Ibrahim; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah) maka amanlah dia. (Q.S. Ali
‘Imrân/3:96-97).
dan kalam Allah SWT:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa
sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah
suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya rampokmerampok. (Q.S. al-‘Ankabût/29:67).
dan kalam Allah SWT :
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah
ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan. (Q.S. Quraisy/106: 3-4).
Demikian juga kalam Allah SWT :
Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang
aman.. (Q.S. al-Baqarah/2:125).98
98
Dalam penafsiran kata “tempat yang aman” pada frasa kalam Allah SWT (Kami jadikan Baitullah
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman), dalam ayat di atas, Imam Abu al-Sa'ûd menjelaskan
bahwa “tempat yang aman”, sebagaimana kalam Allah (kawasan al-Haram yang aman), dengan menggunakan
kata dasar (al-masdar) menempati posisi ism fâ’il, dalam bentuk mubâlagah (penekanan yang kuat); atau
dipandang sebagai gabungan kata yang bermakna “yang memiliki rasa aman”; atau dalam bentuk frasa majaz,
yang mengandung makna “orang yang aman dari siksa Allah di akhirat karena melaksanakan ibadah haji”,
mengingat bahwa ibadah haji menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya; atau mengandung makna,
sebagaiamana pendapat Abu Hanifah, yakni pelaku kejahatan yang memasuki kawasan al-Haram, aman dari
ancaman hukuman, sampai dia keluar dari kawasan itu. Kata “aman” dapat juga dipandang sebagai analogi
terhadap keamanan yang mencakup semua hal, termasuk keamanan bagi orang yang masuk lebih dahulu. Lihat
67
Nabi
Muhammad
SAW,
pada
peristiwa
pengambilalihan otoritas kota Mekkah, bersabda:
Siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka dia akan
aman, barangsiapa yang masuk ke rumah Abû Sufyân, maka
dia akan aman, dan barangsiapa yang meletakkan
senjatanya, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang
tetap berada di rumahnya, maka dia akan aman.99
Seorang ulama fikih terkenal, al-Kâsani berpendapat
bahwa ada 3 (tiga) dasar alasan yang melandasi larangan
tindakan pertumpahan darah di kawasan al-Haram (Mekkah
dan Medinah), yaitu keimanan, permintaan perlindungan, dan
pencarian suaka ke kawasan al-Haram.
Berkaitan
dengan
kawasan
al-Haram
sebagai
tempat
berlindung, al-Kasani menegaskan: mengenai berlindung ke
kawasan al-Haram, apabila orang non-Muslim harby
berlindung ke kawasan al-Haram, ia tidak boleh dibunuh,
tetapi ia tidak perlu diberikan makanan, minuman, tempat
penampungan, dan diambil sumpah setianya, hingga ia keluar
meninggalkan kawasan al-Haram. Sedangkan menurut alSyafi’i, orang itu boleh dibunuh di kawasan al-Haram.
Namun, ahli fikih (mazhab Hanafi) secara internal berbeda
pendapat; Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
Abu Sa'ûd, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazâya al-Qur`an al-Karîm, Bab I, (Kairo: Dâr al-Mushaf), h. 157. Lihat
juga Ibn al-'Arabi, Ahkâm al-Qur`an, Bab I, h. 37-39.
99
Hadis diriwayatkan oleh Muslim, Bab: Fath Mekkah dari Kitab al-Jihâd wa al-Siyar, Sahîh Muslim,
Bab III, h. 1408, Hadis No.1780. Lihat juga Ibn Syaibah, Kitâb al-Magâzî, h. 318-319.
68
orang itu tidak boleh dibunuh atau dikeluarkan dari kawasan
al-Haram, Abu Yusuf berpendapat bahwa orang itu tidak
boleh dibunuh, tetapi boleh dikeluarkan/diusir dari kawasan
al-Haram.”100
Para ulama fikih sepakat bahwa jika seseorang
melakukan kejahatan terhadap tubuh yang diancam dengan
hukuman qisas, lalu ia berlindung ke kawasan al-Haram
maka hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Demikian
juga, orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa atau
tubuh di kawasan al-Haram hukuman qisas diberlakukan
kepada dirinya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai apakah orang yang melakukan kejahatan di luar
kawasan al-Haram, yang kemudian berlindung masuk ke
kawasan al-Haram dapat langsung dikenakan dengan
hukuman tersebut.
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang tersebut
tidak boleh langsung dikenakan hukumannya di kawasan alHaram, tetapi harus dipaksa keluar dari kawasan al-Haram,
dengan cara tidak diberikan makanan, minuman atau izin
berinteraksi. Jika orang itu keluar, barulah ia dieksekusi.
Pendapat ini berdasarkan makna umum ayat al-Qur’an:
100
al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, (Beirut:Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1402 H/ 1982
M), Bab VII, h.114.
69
Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka ia akan
aman. (Q.S. Âli ‘Imrân/3:97).
Dalam pada itu, mayoritas ulama fikih, termasuk alSyâfi'i dan Mâlik, berpendapat bahwa apabila orang yang
melakukan kejahatan terhadap nyawa secara sengaja di luar
kawasan al-Haram, kemudian berlindung masuk ke kawasan
al-Haram maka ia boleh langsung dikenakan hukumannya.
Mereka menganalogikan kasus tersebut dengan kasus orang
yang melakukan kejahatan di kawasan al-Haram, 101 yakni
apabila ia menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja
atau melakukan salah satu kejahatan hudûd (hukuman yang
telah ditentukan sanksinya oleh Syariat Islam) di kawasan alHaram maka ia akan dijatuhi hukuman yang sesuai.102
Terdapat perbedaaan pendapat para ulama perihal apakah
jika seorang non-Muslim harbiy masuk ke kawasan alHaram, maka hal itu tidak mencegah seorang Muslim dalam
memberikan perlindungan kepada orang non-Muslim itu.
Dalam hal ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika orang
Muslim memberikan perlindungan
kepada orang non-
Muslim harbiy yang berada di kawasan al-Haram atau
101
Tafsîr al-Qurtubî, Bab IV, h. 140; Tafsîr al-Tabarî, Jilid VII, h. 29-34; Mustafa Sa’îd al-Khinn,
Atsar al-Ikhtilâf fî al-Qawâ’id al-Usuliyyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Disertasi Doktor, (Kairo: Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas al-Azhar, t.th.), h. 165-166. Al-Qurtubî berkata: “Pendapat Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa kebebasan pelaku dipersempit sampai ia keluar dari al-Haram atau mati, mengandung arti
bahwa kita menghukumnya dengan pedang, sedang Abu Hanifah menghukumnya dengan kelaparan; maka,
pembunuhan manakah yang lebih sadis dari ini? Lihat al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Jilis II, h. 111.
102
Ibn Qudâmah, al-Mugnî, Bab X, h. 236-238; al-Syafi’i, al-Umm, Jilid IV, h. 201-202.
70
setelah orang itu keluar dari kawasan al-Haram, atau sebelum
ia ditangkap, maka
Sedangkan Abu Yusuf
ia ditolak permintaan suakanya.
dan Muhammad bin Hasan al-
Syaibânȋ menyatakan bahwa jaminan suakannya itu sah, dan
orang non-Muslim harbiy tersebut diberikan tempat yang
aman.103
Sementara itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa orang
yang jiwanya tidak dilindungi di luar kawasan al-Haram, dia
dapat memperoleh perlindungan jika masuk ke kawasan alHaram, dengan syarat orang tersebut meminta perlindungan
bukan karena alasan peperangan. Berbeda halnya apabila
orang tersebut masuk ke kawasan al-Haram karena alasan
peperangan, maka ia tidak mendapat jaminan perlindungan.
Lebih dari itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa meskipun
orang tersebut termasuk orang yang dibolehkan untuk
diperlakukan dibawah tekanan dan tidak perlu diberikan
perlakuan yang baik, tapi ia tidak boleh terhalang dalam
mendapatkan makanan, dan minuman lantaran ini semua
merupakan hak orang tersebut. Sebab, Rasulullah SAW telah
menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak kolektif atas
padang rumput, air, dan api (diasosiasikan dengan sumber
daya energi) berdasarkan dalil berikut:
103
al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’,Ibid, Jilid VII, h. 117.
71
Ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh dihalangi, yaitu air,
lahan berumput dan api.104
Kami (penulis) berpendapat bahwa pada dasarnya,
apabila pengungsi yang datang dengan alasan melarikan diri
dari tindakan penganiayaan terhadap dirinya, maka ia dapat
menikmati jaminan perlindungan yang dianugerahkan Allah
kepada kawasan al-Haram, bahkan meskipun ia adalah
seorang petarung non-Muslim harbiy. Hal ini didukung oleh
Hakim Ibn al-‘Arabi yang menginformasikan: “Saya datang
ke kawasan Bait al-Maqdis (semoga Allah mensucikannya),
di Madrasah Abi ‘Uqbah al-Hanafi, di mana Hakim alRaihâni sedang memberikan materi pengajian pada hari
Jumat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki tampan mengenakan
pakaian gembala yang lusuh lalu ia mengucap salam kepada
kami dengan gaya salam ulama dan langsung mengambil
posisi di hadapan majelis pengajian. Lalu, al-Raihâni bertanya
kepadanya, “Siapakah Tuan ?” Ia menjawab: “Saya adalah
orang yang kemarin dilucuti oleh perampok, dan tujuan saya
adalah kawasan al-Haram yang suci ini. Saya adalah seorang
pencari ilmu pengetahuan dari Sâgân.” Lalu, al-Raihâni
segera berkata: “Tanyai dia! Sudah menjadi kebiasan mereka,
menghormati
ulama
dengan
104
mengajukan
pertanyaan
Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, tahqîqMuhammad Fuad ‘Abd al-Bâqî,
(Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.), Hadis No. 2473. Di dalam kitab al-Zawâ`id, beliau menyatakan bahwa sanad Hadis
ini sahîh dan para periwayatnya dapat dipercaya, Bab II, h. 826.
.
72
kepadanya. Banyak pertanyaan yang keluar melalui undian
(karena demikian banyaknya pertanyaan) ialah perihal orang
kafir yang mencari perlindungan di kawasan al-Haram;
mengenai apakah ia boleh diperangi (dibunuh) ataukah tidak.
Lalu, tokoh ulama Sâgân itu berpendapat bahwa orang itu
tidak boleh dibunuh. Lalu, sang tokoh ulama ini ditanya
tentang dalil/alasan pendapatnya maka ia menjawab dengan
Kalam Allah SWT :
Dan janganlah memerangi mereka di Masjid al-Haram
sampai mereka memerangi kamu di situ. (Q.S. alBaqarah/2:191)
“Ada yang membaca ayat ini dengan bunyi: jangan
membunuh mereka dan ada yang membacanya dengan bunyi:
jangan memerangi mereka. Jika
dibaca Dan janganlah
memerangi mereka maka ini merupakan suatu pernyataan
yang tegas maknanya (nass). Akan tetapi, jika dibaca Dan
janganlah memerangi mereka, maka ini merupakan suatu
ungkapan bermakna peringatan karena larangan memerangi
yang merupakan awal penyebab terjadinya pembunuhan, itu
juga merupakan petunjuk yang gamblang akan adanya
larangan membunuh.”
Kemudian, Hakim al-Raihâni menyanggah pendapat sang
tokoh ini sekaligus mendukung pendapat al-Syâfi’i dan
73
Mâlik, meskipun biasanya al-Raihâni tidak setuju dengan
pendapat kedua tokoh ulama pendiri mazhab ini. Lalu, alRaihâni berkata: “Ayat ini mansûkh (digantikan atau
diperbarui) oleh kalam Allah dalam Q.S.al-Taubah/9:5 (maka
bunuhlah orang-orang kafir di mana saja mereka berada).
Tokoh ulama al-Sâgânî itu kemudian berkata kepada alRaihâni: “(Sanggahan) ini tidak pantas diutarakan hanya
karena tingginya martabat dan intelektualitas seorang hakim.
Ayat yang Anda kemukakan untuk menyanggah pendapat
saya merupakan ayat yang bernada umum (‘âmm), berlaku
untuk semua tempat dan keadaan, sedang ayat yang saya
kemukakan merupakan ayat yang bernada spesifik (khâss).
Tidak seorangpun dibolehkan mengklaim ayat yang bernada
umum
(‘âmm)
membatalkan
atau
menggantikan
atau
memperbarui ayat yang bernada spesifik (khâss). Seketika alRaihâni diam tertegun. Ini merupakan salah satu pernyataan
yang terbaik.
senantiasa
105
Oleh karena itu, kawasan al-Haram
merupakan
tempat
berkumpul
dan
tempat
berlindung semua orang.106
Demikianlah, kaum ulama fikih membedakan 2 (dua)
macam perlindungan di kawasan al-Haram. Pertama,
memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi yang
105
106
Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân, Bab I, h. 106-107.
Bagi seluruh umat manusia
74
masuk ke kawasan al-Haram untuk meminta perlindungan
dari penganiayaan dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, hal
ini sesuai dengan esensi konsep dan sistem suaka dalam
hukum internasional modern, yakni memberi jaminan
keamanan dan perlindungan bagi setiap pencari suaka.
Kedua, tidak memberikan jaminan perlindungan kepada
pengungsi apabila ia masuk ke kawasan al-Haram untuk
berperang atau menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi
demikian, pengungsi tersebut memang tidak mencari
keselamatan, tetapi mencari yang sebaliknya. Karena itu,
sangat logis jika tidak memberikan jaminan perlindungan
apapun kepada dirinya. Konsekuensinya, ia tidak mendapat
perlindungan dan keselamatan seperti yang termasuk dalam
hak suaka.
Nabi SAW menegaskan perlunya menghormati setiap
orang mengungsi ke kawasan al-Haram, melalui Hadis:
Sesungguhnya Mekkah telah dimuliakan oleh Allah, ketika
orang belum memuliakannya; Tidak halal bagi orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan
darah di kawasan al-Haram. (H.R. al-Bukhâri).107
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa hal
demikian merupakan pengharaman dalam Syariat Islam yang
107
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 4044, Jilid IV, h. 1563; Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No.
1354, Jilid II, h. 987.
75
bersifat tetap. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah membedakan
antara pengungsi dan orang yang terlibat tindak pidana di alHaram, dengan mengatakan bahwa Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid alHaram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu;
jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. (Q.S. al-Baqarah/2:191).
Perbedaan antara pengungsi dan pelaku kejahatan di
kawasan al-Haram dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,
pengungsi yang melakukan kejahatan di dalam kawasan alHaram berarti menistakan kemuliaan dan kesuciannya. Hal
ini berbeda dengan penjahat yang melakukan kejahatan di
luar kawasan al-Haram, lalu mencari perlindungan dengan
masuk ke kawasan al-Haram. Dengan meminta perlindungan,
berarti ia mengagungkan dan menghormati kemuliaan atau
kesucian kawasan al-Haram. Analogi salah satu dari kedua
tipe orang itu dengan tipe yang lain tentu merupakan analogi
yang tidak valid. Kedua, pelaku kejahatan di kawasan alHaram serupa dengan orang yang melakukan kejahatan di
istana raja. Sedangkan pelaku yang melakukan kejahatan di
luar kawasan al-Haram, lalu ia masuk ke dalam kawasan alHaram, adalah sama seperti seorang pelaku kejahatan di luar
istana raja, kemudian masuk ke istana raja untuk mencari
perlindungan. Ketiga, pelaku kejahatan di kawasan al-Haram
76
telah menistakan kesucian Allah dan Masjid al-Haram yang
dimuliakan-Nya sehingga ia telah menistakan dua macam
kesucian; dan berbeda halnya pelaku kejahatan di luar
kawasan al-Haram. Keempat,
jika hukuman hadd tidak
diberlakukan terhadap pelaku kejahatan di kawasan alHaram, tentu kerusakan, korupsi dan keburukan akan
merajalela di kawasan itu, padahal penduduk kawasan alHaram itu sama dengan penduduk di wilayah lainnya yang
nota bene membutuhkan perlindungan atas jiwa, harta dan
kehormatan mereka. Jika hukuman hadd tidak diberlakukan
kepada pelaku kejahatan di kawasan al-Haram maka hukumhukum Allah akan terabaikan sia-sia, dan kemudaratan akan
menimpa kawasan al-Haram dan penduduknya. Kelima,
orang yang berlindung masuk ke kawasan al-Haram serupa
dengan pelaku kejahatan yang bertaubat dan menyesal,
mengharapkan perlindungan ke rumah Allah SWT, sehingga
ia tidak boleh dilecehkan atas nama kemuliaan al-Haram,
berbeda halnya dengan orang yang menistakan kesuciannya.
Jadi, jelas sekali perbedaannya.
Ibn Qayyim menambahkan, dalam kehidupan bangsa
Arab masa Jahiliah, biasanya ketika seseorang melihat
pembunuh ayahnya
atau anaknya di kawasan al-Haram,
maka ia tidak boleh melawannya. Kebiasaan itu dipraktikkan
77
pada masa sebelum Islam dan kemudian agama Islam datang
dan mengukuhkannya.108
Oleh
karena
itu,
menghormati
orang
yang
berlindung/mengungsi ke kawasan al-Haram, dalam batasbatas yang tertentu seperti diatas, merupakan hal yang valid
dalam Syariat Islam.
B. Menurut Hukum Internasional109
Pemberian suaka agama dalam rangka menyediakan
perlindungan kepada siapa pun yang memasuki tempat-tempat
keagamaan atau sakral merupakan salah satu bentuk tertua
pencarian suaka. Sejak zaman dahulu, sebagian besar agamaagama, bangsa dan masyarakat telah membenarkan tindakan
tersebut. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapat suaka
memiliki makna sakral, ketika pengungsi mencari suaka dari
tempat-tempat keagamaan atau suci menjadi tempat berlindung
(Sanctuaire).
108
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi),
Jilid II, h. 177.
109
Patut dicatat bahwa hukum internasional modern tidak menjadikan agama-agama sebagai dasar
landasan aturan dan sistemnya. Hal ini bertolak belakang dengan Hukum Syari’ah yang menjadikan Islam
sebagai fokus perhatiannya, bahkan pada tingkat global dan dalam hubungan dengan negara-negara lain.
Pernyataan ini, khususnya yang berkaitan dengan hukum internasional, didukung oleh kutipan berikut: “ Cuius
region eius religio (wilayah hukum adalah wilayah agama) adalah formula substantif untuk perdamaian yang
memuaskan semua pihak.“ Zartman dan Berman, The Practical Negotiator, (Yale University Press, 1982), h.
103. Pendapat lain mengatakan bahwa hukum positif internasional mengabaikan seluk-beluk seperti paralegal
yang mengabaikan hukum agama dengan berpura-pura secara halus. R. Yakemtchouk, Les Frontieres
Africaines, RGDIP, 1970, h. 58.
78
2. Suaka Teritorial
A. Menurut Syariat Islam
Syariah Islam tidak mengabaikan suaka teritorial karena hal
ini pada dasarnya sudah dikenal sejak era pra-Islam. Memberi
perlindungan dan memuliakan pengungsi merupakan salah satu
sifat luar biasa dari bangsa Arab. Mereka menyebut jenis suaka
ini dengan istilah dikhalah (intervensi) atau najdah (menolong).
Konsep Islam telah mengadopsi pendekatan yang sama dengan
mengakui pemberian suaka kepada Muslim dan non-Muslim.”110
Ada
beberapa
bentuk
suaka
teritorial
menurut
pandangan Syariah Islam. Dalam pandangan penulis, yang
paling penting adalah sebagai berikut:
1. Pemberian suaka teritorial oleh otoritas negara
Sebagaimana diketahui, para pemegang otoritas di setiap
negara, termasuk negara-negara Islam, memiliki wewenang
untuk memberi suaka di wilayah mereka sendiri. Dalam
sejarah negara-negara Islam, contoh seperti itu sangat banyak.
Salah
satu
contohnya
ialah
bahwa
pada
masa
pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, terjadi peristiwa
di mana Rauzabah ibn Barzag, orang Persia, meminta suaka
110
Lihat Muhammad Tal’at al-Gunaimi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fî Qânûn al-Umam, (Alexandria:
Mansya`at al-Ma'arif, 1970), h. 720. Al-Tahtawi mengatakan bahwa manusia bersikap sebagai warga negara
secara alami dan akrab sesuai dengan lingkungan. Lihat Rifâ'ah Râfi' al-Tahtawi, al-Daulah al-Islâmiyyah
Nizâmuhâ wa 'Amâlâtuhâ, yang merupakan buku suplemen atas buku Nihâyat al-`Îjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz,
(Kairo: Maktabat al-Adab, 1410-1991), h. 47.
79
kepada Sa’ad ibn Abi Waqqâs. 111 Menurut para penulis
biografinya, ia adalah seorang gubernur di suatu wilayah
Romawi yang diinstruksikan oleh Raja Persia untuk membawa
senjata ke wilayah itu. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi
kalangan bangsawan Persia sehingga Rauzabah merasa tidak
aman. Kemudian ia datang ke Kufah menemui Sa’ad.
Rauzabah membangun istana dan masjid agung untuk Sa’ad.
Sa’ad menulis surat kepada Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb
tentang status Rauzabah. Ketika Rauzabah memeluk Islam,
Khalifah ‘Umar memberinya uang dan mengirimkannya
melalui Sa’ad. Contoh lainnya ialah pembelotan ke negara
Islam, yang dilakukan oleh Ward pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Adud al-Daulah. Raja Romawi meminta kepada
Khalifah ‘Adud al-Daulah untuk mengekstradisi Ward.112
111
Muhammad Hamidullah, Majmû’ah al-Watsâ`iq al-Siyâsiyyah li al- ‘Ahd al-Nabawî wa al-Khilâfah
al-Râsyidah, (Beirut: Dâr al-Nafâ`is, 1403 H/1983 M), h. 417.
112
Lihat Menteri Abu Suja’ (yang juga dikenal sebagai Zahr al-Dîn al-Rûzrâwi), Dzail Kitâb Tajârub
al-Umam, (Mesir: Maktabah al-Mutsanna, , 1334 H/1916 M), h 28-39 dan h. 111 dan sesudahnya.
Contoh lain ialah, ketika Pangeran Don Sanchez memberontak kepada ayahnya, Alfonso X, untuk
menggulingkan kekuasaannya. Alfonso X kemudian meminta perlindungan kepada Sultan Abû- Yûsuf alMansûr. (Lihat ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, al-Târîkh al-Diblûmâsî li al-Magrib min Aqdam al-‘Usûr ila al-Yaum,
(Matba’ah Fadâlah al-Muhamadiyyah, 1407H-1987M, Jilid VII, h. 63). Demikian juga, ketika Sultan Abû Yûsuf
menyambut pengungsi politik Kastilia, di mana bersama mereka turut serta para pemimpin dan komandan
militer (h. 65). Demikian juga dua pangeran Maroko membelot ke ke Portugal pada tahun 986 H/1578M ( 8,
h.146). Contoh lainnya, pengungsian Ferdnande, asal Tergale dan saudara iparnya, Advonce, pada tahun 563 H,
ke Seville, kemudian ke Marrakesh dan berlindung di sana selama lima bulan. Lihat Ibn Sahib al-Salah, alMann bi al-Imâmah, tahqîq ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 1987), h. 284-295.
Adisicia, seorang penulis kesohor, menerangkan bahwa toleransi yang diterima di tanah Muslim oleh
para ilmuwan Yunani yang melarikan diri dari tanah air mereka untuk mengindari penganiayaan oleh gereja,
telah mendorong lebih banyak orang untuk bermigrasi, di mana mereka bisa bekerja dengan damai. Sebaliknya,
dewasa ini migrasi terbalik meningkat dari wilayah Muslim ke negara non-Muslim karena alasan politik,
ekonomi, sosial, akademik, pendidikan atau lainnya. Lebih jauh, lihat Muhammad ‘Abd al-‘Alîm Mursî, Hijrat
al-‘Ulamâ` min al-‘Âlam al-Islâmîy, (Riyadh: Markaz al-Buhûts Jâmi’at al-Imâm Muhammad Ibnu Sa'ûd alIslâmiyyah, 1404 H/1984 H), h. 134-245.
80
Contoh pemberian wilayah suaka oleh otoritas negara
ialah pesan yang dikirim oleh Sultan Barquq kepada Timur
Lenk tentang seorang pria yang meminta suaka, di mana
Sultan Barquq memberi perlindungan, sedang Timur Lenk
menuntut ekstradisi. Pesan itu berbunyi:
“Apakah Anda berpikir bahwa apa yang Anda lakukan
kepada hamba Ahmad yang dimaksud, sejauh ini masih belum
cukup,
sehingga
Anda
meminta
kami
untuk
mengekstradisinya? Anda perlu mengetahui bahwa hamba
Ahmad yang dimaksud telah meminta perlindungan kami,
datang kepada kami dan menjadi tamu kami. Barangsiapa
yang meminta bantuan kepada kami, maka kami wajib
memberi haknya (untuk mendapat perlindungan)”. Allah SWT
telah berkalam kepada Pemimpin semua makhluk (Nabi
Muhammad SAW) tentang hak orang-orang kafir:
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia
sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya.(Q.S. al-Taubah/9:6)
Bagaimana jika kaum Muslimin mencari perlindungan
pada kaum Muslimin. Jika sebaliknya yang terjadi, apakah
boleh dalam tradisi ksatria, diberikan kemurahan hati dan
pemenuhan janji untuk mengekstradisi tamu kita atau yang
81
meminta perlindungan kepada kita? Sudah menjadi adat,
tradisi dan perilaku bangsa kita untuk tidak menyerahkan tamu
kita atau orang yang dalam perlindungan kita kepada siapapun.
Jika Anda tidak mempercayai penjelasan ini, di wilayah
terdapat orang-orang dari kaum keluarga (bangsa) kita,
tanyalah mereka, maka mereka akan memberitahu Anda
tentang hal itu. Kita tidak akan memperlakukan satupun dari
tamu kita secara tidak adil, tetapi akan diperlakukan dengan
baik dan ramah.”113
Jelas bahwa pesan surat yang disebutkan di atas
didasarkan pada ayat yang dikutip di atas, yaitu:
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia
sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).114
Dan inilah yang melembagakan hak suaka dalam Islam.
113
al-Qalqasyandi, Subh al-'A'sâ, (Kairo: Dâr al-Kutub, t.th.), Bab 7, h 308-319.
114
Penafsiran lain menyatakan, ayat ini merupakan bukti hak suaka dalam Islam, dengan mengatakan:
“Mungkin tidak ada aturan lain yang lebih liberal yang bisa dianjurkan untuk pengembangan masa depan hukum
internasional, sehubungan dengan penghormatan terhadap permintaan suaka.” Lihat I. Shihata, Islamic Law and
the World Community, the Harvard international Law Club Journal, Desember, 1962, h.108; Zakaria al-Birry
mengikuti pandangan yang sama. Lihat Z. El-Berry, Immunity of Members of Diplomatic Missions in Islamic
Law, R. Egyp. DI, 1985, h. 180. E. Stavraki berpendapat bahwa ayat ini mendukung hak yang tercantum di
kalangan orang Arab dalam hal hak suaka. Lihat Emmanuel Stavraki, Konsep Kemanusiaan dalam Hukum
Internasional Kemanusiaan, Tinjauan Internasional dari Palang Merah, Edisi 17, 1991, h. 38; Pendekatan yang
sama diadopsi oleh Prof. Dr al-Ghunaimi. Ia mengatakan: "Adapun tentang suaka, al-Qur’an telah mengaturnya
dengan jelas; Allah SWT berkalam: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat
yang aman baginya. Yang demikian itu karena mereka tidak mengetahui. (Qs. Al-Taubah, 9: 6)”. Muhammad
Tala’at al-Gunaimi, Nazrah al-‘Âmmah fî al-Qânûn al-Duali al-Insânî al-Islâmî, Simposium Mesir I Seputar
Hukum Humaniter Internasional, Kairo, 1982, h. 36-37. Pendapat lain mengatakan: "Tidak ada negara ataupun
hukum lain yang menunjukkan pertimbangan/ perhatian yang sama untuk pengungsi untuk menyampaikannya
kembali ke tempatnya sendiri dan menjaganya dari bahaya dalam perjalanan”. Lihat S. Tabandah, A Muslim
Commentary on the Universal Declaration of Human Rights, Goulding Comp, London, 1970), h. 34.
82
2. Pemberian suaka teritorial oleh individu
Ada ulama yang mengatakan: "Semua Muslim adalah sama
dalam pemberian perlindungan pribadi dan jaminan keamanan,
tanpa perbedaan dalam hak ini antara Sultan, rakyat, wanita,
anak-anak, dan remaja. Jika salah satu dari mereka memberikan
hak perlindungan, maka semua pihak (termasuk Sultan) wajib
menghormatinya.115
Orang Arab kuno memiliki kebiasaan, jika pembesar
memberi perlindungan kepada seseorang, maka tidak ada orang
lain, terutama orang biasa, dapat memberinya perlindungan. Jika
tidak demikian, maka dianggap melanggar tradisi dan adat
istiadat yang berlaku dan wajib dipatuhi.
Adapun dalam Islam, seorang individu dapat memberikan
perlindungan. Hal ini didukung oleh 2 (dua) pertimbangan:
Pertama, Islam memberikan setiap orang hak untuk memberi
jaminan perlindungan berdasarkan Hadis Nabi Muhammad
SAW.
Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di
antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan
mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang
lain. 116
115
Muhammad Tabliyyah al-Qutb, al-Islâm wa Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1396
H/1976 M), h. 369.
116
Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-Jihad, Bâb al-Sariyyah, No. 2751, Bab III, h. 126-127.
83
Oleh karena itu, berdasarkan Hadis yang mulia ini, setiap
individu berhak untuk memberi jaminan perlindungan kepada
orang lain, yakni memberinya suaka.117
Kedua, konsep istijârah (pencarian suaka) dan ijârah (pemberian
suaka) dalam sistem hubungan antar-pribadi telah benar-benar
terlaksana dalam praktek dalam negara Islam, sejak zaman Nabi
Muhammad SAW dan zaman berikutnya. Contoh untuk hal itu
sangat banyak. Diantaranya sebagai berikut:
(i) Ibnu Abdul Barr berkata: “Adapun Nabi Muhammad SAW
menerima suaka dan perlindungan dari pamannya, Abu
Talib. 118 Ketika pamannya, pelindung dan pendukungnya,
meninggal dunia pada tahun 10 H, sifat antipati dan pelecehan
Quraisy semakin merajalela, sehingga ia berangkat menuju
Taif untuk mencari suaka dan perlindungan kepada suku
Tsaqif. Sepuluh hari kemudian, ia kembali dari Taif tanpa
hasil. Kemudian ia masuk kembali ke Mekkah di bawah
perlindungan al-Mut'am bin 'Adiy, yang memberinya
suaka.119
117
Hal ini dperkuat oleh sebagian ahli melalui pernyataan mereka:“Dewasa ini, menerima naturalisasi
orang merupakan hak istimewa, hak prerogatif milik pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam konstitusi Negara
Madinah, hak ini diberikan kepada setiap warga negara; bahkan, orang yang paling rendah derajatnya memiliki
hak untuk memberi jaminan perlindungan kepada siapapun yang ia kehendaki. Orang yang menerima
perlindungan akan diperlakukan sama sebagaimana perlakuan semua anggota suku lainnya. Lihat Muhammad
Hamîdullah, La tolérance dans l’oeuvre du prophète à Médin, in L›Islam, (Paris: La Philosophie et les Sciences,
les Presses de l’UNESCO, 1981), h. 23.
118
Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Maghazi wa al-Siyar, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu`ûn
al-Islamiyyah, 1415 H/1995 M), h. 43.
119
Lihat Amîn Sa’îd, Nasy`at al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kairo: Matba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî, 1353
H/1934 M), h. 8.
84
(ii) Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berada dalam
perlindungan al-Mut'am bin ‘Adiy, Nabi Muhammad
SAW telah pergi ke Hara` meminta perlindungan kepada
Al-Ahnaf bin Shuraiq. Tetapi Ahnaf menjawab, "Saya
sekutu
dan
sekutu
tidak
memberikan
suaka".
120
Kemudian barulah Nabi Muhammad SAW pergi kepada
al-Mut'am bin 'Adiy yang memberi suaka kepada beliau.
(iii) Berkaitan dengan ucapan Nabi Muhammad SAW kepada
Ummu Hani’:
Kami memberi suaka kepada orang yang telah Anda beri
suaka, wahai Umm Hani`.121
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalâni, yang dimaksud
dengan
kata
al-jiwâr
dan
al-mujâwarah
adalah
pemberian suaka/ perlindungan. Timbangan kata tersebut
ialah: jâwartu, ujâwiruhu, mujâwarat-an, jiwâr-an,
âjartuhu, ujîruhu dan jiwâr-an.122
(iv) Abu Bakar mendapat suaka dari Ibn al-Daginah, ketika ia
hendak bermigrasi ke Ethiopia (Abessinia/Habsy). Ibn alDaginah keluar untuk menemui para pembesar Quraisy,
dan berkata: “Orang seperti Abu Bakar tidak boleh keluar
atau diusir. Apakah Anda akan mengusir orang yang
120
Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1375H/ 1955M),
Jilid I, h.381.
121
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 350, Jilid I, h. 141.
122
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1419 H/1999
M), Jilid VI, h. 209.
85
menyediakan
mata
pencaharian
untuk
masyarakat
miskin, memelihara silaturrahim, membela kaum lemah,
bersikap ramah kepada tamu dan membantu menegakkan
kebenaran? “
Masyarakat
Quraisy
kemudian
memberlakukan
perlindungan Ibn al-Daginah dan menjamin keselamatan
Abu Bakar, asalkan ia beribadah menyembah Tuhannya
di dalam rumahnya, bukan di tempat umum. Maka, Abû
Bakar membuat sebuah masjid di rumahnya. Orangorang Quraisy kemudian mengkhawatirkan anak-anak
dan isteri-isteri mereka terpengaruh, sehingga mereka
meminta Ibn al-Daginah untuk menghentikan Abu Bakar
dari melakukan hal itu. Ibn al-Daghinah berkata kepada
Abu Bakar: “Anda tahu isi perjanjian yang saya berikan
kepada Anda. Anda dapat tetap berkomitmen untuk itu
atau dapat juga mengembalikan suaka (jiwâr) saya,
karena saya tidak suka orang Arab mendengar bahwa
saya mengingkari perjanjian yang saya berikan kepada
seseorang.” Abu Bakar menjawab: “Saya kembalikan
suaka (jiwâr) kepada Anda, dan saya merasa cukup
dengan perlindungan Allah.”123
123
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Jilid III, h. 126-128; Ibn Katsir, al-Sîrah alNabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1396H/ 1976M), Jilid II, h. 63- 64 dan 153; Fath al-Bârî Syarh Sahîh alBukhârî, op. Cit.,Jilid IV, h. 543-544.
86
(v) Peristiwa yang terjadi pada seorang pria bernama Hujjiyah
ibn al-Madrib, yang isterinya memeluk Islam, pada masa
pemerintahan Khalifah 'Umar ibn al-Khattab. Sementara
ia sendiri adalah penganut Kristen. Ia datang ke Madinah,
menuntut agar isterinya dikembalikan kepadanya. Ia
menemui Zubair ibn al-'Awwâm (yang ketika itu menjadi
Gubernur Madinah) menceritakan kisahnya, sambil
berkata mengingatkan Zubair: “Hati-hatilah, jika ‘Umar
sampai tahu tentang masalah ini, Anda akan mendapat
hukuman darinya”. Cerita tersebut kemudian beredar di
Madinah,
sehingga
sampai
kepada
'Umar.
‘Umar
kemudian berkata kepada Zubair: “Sungguh saya telah
mendengar tentang kisah tamu Anda. Sekiranya bukan
karena Anda telah melindunginya, sungguh saya sudah
berniat hendak menyerangnya”. Zubair kemudian kembali
menemui Hujjiyah dan menyampaikan ungkapan ‘Umar.
lalu ia kembali ke daerah asalnya.124
124
Abû Faraj al-Asfahâni, Kitâb al-Agâni, (Kairo: al-Hai`ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kutub, t.th.),
Jilid XX, h 318-319.
Salah satu bukti bahwa umat Islam menghormati hak suaka ialah peristiwa ketika kekhilafahan telah
diserahkan kepada Bani al-‘Abbâs, beberapa tokoh Bani Umayyah bersembunyi untuk menyelamatkan diri.
Salah satu dari mereka ialah Ibrâhîm ibn Sulaimân ibn ‘Abd al-Malik; ia mendatangi rumah seorang lelaki yang
tampan. Lelaki itu bertanya kepadanya: "Siapa Anda?," Ibrahim menjawab: "Saya adalah orang yang
bersembunyi karena takut dibunuh, saya mencari suaka di rumah Anda". Lelaki ini kemudian membolehkannya
masuk ke rumahnya. Lelaki itu memberinya makanan dan minuman. Hanya saja lelaki itu terbiasa pergi keluar
rumah sekali dalam sehari, sehingga Ibrahim bertanya kepadanya: "Saya perhatikan Anda gemar menunggang
kuda, untuk apa?". Lelaki itu menjawab: "Ibrâhîm ibn Sulaimân menyandera ayahku hingga wafat; saya
diberitahu bahwa dia bersembunyi; saya sedang mencarinya untuk melampiaskan balas dendam." Ibrahim
berkata: "Saya Ibrâhîm ibn Sulaimân, pembunuh ayahmu." Lalu lelaki itu berkata: “Soal Anda, Anda akan
bertemu ayahku (di akhirat) dan dia akan membalaskan dendamnya kepada Anda. Sedangkan saya, saya tidak
akan mengingkari perjanjian saya untuk melindungi Anda. Keluarlah dari (rumah) saya, karena saya tidak dapat
menjamin diri saya (bertindak salah) terhadap Anda”. Lalu, lelaki itu memberikan Ibrâhîm uang sebesar 1000
dinar; dan Ibrâhîm mengambilnya dan pergi meninggalkannya. Lihat al-Amir Usâmah ibn Munqidz, Lubâb al-
87
(vi) Ibn Ishâq melaporkan cerita dari Ibn ‘Umar tentang
ayahnya (‘Umar bin Khatab). Ibn ‘Umar berkata: ”Mereka
melakukan
tindakan
penyerangan
terhadap
ayahku;
mereka terlibat dalam perang yang berkecamuk hingga
matahari terbit”. Kemudia
Ibn ‘Umar melanjutkan
ceritanya: “Ketika ayahku lelah, ia pun duduk, dan mereka
berdiri di atas kepalanya. Lalu, ia berkata: “ Lakukanlah
apa yang kamu mau. Saya bersumpah demi Allah, jika
kami memiliki sebanyak 300 orang prajurit, kami akan
kehilangan mereka (karena kalah) melawan kamu, atau
kamu kehilangan mereka (karena kalah) melawan kami.”
Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seorang pembesar
Quraisy yang mengenakan pakaian berhias bordir datang
dan berdiri di dekatnya, sambil bertanya: “Apa yang
terjadi?”. Mereka menjawab, “Umar telah tersesat.”
Pembesar itu menukas: “Hentikan! Seorang lelaki memilih
sesuatu untuk dirinya! Apa yang kalian inginkan ? Apakah
kalian berpikir bahwa Bani ‘Adiy akan menyerahkan
orang ini kepada kalian? Lepaskan orang itu.” ‘Umar
menjelaskan: “Demi Allah, mereka pergi begitu cepat
seolah jubah dilucuti.” Ibn ‘Umar kemudian menjelaskan:
“Saya bertanya kepada ayah saya setelah dia bermigrasi ke
Adab, (Kairo: Maktabah al-Sunnah 1407 H/1987M), h. 128-129; dan al- Tanukhi, al-Mustajad min Fa'alat alAjwad, (Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustâniy, 1985), h. 22 - 23.
88
Madinah: “Ayah, siapakah yang telah mengusir orangorang menjauh dari engkau di Mekkah pada hari engkau
memeluk Islam, padahal ketika itu mereka sedang
memerangi
engkau?”
‘Umar
menjawab:
”Itulah!”
(maksudnya Bani al-‘Ash ibn Wâ`il al-Sahmi). 125 Antara
al-‘Ash dan Bani 'Adiy (suku asli ‘Umar), terdapat aliansi.
Al-‘Ash berkata kepada 'Umar: “(Mereka) tidak bisa
menyentuh Anda, saya pelindung Anda.” Karena itu
‘Umar menjadi aman. Demikianlah al-‘Ash memberi
suaka kepada ‘Umar.126
(vii) Peristiwa yang terjadi ketika suku Quraisy mengejar
sekelompok orang Muslim, lalu mereka bertemu Sa’ad bin
‘Ubâdah di sebuah tempat yang disebut Azakhir, dan alMundzir ibn ‘Amr, saudara Bani Sâ’idah ibn Ka’b ibn alKhazraj, dan keduanya adalah petinggi di kalangannya.
Mereka tidak bisa mengalahkan al-Mundzir, tetapi mereka
dapat menangkap Sa’ad bin ‘Ubâdah, lalu mengikat
tangannya ke lehernya dengan tali dari barang bawaannya.
Dan
kemudian
membawanya
ke
Mekkah
sambil
memukulinya dan menjambaki rambutnya, di mana ia
memiliki rambut yang lebat. Sa’ad menjelaskan: “Demi
Allah, saat aku jatuh ke tangan mereka, tiba-tiba
125
Ibn Katsir, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Majlis al-A’lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah,
1422H/ 2002M), Jilid II, h. 22-23.
126
‘Alî Ahmad al-Khatîb, Muqaddimah Qabla Hijrat al-Nabî SAW, h. 93.
89
sekelompok orang dari Quraisy, di antara mereka ada
seorang pria tampan dengan wajah cerah, mencegatku.
Dalam hati saya: "Jika ada orang yang baik di antara
mereka, tentu dialah orang itu". Tetapi ketika dia
mendekati
saya,
dia
mengangkat
tangannya
dan
memberiku pukulan yang kuat. Lalu, saya berkata dalam
hati: “Tidak! Demi Allah, tidak ada di kelompok mereka,
setelah kejadian ini, orang yang baik”. Demi Allah, ketika
saya masih dalam genggaman mereka, dan mereka
menyeret saya, salah satu dari mereka melindungiku,
sambil berkata: “Celakalah engkau!, apakah ada jiwar atau
perjanjian antara Anda dan salah satu orang dari Quraisy".
Saya berkata: “Ya, demi Allah, saya memberi suaka dan
perlindungan (aman) kepada Jubair bin Mut'im untuk para
pedagangnya, dan saya melindungi mereka dari orangorang yang berusaha menindas mereka di daerah saya.
Demikian juga untuk al-Harits ibn Harb ibn Umayyah ibn
Abd al-Syams. "Celakalah engkau, berbicaralah atas nama
kedua laki-laki itu, dan sebutkanlah tentang perjanjian
Anda dengan keduanya". Sa’ad melanjutkan ceritanya:
“Saya kemudian melakukan yang dikatakannya. Orang itu
kemudian pergi mencari keduanya (para pelindung), dan
menemukan mereka di masjid di sisi Ka'bah. Orang
tersebut berkata kepada keduanya: “Ada seorang pria dari
90
suku al-Khazraj saat ini sedang dipukuli di sebuah tempat
bernama al-Abtah dan menyebut-nyebut nama Anda
berdua (sebagai pelindungnya). Keduanya bertanya:
“Siapa dia?” Ia menjawab: “Sa’ad bin ‘Ubadah”. Mereka
berkata: “Ia benar, demi Allah, dia memberi jaminan
keamanan kepada pedagang kami, dan melindungi mereka
terhadap orang-orang yang berusaha menindas mereka di
daerahnya". Kedua orang itu kemudian datang dan
melepaskan Sa’ad dari cengkeraman mereka. Sa’ad
kemudian pergi. Orang yang memukul Sa’ad sebelumnya
adalah Sa’ad bin Suhail bin ‘Amr. Ibn Hisyam
menjelaskan: Adapun orang yang melindungi Sa’ad adalah
Abu al-Bakhtari bin Hisyam.127
(viii) Perjanjian persaudaraan antara Umayyah ibn Khalaf ibn
Abi Sufyân-dari suku Quraisy-dan Sa'ad ibn Mu’az-dari
Madinah. Perjanjian tersebut sudah lama terjadi, bahkan
sebelum Sa'ad memeluk Islam. Perjanjian persaudaraan itu
mengikat masing-masing pihak apabila masing – masing
pihak memberikan perlindungan kepada yang lain. Setiap
kali Umayyah melakukan perjalanan ke utara dan
melintasi Madinah, ia mampir sebagai tamu ke kediaman
Sa'ad. Begitu juga dengan Sa'ad, ketika bepergian ke
selatan melintasi Mekkah, maka ia mampir ke kediaman
127
Ibn Katsîr, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 107-108.
91
Umayyah. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke
Madinah,
Sa'ad
berangkat
menuju
Mekkah
untuk
melakukan 'umrah dan tinggal sebagai tamu Umayyah.
Karena mengetahui watak orang-orang Mekkah yang
pemarah dan sempit hati, Sa’ad tidak ingin menyusahkan
Umayyah, lalu ia berkata kepadanya: “Maukah Anda
memberi saya beberapa waktu untuk tawaf di sekitar
Ka'bah?”. Umayyah balik bertanya: “Maukah Anda
menunggu sampai tengah hari?“. Mereka kemudian pergi
ketika hampir tengah hari, dan Sa'ad mulai melaksanakan
tawaf. Tiba-tiba muncul Abu Jahal di depannya dan
bertanya pada Umayyah: “Wahai Abu Safwân, siapa yang
bersama Anda itu?”. “Ini adalah Sa'ad”, jawab Umayyah.
Abu Jahal kemudian berkata mengarahkan ucapannya
kepada Sa’ad “Saya melihat Anda bergerak dengan aman
di Mekkah, padahal Anda telah memberikan perlindungan
untuk
orang-orang
Sabean,
dan
mengklaim
telah
mendukung dan membantu mereka. Demi Allah, sekiranya
Anda tidak bersama Abi Safwan, Anda tidak akan pernah
kembali dengan selamat ke rumahmu.128
(ix) Kisah yang terkait dengan Aslam, budak 'Umar bin alKhaththab,
ketika
ia
bepergian
untuk
melakukan
perdagangan bersama orang-orang Quraisy. Ketika mereka
128
Lihat Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 3734, Jilid IV, h. 1453.
92
sudah berangkat, 'Umar tertinggal di belakang untuk
sebagian urusan pribadinya. Ketika sampai di suatu
daerah, salah seorang komandan Romawi menangkap
lehernya dan menyerangnya. ‘Umar mencoba melawan,
tetapi dia tidak dapat mengalahkannya. Komandan
tersebut kemudian mendorongnya ke sebuah rumah yang
di dalamnya ada tanah, kapak, sekop dan keranjang korma.
Orang itu berkata: “Kamu hanya boleh berada di sekitar
sini, dari sini sampai sini”. Kemudian dia mengunci pintu
rumah itu dan pergi, sampai hampir tengah hari baru
kembali. 'Umar hanya duduk sambil terus berpikir, tanpa
melakukan apa-apa, yang diperintahkannya. Ketika dia
kembali ke rumah, dia bertanya kepadaku: “Mengapa kau
tidak melakukan apa-apa?”, sambil memukul kepala
‘Umar dengan tangannya. Kemudian 'Umar mengambil
kapak, menghantamkannya dan membunuhnya. Lalu ia
berusaha keluar sendiri dan melarikan diri, sampai
menemukan sebuah biara seorang rahib, ia pun berhenti di
samping biara itu sampai malam. “Rahib itu menunjukkan
sikap hormat pada saya dan mengajak saya masuk ke
biara, lalu memberi saya makan dan minum dengan sopan,
sambil mengamati apa yang sedang terjadi pada saya.
Kemudian ia bertanya tentang apa yang saya alami. “Saya
telah kehilangan jejak teman saya”, jawab ’Umar.
93
Biarawan
itu
berkomentar:
ketakutan”, sambil berusaha
“Anda
tampak
sedang
menyelidiki saya.
Dia
melanjutkan: “Penganut agama Kristen tahu bahwa saya
paling banyak mendalami tentang Kitab mereka. Sungguh
saya dapat meramalkan bahwa Anda adalah orang yang
akan mengusir kami dari negeri kami ini. Apakah Anda
mau menuliskan perjanjian tentang jaminan keamanan
bagi saya untuk biara saya ini?”. Saya menjawab: “Oh!
Anda mengalihkan pembicaraan kepada yang lain”.
Biarawan itu terus menekan saya sampai saya menuliskan
perjanjian yang berisi apa yang dimintanya kepada saya.
Ketika tiba saat untuk pergi, ia memberi saya keledai
betina, sambil berkata: "Tunggangilah itu, setelah Anda
bertemu rekan Anda, kirimkan kembali kepada saya
keledai itu sendirian, karena setiap kali ia melewati biara,
mereka akan menghormatinya”. Lalu ‘Umar melakukan
apa yang dikatakan kepadanya. Ketika Umar datang ke
Bait al-Maqdis (Yerusalem) sebagai seorang penakluk,
Rahib tersebut mendatanginya sambil menyerahkan
lembar perjanjian jaminan keamanan (yang ditulis ‘Umar).
‘Umar menerimanya dengan syarat bahwa Rahib tersebut
akan menyambut secara baik setiap umat Islam yang
melintas di sana dan memandu jalan mereka.129
129
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, op. cit.,h. 56-57.
94
(x) Kasus yang terjadi pada Khalid bin 'Itab, ketika dia
menghina al-Hajjaj. Al-Hajjaj lalu menulis surat kepada
Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan tentang insiden
tersebut. Ketika Khalid datang ke Syam (Syria), dia
bertanya tentang siapa yang menjadi orang kepercayaan
‘Abdul Malik. Dia diberitahu bahwa orang tersebut adalah
Rauh bin Zinba’. Saat matahari terbit Khalid menemuinya,
sambil berkata: “Saya mendatangi Anda untuk memohon
suaka”. Rauh menjawab: "Saya akan memberimu suaka
kecuali jika Anda Khalid”. “Saya Khalid”, katanya. Tibatiba suara Rauh berubah dan berkata: “Demi Allah, tolong
pergi dari saya. Aku tidak percaya ‘Abdul Malik”. Khalid
memohon kepadanya: “Beri saya waktu sampai matahari
terbenam”.
Lalu
Rauh
melindunginya
(menunggu
matahari terbenam), sampai Khalid pergi. Kemudian
Khalid pergi menemui Zufar bin al-Hârits al-Kilâbî, dan
berkata: “Saya datang menemui Anda untuk memohon
suaka. “Saya beri Anda suaka”, jawab Zufar. “Saya Khalid
bin ‘Itab”, kata Khalid. Zufar menegaskan: “Walaupun
Anda Khalid”. Di pagi hari, Zufar memanggil kedua
putranya, karena ia sudah tua, keduanya memapahnya,
menghadap Khalifah. Khalifah ‘Abdul Malik mengizinkan
rakyat masuk ke istananya. Ketika Khalifah melihat Zufar,
ia memerintahkan untuk membawa kursi untuknya, dan
95
menempatkannya di dekat singgasananya. Setelah duduk,
Zufar
berkata
kepada
khalifah:
”Wahai
Khalifah
(pimpinan)! Saya memohonkan suaka kepada Anda untuk
seorang pria, mohon lindungilah dia”. Khalifah menjawab:
“Saya akan memberinya suaka, kecuali jika dia adalah
Khalid”. Zufar menukas: “Dia adalah Khalid”. “Tidak, dan
tidak ada pengecualian!”, tegas Khalifah. Kemudian Zufar
menoleh kepada kedua anaknya, sambil berkata: “Papah
saya”. Sambil keluar, ia berkata kepada Khalifah: “Wahai
Khalifah ‘Abdul Malik, demi Allah, seandainya Anda lihat
bahwa
tangan
saya
mampu
memikul
panah
dan
mengendalikan kuda, pasti Anda akan memberi suaka
kepada orang yang saya lindungi”. Khalifah kemudian
tertawa dan berkata: “Wahai Abu al-Huzail, kami
memutuskan memberinya suaka”.130
3. Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk
Islam atau menjadi non-Muslim dzimmiy
Sejak zaman dahulu, menawarkan suaka dalam bentuk
penuh kepada sandera (misalnya, sejumlah orang), telah
digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin pelaksanaan
perjanjian internasional. Toleransi Islam telah mencapai batas
yang sangat jauh, sampai memberi hak untuk tinggal kepada
130
Abû al-Faraj al-Asfahâni, Kitab al-Agâni, Jilid XVII, h. 10-11, h. 232-233. Pada tahun 633 H. alNâsir Daud pindah dari al-Kark ke Baghdad, untuk meminta suaka kepada Khalifah al-Mustansir, ketika dia
merasa takut terhadap pamannya, al-Kamil. Muhammad Kurdi Ali, Khuttât al-Syâm, (Damaskus: Matba’ah alHaditsah, 1343 H/1925 M), Jilid II, h. 96.
96
sandera non-Muslim di wilayah Muslim, jika ia memeluk
Islam. Dalam pada itu, tidak boleh mengekstradisinya, karena
hal itu bertentangan dengan keinginannya. Sebab, dengan
memeluk Islam penghormatan terhadap darahnya menjadi
setara dengan penghormatan terhadap darah (jiwa) sandera
Muslim. Dalam hubungan ini, Imam Muhammad ibn al-Hasan
al-Syaibâni berkata:
“Jika sandera (non-Muslim) memeluk Islam, sedangkan
kelompok musyrikin (mengancam) dengan mengatakan:
“Apabila kalian tidak mengekstradisi orang-orang pelarian
kami, maka kami akan membunuh orang-orang Islam yang
menjadi sandera kami, atau kami akan memperbudak mereka”,
sedangkan para sandera non-Muslim tersebut itu tidak mau
diekstradisi,
maka
imam
(pemimpin)
tidak
boleh
mengekstradisi mereka. Bahkan meskipun imam tahu bahwa
mereka akan membunuh kaum Muslim yang mereka sandera.
Sebab, kehormatan jiwa mereka sama seperti kehormatan jiwa
kaum Muslim yang mereka sandera.
Apabila sandera dari pihak mereka (kaum musyrik) yang
telah memeluk Islam berkata: “Kembalikanlah kami kepada
mereka, dan ambillah sandera Anda yang berada pada
mereka”, maka jika penguasa negara meyakini bahwa mereka
akan
dibunuh
(setelah
dikembalikan),
ia
tidak
boleh
mengembalikan sandera tersebut kepada mereka. Dalam hal
97
memberikan izin yang melegitimasi pembunuhan seseorang
atau menjadikan seseorang terkena resiko untuk menjadi
terbunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat
menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut
dibunuh. Namun, dalam kasus di mana kita tidak tahu apa
yang akan menimpa diri mereka, maka tidak apa-apa jika kita
mengembalikan mereka. Karena mengembalikan mereka
dengan
seizin
menzalimi.
Lagi
mereka
pula,
bukanlah
merupakan
mengembalikan
mereka
tindakan
bukan
penyebab bagi kebinasaan mereka. Biasanya, dalam kasus
seperti itu, mereka (para pelarian) tidak akan mau kembali,
jika mereka merasa diri mereka tidak aman. 131
Berdasarkan uraian sebelumnya, jelaslah bahwa dalam
Islam, menjaga keselamatan dan keamanan pengungsi adalah
suatu kewajiban ditinjau dari dua segi:
131
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh a-Siyar al-Kabir, (Heiderabad: Matba’ah Haidarabad,
t.th.), Jilid IV, h. 43. Hal tersebut di atas berlaku juga untuk kasus di mana sandera telah memperoleh status
sebagai “Ahl al-dzimmah" (status ini diberikan jika seseorang telah tinggal selama lebih dari satu tahun atau ia
mengajukan permintaan).
Di dalam kitab al-Siyar al-Kabîr terdapat uraian: “Jika seorang penguasa memberi mereka (sandera
non-Muslim) status zimmah (perjanjian aman) dan kemudian meminta pengembalian sandera Muslim, namun
mereka (kaum musyrikin) menolak mengembalikannya kecuali setelah penguasa mengembalikan ahl al-zimmah
itu, maka penguasa tidak boleh mengingkari perjanjiannya untuk tidak mengembalikan sandera non-Muslim
yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebab, ketika mereka telah berada dalam jaminan kita, maka
status penghormatan terhadap jiwa mereka sama dengan penghormatan terhadap jiwa orang Islam. Demikian
juga, jika mereka (ahl al-dzimmah itu) memeluk Islam. Jika sandera non-Muslim merasa nyaman dan rela untuk
dipulangkan, maka tidak ada keberatan untuk itu. Namun jika imam meyakini bahwa mereka akan dibunuh,
maka imam tidak boleh memulangkan mereka, berdasarkan analogi kepada kasus yang telah kami sebutkan
sebelumnya, yaitu ketika sandera memeluk Islam. Hal ini mirip dengan kasus pertukaran sandera Islam dengan
sandera dzimmiy. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, hal ini diperbolehkan, jika sandera non Muslim
rela. Sebaliknya tidak boleh, jika sandera tersebut tidak rela”.Lihat al-Siyar al-Kabîr, h. 45-46. Berdasarkan
uraian sebelumnya, menurut pendapat kami, ini berarti bahwa pemberian suaka dalam kasus-kasus tersebut
merupakan sejenis "suaka teritorial paksa", ketika sandera yang telah mengkonversi agama mereka ke Islam
atau yang telah menjadi dzimmiy ingin kembali ke negeri mereka, sedang mereka berpotensi untuk dibunuh di
negerinya itu.
98
Pertama, tidak boleh mengembalikan sandera kepada
otoritas negara lain, apabila mereka akan dibunuh di sana.
Bahkan sandera non-Muslim tidak boleh dikembalikan,
meskipun jika pihak negara lain tersebut mengancam akan
membunuh sandera Islam. Karena, seperti ungkapan Imam
Asy-Shibani: “Penghormatan atas jiwa sandera non Muslim
sama dengan penghormatan terhadap jiwa sandera Muslim”.
Kedua, tidak boleh memulangkan sandera, meskipun
mereka setuju dipulangkan, namun dengan kepulangan
mereka, kemungkinan besar mereka akan dibunuh. Hal ini
didasarkan pada premis Islam: “Dalam kasus di mana
seseorang akan dibunuh atau mengalami resiko dibunuh, tidak
boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan
untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh”.
4. Hijrah (migrasi) sebagai bentuk suaka teritorial
Al-Mawardi berpendapat bahwa hijrah (imigrasi)
pada
masa Nabi Muhammad SAW adalah boleh (mubah) bagi orang
yang khawatir dirinya akan disakiti, atau keyakinan agamanya
terancam. Ayat al-Qur`an yang menerangkan hal itu, antara
lain:
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah)
yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi
Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (Q.S.
al-Nisâ`/4:75).
99
Allah SWT menjawab permintaan mereka untuk hijrah,
dengan kalam-Nya:
Barangsiapa berhijrah dari rumahnya di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas
dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisâ/4:100).132
Ketika Islam muncul ke permukaan dan orang Mukmin
mulai memperbincangkan agama mereka, suku Quraisy
menghadapi kaum Mukmin dengan cara “menyiksa dan
menyakiti
kaum
Mukmin”,
dengan
maksud
untuk
mengacaukan keimanan mereka. Nabi Muhammad SAW
berkata kepada mereka: “Berpencarlah kalian di bumi”.
“Kemana kami akan pergi?”, tanya mereka. Beliau bersabda:
“Ke
sana”,
sambil
(Abessinia/Habsy).
Lalu
menunjuk
sejumlah
ke
tanah
orang
dari
Ethiopia
mereka
bermigrasi ke sana; sebagian ada yang berhijrah secara sendirisendiri, sedangkan yang lain bersama keluarganya. Dalam hal
ini Ibn ‘Abdul Barr berkata: “Ketika mereka sampai di
Ethiopia (Abessinia/Habsy), mereka merasa aman dengan
132
al-Mawardi berkata: “Di dalam ayat tersebut terdapat dua penafsiran. Salah satunya, yang dimaksud
dengan al-murâgam ialah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain; sedang al-sa’ah ialah harta.
Penafsiran kedua, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah mencari penghidupan; sedang al-sa’ah berarti
kehidupan yang baik. Lihat al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/ 1994M), Jilid XVIII, h.
110-111. Untuk membantah pemahaman yang berkembang dalam fikih Islam yang menyatakan, wajib hijrah
dari dâr al-fisq (negeri yang penuh dosa) karena dianalogikan (di-qiyâs-kan) kepada dâr al-kufr (negeri kafir),
al-Syaukani berkata: “ Sungguh analogi ini adalah paralogisme (analogi yang tidak tepat). Yang benar ialah
tidak wajib hijrah dari dâr al-fisq, sebab pada hakikatnya, negeri itu adalah negeri Islam. Menyamakan dâr alfisq dengan dâr al-kufr, semata-mata karena di dalamnya terdapat kemaksiatan secara nyata, tidak sesuai dengan
‘ilm al-riwâyah (pengetahuan yang didasarkan pada informasi Hadis) maupun dengan ‘ilm al-dirâyah
(pengetahuan yang bersifat rasional teoritis tentang Hadis)”. Lihat al-Syaukani, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr alKutub al-’Ilmiyyah, 1403H/ 1983M, Jilid VIII, h. 27.
100
keimanan mereka, dan tinggal di rumah terbaik dan menikmati
perlindungan terbaik."133
Dari
hal
pencarian
hak
suaka
ke
Ethiopia
(Abessinia/Habsy), terdapat 3 (tiga) aturan, yang membentuk
sebagian dari hukum internasional kontemporer tentang suaka,
yaitu:
a. Tujuan
suaka:
untuk
memastikan
keamanan
bagi
pengungsi. Dalam hubungan ini, Ummu Salamah (salah
satu yang turut berhijrah) berkata: “Sungguh, di Ethiopia
kami aman mempertahankan keimanan kami”.134
b. Sebab bermigrasi: terjadinya penganiayaan terhadap
pengungsi mendorong mereka untuk berimigrasi. Inilah
sebenarnya yang terjadi; karena kaum Muslimin disakiti
oleh Quraisy, maka Nabi Muhammad SAW menyarankan
mereka untuk berimigrasi.
c. Tidak boleh mengekstradisi pengungsi jika tindakan
tersebut menimbulkan ancaman penganiayaan baginya di
negara
yang
meminta
ekstradisinya.
Suku
Quraisy
mengirim hadiah dan benda berharga yang dibawa
‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin al-‘Ash, untuk
Negus, Kaisar Abyssinia, dengan tujuan memintanya
133
Sirah Ibn Hisyam, Jilid I, h. 334; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Magâzi wa al-Siyar,
tahqîq Syauqi Daif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, edisi ke-3.), h. 36-37, 52. Perlu disebutkan bahwa hijrah ke Ethiopia
(Abessinia/Habsy) merupakan hijrah pertama dalam sejarah Islam. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah,
Jilid I, h. 321-322. Lihat juga Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhâriy, Jilid VII, h. 206-209.
134
Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 358; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa
al-Siyar, op.cit, h. 134.;
101
menyerahkan imigran Muslim kepada keduanya. Sebagai
tanggapan, Negus berkata: “Tidak, demi Tuhan, saya tidak
akan menyerahkan mereka. Saya tidak akan pernah
membiarkan mereka disakiti, mereka yang telah meminta
perlindungan saya, datang ke negara saya dan memilih
saya, sampai saya memanggil mereka, kemudian saya
menanyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan orang
tentang
mereka.
menyerahkan
Jika
terbukti
mereka
kepada
benar,
saya
akan
keduanya,
dan
mengembalikan mereka ke masyarakat mereka. Akan
tetapi, jika tidak benar, saya akan membela dan melindungi
mereka dengan baik selama mereka berlindung pada
saya”.135
Setelah Negus mendengar dari kaum Muslimin dan
mengetahui kebenaran argumen mereka, Negus menolak
permintaan 2 (dua) orang utusan Quraisy tersebut. Negus
bahkan berkata kepada kedua utusan Quraisy tersebut:
“Bahkan jika Anda memberi saya segunung emas, saya
tidak akan menyerahkan mereka kepada Anda”. Negus
kemudian memerintahkan untuk mengembalikan hadiah
kepada keduanya, dan mereka pulang dengan kecewa.136
135
Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 359; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar,
op.cit, h. 137.;
136
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi,
t.th.), Jilid II, h. 64.
102
Di samping hijrahnya sebagian kaum Muslimin ke Ethiopia
(Abessinia/Habsy)
137
(dua kali) pada tahun 615 Masehi,
kami perlu juga menyebutkan hijrahnya Nabi Muhammad
SAW, bersama dengan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. dan
sejumlah kaum Muslim lainnya ke Madinah pada tahun 622
Masehi.138
Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk
hijrah, antara lain:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah
dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu
satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orangorang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikitpun atasmu untuk melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali
bertentangan dengan kaum yang telah ada perjanjian
137
Nabi Muhammad SAW Pernah mengirimkan surat kepada Negus, yang berbunyi, antara lain: “Saya
mengirimkan kepada Anda saudara sepupuku, Ja’far dan sekelompok Muslim. Ketika mereka datang menemui
Anda, biarkan mereka tenang dan tinggalkanlah pendekatan kekerasan. Beberapa komentar menegaskan bahwa
Nabi Muhammad SAW meminta perlakuan adil dari Negus dalam mengurus pengungsi yang terasing dari kaum
Muslimin di negerinya sendiri. Lihat Muhammad Sît Khattab, Ja’far ibn Abî Tâlib, Awwal Safîr fi al-Islâm,
(Majjalah al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Riyasah al-‘Ammah li`Idârat al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ`, alAmânah al-‘Âmmah li Hai`at Kibâr al-‘Ulama`, Riyadh, 1410 H), h. 193-194. Sebagian ahli mengatakan,
hijrahnya umat Islam ke Ethiopia, sebagai salah satu bentuk suaka politik. Kaum Muslim yang pertama hijrah
ke Ethiopia, sebuah negara Kristen, yang memberi mereka “suaka politik”. Lihat Malik, The Concept of Human
Rights in Islamic Jurisprudence, Human Rights Quarterly, The Johns Hopkins Univ. Press, nomor 3, 1981, h. 6.
Sebagian orientalis melihat, bahwa hijrah ke Ethiopia dapat dirujukkan kepada salah satu dari lima sebab, yaitu
melarikan diri dari penganiayaan, menjauhkan diri dari resiko pemurtadan, untuk melakukan aktivitas
perdagangan, untuk meminta bantuan militer dari orang-orang Ethiopia, atau karena terjadinya perselisihan di
antara kaum Muslimin, sehingga Nabi SAW menjauhkan salah satu kelompok ke Ethiopia sampai mereka dapat
menyelesaikan pertentangan. Lihat rincian lebih lanjut dan bantahan atas argumen ini dalam Daufiq al-Râ’iy,
Dirâsat fi Fahm al-Mustasyriqîn li al-Islâm, (Majallat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah alKuwait, 1412H/1992M), No. 18, h. 174-179.
138
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 480-485.
103
dengan kamu. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. al-Anfal, 8: 72)
Dan ingatlah (wahai para Muhajirin) ketika kamu masih
berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah),
kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu,
maka Allah memberi kamu tempat menetap.. (Q.S. alAnfâl/8:26)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam), dan yang meninggalkan rumah mereka dan
mereka yang memberikan bantuan dari golongan Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti nilai – nilai
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah (Q.S. al-Taubah/9:100)
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman mereka, dan dari harta benda mereka,
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya,
dan mereka menolong Allah dan RasulNya, mereka itulah
orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan (Q.S. al-Hasyr/59:8-9).
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat
dalam keadaan menganiaya diri sendiri (karena tidak
berhijrah),
(kepada
mereka)
Malaikat
bertanya:
"Penderiataan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka
menjawab: "Kami adalah orang-orang yang lemah dan
104
tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata:
"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orang-orang itu
tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuknya tempat kembali. (Q.S. al-Nisâ`/4:97).139
Ketika Nabi Muhammad SAW menunjuk komandan untuk
memimpin pasukan batalion, biasanya Beliau memberi
wasiat (amanat) kepada komandan untuk bertakwa kepada
Allah, dan bersikap baik kepada kaum Muslimin lainnya
yang turut dalam barisannya. Dalam salah satu kejadian,
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Berperanglah dalam nama Allah, pada jalan Allah.
Perangilah orang yang ingkar kepada Allah. Jika Anda
bertemu dengan musuhmu dari kelompok musyrikin,
serukanlah kepada mereka untuk menjalankan tiga hal.
Yang manapun dari tiga hal tersebut yang mereka ikuti,
maka terimalah dan hentikanlah seranganmu terhadap
mereka. Mintalah mereka untuk memeluk Islam. Jika mereka
mengabulkannya, maka terimalah dan tahanlah seranganmu
terhadap mereka. Kemudian, ajaklah mereka untuk pindah
dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin, dan jelaskan
pada mereka bahwa jika mereka melakukannya, maka
mereka memiliki hak yang sama dengan yang dimiliki kaum
139
Mahmûd Syaltût berpendapat bahwa ayat ini berlaku dalam beberapa kasus masa kini: Pertama,
individu-individu Muslim yang tinggal di negara yang penguasanya menganiaya kaum Muslimin. Mereka ini
diwajibkan hijrah. Jika tidak, mereka pantas mendapat ancaman ayat ini. Kedua, Negara-negara Islam yang
dijajah musuh, dimana mereka merampas kekuasaan dan pemerintahan dari penguasa yang sah, serta
menghalangi mereka untuk melaksanakan ajaran agama dan menghilangkan kebebasan terhadap harta mereka.
Mereka ini wajib hijrah secara moral dan fisik, berusaha menyatukan kekuatan dengan saudara-saudara
sebangsa mereka untuk mengusir penjajah tersebut. Ketiga, Negara Islam yang terpecah-belah dalam beberapa
faksi, dimana setiap faksi dikuasai oleh kelompok musuh kolonialis. Masing-masing faksi tunduk pada
kolonialisnya, tanpa berusaha berhijrah. Serta mereka semua mengabadikan perpecahan bukannya bersatu, yang
berarti mendukung musuh-musuh mereka. Dengan begitu, mereka semua adalah orang-orang zalim. Mahmûd
Syaltût, al-Fatâwa, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 430-434. Lihat juga penafsiran yang
mengagumkan terhadap ayat ini dalam Abû al-Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazaya al-Qur`an al-Karîm,
(Kairo: Dâr al-Mushaf, t.th.), Jlid II, h. 222-223.
105
Muhajirin. Jika mereka menolak dan lebih memilih negeri
mereka, maka beritahukan bahwa mereka sama dengan
Arab Badui lainnya, dimana hukum Allah berlaku atas
mereka sebagaimana berlaku terhadap kaum Mukmin.
Mereka tidak mendapat harta rampasan perang sedikitpun,
kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum Muslim.
Jika mereka masih menolak maka mintalah jizyah (pajak
keamanan) kepada mereka. Bila mereka patuh maka
terimalah kepatuhan mereka, dan tahanlah serangan
terhadap mereka. Akan tetapi, bila mereka menolak, maka
mohonlah bantuan Allah dan perangilah mereka.140
Terdapat kecenderungan yang kuat di kalangan para
ulama untuk berpendapat bahwa hijrah ke Dâr al-Islâm
(negara Islam) adalah wajib. 141 Karena itu, Ibn Faudi pun
menegaskan bahwa hijrah adalah wajib berdasarkan
ketentuan al-Qur’an:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat
dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. alNisâ`/4:97)
Dan juga berdasarkan Hadis Nabi SAW:
Saya berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di bawah
kekuasan orang-orang musyrik. Mereka (para Sahabat)
140
Muslim, Sahîh Muslim, Jilid al-Jihâd wa la-Siyâr No. 1731, Jilid III, h. 1356-1357.
Ulama, yang menegaskan bahwa hijrah merupakan kewajiban, secara khusus berargumen kepada
prinsip bahwa tidak ada kekuasaan bagi non-Muslim terhadap orang Muslim dalam keadaan bagaimanapun.
Artinya tidak ada kewenangan dalam dua segi, yaitu bidang politik dan hukum. Lihat “Mauqif al-Malikiyyah”
dalam Ridwan al-Said, Dâr al-Islâm wa Nizâm al-Daulah wa al-Ummah al-‘Arabiyyah Mustaqbal al-‘Âlam alIslâmiy, Pusat Studi Dunia Islam, Malta, Edisi I, Musim Dingin 1991, h. 41- 42. Demikian juga pendapat Ibn alArabi yang mengatakan bahwa Anda (kaum Muslim) wajib berhijrah, dan tidak boleh berada di bawah
kekuasaan kafir, karena hal itu menghinakan agama Islam dan meninggikan “panji-panji” kafir di atas “panjipanji” Allah. Waspadalah, sedapat mungkin jangan berdiri atau berada di bawah kekuasaan kafir. Ketahuilah,
bahwa orang yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, padahal ia berpeluang untuk melepaskan diri
dari kekuasaan mereka, tak ada tempatnya dalam Islam. Ibn al-‘Arabi, al-Wasâya, (Kairo: Maktabah alMutanabbi, t.th.), h. 41.
141
106
bertanya: “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Sebab, kamu tidak dapat melihat perbedaan api (ciri
keimanan) keduanya.”142 (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, alNasâ`i dan al-Tirmidzi).
Kewajiban hijrah juga didasarkan atas konsensus semua
ulama. 143
Uraian yang sama juga terdapat dalam kitab Kasysyaf
al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, yakni:
Bahwa melaksanakan hijrah wajib bagi orang Muslim yang
tidak mampu menampakkan agamanya di dar al-harb, yaitu
wilayah yang hukum kafir berlaku di sana. Hal ini
berdasarkan kalam Allah SWT :
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat
dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. alNisâ`/4:97).
Dan berdasarkan sabda Nabi SAW:
Saya berlepas diri dari setiap Muslim yangtinggal menetap
di lingkungan musyrikin; Anda tidak tidak dapat melihat
perbedaan api (ciri keimanan) keduanya. (Diriwayatkan
oleh Abû Dâud, al-Nasâ`i dan al-Tirmidzi).
142
Abû Dâwud, Sunan Abi Daud, Hadis No. 2645, Jilid III, h. 73-74; al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzyi,
Hadis No. 1604, Jilid IV, h. 132-133.
143
Ibn Faudi mengecualikan kewajiban hijrah bagi semua kaum Muslimin yang termasuk orang-orang
yang lemah di antara mereka, berdasarkan kalam Allah SWT : “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki
atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).”
(Q.S. an-Nisa`, 4: 98). Seperti dalam Hadis Nabi SAW: “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah”. Ibn
Faudi sependapat dengan penafsiran salah satu mazhab fikih yang menyatakan, bahwa maksud Hadis
tersebut:”Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah”, maksudnya, setelah Mekkah menjadi Dâr al-Islâm.
Jadi, hukum hijrah tetap berlaku dan merupakan suatu kewajiban (di wilayah kafir lainnya). Jika kafir harbiy
memeluk Islam, tetapi mereka tidak melaksanakan hijrah, maka mereka dianggap maksiat (durhaka, tidak patuh)
kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, status keislamannya tetap sah. Lihat ‘Utsman ibn Faudi, Bayân
Wujûb al-Hijrah ‘ala al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat al-Jihâd, h. 12-13 dan 16-20.
107
Artinya, seorang Muslim tidak boleh tinggal dimana
perbedaan api (keimanan) mereka yang Muslim dan nonMuslim tidak terlihat (perbedaanya) Karena menegakkan
ajaran agama adalah wajib, maka hijrah merupakan
kewajiban yang sangat mendasar. Adalah sesuatu yang dapat
dipahami bilamana suatu persyaratan yang muncul karena
suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka persyaratan
tersebut menjadi kewajiban.144
Sementara itu, aliran fikih lain berpendapat sebaliknya,
dengan menegaskan bahwa hijrah tidak wajib. Pendapat ini
didasarkan atas Hadis Nabi SAW :
Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah, tetapi jihad
dan niat.145
144
Lihat al-Bahuti, Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 43-44.
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 2631, Jilid III, h. 1025. Salah satu
argumen terbaik, yang mengkompromikan Hadis ini dan wasiat Rasulullah kepada komandan pasukan,
dikemukakan oleh Imam Al-Hazimi: Pada awal Islam, hijrah adalah wajib, sebagaimana yang ditunjukkan
dalam Hadis. Kemudian berubah menjadi Sunnah/mandûb; tidak wajib. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan
rezki yang banyak. (Q.S. an-Nisa`, 4: 100). Ayat ini turun ketika kaum Muslimin mengalami penderitaan berat
karena penganiyaan kaum Musyrikin, yaitu ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Beliau memerintahkan
kaum Muslimin pindah untuk dapat bersama-sama dengan Beliau, saling menolong, saling menegakkan agama
dan agar mereka mendalami dan memahami ajaran agama dari Beliau, meskipun keadaan sangat sulit.
Kekhawatiran terbesar yang mereka hadapi ketika itu berasal dari suku Quraisy yang notabene penduduk
Mekkah. Tetapi, ketika Mekkah telah ditaklukkan dan berubah menjadi taat, resiko ancaman dan kewajiban
untuk hijrah pun menjadi sirna. Ketentuan hukum kembali kepada mandub/mustahab (bersifat anjuran). Jadi,
wajib dan mandub, keduanya hukum melaksanakan hijrah. Yang terhenti adalah hukum wajibnya, sedang yang
masih berlaku adalah hukum mandub melaksanakan hijrah. Inilah cara menggabungkan kedua makna Hadis
tersebut. Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hazimi al-Hamazani, al-I’tibar fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh min alÂtsar, tahqiq ‘Abd al-Mu’ti Qal’aji, (Halab: Dâr al-Wa’yi, 1403 H/1982 M), h. 308-309. Lihat juga, untuk
pemikiran yang sama, Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî
Daud, Jilid II, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401H./1981M), h. 234-235. Pendapat ini didukung oleh
Yazid bin Abi Ziyad: “Tidak ada kewajiban hijrah dari suatu negeri yang penduduknya telah memeluk Islam”.
Demikian juga penegasan Salam bin al-Akwa’, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Anda adalah Muhajirin?
dimanapun Anda berada”, lihat Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh
Sunan Abî Daud, h. 310-312. Oleh karena itu, al-Nawawi berkata: “Seorang Muslim yang lemah yang tinggal di
145
108
Pada kenyataannya, sebaiknya perlu dibedakan antara
kedua masalah hukum yang bersifat hipotetis tersebut:
Hipotesis
pertama,
jika
seorang
Muslim
mampu
menunjukkan agamanya di negara non-Muslim, ia tidak
memiliki kewajiban untuk mengungsi ke Dar al-Islam,
karena tidak ada alasan hukum (‘illah) untuk itu. Karena,
dalam keadaan seperti ini, tidak ada resiko penganiayaan
terhadap keberagamaannya.
Hipotesis kedua, jika seorang Muslim tidak mampu
menampakkan agamanya atau melaksanakan kewajiban
agamanya di negara non-Muslim, maka wajib baginya untuk
hijrah, berdasarkan kalam Allah SWT :
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat
dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
Malaikat bertanya : "Penderitaan apa yang terjadi pada
kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang
negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keyakinan agamanya, haram baginya tetap tinggal di sana, dan dia
wajib berhijrah ke Dâr al-Islâm (negeri Islam). Jika dia tidak mampu melakukannya, dia dimaafkan sampai ia
mampu melaksanakannya. Jika negeri tersebut telah ditaklukkan oleh negara Islam sebelum dia berhijrah, maka
gugur kewajiban hijrah baginya. Jika dia mampu menampakkan keyakinan agamanya di negeri tersebut, karena
dia menjadi panutan, atau karena memiliki keluarga yang melindungi dirinya, dan dia tidak khawatir
keimanannya akan tergoncang, maka dia tidak wajib berhijrah, melainkan mustahabb/mandûb (anjuran), agar ia
tidak menambah jumlah mereka, agar ia tidak terpengaruh pada mereka, dan agar mereka tidak memperdayanya.
Ada informasi yang mengatakan bahwa al-Nawawi berpendapat hukumnya wajib. Akan tetapi, yang berlaku
ialah pendapat yang pertama (mustahabb). Lihat al-Nawawi, Raudat al-Tâlibin, Jilid X, h 82. Penulis kitab alHâwi al-Kabîr mengatakan: “Jika seorang Muslim memiliki harapan melihat Islam muncul di wilayah tempat
tinggalnya, maka sebaiknya dia tetap tinggal di sana. Jika seorang Muslim mampu untuk tetap dilindungi dan
terpencil di tanah non-Muslim, ia harus tetap tinggal, karena lokasinya adalah Dâr al-Islâm (negeri Islam), yang
jika dia meninggalkannya akan menjadi Dâr al-Harb (negeri non-Muslim). Oleh karena itu, ia dilarang pergi
meninggalkannya. Jika ia mampu melawan orang kafir dan mengajak mereka untuk memeluk Islam, maka ia
boleh tinggal, Akan tetapi, jika tidak demikian, maka ia harus pergi.” Lihat al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid
XVIII, h. 111. Lihat juga Ibn Hazm, al-Muhalla, Jilid XI, h. 100-199 (masalah no.2198); dan al-Mawardi, alInsâf fi Ma'rifat al-Râjih min al-Khilâf 'ala Madzhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Jilid IV, h. 121; al-Mâziri,
Kitab al-Mu’allim bi Fawâ’id Muslim, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1416 H./1996 M),
Jilid II, h. 166; dan al-Syaukâni, al-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq 'ala Hada`iq al-Azhâr, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ
li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1415 H/1994 M), Jilid IV, h. 576.
109
yang lemah dan tertindas di negeri (Mekkah)". Para
Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga
kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orangorang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali.” (Q.S. al-Nisâ`/4:97)
Sebagai
pengecualian,
kewajiban
hijrah
tersebut
dihilangkan apabila terdapat alasan kuat untuk tidak
melaksanakannya, seperti: sakit, terpaksa dan lain-lain. Hal
ini berdasarkan kalam Allah SWT:
Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita,
ataupun anak-anak yang tidak mampu berusaha dan tidak
mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, semoga Allah
memaafkan mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. (Q.S. al-Nisâ`/4:98-99).146
5. Hak konvensional / kontraktual suaka teritorial dalam
Islam
Berbagai pengaturan yang mengatur suaka seseorang dari
sebuah Negara ke teritori Negara lain dapat dibuat dibawah
perjanjian internasional yang mengatur
persyaratan-
146
Adalah hal yang wajar, jika seorang Muslim yang hijrah ke negeri Islam akan menikmati hak-hak
yang sama dengan warga pribumi. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh pendapat hukum internasional sebagai
berikut: Merupakan suatu kebutuhan bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara Islam agar ia mendapat
hak-hak kewarganegaraannya. Hak ini tersedia baginya segera setelah ia memasuki wilayah Islam, baik untuk
menetap secara permanen atau untuk berkunjung. Keadaan ini persis sama dengan kasus kewarganegaraan
umum di Persemakmuran Inggris. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Dasar
hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Karena itu, semata-mata masuk ke pintu
wilayah itu, seharusnya sudah cukup untuk mencapai hak-hak tersebut. Lihat R. Kemal, Concept of
Constitutional Law in Islam, (India: Fase Brothers, 1955), h. 95-96).
Ulama fikih lainnya berpendapat, bahwa dewasa ini tidak tepat untuk menggeneralisasi pertimbangan
tinggal menetap di negara non-Muslim sebagai negatif atau positif. Ada tinggal menetap yang wajib dan
diperlukan (misalnya: para da’i yang datang untuk tujuan dakwah), dan ada pula tinggal menetap yang terlarang
dan haram (misalnya, orang yang tinggal secara sukarela di negara non-Muslim). Akan tetapi, ada juga yang
tinggal menetap yang hukumnya boleh dan sah (yakni orang-orang terpaksa tinggal selama ada alasan tertentu,
seperti mahasiswa). Lihat Muhammad Abû al-Fath al-Bayânuni, al-Usûl al-Syar’iyyah li al-‘Alâqât bain alMuslimîn wa Gairihim fi al-Mujtama’ât gair al-Muslimah, Majallat Jâmi’at al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd,
1413H/1993 M), Edisi 6, h. 164-167.
110
persyaratan suaka, dan bagaimana seorang pengungsi
diperlakukan dan diekstradisi.
Tidak terkecuali Islam, yang juga mengatur hak suaka
sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang
telah ditetapkan bersama Negara-negara non-Islam.
Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah perjanjian
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan komunitas
masyarakat Jarba’ dan Adzrah sebagai berikut:
Ini adalah surat dari Muhammad seorang Nabi kepada
komunitas masyarakat Adzrah, sesunguhnya mereka selamat
dan aman dalam perlindungan Allah dan Muhammad,
selanjutnya mereka wajib memberikan jizyah sebesar seratus
dinar pada setiap bulan Rajab dan harus dipenuhi secara baik.
Allah menjamin keamanan mereka dengan memberikan
nasehat dan kebaikan bagi kaum
Muslimin. Orang-orang
yang meminta perlindungan kepada masyarakat Adzrah dari
gangguan orang-orang Islam bila terdapat
adanya
rasa takut dan
sanksi hukum, maka mereka aman, sampai Nabi
Muhammad menetapkan kebijakan baru sebelum Beliau
keluar dari komunitas masyarakat Adzrah ini.147
147
Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubra, (Beirut: Dâr Bairût, 1400 H/1980 M), h. 290, Ibn Katsir, al-Sîrah
al-Nabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,1395/1976), Jilid IV, h. 30. Terdapat sebuah perjanjian seorang
penguasa di Yabras dan al-Istibtar sebagai berikut: “Jika terdapat seseorang yang lari meninggalkan tempat dan
menuju ke tempat lain dengan membawa barang dan harta tertentu, maka harta yang ia bawa akan dikembalikan
ke tempat semula. Sedangkan orang yang besangkutan disuruh memilih antara tinggal di tempat yang dituju
atau kembali ke tempat semula. Jika orang yang lari itu hamba sahaya, yang mengabaikan agamanya, maka,
uang seharga hamba sahaya akan dikembalikan. Tetapi jika ia mengikuti kepercayaannya, maka ia akan
dikembalikan.” Lihat al-Qalqasyandi, Subh al-A’syâ, Jilid 14, h 38.
111
.
Terdapat sebuah contoh lain yang terkait tata aturan
suaka
territorial
ini,
yaitu
dalam
kasus
perjanjian
Hudaybiyyah dan berbagai hal yang akan kami bahas
kemudian.148
Kemudian hal penting yang bisa dikemukakan adalah
hak-hak suaka diplomatik, bukan hak-hak yang besifat
territorial dalam arti yang teknis, yang telah disepakati
perjanjian internasional dan tidak bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip mendasar dalam Syariat Islam.
6. Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer
atau lainnya
Model suaka jenis ini membentuk pelanggaran atas
tujuan dari hak suaka, yang memperjuangkan kondisi
kemanusiaan seseorang yang terancam penganiayaan dengan
cara pemberian perlindungan baginya.
Seorang pengamat hubungan antara Negara Islam dan
Negara – negara lainnya mencatat bahwa hak suaka dalam
beberapa kasus memang melangkahi tujuan ini. Dalam hal
ini, kita tidak menilik kasus suaka dalam arti katanya, namun
lebih sebagai suatu tindakan memata-matai atau bersiasat
dalam perang 149 atau tindakan lainnya yang dilarang untuk
148
Lihat halaman 203 – 208 mengenai ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional
Di antara data pendukung dalam masalah ini ada sebuah pendapat yang dikemukakan dalam sebuah
referensi bahwa pada saat Abu Ja’far memperoleh kabar kasus al-Isbahbadz, dan apa yang diperbuatnya atas
149
112
pengungsi, namun dapat dilakukan oleh tentara pada saat
perang.150
7. Suaka seorang Muslim ke negara non-Muslim
Kini parameter telah mengalami perubahan secara
mendasar.
Sebagian
umat
Muslim
berada
dibawah
kungkungan para penguasa diktator atau tiran, sehingga
kaum Muslim pada saat itu, Abû Ja’far kemudian mengutus Khâzim ibn Huzaimah, Rûh ibn Hâtim, dan juga
Marzûq Abû al-Khasîb, anak angkat Abû Ja’far untuk mengepung benteng pertahanan al-Isbahbadz sang
penguasa Dailam. Pasukan ini menyerang benteng pertahanannya selama beberapa waktu. Pada saat itu Marzûq
Abû al-Khasîb mengatur siasat peperangan dengan mengeluarkan instruksi kepada pasukan yang dipimpinnya:
“Pukuli aku, gunduli rambut dan janggutku ini!“ Maka anak buah Marzûq Abû al-Khasîb melakukan apa yang
diminta oleh sang pemimpin perangnya itu, untuk kemudian akan ditunjukkan kepada al-Isbahbadz, sang musuh
besarnya, yang menguasai benteng pertahanan. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb berkata kepada alIsbahbadz: “Sunguh aku telah mendapat masalah besar, aku telah dipukuli dan rambut dan jenggotku digunduli
oleh anak buahku. Mereka melakukan itu karena menuduhku telah bersekongkol dengan Anda”. Lalu Marzuq
menyatakan kepada al-Isbahbadz bahwa ia berada dalam pihak al-Isbahbadz serta menunjukkan kelemahan
pasukannya. Maka Marzûq Abû al-Khasîb pun disambut dan diterima dengan baik oleh al-Isbahbadz, bahkan
dijadikan sebagai orang terdekatnya. Pada saat itu, pintu kota (Dailam) berada di bawah tanggungjawab
sekelompok pasukan penjaga. Al-Isbahbadz telah menunjuk Marzûq Abû al-Khasîb sebagai wakilnya atas
pasukan penjaga pintu kota. Lalu ia mempertanyakan mengapa ia tidak dipercayakan untuk menjaga pintu kota
itu sendirian. Kemudian mereka menyatakan, “Mengapa Anda berpikir demikian?” Kemudian Marzûq Abû alKhasîb bekata: “Begini saya mau minta bantuan kalian, bukankah kalian sudah menganggap aku sebagai
saudara yang berpihak kepada kalian? Bukankah kalian sudah percaya sebagaimana kepercayaan al-Isbahbadz
kepadaku? Oleh sebab itu, kalian tidak perlu memperlakukan aku seperti ini, kalian tidak lagi perlu membatasi
gerak-gerikku, biarkan aku bebas keluar masuk di istana raja Dailam ini.” Maka, setelah mereka yakin bahwa
Marzûq Abû al-Khasîb sudah tidak akan mungkin membangkang, akhirnya ia dibebaskan keluar masuk istana
raja itu, tanpa ada hambatan sedikitpun dan diserahkan tanggung jawab atas pintu tersebut. Hingga akhirnya
Marzûq Abû al-Khasîb menulis surat kepada Rûh ibn Hâtim dan Khâzim ibn Huzaimah, agar dipersiapkan
pasukan khusus para penembak jitu agar pada malam tertentu datang dan serangan mendadak. Mereka pun
bersiap-siap menghabisi seluruh musuh yang ada dalam istana al-Isbahbadz. Akhirnya, siasat Marzûq Abû alKhasîb ini benar-benar berhasil tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak al-Isbahbadz dan
pasukannya berhasil masuk ke dalam istana. Dengan cara strategi seperti ini Marzûq Abû al-Khasîb ternyata
berhasil menghancurkan pertahanan musuh, bahkan menahan tawanan perang dari kalangan musuh itu. Lebih
lanjut lihat al-Tabari, Târîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.th), Jilid VII, h. 512-513.
150
Di antaranya, apa yang disebutkan pada salinan naskah pelantikan penguasa Sisse sebagai berikut:
“Allah telah memberikan anugerah kekuasaan yang luas kepada kami dan telah menundukkan hati para
penguasa di penjuru wilayah secara damai. Karena itu kami berjanji kepada Allah untuk tidak mengusir mereka,
kami tidak menghalang-halangi jalan kemuliaan mereka, kami akan menghormati mereka, serta kami akan
selalu memberikan perlindungan mereka. Hal ini kami lakukan karena bersyukur atas kekuasaan yang telah
Allah berikan kepada kami seperti yang selama ini kami harapkan. Juga karena didadasarkan pada keyakinan
bahwa sesungguhnya kekuasaan kami berada di genggaman-Nya kapan saja kami inginkan. Namun demikian,
jika sekiranya ada seorang pengungsi yang masih menyimpan rasa dendam dan bahkan selalu bersikap
memusuhi Islam, maka pengungsi tersebutlah yang berkewajiban untuk memelihara dirinya sendiri. Sebab
seorang penjahat akan menanggung resiko atas kejahatan yang disembunyikannya dan orang yang melampaui
batas akan menuai balasannya pada hari itu atau hari esoknya tergantung pada sikap permusuhannya pada masa
lalunya”. Lihat al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, op.cit., Jilid XIII, h. 267.
Lihat pula, al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, Jilid XIII, h. 534-535, yakni permintaan suaka Araghon dari
Andalusia ke negeri para Khalifah Islam mengupayakan jaminan perlindungan di kawasan wilayahnya karena
merasa tidak nyaman atas sikap dendam penduduk di bawah kekuasaannya.
113
terpaksa mencari suaka ke negara non-Muslim agar terhindar
dari kemungkinan penganiayaan yang dapat menimpa
mereka. Hal ini terjadi meskipun pada dasarnya ajaran Islam
tidak diskriminatif dan dapat menampung, menerima dan
melindungi hak pengungsi, serta memberikan rasa aman
walau hanya berupa isyarat-isyarat atau ungkapan-ungkapan
yang tidak difahami. Tidak diragukan lagi, hal mendasar
itulah yang terabaikan atas para pengungsi Muslim tersebut
sehingga mereka menempuh jalan itu. Akibatnya saat ini,
sebagian negara-negara Islam yakni negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, menjadi negara yang berlaku
sebaliknya.
Sebagian
warga
negara
Muslim
pergi
meninggalkan tanah airnya untuk memperoleh perlindungan
di negara lain atau untuk mencari penghidupan. Dengan
modus seperti ini, timbullah jenis pengungsi yang lain
daripada yang sudah ada sebelumnya, yang mana Muslim
mencari kewarganegaraan di negara lain tempat mereka
mengungsi. Apakah hal seperti ini diperbolehkan menurut
Syariat Islam? Hal ini akan dikemukakan pembahasannya
pada uraian berikutnya.151
151
Lihat uraian selanjutnya mengenai integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim, halaman
232.
114
8. Mengungsi dengan cara diam-diam atau tanpa izin secara
eksplisit
Para ahli ulama fikih mengemukakan suatu kajian terkait
suaka secara diam-diam, atau suaka individu-individu tanpa
izin. Mereka mengungsi secara sembunyi-sembunyi tanpa
izin dari negara Islam atau wilayah yang mengikuti negara
Islam untuk memasuki wilayahnya.
Dalam hal ini para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki
mengemukakan pendapat bahwa sekiranya para calon pencari
suaka politik ini bersedia diperlakukan seperti warga negara
yang berstatus dzimmiy, maka mereka akan diperbolehkan.
Akan tetapi, jika mereka enggan untuk menjadi warganegara
yang berstatus dzimmiy, maka seorang kepala negara Islam
bisa mengirim mereka ke negara yang aman.
152
Dapat
152
Menurut Ibn Rushd, dalam kitab al-Bayân wa al-Tahsîl terdapat informasi sebagai berikut: Yahya
berkata: ”Saya bertanya kepada Ibnu al-Qasim apabila ada orang – orang yang mencurigakan dari kalangan
musuh yang keluar dari negaranya menuju ke kawasan negara Islam dengan tanpa izin, maka tatkala mereka
tertangkap di negara Islam atau di daerah perbatasan antara orang-orang Islam dan musuh, ketika mereka sedang
menuju ke Negara Islam, mereka hendak pindah ke negara Islam bukan dalam suasana perang atau dalam
rangka mencari kesempatan untuk menangkap, mengambil yang diinginkannya, sementara mereka hanya
berkeinginan untuk tinggal di kawasan negeri Islam, secara bebas, tanpa kewajiban membayar jizyah, dengan
demikian apakah mereka dapat diperlakukan sebagai orang bebas atau akan dikenakan jizyah? Apakah bila
mereka diterima, kepala negara akan menetapkan jizyah kepada mereka, dan jika mereka ditolak, maka mereka
akan dikembalikan ke wilayah aman dan tidak boleh diganggu kehormatannya?. Ibn al-Qâsim berkata “Jika
pada saat mereka keluar dari negaranya dan masuk ke negara Islam mereka telah diperintahkan untuk membayar
jizyah, maka kepala negara Islam wajib menerima mereka dengan ketentuan mereka membayar jizyah. Kepala
negara tidak boleh menjual mereka sebagai budak atau mengirim ke tempat lain. Lebih lanjut Ibn al-Qâsim
berkata, seorang kepala negara Islam bisa saja menetapkan hukum berdasarkan wewenangnya terhadap kasus
seseorang dari negeri musuh yang masuk tanpa izin sesuai dengan pertimbangan nalar sehatnya. Jika
sekelompok orang yang kapalnya rusak dan terdampar di tertangkap lalu mereka ditangkap oleh orang Muslim,
lalu mereka menyatakan bahwa mereka tidak sengaja masuk ke negeri Muslim, maka imam atau kepala negara
dapat menjual mereka sebagai budak, atau menempatkan mereka dalam posisi-posisi tertentu untuk
kemaslahatan umum. Dalam hal ini, Yahya bertanya kembali apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh saja?
Ibn al-Qâsim menjawab: “Tidak, saya tidak setuju dengan pendapat yang membolehkan untuk membunuhnya,
dan saya juga pernah bertanya kepada Imam Malik apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh. Beliau menjawab
tidak boleh, kecuali ada kekhawatiran bahwa mereka akan menimbulkan bahaya besar. Jika ada indikasi akan
menimbulkan bahaya besar, maka mereka boleh dibunuh. Jika ada di antara sejumlah tawanan perang ini
115
dikatakan bahwa sesungguhnya melalui pendekatan ini,
Syariat Islam berbeda dengan praktek dan ketentuan umum,
yang saat ini diikuiti sebagian Negara, yang memberlakukan
hukuman keras bagi warganegara asing yang masuk ke
sebuah negaranya tanpa dilengkapi dokumen resmi.
9. Suaka tidak dengan sukarela/ kemauan sendiri
Bisa saja terjadi kasus suaka yang tidak dikehendaki atau
bukan kemauan sendiri, misalnya dalam kasus terdamparnya
perahu lantaran badai laut yang ganas hingga singgah di
pantai sebuah negara yang tidak direncanakan. Hal ini
menyebabkan orang
tersesat dalam perjalanan hingga
memasuki batas negara lain. Bagaimanakah pandangan
Syariat Islam dalam masalah seperti ini. Para ahli Syariat
Islam mengemukakan beberapa pendapat mereka dalam
kasus seperti ini.
Di antaranya pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu
Qudamah, “Barang siapa yang tersesat dan kehilangan jejak
dalam medan pertempuran, hingga ia masuk ke wilayah
negeri Muslim, atau orang tersebut terbawa angin hingga
masuk dalam wilayah kita, atau dibawa oleh binatang
seseorang yang berbahaya seperti seorang pembunuh atau sadis atau yang sejenisnya, maka Imam Malik
berpendapat orang itu boleh saja dibunuh. Lihat Ibn al-Rusyd, al- Bayân wa al-Tahsîl wa al-Syarh wa al-Taujîh
wa al-Ta’lil fî Masâ`il al-Mustakhrajah, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmîy, 1408 H/1988 M), Jilid III, h. 20-21.
Dari uraian ini tampak jelas perbedaan mendasar antara pengungsi di satu sisi dan tawanan perang di sisi lain
yang tidak memiliki status pengungsi, tentu saja akan diperlakukan berbeda.
116
kendaraannya hingga akhirnya masuk dalam wilayah kita,
maka menurut Abu al-Khattâb terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa orang itu masuk dalam
kategori fa’i (rampasan perang), sebab ia jelas merupakan
harta orang musyrik yang masuk dalam wilayah kita tanpa
adanya peperangan, hal ini sama persis dengan harta
rampasan perang yang ditinggal lari oleh musuh karena
kepanikan. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta
yang tiba-tiba datang ke wilayah negeri Muslim ini menjadi
milik siapa saja yang menemukannya, sebab harta itu datang
dengan sendirinya tanpa ada usaha perebutan dari pihak yang
mendapatkannya, maka ia berhak memilikinya sebagaimana
berbagai hal lain yang dibolehkan yang terjadi di negeri
Muslim.153
Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat kasus seperti
ini termasuk suaka yang tidak dikehendaki oleh pengungsi
yang bersangkutan, dan konteks suaka hanya sebatas nama
saja, tapi tidak dilihat dari arti katanya secara hakiki.
Alasannya karena hal itu terjadi dalam suasana perang, oleh
karena itu kaidah yang berlaku juga harus didasarkan atas
aturan-aturan peperangan, sehingga orang-orang yang terlibat
153
Ibn Qudâmah al-Maqdisiy, al-Kâfi fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal, (Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1993), Jilid IV, h 219.
117
didalamnya diperlakukan sebagai peserta perang dan bukan
sebagai pengungsi.154
10. Suaka lantaran adanya aktvitas peperangan atau militer
Dalam masalah ini, pembahasan akan dibagi menjadi 4
(empat) hal.
a. Konflik bersenjata yang mengakibatkan berbagai situasi
pengungsian.155
Dalam al-Qur’an terdapat sederetan dalil yang jelas
tentang problematika pengungsi, khususnya mereka yang
dipaksa oleh pihak musuh untuk meninggalkan negerinya
sendiri dan lari ke berbagai tempat lain. Dalam hal ini
Allah SWT berkalam:
Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah,
padahal sesungguhnya Kami telah diusir dari kampung
halaman kami dan anak-anak kami? (Maksudnya:
154
Di antara contoh lain tentang kasus pengungsi yang tidak dikehendaki ini adalah apa yang
dikemukakan oleh Abu Yusuf. Menurutnya, jika ada sejumlah penumpang kapal dalam suasana perang
terdampar dibawa angin dengan harta bawaannya, hingga akhirnya masuk ke sebuah pantai negeri Muslim,
maka kaum Muslimin boleh saja menangkap penumpang kapal tersebut dan mengambil barang bawaannya.
Apabila seorang gubernur menangkap mereka, seyogyanya ia mengirim mereka beserta harta bawaan mereka
kepada kepala negera Islam. Kemudian, kepala negara mempunyai pilihan untuk mengizinkan mereka tetap
tinggal atau dieksekusi. Penguasa Negara dalam kasus ini sangat diberikan wewenang yang luas. Jika sendainya
orang-orang yang terdampar tadi mengaku sebagai pedangang, maka pengakuan mereka ini tidak bisa diterima,
bahkan harta bawaannya itu bisa dianggap sebagai fa’i yang pengelolaannya diserahkan kepada kepentingan
kaum Muslimin. Pengakuan mereka sebagai pedagang tidak bisa diterima begitu saja. Abû Yûsuf, Kitâb alKharaj, (Kairo: al-Matba’ah al-Salafiyyah, 1397 H), h 205.
155
Lihat pula secara khusus tentang orang yang melarikan diri dari tugas pelayanan pusat atau
menolak kerjasama dalam urusan peperangan dan sejauh mana hak-hak mereka akan suaka. Lihat Manual of
Applicable Procedure and Criteria in Refugee Status Determination under the 1951 Convention and 1967
Protocol on Refugee Status, UNHCR, Geneva, 1992, h. 52-55.
118
mereka diusir dan anak-anak mereka ditawan). (QS alBaqarah/2:246).
Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada
mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari
kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya
kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS : an-Nisâ’/4:66)
Maka orang-orang yang berhijrah dan yang diusir dari
kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku. (Q.S.
Ali ‘Imrân/3:195).
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim. ( َ◌Q.S. alMumtahanah/60:9).
Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan
pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah
mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat
azab neraka. (Qs al-Hasyr/59: 3)
b. Ketidakbolehan memberikan suaka kepada orang yang
ikut berperang
Secara mendasar hak-hak suaka memiliki karakter
“perdamaian sipil dan kemanusiaan.” 156 Oleh sebab itu
tidak bisa dibenarkan jika tentara dalam sebuah
156
Lihat The 1967 Declaration on Territorial Asylum adopted by the Umited Nations General
Assembly. Lihat juga Introduction to International Protection of Refugees, August 2005, UNHCR, Geneva, h.
71
119
peperangan melakukan pencarian suaka157 sampai ketika
pihak yang berwenang telah yakin, dalam periode
tertentu, bahwa mereka telah benar-benar dinonaktifkan
dari aktifitas ketenteraan. Dengan adanya jaminan
kenonaktifan
yang
bersangkutan
dari
kegiatan
ketentaraan, maka langkah-langkah spesifik akan diambil
untuk menentukan status pengungsi dengan basis kasus
per kasus dalam rangka memastikan bahwa pemohon
suaka
memenuhi
kriteria
yang
diperlukan
untuk
memperoleh status pengungsi.158
Pengungsi adalah bagian dari masyarakat sipil. Oleh
sebab itu seseorang yang tergabung dalam unsur
ketentaraan tidak memungkinkan untuk menjadi pencari
suaka atau menjadi pengungsi.
159
Demikian halnya
seseorang yang bekerja di sebuah markas militer dalam
rangka membela negaranya dan, ia juga tidak dapat
memperoleh status sebagai pengungsi.
Ajaran Islam tampaknya sepakat dengan apa yang
dikemukakan di atas. Sebab selama seseorang bekerja
dalam urusan peperangan, maka orang tersebut pasti akan
157
Lihat rekomendasi Conclusions on International Protection of Refugees adopted by UNHCR
Executive Committee, Cairo, 2004, h. 265 No. 94(53).
158
Ibid h. 268.
159
Pasal 44 Konferensi Genewa Keempat tahun 1949 tentang Perlindungan bagi Warga Sipil dalam
Masa Perang menyatakan bahwa dalam hal pemakaian langkah-langkah pemantauan, negara pemberi suaka
tidak boleh melindungi pencari suaka yang nyata-nyata tidak memanfaatkan perlindungan berbagai negara
sebagaimana pihak-pihak musuh yang hanya karena mengikuti tata aturan bagi negara yang sedang bermusuhan
itu.
120
bertentangan dengan ‘keamanan’, yang mana adalah dasar
dari pemberian suaka (istijarah dan ijarah) dalam Syariat
Islam.
c. Perpindahan tawanan perang
Pandangan kaum ulama fikih menyatakan bahwa
sesungguhnya seorang tawanan perang harus meminta
perlindungan suakanya di negara Islam. Demikian halnya
menurut al-Mawardi bahwa seorang tawanan perang
wajib apabila memungkinkan, walaupun ia telah diambil
sumpahnya agar tetap tinggal di tempat dan tidak
melakukan hijrah. Hal ini mesti dilakukan, sebab sumpah
dalam kondisi seperti ini adalah dipaksakan dan terjadi
pada saat mereka sedang dalam keadaan tertekan.160
d. Pemberian suaka teritorial kepada tawanan perang
Problem ini
secara mendasar muncul akibat terjadi
peperangan antara Korea Utara dan Korena Selatan
(sekitar tahun 1950-1953). Sejumlah besar tawanan
perang ditahan di beberapa negara yang terlibat
peperangan dengan Korea Utara. Mereka menolak untuk
kembali ke negara asalnya dan aliansi negara-negara
160
al-Mâwardi berkata: “Seorang tawanan perang adalah pihak yang lemah dan wajib berhijrah jika
mampu untuk melakukannya. Bahkan ia diperbolehkan untuk melakukan pembunuhan dan merampas harta
pihak yang menjadikan tawanan perang. Jika pada saat berusaha lari ia tertangkap, ia boleh menyerang mereka,
jika akhirnya tertangkap lagi dan diambil sumpah agar ia tidak melarikan diri dan agar tetap harus bersama
mereka menjadi budak, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk keluar meninggalkan mereka,
maka ia wajib melakukanya, sekalipun ia pernah bersumpah untuk tidak akan lari lagi. Hal ini didasarkan atas
sabda Nabi yang menyatakan bahwa barang siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, tetapi ternyata hal
yang terjadi merupakan kebalikannya, maka laksanakan hal terbaik dan bayarlah kafarat atas sumpah yang
dilakukannya.” al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid XVIII, h. 312-313.
121
Barat memberikan hak suaka kepada mereka. Kejadian ini
memunculkan beberapa penafsiran berbeda tentang
ketentuan dalam Konvensi Genewa tentang Perlakuan
terhadap tawanan Perang tahun 1949, khususnya pasal
118/1 yang menyebutkan bahwa “Tawanan perang harus
dilepaskan secara bebas dan dipulangkan ke negeri asal
mereka tanpa penundaan, segera setelah aktivitas militer
siakhiri.” Dan Pasal 7 menyatakan bahwa “Tawanan
perang tidak boleh, dalam keadaan apapun, tidak boleh
meninggalkan sebagian atau keseluruhan hak-hak yang
dijaminkan kepadanya oleh Konvensi ini. 161
Dengan adanya ketentuan pasal ini, ada sebagian ahli
hukum yang berpendapat bahwa pemberian suaka kepada
tawanan perang tidak diperbolehkan, sementara sebagian
lainnya berpendapat lain, yakni tetap saja suaka
diperbolehkan kepada tawanan perang. Sebab suaka
adalah hak asasi manusia, dan berlaku bagi tawanan
perang sekalipun.162
Sepelik apapun sebuah masalah, bagaimana pandangan
Islam dalam masalah ini?
161
Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Nazariyyât al-‘Âmmah li Qanûn al-Duwal al-Insâniy, (Kairo: Dâr alNahdah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 71.
162
Lebih lanjut tentang perbedaan pendangan ulama dalam masalah ini bisa dilihat dalam Abdul Wahid
al-Far, Asrâr al-Harb, Dirâsah Fiqhiyyah Tatbîqiyyah fi Nitâq al-Qanûn al-Duwaliy al-‘Âmm wa al-Syarî’ah
al-Islâmiyyah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1975), h 390-397. Lihat pula Burhân Amrullah, al-Nazariyyah al’Âmmah li Haqq al-Malja’ fi al-Qânûn al-Duwali al-Mu’âsir, Disertasi (Kairo: Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h
239-255.
122
Menurut pandangan kami, untuk menyelesaikan kasus ini,
sangat memungkinkan jika pengungsi yang ada dalam
kawasan peperangan ini dianalogikan seperti barang yang
disandera atau gadai, dalam arti bahwa tawanan perang
tidak boleh dikembalikan, dan harus tetap diberikan
perlindungan suaka teritorial, jika mereka masuk agama
Islam atau berstatus sebagai dzimmiy atau bilamana ada
ketakutan akan keselamatan nyawa mereka apabila
dipulangkan.
11. Penghormatan suaka oleh pihak ketiga kepada negara
yang memiliki perjanjian dengan Muslim
Terkait masalah ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Nisâ’/4:8890:
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan
dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah
telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan
usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?
Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
(Q.S. al-Nisâ’/4:88)
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana
mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan
mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada
jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan
123
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan
janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi
pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,.. (Q.S. alNisâ’/4:89).
… kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada
sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada
perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada
kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk
memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah
menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka
terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi
jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu
serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah
tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan
membunuh) mereka.(Q.S. al-Nisâ’/4:90).
Hal mendasar yang kami perhatikan dalam kajian ini ialah
kalam Allah yang berbunyi …kecuali orang-orang yang
meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara
kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).(Q.S.alNisâ’/4:90)
Dalam hal ini, Al-Farrâ’ mengatakan:
Jika Nabi SAW membuat perjanjian dengan beberapa orang
yang tidak memerangi atau membantu yang lain untuk
memerangi Beliau, dan mereka membuat kesepakatan damai
maka dilarang untuk melawan orang-orang tersebut atau
orang-orang yang menyertai mereka. Maka pendapat beliau
dalam masalah memerangi Rasulullah SAW sama dengan
pendapat mereka, sehingga sepakat tidak boleh memerangi
124
Rasulullah SAW, itulah maksud dari kalam Allah “‫”ﻳﺼﻠﻮن‬,
menghubungkan, artinya adalah “‫”ﻳﺘﺼﻠﻮن ﻢ‬, orang-orang
yang meminta perlindungan kepada suatu kaum.163
Kami berpendapat bahwa pengecualian yang terdapat dalam
ayat yang berbunyi:
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada
sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada
perjanjian (damai). (Q.S. al-Nisâ’/4:90).
benar-benar mengandung prinsip dan kaidah-kaidah hukum
Internasional yang wajib diikuti. Ayat tersebut bahkan
melahirkan tiga aturan dasar yakni 1. adanya perluasan
dampak perjanjian terhadap pengungsi yang terhubung
dengan pihak ketiga, 2. penghormatan atas hak suaka, dan 3.
tidak melakukan intervensi dan tidak ikut serta dalam
tindakan permusuhan terhadap pengungsi. Hal ini bisa
dijelaskan dengan uraian di bawah ini :
a. Memperluas pengaruh atau dampak perjanjian internasional
terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga.
Ayat-ayat suci al-Qur’an di atas menyebutkan
bahwa
sesungguhnya terdapat pengecualian dari pernyataan dalam
ayat sebelumnya mengenai “penawanan dan pembunuhan”,
163
Abû Zakariyâ Yahya bin Ziyâd al-Farrâ’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub,1980), Jilid
I, h 281-282 . Ibn al-‘Arabi menyatakan, Q.S. al-Nisâ’/4:90 mengandung arti bahwa siapa saja yang bergabung
dengan suatu kelompok yang memiliki perjanjian dengan Muslim maka Muslim tidak boleh menangkap orang
itu karena dia telah terikat perjanjian tersebut. Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, op.cit., jilid I, h. 469-470.
125
dan ayat–ayat tersebut berlaku bagi kaum yang memiliki
perjanjian damai dengan Muslim. Dalam uraian ayat-ayat ini
terdapat
batas-batas
pengecualian
yang
sangat
jelas.
Pengecualian berlaku walaupun tidak secara tegas disepakati
dalam sebuah perjanjian, dan dapat berlaku hanya dengan
bergabung dengan suatu kaum yang telah memiliki perjanjian
damai dengan kaum Muslimin. Dengan kata lain, berlaku
secara de facto. Sebab kalau telah ada perjanjian dengan
kaum yang telah ada kesepakatan damai dengan kaum
Muslimin, berarti mereka sudah tidak berpaling, sehingga
tidak perlu lagi ditawan dan diperangi. Hal ini juga berlaku
bahkan ketika seseorang tidak menunjukkan keinginan atau
persetujuan terhadap perjanjian macam itu (seperti yang
tertuang dalam konvensi Vienna tahun 1969, khususnya
tentang adanya pengaruh perjanjian
terhadap pihak lain).
Tentu saja jika nyata-nyata terdapat unsur permusuhan yang
membahayakan kekuasan pemerintahan Islam atau ada suatu
gejala yang mengganggu keamanan pemerintah, maka tidak
berlaku ketentuan mendasar sebagaimana disebutkan dalam
ayat di atas. Sebab dalan konteks ini tidak diragukan lagi
bahwa
ada unsur permusuhan atas kedaulatan Islam dan
bukannya ada unsur hubungan sehat dan damai dengan kaum
Islam.
126
b. Penghormatan atas hak suaka teritorial: Beberapa ayat di atas
mengisyaratakan tentang adanya perlindungan bagi pencari
suaka teritorial, terutama dalam menunjuk orang-orang yang
bergabung dan meminta perlindungan kepada sesuatu kaum
yang memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim, maka
orang tersebut dapat menikmati keuntungan dari perjanian
tersebut dan kepadanya hak suaka harus ditepati. 164 Dengan
demikian, perjanjian ini bisa disebut sebagai semacam sebuah
kontrak
pemberian
rasa
aman
yang
memang
wajib
diprioritaskan oleh orang-orang Islam,165 dari pihak dan arah
manapun para pencari suaka ini berasal, baik mereka itu ada
hubungan kekerabatan dengan pihak pemberi suaka maupun
tidak166 dan bahkan jika orang tersebut tidak menjadi bagian
dari perjanjian dengan kaum Muslim, namun mereka hanya
berada dalam kedaulatan negara yang telah memiliki
kesepakatan damai dengan kaum Muslimin. Menurut
pendapat kami, perluasan dampak hukum terhadap pihak
164
Al-Khâzin mengatakan bahwa makna “yasilûn” dalam ayat ini ialah dimiliki oleh, atau terhubung
atau memasuki perjanjian untuk perlindungan. Ibn ‘Abbâs mengatakan bahwa seseorang yang mencari
perlindungan kepada kaum yang telah terlebih dahulu mempunyai perjanjian damai dengan Islam adalah sama
saja seperti telah terikat dengan perjanjian yang sama. Lihat al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl,
(Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1370 H/1955 M), Jilid I, h. 571
165
Artinya, menurut sebagian ulama fikih, dilarang membunuh orang yang punya hubungan dengan
sekelompok pihak ketiga yang menjalin perjanjian damai dengan Muslim karena “bagi mereka hak-hak
perlindungan berlaku sebagaimana hak-hak yang melekat pada pihak ketiga”, bahkan baginya berlaku hak-hak
dzimmiy. (Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 19).
166
al-Tabari mengkritik pembatasan dalam ayat ini yang hanya membahas sebatas orang-orang yang
meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Lihat
Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 20. Lihat pula al-Zamakhsyari, alKasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb alHalabi, 1392 H/1972 M), Jilid I tahqîq Muhammad al-Sâdiq Qamhawi, h. 551; al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, alNâsyir Mahfuz al-‘Ali, (Beirut:), Jilid I, h. 495-496; dan al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, h. 220.
127
ketiga bergantung juga pada batasan fisik dan ruang, yakni
kehadiran dan kedudukan pengungsi dalam teritori negara
yang bersangkutan.
Dengan demikian, jika mereka tidak berada di atau
telah meninggalkan teritori, secara langsung mereka tidak
dapat menikmati perlindungan sebagai perluasan perjanjian
tersebut, kecuali terdapat perjanjian atau kesepakatan dalam
bentuk lain.
c. Tidak adanya intervensi dan ketidakikutsertaan dalam
perlawanan, serta pada saat yang sama menciptakan
perdamaian. Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya
pengecualian dalam ayat Q.S. al-Nisâ’/4:90 konsekuensi yang
muncul adalah tidak boleh adanya kekerasan atau perlawanan
terhadap kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan
dengan kaum Muslimin, karena mereka telah dianggap
sebagai pengungsi bagi kaum Muslim.
12. Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam
Para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki berpendapat
bahwa berpindah dari kawasan yang dikuasai pihak musuh
dan berupaya untuk tidak berlama-lama berada di satu tempat
dengan para musuh merupakan suatu keharusan. Masalah ini
dapat dijelaskan sebagai berikut, dengan adanya suatu
pertanyaan.
128
Bagaimana bila terdapat sebuah negara Islam yang
dikuasai, dijajah bahkan ditindas oleh pihak musuh nonMuslim? Warga Muslim dan negara Islam yang dijajah dan
dikuasai pihak musuh ini hidup dalam keadaan terkekang,
dikuasai bahkan dieksploitasi. Dipinggiran daerah negara
tersebut, terdapatlah gunung yang tidak dapat dimasuki
musuh karena dijaga oleh penduduk setempat.
Sebagian
diantara warga negara yang dijajah itu berpindah dengan
seluruh anggota keluarga, anak dan harta bendanya ke
gunung tersebut. Ada juga warga Muslim yang tetap bertahan
di tempatnya masing-masing dan berada di bawah kekuasaan
hukum orang kafir, dan mereka diwajibkan untuk membayar
pajak seperti jizyah. Diantara orang-orang ini, baik yang telah
berpindah maupun yang masih menetap, terdapat para ulama.
Dengan kata lain, ulama terbagi menjadi dua golongan.
Ulama yang telah menyingkir dari kawasan penguasa zalim
menuju ke pinggiran kota bahkan di gunung-gunung bersama
beberapa warga Muslim lain berpendapat bahwa bermigrasi
atau menyingkir dari penguasa zalim hukumnya adalah wajib.
Mereka bahkan memberikan fatwa yang mengharamkan
hidup, kekayaan, keluarga dan budak wanita dari para
Muslim tersebut, yang tetap tinggal bersama para penguasa
zalim, padahal sebetulnya mereka mampu untuk menyingkir.
Bahkan keluarga, anak dan cucu-cucunya bisa dianggap
129
sebagai tawanan perang. Fatwa ini didasarkan atas pendapat
yang mengatakan bahwa siapapun yang tetap bertahan tinggal
bersama dengan penguasa zalim, padahal mampu
untuk
hijrah ke tempat lain, berarti sama saja ia membantu pihak
musuh untuk memerangi kaum Muslimin, bahkan sama saja
ia telah merampas harta kaum Muslimin dan sama halnya
telah membantu kemengangan pihak musuh. Argumentasi
atau dalil lain tentu saja masih ada. Sedangkan ulama yang
tetap bertahan bersama beberapa orang pihak musuh yang
non Muslim dan berada pada hukum penguasa kafir ini
berpendapat bahwa hijrah, eksodus atau menyingkir dari
kawasan
tersebut
hukumnya
tidak
wajib.
Dasar
argumentasinya merujuk kepada sejumlah dalil hukum, antara
lain kalam Allah:
…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu). (Q.S. Ali ‘Imrân/3:28).
dan Hadis Nabi:
Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Mekkah, tetapi
jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berperang,
maka berangkatlah. (Hadis Muttafaq ‘alaih).167
dan juga dalil-dalil yang lain.168
167
Lihat halaman 108.
Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyasy, Fath al-‘Aliy al-Mâlik fi al-Fatwâ ‘ala
Madzhab al-Imam Mâlik, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1378 H/1958 M), h. 375-385.
168
130
Pertanyaan di atas dijawab dengan uraian sebagai berikut:
Sesungguhnya hijrah dari negara kafir menuju negara Islam
hukumnya wajib hingga kelak hari kiamat, demikian halnya
hijrah dari kawasan yang haram, zalim dan penuh dosa atau
godaan. Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat akan terjadi
anggapan bahwa harta seorang Muslim yang paling baik adalah
sekedar seekor kambing yang akan terus diikuti oleh
pemiliknya hingga ke bukit-bukit dan tempat-tempat turunnya
hujan, ia lari dengan agamanya karena takut terjadi malapetaka
menimpa”. 169 Diriwayatkan pula oleh Asyhab dari Mâlik,
bahwa hendaknya tidak ada orang yang menetap di suatu
tempat dimana berlaku aturan dan perbuatan yang tidak baik.
Apabila tidak ada negara yang lebih baik (semua negara sama
buruknya) maka orang tersebut harus memilih di antara dua
tempat yang paling sedikit resiko keburukannya. Negara
dimana kejahatan dan ketidakadilan berada, tetap lebih baik
daripada negara yang kafir. Negara yang didalamnya terdapat
kejahatan atau ketidakadilan namun halal, tetap lebih baik
daripada negara yang adil namun penuh keharaman. Negara
dimana terdapat kemaksiatan terkait hak-hak Allah SWT, tetap
lebih
169
baik
dari
negara
dimana
terdapat
kemaksiatan-
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, Hadis No. 19, Jilid 1, h. 15.
131
kemaksiatan yang berakibat kepada perlakuan zalim terhadap
warga masyarakat.
Fatwa di atas sampailah pada pernyataan bahwa “Jika
orang-orang Islam yang tinggal di negara kafir menyerang kita
beserta para pemimpin mereka, maka nyawa mereka halal
untuk diambil dan apabila mereka membantu memerangi kita
dengan menggunakan harta mereka, maka harta itu halal untuk
dirampas.
Fatwa di atas ditutup dengan kesimpulan bahwa jika hal-hal
yang telah disebut di atas terjadi, maka tidak ada seseorang
tidak boleh kembali ke negara tersebut atau menahan diri dari
kegiatan bermigrasi, namun wajib meninggalkan negara yang
dikuasai oleh kaum musyrik dan kaum yang merugi menuju ke
sebuah negara yang aman dan penuh dengan keimanan. Oleh
sebab itu kepada mereka yang tidak bermigrasi, Allah SWT
berkalam:
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu? (Q.s al-Nisâ’/4:97).170
Dari uraian fatwa di atas, bisa kami simpulkan sebagai
berikut.
Pertama, dari sisi redaksional, yakni pelarian dari
negara yang dikuasai oleh pihak musuh menjadi sesuatu yang
wajib dilakukan oleh setiap warganegara Muslim yang mampu
170
Lihat kembali Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyisy, Ibid, h. 375-385;.Lihat juga h.
385-387
132
melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat
dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan
substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila
seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam
melaksanakan
ajaran
agamanya
dan
terhalangi
mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal
buruk ini tidak ada (penganiayaan dan pelanggaran kebebasan
beragama), maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan
negeri tersebut.
B. Menurut Hukum Internasional
Suaka
teritorial
diartikan
sebagai
ketika
seseorang
berpindah dari suatu tempat (asalnya) yang tidak nyaman bagi
dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara
yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan
suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam
teritori itu (yang didatangi).171
3. Suaka Diplomatik
A. Menurut Syariat Islam
Pembahasan tentang suaka diplomatik akan kami ulas sesuai
arti katanya. Demikian pula terdapat pembahasan terkait
171
Lihat pula I’lân al-Umam al-Muttahidah haul al-Lujû’ al-Iqlîmiy, Tahun 1967; Konvensi Tahun
1954 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Amerika); dan Konvensi Tahun
1977 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Eropa), dalam Collection of
International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and other of Concern to UNHCR, op. Cit.,Vol. I
h. 49, Vol. III, h. 1207, Vol. IV, h. 1397.
133
problematika suaka teritorial yang berkaitan erat dengan para
diplomat atau mereka yang bertugas dalam urusan Islam.
A.1. Pemberian suaka diplomatik dalam Islam
Karena hubungan diplomasi yang ada antar negara
terjadi ditengah-tengah kemunculan Islam dilakukan atas
dasar ad hoc, maka jenis suaka ini tidak banyak ditemukan
penerapannya dalam ajaran Islam. Sebab, suaka diplomasi
kerap kali diasosiasikan dengan diplomasi tetap, seperti
yang terepresentasikan dengan pembentukan kedutaan besar
dan pemberian tempat timggal dan kantor permanen kepada
utusan diplomatik di negara tempat mereka ditugaskan.
Sedangkan representasi diplomatik pada awal masa sejarah
Islam merupakan representasi diplomatik yang bersifat
sementara atau ad hoc.
Pertanyaannya
adalah
apakah
pemberian
suaka
diplomasi pada saat ini, dimana terdapat utusan diplomatik
tetap, berlawanan dengan ajaan Islam?
Kami berpendapat bahwa memang dimungkinkan untuk
memberikan suaka diplomatik dalam Islam dengan alasanalasan sebagai berikut:
1) Keadaan dan kebiasaan telah berubah. Dengan demikian,
suaka diplomatik memungkinkan atas dasar aturan: “Ketika
keadaan berubah, aturan dan ketentuan juga harus berubah.”
134
2) Pada saat suatu negara Islam terikat dalam perjanjian
internasional yang menyangkut kewajiban pemberian suaka
diplomatik, maka kesepakatan dan perjanjian tersebut harus
ditepati, sebab dalam ajaran Islam terdapat prinsip dasar
untuk menepati janji dan memenuhi akad-akad, sebagaimana
kalam Allah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
(QS al-Mâ’idah/5:1)
3) Duta Besar Muslim dari negara-negara Islam mungkin
memberikan suaka diplomatik dengan mempertimbangkan
Hadis Nabi:
Orang-orang Muslim itu sepadan darah mereka (dalam
masalah qisâs dan diat, orang yang paling jauh dapat
memberikan suaka, mereka dapat saling tolong menolong,
dan orang paling dekat dari mereka dapat mengupayakan
jaminan.172
Meskipun dengan beberapa alasan diatas penguasa
negara Islam dapat melakukan pemberian suaka diplomatik,
namun bukan berarti mereka berada dibawah kewajiban
untuk memberikan suaka diplomatik dalam semua kondisi
dan situasi. Melainkan perlu dilakukan peninjauan dari segi
kemaslahatan yang akan muncul dengan adanya pemberian
perlindungan kepada pencari suaka diplomasi ini. Bahkan
172
Takhrîj Hadis ini telah dikemukakan sebelumnya dalam buku ini halaman 83.
135
dapat disimpulkan bahwa pemberian suaka diplomatik
jumlahnya sangat terbatas, dibandingkan pemberian suaka
teritorial. 173
Namun kiranya perlu diingat bahwa bentuk suaka
diplomatik oleh orang Muslim, dapat termanifestasi dalam
bentuk lain seperti pemberian perlindungan dan keamanan
dalam camp tentara.
Dalam hal ini, Abu Yusuf mengatakan: “Saya bertanya
kepada Khalifah, tentang seseorang non-Muslim yang keluar
dari negaranya dalam suasana perang untuk menuju masuk
ke negara Islam. Orang tersebut lari bersama-sama
rombongan tentara kaum Muslimin, baik melalui jalan raya
atau jalan belakang. Lalu orang tersebut tertangkap oleh
pasukan Muslim dan diinterogasi. Orang non-Muslim itu
menjawab bahwa ia keluar untuk menuju negara Islam
dalam rangka mencari perlindungan dan keamanan atas
173
Di antara beberapa kasus yang populer tentang masalah ini adalah pada saat penguasa Yaman
mengirim utusan kepada pembesar Ethiopia (Abessinia/Habsy), ketika itu ada salah seorang wanita yang
beragama Islam, yang mana wanita Muslimah ini menikah dengan laki-laki setempat. Mereka berasal dari
Musawwa’. Wanita tersebut keluar dari agama Islam dan memeluk agama Nasrani di di ibu kota Ethiopia. Ia
memiliki dua orang anak perempuan. Agar kemurtadan ibu dua anak ini tidak berpengaruh terhadap kedua
putrinya, maka bibi dari kedua anak perempuan ini membawa lari kedua anak perempuan ini kepada sang
pemimpin utusan dari Yaman yang berada di Ethiopia dan memohon agar keduanya dilindungi. Kemudian sang
pemipin utusan Yaman ini membawa keduanya untuk tinggal bersama salah seorang anggota utusan Yaman.
Pada saat ibu kandung dari kedua anak perempuan ini mengetahui hal tersebut, maka keesokan harinya, ia
ditemani 12 pengawal yang terdiri dari para pembesar agama Nasrani dan para tokohnya, menjemput paksa
kedua putrinya. Namun para utusan Yaman tadi menolak keras apa yang diinginkan oleh ibu kandung dan
rombongannya. Di mata para utusan Yaman kasus ini dianggap sebagai sebuah kasus serius, sebab pasti
menyinggung para pemeluk agama Nasrani, sehingga mereka menunggu dengan sungguh – sungguh keputusan
Sang Maharaja Ethiopia. Tetapi ternyata Sang Maharaja, ataupun para menterinya tidak mengambil tindakan
apa-apa. Hingga akhirnya pemimpin utusan Yaman, setelah melihat ada sebuah kesempatan yang baik, ia
mengirikmkan kedua putri yang dititipkan ini kembali kepada ayahnya di Musawwa’. Lihat Abdullah ibn Hâmid
al-Hayyid, Safârat al-Imâm al-Mutawakkil ‘alaallah Ismâ’îl ibn al-Qâsim ila al-Balât al-Milkiy fi ‘Âsimah
Jûndar, ‘Âm 1057 H/1647 M , Majallah Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah Umm alQurâ, Makah al-Mukarramah, Vol. 3 1397-1398H, h. 34-35.
136
nyawa saya, nyawa istri dan nyawa anak-anak saya, atau ia
juga bisa mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan.
Apakah kita harus mempercayainya?”.
Selanjutnya Abu Yusuf menegaskan bahwa jika orang
non-Muslim yang lari tersebut termasuk sebagai anggota
tentara yang pada saat ia berjalan terlihat kuat dan
bersenjata, maka ucapannya tidak bisa diterima dan tidak
boleh dipercaya. Namun jira tidak demikian, maka
pengakuannya dapat diterima dan ia bisa dipercaya.174
Dari uraian di atas, menurut pendapat kami, jika dari
tanda-tanda alamiah seseorang yang akan mencari suaka itu
memang tampak (dan tidak dibuat – buat) dan ada indikasi
bahwa ia memang perlu dilindungi, maka ia berhak
mendapatkan perlindungan, sekalipun ia merupakan anggota
tentara.
Lain halnya jika indikasi yang ada menunjukkan
sebaliknya, dalam arti misalnya ia bersenjata dan bersama
rombongan yang bertampang seperti tentara seperti ia
sendiri, maka ia tidak bisa begitu saja langsung dilindungi.
Sebab orang seperti itu terkategori sebagai tentara. Kaidah
mendasar sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah
bahwa perlindungan hanya berlaku bagi warga sipil yang
memang sangat membutuhkan perlindungan suaka dari
174
Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj, h 203-205.
137
negara tempat mereka terdampar atau singgah sementara.
Tetapi bukan untuk anggota tentara dalam suasana perang.
A.2. Suaka teritoral bagi anggota misi diplomatik
Terkadang
terjadi
pimpinan
atau
anggota
misi
diplomatik yang sedang bertugas meminta suaka teritorial ke
negara Islam. Masalahnya, apakah hal ini diperbolehkan?
Memang terkadang, Islam bisa saja tidak menerima
permintaan suaka dari seorang duta besar atau utusan, sebab
duta atau utusan teresbut memiliki misi menyampaikan
pesan yang harus dijawab dan disampaikan dahulu kepada
sumber/ pengirim pesan, melalui dirinya (utusan yang
bersangkutan). Landasan hal ini adalah kejadian yang terjadi
pada Abu Râfi’, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah
SAW; ia (Abu Râfi’)berkata: “Orang-orang Quraisy
mengutus aku untuk menemui Nabi SAW. Tetapi begitu
saya bertemu Nabi, dalam benak saya justru terbersit sebuah
semangat untuk masuk dan memeluk agama Islam. Maka
pada saat itu saya langsung berkata kepada Rasulullah SAW,
‘Wahai Rasulullah, saya tidak akan kembali lagi kepada
mereka (kaum Quraisy).’ Tapi Rasulullah bersabda, saya
tidak akan berbuat curang dan membatalkan janji, saya tidak
akan menahan seorang utusan atau duta. Kembalilah dulu
kepada mereka, jika apa yang terbersit dalam hati kamu saat
138
ini nanti masih ada juga dalam hati kamu ketika kau sudah
dirumah, maka kembalilah ke sini! “175.
Dari Hadis ini bisa diketahui bahwa Rasulullah SAW
memerintahkan kepada utusan kaum Quraisy itu agar
kembali
terlebih
mengutusnya
dahulu
(kaum
kepada
Quraisy),
masyarakat
untuk
yang
menyampaikan
jawaban dari pesan yang dikirimkan. Baru setelah ia
melakukan hal tersebut, jika memang niatannya untuk
masuk Islam itu masih kokoh dan mantap seperti semula,
seperti pada saat ia bertemu Nabi, maka segeralah datang
kembali untuk membuktikan keseriusan niat masuk Islam
ini.
Terkait dengan Hadis ini, secara khusus al-Khattâbi
mengatakan, Hadis yang berbunyi: “Saya tidak akan
menahan utusan.”, mengandung makna bahwa suatu misi
(yang dibawa oleh utusan) pasti menuntut jawaban, dan
jawaban harus disampaikan oleh utusan yang sama tersebut.
Jadi pada hakekatnya seorang utusan adalah seseorang yang
memiliki janji prasetia kepada pihak yang mengutus, sejak ia
pergi menunaikan tugasnya hingga ia kembali.176
175
Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Hadis No. 2758, Jilid III, h. 129 , Ahmad ibn Hanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 23857, Jilid XXXIX, h. 282; dan al-Nasâ’i, al-Sunan al-Kubrâ, , Hadis No. 8621,
Jilid VIII, h 52.
176
al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan, yakni Syarh Sunan al-Imâm Abî Dâwûd, Jilid 2 al-Maktabah al’Ilmiyyah, Beirut 1401 H/1981 M), h 317. Al-San’ânî mengatakan, dalam Hadis ini terdapat dalil tentang
kewajiban memelihara janji dan memenuhi janji, walaupun terkait dengan orang kafir. Melalui Hadis ini pula
diketahui bahwa seorang utusan tidak boleh ditahan, melainkan harus dilepas untuk menyampaikan berita yang
ia peroleh dan sangat ditunggu-tunggu oleh pihak yang mengutusnya.( Al-San’ânî, Subul al-Salâm Jâmia’h al-
139
Demikian, kalimat Rasulullah SAW kepada Abu Râfi’
dalam Hadis yang berbunyi “‫”وال أحبس البرد‬, kata al-burud
yang berarti utusan adalah bentuk jamak dari kata al-barid,
yakni
utusan
harus
kembali
kepada
pihak
yang
mengutusnya, tidak boleh ditahan, sebab seorang utusan
memiliki dua misi, pertama untuk menyampaikan pesan,
kedua untuk menyampaikan jawaban atas pesan yang ia
bawa. Apabila sang utusan tidak mengindahi salah satu
bagian dari misinya tersebut (misalnya tidak kembali ke
pengutus) maka berarti ia telah mengkhianati misi dan
tugasnya, dan hal ini adalah statu sifat yang tidak dapat
diterima oleh Nabi SAW.177
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
contoh di atas, praktek tersebut diberlakukan dalam kondisi
diplomatik yang berlaku secara ad hoc/sementara, bukan
karena adanya misi diplomatik permanen. Oleh sebab itu
bisa ditegaskan bahwa hukum dan ketentuan dalam kasus di
atas sebagai sebuah pengecualian (sebab pada dasarnya tidak
diperbolehkan mengembalikan seorang utusan yang telah
menyatakan diri masuk Islam kepada komunitasnya yang
Imâm ibnu Su’ud al-Islâmiyyah, Riyâd, 1408H/, Jilid 4, h 133, Ahmad Hasan al-Dahlâwî : Hâsyiyah alDahlawi, ‘alâ Bulûg al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmî, 1392 H/1972 M),
Jilid II, h 292-293; ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Hanbali al-Najdi, Ahkâm Syarh Usûl al-Ahkâm, (Damaskus:
Matba’ah al-Tarqî, 1375 H/1957 M), Jilid II, h. 403.
177
Lihat Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal al-Syaibâni berikut syarah-nya Bulûg al-Amâni min Asrâr al-Fath al-Rabbâniy, (Kairo: Dâr al-Syihâb,
Jilid XIV, h 118.
140
masih kafir). Jadi, menurut hemat kami, contoh ini
tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diterapkan bagi
anggota misi diplomatik permanen yang ditempatkan di
negara Islam. Kasus dalam Hadis di atas hanya bisa
dijadikan dasar hukum bagi pengiriman delegasi atau duta
sementara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan
suatu hal penting yang sifatnya khusus dan wajib membawa
kembali hasilnya.178
Di samping argumen yang telah dikemukakan diatas
(yaitu bahwa kasus ini terbatas pada masalah misi diplomasi
yang bersifat khusus dan terbatas/sementara), kami perlu
menegaskan sebuah pendapat lain yang membenarkan
bahwa Hadis di atas tidak terlalu sesuai untuk dijadikan
pegangan dalam misi diplomatik yang bersifat permanen.
Alasan lain yang dimaksud tersebut adalah penuturan kaum
ulama fikih modern yang menyatakan bahwa Hadis tersebut
menekankan pentingnya penyampaian jawaban kembali
kepada pihak yang bertanya atau mengirim. Dengan
demikian, tidak diragukan lagi, di masa modern ini misi
178
Abû Dâwud mengatakan bahwa hal ini terjadi di masa lalu, sedang untuk kondisi saat ini sudah
tidak sesuai. Atas dasar ini, jika ada seorang utusan orang kafir yang mendatangi seorang pemimpin kaum
Muslimin dan ia menyatakan diri ingin masuk Islam dan ia tidak berkeinginan untuk kembali lagi kepada pihak
kafir yang mengutusnya, maka seorang pemimpin pasukan Islam tidak boleh mengembalikan utusan itu kepada
kaumnya. Adapun tindakan Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan untuk kembali terhadap Abû Râfi’,
dinilai sebagai sesuatu yang berlaku khusus. Yakni beliau ingin meyakinkan dahulu apakah dia benar-benar
ingin masuk Islam atau tidak serius. Dalam kejadian, apabila pada masa itu Rasulullah tetap menahan sang
utusan, maka permasalahan akan muncul, karena akan terdengar reputasi Beliau sebagai yang menahan utusan
dan menghalangi tersampaikannya pesan dan terselesaikannya sebuah misi, yang bukanlah sesuatu yang baik
dalam konteks menyebarkan Islam. Dalam masa penerus Nabi, praktek ini sudah tidak dijalankan lagi. Lihat alSahâranfûrî, Badzl al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Jilid XII, h. 379-380.
141
tersebut dapat dilakukan tanpa harus mengirim kembali
utusan yang membawa pesannya, karena jawaban atas pesan
tersebut dapat dikirimkan melalui media komunikasi modern
seperti telepon, telex, fax, radio, email dan sebagainya.
Berbagai teknologi ini, tanpa diragukan lagi, telah diterima
dan dipergunakan oleh para ahli dan kaum ulama fikih
modern. 179
A.3.Intervensi utusan diplomatik untuk menyelesaikan
problem terkait suaka teritorial yang diberikan kepada
individu di negara lain
Dalam kasus tertentu, terkadang dapat terjadi kasus
dimana sebuah negara mengirim dutanya kepada sebuah
negara lain, untuk suatu misi terkait suaka seorang individu
di negara lain tersebut. Dalam hal ini, negara pengirim duta
memiliki kepentingan agar individu yang meminta suaka
tersebut ditolak permintaan suakanya (oleh negara lain yang
didatanginya) dan meminta agar individu yang bersangkutan
diekstradisi atau dikembalikan ke negara pengirim duta
tersebut. Hal ini tidak bisa diragukan lagi berkorelasi erat
179
Ini didukung oleh Resolusi No. 54/3/6 Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy dalam Muktamar OKI di Jeddah
pada tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H/14-20 Maret 1990, di mana disepakati bahwa pelaksanaan berbagai
perjanjian bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi masa kini seperti telepon, faksimili, komputer dan
internet. Lihat keputusan ini di dalam Majallat al-Buhûts al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah, Edisi V, Tahun 1410 H, h.
200-201.
142
dengan masalah politik. Beberapa contoh kejadian serupa
dapat ditemukan dalam praktek – praktek negara Islam.
Salah satu contohnya adalah pada tahun 360 H (967
M), setelah kaum pemberontak Byzantium (Romawi Timur)
dibawah kepemimpinan seseorang yang bernama Ward
(yang sangat menginginkan kekuasaan) berhasil dikalahkan
oleh tentara Byzantin, Ward mendatangi pemerintahan Bani
Abbasiah dan meminta perlindungan. Pada masa itu berkali
– kali berlangsung proses tukar menukar duta, terutama dari
sisi kelompok Byzantin untuk mengurus masalah suaka
tersebut. Pada akhirnya pihak penguasa Abbasiah bersedia
memenuhi
permintaan
pihak
Byzantium
untuk
mengembalikan Ward dan para pemberontak, setelah
terlebih dahulu dibuat kesepakatan-kesepakatan dengan
kompensasi-kompensasi antara lain dalam bentuk kerja
sama dan muamalah secara baik antara pihak tertawan dan
pihak penguasa (terutama dalam hal penyediaan keamanan,
perlakuan baik bagi pihak tertawan). Pada saat itu tercatat
bahwa Ward berada di tangan orang-orang Abbasiah selama
lima tahun dan selama itu ia diperlakukan dalam muamalah
yang baik.180
180
Lihat kembali uraian dalam Sulaiman Dafîda’al-Rahili, al-Safârat al-Islâmiyyah ila al-Daulah alBizantiyyah, Disertasi Doktor, (Riyadh: Kulliyat al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Jâmi’at al-Imâm Ibn Su’ud alIslâmiyyah, 1406 H/1986 M), h. 63-75. Perhatikan tentang adanya prinsip bahwa sesungguhnya suatu hal seperti
ini bisa saja terjadi dalam hal penyerahan seorang diplomat ke negara lain. Salah satu contoh paling populer
dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan kasus al-Ma’az ibn Bâdis yang pernah menjabat sebagai gubernur
143
A.4.Larangan menyerahkan duta besar yang datang untuk
mendiskusikan permasalahan pengungsi
Negus,
Raja
Ethiopia
(Abessinia/Habsy),
adalah
pencetus prinsip ini. Ketika orang Islam bermigrasi ke
negerinya, pada saat itu, sang Raja sedang menerima dalam
kerajaannya ‘Amr bin Umayyah al-Damirî, yang diutus oleh
Rasulullah SAW untuk menangani masalah Ja’far dan
kawan-kawannya
yang
telah
bermigrasi
ke
Ethiopia
(Abessinia/Habsy). Kemudian, pada waktu yang berdekatan
‘Amr ibn al-‘Âsh (duta dari suku Quraisy) yang juga ada
disana mengatakan bahwa ia melihat ‘Amr bin Umayyah alDamiri masuk menghadap Raja Negus, tak lama kemudian ia
keluar meninggalkannya. Lalu, ‘Amr ibn al-‘Âsh berkata
kepada teman-temannya: “Ini adalah ‘Amr bin Umayyah alDamiri. Andaikan saya dapat mendatangi Raja Negus dan
saya meminta kepada beliau untuk menyerahkan al-Damiri
dan beliau kabulkan, maka akan saya tebas leher ‘Amr bin
Umayyah al-Damiri. Apabila saya melakukan hal demikian,
di Afrika, dari dinasti Fathimiyyah. Pada tahun 433 H, ia merasa keberatan bila dikuasai oleh Dinasti
Fathimiyyah dan memproklamirkan kesetiaan kepada Dinasti Abbasiah. Kemudian sang Khalifah Dinasti
Abbasiah mengutus Abû Gâlib al-Syairâzi agar memberikan piagam ketundukkan kepada ibn Bâdis. Dalam
rangka penyampaian tersebut, utusan tersebut terpaksa singgah di kawasan Byzantium untuk mengarungi
samudera menuju Afrika. Akan tetapi, ternyata di Byzantium, utusan sang Khalifah ini bertemu dan berseteru
dengan utusan Khalifah Dinasti Fatimiyyah yang juga telah mempunyai hubungan diplomatik baik dengan
Byzantium, sehingga Maharaja Byzantium menyerahkan utusan dinasti Abbasiah ini kepada utusan Fatimiyyah
dan akhirnya ia dibawa ke Kairo, Mesir dengan penghinaan yang sangat dahsyat dan diarak diatas unta di sudutsudut jalan Kairo. Namun Khalifah al-Fatimiyyah mengetahui hal ini, dan meminta agar utusan Abbasiah itu
dikembalikan secara terhormat ke Baghdad. Dan akhirnya ia pun dikembalikan. Lihat pula Sâbir Muhammad
Dayyâb, Siyâsat al-Duwal al-Islamiyyah fi Haud al-Bahr al-Mutawassit min Awâ’il al-Qarn al-Tsâni al-Hijriy
hatta Nihâyat al-‘Asr al-Fâtimiy, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1973 M), h. 225-226.
144
orang-orang Quraisy akan melihat bahwa saya telah berjasa
kepada mereka karena saya membunuh utusan Muhammad
SAW.” Ia berkata lagi: “Lalu, saya mendatanginya dan
kemudian bersujud kepadanya seperti yang pernah saya
lakukan.”
‘Amr ibn al-‘Âsh kemudian melanjutkan ceritanya,
bahwa Negus berkata: “Selamat datang, kawanku. Apakah
kamu ingin menghadiahi aku dengan sesuatu dari negerimu?”
Saya menjawab: “Betul, wahai Raja. Saya persembahkan
kepada engkau makanan yang banyak.” Lalu hadiah tersebut
saya dekatkan kepada beliau dan tampak beliau tertarik dan
berkeinginan menyantapnya. Lalu, aku berkata kepada Negus
lagi: “Wahai Raja, kami tadi melihat seseorang yang belum
lama ini keluar dari istana Anda; dan orang tersebut adalah
utusan musuh kami (Rasulullah SAW). Maka dari itu, mohon
serahkan ia kepada kami untuk kami bunuh! Sebab ia benarbenar telah melecehkan tokoh dan elit sosial masyarakat
kami.” Namun Amr bin Umayyah al-Damiri melaporkan
bahwa Raja Negus sangat marah dan menolak permintaan itu
dengan tegas.”181
181
Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 17776, Jilid XXIX, h. 313-314. Lihat pula Ibn Hisyâm,
Sirâh al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 227.
145
B. Menurut Hukum Internasional
Suaka Diplomatik182 adalah suaka yang diberikan oleh suatu
negara di luar batas wilayah negara tersebut di tempat-tempat
atau dalam keadaan dimana negara tersebut memberlakukan
otoritas dan yurisdiksi-nya, dalam bentuk kedutaan besar,
konsulat jenderal, kapal air dan pesawat militer/perang atau
pemukiman militer selama pendudukan/agresi militer terhadap
wilayah suatu negara atau sebagai dampak dari kehadiran
kekuatan militer di suatu teritori atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak.
182
Sebagai contoh, lihat Convention on Diplomatic Asylum (Caracas, 1954). Yang menyebutkan:
Negara dari teritori wajib memberikan suaka dalam kapal-kapal perang atau di pusat-pusat pertahanan atau pada
pihak kedutaan (Pasal 1). Negara memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi, akan tetapi
hal ini bukan merupakan kewajiban, tapi tidak boleh menampakkan alasan-alasan penolakan terhadap pengungsi
(Pasal 2). Suaka tidak boleh diberikan kepada para penjahat (Pasal 3), Suaka hanya diberikan dalam keadaankeadaan mendesak dan pada waktu yang diizinkan untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
kepada pengungsi sesuai dengan tata aturan resmi di sebuah negara tertentu (Pasal 5). Pada saat proses evakuasi
(dari jalan-jalan raya), maka negara bersangkutan harus mengawal dan melindunginya (Pasal 15). Negara
tempat singgah harus melindungi hak-hak pengungsi meski telah putus hubungan diplomatik (Pasal 19). Lihat
pula Ahmad Abû al-Wafâ’, Qanûn al-‘Alâqât al-Diblumâsiyyah wa al-Qansuliyyah, (Kairo:Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 2003 M). h. 139-144. Lihat pula F. Morgenstern, Extra-Territorial Asylum, BYIL, 1948, h. 236; E.
Young, The Development of the Law of Diplomatic Relations, BYIL, 1964, h. 146.
146
BAB IV
STATUS HUKUM PENGUNGSI
MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM
INTERNASIONAL
Hal mendasar yang perlu diingat di sini adalah bahwa istilah
“status hukum”, mengandung makna yang batasannya tidak
konkret. Yang kami maksud dengan “status hukum” ialah hakhak dan kewajiban-kewajiban dari pengungsi selama berada di
negara yang memberinya suaka.
1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi
A. Menurut Syariat Islam
Dalam Islam, pengungsi mendapatkan status hukum, yang tidak
kurang dari yang ditetapkan dalam hukum internasional.
Bahkan, Islam tidak memperbolehkan pelanggaran hak-hak
pengungsi atau pencari suaka lantaran alasan perbedaan agama.
Ini sesuai dengan kalam Allah:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
147
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. alMumtahanah/60:8-9)
Hak-hak terpenting pengungsi menurut Syariat Islam
tergambarkan sebagai berikut. Pertama adalah pemenuhan
kebutuhan pokok yang bersifat fisik dan materiil bagi
pengungsi.
Beberapa
kebutuhan
pokok
yang
termasuk
diantaranya adalah makanan, minuman dan pakaian. Hal ini
sesuai dengan ayat berikut:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
(Q.S. al-Insân/76:8-9)
Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(yaitu) Melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi
makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir.
(Q.S. al-Balad/90:11-16)
Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW: “Hal apakah
yang paling baik dilakukan menurut agama Islam?” Beliau
menjawab:
“Kamu
memberikan bantuan
makanan,
dan
memberikan salam (menebarkan ajaran kasih sayang) kepada
orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu
148
kenal.”183 Dalam Hadis lain, Nabi SAW bersabda: “Sembahlah
Allah yang Maha Pengasih, berikanlah makanan, sebarkan
perdamaian, pasti kamu akan masuk surga dengan penuh
kedamaian.”184
Kaum
Muslimin
telah
melakukan
penerapan
yang
cemerlang terhadap ayat berikut:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS: alInsan/76:8).185
Mereka tidak hanya membatasi bantuan dalam hal
makanan saja, melainkan meliputi berbagai kebutuhan pokok
lain bagi para pengungsi atau tawanan perang, yang sangat
dibutuhkan untuk menjaga fisik dan kesehatan serta menjaga
keamanan moral dan integritas mereka. Jika ayat itu bisa
diamalkan untuk menyantuni para tawanan perang, maka
anjuran
untuk
menyantuni
para
pengungsi
jauh
lebih
diutamakan, sebab pengungsi tidak menjalankan peperangan
terhadap orang-orang Islam.
Contoh untuk masalah yang seperti ini sangat banyak.
Diantaranya pada saat terjadi penawanan atas kaum kafir pada
perang Badar, Rasulullah SAW membagi mereka dan
183
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 12, Jilid I, h. 13; Muslim, Sâhîh
Muslim, No. 39, Jilid I, h.65.
184
al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Hadis No. 1855, Jilid IV, h. 253; dan al-Tirmidzi mengatakan
bahwa Hadis ini sahîh.
185
Muttafaq ‘alaih, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, HNo. 12; Muslim, Sâhîh
Muslim, No. 39; al-Nasâ`i, Sunan al-Nasâ`i, Hadis No. 12, dan Abû Dâwud, Hadis No. 5194.
149
menyerahkan mereka kepada sahabatnya seraya berpesan agar
para sahabat memperlakukan para tawanan perang itu dengan
baik. Abu Aziz, salah seorang tawanan yang dibawa dari Badar
oleh rombongan kaum Ansar (penduduk asli Madinah)
bercerita: “Para sahabat Nabi, setiap kali menghidangkan
makanan baik untuk makan siang maupun makan malam,
mereka selalu membiarkan aku memakan roti, padahal mereka
hanya memakan kurma.” Hal ini, menurut Abu Aziz, dilakukan
karena wasiat Rasulullah SAW. “Sekalipun sepotong roti jatuh
ke tangan mereka, mereka akan mengembalikannya kepada
kami. Hingga saya merasa malu, ingin mengembalikannya lagi
kepada mereka, tetapi mereka mendorong tanganku kembali
tanpa menyentuh roti itu.”186
Kedua adalah perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi
(musafir yang kehabisan biaya atau Ibn al-Sabîl). Diantara jenis
– jenis pengungsi, terdapat diantaranya yang tergolong sebagai
ibn al-sabîl 187 yaitu orang yang menjadi pengungsi karena
kehabisan biaya ditengah perjalanannya. Dan jumlahnya pun
186
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 645; dan al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahâbah, Jilid II,
h. 337. Lihat contoh lain dalam Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ`îd al-Qânûn al-Duwaliy wa al‘Alâqât al-Duwaliyyah fî Syarî’at al-Islâm, Jilid X, h. 208-210.
187
Pengertian ibn al-sabîl adalah seorang musafir yang kehabisan bekal sehingga tidak bisa sampai ke
tempat tujuan. Lihat Mu’jam Alfâz al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, 1409 H/1989
M), Jilid I, h . 553. Pengertian ibn al-sabîl juga didefinisikan sebagai seorang musafir yang jauh dari rumah,
dinisbatkan kepada kata jalan karena ia sedang mencari jejak atau jalan itu sendiri. Lihat al-Râgib al-Isfahâni,
al-Mufradât fi Garîb al-Qur`ân, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, t.th.), h 223.
150
banyak. Beberapa kaidah mendasar tentang ibn al-sabîl terdapat
dalam al-Qur’an:
a. Bantuan materiil kepada ibn al-sabîl harus secara rela dan
lapang hati diberikan sesuai dengan kalam Allah :
…dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan). ( َ◌Q.S.al-Baqarah/2:177).
b. Infaq yang paling utama adalah yang diberikan antara lain
untuk ibn al-sabîl sesuai dengan kalam Allah:
.
Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan. (Q.S.al-Baqarah/2:215).
Ibn al-sabîl adalah pihak yang selalu memiliki hak atas harta
kaum Muslimin, baik berupa rampasan perang, fa’i maupun
zakat, sesuai dengan ayat berikut:
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu
peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabîl. (Q.S. alAnfâl/8:41).
Allah juga berkalam:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
151
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: al-Taubah/9:60).188
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
(Q.S.al-Hasyr/59:7).
Dengan demikian, mencukupi kebutuhan ibn al-sabîl
hukumnya menjadi wajib sesuai dengan kalam Allah berikut:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26).
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan. (Q.S. al-Rûm/30:38).
188
Seorang ahli berpendapat bahwa atas dasar ketentuan ayat ini, mestinya persoalan para pengungsi
ini tidak akan menjadi problem. Menurutnya, sesungguhnya di bawah perlindungan aturan ajaran Islam,
masalah rumit dalam hal pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan seharusnya tidak ada sebab mereka itu
bisa dianggap sebagai kaum dzimmiy, yaitu komunitas orang tidak memiliki wilayah selain Negara Islam.
Mereka bisa hidup cukup dengan hak – hak yang dijaminkan kepada mereka sesuai dengan al-Qur’an surat ke-9
ayat 60 selama status mereka belum memiliki wilayah atau wewenang kongkrit yang menjamin hak – hak
mereka bisa dipenuhi, maka mereka mendapat perlindungan dalam Negara Islam. Tata aturan pensiun dan
asuransi bisa dinikmati oleh semua orang baik orang Muslim maupun orang dzimmiy yang lemah dan tidak
bermatapencaharian, sebab kekuasaan Negara Islam tidak dijalankan atas kepentingan golongan, agama atau
bangsa tertentu, melainkan dijalankan atas pertimbangan kemanusiaan secara menyeluruh Ibn al-sabîl adalah
mereka yang terhalang dan tidak mungkin untuk bisa kembali lagi kepada keluarga besarnya atau rumahnya.
Dalam hal ini, negara-negara Islam wajib melindungi mereka, sesuai dengan prinsip mendasar syariat agama
Islam, bahkan secara tekstual ibnu sabil ibn al-sabîl disebutkan dalam QS9 ayat 60 sebagai pihak yang berhak
menerima jatah dari zakat. Ibn al-sabîl mencakup pengungsi, orang-orang yang eksodus dari satu tempat ke
tempat lain, dan pengembara yang tidak memiliki tempat kembali, kehilangan tempat tinggal, rumah bahkan
sanak saudara mereka karena berbagai persoalan yang menimpa mereka, siapapun mereka, apapun suku dan
agama mereka. Ayat al-Qur’an di atas bersifat umum tidak membeda-bedakan. Lihat Muhammad Kâmil Yâqût,
al-Syakhsiyyah al-Dauliyyah fî al-Qânûn al-Duwalî al-‘Âm, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq,
Jâmiah al-Qâhirah, t.th.), h. 441. Terdapat sebuah pendapat lain bahwa salah satu sebab kekacauan di negeranegara Islam adalah karena keberadaan para pengungsi. Karena dengan adanya mereka, menjadi ada upaya
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lihat Ibrahim Ali Tharkhan, al-Nuzum al-Iqtâ’iyyah fi al-Syarq alAusat fi al-‘Usûr al-Wusta, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968M, h. 6.
152
Dalam ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa konteks membantu
ibn al-sabîl dapat dilihat sebagai hak yang tidak boleh dihalangi
atau kewajiban, yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan, tidak
ada kewenangan dalam negara Islam yang dapat melanggar
ketentuan tersebut.189
Yûsuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa Allah SWT
menetapkan bagi ibn al-sabîl hak menerima harta zakat, hak
menerima fa’i (harta rampasan perang) yang merupakan
penghasilan negara, serta hak menerima harta dari kewajiban
lain di luar zakat. 190
Berdekatan dengan hal tersebut ialah konsep “keramahtamahan” atau “penghormatan” terhadap tamu.191
Dalam sebuah Hadis sahîh, Abu Syuraih al-Ka’bi menyatakan
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menerima dan
menjamu tamunya. Para sahabat bertanya: “Berapa lamakah ia
harus menjamu tamunya?” Beliau menjawab: “Sehari semalam.
189
Oleh sebab itu ditegaskan dalam sebuah pendapat bahwa kemanusiaan adalah salah satu prinsip yang
sangat fundamental dalam ajaran agama Islam (menurut J. Krafess). Tindakan memberikan sumbangan uang
atau menolong seseorang yang sedang mengalami kesusahan hidup tidak bisa dikesampingkan, melainkan harus
dipandang sebagai kewajiban layaknya berdoa. Dinyatakan pula bahwa memberikan bantuan kepada pengungsi
adalah wajib sesuai ayat: …dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). J. Krafess, the Influence of Muslim Religion in
Humanitarian Aid, IRRC, vol 87, Juni 2005, h. 327 dan 334.
190
Yusuf al-Qardhawi, Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam fi Dhau`I al-Nushus wa al-Maqasid alSyar’iyyah, al-Hilal al-Ahmar al-Qathri, 1428 H/2007 M, h. 35.
191
Tamu adalah seorang asing yang berada di sebuah tempat, dimana ia tidak memiliki keluarga
dan juga tidak mempunyai rumah. Oleh sebab itu ajaran Islam sangat menekankan agar memuliakan dan
menjamunya, baik hukumnya wajib atau sekedar anjuran, terlebih lagi bila sang tamu tidak memiliki tempat
berteduh, seperti yang sering terjadi pada zaman dahulu di berbagai pelosok kampung dan di beberapa
daerah. Dan apabila sang tamu tersebut memiliki tempat untuk singgah sementara seperti di wisma atau
hotel, tetapi tidak memiliki bekal yang cukup untuk membayarnya, maka jangan biarkan ia terlantar tanpa
tempat berteduh. ibid, h. 44.
153
Waktu maksimal bertamu itu adalah tiga hari, bila lebih dari tiga
hari, maka itu akan terhitung sebagai sedekah.” 192 Adanya
perintah untuk memuliakan tamu menunjukkan bahwa hal itu
hukumnya wajib, terlebih lagi jamuan terhadap tamu ini
dikaitkan dengan masalah iman dan keyakinan dan dimaktubkan
bahwa waktu jamuan yang lebih lama diangap sebagai
sedekah.193
Hal yang demikian dikuatkan juga oleh sebuah Hadis
Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr: “Sesunguhnya pada
jasad kamu ada hak yang wajib kamu berikan, ada hak yang
wajib kau berikan pada mata kamu, pada para tamumu, dan pada
istrimu.”194
B. Menurut Hukum Internasional
Tentang kewajiban dan hak pengungsi ini disebutkan dalam
Konvensi 1951 sebagai berikut:
1. Kewajiban pengungsi. Secara khusus seorang pengungsi
harus mentaati peraturan perundang-undangan. Demikian
halnya mengenai berbagai prosedur yang ditetapkan untuk
memelihara
kepentingan
umum
di
negara
tempat
keberadaan pengungsi/pencari suaka. (Pasal 2).
192
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 5673, Jilid V, h. 2240; dan
Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 48, Jilid I, h. 69.
193
Yûsuf al-Qaradâwi, Usûl al-‘Amal al-Khairiy fi al-Islâm, h. 44.
194
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 1874, Jilid II, h. 697; dan Muslim,
Sahîh Muslim, Hadis No. 1159, Jilid II, h. 813.
154
2. Hak – hak pengungsi meliputi hak untuk tidak diperlakukan
secara diskriminatif (Pasal 3), hak akan kebebasan
beragama/berkeyakinan (Pasal 4), hak akan pembebasan
dari resiprositas (Pasal 7), hak akan pembebasan dari
tindakan luar biasa (Pasal 8), hak atas status pribadi (Pasal
12), hak atas karya seni perindustrian (Pasal 14), hak untuk
berserikat (Pasal 15), hak atas akses ke pengadilan (Pasal
16), hak atas pekerjaan yang menghasilkan upah (Pasal
17), hak atas swakarya (Pasal 18), hak untuk menjalankan
profesinya (Pasal 19),
hak atas pengaturan distribusi
produk-produk yang kurang persediaannya (Pasal 20), hak
memperoleh tempat tinggal (Pasal 21), hak memperoleh
pendidikan umum (Pasal 22), hak memperoleh bantuan
publik (Pasal 23), hak akan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan dan jaminan sosial (Pasal 24), hak atas
bantuan administratif (Pasal 25), hak akan kebebasan
berpindah tempat (Pasal 26), hak atas surat identitas (Pasal
27), hak atas dokumen-dokumen perjalanan (Pasal 28), hak
atas pembebasan dari pungutan fiskal (Pasal 29), hak atas
pemindahan aset atau harta kekayaan (Pasal 30), hak akan
pembebasan dari sanksi hukum bagi pengungsi yang masuk
dengan cara yang illegal (Pasal 31), hak untuk tidak diusir
(Pasal 32), dan hak untuk tidak dipulangkan (Pasal 33).195
195
Pasal 9 Konvensi 1951 menyatakan bahwa tiada suatu ketentuan pun dalam Konvensi ini yang
155
2. Penyatuan keluarga
A. Menurut Syariat Islam
Memelihara dan menjaga hak – hak kekerabatan dan anjuran
untuk
menyatukan
keluarga
dalam
satu
tempat
sangat
ditekankan dalam ajaran Sunnah Nabi SAW dan dalam praktek
– praktek dalam Negara Islam. Beberapa contoh dalam hal ini
adalah:
Abu Ayyub berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang memisah – misahkan antara seorang ibu
dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia
dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.”
(Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi).196
Imam al-San’ani mengatakan bahwa Hadis ini merupakan
dalil tegas yang mengharamkan tindakan mencerai-beraikan
antara seorang ibu dengan anak kandungnya; dan larangan ini
diperluas, dengan analogi, yang juga berlaku dalam konteks
kehidupan keluarga/ karib kerabat berdasarkan hubungan
persaudaraan.197
mencegah suatu Negara Pihak, dalam waktu perang atau keadaan – keadaan gawat atau luar biasa lainnya, untuk
mengambil tindakan-tindakan sementara yang dianggapnya esensial bagi keamanan nasional dalam kasus
seseorang tertentu, sementara menunggu penentuan oleh Negara Pihak itu bahwa orang tersebut sebenarnya
adalah seorang pengungsi dan bahwa kelanjutan tindakan – tindakan demikian adalah perlu dalam kasus orang
tersebut demi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers,
(Geneva: International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, 2001), h. 34.
196
al-Tirmidizi, Sunan al-Tirmidzi, tahqîq Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Hadis No. 1238, Jilid III, h.
580. Menurut al-Tirmidzi, Hadis ini merupakan Hadis hasan garîb. Lihat pula Musnad al-Imâm Ahmad, tahqîq
Syuaib al-Arnote, Hadis No. 23499, Jilid 38, h. 485-486.
197
al-San’âni, Subul al-Salâm, ibid., Jilid II, h. 494-495, Jilid tentang Persyaratan Jual-Beli dan JualBeli yang Dilarang, Hadis No. 30.
156
Ali bin Abi Thalib ra. berkata,
“Rasulullah SAW memerintahkan aku agar menjual dua budak
yang bersaudara, maka aku membeli keduanya, lalu aku
memisahkannya.” “Kemudian aku bercerita kepada Nabi SAW,
maka beliau bersabda, dapatkan lagi kedua budak itu,
kembalikan agar keduanya bersatu dan jangan sampai kamu
jual lagi kecuali keduanya bersatu.198 (Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan dianggap sahih oleh Ibnu Huzaimah ).199
Abu Musa berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang
memisahkan antara seorang ibu dan anak kandungnya dan antara
dua saudara kandung. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan alDâruqutni).200
Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW pernah bahwa
beliau disodorkan beberapa tawanan perang. Beliau berdiri dan
melihat seorang wanita di antara mereka yang sedang menangis,
maka beliau bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia
menjawab, “Puteraku dijual kepada suku Bani Abbas.”
Kemudian Rasulullah bersabda kepada sahabatnya yang menjual
anak laki-laki wanita tersebut: “Kamu benar telah memisahkan
antara keduanya? Maka kembalikan dan datangkan anak laki198
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 760, Jilid II, h. 551.
al-San’âni berkata: “Hadis itu menunjukkan batalnya jual-beli tersebut dan menunjukkan keharaman
memisahkan seorang ibu dengan anaknya sebagaimana ditunjukkan oleh Hadis yang disebut pertama.
Sementara Hadis yang disebut pertama menunjukkan keharaman tindakan memisahkan seorang ibu dengan
anaknya dengan cara apapun, Hadis yang terakhir ini menegaskan keharaman tindakan pemisahan tersebut
dengan cara menjual-belikan sang anak. Mereka (para ulama fikih) menganalogikan, dengan kasus ini,
keharaman tindakan memisahkan tersebut dengan cara perbuatan hukum yang lain, seperti hibah dan nadzar;
dan hal demikian dilakukan dengan kemauan orang yang melakukan tindakan memisahkan. Adapun tindakan
pemisahan dengan cara melakukan pembagian melalui pewarisan, orang yang memisahkan tersebut tidak
memiliki pilihan karena kepemilikan itu bersifat “memaksa”. Lihat al-San’âni, Subul al-Salâm, Jilid 4, h. 486,
Hadis No. 31.
200
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2250, Jilid II, h. 756.
199
157
lakinya agar tetap bisa bersamanya!” Maka sahabat tersebut
melakukannya.
Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau menulis sebuah surat
yang berisi agar jangan sampai ada seseorang yang memisahkan
antara dua saudara kandung, antara seorang ibu dengan anaknya,
baik jika keduanya masih kecil, maupun jika salah satunya
masih kecil dan yang lainnya sudah besar.201
Dikemukakan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi SAW
melihat seorang budak yang terpisah dari anaknya, di antara
sekian banyak jenis harta rampasan perang. Beliau bertanya,
“Apa yang terjadi pada budak wanita itu?” Ketika itu dijawab
oleh seseorang bahwa budak wanita itu menangis karena
anaknya dijual, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu pisahkan
seorang ibu dengan anak kandungnya!”202
Dari uraian di atas, bisa dikemukakan beberapa hal penting
sebagai berikut:
1. Beberapa tradisi Nabi yang sahih di atas secara tegas melarang
untuk memisahkan antara seorang ibu dangan anak kandungnya,
juga antara sanak kerabat yang masih kecil-kecil. Keberlakuan
tradisi ini dalam Muslim, mencakup konteks yang lebih luas
lagi. Menurut Imam al-Sayibani apabila pemindahan seorang ibu
dengan anaknya atau seorang budak dengan saudara kandungnya
201
202
al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibânî, Jilid V, h. 2073.
Ibid. Jilid III, h.1040.
158
tidak dapat dihindarkan, maka pilihan yang ada adalah antara
meninggalkan mereka bersama atau memindahkannya bersama.
203
2. Dampak dari pelanggaran atas larangan memisahkan antara
kedua ibu dan anaknya atau antara dua saudara yang masih kecil
ini terlihat sangat jelas dalam tradisi Nabi Muhammad SAW,
dan pentingnya menyatukan mereka terlihat jelas didalamnya.
3. Pelarangan untuk memisahkan antara dua saudara kandung yang
masih kecil sebagaimana dinyatakan dalam Hadis, tampaknya
tidak banyak terbatas pada anak kecil saja. Menurut kami
pemisahan anggota keluarga yang sudah dewasa sekalipun tetap
akan membawa pengaruh buruk. Hal ini bisa dilihat dalam 2
(dua) kejadian dalam masa kehidupan Nabi:
(i) Apa yang terjadi pada saat terjadi pengiriman pasukan Zaid
bin Haritsah, ketika itu ditangkaplah seorang wanita bernama
Halimah, yang memberikan petunjuk kepada seluruh pasukan
tentang dimana Bani Sulaim tinggal. Maka mereka mendapat
kemenangan dan mengambil rampasan perang seperti ternak,
203
Demikian pula disebutkan di dalam kitab Syarh al-Siyar al-Kabîr: Jika mereka mampu membawa
kedua budak bersaudara itu, maka saya tidak suka mereka meninggalkan salah seorang dari keduanya karena
hal itu berarti tidak mendatangkan kemaslahatan kepada orang-orang Muslim padahal mampu berbuat demikian.
Dalam hal tindakan pemisahan antara ibu dengan anak kandungnya, ini tidak diperbolehkan. Sebab hal tersebut
merugikan untuk keduanya sehingga tidak boleh dilakukan kecuali tidak ada kemungkinan untuk memindahkan
keduanya. Berbeda halnya, jika mereka mendapati ibu dan anaknya itu sudah berada di suatu tempat maka
mereka boleh mengambil salah seorang dari keduanya, apabila mereka menyetujuinya. Hal ini adalah pemisahan
yang diperbolehkan. Dalam hal terjadi pemisahan dan seorang anak diambil atau dipindahkan, dan orang yang
mengambilnya yakin bahwa ia dapat menghidupi anak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila
tidak seperti demikian, pemisahan tidak diperbolehkan sehingga pilihan yang ada adalah, mengambil ibu dan
anaknya itu jika mereka mampu, atau meninggalkan keduanya. Sebab, tindakan mengambil anaknya saja
merupakan tindakan pemisahan antara ibu dan anaknya, yang tidak membawa manfaat apapun. Lihat alSarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibâni, Jilid IV, h. 1559.
159
dan salah satu di antaranya suami dari wanita tersebut. Ibnu
al-Atsir
mengatakan
bahwa
ketika
Rasulullah
SAW
mengetahuinya, Beliau memerintahkan agar wanita penunjuk
jalan itu dilepaskan dan diberi kesempatan untuk pergi
bersama suaminya.204
(ii) Demikian ceritanya, di masa jahiliah, sebelum masa
kemunculan Islam, Zubair bin Bata al-Quradzi pernah
memberikan perlakuan baik kepada tawanannya, Tsabit bin
Syammas dengan melepaskannya. Pada saat perang Khaibar,
Tsabit menemui Zubair, kemudian Zubair bertanya kepada
Tsabit: “Kenalkah Anda dengan saya?”. Tsabit menjawab,
“Mungkinkah orang sepertiku lupa dengan kamu?” “Saat ini
aku ingin membalas kebaikanmu”, kata Tsabit. Zubair
menimpali, “Orang yang murah hati, akan membalas orang
yang murah hati pula.” Maka waktu itu Tsabit sebagai pihak
yang akan membalas kebaikan Zubair datang kepada
Rasulullah SAW dan bercerita singkat kepada Beliau. Kata
Tsabit, saya mempunyai hutang budi kepada Zubair wahai
Nabi, berikanlah ia (Zubair) kepadaku agar aku bisa
melepaskannya
(membalas
budinya).
Nabi
SAW
menyetujuinya, lalu Tsabit mendatangi Zubair dan berkata:
”Sesungguhnya Nabi telah memberikan dirimu kepadaku,
204
Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra, Jilid II, h. 85; dan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah alNabawiyyah, tahqîq Basysyâr ‘Awwâd, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1422 H/2001 M), Jilid II, h. 21.
160
maka engkau kubebaskan.” Zubair mengatakan: “Namun aku
adalah orang tua renta yang tidak memiliki saudara dan anak
(karena saudara dan anaknya itu masih berstatus tawanan
perang).
Maka
Tsabit
mendatangi
Nabi
SAW
dan
memintakan pembebasan atas saudara dan anak Zubair.
Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaannya. Lalu
Zubair kembali berkata, bahwa keluarganya di Hijaz tidak
memiliki harta sama sekali. Maka Tsabit kembali mendatangi
Rasulullah SAW dan memintakan harta dari Rasulullah
SAW.
Maka
Rasulullah
sekali
lagi
mengabulkan
permintaannya sehingga Zubair mendapatkan semuanya.205
4. Alasan mengapa tidak boleh memisahkan antara anak dengan
ibu kandungnya dan antara keluarga dekat ini sangat jelas, yakni
untuk pemenuhan kebutuhan moral dan psikologis yang harus
dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, Imam Ahmad pernah
mengatakan: “Janganlah kalian memisahkan antara seorang ibu
dengan anak kandungnya, sekalipun sang ibu menyetujuinya.
Penyebab dari tidak diperbolehkannya hal itu, Wallahu a’lam.
Sebab bisa jadi hal ini merugikan anak tersebut dan suatu hari
sang ibu mungkin menyesalinya dan berharap dapat merubah
keputusannya.206
205
Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh, (Beirut: Dâr Sâdir, 1399 H), h. 148.
Ibn Qudâmah, al-Mugnî wa al-Syarh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1403 H/1983 M),
Jilid X, h. 468-471; al-Buhûtî, Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 57-58. Adapun jika kedua
budak itu masih kecil, maka dalam buku al-Siyar al-Kabîr maka salah satunya pasti akan sangat merasa
kehilangan dan sedih akibat berpisah dengan saudaranya, dan hal ini sungguh akan sangat berat untuk dirasakan.
206
161
5. Hadis dan tradisi Nabi yang berkaitan dengan pelarangan untuk
memisahkan seorang budak dengan ibu kandungnya atau
saudara kandungnya yang masih kecil, jelas selangkah lebih
tegas dibandingkan dengan hukum internasional modern.
Dimana dalam Islam larangan pemisahan menjadi kewajiban
bagi orang Muslim, dalam hukum internasional hanya
diusahakan sebisa mungkin sebuah keluarga untuk tetap
disatukan. Hal ini dapat menjadi celah yang memberikan
kesempatan munculnya tindakan sewenang-wenang oleh negara
atau individu tertentu.
6. Hal lain yang penting dalam ajaran Syariat Islam adalah adanya
pertimbangan simpatik atau “kasih sayang” atas diri seorang
anak kecil. Hal ini sangatlah normal mengingat sifat dasar
seorang anak yang cenderung lemah dan tidak memiliki kuasa,
yang selalu diperhatikan dalam ajaran Syariat Islam di berbagai
kawasan Negara Islam. Berikut adalah beberapa contohcontohnya:
(i) Terdapat sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Ja’far,
bahwa salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Usaid
datang kepada Nabi dengan membawa tawanan perang yang
berasal dari Bahrain. Pada saat itu Rasulullah SAW melihat
salah seorang wanita di antara para tawanan itu sedang
Bahkan, bisa jadi keduanya bisa mengalami sakit dan bahkan meninggal. Hal-hal semacam ini tidak akan terjadi
bila keduanya telah dewasa. Lihat Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibânî, Jilid V, h. 2071.
162
menangis tersedu-sedu, lalu Beliau bertanya mengapa kamu
menangis? Wanita itu menjawab: “Anakku dijual orang itu.”
Maka Nabi bertanya kepada Abu Usaid: “Benarkah kamu
menjual anak wanita tersebut?” Ia membenarkan. Nabi
bertanya lagi, “Kepada siapa kamu menjualnya?” Abu Usaid
menjawab: “Saya jual kepada Bani Isa. Lalu Nabi berkata,
“Segeralah kamu datang ke sana dan bawa anak itu kepada
ibunya!”207
(ii) Di antara sekian banyak kasus mengenai hal ini, terdapat
sebuah contoh lain yang terjadi pada saat pengepungan
kampung ‘Uka. Pada saat itu orang-orang Islam banyak
memiliki kelompok orang yang berprofesi sebagai pencuri.
Mereka masuk di tenda-tenda orang-orang Perancis untuk
mencuri harta benda mereka. Suatu saat ada juga yang dicuri
adalah seorang anak laki – laki yang baru berusia tiga bulan.
Maka sang ibu dari anak bayi itu menangis sejadi – jadinya
dan mengadukan halnya kepada rajanya. Maka para
pembesar pihak musuh itu mengatakan kepada wanita itu
bahwa para pemimpin pasukan Muslim adalah orang yang
sangat santun dan pengasih. Ia memerintahkannya: “Maka
keluarlah kamu wahai sang ibu, cari anakmu yang dicuri para
pencuri Muslim itu!” Pada saat sang ibu yang sedih ini
bertemu dengan pembesar pasukan Muslim, sang pembesar
207
al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahabah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Jilid II, h. 79.
163
Muslim sangat sedih dan menyayangkan kejadian ini.
Kemudian ia perintahkan agar bayi itu bisa diketemukan.
Maka setelah ditelusuri, ternyata bayi itu sudah dijual di
sebuah pasar. Kemudian ia mengeluarkan perintah untuk
mengambil
bayi
itu
dan
membelinya
kembali
dari
pembelinya. Setelah bayi itu kembali, diserahkannya kepada
sang ibu. Setelah itu sang ibu langsung menerima dan
menyusui bayi tersebut sambil menangis karena kebahagiaan
yang tiada tara. Lalu pergilah sang ibu sambil membawa
bayinya kembali ke tendanya dengan kuda yang dihias.
Terhadap kasus ini Ibnu Syidad berkomentar: “Lihat dan
cermatilah kejadian ini, betapa besar kasih sayang Islam
bagi umat manusia.” 208
B. Menurut Hukum Internasional
Ditinjau dari karakter kemanusiannya, penyatuan keluarga
pengungsi yang tercerai – berai merupakan salah satu persoalan
mendasar yang penting dalam hal hak suaka.209
208
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, 1977 M), Jilid XII, h. 342.
Lihat pula Ibn Syidâd, al-Nawadir al-Sultâniyyah wa al-Mahâsin al-Yusûfiyyah au Sirah Salâhudîn, al-Ayyûbî,
(Kairo: Dâr al-Misriyyah, li al-Ta’lîf wa al-Turjumah, 1964 M), h. 159.
209
Inilah yang sangat ditekankan dalam konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi
oleh Executive Committee UNHCR Programme, Genewa, 1996), h. 19 No. 9 (28); h. 55-56, No. 24 (32). Lihat
juga konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi oleh Executive Committee UNHCR
Programme, Kairo, 2003, h. 245-246, No. 88. Prinsip “Penyatuan Keluarga” juga ditegaskan dalam Lampiran B
instrumen final Konferensi PBB tentang Status Pengungsi dan Orang tanpa Kewarganegaraan, lihat kembali
Collection of the International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to
UNHCR, op. cit, Vol I, h. 30.
164
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dinyatakan
bahwa keluarga adalah sebuah kelompok fundamental dalam
masyarakat
yang
berhak
mendapatkan
perlindungan
dari
masyarakat dan Negara. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam
hukum humaniter internasional:
1. Pada pasal 26 Konvensi Genewa tahun 1949, dalam ketentuan
Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Keadaaan
Perang, dinyatakan bahwa “Setiap pihak dalam konflik harus
memfasilitasi permintaan dari anggota – anggota keluarga yang
terpisah karena perang, untuk berhubungan satu dengan yang
lainnya, atau untuk bertemu, apabila memungkinkan.
2. Pada Pasal 74 Protokol Pertama tahun 1977 atas Konvensi
Genewa 1949, juga dinyatakan bahwa Negara Pihak Konvensi
dan Protokol tersebut dan negara yang terlibat konflik
selayaknya
memfasilitasi,
sedapat
mungkin,
penyatuan
keluarga yang terpisah karena konflik bersenjata.
Dengan demikian, apa yang dianut dalam tradisi/ Hadis
Nabi, menunjukkan adanya perlindungan yang lebih besar
daripada yang terdapat dalam hukum internasional modern yang
hanya meliputi dua hal :
1. Sekedar diberikannya kesempatan untuk saling berkomunikasi
dan bertemu antar anggota keluarga.
2. Memfasilitasi, sebisa mungkin, upaya untuk menyatukan
keluarga yang terpisah akibat konflik bersenjata.
165
Sementara itu, dalam sejarah hidup Nabi, terdapat suatu
praktek yang mengharuskan kaum Muslim untuk tidak memisahmisahkan anggota keluarga seseorang.
Dalam konteks hak suaka, agaknya telah dipahami bahwa,
kebersatuan keluarga adalah sesuatu yang diberikan, misalnya
dalam kasus “status derivatif”, dalam mana apabila status
pengungsi
persyaratan
diberikan
kepada
pengungsi,
status
seseorang
tersebut
yang
memenuhi
diperluas
juga
pemberlakuannya bagi anggota keluarga lainnya yang berada
dibawah asuhannya atau mengikutinya yang disebut sebagai
tanggungan (yaitu pasangan dan anak – anak dibawah 18 tahun).
Perlu dicatat, bahwa tanggungan yang memenuhi syarat sebagai
pengungsi dapat diberikan status sendiri, selain melalui status
derivatif.210
3. Harta kekayaan pengungsi
A. Menurut Syariat Islam
Dalam Syariat Islam, harta kekayaan pengungsi dijamin
keamanannya dan tidak boleh diganggu atau direbut diluar
keinginan pemiliknya atau dipergunakan secara sembarangan.
Terkait dengan status seorang musta`min (orang non Muslim
210
Lihat informasi pencari suaka dan pengungsi di Mesir, UNHCR Kantor Perwakilan Regional Mesir,
November 2005, h. 38. Lihat pula Direktif No. 86/2003 M, diterbitkan oleh Uni Eropa, tentang Penyatuan
Keluarga, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of
Concern to UNHCR, op. cit, Vol. IV, h.1682-1690. Lihat pula Collection of International Instrument and Legal
Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Rekomendasi 23 (99) oleh Dewan Menteri Eropa,
h.1409.
166
yang tinggal di kawasan Negara Islam), Imam al-Nawawi
mengatakan: ”Jika ada seorang kafir memasuki Negara Islam
dengan aman atau dengan jaminan keamanan, maka harta,
anak-anaknya
dan
keluarga
yang
bersamanya
dijamin
keamanannya. Tetapi tidak harta, anak – anak dan keluarganya
yang ia tinggalkan di negara non-Muslim.” Dalam kondisi itu,
harta milik orang kafir bisa dianggap sebagai harta rampasan
perang dan anak keturunannya bisa ditahan sebagai tawanan
perang. Penulis kitab al-Hawi (al-Mawardi) mengemukakan,
jika seorang kafir diberikan ‘aman’ secara umum, maka dirinya,
hartanya dan saudaranya akan menerima perlindungan, namun
jika ia hanya diberikan ‘aman’ secara khusus, maka hanya
dirinya yang menerima perlindungan, tapi tidak harta dan
saudaranya.Mayoritas kaum ulama fikih berpendapat bahwa
terkadang perlu dibedakan antara perlindungan yang diberikan
kepada pemilik dan perlindungan terhadap harta yang
dimilikinya. Oleh sebab itu jika ada seorang Muslim memasuki
wilayah non-Muslim dengan aman (perlindungan), lalu ada
seorang kafir harbiy (non-Muslim) yang memberikan sejumlah
uang kepada yang Muslim tersebut untuk membeli berbagai
keperluan, maka uang atau harta yang diberikan itu harus tetap
dijamin aman (tidak digunakan) hingga uang tersebut
dikembalikan kepada sang pemilik uang tersebut (kafir harbiy)
meskipun sang pemilik tidak memiliki perlindungan. Demikian
167
halnya jika harta itu diberikan kepada seorang kafir dzimmiy
yang memasuki wilayah non-Muslim dalam kondisi memiliki
perlindungan. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendapat
lain mengemukakan bahwa harta yang diberikan itu tidak
mendapatkan perlindungan. Karena perlindungan kafir dzimmiy
tersebut batal secara hukum. Pendapat yang pertama adalah
pendapat yang lebih kuat dan populer karena seorang kafir
harbiy telah meyakini kebenaran perlindungan tersebut
sehingga harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya
(kafir harbiy).211
Seorang hakim Agung, al-Baidhawi mengemukakan bahwa
jaminan keamanan bagi warga non-Muslim itu meliputi apa
yang ada bersamanya berupa keluarga dan hartanya, meskipun
aman tersebut diberikan secara umum, sebab orang tersebut
telah meninggalkan segala kepunyaannya yang pastinya dapat
211
al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 289. Di kalangan mazhab Maliki dikemukakan bahwa jika
di antara kami ada seorang non-Muslim (kafir harbiy) yang berhasil masuk ke wilayah kami dengan aman, lalu
ternyata ia meninggal dan meninggalkan sejumlah harta, maka harta tersebut tidak boleh dianggap sebagai fa`i
atau rampasan perang, melainkan harus dikembalikan kepada ahli warisnya. Bahkan Imam Malik pernah ditanya
oleh seseorang mengenai seorang kafir harbiy yang berhasil memasuki kawasan negara Islam secara aman, lalu
dibunuh oleh seorang Muslim, beliau menjawab bahwa diat (ganti rugi) orang yang dibunuh itu harus dibayar
oleh si pembunuh kepada ahli warisnya yang ada di negara non-Muslim. Dalam hal ini Ibn al-Qasim
berkomentar bahwa hal ini menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang kafir harbiy itu menjadi hak
milik ahli warisnya. Ibn al-Qasim berkomentar bahwa sejauh yang diketahuinya, ia tidak mengetahui adanya
pendapat Imam Malik yang lain, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa si pembunuh dalam kasus ini juga
harus memerdekakan budak dan menyerahkan hartanya dan ganti ruginya kepada pemerintah dari kalangan kafir
harbiy tersebut, seperti layaknya jika ia dibunuh di negaranya sendiri. Lihat Syahnûn al-Tanûkhî, alMudawwanah al-Kubrâ fî Fiqh al-Imâm Mâlik, (Beirut: Dâru Sadir, Mesir: Matba’ah al-Sa’âdah, 1323 H), Jilid
II, h. 24. Demikian halnya dikemukakan bahwa seorang Muslim tidak berhak mengambil harta orang nonMuslim, jika ia mati, ia juga tidak berhak mengambil diatnya jika ia terbunuh, melainkan seluruh hartanya harus
dikembalikan kepada ahli warisnya di negaranya. Lihat al-Khattâb, Mawâhib al-Jalîl bi Syarh Mukhtasar
Khalîl, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M, Jilid III, h. 363.
168
membahayakan dirinya, karena hal – hal tersebut adalah pokok
dan penting untuk kehidupannya. 212
Sejalan dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas,
jelas bahwa kekebalan atau imunitas tidak berlaku bagi
berbagai macam harta benda yang tidak dibawa oleh seorang
pengungsi baik itu berupa benda, harta atau anggota keluarga.
Demikian halnya seluruh harta benda dan anggota keluarga
yang ditinggalkan di negara non-Muslim, kecuali jika mereka
masuk ke sebuah negara Islam. Oleh sebab itu hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh al-Imam al-Qurtubi bahwa
”Barang siapa (non-Muslim) yang keluar dari kawasan konflik
dan menuju kepada kami (kawasan Muslim) dengan tujuan
meminta
suaka,
maka
kami
tidak
bisa
memberikan
perlindungan sedikitpun kepada harta, benda dan sanak saudara
atau anak dari yang bersangkutan, yang ditinggalkannya di
negara non-Muslim asalnya.”213
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kekebalan/imunitas
terhadap harta kekayaan seorang pengungsi mencakup 3 (tiga)
aspek penting berikut:
Aspek positif: yaitu harta kekayaan pengungsi yang
dibawanya akan dijaminkan keamanan sebagaimana adat
kebiasaan yang berlaku dan juga seperti apa yang dikemukakan
212
al-Baidâwî, al-Gâyah al-Quswâ fî Dirâyah al-Fatwâ, tahqîq ‘Alî Muhyiddîn Dâghî, (Kairo: Dâr alNasr li al-Tibâ’ah al-Islâmiyyah), 1982, Jilid II, h. 953.
213
Abû ‘Amr bin ‘Abdul Barr al-Namri al-Qurtubî, Kitâb al-Kâfî fî Fiqh Madzâhib al- Madînah alMâliki, (Riyadh: Maktabah Riyâd al-Hadîtsah, 1400 H/1980 M), Jilid 1.
169
oleh al-Baidhawi bahwa kekayaan tersebut dianggap sebagai
kebutuhan yang sifatnya pokok.
Aspek negatif: yaitu jaminan keamanan tidak berlaku bagi
harta benda dan berbagai macam kekayaan yang ditinggalkan
oleh seorang pengungsi di negaranya, mengingat peraturan
perundang – undangan yang berlaku terikat teritori dan tentu
saja karena batas kewenangan negara Islam tidak bisa
menjangkau batas wilayah negara lain.
Aspek praktis: jaminan perlindungan berlaku bagi anggota
keluarga seorang pengungsi yang datang bersama mereka.
Sebab mereka dianggap sebagai para pengikut atau tanggungan
(termasuk juga dalam hal ini ada jaminan keamanan bagi harta
benda pengungsi), tetapi tidak bagi anggota keluarga yang
masih tinggal di kawasan non-Muslim yang ditinggalkannya.
B. Menurut Hukum Internasional
Pada pasal 30 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi,
dinyatakan bahwa
Negara Pihak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, harus mengijinkan dan menjamin para
pengungsi agar dapat memindahkan harta benda yang dibawa
oleh para pengungsi dari negara asalnya ke negara lain (negara
ketiga) yang menjadi tujuan mereka (negara resettlement) yang
telah menyatakan menerima mereka. Negara Pihak wajib
memberikan
pertimbangan
simpatik
170
untuk
mengijinkan
perpindahan aset mereka kemanapun mereka akan pergi, karena
aset tersebut akan sangat berguna bagi kehidupan baru mereka
di negara ketiga yang menerima mereka.
4. Perlindungan diplomatik
A. Menurut Syariat Islam
Sebuah negara Islam dimungkinkan untuk memberikan
perlindungan diplomatik bagi para pengungsi yang berada di
dalam wilayahnya. Hal ini
didasarkan kepada dalil Qiyas
(interpretasi analogis), yakni berupa teori penyelamatan
(istinqadz) yang didukung oleh para ahli Syariat Islam. Dalam
Syariat Islam, teori penyelamatan diakui sebagai media untuk
memberikan perlindungan kepada orang Muslim yang dianiaya
atas dasar keyakinan agama mereka, atau orang yang ditawan,
dalam rangka menghilangkan tindakan penganiayaan terhadap
mereka dan membebaskan mereka. Hal ini dapat dianggap
semakna
dengan
teori
intervensi
kemanusiaan
dalam
yurisprudensi Barat. Teori ini dilandasi oleh kalam Allah:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanitawanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (QS: an-Nisa/3:75).
171
Para kaum ulama fikih memperluas cakupan teori terhadap
kaum dzimmiy dan kafir-musta’min. Dalam buku al-Siyar alKabîr dikemukakan sebagai berikut: “Wajib bagi kita untuk
memberikan pertolongan kepada kafir dzimmiy jika mereka
dalam kondisi terdesak dan pada saat kita mampu menolong
mereka. Namun kita tidak wajib memberikan bantuan
pertolongan kepada para kafir musta’min jika mereka telah
memasuki kawasan peperangan atau kawasan non-Muslim.
Sebab perlu ditegaskan di sini bahwa status al-Dzimmah dapat
dianggap setara dengan orang Islam jika mereka berada atau
berdomisili di kawasan negara kita (Islam).”214
Ditambahkan pula bahwa “Pada aslinya, seorang pemimpin
negara Islam wajib memberikan penyelamatan dan keadilan
kepada para musta’min, selama mereka berada di negara kita
dan seorang kepala negara Islam juga harus memberikan
perlindungan kepada kaum dzimmiy, sebab selama mereka
berada di bawah wilayah kekuasaan negara Islam tersebut,
artinya mereka berada dibawah yurisdiksi Islam, sehingga
musta’min harus
diperlakukan
setara
dengan
ahlu al-
dzimmah.215
Sehubungan dengan hal tersebut, negara Islam juga wajib
menyelamatkan para pengungsi, baik dari kalangan ahlu al214
215
al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, op. Cit., Jilid II, h. 688.
al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, Jilid 5, h. 1853.
172
Dzimmah maupun musta`min dari tangan musuh walaupun
upaya penyelamatan ini membutuhkan penggunaan senjata dan
wajib
melaksanakan
perlindungan
diplomatik
untuk
menyelamatkan mereka dari berbagai tindakan ketidakadilan.
B. Menurut Hukum Internasional
Menurut hukum internasional, perlindungan diplomatik
merupakan sebuah sistem dimana sebuah negara turun tangan
dalam perlindungan warga negaranya, yang berada di luar
negeri dan hak – haknya terlanggar. Perlindungan diplomatik
juga dapat menjadi sebuah sarana bagi sebuah negara agar bisa
melindungi seseorang yang menjadi korban, dalam rangka
menghormati hukum internasional, dengan cara menjamin
pemenuhan hak orang yang terkait.216
Sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengatur
hubungan diplomatik terkait masalah pengungsi, sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 8 paragraf 2 Rancangan Pasal tentang
Perlindungan Diplomatik yang diadopsi oleh Komisi Hukum
Internasional pada tahun 2006, dimana dinyatakan bahwa:
Sebuah
negara
dimungkinkan
untuk
memberikan
perlindungan diplomatik sesuai dengan ketetapan mendasar
yang sah, terhadap seseorang yang berstatus pengungsi, yang
pada saat kemalangan terjadi atau pada saat permintaan
216
Ahmad Abu al-Wafa’, al-Wasit fi al-Qanun al-Duwali al-‘Amm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al‘Arabiyyah, 1428 H/ 2007 M, h. 641.
173
perlindungan diajukan, secara hukum dan sebagaimana
dibenarkan sebelumnya tinggal menetap di negara tersebut.217
Meskipun demikian, pasal 8 paragraf 3 menambahkan
bahwa hal tersebut tidak berlaku dalam hal adanya aktivitas
yang secara internasional dinilai salah, yang dilakukan oleh
negara asal pengungsi tersebut.
5. Hak – hak pengungsi anak
A. Menurut Syariat Islam
Tidak diragukan lagi bahwa dalam ajaran Islam, hal – hal
terkait hak anak harus dimuliakan dan diperhatikan, baik anak
itu pengungsi maupun bukan pengungsi. Dalam Islam terdapat
perjanjian khusus terkait dengan hak - hak anak (tahun 2005)
yang telah diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI)
tentang hak-hak anak yang memberikan hak – hak seperti hak
persamaan, hak memperoleh kohesi keluarga, hak memperoleh
kemerdekaan secara individu, hak dibesarkan, hak mendapatkan
pendidikan, hak akan kebudayaan, hak memperoleh waktu
cukup untuk istirahat dan bermain, hak atas kesehatan,
perlindungan, keadilan dan seterusnya. Dalam perjanjian itu
juga ditetapkan mengenai pengungsi anak-anak bahwa “Negara
Pihak perjanjian ini akan memastikan, semaksimal mungkin,
pengungsi anak atau anak – anak yang secara hukum disamakan
217
Lihat pula Resolusi Majelis Umum PBB No. A/61/10/2006 M.
174
dengan status tersebut, dapat menikmati hak – hak dalam
perjanjian dalam legislasi nasional mereka.” (pasal 21).218
Dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun 1989 M,
ditetapkan sebuah peraturan tentang anak – anak yang terlantar
secara sementara atau permanen, yang didasarkan pada sistem
kafala (pemeliharaan) dari Syariat Islam. Dalam pasal 20
paragraf
3
disebutkan
bahwa
“Perawatan
mencakup,
diantaranya, penempatan dirumah orang tua asuh, kafalah
(pemeliharaan) berdasarkan Syariat Islam, adopsi, atau jika
dibutuhkan, penempatan di institusi anak yang sesuai untuk
perawatan anak.” Demikianlah dalam ketetapan Konvensi ini
ditekankan adanya suatu sistem kafalah (pemeliharaan) yang
merupakan sebuah sistem yang telah lama dijalankan menurut
Syariat Islam.
Hadis Nabi telah menggariskan sejumlah hal terkait anak.219
Diantaranya ialah anjuran menikahi perempuan yang sehat
reproduktif untuk memperbanyak populasi penduduk Muslim,
anjuran memilih isteri yang baik, anjuran merayakan kelahiran
218
Lihat dokumen No.OIC/9 - IGGE/HRI/2004/Rep.Final .
Lihat pula Muhammad ‘Abd al-Jawwâd Muhammad, Himâyat al-Tufûlah fi al-Syarî’ah alIslâmiyyah wa al-Qânûn al-Duwaliy al-‘Âmm, wa al-Sûdaniy wa al-Su’ûdiy, (Iskandaria: Mansya’at al-Ma’ârif,
h. 29-80. Sebagian ahli Syariat Islam membagi hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya menjadi hakhak yang bersifat materiil (hak akan garis keturunan, hak untuk disusui, hak untuk diasuh,, hak akan perwalian,
hak untuk memperoleh nafkah) dan hak yang bersifat moriil dan hak – hak moral (hak untuk dibesarkan dengan
baik, perlindungan moral, hak atas nama yang terbaik, hak atas perlakuan yang adil dan setara diantara anak –
anak lainnya. Sementara hak – hak orang tua mencakup: hak menerima bakti anaknya, hak untuk memperolah
bantuan nafkah pada saat mereka telah memasuki usia dewasa, dan hak untuk diperlakukan dengan hormat
ketika masih hidup atau sudah wafat. Lihat ‘Abdullah Muhammad Sa’îd, al-Huquq al-Mutabâdilah bain al-Âbâ`
wa al-Abnâ` fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Qânûn, 1402
H/1982 M), h. 466.
219
175
anak (aqiqah), hak anak untuk memperoleh nama yang baik,
hak akan pernasaban atau garis keturunan (berdasarkan
hubungan perkawinan, bukti-bukti, atau pengakuan), hak anak
untuk memperoleh pengasuhan, hak anak untuk bermain,
perlindungan terhadap perempuan dan anak pada kondisi
perang, perlakuan khusus terhadap ibu dan anak dalam hukum
pidana
Islam,
hak
untuk
memperoleh
pengajaran
dan
pendidikan, dan hak anak yang lahir dari budak untuk
dibebaskan dari status budak. Hak-hak anak lainnya telah
ditetapkan pula melalui ijtihad (pemberian pendapat hukum)
oleh ahli Syariat Islam, diantaranya ialah hak anak untuk
memperoleh nafkah, hak anak untuk memperoleh pengarahan
atau perwalian atas diri dan harta kekayaannya, hak anak hilang
yang telah ditemukan kembali, hak bagi anak yang baru lahir
untuk memperoleh bantuan finansial dari Bait al-Mâl (kantor
perbendaharaan negara), dan hak akan wasiat wajibah (hak
wasiat yang ditetapkan bagi anak dari harta warisan orang
tuanya). Bahkan Syariat Islam juga mengatur hak-hak janin. 220
Adanya indikasi perhatian Syariat Islam dalam hal anak,
terlihat dalam kisah yang cukup dikenal dari Khalifah Umar bin
al-Khattab. Suatu ketika, datang serombongan pedagang, dan
kemudian singgah di suatu tempat shalat. Waktu itu, Umar
220
Terkait hak janin antara lain hak al-Ahliyyah wa al-Dzimmah, hak untuk diakui sebagai anak
kandungnya, hak mendapatkan jatah waris, hak mendapat wasiat, wakaf, dan hak untuk tidak diaborsi dan lainlain, lihat Muhammad Sallâm Madkûr, al-Janîn wa al-Ahkâm al-Muta’alliqah bihi fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo:
Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1389 H/1979 M), h. 271-328.
176
mengajak Abdurrahman bin Auf, untuk bergabung dengannya
mengawasi keamanan di malam hari untuk menghindari
pencurian. Maka kedua tokoh ini berjaga untuk melakukan
ronda malam itu sambil tetap menjalankan shalat. Malam itu,
Umar mendengar sebuah tangisan bayi, lalu ia bergegas menuju
ke arah bunyi anak kecil menangis itu dan berkata kepada sang
ibu: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan rawatlah anak kamu
dengan baik.” Setelah itu Umar kembali ke tempat berjaganya
semula, namun tidak selang lama beliau mendengar lagi
tangisan anak yang sama. Sehingga ia kembali menghampiri
ibu sang anak hingga tiga kali. Maka kemudian sang ibu itu
menuturkan bahwa si bayi itu ternyata baru saja disapih padahal
belum waktunya disapih. Hal tersebut dilakukan sang ibu
karena seorang anak akan memperoleh bantuan dana apabila
telah disapih. Pada saat itulah Umar meminta petugas untuk
mengumumkan
dengan
mengatakan:
“Janganlah
kalian
menyapih anak kalian sebelum waktunya, sebab mulai saat ini
bantuan dana akan kami berikan bagi setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan Islam. Hal ini juga ia sampaikan ke
seluruh pelosok di negara Islam. Demikian praktek ini
seterusnya dilanjutkan oleh Khalifah Ustman dan Ali bahkan
hingga zaman Umar bin Abdul Aziz.221
221
Lihat Ibn Sallâm, Kitab al-Amwâl, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388 H/1976 M),
h. 337-341.
177
B. Menurut Hukum Internasional
Ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun
1989M menetapkan bahwa seorang anak harus mendapatkan
berbagai fasilitas hak yang antara lain meliputi hak untuk turut
dipertimbangkan dalam pengambilan sebuah keputusan (best
interest determination) yang akan mempengaruhi keadaan anak
tersebut, hak untuk hidup, hak untuk memperoleh nama dan
kebangsaan, serta pendidikan yang penting. Lebih lagi,
hukuman mati wajib dihindarkan bagi anak pelaku yang belum
mencapai usia 18 tahun. Anak dibawah 15 tahun tidak boleh
dilibatkan dalam konflik bersenjata. Demikian pula dinyatakan
dalam Konvensi pentingnya pemenuhan kebutuhan bagi
pengungsi anak dan jaminan bagi mereka untuk dapat
menikmati hak – hak yang diberlakukan. (Pasal 22), dan
seterusnya.222
Pasal 5 paragraph dari 4 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk
Intoleransi
dan
Diskriminasi
berdasarkan
Agama
dan
Keyakinan (G.A. Res.36/55, 25 November, 1981), menyatakan
222
Lihat Declaration of the Rights of the Child (1959); Convention on the Rights of the Child (1989);
African Charter on the Right and Welfare of the Child (1990); Convention concerning the Prohibition and
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (ILO No. 182) (1999); Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts (2000);
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and
Child Pornography (2000); General Comment No. 5 by the Child Rights Committee on Unaccompanied
Children Outside their Country of Origin (2005); UN Security Council Resolution No. 1612 on Children in
Armed Conflicts (2005); dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees
and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 469, 405, 465, 419, 423, 594, 474; Vol. III, h. 1058. Lihat pula
Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, h. 54-56. Keberlanjutan pengaturan hal ini
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the
Reception of Asylum Seekers, International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, Geneva, 2001,
h. 34.
178
bahwa:
“Bilamana
seorang
anak
tidak
mendapatkan
perlindungan baik dari kedua orang tuanya atau walinya secara
hukum
maka
yang
dijadikan
acuan
untuk
memenuhi
kepentingan ajaran agama yang dianutnya ialah prinsip
memperhatikan kemaslahatan terbaik bagi si anak.”223
6. Hak atas harta kekayaan
Ajaran agama Islam menekankan pentingnya pemeliharaan
atas harta orang-orang non-Muslim, baik harta itu benda tetap,
maupun benda bergerak, baik pada saat yang berhak memiliki
harta itu masih hidup ataupun sudah meninggal. Toleransi
macam in terlihat dalam suatu ketentuan mengenai waris oleh
Khalifah al-Muqtadir, pada tahun 310 H/923 M, dimana
dinyatakan bahwa jika seorang dzimmiy, (yaitu warga negara
non-Muslim di negara Islam) meninggal dunia, dan ia tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya
bisa dikembalikan kepada seluruh keluarga yang seagama
dengan yang bersangkutan. Sementara jika pihak yang
meninggal itu beragama Islam dan ia tidak meninggalkan ahli
waris seorangpun, maka harta peninggalannya dikembalikan ke
Bait al-Mâl.224
Praktek ini didasarkan pada aturan yang menyebutkan
bahwa tidak ada orang Islam yang boleh menerima warisan dari
223
Lihat Resolusi No. 36/55 Majelis Umum PBB, 25 November 1981.
Adam Maitaz, al-Hadârah al-Islâmiyyah fi al-Qarn al-Râbi’ al-Hijriy au ‘Asr al-Nahdah fî alIslâm, alih bahasa Muhammad Abû Raidah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ârabî, 1387 H/1967 M), Jilid I, h. 77.
224
179
non-Muslim, dan bahwa perbedaan agama adalah faktor yang
menghalangi pewarisan 225 dan bahwa menurut Hadis Nabi,
hanya pengikut atau kerabat yang sama agamanya, yang dapat
mewariskan harta kekayaan seseorang jika ia tidak memiliki
ahli waris dari golongan dzaw al-arhâm.226
7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim
Islam memerintahkan orang Muslim untuk menjalin
perdamaian dengan orang non-Muslim, mengunjungi mereka
ketika
mereka
sakit,
menghadiri
pemakaman
mereka,
menyampaikan belasungkawa atau ucapan selamat atau bentuk
lain interaksi.227
8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi,
meskipun non-Muslim, dihormati 228
Aturan ini didasarkan pada fakta bahwa Allah SWT
memperlakukan
sama
semua
manusia
dalam
asal-usul
penciptaannya, ketika menjadikan mereka, lahir dari satu ayah
dan satu ibu sebagaimana dijelaskan kalam Allah SWT:
225
al-Fatâwa al-Islâmiyyah min Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah,
(Kairo: 1409 H/1989 M), Jilid XVI, h. 6064-6070.
226
Ahmad Amîn, Zuhr al- Islâm, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1962), h. 81-82.
227
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, h. 191-206.
228
Ibn `Âbidîn, Hâsyiyat Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1386 H./1966 M), Jilid V,
h. 58.
180
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. (Q.s al-Isrâ '/17:70).
Istilah "anak-anak (keturunan) Adam" bersifat umum dan
bukan istilah khusus untuk umat manusia, mencakup Muslim
dan non-Muslim, tanpa membedakan ras, bangsa atau agama,
terlepas dari apakah mereka pengungsi atau bukan.
9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang
non-Muslim
Hal ini didasari oleh kalam Allah:
Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, karena telah
jelas antara petunjuk dengan kesesatan. (Q.S. alBaqarah/2:256).
Di dalam kitab tafsirnya, setelah menyebutkan bahwa Allah
telah mengemukakan dalil-dalil ajaran tauhid atau monoteisme
secara jelas dan mematahkan alasan yang menyanggah dalildalil tersebut, al-Razi menyatakan “Maka sesungguhnya tidak
ada lagi alasan bagi orang kafir untuk mempertahankan
kekafirannya”; tidak ada pilihan lain kecuali orang kafir itu
mengaku beriman atau ia dipaksa untuk itu. Namun pemaksaan
itu tentu tidak boleh dilakukan di dunia ini, karena kehidupan di
dunia ini adalah tempat ujian. Sementara memaksa seseorang
181
untuk memeluk suatu agama berarti menafikan makna ujian
tersebut. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah:
“…barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Q.S. alKahfi/18:29).
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya? (Q.S.Yûnus/10:99).
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu,
karena mereka tidak beriman. Jika Kami kehendaki niscaya
Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka
senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (Q.S. alSyu’arâ’/26:3-4).
Al-Qâsimi
menyebutkan
bahwa
Allah
SWT
tidak
memberlakukan perintah iman dengan cara paksaan dan
tekanan, tetapi Dia memerintahkannya melalui pemberian
kapasitas (akal) dan pemberian pilihan. 229 Di dalam kitab alSiyar al-Kabîr dijelaskan bahwa kekafiran, meskipun termasuk
tindak dosa yang paling besar, tetapi merupakan urusan antara
hamba dan Tuhannya. Balasan terhadap dosa ini ditunda sampai
datangnya Hari Kiamat nanti. Sementara, adanya peperangan
antara agama di dunia saat ini terjadi atas dasar kepentingan
229
Lihat Tafsîr al-Imâm al-Râzi, Jilid II, h. 319; dan Alkiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo:
Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1974), Jilid I, h. 339.
182
manusia
230
Artinya, sebenarnya tidak ada paksaan dalam
memeluk agama, namun perang terjadi karena keinginan untuk
memperoleh kemanusiaan atau kekuasaan oleh manusia itu
sendiri, dan hal – hal tersebut muncul sebagai agresi dan
tindakan penganiayaan yang dikaitkan dengan masalah agama.
Al-Qur’an itu sendiri menekankan bahwa banyak manusia
berpegang kepada agamanya namun akan dihakimi nanti pada
Hari Kiamat, sebagaimana kalam Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orangorang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. al-Hajj/22:17).
Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang
kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Tagâbun/64:2).
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuhbunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan,
akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. (Q.S.alBaqarah/2:253).
Prinsip-prinsip tersebut berlaku pula terhadap pengungsi.
Disini kita menyebutkan 3 (tiga) contoh:
230
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh Kitab Siyar al-Kabîr, (Heiderabad al-Dakan: t.np.,
t.th.), Jilid III, h. 182.
183
Pertama: Contohnya Musa bin Maimun, seorang pemeluk
Yahudi yang tinggal di Andalusia (Spanyol), dan pernah
dipaksa untuk masuk Islam, sehingga ia hidup sebagai Muslim,
tapi dalam hati tetap berpegang pada agama Yahudi. Kemudian
ia lari ke Mesir dan tinggal di kota Fustat dengan kelompok
orang yang sama keyakinannya dan ia menampakkan
agamanya. Tatkala Abul Arab, seorang ahli hukum Andalusia,
singgah di Mesir, ia menginterogasi Musa bin Maimun perkara
kepindahan agamanya ke Islam, bahkan ia memiliki tujuan
untuk menyakitinya. Namun Qadhi al-Fadhil mencegahnya
seraya berkata kepadanya: “Seseorang yang dipaksa tidak sah
ke-Islamannya menurut Syariat Islam.”231
Kedua:
Dalam
surat
Khalifah
al-Ma’mun
kepada
Constantin, Kaisar Byzantium (Romawi Timur), ia meyatakan:
“Demi Allah, seandainya orang-orang sebelum kamu, yakni
231
Ibn al-Ibry, Tarîkh Mukhtasar al-Duwal, (Beirut: Dâr al-Musayyarah, t.th.), h. 239. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa seseorang yang tidak boleh dipaksa masuk Islam (seperti orang non-muslim dzimmiy dan
orang non-muslim musta’min); jika dipaksa masuk Islam, maka keislaman mereka tidak sah kecuali ada
pertanda bahwa mereka dengan rela hati memeluk Islam, misalnya dia secara rela hati menyatakan masuk Islam
usai berlalunya pemaksaan itu; sehingga, apabila dia wafat sebelum pernyataan masuk Islamnya dengan rela hati
itu terjadi maka dia dihukum sebagai orang yang wafat dalam keadaan kafir.
Ibn Qudâmah pun berpendapat bahwa tindakan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang
sebenarnya tidak boleh dipaksakan, yakni berpindah agama menjadi Islam, maka secara hukum, keislamannya
itu tidak diakui, sama saja seperti seorang Muslim yang dipaksa untuk keluar dari agama Islam. Dalil
dilarangnya pemaksaan ini ialah kalam Allah: “Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam”. Para ulama telah
bersepakat bahwa orang non-Muslim dzimmiy dan orang non-Muslim musta’min yang telah menepati perjanjian,
maka tidak boleh dibatalkan perjanjiannya itu dan tidak boleh pula memaksanya untuk melakukan sesuatu yang
tidak mengikatnya, karena pemaksaan demikian merupakan pemaksaan atas sesuatu yang dilarang untuk
dipaksa sehingga secara hukum, tidak berlaku kepadanya apa yang dipaksakan itu. Lihat Ibn Qudâmah, alMugni dan al-Syarh al-Kabîr, Jilid X, h. 104-105.
Demikian juga, William al-Sûriy berpendapat bahwa umat Islam, ketika memerintah Jerusalem,
mempersilahkan penduduk Jerusalem untuk membangun kembali gereja-gereja mereka yang rusak dan
melaksanakan perayaan-perayaan agama mereka sebagaimana telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya,
serta mengizinkan para Uskup untuk tinggal dan memeluk agama Kristen tanpa pembatasan sedikitpun. Lihat
William al-Sûriy, al-Hurûb al-Salîbiyyah, alih bahasa Hasan Habasy, (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-Âmmah
li al-Kitâb, 1991), Jilid I, h. 65-66.
184
orang-orang fakir miskin, para petani, orang lemah, dan para
pekerja mengetahui apa yang menjadi hak-hak mereka dari
Khalifah, maka pasti mereka mendatangi Khalifah untuk
menuntut hak akan tempat tinggal, hak atas lahan tanah yang
memadai, hak memperoleh air, hak akan perlakuan yang adil
semaksimal mungkin. Khalifah akan memperlakukan mereka
dengan kasih sayang, kepedulian dan berbuat baik kepada
mereka serta memberikan kebebasan pribadi dan beragama
mereka, tidak memaksa mereka berpindah ke agama yang tidak
mereka inginkan. Demi Allah, apabila mereka mengetahuinya,
pasti mereka mendekat kepada Khalifah dan berlindung
kepadanya (Khalifah al-Ma’mun), bukannya kepadamu (Raja
Romawi).232
Ketiga: al-Qarafy pernah berkata mengenai kaum nonMuslim dzimmiy: “Barangsiapa bersikap memusuhi atau
membantu permusuhan terhadap kaum non-Muslim dzimmiy,
walau
hanya
sekedar
dengan
kata-kata
buruk
atas
kehormatannya atau melakukan bentuk tindakan lain yang
menyakitinya, maka sungguh telah ia sia-siakan jaminan
keselamatan dari Allah, Rasul-Nya dan dari agama Islam.”233
232
Ahmad Farid Rifâ’i, ‘Asr al-Ma’mûn, (Kairo: Maktabah Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1346 H/1928
M), h. 235-236.
233
al-Qarafî, al-Furûq, (Beirut: `Âlam al-Kutub, t.th), Jilid III, al-Farq 119 h. 14. Lihat pula perihal
kewajiban berbuat baik, dan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, dan sebagainya. (h. 15). Termasuk dosa
besar adalah tindakan menyakiti tetangga meskipun ia seorang non-Muslim dzimmiy dan juga tindakan
penzaliman oleh, penguasa, hakim, dan yang serupa dengan mereka terhadap orang Muslim atau orang nonMuslim dzimmiy, dengan cara seperti pengambilan harta mereka, pemukulan, penghinaan, dan sebagainya. (h.
522). Lihat Ibn Hajar al-Haitamî, al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir, (Kairo: Dâr al-Syuab, 1400 H/1980 M), h.
185
10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi nonMuslim
Standar keadilan yang diberlakukan adalah satu untuk
semuanya, tanpa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.
Aturan ini tidak berubah, meskipun terhadap pengungsi
sekalipun.
Ibn ‘Abd al-Hakam telah meriwayatkan bahwa Khalifah
‘Umar ibn Khattâb pernah berkata: “Sungguh aku telah
mengirim para gubernurku untuk mengajari kalian tentang
agama kalian dan Sunah Nabi kalian. Aku tidak mengutus
mereka untuk menghukum kalian atau mengambil harta kalian.
Maka barangsiapa diantara kalian mengalami hal itu, maka
adukanlah masalahnya kepadaku. Demi Allah, yang menguasai
jiwaku, saya akan memberikan balasan yang setimpal.” Lalu
Amr bin Al-Ash bediri seraya berkata: “Wahai Khalifah,
bagaimana bila salah seorang gubernurmu menyakiti seorang
rakyatnya dalam rangka mendidiknya, apakah gubernur tersebut
akan mendapatkan hukuman yang setimpal juga? Akan kamu
balas dengan hukuman setimpal?” Umar berkata: “Ya, aku akan
memberikan hukuman yang setimpal karena aku telah melihat
Rasulllah juga melakukan hal yang sama. Ingatlah, jangan
sekali-kali kalian mumukul orang-orang Islam sehingga kalian
346., Di antaranya juga, tindakan membunuh, baik secara sengaja maupun semi-sengaja, terhadap orang Muslim
atau orang non-Muslim dzimmiy yang dilindungi. (h. 482); demikian pula, tindakan pemukulan orang Islam atau
orang non-Muslim dzimmiy tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syariat Islam. (h. 495).
186
menghinakan mereka. Jangan kau halangi hak-hak mereka
sehingga engkau mengingkari mereka.
Jangan melempar
tuduhan terhadap mereka sehingga kalian memfitnah mereka.
Janganlah kalian tempatkan mereka di hutan sehingga kalian
menyia-nyiakan mereka.”
Kemudian seorang laki-laki dari Mesir mendatangi Umar
seraya bertanya: “Wahai Khalifah, aku berlindung kepadamu
dari kezaliman.” Umar berkata: “Aku berikan perlindungan
kepadamu.” Orang itu berkata kembali: “Aku telah mendahului
anak Amr bin al-Ash dalam sebuah perlombaan, namun ia terus
memukulku dengan cambuk sambil ia berkata: “Aku anak
orang terhormat””. Kemudian Umar menulis surat kepada Amr
bin al-Ash di Mesir dan memerintahnya untuk menghadapnya.
Amr pun menghadap bersama anaknya. Umar berkata: “Mana
orang Mesir tadi? Ambilah cambuk, dan cambuklah anak orang
yang terhormat ini (anak Amr ibn al-Ash).” Kemudian orang
Mesir tadi memukul anak Amr. Anas (periwayat Hadis)
berkata: “Demi Allah sungguh ia benar-benar memukul anak
Amr sampai kami puas, tanpa henti hingga kami berharap ia
berhenti memukulnya.” Kemudian Umar berkata kepada orang
Mesir tadi: “Letakkan cambuk itu di atas kepala Amr”. Orang
Mesir tadi berkata: “Wahai Khalifah, sesungguhnya anaknya
yang telah memukulku, dan aku sekarang sudah selesai
(memukulnya)”. Kemudian Umar berkata kepada Amr bin Ash:
187
“Kenapa kamu perlakukan manusia merdeka seperti budak,
padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan
merdeka?” Amr berkata: “Aku tidak tahu dan belum ada yang
memberitahuku, wahai Khalifah.”
11. Perlindungan atas hidup non-Muslim
Syariat Islam melindungi hak hidup non-Muslim yang tidak
memerangi kaum Muslimin, bahkan tidak boleh bersandar
kepada alasan darurat untuk merampas hak hidup mereka. AlSyaibani berkata: “Bila di dalam sebuah kapal orang-orang
Islam bersama kaum dzimmiy atau musta’min (non-Muslim
yang dilindungi negara Muslim), maka status hukum mereka
setara dengan orang-orang Islam. Orang-orang Islam tidak
boleh melempar mereka ke laut, meski mereka khawatir akan
keselamatan jiwa mereka. Hal ini disebabkan karena mereka
adalah orang-orang yang dijaminkan perlindungan oleh
perjanjian (perjanjian dzimmah atau perjanjian aman). Sama
seperti orang Muslim yang dilindungi karena keimanannya.”234
Dengan demikian, hak hidup manusia, Muslim atau nonMuslim, dan meskipun berstatus pengungsi 235 harus dilindungi
menurut Syariat Islam.
234
al-Syaibâni, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, Jilid IV, h. 1562-1563.
Dikatakan: “Sesungguhnya hak hidup dan hak mencari rezeki adalah satu kesatuan, karena berkaitan
dengan penghidupan (hak – hak ini dipandang sebagai hak untuk kepentingan pribadi). Sementara memberikan
kepedulian kepada orang lain yang membutuhkan, adalah lebih baik daripada mementingkan kepentingan
pribadi. Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib untuk menolong orang yang membutuhkan meskipun kepada
orang-orang non-Muslim.” Lihat Muhammad al-Syahhât al-Jundî, Qawâid al-Tanmiyah al-Iqtisâdiyyah fi alQânûn al-Duwaliy wa al-Fiqh al-Islâmîy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1985), h. 62.
235
188
12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan adil
Dijelaskan dalam kitab al-Siyar al-Kabîr bahwa sebenarnya
wajib hukumnya atas kepala negara Islam untuk menolong
musta’min (orang bukan warga negara Islam yang mendapat
perlindungan di negara Islam) selama ia berada di negara kita,
membelanya dari orang-orang yang menzalimi mereka,
sebagimana
kewajiban
kepala
negara
Muslim
terhadap
dzimmiy.
Imam al-Syarkhasyi memberikan argumen atas hal ini
dengan penjelasan berikut: “Karena mereka (musta’min) berada
di negara Islam, mereka berada dibawah yurisdiksi kepala
negara
Muslim,
maka
status
hukumnya
sama
dengan
dzimmyi.”236
Dengan demikian, adalah wajib untuk memberlakukan
keadilan bagi non-Muslim yang berada dalam perlindungan,
sekalipun mereka adalah pengungsi 237 . Sikap adil tersebut
mecakup dua hal:
236
al-Syaibânî, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, 1972 h. 1853.
Bahkan di dalam al-Qur’an terdapat 396 ayat yang mengisyaratkan secara khusus terhadap masalah
perlindungan dan mendahulukan bantuan terhadap mereka. 170 ayat di antaranya khusus berbicara tentang
orang-orang yang berada di tempat yang berbahaya atau terancam, 20 ayat berkaitan dengan hijrah dan
keamanan, 12 ayat tentang suaka, 68 ayat berkaitan dengan zakat dan berbuat baik. Demikian pula terdapat
sekitar 850 Hadis Nabi yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan. Berdasarkan hal itu Kirsten Zaar
berkata: “Hak seluruh umat manusia untuk menikmati perlindungan dan bantuan, dan kewajiban untuk
melindungi dan membantu mereka yang membutuhkan, termasuk mereka yang dipaksa pindah, adalah salah
satu kelebihan lembaga-lembaga Syariat Islam yang dapat disimpulkan baik melalui interpretasi harafiah dari
teks-teks Syariat dan dengan qiyas (analogi)". Dia menambahkan, (h. 9-11) "Syariat Islam menetapkan
kewajiban untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada orang yang membutuhkan" Lihat: Kirsten Zaar:
Perlindungan Migran Paksa dalam Syariat Islam, Masalah Baru dalam Penelitian Pengungsi, Kertas Penelitian
No. 146, UNHCR, Desember 2007, h. 6, Rujukan 30; h. 7-8 Rujukan 32.
..
237
189
Pertama: Bersikap adil terhadap orang yang terzalimi di negara
Islam.
Kedua: Bersikap adil terhadap mereka yang teraniaya oleh nonMuslim (dari segala bentuk penganiayaan militer; atau
melakuakan perlindungan diplomatik untuk mempertahankan
hak-hak mereka). Pendapat ini dikuatkan oleh kalam Allah:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S..alMumtahanah/60:8).
Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini berlaku kepada pengungsi
karena menurut definisinya, para pengungsi termasuk orangorang sipil biasa (bukan tentara perang) dan tidak terkait dengan
tindakan pengusiran kaum Muslim dari negerinya.
190
BAB V
FAKTOR YANG MENGHALANGI HAK
PENCARIAN SUAKA
MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM
INTERNASIONAL
Yang dimaksudkan sebagai ”faktor yang menghalangi”
seperti tersebut diatas adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi
hak untuk mendapat suaka, baik pada saat kemunculan,
keberlangsungan maupun keberakhirannya, misalnya hal-hal
yang sedari awal menghalangi pemberian suaka (golongan
individu yang tidak berhak mendapat status pengungsi), hal-hal
yang mengakibatkan pembatasan jangka waktu suaka yang
diberikan (perlindungan sementara), atau hal-hal yang berujung
pada adanya solusi permanen dan berakhirnya suaka (solusi
jangka panjang dan penghentian suaka).
I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka:
orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi
Terdapat sejumlah golongan orang yang tidak berhak
mendapatkan suaka karena mereka memang tidak layak
untuk itu.
191
A. Menurut Syariat Islam
Jelaslah bahwa ketentuan ketiga yang disebutkan dalam
Pasal 1 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi belum
dikenal pada masa awal sejarah Islam karena PBB baru
didirikan pada tahun 1945, yakni 14 abad setelah
kemunculan Islam. Akan tetapi, karena negara-negara Islam
adalah juga anggota PBB dan oleh karenanya mereka secara
otomatis
menjadi
negara
pihak
dari
Piagam
yang
melahirkan organisasi dunia itu, ketentuan ini berlaku pula
bagi negara-negara Islam dan wajib diterapkan oleh mereka.
Sedangkan dua ketentuan lainnya yang menyangkut
tindak pidana berat, baik dilakukan dengan satu cara
ataupun cara lainnya, akan dipaparkan dalam penjelasan
berikut ini :
A.1. Larangan memberikan suaka kepada pelaku tindak
kejahatan non-politik
Terdapat
larangan
memberikan
suaka
kepada
pengungsi yang merupakan pelaku tindak kejahatan,
terutama tindak kejahatan yang diancam dengan sanksi
pidana hadd (sanksi hukum yang telah baku dalam alQur’an dan Hadis), seperti pembunuhan dengan sengaja
tanpa alasan yang dibenarkan. Ini merupakan ajaran otentik
Syariat Islam.
192
Faktor penyebab ini dipegang teguh umat Islam dan mereka
terapkan di dalam kehidupan sosial mereka sejak dekade
awal sejarah negara Islam dan masa-masa sesudahnya.
Dalam kaitan ini, penulis mengemukakan 2 (dua) indikator
penting.
(a) Tidak memberikan suaka kepada pelaku tindak
kejahatan, sesuai dengan perjanjian internasional
Apabila terdapat perjanjian yang melarang negara Islam
memberikan hak suaka kepada golongan individu
tertentu, dan perjanjian itu tidak bertentangan dengan
sumber dan dalil Syariat Islam maka negara Islam wajib
mematuhi perjanjian tersebut karena prinsip kesucian
perjanjian
dan
kewajiban
penunaian
perjanjian
merupakan prinsip yang sangat sulit dilepaskan dari
Syariat Islam.
Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad
SAW untuk mengikat kaum Muhâjirîn dan Ansâr, yang
mengikutsertakan Yahudi: :
“ Sesungguhnya bagi orang yang telah menyepakati
perjanjian dan beriman kepada Allah serta Hari Kiamat
tidak boleh menolong orang yang bersalah dan memberi
perlindungan kepadanya. Siapa saja yang menolongnya
atau memberikannya perlindungan maka ia terkena
193
laknat dan murka Allah pada Hari Kiamat kelak, tidak
dipalingkan darinya sedikitpun.”238
Contoh lainnya, surat ‘Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn
Nasîr kepada Raja Tadmîr, raja Oreolah, Andalusia
(Spanyol) Utara:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang. Ini surat Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn
Nasîr kepada Raja Tadmîr, bahwa ia siap berdamai dan
ia punya perjanjian dengan Allah dan jaminan Nabi
SAW; ia tidak boleh melindungi budak yang kabur, tidak
boleh melindungi musuh, tidak boleh menakut-nakuti
orang
yang
terlindungi,
dan
tidak
boleh
menyembunyikan informasi tentang musuh yang ia
ketahui.”239
Contoh lainnya juga, surat Khalifah ‘Umar ibn alKhattâb kepada Raja Romawi, yakni pada saat Iyâd bin
Nizzâr berangkat ke negeri Romawi di tengah-tengah
momen penaklukan Jazirah Arabia:
“Telah sampai (informasi) kepadaku bahwa seorang
tokoh terkemuka bangsa Arab telah meninggalkan negeri
238
Lihat Majmû‘ah al-Watsâiq al-Siyâsiyyah, Bab Nomor 22, al-‘Umarî, Akram Dhiya’, al-Sîrah alNabawiyyah al-Sahihah (Muhawalah li Tatbîq Qawâid al-Muhaddisin fi Naqd Riwâyât Sîrah), Jilid 1, h. 283;
dan Ibrahim ‘Ali, Sahih al-Sirah al-Nabawiyah (Jordan: Dâr al-Nafâis, t.th), cet. ke-6, 1423 H/2002) h. 205, alSîrah al-Nabawiyah karya Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 301. Di antara contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada
masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab ketika ia mengutus Suwaid bin Maqran ke Tabaristan (terletak di
selatan Laut Kaspia dan masuk wilayah Republik Islam Iran sekarang), lalu ia menulis surat kepada penduduk
Tabaristan yang berbunyi: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini
adalah tulisan Suwaid bin Maqran kepada Farkhan Ashbadz Khurasan yang berkuasa atas Tabaristan… .
Sesungguhnya engkau aman dengan perlindungan Allah untuk mempertahankan atas tanahmu dengan suaramu
dan penduduk sekitarnya, maka para pemberontak tidak akan kami lindungi.”, Muhammad al-Khudari, Itmâm
al-Wafâ’ fi Sîrah al-Khulafâ’, h. 88-89.
239
Lihat Muhammad Hammadah, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al-Andalus wa Syimâl
Afriqiyya, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1400 H/1980), h. 120.
194
kami dan mendatangi negerimu. Demi Allah keluarkan
mereka dari negerimu atau masukkan mereka ke
komunitas Nasrani, kemudian kami akan usir mereka ke
negerimu.” Maka, Raja Romawi mengeluarkan mereka
dari negeri Romawi.”240
Alhasil,
pemberian
suaka
kepada
seseorang
terkadang terkait dengan perjanjian yang dibuat terhadap
orang tersebut. Tatkala perjanjian telah disetujui maka
perjanjian menjadi wajib ditaati dengan syarat-syarat
yang ada dalam kesepakatan itu karena terkadang
perjanjian dalam beberapa kondisi tidak dapat diikuti,
dan bahkan dapat menimbulkan adanya pengaruhpengaruh lain.
Di dalam beberapa pergaulan kaum
Muslimin ada hal – hal yang menunjukkan kondisi itu.
Tatkala Secularus berlindung kepada Kerajaan
Romawi setelah perang dengan musuhnya, ia meminta
perlindungan ke negera Muslim lalu membuat perjanjian
dengan Simsam al-Daulah termasuk perjanjian berikut:
“Kamu butuh perlindungan dengan mediasi saudara kami
dan panglima perang kami, Abi Harb Rabar ibn
Sarahrakoub. Pikirkan keadaanmu sendiri dalam masa
tinggal dan kebebasanmu yang panjang untuk kembali ke
240
Lihat Ahmad Zakiy Safwât, Jamharat Rasâ’il al-‘Arab, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.),
Jilid I, h. 234.
195
negerimu. Karena itu, ketika kamu telah mendapat jalan
dan mendapat peluang kembali ke negerimu untuk
memegang kekuasaan kembali, maka pelindung kami
harus menjadi pelindungmu dan musuh kami menjadi
musuhmu,
berdamai
ketika
kami
berdamai,
dan
berperang ketika kami berperang. Kamu harus ikut
mempertahankan
kota-kota
pelabuhan
kami
dari
serangan musuh dan wilayah lain di bawah kekuasaan
kami dan orang-orang yang masuk dan tunduk kepada
kekusaan kami. Jangan pernah kamu mengirim pasukan
untuk menyerang mereka, jangan pernah menginvasi
mereka, jangan pernah mengumumkan perselisihan atau
konflik terhadap mereka, dan jangan pernah melakukan
tipu
daya
secara terang-terangan atau
sembunyi-
sembunyi. Jangan pernah menyakiti atau melukai mereka
secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.”241
Demikian pula dalam menerima para pengungsi,
sebaiknya suatu negara mengikuti ketentuan yang
mengikuti perjanjian internasional yang telah disepakati
oleh negara asal pengungsi tersebut.242
241
Disebutkan dalam Muhammad Mâhir Hammâdi, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi alAndalus wa Syimâl Afriqiyya, (Beirut 1400 H/1980M) h. 321
242
Misalnya, Raja Lyon yang dikucilkan dari gereja karena dituduh sebagai pengkhianat oleh Paus,
dan Paus meminta kepada Raja Portugal untuk memeranginya. Raja Lyon pun menuju Seville, untuk mencari
suaka kepada Khalifah al-Mansur dan meminta bantuan tentara dan uang. Meskipun Khalifah memberikan
sambutan yang baik kepadanya karena Islam melarang perbuatan semena-mena kepada seorang raja, tapi dia
tidak mengabulkan permintaan suaka, karena adanya perjanjian gencatan senjata dan perjanjian damai antara
196
(b) Tidak boleh memberikan suaka kepada pengungsi
yang
terlibat
tindakan
kejahatan
serius
yang
suaka
ialah
dilakukan di negara asalnya.
Tujuan
utama
dari
pemberian
melindungi seseorang dari penganiayaan yang mungkin
menimpanya bila ia harus tinggal di negara asalnya atau
di tempat lain. Oleh karena itu, seharusnya seorang
pengungsi tidak boleh terlibat tindakan kejahatan serius,
lalu ia ingin mencari suaka untuk bebas dari hukuman
(yakni menikmati impunitas). Dalam hal ini, al-Haitami
menganggap tindakan melindungi mereka dari upaya
orang-orang yang berusaha menebus hak dari mereka
sebagai dosa besar. Yang dimaksud mereka di sini adalah
orang yang melakukan suatu pelanggaran pidana menurut
Syariat Islam. Hal ini diperkuat oleh Hadis yang
diriwayatkan dari 'Ali ibn Abi Tâlib: "Allah melaknat
orang yang menyembelih dengan selain nama Allah.
Allah melaknat orang yang mengutuk orang tuanya.
Dinasti al-Muwahhidin dan Raja Castile. Lihat Dr Abdul Hadi al-Tazi, al-Tarîkh al-Diblûmasiy fi al-Magrîb min
Aqdam al-'Usûr ila al-Yaum, (t.t.p: Matâbi’ al-Fadalah al-Muhammadiyyah, 1407 H/1987 M), Jilid VI, h.66.
Bila tidak ada perjanjian internasional yang melarang pemberian suaka, maka aturan yang berlaku
bahwa semua tindakan pada dasarnya diperbolehkan (mubâhât), yaitu apa yang tidak tegas dilarang,
diperbolehkan.
Oleh
karena
itu,
suaka
dapat
diberikan
dalam
kasus
tersebut.
Jadi, Abû Syâmah mengatakan bahwa penguasa Tripoli (Libya) pernah minta suaka kepada Sultan Dinasti alAyyubi, Salahuddin (Saladin), lalu ia masuk Islam dan Sultan Salahuddn mendukungnya. Lihat Abu Syamah
‘Uyun ar-Raudatain fi Akhbâr al-Daulatain al-Nuriyyah wa al-Salahiyyah, (Damaskus: Wizârat al-Tsaqâfah,
1992), Jilid II, h 131.
197
Allah melaknat orang yang memindahkan patok tanah.243
Karena Islam tidak mengizinkan kezaliman dalam bentuk
apapun, maka Islam tidak menyetujui pemberian suaka
kepada orang-orang semacam ini,
244
khususnya bila
pengungsi tersebut seorang kepala negara atau pengambil
keputusan atau para pelaku kriminal berbahaya.
Dalam
nada
yang
sama,
Ibn
Taimiyah
mengatakan:245
"Hal yang biasa terjadi ialah banyak kepala suku dari
desa atau perkotaan yang dimintai suaka oleh seseorang
yang mengalami kesulitan; atau orang yang memiliki
hubungan keluarga atau pertemanan. Didorong oleh
tradisi Jahiliah atau arogansi kelompok, dan mengejar
popularitas, mereka membantunya, meski ia adalah
seorang penindas batil, dengan memperlakukannya
sebagai korban yang dizalimi, terutama jika pimpinan
243
Lihat Sahih Muslim, Hadis No.1978, Jilid 3 h. 1567; dan Musnad Iman Ahmad, musnad Ali ibn Abi
Thalib, Hadis No. 855, Jilid 2 h. 212.
244
Dalam interpretasi Hadis Nabi Muhammad SAW:
Setiap Muslim adalah sama di dalam darah; terendah-peringkat di antara mereka dapat memberikan keamanan
dan zimma (jaminan) satu dengan lainnya. Tidak akan pernah seorang muslim dibunuh karena membunuh
orang kafir dan tidaklah orang di bawah perjanjian damai dapat dibunuh selama ia mematuhi perjanjian.
Orang yang melakukan pelanggaran akan bertanggung jawab untuk itu. Mereka yang melakukan pelanggaran
atau melindungi pelaku akan mendapat kutukan Allah, malaikat dan semua orang.
Imam al-Khattabî menyatakan: Perkataan Nabi SAW “Orang yang memberikan perlindungan kepada
pelaku kejahatan akan mendapat kutukan Allah” mengandung makna bahwa orang yang memberikan
perlindungan kepada pelaku kriminal, atau memberikan perlindungan diri pelaku kriminal dari seterunya atau
menghalanginya dari hukuman qisâs, maka ia akan mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua orang. Imam
al-Khattabî, Ma'âlim al-Sunan, Jilid 4, h. 16-19.
Untuk arti ungkapan siapa memberikan perlindungan kepada pelaku dosa, Lihat Ibn Hajar al-Asqalânî
Fath al-Bâri bi Syarh Sahih al-Bukhârî, Jilid 13, h. 239-240.
245
Ibn Taimiyah, Majmû’ah Fatâwa Ibn Taimiyah, Ibn Qâsim al-Najdî (ed.), (Riyadh: Matâbi’ alHukûmah, 1381 H), Jilid 28, h. 326-327.
198
orang-orang tadi dianggap sebagai musuh mereka. Dalam
hal ini mereka berpikir bahwa menyerahkan pencari
suaka kepada musuh akan menjadi tanda kehinaan dan
kelemahan. Ini merupakan sikap Jahiliah, salah satu
bahaya terbesar untuk agama dan dunia ini. Telah
diriwayatkan bahwa inilah yang sering menjdi sebab
pemicu perang sipil antar suku Arab dalam masa praIslam, seperti perang Basus, perang antara Bani Bakar
dan Taghlib, dan sebagainya. Faktor ini pula penyebab
intervensi orang-orang Turki dan Mongol ke wilayah
Islam dan penguasaan wilayah Mesopotamia dan
Khurasan.
Ibnu Taimiyah menambahkan, untuk menguatkan
pendapat terdahulu:
" Ini adalah tugas setiap orang untuk memberikan bantuan
dan perlindungan bagi orang yang mencari perlindungan,
jika ia terbukti benar-benar terzalimi. Seorang pria tidak
akan dinilai sebagai terzalimi hanya berdasarkan klaim
mereka sendiri. Sering terjadi orang mengadu, meskipun
mungkin dirinya sendiri adalah orang zalim. Seharusnya
ia diverifikasi dahulu kepada lawannya atau sumber
lainnya. Bila ia terbukti menjadi orang zalim, maka ia
akan ditolak dengan cara halus dan jika memungkinkan
199
dengan perdamaian atau penilaian yang adil, atau bila
tidak memungkinkan baru dengan tindakan keras."246
A.2. Diperbolehkannya ektradisi pengungsi
Menurut Syariat Islam247 pengungsi dapat diekstradisi dalam dua
kasus:
246
Cerita berikut menunjukkan di mana pencari suaka dengan secara terpaksa meminta perlindungan
setelah melakukan tindakan kejahatan di negara asalnya ketika mereka memiliki kekuasaan. Contohnya, ketika
Bani Marwan (Dinasti Umayyah) melarikan diri ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy), ketika Abbasiyyah mengambil
alih kekuasaan. Kaisar Ethiopia bertanya, “Apa yang membawa Anda ke sini?”. “Penguasa baru telah
mengubah nasib kami, maka kami mencari suaka kepada Anda.” jawabnya. Lalu Kaisar berkata, “Anda
mengklaim Nabi Anda melarang minum arak, tapi mengapa Anda meminumnya”. Ia berkata: ‘Yang melakukan
hanyalah orang-orang tak bermoral diantara kami”. Kaisar berkata lagi “Anda mengatakan bahwa dilarang
berpakaian sutra, mengapa Anda memakainya?. Bani Marwan berkata: “Hanya beberapa pengikut kami saja
yang melakukan”. Kaisar berkata: “ Dan ketika Anda berangkat untuk berburu burung gereja, Anda mengepung
desa-desa, merebut harta milik mereka, dan merusak perkebunan mereka.” Jawab mereka: “Hanya orang bodoh
yang melakukannya”. Kaisar berkata: “Tidak, demi Allah. Akibat kesalahan-kesalahan itu, Anda telah
melakukan dosa terhadap Tuhan, sehingga Ia lucuti kekuasaan Anda“. Lihat Ibn al-Jauzi, al-Syifâ’ fi Mawa’iz
al-Muluk wal-Khulafâ ', tahqîq Fu'ad ‘Abd al-Mun'im, (Iskandariyah: Mu'assasat Syabâb al-Jâmi'ah, 1398
H/1978 M), h. 60.
Dalam hal ini kami juga mengutip pendapat Ibn Syâhin bahwa seorang raja "tidak boleh bersikap
penuh kedekatan kepada setiap buronan dari seorang raja rekan, atau mengungkapkan rahasia raja rekan
kepadanya, tetapi harus menghormati dan menjauhi sikap demikian. Bila ia melarikan diri dari raja musuh, dia
harus berhati-hati karena bisa jadi buronan tadi mungkin bertindak tidak terpuji kepada tuannya; atau ia
membuat intrik untuk mendapatkan informasi tentang keadaan di negara suaka dan kemudian melaporkan
kepada rajanya. Atau buron mungkin dapat berdampak kepada demoralisasi pada prajurit. Jika buronan
melarikan diri dari seorang raja, maka bersikap diam dan tidak terlalu dekat kepadanya adalah upaya
menghindari bahaya. Mengenai seorang buronan yang dijatuhi hukuman mati, berusaha berlindung pada raja
negara suaka, kami telah jelaskan sebelumnya terkait perkataan Amirul Mukminin, “Engkau jangan sekali-kali
mengabaikan hukuman yang telah ditentukan Allah. Jika buronan memiliki dosa dan kemudian bertobat, upayaupaya harus dilakukan untuk meminta permaafan sehingga ia bisa kembali ke tuannya.". Lihat Gars al-Dîn ibn
Syâhin al-Zâhirî, Kitab Kasyf al-Zubdât Mamâlik Bayân wa al-Turuq wa al-Masâlik, tashîh Bolos Rawis,
(Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustânî, 1988-1989), h. 60-61.
Ini berarti bahwa Ibn Syâhin menetapkan tiga aturan khusus untuk pengungsi:
1. Perlu kehati-hatian penuh, karena seorang buron yang datang ke negara Islam mungkin telah dikirim untuk
tujuan lain; misalnya untuk mengumpulkan informasi. Dengan demikian, Ibn Syahin telah meramalkan
praktek yang digunakan oleh badan intelijen modern dalam menyebarkan orang kepada negara-negara lain
secara rahasia dalam penyamaran sebagai pengungsi politik, pembangkang, atau terdakwa yang dicari untuk
diadili atas kejahatan yang dilakukan.
2. Jika buron telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hadd, maka raja harus memulangkannya,
mengingat dia diperlukan agar tidak mengganggu penegakan hukuman yang ditentukan Ilahi (hudûd).
(Rupanya Ibn Syâhin membatasi ketentuan ini dalam hubungan antar negara Islam yang mengadopsi konsep
hudûd.)
3. Jika pelakunya bertobat dari tindakan yang telah dilakukan (misalnya, dengan tidak menyerang rezim di
negara asalnya dan mundur dari ajakan untuk menggulingkan pemerintah), maka negara Islam mungkin ikut
campur dan meminta amnesti bagi dia atau memulangkan dia asalkan ada jaminan bahwa ia tidak akan
dihukum dalam kasus ini. Lihat Dr Ahmed Abu al-Wafa, Kitab al-I’lâm bi al-Qânûn Qawâîd al-Dauliy wa
al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, Jilid XIV, h. 555-556.
200
(a) Ektradisi pengungsi pelaku kriminal: Sejauh mana
ekstradisi pelaku kriminal diperbolehkan dalam
Islam
Idealnya, seorang tersangka pelaku tindak kriminal,
diadili dalam persidangan di negara tempat ia berbuat
tindakan tersebut. Sebab dengan demikian, proses lainnya
akan lebih mudah dilaksanakan, seperti pengadaan barang
bukti, pendengaran pernyataan para saksi, inspeksi ke
Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan penelitian terhadap
kondisi – kondisi lainnya. Namun kenyataannya, banyak
negara di dunia ini tidak mau menyerahkan atau tidak
memprioritaskan penyerahan warga negaranya ke negara
lain untuk diproses di pengadilan sesuai dengan undangundang yang berlaku. Bagaimana pandangan Syariat Islam
dalam hal ini ?
Ada 2 (dua) aspek pokok dalam Syariat Islam khususnya
terkait dalam kasus bila pelaku kriminal tersebut seorang
Muslim yang melakukan kejahatan di dar al-harb (negara
yang sedang berkonflik dengan Negara Islam) kemudian ia
lari ke negara Islam.
i. Aspek
yang
pertama:
“Aspek
Personalitas”:
Dimungkinkan penetapan hukuman dalam kondisi ini,
247
Lihat juga “Extradition Problems Affecting Refugees ” dalam Conclusions on the International
Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Cairo, 2004, 39, No.
17 (XXXI)
201
karena setiap Muslim wajib tunduk kepada Syariat Islam
dimanapun
ia berada. Mayoritas ulama berpendapat
demikian.
ii. Aspek kedua: ”Aspek Teritorial”: Dapat dilihat bahwa
hukuman terhadap tindak pidana menjadi tergantung
pada eksistensi yurisdiksi Islam pada saat terjadinya
tindak pidana itu. Bila yurisdiksi ini tidak ada di wilayah
dar al-harb, maka seorang Muslim tidak dapat dihukum
karena tindakan yang dilakukannya (di luar negara
Islam). Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi.
Akan tetapi apakah boleh, terkait dengan kewajiban ini,
menyerahkan seorang Muslim atau dzimmiy ke dar al-harb
untuk diadili karena kejahatan yang dilakukannya disana
walaupun dalam rangka penerapan perjanjian internasional?248
248
Mantan Mufti Republik Arab Mesir, Prof. Dr. Nasr Farîd Wâsil mendukung ekstradisi Osama bin
Laden dengan alasan-alasan berikut: "Perang melawan Afghanistan menjadikan orang sipil tak berdosa dan
lemah sebagai sasaran. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini tidak ada keberatan dari perspektif Syariat
Islam, Osama bin Laden menyerahkan diri karena oleh Amerika Serikat karena dianggap sebagai terdakwa
utama tindakan terorisme di New York dan Washington, agar diadili dalam rangka menjaga perdamaian dunia
dan keselamatan orang Afghan. Sebagai alternatif, rezim Taliban yang memberinya tempat berlindung, dapat
menyerahkannya ke pengadilan di bawah Organisasi Islam Internasional atau badan yang netral di bawah
pengawasan internasional untuk memastikan bahwa ia akan diadili secara adil, dengan menyelamatkan warga
sipil Afghanistan yang lemah dan telah menjadi korban untuk penindasan dan agresi. Jadi, jika penghentian
perang melawan Afghanistan dan pemulihan perdamaian internasional memerlukan ekstradisi Osama bin Laden,
ia harus menyerahkan diri kepada suatu badan internasional di mana keadilan dapat ditegakkan oleh pengadilan
yang adil, sebagaimana diabadikan oleh hukum universal yang diakui syariat-syariat agama Samawi dan
kesepakatan hukum internasional. Yang penting bahwa pengadilan yang adil harus dipastikan dan Osama bin
Laden harus memiliki kesempatan untuk membela diri dan menyerahkan bukti-bukti untuk membantah tuduhan
terhadap dirinya. Akan tetapi apabila ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa kebenaran tidak dapat
diungkap atau keadilan dapat ditegakkan kecuali bila sidang dilakukan oleh seorang hakim Muslim, dalam hal
ini Osama bin Laden harus diadili di depan pengadilan Islam ... "Lihat Nasr Farîd Wâsil, “ Mufâja’ah
Yufajjiuraha Mufti al-Jumhûriyyah: Taslîm Bin Laden li-Amrika Wâjib bi Syurût’ “, Jarîdah Saut al-Azhar, 23
Sya'ban, 1422 H/November 9, 2001, h. 3.
202
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Abu Zahrah berpendapat
bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai
berikut:
i.
Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang
Muslim tidak boleh diadili oleh hakim non-Muslim.
ii.
Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang
Muslim tidak boleh diadili dengan hukum yang tidak
berdasar al-Qur’an dan Sunnah Nabi.249
(b) Ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional
Jika sebuah negara Islam terikat dengan perjanjian
internasional
yang
memungkinkan
untuk
mengekstradisi
seseorang, maka tidak diragukan lagi negara tersebut harus
menghormati kewajibannya, mengingat bahwa pemenuhan janji
adalah aturan dasar Syariat Islam.250
249
Syekh Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabî,t.th.), h. 382-383. Hal
senada dijelaskan pula oleh Mahmûd Ibrâhim Dik, al-Mu’âhadât fi al-Syarî’ah al-Islamiyyah wa al-Qanûn alDuwalî al-‘Âmm, (Dubai: al-Bayân al-Tijâriyah, h. 352-354.
Seorang ahli menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengatur tentang ekstradisi para pelaku
kriminal berdasarkan kalam Allah:
“Barang siapa membunuh sebuah jiwa tanpa alasan yang benar atau membuat kerusakan di atas
bumi, maka seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memberikan kehidupan kepada
seorang manusia maka seolah-olah ia memberikan kehidupan kepada seluruh manusia”. (Q.S. al-Mâ’idah/5:
32). Ini berarti bahwa keadilan harus merata, dan penjahat harus dihukum.
Dia menambahkan:
“L'islam pose, le premier, le Principe de l'ekstradisi, en indiquant de la Facon la rationnelle et la, la sur
laquelle dasar Noelle fondée est. En effet, il est dit dans le Quran (SV ay. 32): «Celui qui aura un homme tue
sera regardé meurtrier du genre humain», n'est - ce pas la de l'indivisibilité justice de la et de la nécéssité de
punir les coupables, nonobstant les politiques et les Frontières teori basées sur la theories de la souveraineté des
Etats et la territorialité, des lois pénales “. Lihat A. Rechid, L'Islam et le droit des gens, RCADI, 1937, II, h.
434.
Menurut Hamidullah:”Jika orang dari negara Muslim melakukan kejahatan di negara luar, meskipun
tindakan kejahatan tersebut dilakukan untuk melawan non-Muslim, maka kasus mereka tidak dapat diadili
dalam pengadilan Muslim, meskipun mereka mungkin akan diekstradisi jika ada perjanjian yang efektif.
Hamidullah, Muslim Conduct State, Sh. M. Ashraf, (Lahore:tp. 1945), h. 178.
250
Lihat juga al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid 18, h. 412, 426.
203
Hal ini dapat disimpulkan dari insiden yang terjadi setelah
Perjanjian Hudaybiyyah, ketika Abu Basir datang kepada Nabi
Muhammad SAW, lalu suku Quraisy mengirim dua orang
untuk meminta ekstradisi. Nabi Muhammad SAW berkata
kepada Abu-Basir, "Wahai Abu-Basir, kami telah memberikan
orang-orang ini apa yang anda tahu (perjanjian) 251 dan dalam
agama kami, pengkhianatan tidak pantas bagi kami. Allah Yang
Maha Kuasa akan memberikan anda dan orang-orang yang
lemah jalan keluar dan melepaskan dari penderitaan. Jadi
kembalilah kepada kaummu". Abu Basir berkata: "Wahai
Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikan saya kepada
orang-orang kafir untuk membujuk saya keluar dari iman? Nabi
Muhammad SAW menegaskan: “Wahai Abu-Basir, pulanglah
kepada kaummu, karena Allah akan memberikan kamu dan
orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan diri dari
penderitaan”. Maka Abu-Basir kembali ke kaumnya. Kemudian
orang-orang Islam mulai tidak membiarkan orang mengunjungi
suku Quraisy. Akibatnya orang Quraisy menderita kerugian
akibat apa yang mereka dilakukan. Lalu suku Quraisy menulis
surat kepada Nabi Muhammad SAW meminta untuk membawa
mereka
ke
Madinah.
Kemudian
ayat
al-Qur'an
turun
menggantikan kata ketentuan dalam hal pemulangan wanita251
Perjanjian yang disepakati kedua pihak adalah: ”Apabila salah seorang dari kami, bahkan yang
seagama denganmu (Islam), datang kepadamu, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami.”
204
wanita Mukmin, 252 Nabi Muhammad pun membuat ketentuan
yang melarang ekstradisi wanita-wanita Mukmin.
Namun, dapatkah dikatakan bahwa ada pertentangan antara
prinsip
yang
disebutkan
sebelumnya
mengenai
tidak
memperbolehkan ekstradisi pengungsi dan peristiwa yang
terjadi selama perjanjian Hudaybiyyah?. Yakni ketika umat
Islam memulangkan pengungsi dari Mekkah, meski mereka
Muslim. Sementara itu orang Quraisy tidak akan mengizinkan
Muslim masuk ke tanah mereka?
Realitasnya, apabila ditinjau dari pengamatan yang
sederhana pertentangan itu memang ada. Namun bila ditinjau
secara mendalam, pertentangan itu tidak ada, didasari dengan
dua alasan berikut:
(1) Menurut Syariat Islam, pemenuhan janji merupakan suatu
prasyarat yang wajib.
252
Ketentuan itu berdasarkan ayat “ujian” di dalam suarat al-Mumtahanah ayat 10. Ayat itu berbunyi
sebagai berikut:
Hai orang-orang beriman! Ketika ada datang kepada kamu pengungsi wanita yang beriman, ujilah
mereka: Allah tahu yang terbaik untuk iman mereka: jika kamu memastikan bahwa mereka beriman, janganlah
mengirimkan mereka kembali kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal (sebagai istri) untuk orang-orang
kafir, atau orang kafir tidak halal (suami) untuk mereka. bayarlah kepada orang-orang kafir apa yang mereka
telah menghabiskan (pada mahar mereka). Dan tidak akan ada atas kamu jika kamu menikahi mereka. (Q.S. alMumtahanah/60:10).
Mengomentari hal itu Ibn Hisyâm berkata: “Seandainya tidak ada ketentuan Allah tentang hal itu, Nabi
Muhammad SAW akan memulangkan wanita-wanita Quraisy seperti yang dilakukannya dengan pria. Dan kalau
bukan karena gencatan senjata dan perjanjian damai dengan Quraisy di Hudaybiyya, beliau akan tetap menahan
wanita-wanita itu dan menjadikannya tebusan. Ini adalah sikap Nabi SAW terhadap wanita-wanita muslim
sebelum adanya perjanjian. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid 2, h. 326-327.
al-Hâzimî mengatakan tentang tidak dapat diterimanya pemulangan wanita: “Ada sebuah dalil bahwa
jika kepala negara membuat syarat dalam perjanjian yang tidak boleh dilakasanakan karena bertentangan dengan
agama, maka syarat itu dianggap batal. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW: “Setiap ketentuan
yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka ketentuan itu batal.” Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hâzimî, alI'tibâr fi Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr, op cit, h. 332.
205
(2) Namun, ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar
Islam. Hal yang harus dipenuhi adalah musta’min dijamin
keselamatannya serta keamanan hidup dan harta miliknya.
Hal ini membawa kita untuk mengatakan bahwa ekstradisi
dapat diterima dalam Islam setelah adanya perjanjian antara
negaranya dengan negera Islam. Bila tidak ada perjanjian,
maka orang tersebut tidak dapat diekstradisi, karena bila
tetap diekstradisi, maka hal itu akan dianggap sebagai
pengkhianatan dan pelanggaran hak aman yang sudah ada
sebelumnya, mengingat bahwa tinggal terus-menerus tanpa
perjanjian adalah tanda kerelaannya untuk tunduk kepada
hukum-hukum yang berlaku di negara Islam.
Menurut pendapat kami, kepala negara Islam harus
menetapkan untuk musta'min, waktu untuk kembali ke negara
asalnya
atau
tempat
lain
pilihannya,
demikian
untuk
mempertahankan “aman” yang diberikan kepadanya, dalam
penerapan prinsip tidak boleh ektradisi ke tempat di mana ada
kekhawatiran akan dianiaya 253 dan dalam rangka pencegahan
pengkhianatan dalam bentuk apapun.
253
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ekstradisi oleh negara atas warga negara dari sebuah
negara asing untuk dipulangkan ke negara mereka, tidak bertentangan dengan perjanjian “aman” atau Syariat
Islam, karena “aman” yang diberikan kepada musta'min, apabila ada perjanjian ekstradisi, telah memenuhi
syarat dengan kondisi implisit (dimnî) yakni memulangkannya ke negaranya, jika ada permintaan dan syaratsyarat untuk ekstradisi terpenuhi. Lihat Dr `Abd al-Karîm Zaydân, Ahkâm al-Dzimmiyyîn wa al-Musta’minîn fî
Dâr al-Islâm, (Baghdad; Maktabah al-Quds, Beirut: Mu'assasât al-Risâlah1402 H/1982 M), h.121
Bahkan kita percaya bahwa ini dapat terjadi hanya jika perjanjian ekstradisi disepakati sebelum
pemberian hak “aman”. Dalam hal demikian, ekstradisi akan berlaku di bawah syarat yang jelas dan didasarkan
pada pengetahuan sebelumnya oleh musta'min tersebut. Di sisi lain, jika perjanjian ekstradisi itu disepakati
setelah pemberian hak aman, maka musta’min tidak dapat diekstradisi, tetapi ia akan ditawarkan pilihan untuk
206
Preseden
perjanjian
Hudaybiyyah
menunjukkan
dua
pertimbangan:
Pertama: Negara Islam boleh mengektradisi Muslim jika terikat
dalam perjanjian internasional, asalkan ia telah memasuki
wilayah Islam setelah ratifikasi perjanjian.
Kedua: Dia yang masuk negara Islam sebelum ratifikasi
perjanjian internasional, tidak dikenakan ketentuan ekstradisi
karena tidak adanya kesepakatan yang tersedia terkait hal itu.254
Selain Perjanjian Hudaybiyyah, terdapat pula sebagai contoh
dari sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani oleh
negara Islam untuk mengekstradisi orang tertentu. Banyak
contoh yang dapat ditelusuri dalam praktek negara-negara
Islam.255
diantar ke tempat di mana ia merasa aman. Dalam kasus ini, tidak bisa dikatakan bahwa adanya “syarat dimnî"
dibenarkan untuk ekstradisi. Dalam pandangan kami, ini adalah pandangan asumtif yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
al-Syaukânî mengatakan, "Ketahuilah bahwa kembalinya orang-orang kafir yang melarikan diri ke
tanah Muslim, yang ingin memeluk Islam, jelas bertentangan dengan ketentuan Syariat dan persyaratan
kehormatan Islam. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika penguasa cenderung untuk percaya bahwa jika hal
ini tidak dilakukan, akan terdapat kerugian jauh lebih besar oleh orang-orang kafir terhadap kekuasaan Islam.
Lihat al-Syaukânî, al-Sail al-Jarrâr al-Mutadaffiq 'alâ Hadâi'q al-Azhâr. h. 537.
254
Pada saat perang Hudaybiyyah, dua orang budak datang kepada Nabi Muhammad SAW sebelum
perjanjian perdamaian ditandatangani. Tuan-tuan mereka menulis kepada Nabi dan berkata, “Wahai
Muhammad, mereka datang kepada anda bukan karena mencintai agama anda, tetapi dalam rangka lari dari
perbudakan”. Beberapa sahabat Nabi berkata: “Mereka benar, wahai Rasulullah”. Nabi menjawab, “Anda kaum
Quraisy, aku lihat kalian tidak akan dihalangi sampai Allah mengirimkan kepada kalian beberapa orang untuk
memotong leher kalian untuk ini”. Dia menolak untuk mengembalikan mereka ke perbudakan, Nabi
mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah” Lihat al-Khattabî, Ma‘âlim al-Sunan,
(Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401 H /1981 M), Jilid. 2, h. 295.
255
Salah satu contoh adalah perjanjian antara Muslim dan dengan bangsa Nubia yang menyatakan:
“Kami dengan ini melakukan kontrak dan perjanjian agar kalian memberikan kepada kami tiga ratus kepala
(sapi) setiap tahun; dan kalian boleh masuk ke negeri kami untuk transit bukan untuk tujuan tinggal. Demikian
pula kami dapat memasuki negara kalian dengan ketentuan yang sama. Namun, jika Anda membunuh seorang
Muslim, maka perjanjian ini akan dibatalkan; dan jika Anda memberikan suaka bagi budak yang dimiliki oleh
umat Islam, maka kalian harus memulangkan budak Muslim yang lari atau dzimmî yang meminta suaka kepada
207
Jika tidak ada perjanjian sejenis yang disepakati maka
urusannya dikembalikan kepada kebijaksanaan penguasa
dimana pengungsi berada di sana.256
kalian. Lihat Ibn ‘Abd al-Hakam, Futûh Misr wa al-Maghrîb, diedit oleh ‘Abd al-Mun'im Âmir, (Kairo: Lajnah
al-Bayân al-‘Arabî, Bagian Sejarah), h. 254.
Contoh lain adalah perjanjian antara Sultan Mamluk dan Gubernur Acca yang berbunyi :"Setiap kali ada
seorang yang secara sukarela lari dari wilayah di bawah kekuasaan Sultan dan putranya ke Acca, maka segala
harta benda, pakaian dan barang – barang yang dibawanya, harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan
(ke negara Sultan) dan orang tersebut ditinggalkan seadanya. Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Kristen,
dia akan kembali ke pintu-pintu (negeri asalnya) beserta semua harta benda dengan pertolongan orang-orang
yang dapat dipercaya setelah diberikan hak aman. Demikian juga, jika salah satu orang dari Acca atau kota-kota
pesisir yang termasuk dalam perjanjian ini, datang dengan niat memeluk Islam lalu memeluk Islam dengan
keinginannya sendiri, maka semua harta bendanya harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan ke tempat
asalnya, dan ia dibiarkan/ ditinggalkan seadanya (atas pilihannya). Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Islam
dan ia benar-benar tidak mengubah agamanya, dia akan dikembalikan bersama dengan semua harta bendanya
kepada pemerintah Acca dan diberikan bantuan setelah diberikan hak “aman” "Lihat al-Qalqasyandî, Subh alA’syâ, Jilid 14, h.56-57.
Terdapat pula contoh perjanjian yang diratifikasi antara Raja Levon dari Cisse dan Sultan Qalawun
yang berbunyi:
"Setiap kali ada orang melarikan diri dari negeri Sultan Qalawun, Raja Levon dan wakilnya harus
menahan dan memulangkannya ke negeri Sultan ...Jika salah seorang rakyat, budak, atau tentara Raja Levon
melarikan diri dan tetap mematuhi agamanya, maka wakil Sultan berjanji untuk memulangkannya. Tetapi jika ia
memeluk Islam, maka harta benda yang dibawanya harus dikembalikan. Lihat Muhyi al-Dîn bin Abd al-Zâhir,
Tasyrîf al-Ayyâm wa al-‘Usûr fî Sirah al-Malik al-Mansûr, diedit oleh Murâd Kâmil, (Kairo: Wizârah alTsaqafah wa al-Irsyâd al-Qaumî, 1961), h.100. Lihat juga h. 101: “Setiap kali sesuatu diambil atau seseorang
dari salah satu pihak tewas, pelaku harus diekstradisi untuk dikisas”.
Contoh lebih lanjut dapat dilihat pada perjanjian antara al-Mansur Qalawun dan Rodrigon dari
Barcelona dan saudaranya penguasa Sisilia, yang menyatakan :”Setiap kali seseorang dari negara-negara di
bawah Sultan Qalawun yang terikat dengan perjanjian damai ini, melarikan diri ke wilayah Raja Rodrigon dan
saudara-saudaranya atau membawa barang kepada pihak lain dan berada di negara-negara tersebut, Rodrigon
akan mengembalikannya beserta harta yang dibawanya ke wilayah Sultan, selama dia tetap seorang Muslim.
Jika ia pindah agama ke Kristen, maka harta benda yang dibawanya, baik yang miliknya sendiri atau yang ia
peroleh dari kerajaan Rodrigon dan saudaranya, harus dikembalikan. Termasuk juga mereka yang lari dari
negaranya memasuki teritori dibawah kekuasaan Sultan.. Lihat teks dalam Dr Muhammad Mâhir Hammadah,
al-Watsâiq al-Siyâsiyah wa al-Idâriyah li al-‘Asr al-Mamlûkî, (Beirut: Muassasât al-Risâlah, 1403 H /1983 M),
h. 490.
256
` Ibn Tabâtiba menjelaskan tentang Dubays bin Shadaqah, penguasa Hillah dengan cara
menceritakan kisah pemberian suaka Pangeran Abû al-Hasan, saudara Khalifah al-Mustarsyid: “Dubays adalah
tuan rumah, pelindung, tempat perlindungan dan benteng. Di bawah kekuasaannya, Hillah adalah pusat
wisatawan, tempat perlindungan bagi musafir, benteng untuk orang terusir, dan pegangan bagi orang-orang
ketakutan”. Lalu Khalifah memintanya untuk mengucapkan sumpah kesetiaan kepada Khalifah dan
mengekstradisi saudaranya. Dia setuju untuk mengucapakan sumpah kesetiaan, tetapi menolak untuk
mengekstradisi saudara Khalifah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkannya kepada anda dan ia
akan tetap menjadi tamuku bahkan jika saya harus tewas dalam membelanya.”Lihat Ibn Tabâtiba, al-Fakhr fi alAdab al-Sultâniyyah wa Duwal al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr Sadir, t.th), h. 302.
Penyair ‘Adîl bin al-Farkh pernah menulis sebuah puisi yang menyebabkan kemarahan al-Hajjaj (salah
seorang gubernur pada masa Dinasti Abbasiyyah), dan menginginkan ia ditangkap. Tapi ‘Adîl berhasil
melarikan diri ke wilayah Romawi. Al-Hajjâj pun menulis surat kepada Kaisar Romawi, "Demi Allah, jika anda
tidak mengirimnya kembali ke saya, saya akan mengirimkan tentara perang kepada anda, yang dimulai padamu
dan berakhir padaku!" Kemudian ‘Adîl dipanggil dan dipulangkan ke al-Hajjâj (tapi al-Hajjâj kemudian
melepaskannya setelah penyair tadi menulis sebuah puisi yang memujinya.) Lihat al-Raqqâm al-Basrî, Kitâb al'Afw wa al-I'tidzâr, (Riyâd: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Sa‘ûd al-Islamiyyah, 1401 H/1981), Jilid 2, h. 353-
208
Hal tersebut di atas tidak bertentangan dengan Syariat Islam.
A.3.Sejauh
mana
ekstradisi
dapat
diterapkan
bagi
pengungsi tawanan perang
Menurut Syariat Islam, disebutkan sebelumnya bahwa
dibolehkan memberikan suaka teritorial bagi tawanan perang
yang berasal dari negara non-Islam, jika mereka memeluk
Islam atau menjadi dzimmiy. Akan tetapi, apakah boleh
mengekstradisi tawanan perang yang beragama Islam yang lari
dari kawasan musuh untuk menyelamatkan diri dari musuh?
Dapat disimpulkkan bahwa para ahli Syariat Islam hampir
sepakat bahwa tawanan Muslim tidak boleh dikembalikan
kepada musuh dalam kondisi seperti ini, meskipun ada
perjanjian internasional yang membolehkan adanya ekstradisi,
karena perjanjian tersebut dipandang tidak sesuai dengan
kondisi atau dianggap batal. Dan hal itu menjadi sesuatu yang
tidak boleh dilakukan.257
Menurut Ibn Hazm, "Jika seorang tawanan Muslim berada di
tangan
orang-orang
kafir
kemudian
mereka
membuat
perjanjian dengan meminta tebusan untuk pembebasannya,
356. Diantara contoh suaka adalah suaka Ibn al-Asy'âts ke Kabul, Afghanistan, dan selama masa pemerintahan
al-Hajjâj, di mana ia telah diberikan suaka oleh Shah Kabul, h. 368.
257
Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Azis, ia mengatakan, “Jika seorang tawanan perang muslim lari
untuk mempertahankan hidupnya, ia akan ditebus oleh Muslim lain dan tidak akan dikembalikan kepada nonMuslim, sebagaimana Allah SWT berkalam:
"Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, dan tidak halal bagi anda
untuk mengusir mereka." Ini ada di dalam bahasa Arabnya” (Q.S. al-Baqarah/2:85). Lihat Imam Hamîd bin
Zanjawaih. Kitâb al-Amwâl, (Riyâd: Markaz Mâlik Faisal li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1406
H/1986 M), Jilid I, h. 323.
209
jika akhirnya ia benar-benar dibebaskan, maka ia tidak boleh
kembali kepada mereka atau memberikan apapun kepada
mereka, dan pemimpin Islam tidak boleh memaksanya untuk
memberikan tebusan apapun kepada mereka."258
Hal ini berlaku jika tawanan tersebut adalah Muslim.
Namun bila tawanan tersebut non-Muslim, dan ia berada di
dalam kekuasaan Muslim, maka kita tidak boleh pula
menyerahkan mereka, dan wajib memberikan hak aman dan
suaka kepadanya dalam kondisi tertentu jika ia ingin
mendengar kalam Allah. Ini adalah penerapan kalam Allah:
Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka
kepadamu maka berikanlanh suaka hingga mereka mendengar
kalam Allah kemudian sampaikan kepadanya perlindungan
(diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang
tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6)
Dengan kata lain, bila ia memeluk Islam, maka sudah
menjadi kewajiban yang tidak dapat dipungkiri bagi negara
Islam untuk memberikan suaka kepadanya.
Dari pernyataan diatas, terlihat jelas bahwa Islam telah
melampaui praktek – prakter internasional. Contohnya, dalam
US Army Field Manual 1956 tentang penahanan pengungsi
dalam perang, menyatakan bahwa suatu kekuasaan untuk
menahan, mungkin sah untuk, dengan kebijakannya sendiri,
258
Ibn Hazm, al-Muhallâ, Jilid. 7, h. 308-309. Lihat juga al-Syâfi'î, al-Umm, Jilid 5, h. 194, alNawawi, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 283.
210
memberikan suaka bagi tawanan perang yang tidak ingin
dipulangkan. 259
B. Menurut Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, Pasal 1-F Konvensi 1951 (dan
juga Pasal 1-5 Konvensi 1969 Organisasi Dunia Afrika
tentang Aspek-Aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika
serta Pasal 2 Konvensi Arab 1994), mengacu kepada orangorang yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh
perlindungan internasional260 dan akibatnya dikecualikan dari
ruang lingkup penerapan aturan-aturan tersebut. Mereka
adalah orang-orang yang "dengan alasan serius” dianggap:
(i) Telah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan
perdamaian atau kejahatan perang, atau kejahatan melawan
kemanusiaan.261
259
Dalam hukum tersebut dinyatakan bahwa, ”Sebuah kekuatan untuk menahan mungkin sah untuk,
dalam kebijaksanaannya sendiri, memberikan suaka kepada tawanan perang yang tidak ingin dipulangkan.”
Lihat: Whiteman, Digest of IL, Vol. 10, hal 260.
Pada tanggal 27 Juli 1953, Menteri Luar Negeri AS membuat pernyataan mengenai pemberian suaka
untuk tahanan perang Korea dan Cina sebagai berikut:
"Prinsip kedua yang sangat penting dan telah mapan adalah prinsip suaka politik yang tidak pernah
diterapkan sebelumnya kepada para tahanan perang. Banyak tawanan perang komunis dari Korea Utara dan
China yang menyerah, tidak ingin dikembalikan ke penampungan, tetapi mereka ingin tinggal di tanah
kebebasan” tambahnya. Dia memaparkan bahwa bahwa pihak komunis bersikeras mengajukan permintaan agar
mereka dikembalikan secara paksa sebagai para tahanan perang. Tapi Amerika Serikat menolak keras
permintaan ini, dan mereka pun menyerah“. Lihat Whiteman, Digest of IL, vol. 10, h. 262-263. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kaum Muslim telah membahas masalah ini berabad-abad yang lalu.
260
Selain itu, dua kategori orang yang dikecualikan:
a. Mereka yang menikmati perlindungan dari Badan atau Perwakilan PBB yang tidak diserahi tugas
oleh PBB dalam urusan pengungsi (Pasal 1D)
b. Mereka yang menikmati hak-hak mereka dan mereka memiliki kewajiban yang terkait dengan
kepemilikan kewarganegaraan di negara tempat ia tinggal.
261
Lihat-terkait pidana ini-Ahmad Abû al-Wafâ’, Criminal International Law, (Cairo:Dar al-Nahda alArabia, 2007), h. 167-189. Lihat pula rekomendasi Lajnah al-Wuzara fi Majlis Uroba (Dewan Menteri Majelis
Eropa) kepada negara-negara anggotanya,tentang tafsir dan penerapan teks tersebut (Rekomendasi No. 6 Tahun
211
(ii) Telah melakukan kejahatan (selain politik) yang sangat
berbahaya di luar negara tempat mengungsi sebelum ia
diterima di negara tersebut sebagai pengungsi.
(iii) Telah dinyatakan bersalah karena telah melakukan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsipprinsip dasar PBB. 262
Sudah jelas bahwa tujuan dari hal tersebut adalah
mencegah pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia untuk
mendapatkan hak suaka, menikmati kekebalan, serta terhindar
dari jeratan sanksi hukum.263
Hal ini perlu dicatat pula, disamping orang-orang yang
disebutkan di atas yang tidak memenuhi syarat untuk
memperoleh status pengungsi, ada pula orang-orang yang tidak
membutuhkan perlindungan dari Komisi Tinggi PBB untuk
Pengungsi (UNHCR), yakni orang – orang yang sudah
2005), dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and Others of
Concern of UNHCR, Vol. IV, h.1419-1420.
262
Mengenai tujuan dan dan prinsip-prinsip dasar PBB, lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Wasît fî alQanûn al-Munazzamât al-Dauliyyah, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-Arabiyah, 1427 H/2007 M, cet. ke-7, h. 307327.
263
Hal ini ditekankan dalam beberapa instrumen PBB: Pasal 14 dari Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa hak untuk mencari suaka dan untuk menikmati perlindungan dari penganiayaan di
negara lain tidak diperbolehkan dalam kasus-kasus kejahatan non-politik atau dari tindak pidana lain yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Deklarasi tentang Suaka Teritorial (yang diadopsi oleh Majelis Umum di bawah Resolusi Nomor 2312
Tahun 1967) menyatakan bahwa, "hak suaka mungkin tidak dibolehkan bagi setiap orang yang telah melakukan
kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.."(Pasal 1-2)
Resolusi No. 3074 yang dikeluarkan pada tahun 1973 oleh Majelis Umum khususnya tentang prinsipprinsip kerjasama internasional dalam ekstradisi, pelacakan, dan hukuman pelaku kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, menyatakan bahwa "Amerika Serikat
mungkin tidak memberikan suaka bagi orang-orang tertentu dengan alasan serius karena dianggap telah
melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan" (Pasal 7).
Pasal 15 dari Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang terhadap Penghilangan Paksa (1992)
menyatakan bahwa "Dalam mengambil keputusan untuk memberikan atau menolak suatu suaka seseorang,
Negara pihak berwenang yang terkait harus mempertimbangkan apakah ada alasan untuk percaya bahwa orang
yang terlibat berpartisipasi dalam tindakan penghilangan paksa..
212
menikmati perlindungan atau bantuan dari organisasi atau
lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lain (misalnya, orangorang Palestina yang berada dibawah mandat United Nations
Relief and Work Agency for Palestine Refugees in the Near
East atau Badan Pengungsi Palestina di Timur Dekat
(UNRWA)). Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1-D Konvensi 1951
yang menetapkan bahwa “Konvensi ini tidak berlaku bagi orang
yang saat ini menerima perlindungan atau bantuan dari
organisasi atau lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa selain
UNHCR”.
Ketika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk
alasan apapun tanpa status definitif, sesuai dengan resolusiresolusi yang relevan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB,
maka orang-orang ini, berhak atas manfaat dari Konvensi ini
karena dinilai penting (ipso facto).
Ini berarti bahwa penerapan ketentuan tersebut diatur oleh
2 (dua) aturan:
1) Seseorang tidak akan menikmati manfaat Konvensi ini, jika
ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari organisasi
atau badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa selain UNHCR.
2) Orang yang menikmati manfaat dari Konvensi ini, harus
memenuhi 2 (dua) syarat:
(i) Jika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk alasan
apapun;
213
(ii)
Jika status akhir orang tersebut belum diselesaikan
secara definitif.
Di sisi lain, ada lagi kategori orang-orang yang dianggap
tidak membutuhkan perlindungan internasional. Hal ini berlaku
untuk orang-orang yang mungkin memenuhi syarat untuk status
pengungsi, tapi telah diterima di suatu negara di mana mereka
telah diberikan sebagian besar hak-hak yang biasa dinikmati
oleh warga negara tetapi tidak diberikan kewarganegaraan
resmi (Mereka ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional").
Negara yang menerima mereka, umumnya adalah negara yang
penduduknya
beretnis
sama
dengan
pengungsi
yang
diterimanya.264
II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka:
perlindungan sementara
A. Menurut Syariat Islam
Sistem perlindungan sementara diakui dalam Islam
dengan pemberian hak “aman”, di mana pengungsi diakui
sebagai musta'min (orang yang berada di bawah perlindungan
sementara) untuk jangka waktu sampai dengan satu tahun. 265
264
Pasal 1 E dari Konvensi 1951 menetapkan bahwa "Konvensi ini tidak berlaku bagi orang, yang
sebagaimana diakui oleh pejabat yang berwenang dari negara di mana ia telah tinggal, yang dianggap telah
memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan kewarganegaraan di negara itu." Lihat, UNHCR
Handbook tentang Prosedur dan Kriteria Penentuan Status Pengungsi di bawah Konvensi 1951 dan Protokol
1967 mengenai Status Pengungsi, Genewa: UNHCR, 1992, h. 45.
265
Dikatakan bahwa untuk para ahli hukum Islam, seorang musta'min "adalah orang yang masuk ke
negeri Islam di bawah perjanjian sementara “aman” yang diberikan oleh penguasa atau individu Muslim.
214
Jika dia ingin tinggal lebih lama, ia akan diakui sebagai
dzimmiy (non-Muslim yang tinggal permanen di wilayah
Muslim). Aturan “perlindungan” itu didasarkan pada kalam
Allah:
Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka
kepadamu maka berikanlah suaka hingga mereka mendengar
kalam Allah kemudian sampaikan kepada kepadanya
perlindungan (diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai
kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6)
Dan Hadis Nabi SAW:
Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di
antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan
mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang
lain.266
Perbedaan antara dzimmiyy dan musta'min adalah bahwa perlindungan yang permanenlah (atau kekal) yang
diberikan kepada yang pertama, dan perlidungan yang sementara kepada yang kedua. Aturan dalam Islam
adalah bahwa non-Muslim yang tidak diakui sebagai dzimmiy tidak akan diberikan tempat tinggal permanen di
tanah Muslim, tetapi akan diberikan perlindungan jangka pendek untuk tinggal di bawah aman sementara. Ada
konsensus di antara mayoritas ahli hukum Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali bahwa mereka yang tinggal sebagai
musta'min di tanah Muslim harus kurang dari satu tahun. Jika ia menyelesaikan satu tahun penuh atau lebih, dia
akan diminta untuk membayar jizyah dan kemudian diakui sebagai dzimmiy. Panjang tinggal oleh seorang nonMuslim adalah bukti penerimaannya untuk tinggal permanen serta kondisi yang dikenakan pada dzimmiy.
Sebagian besar ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat bahwa kecuali seorang non-Muslim diberi jangka
waktu tertentu, maka ia harus diakui sebagai dzimmiy dengan ketentuan masa tinggal selama satu tahun. Jika
seorang musta'min melewati batas waktu izin tinggal dengan waktu yang lama dan bahkan melebihi satu tahun
setelah diperintahkan untuk pergi, ia akan diminta untuk membayar jizyah. Periode satu tahun dihitung dari
tanggal peringatan oleh penguasa untuk pergi. Jika ia melewati batas waktu izin tinggal selama bertahun-tahun
tanpa diperintahkan oleh penguasa untuk pergi, ia dapat kembali ke wilayah non-Muslim, dan karena itu, tidak
akan diakui sebagai dzimmiy. Lihat al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-‘Âmmah, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li alSyu’ûn al-Islâmiyyah,) h. 1288.
Diakui secara luas bahwa seorang musta'min adalah orang yang mencari aman atau masuk ke lahan lainnya, jadi
dia seorang Muslim atau non-Muslim. Lihat Muhammad 'Ala al-Dîn al-Haskafî, Syarh al-Durr al-Mukhtâr,
Mesir: al-Wa'îz, Jilid. 2), h. 98. Musta'min adalah orang asing untuk tanah Muslim, lihat ‘Abd al-Karîm Zaidân,
Ahkâm al-dzimmiyîn wa al-Musta'minîn fi Dâr al-Islâm, op cit, h. 66-67.
266
Penelusurannya telah dijelaskan sebelumnya pada halaman 83.
215
Ini berarti bahwa seorang individu: pria, wanita atau bahkan
seorang budak dapat memberikan perlindungan/ aman.267
Setelah “aman” diberikan, maka musta’min harus
dihormati, mengingat bahwa pemenuhan perjanjian adalah
kewajiban dalam Islam. Akibatnya, seorang musta'min harus
dijamin hak hidup, begitu pula harta dan kerabatnya, jika
mereka berada dalam lindungan sistem “aman”.268
Dalam kaitan ini, al-Nawâwi mengatakan: "Setelah
“aman” diberikan (kepada musta'min), maka ia tidak akan
dibunuh dan harta miliknya tidak akan dijarah. Bagaimana jika
dia terbunuh? al-Nawâwi mengatakan bahwa musta'min
dijamin keamanannya seperti dzimmiy. “Aman” adalah
kewajiban terhadap umat Muslim dan hal ini tidak boleh
dihalangi oleh penguasa. Jika dirasa musta'min berkhianat,
baru penguasa boleh mencabutnya, karena dalam kasus ini, hal
itu diperbolehkan untuk menolak gencatan senjata. Begitu
pula, perlindungan yang diberikan oleh individu, dapat dicabut
oleh seorang non-Muslim, kapanpun ia ingin. Perlindungan
267
I. Shehata mengomentari pemberian hak “aman” oleh individu: “Membiarkan orang asing untuk
memasuki negara dan mendapat perlindungan Negara Islam hanya berdasarkan undangan dari warga Muslim
negara ini, adalah sebuah sistem unik dan salah satu yang tidak ada persamaannya di dalam hukum internasional
sekarang.” Lihat I. Shehata, Islamic Law and the World Community, h.108.
268
Aturan dalam Syariat Islam adalah merupakan pelanggaran hukum menjadikan musta’min sebagai
budak, bahkan ketika dia melanggar perjanjian. Jika ia melakukan perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran
“aman”, maka ia akan diantar ke tempat di mana dia merasa aman, setelah menyelesaikan seluruh
kewajibannya. Lihat Mausû’ât al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo:, 1391 H, h. 24-25. Ada pula yang berpendapat bahwa
orang asing (non-warga negara) di negara Islam, termasuk turis, pedagang atau pengungsi dianggap sebagai
musta'min yang menikmati perlindungan di tanah Muslim. Lihat M. Abdel Rahim, Asylum and Sanctuary in
Islam, Khartoum Séminaire de Khartoum sur les Refugiés, 11-14 September 1982, (Khartoum: Khartoum
University Press, 1984), h. 5.
216
tidak berlaku bagi keluarga dan kekayaan musta’min yang
tidak dibawa/ ditinggal di negara non-Muslim. Sedangkan,
bagi harta dan keluarga yang menyertai musta’min¸ kondisi
spesifik perlindungan dapat berlaku. Jika tidak, “aman” tidak
berlaku, mengingat sifat khusus dari teks perjanjian.”269
Ini berarti bahwa musta'min akan aman dan tidak bisa
diganggu di tanah Muslim dan tidak boleh diserang atau
dihina. Dalam hal ini, Ibn Yahya al-Murtada mengatakan:
"Barang siapa yang bebas atau mendapat hak “aman” sebelum
larangan penguasa, dengan catatan ia beragama Islam yang
mukallaf
(dewasa),
maka
adalah
dilarang
untuk
mengganggunya dan membunuhnya sebelum masa satu tahun,
atau lebih. Jika musta'min melanggar perjanjian aman, ia harus
diantar ke mana ia merasa aman, tapi ia tetap tidak boleh
diserang, karena ini akan dianggap sebagai pengkhianatan."270
269
al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid l. 10, h. 281.
270
Ahmad ibn Yahya al-Murtadâ, Kitâb al-Azhâr fi al-Fiqh al-A'immah al-Athar, (San'a: Muassasât
Ghamdhan), h. 320-321. Imam al-Nawâwî mengatakan, "Tujuan utama mengantar orang non-Muslim ke tempat
di mana dia merasa aman adalah untuk melindungi dirinya dari Muslim dan musta'min lain, dengan
menempatkan di tanah non-Muslim. Menurut Ibn Kajj, dipandang sudah cukup mengantarnya hingga perbatasan
tanah non-Muslim. Ia juga berpedapat bahwa orang tersebut tidak harus diantar hingga kota atau desa asalnya,
kecuali bila negara Islam itu berada diantara negara non Muslim dan negara asalnya sehingga ia harus transit
melalui wilayah Muslim. Menurut pendapat lain, jika ia memiliki pilihan dua tempat di mana ia bisa merasa
aman, ia harus dibawa ke salah satu dua negara tersebut. Pilihan penempatan tersebut harus berdasar
kebijaksanaan penguasa negara Islam. Lihat al-Nawâwi, Raudat al-Tâlibîn, ibid, Jilid 10, h. 338-339.
217
B. Menurut Hukum Internasional
Sistem perlindungan sementara271 (temporary protection)
mengacu pada perlindungan yang diberikan oleh negara,
terutama ketika dihadapkan pada kejadian masuknya massa
dalam skala besar (large-scale mass influx) secara tiba-tiba,
sehingga negara memberikan suaka untuk orang-orang
tersebut. Oleh karenanya, pemberian suaka itu merupakan
respon jangka pendek dan instan, ketika sejumlah penduduk
melarikan diri dari konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi
manusia atau bentuk lain penganiayaan. Perlindungan
sementara ini tidak akan berlangsung untuk jangka waktu yang
lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menunjukkan adanya
perbaikan, karena orang tidak boleh dibiarkan hidup
selamanya di bawah tingkat perlindungan minimum tanpa
akhir. Negara-negara di dunia harus menerapkan prosedur
normal
terhadap mereka untuk mendapat suaka atau
memberikan hak tinggal secara legal.272
271
Perlindungan sementara didefinisikan sebagai “suatu pengaturan atau mekanisme yang
diperkenalkan oleh negara untuk memberikan perlindungan sementara untuk orang-orang tertentu secara massal
dari konflik atau situasi konflik, sebelum proses penentuan status pengungsi diselesaikan bagi masing-masing
individu.” Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, op cit h.133.
272
Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, h. 53. Sementara Rekomendasi
No. 9 (2001) Dewan Menteri Majelis Eropa (Council of Europe Ministerial Committee) menyatakan bahwa
orang-orang yang diberikan perlindungan sementara harus diberikan sedikitnya mata pencaharian yang
memadai, termasuk perumahan, perawatan kesehatan yang tepat, pendidikan untuk anak-anak dan pekerjaan
sesuai standar undang-undang nasional. Lihat juga Rekomendasi Tahun 2001 yang diberlakukan di lingkungan
masyarakat Eropa, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and
Others of Concern to UNHCR, op.cit,Vol. IV, h. 1410, 1620 – 1632.
Patut dicatat bahwa Rekomendasi No. 18 (2001) Dewan yang sama mengadopsi konsep “perlindungan
kehati-hatian atau pengganti” (subsidairy protection) untuk diterapkan kepada orang-orang yang tidak
memenuhi kriteria status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tetapi karena risiko
penganiayaan atau dipaksa untuk meninggalkan negara asal, mereka membutuhkan perlindungan internasional.
218
III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka
panjang dan penyebab berakhirnya suaka
III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solution)
Telah disepakati bahwa dalam kaitan masalah pengungsi,
seperti dalam semua hal lainnya, pencegahan lebih baik
daripada mengobati. Oleh karena itu, tujuan akhir dari
perlindungan internasional adalah untuk mencapai solusi jangka
panjang untuk masalah pengungsi.
Ada 3 (tiga) macam solusi jangka panjang untuk pengungsi:273
1. Pemulangan sukarela ke negara asalnya, sebuah keputusan
yang harus diambil oleh pengungsi atas pilihan sendiri,
berdasarkan informasi yang tersedia baginya tentang kondisi
saat ini di negara asalnya;
2. Integrasi lokal di negara suaka; dan
3. Penempatan di negara ketiga selain negara asalnya dan
selain negara suaka pertama.
Selain itu, ada alasan lain yang dapat menyebabkan
penghentian suaka dalam Islam.
Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to
UNHCR, Vol. IV, h. 1412.
The Executive Committee of The UNHCR Programme dalam Kesimpulan No. 19 (XXXI) menekankan
karakter yang luar biasa dari perlindungan sementara dan kebutuhan yang penting bagi orang-orang tertentu
yang telah mendapatkan perlindungan sementara untuk menikmati standar dasar kemanusiaan. Lihat
Conclusions on the International Protection of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme,
op.cit, h. 41. Kesimpulan Komite Nomor 22 (XXXII) yang menetapkan hak-hak minimum yang harus dinikmati
oleh pengungsi yang telah menerima perlindungan sementara. Lihat Conclusions on the International Protection
of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme, h. 50-51.
273
Pasal 1-4 Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) and
Pasal 4 al-Ittifaqiyyah al-‘Arabiyyah (1994).
219
1.1. Pemulangan sukarela
A. Menurut Syariat Islam
Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam
tahun 1990 menetapkan bahwa “Setiap orang, jika mengalami
penganiayaan, maka ia memiliki hak untuk mencari suaka di
negara lain. Negara tersebut harus menjamin perlindungan
hingga ia sampai di tempat aman, kecuali suaka itu dimotivasi
oleh suatu tindakan kejahatan menurut Syari'ah." (Pasal 12).
Ada banyak contoh pemulangan sukarela yang dilakukan
para pengungsi di antaranya:
(i) Ibn Hisyâm menceritakan bahwa setelah mendengar bahwa
orang Mekkah telah memeluk Islam, para pengungsi Muslim
di Abessinia (Ethiopia) memutuskan untuk kembali ke
Mekkah. Tapi ketika mereka mendekati Mekkah, mereka
mendapat berita tentang konversi orang Mekkah itu tidak
benar. Maka tidak satupun dari mereka memasuki kota
kecuali ada perjanjian perlindungan (jiwar) atau di bawah
penyamaran (mustakhfiyan).274
(ii) Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Amr bin Umayyah
ad-Dhimari kepada Raja Negus untuk memintanya mengirim
kembali Muslim yang berlindung dengan dia. Kemudian ia
membawa mereka dengan dua perahu yang berisi enam
274
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 463.
220
belas orang, termasuk Ja'far ibn Abi Tâlib, dan dibawa
kepada Nabi SAW di Khaibar. Ini terjadi setelah Perjanjian
Hudaybiyyah.275
(iii) Dalam konteks yang hampir sama, Huwaitib ibn ‘Abd al‘Izzi berkata: "Ketika Nabi Muhammad SAW memasuki
Mekkah dalam masa penaklukan Mekkah, saya sangat takut.
Aku keluar rumah untuk menempatkan anak-anak saya ke
berbagai tempat di mana mereka merasa aman. Lalu kaki
saya membawa saya ke rumah 'Auf, tiba-tiba saya
menemukan diri berhadapan dengan Abi-Zar al-Ghiffari,
yang sebelumnya adalah temanku. Saat aku melihat dia, aku
lari. Tapi dia memanggilku dan menanyakan apa yang
terjadi dengan saya. Kukatakan padanya aku takut. Ia
berkata, "Jangan takut, kau aman di bawah lindungan Allah.
Aku pun kembali dan berjabat tangan dengan dia dan dia
memintaku untuk pulang "Pulanglah ke rumahmu!”,
katanya. Aku bertanya ”Apakah aku punya jalan untuk
pulang?" Demi Tuhan aku tidak melihat ada kemungkinan
aku sampai di rumah dalam keadaan hidup karena aku akan
ditemukan dan dibunuh, atau mungkin diserang dan dibunuh
di sana! Anak-anakku tersebar di beberapa tempat",
tambahku.
Dia
mengatakan
kepada
saya
untuk
275
Abû Abdillah Muhammad Ibn Ishâq, al-Siyar al-Kabîr, Jilid II, h. 359. Lihat ‘Ali ibn Sa’ûd alKhuza’î, Takhrîj al-Dalalat al-Sami’yyah, tahqîq Ihsân ‘Abbâs (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmiy, 1416 H/1999
M), h. 210.
221
mengumpulkan anak-anakku dan ia akan mengawal saya ke
rumah saya. Dalam perjalanan kami, ia terus berteriak
bahwa Huwaytib aman dan tidak harus diserang. Lalu AbiZar pergi ke Nabi Muhammad SAW dan mengatakan
kepadanya tentang kejadian itu. Nabi bersabda, "Bukankah
semua
orang
telah
aman
sekarang,
kecuali
yang
diperintahkan untuk dibunuh?" Huwaytib berkata, "Saya
merasa aman dan mengambil anak-anakku untuk pulang."276
(iv) Ketika putri Hatim at-Tha'ie ditangkap dalam sebuah
pertempuran, ia mengajukan petisi kepada Nabi Muhammad
SAW untuk melepaskan dan membiarkannya kembali ke
rumahnya. "Jangan terburu-buru untuk pulang sampai
beberapa kerabat terpercayamu datang dan membawamu
pulang." kata Nabi. Ketika sekelompok temannya datang, ia
pun
menghadap
Nabi
Muhammad
SAW
dan
memberitahukannya. Rasul SAW pun memberikannya
pakaian, transportasi dan uang. Akhirnya, mereka dapat
pulang ke Syam.277
B. Menurut Hukum Internasional
Pemulangan sukarela, apabila memungkinkan, adalah solusi
ideal untuk masalah pengungsi, karena itu berarti pengungsi
kembali ke negara asalnya dengan aman dan bermartabat. Hal
276
al-Kandahlawî, Hayât al-Sahabah, Jilid. I, h. 136-137.
Al-Tabarî, Tarîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, t.th), Jilid III, h. 309-310. Lihat
pula Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op.cit, Jilid II, h. 579-581.
277
222
ini juga membantu dia kembali berintegrasi dengan cepat
dengan orang lain. Prinsip pemulangan sukarela (asas sukarela)
menyiratkan bahwa orang yang bersangkutan menyatakan
pilihannya sendiri untuk kembali ke rumah dengan bebas.278
1.2. Integrasi Lokal
A. Menurut Syariat Islam
Masalah ini akan dibahas dari 2 (dua) perspektif:
a. Integrasi lokal non-Muslim di tanah Muslim (perjanjian
al-zimmah)
Kami percaya bahwa bila pengungsi non-Muslim mengambil
status " dzimmiy", itu adalah setara dengan "integrasi lokal"
dalam
hukum
internasional
kontemporer.
279
Seorang
pengungsi di bawah perjanjian dzimmah, harus diberikan
kewarganegaraan oleh negara Islam, dan harus diberikan hak
278
Pemulangan sukarela berarti menghormati keinginan pengungsi, pengungsi tidak dapat dipulangkan
kecuali atas kehendak sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 5-1 Convention Governing the Aspect of Refugee
Problems in Africa (Konvensi yang mengatur aspek-aspek khusus masalah pengungsi di Afrika tahun 1969).
Menurut prinsip Housing and Property Restitution of Refugees and Displaced Persons (pengembalian
perumahan dan hak milik pengungsi dan orang yang berpindah) tahun 2005, paragraf 10, dinyatakan bahwa
semua pengungsi dan orang yang berpindah berhak untuk kembali secara sukarela ke rumah mereka, tanah asal,
atau tempat tinggalnya dengan aman dan bermartabat. Pemulangan sukarela yang aman dan bermartabat ini
harus didasarkan pada pilihan bebas secara individual dan terinformasikan dengan baik. Negara harus
memberikan ijin kepada para pengungsi dan orang – orang yang berpindah yang ingin kembali secara sukarela
ke tanah, rumah, atau tempat tinggalnya. Pengungsi dan orang – orang tersebut tidak akan dipaksa, baik secara
langsung atau tidak langsung, untuk kembali ke tanah, rumah, atau tempat tinggal asalnya. Negara harus, bila
perlu, meminta bantuan keuangan dan/atau teknis yang diperlukan dari negara lain atau organisasi internasional
untuk memfasilitasi pemulangan sukarela yang efektif, dengan aman dan bermartabat, bagi pengungsi dan
orang-orang yang berpindah tersebut. Lihat Collection on International and Legal Text Concerning Refugees
and Others of Concern of UNHCR, Vol. I, h. 568.
279
Ada sebuah kecenderungan di dalam fikih yang melihat perjanjian dzimmah sebagai suaka yang
diberikan kepada orang non-Muslim. Oleh karena itu ada pendapat yang percaya bahwa perlindungan yang
diberikan di bawah perjanjian dzimmah atau perjanjian sementara (aman) membuat tanah Muslim menjadi
"tanah suaka" untuk orang asing.
Gh. Arnaout, Asylum in the Arab Tradition, UNHCR, Genewa, 1987, hal 23.
L. Gardet, La Cité musulmane, vie et Sociale Politique, Librairie philosophique, Vrin, Paris, 1954,
h. 78.
223
dan kewajiban yang sama seperti Muslim. Jadi, ia sepenuhnya
diintegrasikan ke dalam negeri Muslim dan hampir sama
diperlakukan seperti Muslim.
Untuk memperjelas hal ini, kami menekankan bahwa
bilamana perjanjian dzimmah telah diberlakukan maka hal
tersebut berimplikasi terhadap berbagai masalah-masalah
berikut:
(i) Hak hidup kaum dzimmiy tidak dapat diganggu gugat.
(ii)
Harta benda milik kaum dzimmiy tidak dapat diganggu
gugat. Ini menjadi konsekuensi dari yang disebutkan di atas,
karena tak dapat diganggugugatnya harta benda bergantung
pada dijaminnya hak hidup. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib
diriwayatkan telah berkata, "Adanya perjanjian dzimmah,
adalah agar harta benda mereka (sama amannya) seperti harta
benda kita dan hidup mereka (sama amannya) seperti hidup
kita.”
Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa perjanjian
dzimmah
bagi umat Islam adalah untuk memastikan kita tidak menyentuh
mereka dan memastikan bahwa kehidupan dan harta benda
mereka tidak diganggu gugat.280
280
al-Ghazâlî, al-Wajîz fi al-Fiqh Madzhab Imam al-Syâfi'î, Jilid. 2, h. 21; Ibnu Jawzî, Qawânîn alAhkâm al-Syar’iyyah, (Kairo: 'Âlam al-Fikr,1415H/1986 M), h. 151.
224
(iii) Apakah orang non-Muslim dzimmiy dapat memperoleh
kewarganegaraan di negara Islam?
Menurut ajaran Syariat Islam, kewarganegaraan wilayah Islam
tidak dapat diberikan kepada orang non-Muslim dzimmiy,
sebagaimana penerapan kalam Allah:
Tidak
ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam),
kebenaran telah jelas dari kesalahan. (Q.S. al-Baqarah/2:256).
Seorang non-Muslim dapat memperoleh kewarganegaraan,
baik karena ia berpindah agama ke Islam atau dengan perjanjian
dzimmah secara eksplisit atau implisit (misalnya dengan tinggal
di tanah Muslim). Terkait dengan perjanjian dzimmah, beberapa
ulama
berpendapat
bahwa
perjanjian
dzimmah
tidak
memberikan status kewarganegaraan Islam kepada orang nonMuslim dzimmiy, karena mereka tidak menikmati hak yang
sama (seperti hak-hak politik) maupun kewajiban yang sama
sebagai Muslim (misalnya, sementara orang non-Muslim
dzimmiy harus membayar jizyah, Muslim harus membayar
zakat/ pajak yang diwajibkan untuk orang Muslim).281
Akan tetapi, beberapa ahli Syariat Islam lainnya mengadopsi
pendapat yang berlawanan, dengan alasan bahwa karena orang
non-Muslim dzimmiy membayar jizyah, itu berarti bahwa
mereka akan memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti
281
Muhammad al-Lâfî, Fî Ahkâm Nazarât al-Harb wa al-Silm: Dirâsah Muqâranah,(Tripoli-Libya:
Dar Iqra), h. 342.
225
orang Muslim. Menurut Ibn Abidin, jika mereka menerima
untuk membayar jizyah, maka mereka akan memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan orang Muslim, termasuk hak
mendapat perlakuan adil (insâf) dan hak mencari keadilan
(intisâf).282 Ahli Syariat Islam yang berpendapat seperti diatas
memiliki pemahaman yang beragam mengenai dasar bagi nonMuslim dzimmiy dapat memperoleh kewarganegaraan dari
negara Islam. Sebagian ahli Syariat Islam berpendapat bahwa
pengakuan sebagai warga negara didasarkan kepada kepatuhan
mereka dengan ajaran Islam; 283 sementara ahli Syariat Islam
yang lain menghubungkan hal ini dengan ketiadaan jangka
waktu tinggal di wilayah Muslim.
284
Pendapat ketiga
menyatakan bahwa hal itu kembali pada orang yang masuk
dalam perjanjian dzimmah dengan cara membuat perjanjian
yang eksplisit, sebagaimana dikatakan al-Sarkhasi bahwa
dengan mengikat perjanjian dzimmah, seorang non-Muslim
harus dianggap sebagai “penduduk wilayah Muslim". Namun,
dalam hal tidak adanya perjanjian yang menjadi dasar
kewarganegaraan wilayah Islam bagi orang non-Muslim
dzimmiy, hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan negara
Islam. Ini terjadi dalam kasus di mana orang dzimmiy
282
Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ala Durr al-Mukhtâr, op.cit, Jilid. III, h. 307.
Abd al-Qadîr ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ'î al-Islâmî, (Kairo: Nâdi al-Qudah, 1984), Jilid. I, h. 307;
Muhammad 'Âtif al-Banna, al-Wasît fi Nizâm al-Siyâsiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1414 H/1994 M), h.
30.
284
Ahmad Musllam, al-Qanûn al-Duwali al-Khass, (Kairo: tp., 1956), Jilid. II, h. 326.
283
226
memperoleh kewarganegaraan di wilayah Islam atas dasar
indikator-indikator yang menunjukkan penerimaannya, atau
subordinasinya kepada pihak ketiga, atau sebagai akibat
penaklukan sebuah wilayah. Dalam kasus tersebut, negara
Islam memberikan dzimmah status kewarganegaraan atas dasar
kehendak orang itu sendiri dan kebijakan negara.285
Menurut
kami,
orang
dzimmiy
dapat
menikmati
“kewarganegaraan dari sebuah Negara Islam” tapi bukan berarti
“kewarganegaraan Islam” karena kewarganegaraan dalam Islam
didasarkan pada adanya "ikatan pribadi", yakni penerimaan
terhadap agama Islam daripada "ikatan fisik", yakni keberadaan
pada
wilayah
tertentu.
Seorang
Muslim
menikmati
kewarganegaraan Islam, di manapun ia berada, di wilayah
Muslim ataupun wilayah non-Muslim. Namun, non-Muslim,
karena tidak adanya ikatan diatas, adalah warga negara di
sebuah negara Islam dimana berlaku diatasnya Syariat Islam,
yang mengatur hak dan kewajiban yang sama untuk orang
Muslim dan orang non-Muslim, termasuk hak-hak yang timbul
sebagai konsekuensi darinya, seperti hak untuk mendapatkan
paspor, akses tanpa hambatan ke dan tinggal di wilayah negara
Islam, dan akses terhadap semua hak, kecuali yang dikecualikan
oleh aturan dan prinsip-prinsip Syariat Islam.
285
‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Ghani, ‘Atsâr al-Istikhlâf al-Duwali fî al-Qanûn al-Duwali al-‘Âmm wa alSyarî'ah al-Islâmiyyah’, Disertasi, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar, 1400 H/1980 M),
h. 357.
227
Ini
berarti
bahwa
mereka
lebih
menikmati
“kewarganegaraan negara Islam” ketimbang “kewarganegaraan
Islam”.286 Dengan kata lain, ini lebih merupakan "kebangsaan
negara" ketimbang "kebangsaan agama".
(iv) Syariat Islam meletakkan dasar konstitusi untuk memperlakukan
orang dzimmiy, yang dapat disimpulkan dalam sebuah surat
Imam Abû Yûsuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid:
"Wahai
menunjukkan
Amîr
al-Mu’minîn,
kelonggaran
untuk
anda
orang
mungkin
dzimmiy,
harus
yang
menikmati perlindungan (dzimmah) Nabimu dan sepupumu
Muhammad SAW dan bahwa mereka tidak tertindas, terluka,
diberikan beban di luar kapasitas mereka, atau diambil harta
mereka kecuali yang kewajiban mereka. Diriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad SAW telah bersabda:
Barangsiapa menzalimi orang non-Muslim dzimmiy yang mau
membayar jizyah, yang mengakui bahwa ia lemah, maka aku
sebagai musuhnya pada Hari Kiamat.
Di tempat tidur, menjelang kematiannya, Khalifah 'Umar ibn alKhattâb berwasiat: “Aku berwasiat kepada penerusku, antara
lain, untuk mengurus orang dzimmiy di bawah perlindungan
Nabi Muhammad SAW serta menghormati perjanjian “aman”
286
Pendapat lain mengatakan: “Bahwasannya dzimmî itu berhubungan dengan negara Islam bukan
sebagai bangsa (umat) Islam. Islam sebagai keyakinan menganggap semua Muslim sebagai saudara dalam
agama, tetapi dalam kewarganegaraan, Islam memandang baik Muslim dan dzimmiy sebagai saudara senegara
(sesama warga negara). Lihat Muhammad Sallâm Madkûr, Ma'âlim al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kuwait:
Maktabat al-Falâh, 1403 H/1983 M), h. 106-107.
228
yang diberikan kepada mereka, ikut berperang untuk membela
mereka dan tidak memberikan beban tugas di luar kemampuan
mereka.287
(v) Islam menghormati dan memerintahkan berbuat baik kepada
orang dzimmiy, sebagai bentuk penerapan kalam Allah SWT:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil kepada
orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama, serta
tidak mengusir kalian dari rumah kalian, Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat adil. (Q.S. alMumtahanah/60: 8).
Sikap melanggar kewajiban untuk berbuat adil kepada mereka
dilarang Nabi SAW dalam Hadis:
Ketahuilah, barangsiapa berbuat zalim kepada orang dalam
hal perjanjian, mengurangi hak, memberi beban tugas di luar
kemampuan, atau mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka
aku sebagai musuhnya pada Hari Kiamat.288
Dalam Hadis lain, Nabi bersabda:
Jika seseorang memberikan perlindungan dan kemudian
membunuhnya, maka aku terbebas dari urusan pembunuh
tersebut (memusuhi pembunuh itu), walaupun korbannya
adalah seorang non-Muslim.
Bahkan, Ibn Hazm berpendapat dalam kitab Marâtib alIjmâ’, "Jika seorang dzimmiy diserang oleh musuh di wilayah
kita, maka orang Muslim harus membela mereka sampai mati.”
287
288
Abû Yûsuf, al-Kharâj, op. cit, h. 125
Abû Dâwûd, al-Sunan, Kitâb al-Kharâj wa al-Imârah wa al-Fay', Hadis No. 3052, Jilid. III, h. 288.
229
Ini merupakan kewajiban untuk menjaga orang dzimmiy di
bawah
perlindungan
Allah
dan
Rasul-Nya,
karena
menyerahkan orang dzimmiy kepada musuh adalah sebuah
pelanggaran perjanjian.289
(vi) Aturan umum menyangkut orang dzimmiy adalah bahwa
“mereka memiliki hak seperti yang kita miliki, dan dapat
berhutang seperti kita berhutang”, ini karena mereka telah
menerima perjanjian zimmah sehingga “harta benda mereka
harus dipelihara seperti harta kita dan darah mereka harus
dipelihara pula seperti darah kita” 290 atau mereka menerima
perjanjian zimmah sehingga harta benda dan hak-hak mereka
dilindungi dan aman seperti kita.291
Namun, ada beberapa perbedaan antara orang dzimmiy
dan orang Muslim terkait karena adanya perbedaan agama.
Seorang dzimmiy harus membayar jizyah, sementara seorang
Muslim membayar zakat. Seorang Muslim diwajibkan untuk
melawan dalam membela wilayah Islam, sementara orang
dzimmiy tidak memiliki kewajiban seperti itu. Seorang dzimmiy
dilarang menduduki posisi tertentu seperti kepala negara atau
panglima tentara karena posisi itu hanya diperuntukkan bagi
orang Muslim.
289
Ibn al-Azrâq al-Andalusî, Badâ'i al-Sulûk fi Tabâ'i al-Mulk, dikoreksi oleh Muhammad ibn ‘Abd alKarîm, (Tunisia-Libya: Dâr al-‘Arabiyyah li al- Kitâb, 1980), Jilid. II, h. 688.
290
al-Kasâni, Badâ'i al-Sanâ'i,op.cit , Jilid. 7, h. 111.
291
al-Syaibâni, Syarh al-Siyar al-Kabîr, Jilid III, Edisi Hyderabad, op. cit, , h. 250.
230
Banyak sarjana non-Muslim telah memberikan penghargaan
untuk sistem dzimmah.
Sebagian sarjana Barat mengatakan bahwa Islam sebelum
hidup berdampingan dengan agama-agama lain, sejak lama
sistemnya telah sempurna dalam konteks politik internasional.292
Sementara L. Massignon menyatakan Islam telah mendahului
Kristen dengan mengakui kepribadian manusia secara penuh
untuk orang dzimmiy dengan dasar prinsip persamaan.293
Boisard berpendapat bahwa perlindungan non-Muslim di tanah
Muslim terbukti menjadi saluran hukum yang asli pada saat Barat
mulai keluar dari Abad Pertengahan dan menyadari perlunya
menetapkan aturan yang mengatur hubungan dengan orang
asing.294
292
Dalam hubungan ini, B.F. Gohnson, penasihat hukum di Kementerian Luar Negeri Swedia pernah
mengatakan, “Koeksistensi adalah mungkin. Seseorang dapat di sini, menyebutkan prinsip-prinsip Islam dalam
mengatur posisi dzimmiy, pemeluk agama lain, dalam dunia Islam. Agama lain diterima dalam Islam. Sesuatu
yang telah dilupakan dalam politik dunia akhir-akhir ini. Lihat BF Gohnson, Change in the Norms Guiding the
International Legal System, R. Egyp DI, 1980, h, 7.
293
Massignon mengatakan:
“Et, les deux categories d.exclus, les barbares Etrangers (les dhimmi) et les esclaves barbares, l.Islam,
quoi pense en qu.on ordinairement en Occident, e precede la chrétienneté (qui lui était antérieure) dans un effort
juridique destine a Leur restituer la personalité humaine.
C’est que l’Islam ne pas le séparant spirituel du temporel, est tenu de se faire une Philosophy originale
des «fondements du droit» (ushul al - fiqh), du Droit des gens, dont il n’existe pas d’analog dans le droit canon
Chrétien ... Des l'epoque du Prophete, Muhammad, pada avait à tendu accorder la pleine aux Dhimmiyûn
personnalité humaine, à Egalite. “ Lihat L. Massignon, Le Respect de la Personne Humaine en Islam et la Droit
du d'Priorité Asile sur le Droit de la Guerre Juste, RICR, 1952, h 353-354.
294
Boisard mengatakan: “La protection des non-musulmans en terre d Islam mérite une analyze, car
Noelle comme une s.est affirmé voie originale, ou même au saat l.Occident allait sortir du Moyen Age et de la
prendre conscience nécéssité de fixer des règles régissant les rapports avec les Etrangers”.
Dia menambahkan: “La respect dans la difference fut la plus la belle expression de la tolerance
musulmane. Il serait faux et injuste de dénoncer le fanatisme de l.Islam en certains des considérant peu
nombreux qui Abus ont Marque, intermittance nominal, l histoire de l Etat musulman.” Lihat M. Biosard, L et
la moral Islam Internationale, Droz, Genève, 1980, h. 176, 188.
231
Turtone menyatakan bahwa perlindungan orang dzimmiy kadang
menyiratkan bahwa mereka benar-benar menikmati hak yang
sama seperti orang Muslim.295
Terakhir, sebagian sarjana Barat mempertahankan pendapat
bahwa secara umum, sistem dzimmah serupa dengan sistem jiwâr,
yang diterapkan di antara suku-suku Arab pra-Islam, di mana satu
individu
atau
sekelompok
orang
ditempatkan
di
bawah
perlindungan dari suku tertentu.296
b. Integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim
Ahli Syariat Islam telah membahas masalah ini, terutama
aspek legalitas dalam perspektif Islam tentang seorang Muslim
yang memperoleh kewarganegaraan dari negara non-Muslim.
Dalam hubungan ini, sejumlah pertanyaan telah diajukan oleh
Institut Pemikiran Islam Dunia (Washington) kepada Dewan
Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam. Satu dari pertanyaan ini
295
Lihat Turtone, Ahl al-Dzimmah fi al-Islâm, alih bahasa Hasan Habasyi, (Kairo: Dâr al-Fikr al‘Arabiy), h. 153. Seorang mantan konsul Inggris di Tunisia mengatakan:“Diketahui bahwa dzimmiy memiliki
hak dan kewajiban yang sama seperti Muslim, jika tujuan nasional mereka terbukti sesuai dengan umat Islam,
dan jika mereka, seperti juga Muslim, dalam kewajiban mengutamakan kepentingan tanah air dan kesejahteraan
umum.” Dia menambahkan bahwa banyak sekte Kristen tetap aman dan makmur di bawah kekuasaan Islam dan
kadang-kadang status sosial mereka bahkan lebih tinggi dari masyarakat lokal Muslim. Lihat Sir Richard Wood,
al-Islâm wa al-Islâh, Majallat al-Azhar, Mei 1986 (Sya’ban 1406 H), h. 21, 32.
Stavraki mengatakan Muslim diharamkan untuk memaksa orang lain masuk Islam. Selain itu, perang
untuk mengubah keyakinan juga dilarang.” Lihat Emmanuel Stavraki, (The Humanitarian Concept in
Humanitarian International Law, International Review of the Red Cross) al-Mafhûm al-Insâniy fi al-Qânûn alDauliy al-Insâniy, al-Majallah al-Dauliyyah li al-Salîb al-Ahmar, No. 17, 1991, h. 36.
296
R. Caspar, Entre les Declarations Universelles des droits de l home et le statute de la Dimma un:
Essai de F. Huwaidi, dalam the Third Islamic-Christian Colloquoum Human Rights, Tunisian University,
Center for Economic and Social Studies and Research, Official Tunisian Government Printing Press, 1985, h.
210-211. Pendapat lain mengatakan bahwa "Islam mengakui agama-agama lain dan mentolerir koeksistensi
mereka dengan orang Islam".
Reisman, Islamic Fundamentalism and its Influence on Internasional Law and Politics, in “The
influence of Religion on the Development of International Law”, M. W. Janis, M. Nijhoff, Dordrecht, (eds.),
1991, h. 123.
232
adalah bagaimana penilaian terhadap penerimaan seorang Muslim
menjadi warga negara asing baik di Amerika atau Eropa,
mengingat sebagian dari mereka telah memperoleh atau berniat
untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut, dimana mereka
melakukannya
hanya
karena
mengalami
penyiksaan,
penganiayaan di negara asal mereka berupa hukuman penjara,
ancaman, penyitaan properti, dan lain lain.
Beberapa ahli Syariat Islam menyatakan bahwa sepanjang
Syariat Islam dan hudud (hukuman yang ditentukan dalam Islam)
ditangguhkan di negara asal mereka, hal itu tidak ada bedanya
bagi orang tersebut, baik ia berkewarganegaraan negara asal
dimana ia dianiaya atau ia warga negara dari negara yang ia pilih
untuk menetap. Dalam kedua kasus tersebut, Syariat Islam tidak
diberlakukan dan hudud tidak diterapkan. Di negara suaka, hakhak pribadinya, kehidupan, harta, dan kehormatannya dijamin,
dan ia tidak mungkin dipenjarakan atau diancam kecuali jika ia
melakukan perbuatan yang menyebabkan sanksi hukum.297
Sebagian anggota Dewan menjawab pertanyaan tersebut di
atas. Dan kami cukup menyebutkan sebagian diantaranya saja.
297
Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h.
1095. Ahmad ibn Hamd al-Khalîliy menjawab: “Masalah kewarganegaraan Muslim di negara non-Muslim
tergantung pada berbagai aspek yang terkait dengan kasusnya. Naturalisasi berarti perlakuan yang sama dalam
hak-hak kewarganegaraan dan kewajiban dengan warga asli dari negara pemberi kewarganegaraan. Jika negara
tersebut mewajibkan warganya untuk melakukan perlawanan terhadap negara Islam, maka bagi Muslim ini akan
berada di bawah kewajibannya untuk terlibat dalam tindakan ini. Oleh karena itu kami percaya bahwa
kewarganegaraan Muslim dari negara non-Muslim mungkin dibolehkan dalam suatu kondisi terpaksa, hanya
dalam kasus-kasus kebutuhan, seperti di mana seorang Muslim beresiko dikejar-kejar atau tidak aman hidupnya,
kehormatan dari anak-anaknya terancam, dan sebagainya, dan di mana ia tidak memiliki akses suaka ke negara
Islam lain.“ Lihat Jilid II, h. 1119.
233
Haji Abdullah Bah menyatakan, "Dipilihnya kewarganegaraan
asing oleh seorang Muslim, baik Amerika atau Eropa, mungkin
diizinkan jika hal itu didorong oleh kebutuhan, bukan oleh
keinginan untuk meniru orang non-Muslim dalam gaya hidup,
nama, atau karakteristik, dan asalkan naturalisasi tersebut tidak
akan menyebabkan gangguan atau fitnah dari kewajiban
agamanya atau menjadikannya berkolaborasi dengan musuhmusuh Allah. Pendapat ini didukung oleh kalam Allah Yang
Maha Kuasa: "Siapapun yang ingkar setelah menerima iman
kepada Allah, kecuali di bawah paksaan, sedang hati mereka
tetap dalam iman. Akan tetapi barangsiapa membuka dada
mereka untuk kekafiran, maka bagi mereka adalah murka dari
Allah, dan bagi mereka azab yang besar.” (Q.S. al-Nahl: 106).298
Sheikh Mohammad Taqiyuddin berkata, "Hukum atas
penerimaan kewarganegaraan oleh seorang Muslim dari negara
non-Muslim, mungkin bervariasi menurut keadaan, kasus, atau
tujuan dari naturalisasi itu. Jika seorang Muslim terpaksa, karena
disakiti atau dianiaya di negara asalnya, melalui ancaman penjara
atau penyitaan properti; bukan karena melakukan kejahatan dan
atau
memiliki
kesalahan,
sedang
ia
tidak
menemukan
perlindungan lain selain di negara tersebut, maka seorang Muslim
boleh berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan jika dia
298
Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h.
1095.
234
menginginkannya, asalkan dia akan mengakui pada dirinya
sendiri untuk mempertahankan iman selama karirnya (hidupnya)
dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang telah umum ada
di negara itu.
Dalil yang menguatkan pendapat ini, adalah bahwa para
sahabat Nabi telah hijrah ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy) setelah
dianiaya oleh orang Mekkah. Meskipun Abessinia pada waktu itu
didominasi oleh orang-orang non-Muslim, sahabat Nabi tinggal di
daerah itu, dan bahkan beberapa dari mereka tetap tinggal setelah
hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Abû Mûsa al-Asy'ari,
kembali dari Abessinia hanya ketika perang Khaibar berlangsung
pada tahun 7 Hijriyah.
Ini adalah kewajiban setiap Muslim untuk melindungi
hidupnya sendiri terhadap semua bentuk kezaliman. Jadi jika
seseorang tidak menemukan tempat yang aman kecuali di tanah
non-Muslim, maka tidak ada larangan baginya untuk hijrah ke
sana, asalkan ia mematuhi kewajiban agama dan menjaga diri dari
kemaksiatan yang dilarang.
Jika seorang Muslim memperoleh kewarganegaraan tersebut
dengan tujuan dakwah kepada Islam, tindakan ini selain diijinkan,
juga akan dianjurkan. Begitu banyak para sahabat dan tabiin yang
menetap di tanah non-Muslim untuk tujuan terpuji ini. Tindakan
235
ini direkam dalam biografi mereka dan cerita sifat-sifat mulia
mereka.299
Maka dapat disimpulkan bahwa suaka oleh seorang Muslim
ke negara non-Muslim dan integrasi ke dalam masyarakat
setempat diatur oleh dua kaidah:
Kaidah Pertama: Perlindungan dapat dicari hanya dalam keadaan
darurat dan dalam suatu keadaan bahaya serta keadaan yang
mengancam keselamatan fisik, kehidupan, keluarga atau properti
seseorang.
Kaidah
Kedua:
Suaka
tidak
seharusnya
berujung
pada
pelanggaran aturan Islam, seperti keterlibatan dalam perang,
intrik, atau rencana untuk melawan negara Islam.
Dalam kaitan ini, peristiwa berikut dapat menjadi contoh
yang tepat yakni ketika tentara Khalifah al-Mansur dikalahkan, ia
berpikir untuk mengungsi ke wilayah Kekaisaran Romawi. Salah
satu anak buahnya berkata kepadanya, "Maukah anda pergi
bersama
anak-anak
anda
dan
keluarga
anda,
mencari
perlindungan kepada orang non-Muslim yang telah membentuk
kerajaan aman dan stabil? Mungkin keadaan kerajaannya menarik
bagi anak-anak anda, atau mungkin menggoda mereka untuk
masuk ke dalam Kristen. Jika anda pergi jauh sampai anda masuk
299
Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M,
h. 1129-1130. Lihat juga jawaban serupa dari Muhammad Mukhtâr al-Salâmi, h.1156. Lihat juga Muhammad
ibn Sabîl dalam “al-Tajannus bi Jinsiyyah Daulah ghair Islâmiyyah”, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy,
Edisi 4, 1410 H (1989 M) h. 165-166. Lihat pula pendapat al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa
al-Iftâ’, dalam Majallat al-Buhûts al-Islâmiyyah, (Riyadh: al-Ri’âsah al-‘Âmmah li Idârat al-Buhûts al‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1412 dan 1414 H), Edisi 32, h. 98 dan 101-103.
236
ke Mesir, anda akan menemukan para laki-laki, kuda, senjata dan
uang. Jika kamu memilih, maka kamu bisa memilikinya. Maka,
al-Mansur mengubah tujuannya dan menuju Mesir.300
B. Menurut Hukum Internasional
Pasal 1-F Konvensi 1951 menyatakan bahwa "orang-orang
yang
tidak
membutuhkan
perlindungan
internasional"
dikecualikan dari penerapan Konvensi. Hal ini mengacu pada
“setiap orang yang diakui oleh pejabat berwenang dari suatu
negara di mana ia telah tinggal, sebagai orang yang memiliki hak
dan kewajiban yang melekat pada hak kewarganegaraan negara
itu."301
Ini berarti bahwa orang yang bersangkutan seharusnya telah
terintegrasi dan telah memperoleh status yang sama seperti warga
negara dari negara pemberi suaka. Ini artinya bahwa kepada
seseorang itu tidak diberlakukan Konvensi 1951, jika ia telah
terasimilasi (is assimilated). Oleh karena itu ia dapat menikmati
status seperti warga negara dari negara pemberi suaka. Orang300
Lihat Ibn ad-Dayah, Kitâb al-Mukâfa'ah wa Husn al-'Uqbâ, (Mekkah: Dâr al-Bâz, t.th.), h. 85.
Contoh lain ialah surat oleh Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Jarba dan Azrah (yang memberitahukan
kepada mereka bahwa) Allah memberikan jaminan kepada mereka dalam memberikan nasihat dan berbuat baik
kepada Muslim (hidup dengan mereka) dan mereka yang berlindung karena takut akan bahaya atau hukuman.
Lihat Ali ibn Husain Ali al-Ahmadi, Makâtib al-Rasûl, Beirut: Dâr Sa’b, Jilid II, h. 294-295.
301
Program Aksi Cotunou (tahun 2004) menyatakan bahwa manakala pengungsi telah
mengembangkan ikatan kekeluargaan, hubungan sosial dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat tuan rumah,
maka mungkin akan menguntungkan bagi negara tuan rumah untuk bisa memfasilitasi proses integrasi lokal
para pengungsi tersebut melalui pemberian tempat tinggal permanen dan akhirnya naturalisasi. Lihat Collection
of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op.cit,
Jilid. III, h. 1027.
Harus ditekankan bahwa sistem zimmah dalam Islam lebih baik karena: 1- Pemberian suaka sematamata didasarkan permintaan suaka tanpa perlu menunggu; 2- Implikasinya orang tersebut tetap membawa
kewarganegaraan negara Islam.
237
orang ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional" (national
refugees), karena mereka secara lokal telah terintegrasi (locally
integrated) dengan penduduk negara pemberi suaka.
1.3. Penempatan di negara ketiga
A. Menurut Syariat Islam
Dalam Islam tidak ada hal yang menghalangi penempatan di
negara ketiga bagi pengungsi jika ia sangat menginginkannya. Ini
adalah bagian dari kebebasan individu untuk berpindah dan
tinggal di tempat pilihannya, sebagaimana dikuatkan oleh kalam
Allah:
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari
rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15).
Dan kalam Allah:
Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan
Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu
mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10).
B. Menurut Hukum Internasional
Penempatan di negara ketiga adalah solusi jangka panjang
yang dapat diharapkan. Haruslah dipahami bahwa penempatan di
negara ketiga bukanlah sebuah hak atau perkara yang sifatnya
otomatis, tetapi tergantung pada keputusan yang akan diambil
238
oleh otoritas negara penerima. Dalam hal ini, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi:
- Orang yang bersangkutan harus menjadi pengungsi di negara
yang ditinggali saat ini;
- Dia menghadapi hambatan secara fisik atau hukum yang tidak
bisa diselesaikan secara lokal atau dengan cara lain; atau
- Dia memiliki anggota keluarga dekat yang tinggal di negara
tujuan penempatan secara sah.302
III.2. Berakhirnya suaka
Status
pengungsi
dapat
berakhir
lantaran
sejumlah
faktor
sebagaimana dijelaskan berikut ini.
A. Menurut Syariat Islam
1. Perpindahan agama ke Islam
Ini adalah alasan yang hanya berlaku dalam Islam. Kami
memandang bahwa perpindahan agama pengungsi menjadi
pemeluk agama Islam merupakan alasan yang baik untuk
mengakhiri statusnya sebagai pengungsi berdasarkan argumentasi
berikut ini. Pertama, kesatuan wilayah dunia Islam, meskipun
beragam dan berbeda-beda kebangsaannya. Kedua, jaminan
kesetaraan dan persamaan antar sesama Muslim dapat terjamin.
Tentu tidaklah adil kalau seorang pencari suaka (mustajîr) yang
telah memeluk Islam tetap menjadi pengungsi dengan hak-haknya
302
Lihat Information for asylum-seekers and refugees in Egypt, op cit, h. 58, 76.
239
sebagai pengungsi, sementara saudara-saudara Muslimnya yang
lain di negara Islam merupakan warganegara yang memiliki hakhak kewarganegaraan secara utuh.
Hal ini telah menjadi ketentuan dalam ajaran Islam, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
Seorang Muslim merupakan saudara bagi Muslim yang lain; dan
karena itu, tidak boleh menghina atau mengkhianatinya. Siapa
saja yang membantu kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan
membantu kebutuhannya. (Diriwayatkan oleh Muslim).303
Oleh karena itu, tindakan tetap memperlakukan pencari
suaka yang telah memeluk agama Islam sebagai seorang
pengungsi merupakan suatu bentuk penelantaran dan kezaliman.
Dalam hal ini diberlakukan asas hukum bahwa agama Islam
menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya. 304 Artinya,
seseorang yang telah memeluk agama Islam tidak dimintai
pertanggungjawaban
atas
segala
perbuatan
yang
telah
dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Hal ini didasarkan
kepada dalil hukum berikut ini. Pertama, Q.S. al-Anfâl/8:38 :
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika
mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada
mereka) Sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu".. (Q.S.alAnfâl/8:38).
303
304
Sahîh Muslim, Kitâb al-Birr wa al-Silâh, Bab Tahrîm al-Zulm, No. 2580, Jilid. 4, h. 1996.
Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Musnad ‘Amr ibn al-Ash, Hadis No. 17775. Jilid. 29, h. 315.
240
Kedua, Hadis :
Sesungguhnya agama Islam itu menghapus semua dosa yang
telah diperbuat sebelumnya. (Diriwayatkan oleh Ahmad).
Ketiga, Hadis, yakni perkataan Nabi SAW kepada ‘Amr ibn al‘Âs :
Tahukah engkau bahwa sesungguhnya Islam meniadakan
kepercayaan-kepercayaan sebelumnya dan hijrah (migrasi)
menghapuskan perbuatan sebelumnya. (Diriwayatkan oleh
Muslim).305
2. Aktivitas membahayakan yang dilakukan pengungsi
A. Menurut Syariat Islam
Jika seorang non-Muslim melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan stabilitas keamanan negara Islam, maka suaka
harus dihentikan. Dalam kaitan ini, Allah SWT berkalam:
kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap
mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
(Q.S. al-Taubah/9:4)
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka
berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah
pemimpin-pemimpin
orang-orang
kafir
itu,
karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat
dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. alTaubah/9:12).
305
Sahîh Muslim, Hadis No. 121. Jilid. I, h. 112.
241
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. al-Anfâl/8:58)
Ayat terakhir mengandung arti, dalam konteks hak suaka,
bahwa apabila terdapat kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan
oleh seorang pengungsi, kepada dia harus diberitahukan tentang
pembatalan
dan
penghentian
terhadapnya
menjadi
seimbang
suakanya,
agar
dengan
Muslim
perlakuan
lainnya.
Konsekuensinya ialah (1) suaka tidak boleh dihentikan secara
mendadak tanpa pemberitahuan alasan atau faktor penyebabnya;
dan (2) pengungsi tersebut mesti diberi waktu secukupnya untuk
mengatur perpindahannya ke wilayah aman yang lain.
B. Menurut Hukum Internasional
Pasal 3 Convention Governing the Specific Aspects of
Refugee Problem in Africa (Konvensi Organisasi Uni Afrika
tentang Aspek-aspek Khusus Problematika Pengungsi di Afrika)
Tahun 1969, menyatakan bahwa:
1) Perilaku setiap pengungsi harus sejalan dengan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
di
negara
yang
ditempatinya; demikian pula dengan semua regulasi yang
menyangkut
pemeliharaan
ketertiban
umum.
Pengungsi
menghindari segala aktivitas yang membahayakan (subversif)
bagi setiap negara anggota Organisasi Uni Afrika.
242
2) Negara Pihak menghindari dan melarang pengungsi dalam
melakukan segala aktivitas yang menyebabkan meningginya
ketegangan di antara negara-negara anggota, terutama melalui
penggunaan senjata militer, media massa atau radio.
3. Penolakan (repudiasi) atas suaka
A. Menurut Syariat Islam
Pencari suaka (mustajîr) dapat menolak perjanjian suaka
(jiwâr) dari sang pemberi suaka (mujîr) sehingga dia tidak lagi
memperoleh perlindungan atas dirinya. Ada 2 (dua) contoh yang
dapat dikemukakan:
Pertama, ketika Abû Bakr al-Siddîq mengadakan perjanjian suaka
(jiwâr) dengan Ibn al-Daginah, kaum Quraisy khawatir bahwa
anak-anak dan kaum perempuan mereka akan tersihir dengan
pembacaan ayat suci al-Qur’an. Maka, Ibn al-Daginah menemui
Abû Bakr seraya berujar: ”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku
tidak memberikan suaka (jiwâr) kepadamu untuk mencelakai
kaummu; mereka merasa muak dengan apa yang engkau lakukan,
dan juga merasa mengalami celaka lantaran tindakanmu. Maka,
masuklah ke dalam rumahmu dan lakukan apa yang ingin engkau
lakukan.” Abû Bakr menjawab: ”Haruskah aku membatalkan
suaka (jiwâr) darimu dan akan berpuas diri dengan suaka (jiwâr)
Allah?. “Aku batalkan suaka dariku”, kata laki-laki itu. “Aku
terima”, kata Abû Bakr. Kemudian Ibn al-Daginah berseru,
243
“Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya anak dari Abî Quhâfah
(Abû Bakr) telah membatalkan suakaku; maka, terserah pada
kalian untuk memperlakukan kawan kalian”.306
Kedua, pembatalan oleh ‘Utsmân ibn Maz’ûn atas suaka (jiwâr)
al-Walîd ibn al-Mugîrah.307
B. Menurut Hukum Internasional
Perspektif hukum internasional perihal penghentian/pembatalan
suaka adalah tidak berbeda dengan masalah pemulangan secara
sukarela.
4. Hilangnya faktor penyebab munculnya suaka (melalui
amnesti/
pengampunan
atau
permintaan
maaf
oleh
pengungsi)
A. Menurut Syariat Islam
Apabila faktor penyebab adanya sesuatu (dalam hal ini hak
suaka) itu hilang, maka hilang pula sesuatu yang disebabkannya.
Karena itu, suaka bisa saja hilang atau terhenti lantaran faktor
yang menjadi penyebabnya juga hilang atau berakhir dengan
306
Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 373-374.
Ibn Hisyâm mengisahkan, ketika ‘Utsmân sedang berada di bawah suaka al-Walîd ibn al-Mugîrah,
dia merasa malu karena bernasib baik berada di bawah perlindungan seorang kafir. Sementara teman-teman dan
saudara-saudaranya sesama Muslim mengalami penyiksaan dan kesengsaraan yang tidak dialaminya. Jadi, dia
menemui al-Walîd ibn al-Mugîrah, dan menyapanya, “Wahai Abâ-‘Abd Shams, suaka anda sudah berakhir, dan
dengan ini aku menyatakan mencabutnya.” “Untuk apa keponakanku?”, al-Walîd ibn al-Mugîrah bertanya
dengan heran, ”Mungkin orang-orangku telah berbuat salah padamu?” “Tidak, hanya saja aku merasa cukup
dengan suaka Allah, dan aku tidak akan mencari perlindungan kecuali dari-Nya.” ‘Utsmân menjawab, ”Kalau
begitu pergilah ke masjid dan umumkan penghentian ini di depan umum seperti aku memberikannya padamu
dulu.” Kemudian keduanya berjalan ke masjid, dan al-Walîd berkata, “Ini ‘Utsmân, dan dia mencabut suaka
dariku.” ‘Utsmân berkata, “Dia benar. Dia merupakan seorang pelindung yang baik dan bisa dipercaya;
namun, aku ingin mencari perlindungan secara eksklusif dari Allah. Itulah sebabnya sekarang aku mencabut
suaka darinya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 370.
307
244
sendirinya. Hal ini dapat terjadi melalui pengampunan dari
penguasa negara atas segala perbuatan yang dilakukan oleh
pengungsi, atau melalui permintaan maaf pengungsi yang
diterima oleh penguasa negara. Sebagai contoh, peristiwa yang
dialami Ka’ab ibn Zuhair, yang pernah mengolok-olok Rasulullah
SAW melalui sya’irnya, lalu ia melarikan diri. Tak lama waktu
berselang, akhirnya dia datang menemui Rasulullah SAW dengan
maksud bertaubat. Diceritakan bahwa dalam pelariannya, dia
merasa seakan-akan bumi tempat berpijaknya sangat sempit, dia
merasa amat bersalah dan gelisah. Lalu, dia menemui Abû Bakr,
dan kemudian usai shalat Subuh, Abû Bakr membawa Ka’ab ibn
Zuhair, dalam keadaan mukanya tertutup sorban, menemui
Rasulullah SAW. Abû Bakr berkata: “Wahai Rasulullah, orang
ini ingin mengangkat janji setia kepada engkau atas dasar agama
Islam.” Lalu, Rasulullah mengangkat tangannya. Ka’ab ibn
Zuhair menyingkirkan sorban dari mukanya, dan berkata, ”Wahai
Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkaulah tempat
berlindung aku, Ka’ab ibn Zuhair.” Kaum Anshar marah dan
berkata secara kasar kepada Ka’ab atas pernyataannya itu kepada
Rasulullah SAW. Kaum Quraisy bersimpati kepadanya dan
menginginkannya agar memeluk Islam. Kemudian, Rasulullah
SAW memberikannya perlindungan. Tak lama kemudian, Ka’ab
membacakan eulogi sebagai pujian kepada Rasulullah SAW,
245
dengan pembukaan sebagai berikut:308
Hari ini, saat Su’âd pergi, hatiku merindu dendam
Terpesona dan terbelenggu cinta, tak terobati
dan sebagai penutup, dia berkata:
Kemudian para sahabat yang kupercaya berkata,
“Sudahlah, saya sedang sibuk.”
“Pergilah kau anak yatim,” aku berkata.
“Apapun Yang Maha Pengasih (Allah) inginkan akan
terjadi.”
Seberapa lamapun dia berada dalam keadaan aman,
setiap anak dari seorang wanita suatu hari pasti akan berada
dalam peti mati
Aku diberitahu bahwa pesuruh Allah telah mengancamku,
namun maaf dari pesuruh Allah merupakan suatu yang
diidam-idamkan
Al-Raqqâm al-Basri dalam bab tentang “Pengampunan dan
Repatriasi para Pelarian dan Orang Buangan melalui Pemberian
Kasih Sayang dan Pemaafan kepada Mereka”, menceritakan
bahwa istri ‘Ikrimah ibn Abî Jahl, yang telah melarikan diri ke
Yaman, telah memeluk Islam. Sang perempuan itu mendatangi
Rasulullah SAW, memohonkan perlindungan untuk ‘Ikrimah,
308
Lihat al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid. II, h. 447-451. Lihat contoh yang lain pada
h. 455-461.
246
suaminya. Kemudian, sang perempuan itu pergi menemui
suaminya di Yaman, lalu dia mengajaknya menemui Rasulullah
SAW, dan kemudian beliau mengesahkan perkawinannya yang
pertama.309
B. Menurut Hukum Internasional
Perspektif hukum internasional perihal penghentian suaka
lantaran faktor ini tidak berbeda dengan perihal penghentian
suaka lantaran faktor yang disebut pada Pasal 1 C, klausa 1 dan 4,
Konvensi 1951.
5. Melakukan negosiasi dengan negara asal untuk menjamin
pemulangan pengungsi secara aman
A. Menurut Syariat Islam
Dalam pandangan Syariat Islam, suaka dapat berakhir
lantaran pengungsi memperoleh jaminan perlindungan dari
otoritas negara asal yang ditinggalkannya, dan pengungsi tersebut
dijamin bahwa dia tidak akan dianiaya atau diadili. Terdapat
contoh populer tentang hal ini, yakni terjadi suatu peristiwa
negosiasi antara ‘Adid al-Daulah dan Raja Romawi (372 H).
Penyebab peristiwa negosiasi ini ialah tindakan mengungsi yang
dilakukan oleh salah seorang warganegara Romawi, yang
bernama Ward, ke negara Islam. Di tengah-tengah negosiasi, Raja
309
al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid 1, h. 290-291 Lihat contoh-contoh lainnya pada h.
292 dan sesudahnya, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2008, Jilid. I, h. 647. Dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs
dilaporkan bahwa Rasulullah mengembalikan anak perempuannya kepada Amr ibn al-‘Âsh ibn al-Rabî’, dua
tahun setelah pernikahannya.
247
Romawi meminta penyerahan orang tersebut; lalu ditolak oleh
negosiator muslim (yang bernama Ibn Syahrâm) dengan
mengatakan: “Saya tidak mendengar peristiwa ini dan tidak pula
menghadirinya; maka saya menolak menyetujui permintaan itu.”
Pada akhirnya, negosiasi itu dapat diselesaikan dengan sukses
oleh kedua negara. Agar jaminan perlindungan yang diberikan
kepada pengungsi seperti yang tersebut dalam perjanjian tidak
dilanggar, masyarakat Muslim mengirim surat kepada Raja
Romawi agar ia memberikan jaminan keamanan dan perlakuan
yang
baik
bagi
orang
Muslim
dan
saudaranya,
dan
mengembalikan kedua orang itu pada kedudukannya yang
terdahulu dan keadaannya yang tepat. Demikian pula, Ward
terikat dengan perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak
dibolehkan
mengancam
stabilitas
keamanan
Kekaisaran
Romawi.310
B. Menurut Hukum Internasional
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan suaka di suatu
negara dapat berakhir, seperti pengembalian kewarganegaraan
apabila seseorang telah memperoleh suaka di negara lain. Lebih
dari itu, Pasal 1C Konvensi 1951 menegaskan sejumlah keadaan
310
Lihat Ibn Miskawaih, Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at alSyirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1333 H/ 1915 M), Jilid II, h. 396-397; Perdana Menteri Abû Sujâ’, digelari
Zahîr al-Dîn al-Ruwadzrâwiy, Dzail Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at
al-Syirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1334 H/ 1916 M), h. 28-39, h. 111 dan seterusnya. Lihat juga notulen
dan hasil negosiasi tersebut dalam Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa alIlâqât al-Duwaliyyah fi Syarî’ah al-Islâm, Vol. IX, h. 478-499.
248
yang mengakibatkan berakhirnya masa pemanfaatan suaka oleh
pengungsi atau biasa dikenal sebagai “cessation clauses”, yaitu
:311
1. apabila dia secara sukarela mengambil kembali perlindungan
negara asalnya; atau
2. apabila
dia
secara
sukarela
memperoleh
kembali
kewarganegaraannya setelah dia kehilangan kewarganegaraan;
atau
3. apabila dia telah memperoleh kewarganegaraan baru dan
menikmati perlindungan dari negara barunya itu; atau
4. apabila dia kembali secara sukarela ke negara yang dia
tinggalkan atau tetap di luar negara itu lantaran takut akan
penganiayaan; atau
5. apabila dia tidak mampu lagi (karena hilangnya faktor keadaan
yang melahirkan pengakuan akan dirinya dalam kapasitasnya
sebagai pengungsi) untuk terus menolak perlindungan dari
negara asalnya; atau
6. Meski dia tidak memiliki kewarganegaraan, dia (karena
hilangnya faktor keadaan yang melahirkan pengakuan akan
dirinya dalam kapasitasnya sebagai pengungsi) dapat pulang
kembali ke negara yang didiaminya terdahulu.312
311
Lihat juga kasus-kasus lain yang disebutkan dalam Pasal 1-4 Convention Governing the Specific
Aspects of Refugee Problems in Africa, 1969.
312
Lihat dalam Conclusion No. 69 on Cessation of Refugee Status, Komite Eksekutif menekankan
bahwa dalam pengambilan semua kesimpulan terhadap permohonan klausa penghentian yang didasarkan pada
“keadaan terhenti” (ceased circumstances), negara harus secara hati-hati menilai karakter dasar mengenai
249
BAB VI
PERBANDINGAN ANTARA
SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL
DALAM KONTEKS HAK SUAKA
Pada bagian ini, kami akan memaparkan persamaan antara
pandangan Syariat Islam dan hukum internasional tentang hak
suaka, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan mengenai
perbedaan
antara
pandangan
Syariat
Islam
dan
hukum
internasional tentang isu yang sama.
A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan
Hukum Internasional tentang hak suaka
Indikator terpenting persamaan antara pandangan Syariat
Islam dan hukum internasional tentang hak suaka tergambarkan
sebagai berikut:
1. Larangan pemulangan kembali pengungsi ke negara di
mana dia menghadapi risiko penganiayaan;
2. Larangan penjatuhan hukuman terhadap pengungsi yang
masuk atau berada di dalam wilayah suatu negara secara
ilegal;
perubahan yang terjadi dalam negara asal, termasuk situasi hak asasi nasionalnya secara umum, dan begitu juga
penyebab khusus dari adanya ketakutan akan penindasan, untuk memastikan cara yang obyektif dan dapat
diverifikasi yang membenarkan pemberian status pengungsi untuk diakhiri. Juga ditekankan bahwa “keadaan
terhenti” dari klausa pengakhiran tidak dapat diterapkan kepada pengungsi yang masih takut akan penindasan.
Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the
UNHCR Programme, Geneva, 1996, Conclusion No. 69 (IVIII) h. 170 -171.
250
3. Prinsip non-diskriminasi;
4. Prinsip kemanusiaan hak suaka;
5. Larangan
pemberian
suaka
kepada
pengungsi
yang
merupakan prajurit perang;
6. Kemungkinan pemberian suaka kepada tawanan perang;
7. Keharusan penyediaan kebutuhan primer pengungsi;
8. Prasyarat reunifikasi atau penyatuan anggota keluarga
pengungsi;
9. Perlindungan terhadap harta kekayaan dan properti milik
pengungsi;
10. Pemberian hak dan kebebasan dasar kepada pengungsi
sebagai manusia dan subyek hukum;
11. Larangan pemberian suaka kepada para pelaku kejahatan
(non-politik);
12. Kemungkinan bagi para pencari suaka untuk memperoleh
perlindungan sementara; dan
13. Penghentian suaka lantaran hilangnya faktor penyebab
kemunculan suaka.
B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum
Internasional tentang hak suaka
Jika suaka, menurut hukum internasional modern, berarti
perlindungan
yang
diberikan
oleh
suatu
negara
dalam
hubungannya dengan negara lain, yang didapatkan oleh seseorang
251
atau sekelompok orang (yang disebut sebagai pengungsi), maka
Syariat Islam berbeda pandangan dengan hukum internasional
dalam sejumlah hal. Yang paling pokok antara lain perihal siapa
yang memberikan suaka, siapa yang berhak memperoleh suaka,
tempat diberikannya suaka, sifat hak suaka, bentuk suaka nonsukarela (involuntary asylum), ekstradisi pengungsi dan tata
perlakuan terhadapnya, suaka yang diperoleh melalui cara
penipuan, pemberian status kewarganegaraan pengungsi dengan
identitas kewarganegaraan negara pemberi suaka, dan perihal
klasifikasi suaka.
1. Pihak pemberi suaka
Menurut Syariat Islam, suaka dapat diberikan, baik oleh
institusi negara maupun oleh individu biasa.313 Hal ini didasarkan
pada Hadis:
Orang Mukmin (Muslim) itu sederajat. Yang paling rendah di
antara mereka dapat bergerak dengan jaminan perlindungan;
dan mereka adalah tangan (yang melindungi) atas orang-orang
selain mereka. (Diriwayatkan oleh Ahmad).314
Juga berdasarkan konsep jiwâr (pemberian perlindungan)
yang diterapkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menerima
jiwâr yang diberikan oleh al-Mut’im ibn ‘Adiy dan praktik ini
diikuti oleh umat Islam pasca beliau wafat. Sementara itu, dalam
313
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm al-Jawziyyah: Ahkâm Ahl al-Dzimmah, tahqîq Subhi alSâlih (Beirutt: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1983, , Jilid. 2, h. 858.
314
Telah dikemukakan takhrij-nya pada halaman 83.
252
hukum internasional modern, yang berhak memberikan suaka
hanyalah institusi negara sehingga pengungsi berada di bawah
kekuasaan dan perlindungan negara saja. Nabi SAW bersabda:
Jika seseorang meminta perlindungan akan jiwanya kepadamu
maka janganlah kamu bunuh dia. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah)
315
Abû Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda:
Keimanan
adalah
pengaman
dari
tindakan
pembunuhan/penganiayaan. Seseorang yang memiliki keimanan
tidak boleh dibunuh/dianiaya. (Diriwayatkan oleh Abû
Dâwud).316
Aturan dalam Islam, sebagaimana halnya aturan di negaranegara lain, adalah negaralah yang memiliki hak eksklusif dalam
mengatur urusan luar negeri negara tersebut, hal ini dinyatakan
dalam Hadis:
Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa
yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (Diriwayatkan
oleh al-Bukhâri).317
Dengan demikian, hanya pihak pemimpin negara yang
memiliki hak untuk mengatur urusan dalam dan luar negeri
315
Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Pembahasan tentang diyat, bab tentang orang yang dimintai
perlindungan atas jiwa orang lain, tetapi kemudian orang itu membiarkannya terbunuh, hadis No. 2689, Jilid. II,
h. 869
316
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwûd, Pembahasan tentang Jihad, bab tentang musuh yang tertangkap
dalam keadaan sekarat, hadis No. 2769. Jilid.3 h. 145.
317
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Pembahasan tentang shalat Jum’at, bab tentang shalat Jum’at di
kawasan desa dan kota, hadis No. 857, Jilid. 1, h. 304..
253
negaranya; dan individu orang Muslim tidak boleh melakukan hal
demikian apabila pemimpin negara tidak mendelegasikan
kewenangannya atau tidak memberikan izin kepada orang itu
untuk melakukan tugas tersebut.318 Tetapi, hak suaka merupakan
pengecualian dari prinsip ini, karena individu biasa dapat
memberikan suaka.
2. Perihal penerima manfaat suaka
Orang Muslim, orang non-Muslim dzimmiy dan orang nonMuslim harbiy dapat menerima/memanfaatkan suaka. Tidak ada
satupun kelompok orang yang dikecualikan dari hak ini. 319
Sedangkan menurut hukum internasional, sejumlah negara dapat
membatasi subyek sasaran pemberian suaka, terutama pada masamasa sekarang ini.320
Lebih jauh, dalam pandangan hukum internasional, sebutan
“pengungsi”, sesuai dengan Pasal 1A Konvensi 1951, mengacu
pada setiap orang yang memiliki ketakutan yang beralasan karena
adanya penganiayaan atas alasan ras, agama, kewarganegaraan,
318
Lihat Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa al-‘Alâqât alDuwaliyyah fî Syarî’ah al-Islâm, Jilid. IV, h. 61.
319
Roger C. Glase mengakui bahwa hak suaka diberikan bahkan kepada musuh negara Islam. Satu
prinsip esensial dari hukum internasional Islam ialah penghormatan atas hak-hak non-Muslim. Dia
menambahkan bahwa penghormatan ini sangat jelas. Hak atas suaka diberikan kepada orang asing, bahkan
orang asing yang merupakan musuh. Lihat, Roger C. Glase, Protection of Civilian Lives in Warfare–A
Comparison between Islamic Law and Modern International Law concerning the Conduct of Hostilities. Revue
de droit penal militaire et de droit de la guerre, 1977, h. 249.
320
Untuk membatasi calon pengungsi (pencari suaka), negara-negara Eropa mengumumkan penerapan
sejumlah pembatasan, seperti memberlakukan hukuman (denda) terhadap maskapai penerbangan yang
membawa penumpang yang tidak memiliki dokumen yang sah, memberlakukan pembatasan izin masuk
pengungsi dengan mengidentifikasi kasus penolakan untuk masuk, dan menciptakan badan penentuan status
pengungsi. Lihat, sebagai contoh, situasi di Belgia dalam Johnson, Refugee Law Reform in Europe–the Belgian
Example, Col. J. Of Trans. L., Jilid. XXVII, 1989, h. 589-613.
254
keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan
politik tertentu. Dalam pandangan Syariat Islam, di samping yang
telah disebutkan, yang juga dapat menerima/memanfaatkan suaka
ialah orang yang ingin mendengarkan kalam Allah (dikenal
dengan suaka keagamaan) atau seseorang yang datang, dengan
faktor penyebab apapun, untuk memperoleh status penerima
perlindungan sementara (musta’min), atau warganegara nonMuslim (ahl al-dzimmah).
3. Perihal aspek eksteritorial pemberian suaka
Pemberian suaka di wilayah teritorial Islam membawa
implikasi bahwa pengungsi dapat menikmati hak ini di setiap
wilayah negara Islam karena bahwa (a) sistem hukum (negara
Islam) itu satu; dan (b) wilayah negara Islam itu satu
321
,
meskipun keadaan tersebarnya umat Islam di sejumlah negara di
dunia kini menghalangi aplikasi hukum ini. Sedangkan dalam
hukum internasional modern, negara di dunia dibagi menjadi
entitas politik independen yang terpisah, yang masing-masing
hidup dengan batasan geografis yang jelas. Karena itu, hukum
internasional memandang bahwa pemberian suaka dibatasi pada
negara yang memberikannya, dan dipastikan tidak akan beralih ke
321
Menurut Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah: “ Semua negara Islam dianggap sebagai tempat tinggal bagi
setiap Muslim.”Lihat al-Fatâwâ al-Islâmiyyah min Dâr al-Ifta al-Islâmiyyah, al-Majlis al-A’la li Syu’ûn alIslâmiyyah, Kairo 1402 H (1989). Jilid. VII, h. 2645. Prinsip Islam tersebut sekarang diberlakukan di wilayah
Uni Eropa. Dalam kenyataannya, Protocol No. 29 concerning Right to Asylum for Citizens of the European
Union (1997) menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian masyarakat Eropa membuat ruang (une espace) tanpa
batas-batas internal dan memberikan semua penduduk di dalam perserikatan hak untuk pindah secara bebas dan
tinggal di wilayah negara anggota. Lihat, L. Dubois et C. Gueydan, Les Grands Textes du Droit de l’Union
Europeene, (Dalloz, Paris, 2002, t.th.), h. 195.
255
negara-negara lain.
Patut dicatat bahwa Komite Eksekutif Program UNHCR,
melalui Konklusi No.12 tentang Pengaruh yang Bersifat Teritorial
untuk Menentukan Status
Pengungsi, mengatakan
bahwa
sejumlah ketentuan aturan dalam Konvensi 1951 memungkinkan
seorang pengungsi yang tinggal di dalam suatu negara pihak,
untuk menggunakan hak-hak tertentu sebagai seorang pengungsi
di negara pihak yang lain; dan bahwa penggunaan hak ini tidak
mengharuskan dilakukannya kembali proses penentuan status
pengungsi.322
Seperti yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa pengungsi
hanya bisa menikmati hak-hak tertentu. sementara di negara
Islam, pengungsi dapat melaksanakan semua haknya.
4. Sifat dasar dari hak suaka
Penting dicatat bahwa perbedaan pendapat di kalangan
ulama fikih bermuara pada pertanyaan apakah suaka itu
merupakan hak negara ataukah hak individu. Dengan kata lain,
apakah seorang individu memiliki hak, berhadapan dengan
negara, untuk menikmati suaka, meskipun dalam jangka waktu
yang singkat, yang dengan demikian menafikkan kemungkinan
pemulangan
kembali
/
penolakan
di
perbatasan
negara,
pengusiran, atau ekstradisi (penyerahan) ke negara asalnya?
322
Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees adopted by the Executive Committee
of the UNHCR Programme, h. 27.
256
Dalam Syariat Islam, suaka dapat dikatakan sebagai suatu hak
yang valid bagi setiap individu dari dua sudut pandang, yaitu
sudut pandang pemberiannya dan sudut pandang pemerolehan
dan penggunaannya.
Pasal 9 Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi
Manusia, yang ditetapkan oleh Islamic Council, London, tahun
1981,
323
menyatakan, “ Setiap orang yang teraniaya dan
tertindas berhak mencari suaka. Hak ini harus dijamin bagi
setiap manusia, tanpa memandang
ras, agama, warna kulit,
ataupun jenis kelamin.”
Demikian pula, Pasal 13 Piagam Hak Asasi Manusia dalam
Islam (OKI, Dhaka, 1983) menyatakan:
“Setiap orang memiliki hak untuk berpindah tempat secara bebas
dan memilih tempat tinggalnya, baik di dalam maupun di luar
negaranya. Jika dia menghadapi penganiayaan, dia memiliki hak
untuk mendapatkan perlindungan di suatu negara di luar negara
asalnya. Negara yang ditujunya untuk meminta suaka harus
melindunginya dan memberinya suaka politik, kecuali suaka
politik yang diminta atas dasar alasan yang bertentangan dengan
Syariat Islam.”324
323
Dikatakan bahwa hak atas suaka benar-benar merupakan hak asasi manusia yang sejati. Lihat
Asylum and Refugees in Islamic Tradition/ L asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, International
Law Association, Report of the Sixty-ninth Conference, op cit, h. 308.
324
Sebagian ahli hukum berketatapan bahwa syariat Islam menganggap suaka sebagai suatu hak bagi
pengungsi dan sebagai suatu kewajiban bagi suatu negara Islam. Suaka bisa diberikan baik kepada Muslim atau
non-Muslim, tanpa perkecualian, berdasarkan prinsip umum yang mengakui hal itu. Sebelum terjadi bencana
dunia, seluruh Muslim dan non-Muslim itu sederajat. Namun demikian, bisa terjadi penolakan untuk
memberikan hak suaka sebagaimana dalam kasus dari perjanjian perdamaian Hudaybiyyah, yang mengakui
bahwa para pengungsi yang datang dari kaum Quraisy ke masyarakat Muslim akan dipulangkan, sementara jika
datang dari sebaliknya tidak demikian. Lihat. Muhammad Tal’at al-Gunaymi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fi Qânûn alUmam, h. 720; Hamdi al-Gunaimi, al-Malja‘ fi al-Qânûn al-Duwaliy, (Kairo: Kulliyat al-Huqûq, Jâmi’ah alIskandariyah, 1976), h. 132.
257
Sementara itu, Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (tahun 1948) menegaskan bahwa setiap orang memiliki
hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain.
Permintaan akan hak ini tidak selalu dapat dikabulkan. Begitu
juga Konvensi 1951 tidak memberikan perlindungan otomatis
atau permanen kepada orang yang meminta suaka. Begitu pula,
Pasal
1-2
Konvensi
Uni
Afrika
tentang
Aspek-Aspek
Problematika Pengungsi di Afrika (tahun 1969) menegaskan
bahwa setiap negara harus mengerahkan kemampuan optimalnya
untuk menerima para pengungsi dan menjamin pemukiman
mereka.
5. Suaka non-sukarela atau suaka wajib
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengungsi
tidak boleh dipulangkan ke negaranya, meskipun dia berstatus
non-Muslim dzimmiy, baru menganut Islam atau berstatus
musta’min. Apabila pengungsi setuju untuk pulang kembali ke
negaranya maka tidak boleh dilakukan pemulangan bila ternyata
terdapat alasan kuat bahwa hidup pengungsi tersebut akan
terancam karena tidak ada dispensasi (rukhsah) dalam hal ini.
Jika tidak demikian, negara Islam akan dianggap bekerjasama
dalam melanggar hak asasi manusia yang esensial ini. Tidak
diragukan lagi, hal tersebut tidak diimplementasikan dalam
hukum internasional modern, kecuali pengungsi sendiri menolak
258
dipulangkan lantaran ketakutan atas keselamatan jiwanya.325
Terdapat ciri lain dari pola suaka wajib, yakni keharusan
negara Islam memberikan suaka kepada orang yang meminta
diperdengarkan ayat suci al-Qur’an, berdasarkan kalam Allah:

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat
mendengar Kalamullah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).326
Kewajiban menghormati suaka sebagai suatu hak asasi
manusia telah ditetapkan dalam agama Islam, sebab hal tersebut
merupakan unsur integral dari akidah dan Syariat Islam. Dalam
hal ini, Piagam Perjanjian tentang Hak Anak dalam Islam, yang
diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada tahun
325
Bandingkan, terkait perlindungan atas hak hidup dalam hukum internasional modern, artikel kami
yang berjudul, Le Devoir de Respecter le Droit a la Vie en Droit International Public, R. Egypt. DI, 1984, h. 970.
326
Terkait frase dalam ayat “Berikan perlindungan kepadanya, sehingga dia dapat mendengar kalam
Allah”, Ibn al-‘Arabiy mengatakan bahwa hal itu berarti jika seseorang mencari suaka atau perlindungan (jiwar,
amân maupun dzimmah) darimu, berikanlah sehingga dia bisa mendengar al-Qur’an. Ayat ini berhubungan
dengan mereka yang ingin mendengar al-Qur’an dan tertarik untuk memahami Islam. Namun demikian, suaka
(ijarah) untuk tujuan-tujuan yang lain dapat diberikan sesuai kepentingan dan untuk kemaslahatan umat Muslim.
Oleh sebab itu, suaka bisa diberikan baik oleh Amir (penguasa) atau masyarakat. Otoritas penguasa dalam
memberikan suaka merupakan hal yang relatif karena kekuasaan datang dari amanat seluruh masyarakat untuk
menjamin kepentingan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kerugian (untuk kemaslahatan). Berkenaan
dengan otoritas seseorang untuk memberikan suaka, Hadis Nabi menyebutkan, “Muslim sama derajatnya; yang
terendah di antara mereka bisa memberi rasa aman dan yang tertinggi di antara mereka dapat menolak aman
yang diberikan pada mereka.” Lihat, Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’an, op. cit., Jilid. 2. h. 891; al-Qurtubiy, alJâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid. 8, h. 76. Dalam pikiran yang serupa, Ibn Qudâmah berkata, “Jika seseorang
mencari suaka supaya dapat mendengar kalam Allah dan mengerti tentang syariah, dia harus diberikan suaka
dan diantarkan ke tempat di mana dia dapat merasa aman.” Lihat, Ibn Qudâmah al-Maqdisi, al-Kâfi fî Fiqh alImâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, 1399 H/1979 M), Jilid. 4, h. 332.
Sebaliknya, ahli lain berkata, “Frasa dalam ayat, “Berikanlah itu (suaka)” mengindikasikan suatu perintah
yang wajib yang terbatas hanya pada tujuan ini saja, tujuan yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan
aman yang dikenal dalam Syariat Islam. Aman adalah suaka yang diberikan atas dasar kebijaksanaan dan
kehendak sendiri dari seorang Muslim. Namun jika seseorang mencari suaka dengan tujuan supaya bisa
mendengar kalam Allah, dia harus mendapatkannya dan keselamatannya harus terjamin, sesegera mungkin
setelah dia mengajukan permohonannya, tanpa melihat apakah suaka diberikan atau tidak”. Lihat ‘Imâd al-Dîn
ibn Muhammad al-Tabariy, Ahkâm al-Qur’ân, tahqîq Mûsâ Muhammad dan ‘Izzat ‘Athiyyah, (Kairo: Dâr alKutub al-Hadîtsah, t.th.), Jilid. 4, h. 26.
259
2005, menegaskan bahwa: “…hak dasar dan kebebasan publik,
menurut Syariat Islam, merupakan ajaran integral (tidak dapat
dipisah – pisah). Tak seorangpun memiliki hak untuk
menghentikan, merusak, atau mengabaikannya.’’327 Syariat Islam
merupakan suatu entitas yang memiliki totalitas, yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
gagalnya
suatu
328
Menurut hukum internasional modern,
negara
memenuhi
kewajibannya
untuk
memberikan suaka disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama,
negaralah yang berhak menentukan dasar alasan pemberian suaka.
Dalam hal ini, Pasal 1 paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka (1967)
menyatakan bahwa pihak negara pemberi suaka berhak
menentukan dasar alasan pemberian suaka. Kedua, hak setiap
orang untuk meminta dan memperoleh suaka di negara lain
adalah sejalan dengan peraturan perundang-undangan negara dan
konvensi internasional (Pasal 12 paragraf 3 Piagam Afrika
tentang Hak Asasi Manusia dan Bangsa-bangsa, 1981).
Sementara itu, dalam agama Islam, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, pemberian suaka itu bersifat wajib, dan dalam
sejumlah keadaan, tidak ada pilihan lain.
6. Perlakuan terhadap pengungsi
Dalam masalah ini, sejarah Islam memberikan contoh yang
327
Lihat teks dalam: Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and
others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid. 3, h. 1171 (Paragraf 6).
328
Lihat Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Nazariyyah al-Islâm wa Hadyih fî al-Siyâsah wa al-Qânûn wa alDustûr, (Beirût: Mu’assasat al-Risâlah), 1400 H/ 1980 M, h. 159.
260
paling baik. Sejarah Islam memperlihatkan bahwa pengungsi,
baik Muslim maupun non-Muslim, harus diberikan perlakuan
yang tidak kurang dari, jika tidak bisa dikatakan melebihi, yang
ditetapkan bagi penduduk negara asal mereka. Perlakuan
demikian dapat dibenarkan, terutama atas dasar pertimbangan
kemanusiaan dan ketenangan jiwa pengungsi yang berada dalam
lingkungan situasi yang mengancam keselamatan jiwanya.329
Sementara itu, Resolusi Majelis Umum PBB
(United
Nations General Assembly Resolutions) No. 50/152 menyatakan
bahwa dalam banyak situasi, perlindungan pengungsi dapat
menghadapi
resiko
lantaran
penolakan,
pengusiran,
dan
penangkapan mereka secara tidak sah serta bentuk-bentuk
ancaman yang ditujukan terhadap keselamatan fisik, martabat dan
kehormatan diri, kesejahteraan, serta eksistensi hak dan
kebebasan dasar mereka.330 Pendek kata, dapat dikatakan bahwa
perlindungan internasional terhadap pengungsi pada saat ini
tengah menghadapi ancaman.331
329
Dikatakan bahwa para pengungsi di Marokko, Muslim, atau Kristiani, Arab maupun non Arab, tidak
terlihat berbeda dengan penduduk lainnya. Orang-orang asing yang datang ke Marokko heran melihat tidak
adanya perbedaan antara para pengungsi dengan penduduk asli. Lihat ‘Abd al-Hâdi al-Tâzi, al-Târîkh alDiblûmâsi li al-Maghrib min Aqdam al-‘Ushûr ila al-Yaum, Jilid 2, h. 80-82.
330
Lihat, Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and others of
Concern to UNHCR, Jilid 1, h. 102.
331
Buku pegangan mengenai Hukum Internasional untuk Pengungsi (Handbook of International Law
for Refugees), UNHCR-IPU, No. 2-2001, h. 6. Perlu dicatat bahwa jika keadaan memaksa dan tidak dapat
dielakkan lagi, seorang pengungsi bisa ditahan atas dasar empat alasan: ketika butuh untuk memverifikasi
identitas si pencari suaka; ketika butuh untuk memutuskan alasan untuk mencari suaka; ketika butuh untuk
mencari tahu dimana pencari suaka memusnahkan dokumen perjalanan mereka atau menggunakan dokumen
palsu, dan di mana dibutuhkan untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, ibid, h. 82.
261
7. Berlakunya jaminan perlindungan bagi pengungsi di
negara Islam, meskipun diperoleh dengan cara – cara
curang/ penipuan
Terkait dengan isu ini, suatu peristiwa yang populer dalam
sejarah Islam yang dialami Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb dan
Raja Hormozan al-Ahwaz dapat menjadi contoh yang sangat
jelas. Setelah jatuh ke dalam tahanan, Raja Hormozan dibawa ke
hadapan ‘Umar. “Apa yang menyebabkan anda beberapa kali
melanggar perjanjian anda?”, Umar bertanya padanya. “Saya
takut anda akan membunuh saya sebelum saya mengatakannya
pada anda”, jawab Hormozan. “Jangan takut,” ‘Umar berusaha
meyakinkan dia. Kemudian Hormozan meminta air minum dan
ketika dibawakan air itu padanya, dia berkata, “Saya takut anda
akan membunuh saya sebelum saya meminumnya.”
Setelah sekali lagi diyakinkan oleh ‘Umar, Hormozan
menumpahkan air tadi dan berkata, “Saya tidak butuh air. Saya
hanya ingin mencari perlindungan dengannya”. “Aku akan
membunuhmu”, kata ‘Umar. “Tapi tadi anda sudah berjanji,” kata
Hormozan. Hadir di tempat itu, Anas bin Malik yang berusaha
ikut campur untuk menolong Hormozan dengan berkata kepada
‘Umar, “Anda telah berjanji kepadanya dengan berkata, “Anda
tidak perlu khawatir sampai anda minum.” Kemudian ‘Umar
berpaling ke Hormozan sambil berkata, “Kau membohongiku!
Demi Allah, aku tidak ingin ditipu kecuali oleh seorang Muslim!”
262
Jadi Hormozan memeluk Islam, dan atas hal itu ‘Umar
memberinya 1000 dirham dan sebuah rumah di Madinah.
Dari gambaran di atas, jelas bahwa Khalifah ‘Umar
menghargai
perjanjian
perlindungan
meskipun
hal
itu
(perlindungan) didapatkannya dengan cara yang curang.332
Sementara itu menurut hukum internasional, pembatalan
status pengungsi dapat terjadi pada 2 (dua) situasi:
a. Ketika diketahui bahwa individu telah secara sengaja
memalsukan atau menyembunyikan fakta-fakta material dalam
upaya memperoleh status pengungsi; dan
b. Ketika bukti baru yang muncul membuka kenyataan bahwa
individu tidak semestinya berhak atas status pengungsi, sebagai
contoh, karena dia bisa dikecualikan.333
8. Pemberian status kewarganegaraan dari negara pemberi
suaka kepada pengungsi
Menurut Pasal 34 Konvensi 1951, negara-negara yang ikut
perjanjian sedapat mungkin harus memfasilitasi asimilasi dan
naturalisasi pengungsi. Mereka secara khusus sebaiknya berupaya
untuk melancarkan proses naturalisasi dan untuk mengurangi
332
Lihat Ibn al-Jauziy, Sîrah wa al-Manâqib Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththâb, tahqîq
Hamzah al-Nasart,dalam bahasa Inggris ada kalimat “diverifikasi oleh Dr. Hamza an Nasharti” (Kairo: alMaktabah al-Qayyimah, t.th), , h. 150.
333
Lihat A Guide to International Refugee Law: A Handbook for Parliamentarians No. 2 -2001, op cit,
h. 60. Lihat juga Concluding Instrument of the Amended Bangkok Principles on Refugee Status and Treatment,
New Delhi, 2001, yang menyatakan bahwa seorang pengungsi dapat kehilangan status pengungsinya jika dia
mendapatkan statusnya itu atas dasar informasi yang salah, bukti-bukti yang tidak benar, atau dengan tindakan
yang curang, sehingga mempengaruhi keputusan dari otoritas pemberi suaka suatu negara. Lihat Collection of
International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid
3, h. 1182.
263
sebanyak mungkin biaya dari proses ini.
Oleh karena itu, menurut hukum internasional kontemporer,
negara-negara memiliki kebebasan yang besar (discretionary
power) untuk memutuskan ada tidaknya naturalisasi pengungsi.
Sementara dalam Islam, diakuisisinya status dzimmiy oleh
seseorang secara otomatis berarti orang tersebut memperoleh
kewarganegaraan sebuah negara Islam. Dalam kasus ini negara
tidak memiliki discretionary power. Lebih jauh lagi, menurut
Pasal 34 Konvensi 1951, suatu negara memiliki kebebasan penuh
untuk menaturalisasi atau tidak menaturalisasi pengungsi. Hal ini
jelas terlihat dari penulisan kata ”sejauh mungkin” dalam teks
berbahasa Inggris (teks bahasa Perancis menggunakan ungkapan
“dans toute la measure du possible”, yang artinya dengan segala
cara).
Patut dicatat bahwa Deklarasi Cotunou tahun 2004
menunjukkan kemungkinan adanya kemaslahatan bagi negara
tuan rumah dalam memfasilitasi integrasi lokal pengungsi melalui
pemberian status permanent residence (ijin tinggal tetap) dan
naturalisasi sepenuhnya.334
Bila dalam Islam dzimmiy diberikan perjanjian dzimmah, dia
memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana seorang
Muslim. Ini berarti bahwa dia diberi lebih banyak hak daripada
334
Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of
Concern to UNHCR, Jilid. III, h. 1027
264
penduduk tetap atau keringanan proses naturalisasi.
9. Penyatuan keluarga
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, reunifikasi atau
penyatuan anggota keluarga pengungsi diatur dalam Syariat Islam
dan hukum internasional. Meskipun demikian, ada perbedaan
pandangan antara dua sistem hukum tersebut.
Dalam
hukum
internasional,
suatu
negara
harus
memfasilitasi penyatuan kembali anggota keluarga pengungsi
dengan segala cara (Pasal 74 Protokol Tambahan Pertama 1977
atas Konvensi Genewa 1949).
Menurut Syariat Islam, haram hukumnya memisahkan
anggota keluarga, maka implikasinya adalah adanya kewajiban
untuk menghindari hal itu. Ketika mengomentari Hadis yang
menyatakan:
Siapa saja yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, niscaya
Allah akan memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya pada
hari kiamat kelak. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi)
Seorang ulama Hadis terkenal, al-San’ani, mengatakan
bahwa Hadis ini secara jelas melarang pemisahan antara ibu dan
anaknya, tetapi larangan ini diperluas dengan analogi kepada
semua sanak saudara lainnya berdasarkan hubungan pertalian
saudara.335
335
al-San’âni, Subul al-Salâm, op. cit, Jilid. 2 h. 494-495.
265
10. Klasifikasi suaka
Menurut Syariat Islam dan hukum internasional, suaka
teritorial dan suaka diplomatik diakui dan bisa diberikan kepada
yang membutuhkan. Akan tetapi, Islam menetapkan kemungkinan
pemberian suaka keagamaan (misalnya untuk mendengar kalam
Allah atau masuk ke kawasan al-Haram). Sedangkan hukum
internasional, sebagaimana didiskusikan sebelumnya, 336 tidak
menjadikan agama sebagai landasan aturn-aturannya.
11. Pengaruh “Kedaulatan Negara” terhadap pemberian
suaka
Konsep “kedaulatan” merupakan konsep politik yang
mendasari hukum internasional kontemporer, dengan melihat
masalah – masalah fundamental yang terkait. Kedaulatan
termanifestasikan dalam 2 (dua) hal. Pertama, kedaulatan
tertinggi terhadap orang-orang dan rakyat/penduduk di atas
wilayah negara (unsur kedaulatan yang ditujukan kepada
personal/ imperium ). Kedua, kedaultan negara atas segala sesuatu
yang ada di wilayahnya (unsur kedaulatan yang bersifat teritorial,
dominium). Dengan demikian, semua orang dan segala sesuatu
yang berada di atas wilayah negara tunduk kepada kedaulatan dan
kekuasaan negara itu,337 sesuai dengan asas hukum qui quid est in
336
Vide supra, h. 75-76
Kedaulatan termanifestasi dalam dua aspek. Aspek positif yaitu penggunaan semua tanda-tanda
kedaulatan oleh suatu negara di seluruh wilayah teritorial darat, air, dan udaranya. Aspek negatif yaitu
keengganan oleh negara-negara lain untuk melawan kedaulatannya. Lihat detilnya dalam komentar kami
337
266
territorio est etiam de territorio.
Pada kenyataannya, eksistensi suatu negara dalam kerangka
masyarakat internasional mengharuskan, dengan satu cara
ataupun lebih, adanya batasan – batasan terhadap kedaulatan
negara tersebut. Ini bukanlah hal yang tidak lazim karena realitas
kehidupan internasional menunjukkan hal demikian. Keberadaan
individu dalam suatu komunitas yang terorganisir (negara)
mengakibatkan adanya pembatasan terhadap kebebasannya dalam
bertindak, bahkan kebebasan ini terbelenggu pada sejumlah hal,
(dahulu, seorang individu boleh menggunakan haknya dengan
tangan
(kekuatan)-nya
berperang
satu
sama
sendiri;
lain
demikian
dalam
upaya
pula
suku-suku
mereka
untuk
menyelesaikan perselisihan di antara mereka; dan semua itu telah
usai pada era sekarang ini seiring dengan mantapnya kedaulatan
dan kekuasaan negara atas wilayahnya). Demikian pula halnya
dengan negara, di mana eksistensinya dalam masyarakat
internasional (masyarakat internasional modern) atau dalam
mengenai kasus aktivitas militer dan para militer di dan terhadap Nikaragua, Revue Egyptienne de Droit
International, 1986, h. 364. Mahkamah Internasional telah bersidang sejak tahun 1949 mengenai kasus Corvu
Channel (h. 35) bahwa penghormatan terhadap kedaulatan teritorial di antara negara-negara merdeka merupakan
dasar yang esensial dalam hubungan internasional. Lihat juga mengenai konsep kedaulatan, Ahmad Abû alWafâ, Arbitration and Adjudication of International Land Boundary Disputes, Mesir. DI, 1986, h. 145-147;
Descamps, Le Droit International Nouveeau, RCADI, 1930, h. 439;
Van Kleffens Sovereignty in International Law , RCADI , 1953 , 1 , h. 8;
L’etat souverain à l’aube du Xxe siècle : SFDI, colloque de Nancy, Pedone, Paris, 1994, h.318.
Instrumen-instrumen pokok dari organisasi-organisasi internasional secara umum menekankan prinsipprinsip kedaulatan ini. Piagam PBB (Pasal 2-1) menegaskan bahwa PBB didasarkan pada prinsip persamaan
kedaulatan negara – negara anggotanya. The Charter of Organization of inter-American States (pasal 5-B)
menegaskan bahwa “ketertiban internasional pada dasarnya dibangun atas penghargaan terhadap sifat,
kedaulatan, dan kemerdekaan negara.” Piagam Organisasi Persatuan Afrika (OAU) (Pasal 2-1) menegaskan
bahwa “salah satu fungsi dari organisasi ini adalah untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, dan
kemerdekaan negara-negara Afrika.” Demikian halnya Mahkamah Hukum Internasional (Laporan tahun 1986,
paragraf 258, 263) merujuk kepada “prinsip dasar dari kedaulatan yang menjadi dasar semua hukum
internasional.”
267
masyarakat
terorganisir
(organisasi-organisasi
internasional)
mengimplikasikan adanya pembatasan kedaulatan negara itu.338
Indikasi pembatasan kedaulatan negara itu terlihat jelas
manakala dikaitkan dengan isu suaka yaitu pada keharusan
mentaati setiap negara terhadap prinsip-prinsip dasar suaka,
terutama
prinsip
larangan
pemulangan
kembali
(non-
refoulement).339
Demikian pula, hal yang mutlak harus dipatuhi ialah
keharusan negara melakukan pengaturan tata kelola urusan
pencari suaka yang ditolak suakanya secara bertanggungjawab
dan responsif.f340
Namun demikian, sebagian negara terbukti, pada prakteknya,
tidak
melaksanakan
prinsip
aturan
tersebut
sebagaimana
mestinya, seperti telah dibicarakan sebelumnya. Hal ini terbukti
dari adanya sebagian negara yang membuat batasan-batasan
untuk diterimanya pencari suaka/pengungsi, dan bahkan ada
sejumlah negara yang memulangkan pencari suaka/pengungsi di
daerah perbatasan.341
338
Ahmad Abû al-Wafâ, al-Wasît fî al-Qûnûn al-Dauliy, op cit, h. 414.
Oleh sebab itu ditegaskan bahwa, perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan
tanggung jawab negara. Negara-negara penandatangan Konvensi tahun 1951 memiliki kewajiban hukum di
bawah syarat-syarat Konvensi ini dan harus mengaplikasikan syarat-syarat tersebut tanpa diskriminasi atas dasar
ras, agama, atau negara asal dan menghormati prinsip-prinsip perlindungan, seperti non-refoulment (larangan
pemulangan kembali) dan non-expulsion (larangan pengusiran) yang juga diawasi oleh negara-negara yang tidak
menandatanganinya. Lihat Refugee Protection: A field Guide for NGOs, (Kairo: UNHCR dan mitra LSM,
2000), h. 22.
340
Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee
of the UNHCR Programme, No. 62, h. 151.
341
Sebagian negara tersebut menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan administrasi
untuk membatasi masuknya pengungsi ke negara yang bersangkutan. Peraturan administrasi ini dijadikan
landasan dalam pemberian kewenangan yang luas kepada para penjaga perbatasan untuk mencegah masuknya
339
268
Menurut Syariat Islam, seperti telah dikemukakan terdahulu,
kedaulatan negara Islam dibatasi dengan sejumlah hal, terutama
perihal penerimaan pencari suaka/pengungsi dan tata perlakuan
terhadapnya. Diantara hal tersebut ialah:
a. Keharusan memberikan suaka kepada setiap orang yang
membutuhkan bantuan atau yang menghadapi risiko
penganiayaan atau penyiksaan;
b. Keharusan menerima pencari suaka/pengungsi yang datang
untuk tujuan mendengar kalam Allah;
c. Keharusan mengantarkan pengungsi ketempat yang aman
apabila hak atas suakanya hilang (atas alasan – alasan yang
disebut diatas) dan seiring dengan itu, larangan pemulangan
para pencari suaka. Demikian pula, adanya pengenaan denda yang berjumlah besar kepada perusahaan
penerbangan dan perusahaan lainnya yang terlibat dalam kerja pengangkutan para pencari suaka yang tidak
membawa dokumen-dokumen penting yang otentik, mengakibatkan mereka terhalang memasuki negara yang
dituju. Lihat M.Fullerton, Restricitng the Flow of Asylum Seekers in Belgium, Denmark, the Federal Republic of
Germany and Netherlands: New Challenges to the Geneva Convention relating to the Status of Refugees and the
European Convention on Human Rights, (Virginia: Journal of International Law, 1988) Vol. 29, 1988, h. 33114.
Ph. De Bruycker, La Comptabilite de Legislation Belge Avec le Droit International, RBDI, 1989, h. 201-225.
Symposium, Refusing Refugees, Political legal Barriers to Asylum, (Cornell ILJ, 1993), Vol.26, h. 495-770
Symposium, Refugee Law and Policy, (Virginia JIL, 1993), Vol. 33, h. 473-526.
Patut menjadi catatan, Asosiasi Hukum Internasional (International Law Association), setelah mengadopsi, pada
tahun 1986, Deklarasi tentang Pengusiran Massal (Putaran 62 Seoul) juga mengadopsi, pada tahun 1992 di
Kairo, Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional terkait Pemberian Kompensasi kepada Pengungsi.
Di dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa negara yang memaksa seseorang untuk berpindah ke status pengungsi,
berarti melakukan perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional; dan bahwa yang demikian itu dapat
dianggap sebagai pemusnahan ras apabila hal itu dilakukan dengan maksud pemusnahan massal atau
pemusnahan sekelompok bangsa, ras atau agama tertentu; dan negara tersebut harus bertanggung jawab atas
pengusiran pengungsi dengan: (i) menghentikan perbuatan tersebut; (ii) pengembalian status seperti semula
sebelum terjadinya tindakan itu; (iii) memberikan kompensasi ketika pengembalian status tersebut mustahil
untuk dilakukan; (iv) memberikan jaminan agar tidak terulang lagi tindakan tersebut; dan (v) menerapkan
prosedur persangkaan/penuduhan sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional (lihat teks deklarasi
pada h. 157-159, AJIL, 1953).
Patut dikemukakan bahwa PBB menyetujui, dalam Resolusi No. 41/70 (1986) hak pengungsi untuk
dikembalikan dengan jaminan kebebasan dan perlindungan ke negaranya; demikian pula, hak mereka untuk
memperoleh kompensasi yang wajar manakala mereka tidak mau dipulangkan ke negaranya. Ada juga pendapat
ahli yang menyatakan bahwa sebagian pengungsi tidak saling mengenal sehingga mereka tidak disukai. Lihat A.
Harper, Iraq`s Refugees, Ignored and Unwanted, IRRC, Vol. 90, No. 869, 2008.
269
pencari suaka/pengungsi ke daerah dimana dikhawatirkan
mereka akan mengalami penyiksaan;342 dan
d. Penghormatan penguasa di negara-negara Islam terhadap
suaka yang diberikan individu atau orang biasa.343
342
Ada suatu pendapat yang membedakan antara ijârah (perlindungan yang diberikan terhadap “risiko
penyerangan yang ditakuti pencari suaka di tempat ia tinggal, baik secara permanen ataupun sementara”) dan
al-lujû`(perlindungan dari rasa takut terhadap penganiayaaan di negara asal yang telah ditinggalkannya).
Sementara tempat dimana dia tinggal sekarang aman dan oleh sebab itu dia memilihnya sebagai tempat suaka
dan tempat tinggal sementara. Lihat Ahmad al-Khamlisyi , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât alDauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, op cit, h. 12. Pendapat yang sama juga menetapkan bahwa tidak boleh
menjadikan ayat al-Qur’an (Q.S. al-Taubah/9:6) sebagai landasan hak suaka dalam Syariat Islam. Pendapat tadi
berargumen bahwa jika seorang kafir mencari perlindungan dari adanya bahaya di negara yang kebetulan
didatanginya yaitu wilayah pemberi suaka, sementara di domisili aslinya (bukan negara Islam) dia merasa aman.
Konsep ini ditegaskan oleh ayat ini dengan memerintahkan orang kafir tersebut diantarkan ke tempat dimana dia
merasa aman (asal domisilinya). Jadi jika seorang pengungsi berada dalam bahaya di negaranya sendiri, dia
memperoleh perlindungan di negara pemberi suaka. Ayat ini juga memberlakukan “pemberian perlindungan”
dan bukan “pemberian suaka” sebagaimana berlaku dalam terminologi masa kini.” Lihat Ahmad al-Khamlisyi, ,
Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, h. 12-13. Sebenarnya
kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, ayat ini mengandung kata yang umum, tidak secara khusus diperuntukan bagi perpindahan seseorang
dari suatu tempat di mana dia merasa tidak aman ke tempat lain di mana dia merasa aman.. Point pertama ini
dapat didasarkan kepada dua proposisi. Imam al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat isim
nakirah (kata benda tak tertentu) dalam kalimat bersyarat, Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
Kairo: al-Bâb al-Halabiy), Edisi II. Jilid. 2 h. 6. Aturan umumnya adalah “klausul umum meliputi semua yang
ada di bawahnya tanpa pembatasan”. Lihat, al-Suyûtiy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqîq Muhammad Abû alFadl Ibrâhîm, al-Turast House, Kairo, Jilid. 3, h. 22-23.
Kedua, penyampaian jaminan perlindungan dikemukakan secara umum, di mana mencakup tempat asal
pengungsi atau tempat lain di mana saja ia dapat memperoleh perlindungan..
Ketiga, , penyampaian jaminan perlindungan dalam ayat, mengandung arti bahwa jika seorang pengungsi ingin
pulang kembali, dia harus diantarkan ke tempat aman. Jika dia ingin tinggal di negara Islam, dia harus diterima
dan tidak boleh dipaksa pulang kembali. Sama juga bila dia ingin pergi ke suatu tempat selain negara asalnya,
dia harus diantarkan ke tempat aman.
Keempat, para ahli Syariat Islam menggunakan istilah “istijârah” dalam pengertian umum, tidak membatasinya
pada satu syarat atau satu tempat saja. Dalam hal ini al-Imam al-al-Baidawi berkata, “Merupakan kebiasaan
dari seorang pencari suaka (mostajer), untuk memegangi ekor atau kerah baju dari para pemberi suaka
sebagai suatu tanda kebutuhan yang berlebih terhadap perlindungan.” Lihat, al-Ahâdits al-Qudsiyyah, (Kairo:
Majelis Umum untuk Urusan Islam, 1402 H/1981), Jilid. 1-2, h. 117.
343
Ada satu opini yang berpendapat bahwa ada perbedaan yang jelas a di masa lalu dan masa kini
tentang kelayakan pemberian suaka. Tidak lagi dapat diterima, baik di dalam maupun di luar fikih Islam, bahwa
hak suaka dapat diberikan oleh individu, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mengatur
masyarakat politik. Ahmad al-Khamlisyi, Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah alKhassah bi al-Lâji’în, ibid, h..23.
Kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan, sebagai berikut. Pertama, dari sisi muatan isinya,
opini ini bertentangan dengan Hadis Nabi, “ Muslim itu sederajat; yang terendah dari mereka bisa memberikan
perlindungan dan menjalankan dzimmah (perlindungan) yang diberikan oleh orang Muslim yang lain dan
mereka bersatu melawan musuh.” Ini berarti bahwa setiap orang Muslim bahkan dari kalangan bawah berhak
untuk memberi suaka. Kedua, dari segi rasionalisasinya, kami tidak setuju dengan alasan yang dipergunakan
untuk membenarkan aturan tersebut, yakni bahwa praktik semacam itu “bertentangan dengan prinsip-prinsip
yang membentuk masyarakat politik”, ini adalah alasan yang tidak dapat diterima karena sejak kemunculan
negara Islam, sepanjang hidup Rasulullah SAW dan sesudahnya, sudah ada suaka yang diberikan oleh individu
atau individu berhak untuk memberi suaka meskipun ada prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik.
Seiring dengan itu, kami berpendapat bahwa penguasa negara Islam bisa mengatur masalah ini menurut pola
270
PENUTUP
A. Catatan Penutup
Syariat Islam telah menetapkan aturan - aturan dan dasar dasar yang aplikatif dan dapat diterima dalam perihal hak suaka,
baik itu dalam tataran normatif maupun substantif dalam bentuk
surat, kata, dalam pengalaman dan perbuatan. Apa yang
ditetapkan Syariat Islam tersebut perlu mendapat perhatian dan
penekanan dan menjadi kewajiban bagi kaum Muslim.344
Arti penting dari hak suaka jelas terlihat dan tidak diragukan
oleh siapapun. Sebab, pemenuhan hak suaka, melalui pemberian
suaka, adalah unsur yang akan melengkapi hak asasi manusia
secara keseluruhan, begitupun jika tidak dilaksanakan dalam
situasi dan kondisi tertentu akan mengabaikan pelaksanaan hak
asasi manusia secara menyeluruh.345
Al-Qur’an secara eksplist menetapkan bahwa siapa saja
yang memberikan tempat perlindungan kepada orang yang
bermigrasi (yang mencari perlindungan) di tempat ia tinggal,
maka ia adalah Mukmin sejati. Mengenai hal ini, al-Qur’an
menyatakan:
yang sesuai dengan kemaslahatan negara Islam. Hal ini masuk dalam kerangka kekuasaan penguasa dalam
mengatur perkara yang dibolehkan (mubâh) dan tugasnya dalam mewujudkan kemaslahatan negara Islam.
344
Dikatakan: “Dans l Islam, l asile est un devoir tout d abord du persecute, qui est oblige de fuir dans
le cas ou il ne peut resister a l oppression, puis ensuite, une obligation pour tous les musulmans de proteger la
personne qui cherche asile.” Lihat dalam L Asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, op cit, h. 322.
345
Dalam kaitan ini, Deklarasi Cotonou, Benin (2004) menyatakan bahwa tidak ada satu negara pun
yang terhindar dari risiko menghasilkan atau menerima sejumlah aliran pengungsi; dan karena itu upaya
melindungi pengungsi merupakan tugas bersama semua negara dan merupakan penghormatan terhadap hak
asasi manusia yang bersifat mendasar. Lihat dalam Collection of International Instruments and Legal Texts
Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. 3, op cit, h. 102.
271
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan
(kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain
lindung-melindungi. (Q.S. al-Anfâl/8:72).
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat
kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang
muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar
beriman. (Q.S. al-Anfâl/8:74).
Migrasi (hijrah) dalam terminologi hukum internasional
kontemporer sama dengan suaka teritorial, yakni relokasi dari
suatu daerah ke daerah lain, dari daerah dimana seseorang merasa
khawatir atas keselamatan jiwa, keluarga, dan harta kekayaannya
ke daerah di mana dia memperoleh jaminan keamanan dan
perlindungan. Seorang Muslim yang memberikan perlindungan
kepada pengungsi atau migran dianggap sebagai orang Mukmin
sejati karena ia telah mengamalkan aturan-aturan dan prinsipprinsip dalam Syariat Islam. Kata hâjara dalam bahasa Arab
berarti meninggalkan negara atau tanah airnya, seperti halnya kata
tuhâjirû fîhâ, yang berarti pindah dari dâr al-fitnah (wilayah
dimana terjadi pelanggaran) menuju dâr al-amân (wilayah yang
menjamin perlindungan). 346 Hal ini dinyatakan dalam ayat alQur’an berikut:
Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga
346
Lihat dalam Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Jilid. 2, h. 1141.
272
kamu dapat hijrah di bumi itu?". (Q.S. al-Nisâ’/4:97)
Dan dalam al-Anfâl/8:74.
B. Pandangan ahli hukum non-Muslim
Para ahli hukum non-Muslim menyadari kemuliaan dan
menghargai Syariat Islam, terkait aturan didalamnya yang
mengenai hak suaka sebagai hak asasi manusia.
Khazanah pemikiran hukum Barat seringkali mengaitkan
asal muasal diakunya hak suaka dalam Syariat Islam, dengan
tradisi keramahtamahan dalam Islam (ajaran “penghormatan
terhadap tamu”) dan juga dikaitkan dengan ajaran Islam yang
menganggap
hak
suaka
seorang
pengungsi
adalah
suci.
Massignon, salah satunya, berpendapat bahwa meski Islam
membolehkan mengangkat senjata terhadap orang-orang yang
tidak mengakui hak Allah atas masyarakat, hal demikian
diimbangi dan diperingan dengan adanya pemberian hak suaka
kepada siapa saja yang mencarinya.347
Ahli hukum yang sama merasa khawatir bahwa tradisi Barat
yang muncul setelah runtuhnya Imperium Turki Utsmani
347
L Islam estime qu’il est juste de tirer l epee contre ceux qui ne reconnaissent pas le droit de Dieu sur
la Societe humaine. Mais il tempere cette (guerre sainte) par le Droit d’asile, l’hospitalite. Ce n’est pas
seulement en temps de paix, … que les Dhimmiyun ont ete traites a egalite par l’Etat musulman…, C’est en
temps de guerre que l’Etat musulman fait combattre pour proteger la vie et les biens de Dhimiyun comme ceux
des Musulmans: leurs prisonniers aussi, le Bayt al-Mal musulmans doit payer equivalement la rancon des
Dhimmiyun et celle des Musulmans… Il y a plus: Si un etranger resident en temps de paix en territoire
islamique devient un ennemi du fait d’une de claration de guerre contre son pays d’origine, ses droits acquis
persistent en temps de guerre: cet etranger ennemi peut continuer paisiblement son sejour jusqu’ a la date prevue
dans le visa. L. Massignon: Le respect de la personne humaine en Islam et la priorite du droit d’asile sur le
devoir de juste guerre, Rev. Inter. De la croix Rouge, 1952, p. 458-9, 460, 467.
273
mengakibatkan adanya penolakan dari negara-negara Islam
terhadap pemberian hak suaka. 348 Akademisi Barat lainnya, Hoy
Eduardo mengakui bahwa pemberian hak suaka paling luas dapat
ditemukan dalam tradisi kehidupan bangsa Arab Islam.349
Kristen Zaat mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk
mengambil inspirasi, dari Syariat Islam, tentang sejumlah ide dan
konsep yang relevan dengan upaya perlindungan dan pemberian
bantuan
kepada
orang
yang
bermigrasi
lantaran
adanya
keterpaksaan. Di samping itu, diakui pula olehnya keharusan
mengakhiri opini yang memandang bahwa Syariat Islam
merupakan faktor penyebab penyalahgunaan pemenuhan hak-hak
dan pemberian fasiltas hidup bagi orang-orang migran.350 Bahkan,
S. Akram mengisyaratkan keharusan menengok kembali tradisi
budaya Timur ketika memperbincangkan hak suaka.351
Salah satu bentuk dari tradisi ini ialah penghargaan terhadap
348
La liquidation de cet Empire par l’Europe en 1923, ou le traite de Lausanne, aboutit a une regression
du droit international en consacrant le principe raciste (assyrien) des transferts massifs de population, d’
echanges, pour (incompatibilite d’humeur avec leurs voisins), des personnes d’ placees: echange entre les
Musulmans turcs de Macedoine et les Chretiens grecs.. cet echange qui a determine, des deux cotes, une
situation miserable… a servi de type et de modele a d’autres echanges diplomatiques, a commencer par certains
replis raciaux hitleriens… pour aboutir a l’ expulsion massive, par l’Etat d’arabes musulmans des Juifs… Nous
avons ainsi amene les Musulmans a nous imiter en expulsant les minorites… Et l’on peut se demander si les
Etats musulmans, pour nous combattre avec nos armes, ne vont pas renier comme nous le Droit d’asile, qui est,
pourtant, dans leur tradition et leur droit international fondamental.
349
Secara lugas, ia mengatakan: “Mungkin suaka yang paling genuine ialah yang dipraktekan dalam
tradisi masyarakat Islam Arab” Lihat Hoy Eduardo, Convention Refugee Definition in the West: Disharmony of
Interpretation and Application, International Journal of Refugee Law, 5, 1993, h. 69.
350
Zaat mengatakan bahwa: “Para pihak yang menaruh perhatian terhadap nasib kaum pengungsi dan
IDPs (Internally Displaced People) di dalam kehidupan masyarakat dunia seharusnya mendekati Syariat Islam
dengan niat baik dan semangat ingin tahu, yang berupaya menemukan, dari tradisi Arab Islam klasik, pola yang
tepat secara budaya, asli dan terpuji tentang perlindungan dan bantuan bagi kaum yang bermigrasi lantaran
keterpaksaan. Masa – masa kelam yang hanya mempersalahkan Syariat Islam sebagai penyebab penyalahgunaan
hak-hak dan fasilitas kehidupan kaum migran memang harus diakhiri.” Lihat Kirsten Zaat: The Protection of
Forced Migrants in Islamic Law, h. 35 .
351
S. Akram, Orientalism Revisited in Asylum and Refugee Claims, International Journal of Refugee
Law, 12 (I), 2000, op cit, h. 7-40.
274
jiwâr (suaka). Oleh karena itu, seorang penyair Arab tidak segansegan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap mereka yang
tidak menghargai hak suaka dengan cara mengintimidasi dan
mempermalukan pencari suaka (mustajîr). Dalam kaitan ini,
seorang penyair Arab, al-Burj ibn Mushar al-Tâ’iy, bersyair:
Betapa hebatnya orang-orang Kalb,
Namun, di bawah jiwâr mereka, kami melihat kekurangan,
Betapa hebatnya orang-orang Kalb,
Tetapi kami menderita lantaran anak-anak kami,
Pengkhianatan terjadi pada siang dan malam,
Di dataran rendah maupun dataran tinggi,
Sejak perang satu tahun, kami tinggalkan rakyat kami,
Betapa mengerikan, rakyat kami tercerai-berai,
Kami keluarkan perempuan-perempuan tua dari benteng,
Tempat mereka berdiam dalam damai dan kestabilan,
Suatu hari kami harus kembali ke dua gunung,
Kami akan selalu hidup dalam kedamaian hingga mati
menjemput.352
Berkomentar atas Hadis Nabi Muhammad SAW: 353 “Pada
dasarnya, aku diutus dengan pesan untuk menyuruh (kalian)
berbuat baik.”, penulis (Marzuq ibn Tinbâk) berpendapat bahwa
di antara perilaku mulia dalam tradisi bangsa Arab adalah yang
disebut sebagai perilaku atau sifat bermurah hati, berani,
memelihara harga diri, melindungi tetangga, dan menyayangi
orang lain yang tidak dikenal.354
352
Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, (Kuwait: Hauliyyât
Kulliyah al-Âdâb, 1410-11 H/ 1989/90 M), h. 93
353
Lihat sebelumnya, Sambutan Rektor Universitas al-Azhar, halaman xxvi.
354
Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, h. 11
275
C. Pandangan Pribadi Penulis
Penting untuk disampaikan bahwa pemberian hak suaka sejalan
dengan 3 (tiga) prinsip dalam Syariat Islam sebagai berikut:355
1. Kewajiban melindungi dan membantu orang yang mengalami
penganiayaan
merupakan
atau
bentuk
penyiksaan.
minimal
356
dari
Pemberian
upaya
suaka
pemberian
perlindungan dan bantuan bagi orang tersebut. Hal ini
disokong oleh ayat al-Qur’an:
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang
yang benar. (Q.S. al-Hasyr/59:8)
2. Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk memiliki “sikap
bergerak” dan “sikap tidak terikat dengan daerah tertentu”
apabila terdapat alasan-alasan mengharuskan “bergerak atau
berpindah tempat”.
Ini sesuai dengan pesan ayat-ayat al-
Qur’an berikut:357
Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan
kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini)
355
Seorang ahli hukum berpendapat bahwa, “Dans le monde musulman d aujourd hui, les pratiques et
les legislations relatives a l asile et aux refugies sont loin d etre musulmanes. Elles s alignent tres souvent sur la
pratique internationale moderne, tres souvent restrictive et assez peu genereuse.” See: L’asile et les refugies
dans la tradition musulmane, , h. 333 dan 337.
356
Ada yang berpandangan bahwa “jiwar” saat ini telah menjadi ranah kebijakan luar negeri dalam
Islam yang mengombinasi kombinasi berbagai sifat mulia, yang mana bermakna perlindungan terhadap
kehidupan, keluarga, kekayaan, dan penghargaan terhadap individu maupun kelompok”. Lihat Ali Ahmad alKhatîb, Muqaddimah fî Hijrat al-Rasûl, Final Volume, (Jiwar), op cit, h. 164.
357
Hal ini juga dikukuhkan oleh hukum internasional. Lihat C. Mubanga-Chipoya, The Right to
Everyone to Leave any Country, Including his Own and to Return to his Country, UN doc.E/C4/Sba.2 1988/35,
June 1988, Final Report.
276
kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang
dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang
baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (Q.S. alA’râf/7:128)
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami
tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai
hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.S. al-Anbiyâ’/21:105)
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15)
Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap
dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu
supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10).
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. alJumu’ah/62:10)
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orangorang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi berperang di jalan Allah,.. (Q.S. alMuzzammil/73:20)
3. Tindakan melanggar dan membatalkan perjanjian suaka yang
diberikan kepada pengungsi merupakan hal yang ditentang
Islam selamanya.358 Hal demikian terbukti dari faham bahwa
358
Hal demikian terbukti dari norma Syariat Islam yang menyatakan bahwa setiap pelanggaran, oleh
orang Muslim, terhadap ketentuan dan persyaratan perlindungan, akan dihukum menurut Syariat Islam. Lihat
Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash? (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1427
H/ 2006 M), h. 79. Di dalam buku ini, penulis juga (Ahmad Abû al-Wafâ’) mengatakan bahwa asal-usul suaka
277
penghormatan terhadap orang yang bermigrasi dan mereka
yang mencari suaka merupakan salah satu noktah penting
ajaran akidah Islam.
Hak suaka merupakan hak Arab yang genuine, di mana
banyak orang telah meminta untuk menghidupkannya
kembali, bahkan dalam khazanah sya’ir Arab. 359 Dalam hal
ini, Pasal 12 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia
dalam Islam (the Cairo Declaration on Human Rights in
Islam), yang disahkan dalam Konferensi Menteri Luar Negeri
dari Negara-Negara OKI ke-19 di Kairo tahun 1411 H/1990
M, menyatakan:
“ Setiap orang berhak, menurut Syariat Islam, untuk bebas
bergerak dan memilih tempat tinggal, baik di dalam maupun
berakar kuat dalam tradisi Islam dan Arab. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or
Clash?, h. 194.
359
Sebagai contoh, ketika Hind bint Nu’mân meminta suaka kepada Safiyyah bint Tsa’lab alSyaibâniyyah maka Safiyyah memberikannya suaka, dan dia mendatangi kaumnya mengumumkan perihal
suaka itu terkait tindakan Raja Kisra Persia dan bala tentaranya, dengan mengatakan:
Wahai Bani Syaibân, hidupkan suaka (jiwâr)
Yang telah dimatikan oleh semua suku bangsa Arab
Apa alasannya? Pakaianku dilipat oleh seorang perempuan merdeka
Ditanam dalam kumpulan mutiara dan berlian
Menghadapi para Kaisar, aku beri suaka kepada seorang perempuan merdeka
Dengan bantuan kaum tua dan kaum muda kaum saya
Syaiban adalah suku saya, apakah ada suku lain yang seperti mereka
Pada saat perlawanan dan berkecamuknya pasukan berkuda
Suatu kaum yang melindungi orang yang dikejar musuh
Dan hidupku terpelihara dari perubahan masa
Kemudian Bani Syaibân memberikan suaka dan melawan serangan pasukan tentara asing (Persia)
hingga pasukan itu takluk. Safiyah berkata:
Katakan kepada Kisra, kami memberikan suaka kepada seorang perempuan pencari suaka
Maka ia menempati tempat kemuliaan, wahai Kisra
Kami adalah orang-orang yang apabila tinggal di tempat berbahaya
Kami tidak pernah menyesal
Kami lindungi pencari suaka itu dari semua bahaya
Kami berikan kepadanya karunia yang menyenangkan,
Lihat Muhammad ‘Anâni, al-Mukhtâr min Asy’âr al-Mar’ah al-‘Arabiyyah fî al-Jâhiliyyah wa alIslâm, (Kairo: General Book Organization, 1997), h. 27-42.
278
di luar negaranya. Setiap orang juga berhak-apabila
disiksa/dianiaya, mencari suaka ke negara lain dan negara
yang dimintai suaka olehnya wajib memberikan perlindungan
kepadanya hingga dia benar-benar terlindungi, sejauh
penyebab yang membuat dirinya mencari suaka itu bukan
merupakan suatu tindak kejahatan menurut Syariat Islam.”360
4. Sebuah fatwa penting dikemukakan oleh Ibn al-Nâbulsi alHanafi. Pada bagian akhir ini, patut kiranya kami mengutip
pandangan progresif Ibn al-Nâbulsi al-Hanafi mengenai hak
untuk
bebas
bergerak,
memilih
tempat
tinggal,
dan
memperoleh suaka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Hak
Setiap Orang untuk Memilih Tempat Tinggal di suatu
Negara” (Takhyîr al-‘Ibâd fi Suknâ al-Bilâd), Ibn al-Nâbulsi
al-Hanafi berkata:
“Memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat
360
‘Abd al-Qâdir ‘Audah berpandangan bahwa pengusiran seorang Muslim dari wilayah Muslim bisa
menjadikan dirinya beresiko untuk jatuh pada godaan dan mendorongnya pada kebinasaan dan menghalanginya
untuk melakukan ibadah agamanya di ranah publik. Dia menambahkan, tidak ada negara Islam yang berhak
menolak akses ke wilayahnya bagi warga negara-negara Islam lain, karena setiap negara memiliki langkahlangkah keamanan dan ketentuan syariah yang dapat memenuhi setiap kebutuhan. Jika semua ini tersedia dan
berlaku di negara itu, maka aturan syariah tidak akan terganggu. Dalam kasus ini, negara tidak boleh
menyimpang dari hak ini dengan dalih perlunya mendukung tindakan yang akan mengganggu aturan penting
syariah. Pendapat ini sejalan dengan maksud dan tujuan syariah untuk menyatukan tanah Muslim dan
mengubahnya menjadi wilayah yang aman dan damai bagi setiap Muslim dan dzimmy. Di sisi lain, pandangan
yang bertentangan dengan semangat di atas, hal mana mengusung ketimpangan serta bias nasionalisme dan
rasisme, jelas tidak sejalan dengan Islam. ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ 'al-Jinâ'i al-Islâmiy, op cit, h. 304305.
Mencermati pesan dari khalifah al-Mansûr berkenaan dengan beberapa orang Muslim yang berlindung
di Turki dan kemudian mereka dihukum berat dan dibunuh oleh mereka, Syeikh bin Saudah berpandangan, tidak
diragukan lagi bahwa para pelaku yang membunuh dan menghukum berat beberapa Muslim yang mencari
perlindungan karena Allah dan bersekutu dengan kelompok mujahidin (pejuang untuk tujuan yang suci) tidak
dapat dianggap sebagai saudara dalam agama. Tindakan mereka menunjukkan keimanan yang tipis dan
kurangnya kesetiakawanan. Dengan demikian mereka harus dihukum dengan terbuka dan dipermalukan di
depan publik dan kemudian dibunuh. Ini akan menjadi hukuman yang setimpal(Qaishâsh) untuk tindakan
mereka yang keji. Allah mengetahui yang terbaik dari niat dan tujuan mereka, jika ia membunuh para mujahidin
dengan maksud untuk mendukung musuh-musuh Allah atau karena cinta dan semangat untuk mendukung
agama mereka, maka mereka akan dikeluarkan dari agama Islam dan akan diperlakukan sebagai kafir. 'Abd alHâdiy al-Tâziy, al-Târîkh al-Diblûmâsiy li al-Maghrib min Aqdam al-'Ushûr ila al-Yawm, (t.tp: Mathâbi'
Fudhâlah, al-Muhammadiyyah, 1407 H / 1987 M.), op cit, Jilid 1, h. 139.
279
dan mewajibkannya dengan jalan pemaksaan merupakan
suatu tindakan zalim dan melanggar hukum. Tindakan
semacam ini harus dijauhkan dari diri setiap Muslim.
Diwajibkan pula setiap Muslim, terutama penguasa Muslim
dan orang yang kompeten, untuk mencegah, melawan, dan
memberantas pelaku tindakan semacam ini dengan berbagai
cara seoptimal mungkin, seperti dengan cara menasehati dan
memperingatkan secara keras dengan lisan, dan bentuk
pencegahan dan pemberantasan kemunkaran lainnya.” Dia
menambahkan:
“ Oleh karena itu, terdapat atsar (ungkapan bijak ulama) yang
menyatakan bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari
keimanan.
Jadi,
seseorang
tidak
boleh
meninggalkan
negaranya atau melepaskan ikatan kewarganegaraan dengan
negaranya kecuali dengan dasar alasan kesulitan/kesusahan
berat yang menimpa dirinya, seperti kelaliman penguasa,
tindakan fitnah, tindakan penganiayaan, dan alasan lain yang
memungkinkan
dirinya
meninggalkan
negaranya,
keluarganya dan tempat tinggalnya. Mengenai hal ini, Allah
SWT berkalam dalam al-Qur’an:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:
"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu",
niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian
kecil dari mereka. (Q.S. al-Nisâ’/4:66)
280
Jadi, Allah menjadikan tindakan meninggalkan negara
seperti tindakan membunuh diri dan Allah mempersamakan
dua tindakan itu dari segi kesukaran/kesusahan yang
ditimpakan kepada manusia.” Dia menambahkan pula:
“Tindakan sekelompok penduduk Muslim meninggalkan
daerah, tempat tinggal dan harta kekayaan mereka lantaran
kezaliman dan kesewang-wenangan pihak lain, yang di luar
kesanggupan mereka menghadapinya, sehingga mereka tidak
bisa menjalankan aktivitas ibadah dan keyakinan akan
perkara halal dan perkara haram maka tindakan sekelompok
penduduk Muslim itu merupakan tindakan mulia yang diberi
ganjaran pahala. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah
SWT:
Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku
luas, maka sembahlah Aku saja. (Q.S. al-‘Ankabût/29:56).”
Ketika memahami kandungan makna ayat ini, al-Nasafi
berkata:
“Apabila orang Muslim merasa tidak mudah beribadah di
negerinya atau ia tidak dapat menjalankan ajaran agamanya
maka dia harus bermigrasi ke negeri lain yang lebih
menjamin kehidupan beragamanya.” 361
361
Institute Francais de Damas, Bulletin d Etudes Orientales, Tome XXXIX-XL, Annes 1987-1988, h.
28-37.
281
Download